1 bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakang kegiatan usaha

39
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha pertambangan batubara mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan di Indonesia (UU No. 4 Tahun 2009). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal dua ayat satu isinya mengenai Kebijakan energi nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri, ayat dua poin b sub poin 3 yang berisi Sasaran kebijkan energi nasional adalah terwujudnya energi primer yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional, sumber energi batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen). Bahwasanya indonesia akan melakukan kegiatan pertambangan batubara secara besar untuk memenuhi pasokan energi berupa batubara, dengan demikian akan ada terjadi bukaan bumi secara luas dengan membentuk lereng sedimen yang terekspos seketika dan menggangu kondisi kesetabilan dari batuan secara geologi. Proses-proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan mempengaruhi sifat massa batuan (rock mass properties), termasuk sifat keteknikannya (engineering properties). Di alam massa batuan cenderung tidak ideal dalam beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen, anisotrop dan tidak menerus (discontinu). Keberadaan diskontinuitas tersebut mengakibatkan distribusi kekuatan dan tegangan dalam massa batuan tidak terdistribusi secara merata ke segala arah, akibatnya sifat elastisitas massa batuan menjadi berubah dan pada akhirnya mengakibatkan terganggunya keseimbangan kekuatan massa batuan dan terjadi longsor. Orientasi discontinue merupakan faktor geologi utama yang mempengaruhi stabilitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Upload: vankhanh

Post on 10-Dec-2016

237 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan usaha pertambangan batubara mempunyai peranan penting dalam

memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberikan nilai tambah secara nyata

kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara

berkelanjutan di Indonesia (UU No. 4 Tahun 2009). Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal dua ayat

satu isinya mengenai Kebijakan energi nasional bertujuan untuk mengarahkan

upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri, ayat dua

poin b sub poin 3 yang berisi Sasaran kebijkan energi nasional adalah terwujudnya

energi primer yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis

energi terhadap konsumsi energi nasional, sumber energi batubara menjadi lebih

dari 33% (tiga puluh tiga persen). Bahwasanya indonesia akan melakukan kegiatan

pertambangan batubara secara besar untuk memenuhi pasokan energi berupa

batubara, dengan demikian akan ada terjadi bukaan bumi secara luas dengan

membentuk lereng sedimen yang terekspos seketika dan menggangu kondisi

kesetabilan dari batuan secara geologi.

Proses-proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan

mempengaruhi sifat massa batuan (rock mass properties), termasuk sifat

keteknikannya (engineering properties). Di alam massa batuan cenderung tidak

ideal dalam beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen, anisotrop dan tidak

menerus (discontinu). Keberadaan diskontinuitas tersebut mengakibatkan distribusi

kekuatan dan tegangan dalam massa batuan tidak terdistribusi secara merata ke

segala arah, akibatnya sifat elastisitas massa batuan menjadi berubah dan pada

akhirnya mengakibatkan terganggunya keseimbangan kekuatan massa batuan dan

terjadi longsor. Orientasi discontinue merupakan faktor geologi utama yang

mempengaruhi stabilitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Page 2: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

2

2

Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai keadaan diskontinuitas dan

faktor geologi lain yang mempengaruhi kualitas massa batuan (rock mass quality)

atau sebagai mekanisme keruntuhan batuan. Pengetahuan kualitas massa batuan ini

dapat menjadi bahan evaluasi kualitas massa batuan dan sekaligus berguna dalam

aplikasi lereng tambang terutama dalam studi kasus yang terjadi di daerah

penelitian.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang hendak dicapai meliputi :

a. Pembuatan klasifikasi kualitas massa batuan (rock mass quality) menggunakan

metode RMR dan GSI.

b. Mengetahui statistika kualitas hubungan antara metode RMR dan GSI dalam

menentukan kualitas massa batuan.

c. Mengetahui statistika kualitas hubungan antara metode RMR dan SMR dalam

menentukan kualitas massa batuan dan sudut lereng yang akan digunakan.

d. Menganalisa studi kasus longsoran yang terjadi pada lereng sedimen berlokasi

ditambang barubara, sehubungan dengan potensi kualitas massa batuan (rock

mass quality) akibat proses-proses geologi yang mengenainya.

e. Mengetahui mekanisme keruntuhan lereng di area studi kasus serta variasinya

berdasarkan Geological Data Collection, Analisa kinematik, Pendekatan

Analisis Numeris dan Monitoring pergerakan lereng.

f. Melakukan evaluasi, pembahasan dan rekomendasi dalam aplikasi lereng

tambang terutama dalam studi kasus yang terjadi.

1.3 Batasan Masalah

Menjaga fokus dan arah dari penelitian ini, dan keterbatasan waktu serta biaya maka

penelitian ini diberi batasan sebagai berikut :

a. Studi kasus keruntuhan lereng batuan sedimen di tambang batubara berlokasi

di Kecamatan Muaralawa dan Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat,

Propinsi Kalimantan Timur.

Page 3: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

3

3

b. Penelitian dilakukan pada kriteria lereng sedimen yang terekspos seketika serta

mendapatkan kelebihan aktifitas disekitar areanya seperti kegiatan

pertambangan (dinding lereng tambang bukan lereng alam).

c. Parameter indeks properties batuan diperoleh dari data hasil pengujian

laboratorium dan Geological Data Collection berupa data diskontinuitas,

RMR dan GSI.

d. Dalam pelaksanaan analisa model, pengaruh air tanah diasumsikan pada

kedalaman muka air tanah disaat terjadinya keruntuhan serta diasumsikan

dalam kondisi tetap.

1.4 Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan peneliti dan referensi yang telah ditinjau sebelumnya di

lingkungan universitas gadjah mada, belum ada kajian yang membahas tentang

analisis stabilitas dan mekanisme keruntuhan lereng batuan sedimen tambang

terbuka batubara. Beberapa hasil penelitian dari peneliti lain yang pada dasarnya

dapat dijadikan dasar teori dan pandangan dalam tahapan pelaksanaan penelitian

ini diantaranya sebagai berikut:

a. Tosney, dkk. (2004), melakukan penelitian di area pertambangan tembaga porfiri

Highland Valley Copper. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah pemetaan

rinci lapangan, pemantauan deformasi lereng yang luas, pengujian

laboratorium dan pemodelan elemen numerik yang berbeda. penelitian ini

menghasilkan penemuan jenis mekanisme ketidakstabilan lereng yang

merupakan kombinasi dari large scale dan classical block toppling.

b. Hammah, dkk (2008), melakukan penelitian dengan pemodelan praktis

mengenai massa batuan dengan representasi eksplisit dari diskontinuitas

menggunakan Metode Elemen Hingga. dalam penjelasan penelitian ini

menyajikan manfaat pendekatan seperti kemampuan untuk menangkap

berbagai mekanisme dan efek skala karena diskontinuitas.

