12 bab 2 landasan teori dan kerangka pemikiran ethics
TRANSCRIPT
12
12
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kajian Pustaka
Bab II ini akan membahas tentang teori – teori & studi pustaka yang
dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi
pribadi, faktor – faktor individual, role challanges of ethics officer, dan
kinerja ethics officer itu sendiri.
2.1.1 Etika Bisnis
Bagian ini akan berbicara mengenai tentang pengertian dasar
etika bisnis. Etika bisnis merupakan aspek penting didalam suatu
organisasi atau perusahaan, jika perusahaan tidak memperhatikan
tentang etika – etika yang berlaku dalam menjalan aktivitas –
aktivitas, hal tersebut akan mempengaruhi laju perjalanan
perusahaan tersebut di masa depan.
2.1.1.1 Pengertian Etika Bisnis
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah
cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh
aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri, dan juga
masyarakat. Semuanya mengatakan bagaimana kita menjalankan
bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak
tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di
masyarakat (Bertens, 2000).
13
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh
hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan
standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis
seringkali kita temukan wilayah abu – abu yang tidak diatur oleh
ketentuan hukum (Bertens, 2000).
Embse dan Wagley (1988) memberikan tiga pendekatan
dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
1. Ulitarian Approach, setiap tindakan harus didasarkan pada
konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang
seharusnya mengikuti cara – cara yang dapat memberi manfaat
sebesar – besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak
membahayakan dan dengan biaya serendah – rendahnya.
2. Individual Rights Approach, setiap orang dalam tindakan dan
kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun
tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila
diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak
orang lain.
3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai
kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun
secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat
penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan
14
memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan
menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu
landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis,
organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh
budaya perusahaan yang handal serta etika perusahan yang
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Muslich, 1998).
Menurut Velasquez (2005) harus kita yakini bahwa pada
dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan
perusahaan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang,
antara lain dengan :
- Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan
terjadinya friksi, baik internal perusahaan, maupun dengan
eksternal.
- Mampu meningkatkan motivasi kerja.
- Melindungi prinsip kebebasan berniaga.
- Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari keuntungan –
keuntungan dalam menjalan praktek bisnis diatas adalah, tindakan
yang tidak etis yang dilakukan oleh peruahaan akan memancing
tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat yang akan sangat
kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan
beredar, larangan beroperasi, dan lain sebagainya (Velasquez, 2005).
Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
15
perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai –
nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang
memiliki peringkat kepuasan kerja yang tinggi pula, terutama
apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis,
misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier
(Velasquez, 2005).
Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga
bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal
mungkin harus mempertahankan karyawannya. Untuk memudahkan
penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari – hari maka nilai
– nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam
manajemen korporasi yakni dengan beberapa cara, antara lain
(Bertens, 2000) :
- Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct).
- Memperkuat sistem pengawasan.
- Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara
terus – menerus.
2.1.1.2 Aspek Aspek Etika Bisnis
Menurut Bertens (2000) terdapat tiga sudut pandang pokok
dari bisnis, tiga sudut pandang tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1. Sudut pandang ekonomi, bisnis adalah kegiatan ekonomis,
maksudnya adalah adanya interaksi produsen/perusahaan
dengan pekerja, produsen dengan produsen dalam sebuah
16
organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk
mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis.
Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi
dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak.
2. Sudut pandang etika, dalam bisnis berorientasi pada profit
adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang
diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Maksudnya
adalah, semua yang kita lakukan harus menghormati
kepentingan dan hak orang lain.
3. Sudut pandang hukum, bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis
juga terikat dengan “hukum” Hukum Dagang atau Hukum
Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum
modern. Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam
hubungan bisnis pada taraf nasional maupun international.
Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif,
karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
2.1.1.3 Peranan Etika Dalam Bisnis
Menurut George (1988), bila perusahaan ingin
sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok, yaitu :
1. Produk yang baik
2. Manajemen yang baik
3. Memiliki Etika
17
Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitaas dan
berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan
manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumber daya
manusia dan lain – lain tetapi tidak mempunyai etika, maka
kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi
perusahaan tersebut. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu
dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial
yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dapat dilepaskan dari aturan –
aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial,
termasuk juga aturan – aturan moral.
2.1.2 The Ethics Officer
Ethics Officer (kadang – kadang disebut Compliance atau
petugas perilaku bisnis) telah ditunjuk secara formal oleh organisasi
sejak pertengahan 1980an. Salah satu katalis untuk menciptakan
peran baru ini adalah serangkaian penipuan, korupsi, dan skandal
pelecehan yang menimpa industri pertahanan AS pada saat itu. Hal
ini menyebabkan penciptaan Industri Pertahanan Iniative (DII),
sebuah inisiatif industri untuk mempromosikan dan memasikan
praktek bisnis yang etis (Llopis, Reyes, Jose, 2007).
Para DII menetapkan patokan awal untuk manajemen etika
dalam perusahaan. Pada tahun 1991, Ethics & Compliance Chief
Association (ECOA) awalnya asosiasi ethics officer didirikan di
pusat etika bisnis (Bentley College, Waltham, MA, 1991) sebagai
18
asosiasi profesional bagi mereka yang bertanggung jawab untuk
organisasi mengelola upaya untuk mencapai praktik etis yang
terbaik. Dengan keanggotannya yang bertumbuh pesat,organisasi ini
didirikan sebagai organisasi independen (Chavez, Roy, Munevver,
2001).
