tugasmandiri skenario3 mpt
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
1
1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun
1.1Definisi
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun
1.2 Etiologi
Faktor Penyebab Penyakit Autoimun1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3,
juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
1.3 Mekanisme
TOLERANSI IMUN
Toleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.
I.Toleransi T
2
A. Toleransi sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptide asal protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis seleksi, yaitu seleksi positif dan seleksi negative.
Seleksi positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan diapoptosis.
Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena itu, sel-sel tersebut harus disingkirkan.
Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa hal, sel T atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.
B. Toleransi perifer
Merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klonsel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic seperti sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ avaskular. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosi treaktif pada kondisi normal. Namun, akibat infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan dan menimbulkan respon imun.
Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah self-antigen terpajan dengan APC, sisa degradasi jaringan harus disingkirkan dengan apoptosis melibatkan system komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagositosis dapat berhubungan dengan autoimunitas.Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi sel B atausel T. Karena stimulasi sel T tanpa molekul konstimulatormenyebabkan apoptosis.
Untukmemulasiresponimun, sel CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen spesifikdari TCR dan sinyal konstimulator non spesifik.II. Toleransi sel Ba. Toleransi sentral
Seleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.b. Toleransi perifer
Setelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak berfungsi.
1.4 Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun menurut mekanisme :
a. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi Anemia hemolitik autoimun Limfopeni Sindrom goodpasture Penyakit grave Granulomatosis wegener Miastenia gravis
b. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T SistemikoArtritis reumatoid
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
3
oLES Organ atau jaringanspesifikoSindrom SjogrenoSklerosis multipleoSindrom guillain-bare
c. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-Ab Diabetes tipe I LES
d. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Penyakit autoimun menurut sistem organ
a.Penyakit autoimun hematologib. Penyakit saluran cerna Anemia pernisiosa Gastritis antral difus Hepatitis autoimun
c. Penyakit autoimun jantung Miokarditis Kardiomiopati
d. Penyakit autoimun ginjal Glomerulonefritis Sindrom goodpasture
e.Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare Vaskulitis saraf perifer
f. Penyakit autoimun endokrin Penyakit grave Tiroiditis primer
g. Penyakit autoimun otot Miastenia gravis Polimiositis-dermatomiositis
h. Penyakit autoimun reproduksi Granulomatosa wegener Sarkoidosis
i. Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan
Penyakit autoimmun nonorgan spesifik/sistemik
a. Lupus eritematosus sistemik b. Sklerodermac. Sindrom sjogrend. Artritis reumatoide. Sistitis anterstisialf. Sindrom antibodi antifosfolipidg. Vaskulitis
2. Memahami dan Menjelaskan Systemic Lupus Eritematosis
2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi
antibodi yang berlebih terhadap komponen-komponen inti sel yang
berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim
dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti
bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor
lingkungan (terpapar oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal
4
(berkaitan dengan hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk
perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya
mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami
apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE.
Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper,
terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2
menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.
2.2 Etiologi
LES merupakan penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut, fulminan atau kronik
dengan remisi dan eksaserbasi yang disertai oleh terdapatnya berbagai macam
antibodi. Misalnya seorang penderita yang sering menderita penyakit infeksi
saluran pernafasan atas, dimana virus atau bakteri yang masuk kedalam sel akan
berintegrasi dengan genom sel yang akibatnya menimbulkan rangsangan terhadap
komponen-komponen inti sel misalnya DNA, nucleoprotein, RNA dan
sebagainya. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti-nuclear
antibody). Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada tempat yang
bersangkutan. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Hingga kini penyebabLupus eritematosus sistemik belum diketahui dengan jelas.
Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
Autoimun
Mekanisme primer Lupus eritematosus sistemik adalah autoimunitas, suatu
proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada
SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit
sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya
sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu
disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE
yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. Pada sebagian besar pasie
Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi
spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe
ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan
penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk
pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake
kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
5
mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada
organ yang bersangkutan. Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi
antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada
membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan
mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah
hitung darah. Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus
sistemikE atau gangguan autoimun lainnya.
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang
sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. Suatu penelitian
menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu proses
alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa
kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan
menyebabkan kerusakan ginjal.
Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-
Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya
cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan
fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya
SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah
kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan
memberikan respon autoimun. Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien
menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE.
Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan
artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut
6
dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil
laboratorium.
Hormon
Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan
flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan
langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon
androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level
androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respon imun.
2.3 Epidemiologi
Statistik Amerika SerikatKejadian rata-rata SLE 5 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan kisaran antara 1,8 dan 7,6 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat.
Yayasan Lupus Amerika memperkirakan prevalensi menjadi hingga 1,5 juta kasus, yang mungkin mencerminkan terjadinya bentuk ringan dari penyakit ini. Berdasarkan sebuah laporan dari Kelompok Kerja Nasional Arthritis data 2008, terdapat sekitar 250.000 orang Amerika terkena SLE.
Frekuensi SLE bervariasi menurut ras dan etnis, tingkat kejadian tinggi dilaporkan pada orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di Rochester, Minnesota, dan 100 per 100.000 Hispanik di Nogales, Arizona. Insiden SLE pada wanita kulit hitam adalah sekitar 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih. SLE juga lebih sering terjadi pada wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.