Page 4: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

4

4

c. Hammah dan Yacoub (2009), menunjukkan kemampuan analisis Shear Strength

Reduction (SSR) berdasarkan Metode Elemen Hingga (FEM) untuk model efek

skala jaringan diskontinuitas pada mekanisme stabilitas dan kegagalan lereng

di blok massa batuan.

Dengan demikian penelitian mengenai analisis stabilitas dan mekanisme

keruntuhan lereng batuan sedimen tambang terbuka batubara dapat dikatakan masih

bersifat asli.

Page 5: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batuan Sedimen Batubara

Batuan Sedimen menurut O’Dunn dan Sill (1986) adalah batuan yang terbentuk

oleh konsolidasi sedimen, sebagai material lepas, yang terangkut ke lokasi

pengendapan oleh air, angin, es dan longsoran gravitasi, gerakan tanah atau tanah

longsor. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium

karbonat, silika, garam dan material lain. Menurut Tucker (2001), 75 % batuan di

permukaan bumi berupa batuan sedimen, tetapi batuan itu hanya 5 % dari volume

seluruh kerak bumi. Ini berarti batuan sedimen tersebar sangat luas di permukaan

bumi, tetapi ketebalannya relatif tipis.

Pettijohn (1975), O’Dunn dan Sill (1986) membagi batuan sedimen berdasar

teksturnya menjadi dua kelompok besar, yaitu batuan sedimen klastika dan batuan

sedimen non-klastika. Batuan sedimen klastika (detritus, mekanik, eksogenik)

adalah batuan sedimen yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan kembali terhadap

batuan yang sudah ada. Proses pengerjaan kembali itu meliputi pelapukan, erosi,

transportasi dan kemudian redeposisi (pengendapan kembali). Sebagai media

proses tersebut adalah air, angin, es atau efek gravitasi (beratnya sendiri). Media

yang terakhir itu sebagai akibat longsoran batuan yang telah ada. Kelompok batuan

ini bersifat fragmental yang terdiri dari butiran atau pecahan batuan sehingga

bertekstur klastika. Batuan sedimen non-klastika adalah batuan sedimen yang

terbentuk sebagai hasil penguapan suatu larutan, atau pengendapan material di

tempat itu juga (insitu). Proses pembentukan batuan sedimen kelompok ini dapat

secara kimiawi, biologi atau organik, dan kombinasi di antara keduanya (biokimia).

Secara kimia, endapan terbentuk sebagai hasil reaksi kimia. Secara organik adalah

pembentukan sedimen oleh aktivitas binatang atau tumbuh-tumbuhan, sebagai

contoh pembentukan rumah binatang laut (karang), terkumpulnya cangkang

Page 6: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

6

binatang (fosil), atau terkuburnya kayu-kayuan sebagai akibat penurunan daratan

menjadi laut.

Tucker (2003) membagi batuan sedimen dalam empat kelompok kategori umum :

a. Batuan sedimen siliciclastic, terdiri dari sandstones, mudrocks, conglomerates

dan breccias.

b. Batuan sedimen biogenik, biokimia dan organik, terdiri dari limestone,

dolomites, cherts, phosphates, coal (batubara) dan oil shale.

c. Batuan sedimen kimia, terdiri dari ironstones dan evaporites.

d. Batuan sedimen volcaniclastic (klastika gunungapi), terdiri dari tephra, tuffs

dan hyaloclastites.

Graha (1987) membagi batuan sedimen menjadi lima kelompok berdasarkan cara

terbentuknya batuan tersebut, seperti :

a. Batuan sedimen detritus (klastika), terdiri dari jenis batuan konglomerat,

batuan batupasir, batulanau, batulempung, serpih dan napal.

b. Batuan sedimen evaporit, terdiri dari jenis batugaram, gip dan anhidrit.

c. Batuan sedimen batubara, terbentuk dari unsur-unsur organik yaitu dari

tumbuh-tumbuhan.

d. Batuan sediment silika, terdiri dari batuan rijang (chert), batupaneker (flint),

tanah radiolaria dan tanah diatomea. Proses terbentuknya batuan ini adalah

gabungan antara proses organik dan proses kimiawi.

d. Batuan sedimen karbonat, terdiri dari batu gamping (limestone) dan dolomit.

2.1.1. Cara Terbentuknya Batubara

Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan

tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terdiri dari unsur C, H, O, N,

S, dan P, karena batubara terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami

Page 7: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

7

proses pembatubaraan (Sukandarrumidi, 2009). Menurut krevelen (2003) dalam

Sukandarrumidi (2009) menyatakan cara terbentuknya barubara dengan dua cara

yaitu cara insitu dan cara drift.

Cara insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk bersama dengan tempat

terjadinya proses pembatubaraaan (coalification) dan sama dengan tempat dimana

tumbuhan tersebut berkembang. Beberapa penciri yang dapat dipergunakan untuk

mengetahui berlakuknya cara insitu pada suatu daerah tambang batubara, antaralain

didapatkannya getah tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dalam istilahh

geologi disebut sebagai Harz (istilah lapangan dikenal sebagai damar Selo atau

grandarukem). Selain Harz sering didapatkan juga imprint tulang daun (sering

disebut dengan tikas tulang daun). Cara drift menjelaskan bahwa endapan batubara

yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain

tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula

berkembang kemudian mati. Bahan pembentuk batubara tersebut telah mengalami

transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Penyebaran

batubara dengan konsep cara drift, akan memiliki luasan yang besar atau luasan

sempit, tergantung pada luasan cekungan sedimentasi (Krevelen, 1993 dalam

Sukandarrumidi, 2009).

2.1.2. Faktor Yang Berpengaruh dari Posisi Geoteknik

Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama,

disamping dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu, terutama

ditinjau dari segi fisika, kimia atau biologis. Serangkaian faktor yang akan

berpengaruh dan menentukan terbentuknya batubara antara lain dipandang dari

posisi geoteknik, keadaan topografi daerah, iklim daerah, proses penurungan

cekungan sedimentasi, umur geologi jenis tumbuhan, proses dekomposisi, sejarah

setelah pengendapan, struktur geologi cekungan dan etamorfosa organik (Hutton

dan Jones, 1995).

Secara ringkas faktor yang berpengaruh dari posisi geoteknik adalah letak suatu

tempat yang merupakan cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi

Page 8: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

8

oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Adanya gaya-gaya tektonik ini akan

mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan

dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadi penaikan dasar cakungan.

