1. pendahuluan_april 2010

21

Click here to load reader

Upload: yuhka-sundaya

Post on 27-Jun-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1. Pendahuluan_April 2010

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten penghasil ikan laut paling

besar di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan produksi ikan laut dari tahun 1991

hingga 2006 di Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang diilustrasikan pada Tabel 1

menunjukkan bahwa setiap tahun lebih dari separuh pasokan produksi ikan

bersumber dari Kabupaten Indramayu. Peran penting sektor perikanan Kabupaten

Indramayu tersebut harus dipertahankan agar kebutuhan konsumsi dan produksi

berbasis komoditi ikan di masa mendatang dapat terpenuhi. Menurut Dahuri

(2003), kenekaragaman hayati di kawasan pesisir dan lautan berperan untuk

menunjang kegiatan bioindustri, seperti industri pangan, sandang, papan,

pendidikan, farmasi dan kosmetika, energi, komunikasi atau informasi, keamanan

(defense), dan pariwisata. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya perikanan

harus dilakukan secara lestari supaya mampu menunjang kegiatan ekonomi

lainnya.

Tabel 1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa Barat Tahun 1991 – 2008

(Ribu Ton)Kabupaten 1991 1995 2000 2005 2006 2007 2008Sukabumi 4.5 7.7 4.4 9.8 9.3 9.0 8.9Cirebon 16.7 15.9 17.0 40.6 38.7 21.0 35.5Indramayu 49.2 60.2 61.9 67.3 72.3 80.7 94.8Subang 10.1 14.0 13.6 17.5 16.6 17.9 18.0Karawang 9.3 9.7 11.4 11.2 2.2 2.4 7.1Provinsi Jawa Barat

97.7 114.7 116.6 155.3 149.5 141.5176.

4Sumber : Statistik Jawa Barat dalam Angka, Tahun 2000 – 2009

Mengacu pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004

(UU 31/2004) tentang Perikanan, pengelolaan perikanan dalam wilayah

Page 2: 1. Pendahuluan_April 2010

2

pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat

yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.1

Dimana, salah satu target kebijakan dari Kantor Kementrian dan Perikanan adalah

menurunkan kerusakan dan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Kerusakan terhadap sumberdaya perikanan dapat ditimbulkan oleh adanya

penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan atau destruktif. Praktek

perikanan destruktif adalah kegiatan penangkapan dan budidaya ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan menggunakan bahan kimia,

bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau

lingkungannya (Nikijuluw, 2008). Penggunaan trawl, misalnya, dapat mengeruk

benda apapun yang ada di dasar laut. Penggunaannya dapat menghasilkan by

catch atau jenis ikan di luar target tangkapan yang berjumlah besar, bahkan bisa

menimbulkan perubahan negatif pada ekosistem, seperti rusaknya terumbu karang

yang menjadi habitat ikan untuk berkembang biak. Oleh karena itu, langkah

antisipatif terhadap penggunaan alat tangkap destruktif memiliki arti penting

dalam menciptakan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

Langkah antisipasi tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten

Indramayu. Industri penangkapan ikan di Kabupaten Indramayu telah diatur oleh

dua jenis Peraturan Daerah. Pertama, Peraturan Daerah (Perda) No. 16/2005

tentang Usaha Perikanan, dan kedua, Perda No. 14/2006 tentang Pengelolaan

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan Penataan Fungsi Pulau Biawak,

1 UU 31/2004 dirubah dengan UU 45/2009. UU 31/2004 dipandang belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Namun demikian, Pasal 6 Ayat 1 dalam undang-undang sebelumnya tidak mengalami perubahan.

Page 3: 1. Pendahuluan_April 2010

3

Gosong dan Pulau Candikian. Mengacu pada Perda tersebut, penggunaan alat

tangkap terlarang akan dikenakan denda dan hukuman penjara, dua resiko yang

harus dihadapi oleh nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Keberadaan Perda

tersebut menunjukkan bahwa secara yuridis formal industri perikanan tidak

sepenuhnya bersifat akses terbuka (open access). Setiap usaha perikanan,

termasuk nelayan perorangan harus memiliki izin usaha yang dibuktikan dengan

dimilikinya Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Melalui proses perizinan

tersebut, sejak awal Pemerintah Daerah dapat melakukan seleksi penggunaan alat

tangkap.

