133948281-pemicu-3

55
LAPORAN HASIL DISKUSI PEMICU 3 MODUL PENGINDERAAN Disusun oleh: Kelompok DK 5 Alrahman Joneri I11107060 Ana aulia. A I11109038 Gagat Adiyasa I11109071 Ivanna I11109078 Rahmiana I11109004 Ridwan Hadinata I11109037 Riyang Pradewa. A I11109035 Ryan Kusuma. W I11109024 Santy I11109075 Viona I11109064 Wan Hesty I11109088 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Tanjungpura

Upload: nyimas-hoirunisa

Post on 07-Feb-2016

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 133948281-Pemicu-3

LAPORAN HASIL DISKUSI

PEMICU 3

MODUL PENGINDERAAN

Disusun oleh:

Kelompok DK 5

Alrahman Joneri I11107060

Ana aulia. A I11109038

Gagat Adiyasa I11109071

Ivanna I11109078

Rahmiana I11109004

Ridwan Hadinata I11109037

Riyang Pradewa. A I11109035

Ryan Kusuma. W I11109024

Santy I11109075

Viona I11109064

Wan Hesty I11109088

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan

Universitas Tanjungpura

Pontianak

Page 2: 133948281-Pemicu-3

Pemicu 3

Pak maman, seorang laku-laki berusia 50 tahun datang berobat ke dokter umu karena

merasa pilek yang tidak membaik sejak 2 minggu yang lalu. Pasien merasa hidungnya

tersumbat, sakit kepala, nyeri dipipi dan kurang dapat mencium bau makanan dan mengecap

makanan dengan baik. Saat anamnesis, diketahui bahwa ada benjolan tidak nyeri saat ditekan

dan tidak dapat digerakkan. Enam bulan yang lalu pasien pernah mengalami mimisan ringan.

Sejak setahun terakhir pendengaran telinga kanan berkurang dan telinga terasa penuh,

sehingga bila dipanggil Dari sisi kanan pak Maman sering tidak menanggapi. Kadang-kadang

Pak Maman mendengar suara denging di telinga kanan serta keluhan post-nasal drip. Akhir-

akhir ini kalau melihat sesuatu seperti berbayang atau terlihat ganda. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan diplopia, nyeri tekan sinus dikanan dan limfadenopati dileher kanan. Dengan hasil

tersebut pasien kemudian di rujuk ke dokter THT.

1.1 Klarifikasi dan Definisi

1.1.1 Post nasal drip: produksi mukus yang berlebihan oleh mukosa nasal dan

terakumulasi di tenggorokan

1.1.2 Diplopia: penglihatan ganda yang diakibatkan oleh bayangan diretina tidak

lagi jatuh dititik persesuaian

1.2 Kata Kunci

1.2.1 Pak maman 50 tahun

1.2.2 Pilek tidak membaik sejak 2 minggu

1.2.3 Hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dipipi, kurang dapat mencium bau

makanan dan mengecap makanan dengan baik

1.2.4 Benjolan dileher kanan sebesar kelereng, tidak nyeri dan tidak dapat

digerakkan sejak 2 bulan lalu

1.2.5 6 bulan lalu mimisan ringan

1.2.6 1 tahun terakhir pendengaran telinga kanan berkurang

1.2.7 Ada keluhan post nasal drip dan suara berdengung

1.2.8 Diplopia

1.2.9 Nyeri tekan disinus kanan

1.2.10 Limfadenopati leher kanan

Page 3: 133948281-Pemicu-3

1.3 Rumusan Masalah

Pak maman 5o tahun datang dengan keluhan pilek yang tidak membaik dan hidung

tersumbat, limfadenopati leher kanan, disertai gangguan pendengaran dan diplopia.

1.4 Analisis Masalah

1.5 Hipotesis

Pak maman 50 tahun didiagnosis ca nasofaring dan sinusitis yang dipastikan dengan

pemeriksaan penunjang

1.6 Isu pembelajaran

1.6.1 Anatomi THT

1.6.2 Fisiologi pendengaran, penghidu, pengecap

1.6.3 Ca nasofaring

1.6.4 Sinusitis

1.6.5 Rinitis

1.6.6 Otitis media

1.6.7 Limfadenopati

1.6.8 Pemeriksaan fisik THT

Page 4: 133948281-Pemicu-3

1.7 Pembahasan

1.7.1 Anatomi THT

a. Anatomi Sistem Pendengaran

Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar,

telinga tengah dan telinga dalam.

1. Telinga luar

Telinga luar adalah bagian telinga yang terdapat sebelah luar

membran timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga (pinna) dan saluran

yang menuju membran timpani (meatus akustikus eksternus), yaitu di

sebelah liang telinga luar. Telinga luar melindungi telinga tengah dan

telinga dalam dengan memelihara lingkungan yang stabil.

2. Telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara

membran timpani dan kapsul telinga dalam tulang-tulang dan otot yang

terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan sistem

sel-sel udara mastoid. Telinga tengah adalah terowongan yang

berhubungan dengan telinga luar melalui membaran timpani dan

berhubungan dengan telinga dalam melalui tingkap oval dan tingkap

bundar. Telinga tengah mempunyai tiga tulang (rangkaian osikel) terdiri

atas maleus, inkus, dan stapes. Ketiga osikel ini menghantarkan

gelombang suara dari telinga luar menuju koklea.

3. Telinga dalam

Koklea dan kanalis semisirkularis di telinga dalam bertanggung

jawab masing-masing untuk proses pendengaran dan keseimbangan.

Koklea berupa sebuah tabung melingkar pilar tulang, menyerupai bentuk

rumah keong.

Di seluruh panjangnya koklea, koklea dibagi menjadi tiga

kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklearis yang

buntu, yang juga dikenal sebagai skala media, membentuk kompartemen

tengah. Saluran ini berjalan sepanjang saluran tengah koklea, hampir

mencapai ujungnya. Kompartemen atas yakni skala vestibuli mengikuti

kontur bagian dalam spiral, dan skala timpani, kompartemen bawah,

mengikuti kontur luar spiral. Cairan di dalam duktus koklearis disebut

Page 5: 133948281-Pemicu-3

endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung

cairan yang sedikit berbeda yaitu perilimfe. Daerah di luar ujung duktus

koklearis tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan

disebut helikotrema. Skala vestibuli disekat dari rongga telinga oleh

jendela oval, tempat melekatnya stapes lebang kecil berlapis membran

lainnya yakni jendela bundar, menyekat skala timpani dari telinga tengah.

Membran vestibularis yang tipis memisahkan duktus koklearis dari skala

vestibuli. Membrana basilaris membentuk lantai duktus kolearis,

memisahkan dari skala timpani. Membrana basilaris sangat penting karena

mengandung organ Corti, organ untuk indera pendengaran.

Organ Corti yang terletak di atas membrana basilaris, di seluruh

panjangnya mengandung sel-sel rambut yang merupakan reseptor untuk

suara. Sel-sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut di

permukaannya secara mekanis mengalami perubahan bentuk berkaitan

dengan gerakan cairan di telinga dalam. Rambut-rambut ini secara

mekanis terbenam didalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda

rumah yang menggantung di atas sepanjang organ Corti.

Gambar 1 Telinga manusia.

Page 6: 133948281-Pemicu-3

Gambar 2 Anatomi umum telinga tengah dan koklea dengan gulungan koklea dibuka.

Gambar 3 Pembesaran organ Corti.

b. Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

(1) pangkal hidung, (2) batang hidung, (3) puncak hidung, (4) ala nasi, (5)

kolumela dan (6) lubang hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari

(1) tulang hidung, (2) prosesus frontalis os maksila, dan (3) prosesus nasalis

os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu (1) sepasang

kartilago nasalis lateralis superior, (2) sepasang kartilago nasalis lateralis

inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan (4) tepi anterior

kartilago septum.

Page 7: 133948281-Pemicu-3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan

disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)

yang menghubungkan kavum nasi dengan orofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit

yang membentuk banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding

medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis os etmoid, (2)

vomer, (3) krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatina. Bagian

tulang rawan adalah (1) kartilago septum dan (2) kolumela. Septum dilapisi

oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian

tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior merupakan konka

terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian yang lebih kecil adalah konka

media dan konka superior. Konka suprema adalah konka yang paling kecil

dan bersifat rudimenter.

Page 8: 133948281-Pemicu-3

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-kona dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medial dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara dukstus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Nervus olfaktorius berasal dari sel-sel olfaktorius khusus yang terdapat pada

membran mukosa yang telah dibicarakan sebelumnya. Saraf ini naik ke atas

melalui lamina kribosa dan mencapai bulbus olfaktorius. Saraf-saraf sensasi

umum berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris N. Trigeminus. Persarafan

bagian anterior kavum nasi berasal dari N. Etmoidalis anterior. Persarafan

Page 9: 133948281-Pemicu-3

bagian posterior kavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus,

dan ramus palatinus ganglion pterigopalatinum.

Suplai arteri untuk kavum nasi terutama berasal dari cabang-cabang A.

Maksilaris. Cabang yang terpenting adalah A. Sfenopalatina beranastomosis

dengan cabang septalis A. Labialis superior yang merupakan cabang dari A.

