1. pengertian perilaku bullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1477/3/bab ii.pdf · 1. pengertian...

24
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Perilaku Bullying Penindasan (bullying) merupakan angka yang signifikan dikehidupan siswa (Santrock, 2001). Beane (2008) mengatakan bahwa bullying memiliki pengertian yang cukup banyak mencakup perilaku yang mana memiliki dampak pada seseorang, seperti pada tubuhnya, perasaannya, hubungannya, nama baiknya, dan status sosialnya dalam masyarakat. Bullying adalah bentuk tindakan yang bermaksud jahat dan perilaku agresivitas yang mana tindakan tersebut disengaja, menyakiti, dan dilakukan berulang-ulang. Tattum dan Tattum (Beane, 2008) mendefinisikan bullying adalah tindakan menyakiti orang lain secara sadar daan menjadikannya berada dibawah tekanan/stres. Bullying dipahami sebagai sebuah bagian dari pikiran, pikiran jahat seseorang (Rigby, 2002). Menurut Rigby (2002) bullying adalah sebuah hasrat menyakiti, dimana hasrat ditunjukan dengan aksi yang menyebabkan orang menderita. Aksi ini langsung di lakukan oleh kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok yang lebih lemah, dilakukan secara berulng-ulang dan dengan perasan yang senang.

Upload: others

Post on 07-Feb-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Bullying

1. Pengertian Perilaku Bullying

Penindasan (bullying) merupakan angka yang signifikan dikehidupan siswa

(Santrock, 2001). Beane (2008) mengatakan bahwa bullying memiliki pengertian

yang cukup banyak mencakup perilaku yang mana memiliki dampak pada

seseorang, seperti pada tubuhnya, perasaannya, hubungannya, nama baiknya, dan

status sosialnya dalam masyarakat. Bullying adalah bentuk tindakan yang

bermaksud jahat dan perilaku agresivitas yang mana tindakan tersebut disengaja,

menyakiti, dan dilakukan berulang-ulang.

Tattum dan Tattum (Beane, 2008) mendefinisikan bullying adalah tindakan

menyakiti orang lain secara sadar daan menjadikannya berada dibawah

tekanan/stres. Bullying dipahami sebagai sebuah bagian dari pikiran, pikiran jahat

seseorang (Rigby, 2002).

Menurut Rigby (2002) bullying adalah sebuah hasrat menyakiti, dimana hasrat

ditunjukan dengan aksi yang menyebabkan orang menderita. Aksi ini langsung di

lakukan oleh kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok yang lebih lemah,

dilakukan secara berulng-ulang dan dengan perasan yang senang.

12

Bullying adalah perilaku yang dilakukan berulang–ulang oleh siswa yang

memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan

menyakiti orang tersebut (Craig et al, dalam Kustanti 2015). Menurut yayasan

Sejiwa (dalam Deviza & Taufik, 2012) bullying secara sederhana diartikan

sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau

kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya. Farington

(dalam Rigby, 2007) menambahkan bullying adalah tekanan yang dilakukan

secara berulang baik secara psikologi atau fisik, terhadap seseorang atau

kelompok yang tidak memiliki kekuatan yang dilakukan oleh seseorang atau

kelompok yang memiliki kekuatan.

Pengertian yang telah dijelaskan di atas mengenai perilaku bullying peneliti

mengutip mengertian bullying yang telah dikemukakan oleh Craig et al, bullying

adalah perilaku yang dilakukan berulang–ulang oleh siswa yang memiliki

kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti

orang tersebut.

2. Bentuk-bentuk Bullying

Perilaku bullying menurut Beane (2008) terdiri dari beberapa bentuk,

seperti: bullying secara fisik, bullying secara verbal, dan secara hubungan

sosial.

a. Bullying secara fisik, seperti: memukul, menampar, menyiku,

menendang, mengendalikan orang lain, mendorong

b. Bullying secara verbal, seperti: mengganggu secara berulang – ulang,

intimidasi, mengancam, menggunjing, memberitakan yang tidak benar.

13

c. Bullying secara hubungan sosial, seperti: merusak atau memanipulasi

hubungan, merusak reputasi orang, mengisolasi atau menolak

seseorang di depan kelompok, mempermalukan orang lain,

memandang sinis, memberikan isyarat mengancam.

Menurut Rigby (2002) bullying yang dilakukan disekolah umumnya

mempunyai 3 karakteristik yang terintegrasi: adanya perlakuan agresif yang

menyenangkan pelaku untuk menyakiti korban, perlakuan diberikan kepada

kelompok yang lemah oleh kelompok yang lebih kuat tindakan dilakukan

berulang – ulang sehingga membuat korbannya tertekan.

Berdasarkan penjelasan mengenai bentuk-bentuk perilaku bullying di atas,

peneliti menggunakan bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Beane (2008), yaitu

bullying secara fisik, bullying secara verbal, dan bullying secara hubungan sosial.

Peneliti menggunakan bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Beane karena

bentuk-bentuk yang dikemukakan Beane lebih lengkap dan terperinci.

