1 maret 1949

54
Fakta Baru Mengenai Fakta Baru Mengenai Fakta Baru Mengenai Fakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 194 Serangan Umum 1 Maret 194 Serangan Umum 1 Maret 194 Serangan Umum 1 Maret 1949 9 9 Agresi Militer Belanda II Oleh Batara R. Hutagalung Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958. Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia. Van Mook Schermerhorn Dr. L.J.M. Beel Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik. Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd –BIO).yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg – BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia. Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan Presiden Sukarno ke India. A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark

Upload: naksintink

Post on 16-Jun-2015

160 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 Maret 1949

Fakta Baru MengenaiFakta Baru MengenaiFakta Baru MengenaiFakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 194Serangan Umum 1 Maret 1949999

Agresi Militer Belanda II Oleh Batara R. Hutagalung

Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi

Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge

Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia.

Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan

Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah

menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel.

Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958.

Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa

pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor

Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang

dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.

Van Mook Schermerhorn Dr. L.J.M. Beel

Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok

garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin

memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr.

Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang

memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.

Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan

perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering

Indonesie in Overgangstijd –BIO).yang rencananya hanya terdiri dari negara-

negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –

BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia.

Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang

Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera

memberangkatkan Presiden Sukarno ke India.

A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark

Page 2: 1 Maret 1949

2

Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan

adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada

Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana

Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim

pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno. Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani

antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh

Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan

melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno

bahkan telah menyampaikan pidato perpisahan.

Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan

Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua

delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak

Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO.

Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar

harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat,

mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu,

dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang (KSAP) Republik

Indonesia.

Kol. T.B. Simatupang, waktu itu adalah Wakil II KSAP mencatat :

Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga

bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya

laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan

cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara

politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui

wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda

dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-

kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat

bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan

pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando.

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio Belanda dari Jakarta

menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan

menyampaikan pidato yang penting.

Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana

“pemusnahan” TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa

dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai.” Pukul 02.00 pagi 1e para-compgnie

(pasukan para I) dari Korps Speciaale Troepen (KST) di Andir memperoleh

parasut mereka dan memulai masuk ke enambelas pesawat transportasi. Pukul

03.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 03.45 Mayor Jenderal Engles tiba di

bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia

melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat.

Page 3: 1 Maret 1949

3

Pukul 04.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat

dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah

timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 06.25 mereka

menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah

dapat dipergunakan. Pukul 06.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa

Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap

semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap

Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi

Polisional.”

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas

lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pertempuran merebut Maguwo hanya

berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 07.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas,

sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 09.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo,

dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –

termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan

beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di

Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta

menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa

antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan

sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai

serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di

radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00

PERINTAH KILAT

No. I/P.B./D/1948

1. Kita telah diserang.

2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota

Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.

3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.

4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk

menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat

Tanggal - 19 Desember 1948

Jam - 08.00

Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia

Letnan Jenderal Sudirman

Page 4: 1 Maret 1949

4

Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian

dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo,

dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari.

Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya

menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan

yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak

meninggalkan Ibukota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis

pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden

membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden

Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut :

Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19

Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota

Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan

kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara,

Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat

di Sumatera.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Presiden Wakil Presiden

Sukarno Mohammad Hatta

Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil

membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI

untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri

Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya :

Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.

Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat

di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk

membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.

Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika

hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Wakil Presiden Menteri Luar Negeri

Mohammad Hatta - Agus Salim

Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap

pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik

Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan

prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI,

segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju

ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam

Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi

hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar

supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai!

Page 5: 1 Maret 1949

5

Setelah berita mengenai agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19

Desember 1949 disiarkan di seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman

tajam dilontarkan oleh banyak negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan

tanggal 20 Desember, berarti sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan

Keamanan PBB segera bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan

tanggal 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga

Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya. Pada sidang

tersebut, Uni Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai

agresor, namun usul tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima

usul Amerika Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera

dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan.

Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A.

Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24

Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda untuk segera

menghentikan aksi militernya. Karena tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan

Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember, dengan tambahan

agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan, dibebaskan tanpa

syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut juga diabaikan oleh Belanda.

Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia,

Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan penghentian tembak-menembak yang

tampaknya hanya sekadar basa-basi -berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh Indonesia terus melancarkan serangan terhadap

tentara Indonesia di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik.

Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional”

mereka telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Pemerintah Belanda nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera mengeluarkan dua resolusi berturut-turut.

Kesibukan luar biasa timbul di negeri Belanda, baik di kalangan pemerintah

maupun di Parlemen. Akhirnya diputuskan, bahwa Perdana Menteri Dr. Drees

harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai

pihak di Indonesia. Drees berangkat ke Jakarta tanggal 4 Januari, dan kembali ke

negeri Belanda tanggal 20 Januari; berarti dia tinggal di Indonesia selama 16 hari.

Sungguh luar biasa, bagi seorang Perdana Menteri yang belum lama menjabat,

pergi ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama. Ini menunjukkan, bahwa

masalah yang dihadapi Pemerintah Belanda, bukanlah masalah kecil dan tidak

mudah untuk menyelesaikannya.

Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal

Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai

situasi di Indonesia. Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake

Success tanggal 7 Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB,

Philip Jessup menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas

daripada yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.

Page 6: 1 Maret 1949

6

Tamparan pertama dari pihak BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.

Di PBB dan di dunia internasional, terjadi perang diplomasi antara Republik

Indonesia dan Belanda. Tokoh-tokoh Republik di luar negeri berusaha untuk

membuktikan kepada dunia internasional, bahwa Republik Indonesia dan TNI

masih eksis. Di pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-

negara lain di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada.

KTN (Komisi Tiga Negara) masih tetap ada di Yogyakarta untuk mengadakan

pemantauan situasi, dan selalu memberikan laporan kepada Dewan Keamanan

PBB.

Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer

pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak

henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Berbagai resolusi telah

dikeluarkan sejak tahun 1947, namun Belanda masih tetap keras kepala dan tidak

mau melihat kenyataan, bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat

dihalangi lagi. Belanda melawan opini dunia dan masih berusaha memutar balik

jarum jam sejarah.

Di PBB makin banyak negara termasuk Amerika Serikat, yang tidak percaya

dengan versi Belanda. Beberapa negara melancarkan inisiatif untuk mendesak

Belanda keluar dari Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Terutama adalah Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran

di Indonesia dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan

kedaulatan RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk

menghadang komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu. AS sangat

kuatir, karena Uni Sovyet melancarkan propaganda dengan mengidentiskan

kolonialisme dengan kapitalisme. Perang dingin ideologi telah dimulai sejak tahun

1945, diawali di Konferensi Yalta. Berbagai kalangan di Amerika Serikat mendesak

Pemerintah Amerika Serikat agar membekukan bantuan untuk negeri Belanda dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programm, program

pemulihan/pembangunan Eropa, setelah Perang Dunia II), karena mereka menilai,

Belanda menggunakan dana bantuan tersebut untuk membiayai agresi militer di

Indonesia, yang diperkirakan menelan biaya sebesar satu juta US $/hari.

Setelah Dewan Keamanan melihat bahwa Belanda tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948, awal Januari 1949

Dewan Keamanan menggelar sidang lagi untuk membahas masalah agresi militer

Belanda. Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling menuduh, bahwa yang dilakukan

oleh masing-masing negara tersebut hanyalah agar Republik Indonesia tidak

masuk ke bawah pengaruh negara lawan politisnya.

Pada 22 Desember 1948, Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan

Teritorium Jawa mengeluarkan maklumat yang isinya :

Page 7: 1 Maret 1949

7

Markas Besar Komando Jawa Maklumat No. 2/MBKD Berhubung dengan keadaan perang, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 dan 70, kami maklumkan berlakunya Pemerintahan Militair untuk seluruh Pulau Jawa. Dikeluarkan: di tempat Pada tanggal: 22 Dec.'49 Pada jam: 08.00 Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Ttd. (Kol. A.H. Nasution) Kepada : 1. Semua Div. 2. - id - Bd. 3. - id – STC 4. Residen

Divisi III di bawah Kolonel Bambang Sugeng bermarkas di desa Kaliangkrik, dan

sesuai dengan Perintah Siasat No. 1 dari Panglima Besar, di daerah gerilya

dibentuk Wehrkreise (Wehrkreis, bahasa Jerman, artinya: Wilayah Pertahanan)

dan Subwehrkreise (SWK). Pembagian Wehrkreise (WK) di wilayah Divisi

III/Gubernur Militer III adalah :

a. Wehrkreis I dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Bachrun. Wilayahnya meliputi

Karesidenan Pekalongan, Banyumas dan Wonosobo, bermarkas di Desa

Makam.

b. Wehrkreis II dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu

dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno.

c. Wehrkreis III dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Wilayahnya meliputi

Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.

Beberapa hari setelah bermarkas di Gunung Sumbing, para gerilyawan telah

dapat membuka jalur komunikasi dan surat menyurat dengan pimpinan sipil yang

berada di kota Yogyakarta. Jalur radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam

waktu relatif singkat. Dengan cara estafet, pemberitaan melalui radio dari Gunung

Sumbing dapat mencapai New York, a.l. melalui pemancar radio AURI di Playen,

dekat Wonosari, yang siarannya dapat ditangkap di Bukittinggi, kemudian

diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini dapat ditangkap di Singapura dan

Birma, dan siaran dari Birma dapat ditangkap di New Delhi, India. Dengan adanya

pemancar-pemancar radio tersebut, pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang

bergerilya dapat terus saling berkomunikasi dan semua kegiatan dapat

disampaikan secara estafet ke Singapura, New Delhi bahkan sampai ke New York.

Begitu juga jaringan teritorial yang telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum

serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 berfungsi dengan baik, sehingga

para Panglima/Gubernur Militer dapat selalu berhubungan dengan Panglima

Besar Sudirman yang juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki

kemiliteran tetap berfungsi selama perang gerilya. Mengenai perjalanannya di

Jawa yang dimulai tanggal 25 Februari 1949, Simatupang mencatat :

Page 8: 1 Maret 1949

8

"Organisasi teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak usah membawa apa-apa selain daripada sekadar pakaian, sebab di mana-mana organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan, tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan."

Setelah melalui serangkaian perdebatan dan sanggahan dari wakil Belanda,

akhirnya Dewan Keamanan PBB menerima usulan yang dimajukan oleh Amerika

Serikat bersama Kuba, Norwegia dan Cina (Taiwan-pen.), yang isinya a.l.

menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai

perundingan dengan pihak Republik Indonesia, guna membicarakan

pengakuan/penyerahan kedaulatan kepada RI. Pada tanggal 28 Januari 1948,

Dewan Keamanan PBB menerima usulan 4 negara tersebut dan menetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949, mengenai "The Indonesian

Question."

Resolusi Dewan Keamanan, 28 Januari 1949.