Proses tektonik dapat diikuti oleh perlipatan perlapisan batuan ataupun patahan.

Apabila proses yang tersebut terjadi maka satu cekungan sedimentasi akan dapat

terbagi menjadi dua atau lebih sub cekungan sedimentasi dengan luasan yang relatif

kecil. Kejadian ini berpengaruh pada penyebaran batubara yang terbentuk. Makin

dekat cekungan sedimentasi batubara terbentuk atau terakumulasi, terhadap posisi

kegiatan tektonik lempeng, kualitas batubara yang dihasilkan akan semakin baik

(Sukandarrumidi, 2009).

2.2 Faktor – Faktor Pengontrol Terjadinya Gerakan Lereng

Hoek dan Bray (1981) mengatakan bahwa stabilitas lereng dapat dikendalikan oleh

kondisi geologi lokal, bentuk lereng keseluruhan di daerah itu, kondisi air tanah

setempat dan juga dengan teknik penggalian yang digunakan dalam menciptakan

lereng. Faktor pengendali ini jelas akan sangat bervariasi untuk situasi

pertambangan yang berbeda dan tidak mungkin untuk memberikan aturan umum

pada seberapa tinggi atau seberapa curam lereng yang harus dipastikan bahwa

lereng tersebut akan stabil.

Karnawati (2005) juga menjelaskan bahwa pegerakan massa tanah/batuan pada

lereng dapat terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi

kondisi geomorfologi (kemiringan lereng), geologi, tanah/batuan penyusun lereng,

hidrologi lereng, iklim dan faktor-faktor pengontrol lainnya. Kondisi-kondisi

tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang

mempunyai kecenderungan atau berpotensi untuk bergerak. Jadi pengertian rentan

di sini adalah berpotensi atau berkecenderungan untuk bergerak, namun belum

mengalami gerakan. Lereng yang telah dikategorikan sebagai lereng yang rentan

bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah/batuan penyusun

tanah/batuan yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dapat dipastikan kapan

gerakan itu terjadi.

Page 9: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

9

2.3 Kondisi Geologi

Provinsi Kalimantan Timur Indonesia merupakan margin dari Epikontinental Asia,

lebih dikenal dengan sebutan Dangkalan Sunda atau Sundaland. Cekungan yang

berada di area tersebut merupakan lahan berbagai endapan dari bahan bersifat

anorganik dan organik yang diendapkan secara normal tanpa banyak mengalami

gangguan tektonik. Bahan-bahan organik yang diendapkan setelah mengalami

berbagai proses kimia dan fisika menghasilkan batubara, minyak dan gas bumi.

Lokasi penelitian berada di Cekungan Kutai tepatnya pada Formasi Pulubalang, dan

Formasi Balikpapan.

Suwarna dan Apandi (1994) dalam Peta Geologi Lembar Longiram Kalimantan

Timur menjelaskan rincian dari Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan

sebagai berikut :

a. Formasi Pulubalang terdiri dari batupasir kuarsa dan grewak, batulempung

dengan sisipan batugamping, tuf dan batubara. Batupasir kuarsa berukuran

butiran halus-sedang, terpilah baik, sebagian tufan dan gampingan,

karbonan, setempat berselingan dengan batulanau dan batu lempung setebal

15 cm, dan perairan sejajar. Grewak berukuran halue-sedang, setempat

gampingan, kepingan batubara, setempat berselingan dengan batulempung

kelabu dan batupasir halus. Batulempung bercirikan menyerpih, sisipan

batubara 3-5 cm. Batugamping bercirikan pejal dan menghablur. Tuff

bercirikan andesitan-balasan, lapiran tipis. Batubara berciri mengkilap agak

kusam, tebal 20-150 cm. Umur satuan formasi diperkirakan Miosen Tengah.

Lingkungan pengendapan darat-laut dangkal. Tebal lebihkurang 2500 m.

Berlapis baik, kemiringan lapisan 25˚-50˚, jurus baratdaya-timurlaut.

Satuan ini ditindih selaras oleh Formasi Balikpapan.

b. Formasi Balikpapan terdiri dari batupasir kuarsa dan batulempung dengan

sisipan batulanau, serpih dan batugamping. Batupasir kuarsa berukuran

halus-sedang, terpilah cukup baik, 70% kuarsa, kurang padat, 30 cm sisipan

oksida besi, 50 cm sisipan lignit. Batulempung, sisa tumbuhan terarangkan,

Page 10: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

10

berlapis buruk-baik. Batulanau, berlapis baik, tebal 30 cm. Serpih setebal

30 cm. Batugamping berlensa dan pejal. Umur formasi berkisar Miosen

Tengah-Akhir. Lingkungan pengendapan delta atau litoral sampai laut

dangkal. Tebal formasi lebih kurang 1800m dengan kemiringan lapisan 15˚-

60˚, umumnya 35˚-50˚, arah jurus barat daya-timurlaut sampai hampir

barat-timur.

2.4 Mekanika Batuan (Rock Mechanics)

Talobre (1948) dalam Rai, dkk. (2010) menjelaskan mekanika batuan adalah teknik

dan juga sains yang tujuannya mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya agar

dapat mengendalikan pekerjaan yang dibuat pada batuan tersebut seperti penggalian

dibawah tanah dan lain-lainnya. Coates (1981) dalam Rai, dkk. (2010) Mekanika

batuan merupakan ilmu yang mempelajari efek dari gaya terhadap batuan, Budavari

(1983) dalam Rai, dkk. (2010) mekanika perpindahan padatan untuk menentukan

distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi akibat gaya luar pada suatu benda padat,

Jaeger, dkk. (2007) studi sifat perilaku massa batuan yang dikenakan perubahan

tegasan dan kondisi lainnya, Goodman (1989) mekanika batuan berhubungan

dengan sifat batuan dan metodelogi rekayasa. Hudson dan Harrison (1997)

mekanika batuan terapan untuk rekayasa memiliki aspek sisi seni dan ilmu. Dimana

menurut Hoek (2006) secara formal pengembangan ilmu mekanika batuan dimulai

pada tahun 1960an.

2.4.1. Sifat Masa Batuan (Rock Mass Properties)

Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam geoteknik,

khususnya dalam mekanika batuan dianggap sebagai satu kesatuan massa. Oleh

karena itu sifatnya dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini berfungsi dan

bekerja menyangga beban-beban yang terdapat di atasnya dan di dalamnya.

