1341-3041-1-pb

12
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (1), 14 - 25 14 Pendahuluan Tindak kekerasan yang dilakukan remaja pada tahun belakangan ini menjadi pusat perhatian para orang tua, guru dan pemerintah. Media masa dan elektronik banyak memberitakan bahwa tindak kekerasan remaja masih kerap terjadi di Indonesia. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar suporter sepak bola, geng motor, tindakan kriminal perampokan ser- ta pembunuhan yang dilakukan oleh remaja menjadi berita yang memprihatinkan Repub- lika (2012, 20 Maret). Polda Metro Jaya (news.detik.com, 2012, 11 Mei) menyatakan bahwa intensitas kenaka- lan remaja pada 2012 mengalami peningkatan mencapai 13,34 % jika dibandingkan tahun se- belumnya. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar supporter dan kekerasan geng motor su- dah menjadi seperti tradisi dan dapat terjadi karena masalah sepele saja, dengan dampak yang ditimbulkannya hingga memakan korban jiwa. Banyaknya kasus kekerasan remaja ini sangat meresahkan warga dan orangtua. Sama halnya dengan Indonesia, di negara maju se- perti di negara-negara Eropa (Sethi et al., 2010) dan Amerika (Wilson, 2000), perilaku agresif remaja juga menjadi masalah. Banyak penelitian yang mengkaji menge- nai bagaimana perilaku agresif dapat berkem- bang serta penyebab kemunculannya, dian- taranya adalah meneliti keterkaitan perilaku agresif dengan berbagai aspek yaitu self es- teem (Esfandi et al., 2005), biologis (Ramirez, 2002; Simpson, 2001), penolakan lingkungan (Twenge, 2007), serta perceraian (Esfandi, et al. 2009). Berbagai penelitian tersebut merupakan usaha untuk mengetahui penyebab dan penga- ruh agresifitas remaja, sehingga dapat dicari- kan solusi dan pencegahannya untuk menang- gulanginya. Remaja sebenarnya tidak berbeda dengan orang dewasa, yang juga memerlukan pikiran jernih untuk mengambil keputusan. Seseorang Model solution focused brief group therapy untuk perilaku agresif remaja Danang Setyo Budi Baskoro Universitas Muhammadiyah Malang 1 Abstraksi Belakangan ini perilaku agresif yang dilakukan remaja cukup meningkat dan menimbulkan keresahan bagi banyak kalangan, dan diperlukan suatu penanganan yang efektif untuk mengatasinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan Solution Focused Brief Group Therapy (SFBGT) yang dapat digunakan untuk menurunkan perilaku agresif remaja. SFBGT merupakan intervensi psikologi yang menekankan kepada group dynamic dan berfokus kepada solusi dalam penanganannya. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah action research melibatkan enam orang partisipan dan siklus yang kedua juga melibatkan enam orang partisipan. Jumlah total partisipan yang dilibatkan sebanyak 12 orang dengan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. SFBGT dikembangkan melalui diskusi dengan partisipan serta reduksi data kualitatif melalui observasi dan wawancara, sehingga model yang dikembangkan dapat diterapkan. Model SFBGT yang dikembangkan meliputi: pengertian, pendekatan, sasaran, tujuan, waktu, jumlah kelompok, konselor dan pendamping konselor, posisi klien dan konselor, tahapan, pola kegiatan setiap pertemuan, rincian pola kegiatan, dan rancangan kegiatan. Analisis statistik menunjukkan bahwa SFBGT dapat mengurangi agresifitas remaja. Kata kunci Solution focused brief group therapy, perilaku agresif, remaja 1 Korespondensi ditujukan kepada Danang Setyo Budi, email: [email protected], telepon: 087859039054

Upload: makiyo-ngu

Post on 12-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

bn

TRANSCRIPT

Page 1: 1341-3041-1-PB

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936Volume I (1), 14 - 25

14

Pendahuluan

Tindak kekerasan yang dilakukan remaja pada tahun belakangan ini menjadi pusat perhatian para orang tua, guru dan pemerintah. Media masa dan elektronik banyak memberitakan bahwa tindak kekerasan remaja masih kerap terjadi di Indonesia. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar suporter sepak bola, geng motor, tindakan kriminal perampokan ser-ta pembunuhan yang dilakukan oleh remaja menjadi berita yang memprihatinkan Repub-lika (2012, 20 Maret).

Polda Metro Jaya (news.detik.com, 2012, 11 Mei) menyatakan bahwa intensitas kenaka-lan remaja pada 2012 mengalami peningkatan mencapai 13,34 % jika dibandingkan tahun se-belumnya. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar supporter dan kekerasan geng motor su-dah menjadi seperti tradisi dan dapat terjadi karena masalah sepele saja, dengan dampak yang ditimbulkannya hingga memakan korban

jiwa. Banyaknya kasus kekerasan remaja ini sangat meresahkan warga dan orangtua. Sama halnya dengan Indonesia, di negara maju se-perti di negara-negara Eropa (Sethi et al., 2010) dan Amerika (Wilson, 2000), perilaku agresif remaja juga menjadi masalah.

Banyak penelitian yang mengkaji menge-nai bagaimana perilaku agresif dapat berkem-bang serta penyebab kemunculannya, dian-taranya adalah meneliti keterkaitan perilaku agresif dengan berbagai aspek yaitu self es-teem (Esfandi et al., 2005), biologis (Ramirez, 2002; Simpson, 2001), penolakan lingkungan (Twenge, 2007), serta perceraian (Esfandi, et al. 2009). Berbagai penelitian tersebut merupakan usaha untuk mengetahui penyebab dan penga-ruh agresifitas remaja, sehingga dapat dicari-kan solusi dan pencegahannya untuk menang-gulanginya.

Remaja sebenarnya tidak berbeda dengan orang dewasa, yang juga memerlukan pikiran jernih untuk mengambil keputusan. Seseorang

Model solution focused brief group therapy untuk perilaku agresif remaja

Danang Setyo Budi Baskoro Universitas Muhammadiyah Malang1

Abstraksi Belakangan ini perilaku agresif yang dilakukan remaja cukup meningkat dan menimbulkan keresahan bagi banyak kalangan, dan diperlukan suatu penanganan yang efektif untuk mengatasinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan Solution Focused Brief Group Therapy (SFBGT) yang dapat digunakan untuk menurunkan perilaku agresif remaja. SFBGT merupakan intervensi psikologi yang menekankan kepada group dynamic dan berfokus kepada solusi dalam penanganannya. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah action research melibatkan enam orang partisipan dan siklus yang kedua juga melibatkan enam orang partisipan. Jumlah total partisipan yang dilibatkan sebanyak 12 orang dengan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. SFBGT dikembangkan melalui diskusi dengan partisipan serta reduksi data kualitatif melalui observasi dan wawancara, sehingga model yang dikembangkan dapat diterapkan. Model SFBGT yang dikembangkan meliputi: pengertian, pendekatan, sasaran, tujuan, waktu, jumlah kelompok, konselor dan pendamping konselor, posisi klien dan konselor, tahapan, pola kegiatan setiap pertemuan, rincian pola kegiatan, dan rancangan kegiatan. Analisis statistik menunjukkan bahwa SFBGT dapat mengurangi agresifitas remaja.

Kata kunci Solution focused brief group therapy, perilaku agresif, remaja

1 Korespondensi ditujukan kepada Danang Setyo Budi, email: [email protected], telepon: 087859039054

Page 2: 1341-3041-1-PB

15

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

dengan pikiran yang jernih biasanya akan le-bih baik dalam memilih keputusan dibanding mereka dalam keadaan emosional (Mischkows-ki, 2012). Namun disisi lain remaja biasanya memiliki kecenderungan emosional yang kuat, mereka dibutuhkan keadaan emosi yang te-nang untuk mengambil keputusan (Kurtz, 2009 & Blencowe, 2007).

Menurut para ahli, selama ini perilaku negatif remaja seperti berkelahi, tawuran, ke-but-kebutan dijalan serta perilaku perusakan diri (self destructive behaviour) seperti penya-lahgunaan zat, alkohol, dan merokok adalah perilaku yang mereka putuskan dalam kondi-si tegang, tertekan, dan emosional (Santrock 2007 & Jeff, 2010). Oleh karena itu remaja me-merlukan kesempatan yang lebih banyak un-tuk mencoba mendiskusikan dan memprakti-kan keputusan yang akan mereka buat. Salah satu bentuk strategi dalam melatih remaja mengambil keputusan dalam kondisi terse-but adalah dengan memberikan lebih banyak peluang bagi mereka untuk belajar mengambil keputusan dalam permainan peran serta pe-mecahan masalah kelompok (Santrock, 2007).