Dewan Keamanan,

• dengan mengingat resolusinya tanggal 1 Agustus 1947, 25 Agustus 1947 dan 1

November 1947 tentang masalah Indonesia;

• dengan memperhatikan dan menyetujui laporan-laporan yang diajukan oleh

Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia);

• menimbang bahwa resolusinya tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948

tidak dijalankan sepenuhnya;

• menimbang, bahwa masih didudukinya daerah Republik Indonesia oleh pasukan-

pasukan bersenjata Belanda adalah tidak sesuai dengan usaha untuk kembalinya

hubungan baik antara kedua belah fihak dan untuk tercapainya penyelesaian

akhir yang adil dan kekal atas sengketa tentang Indonesia;

• menimbang, bahwa mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia

adalah syarat yang perlu untuk mencapai maksud dan keinginan kedua belah

fihak;

• mendengar dengan puas, bahwa kedua belah fihak tetap berpegang teguh pada

asas-asas Persetujuan Renville dan menyetujui akan diadakannya pemilihan

umum yang bebas dan demokratis di seluruh Indonesia dengan maksud untuk

mendirikan suatu Constituent Assembly (Badan Pembentuk Undang-undang)

secepat-cepatnya, serta menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan

mengawasi pemilihan umum itu melalui suatu badan yang akan dibentuk oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa;

• dan bahwa wakil Belanda telah menyatakan keinginan pemerintahnya untuk

mengadakan pemilihan umum itu tidak lewat tanggal 1 Oktober 1949;

• melihat pula dengan puas, bahwa Pemerintah Belanda berniat akan menyerahkan

kedaulatan kepada Indonesia Serikat jika mungkin pada 1 Januari 1950 atau

setidak-tidaknya dalam tahun 1950, dengan kesadaran akan tanggungjawabnya

yang utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan

supaya segala hak, tuntutan, dan kedudukan masing-masing fihak tidak dilanggar

dengan kekerasan;

Page 9: 1 Maret 1949

9

1. menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan

militer dengan segera; menganjurkan pada Pemerintah Republik pada waktu

yang sama memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya yang bersenjata supaya

menghentikan perang gerilya; dan menganjurkan kepada kedua belah fihak

supaya bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan

dan ketertiban di seluruh daerah yang bersangkutan;

2. menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera

dan tanpa syarat apa pun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya

semenjak 19 Desember 1948 dalam Republik Indonesia, dan mempermudah

kembalinya dengan segera pejabat-pejabat Pemerintah Republik Indonesia ke

Yogyakarta, agar mereka dapat melakukan tugasnya seperti tersebut pada pasal

(1) di atas dan agar mereka dapat menjalankan pekerjaannya secara bebas,

termasuk tugas pemerintahan di daerah Yogyakarta yang mengenai kota

Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabat-pejabat Belanda harus memberikan kepada

Pemerintah Republik Indonesia segala perlengkapan sepantasnya yang

diperlukan oleh pemerintah itu untuk melakukan kewajiban dalam daerah

Yogyakarta itu dan untuk dapat berhubungan dan bertukar pikiran dengan lain-

lain fihak di Indonesia.

3. Menganjurkan, supaya, mengingat pentingnya terwujud tujuan dan keinginan

kedua belah fihak untuk mendirikan suatu Negara Indonesia Serikat yang

merdeka dan berdaulat dan berbentuk federal dalam waktu yang sesingkat-

singkatnya, utusan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik selekas mungkin

mengadakan perundingan, dengan bantuan komisi yang tersebut dalam paragraf

4 di bawah, berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam persetujuan Linggajati

dan Persetujuan Renville dan mempergunakan apa yang telah disetuhui antara

kedua fihak tentang usul-usul yang diajukan padanya oleh wakil-wakil Amerika

dalam Komisi Jasa Baik pada tanggal 10 September 1948; dan teristimewa atas

dasar-dasar yang berikut :

a) perwujudan Pemerintah Federal Interim yang akan diberi kuasa atas

pemerintahan dalam negeri di Indonesia selama masa peralihan (interim

period) sebelum penyerahan kedaulatan terjadi itu, harus merupakan hasil

perundingan-perundingan tersebut di atas dan dilaksanakan tidak lewat

tanggal 15 Maret 1949; b) pemilihan wakil-wakil yang akan duduk dalam Constituent Assembly

hendaknya selesai pada tanggal 1 Oktober 1949; dan c) penyerahan kedaulatan atas Indonesia oleh Pemerintah Belanda kepada

Negara Indonesia Serikat hendaknya dilaksanakan dalam waktu sesingkat-

singkatnya dan setidak-tidaknya tidak lewat tanggal 1 Juli 1950;

jikalau tidak tercapai persetujuan satu bulan sebelum tanggal-tanggal yang

tersebut pada sub-paragraf (a), (b) dan (c) di atas, maka komisi yang tersebut

pada paragraf (a) di bawah, dengan segera harus memberi laporan kepada

Dewan Keamanan, dengan menambahkan saran-saran tentang cara

penyelesaian kesukaran-kesukaran yang ada;

4 a) Komisi Jasa Baik selanjutnya akan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa

untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia - UNCI).

Page 10: 1 Maret 1949

10

Komisi itu akan bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan di Indonesia dan

memegang semua kewajiban yang diberikan kepada Komisi Jasa Baik oleh

Dewan Keamanan semenjak 18 Desember 1947 dan juga semua kewajiban

yang diberikan padanya oleh resolusi ini. Komisi ini mengambil putusan

berdasarkan suara terbanyak, akan tetapi dalam memberikan laporan dan

anjuran kepada Dewan Keamanan harus menyebut pula pandangan mayoritas

maupun pandangan minoritas, jika ada perbedaan paham antara pada

anggota komisi itu. b) Komisi Konsuler diminta membantu pekerjaan Komisi Perserikatan Bangsa-

Bangsa untuk Indonesia dengan menyediakan peninjau-peninjau militer dan

pegawai-pegawai lainnya serta bantuan lainnya agar komisi dapat melakukan

kewajibannya seperti termaktub dalam resolusi sekarang ini, dan untuk

sementara waktu menunda segala pekerjaan lainnya. c) Komisi akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam melaksanakan

resolusi ini, akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam

mengadakan perundingan menurut paragraf 3 di atas, dan berhak memberi

usul kepada mereka atau kepada Dewan Keamanan tentang hal-hal yang

termasuk dalam wewenangnya. Setelah tercapai persetujuan dalam

perundingan-perundingan itu, komisi akan memberi anjuran kepada Dewan

Keamanan tentang sifat, kekuasaan dan pekerjaan badan Perserikatan Bangsa-

Bangsa yang harus tinggal di Indonesia untuk membantu pelaksanaan syarat-

syarat persetujuan itu sehingga kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah

Belanda kepada Negara Indonesia Serikat. d) Komisi berhak berunding dengan wakil-wakil dari semua daerah di Indonesia

di luar daerah Republik dan berhak mengundang wakil-wakil daerah tersebut

untuk ikut serta dalam perundingan seperti termaksud dalam paragraf 3 di

atas. e) Komisi atau badan lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mungkin

didirikan menurut usul seperti tersebut pada paragraf 4 (c) di atas berhak

mengawasi atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemilihan umum yang

akan diadakan di seluruh Indonesia serta berhak pula mengajukan anjuran

mengenai daerah-daerah di Jawa, Madura dan Sumatera tentang syarat-syarat

yang perlu supaya (a) memastikan, bahwa pemilihan umum dilaksanakan

secara bebas dan demokratis, dan (b) menjamin agar supaya senantiasa ada

kebebasan untuk berhimpun, berbicara dan menyampaikan pendapat, asal

saja kebebasan itu tidak dipergunakan untuk menghasut melakukan kekerasan

atau balas dendam; f) Komisi harus memberi bantuan mengembalikan selekas mungkin

pemerintahan sipil Republik. Untuk hal itu, komisi setelah berunding dengan

kedua belah fihak, akan menganjurkan sampai mana daerah-daerah Republik

yang ditetapkan menurut perjanjian Renville (di luar daerah Yogyakarta) akan

dikembalikan berangsur-angsur kepada Pemerintah Republik, disesuaikan

dengan syarat-syarat bagi terjaminnya keamanan dan ketertiban serta

keselamatan jiwa dan harta-benda; dan komisi juga akan mengawasi

persediaan barang yang dibutuhkan agar pemerintahan dapat berjalan

dengan tertib dan untuk menjaga kehidupan rakyat di daerah yang

dikembalikan itu.

Page 11: 1 Maret 1949

11

Setelah berunding dengan kedua belah fihak, komisi akan menganjurkan,

tentara Belanda mana, jika masih perlu, akan tetap tinggal untuk sementara

waktu di daerah yang terletak di luar daerah Yogyakarta untuk membantu

menjaga keamanan dan ketertiban. Jika salah satu fihak tidak dapat menerima

anjuran komisi tersebut, komisi dengan segera akan melaporkan hal itu

kepada Dewan Keamanan, disertai saran-saran penyelesaian atas segala

kesukaran yang ada, g) Komisi mengirimkan laporan periodik kepada Dewan Keamanan dan laporan

istimewa setiap kali dianggap perlu oleh komisi,

h) Komisi akan mempergunakan sejumlah pengawas, opsir dan lain-lain orang

yang dianggap perlu.

1. Meminta kepada Sekretaris Jenderal, supaya komisi diberi suatu staf, keuangan

dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh komisi untuk melaksanakan

pekerjaannya.

2. Menganjurkan kepada Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia, agar

memberi bantuan sepenuhnya dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan resolusi

ini.

Secara keseluruhan resolusi tersebut menunjukkan sikap lunak negara-negara "Super Power" Barat terhadap Belanda, karena walau bagaimana pun, Belanda

adalah sekutu mereka dalam Perang Dunia II. Perang dingin melawan komunisme

telah dimulai. Pada waktu itu sedang dilakukan perundingan antara Amerika

Serikat dengan negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda, dalam rangka rencana pembentukan Pakta Pertahanan, yaitu North Atlantic Treaty

Organization (NATO), untuk menghadapi blok komunis yang dipimpin oleh Uni

Sovyet.

Butir satu dan dua dari resolusi tersebut dengan jelas meminta Belanda untuk

segera menghentikan aksi militernya di Indonesia, serta dengan segera

membebaskan tanpa syarat, semua tahanan politik yang ditahan Belanda sejak 19

Desember 1948. Selain itu, resolusi telah menetapkan agenda penyerahan

kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Resolusi itu juga merubah Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa

Baik untuk Indonesia), menjadi United Nations Comission for Indonesia -UNCI

(Komisi PBB untuk Indonesia -KPBBI), yang mempunyai wewenang lebih besar.

Dengan demikian Dewan Keamanan PBB resmi membentuk satu Komisi PBB untuk

Indonesia. Merle Cochran dari Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah Ketua

KTN, diberi kepercayaan lagi untuk menjadi ketua UNCI.