Sehingga dalam desain dan pembuatan konstruksi harus memperhatikan kekuatan

dan pola dikontinuitas pada massa batuan. Hudson dan Harrison (1997) batuan

sebagai material digunakan untuk membangun struktur, atau suatu struktur

dibangun di atas atau dalam batuan (massa batuan). Wyllie dan Mah (2004) massa

Page 11: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

11

batuan merupakan material-material batuan yang mengalami proses kerusakan

(failure) yang kompleks. West (2010) sifat massa batuan meliputi semua

karakteristik suatu massa batuan yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi.

Sehingga menurut Hoek (2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan

dibutuhkan untuk estimasi dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain

lereng, fondasi dan penggalian bawah permukaan, West (2010) pekerjaan rekayasa

pemotongan jalan dan bendungan.

Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit dengan kekurangannya

aplikasinya yang luas menyebabkan permasalahan dalam rekayasa batuan dan

konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan sifatnya sebagai material

konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan pengukurannya dapat

berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di laboratorium,

dan sebagai sifat massa batuan yang membutuhkan skala besar massa batuan untuk

menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat massa batuan adalah dikontrol oleh

bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya. Sehingga

menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan

batuan jarang benar-benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir,

seperti microfissure merupakan retakan planar kecil terjadi dalam batuan padu dan

fissure sebagai retakan yang lebih luas.

Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-fragmen

yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material dimana semua elemen

saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan Holer, 1978 dalam Palmstrom,

1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi blok batuan dan

fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta oleh

karakter kekar seperti kondisi bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995).

Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan skematika komponen-komponen yang

membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut

keberadaan diskontinuitas di dalamnya.

Page 12: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

12

Gambar 2.1 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).

2.4.2. Karakteristik Geomekanika Diskontinuitas

Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang digunakan

sebagai istilah untuk batuan yang mengalami kerusakan (Giani, 1992). Bates (1987)

istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk diskontinuitas stratigrafi,

seismik dan struktur geologi. Hudson dan Harrison (1997) satu dari banyaknya

aspek fundamental kehadiran diskontinuitas adalah nilai rata-rata dan distribusi

spasi antara diskontinuitas, indeks asosiasi frekuensi diskontinuitas dan Rock

Quality Designation (RQD).

Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data

geologi berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat

material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data diskontinuitas melalui

investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk

proses terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu

dicatat dalam investigasi geologi diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe

diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran, kekuatan (wall

strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok,

serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum

berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal yang berkaitan dengan

mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang

menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.

Page 13: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

13

Gambar 2.2 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

a. Tipe Diskontinuitas

Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan

dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer

(Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan

mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski

(1989) dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan

dan schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan,

belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric defact), sedangkan

lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).

Page 14: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

14

b. Skala Diskontinuitas

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi

diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004)

serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan

peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil

sampai sebagai massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek

(2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki

formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West

(2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di

laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari keseluruhan sifat

volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.

Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi (Duncan dan Goodman, 1968 dalam Giani, 1992)

Nama Skala Obs.

Skala Spasi Asal/Genesa

Retakan Makro dan Mikro

Percontohan laboratorium

s < 0,25 cm

Alterasi dan retakan tarikan

Belahan Bidang

Blok batuan in situ observasi

0,25 cm < s < 5 cm

Rekahan tarikan

Kekar (A) Dike (B)

Penggalian eksplorasi

5 cm < s < 6 m

Rekahan dari tarikan dan tegasan geser

Zona Hancuran Minor, zona rekahan, diakibatkan oleh tegasan shear sesar utama

Penggalian kompleks

6 m < s < 60 m

Rekahan dari tegasan geser

Cincin pegunungan

s > 60 m Rekahan dari tegasan geser

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup

detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan

skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas (Tabel 2.1).

Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh

Page 15: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

15

laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar,

dike, zona hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan

melalui observasi secara in situ di lapangan

c. Orientasi Diskontinuitas

Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk

seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan

siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989).

Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike

sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara

sudut utara dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal.

Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram

diskontinuitas terhadap horizontal.

Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari bidang: a) pandangan menyamping, b) proyeksi sama luas bawah hemisfer

Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi

sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara

bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah

kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989)

dan Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode

proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman,

1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).

Page 16: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

16

)sin.cos.(.

21

21'

LL

LLH

)1()1('

m

mHl

d. Spasi Diskontinuitas

Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas

terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi

kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit

berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari

permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu

untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran

spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model

stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)

e. Persistence

Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang

diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan

panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar dapat

dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan.

Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang

diskontinuitas, dengan asumsi panjang merupakan distribusi.

(2.2)

(2.1)

Page 17: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

17

)1()(

"

N

NNm ct

Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar

daerah yang dipetakan (gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area

pemetaan singkapan, N total diskontinuitas

Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah,

2004). Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area, dip , rata-rata

spasi S

f. Kekasaran (Roughness)

Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai

bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997).

Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan gelombang

pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala

indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala

kekasaran kecil. Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk

permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika berbentuk indulasi

akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya

slickensides.

Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui

sepanjang sumbu, yang diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran

diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan melalui berbagai skala,

(2.3)

Page 18: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

18

dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di

laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997)

pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada chart

standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan Mah

(2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual

kekasaran, ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973).

Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan diskontinuitas

berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang

belum mengalami dislokasi dan belum terisi.

Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk keperluan tes kuat geser, (Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang, 1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume blok pada in situ test

Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan

membandingkan kondisi permukaan terhadap profil standard berdasarkan

kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa sentimeter dan

gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995) metode

JRC dari Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar planar

sampai dua puluh untuk kekar bergelombang kasar. Nilai tersebut merupakan

perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.

Page 19: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

19

Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran simpangan dari rata-rata air (Barton, 1982)

Page 20: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

20

Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan Choubey, 1977)

Page 21: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

21

g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)

Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat

kompresi pada dinding batuan berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya

merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability, khususnya jika

kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak

atau batu yang berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada

kekuatan batuan yang disebabkan oleh pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah

(2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser pada permukaan

kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh

menggunkan palu geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).

