14 ekosistem hutan.docx

23
Ciri-ciri 14 tipe hutan yaitu: A. Hutan pantai, menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh pasang surut air laut dengan luas kurang lebih 3,3 juta hektar. Tanahnya berpasir, berbatu dari jenis tanah regosol. Contoh spesies tumbuhan yang hidup di dalam hutan pantai antara lain : Barringtonia asiacita, Hisbiscus tiliaceus, dan Casuarina equisetifolia. Ciri umum ekosistem ini antara lain adalah : 1) Tidak terpengaruh iklim; 2) Tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, lempung); 3) Tanah rendah pantai; 4) Pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit; dan 5) dapat dijumpai terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya Sumatera dan pantai Sulawesi. Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai dapat dibedakan menjadi 2, yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi Baringtonia. 1. Formasi Pres-Caprae; Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomeea pres-caprae, tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus (rumput angin), Canavalia maritime, Euphorbia atoto, Pandanus tectorius (pandan), Crinum asiaticum (bakung), Scaevola frutescens (babakoan). 2. Formasi Baringtonia; Vegetasi dominan adalah pohon Baringtonia (butun), tumbuhan lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung), Erythrina, Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa (ketapang). B. Hutan Mangrove (Mangrove Forest) ; menyebar di sepanjang pantai berlumpur dan dipengaruhi oleh genangan pasang surut air laut. Diperkirakan luas hutan mangrove sekitar 3,9 juts ha. Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan

Upload: glucklich-lucky-manafe

Post on 09-Feb-2016

64 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 14 ekosistem hutan.docx

Ciri-ciri 14 tipe hutan yaitu:

A. Hutan pantai, menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh pasang surut air

laut dengan luas kurang lebih 3,3 juta hektar. Tanahnya berpasir, berbatu dari jenis tanah

regosol. Contoh spesies tumbuhan yang hidup di dalam hutan pantai antara lain :

Barringtonia asiacita, Hisbiscus tiliaceus, dan Casuarina equisetifolia. Ciri umum

ekosistem ini antara lain adalah : 1) Tidak terpengaruh iklim; 2) Tanah kering (tanah pasir,

berbatu karang, lempung); 3) Tanah rendah pantai; 4) Pohon kadang-kadang ditumbuhi

epyphit; dan 5) dapat dijumpai terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya

Sumatera dan pantai Sulawesi. Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai

dapat dibedakan menjadi 2, yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi Baringtonia. 1. Formasi

Pres-Caprae; Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomeea pres-caprae,

tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus (rumput angin), Canavalia maritime,

Euphorbia atoto, Pandanus tectorius (pandan), Crinum asiaticum (bakung), Scaevola

frutescens (babakoan). 2. Formasi Baringtonia; Vegetasi dominan adalah pohon

Baringtonia (butun), tumbuhan lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung),

Erythrina, Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa (ketapang).

B. Hutan Mangrove (Mangrove Forest) ; menyebar di sepanjang pantai berlumpur dan

dipengaruhi oleh genangan pasang surut air laut. Diperkirakan luas hutan mangrove sekitar

3,9 juts ha. Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan Mangrove antara lain:

Aveccenia marine, Rhizopora apiccculata dan Nipa fructicans.

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi (misalnya terlihat

dalam. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah

(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta

pengaruh pasang surut.

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama

di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia, substrat berlumpur ini

sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia marina. Jenis-jenis lain

seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau

karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari

Halimeda. DI Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir,

atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada

daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat. Di Indonesia, kondisi ini

Page 2: 14 ekosistem hutan.docx

ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian – Lumu, Sulawesi Selatan, dimana

mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir

dangkal (0,5 m). Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang

tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran

salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan

baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 o/oo. Pada salinitas ekstrim,

pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia

umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut,

kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain

juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 –

40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops tagal pada

salinitas 60 o/oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa

dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo. Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada

daerah dengan salinitas di bawah 25 o/oo. Kadar salinitas optimum untuk B. parviflora

adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 o/oo.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa penulis

melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut

dan frekuensi banjir. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang

rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang

digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang

digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya

didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang

digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya

didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.Pada umumnya, lebar zona

mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang

dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18

kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan atau bahkan lebih dari 30

kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya. Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan

curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai

yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang

mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang

Page 3: 14 ekosistem hutan.docx

hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai,

serta kecuramannya.