Empat negara anggota Dewan Keamanan tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu

Argentina, Prancis, Uni Sovyet dan Ukraina. Wakil Ukraina, Vassily Tarasenko,

melancarkan serangan hebat terhadap rencana resolusi itu seluruhnya dan

menamakannya suatu "resolusi kapitulasi." Wakil Argentina mengatakan, bahwa

Dewan Keamanan seharusnya memberikan dukungan penuh untuk kemerdekaan

bangsa Indonesia, sedangkan Yacob A. Malik, wakil Uni Sovyet menyatakan,

bahwa resolusi tersebut adalah suatu contoh yang menyolok mata, bagaimana

negara-negara Barat memperlakukan negara-negara Timur,

Page 12: 1 Maret 1949

12

yaitu memihak kepada pihak penyerang. Ia menunjuk kepada sikap Belgia, yang

dikatakannya mencoba membenarkan tindakan agresi Belanda.

Perencanaan Serangan Umum di Seluruh Wilayah Divisi III.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol dr. wiliater

Hutagalung -yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan

ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III-

bertemu dengan Panglima Besar (Pangsar) guna melaporkan mengenai resolusi

Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan

melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah

tidak ada lagi. Melalui radio rimbu, Panglima Besar juga telah mendengar berita

tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah

yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Hutagalung, yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu

berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima

Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol.

Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada

kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru.

Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan

keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu) Jl. Widoro No. 10,

Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia

internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok

Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia

– PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka

untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa

disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations

Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke

seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing

bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda

berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda

atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan

Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan

Panglima Divisi II dan III.

Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat

Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di Gunung Sumbing.

Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi

militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal

18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain

Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. wiliater

Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan

pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T.

Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati

Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.

Page 13: 1 Maret 1949

13

Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat

Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar,

dan kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design” adalah:

Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan

Wherkreis I, II dan III,

• Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,

• Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi

III,

• Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

• Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu

mendapat dukungan dari

- Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio

yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,

- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.

Jadi tujuan utama adalah : "Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia" kepada dunia

internasional. Untuk "menunjukkan" eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira yang berseragam TNI.”

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, “grand design” yang dimajukan

oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap

satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh,

bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih

Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah :

1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya untuk

beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar.

2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta,

3. serta masih adanya anggota delegasi UNCII (KTN) serta pengamat militer dari

PBB.

Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan

Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah

operasi.

Selain itu, sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari

Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan

terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah

Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah "terlatih" dalam

menyerang pertahanan tentara Belanda.

Page 14: 1 Maret 1949

14

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai

Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan

dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini

sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik

dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis

“Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.”

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan.

Untuk "skenario" seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan

tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan

dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka

sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai,

mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna "menunjukkan diri" kepada anggota-

anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut.

Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara)

Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan

mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan,

terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus

mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia

terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta,

Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana

menyebarluaskan ke dunia internasional?" Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di

Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi

pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat

Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita

mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas

Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih

kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada

perwira Angkatan Darat.

Diperkirakan, apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-

besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di

Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang,

Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4

jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam.

Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah

kewenangan Divisi IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena

itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan

dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer

bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga

bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak,

dapat diperlambat.

Page 15: 1 Maret 1949

15

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono,

Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan

untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-

masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat,

sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan.

Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan

dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para

gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer

setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI

sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima

Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat

No. 1- yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8

menyebutkan :

Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga

adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan

bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang

ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.

Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke

tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas

masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di

Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan

Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian

perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung

oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana

penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan

Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel

Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade

10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta

mempersiapkan pertemuan.

Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan "grand

design" kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi

selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan,

seorang supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)

dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang

bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk

mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda,

Page 16: 1 Maret 1949

16

Inggris atau Prancis, yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari,

Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan

Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang

kemudian menjadi ipar Simatupang. Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari

1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang: “Laporan dari

Banaran”, Jakarta 1960, halaman 60):

"Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.

Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila

Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus

direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang

secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun

Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu

sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai

kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan

(onhoudbar).

Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang

dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di

Banaran.

Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi

ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas

Yogyakarta.

Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi,

maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat

memperkuat kedudukan kita.

Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat

dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."

Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui

pemancar radio Auri di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator

Pemerintah Pusat.

Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi

segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan

Wehrkreis I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.

Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat

lampiran/attachment) :

Page 17: 1 Maret 1949

17

STAF DIVISI III/G.M.III INSTRUKSI RAHASIA Tanggal: 18/II/1949 Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX. Dengan ini diperintahkan kepada : Comandant Daerah I Untuk : 1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949 s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu obyek musuh di daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala bantuan untuk Yogyakarta.

2. Selesai. Dikeluarkan di : tempat Tanggal : 18-II-1949. Jam : 20.00 (tandatangan) Gub.Mil III/Panglima Div.III (Kolonel Bambang Sugeng)

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan

penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan,

yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk

menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.

Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis III melalui pegunungan

Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol.

Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat

kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang

ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm.

Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung).

Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula

pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir

telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah

sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi

III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr.

Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis

III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah

untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949.

Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta

kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit

Kementerian Pertahanan.

Page 18: 1 Maret 1949

18

Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr.

Hutagalung menulis :

… Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa

pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang

mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur

Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr.W.Hutagalung

beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Soeharto

beserta ajudan.

Panglima Divisi membuka rapat dengan kata-kata :”Bersama ini rapat dibuka dan

dipersilahkan Dr.Hutagalung untuk menguraikan tujuan”.

Penulis berdiri serta mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol.

Soeharto dan mengatakan :”Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada

saudara Soeharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting

dalam perjuangan kita. Nama saudara Soeharto akan dicantumkan dengan tinta

emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”

Setelah duduk kembali, penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di

gunung Sumbing yang dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta

pertemuan dengan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan :

1. Perlu melancarkan serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada

umumnya, khususnya Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia

masih ada, mempunyai wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan

militer. Agar Amerika Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB,

serta menghentikan bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang

sebenarnya sudah bangkrut.

2. Memilih kota Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan

Brigade X/Wehrkreis lll, Letnan Kolonel Soeharto untuk melaksanakan rencana

ini.

Kemudian penulis mengajukan pertanyaan: “Siapkah Saudara Soeharto untuk

melaksanakannya ?”

Dijawab : “Siap!”

Setelah itu diuraikan secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung

Sumbing dan di Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar

supaya pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa

berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna

berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut.

Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations

Commission for Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan

agar mereka dapat melihat Tentara Nasional Indonesia. Mengenai persiapan

dengan pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan saudara Wijono

dari Pepolit. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret

1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan oleh Panglima

Divisi kepada Komandan-Komandan pasukan lainnya di sekitar Yogyakarta ...

Page 19: 1 Maret 1949

19

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil

tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1

Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak

dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan

adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta,

terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima

Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol

Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan,

serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan

adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak

dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD

tertulis :

"Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan

operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel

Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan

operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang

melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang

melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang."

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat

menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke

Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X

yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan

terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang –

Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak

pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari

Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di

Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sbb.:

Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang

berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai

tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah

dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat, sedang

percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak

Kraton-dalam.

Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-

serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang

terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang.

Kolone terebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil

mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton.

Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-

pohon halaman kraton-dalam.

Page 20: 1 Maret 1949

20

Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan

mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di

halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang.

Penyelidikan lebih lanjut dilakukan.

Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang

anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota,

melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian

bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan

menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.

Di fihak Belanda 6 orang tewas, di antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14

orang mendapat luka-luka.

Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di

dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali

seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial

merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-

Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock

(Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan

keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai

berikut:

300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung

dengan pasti.

Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di

pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi

menggambarkan, betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang

ditangkap dari Burma, mengenai serangan "besar-besaran" Tentara Nasional

Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di

berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis

kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun limapuluhan di Pulo Mas,

Jakarta.

Kontroversi "Pemrakarsa" Serangan Umum 1 Maret 1949

Hingga awal tahun tujuhpuluhan, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama

sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa

episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran

heroik di Medan (Medan Area Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15

Desember 1945), Bandung lautan api (April 1946), perang Puputan Margarana/Bali

(20 November 1946),

Page 21: 1 Maret 1949

21

pertempuran 5 hari 5 malam di palembang (1 – 5 Januari 1947), juga tidak

melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu

berjalan kaki selama sekitar dua bulan –sebagian bersama keluarga mereka- dari

Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi

Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda

melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi

pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan

dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada 28/29

Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan dengan

pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas”, Nasution menulis :

"...enam jam di Yogya -yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara

besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang

dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota

kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan

Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang

demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian

Divisi IV (Jawa Barat)."

Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang

terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan

serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949,

dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan

mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat-

berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada

dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan

cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam

perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat,

melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat

PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat

langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan

Brigade X, di-back up oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas mengikat

Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling

tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin

seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada

di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu

diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari

TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup

menahan serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan

pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang

kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah

logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang

serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI. Apakah

semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau diperintahkan oleh seorang

komandan brigade?

Page 22: 1 Maret 1949

22

Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan

Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B.

Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita

mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio AURI di

Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu

berada di Wiladek.

Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang

komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan

Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa

Inggris) yang akan disampaikan kepada pihak AURI untuk kemudian disiarkan

oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan

serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan

instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.

Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No.

1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima

Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul

Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki

militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan

pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah

komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti

harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan

yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang

dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian

Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio.

Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan

berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat peran beberapa

atasan langsung Letkol Suharto.

Nasih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali

seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu

Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya

Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan

Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia

tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan

Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung

membantu dalam serangan ke kota adalah Brigade IX.

Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan,

bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan,

sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis.

Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No.

4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM

III, untuk a.l.

Page 23: 1 Maret 1949

23

"... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang

dapat menarik perhatian dunia luar...".

Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-

besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan

Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni

1948.

Dalam buku yang sama di halaman 265, Nasution menulis :

"Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum terhadap Yogya pada

tanggal 1 Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap...."

Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa seluruh operasi tersebut ada di

bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19,

tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I

(Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan

terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk

mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap

pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah

dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949.

Isi Perintah Siasat tersebut adalah :

Staf Gubernur Militer III.

Sangat Rahasia.

PERINTAH SIASAT

Nomor: 9/PS/49

Keadaan :

1. Mulai tanggal 1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha

merebut Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu

dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari kesatuan-

kesatuan lain-lainnya.

Bantuan yang diberikan kepada Brigade X

1 Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo

1 Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.

2. Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda menggerakkan

balabantuan dari Semarang dan Magelang (ditaksir 2000 orang lengkap) dan

dibantu dengan Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk

(tekanan-pen.) ke medan Yogya sangat beratnya.

