volume 1 nomor 1 maret 2011

106

Upload: jurnal-khatulistiwa

Post on 05-Apr-2016

266 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jurnal Khatulistiwa LP2M IAIN Pontianak

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 1 nomor 1 maret 2011
Page 2: Volume 1 nomor 1 maret 2011
Page 3: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 1 ]

MELACAK TERM KORUPSI DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI EPISTEMOLOGI PERUMUSAN

FIKIH ANTIKORUPSIOleh: Syaiful Ilmi

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACTCorruption is an incessant discourse that continues to go through the dynamics. It also triggers a more comprehensive interpretation of corruption, and no exception in this case the Qur'an. In concrete, the Qur'an does not mention the term corruption as an explicit legal entity, but rather certain terms such as ghulul, al-suht, al-dawl and hirabah which lead to of the substance of corruption. Departing from these terms, a framework for the formulation of anti-corruption jurisprudence began to be discussed as a form of epistemology of prevention and its eradication.Keywords: corruption, Al-Quran, Anti corruption Fiqh.

A. PendahuluanProblem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus

korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problemasi korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisitif. Selain itu, mengingat bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problemasi di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Al-Qur’an mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Al-Qur’an yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permaslahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Al-Qur’an secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal ghulul, al-suht, hirabah,dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Al-Qur’an mengenai korupsi.

Page 4: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 2 ]

Akan tetapi, dalam tindak lanjutnya, langkah solutif yang diterapkan dalam memberantas perilaku korupsi banyak diaplikasikan melalui langkah supremasi hukum yang tidak mengecualikan perumusan fiqih anti korupsi yang berangkat dari term korupsi dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya bentuk had yang diterapkan bagi pelaku korupsi. Toh, walaupun apa yang penulis amati selama ini, dalam rangka pemberantasan perilaku korupsi melalui langkah supremasi hukum, dalam ranah praktis banyak sekali terjadi distorsi hukum yang menyebabkan kasus korupsi semakin mengakar kuat di masyarakat luas, namun hal itu lantas tidak meniscayakan bahwa hukum harus “dipincangkan”.

Sebagai upaya melangkah pada tatanan supremasi hukum yang mampu menjawab dinamika problemasi korupsi, langkah merumuskan fikih anti korupsi terus diupayakan sebagai salah satu langkah solutif menuju preventifikasi serta pemberantasan perilaku korupsi. Tentu yang harus diketengahkan, melalui tulisan ini, bukan maksud penulis menjastifikasi bahwa rumusan fikih anti korupsi ini sebagai bentuk supremasi hukum yang harus diterapkan, karena hemat penulis tentu hal itu akan memicu problemasi lain di negeri yang multi agama ini. Harapan penulis melalui tulisan ini hanya sebagai sebuah nilai tawar terhadap dinamika wacana pemberantasan korupsi.

B. Definisi dan Sejarah KorupsiBerbicara masalah korupsi, tentu tidak akan terlepas dari definisi dan sejarah

korupsi sendiri. Kata ‘korupsi’ berakar pada bahasa latin corruption atau dari kata asal corrumpere. Secara etimologi, dalam bahasa Latin kata corruption bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok (Bambang, 2011: 24). Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata corrupt bermakna orang-orang yang memiliki korupsi berkeinginan melakukan kecurangan secara tidak sah untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Crowther, (1995) Secara terminologis banyak ahli yang memiliki definisi masing-masing. Robert Klitgaard mendefinisikan “corruption is the abuse of public power for private benefit”, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publikuntuk keuntungan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah (Klitgaard, 2002: 3).

Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Sayyid Husain al-Alatas menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas dari beberapa ciri khususnya, yaitu: (a) suatu penghianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintahan, lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, (g) terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (g) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum, (i) menunjukkan fungsi ganda pada setiap individu yang melakukan korupsi (Alatas, 1987: 2).

Sejarah mengenai korupsi sendiri memang cukup panjang. Menurut petunjuk Hans G. Guterbock, catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan

Page 5: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 3 ]

terhadap hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Dalam sejarah Islam sendiri, pada era kekuasaan Khulafa al-Rasyidin tepatnya pada masa Umar bin al-Khattab juga telah ditemui upaya praktek korupsi. Hal ini dikuatkan dengan usaha Umar memerintah seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta kekayaan para pejabat pemerintah (Haikal, 2003: 665).

Dengan melihat beberapa fakta sejarah tersebut, maka sebetulnya pada masa Arab ‘Era Al-Qur’an’ kasus korupsi sudah ditemukan. Namun, seperti penulis tuturkan di muka, Al-Qur’an tidak mengemukakan ayat korupsi secara eksplisit. Bahkan secara tegas Ahmad Baidlawi menyebut bahwa dalam Islam, dalam konteks ini Al-Qur’an, kasus korupsi tidak diuraikan secara jelas (Baidlawi, 2009: 8). Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan interpretasi ayat-ayat yang mengandung term korupsi dengan memandang korupsi secara definitif pada konteks kekinian.

C. Term-Term Korupsi dalam Al-Qur’anPada dasarnya, term korupsi dalam Al-Qur’an merupakan bentuk-bentuk

tindakan pidana yang ada dalam Islam, namun penyebutan yang secara eksplisit tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, misalnya, term perampokan (al-harb), pencurian (al-sariq), term penghianatan (al-ghulul), dan lain sebagainya. Namun, melihat perkembangan definisi korupsi yang semakin bervariatif, maka term-term tersebut juga mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan, yaitu ketika term-term tersebut masuk dalam ranah kajian korupsi. Al-Qur’an menjelaskan term-term tersebut sebagai berikut:

a. Term Ghulul (Penghianatan)

Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. (QS. Ali Imran [3]: 161).Al-Maraghi dalam tafsirnya “Tafsir al-Maraghi” menjelaskan bahwa kata

‘ghulul’ dalam ayat itu bermakna ‘al-akhdzu al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu dengan halus, semisal mencuri sesuatu. Kemudian makna ini sering digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan(Al-Maghari, 2006: 98). Pemaknaan yang demikian jelas digunakan dalam beberapa literatur kitab tafsir lainnya, hal ini dilatarbelakangi oleh asbab al-nuzul mikro dari ayat tersebut. Abi Hasan al-Nasaiburi dalam kitabnya “Asbab

Page 6: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 4 ]

al-Nuzul” menjelaskan bahwa hal yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut adalah perkataan orang munafik pada saat terjadinya perang Badar di mana pada waktu itu ada barang yang berharga yang hilang. Orang-orang kafir berkata: “sepertinya Rasulullah telah mengambilnya”. Maka kemudian turunlah ayat tersebut (al-Nasaiburi, 1988: 84).

Kata ghulul tersebut secara definitif mulai mengalami perluasan makna. Banyak di antara para mufassir yang tidak hanya mengartikan kata ghulul dengan makna mengambil harta rampasan perang sebelum didistribusikan. Sebut saja Ahmad al-Shawi yang mendefinisikan makna ghulul dengan makna khianat, yaitu bahwa seseorang yang mengambil harta, barang yang berharga, dan lain sebagainya yang memiliki nilai, maka orang tersebut merupakan orang yang telah berkhianat (al-Shawi, 1993: 250). Selain itu, mengutip pernyataan Hakim Muda Harahap, mufassir seperti Al-Asfahany, Husain al-Taba’ Taba’I, Al-Qurtubi, dan al-Sa’di juga mendefinisikan ghulul dengan istilah penghianatan(Harahap, 2009: 52).

Rasulullah sendiri memperluas makna ghulul menjadi dua bentuk: (a) Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu penghasilan diluar gaji yang telah diberikan. Tentang hal ini Nabi menyatakan “Siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima diluar gajinya adalah korupsi (ghulul)”. HR. Abu Daud. (b) Hadiah, yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda “Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)”. HR. Ahmad (Baidlawi, 2009: 4).

Dengan demikian, memahami makna glulul dari beberapa sudut pandang tersebut, serta melihat perkembangan definisi korupsi yang bervariasi, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ghulul merupakan satu dari sekian ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk tentang korupsi. Melihat perkembanagan korupsi saat ini, bukankah sudah banyak kasus-kasus korupsi yang bercirikan khianat, yaitu ketika seseorang telah melepaskan amanah yang diberikan padanya dan berkhianat pada rakyat dengan memanfaatkan jabatannya dan meraup harta rakyat untuk memuaskan hasrat pribadi maupun kelompoknya.b. Term ad-Dalw (Pengaruh Korup)

Artinya: “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 188).

Page 7: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 5 ]

Ayat tersebut, jika dibaca dalam konteks korupsi, mengandung makna yang sangat tegas melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama (al-batil). Kata al-batil sendiri berasal dari akar kata al-butlaan, yang bermakna curang atau merugikan. Mengambil harta dengan jalan demikian, berarti mengambil harta yang dilarang keras dalam syari’at. Sedangkan kata al-dalw atau al-idla’ pada asalnya bermakna menu-runkan timba guna mengambil air. Sedangkan makna yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menyuap hakim, qadli, dan lain sebagainya yang memiliki kekuasaan untuk membebaskan sang penyuap dari tuntutan sesuatu (Al-Maghari, 2006: 255).

Makna yang dimaksud dalam ayat tersebut didasarkan pada kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab al-nuzul)tersebut.Ibn Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, meriwayatkan sebuah khabar dari jalur Ibn Abbas, dia berkata: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang menanggung hutang, sedangkan orang yang mem-beri hutang tidak mempunyai bukti yang kuat (ketika ingin menagih hutang tersebut). Maka laki-laki yang mempunyai hutang tersebut mengingkari hutangnya dan mengadukan perkaranya pada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada dalam pihak yang salah.Settinghistoris inilah yang kemudian direspon oleh Al-Qur’an dengan turunnya ayat tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk memakan harta orang lain dan memperjuangkan sesuatu yang batil (Katsir, 1986: 226).

Salah satu upaya untuk memperoleh harta dengan cara yang batil adalah membawa urusan harta ke pengadilan namun dengan maksud merampas harta orang lain. Hal ini kemudian dapat melibatkan risywah, dan atau mengajukan bukti-bukti serta argumen untuk mempengaruhi putusan hakim. Karena itu, Islam melarang keras membawa urusan harta benda kepada hakim bila hal yang melatarbelakangi adalah kebatilan. Dari beberapa hal tersebut, didapat sebuah interpretasi bahwa ayat ini ketika dibaca dari sudut pandang linguistik dan setting historis turunnya ayat tersebut, maka dengan jelas bahwa Al-Qur’an melarang keras adanya transaksi keuangan untuk ‘melicinkan’ perkara sesuatu.c. Term al-Suht (Penyuapan)

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari

Page 8: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 6 ]

mereka,maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (QS. Al-Maidah [5]: 42).Term al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal dari kata sahata yang

memiliki makna memperoleh harta yang haram (Warson, 1997: 614). Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram (Al-Zamakhsyari, 1968: 57). Sedangkan al-Tsa’labi menguraikan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan harta yang haram di sini adalah suap yang diberikan pada seseorang dalam urusan tertentu. Umar, ‘Ali, dan Ibn Abbas menyebutkan bahwa salah satu bagian dari al-suht adalahsuap menyuap dalam urusan hukum (Al-Tsa’labi, 2004: 455). Dengan demikian, term al-suht dalam ayat tersebut merupakan bagian term Al-Qur’an yang mengindikasikan praktek suap yang merupakan bagaian dari korupsi.

Kesimpulan yang dihasilkan dari analisis linguistik tersebut tentu merupakanhal yang berlebihan dalam menginterpretasitasikan QS. Al-Maidah [5]: 42 tersebut. Ibn Khuzaimandad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suht bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Dalam hal ini rasulullah bersabda “Allah melaknat orang-orang yang melakukan penyuapan dan orang-orang yang disuap. HR. Ibn Majah (Al-Qurthubi, 2008: 489).

Jika kembali dicermati, ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian. Di mana praktek suap menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat.Banyak yang belum menyadari bahwa suap (al-suht), baik yang menerima maupun yang memberi, termasuk dalam tindakan korupsi.Bahkan terkadang tindakan yang demikian dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengetahui hal tersebut, namun bertindak seakan-akan tidak tahu. d. Term al-Hirabah (Perampokan)

Artinya: “Terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,

Page 9: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 7 ]

atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al-Maidah [5]: 33).Term berikutnya yang terindikasi sebagai term korupsi dalam Al-Qur’an

adalah hirabah. Pada dasarnya lafadz yuharibu dalam ayat tersebut bermakna orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini diturunkan terkait dengan riwayat yang bersumber dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika, orang-orang dari Bani Urainah datang ke Madinah. Rasulullah mengirim unta-unta zakat dan pengembalanya kepada mereka agar dipelihara dengan baik dan air susunya diminum. Beberapa saat kemudian mereka murtad, pengembala unta dibunuh, dan unta-untanya dirampas. Atas hal itu, Rasul mengirim utusan untuk menangkap dan menghukum mereka. Lalu, turunlah ayat ini. (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Menjelaskan hal tersebut, hakim Muda Harahap menguraikan, bahwa arti lain dari kata yuharibuna apabila dirunut ke asal bentukan awalnya dari tsulatsi mujarrad maka ia bermakna seseorang yang merampas harta dan meninggalkannya tanpa bekal apa pun (Harahap, 2009: 80-82). Hal yang sama juga datang dari pandangan sebagian ahli fiqih mengenai kata hirabah. Menurut mereka orang yang melakukan tindakan hirabah sebagai qathi’u al-thariq atau penyamun dan al-sariqa al-kubra atau pencurian besar. Dengan kata lain, makna hirabah di sini adalah seseorang yang merampok harta orang lain. Pengertian seperti inilah yang kemudian sering digunakan oleh ulama untuk memaknai kata yuharibuna dalam QS. Al-Maidah [5]: 33 tersebut.

Koruptor dalam hal ini juga dimasukkan dalam term hirabah, karena dilihat dari sudut pandang tujuan, di mana baik muharib (perampok) maupun koruptor tidaklah jauh berbeda. Perampok maupun koruptor sama-sama untuk memperkaya diri sendiri dan memperkaya orang-orang yang berdekatan dengannya dan mereka sama-sama sadar bahwa jalan yang mereka lalui itu benar-benar melanggar hukum. Hanya saja, perampok beraksi untuk mendapatkan harta dengan jalan paksaan dan terang-terangan, bila perlu melukai dan membunuh korban. Sedangkan koruptor berupaya untuk memperoleh harta kekayaan dengan jalan illegal. Bahkan, tak jarang pula koruptor mengorupsi uang rakyat dengan jalan paksa seperti pungutan liar, meminta komisi secara paksa, dan lain sebagainya.e. Term al-Saraqah (Pencurian)

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah [5]: 38).

Page 10: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 8 ]

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata “Kami akan mene-bus curiannya”. Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!”. Kaumnya berkata,“Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar”. MakaNabi saw pun bersabda, “Potonglah tangannya!”,maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?”,jawab Nabi saw, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah QS. Al-Maidah [5]: 38 tersebut (Katsir, 1986: 94).

Kata saraqa sendiri secara etimologi bermakan “akhadza ma li al-ghairi khufyatan” (mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi) (Warson, 1997: 628). Sedangkan secara terminologis kata ‘mencuri’ (al-sarq) terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian, yaitu pencurian besar dan kecil. Pencurian besar merupakan arti lain dari term hirabah sebagaimana penulis jelaskan pada term sebelumnya. Sedangkan definisi tentang pencurian kecil, beberapa ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu (a) mengambil harta lain dengan sembunyi, yaitu harta yang cukup terpelihara menurut kebiasaannya, (b) mengambil harta orang lain dengan sembunyi dengan jalan menganiaya, (c) mengambil harta orang lain dengan sembunyi, yaitu harta yang bukan diamanatkan padanya (Binjai, 2006: 375). Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa ridla pemiliknya.

Term pencurian (al-sarq) ini erat kaitannya dengan term korupsi. Pada bagian awal, penulis menjelaskan bahwa salah satu bentuk korupsi adalah tingkah laku yang mengurus kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain. Dalam kasus pencurian ini, sebagaimana yang ditegaskan Hakim Muda Harahap, ketika melihat kata al-sarq dari sisi linguistiknya maka jelas bahwa perbuatan mencuri maupun korupsi memiliki visi dan misi yang sama, yaitu mengambil harta orang lain yang bukan milik pribadi dengan jalan melanggar hukum untukmemperkaya diri sendiri (Harahap, 2009: 82-83).

D. Fakta Empiris Tindakan Korupsi di IndonesiaSebagai sebuah Bangsa yang besar, sejarah korupsi Indonesia bukanlah wacana

yang baru. Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa perilaku korup di negeri ini sudahada sejak masa kerajaan-kerajaan yang tersebar di Nusantara. Pada waktu itu, perilaku korupsi diimplementasikan dalam bentuk upeti yang diberikan kepada pejabat atau pamong daerah setempat. Sehingga tidak heran hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy Internasional(TI), di mana menurut TI fakta perkembangan korupsi di Indonesia per 2010, dapat dilihat dari angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 yang tetap pada angka 2,8 atau di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvei. Posisi IPK sama dengan 2009. Maka dengan ini, bisa dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa progress (Bambang, 2011: xiii).

Page 11: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 9 ]

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat, selama pemerintahan SBY, tidak kurang dari Rp. 103 Triliun dana pembangunan dirampok. Karena data itu merupakan hasil audit, jumlah itu baru sampling. Oleh karenanya, jumlah itu masih terus bisa bertambah. Selain BPK, statistik lain yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), menyatakan, pada 2010 Indonesia adalah Negara paling korup di Asia Pasifik. Hasil survei PERC menyatakan, skor Indonesia adalah 9,27 (dari skala0-10) —Semakin besar skornya, semakin koruplah sebuah negara. Dengan demikian, korupsi Indonesia bahkan lebih buruk dibanding beberapa negara di Asia Tenggara semisal Kamboja (9,10), Filipina (9,0), dan Thailand (8.0) (Bambang, 2011: xiii-xiv).

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang semakin meningkat dan kemudian cenderung stagnan dalam pemberantasannya dengan asumsi; sosok supremasi hukum yang tumpul terhadap penguasa, dan atau memiliki ‘taring’ akan tetapi korupsi terus mengalami perkembangan dan lebih dilakukan secara sistematis, atau bahkan bisa jadi tawaran langkah solutif selama yang dicanangkan tidak tepat. Oleh karenanya wacana pemberantasan korupsi terus diperbincangkan secara intensif, dalam hal ini, salah satu tawarannya apa yang akan segera penulis kemukakan.

E. Merumuskan Fikih Anti KorupsiPerumusan yang dimaksud di sini adalah suatu proses atau cara merumuskan

fiqh anti korupsi. Melalui perumusan ini diharapkan terbentuk atau paling tidak tergambar suatu rumusan fiqh yang menentang semua tindakan yang masuk dalam kategori korupsi. Usaha ini perlu dilakukan, mengingat semenjak periode awal islam hingga dewasa ini di dalam kitab-kitab fiqh klasik belum ditemukan suatu rumusan yang jelas tentang korupsi (Ibrahim, 2006: 128).

Seperti yang telah diketahui, jika kita mencoba melakukan pelacakan terhadap kitab-kitab fikih klasik, maka hampir dapat dipastikan bahwa bahasan khusus yang membicarakan masalah korupsi, baik dengan judul kitab maupun babnya tidak akan pernah ditemukan. Meskipun korupsi merupakan perbuatan yang sudah muncul sejak lama.Akan tetapi substansi-substansi yang tercakup dalam pengertian korupsi telah banyak dibicarakan oleh para ulama’ bahkan sebagaiman Al-Qur’an secara implisit telah menyinggungnya secara umum atau garis besarnya yaitu dengan menggunakan beberapa term di atas.

Oleh karena itu, selain mendasarkan kepada nash-nash al-qur’an dan sunah, maka perumusan fiqh anti korupsi ini haruslah mengacu kepada paling tidak dua kerangka kaidah fikih, yaitu

a. األمراألعظم من المصلحة ومفسده (perkara dominan dari pertimbangan kemaslahatan dan kemafsadatan)Kaidah ini senada dengan درأالمفاسدأولى من جلب المصالح (mencegah bahaya lebih

utama dari pada menarik datangnya kebaikan), terlihat bahwa tindakan korupsi memiliki sisi maslahah dan mafsadatnya. Sisi maslahahnya misalnya ialah perbuatan itu dapat menguntungkan si pelaku, keluarga, atau kelompok-kelompok tertentu yang menikmati fasilitas atau hasil-hasilnya. Ini jelas merupakan suatu maslahah duniawiyah. Akan tetapi sisi kemafsadatanya justru

Page 12: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 10 ]

lebih besar karena dengan korupsi maka berarti mengorbankan kepentingan orang banyak. Ini merupakan suatu kedzaliman, penghianatan yang berarti menyia-nyiakan kepercayaan orang banyak (Haq, 2006: 237).b. ما تقم به الحياةالدنيا للحياة األخرة (apapun yang dilakukan di dunia ini haruslah

dikaitkan dengan konskuensinya di akhirat).Sejauh ini tindakan korupsi telah mengorbankan kemaslahatan ukhrowiyah, suatu nilai yang tidak dapat dilepaskan ketika melakukan setiap perbuatan menurut ajaran Islam (Ibrahim, 2006: 137-138). Tentu hal itu tidak bisa dipisahakan antara kehidupan matrealistis dengan sikaf hidup yang hedonis dan glamor, sehingga pada dimensi-dimensi tertentu nilai-nilai ukhrawi mulai terlupakan.

Selama ini, apa yang diupayakan oleh ahli fikih (fuqaha) merupakan langkah dalam melegitimasi setiap gerak-gerik dimensi kehidupan agar selaras dengan tujuan maqashi al-syari’ah. Sebagaimana telah masyhur, tujuan utama syari’at Islam (maqosidus Syar’ah) ialah upaya untuk menjaga dan melindungi dimensi penting dari manusia. Perlindungan ini dijelaskan oleh as-Syatibi dalam kitabnya al-muwafaqotdalam lima tujuan yakni perlindungan terhadap agama ( ,(حفظ الدينperlindungan terhadap jiwa ( ) perlindungan terhadap akal ,(حفظ النفس ,(حفظ العقلperlindungan terhadap keturunan (حفظ النسب), dan perlindungan terhadap harta (حفظ المال)(Al-Syatibi, 2004: 9).

Tindakan korupsi jelas merupakan perlawanan terhadap tujuan kelima, yakni perlindungan terhadap harta (حفظ المال). Apabila contoh yang pepuler perbuatan melawan tujuan perlindungan terhadap harta ( adalah mencuri milik perorangan, maka (حفظ المالkorupsi sebagai kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara lebih layak lagi untuk dicatat sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap prinsip perlindungan terhadap harta ( Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat .(حفظ المالindividu akan tetapi korupsi merupakan bentuk pencurian besar dengan dampaknya yang bersifat sosial. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela dalam suatu negara sehingga negara itu nyaris bangkrut dan tak berdaya dalam menyejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang mendera, maka korupsi lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syari’at dalam melindungi jiwa manusia (حفظ النفس).

F. Konsep Pidana Islam Hukum islam/fikih menawarkan berbagai solusi dalam mengatasi tindakan

korupsi ini, diantaranya pencegahan, pemberian sanksi hukum dan sanksi moral. Dalam hukum pidana islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an dikenal tiga sistem pemberian sanksi (jarimah), yaitu:

a. Jarimah Hudud: Hudud berasal dari kata had yang menurut bahasa berarti batas-batas yang dilarang untuk dilanggar, dalam hal ini ialah perbuatan-perbuatan kejahatan yang menjangkau hak Allah atau kepentingan umum. Misalnya mencuri, murtad.

Page 13: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 11 ]

b. Jarimah Qishas: Qishas menurut bahasa berarti memotong, sedangkan menurut istilah berarti hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan, dalam hal ini perbuatan-perbuatan kejahatan yang menyangkut hak manusia. Misalnya membunuh, yang membedakannya dengan hudud ialah kalau hudud menyangkut hak Allah, sedangkan Qishas menyangkut hak manusia.

c. JarimahTa’zir: Ta’dzir berasal dari kata ‘azzara yang menurut bahasa berarti mencela. Sedangkan menurut istilah, ta’dzir ialah peraturan larangan yang perbuatan-perbuatan pidananya dan ancaman hukumannya tidak secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Akan tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim/penguasa (Harjono, 1968: 158).

Lalu pertanyaanya Sanksi hukum apa yang dapat diterapkan bagi para koruptor?Suatu hukuman diancamkan kepada seorang pelaku tindak pidana (jarimah) agar orang banyak tidak turut melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu pada dasarnya pelarangan suatu perbuatan pidana dan penetapan hukum-hukumnya adalah untuk memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat, atau dengan kata lain untuk kemaslahatan umum (almaslhatul ummah).

Sanksi hukum qishos tentu saja tidak dapat diberlakukan, sebab korupsi berbeda dengan tindak pidana pencurian yang telah jelas hukumnya dalam nash (Al-Qur’an) meskipun sama-sama merupakan pelanggaran terhadap Hifdzul mal akan tetapi korupsi tidak ditemukan hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, terhadap tindak pidana korupsi ini tidak dapat dikenakan hukuman Qishas/hadd. Namun demikian, bukan berarti tindak pidana korupsi bisa lepas dari hukuman, karena perbuatan tersebut jelas-jelas telahmengganggu kemaslahatan umum, sehingga dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’dzir, yang dalam pelaksanaanya mungkin menyamai atau bahkan melebihi sanksi hukuman Qishas atau had.

Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’dzir tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringanya kepada yang sampai seberat-beratnya. Dalam hal ini penguasa diberi kekuasaan untuk menentukan hukuman-hukuman sesuai kepentingan masyarakat, dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syari’at dan prinsip-prinsip yang umum.

Dengan demikian, semua undang-undang dan peraturan atau hukuman-hukuman yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia terhadap semua tindak pidana diantaranya korupsi sebagimana yang tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan yang telah disempurnakan oleh UU Nomor 20 Tahun 2001 yang hal ini tergolong kedalam jarimah ta’dzir, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at dan dapat mewujudkan maslakhatul ummah, bisa dikatakan telah sesuai dengan prinsip ta’dzir dalam hukum pidana Islam, yang pada prinsipnya memang merupakan hak pemerintah dalam rangka menjaga kemaslahatan masyarakat yang dipimpinya.

Salah satu hal terpenting yang harus ditegakkan dalam penegakan hukum islam adalah memutuskan perkara berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Apabila seorang penegak hukum tidak memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka ia akan memutuskan perkara sesuai dengan pertimbangan hawa nafsu, pribadi maupun kelompok, sehingga keputusan yang diambil merugikan salah satu pihak yang berperkara. Oleh karena itu moralitas utama seorang penegak hukum pidana islam harus dibangun diatas prinsip-prinsip keadilan sebagaimana firman Allah:

Page 14: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 12 ]

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa [04]: 58).Oleh karena itu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, apakah dilakukan

oleh pejabat (pelaku tindak pidana korupsi) yang “separtai” atau rakyat kecil. Setiap individu mempunyai nilai yang sama dihadapan hukum. Disisi lain, rakyat wajib menaati pemerintah, karena agama telah memerintahkan hal tersebut selama dalam hal yang ma’ruf. (Lihat QS An-Nisa’ ayat 59).

Selain hukum pidana, juga terdapat sanksi moral dilakukan dengan terus menerus menanamkan unsur moralitas kepada koruptor, melalui pendidikan atau memberi pertimbangan khusus menyangkut suatu kedudukan dalam masyarakat dan jabatan dalam pemerintahan. Sebab, orang yang layak dijadikan pemimpin adalah orang yang dalam setiap tindakanya selalu memperhatikan kepentingan orang banyak, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: تصّرف االما م منوط با لمصلحة (Kebijakan pemimpin sesuai dengan kemaslahatan rakyat yang di pimpinnya).

G. KesimpulanKorupsi sebagai sebuah tindak kejahatan extra-ordinary crimes memang tidak

disebut secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Akan tetapi beberpa term seperti ghulul, suht, sarq, hirabah, dan lain sebagainya ditinjau dari konteks dan sudut pandang interpretasi yang ditelusuri maka beberapa term tersebut dirasa cukup mewakili gagasan Al-Qur’an mengenai tindakan korupsi. Oleh karenanya, apa yang dihasilkan dari pengamatan korupsi dalam Al-Qur’an, dalam tindak lanjutnya memberikan kontribusi dalam merumuskan epistemologilangkah solutif untuk mempreventifikasi dan memberantasan tindakan korupsi tersebut.

Dengan demikian, harapan penulis melalui tulisan ini, supremasi hukum yang telah dilaksanakan selama ini perlu untuk kembali diperbaiki dengan melihat sosial justice. Oleh karenya supremasi hukum yang terkesan “bobrok” selama ini perlu udara segar adanya sebuah rekontruksi, yang besar harapan penulis, rumusan fikih anti korupsi ini juga dapat dijadikan sebagai tawaran langkah-langkah solutif pemberantasan korupsi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai pluralis.

Page 15: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 13 ]

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Sayyid.Husain. Al-.Korupsi; Sifat, Sebab dan Fungsi terj. Nirwono, Jakarta; LP3ES, 1987.

Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Ahmad Khatib, Jilid VI, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.

Al-Tsa’labi, Al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Juz II, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Juz III, Bairut: Dar al-Ilmiyyah, 1968.

Baidlawi, Ahmad, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009.

Haikal,Muhammad Husain,Sayyidina Umar bin khattab, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2003.

HalimBinjai,Abdul, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006.

Haq, Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqh,I,Surabaya: Kalista, 2006.

Harahap, Hakim Muda,Ayat-ayat Korupsi, Yogyakarta: Gama Media, 2009.Hardjono, Anwar, Hukum Islam; Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang,

1968.

Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Terj. Salim Bahraesi dan Said Bahraesi,Surabaya: Bina Ilmu, 1986.

Suyitno(ed.), Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama, Yogyakarta: Gema Media, 2006.

Klitgaard, Robert, dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah terj. Hermoyo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Maghari, Ahmad Mustafa Al-.Tafsir Al-Maghari, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006.

Munawwir,Ahmad Warson al-.Al-Munawwir,Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Page 16: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 14 ]

Nasaiburi, Abi Hasan al-.Asbab al-Nuzul, Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

Shawi,Ahmad al-.Hasyiyah al-Shawi, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.

Soesatyo,Bambang,Perang-perangan Melawan Korupsi, Jakarta: Ufuk Press, 2011.

Page 17: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 15 ]

URGENSI RASM UTSMANI;

(Potret Sejarah dan Hukum Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm ‘Utsmani) Oleh: Zaenal Arifin Madzkur, MA

Penulis adalah Pelaksana Pembinaan dan Pengawasan di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

ABSTRACT The majority of Muslims agree that the Rasm of Utsmani played a significant role in the history of the writing styles of Al Qur‟an. Since 1923 (1924 H) after the standardization of the writings styles of the Al Qur‟an in Egypt, there has not been found any other writing styles of the Al Qur‟an that are “incorrect” according to the standard style by Khalifah Utsman. This fact has inspired the emergence of a new brand of discipline in the field, namely “the study of Knowledge of Rasm of Utsmany” which includes the knowledge and main requirements of writing the Al Qur‟an in Rasm of Utsmani. This article attempts to explore the view points of Muslim scholars in the history of the writing process of the Al-Qur‟an and the status of writing the Alqur‟an using the Rasm of Utsmani. Keyword: rasm „utsmani, tauqifi, ijtihadi dan qira‟ah.

A. Pendahuluan Barangkali akan menjadi kenyataan, kekhawatiran Hudzaifah bin al-Yamani,

yang memprediksikan akan terjadinya konflik internal umat Islam atas kitab sucinya sendiri (Al-Qur‟an), sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani atas kitab Taurat dan Injil (ash-Shabuni (b), 1999: 61). Seandainya waktu terjadi banyak sekali perbedaan bacaan (qira‟ah) Al-Qur‟an di zaman Khalifah Utsman bin Affan (644-655 M), tidak segera teratasi. Di mana futuhat Islam makin meluas dan terus berkembang di berbagai penjuru daerah, kota dan belahan dunia.

Sungguh, jika saat itu Khalifah Utsman tidak segera mengambil tindakan preventif dengan mengumpulkan para sahabat dan segera menyepakati pola penulisan Al-Qur‟an yang dapat meng-cover semua bacaan (qira‟ah) yang ada. Mungkin sampai kini akan tetap berkembang, keberadaan Mushaf Al-Qur‟an Ubay bin Ka‟ab, Mushaf Al-Qur‟an Abdullah bin Mas‟ud, Mushaf Al-Qur‟an Abu Musa al-Asy‟ari, Mushaf Al-Qur‟an al-Miqdad bin Amr dan sejenisnya (Ismail, 1997: 81). Sebagaimana dalam kitab Injil terdapat; Injil Lukas, Injil Yohanes, Injil Barnabas dan lain sebagainya.

Page 18: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 16 ]

Namun begitu, bila ditilik dalam rentetan sejarah, sesungguhnya yang menjadi tokoh kunci dan inisiator kodifikasi Mushaf Utsmani, adalah sosok Khudzaifah bin al-Yamani, meskipun ia tidak termasuk dalam jajaran tim Lajnah Kodifikasi Mushaf, sekiranya ada piagam penghargaan (award), Hudzaifah sangatlah pantas untuk mendapatkannya, setelah usulan cerdas Umar bin Khattab pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Setidaknya, atas jasanya secara tidak langsung, semangatnya yang tinggi untuk mempersatukan umat Islam pada persatuan diatas keberagaman.

Dengan kata lain, orasi Hudzaifah di Kufah, saat memperingatkan umat Islam agar menjauhi pertikaian dalam qira‟ah Al-Qur‟an, sudah sepatutnya untuk senantiasa diwarisi spiritnya oleh generasi sesudahnya. Sehingga perbedaan (khilafiyah) hukum penulisan Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani dalam masa sekarang ini, tidak lagi menciderai persatuan umat Islam .

Dengan demikian, sejauh mana umat Islam dituntut tahu dan mengerti tentang sejarah kitab sucinya, keterkaitannya dengan Rasm Utsmani. Pertanyaan apa dan mengapa Rasm Utsmani harus muncul pada masanya, dapat sedikit me-review kembali tradisi keberagamaan kita dalam berpendapat dengan bijak, munculnya kembali semangat mengusung Rasm Utsmani sebagai salah satu media pemersatu umat Islam atau yang menganggapnya sebagai warisan agung masa lalu yang harus dilestarikan, bahkan yang menganggapnya sebagi produk ijtihad sahabat di masa Utsman bin Affan, tidak lantas dijadikan ajang bagi umat Islam untuk kembali saling menyalahkan satu sama lain.