Menurut Llopis, Reyes, dan Jose (2007) pendekatan pertama
untuk definisi ethics officers hanya menggambarkan dia sebagai
orang atau individu yang bertanggung jawab dalam mencapai tujuan
perusahaan sesuai yang telah direncanakan tanpa melanggar etika
yang berlaku. Lebih tepatnya, dapat dikatakan bahwa ethics officer
adalah seseorang yang memastikan organisasi melakukan yang
terbaik untuk memuaskan para stakholder. Ide ini memungkinkan
kita untuk menggambarkan persyaratan utama dari ethics officer,
yaitu dapat diringkas sebagai berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007):
- Memiliki pengetahuan yang luas terhadap perusahaan.
- Menguasai teknik – teknik manajemen serta isu – isu teoritis dan
praktis yang berkaitan dengan etika bisnis
- Memiliki wewenang hierachical diperlukan untuk mengerahkan
pengaruh pada perilaku anggota perusahaan.
Kita dapat mendefinisikan karakteristik ethics officer dari
berbagai latar belakang seperti masalah hukum sumber daya
manusia, keuangan, audit, dan keamanan. Karakteristik umum ethics
officers(Llopis, Reyes, Jose, 2007) :
19
- Mereka adalah komunikator yang kuat dengan keterampilan
komunikasi yang baik dan efektif.
- Mereka obyektif dan bijaksana.
- Mereka memiliki kemampuan untuk membangun dan memelihara
kredibilitas dan kepercayaan seluruh organisasi
- Mereka memiliki kemampuan untuk cepat berasimilasi
- Mereka memiliki kemampuan untuk membuat jaringan di seluruh
tingkat organisasi
- Mereka telah mencapai tingkat profesional.
Tujuan pengangkatan ethics officer di suatu perusahaan
adalah untuk membantu perusahaan/organisasi mengelola etika
perusahaan dengan menggunakan/menyediakan kepemimpinan dan
pengawasan dari ethics officer. ethics officer dalam mengelola etika
perusahaan, mempunyai tugas - tugas sebagai berikut (Llopis, Reyes,
Jose, 2007) :
- Mengembangkan dan mengarahkan etika di organisasi.
- Sebagai compliancedi organisasi dalam melakukan bisnis.
- Memberikan kepemimpinan, pengawasan, dan saran untuk
memastikan pembangunan, interprestasi, dan implementasi
etika.
- Berfungsisebagai akuntabilitas untuk semua kegiatan dan program
yang berkaitan dengan standar perilaku etis, termasuk hubungan
dengan pihak – pihak eksternal.
20
2.1.3 Role Challenges of Ethics Officer
Tugas-tugas dari seorang ethics officer juga memiliki resiko-
resiko yang dapat mempengaruhi kinerjannya. Dalam bagian ini,
akan dibahasas tentang resiko – resiko seperti role ambiguity, task
complexity, low task visibility, dan resiko lainnya yang dapat
menghambat ethics officer dalam mewujudkan kinerja yang efektif
(Adobor, 2006).
2.1.3.1 Karakteristik peran dari Ethics Officer
Berdasarkan penelitian milik Adobor (2006),
banyaknya tanggung jawab yang diemban oleh seorang ethics
officerdan posisi mereka yang menjalani tugasnya di
beberapa sub-system dalam struktur organisasi perusahaan,
dapat sangat mempengaruhi kinerja mereka. Faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja mereka tersebut adalah :
role conflict (konflik peran), role ambiguity (ambiguitas
peran), task complexity (kompleksitas tugas), dan task
visibility (visibilitas tugas).
Role conflict (konfilk peran), adalah proses sosial
antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak beraya terhadap tingkah laku seseorang
sesuai kedudukannya dalam kehidupan. Jadi, konflik peran
adalah bentuk khusus dari konflik sosial yang trjadi ketika
21
seseorang dipaksa untuk mengambil dua peran yang berbeda
dan tidak kompatibel pada saat yang sama (Adobor,
2006).Menurut Adobor (2006), terdapat 4 tipe dari konflik
peran yang dapat terjadi pada dalam diri seorang individu,
yaitu :
- Person-Role conflict: konflik dimana peraturan yang
berlaku tidak dapat diterima oleh seseorang sehingga
orang tersebut memilih untuk tidak melaksanakan
sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut.
- Inter-Role conflict : konflik yang dimana seseorang
menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau
lebih fungsi yang saling bertentangan seperti seseorang
yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga
sebagai ketua serikat pekerja.
- Intersender conflict : konflik yang timbul karena seseorang
harus memenuhi harapan beberapa orang. Misalnya,
seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dari
dekan – dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang
harus mengakomodir semua kepentingan/kebutuhan para
ketua jurusan yang juga sangat bermacam – macam.
- Intrasender conflict : konflik yang timbul karena
disampaikannya informasi yang saling bertentangan.
22
Role Ambiguity, ambiguitas peran menurut Luthans
(2006, 473) terjadi ketika individu tidak memperoleh
kejelasan mengenai tugas – tugas dari pekerjaanya atau lebih
umum dikatakan “tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan”.
Job description yang tidak jelas, perintah – perintah yang
tidak lengkap dari atasan, dan tidak adanya pengalaman
memberikan kontribusi terhadap ambiguitas peran.
Sedangkan Robbins (2009) menyatakan bahwa
ambiguitas peran muncul ketika peran yang diharapkan (role
expectation) tidak secara jelas dimengerti dan seseorang tidak
yakin pada apa yang dia lakukan. Menurut Kreitner (2004),
ambiguitas peran terjadi ketika seseorng tidak mengetahui
akan harapan pada peran mereka. Yousef (2009),
mendeskripsikan ambiguitas peran sebagai situasi dimana
individu tidak memiliki arah yang jelas mengenai harapan
akan perannya dalam organisasi. Kemudian Lapolo (2002)
menyebutkan bahwa ambiguitas peran muncul ketika
seseorang karyawan merasa bahwa terdapat banyak sekali
ketidakpastian dalam aspek – aspek peran atau keanggotaan
karyawan tersebut dalam kelompok.
