1. pendahuluan_april 2010
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten penghasil ikan laut paling
besar di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan produksi ikan laut dari tahun 1991
hingga 2006 di Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang diilustrasikan pada Tabel 1
menunjukkan bahwa setiap tahun lebih dari separuh pasokan produksi ikan
bersumber dari Kabupaten Indramayu. Peran penting sektor perikanan Kabupaten
Indramayu tersebut harus dipertahankan agar kebutuhan konsumsi dan produksi
berbasis komoditi ikan di masa mendatang dapat terpenuhi. Menurut Dahuri
(2003), kenekaragaman hayati di kawasan pesisir dan lautan berperan untuk
menunjang kegiatan bioindustri, seperti industri pangan, sandang, papan,
pendidikan, farmasi dan kosmetika, energi, komunikasi atau informasi, keamanan
(defense), dan pariwisata. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya perikanan
harus dilakukan secara lestari supaya mampu menunjang kegiatan ekonomi
lainnya.
Tabel 1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa Barat Tahun 1991 – 2008
(Ribu Ton)Kabupaten 1991 1995 2000 2005 2006 2007 2008Sukabumi 4.5 7.7 4.4 9.8 9.3 9.0 8.9Cirebon 16.7 15.9 17.0 40.6 38.7 21.0 35.5Indramayu 49.2 60.2 61.9 67.3 72.3 80.7 94.8Subang 10.1 14.0 13.6 17.5 16.6 17.9 18.0Karawang 9.3 9.7 11.4 11.2 2.2 2.4 7.1Provinsi Jawa Barat
97.7 114.7 116.6 155.3 149.5 141.5176.
4Sumber : Statistik Jawa Barat dalam Angka, Tahun 2000 – 2009
Mengacu pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
(UU 31/2004) tentang Perikanan, pengelolaan perikanan dalam wilayah
2
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat
yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.1
Dimana, salah satu target kebijakan dari Kantor Kementrian dan Perikanan adalah
menurunkan kerusakan dan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Kerusakan terhadap sumberdaya perikanan dapat ditimbulkan oleh adanya
penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan atau destruktif. Praktek
perikanan destruktif adalah kegiatan penangkapan dan budidaya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau
lingkungannya (Nikijuluw, 2008). Penggunaan trawl, misalnya, dapat mengeruk
benda apapun yang ada di dasar laut. Penggunaannya dapat menghasilkan by
catch atau jenis ikan di luar target tangkapan yang berjumlah besar, bahkan bisa
menimbulkan perubahan negatif pada ekosistem, seperti rusaknya terumbu karang
yang menjadi habitat ikan untuk berkembang biak. Oleh karena itu, langkah
antisipatif terhadap penggunaan alat tangkap destruktif memiliki arti penting
dalam menciptakan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Langkah antisipasi tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Indramayu. Industri penangkapan ikan di Kabupaten Indramayu telah diatur oleh
dua jenis Peraturan Daerah. Pertama, Peraturan Daerah (Perda) No. 16/2005
tentang Usaha Perikanan, dan kedua, Perda No. 14/2006 tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan Penataan Fungsi Pulau Biawak,
1 UU 31/2004 dirubah dengan UU 45/2009. UU 31/2004 dipandang belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Namun demikian, Pasal 6 Ayat 1 dalam undang-undang sebelumnya tidak mengalami perubahan.
3
Gosong dan Pulau Candikian. Mengacu pada Perda tersebut, penggunaan alat
tangkap terlarang akan dikenakan denda dan hukuman penjara, dua resiko yang
harus dihadapi oleh nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Keberadaan Perda
tersebut menunjukkan bahwa secara yuridis formal industri perikanan tidak
sepenuhnya bersifat akses terbuka (open access). Setiap usaha perikanan,
termasuk nelayan perorangan harus memiliki izin usaha yang dibuktikan dengan
dimilikinya Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Melalui proses perizinan
tersebut, sejak awal Pemerintah Daerah dapat melakukan seleksi penggunaan alat
tangkap.
Sayangnya, sejak beberapa tahun ditemukan fenomena yang dikhawatirkan
dapat melonggarkan kepatuhan nelayan terhadap ketentuan alat tangkap tersebut
di masa mendatang. Beberapa media cetak dan hasil survey melaporkan adanya
penggunaan alat tangkap terlarang pada waktu dan lokasi yang berbeda di
Kabupaten Indramayu. Jenis alat destruktif yang ditemukannya mencakup mini
trawl, jaring arad dan bahan peledak.