C. Hutan rawa (Swamp forest) ; diperkirakan luasnya 4,6 juta ha, menyebar disepanjang

muara sungai yang selalu atau secara berkala dipengaruhi oleh limpahan air dari sungai

dan hujan, Jenis tanahnya alluvial, gley humus dan hidromorfik. Spesies tumbuhan yang

hidup didalam ekositim alami demikian antara lain :Alstonia scholaris, Elaecarpus

grandiflora dan Oncosperma tigillarium.

Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang

selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang

hutan payau dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau

dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan

tajuk.

Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di

Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya

bagian Selatan.

Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu

hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan

mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa

lapisan tajuk (beberapa stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan

hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa

antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa,

Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia

spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada

di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan

yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di

ekosistem hutan rawa itu tidak merata.

Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya

didominasi oleh pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan

hujan tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem,

dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya

tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.

Page 4: 14 ekosistem hutan.docx

D. Hutan rawa gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-

organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah

gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi

lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di

daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.

Pembentukan gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah

lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat

oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya

tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses

geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi,

berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan

proses pedogenik.

Pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan

kecepatan antara 0-3 mm tahun-1. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan

laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak

sekitar 0,13 mm tahun-1. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat

yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun.

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan

ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk

secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara

lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman

berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara

membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh Bagian

gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen

karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut

topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan

pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang

menambah kesuburan gambut tersebut.

Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya

membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut

yang permukaannya cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal

Page 5: 14 ekosistem hutan.docx

dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut

ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena

hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Klasifikasi gambut

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau

Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam

keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD >

0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm.

Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari

tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan

tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan

asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas

kandungan seratnya < 15%.

Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan

asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15

– 75%.

Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa

dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

- Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-

basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut

yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.

- Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan

basa-basa sedang

- Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-

basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai

biasanya tergolong gambut oligotrofik

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik.

Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di

sepanjang jalur aliran sungai.

Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa,

Page 6: 14 ekosistem hutan.docx

bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif

lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. Berdasarkan lingkungan

pembentukannya, gambut dibedakan atas:

Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya

dipengaruhi oleh air hujan

Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat

pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan

lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

o gambut dangkal (50 – 100 cm),

o gambut sedang (100 – 200 cm),

o gambut dalam (200 – 300 cm), dan

o gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

o gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat

pengayaan mineral dari air laut

o gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi

oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

o gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang

secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

Karakteristik gambut

Karakteristik fisik

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi

kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden

(penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah

gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya . Artinya bahwa gambut

mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu,

kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi

menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya

rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung

pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah

memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran

Page 7: 14 ekosistem hutan.docx

sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan

permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi

karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan

gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju

subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran

drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung. Rendahnya

BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity)

menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena

tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk

berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali

doyong atau bahkan roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena

memudahkan bagi petani untuk memanen sawit.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah

mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi

kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang

mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering. Gambut yang

terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut

yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan

sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

Karakteristik kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral,

ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi

gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya

adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10

hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa,

lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan

kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di

Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75. Sementara itu

gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih

Page 8: 14 ekosistem hutan.docx

tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3.

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan

kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal.

Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah

menjadi semakin masam. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong

tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian

Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan

Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur

Riau. Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah

muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut

ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus

karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak

amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan

KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai

yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut

tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca,

Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur

haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat

racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari

tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik

dari asam-asam organik ini akan menentukan

Sifat kimia gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan

dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti

Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan

organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang

mengandung kation polivalen tersebut bias dimanfaatkan sebagai bahan amelioran

gambut. Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat

cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu

adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang

tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat

Page 9: 14 ekosistem hutan.docx

ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro.

Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang

lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena

terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan

anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat

dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan

tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino

dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara

sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning)

dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik

antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat,

suksinat, propionat, butirat, dan tartrat

E. Hutan hujan dataran rendah (Lowland rain forest); luasnya sekitar 65,4 juta ha. Tipe

hujan menurut Schmidt dan Ferguson adalah tipe A dan tipe B. Ekosistem hutan ini dihuni

oleeh keanekaragaman hayati yang paling kaya. Jenis tanah adalah Podsolik, latosol dan

alluvial. Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami antara lain : Shores

stenoptera, Dvrobalanops aromatics dan Hopes sangal. Hutan hujan dataran rendah ini

yang paling luas diambil kayunya oleh pengusaha-pengusaha HPH, sehingga merupakan

ancaman terhadap kelestarian keanekaan hayati, karena pada umumnya manajemen HPH

dinlai tidak balk olch Dinas Kehutanan.

F. Hutan hujan pegunungan rendah / iklim sejuk (Submontane rain forest)

penyebarannya pada elevasi 1000 m 2000 m diatas permukaan laut. Luasnya diperkirakan

sekitar 10 juta ha. Tipe hujan A dan B . Spesies yang hidup secara alami didalam hutan ini

antara lain : Litsea spp, Crytocarya tomentosa dan Cinnamomuni burmani.

G. Hutan hujan pegunungan tinggi / ikllim dingin (Montane forest) ; penyebarannya

pada elevasi 2000 m dan lebih diatq-, permukaan laut, dengan perkiraan luas 3 juta ha-

Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat disini antara lain Podocaypus, amara, Litsea

robusta dan Litsea angulata. Umumnya kelestarian keanek-aragaman hayati di dalam

formasi hutan ini masih belum terancam oleh ulah manusia.

H. Hutan Musim. Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang

berada di daerah beriklim muson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara musim

kering dan basah yang jelas. Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah

Page 10: 14 ekosistem hutan.docx

yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson)

dengan rata-rata curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan

sebesar 21°-32°C.

Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-negara yang beriklim

musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia

Utara. Di Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa

Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian.

Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies

pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga type ekosistem musim

disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest. Pada ekosistem hutan ini umumnya

hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak

saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan

sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal ini memungkinkan

tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan

secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan.

Pada musim kering, mayoritas pepohonan di hutan musim menggugurkan semua daunnya,

tetapi lamanya daun gugur bergantung kepada persediaan air dalam tanah, dan hal

demikian itu dapat berbeda-beda antartempat dalam hutan yang sama. Sebagai contoh

untuk tempat-tempat yang ada di pinggir sungai yang selalu ada cukup air, menyebabkan

daun-daun pohon gugur secara bergantian, bahkan di sini tidak setiap spesies pohon

menggugurkan semua daunnya. Pada akhir musim kering, banyak dijumpai pohon yang

mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil, sehingga tidak mengganggu

keseimbangan air dalam tubuh tumbuhan. Kemudian setelah masuk musim hujan,

pepohonan mampu memproduksi daun baru, buah, dan biji, sepanjang air tanah cepat

tersedia bagi tumbuhan.

Bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan musim sering berukuran besar dan

memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan bunga yang

dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang selalu hijau = evergreen).

Bunga pohon di hutan musim umumnya kelihatan pada bagian luar tajuk, sehingga sangat

mudah dilihat oleh binatang atau serangga-serangga penyerbuk.

Spesies pepohonan yang ada pada ekosistem hutan musim antara lain Tectona grandis,

Dalbergia latifolia, Acacia leucophloea, Schleieera oleosa, Eucalyptus alba, Santalum

Page 11: 14 ekosistem hutan.docx

album, Albizzia chinensis, dan Timonius cerysus.

Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan musim dibedakan menjadi dua

zona atau wilayah sebagai berikut

1. Zona 1 dinamakan hutan musim bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian

tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.