Seseorang dapat dikatakan berada dalam role
ambiguity atau ambiguitas peran apabila ia menunjukkan ciri-
ciri antara lain sebagai berikut (Adobor, 2006) :
23
- Tidak jelas tujuan atau peran apa yang sedang ia jalankan.
- Tidak jelas kepada siapa dia bertanggung jawab dan siapa
yang melapor kepadanya.
- Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung
jawabnya.
- Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan orang lain
pada dirinya.
- Tidak memahami benar peranan dari pada pekerjaannya
dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.
Mondy, Sharplin, dan Premeaux (1990, p.491 – 492)
menyarankan agar pemegang peran mengetahui 6 (enam) tipe
dasar informasi, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya ambiguitas peran, yaitu :
1. Pemegang peran harus tahu apa yang diharapkan oleh
orang lain.
2. Pemegang peran harus tahu aktivitas yang seharusnya
mereka lakukan dan hubungan interpersonal yang harus
mereka tunjukkan untuk memenuhi harapan orang lain.
3. Pemegang peran harus mengetahui konsekuensi dari
pelaksanaan aktivitas atau interaksi dengan orang lain
dalam hal tertentu.
24
4. Pemegang peran harus mengetahui macam – macam
tingkah laku atau sikap yang akan diterima baik sebagai
imbalan maupun hukuman.
5. Pemegang peran harus menemukan tipe – tipe dari
imbalan dan hukuman yang akan diberikan dan
mengukur kemungkinan mereka (karyawan)
menerimanya.
6. Pemegang peran harus mengetahui tingkah laku atau
sikap yang akan memuaskan atau mengecewakan
kebutuhan individu.
Task complexity, ethics officer selalu dihadapkan
dengan tugas – tugas yang banyak, berbeda – beda, dan
saling terkait satu sama lainnya. Kompleksitas tugas dapat
didefinisikan sebagai fungsi dari tugas itu sendiri (Wood,
1986). Kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak
terstruktur, membingungkan, dan sulit (Adobor, 2006). Tugas
ethics officer yang bertugas sebagai pengatur etika didalam
perusahaan sering dilihat sebagai tugas dengan kompleksitas
tinggi dan sulit, sementara yang lain mempersepsikannya
sebagai tugas yang mudah (Hoffman, Neill, Stovall, 2008).
Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu
tugas memonitor etika tersebut sulit bagi seseorang, namun
mungkin juga mudah bagi orang lain. Lebih lanjut,
25
Restuningdiah dan Indriantoro (2000) menyatakan bahwa
kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang
lemah, baik dalam tugas – tugas utama maupun tugas – tugas
lain. Pada tugas tugas yang membingungkan (ambigous) dan
tidak terstruktur, alternatif – alternatif yang ada tidak dapat
diidentifikasi, sehingga data tidak dapat diperoleh dan
outputnya tidak dapat diprediksi.
Chung dan Monro (2001) mengemukakan argumen
yang sama, bahwa kompleksitas tugas dalam pekerjaan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
- Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian
informasi tersebut yang tidak konsisten dengan kejadian
yang akan diprediksikan.
- Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome
(hasil) yang diharapkan oleh beberapa pihak.
Restuningdiah dan Indriantoro (1999) menyatakan
bahwa peningkatan kompleksitas dalam suatu tugas atau
sistem, akan menurunkan tingkat keberhasilan dari tugas itu
sendiri. Kompleksitas tugas yang dialami oleh seorang ethics
officer biasanya disebabkan karena information overload
(informasi tidak relevan yang diterima terlalu banyak) atau
terjadinya bentrokan dengan pihak lain dalam mencapai
tujuan perusahaan.
26
Task visibilty, menurut Adobor (2006) yang dimaksud
dengan task visibilty adalah dimana suatu tingkat tugas atau
aktivitas yang perlu diawasi atau dimonitori untuk mengukur
atau menilai kinerja dari suatu kegiatan. Didalam tugas ethics
officer, biasanya ditemukann task visibility yang rendah
karena disebabkan oleh dua (2) alasan, yaitu (Adobor, 2006) :
- Seorang ethics officer, tidak dapat menjalankan tugasnya
secara efektif tanpa adanya masukan dan kerjasama dari
pihak lain. Dalam hal ketergantungan, seorang ethics
officer membutuhkan interaksi dan feedback dari para
karyawan dan manajemen.
- Struktur kerja yang tidak jelas yang diberikan kepada ethics
officer, akan membuat ethics officer kesulitan dalam
menjalankan tugasnya dengan tidak adanya input dari
pihak – pihak lain.
2.1.4 Faktor – Faktor Individual
Kinerja efektif dari seorang ethics officer tidak akan terwujud
jika ethics officer tersebut hanya mengandalkan keterampilan yang
dimiliki dirinya saja dan tidak didukung oleh faktor – faktor yang
terdapat dalam dirinya seperti moral character, locus of control,
27
tolerance of ambiguity, dan individual& leadership behavior
(Adobor, 2006).
2.1.4.1 Pengertian Faktor – Faktor Individual
Role stressor (stress kerja) merupakan fenomena
psikologis, dimana terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan
dalam pekerjaan dan kemampuan individu untuk mengatasi
tuntutan tersebut. Reaksi orang dapat berbeda dalam
menghadapi sumber stres yang sama, hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan individual yang memungkinkan sebagian
orang tidak mengalami stres kerja dan sebagian lainnya
mengalami stres kerja (Robbins dalam Desiana, 2003).