Perintah :

Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada

Cdt. Daerah I dan Cdt. Daerah II

U n t u k :

Page 24: 1 Maret 1949

24

1. Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya, terutama ditujukan

kepada centra dari Prembun-Kebumen-Magelang-Semarang wetelijk gedeelte

Purwokerto-Probolinggo-Karangkobar.

2. Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-

pen.) Magelang-Semarang dan Magelang- Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju

ditarik ke Magelang utara dan Bat. (Bintoro verschuiven ke arah timur).

3. Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-

IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.

S e l e s a i.

Dibuat utk.

1. Cdt. Daerah I.

2. Cdt. Daerah II

Dibuat di tempat

Tanggal : 15-III-1949

J a m : 12.00

Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III

1. Staf Divisi III.

2. M.B.K.D.

3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng)

4. Arsip.

Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III,

Kolonel Bambang Sugeng, yaitu :

1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,

2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan

3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,

membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III,

tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III.

Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel

Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira

Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang

waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua

dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi

dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas,

bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan

Komandan Brigade.

Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian

Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari

Banaran, di mana tertera:

Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia

adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan -

sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.

Page 25: 1 Maret 1949

25

...Idenya ialah : Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin

bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran...

Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari Bambang Sugeng yang

dapat saya tangkap...

Dengan Kolonel Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat

dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.

Bila disimak kalimat Simatupang :

"...datang dan bermalam di Banaran. ...Dengan Kolonel Soegeng masih saya

bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu,

bagaimana rencananya dan seterusnya"

terlihat, bahwa Bambang Sugeng mengeluarkan instruksi rahasia tersebut

tertanggal 18 Februari, setelah berkonsultasi dengan Simatupang, Wakil Kepala

Staf Angkatan Perang.

Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa

Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat

dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris

tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut

disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1

Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka

juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas

Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan

teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan

hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia

menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa

"Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi

dunia internasional.

Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus

juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer

beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama

kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan

tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk

kepentingan penguasa.

Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak,

yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin,

bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam

instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel

Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan:

"… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…"

Page 26: 1 Maret 1949

26

Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk

pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf

di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf

Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia

sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru

mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan.

Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai

perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan

oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan

kompi, berpangkat Kapten). Dalam naskah yang ditulis di penjara Cipinang antara

tahun 1991 - 1997, tertera (Abdul Latief. Naskah, belum ada judul, (diperoleh

penulis tahun 1998), hlm. 57) :

"Semua yang saya tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya

rasakan, saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah

yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya

merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas."

Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang

diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya.

Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis

dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti

yang ada.

Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi Suharto, yaitu :

"... Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan

pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan Belanda

itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat

bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise

yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa ..."

Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima

Besar, yang menjadi incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer

dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun

tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat,

hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima

Besar, antara lain:

"… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas,

Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus

Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di

Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang

Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer

Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di

desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri

Kehakiman Susanto Tirtoprojo . Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949

banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”

Page 27: 1 Maret 1949

27

Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan

utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada.

Tercatat antara lain :

… Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke

Yogyakarta, di antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-

keterangan mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi

Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk

menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya

ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan

KaptenCokropranolo.

Tanggal 3.3.1949 di desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan

satu kompi tentara dipimpin Letkol. Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman …

Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa

Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui

keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk

bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak

ditangkap Belanda. Jelas, Suharto yang waktu itu hanya komandan brigade, tidak

termasuk lingkungan yang dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima

Besar.

Selanjutnya, N.S.S. Tarjo menulis :

"...Dengan pemancar ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik

buatan. Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.)

, pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat menyusun

rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik, karenanya kita masih

mampu berhubungan satu sama lain via darat dan udara, bahkan mampu

mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang kita selenggarakan di

daerah Wadas-lintang.

Maka datanglah peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka

membawa staf, mereka berunding sambil "makan besar", tak ketinggalan potret-

potret sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam kota."

Komunikasi dengan pimpinan militer dan sipil di Sumatera, akhir Januari 1949

telah dapat dijalin, seperti ditulis oleh Simatupang :

"...Dan memang, akhir bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan

Sumatera, dan melalui Sumatera sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-

berita kepada perwakilan kita di New Delhi.

Dengan Yogyakarta hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba

di Dekso saya dapat mengirim surat-surat kepada Dr. Halim yang berada di kota

dan tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…"

Page 28: 1 Maret 1949

28

Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti, bahwa pernyataan Suharto sama sekali

tidak benar. Memang, hanya sebagai Komandan Brigade, dia tidak termasuk

jajaran yang harus atau dapat mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan

Panglima Divisi/Gubernur Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk

bertemu, bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh

Panglima Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi

pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai

hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling berkomunikasi.

Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia

mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar

Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan

Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu

Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya berjarak

sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H.

Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa

berada di desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada

Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di

pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh dari

markas Divisi III.

Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade

ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga

jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius

sekitar 24 jam berjalan kaki.

Seorang pelaku serangan umum, Vence Sumual, dalam biografinya yang

diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia dipanggil oleh Suharto untuk

membicarakan rencana serangan tersebut. Sumual menulis (Sumual, Vence,

Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani, Jakarta, 1998, hlm. 85) :

"... Panglima Divisi III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol

Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol Suharto,

Komandan WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi.

Sedangkan kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan

pasukan ke dalam komando Letkol Suharto..."

Selanjutnya, Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat,

menulis :

"... Sore harinya baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa Semaken. Mayor

Sumual langsung diantar masuk ke ruang dalam. Bob Mandagie tunggu di luar,

mengobrol dengan beberapa anggota pasukan di situ.

Di situ hanya mereka bertiga. Vence Sumual, Letkol Suharto dan Komandan SWK-

106 Letkol Sudarto yang tuan rumah. Mereka bikin rapat.

Pembicaraan masuk ke pokok. Soal serangan umum ke Yogya. Suharto sudah

mendapat Instruksi Rahasia dari Panglima Divisi III Kol Bambang Sugeng untuk

mengadakan serangan umum besar-besaran yang lebih terencana matang.

Serangan-serangan umum sebelumnya tak dirapatkan dengan para komandan

SWK seperti ini, setidaknya komandan sektor barat..."

Page 29: 1 Maret 1949

29

Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat,

menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari

Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto

atau perintah dari Hamengku Buwono IX.

Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta,

mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi

dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain,

kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh

penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum

adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk

yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang

Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting

adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera

Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I

Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang

dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap

memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di

bawah komandonya:

Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan

terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III,

yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi

pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang

komandan Brigade:

Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan

operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel

Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan

operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang

melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang

melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.

Kalimat :

"...dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah

Kedu/Magelang"

juga membuktikan kebenaran keterangan Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang

menyebutkan, bahwa Wehrkreis II juga terlibat dalam aksi besar-besaran

tersebut; perintah tertulis kepada Komandan Wehrkreis II tidak perlu diberikan,

karena Letnan Kolonel Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng Gunung

Sumbing.

Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus

mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa

baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan

sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke

luar kota.

Page 30: 1 Maret 1949

30

Dalam buku SESKOAD tertulis :

"... Tiba-tiba datang seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun

yang terjadi, para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol,

segera direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah

pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel T.B. Simatupang

melarangnya. Rencana itu dibatalkan."

Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di

kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi

sampai siang. Selain itu, Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri

juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan

adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima

Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan

kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala

Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku

SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan

menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai

kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat

rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan

"kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana

"penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan

hariannya. Dalam buku SESKOAD setebal sekitar 400 halaman hanya dengan

beberapa baris saja Sukarno didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang

pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.

Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut

datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono

IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi

perintah kepada Suharto untuk melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan

HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949.

Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi

dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang

yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada

komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan

melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan

yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan

dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar

Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan

diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah

sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan

pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.

Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan

tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang

komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan

yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri.

Page 31: 1 Maret 1949

31

Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB

IX, di mana disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan

siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera

mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari

Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan adalah

disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi

Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi

dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III,

Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara

tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.

Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan

umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX

memanggil Suharto untuk menghadap :

... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada

akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan

di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional

bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia

kemudian mendapat satu akal ...

... Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah

pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima

Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.

Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis

oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret

1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi:

... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam

pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13

Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu

serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX -

Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-

kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.

Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang

dalam otobiografinya menyebutkan bahwa :

... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat

bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...

Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk

membantah versi Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto

berkuasa, terlibat dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan Film "Janur Kuning."

Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan

sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah

diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru.

Page 32: 1 Maret 1949

32

Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada

kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan

segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada

penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan

oleh pendukung HB IX.

Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat

dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah

yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan

dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta

tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan

di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu

adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).

Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web

koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX

yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan :

"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi

menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki

ibukota RI Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono

(HB) IX.

Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II

1948-1949 di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta,

Kamis, Marsoedi mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari

Soeharto, yang saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III berpangkat Overstee

(Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.

Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri

Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan

Soeharto," katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar

masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu

empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara

Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.

Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan.

Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju

tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari

pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek.

"Tunggu perintah lebih lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu

itu.

Ia mengungkapkan, sebelum bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari

berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh

Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."

Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat

Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998) :

Page 33: 1 Maret 1949

33

"Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto,

di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai

panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya

mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang."

Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak

terasa." Marsudi, yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai

komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima

instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup

memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai

dengan hirarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus

akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi

serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan

Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.

Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat

pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18

Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga

memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari

dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan "Grand

Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel

Wiyono dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol Suharto.

Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera

dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang

tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi

III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.

Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada

hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas,

demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah.

Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak

mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk

saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk

menerjang hirarki.

Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang

menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman.

Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak

termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima

Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya

sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui

tempat persembunyian Panglima Besar.

Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis

Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan

Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-

Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana dikutip :

Page 34: 1 Maret 1949

34

"Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia

mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di

persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya

dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya...

HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam

pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar

13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu

serangan umum dalam waktu dua minggu....Kontak-kontak selanjutnya dilakukan

dengan perantaraan kurir.

...Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa

"pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup."

Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan

di atas, tidak mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando

memberikan perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk

melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan

pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan

yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain,

selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar

radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan

Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama kali tahun 1960,

jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan

Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen

tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada

komandan Daerah I (Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota

Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah

Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.

Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu

selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari

tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut

dihentikan, seperti dituliskan :

... Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa

"pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.

Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota

Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena

pada saat itu bantuan tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film

yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan tersebut berjudul "6 jam di

Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga

jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila

pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat

berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah

penghentian pertempuran diberikan sore hari.

Page 35: 1 Maret 1949

35

Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB

IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa

Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan

instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu

hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan,

tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa

kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana

perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain

seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis

yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.

Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak

mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang

melibatkan beberapa pasukan.

Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun

kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya

pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan

memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan

pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup."

Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra

dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI

menuliskan :

...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan

Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.

TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa

HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan

Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut memberikan kesan, bahwa kelompok yang

mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar "pakar sejarah" untuk menulis

sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama

ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda dengan "tukang jahit."

“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat

dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku

yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku

tersebut (tanpa terputus dan tidak dirubah titik-komanya) :

"... kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan

sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada

Syafroedin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri

Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI

yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita

hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB,

dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan

HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya

menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan

Wehrkreis.

Page 36: 1 Maret 1949

36

Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan

Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri

Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan

menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan

Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI

telah "hilang" semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat

"lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan

Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang

cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan

masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene

semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu

sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan

Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari

"kemiskinan", jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada

level indikasinya ..."

Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945,

menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan

Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah

perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang

ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra

(Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak

laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.

Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah.

Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam

kata sambutannya, sebagai :

"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi

dasar utama dalam penulisan buku ini...".

Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI,

hanya ditambahkan transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun

1986, serta sejumlah kesaksian, terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak

ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian.

Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media

massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang

adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan

seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang

kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut,

sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa

adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi

ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater

Hutagalung, mantan Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu

itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.

Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa

Playen, tempat pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH,

yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun) :

Page 37: 1 Maret 1949

37

"...yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak

Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah

mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan

termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga

melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah

rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."

memang, adalah suatu novum, yaitu

"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud.."

Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang

dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada

tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX

kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak

pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX

dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak

pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu,

Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen.

Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku

hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang

Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang

Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek,

Simatupang menulis :

…..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang

telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di

Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang

bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa.

Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni

tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau

serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang

lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara

Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui

pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan

berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda

sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan

umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…

Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy

surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman.

Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen

asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang

gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan

keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.

Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang

adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya.

Page 38: 1 Maret 1949

38

Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara

Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi

III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum

ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah

satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah

menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi

III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara

eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang

diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr.

W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan,

bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat

menuliskan :

"... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."

Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan BBC, serta

melampirkan sejumlah kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari

dokumen yang selama ini telah dikenal. Bahkan beberapa kesaksian

menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada

Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB

IX juga yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk

penghentian serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk

menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya, juga

dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini dilimpahkan

kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru.

Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut

adalah operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel

Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun dokumen otentik yang mendukung, para

penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan

Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".

Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah"

tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi

sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis

:

Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden

Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan

fakta sejarah itu.

"...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de

jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah

bangsa ini." demikian Budi Hartono.

Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta

dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan

SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara

untuk mengukuhkan versinya.

Page 39: 1 Maret 1949

39

Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa

"Serangan Spektakuler" -bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III-

tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia.

Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat

perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan

tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu

lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan

Umum" (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh

wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap Yogyakarta

dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah

keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia,

sebagai bukti bahwa TNI masih ada.

Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan

berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam

perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua

orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan

Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian

Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan

pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-

daerah pertempuran.

Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya

di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia,

yaitu di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, dan ini adalah

bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer.

Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja,

melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana

dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo :

"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam

juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang

yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya,

sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri."

Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan,

persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk

keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada

pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu,

masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.

Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah

adalah suatu "never ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir,

karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan

sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.

Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat

membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima

Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng,

Page 40: 1 Maret 1949

40

yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H.

Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau

kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-,

berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam

pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa

perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer

yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap

Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan

kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang

Sugeng.

Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu

yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari

duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi

pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat

peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang.

Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan

tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu.

Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun

1980.

Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-

hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer

III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan

tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua

versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.

Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1,

diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima

Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa

serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah

diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang

disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.

Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak

dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun

tampaknya buku tersebut "dijahit" khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang

sudah menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan

merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa,

negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang

berperan bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan

juga dalam perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI.

Peran mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat

peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya

melaksanakan perintah atasan.

Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung,

yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di

majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan,

Page 41: 1 Maret 1949

41

edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden);

Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara

Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).

Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan,

agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana

suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan

kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk

memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut

diterbitkan, dan menulis kata sambutan.

Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung

Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949,

Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika

Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB

di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan

Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr.

Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI

AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter).

Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang

mencatat :

"dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun

1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang

menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki

Belanda."

Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh

perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara

Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima

perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-

generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel

G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang

dalam pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31].

Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja

Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi

perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi

perlengkapan medis.

Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31,

diselenggarakan diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949"

dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang

Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri

alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr.

Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen

Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal

18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan

oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung

dari Gedung Joang).

Page 42: 1 Maret 1949

42

Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan

Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan

mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu

Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang

Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk

mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun

Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi

Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1

Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili

Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH

(Beliau juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung

pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga

dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti

Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen

(Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) .

Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah

menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan

tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan

kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim

fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.

Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja,

penyunting biografi Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX

pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan,

berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di

tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di

Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949",

yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan,

bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat

TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada

TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.

Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta.

Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua,

yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal

1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan

penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa

serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu

sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut.

Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil

dari tiga versi yang berbeda.

Page 43: 1 Maret 1949

43

Kesimpulan

Setelah agresi militer yang dilancarkan Belanda tanggal 19 desember 1948

terlihat, bahwa Dewan Keamanan segera menunjukkan reaksi dan bersidang

tanggal 20 Desember 1948, sehari setelah serangan Belanda. Dalam sidang yang

dilaksanakan tanggal 22 Desember, Dewan Keamanan menerima usul dari wakil

Ukraina, Vassily A. Tanassenko dan tanggal 24 Desember 1948 mengeluarkan

resolusi, yang isinya adalah seruan agar Belanda segera menghentikan agresi

militernya. Karena Belanda tidak mematuhi resolusi tersebut, tanggal 28

Desember, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang isinya dipertajam, yaitu

ditambah dengan desakan, agar Belanda segera dan tanpa syarat, membebaskan

seluruh pimpinan Republik yang ditawan tanggal 19 Desember serta

mengembalikan mereka ke Yogyakarta.

Banyak negara segera melancarkan aksi terhadap kegiatan ekonomi dan politik

internasional Belanda, seperti larangan terbang di atas wilayah negara mereka,

boikot kapal-kapal dagang Belanda, dsb.

Yang sangat di luar dugaan Belanda adalah reaksi keras dari Pemerintah Amerika

Serikat serta sejumlah Senator di Senat yang mengancam akan menghentikan

program bantuan pemulihan ekonomi Belanda, dalam rangka European Recovery

Programm (Marshall Plan). Bahkan negara-negara Asia menyelenggarakan suatu

Konferensi Asia di New Delhi tanggal 20 - 23 Januari 1949, yang khusus membahas

masalah Indonesia dan mengeluarkan resolusi yang sangat tajam bagi Belanda.

Resolusi Konferensi Asia tersebut disampaikan kepada Dewan Keamanan, dan

mendapat tanggapan yang sangat positif. Resolusi Konferensi Asia dikembangkan

oleh Amerika Serikat, China (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang mengajukan

resolusi, yang kemudian dikenal sebagai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28

Januari 1948, yang sangat menentukan bagi masa depan Republik Indonesia.

Semula, pada bulan Agustus 1947, Dewan Keamanan hanya membentuk Komisi

Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia), yang

merupakan suatu pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia, ditingkatkan

dengan dibentuknya secara resmi United Nations Commission for Indonesia

(UNCI), dengan agenda yang tegas dan jelas, seperti tertuang dalam Resolusi

Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1949, yaitu :

1. Pengembalian para pemimpin Republik ke Yogyakarta serta Pemulihan

Pemerintah Republik di Yogyakarta.

2. Penarikan mundur tentara Belanda.

3. Perundingan antara Belanda dan Indonesia, yang tujuannya adalah mengatur

persyaratan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia Serikat.

Resolusi Dewan Keamanan No. 67, tanggal 28 Januari 1948, menjadi pusat seluruh

kegiatan dan peristiwa, sampai terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den

Haag, tanggal 23 Agustus 1949, di mana terbentuk Republik Indonesia Serikat

(RIS) dan selanjutnya, pengakuan kedaulatan RIS oleh Pemerintah Belanda tanggal

27 Desember 1949. Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB telah

mempersiapkan proses pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, walau pun

bentuk yang dipersiapkan adalah Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai

realisasi Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville, yang keduanya telah

dilanggar oleh Belanda.

Page 44: 1 Maret 1949

44

Banyak negara anggota PBB -terutama di Dewan Keamanan- menilai, bahwa agresi

militer Belanda tersebut membahayakan upaya menjaga perdamaian dunia;

terutama untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan

sengketa. Selain itu, hampir semua negara anggota PBB -termasuk Amerika

Serikat- menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Belanda itu adalah suatu

pelecehan terhadap PBB, karena agresi militer tersebut dilakukan ketika

perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda sedang berlangsung, yang

difasilitasi oleh Komisi yang diutus oleh Dewan Keamanan PBB. Bahkan Ketua

UNCI, Merle Cochran dari Amerika Serikat, satu hari sebelum agresi militer

Belanda dilancarkan, sedang ke Jakarta, membawa surat dari Wakil Presiden M.

Hatta, yang ditujukan kepada WTM Dr. Beel, yang isinya adalah jawaban pihak

Republik atas suatu tuntutan dari Belanda. Oleh karena itu, reaksi Pemerintah

Amerika Serikat termasuk yang paling keras terhadap Belanda.

Di dunia internasional, boleh dikatakan tidak ada lagi negara yang mendukung

Belanda; bahkan kawan-kawan tradisional Belanda, Inggris dan Prancis, juga

menganjurkan Belanda untuk menerima resolusi Dewan Keamanan tanggal 28

Januari 1949.

Di dalam negeri, tidak seluruh rakyat Belanda mendukung agresi militer atau pun

kebijakan yang dilakukan oleh beberapa Wakil Tinggi Mahkota (mengganti posisi

Gubernur Jenderal semasa Hindia Belanda). Di samping kejenuhan terhadap

perang, karena baru selesai Perang Dunia II, Belanda sendiri sangat membutuhkan

dana besar bagi pembangunan di negeri Belanda, sedangkan diperkirakan, biaya

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sejak agresi militer mereka, mencapai

I juta US $ sehari.

Negara-negara boneka bentukan van Mook yang tergabung dalam BFO, pada

akhirnya melakukan pembangkangan terhadap rencana Pemerintah Belanda serta

WTM Dr. Beel, yang merencanakan untuk menggelar KMB tanpa

mengikutsertakan Republik. BFO -beberapa negara federal semula mentolerir

aksi militer Belanda- karena desakan rakyat di wilayah mereka serta melihat

kenyataan, bahwa tanpa ikut sertanya Republik Indonesia hasil KMB tidak akan

diterima oleh dunia internasional, mendukung agar Republik harus ikut serta

dalam KMB.

