12 bab 2 landasan teori dan kerangka pemikiran ethics

42
12 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka Bab II ini akan membahas tentang teori – teori & studi pustaka yang dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi pribadi, faktor – faktor individual, role challanges of ethics officer, dan kinerja ethics officer itu sendiri. 2.1.1 Etika Bisnis Bagian ini akan berbicara mengenai tentang pengertian dasar etika bisnis. Etika bisnis merupakan aspek penting didalam suatu organisasi atau perusahaan, jika perusahaan tidak memperhatikan tentang etika – etika yang berlaku dalam menjalan aktivitas – aktivitas, hal tersebut akan mempengaruhi laju perjalanan perusahaan tersebut di masa depan. 2.1.1.1 Pengertian Etika Bisnis Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri, dan juga masyarakat. Semuanya mengatakan bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat (Bertens, 2000).

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

12

12

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

Bab II ini akan membahas tentang teori – teori & studi pustaka yang

dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi

pribadi, faktor – faktor individual, role challanges of ethics officer, dan

kinerja ethics officer itu sendiri.

2.1.1 Etika Bisnis

Bagian ini akan berbicara mengenai tentang pengertian dasar

etika bisnis. Etika bisnis merupakan aspek penting didalam suatu

organisasi atau perusahaan, jika perusahaan tidak memperhatikan

tentang etika – etika yang berlaku dalam menjalan aktivitas –

aktivitas, hal tersebut akan mempengaruhi laju perjalanan

perusahaan tersebut di masa depan.

2.1.1.1 Pengertian Etika Bisnis

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah

cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh

aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri, dan juga

masyarakat. Semuanya mengatakan bagaimana kita menjalankan

bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak

tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di

masyarakat (Bertens, 2000).

Page 2: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

13

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh

hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan

standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis

seringkali kita temukan wilayah abu – abu yang tidak diatur oleh

ketentuan hukum (Bertens, 2000).

Embse dan Wagley (1988) memberikan tiga pendekatan

dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :

1. Ulitarian Approach, setiap tindakan harus didasarkan pada

konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang

seharusnya mengikuti cara – cara yang dapat memberi manfaat

sebesar – besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak

membahayakan dan dengan biaya serendah – rendahnya.

2. Individual Rights Approach, setiap orang dalam tindakan dan

kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun

tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila

diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak

orang lain.

3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai

kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan

pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun

secara kelompok.

Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat

penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan

Page 3: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

14

memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan

menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu

landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis,

organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh

budaya perusahaan yang handal serta etika perusahan yang

dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Muslich, 1998).

Menurut Velasquez (2005) harus kita yakini bahwa pada

dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan

perusahaan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang,

antara lain dengan :

- Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan

terjadinya friksi, baik internal perusahaan, maupun dengan

eksternal.

- Mampu meningkatkan motivasi kerja.

- Melindungi prinsip kebebasan berniaga.

- Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari keuntungan –

keuntungan dalam menjalan praktek bisnis diatas adalah, tindakan

yang tidak etis yang dilakukan oleh peruahaan akan memancing

tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat yang akan sangat

kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan

beredar, larangan beroperasi, dan lain sebagainya (Velasquez, 2005).

Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai

Page 4: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

15

perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai –

nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang

memiliki peringkat kepuasan kerja yang tinggi pula, terutama

apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis,

misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier

(Velasquez, 2005).

Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga

bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal

mungkin harus mempertahankan karyawannya. Untuk memudahkan

penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari – hari maka nilai

– nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam

manajemen korporasi yakni dengan beberapa cara, antara lain

(Bertens, 2000) :

- Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct).

- Memperkuat sistem pengawasan.

- Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara

terus – menerus.

2.1.1.2 Aspek Aspek Etika Bisnis

Menurut Bertens (2000) terdapat tiga sudut pandang pokok

dari bisnis, tiga sudut pandang tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1. Sudut pandang ekonomi, bisnis adalah kegiatan ekonomis,

maksudnya adalah adanya interaksi produsen/perusahaan

dengan pekerja, produsen dengan produsen dalam sebuah

Page 5: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

16

organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk

mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis.

Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi

dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak.

2. Sudut pandang etika, dalam bisnis berorientasi pada profit

adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang

diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Maksudnya

adalah, semua yang kita lakukan harus menghormati

kepentingan dan hak orang lain.

3. Sudut pandang hukum, bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis

juga terikat dengan “hukum” Hukum Dagang atau Hukum

Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum

modern. Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam

hubungan bisnis pada taraf nasional maupun international.

Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif,

karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh

dilakukan.

2.1.1.3 Peranan Etika Dalam Bisnis

Menurut George (1988), bila perusahaan ingin

sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok, yaitu :

1. Produk yang baik

2. Manajemen yang baik

3. Memiliki Etika

Page 6: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

17

Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitaas dan

berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan

manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumber daya

manusia dan lain – lain tetapi tidak mempunyai etika, maka

kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi

perusahaan tersebut. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu

dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial

yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dapat dilepaskan dari aturan –

aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial,

termasuk juga aturan – aturan moral.

2.1.2 The Ethics Officer

Ethics Officer (kadang – kadang disebut Compliance atau

petugas perilaku bisnis) telah ditunjuk secara formal oleh organisasi

sejak pertengahan 1980an. Salah satu katalis untuk menciptakan

peran baru ini adalah serangkaian penipuan, korupsi, dan skandal

pelecehan yang menimpa industri pertahanan AS pada saat itu. Hal

ini menyebabkan penciptaan Industri Pertahanan Iniative (DII),

sebuah inisiatif industri untuk mempromosikan dan memasikan

praktek bisnis yang etis (Llopis, Reyes, Jose, 2007).

