i. pendahuluan 1.1. latar...

31
252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang terbentuk dan berkembang dapat menimbulkan keanekaragaman kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi dan perdagangan lainnya yang saling mendukung. Usaha perikanan tambak selanjutnya dapat memberikan dampak positif (multiplier effect) bagi perkembangan perekonomian setempat dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Pengembangan usaha perikanan tambak akan mendorong munculnya budidaya (on farm) dan off farm, seperti usaha minabisnis hulu (pengadaan sarana perikanan) dan jasa penunjang lainnya, sehingga kesenjangan kesejahteraan pendapatan antar masyarakat, kemiskinan dan urbanisasi tenaga produktif dapat dikurangi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perikanan tambak polikultur dengan yang dikelola secara tradisional dengan komoditas ikan bandeng dan udang windu, yang dibudidayakan di dalam tambak- tambak yang tersebar di Kabupaten Sambas sebagian besar di daerah pesisir tiga kecamatan yaitu Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan Jawai Selatan. Pada awalnya wilayah pesisir Sambas sangat banyak dijumpai tanaman mangrove. Adanya pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi, yang salah satunya adalah mengkonversi kawasan mangrove beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertanian, perikanan tambak, dan lain-lain. Dalam jangka panjang pengurangan areal mangrove akan dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang pada akhirnya akan

Upload: others

Post on 11-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

252

RINGKASAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha perikanan tambak yang terbentuk dan berkembang dapat

menimbulkan keanekaragaman kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi dan

perdagangan lainnya yang saling mendukung. Usaha perikanan tambak selanjutnya

dapat memberikan dampak positif (multiplier effect) bagi perkembangan

perekonomian setempat dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Pengembangan usaha perikanan tambak akan mendorong munculnya budidaya (on

farm) dan off farm, seperti usaha minabisnis hulu (pengadaan sarana perikanan) dan

jasa penunjang lainnya, sehingga kesenjangan kesejahteraan pendapatan antar

masyarakat, kemiskinan dan urbanisasi tenaga produktif dapat dikurangi dan

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Perikanan tambak polikultur dengan yang dikelola secara tradisional dengan

komoditas ikan bandeng dan udang windu, yang dibudidayakan di dalam tambak-

tambak yang tersebar di Kabupaten Sambas sebagian besar di daerah pesisir tiga

kecamatan yaitu Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan Jawai Selatan. Pada awalnya

wilayah pesisir Sambas sangat banyak dijumpai tanaman mangrove. Adanya

pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup

meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi, yang salah satunya

adalah mengkonversi kawasan mangrove beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman,

pertanian, perikanan tambak, dan lain-lain. Dalam jangka panjang pengurangan areal

mangrove akan dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang pada akhirnya akan

Page 2: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

253

menyebabkan terancamnya keberlanjutan budidaya perikanan tambak itu sendiri,

sehingga diperlukan pengelolaaan perikanan tambak yang ramah lingkungan.

Walaupun demikian, saat ini kawasan pesisir Sambas masih terdapat areal mangrove

yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai sumber benih-benih alam,

melindungi kawasan pemukiman dan tambak-tambak perikanan yang banyak terdapat

di bagian daratan.

Terdapat perbedaan jenis tambak di Kabupaten Sambas. Tambak-tambak

yang berlokasi di Kecamatan Pemangkat adalah jenis tambak silvofishery atau biasa

disebut tambak wanamina dengan sistem empang parit, yaitu tambak untuk budidaya

dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi tanaman mangrove, sedangkan di

Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan adalah jenis tambak non wanamina, tanpa

ditanami mangrove.

Secara keseluruhan telah terjadi penurunan produktifitas perikanan tambak

yang dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas dan kualitas lingkungan mangrove di

pesisir sekitar tambak, dan dalam jangka panjang akan mengancam keberlanjutan

usaha perikanan rakyat ini, sehingga pada penelitian ini akan mengkaji kelayakan

usaha perikanan tambak secara finansial dan ekonomi saat ini. Keberlanjutan usaha

perikanan tambak polikultur bandneg – udang windu di sebuah kawasan yang

memiliki fungsi ekologis penting seperti kawasan mangrove perlu dianalisis

keberlanjutan ekologisnya untuk melihat apakah daya dukung ekosistem yang ada

mampu mendukung usaha perikanan tambak ini. Selain keberlanjutan secara ekonomi

dan ekologi, perlu mempertimbangkan berbagai kajian keberlanjutan secara

multidimensi dengan tambahan dimensi sosial budaya, infrastruktur & teknologi, serta

hukum dan kelembagaan. Menurut Etkin, 1992 dalam Gallopin, 2003; Dalay Clayton

Page 3: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

254

dan Bass, 2002, beberapa pendekatan terkait dengan pembangunan berkelanjutan antara

lain melalui pendekatan ekologi, ekonomi, sosial budaya, etika, kelembagaan, politik,

dan keamanan. Dimensi ekologi, pengembangan usaha perikanan tambak diharapkan

memberikan manfaat positif bagi lingkungan. Dimensi ekonomi, memberikan nilai

tambah bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan

komoditas unggulan lokal yang berorientasi pada sektor agribisnis dan agroindustri.

Dimensi sosial budaya, pengembangan usaha perikanan tambak membuka lapangan

pekerjaan bagi masyarakat.

Kajian penelitian ini secara khusus menganalisis keberlanjutan ekonomis dan

ekologis, serta menambahkan analisis keberlanjutan berbagai dimensi lainnya yaitu

sosial, infrastruktur teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Dimensi

infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan menjadi tambahan

penting dalam penelitian ini karena pengembangan usaha perikanan tambak yang

berkelanjutan membutuhkan adanya infrastruktur dan teknologi yang memadai serta

dukungan dari sistem kelembagaan petani tambak yang kuat. Disisi lain, dimensi

hukum menjadi pertimbangan dalam upaya mengatasi konflik kepentingan yang akan

muncul. Identifikasi terhadap status keberlanjutan wilayah berdasarkan lima dimensi

tersebut maka akan memudahkan upaya perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif

yang mempengaruhi status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur yang

berlokasi di sekitar kawasan mangrove tersebut, sehingga menjadi landasan urgensi

fokus penelitian pada analisis keberlanjutan usaha perikanan tambak

Page 4: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

255

1.2. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan

usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu di sekitar kawasan

mangrove. Secara spesifik tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis kelayakan secara finansial dan ekonomi usaha perikanan tambak

polikultur bandeng – udang windu pada jenis tambak wanamina dan tambak non

wanamina

2. Menghitung nilai jejak ekologis usaha perikanan tambak polikultur bandeng –

udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina untuk mengetahui

keberlanjutan ekologis usaha perikanan tambak polikultur

3. Menilai indeks dan status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur

bandeng – udang windu berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,

infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan

4. Mengetahui atribut-atribut sensitif pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan

budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan yang mempengaruhi

keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan

tambak non wanamina

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi

Page 5: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

256

mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Brundtland Report, 1987 dalam

