126218348 rona merah di pipi mpt

16
Danita Dwi Maryana 1102011070 1 Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun. L.O.1.1. Definisi Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance). Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. L.O.1.2. Etiologi a. Faktor genetik Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC. Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons imun diperantai sel T bergantung pada MHC. b. Ketidakseimbangan sitokin Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin. c. Sequestered antigen Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun . d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4). e. Rangsangan molekul poliklonal Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang sel B secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.

Upload: bayu-segara-hoki

Post on 21-Nov-2015

33 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sssd

TRANSCRIPT

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    1

    Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi

    L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun.

    L.O.1.1. Definisi

    Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut

    disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun

    yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak

    terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk

    memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance).

    Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat.

    Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

    Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

    L.O.1.2. Etiologi

    a. Faktor genetik

    Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan

    predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC.

    Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons

    imun diperantai sel T bergantung pada MHC.

    b. Ketidakseimbangan sitokin

    Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan

    defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin.

    c. Sequestered antigen

    Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari

    sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem

    imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan

    antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena

    antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun.

    d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif

    Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan

    pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan

    sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak

    memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).

    e. Rangsangan molekul poliklonal

    Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang sel B

    secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    2

    f. Reaksi silang dengan antigen bakteri

    Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang mempunyai

    reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.

    g. Kadar sitokin menurun

    h. Gangguan MHC

    i. Gangguan terhadap respons IL-2

    L.O.1.3. Klasifikasi

    Penyakit autoimun menurut organ :

    a. Penyakit autoimun organ spesifik

    Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi

    sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.

    Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :

    Tiroiditis Hashimoto

    Tirotoksikosis

    Anemia pernisiosa

    Gastritis atrofi autoimun

    Penyakit addison

    b. Penyakit autoimun non-organ spesifik

    Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi

    terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada

    penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang

    di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan

    kerusakan.

    Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik

    Organ Spesifik Non-organ spesifik

    Antigen Terdapat di dalam alat

    tubuh tertentu

    Tersebar di seluruh tubuh

    Kerusakan Antigen dalam tubuh Penimbunan kompleks

    sistemik dalm ginjal,

    sendi dan kulit

    Tumpang tindih Dengan antibodi organ

    spesifik dan penyakit lain

    Dengan antibodi non-

    organ spesifik dan

    penyakit lain.

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    3

    Penyakit autoimun menurut mekanisme :

    a. Penyakit autoimun melalui antibodi

    Anemia hemolitik autoimun

    Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah

    destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut.

    Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh

    antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan

    anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat

    fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.

    Miastenia gravis

    Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya

    penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di

    angkat, penyakit kadang-kadang dapat menghilang.

    Tirotoksikosis

    Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini

    dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).

    b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun

    Lupus erimatosus sistemik

    Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran

    basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri

    dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut

    mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks

    inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat gejala penyakit dapat berubah-

    ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.

    Artritis reumatoid

    Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid

    factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan

    IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas

    mediator dengan sifat kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan

    peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.

    c. Penyakit autoimun melalui sel T

    Hashimoto thyroiditis

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    4

    d. Penyakit autoimun melalui komplemen

    L.O.1.4. Mekanisme

    a. Kerusakan akibat destruksi sel

    Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel

    terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen

    seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas

    seluler dengan bantuan antibodi.

    b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun

    Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali

    dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang

    menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen

    ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini

    menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.

    c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular

    Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau

    jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut

    respons inflamasi.

    L.I.2. Memahami dan mempelajari systemic lupus eritomatosus.

    L.O.2.1. Definisi

    Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai

    adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.

    Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga

    mengakibatkan kerusakan jaringan.

    Jenis-jenis lupus

    Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.

    Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti

    kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak,

    dan syaraf.

    Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.

    Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

    Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

    Interna Publishing

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    5

    L.O.2.2. Epidemiologi

    Dalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu

    penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda

    bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu

    seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak

    mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai

    paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita

    dibandingkan pria.

    Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

    Interna Publishing.

    L.O. 2.3. Etiologi

    Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting

    dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-

    hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.

    Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan

    sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban

    antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun

    dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi

    autoantibodi patogenik.

    Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi

    ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.

    Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

    Interna Publishing.

    L.O.2.4. Patogenesis

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    6

    Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan serrta

    ekpresi penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur sistem imun.

    Diantaranya MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen

    komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen yaitu ; C1q, C1r,,C1s,C4dan

    C2).

    Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai

    predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel T

    CD4+. Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi

    serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun berupa sel memori.

    Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (antinuclear antibodi ).dengan antigennya

    yang spesifik,ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

    Kompleks imun akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat

    terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi komplemen

    yang menghasilkan substansi penyebab radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan

    timbul gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,pleura, pleksus koroideus ,

    dan kulit.

    Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai penerbit

    FKUI.

    L.O. 2.5 Manifestasi Klinis

    Gejala konstitusional

    a. Kelelahan

    b. Penurunan berat badan

    c. Demam

    d. Hilangnya nafsu makan

    e. Sakit kepala

    Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi)

    Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-kutaneus

    Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli paru,

    hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.

    Manifestasi kardiologis : perikarditis, miokarditis, penyakit jantung kororner, gagal

    jantung kongesif, bising jantung

    Manifestasi renal : proteinuria, glomerulonefritis

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    7

    Manifestasi gastrointestinal : disfagia, hepatomegali, pankreatitis akut, nyeri

    abdominal, dispesia

    Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis, lesi batang

    otak, neuropati perifer, myasthenia gravis.

    Manifestasi hemik limfatik : splenomegali, anemia

    L.O. 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    8

    Diagnosis banding :

    Sumber gambar 2 dan 3 : google.com

    L.O. 2.7. Pencegahan dan penatalakasanaan

    Pencegahan systemic lupus eritematosus

    Untuk mencegah kekambuhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut :

    a. Hindari stress dan trauma fisik.

    Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memliki kecenderungan akan

    penyakit ini.

    b. Hindari merokok.

    c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.

    d. Cukuplah beristirahat.

    Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.

    e. Diet sesuai kelainan.

    f. Hindari infeksi

    Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini

    kambuh setelah infeksi.

    g. Hindari pajanan sinar ultraviolet

    Sinar ultraviolet dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak

    kemerahan yang menonjol atau menebal.

    h. Hindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen.

    http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/. Sistemik Lupus Eritematosus.

    22 Mei 2012. 20:31

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    9

    Penatalaksanaan non-farmako :

    a. Edukasi

    Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan

    penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai

    macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang

    berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang

    berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa

    bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi,

    sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun

    penderita selama hamil.

    b. Dukungan sosial dan psikologis.

    Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer

    group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi

    pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di

    Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat

    mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial

    untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

    c. Istirahat

    Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain

    perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

    d. Tabir surya

    Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar

    matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang

    berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum

    terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

    e. Monitor ketat

    Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat

    demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan

    pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian

    kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,

    sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan

    hipertensi.

    Penatalaksanaan secara farmakologis :

    a. Siklofosfamid

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    10

    Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.

    Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding

    hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan

    menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia,

    kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

    Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB

    dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm

    3. Monitoring jumlah leukosit

    dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

    Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut

    rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari

    pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi bakteri,

    jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan

    kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau

    kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami

    kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

    b. Mycophenolate mofetil (MMF)

    MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim

    yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi

    ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin

    serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid.

    Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF

    dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan

    dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari

    sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE

    dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

    c. Azathioprine

    Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi

    imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk

    pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti

    miositis dan sinovitis yang refrakter.

    Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval

    waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan

    metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi

    60-75%.

    Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu

    supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan

    hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase.

