133948281-pemicu-3
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL DISKUSI
PEMICU 3
MODUL PENGINDERAAN
Disusun oleh:
Kelompok DK 5
Alrahman Joneri I11107060
Ana aulia. A I11109038
Gagat Adiyasa I11109071
Ivanna I11109078
Rahmiana I11109004
Ridwan Hadinata I11109037
Riyang Pradewa. A I11109035
Ryan Kusuma. W I11109024
Santy I11109075
Viona I11109064
Wan Hesty I11109088
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan
Universitas Tanjungpura
Pontianak
Pemicu 3
Pak maman, seorang laku-laki berusia 50 tahun datang berobat ke dokter umu karena
merasa pilek yang tidak membaik sejak 2 minggu yang lalu. Pasien merasa hidungnya
tersumbat, sakit kepala, nyeri dipipi dan kurang dapat mencium bau makanan dan mengecap
makanan dengan baik. Saat anamnesis, diketahui bahwa ada benjolan tidak nyeri saat ditekan
dan tidak dapat digerakkan. Enam bulan yang lalu pasien pernah mengalami mimisan ringan.
Sejak setahun terakhir pendengaran telinga kanan berkurang dan telinga terasa penuh,
sehingga bila dipanggil Dari sisi kanan pak Maman sering tidak menanggapi. Kadang-kadang
Pak Maman mendengar suara denging di telinga kanan serta keluhan post-nasal drip. Akhir-
akhir ini kalau melihat sesuatu seperti berbayang atau terlihat ganda. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan diplopia, nyeri tekan sinus dikanan dan limfadenopati dileher kanan. Dengan hasil
tersebut pasien kemudian di rujuk ke dokter THT.
1.1 Klarifikasi dan Definisi
1.1.1 Post nasal drip: produksi mukus yang berlebihan oleh mukosa nasal dan
terakumulasi di tenggorokan
1.1.2 Diplopia: penglihatan ganda yang diakibatkan oleh bayangan diretina tidak
lagi jatuh dititik persesuaian
1.2 Kata Kunci
1.2.1 Pak maman 50 tahun
1.2.2 Pilek tidak membaik sejak 2 minggu
1.2.3 Hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dipipi, kurang dapat mencium bau
makanan dan mengecap makanan dengan baik
1.2.4 Benjolan dileher kanan sebesar kelereng, tidak nyeri dan tidak dapat
digerakkan sejak 2 bulan lalu
1.2.5 6 bulan lalu mimisan ringan
1.2.6 1 tahun terakhir pendengaran telinga kanan berkurang
1.2.7 Ada keluhan post nasal drip dan suara berdengung
1.2.8 Diplopia
1.2.9 Nyeri tekan disinus kanan
1.2.10 Limfadenopati leher kanan
1.3 Rumusan Masalah
Pak maman 5o tahun datang dengan keluhan pilek yang tidak membaik dan hidung
tersumbat, limfadenopati leher kanan, disertai gangguan pendengaran dan diplopia.
1.4 Analisis Masalah
1.5 Hipotesis
Pak maman 50 tahun didiagnosis ca nasofaring dan sinusitis yang dipastikan dengan
pemeriksaan penunjang
1.6 Isu pembelajaran
1.6.1 Anatomi THT
1.6.2 Fisiologi pendengaran, penghidu, pengecap
1.6.3 Ca nasofaring
1.6.4 Sinusitis
1.6.5 Rinitis
1.6.6 Otitis media
1.6.7 Limfadenopati
1.6.8 Pemeriksaan fisik THT
1.7 Pembahasan
1.7.1 Anatomi THT
a. Anatomi Sistem Pendengaran
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam.
1. Telinga luar
Telinga luar adalah bagian telinga yang terdapat sebelah luar
membran timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga (pinna) dan saluran
yang menuju membran timpani (meatus akustikus eksternus), yaitu di
sebelah liang telinga luar. Telinga luar melindungi telinga tengah dan
telinga dalam dengan memelihara lingkungan yang stabil.
2. Telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara
membran timpani dan kapsul telinga dalam tulang-tulang dan otot yang
terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan sistem
sel-sel udara mastoid. Telinga tengah adalah terowongan yang
berhubungan dengan telinga luar melalui membaran timpani dan
berhubungan dengan telinga dalam melalui tingkap oval dan tingkap
bundar. Telinga tengah mempunyai tiga tulang (rangkaian osikel) terdiri
atas maleus, inkus, dan stapes. Ketiga osikel ini menghantarkan
gelombang suara dari telinga luar menuju koklea.
3. Telinga dalam
Koklea dan kanalis semisirkularis di telinga dalam bertanggung
jawab masing-masing untuk proses pendengaran dan keseimbangan.
Koklea berupa sebuah tabung melingkar pilar tulang, menyerupai bentuk
rumah keong.
Di seluruh panjangnya koklea, koklea dibagi menjadi tiga
kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklearis yang
buntu, yang juga dikenal sebagai skala media, membentuk kompartemen
tengah. Saluran ini berjalan sepanjang saluran tengah koklea, hampir
mencapai ujungnya. Kompartemen atas yakni skala vestibuli mengikuti
kontur bagian dalam spiral, dan skala timpani, kompartemen bawah,
mengikuti kontur luar spiral. Cairan di dalam duktus koklearis disebut
endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung
cairan yang sedikit berbeda yaitu perilimfe. Daerah di luar ujung duktus
koklearis tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan
disebut helikotrema. Skala vestibuli disekat dari rongga telinga oleh
jendela oval, tempat melekatnya stapes lebang kecil berlapis membran
lainnya yakni jendela bundar, menyekat skala timpani dari telinga tengah.
Membran vestibularis yang tipis memisahkan duktus koklearis dari skala
vestibuli. Membrana basilaris membentuk lantai duktus kolearis,
memisahkan dari skala timpani. Membrana basilaris sangat penting karena
mengandung organ Corti, organ untuk indera pendengaran.
Organ Corti yang terletak di atas membrana basilaris, di seluruh
panjangnya mengandung sel-sel rambut yang merupakan reseptor untuk
suara. Sel-sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut di
permukaannya secara mekanis mengalami perubahan bentuk berkaitan
dengan gerakan cairan di telinga dalam. Rambut-rambut ini secara
mekanis terbenam didalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda
rumah yang menggantung di atas sepanjang organ Corti.
Gambar 1 Telinga manusia.
Gambar 2 Anatomi umum telinga tengah dan koklea dengan gulungan koklea dibuka.
Gambar 3 Pembesaran organ Corti.
b. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
(1) pangkal hidung, (2) batang hidung, (3) puncak hidung, (4) ala nasi, (5)
kolumela dan (6) lubang hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
(1) tulang hidung, (2) prosesus frontalis os maksila, dan (3) prosesus nasalis
os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu (1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, (2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan (4) tepi anterior
kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan orofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit
yang membentuk banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis os etmoid, (2)
vomer, (3) krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah (1) kartilago septum dan (2) kolumela. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior merupakan konka
terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media dan konka superior. Konka suprema adalah konka yang paling kecil
dan bersifat rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-kona dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medial dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara dukstus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Nervus olfaktorius berasal dari sel-sel olfaktorius khusus yang terdapat pada
membran mukosa yang telah dibicarakan sebelumnya. Saraf ini naik ke atas
melalui lamina kribosa dan mencapai bulbus olfaktorius. Saraf-saraf sensasi
umum berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris N. Trigeminus. Persarafan
bagian anterior kavum nasi berasal dari N. Etmoidalis anterior. Persarafan
bagian posterior kavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus,
dan ramus palatinus ganglion pterigopalatinum.
Suplai arteri untuk kavum nasi terutama berasal dari cabang-cabang A.
Maksilaris. Cabang yang terpenting adalah A. Sfenopalatina beranastomosis
dengan cabang septalis A. Labialis superior yang merupakan cabang dari A.
Fasialis di daerah vestibulum. Vena-vena membentuk pleksus yang luas di
dalam submukosa. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
A. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosiliar dipengaruhi oleh sel-sel
goblet pada epitel dan kelenjar seromusin submukosa.
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu
karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung napas; 5) refleks nasal.