B. Definisi Rasm ‘Utsmani. Secara etimologi rasm berarti, االثر yang bermakna bekas, peninggalan (Sya‟rani,

1999: 9) dalam perbendaharaan bahasa Arab, memiliki beberapa sinonim, seperti, الزبور, :yang semuanya memiliki arti yang sama yaitu tulisan (Zen, 2005 السطر dan الخط ,الرسم104). Utsmani, dengan ya‟ nisbah dalam disiplin gramatikal bahasa Arab adalah penisbatan terhadap nama Khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Dengan demikian menurut bahasa, Rasm‟ Utsmani dapat dimaknai sebagai bekas penulisan Al-Qur‟an yang pernah dibakukan pola penulisannya di masa Khalifah Utsman.

Secara terminologi terdapat beberapa interpretasi, diantaranya dari hasil penelitian Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI, istilah Rasm „Utsmani diartikan sebagai cara penulisan kalimat-kalimat Al-Qur‟an yang telah disetujui oleh sahabat Utsman bin Affan pada waktu penulisan mushaf (Sya‟rani, 1999: 10).

Definisi senada juga dikemukakan Manna‟ al-Qattan, Rasm Utsmani merupakan pola penulisan Al-Qur‟an yang lebih menitik beratkan pada metode (thariqah) tertentu yang dipergunakan pada waktu kodifikasi mushaf Al-Qur‟an di zaman Khalifah Utsman yang dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang disetujui Utsman (al-Qattan, 1973: 146).

Dinisbatkan kepada Khalifah Utsman, karena Utsman-lah yang telah menetapkan pola penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin al-Ash dan Abdullah bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.

Dengan demikian, Rasm Utsmani adalah;

Page 19: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 17 ]

تابةك في الصحابو من معو كان ومن عنو اهلل رضي عثمان تا سيد ارتضاه الدي الوضع من, للمنطوق الموافقو تمام موافقا يكون ان المكتوب في واالصل, حروفو ورسم القران

فيها اىمل قد العثماتيو المصاحف ولكن, تغيير وال يل تبد وال, نقص وال زيادة غير الغراض ودلك, النطق الداء مخالفا رسمها جاء كثيرة حروفو بها فوجدت, ىداالصل

. الشريفو

Ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan bersama sahabat-sahabat yang lain dalam menuliskan Al-Qur‟an dan bentuk rasm tiap hurufnya, dimana pada dasarnya dalam penulisan bahasa Arab apa yang tertulis sesuai dengan apa yang diucapkan, tanpa adanya pengurangan dan penambahan, begitupun pergantian dan perubahan, akan tetapi pola penulisan Al-Qur‟an dalam mushaf Utsmani terdapat beberapa penyimpangan dari pola penulisan bahasa Arab konvensional, dan itu semua dilakukan Ustman dan para sahabat yang lain untuk meng-cover tujuan yang mulia (al-Zarqani, 2001: 311).

C. Sejarah Rasm ‘Utsmani Setelah Rasulullah Saw. wafat, kemudian Abu Bakar diangkat menjadi khalifah,

ketika itu terjadi banyak sekali pergolakan di antara suku bangsa arab, salah satunya adalah sebagian yang sudah Islam kembali menyatakan keluar dari Islam (murtad), timbulnya orang-orang yang enggan untuk membayar zakat, sampai sebagian orang yang mengaku telah mendapat risalah kenabian (nubuwwah) sepeninggal Rasulullah Saw. seperti; Musailimah al-Kadzzab. Saat itu Abu Bakar yang diangkat sebagai pemimpin pengganti (khalifah) sesudah Rasulullah Saw. wafat mengambil inisiatif untuk meredam pergolakan dengan mengirim pasukan ke beberapa suku yang menentang (bughat) agar kembali pada keyakinan Islam yang benar (Ismail, 1997: 11).

Dari sekian anggota pasukan yang ditugaskan Khalifah Abu Bakar (632-634 M) untuk mengatasi pergolakan di Yamamah (tahun 12 H), sebagian besar adalah para qurra‟ (penghafal Al-Qur‟an), dari sinilah berawal bencana besar yang menggugah kekritisan Umar bin Khattab, fenomena banyak terbunuhnya para qurra‟ (penghafal Al-Qur‟an), estimasi jumlah yang meninggal menurut satu riwayat mencapai 70 orang, dalam riwayat lain dinyatakan 500 orang (Shihab, 2001: 28); (Akaha, 1996: 29). Bahkan menurut Muhammad Makky Nasr, pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid tersebut berjumlah 1200 orang, 700 diantaranya adalah qurra‟ (al-Juraisy, 1999: 245). Ketika melihat kejadian itu, Umar menyarankan dengan sangat kepada Khalifah Abu Bakar untuk segera mengambil tindakan kongkrit dalan membukukan Al-Qur‟an (jam‟u Al-Qur‟an), karena kekhawatirannya Al-Qur‟an akan berangsur-angsur hilang bila hanya mengandalkan hafalan semata, apalagi para penghafalnya (qurra‟) semakin

Page 20: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 18 ]

berkurang (Ismail, 1997: 11). Peristiwa ini yang kemudian dikenal sebagai sejarah kodifikasi mushaf Al-Qur‟an pertama kali.

Pada awalnya Abu Bakar dalam sebuah riwayat al-Bukhari dengan sanad dari Zaid bin Tsabit, menolak usulan Umar bin Khattab, dengan menjawabnya; “Wahai Umar! Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang Rasulullah Saw. tidak melakukannya?.” Umar pun berargumen dan bersikukuh; ”Demi Allah, hal ini (pengumpulan Al-Qur‟an) adalah baik.” Begitupun dalam beberapa kesempatan Umar selalu berusaha meyakinkan Abu Bakar tentang kebenaran usulannya, sampai akhirnya Abu Bakar menyetujuinya dan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim Lajnah Kodifikasi Mushaf Al-Qur‟an (Ismail, 1997: 12).

Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada, karena motif awalnya memang dipergunakan sebagai naskah asli (original), bukan sebagai naskah hafalan. Setelah semua rangkaian naskah selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah untuk disimpan. Pertimbangannya, selain istri Rasulullah, Hafshah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca dan menulis (Shihab, 2001: 29).

Babak baru sejarah penulisan Al-Qur‟an, muncul saat Utsman bin Affan (644-655 M) terpilih menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Saat itu dunia Islam telah meluas sampai ke berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah tersebar dan populer bacaan Al-Qur‟an dari para sahabat yang telah mengajar kepada mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur‟an mengikuti bacaan Ubay bin Ka‟ab, penduduk Kufah mengikuti Bacaan Abdullah bin Mas‟ud, penduduk Bashrah mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy‟ari (ash-Shabuni, 1999: 108), penduduk Hims mengikuti bacaan Ubadah bin Shamit dan penduduk Damaskus mengikuti bacaan Abu Darda.‟ begitu seterusnya (Akaha, 1996: 29). Di antara mereka terdapat perbedaan bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini kemudian mulai membawa mereka kepada pintu perpecahan dan pertikaian antar sesama.

Menurut M.M al-A„zami, sesungguhnya perbedaan bacaan Al-Qur‟an (qira‟ah) sebenarnya bukan barang baru, sebab Umar pernah mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu Mas‟ud ke Irak, setelah Umar diberitahukan bahwa Ibnu Mas‟ud mengajarkan Al-Qur‟an dengan dialek Hudhail, Umar sempat marah (al-A‟zami, 2005: 99-100).

Setidaknya terdapat beberapa riwayat dan hasil penelitian yang melatarbelakangi Khalifah Utsman kembali mengadakan penyalinan Al-Qur‟an -meminjam terminologi Manna‟ Khalil al-Qattan- merupakan kodifikasi kedua (al-jam‟u al-tsani) setelah masa kekhalifahan Abu Bakar;

a. Menurut riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik, proses penulisan mushaf Al-Qur‟an di zaman Utsman adalah bermula ketika Hudzaifah bin al-Yamani datang menemui Utsman, setelah sebelumnya ikut berperang dengan penduduk Syam dan Irak dalam pembukaan (futuh) Armenia dan Azerbaijan. Yang mana perbedaan mereka dalam bacaan Al-Qur‟an membuat Hudzaifah tercengang dan kaget. Hudzaifah berkata kepada Utsman.”Wahai Amirul Mukminin!, satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur‟an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Setelah itu Utsman meminta

Page 21: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 19 ]

kepada istri Rasulullah, Hafshah untuk meminjamkan Mushaf yang dititipkan kepadanya, selanjutnya memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Utsman berpesan bila terjadi perselisihan tentang sesuatu dalam Al-Qur‟an, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa mereka. Setelah selesai penyalinan utsman kemudian mengembalikan mushaf (Abu Bakar) itu kepada Hafshah. Lalu mengirim ke setiap pelosok negeri dengan mushaf yang telah disalin, seraya memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membakar setiap lembaran dan mushaf yang bertuliskan Al-Qur‟an selainnya (al-Qattan, 1973: 129).

b. Menurut riwayat „Imarah bin Ghaziyah, dalam Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-„Asqalani, proses penulisan mushaf di zaman Utsman, bermula saat Hudzaifah pulang dari perang dan tidak langsung masuk ke rumahnya, sehingga datang menemui Utsman, lalu berkata:” Wahai Amirul Mukminin!, aku mendapatkan orang-orang saling menyalahkan satu dengan yang lain, saat aku ikut berperang dalam pembebasan Armenia. Aku melihat penduduk Syam membaca qira‟ah Ubay bin Ka‟ab, mereka datang dengan bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Sedang penduduk Irak membaca dengan qira‟ah Abdullah bin mas‟ud, mereka pun datang dengan bacaan yang tidak pernah didengar penduduk Syam, lalu sebagian dari mereka mengkafirkan yang lain (Akaha, 1996: 38).

c. Menurut Ibnu Jarir riwayat dari Abu Qalabah, kecendrungan perbedaan bacaan Al-Qur‟an telah mulai pada perintahan Utsman, pada saat itu terdapat beberapa guru (mu‟allim) Al-Qur‟an yang mengajarkan kepada anak-anak atas bacaan Al-Qur‟an yang berbeda, sehingga mereka saling berselisih bacaan tentang Al-Qur‟an. Akhirnya Utsman berpidato,” Di sisiku, kalian semua sudah berselisih bacaan dalam Al-Qur‟an, bagaimana tidak lebih berselisih lagi orang-orang yang lebih jauh lagi dariku, bersatulah wahai pengikut Muhammad, buatkanlah tulisan Al-Qur‟an yang dapat menjadi imam (pemersatu) bagi sekalian manusia” (Ismail, 1997: 17).

d. Menurut riwayat Ibnul Asir, dikatakan; saat Hudzaifah bin al-Yamani menuju Azerbaijan dengan disertai Sa‟id bin Ash, sementara Sa‟id tinggal di Azerbaijan, sampai Hudzaifah kembali dari perjalanannya. Lalu kemudian keduanya kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan, Hudzaifah berkata kepada Sa‟id bin al-Ash, tentang persoalan umat Islam yang berselisih bacaan dalam Al-Qur‟an,. Saat Sa‟id bertanya lebih lanjut, Hudzaifah pun menjelaskan bagaimana penduduk Hims yang mengambil bacaan Al-Qur‟an dari Miqdad menganggap bacaan mereka lebih baik dari yang lainnya, begitupun penduduk Damaskus yang mengambil bacaan dari Abdullah bin Mas‟ud, penduduk Bashrah yang mengambil bacaan Abu Musa al-Asy‟ari. Ketika di Kufah Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya tentang banyaknya prselisihan bacaan Al-Qur‟an. Pada saat itu para sahabat dan tabi‟in menerima terhadap pendapat Hudzaifah, namun para sahabat Ibnu Mas‟ud tidak menyetujuinya. Karena itu Hudzaifah sempat marah, begitupun Sa‟id. Sampai akhirnya Hudzaifah bersumpah dengan nama Allah,

Page 22: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 20 ]

sesampainya di Madinah ia akan meyampaikan apa yang telah terjadi di antara umat Islam kepada Khalifah Utsman. Selanjutnya Utsman mengumpulkan para sahabat dan berkeputusan untuk meminta mushaf meminta Hafshah untuk bersedia meminjamkan yang ada padanya untuk disalin. Mushaf tersebut adalah mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar (Akaha, 1996: 39).

e. Menurut Sya‟ban Muhammad Isma‟il, latar belakang kodifikasi Mushaf Al-Qur‟an di masa Utsman adalah karena sebagian sahabat Nabi Saw. mempunyai salinan mushaf pribadi, yang meng-cover keseluruhan ahruf sab‟ah, yang mana di dalamnya terdapat sebagian yang dihapus berdasarkan talaqqi Nabi Saw. terakhir sebelum meninggal (al-„ardhah al-akhirah), sehingga pada waktu itu terdapat mushaf-mushaf pribadi yang tersebar, seperti; Mushaf Ubay bin Ka‟ab, Mushaf Abdullah bin Mas‟ud, Mushaf Abu Musa al-Asy‟ari, Mushaf al-Miqdad bin Amr dan lain-lain. Dampak dari semua itu, semua sahabat mengajar dengan mushaf pribadinya masing-masing, sehingga pintu perbedaan mulai bermunculan. Pada saat itulah Utsman bin Affan atas nama Khalifah mengambil inisiatif memerintahkan penyalinan Mushaf Abu Bakar dan membakar mushaf-mushaf yang lain untuk menghindari fitnah yang lebih besar (Ismail, 1997: 17-18).

Dari beberapa riwayat dan hasil penelitian di atas dapat dimengerti, bahwa latar belakang pengumpulan Al-Qur‟an pada Ustman sangat jauh berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Dominasi perbedaan bacan qira‟ah Al-Qur‟an pada masa Utsman lebih menjadi sebab utama yang akhirnya melahirkan apa yang dikenal sampai saat ini, dengan meminjam istilah Manna‟ Khalil al-Qattan, dalam Mabahist-nya yaitu; “Rasm Utsmani lil Mushaf” (al-Qattan, 1973: 129).

Adapun tentang teknis yang diambil oleh Khalifah Utsman dalam menyelesaikan perbedaan yang ada sampai tuntas, masih menurut M.M al-A‟zami terdapat dua riwayat satu diantaranya lebih masyhur;

a. Khalifah Utsman membuat naskah mushaf semata-mata berasarkan kepada suhuf (Abu Bakar) yang disimpan di bawah penjagaan Hafshah, istri Rasulullah Saw. untuk itu dibentuklah tim empat yang beranggotakan; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dimana Zaid bin Tsabit merangkap sebagai ketua tim.

b. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal, Khalifah Utsman lebih dahulu memberi wewenang pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber utama, sebelum membandingkannya dengan suhuf yang ada, untuk merealisasikannya Khalifah Utsman mengangkat sebuah Lajnah Kodifikasi Mushaf yang terdiri dari dua belas orang, mereka adalah; Sa‟id bin al-Ash, Nafi‟ bin Zubair bin „Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka‟ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr bin al-Ash (al-A‟zami, 2005: 99-100). Namun begitu dalam ke dua versi riwayat sepaham bahwa suhuf yang ada pada Hafshah memainkan peranan penting dalam pembuatan Mushaf Utsmani (al-A‟zami, 2005: 98).

Page 23: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 21 ]

Namun dari dua riwayat di atas para sarjana muslim mayoritas menyepakati bahwa Utsman kemudian membentuk tim lajnah kodifikasi yang di ketuai oleh Zaid bin Tsabit.

D. Hukum Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm ‘Utsmani. Pola penulisan Al-Qur‟an secara umum (ijma‟ jumhur) tidak pernah lepas dari

eksistensi Rasm Utsmani. Setidaknya pendapat inilah yang banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam, bahwa salah satu syarat pokok bacaan Al-Qur‟an yang benar adalah kesesuaiannya bacaan dengan (muwafaqah) dengan Mashahif Utsmaniyah, terlepas bentuk muwafaqah-nya secara tahqiqi/sharihi (jelas) atau taqdiri/ ihtimali (samar), selain sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan memilki sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai Rasulullah Saw.

Namun begitu, dalam perkembangannya para pemerhati ulum Al-Qur‟an berbeda pendapat tentang hukum penulisan Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani, topik perbedaannya secara prinsip hanya seputar eksistensi Rasm Utsmani, apakah keberadaanya itu bersifat tauqifi atau ijtihadi (produk konsensus ulama).

Berikut ini merupakan tiga pendapat besar (madzhab) yang masyhur dan berkembang sampai sekarang;

a. Pendapat menyatakan bahwa tulisan Al-Qur‟an harus sesuai dengan Khat Mushaf Utsmani adalah wajib, karena Rasm utsmani bersifat tauqifi, meskipun khat tersebut menyalahi kaidah nahwu dan sharaf, meskipun khat tersebut mudah mengakibatkan salah bacaanya bila tidak diberi harakat, lebih-lebih bagi orang yang kurang mengerti Al-Qur‟an. Pendapat ini banyak diikuti oleh jumhur ulama salaf dan khalaf. diantara para mereka; Malik bin Anas (w. 179 H), Yahya al-Naisaburi (w. 226 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H0, Abu Amr al-dhani (w. 444 H), al-Baihaqi (w. 457 H ), Muhammad al-Sakhawi (w. 643 H), Ibrahim bin Umar al-Ja'biri (w. 732 H).

b. Pendapat yang menyatakan, bahwa tulisan Al-Qur‟an tidak harus sesuai dengan Khat Rasm Utsmani, sebab hal itu tidaklah tauqifi akan tetapi hanya redaksi terminologi (ijtihadi) (al-Maliki, 2003: 72), atau hanya sekedar istilah pola penulisan yang direstui oleh Khalifah Utsman (al-Qattan, 1973: 147). Dengan demikian menuliskan Al-Qur‟an bebas dengan mengikuti kaidah arabiyah secara umum tanpa harus terikat dengan Rasm Utsmani, terutama bagi yang belum begitu mengenalnya. Pendapat ini diutarakan oleh; al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani dalam kitabnya “al-Intishar”, Abu Abdurrahman bin Khaldun dalam Muqaddimah-nya (al-Qattan, 1973: 148) dan sebagian ulama-ulama kontemporer (Ismail, 1997: 17-18).

c. Pendapat yang mengatakan, bahwa Al-Qur‟an adalah bacaan umum, harus ditulis menurut kaidah arabiyyah dan sharfiyah, akan tetapi harus senantiasa ada Mushaf Al-Qur‟an yang ditulis dengan Khat Rasm Utsmani sebagai barang penting yang harus dipelihara, dijaga dan dilestarikan (al-Zarqani, 2001: 323). Pendapat ini oleh Abu Muhammad al-Maliki disebutnya sebagai pendapat moderat (ra‟yu wasthin), dipelopori oleh Syaikh Izzudin bin Abdussalam, kemudian diikuti oleh pengarang kitab al-Burhan (Rajab, 1978:

Page 24: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 22 ]

87) dan al-Tibyan (al-Maliki, 2003: 72). Kemudian diikuti oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan al-Azarqani (Rajab, 1978: 87).

Dari tiga pendapat di atas dapat dipahami, penulis cendrung pada pendapat ke dua yang oleh Muhammad Abu Syuhbah ia katakan sebagai pendapat yang lebih moderat (Syuhbah, 1992: 322), yakni madzhab yang digawangi oleh Izzudin bin Abdissalam.

Terlepas dari perdebatan panjang dikalangan para ahli ulum al-Qur'an, satu hal yang mungkin dapat dijadikan credit point dalam pemahaman keberagamaan kita sekarang, yaitu kesadaran saling menghormati pendapat satu dengan yang lain. Kita dapat mebayangkan, seandainya hingga kini perselisihan dan saling menyalahkan antara qira‟ah satu dengan yang lain, pendapat satu dengan yang lain berkenaan perbedaan pola penulisan Mushaf Al-Qur‟an masih terus berjalan. Dengan suatu alasan, misalnya; semua mushaf yang tidak mengikuti kaidah Rasm Utsmani secara mutlak adalah batal, sebab Rasm Utsmani adalah tauqifi bi al-ijma.‟ Maka, peristiwa di masa Khalifah Utsman akan terulang dengan kontekstual problem yang subtansinya sama, dengan demikian sama artinya kita masuk pada lubang yang sama dua kali.

E. Kesimpulan. Dari track record pembahasan di atas dapatlah disimpulkan beberapa hal penting

seputar sejarah dan hukum penulisan Mushaf Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani, hal urgent tersebut antara lain;

a. Motif awal sejarah kodifikasi Mushaf Al-Qur‟an di masa Utsman tidak bisa lepas dari dorongan untuk menghindari perbedaan bacaan qira‟ah bacaan Al-Qur‟an yang semakin meruncing seiring meluasnya kekuasaan Islam .

b. Keberadaan tiga varian hukum penulisan Mushaf Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani, sudah sepatutnya dapat menjadi penengah dalam menyatukan presepsi umat Islam menyangkut ke-tauqifian Rasm Utsmani menurut pendapat jumhur ulama. Semangat untuk sepakat dalam ketidaksepakatn menyangkut hukum penulisan Rasm Utsmani jangan lagi menjadi isu profokatif untuk mengulang peraelisihan masa lalu.

Page 25: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 23 ]

DAFTAR PUSTAKA Abi Abdillah Muhammad bin Syuraikh al-Ru‟aini al-Andalusi, al-Kafi fi al-Qira‟at al-

Sab‟, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1421 H/ 2000 M. Abu Muhammad al-Maliki, Syarh Kitab al-Taisir li al-Addani fi al-Qira‟at, (Bairut: Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M). Soesatyo, Bambang. Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta: Ufuk Press, 2011). Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, al-Madkhal fi Ulum al-Qur'an, (Bairut: dar

al-Jil, 1412 H/1992 M). Farjani, Muhammad Rajab, Kaifa Nata'adab ma'a al-Mushaf, (Dar al-I'tisham, 1397

H/1978 M ). Muhaisin, Muhammad Salim al-Fath al-Rabbani fi 'Alaqat al-Qira'at bi al-Rasm al-

Utsmani, (Mamlakah al-Arabiyyah al-Su'udiyah: Jamiah al-Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, 1415 H-1994 M

Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur‟an dan Qira‟at, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996). Adnin Armas, “ Kritik Artur Jeffery Terhadap Al-Qur‟an,“ Islamia, No,. 2,/ Juni-

Agustus 2004. Departemen Agama RI Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Puslitbang Lektur

Agama, Pedoman Umum dan Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani, (penyunting) Drs. Mazmur Sya‟rani, (Jakarta: 1998/ 1999).

Jalaludin Abdurrahman al-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum Al-Qur‟an, (Bairut; Dar al-Fikr,

1370 H/ 1951 M). Muhammad Ali ash-Shabuni (a), Studi Ilmu Al-Qur‟an, terj. Aminuddin, al-Tibyan fi

Ulum Al-Qur‟an (Jakarta: CV Pustaka Setia, 1999). Muhammad Ali ash-Shabuni (b), al-Tibyan fi Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Dinamika

Berkah Utama) Sya‟ban Muhammad Ismail, Rasm al-Mushaf wa Dhabtuhu bain al-Tauqif wa al-

Istilahat al-Haditsah, (Makkah al-Mukarramah: Dar al-Salam,1417 H/1997 M). M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Muhammad Makky Nasr al-Juraisy, Nihayah al-Qaul Mufid fi Ilm al-Tajwid, (al-

Qahirah: Maktabah al-Shafa,1420 H 1999 M).

Page 26: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 24 ]

Muhaimin Zen, “Hukum Penulisan Mushaf Al-Qur‟an dengan Rasm Utsmani”, al-Burhan, No. 6 tahun 2005.

Manna‟ al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur‟an (Riyad: Mansyurat al-Hasr wa al-Hadist,

1393 H/ 1973 M). Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani, tahqiq Ahmad bin Ali, Manahil al-„Irfan fi

Ulum Al-Qur‟an, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1422 H/2001 M). Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, al-Madkhal fi Ulum al-Qur'an, (Bairut: dar

al-Jil, 1412 H/1992 M). M. M. al-A‟zami, Sejarah Teks Al-Qur‟an dari Wahyu Sampai Kompilasi, terjemahan

Suharimi Solihin, et.al. The History The Qur‟anic Text From Revelation to Compilation. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).

Zainal Arifin M, “Akselerasi Dakwah Al-Qur‟an: Studi Anlisis Penggunaan Mushaf Al-

Qur‟an Standar Indonesia Sebagai Sebuah Metode Lengkap Alternatif”, Skripsi Sarjana Sosial Islam, (Jakarta: Perpustakaan Institut PTIQ, 2006)

Page 27: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 25 ]

RESPON ISLAM TERHADAP ISU GENDER

Helva Zuraya dan Ana Rosilawati Kedua Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACT Gender issues have so far dominated the topics of discussion as well as seminars. The Koran has abolishes discrimination between men and women. The Koran regards men and women as equal. Men and women are different only when it comes to playing their roles, but this does not mean one is superior to the other. Rather, men and women should respect each other.

Key words: Gender Issues, Discrimination, Equality

A. Pendahuluan Persoalan gender atau kemitraan sejajar antara pria dan wanita akhir-akhir ini

semakin merebak, seperti tidak pernah habis-habisnya untuk dijadikan tema dalam berbagai diskusi dan seminar.

Secara historis Islam lahir ditengah-tengah masyarakat jahiliyah, suatu zaman dimana ketika seorang ibu yang melahirkan bayi perempuan akan dikubur dalam keadaan hidup-hidup atau jika dibiarkan hidup akan menanggung cercaan, celaan dan hidup dalam keadaan hina dina. Gambaran ini menunjukkan adanya ketidak-adilan gender (gender inequalities) yang telah menghegemoni di masyarakat pada waktu itu. Wanita dianggap inferior dan makhluk kedua (subordinatif), sehingga perlakuan-perlakuan diskriminatif yang memarginalkan perempuan pun tidak bisa dielakkan bahkan sampai pada tindakan kekerasan (violence) kepadanya.

Ketika wacana seputar gender semakin populer dibicarakan, hampir semua agama termasuk Islam sering dituduh sebagai salah satu yang melanggengkan ketidak-adilan gender. Jika tuduhan itu ―benar,‖ akan timbul pertanyaan apakah sumber ketidak-adilan itu berasal dari watak normatif agama, atau justru berasal dari tafsiran dan pemikiran keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya atau bahkan pandangan lain yang diadopsi oleh pemeluk agama.

Al Qur’an sejak 14 abad yang lampau telah menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Al Qur’an memandang sama kedudukan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara keduanya, kalaupun ada maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin

Page 28: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 26 ]

melalui ajarannya, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan bahu membahu.

Berdasarkan apa yang telah disebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebatas pada Islam yakni bagaimana sesungguhnya respon terhadap isu gender. Secara khusus, apa persamaan dan perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan menurut Islam.

B. Pemahaman Konsep Gender Kata ‖Gender‖ (baca: jender) merupakan salah satu kosa kata yang tergolong

baru sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ini berasal dari bahasa Inggris ―Gender‖ yang berarti jenis kelamin. Arti ini pada dasarnya kurang tepat karena akan terkontaminasi dengan kata sex (seks) yang juga berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1996).

Untuk memahami makna dan konsep gender tentunya harus dibedakan dengan kata seks (jenis kelamin). Seks adalah persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seseorang dikatakan berjenis kelamin laki-laki apabila ia disifati sebagai manusia yang memiliki penis, jakala (kala menjing/jakun) dan memproduksi sperma. Demikian pula seseorang dikatakan berjenis kelamin perempuan jika memiliki alat reproduksi, memiliki vagina dan mempunyai alat untuk menyusui. Atribut-atribut tersebut, secara biologis bersifat permanen, selalu melekat dan tidak bisa dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain karena sudah menjadi kodrat (ketentuan Tuhan).

Sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat-sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang tidak permanen dan dapat dipertukarkan karena bukan merupakan kodrat melainkan karena konstruksi sosial-kultural. Oleh karena itu bisa jadi dalam suatu kondisi, waktu dan tempat yang berbeda seorang laki-laki dapat bersifat emosional, lemah lembut atau keibuan. Sementara wanita bersifat rasional, kuat dan perkasa. Hal-hal yang berkaitan dengan sifat laki-laki dan perempuan yang dapat berubah-ubah dan dapat dipertukarkan dari waktu ke waktu, kondisi ke kondisi atau satu tempat ke tempat lain itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 1997: 9). Dengan bahasa sederhana seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi yang sifatnya permanen dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, perbedaan itu sifatnya tidak permanen dan bisa dipertukarkan.

Studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rajuliyah) atau feminitas (feminity/nisaiyah) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zukuriyah) dan perempuan (femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan

Page 29: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 27 ]

lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender (Kessler dan Kenna, 1977).

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender yang menjadi masalah adalah terjadinya kerancuan dan pemutar-balikkan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Sering terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya. Apa yang sesungguhnya gender –karena pada dasarnya konstruksi sosial—justru dianggap kodrat (Dzuhayatin, 1996) yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Misalnya sering diungkapkan bahwa mendidik anak, merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik lainnya adalah ―kodrat wanita.‖ Padahal sesungguhnya bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam memiliki anak, merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, tidak masalah jika urusan tersebut juga dilakukan oleh laki-laki. Karena jenis pekerjaan seperti itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal. Apa yang sering disebut sebagai ―kodrat wanita‖ atau takdir Tuhan atas wanita dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga sesungguhnya adalah gender.

C. Gender Dalam Perspektif Pra Islam: Menguak Problematika Gender Sebagai sebuah wacana akademis isu gender memang belum begitu lama. Tetapi

secara substansial problematika gender yang meliputi peran gender, ketidak-adilan gender dan kesetaraan gender telah ada sejak zaman pra Islam. Meskipun kaum wanita sendiri (sebagai kelompok yang dirugikan) waktu itu tidak pernah mendobrak adanya ketimpangan dan struktur sosial relasi laki-laki dan perempuan bahkan seakan-akan hegemoni sistem sosial-budaya yang patriarkhis-struktural-subordinatif itu dilegitimasi sebagai keniscayaan historis bagi wanita.

Akibat dari ketidak-adilan gender (gender inequalities) pada masa pra Islam posisi kaum perempuan sangat memprihatinkan. Mereka dianggap sebagai makhluk tak berharga, menjadi bagian dari laki-laki (subordinatif) dan keberadaannya sering dianggap menimbulkan masalah. Hak-hak mereka boleh ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat diperjual-belikan atau diwariskan dan dianggap tidak memiliki indenpendensi diri. Dengan pandangan-pandangan negatif seperti itu berimplikasi pada sebuah anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang tidak patut mendapat perlakuan yang manusiawi karena yang dinilai sebagai manusia adalah manusia yang mempunyai indenpendensi diri, memiliki hak-haknya secara penuh serta yang bisa mewarisi dan membeli, sifat-sifat demikian hanya bisa dimiliki oleh kaum laki-laki.

Menurut Syafiq Hasyim (2001) seorang aktivis dan pemerhati tentang isu keperempuanan, pandangan demikian mempunyai rujukan kultural dan historis yang jauh ke belakang dan bukan hanya pada sejarah perempuan pra Islam di kawasan Timur Tengah. Dia mencontohkan dalam Undang-undang Manu perempuan tidak pernah memiliki hak-haknya sendiri dalam melakukan segala tindakan yang diinginkannya sehingga dalam urusan domestikpun mereka tidak diberi kesempatan. Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa, perempuan pertama-tama harus mengikuti bapaknya. Kemudian setelah kawin mengikuti suaminya dan ketika suaminya meninggal harus mengikuti anak-anaknya. Jika tidak mempunyai anak mereka harus

Page 30: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 28 ]

mengikuti keluarganya yang terdekat. Jika keluarga yang terdekat tidak ada maka berpindahlah kekuasaan atas perempuan tadi kepada pamannya dan jika tidak ada paman baru diambil alih oleh pemerintah (waliy al-amri). Pandangan ini, jelas mencerminkan perempuan sebagai makhluk yang sangat lemah (dhaif) dan dilemahkan (mustadh’afin).

Senada dengan undang-undang Manu adalah tradisi Yunani. Meskipun dianggap sebagai sumber peradaban dunia modern, pada masa Yunani perempuan tidak memiliki haknya secara penuh. Mereka lebih dekat dengan kelompok kelas ketiga yaitu hamba sahaya (Ja’far, t.th: 1).

Hidup perempuan diabadikan untuk kepentingan laki-laki atau juragannya tanpa diberi balasan dan kompensasi apapun. Mereka rela berbuat apa saja yang diperintahkan oleh suaminya atau juragannya. Bagi perempuan Yunani, pengabdian diri kepada kelas-kelas sosial lebih tinggi adalah tujuan hidup mereka. Perempuan menjadi obyek yang spesifik, sebaliknya kondisi laki-laki demikian perkasa sehingga pada masa itu laki-laki bisa mengawini perempuan tanpa ada batasnya. Kalau sudah dikawini perempuan dianggap sebagai milik mutlak laki-laki yang mengawininya. Artinya perempuan bisa diperlakukan sesuai dengan kemauan laki-laki yang memilikinya. Pandangan perempuan sebagai benda ini sangat mewarnai tradisi Yunani dan belakangan ini mendapat kritik tajam karena ternyata berpengaruh juga terhadap konsep perkawinan dalam Islam (Ja’far, t.th).

Pandangan inferior terhadap perempuan pada dasarnya tidak hanya muncul dalam wacana sosial dan budaya, tetapi lebih jauh lagi merembes ke dalam wacana ajaran dan norma keagamaan. Bahkan wacana ajaran dan norma keagamaan ini, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai faktor yang memiliki andil besar dalam turut serta memarginalisasikan dan menyegresi kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai contoh dalam agama Yahudi dijumpai pandangan negatif terhadap perempuan yang tidak jauh berbeda dengan pandangan bangsa Yunani.

Pernah dikatakan dalam nasehat umum orang-orang Yahudi bahwa lebih baik berjalan dibelakang harimau daripada di belakang perempuan. Bahkan menurut catatan Munawar Ahmad Anees, kebencian orang Yahudi terhadap perempuan demikian tingginya sehingga dalam do’a sehari-haripun terungkap kata-kata yang merendahkan kaum perempuan. Mereka sering berdo’a ―Terpujilah Engkau Tuhan yang tidak menciptakan aku sebagai perempuan‖.