Pada tahun 2002 muncul konflik horisontal dalam masyarakat nelayan
akibat sebagian kelompok nelayan menggunakan mini trawl (Pikiran Rakyat, 19
September 2002). Selanjutnya, pada tahun 2003, Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Barat bekerjasama dengan Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) mengidentifikasi rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak akibat
penggunaan bahan peledak. Hasil survey Nurasa (2005) di Desa Ilir, mencatat
bahwa 11 persen nelayan menggunakan trawl. Kemudian hasil survey Dariah et
al.(2007) mencatat sekitar 40 persen nelayan di Desa Cangkring menggunakan
mini trawl.
4
Pada tahun 2008, nelayan Indramayu mendesak pemerintah khususnya
Tentara Nasional Indonesa Angkatan Laut (TNI AL) untuk segera melakukan
penertiban trawl karena sangat merugikan nelayan tersebut (Pikiran Rakyat,
2008). Terakhir, pada tahun 2009, pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina
Fajar Blanakan melaporkan bahwa desakan ekonomi membuat sebagian nelayan
menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jaring arad dan pukat harimau masih
banyak dipakai nelayan karena dinilai menguntungkan, padahal penggunaannya
dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut (Kompas,
2009). Kemudian, KUD Nelayan Mina Bahari melaporkan data bahwa sekitar 400
perahu dari total 800 perahu memakai jaring arad (Kompas, 19 Februari 2009).
Laporan tersebut menunjukkan gejala bahwa sebagian nelayan tampak
mengabaikan ancaman sosial dan pidana. Bercermin pada kejadian tahun 2002
dan 2008, nelayan pengguna alat tangkap destruktif akan menghadapi aksi protes
dari nelayan lain, dan bila tertangkap akan diancam dengan hukuman pidana
berdasarkan Perda No. 16/2005 dan Perda No. 14/2006. Namun demikian, laporan
pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kedua ancaman tersebut seolah tidak
menjadi cermin bagi nelayan lain untuk menghindari penggunaan alat tangkap
terlarang yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan laut, dan menjadi sinyal
bahwa motif keuntungan ekonomi mendorong sebagian nelayan untuk
mengabaikan aturan alat tangkap. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa
sebagian nelayan lain tampaknya mentaati peraturan alat tangkap yang berlaku.
Penggunaan beragam jenis alat tangkap legal dan terlarang merupakan
sebuah pilihan bagi nelayan. Hasil temuan Nurasa (2005) di Desa Ilir Kabupaten
Indramayu, memberikan informasi bahwa nelayan disana melakukan diversifikasi
5
penggunaan alat dalam satu tahun. Setiap musim berbeda alat tangkap, dan
terbuka juga kemungkinan adanya diversifikasi penggunaan alat tangkap pada
desa lainnya. Informasi tersebut membuka pemikiran tentang kemungkinan
adanya pergiliran penggunaan alat tangkap seiring pergantian musim, dan
membuka kemungkinan adanya penggunaan alat tangkap legal dan terlarang
secara bergantian. Motif keuntungan ekonomi dan aturan perikanan yang
membatasi penggunaan jenis alat tangkap, sekurang-kurangnya menjadi
pertimbangan bagi nelayan di Kabupaten Indramayu untuk memilih jenis alat
tangkap. Motif keuntungan ekonomi dari alat tangkap terlarang yang lebih besar
dari pertimbangan kepatuhan terhadap peraturan berpotensi untuk memperbesar
peluang digunakannya alat tangkap terlarang seperti fakta yang telah ditampilkan
sebelumnya. Namun bagaimanapun, pemikiran tersebut memerlukan penjelasan
yang digali melalui penelitian empiris. Oleh karena itu, rencana penelitian yang
perlu diajukan adalah mengkaji mengkaji implikasi ekonomi dari pilihan alat
tangkap legal dan terlarang bagi nelayan di Kabupaten Indramayu.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam satu tahun, nelayan dapat menggunakan beberapa jenis alat
tangkap, yang tidak menutup kemungkinan ada yang legal dan terlarang. Variasi
penggunaan beberapa jenis alat tangkap tersebut timbul karena terdapat perbedaan
musim penangkapan ikan yang membedakan target jenis ikan yang akan
ditangkap. Kondisi ini sekurang-kurangnya membuka tiga kemungkinan.