Stres kerja ini juga dapat menghasilkan stres yang
positif, tetapi juga memungkinkan terjadinya stress kerja yang
negatif seperti pada umumnya yang sering terjadi adalah
penunurunan produktivitas kerja dalam diri seorang individu.
Ethics officer sangat memungkinkan untuk mengalami role
stressor dalam pekerjaanya memonitori etika didalam
perusahaan, untuk dapat mengurangi stress kerja yang terjadi,
terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi atau malah
menimbulkan stress kerja yang terjadi. Faktor – faktor tersebut
antara lain adalah (Adobor, 2006) :
- Tolerance of Ambiguity (toleransi terhadap ambiguitas).
- Locus of Control.
28
- Moral Character.
- Individual Orientation and Leadership Behavior.
Tolerance of ambiguity, seorang ethics
officerdiharapkan dapat bekerja secara efektif didalam
lingkungan kerja yang dipenuhi dengan task complexity,
ambiguity, information overload, dan adanya banyak demand
atau permintaan dari para stakeholders. Untuk dapat mencapai
kinerja yang efektif didalam lingkungan kerja yang dipenuhi
dengan elemen – elemen seperti itu, dibutuhkan tingkat
adaptasi dan fleksibilitas serta keahlian untuk menghadapi
ambiguitas didalam perusahaan (Adobor, 2006).
Suatu situasi dapat dikategorikan ambigu tidak hanya
ketika terdapat kurangnya infrormasi dalam pekerjaan, tetapi
juga jika adanya konteks – konteks berikut (Adobor, 2006) :
- Situasi yang benar – benar baru dan tidak familiar oleh kita.
- Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam pekerjaan.
Suatu individu yang dapat menghadapi ambiguitas
dipastikan dapat menjalani pekerjaan nya secara lebih efektif
dibandingkan dengan orang yang membutuhkan kejelasan dan
informasi tambahan sebelum mengambil tindakan (Adobor,
2006). Ethics officer yang mempunyai toleransi tinggi terhadap
ambiguitas harus dapat menjalankan peran nya lebih baik
dengan individu yang mempunyai toleransi rendah terhadap
29
ambiguitas, mengapa? Karena, dengan mempunyai toleransi
yang tinggi terhadap ambiguitas, suatu individu akan yakin
dengan pilihan yang dia ambil tanpa perlunya informasi –
informasi tambahan untuk membuat keputusan tersebut
(Adobor, 2006).
Menurut Adobor (2006) individu dengan toleransi
ambiguitas yang tinggi juga dapat beradaptasi dengan cepat
dengan situasi yang ada. Untuk memperjelas kembali, individu
seperti itu akan lebih percaya diri, berinisiatif tinggi, dan secara
umum mereka adalah orang – orang yang optimis. Dengan
toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi akan membantu
ethics officer menjalankan pekerjaannya secara efektif.
Locus of Control (LOC), locus of control merupakan
kendali individu atas pekerjaan mereka dan kepercayaan
mereka terhadap keberhasilan diri. Locus of control ini terbagi
menjadi dua, yaitu Rotter (1966) :
1. Internal Locus of Control : mencirikan seseorang memiliki
keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku
kerja mereka di organisasi.
2. Eksternal Locus of Control : mencirikan individu yang
mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas
mereka lebih dikarenakan faktor diluar diri yaitu
organisasi.
30
Konsep tentang locus of control pertama kali
dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori
pembelajaran sosial. Locus of control merupakan salah satu
variabel kepribadian (pesonality), yang didefinisikan sebagai
keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol
nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2008).
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan locus of
control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka
adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu
yang yakin bahwa mereka meruapakan pemegang kendali atas
apapun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal
adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada
mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan
dan kesempatan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib dalam
kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan
individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara
individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang
mempunyai kontrol terhadap nasib yang terjadi dalam
kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external
locus of control (Adobor, 2006).
31
Kreitner & Kinicki (2008) mengatakan bahwa hasil
yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari
aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control
eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai
kontrol dari keadaan sekitarnya. Seseorang yang mempunyai
internal locus of control akan memandang dunia sebagai
sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turun
berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external
locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang
tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan
sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran
didalamnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu
yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan
lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung
pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi
yang menguntungkan. Sementara itu individu yang mempunyai
internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak
menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan
diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian – keahlian
dibanding hanya situasi yang menguntungkan (Robbins dan
Judge, 2007).
32
Dapat disimpulkan, ethics officer yang memiliki
internal locus of internal akan lebih efektif dalam menjalankan
tugasnya secara maksimal, mengapa? Karena, dengan
adanyainternal locus of control itu, ethics officer akan
cenderung untuk membutuhkan diskusi kepada pihak lain dan
mengumpulkan input yang diberikan untuk pembuatan
keputusan. Individu dengan internal locus of control juga
cenderung adalah sosok pemimpin yang ideal, karena individu
tersebut cenderung untuk menggunakan tindakan inisiatif untuk
mengontrol situasi. Dari banyaknya riset yang telah dilakukan,
internal locus of control dalam diri seseorang ini, akan
membantu mereka untuk mengatur rencana jangka panjang
yang lebih baik (Adobor, 2006).
Level of moral development and moral character,
secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos,
moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan)
mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak) Banyak
ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata
moral secara terminologi. Berdasarkan Runes (1924), moral
adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan
– tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.
Heiden (1977) dan Richards (1971), Moral adalah suatu
kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan
33
dengan tindakan – tindakan lain yang tidak hanya berupa
kepekaan terhadap prinsip – prinsip dan aturan – aturan.