Mitchell et al., 2000 dan Gallopin, 2003, WCED, 1987 ). Inti dari konsep ini adalah

bahwa tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait

dalam proses pembangunan. Bila tidak akan terjadi "trade off' antar tujuan

(Munasinghe, 1993).

Keraf (2002) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah

upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga

aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Debermann

(2005) berpendapat bahwa keberlanjutan usahatani diukur dari stabilitas produksi.

Dalam mempertahankan keberlanjutan usahatani diperlukan introduksi teknologi.

Hasil penelitian Backes (2001) menunjukkan bahwa teknologi introduksi akan

diadopsi oleh 53% petani jika teknologi tersebut sudah dikenal di daerahnya,

sedangkan 47% petani akan mengadopsi jika nilai tambah teknologi tersebut minimal

relatif sama dengan teknologi yang ada di petani. Sementara itu Dahuri (2003)

menyebutkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya

keanekaragaman hayati laut, minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi,

(2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan (governance).

2.1.2. Tambak

Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai

tempat untuk kegiatan budidaya payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum

tambak dikaitkan langsung dengan budidaya udang windu maupun ikan bandeng.

Menurut Martosudarmo (1992) tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah

pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng, udang laut dan hewan lainnya

yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk kedalam tambak sebagian besar berasal

Page 6: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

257

dari laut saat terjadi pasang, sehingga pengelolaan air dalam tambak dilakukan dengan

memanfaatkan pasang surut air laut. Keberhasilan budidaya tambak sangat

dipengaruhi oleh ketersediaannya lahan pertambakan yang memiliki persyaratan baik

fisik, kimia, biologi serta faktor-faktor sosial masyarakat di sekitar tambak. Untuk

mendapatkan lahan yang memenuhi persyaratan tersebut, perlu dilakukan perencanaan

menyeluruh sebelum dilakukan usaha tersebut, mencakup dua kegiatan yaitu:

penentuan areal yang memenuhi syarat untuk dijadikan tambak dan pembuatan

konstruksi tambak (Afrianto, 1991).

Tambak Polikultur sistem wanamina merupakan budidaya yang

membudidayakan lebih dari satu jenis komoditas dalam satu masa pemeliharaan dalam

petak yang sama. Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat

meningkatkan craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu,

dimana pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem

polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan pemanfaatan lahan

luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan penghasilan petambak

(Syahid et al, 2006).

Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina merupakan pola

pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan

budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan

upaya pelestarian hutan mangrove (Sualia, 2010). Silvofishery juga merupaka usaha

pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari dengan mengkombinasikan kegiatan

kehutanan, pertanian dan perikanan dalam suatu andil atau kombinasi antara

tambak/empang dengan tanaman mangrove (bakau), yang diharapkan di satu sisi

Page 7: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

258

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lainnya kelestarian

kawasan mangrove tetap terpelihara.

2.2. Landasan teori

2.2.1. Analisis Finansial dan Ekonomi

Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang

petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari segi

cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-

sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang

untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial

sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam

analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang

berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.

Analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut

perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah

hasil total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang

dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan,

tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam

masyarakat yang menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the sosial

returns” atau “the economic returns” dari usahatani.

2.2.2. Jejak ekologi

Jejak ekologi dikembangkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam

Wackernegel et al (2005); merupakan alat bantu dalam mengukur penggunaan

sumberdaya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dihubungkan

dengan kemampuan lahan. Jejak Ekologi merupakan analisis nilai kebutuhan manusia

Page 8: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

259

di dalam ekosistem. Analisis ini membandingkan kebutuhan manusia dengan

kemampuan biosfer alam dalam mereproduksi sumber daya.

Nilai jejak ekologi berasal pada pengukuran ruang yang diperlukan untuk

menyediakan dan menyerap berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk

menghasilkan spesies tertentu di daerah tertentu. Larsson et al. (1994) dalam

Wolowicz, K (2005), memperkirakan seberapa besar ruang ekosistem yang

diperlukan, terdiri dari enam komponen área yang berbeda yang dapat dihitung seperti

tabel berikut :

Tabel 2.1. Area ekosistem disesuaikan untuk setiap meter persegi budidaya udang

semi intensif

Área ekosistem Penggunaan

Area mangrove untuk post larval

nursery

Area hutan untuk penyerapan CO2

Ekosistem pertanian

Ekosistem laut

Mangrove detritus

Wilayah mangrove yang

diperlukan untuk menyediakan air

bersih

area yang dibutuhkan untuk menghasilkan

bibit dalam jumlah yang cukup

Área yang diperlukan untuk menyerap CO2

dari hasil pembakaran bahan bakar minyak

untuk menghasilkan tanaman yang digunakan

dalam pakan ikan/udang

untuk menghasilkan ikan/biota laut yang

digunakan dalam pakan ikan/udang.

untuk menghasilkan makanan (diasumsikan

30% dari kebutuhan makan ikan.udang).

Area yang diperlukan untuk menyediakan air

bersih untuk produksi ikan/udang

Sumber : Larsson et al (1994) (dalam Wolowicz, 2005)

.2. Data Analysis Methods

3.2.1. Business Feasibility Analysis Method

To test the hypothesis 1 using the benefit and cost analysis, ie by a)

calculating the revenue stream (benefit) pond fishing effort (b) calculate the spending

Page 9: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

260

stream fishing pond, (c) calculate the NPV, BCR, IRR, and payback period, d)

Analysis of Switching Value.

