1. filsafat

54
80 Gagasan Besar Yang Mengubah Dunia Lompatan Kuantum Relativitas Einstein FILSAFAT Pembuat Jam, Penjudi, atau Apa?” Ide-ide tentang Tuhan Dosa Asal Bagi Tuhan, sang Pencipta alam, bukan para wakil, yang telah menciptakan manusia dengan tegak; tapi manusia, dengan menjadi dirinya sendiri akan menjadi tidak suci, dan menjadi terhukum, melahirkan anak yang tidak suci dan terhukum. Karena kita semua telah berada dalam satu manusia itu, sejak kita semua adalah satu manusia itu yang telah terjerumus ke dalam dosa oleh seorang perempuan yang telah diciptakan darinya sebelum dosa. Untuk memastikan, bentuk-bentuk khusus dalam mana kita sebagai individu-individu hidup, belum diciptakan dan terbagi; tapi telah ada sifat seminal di sana dari mana kita dikembang-biakkan; dan semenjak ini telah direndahkan kualitasnya oleh dosa, terikat oleh rantai

Upload: dik2009

Post on 13-Jun-2015

459 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1. FILSAFAT

80 Gagasan BesarYang Mengubah DuniaLompatan KuantumRelativitas Einstein

FILSAFAT

Pembuat Jam, Penjudi, atau Apa?”Ide-ide tentang Tuhan

Dosa Asal

Bagi Tuhan, sang Pencipta alam, bukan para wakil, yang telah menciptakan manusia dengan tegak; tapi manusia, dengan menjadi dirinya sendiri akan menjadi tidak suci, dan menjadi terhukum, melahirkan anak yang tidak suci dan terhukum. Karena kita semua telah berada dalam satu manusia itu, sejak kita semua adalah satu manusia itu yang telah terjerumus ke dalam dosa oleh seorang perempuan yang telah diciptakan darinya sebelum dosa. Untuk memastikan, bentuk-bentuk khusus dalam mana kita sebagai individu-individu hidup, belum diciptakan dan terbagi; tapi telah ada sifat seminal di sana dari mana kita dikembang-biakkan; dan semenjak ini telah direndahkan kualitasnya oleh dosa, terikat oleh rantai kematian, dan dalam keadaan terhukum, manusia tidak dapat terlahir dalam keadaan yang lain.

St. Agustinus, The City of God (410) Book XIII

Page 2: 1. FILSAFAT

Kita mulai dengan sesuatu yang sederhana, pikir anda. Adam, Eva,

buah-buahan, ular, dosa: apa lagi yang sederhana?

Sebenarnya, banyak. Dalam kisah Bibel tentang kedurhakaan

pertama manusia---memakan Pohon Pengetahuan---tidak pernah sekali

pun terdapat istilah bahasa Ibrani untuk “dosa” muncul. (Istilah ini

akan menunggu Cain.) Tidak juga ungkapan (atau doktrin) “dosa asal”

dintunjukkan di mana saja dalam Perjanjian Lama atau Baru.

Mereka tersembunyi, pastinya. “Tentang setiap pohon dari

taman [Eden] engkau boleh bebas memakannya,” firman Tuhan

kepada Adam (Genesis 2). “Tapi, terkait pohon pengetahuan tentang

kebaikan dan keburukan, engkau tidak boleh memakannya: karena di

hari engkau makan pohon ini, engkau pasti akan mati.” Ketika Adam

dan Eva tidak mati pada hari itu, Tuhan, harusnya, memaksudkan ini

seperti yang dinyatakan dalam teks bahasa Ibrani: “kamu akan dikutuk

hingga kematian menjemput.” Oleh karena itu, demikian pula, dengan

kita semua.

Tapi, sekalipun bahwa semacam transgresi telah terjadi, bahwa

ia adalah sebuah “dosa”, dan bahwa kehidupan fana kita berhutang

kepadanya, kita masih tidak memiliki “dosa asal” yang sebenarnya.

Bagi yang meyakini doktrin ini yang menyatakan bahwa tindakan

Adam dan Eva telah meninggalkan sebuah cetakan yang terus

membekas pada setiap jiwa manusia. Kita tidak sekadar akan mati,

Page 3: 1. FILSAFAT

kita terlahir dalam dosa---telah tercemar sebelum kita mempunyai

sebuah peluang.

St. Paulus menyatakan sesuatu sepanjang baris-baris ini dalam

Kisah Para Rasul-nya kepada penduduk Roma: “Atas dasar apa, ketika

satu manusia pendosa memasuki dunia ini, dan mati dalam dosa; dan

sehingga kematian dialami secara turun-temurun oleh semua manusia,

karena semuanya telah berdosa” (Penduduk Roma 5). Anda dapat

membaca penggalan ayat ini dengan banyak cara---sebagaimana yang

ditempuh oleh orang-orang Kristen---karena kata kematian dan

hubungan-hubungan sebab-akibat, keduanya bersifat ambigu. Apakah

Paulus benar-benar memaksudkan dosa itu sebagai bersifat warisan,

atau apakah dia hanya berbicara tentang kematian spiritual yang kita

undang melalui perbuatan dosa?

Pandangan dasar ini, meskipun tertulis dalam Genesis dan

Penduduk Roman, dapat ditelusuri jejaknya secara lebih langsung pada

tulisan-tulisan dari teolog klasik Gereja yang terbesar, St. Agustinus

dari Hippo (354-430). Penjelasan Agustinus tentang dosa asal, dalam

bukunya: “City of God, tidak berbagi keraguan dengan Paulus.

Pertama, Agustinus membedakan kematian tubuh dari kematian jiwa,

yang pertama bersifat tak terhindarkan dan yang kedua bersifat

kondisional (bersyarat). Kita adalah fana secara fisik, tapi jika kita

“terbebaskan oleh rahmat Tuhan” jiwa-jiwa kita mungkin dapat

diselamatkan dari neraka.

Page 4: 1. FILSAFAT

Kedua, dia mendesak bahwa kematian fisik dan keadaan berdosa

adalah warisan turun-temurun dari transgresi Adam. “Karena sifat

orangtua itu menurun kepada anak.” (“For as man the parent is, such

is man the offspring.”). berdasarkan pada kehendak bebasnya sendiri,

Adam terjerumus ke dalam perbuatan dosa, dan ini dia wariskan

kepada semua anak-anaknya. (ngomong-ngomong, ini telah menjadi

jelas dalam Genesis bahwa seluruh umat manusia diturunkan dari

Adam).

Dalam memformulasikan pandangan-pandangannya tentang

dosa, Agustinus sedang berupaya untuk meletakkan kembali penutup

pada kepompong ulat yang sangat besar. Salah satu dari isu-isu

teologis yang sangat membingungkan, dari dulu hingga sekarang ini,

adalah masalah kejahatan. Jika Tuhan itu Maha Baik, Maha

Mengetahui, dan Maha Kuasa, lalu bagaimana mungkin terdapat

kejahatan di dunia ini? Bagaimana mungkin kebaikan sempurna

menjadi sumber dari keburukan, atau bahkan mengizinkannya?

Masalah ini tidak muncul dalam agama-agama politeistik, ketika tak

satupun dari dewa itu yang maha baik atau maha kuasa; dan ketika

dewa-dewa itu saling berselisih, hanya keburukan yang akan timbul.

Sebuah jawaban atas teka-teki ini telah diberikan oleh rekan

semasa Agustinus, seorang pendeta bernama Pelagius. Kejahatan,

kata Pelagius, hanyalah akibat langsung dari tindakan-tindakan

manusia, yang mempunyai kebebasan untuk memilih. Jika anda

Page 5: 1. FILSAFAT

memilih untuk mendurhakai hukum-hukum Tuhan, Tuhan akan

menimpakan keburukan kepadamu. Jika banyak warga masyarakat

yang melakukan perbuatan buruk, maka bencana yang meluas akan

mengikuti. Teori Pelagius, kecuali dalam penekanannya tentang

kehendak bebas, dalam kenyataannya, konsisten dengan apa yang

kita temukan dalam Perjanjian Lama: angin dari dosa manusia dan

angin puyuh sebagai hukuman dari Tuhan.

Yang menjadi masalah dengan teori ini, dari sudut pandang

kaum ortodoksi, adalah bahwa ia memberi sifat fana pada kuasa untuk

mengacaukan kebaikan penciptaan. Manusia, berbeda dengan Tuhan,

berada dalam kursi sang pengemudi. Orang-orang boleh memilih untuk

melakukan perbuatan baik atau buruk, tapi kemudian, Tuhan

memaksa untuk menghukum mereka. Dengan perilakunya, manusia

dapat memutuskan apakah jiwanya ingin diselamatkan atau dihukum.

Bagaimana kemudian dengan ke-Maha Tahu-an dan ke-Maha Kuasa-an

Tuhan?