Demikian pula dalam tradisi Kristen yang tidak jauh berbeda dengan tradisi Yahudi. Agama ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak berjiwa. Ia merupakan sosok manusia yang bertabiat buruk dan menyebabkan fitnah. Bahkan ada dalam sebuah buku yang berjudul Malleus Maleficarum disebutkan bahwa perempuan adalah hewan yang tidak sempurna, plin plan, suka menipu, mudah tergoda nafsunya, dan mudah tergoda syaitan sehingga sering menjadi penyihir. Jelas ini merupakan gambaran determinasi perempuan. Seorang teolog Kristen terkemuka Thomas Aquinas juga menyatakan bahwa perempuan tunduk kepada kaum laki-laki karena secara alamiah mereka lemah jasmani dan propesinya. Laki-laki adalah tempat bermula dan tujuan akhir dari kehidupan perempuan. Untuk itu Tuhan mewajibkan perempuan untuk tunduk kepada laki-laki.

Page 31: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 29 ]

Sebetulnya pada zaman pra Islam kehidupan wanita pernah menempati posisi yang terhormat seperti yang terjadi di Timur Tengah Kuno yaitu di wilayah Mesopotamia (Ahmed, 2000: 3). Subordinasi atas wanita di Timur Tengah Kuno mulai melembaga seiring dengan kebangkitan masyarakat perkotaan dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya (arshaide state). Pendapat ini sekaligus menolak sejarah androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita didasarkan pada faktor biologis dan watak dasar alamiah. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota (Ahmed, 2000).

D. Respon Islam Terhadap Isu Gender Al Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa

pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil (Qs. An-Nisa:1). Keduanya diciptakan dari diri yang satu (living entity/nafs wahidah) dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Al Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah (Subhan, 1999: 45). Atas dasar itu prinsip al Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama sehingga hak istri diakui secara adil (equal) dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan dan kaum pria juga memiliki hak-hak dan kewajiban atas laki-laki. Itulah mengapa al Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan, terlebih jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra Islam yang ditransformasikannya.

Menurut Umar (1999) ada beberapa variabel yang menjadi standar dalam menganalisa prinsip-prinsip keadilan atau kesetaraan gender dalam al Qur’an antara lain: (1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Statemen al Qur’an yang menyatakan hal ini adalah surat al Dzariyat ayat 56 ―Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.‖ Dalam kapasitasnya sebagai hamba (abid), tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Dalam al Qur’an hamba ideal ini dikonsepsikan dengan al Muttaqun yakni orang-orang yang taqwa (QS. Al-Hujurat:13). Sebagai konsekuensi dari kesetaraan dalam kapasitas sebagai hamba ini baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (QS. An-Nahl:97); (2) Laki-laki dan Perempuan sebagai khalifah di bumi. Ayat yang menyatakan ini adalah surat al-An’am ayat 165 ―Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi...‖ juga surat al Baqarah ayat 30 ―Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...‖. Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah dan sama-sama harus mempertanggung-jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya; (3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primodial. Yang dimaksud dengan perjanjian primodial adalah bahwa menjelang seorang anak lahir dari rahim ibunya ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Hal ini disebutkan dalam surah al A’raf ayat 172. ―Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap

Page 32: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 30 ]

jiwa (seraya berfirman) ―Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab ―Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.‖ (Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ―Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Kekuasaan Tuhan). Dengan ayat tersebut jelas sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama mengikrarkan ketuhanan yang sama. Dalam ayat lain Allah juga memuliakan bani Adam tanpa membeda-bedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (QS. Al-Isra:70); (4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama Kosmis. Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yaitu cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai turun ke bumi selaku menekankan bahwa kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma) yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus misalnya: keduanya diciptakan di syurga dan memanfaatkan fasilitas syurga (QS. Al-Baqarah:25). Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (QS. al-A’raf:20). Keduanya sama–sama memakan buah khulbi dan sama-sama turun ke bumi (QS. al-A’raf:22). Keduanya sama-sama mohon ampun dan sama-sama diampuni (QS. al-A’raf:23). Keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi serta saling membutuhkan (QS. al-Baqarah:187), dan; (5) Laki-laki dan Perempuan berpotensi meraih prestasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an dalam surah An Nisa ayat 124 ―Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman maka mereka itu akan masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya sedikutpun.‖ Ayat tersebut menunjukkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik di bidang spiritual atau karier profesional tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Hal demikian bahwa sebagai suatu agama sejak awal Islam telah memiliki landasan-landasan teologis–spiritual-normatif dalam memahami persoalan gender dan sama sekali tidak memperlihatkan norma-norma diskriminatif sebagai mana yang layak mengendap di sebagian kaum anti genderis.

Kemudian yang menjadi persoalan adalah dari manakah datangnya pikiran, keyakinan atau tafsiran keagamaan yang meletakkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk menjawab persoalan ini menurut Mansour Fakih, perlu dilakukan pendalaman dan analisis gender. Berangkat dari keyakinan bahwa pada dasarnya Islam menganut paham keadilan, maka segenap ketidak-adilan yang berkembang dalam masyarakat Islam pada dasarnya adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul sebagai jawaban terhadap problem sosial (asbab al-nuzul) dari suatu ayat pada saat itu. Jadi yang diperlukan adalah prinsip hubungan yaitu keadilan dan segenap yang melanggar prinsip tersebut harus didekonstruksikan (Fakih, 1996).

Sebagai sebuah contoh, ketika memahami sebuah ayat yang seolah-olah menempatkan kedudukan laki-laki di atas perempuan ―Laki-laki adalah pengelola (pemberi nafkah) perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan)...‖ (QS. an-Nisa:34). Asgar Ali Engineer (Tahun ???) mengusulkan, dalam memahami ayat ini hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada waktu itu bukanlah suatu norma ajaran yang harus dipraktekkan. Ayat itu menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manajer rumah tangga dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai atau memimpin. Keunggulan yang diberikan laki-laki atas perempuan bukan kelemahan inhern yang ada pada diri

Page 33: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 31 ]

perempuan. Tetapi karena konteks sosialnya. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki–laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini tetapi harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Itulah makanya al Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif . Tidak ada kitab suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.

Dengan demikian dari ayat ini disimpulkan bahwa keunggulan yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain atau laki-laki atas perempuan bukanlah keunggulan jenis kelamin melainkan karena fungsi sosial yang waktu itu diemban oleh jenis kelamin. Karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan, maka karena fakta ini, laki-laki memperoleh keunggulan fungsional atas perempuan.

Dalam sejarah Islam keadaan kaum perempuan berubah mengikuti semakin meningkatnya kesadaran hak kaum perempuan dan konsep ―hak‖ juga semakin berkembang. Pada saat ayat itu diturunkan memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata “qawwam” dari masa ke masa dipahami berbeda. Dahulu atas dasar ayat itu perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki dan implikasinya adalah seperti zaman feodal bahwa perempuan harus mengabdi kepada laki-lakinya menjadi bagian dari tugas-tugasnya. Namun al Qur’an menegaskan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sejajar (QS. an-Nisa:35).

Memang ada perbedaan secara kodrati antara laki-laki dan perempuan paling tidak dari segi biologis, tetapi perbedaan ini tidak menyebabkan inferioritas satu dari yang lain karena masing-masing mempunyai keistimewaan dan saling melengkapi (QS. an-Nisa:35).

E. Penutup Dari uraian di atas jelas bahwa Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi

hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atau kesetaraan atas kedudukkan laki-laki dan perempuan. Ajaran-ajarannya telah menumbangkan sikap marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi perempuan yang telah berkembang bahkan menghegemoni sejak zaman pra Islam khususnya zaman jahiliyah. Islam datang untuk merespon hegemonitas tersebut. Namun gaya yang digunakan oleh al Qur’an sebagai sumber utama ajaran kontekstual yang kadang-kadang terkesan memihak. Superioritas laki-laki apalagi ketika para fuqaha memahami ajaran kontekstual ini dengan kaca mata normatif. Karena itu untuk melihat ayat yang sifatnya demikian harus didudukkan secara proporsional dan kontekstual dengan melihat akar permasalahannya yang dikenal dengan Asbab al Nuzul.

Page 34: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 32 ]

DAFTAR PUSTAKA

John M. Echols dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXIII, Jakarta: Gramedia.

Mansour Fakih. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Suzanne J. Kessler dan Wendy Mc Kenna. 1977. Gender an Ethnomethodological

Approach. New York: John Wiley & Sons. Siti Ruhaini Dzuhayatin. 1996. Gender Dalam Perspektif Islam: Studi Terhadap Hal-hal

yang menguatkan dan Melemahkan Gender Dalam Islam,‖ dalam buku Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Mansour Fakih (et. Al), Surabaya: Risalah Gusti, hlm.

Syafiq Hasyim, (2001), Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan

Dalam Islam, Cet. I, Bandung: Mizan. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Al Huquq al Siyasiyah li al Mar’ah, Kairo: Dar al

Nahdhah al Arabiyah Laila Ahmed, (2000), Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan

Modern, Terj. MS. Nasrullah, , Jakarta: Lentera. Zaitun Subhan, (1999), Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an,

Yogyakarta: LkiS. Nasaruddin Umar, (1999), Argumen Kesetaraan Gender Persfektif Al Qur’an, Jakarta:

paramadina. Masour Fakih (et. Al), (1996), hlm. 53 Ali Asgar Enginner, 2000. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

hlm. 69 John M. Echols dan Hassan Shadily, (1996), Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXIII,

Jakarta: Gramedia. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (1997), Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, hlm. 9. Suzanne J. Kessler dan Wendy Mc Kenna, (1977), Gender an Ethnomethodological

Approach, New York: John Wiley & Sons.

Page 35: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 33 ]

Siti Ruhaini Dzuhayatin, (1996), ―Gender Dalam Perspektif Islam: Studi Terhadap Hal-

hal yang menguatkan dan Melemahkan Gender Dalam Islam,‖ dalam buku Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Mansour Fakih (et. Al), Surabaya: Risalah Gusti, hlm.

Syafiq Hasyim, (2001), Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan

Dalam Islam, Cet. I, Bandung: Mizan. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Al Huquq al Siyasiyah li al Mar’ah, Kairo: Dar al

Nahdhah al Arabiyah Laila Ahmed, (2000), Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan

Modern, Terj. MS. Nasrullah, , Jakarta: Lentera. Zaitun Subhan, (1999), Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an,

Yogyakarta: LkiS. Nasaruddin Umar, (1999), Argumen Kesetaraan Gender Persfektif Al Qur’an, Jakarta:

paramadina. Masour Fakih (et. Al), (1996), hlm. 53 Ali Asgar Enginner, hlm. 69

Page 36: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 34 ]

AL- TAFSÎR AL-' ILMÎ

ANTARA PENGAKUAN DAN PENOLAKAN Oleh: Udi Yuliarto

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACT Eighteenth century AD, is the development of science in Europe, at this time there are many books which were translated into European languages such as physics, chemistry and medicine. The knowledge development had affects the separation between science and religion of European society at that time. The scientists were discovered some theories of knowledge that always contrary to the opinion of the church so that not a few of them must die on the gallows. Religious books in they opinion only contain superstition and illogical doctrine that makes them imprisoned in ignorance. This development brings a huge impact on the Islamic world and Muslims. The Muslims scholars are required to maintain the authenticity of Islamic religious teachings that are not in conflict with science. They develop scientific interpretation (tafsîr 'ilmy) in order to prove the miracles of the Koran. So that Islam can prove and answer all the challenges of the times. The interpretation of Koran by using the experimental sciences has produced many books of scientific interpretation (tafsîr 'ilmy) and became an important reference. However, did not rule out this development led to the shift of functions of the Koran as a guidance holy book to the book of knowledge by some mufassir which interpreted influenced by foreign cultures, so that Koran interpretation was leaning on ra'yi (pure opinion) and exit from the rules of correct interpretation (tafsîr). This incident makes Muslims scholars in Egypt and Syria encouraged to determine the position of the correct scientific interpretation (tafsîr 'ilmy) of the incorrect scientific interpretations (tafsîr 'ilmy). Kata Kunci: Tafsir ‘Ilmi

A. Pendahuluan Perkembangan kajian terhadap ayat-ayat al-Quran mendorong timbulnya corak

baru terhadap tafsir al-Quran. Satu ayat al-Quran menafsirkan ayat yang lain disepakati oleh para ulama sebagai jenis penafsiran yang terbaik. Cikal bakal ilmu ini sebenarnya telah ada sejak zaman nabi dan para sahabat masih hidup seperti; Pertanyaan sahabat

Page 37: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 35 ]

kepada Rasulullah tentang kata "zhulm" dalam firman Allah: "alladzîna âmanû wa lam yalbisû îmânahum bi zhulmin ulâ-ika lahumu-l- amnu wa hum muhtadûn" (orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanannya dengan kezaliman maka mereka akan mendapat ketenangan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk) [Qs. Al-An'âm: 82], pertanyaan mereka diperkuat dengan pendapat mereka bahwa setiap manusia pasti pernah berbuat kezaliman: "Siapa di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim ?". Menjawab pertanyaan ini Rasulullah membacakan ayat al-Quran berkenaan nasehat Luqman kepada anaknya: "yâ bunayya lâ tusyrik billâhi inna sy-syirka lazhulmun 'azhîm" (wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah! Sesungguhnya syirik adalah kazaliman yang besar) [Qs. Luqman: 13]. Makna kezaliman yang dipertanyakan sahabat disini adalah syirik (Ziyâd Khalîl, 1995: 17).

Jenis penafsiran di atas menambah khazanah dan inspirasi ulama-ulama muslim untuk mengembangkan ilmu tafsir, diantara mereka ada yang memfokuskan pada tema tertentu dari tema yang ada pada al-Quran atau tema lain seperti tema-tema kehidupan, kemudian mengumpulkan dan menyusun ayat-ayatnya sesuai asbab nuzul jika ada. Kemudian melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dengan melihat korelasi antara ayat, penafsiran jenis ini dikenal dengan nama al-tafsîr al-mawdhû'î \/al-tafsîr al-tawhîdî (tafsir tematik atau tafsir penyatuan).

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pengkajian ayat-ayat al-Quran tidak berhenti pada pembahasan tafsir tematik semata, tema kemukjizatan al-Quran misalnya yang dikolerasikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi corak tersendiri dalam ilmu tafsir, yang dinamakan dengan tafsir 'ilmi.

Sebelum masuk ke pembahasan tafsir ilmi terlebih dahulu harus memahami apa defenisi tafsir ilmî ? Apa yang melatar belakangi munculnya tafsir ilmi dan sejak kapan mulai berkembangnya ? Terbagi berapa pembagian tafsir ilmi ? Bagaimana sikap para ulama tafsir dalam menanggapi perkembangan dan keberadaan tafsir ilmi ? Apa kriteria tafsir ilmi yang dapat diterima ?

B. Defenisi Secara terminologi "tafsir" menurut Musthafa Muslim adalah ilmu yang

membuka tabir tentang makna ayat-ayat al-Quran serta menguraikan maksud dan tujuan Allah dari ayat itu sesuai dengan kemampuan manusia (Musthafa, 1989: 15).

Dan yang dimaksud makna/terminologi kata "ilmi" dalam tema tafsir ilmi adalah ilmu-ilmu eksperimen yaitu ilmu-ilmu yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan rasa, yang dijadikan sebagai alat bantu untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

Ilmu eksperimen ini terbagi dua bagian: 1) ilmu alam seperti; fisika dan kimia, dan 2) ilmu kemanusiaan seperti ilmu sosial dan ilmu jiwa. Sedangkan ilmu filsafat dan ketuhanan tidak termasuk dalam pembahasan tafsir ilmi disebabkan para mufassir lebih memaknai tafsir ilmi dengan memfokuskan kepada ilmu-ilmu eksperimen ini, sedangkan ilmu Ketuhanan dan filsafat masuk dalam ranah pembahasan tafsir kalam.

Sedangkan makna "tafsir 'Ilmi" secara terminologi para ulama mengungkapkan beberapa pendapat diantaranya adalah:

Page 38: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 36 ]

a. Menurut Fahd al-Rumi "tafsir ilmi" yaitu: Ijtihad seorang mufassir dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah (kosmos) al-Quran dengan penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat (al-Rûmi, t.th: 549).

b. Menurut Abd al-Rahmân al-'Ik "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir al-Quran yang berlandaskan uraian dan keterangan isyarat al-Quran yang menunjukkan keagungan Allah swt. dalam mengatur ciptaan-Nya (Khalid, 1994: 217).

c. Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi "tafsir ilmi" yaitu : Tafsir yang dilakukan untuk menentukan istilah-istilah keilmuan dalam ayat-ayat al-Quran dan berijtihad guna memunculkan beberapa ilmu dan pandangan filsafat dari ayat-ayat tersebut (Muhammad Husein, 1409H: 474).

Dari beberapa perbedaan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang dikolerasikan dengan ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu eksperimen) guna mengungkapkan kemukjizatan al-Quran.

C. Perkembangan Tafsir Ilmi Pada awal Islam belum banyak muslim yang menguasai ilmu tulis dan baca,

sedangkan al-Quran yang turun di tengah mereka merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang selalu mengajak mereka untuk menuntut ilmu, membangkitkan mereka dari tidur diatas ranjang kejahilah.

Ayat-ayat al-Quran banyak mengajak umat Muhammad untuk menggunakan akal pikiran serta mendalami tanda-tanda kebesaran Allah pada penciptaan langit dan bumi.

Abad pertama hijrah yaitu saat pembukaan kota-kota Islam telah mengenalkan muslimin kepada nuansa pemikiran baru, berbaur dengan umat agama lain yang memiliki latar belakang pemikiran berbeda, dengan demikian terjadilah proses asimilasi di antara mereka, tukar menukar kebudayaan juga merupakan hal yang dapat menambah khazanah kebudayaan umat saat itu seperti, dengan Yunani, Romawi, Iran (Persia) dan sebagainya.

Perkembangan ini terus berjalan hingga pada masa kajayaan Islam dan bani Abbasiyah di Iraq. Salah seorang raja terkenal dinasti ini adalah Harun al-Rasyid yaitu seorang yang memiliki komitmen tinggi terhadap ilmu pengetahuan, di masanya banyak ilmu pengetahuan diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, biologi, fisik, dan filsafat.

Tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari luar saja, umat Islam saat itu bahkan dapat mengembangkan pengetahuan melebihi dari apa yang didapatkan, mereka dapat mengarang buku dan menguraikan apa yang belum pernah dipahami oleh orang-orang terdahulu.

Pada abad ketiga hijrah perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dengan munculnya buku-buku karya ilmuan-ilmuan muslim seperti : al-Qanûn (cannon) dalam bidang kedokteran karya Ibn Sina (Avicena), dalam bidang filsafat buku Ihsha'

Page 39: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 37 ]

al-Ulum karya al-Farabî yang dikenal dengan gelar al-mu'allim al-tsânî setelah filosuf Yunani Aristoteles.

Begitu pesat perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan umat, membangkitkan ulama-ulama muslim untuk melindungi agamanya, mereka membatasi pergerakan pengetahuan yang bertentangan dengan agama saat itu dengan mengemukakan dua cara:

a. Menolak pemikiran menyimpang dan sesat dari ilmu pengetahuan, hal ini disebabkan pemikiran filsafat yang berasal dari Yunani banyak berlandaskan keilmuan yang tidak benar, bertentangan dengan akidah Islam. Mengantisipasi hal yang demikian terbitlah buku Tahâfut al-Falâsifah karya Abu Hâmid al-Ghazalî.

b. Meski demikian masih ada terdapat kesesuaian ilmu Yunani dengan ayat-ayat al-Quran, hal ini malah memperkuat validitas mukjizat Muhammad. Seperti yang dikatakan oleh filosuf Yunani tentang tujuh macam Planet dalam ilmu astronomi, yang kemudian dalam penafsiran al-Quran disebut dengan al-samâwât al-sab'u (tujuh tingkatan langit) (al-Ridhâî, 2008: 205).

Ini pemicu yang melatar belakangi perkembangan metode penafsiran al-Quran dengan gaya khusus yang menarik perhatian para ilmuan dan kaum intelektual.

Perkembangan tafsîr ilmî ini berlangsung selama beberapa periode, akan tetapi para ulama tafsir membaginya ke dalam tiga priode perkembangan tafsîr ilmî (al-Ridhâî, 2008: 205), yaitu:

Priode Pertama di mulai dari abad kedua hingga kelima hijrah, berbarengan dengan penerjemahan buku-buku peninggalan Yunani ke dalam bahasa Arab. Para ulama Muslim seperti Ibn Sina (Avicena) yang berusaha mendalami kesesuaian sebagian ayat-ayat al-Quran terhadap teori-teori Ptolemeus.

Priode Kedua yang dimulai dari abad ke enam hijrah, yaitu ketika ulama-ulama Muslim mulai berusaha untuk memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dari ajaran al-Quran al-Karim, demikian itu disebabkan adanya dakhil terhadap ajaran Islam. Diantara pelopor gerakan ini adalah Abu Hâmid al-Ghazâlî.

Priode Ketiga dimulai sejak abad kedelapan belas Masehi, yaitu masa perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, pada masa ini banyak terdapat buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa seperti fisika, kimia dan kedokteran. Perkembangan ilmu pengetahuan ini berdampak adanya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama yang dianut oleh masyarakat Eropa saat itu. Teori-teori pengetahuan yang ditemukan oleh ilmuan barat selalu berseberangan dengan pendapat gereja sehingga tidak sedikit dari mereka yang harus mati di tiang gantungan. Buku-buku agama menurut mereka hanya berisikan khisah tahayul dan doktrin yang tidak masuk akal menjadikan mereka terkungkung dalam kebodohan.

Perkembangan ini membawa dampak yang besar di belahan dunia Islam dan muslimin. Para ulama dituntut untuk menjaga otentisitas ajaran agama yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Mereka mengembangkan tafsir ilmi guna membuktikan kemukjizatan al-Quran. Terbukti bahwa Islam dapat menjawab segala tantangan yang ada.

Page 40: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 38 ]

Kegiatan menafsirkan al-Quran dengan menggunakan ilmu eksperimen telah menghasilkan buku-buku tafsir ilmi yang menjadi rujukan, namun demikian tidak menutup kemungkinan perkembangan ini menyebabkan adanya pergeseran fungsi al-Quran sebagai kitab petunjuk (hidayah) menjadi kitab ilmu pengetahuan yang ditakwilkan oleh sebagian mufassir yang terpengaruh oleh kebudayaan asing, sehingga penafsiran disandarkan kepada ra'yi (pendapat murni) dan keluar dari kaidah-kaidah penafsiran yang benar.

Kejadian ini menjadi problem baru bagi perkembangan ilmu tafsir, ulama-ulama tafsir di Mesir dan Syam terdorong untuk menentukan posisi tafsir ilmi yang benar dari tafsir-tafsir ilmi yang salah.

D. Pandangan Para Mufassir Terhadap Tafsir 'Ilmi Dengan perkembangan ilmu pengetahuan mengantar ulama-ulama Islam kepada

perbedaan pandangan terhadap perkembangan tafsir ilmi. Diantara mereka ada yang membenarkan tafsir ini dan ada yang tidak, ada juga kelompok ketiga yaitu kelompok pertengahan yaitu kelompok yang membuat pengecualian dengan syarat tertentu.

Kelompok ulama yang mendukung keberadaan tafsir ilmi di antaranya: a. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), ia menyakini adanya ilmu

pengetahuan di dalam al-Quran, dia mengutip pendapat ulama bahwa al-Quran itu mencakup 77.000.200 ilmu di dalamnya. Setiap kata mengandung ilmu yang berlipat empat kali, setiap kata al-Quran itu mengandung makna zahir dan batin (al-Ghazali, 1402H: 289). Dan di dalam kitabnya Jawahir al-Quran, dia menguraikan dalam fasal kelima bahwa ilmu pengetahuan banyak terdapat di dalam al-Quran seperti : ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh bahkan ilmu sihir berasal dari al-Quran. Banyak contoh lain dari al-Quran yang ia kolerasikan dengan ilmu-ilmu lain.

b. Imam Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H): Seorang ulama tafsir yang berusaha menyelaraskan masalah-masalah ilmu dengan al-Quran, Ia menggunakan dalil bumi itu diam, dengan ayat Qs. al-Baqarah: 22 : "alladzî ja'ala lakum ul-ardha firâsya" (yang telah menciptakan bagimu bumi sebagai hamparan), Dalam uraian ayat ini ia berusaha mendiskusikan pendapat-pendapat astronom lama seperti Ptolemeus dari barat, dan ulama-ulama India, China, Mesir kuno, Babilonia, Romawi dalam menafsirkan ayat Qs. Al-Baqarah: 164, (al-Razi, 1411H: 94).

c. Jalaluddin al-Suyûtî (w. 911 H): Seorang ulama dan penulis buku al-Itqân fî ulûm al-Quran, ia berkeyakinan bahwa al-Quran itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan termasuk ilmu tentang ajal Rasulullah saw.. Ia memberi contoh ayat al-Quran surah al-Munâfiqûn: "wa lan yuakhkhir Allâhu nafsan idzâ jâ-a ajaluhâ" (Allah tidak akan menunda kematian satu jiwapun jika ajalnya sudah datang) ayat ini adalah ayat ke 11 surah al-Munafiqûn, yaitu surah yang ke 63, menurutnya ini memberitakan bahwa umur Nabi saw. berjumlah 63 tahun sudah diuraikan jauh sebelum nabi meninggal dunia (Jalaludin, 1407H : 271-282).

Page 41: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 39 ]

d. Allamah al-Majlisi (w. 1111 H). Seorang ulama Syiah yang mengarang kitab "Bihâr al-Anwâr", di salah satu bagian dari kitabnya ini ia menguraikan tafsir ilmi, dan tidak adanya pertentangan pada kata "al-samâwât al-sab'u" (tujuh langit) dalam al-Quran surah al-Baqarah: 29, dengan ilmu astronomi tentang "al-aflâk al-tis'ah" (sembilan planet). Karena yang dimaksud dengan "aflâk" sembilan menurut bahasa al-Quran disini adalah kursi atau arsy dan bukan langit (Muhammad Baqir, 1358H: 5).

Mereka yang menyetujui tafsir ilmi telah berusaha untuk mengangkat ilmu pengetahuan dari al-Quran, dan tetap berpendapat bahwa dalil-dalil al-Quran itu meliputi seluruh ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan cara perenungan terhadap ayat-ayatnya yang dikolerasikan dengan berbagai ilmu. Atau cara sebaliknya yang mereka lakukan untuk membuktikan bahwa al-Quran itu selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan yaitu dengan menarik teori-teori ilmu pengetahuan yang dikolerasikan dengan ayat-ayat al-Quran.

Namun demikian ada juga di antara ulama yang tidak setuju dengan adanya tafsir ilmi ini, mereka itu diantaranya adalah:

a. Abu Ishaq al-Syâtibî (w. 790 H) seorang ahli fiqh Andalusia bermadzhab Maliki, beralasan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum al-Quran diturunkan, seperti: ilmu astronomi, ilmu meteorologi dan geofisika, ilmu kedokteran, ilmu retorik, ilmu ramal dan perdukunan. Sedangkan agama Islam telah membagi ilmu pengetahuan itu menjadi dua bagian yaitu ilmu yang benar dan ilmu yang sesat, serta Islam sudah menguraikan manfaat dan bahaya dari ilmu-ilmu itu. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan al-Quran, al-Syatibi menambahkan bahwa ulama-ulama terdahulu (salaf) tidak pernah mengolerasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Quran, dan tujuan diturunkan al-Quran untuk menguraikan hukum-hukum dan segala yang berkenaan dengan akhirat (Muhammad Husein, 1409H: 458-488). Dengan itu al-Syatibi membantah penafsiran orang-orang yang mengakui keberadaan "tafsir ilmi" yang berdalilkan ayat 89 dari surah al-Nahl : "tibyânan likulli syai' " (pengurai dari segala sesuatu) dan ayat 38 dari surah al-An'âm : "mâ farrathnâ fî l-kitâbi min syai' " (tidak ada satupun yang Kami luputkan di dalam kitab) dengan pendapatnya : bahwa kata kullu syai' pada ayat diatas tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan tetapi berkaitan dengan taklif (beban syariat) dari Allah dan ibadah, sedangkan maksud kata al-kitab pada ayat 38 surah al-An'âm diatas adalah bukan al-Quran akan tetapi lauh al-mahfûzh (Muhammad Husein, 1409H: 489). Maka menurut dia ayat-ayat diatas yang digunakan untuk memperkuat alasan keberadaan tafsir ilmi tidak tepat.

b. Al-Syaikh Mahmûd Syaltût (w. 1964 M) seorang syekh al-Azhar, beranggapan bahwa: Sesungguhnya pandangan tentang tafsir ilmi pada ayat-ayat al-Quran ini adalah salah besar. Al-Quran diturunkan dan berbicara kepada semua manusia bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan, karena hal yang demikian dapat mengajak pelakunya tenggelam kepada penakwilan al-Quran tanpa dilandasi kebenaran dan menafikan kemukjizatan al-Quran itu

Page 42: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 40 ]

sendiri. Selain itu menjadikan al-Quran sibuk memaparkan ilmu pengetahuan yang saat ini boleh jadi benar akan tetapi belum tentu dikemudian hari. karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan tidak tetap (Ahmad Umar, 1991 : 299-302).

Di tengah perdebatan keabsahan dan tidak tafsir ilmi membuat para ulama Islam agar lebih selektif melihat jenis-jenis penafsiran yang absah. Di satu sisi al-Quran telah memberikan jawaban tepat terhadap permasalahan yang timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan keberadaan tafsir ilmi memberi kotribusi baik bagi pemahaman dan peningkatan keimanan terhadap al-Quran sebagai pedoman hidup manusia. Di sisi lain penafsiran dengan corak ilmi ini telah membawa mufassir terperangkap kepada penafsiran bi al-ra'yi (pendapat murni) yang dapat menjadikan firman Allah itu kehilangan nilai kewahyuannya.

Berkenaan dengan hal ini para mufassir kontemporer dapat memaklumi keberadaan tafsir ilmi. Mereka lebih moderat dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikolerasikan dengan teks-teks al-Quran. Di antara mereka itu ialah:

a. Muhammad Musthafa al-Maraghi (w. 1945 M). Salah seorang syekh al-Azhar, Ia berkomentar dalam pengantar buku al-Islâm wa al-Thibb al-Hadîts karya Abd al-'Aziz Ismail, pendapatnya: al-Quran bukanlah kitab suci yang mencakup segala ilmu pengetahuan secara terperinci dengan metode pengajarannya yang terkenal, akan tetapi sesungguhnya al-Quran itu meliputi kaidah dasar umum yang sangat urgen untuk diketahui oleh setiap manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga. Menurutnya al-Quran telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan agar dapat diuraikan kepada semua orang secara terperinci, sesuai dengan zaman sang mufassir itu hidup. Akan tetapi ia mengingatkan tidak dibolehkan bagi seorang mufassir menarik ayat-ayat al-Quran kemudian menggunakannya untuk menguraikan kebenaran ilmu pengetahuan, atau sebaliknya menarik ilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran, akan tetapi jika terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan yang sudah tetap dan pasti dengan zahir ayat-ayat al-Quran maka tidak mengapa menafsirkan al-Quran dengan bantuan ilmu pengetahuan ini (Muhammad Husein, 1409H: 519).

b. Ahmad Umar Abu Hajar penulis buku al-Tafsîr al-'Ilmiy fî al-Mîzân. Ia mengungkapkan alasannya setelah memperhatikan perbedaan pendapat para ulama terhadap tafsir ilmi, dan menurutnya mereka yang beranggapan bahwa al-Quran jauh dari pada tafsir ilmi telah melakukan suatu kebenaran jika tafsir yang dimaksud berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu itu hanya berlandaskan pendapat murni tanpa bukti otentik penelitian ilmiyah, akan tetapi jika berlandaskan ilmu yang sudah pasti kebenarannya maka tidak ada halangan untuk mengambil manfaat kebenaran ilmu ini guna menjelaskan al-Quran. Dia juga menambahkan bahwa al-Quran merupakan kalam Allah, sedangkan alam adalah bagian dari ciptaan-Nya, maka pasti ayat-ayat al-Quran tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan (Ahmad Umar, 1991: 113-118).

Page 43: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 41 ]

c. Ayatullah Makarem al-Syirâzî salah seorang mufassir Iran bermadzhab Syiah Imamiyah. Ia termasuk ulama yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir ilmi ini. Dalam bukunya tafsir al-amtsâl ia menggunakan sebagian tafsir ilmi untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran dari sisi keilmuannya. Ia beranggapan bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah mengambil posisinya dalam menafsirkan al-Quran, dan yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu yang sudah pasti dan tidak berubah dengan perubahan zaman. Ilmu yang selalu berubah menurutnya tidak dapat menjelaskan al-Quran yang sudah tetap. Adapun ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi dan astronomi yang mengkaji alam dan pergerakan bumi menurutnya adalah jenis ilmu yang telah terbukti kebenarannya dan sudah tetap, jenis ilmu inilah yang dapat diterima untuk menguraikan al-Quran (Naser Makarem, 1379H: Muqaddimah).

d. Ayatullah Ja'far Subhani, salah seorang mufassir yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir ilmi. Ia menetapkan syarat seorang mufassir itu harus memperhatikan teori-teori keilmuan guna membuka pemikiran luas manusia untuk mencapai pemahaman yang dinamis tehadap ayat-ayat al-Quran. Menurutnya: ilmu-ilmu pengetahuan ini dicapai oleh karena kekuatan pikiran filsafat, keilmuan manusia dan terbukanya pemahaman mufassir sehingga memberikan kemampuan sempurna untuk mengambil manfaat dari ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi tidak bermaksud untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran menggunakan ilmu filsafat Yunani atau Islam, atau menafsirkan ayat-ayat al-Quran menggunakan ilmu-ilmu modern yang belum pasti kebenarannya lalu mencocok-cocokkannya dengan al-Quran, tidak. Karena hal seperti ini dianggap sebagai jenis tafsir bi al-ra'yi (tafsir dengan pendapat murni) yang sudah jelas dilarang oleh agama dan tidak sejalan dengan akal (Subhani, 1371H: 315).

Pendapat para mufassir kontemporer moderat di atas menghasilkan beberapa kriteria untuk tafsir ilmi yang diakui keberadaannya. Setidaknya ada dua kriteria yang dapat dijadikan pedoman yaitu kriteria umum dan khusus.