Telah banyak dilakukan penelitian me-ngenai efektifitas terapi kelompok dan konse-ling dalam usaha untuk menurunkan perilaku agresif pada remaja. Terapi tersebut di antara-nya adalah Cognitive Behavioral Group Therapy (Beck & Fernandez, 1998), Anger Management Group Therapy (Charlesworth, 2008), pelati-han asertif (Chamberlain, 2009), maupun Solu-tion Focused Brief Group Therapy (Kim, 2009; Brzezowski, 2012).

Terdapat suatu permasalahan yang di-laporkan pada studi beberapa terapi seperti juga Cognitive Behavioral Group Therapy (CBT), yaitu partisipan dengan masalah agresifitas kebanyakan datang mengikuti te-rapi atas inisiatif orang lain (Brzezowski, 2012). Ber-dasarkan hal tersebut, individu yang mempu-nyai problem pengendalian amarah atau juga perilaku agresif biasanya mengingkari perilaku maladaptive mereka yang dapat mengganggu orang lain. Sehingga ketika mengikuti terapi karena dipaksa oleh orang lain, mereka mengi-kuti proses terapi secara tidak maksimal dan memberikan laporan secara tidak akurat. Oleh karena itulah ketika klien menjalani terapi dengan paksaan dari orang lain, mereka tidak akan siap untuk melakukan perubahan bah-kan mereka tidak melihat perilakunya sebagai masalah (Kassinove & Tafrate, 2006).

Namun demikian pendekatan lain seperti terapi yang berfokus kepada solusi (solution fo-

cused therapy) menjadi jalan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut (Brzezowski, 2012). Pendekatan ini dirasa lebih tepat karena tidak memfokuskan kepada masalah klien yang menjadi pengalaman, akan tetapi lebih kepada membuat mereka mengenal area kehidupan ketika mereka berhasil dan tidak mengalami kesulitan (Banks, 1999; Brzezowski, 2012).

Solution Focused Brief Group Therapy (SF-BGT) mengajak klien untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda dari yang biasa mereka lakukan. Salah satu tekniknya adalah dengan menggali sikap atau tindakan yang pernah ia lakukan secara berbeda (ex-ception) terhadap respon yang ia munculkan selama ini (Brzezowski, 2012). Tindakan yang berbeda tersebut merupakan tindakan yang mempunyai konsekuensi positif. Dengan cara ini klien dapat mengenali perilakunya yang le-bih adaptif dengan menggali pengalaman masa lalunya.

SFBGT juga memandang bahwa klien mempunyai masalah karena mereka tidak mampu dalam memandang kemungkinan re-alita lain, selain yang dipandangnya saat itu. Subjektifitas inilah yang menjadi dasar dari SFBGT agar klien membuka kemampuannya melihat kemungkinan-kemungkinan sebagai solusi yang akan ia terapkan dikemudian hari (Biggs et al., 2005). Selain itu penggunakan pertanyaan ajaib (miracle question), yaitu per-tanyaan mengenai bagaimana cara mengenali keadaan diri ketika masalah yang dialami su-dah terselesaikan dan tujuan akan terpenuhi, merupakan bagian terapi untuk mendorong klien menentukan tujuan yang lebih adap-tif daripada kadaan saat itu (Banks, 1998). Teknik berikutnya adalah dengan pertanyaan skala 1-10, angka 1 untuk skenario yang di-anggap paling buruk dan 10 untuk skenario yang paling diharapkan. Skala ini memung-kinkan klien untuk mengetahui perkembangan dirinya menuju ke arah mencapai tujuannya (Schieffer & Schieffer., 2000). Pemberdayaan kekuatan klien dalam menentukan goal, mem-buat solusi dan pekerjaan rumah (homework) dengan cara mereka sendiri juga dianggap dapat menghindari resistensi terhadap terapi, dibandingkan jika diberikan oleh terapis. Hal ini karena mereka lebih mampu untuk menye-suaikan tujuan sesuai dengan keadaan yang mereka ketahui.

Kelebihan lain dari SFBGT ini adalah me-miliki lebih singkat waktu dalam menghasilkan perubahan yang positif pada klien sebesar 70-80% daripada teknik terapi traditional terma-

Page 3: 1341-3041-1-PB

16

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

suk CBT (Higgins, 2009). Selain itu terapi ini cocok digunakan kepada klien yang religius (Gutterman & Leite, 2006), intervensi keluarga (Macdonald, 2005), klien yang menyakiti diri (self harm) (Winship, 2007) dan dalam setting training untuk perawat (Bowler et al., 2001).

Berdasarkan uraian diatas bahwa teknik yang dipakai dalam Solution Focused Brief Group Therapy (SFBGT) lebih menekankan pada kesadaran klien, mengakui kekuatan klien dan berfokus kepada solusi (Cunanan, et al. 2003). Karena SFBGT menekankan pada pemberian kesempatan remaja untuk belajar mengambil keputusan maka SFBGT dirasa co-cok untuk mengurangi perilaku agresif pada remaja.

Meskipun telah banyak penelitian menge-nai keefektifan SFBGT (Kim, 2009), akan tetapi model yang tepat di Indonesia belumlah ba-nyak dilakukan penelitian. Berdasarkan alasan inilah peneliti ingin menyusun suatu bentuk model SFBGT yang tepat dan nantinya dapat digunakan untuk menurunkan perilaku agresif pada remaja.

Tinjauan Pustaka

Perilaku agresif remaja

Robert Baron mendefinisikan perilaku agresif sebagai perilaku individu yang dimaksudkan untuk mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Penjelasan mengenai definisi ini meliputi em-pat faktor, yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai, individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi korban, serta ketidak-inginan korban menerima perilaku si pelaku (Koeswara, 1988).

Ada banyak konstruk dalam mendefinisi-kan agresi, diantaranya adalah agresi instru-mental (instrumental aggression) dan agresi rasa bermusuhan (hostile aggression), agresi verbal dan agresi fisik, agresi direct dan agresi indirect (Koeswara, 1988; White et al., 2010). Namun dalam penelitian ini konstruk agresi yang digunakan dibagi menjadi agresi fisik dan agresi verbal. Agresi fisik melibatkan kontak fisik dengan orang lain atau objek agresi, se-dangkan agresi verbal melibatkan proses ver-bal seperti bergosip, mengeluh, berbisik, me-nyebarkan rumor, mengejek, sarkasme dan menggunakan panggilan yang merendahkan (Blencow, 2007; Ramirez & Andreu, 1981; Zim-mer, 2005).

Konstruk lain yang memiliki hubungan erat dengan agresi juga digunakan dalam penelitian

ini adalah rasa bermusuhan dan rasa marah. Kedua konstruk ini memiliki hubungan yang positif dengan agresi, dimana rasa marah adalah suatu keadaan ketika seseorang mera-sa tersakiti dan bersiap-siap untuk memilih ja-lan yang konstruktif (assertion) atau jalan yang destruktif (aggression). Sementara itu permu-suhan adalah penilaian dan perasaan yang negatif terhadap orang lain yang berhubungan dengan niat untuk menyakiti orang tersebut. Rasa bermusuhan, rasa marah, agresi fisik dan agresi verbal mempunyai keterkaitan. Ketika rasa marah menurun, maka korelasi antara rasa bermusuhan, agresi fisik dan agresi verbal juga rendah (Ramirez & Andreu, 1981).

Berbagai fakta terkait dengan agresifitas remaja

Beberapa penelitian mengungkapkan pandan-gan yang berbeda namun juga saling melengka-pi mengenai penyebab perilaku agresif remaja. Santrock (2007) menyebutkan bahwa hormon pubertas berhubungan dengan timbulnya emo-si-emosi negatif. Hal ini diungkapkannya bahwa para peneliti menemukan bahwa remaja laki-laki yang memiliki kadar androgen lebih tinggi yang berkaitan dengan masalah agresivitas dan masalah-masalah perilaku lainnya. Selain itu hormon testosteron juga dapat mempenga-ruhi timbulnya agresifitas. Namun demikian faktor hormon ditengarai hanya salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi agresi dan efek pengalaman sebelumnya, hal ini juga di tambah rangsangan lingkungan yang juga ber-korelasi kuat (Ramirez, 2002; Simpson, 2001).