Para DII menetapkan patokan awal untuk manajemen etika

dalam perusahaan. Pada tahun 1991, Ethics & Compliance Chief

Association (ECOA) awalnya asosiasi ethics officer didirikan di

pusat etika bisnis (Bentley College, Waltham, MA, 1991) sebagai

Page 7: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

18

asosiasi profesional bagi mereka yang bertanggung jawab untuk

organisasi mengelola upaya untuk mencapai praktik etis yang

terbaik. Dengan keanggotannya yang bertumbuh pesat,organisasi ini

didirikan sebagai organisasi independen (Chavez, Roy, Munevver,

2001).

Menurut Llopis, Reyes, dan Jose (2007) pendekatan pertama

untuk definisi ethics officers hanya menggambarkan dia sebagai

orang atau individu yang bertanggung jawab dalam mencapai tujuan

perusahaan sesuai yang telah direncanakan tanpa melanggar etika

yang berlaku. Lebih tepatnya, dapat dikatakan bahwa ethics officer

adalah seseorang yang memastikan organisasi melakukan yang

terbaik untuk memuaskan para stakholder. Ide ini memungkinkan

kita untuk menggambarkan persyaratan utama dari ethics officer,

yaitu dapat diringkas sebagai berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007):

- Memiliki pengetahuan yang luas terhadap perusahaan.

- Menguasai teknik – teknik manajemen serta isu – isu teoritis dan

praktis yang berkaitan dengan etika bisnis

- Memiliki wewenang hierachical diperlukan untuk mengerahkan

pengaruh pada perilaku anggota perusahaan.

Kita dapat mendefinisikan karakteristik ethics officer dari

berbagai latar belakang seperti masalah hukum sumber daya

manusia, keuangan, audit, dan keamanan. Karakteristik umum ethics

officers(Llopis, Reyes, Jose, 2007) :

Page 8: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

19

- Mereka adalah komunikator yang kuat dengan keterampilan

komunikasi yang baik dan efektif.

- Mereka obyektif dan bijaksana.

- Mereka memiliki kemampuan untuk membangun dan memelihara

kredibilitas dan kepercayaan seluruh organisasi

- Mereka memiliki kemampuan untuk cepat berasimilasi

- Mereka memiliki kemampuan untuk membuat jaringan di seluruh

tingkat organisasi

- Mereka telah mencapai tingkat profesional.

Tujuan pengangkatan ethics officer di suatu perusahaan

adalah untuk membantu perusahaan/organisasi mengelola etika

perusahaan dengan menggunakan/menyediakan kepemimpinan dan

pengawasan dari ethics officer. ethics officer dalam mengelola etika

perusahaan, mempunyai tugas - tugas sebagai berikut (Llopis, Reyes,

Jose, 2007) :

- Mengembangkan dan mengarahkan etika di organisasi.

- Sebagai compliancedi organisasi dalam melakukan bisnis.

- Memberikan kepemimpinan, pengawasan, dan saran untuk

memastikan pembangunan, interprestasi, dan implementasi

etika.

- Berfungsisebagai akuntabilitas untuk semua kegiatan dan program

yang berkaitan dengan standar perilaku etis, termasuk hubungan

dengan pihak – pihak eksternal.

Page 9: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

20

2.1.3 Role Challenges of Ethics Officer

Tugas-tugas dari seorang ethics officer juga memiliki resiko-

resiko yang dapat mempengaruhi kinerjannya. Dalam bagian ini,

akan dibahasas tentang resiko – resiko seperti role ambiguity, task

complexity, low task visibility, dan resiko lainnya yang dapat

menghambat ethics officer dalam mewujudkan kinerja yang efektif

(Adobor, 2006).

2.1.3.1 Karakteristik peran dari Ethics Officer

Berdasarkan penelitian milik Adobor (2006),

banyaknya tanggung jawab yang diemban oleh seorang ethics

officerdan posisi mereka yang menjalani tugasnya di

beberapa sub-system dalam struktur organisasi perusahaan,

dapat sangat mempengaruhi kinerja mereka. Faktor – faktor

yang dapat mempengaruhi kinerja mereka tersebut adalah :

role conflict (konflik peran), role ambiguity (ambiguitas

peran), task complexity (kompleksitas tugas), dan task

visibility (visibilitas tugas).

Role conflict (konfilk peran), adalah proses sosial

antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha

menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau

membuatnya tidak beraya terhadap tingkah laku seseorang

sesuai kedudukannya dalam kehidupan. Jadi, konflik peran

adalah bentuk khusus dari konflik sosial yang trjadi ketika

Page 10: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

21

seseorang dipaksa untuk mengambil dua peran yang berbeda

dan tidak kompatibel pada saat yang sama (Adobor,

2006).Menurut Adobor (2006), terdapat 4 tipe dari konflik

peran yang dapat terjadi pada dalam diri seorang individu,

yaitu :

- Person-Role conflict: konflik dimana peraturan yang

berlaku tidak dapat diterima oleh seseorang sehingga

orang tersebut memilih untuk tidak melaksanakan

sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut.

- Inter-Role conflict : konflik yang dimana seseorang

menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau

lebih fungsi yang saling bertentangan seperti seseorang

yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga

sebagai ketua serikat pekerja.

- Intersender conflict : konflik yang timbul karena seseorang

harus memenuhi harapan beberapa orang. Misalnya,

seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dari

dekan – dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang

harus mengakomodir semua kepentingan/kebutuhan para

ketua jurusan yang juga sangat bermacam – macam.

- Intrasender conflict : konflik yang timbul karena

disampaikannya informasi yang saling bertentangan.

Page 11: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

22

Role Ambiguity, ambiguitas peran menurut Luthans

(2006, 473) terjadi ketika individu tidak memperoleh

kejelasan mengenai tugas – tugas dari pekerjaanya atau lebih

umum dikatakan “tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan”.

Job description yang tidak jelas, perintah – perintah yang

tidak lengkap dari atasan, dan tidak adanya pengalaman

memberikan kontribusi terhadap ambiguitas peran.