3. Faktor-faktor Bullying

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bullying menurut Beane

(2008) adalah faktor fisik , faktor biologi, faktor sosial, pendidikan, harga diri,

rendahnya nilai-nilai di masyarakat dan iklim Sekolah.

a. Faktor fisik

Keadaan fisik seseorang dapat mempengaruhi seseorang

melakukan tindakan bullying atau menjadi korban bullying di sekolah.

Rigby (2002) menjelaskan ciri-ciri pelaku bullying, pelaku umumnya

memiliki ukuran fisik yang besar atau memiliki kekuasaan diantara teman-

14

temannya sehingga korban tidak berani untuk melawan atau menghindar,

kebanyakan pelaku adalah korban bullying atau kekerasan di rumah.

b. Faktor biologi

Para peneliti percaya bahwa perilaku agresif adalah dasar,

karakteristik yang telah melekat pada manusia, tapi beberapa faktor

biologi mungkin dapat menaikkan level dari agresi yang dapat diterima

norma dalam masyarakat. Berkowitz (Rygby, 2002) mendefinisikan agresi

adalah perilaku menyakiti seseorang dengan sengaja. Menurut Siswati &

Cortrie (Deviza & Taufik, 2013) mengatakan bahwa bullying merupakan

salah satu bentuk agresi.

c. Faktor sosial

Manusia adalah makhluk sosial, pembentuk suatu hubungan,

manusia dapat mempengaruhi dan dipengarui orang lain dalam bertindak,

pada contoh lingkungan sosial yang kecil, orang tua dapat sebagai guru

yang memiliki kekuasaan. Baumrind (Santrock, 2007) berpendapat bahwa

orang tua sebaiknya tidak bersikap menghukum maupun bersikap menjauh

terhadap anak, namun orang tua sebaiknya mengembangkan aturan-aturan

dan hangat terhadap anak. Terdapat empat gaya pengasuhan orang tua

yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari perilaku anak

adalah pengasuhan otoritarian, otoritatif, mengabaikan dan memanjakan.

Media dan teman sebaya juga dapat menjadi guru yang berkuasa. Oleh

sebab itu orang tua yang baik dalam mendidik anak adalah dengan selalu

memberikan pemahaman mengenai dampak negatif di dunia ini mengenai

15

tindakan yang dilakukan. Meskipun beberapa orang tua tidak baik dalam

memberikan pengaruh dan mengajarkan pilihan, bias, dan nilai yang

menimbulkan konflik dan masalah hubungan dengan orang lain.

d. Pendidikan

Anak-anak juga belajar mengenai pilihan dari keluarga dan

lingkungan sosial. Anak-anak yang diajarkan sangat dini mengenai nilai

yang dianut, kecerdasan, kekuatan, pengaruh, ketekunan dan produktivitas.

Mereka belajar sampai dalam batas normal pada usia yang sangat muda

dan mereka secara tetap membentuknya dan dengan arti lain mereka dalam

batas diterima.

e. Harga diri

Harga diri yang memiliki arti gambaran diri, atau evaluasi terhadap

diri sendiri. Penilaian ini berupa penilaian tinggi maupun rendah yang

diperoleh dari interaksinya dengan orang lain. Berdasarkan penelitian dari

Estevez, Murgui dan Musitu (dalam Ginanjar & Wibowo, 2013) pada

siswa remaja, siswa pelaku bullying memiliki harga diri yang lebih tinggi

dibandingkan siswa yang bukan merupakan pelaku bullying.

f. Rendahnya nilai-nilai yang di masyarakat

Anak-anak yang berada dilingkungan dengan orang – orang atau

masyarakat dengan moral yang baik akan lebih kecil melakukan atau

menerima tindakan bullying. Ketika anak- anak ditemukan indikasi ketika

mereka belajar mengenai sesuatu yang benar atau salah dan disana ada

penguatan nilai dari lingkungan sekitar dan komunitas. Mereka akan

16

membuatr keputusan yang bagus. Namun bagaimanapun juga karena

tindakan bullying tidak pernah benar hal itu semestinya menjadi tinjauan

dari isu komunitas sebagai pengembangan dari karekter yang baik yang

dapat difokuskan di beberapa komunitas (Beane, 2002).

g. Iklim Sekolah

Stephenson, Smith dan Elliotn dalam Beane (2008), telah

mengumpulkan beberapa variasi dari faktor di lingkungan sekolah yang

dapat berkontribusi untuk melakukan tindakan bullying. Beberapa faktor

diantanya : rendahnya moral staff dan karyawan sekolah, ketidak

konsistenan dari peraturan disiplin, lemahnya organisasi (kelas,

lingkungan sekolah), pengawasan yang tidak cukup, anak – anak tidak

diperlakukan manusiawi, perlengkapan yang tidak memadai (kelas gym,

tempat bermain, kelas, lab), kekurangan dukungan untuk siswa baru, guru

yang selalu terlambat, tidak menghargai perbedaan, tidak ada peraturan

anti bullying, kurangnya dukungan pada anak yang berkebutuhan khusus,

dan tidak selesainya prosedur untuk pelaporan dan penuntasan dari kasus

bullying yang terjadi.