Sayangnya, sejak beberapa tahun ditemukan fenomena yang dikhawatirkan

dapat melonggarkan kepatuhan nelayan terhadap ketentuan alat tangkap tersebut

di masa mendatang. Beberapa media cetak dan hasil survey melaporkan adanya

penggunaan alat tangkap terlarang pada waktu dan lokasi yang berbeda di

Kabupaten Indramayu. Jenis alat destruktif yang ditemukannya mencakup mini

trawl, jaring arad dan bahan peledak.

Pada tahun 2002 muncul konflik horisontal dalam masyarakat nelayan

akibat sebagian kelompok nelayan menggunakan mini trawl (Pikiran Rakyat, 19

September 2002). Selanjutnya, pada tahun 2003, Dinas Perikanan Provinsi Jawa

Barat bekerjasama dengan Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) mengidentifikasi rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak akibat

penggunaan bahan peledak. Hasil survey Nurasa (2005) di Desa Ilir, mencatat

bahwa 11 persen nelayan menggunakan trawl. Kemudian hasil survey Dariah et

al.(2007) mencatat sekitar 40 persen nelayan di Desa Cangkring menggunakan

mini trawl.

Page 4: 1. Pendahuluan_April 2010

4

Pada tahun 2008, nelayan Indramayu mendesak pemerintah khususnya

Tentara Nasional Indonesa Angkatan Laut (TNI AL) untuk segera melakukan

penertiban trawl karena sangat merugikan nelayan tersebut (Pikiran Rakyat,

2008). Terakhir, pada tahun 2009, pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina

Fajar Blanakan melaporkan bahwa desakan ekonomi membuat sebagian nelayan

menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jaring arad dan pukat harimau masih

banyak dipakai nelayan karena dinilai menguntungkan, padahal penggunaannya

dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut (Kompas,

2009). Kemudian, KUD Nelayan Mina Bahari melaporkan data bahwa sekitar 400

perahu dari total 800 perahu memakai jaring arad (Kompas, 19 Februari 2009).

Laporan tersebut menunjukkan gejala bahwa sebagian nelayan tampak

mengabaikan ancaman sosial dan pidana. Bercermin pada kejadian tahun 2002

dan 2008, nelayan pengguna alat tangkap destruktif akan menghadapi aksi protes

dari nelayan lain, dan bila tertangkap akan diancam dengan hukuman pidana

berdasarkan Perda No. 16/2005 dan Perda No. 14/2006. Namun demikian, laporan

pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kedua ancaman tersebut seolah tidak

menjadi cermin bagi nelayan lain untuk menghindari penggunaan alat tangkap

terlarang yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan laut, dan menjadi sinyal

bahwa motif keuntungan ekonomi mendorong sebagian nelayan untuk

mengabaikan aturan alat tangkap. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa

sebagian nelayan lain tampaknya mentaati peraturan alat tangkap yang berlaku.

Penggunaan beragam jenis alat tangkap legal dan terlarang merupakan

sebuah pilihan bagi nelayan. Hasil temuan Nurasa (2005) di Desa Ilir Kabupaten

Indramayu, memberikan informasi bahwa nelayan disana melakukan diversifikasi

Page 5: 1. Pendahuluan_April 2010

5

penggunaan alat dalam satu tahun. Setiap musim berbeda alat tangkap, dan

terbuka juga kemungkinan adanya diversifikasi penggunaan alat tangkap pada

desa lainnya. Informasi tersebut membuka pemikiran tentang kemungkinan

adanya pergiliran penggunaan alat tangkap seiring pergantian musim, dan

membuka kemungkinan adanya penggunaan alat tangkap legal dan terlarang

secara bergantian. Motif keuntungan ekonomi dan aturan perikanan yang

membatasi penggunaan jenis alat tangkap, sekurang-kurangnya menjadi

pertimbangan bagi nelayan di Kabupaten Indramayu untuk memilih jenis alat

tangkap. Motif keuntungan ekonomi dari alat tangkap terlarang yang lebih besar

dari pertimbangan kepatuhan terhadap peraturan berpotensi untuk memperbesar

peluang digunakannya alat tangkap terlarang seperti fakta yang telah ditampilkan

sebelumnya. Namun bagaimanapun, pemikiran tersebut memerlukan penjelasan

yang digali melalui penelitian empiris. Oleh karena itu, rencana penelitian yang

perlu diajukan adalah mengkaji mengkaji implikasi ekonomi dari pilihan alat

tangkap legal dan terlarang bagi nelayan di Kabupaten Indramayu.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam satu tahun, nelayan dapat menggunakan beberapa jenis alat

tangkap, yang tidak menutup kemungkinan ada yang legal dan terlarang. Variasi

penggunaan beberapa jenis alat tangkap tersebut timbul karena terdapat perbedaan

musim penangkapan ikan yang membedakan target jenis ikan yang akan

ditangkap. Kondisi ini sekurang-kurangnya membuka tiga kemungkinan.