2.2.4 Multi Dimensional Scalling

Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi)

yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan

banyak variabel sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam

ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Rapfish (Rapid Appraisal

for Fisheries) merupakan salah satu metode dalam menganalisis keberlanjutan

perikanan dan termasuk baru dalam penerapan multi dimentional scaling di bidang

perikanan (Kavanagh, 2001) yang dikembangkan oleh university of British Columbia.

Metode Rapfish pada dasarnya menggunakan pendekatan Multi Dimentional Scaling

(MDS), dimana seluruh atribut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara

multidimensi. Analisis multidimensi ini untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan

perikanan. Pada metode Rapfish diketahui mempunyai nilai bad (buruk) sampai good

(baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan penentuan status keberlanjutan

perikanan maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut dibagi menjadi

beberapa kategori atau status, yaitu dengan membagi empat selang dari 0-100 tersebut.

Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-

50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam

status baik (Susilo, 2003).

2.3. Hipotesis

1) Diduga usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu pada jenis

tambak wanamina dan tambak non wanamina secara finansial dan ekonomi layak

untuk diusahakan

Page 10: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

261

2) Diduga nilai jejak ekologis perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu

wanamina adalah berkelanjutan secara ekologi, dan tambak non wanamina sudah

melampaui daya dukungnya, sehingga tidak berkelanjutan secara ekologi

3) Diduga status keberlanjutan multidimensi pada tambak wanamina adalah cukup

berkelanjutan, dan status keberlanjutan multidimensi pada tambak non wanamina

adalah kurang berkelanjutan.

4) Diduga atribut-atribut sensitif penggunaan pestisida alami, suhu udara, dan

penggunaan obat/vitamin dari dimensi ekologis; atribut tempat petani tambak

menjual ikan bandeng dan udang, kemampuan pasar menyerap produksi;

kelayakan finansial; sumber modal dari dimensi ekonomi; atribut tingkat

penyerapan tenaga kerja perikanan; Frekuensi penyuluhan dan pelatihan; peran

masyarakat dalam usaha perikanan dan partisipasi keluarga dari atribut sosial

budaya; atribut ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum, dan

ketersediaan teknologi informasi perikanan dari dimensi infrasruktur dan

teknologi; atribut perjanjian kerjasama dengan daerah lain mengenai perikanan;

sinkronisasi kebijakan pusat & daerah ; keberadaan kelompok tani perikanan;

ketersediaan lembaga sosial; dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (kredit)

dari dimensi hukum & kelembagaan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha

perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina

2.2.5 Multi Dimensional Scalling

Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi)

yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan

banyak variabel sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam

ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Rapfish (Rapid Appraisal

Page 11: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

262

for Fisheries) merupakan salah satu metode dalam menganalisis keberlanjutan

perikanan dan termasuk baru dalam penerapan multi dimentional scaling di bidang

perikanan (Kavanagh, 2001) yang dikembangkan oleh university of British Columbia.

Metode Rapfish pada dasarnya menggunakan pendekatan Multi Dimentional Scaling

(MDS), dimana seluruh atribut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara

multidimensi. Analisis multidimensi ini untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan

perikanan. Pada metode Rapfish diketahui mempunyai nilai bad (buruk) sampai good

(baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan penentuan status keberlanjutan

perikanan maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut dibagi menjadi

beberapa kategori atau status, yaitu dengan membagi empat selang dari 0-100 tersebut.

Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-

50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam

status baik (Susilo, 2003).

2.4. Hipotesis

5) Diduga usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu pada jenis

tambak wanamina dan tambak non wanamina secara finansial dan ekonomi layak

untuk diusahakan

6) Diduga nilai jejak ekologis perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu

wanamina adalah berkelanjutan secara ekologi, dan tambak non wanamina sudah

melampaui daya dukungnya, sehingga tidak berkelanjutan secara ekologi

7) Diduga status keberlanjutan multidimensi pada tambak wanamina adalah cukup

berkelanjutan, dan status keberlanjutan multidimensi pada tambak non wanamina

adalah kurang berkelanjutan.

Page 12: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

263

8) Diduga atribut-atribut sensitif penggunaan pestisida alami, suhu udara, dan

penggunaan obat/vitamin dari dimensi ekologis; atribut tempat petani tambak

menjual ikan bandeng dan udang, kemampuan pasar menyerap produksi;

kelayakan finansial; sumber modal dari dimensi ekonomi; atribut tingkat

penyerapan tenaga kerja perikanan; Frekuensi penyuluhan dan pelatihan; peran

masyarakat dalam usaha perikanan dan partisipasi keluarga dari atribut sosial

budaya; atribut ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum, dan

ketersediaan teknologi informasi perikanan dari dimensi infrasruktur dan

teknologi; atribut perjanjian kerjasama dengan daerah lain mengenai perikanan;

sinkronisasi kebijakan pusat & daerah ; keberadaan kelompok tani perikanan;

ketersediaan lembaga sosial; dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (kredit)

dari dimensi hukum & kelembagaan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha

perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.

Lokasi penelitian secara purposive ditentukan tiga kecamatan dan 5 desa yaitu

Kecamatan Pemangkat: desa Pemangkat Kota, Kecamatan Jawai Selatan: desa Jelu

Air dan desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai: desa Sarang Burung Usrat dan desa Sarang

Burung Danau

3.2. Metode Penentuan Responden

Page 13: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

264

Penentuan responden untuk menggali informasi ditentukan secara sengaja

(purposive sampling). Pemilihan responden dilakukan dengan dua cara:

1. Responden petani tambak untuk survei kelayakan usaha dan menggali informasi

untuk analisis keberlanjutan, berdasarkan jumlah populasi pada penelitian ini yaitu

para petani lambak yang mengusahakan perikanan tambak polikultur bandeng-

udang windu dengan pola tambak wanamina di Kecamatan Pemangkat, dan

tambak non wanamina di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan. Penentuan

responden petani tambak diambil secara random sampling berdasarkan pola

tambak yang dilakukan petani tambak di sekitar kawasan mangrove. Jumlah

responden (n) ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Sevilla, et al, 1993),

sehingga didapat jumlah total responden yang diambil sebanyak 133 petani tambak

dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.1. Rincian dari populasi dan sampel/responden