Iklim sosial sekolah dan kualitas dari pengawasan di sekolah

sangat penting dalam manangani perilaku bullying. Iklim sekolah yang

kurang kehangatan dan kurang penerimaan terhadap siswa lebih

memungkinkan terjadinya permasalahan bullying dan disiplin pada siswa.

Bullying sering terjadi di daerah-daerah dimana kurang adanya

pengawasan orang dewasa atau rendahnya kualitas pengawasan orang

17

dewasa. Menurut Novianti (dalam Usman, 2013) tingkat pengawasan di

sekolah menentukan seberapa banyak dan seringnya terjadi peristiwa

bullying.

Beberapa faktor yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi perilaku bullying adalah faktor fisik, faktor biologi,

faktor sosial, pendidikan, harga diri, rendahnya nilai-nilai di masyarakat dan iklim

sekolah. Dari uraian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan tindakan bullying,

peneliti memilih menggunakan faktor harga diri dan iklim sekolah sebagai faktor

yang menyebabkan perilaku bullying pada remaja. Faktor tersebut dipilih karena

sejalan dalam penelitian yang dilakukan Daly (dalam Ginanjar & Wibowo, 2013)

menyebutkan bahwa semakin sering siswa melakukan bullying, maka semakin

tinggi pula harga diri yang dimiliki siswa tersebut. Selanjutnya dalam penelitian

dihasilkan bahwa iklim sekolah dapat berkontribusi dalam perilaku bullying yang

dilakukan siswa di sekolah (Olweus, Rigby & Sullivan, dalam Konstantina &

Dimitris, 2010).

B. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

Menurut McMullina & Cairney (Uba dkk, 2010) Harga diri merupakan

konstruk sosial-psikologi yang mengukur mengenai sikap dan persepsi

keberhargaan diri. Santrock (2007) yang menyebutkan bahwa harga diri adalah

evaluasi diri yang bersifat global atau menyeluruh terhadap dirinya sendiri. Harga

diri adalah evaluasi atau penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh oleh

18

individu dari interaksinya dengan lingkungan sekitar dan biasanya berhubungan

dengan penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain (Coopersmith, 1967).

Seorang individu jika memiliki harga diri tinggi dapat menghargai dirinya

sendiri, memahami kondisi diri sendiri, mengetahui kebermaknaan dirinya sendiri,

dan dapat memandang diri sendiri setara dengan orang lain. Berbeda halnya ketika

seseorang memiliki harga diri yang rendah, maka seseorang tersebut tidak dapat

menghargai dirinya sendiri, melakukan penolakan terhadap diri sendiri, tidak puas

dengan diri sendiri sehingga meremehkan diri sendiri. Selanjutnya Taylor, Peplau,

dan Sears (2009) mengatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi tentang

diri kita sendiri, artinya kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga

menilai kualitas-kualitas diri kita. Rosenberg (dalam Ginanjar & Wibowo, 2013)

mendefinisikan harga diri sebagai sikap positif atau negatif individu terhadap

dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri dipandang sebagai salah satu aspek

penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Manakala seseorang tidak

dapat meng-hargai dirinya sendiri, maka akan sulit baginya untuk dapat

menghargai orang-orang di sekitarnya (Sanitioso, Setiady & Srisayekti, 2015).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah

evaluasi atau penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh oleh individu dari

interaksinya dengan lingkungan sekitar dan biasanya berhubungan dengan

penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain.

19

2. Aspek-Aspek Harga Diri

Aspek-aspek harga diri menurut Copersmith (1967) adalah kekuatan,

keberartian, kebajikan, dan kemampuan.

a. Kekuatan (Power)

Kekuatan merupakan kemampuan seseorang mempengaruhi dan mengatur

tingkah laku dirinya dan orang lain ditandai dengan mendapat pengakuan

dan rasa hormat serta penghargaan yang diterima atau pendapat dan

kebenaran yang diterima dari orang lain.

b. Keberartian (Significance)

Keberartian ditandai dengan seberapa besar seseorang percaya bahwa

dirinya mampu, berarti, berharga, adanya kepedulian, perhatian afeksi dan

ekspresi cinta yang diterima oleh seseoarng dari orang lain. Hal ini

menunjukkan suatu ekspresi adanya penghargaan dan ketertarikan yang

secara umum dapat dikategorikan sebagai penerimaan dan popularita

seseorang dari lingkugan sosial, dan kebalikannya adalah penolakan serta

isolasi dari lingkungan.

c. Kebajikan (Virtue)

Adanya kesesuaian diri dengan moral dan standar etik yang berlaku di

lingkungan. Kesesuaian diri dengan moral dan standar etik diadaptasi

individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh para orang tua.

Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar dan

salah. Bahasan tentang kebajikan juga tidak akan lepas dari segala macam

pembicaraan mengenai peraturan dan norma di dalam masyarakat, juga

20

hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan

dalam beragama.

d. Kemampuan (Competence)

Merupakan performance atau penampilan yang prima dalam upaya meraih

kesuksesan dan keberhasilan. Dalam hal ini penampilan yang prima

ditunjukkan dengan adanya skill atau kemampuan yang merata untuk

semua usia. Dengan adanya kemampuan yang cukup, individu akan

merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Individu dengan

kompetensi yang bagus akan merasa setiap orang memberi dukungan

padanya. Individu akan merasa mampu mengatasi setiap masalah yang

dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya.