Disinilah poin dimana pendapat Agustinus diterima (yang

bersama dengan Gereja, mencap Pelagius sebagai bidah). Manusia

tidak dapat “memilih” untuk berbuat dosa, karena dosa itu bukan

sebuah tindakan melainkan suatu keadaan makhluk, yang kita warisi

pada saat kelahiran. Kejahatan dan keburukan terkandung dalam sifat

kita yang melekat begitu mendalam sehingga tidak ada perbuatan

kebaikan atau serangkaian kebaikan dapat mencuci dan

Page 6: 1. FILSAFAT

membersihkannya. Karena dosa asal inilah, manusia dihukum dengan

kematian fisik dan penderitaan abadi. Satu-satunya cara dari kedua

faktor ini adalah rahmat Tuhan, yang mungkin Dia anugerahkan atau

tidak Dia anugerahkan sesuai kehendak-Nya, dan hanya Dia, yang

mengetahui kelayakannya. Jadi, kehendak bebas, setidaknya, ketika ia

mengarah pada dosa dan penyelamatan, adalah sebuah ilusi yang

jahat.

Seolah-olah ini tidak cukup memberi tekanan, ia masih

menambahkan penjelasan bahwa ketika Tuhan itu Maha Tahu, maka

Dia telah tahu jauh sebelum anda dilahirkan apakah Dia akan

menyelamatkan anda atau tidak. Ide Agustinus ini merupakan basis

filsafat bagi teologi Calvinistik, yang menganut pendapat bahwa

manusia itu terbagi menjadi dua kelompok, “yang terpilih” (ditakdirkan

selamat) dan “yang tidak terpilih” (ditakdirkan masuk neraka).

Tentu saja, ini membawa kita kembali untuk menyesuaikan dan

mencocokkan pandangan. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha

Pemurah mentakdirkan mayoritas umat manusia ke dalam neraka?

Atau, untuk mengembalikan masalah ke akarnya, mengapa Tuhan

menciptakan Adam dan Eva untuk mampu berbuat dosa pada

penciptaan yang paling awal? Sungguh argumen-argumen ini tidak

akan ada akhirnya, yang telah berperan besar dalam terjadinya skisma

(perpecahan) dalam tubuh Protestan pada abad lima belas dan enam

belas.

Page 7: 1. FILSAFAT

Argumen-argumen sekitar kehendak bebas dan takdir ini adalah

tidak terbatas pada wilayah teologi saja. Beberapa penganut

materialisme---yang meyakini bahwa pikiran itu bukan apa-apa kecuali

materi belaka---berargumen yang membela determinisme sebagai

basis keilmuannya. Ketika otak manusia disebut sebagai sebuah obyek

fisik, teori ini melanjutkan, ia harus mematuhi hukum-hukum fisika,

demikian pula dengan pemikiran danperilaku, sejalan dengan segala

sesuatu yang alam semesta ini. Mengikuti sebuah jalan yang telah

ditentukan. Setidaknya, teori ini telah menjelaskan tentang keadaan

dari alam semesta sekarang ini, segala sesuatunya dapat diprediksi,

termasuk apa yang akan anda makan setiap hari dalam sisa hidup

anda. Tentu saja, jika ini benar, maka apakah anda meyakini atau tidak

juga telah ditakdirkan, yang membuat perdebatan tentang masalah ini

menjadi agak kurang berarti.

Sang Penggerak Utama

Maka, posisi kita sekarang adalah ini: kita telah berargumen bahwa selalu terdapat gerakan dan selalu akan ada gerakan sepanjang waktu, dan kita telah menjelaskan apa prinsip pertama dari gerakan abadi ini: kita telah menjelaskan selanjutnya mana gerakan yang primer dan mana satu-satunya gerakan yang dapat menjadi abadi: dan kita telah mendeklarasikan bahwa gerakan pertama [atau “Penggerak Utama”] adalah tidak berubah.

Aristoteles, Physics, Book VIII, Chapter 9.

Anda mungkin telah akrab dengan ide dasar dibalik “Penggerak

Utama”-nya Aristoteles. Segala sesuatu yang terjadi, disebabkan oleh

Page 8: 1. FILSAFAT

sesuatu yang lain. Marilah kita contohkan suatu hujan lebat yang

menimbulkan banjir di dalam ruang bawah tanah anda. Apa yang

menyebabkan turunnya hujan? Tingkat kelembaban yang tinggi. Tapi,

apa yang menyebabkan tingkat kelembaban yang cukup tinggi ini?

Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan. Tiap-tiap

sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain adalah karena ia sendiri

disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan kita dapat menelusuri jejak

dari mata rantai penyebab-penyebab ini sejauh yang kita inginkan.

Tapi, cepat atau lambat, kita akan sampai pada penyebab pertama

yang menyebabkan sesuatu tapi ia sendiri tidak disebabkan oleh

sesuatu yang lain. Ini adalah sang Penggerak Utama.

Apa yang mendorong proses berpikir Aristoteles adalah ajaran

filsafat Parmenides, yang dengan bantuan dari muridnya yang

paradoks, Zeno, telah membuktikan bahwa gerakan itu adalah

mustahil. Parmenides mengungkapkan hal berikut ini: jika sesuatu

eksis, ia memang eksis, dan ia bukan sesuatu yang tidak

dikandungnya. Tapi, jika sesuatu ini ingin bergerak, ia harus

melangkah dari titik mana ia ada menuju titik dimana ia tidak ada. Tapi

kemudian, ia tidak lagi menjadi dirinya secara apa adanya. Akibatnya,

gerak, atau jenis perubahan apapun, adalah mustahil, dan dengan

demikian, apa yang kita pahami sebagai gerak dan perubahan adalah

ilusi.

Page 9: 1. FILSAFAT

Bukan sebuah argumen yang sangat mendesak untuk

diperhatikan, tapi, ia menimbulkan beberapa masalah pada masa itu.

Aristoteles berharap dapat menjadikan argumen Parmenides sebagai

dasar pijakan bagi filsafatnya, dan dia mulai dengan menunjukkan

bahwa logikanya bersifat melingkar. Untuk mengatakan bahwa apa

yang eksis adalah persis seperti ia eksis hanyalah sekadar sebuah

tautologi, dan ia mengabaikan fakta bahwa terdapat banyak jenis

wujud yang berbeda, yang mungkin sekali dapat dibagi ke dalam

kualitas-kualitas dan kategori-kategori sehingga dapat dikombinasikan

dan dipisahkan. Aristoteles setuju bahwa pada beberapa level, yang

eksis itu bersifat stabil dan tidak berubah, karena dalam kenyataan,

jika kita membicarakan perubahan atau gerak, kita harus setuju bahwa

ia adalah sesuatu yang berubah atau bergerak. Tapi, tingkat realitas

ini---yang dia sebut sebagai “materi” (matter)---mungkin sekali

mengandung sejumlah kualitas, bentuk-bentuk dan posisi-posisi,

dimana Aristoteles secara kolektif menamakannya “bentuk-bentuk.”

(Forms).

Materi dan bentuk adalah dua komponen realitas yang esensial,

menurut Aristoteles; materi tetap menjadi apa adanya ia, bahkan

ketika ia mengadopsi bentuk-bentuk baru. (Sebuah pohon mungkin

mengambil bentuk seperti papan, yang dapat dibentuk menjadi kursi,

yang mungkin dicat merah, dan lain-lain). Tapi, ini memunculkan

pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa sesuatu itu

Page 10: 1. FILSAFAT

bergerak dan berubah. Pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan

mengapa ini disebut oleh Aristoteles sebagai “sebab-sebab,” yang dia

maksudkan sebagai “sarana-sarana untuk mengetahui bagaimana

sesuatu itu menjadi.” Dia membedakan empat jenis penyebab ini---

material, formal, efisien, dan final, tapi, saya tidak ingin membahas

secara mendalam disini. Sudah cukup untuk mengatakan bahwa jenis

penyebab yang penting bagi tujuan-tujuan Aristoteles adalah

penyebab efisien, suatu tindakan yang mengawali perubahan apapun.

penyebab efisien dari sebuah kursi, misalnya, adalah tukang kayu

yang mengubah materi menjadi bentuk. Udara dan api cenderung

untuk naik, sedangkan air dan bumi cenderung untuk turun, hanya

karena mereka melakukan yang demikian ini; ia terbangun menjadi

material. Demikian pula, langit-langit (heavens) bergerak dalam

sebuah lingkaran karena mereka terbuat dari sebuah unsur yang dia

sebut “aether,” (eter) yang secara alamiah bergeraka secara

melingkar. Tapi, pada akhirnya, dia mulai meragukan teori ini,

sebagian karena gerak melingkarnya itu sendiri, dan sebagian karena

ini sangat tidak mempertimbangkan fenomena alam.

Inilah dimana ide tentang penyebab efisien ini menjadi penting.

Tidak cukup untuk mengatakan bahwa sesuatu itu “secara alami”

bergerak ke atas, ke bawah, atau berkeliling, karena itu menghindari

soal tentang siapa atau apa yang membuat mereka bergerak dengan

cara seperti itu untuk memulainya. Pertanyaan yang sama muncul

Page 11: 1. FILSAFAT

tentang gerak-gerak dari makhluk-makhluk hidup. Katakanlah, saya

menggerakkan diri saya untuk memperoleh bir dari dalam kulkas. Apa

yang membuat saya untuk melakukan ini? Saya sedang haus: itulah

penyebab efisiennya. Tapi, apa yang menyebabkan saya haus? Kita

dapat mengikuti semacam sebuah garis yang mempertanyakan dari

penyebab ke penyebab dan ke penyebab berikutnya, tapi, untuk

menghindari risiko mempertanyakan secara terus-menerus, kita harus

menganggap bahwa pada poin yang sama, kita akan sampai pada

sebuah penyebab yang dirinya sendiri tidak disebabkan oleh apapun

juga.