No Pola Tambak Populasi Sampel/

Responden

1 Jenis tambak wanamina Kec. Pemangkat 52 44

2 Jenis tambak non wanamina kec. Jawai

&Jawai Selatan

119 89

Sumber: Data primer, 2014

3.3. Responden dari kalangan ahli/pakar sebagai scientific judgement untuk

menentukan atribut-atribut multidimensi, dan analisis keberlanjutan dipilih secara

sengaja (purposive sampling) yang terdiri dari 2 orang dari instansi Dinas

Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Barat dan 3 orang dari Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sambas, 2 orang ahli perikanan dari

Politeknik Negeri Pontianak dan Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah

Pontianak, 1 orang dari Yayasan Mangrove Centre dengan pertimbangan; (a)

Page 14: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

265

mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b)

memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang

dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, dan bersedia untuk diwawancara

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Metode Analisis Kelayakan Usaha

Untuk menguji hipotesis 1 menggunakan analisis manfaaat dan biaya, yaitu

dengan a) menghitung arus penerimaan (manfaat) usaha perikanan tambak (b)

menghitung arus pengeluaran perikanan tambak, (c) menghitung NPV, BCR, IRR, dan

payback period, d) Analisis Switching Value

3.4.2. Metode Analisis Jejak Ekologis

Untuk menilai keberlanjutan secara ekologi dengan menghitung nilai jejak ekologi (ef)

dan areal bioprodukstif (bp). Komponen nilai jejak ekologi yang dihitung adalah

mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al (1994) (dalam Wolowicz,

K., 2005), sehingga dapat diketahui seberapa besar ruang ekosistem mangrove yang

diperlukan untuk mendukung sistem perikanan tambak ini.

Khusus untuk penelitian ini terdapat tiga area yang akan dihitung nilai jejak

ekologi adalah:

a) Area mangrove yang menghasilkan detritus untuk pakan.

b) Area mangrove untuk menghasilkan air bersih

c) - Area hutan untuk penyerapan CO2 yang dihasilkan dari penggunaan BBM

- Area hutan untuk penyerapan CO2 yang dihasilkan dari penggunaan pupuk.

Setelah seluruh komponen jejak ekologi dihitung maka dapat ditentukan jejak ekologi

total dari kegiatan perikanan tambak. Produksi perikanan dan kehutanan global serta

Page 15: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

266

factor ekuivalen dan factor produksi untuk melengkapi data dalam menghitung nilai

jejak ekologi (diperoleh dari www.fao.org, www.panda org, www.footprint.org)

Pada penelitian ini ada tiga area produktif yang akan dihitung yaitu area

biproduktif laut, pertanian, dan hutan. Penjumlahan dari ketiga area bioproduktif ini

merupakan area bioproduktif total untuk perikanan tambak. Indikator keberlanjutan

dinyatakan dengan nilai defisit ekologi (ed) yang dapat dihitung dengan: ed = ef - bp

3.4.3. Metode Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan

Analisis keberlanjutan pengembangan usaha perikanan tambak dilakukan

dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yang disebut pendekatan Rap-

FISHSAMBAS yaitu pendekatan program RapFISH (Rapid Assessment Techniques

for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British

Columbia (Kavanagh, 2001; Fauzi dan Anna, 2002)

3.4.4. Metode Analisis Kepekaan (Leverage Analysis)

Analisis kepekaan digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif,

ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut yang sensitif untuk

meningkatkan dimensi keberlanjutan usaha perikanan tambak. Penentuan atribut yang

sensitif dilakukan berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil analisis Leverage dengan

melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin

besar nilai perubahan RMS, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam

peningkatan status keberlanjutan, atau dengan kata lain, semakin sensitif atribut

tersebut dalam keberlanjutan pengembangan usaha perikanan tambak di lokasi

penelitian.

Page 16: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

267

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Keadaan Geografis Daerah Penelitian

Kabupaten Sambas terletak di bagian paling utara Provinsi Kalimantan Barat

di antara 20 08’ Lintang Utara serta 00 33’ Lintang Utara dan 1080 39’ Bujur Timur

serta 1100 04’ Bujur Timur. Kabupaten Sambas dengan panjang pantai 198,76 km

dengan karakteristik sebagian besar adalah pantai berpasir membentang dari Semelagi

Besar hingga Tanjung Datok. Panjang pantai menurut Lapan (2003) yaitu: Kecamatan

Pemangkat (20,49 km), Kecamatan Jawai (42,53 km). Luas Kabupaten Sambas adalah

6,395.70 km2 atau sekitar 4.36 % dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat

4.2. Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng – Udang Windu

Perikanan Tambak rakyat di daerah penelitian yaitu di Kecamatan

Pemangkat, Jawai Selatan, dan Jawai merupakan tambak ekstensif atau tradisional.

Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau.

Ukuran dan bentuk petakan tambak tidak teratur, menggunakan sumber pakan alami

tanpa pakan tambahan buatan, dengan sistem polikultur komoditas bandeng dan udang

windu. Budidaya polikultur ini cukup menguntungkan petani tambak, karena bisa

memanen dua komoditas sekaligus dalam satu siklus budidaya, sehingga

menguntungkan secara ekonomis, dan dari segi teknis pemeliharaan juga lebih mudah

dan murah. Secara biologis persyaratan parameter kualitas air untuk kehidupan udang

Page 17: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

268

dengan bandeng sama. Keduanya tidak akan saling kanibal karena udang windu

hidupnya di dasar sedangkan bandeng di permukaan air.

4.2.1. Perikanan Tambak Wanamina di Kecamatan Pemangkat

Sentra perikanan tambak di Kecamatan Pemangkat berada di dusun Sei Mas,

desa Pemangkat Kota. Para petani tambak menerapkan jenis tambak wanamina, yaitu

sistem tumpangsari dengan sebagian lahan ditanami jenis tanaman mangrove seperti

bakau, siapi-api, dan lain-lain, dan sebagiannya dibuat tambak untuk usaha budidaya

ikan bandeng dan udang windu.

Luas total lahan tambak di Kecamatan Pemangkat berdasarkan citra landsat

2013 adalah seluas 687,5 ha dengan sistem wanamina. Para petani tambak secara

mandiri menanam mangrove di lahan nya dengan bantuan bibit mangrove dan

pembinaan dari Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas

dan Yayasan Mangrove Sambas. Para petani menyadari pentingnya menjaga

kelestarian ekologis mangrove untuk mendukung keberlanjutan usaha budidaya

bandeng dan udang windu.