Daradjat dalam Kusuma (2015), menyatakan aspek-aspek harga diri

diantaranya:

a) Perasaan diterima,

yaitu kemampuan individu bahwa dirinya diterima oleh lingkungannya,

merasa dianggap berguna bagi orang lain.

b) Perasaan berarti,

yaitu ditunjukkan dengan kemampuan indvidu untuk mampu menghargai

dirinya sendiri, percaya diri, menerima keadaan dirinya apa adanya.

c) Perasaan mampu,

yaitu ditunjukkan oleh kemampuan individu bahwa dirinya merasa mampu

dan memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah kehidupan.

21

Berdasarkan penjelasan aspek diatas, peneliti menggunakan aspek-aspek harga

diri yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967), yaitu aspek harga diri meliputi:

kekuatan, keberanian, kebajikan, dan kemampuan. Aspek tersebut dipilih karena

lebih terperinci dan jelas dalam menggambarkan harga diri.

C. Persepsi Siswa terhadap Iklim Sekolah

1. Pengertian Iklim Sekolah

Iklim sekolah diartikan sebagai kualitas dari sekolah untuk dapat membantu

siswa agar merasa berharga secara pribadi, bermartabat dan penting, secara

bersama memiliki suatu perasaan memiliki terhadap sesuatu yang berada di

lingkungan sekolah (Freiberg, 2005). Iklim sekolah adalah sesuatu yang

kompleks, dengan struktur yang multidimensi dan meliputi ruang lingkup budaya,

nilai dan hubungan sekolah (Fraser & Anderson, dalam Loukas & Murphy, 2007).

Selanjutnya dijelaskan bahwa iklim sekolah secara umum berkenaan dengan

kualitas dan karakter interaksi sosial di sekolah dalam bentuk norma, nilai,

peraturan, stuktur organisasi, dan hubungan dengan pola yang khas di sekolah

(Anderson, Cohen, McCabe, Michelli, & Pickeral, dalam Cornol, Klein, & Konol,

2017).

Iklim sekolah dapat didefinisikan sebagai kualitas atau dapat diartikan sebagai

kemampuan suatu sekolah dalam membentuk tempat pembelajaran yang efektif

dan positif, kemampuan dalam melakukan pengasuhan terhadap siswa dari

ketidaktahuan kepada pemahaman, serta kualitas sekolah yang dilihat

kemampuannya dalam mewujudkan mimpi dan cita-cita orang tua, serta dapat

menstimulasi daya kreatifitas dan menaikan semangat dari guru-guru serta

22

anggota di sekolah (Freiberg, 2005). Iklim sekolah juga dapat diperiksa dalam hal

kesehatan organisasi, semakin sehat dinamika organisasi sekolah, semakin besar

kepercayaan dan keterbukaan dalam hubungan anggota dan semakin besar prestasi

siswa (Hoy & Miskel, dalam Pratiwi 2013).

Keberhasilan dalam menciptakan iklim sekolah yang baik tidak terlepas dari

persepsi siswa terhadap iklim sekolah. Persepsi (perception) dalam arti sempit

adalah penglihatan, yaitu bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam

arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang

memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, dalam Sobur 2003).

Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa terhadap iklim

sekolah adalah bagaimana seorang siswa memandang atau mengartikan bahwa

sekolah telah membentuk kualitas yang baik sehingga dapat membantu siswa

memiliki perasaan berharga secara pribadi, bermartabat dan penting, sehingga

siswa memiliki rasa tanggungjawab terhadap sesuatu yang berada di lingkungan

sekolah.

2. Aspek -aspek Iklim Sekolah

Kassabri, Benbenishty, dan Astor (2005), membagi aspek iklim sekolah

menjadi 3 yaitu:

a. Peraturan mengenai pengendalian kekerasan di sekolah, yaitu Kejelasan

peraturan sekolah menghadapi kekerasan yang terjadi di sekolah, kejelasan

mengenai kekonsistenan dan peraturan yang adil di sekolah.

b. Dukungan guru terhadap siswa; yaitu dukungan yang diberikan guru

kepada siswa meliputi hubungan antara guru dengan siswa di sekolah.

23

c. Partisipasi siswa dalam pengambilan keputusan dan pembuatan desain

intervensi untuk pencegahan kekerasan di sekolah. Yaitu sejauh mana

partisipasi siswa dalam membuat keputusan dan merancang desain

intervensi dalam pencegahan kekerasan yang terjadi di sekolah.

Pusat Pendidikan Sosial dan Emosional (dalam Biernbaum & Lotyczewski,

2015), menyebutkan 4 domain dasar untuk iklim sekolah, yaitu:

1. Rasa aman

Rasa aman secara fisik dan psikologis bagi siswa menjadi landasan utama

dari iklim sekolah. Rasa aman tersebut dapat meningkatkan dan

mengembangkan sistem pembelajaran di sekolah yang sehat.