Kriteria Umum yaitu yang harus dimiliki oleh setiap mufassir diantaranya: a) Bagi seorang mufassir harus menguasai segenap ilmu yang biasa digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran seperti: ilmu bahasa, ilmu kondisi turunnya ayat (asbab al-nuzûl), ilmu sirah nabi Muhammad dalam batasan yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran, ilmu nasikh wa mansukh al-ayat, mengetahuai hadis dan ilmu hadis serta menguasai kaidah dasar hukum (ushul) dan ilmu fiqh, Menguasai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pasti serta mengetahuai pendapat-pendapat para filosuf, menjauhi diri dari bertaklid kepada pendapat para mufassir yang menggunakan ra'yi (pendapat murni). b) Hendaklah bagi seorang mufassir memperhatikan tafsir al-Quran yang diakui. Seperti : menggunakan metode yang benar, tidak menghilangkan sunnah nabi dan menghindari dari pengaruh pemikiran yang sesat, dan hendaklah penafsiran tidak bertentangan dengan hukum akal atau ayat-ayat al-Quran yang lain dengan merujuk kepada sumber-sumber tafsir yang benar. c) Hendaklah seorang mufassir selalu membandingkan segala sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran dengan dalil-dalil naqli dan aqli sebelum ia menafsirkan ayat-ayat.

Page 44: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 42 ]

Kriteria Khusus yaitu yang berhubungan dengan tafsir dan metode yang digunakan. Kriteria itu adalah: a) Tafsir ilmi yang diakui adalah tafsir yang menggunakan ilmu-ilmu eksperimen atau ilmu-ilmu yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan rasa sebagaimana uraian di atas. Jika penafsiran itu menggunakan teori-teori ilmiah yang sudah tetap dan kebenarannya telah diakui oleh para ilmuwan, maka teori-teori tersebut hendaknya tidak disandarkan kepada ayat-ayat al-Quran sebagai teori pasti yang tidak dapat berubah. b) Ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan dengan corak ilmi ini adalah ayat-ayat yang jelas mengisyaratkan kepada ilmu dengan catatan: 1.Ayat-ayat al-Quran tidak ditempatkan pada posisi teori ilmu yang bertentangan dengan teori yang benar atau sebaliknya ia tidak digunakan sebagai alat untuk menetapkan validitas teori ilmu; 2.Tafsir ilmi harus bersandarkan kepada logika dan linguistik Arab yang merupakan bahasa asli al-Quran; 3.Tafsir ilmi tidak bertentangan dengan masalah-masalah syariat agama Islam.

E. Penutup Perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke delapan belas di Eropa

mengalami benturan dengan agama yang ada, teori ilmu pengetahuan tentang dunia "bulat" bertentangan dengan pendapat gereja yang mengatakan bahwa dunia adalah "datar" dan jika seorang berjalan sejauh mata memandang dia akan terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Para ilmuan mulai memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sedangkan para ilmuan muslim memfokuskan perhatian untuk mempertahankan eksistensi agama Islam. Mereka berusaha untuk mempelajari kitab al-Quran secara lebih mendalam, hal ini berakibat muncul buku-buku tafsir al-Quran yang bercorak ilmi. Namun kriteria yang belum jelas terhadap tafsir ilmi ini memposisikan ulama-ulama muslim berbeda pendapat terhadap keberadaan tafsir ini, sedangkan al-Quran sebagai kitab mukjizat yang meliput ilmu pengetahuan perlu dibuktikan. Baru di abad dua puluhan keberadaan tafsir ilmi ini di akui dengan beberapa syarat umum dan khusus sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Page 45: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 43 ]

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hajar, Ahmad Umar. al-Tafsîr al-'Ilmiy li al-Quran fi al-Mîzân. (Beirut : Dâr al-

Qutaibah 1991 M). al-Daghâmîn, Ziyâd Khalîl Muhammad. Manhajiyat al-Bahts fî al-Tafsîr al-Mawdhû'î li

al-Qurân al-Karîm. (Amman-Jordan : Dâr al-Bashîr, 1995 M.). al-Dzahabi, Muhammad Husein. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Cairo : Maktabah

Wahbah 1409 H). al-Farmâwî, 'Abd al-Hayy. al-Bidayah fî al-Tafsîr al-Mawdhû'î, (Kairo : al-Hadhârah

al-'Arabiyyah 1977 M). al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya' 'Ulum al-Din. (Beirut : Dâr al-Ma'rifah 1402 H). Hakim, Muhammad Baqir. 'Ulum al-Qur'an. (Beirut : Majma' al-Fikr al-Islâmî, t.th.). al-'Ik, Khalid Abd al-Rahmân. Ushul al-Tafsîr wa Qawâiduh, (Beirut : Dâr al-Nafâis,

1994M). al-Isfahânî, Muhammad Ali al-Ridhâî. Manâhij al-Tafsir wa ittijâhatuh Dirâsah

muqâranah fî manâhij tafsîr al-Qurân al-Karîm. (Beirut : Markaz al-Hadhârah li tanmiyat al-fikr al-Islamî. 2008).

al-Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar; al-Jâmi'ah li Durar al-Akhbar al-

Aimmat al-Athhar. (Teheran : al-Maktabat al-Islâmiyyah 1358 H). Muslim, Musthafa. Mabâhits fi al-Tafsîr al-Mawdhû'î. (Dimasyq : Dâr al-Qalam. 1989). al-Râzî, Fakhr al-Din. al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib. (Beirut : Dâr al-Kutub al-

'Ilmiyyah 1411 H). al-Rûmi, Fahd ibn Abd al-Rahmân. Ittijâhât al-Tafsîr fi al-Qarn al-Râbi' 'Asyar,

(Mamlakat al-'Arabiyyat al-Sa'ûdiyyah : tanpa percetakan t.th.). Subhani, Ja'far. tafsir shahîh ayat musykilah Qurân, (Qom, Iran : Tanzhîm Hadi

Khusrûsyâhî Muassasah Imam al-Shadiq as. 1371 H. Syamsiyyah) al-Suyûtî, Jalaluddin. al-Itqân fi Ulûm al-Quran. (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah

1407 H.). al-Qattan, Manna' Khalil. Mabâhits fi Ulûm al-Qurân, (terj. Studi Ilmu-ilmu al-Quran)

cet. V (Jakarta : PT. Pustaka Litera AntarNusa 2000 M).

Page 46: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 44 ]

PERANG SALIB: KONTESTASI ANTARA KESHOLEHAN

BERAGAMA DAN AMBISI POLITIK PRAKTIS DALAM SEJARAH PERANG SALIB

Oleh: Eka Hendry Ar. Penulis adalah Direktur Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic

Understanding (CAIREU) STAIN Pontianak

ABSTRACT The history of the development of the world's two largest religions (Islam and Christianity) is always filled with the ups and downs (referring to a book by Hugh Goddard) between harmony and conflict. Among the conflicts was the long experience of the Crusade, which took place approximately 3 centuries. This war has been made by some as precedent to continue and justify the conflict between the two religions at any time. This paper examines in depth the history of the Crusade, looks into the background context, interests and motives of the war that were labeled as the holy war. Many things surprised the author that this conflict conceals a lot of information and facts unknown to today’s generations. The author sees that there is a contestation or race between various interests in the history of the Crusade. The crusade turned out to be nothing more than wars labeled as holy but in fact no more than colossal profane such as violent conflicts involving the followers of other religions. Profaneness here not only means that the crusade was a real event, but it also means its background and motives were profane. The holy labeling was merely mobilization strategies to get support of the followers of the religions. Undeniably, there were sincere motives and religious devotion, but of course there were interests and motives purely temporal (secular). However it must be admitted that the crusade was one of the most successful examples of how religion became a major issue to garner support and warfare. A variety of logical justifications were made such as the places, people and position of the blessed to get support. The author also emphasizes that, the context around the time of the Crusade is important to understand, because the era was so far before our time. There were no massive expulsions of religious followers, no inquisition or seizure of holy land one by the religions. Nevertheless, the author realized, if similar things (read: imposition of will, restrictions of religious freedom) are practiced today, then conflict between followers of the religions will occur again since this will be very easy to justify on behalf of God to conduct acts of violence. Key words: Crusade, Holy War, God's blessed position, profane context and motives.

Page 47: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 45 ]

A. Pendahuluan Sejarah hubungan antar agama pernah diwarnai dengan pengalaman traumatic

yang memilukan, yaitu perang salib (crusades). Perang yang melibatkan tiga agama Abrahamic, Islam, Kristen dan Yahudi. Perang ini meskipun hanya tinggal sejarah masa lalu, namun tidak jarang romantisme perang tersebut seringkali dihidupkan kembali, sebagai pemantik rasa dendam antar para penganut agama-agama tersebut. Tidak jarang kita jumpai sekarang, benturan yang terjadi antar penganut agama di beberapa tempat akhir-akhir ini, dikait-kaitkan dengan ideologi perang salib atau bahkan secara eksplisit disebut perang salib mutakhir.

Tentu saja, atribusi seperti ini kurang relevan dan tidak logis, karena selain peristiwa perang salib merupakan sejarah masa lalu, kemudian motif konflik antar agama juga berbeda jauh antara perang salib dengan sekarang. Oleh karenanya, penulis tertarik untuk mendalami sejarah perang salib dengan harapan dapat memahami apa sesungguhnya yang terjadi dan apakah kemudian ideologi perang salib masih relevan untuk menerangkan fenomena konflik antar agama yang terjadi di masa sekarang.

Tulisan ini menyibak fakta-fakta yang menarik bahwa, ternyata dalam konflik kekerasan yang kita anggap sebagai sebuah peperangan suci (holy war) ternyata menyimpan banyak sekali misteri kemanusiaan. Fakta-fakta ini juga sekaligus membuktikan bahwa, ternyata tidak ada konflik yang benar-benar secara otonom dan pure sebagai konflik untuk persembahan suci kepada Tuhan, akan tetapi dapat dipastikan bahwa, di dalam konflik tersebut menyimpan berbagai macam motif dan kepentingan pragmatis duniawi. Ada motif politik perluasan wilayah, motif mempertahankan kedudukan dan pengaruh, serta motif ekonomi. Setidaknya pendapat seperti ini juga diamini oleh Sivan (dalam Carole Hillenbrand, 2007:301) Menurut Sivan bahwa, perang salib merupakan perjuangan ideologis (baca: jihad), namun elemen jihad selalu berjalan paralel dengan banyak faktor lainya seperti semangat ekspansionisme, kepentingan politik militer, xenophobia, ekonomi dan rasa takut terhadap serangan dari Eropa.

Pengungkapan fakta-fakta ini hemat penulis akan meruntuhkan justifikasi bahwa, perang salib adalah benar-benar perang suci persembahan tulus buat Tuhan yang jiwa atau spiritnya harus dilanggengkan hingga sekarang. Perang apapun dia, meskipun mengatas namakan Tuhan (war in the name of God), tetap saja didalamnya akan dijumpai berbagai ragam lapisan motif dan kepentingan. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kebenaran atau kekeliruan dari anggapan ini.

B. Latar Belakang Perang Salib Perang Salib terjadi dalam beberapa fase, setidaknya ada 2 fase. Fase pertama

berlangsung antara tahun 1095 s/d 1291 M. Perang Salib kedua berlangsung antara tahun 1145 sampai dengan 1149. Perang Salib pertama didasarkan pada Khotbah Paus Urban II pada tahun 27 November 1095 pada Konsili Clermont di depan para raja dan ksatria Eropa untuk merebut kembali Kota Yerussalem yang diduduki oleh Dinasti Seljuq dari Turki. (Simon Sebag Montefiore, 2012:256) Momentum pendudukan atau perebutan Yerussalem oleh Dinasti Seljuq dari tangan Imperium Konstantin dianggap

Page 48: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 46 ]

oleh Paus Urban sebagai momen strategis untuk menyatukan seluruh raja-raja Kristen di Eropa yang pada saat itu cenderung berkonflik antara mereka sendiri.

Provokasi Paus Urban II ini ternyata mujarab, karena dapat memantik semangat dan solidaritas umat Kristen Eropa terhadap Imperium Bizantium yang nota bene merupakan Imperium Kristen. Fatwa dari konsili Clermont ini kemudian cepat menyebar dan membakar “kemarahan” umat Kristen Eropa untuk kembali merebut Kota Suci Yerussalem. Bagi sebagian besar umat Kristen ini adalah manifestasi dari Jihad dan kehendak Allah. Jargon seperti Deus Vult ! Deus Vult (Allah menghendaki) menyiratkan bahwa, mereka menganggap ini adalah perjuangan di jalan Tuhan.

Tabel I Periodeisasi Perang Salib

Periode Tahun Tokoh Keterangan

Perang Salib I

1096-1144 M (Ada literature yang mengatakan 1095-1099 M.

Godfrey of Buillon, Baldwin I, Count Raymond, Bohemond, Graaf Toulouse, Tancred dan Robert Hertog

Pihak Atabeg Seljuk telah menghalangi orang Kristiani menziarahi tanah suci Baitul Maqdis dengan cara mengenakan cukai yang tinggi bagi orang yang melalui wilayah –wilayah sebelum sampai ke Baitul Maqdis. Kemarahan orang Kristen semakin memuncak dengan adanya penghancuran gereja suci oleh kerajaan Fatimiyyah pada tahun 1009 M, dimana gereja tersebut dibangun di atas makam nabi Isa as.

Perang Salib II

1144-1192 M Versi lain 1147-1149 M

Salahuddin Al-Ayubi

jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi pasukan Salib yang dikomando oleh Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, yang setelah itu diganti dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota-kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib, antara lain: Damaskus, Antiokia, dan Mesir. Keberhasilan kaum Muslimin meraih banyak kemenangan terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Priode ini juga ditandai dengan telah disepakati perjanjian antara kaum Salib

Page 49: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 47 ]

dengan Islam. Intinya adalah perjanjian damai yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanaNnya.

Perang Salib III

1193-1291 M Versi lain 1189 – 1191 M

Kaisar Fredrick I Barbarosa dari Jerman Philip II August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2262194-periodisasi-perang-salib-perang-salib/#ixzz2UCQJQCiS

Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah pimpinan Shalahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan kemampuannya mengatasi angkatan-angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume. Priode ini juga ditandai dengan perpecahan internal pasukan Salib. Penyerangan terhadap Konstantinopel oleh pasukan Salib sendiri. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2262194-periodisasi-perang-salib-perang-salib/#ixzz2UCQwms9K

Sumber: Penulis hanya melihat pada 3 priode utama dari perang salib versi Philip Khuri Hitti. Meskipun kita tahu perang salib terjadi lebih dari 3 kali. (Diolah oleh penulis berdasarkan berbagai sumber, 2013).

Menurut Karen Amstrong (2003:27-28) pada musim semi tahun 1096, tidak

kurang ada 60.000 Kristen yang berangkat ke Yerussalem, mereka terdiri dari para prajurit dan penziarah. Gelombang pertama ini kemudian disusul oleh gelombang kedua yang berjumlah kurang lebih 100.000 lelaki, para pendeta dan penziarah. Jumlah yang cukup fantastik. Mengapa seruan Paus Urban II demikian bertenaga ini menjadi sebuah pertanyaan tersendiri. Karena menurut Karen Amstrong perang salib betul betul menarik minat semua kelas masyarakat, mulai dari para paus, raja-raja, kaum bangsawan, pendeta, para tentara dan bahkan para petani. Mereka menjual atau mengorbankan segala harta yang mereka miliki demi perjuangan tersebut. Motifnya bermacam-macam, mulai dari ideologis sampai pragmatis. Namun, tidak sedikit yang benar-benar terbakar secara ideologis dan keagamaan. Karen mengilustrasikan semangat keagamaan tersebut sebagai berikut:

“Orang-orang menjual semua yang mereka miliki sebagai bekal dalam ekspedisi yang panjang dan berbahaya. Sebagian besar mereka tidak terilhami oleh nafsu keuntungan material. Mereka tercengkram oleh gairah keagamaan. Mereka menjahitkan tanda salib di baju mereka dan berbaris ke tanah tempat Yesus wafat untuk

Page 50: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 48 ]

menyelamatkan dunia. Perjalanan itu merupakan ziarah penuh pengabdian sekaligus perang permusuhan”. (Karen Amstrong, 2003:28)

Ada beberapa faktor yang dijadikan dasar atau argumentasi Paus Urban II untuk menggerakkan umat Kristiani untuk melakukan Perang Salib. Secara umum menurut Philip Khuri Hitti (811) perang salib merupakan reaksi orang Kristen di Eropa terhadap Muslim di Asia, yang telah menyerang dan menguasai wilayah Kristen sejak 632, tidak hanya di Suriah dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Kemudian faktor-faktor khusus yang lebih spesifik (dan sekaligus mengabarkan peta kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Salib) diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, pendudukan Kota Yerussalem oleh Dinasti Seljuq dari tangan Imperium Bizantium. Dinasti Seljuq merupakan kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Daerah pendudukkannya lumayan luas, mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah, terbentang dari Anatolia hingga Punjab (India) di Asia Selatan. Melalui pertempuran Minzikert tahun 1071 M, militer Seljuk berhasil memukul mundur Bizantium yang pada saat itu bercokol di Palestina.

Kedua, kota Yerussalem merupakan kota Suci umat Kristiani, karena mereka menyakini kota Yerussalem merupakan tempat kelahiran Isa Al-Masih (Yesus Kristus). Ummat Kristiani biasa berziarah ke Yerussalem. Namun, ketika kota ini diduduki oleh orang-orang Islam, tentu saja ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap kota suci mereka. Oleh karenanya, ketika dikatakan merebut kembali kota suci, antusias dan semangat umat Kristiani menjadi membara.

Ketiga, faktor perpecahan yang terjadi antara umat Kristiani sendiri di Eropa yang suka berperang antara sesama mereka. Paus Urban II berpandangan, dari pada berperang antara sesama mereka, akan jauh lebih baik kalau mereka berperang melawan musuh agama mereka. Perebutan Yerussalem oleh Dinasti Seljuq menjadi momentum yang tepat untuk menciptakan musuh bersama (common enemy) dalam rangka menyatukan semua kekuatan umat Kristiani Eropa.

Keempat, diantara alasan seruan perang Salib oleh Paus Urban II adalah adanya keretakan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Jadi seruan perang Salib ini diharapkan dapat mememulihkan kembalik keretakan yang tumbuh di antara Gereja-gereja Timur dan Barat. (Karen Amstrong, 2003:252) Karena sejak 1009 hingga 1054 antara Gereja Yunani dan Gereja Roma mengalami perpecahan. (Philip K. Hitti, 2008:811)

Kelima, menurut Philip K. Hitti (2008:811) adalah kecenderungan gaya hidup nomaden dan militeristik suku-suku Teutonik-Jerman yang telah mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki babak sejarah; dan perusakan Makam Suci milik Gereja, tempat ziarah ribuan orang Eropa yang kunci-kuncinya telah diserahkan pada 800 M kepada Charlemagne dengan berkah dari Uskup Yerussalem oleh al-Hakim. Keadaan itu semakin parah karena pada peziarah merasa keberatan untuk melewati wilayah muslim di Asia Kecil.

Disamping faktor-faktor di atas, Alwi Alatas (2012:36-37) mengatakan ada juga peristiwa lain yang menguatkan secara psikologi Paus Urbanus II mengkampanyekan perang salib. Peristiwa pertama adalah penaklukan Sisilia dan Italia Selatan oleh Bangsa Norman yang dipimpin oleh Roger (w. 1101) dan Robert Guiscard (w. 1085). Wilayah

Page 51: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 49 ]

ini semula dikuasai oleh kaum Muslimin selama lebih dari 2 abad. Peristiwa kedua adalah penaklukan Toledo oleh Kerajaan Castile di Spanyol tahun 1085. Toledo juga merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Andalusia (Spanyol). Dua wilayah tersebut kemudian menjadi daerah kekuasaan Kristen. Dua peristiwa ini meskipun bukan faktor langsung pendorong perang salib, akan tetapi memadai menjadi pendorong atau pemotivasi bagi Paus Urbanus II untuk melakukan perang salib.

Berdasarkan kajian di atas, penulis berpandangan bahwa, motivasi sesungguhnya dari seruan Paus Urbanus II adalah lebih kepada upaya untuk mengokohkan otoritas Gereja Roma sebagai pusat tertinggi dari otoritas Gereja di dunia. Pemanfaatan isu tentang pendudukan kota suci Jerussalem dan gangguan terhadap para penziarah suci (baca: orang-orang Kristen yang hendak berziarah ke Jerussalem) merupakan sebuah upaya yang “cemerlang”, karena dapat dipastikan sangat sensitif menyentuh emosi keagamaan umat Kristiani. Oleh karenanya sangat mudah bagi Paus Urbanus untuk memobilisasi dukungan dari berbagai pihak. Dalam konteks ingin menjadikan Gereja Roma sebagai lembaga yang paling otoritatif (bergengsi), hemat penulis, Paus Urbanus telah mencapai tujuan tersebut. Walaupun dalam konteks menyatukan antara dua polarisasi Gereja (Timur dan Barat) sepertinya tidak berhasil. Otoritas Gereja Roma menjadi pusat kekuasaan tertinggi dari penganut Kristen, terutama umat Kristen Eropa. Paus dapat mengkonsolidasi para raja-raja Eropa dan para kesatria untuk turut ambil bagian dalam “misi suci” tersebut.

C. Respon Dari Kristen Timur Terhadap Ekspedisi Pasukan Salib Bagi penganut Kristen Timur (di Konstantinopel) walaupun di satu sisi mereka

membutuhkan dukungan dan bantuan dari saudara Kristennya dari Eropa untuk menghadapi rongrongan dinasti Seljuk dan Usmaniyah. Namun, karena terdapat banyak sekali perbedaan antara Kristen Barat dan Timur (termasuk dalam hal karakteristik kebudayaannya di samping perbedaan konsep beragamanya), sebenarnya ada “ganjalan-ganjalan”, terutama pada Kristen Yunani (atau Kristen Timur) terhadap saudaranya dari Barat.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Roger Crowley (2013:32) bahwa, dikalangan orang Kristen Yunani (Konstantinopel) menilai saudara-saudara mereka dari Barat seperti petualang Barbar yang tak berbudaya. Mereka menganggap misi mereka (baca: orang-orang Kristen dari Barat/Pasukan perang salib) penuh kemunafikan, karena mereka sebenarnya memiliki misi penaklukan dibalik simbol dan jargon keagamaan.

“Perang Salib dianggap sebagai proyek untuk membuktikan keteguhan Islam Turki. Terhadap Bani Saljuk-lah, “ras terkutuk, ras yang terkecil dari Tuhan,” Paus Uran II mengarahkan khotbahnya yang sangat menentukan di Clermont pada 1095. Perang itu bertujuan”mengeyahkan ras kotor ini dari tanah kita”. Pidato itu menjadi awal perang salib untuk tahun 350 tahun kemudian. Meski mendapat dukungan dari saudara-saudara Kristen mereka di Barat, peperangan ini ingin menunjukkan siksaan berat bagi orang Byzantium. Dari Togo dan daerah-daerah di depannya mereka didatangi gelombang kesatria perompak, kebutuhan hidup, dan rasa terima kasih dari saudara-saudara Kristen Ortodoks mereka ketika mereka bergerak ke selatan melintasi kekaisaran menuju Yerusalem. Pertemuan ini menimbulkan kesalahpahaman dan kecurigaan di antara mereka. Keduanya punya kesempatan mengamati dari dekat

Page 52: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 50 ]

perbedaan tata cara dan bentuk kebaktian masing-masing. Orang Yunani melihat saudara-saudara mereka dari Barat yang berbaju tempur tak lebih dari para petualang barbar yang tka berbudaya; misi mereka penuh kemunafikan karena menopengi penaklukan dengan kesalahan: “mereka terlalu tinggi hati, kejam dan terkesima oleh keangkaraan Kekaisaran yang telah mendarah daing,” kata Nicetas Chroniates”. (Roger Crowley, 2013: 31-32)

Apa yang dikemukakan oleh Roger Crowley menunjukkan bahwa, ada prasangka yang tumbuh antara Kristen Barat dan Kristen Timur (Konstantinopel) Bagi penguasa Konstantinopel, kedatangan tentara salib dari Eropa sebenarnya “menganggu” mereka, karena ada perbedaan-perbedaan sebagaiaman disebutkan sebelumnya. Sebaliknya, kalangan tentara Salib dari Barat juga menaruh prasangka terhadap saudara Kristen mereka di Konstantinopel. Mereka menganggap orang Byzantium sebagai penganut bid’ah dengan pandangan hidup ala orang timur yang berbahaya. Kecurigaan semakin menjadi-jadi, manakala tentara Salib melihat berdiri sebuah masjid di dalam kota yang akan dipersembahkan kepada perawan Maria itu. (Roger Crowley, 2013:32)

“Konstantinopel sombong dengan kekayaan, pongah dalam tingkah polahnya, dan menyeleweng dalam keimanannya,” tegas prajurit Salib Odo de Deuil”. (Roger Crowley, 2013:32).

Kesalingcurigaan ini barangkali yang mendasari anggapan Paus Urban II mengapa dua bentuk Kristen ini sukar disatukan. Namun, fakta ini juga bisa menjadi dasar penilaian mengapa perang salib tidak mencapai kesuksesan besar, karena diam-diam masih terdapat “jarak” antara Kristen Timur dan Barat ini. Pandangan ini terbukti, dalam perang salib IV, bagaimana pasukan Salib (dari Barat) malah berbalik menghancurkan Konstantinopel.

Mobilisasi para prajurit Perang Salib (Kaum Frank) dari Eropa Barat ke Konstantinopel ternyata tidak selalu dianggap positif oleh penguasa Byzantium sendiri. Ada kontroversi yang serius terjadi disini. Bagi kaum penyerang (kaum Frank) kekalahan Byzantium terhadap Dinasti Seljuq merupakan sesuatu yang memalukan dan strategi negosiasi antara Alexius (kaisar Byzantium) dengan orang-orang Islam dianggap oleh mereka sebagai bentuk kelemahan dan sulit dimengerti oleh akal sehat mereka. Sementara itu, disisi para penguasa Byzantium, kedatangan para prajurit Salib ini dianggap sebagai sebuah ancaman terlebih lagi dengan jargon-jargon mereka tentang perang suci. Oleh karenanya, para penguasa Yunani ini menganggap kaum Kristen Barat ini sebagai kaum Barbar yang bodoh.

“Di Konstantinopel, para Tentara Salib memasuki dunia yang berbeda. Mereka menatap penuh takjub pada istana-istana, gereja-gereja, dan taman-taman, karena waktu itu belum ada hal-hal secanggih dan semaju itu di Eropa. Kota itu juga menjadi tempat koleksi relic terbesar di dunia dan para Tentara Salib mestilah merasa dikelilingi oleh kekuatan dan kesucian Tuhan dari semua sisi. Tapi mereka juga mesti merasa cemburu dan marh pada orang-orang Yunani, yang menurut mereka terlihat tidak ayak bagi peninggalan spiritual tersebut. Kaum Frank yang suka berperang tidak dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang amatlah tidak sesuai dengan ajaran Kristen, dan memilih untuk membuat berbagai perjanjian dengan kaum Muslim serta mencari penyelesaian diplomatic ketimbang menumpahkan darah yang dirasa

Page 53: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 51 ]

tidak perlu. Mereka juga tidak dapat menghormati Alexius, Kaisar Byzantium, yang membiarkan dirinya dikalahkan oleh orang Turki. Para Tentara Salib dari Eropa itu betul-betul kekurangan cara pandang politik untuk memahami jalan-cerdas yang diambil oleh orang Byzantium yang telah berhasil menahan Islam di pelabuhan selama berabad-abad. Para tentara itu hanya dapat memandang bahwa kebijakan orang Byzantiumitu pengecut dan tidak terhormat. Sementara itu, orang Yunan sendiri merasa ngeri terhadap pandangan kaum Frank dan pembicaraan mereka mengenai kesucian perang. Mereka merasa bahwa para Tentara Salib yang begitu banyak dan berkemah di pinggiran kota mereka adalah ancaman, dan hanya dapat melihat kaum Kristen Barat itu sebagai kaum Barbar yang bodoh. Alexius tentu saja tidak memercayai para Tentara Salib”. (Karen Amstrong, 2003:250-251).

Jadi diam-diam ada kekhawatiran yang besar di benar Alexius terhadap sikap arogan dan orientasi kekuasaan para bangsawan dan raja Eropa tersebut. Oleh karenanya, Alexius mengajukan sebuah persyaratan kepada para panglima perang Salib agar setelah daerah-daerah Timur tersebut berhasil di taklukkan, mereka tetap tunduk kepada kekuasaan imperium Byzantium. Tentu saja keinginan ini ditolak mentah-mentah oleh tentara Salib, bahkan ini dianggap sangat melecehkan semangat suci dari perang Salib. Hal ini sempat memicu sebuah penyerangan yang dipimpin oleh Godfrey (Keturunan Charlemegne) ke sebuah daerah pinggiran di Konstantinopel. Penyerangan ini berlangsung pada hari Jumat Agung. Orang-orang Byzantium menganggap serangan di hari Jumat Agung ini sebagai bentuk pelecehan terhadap agama mereka. Terjadilah perselisihan antara Gereja Barat dan Gereja Yunani.

Namun konflik ini tidak berlangsung lama. Karena para panglima perang Salib kemudian menyadari bahwa, mustahil mereka dapat menguasai Yerussalem tanpa bantuan dan dukungan dari Byzantium. Akhirnya dengan berat hati kesepatan yang diajukan oleh Kaisar Alexius diterima oleh tentara Salib.

D. Motif Perang Salib Antara Muslim dan Kristian Sebenarnya tidak mudah untuk dapat memahami motif tindakan (keterlibatan)

orang-orang Kristen dalam perang salib, karena selain perang salib sebagai sebuah fenomena yang massif, ia juga harus dipahami dalam konteks di masa lalu (yang jauh terpaut waktunya dengan kita sekarang). Alih-alih ingin memahami, bisa-bisa malah membuat kita terjebak ke dalam simplifikasi fenomena yang rumit tersebut. Terlebih lagi ini berkenaan dengan perang, motif orang turut berperang. Bayangkan saja, orang mau turut serta berperang, menjual harta benda yang dimiliki, meninggalkan kampung halaman (dan tanah air), melakukan perjalanan yang sangat jauh (ukuran waktu itu) berbula-bulan dan bahkan tahunan.

Hemat penulis, secanggih apapun teori tentang motivasi, kiranya sukar untuk dapat secara komprehensif memahami fenomena ini. Teori-teori tersebut paling-paling mengkonstruksi pemahaman yang bersifat parsial, atau malah terjebak ke dalam “pengkaburan” sejarah. Kesadaran ini penting penulis kemukakan diawal, dengan maksud apapun yang menjadi hasil dari analisa penulis, kadarnya bersifat relatif belaka.

Motivasi Secara etimologis berasal dari bahasa Latin movere yang berarti menggerakkan (to move). Diserap dalam bahasa Inggris menjadi motivation berarti

Page 54: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 52 ]

pemberian motif, menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Secara psikologis, motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan dari luar seperti status ataupun materi. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen di luar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi. Defenisi ini masih bersifat umum, sementara dalam konteks tulisan ini lebih terfokus pada motif tindakan atau keterlibatan dalam sebuah perang kolosal. Jadi, diperlukan sebuah kerangka teori yang dapat menerangkan tentang logika perang atau faktor penyebab timbulnya kekerasan.

Untuk membantu analisa penulis tentang motif tindakan orang-orang yang terlibat dalam perang salib, penulis menggunakan pendekatan teori tindakan rasional dari Max Weber. Menurut Bachtiar (2006) aksi adalah zweckrational (berguna secara rasional) manakala seseorang menerapkan dalam suatu situasi dengan pluralitas cara – cara dan tujuan – tujuan dimana seseorang bebas memilih cara – caranya secara murni untuk keperluan efisiensi. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Lebih lanjut menurut Weber (dalam I.B. Wirawan, 2012:136) untuk memahami motif dan makna tindakan manusia itu terkait dengan tujuan. Tindakan individu adalah tindakan subjektif yang merujuk pada suatu motif tujuan (in order to motive) yang sebelumnya mengalami proses intersubjektif berupa hubungan tatap muka antar person yang bersifat unik. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana – sarana yang paling tepat. (Ritzer, 1983)

Namun dalam masing-masing individu yang terlibat dalam perang salib tersebut dapat dipastikan memiliki berbagai macam motif tindakan. Ada yang berorientasi nilai (seperti perjuangan suci, membebaskan tanah suci, penyatuan otoritas Gereja, penyatuan para ksatria Eropa), ada yang tindakan rasional instrumental (ada ambisi dan kepentingan pribadi seperti merebut tanah, mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, atau menaikkan prestise sosial), ada yang keikut-sertaannya berdasarkan tindakan afektif (emosional keagamaan semata, solidaritas sesama agama atau penghapusan dosa) atau malah ada yang semata sebagai tindakan tradisional atau ikut-ikutan (euporia).

Atas dasar kerangka teori ini, penulis berupaya mengidentifikasi motif dan kepentingan masing-masing pihak yang saling berhadapan (direct disputant), yaitu pasukan salib dan kaum Muslimin. Penulis memisahkan antara motif yang berkembang di kalangan pasukan Salib dan Islam. Motif ini penting, untuk melihat seperti apa pihak-pihak yang berkonflik (disputants) ini memaknai “perang suci” tersebut.

Bagi para ksatria Kristen, perang salib merupakan perang yang membutuhkan dukungan dana yang besar. Karena, selain proses perang akan berlangsung lama dan jarak yang ditempuh yang demikian jauh. Karena Amstrong (2003:245) mencatat dalam perang tersebut seorang ksatria harus membekali dirinya dengan beberapa ekor kuda, pelayan-pelayan, baju tempur dan peralatan persenjataan. Oleh karenanya, tidak jarang mereka harus menjual atau menggadaikan harta dan tanah mereka agar bisa ikut

Page 55: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 53 ]

dalam perang salib. Namun solidiritas antara sesama prajurit terbangun di sini, para ksatria yang kaya mensuplai bantuan kepada ksatria yang lebih miskin.

Motif pengorbanan ini apakah murni sebagai panggilan suci agama ? Karen Amstrong (2003:245-246) mengatakan bahwa, di balik motif keagamaan tersebut terdapat juga motif pragmatis baik itu motif ekonomi, kekuasaan dan politik. Ia mencontohkan beberapa kesatria dan bangsawan yang terlibat dalam perang tersebut, selain memang karena dorongan ideologi agama, juga memiliki agenda-agendan pragmatis seperti Bohemund salah seorang panglima perang salib. Kemudian Godfrey dari Bouillon yang juga seorang panglima yang memimpin rombongan pertama tentara Salib yang berangkat pada bulan Agustus 1096.

