1 maret 1949
TRANSCRIPT
Fakta Baru MengenaiFakta Baru MengenaiFakta Baru MengenaiFakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 1949999
Agresi Militer Belanda II Oleh Batara R. Hutagalung
Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi
Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge
Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia.
Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan
Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah
menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel.
Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958.
Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa
pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor
Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang
dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.
Van Mook Schermerhorn Dr. L.J.M. Beel
Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok
garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin
memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr.
Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang
memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.
Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan
perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering
Indonesie in Overgangstijd –BIO).yang rencananya hanya terdiri dari negara-
negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –
BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia.
Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang
Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera
memberangkatkan Presiden Sukarno ke India.
A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark
2
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan
adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada
Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana
Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim
pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno. Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani
antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh
Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan
melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno
bahkan telah menyampaikan pidato perpisahan.
Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan
Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua
delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak
Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO.
Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar
harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat,
mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu,
dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang (KSAP) Republik
Indonesia.
Kol. T.B. Simatupang, waktu itu adalah Wakil II KSAP mencatat :
Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga
bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya
laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan
cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara
politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui
wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda
dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-
kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat
bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan
pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando.
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio Belanda dari Jakarta
menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan
menyampaikan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana
“pemusnahan” TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa
dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai.” Pukul 02.00 pagi 1e para-compgnie
(pasukan para I) dari Korps Speciaale Troepen (KST) di Andir memperoleh
parasut mereka dan memulai masuk ke enambelas pesawat transportasi. Pukul
03.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 03.45 Mayor Jenderal Engles tiba di
bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia
melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat.
3
Pukul 04.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat
dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah
timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 06.25 mereka
menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah
dapat dipergunakan. Pukul 06.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa
Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap
semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap
Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi
Polisional.”
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas
lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pertempuran merebut Maguwo hanya
berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 07.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas,
sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 09.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo,
dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –
termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan
beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di
Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta
menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa
antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan
sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di
radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00
PERINTAH KILAT
No. I/P.B./D/1948
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota
Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan Belanda.
Dikeluarkan di tempat
Tanggal - 19 Desember 1948
Jam - 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia
Letnan Jenderal Sudirman
4
Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian
dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo,
dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari.
Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya
menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan
yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak
meninggalkan Ibukota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden
membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut :
Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19
Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota
Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan
kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat
di Sumatera.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Sukarno Mohammad Hatta
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil
membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI
untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri
Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya :
Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat
di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk
membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika
hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wakil Presiden Menteri Luar Negeri
Mohammad Hatta - Agus Salim
Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap
pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik
Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan
prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI,
segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju
ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam
Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi
hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar
supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai!
5
Setelah berita mengenai agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19
Desember 1949 disiarkan di seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman
tajam dilontarkan oleh banyak negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan
tanggal 20 Desember, berarti sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan
Keamanan PBB segera bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan
tanggal 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga
Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya. Pada sidang
tersebut, Uni Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai
agresor, namun usul tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima
usul Amerika Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera
dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan.
Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A.
Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24
Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda untuk segera
menghentikan aksi militernya. Karena tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan
Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember, dengan tambahan
agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan, dibebaskan tanpa
syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut juga diabaikan oleh Belanda.
Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia,
Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan penghentian tembak-menembak yang
tampaknya hanya sekadar basa-basi -berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh Indonesia terus melancarkan serangan terhadap
tentara Indonesia di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik.
Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional”
mereka telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Pemerintah Belanda nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera mengeluarkan dua resolusi berturut-turut.
Kesibukan luar biasa timbul di negeri Belanda, baik di kalangan pemerintah
maupun di Parlemen. Akhirnya diputuskan, bahwa Perdana Menteri Dr. Drees
harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai
pihak di Indonesia. Drees berangkat ke Jakarta tanggal 4 Januari, dan kembali ke
negeri Belanda tanggal 20 Januari; berarti dia tinggal di Indonesia selama 16 hari.
Sungguh luar biasa, bagi seorang Perdana Menteri yang belum lama menjabat,
pergi ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama. Ini menunjukkan, bahwa
masalah yang dihadapi Pemerintah Belanda, bukanlah masalah kecil dan tidak
mudah untuk menyelesaikannya.
Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal
Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai
situasi di Indonesia. Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake
Success tanggal 7 Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB,
Philip Jessup menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas
daripada yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.
6
Tamparan pertama dari pihak BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.
Di PBB dan di dunia internasional, terjadi perang diplomasi antara Republik
Indonesia dan Belanda. Tokoh-tokoh Republik di luar negeri berusaha untuk
membuktikan kepada dunia internasional, bahwa Republik Indonesia dan TNI
masih eksis. Di pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-
negara lain di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada.
KTN (Komisi Tiga Negara) masih tetap ada di Yogyakarta untuk mengadakan
pemantauan situasi, dan selalu memberikan laporan kepada Dewan Keamanan
PBB.
Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer
pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak
henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Berbagai resolusi telah
dikeluarkan sejak tahun 1947, namun Belanda masih tetap keras kepala dan tidak
mau melihat kenyataan, bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat
dihalangi lagi. Belanda melawan opini dunia dan masih berusaha memutar balik
jarum jam sejarah.
Di PBB makin banyak negara termasuk Amerika Serikat, yang tidak percaya
dengan versi Belanda. Beberapa negara melancarkan inisiatif untuk mendesak
Belanda keluar dari Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Terutama adalah Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran
di Indonesia dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan
kedaulatan RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk
menghadang komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu. AS sangat
kuatir, karena Uni Sovyet melancarkan propaganda dengan mengidentiskan
kolonialisme dengan kapitalisme. Perang dingin ideologi telah dimulai sejak tahun
1945, diawali di Konferensi Yalta. Berbagai kalangan di Amerika Serikat mendesak
Pemerintah Amerika Serikat agar membekukan bantuan untuk negeri Belanda dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programm, program
pemulihan/pembangunan Eropa, setelah Perang Dunia II), karena mereka menilai,
Belanda menggunakan dana bantuan tersebut untuk membiayai agresi militer di
Indonesia, yang diperkirakan menelan biaya sebesar satu juta US $/hari.
Setelah Dewan Keamanan melihat bahwa Belanda tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948, awal Januari 1949
Dewan Keamanan menggelar sidang lagi untuk membahas masalah agresi militer
Belanda. Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling menuduh, bahwa yang dilakukan
oleh masing-masing negara tersebut hanyalah agar Republik Indonesia tidak
masuk ke bawah pengaruh negara lawan politisnya.
Pada 22 Desember 1948, Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa mengeluarkan maklumat yang isinya :
7
Markas Besar Komando Jawa Maklumat No. 2/MBKD Berhubung dengan keadaan perang, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 dan 70, kami maklumkan berlakunya Pemerintahan Militair untuk seluruh Pulau Jawa. Dikeluarkan: di tempat Pada tanggal: 22 Dec.'49 Pada jam: 08.00 Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Ttd. (Kol. A.H. Nasution) Kepada : 1. Semua Div. 2. - id - Bd. 3. - id – STC 4. Residen
Divisi III di bawah Kolonel Bambang Sugeng bermarkas di desa Kaliangkrik, dan
sesuai dengan Perintah Siasat No. 1 dari Panglima Besar, di daerah gerilya
dibentuk Wehrkreise (Wehrkreis, bahasa Jerman, artinya: Wilayah Pertahanan)
dan Subwehrkreise (SWK). Pembagian Wehrkreise (WK) di wilayah Divisi
III/Gubernur Militer III adalah :
a. Wehrkreis I dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Bachrun. Wilayahnya meliputi
Karesidenan Pekalongan, Banyumas dan Wonosobo, bermarkas di Desa
Makam.
b. Wehrkreis II dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu
dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno.
c. Wehrkreis III dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Wilayahnya meliputi
Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.
Beberapa hari setelah bermarkas di Gunung Sumbing, para gerilyawan telah
dapat membuka jalur komunikasi dan surat menyurat dengan pimpinan sipil yang
berada di kota Yogyakarta. Jalur radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam
waktu relatif singkat. Dengan cara estafet, pemberitaan melalui radio dari Gunung
Sumbing dapat mencapai New York, a.l. melalui pemancar radio AURI di Playen,
dekat Wonosari, yang siarannya dapat ditangkap di Bukittinggi, kemudian
diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini dapat ditangkap di Singapura dan
Birma, dan siaran dari Birma dapat ditangkap di New Delhi, India. Dengan adanya
pemancar-pemancar radio tersebut, pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang
bergerilya dapat terus saling berkomunikasi dan semua kegiatan dapat
disampaikan secara estafet ke Singapura, New Delhi bahkan sampai ke New York.
Begitu juga jaringan teritorial yang telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum
serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 berfungsi dengan baik, sehingga
para Panglima/Gubernur Militer dapat selalu berhubungan dengan Panglima
Besar Sudirman yang juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki
kemiliteran tetap berfungsi selama perang gerilya. Mengenai perjalanannya di
Jawa yang dimulai tanggal 25 Februari 1949, Simatupang mencatat :
8
"Organisasi teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak usah membawa apa-apa selain daripada sekadar pakaian, sebab di mana-mana organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan, tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan."
Setelah melalui serangkaian perdebatan dan sanggahan dari wakil Belanda,
akhirnya Dewan Keamanan PBB menerima usulan yang dimajukan oleh Amerika
Serikat bersama Kuba, Norwegia dan Cina (Taiwan-pen.), yang isinya a.l.
menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai
perundingan dengan pihak Republik Indonesia, guna membicarakan
pengakuan/penyerahan kedaulatan kepada RI. Pada tanggal 28 Januari 1948,
Dewan Keamanan PBB menerima usulan 4 negara tersebut dan menetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949, mengenai "The Indonesian
Question."
Resolusi Dewan Keamanan, 28 Januari 1949.