1.6.2 Fisiologi Pendengaran, Penghidu,dan Pengecapan
a. Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang
suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah bertekanan tinggi
karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling
dengan daerah bertekanan rendah akibat penjarangan molekul tersebut.
Pendengaran seperti halnya indra somatik lain merupakan indra mekanoreseptor.
Hal ini karena telinga memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang
suara yang terdapat di udara.
Suara ditandai oleh nada, intensitas, dan kepekaan.
a. Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi suatu getaran. Semakin tinggi
frekuensi getaran, semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi
gelombang suara dari 20 sampai 20.000 siklus per detik, tetapi paling peka
terhdap frekuensi 1000 dan 4000 siklus per detik.
b. Intensitas atau Kepekaan. Suatu suara bergantung pada amplitudo gelombang
suara, atau perbedaan tekanan antara daerah bertekanan tinggi dan daerah
berpenjarangan yang bertekanan rendah. Semakin besar amplitudo semakin
keras suara. Kepekaan dinyatakan dalam desible (dB). Peningkatan 10 kali
lipat energi suara disebut 1 bel, dan 0,1 bel disebut desibel. Satu desibel
mewakili peningkatan energi suara yang sebenarnya yakni 1,26 kali. Suara
yang lebih kuat dari 100 dB dalam merusak perangkat sensorik di koklea.
c. Kualitas suara atau warna nada (timbre) bergantung pada nada tambahan, yaitu
frekuensi tambahan yang menimpa nada dasar. Nada-nada tambahan juga yang
menyebabkan perbedaan khas suara manusia
Frekuensi suara yang dapat didengar oleh orang muda adalah antara 20 dan
20.000 siklus per detik. Namun, rentang suara bergantung pada perluasan
kekerasan suara yang sangat besar. Jika kekerasannya 60 desibel dibawah 1
dyne/cm2 tingkat tekanan suara, rentang suara adalah sampai 500 hingga 5000
siklus per detik. Hanya dengan suara keras rentang 20 sampai 20.000 siklus dapat
dicapai secara lengkap. Pada usia tua, rentang frekuensi biasanya menurun menjadi
50 sampai 8.000 siklus per detik atau kurang. Suara 3000 siklus per detik dapat
didengar bahkan bila intensitasnya serendah 70 desibel dibawah 1 dyne/cm2
tingkat tekanan suara. Sebaliknya, suara 100 siklus per detik dapat dideteksi hanya
jika intensitasnya 10.000 kali lebih besar dari ini.
Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang
suara mencapai membran tympani. Gelombang suara yang bertekanan tinggi dan
rendah berselang seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut
menekuk keluar-masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Ketika
membran timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang suara, rantai
tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama, memindahkan
frekuensi gerakan tersebut dari membrana timpani ke jendela oval. Tulang stapes
yang bergetar masuk-keluar dari tingkat oval menimbulkan getaran pada perilymph
di scala vestibuli. Oleh karena luas permukaan membran tympani 22 kali lebih
besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara15-
22 kali pada tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang
jauh lebih besar, efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut
berkontribusi dalam peningkatan tekanan gelombang suara.
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval
menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan
tidak dapat ditekan, tekanan dihamburkan melalui dua cara sewaktu stapes
menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam yaitu, perubahan posisi jendela
bundar dan defleksi membrana basilaris.
Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di
kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikoterma, dan ke kompartemen
bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar
untuk mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan
menarik jendela oval ke luar, perilimfe mengalir ke arah yang berlawanan
mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam.
Pada jalur kedua, gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan
penerimaan suara mengambil jalan pintas. Gelombang tekanan di kompartemen
atas dipindahkan melalui membrana vestibularis yang tipis, ke dalam duktus
koklearis dan kemudian melalui mebrana basilaris ke kompartemen bawah, tempat
gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar-masuk
bergantian.
Membran basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan
kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan
dengan senar gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi.
Getaran yang bernada tinggi pada perilymp scala vestibuli akan melintasi
membrana vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada
rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apex. Getaran ini
kemudian akan turun ke perilymp scala tympani, kemudian keluar melalui tingkap
bulat ke telinga tengah untuk diredam.