Sebagian nelayan mungkin setiap bulan selalu menggunakan alat tangkap
terlarang, sebagian lainnya mungkin beberapa bulan dalam satu tahun, dan
sebagian lainnya sama sekali tidak pernah menggunakan alat tangkap terlarang.
6
Mengacu pada dua macam peraturan, diidentifikasi beberapa jenis alat
tangkap yang rentan untuk dikenakan sanksi denda dan pidana. Berdasarkan Pasal
1 Perda 14/2006, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.08/Men/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, alat tangkap
terlarang tersebut mencakup : mini trawl (termasuk dogol dan arad), jaring insang
lingkar, jaring insang klitik, jaring insang tiga lapis, bahan peledak dan bahan
peracun. Menurut Dahuri (2003), trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar
laut. Apabila pengoperasiannya dilakukan secara intensif, maka tingkat kerusakan
habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
badai gelombang. Pengoperasian pukat harimau dengan lebar mulut pukat 20
meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak
dasar laut seluas 1 km.
Untuk memperkuat pelaksanaan peraturan alat tangkap, Pemerintah
Kabupaten Indramayu telah menyusun konsep pengawasan dan penegakan
berbasis partisipasi masyarakat. Bupati setempat telah menetapkan Forum
Pengelola, yaitu suatu forum yang dibentuk oleh Bupati, dan diberi kewenangan
untuk membantu mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu. Forum pengelola
berperan untuk membantu koordinasi berbagai kegiatan pembangunan di KKLD
dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Forum pengelola
dan instansi terkait turut juga melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Perda No. 14/2006.
7
Kemampuan alat tangkap terlarang untuk memberikan hasil tangkapan
yang cukup besar menjadi daya tarik bagi sebagian nelayan. Akan tetapi, data
statistik tempaknya menampilkan argumentasi terbalik. Dalam statistik perikanan
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, seperti disajikan pada Tabel 2, terungkap data
jumlah alat tangkap dan produksi salah satunya adalah alat yang terlarang yaitu
trawl. Bila dibandingkan dengan kemampuan produksi pukat pantai, sejak tahun
2005, rataan produksi trawl lebih rendah dari pukat pantai. Tahun 2007, per unit
trawl dapat menghasilkan 36 ton, sedangkan pukat pantai mencapai 52 ton.
Perbandingan ini memang tidak menjamin bahwa keuntungan ekonomi pukat
pantai akan lebih besar dari trawl. Jenis ikan yang mampu ditangkap oleh trawl
dan pukat pantai, dan struktur biayanya akan menentukan berapa besar
keuntungan kedua jenis alat tangkap tersebut. Selanjutnya, terdapat fakta yang
dapat membantu fokus pertanyaan penelitian, yaitu bermula dari tahun 2004
hingga 2007, terdapat kecenderungan penurunan jumlah trawl, sebaliknya jumlah
pukat pantai cenderung meningkat. Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan,
apakah keuntungan ekonomi dari trawl lebih rendah dari pukat pantai sehingga
beberapa nelayan telah menggantinya ? dan, dengan sedikit generalisasi, berapa
besar perbedaan keuntungan ekonomi antara alat tangkap legal dan terlarang ?
Pertanyaan ini muncul karena pola serupa terjadi pada produksi jaring insang
hanyut (legal) dan jaring insang klitik (terlarang).