Fasialis di daerah vestibulum. Vena-vena membentuk pleksus yang luas di

dalam submukosa. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke

A. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di

hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung

terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup

Page 10: 133948281-Pemicu-3

bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosiliar dipengaruhi oleh sel-sel

goblet pada epitel dan kelenjar seromusin submukosa.

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam

pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu

karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui

konduksi tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban

kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung napas; 5) refleks nasal.

1.6.2 Fisiologi Pendengaran, Penghidu,dan Pengecapan

a. Fisiologi Pendengaran

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang

suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah bertekanan tinggi

karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling

dengan daerah bertekanan rendah akibat penjarangan molekul tersebut.

Pendengaran seperti halnya indra somatik lain merupakan indra mekanoreseptor.

Hal ini karena telinga memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang

suara yang terdapat di udara.

Suara ditandai oleh nada, intensitas, dan kepekaan.

a. Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi suatu getaran. Semakin tinggi

frekuensi getaran, semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi

gelombang suara dari 20 sampai 20.000 siklus per detik, tetapi paling peka

terhdap frekuensi 1000 dan 4000 siklus per detik. 

b. Intensitas atau Kepekaan. Suatu suara bergantung pada amplitudo gelombang

suara, atau perbedaan tekanan antara daerah bertekanan tinggi dan daerah

berpenjarangan yang bertekanan rendah. Semakin besar amplitudo semakin

keras suara. Kepekaan dinyatakan dalam desible (dB). Peningkatan 10 kali

lipat energi suara disebut 1 bel, dan 0,1 bel disebut desibel. Satu desibel

mewakili peningkatan energi suara yang sebenarnya yakni 1,26 kali. Suara

yang lebih kuat dari 100 dB dalam merusak perangkat sensorik di koklea. 

Page 11: 133948281-Pemicu-3

c. Kualitas suara atau warna nada (timbre) bergantung pada nada tambahan, yaitu

frekuensi tambahan yang menimpa nada dasar. Nada-nada tambahan juga yang

menyebabkan perbedaan khas suara manusia

Frekuensi suara yang dapat didengar oleh orang muda adalah antara 20 dan

20.000 siklus per detik. Namun, rentang suara bergantung pada perluasan

kekerasan suara yang sangat besar. Jika kekerasannya 60 desibel dibawah 1

dyne/cm2 tingkat tekanan suara, rentang suara adalah sampai 500 hingga 5000

siklus per detik. Hanya dengan suara keras rentang 20 sampai 20.000 siklus dapat

dicapai secara lengkap. Pada usia tua, rentang frekuensi biasanya menurun menjadi

50 sampai 8.000 siklus per detik atau kurang. Suara 3000 siklus per detik dapat

didengar bahkan bila intensitasnya serendah 70 desibel dibawah 1 dyne/cm2

tingkat tekanan suara. Sebaliknya, suara 100 siklus per detik dapat dideteksi hanya

jika intensitasnya 10.000 kali lebih besar dari ini. 

Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang

suara mencapai membran tympani. Gelombang suara yang bertekanan tinggi dan

rendah berselang seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut

menekuk keluar-masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Ketika

membran timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang suara, rantai

tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama, memindahkan

frekuensi gerakan tersebut dari membrana timpani ke jendela oval. Tulang stapes

yang bergetar masuk-keluar dari tingkat oval menimbulkan getaran pada perilymph

di scala vestibuli. Oleh karena luas permukaan membran tympani 22 kali lebih

besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara15-

22 kali pada tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang

jauh lebih besar, efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut

berkontribusi dalam peningkatan tekanan gelombang suara. 

Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval

menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan

tidak dapat ditekan, tekanan dihamburkan melalui dua cara sewaktu stapes

menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam yaitu, perubahan posisi jendela

bundar dan defleksi membrana basilaris. 

Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di

kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikoterma, dan ke kompartemen

bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar

Page 12: 133948281-Pemicu-3

untuk mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan

menarik jendela oval ke luar, perilimfe mengalir ke arah yang berlawanan

mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam. 

Pada jalur kedua, gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan

penerimaan suara mengambil jalan pintas. Gelombang tekanan di kompartemen

atas dipindahkan melalui membrana vestibularis yang tipis, ke dalam duktus

koklearis dan kemudian melalui mebrana basilaris ke kompartemen bawah, tempat

gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar-masuk

bergantian. 

Membran basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan

kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan

dengan senar gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi.

Getaran yang bernada tinggi pada perilymp scala vestibuli akan melintasi

membrana vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada

rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apex. Getaran ini

kemudian akan turun ke perilymp scala tympani, kemudian keluar melalui tingkap

bulat ke telinga tengah untuk diredam. 