“Pada Godfrey, sang pahlawan Perang Salib, kita juga melihat campuran antara motif ekonomi dan politik”. (Karen Amstrong, 2003:246)

“Selama perang Salib itu pertimbangan praktis dan kesalahan hadir bersama-sama secara amat mudah. Seakan-akan mereka sungguh-sungguh percaya bahwa bekerja demi keberhasilan duniawi mereka sendiri cukup sesuai dengan kehendak Tuhan. Para tentara Salib amat bersemangat, tetapi mereka belum menciptakan sebuah ideologi perang Salib yang jelas dan dapat dianut oleh seluruh pasukan. Para tentara biasa memiliki harapan-harapan dan cita-cita yang berbeda-beda. Beberapa memandang perang Salib sebagai pembalasan dendam yang bersifat religius. Sebagian memiliki harapan apokaliptik akan suatu dunia baru dan sebagian lain terpikat oleh pesona Kota Suci Yerussalem. Banyak dari mereka yang mungkin percaya bahwa mereka akan meningkatkan taraf hidup mereka dan menjadi kaya serta terkenal. Atau ada juga yang memang sekedar ingin bertualang, sebagaimana juga ada yang karena didorong oleh kesalahan yang kuat. Namun demikian, semua motif campur-aduk ini tertransformasikan oleh pengalaman Perang Salib itu sendiri. Bergabung dalam perang Salib ternyata amat berbeda dengan ekspektasi setiap orang. Kengerian serta ketakjuban selama operasi pertempuran itu telah melahirkan cita-cita yang menjadi versi yang khas Kristen tentang perang suci”. (Karen Amstrong, 2003:249).

Jadi motif keterlibatan para bangsawan dan para prajurit dalam perang Salib ini boleh dibilang tampang tindih. Di satu sisi ada semangat suci keagamaan yang boleh jadi cukup kuat. Namun, di sisi lain, motif-motif pragmatis juga menjadi bagian dari keterlibatan tersebut. Hal ini terjadi, karena imbas dari konflik politik dan kekuasaan yang jamak terjadi antara para bangsawan di Eropa. Kemudian ditambah lagi, Yerusalem dimata sebagian prajurit dianggap sebagai the new land yang dapat menjanjikan kesejahteraan dan masa depan.

Keragaman motif para prajurit Salib juga diakui oleh Philip K. Hitti (2008: 812). Philip mencatat bahwa, orang-orang seperti Bohemond yang berambisi mendapatkan kembali kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri. Para saudagar Pisa, Venesia, dan Genoa tertarik untuk ikut serta dalam perang itu karena motif komersial. Orang-orang romantis, orang yang gelisah, dan para pemberani, termasuk orang-orang Kristen saleh menjadikan perang itu sebagai sandaran baru bagi kehidupan mereka. Sedangkan bagi mereka-mereka yang merasa banyak dosa, moment perang Salib menjadi wahana penebusan dosa. Kemudian, bagi sebagian besar rakyat Prancis, Lorraine, Italia dan Sisilia, yang tengah berada di bawah tekanan ekonomi dan sosial, membawa salib lebih menjadi salah satu bentuk pembebasan ketimbang hanya sebentuk pengorbanan. Jadi

Page 56: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 54 ]

ada beragam motif dan kepentingan pihak Kristen dalam perang salib. Motifnya tidak hanya bersifat ideologis dan keagamaan, akan tetapi tidak sedikit juga yang berorientasi kepada kepentingan dan motif pragmatis duniawi.

Kemudian di kalangan umat Islam, perang salib merupakan pilihan yang tidak bisa tidak, karena posisi umat Islam adalah pihak yang diserang atau dianggap sebagai pihak yang melakukan pendudukan (conquerers). Melawan merupakan pilihan yang harus dilakukan oleh umat Islam yang telah menduduki Yerussalem. Namun demikian, ada faktor-faktor lain yang turut memberikan andil terhadap peran serta umat Islam tersebut, yaitu kabar tentang kondisi umat Islam yang berada di Eropa. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa semenjak terjadinya penyatuan antara Raja Arragon dan Castilia, kondisi umat Islam dan juga Yahudi semakin terpojok di bawah kekuasaan tersebut.

Kemerdekaan beragama serta merta hilang di Eropa, orang menjadi khawatir dengan agama yang mereka anut. Ancaman untuk pindah agama atau angkat kaki dari Eropa menjadi momok menakutkan bagi umat Islam dan Yahudi. Tidak sedikit umat Islam, yang kemudian bermigrasi ke negara lain, dan ada juga yang memilih cara aman dengan menyembunyikan kepercayaannya. Dengan berpura-pura memeluk Kristen, tetapi sebenarnya masih memegang dan mempraktekkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi. Mereka ini disebut dengan Kripto-Muslim.

Kripto-Muslim, satu kondisi yang dilematis, karena harus menyembunyikan keyakinan agama yang sesungguhnya. Diceritakan oleh Philip K. Hitti, orang-orang Kripto-Muslim ini kalau mereka menyelenggarakan upacara pernikahan, mereka terpaksa harus mengikuti cara Kristen terlebih dahulu, baru kemudian melakukan aqad nikah ala Islam secara sembunyi-sembunyi. Kemudian, mereka memberikan nama Kristen pada nama publik mereka, tapi tetap mempunyai nama Arab secara pribadi.

Kampanye Kardinal Ximenez de Cisneros tahun 1499 mengakibatkan proses inkuisi semakin menjadi-jadi. Akibatnya, buku-buku tentang Islam habis dimusnahkan dengan cara dibakar. Orang-orang Islam yang berada dalam kekuasaan Granada ini kemudian semuanya disebut Moriscos, nama yang semula diperuntukkan bagi orang Spanyol yang memeluk Islam. Moriscos dalam bahasa Spanyol berarti Moro kecil. Orang Romawi menurut Phillip K. Hitti menyebut Afrika Barat dengan nama Mauratania dan penduduknya disebut Mauri. Philip menduga ini dari bahasa Phoenix yang artinya Barat. Dalam bahasa Spanyol menjadi Moro, dalam bahasa Inggris, Moor. Karenanya, orang-orang Berber cocok mendapat sebutan Moor. Termasuk orang orang-orang Muslim Filipina disebut dengan Moro, karena nama ini diberikan oleh orang Spanyol yang menemukan pulau ini, yaitu Magellan pada tahun 1521. (Philip K. Hitti, 2008: 706)

Lebih parah lagi tahun 1501, keluar sebuah dektrit kerajaan yang menyatakan semua orang Muslim di Castille dan Leon harus memeluk agama Kristen, atau jika tidak, maka mereka harus meninggalkan Spanyol. (Philip K. Hitti, 2008:707) Walaupun kemudian dektrit tersebut tidak diterapkan secara kaku atau keras. Tahun 1526, kaum Muslim Aragon juga dihadapkan pada dua alternatif serupa. Tahun 1556, Raja Philip II menetapkan sebuah hukum yang mewajibkan semua muslim untuk meninggalkan bahasa, peribadatan, institusi, dan cara hidup mereka. Bahkan, Raja Philip II memerintahkan untuk menghancurkan tempat-tempat permandian yang dibuat oleh

Page 57: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 55 ]

orang Muslim, karena dianggap sebagai peninggalan dari kekafiran. Perintah pengusiran terakhir dikeluarkan oleh Raja Philip III tahun 1609, yang mengakibatkan deportasi en masse secara paksa atas hampir semua orang Muslim di dataran Spanyol. (Philip K. Hitti, 2008: 707) Jadi, selain sebagai bentuk reaksi atas penyerangan pasukan salib, umat Islam juga terprovokasi oleh informasi tentang kondisi umat Islam yang “ditindas” di Eropa. Dengan demikian semakin cukuplah alasan bagi umat Islam untuk turut serta berperang melawan pasukan Salib.

Berdasarkan kajian terhadap motif dan kepentingan kedua belah pihak yang berperang dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, masing-masing pihak memiliki dasar argumentasi yang sama-sama rasional untuk membela agamanya masing-masing. Semua pihak merasa sama-sama didzalimi oleh pihak lain. Ummat Kristen merasa didzalimi karena tanah sucinya diduduki oleh umat Islam, sehingga sulit bagi mereka untuk mengunjunginya (berziarah). Sebaliknya umat Islam juga merasa berhak atas Yerussalem, kota suci setelah Mekah dan Madinah. Logika didzalimi juga berlaku bagi kalangan Muslim, karena proses inquisisi oleh penguasa Kristen terhadap kepercayaan beragama umat Islam di Eropa. Dalam posisi biner seperti ini memang sukar untuk menegasikan eksistensi perang salib, karena kedua belah pihak sama-sama pada posisi yang diyakini benar (God’s blessed position).

Logika merasa diberkati ini merupakan salah satu kendala teologis (theological obstacles) yang akan menghantui sejarah perjalanan antar umat beragama di masa kini dan masa yang akan datang. Ia sekaligus sebagai sebuah dilema dari keniscayaan orang beragama secara benar. Oleh karenanya, disini letak tugas terberat bagi para teolog, para ustad, pastur dan pendeta, untuk berani mengkritisi logika diberkati pada masing-masing keyakinan beragamanya. Tanpa harus menghilangkan keniscayaan beragama secara benar, tapi tetap juga dapat berpikir jernih dalam mencermati konstruksi argumentasi tentang logika diberkati.

E. Penutup Kajian di atas memperlihatkan bahwa ada semacam “kontestasi” atau

“perlombaan” dalam sejarah perang salib, yaitu perlombaan antara berbagai kepentingan (yang berlapis-lapis) mulai dari kepentingan ideologis keagamaan yang suci hingga kepentingan-kepentingan pragmatis yang bersifat profane. Disebut kontestasi, karena sekian banyak kepentingan yang mendorong atau memotivasi pihak-pihak yang berkonflik (disputants / crusaders) seolah-olah sedang berkontestasi diantara hiruk pikuk perang kolosal antar penganut agama terpanjang dalam sejarah. Perang salib merupakan sebuah fenomena yang komplek, dari segi kepentingan, dari segi motivasi, aspek kontekstual, dari segi pihak-pihak yang terlibat (disputant) dan masa konflik yang juga sangat panjang lebih dari 3 abad (abad 11 s/d 13 M). Sehingga sukar bagi kita untuk mengatakan bahwa, konflik ini murni sebagai konflik keagamaan.

Apalagi dianggap sebagai legitimasi konflik keagamaan yang berkelanjutan, yang oleh sebagian kalangan dijadikan preseden bahwa, kedua agama ini tidak akan pernah “berdamai” sepanjang masa. Penulis melihat, perang salib sebagai salah satu contoh paling sukses menjadikan agama sebagai instrument mobilisasi semangat peperangan untuk sebuah kepentingan-kepentingan duniawi (profane interests).

Page 58: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 56 ]

Dengan demikian, ini tidak memadai untuk menjadi dasar legitimasi untuk terus menerus “menghidupkan bara api dendam” antara kedua agama ini di masa moderen (dan hingga kapanpun di masa depan). Karena, kita sadar betul bahwa, latar belakang konflik ini adalah sangat profane (duniawi), pragmatis dan kontekstual. Sekiranya konflik terjadi di masa kini dan masa depan, dengan melibatkan kedua penganut agama yang sama, maka itu juga harus dilihat dalam lingkup konteks dan kepentingan empirisnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang salib.

Distansi antara inti ajaran agama (essence of religious teaching) dan pemanfaatan agama (mobilizing of religious issues) harus dilakukan, agar tidak terjadi distorsi terhadap urgensi dari eksistensi agama. Penulis menyambut gagasan charter of compassion (piagam belas kasih) dari Karen Amstrong (2013) bahwa, tugas dari para penganut agama-agama di dunia ini adalah berupaya semaksimal mungkin mencari persamaan (common platform) dari inti ajaran agama yaitu kasih sayang antara sesama umat manusia. Wa Allah a’lam bi shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi Alatas. 2012. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Zikrul Hakim. Jakarta. Carole Hillenbrand. 1999. Perang Salib Sudut Pandang Islam (diterjemahkan dari The

Crusade, Islamic Persfective) Cet. 3. PT. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. David Levering Lewis. 2012. The Greatness of Al-Andalus : Ketika Islam Mewarnai

Peradaban Barat. (diterjemahkan dari God Crucible: Islam and The Making of Europe, 570-1215) cet. 3. PT. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta.

Felix Y. Siauw. 2011. Muhammad Al-Fatih 1453. Khilafah Press. Jakarta. Hugh Goddard. 2013. Sejarah Perjumpaan Islam Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru

Dua Komunitas Agama Terbesar di Dunia. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. Philip K. Hitti. 2001 (edisi revisi). Sejarah Ringkas Dunia Arab. Pustaka Iqra.

Yogyakarta. Philip K. Hitti. 2008. History of The Arabs (Terjemahan Indonesia). PT Serambi Ilmu

Semesta. Jakarta. Karen Amstrong. 2002. Islam: A Short History. Ikon. Yogya

Page 59: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 57 ]

Karen Amstrong. 2003. Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (Diterjemahkan dari buku Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World). PT. Serambi Ilmu Semesta.

Karen Amstrong. 2013. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Mizan

Bandung. Roger Crowley. 2013. 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel Ke Tangan Muslim.

(diterjemahkan dari 1453 The Holy War for Constantinople and The Clash of Islam and the west). Cet. 3. PT. Pustaka Alvabet. Jakarta.

Simon Sebag Montefiore. 2012. Jerusalem The Biography (Terjemahan cet. kedua).

Pustaka Alvabet. Jakarta.

Page 60: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 58 ]

AL-QUR’AN DAN KECERDASAN SPIRITUAL: UPAYA MENYINGKAP RAHASIA ALLAH

DALAM AL-QUR’AN Oleh: Idaman dan Samsul Hidayat

Penulis adalah Dosen Universitas Haluoleo Kendari

ABSTRACT

This article attempts to describe the phenomena of spiritual quotient by referring to several stories which still contain unrevealed secrets in the Qur‟an. Spiritual quotient is a form of intelligence that uses spiritual process or in the Islamic mystical term called irfani. Moslem great mystics in the past used irfani method to elaborate Allah‟s secrets in the Qur‟an. The method of understanding Quranic verses using the irfani medium is called irfani interpretation method. By using this method, Sufis interpret Allah‟s verses based on their thought, behavior and spiritual light. Undeniably, those Sufis were also influenced by their own culture or cultural characters such as those of the Persian, Indian and Greek. Islamic mystics who usually used this method in their interpretation of the Qur‟an were Ibn „Arabi, Mansur al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Imam al-Ghazali, Syihabuddin Suhrawardi al-Maqtul, etc. Thus, revealing the Quranic secrets not only followed the procedure of interpretation that had existed before, namely naqli and aqli interpretation, but also used spiritual ability and spiritual quotient. They (Islamic mystics) not only see and understand the literal meanings but also the spiritual meanings of Allah‟s message. Keywords: Spiritual intelligence, Islamic Mystics, ‘Irfani, Naqli and Aqli Methods

A. Pendahuluan “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,

yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?. Dia menjawab: “sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? Musa berkata: Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan. Dia berkata: jika kamu mengikutiku, maka

Page 61: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 59 ]

janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”

(QS alKahfi 18: 65-70) Nabi Khidir ngandika aglis gedhe endi sira lawan jagad kalawan gunungipun samudrane alase sami Tan sesak lumebuwa mring jro garbaningsun seh Malaya duk miyarsa esmu ajrih kongsi sandika tureki mudheng Sang Marbudengrat (Serat Walisana, Dhandhanggula) Al-Qur‟an bagi segenap kaum muslimin dianggap sebagai wahyu dari allah Swt

yang mampu memberi jalan terang dan pedoman hidup, baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (hablun min al-Allah), maupun dalam kaitannya dengan proses-proses sosial yang dilakukan oleh manusia sesamanya (hablun min al-nas). Al-qur‟an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril sejatinya berisi segenap petunjuk, berupa ibadah, akhlaq dan muamalah. Singkatnya, kitab suci umat Islam ini menjadi penyempurna atas kitab-kitab yang telah ada sebelumnya, atau setidak-tidaknya telah lengkap untuk dipedomani dan dirujuk oleh kaum muslimin.

Ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur‟an secara epistemologis dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yakni muhkamat dan mutasyabihat. Pertama, muhkamat. Para ulama (jumhur ulama) menyepakati bahwa sebagian besar ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur‟an telah jelas maknanya dan tidak perlu dilakukan penafsiran. Ayat-ayat yang dikategorikan muhkamat ini biasanya berisi petunjuk kaitannya dengan hubungan seorang hamba dengan Allah Swt (ibadah). Sementara yang kedua, Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang masih memerlukan penafsiran atau penjelasan. Kategori mutasyabihat (samar-samar) terkait dengan persoalan teologis.

Segenap pesan-pesan ilahi yang masih misterius dalam al-Qur‟an memerlukan kecerdasan spiritual dalam memahaminya. Karena itu, al-Qur‟an yang secara etimologis berarti bacaan, dan membaca tidak cukup berhenti sampai disitu. Al-Qur‟an mesti dipahami. Membaca al-Qur‟an berarti juga mencoba memahami segenap pesan-pesan ilahi yang masih misterius. Upaya menjelaskan makna-makna tertentu dalam Al-Qur‟an telah dilakukan oleh para mufassir dengan kitab-kitab tafsir mereka. Berbagai corak penafsiran menyeruak sebagai upaya menyingkap segala tabir kitab suci ini.

Di antara corak tafsir yang berkembang, setidaknya, hingga di era sekarang ini adalah: Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur. Model tafsir ini berupa penafsiran ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur‟an dengan ayat lain (tafsir al-ayat bi al ayat), atau dengan riwayat dari Rasulullah Saw, para sahabat, dan juga dari para Tabi‟in. salah satu contoh

Page 62: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 60 ]

kitab tafsir yang menggunakan model ini adalah tafsir Jami’ al-Bayan karya Ath-Thabari. Kitab tafsir ini menjadi rujukan utama para ahli tafsir naqli. Keistimewaaan yang dimiliki Thabari atas para ahli tafsir bi al-Ma’tsur ialah bahwa ia menyandarkan qaul para sahabat yang berangkai dan bersusun seperti mata rantai, dan kejujurannya dalam meriwayatkan apa yang berasal dari Rasul yang mulia, dari sahabat, dan dari Tabi‟in.

Meski demikian, corak tafsir model ini memiliki kelemahan. Menurut al-Usiy, kelemahan tafsir bi al-Ma’tsur ialah karena ia memakai riwayat yang maudhu’ (lemah atau palsu) dan israiliyat; seperti penghilangan berbagai sanad setelah periode ath-Thabari dengan maksud agar lebih ringkas dan singkat. Diantaranya ialah Al-Baghawi Al-Farra (w 510 H), Ibnu Katsir (w 774 H), dan as-Suyuthi (w 911 H).

Sementara model tafsir yang Kedua, adalah Tafsir bi ar-Ra’yi. Model penafsiran ini menggunakan ijtihad sebagai dasar penafsiran. Tafsir ini muncul sebagai sebuah metodologi tafsir Al-Qur‟an pada periode mutakhir munculnya tafsir bi al-Ma’tsur. Bagi kalangan ulama model tafsir bi al-Ra’yi sudah muncul pada era atau zaman Rasulullah Saw. Asumsi ini berdasar pada riwayat ketika Mua‟az bin Jabal dikirim ke suatu daerah untuk memutuskan masalah hukum. Ketika itu Rasul Saw bertanya: apa yang akan engkau pergunakan dalam memutuskan perkara hukum umat? Mu‟az menjawab: dengan Al-Qur‟an. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur‟an? tanya Rasul. dengan sunnah, jawab Mu‟az. Jika tidak terdapat dalam sunnah? Tanya Nabi Saw. Mu‟az lalu menjawab: dengan menggunakan akal atau ijtihad.

Para ulama telah berselisih pendapat tentang tafsir bi ar-Ra’yi dan bi al-Ijtihad. Ada di antara mereka yang melarangnya, dan ada pula yang membolehkannya. Para ulama yang cenderung menolaknya bersandar kepada sabda Rasulullah saw: “barangsiapa berbicara tentang al-Qur‟an menurut pendapatnya, dan betul, maka ia masih tetap dianggap salah.” Sedangkan orang-orang yang membolehkannya berdasar pada dalil bahwa apa yag terkandung di dalam al-Qur‟an merupakan perintah dan anjuran untuk melihat dan berpikir tentang isi kitabullah (QS Shad: 29, QS Muhammad: 24). Di antara berbagai sikap pandang terhadap hadis yang melarang tafsir rasional adalah bahwa pada hakikatnya larangan itu berlaku terhadap orang yang mengatakan menurut pendapatnya tentang kemusykilan dan hal-hal yang belum jelas dari al-Qur‟an atau terhadap orang yang hanya mengandalkan pendapatnya tanpa dalil; atau terhadap orang yang hanya melihat bentuk lahiriah bahasa Arab tanpa merujuk kepada riwayat Ma‟tsur.

Golongan yang tidak dilarang oleh hadist itu adalah mereka yang memakai dalil ma‟tsur, dan menggunakan perangkat-perangkat tafsir yang lain seperti bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya, ulum al-Qur’an, sejarah, fiqh, ushul fiqh, ilmu aqa‟id, dan lain-lain (As-Suyuthi: 200, 227).

Selain kedua corak tafsir atau cara memahami dan menangkap pesan-pesan ilahi di atas, ada pula model pemahaman al-Qur‟an yang disebut model tasauf atau „irfan. Para sufi cenderung menakwilkan ayat-ayat Allah sesuai dengan pikiran, perilaku, dan pancaran ruhani mereka. Tentu saja, para sufi tersebut ada yang dipengaruhi oleh kultur atau karakter budaya mereka seperti Persia, India, dan Yunani.

Page 63: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 61 ]

Salah satu tokoh dari model penafsiran mistik ini adalah Muhyiddin Ibnu „Arabi (w 638 H). salah satu contoh model tafsir yang dilakukan oleh Ibn Arabi adalah ketika menafsirkan firman Allah:

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudan bertemu. (QS 55: 19).

Ibn „Arabi mengatakan: “yang dimaksud dengan dua lautan oleh ayat tersebut ialah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu dalam wujud manusia.”

Ia kemudian menambahkan: “sedangkan firman-Nya, Di antara keduanya ada batas yang tidak dilintasi oleh masing-masing (QS 55:20), dapat dikatakan bahwa al-barzakh di dalam ayat tersebut maksudnya adalah nafsu hewani yang tidak halus dan lembut seperti roh manusia. Ia lebih banyak mendekati substansi jasad dan kasar. Sedangkan la yabghiyan maksudnya adalah masing-masing lautan tidak melanggar batas satu sama lain. Ruh sama sekali murni dari ketercampuran badan; ia murni. Dan badan tidak melintasi ruh dan menjadikannya sebagai wujud materi.

Model penafsiran irfani ini banyak dipergunakan kalangan mistikus Islam, selain Ibn Arabi, seperti al-Hallaj, Rumi, al-Ghazali, Suhrawardi, dan lain-lain. Pengungkapan rahasia-rahasia yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak saja mengikuti prosedur penafsiran yang telah ada sebelumnya, berupa penafsiran naqli dan aqli. Tetapi mereka menggunakan kemampuan ruhani atau kecerdasan spiritual untuk mengungkap segala rahasia-rahasia tersebut. Mereka tidak saja melihat dan memahami makna lahiriah pesan-pesan Tuhan, tetapi kebih jauh mereka memahami makna batin pesan-pesan Allah Swt.

Contoh lain yang coba memahami kedalaman makna batin al-Qur‟an dilakukan oleh an-Nisaburi, ketika menakwilkan Firman Allah Swt:

Padahal di antara bebatuan itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah…(QS 2:74).

An-Nisaburi mengatakan bahwa tingkat kekerasan hati ada beberapa macam. Hati yang keras yang mengalir sungai-sungai darinya adalah hati yang dipenuhi oleh gejolak cahaya-cahaya ruhani dengan meninggalkan kemewahan, syahwat, dan hal-hal yang serupa, diluar kebiasaan—seperti yang dilakukan oleh sebahagian pendeta dan orang Yahudi. Sedangkan hati yang keras yang terbelah dan keluar mata air darinya adalah hati yang menampakkan cahaya-cahaya ruhani pada saat-saat tertentu manakala hijab kemanusiaan terbuka. Ia mempertunjukkan sebagian dari tanda-tanda kebesaran dan makna-makna yang masuk akal seperti yang tampak dari para ahli hikmah. Adapun yang disebut hati yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah adalah hati yang dimiliki oleh para penganut agama-agama dan aliran-aliran agama yang ada ketika menatap cahaya-cahaya ruhani dari balik tabir; mereka sangat ketakutan (al-Usiy, 1992:18).

Uraian di atas mengandaikan pengerahan kecerdasan spiritual atau aspek batiniyah („irfani) dalam rangka menangkap segenap pesan-pesan ilahi. Kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh para sufi ini melampui pemahaman lahiriyah, yang hanya melihat aspek luar dari kenyataan, atau pesan-pesan Tuhan dalam Al-Qur‟an (al-ayat al

Page 64: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 62 ]

qauliyah) dan di alam semesta (al-ayat al-Kauniyah). Uraian ini seakan ingin menegaskan bahwa hanya dengan memiliki kepekaan spiritual, kematangan spiritual dan kecerdasan spiritual, kita akan berhasil memahami apa dibalik semua rahasia Tuhan.

Kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur‟an masih diliputi sejuta misteri. Tidak saja kita mesti memahami semua kisah-kisah itu dengan cara lahiriyah saja, atau melalui aspek bahasa saja. Tetapi lebih dari itu kita mesti memahami apa makna dibalik kisah-kisah tersebut. Kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam Al-Qur‟an tidak begitu saja didedahkan tanpa ada makna yang terkandung di dalamnya. Ada sejuta pesan, hikmah, dan mungkin peringatan bagi siapa saja yang memahaminya.

Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana proses kerja „irfani atau kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh para sufi, ahli hikmah dan para waskita. Soalnya kemudian, mungkinkah model pemahaman mistik ini bisa sepenuhnya mengungkap rahasia di atas rahasia yang terdapat di dalam al-Qur‟an, khususnya yang terdapat dalam sejumlah kisah dan perumpamaan-perumpamaan (amsal)? Jika demikian halnya, apa itu ‘irfani atau kecerdasan spiritual? Bisakah ia menjadi alternatif dalam rangka memahami fenomena Al-Qur‟an dan realitas hidup?

B. Pengertian

Pada suatu sore menjelang malam, ada tiga orang tua yang sedang berdiri di depan pintu sebuah rumah. Ketiganya kelihatan seperti sedang dalam perjalanan jauh. Namun meskipun demikian tidak tampak tanda kelelahan atau kegetiran dari raut muka mereka. Beberapa saat kemudian keluarlah seorang wanita dari dalam rumah tersebut. Melihat ketiga orang tua tersebut, wanita ini menjadi iba dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke rumah dan makan malam bersama dengan keluarga dirumah tersebut. Salah satu dari ketiga orang tua tersebut menjawab,”Perkenalkan nama saya adalah WEALTH (yang berarti kekayaan), dia bernama SUCCESS (yang berarti kesuksesan), dan teman saya yang satu lagi bernama LOVE (yang artinya kasih). Kami tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah. Anda harus memilih siapa di antara kami yang anda undang untuk makan malam?

Kemudian si wanita masuk kembali ke dalam rumah dan menceritakan kejadian tersebut kepada suaminya. ”Sudah jelas bagi kita untuk mengundang WEALTH ke dalam rumah. Karena dengan kekayaan kita dapat memiliki segalanya di dunia ini,” kata sang suami. Tetapi sang istri lebih memilih SUCCESS untuk dapat menikmati kehidupan di dunia ini. Tiba-tiba anak mereka yang berumur sebelas tahun menimpali, ”Mengapa kita tidak memilih LOVE, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita.”

Akhirnya mereka sepakat untuk mengundang LOVE. Ketika sang isteri menyampaikan hal tersebut kepada ketiga orang tua tadi, maka masuklah LOVE ke dalam rumah. Tetapi kemudian kedua orang tua yang lain juga mengikutinya masuk ke dalam rumah. Bertanyalah wanita itu,”Kami hanya mengundang LOVE, mengapa kalian berdua juga mau masuk ke dalam rumah kami? Bukankah kalian berkata bahwa kalian tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah?” Salah satu dari orang tua

Page 65: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 63 ]

itu menjawab,”Jika kalian mengundang saya, WEALTH atau teman saya, SUCCESS, dua orang dari kami akan tetap tinggal di luar. Tetapi karena Anda mengundang LOVE, maka kami berdua harus ikut ke dalam. Kemana pun LOVE pergi kami akan mengikutinya. Whereever there is love, there is also wealth and success.”

Sepenggal kisah di atas memperlihatkan bagaimana kecerdasan spiritual bekerja, memilih dan menentukan sikap yang tepat. Menentukan mana yang paling signifikan antara kesuksesan, kekayaan, atau cinta kasih.

Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri kita yang sebenarnya adalah roh kita itu. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar tubuh fisik kita, termasuk pikiran, perasaan,dan karakter kita.

Kecerdasan spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat mengenal dan memahami diri kita sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan kemanakah kita akan pergi. Selain itu, kecerdasan spiritual berarti kemampuan seorang mengidentifikasi diri dan mengaktualisasi dirinya dalam hidup ini. Seseorang yang telah matang secara spiritual selalu mendasari tindakannya dengan asumsi bahwa ada makna di balik semua itu. Ia akan selalu menyadari bahwa selalu ada pesan Tuhan yang bisa diraih dari balik kenyataan-kenyataan hidup.

Kecerdasan spiritual menjadi wacana menarik akhir-akhir ini, setelah Danah Zohar, seorang teolog dan filosof Inggris, mengembangkan konsep spiritual intelligence, dengan mendasarkan pada penemuan Rudolfo Llinas, Ramachandran, dan Michael Persinger tentang Osilasi 40 Hz yang berlangsung dalam otak manusia. Mereka berpendapat bahwa kesadaran diri sesungguhnya merupakan fungsi internal otak manusia. Tanpa rangsangan dari luar sekalipun, kesadaran diri manusia tetap ada.

Namun jauh sebelum Zohar, Persinger, deLoux, dan Damasio, Psikolog Erich Fromm telah menyebut kulit otak sebagai dasar kesadaran diri manusia. Menurut Fromm, orientasi hidup manusia yang antara lain termaktub dalam ajaran agama, sesungguhnya bersumber dari kulit otak tersebut.

Potensi manusia untuk menjadi spiritualis sangat ditentukan oleh kelenjar pineal dalam otaknya. Kelenjar ini berfungsi membuka aura spiritual seseorang. Dalam tradisi Hindu, kelenjar pineal ini disebut mata ketiga, atau cakra kepala. Posisinya tepat di tengah otak. Asumsi ini pula yang mendasari adanya pendapat bahwa manusia adalah makluk spiritual, atau aspek dasariyah manusia adalah makhluk spiritual.

Pandangan Zohar cs, jauh sebelumnya telah ditengarai di dalam Islam, khususnya terkait dengan kemampuan seseorang mencapai martabat sufi, atau pengetahuan irfani. Pengetahuan atau kesadaran irfani yang dimiliki para sufi ini melalui kontemplasi zikir, atau latihan-latihan yang intensif. Beberapa sufi, seperti telah disebutkan di awal, memiliki kemampuan ruhaniah di dalam mengungkap rahasia ilahi. Dengan kemampuan ini, tak jarang mereka diklaim sebagai anti syari‟ah atau yang

Page 66: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 64 ]

sifatnya fisikal-ubudiyah. Kasus hukuman mati yang ditimpakan kepada Junayd, al-Hallaj dan Syihabuddin Suhrawardi al-Maqtul merupakan visualisasi di mana masyarakat awam belum sampai taraf tertinggi di dalam memahami perilaku kaum irfani.

C. Studi Kasus

Kisah pertemuan Nabi Khidr dengan Nabi Musa seperti digambarkan dalam Qur‟an surat al-Kahfi yang saya kutip di atas, di satu pihak ingin memperlihatkan hubungan antara guru dan murid. Di samping itu, cerita ini memperlihatkan bagaimana rahasia-rahasia Tuhan bisa diketahui atau ditangkap oleh manusia (Nabi Khidr) karena dia memiliki kemampuan untuk itu. Proses penangkapan rahasia Tuhan oleh Nabi Khidr, berdasarkan konteks ayat tersebut, selain melalui Tuhan sendiri (al-‘ilm al-laduniy), juga melalui latihan-latihan yang sangat intens. Kemampuan Nabi Khidr ini mirip dengan pengerahan kemampaun akal aktif atau al-‘aql al-Fa’al seseorang untuk bisa berhubungan dengan akal ke sepuluh.

Dalam perjalanannya, Nabi Khidr melakukan beberapa tindakan yang tidak sesuai akal sehat manusia biasa, seperti melubangi perahu, membunuh seorang pemuda, dan membetulkan dinding rumah (QS 18:71-77). Nabi Musa, karena belum memiliki kecerdasan spiritual atau kesadaran spiritual tidak memahami tindakan Khidr. Seringkali ia protes dan menanyakan tindakan tidak masuk akal Khidr. Hingga kemudian Khidr berkenan menjelaskan semua tindakannya kepada Musa (QS 18:78-82), bahwa apa yang dilakukan Khidr tersebut memiliki pandangan jauh ke depan.

Memahami kisah ini tidak semata secara literal saja. Artinya kita memahami secara tekstual, di mana ada pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidr semata, dialog-dialog keduanya, dan perpisahan keduanya, serta penjelasan Khidr sendiri atas apa yang ia lakukan. Pemahaman ‘Irfani menuntut pemahaman yang prospektif, jauh ke depan, atau apa di balik kenyataan-kenyataan itu. Kisah Musa as memperlihatkan bagaimana sikapnya yang sangat manusiawi, berupa ketidaksabaran, kehilangan kesadaran spiritual, dan ketidakmampuan mengidentifikasi dirinya. Kasus Musa as umumnya dialami oleh masyarakat awam. Sementara kasus Khidr as merupakan representasi pengetahuan irfani yang galibnya dimiliki para mistikus.

Selain kisah Musa dan Khidr, dalam surat yang sama terdapat kisah Dzulkarnain dan Ya‟juj dan Ma‟juj. Dikisahkan bagaimana Dzulkarnain membuat dinding untuk menahan laju Ya‟juj dan Ma‟juj (QS 18:83-101). Bagaimana pula kita memahami kisah ini secara kontekstual. Penafsiran yang berkembang selama ini biasanya lebih terfokus pada aspek kebahasaan dari kisah tersebut, tokoh (apakah historis atau ahistoris), dan bahkan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah itu. Bagaimana pula kita memahami kisah tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama ratusan tahun, di dalam surat yang sama?