4.2.2. Perikanan Tambak di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan

Sentra perikanan tambak di Kecamatan Jawai Selatan adalah desa Jelu Air

dan desa Jawai Laut, di Kecamatan Jawai adalah desa Sarang Burung Usrat dan desa

Sarang Burung Danau. Jenis tambak yang diterapkan petani tambak di kecamatan

Jawai dan Jawai Selatan adalah tambak biasa. Para petani tidak menanam jenis

tanaman mangrove di dalam atau sekeliling tambak. Jika pun ada pohon-pohon

mangrove adalah sisa dari hutan mangrove sebelum konversi menjadi tambak.

Umumnya sekeliling tambak adalah tanaman liar, atau tanaman kebun seperti pisang

dan kelapa, terkadang para petani menanami areal lahan sekeliling tambak dengan

Page 18: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

269

tanaman cabe, melon, dan berbagai jenis sayuran untuk konsumsi sehari-hari ataupun

dijual.

V. ANALISIS FINANSIAL DAN EKONOMI

USAHA PERIKANAN TAMBAK POLIKULTUR

BANDENG – UDANG WINDU

5.1. Kelayakan Finansial Usaha Perikanan Tambak Bandeng – Udang Windu

Berdasarkan hasil analisis finansial untuk usaha perikanan tambak dengan

tingkat suku bunga 19% sesuai suku bunga kredit mikro BRI tahun 2013, usaha pada

semua jenis tambak diperoleh nilai NPV > 1, dan Net B/C >1, yang memenuhi kriteria

kelayakan investasi secara finansial. Hasil ini menunjukkan nilai sekarang dari

pendapatan selama 10 tahun yang akan memperoleh keuntungan sebesar Rp.

26.546.311 pada tambak wanamina dan Rp. 15.180.587,- pada tambak non wanamina.

Hal ini dikarenakan biaya operasional terutama bibit nener dan benur, serta biaya

pupuk, vitamin, pestisida lebih tinggi dibanding pada tambak wanamina, sedangkan

hasil produksi bandeng dan udang windu lebih rendah dibanding hasil produksi pada

tambak wanamina. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Mardiyati (2004) menunjukkan bahwa budidaya tambak dengan sistem wanamina

memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tambak non

wanamina.

Nilai IRR masing-masing sebesar 32,7, dan 27,7 % yang berarti lebih

besar dari discount rate yang berlaku. Pada net B/C pada usaha perikanan tambak

wanamina sebesar 1,6 yang berarti setiap pengeluaran sebesar satu rupiah pada yang

Page 19: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

270

dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 1,6

rupiah dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Sedangkan payback period atau waktu

pengembalian modal pada usaha perikanan tambak wanamina dan non wanamina

sama-sama dengan nilai 4,7 tahun yang berarti pengembalian investasi adalah sekitar

56 bulan.

Analisis sensitivitas berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan

petani tambak dan penyuluh di lokasi penelitian, yaitu penurunan produksi oleh

kematian bandeng dan udang/ikan alam yang bisa mencapai 25% dan kematian udang

windu mencapai 40%, serta kenaikan biaya operasional sebesar 7,5%. Hasil analisis

sensitivitas menunjukkan bahwa usaha perikanan tambak polikultur ini menjadi tidak

layak ditinjau dari semua kriteria investasi. Kerugian terbesar terjadi pada tambak non

wanamina yang berlokasi di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan dengan nilai NPV

(28.665.260). Sehingga penurunan produksi dan kenaikan biaya operasional dapat

mempengaruhi keberlanjutan ekonomi usaha perikanan tambak polikultur ini.

Analisis sensitivitas dengan menggunakan nilai pengganti (switching

value) sampai memperoleh nilai NPV yang mendekati nol, Net B/C mendekati nilai 1,

dan IRR mendekati nilai discount faktor. Besarnya penurunan produksi pada tambak

wanamina adalah maksimal sebesar 20% menunjukkan bahwa usaha ini masih layak

apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi tidak lebih besar dari 20%. Untuk

tambak non wanamina, sangat sensitif terhadap penurunan produksi, hal ini

ditunjukkan dengan nilai maksimal sebesar 12,5%, artinya para petani tambak harus

menjaga agar tidak terjadi penurunan produksi melebihi 12,5% karena usaha ini akan

merugi dan menjadi tidak layak.

Page 20: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

271

Hasil analisis switching value kenaikan biaya operasional pada tambak

wanamina adalah maksimal sebesar 39,8% menunjukkan bahwa usaha ini masih layak

apabila kenaikan biaya operasional yang terjadi tidak lebih besar dari 39,8 persen.

Untuk tambak non wanamina, sensitif terhadap kenaikan biaya operasional, hal ini

ditunjukkan dengan nilai maksimal sebesar 22,5%, artinya para petani tambak harus

menjaga agar tidak terjadi kenaikan biaya operasional melebihi 22,5% karena usaha

ini akan merugi dan menjadi tidak layak.

5.2. Kelayakan Ekonomi Usaha Budidaya Bandeng – Udang Windu

Berdasarkan hasil analisis ekonomi dengan menggunakan harga bayangan

(border price) untuk usaha perikanan tambak rakyat ini dengan tingkat discount rate

11,5%, diperoleh nilai NPV> 1, Net B/C > 1 dan nilai IRR lebih besar dari discount

rate yang digunakan. Berdasarkan semua kriteria investasi secara ekonomi, usaha

perikanan tambak dengan komoditas bandeng dan udang windu adalah layak untuk

dilakukan, sehingga usaha perikanan tambak polikultur sampai dengan saat ini masih

berkelanjutan secara ekonomi

Nilai berbagai kriteria investasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada

analisis ekonomi dibandingkan analisis finansial, hal ini disebabkan karena analisis

ekonomi juga mneghitung nilai-nilai social ekonomi lainnya, misalnya penggunaan

harga bayangan berdasarkan harga f.o.b karena bandeng dan udang windu grade A

adalah komoditas ekspor memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi, yang pada

akhirnya dapat meningkatkan devisa negara.