Sedangkan Robbins (2009) menyatakan bahwa

ambiguitas peran muncul ketika peran yang diharapkan (role

expectation) tidak secara jelas dimengerti dan seseorang tidak

yakin pada apa yang dia lakukan. Menurut Kreitner (2004),

ambiguitas peran terjadi ketika seseorng tidak mengetahui

akan harapan pada peran mereka. Yousef (2009),

mendeskripsikan ambiguitas peran sebagai situasi dimana

individu tidak memiliki arah yang jelas mengenai harapan

akan perannya dalam organisasi. Kemudian Lapolo (2002)

menyebutkan bahwa ambiguitas peran muncul ketika

seseorang karyawan merasa bahwa terdapat banyak sekali

ketidakpastian dalam aspek – aspek peran atau keanggotaan

karyawan tersebut dalam kelompok.

Seseorang dapat dikatakan berada dalam role

ambiguity atau ambiguitas peran apabila ia menunjukkan ciri-

ciri antara lain sebagai berikut (Adobor, 2006) :

Page 12: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

23

- Tidak jelas tujuan atau peran apa yang sedang ia jalankan.

- Tidak jelas kepada siapa dia bertanggung jawab dan siapa

yang melapor kepadanya.

- Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung

jawabnya.

- Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan orang lain

pada dirinya.

- Tidak memahami benar peranan dari pada pekerjaannya

dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.

Mondy, Sharplin, dan Premeaux (1990, p.491 – 492)

menyarankan agar pemegang peran mengetahui 6 (enam) tipe

dasar informasi, sehingga dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya ambiguitas peran, yaitu :

1. Pemegang peran harus tahu apa yang diharapkan oleh

orang lain.

2. Pemegang peran harus tahu aktivitas yang seharusnya

mereka lakukan dan hubungan interpersonal yang harus

mereka tunjukkan untuk memenuhi harapan orang lain.

3. Pemegang peran harus mengetahui konsekuensi dari

pelaksanaan aktivitas atau interaksi dengan orang lain

dalam hal tertentu.

Page 13: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

24

4. Pemegang peran harus mengetahui macam – macam

tingkah laku atau sikap yang akan diterima baik sebagai

imbalan maupun hukuman.

5. Pemegang peran harus menemukan tipe – tipe dari

imbalan dan hukuman yang akan diberikan dan

mengukur kemungkinan mereka (karyawan)

menerimanya.

6. Pemegang peran harus mengetahui tingkah laku atau

sikap yang akan memuaskan atau mengecewakan

kebutuhan individu.

Task complexity, ethics officer selalu dihadapkan

dengan tugas – tugas yang banyak, berbeda – beda, dan

saling terkait satu sama lainnya. Kompleksitas tugas dapat

didefinisikan sebagai fungsi dari tugas itu sendiri (Wood,

1986). Kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak

terstruktur, membingungkan, dan sulit (Adobor, 2006). Tugas

ethics officer yang bertugas sebagai pengatur etika didalam

perusahaan sering dilihat sebagai tugas dengan kompleksitas

tinggi dan sulit, sementara yang lain mempersepsikannya

sebagai tugas yang mudah (Hoffman, Neill, Stovall, 2008).

Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu

tugas memonitor etika tersebut sulit bagi seseorang, namun

mungkin juga mudah bagi orang lain. Lebih lanjut,

Page 14: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

25

Restuningdiah dan Indriantoro (2000) menyatakan bahwa

kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang

lemah, baik dalam tugas – tugas utama maupun tugas – tugas

lain. Pada tugas tugas yang membingungkan (ambigous) dan

tidak terstruktur, alternatif – alternatif yang ada tidak dapat

diidentifikasi, sehingga data tidak dapat diperoleh dan

outputnya tidak dapat diprediksi.

Chung dan Monro (2001) mengemukakan argumen

yang sama, bahwa kompleksitas tugas dalam pekerjaan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

- Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian

informasi tersebut yang tidak konsisten dengan kejadian

yang akan diprediksikan.

- Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome

(hasil) yang diharapkan oleh beberapa pihak.

Restuningdiah dan Indriantoro (1999) menyatakan

bahwa peningkatan kompleksitas dalam suatu tugas atau

sistem, akan menurunkan tingkat keberhasilan dari tugas itu

sendiri. Kompleksitas tugas yang dialami oleh seorang ethics

officer biasanya disebabkan karena information overload

(informasi tidak relevan yang diterima terlalu banyak) atau

terjadinya bentrokan dengan pihak lain dalam mencapai

tujuan perusahaan.

Page 15: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

26

Task visibilty, menurut Adobor (2006) yang dimaksud

dengan task visibilty adalah dimana suatu tingkat tugas atau

aktivitas yang perlu diawasi atau dimonitori untuk mengukur

atau menilai kinerja dari suatu kegiatan. Didalam tugas ethics

officer, biasanya ditemukann task visibility yang rendah

karena disebabkan oleh dua (2) alasan, yaitu (Adobor, 2006) :

- Seorang ethics officer, tidak dapat menjalankan tugasnya

secara efektif tanpa adanya masukan dan kerjasama dari

pihak lain. Dalam hal ketergantungan, seorang ethics

officer membutuhkan interaksi dan feedback dari para

karyawan dan manajemen.

- Struktur kerja yang tidak jelas yang diberikan kepada ethics

officer, akan membuat ethics officer kesulitan dalam

menjalankan tugasnya dengan tidak adanya input dari

pihak – pihak lain.

2.1.4 Faktor – Faktor Individual

Kinerja efektif dari seorang ethics officer tidak akan terwujud

jika ethics officer tersebut hanya mengandalkan keterampilan yang

dimiliki dirinya saja dan tidak didukung oleh faktor – faktor yang

terdapat dalam dirinya seperti moral character, locus of control,

Page 16: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

27

tolerance of ambiguity, dan individual& leadership behavior

(Adobor, 2006).