Pengaruh media seperti game, internet dan film yang berisi adegan kekerasan juga dinilai memberikan sumbangan cukup besar dalam membentuk perilaku agresif (Koeswara, 1988; Ko et al., 2009). Penelitian di Amerika menun-jukan bahwa remaja yang paling banyak me-mainkan video game kekerasan lebih banyak memiliki perasaan membenci, sering berdebat dengan guru, sering terlibat perkelahian fisik dan performa akademik disekolah yang rendah (Gentile et al., 2004). Penggunaan tokoh yang agresif seperti membawa senjata dan melaku-kan pertarungan berdarah lebih berpengaruh kepada pembentukan agresifitas dari pada yang tidak (Barlet et al., 2007).

Faktor yang berikutnya adalah keluarga. Menurut Santrock (2007) anak yang diterlan-tarkan oleh orang tuanya akan lebih berpotensi mengembangkan gangguan dalam tingkah laku sosial. Begitu pula menurut Lopez et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pola hubungan orang tua sangat mempengaruhi

Page 4: 1341-3041-1-PB

17

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

perkembangan kemampuan sosial anak. Pada keluarga yang memiliki sikap hangat, komuni-kasi terbuka dan memberikan kebebasan anak dalam menyampaikan pendapat akan melatih anak dalam berempati kepada orang lain yang hal ini dapat menghindarkan dari gangguan antisosial dan perilaku yang tidak bertanggung jawab (Koeswara, 1988).

Lopez et al. (2006) melaporkan dalam penelitiannya bahwa siswa yang di tolak atau tidak disukai karena melakukan agresifitas biasanya memiliki keadaan di lingkungan ke-luarga yang buruk, seperti kepercayaan diri keluarga yang rendah, dukungan keluarga yang rendah, tingkat agresi yang tinggi antar anggota keluarga di rumah dan komunikasi didalam keluarga yang tertutup antara anak dan orang tua. Karena perilaku inilah biasan-ya anak yang melakukan agresifitas ditolak di lingkungan sekolah, sehingga hal ini berakibat kepada beberapa perilakunya yang lain seperti kemampuan akademik yang rendah, banyak melakukan perilaku agresif di sekolah, serta hubungan yang buruk dengan guru. Dengan demikian nampak jelas jika lingkungan keluar-ga sangat berpengaruh kepada perkembangan psikologis remaja (Lopez et al., 2008).

Lingkungan secara umum memang men-jadi faktor yang mempengaruhi perilaku agresif remaja, akan tetapi persepsi anak mengenai lingkungan ternyata tidak kalah penting dalam menciptakan perilaku agresif. Beberapa pene-litian melaporkan bahwa persepsi anak me-ngenai perilaku yang diharapkan oleh figur sosial menjadi pemicu timbulnya perilaku yang dimunculkan oleh anak. Adanya persepsi bahwa perilaku agresif diharapkan oleh teman-temannya di lingkungan sekolah dan orangtua dirumah menjadikan perilaku agresif remaja muncul (Hauser, 2006; Gutzwiller, 2009; Mela-nie et al., 2005). Selain itu persepsi mengenai legalitas penggunaan drug dan alkohol juga menjadi prediktor dari kecenderungan perilaku kekerasan fisik disekolah (Constantine et al., 2000).

Penelitian berikutnya adalah menghubung-kan dengan aspek-aspek kepribadian. Seperti yang penelitian yang menghubungkan peneri-maan diri (self regard) dengan perilaku agresif menyatakan bahwa perilaku agresif merupa-kan suatu bentuk cara mempertahankan diri terhadap ancaman seseorang yang dianggap akan merusak citra dirinya (Baumeister et al., 2000).

Penelitian tentang narsisme dengan perilaku agresif merupakan suatu penelitian

yang membuat suatu konstruk baru menge-nai agresifitas. Penelitian ini menyatakan bah-wa narsisme dan ketidakstabilan harga diri adalah prediktor yang efektif dalam mempre-diksi agresifitas. Dalam penelitian Bushman dan Baumeister (1998) yang meneliti hubu-ngan antara harga diri, narsisme dan agresi mengatakan bahwa dalam percobaan yang di-lakukan, orang yang menunjukkan perilaku agresif adalah orang yang memiliki skor yang tinggi dalam tes narsisme. Selain itu sifat ke-pribadian yang mudah tersinggung mudah untuk melakukan agresifitas jika dikenakan situasi yang memancing ataupun tidak. Na-mun demikian berbeda dengan sifat kepriba-dian lainnya yang hanya melakukan agresifitas jika berada dibawah provokasi (Bettentcourt et al., 2006).

Intervensi untuk perilaku agresif remaja

Cukup banyak penelitian yang bertujuan un-tuk mengembangkan bentuk intervensi dalam mengatasi perilaku agresif pada remaja, baik intervensi secara individu, keluarga ataupun kelompok. Menurut Wiener, interaksi kelom-pok memiliki pengaruh positif untuk kehidu-pan individual karena kelompok dapat dijadi-kan sebagai media terapetik. Pandangan ini didasari oleh pemikiran tentang interaksi ke-lompok dapat meningkatkan pemahaman diri dan baik untuk perubahan tingkah laku indi-vidual (Latipun, 2004).

Pada beberapa literatur lain juga me-nyatakan bahwa konseling dan psikoterapi cukup efektif dalam mengurangi timbulnya perilaku agresif. Hal ini juga dibuktikan de-ngan penelitian mengenai keefektifan pendeka-tan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Salah satu penelitian meta analisis menyatakan bah-wa CBT efektif untuk menurunkan kemarahan sebanyak 75% (Deffenbacher et al., 2002).

CBT menjanjikan efek yang besar dalam mereduksi kecemasan dan depresi, dan oleh karena itu CBT juga memberikan efek yang sama kepada terapi yang bertujuan mereduksi kemarahan. Hal ini karena keduanya mem-punyai model pemikiran yang sama mengenai peningkatan efficacy dalam mengatasi kemara-han partisipan (Digiuseppe & Froh, 2002).

Pendekatan kognitif yang lain selain CBT adalah pendekatan problem solving. Pendeka-tan ini berasumsi bahwa seseorang yang ber-masalah dengan kemarahannya yaitu karena individu tersebut kurang mempunyai kemam-puan mengatasi masalah dalam menangani

Page 5: 1341-3041-1-PB

18

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

kejadian yang menimbulkan respon marah. Pada pendekatan ini partisipan berpikir tahap umum untuk mengatasi masalah dan lalu dia-jak untuk mempraktekkan kepada konflik yang sedang dihadapi (Deffenbacher et al., 2002). Kedua pendekatan ini adalah sama-sama ber-orientasi kepada masalah (problem focused therapy).

Terdapat suatu permasalahan yang dilapor-kan pada studi CBT adalah partisipan dengan masalah agresifitas kebanyakan datang mengi-kuti terapi atas inisiatif orang lain atau bah-kan ketika datang atas inisiatif sendiri biasan-ya dengan tujuan ingin merubah orang lain (Brzezowski, 2012). Berdasarkan hal tersebut, individu yang mempunyai problem pengenda-lian amarah atau juga perilaku agresif biasa-nya mengingkari perilaku maladaptive mereka yang dapat mengganggu orang lain. Sehingga ketika mengikuti terapi karena dipaksa oleh orang lain, mereka mengikuti proses terapi se-cara tidak maksimal dan memberikan laporan secara tidak akurat. Hal inilah yang dihadapi oleh beberapa program terapi.

Ketika partisipan menjalani terapi dengan paksaan dari orang lain, mereka tidak akan siap untuk melakukan perubahan bahkan mereka tidak melihat perilaku mereka sebagai masalah (Kassinove & Tafrate, 2006). Berbeda halnya dengan terapi yang berfokus masalah yang berkonsentrasi menurunkan masalah perilaku, terapi yang berfokus kepada solusi lebih berkonsentrasi pada bagaimana cara meningkatkan perilaku yang diinginkan (Ban-nink, 2007).

Pendekatan yang berfokus kepada solusi tidak memfokuskan kepada masalah partisi-pan yang menjadi pengalaman, akan tetapi lebih kepada membuat mereka mengenal area kehidupan ketika mereka berhasil dan tidak mengalami kesulitan. Alasan ini jugalah yang mendasari beberapa ahli melakukan peneli-tian mengenai efektifitas terapi ataupun beru-saha membuat model rancangan terapi un-tuk agresifitas melalui teknik-teknik SFBGT (Banks, 1999; Brzezowski, 2012).