Dewan Keamanan,
• dengan mengingat resolusinya tanggal 1 Agustus 1947, 25 Agustus 1947 dan 1
November 1947 tentang masalah Indonesia;
• dengan memperhatikan dan menyetujui laporan-laporan yang diajukan oleh
Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia);
• menimbang bahwa resolusinya tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948
tidak dijalankan sepenuhnya;
• menimbang, bahwa masih didudukinya daerah Republik Indonesia oleh pasukan-
pasukan bersenjata Belanda adalah tidak sesuai dengan usaha untuk kembalinya
hubungan baik antara kedua belah fihak dan untuk tercapainya penyelesaian
akhir yang adil dan kekal atas sengketa tentang Indonesia;
• menimbang, bahwa mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia
adalah syarat yang perlu untuk mencapai maksud dan keinginan kedua belah
fihak;
• mendengar dengan puas, bahwa kedua belah fihak tetap berpegang teguh pada
asas-asas Persetujuan Renville dan menyetujui akan diadakannya pemilihan
umum yang bebas dan demokratis di seluruh Indonesia dengan maksud untuk
mendirikan suatu Constituent Assembly (Badan Pembentuk Undang-undang)
secepat-cepatnya, serta menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan
mengawasi pemilihan umum itu melalui suatu badan yang akan dibentuk oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
• dan bahwa wakil Belanda telah menyatakan keinginan pemerintahnya untuk
mengadakan pemilihan umum itu tidak lewat tanggal 1 Oktober 1949;
• melihat pula dengan puas, bahwa Pemerintah Belanda berniat akan menyerahkan
kedaulatan kepada Indonesia Serikat jika mungkin pada 1 Januari 1950 atau
setidak-tidaknya dalam tahun 1950, dengan kesadaran akan tanggungjawabnya
yang utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan
supaya segala hak, tuntutan, dan kedudukan masing-masing fihak tidak dilanggar
dengan kekerasan;
9
1. menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan
militer dengan segera; menganjurkan pada Pemerintah Republik pada waktu
yang sama memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya yang bersenjata supaya
menghentikan perang gerilya; dan menganjurkan kepada kedua belah fihak
supaya bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan
dan ketertiban di seluruh daerah yang bersangkutan;
2. menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera
dan tanpa syarat apa pun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya
semenjak 19 Desember 1948 dalam Republik Indonesia, dan mempermudah
kembalinya dengan segera pejabat-pejabat Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta, agar mereka dapat melakukan tugasnya seperti tersebut pada pasal
(1) di atas dan agar mereka dapat menjalankan pekerjaannya secara bebas,
termasuk tugas pemerintahan di daerah Yogyakarta yang mengenai kota
Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabat-pejabat Belanda harus memberikan kepada
Pemerintah Republik Indonesia segala perlengkapan sepantasnya yang
diperlukan oleh pemerintah itu untuk melakukan kewajiban dalam daerah
Yogyakarta itu dan untuk dapat berhubungan dan bertukar pikiran dengan lain-
lain fihak di Indonesia.
3. Menganjurkan, supaya, mengingat pentingnya terwujud tujuan dan keinginan
kedua belah fihak untuk mendirikan suatu Negara Indonesia Serikat yang
merdeka dan berdaulat dan berbentuk federal dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, utusan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik selekas mungkin
mengadakan perundingan, dengan bantuan komisi yang tersebut dalam paragraf
4 di bawah, berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam persetujuan Linggajati
dan Persetujuan Renville dan mempergunakan apa yang telah disetuhui antara
kedua fihak tentang usul-usul yang diajukan padanya oleh wakil-wakil Amerika
dalam Komisi Jasa Baik pada tanggal 10 September 1948; dan teristimewa atas
dasar-dasar yang berikut :
a) perwujudan Pemerintah Federal Interim yang akan diberi kuasa atas
pemerintahan dalam negeri di Indonesia selama masa peralihan (interim
period) sebelum penyerahan kedaulatan terjadi itu, harus merupakan hasil
perundingan-perundingan tersebut di atas dan dilaksanakan tidak lewat
tanggal 15 Maret 1949; b) pemilihan wakil-wakil yang akan duduk dalam Constituent Assembly
hendaknya selesai pada tanggal 1 Oktober 1949; dan c) penyerahan kedaulatan atas Indonesia oleh Pemerintah Belanda kepada
Negara Indonesia Serikat hendaknya dilaksanakan dalam waktu sesingkat-
singkatnya dan setidak-tidaknya tidak lewat tanggal 1 Juli 1950;
jikalau tidak tercapai persetujuan satu bulan sebelum tanggal-tanggal yang
tersebut pada sub-paragraf (a), (b) dan (c) di atas, maka komisi yang tersebut
pada paragraf (a) di bawah, dengan segera harus memberi laporan kepada
Dewan Keamanan, dengan menambahkan saran-saran tentang cara
penyelesaian kesukaran-kesukaran yang ada;
4 a) Komisi Jasa Baik selanjutnya akan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia - UNCI).
10
Komisi itu akan bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan di Indonesia dan
memegang semua kewajiban yang diberikan kepada Komisi Jasa Baik oleh
Dewan Keamanan semenjak 18 Desember 1947 dan juga semua kewajiban
yang diberikan padanya oleh resolusi ini. Komisi ini mengambil putusan
berdasarkan suara terbanyak, akan tetapi dalam memberikan laporan dan
anjuran kepada Dewan Keamanan harus menyebut pula pandangan mayoritas
maupun pandangan minoritas, jika ada perbedaan paham antara pada
anggota komisi itu. b) Komisi Konsuler diminta membantu pekerjaan Komisi Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk Indonesia dengan menyediakan peninjau-peninjau militer dan
pegawai-pegawai lainnya serta bantuan lainnya agar komisi dapat melakukan
kewajibannya seperti termaktub dalam resolusi sekarang ini, dan untuk
sementara waktu menunda segala pekerjaan lainnya. c) Komisi akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam melaksanakan
resolusi ini, akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam
mengadakan perundingan menurut paragraf 3 di atas, dan berhak memberi
usul kepada mereka atau kepada Dewan Keamanan tentang hal-hal yang
termasuk dalam wewenangnya. Setelah tercapai persetujuan dalam
perundingan-perundingan itu, komisi akan memberi anjuran kepada Dewan
Keamanan tentang sifat, kekuasaan dan pekerjaan badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang harus tinggal di Indonesia untuk membantu pelaksanaan syarat-
syarat persetujuan itu sehingga kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah
Belanda kepada Negara Indonesia Serikat. d) Komisi berhak berunding dengan wakil-wakil dari semua daerah di Indonesia
di luar daerah Republik dan berhak mengundang wakil-wakil daerah tersebut
untuk ikut serta dalam perundingan seperti termaksud dalam paragraf 3 di
atas. e) Komisi atau badan lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mungkin
didirikan menurut usul seperti tersebut pada paragraf 4 (c) di atas berhak
mengawasi atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemilihan umum yang
akan diadakan di seluruh Indonesia serta berhak pula mengajukan anjuran
mengenai daerah-daerah di Jawa, Madura dan Sumatera tentang syarat-syarat
yang perlu supaya (a) memastikan, bahwa pemilihan umum dilaksanakan
secara bebas dan demokratis, dan (b) menjamin agar supaya senantiasa ada
kebebasan untuk berhimpun, berbicara dan menyampaikan pendapat, asal
saja kebebasan itu tidak dipergunakan untuk menghasut melakukan kekerasan
atau balas dendam; f) Komisi harus memberi bantuan mengembalikan selekas mungkin
pemerintahan sipil Republik. Untuk hal itu, komisi setelah berunding dengan
kedua belah fihak, akan menganjurkan sampai mana daerah-daerah Republik
yang ditetapkan menurut perjanjian Renville (di luar daerah Yogyakarta) akan
dikembalikan berangsur-angsur kepada Pemerintah Republik, disesuaikan
dengan syarat-syarat bagi terjaminnya keamanan dan ketertiban serta
keselamatan jiwa dan harta-benda; dan komisi juga akan mengawasi
persediaan barang yang dibutuhkan agar pemerintahan dapat berjalan
dengan tertib dan untuk menjaga kehidupan rakyat di daerah yang
dikembalikan itu.
11
Setelah berunding dengan kedua belah fihak, komisi akan menganjurkan,
tentara Belanda mana, jika masih perlu, akan tetap tinggal untuk sementara
waktu di daerah yang terletak di luar daerah Yogyakarta untuk membantu
menjaga keamanan dan ketertiban. Jika salah satu fihak tidak dapat menerima
anjuran komisi tersebut, komisi dengan segera akan melaporkan hal itu
kepada Dewan Keamanan, disertai saran-saran penyelesaian atas segala
kesukaran yang ada, g) Komisi mengirimkan laporan periodik kepada Dewan Keamanan dan laporan
istimewa setiap kali dianggap perlu oleh komisi,
h) Komisi akan mempergunakan sejumlah pengawas, opsir dan lain-lain orang
yang dianggap perlu.
1. Meminta kepada Sekretaris Jenderal, supaya komisi diberi suatu staf, keuangan
dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh komisi untuk melaksanakan
pekerjaannya.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia, agar
memberi bantuan sepenuhnya dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan resolusi
ini.
Secara keseluruhan resolusi tersebut menunjukkan sikap lunak negara-negara "Super Power" Barat terhadap Belanda, karena walau bagaimana pun, Belanda
adalah sekutu mereka dalam Perang Dunia II. Perang dingin melawan komunisme
telah dimulai. Pada waktu itu sedang dilakukan perundingan antara Amerika
Serikat dengan negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda, dalam rangka rencana pembentukan Pakta Pertahanan, yaitu North Atlantic Treaty
Organization (NATO), untuk menghadapi blok komunis yang dipimpin oleh Uni
Sovyet.
Butir satu dan dua dari resolusi tersebut dengan jelas meminta Belanda untuk
segera menghentikan aksi militernya di Indonesia, serta dengan segera
membebaskan tanpa syarat, semua tahanan politik yang ditahan Belanda sejak 19
Desember 1948. Selain itu, resolusi telah menetapkan agenda penyerahan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Resolusi itu juga merubah Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa
Baik untuk Indonesia), menjadi United Nations Comission for Indonesia -UNCI
(Komisi PBB untuk Indonesia -KPBBI), yang mempunyai wewenang lebih besar.
Dengan demikian Dewan Keamanan PBB resmi membentuk satu Komisi PBB untuk
Indonesia. Merle Cochran dari Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah Ketua
KTN, diberi kepercayaan lagi untuk menjadi ketua UNCI.