Kasus lain yang tak kalah menarik adalah kasus Nabi Adam as. Apakah ia tokoh historis atau ahistoris? Bagaimana mungkin ada larangan di surga; terkait dengan larangan Allah kepada Adam as untuk mendekati pohon khuldi (pohon keakuan). Kasus iblis menggoda Adam. Apakah iblis benar-benar ada sebagai wujud materi yang tinggal di surga bersama Adam? Surga apakah yang ditempati Adam, surga yang sesungguhnya

Page 67: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 65 ]

atau hanya taman dari taman-taman di bumi (al-bustan min al basaatin fi al-ardl)? Bagaimana pula memahami soal penolakkan Iblis untuk Tunduk kepada Adam? Misteri ini mengisyaratkan kecerdasan spiritual untuk memahaminya. Apa yang berkelindan di balik kisah Adam as adalah soal ego atau aku yang mengaku aku. Soal bagimana cara seseorang merepresentasi diri, dan bagaimana seseorang memiliki sikap kerendah hatian. Di dalam kisah ini, pertarungan ego sangat kuat. Ini terjadi karena tidak adanya kecerdasan spiritual, kesadaran yang betul-betul ilahi.

Pengingkaran iblis untuk sujud kepada Adam biasanya ditafsirkan sebagai pengingkaran atas eksistensi dan esensi diri iblis yang tercipta dari api. Sementara Adam dari tanah. Tafsiran lain, misalnya, iblis hanya bisa sujud kepada penciptanya yaitu Allah, dan dia tidak wajib tunduk kepada manusia Adam. Soalnya adalah keegoan, atau iblis yang mengaku aku. Demikian halnya sikap Adam yang mengaku aku. Disinilah, sebenarnya, diperlukan pemahaman supra-rasional atau „irfani.

D. Kesimpulan

Uraian di atas memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip kerja spiritual intelligence atau di dalam Islam disebut pemahaman ‘Irfani. Untuk sampai kepada pendakian pemahaman model ini, seseorang harus terlebih dahulu mengenal diri, setidak-tidaknya dengan menyibukkan diri menjawab sejumlah pertanyaan; di manakah aku berada? Siapakah aku? Apakah tujuan hidupku? Dan kemana aku akan menuju? Ini merupakan tahap aktualisasi diri (self-actualization), atau Sangkan Paraning Dumadi (dalam istilah Jawa).

Langkah selanjutnya adalah bagaimana mencoba berempati dengan realitas dan memahami apa di balik kenyataan-kenyataan hidup. Di dalam perspektif tasauf, seseorang yang ingin sampai kepada kecerdasan spiritual harus melewati tingkatan-tingkatan tertentu, mulai dari kontemplasi, atau zikir tasauf. Dari syari‟at, hakikat dan hingga ke makrifat. Tahap-tahap menuju kesadaran spiritual ini harus dilakukan secara intensif. Dengan cara ini, kita akan mampu memahami segenap rahasia di balik kisah-kisah atau perumpamaan-perumpamaan yang telah didedahkan Allah Swt di dalam Al-Qur‟an. Sejumlah kisah di dalam al-Qur‟an tidak saja berbicara pada dirinya sendiri. Artinya ia tidak saja harus dipahami secara literal, tekstual, dan kontekstual. Tetapi juga harus diungkap segenap makna batin atau mistik dari kisah-kisah tersebut. Kisah Adams as, Nabi Musa dan khidr, Dzulkarnain dan Ya‟juj dan Ma‟juj tidak saja memberi kita pemahaman akan adanya dialog-dialog yang terjadi, pelajaran-pelajaran yag didapat dari kisah itu. Tetapi lebih dari itu, kita akan menyadari adanya pertarungan „keakuan‟, „keegoan‟, dan representasi diri yang menafikan fungsi-fungsi spiritual manusia. Menafikan keilahian dalam diri.

Page 68: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 66 ]

DAFTAR PUSTAKA al-Jabiri, Muhammad Abed, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-

Arabi, 1993, hlm. 251. Al-Usiy, Ali, “Metodologi Penafsiran al-Qur‟an: Sebuah Tinjauan Awal,” dalam Al-

Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam Februari 1992/4, hlm. 5. Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an (Lecture du Coran) Jakarta:

INIS, 1997, hlm . 115-137. As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 4. hlm.200 dan 227; ibidem, al-Tafsir wa

al-Mufassirun, Juz 1, hlm. 252-272. Chittick, William C., “Ibn „Arabi” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003, hlm. 617-633. Ibn Manzur, lisan al-Arab. Beirut: Dar Lisan al-Arab, hlm. 745. Kartanegara, Mulyadi, Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan penyair Agung. Jakarta:

Teraju, 2004. Lari, Sayyid Mujtaba Musawi, Meraih Kesempurnaan Spiritual. Bandung: Pustaka

Hidayah. Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasauf. Bandung: Pustaka Firdaus, 1996. Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Bandung:

Mizan, 2002, hlm. 21. Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan, 2002.

Prijosaksono, Aribowo dan Irianti Erningpraja, Spiritualitas dan Kualitas Hidup

www.sinarharapan.co.id Purwadi, Dakwah Sunan kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis Kultural.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rahman, Fazlur Islam. Chicago: Chicago University Press, 1997, hlm. 30-42. Robinson, Neil Islam: A Concise Introduction. British: Curzon press, 1999, hlm. 59-74. Schiemel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.,

Page 69: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 67 ]

Schiemel, Annemarie, Rahasia Wajah Suci Ilahi: memahami Islam secara Fenomenologis. Bandung: Mizan, 1996., Ibidem, Dunia Rumi: Hidup dan Karya penyair Besar sufi. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2000.

Yazdi, Mahdi Ha‟iri, Ilmu Hudhuri: Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam.

Bandung: Mizan, 1994, hlm. 47. Ziai, Hosein, “Syihab al-Din Suhrawardi: Pendiri Mazhab Illuminasionis, dalam S.H.

Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Ziai, Hosein, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan.

Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1998.

Page 70: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 68 ]

MENIMBANG WAJAH MASKULIN AL-QURAN

(KRITIK GENDER DALAM TAFSIR AL-QURAN) Oleh: Luqman Abdul Jabbar

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACT There is no guarantee that the Qur’an can fully describe God’s ideas and thoughts. Even though God is all-knowing, He cannot transform all his ideas and thoughts to humans. However, this does not indicate the weakness of God, rather it is the limitation of language which serves as the medium of transformation; God’s language is limitless. So, how is it possible for the limited to accommodate the limitless? The Qur’an bounded to Arabic sentence structure, paragraphs, punctuations, vocabulary, including reduction, distortion and development by the language structure itself as well as cultural structure and readers’ subjectivity. So is in the case of gender, the existence of masculinity in the Qur’an also results from the influence of the language structure and the local culture. Keywords: The Qur’an, Interpretation, Gender.

A. Pendahuluan Sebuah stereotipe yang sering terdengar dan terucapkan—dahulu bahkan hingga

sekarang—tak hanya di telinga dan di mulut laki-laki namun juga perempuan. “perempuan lebih lemah, lebih rendah daripada laki-laki dan atau tidak sederajat”. Perempuan telah terbataskan secara kodrati karena fungsi-fungsi yang berhubungan dengan biologisnya, sebaliknya laki-laki tidak terbataskan. Laki-laki lebih unggul dengan sifat yang dimilikinya, seperti kepemimpinan, pengemban dan bahkan berpotensi besar dalam melaksnakan tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan perempuan (Schmidt, 1989: xiii).

Stereotipe tersebut menurut penulis adalah bentuk “ke-ego-an”—meminjam istilah Asghar Ali Engineer—yang memang secara historis-kultural telah membudaya hampir dalam semua lapisan dan belahan budaya di dunia. Termasuk dunia Arab—tempat di mana al-Quran diturunkan, juga tidak ketinggalan dalam budaya yang satu ini. Bahkan pada masa pra-Islam perempuan tak lebih berharga daripada ternak mereka. Setiap kelahiran anak perempuan, mayoritas masyarakat Arab lebih cendrung membunuhnya daripada membiarkan hidup, apalagi untuk memberi kedudukan yang

Page 71: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 69 ]

istimewa atau paling tidak menghargainya. Selain itu, jika dilihat dari aspek perkembangan linguistik, maka akan ditemukan salah satunya adalah bahwa dalam struktur bahasa Arab bentuk laki-laki (muzakkar) terunggulkan daripada bentuk perempuan (mu'annas). Tidak kata Arab yang bersifat netral dalam hal ini.

Karena itulah al-Quran yang berbahasa Arab ini, tentu memerlukan analisa dan pandangan baru tentangnya. Dan oleh karena al-Quran, teks ketuhanan (nas ilahiy) telah memilih bahasa Arab sebagai mediasi transformasi pesan Tuhan kepada manusia, maka dari itu, sebagai konsekuensinya ia harus mengatasi berbagai kendala alamiah dari bahasa kamunikasi manusia tersebut.

B. Defenisi Gender dan Orientasi Kajian Masculine (maskulin: istilah Indonesia), secara etimologi dapat diartikan laki-

laki atau jantan. Lawan term ini adalah feminine (feminin: istilah Indonesia) yang berarti perempuan atau betina. Namun secara terminologi kedua term tersebut dapat dimaknai sebagai istilah yang dipakai untuk menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi biologis-seksualitasnya.

Selain dua istilah di atas ada pula istilah gender dan sex. Gender secara umum digunakan untuk mengindikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Namun sex, secara umum digunakan untuk mengindikasikan perbedaan laki-laki dan perempun dari segi anatomi-biologi.

Meskipun kedua term pertama di atas terdapat perbedaan dengan term gender, namun untuk sebuah kajian yang mengorientasikan pada isu-isu gender kesemua istilah tersebut tidak dapat dihindarkan, karena kesemuanya sangat terkait erat.

Kajian tentang gender bukanlah kajian yang baru baik dalam khazanah kajian sosial-budaya maupun keagamaan, termasuk keislaman. Namun secara lebih khusus dalam tulisan sederhana ini, penulis akan lebih mengorientasikan kajian pada aspek isu gender yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran, yang memberikan bias gender, baik secara tekstual maupun kontekstual.

C. Kekhasan Bahasa Al-Quran Sebagaimana diungkap di atas, meskipun al-Quran (fiman Tuhan) telah

menjelma dalam bahasa manusia, namun pada hakikatnya ia berbeda dengan teks sastra maupun teks-teks lainnya. Ia memiliki kekhasan bahasa yang berbeda dengan bahasa komunikasi antar manusia secara fungsional dan sifatnya. Bahasa al-Quran adalah universal dan mengatasi ruang dan waktu. Karena itu kajian semantik al-Quran yang hanya mendasarkan pada aspek kaidah-kaidah linguistik belaka akan mengalami banyak kesulitan dan keterbatasan. Kajian semantik al-Quran harus melihat banayak aspek yang terkait dengannya, antara lain aspek gramatikal, kata, sastra, sosio-historis, dan aspek-aspek ilmiah lainnya yang terkait.

Melalui bahasa kita memahami, menyatakan kehendak, memerintah atau bahkan memaksa untuk melakukan sesuatu. Namun, dengan bahasa pula kita bisa salah mengerti, salah memahami atau sengaja melakukan distorsi untuk kepentingan sesaat.

Page 72: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 70 ]

Ferdinand de Saussure—seorang ahli bahasa dari Swiss—mengemukakan, bahwa bahasa pada intinya terdiri atas sejumlah tanda. Tanda-tanda itu tidak langsung merujuk pada sekian banyak benda dalam kenyataan. Tanda adalah gabungan dari dua unsur, unsur material (bunyi atau coretan) dan unsur mental (konsep). Kedua unsur tersebut tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Istilah teknis yang diciptakan Saussure untuk unsur material dan unsur mental dari tanda adalah signifiant dan signifie.

Al-Quran pun yang berbahasa Arab itu, juga terdiri dari tanda-tanda (ayat). Setiap kehadiran sebuah tanda (signifiant) selalu mengasumsikan adanya obyek yang ditandai (signifie). Karena itu dalam memahami bahasa al-Quran, di samping harus memahami kaidah-kaidah tata bahasa, juga mengandaikan kondisi psikologis (wacana) termasuk juga kondisi sosio-historis dari ayat tersebut.

Sekedar contoh, dari segi jenis nama Tuhan masuk kategori "laki-laki". Atribusi maskulin ini diperkuat lagi karena Rasul-Nya, Muhammad, adalah laki-laki di samping posisi perempuan waktu itu dalam banyak hal memang terbelakang, sehingga wacana ketuhanan dan keislaman mengesankan sangat memihak pada sifat dan kepentingan kaum laki-laki. Kesadaran psikologis yang sangat maskulin ini tentu saja tidak tepat kalau dianalogkan untuk menggambarkan Tuhan dan kehidupan eskatologis (Hidayat, 1996: 14).

Benar bahwa al-Quran baik makna maupun lafal adalah firman Allah yang didiktekan Jibril kepada Muhammad (in verbatim). Tetapi ketika al-Quran terjelma sesungguhnya ia telah terhistoriskan. Terlebih lagi al-Quran telah memakai bahasa Arab sebagai media komunikasi, yang muncul seiring dengan peradaban manusia. Maka genaplah pandangan ini ketika al-Quran juga selalu dipahami dalam ruang dan waktu yang berbeda oleh setiap generasi (Latief, 2003: 84).

Jadi apa jaminannya bahwa sebuah pemahaman dari generasi yang hidup di zaman dan tempat berbeda terhindar dari salah paham. Dengan kata lain, benarkah pemahaman seorang muslim tentang isi al-Quran sudah persis sama sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang (Tuhan)? Persoalan-persoalan inilah yang kemudian dimaksud Komaruddin Hidayat sebagai persoalan hermeneutik. Dan tugas hermeneutik adalah menelaah isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks sampai kepada maknanya yang terdalam serta membawa keluar makna internal tersebut beserta situasinya menurut zamannya. Disinilah pentingnya hermeneutik al-Quran (Hidayat, 1996: 124).

Secara etimologis, kata "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti "menafsirkan". Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin.

Hermeneutik kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam bidang filsafat bahasa. Terutama dikembangkan oleh para filosof Barat, seperti Hans Georg Gadamer, Derida atau Paul Ricoeur. Dari mereka dapat diambil benang merah, bahwa sebuah teks bisa didekati dengan hermeneutik. Terlebih teks kitab suci, karena

Page 73: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 71 ]

ada jarak antara "pengarang" dan yang disapa oleh kitab suci tersebut akhirnya menimbulkan lingkaran hermeneutic (Kaelan, 1996: 206).

Jadi, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes, adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan teks. Maka tepat kiranya kalau hermeneutik dijadikan alat analisis dalam bahasa al-Quran, agar kekhawatiran-kekhawatiran terjadinya distorsi dapat terhindari. Pada akhirnya al-Quran sebagai kitab petunjuk yang hakiki semakin mengalami penguatan. Mungkin persoalannya adalah bagaimana hermeneutik bisa diterapkan secara metodologis.

Dalam tradisi Islam seni menginterpretasikan kitab suci telah dimulai sejak pertama kali turunnya ayat al-Quran. Nabi adalah sosok yang sangat kompeten dalam hal ini, karena Nabi—sebagaimana ditegaskan al-Quran—bertugas menerangkannya kepada manusia. Dari sana berkembanglah wacana tafsir al-Quran.

Walaupun tidak ada perbedaan secara etimilogis antara hermeneutika dan tafsir, namun secara metodologis keduanya berbeda. Dalam praktik penafsiran hermeneutika memiliki langkah-langkah operasional yang lebih metodologis dan filosofis ketimbang tradisi ilmu tafsir. Paul Ricoeur misalnya, menyebutkan ada tiga langkah untuk memahami sebuah teks. Pertama, langkah simbolik, yaitu pemahaman yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang "berpikir dari" simbol-simbol, atau disebut juga pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya (Kaelan, 1996: 238).

Sebagai contoh, Q.S.al-Baqarah: 25, dijelaskankan bahwa surga (jannah) adalah kebun yang mempunyai sungai dan terdapat perempuan cantik di dalamnya. Negeri Arab memang dikenal sebagai negeri gurun pasir. Karena itu ia gersang. Dan ketika mereka menemukan oase, sebuah kebun yang indah di tengah padang pasir, maka itu adalah kenikmatan dan keindahan yang tiada taranya. Mereka juga menganggap perempuan "hanya" dari sudut seksualitas. Penggambaran al-Quran tentang surga (jannah) semacam ini, dilihat secara sosio-psikologis dan sosio-historis bangsa Arab, bisa dipahami.

Standardisasi inilah angan-angan kebahagiaan mereka. Tapi, pemahaman surga (jannah) yang sebenarnya tidak demikian. Seandainya al-Quran turun pada orang Eskimo, maka penggambaran surga (jannah) mungkin tidak seperti di atas. Melainkan "suatu tempat yang hangat dan panas", karena mereka selalu hidup dalam kedinginan. Karena itu, dalam pandangan hermeneutik, surga (jannah) hanyalah simbol kebahagiaan dari balasan Tuhan terhadap hamba-Nya yang senantiasa mengikuti aturan-Nya. Pemahaman seperti ini akan mendudukkan al-Quran pada posisinya yang tepat, sebagai kitab petunjuk yang hakiki.

D. Argumentasi Kritis Atas Teks-Teks Gender Al-Quran a. Seputar Persepsi Tentang Teks (Nash) al-Quran

Ada banyak cara berkomunikasi yang dapat dilakukan oleh siapa pun dia untuk menyampaikan ide dan pikirannya kepada lawan komunikasi, baik secara

Page 74: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 72 ]

oral (ungkapan lisan), textual (tulisan) atau pun sign (isyarat). Dan al-Quran dalam proses pewahyuannya kepada Nabi Muhammad saw. menggunakan ketiga-tiga cara ini. Namun yang sampai pada umat Islam mengalami perkembangan perjalanan sejarah yang panjang, dari yang hanya dalam praktek oral dan textual pada priode awal Islam ke satu bentuk praktek textual.

Dalam kedua cara tersebutlah tentunya dapat dipastikan bahwa al-Quran telah menjelma dari bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia—bahasa Arab—yang tentunya secara linguistik ia (al-Quran) akan mengenal keterikatan pada struktur kalimat, paragraf, tanda baca, kosa kata bahasa Arab. Termasuk juga reduksi, distorsi dan pengembangan, baik oleh struktur bahasa itu sendiri maupu struktur budaya dan subjektifitas pembaca. Karena itu penulis kira tidaklah bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan yang diturunkan dengan teks Muhammad (Muhammad text), karena Tuhan telah memilih kamunikasi semacam ini sebagai media transformasi firman-Nya. Tuhan menyapa manusia dengan bahasa manusia itu sendiri (Wadud, 2001: 40).

Karena itu dalam mengkaji al-Quran Nasr Hamid Abu Zayd memperkenalkan istilah Kritisisme Terhadap Teks, yakni menggugat status ontologis dari pemahaman terhadap teks al-Quran, yang tentu saja secara definisi linguistik merupakan teks yang setara dengan teks-teks lainnya. Namun perlu digaris bawahi, setiap muslim sepakat bahwa inspirasi wahyu Tuhan bersifat ilahiah, dan itulah yang menjadikannya suci (sacred) (Latief, 2003: 87).

Kritisisme yang dimaksud Abu Zayd adalah memahami teks dengan melihat berbagai kemungkinannya sebagaimana tujuan teks itu sendiri. Mamahami teks tidak sekedar memahami makna atau pun konsep itu sendiri, tetapi juga mencakup wilayah pembongkaran persepsi dari sebuah pengetahuan yang telah mapan. Atau bisa juga berupa upaya penguakan distorsi terhadap teks—lebih-lebih pada aspek metodologis—dan bahkan ketimpangan yang terjadi ketika proses interpretasi berlangsung. Oleh sebab itu yang sangat menonjol dari aspek kajian ini adalah membongkar pembacaan repetitif, yang tertutup, dan sangat bias ideologis, dengan menitikberatkan pembacaan yang membangun kesadaran ilmiah, dengan tanpa menginkari aspek spirit dan inspirasi dari sebuah teks kitab suci. Inilah yang kemudian mengilhami penulis untuk melihat beberapa kajian teks tematik al-Quran terdahulu, khususnya tema gender, yang membawa pada pemahaman streotipe “pengagungan aspek maskulin pada ayat-ayat gender”.

b. Bias Gender Dalam Interpretasi Teks Apapun teks yang menjadi objek kajian pemahaman, al-Quran atau teks

lainnya, yang serupa sebagai kitab suci agama ataupun bukan, namun dalam proses analisisnya akan senantiasa terpaut pada beberapa pertanyaan filosofis sebagai pijakan kajian. Seperti darimana teks itu diperoleh?, bagaimana autentisitas dan orisinalitas teks?, apa bahasa asli teks?. Jika ia diterjemahkan; siapa yang menterjemahkannya?, terjemahan yang dilakukan dari bahasa asli atau bahasa lain?, bagaimana jarak waktu antara teks asli dan terjemahan?, atas perintah atau seponsor siapa terjemahan itu dilakukan?.

Dalam menganalisa sebuah teks ada banyak teori yang dapat dipergnakan, antara lain sintaksis, semantik dan hermeneutik. Ketiga-tiga teori tersebut

Page 75: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 73 ]

penulis gunakan secara bersamaan karena melihat petingnya dalam mengkaji teks kitab suci yang kompleks ini. Semantik, penulis gunakan untuk menganalisa makna struktural-gramatikal dari sebuah teks, dan teori semantik dipergunakan untuk menganalisa makna internal dan eksternal dari sebuah kata atau kalimat dalam teks, sementara teori hermeneutik dipergunakan untuk melihat sisi lain makna yang lebih jauh dan umum yang terdapat di dalam dan di luar teks, baik itu aspek sosio-historis teks maupun objek yang direspon oleh teks. Pada teori pertama dan kedua diharapkan dapat menguak aspek-aspek kebahasaan teks, sementara pada teori hermeneutik diharapakan dapat megungkap lebih aspek tersembunyi dari makna teks yang menjadikan teks dapat terlepas dari bisa gender.

Setiap muslim yakin bahkan diharuskan untuk yakin bahwa al-Quran adalah firman Tuhan. Namun meskipun ada keharusan tersebut, tidak menjadikan itu sebagai jaminan bahwa al-Quran benar-benar seratus persen meggambarkan ide dan pikiran yang sepenuhnya ingin disampaikan oleh Tuhan. Bagaimanapun Maha Cerdasnya Tuhan, namun tetap saja Ia tidak dapat mentransformasi secara utuh seluruh ide dan pikirannya tersebut kepada manusia. Ini bukan karena atau menunjukkan letak lemahnya Tuhan, tetapi adalah keterbatasan bahasa yang dijadikan oleh Tuhan sebagai mediasi transformasi, sementara bahasa Tuhan Maha Tak Terbatas, jadi bagaimana mungkin yang terbatas dapat secara utuh menampung yang tak terbatas.

Sebagai contoh, budaya patriarki dalam kultur dan struktur bahasa Arab—bahasa yang digunakan al-Quran (firman Tuhan)—adalah khitab (perintah dan larangan) menggunakan bentuk muzakkar. Dalam struktur bahasa Arab penggunaan bentuk muzakkar tidak hanya mengandung pengertian laki-laki secara seksual namun juga mu'annas\ perempuan secara seksual, maka jika yang dimaksud dalam khitab tersebut adalah kedua-duanya cukuplah dengan menggunakan bentuk muzakkar karena secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya. Dengan demikian, karena al-Quran menggunakan bahasa dengan budaya patriarki ini, tentunya al-Quran juga secara kebetulan ataupun tidak juga mempresentasikan budaya patriarki. Maka dari itu, tidak heran jika kemudian teks al-Quran menjadi bias gender (Jurnal Perempuan, 2003: 43).

Ada terdapat beberapa ayat al-Quran yang menurut pilahan sederhana berdasarkan analisa dan kajian sederhana dengan cara melacak beberapa ayat al-Quran yang bertendensi pada sebuah kajian tentang perempuan, namun penulis akui pula dalam pengacakan ini penulis memanfaatkan Program Mawsu>’ah dan Kutub al-Tis’ah dengan sistem komputerisasi. Dari sini, ditemukan bahwa selain pada surat al-Nisa’ dan surat al-Thalaq yang banyak berbicara tentang isu tersebut namun dapat juga secara terpisah ditemukan pada beberapa ayat lainnya dalam surah-surah seperti;

1. al-Baqarah; 221-223 (antara lain berbicara seputar pernikahan dengan perempuan musyrik dan haid}) dan 226-242 (antara lain berbicara seputar perilaku jahiliyah terhadap perempuan, talaq (perceraian), interaksi suami-istri, khitbah (pinangan), dan janda,

Page 76: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 74 ]

2. al- Maidah; 5 (antara lain berbicara seputar pernikahan dengan perempuan ahl al-Kitab),

3. al-Nur; 31-33 (antara lain berbicara seputar penjagaan kehormatan perempuan dan pemakaian perhiasan bagi perempuan),

4. al-Ahzab; 30-59 (antara lain berbicara seputar solusi dari persoalan rumah tangga dengan menjadikan istri-istri Rasul saw. sebagai teladan),

5. al-Mujadalah; 1-4 (antara lain berbicara seputar zihar), 6. al-Mumtahanah; 10-12 (antara lain berbicara seputar hak-hak yang sama

antara laki-laki dan perempuan), dan 7. al-Tahrim; 1-5 dan 10-12 (antara lain berbicara seputar hal-hal yang

berlaku pada istri-istri Rasul termasuk juga dalam hal ini bagi istri setiap muslim dan seputar beban kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perempuan sendiri).

Secara lebih spesifik, ada 5 (lima) aspek yang dapat dijadikan acuan analisis untuk mengungkap ayat-ayat al-quran yang bertendensi memungkinkan munculnya bias gender dalam penafsiran al-Quran. Adapun 5 (lima) aspek tersebut adalah bias dalam kosa kata, bias dalam struktur bahasa, bias dalam kamus bahasa Arab, bias dalam metode tafsir dan bias dalam reduksi makna.

1. Bias Dalam Kosa Kata Untuk melihat secara lebih jelas tentang hal yang satu ini, kita dapat

megambil contoh kata al-rajul dan al-rijal kadang-kadang diartikan sebagai “orang”, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. al-Taubah: 108), Nabi dan Rasul (Q.S. al-Anbiya: 7), tokoh masyarakat (Q.S. Yasin: 20), dan gender laki-laki (Q.S. al-Baqarah: 228). Bebrbeda dengan kata imar’ah dan nisa’, pengertian dua kata ini terbatas pada arti perempuan secara seksual (Q.S. al-Nisa: 32) dan istri-istri (Q.S. al-Baqarah: 222) (Nasution, 2002: 53).

Selain itu adalah quru’ yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah; 228, Imam Syafi’i mengartikannya sebagai suci atau bersih sementara Imam Abu Hanifah mengartikannya sebagai kotor (menstruasi). Perbedaan ini akan berimbas pada masa 'iddah (tunggu), pada argumentasi pertama menjadikan masa tunggu yang lebih lama daripada yang kedua, karena masa sucinya perempuan pada umumnya lebih panjang daripada masa menstruasinya yang umumnya hanya berkisar antara 5-8 hari.

2. Bias Dalam Struktur Bahasa Sebagaimana juga sekilas yang telah penulis angkat di atas tentang struktur

bahasa Arab, jika yang menjadi khitab adalah laki-laki dan perempuan maka bentuk maskulinlah yang menjadi pilihan penggunaan. Sebagai contoh, perintah kewajiban shalat “aqimu al-salah” tidak perlu “aqimna al-salah”. Namun konsep gramatikal seperti ini tidak dapat berlaku sebaliknya, sebagai contoh “wa qarna fi buyutikunna” (Q.S. al-Ahzab: 33) (Dzuhayatin, 2002: 118).

Page 77: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 75 ]

Selain itu, damir muttasil atau munfasil, dapat juga memunculkan bias gender dalam memahami al-Quran, seperti damir ha dalam Q.S. al-Nisa’; 1. Jumhur ulama mengembalikan damir ha pada kata nafs wahidah (Adam) sementara Abu Muslim al-Ashfahany mengembalikannya pada kata nafs (jenis), pada tafsir pertama memungkinkan tendensi perempuan sebagai makhluk kedua setelah Adam (laki-laki) dan tercipta dengan keterikatan pada adam. Sementara pada tafsir kedua bertendensi perempuan sebagai mitra bukan makhluk kedua, sebab ia diciptakan berasal dari jenis yang sama dan bukan karena adanya berasal dari Adam.

Begitu pula pada damir munfasil yang memungkinkan adanya kesan bias gender dalam teks al-Quran. Sebenarnya itu bukanlah berarti adanya keberpihakan Tuhan kepada laki-laki, atau mengidealkan diri-Nya sebagai laki-laki—sebagaimana yang terdapat dalam teks al-Quran “qul huwa Allah ahad”, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti feminim hiya—tetapi itulah struktur bahasa Arab yang dipakai sebagai bahasa al-Quran, yang hanya hanya memiliki dua alternatif dalam gramatikalnya. Jika bukan maskulin maka femininlah ia dan sebaliknya.

3. Bias Dalam Kamus Bahasa Arab Banyak sekali mengentrian yang terdapat dalam kamus-kamus besar

referensi Arab atau bukan yang bias gender. Sebagai contoh, kamus lisan al-‘Arab, menurut Nasaruddin Umar, kata “al-rijal, imam dan khalifah” tidak memiliki bentuk mu'annas. Bahkan pada kata khalifah yang boleh jadi berkonotasi mu'annas dengan akhiran ta’ marbut}ah, hanya diperuntukkan untuk laki-laki, la yakunu illa li al-muzakkar..

Perhatikan secara seksama kata al-rijal dalam Q.S. al-Nisa: 34, jika kata tersebut diinterpretasikan dengan makna maskulin (laki-laki secara seksual)—bentuk interpretasi seperti ini masih banyak terdapat dalam karya tafsir terdahulu maupun sekarang—tentu menjadikan pesan al-Quran tersebut bias gender, hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin.

Namun jika al-rijal yang dimaksud al-Quran tersebut diartikan maskulinitas, laki-laki bukan dalam artian seksual, tetapi sifat kelaki-lakian dengan kemampuan melindungi, memiliki kekuatan, dan lainnya, akan tentu bermakna lain pula. Bisa saja apa pun jenis seksualnya laki-laki ataukah perempuan namun memiliki potensi maskulinitas, maka ia patut diangkat untuk menjadi pemimpin.

4. Bias Dalam Metode Tafsir Dalam perkembangannya, metodologi tafsir al-Quran meneganal metode

tah}lili dan maudu’i, atau pun epistimologi burhani sebagai tanggapan yang diperkenalkan oleh Mohammad Abed al-Jabiri atas epistimologi bayani.

Dalam metode tahlili, untuk menganalisa suatu kasus perhatian akan langsung tertuju pada teks yang telah ada, dengan alasan khitab yang dipakai al-Quran adalah sigat ‘am (bentuk umum), meskipun ada sebab khusus yang melatarbekanginya turunya secara historis. “al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi khusus al-sabab”, karena itulah perhatian utama para ahli tafsir kelompok ini

Page 78: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 76 ]

akan tertuju pada redaksi teks terhadap kasus, bukan apa dan bagaimana yang menyebabkan kasus itu terjadi yang kemudian memunculkan reaksi ayat terhadap kasus tersebut.

Sebagai contoh, Q.S. al-Nisa: 3, tentang poligami, ayat ini dari awal hingga akhir menggunakan bentuk jamak, padahal jika dilihat kasus yang melatarbekangi ayat adalah khusus yaitu kasus Urwah ibn Zubair bahwa ia mempunyai seorang anak yatim perepuan yang hisup dibawah pengawasannya, anak yatim ini selain memang cantik juga memiliki harta hingga Urwah ingin mengawininya, dengan berlandasan ayat ini akhirnya Urwah dapat melangsungkan niatnya tersebut.

Bagi metode tahlili, ayat tersebut dijadikan legitimasi praktek poligami asal yang bersangkutan mampu berbuat adil. Namun bagi metode maudu’i berkesimpulan lain. Mereka tidak hanya semata-mata melihat legitimasi terhadap praktek poligami yang dilakukan Urwah sebagai legitimasi poligami secara umum, sebab menurut mereka penafsiran mesti juga melihat ayat-ayat yang senada, seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa: 129, ayat ini merupakan kelanjutan syarat adil yang diungkap oleh Q.S. al-Nisa: 3, dimana manusia sangat sulit sekali untuk mungkin dapat berbuat adil. Dengan ketatnya syarat yang diberikan al-Quran tersebut menjadikan bahwa pesan yang sesungguhnya diinginkan oleh al-Quran monogami bukan poligami. Bahkan jika melihat historis-kultural masyarakat Arab, baik pra-Islam maupun setelah Islam datang, praktek poligami adalah hal yang lumrah dan umum terjadi dikalangan mereka, bahkan pula ia bukan saja terjadi di tanah Arab tapi juga hampir di seluruh belahan dunia (Jabbar, 2005: 5-7). Karena itu menurut Fazlurahman, legitimasi poligami dalam Q.S, al-Nisa;3 hanya bersifat temporal dan tidak permanen.

5. Bias Dalam Reduksi Makna Begitu sulit dan memerlukan memang memerlukan sebuah upaya kajian

yang sangat serius dalam mengungkap tabir makna yang dimuat dalam firman Allah ini. Terlebih bagi mereka yang bukan berasal dari penutur bahasa mediator Tuhan, berbeda dengan mereka yang secara kebetulan sebagai penutur bahasa al-Quran, itupun masih saja mereka mengalami banyak kesulitan meskipun secara tekstual mereka telah sedikit terbantukan daripada mereka yangasing.

Karena itu untuk memahami ide dan pikiran Tuhan yang telah ditransformasi ke dalam bahasa Arab (Q.S. Yusuf: 2), memerlukan pemahaman yang mendalam. Perlu ditegaskan, setiap bahasa memiliki kekhasan latar belakang budaya. Maka ketika bahasa itu ditransformasi ke dalam bahasa lain, ia akan mengalami reduksi dan penambahan yang terkadang sulit untuk dihindari. Misalnya saja, Q.S. al-Nisa: 34, pada kata “qawwamuna”, dalam bahasa Indonesia—sebagaimana terjemahan Dep. Agama RI—diartikan pemimpin, namun dalam terjemahan bahasa Inggris—sebagaimana terjemahan Yusuf Ali—berarti the protectors (pelindung). Apalagi transformasi yang terjadi pada firman Tuhan dari bahasa Tuhan—yang tak terbadat—ke bahasa Arab—yang terbatas.