2. Hubungan antara siswa dengan guru

Hubungan antara guru dengan siswa maupun antar siswa, dan hubungan

ini dapat meliputi rasa hormat, yang mana hal tersebut dapat digunakan

untuk mengatur kelas dengan mudah dalam proses belajar di sekolah.

3. Proses belajar dan mengajar

Proses pembelajaran dalam hal ini berkaitan dengan motivasi berprestasi

dan motivasi belajar siswa di sekolah.

4. Lingkungan institusi

Lingkungan institusi dalam hal ini berarti kualitas lingkungan sekolah

yang dapat meningkatkan kesuksesan di sekolah.

Beberapa aspek yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa aspek-

aspek iklim sekolah yang dapat mempengaruhi perilaku bullying adalah peraturan

24

sekolah pengendalian kekerasans, dukungan guru terhadap siswa, partisipasi siswa

dalam pengambilan keputusan dan pembuatan desain intervensi untuk pencegahan

kekerasan di sekolah, rasa aman, hubungan guru dan siswa, proses belajar dan

mengajar, dan lingkungan sekolah. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Kassabri dkk (2005) yeng menyebutkan bahwa rendahnya kekerasan yang terjadi

di sekolah Arab dan Yahudi disebabkan karena hubungan positif antara siswa dan

guru. Berdasarkan penelitian tersebut, maka peneliti menggunakan aspek-aspek

iklim sekolah yang dikemukakan oleh Kassabri, Benbenishty, dan Astor (2005),

yaitu aspek iklim sekolah meliputi: peraturan mengenai pengendalian kekerasan

di sekolah, dukungan guru terhadap siswa, partisipasi siswa dalam pengambilan

keputusan dan pembuatan desain intervensi untuk pencegahan kekerasan di

sekolah.

D. Hubungan Antara Harga Diri dengan Perilaku Bullying

Masa Remaja adalah masa yang mana terdapat perubahan yang dramatis,

dan menghasilkan perubahan yang dapat merubah persepsi tentang dunia. Masa

dimana terdapat istilah up and down yang dialami seseorang selama periode

remaja (Adam, dalam Darney, Greg, Stroud. 2013). Menurut Harter (dalam

Darney, dkk, 2013) satu konsep yang terpenting selama masa remaja adalah

mengenai harga diri. Hubungan seseorang dengan orang lain sangat penting untuk

remaja dan memerankan peran yang penting dalam pengembangan harga diri yang

dimiliki remaja.

Harga diri adalah penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri, penilaian

tersebut diperoleh dari hasil interaksi atau hubungan dengan lingkungan

25

sekitarnya dan dipengaruhi oleh tingkat dimana indiviu itu mulai mampu

meyakini diri sendiri, penting, berhasil, dan beharga (Copersmith,1967).

Seseorang yang melakukan perilaku bullying biasanya memiliki harga diri yang

negatif sehingga kecenderungan untuk mengekspresikan kemarahan mereka

secara terbuka dilingkungan. Sehingga seseorang yang memiliki harga diri rendah

memiliki kecenderungan berprilaku tidak konstruktif.

Coopersmith (1967) menyebutkan bahwa aspek-aspek harga diri yaitu

kekuatan, keberartian, kebajikan, dan kemampuan. Aspek kekuatan menurut

Coopersmith (1967) merupakan kemampuan seseorang mempengaruhi dan

mengatur tingkah laku dirinya dan orang lain ditandai dengan mendapat

pengakuan dan rasa hormat serta penghargaan yang diterima atau pendapat dan

kebenaran yang diterima dari orang lain. Seseorang yang tidak dapat mengatur

tingkah lakunya dengan baik maka dapat memiliki perilaku yang menyakiti

terhadap temannya, perilaku tersebut seperti menendang, mencubit, memukul,

menyiku, mengendalikan orang lain, melakukan intimidasi terhadap temannya,

memanipuasi hubungan, merusak nama baik orang dengan pemberitaan yang

tidak benar, menolak seseorang bergabung dalam suatu kelompok, mengisolasi

seseorang, atau dengan sengaja mempermalukan orang didepan umum. Menurut

Tattum dan Tattum (dalam Beane, 2008) tindakan menyakiti orang lain secara

sadar dan menjadikan seseorang dibawah tekanan merupakan tindakan bullying.

Hal-hal seperti menendang, mencubit, memukul, menyiku, mengendalikan

orang lain, melakukan intimidasi terhadap temannya, memanipuasi hubungan,

merusak nama baik orang dengan pemberitaan yang tidak benar, menolak

26

seseorang bergabung dalam suatu kelompok, mengisolasi seseorang, atau dengan

sengaja mempermalukan orang didepan umum dilakukan agar siswa tersebut

mendapat pengakuan serta rasa hormat dari siswa lain yang memiliki kekuatan

lebih lemah. Perilaku untuk mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dilakukan

biasanya oleh siswa yang memiliki harga diri rendah, karena ketika seseorang

memiliki harga diri rendah, siswa tersebut menyelamatkan dirinya agar tidak

semakin rendah dengan melakukan tindakan kekerasan kepada siswa lain. Sejalan

dengan penelitian O'Moore and Hillery (Jauhari, 2010) mengatakan bahwa

seseorang yang melakukan perilaku bullying memiliki harga diri yang rendah.