Hasil analisis sensitivitas kelayakan ekonomi dengan asumsi terjadinya

penurunan produksi bandeng dan ikan/udang alam sebesar 25%, dan udang windu

sebesar 40%, serta kenaikan biaya operasional 7,5% dapat dilihat bahwa, usaha

Page 21: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

272

budidaya perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu ini masih layak

diusahakan tetapi cukup sensitif tehadap penurunan produksi dan kenaikan biaya

operasional. Produksi bandeng dan udang windu grade A merupakan komoditas

ekspor dengan harga jual cukup tinggi, sehingga hasil produksi merupakan hal yang

sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha.

Hasil analisis switching value, besarnya penurunan produksi bandeng dan

udang windu pada tambak wanamina adalah maksimal sebesar 46% menunjukkan

bahwa usaha ini masih layak apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi tidak

lebih besar dari 46 persen. Untuk tambak non wanamina, sangat sensitif terhadap

penurunan produksi, hal ini ditunjukkan dengan nilai maksimal para petani tambak

harus menjaga agar tidak terjadi penurunan produksi melebihi 38,3% karena usaha ini

akan merugi dan menjadi tidak layak.

Hasil analisis switching value pada analisis ekonomi menunjukkan batas

maksimal rentang perubahan terhadap kenaikan biaya operasional pada tambak

wanamina lebih besar dibanding pada tambak non wanamina. Kenaikan biaya

operasional pada tambak wanamina adalah maksimal sebesar 122% menunjukkan

bahwa usaha ini masih layak apabila kenaikan biaya operasional yang terjadi tidak

lebih besar dari 122 persen. Untuk tambak non wanamina, para petani tambak harus

menjaga agar tidak terjadi kenaikan biaya operasional melebihi 84% karena usaha ini

akan merugi dan menjadi tidak layak.

.

V. KAJIAN KEBERLANJUTAN EKOLOGI USAHA PERIKANAN

TAMBAK POLIKULTUR BANDENG – UDANG WINDU

Page 22: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

273

6.1. Kajian keberlanjutan berdasarkan jejak ekologi

Analisis jejak ekologi digunakan untuk menjawab pertanyaan dasar pada

pembangunan berkelanjutan yaitu: seberapa besar alam yang kita punya, dibandingkan

dengan seberapa besar alam yang kita gunakan (Bond, 2002).

6.1.1. Jejak ekologi untuk detritus mangrove

Hasil perhitungan diperoleh nilai jejak ekologi (ef) detritus mangrove

perikanan tambak non wanamina di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan (92,41 gha)

lebih besar dari nilai jejak ekologi (ef) perikanan tambak di kecamatan Pemangkat

(50,66 gha). Meskipun produksi bandeng dan udang lebih besar di kecamatan

Pemangkat, tetapi luasan tambak di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan lebih besar

sehingga menyebabkan kebutuhan detritus sebagai sumber energinya menjadi lebih

besar. Kebutuhan energi yang berasal dari detritus mangrove pada perikanan tambak

di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan diperoleh dari areal mangrove yang ada di

pesisir wilayah sekitar tambak melalui aliran sungai-sungai kecil yang masuk pada

saat pergantian air tambak.

6.1.2. Jejak ekologi untuk air bersih

Salah satu fungsi dari mangrove adalah sebagai biofilter zat-zat polutan

perairan. Menurut Pillay (1990) dalam Irianto, 2004 untuk budidaya berkelanjutan

diperlukan 3 ha hutan mangrove sebagai biofilter untuk setiap 1 ha kolam tambak

perikanan budidaya. Hasil perhitungan diperoleh jumlah pohon mangrove adalah

184.177 pohon mangrove di kecamatan Pemangkat. Sedangkan di kecamatan Jawai

dan Jawai Selatan hanya terdapat areal mangrove di daerah pesisir sebagai kawasan

lindung yaitu sebanyak 35.720 pohon mangrove.

Page 23: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

274

Para petani tambak di lokasi penelitian melakukan penggantian air mengikuti

peristiwa pasang surut setiap 15 hari sekali. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi Kalimantan Barat (2004) untuk tambak ekstensif (tradisional) diasumsikan

persentase penggantian air sebesar 6 % per hari. Tambak-tambak di lokasi penelitian

rata-rata dengan ketinggian air kolam yang sama yaitu 1 m (100 cm). Berdasarkan

data-data tersebut kebutuhan area mangrove untuk mensuplai air bersih pada tambak-

tambak di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan lebih banyak karena total luas tambak

lebih besar.

6.1.3. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2

6.1.3.1. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2 dari penggunaan bahan bakar minyak

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi, kebutuhan areal hutan

untuk menyerap CO2 dari penggunaan bahan bakar di tambak polikultur Kecamatan

Pemangkat lebih banyak dibanding tambak polikultur Kecamatan Jawai dan Jawai

Selatan.

6.1.3.2. Jejak ekologi untuk penyerapan CO2 dari penggunaan pupuk urea dan TSP

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi kebutuhan areal hutan

untuk menyerap CO2 akibat produksi urea dan TSP yang digunakan pada budidaya

tambak bandeng-udang windu di kecamatan Pemangkat lebih sedikit dibandingkan

kebutuhan areal hutan pada budidaya di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan.

6.1.4. Nilai jejak ekologi total

Berdasarkan hasil perhitungan nilai jejak ekologi (ef) terlihat adanya

kebutuhan ruang ekologi yang lebih besar pada pada usaha perikanan tambak non

wanamina polikultur bandeng-udang windu di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan

sebesar 6,69 gha untuk setiap ha tambak

Page 24: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

275

Tabel 6.1. Nilai Jejak Ekologi Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng – Udang

Windu

Komponen

Nilai ef (gha)

Tambak Wanamina Kec.

Pemangkat

Tambak non wanamina Kec.