Tabel 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007
Jenis Alat Tangkap Tahun
2004 2005 2006 2007
Pukat Payang Jumlah (unit) 1 281 1 281 1 281 1 281
Produksi (ton) 1 0546 9 945 10 591 12 242Rataan (ton) 8 8 8 10
8
Tabel 2. Lanjutan
Jenis Alat Tangkap Tahun
2004 2005 2006 2007
Pukat Dogol Jumlah (unit) 205 205 205 205
Produksi (ton) 10 878 9 224 5 779 7 393Rataan (ton) 53 45 28 36
Pukat pantai Jumlah (unit) 288 288 288 288
Produksi (ton) 8 306 9 984 13 786 15 116Rataan (ton) 29 35 48 52
Pukat Cincin Jumlah (unit) 156 156 156 156Produksi (ton) 12 550 10 630 13 374 14 500Rataan (ton) 80 68 86 93
JaringInsang Hanyut
Jumlah (unit) 2 091 2 091 2 091 2 091Produksi (ton) 11 230 9 083 13 556 14 802Rataan (ton) 5 4 6 7
JaringInsang Lingkar
Jumlah (unit) 0 1 465 1 465 1 465Produksi (ton) 0 354 1121 3049Rataan (ton) 0 0,2 1 2
JaringInsang Klitik
Jumlah (unit) 870 870 870 870Produksi (ton) 6 982 4 772 7 190 5 845Rataan (ton) 8 5 8 7
JaringInsang Tetap
Jumlah (unit) 0 222 222 222Produksi (ton) 0 2 327 896 971Rataan (ton) 0 10 4 4
JaringInsang Tiga Lapis
Jumlah (unit) 294 294 294 294Produksi (ton) 717 699 345 4362Rataan (ton) 2 2 1 15
Pancing tonda Jumlah (unit) 24 94 94 0
Produksi (ton) 415 442 382 0Rataan (ton) 17 5 4 0
Pancing lainnya Jumlah (unit) 332 332 332 332
Produksi (ton) 3 258 9 336 3 477 946Rataan (ton) 10 28 10 3
Sero Jumlah (unit) 80 180 180 180
Produksi (ton) 1 885 353 391 1 459Rataan (ton) 24 2 2 8
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka, Tahun 2005 – 2009
Laporan statistik yang menunjukkan adanya penurunan jumlah alat
tangkap terlarang tidak secara lurus menunjukkan berkurangnya intensitas
penggunaan alat tangkap itu. Jumlah trawl yang sedikit belum menjamin
rendahnya frekuensi penggunaan alat tangkap tersebut. Meskipun relatif sedikit
9
jumlahnya tapi sering digunakan atau tripnya banyak tetap saja menimbulkan
tekanan besar terhadap ekosistem laut. Pola pergantian musim penangkapan ikan
dapat menjadi kondisi yang menentukan adanya perbedaan penggunaan jenis alat
tangkap, termasuk kategori legal dan terlarang. Menurut Mulyadi (2005),
dalam dunia kenelayanan dikenal adanya empat macam musim, yaitu musim barat
(September – Desember), musim utara (Desember – Maret), musim timur (Maret
– Juni), dan musim selatan (Juni – September). Musim barat dikenal sebagai
musim paceklik karena ombaknya besar sehingga nelayan sulit melaut.
Tabel 3. Jumlah Trip Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007
(Unit)Jenis Alat Tangkap 2004 2005 2006 2007Pukat Payang 42 44 22 22Pukat Dogol 69 26 45 40Pukat pantai 97 83 96 122Pukat Cincin 17 5 5 36Jaring Insang Hanyut 56 33 4 41Jaring Insang Lingkar 17 77 14Jaring Insang Klitik 48 29 41 15Jaring Insang Tetap - 4 - 19Jaring Insang Tiga Lapis 11 12 6 30Pancing tonda 0 143 0 -Pancing lainnya 0 18 42 32Sero 0 294 0 33
Sumber : Statistik Perikanan Propinsi Jawa Barat, Tahun 2005 - 2008
Karakteristik nelayan dalam melakukan penangkapan ikan dapat diamati
dari jumlah trip setiap jenis alat tangkap seperti disajikan pada Tabel 3
sebelumnya. Pada tabel tersebut terlihat bahwa trip pukat dogol memiliki trend
yang menurun, sedangkan pukat pantai menampilkan trend yang meningkat.
Trend ini memiliki pola yang serupa dengan trend jumlah produksinya. Setiap trip
alat tangkap memiliki perbedaan, ada yang tripnya satu hari seperti sero, dan ada
yang berhari-hari. Trip penangkapan ikan menampilkan frekuensi penggunaan alat
10
tangkap tersebut dalam satu tahun. Perbedaan frekuensi penggunaan setiap jenis
alat tangkap tentu menyimpan beberapa alasan, mengingat setiap jenis alat
tangkap memiliki kemampuan atau daya tangkap yang berbeda beda yang
menimbulkan harapan tingkat keuntungan yang berbeda juga bagi nelayan.