Di bidang militer, perhitungan Belanda ternyata meleset, karena tidak berhasil

menghancurkan TNI, sehingga setelah TNI melakukan konsolidasi, tentara Belanda

menghadapi perlawanan sengit di seluruh Indonesia, terutama di Jawa dan

Sumatera. Semakin lama berlangsung perang gerilya, kedudukan Belanda

semakin terdesak, hingga setelah sekitar 3 bulan setelah agresi militer mereka,

Belanda praktis hanya dapat berkuasa di kota-kota, sedangkan di luar itu,

seluruhnya dikendalikan oleh pemerintahan militer Republik. Perlawanan

bersenjata Republik tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda, karena pimpinan

militer dapat menyiarkan berita -dengan cara estafet- sampai ke luar negeri; juga

sebaliknya, para gerilyawan dapat menangkap siaran radio dari luar negeri.

Selain itu, KTN (Komisi Tiga Negara) dan setelah resolusi Dewan Keamanan

tanggal 28 Januari, menjadi UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia), selalu

memberikan laporan, baik mengenai situasi para tahanan politik, juga mengenai

aksi militer dan perlawanan bersenjata dari Republik.

Page 45: 1 Maret 1949

45

Melihat agenda di Dewan Keamanan, serta tekanan dunia internasional,

penyelesaian masalah konflik Indonesia dengan Belanda hanya tertunda, karena

Belanda masih berkeras kepala dan mencoba mengulur-ngulur waktu, untuk

mempersiapkan negara-negara boneka, yang mereka harapkan akan menjadi

mayoritas serta memimpin Negara Indonesia Serikat.

Berikut ini kronologi rangkaian peristiwa, sebelum dan sesudah 1 Maret 1949,

yang dapat memberi gambaran yang jelas :

Setelah ada reaksi keras dari Dewan Keamanan PBB dan Amerika Serikat, Perdana

Menteri Belanda, Dr. Drees ke Indonesia tanggal 4 Januari 1949, dan tinggal

selama 16 hari (!), sampai tanggal 20 Januari. Dalam pidato yang diucapkan

tanggal 20 Januari, Drees mengakui kenyataan, bahwa bagi rakyat Indonesia,

Pemerintah Republik Indonesia adalah simbol perjuangan kemerdekaan, dan di

BFO banyak pendukung Republik.

Dalam sidang Dewan Keamanan yang dimulai pertengahan Januari, wakil Amerika

Serikat secara panjang lebar menyatakan sikap tegas pemerintahnya yang

mendukung Republik Indonesia dan melancarkan kritik tajam kepada Pemerintah

Belanda. Sikap Amerika Serikat ini diikuti dengan resolusi yang dimajukan oleh

Amerika Serikat, Cina (Taiwan), Kuba dan Norwegia, yang kemudian diterima dan

disahkan menjadi Resolusi Dewan Keamanan No. 63 tanggal 28 Januari 1949, di

mana isinya, di samping menuntut agar Belanda melepaskan semua pemimpin

Republik serta agar Belanda memegang persetujuan Renville, juga memuat

agenda yang jelas mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS) seperti

yang tertera dalam persetujuan Renville.

WTM, Dr. Beel, ke negeri Belanda tanggal 18 Februari, dan tinggal sampai tanggal

26 Februari. Selama di negeri Belanda, Beel mendengar berbagai kritik tajam

mengenai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Telah disadari, bahwa resolusi

Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, tidak dapat ditolak lagi oleh Belanda,

maka disusunlah strategi untuk "menyelamatkan muka" pihak Belanda. Pemerintah

Belanda bersama WTM menyusun "skenario" penyerahan kedaulatan, dengan

menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanpa melibatkan UNCI

(KPBBI).

Pada 19 Februari 1949, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng

mengeluarkan Instruksi Rahasia, mengenai perintah kepada Komandan Wehrkreis

III Letkol Suharto, untuk mengadakan serangan secara besar-besaran terhadap

Yogyakarta, antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Dalam catatan harian Wakil

III KSAP Kolonel Simatupang tercatat, bahwa Bambang Sugeng malam itu datang

dan bermalam di Markas KSAP, dan merundingkan rincian serangan tersebut.

Segera setelah tiba di Jakarta tanggal 26 Februari 1949, pada saat yang

bersamaan, di negeri Belanda dan di Jakarta, dibacakan pernyataan yang disusun

oleh WTM Dr. Beel bersama Pemerintah Belanda, yang isinya adalah

penyelenggaraan KMB tanggal 12 Maret 1949, di mana intinya adalah penyerahan

kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat, yang

waktunya bahkan jauh lebih cepat daripada yang diusulkan oleh Dewan Keamanan

dalam resolusi tanggal 28 Januari 1949, yaitu tanggal 15 Juni 1949.

Page 46: 1 Maret 1949

46

Pada hari yang sama, tanggal 26 Februari, WTM Dr. Beel mengirim utusan, Dr.

Gieben, untuk menyampaikan undangan kepada Presiden RI, Sukarno, untuk

menghadiri KMB, yang akan diselenggarakan di Den Haag mulai tanggal 12 Maret

1949. Di sini Belanda sudah menggunakan kata "Presiden Republik Indonesia",

dan tidak lagi hanya sebagai "pembesar prominnen." Dua hari kemudian, tanggal

28 Februari, WTM Dr. Beel mengirim Dr. Koets ke Bangka, guna menerangkan

lebih rinci rencana Pemerintah Belanda. Namun Sukarno tetap menolak untuk

mengadakan perundingan apa pun selama berstatus sebagai tahanan. Tanggal 27

Februari, pimpinan BFO mengirim surat kepada Presiden Sukarno di Bangka,

menyampaikan keingininan BFO untuk mengadakan pertemuan dengan pimpinan

Republik, guna membahas rencana penyelenggaraan KMB di Den Haag. Tanggal

28 Februari, Simatupang datang di Playen, tempat pemancar radio AURI, dan

menyerahkan teks dalam bahasa Inggris, mengenai "skenario" serangan yang

akan dilaksanakan keesokan harinya, tanggal 1 Maret 1949. Teks tersebut harus

dibacakan sore hari.

Tanggal 1 Maret 1949, atas instruksi Panglima Divisi III/Gubernur Militer III

Kolonel Bambang Sugeng, dilancarkan serangan secara besar-besaran secara

serentak -serangan umum- terhadap tentara Belanda di seluruh wilayah Divisi

III/Gubernur Militer III (Jawa Tengah bagian barat, termasuk Yogyakarta) dan di

wilayah Divisi II/Gubernur Militer II (Jawa Tengah bagian timur, termasuk Madiun)

dilancarkan operasi militer paralel, di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto -

terutama terhadap kota Solo.

Tanggal 2 dan 3 Maret 1949 (surat untuk keinginan bertemu telah dikirim oleh BFO

kepada Presiden Sukarno tanggal 27 Februari 1949), contactcommissie (komisi

penghubung) BFO, yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hamid II, menemui Presiden

Sukarno di Pulau Bangka, untuk membujuk Sukarno-Hatta, agar ikutserta dalam

KMB tanggal 12 Maret. Namun Sukarno-Hatta tetap pada pendirian semula, yaitu

kembali dahulu ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik dipulihkan, baru setelah

itu mengadakan pembicaraan.

Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Sukarno mengirim surat kepada WTM Beel, yang

isinya alasan penolakan untuk hadir dalam KMB tanggal 12 Maret di Den Haag.

Dalam surat tersebut, Sukarno menyampaikan hal-hal yang sebelumnya telah

dikemukakan, baik kepada utusan Beel, Gieben dan Koets, maupun kepada

delegasi BFO yang dipimpin oleh sultan Hamid II. Dengan demikian skenario Dr.

Drees dan Dr. Beel untuk menyelenggarakan KMB tanggal 12 Maret 1949 gagal.

Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, Dewan Keamanan bersidang tanggal

10 Maret 1949. Amerika Serikat dan anggota Dewan Keamanan lain yang

mendukung resolusi tanggal 28 Januari, tetap pada pendirian mereka yang keras

dan tegas. Belanda telah melunak, karena semua usaha untuk mengulur waktu

tidak berhasil. Sekarang hanya berusaha membuat kompromi untuk

menyelamatkan muka. Setelah dilaksanakan lima kali sidang dalam waktu 14 hari,

akhirnya pada 23 Maret 1949, Dewan Keamanan memutuskan -melalui voting-

untuk menerima usulan Kanada (Canadian Directive) yang isinya :

Page 47: 1 Maret 1949

47

Pelaksanaan resolusi Dewan keamanan tanggal 28 Januari, terutama kalimat 1 dan

2 bagian pelaksanaannya; dan Tanggal dan syarat untuk mengadakan Konferensi

Meja Bundar yang diusulkan dalam Resolusi tanggal 28 Januari itu.

Belanda akhirnya tunduk dan menerima keputusan Dewan Keamanan; dengan

demikian lengkap sudah kegagalan Belanda untuk memaksakan kehendaknya,

baik kepada pimpinan Republik, maupun kepada Dewan Keamanan dan bahkan

kepada BFO -negara-negara federal bentukan van Mook.

Dengan mencermati rangkaian peristiwa seperti tertera di atas, dapat diambil

kesimpulan, bahwa opini dunia internasional, terutama anggota Dewan Keamanan,

tidak tergantung dari satu atau dua operasi militer yang dilancarkan oleh TNI

terhadap Belanda, melainkan keseluruhan perlawanan bersenjata yang dilakukan

terhadap Belanda. KTN, dan setelah tanggal 28 Januari 1949 berubah menjadi

United Nations Commission for Indonesia -UNCI- (Komisi PBB untuk Indonesia,

disingkat: KPBBI), melaporkan secara keseluruhan perkembangan situasi

masyarakat, pimpinan Republik dan keamanan di Indonesia; KTN/KPBBI tidak

melaporkan satu-persatu pertempuran yang terjadfi di Jawa dan Sumatera.

Juga apabila meneliti seluruh peristiwa dan kegiatan -terutama di Dewan

Keamanan PBB- antara tanggal 26 Februari sampai tanggal 10 Maret 1949, secara

ekstrim dapat dikatakan di sini, bahwa ada atau tidaknya serangan terhadap kota

Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949, agenda di Dewan Keamanan tetap berjalan

sesuai jadwal yang telah ditentukan. Manuver Drees dan Beel untuk menggelar

KMB di Den Haag tanggal 12 Maret 1949 -yang kemudian gagal- juga tidak

berpengaruh apa-apa terhadap agenda Dewan Keamanan.

Masing-masing pihak, seperti negara-negara pendukung Republik serta beberapa

negara federal di BFO, sejak dimulainya agresi Belanda tanggal 19 Desember

1948, telah menentukan sikap, dan selama lebih dari dua bulan sampai sidang

Dewan Keamanan tanggal 10 Maret 1949, tidak sedikit pun beranjak dari tuntutan

semula, yaitu tentara Belanda harus ditarik mundur; para pemimpin Republik

harus dikembalikan ke Yogyakarta, dan Pemerintah Republik di Yogyakarta harus

dipulihkan kembali. Peran dari negara-negara Asia yang menyelenggarakan

Konferensi Asia tanggal 20 Januari 1949 di New Delhi, khusus untuk membahas

masalah agresi milter Belanda tersebut sangat besar.

