114868578 makalah ascites
DESCRIPTION
file kedokteranTRANSCRIPT
Definisi
Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam rongga perut. Kata "ascites" itu berasal dari
kata Yunani "askos," berarti yang tas atau karung.
Etiologi
Liver Disease: Cirrhosis Fulminant Hepatic Failure Fatty liver of pregnancy Neoplasms: Hepatoma Liver, peritoneal or lymphatic metastases Lymphoma with Lymph Obstruction Pseudomyxoma peritonei Meig’s Syndrome (Ovarian Fibroid) Heart Failure: Cor pulmonalé heart disease & COPD ASHD or VHD with biventricular CHF Constrictive Pericarditis Infections: Tuberculosis Spontaneous Bacterial Peritonitis Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia) HIV Venous occlusion: Supradiaphragmatic IVC Occlusion Budd-Chiari Syndrome Veno-occlusive disease \\Dialysis Related Nephrotic Syndrome Inflammatory: Pancreatitis Bile Peritonitis Chronic lymphatic inflammation/fibrosis Connective Tissue Disease Trauma: Ruptured Viscus Trauma to the abdominal cysterna chyli Nutritional: Marasmus Kwashiokor Endocrine: Myxedema Endometriosis
80-85%
10%
3%
1%
<1%
<1%
<1%
<1%
<1%
Klasifikasi Ascites:
Menurut EASL 2010:
1. Uncomplicated ascites
Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai penyebabnya.
Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung, tuberculosis, penyakit
pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui. Sehingga evaluasi inisial pada pasien
dengan ascites meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, USG abdominal, pemeriksaan
laboratorium fungsi hepar, fungsi renal, elektrolit serum dan urine, kemudian analisis cairan
ascites.
Tabel grading ascites dan terapi yang sesuai
Grade ascites Definisi Terapi 1 Ascites ringan, hanya terdeteksi
dengan USG
Tidak ada terapi
2 Ascites moderat diketahui dengan
adanya distensi abdomen simetris
Restriksi intake natrium dan
diuretik3 Ascites besar atau gross dengan
distensi abdomen terbatas
Paracentesis volume besar dengan
restriksi ntake natrium dan diuretik
(kecuali pada pasien refractory
ascites)
2. Refractory ascites
Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites didefinisikan sebagai
“ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali secara dini dimana (contoh:
setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan dengan terapi medis.” Sekali ascites
tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata ketahanan pasien kira-kira 6 bulan.
Konsekuensinya, pasien dengan ascites refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.
Tabel Definisi dan kriteria diagnostik untuk ascites refrakter pada sirosis
Ascites resisten diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali
secara dini yang tidak dapat dicegah karena kekurangan
respon terhadap restriksi natrium dan terapi diureticAscites sulit diatasi diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali
secara dini yang tidak dapat dicegah karena perkembangan
komplikasi akibat diuretic yang mengganggu penggunaan
dosis efektif diureticSyarat
1. Durasi terapi Pasien harus mendapatkan terapi diuretic intensif
(spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari)
setidaknya 1 minggu dan pada diet rendah garam kurang dari
90 mmol/hari2. Kurangnya respon Penurunan berat badan rata-rata <0.8 kg lebih dari 4 hari dan
natrium urine kurang dari intake3. Rekurensi ascites dini Kemunculan kembali ascites grade 2 atau 3 antara 4 minggu
pertama mobilisasi4. Komplikasi akibat
diuretic
Hepatic ensefalopati akibat diuretic adalah timbulnya
ensefalopati tanpa factor presipitasi lain
Kerusakan renal akibat diuretic adalah peningkatan kreatinin
serum >100% hingga nilai >2 mg/dL (177μmol/L) pada
pasien ascites yang respon terhadap terapi
Hiponatremia akibat diuretic didefinisikan sebagai
penurunan serum natrium >10 mmol/L hingga natrium serum
<125 mmol/L
Hipo atau hiperkalemia akibat diuretic didefinisikan sebagai
perubahan kalium serum <3mmol/L atau >6mmol/L
menggunakan pengukuran yang tepat
3. Spontaneous bacterial peritonitis
SBP merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada pasien dengan sirosis dan asites. Saat
pertama kali dideskripsikan, angka mortalitasnya lebih dari 90% tapi turun hingga sekitar
20% dengan diagnosis dan terapi dini. Diagnosis SBP berdasarkan diagnosis paracentesis.