Seberapa besar seseorang percaya bahwa dirinya mampu, berarti,

berharga, adanya kepedulian, perhatian afeksi dan ekspresi cinta yang diterima

oleh seseoarng dari orang lain yang merupakan suatu perwujudan dari aspek

keberartian (Coopersmith, 1967). Hal ini menunjukkan suatu ekspresi adanya

penghargaan dan ketertarikan yang secara umum dapat dikategorikan sebagai

penerimaan dan popularita seseorang dari lingkugan sosial, dan kebalikannya

adalah penolakan serta isolasi dari lingkungan. Ketika seseorang yang mampu

menghargai dirinya sendiri biasanya mampu menghargai orang lain pula, ketika

seseorang tidak mendapat penghargaan dan menerima popularitas dari orang lain

maka seseorang tersebut akan berperilaku yang menyakiti orang lain. Perilaku

menyakiti orang lain tersebut seperti menyebarkan berita yang tidak benar,

melakukan intimidasi terhadap siswa lain guna mendapatkan popularitas diantara

siswa lainnya. Perilaku demikian merupakan contoh dari perilaku bullying verbal

yang di lakukan siswa (Beane, 2008).

27

Coopersmith (1967) menjelaskan mengenai aspek kebajikan (Virtue), yaitu

dengan ditandai ketaatan seseorang untuk mengikuti prinsip, standar moral, etika

serta agama. Hal tersebut ditandai dengan ketaatan individu akan menjauhi

tingkah laku yang harus dihindari untuk menuju keberhasilan. Kohlberg (dalam

Monks dkk, 2006) menjelaskan bahwa perkembangan moral anak terdiri dari 6

fase dan tingkatan itu tidak berkorelasi dengan meningkatnya usia seseorang.

Seseorang yang memiliki pemahaman moral yang tinggi maka kecenderungan

melakukan tindakan yang melanggar norma seperti mengejek, memukul,

menendang temannya lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman moral

bahwa hal–hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik dan melanggar moral

(Widiharto, 2010). Hains (dalam Widiharto, 2010) mengatakan bahwa seseorang

yang memiliki pemahaman moral yang tinggi akan mengurangi perilaku

menyimpang. Hal ini berarti pemahaman moral yang rendah pada anak

menyebabkan perikalu menyimpang lebih besar. Perilaku seperti mengejek,

memukul, menendang temannya, menampar, merupakan sebagian kecil perilaku

bullying secara fisik yang dilakukan oleh siswa remaja di sekolah (Beane, 2008).

Performasi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi

dimana level tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia seseorang dalam

Coopersmith (1967) merupakan pengertian dari aspek kemampuan (Competence).

Ketika seorang siswa dapat mencapai prestasi yang lebih tinggi dari siswa lainnya,

maka hal itu dapat menjadikan siswa tersebut semakin populer karena

kemampuan yang dimiliki siswa. Siswa yang tidak memiliki popularitas atas

pencapaian prestasi dalam kemampuan akademik akan menggunakan cara lain

28

agar tetap memperoleh popularitas. Cara lain tersebu biasanya bukan cara yang

dilakukan siswa berprestasi, yaitu dengan menggunakan kemampuan menghasut

siswa lain seorang siswa dapat menjadi populer diantara teman sebayanya.

Seorang siswa dapat menjadi populer dengan kenakalan yang diperbuat dengan

memanfaatkan kekuatan yang tidak dapat diatur dengan baik seperti menendang

temannya, mengintimidasi sehingga dapat mengendalikan orang lain. Perilaku

tersebut merupakan termasuk perilaku bullying fisik yang dapat dilakukan oleh

siswa di sekolah (Beane, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Vaillancourt

dalam Williams (2011) menyebutkan bahwa perilaku bullying dapat dilihat dari

bagaimana kepopuleran siswa dalam suatu grup di antara teman sebayanya.

Meskipun dengan memiliki agresivitas yang tinggi lebih kecil disukai oleh teman

sebayanya, daripada mereka yang memiliki perilaku agresivitas yang rendah,

mereka tetap lebih merasa populer dan memiliki kekuatan yang lebih untuk

melakukan tindakan bullying pada temannya.

Penelitian Hapsari (2013) menjelaskan bahwa harga diri seseorang dapat

mempengaruhi perilaku bullying yang dilakukan siswa. Semakin tinggi harga diri

yang dimiliki siswa maka semakin rendah perilaku bullying yang dilakukan.

O’Moore dan Kirkham (2001) juga menjelaskan bahwa harga diri dapat

mempengaruhi perilaku bullying seseorang, dimana seseorang yang memiliki

harga diri tinggi lebih kecil terlibat dalam perilaku bullying. Berdasarkan uraian

diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada seseorang yang memiliki harga diri

yang tinggi memiliki perilaku bullying rendah, sedangkan yang memiliki harga

diri yang rendah memiliki perilaku bullying tinggi.