Aristoteles mengklaim bahwa setiap perubahan atau gerak, pada

akhirnya, kembali pada “penyebab yang tidak disebabkan” dan

“penggerak yang tidak tergerakkan” yang tunggal dan sama, yang dia

sebut sebagai sang “Penggerak Utama.” Selanjutnya, dia menegaskan

bahwa semua hal yang bergerak dan berubah agar dapat mendekati

beberapa tujuan atau “penyebab final” (final cause). Bagi segala

sesuatu, tujuan ini adalah sempurna: segala sesuatu berupaya keras

untuk menjadi apa yang seharusnya ia dapat menjadi. Penyebab final

ini, kesempurnaan ini, adalah satu dan sama dengan sang Penggerak

Utama, yang kesempurnaannya terekspresikan oleh sebuah fakta

bahwa ia tidak berubah dan tidak juga bergerak.

Dari sudut pandang ilmiah, Aristoteles memahami sang

Penggerak Utama ini sebagai akhir dari mata rantai penyebab, sebuah

Page 12: 1. FILSAFAT

prinsip yang bersifat non-materi dan tak berubah yang merancang

berbagai hal yang lain dalam gerak, secara langsung maupun tidak

secara langsung. (dalam kenyataan, satu-satunya hal dimana sang

Penggerak Utama ini menggerakkan secara langsung adalah langit-

langit paling luar [outermost heavens]). Sebagai seorang filosuf,

Aristoteles juga mempunya pandangan metafisik tentang sang

Penggerak Utama ini: dengan menjadi sempurna, ini seharusnya sama

dengan “pemikiran” (filsafat).

Akhirnya, Aristoteles membawa dan mengarahkan sang

Penggerak Utama ke dalam wilayah teologi. Sebagai sumber

kehidupan, sang Penggerak Utama itu sendiri haruslah hidup;

sebagaimana halnya dengan pemikiran, ia harus berpikir secara terus-

menerus. Jika ia memikirkan tentang pergeseran dan hal-hal yang

tidak sempurna di dunia ini, maka pemikiran-pemikirannya, mengikuti

obyek-obyeknya, akan juga menjadi berubah dan tidak sempurna.

Tapi, sebagai sang Penggerak Utama itu sendiri, ini adalah mustahil.

Oleh karena itu, sang penggerak Utama adalah pemikiran yang

berpikir tentang dirinya sendiri, kesempurnaan yang memikirkan

kesempurnaannya sendiri. Siapa lagi yang dapat melakukan ini kecuali

Tuhan?

Poin yang bagus, demikian yang dipikirkan oleh teolog abad tiga

belas, St. Thomas Aquinas, yang menggunakan argumen yang sama

untuk membuktikan eksistensi dari suatu “penggerak yang tak

Page 13: 1. FILSAFAT

tergerakkan, yaitu Tuhan. Tapi, Aquinas, seperti Aristoteles, bersandar

pada sejumlah asumsi yang tidak dapat dibuktikan---misalnya, bahwa

semua gerak dan penyebab, secara logika, harusnya kembali pada

sebuah entitas primer yang bersifat tunggal. Ini akan terasa logis

untuk berargumen bahwa penyebab-penyebab bergerak secara

melingkar, atau bahwa penyebab-penyebab itu telah ditentukan secara

murni oleh hukum-hukum fisika, atau bahwa dibalik setiap peristiwa

terdapat penyebab-penyebab ganda dimana mereka itu sendiri

mempunyai banyak penyebab, dan demikian seterusnya, dengan

menghasilkan penyebab-penyebab “orisinal yang tak terbatas,

daripada hanya satu penyebab saja. Anda bahkan dapat berargumen---

sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pihak---bahwa

kausalitas itu adalah sebuah fiksi, suatu kreasi dari pikiran manusia.

Tapi kemudian, tak seorang pun yang pernah mempunyai banyak

keberuntungan dengan membuktikan eksistensi Tuhan pada pijakan-

pijakan dasar yang logis, sebagaimana akan kita lanjutkan

pembahasannya pada bab ini.

Silet Occam

Plularitas itu tidak diperlukan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.William of Ockham, Quodlibeta, Book v (ca. 1324)

William of Ockham (“Occam” adalah ejaan bahasa Latin), seorang

teolog Inggris pada awal abad empat belas, sangat tidak dikenal di era

Page 14: 1. FILSAFAT

sekarang ini. Thomas Aquinas dan Duns Scotus adalah para Super Star

sebagai bandingannya, namun, adalah Occam yang pemikirannya

menunjukkan apa yang akan terjadi di masa depan dan

membayangkan era modern sekarang.

Satu hal yang diingat oleh beberapa pihak adalah sebutan “silat

cukur”, yang melekat pada nama Occam, karena penegakan logika

yang dia terapkan untuk memangkas absurditas dari argumen-

argumen yang dikemukakan. Prinsip dasar Occam adalah bahwa

semakin sederhana sebuah penjelasan itu, maka semakin lebih baik ia.

Jika tidak perlu menghadirkan kompleksitas-kompleksitas atau

pernyatan-pernyataan yang masih bersifat hipotesa ke dalam suatu

argumen, jangan lakukan itu; bukan hanya akan berakibat pada

kurang elegan dan kurang meyakinkan, ia juga akan menjadi kurang

akurat.

Seperti yang akan kita lihat, salah satu pernyataan hipotetis

yang dibuang oleh silet Occam adalah pernyataan tentang eksistensi

Tuhan. Bukan berarti ia tidak meyakini bahwa Tuhan itu eksis, tentu

saja; dia hanya berpikir bahwa anda tidak dapat membuktikan-Nya,

karena untuk melakukan yang demikian ini, anda harus menempuh

argumen-argumen yang kompleks (dan tidak masuk akal). Para teolog

menginginkan sebuah bukti ilmiah tentang Tuhan; tapi apa yang telah

dikatakan Occam, dan mayoritas setiap orang yang pada akhirnya

menerima, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teologi mempunyai

Page 15: 1. FILSAFAT

obyek-obyek pembahasan yang berbeda dan menuntut metode-

metode yang berbeda.

Sebenarnya, Occam bukanlah orang pertama yang

menggunakan silet pe mangkas argumen ini; dan banyak tersebar

dalam karya-karyanya dimana kita menemukan pernyataan favoritnya:

“Entitas-entitas tidak dilipatgandakan tanpa ada kebutuhan yang

mendesak.” Tapi, dia menggunakannya dengan sikap balas dendam,

seringkali dalam bentuk reaksi terhadap motode-metode teologi dan

filsafat yang mengemuka dan berpengaruh kuat. Pendahulunya,

Aquinas, dan para sarjana “Skolastik” lain---sebuah nama yang mereka

peroleh dengan lebih merujuk pada teks ketimbang pada

pengalaman---sangat sangat ingin untuk menjadikan teologi bersifat

ilmiah. Mereka berharap untuk dapat memecahkan kontradiksi-

kontradiksi yang tampak antara ilmu pengetahuan kuno dengan

ajaran-ajaran kitab suci, dan menawarkan penjelasan-penjelasan

rasional atau bukti-bukti dari konsep-konsep teologis (misalnya,

eksistensi Tuhan).

Satu tahap dalam proses ini adalah untuk menangani konsep-

konsep universal seperti “kebaikan” atau “keagungan” (dan bahkan

semacam hal-hal duniawi yang meluas seperti “pohon” atau “anjing”)

sebagai nyata, sebagai entitas-entitas yang independen. Jika kita

menyebut ini adalah “pohon” elm dan itu adalah “pohon” oak, maka

harus ada sesuatu yang nyata, yang eksis dimana keduanya saling

Page 16: 1. FILSAFAT

berbagi kegunaan dan pengalaman yang sama (“kepohonan”

[treeness]). Demikian pula, jika Sokrates dan Parmenides adalah baik,

ini karena terdapat sesuatu semacam kebaikan yang dimiliki oleh

keduanya. Doktrin semacam ini---yang bersifat lebih Platonis daripada

Aristotelian---dikenal sebagai “realisme.”

Occam memikirkan realisme sebagai sesuatu yang sangat tidak

masuk akal, sebuah pengkaburan tentang kategori-kategori yang

diangkat ke dalam wilayah ilmu pengetahuan. Ini adalah suatu

kesalahan, pikirnya, untuk memperlakukan nama-nama sebagai

realitas-realitas daripada sebagai deskripsi-deskripsi. (Ide ini bahwa

nama-nama hanyalah sekadar nama-nama belaka disebut dengan

“nominalisme). Jika kita menyebut kedua “pohon” ini elm dan oak, ini

karena kita telah memutuskan apa yang membuat pohon itu sebagai

pohon, bukan karena “kepohonan” eksis secara terpisah dalam

realitas. Jika semua pohon, tiba-tiba saja, lenyap, maka tidak akan ada

“kepohonan” yang tersisa untuk dibicarakan, kecuali sebagai sebuah

memori atau sebagai abstraksi murni.