Pada musim paceklik, desakan kebutuhan ekonomi akan relatif besar, dan
mereka membutuhkan uang kas yang cukup besar juga. Kondisi ini berpotensi
menjadi pertimbangan ekonomi nelayan untuk menggunakan alat tangkap
terlarang pada musim penangkapan berikutnya untuk menutupi kebutuhan
ekonomi yang bersifat mendesak. Hal ini dapat mengurangi bobot pertimbangan
mereka untuk mematuhi aturan alat tangkap yang diwujudkan oleh besarnya
frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang. Tetapi, frekuensi penggunaannya
bisa turun atau sama sekali akan menggunakan alat tangkap legal, bila mereka
menaruh pertimbangan yang cukup besar untuk menaati peraturan. Perbedaan
frekuensi penggunaan alat tangkap ini tentu memerlukan penjelasan, sehingga
pertanyaan penelitian berikutnya adalah faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang dalam satu tahun ?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mendekati dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, maka
penelitian ini akan diarahkan untuk :
1. Mengestimasi perbedaan tingkat keuntungan penggunaan alat tangkap legal
dengan terlarang di Kabupaten Indramayu.
2. Mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi penggunaan alat
tangkap legal dan terlarang pada nelayan di Kabupaten Indramayu.
11
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan disipliner
dan praktis. Secara disipliner, penelitian ini diharapkan memberikan tambahan
contoh empiris mengenai studi ekonomi illegal fishing atau penangkapan ikan
secara tidak syah. Belajar dari Nikijuluw (2008) dan hasil studi literatur, tampak
bahwa studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan di
Indonesia masih sedikit ditemukan.
Secara praktis, hasil akhir penelitian ini diharapkan memiliki potensi untuk
menjadi acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu di dalam menyusun
strategi kebijakan menuju pembangunan perikanan yang lestari. Hasil penelusuran
literatur menunjukkan bahwa informasi empiris mengenai implikasi ekonomi
terhadap pilihan alat tangkap legal dan terlarang masih sulit ditemukan di
Kabupaten Indramayu.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Obyek yang akan menjadi kajian empiris penelitian ini adalah perikanan di
Kabupaten Indramayu. Indramayu terletak di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat
yang berhadapan langsung dengan sebahagian Laut Jawa. Obyek perikanan
tersebut menjadi dasar untuk menentukan kerangka sampel atau contoh penelitian.
Sekurang-kurangnya terdapat dua kelas nelayan, yaitu nelayan pemilik dan
nelayan Anak Buah Kapal (ABK). Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki
asset penangkapan ikan seperti kapal perikanan dan alat tangkap, sedangkan
nelayan ABK merupakan pekerja pada nelayan pemilik. Tidak jarang nelayan
pemilik juga ada yang mencurahkan waktunya untuk menangkap ikan bersama
ABK. Dalam penelitian ini, nelayan pemilik dipilih menjadi unit analisisnya.
12
Rencana penelitian ini mengembangkan kerangka kerja ekonomi illegal
fishing yang coba disesuaikan dengan kondisi perikanan di Indramayu. Secara
umum, frase illegal fishing tersebut diartikan sebagai tindakan nelayan yang tidak
mempertimbangkan regulasi mengenai perikanan, baik dari aspek input maupun
output. Pengertian ini disintesa dari beberapa sumber pustaka mengenai ekonomi
illegal fishing. Kerangka kerja tersebut dapat menjelaskan alasan logis mengapa
usaha perikanan menggunakan alat tangkap legal di satu pihak, dan mengapa
mereka menggunakan alat tangkap destruktif. Kerangka kerja ini membantu
penulis di dalam mengidentifikasi peubah yang perlu dipertimbangkan dalam
model ekonometrika. Model ekonometrika yang akan digunakan adalah model
ordered logit. Model menjelaskan peubah dependen yang bersifat kualitatif
multinomial.
Istilah usaha perikanan yang dikemukakan sebelumnya adalah semua
usaha perorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha
penangkapan ikan di laut. Nelayan perorangan masuk di dalam kategori usaha
perikanan tersebut. Pengertian ini diadopsi dari Perda 16/2005.
13
I. PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................................10
1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................................11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian...........................................................................11
Tabel :
1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa
Barat, 1991 – 2008...................................................................................................1
2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap,
Kabupaten Indramayu, 2004 – 2007........................................................................7
3. Jumlah Trip Jenis Alat Tangkap, Kabupaten Indramayu, 2004 – 2007 9