2. Zona 2 dinamakan hutan musim tengah dan atas karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 1.000-4.100 m dari permukaan laut.

a. Zona Hutan Musim Bawah

Spesies-spesies pohon yang merupakan ciri khas tipe ekosistem hutan musim bawah di

daerah Jawa antara lain Tectona grandis, Acacia leucophloea, Aetinophora fragrans,

Albizzia chinensis, Azadirachta indica, dan Caesalpinia digyna. Di kepulauan Nusa

Tenggara dijumpai spesies-spesies pohon yang menjadi ciri khas hutan musim, yaitu

Eucalyptus alba dan Santalum album, sedangkan spesies pohon khas hutan musim di

Maluku dan Irian antara lain Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp., Corypha utan,

Timonius cerycus, dan Banksia dentata.

b. Zona Hutan Musim Tengah dan Atas

Spesies pohon yang merupakan ciri khas ekosistem hutan musim tengah dan alas adalah

sebagai berikut. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat pohon Casuarina junghuhniana

sebagai spesies pohon dominan dan khas untuk tipe ekosistem hutan musim tengah dan

atas. Hutan musim tengah dan atas di daerah Indonesia Timur mengandung spesies pohon

khas untuk ekosistem tersebut, yaitu Eucalyptus spp. Adapun spesies pohon khas untuk

hutan musim tengah dan alas di daerah Sumatra yaitu Pinus merkusii.

I. Hutan kerangas (Heat forest) yang tumbuh diatas tanah podsol, tanah pasir kuarsa yang

sarang , miskin hara dan pH rendah. Formasi ini antara lain terdapat di Bangka, belitung,

Singkep dan Kalimanatan. Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh alami adalah : backea

frustescens, Dacrydium elactum dan Eurycccoma longifolia.

J. Hutan tanah kapur (Forest on limestone); terdapat diatas tanah kapur dengan areal

yang cukup luas sekitar 7,9 ha. Daerah penyebarannya terdapat di Irian Jaya, Maluku dan

Sulawesi. Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat disini antara lain Pangium edule,

Antridesma bunius dan Kalanecoe pinnata.

Page 12: 14 ekosistem hutan.docx

K. Hutan ultra basah. Batuan ultrabasa seperti kita tahu adalah batuan beku yang kaya akan

besi,magnesium, alumunium, dan logam-logam berat. Batuan ini sedikit mengandung

kuarsa atau felspar, sehingga kandungan silikanya kurang dari 45 % (maka disebut

ultrabasa karena sangat alkalin). Tanah yang sangat alkalin yang berkembang dari lapukan

batuan ini menyebabkan kondisi yang tidak subur dan tak cocok untuk lahan pertanian.

Tanah jenis ini punya kapasitas penukaran kation yang rendah (yang menyebabkan proses

metabolisme tanaman akan terganggu). Kondisi tak subur juga disebabkan kurangnya

kandungan kalsium, nitrogen, posfor, kalium (jelas unsur-unsur NPK akibatnya menjadi

kecil), kandungan molibdenum dan seng pun kurang. Di lain pihak, ada kandungan logam

berat yang beracun dalam jumlah cukup seperti nikel, kobal, dan kromium. Di kondisi

iklim tropis yang lembab, batuan ultrabasa melapuk sangat cepat dan menghasilkan bijih

residu yang mengandung nikel, kromium, atau besi.

Hutan ultrabasa cenderung miskin dalam jumlah spesies. Beberapa pohon tinggi bisa

tumbuh, tetapi itu hanya terjadi di wilayah yang curah hujannya di atas 2000 mm per

tahun (Proctor, et al 1992; Whitmore et al 1984). Whitmore et al (1984) mengatakan

bahwa hutan ultrabasa di Indonesia dicirikan oleh empat genus. Tetapi, Monk et al hanya

mengindetifikasi. (1997) dari empat genus ini, hanya satu genus yang berkembang di

hutan ultrabasa Indonesia Timur, yaitu genus Alphitonia. Tanaman ini sangat aktif

mengumpulkan deposit logam berat nikel dan manggan. Sebagai akumulator nikel,

tanaman ini punya penciri yang khas yaitu bergetah hijau. Tanaman ini tentu bisa

dimanfaatkan untuk membersihkan deposit logam berat dari pertambangan nikel (waste

treatment). Pemanfaatan tanaman ini untuk menyerap racun logam berat masih dalam

penelitian.

