14 ekosistem hutan.docx
TRANSCRIPT
Ciri-ciri 14 tipe hutan yaitu:
A. Hutan pantai, menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh pasang surut air
laut dengan luas kurang lebih 3,3 juta hektar. Tanahnya berpasir, berbatu dari jenis tanah
regosol. Contoh spesies tumbuhan yang hidup di dalam hutan pantai antara lain :
Barringtonia asiacita, Hisbiscus tiliaceus, dan Casuarina equisetifolia. Ciri umum
ekosistem ini antara lain adalah : 1) Tidak terpengaruh iklim; 2) Tanah kering (tanah pasir,
berbatu karang, lempung); 3) Tanah rendah pantai; 4) Pohon kadang-kadang ditumbuhi
epyphit; dan 5) dapat dijumpai terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya
Sumatera dan pantai Sulawesi. Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi Baringtonia. 1. Formasi
Pres-Caprae; Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomeea pres-caprae,
tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus (rumput angin), Canavalia maritime,
Euphorbia atoto, Pandanus tectorius (pandan), Crinum asiaticum (bakung), Scaevola
frutescens (babakoan). 2. Formasi Baringtonia; Vegetasi dominan adalah pohon
Baringtonia (butun), tumbuhan lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung),
Erythrina, Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa (ketapang).
B. Hutan Mangrove (Mangrove Forest) ; menyebar di sepanjang pantai berlumpur dan
dipengaruhi oleh genangan pasang surut air laut. Diperkirakan luas hutan mangrove sekitar
3,9 juts ha. Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan Mangrove antara lain:
Aveccenia marine, Rhizopora apiccculata dan Nipa fructicans.
Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi (misalnya terlihat
dalam. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah
(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta
pengaruh pasang surut.
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama
di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia, substrat berlumpur ini
sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia marina. Jenis-jenis lain
seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau
karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari
Halimeda. DI Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir,
atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada
daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat. Di Indonesia, kondisi ini
ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian – Lumu, Sulawesi Selatan, dimana
mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir
dangkal (0,5 m). Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang
tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran
salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan
baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 o/oo. Pada salinitas ekstrim,
pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia
umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut,
kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Beberapa jenis lain
juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 –
40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops tagal pada
salinitas 60 o/oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa
dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo. Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada
daerah dengan salinitas di bawah 25 o/oo. Kadar salinitas optimum untuk B. parviflora
adalah 20 o/oo, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 o/oo.
Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa penulis
melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut
dan frekuensi banjir. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang
rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang
digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang
digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya
didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang
digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya
didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.Pada umumnya, lebar zona
mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang
dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18
kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan atau bahkan lebih dari 30
kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya. Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan
curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang
mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang
hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai,
serta kecuramannya.
C. Hutan rawa (Swamp forest) ; diperkirakan luasnya 4,6 juta ha, menyebar disepanjang
muara sungai yang selalu atau secara berkala dipengaruhi oleh limpahan air dari sungai
dan hujan, Jenis tanahnya alluvial, gley humus dan hidromorfik. Spesies tumbuhan yang
hidup didalam ekositim alami demikian antara lain :Alstonia scholaris, Elaecarpus
grandiflora dan Oncosperma tigillarium.
Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang
selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang
hutan payau dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau
dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan
tajuk.
Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di
Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya
bagian Selatan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu
hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan
mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa
lapisan tajuk (beberapa stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan
hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa
antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa,
Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia
spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada
di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan
yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di
ekosistem hutan rawa itu tidak merata.
Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya
didominasi oleh pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan
hujan tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem,
dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya
tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.
D. Hutan rawa gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-
organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah
gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi
lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di
daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Pembentukan gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat
oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya
tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses
geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi,
berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan
proses pedogenik.
Pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan
kecepatan antara 0-3 mm tahun-1. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan
laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak
sekitar 0,13 mm tahun-1. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat
yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk
secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara
lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman
berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara
membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh Bagian
gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen
karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut
topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan
pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang
menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya
membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut
yang permukaannya cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal
dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut
ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena
hampir tidak ada pengkayaan mineral.
Klasifikasi gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau
Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam
keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD >
0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm.
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan
tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan
asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas
kandungan seratnya < 15%.
Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15
– 75%.
Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
- Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-
basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut
yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
- Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan
basa-basa sedang
- Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-
basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai
biasanya tergolong gambut oligotrofik
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik.
Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di
sepanjang jalur aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa,
bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif
lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. Berdasarkan lingkungan
pembentukannya, gambut dibedakan atas:
Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan
lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
o gambut dangkal (50 – 100 cm),
o gambut sedang (100 – 200 cm),
o gambut dalam (200 – 300 cm), dan
o gambut sangat dalam (> 300 cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
o gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat
pengayaan mineral dari air laut
o gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi
oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
o gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang
secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
Karakteristik gambut
Karakteristik fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi
kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden
(penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah
gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya . Artinya bahwa gambut
mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu,
kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya
rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung
pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah
memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran
sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan
permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi
karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan
gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju
subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran
drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung. Rendahnya
BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity)
menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena
tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk
berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali
doyong atau bahkan roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena
memudahkan bagi petani untuk memanen sawit.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah
mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi
kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang
mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering. Gambut yang
terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan
sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral,
ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi
gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya
adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10
hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa,
lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan
kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di
Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75. Sementara itu
gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih
tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3.
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan
kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal.
Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah
menjadi semakin masam. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong
tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian
Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan
Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur
Riau. Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah
muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut
ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus
karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak
amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan
KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai
yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut
tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca,
Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur
haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat
racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari
tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik
dari asam-asam organik ini akan menentukan
Sifat kimia gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan
dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti
Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan
organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang
mengandung kation polivalen tersebut bias dimanfaatkan sebagai bahan amelioran
gambut. Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu
adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang
tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat
ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena
terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan
anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat
dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino
dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning)
dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik
antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat,
suksinat, propionat, butirat, dan tartrat
E. Hutan hujan dataran rendah (Lowland rain forest); luasnya sekitar 65,4 juta ha. Tipe
hujan menurut Schmidt dan Ferguson adalah tipe A dan tipe B. Ekosistem hutan ini dihuni
oleeh keanekaragaman hayati yang paling kaya. Jenis tanah adalah Podsolik, latosol dan
alluvial. Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami antara lain : Shores
stenoptera, Dvrobalanops aromatics dan Hopes sangal. Hutan hujan dataran rendah ini
yang paling luas diambil kayunya oleh pengusaha-pengusaha HPH, sehingga merupakan
ancaman terhadap kelestarian keanekaan hayati, karena pada umumnya manajemen HPH
dinlai tidak balk olch Dinas Kehutanan.
F. Hutan hujan pegunungan rendah / iklim sejuk (Submontane rain forest)
penyebarannya pada elevasi 1000 m 2000 m diatas permukaan laut. Luasnya diperkirakan
sekitar 10 juta ha. Tipe hujan A dan B . Spesies yang hidup secara alami didalam hutan ini
antara lain : Litsea spp, Crytocarya tomentosa dan Cinnamomuni burmani.
G. Hutan hujan pegunungan tinggi / ikllim dingin (Montane forest) ; penyebarannya
pada elevasi 2000 m dan lebih diatq-, permukaan laut, dengan perkiraan luas 3 juta ha-
Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat disini antara lain Podocaypus, amara, Litsea
robusta dan Litsea angulata. Umumnya kelestarian keanek-aragaman hayati di dalam
formasi hutan ini masih belum terancam oleh ulah manusia.
H. Hutan Musim. Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang
berada di daerah beriklim muson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara musim
kering dan basah yang jelas. Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah
yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson)
dengan rata-rata curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan
sebesar 21°-32°C.
Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-negara yang beriklim
musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia
Utara. Di Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian.
Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies
pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga type ekosistem musim
disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest. Pada ekosistem hutan ini umumnya
hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak
saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan
sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal ini memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan
secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan.
Pada musim kering, mayoritas pepohonan di hutan musim menggugurkan semua daunnya,
tetapi lamanya daun gugur bergantung kepada persediaan air dalam tanah, dan hal
demikian itu dapat berbeda-beda antartempat dalam hutan yang sama. Sebagai contoh
untuk tempat-tempat yang ada di pinggir sungai yang selalu ada cukup air, menyebabkan
daun-daun pohon gugur secara bergantian, bahkan di sini tidak setiap spesies pohon
menggugurkan semua daunnya. Pada akhir musim kering, banyak dijumpai pohon yang
mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil, sehingga tidak mengganggu
keseimbangan air dalam tubuh tumbuhan. Kemudian setelah masuk musim hujan,
pepohonan mampu memproduksi daun baru, buah, dan biji, sepanjang air tanah cepat
tersedia bagi tumbuhan.
Bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan musim sering berukuran besar dan
memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan bunga yang
dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang selalu hijau = evergreen).
Bunga pohon di hutan musim umumnya kelihatan pada bagian luar tajuk, sehingga sangat
mudah dilihat oleh binatang atau serangga-serangga penyerbuk.
Spesies pepohonan yang ada pada ekosistem hutan musim antara lain Tectona grandis,
Dalbergia latifolia, Acacia leucophloea, Schleieera oleosa, Eucalyptus alba, Santalum
album, Albizzia chinensis, dan Timonius cerysus.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan musim dibedakan menjadi dua
zona atau wilayah sebagai berikut
1. Zona 1 dinamakan hutan musim bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian
tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona 2 dinamakan hutan musim tengah dan atas karena terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat 1.000-4.100 m dari permukaan laut.
a. Zona Hutan Musim Bawah
Spesies-spesies pohon yang merupakan ciri khas tipe ekosistem hutan musim bawah di
daerah Jawa antara lain Tectona grandis, Acacia leucophloea, Aetinophora fragrans,
Albizzia chinensis, Azadirachta indica, dan Caesalpinia digyna. Di kepulauan Nusa
Tenggara dijumpai spesies-spesies pohon yang menjadi ciri khas hutan musim, yaitu
Eucalyptus alba dan Santalum album, sedangkan spesies pohon khas hutan musim di
Maluku dan Irian antara lain Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp., Corypha utan,
Timonius cerycus, dan Banksia dentata.
b. Zona Hutan Musim Tengah dan Atas
Spesies pohon yang merupakan ciri khas ekosistem hutan musim tengah dan alas adalah
sebagai berikut. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat pohon Casuarina junghuhniana
sebagai spesies pohon dominan dan khas untuk tipe ekosistem hutan musim tengah dan
atas. Hutan musim tengah dan atas di daerah Indonesia Timur mengandung spesies pohon
khas untuk ekosistem tersebut, yaitu Eucalyptus spp. Adapun spesies pohon khas untuk
hutan musim tengah dan alas di daerah Sumatra yaitu Pinus merkusii.
I. Hutan kerangas (Heat forest) yang tumbuh diatas tanah podsol, tanah pasir kuarsa yang
sarang , miskin hara dan pH rendah. Formasi ini antara lain terdapat di Bangka, belitung,
Singkep dan Kalimanatan. Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh alami adalah : backea
frustescens, Dacrydium elactum dan Eurycccoma longifolia.
J. Hutan tanah kapur (Forest on limestone); terdapat diatas tanah kapur dengan areal
yang cukup luas sekitar 7,9 ha. Daerah penyebarannya terdapat di Irian Jaya, Maluku dan
Sulawesi. Spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat disini antara lain Pangium edule,
Antridesma bunius dan Kalanecoe pinnata.
K. Hutan ultra basah. Batuan ultrabasa seperti kita tahu adalah batuan beku yang kaya akan
besi,magnesium, alumunium, dan logam-logam berat. Batuan ini sedikit mengandung
kuarsa atau felspar, sehingga kandungan silikanya kurang dari 45 % (maka disebut
ultrabasa karena sangat alkalin). Tanah yang sangat alkalin yang berkembang dari lapukan
batuan ini menyebabkan kondisi yang tidak subur dan tak cocok untuk lahan pertanian.
Tanah jenis ini punya kapasitas penukaran kation yang rendah (yang menyebabkan proses
metabolisme tanaman akan terganggu). Kondisi tak subur juga disebabkan kurangnya
kandungan kalsium, nitrogen, posfor, kalium (jelas unsur-unsur NPK akibatnya menjadi
kecil), kandungan molibdenum dan seng pun kurang. Di lain pihak, ada kandungan logam
berat yang beracun dalam jumlah cukup seperti nikel, kobal, dan kromium. Di kondisi
iklim tropis yang lembab, batuan ultrabasa melapuk sangat cepat dan menghasilkan bijih
residu yang mengandung nikel, kromium, atau besi.