Occam menggunakan silet cukur ini untuk mengakhiri realisme

universal, dengan menegaskan bahwa penjelasan-penjelasan yang

valid harus didasarkan pada fakta-fakta yang sederhana dan dapat

diobservasi, yang dilengkapi dengan logika murni. Dengan menerima

syarat-syarat ini berarti bahwa kita tidak akan mampu untuk

membuktikan eksistensi Tuhan atau kebaikan-Nya secara ilmiah, atau

Page 17: 1. FILSAFAT

doktrin-doktrin keimanan apapun. Kesimpulan semacam ini tidak

mengganggu dia sama sekali; dia memikirkan teologi sebagai satu hal

(sebuah materi pewahyuan) dan ilmu pengetahuan adalah hal lain

yang berbeda (sebuah materi tentang penemuan). Ide ini hanya sesaat

mengemuka, ketika Galileo telah menjelaskan kepada anda, tapi pada

akhirnya, ilmu pengetahuan dan agama menempun cara mereka

masing-masing yang berbeda. Inilah seluruh kandungan dari

modernisme itu.

Bukti Ontologis

“Bukti ontologis” masih merupakan upaya lain untuk menunjukkan

secara pasti bahwa Tuhan itu Eksis. Dikemukakan pertama kali oleh St.

Anselmus of Canterburry (1033-1109), seorang Italia, pernyataanya

berbunyi seperti ini: selama kita dapat membayangkan kesempurnaan

absolut, maka ia harus eksis. Jika ia eksis, maka inilah Tuhan.

Tidak yakin? Marilah kita lihat pembuktian ini lebih dekat lagi,

pembubuhan istilah “ontologis” oleh Immanuel Kant setelah istilah

penggunaan istilah Yunani ontos (being=ada). Anselmus mulai dengan

eksperimen berikut ini: bayangkan sebuah wujud yang lebih sempurna

dari apapun yang lain. Jika anda memahami kalimat ini, anda harusnya

mempunyai beberapa konsep tentang wujud yang sejenis ini; jika

tidak, berarti kalimat ini tidak dapat dipahami. (Sebagaimana halnya

dengan kalimat “Membayangkan sebuah kuda besar yang bertanduk

Page 18: 1. FILSAFAT

[unicorn]” hanya akan masuk akal jika anda mempunyai beberapa

konsep tentang “seekor kuda besar yang bertanduk).

Lalu, apakah wujud ini yang anda bayangkan (sebutlah ia “B”)

hanya sekadar sebuah fantasi? Anselmus tidak berpikir demikian.

Karena jika B tidak eksis, maka anda dapat membayangkan sebuah

wujud yang lebih sempurna lagi, dengan memberi nama sebuah wujud

yang seperti B lain yang juga eksis. Karena dapat dipahami bahwa

sebuah kebaikan yang nyata adalah lebih sempurna daripada sebuah

kebaikan yang dibayangkan. Jadi, asumsi bahwa B adalah sebuah

fantasi mestinya adalah palsu, karena jika ia benar, maka kita dapat

membayangkan sebuah wujud yang lebih sempurna, yang

bertentangan dengan hipotesa ini.

Jadi, B eksis, dan Anselmus mendefinisikannya sebagai Tuhan.

Dengan kata lain, Tuhan persisnya adalah wujud itu yang kita

bayangkan sebagai yang paling sempurna. Jika kita hanya sekadar

mencari wujud paling sempurna yang sedang eksis, kita tidak akan

sampai pada kesimpulan Anselmus ini, karena kita tidak akan dapat

membuktikan bahwa apa yang kita temukan adalah Tuhan. Kunci

untuk dapat memahami bukti Anselmus ini terletak pada konsep

tentang wujud ini sebagai suatu jenis kesempurnaan dalam dirinya,

tidak dalam pengalaman apapun sebelum ini tentang eksistensinya.

Tapi, itulah persisnya yang bermasalah dengan bukti ontologis

Anselmus. Dengan membangun eksistensi ke dalam definisi tentang

Page 19: 1. FILSAFAT

“wujud paling sempurna yang dapat dibayangkan”, maka untuk

mengatakan bahwa sebuah wujud semacam itu eksis hanyalah

sekadar menyatakan kembali definisinya. Jika tidak, maka dengan

menentangnya, tidak harus menentang fakta atau kebenaran,

sebagaimana yang disyaratkan oleh bukti ini. Eksistensi dan

kesempurnaan, persisnya, merujuk pada hal yang sama. Bukti

Anselmus ini, dengan demikian, menggunakan pernyataan Immanuel

Kant, hanyalah sekadar “sebuah tautologi yang menyedihkan.”

Kant bukan yang pertama kali menyadari bahwa penunjukan

bukti dari Anselmus ini mengandung masalah-masalah. Dalam

kenyataan, salah satu rekan semasa Anselmus, Gaunilo of Marmoutier,

menjelaskan bahwa bukti ontologis ini dapat digunakan untuk

membuktikan eksistensi dari hampir segala hal. Contoh khusus yang

dikemukakan Gaunilo adalah tentang sebuah pulau yang sempurna,

yang lebih baik dari pulau lain yang pernah dikenal, sebuah tempat

yang sangat menyenangkan yang dapat dibayangkan. Ketika kita

dapat membayangkan hal yang semacam ini, kita harus mempunyai

sebuah konsep tentangnya; dan jika ia tidak eksis, maka kita dapat

membayangkan yang lebih sempurna lagi yaitu pulau (yang eksis),

oleh karena itu, ia harus eksis.

Ketika Anselmus merespon kritik Gaunilo, Gaunilo gagal untuk

memahami intisarinya. Karena konsep tentang sebuah pulau ini tidak

melibatkan konsep tentang eksistensi, sebagaimana halnya konsep

Page 20: 1. FILSAFAT

tentang sebuah lingkaran sempurna tidak bergantung pada eksistensi

dari jenis lingkaran apapun. Namun, konsep tentang sebuah wujud,

pastinya, melibatkan konsep tentang eksistensi. Kita dapat dengan

mudah membayangkan bahwa sebuah pulau yang sempurna atau

sebuah lingkaran yang sempurna tidak eksis; tapi kita tidak dapat

membayangkan bahwa wujud paling sempurna yang dibayangkan

sebagai tidak eksis, karena konsep yang sama ini membuatnya

menjadi tidak mungkin. Apa yang mungkin tidak eksis berdasarkan

definisi yang lebih sempit dari apa yang tidak dapat tidak eksis. Logika

ini berhasil melambungkan Descartes, Spinoza, dan Leibniz, ke dalam

kelompok filosuf yang menempati posisi tertinggi, tentang validitas

dari bukti ontologis Anselmus.

Lebih dari tujuh abad sebelum Kant akhirnya menuntaskan bukti

ontologis ini. Dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781), dia

menunjukkan bahwa Anselmus telah mencampur-adukkan kategori-

kategorinya, dengan memperlakukan suatu unit gramatika (sang

predikat “to be”) sebagai sebuah kuantitas ontologis. Untuk

mengatakan bahwa sebuah sesuatu “ada” atau “eksis” adalah,

menurut Kant, tidak menambahkan sesuatu kepadanya. Tapi, lebih

untuk menyatakan bahwa sesuatu dalam realitas itu sesuai dengan

sebuah konsep yang kita miliki. Untuk mengatakan bahwa “kursi ini

eksis” adalah tidak untuk menambahkan sesuatu pada kursi ini, tapi

hanya untuk membuat sebuah vonis tentangnya---bahwa pengalaman

Page 21: 1. FILSAFAT

kita menunjukkannya sebagai nyata. Kita mungkin hanya mengatakan

bahwa sesuatu itu “ada” atau “eksis” jika kita dapat mengalaminya;

kebenaran dari pernyataan semacam ini bergantung pada kesesuaian

antara kata atau konsep dengan sebuah sesuatu dalam realitas.

Singkatnya, jika Tuhan tidak eksis, dia tidak dapat menjadi “lebih

baik” atau dibuat lebih sempurna dengan menambahkan eksistensi

kepadanya, ketika tidak ada “Dia” untuk menambahkan sesuatu

kepada yang lain. Jika predikat “eksis” lenyap, maka demikian pula

dengan subyek “Tuhan” (atau “wujud paling sempurna yang

dibayangkan”, atau “kursi”, atau subyek apa saja yang telah kita

kemukakan). Demikian pula, untuk mengatakan “Tuhan tidak eksis”

tidak “mengurangi” apapun dari Tuhan, ketika kita hanya

mengemukakan bahwa tidak ada wujud semacam “Tuhan” untuk

mengambil sesuatu dari yang lain---dalam hal ini, “Tuhan” adalah

subyek gramatikal, bukan subyek yang aktual.

Dengan kata lain, tidak ada kontradiksi logis dalam pernyataan

bahwa “wujud paling sempurna yang dibayangkan itu tidak eksis”: kita

sedang menyatakan, atau mencoba untuk menyatakan, bahwa wujud

semacam ini tidak mempunyai realitas obyektif, lebih tepatnya,

daripada mempertentangkan ide tentang wujud semacam ini dalam

dirinya sendiri. dan jika pernyataan negatif (“X tidak eksis”) secara

logika tidak bertentangan, maka pernyataan positif (“X eksis”) secara

Page 22: 1. FILSAFAT

logika adalah tidak perlu. Satu-satunya tes yang benar mengenai

apakah sesuatu itu eksis adalah pengalaman.