Empat negara anggota Dewan Keamanan tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu
Argentina, Prancis, Uni Sovyet dan Ukraina. Wakil Ukraina, Vassily Tarasenko,
melancarkan serangan hebat terhadap rencana resolusi itu seluruhnya dan
menamakannya suatu "resolusi kapitulasi." Wakil Argentina mengatakan, bahwa
Dewan Keamanan seharusnya memberikan dukungan penuh untuk kemerdekaan
bangsa Indonesia, sedangkan Yacob A. Malik, wakil Uni Sovyet menyatakan,
bahwa resolusi tersebut adalah suatu contoh yang menyolok mata, bagaimana
negara-negara Barat memperlakukan negara-negara Timur,
12
yaitu memihak kepada pihak penyerang. Ia menunjuk kepada sikap Belgia, yang
dikatakannya mencoba membenarkan tindakan agresi Belanda.
Perencanaan Serangan Umum di Seluruh Wilayah Divisi III.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol dr. wiliater
Hutagalung -yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan
ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III-
bertemu dengan Panglima Besar (Pangsar) guna melaporkan mengenai resolusi
Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah
tidak ada lagi. Melalui radio rimbu, Panglima Besar juga telah mendengar berita
tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah
yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.
Hutagalung, yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu
berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima
Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol.
Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada
kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru.
Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan
keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu) Jl. Widoro No. 10,
Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia
internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok
Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia
– PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka
untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa
disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations
Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke
seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing
bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda
berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda
atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan
Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan
Panglima Divisi II dan III.
Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat
Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di Gunung Sumbing.
Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi
militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal
18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain
Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. wiliater
Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan
pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T.
Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati
Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
13
Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat
Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar,
dan kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design” adalah:
Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan
Wherkreis I, II dan III,
• Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
• Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi
III,
• Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
• Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu
mendapat dukungan dari
- Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio
yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Jadi tujuan utama adalah : "Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia" kepada dunia
internasional. Untuk "menunjukkan" eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira yang berseragam TNI.”
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, “grand design” yang dimajukan
oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap
satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh,
bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih
Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah :
1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya untuk
beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar.
2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta,
3. serta masih adanya anggota delegasi UNCII (KTN) serta pengamat militer dari
PBB.
Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan
Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah
operasi.
Selain itu, sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan
terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah
Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah "terlatih" dalam
menyerang pertahanan tentara Belanda.
14
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai
Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan
dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini
sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik
dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis
“Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.”
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan.
Untuk "skenario" seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan
tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan
dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka
sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai,
mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna "menunjukkan diri" kepada anggota-
anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut.
Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara)
Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan
mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan,
terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus
mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia
terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta,
Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana
menyebarluaskan ke dunia internasional?" Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di
Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi
pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat
Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita
mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas
Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih
kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada
perwira Angkatan Darat.
Diperkirakan, apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-
besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di
Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang,
Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4
jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam.
Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah
kewenangan Divisi IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena
itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan
dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer
bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga
bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak,
dapat diperlambat.
15
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono,
Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan
untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-
masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat,
sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan.
Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan
dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para
gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer
setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI
sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima
Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat
No. 1- yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8
menyebutkan :
Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga
adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan
bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang
ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke
tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di
Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan
Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian
perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung
oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana
penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan
Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel
Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade
10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta
mempersiapkan pertemuan.
Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan "grand
design" kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi
selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan,
seorang supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)
dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang
bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk
mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda,
16
Inggris atau Prancis, yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari,
Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan
Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang
kemudian menjadi ipar Simatupang. Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari
1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang: “Laporan dari
Banaran”, Jakarta 1960, halaman 60):
"Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila
Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus
direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang
secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun
Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu
sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai
kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan
(onhoudbar).
Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang
dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di
Banaran.
Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi
ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas
Yogyakarta.
Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi,
maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat
memperkuat kedudukan kita.
Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat
dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."
Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui
pemancar radio Auri di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator
Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi
segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan
Wehrkreis I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat
lampiran/attachment) :
17
STAF DIVISI III/G.M.III INSTRUKSI RAHASIA Tanggal: 18/II/1949 Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX. Dengan ini diperintahkan kepada : Comandant Daerah I Untuk : 1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949 s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu obyek musuh di daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala bantuan untuk Yogyakarta.
2. Selesai. Dikeluarkan di : tempat Tanggal : 18-II-1949. Jam : 20.00 (tandatangan) Gub.Mil III/Panglima Div.III (Kolonel Bambang Sugeng)
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan
penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan,
yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk
menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.
Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis III melalui pegunungan
Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol.
Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat
kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang
ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm.
Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung).
Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula
pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir
telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah
sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr.
Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis
III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah
untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949.
Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta
kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit
Kementerian Pertahanan.
18
Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr.
Hutagalung menulis :
… Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa
pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang
mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur
Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr.W.Hutagalung
beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Soeharto
beserta ajudan.
Panglima Divisi membuka rapat dengan kata-kata :”Bersama ini rapat dibuka dan
dipersilahkan Dr.Hutagalung untuk menguraikan tujuan”.
Penulis berdiri serta mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol.
Soeharto dan mengatakan :”Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada
saudara Soeharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting
dalam perjuangan kita. Nama saudara Soeharto akan dicantumkan dengan tinta
emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”
Setelah duduk kembali, penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di
gunung Sumbing yang dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta
pertemuan dengan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan :
1. Perlu melancarkan serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada
umumnya, khususnya Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia
masih ada, mempunyai wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan
militer. Agar Amerika Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB,
serta menghentikan bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang
sebenarnya sudah bangkrut.
2. Memilih kota Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan
Brigade X/Wehrkreis lll, Letnan Kolonel Soeharto untuk melaksanakan rencana
ini.
Kemudian penulis mengajukan pertanyaan: “Siapkah Saudara Soeharto untuk
melaksanakannya ?”
Dijawab : “Siap!”
Setelah itu diuraikan secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung
Sumbing dan di Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar
supaya pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa
berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna
berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut.
Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations
Commission for Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan
agar mereka dapat melihat Tentara Nasional Indonesia. Mengenai persiapan
dengan pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan saudara Wijono
dari Pepolit. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret
1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan oleh Panglima
Divisi kepada Komandan-Komandan pasukan lainnya di sekitar Yogyakarta ...
19
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil
tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1
Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak
dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan
adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta,
terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima
Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol
Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan,
serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan
adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak
dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD
tertulis :
"Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan
operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel
Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan
operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang
melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang
melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang."
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat
menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke
Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X
yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan
terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang –
Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak
pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari
Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di
Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sbb.:
Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang
berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai
tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah
dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat, sedang
percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak
Kraton-dalam.
Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-
serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang
terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang.
Kolone terebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil
mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton.
Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-
pohon halaman kraton-dalam.
20
Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan
mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di
halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang.
Penyelidikan lebih lanjut dilakukan.
Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang
anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota,
melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian
bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan
menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.
Di fihak Belanda 6 orang tewas, di antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14
orang mendapat luka-luka.
Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di
dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali
seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial
merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-
Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock
(Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan
keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai
berikut:
300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung
dengan pasti.
Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di
pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi
menggambarkan, betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang
ditangkap dari Burma, mengenai serangan "besar-besaran" Tentara Nasional
Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di
berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis
kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun limapuluhan di Pulo Mas,
Jakarta.
Kontroversi "Pemrakarsa" Serangan Umum 1 Maret 1949
Hingga awal tahun tujuhpuluhan, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama
sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa
episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran
heroik di Medan (Medan Area Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15
Desember 1945), Bandung lautan api (April 1946), perang Puputan Margarana/Bali
(20 November 1946),
21
pertempuran 5 hari 5 malam di palembang (1 – 5 Januari 1947), juga tidak
melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu
berjalan kaki selama sekitar dua bulan –sebagian bersama keluarga mereka- dari
Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi
Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda
melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi
pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan
dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada 28/29
Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan dengan
pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, Nasution menulis :
"...enam jam di Yogya -yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara
besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang
dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota
kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan
Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang
demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian
Divisi IV (Jawa Barat)."
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang
terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan
serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949,
dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat-
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada
dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat,
melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat
PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat
langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan
Brigade X, di-back up oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas mengikat
Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling
tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin
seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada
di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu
diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari
TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup
menahan serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan
pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang
kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah
logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang
serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI. Apakah
semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau diperintahkan oleh seorang
komandan brigade?
22
Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan
Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B.
Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita
mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio AURI di
Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu
berada di Wiladek.
Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang
komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa
Inggris) yang akan disampaikan kepada pihak AURI untuk kemudian disiarkan
oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan
serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan
instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.
Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No.
1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul
Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki
militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan
pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah
komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti
harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan
yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang
dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian
Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio.
Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan
berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat peran beberapa
atasan langsung Letkol Suharto.
Nasih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali
seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu
Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan
Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia
tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan
Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung
membantu dalam serangan ke kota adalah Brigade IX.
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan,
bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan,
sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis.
Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No.
4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM
III, untuk a.l.
23
"... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang
dapat menarik perhatian dunia luar...".
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-
besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan
Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni
1948.
Dalam buku yang sama di halaman 265, Nasution menulis :
"Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum terhadap Yogya pada
tanggal 1 Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap...."
Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa seluruh operasi tersebut ada di
bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19,
tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I
(Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan
terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk
mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap
pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah
dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949.
Isi Perintah Siasat tersebut adalah :
Staf Gubernur Militer III.
Sangat Rahasia.
PERINTAH SIASAT
Nomor: 9/PS/49
Keadaan :
1. Mulai tanggal 1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha
merebut Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu
dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari kesatuan-
kesatuan lain-lainnya.
Bantuan yang diberikan kepada Brigade X
1 Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo
1 Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.
2. Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda menggerakkan
balabantuan dari Semarang dan Magelang (ditaksir 2000 orang lengkap) dan
dibantu dengan Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk
(tekanan-pen.) ke medan Yogya sangat beratnya.
Perintah :
Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada
Cdt. Daerah I dan Cdt. Daerah II
U n t u k :
24
1. Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya, terutama ditujukan
kepada centra dari Prembun-Kebumen-Magelang-Semarang wetelijk gedeelte
Purwokerto-Probolinggo-Karangkobar.
2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-
pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju
ditarik ke Magelang utara dan Bat. (Bintoro verschuiven ke arah timur).
3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-
IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.
S e l e s a i.
Dibuat utk.
