tugasmandiri skenario3 mpt

26
ANNISA APRILIA ATHIRA 1102014029 1 1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun 1.1Definisi Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun 1.2 Etiologi Faktor Penyebab Penyakit Autoimun 1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP. 2. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama. 3. Hormon

Upload: annisa-aprilia-athira

Post on 12-Dec-2015

229 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

1

1. Memahami dan Menjelaskan Autoimun

1.1Definisi

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun

1.2 Etiologi

Faktor Penyebab Penyakit Autoimun1. Genetik

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3,

juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

4. Lingkungan

Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

1.3 Mekanisme

TOLERANSI IMUN

Toleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.

I.Toleransi T

Page 2: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

2

A. Toleransi sentral

Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptide asal protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis seleksi, yaitu seleksi positif dan seleksi negative.

Seleksi positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan diapoptosis.

Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena itu, sel-sel tersebut harus disingkirkan.

Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa hal, sel T atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.

B. Toleransi perifer

Merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klonsel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.

Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic seperti sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ avaskular. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosi treaktif pada kondisi normal. Namun, akibat infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan dan menimbulkan respon imun.

Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah self-antigen terpajan dengan APC, sisa degradasi jaringan harus disingkirkan dengan apoptosis melibatkan system komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagositosis dapat berhubungan dengan autoimunitas.Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi sel B atausel T. Karena stimulasi sel T tanpa molekul konstimulatormenyebabkan apoptosis.

Untukmemulasiresponimun, sel CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen spesifikdari TCR dan sinyal konstimulator non spesifik.II. Toleransi sel Ba. Toleransi sentral

Seleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.b. Toleransi perifer

Setelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak berfungsi.

1.4 Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun menurut mekanisme :

a. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi Anemia hemolitik autoimun Limfopeni Sindrom goodpasture Penyakit grave Granulomatosis wegener Miastenia gravis

b. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T SistemikoArtritis reumatoid

Page 3: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

3

oLES Organ atau jaringanspesifikoSindrom SjogrenoSklerosis multipleoSindrom guillain-bare

c. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-Ab Diabetes tipe I LES

d. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen

Penyakit autoimun menurut sistem organ

a.Penyakit autoimun hematologib. Penyakit saluran cerna Anemia pernisiosa Gastritis antral difus Hepatitis autoimun

c. Penyakit autoimun jantung Miokarditis Kardiomiopati

d. Penyakit autoimun ginjal Glomerulonefritis Sindrom goodpasture

e.Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare Vaskulitis saraf perifer

f. Penyakit autoimun endokrin Penyakit grave Tiroiditis primer

g. Penyakit autoimun otot Miastenia gravis Polimiositis-dermatomiositis

h. Penyakit autoimun reproduksi Granulomatosa wegener Sarkoidosis

i. Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan

Penyakit autoimmun nonorgan spesifik/sistemik

a. Lupus eritematosus sistemik b. Sklerodermac. Sindrom sjogrend. Artritis reumatoide. Sistitis anterstisialf. Sindrom antibodi antifosfolipidg. Vaskulitis

2. Memahami dan Menjelaskan Systemic Lupus Eritematosis

2.1 Definisi

SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi

antibodi yang berlebih terhadap komponen-komponen inti sel yang

berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim

dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti

bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor

lingkungan (terpapar oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal

Page 4: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

4

(berkaitan dengan hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk

perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya

mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami

apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE.

Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper,

terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2

menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.

2.2 Etiologi

LES merupakan penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum

diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut, fulminan atau kronik

dengan remisi dan eksaserbasi yang disertai oleh terdapatnya berbagai macam

antibodi. Misalnya seorang penderita yang sering menderita penyakit infeksi

saluran pernafasan atas, dimana virus atau bakteri yang masuk kedalam sel akan

berintegrasi dengan genom sel yang akibatnya menimbulkan rangsangan terhadap

komponen-komponen inti sel misalnya DNA, nucleoprotein, RNA dan

sebagainya. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti-nuclear

antibody). Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang

beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai

macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada tempat yang

bersangkutan. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan

substansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Hingga kini penyebabLupus eritematosus sistemik belum diketahui dengan jelas.

Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,

kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.