2.1.4.1 Pengertian Faktor – Faktor Individual

Role stressor (stress kerja) merupakan fenomena

psikologis, dimana terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan

dalam pekerjaan dan kemampuan individu untuk mengatasi

tuntutan tersebut. Reaksi orang dapat berbeda dalam

menghadapi sumber stres yang sama, hal ini disebabkan karena

adanya perbedaan individual yang memungkinkan sebagian

orang tidak mengalami stres kerja dan sebagian lainnya

mengalami stres kerja (Robbins dalam Desiana, 2003).

Stres kerja ini juga dapat menghasilkan stres yang

positif, tetapi juga memungkinkan terjadinya stress kerja yang

negatif seperti pada umumnya yang sering terjadi adalah

penunurunan produktivitas kerja dalam diri seorang individu.

Ethics officer sangat memungkinkan untuk mengalami role

stressor dalam pekerjaanya memonitori etika didalam

perusahaan, untuk dapat mengurangi stress kerja yang terjadi,

terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi atau malah

menimbulkan stress kerja yang terjadi. Faktor – faktor tersebut

antara lain adalah (Adobor, 2006) :

- Tolerance of Ambiguity (toleransi terhadap ambiguitas).

- Locus of Control.

Page 17: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

28

- Moral Character.

- Individual Orientation and Leadership Behavior.

Tolerance of ambiguity, seorang ethics

officerdiharapkan dapat bekerja secara efektif didalam

lingkungan kerja yang dipenuhi dengan task complexity,

ambiguity, information overload, dan adanya banyak demand

atau permintaan dari para stakeholders. Untuk dapat mencapai

kinerja yang efektif didalam lingkungan kerja yang dipenuhi

dengan elemen – elemen seperti itu, dibutuhkan tingkat

adaptasi dan fleksibilitas serta keahlian untuk menghadapi

ambiguitas didalam perusahaan (Adobor, 2006).

Suatu situasi dapat dikategorikan ambigu tidak hanya

ketika terdapat kurangnya infrormasi dalam pekerjaan, tetapi

juga jika adanya konteks – konteks berikut (Adobor, 2006) :

- Situasi yang benar – benar baru dan tidak familiar oleh kita.

- Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam pekerjaan.

Suatu individu yang dapat menghadapi ambiguitas

dipastikan dapat menjalani pekerjaan nya secara lebih efektif

dibandingkan dengan orang yang membutuhkan kejelasan dan

informasi tambahan sebelum mengambil tindakan (Adobor,

2006). Ethics officer yang mempunyai toleransi tinggi terhadap

ambiguitas harus dapat menjalankan peran nya lebih baik

dengan individu yang mempunyai toleransi rendah terhadap

Page 18: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

29

ambiguitas, mengapa? Karena, dengan mempunyai toleransi

yang tinggi terhadap ambiguitas, suatu individu akan yakin

dengan pilihan yang dia ambil tanpa perlunya informasi –

informasi tambahan untuk membuat keputusan tersebut

(Adobor, 2006).

Menurut Adobor (2006) individu dengan toleransi

ambiguitas yang tinggi juga dapat beradaptasi dengan cepat

dengan situasi yang ada. Untuk memperjelas kembali, individu

seperti itu akan lebih percaya diri, berinisiatif tinggi, dan secara

umum mereka adalah orang – orang yang optimis. Dengan

toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi akan membantu

ethics officer menjalankan pekerjaannya secara efektif.

Locus of Control (LOC), locus of control merupakan

kendali individu atas pekerjaan mereka dan kepercayaan

mereka terhadap keberhasilan diri. Locus of control ini terbagi

menjadi dua, yaitu Rotter (1966) :

1. Internal Locus of Control : mencirikan seseorang memiliki

keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku

kerja mereka di organisasi.

2. Eksternal Locus of Control : mencirikan individu yang

mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas

mereka lebih dikarenakan faktor diluar diri yaitu

organisasi.

Page 19: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

30

Konsep tentang locus of control pertama kali

dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori

pembelajaran sosial. Locus of control merupakan salah satu

variabel kepribadian (pesonality), yang didefinisikan sebagai

keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol

nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2008).

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan locus of

control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka

adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu

yang yakin bahwa mereka meruapakan pemegang kendali atas

apapun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal

adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada

mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan

dan kesempatan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan

bahwa individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib dalam

kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan

individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara

individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang

mempunyai kontrol terhadap nasib yang terjadi dalam

kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external

locus of control (Adobor, 2006).

Page 20: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

31

Kreitner & Kinicki (2008) mengatakan bahwa hasil

yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari

aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control

eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai

kontrol dari keadaan sekitarnya. Seseorang yang mempunyai

internal locus of control akan memandang dunia sebagai

sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turun

berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external

locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang

tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan

sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran

didalamnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu

yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan

lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung

pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi

yang menguntungkan. Sementara itu individu yang mempunyai

internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak

menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan

diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian – keahlian

dibanding hanya situasi yang menguntungkan (Robbins dan

Judge, 2007).

Page 21: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

32

Dapat disimpulkan, ethics officer yang memiliki

internal locus of internal akan lebih efektif dalam menjalankan

tugasnya secara maksimal, mengapa? Karena, dengan

adanyainternal locus of control itu, ethics officer akan

cenderung untuk membutuhkan diskusi kepada pihak lain dan

mengumpulkan input yang diberikan untuk pembuatan

keputusan. Individu dengan internal locus of control juga

cenderung adalah sosok pemimpin yang ideal, karena individu

tersebut cenderung untuk menggunakan tindakan inisiatif untuk

mengontrol situasi. Dari banyaknya riset yang telah dilakukan,

internal locus of control dalam diri seseorang ini, akan

membantu mereka untuk mengatur rencana jangka panjang

yang lebih baik (Adobor, 2006).

Level of moral development and moral character,

secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos,

moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan)

mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak) Banyak

ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata

moral secara terminologi. Berdasarkan Runes (1924), moral

adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan

– tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.