SFBGT untuk perilaku agresif remaja

SFBGT dikembangkan oleh Deshazer dan Berg pada tahun 1980-an. Mereka mengembangkan terapi ini dari penelitian Watz Lawick, Weak-land dan Fischer yang meyakini bahwa solusi dari masalah dapat lebih penting daripada cara mengatasinya atau memahami masalah itu sendiri. Dasar teori dari SFBGT ini didasarkan

pada pandangan konstruktivisme, yaitu teori yang beranggapan bahwa seseorang meman-dang diri mereka secara subjektif. Pandangan ini menyatakan bahwa kita membangun realita kita sendiri dan bukan realita yang universal (Newsome, 2002). Hal ini bertentangan dengan pandangan empiris yang berpandangan bahwa kita dapat mengetahui suatu realita yang bersi-fat subjektif atau universal melalui observasi.

SFBGT juga dapat dianggap sebagai suatu bentuk dari Cognitive Behavioral Therapy karena melibatkan prinsip-prinsip behavioral dalam prosesnya. Didalam SFBGT analisis be-havioral juga dilakukan, bukan pada perilaku bermasalah namun pada exception. Prinsip pengkondisian operan diterapkan dengan mendiskusikan perilaku yang ingin dikuatkan (reinforcement) dan mengabaikan perilaku yang tidak diinginkan. Sedangkan prinsip peng-kondisian klasik dilakukan pada homework dengan klien ditugaskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda atau berpura-pura ke-ajaiban telah terjadi (counter conditioning) yang hal ini merupakan bagian dari Cognitive Beha-vioral Therapy (Bannink, 2007)

Konsep SFBGT mengenai masalah yang dihadapi klien adalah ketika klien hanya me-miliki satu pandangan realita dari banyak re-alita yang sebenarnya ada. SFBGT memberi-kan kesempatan kepada klien untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain mengenai kenyataan yang selama ini belum dapat terli-hat olehnya. SFBGT beranggapan bahwa se-seorang pada dasarnya kompeten serta mampu untuk membangun hidupnya sendiri (Biggs et al., 2005). Remaja dengan masalah agresifitas biasanya menghadapi situasi yang menekan dengan cara tertentu yang kurang adaptif, hal ini bisa terjadi karena beberapa hal yang mempengaruhi baik karena belum matangnya emosi, kognitif ataupun karena pengaruh ling-kungan. Perilaku yang biasa dilakukan terse-but biasanya dilakukan berdasarkan suatu kenyataan yang dipandang klien secara sub-jektif. Oleh karena itu dengan memberikan klien kesempatan untuk mengenal kenyataan baru akan memungkinkan bagi klien untuk melakukan hal yang berbeda atas situasi yang biasanya menimbulkan masalah.

SFBGT dalam terapinya menggunakan per-cakapan antara terapis dan klien, terapis mem-berikan pertanyaan yang bertujuan membantu klien untuk berpikir secara berbeda terhadap situasi yang mereka hadapi selama ini dalam rangka proses membangun solusi (Banks, 1999). Tujuan cara ini adalah mendampingi

Page 6: 1341-3041-1-PB

19

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

klien untuk membangun solusi yang tidak per-nah mereka lakukan di dalam permasalahan yang dihadapi selama ini. Percakapan yang di-gunakan salah satunya dengan menggunakan pertanyaan pengecualian (exception question). Pertanyaan ini adalah untuk menggali ketika masalah tidak muncul dalam situasi yang bi-asanya memicu masalah (Cunanan, 2003).

Tujuan dari exception tersebut adalah membuka sudut pandang baru mengenai pengalaman klien sendiri di masa lalu ketika mereka mampu bersikap secara adaptif terha-dap situasi yang biasanya menimbulkan per-masalahan. Pengalaman-pengalam tersebut merupakan sebuah contoh dari sikap yang berbeda dari klien yang nantinya juga dapat digunakan atau bahkan dikembangkan untuk menghadapi situasi yang sama.

Menentukan tujuan klien juga dapat dibantu dengan teknik pertanyaan hasil (out-come question), pertanyaan ini bertujuan un-tuk menolong klien dalam membuat suatu pandangan hidup tanpa masalah yang diha-dapi saat ini. Salah satu contohnya yaitu peng-gunaan pertanyaan ajaib (miracle question). Terapis bertanya kepada klien hidup seperti apa yang mereka inginkan ketika keajaiban terjadi, seperti ketika mereka tidur dan bangun keesokan harinya, masalah mereka tersele-saikan. Pertanyaan ini memungkinkan klien dapat menentukan tujuan perubahan positif berdasarkan yang mereka bayangkan. Selan-jutnya pengalaman pengecualian (exception) tujuan perubahan positif ini diperkuat dan diperluas oleh terapis dengan menggunakan teknik EARS. Elicit yaitu dengan menanyakan perubahan positif yang sudah ditetapkan oleh klien dalam menghadapi situasi yang biasanya menimbulkan permasalahan. Amplify, yaitu dengan menanyakan detail menganai peruba-han yang positif. Detail mengenai perubahan positif ini meliputi waktu, tempat, situasi dan perilaku yang spesifik. Reinforce, yaitu meya-kinkan klien melihat dan menghargai peruba-han yang positif. Hal ini penting dilakukan untuk memperjelas realita bahwa mereka se-dang berproses untuk melakukan perubahan membangun kenyataan baru dalam perubahan yang positif. Start again, yaitu mengajak klien untuk melihat solusi apa lagi yang lebih baik

Teknik selanjutnya yang digunakan tera-pis dalam membantu klien untuk menentukan perubahan yang positif adalah dengan meng-gunakan pertanyaan specific relationship, yaitu pertanyaan seperti “bayangkan dia (orang ter-tentu) ada disini, kira-kira apa yang dapat ia lihat dari perubahanmu?”. Pertanyaan ini me-

mungkinkan klien untuk mengetahui apa yang harus atau perlu dirubah dari dirinya dan men-jadikan perubahan tersebut sebagai tujuan.

Ketika perubahan positif tidak berjalan dengan baik, terapis dapat menggunakan co-ping question untuk mengarahkan klien yang terlalu fokus terhadap masalah menjadi bera-lih kepada kekuatan dan sumber bagaima-na mereka menghadapi negatifitas tersebut. Coping question ini adalah sebagai berikut: “bagaimana kamu terus melakukannya, se-mentara kamu merasa apa yang kamu laku-kan itu tidak terasa nyaman?”. “apa yang telah kamu lakukan sehingga kamu membiarkan ke-marahanmu mengendalikan dirimu?”.

Scaling question menanyakan situasi klien atau tingkatan goal dalam bentuk skala 1-10. Pembuatan skala ini bertujuan agar klien dapat melihat bagaimana kemajuan mereka dan se-lanjutnya klien dapat mengatur goal tersebut untuk kemajuan yang lebih baik. Teknik beri-kutnya adalah dengan menggunakan perta-nyaan hubungan (relationship question), per-tanyaan ini menanyakan mengenai bagaimana cara bereaksi yang berbeda terhadap masalah (Myszor, 2005). Selain itu dalam terapi ini juga ditekankan tentang kohesifitas kelompok, di-mana klien yang lain didalam kelompok mem-berikan umpan balik dengan bekerjasama membuat perilaku pengecualian (exception) dan perilaku solusi dari klien lain.

Pada prinsipnya SFBGT bertujuan untuk membantu klien mengenali perilaku penge-cualian terhadap masalah dan selanjutnya mereka didorong untuk melakukannya. Oleh karena itu SFBGT lebih menggunakan pembi-caraan mengenai solusi daripada pembicaraan mengenai masalah. Secara keseluruhan terapi ini berfokus kepada waktu dimana klien tidak mengalami perilaku yang bermasalah atau mampu untuk mengatur perilakunya yang ber-masalah di dalam jalan yang dapat diterima. Selanjutnya tugas terapis adalah mengawasi, menguatkan dan memperluas waktu penge-cualian ini. Klien dibantu untuk membangun hidup mereka dengan tanpa perilaku yang bermasalah. Terapis membimbing mereka di-dalam membuat gambaran solusi (solution pic-ture) yang mana hal ini akan menjauhkan dari perilaku yang bermasalah.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah Solution Focused Brief Group Therapy (SFBGT) dapat mengurangi agresifitas pada remaja.