Karena organ corti menumpang pada membrana basilaris, sewaktu

membrana basilaris bergetar, sel-sel rambut juga bergerak naik turun dan rambut-

rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membrana

basilaris menggeser posisinya terhadap membrana tektorial. Perubahan bentuk

mekanis rambut yang maju mundur ini menyebabkan saluran-saluran ion gerbang

mekanis di sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini

menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang

bergantian. Sel-sel rambut berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan ujung-

ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi

sel-sel rambut menyebabkan peningkatan kecepatan pengeluaran zat perantara

mereka yang menaikan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan

pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit

zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana basilaris

bergerak ke bawah). Perubahan potensial berjenjang di reseptor mengakibatkan

perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Impuls

kemudian dijalarkan melalui saraf otak statoacustikus (saraf pendengaran) ke

Page 13: 133948281-Pemicu-3

medulla oblongata kemudian ke colliculus. Persepsi auditif terjadi setelah proses

sensori atau sensasi auditif. 

Diperlihatkan bahwa serabut dari ganglion spiralis organ corti masuk ke

nukleus koklearis yang terletak pada bagian atas medulla oblongata. Pada tempat ini

semua serabut bersinaps dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang

berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Beberapa

serabut tingkat kedua lainnya juga berjalan ke nukleus olivarius superior pada sisi

yang sama. Dari nukleus tersebut, berjalan ke atas melalui lemniskus lateralis.

Beberapa serabut berakhir di nukleus lemniskus lateralis, tetapi sebagian besar

melewati nukleus ini dan berjalan ke kolikulus inferior, tempat hampir semua serabut

pendengaran bersinaps. Dari sini jaras berjalan ke nukleus genikulatum medial,

tempat semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius

ke korteks auditorik, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis. 

Beberapa tempat penting harus dicatat dalam hubunganya dengan lintasan

pendengaran pertama implus dari masing-masing telinga dihantarkan melalui lintasan

pendengaran kedua batang sisi otak hanya dengan sedikit lebih banyak penghantaran

pada lintasan kontralateral. Kedua, banyak serabut kolateral dari traktus audiorius

Page 14: 133948281-Pemicu-3

berjalan langsung ke dalam system retikularis batang otak sehingga bunyi dapat

mengaktifkan keseluruhan otak.

b. Fisiologi Penghidu

Fungsi penghidu dilakukan oleh hidung. Pada hidung terdapat epitel olfaktori.

Epitel ini jenisnya pseudostratified (berlapis semu / bertingkat), terletak di bagian atap

rongga hidung, makanya udara yang dihirup langsung naik melalui concha nasalis dan

jika seseorang mengendus, udaranya dibawa ke bagian superior. Epitel olfaktori

menutupi concha nasalis superior di tiap sisi septum nasal dan memiliki berjuta-juta

neuron yang telah termodifikasi, disebut sel reseptor olfaktori yang dikelilingi oleh sel

penyokong / sel sustentakular.

Ada juga yang namanya sel olfaktori, seperti halnya neuron biasa pasti punya

dendrit. Pada sel ini yang menjadi dendrit disebut silia olfaktori. Untuk bisa menerima

stimulus di rongga hidung, silia ini meluas terproyeksikan ke dalam mucus.

Sementara aksonnya akan melalui lempeng cribiform etmoidalis dan bersinaps

dengan nervus olfaktori.

Untuk bisa mencium bau dari senyawa kimia syaratnya senyawa kimia itu

harus mudah menguap dan larut air, sehingga senyawa kimia yang masuk ke rongga

hidung dalam bentuk gas mula-mula menyebar secara difus pada mukosa yang

menutupi silia. Selanjutnya akan berikatan dengan protein reseptor di membrane silia

olfaktori, lalu terbentuk protein G yang terdiri atas 3 subunit. Subunit α nya

memecahkan diri dan mengaktifkan adenilat siklase. Siklase ini akan mengubah ATP

menjadi c-AMP yang akan membuka kanal ion natrium. Ion natrium akan

meningkatkan potensial aksi pada sel olfaktori, selanjutnya diteruskan ke sel mitral

dan tufted cells (sel berumbai), lalu ke nervus olfaktori dan mencapai pusatnya di

otak.

Page 15: 133948281-Pemicu-3

c. Fisiologi Pengecapan

Fungsi pengecapan dilakukan oleh lidah. Ada 4 macam rasa yang dikenal,

yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Namun akhir-akhir ini diketahui ada 1 rasa

tambahan yaitu umami. Manis menandakan molekul organik seperti glikol atau

aldehid. Pahit menandakan alkaloid, seperti kafein, kina, morfin, nikotin, dan zat yang

biasanya toksik. Asin menandakan anion garam. Asam menandakan asam, kadar

keasaman bergantung pada pH. Umami dipicu oleh asam amino utamanya glutamat.

Ada di rasa gurih kaldu daging dan MSG.