Semua pasien dengan sirosis dan ascites beresiko SBP dan prevalensi SBP pada pasien rawat
jalan adalah 1.5-3.5% dan sekitar 10% pada pasien rawat.
4. Hiponatremia
Hiponatremia umum pada pasin dengan sirosis dekompensata dan berkaitan dengan
ketidakseimbangan solution air bebas sekunder terhadap hipersekresi vasopressin non-
osmotik (anti diuretic hormone), yang mengakibatkan ketidakproporsionalan retensi air
relative terhadap retensi natrium. Hiponatremia pada sirosis secara sepihak didefinisikan
ketika konsentrasi natrium serum menurun hingga di bawah 130 mmol/L, namun reduksi di
bawah 135 mmol/L juga dikatakan sebagai hiponatremia, tergantung panduan hiponatremia
pada populasi umum pasien yang ada.
Pasien dengan sirosis dapat mengembangkan 2 tipe hiponatremia: hipovolemik dan
hipervolemik. Hipervolemik hiponatremia adalah yang paling umum dan dikarakteristikkan
dengan rendahnya level natrium serum dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler, dengan
ascites dan edema. Kondisi ini dapat muncul secara spontan atau sebagai konsekuensi
kelebihan cairan hipotonik (contoh: dextrose 5% ) atau komplikasi sekunder sirosis, sebagian
akibat infeksi bakteri. Hipovolemik hiponatremia jarang terjadi dan dikarakteristikkan dengan
rendahnya level natrium serum dan tidak adanya ascites dan edema, dan paling sering terjadi
sekunder dari terapi diuretic berlebih.
Konsentrasi natrium serum adalah penanda penting prognosis sirosis dan adanya
hiponatremia dikaitkan dengan ketidakmampuan bertahan hidup. Lebih jauh lagi,
hiponatremia juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, sebagian komplikasi neurologis,
dan penurunan kemungkinan hidup setelah transplantasi, meskipun hasil penelitian
menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan hidup.
5. Hepatorenal syndrome
Hepatorenal syndrome (HRS) didefinisikan sebagai kemunculan gagal ginjal pada pasien
dengan penyakit hepar berat dengan tidak adanya penyebab gagal ginjal yang dapat
diidentifikasi. Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab gagal ginjal lain.
Pada kondisi ini, vasodilatasi terutama terjadi pada arteri splanchnicus, sehingga cardiac
output pasien HRS dapat rendah atau normal (sedikit meningkat), namun tidak mencukupi
kebutuhan pasien, dimana pemicu paling penting perkembangan HRS tipe 1 adalah infeksi
bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan terapi obat.
Table criteria diagnosis hepatorenal syndrome pada sirosis
Sirosis dengan ascitesSerum kreatinin >1.5 mg/dL (133μmol/L)Tidak ada shockTidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan berkelanjutan
fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133μmol/L) diikuti setidaknya 2 hari withdrawal
diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi volume dengan albumin 1 g/kg/hari
hingga maksimum 100g/hariTidak ada terapi dengan obat nephrotoxicTidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5 g/hari, tidak
mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal
Tabel Penyebab Ascites
Penyebab %Penyakit Hepar:
Sirosis
Gagal hepar fulminan
Perlemakan hati pada kehamilan
80-85%
Neoplasma:
Hepatoma
Metastase ke hepar, peritoneal atau limfatik
10%
Limfoma dengan obstruksi limfe
Pseudomyxoma peritonei
Meig’s syndrome (fibroid ovarium)Gagal jantung:
Cor pulmonale & PPOK
ASHD atau VHD dengan biventricular CHF
Perikarditis konstriktif
3%
Infeksi:
Tuberkulosis
Peritonitis bakterialis spontan
PID (Chlamydia)
HIV
<1%
Oklusi vena:
Oklusi Supradiafragmatika IVC
Sindroma Budd-Chiari
Veno-occlusive disease 2o to toxin (seneciosis)
<1%
Renal:
Kaitan dengan dialysis
Sindroma nefrotik
<1%
Inflamasi:
Pancreatitis
Peritonitis bilier
Inflamasi limfatik kronik/fibrosis
<1%
Penyakit jaringan ikatTrauma:
Viscus yang rupture
Trauma abdomen sisterna chili
<1%
Nutrisi:
Marasmus
Kwashiorkor
<1%
Endokrin:
Myxedema
Endometriosis
<1%
Patofisiologi
Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling, overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.
Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma renin, aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan air pada ginjal.
Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah terjadinya retensi natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat penurunan volume vaskular. Teori ini dikembangkan karena pada pengamatan pasien dengan sirosis memiliki hipervolemia intravaskular daripada hipovolemia.
Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis (pembentukan jaringan
parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi
peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta
ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya
vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan
adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran
darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta
tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus.
Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.
Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan
mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan
volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini,
tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-
angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan
reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga
menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga tubuh.
Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu spontaneus
bacterial peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat
aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta
komplikasi lain yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.
Dasar Diagnosis
Anamnesis
Ascites bisa timbul mendadak atau perlahan – lahan tergantung pada penyebabnya.
Ascites ringan mungkin tidak bergejala, moderate ascites mungkin memberi gejala
peningkatan berat badan dan rasa berat di perut, ascites dalam jumlah besar juga memberi
gejala rasa tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan hernia umbilicalis, serta menyebabkan
elevasi dari diafragma yang akan menimbulkan gejala sesak napas.
Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari penyakit
yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit hati, harus ditanyakan
kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum suntik bergantian, riwayat transfusi,
serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau
penyakit pericardial. Riwayat keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan
payudara, saluran pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus
juga dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi dari
tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan riwayat pancreatitis
kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin ditemukan lebih dari satu faktor
predisposisi.
Pemeriksaan Fisik
Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas, dispepsia,
obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam jumlah besar, ascites
mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites dalam jumlah sedang atau kecil,
ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai 50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa,
flank dullness (90% positif pada pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta
puddle sign, bila jumlah cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista
ovarium yang besar dan kehamilan dengan polihidramnion.
Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites. Pada penyakit
hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll. Splenomegaly dan
pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien dengan cardiac ascites akan
ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB mengarah ke tuberculosis atau lymphoma.
Pemeriksaan Penunjang
Parasintesis abdomen
Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan daerah
avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan cairan dalam
jumlah besar, dan peningkatan persentase orang – orang dengan obesitas, yang menyebabkan
penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah lebih direkomendasikan, karena dinding
abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta
cairan lebih terakumulasi di daerah tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan
bawah kurang optimal karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan
SIAS harus dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit ditentukan
karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.
Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal paracentesis.
The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from Thomsen TW, Shaffer RW,
White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med 2006;355:e21, with permission from the
Massachusetts Medical Society(2006) Massachusetts Medical Society.
Analisis Cairan Ascites
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan pada ascites menurut European Association for
the Study of the Liver (EASL) dibagi berdasarkan penyakit yang menyertai timbulnya ascites,
antara lain :
1. Ascites tanpa komplikasi
Pasien dengan cirrhosis dan ascites merupakan resiko tinggi untuk komplikasi lain dari
penyakit liver, termasuk ascites berulang, peritonis bakterialis spontan (spontaneous
bacterial peritonitis, SBP), hiponatremia, maupun sindroma hepatorenal (HRS). Ascites
tanpa komplikasi didefinisikan sebagai ascites yang bukan disebabkan komplikasi tersebut
di atas.
a. Penatalaksanaan
Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak dilakukan
terapi apapun.
Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang simetris. Pasien
seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan tidak dilakukan opname kecuali
pada pasien tersebut ditemukan komplikasi lain dari cirrhosis. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk meniadakan retensi natrium dan menghasilkan keseimbangan natrium
negatif. Hal ini dilakukan dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan
ekskresi natrium dengan diuretik.
- Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120 mmol/hari
atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.
- Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis 40 mg/hari
dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun Spironolakton (100
mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan setiap 7 hari sampai mencapai 400
mg/hari). Pemberian diuretik ini diberikan hingga didapatkan penurunan berat badan
harian tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada
pasien dengan oedem perifer, hal ini untuk menghindari gagal ginjal terkait pemberian
diuretik dan/atau hiponatremia.
Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi abdomen.
Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP) merupakan pilihan terapi
dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang dikombinasi dengan albumin lebih
efektif ketimbang diuretik dan secara nyata mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2)
LVP dengan albumin lebih aman ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian
hiponatremia, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang
menjamin rawat ulang maupun angka keberhasilan antara keduanya. (4) LVP adalah
prosedur yang aman dengan resiko komplikasi lokal seperti perdarahan atau perforasi
usus yang rendah.
Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun polygeline
setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin lebih bermakna pada
penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah LVP.
b. Prognosis
Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang buruk. Angka
kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan 50% pada tahun kedua.
Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk, antara lain : hiponatremia, tekanan
arterial yang rendah, peningkatan serum kreatinin, dan kadar natrium yang rendah
dalam urine.
Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat dipertimbangkan
sebagai pilihan terapi yang potesial.
2. Ascites Refrakter
Ascites refrakter didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi ataupun
berulang dengan segera setelah LVP yang tidak dapat dicegah dengan pengobatan.
a. Penatalaksanaan
Large-volume Paracentesis. Merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman.
Pemberian albumin mencegah disfungsi sirkulasi yang terkait LVP.
Diuretik. Pada sekitar 90% pasien, pemberian diuretik tidak cukup efektif untuk
mencegah maupun memperlambat rekurensi ascites setelah LVP. Diuretik harus
dihentikan secara permanen pada pasien dengan komplikasi terkait permberian diuretik
(ensefalopati hepatik, gagal ginjal, maupun kelainan elektrolit).
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS). TIPS terbukti efektif dalam
mengendalikan ascites berulang. Efek jangka pendek dari TIPS adalah meningkatkan
cardiac output, tekanan atrial kanan, dan tekanan arteri pulmonal yang mengurangi
resistensi pembuluh darah sistemik dan volume darah arteri menjadi efektif. Efek yang
menguntungkan pada fungsi ginjal termasuk meningkatkan ekskresi natrium dan GFR.
TIPS juga memiliki keuntungan dalam menjaga keseimbangan nitrogen dan berat
badan.
3. Peritonitis Bakterialis Spontan (SBP)
SBP sering ditemukan pada pasien dengan cirrosis dan ascites, dimana terjadi peningkatan
angka kematian mencapai 90% yang dapat ditekan hingga 20% dengan diagnosis dan
terapi dini.
a. Penatalaksanaan
Terapi antibiotik empiris.Terapi dengan antibiotik empiris perlu segera diberikan
setelah SBP didiagnosis, tanpa menunggu hasil kultur cairan ascites. Antibiotik yang
berpotensi nefrotoksik (seperti aminoglikosida) tidak boleh diberikan sebagai terapi
empiris. Cefotaxime yang merupakan generasi ketiga dari cephalosporin, diberikan
secara luas pada pasien dengan SBP karena dapat mengatasi kebanyakan organisme
yang menjadi penyebab. Angka kesembuhan ditemukan pada 77-98% pasien dengan
dosis 4 mg/hari sama efektif dengan dosis 8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama
efektifnya dengan terapi selama 10 hari.
Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan secara IV
kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka kesembuhan dan angka
kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan tentu dengan harga yang lebih murah.
Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5 hari per oral
memberi hasil serupa dalam angka kesembuhan dibanding cefotaxime, tetapi dengan
harga yang lebih mahal.
Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak berkurang kurang
dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah pemberian terapi antibiotik selama 2
hari, kemungkinan besar terapi gagal dan diperkirakan infeksi yang terjadi disebabkan
bakteri yang resisten terhadap terapi antibiotik.
Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome (HRS) terjadi
pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi antibiotik tunggal memiliki
prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5 g/kg pada saat didiagnosis dan 1 g/kg
pada hari ketiga) menurunkan frekuensi HRS dan terbukti meningkatkan angka
keberhasilan.
b. Pencegahan
Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam menurunkan
jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko tinggi yang perlu dikenali,
antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT akut, (2) pasien dengan kadar protein
total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3)
pasien dengan riwayat SBP sebelumnya.