Sebagian nelayan mungkin setiap bulan selalu menggunakan alat tangkap

terlarang, sebagian lainnya mungkin beberapa bulan dalam satu tahun, dan

sebagian lainnya sama sekali tidak pernah menggunakan alat tangkap terlarang.

Page 6: 1. Pendahuluan_April 2010

6

Mengacu pada dua macam peraturan, diidentifikasi beberapa jenis alat

tangkap yang rentan untuk dikenakan sanksi denda dan pidana. Berdasarkan Pasal

1 Perda 14/2006, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia Nomor Per.08/Men/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan

Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, alat tangkap

terlarang tersebut mencakup : mini trawl (termasuk dogol dan arad), jaring insang

lingkar, jaring insang klitik, jaring insang tiga lapis, bahan peledak dan bahan

peracun. Menurut Dahuri (2003), trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar

laut. Apabila pengoperasiannya dilakukan secara intensif, maka tingkat kerusakan

habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh

badai gelombang. Pengoperasian pukat harimau dengan lebar mulut pukat 20

meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak

dasar laut seluas 1 km.

Untuk memperkuat pelaksanaan peraturan alat tangkap, Pemerintah

Kabupaten Indramayu telah menyusun konsep pengawasan dan penegakan

berbasis partisipasi masyarakat. Bupati setempat telah menetapkan Forum

Pengelola, yaitu suatu forum yang dibentuk oleh Bupati, dan diberi kewenangan

untuk membantu mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian

pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu. Forum pengelola

berperan untuk membantu koordinasi berbagai kegiatan pembangunan di KKLD

dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Forum pengelola

dan instansi terkait turut juga melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan

terhadap kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Perda No. 14/2006.

Page 7: 1. Pendahuluan_April 2010

7

Kemampuan alat tangkap terlarang untuk memberikan hasil tangkapan

yang cukup besar menjadi daya tarik bagi sebagian nelayan. Akan tetapi, data

statistik tempaknya menampilkan argumentasi terbalik. Dalam statistik perikanan

Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, seperti disajikan pada Tabel 2, terungkap data

jumlah alat tangkap dan produksi salah satunya adalah alat yang terlarang yaitu

trawl. Bila dibandingkan dengan kemampuan produksi pukat pantai, sejak tahun

2005, rataan produksi trawl lebih rendah dari pukat pantai. Tahun 2007, per unit

trawl dapat menghasilkan 36 ton, sedangkan pukat pantai mencapai 52 ton.

Perbandingan ini memang tidak menjamin bahwa keuntungan ekonomi pukat

pantai akan lebih besar dari trawl. Jenis ikan yang mampu ditangkap oleh trawl

dan pukat pantai, dan struktur biayanya akan menentukan berapa besar

keuntungan kedua jenis alat tangkap tersebut. Selanjutnya, terdapat fakta yang

dapat membantu fokus pertanyaan penelitian, yaitu bermula dari tahun 2004

hingga 2007, terdapat kecenderungan penurunan jumlah trawl, sebaliknya jumlah

pukat pantai cenderung meningkat. Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan,

apakah keuntungan ekonomi dari trawl lebih rendah dari pukat pantai sehingga

beberapa nelayan telah menggantinya ? dan, dengan sedikit generalisasi, berapa

besar perbedaan keuntungan ekonomi antara alat tangkap legal dan terlarang ?

Pertanyaan ini muncul karena pola serupa terjadi pada produksi jaring insang

hanyut (legal) dan jaring insang klitik (terlarang).

Tabel 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007

Jenis Alat Tangkap Tahun

2004 2005 2006 2007

Pukat Payang Jumlah (unit) 1 281 1 281 1 281 1 281

Produksi (ton) 1 0546 9 945 10 591 12 242Rataan (ton) 8 8 8 10

Page 8: 1. Pendahuluan_April 2010

8

Tabel 2. Lanjutan

Jenis Alat Tangkap Tahun

2004 2005 2006 2007

Pukat Dogol Jumlah (unit) 205 205 205 205

Produksi (ton) 10 878 9 224 5 779 7 393Rataan (ton) 53 45 28 36

Pukat pantai Jumlah (unit) 288 288 288 288

Produksi (ton) 8 306 9 984 13 786 15 116Rataan (ton) 29 35 48 52

Pukat Cincin Jumlah (unit) 156 156 156 156Produksi (ton) 12 550 10 630 13 374 14 500Rataan (ton) 80 68 86 93