Reseptor pengecapan ada di kuncup pengecap yang nantinya akan

berdegenerasi waktu usia seseorang 45 tahun, jadinya pengecapannya berkurang. Di

kuncup pengecap ini ada sel reseptor pengecap yang punya rambut yang terjulur,

rambut inilah permukaan reseptornya.

Letak kuncup pengecap itu ada di lidah, palatum durum, palatum molle,

epiglottis, dan farings. Transduksi bagaimana molekul bisa mengeksitasi reseptor

pengecap sebagai berikut:

- Rasa asam dipicu oleh ion H+, dimana ion H+ ini memblok kanal K+, sehingga

pergerakan ion K+ keluar dari sel reseptor berkurang, sehingga bagian dalam sel

menjadi lebih positif, memicu depolarisasi. Depolarisasi terus memicu Ca2+ masuk,

jadinya neurotransmitter keluar.

- Rasa asin dipicu masuknya ion Na+ ke dalam sel reseptor lewat kanal ion Na+

mengurangi negativitas reseptor sehingga terjadi depolarisasi.

- Rasa manis dipicu oleh pengikatan glukosa atau zat pemicu rasa manis lainnya dengan

reseptor, yang mengaktivasi protein G yang mengaktivasi jalur cAMP sebagai second

Page 16: 133948281-Pemicu-3

messenger, sehingga kanal K+ tertutup, K+ tidak bisa keluar, sehingga terjadi

depolarisasi.

- Rasa pahit punya banyak reseptor, sehingga ada berbagai jenis rasa pahit yang bisa

dirasakan, dan mekanismenya juga banyak. Salah satu yang dikenal lewat protein G

gustducin dan transducin.

- Rasa umami juga lewat protein G, tapi jalur selanjutnya belum diketahui.

Untuk pembagian area pengecapannya sebagai berikut:

- Asam: Di kiri-kanan belakang lidah, disarafi N.VII

- Asin: Di kiri-kanan depan idah, disarafi N. VII

- Manis: Di ujung depan lidah, disarafi N.VII

- Pahit: Di pangkal lidah, disarafi N.XI

- Umami: Di faring belakang, faring dan palatum disarafi N.X

Page 17: 133948281-Pemicu-3

1.7.3 Karsinoma Nasofarin

a. Definisi

Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial

yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada

epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan

frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.

b. Epidemiologi dan Etiologi

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni

4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per

tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan

pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah

716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di

Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463

kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127

kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100

kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25

kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam

pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma

nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan

biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International

Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di

Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat

dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF

mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta

agregasi family.

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara

berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua.Tetapi, insiden KNF lebih

rendah dari 1/105 di semua area.Insisde.Insiden tertinggi terpusat pada di Cina

bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi

Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data

IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan

sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus

Page 18: 133948281-Pemicu-3

meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup

banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan

penduduk di Afrika utara dan timur tengah

Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-

3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.

Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg

bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia

dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat

setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun

setelahnya

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga

kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong,

Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras

Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang

dijumpai mengidap penyakit ini.Berbagai studi epidemilogik mengenai angka

kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal.Salah satunya yang menarik

adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para

migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di

China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan

yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran

dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang

kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa

menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang

Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di

daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya

Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang

dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang

‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola

makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini

dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk

diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari

mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya

seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

Page 19: 133948281-Pemicu-3

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai

substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan

percobaan.

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat

people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak.Hal ini

tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari

negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di

Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan

Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000)

dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah

mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut.Pada 1966,

seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF

serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen.Kenaikan

titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit.Namun virus ini juga

acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula

dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.

Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan

proses keganasan.

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring

(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi

lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan

tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya

dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali

dibandingkan dengan bukan perokok. ditemukan juga bahwa menurunnya angka

kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi

frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan

terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah

yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak

dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat

berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa

bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu

pada saat menyapih.

Page 20: 133948281-Pemicu-3

Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier

dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal

di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9

pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan

10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti

formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian

dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB).

Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi

EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat

menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA

( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan

jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob

yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus,

meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan

mempromosikan pembentukan KNF (genesis)

c. Tanda dan Gejala Karsinoma Nasofaring

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Nasal sign :

Pilek lama yang tidak sembuh

Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya

sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna

merah jambu

Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

2. Ear sign :

Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba

oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.

Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi

tinnitus.

Gangguan pendengaran hantaran

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

3. Eye sign :

Page 21: 133948281-Pemicu-3

Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan

gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :

Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau

metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada

penderita. Gejala ini berupa :

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.

Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

Kesukaran pada waktu menelan

Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.

IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

o Lidah

o Palatum

o Faring atau laring

o M. sternocleidomastoideus

o M. trapezeus

d. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae.Infeksi EBV dapat

berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,

mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF).KNF merupakan tumor ganas

yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan

Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang

diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Adanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

Page 22: 133948281-Pemicu-3

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel

epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B

dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d

(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan

dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan

rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit

B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,

sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

belum dapat dijelaskan dengan pasti.Namun demikian, ada dua reseptor yang

diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu

CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor).Sel yang terinfeksi oleh

virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel

menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan

replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan

kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi

transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan

terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas

sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu

EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam

mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan

LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat

siklus litik virus.Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam

transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368

asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen

protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung

karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF

(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang

memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

Page 23: 133948281-Pemicu-3

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu

relative menonjol dan memiliki agregasi familial.Analisis korelasi

menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim

sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi

metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di

berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan

asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar

nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan

nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik

karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

paparan asap rokokyang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu

kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan

kembali infeksi dari EBV.

e. Penatalaksanaan

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting

dalampenatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk

karsinomanasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring

ternyatadapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium

lanjut atau padakeadaan kambuh.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi

leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada

sisa kelenjarpasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat

bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan

Page 24: 133948281-Pemicu-3

pemeriksaan radiologik danserologi. Nasofaringektomi merupakan suatu

operasi paliatif yang dilakukanpada kasus-kasus yang kambuh atau adanya

residu pada nasofaring yang tidakberhasil diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma

nasofaringadalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma

nasofaring dapatdiberikan imunoterapi.

1.7.4 Sinusitis

a. Definisi

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya

disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Bila

mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai

beberapa sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah

sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus

sphenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat berbahaya karena menyebabkan

peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rhinitis, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan

anatomi, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,

kelainan imunologik, dyskinesia silia, dan fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi

adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis, faktor lain adalah

lingkungan berpolusi, udara dingin, dan kering, serta kebiasaan merokok.

c. Patofisiologi

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi

edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat

bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya, terjadi tekanan negatif di dalam

rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serosa. Kondisi

ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan bisa sembuh tanpa

pengobatan.

Page 25: 133948281-Pemicu-3

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan

media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.

Keadaan ini disebut rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

d. Klasifikasi dan Mikrobiologi

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis akut dengan batas

sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004

membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu

sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.

Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah streptococcus

pneumoniae (30-50%), Haemophillus influenzae (20-40%) dan Moraxella

catarrhalis (4% dan lebih banyak pada anak).

Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya

bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif Gram dan anaerob.

1.7.5 Rhinitis Alergi

a. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan

dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar

alergen yang diperantarai oleh IgE.

b. Etiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien

yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara

jelas memiliki peran penting. Pada 20–30% semua populasi dan pada 10–15%

anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4

kali lebih besar atau mencapai 50%.Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi

yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang

respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.

Page 26: 133948281-Pemicu-3

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk

bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu

binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.

c. Patofisiologi

1. Sensitisasi

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya

proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel

alergen akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada

jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan

menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan

bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC

(Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan

dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh

sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan

lainnya.

IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi

dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel

ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan

teraktifasinya kedua sel tersebut.

2. Reaksi Alergi Fase Cepat

Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini

yaitu histamin, tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin

(PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya

plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteriovenula

hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada

kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi

dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet

menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

Page 27: 133948281-Pemicu-3

terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

3. Alergi Fase Lambat

Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4–8 jam setelah fase cepat. Reaksi

ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap

sel endotel postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion

Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti

eosinofil menempel pada sel endotel.Faktor kemotaktik seperti IL5

menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil

dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi

teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic

Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein

(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala

hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan

pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.

d. Klasifikasi

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut

sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:

Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.

Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4

minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di

atas.

e. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti

Page 28: 133948281-Pemicu-3

hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala

(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor

predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan

pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan

konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi

mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk

yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,

yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder

akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease

yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.

Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung

tangan (allergic salute).

Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna

pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.

Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat

memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan

konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti

sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna

sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung

jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan

IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi

pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan

IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA

(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes

kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal

berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes

kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran

tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration –

Page 29: 133948281-Pemicu-3

SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen

dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab,

juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi.

Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan

alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula

dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative

Food Test (IPFT).

f. Penatalaksanaan

Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung.

Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.

Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju

IgE pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara

kompetitif dengan imunoterapi.

Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat

lebih lanjut reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator.

Tahapan ini dinetralisir dengan obat–obatan antihistamin yang secara

kompetitif memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.

Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan

timbulnya gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan

dekongestan sistematik atau lokal.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:

menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan

imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi

komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini

terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang

mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan

laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI

eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk

mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

Page 30: 133948281-Pemicu-3

2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa

asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal

berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran

terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji

kulit.