Karena organ corti menumpang pada membrana basilaris, sewaktu
membrana basilaris bergetar, sel-sel rambut juga bergerak naik turun dan rambut-
rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membrana
basilaris menggeser posisinya terhadap membrana tektorial. Perubahan bentuk
mekanis rambut yang maju mundur ini menyebabkan saluran-saluran ion gerbang
mekanis di sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini
menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang
bergantian. Sel-sel rambut berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan ujung-
ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi
sel-sel rambut menyebabkan peningkatan kecepatan pengeluaran zat perantara
mereka yang menaikan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan
pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit
zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana basilaris
bergerak ke bawah). Perubahan potensial berjenjang di reseptor mengakibatkan
perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Impuls
kemudian dijalarkan melalui saraf otak statoacustikus (saraf pendengaran) ke
medulla oblongata kemudian ke colliculus. Persepsi auditif terjadi setelah proses
sensori atau sensasi auditif.
Diperlihatkan bahwa serabut dari ganglion spiralis organ corti masuk ke
nukleus koklearis yang terletak pada bagian atas medulla oblongata. Pada tempat ini
semua serabut bersinaps dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang
berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Beberapa
serabut tingkat kedua lainnya juga berjalan ke nukleus olivarius superior pada sisi
yang sama. Dari nukleus tersebut, berjalan ke atas melalui lemniskus lateralis.
Beberapa serabut berakhir di nukleus lemniskus lateralis, tetapi sebagian besar
melewati nukleus ini dan berjalan ke kolikulus inferior, tempat hampir semua serabut
pendengaran bersinaps. Dari sini jaras berjalan ke nukleus genikulatum medial,
tempat semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius
ke korteks auditorik, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis.
Beberapa tempat penting harus dicatat dalam hubunganya dengan lintasan
pendengaran pertama implus dari masing-masing telinga dihantarkan melalui lintasan
pendengaran kedua batang sisi otak hanya dengan sedikit lebih banyak penghantaran
pada lintasan kontralateral. Kedua, banyak serabut kolateral dari traktus audiorius
berjalan langsung ke dalam system retikularis batang otak sehingga bunyi dapat
mengaktifkan keseluruhan otak.
b. Fisiologi Penghidu
Fungsi penghidu dilakukan oleh hidung. Pada hidung terdapat epitel olfaktori.
Epitel ini jenisnya pseudostratified (berlapis semu / bertingkat), terletak di bagian atap
rongga hidung, makanya udara yang dihirup langsung naik melalui concha nasalis dan
jika seseorang mengendus, udaranya dibawa ke bagian superior. Epitel olfaktori
menutupi concha nasalis superior di tiap sisi septum nasal dan memiliki berjuta-juta
neuron yang telah termodifikasi, disebut sel reseptor olfaktori yang dikelilingi oleh sel
penyokong / sel sustentakular.
Ada juga yang namanya sel olfaktori, seperti halnya neuron biasa pasti punya
dendrit. Pada sel ini yang menjadi dendrit disebut silia olfaktori. Untuk bisa menerima
stimulus di rongga hidung, silia ini meluas terproyeksikan ke dalam mucus.
Sementara aksonnya akan melalui lempeng cribiform etmoidalis dan bersinaps
dengan nervus olfaktori.
Untuk bisa mencium bau dari senyawa kimia syaratnya senyawa kimia itu
harus mudah menguap dan larut air, sehingga senyawa kimia yang masuk ke rongga
hidung dalam bentuk gas mula-mula menyebar secara difus pada mukosa yang
menutupi silia. Selanjutnya akan berikatan dengan protein reseptor di membrane silia
olfaktori, lalu terbentuk protein G yang terdiri atas 3 subunit. Subunit α nya
memecahkan diri dan mengaktifkan adenilat siklase. Siklase ini akan mengubah ATP
menjadi c-AMP yang akan membuka kanal ion natrium. Ion natrium akan
meningkatkan potensial aksi pada sel olfaktori, selanjutnya diteruskan ke sel mitral
dan tufted cells (sel berumbai), lalu ke nervus olfaktori dan mencapai pusatnya di
otak.
c. Fisiologi Pengecapan
Fungsi pengecapan dilakukan oleh lidah. Ada 4 macam rasa yang dikenal,
yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Namun akhir-akhir ini diketahui ada 1 rasa
tambahan yaitu umami. Manis menandakan molekul organik seperti glikol atau
aldehid. Pahit menandakan alkaloid, seperti kafein, kina, morfin, nikotin, dan zat yang
biasanya toksik. Asin menandakan anion garam. Asam menandakan asam, kadar
keasaman bergantung pada pH. Umami dipicu oleh asam amino utamanya glutamat.