Statistik InternasionalDi seluruh dunia, prevalensi SLE bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi
telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia.
Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pemicu lingkungan, serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi di Inggris.
Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usiaDi seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras.
Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Terjadinya kontras dilaporkan antara tingkat rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan kemudian perempuan kulit putih.
Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dan keterlibatan kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian di Asia.
Rasio perempuan dan laki-lakiLebih dari 90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia
subur. Penggunaan hormon eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, yang menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY), yang lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal. Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki tingkat yang lebih parah dari SLE daripada perempuan, tetapi tingkat kurang parah daripada orang lain.
Rasio perempuan dan laki-laki yaitu 11:1 selama tahun-tahun subur. Terdapat korelasi antara usia dan kejadian SLE selama tahun puncak produksi
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
7
hormon seks perempuan. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya pada usia 20-an dan 30-an, dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan.
Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak memiliki onset berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar 1,89-25,7 per 100.000.
Prevalensi SLE tertinggi pada wanita berusia 14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada laki-laki, meskipun harus diperhatikan bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, rasio perempuan ke laki-laki jatuh. Efek ini mungkin karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.
2.3 Patogenesis & Patofisiologi
Patogenesis1.Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan disebabkan karena reaksi autoantibodi dengan
struktur permukaan sel baik yang utuh maupun yang telah berubah atau
mengalami modifikasi atau terhadap komponen seluler tertentu.
Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen (seperti pada anemia
hemolitik) atau mungkin melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi
(ADCC). Terkadang autoantibodi terhadap reseptor merangsang atau mneghambat
fungsi sel tanpa merusaknya.
2. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali
dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen
yang kemudian menyulut aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi
komplemen ditandai dengan penurunan jumlah komplemen yang akan
mneyebabkan kerusakan jaringan sistemik.
3.Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi
merusak sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel
T yang menyulut respon inflamasi.
Mekanisme terjadi melalui sitotoksisitas sel T dengan cara : 1)
eksositosis granula yang mengandung perforin yang menyebabkan pengrusakan
sel sasaran. 2) pengikatan Fas dengan FasL yang terdapat pada membran sel
sasaran atau yang dilepaskan oleh sel sasaran. Interaksi ini menyebabkan
sitotoksisitas sel tanpa melalui MHC.
Patofisiologi
Sel T yang abnormal
– Limfopenia
– Penurunan subset supressor
– Penurunan naif sel
– Penurunan memori sel
– Penurunan aktivitas sel suppressor (CD8+)
– Peningkatan aktivitas sel helper (CD4+)
Sel B
– Fungsi sel B yang abnormal
– Aktivasi dari poliklonal sel B
– Sel B intrinsik yang abnormal
8
– Peningkatan respon terhadap stimulun sitokin
Sistemik Kelainan mendasar pada lupus eritematosus sistemik adalah
kegagalan mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi
dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun
dalam bentuk endapan kompleks imun. Telah diidentifikasi bahwa antibodi
tersebut melawan komponen nuklear dan sitoplasma sel seorang pejamu
yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies. Suatu kelompok lain
antibodi diarahkan untuk melawan antigen permukaan sel unsur darah,
sementara yang lain diarahkan untuk melawan protein yang membentuk
kompleks dengan fosfolipid (antibodi antifosfolipid).
Antibodi antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan beberapa antigen
nukleus dan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori :
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nukleolus
Mekanisme jejas jaringan, tanpa memperhatikan urutan pasti
terbentuknya autoantibodi, yang jelas autoantibodi tersebut merupakan
mediator untuk jejas jaringan. Sebagian besar lesi viseral diperantarai oleh
kompleks imun (reaksi hipersensitivitas III). Sebagai contoh, kompleks
DNA/anti-DNA dapat dideteksi dalam glomerulus. Terdapatnya kadar
komplemen serum yang rendah yang disertai dengan deposit granula dalam
glomerulus lebih lanjut akan memberikan dukungan terhadap sifat kompleks
imun pada penyakit tersebut. Selain itu, autoantibodi yang melawan eritrosit,
leukosit, dan trombosit akan memerantarai efeknya melalui hipersensitivitas
tipe II. Dalam jaringan, nukleus sel yang mengalami kerusakan akan bereaksi
dengan ANA, kehilangan pola kromatinnya dan menjadi homogen, untuk
menghasilkan badan LE atau badan hematoksilin. Hasil hubungan in
vitronya adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag yang telah memakan
nukleus yang berdenaturasi pada sel lain yang mengalami jejas.
Sebagai rangkuman, Lupus eritematosus sistemik adalah suatu
penyakit kompleks yang penyebabnya multifaktorial (termasuk faktor
genetik, hormonal dan lingkungan), yang mengakibatkan aktivasi sel-T dan
sel-B yang berpuncak pada produksi beberapa jenis autoantibodi.
Produksi autoantibodi IgGAntigen-diri yang dikendalikan
Individu yang rentan secara genetik Gen yang terlibat :MHC kelas II, komplemen, gen yang tak teridentifikasi lainnya.