Page 7: 1341-3041-1-PB

20

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

Metode Penelitian

Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan action research, yaitu rancangan bentuk penelitian yang meng-gabungkan antara pendekatan eksperimen dalam ilmu sosial dengan program tindakan sosial dalam merespon permasalahan sosial yang besar pada waktu itu. Lewin menyatakan bahwa teori pengembangan dan perubahan sosial yang diperlukan secara simultan dapat dicapai dengan menggunakan penelitian tin-dakan sebagai proses membangun eksperimen sosial untuk mencapai tujuan tertentu (Miller et al., 2003; Adelman, 1993). Kurt Lewin seper-ti pada Gambar 1, menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu proses siklus spiral yang meliputi: perencanaan (planning), tinda-kan (acting), pengamatan (observing), dan re-fleksi (reflecting).

Partisipan penelitian

Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 12 orang, pada pengujian tahap pertama sejumlah enam orang yang terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan, tahap kedua enam orang yang juga terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan. Partisipan beru-sia 14-16 tahun, memiliki atau sering melaku-kan perilaku agresif baik secara fisik ataupun verbal. Perilaku agresif fisik seperti berkela-hi, membanting barang dan memukul ketika marah. Sedangkan perilaku agresif verbal me-liputi mengejek, mencaci serta mengumpat ke-tika marah. Partisipan dipilih dengan rujukan dari guru BK, namun demikian dipilih kembali oleh peneliti melalui wawancara dengan guru BK dan calon partisipan.

Instrumen pengumpulan data

Instrumen yang digunakan untuk mengukur agresifitas adalah yang sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia (Latipun 2010). Aggres-

Gambar 1. Skema Proses Action Research

sion Questionnaire (AQ, Buss & Perry 1992), AQ mengandung aspek tingkah lagu agresifi-tas fisik, agresifitas verbal, rasa marah (anger) dan rasa bermusuhan dengan orang lain (hos-tility). Terdapat 24 item dengan nilai korelasi item dengan total r = 0,19 - 0,47, p < 0,001. serta nilai reliabilitas (konsistensi internal) Alpha 0,79 (Latipun 2010). Salah satu item physical Aggression (PA) adalah “Ketika saya marah saya merusak sesuatu”. Selain menggu-nakan self rapport untuk mengukur keadaan klien sebelum dan sesudah terapi, peneliti juga melakukan evaluasi melalui pertanyaan melalui format tertulis, wawancara dan obser-vasi dengan tujuan memberikan evaluasi atau feedback dari partisipan terhadap model terapi yang telah dilakukan.

Prosedur intervensi

SFBGT dilakukan sebanyak 6 sesi (80 menit se-tiap sesi), dua sesi dalam satu minggu. Prose-dur pelaksanaan yang akan dilakukan meli-puti tahap persiapan dan eksplorasi masalah, tahap mencari exception dan menetapkan tu-juan, identifikasi dan memperkuat perilaku solusi serta tahap penghentian sesi. Tahap Persiapan dan eksplorasi masalah (satu sesi) mencakup: penyampaian tujuan dan manfaat terapi serta peraturan dan kontrak, melakukan pengukuran, penggabungan antara anggota kelompok dengan kelompok dan terapis serta menciptakan kohesifitas, eksplorasi masalah, mendorong klien untuk melihat dan mera-sakan mengenai hidup tanpa masalah. Tahap mencari exception dan menetapkan tujuan (satu sesi) mencakup: mencari exception, ya-itu perilaku yang pernah dilakukan oleh klien dalam menyikapi situasi permasalahan dengan lebih adaptif, memperkuat exception dengan re-inforcement positif berupa pujian, menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam terapi yang di-lakukan.

Identifikasi dan memperkuat perilaku solu-si (tiga sesi) mencakup: identifikasi perilaku solusi, memperluas dan memperkuat perilaku solusi yang telah diidentifikasi, mendorong ter-jadinya perubahan. Tahap penghentian sesi (satu sesi) mencakup: evaluasi dan perbaikan, konsolidasi dan merayakan kemajuan, mem-perjelas gambaran solusi dan realitas kedalam pikiran kelompok, mengenali kapan mereka menjadi maladaptif dalam mengelola kemara-han mereka.

13

METODOLOGI PENELITIAN

Desain Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model Solution

Focused Brief Therapy (SFBGT) yang tepat untuk digunakan menurunkan

perilaku agresif remaja, dimana desain dalam penelitian ini adalah menggunakan

action research.

Istilah action research (penelitian tindakan) untuk pertama kalinya

dikenalkan oleh Kurt Lewin untuk mendeskripsikan bentuk penelitian yang

menggabungkan antara pendekatan eksperimen dalam ilmu sosial dengan program

tindakan sosial dalam merespon permasalahan sosial yang besar pada waktu itu.

Lewin menyatakan bahwa teori pengembangan dan perubahan sosial yang

diperlukan secara simultan dapat dicapai dengan menggunakan penelitian

tindakan sebagai proses membangun eksperimen sosial untuk mencapai tujuan

tertentu (Miller, et al. 2003; Adelman, 1993). Kurt Lewin seperti pada Gambar 1,

menggambarkan penelitian tindakan sebagai suatu proses siklus spiral yang

meliputi : perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing),

dan refleksi (reflecting).

Gambar. 1 Skema Proses Action Research

Spesifikasi Model Intervensi

Model intervensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Solution

Focused Brief Group Therapy (SFBGT). Tujuan dari intervensi ini untuk

mengurangi tingkat agresifitas pada remaja dengan dasar pandangan teori

konstruktivisme, dimana partisipan dibantu untuk membentuk perilaku baru yang

berfokus kepada solusi atas permasalahan yang dihadapi. Solusi yang ditemukan

oleh pertisipan selanjutnya akan dipertanyakan, diperkuat, diperjelas dan

Tindakan (acting)

Perencanaan (planning)

Pengamatan (observing)

Refleksi (reflecting)

Page 8: 1341-3041-1-PB

21

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

Analisis Data

Data yang telah diperolah kemudian ditulis, direduksi dan dianalisis secara kualitatif. Se-lanjutnya data tersebut diklasifikasikan serta dipilih data yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan model, sedangkan data yang tidak dapat diterapkan akan diabaikan. Selain itu pengaruh terapi akan diketahui de-ngan menggunakan perbandingan hasil pre-test dan post-test untuk mengetahui per-bedaan sebelum dan sesudah diberikannya terapi. Analisis yang digunakan adalah analisa uji beda dengan teknik Two Related Samples Tests.

Hasil dan Pembahasan

Pengujian model Solution Focused Brief Group Therapy dilakukan dua tahapan siklus. Tahap pertama peneliti melakukan perbaikan untuk digunakan pada siklus yang kedua. Pengujian model SFBGT pada tahap pertama dilakukan selama enam sesi dengan waktu 80 menit per sesi. Hal-hal yang direvisi pada tahap pertama diantaranya penggunaan enam sesi terapi yang telah dilakukan memerlukan tambahan satu sesi lagi yaitu sesi persiapan. Sesi persiapan ini cukup penting untuk membantu meman-tapkan tujuan bersama, memberi waktu untuk menyetujui dan mengisi kontrak dan pelaksa-naan pre-test. Pada sesi awal terapis cukup su-lit untuk melakukan rapport kepada anggota kelompok, karena beberapa partisipan berang-gapan bahwa mereka dipilih sebagai anak-anak yang bermasalah sehingga harus diterapi. Hal ini merupakan catatan penting bagi terapis untuk mempersiapkan cara berkomunikasi dalam membina sebuah hubungan yang lebih baik melalui penyampaian tujuan kegiatan. Se-lain itu pada awal sesi partisipan cukup gaduh, sehingga pemilihan tempat yang ideal dirasa penting untuk menunjang kelancaran proses terapi.

Dalam sesi menentukan tujuan, partisipan cukup kesulitan menjawab pertanyaan miracle question yang diajukan peneliti. Miracle ques-tion yaitu pertanyaan yang dilakukan dengan menanyakan kepada pertisipan mengenai apa yang dapat dibedakan ketika masalah telah hilang sama sekali pada keesokan hari ketika bangun tidur. Jika miracle question tidak efek-tif digunakan, maka dapat digunakan out come question yaitu pertanyaan mengenai deskripsi hasil yang akan dicapai. Selain itu dapat juga digunakan specific relationship question, yaitu

dengan menanyakan mengenai perubahan apa yang dapat dilihat dari orang terdekat menge-nai diri partisipan.