Autoimun

Mekanisme primer Lupus eritematosus sistemik adalah autoimunitas, suatu

proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada

SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha

mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit

sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk

menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya

sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu

disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE

yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. Pada sebagian besar pasie

Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi

spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe

ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan

penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk

pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun

yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE

terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,

gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake

kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan

Page 5: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

5

mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi

komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang

menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada

organ yang bersangkutan. Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi

antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada

membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan

mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah

hitung darah. Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi

antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri

sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,

namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan

gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,

kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.

Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus

sistemikE atau gangguan autoimun lainnya.

Genetik

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi

penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita

SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi

klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita

SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang

sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan

adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan

dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta

komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. Suatu penelitian

menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu proses

alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa

kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan

menyebabkan kerusakan ginjal.

Faktor lingkungan

Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun

pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,

stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.

Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah

virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-

Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain

menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya

cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan

fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.

Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya

SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah

kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan

memberikan respon autoimun. Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien

menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE.

Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan

artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut

Page 6: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

6

dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil

laboratorium.

Hormon

Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan

flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan

langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon

androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level

androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin

dapat merangsang respon imun.

2.3 Epidemiologi

Statistik Amerika SerikatKejadian rata-rata SLE 5 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan kisaran antara 1,8 dan 7,6 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat.

Yayasan Lupus Amerika memperkirakan prevalensi menjadi hingga 1,5 juta kasus, yang mungkin mencerminkan terjadinya bentuk ringan dari penyakit ini. Berdasarkan sebuah laporan dari Kelompok Kerja Nasional Arthritis data 2008, terdapat sekitar 250.000 orang Amerika terkena SLE.

Frekuensi SLE bervariasi menurut ras dan etnis, tingkat kejadian tinggi dilaporkan pada orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di Rochester, Minnesota, dan 100 per 100.000 Hispanik di Nogales, Arizona. Insiden SLE pada wanita kulit hitam adalah sekitar 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih. SLE juga lebih sering terjadi pada wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.

Statistik InternasionalDi seluruh dunia, prevalensi SLE bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi

telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia.

Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pemicu lingkungan, serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi di Inggris.

Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usiaDi seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras.

Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Terjadinya kontras dilaporkan antara tingkat rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan kemudian perempuan kulit putih.

Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dan keterlibatan kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian di Asia.

Rasio perempuan dan laki-lakiLebih dari 90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia

subur. Penggunaan hormon eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, yang menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY), yang lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal. Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki tingkat yang lebih parah dari SLE daripada perempuan, tetapi tingkat kurang parah daripada orang lain.

Rasio perempuan dan laki-laki yaitu 11:1 selama tahun-tahun subur. Terdapat korelasi antara usia dan kejadian SLE selama tahun puncak produksi

Page 7: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

7

hormon seks perempuan. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya pada usia 20-an dan 30-an, dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan.

Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak memiliki onset berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar 1,89-25,7 per 100.000.

Prevalensi SLE tertinggi pada wanita berusia 14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada laki-laki, meskipun harus diperhatikan bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, rasio perempuan ke laki-laki jatuh. Efek ini mungkin karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.

2.3 Patogenesis & Patofisiologi

Patogenesis1.Kerusakan akibat destruksi sel

Kerusakan jaringan disebabkan karena reaksi autoantibodi dengan

struktur permukaan sel baik yang utuh maupun yang telah berubah atau

mengalami modifikasi atau terhadap komponen seluler tertentu.

Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen (seperti pada anemia

hemolitik) atau mungkin melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi

(ADCC). Terkadang autoantibodi terhadap reseptor merangsang atau mneghambat

fungsi sel tanpa merusaknya.

2. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun

Berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali

dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen

yang kemudian menyulut aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi

komplemen ditandai dengan penurunan jumlah komplemen yang akan

mneyebabkan kerusakan jaringan sistemik.

3.Kerusakan akibat reaksi imunologik selular

Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi

merusak sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel

T yang menyulut respon inflamasi.

Mekanisme terjadi melalui sitotoksisitas sel T dengan cara : 1)

eksositosis granula yang mengandung perforin yang menyebabkan pengrusakan

sel sasaran. 2) pengikatan Fas dengan FasL yang terdapat pada membran sel

sasaran atau yang dilepaskan oleh sel sasaran. Interaksi ini menyebabkan

sitotoksisitas sel tanpa melalui MHC.