L. Hutan tepian sungai (riparian forest) arealnya menyebar sepanjang sungai besar, dan

vegetasinya merupakan vegetasi rawa musiman. Luas areal hutan diperkirakan 1,1 juta ha

dengan jenis tanah alamiah ; spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat didalamnya antara.

lain ; Metrocxylon sagus, Eucalyptus degluplu dan jika air sungi itu payau Nipa

fructicans.

M. Hutan Savana atau Sabanah (Savannah forest) ; berada pada tanah mediteran , regosol

dan grumosol dengan tipe hujan E dan F . Hutan savana merupakan hutan yang banyak

ditumbuhi kelompok semak mak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman

berduri. Luas areal hutan savana diperkirakan 2,7 juta ha da merupakan padang rumput

Page 13: 14 ekosistem hutan.docx

dengan jenis tumbuhan antara lain : Borassus flabillifer, Corypha utan dan Eucalypus

alba. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per

tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan

Euphorbiaceae. Sabana terdapat di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Sabana terjadi karena keadaan tanah, kebakaran yang berulang, dan bukan disebabkan

oleh keadaan iklim.

Ciri-ciri sabana antara lain :

- Bersuhu panas sepanjang tahun

- Hujan terjadi secara musiman, dan menjadi faktor penting bagi terbentuknya sabana

- Sabana berubah menjadi semak belukar apabila terbentuk mengarah ke daerah yang

intensitas hujannya makin rendah

- Sabana akan berubah menjadi hutan basah apabila mengarah ke daerah yang intensitas

hujannya makin tinggi.

Pembagian Savana

Sabana adalah padang rumput dengan diselingi oleh pepohonan. Sabana dibedakan

menjadi dua, yaitu:

- Sabana murni, yaitu sabana yang pepohonan penyusunnya hanya terdiri dari satu jenis

tumbuhan aja.

- Sabana campuran, yaitu sabana yang pepohonan penyusunnya terdiri dari berbagai

jenis tumbuhan.

N. Hutan bambu dan sagu. (Bamboo forest and sago forest) ; Bambu adalah tanaman

dengan laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dilaporkan dapat tumbuh 100 cm (39 in)

dalam 24 jam.[1] Namun laju pertumbuhan ini amat ditentukan dari kondisi tanah lokal,

iklim, dan jenis spesies. Laju pertumbuhan yang paling umum adalah sekitar 3–10

sentimeters (1,2–3,9 in) per hari. Bambu pernah tumbuh secara besar-besaran pada

periode Cretaceous, di wilayah yang kini disebut dengan Asia. Beberapa dari spesies

bambu terbesar dapat tumbuh hingga melebihi 30 m (98 kaki) tingginya, dan bisa

mencapai diameter batang 15–20 cm (5,9–7,9 in). Namun spesies tertentu hanya bisa

tumbuh hingga ketinggian beberapa inci saja. Banyak spesies bambu tropis akan mati

pada temperatur mendekati titik beku, sementara beberapa bambu di iklim sedang mampu

bertahan hingga temperatur −29 °C (−20 °F). Beberapa bambu yang tahan dingin tersebut

mampu bertahan hingga zona 5-6 dalam kategori USDA Plant Hardiness Zones, meski

Page 14: 14 ekosistem hutan.docx

pada akhirnya mereka akan meruntuhkan daun-daunnya dan menghentikan pertumbuhan,

namun rizomanya akan selamat dan menumbuhkan tunas bambu baru di musim semi

berikutnya.

Page 15: 14 ekosistem hutan.docx

Daftar Pustaka

Agus F, dan Subiksa I. G. M, 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek

Lingkungan. Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Noor, Y. R, Khazali, M. Suryadiputra I.N.N, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.

Bogor.

Wathoni A. A, Ferdian F, Ardi Y, 2011. Bioma Sabana. Makalah. Universitas Islam Negeri Sunan

Gunung Djati Bandung

http://muherda.blogspot.com/2011/12/ekosistem-hutan-hujan-tropis.html

http://www.wargahijau.org/