Ada di rasa gurih kaldu daging dan MSG.
Reseptor pengecapan ada di kuncup pengecap yang nantinya akan
berdegenerasi waktu usia seseorang 45 tahun, jadinya pengecapannya berkurang. Di
kuncup pengecap ini ada sel reseptor pengecap yang punya rambut yang terjulur,
rambut inilah permukaan reseptornya.
Letak kuncup pengecap itu ada di lidah, palatum durum, palatum molle,
epiglottis, dan farings. Transduksi bagaimana molekul bisa mengeksitasi reseptor
pengecap sebagai berikut:
- Rasa asam dipicu oleh ion H+, dimana ion H+ ini memblok kanal K+, sehingga
pergerakan ion K+ keluar dari sel reseptor berkurang, sehingga bagian dalam sel
menjadi lebih positif, memicu depolarisasi. Depolarisasi terus memicu Ca2+ masuk,
jadinya neurotransmitter keluar.
- Rasa asin dipicu masuknya ion Na+ ke dalam sel reseptor lewat kanal ion Na+
mengurangi negativitas reseptor sehingga terjadi depolarisasi.
- Rasa manis dipicu oleh pengikatan glukosa atau zat pemicu rasa manis lainnya dengan
reseptor, yang mengaktivasi protein G yang mengaktivasi jalur cAMP sebagai second
messenger, sehingga kanal K+ tertutup, K+ tidak bisa keluar, sehingga terjadi
depolarisasi.
- Rasa pahit punya banyak reseptor, sehingga ada berbagai jenis rasa pahit yang bisa
dirasakan, dan mekanismenya juga banyak. Salah satu yang dikenal lewat protein G
gustducin dan transducin.
- Rasa umami juga lewat protein G, tapi jalur selanjutnya belum diketahui.
Untuk pembagian area pengecapannya sebagai berikut:
- Asam: Di kiri-kanan belakang lidah, disarafi N.VII
- Asin: Di kiri-kanan depan idah, disarafi N. VII
- Manis: Di ujung depan lidah, disarafi N.VII
- Pahit: Di pangkal lidah, disarafi N.XI
- Umami: Di faring belakang, faring dan palatum disarafi N.X
1.7.3 Karsinoma Nasofarin
a. Definisi
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial
yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.
Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan
frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.
b. Epidemiologi dan Etiologi
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni
4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per
tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah
716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di
Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463
kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127
kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100
kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25
kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam
pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma
nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan
biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International
Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di
Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat
dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF
mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta
agregasi family.
KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara
berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua.Tetapi, insiden KNF lebih
rendah dari 1/105 di semua area.Insisde.Insiden tertinggi terpusat pada di Cina
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi
Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data
IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan
sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup
banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan
penduduk di Afrika utara dan timur tengah
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-
3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg
bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia
dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras
Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang
dijumpai mengidap penyakit ini.Berbagai studi epidemilogik mengenai angka
kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal.Salah satunya yang menarik
adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para
migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di
China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan
yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran
dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang
kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang
Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di
daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya
Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang
‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola
makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk
diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari
mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya
seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai
substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan
percobaan.
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat
people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak.Hal ini
tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di
Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan
Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000)
dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut.Pada 1966,
seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF
serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen.Kenaikan
titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit.Namun virus ini juga
acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula
dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.
Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan
proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring
(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi
lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan
tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya
dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali
dibandingkan dengan bukan perokok. ditemukan juga bahwa menurunnya angka
kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi
frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan
terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah
yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak
dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat
berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa
bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu
pada saat menyapih.
Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier
dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal
di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9
pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan
10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti
formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian
dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB).
Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi
EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat
menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA
( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan
jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob
yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus,
meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan
mempromosikan pembentukan KNF (genesis)
c. Tanda dan Gejala Karsinoma Nasofaring
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah jambu
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba
oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.
Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi
tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
d. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae.Infeksi EBV dapat
berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF).KNF merupakan tumor ganas
yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang
diduga berhubungan dengan KNF, yaitu
(1)Adanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel
epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan
dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit
B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,
sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
belum dapat dijelaskan dengan pasti.Namun demikian, ada dua reseptor yang
diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu
CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor).Sel yang terinfeksi oleh
virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan
replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan
kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas
sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus.Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368
asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen
protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung
karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial.Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan
asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena
paparan asap rokokyang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan
kembali infeksi dari EBV.
e. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalampenatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinomanasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyatadapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium
lanjut atau padakeadaan kambuh.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada
sisa kelenjarpasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik danserologi. Nasofaringektomi merupakan suatu
operasi paliatif yang dilakukanpada kasus-kasus yang kambuh atau adanya
residu pada nasofaring yang tidakberhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaringadalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma
nasofaring dapatdiberikan imunoterapi.
1.7.4 Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
beberapa sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah
sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat berbahaya karena menyebabkan
peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
b. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, dyskinesia silia, dan fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi
adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis, faktor lain adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin, dan kering, serta kebiasaan merokok.
c. Patofisiologi
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya, terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serosa. Kondisi
ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan bisa sembuh tanpa
pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.
d. Klasifikasi dan Mikrobiologi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis akut dengan batas
sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu
sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah streptococcus
pneumoniae (30-50%), Haemophillus influenzae (20-40%) dan Moraxella
catarrhalis (4% dan lebih banyak pada anak).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya
bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif Gram dan anaerob.
1.7.5 Rhinitis Alergi
a. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
b. Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20–30% semua populasi dan pada 10–15%
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%.Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi
yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang
respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.
c. Patofisiologi
1. Sensitisasi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya
proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel
alergen akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada
jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan
menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan
bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC
(Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan
dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh
sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan
lainnya.
IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi
dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel
ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan
teraktifasinya kedua sel tersebut.
2. Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini
yaitu histamin, tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin
(PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya
plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteriovenula
hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada
kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi
dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet
menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
3. Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4–8 jam setelah fase cepat. Reaksi
ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap
sel endotel postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion
Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti
eosinofil menempel pada sel endotel.Faktor kemotaktik seperti IL5
menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil
dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi
teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala
hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan
pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.
d. Klasifikasi
Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut
sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:
Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.
e. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti
hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan
konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi
mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk
yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease
yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung
jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan
IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan
IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes
kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal
berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes
kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran
tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration –
SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab,
juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi.
Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan
alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula
dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative
Food Test (IPFT).
f. Penatalaksanaan
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:
Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung.
Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.
Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju
IgE pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara
kompetitif dengan imunoterapi.
Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat
lebih lanjut reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator.
Tahapan ini dinetralisir dengan obat–obatan antihistamin yang secara
kompetitif memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.
Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan
timbulnya gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan
dekongestan sistematik atau lokal.
Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan
laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI
eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa
asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran
terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji
kulit.
3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit
alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
1.7.6 Otitis Media Akut
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA) terjadi karena
faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor
penyebab utama dari otitis media. Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah
infeksi saluran napas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas,
makin besar kemungkinan terjadi OMA. Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh
karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal.
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti streptococcus
hemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus, haemophillus influenzae, E. coli,
streptococcus α hemolyticus, proteus vulgaris, dan pseudomonas aeruginosa.
Stadium OMA
1. Stadium oklusi tuba eustachius
Gambaran retraksi membran timpani kadang-kadang tampak normal atau berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tapi tidak dapat dideteksi.
2. Stadium hiperemis
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau hiperemis serta
edema. Sekret bersifat eksudat yang serosa.
3. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga dan hancurnya sel epitel superfisial, eksudat
yang purulent menyebabkan membran timpani menonjol. Pada keadaan ini, pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah
hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia, akibat tekanan pada kapiler serta timbul tromboflebitis pada vena kecil dan
nekrosis mukosa dan submukosa.
4. Stadium perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi
kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membran timpani dan nanah keluar.
5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan
akan kembali normal. Bila sudah perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya
kering.
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak,
keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang
tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek. Pada anak yang lebih besar atau dewasa,
selain rasa nyeri terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,50C, anak sukar tidur, diare, kejang.
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi,
diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun)
atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan
pada orang dewasa.
Terapi pada stadium supurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika.
Antibiotika yang dianjurkan dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian
antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila alergi penisilin, maka diberikan
eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100mg/kgBB per hari dibagi
dalam 4 dosis atau amoxicillin 40mg/kgBB per hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin
40mg/kgBB per hari.
Pada stadium perforasi, pengobatan yang diberikan ialah obat cuci telingan H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi membran timpani tidak ada lagi.
1.7.7 Limfadenopati
Lymphadenopathy dapat merupakan tanda atau gejala dari penyakit seorang
pasien. Lymphadenopahty dapat merupakan temuan dalam batas normal atau
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut bahkan biopsi. Pada anak kecil dan dewasa muda
dapat teraba limfonodus submandibula dengan konsistensi lunak dan datar dengan
ukuran < 1 cm. Pada orang dewasa limfonodus inguinal dengan ukuran 2 cm dianggap
normal.
Lymphadenopathy dapat merupakan manifestasi primer atau sekunder dari
berbagai kelainan. Lebih dari 2/3 pasien dengan limfadenopati memiliki kelainan saluran
napas atas (virus atau bakteri) atau kelainan dengan penyebab yang tidak spesifik dan
kurang dari 1% memiliki keganasan (limphoma atau adenokarsinoma metastatis). Pada
pasien dengan limfadenopati benigna, 63% penyebabnya tidak spesifik (tidak ditemukan
agen penyebab) dan sisanya paling umum disebabkan infeksi mononukleosis,
toksoplasmosis atau tuberkulosis.
a. Pemeriksaan Klinis
Dalam mencari penyebab limfadenopati, diperlukan riwayat anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan terkadang biopsi nodus limfa. Identitas
pasien meliputi usia, pekerjaan, pajanan terhadap hewan peliaharan, kebiasaan seksual
dan penggunaan obat seperti diphenylhydantoin merupakan bagian penting. Anamnesis
harus meliputi kapan limfadenopati terjadi. Gejala seperti nyeri tenggorokan, batuk,
demam, keringat malam, lelah, penurunan berat badan atua nyeri pada nodus harus
diperhatikan.
Pada pemeriksaan fisik sangat penting untuk melihat penyebaran limfadenopati
(lokalis atau generalisata), ukuran nodus, tekstur, nyeri pada nodus, tanda peradangan
pada nodus, lesi kulit dan splenomegali. Pemeriksaan THT diperlukan pada pasien
dengan adenopathy servikal dan riwayat konsumsi rokok. Adenopathy lokalis atau
regional adalah adenopathy yang melibatkan satu area anatomi. Adenopathy generalisata,
jika 3 atau lebih nodus limfa pada area berbeda. Lymphadenopathy generalisata sering
berhubungan dengna kelainan non-malignan seperti infeksi mononukleosis (EBV atau
CMV), toksoplasmosis, AIDS, infeksi virus lainnya, SLE dan kelainan jaringan ikat.
Leukemia limfositik akut dan kronik dan limfoma maligna juga dapat menyebabkan
adenopathy generalisata pada orang dewasa.