Heiden (1977) dan Richards (1971), Moral adalah suatu

kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan

Page 22: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

33

dengan tindakan – tindakan lain yang tidak hanya berupa

kepekaan terhadap prinsip – prinsip dan aturan – aturan.

Atkinson (1969), moral merupakan pandangan tentang

baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak

dapat dilakukan. Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang

tidak sesuai dengan harapan yang sesuai dengan harapan sosial

yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial

atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.

Perkembangan moral adalah perkembangan yang

berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang

seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan

orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan – perubahan

perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan

tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam

kelompok sosial. Karakter moral (moral character) menurut

(Johnson, 2010; Bass & Steidlmeier, 2011) adalah disposisi

personal untuk melaksanakan fungsi etis, berperilaku secara

etis, arif, dalam situasi tertentu didasarkan pada nilai – nilai

dan etika, seperti :

- Kebajikan

- Keadilan

- Kepedulian

- Penghargaan

Page 23: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

34

- Kejujuran

- Hasrat/Keinginan Moral

- Keberbedaan Moral, dan

- Tanggung jawab moral.

Menurut Kohlberg’s model (2001), seorang ethics

officer dengan nilai moral yang tinggi didalam dirinya, tidak

hanya membuat keputusan berdasarkan satu pandangan saja,

tetapi juga memikirkan nilai – nilai yang berlaku didalam

lingkungan internal maupun eksternal ditempat ia bekerja.

Ethics officer dengan nilai moral ini juga biasanya akan

mundur dari jabatannya jika dia menemukan situasi dimana

dirinya harus melaksanakan tugasnya dengan melanggar etika

atau nilai yang berlaku.

Mendonca (2001, p.269) menyatakan bahwa karakter

moral dalam diri seseorang itu terdiri dari beberapa kebijakan

yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Plato, keempat

kebijakan tersebut adalah :

1. Kehati-hatian (Prudence), merujuk kepada pengunaan

standard-standard yang berlaku sebelum membuat

keputusan.

2. Keadilan (Justice), kebijakan ini menjunjung tinggi

keadilan kepada seluruh individual yang ada. Didalam

kasus ethics officer disini adalah ia dituntut untuk berlaku

Page 24: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

35

adil kepada seluruh shareholders dan stakeholder didalam

dan luar perusahaan.

3. Ketabahan (Fortitude), fortitude ini menjelaskan tentang

diperlukanya keberanian dalam mengambil resiko dalam

menjalan sesuatu. Ethics officer yang mempunyai

fortitude, akan lebih memiliki kesiapan untuk menerima

resiko dari keputusan yang telah diambil.

4. Pengontrolan Diri (Temperance), temperance adalah suatu

bentuk kontrol diri. Ethics officer dengan kontrol diri yang

baik akan mampu menangani konflik – konflik peran yang

terjadi di lingkungan kerjanya.

Individual Orientation and Leadership Behavior,

individual orientationatau orientasi individu mengacu kepada

orang atau kelompok yang lebih individualistis, yang berarti

mereka lebiih memilih untuk mendefinisikan diri mereka

berdasarka siapa mereka. Orang – orang ini lebih rentan untuk

melihat kebutuhan utama mereka sendiri, dan seringkali

meninggalkan pekerjaan mereka untuk mendapatkan

kesempatan yang lebih baik tanpa memikirkan pengaruhnya

terhadap grup atau konsekuensi di jangka panjang (Adobor,

2006).

Ethics officer dengan orientasi individu yang tinggi

diharapkan untuk menggunakan influence tactic(taktit untuk

Page 25: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

36

mempengaruhi/memberikan pengaruh) untuk mencapai

kepemimpinan yang ber-etika (ethical leaderhsip). Riset – riset

yang telah dilakukan dalam teori kepemimpinan mendapatkan

hasil bahwa gaya kepemimpinan transformasional

(Transformational leadership) adalah gaya kepemimpnan yang

menggunakan influence tactics untuk mencapai tujuan. Gaya

kepemimpinan transformasional memungkinan untuk mencapai

kepemimpinan yang menjunjung tinggi etika (Adobor, 2006).

Menurut Bass (1998) dalam Swandari (2003)

mendefinisikan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai

pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi

bawahan dengan cara – cara tertentu. Dengan penerapan

kepemimpinan transformasional, bawahan akan merasa

dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya.

Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan

lebih dari yang diharapkan.

Menurut O’Leary (2001 kepemimpinan

transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan

oleh seorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan

batas dan memiliki kinerja melampau status quo atau mencapai

serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru.

Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi

bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan,

Page 26: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

37

dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau

keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap

peningkatan kinerja. Berdasarkan pendapat diatas, dapat

disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional mencakup

upaya perubahan terhadap bawahan untuk berbuat lebih positif

atau lebih baik dari apa yang biasa dikerjakan yang

berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

Seorang ethics officer dengan keahlian untuk

mempengaruhi individu – individu lain didalam perusahaan,

akan dapat bekerja secara efektif dibandingkan dengan ethics

officer yang pasif dan tidak memiliki keahlian tersebut. Ethics

officer tersebut dipastikan dapat mengembangkan argumen

persuasif untuk menerangkan pentingnya manfaat dari perilaku

etis. Dapat disimpulkan bahwa seorang ethics officer dengan

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain akan dapat

menjalankan pekerjaanya lebih mudah dalam mencapai kinerja

mereka ke tingkat maksimal dan efektif (Adobor, 2006).

2.1.5 Kompetensi Pribadi

Kompetensi dalam diri seorang ethics officer akan dapat

membantu dirinya dalam menjalankan tanggung jawab dan

pekerjaannya didalam perusahaan, bentuk kompetensi yang dapat

mendukung diri seorang ethics officer antara lain adalah memiliki

pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi yang dimiliki oleh

Page 27: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

38

perusahaan (Adobor, 2006). Bagian ini akan membahas lebih jauh

tentang technical knowledge, business knowledge dan kompetensi

yang harus dipahami oleh ethics officer.