Sampai pertengahan tahun 1948, Pemerintah Amerika Serikat masih mendukung

Belanda karena negara-negara Blok Barat/Kapitalis, sejak dimulainya Perang

Dingin (cold war) tahun 1947, sedang merencanakan pengepungan secara

ideolgis dan politis terhadap Uni Sovyet di mana Belanda termasuk negara Blok

Barat yang akan membentuk pakta militer NATO. Namun kemudian AS merubah

politiknya di Asia, dan mendukung negara-negara yang bersedia menghancurkan

kelompok komunis di negaranya, termasuk Indonesia.

Setelah agresi Belanda tanggal 18 Desember 1948, Pemerintah Amerika Serikat

sangat tegas menekan Pemerintah Belanda untuk mematuhi resolusi Dewan

Keamanan tanggal 28 Januari 1949, dan tekanan AS ini ikut menentukan sikap

Belanda, karena Belanda waktu itu sangat membutuhkan dana bantuan dalam

rangka Marshall Plan (European Recovery Programme) dari AS.

Page 48: 1 Maret 1949

48

Semakin lama Belanda mengulur waktu, semakin keras tekanan terhadapnya.

Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, bahkan mempertajam kritik serta

tekanannya; Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan Marshall

Plan kepada Belanda; langkah ini dimotori oleh beberapa Senator Amerika

Serikat, antara lain Senator Brewster. Keberpihakan Amerika Serikat kepada

Republik Indonesia sebenarnya bukan karena AS memang sangat demokratis.

Pada waktu itu, warga AS yang berkulit hitam masih belum memiliki hak memilih

dan dipilih, diskriminasi ras masih sangat hebat, misalnya pemisahan sekolah

untuk murid berkulit hitam, dan bahkan tempat duduk di taman pun ada yang

tidak boleh diduduki oleh warga kulit hitam. Dengan demikian, dukungan AS

kepada Indonesia tidak lepas dari politik Amerika Serikat sendiri, yaitu agar

supaya Republik Indonesia tidak jatuh ke kubu komunis pimpinan Uni Sovyet.

Dalam pandangan Uni Sovyet Belanda adalah agresor, sehingga sama sekali tidak

perlu diberikan konsesi apapun.

Beberapa negara BFO, mengalami tekanan yang semakin kuat dari rakyatnya,

terutama Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur, di mana pendukung

Republik sangat kuat dan rakyat di “negara-negara” teredbut berhasil mendesak

wakil-wakil mereka, agar dalam sidang BFO tetap mendukung ikutsertanya

Republik Indonesia dalam KMB yang diprakarsai PBB. Bahkan mereka mendukung

syarat yang dimajukan dalam resolusi Dewan Keamanan, yaitu pembebasan tanpa

syarat para pemimpin Republik, serta pemulihan Pemerintah Republik di

Yogyakarta.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengakuan dunia internasional atas

kedaulatan Republik Indonesia dicapai melalui perjuangan bersenjata dan

diplomasi, yang melibatkan seluruh komponen anak bangsa.

Keberhasilan Republik untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, dilandasi

kekompakan tiga unsur perjuangan, yaitu :

• Bidang politik/diplomasi

• Bidang militer, didasarkan persiapan yang telah dilakukan, jauh sebelum

Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948

• Dukungan rakyat.

Di bidang politik/diplomasi

Rencana Belanda untuk melakukan serangan militer secara besar-besaran

terhadap Republik, telah diperkirakan jauh sebelum dilancarkannya agresi militer

tanggal 19 Desember 1949. Dipertimbangkan, bahwa pulau Jawa terlalu sempit

untuk menjadi basis pemerintahan/prerlawanan terhadap Belanda, oleh sebab itu

ditetapkan :

• Pusat pemerintahan Republik telah disiapkan di Bukittinggi, Sumatera.

• Pusat hubungan dengan luar negeri serta diplomasi, disiapkan di New

Delhi, India.

Page 49: 1 Maret 1949

49

Sebagian besar pejabat pemerintahan sipil di Jawa dan Sumatera, baik Gubernur,

Residen, Bupati dsb. Ikut bergerilya, sehingga kehidupan masyarakat tetap

berjalan seperti biasa. Di Sumatera, berbeda dengan di Jawa, seluruh jabatan

Gubernur Militer dipegang oleh tokoh-tokoh sipil.

Presiden Sukarno, Wakil Presiden M. Hatta serta para pemimpin Republik lainnya,

pada waktu itu bertahan pada pendirian, tidak akan melakukan pembicaraan

apalagi perundingan, selama belum kembali ke Yogyakarta dan Pemerintah

Republik dipulihkan di Yogyakarta. Sikap ini didukung oleh Konferensi Asia yang

diselenggarakan di New Delhi; dan kemudian yang sangat menentukan adalah,

dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap sikap tersebut. Baik Perdana Menteri

Belanda Dr. Drees, maupun Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel, tidak berhasil

membujuk Presiden Sukarno maupun Wakil Presiden Hatta untuk diajak berbicara

dalam taraf perundingan resmi. Mereka hanya bersedia berbicara dalam

kapasitas sebagai pribadi, dan tidak sebagai wakil Republik.

Di bidang militer

Blitz Krieg (Bahasa Jerman, artinya perang/serangan secara kilat) yang

dilancarkan tentara Belanda sejak 19 Desember 1949, tidak berhasil

menghancurkan Tentara Nasional Indonesia. Simatupang menilai, Tentara Nasional

Indonesia telah berhasil menghindari Vernichtung (Bahasa Jerman, artinya

pemusnahan) yang direncanakan oleh Letnan Jenderal Simon H. Spoor, Panglima

Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan, oleh karena

pimpinan TNI telah mengantisipasi akan adanya serangan tersebut beberapa

bulan sebelumnya. Dengan demikian, persiapan yang telah dilakukan untuk

melakukan perang gerilya sangat matang, seperti tertuang dalam Perintah Siasat I

tertanggal 12 Juni 1948 (!), dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman. Persiapan

di bidang militer, mulai dari pembentukan pasukan mobil (gerak cepat) serta

pasukan dan organisasi teritorial, baik di Jawa maupun di Sumatera; mendata

gedung, bangunan, jembatan dll. yang akan dihancurkan dalam rangka bumi

hangus, agar tidak dapat digunakan oleh Belanda; telah menyiapkan basis/markas

gerilya serta memindahkan peralatan penting yang dibutuhkan untuk bergerilya.

Di beberapa daerah/Divisi, tidak sampai satu bulan setelah Belanda memulai

agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, pasukan-pasukan TNI telah dapat

melakukan konsolidasi. Bahkan seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march,

jalan kaki dari Jawa Tengah/Yogyakarta, untuk melancarkan operasi Wingate di

Jawa Barat, sehingga basis perlawanan TNI di Jawa dan Sumatera lengkap.

Pemerintahan Militer yang dibentuk sejak tanggal 22 Desember 1948, telah

berfungsi dengan baik. Komunikasi di antara pimpinan tertinggi militer dan sipil

berjalan relatif lancar, baik melalui kurir, maupun melalui radiogram. Tiga bulan

setelah agresi dimulai, kedudukan Tentara Nasional Indonesia di Jawa dan

Sumatera telah mantap, sebaliknya, posisi tentara Belanda semakin sulit, baik dari

segi militer maupun dari segi politisnya, karena biaya yang harus dikeluarkan

oleh Pemerintah Belanda sangat besar, sedangkan setelah Perang Dunia II,

mereka membutuhkan dana tersebut untuk pembangunan di negeri Belanda

sendiri.

Page 50: 1 Maret 1949

50

Dukungan rakyat

Tanpa dukungan rakyat, perang gerilya tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan

baik, mengingat keterbatasan perlengkapan yang dimiliki TNI, terutama dari segi

logistik/penyediaan makanan dan minuman bagi gerilyawan. Selama perang

gerilya yang berlangsung sekitar delapan bulan, rakyat sangat membantu dalam

menyediakan makanan/minuman serta keperluan sehari-hari bagi gerilyawan,

termasuk -selain Palang Merah Indonesia- membantu dalam perawatan prajurit

yang terluka. Oleh sebab itu, pimpinan militer memerintahkan seluruh pasukan,

dalam kehidupan di masyarakat bersama rakyat, harus seperti "ikan dalam air."

Para gerilyawan dilarang keras untuk mengambil apapun dari rakyat, tanpa izin.

Setiap pelanggaran peraturan tersebut, dikenakan sanksi yang sangat berat. Hal-

hal tersebut dapat dengan lancar dilaksanakan, juga berkat partisipasi pimpinan

pemerintahan sipil yang ikut bergerilya.

Selain itu harus diakui hebatnya strategi dan taktik yang dijalankan oleh Belanda

sejak Jepang menyerah kepada Sekutu. Ketika Dr. C.O. van der Plas tiba di Jakarta

tanggal 15 September 1945 dengan membonceng Admiral Sir Wilfred Patterson di

kapal HMS Cumberland, tidak ada satu pun kesatuan militer Belanda, dan tidak

ada sejengkal pun wilayah yang mereka kuasai. Setelah Persetujuan Renville,

menjelang agresi militer II, Belanda telah menguasai seluruh wilayah Indonesia

Timur, 3/10 Sumatera dan 2/3 Jawa. Seluruhnya dicapai melalui perundingan, baik

Linggajati mau pun Renville, yang dikukuhkan dengan tandatangan pimpinan

Republik. Kehebatan Belanda tersebut berarti juga kelemahan pihak Republik,

yang selalu mengalah dan memberikan konsesi kepada Belanda.

Perlu juga dicatat, bahwa ratusan ribu, bahkan mungkin juga jutaan bangsa

Indonesia telah mengkhianati bangsanya sendiri, dan membantu Belanda –baik

sebagai pamong praja, maupun sebagai serdadu- untuk menjadi penguasa di

Bumi Nusantara. Belanda benar-benar memanfaatkan sifat ketamakan dan

keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh jabatan, yang kemudian

membantu penjajah menindas bangsanya sendiri. Kelihatannya semua

sukubangsa di Indonesia sangat mudah untuk diadudomba dan gampang disuap.

Hal ini bukan saja selama masa penjajahan sebelum Perang Dunia II, melainkan

juga setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Puluhan ribu orang

Indonesia bersedia dibayar oleh Belanda menjadi serdadu KNIL, untuk membunuh

bangsanya sendiri.