Tabel 2.2 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strengt/UCS (Wyllie dan Mah, 2004)

Grade Deskripsi Identifikasi lapangan UCS (MPa)

R6 Batuan kuat sekali

Percontoh hanya berupa chip menggunakan palu geologi

> 250

R5 Batuan sangat kuat

Percontoh membutuhkan banyak pukulan palu geologi untuk memecahkannya

100-250

R4 Batuan kuat Percontoh membutuhkan lebih sekali pukulan palu geologi untuk memecahkannya

50-100

R3 Batuan kuat menengah

Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali pukulan palu geologi

25-50

R2 Batuan lemah

Dapat dikelupas menggunakan pisau secara hati-hati, titik lekukan dangkal menggunakan palu geologi

5,0-25

R1 Batuan sangat lemah

Hancur dipukul menggunakan palu geologi dan dapat dikelupas menggunakan pisau

1,0-5,0

R0 Batuan lemah sekali

Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0

Page 22: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

22

Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi

tujuh tingkatan (lihat tabel 2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan uniaxial

compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat sekali untuk nilai UCS lebih

besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS berkisar antara

0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi bisa melalui point

load test untuk cere bor atau bongkahan percontoh, dan menggunakan Schmidt

Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani (1992) uji menggunakan

Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan joint wall Compressive

strength (JCS), serta berhubungan terhadap densitas batuan yang diujikan.

h. Rongga (Aperature)

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari

pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang

diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga

pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya

hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku

massa batuan.

Gambar 2.9 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di dalamnya (Giani, 1992) : a) tertutup, b) terbuka (rongga), c) terisi

Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti

pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan

adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan Mah

Page 23: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

23

(2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1

mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga

dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya

rongga dapat merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran

dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan

dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

Table 2.3 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)

Deskripsi Lebar rongga

Tertutup

Sangat rapat < 0,1 mm

Rapat 0,1 – 0,25 mm

Sedikit terbuka 0,25 – 0,5 mm

Celah (gap)

Terbuka 0,5 – 2,5 mm

Lebar menengah 2,5 – 10 mm

Lebar > 10 mm

Terbuka

Sangat lebar 10 – 100 mm

Lebar sekali 100 – 1000 mm

Besar > 1 m

i. Pengisi (Infilling)

Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan

dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini

biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,

lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti

kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika

material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut

Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi

perilaku diskontinuitas batuan.

Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada

diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan

Page 24: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

24

rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan

Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut

Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut

harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan

permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar,

rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.

Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber

Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk

memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992) :

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

2) Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter

indeks batuan dan tanah, potensi pengembangan.

3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah

ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan material

menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio over-

consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.

4) Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat

secara in situ.

Page 25: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

25

j. Seepage

Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau

massa batuan. Umur diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk

menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena mampu menyediakan informasi

keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.

Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga

observasi menunjukkan posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas

batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah

(Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor

penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi, morfologi dan geologi

hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).

k. Jumlah Set Diskontinuitas

Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang

membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki

sejumlah set diskontinuitas yang saling memotong satu sama lain. Hudson dan

Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas paralel atau

sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set

diskontinuitas. Wyllie dan Mah (2004) jumlah set diskontinuitas yang saling

berpotongan satu sama lain akan menginformasikan luasan massa batuan yang

terdeformasi tanpa menghancurkan batuan padu. Contohnya peningkatan jumlah

set maka ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi,

perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi ukuran

wilayah yang dipetakan pemetaannya harus membedakan antara diskontinuitas

sistematik sebagai bagian anggota set dan diskontinuitas acak, dimana orientasinya

tidak terprediksikan.

l. Bentuk dan Ukuran Blok

Giani (1992) massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang

dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas tunggal.

Page 26: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

26

Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan panjang

diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan

distribusinya sebagai distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok

mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu mengestimasi performa

massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar

dapat menentukan bentuk blok yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus,

rombohedral, tetrahedron atau lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky,

shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004 ).

m. Pelapukan (Weathering)

Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan

oleh air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal

menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru.

Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui

proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan

Mah (2004) pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi

adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan

pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agen-

agen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti

perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan

batugamping.

Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih

dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang

memungkinkan aliran air dan kontak dengan atmosfer. Wyllie dan Mah (2004)

berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser

diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan

diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan

pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau mekanika

batuan (Giani, 1992).

Page 27: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

27

2.5 Sifat Kekuatan Batuan (Rock Strength Properties)

Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting untuk

dipertimbangkan adalah geometri massa batuan di bagian belakang permukaan

lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan galian akan

menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk meluncur atau roboh,

sedangkan faktor yang paling penting yang mengatur stabilitas adalah kekuatan

geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding surface).

2.5.1. Efek Skala dan Kekuatan Batuan

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan sliding surface pada lereng dapat terdiri secara

kontinu di semua area permukaan atau permukaan komplek yang terdiri dari dua

diskontinuitas dan fraktur melalui batuan utuh. Penentuan nilai kekuatan geser

adalah bagian penting dari disain lereng karena perubahan sekecil apapun yang

terjadi dalam kekuatan geser dapat mengakibatkan perubahan signifikan dalam

kondisi aman terhadap tinggi atau sudut lereng. Pemilihan nilai-nilai kuat geser

yang tepat tidak hanya tergantung pada ketersediaan data, tetapi juga pada

interpretasi secara cermat terhadap data, mengingat perilaku massa batuan yang

membentuk lereng berskala penuh. Sebagai contoh kemungkinan untuk

menggunakan hasil yang diperoleh dari uji geser pada joint dalam merancang

sebuah lereng dimana kegagalan yang akan terjadi sepanjang satu joint saja.

Namun, Hasil uji geser tidak dapat digunakan secara langsung dalam merancang

sebuah lereng dimana proses kegagalan yang komplek melibatkan beberapa joint

dan beberapa dari batuan utuh.

Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap sebagian besar

pada skala relatif antara permukaan geser dan struktur geologi (Hoek, 2006).

Misalnya, dalam lereng tambang terbuka diilustrasikan pada gambar 2.11 dimensi

lereng keseluruhan jauh lebih besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap

sliding surface akan melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat

untuk digunakan dalam desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya, tinggi

bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga kestabilan dapat dikendalikan

oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai untuk digunakan dalam

Page 28: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

28

desain benches adalah joint set yang dari dips permukaan. Akhirnya, pada skala

kurang dari spasi joint, blok batuan utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai

digunakan dalam penilaian pengeboran, dan blasting metode, misalnya akan

terutama yang dari batuan utuh.

Gambar2.11 Diagram ideal menggambarkan transisi skala dari batuan padu sampai massa batuan terkekarkan kuat melalui peningkatan skala ukuran sampel

(Hoek, 2006)

Berdasarkan hubungan antara ukuran sampel dan karakteristik kekuatan batuan,

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan metode penentuan kekuatan menjadi tiga kelas

batuan sebagai berikut:

a. Diskontinuitas ; Bedding tunggal, joints atau faults. Sifat diskontinuitas

yang mempengaruhi kekuatan geser termasuk bentuk dan kekasaran

permukaan, batuan di permukaan yang mungkin fresh atau weathered

(lapuk), dan infillings yang mungkin berkekuatan rendah atau kohesif.

b. Rock mass (massa batuan) ; Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan

geser dari massa batuan jointed meliputi compressive strength (kuat tekan)

dan friction angle (sudut gesekan) dari batuan utuh (intact rock), dan jarak

atau spasi dari diskontinuitas serta kondisi permukaan lereng.