2.1.5.1 Pengertian Kompetensi

Kompetensi adalah terminologi yang sering didengar

dan diucapkan banyak orang. Kita pun sering mendengar dan

mengucapkan terminologi itu dalam berbagai pengunaan,

khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya

manusia. Akan tetapi, sering kali persepsi, pemahaman, dan

makna terminologi itu tidak sama atau saling dipertukarkan

(interchangeable) dengan terminologi lain. Kesamaan persepi

banyak orang terhadap “kompetensi” barangkali terletak pada

bahwa terminologi itu merupakan atribut untuk melekatkan

sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atau unggul

(Sudarmanto, 2009).

Suatu atribut adlaah kualitas yang diberikan kepada

orang atau benda. Atribut mengacu pada karakteristik

tertentu yang diperlukan untuk dapat melaksanakan pekerjaan

secara efektif. Oleh karenanya, atribut terdiri atas persyaratan

pengetahuan, keterampilan, dan keahlian atau karakteristik

tertentu (Sudarmanto, 2009). Ada yang menginteprestasikan

kompetensi sepadan dengan kemampuan atau kecakapan.

Ada lagi yang menginterprestasikan sepadan dengan

Page 28: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

39

keterampilan, pengetahuan dan berpendidikan tinggi.

Bahkan, ada pula yang mersepsikan sepadan dengan layak

(feasible), handal (reliable), cocok, dapat dipercaya dan

cerdas (Sudarmanto, 2009).

Perbedaan persepsi atas makna kompetensi itu

merupakan hal yang wajar dan tetap sah – sah saja karena

memang masing - masing belum memahami makna asal atau

makna aslinya. Akan tetapi, perbedaan persepsi akan makna

itu menjadi problematis ketika kompetensi itu diterapkan

dalam desain instrumen dan aplikasi manajemen sumber daya

manusia. Oleh karenanya, perlu pemahaman yang

komprehenif atau holistik tentang kompetensi, sehingga pada

saat melakukan desain instrumen dan aplikasi tidak terjadi

kontroversi yang kontraproduktif (Sudarmanto, 2009).

Agar memiliki pemahaman yang komprehensif, perlu

ditelusuri kosep “kompetensi “ dari sejarah perkembangan

dan makna aslinya. Terkait dengan itu, ada banyak

pengertian atau definisi tentang kompetensi dari berbagai

ahli, di antaranya adalah sebagai berikut :

- Menurut Richard E. Boyatzis (1982), kompetensi adalah

karakteristik – karakteristik yang berhubungan dengan

kinerja unggul dan atau efektif di dalam pekerjaan.

Page 29: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

40

- Menurut Klemp (1980), kompetensi merupakan

karakteristik mendasar seseorang yang menghasilkan

kinerja unggul dan atau efektif dalam suatu pekerjaan

(dalam Robert Wood dan Tim Payne, 1998, p.24).

- Likewise Hornby dan Thomas (1989: 53) menyatakan

kompetensi adalah pengetahuan, keahlian, dan kualitas

manajer atau pemimpin yang efektif (dalam Woodruffe,

1993: 64).

- Menurut Lyle Spencer & Signe Spencer (1993, p.9),

kompetensi merupakan karakteristik dasar perilaku

individu yang berhubungan dengan kriteria acuan efektif

atau kinerja unggul didalam pekerjaan atau situasi.

- Menurut Michael Armstrong (1994, p.92), kompetensi

adalah apa yang orang bawa pada suatu pekerjaan dalam

bentuk, tipe, dan tingkat – tingkat perilaku yang berbeda

– beda. Kompetensi menentukan aspek – aspek proses

kinerja pekerjaan.

Dari berbagai definisi tersebut, di satu sisi telah

semakin jelas tentang makna dan muatan atau komponen –

kompenen dari kompetensi. Akan tetap, di sisi lain

banyaknya definisi juga menunjukkan pengertian kompetensi

dari berbagai orang tidak sama atau sangat beragam. Dalam

persepsi tentang kompetensi, memang terdapat perbedaan,

Page 30: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

41

antara pendekatan Amerika Serikat dengan pendekatan

inggris (Wood, 1998 & Dale, 2003). Pendekatan Amerika

cenderung memandang kompetensi dari “perspektif perilaku”

di mana karakteristik perilaku tersebut dapat menyebabkan

kinerja unggul dalam pekerjaanya. (Wood, 1998 & Dale,

2003).

Dapat diambil kesimpulan bahwa, suatu kompetensi

dapat mendukung efektivitas kinerja dari seorang individu,

dalam hal ini kita ambil contoh seorang ethics officer,

didalam diri seorang ethics officer diperlukan 2 macam

kompetensi, yaitu technical knowledge dan business

knowledge. Technical knowledge sendiri itu adalah,

pemahaman secara rinci yang dimiliki seseorang/individu

tentang keahlian atau skill yang diterapkan dengan atau

dalam bentuk apapun untuk setiap masalah atau aplikasi

(Adobor, 2006).

Pengetahuan atau knowledge tentang hukum dan

peraturan yang berlaku dan relevan dapat mempengaruhi

proses pembuatan kinerja yang etis. Ferrel (2005) mengamati

bahwa peraturan yang mengatur perilaku bisnis jatuh

kedalam empat kelompok, berikut adalah peraturan dan

hukum yang harus dipahami untuk mewujudkan kinerja yang

etis :

Page 31: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

42

- Laws protecting consumers, maksud dari bagian ini adalah,

adanya hukum dan peraturan yang harus ditaati oleh

suatu perusahaan, yaitu memberikan informasi yang

akurat tentang jasa dan produk yang diberikan oleh

perusahaan kepada konsumen.

- Laws promoting equity and safety, harus terdapatnya

hukum di tempat kerja untuk mewujudkan lingkungan

kerja yang aman dan adil bagi seluruh anggotanya.