Beberapa pejuang ’45 yang aktif mengikuti perkembangan politik dan militer

mengamati, bahwa orang-orang bayaran Belanda tersebut -kemudian dilanjutkan

oleh anak cucunya- hingga sekarang selalu berusaha merusak tatanan kehidupan

masyarakat Indonesia dengan berbagai usaha. Sangat menarik untuk menelusuri

hubungan keluarga/kerabat antara pengacau-pengacau di bidang ekonomi,

politik, hukum dan keamanan di Indonesia hingga tahun 2004 ini, dengan mereka

yang pernah menjadi kakitangan Belanda, baik sebelum Belanda menyerah

kepada Jepang pada 9 Maret 1942, maupun antara tahun 1945 – 1950, setelah

bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945, yang

hingga kini tidak mau diakui oleh Belanda. Bagi Pemerintah Belanda,

kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan oleh Menlu

Belanda Ben Bot dalam wawancara di satu TV di Jakarta yang ditayangkan pada 19

Agustus 2006.

Page 51: 1 Maret 1949

Penggagas Serangan Umum 1-3-1949 bukan Letkol Soeharto Media Indonesia

JAKARTA : Sejarawan, Dr Anhar Gonggong berpendapat penggagas Serangan

Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta untuk menyingkirkan pasukan Belanda, bukan

mantan Presiden Soeharto (ketika itu berpangkat letkol). Melainkan komandan

berpangkat yang lebih tinggi seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman dan

Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkuwono IX. Dalam diskusi "Serangan Umum

1 Maret 1949" di Jakarta, Selasa, sejarawan dari Fakultas Sastra UI itu mengatakan

berdasarkan hierarki komando di militer, inisiatif penyerangan bukan berasal dari

seorang komandan brigade seperti Letkol Soeharto yang menjabat Komandan

Brigade III, tetapi seharusnya berasal dari pejabat lebih tinggi.

Pejabat militer lebih tinggi itu, katanya, seperti Panglima Besar Jenderal

Soedirman, Menhan Sri Sultan Hamengkubwono IX, Panglima Divisi III Kol

Bambang Sugeng, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, dan

Kepala Staf Angkatan Perang Kol Abdul Haris Nasution.

Selain itu, tulisan TB Simatupang (Waktu itu sebagai Kepala Staf Angkatan Perang

RI--red) dalam bukunya Laporan dan Banaran (1960), memuat salinan Instruksi

Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol Bambang Sugeng yang memerintahkan

kepada seluruh kesatuan tentara untuk mengadakan serangan besar-besaran di

Yogyakarta mulai 25 Februari hingga 1 Maret 1949.

Menurut Anhar, untuk memastikan tentang siapa para pelaku inisiatif Serangan

Umum 1 Maret 1949 selain Kol Bambang Sugeng, juga memerlukan penelitian

lebih lanjut. Sedangkan berdasarkan sejumlah dokumen dan sistem hierarki

militer bahwa inisiatif serangan bukan dari Letkol Soeharto.

Karena itu, menurut Anhar, perlu ada pelurusan sejarah tentang inisiatif Serangan

Umum 1 Maret 1949 yang dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-

sekolah berasal dari Letkol Soeharto.

Ketika ditanya tentang keengganan Jenderal AH Nasution dan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX mengungkapkan tentang inisiatif Serangan Umum 1 Maret

1949 bukan berasal dari Pak Harto, Anhar mengatakan, budaya "sungkan"

membuat kedua tokoh takut mengungkap hal tersebut serta kedudukan Pak Harto

sebagai Presiden RI juga menjadi faktor yang menjadikan orang lain malu

megungkapkan kebenaran sejarah.

Kendati demikian, Anhar mengakui, Letkol Soeharto tetap sebagai pelaksana

Serangan Umum 1 Maret 1949 sehingga Indonesia memenangkan diplomasi di PBB

bahwa eksistensi negara Indonesia masih ada yang ditandai TNI berhasil mengusir

pendudukan tentara Belanda dari ibu kota RI, Yogyakarta, pada saat itu.

Sementara itu, pengamat sejarah Batara Hutagalung yang juga anak pahlawan

nasional Letkol Dr W Hatagalung mengatakan berdasarkan dokumen yang ditulis

Letkol Dr W Hutagalung yang pada 1949 menjabat perwira teritorial di Yogyakarta

dan sejumlah dokumen lain, Serangan Umum 1 Maret 1949 melibatkan banyak

pihak,seperti Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Kementerian Pertahanan.

Page 52: 1 Maret 1949

Selaian itu, Serangan 1 Maret 1949 yang dilaksanakan Divisi III Militer di

Yogyakarta berdasarkan perintah dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk

membuktikan dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat sehingga

dapat membuktikan eksistensi RI, kata Batara yang juga Ketua Aliansi Reformasi

Indonesia (ARI) itu.

Sedangkan pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof Dr

Muchlis Muchtar MS berpendapat bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 telah

menjadi salah satu tonggak penting bagi kelangsungan negara persatuan dan

kesatuan Indonesia.

"Tetapi, apakah mantan Presiden Soeharto sebagai penggagas serangan itu, kini

mulai banyak dipertanyakan. Maka tugas para sejarawanlah untuk mengadakan

penelitian lebih lanjut masalah itu," ujar Muchlis di Padang kemarin.

Sumber : Media Indonesia - Politik dan Keamanan (3/1/00)

Page 53: 1 Maret 1949

Sri Sultan Otak Serangan Umum 1 Maret

March 1, 2008 in BERITA, SOEHARTO CORNER

Indopos - Sejarah selalu menjadi bagian penting untuk legitimasi

kekuasaan. Pada era Orde Baru, Soeharto disebut-sebut sebagai otak Serangan

Umum (SU) 1 Maret 1949, peristiwa heroik menyerang Belanda di Jogjakarta.

Seiring hilangnya Orba, sejarah itu pun mulai goyah.

Beberapa sejarawan yakin, serangan enam jam yang dilakukan sekitar 1.500

prajurit itu merupakan ide Sri Sultan Hamengkubowono IX (HB IX). Bukan semata-

mata gagasan Soeharto yang waktu itu berpangkat letnan kolonel.

“Ada sangat banyak data yang mendukung bahwa itu merupakan ide, inisiatif, dan

gagasan Sri Sultan HB IX,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam di Jakarta kemarin

(29/2).

Menurut dia, setidaknya ada beberapa hal yang memperkuat fakta tersebut.

Pertama, kedudukan dan fungsi yang dijabat Sultan waktu itu memungkinkan

menjadi konseptor. “Saat itu, Sultan berperan sebagai raja Jawa, menteri

pertahanan, dan gubernur ibu kota Indonesia,” unkap Asvi yang juga peneiliti

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut.

Awal Februari 1949, HB IX mendengar siaran radio (luar negeri) bahwa PBB akan

membicarakan masalah Indonesia yang ketika itu diklaim Belanda sudah tidak

memiliki pemerintahan dan kekuasaan. Saat itulah terlintas inisiatif di benak Sultan

untuk mengadakan serangan umum mulai pagi sampai siang, sehingga bisa

memberi tanda bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia belum menyerah.

Karena Sultan tak punya pasukan, dia mengirimkan surat kepada Panglima Besar

Jenderal Sudirman untuk meminta izin mengadakan serangan tersebut. Sudirman

pun menyarankan agar Sultan menghubungi Letkol Soeharto di Jogjakarta Selatan.

Pada 14 Februari, Sultan mengirimkan surat kepada Letkol Soeharto melalui GBPH

Prabuningrat, yang selanjutnya diserahkan kepada Marsoedi untuk disampaikan

kepada Soeharto.

Surat itu berisi permintaan Sultan kepada Soeharto untuk merancang serangan

saat siang. “Sudirman meminta Soeharto menghadap Sultan, dan itu dilakukan

sebelum 1 Maret,” kata Asvi.

Ahli peneliti utama LIPI itu menuturkan bahwa ada satu bukti otentik, yakni foto.

“Soeharto sebagai abdi dalem saat bertemu raja memakai pakaian adat Jawa. Itu

ada fotonya. Tapi, tidak dipasang di Monumen Jogja Kembali karena nanti

ketahuan kalau Soeharto sengaja menghadap dulu,” tegasnya.

Sejarawan dan pengajar jurusan ilmu sejarah UGM Adaby Darban juga

mendukung pendapat Asvi. “Sejarah harus diluruskan dengan memberi

kesempatan bagi saksi-saksi yang masih hidup untuk berbicara sejujurnya,”

katanya.

Namun, hal itu berbeda dari yang ditulis Soeharto dalam buku “Pikiran, Ucapan,

dan Tindakan Saya”. Soeharto bersikukuh menyatakan belum pernah bertemu

Sultan sebelum 1 Maret.(rdl/tof)

Page 54: 1 Maret 1949

Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 Pengarang : Tim Lembaga Analisis Informasi

Ringkasan oleh : JakaTarub

Pemutarbalikan sejarah oleh Soeharto mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949

menjadi pembahasan buku yang terbit tahun 2000 ini (cetakan I). Selama 32

tahun Soeharto berkuasa, buku-buku sejarah, bahkan film, menggambarkan

bahwa Letkol Soeharto lah penggagas Serangan Umum tersebut. Film ”Janur

Kuning”, misalnya, melukiskan kepahlawanan Soeharto muda ketika memimpin

tentara Republik menyerbu Yogyakarta, yang kala itu dikuasai oleh Belanda.

Dengan serangan itu, mata dunia terbuka bahwa Republik Indonesia masih ada.

Tapi, benarkah penggagas serangan itu Soeharto? Lalu di mana peran Sri Sultan

Hamengkubuwono IX dan Panglima Besar Sudirman? Mengenai siapa pemrakarsa,

muncul kontroversi pada 1985 ketika harian Suara Merdeka edisi 15

Oktober 1985 memuat wawancara KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, mantan

wali kota Yogyakarta (1947-1966).

Soedarisman mempertanyakan, dari manakah gagasan serangan berasal; apakah

dari Soeharto, dari Bambang Soegeng yang menjadi atasan Soeharto, Sudirman,

Nasution, ataukah dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX? Dalam tanya jawab antara

Dwipayana dan Soeharto untuk mendapatkan jawaban Soedarisman, dan disiarkan

oleh pers pada 5 November 1985, Soeharto berkata, ”Apakah Soedarisman) tidak

percaya kalau inisiatifnya seorang Komandan Brigade (Soeharto?” Sri Sultan HB IX,

seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, pernah

bertutur: ”Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jenderal

Sudirman yaitu minta izinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan

Soeharto, ketika itu berpangkat mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan

gagasan saya.” Hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta

untuk Rakyat (1982). ”HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya,

Letkol Soeharto.

Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks keraton

sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk

menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya

pertemuan HB IX – Soeharto dalam hubungan dengan serangan umum 1 Maret

1949.” Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi sejarah, buku ini

menyimpulkan bahwa pemrakarsa serangan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono

IX. Akan tetapi Letkol Soeharto memegang kendali operasi dan merupakan

penentu strategi di lapangan.

Ditulis ulang oleh Haryono

Ketua Harian Mabigus Smda 01. 129/130 Panembahan Senopati masa bhakti 2007 - 2010