JaringInsang Hanyut

Jumlah (unit) 2 091 2 091 2 091 2 091Produksi (ton) 11 230 9 083 13 556 14 802Rataan (ton) 5 4 6 7

JaringInsang Lingkar

Jumlah (unit) 0 1 465 1 465 1 465Produksi (ton) 0 354 1121 3049Rataan (ton) 0 0,2 1 2

JaringInsang Klitik

Jumlah (unit) 870 870 870 870Produksi (ton) 6 982 4 772 7 190 5 845Rataan (ton) 8 5 8 7

JaringInsang Tetap

Jumlah (unit) 0 222 222 222Produksi (ton) 0 2 327 896 971Rataan (ton) 0 10 4 4

JaringInsang Tiga Lapis

Jumlah (unit) 294 294 294 294Produksi (ton) 717 699 345 4362Rataan (ton) 2 2 1 15

Pancing tonda Jumlah (unit) 24 94 94 0

Produksi (ton) 415 442 382 0Rataan (ton) 17 5 4 0

Pancing lainnya Jumlah (unit) 332 332 332 332

Produksi (ton) 3 258 9 336 3 477 946Rataan (ton) 10 28 10 3

Sero Jumlah (unit) 80 180 180 180

Produksi (ton) 1 885 353 391 1 459Rataan (ton) 24 2 2 8

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka, Tahun 2005 – 2009

Laporan statistik yang menunjukkan adanya penurunan jumlah alat

tangkap terlarang tidak secara lurus menunjukkan berkurangnya intensitas

penggunaan alat tangkap itu. Jumlah trawl yang sedikit belum menjamin

rendahnya frekuensi penggunaan alat tangkap tersebut. Meskipun relatif sedikit

Page 9: 1. Pendahuluan_April 2010

9

jumlahnya tapi sering digunakan atau tripnya banyak tetap saja menimbulkan

tekanan besar terhadap ekosistem laut. Pola pergantian musim penangkapan ikan

dapat menjadi kondisi yang menentukan adanya perbedaan penggunaan jenis alat

tangkap, termasuk kategori legal dan terlarang. Menurut Mulyadi (2005),

dalam dunia kenelayanan dikenal adanya empat macam musim, yaitu musim barat

(September – Desember), musim utara (Desember – Maret), musim timur (Maret

– Juni), dan musim selatan (Juni – September). Musim barat dikenal sebagai

musim paceklik karena ombaknya besar sehingga nelayan sulit melaut.

Tabel 3. Jumlah Trip Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007

(Unit)Jenis Alat Tangkap 2004 2005 2006 2007Pukat Payang 42 44 22 22Pukat Dogol 69 26 45 40Pukat pantai 97 83 96 122Pukat Cincin 17 5 5 36Jaring Insang Hanyut 56 33 4 41Jaring Insang Lingkar 17 77 14Jaring Insang Klitik 48 29 41 15Jaring Insang Tetap - 4 - 19Jaring Insang Tiga Lapis 11 12 6 30Pancing tonda 0 143 0 -Pancing lainnya 0 18 42 32Sero 0 294 0 33

Sumber : Statistik Perikanan Propinsi Jawa Barat, Tahun 2005 - 2008

Karakteristik nelayan dalam melakukan penangkapan ikan dapat diamati

dari jumlah trip setiap jenis alat tangkap seperti disajikan pada Tabel 3

sebelumnya. Pada tabel tersebut terlihat bahwa trip pukat dogol memiliki trend

yang menurun, sedangkan pukat pantai menampilkan trend yang meningkat.

Trend ini memiliki pola yang serupa dengan trend jumlah produksinya. Setiap trip

alat tangkap memiliki perbedaan, ada yang tripnya satu hari seperti sero, dan ada

yang berhari-hari. Trip penangkapan ikan menampilkan frekuensi penggunaan alat

Page 10: 1. Pendahuluan_April 2010

10

tangkap tersebut dalam satu tahun. Perbedaan frekuensi penggunaan setiap jenis

alat tangkap tentu menyimpan beberapa alasan, mengingat setiap jenis alat

tangkap memiliki kemampuan atau daya tangkap yang berbeda beda yang

menimbulkan harapan tingkat keuntungan yang berbeda juga bagi nelayan.