Atkinson (1969), moral merupakan pandangan tentang
baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak
dapat dilakukan. Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang
tidak sesuai dengan harapan yang sesuai dengan harapan sosial
yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial
atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang
berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan – perubahan
perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan
tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam
kelompok sosial. Karakter moral (moral character) menurut
(Johnson, 2010; Bass & Steidlmeier, 2011) adalah disposisi
personal untuk melaksanakan fungsi etis, berperilaku secara
etis, arif, dalam situasi tertentu didasarkan pada nilai – nilai
dan etika, seperti :
- Kebajikan
- Keadilan
- Kepedulian
- Penghargaan
34
- Kejujuran
- Hasrat/Keinginan Moral
- Keberbedaan Moral, dan
- Tanggung jawab moral.
Menurut Kohlberg’s model (2001), seorang ethics
officer dengan nilai moral yang tinggi didalam dirinya, tidak
hanya membuat keputusan berdasarkan satu pandangan saja,
tetapi juga memikirkan nilai – nilai yang berlaku didalam
lingkungan internal maupun eksternal ditempat ia bekerja.
Ethics officer dengan nilai moral ini juga biasanya akan
mundur dari jabatannya jika dia menemukan situasi dimana
dirinya harus melaksanakan tugasnya dengan melanggar etika
atau nilai yang berlaku.
Mendonca (2001, p.269) menyatakan bahwa karakter
moral dalam diri seseorang itu terdiri dari beberapa kebijakan
yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Plato, keempat
kebijakan tersebut adalah :
1. Kehati-hatian (Prudence), merujuk kepada pengunaan
standard-standard yang berlaku sebelum membuat
keputusan.
2. Keadilan (Justice), kebijakan ini menjunjung tinggi
keadilan kepada seluruh individual yang ada. Didalam
kasus ethics officer disini adalah ia dituntut untuk berlaku
35
adil kepada seluruh shareholders dan stakeholder didalam
dan luar perusahaan.
3. Ketabahan (Fortitude), fortitude ini menjelaskan tentang
diperlukanya keberanian dalam mengambil resiko dalam
menjalan sesuatu. Ethics officer yang mempunyai
fortitude, akan lebih memiliki kesiapan untuk menerima
resiko dari keputusan yang telah diambil.
4. Pengontrolan Diri (Temperance), temperance adalah suatu
bentuk kontrol diri. Ethics officer dengan kontrol diri yang
baik akan mampu menangani konflik – konflik peran yang
terjadi di lingkungan kerjanya.
Individual Orientation and Leadership Behavior,
individual orientationatau orientasi individu mengacu kepada
orang atau kelompok yang lebih individualistis, yang berarti
mereka lebiih memilih untuk mendefinisikan diri mereka
berdasarka siapa mereka. Orang – orang ini lebih rentan untuk
melihat kebutuhan utama mereka sendiri, dan seringkali
meninggalkan pekerjaan mereka untuk mendapatkan
kesempatan yang lebih baik tanpa memikirkan pengaruhnya
terhadap grup atau konsekuensi di jangka panjang (Adobor,
2006).
Ethics officer dengan orientasi individu yang tinggi
diharapkan untuk menggunakan influence tactic(taktit untuk
36
mempengaruhi/memberikan pengaruh) untuk mencapai
kepemimpinan yang ber-etika (ethical leaderhsip). Riset – riset
yang telah dilakukan dalam teori kepemimpinan mendapatkan
hasil bahwa gaya kepemimpinan transformasional
(Transformational leadership) adalah gaya kepemimpnan yang
menggunakan influence tactics untuk mencapai tujuan. Gaya
kepemimpinan transformasional memungkinan untuk mencapai
kepemimpinan yang menjunjung tinggi etika (Adobor, 2006).
Menurut Bass (1998) dalam Swandari (2003)
mendefinisikan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai
pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
bawahan dengan cara – cara tertentu. Dengan penerapan
kepemimpinan transformasional, bawahan akan merasa
dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya.
Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan
lebih dari yang diharapkan.
Menurut O’Leary (2001 kepemimpinan
transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan
oleh seorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan
batas dan memiliki kinerja melampau status quo atau mencapai
serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru.
Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi
bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan,
37
dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau
keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap
peningkatan kinerja. Berdasarkan pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional mencakup
upaya perubahan terhadap bawahan untuk berbuat lebih positif
atau lebih baik dari apa yang biasa dikerjakan yang
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Seorang ethics officer dengan keahlian untuk
mempengaruhi individu – individu lain didalam perusahaan,
akan dapat bekerja secara efektif dibandingkan dengan ethics
officer yang pasif dan tidak memiliki keahlian tersebut. Ethics
officer tersebut dipastikan dapat mengembangkan argumen
persuasif untuk menerangkan pentingnya manfaat dari perilaku
etis. Dapat disimpulkan bahwa seorang ethics officer dengan
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain akan dapat
menjalankan pekerjaanya lebih mudah dalam mencapai kinerja
mereka ke tingkat maksimal dan efektif (Adobor, 2006).
2.1.5 Kompetensi Pribadi
Kompetensi dalam diri seorang ethics officer akan dapat
membantu dirinya dalam menjalankan tanggung jawab dan
pekerjaannya didalam perusahaan, bentuk kompetensi yang dapat
mendukung diri seorang ethics officer antara lain adalah memiliki
pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi yang dimiliki oleh
38
perusahaan (Adobor, 2006). Bagian ini akan membahas lebih jauh
tentang technical knowledge, business knowledge dan kompetensi
yang harus dipahami oleh ethics officer.