Page 29: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

29

c. Intact rock (batuan utuh) ; Faktor yang harus dipertimbangkan dalam

mengukur kekuatan batuan utuh adalah bahwa kekuatan bisa berkurang

seiring umur desain lereng akibat pelapukan (weathering).

2.5.2. Kekuatan Geser dari Diskotinuitas

Wyllie dan Mah (2004) pemetaan geologi atau pengeboran inti digunakan untuk

mengidentifikasi keruntuhan geser yang dapat terjadi pada diskontinuitas, maka

diperlukan pengujian untuk mengetahui sudut geser dan kohesi dari sliding surface

dalam rangka untuk melakukan analisis stabilitas. Pelaksanaan kigiatan investigasi

juga harus memperoleh informasi mengenai karakteristik sliding surface yang dapat

memodifikasi parameter kekuatan geser. Perlu ditekankan karakteristik

diskontinuitas meliputi janjang lereng secara kontinu, kekerasan permukaan,

ketebalan dan kareakteristik dari infilling, serta efek air pada sifat-sifat infilling.

Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori Coulomb

dimana kekuatan geser permukaan sliding dinyatakan dalam hal kohesi (c) dan

sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan Mah, 2004). Untuk planar,

diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling, kohesi akan menjadi nol dan kekuatan

geser akan ditentukan semata-mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material

batuan berkaitan dengan ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur.

Batu halus dan batuan dengan kandungan mika tinggi akan cenderung memiliki

sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan memiliki sudut

gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas berisi infilling, sifat

kekuatan geser fraktur sering diubah, dengan kohesi dan sudut geser dari

permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat infilling.

Kehadiran infillings sepanjang permukaan diskontinuitas dapat memiliki dampak

yang signifikan terhadap stabilitas. Sangat penting bahwa infilling diidentifikasi di

dalam kegiatan investigasi, dan parameter kekuatan yang tepat untuk digunakan

dalam desain. Pengaruh infilling terhadap kekuatan geser akan tergantung pada

ketebalan dan sifat kekuatan material infilling. Sehubungan dengan ketebalan

infilling, jika lebih dari sekitar 25-50% akan ada sedikit atau tidak ada kontak antar

Page 30: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

30

batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat infilling (Goodman,

1970).

Prilaku Shear Strength dan displacemen merupakan faktor tambahan untuk

dipertimbangkan mengenai kekuatan geser isian diskontinuitas. Dalam

menganalisis stabilitas lereng, perilaku ini akan menunjukkan apakah ada

kemungkinan menjadi pengurangan kekuatan geser dengan perpindahan. Dalam

kondisi di mana ada penurunan yang signifikan dalam kekuatan geser dengan

perpindahan, kegagalan lereng dapat terjadi tiba-tiba setelah gerakan dalam jumlah

kecil.

Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung pada

apakah telah terjadi perpindahan sebelumnya diskontinuitas (Barton, 1974).

Pertama recently displaced discontinuities, diskontinuitas ini meliputi faults, shear

zones, clay mylonites dan bedding-surface slips. Kedua undisplaced discontinuities,

diskontinuitas pengisi yang tidak mengalami perpindahan sebelumnya termasuk

batuan beku dan metamorf yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk

membentuk lapisan lempung. Selain isian diskontinuitas pengaruh yang paling

penting adalah keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana menyebabkan

kekuatan geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal

yang bekerja pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).

2.5.3. Kelas Kekuatan Batuan

Berdasarkan efek skala dan kondisi geologi dapat dilihat bahwa sliding surfaes

dapat terbentuk sepanjang permukaan diskontinuitas, atau melalui massa batuan,

seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12. Pentingnya klasifikasi yang

ditunjukkan Wyllie dan Mah (2004) bahwa dalam dasarnya semua analisis stabilitas

lereng perlu menggunakan sifat kekuatan geser baik diskontinuitas atau massa

batuan, dan ada prosedur yang berbeda untuk menentukan sifat kekuatan sebagai

berikut :

a. Discontinuity shear strength (kekuatan geser dari diskontinuitas) dapat

diukur di lapangan dan laboratorium.

Page 31: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

31

b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan oleh

metode empiris dengan cara analisis balik dari lereng yang dipotong dalam

kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang melibatkan indeks

kekuatan batuan.

Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu seperti yang

diilustrasikan pada Gambar 2.12 jelas menunjukkan pentingnya memeriksa baik

karakteristik diskontinuitas dan kekuatan batuan selama site investigation.

Gambar 2.12. Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan Mah, 2004)

Page 32: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

32

2.6 Kriteria Keruntuhan Batuan

Kriteria runtuhan batuan ditentukan berdasarkan hasil percobaan atau eksperiment.

Rai, dkk. (2010) ekspresi dari kriteria ini mengandung satu atau lebih parameter

sifat mekanik dari batuan dan menjadi sederhana jika dihitung dalam 2 dimensi,

dengan asumsi regangan bidang (plane strain) atau tegangan bidang (plane stress).

Pada tegangan bidang, dua tegangan prinsipal (principal stresses) saja yang

berpengaruh karena satu tegangan utama sama dengan nol. Pada kondisi regangan

bidang σ₁ > σ₂> σ₃, maka tegangan prinsipal menengah (intermediate principal

stress) σ₂merupakan fungsi dari dua tegangan utama lainnya atau kriteria runtuh

hanya berfungsi pada dua tegangan utama tersebut (σ₁ dan σ₃).

Hoek dan Brown (1980) mengusulkan sebuah metoda untuk menduga kekuatan

massa batuan terkekarkan. Metodanya kemudian dimodifikasi kembali (Hoek,

1983; Hoek dan Brown, 1988). Aplikasi kriteria runtuh ini untuk kualitas massa

batuan sangat perlu dilakukan perubahan (Hoek, dkk, 1992). Dan pengembangan

klasifikasi baru tersebut disebut geological strength index – GSI (Hoek, 1994;

Hoek, dkk., 1995; Hoek dan Brown, 1997) kemudian dimodifikasi (Hoek, dkk,

2002) dengan pengembagan rumus (2.4).