1. Cdt. Daerah I.
2. Cdt. Daerah II
Dibuat di tempat
Tanggal : 15-III-1949
J a m : 12.00
Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III
1. Staf Divisi III.
2. M.B.K.D.
3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng)
4. Arsip.
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III,
Kolonel Bambang Sugeng, yaitu :
1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III,
tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III.
Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel
Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira
Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang
waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua
dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi
dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas,
bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan
Komandan Brigade.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian
Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari
Banaran, di mana tertera:
Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia
adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan -
sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
25
...Idenya ialah : Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin
bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran...
Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari Bambang Sugeng yang
dapat saya tangkap...
Dengan Kolonel Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat
dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.
Bila disimak kalimat Simatupang :
"...datang dan bermalam di Banaran. ...Dengan Kolonel Soegeng masih saya
bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu,
bagaimana rencananya dan seterusnya"
terlihat, bahwa Bambang Sugeng mengeluarkan instruksi rahasia tersebut
tertanggal 18 Februari, setelah berkonsultasi dengan Simatupang, Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang.
Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa
Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat
dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris
tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut
disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1
Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka
juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas
Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan
teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan
hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia
menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa
"Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi
dunia internasional.
Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus
juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer
beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama
kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan
tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk
kepentingan penguasa.
Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak,
yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin,
bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam
instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel
Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan:
"… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…"
26
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk
pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf
di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf
Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia
sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru
mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan.
Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai
perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan
oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan
kompi, berpangkat Kapten). Dalam naskah yang ditulis di penjara Cipinang antara
tahun 1991 - 1997, tertera (Abdul Latief. Naskah, belum ada judul, (diperoleh
penulis tahun 1998), hlm. 57) :
"Semua yang saya tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya
rasakan, saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah
yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya
merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas."
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang
diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya.
Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis
dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti
yang ada.
Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi Suharto, yaitu :
"... Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan
pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan Belanda
itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat
bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise
yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa ..."
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima
Besar, yang menjadi incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer
dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun
tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat,
hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima
Besar, antara lain:
"… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas,
Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus
Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di
Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang
Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer
Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di
desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri
Kehakiman Susanto Tirtoprojo . Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949
banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”
27
Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan
utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada.
Tercatat antara lain :
… Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke
Yogyakarta, di antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-
keterangan mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi
Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk
menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya
ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan
KaptenCokropranolo.
Tanggal 3.3.1949 di desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan
satu kompi tentara dipimpin Letkol. Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman …
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa
Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui
keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk
bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak
ditangkap Belanda. Jelas, Suharto yang waktu itu hanya komandan brigade, tidak
termasuk lingkungan yang dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima
Besar.
Selanjutnya, N.S.S. Tarjo menulis :
"...Dengan pemancar ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik
buatan. Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.)
, pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat menyusun
rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik, karenanya kita masih
mampu berhubungan satu sama lain via darat dan udara, bahkan mampu
mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang kita selenggarakan di
daerah Wadas-lintang.
Maka datanglah peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka
membawa staf, mereka berunding sambil "makan besar", tak ketinggalan potret-
potret sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam kota."
Komunikasi dengan pimpinan militer dan sipil di Sumatera, akhir Januari 1949
telah dapat dijalin, seperti ditulis oleh Simatupang :
"...Dan memang, akhir bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan
Sumatera, dan melalui Sumatera sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-
berita kepada perwakilan kita di New Delhi.
Dengan Yogyakarta hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba
di Dekso saya dapat mengirim surat-surat kepada Dr. Halim yang berada di kota
dan tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…"
28
Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti, bahwa pernyataan Suharto sama sekali
tidak benar. Memang, hanya sebagai Komandan Brigade, dia tidak termasuk
jajaran yang harus atau dapat mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan
Panglima Divisi/Gubernur Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk
bertemu, bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh
Panglima Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi
pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai
hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling berkomunikasi.
Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia
mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar
Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan
Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu
Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya berjarak
sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H.
Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa
berada di desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada
Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di
pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh dari
markas Divisi III.
Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade
ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga
jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius
sekitar 24 jam berjalan kaki.
Seorang pelaku serangan umum, Vence Sumual, dalam biografinya yang
diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia dipanggil oleh Suharto untuk
membicarakan rencana serangan tersebut. Sumual menulis (Sumual, Vence,
Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani, Jakarta, 1998, hlm. 85) :
"... Panglima Divisi III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol
Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol Suharto,
Komandan WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi.
Sedangkan kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan
pasukan ke dalam komando Letkol Suharto..."
Selanjutnya, Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat,
menulis :
"... Sore harinya baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa Semaken. Mayor
Sumual langsung diantar masuk ke ruang dalam. Bob Mandagie tunggu di luar,
mengobrol dengan beberapa anggota pasukan di situ.
Di situ hanya mereka bertiga. Vence Sumual, Letkol Suharto dan Komandan SWK-
106 Letkol Sudarto yang tuan rumah. Mereka bikin rapat.
Pembicaraan masuk ke pokok. Soal serangan umum ke Yogya. Suharto sudah
mendapat Instruksi Rahasia dari Panglima Divisi III Kol Bambang Sugeng untuk
mengadakan serangan umum besar-besaran yang lebih terencana matang.
Serangan-serangan umum sebelumnya tak dirapatkan dengan para komandan
SWK seperti ini, setidaknya komandan sektor barat..."
29
Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat,
menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari
Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto
atau perintah dari Hamengku Buwono IX.
Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta,
mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi
dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain,
kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh
penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum
adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk
yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang
Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting
adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera
Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I
Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang
dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap
memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di
bawah komandonya:
Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan
terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III,
yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi
pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang
komandan Brigade:
Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan
operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel
Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan
operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang
melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang
melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Kalimat :
"...dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah
Kedu/Magelang"
juga membuktikan kebenaran keterangan Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang
menyebutkan, bahwa Wehrkreis II juga terlibat dalam aksi besar-besaran
tersebut; perintah tertulis kepada Komandan Wehrkreis II tidak perlu diberikan,
karena Letnan Kolonel Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng Gunung
Sumbing.
Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus
mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa
baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan
sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke
luar kota.
30
Dalam buku SESKOAD tertulis :
"... Tiba-tiba datang seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun
yang terjadi, para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol,
segera direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah
pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel T.B. Simatupang
melarangnya. Rencana itu dibatalkan."
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di
kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi
sampai siang. Selain itu, Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri
juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan
adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima
Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan
kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku
SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan
menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai
kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat
rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan
"kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana
"penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan
hariannya. Dalam buku SESKOAD setebal sekitar 400 halaman hanya dengan
beberapa baris saja Sukarno didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang
pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.
Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut
datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono
IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi
perintah kepada Suharto untuk melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan
HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949.
Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi
dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang
yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada
komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan
melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan
yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan
dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar
Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan
diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah
sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan
pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.
Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan
tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang
komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan
yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri.
31
Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB
IX, di mana disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan
siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera
mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari
Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan adalah
disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi
Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi
dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III,
Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara
tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan
umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX
memanggil Suharto untuk menghadap :
... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada
akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan
di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional
bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia
kemudian mendapat satu akal ...
... Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah
pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima
Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.
Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis
oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret
1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi:
... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam
pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13
Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu
serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX -
Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-
kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.
Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang
dalam otobiografinya menyebutkan bahwa :
... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat
bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...
Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk
membantah versi Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto
berkuasa, terlibat dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan Film "Janur Kuning."
Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan
sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah
diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru.
32
Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada
kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan
segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada
penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan
oleh pendukung HB IX.
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat
dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah
yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan
dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta
tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan
di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu
adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).
Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web
koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX
yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan :
"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi
menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki
ibukota RI Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono
(HB) IX.
Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II
1948-1949 di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta,
Kamis, Marsoedi mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari
Soeharto, yang saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III berpangkat Overstee
(Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.
Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri
Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan
Soeharto," katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar
masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu
empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara
Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan.
Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju
tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari
pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek.
"Tunggu perintah lebih lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu
itu.
Ia mengungkapkan, sebelum bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari
berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh
Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."
Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat
Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998) :
33
"Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto,
di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai
panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya
mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang."
Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak
terasa." Marsudi, yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai
komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima
instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup
memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai
dengan hirarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus
akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi
serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat
pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18
Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga
memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari
dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan "Grand
Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel
Wiyono dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol Suharto.
Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera
dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang
tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada
hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas,
demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah.
Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak
mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk
saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk
menerjang hirarki.
Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang
menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman.
Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak
termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima
Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya
sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui
tempat persembunyian Panglima Besar.
Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis
Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-
Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana dikutip :
34
"Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia
mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di
persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya
dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya...
HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam
pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar
13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu
serangan umum dalam waktu dua minggu....Kontak-kontak selanjutnya dilakukan
dengan perantaraan kurir.
...Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa
"pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup."
Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan
di atas, tidak mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando
memberikan perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk
melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan
pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan
yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain,
selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar
radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan
Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama kali tahun 1960,
jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen
tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada
komandan Daerah I (Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota
Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu
selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari
tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut
dihentikan, seperti dituliskan :
... Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa
"pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.
Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota
Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena
pada saat itu bantuan tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film
yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan tersebut berjudul "6 jam di
Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga
jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila
pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat
berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah
penghentian pertempuran diberikan sore hari.
35
Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB
IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa
Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan
instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu
hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan,
tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa
kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana
perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain
seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis
yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.
Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak
mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang
melibatkan beberapa pasukan.
Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun
kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya
pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan
memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan
pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup."
Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra
dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI
menuliskan :
...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan
Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa
HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan
Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut memberikan kesan, bahwa kelompok yang
mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar "pakar sejarah" untuk menulis
sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama
ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda dengan "tukang jahit."
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat
dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku
yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku
tersebut (tanpa terputus dan tidak dirubah titik-komanya) :
"... kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan
sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada
Syafroedin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri
Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI
yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita
hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB,
dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan
HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya
menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan
Wehrkreis.
36
Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan
Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri
Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan
menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan
Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI
telah "hilang" semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat
"lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan
Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang
cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan
masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene
semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu
sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan
Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari
"kemiskinan", jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada
level indikasinya ..."
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945,
menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan
Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah
perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang
ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra
(Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak
laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah.
Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam
kata sambutannya, sebagai :
"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi
dasar utama dalam penulisan buku ini...".
Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI,
hanya ditambahkan transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun
1986, serta sejumlah kesaksian, terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak
ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian.
Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media
massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang
adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan
seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang
kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut,
sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa
adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi
ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater
Hutagalung, mantan Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu
itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.
Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa
Playen, tempat pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH,
yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun) :
37
"...yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak
Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah
mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan
termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga
melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah
rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."
memang, adalah suatu novum, yaitu
"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud.."
Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang
dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada
tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX
kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak
pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX
dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak
pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu,
Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen.
Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku
hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang
Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang
Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek,
Simatupang menulis :
…..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang
telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di
Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang
bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa.
Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni
tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau
serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang
lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara
Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui
pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan
berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda
sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan
umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy
surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman.
Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen
asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang
gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan
keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang
adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya.
38
Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara
Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum
ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah
satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah
menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi
III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara
eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang
diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr.
W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan,
bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat
menuliskan :
"... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."
Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan BBC, serta
melampirkan sejumlah kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari
dokumen yang selama ini telah dikenal. Bahkan beberapa kesaksian
menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada
Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB
IX juga yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk
penghentian serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk
menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya, juga
dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini dilimpahkan
kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru.
Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut
adalah operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel
Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun dokumen otentik yang mendukung, para
penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan
Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah"
tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis
:
Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden
Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan
fakta sejarah itu.
"...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de
jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah
bangsa ini." demikian Budi Hartono.
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta
dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan
SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara
untuk mengukuhkan versinya.
39
Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa
"Serangan Spektakuler" -bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III-
tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia.
Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat
perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan
tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu
lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan
Umum" (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh
wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap Yogyakarta
dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah
keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia,
sebagai bukti bahwa TNI masih ada.
Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan
berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam
perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua
orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan
Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian
Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan
pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-
daerah pertempuran.
Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya
di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia,
yaitu di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, dan ini adalah
bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer.
Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja,
melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana
dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo :
"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam
juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang
yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya,
sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri."
Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan,
persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk
keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada
pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu,
masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah
adalah suatu "never ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir,
karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan
sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.
Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat
membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima
Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng,
40
yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H.
Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau
kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-,
berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam
pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa
perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer
yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap
Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan
kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang
Sugeng.
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu
yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari
duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi
pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat
peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang.
Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan
tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu.
Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun
1980.
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-
hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer
III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan
tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua
versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1,
diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima
Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa
serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah
diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang
disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.
Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak
dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun
tampaknya buku tersebut "dijahit" khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang
sudah menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan
merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa,
negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang
berperan bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan
juga dalam perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI.
Peran mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat
peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya
melaksanakan perintah atasan.
Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung,
yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di
majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan,
41
edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden);
Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara
Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).
Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan,
agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana
suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan
kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk
memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut
diterbitkan, dan menulis kata sambutan.
Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung
Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949,
Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika
Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB
di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr.
Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI
AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter).
Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang
mencatat :
"dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun
1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang
menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki
Belanda."
Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh
perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima
perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-
generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel
G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang
dalam pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31].
Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja
Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi
perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi
perlengkapan medis.
Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31,
diselenggarakan diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949"
dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang
Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri
alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr.
Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen
Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal
18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan
oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung
dari Gedung Joang).
42
Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan
Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan
mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu
Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang
Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk
mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun
Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi
Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1
Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili
Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH
(Beliau juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung
pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga
dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti
Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen
(Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) .
Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah
menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan
tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan
kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim
fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.
Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja,
penyunting biografi Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX
pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan,
berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di
tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di
Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949",
yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan,
bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat
TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada
TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.
Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta.
Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua,
yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal
1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan
penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa
serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu
sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut.
Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil
dari tiga versi yang berbeda.
43
Kesimpulan
Setelah agresi militer yang dilancarkan Belanda tanggal 19 desember 1948
terlihat, bahwa Dewan Keamanan segera menunjukkan reaksi dan bersidang
tanggal 20 Desember 1948, sehari setelah serangan Belanda. Dalam sidang yang
dilaksanakan tanggal 22 Desember, Dewan Keamanan menerima usul dari wakil
Ukraina, Vassily A. Tanassenko dan tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan
resolusi, yang isinya adalah seruan agar Belanda segera menghentikan agresi
militernya. Karena Belanda tidak mematuhi resolusi tersebut, tanggal 28
Desember, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang isinya dipertajam, yaitu
ditambah dengan desakan, agar Belanda segera dan tanpa syarat, membebaskan
seluruh pimpinan Republik yang ditawan tanggal 19 Desember serta
mengembalikan mereka ke Yogyakarta.
Banyak negara segera melancarkan aksi terhadap kegiatan ekonomi dan politik
internasional Belanda, seperti larangan terbang di atas wilayah negara mereka,
boikot kapal-kapal dagang Belanda, dsb.
Yang sangat di luar dugaan Belanda adalah reaksi keras dari Pemerintah Amerika
Serikat serta sejumlah Senator di Senat yang mengancam akan menghentikan
program bantuan pemulihan ekonomi Belanda, dalam rangka European Recovery
Programm (Marshall Plan). Bahkan negara-negara Asia menyelenggarakan suatu
Konferensi Asia di New Delhi tanggal 20 - 23 Januari 1949, yang khusus membahas
masalah Indonesia dan mengeluarkan resolusi yang sangat tajam bagi Belanda.
Resolusi Konferensi Asia tersebut disampaikan kepada Dewan Keamanan, dan
mendapat tanggapan yang sangat positif. Resolusi Konferensi Asia dikembangkan
oleh Amerika Serikat, China (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang mengajukan
resolusi, yang kemudian dikenal sebagai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28
Januari 1948, yang sangat menentukan bagi masa depan Republik Indonesia.
Semula, pada bulan Agustus 1947, Dewan Keamanan hanya membentuk Komisi
Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia), yang
merupakan suatu pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia, ditingkatkan
dengan dibentuknya secara resmi United Nations Commission for Indonesia
(UNCI), dengan agenda yang tegas dan jelas, seperti tertuang dalam Resolusi
Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1949, yaitu :
1. Pengembalian para pemimpin Republik ke Yogyakarta serta Pemulihan
Pemerintah Republik di Yogyakarta.
2. Penarikan mundur tentara Belanda.
3. Perundingan antara Belanda dan Indonesia, yang tujuannya adalah mengatur
persyaratan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia Serikat.
Resolusi Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1948, menjadi pusat seluruh
kegiatan dan peristiwa, sampai terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den
Haag, tanggal 23 Agustus 1949, di mana terbentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan selanjutnya, pengakuan kedaulatan RIS oleh Pemerintah Belanda tanggal
27 Desember 1949. Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB telah
mempersiapkan proses pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, walau pun
bentuk yang dipersiapkan adalah Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai
realisasi Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville, yang keduanya telah
dilanggar oleh Belanda.
44
Banyak negara anggota PBB -terutama di Dewan Keamanan- menilai, bahwa agresi
militer Belanda tersebut membahayakan upaya menjaga perdamaian dunia;
terutama untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan
sengketa. Selain itu, hampir semua negara anggota PBB -termasuk Amerika
Serikat- menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Belanda itu adalah suatu
pelecehan terhadap PBB, karena agresi militer tersebut dilakukan ketika
perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda sedang berlangsung, yang
difasilitasi oleh Komisi yang diutus oleh Dewan Keamanan PBB. Bahkan Ketua
UNCI, Merle Cochran dari Amerika Serikat, satu hari sebelum agresi militer
Belanda dilancarkan, sedang ke Jakarta, membawa surat dari Wakil Presiden M.
Hatta, yang ditujukan kepada WTM Dr. Beel, yang isinya adalah jawaban pihak
Republik atas suatu tuntutan dari Belanda. Oleh karena itu, reaksi Pemerintah
Amerika Serikat termasuk yang paling keras terhadap Belanda.
Di dunia internasional, boleh dikatakan tidak ada lagi negara yang mendukung
Belanda; bahkan kawan-kawan tradisional Belanda, Inggris dan Prancis, juga
menganjurkan Belanda untuk menerima resolusi Dewan Keamanan tanggal 28
Januari 1949.
Di dalam negeri, tidak seluruh rakyat Belanda mendukung agresi militer atau pun
kebijakan yang dilakukan oleh beberapa Wakil Tinggi Mahkota (mengganti posisi
Gubernur Jenderal semasa Hindia Belanda). Di samping kejenuhan terhadap
perang, karena baru selesai Perang Dunia II, Belanda sendiri sangat membutuhkan
dana besar bagi pembangunan di negeri Belanda, sedangkan diperkirakan, biaya
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sejak agresi militer mereka, mencapai
I juta US $ sehari.
Negara-negara boneka bentukan van Mook yang tergabung dalam BFO, pada
akhirnya melakukan pembangkangan terhadap rencana Pemerintah Belanda serta
WTM Dr. Beel, yang merencanakan untuk menggelar KMB tanpa
mengikutsertakan Republik. BFO -beberapa negara federal semula mentolerir
aksi militer Belanda- karena desakan rakyat di wilayah mereka serta melihat
kenyataan, bahwa tanpa ikut sertanya Republik Indonesia hasil KMB tidak akan
diterima oleh dunia internasional, mendukung agar Republik harus ikut serta
dalam KMB.
Di bidang militer, perhitungan Belanda ternyata meleset, karena tidak berhasil
menghancurkan TNI, sehingga setelah TNI melakukan konsolidasi, tentara Belanda
menghadapi perlawanan sengit di seluruh Indonesia, terutama di Jawa dan
Sumatera. Semakin lama berlangsung perang gerilya, kedudukan Belanda
semakin terdesak, hingga setelah sekitar 3 bulan setelah agresi militer mereka,
Belanda praktis hanya dapat berkuasa di kota-kota, sedangkan di luar itu,
seluruhnya dikendalikan oleh pemerintahan militer Republik. Perlawanan
bersenjata Republik tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda, karena pimpinan
militer dapat menyiarkan berita -dengan cara estafet- sampai ke luar negeri; juga
sebaliknya, para gerilyawan dapat menangkap siaran radio dari luar negeri.
