rona merah di pipi mpt

25
Danita Dwi Maryana 1102011070 Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun. L.O.1.1. Definisi Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak terhadap antigen sendiri (self- nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance). Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. L.O.1.2. Etiologi a. Faktor genetik Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC. Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons imun diperantai sel T bergantung pada MHC. b. Ketidakseimbangan sitokin Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin. c. Sequestered antigen 1

Upload: danitamaryana

Post on 09-Aug-2015

477 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi

L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun.

L.O.1.1. Definisi

Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut

disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun

yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak

terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk

memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance).

Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat.

Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

L.O.1.2. Etiologi

a. Faktor genetik

Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan

predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC.

Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons

imun diperantai sel T bergantung pada MHC.

b. Ketidakseimbangan sitokin

Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan

defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin.

c. Sequestered antigen

Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari

sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem

imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan

antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena

antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun.

d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif

Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan

pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan

sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak

memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).

e. Rangsangan molekul poliklonal

Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang sel B

secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.

1

Page 2: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

f. Reaksi silang dengan antigen bakteri

Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang mempunyai

reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.

g. Kadar sitokin menurun

h. Gangguan MHC

i. Gangguan terhadap respons IL-2

L.O.1.3. Klasifikasi

Penyakit autoimun menurut organ :

a. Penyakit autoimun organ spesifik

Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi

sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.

Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :

Tiroiditis Hashimoto

Tirotoksikosis

Anemia pernisiosa

Gastritis atrofi autoimun

Penyakit addison

b. Penyakit autoimun non-organ spesifik

Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi

terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada

penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang

di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan

kerusakan.

Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik

Organ Spesifik Non-organ spesifik

Antigen Terdapat di dalam alat

tubuh tertentu

Tersebar di seluruh tubuh

Kerusakan Antigen dalam tubuh Penimbunan kompleks

sistemik dalm ginjal,

sendi dan kulit

Tumpang tindih Dengan antibodi organ

spesifik dan penyakit lain

Dengan antibodi non-

organ spesifik dan

penyakit lain.

2

Page 3: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Penyakit autoimun menurut mekanisme :

a. Penyakit autoimun melalui antibodi

Anemia hemolitik autoimun

Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah

destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut.

Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh

antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan

anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat

fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.

Miastenia gravis

Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya

penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di

angkat, penyakit kadang-kadang dapat menghilang.

Tirotoksikosis

Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini

dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).

b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun

Lupus erimatosus sistemik

Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran

basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri

dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut

mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks

inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat gejala penyakit dapat berubah-

ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.

Artritis reumatoid

Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid

factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan

IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas

mediator dengan sifat kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan

peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.

c. Penyakit autoimun melalui sel T

Hashimoto thyroiditis

d. Penyakit autoimun melalui komplemen

L.O.1.4. Mekanisme

3

Page 4: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

a. Kerusakan akibat destruksi sel

Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel

terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen

seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas

seluler dengan bantuan antibodi.

b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun

Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali

dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang

menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen

ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini

menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.

c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular

Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau

jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut

respons inflamasi.

L.I.2. Memahami dan mempelajari systemic lupus eritomatosus.

L.O.2.1. Definisi

Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.

Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan.

Jenis-jenis lupus

Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti

kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak,

dan syaraf.

Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.

Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

Interna Publishing

L.O.2.2. Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu

penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda

4

Page 5: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu

seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak

mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai

paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita

dibandingkan pria.

Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

Interna Publishing.

L.O. 2.3. Etiologi

Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting

dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-

hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.

Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan

sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban

antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun

dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi

autoantibodi patogenik.

Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi

ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.

Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

Interna Publishing.

L.O.2.4. Patogenesis

Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan serrta

ekpresi penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur sistem imun.

Diantaranya MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen

5

Page 6: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen yaitu ; C1q, C1r,,C1s,C4dan

C2).

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel T

CD4+. Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi

serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun berupa sel memori.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (antinuclear antibodi ).dengan antigennya

yang spesifik,ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Kompleks imun akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat

terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi komplemen

yang menghasilkan substansi penyebab radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan

timbul gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,pleura, pleksus koroideus ,

dan kulit.

Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai penerbit

FKUI.

L.O. 2.5 Manifestasi Klinis

Gejala konstitusional

a. Kelelahan

b. Penurunan berat badan

c. Demam

d. Hilangnya nafsu makan

e. Sakit kepala

Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi)

Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-kutaneus

Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli paru,

hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.

Manifestasi kardiologis : perikarditis, miokarditis, penyakit jantung kororner, gagal

jantung kongesif, bising jantung

Manifestasi renal : proteinuria, glomerulonefritis

Manifestasi gastrointestinal : disfagia, hepatomegali, pankreatitis akut, nyeri

abdominal, dispesia

Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis, lesi batang

otak, neuropati perifer, myasthenia gravis.

Manifestasi hemik limfatik : splenomegali, anemia

6

Page 7: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

L.O. 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis banding :

7

Page 8: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Sumber gambar 2 dan 3 : google.com

L.O. 2.7. Pencegahan dan penatalakasanaan

Pencegahan systemic lupus eritematosus

Untuk mencegah kekambuhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Hindari stress dan trauma fisik.

Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memliki kecenderungan akan

penyakit ini.

b. Hindari merokok.

c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.

d. Cukuplah beristirahat.

Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.

e. Diet sesuai kelainan.

f. Hindari infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini

kambuh setelah infeksi.

g. Hindari pajanan sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak

kemerahan yang menonjol atau menebal.

h. Hindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen.

http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/ . Sistemik Lupus Eritematosus.