Daya kendali sel T tergantung CD4 (reaktif terhadap peptida-diri)
Pemicu lingkungan (tidak diketahui)
Manifestasi klinis yang diperantarai autoantibodi
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
9
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala Konstitusional1. KelelahanMerupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
2. Penurunan Berat BadanKeluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
3. DemamDemam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Lain-lainDapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakit seperti rambut
rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Gejala Klinik
1. Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
2. Serositis (pleuritis dan perikarditis).
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
3. GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
3. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia.
Gejala yang lain:1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %2. Demam di atas 38 KC 90 %3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %5. Ruam pada kulit 74 %6. Anemia 71 %7. Gangguan ginjal 50 %8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %11. Rambut rontok 27 %12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %14. Stroke 15 %15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %16. Selera makan hilang > 60 %
10
2.5 Diagnosis & Diagnosis Banding
Diagnosis
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki
gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda,
tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk
membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria
diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut
berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien
yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah
memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan
atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih
kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin.
Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan
pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat
dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang
kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas
dan 96% spesifisitas
No Kriteria Definisi1 Bercak malar (butterfly
rash)Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan
nyeri tekan, bengkak atau efusi6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisikataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukanataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
11
Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat
membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk
menentukan keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah
rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan
tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan
dapat membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik
Diagnosis bandingDengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
2.6 TatalaksanaPenyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam
penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus
Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi.
Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini
dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :
Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)
Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)
Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita
mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)
Evaluasi serta terapi terhadap infeksi
Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit
secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan
imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf
pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :
Terapi konservatif
Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian
glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.
Arthritis, arthralgia, myalgia
Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE.
Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat
antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila
menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum
penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal
sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila
pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik,
pertimbangkan pemberian obat antimalaria :
Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan
respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan
pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik
karena beresiko toksik terhadap retina.
Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu)
dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.
12
Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan
merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan
penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi
kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran
bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan
MRI.
Lupus kutaneus
Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE
timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi.
Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion,
atau gel yang mengandung PABA (ρ-aminobenzoit acid) dan
esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat
menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan
berkeringat).
Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat
dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus
diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi,
teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :
Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi (hidrokortison)]
Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang
(betametason valerat dan triamsinolon asetonid)]
Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik
(glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya
betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi
selama 2 minggu dan diganti dengan yang
berkekuatan rendah)
OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun
diskoid. OAM mempunyai efek :
o Sunblocking
Mengikat melanin
o Antiinflamasi
o Imunosupresan
Berhubungan dengan ikatannya pada membran
lisosomal sehinggga mengganggu metabolisme rantai α
dan β HLA II.
o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh
makrofag, IL-2 dan IFN-γ oleh sel T.
Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian
glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
13
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita
lupus diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek
sampingnya seperti :
o Methemoglobinemia
o Sulfhemoglobinemia
o Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)
Fatigue dan keluhan sistemik
Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga
penurunan berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul
akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan
demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini
tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
Serositis (radang membran serosa)
Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat
diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15
mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.
Terapi agresif
Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul
manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :
Vaskulitis
Lupus kutaneus berat
Poliartritis
Poliserositis
Miokarditis pneumonitis lupus
Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Sindrom otak organik
Defek kognitif berat
Mielopati
Neuropati perifer
Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan
dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason
karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah
untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan
pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5
mg/kgBB/hari.
14
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15
mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5
mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10
minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada
penatalaksanaan SLE.
Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka
harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak
timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka
penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-
15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut,
naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan
dosis kembali.
Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan
lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid
intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan
pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid
diindikasikan pada :
Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing
agent)
Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi
Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka
panjang lama atau berulang
Glomerulonefritis difus awal
SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
SLE dengan manifestasi SSP
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian
siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah
leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6
bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :
Nausea
Vomitus alopesia
Sistitis hemoragika
Keganasan kulit
Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia
Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih
rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog
purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
15
dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-
12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol
dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin
meliputi :
Penekanan sistem hemopoetik
Peningkatan enzim hati
Mencetuskan keganasan
Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis
rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat
digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati
membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada
kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum
pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :
Terapi hormonal
Imunoglobulin
Afaresis
o Plasmafaresis
o Leukofaresis
o Kriofaresis
Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang
dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara
pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis
300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan
setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak
dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.
2.8 Komplikasi
Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad
(3%)
2.9 Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
Infeksi penyakit
Nefritis lupus
Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
Penyakit kardiovaskular
Lupus sistem saraf pusat
16
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam terhadap Keikhlasan dan Kesabaran
1.SABAR
Definisi sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff
(menahan), Allah berfirman:
والعشي بالغداة ربهم يدعون الذين مع نفسك واصبر
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru
Rabbnya di pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan
sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah
berfirman:
ربهم وجه ابتغاء صبروا والذين
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-
Ra’d: 22).
Macam – macam sabar
Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2) sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3) sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
2.IKHLAS
Definisi ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur
dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam
mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah
sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah
“menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika
engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan
kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan
amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan
suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari
memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan
(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang
memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas
dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang
diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan
ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029
17
perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya
tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan
perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah
keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan)
agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).