Page 79: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 77 ]

E. Penutup Dari wacana sederhana yang penulis angkat di atas, menunjukkan betapa pun al-

Quran itu adalah firman Tuhan, tetap saja dikala ia telah menjelma dalam bahasa manusia, menjadikan ia tidak dapat melepaskan diri dari keterbatasan bahasa yang meliputinya. Baik itu aspek sosio-kultural, sosio-historis dan gramatikal-struktural bahasa yang dipakai Tuhan tersebut. Karena itu pula seperti bias gender yang termasuk dalam aspek bahasa Arab, yang merupakan bahasa pilihan mediasi Tuhan ikut terkena biasnya. Di sinilah diperlukan pemahaman yang sangat sistematis dan mendalam dengan mengimplikasikan metodologi interpretasi yang tepat bagi penafsiran al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana kesetaraan Gender

dalam Islam. (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga). 2002. Engineer, Asghar Ali. Matinya Perempuan; Menyingkap Mega Skandal Doktrin dan

Laki-laki. Terj. (Yogyakarta: IRCiSoD). 2003. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. (Jakarta: Paramadina). 1996. Jabbar, Luqman Abdul. Mengarak Poligami dengan Kereta al-Quran. (Yogyakarta:

UIN Sunan Kalijaga). 2005. Jurnal Perempuan. Perempuan dan Fundamentalisme. (Jakarta: Yayasan Jurnal

Perempuan). No. 31, th. 2003. Kaelan. Filsafat Bahasa. (Yogyakarta: Paradigma). Cet. I 1996. Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zayd; Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta: eLSAQ).

2003. Lindsey, Linda L. Gender Roles; A Sociological Perspective. (New Jersey: Prentice

hall). 1990. Nasution, Komaruddin. Fazlur Rahman; Tentang Perempuan. terj. (Yogyakarta:

Tazzafa). 2002.

Page 80: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 78 ]

Schmidt, Alvin J. Veiled and Silenced; How Culture Shaped Sexist Theology. (Georgia: Mercer University Press). 1989.

Umar, Nasaruddin. Argumentasi Kesetaraan Jender. (Jakarta: Paramadina). 2001. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan. Terj. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta).

2001. Zayd, Nasr Hamid Abu. Dawa>ir al-Khauf: Qira>'ah fi Khit}ab al-Mar'ah. (Bayrut: al-

Markaz al-s\aqafi al-'Arabi). 2000.

Page 81: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 79 ]

AHMAD AMIN:

KRITIK DAN PEMIKIRANNYA TENTANG HADIS Oleh: Nurmahni

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACT Ahmad Amin was a modern muslim scholar that produced critical works in the field of Islamic thought, including critical thinking of Hadith.His critical thinking can be found in his most famous book entitled "Dhuha al-Islam" where he criticized forgery of Hadith due to the lack of a written record of Hadith from the beginning. The interpretation of the critical analysis of Ahmad Amin requires extensive a critical approachinvolving many aspects including historical aspects in it.

A. Pendahuluan Dalam hal penetapannya sebagai sumber hukum Islam, terdapat perbedaan yang

cukup mendasar antara al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW. Al-Qur‟an bersifat qath‟iy al-wurud yang berarti bahwa al-Qur‟an diyakini oleh seluruh umat Islam sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah. Sementara itu, hadis Nabi SAW bersifat wahyu yang diturunkan oleh Allah. Sementara itu, hadis Nabi SAW bersifat zhanniy, baik wurudnya maupun dilalahnya. Dengan kata lain, betapapun shahihnya nilai suatu hadis, kepastiannya sebagai nash yang benar-benar berasal dari Nabi SAW tetap bersifat zhanniy.

Karena kebenarannya yang bersifat zhanniy inilah, keberadaan hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam berpeluang besar untuk dikritik dari berbagai segi. Dari segi sanadnya, hadis berpeluang untuk dikritik dengan cara mengetahui apakah perawi hadis itu termasuk orang yang „adil, dlabith, terhindar dari syazd dan ilat atau tidak. Apakah hadis tersebut memilii sanad yang muttasil (bersambung) sampai kepada Nabi SAW atai tidak. Sementara itu, dari segi matan hadis tersebut sesuai atau sebaliknya bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yang bersifat muhkam, dalil-dalil yang telah pasti, atau mengandung pertanyaan yang berada diluar kewajaran (rasio dan akal sehar).

Proses pembukuan (tadwin) hadis yang memakan waktu cukup lama dan munculnya berbagai macam hadis palsu juga melatar belakangi mengapa hadis berpeluang untuk dikritik. Hal yang sama tidak pernah terjadi pada al-Qur‟an. Sejak pembukuannya sampai sekarang al-Qur‟an seakan kebal dari kritik.

Page 82: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 80 ]

Atas dasar peluang-peluang inilah para ahli hadis dan ahli ilmu keislaman lainnya mencurahkan perhatiannya untuk mengkaji secara kritis terhadap eksistensi hadis Nabi SAW. Ahmad Amin (selanjutnya disebut Amin) adalah salah satu dari mereka itu yang mencurahkan kajian kritisnya terhadap hadis Nabi SAW. Kajian kritisnya ini sering ditafsirkan ulama hadis sebagai upaya untuk mereduksi dan meragukan hadis. Untuk itulah perlu dipahami secara lebih luas apa sesungguhnya yang melatar belakangi pemikiran Amin itu dan bagaimana pula implikasi dari pemikirannya itu terhadap perkembangan hadis pada masa yang akan datang.

B. Sekilas Biografi Ahmad Amin Ahmad Amin adalah seorang cendikiawan muslim modern dan penulis terkenal

kelahiran Kairo (Mesir) pada tanggal 2 Muharram 1304 H. atau bertepatan dengan awal Oktober 1886 M. dan wafat pada tanggal 30 Ramadhan 1373 H. bertepatan dengan 30 Mei 1954. terlahir dari keluarga seorang hakim, dia diharapkan juga akan dapat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang hakim. Karena itu, dia memasuki pendidikan pada fakultas hukum di Universitas Al-Azhar. Rupanya cita-cita orang tuanya tercapai, karena dia diangkat sebagai seorang hakim pada lembaga pengadilan negeri (Muhammad Syafiq Gharbal, 1956: 63).

Pada tahun 1922 M., Amin beralih profesi menjadi seorang staf pengajar pada Universitas Kairo. Bidang yang diajarkan adalah sastra Arab. Di Universitas yang sama dia diangkat sebagai Rektor mulai dari tahun 1936 M sampai 1949 M (Ibrahim Zaky Mursyid, et.al., t.th.,: 287).

Karir yang dicapai Amin bisa dikatakan cemerlang. Segera setelah melepaskan kedudukannya sebagai Rektor, setahun kemudian (tahun 1947 M), dia menduduki jabatan sebagai Direktur Lembaga Kebudayaan pada Liba Bangsa-Bangsa Arab (Organisasi Negara-Negara Arab). Dia termasuk salah seorang pendiri lembaga penulisan, penerbitan dan penterjemahan yang sangat giat dan rajin. Salah satu aktivitas lembaga ini adalah mempublikasikan dan menerbitkan naskah-naskah Arab klasik serta buku-buku sejarah pada umumnya.

Salah satu karya ilmiah Amin yang sangat penting adalag sebuah tulisan tentang kebudayaan Islam pada masa pertumbuhan sampai perkembangannya pada akhir abad ke-XX. Pemikirannya tentang sejarah perkembangan kebudayaan Islam itu ditulis dalam tiga judul buku yang berbeda: Fajr al-Islam (cetakan pertamanya diterbitkan di Kairo pada tahun 1928 M), Dhuha al-Islam (cetakan pertamanya diterbitkan di Kairo pada tahun 1933 sampai 1936 M) dan Zuhr al-Islam (dipublikasikan di Kairo pada tahun 1945-1953 M). buku-buku yang ditulisnya itu sangat terkenal karena merupakan karya tulis pertama yang berusaha secara komprehensif memasukkan metode kritik sejarah Arab Islam modern. Selain menulis tentang sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam, dia juga menulis tentang filsafat dalam sebuah buku yang berjudul Al-Akhlak (1923 M) dan menterjemahkan buku-buku filsafat karya tulis filosuf barat.

Pada tahun 1933 M, Amin aktif menulis sastra pada majalah mingguan ar-Risalah dan al-Tsaqafah. Kumpulan tulisannya tentang sastra dan sosial yang tersebar di dua majalah itu diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Faydh al-Khothir, terdiri dari delapan juz (1937 M).

Page 83: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 81 ]

Seumbangan Amin yang cukup besar bagi perkembangan dunia sastra di Mesir adalah ditulisnya sebuah kamus sastra Mesir yang berjudul Qamus al-„Adat wa al-Taqalid wa al-Ta‟bir al-Mishriyyah diterbitkan di Kairo tahun 1953 M. Dia juga menulis sebuah autobiografi yang diberi judul Hayati diterbitkan pada tahun 1950 M. buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa yang sederhana, jelas dan mudah dipahami.

Selain dikenal sebagai sastrawan, Amin juga dikenal sebagai seorang tokoh yang gigih memperjuangkan ide-ide emansipasi wanita. Demikianlah sekelumit biografinya, seorang cendikiawan muslim dengan segudang prediket baik sebagai sejarawan, kritikus sastra dan ahli hukum.

C. Kritik dan pemikiran Ahmad Amin tentang hadis

Kritik dan pemikiran Amin tentang hadis dituangkan dalam dua bukunya yang berjudul Dhuha al-Islam dan Fajr al-Islam. Meskipun dua buku ini tidak membahasa secara khusus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hadis dan ilmu hadis, satu bab pemikirannya tentang sejarah perkembangan hadis yang terdapat dalam dua buku ini cukup menggambarkan bagaimana sebenarnya kritik dan pemikirannya tentang hadis. Hal tersebut sangat laik untu dikaji secara kritis-analitis, tanpa sikap emosional agar tidak terlalu cepat memvonisnya sebagai pemikiran sesat.

a. Permulaan terjadinya pemalsuan hadis Berbeda dengan pandangan ulama hadis pada umumnya, Amin

berkesimpulan bahwa permulaan terjadinya pemalsuan hadis itu sesungguhnya terjadi pada masa Nabi SAW masih hidup dan pemalsuan itu semakin melebar setelah Nabi SAW wafat. Indikasi bahwa pada masa Nabi SAW telah terjadi pemalsuan hadisadalah sabda Nabi SAW yang artinya: “Siapa saja yang dengan sengaja membuat kebohongan terhadapku, maka ambillah tempatnya di neraka”. Besar kemungkinan, demikian Amin,. Kemunculan hadis ini berkaitan dengan terjadinya peristiwa pemalsuan hadis pada masa Nabi SAW. Sebab, tidak mungkin Nabi SAW bersabda demikian jika sebelumnya tidak terdapat indikasi adanya pemalsuan hadis oleh para sahabat (Ahmad Amin, 1975: 211).

Menurut Amin, terjadinya pemalsuan hadis masa Nabi SAW dan masa sesudahnya selain karena tidak adanya usaha pembukuan hadis, sebagaimana yang dilakukan terhadap al-Qur‟an, juga karena para sahabat lebih berpegang pada kekuatan hafalan ketimbang tulisan. Perilaku sahabat yang demikian ini didorong oleh hadis iyang melarang penulisan hadis.

Pemalsuan hadis yang terjadi pada masa Nabi SAW itu kemudian terus berlanjut setelah Nabi SAW wafat. Bahkan intensitasnya semakin meningkat. Sedemikian tingginya intensitas pemalsuan hadis itu, sehingga sangat sulit untuk memastikan apakah suatu hadis itu benar-benar datang dari Nabi SAW. Untuk membuktikannya, dia mengutif penjelasan Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas dahulu sering menuturkan hadis Nabi SAW karena tidak ada yang memalsukan hadis. Tetapi setelah semua orang mulai menempuh jalan kesusahan dan kehinaan, Ibnu Abbas meninggalkan hadis-hadis itu dan hanya mempercayai hadis Nabi SAW sebatas yang dia ketahui (Ahmad Amin: 210).

Page 84: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 82 ]

Sepintas jika diamati pendapat Amin, seputar permulaan munculnya pemalsuan hadis dengan bukti hadis di atas, nampak seolah-olah pemalsuan itu benar-benar terjadi pada masa Nabi SAW. Apabila pendapat seperti itu diyakini sebagai suatu kebenaran, maka implikasi lebih jauh terhadap eksistensi hadis adalah bahwa, pada masa yang paling awal, keshahihan hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua berpeluang untuk dipertanyakan dan diragukan. Karegauan terhadap hadis akan semakin besar karena pada masa berikutnya intensitas pemalsuan hadis semakin tinggi.

Oleh karena itu, pendapat Amin yang demikian itu perlu diwaspadai dan dikaji secara kritis. Jika lebih jauh, nampak bahwa dia, sebagaimana yang dikatakan Syuhudi, menyandarkan pendapatnya hanya pada dugaan yang tersirat dalam hadis Nabi SAW di atas (Ahmad Amin: 211). Padahal, jika dilihat dari perspektif historis bisa dipastikan bahwa tidak pernah terjadi dalam sejarah hidup Nabi SAW seseorang berserah diri dan menjadi sahabatnya memalsukan hadis (Syuhudi Ismail, 1988: 92). Kalaupun benar pemalsuan itu terjadi, tentunya hal itu akan menjadi peristiwa bersejarah dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain serta tertulis dalam kitab-kitab yang mu‟tabar yang menerangkan tentang asbab al-wurud hadis. Tetapi fakta menunjukkan bahwa tidak ada kitab-kitab asbab al-wurud hadis yang menerangkan tentang peristiwa pemalsuan hadis pada masa Nabi SAW. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pendapat Amin yang demikian itu tentu tidak memiliki dasar argumen kesejarahan yang kuat.

Adapun berkaitan dengan hadis yang dijadikan dasar argumen oleh Amin di atas, maka sebagaimana dijelaskan oleh al-Siba‟i hadis itu justru disabdakan Nabi SAW kepada para sahabatnya agar mereka meriwayatkan hadis dari beliau kepada generasi berikutnya. Bukhari, sebagaimana yang dikutip al-Siba‟i, menuturkan bunyi hadis yang senada bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya: “Sampaikan dari diriku meskipun hanya satu ayatdan tutur mengenai Bani Israil tanpa merasa ada halangan dan barang siapa berbohong mengenai diriku maka biarkan dia menghuni tempatnya di neraka”. Imam Tirmizi juga meriwayatkan hadis itu dari Ibnu Abbas yang artinya: Berhati-hatilah kamu dalam penuturan dariku, kecuali sesuatu yang benar-benar kamu ketahui dan siapa saja yang dengan sengaja berbohong mengenai diriku, maka biarlah dia menghuni neraka (Mustafa al-Siba‟i, 1991: 186). Berdasarkan pada redaksi hadis yang beragam itu, maka hadis yang dikutip Amin di atas, tidak bisa dijadikan dasar bahwa telah terjadi pemalsuan hadis pada masa Nabi SAW. Sebaliknya, hadis itu harus dipahami berdasarkan hadis-hadis enada (secara tematik) yaitu dalam konteks perintah Nabi SAW kepada para sahabat agar mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dan melarang berbohong dalam meriwayatkannya.

Hadis tersebut di atas juga dapat dipahami sebagai salah satu bentuk lain dari mu‟jizat Nabi SAW, yang dapat memprediksi suatu peristiwa yang belum terjadi dan pasti akan terjadi. Tersirat dalam hadis itu, seolah-olah Nabi SAW mengethaui bahwa sepeninggalnya nanti akan terjadi upaya pemalsuan terhadap sabda-sbdanya. Oleh karena itu, jauh sebelumnya Nabi SAW sudah memberi peringatan yang tegas kepada para sahabat agar tidak berbohong dalam meriwayatkan hadis (Mustafa al-Siba‟i, 1991: 187).

Page 85: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 83 ]

Berdasarkan fakta sejarah yang ada, maka dapat dipastikan bahw awal terjadinya pemalsuan hadis itu sesungguhnya pada tahun 40 H. tahun ini menurut al-Siba‟i merupakan basis pemisah yang tegas antara masa kemurnian hadis dengan pemalsuan hadis (Mustafa al-Siba‟i, 1991:186; Al-Shiddiq Basyri Nashr, 1992: 106). Pendapat al-Siba‟i ini dapat dibenarkan, jika dilihat dari perspektif historis. Karena umat Islam saat itu, pasca peristiwa fitnah, berada pada kondisi yang sangat kritis. Tampilnya Ali sebagai khalifah pasca Usman bukannya menciptakan persatuan dan kesatuan umat Islam, tetapi justru menjadikan mereka terkotak-kotak menjadi berbagai kelompok. Sebagaimana dimaklumi, pada masa pemerintahan Ali terjadi friksi politik yang cukup kuat antara pendukung Ali dengan pendukung Mu‟awiyah seputar jabatan khalifah yang berujung pada meletusnya perang Shiffin. Perang ini berakhir dengans ebuah perjanjian yang menguntungkan pihak Mu‟awiyah. Akibat perjanjian itu, para pendukung Ali yang tidak puas dengan keputusan itu keluar dari barisan Ali yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij. Kemenagan Mu‟awiyah dalam perjanjian itu pada gilirannya mengantarkan dia menjadi khalifah pengganti Ali. Hal ini mengakibatkan perseteruan yang semakin tajam antara pendukung Ali dengan pendukung Mu‟awiyah (Mustafa al-Siba‟i, 1991: 186). Kedua kelompo ini berusaha saling mengklaim diri mereka sebagai kelompok yang paling benar. Salah satu cara mereka tempuh adalah dengan hadis-hadis palsu (Ahmad Amin, 1973: 322-323), yang dapat mengokohkan kelompok mereka.

Jadi berdasarkan bukti-bukti sejarah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Nabi SAW belum ada bukti yang adanya pemalsuan terhadap hadis Nabi SAW. Sebaliknya, pemalsuan hadis itu baru muncul setelah masa khalifah Ali bin Abi Thalib.

b. Kualitas hadis-hadis Abu Hanifah Semula Amin ingin mengatakan bahwa salah satu sebab munculnya hadis

palsu adalah adanya perselisihan dalam ilmu kalam maupun ilmu fiqih. Bermula dari perbedaan di kalangan pemimpin mazhab fiqih dan aliran kalam, maka muncullah hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh pendukung aliran dan mazhab itu untuk menguatkan pendapatnya. Sehingga dia berkesimpulan, betapa dalam bidang fiqih hampir tidak ditemukan suatu cabang pembahasan, kecuali pasti di dalamnya terdapat hadis palsu. Untuk memperkuat pendapatnya, dia mengemukakan bukti bahwa Imam Abu Hanifah, seperti yang disebut para ulama, dikenal sebagai Imam Mazhab yang hanya sedikit mengakui hadis shahih. Sedemikian sedikitnya hadis shahih yang diakui Abu Hanifah, sampai-sampai Ibnu Khaldun mengatakan bahwa hanya tujuh belas hadis saja yang dianggap shahih oleh Abu Hanifah. Tetapi anehnya, demikian Amin, dalam kitab Imam Abu Hanifah dipenuhi sejumlah hadis yang kadang-kadang menyerupai matan fiqih (Ahmad Amin, 1975:214). Tapi sayangnya, Amin tidak menyebutkan secara pasti kitab Abu Hanifah tersebut, serta contoh-contoh hadisnya. Dengan berpendapat seperti itu, Amin sesungguhnya ingin membuktikan betapa hadis-hadis tentang fiqih sangat sedikit yang bernilai shahih.

Page 86: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 84 ]

Pandangan Amin bahwa salah satu penyebab timbulnya hadis palsu akibat pembelaan yang berlebihan terhadap mazhab dan kalam sejauh ini dapat dibenarkan. Tetapi penilaiannya, yang merujuk kepada pendapat Ibnu Khaldun, bahwa Imam Abu Hanifah hanya mengakui tujuh belas hadis saja yang shahih, menurut hemat penulis tampaknya masih perlu dikaji lebih jauh. Hal ini menurut al-Siba‟i, karena dalam kenyataannya mazhab hanafi adalah mazhab yang paling luas dari segi perincian dan penyimpulan semua pendapatnya itu hanya berdasarkan pada beberapa hadis itu saja (Mustafa al-Siba‟i, 1991: 211).

Pernyataan Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Amin itu, disebutkannya dalam konteks perkiraan kasar, yang mengisyaratkan bahwa dia sendiri tidak mengetahui jumlah hadis-hadis itu secara pasti. Di samping itu, para ulama juga banyak yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah banyak meriwayatkan hadis (Ahmad Amin, 1973: 325). Al-Khawarizmi, tulis Abu Zahwu, telah mengumpulkan Musnad Abu Hanifah yang diambil dari lima belas kitab Musnad Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh ulama hadis. Kemudian Al-Khawarizmi membuat urutan Musnad itu berdasarkan urutan pembahasan fiqih dengan menghilangkan pengulangan-pengulangan isnad (Muhammad Abu Zahwu: 284). Sementara itu, al-Syifa‟i mengatakan bahwa Abu Hanifah adalah seorang tokoh yang banyak menghafal hadis. Kalau tidak karena perhatiannya terhadap hadis, bagaimana mungkin dia dapat melakukan istimbath dalam persoalan fiqih (Muhammad Abu Zahwu: 284). Pendapat ulama yang demikian itu cukup menjadi bukti ibetapa Abu Hanifah banyak mengakui hadis shahih, tidak dalam jumlah belasan, sebagaimana yang disebutkan Amin.

Dibanding Imam-imam Mazhab lainnya, Imam Abu Hanifah termasuk Ima Mazhab yang paling ketat dalam menyeleksi hadis-hadis sebagai sumber hukum. Karena itu Imam Abu Hanifah banyak meninggalkan hadis-hadis ahad karena tidak sesuai dengan syarat-syarat diterimanya hadis sebagai sumber hukum. Dia, misalnya menolak hadis ahad karena tidak sesuai dengan zhahir ayat al-Qur‟an. Dalam pandangan Abu Hanifah, hadis ahad tidak bisa menambah atau mengecualikan sebagian kandungan al-Qur‟an (Quraish Shihab, 1993: 11-12). Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua hadis ahad yang ditolak Imam Abu Hanifah tidak berarti dha‟if di mata Imam Mazhab lainnya. Hal ini terdapat perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya hadis ahad sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an.

c. Ulama hadis lebih memperhatikan kritik sanad daripada kritik matan Menurut Amin ulama hadis dalam melakukan penelitian hadis lebih banyak

menitikberatkan pada penelitian sanad ketimbang mnatan. Para kritikus hadis sangat sedikit yang mengkritik matan hadis, misalnya dengan cara melihat apakah matan hadis itu sesuai dengan suasana yang terkandung dalam hadis itu, atau dengan fakta sejarah, atau apakah matan hadis itu menyerupai ungkapan filsafat yang tudak sesuai dengan yang biasa digunakan, atau apakah matan hadis itu menyerupai ungkapan fiqih dilihat dari segi syarat dan qayyadnya (Ahmad Amin, 1973: 217; dan Ahmad Amin, 1975: 131).

Bukti para ulama hadis jarang melakukabn kritik matan berdasarkan beberapa kriteria yang disebutkan Amin itu nampak jelas pada sosok ulama hadis seperti

Page 87: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 85 ]

Imam Bukhari. Menurutnya, Imam Bukhari yang selama ini dikenal sebagai kritukus hadis handal dan sangat terpercaya ternyata banyak meriwayatkan hadis-hadis yang apabila ditinjau dari bukti sejarah serta fakta empiris (penemuan ilmiah) tidak dapat disebut shahih. Hal ini disebabkan karena Imam Bukhari hanya mencukupkan diri pada kritik sanad, tetapi tidak melangkah lebih jauh pada kritik matan.

Menurut Amin, dalam hadis yang pertama, Nabi SAW memberitahukan bahwa sesudah seabad nanti (sejak hadis itu disabdakan) tidak akan ada satupun manusia di muka bumi yang hidup. Bunyi hadis tersebut, menurutnya, tidak sesuai dengan fakta empiris. Karena ternyata, sampai sekarang masih banyak manusia yang masih hidup. Atas dasar inilah dia memvonis hadis tersebut sebagai maudhu‟.

Vonis maudhu‟ juga dijatuhkan Amin terhadap dua hadis berikutnya. Menurutnya, kedua hadis itu jika dilihat dari segi matannya tidak bisa dikatakan shahih karena para ulama hadis sebelum menerima hadis itu tidak pernah menguji secara empiris kandungan matan hadis tersebut. Misalnya dengan melakukan pengujian terhadap unsur-unsur kimiawi yang ada pada kurma dan jamur atau kalau tidak mungkin bisa dilakukan melalui pengalaman (ibid). Cara pengujian yang coba ditawarkannya adalah dengan menggunakan analisa ilmiah untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan shahih.

Kritik Amin yang seperti itu sebenarnya bukan kritik yang pertama. Jauh sebelumnya Ibnu Khaldun, sejarawan terkemuka abad ke-XIV, juga melakukan kritik yang sama terhadap ulama hadis. Menurutnya, ulama hdis lebih banyak melakukan kritik sanad ketimbang kritik matan. Ibnu Khaldun menilai, apabila para pembawa brita itu menurut ulama hadis termasuk orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita itu dinyatakan berkualitas shahih dan begitu sebaliknya (Syuhudi Ismail, 1988: 5).

Kritik Amin terhadap ulama hadis, terutama Imam Bukhari yang menurutnya kurang perhatian terhadap kritik matan, tampaknya perlu diceramti dan dianalisa secara kritis. Sebaba jika tidak, pandangan yang demikian akan dapat meragukan keyakina seseorang terhadap hadis.

Sejauh ini pendapat-pendapat yang dilontarkan Amin atai yang senada dengannya, secara langsung atai tidak telah dikritik oleh ulama lain, misalnya al-Siba‟i, Nuruddin Itr, abu Syuhbah dan „Ajjaj al-Khatib. Mereka menyatakan bahwa ulama hadis dalam meneliti hadis sama sekali tidak mengabaikan penelitian matan. Hal ini terbukti dengan beberapa kaedah yang mereka pakai dalam menetapkan keshahihan suatu hadis. Menurut kaedah tersebut, suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila sanad dan matan hadis itu terhindar dari syazd dan illat. Jadi keshahihan suatu hadis tidak hanya ditentukan oleh keshahihan sanad tapi juga keshahihan matan. Pandangan yang demikian berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa keshahihan sanad suatu hadis tidak mesti membawa pada keshahihan matannya atau begitu juga sebaliknya (A-Siba‟i, 1991: 228).

Sebagai bukti bahwa ulama hadis itu tidak sekedar melakukan kritik sanad tapi juga kritik matan adalah ditetapkannya beberapa kaedah kritik matan untuk menentukan validnya sebuah matan hadis. Kaedah yang dimaksud adalah:

Page 88: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 86 ]

1. Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.

2. Tidak boleh bertentangan dengan kaedah pengertian rasional yang aksiomatik.

3. Tidak boleh bertentangan dengan kaedah-kaedah umum dalam hukum dan akhlak.

4. Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan 5. Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam ilmu

kedokteran dan ilmu pengetahuan. 6. Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang tidak dibenarkan oleh agama. 7. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-

prinsip keyakinan (iman) tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya. 8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah. 9. Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang selalu dihindari

oleh mereka yang berfikir. 10. Tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah yang mantap

atau yang sudah terjadi ijma‟ padanya atau yang diketahui dari segi agama secara pasti yang sekiranya tidak mungkin untuk dita‟wilkan.

11. Tidak boleh bertentangan dengan fakta sejarah yang diketahui sejak zaman Nabi SAW.

12. Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang sedang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri.

13. Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.

14. Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkan hadis.

15. Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan yang kecil atau sebaliknya (Muhammad Luqman al-Salaby, 1987: 480; Lihat juga Nuruddin Itr: 290).

Dengan melihat beberapa kaedah kritik matan yang telah ditetapkan oleh ulama hadis itu, maka pandangan Amin bahwa para ulama hadis kurang perhatian terhadap kritik matan dengan sendirinya tidak bisa diterima. Dalam pada itu, dia juga mengkritik para ulama hadis yang tidak menggunakan kaedah kritik matan sebagaimana yang dia tawarkan. Misalnya, dengan menggunakan parameter apakah matan hadis itu sesuai dengan situasi yang diperbincangkan; didukung oleh fakta historis; mirip dengan ungkapan filsafat yang berlawanan dengan ungkapan Nabi SAW; menyerupai matan fiqih; cocok dengan kenyataan, terdapat motiv politi dan sebagainya.

Page 89: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 87 ]

Sebenarnya kaedah kritik matan yang ditawarkan Amin tersebut bagi kalangan ulama hadis bukanlah merupakan suatu yang baru yang luput dari perhatian mereka. Sebagian besar dari kaedah tersebut sering dipakai ulama hadis untuk menyeleksi matan suatu hadis. Sebagai contoh, dalam kritik matan mereka menolak suatu hadis karena matannya tidak sesuai dengan fakta sejarah. Seperti penolakan mereka terhadap hadis tentang kamar mandi dengan alasan bahwa Nabi SAW belum pernah masuk kamar mandi karena memang di Hijaz belum ada kamar mandi (Al-Siba‟i, 1991: 231). Dan masih banyak lagi contoh serupa yang menunjukkan bagaimana hadis menggunakan kriteria tersebut sebagai dasar kritik matan.

Demikianlah perhatian ulama hadis terhadap kaedah-kaedah kritik matan, sehingga tidak ada alasan bagi Amin untuk mengatakan bahwa mereka kurang memperhatikan kaedah kritik matan.

d. ‘Adalah al-shahabah Menurut Amin menyatakan para kritikus hadis menganggap „adil semua

sahabat, baik secara rinci maupun secara garis besar, sehingga mereka tidak mengenakan sifat tercela (jarh) terhadap mereka. Tetapi ulama hadis hanya melakukan jarh terhadap sanad tingkatan kedua (tabi‟in) dan seterusnya (Ahmad Amin, 1973: 217). Padahal sahabat sebagai manusia juga saling kritik di antara mereka.

Kritik Amin ini sesungguhnya dialamatkan kepada mereka yang mempunyai keyakinan bahwa semua sahabat „adil. Penilaian „adil terhadap semua sahabat memang secara nalar tidak bisa diterima kebenarannya, karena fakta menunjukkan bahwa terdapat sahabat yang berperilaku buruk atau melanggar muru‟ah (tidak „adil). Tetapi harus segera dinyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti sejarah, al-Qur‟an dan hadis para sahabat pada umumnya bersifat „adil. Jumlah mereka yang tidak „adil diduga kuat jumlahnya tidak banyak. Jadi pada dasarnya para sahabat itu bersifat „adil, kecuali bila terbukti mereka yang telah berperilaku tidak „adil.

Tetapi jika pengertian al-shahabah kulluhum „udul itu dibawa pada pengertian sahabat yang meriwayatkan hadis, maka pandangan demikian dapat diterima karena mereka tidak mungkin melakukan kebohongan terhadap Nabi SAW. Kalaupun ada sahabat yang tidak „adil meriwayatkan hadis, maka pastilah ada syahid atau tabi‟ yang meriwayatkan hadis yang sama dan pastilah ketidak„adilan mereka itu akan dengan mudah diketahui sahabat lainnya. Dengan sendirinya riwayat hadis yang berasal dari sahabat yang tidak „adil itu terseleksi berdasarkan penilaian sahabat yang lain.

Mengenai sahabat yang saling kritik dan menempatkan salah seorang dari mereka pada tempat yang lebih tinggi dibanding yang lainnya, serta meminta seorang saksi ketika meriwayatkan suatu hadis, maka hal itu merupakan sikap kehati-hatian mereka terhadap hadis. Bukan karena mereka tidak percaya terhadap pribadi sahabat tersebut.

Page 90: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 88 ]

D. KESIMPULAN Demikianlah pemikiran Ahmad Amin tentang hadis. Sejauh pengamatan penulis,

agaknya Ahmad Amin mengakui eksistensi hadis sebagai sumber hukum, tetapi dengan menggunakan pendekatan kritis-analitis. Hanya sayangnya pendekatan kritiknya kurang didasarkan pada bukti sejarah maupun teks yang kuat sehingga kesimpulannya tentang hadis, meskipun sekilas tampak meyakinkan, tetapi bila dianalisa lebih jauh sangat lemah. Bagi mereka yang sekilas membaca pemikiran Amin, tanpa melakukan pendekatan kritik, pastilah mereka akan terjebak pada sikap meragukan keberadaan hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriah, 1975. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriah, 1973. Ibrahim Zaky Mursyid, (et.al), Kitab al-Sya‟ab, Kairo: Dairat al-Ma‟arif al-Islamiyah,

t.th. Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muahddisun, Mesir: Maktabat al-Misrh, t.th. Muhammad Luqman al-Salaby, Ihtimam al-Muhaddisun bi Naqli al-Hadis Sanadan wa

Matanan, Riyadh: t.tp, 1987. Mustafa al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Terj.

Nurcholish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Muhammad Syafiq Gharbal, Mausu‟ah al-„Arabiah al-Musyassarah, Kairo: Dar al-

Qalam, 1959. Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi‟Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Shiddiq Basyri Nashr, Dhawabith al-Riwayah „inda al-Muhaddisun, Tarablis:

Kulliyat al-Da‟wah, 1992. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Quraish Shihab, dalam pengantar buku al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW,

Terj. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1993.