3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit

alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

1.7.6 Otitis Media Akut

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA) terjadi karena

faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor

penyebab utama dari otitis media. Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah

infeksi saluran napas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas,

makin besar kemungkinan terjadi OMA. Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh

karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal.

Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti streptococcus

hemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus, haemophillus influenzae, E. coli,

streptococcus α hemolyticus, proteus vulgaris, dan pseudomonas aeruginosa.

Stadium OMA

1. Stadium oklusi tuba eustachius

Gambaran retraksi membran timpani kadang-kadang tampak normal atau berwarna

keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tapi tidak dapat dideteksi.

2. Stadium hiperemis

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau hiperemis serta

edema. Sekret bersifat eksudat yang serosa.

3. Stadium supurasi

Edema yang hebat pada mukosa telinga dan hancurnya sel epitel superfisial, eksudat

yang purulent menyebabkan membran timpani menonjol. Pada keadaan ini, pasien

tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah

hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi

iskemia, akibat tekanan pada kapiler serta timbul tromboflebitis pada vena kecil dan

nekrosis mukosa dan submukosa.

Page 31: 133948281-Pemicu-3

4. Stadium perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi

kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membran timpani dan nanah keluar.

5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan

akan kembali normal. Bila sudah perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya

kering.

Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak,

keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang

tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek. Pada anak yang lebih besar atau dewasa,

selain rasa nyeri terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa

kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat

sampai 39,50C, anak sukar tidur, diare, kejang.

Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi,

diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun)

atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan

pada orang dewasa.

Terapi pada stadium supurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika.

Antibiotika yang dianjurkan dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian

antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila alergi penisilin, maka diberikan

eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100mg/kgBB per hari dibagi

dalam 4 dosis atau amoxicillin 40mg/kgBB per hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin

40mg/kgBB per hari.

Pada stadium perforasi, pengobatan yang diberikan ialah obat cuci telingan H2O2 3%

selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.

Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak

ada lagi, dan perforasi membran timpani tidak ada lagi.

1.7.7 Limfadenopati

Lymphadenopathy dapat merupakan tanda atau gejala dari penyakit seorang

pasien. Lymphadenopahty dapat merupakan temuan dalam batas normal atau

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut bahkan biopsi. Pada anak kecil dan dewasa muda

dapat teraba limfonodus submandibula dengan konsistensi lunak dan datar dengan

Page 32: 133948281-Pemicu-3

ukuran < 1 cm. Pada orang dewasa limfonodus inguinal dengan ukuran 2 cm dianggap

normal.

Lymphadenopathy dapat merupakan manifestasi primer atau sekunder dari

berbagai kelainan. Lebih dari 2/3 pasien dengan limfadenopati memiliki kelainan saluran

napas atas (virus atau bakteri) atau kelainan dengan penyebab yang tidak spesifik dan

kurang dari 1% memiliki keganasan (limphoma atau adenokarsinoma metastatis). Pada

pasien dengan limfadenopati benigna, 63% penyebabnya tidak spesifik (tidak ditemukan

agen penyebab) dan sisanya paling umum disebabkan infeksi mononukleosis,

toksoplasmosis atau tuberkulosis.

a. Pemeriksaan Klinis

Dalam mencari penyebab limfadenopati, diperlukan riwayat anamnesis yang lengkap,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan terkadang biopsi nodus limfa. Identitas

pasien meliputi usia, pekerjaan, pajanan terhadap hewan peliaharan, kebiasaan seksual

dan penggunaan obat seperti diphenylhydantoin merupakan bagian penting. Anamnesis

harus meliputi kapan limfadenopati terjadi. Gejala seperti nyeri tenggorokan, batuk,

demam, keringat malam, lelah, penurunan berat badan atua nyeri pada nodus harus

diperhatikan.

Pada pemeriksaan fisik sangat penting untuk melihat penyebaran limfadenopati

(lokalis atau generalisata), ukuran nodus, tekstur, nyeri pada nodus, tanda peradangan

pada nodus, lesi kulit dan splenomegali. Pemeriksaan THT diperlukan pada pasien

dengan adenopathy servikal dan riwayat konsumsi rokok. Adenopathy lokalis atau

regional adalah adenopathy yang melibatkan satu area anatomi. Adenopathy generalisata,

jika 3 atau lebih nodus limfa pada area berbeda. Lymphadenopathy generalisata sering

berhubungan dengna kelainan non-malignan seperti infeksi mononukleosis (EBV atau

CMV), toksoplasmosis, AIDS, infeksi virus lainnya, SLE dan kelainan jaringan ikat.