(1) Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP merupakan
masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut yang terjadi antara 25%
dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada hasil meta-analisis didapatkan
bahwa pemberian antibiotik profilaksis terbukti menurunkan insidensi perburukan
infeksi dan angka kematian.
Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat ceftriaxone
merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien dengan penyakit liver
yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin per oral maupun kuinolon untuk
mencegah perburukan dari SBP.
(2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak
memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver sedang dengan
konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15 g/liter dan tanpa riwayat SBP
sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam mencegah SBP atau membuktikan angka
keberhasilan profilaksis tidak terlalu terbukti.
(3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa pemulihan dari
SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang. Pemberian antibiotik profilaksis
mengurangi resiko terjadinya SBP berulang. Norfloxacin (400 mg/hari, per oral)
merupakan pilihan terapi. Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750 mg sekali
seminggu, per oral) atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole dan 160 mg
Trimethroprim per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak sebaik Norfloxacin.
4. Hiponatremia
Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi natrium serum
dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L perlu disadari sebagai
hiponatremia pada populasi pasien secara umum.
a. Penatalaksanaan
Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium bersamaan
dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan karena pemberian diuretik
berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat balance air negatif dengan
meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil yang diharapkan untuk mengembalikan
keadaan natrium.
Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan
hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali bertahan
sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem. Pemberian albumin
nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi natrium serum, tetapi masih
dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang. Pengunaan obat-obatan secara dini seperti
demeclocycline atau κ-opioid antagonist kurang berhasil dikarenakan efek samping
yang ditimbulkannya. Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan penelitian
mengenenai vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan menyebabkan blok
selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari ductus coligens. Obat ini
terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium serum pada kondisi dengan
level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
secretion (SIADH), gagal jantung, atau cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian
vaptan untuk periode singkat (1 minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan
volume urine dan ekskresi cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang
rendah pada 45-82% pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gangguan kesadaran (seperti ensefalopati) yang tidak dapat meminum cukup cairan
karena beresiko terjadinya dehidrasi dan hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh
nzim CYP3A di liver, tetapi pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti
ketoconazole, jus anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat
meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium serum dalam
jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin, barbiturat, dan phenytoin
dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.
Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk hiponatremi
hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis, ascites, gagal jantung,
dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika untuk terapi singkat (5 hari) dengan
pemberian secara IV. Pemberian tolvaptan dimulai dengan dosis 15 mg/hari dan di
titrasi sampai 30 dan 60 mg/hari. Pada penelitian berbeda dilaporkan meningkatkan
kejadian perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.
5. Sindroma hepatorenal (HRS)
HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit liver dimana
penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.
a. Penatalaksanaan
Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital, fungsi liver dan
ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis. Pemberian cairan berlebihan
harus dihindari untuk mencegah overload cairan dan progresivitas dari hiponatremia.
Diuretik rendah kalium tidak boleh diberikan karena beresiko terjadinya hiperkalemia
berat.
Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor. Penggunaan
vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat vasopresin analog seperti
terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50% pasien. Umumnya, terlipressin dimulai
dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan dinaikkan sampai dosis maksimum 2 mg/4-6jam jika
tidak didapatkan penurunan kadar kreatinin serum setidaknya sebanyak 25% terhadap
nilai awal pada hari ketiga terapi. Terapi dipertahankan sampai kreatinin serum turun di
bawah 1,5 mg/dL (133 μmol/L), biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-106 μmol/L).
TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan mengontrol ascites
pada pasien HRS.
Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada keadaan
hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada pasien HRS stadium
dini.
Transplantasi liver. Merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan angka
keberhasilan sampai 65% pada pasien HRS
b. Pencegahan
Pasien dengan SBP perlu diterapi dengan albumin IV menunjukkan penurunan
insidensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.
Daftar Pustaka
1. Clinical Practice Guideline, EASL clinical practice guideline on the management of
ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis.
Journal of Hepatology, 2010, Vol. 53, p 397-417.
2. Runyon, Bruce A. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: An
Update from AASLD PRACTICE GUIDELINES, hepatology, Vol. 49, No. 6 on
http://www.aasld.org/practiceguidelines/Documents/Bookmarked%20Practice
%20Guidelines/Ascites%20Update6-2009.pdf