Dan itulah akhir dari “bukti” ontologis Anselmus, meskipun

terdapat banyak upaya untuk menyelamatkan beberapa dari argumen

semacam ini dari keruntuhan. Tak satupun yang terbukti sukses,

sejauh semua dari argumen-argumen ini melibatkan beberapa

kekaburan kategori-kategori, tapi anda harus respek terhadap orang-

orang itu atas upaya-upaya mereka.

Perjudian Pascal

Marilah kita mempertimbangkan poin ini dan berkata: “Tuhan eksis atau Dia tidak eksis.” Tapi, alternatif mana yang akan kita pilih? Akal tidak dapat menentukan apa-apa: terdapat suatu chaos yang tak terhingga yang membelah kita. Sebuah koin telah diputar pada titik yang ekstrim dari jarak yang tak terukur, yang akan menunjukkan gambar kepala atau gambar ekor. Apa taruhan anda?

Blaise Pascal, Pensees (posthumous edition, 1844)

Tuhan mungkin tidak “bermain dadu” [lihat hal. 105], tapi, kita semua

memainkan dadu dengan Tuhan. Itulah kesimpulan dari pakar

matematika Perancis abad tujuh belas, Blaise Pascal, ketika dia merasa

sangat tertarik untuk mengangkat pertanyaan yang membingungkan

tentang eksistensi Tuhan.

Pascal, tidak seperti Anselmus, mengakui (dengan rasa enggan)

bahwa adalah tidak mungkin untuk “membuktikan” bahwa Tuhan itu

eksis---dalam kenyataan, klaimnya, akal manusia tidak mampu

Page 23: 1. FILSAFAT

membuktikan apapun secara pasti. Pertanyaan penting ini, baginya,

adalah apakah seseorang harus meyakini eksistensi Tuhan, dan

jawaban dia adalah bahwa anda akan menjadi bodoh jika tidak

meyakini-Nya. Pemaparan bukti oleh Pascal melibatkan penggunaan

ilmu matematika yang menawarkan berbagai kemungkinan

(mathematics of probability), dimana dia telah membantu untuk

menemukannya. (Ia berharap dapat menarik perhatian sahabat-

sahabat aristokratiknya yang merupakan penggemar berat judi).

Dalam pandangan Pascal, keyakinan anda atau ketidakyakinan

anda kepada Tuhan adalah sama dengan perjudian. Jika Tuhan eksis

dan Kitab Suci itu benar, keyakinan akan membuat anda meraih

kebahagiaan tak terhingga setelah kematian. Jika Tuhan tidak eksis,

semua yang anda sia-siakan dengan meyakini Dia adalah kesenangan-

kesenangan terbatas dari sebuah kehidupan yang fana. Bahkan jika

anda berpikir yang aneh-aneh tentang eksistensi Tuhan yang

mendekati titik nol---Pascal menawarkan ide untuk dipertimbangkan

bahwa mereka ini mendekati 50 persennya---satu-satunya hal rasional

yang dapat dilakukan adalah memainkan permainan ini. (Dalam istilah

matematika, persentase apapun yang terbatas tentang yang tak

terbatas adalah tetap tak terbatas). Oleh karena itu, akal mendiktekan

bahwa anda harus meyakini Tuhan.

Tentu saja, anda masih menentang alasan ini, tapi itu hanya

akan terjadi dengan membiarkan nafsu-nafsu anda untuk

Page 24: 1. FILSAFAT

mengalahkan diri anda. Menurut Pascal, hasrat-hasrat dapat dijinakkan

dengan berperilaku seolah-olah anda meyakini Tuhan dan dengan

berpartisipasi dalam ritual-ritual kesalehan Kristiani. Begitu anda telah

terbiasa dengannya, anda akan menemukan bahwa dalam

meninggalkan kebiasaan-kebiasaan anda yang tidak bermoral, anda

bahkan akan merasa lebih bahagia daripada sebelumnya---dan ini,

dalam pandangan Pascal, adalah pembayaran sebenarnya dari

perjudian ini.

Argumen Pascal cukup sistematis, tapi ketika dirinya sendiri

mungkin telah mengetahui, dengan menggandakan dan membagi

ketakterbatasan adalah sebuah urusan yang sangat sulit. Logika

pascal akan menimbulkan upaya untuk mengejar premis apapun

tentang kebahagiaan yang tak terbatas, agama atau jika tidak

demikian, maka ini adalah hal rasional yang dilakukan jika terdapat

peluang non-zero untuk sukses. (Katakanlah terdapat satu persen

peluang Fountain of Youth1; anda harus menanggalkan semuanya

sekarang dan mulai mencarinya).

Agar perjudian Pascal dapat berfungsi, anda harus memberikan

apa saja yang diminta oleh Pascal untuk dapat membuktikan---bahwa

jika Tuhan eksis, maka Dia adalah tak terbatas, Maha Tahu, Maha

Kuasa, dan Penulis sebenarnya dari Bibel. Tapi, tentu saja, terdapat

jumlah tak terhingga tentang kemungkinan-kemungkinan---misalnya,

1 Fountain of Youth = Mata air yang dapat dianggap dapat membuat orang menjadi awet muda. (penerjemah).

Page 25: 1. FILSAFAT

bahwa Tuhan eksis tapi tidak begitu peduli tentang perilaku masing-

masing individu (atau lebih merugikan argumen Pascal yaitu) Tuhan

eksis tapi tidak dalam wujud yang tak terbatas.

Bagaimanapun juga, adalah lebih sulit untuk bertindak

berdasarkan keyakinan-keyakinan yang tidak anda anut yang ingin

diakui oleh Pascal. (dan menduga bahwa Tuhan akan tahu apakah

anda tulus atau hanya sekadar berjudi). Sejauh menyangkut sifat

manusia, kesenangan-kesenangan yang telah pasti akan lebih dipilih

ketimbang kesenangan-kesenangan yang belum pasti, tak peduli

betapa menjanjikan ia. Pada puncak gairah, kemungkinan-

kemungkinan tak terbatas tampaknya terlalu kecil untuk dapat

dijadikan sebagai ukuran.

Tuhan Telah Mati

Apakah kamu telah mendengar tentang orang gila itu yang menyalakan lentera pada jam-jam pagi yang cerah, berlari menuju pasar, dan terus-menerus berteriak : “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” ketika banyak dari mereka yang tidak meyakini Tuhan itu kemudian berdiri mengerumuninya, banyak yang tertawa atas tingkahlakunya ini....

“Dimana Tuhan,” teriaknya. “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuh-Nya---engkau dan aku. Kita semua adalah para pembunuh.... Tuhan telah mati. Tuhan akan terus mati. Dan kita telah membunuhnya....”

Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882), bagian 125

Shakespeare tidak mengatakan: “Menjadi atau tidak menjadi.” Dia

telah menulisnya, tapi Hamlet-lah yang mengatakannya. Tidak juga

Page 26: 1. FILSAFAT

Friedrich Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”; orang gila itulah

yang melakukannya. Sementara itu, adalah benar bahwa Nietzsche

sendiri telah menjadi gila pada 45, masih terdapat perbedaan antara

kehidupan dengan sastra, bahkan ketika yang disebut terakhir ini

dinamakan filsafat.

Lalu, apa yang dimaksud dengan orang gila itu? Bukan bahwa

terdapat “orang-orang kafir” di dunia ini, karena itu selalu benar; tidak

juga bahwa Tuhan tidak eksis. Karena jika “Tuhan telah mati”, maka

dia harus pernah hidup; tapi ini adalah paradoks, karena jika Tuhan itu

pernah hidup, maka, Dia, Yang Abadi, tidak dapat mati.

Jadi, orang gila itu tidak berbicara tentang orang-orang yang

ingkar terhadap Tuhan, yang selalu dan selalu akan terus terjadi, tapi

lebih tepatnya, Tuhan apa yang telah dihadirkan dan dimaksudkan

oleh kebudayaannya. Tuhan ini adalah suatu keyakinan yang

digunakan bersama-sama terhadap Tuhan, dan ini adalah sejenis

keyakinan yang kadaluwarsa. Dimana Tuhan telah berdiri---pada pusat

pengetahuan dan pemaknaan ---sekarang, terdapat kehampaan. Ilmu

pengetahuan dan filsafat, sama-sama memperlakukan Tuhan sebagai

sesuatu yang tidak relevan, dan sekali lagi, manusia telah menjadi

acuan dari segala sesuatu.

Kita orang Barat, yang lebih cenderung pada dunia materi dan

menjauh dari hal-hal supernatural, “telah membunuh” Tuhan para

leluhur kita. Orang-orang kafir ini dalam cerita Nietzsche berpikir

Page 27: 1. FILSAFAT

bahwa mencari Tuhan itu hanya lelucon belaka; hanya orang gila yang

menyadari situasi yang sangat gawat dari kematian Tuhan. Bukan

bahwa dia menyesalinya; dalam kenyataan, dia menyebutnya sebagai

suatu “perbuatan yang agung”, bahkan suatu perbuatan yang

tampaknya terlalu agung bagi kita, para pembunuh, untuk

menanggungnya. “Haruskah kita sendiri yang menjadi tuhan-tuhan

hanya karena merasa layak?”