Pada musim paceklik, desakan kebutuhan ekonomi akan relatif besar, dan

mereka membutuhkan uang kas yang cukup besar juga. Kondisi ini berpotensi

menjadi pertimbangan ekonomi nelayan untuk menggunakan alat tangkap

terlarang pada musim penangkapan berikutnya untuk menutupi kebutuhan

ekonomi yang bersifat mendesak. Hal ini dapat mengurangi bobot pertimbangan

mereka untuk mematuhi aturan alat tangkap yang diwujudkan oleh besarnya

frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang. Tetapi, frekuensi penggunaannya

bisa turun atau sama sekali akan menggunakan alat tangkap legal, bila mereka

menaruh pertimbangan yang cukup besar untuk menaati peraturan. Perbedaan

frekuensi penggunaan alat tangkap ini tentu memerlukan penjelasan, sehingga

pertanyaan penelitian berikutnya adalah faktor-faktor apa saja yang dapat

mempengaruhi frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang dalam satu tahun ?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mendekati dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, maka

penelitian ini akan diarahkan untuk :

1. Mengestimasi perbedaan tingkat keuntungan penggunaan alat tangkap legal

dengan terlarang di Kabupaten Indramayu.

2. Mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi penggunaan alat

tangkap legal dan terlarang pada nelayan di Kabupaten Indramayu.

Page 11: 1. Pendahuluan_April 2010

11

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan disipliner

dan praktis. Secara disipliner, penelitian ini diharapkan memberikan tambahan

contoh empiris mengenai studi ekonomi illegal fishing atau penangkapan ikan

secara tidak syah. Belajar dari Nikijuluw (2008) dan hasil studi literatur, tampak

bahwa studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan di

Indonesia masih sedikit ditemukan.

Secara praktis, hasil akhir penelitian ini diharapkan memiliki potensi untuk

menjadi acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu di dalam menyusun

strategi kebijakan menuju pembangunan perikanan yang lestari. Hasil penelusuran

literatur menunjukkan bahwa informasi empiris mengenai implikasi ekonomi

terhadap pilihan alat tangkap legal dan terlarang masih sulit ditemukan di

Kabupaten Indramayu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Obyek yang akan menjadi kajian empiris penelitian ini adalah perikanan di

Kabupaten Indramayu. Indramayu terletak di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat

yang berhadapan langsung dengan sebahagian Laut Jawa. Obyek perikanan

tersebut menjadi dasar untuk menentukan kerangka sampel atau contoh penelitian.

Sekurang-kurangnya terdapat dua kelas nelayan, yaitu nelayan pemilik dan

nelayan Anak Buah Kapal (ABK). Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki

asset penangkapan ikan seperti kapal perikanan dan alat tangkap, sedangkan

nelayan ABK merupakan pekerja pada nelayan pemilik. Tidak jarang nelayan

pemilik juga ada yang mencurahkan waktunya untuk menangkap ikan bersama

ABK. Dalam penelitian ini, nelayan pemilik dipilih menjadi unit analisisnya.

Page 12: 1. Pendahuluan_April 2010

12

Rencana penelitian ini mengembangkan kerangka kerja ekonomi illegal

fishing yang coba disesuaikan dengan kondisi perikanan di Indramayu. Secara

umum, frase illegal fishing tersebut diartikan sebagai tindakan nelayan yang tidak

mempertimbangkan regulasi mengenai perikanan, baik dari aspek input maupun

output. Pengertian ini disintesa dari beberapa sumber pustaka mengenai ekonomi

illegal fishing. Kerangka kerja tersebut dapat menjelaskan alasan logis mengapa

usaha perikanan menggunakan alat tangkap legal di satu pihak, dan mengapa

mereka menggunakan alat tangkap destruktif. Kerangka kerja ini membantu

penulis di dalam mengidentifikasi peubah yang perlu dipertimbangkan dalam

model ekonometrika. Model ekonometrika yang akan digunakan adalah model

ordered logit. Model menjelaskan peubah dependen yang bersifat kualitatif

multinomial.

Istilah usaha perikanan yang dikemukakan sebelumnya adalah semua

usaha perorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha

penangkapan ikan di laut. Nelayan perorangan masuk di dalam kategori usaha

perikanan tersebut. Pengertian ini diadopsi dari Perda 16/2005.

Page 13: 1. Pendahuluan_April 2010

13

I. PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................5

1.3. Tujuan Penelitian........................................................................................10

1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................................11

1.5. Ruang Lingkup Penelitian...........................................................................11

Tabel :

1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa

Barat, 1991 – 2008...................................................................................................1

2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap,

Kabupaten Indramayu, 2004 – 2007........................................................................7

3. Jumlah Trip Jenis Alat Tangkap, Kabupaten Indramayu, 2004 – 2007 9