Jawai & Jawai Selatan

total Per ha tambak total Per ha tambak

Detritus mangrove 50,66 0,18 92,41 0,18

Air bersih 304,61 1,11 3.243 6,18

Energi:

Pembakaran BBM

Pupuk

75.71

40,30

0,27

0,15

158,63

100,81

0,21

0,19

Jumlah 471,28 1,71 3.595,08 6,76

Sumber: Analisis data primer dan sekunder, 2014

6.2. Luas area bioproduktif

Komponen area bioproduktif yang dihitung pada penelitian ini adalah area

hutan mangrove dan area laut. Luas eksisting hutan mangrove yang ada di Kecamatan

Pemangkat dan kecamatan Jawai & Jawai Selatan masing-masing adalah 447,14 ha,

dan 103,8 ha dan area laut masing-masing seluas 151,62 ha dan 314,72 ha (BPS

Sambas 2013). Hasil perhitungan jejak ekologi untuk luas area bioproduktif total

kecamatan pemangkat dan Jawai & Jawai Selatan masing-masing adalah 258,76 gha

dan 84,22 gha

6.3. Defisit jejak ekologi (ecological deficit) dan tingkat keberlanjutan

Nilai deficit jejak ekologi merupakan selisih antara nilai ef dan luas area

bioproduktif (bp) seperti tabel berikut:

Tabel 6.2. Nilai Defisit Jejak Ekologi Usaha Perikanan Tambak Polikultur Bandeng –

Udang Windu

Tambak Ef total Bp total Ed

Tambak wanamina 471,28 501,52 30,24

Tambak non wanamina 3.595,08 2.658,82 (936,26)

Sumber: Analisis Data Primer, 2014

Page 25: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

276

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak ekologi (ef) untuk tambak

wanamina lebih kecil dari area bioproduktif (bp), sedangkan nilai jejak ekologi (ef)

tambak non wanamina lebih besar dari area bioproduktif, sehingga terjadi nilai defisit

jejak ekologi yang berarti penggunaan sumberdaya alam telah melampaui daya

dukungnya, sehingga perikanan tambak wanamina masih berkelanjutan secara

ekologi, sedangkan usaha perikanan tambak non wanamina termasuk tidak

berkelanjutan secara ekologi. Jika dilihat dari kebutuhan ruang ekologi nya untuk

tambak wanamina lebih kecil kebutuhannya, hal ini bisa disebabkan karena tambak

wanamina memiliki pohon-pohon mangrove di dalam tambak sehingga menambah

luas area mangrove nya, walaupun demikian nilai total jejak ekologi nya mengalami

surplus yang cukup kecil yaitu sebesar 30,24 gha, sehingga para petani tambak

seharusnya mulai waspada agar nilai jejak ekologi nya tidak mengalami defisit.

Berdasarkan hasil perhitungan jejak ekologis untuk perikanan tambak non

wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan sudah tidak berkelanjutan secara

ekologis. Hal ini akan mengancam produksi bandeng dan udang windu di masa

mendatang, karena faktor lingkungan ekologis terutama lingkungan perairan tempat

hidup bandeng dan udang windu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan bandeng dan udang windu. Perhatian khusus seharusnya diberikan

kepada pengelolaan kualitas air, dan penambahan areal mangrove untuk menjaga dan

meningkatkan produksi bandeng dan udang windu, sehingga petani dapat terus

melakukan usaha perikanan tambak polikulur ini secara berkelanjutan.

VII. KEBERLANJUTAN USAHA TAMBAK PERIKANAN

POLIKULTUR BANDENG - UDANG WINDU

Page 26: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

277

7.1. Perikanan Tambak Wanamina di Kecamatan Pemangkat

Tambak wanamina, adalah tambak yang sebagian lahan di dalam atau di luar

tambak ditanami berbagai jenis tanaman mangrove seperti bakau, siapi-api, dan lain-

lain, dan sebagian lahan dibuat tambak untuk usaha budidaya ikan bandeng dan udang

windu. Keberadaan mangrove di lahan tambak memberikan keuntungan bioekologis.

Analisis MDS menggunakan model Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-

FISHSAMBAS menunjukkan status keberlanjutan dimensi teknologi & infrastruk tur

dan dimensi hukum & kelembagaan adalah kurang berkelanjutan dengan masing-

masing nilai indeks sebesar 34,46 dan 39,91, sedangkan dimensi ekologi, ekonomi dan

sosial-budaya menunjukkan cukup berkelanjutan dengan masing-masing nilai indeks

sebesar 61,67 ; 54,44 dan 57,39. Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan usaha

perikanan tambak polikultur saat ini (existing condition), sebesar 44,33 dan termasuk

dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini berarti, saat ini usaha perikanan tambak

wanamina ini belum berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap

73 atribut dari lima dimensi keberlanjutan, dan terdapat 17 atribut sensitif berpengaruh

atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan

tambak polikultur ini.

7.2. Perikanan Tambak Non wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan

Wilayah pesisir yang berbatasan dengan pantai di Kecamatan Jawai dan

Jawai Selatan sebagian masih terdapat kawasan mangrove, tetapi tambak-tambak yang

dibangun adalah tambak biasa berupa kolam-kolam tambak untuk budidaya bandeng

dan udang windu.

Page 27: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

278

Hasil analisis MDS menunjukkan status keberlanjutan dimensi teknologi dan

infrastruktur adalah tidak berkelanjutan dengan nilai indeks 21,86, sedangkan dimensi

ekologi, ekonomi, dimensi hukum & kelembagaan adalah kurang berkelanjutan,

dengan nilai indeks masing-masing sebesar 37,94; 39,47; dan 35,82. Sedangkan status

keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 64,95.

Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur

saat ini (existing condition), sebesar 36,18 dan termasuk dalam kategori kurang

berkelanjutan. Hal ini berarti, saat ini usaha perikanan tambak non wanamina ini tidak

berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 73 atribut dari lima

dimensi keberlanjutan, dan terdapat 23 atribut sensitif berpengaruh atau perlu

diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan tambak non

wanamina.