Inilah pertanyaan yang diajukan oleh parabel Nietzsche, untuk

kembali ke poin pertama kita, yang adalah sebuah fiksi dan bukan

sebuah pernyataan filsafat. Nietzsche, sebenarnya, sangat membenci

spekulasi-spekulasi metafisik tentang yang dapat dipahami, sifat, dan

eksistensi (atau tidak ada eksistensi) tentang abstraksi-abstraksi

supernatural seperti “Tuhan.” Dia tidak dapat memberi teriakan keras

untuk Tuhan, tapi dia telah mempunyai banyak hal untuk dikatakan,

terutama tentang agama Kristen. Baginya, agama, dengan

memfokuskan diri pada kehidupan abadi, sebenarnya adalah sejenis

kematian: ia menjauhkan kita dari kehidupan dan kebenaran, yang

keduanya berada di dalam dunia ini dan bukan di pulau supernatural

yang tidak akan pernah terjangkau.

Selanjutnya, sebuah agama semacam agama Kristen, meskipun

ini adalah ajaran-ajaran Yesus, mengabadikan sikap tidak adanya

toleransi dan konformitas (perilaku yang sesuai dengan tradisi

masyarakat), dimana Nietzsche mendapatinya sebagai sesuatu yang

Page 28: 1. FILSAFAT

sangat menjijikkan. Apa saja yang sudah menjadi tua, telah menjadi

kebiasaan, yang bersifat normatif, atau dogmatik, pikirnya, adalah

bertentangan dengan kehidupan dan bertentangan dengan martabat;

ia akan menghadirkan apa yang dia sebut sebagai “mentalitas budak”.

Dalam pengertian inilah, maka, laki-laki atau perempuan yang

melangsungkan kehidupan, dia harus “membunuh” Tuhan---harus

melenyapkan dogma, konformitas, takhayul, dan rasa takut. Inilah

langkah pertama yang harus ditempuh untuk menjadi, bukan tuhan,

tapi “manusia super” [lihat hal. 56].

Ide-ide dari Masa Lampau Filsafat Yunani

“Segala sesuatu Berubah tapi Mengubah

Dirinya sendiri”

Segala sesuatu mengalir dan tak ada yang menetap; segala sesuatu memberi jalan dan tak ada satupun yang pasti.... anda tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air-air yang lain dan air-air yang lain lagi, akan terus mengalir.... ia selalu dalam proses perubahan dimana segala sesuatu menemukan tempat istirahatnya....

Heraklitus, fragmen-fragmen

Page 29: 1. FILSAFAT

Warga Yunani mengenali filosuf Heraklitus ini sebagai “Yang Sulit

Dimengerti”, dan mereka mempunyai beberapa alasan tentang hal ini.

Heraklitus (akhir abad ke enam SM) mungkin adalah pemikir pra-

Sokrates yang paling mendua. Seorang yang berubah-ubah mood

dengan pandangan yang suram tentang kehidupan, dia, pada intinya,

berargumen bahwa segala sesuatu, baik dan buruk, harus berlalu.

Seperti Thales dari Miletus (penemu Filsafat Yunani), Heraklitus

berpikir bahwa segala sesuatu tercipta dari substansi yang tunggal dan

permanen, yang harusnya adalah salah satu dari keempat “unsur”---

tanah, udara, api, air. Thales telah memilih air; Heraklitus memilih api.

“Halilintar mengendalikan segalanya” adalah prinsip dasarnya yang

misterius.

Dunia ini, pikirnya, adalah seperti nyala api dari sebuah lilin:

selalu sama dalam penampakannya, tapi selalu berubah dalam

substansinya. Ironisnya, contoh yang lebih terkenal yang dia ajukan

tentang bentuk atau substansi paradoks ini adalah yang berkaitan

dengan air: “Anda tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai

yang sama.” Meskipun sebuah sungai itu selalu tampak sebagai sungai

yang “sama”, air-airnya terus mengalir tanpa henti. Pada momen anda

melangkah ke dalam air, ia telah lewat.

Demikian pula dengan seluruh isi dunia ini berada dalam suatu

aliran yang mengalir secara terus-menerus; perubahan bersifat

konstan (berlangsung secara terus-menerus) dan tak terhindarkan.

Page 30: 1. FILSAFAT

Terhadap inti pandangan Heraklitus bahwa segalanya berubah, maka

semua hal yang lain akan menambah kesimpulan logisnya, “tapi

mengubah dirinya sendiri”. Apa yang tidak dia maksudkan adalah

bahwa semua ini adalah chaos; dibalik proses mengalir dan

pertentangan ini, dia melihat sebuah prinsip yang membimbing,

sebuah kekuatan yang mengorganisir, yang dia sebut dengan logos,

sebuah istilah Yunani yang berarti “akal” atau “logika”.

Adalah logos yang tidak berbentuk ini, yang secara inheren

berada di alam semesta ini, yang membentuk konflik dan perubahan

menjadi keindahan dan kesenangan. “pertentangan membawa

harmoni” adalah salah satu paradoks Heraklitus. “Berdasarkan pada

pertentangan ini, muncul harmoni yang paling indah”. Kebaikan tidak

eksis secara terpisah dengan kejahatan, kesehatan dengan penyakit,

kepuasan dengan rasa lapar, atau keadaan istirahat dengan rasa lelah:

mereka adalah dua sisi dari koin metafisik yang sama, masing-masing

menghasilkan yang lainnya ketika perubahan terus memutar-mutar

koin ini.

Ide-ide Heraklitus muncul kembali ke permukaan setelah lama

tak terdengar, meskipun terdapat sedikit perubahan, dalam ajaran

filsafat Empedokles (abad lima SM), yang telah mengilhami penyair

Latin, Horace, empat abad kemudian, untuk menemukan sebuah

ungkapan baru concordia discors---“pertentangan yang harmonis”.

Gagasan-gagasan transisi materi dan kekal yang ideal dari Plato [lihat

Page 31: 1. FILSAFAT

Goa Plato, hal. 23] juga berhutang pada Heraklitus, sebagaimana

(lebih bersifat tidak langsung) halnya para pendeta-pendeta gereja

yang bijak, yang salah satu larik hymne-nya berbunyi: “Bagi segalanya

terdapat sebuah musim”, adalah satu dari sekian banyak sentuhan-

sentuhan Yunani Heraklitus.

“Manusia Adalah Acuan dari Segala

Sesuatu”

SOCRATES: Dapatkah aku gagal mengetahui apa yang aku pahami?THEAETETUS: Kamu tidak dapat.SOCRATES: jadi, kamu cukup benar dalam menegaskan bahwa pengetahuan itu hanya persepsi; dan makna ini menjadi sama, apakah dengan Homer dan Heraklitus, dan semua kelompok itu, kamu mengatakan bahwa semua adalah gerak dan aliran, atau dengan pernyataan manusia arif yang agung, Protagoras, bahwa manusia adalah acuan dari segala sesuatu; atau dengan Theaetetus, bahwa, yang menyampaikan premis-premis ini, persepsi adalah pengetahuan.

Plato, Theaetetus

Jika anda sangat akrab dengan teknik-teknik berfilsafat Sokrates, anda

akan telah menduga bahwa dia sedang mengangkat Theaetetus untuk

kemudian menjatuhkannya. Ide ini bahwa “manusia adalah acuan dari

segala sesuatu” membuat upaya Sokrates gagal total; tapi, daripada

mengatakannya secara langsung dan terbuka, dia secara halus

mengendalikan rekan dialognya yang masih muda dengan

menerapkan “metode Sokrates” sehingga Theaetetus akan dapat

Page 32: 1. FILSAFAT

memahami mengapa ide ini tidak benar. Pada akhirnya, keduanya

tidak menyimpulkan bahwa ide ini sebagai benar, tapi setidaknya,

keduanya bersepakat bahwa pendapat Protagoras adalah salah.

Protagoras (abad lima SM) adalah pendiri sebuah kelompok yang

disebut Sophis, yang meyakini bahwa kearifan dapat diajarkan

(dengan imbalan uang)---sebuah ide yang radikal pada masa itu.

prinsip yang mendasari filsafat Protagoras adalah bahwa “manusia

adalah acuan dari segala sesuatu”; dengan kata lain, banyak hal yang

eksis disebabkan oleh bagaimana cara kita memahami mereka. Obyek

duniawi sebagai persediaan bagi manusia, dan tak ada satupun di luar

manusia yang dapat menentukan keberadaan atau kebenarannya. Ini

lebih bersifat ide yang abstrak, yang merupakan hukuman bagi

gagasan Sokrates tentang ideal-ideal, secara mengejutkan telah

menjadi ungkapan populer yang menarik perhatian luas. Tapi,

ungkapan itu sekarang ini kita artikan sebagai “kebutuhan-kebutuhan

dan hasrat-hasrat kita-lah yang menentukan apa yang berarti di dunia

ini.”

Paradoks Zeno

Anda mungkin telah mendengar sebuah versi tentang paradoks

Zeno---atau lebih tepatnya, satu dari paradoks-paradoks Zeno; sang

filosuf Yunani (abad lima SM) ini penuh dengan paradoks-paradoks.