Patofisiologi

Sel T yang abnormal

– Limfopenia

– Penurunan subset supressor

– Penurunan naif sel

– Penurunan memori sel

– Penurunan aktivitas sel suppressor (CD8+)

– Peningkatan aktivitas sel helper (CD4+)

Sel B

– Fungsi sel B yang abnormal

– Aktivasi dari poliklonal sel B

– Sel B intrinsik yang abnormal

Page 8: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

8

– Peningkatan respon terhadap stimulun sitokin

Sistemik Kelainan mendasar pada lupus eritematosus sistemik adalah

kegagalan mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi

dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun

dalam bentuk endapan kompleks imun. Telah diidentifikasi bahwa antibodi

tersebut melawan komponen nuklear dan sitoplasma sel seorang pejamu

yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies. Suatu kelompok lain

antibodi diarahkan untuk melawan antigen permukaan sel unsur darah,

sementara yang lain diarahkan untuk melawan protein yang membentuk

kompleks dengan fosfolipid (antibodi antifosfolipid).

Antibodi antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan beberapa antigen

nukleus dan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori :

1. Antibodi terhadap DNA

2. Antibodi terhadap histon

3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA

4. Antibodi terhadap antigen nukleolus

Mekanisme jejas jaringan, tanpa memperhatikan urutan pasti

terbentuknya autoantibodi, yang jelas autoantibodi tersebut merupakan

mediator untuk jejas jaringan. Sebagian besar lesi viseral diperantarai oleh

kompleks imun (reaksi hipersensitivitas III). Sebagai contoh, kompleks

DNA/anti-DNA dapat dideteksi dalam glomerulus. Terdapatnya kadar

komplemen serum yang rendah yang disertai dengan deposit granula dalam

glomerulus lebih lanjut akan memberikan dukungan terhadap sifat kompleks

imun pada penyakit tersebut. Selain itu, autoantibodi yang melawan eritrosit,

leukosit, dan trombosit akan memerantarai efeknya melalui hipersensitivitas

tipe II. Dalam jaringan, nukleus sel yang mengalami kerusakan akan bereaksi

dengan ANA, kehilangan pola kromatinnya dan menjadi homogen, untuk

menghasilkan badan LE atau badan hematoksilin. Hasil hubungan in

vitronya adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag yang telah memakan

nukleus yang berdenaturasi pada sel lain yang mengalami jejas.

Sebagai rangkuman, Lupus eritematosus sistemik adalah suatu

penyakit kompleks yang penyebabnya multifaktorial (termasuk faktor

genetik, hormonal dan lingkungan), yang mengakibatkan aktivasi sel-T dan

sel-B yang berpuncak pada produksi beberapa jenis autoantibodi.

Produksi autoantibodi IgGAntigen-diri yang dikendalikan

Individu yang rentan secara genetik Gen yang terlibat :MHC kelas II, komplemen, gen yang tak teridentifikasi lainnya.

Daya kendali sel T tergantung CD4 (reaktif terhadap peptida-diri)

Pemicu lingkungan (tidak diketahui)

Manifestasi klinis yang diperantarai autoantibodi

Page 9: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

9

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala Konstitusional1. KelelahanMerupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya

mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.

2. Penurunan Berat BadanKeluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam

beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.

3. DemamDemam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

4. Lain-lainDapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakit seperti rambut

rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Gejala Klinik

1.  Kulit.

Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga  perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

2. Serositis (pleuritis dan perikarditis).

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.

3. GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus

nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar  10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.

3. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia.

Gejala yang lain:1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %2. Demam di atas 38 KC 90 %3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %5. Ruam pada kulit 74 %6. Anemia 71 %7. Gangguan ginjal 50 %8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %11. Rambut rontok 27 %12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %14. Stroke 15 %15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %16. Selera makan hilang > 60 %

Page 10: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

10

2.5 Diagnosis & Diagnosis Banding

Diagnosis

Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki

gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda,

tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk

membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria

diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut

berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien

yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah

memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain

mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan

atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih

kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin.

Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan

pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat

dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang

kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas

dan 96% spesifisitas

No Kriteria Definisi1 Bercak malar (butterfly

rash)Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan

nyeri tekan, bengkak atau efusi6 Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisikataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukanataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema

11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

Page 11: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

11

Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat

membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk

menentukan keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah

rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan

tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan

dapat membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik

Diagnosis bandingDengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.