2.1.5.1 Pengertian Kompetensi
Kompetensi adalah terminologi yang sering didengar
dan diucapkan banyak orang. Kita pun sering mendengar dan
mengucapkan terminologi itu dalam berbagai pengunaan,
khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya
manusia. Akan tetapi, sering kali persepsi, pemahaman, dan
makna terminologi itu tidak sama atau saling dipertukarkan
(interchangeable) dengan terminologi lain. Kesamaan persepi
banyak orang terhadap “kompetensi” barangkali terletak pada
bahwa terminologi itu merupakan atribut untuk melekatkan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atau unggul
(Sudarmanto, 2009).
Suatu atribut adlaah kualitas yang diberikan kepada
orang atau benda. Atribut mengacu pada karakteristik
tertentu yang diperlukan untuk dapat melaksanakan pekerjaan
secara efektif. Oleh karenanya, atribut terdiri atas persyaratan
pengetahuan, keterampilan, dan keahlian atau karakteristik
tertentu (Sudarmanto, 2009). Ada yang menginteprestasikan
kompetensi sepadan dengan kemampuan atau kecakapan.
Ada lagi yang menginterprestasikan sepadan dengan
39
keterampilan, pengetahuan dan berpendidikan tinggi.
Bahkan, ada pula yang mersepsikan sepadan dengan layak
(feasible), handal (reliable), cocok, dapat dipercaya dan
cerdas (Sudarmanto, 2009).
Perbedaan persepsi atas makna kompetensi itu
merupakan hal yang wajar dan tetap sah – sah saja karena
memang masing - masing belum memahami makna asal atau
makna aslinya. Akan tetapi, perbedaan persepsi akan makna
itu menjadi problematis ketika kompetensi itu diterapkan
dalam desain instrumen dan aplikasi manajemen sumber daya
manusia. Oleh karenanya, perlu pemahaman yang
komprehenif atau holistik tentang kompetensi, sehingga pada
saat melakukan desain instrumen dan aplikasi tidak terjadi
kontroversi yang kontraproduktif (Sudarmanto, 2009).
Agar memiliki pemahaman yang komprehensif, perlu
ditelusuri kosep “kompetensi “ dari sejarah perkembangan
dan makna aslinya. Terkait dengan itu, ada banyak
pengertian atau definisi tentang kompetensi dari berbagai
ahli, di antaranya adalah sebagai berikut :
- Menurut Richard E. Boyatzis (1982), kompetensi adalah
karakteristik – karakteristik yang berhubungan dengan
kinerja unggul dan atau efektif di dalam pekerjaan.
40
- Menurut Klemp (1980), kompetensi merupakan
karakteristik mendasar seseorang yang menghasilkan
kinerja unggul dan atau efektif dalam suatu pekerjaan
(dalam Robert Wood dan Tim Payne, 1998, p.24).
- Likewise Hornby dan Thomas (1989: 53) menyatakan
kompetensi adalah pengetahuan, keahlian, dan kualitas
manajer atau pemimpin yang efektif (dalam Woodruffe,
1993: 64).
- Menurut Lyle Spencer & Signe Spencer (1993, p.9),
kompetensi merupakan karakteristik dasar perilaku
individu yang berhubungan dengan kriteria acuan efektif
atau kinerja unggul didalam pekerjaan atau situasi.
- Menurut Michael Armstrong (1994, p.92), kompetensi
adalah apa yang orang bawa pada suatu pekerjaan dalam
bentuk, tipe, dan tingkat – tingkat perilaku yang berbeda
– beda. Kompetensi menentukan aspek – aspek proses
kinerja pekerjaan.
Dari berbagai definisi tersebut, di satu sisi telah
semakin jelas tentang makna dan muatan atau komponen –
kompenen dari kompetensi. Akan tetap, di sisi lain
banyaknya definisi juga menunjukkan pengertian kompetensi
dari berbagai orang tidak sama atau sangat beragam. Dalam
persepsi tentang kompetensi, memang terdapat perbedaan,
41
antara pendekatan Amerika Serikat dengan pendekatan
inggris (Wood, 1998 & Dale, 2003). Pendekatan Amerika
cenderung memandang kompetensi dari “perspektif perilaku”
di mana karakteristik perilaku tersebut dapat menyebabkan
kinerja unggul dalam pekerjaanya. (Wood, 1998 & Dale,
2003).
Dapat diambil kesimpulan bahwa, suatu kompetensi
dapat mendukung efektivitas kinerja dari seorang individu,
dalam hal ini kita ambil contoh seorang ethics officer,
didalam diri seorang ethics officer diperlukan 2 macam
kompetensi, yaitu technical knowledge dan business
knowledge. Technical knowledge sendiri itu adalah,
pemahaman secara rinci yang dimiliki seseorang/individu
tentang keahlian atau skill yang diterapkan dengan atau
dalam bentuk apapun untuk setiap masalah atau aplikasi
(Adobor, 2006).
Pengetahuan atau knowledge tentang hukum dan
peraturan yang berlaku dan relevan dapat mempengaruhi
proses pembuatan kinerja yang etis. Ferrel (2005) mengamati
bahwa peraturan yang mengatur perilaku bisnis jatuh
kedalam empat kelompok, berikut adalah peraturan dan
hukum yang harus dipahami untuk mewujudkan kinerja yang
etis :
42
- Laws protecting consumers, maksud dari bagian ini adalah,
adanya hukum dan peraturan yang harus ditaati oleh
suatu perusahaan, yaitu memberikan informasi yang
akurat tentang jasa dan produk yang diberikan oleh
perusahaan kepada konsumen.
- Laws promoting equity and safety, harus terdapatnya
hukum di tempat kerja untuk mewujudkan lingkungan
kerja yang aman dan adil bagi seluruh anggotanya.
- Regulation of competition, regulasi atau ketentuan yang ada
untuk dapat mewujudkan suatu kompetisi bisnis yang
adil, seperti adanya larangan untuk memonopoli suatu
jenis bisnis tertentu.