Lokasi adenopati dapat memberikan petunjuk tentang penyebab. Adenopati oksipital
menandakan infeksi di daerah kulit kepala, adenopati preaurikular sering terjadi pada
konjungtivitis. Tempat paling sering yang mengalami adenopati adalah di leher, dan
penyebab benigna tersering adalah infeksi saluran napas atas, lesi dental atau oral, infeksi
mononukleosis atau infeksi virus, sedangkan penyebab maligna tersering meliputi
metastasis dari kepala, leher, payudara, paru-paru dan tiroid. Pembesaran nodus
suprakalvikula dan skalinus selalu abnormal. Nodus pada daerah ini menyerap dari regio
paru dan retroperitoneal, menandakan limfoma, keganasan lain ataupun infeksi dari
daerah-daerah tersebut. Nodus Virchow merupakan pembesaran nodus supraklavikula
sinistra yang diinfiltrasi metastasis kanker dari saluran cerna. Metastasis dari nodus
suprakalvikula juga dapat dari paru-paru, payudara, testis, dan kanker ovarium.
Tuberkulosis, sarkoidosis dan toksoplasmosis merupakan penyebab non-malignan pada
adenopati supraklavikula. Axila adenopati biasa akibat cedera atau infeksi lokal dari
ekstremitas atas ipsilateral. Penyebab keganasan meliputi melanoma atau limfoma dan
pada wanita kanker payudara. Limfadenopati inguinal biasa terjadi sekuner akibat infeksi
atau trauma pada ekstremitas bawah dan dapat menyertai pada penyakit menular seksual
seperti limfogranulosa venerum, sifilis primer, herpes genital atau chancroid. Nodus ini
juga dapat terjadi akibat limfoma, metastatis kanker dari lesi primer pada rektum,
genitalia atau ekstremitas bawah (melanoma).
Ukuran dan tekstur nodus limfa dan keberadaan rasa nyeri merupakan parameter
dalam mengevaluasi limfadenopati. Nodus < 1,0 cm2 hampir selalu benigna. Pada biopsi
dengan ukuran >2 cm, sering merupakan keganasan atau penyakit granulomatosa. Tektur
dari nodus limfa dapat dideskripsikan sebagai lembut, keras, kenyal, lunak, nyeri,
terfiksasi dan nyeri. Nyeri ditemukan jika kapsula pada nodus membesar secara cepat,
biasa diakibatkan oleh proses inflamasi. Beberapa keganasan seperti leukemia akut dapat
menyebabkan pembesaran secara cepat dan nyeri pada nodus. Nodus akibat metastasis
kanker biasanya keras, tidak nyeri dan tidak dapat digerakkan karena terfiksasi oleh
jaringan sekitarnya.
1.7.8 Pemeriksaan Fisik THT
a. Rhinoskopi Anterior
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rhinoskopi anterior.
Diperlukan speculum hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan.
Otoskop dapat dipergunakan untuk melihat bagian dalam hidung terutama untuk
mencari benda asing. Speculum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan hati-
hati dan dibuka setelah speculum berada di dalam dan waktu menegeluarkannya
jangan ditutup dulu di dalam, supaya bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum
hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, konka
superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus
diperhatikan. Begitu juga rongga hidung sisi yang lain.
b. Rhinoskopi Posterior
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan rhinoskopi posterior sekaligus
untuk melihat keadan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan rhinoskopi
posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah dihangatkan
dengan api lampu spritus untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca.
Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites dulu dengan menempelkannya pada
kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut, lidah dua
pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien bernapas melalui mulut supaya
uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap ke atas dimasukkan
melalui mulut, ke bawah uvula dan samapai nasofaring. Setelah napas biasa melalui
hidung, uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring terbuka. Mula-mula
diperhatikan bagian belakang septum dan koana. Kemudia kaca diputar ke lateral
sedikit untuk melihat konka superior, konka media dan konka inferior serta meatus
superior dan meatus media.
1.8 Kesimpulan
Pak Maman menderita ca nasofaring yang dipastikan dengan pemeriksaan penunjang
DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan R, A. H.2004. Pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama,.
Longo, Dan L, Dennis L.Kasper, et all. 2012. Harrison’s Principles Of Internal Medicine
ed 8th. USA: Mc.Graw hill companies,Inc
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM.2010. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer
Soepardi, Efiaty A., et al.2009.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher, Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Susworo, Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka
artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.
Tortora, Gerard J dan Bryan H.derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Phsysiology
ed 12th: John Wiley & sons,Inc