2.6 TatalaksanaPenyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam

penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus

Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi.

Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini

dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :

Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)

Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)

Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita

mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)

Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit

secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan

imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf

pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :

Terapi konservatif

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak

berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian

glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

Arthritis, arthralgia, myalgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE.

Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat

antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila

menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum

penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal

sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila

pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik,

pertimbangkan pemberian obat antimalaria :

Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan

respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan

pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik

karena beresiko toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian

kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu)

dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.

Page 12: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

12

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan

merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan

penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi

kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran

bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan

MRI.

Lupus kutaneus

Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE

timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi.

Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion,

atau gel yang mengandung PABA (ρ-aminobenzoit acid) dan

esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat

menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan

berkeringat).

Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat

dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus

diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi,

teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :

Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak

diflorinasi (hidrokortison)]

Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang

(betametason valerat dan triamsinolon asetonid)]

Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik

(glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya

betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi

selama 2 minggu dan diganti dengan yang

berkekuatan rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun

diskoid. OAM mempunyai efek :

o Sunblocking

Mengikat melanin

o Antiinflamasi

o Imunosupresan

Berhubungan dengan ikatannya pada membran

lisosomal sehinggga mengganggu metabolisme rantai α

dan β HLA II.

o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh

makrofag, IL-2 dan IFN-γ oleh sel T.

Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian

glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Page 13: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

13

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita

lupus diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek

sampingnya seperti :

o Methemoglobinemia

o Sulfhemoglobinemia

o Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

Fatigue dan keluhan sistemik

Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga

penurunan berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul

akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan

demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini

tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu

istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat

menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian

glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis (radang membran serosa)

Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat

diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15

mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif

Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul

manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :

Vaskulitis

Lupus kutaneus berat

Poliartritis

Poliserositis

Miokarditis pneumonitis lupus

Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)

Anemia hemolitik

Trombositopenia

Sindrom otak organik

Defek kognitif berat

Mielopati

Neuropati perifer

Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan

dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason

karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah

untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan

pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5

mg/kgBB/hari.

Page 14: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

14

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15

mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti

glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5

mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10

minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada

penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka

harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak

timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka

penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-

15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut,

naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan

dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan

perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan

lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid

intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan

pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid

diindikasikan pada :

Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing

agent)

Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi

Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka

panjang lama atau berulang

Glomerulonefritis difus awal

SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya

faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis

siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian

siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka

dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah

leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus

ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6

bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap

dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :

Nausea

Vomitus alopesia

Sistitis hemoragika

Keganasan kulit

Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih

rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog

purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan

Page 15: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

15

dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-

12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol

dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat

diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin

meliputi :

Penekanan sistem hemopoetik

Peningkatan enzim hati

Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis

rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat

digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati

membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada

kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum

pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :

Terapi hormonal

Imunoglobulin

Afaresis

o Plasmafaresis

o Leukofaresis

o Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang

dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara

pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis

300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan

setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak

dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

2.8 Komplikasi

Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad

(3%)

2.9 Prognosis

Angka harapan hidup :

5 tahun : 85-88%

10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :

Infeksi penyakit

Nefritis lupus

Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)

Penyakit kardiovaskular

Lupus sistem saraf pusat

Page 16: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

16

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam terhadap Keikhlasan dan Kesabaran

1.SABAR

Definisi sabar

Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff

(menahan), Allah berfirman:

والعشي بالغداة ربهم يدعون الذين مع نفسك واصبر

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru

Rabbnya di pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28)

Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan

sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah

berfirman:

ربهم وجه ابتغاء صبروا والذين

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-

Ra’d: 22).

Macam – macam sabar

Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:

1)      Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah

2)      sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah

3)      sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

2.IKHLAS

Definisi ikhlas

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur

dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)

Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam

mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah

sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah

“menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika

engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan

kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan

amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan

suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari

memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan

(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang

memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas

dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang

diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan

Page 17: Tugasmandiri Skenario3 Mpt

ANNISA APRILIA ATHIRA1102014029

17

perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya

tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan

perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah

keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :

"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan

(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan

ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang

bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah

Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan)

agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).