Selain itu, KTN (Komisi Tiga Negara) dan setelah resolusi Dewan Keamanan
tanggal 28 Januari, menjadi UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia), selalu
memberikan laporan, baik mengenai situasi para tahanan politik, juga mengenai
aksi militer dan perlawanan bersenjata dari Republik.
45
Melihat agenda di Dewan Keamanan, serta tekanan dunia internasional,
penyelesaian masalah konflik Indonesia dengan Belanda hanya tertunda, karena
Belanda masih berkeras kepala dan mencoba mengulur-ngulur waktu, untuk
mempersiapkan negara-negara boneka, yang mereka harapkan akan menjadi
mayoritas serta memimpin Negara Indonesia Serikat.
Berikut ini kronologi rangkaian peristiwa, sebelum dan sesudah 1 Maret 1949,
yang dapat memberi gambaran yang jelas :
Setelah ada reaksi keras dari Dewan Keamanan PBB dan Amerika Serikat, Perdana
Menteri Belanda, Dr. Drees ke Indonesia tanggal 4 Januari 1949, dan tinggal
selama 16 hari (!), sampai tanggal 20 Januari. Dalam pidato yang diucapkan
tanggal 20 Januari, Drees mengakui kenyataan, bahwa bagi rakyat Indonesia,
Pemerintah Republik Indonesia adalah simbol perjuangan kemerdekaan, dan di
BFO banyak pendukung Republik.
Dalam sidang Dewan Keamanan yang dimulai pertengahan Januari, wakil Amerika
Serikat secara panjang lebar menyatakan sikap tegas pemerintahnya yang
mendukung Republik Indonesia dan melancarkan kritik tajam kepada Pemerintah
Belanda. Sikap Amerika Serikat ini diikuti dengan resolusi yang dimajukan oleh
Amerika Serikat, Cina (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang kemudian diterima dan
disahkan menjadi Resolusi Dewan Keamanan No. 63 tanggal 28 Januari 1949, di
mana isinya, di samping menuntut agar Belanda melepaskan semua pemimpin
Republik serta agar Belanda memegang persetujuan Renville, juga memuat
agenda yang jelas mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS) seperti
yang tertera dalam persetujuan Renville.
WTM, Dr. Beel, ke negeri Belanda tanggal 18 Februari, dan tinggal sampai tanggal
26 Februari. Selama di negeri Belanda, Beel mendengar berbagai kritik tajam
mengenai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Telah disadari, bahwa resolusi
Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, tidak dapat ditolak lagi oleh Belanda,
maka disusunlah strategi untuk "menyelamatkan muka" pihak Belanda. Pemerintah
Belanda bersama WTM menyusun "skenario" penyerahan kedaulatan, dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanpa melibatkan UNCI
(KPBBI).
Pada 19 Februari 1949, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng
mengeluarkan Instruksi Rahasia, mengenai perintah kepada Komandan Wehrkreis
III Letkol Suharto, untuk mengadakan serangan secara besar-besaran terhadap
Yogyakarta, antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Dalam catatan harian Wakil
III KSAP Kolonel Simatupang tercatat, bahwa Bambang Sugeng malam itu datang
dan bermalam di Markas KSAP, dan merundingkan rincian serangan tersebut.
Segera setelah tiba di Jakarta tanggal 26 Februari 1949, pada saat yang
bersamaan, di negeri Belanda dan di Jakarta, dibacakan pernyataan yang disusun
oleh WTM Dr. Beel bersama Pemerintah Belanda, yang isinya adalah
penyelenggaraan KMB tanggal 12 Maret 1949, di mana intinya adalah penyerahan
kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat, yang
waktunya bahkan jauh lebih cepat daripada yang diusulkan oleh Dewan Keamanan
dalam resolusi tanggal 28 Januari 1949, yaitu tanggal 15 Juni 1949.
46
Pada hari yang sama, tanggal 26 Februari, WTM Dr. Beel mengirim utusan, Dr.
Gieben, untuk menyampaikan undangan kepada Presiden RI, Sukarno, untuk
menghadiri KMB, yang akan diselenggarakan di Den Haag mulai tanggal 12 Maret
1949. Di sini Belanda sudah menggunakan kata "Presiden Republik Indonesia",
dan tidak lagi hanya sebagai "pembesar prominnen." Dua hari kemudian, tanggal
28 Februari, WTM Dr. Beel mengirim Dr. Koets ke Bangka, guna menerangkan
lebih rinci rencana Pemerintah Belanda. Namun Sukarno tetap menolak untuk
mengadakan perundingan apa pun selama berstatus sebagai tahanan. Tanggal 27
Februari, pimpinan BFO mengirim surat kepada Presiden Sukarno di Bangka,
menyampaikan keingininan BFO untuk mengadakan pertemuan dengan pimpinan
Republik, guna membahas rencana penyelenggaraan KMB di Den Haag. Tanggal
28 Februari, Simatupang datang di Playen, tempat pemancar radio AURI, dan
menyerahkan teks dalam bahasa Inggris, mengenai "skenario" serangan yang
akan dilaksanakan keesokan harinya, tanggal 1 Maret 1949. Teks tersebut harus
dibacakan sore hari.
Tanggal 1 Maret 1949, atas instruksi Panglima Divisi III/Gubernur Militer III
Kolonel Bambang Sugeng, dilancarkan serangan secara besar-besaran secara
serentak -serangan umum- terhadap tentara Belanda di seluruh wilayah Divisi
III/Gubernur Militer III (Jawa Tengah bagian barat, termasuk Yogyakarta) dan di
wilayah Divisi II/Gubernur Militer II (Jawa Tengah bagian timur, termasuk Madiun)
dilancarkan operasi militer paralel, di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto -
terutama terhadap kota Solo.
Tanggal 2 dan 3 Maret 1949 (surat untuk keinginan bertemu telah dikirim oleh BFO
kepada Presiden Sukarno tanggal 27 Februari 1949), contactcommissie (komisi
penghubung) BFO, yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hamid II, menemui Presiden
Sukarno di Pulau Bangka, untuk membujuk Sukarno-Hatta, agar ikutserta dalam
KMB tanggal 12 Maret. Namun Sukarno-Hatta tetap pada pendirian semula, yaitu
kembali dahulu ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik dipulihkan, baru setelah
itu mengadakan pembicaraan.
Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno mengirim surat kepada WTM Beel, yang
isinya alasan penolakan untuk hadir dalam KMB tanggal 12 Maret di Den Haag.
Dalam surat tersebut, Sukarno menyampaikan hal-hal yang sebelumnya telah
dikemukakan, baik kepada utusan Beel, Gieben dan Koets, maupun kepada
delegasi BFO yang dipimpin oleh sultan Hamid II. Dengan demikian skenario Dr.
Drees dan Dr. Beel untuk menyelenggarakan KMB tanggal 12 Maret 1949 gagal.
Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, Dewan Keamanan bersidang tanggal
10 Maret 1949. Amerika Serikat dan anggota Dewan Keamanan lain yang
mendukung resolusi tanggal 28 Januari, tetap pada pendirian mereka yang keras
dan tegas. Belanda telah melunak, karena semua usaha untuk mengulur waktu
tidak berhasil. Sekarang hanya berusaha membuat kompromi untuk
menyelamatkan muka. Setelah dilaksanakan lima kali sidang dalam waktu 14 hari,
akhirnya pada 23 Maret 1949, Dewan Keamanan memutuskan -melalui voting-
untuk menerima usulan Kanada (Canadian Directive) yang isinya :
47
Pelaksanaan resolusi Dewan keamanan tanggal 28 Januari, terutama kalimat 1 dan
2 bagian pelaksanaannya; dan Tanggal dan syarat untuk mengadakan Konferensi
Meja Bundar yang diusulkan dalam Resolusi tanggal 28 Januari itu.
Belanda akhirnya tunduk dan menerima keputusan Dewan Keamanan; dengan
demikian lengkap sudah kegagalan Belanda untuk memaksakan kehendaknya,
baik kepada pimpinan Republik, maupun kepada Dewan Keamanan dan bahkan
kepada BFO -negara-negara federal bentukan van Mook.
Dengan mencermati rangkaian peristiwa seperti tertera di atas, dapat diambil
kesimpulan, bahwa opini dunia internasional, terutama anggota Dewan Keamanan,
tidak tergantung dari satu atau dua operasi militer yang dilancarkan oleh TNI
terhadap Belanda, melainkan keseluruhan perlawanan bersenjata yang dilakukan
terhadap Belanda. KTN, dan setelah tanggal 28 Januari 1949 berubah menjadi
United Nations Commission for Indonesia -UNCI- (Komisi PBB untuk Indonesia,
disingkat: KPBBI), melaporkan secara keseluruhan perkembangan situasi
masyarakat, pimpinan Republik dan keamanan di Indonesia; KTN/KPBBI tidak
melaporkan satu-persatu pertempuran yang terjadfi di Jawa dan Sumatera.
Juga apabila meneliti seluruh peristiwa dan kegiatan -terutama di Dewan
Keamanan PBB- antara tanggal 26 Februari sampai tanggal 10 Maret 1949, secara
ekstrim dapat dikatakan di sini, bahwa ada atau tidaknya serangan terhadap kota
Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949, agenda di Dewan Keamanan tetap berjalan
sesuai jadwal yang telah ditentukan. Manuver Drees dan Beel untuk menggelar
KMB di Den Haag tanggal 12 Maret 1949 -yang kemudian gagal- juga tidak
berpengaruh apa-apa terhadap agenda Dewan Keamanan.
Masing-masing pihak, seperti negara-negara pendukung Republik serta beberapa
negara federal di BFO, sejak dimulainya agresi Belanda tanggal 19 Desember
1948, telah menentukan sikap, dan selama lebih dari dua bulan sampai sidang
Dewan Keamanan tanggal 10 Maret 1949, tidak sedikit pun beranjak dari tuntutan
semula, yaitu tentara Belanda harus ditarik mundur; para pemimpin Republik
harus dikembalikan ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik di Yogyakarta harus
dipulihkan kembali. Peran dari negara-negara Asia yang menyelenggarakan
Konferensi Asia tanggal 20 Januari 1949 di New Delhi, khusus untuk membahas
masalah agresi milter Belanda tersebut sangat besar.