29

E. Hubungan Antara Persepsi terhadap Iklim Sekolah dengan Perilaku

Bullying

Ketika anak-anak memasuki masa usia sekolah menengah pertama atau masa

sekolah menengah atas, jangkauan dan kompleksitas lingkungan sekolah pun

meningkat. Iklim sekolah dapat berpengaruh sangat penting bagi penyesuaian diri

siswa (Aspy, et al., Brand, Felner, Shim, Seitsinger, & Dumas, dalam Cornol,

Klein, & Konol, 2017). Iklim sekolah dikatagorikan sebagai kualitas dan karakter

kehidupan di lingkungan sekolah (Wels, dalam Biernbaum & Lotyczewski, 2015).

Iklim sekolah juga dapat menghubungkan antara prestasi akademik siswa dan

pencegahan terhadap kekerasan yang mungkin terjadi di sekolah (Nansel, et al,

dalam Biernbaum & Lotyczewski, 2015). Selanjutnya dijelaskan oleh Orphinas

dkk (dalam Petrie, 2014) iklim sekolah merupakan salah satu faktor yang

dianggap berkontribusi pada perilaku bullying yang dilakukan siswa di sekolah.

Dari teori sosial kognitif, seseorang bereaksi terhadap pengalaman hidup

sebagai apa yang seseorang tersebut rasakan, tanpa memperhatikan mengenai

persepsi mereka apakah objektif atau tidak (Koth, Bradshaw & Leaf, dalam Petrie,

2014). Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa persepsi siswa yang

didapatkan dari lingkungan sekolah dapat diasumsikan sebagai akibat dari

perilaku siswa dalam kehidupan di sekolah (Koth, Bradshaw & Leaf, dalam

Petrie, 2014).

Keberhasilan dalam menciptakan iklim sekolah yang baik tidak terlepas dari

persepsi siswa terhadap iklim sekolah. Persepsi siswa terhadap iklim sekolah

adalah bagaimana seorang siswa memandang atau mengartikan bahwa sekolah

30

telah membentuk kualitas yang baik sehingga dapat membantu siswa memiliki

perasaan berharga secara pribadi, bermartabat dan penting, sehingga siswa

memiliki suatu perasaan memiliki terhadap sesuatu yang berada di lingkungan

sekolah. Yoneyama dan Rigby (Petrie, 2014) menyatakan bahwa siswa yang

memiliki persepsi negatif terhadap iklim sekolah dapat bermanfaat sebagai

sumber informasi dalam melihat siswa yang melakukan bullying.

Kassabri, Benbenishty, dan Astor (2005), membagi aspek persepsi terhadap

iklim sekolah menjadi 3 yaitu: peraturan mengenai pengendalian kekerasan di

sekolah; dukungan guru terhadap siswa; partisipasi siswa dalam pengambilan

keputusan dan pembuatan desain intervensi untuk pencegahan kekerasan di

sekolah.

Aspek peraturan mengenai pengendalian kekerasan di sekolah adalah

kejelasan peraturan sekolah menghadapi kekerasan yang terjadi di sekolah,

kejelasan mengenai kekonsistenan dan peraturan yang adil di sekolah. Ketika

siswa telah memandang bahwa sekolah dapat menerapkan peraturan secara adil

dan konsisten serta dapat menerapkan peraturan mengenai kedisiplinan siswa

dengan baik bagi setiap siswa maka siswa dapat merasa dihargai sebagai siswa,

saat hal tersebut terjadi maka hubungan perilaku yang terjadi pada siswa dengan

siswa maupun siswa dengan guru dan karyawan sekolah menjadi baik. Hubungan

baik tersebut bila berlanjut terus menerus maka perilaku siswa di sekolah seperti

menendang teman, mengintimidasi, memberitakan hal-hal yang tidak benar,

menampar teman dengan sadar maka akan terjadi semakin kecil. Perilaku siswa

seperti menendang teman, mengintimidasi, memberitakan hal-hal yang tidak

31

benar, menampar teman dengan sadar merupakan contoh perilaku bullying secara

fisik dan sosial yang dikemukakan oleh Beane (2008). Cohen, dkk (2013)

menyebutkan peraturan di sekolah dan perasaan dihargai untuk siswa sangat

penting dalam menghadapi perilaku siswa di sekolah. Gottfredson dkk (dalam

Cohen, dkk, 2013) menyebutkan fakta-fakta yang di sekolah terdapat peraturan

yang adil dan efektif atau sekolah yang menerapkan managemen disiplin dengan

baik memiliki tingkat yang rendah dalam terjadinya korban dan kenakalan siswa.

Dukungan guru terhadap siswa menurut Kassabri, Benbenishty, dan Astor

(2005) adalah dukungan yang diberikan guru kepada siswa meliputi hubungan

antara guru dengan siswa di sekolah. Proses belajar dan mengajar merupakan

hubungan yang sangat mendasar di sekolah. Pandangan siswa terhadap guru

sebagai teladan yang menjadi contoh mengenai pemahaman siswa mengenai

norma, tujuan, nilai dan membentuk pola berinteraksi yang dapat menjadikan

dasar dari iklim sekolah. Seorang guru yang dipandang siswa dapat memberikan

pemahaman mengenai penerapan peraturan yang adil, dapat memberikan

dukungan pada siswa sehingga siswa memiliki rasa aman di sekolah. Rasa aman

baik secara sosial, emosional, intelektual dan secara fisik merupakan kebutuhan

dasar manusia (Maslow, dalam Thapa dkk, 2015). Ketika siswa memiliki persepsi

bahwa setiap guru dapat menerapkan peraturan yang adil maka akan semakin

kecil siswa melakukan tindakan bullying secara fisik seperti memukul,

menendang temannya yang lebih lemah secara berulang-ulang akan semakin

kecil.