Selain memantapkan tujuan pada sesi awal, penegasan mengenai pelaksanaan te-rapi selanjutnya dirasa cukup penting karena pada pelaksanaan terapi pada tahap pertama ini salah satu partisipan tidak datang, sehing-ga pelaksanaan terapi ditunda keesokan hari. Tugas rumah perlu untuk dibuatkan lembar tersendiri yang sesuai untuk tempat mencatat pelaksanaan solusi yang telah dibuat, karena beberapa partisipan banyak mengabaikan tu-gas yang harus dikerjakan seusai terapi. Bebe-rapa partisipan juga mengeluh bahwa kegiatan yang dilakukan terlalu lama, sehingga mereka terlihat bosan. Oleh karena itu untuk mengu-rangi kebosanan maka peneliti mempersempit waktu menjadi 60 menit.

Berdasarkan revisi dari tahap pertama, peneliti menyusun model yang dirasa dapat menjawab kekurangan dari model sebelum-nya. Pengujian model SFBGT pada tahap ke-dua dilakukan selama tujuh sesi dengan waktu 60 menit per sesi. Setelah melakukan pengu-jian tahap kedua, terapis menulis, meredusi dan menganalisa data yang didapat menge-nai pelaksanaan terapi. Hal-hal yang menjadi catatan dari pada tahap kedua diantaranya, jika instruksi untuk menceritakan pengala-man masing-masing tidak membuat partisipan dengan luas menceritakan pengalamannya, maka peneliti dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk mendorong partisipan ber-cerita. Peneliti perlu memperhatikan mengenai pengalaman partisipan pada sesi eksplorasi masalah (sesi dua) untuk mengulas kembali pengalaman dari pertisipan pada sesi eksplora-si (sesi tiga) dengan harapan partisipan dapat mengenali perilaku pengecualiannya (excep-tion) pada masa lalu dengan lebih mudah.

Peneliti perlu untuk merangkum hasil dari perilaku exception dan memberikan pujian atas perilaku yang lebih adaptif yang pernah mere-ka lakukan dalam menghadapi situasi perma-salahan, untuk selanjutnya digunakan untuk mendorong partisipan melakukannya kembali. Penggunaan pertanyaan skala lebih baik untuk juga diberikan pertanyaan deskripsi menge-nai penggunaan angka yang dipilih. Deskripsi dalam arti menggambarkan secara jelas me-ngenai situasi yang diwakili oleh besarnya angka skala yang dipilih partisipan. Proses pe-nyusunan perilaku solusi ada baiknya selain dengan teknik EARS, peneliti juga memberi-kan informasi-informasi yang relevan sehing-

Page 9: 1341-3041-1-PB

22

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

ga partisipan tidak hanya menyusun perilaku solusinya dengan pengalamannya saja akan tetapi juga karena mempertimbangkan infor-masi yang berguna untuk digunakan peruba-han diri yang lebih baik. Pemberian lembar tugas rumah cukup efektif dalam membantu partisipan mengingat tujuan, melaksanakan dan mencatat respon dari orang yang signifi-kan (significant other).

Setelah dilakukan perbaikan dari tahap satu dan dua, maka peneliti menyusun kem-bali model SFBGT. Struktur tulisan direvisi lagi dan dilengkapkan sehingga secara berurutan adalah: pengertian, pendekatan, sasaran, tu-juan, waktu, jumlah kelompok, konselor dan pendamping konselor, posisi klien dan konse-lor, tahapan SFBGT, pola kegiatan setiap per-temuan, rincian pola kegiatan, dan rancangan kegiatan SFBGT.

Tahap SFBGT yang telah diperbaiki di-lakukan dalam tujuh sesi terdiri dari tahap persiapan, tahap eksplorasi masalah, tahap mencari exception dan menetapkan tujuan, tahap penghentian sesi, identifikasi dan mem-perkuat perilaku solusi. Tahap persiapan (satu sesi) mencakup: melakukan pengukuran sebe-lum dilakukan terapi, menetapkan peraturan, struktur serta melakukan penggabungan an-tar anggota kelompok dengan terapis sebagai pemimpin, penggabungan antara anggota ke-lompok dengan kelompok dan terapis serta menciptakan kohesifitas. Tahap eksplorasi ma-salah (satu sesi) mencakup: menggali perma-salahan klien, penggabungan antara anggota kelompok dengan kelompok dan terapis serta menciptakan kohesifitas.

Tahap mencari exception dan menetapkan tujuan (satu sesi) mencakup: mencari excep-tion, yaitu perilaku yang pernah dilakukan oleh klien dalam menyikapi situasi permasala-han dengan lebih adaptif, memperkuat excep-tion dengan reinforcement positif berupa puji-an, mendorong partisipan untuk melihat dan merasakan mengenai hidup tanpa masalah, menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam terapi yang dilakukan.Tahap identifikasi dan memperkuat perilaku solusi (tiga sesi) menca-kup: identifikasi perilaku solusi, memperluas dan memperkuat perilaku solusi yang telah diidentifikasi, mendorong terjadinya peruba-han. Tahap penghentian sesi (satu sesi) menca-kup: evaluasi dan perbaikan, konsolidasi dan merayakan kemajuan, memperjelas gambaran solusi dan realitas kedalam pikiran kelompok, mengenali kapan mereka menjadi maladaptif dalam mengelola kemarahan mereka.

Hasil analisis data kuantitatif

Model yang sudah diperbaiki dari tahap satu selanjutnya diterapkan kembali pada tahap dua untuk mengetahui pengaruhnya terhadap agresifitas. Pre-test dan post-test digunakan untuk mengetahui pengaruh model SFBGT yang telah direvisi tersebut. Hasil pre-test dan hasil post-test sebelum dan setelah dilakukan terapi dapat dilihat pada Grafik 1.

Berdasarkan analisa data menggunakan program SPSS 15 diperoleh z pada kelompok terapi sebesar -1.997, < 0.05, terdapat per-bedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa SFBGT dapat menurunkan agresifitas remaja.

Pembahasan

Perbaikan dalam tiap tahap penelitian ini menghasilkan model SFBGT yang dapat di-gunakan lebih baik dalam pelaksanaannya. Contoh perbaikan yang telah dilakukan misal-nya pada sesi satu perlu untuk dibagi menjadi dua sesi karena waktu yang digunakan terlalu panjang. Selain itu terapis hendaknya meng-gunakan beberapa teknik dalam melakukan terapi, seperti ketika dalam merumuskan tu-juan, teknik miracle question tidak efektif digu-nakan, maka terapis dapat digunakan out come question atau specific relationship question. Tu-gas rumah (homework) dan pertanyaan skala merupakan cara bagi klien untuk lebih mampu memantau keadaan dirinya. Kemampuan ko-munikasi yang baik juga harus dimi-liki oleh terapis, karena hal ini sangat berpengaruh ter-hadap respon klien dan hasil terapi. Reinforce-ment positif berupa pujian merupakan salah satu hal yang perlu diberikan terapis untuk memperkuat perilaku klien.

SFBGT dapat menurunkan perilaku agre-sif remaja dalam prosesnya karena beberapa hal sebagai berikut: (a) partisipan membuat perilaku solusi untuk menghadapi suatu situasi permasalahan dan melaksanakannya dalam waktu tujuh sesi, (b) partisipan dapat mengetahui mengenai respon orang lain ke-

Gambar 2. Hasil pre-test dan post-test

19

direvisi tersebut. Hasil pre-test dan hasil post-test sebelum dan setelah dilakukan

terapi dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Hasil pre-test dan post-test

Berdasarkan analisa data menggunakan program SPSS 15 diperoleh z pada

kelompok terapi sebesar -1.997, < 0.05, terdapat perbedaan yang signifikan antara

pre-test dan post-test. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa SFBGT dapat

menurunkan agresifitas remaja.

Pembahasan

Perbaikan dalam tiap tahap penelitian ini menghasilkan model SFBGT

yang dapat digunakan lebih baik dalam pelaksanaannya. Contoh perbaikan yang

telah dilakukan misalnya pada sesi satu perlu untuk dibagi menjadi dua sesi

karena waktu yang digunakan terlalu panjang. Selain itu terapis hendaknya

menggunakan beberapa teknik dalam melakukan terapi, seperti ketika dalam

merumuskan tujuan, teknik miracle question tidak efektif digunakan, maka terapis

dapat digunakan out come question atau specific relationship question. Tugas

rumah (homework) dan pertanyaan skala merupakan cara bagi klien untuk lebih

mampu memantau keadaan dirinya. Kemampuan komunikasi yang baik juga

harus dimiliki oleh terapis, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap respon

klien dan hasil terapi. Reinforcement positif berupa pujian merupakan salah satu

hal yang perlu diberikan terapis untuk memperkuat perilaku klien.