Sampai pertengahan tahun 1948, Pemerintah Amerika Serikat masih mendukung
Belanda karena negara-negara Blok Barat/Kapitalis, sejak dimulainya Perang
Dingin (cold war) tahun 1947, sedang merencanakan pengepungan secara
ideolgis dan politis terhadap Uni Sovyet di mana Belanda termasuk negara Blok
Barat yang akan membentuk pakta militer NATO. Namun kemudian AS merubah
politiknya di Asia, dan mendukung negara-negara yang bersedia menghancurkan
kelompok komunis di negaranya, termasuk Indonesia.
Setelah agresi Belanda tanggal 18 Desember 1948, Pemerintah Amerika Serikat
sangat tegas menekan Pemerintah Belanda untuk mematuhi resolusi Dewan
Keamanan tanggal 28 Januari 1949, dan tekanan AS ini ikut menentukan sikap
Belanda, karena Belanda waktu itu sangat membutuhkan dana bantuan dalam
rangka Marshall Plan (European Recovery Programme) dari AS.
48
Semakin lama Belanda mengulur waktu, semakin keras tekanan terhadapnya.
Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, bahkan mempertajam kritik serta
tekanannya; Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan Marshall
Plan kepada Belanda; langkah ini dimotori oleh beberapa Senator Amerika
Serikat, antara lain Senator Brewster. Keberpihakan Amerika Serikat kepada
Republik Indonesia sebenarnya bukan karena AS memang sangat demokratis.
Pada waktu itu, warga AS yang berkulit hitam masih belum memiliki hak memilih
dan dipilih, diskriminasi ras masih sangat hebat, misalnya pemisahan sekolah
untuk murid berkulit hitam, dan bahkan tempat duduk di taman pun ada yang
tidak boleh diduduki oleh warga kulit hitam. Dengan demikian, dukungan AS
kepada Indonesia tidak lepas dari politik Amerika Serikat sendiri, yaitu agar
supaya Republik Indonesia tidak jatuh ke kubu komunis pimpinan Uni Sovyet.
Dalam pandangan Uni Sovyet Belanda adalah agresor, sehingga sama sekali tidak
perlu diberikan konsesi apapun.
Beberapa negara BFO, mengalami tekanan yang semakin kuat dari rakyatnya,
terutama Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur, di mana pendukung
Republik sangat kuat dan rakyat di “negara-negara” teredbut berhasil mendesak
wakil-wakil mereka, agar dalam sidang BFO tetap mendukung ikutsertanya
Republik Indonesia dalam KMB yang diprakarsai PBB. Bahkan mereka mendukung
syarat yang dimajukan dalam resolusi Dewan Keamanan, yaitu pembebasan tanpa
syarat para pemimpin Republik, serta pemulihan Pemerintah Republik di
Yogyakarta.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengakuan dunia internasional atas
kedaulatan Republik Indonesia dicapai melalui perjuangan bersenjata dan
diplomasi, yang melibatkan seluruh komponen anak bangsa.
Keberhasilan Republik untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, dilandasi
kekompakan tiga unsur perjuangan, yaitu :
• Bidang politik/diplomasi
• Bidang militer, didasarkan persiapan yang telah dilakukan, jauh sebelum
Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948
• Dukungan rakyat.
Di bidang politik/diplomasi
Rencana Belanda untuk melakukan serangan militer secara besar-besaran
terhadap Republik, telah diperkirakan jauh sebelum dilancarkannya agresi militer
tanggal 19 Desember 1949. Dipertimbangkan, bahwa pulau Jawa terlalu sempit
untuk menjadi basis pemerintahan/prerlawanan terhadap Belanda, oleh sebab itu
ditetapkan :
• Pusat pemerintahan Republik telah disiapkan di Bukittinggi, Sumatera.
• Pusat hubungan dengan luar negeri serta diplomasi, disiapkan di New
Delhi, India.
49
Sebagian besar pejabat pemerintahan sipil di Jawa dan Sumatera, baik Gubernur,
Residen, Bupati dsb. Ikut bergerilya, sehingga kehidupan masyarakat tetap
berjalan seperti biasa. Di Sumatera, berbeda dengan di Jawa, seluruh jabatan
Gubernur Militer dipegang oleh tokoh-tokoh sipil.
Presiden Sukarno, Wakil Presiden M. Hatta serta para pemimpin Republik lainnya,
pada waktu itu bertahan pada pendirian, tidak akan melakukan pembicaraan
apalagi perundingan, selama belum kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah
Republik dipulihkan di Yogyakarta. Sikap ini didukung oleh Konferensi Asia yang
diselenggarakan di New Delhi; dan kemudian yang sangat menentukan adalah,
dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap sikap tersebut. Baik Perdana Menteri
Belanda Dr. Drees, maupun Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel, tidak berhasil
membujuk Presiden Sukarno maupun Wakil Presiden Hatta untuk diajak berbicara
dalam taraf perundingan resmi. Mereka hanya bersedia berbicara dalam
kapasitas sebagai pribadi, dan tidak sebagai wakil Republik.
Di bidang militer
Blitz Krieg (Bahasa Jerman, artinya perang/serangan secara kilat) yang
dilancarkan tentara Belanda sejak 19 Desember 1949, tidak berhasil
menghancurkan Tentara Nasional Indonesia. Simatupang menilai, Tentara Nasional
Indonesia telah berhasil menghindari Vernichtung (Bahasa Jerman, artinya
pemusnahan) yang direncanakan oleh Letnan Jenderal Simon H. Spoor, Panglima
Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan, oleh karena
pimpinan TNI telah mengantisipasi akan adanya serangan tersebut beberapa
bulan sebelumnya. Dengan demikian, persiapan yang telah dilakukan untuk
melakukan perang gerilya sangat matang, seperti tertuang dalam Perintah Siasat I
tertanggal 12 Juni 1948 (!), dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman. Persiapan
di bidang militer, mulai dari pembentukan pasukan mobil (gerak cepat) serta
pasukan dan organisasi teritorial, baik di Jawa maupun di Sumatera; mendata
gedung, bangunan, jembatan dll. yang akan dihancurkan dalam rangka bumi
hangus, agar tidak dapat digunakan oleh Belanda; telah menyiapkan basis/markas
gerilya serta memindahkan peralatan penting yang dibutuhkan untuk bergerilya.
Di beberapa daerah/Divisi, tidak sampai satu bulan setelah Belanda memulai
agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, pasukan-pasukan TNI telah dapat
melakukan konsolidasi. Bahkan seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march,
jalan kaki dari Jawa Tengah/Yogyakarta, untuk melancarkan operasi Wingate di
Jawa Barat, sehingga basis perlawanan TNI di Jawa dan Sumatera lengkap.
Pemerintahan Militer yang dibentuk sejak tanggal 22 Desember 1948, telah
berfungsi dengan baik. Komunikasi di antara pimpinan tertinggi militer dan sipil
berjalan relatif lancar, baik melalui kurir, maupun melalui radiogram. Tiga bulan
setelah agresi dimulai, kedudukan Tentara Nasional Indonesia di Jawa dan
Sumatera telah mantap, sebaliknya, posisi tentara Belanda semakin sulit, baik dari
segi militer maupun dari segi politisnya, karena biaya yang harus dikeluarkan
oleh Pemerintah Belanda sangat besar, sedangkan setelah Perang Dunia II,
mereka membutuhkan dana tersebut untuk pembangunan di negeri Belanda
sendiri.
50
Dukungan rakyat
Tanpa dukungan rakyat, perang gerilya tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan
baik, mengingat keterbatasan perlengkapan yang dimiliki TNI, terutama dari segi
logistik/penyediaan makanan dan minuman bagi gerilyawan. Selama perang
gerilya yang berlangsung sekitar delapan bulan, rakyat sangat membantu dalam
menyediakan makanan/minuman serta keperluan sehari-hari bagi gerilyawan,
termasuk -selain Palang Merah Indonesia- membantu dalam perawatan prajurit
yang terluka. Oleh sebab itu, pimpinan militer memerintahkan seluruh pasukan,
dalam kehidupan di masyarakat bersama rakyat, harus seperti "ikan dalam air."
Para gerilyawan dilarang keras untuk mengambil apapun dari rakyat, tanpa izin.
Setiap pelanggaran peraturan tersebut, dikenakan sanksi yang sangat berat. Hal-
hal tersebut dapat dengan lancar dilaksanakan, juga berkat partisipasi pimpinan
pemerintahan sipil yang ikut bergerilya.
Selain itu harus diakui hebatnya strategi dan taktik yang dijalankan oleh Belanda
sejak Jepang menyerah kepada Sekutu. Ketika Dr. C.O. van der Plas tiba di Jakarta
tanggal 15 September 1945 dengan membonceng Admiral Sir Wilfred Patterson di
kapal HMS Cumberland, tidak ada satu pun kesatuan militer Belanda, dan tidak
ada sejengkal pun wilayah yang mereka kuasai. Setelah Persetujuan Renville,
menjelang agresi militer II, Belanda telah menguasai seluruh wilayah Indonesia
Timur, 3/10 Sumatera dan 2/3 Jawa. Seluruhnya dicapai melalui perundingan, baik
Linggajati mau pun Renville, yang dikukuhkan dengan tandatangan pimpinan
Republik. Kehebatan Belanda tersebut berarti juga kelemahan pihak Republik,
yang selalu mengalah dan memberikan konsesi kepada Belanda.
Perlu juga dicatat, bahwa ratusan ribu, bahkan mungkin juga jutaan bangsa
Indonesia telah mengkhianati bangsanya sendiri, dan membantu Belanda –baik
sebagai pamong praja, maupun sebagai serdadu- untuk menjadi penguasa di
Bumi Nusantara. Belanda benar-benar memanfaatkan sifat ketamakan dan
keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh jabatan, yang kemudian
membantu penjajah menindas bangsanya sendiri. Kelihatannya semua
sukubangsa di Indonesia sangat mudah untuk diadudomba dan gampang disuap.
Hal ini bukan saja selama masa penjajahan sebelum Perang Dunia II, melainkan
juga setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Puluhan ribu orang
Indonesia bersedia dibayar oleh Belanda menjadi serdadu KNIL, untuk membunuh
bangsanya sendiri.