Leukemia limfositik akut dan kronik dan limfoma maligna juga dapat menyebabkan

adenopathy generalisata pada orang dewasa.

Lokasi adenopati dapat memberikan petunjuk tentang penyebab. Adenopati oksipital

menandakan infeksi di daerah kulit kepala, adenopati preaurikular sering terjadi pada

konjungtivitis. Tempat paling sering yang mengalami adenopati adalah di leher, dan

penyebab benigna tersering adalah infeksi saluran napas atas, lesi dental atau oral, infeksi

mononukleosis atau infeksi virus, sedangkan penyebab maligna tersering meliputi

metastasis dari kepala, leher, payudara, paru-paru dan tiroid. Pembesaran nodus

suprakalvikula dan skalinus selalu abnormal. Nodus pada daerah ini menyerap dari regio

Page 33: 133948281-Pemicu-3

paru dan retroperitoneal, menandakan limfoma, keganasan lain ataupun infeksi dari

daerah-daerah tersebut. Nodus Virchow merupakan pembesaran nodus supraklavikula

sinistra yang diinfiltrasi metastasis kanker dari saluran cerna. Metastasis dari nodus

suprakalvikula juga dapat dari paru-paru, payudara, testis, dan kanker ovarium.

Tuberkulosis, sarkoidosis dan toksoplasmosis merupakan penyebab non-malignan pada

adenopati supraklavikula. Axila adenopati biasa akibat cedera atau infeksi lokal dari

ekstremitas atas ipsilateral. Penyebab keganasan meliputi melanoma atau limfoma dan

pada wanita kanker payudara. Limfadenopati inguinal biasa terjadi sekuner akibat infeksi

atau trauma pada ekstremitas bawah dan dapat menyertai pada penyakit menular seksual

seperti limfogranulosa venerum, sifilis primer, herpes genital atau chancroid. Nodus ini

juga dapat terjadi akibat limfoma, metastatis kanker dari lesi primer pada rektum,

genitalia atau ekstremitas bawah (melanoma).

Ukuran dan tekstur nodus limfa dan keberadaan rasa nyeri merupakan parameter

dalam mengevaluasi limfadenopati. Nodus < 1,0 cm2 hampir selalu benigna. Pada biopsi

dengan ukuran >2 cm, sering merupakan keganasan atau penyakit granulomatosa. Tektur

dari nodus limfa dapat dideskripsikan sebagai lembut, keras, kenyal, lunak, nyeri,

terfiksasi dan nyeri. Nyeri ditemukan jika kapsula pada nodus membesar secara cepat,

biasa diakibatkan oleh proses inflamasi. Beberapa keganasan seperti leukemia akut dapat

menyebabkan pembesaran secara cepat dan nyeri pada nodus. Nodus akibat metastasis

kanker biasanya keras, tidak nyeri dan tidak dapat digerakkan karena terfiksasi oleh

jaringan sekitarnya.

1.7.8 Pemeriksaan Fisik THT

a. Rhinoskopi Anterior

Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rhinoskopi anterior.

Diperlukan speculum hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan.

Otoskop dapat dipergunakan untuk melihat bagian dalam hidung terutama untuk

mencari benda asing. Speculum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan hati-

hati dan dibuka setelah speculum berada di dalam dan waktu menegeluarkannya

jangan ditutup dulu di dalam, supaya bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum

hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, konka

superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus

diperhatikan. Begitu juga rongga hidung sisi yang lain.

b. Rhinoskopi Posterior

Page 34: 133948281-Pemicu-3

Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan rhinoskopi posterior sekaligus

untuk melihat keadan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan rhinoskopi

posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah dihangatkan

dengan api lampu spritus untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca.

Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites dulu dengan menempelkannya pada

kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut, lidah dua

pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien bernapas melalui mulut supaya

uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap ke atas dimasukkan

melalui mulut, ke bawah uvula dan samapai nasofaring. Setelah napas biasa melalui

hidung, uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring terbuka. Mula-mula

diperhatikan bagian belakang septum dan koana. Kemudia kaca diputar ke lateral

sedikit untuk melihat konka superior, konka media dan konka inferior serta meatus

superior dan meatus media.

1.8 Kesimpulan

Pak Maman menderita ca nasofaring yang dipastikan dengan pemeriksaan penunjang

Page 35: 133948281-Pemicu-3

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan R, A. H.2004. Pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama,.

Longo, Dan L, Dennis L.Kasper, et all. 2012. Harrison’s Principles Of Internal Medicine

ed 8th. USA: Mc.Graw hill companies,Inc

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM.2010. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer

Soepardi, Efiaty A., et al.2009.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher, Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Susworo, Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka

artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

Tortora, Gerard J dan Bryan H.derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Phsysiology

ed 12th: John Wiley & sons,Inc