Page 33: 1. FILSAFAT

Bahkan Zeno, seorang filosuf pengganggu (banyak melancarkan kritik-

kritik yang membuat kesal orang lain), membuat paradoks sebagai

filsafatnya.

Meskipun hanya satu yang disebut dengan “Paradoks Zeno”, dan

ia muncul dalam beragam bentuk. Sekarang ini, yang paling umum

adalah ini: anggaplah bahwa anda sedang melakukan perjalanan dari

titik A ke titik B. Untuk mencapai B, anda harus melakukan perjalanan

separuh jarak terlebih dahulu. Begitu anda telah tiba di pertengahan,

anda harus menempuh lagi jarak yang tersisa. Tapi, begitu anda telah

sampai di pertengahan dari jarak yang masih tersisa ini, anda masih

harus menempuh separuh jarak lagi.

Dalam kenyataan, serangkaian peristiwa ini terus berlanjut

secara ad infinitum. Ketika ini membutuhkan beberapa waktu, tak

peduli betapa sedikit waktu yang dibutuhkan, untuk menempuh jarak

yang tersisa, dan ketika jarak yang tersisa ini selalu dapat dibagi

separuh, ini kemudian akan membuat anda membutuhkan jumlah

waktu yang tak terbatas guna menempuh perjalanan dari A ke B.

Singkatnya, adalah mustahil untuk mencapai titik B.

Sebuah versi yang lebih berwarna dari paradoks ini melibatkan

pertandingan balapan antara pahlawan bangsa Yunani Achilles dengan

seekor kura-kura yang lamban. Marilah kita katakan bahwa Achilles

kesempatan kepada kura-kura untuk memulai start terlebih dahulu;

anda dapat membuktikan, dengan menggunakan logika Zeno, bahwa

Page 34: 1. FILSAFAT

dia (Achilles) tidak mungkin dapat memenangkan lomba balap ini.

Anggaplah bahwa Achilles mulai berlari pada pukul 13.00. Aar dapat

menyusul kura-kura, dia harus sampai terlebih dahulu ke tempat

dimana kura-kura akan sampai di tempat itu pada pukul 13.00, tapi itu

mungkin membutuhkan waktu 10 menit. Dalam waktu sepuluh menit

itu, kura-kura telah menempuh sedikit lebih jauh, demikian pula

dengan Achilles, untuk dapat menyusul, harus mencapai titik dimana

kura-kura akan sampai pada pukul 13.10. ini akan membutuhkan

beberapa waktu, katakanlah lima menit. Tapi, dalam waktu lima menit

itu, kura-kura telah berjalan lebih jauh dengan susah payah menuju

garis finish, dan sekarang Achilles harus membalap ke titik dimana

kura-kura akan sampai pada pukul 13:15. Dan seterusnya. Oleh karena

itu, kura-kura akan selalu berada di depan Achilles, tak peduli betapa

cepat Achilles berlari.

Zeno, tentu saja mengetahui dalam realitas, karena ini telah

dipahami secara luas, Achilles atau orang lain yang sehat, akan dapat

dengan mudah mengalahkan kura-kura dalam arena balapan. Dia

hanya tidak yakin bahwa pemahaman umum tentang realitas ini

bersifat koheren (secara logika saling berkaitan), seperti yang telah dia

coba tunjukkan bahwa pemahaman umum (common sense) dan

hukum-hukum gerak keduanya tidak dapat menjadi benar sekaligus.

(Kesalahan Zeno: dia tidak menyadari bahwa sedang membagi

ketakterhinggaan dengan ketakterhinggaan, tapi anda benar-benar

Page 35: 1. FILSAFAT

tidak perlu mengetahui perinciannya). Apa yang sebenarnya ingin

dibuktikan oleh Zeno adalah doktrin dari mentor-nya, Parmenides,

yang gagasan-gagasannya tentang ada dan tidak-ada lebih bersifat

abstrak---menurut Parmenides, bahkan, realitas itu tidak nyata.

Para filosuf Yunani di era Parmenides, tidak dapat membuat

lobang-lobang yang efektif dalam argumen-argumennya; filosuf

pertama yang berhasil melakukan ini adalah Plato, yang menyerang

doktrin-doktrin Parmenides dalam suatu serangkaian dialog

(Parmenides, Theaetetus, dan Sophist). Tapi, Plato tidak sepenuhnya

keluar sebagai pemenang, ketika Aristoteles masih menganggap perlu

untuk memikirkannya guna menantang dan membuktikan kesalahan-

kesalahan dari argumen-argumen Parmenides dan Zeno, yang telah

dia lakukan dalam wacananya yang menguji tentang penyebab-

penyebab gerak. Namun, tesis akhir Aristoteles, mengandung

masalah-masalahnya sendiri [lihat Sang Penggerak Utama, hal. ...].

Gua Plato (Idealisme)

“Dan sekarang,” [Sokrates] berkata, “biar aku tunjukkan dalam sebuah gambar tentang seberapa jauh sifat dasar kita dapat tercerahkan atau tidak tercerahkan: Perhatikan! Umat manusia hidup di dalam tempat perlindungan di bawah permukaan tanah, yang mempunyai sebuah mulut yang terbuka menuju cahaya dan mencapai tempat perlindungan tersembunyi itu sepenuhnya; disini, mereka telah berada sejak masa kanak-kanak mereka, dan kaki serta leher mereka terbelenggu rantai sehingga mereka tidak dapat bergerak, dan hanya dapat melihat [obyek] yang ada di depan mereka saja, karena dicegah oleh rantai-rantai itu dari menoleh ke sekitarnya. Di atas dan di

Page 36: 1. FILSAFAT

belakang mereka terdapat api yang menyala dari kejauhan, dan antara api dengan para tawanan ini terdapat sebuah jalan yang mendaki; dan engkau akan melihat, jika engkau melihat, sebuah bangunan dinding yang rendah di sepanjang jalan itu, seperti layar dimana para pemain yang memainkan boneka-boneka [yang dikendalikan oleh tali-temali] berada di depan mereka, tempat dimana mereka menampilkan boneka-boneka ini....[mereka seperti diri kita] dan mereka hanya melihat bayang-bayang mereka sendiri, atau bayang-bayang satu sama lain, dimana nyala api memantul ke dinding goa yang ada di seberang.”Plato, Republic, Book 7

Plato (hidup sekitar tahun 428-348 SM) tidak berpikir bahwa suasana

seperti digambarkan di atas adalah yang terbaik dari seluruh dunia

yang mungkin. Ini adalah sejenis penjara, tulisnya, dimana kita

terperangkap dalam kegelapan dan bayang-bayang. Tapi, dibalik

penjara ini, terdapat secercah dunia yang cerah dan penuh harapan

tentang kebenaran yang dia sebut sebagai dunia ide atau ideal-ideal.

Oleh karena itulah, kita menyebut doktrinnya sebagai “idealisme”.

Plato mengembangkan ide-ide idealistiknya yang sangat layak

untuk diperhatikan dalam bukunya Republic, dimana seperti biasanya,

juru bicaranya adalah mentor-nya yaitu Sokrates. (Sejauhmana

sebenarnya Plato menganut pandangan-pandangan Plato, tidak

diketahui). Socrates membandingkan dunia sehari-hari ini dengan

sebuah “tempat perlindungan tersembunyi di bawah permukaan

tanah” atau goa dimana kita terbelenggu oleh rantai di dalamnya. Di

depan kita berdiri sebuah dinding dan di belakang kita adan api; tidak

dapat menolehkan kepala kita, kita hanya melihat bayang-bayang

pada dinding yang dipantulkan oleh nyala api. Sama sekali tidak

Page 37: 1. FILSAFAT

mengetahui apapun, kita secara alami menganggap bayang-bayang ini

sebagai “realitas”; rekan-rekan sesama kita dan semua benda di

dalam gua, tidak mempunyai realitas bagi kita selain dari ini.

Tapi, jika kita dapat membebaskan diri dari belenggu rantai ini,

jika kita hanya dapat menoleh ke arah mulut gua itu, kita pada

akhirnya akan menyadari kesalahan kita. Pada mulanya, cahaya

langsung akan sangat menyakitkan dan membutakan. Tapi, dengan

segera, kita akan beradaptasi dan mulai memahami orang-orang dan

benda-benda yang sebenarnya, yang pernah kita kenali hanya dalam

bentuk bayang-bayang.

Meskipun demikian, kita akan melekatkan kebiasaan pada

bayang-bayang, masih meyakini mereka sebagai nyata dan sumber-

sumber mereka hanyalah ilusi-ilusi. Tapi, jika kita berupaya menarik

diri keluar dari gua dan mengarah menuju cahaya, maka, cepat atau

lambat, kita akan sampai pada pandangan yang tepat tentang

berbagai hal dan menyesali kebodohan kita sebelumnya.