32

Ketika siswa dapat merasakan dukungan yang baik dari guru, dapat

memandang guru sebagai teladan yang bisa menerapkan peraturan serta

memberikan pemahaman norma yang baik sehingga siswa di sekolah merasa

aman dan memiliki cukup pengentahuan akan perilaku yang baik dan buruk,

selanjutnya dapat tumbuh sikap empati pada diri siswa, sehingga ketika siswa

memiliki sikap empati perilaku bullying secara hubungan sosial (Beane, 2008)

seperti mengintimidasi teman, mengisolasi teman, menolak teman bergabung

dalam kelompok yang ada di sekolah menjadi semakin kecil. Hubungan yang

baik antara siswa dengan guru merupakan aspek yang sangat penting untuk

menghubungkan sikap empati antara satu dengan yang lainnya (Cohen, dkk

2013). Blum, dkk (Cohen, dkk 2013) mengatakan bahwa rasa aman, perhatian,

partisipasi dan tanggung jawab terhadap iklim sekolah dapat menjadi

kecenderungan untuk meningkatkan kelekatan di sekolah dan memberikan dasar

pemahaman yang optimal untuk sosial, emosi, dan proses pembelajaran pada

siswa SMP dan SMA.

Hubungan yang baik antara siswa dengan guru menjadikan siswa memiliki

perasaan aman dan perhatian dari guru yang selaku orang tua di sekolah, ketika

siswa memiliki perhatian yang cukup dan adil maka siswa tidak perlu mencari

perhatian dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah atau bullying terhadap

siswa lain semakin kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Gregory & Cornel, dkk

(Cohen, dkk, 2013), dalam sekolah dimana siswa merasakan struktur sekolah

yang baik, penerapan disiplin yang adil, dan hubungan yang positif antara siswa

dengan guru memiliki kemungkinan dan kecenderungan untuk melakukan

33

tindakan bullying seperti mendorong, mengintimidasi dan mengasingkan teman

semakin kecil.

Aspek selanjutnya dari iklim sekolah menurut Kassabri, Benbenishty, dan

Astor (2005) adalah partisipasi siswa dalam pengambilan keputusan dan

pembuatan desain intervensi untuk pencegahan kekerasan di sekolah, yaitu sejauh

mana partisipasi siswa dalam membuat keputusan dan merancang desain

intervensi dalam pencegahan kekerasan yang terjadi di sekolah. Intervensi

bullying tidak hanya pada pelaku saja, namun program tersebut harus mencakup

setiap hubungan yang ada di lingkungan sekolah, termasuk antara guru dan siswa

maupun karyawan sekolah lainnya. Setiap level hubungan akan signifikan dalam

menentukan iklim sekolah yang baik sehingga siswa dapat menerapkan hubungan

baik ketika bersama teman sebaya (Jennings & Greenberg dalam Petrie, 2014).

Keterlibatan siswa dalam memberikan sumbangan pemikiran tentang peraturan di

sekolah dan desain intervensi menjadikan siswa memiliki rasa tanggungjawab

untuk menerapkan peraturan yang ada di sekolah. Ketika siswa memiliki rasa

tanggungjawab dan menjaga dan menerapkan peraturan di sekolah, maka perilaku

seperti menendang teman dengan sengaja, mengintimidasi teman, memukul

teman, akan semakin kecil terjadi di sekolah (Beane, 2008).

Lebih lanjut dijelaskan dalam penelitian Konstantina & Dimitris (2010)

menghasilkan bahwa sekolah dengan kolaborasi antara guru dan murid untuk

memberikan intervensi mengenai penanganan perilaku agresif siswa memiliki

tingkat bullying yang rendah. Penelitian lebih lanjut oleh Petrie (2014)

34

menghasilkan bahwa persepsi siswa terhadap iklim sekolah dapat mempengaruhi

perilaku bullying yang terjadi di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada

seseorang yang memiliki persepsi terhadap iklim sekolah yang tinggi memiliki

perilaku bullying rendah, sedangkan yang memiliki persepsi terhadap iklim

sekolah yang rendah memiliki perilaku bullying rendah.

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian teori di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku bullying pada

siswa. Semakin tinggi harga diri seorang siswa maka semakin rendah

perilaku bullying yang dilakukan. Sebaliknya apabila harga diri yang

dimiliki seorang siswa semakin rendah maka perilaku bullying yang

dilakukan semakin tinggi.

2. Ada hubungan negatif antara iklim sekolah dengan perilaku bullying

pada siswa. Semakin tinggi persepsi siswa terhadap iklim sekolah maka

semakin rendah perilaku bullying yang dilakukan. Sebaliknya apabila

persepsi siswa terhadap iklim sekolah yang dimiliki seorang siswa

semakin rendah maka perilaku bullying yang dilakukan semakin tinggi.