SFBGT dapat menurunkan perilaku agresif remaja dalam prosesnya

karena beberapa hal sebagai berikut: (a) partisipan membuat perilaku solusi untuk

75

85

95

Mean Skor pre-test Mean Skor post-test

Skor Agresifitas

Skor Agresifitas

Page 10: 1341-3041-1-PB

23

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

tika mereka mencoba perilaku yang lebih baik, (c) partisipan dapat memantau keadaan dirin-ya sendiri, sehingga lebih dapat mengendal-ikan diri ketika menghadapi suatu permasala-han, (d) partisipan memiliki keyakinan bahwa mere-ka dapat mempertahankan perilaku solu-si yang telah mereka buat ketika menghadapi situasi permasalahan. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme (Al-Garni, 2006), bahwa setiap individu mempunyai realita yang subjektif dan mampu menyusun realita baru yang lebih konstruktif. SFBGT didalam peran-nya adalah mengarahkan klien untuk mencari realitas lain dari banyak realitas yang sebenar-nya ada, sehingga klien mampu memilih reali-tas yang lebih baik untuk dirinya yang tanpa perilaku maladaptive.

Berdasarkan hasil analisis pre-test dan post-test, dapat disimpulkan bahwa Solution Focused Brief Group Therapy dapat mengu-rangi agresifitas remaja. Hal ini dapat diarti-kan bahwa perilaku agresif remaja sebenarnya dapat dikurangi dan SFBGT merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk me-ngurangi agresifitas remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Newsome (2005) terhadap siswa di Ohio dan Lee et al. (1999) pada remaja, Gingerich dan Eisengart (2000) dalam studi komparasinya. Berbagai penelitian tersebut menyatakan bah-wa Solution Focused Brief Group Therapy cukup membantu dalam membentuk perilaku rema-ja menjadi lebih adaptif, mengatasi persoalan akademik, menurunkan derajat perilaku anti-sosial remaja, kekerasan dan resedivism para narapidana.

SFBGT berpengaruh terhadap variabel agresifitas, karena intervensi ini membantu klien dalam membuat solusi, dimana dalam pandangan SFBGT gangguan terjadi karena se-seorang tidak mampu menemukan solusi yang tepat. Ketika solusi yang tepat telah ditemukan dan dilakukan maka klien belajar memperkuat pandangannya mengenai hidupnya yang tanpa harus disertai permasalahan (Al-Garni, 2006). Hal ini seperti yang dilaporkan partisipan bah-wa ia senang dapat membuat perilaku baru yang menimbulkan respon orang lain menjadi berbeda dan lebih baik.

Selain intervensi langsung kepada remaja, SFBGT juga dikembangkan untuk guru sebagai bentuk intervensi yang tidak langsung. Para guru dibekali pelatihan mengelola kelas serta siswa bermasalah dengan metode Solution Fo-cused Brief Group Therapy. Penerapan ini ber-pengaruh terhadap kualitas pembelajaran,

penurunan agresifitas, bullying, dan perilaku disruptif di kelas (Bowen et al., 2001; Dubitsky & Quintero, 2010; Bell, 2004).

Dengan demikian hasil penelitian ini seja-lan dengan teori dan hasil penelitian terdahu-lu bahwa SFBGT dapat menurunkan perilaku agresif remaja, dengan cara membantu mereka dalam menemukan solusi dan pandangan hid-up tanpa permasalahan.

Implikasi dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk mengembang-kan suatu model dari model yang sebenarnya sudah ada, namun untuk dapat diterapkan dalam kasus yang sebenarnya memerlukan perhatian yang lebih lanjut dalam memprak-tekannya. Oleh karena itulah penelitian ini di-harapkan dapat memberikan sumbangan bagi psikologi konseling dan psikoterapi khususnya untuk mengatasi perilaku agresif remaja.

Siswa yang mempunyai permasalahan tidak segera tertangani dapat mengarah ke-pada gangguan perilaku yang lebih serius. So-lution Focused Brief Group Therapy (SFBGT) menawarkan beberapa sesi singkat bagaimana cara menangangi masalah perilaku siswa.

Banyaknya kejadian mengenai dampak perilaku agresif remaja dibeberapa aspek ke-hidupannya terutama kehidupan sosial dan akademik. Penelitian ini memberikan sum-bangan bagaimana memperbaiki kualitas as-pek kehidupan remaja dalam menurunkan perilaku agresif dengan cara yang berfokus ke-pada solusi.

Penelitian yang dilakukan ini tidak lepas dari beberapa hambatan yang dialami, dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi hasil terapi. Hambatan yang dialami peneliti adalah: keterbatasan ruang kelas yang tepat diguna-kan untuk proses terapi, karena pada waktu terapi berlangsung beberapa partisipan nam-pak beberapa kali memperhatikan keadaan di-luar ruangan. Selain itu kesiapan serta kese-diaan partisipan meluangkan waktu mengikuti terapi juga berbeda-beda, salah seorang par-tisipan datang terlambat sehingga partisipan yang lain mengeluh karena menunggu terlalu lama. Faktor lain seperti motivasi mengikuti kegiatan, persepsi mengenai terapi dan du-kungan dari pihak sekolah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap hasil penelitian.

Hambatan-hambatan seperti disebutkan diatas selayaknya menjadi pertimbangan bagi penelitian yang akan datang, sehingga dapat di-hindari kesalahan serta dapat mengurangi bias

Page 11: 1341-3041-1-PB

24

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

yang terjadi dalam penelitian yang dilakukan. Pertimbangan karakteristik partisipan seperti jumlah, kepribadian, keluarga, budaya, dan derajat perilaku bermasalah dianggap perlu untuk menjadi pertimbangan validitas ekster-nal dalam pengambilan partisipan penelitian.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data yang telah di-lakukan melalui uji kepraktisan secara kuali-tatif, dapat diketahui bahwa Solution Focused Brief Group Therapy dapat membantu remaja untuk menurunkan agresifitasnya. Sementara itu melalui uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberi-kan SFBGT. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa SFBGT merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menu-runkan agresifitas remaja.

Daftar Pustaka

Adelman. C. (1993): Kurt lewin and the origins of action research. Educational Action Research, 1 (1), 7-24.

Al-garni, M.M. (2008) Comparison of three psychothera-peutic models: Critique and analysis. Journal of The Social Science, 36 (2), 1-37.

Azwar. (2004). Metode penelitian. Yogyakarta: PT Pustaka pelajar offset.

Banks, V. (1999). A solution focused approach to adoles-cent groupwork. Australian Journal of Family Therapy, 20 (2), 78-82.

Bannink, F. P. (2007). Solution focused brief therapy. Jour-nal of Contemporary Psychotherapy, 37 (2), 87–94.

Barlet, C.P., Harris, R.J., & Bruey, C. (2008) The effect of the amount of blood in a violent video game on aggres-sion, hostility, and arousal. Journal of Experimental Social Psychology, 44, 539–546.

Baumeister, R.F., Bushman, B.J., & Campbell, K. (2000). Self esteem, narcissism, and aggression: Does violence result from low esteem or from tharieatened egotism. American Psychological Science, 9 (1), 26-29.

Beck, R., & Fernandez, E. (1998). Cognitive behavioral the-rapy in the treatment of anger: A meta-analysis. Cog-nitive Therapy and Research‚ 22, 63-74.

Bell, J. (2004). Enhancing group counseling in youth resi-dential treatment centres and group homes: Putting the group back in group home. A Project Master of Counselling, Lethbridge Alberta.

Bettencourt, B.A., Talley, A., Benjamin, A.J & Valentine, J. ( 2006) Personality and aggressive behavior under pro-voking and neutral conditions: A meta analytic review. Psychological Bulletin,132 (5), 751–777.

Biggs, H.C., Flett & R.A. (2005). Rehabilitation profession-als and solution focused brief therapy. Proceeding of

the Inaugural Australian Counselling and Supervision Conference, (pp. 12-18).

Blencowe, S.R. (2007). Hidden aggression: A study of group gounseling and female relational aggression. Counse-lor Education Master’s Theses, State University of New York College. Diperoleh dari http://digitalcommons.brockport.edu/edc_theses/8

Bowen, G.L., Wooley, M.E., Richman, J.M., & Bowen, N.K. (2001). Brief intervention in school: The school suc-cess profile. Brief Treatment and Crisis Intervention, 1, 43-54.