22 Mei 2012. 20:31

Penatalaksanaan non-farmako :

8

Page 9: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

a. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan

penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai

macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang

berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang

berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa

bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi,

sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun

penderita selama hamil.

b. Dukungan sosial dan psikologis.

Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer

group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi

pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di

Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat

mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial

untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

c. Istirahat

Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain

perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

d. Tabir surya

Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar

matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang

berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum

terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

e. Monitor ketat

Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat

demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan

pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian

kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,

sehingga perlu pengendalian  faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan

hipertensi.

Penatalaksanaan secara farmakologis :

a. Siklofosfamid

Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.

9

Page 10: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding

hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan

menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia,

kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB

dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit

dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut

rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari

pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis  dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi bakteri,

jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan

kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau

kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami

kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

b.  Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim

yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi

ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin

serum pada penderita SLE dan nefritis yang  resisten terhadap siklofosfamid.

Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF

dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan

dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari

sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE

dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

c.  Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi

imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk

pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti

miositis dan sinovitis yang refrakter.

Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval

waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan

metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi

60-75%.

Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu

supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan

hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase.

Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena

10

Page 11: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal  maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara

periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil,

diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

d. Leflunomide (Arava)

Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada

pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE

yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis

100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 

e.  Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif

terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum

transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi

hati dan ginjal.  Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat

golongan ini sebaiknya dihindarkan.

f. Siklosporin

 Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4,

anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.

Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya  harus disesuaikan

efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan

kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat  untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma

nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi  ginjal harus dilakukan secara

rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan

dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Hormon Seks

Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin

terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)

bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)

dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama

trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat

dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat

perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare

SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan

topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk

11

Page 12: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral

dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau

dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan

serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan

dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi

atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).

Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam

jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.

            Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus

cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,

percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,

myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh

karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan

atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada

pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D

50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat

pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid

pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat

menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid

menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir

rendah dan ketuban pecah dini. 

NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,

perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus

dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau

perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga

dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,

meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan

efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2

selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan

nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena

dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

12

Page 13: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Plasmaferesis

Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah  kasus

lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc

Thrombocytopenic Purpura).

Immunoglobulin Intravena

Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang

luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti

immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis

400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,

artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang

terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.

Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

L.O. 2.8. Prognosis

Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang

menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai melahirkan

bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling

buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit

jantung yang berat.

L.I. 3. Memahami dan mempelajari pemeriksaan fisik dan penunjang untuk systemic lupus

eritematosus.

L.O.3.1. Menjelaskan pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia),

b. Rambut kepala dan alis mudah rontok,

c. Urtikaria pada wajah,

d. Ulkus mucosa mulut,

e. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang

terpapar sinar matahari.

http://penelitian.unair.ac.id

L.O. 3.2. Menjelaskan pemeriksaan penunjang

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat

diagnosa SLE , yaitu :

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering 

13

Page 14: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

muncul di dalam darah.

2.   Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).

yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di 

dalam sel.

3.   Pemeriksaan anti-Sm antibodi

yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan

dalam sel protein inti).

4.    Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immunecomplexes(kekebalan) di dalam

darah

5.   Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement  (kelompok protein

yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spes

ifikdari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.

6.  Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi

membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan

jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka 

untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

7.   Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

8.   Urine Rutin

9.   Antibodi Antiphospholipid 

10. Biopsy Kulit

11. Biopsy Ginjal

Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupisdan ini

merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untukmengenali sistemik 

lupus.  

Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab 

sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa 

ditemukannya ANA. 

Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring 

dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam

 menentukan jenispenyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan

 seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif

 pada banyak keadaan, oleh karenaitu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catat

an kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya. 

14

Page 15: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk 

mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupusakan

tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut. 

Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif,  bukanlah bukti keberadaan Lupus, 

karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :

Ø  Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.

Ø  Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan obatprok

rainamid, hidralazin, isoniazid klorpromazin. dan 

Ø  Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogren’ssyndrome,

rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver).

http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm

L.I.4. Memahami dan mempelajari sabar dalam mengahadapi musibah dalam perspektif

Islam.

L.O.4.1. Menjelaskan sabar

Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang

menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: “qutila shabran” yaitu dia terbunuh

dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari’at adalah menahan diri atas tiga

perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang

Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

Ayat Al-Qur’an :

�َه�ا ُّي� �اَأ �ِذُّيَن� ُّي �وا اَّل وا َء�اَم�ُن ُر� وا اْص�ِب ُر� ُط�وا و�ْص�اِب اِب �ُق�وا و�َر� �َه� و�اَّت �ْم� اَّلَّل �ُك �َع�َّل �ْف�َّلُح�وَن� َّل َّت

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian

dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah

supaya kalian beruntung.” (Aali ‘Imraan:200)

�َم�ا َّن �و�َّف�ى ِإ وَن� ُّي ُر� ُه�ْم� اَّلَّص�اِب �ْج�ُر� �ُر َأ َغ�ْي اٍب/ ِب ِحَس�

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka

tanpa batas.” (Az-Zumar:10)

Hadist :

Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah. (H.R.

Bukhari)

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sungguh menakjubkan perkaranya orang

yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak

akan terdapat kecuali hanya pada orang mu’min: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia

bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan

15

Page 16: Rona Merah Di Pipi Mpt

Danita Dwi Maryana 1102011070

jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan

hal terbaik bagi dirinya.” (H.R. Muslim)

http://wikaprima.wordpress.com/2011/07/21/sabar-menurut-alquran-dan-hadits/

http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/ayat-ayat-al-quran-tentang-sabar.html

16