- Laws protecting the environment, hukum yang mengatur
dan memberikan batasan – batasan kepada para
perusahaan untuk tetap memperhatikan lingkungan
sekitar dalam menjalan aktivitas bisnisnya.
Dapat kita simpulkan bahwa, seorang ethics officer
tidaklah cukup jika hanya dibekali dengan keahlian atau skill
yang hebat saja dalam menjalankan pekerjaanya, tetapi ethics
officer tersebut harus memahami teori etika – etika dan
hukum yang berlaku untuk dapat mewujudkan kinerja yang
maksimal dan efektif bagi dirinya dan perusahaan (Adobor,
2006).
43
Menurut Adobor (2006) selain technical knowledge,
terdapat satu lagi bentuk kompetensi yang diperlukan oleh
seorang ethics officer jika ingin mencapai kinerja yang
maksimal dan efektif, bentuk kompetensi tersebut adalah :
business knowledge. Business knowledge sendiri adalah,
pengetahuan seseorang atau individu tentang bisnis yang
dijalankan perusahaan, produk atau jasa yang dihasilkan
perusahaan, dan peraturan & ketentuan yang terdapat didalam
perusahaan tersebut.
Business knowledge ini mencakup tiga hal, yaitu :
tugas kompetensi kinerja individu, pengetahuan yang luas
tentang industri dan perusahaan, termasuk pengetahuan
tentang produk, pasar, dan kebijakan yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut (Woodruffe, 2003). Seorang ethics
officer yang memiliki business knowledgeyang bagus akan
mempunyai pemahaman yang jelas tentang masalah apa yang
mereka hadapi didalam perusahaan tempat dimana mereka
bekerja dan akan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut
dengan tetap menjunjung tinggi etika bisnis yang berlaku
(Adobor, 2006).
Technical dan business knowledge yang dimiliki oleh
seorang ethics officer dapat sangat mempengaruhi kinerja
44
mereka didalam perusahaan yang mereka tempati karena dua
alasan (Adobor, 2006) :
- Pertama, pemahaman kompetensi pada pekerjaan yang
berhubungan dengan tugas – tugas akan mengurangi
kompleksitas pada peran pekerjaan yang sedang kita
jalankan. Seorang ethics officer yang kompeten, akan
dapat mengetahui apa jenis informasi yang mereka
butuhkan, dimana tempat untuk mendapatkan informasi
tersebut dan menafsirkan masalah dan menyelesaikannya
dengan tepat.
- Kedua, seorang ethics officermemiliki pemahaman yang
jelas tentang sifat bisnis dan lingkungan perusahaan
dimana dia bekerja akan berada dalam posisi yang lebih
untuk berurusan dan memahami persyaratan kompleks
yang diberikan oleh sejumlah stakeholder dan
subsistemnya.
Seorang ethics officeryang memiliki task-relevant
knowledgeseharusnya dapat mengatasi task complexity
(kompleksitas tugas) dan stress peran (role stress) yang
secara positif akan mempunyai dampak kepada kinerja
mereka (Maret dan Simon, 1958). Penelitian telah
menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan teknis secara
langsung mempengaruhi kinerja peran manajerial (McCall,
45
1994). Singkatnya, pengetahuan bisnis (business knowledge)
dan pengetahuan teknis (technical knowledge) dapat
membantu seorang ethics officeruntuk mengurangi sejumlah
ambiguitas peran (role ambiguity) yang dapat mempengaruhi
keefektivitasan kinerja diri mereka (March and Simon, 1958).
2.1.6 Kinerja Ethics Officer
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan
kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Seseorang
sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan
tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup
efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas
tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakan.
Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang
sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan
perannya dalam instansi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam upaya instansi untuk mencapai tujuan
(Luthans, 2006).
Menurut pendapat Vroom dalam Luthans (2006, p279)
kinerja ialah tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaannya disebut “Level of Performance”, bila
karyawan yang memiliki Level of Performance tinggi maka dapat
dikategorikan sebagai karyawan produktif dan sebaliknya jika ada
46
karyawan yang Level of Performancenya rendah maka dapat
dikatakan sebagai karyawan yang sudah tidak produktif.
Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan,
usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya
menurut pendapat Sulistiyani (2003, p.223). Bernardin dan Russel
dalam Sulistiyani (2003, p.223-224) menyatakan bahwa kinerja
merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai
tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Hasibuan (2003, p.94) juga berpendapat bahwa kinerja merupakan
suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-
tugasnya yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas
kecakapa, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja
merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan
minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas
pelaksanaan delegasi tugas, serta peran tingkat motivasi seorang
pekerja.
Dari pengertian dasar tentang kinerja, seorang ethics officer
sebenarnya dapat dikatan sudah bekerja dengan efektif jika ia dalam
menjalankan pekerjaanya sesuai dengan regulasi atau peraturan yang
sudah ditetapkan oleh perusahaan dan sudah terjadinya kerjasama
dan hubungan timbal – balik yang baik antara ethics officer dengan
pihak manajemen dalam melaksanakan pekerjaan didalam
perusahaan (Adobor, 2006). Ethics officer yang baik, seharusnya
47
juga sudah harus memahami betul visi dan misi yang dimiliki oleh
perusahaan tempat ia bekerja. Ethis officer dapat dikatakan sudah
bekerja dengan efektif jika sudah membentuk atau dapat memenuhi
kriteria – kriteria berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007):
- Mempunyai keterampilan komunikasi yang baik seperti public
speaking, presentasi, dan interaksi one-on-one dengan para
karyawan diseluruh level perusahaan.
- Mempunyai kemampuan untuk membentuk kredibilitas dan
kepercayaan kepada seluruh anggota perusahaan.