Beberapa pejuang ’45 yang aktif mengikuti perkembangan politik dan militer
mengamati, bahwa orang-orang bayaran Belanda tersebut -kemudian dilanjutkan
oleh anak cucunya- hingga sekarang selalu berusaha merusak tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia dengan berbagai usaha. Sangat menarik untuk menelusuri
hubungan keluarga/kerabat antara pengacau-pengacau di bidang ekonomi,
politik, hukum dan keamanan di Indonesia hingga tahun 2004 ini, dengan mereka
yang pernah menjadi kakitangan Belanda, baik sebelum Belanda menyerah
kepada Jepang pada 9 Maret 1942, maupun antara tahun 1945 – 1950, setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945, yang
hingga kini tidak mau diakui oleh Belanda. Bagi Pemerintah Belanda,
kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan oleh Menlu
Belanda Ben Bot dalam wawancara di satu TV di Jakarta yang ditayangkan pada 19
Agustus 2006.
Penggagas Serangan Umum 1-3-1949 bukan Letkol Soeharto Media Indonesia
JAKARTA : Sejarawan, Dr Anhar Gonggong berpendapat penggagas Serangan
Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta untuk menyingkirkan pasukan Belanda, bukan
mantan Presiden Soeharto (ketika itu berpangkat letkol). Melainkan komandan
berpangkat yang lebih tinggi seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman dan
Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkuwono IX. Dalam diskusi "Serangan Umum
1 Maret 1949" di Jakarta, Selasa, sejarawan dari Fakultas Sastra UI itu mengatakan
berdasarkan hierarki komando di militer, inisiatif penyerangan bukan berasal dari
seorang komandan brigade seperti Letkol Soeharto yang menjabat Komandan
Brigade III, tetapi seharusnya berasal dari pejabat lebih tinggi.
Pejabat militer lebih tinggi itu, katanya, seperti Panglima Besar Jenderal
Soedirman, Menhan Sri Sultan Hamengkubwono IX, Panglima Divisi III Kol
Bambang Sugeng, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, dan
Kepala Staf Angkatan Perang Kol Abdul Haris Nasution.
Selain itu, tulisan TB Simatupang (Waktu itu sebagai Kepala Staf Angkatan Perang
RI--red) dalam bukunya Laporan dan Banaran (1960), memuat salinan Instruksi
Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol Bambang Sugeng yang memerintahkan
kepada seluruh kesatuan tentara untuk mengadakan serangan besar-besaran di
Yogyakarta mulai 25 Februari hingga 1 Maret 1949.
Menurut Anhar, untuk memastikan tentang siapa para pelaku inisiatif Serangan
Umum 1 Maret 1949 selain Kol Bambang Sugeng, juga memerlukan penelitian
lebih lanjut. Sedangkan berdasarkan sejumlah dokumen dan sistem hierarki
militer bahwa inisiatif serangan bukan dari Letkol Soeharto.
Karena itu, menurut Anhar, perlu ada pelurusan sejarah tentang inisiatif Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-
sekolah berasal dari Letkol Soeharto.
Ketika ditanya tentang keengganan Jenderal AH Nasution dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX mengungkapkan tentang inisiatif Serangan Umum 1 Maret
1949 bukan berasal dari Pak Harto, Anhar mengatakan, budaya "sungkan"
membuat kedua tokoh takut mengungkap hal tersebut serta kedudukan Pak Harto
sebagai Presiden RI juga menjadi faktor yang menjadikan orang lain malu
megungkapkan kebenaran sejarah.
Kendati demikian, Anhar mengakui, Letkol Soeharto tetap sebagai pelaksana
Serangan Umum 1 Maret 1949 sehingga Indonesia memenangkan diplomasi di PBB
bahwa eksistensi negara Indonesia masih ada yang ditandai TNI berhasil mengusir
pendudukan tentara Belanda dari ibu kota RI, Yogyakarta, pada saat itu.
Sementara itu, pengamat sejarah Batara Hutagalung yang juga anak pahlawan
nasional Letkol Dr W Hatagalung mengatakan berdasarkan dokumen yang ditulis
Letkol Dr W Hutagalung yang pada 1949 menjabat perwira teritorial di Yogyakarta
dan sejumlah dokumen lain, Serangan Umum 1 Maret 1949 melibatkan banyak
pihak,seperti Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Kementerian Pertahanan.
Selaian itu, Serangan 1 Maret 1949 yang dilaksanakan Divisi III Militer di
Yogyakarta berdasarkan perintah dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk
membuktikan dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat sehingga
dapat membuktikan eksistensi RI, kata Batara yang juga Ketua Aliansi Reformasi
Indonesia (ARI) itu.
Sedangkan pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof Dr
Muchlis Muchtar MS berpendapat bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 telah
menjadi salah satu tonggak penting bagi kelangsungan negara persatuan dan
kesatuan Indonesia.
"Tetapi, apakah mantan Presiden Soeharto sebagai penggagas serangan itu, kini
mulai banyak dipertanyakan. Maka tugas para sejarawanlah untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut masalah itu," ujar Muchlis di Padang kemarin.
Sumber : Media Indonesia - Politik dan Keamanan (3/1/00)
Sri Sultan Otak Serangan Umum 1 Maret
March 1, 2008 in BERITA, SOEHARTO CORNER
Indopos - Sejarah selalu menjadi bagian penting untuk legitimasi
kekuasaan. Pada era Orde Baru, Soeharto disebut-sebut sebagai otak Serangan
Umum (SU) 1 Maret 1949, peristiwa heroik menyerang Belanda di Jogjakarta.
Seiring hilangnya Orba, sejarah itu pun mulai goyah.
Beberapa sejarawan yakin, serangan enam jam yang dilakukan sekitar 1.500
prajurit itu merupakan ide Sri Sultan Hamengkubowono IX (HB IX). Bukan semata-
mata gagasan Soeharto yang waktu itu berpangkat letnan kolonel.
“Ada sangat banyak data yang mendukung bahwa itu merupakan ide, inisiatif, dan
gagasan Sri Sultan HB IX,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam di Jakarta kemarin
(29/2).
Menurut dia, setidaknya ada beberapa hal yang memperkuat fakta tersebut.
Pertama, kedudukan dan fungsi yang dijabat Sultan waktu itu memungkinkan
menjadi konseptor. “Saat itu, Sultan berperan sebagai raja Jawa, menteri
pertahanan, dan gubernur ibu kota Indonesia,” unkap Asvi yang juga peneiliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut.
Awal Februari 1949, HB IX mendengar siaran radio (luar negeri) bahwa PBB akan
membicarakan masalah Indonesia yang ketika itu diklaim Belanda sudah tidak
memiliki pemerintahan dan kekuasaan. Saat itulah terlintas inisiatif di benak Sultan
untuk mengadakan serangan umum mulai pagi sampai siang, sehingga bisa
memberi tanda bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia belum menyerah.
Karena Sultan tak punya pasukan, dia mengirimkan surat kepada Panglima Besar
Jenderal Sudirman untuk meminta izin mengadakan serangan tersebut. Sudirman
pun menyarankan agar Sultan menghubungi Letkol Soeharto di Jogjakarta Selatan.
Pada 14 Februari, Sultan mengirimkan surat kepada Letkol Soeharto melalui GBPH
Prabuningrat, yang selanjutnya diserahkan kepada Marsoedi untuk disampaikan
kepada Soeharto.
Surat itu berisi permintaan Sultan kepada Soeharto untuk merancang serangan
saat siang. “Sudirman meminta Soeharto menghadap Sultan, dan itu dilakukan
sebelum 1 Maret,” kata Asvi.
Ahli peneliti utama LIPI itu menuturkan bahwa ada satu bukti otentik, yakni foto.
“Soeharto sebagai abdi dalem saat bertemu raja memakai pakaian adat Jawa. Itu
ada fotonya. Tapi, tidak dipasang di Monumen Jogja Kembali karena nanti
ketahuan kalau Soeharto sengaja menghadap dulu,” tegasnya.
Sejarawan dan pengajar jurusan ilmu sejarah UGM Adaby Darban juga
mendukung pendapat Asvi. “Sejarah harus diluruskan dengan memberi
kesempatan bagi saksi-saksi yang masih hidup untuk berbicara sejujurnya,”
katanya.
Namun, hal itu berbeda dari yang ditulis Soeharto dalam buku “Pikiran, Ucapan,
dan Tindakan Saya”. Soeharto bersikukuh menyatakan belum pernah bertemu
Sultan sebelum 1 Maret.(rdl/tof)
Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 Pengarang : Tim Lembaga Analisis Informasi
Ringkasan oleh : JakaTarub
Pemutarbalikan sejarah oleh Soeharto mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949
menjadi pembahasan buku yang terbit tahun 2000 ini (cetakan I). Selama 32
tahun Soeharto berkuasa, buku-buku sejarah, bahkan film, menggambarkan
bahwa Letkol Soeharto lah penggagas Serangan Umum tersebut. Film ”Janur
Kuning”, misalnya, melukiskan kepahlawanan Soeharto muda ketika memimpin
tentara Republik menyerbu Yogyakarta, yang kala itu dikuasai oleh Belanda.
Dengan serangan itu, mata dunia terbuka bahwa Republik Indonesia masih ada.
Tapi, benarkah penggagas serangan itu Soeharto? Lalu di mana peran Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Panglima Besar Sudirman? Mengenai siapa pemrakarsa,
muncul kontroversi pada 1985 ketika harian Suara Merdeka edisi 15
Oktober 1985 memuat wawancara KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, mantan
wali kota Yogyakarta (1947-1966).
Soedarisman mempertanyakan, dari manakah gagasan serangan berasal; apakah
dari Soeharto, dari Bambang Soegeng yang menjadi atasan Soeharto, Sudirman,
Nasution, ataukah dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX? Dalam tanya jawab antara
Dwipayana dan Soeharto untuk mendapatkan jawaban Soedarisman, dan disiarkan
oleh pers pada 5 November 1985, Soeharto berkata, ”Apakah Soedarisman) tidak
percaya kalau inisiatifnya seorang Komandan Brigade (Soeharto?” Sri Sultan HB IX,
seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, pernah
bertutur: ”Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jenderal
Sudirman yaitu minta izinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan
Soeharto, ketika itu berpangkat mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan
gagasan saya.” Hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta
untuk Rakyat (1982). ”HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya,
Letkol Soeharto.
Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks keraton
sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk
menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya
pertemuan HB IX – Soeharto dalam hubungan dengan serangan umum 1 Maret
1949.” Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi sejarah, buku ini
menyimpulkan bahwa pemrakarsa serangan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono
IX. Akan tetapi Letkol Soeharto memegang kendali operasi dan merupakan
penentu strategi di lapangan.
Ditulis ulang oleh Haryono
Ketua Harian Mabigus Smda 01. 129/130 Panembahan Senopati masa bhakti 2007 - 2010