- Regulation of competition, regulasi atau ketentuan yang ada

untuk dapat mewujudkan suatu kompetisi bisnis yang

adil, seperti adanya larangan untuk memonopoli suatu

jenis bisnis tertentu.

- Laws protecting the environment, hukum yang mengatur

dan memberikan batasan – batasan kepada para

perusahaan untuk tetap memperhatikan lingkungan

sekitar dalam menjalan aktivitas bisnisnya.

Dapat kita simpulkan bahwa, seorang ethics officer

tidaklah cukup jika hanya dibekali dengan keahlian atau skill

yang hebat saja dalam menjalankan pekerjaanya, tetapi ethics

officer tersebut harus memahami teori etika – etika dan

hukum yang berlaku untuk dapat mewujudkan kinerja yang

maksimal dan efektif bagi dirinya dan perusahaan (Adobor,

2006).

Page 32: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

43

Menurut Adobor (2006) selain technical knowledge,

terdapat satu lagi bentuk kompetensi yang diperlukan oleh

seorang ethics officer jika ingin mencapai kinerja yang

maksimal dan efektif, bentuk kompetensi tersebut adalah :

business knowledge. Business knowledge sendiri adalah,

pengetahuan seseorang atau individu tentang bisnis yang

dijalankan perusahaan, produk atau jasa yang dihasilkan

perusahaan, dan peraturan & ketentuan yang terdapat didalam

perusahaan tersebut.

Business knowledge ini mencakup tiga hal, yaitu :

tugas kompetensi kinerja individu, pengetahuan yang luas

tentang industri dan perusahaan, termasuk pengetahuan

tentang produk, pasar, dan kebijakan yang dimiliki oleh

perusahaan tersebut (Woodruffe, 2003). Seorang ethics

officer yang memiliki business knowledgeyang bagus akan

mempunyai pemahaman yang jelas tentang masalah apa yang

mereka hadapi didalam perusahaan tempat dimana mereka

bekerja dan akan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut

dengan tetap menjunjung tinggi etika bisnis yang berlaku

(Adobor, 2006).

Technical dan business knowledge yang dimiliki oleh

seorang ethics officer dapat sangat mempengaruhi kinerja

Page 33: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

44

mereka didalam perusahaan yang mereka tempati karena dua

alasan (Adobor, 2006) :

- Pertama, pemahaman kompetensi pada pekerjaan yang

berhubungan dengan tugas – tugas akan mengurangi

kompleksitas pada peran pekerjaan yang sedang kita

jalankan. Seorang ethics officer yang kompeten, akan

dapat mengetahui apa jenis informasi yang mereka

butuhkan, dimana tempat untuk mendapatkan informasi

tersebut dan menafsirkan masalah dan menyelesaikannya

dengan tepat.

- Kedua, seorang ethics officermemiliki pemahaman yang

jelas tentang sifat bisnis dan lingkungan perusahaan

dimana dia bekerja akan berada dalam posisi yang lebih

untuk berurusan dan memahami persyaratan kompleks

yang diberikan oleh sejumlah stakeholder dan

subsistemnya.

Seorang ethics officeryang memiliki task-relevant

knowledgeseharusnya dapat mengatasi task complexity

(kompleksitas tugas) dan stress peran (role stress) yang

secara positif akan mempunyai dampak kepada kinerja

mereka (Maret dan Simon, 1958). Penelitian telah

menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan teknis secara

langsung mempengaruhi kinerja peran manajerial (McCall,

Page 34: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

45

1994). Singkatnya, pengetahuan bisnis (business knowledge)

dan pengetahuan teknis (technical knowledge) dapat

membantu seorang ethics officeruntuk mengurangi sejumlah

ambiguitas peran (role ambiguity) yang dapat mempengaruhi

keefektivitasan kinerja diri mereka (March and Simon, 1958).

2.1.6 Kinerja Ethics Officer

Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan

kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Seseorang

sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan

tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup

efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas

tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakan.

Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang

sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan

perannya dalam instansi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal

yang sangat penting dalam upaya instansi untuk mencapai tujuan

(Luthans, 2006).

Menurut pendapat Vroom dalam Luthans (2006, p279)

kinerja ialah tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang dalam

menyelesaikan pekerjaannya disebut “Level of Performance”, bila

karyawan yang memiliki Level of Performance tinggi maka dapat

dikategorikan sebagai karyawan produktif dan sebaliknya jika ada

Page 35: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

46

karyawan yang Level of Performancenya rendah maka dapat

dikatakan sebagai karyawan yang sudah tidak produktif.

Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan,

usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya

menurut pendapat Sulistiyani (2003, p.223). Bernardin dan Russel

dalam Sulistiyani (2003, p.223-224) menyatakan bahwa kinerja

merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai

tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

Hasibuan (2003, p.94) juga berpendapat bahwa kinerja merupakan

suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-

tugasnya yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas

kecakapa, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja

merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan

minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas

pelaksanaan delegasi tugas, serta peran tingkat motivasi seorang

pekerja.

Dari pengertian dasar tentang kinerja, seorang ethics officer

sebenarnya dapat dikatan sudah bekerja dengan efektif jika ia dalam

menjalankan pekerjaanya sesuai dengan regulasi atau peraturan yang

sudah ditetapkan oleh perusahaan dan sudah terjadinya kerjasama

dan hubungan timbal – balik yang baik antara ethics officer dengan

pihak manajemen dalam melaksanakan pekerjaan didalam

perusahaan (Adobor, 2006). Ethics officer yang baik, seharusnya

Page 36: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

47

juga sudah harus memahami betul visi dan misi yang dimiliki oleh

perusahaan tempat ia bekerja. Ethis officer dapat dikatakan sudah

bekerja dengan efektif jika sudah membentuk atau dapat memenuhi

kriteria – kriteria berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007):

- Mempunyai keterampilan komunikasi yang baik seperti public

speaking, presentasi, dan interaksi one-on-one dengan para

karyawan diseluruh level perusahaan.

- Mempunyai kemampuan untuk membentuk kredibilitas dan

kepercayaan kepada seluruh anggota perusahaan.