- Memiliki kemampuan untuk cepat mencerna informasi yang
berkaitan dengan isu – isu yang kompleks.
- Mereka mampu untuk melindungi informasi rahasia milik
perusahaan.
- Mereka mampu untuk mengambil tugas atau berada dalam posisi
yang menyulitkan jika diperlukan.;
2.2 Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian milik Henry Adobor yang berjudul Exploring the
Role Performance of Corporate Ethics Officers mengatakan bahwa
keefektivitasan kinerja dari ethics officer dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu : Personal Competencies, Individual Factors, Organization
Context, dan Role Challenges of Ethics Officer. Henry Adobor berpendapat
bahwa, keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang dimiliki
48
oleh seorang ethics officer dapat sangat berpengaruh nantinya terhadap
kinerja dia dalam melakukan tugasnya. Selain faktor pribadi, organisasi juga
mempengaruhi keefektivitasan kerja ethics officer, misalnya dengan
perekrutannya, ethics officer yang diangkat bisa dari luar atau dalam
perusahaan.
Juan Llopis, M. Reyes Gonzalez, dan Jose L. Gasco dalam penelitian
nya yang berjudul Corporate Governance and Organizational Culture : The
role of Ethics Officer mengatakan bahwa untuk mewujudkan suatu budaya
organisasi yang beretika, tidak cukup jika hanya membentuk sistem dan
budaya perusahaan yang berlaku. Diperlukannya kehadiran ethics officer
didalam sistem perusahaan. Agar ethics officer dapat memberi pengaruh
yang besar, diharapkan yang menjabat jabatan tersebut haruslah CEO atau
para senior managers. Setelah adanya ethics officer, pihak - pihak lain juga
perlu untuk mendukung atau saling supportif terhadap program etika yang
dijalankan agar budaya etika terbentuk secara maksimal.
Dalam penelitian yang berjudul An Investigation of Ethics Officer
Independence, W. Michael Hoffman, John D. Neill, dan O. Scott Stovall
percaya bahwa untuk mewujudkan kinerja efektif dan maksimal dari ethics
officer, ethics officer tersebut harus dapat bekerja secara independen atau
terpisah dari tim manajemen. Diperlukan juga kehadiran board of directors
(BOD) untuk membantu pemantauan masalah etika di perusahan, jika para
board of directors tersebut tidak mau atau menolak, maka harus diangkat
49
ethics officeryang board-appointed, board-compensated, dan melapor atau
berhubungan langsung dengan para board of directors.
Tabel 2.1 Penelitian Relevan
Variabel Peneliti Hasil
Personal
Competencies,
Individual Factors,
Organization Context,
Role challenges of
Ethics Officer, dan
Ethics Officer’s
Performance.
Henry Adobor, 2006 Pengetahuan pribadi
tentang regulasi peraturan
yang berlaku serta
keterampilan yang
dimiliki oleh ethics
officer dapat menghindari
kompleksitas kerja yang
nantinya akan
berpengaruh kepada
efektivitas kerja mereka.
Organisasi juga
memegang peranan
penting dalam merekrut
ethics officer dan
memberikan otonomi
kepada ethics officer
tersebut.
Corporate Juan Llopis, M. Suatu governance atau
50
Governance,
Organisational
Culture, Ethics
Officer.
Reyes Gonzalez, dan
Jose L. Gasco (2007)
budaya perusahaan belum
akan memberi pengaruh
yang besar dalam
mengatasai masalah etika
walaupun adanya ethics
officer. Untuk
mewujudkan kinerja yang
efektif dan lingkungan
kerja yang ber-etika,
seharusnya posisi ethics
officer itu diisi oleh CEO
atau para senior
managers
Independence, Ethics
Officer’s Job.
W. Michael Hoffman,
John D. Neill, dan O.
Scott Stovall (2008)
Untuk mencapai kinerja
yang efektif dri ethics
officer, sebaiknya ethics
officer tersebut selain
harus dapat bergerak
secara independen,
kehadiran dirinya harus
didukung oleh seluruh
anggota perusahaan,
51
termasuk adanya bantuan
dari board of directors
dalam mengatasi masalah
etika didalam perusahaan.
Sumber : Hasil Penelitian (2012)
Berdasarkan hasil penelitian tentang ethics officer yang sudah
dilakukan oleh beberapa peneliti tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk dapat menghasilkan kinerja ethics officer yang efektif, ethics officer
tersebut perlu bergerak secara independen didalam perusahaan, dan yang
terpenting adalah harus ada rasa saling mendukung dan percaya antara
ethics officer dengan tim manajemen didalam perusahaan agar ethics officer
tersebut dapat bekerja secara maksimal dan efektif.
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam melakukan penelitian tentang ethics officer, skripsi ini
menggunakan kerangka pemikiran yang berasal dari jurnal penelitian milik
Henry Adobor berikut :
52
Figure 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Henry Adobor’s Exploring The Role of Ethics Officer (2006)
Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa variabel Kompetensi
Pribadi (X1) danFaktor – Faktor Individual (X2) memberikan pengaruh
langsung terhadap variabel Role Challenges of Ethics Officer (Y) dan
Kompetensi Pribadi (X1)
- Technical Knowledge
- Business Knowledge
Faktor – Faktor Individual (X2)
- Tolerance of Ambiguity
- Locus of Control
- Moral Character
- Individual Orientation and leadership behavior
Role Challenges of Ethics Officers (Y)
- Role Conflict - Role
Ambiguity - Task
Complexity - Low Task
Visibility
Kinerja Ethics Officer (Z)
- Ethics Officer Effectiveness
53
memberikan pengaruh tak langsung terhadap variabel Kinerja Ethics Officer
(Z).