𝜎1´ = 𝜎3´ + 𝜎𝐶 (𝑚𝑏𝜎3

𝜎𝑐+ 𝑠)

𝑎

(2.4)

Dimana σ1´ dan σ3´ merupakan tegangan efektif maksimum dan minimum saat

batuan runtuh. σc adalah kuat tekan (UCS) batuan utuh. mb merupakan penurunan

konstanta material mi yang berasal dari pengujian triaksial batuan utuh di

laboratorium dengan besarnya :

D

GSImm ib 1428

100exp (2.5)

Untuk menentukan kuat tekan (σc), dan konstanta mi dapat dilakukan melalui uji

triaksial dengan menggunakan analisis regresi non linier.

𝑦 = 𝑚𝜎𝑐𝑖𝑥 + 𝑠𝜎𝑐𝑖 (2.6)

Page 33: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

33

acic S.

D

GSIs

39100

exp

𝑥 = 𝜎′3 (2.7)

𝑦 = (𝜎1′ − 𝜎3′) 2 (2.8)

𝜎𝑐𝑖2 =

∑𝑦

𝑛[∑𝑥𝑦 − (∑𝑥 ∑𝑦 𝑛⁄ )

∑ 𝑥2 − ((∑𝑥)2 𝑛⁄ )]

𝑚𝑖 =1

𝜎𝑐𝑖[∑𝑥𝑦 − (∑𝑥 ∑𝑦 𝑛⁄ )

∑ 𝑥2 − ((∑𝑥)2 𝑛⁄ )]

Pada penentuan kekuatan massa batuan dengan metode GSI adanya masukkan

parameter konstanta massa batuan berupa m dan s. Hoek dan Brown telah membuat

konstanta m dan s seperti pada Tabel 2.4. Pada tabel tersebut memberikan informasi

semakin keras maka konstanta m dan s semakin besar. Estimasi kekuatan massa

batuan dari nilai uniaxial compressive strength berdasarkan persamaan-persamaan

berikut ini dari Hoek, dkk., 2002.

(2.11)

Tensile strength : b

cit m

S

. (2.12)

s dan a adalah konstanta untuk massa batuan, dan dicari dengan persamaan sebagai

berikut :

(2.13)

)(61

21 3

2015 eea

GSI (2.14)

(2.9)

(2.10)

Page 34: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

34

Tabel 2.4 Nilai konstanta mi batuan untuh dikelompokkan menjadi empat (Hoek, 2006).

Catatan bahwa nilai utama merupakan estimasi. Besarnya nilai untuk setiap material bergantung pada granularitas dan interlocking dari struktur krisalnya, dimana nilai yang besar berasosiasi dengan interloking dan juga karakter friksinya.

Kasar Sedang Halus Sangat Halus

Konglomerat

(22)

Batupasir

(19)

Siltstone

(9)

Batulempung

(4)

KarbonatBreksi

(20)

Sparitik

Gamping

(10)

Mikriti

Gamping

(8)

KimiaBatugips

(16)

Anhidrit

(13)

Marmer

(9)

Hornfels

(19)

Quarzit

(24)

Migmatite

(30)

Ampibolit

(25 - 31)

Milonits

(6)

Gneis

(33)

Sekis

(4 - 8)

Philits

(10)

Slete

(9)

Aglomerat

(20)

Breksia

(18)

Tuf

(15)

Obsidian

(19)

BA

TUA

N B

EKU

Ekstrusiv tipe

piroklastik

Granit

(33)

Granodiorit

(30)

Diorit

(28)

Gabro

(27)

Norit

(22)

Rhiolit

(16)

Desit

(17)

Andesit

(19)

Basalt

(17)

Dolerit

(19)

Terang

Gelap

Tak berfoliasi

Sedikit berfoliasi

Berfoliasi

MET

AM

OR

F

Klastik

Organik

Bu

kan

Kla

stik

GroupKelasTipe

Batuan

SED

IMEN

TER

Teksture

----- Graywak -----

(18)

----- Chalk -----

(7)

----- Batubara -----

(8-21)

Page 35: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

35

Tabel 2.5 Faktor Ketergangguan pada dinding lereng (Disturbance Factor), D. (Hoek, dkk., Hoek, 2012)

Penampilan Massa Batuan

Deskripsi Massa Batuan Nilai D

Kualitas baik pembentukan dikontrol peledakan atau penggalian oleh Tunnel Boring Machine menghasilkan sedikit gangguan untuk massa batuan yang terbatas disekitar terowongan.

D = 0

Mekanik atau penggalian secara manual di massa kualitas batu buruk (tidak menggunakan peledakan) menghasilkan sedikit gangguan terhadap massa batuan sekitarnya. Dimana masalah tindihan (squeezing) mengakibatkan secara signifikan lantai terangkat, gangguan lain bisa lebih parah kecuali temporary invert, seperti yang ditunjukkan dalam foto disamping.

D = 0 D = 0.5 No invert

Peledakan berkualitas sangat buruk dalam terowongan batu keras menghasilkan kerusakan lokal yang parah, extending 2 atau 3 m, dalam massa batuan sekitarnya.

D = 0.8

Peledakan skala kecil dalam lereng teknik sipil menghasilkan kerusakan massa batuan sederhana, terutama jika peledakan terkontrol digunakan seperti yang ditunjukkan di sisi kiri foto itu. Namun, stres bantuan menghasilkan beberapa gangguan.

D = 0.7 Peledakan yang bagus D = 1.0 Peledakan yang buruk

Lereng tambang terbuka yang sangat besar mengalami gangguan yang signifikan karena peledakan produksi berat dan juga karena menghilangkan stres dari pemindahan lapisan penutup (overburden removal). Dalam beberapa batu lebih lunak, penggalian dapat dilakukan dengan cara ripping dan dozing serta tingkat kerusakan pada lereng kurang.

D = 1.0 Peledakan produksi D = 0.7 penggalian secara mekanik

Dengan nilai D merupakan faktor gangguan dari massa batuan. Rentang nilai D

adalah 0 sampai dengan 1. Faktor gangguan 0 untuk undisturb dan 1 untuk

distrubed pada massa batuan. Petunjuk untuk menentukan nilai D dapat dilihat pada

Tabel 2.5. Sebagai catatan, dengan memilih GSI = 25 akan meminimalkan koefisien

Page 36: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

36

40/)10(10.10021)( GSIci

dDGPaE

40/)10(10.21)( GSId

DGPaE

s dan a, serta memberikan transisi yang menerus atau kontinu. Tegangan normal

dan geser dihubungkan dengan tegangan principal oleh persamaan yang

dipublikasikan oleh Balmer (1952) dalam Hoek, dkk., (2002).