Bowles, N., Mackintosh, C., & Torn, A. (2001). Nurses’ communication skills: An evaluation of the impact of solution focused communication training. Journal of Advanced Nursing, 36, 347-354.

Brzezowski, K.M. (2012). A solution focused group treatment approach for individuals maladaptively expressing an-ger. Professional dissertation, Wright State Univer-sity. Diperoleh dari etd.ohiolink.edu.

Chamberlain, J.M. (2009). Disentangling aggressiveness and assertiveness within the MMPI-2 PSY-5 aggressive-ness scale. Thesis, Kant State University. Diperoleh dari http://etd.ohiolink.edu/.

Charlesworth, J.R. (2008). Helping adolescent manage an-ger. Alexandria, VA: American Counseling Association.

Cunanan, E.D. (2003). What works when learning solution focused brief therapy: A qualitative analysis of trainees experiences. Thesis Master of Science, Virginia Poly-technic Institute and State University. Diperoleh dari http://scholar.lib.vt.edu/.

Deffenbacher, J.L., Oetting, E.R., & Digiuseppe, R.A. (2002). Principles of empirically supported interven-tions applied to anger management. The Counseling Psychologist, 30 (2), 262-280.

Digiuseppe, R., & Froh, J.J. (2002). What cognition predict state anger. Journal of Rational Emotive & Cognition Behavior Therapy, 20 (2), 133-150.

Donnellan, M.B., Trzesniewski, K.H., Robins, R.W., Mffitt, T.E., & Caspi, A. (2005). Low self esteem is related to aggression, antisocial behavior and delinquency. American Psychological Society, 16 (4), 328-335.

Dubitsky, M., & Quintero, C. (2010). Disruption in the class-room: Prevention, response and restoration. Project in California State University Sacramento.

Esfandy, B., Bhardn, R., & Nowsari, L. (2009). Background of inter parental conflicts and internalizing behaviour problems among adolescents. European Journal of Sci-entific Research, 37 (4), 599-607.

Espelage, d.L., Holt, M.K., & Henkel, R.R. (2003). Exami-nation of peer group contextual effect on aggression during early adolescence. Child development, 74, 200-220.

Gentile, D.A., Lynch. P.L., Linder, J.R., & Walsh, D.A (2004). The effects of violent video game habits on adolescent hostility, aggressive behaviors, and school performance. Journal of Adolescence, 27, 5-24.

Page 12: 1341-3041-1-PB

25

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 14 - 25

Gingerich, W.J., & Eisengart, S. (2000). Solution focused brief therapy: A review of the outcome research. Fam-ily Process, 39 (4): 447-498.

Gutzwiller, M. (2009). The need for research on child and adolescent group Practice for male gender role strain. Journal of Counseling Psychology, 1 (2): 4, 18-30.

Gutterman, J. T., & Leite, N. (2006). Solution focused coun-seling for clients with religious and spiritual concerns. Counseling and Values, 51, 39-52.

Hauser, J.C. (2006). The role of parent and peers in chil-dren’s reponses to aggression at home and at school. Thesis di Bowling Green State University.

Kassinove, H., & Tafrate, R. (2006). Anger related disorder: Basic issues, models, and diagnostic considerations. Anger Related Disorders, 1, 1-27.

Kim, J.S. (2009). Examining the effectiveness of solution fo-cused brief therapy: A meta analysis using random ef-fect modeling. 19 th National Symposium on Doctoral Research, Social Work di University of Kansas.

Ko, C., Yen, J., Liu.S., Huang, C., & Yen, C. (2009) The as-sociations between aggressive behaviors and internet addiction and online activities in adolescents. Journal of Adolescent Health, 44 (6), 598-605.

Kurtz, J. (2003). The development of an alternative group therapy curriculum to address aggression among ado-lescent boys. Project, California State University Sac-ramento.

Latipun (2004). Psikologi konseling. Malang: UMM Press.Latipun (2010). Keberkesanan kaunseling berfokus resolusi

konflik antara rakan sebaya. Disertasi Doktor, Uni-versiti Kebangsaan Malaysia.

Lee, M., Greene, G.J., & Rheinscheld, J. (1999). A Model for short term solution focused group treatment of male domestic violence offenders. Journal of Family Social Work, 3 (2), 39-57.

Linder, J.R., & Gentile, D.A. (2009) Is the television rating system valid? Indirect, verbal, and physical aggression in programs viewed by fifth grade girls and associa-tions with behavior. Journal of Applied Developmental Psychology, 30 (3), 286-297.

Lopez, E.E., Olaizola, J.H., Ferrer, B.M., & Ochoa, G.M. (2006). Aggressive and nonaggressive rejected stu-dent: An analysis of their differences. Psycholog in the school, 43 (3), 387-394.

Lopez, E.E., Perez, S.M., Ochoa, G.M., & Ruiz, D.M. (2008). Adolescent aggression: Effects of gender and family and school environments. Journal of Adolescence, 31, 433–450.

Macdonald, A. J. (2005). Brief therapy in adult psychiatry: results fifteen years of practice. Family Therapy and Systemic Practice, 27, 65-75.

Melanie J. Zimmer-Gembeck, M.J., Ceiger, T.C., & Crick, N.R. (2005). Relational and physical aggression, pro-social behavior, and peer relations. Journal of Early Adolescence, 25 (4), 421-452.

Mischkowski, D. (2012). Flies on the wall are less aggres-sive: Effect of self distancing on aggressive affect, cog-

nition, and behavior. Thesis for Degree Master of Arts, The Ohio State University.

White, D.D., Galup, A.C., & Galup, G.G. (2010). Indirect peer aggression in adolescence and reproductive be-havior. Evolutionary Psychology, 8 (1), 49-56.

Miller, M.B., Greenwood, D., & Maguire, P. (2003). Why ac-tion research?. Action Research, 1 (1), 9-28.

Myszor, P. (2005). Solution focused Therapy more ap-proach. Hypnotherapi Training Course. Diperoleh dari http://www.uncommon-knowledge.co.uk/

Newsome, W.S. (2002). The effectiveness and utility of so-lution focused brief therapy (SFBT) with at risk junior high school students: A quasi experimental study. National Symposium on Doctoral Research in Social Work 15th, Ohio State University. College of Social Work. Diperoleh dari https://kb.osu.edu/

Newsome, W.S. (2005). The impact of solution focused brief therapy with at risk junior high school student. Chil-dren Schools, 27 (2), 83-90.

Problem solving skills: Solution focused strategies for stu-dent development. Journal of School Improvement, 1 (2), 76-85.

Ramirez, J. Martin. (2003) Hormones and aggression in childhood and adolescence. Aggression and Violent Behavior, 8 (6), 621-644.

Ramirez, J. M & Andreu, R, José, M. (2006). Aggression, and some related psychological constructs (anger, hostility, and impulsivity): Comments from a research project. Neuroscience and Biobehavioural Reviews, 30 (3), 276-291.

Santrock, J.W. (2007). Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.Schieffer, J.L., & Schieffer, D.J. (2000). Problem solving

skills: Solution focused strategies for student develop-ment. Journal of School Improvement, 1 (2), 1-8.

Sethi, D., Hughes, K., Bellis, Mark, Mitis, F., & Racioppi, F. (2010). European report on preventing violence and knife crime among young people. World Health Organi-zation Regional Office for Europe. Diperoleh dari www.euro.who.int

Slowikowski, J. (2010). Substance use and delinquent be-havior among serious adolescent offender. Juvenile justice bulletin, 3, 1-20.

Simpson, K. (2001). The Role of Testosterone in Aggression. McGill Journal of Medicine, 6, 32-40.

Twenge, J. M., Ciarocco, N.J., Baumeister, R.F., DeWall, C.N., Bartels, J. M. (2007). Social exclusion decreases prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 92 (1), 56-66.

Wilson, J.J. (2000, September). Preventing adolescent gang involvement. Juvenile Justice Buletin, 26 (2), 1-12.

Winship, G. (2007). Single session solution focused brief therapy and self harm: A pilot study. Journal of Psy-chiatric and Mental Health Nursing, 14, 601-602.

Zimmer-Gembeck, M.J., Geiger, T.C., & Crick, N.R. (2005). Relational and physical aggression, prosocial behav-ior, and peer relations. Journal of Early Adolescence 25 (4), 421-452.