- Memiliki kemampuan untuk cepat mencerna informasi yang

berkaitan dengan isu – isu yang kompleks.

- Mereka mampu untuk melindungi informasi rahasia milik

perusahaan.

- Mereka mampu untuk mengambil tugas atau berada dalam posisi

yang menyulitkan jika diperlukan.;

2.2 Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian milik Henry Adobor yang berjudul Exploring the

Role Performance of Corporate Ethics Officers mengatakan bahwa

keefektivitasan kinerja dari ethics officer dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu : Personal Competencies, Individual Factors, Organization

Context, dan Role Challenges of Ethics Officer. Henry Adobor berpendapat

bahwa, keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang dimiliki

Page 37: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

48

oleh seorang ethics officer dapat sangat berpengaruh nantinya terhadap

kinerja dia dalam melakukan tugasnya. Selain faktor pribadi, organisasi juga

mempengaruhi keefektivitasan kerja ethics officer, misalnya dengan

perekrutannya, ethics officer yang diangkat bisa dari luar atau dalam

perusahaan.

Juan Llopis, M. Reyes Gonzalez, dan Jose L. Gasco dalam penelitian

nya yang berjudul Corporate Governance and Organizational Culture : The

role of Ethics Officer mengatakan bahwa untuk mewujudkan suatu budaya

organisasi yang beretika, tidak cukup jika hanya membentuk sistem dan

budaya perusahaan yang berlaku. Diperlukannya kehadiran ethics officer

didalam sistem perusahaan. Agar ethics officer dapat memberi pengaruh

yang besar, diharapkan yang menjabat jabatan tersebut haruslah CEO atau

para senior managers. Setelah adanya ethics officer, pihak - pihak lain juga

perlu untuk mendukung atau saling supportif terhadap program etika yang

dijalankan agar budaya etika terbentuk secara maksimal.

Dalam penelitian yang berjudul An Investigation of Ethics Officer

Independence, W. Michael Hoffman, John D. Neill, dan O. Scott Stovall

percaya bahwa untuk mewujudkan kinerja efektif dan maksimal dari ethics

officer, ethics officer tersebut harus dapat bekerja secara independen atau

terpisah dari tim manajemen. Diperlukan juga kehadiran board of directors

(BOD) untuk membantu pemantauan masalah etika di perusahan, jika para

board of directors tersebut tidak mau atau menolak, maka harus diangkat

Page 38: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

49

ethics officeryang board-appointed, board-compensated, dan melapor atau

berhubungan langsung dengan para board of directors.

Tabel 2.1 Penelitian Relevan

Variabel Peneliti Hasil

Personal

Competencies,

Individual Factors,

Organization Context,

Role challenges of

Ethics Officer, dan

Ethics Officer’s

Performance.

Henry Adobor, 2006 Pengetahuan pribadi

tentang regulasi peraturan

yang berlaku serta

keterampilan yang

dimiliki oleh ethics

officer dapat menghindari

kompleksitas kerja yang

nantinya akan

berpengaruh kepada

efektivitas kerja mereka.

Organisasi juga

memegang peranan

penting dalam merekrut

ethics officer dan

memberikan otonomi

kepada ethics officer

tersebut.

Corporate Juan Llopis, M. Suatu governance atau

Page 39: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

50

Governance,

Organisational

Culture, Ethics

Officer.

Reyes Gonzalez, dan

Jose L. Gasco (2007)

budaya perusahaan belum

akan memberi pengaruh

yang besar dalam

mengatasai masalah etika

walaupun adanya ethics

officer. Untuk

mewujudkan kinerja yang

efektif dan lingkungan

kerja yang ber-etika,

seharusnya posisi ethics

officer itu diisi oleh CEO

atau para senior

managers

Independence, Ethics

Officer’s Job.

W. Michael Hoffman,

John D. Neill, dan O.

Scott Stovall (2008)

Untuk mencapai kinerja

yang efektif dri ethics

officer, sebaiknya ethics

officer tersebut selain

harus dapat bergerak

secara independen,

kehadiran dirinya harus

didukung oleh seluruh

anggota perusahaan,

Page 40: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

51

termasuk adanya bantuan

dari board of directors

dalam mengatasi masalah

etika didalam perusahaan.

Sumber : Hasil Penelitian (2012)

Berdasarkan hasil penelitian tentang ethics officer yang sudah

dilakukan oleh beberapa peneliti tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

untuk dapat menghasilkan kinerja ethics officer yang efektif, ethics officer

tersebut perlu bergerak secara independen didalam perusahaan, dan yang

terpenting adalah harus ada rasa saling mendukung dan percaya antara

ethics officer dengan tim manajemen didalam perusahaan agar ethics officer

tersebut dapat bekerja secara maksimal dan efektif.

2.3 Kerangka Pemikiran

Dalam melakukan penelitian tentang ethics officer, skripsi ini

menggunakan kerangka pemikiran yang berasal dari jurnal penelitian milik

Henry Adobor berikut :

Page 41: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

52

Figure 2.1 Kerangka Pemikiran

Sumber: Henry Adobor’s Exploring The Role of Ethics Officer (2006)

Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa variabel Kompetensi

Pribadi (X1) danFaktor – Faktor Individual (X2) memberikan pengaruh

langsung terhadap variabel Role Challenges of Ethics Officer (Y) dan

Kompetensi Pribadi (X1)

- Technical Knowledge

- Business Knowledge

Faktor – Faktor Individual (X2)

- Tolerance of Ambiguity

- Locus of Control

- Moral Character

- Individual Orientation and leadership behavior

Role Challenges of Ethics Officers (Y)

- Role Conflict - Role

Ambiguity - Task

Complexity - Low Task

Visibility

Kinerja Ethics Officer (Z)

- Ethics Officer Effectiveness

Page 42: 12 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ethics

53

memberikan pengaruh tak langsung terhadap variabel Kinerja Ethics Officer

(Z).