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    11

    Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena

    dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara

    periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil,

    diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

    d. Leflunomide (Arava)

    Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada

    pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE

    yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis

    100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

    e. Methotrexate

    Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif

    terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum

    transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi

    hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat

    golongan ini sebaiknya dihindarkan.

    f. Siklosporin

    Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

    menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4,

    anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.

    Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan

    efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan

    kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma

    nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara

    rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan

    dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

    Hormon Seks

    Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin

    terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)

    bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)

    dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama

    trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat

    dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat

    perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare

    SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

    Kortikosteroid

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    12

    Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan

    topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk

    artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral

    dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau

    dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan

    serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

    imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan

    dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi

    atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).

    Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam

    jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.

    Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus

    cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,

    percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,

    myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh

    karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan

    atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

    Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada

    pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D

    50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat

    pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid

    pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat

    menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid

    menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir

    rendah dan ketuban pecah dini.

    NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

    NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,

    perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus

    dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau

    perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga

    dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,

    meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan

    efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2

    selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    13

    nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena

    dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

    Plasmaferesis

    Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus

    lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc

    Thrombocytopenic Purpura).

    Immunoglobulin Intravena

    Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang

    luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti

    immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis

    400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,

    artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang

    terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.

    Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

    http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

    L.O. 2.8. Prognosis

    Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang

    menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai melahirkan

    bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling

    buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit

    jantung yang berat.

    L.I. 3. Memahami dan mempelajari pemeriksaan fisik dan penunjang untuk systemic lupus

    eritematosus.

    L.O.3.1. Menjelaskan pemeriksaan fisik

    a. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia),

    b. Rambut kepala dan alis mudah rontok,

    c. Urtikaria pada wajah,

    d. Ulkus mucosa mulut,

    e. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang

    terpapar sinar matahari.

    http://penelitian.unair.ac.id

    L.O. 3.2. Menjelaskan pemeriksaan penunjang

    Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat

    diagnosa SLE , yaitu :

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    14

    1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

    yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering

    muncul di dalam darah.

    2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).

    yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di

    dalam sel.

    3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi

    yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan

    dalam sel protein inti).

    4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immunecomplexes(kekebalan) di dalam

    darah

    5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein

    yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spes

    ifikdari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.

    6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

    Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi

    membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan

    jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka

    untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

    7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

    8. Urine Rutin

    9. Antibodi Antiphospholipid

    10. Biopsy Kulit

    11. Biopsy Ginjal

    Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupisdan ini

    merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untukmengenali sistemik

    lupus.

    Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab

    sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa

    ditemukannya ANA.

    Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring

    dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam

    menentukan jenispenyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan

    seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    15

    pada banyak keadaan, oleh karenaitu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catat

    an kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya.

    Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk

    mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupusakan

    tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut.

    Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti keberadaan Lupus,

    karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :

    Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.

    Pasien yang sedang diobati dengan obat-

    obatan tertentu, misal menggunakan obatprokrainamid, hidralazin, isoniazid

    klorpromazin. dan

    Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogrenssyndrome,

    rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver).

    http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm

    L.I.4. Memahami dan mempelajari sabar dalam mengahadapi musibah dalam perspektif

    Islam.

    L.O.4.1. Menjelaskan sabar

    Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang

    menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia terbunuh

    dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga

    perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang

    Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

    Ayat Al-Quran :

    Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah

    bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.

    (Aali Imraan:200)

    Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

    (Az-Zumar:10)

    Hadist :

    Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah. (H.R.

    Bukhari)

  • Danita Dwi Maryana 1102011070

    16

    Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sungguh menakjubkan perkaranya orang

    yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak

    akan terdapat kecuali hanya pada orang mumin: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia

    bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan

    jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan

    hal terbaik bagi dirinya. (H.R. Muslim)

    http://wikaprima.wordpress.com/2011/07/21/sabar-menurut-alquran-dan-hadits/

    http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/ayat-ayat-al-quran-tentang-sabar.html