𝜎𝑛′ =

𝜎1′+𝜎3

2−𝜎1′−𝜎3

2−𝑑𝜎1

′ 𝑑𝜎3′⁄ −1

𝑑𝜎1′ 𝑑𝜎3

′⁄ +1 (2.15)

𝜏 = (𝜎1′ − 𝜎3

′)√𝑑𝜎1

′ 𝑑𝜎31⁄

𝑑𝜎1′ 𝑑𝜎3

′⁄ +1 (2.16)

dimana

𝑑𝜎1′ 𝑑𝜎1

′⁄ = 1 + 𝑎𝑚𝑏(𝑚𝑏𝜎3′ 𝜎𝑐𝑖 + 𝑠⁄ )𝑎−1 (2.17)

Modulus Deformasi hasil dimodifikasi dengan dimasukkan faktor D untuk

memperhitungkan efek kerusakan akibat ledakan dan stres relaksasi (Hoek,

Carranza-Torres dan Corkum, 2002) besarnya dapat dilihat dari persamaan :

(2.18)

Persamaan 2.23 tersebut berlaku jika ci 100 MPa. Untuk > ci

100 MPa,

menggunkan persamaan :

(2.19)

Analisis pendekatan softwere untuk tanah dan batuan umumnya didasarkan pada

krtiteria Mohr-Coulomb, sehingga diperlukan pendekan dari persamaan Mohr-

Coulomb (cʹ,φʹ) dengan kriteria Hoek-Brown :

∅′ = 𝑠𝑖𝑛−1 [6𝑎𝑚𝑏(𝑠+𝑚𝑏𝜎3𝑛

′ )𝑎−1

2(1+𝑎)(2+𝑎)+6𝑎𝑚𝑏(𝑠+𝑚𝑏𝜎3𝑛′ )

𝑎−1] (2.20)

𝑐′ =𝜎𝑐𝑖⌊(1+2𝑎)𝑠+(1−𝑎)𝑚𝑏𝜎3𝑛

′ ⌋(𝑠+𝑚𝑏𝜎3𝑛′ )

𝑎−1

(1+𝑎)(2+𝑎)√1+(6𝑎𝑚𝑏(𝑠+𝑚𝑏𝜎3𝑛′ )

𝑎−1) ((1+𝑎)(2+𝑎))⁄

(2.21)

dengan : 𝜎3𝑛 = 𝜎3𝑚𝑎𝑥1 𝜎𝑐𝑖⁄

Page 37: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

37

Nilai dari σ'3max adalah batas atas confining stress pada hubungan Mohr-Coulomb

dan Hoek-Brown. Gambar 2.13 menunjukkan σ'3max terhadap persamaan Mohr-

Coulomb dan Hoek-Brown pada penggalian permukaan, pemilihan nilai ini dapat

digunakan untuk lereng dangkal dan terowongan (Hoek, Carranza-Torres dan

Corkum, 2002). Mohr-Coulomb kekuatan geser (τ) diberikan yang normal stres

(σ) diperoleh dari substitusi nilai c 'dan φ' dalam persamaan :

𝜏 = 𝑐 ′ + 𝜎 𝑡𝑎𝑛∅ (2.22)

Serta dimasukkan kedalam sebuah hubungan major principal stresses dan minor

principal stresses, yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

𝜎1′ =

2𝑐 ′𝑐𝑜𝑠 ∅′

1−𝑠𝑖𝑛 ∅′+1+𝑠𝑖𝑛 ∅′

1−𝑠𝑖𝑛 ∅′𝜎3

′ (2.23)

Gambar 2.13. Hubungan major dan minor principal stresses dari Hoek-Brown dan Mohr-Coulomb (Hoek, Carranza-Torres dan Corkum, 2002)

Page 38: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

38

2.7 Klasifikasi Gerakan Massa Batuan dan Tanah

Klasifikasi jenis gerakan massa tanah/batuan berdasarkan mekanisme gerakan serta

tipe material yang bergerak (Tabel 2.6).

Tabel 2.6 Klasifikasi gerakan massa tanah/batuan (Varnes 1978, dalam Karnawati,2005)

JENIS GERAKAN MASSA TANAH / BATUAN

JENIS MATERIAL

BATUAN TANAH

Berbutir kasar Berbutir halus

RUNTUHAN Runtuhan batuan Runtuhan bahan rombakan

Runtuhan Tanah

ROBOHAN Robohan batuan Robohan bahan rombakan

Robohan Tanah

GERAKAN MASSA TANAH/ BATUAN

ROTASI Beberapa

unit

Nendatan batuan Nendatan bahan rombakan

Nendatan tanah

TRANSLASI

Longsoran blok batuan

Longsoran blok bahan rombakan

Longsoran blok tanah

Banyak unit

Longsoran batuan

Longsoran bahan rombakan

Longsoran tanah

PENCARAN LATERAL Pencaran batuan Pencaran bahan rombakan

Pencaran tanah

ALIRAN Aliran batuan (rayapan dalam)

Aliran bahan rombakan

Aliran pasir/lanau basah

Solifluction Aliran pasir kering

Lawina bahan rombakan

Aliran tanah

Rayapan bahan rombakan

Aliran lepas

Aliran blok

KOMPLEKS Campuran dari dua atau lebih jenis gerakan

Menurut Cruden dan Varnes (1992) dan Hardiyatmo (2012), karakteristik gerakan

massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

a. Longsoran (slide)

Longsoran adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh

terjadinya keruntuhan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor.

Berdasarkan geometri bidang gelincir, terdapat dua jenis bidang longsor yaitu

longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotational

slide) (Gambar 2.14a) dan longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran

translasional (translational slide) (Gambar 2.14b). Sedangkan Block slide adalah

Page 39: 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan usaha

39

salah satu dari jenis longsoran translasional yang terjadi pada jenis longsoran batuan

(Gambar 2.14 c).

a. b

c d

e f

Gambar 2.14 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (Cruden dan Varnes (1992) b. Jatuhan (fall)

Jatuhan (fall) adalah gerak jatuh material pembentuk lereng yang dapat berupa

tanah atau batuan di udara tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material

yang longsor (Gambar 2.14 d).

c. Sebaran Lateral (Lateral Spread)

Sebaran merupakan kombinasi dari bergeraknya massa tanah dan turunnya massa

batuan pecah ke dalam material lunak yang terletak di bawahnya (Gambar 2.14 e).

Sebaran dapat terjadi akibat likuifaksi tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif

lunak

d. Robohan (toppling)

Robohan adalah gerakan material yang biasanya terjadi pada lereng batuan yang

sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang

relatif vertikal (Gambar 2.14 f).