Page 91: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 89 ]

PRESERVASI NASKAH KLASIK Oleh: Faizal Amin

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak co.id

ABSTRACT This paper elaborates somes aspecs of manuscript and it‘s preservation. This significant leads us to understand the needs to move together hand in hand to preserve an inundate number of manuscripts in Nusantara. The grand design of manuscript preservation covers phisic and text. The phisic preservation devided into preventif and curatif conservation. On the other hand, text preservation related to digitalization, philology study, and rewriting. To obtain the goals, this paper will begin to describe the concept of manuscript and than the modes of preservation. Kata-kata kunci: manuscript, preservation, text, phililogy, phisic, codicology

A. Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian terhadap naskah Islam nusantara sangatlah

penting. Kajian terhadap naskah tersebut akan mengungkapkan berbagai aspek Islam di Indonesia mulai dari sejarah sosial hingga pemikiran dan intelektualisme Islam. Secara spesifik, kajian filologi atas naskah-naskah Islam nusantara membantu menjelaskan Islam dengan kacamata lokal (from within) dan bukan paradigma luar (from without). Hal ini disebabkan oleh banyaknya penyimpangan kajian naskah Islam nusantara yang dilakukan oleh pihak luar. Misalnya saja, contoh, Snouck Hurgronje menuding kitab Turjuman Al-Mustafid bukan karya orisinil Abdurrauf Singkel akan tetapi disadur dari kitab tafsir karangan Al-Baidlawi. Padahal pendapat itu salah dan bertentangan dengan fakta sejarah (Azyumardi Azra, http://www. republika.co.id/). Meskipun demikian, kajian naskah Islam nusantara masih sangat minim dan tergolong kurang popular, karena sumber daya manusia yang menguasai dan terjun di bidang filologi masih terbatas. Disamping itu, masih mendapat kendala dan hambatan, karena tidak diimbangi dengan sarana dan prasana yang mendukung terutama dana dan finansial (Oman Fathurahman, http://www. republika.co.id/)

Kesadaran bahwa manuskrip atau naskah kuno merupakan sumber pengetahuan yang paling otentik tentang jatidi umat manusia dan latar budaya yang dimiliki pendahulunya dapat diwujudkan dalam usaha untuk menjaga, mengkaji, dan melestarikannya (Lihat Fuad Jabali, 2010). Manuskrip sesungguhnya adalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat yang merefleksikan kemajuan peradaban (civilization) anak bangsa yang memilikinya. Manuskrip-manuskrip itu berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, ceritera rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional,

Page 92: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 90 ]

mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, hikayat, dan sebagainya.

Jumlah manuskrip nusantara sangatlah banyak; Ismail Husen (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980) megemukakan 4.000, dan Russel Jones menyembutkan angka sampai 10 ribu naskah. Manuskrip-manuskrip tersebut di beberapa wilayah di Indonesia seperti Pulau Jawa, Bali, Madura, Lombok, Bima, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Bahkan tidak sedikit diantara naskah tersebut tersebar di berbagai negara, seperti Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Naskah klasik yang berada di luar negeri ini diyakini jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di dalam negeri. Bila konsepsi ini diletakkan dalam konsep kedaulatan negara, pelestraian naskah klasik ini wajib dijaga dan dikembangkan demi kesejahteraan dan pengikat nasionalisme. Langkah strategisnya perlu didukung, seiring perkembangan keamanan domestik-internasional kekinian yang cenderung mengalami perubahan wajah ancaman (the shifting of nature threat), dari sesuatu yang fisik dan perang terbuka, menjadi immaterial dan perang diam. Dengan demikian, penjarahan naskah klasik menjadi sumber ancaman (source of threat) keamanan nasional.

Jika klaim suatu negara terhadap satu jenis tari-tarian, wayang, atau batik dianggap telah merongrong kedaulatan negara, maka praktik "penjarahan" naskah seharusnya lebih diperhatikan karena biarpun naskah itu dibeli namun pembelian itu jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya (Amin Sweeney, 2010: 162-163). Sebagai benda cagar budaya, keberadaan manuskrip telah dilindungi oleh undang-undang. Hal ini telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 bahwa benda-benda cagar budaya adalah benda-benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagian atau sisa-sia yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Ahmad Rahman, 2009:184).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya kembali ditegaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

Dalam konteks pernaskahan klasik, salah satu persoalan serius yang dihadapi adalah masih banyaknya naskah yang tersimpan di kalangan masyarakat atau perseorangan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan naskah klasik menjadi sebuah keniscayaan. Adalah Puslitbang Lektur Keagamaan telah menginventarisir naskah klasik dari tahun 1997-1999, kemudian diterbitkan dua buku katalog memuat 769 naskah (Puslitbang Lektur Keagamaan, 1999). Pada tahun 2003-2007, Puslitbang Lektur Keagamaan bekerjasama dengan UIN, IAIN, STAIN, STAHN, dan STAKN telah menginventarisir 1266 naskah keagamaan (Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007). Tahun 2008, Puslitbang Lektur Keagamaan telah mendigitalisasi

Page 93: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 91 ]

100 naskah dari empat provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Riau (Ahmad rahman, 2010). Meskipun demikian, kajian naskah untuk mengungkap sejarah, asal-usul, dan informasi fisik naskah, baik menyangkut bahan/alas yang digunakan maupun identitas penyalin, pengarang atau pemiliknya masih belum dapat disekripsikan sehingga masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Tulisan ini bermaksud untuk mencoba mengelaborasi konsep naskah klasik dan upaya pelestariannya. Secara lebih khusus, tuisan ini akan memaparkan tentang konsep pernaskahan dan bentuk-bentuk preservasinya yang dapat dilakukan.

B. Konsep Pernaskahan Setidaknya ada tiga kata kunci untuk menjelaskan konsep pernaskahan, yaitu

naskah, kodikologi, dan filologi.

a. Pengertian Naskah Naskah adalah karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai

ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried dkk., 1994: 55). Kata naskah diambil dari bahasa Arab, yakni kata al-naskhah yang memiliki padanan bahasa Indonesia berupa kata ―manuskrip‖ (Oman Fathurahman, 2010 : 4-5). Kata naskah juga merupakan terjemahan dari kata Latin, yaitu ‗codex‘ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‗codies‘) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‗naskah‘–bukan menjadi ‗kodeks‘. Kata ‗codex‘ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‗teras batang pohon‘. Kata ‗codex‘ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.

Istilah lain yang dapat digunakan di samping istilah naskah adalah ‗manuskrip‘ (dalam bahasa Inggris manuscript). Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin codicesmanu scripti, artinya buku-buku yang ditulis dengan tangan. Kata manu berasal dari kata manus, artinya tangan, dan scriptus berasal dari kata scribere, artinya menulis (Mulyadi, 1994: 1-3). Secara harfiah kata manuskrip berarti ―tulisan tangan‖ (written by hand atau al-makhtuth bi al-yad). Dengan demikian, istilah manuskrip –yang biasa disingkat MS untuk naskah tunggal dan MSS untuk naskah jamak— adalah dokumen yang ditulis tangan secara manual di atas sebuah media seperti kertas, papirus, daun lontar, daluang, kulit binatang, dan lainnya (Tjandrasasmita, 2006 : 3-5). Secara umum istilah naskah atau manuskrip ini juga bisa digunakan untuk menyebut informasi yang dibuat secara manual pada benda keras, seperti inskripsi (Oman Faturahman, 2010 : 4-5)

Dalam kosakata bahasa Indonesia secara umum, kata naskah digunakan tidak terbatas pada dokumen tulis tangan saja, melainkan bisa mencakup dokumen cetak lainnya. Dalam konteks penerbitan, kata naskah dan manuskrip juga sering digunakan untuk menyebut sebuah draft buku yang diserahkan ke penerbitan dan saiap untuk dicetak. Dalam kajian Filologi, kata naskah dan manuskrip digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama, yaitu dokumen tulisan tangan kuno.

Page 94: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 92 ]

Pada dasarnya pengertian naskah tidak dibatasi oleh kandungan isinya, ia biasanya berisi paparan teks dalam berbagai bidang yang sangat luas, angka-angka matematis, peta, ilustrasi gambar atau foto, dan lain-lain. Sebuah naskah beriluminasi bia merupakan gabungan indah ari teks, gambar, hiasan pinggir, kaligrafi huruf, atau ilustrasi sepenuh halaman (full-page illustrations). Pada masa lalu, terutama sebelum ditemukan mesin cetak, semua dokumen dihasilkan melalui tulisan tangan, baik berbentuk gulungan (scroll) papirus atau buku (codex) pada masa berikutnya. Nama tempat di mana naskah-naskah klasik disalin oleh para juru tulis disebut skriptorium (scriptorium) atau skriptoria (bentuk jamak). Pada awalnya 'skriptorium' biasa digunakan untuk menunjuk pada ruangan di dalam biara pada zaman pertengahan Eropa yang ditujukan untuk menyalin manuskrip oleh penulis monastik.

Revolusi besar-bearan di bidang penggandaan naskah terjadi pada tahun 1440 ketika Johansen Gutenberg dari Jerman berhasil menemukan mesin cetak. Gutenberg berhasil membangun sebuah piranti mesin cetak yang belakangan berhasil menyempurnakan teknik percetakan aneka dokumen dengan memanfaatkan perkembangan teknologi pada waktu itu. Oleh karena itu, sebuah dokumen yang awalnya hanya dapat digandakan secara manual dengan kecepatan puluhan halaman perhari, kini berubah drastis menjadi ribuan halaman perhari berkat teknologi mesin cetak. Tentu saja perkembangan mesin cetak ini tidak serta merta menggantikan tradisi penyalinan dengan tulis manual, karena di Eropa sendiri biaya percetakan masih dianggap mahal pada awal penemuannya.

Naskah perlu dibedakan dengan teks, karena kekeliruan membedakan dan memahaminya keduanya akan mengakibatkan kerancuan dalam setiap pembahasan. Jika naskah mengacu pada bundel fisik dokumen kuno yang sedang kita diskusikan, maka teks adalah apa yang terkandung dalam dokumen tersebut. Sebuah naskah bias jadi mengandung satu atau lebih teks, bahkan bias berisi topic atau bidang keilmuan yang sama sekali berbeda satu sama lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan karena pada masa lalu, seseorang memiliki bundle naskah yang belum ditulisi terlebih dahulu, sebelum membubuhkan dokumen atau informasi apapun yang mereka miliki dan ingin mereka abadikan dalam bentuk tulisan.

Khusus dalam tradisi tulisan dan intelektual Arab-Islam, teks juga dibedakan lagi menjadi matan (matn), komentar (syarh), dan penjelasan (hasyiyah) (Oman Fathurahman, 2010: 7-8). Matan adalah teks dasar utama dalam sebuah naskah yang dalam beberapa kasus, menjadi landasan bagi seorang pengarang, bias penulis matan itu sendiri atau orang lain, untuk menulis karya berupa syarh atau hasyiyah atasnya. Umumnya, syarh atau hasyiyah ditulis karena pengarang merasa bahwa cakupan diskusi yang terdapat dalam matan dirasa kurang memadai, terutama bagi kelompok pembaca tertentu yang membutuhkan penjelasan lebih terperinci dan mendalam.

Dalam konteks naskah-naskah keilmuan Islam, termasuk yang beredar di Nusantara, karya-karya yang beredar dalam bentuk syarh dan hasyiyah ini tergolong sangat banyak dan lazim, sehingga kajian filologis naskah-naskah keagamaan Islam tersebut tidak lagi bias dibatasi hanya dengan menyebut

Page 95: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 93 ]

―naskah‖ dan ―teks‖ saja, melainkan juga harus diperkaya dengan istilah ‘matan‘, syarh (gloses) dan hasyiyah (commentaries). Bahkan sejumlah katalog naskah dan juga kitab cetak beberapa waktu terakhirtelah disusun dengan mempertimbangkan keterkaitan antarteks matan, syarh, dan hasyiyah (Lihat Oman Fathurahman dan Holil, 2007; Fathurrahman (Ed.), 2010; dan Khawasima (Ed), 2010).

Sebagai benda cagar budaya, keberadaan manuskrip telah dilindungi oleh undang-undang. Hal ini telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 bahwa benda-benda cagar budaya adalah benda-benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagian atau sisa-sia yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Ahmad Rahman, 2009:184).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya kembali ditegaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. b. Pengertian Kodikologi

Menurut Hermans dan Huisman (1979: 5-7), istilah codicologie diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Seprieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Akan tetapi istilah ini baru terkenal pada tahun 1949 ketika karyanya, ‗Les Manuscrits‘ diterbitkan pertama kali pada tahun tersebut. Alphonse Dain sendiri mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Alphonse Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru. Selanjutnya Alphonse Dain juga mengatakan bahwa tugas dan ―daerah‖ kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah itu.

Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya. Analisis kodikologi ini, sesuai dengan tujuannya tadi, yaitu penyusunan daftar katalog, selanjutnya juga memberi perhatian pada fisik naskah. Hal itu dikarenakan dalam katalog, biasanya terdapat juga deskripsi fisik naskah selain informasi tentang di mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian. Maka selain mencari asal-usul dan kejelasan mengenai kapan, bagaimana, dan dari mana naskah tersebut dihasilkan, analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada/ tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek,

Page 96: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 94 ]

terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur/ patah, dll)–pendek kata segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.

Hal awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menelusuri sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal/ akhir yang ditulis oleh pemilik/ penyimpan naskah itu. Fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, lebar, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.

Setelah hal-hal di atas, kodikologi masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah yang ditulisi atau teks. Di sini kodikologi akan melihat jenis huruf dan bahasa yang digunakan, ada atau tidaknya rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai berbeda dengan tulisan isi), ada atau tidaknya catchword/kata pengait yang biasanya digunakan untuk menandai halaman naskah, & bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita pada umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa terdapat dua atau lebih kolom tulisan (seperti syair). Selanjutnya kodikologi mengecek garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas (watermark dan countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan gambar keterangan yang menjelaskan sesuatu dalam naskah). Kodikologi juga mencatat kerusakan-kerusakan yang ada pada manuskrip. c. Pengertian Filologi

Secara etimologis, filologi berasal dari dari bahasa Yunani dab terdiri dari dua kata, yaitu philos yang berarti ―yang tercinta‖ (loved, beloved, dear, friend) dan logos yang berarti ―kata, artikulasi, alasan‖ (ward, articulation, reason). Kata filologi mulai masuk dalam kosa kata bahasa Inggris pada abad ke-16 dalam pengertian ―love of literature‖ (menyukai kesusasteraan). Istilah dalam bahasa Latin, philologia dapat juga diartikan ―love of learning‖ (senang belajar). Mulai abad ke-19, istilah ―love of learning and literature‖ juga dipahami dalam pengertian sebagai kajian atas sejarah perkembangan bahasa (the study of the historical development of languages) ( Lihat Siti Baroroh dkk. Baried, 1994 : 2)

Dalam pengertian umum, istilah Filologi dapat dianggap sebagai salah cabang dari ilmu-ilmu humaniora yang memfokuskan perhatian pada aspek bahasa dan sastra, terutama yang termasuk dalam kategori bahasa dan sattra klasik. Namun dalam pengertian yang lebih khusus, istilah Filologi merujuk pada cabang ilmu yang mengkaji teks beserta sejarahnya (tekstologi), termasuk di dalamnya melakukan kritik teks yang bertujuan untuk merekonstruksi keaslian sebuah teks, mengembalikannya pada bentuk semula, serta membongkar makna dan konteks yang melingkupinya (Oman Faturahman, 2010 : 8-10). Biasanya upaya rekonstruksi ini diterapkan pada teks-teks yang terdapat dalam naskah kuno dengan menggunakan metode tertentu dan disarkan pada vareasi bacaan yang terdapat di dalam sejumlah naskah salinannya.

Page 97: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 95 ]

Filologi terkadang juga dihubungkan dengan metode kajian teks yang disebut higher criticism, yakni sebuah metode telaah teks yang bertujuan untuk memverifikasi kebenaran nama pengarang, tanggal penulisan, dan asal-usul teks. Metode ini dengan sendirinya akan menghubungkan Filologi dengan telaah atas konteks teks yang dikajinya. Hanya saja dalam model seperti ini, seorang peneliti sering kali dihadapkan pada pilihan untuk juga melakukan interpretasi atas teksnya, sehingga perlu kehati-hatian ekstra agar ia tidak terlalu jauh melakukan penafsiran. Hal itu disebabkan filologi pada dasarnya berusaha menelusuri obyektifitas, sementara bentuk-bentuk penafsiran (interpretation) meniscayakan subyektifitas.

Dalam konteks ini, James Lockhart dan beberapa sarjana lainnya yang tergabung dalam mazhab Filologi Baru (New Philology) menolak sama sekali penelitian dengan menggunakan metode kritik teks yang disertai penafsiran, karena menurut pendapat mereka metode ini dapat merusak integritas teks melalui penafsiran yang dibuat oleh peneliti, sehingga pada akhirnya dapat mengacaukan keabsahan data di dalamnya (Oman Faturahman, 2010 : 11). Mazhab Filologi Baru ini merekomendasikan metode diplomatik dalam penelitian Filologi yang dilakukan dengan cara menampilkan teks apa adanya, tanpa ada koreksi teks (emendation) dari peneliti sama sekali.

Sementara mazhab Filologi Baru, ada mazhab Filologi Tradisional yang beranggapan bahwa jika terdapat vareasi bacaan dalam sebuah salinan, maka telah terjadi kesalahan dan kekeliruan (errors) dari penyalin yang mutlak harus diluruskan, sehingga manuskrip yang menggandung kesalahan tersebut disebut sebagai manuskrip yang rusak (corrupt). Meskipun demikian, sebahagian pengkaji yang lain berpendapat bahwa variasi bacaan yang terdapat dalam salinan naskah manuskrip merupakan ssebuah ‗kreasi‘ penyalin sesuai dengan konteks ruang dan waktunya masing-masing. Sebagi konsekuensinya, variasi bacaan tersebut tetap patut diapresiasi sebagai hasil resepsi sang penyalin atas teks asal yang menjadi rujukannya. Pandangan ini telah melahirkan mazhab Filologi Modern (Siti Baroroh dkk. Baried dkk., 1994 : 6-7). Dengan demikian, Filologi Tradisional memiliki kecenderungan untuk berusahamenemukan bentuk mula teks, atau setidaknya merekonstruksi teks agar terbentuk sedekat mungkin aslinya, sedangkan Filologi Modern lebih mengarahkan hasil kerjanya untuk menemukan makna kreasi penyalin seperti tampak dalam versi teks yang dijumpainya.

Ilmu Filologi mengasumsikan bahwa dalam benda cagar budaya yang disebut naskah itu tersimpan beraneka ragam informasi menyangkut buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran dan berbagai informasi lainnya yang terkait sebuah masyarakat tertentu pada masa lampau. Berbagai kandungan isi dalam naskah itulah yang kemudian disebut sebagai teks, dan menjadi obyek kajian Filologi (Siti Baroroh dkk. Baried, 1994: 6)

Dari kajian filologi diketahui manuskrip-manuskrip Indonesia terbagi atas 14 kategori, yaitu (1) naskah keagamaan, (2) naskah kebahasaan, (3) naskah filsafat dan folklore, (4) naskah mistik rahasia, (5) naskah mengenai ajaran moral, (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) naskah mengenai silsilah raja-raja, (8) naskah mengenai bangunan dan arsitektur, (9) naskah

Page 98: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 96 ]

mengenai obat-obatan, (10) naskah mengenai arti perbintangan, (11) naskah mengenai ramalan, (12) naskah susastra, (13) naskah bersifat sejarah, dan (14) naskah mengenai perhitungan waktu (Trigangga, 2000).

C. Preservasi Naskah Preservasi manuskrip atau pemeliharaan naskah sebagai ―bentuk pelestarian‖ itu

diletakkan secara linier dengan pengertian naskah klasik atau manuskrip. Preservasi naskah mencakup dua aspek, yaitu preservasi fisik naskah dan preservasi teks dalam naskah. Aspek pertama terdiri dari kegiatan konservasi dan restorasi. Sedangkan aspek kedua terdiri dari kegiatan digitalisasi, katalogisasi, dan riset filologi (Oman Fathurrahman, 2011).

Pelestarian fisik naskah lebih di tujukan pada pemeliharaan agar bentuk fisik suatu naskah tetap utuh dan tidak rusak, cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan konservasi dan restorasi. Konservasi yaitu upaya perpanjangan usia naskah, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya; Difumigasi minimal satu tahun sekali, Disimpan dalam ruang khusus dengan suhu ±16o C (24 Jam) Kelembaban Udara antara 50-55%. Sebagai Benda Cagar Budaya yang disimpan di museum, koleksi kertas merupakan jenis koleksi yang paling peka terhadap kondisi lingkungan, baik kondisi fisis, kimia, maupun biotis (Budiharja, ddk, 2009: 86-87). Kertas akan mengalami perubahan warna atau pemudaran yag dikenal dengan istilah fotolisa atau reaksi fotokimia akibat factor fisis, akibat faktor kimiawi akan mengalami keasaman, sedangkan akibat faktor biotis seperti pertumbuhan jamur mengakibatkan kertas menjadi lapuk. Masalah lain yang perlu diperhatikan terkait konservasi kertas adalah tinta yang digunakan untuk menulis dokumen, ada jenis tinta yang tidak larut dalam air, ada yang sebagian yang larut, dan ada pula tinta yang larut seluruhnya.

Langkah awal yang harus dilakukan untuk penanganan konversari kuratif adalah mula-mula melakukan pembersihan secara mekanis untuk menghilangkan akumulasi debu dan kotoran yang menempel pada permukaan kertas. Selanjutnya dilakukan fumigasi dalam ruang tertutup rapat untuk membunuh jenis-jenis serangga dalam segala tingkatannya, khususnya tingkatan telur dan larva dengan menggunakan bahan kimia. Setelah selesai tindakan fumigasi, koleksi kertas dikeluarkan dan diangin-anginkan dalam ruangan tanpa cahaya.

Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap keasaman kertas dan pengujian terhadap kualitas tinta yang digunakan untuk mengetahui apakah jenis tinta tersebut larut, tidak larut, atau larut sebagian dalam air. Hal ini berguna untuk menentukan metode yang digunakan apakah metode pencucian, penyemprotan, atau menggunakan penciucian dengan gas. Apabila dari hasil pengujian jenis tinta yang digunakan tidak larut dalam air maka digunakan metod epencucian, sementara itu apabila tintanya bersifat larut sebagian maka digunakan metode penyemprotan, sedangkan apabila tinta yang digunakan larut dalam air maka digunakan metode pencucian dengan gas. Tahap berikutnya yang perlu dilakukan adalah dengan cara laminasi, atau jika diperlukan dengan cara konsolidasi menggunakan bahan thermoplastic yang bersifat ―reversible”.

Selain melakukan konservasi, pelestarian fisik naskah yang bertujuan untuk pemeliharaan agar bentuk fisik suatu naskah agar tetap utuh dan tidak rusak adalah

Page 99: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 97 ]

melakukan restorasi. Restorasi adalah upaya merawat dan mengembalikan keutuhan kertas dan jilidannya sehingga diharapkan bisa bertahan lebih lama.

D. Metode Preservasi Teks Dalam Naskah Pelestarian teks dalam naskah merupakan suatu upaya melestarikan teks-teks

yang terkandung di dalamnya melalui pembuatan salinan (backup) dalam media lain, sehingga paling tidak kandungan isi khazanah naskah itu tetap dapat dilestarikan meskipun seandainya fisik naskahnya musnah akibat rusak atau bencana. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah: Pertama, digitalisasi. Pelaksanaan digitalisasi naskah atau dokumen dapat menggunakan dua jenis alat kamera dan mesin scanner. Kedua, disalin Ulang. Hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan agar isi informasi dalam suatu informasi dapat diselamatkan dan informasi yang terkandung dapat di akses walaupun keadaan fisiknya telah rusak atau telah hilang. Ketiga, dialihaksarakan. Dengan dialih aksarakannya naskah diharapkan orang yang tidak bias membaca naskah dalam aksara arab atau jawa masih dapat mengakses dan membaca suatu naskah. Keempat, Diterjemahkan. Penerjemahan suatu naskah diperlukan agar orang atau pencari informasi bisa mempelajari suatu naskah walau tidak dapat membaca aksara dan sastra yang tertulis

Sementara itu, berbagai upaya pemeliharaan (preservasi) naskah kuno tulisan tangan telah dilakukan berbagai pihak, khususnya oleh perpustakaan dan lembaga arsip penyimpan naskah. Upaya tersebut mencakup restorasi, konservasi, dan pembuatan salinan (backup) naskah dalam bentuk media lain. Pada tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, upaya pembuatan salinan naskah dilakukan melalui media microfilm. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, aktivitas alih media naskah pun mengalami revolusi penting pada awal milenium kedua, yakni dengan digunakannya teknologi digital dalam pembuatan salinan naskah, baik melalui kamera digital maupun mesin scanner.

Secara kelembagaan, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) barangkali merupakan lembaga pertama yang melakukan program digitalisasi naskah-naskah Nusantara. Sejak dicanangkannya program digitalisasi naskah pada sekitar tahun 2003, dan mulai intensif pada tahun 2006, hingga tahun 2009, Perpusnas sudah mendigitalisasi kurang lebih 1.300 naskah. Sementara itu, hingga akhir tahun 2009 ini, konon Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama telah berhasil mendigitalisasi tidak kurang dari 500 naskah keagamaan Nusantara, yang berasal dari berbagai daerah, seperti Selawesi Selatan, Sumatra Barat, Jawa Barat, Banten, dan lainnya. Pada level universitas, Perpustakaan Fakultas Ilmu Kebudayaan (FIB), Universitas Indonesia (UI) Depok mungkin juga dapat dianggap sebagai yang pertama melakukan progam digitalisasi naskah kuno tersebut dengan sekitar 1.962 judul telah didigitalisasi.

Pengalaman digitalisasi naskah Nusantara yang dilakukan kalangan masyarakat, peneliti, dan pemerhati naskah Nusantara, harus diakui jauh lebih dinamis dibanding dengan apa yang dilakukan pada level lembaga. Nsmun persoalannya adalah adalah bahwa Perpusnas, dan mungkin Arsip Nasional, sebagai lembaga representasi Negara yang bertanggung jawab dalam penyimpanan dokumen-dokumen penting bangsa ini,belum terlibat dalam berbagai kegiatan digitalisasi naskah Nusantara tersebut,

Page 100: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 98 ]

sehingga siapa pun lembaga atau masyarakat yang melakukannya, kedua lembaga Negara ini dapat turut menyimpan salah satu set salinan digital naskah dari setiap program digitalisasi yang dilakukan, seperti halnya terjadi pada program pembuatan microfilm pada tahun 1980-1990an. Jika tidak, koleksi digital naskah Nusantara di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional akan kalah lengkap dibanding koleksi Perpustakaan the British Library, Leipzig University, atau lembaga asing penyandang dana lainnya.

E. Penutup Banyaknya naskah klasik yang masih tersimpan di kalangan masyarakat atau

perseorangan merupakan realitas yang mengharuskan adanya upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan. Kondisi ini menuntut adanya upaya preservasi naskah klasik itu dari kepunahan, baik karena dimakan usia ataupun karena ulah oknum yang hanya mementingkan kepentingan ekonomi semata. Upaya preservasi manuskrip atau pemeliharaan naskah klasik dan / atau manuskrip mencakup dua aspek, yaitu preservasi fisik naskah dan preservasi teks dalam naskah. Aspek pertama terdiri dari kegiatan konservasi dan restorasi. Sedangkan aspek kedua terdiri dari kegiatan digitalisasi, katalogisasi, dan riset filologi. Dalam konteks inilah diperlukan usaha bersama dari lembaga lembaga yang terkait dengan preservasi naskah klasik untuk membangun suatu sistem yang memungkinkan manuskrip-manuskrip Nusantara yang jumlahnya sangat banyak dapat diakses dengan mudah. Hal ini perlu segera dilakukan karena, penggunaan manuskrips sebagai sumber penelitian adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mengklaim orisinalitas di dunia akademik.

DAFTAR PUSTAKA A. Rustam, Hermansyah, Erwin dan Rusdi Sulaiman. 2010. Islam Sufistik di

Kalimantan Barat : Studi Filologi atas Naskah H. Muhammad Saad Selakau, Sambas.

Amin, Faizal. 2009. "Pergeseran Literatur Pondok Pesantren di Kalimantan Barat".

Laporan Penelitian Libang Lektur Jakarta. Alwasilah, Haidar. 2005. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan. Jakarta: Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII & XVIII : Akar Pembaruan islam Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta : Kencana.

Page 101: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 99 ]

Bakalla, H.M.1990. Pengantar Penelitian Studi Bahasa Arab. Jakarta: Harjuna Dwitunggal.

Baried, Siti Baroroh dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan

Penelitian dan Publikasi Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan

Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Encole Francaise d‘Extreme-Orient-Yayasan Obor Indonesia.

Dahri, Harapandi, dkk. 2009. Untaian Mutiara dalam Khasanah Naskah Nusantara.

Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Deroche, Francois, 2006. Islamic Codicology: An Introduction to the Study of

Manuscripts in Arabic Script. London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation. Edisi Bahasa Arab diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 2005 dengan judul al-Madkhal ila ‘Ilm al-Kitab al-Makhtut bi al-Harf al-‘Araby, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Ayman Fuad Sayyid.

Ekadjati, Edi S (Ed.). 1998. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:

Universitas Padjadjaran. Fathurahman, Oman. 2010. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan. Fathurahman, Oman. 2011. ―Pengantar Teori dan Metode Filologi‖, Handout Presentasi

yang disampaikan pada Diklat Peneliti Museum Keagamaan di kampus Pusdiklat Kemenag RI di Jakarta, 26 September s.d. 10 Oktober 2011

Hermansyah, Erwin dan Rusdi Sulaiman. 2010. Naskah Abdul Malik bi Haji Abu bakar

Krui. Dlm. Jurnal Penelitian Keagamaan. IAIN Mataram Jabali, Fuad. ―Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian‖ dalam Jurnal Lektur Keagamaan,

Vol. 8, No. 1, Juni 2010. Halaman 1-30. Mulyadi, Sri Wulan Rujiati, 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia, Depok: Fakultas

Sastra UI Puslitbang Lektur Keagamaan. 1999. Katalog Naskah Kuno. 2 Jilid. Jakarta. Puslitbang Lektur Keagamaan. 2007. Laporan Hasil Penelitian Naskah Klasik

Keagamaan Nusantara. Jakarta. Rahman, Ahmad. ―Lektur Keagamaan dalam Naskah Klasik Sulawesi Selatan‖, dalam

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 2, Desember 2010. Halaman 183-206.

Page 102: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 100 ]

Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi. Depok : Fakultas Sastra UI.

Saefullah, Asep. ―Tradisi Produksi Naskah Keagamaan di Jawa Barat: Studi Kasus di

Cianjur‖, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 2, Desember 2010. Halaman 251-282.

Sweeney, Amin. ―Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Banga Indonesia‖ dalam

Jumanta: Jurnal Manuskrip Nusantara. Vol. 1 No. 1 Tahun 2010. Hal. 155-177.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Tjandrasasmita, Uka. 2006. Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi

Kajian Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departeman Agama RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

2011. Jakarta: Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Websites: www.manassa.or.id www.melayuonline.com http://naskahkuno.blogspot.com/ http://ppim.or.id http://www.republika.co.id/ http://ricasdb.ioc.u-tokyo.ac.jp/daiber/db_index.html http://tiim.ppim.or.id/index.php?filterBy=printed&printed=2011101210030511 http://yusriadiebong.blogspot.com/2009/07/naskah-klasik-dari-kalbar.html

Page 103: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 1 ]

MELACAK TERM KORUPSI DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI EPISTEMOLOGI PERUMUSAN

FIKIH ANTIKORUPSIOleh: Syaiful Ilmi

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACTCorruption is an incessant discourse that continues to go through the dynamics. It also triggers a more comprehensive interpretation of corruption, and no exception in this case the Qur'an. In concrete, the Qur'an does not mention the term corruption as an explicit legal entity, but rather certain terms such as ghulul, al-suht, al-dawl and hirabah which lead to of the substance of corruption. Departing from these terms, a framework for the formulation of anti-corruption jurisprudence began to be discussed as a form of epistemology of prevention and its eradication.Keywords: corruption, Al-Quran, Anti corruption Fiqh.

A. PendahuluanProblem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus

korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problemasi korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisitif. Selain itu, mengingat bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problemasi di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Al-Qur’an mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Al-Qur’an yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permaslahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Al-Qur’an secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal ghulul, al-suht, hirabah,dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Al-Qur’an mengenai korupsi.

Page 104: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 1 ]

MELACAK TERM KORUPSI DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI EPISTEMOLOGI PERUMUSAN

FIKIH ANTIKORUPSIOleh: Syaiful Ilmi

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACTCorruption is an incessant discourse that continues to go through the dynamics. It also triggers a more comprehensive interpretation of corruption, and no exception in this case the Qur'an. In concrete, the Qur'an does not mention the term corruption as an explicit legal entity, but rather certain terms such as ghulul, al-suht, al-dawl and hirabah which lead to of the substance of corruption. Departing from these terms, a framework for the formulation of anti-corruption jurisprudence began to be discussed as a form of epistemology of prevention and its eradication.Keywords: corruption, Al-Quran, Anti corruption Fiqh.

A. PendahuluanProblem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus

korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problemasi korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisitif. Selain itu, mengingat bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problemasi di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Al-Qur’an mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Al-Qur’an yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permaslahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Al-Qur’an secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal ghulul, al-suht, hirabah,dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Al-Qur’an mengenai korupsi.

Page 105: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 1 ]

MELACAK TERM KORUPSI DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI EPISTEMOLOGI PERUMUSAN

FIKIH ANTIKORUPSIOleh: Syaiful Ilmi

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACTCorruption is an incessant discourse that continues to go through the dynamics. It also triggers a more comprehensive interpretation of corruption, and no exception in this case the Qur'an. In concrete, the Qur'an does not mention the term corruption as an explicit legal entity, but rather certain terms such as ghulul, al-suht, al-dawl and hirabah which lead to of the substance of corruption. Departing from these terms, a framework for the formulation of anti-corruption jurisprudence began to be discussed as a form of epistemology of prevention and its eradication.Keywords: corruption, Al-Quran, Anti corruption Fiqh.

A. PendahuluanProblem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus

korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problemasi korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisitif. Selain itu, mengingat bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problemasi di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Al-Qur’an mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Al-Qur’an yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permaslahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Al-Qur’an secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal ghulul, al-suht, hirabah,dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Al-Qur’an mengenai korupsi.

Page 106: Volume 1 nomor 1 maret 2011

Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 1 Maret 2011

[ 1 ]

MELACAK TERM KORUPSI DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI EPISTEMOLOGI PERUMUSAN

FIKIH ANTIKORUPSIOleh: Syaiful Ilmi

Penulis adalah Dosen STAIN Pontianak

ABSTRACTCorruption is an incessant discourse that continues to go through the dynamics. It also triggers a more comprehensive interpretation of corruption, and no exception in this case the Qur'an. In concrete, the Qur'an does not mention the term corruption as an explicit legal entity, but rather certain terms such as ghulul, al-suht, al-dawl and hirabah which lead to of the substance of corruption. Departing from these terms, a framework for the formulation of anti-corruption jurisprudence began to be discussed as a form of epistemology of prevention and its eradication.Keywords: corruption, Al-Quran, Anti corruption Fiqh.

A. PendahuluanProblem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus

korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problemasi korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisitif. Selain itu, mengingat bahwa Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problemasi di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Al-Qur’an mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Al-Qur’an yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permaslahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Al-Qur’an secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal ghulul, al-suht, hirabah,dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Al-Qur’an mengenai korupsi.