Hutan ultrabasa cenderung miskin dalam jumlah spesies. Beberapa pohon tinggi bisa
tumbuh, tetapi itu hanya terjadi di wilayah yang curah hujannya di atas 2000 mm per
tahun (Proctor, et al 1992; Whitmore et al 1984). Whitmore et al (1984) mengatakan
bahwa hutan ultrabasa di Indonesia dicirikan oleh empat genus. Tetapi, Monk et al hanya
mengindetifikasi. (1997) dari empat genus ini, hanya satu genus yang berkembang di
hutan ultrabasa Indonesia Timur, yaitu genus Alphitonia. Tanaman ini sangat aktif
mengumpulkan deposit logam berat nikel dan manggan. Sebagai akumulator nikel,
tanaman ini punya penciri yang khas yaitu bergetah hijau. Tanaman ini tentu bisa
dimanfaatkan untuk membersihkan deposit logam berat dari pertambangan nikel (waste
treatment). Pemanfaatan tanaman ini untuk menyerap racun logam berat masih dalam
penelitian.
L. Hutan tepian sungai (riparian forest) arealnya menyebar sepanjang sungai besar, dan
vegetasinya merupakan vegetasi rawa musiman. Luas areal hutan diperkirakan 1,1 juta ha
dengan jenis tanah alamiah ; spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat didalamnya antara.
lain ; Metrocxylon sagus, Eucalyptus degluplu dan jika air sungi itu payau Nipa
fructicans.
M. Hutan Savana atau Sabanah (Savannah forest) ; berada pada tanah mediteran , regosol
dan grumosol dengan tipe hujan E dan F . Hutan savana merupakan hutan yang banyak
ditumbuhi kelompok semak mak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman
berduri. Luas areal hutan savana diperkirakan 2,7 juta ha da merupakan padang rumput
dengan jenis tumbuhan antara lain : Borassus flabillifer, Corypha utan dan Eucalypus
alba. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per
tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan
Euphorbiaceae. Sabana terdapat di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Sabana terjadi karena keadaan tanah, kebakaran yang berulang, dan bukan disebabkan
oleh keadaan iklim.
Ciri-ciri sabana antara lain :
- Bersuhu panas sepanjang tahun
- Hujan terjadi secara musiman, dan menjadi faktor penting bagi terbentuknya sabana
- Sabana berubah menjadi semak belukar apabila terbentuk mengarah ke daerah yang
intensitas hujannya makin rendah
- Sabana akan berubah menjadi hutan basah apabila mengarah ke daerah yang intensitas
hujannya makin tinggi.
Pembagian Savana
Sabana adalah padang rumput dengan diselingi oleh pepohonan. Sabana dibedakan
menjadi dua, yaitu:
- Sabana murni, yaitu sabana yang pepohonan penyusunnya hanya terdiri dari satu jenis
tumbuhan aja.
- Sabana campuran, yaitu sabana yang pepohonan penyusunnya terdiri dari berbagai
jenis tumbuhan.
N. Hutan bambu dan sagu. (Bamboo forest and sago forest) ; Bambu adalah tanaman
dengan laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dilaporkan dapat tumbuh 100 cm (39 in)
dalam 24 jam.[1] Namun laju pertumbuhan ini amat ditentukan dari kondisi tanah lokal,
iklim, dan jenis spesies. Laju pertumbuhan yang paling umum adalah sekitar 3–10
sentimeters (1,2–3,9 in) per hari. Bambu pernah tumbuh secara besar-besaran pada
periode Cretaceous, di wilayah yang kini disebut dengan Asia. Beberapa dari spesies
bambu terbesar dapat tumbuh hingga melebihi 30 m (98 kaki) tingginya, dan bisa
mencapai diameter batang 15–20 cm (5,9–7,9 in). Namun spesies tertentu hanya bisa
tumbuh hingga ketinggian beberapa inci saja. Banyak spesies bambu tropis akan mati
pada temperatur mendekati titik beku, sementara beberapa bambu di iklim sedang mampu
bertahan hingga temperatur −29 °C (−20 °F). Beberapa bambu yang tahan dingin tersebut
mampu bertahan hingga zona 5-6 dalam kategori USDA Plant Hardiness Zones, meski
pada akhirnya mereka akan meruntuhkan daun-daunnya dan menghentikan pertumbuhan,
namun rizomanya akan selamat dan menumbuhkan tunas bambu baru di musim semi
berikutnya.
Daftar Pustaka
Agus F, dan Subiksa I. G. M, 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Noor, Y. R, Khazali, M. Suryadiputra I.N.N, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Bogor.
Wathoni A. A, Ferdian F, Ardi Y, 2011. Bioma Sabana. Makalah. Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung
http://muherda.blogspot.com/2011/12/ekosistem-hutan-hujan-tropis.html
http://www.wargahijau.org/