Analogi Plato adalah sebuah serangan terhadap kebiasan-

kebiasaan berpikir kita. Kita ini, katanya, terbiasa menerima obyek-

obyek yang konkret di sekitar kita sebagai “nyata”, padahal tidak

demikian. Atau, lebih tepatnya, mereka hanya ketidaksempurnaan dan

tiruan-tiruan yang tidak “nyata” dari “bentuk-bentuk” yang tak

berubah dan abadi. Bentuk-bentuk ini, sebagaimana Plato

mendefinisikan mereka, adalah bersifat permanen, ideal, dan realitas-

Page 38: 1. FILSAFAT

realitas orisinal darimana ketidaksempurnaan dan tiruan-tiruan konkret

yang bersifat merusak ini menjadi terhapus. Misalnya, setiap kursi di

dalam dunia-obyek kita yang kita akrabi adalah sekadar imitasi atau

“bayang-bayang” dari Kursi Ideal. Setiap bangku adalah sebuah tiruan

dari Bangku Ideal, yang tidak pernah berubah, yang eksis dalam

keabadian, dan di atas mana anda tidak pernah dapat menumpahkan

kopi.

Kursi-kursi dan bangku-bangku ideal ini, menurut Plato, bukanlah

fantasi-fantasi; mereka bahkan lebih “nyata” dibandingkan dengan

tiruan-tiruan duniawi mereka, karena mereka lebih sempurna dan lebih

universal. Namun karena indera-indera kita yang sangat terbatas

selalu saja terperangkap, sehingga kita buta akan dunia ideal-ideal.

Pikiran kita terbelenggu oleh tiruan-tiruan ini, dimana kita menjadi

salah paham terhadap realitas. Kita adalah para tawanan dalam

sebuah gua filsafat.

Tapi, semuanya tidak hilang, karena meskipun manusia

dimanapun juga berada dalam keadaan terbelenggu, filsafat dapat

membebaskan kita. Jika kita hanya membiarkannya, ia akan menyeret

kita dari gua kegelapan dan kebodohan menuju cahaya dari wujud

sejati. Kita boleh jadi, untuk sementara waktu, menolak pada apa yang

kita lihat kemudian, dengan melekatkan diri kita pada “realitas” obyek-

obyek dan mengingkari kebenaran dari Ideal-ideal filosofis. Tapi, cepat

atau lambat, kita akan mulai melihat dengan jelas, dan bahkan

Page 39: 1. FILSAFAT

mendekati ide yang paling mendasar, yang paling ideal dari ideal –

ideal, yaitu Idea tentang Kebaikan itu sendiri. tentu saja, dengan

menjadi seorang filosuf, Plato mendefinisikan Kebaikan sebagai

pengetahuan.

Tiga Hukum Pemikiran

Sekarang ini, adalah mustahil bahwa hal-hal yang bertentangan harus berada pada saat yang bersamaan true of the samething, mudah dipahami bahwa hal-hal yang berlawanan juga tidak dapat terjadi pada waktu yang sama pada sesuatu yang sama, adalah juga kemustahilan bahwa hal-hal yang berlawanan terkait dengan suatu subyek pada saat yang sama, kecuali keduanya terhubung dengannya dalalm hubungan-hubungan yang khusus, atau salah satunya berada dalam hubungan yang khusus dan yang lain tanpa kualifikasi. Tapi, pada sisi lain, tidak mungkin ada suatu perantara antara hal-hal yang bertentangan ini, tapi tentang satu subyek kita harus menegaskan atau mengingkari satu predikat apapun.

Aristoteles, Metaphysics, Book IV, Bab 6-7

Selama lebih dari dua milenium, logika Barat dibentuk oleh tiga

“hukum-hukum pemikiran” yang mendasar. Tak ada keraguan

sedikitpun pada permukaannya, aksioma-aksioma ini, praktis,

mendefinisikan cara kita berpikir. Tapi, hukum-hukum pemikiran ini

sebenarnya jauh lebih kompleks dan tidak mudah dipahami

sebagaimana tampaknya.

Tiga hukum pemikiran ini, sebagaimana telah dikodifikasikan

oleh Aristoteles adalah sebagai berikut:

Page 40: 1. FILSAFAT

1) Sesuatu adalah identik dengan dirinya sendiri. Ekspresi simbolik

yang standar dari hukum ini, yang disebut dengan “hukum

identitas,” adalah “A = A”. Contoh: “Sokrates adalah Sokrates.”

2) Sesuatu tidak dapat sekaligus menjadi dan tidak menjadi---“A

dan bukan-A adalah tidak benar.” Ini disebut dengan “hukum

kontradiksi.” Contoh: “Adalah tidak benar bahwa Sokrates itu

manusia dan bukan manusia sekaligus.”

3) Menggambarkan suatu keadaan atau yang pasti atau kualitas A,

sesuatu harus memiliki kualitas ini atau tidak---“Baik A atau

bukan-A”. Ini disebut “hukum yang dikecualikan bagian

tengahnya”, ketika tidak ada ranah pertengahan antara A dan

bukan-A. Contoh: “Sokrates hidup atau tidak-hidup.”

Adalah cukup sulit untuk berargumen dengan ketiga hukum

pemikiran ini, yang biasanya kita anggap sepenuhnya benar tanpa

pemikiran kritis. Tapi, para filosuf dan pakar-pakar matematika,

tidak peduli dengan apa yang telah menjadi kebiasaan; mereka

peduli tentang apa yang benar. Apakah hukum-hukum ini pasti

benar dalam setiap situasi yang mungkin? Selama waktu satu abad

yang lalu hingga sekarang ini, jawabannya adalah “tidak”.

Keraguan-keraguan mulai muncul begitu para filosuf berpikir

lebih serius lagi tentang makna-makna “is” dan “not” dalam

hukum-hukum Aristoteles. Karena, kata-kata semacam ini, mungkin,

digunakan dalam beragam cara, hukum-hukum ini dengan mudah

Page 41: 1. FILSAFAT

jatuh ke dalam kekacauan semantik. Yang paling menarik dari

masalah-masalah jenis ini menimbulkan kebingungan tentang

hukum tentang ranah pertengahan yang dikecualikan (3). Ambillah

sebuah contoh sederhana seperti “Sekuntum mawar berwarna

merah atau ia tidak (berwarna merah).” Seberapa sederhana ia

sebenarnya? Barangkali, anda dan saya tidak setuju pada seberapa

merah sekuntum mawar itu seharusnya menjadi “merah”;

barangkali, kita bahkan tidak setuju dengan apa yang dimaksudkan

dengan warna “merah”. Saya pernah mempunyai sebuah

Volkswagen Golf yang saya sebut “merah” dan orang lain

menyebutnya “oranye”. Kita semua setuju bahwa ia sangat buruk,

tapi kita tidak dapat menyetujui pada bagaimana cara

menggambarkan keburukan ini.

Kualitas-kualitas (“predikat-predikat”, untuk menggunakan

istilah yang logis) seringkali bersifat subyektif. Saya mungkin

berpikir bahwa John itu tinggi, tapi, anda mungkin sekali tidak

berpikir demikian. Kita mungkin sama-sama benar; apa itu “benar”

(right)? Dapatkah kita katakan bahwa kedua pernyataan ini sebagai

“benar” (true)? Ambillah contoh yang lain: pernyataan “Kuda-kuda

besar yang bertanduk adalah buas.” Ini tidak benar, karena kuda-

kuda itu tidak eksis. Tapi, pernyataan yang berlawanan “Kuda-kuda

besar bertanduk adalah tidak buas” adalah sama tidak benarnya,

berdasarkan alasan yang sama.

Page 42: 1. FILSAFAT

Para pakar matematika baru-baru ini telah membuat keberatan-

keberatan serupa terhadap semua hukum-hukum ini, atau

setidaknya terhadap klaim bahwa mereka (ketiga hukum) ini

merupakan sebuah basis yang mencukupi bagi logika. Baik saja

mengatakan bahwa 5 adalah 5, atau bahwa 5 tidak dapat menjadi

bukan-5, atau bahwa 5 harus menjadi bilangan yang dapat dibagi

dengan dua (even) atau bilangan yang tak dapat dibagi dengan dua

(odd). Tapi, begitu kita memasuki bidang bilangan-bilangan yang

tak terbatas, maka pernyataan-pernyataan ini menjadi tidak

mempunyai makna; kita tidak dapat membuktikan bahwa suatu

bilangan yang tak terbatas adalah bilangan yang dapat dibagi dua

atau bilangan yang tak dapat dibagi dua. (“Angka nol adalah dapat

dibagi dua” dan “angka 1 adalah bilangan prima” adalah proposisi-

proposisi yang tak dapat dipecahkan). Demikian pula, untuk

mengambil contoh dari Fisika, kita tidak dapat mengatakan,

“Cahaya adalah sebuah gelombang atau bukan-sebuah

gelombang.” Berdasarkan pada alasan-alasan semacam ini, hukum-

hukum pemikiran ini banyak diwarnai oleh sikap tidak setuju dan

menentang, setidaknya dalam lingkungan-lingkungan ilmiah.

Hukum-hukum pemikiran ini juga mempunyai masalah-masalah

tersendiri di kalangan para filosuf, yang paling penting diantara

mereka adalah G.W.F Hegel. Sejauh pernyataan Hegel dicermati,

sesuatu dapat, dalam beberapa pengertian, menjadi sesuatu yang

Page 43: 1. FILSAFAT

berlawanan dengan dirinya sendiri. untuk lebih jelasnya

pembahasan tentang gagasan yang sangat memutar otak ini, lihat

DIALEKTIKA, hal. 51.