VIII. KESIMPULAN

8.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan kriteria indikator analisis kelayakan finansial, usaha perikanan

tambak polikultur bandeng – udang windu di Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan

Jawai Selatan Kabupaten Sambas layak diusahakan. Usaha perikanan tambak

polikultur wanamina di Kecamatan Pemangkat memberikan nilai NPV tertinggi

sebesar 26.546.311, Net B/C sebesar 1,6, dan IRR 32,7%, dengan pengembalian

investasi selama 4,7 tahun, sedangkan usaha perikanan tambak non wanamina

memberikan nilai NPV yang lebih rendah yaitu 15.180.587, Net B/C sebesar 1,4

dan IRR 27,7% dengan pengembalian investasi 4,7 tahun. Hasil analisis

sensitivitas untuk penurunan jumlah produksi bandeng dan udang/ikan alam

sebesar 25% dan penurunan produksi udang windu sebesar 40% serta kenaikan

Page 28: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

279

biaya operasional 7,5%, akan menyebabkan usaha perikanan tambak polikultur

wanamina dan non wanamina menjadi tidak layak. Berdasarkan analisis switching

value untuk penurunan produksi perikanan tambak wanamina maksimal turun

sebesar 20% dan 12,5% untuk masing-masing pola tambak wanamina wanamina

dan non wanamina, sedangkan kenaikan biaya operasional maksimal sebesar

39,8% dan 22,5% masing-masing untuk tambak wanamina dan tambak non

wanamina. Berdasarkan hal tersebut pada saat ini usaha perikanan tambak

polikultur bandeng – udang windu jenis wanamina dan non wanamina masih

berkelanjutan secara ekonomi

2. Hasil analisis kelayakan secara ekonomi juga menunjukkan bahwa usaha

perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu di Kecamatan Pemangkat,

Jawai, dan Jawai Selatan Kabupaten Sambas layak untuk diusahakan. Indikator

kelayakan ekonomi tertinggi adalah pada usaha perikanan tambak wanamina di

Kecamatan Pemangkat dengan nilai NPV 115.612.876; Net B/C 3,7, dan nilai

IRR 54%, serta periode pengembalian investasi selama 3,3 tahun. Untuk tambak

non wanamina diperoleh nilai NPV 88.573.731; Net B/C 3,2 , dan nilai IRR

47%, serta periode pengembalian investasi 3,3 tahun. Berdasarkan analisis

sensitivitas untuk penurunan jumlah produksi bandeng dan udang alam sebesar

25% dan udang windu sebesar 40% akan menyebabkan usaha dengan pola tambak

wanamina dan tambak non wanamina masih layak dengan penurunan nilai NPV

yang sangat drastis. Berdasarkan analisis switching value untuk penurunan

produksi maksimal turun sebesar 46,0% dan 38,3% dan kenaikan biaya

operasional maksimal sebesar 122% dan 84% untuk masing-masing tambak

wanamina dan non wanamina

Page 29: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

280

3. Keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina berdasarkan analisis jejak

ekologi dan analisis MDS menunjukkan bahwa usaha ini masih berkelanjutan,

sedangkan perikanan tambak non wanamina tidak berkelanjutan secara ekologi.

Kebutuhan ruang ekologi usaha perikanan tambak non wanamina sudah

melampaui daya dukung ekosistem yang ada. Tambak wanamina yang

mengintegrasikan tanaman mangrove di dalam kolam tambak dengan budidaya

bandeng-udang windu menunjukkan kebutuhan ruang ekologi yang lebih rendah

yaitu sebesar 1,71 gha untuk setiap ha tambak dibandingkan kebutuhan ruang

ekologi tambak non wanamina yang sebesar 6,76 gha untuk setiap ha tambak.

4. Secara multidimensi, yaitu dimensi ekonomi, ekologi, social budaya, hukum &

kelembagaan, teknologi & infrastruktur, menunjukkan bahwa usaha perikanan

tambak polikultur bandneg-udang windu model wanamina dan non wanamina saat

ini (existing condition) sudah tidak berkelanjutan dengan masing-masing nilai

indeks keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina sebesar 44,33 dan

tambak non wanamina menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,18

5. Terdapat 17 atribut atribut sensitif pada tambak wanamina dan 23 atribut sensitif

pada tambak non wanamina yang berpengaruh atau perlu diintervensi untuk

meningkatkan status keberlanjutan usaha perikanan tambak. Atribut-atribut

sensitif tersebut adalah penggunaan pestisida alami, suhu udara, penggunaan

obat/vitamin, persentase penduduk miskin, sumber modal, fluktuasi produksi,

kelayakan finansial usaha, ketersediaan benih benur dan nener, tempat petani

tambak menjual ikan bandeng dan udang, harga jual bandeng dan udang windu,

kemampuan pasar menyerap produksi, transfer keuntungan, Frekuensi

Page 30: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

281

penyuluhan dan pelatihan, Tingkat penyerapan tenaga kerja perikanan, Peran

masyarakat dalam usaha perikanan tambak, Partisipasi keluarga dalam usaha

perikanan tambak, Ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum,

Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan, Ketersediaan sarana dan

prasarana agribisnis, Teknologi pengolahan hasil produk perikanan, Teknologi

pengolahan limbah perikanan, teknologi pakan, ketersediaan teknologi informasi

perikanan, Standarisasi mutu produk perikanan, Perjanjian kerjasama dengan

daerah lain mengenai perikanan tambak, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah,

ketersediaan lembaga social, Keberadaan koperasi perikanan, Ketersediaan

Lembaga keuangan mikro (bank/kredit), keberadaan kelompok tani perikanan

8.2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan usaha perikanan tambak wanamina

dan non wanamina terdapat beberapa hal yang direkomendasikan:

1. Hasil analisis finansial dan ekonomi menunjukkan bahwa usaha perikanan tambak

polikultur bandeng-udang windu model wanamina lebih layak diusahakan dan

lebih berkelanjutan secara ekonomi dibandingkan dengan tambak non wanamina,

sehingga tambak-tambak non wanamina di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan

perlu diupayakan untuk dibuat menjadi tambak wanamina dengan menanam

mangrove di dalam tambak, sehingga akan didapat manfaat ekonomi dan ekologi.

Menjaga keberlanjutan ekologi dengan melakukan manajemen lingkungan yang

baik akan mendukung keberlanjutan ekonomi usaha.

Page 31: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangma.untan.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/S3-2015-311241-summ… · 252 RINGKASAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha perikanan tambak yang

282

2. Menjaga keberlanjutan usaha secara ekologis dapat dilakukan dengan penggunaan

sumberdaya yang efisien yang akan dapat memperkecil nilai jejak ekologis,

misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dan mengganti

pupuk anorganik urea dan TSP dengan pupuk organik sehingga mengurangi

produksi CO2. Hal lainnya adalah dengan memperbesar area bioproduktif dengan

kegiatan rehabilitasi dan reforestasi yaitu dengan menambah luasan mangrove

dengan merehabilitasi kawasan mangrove di daerah pesisir pantai dengan

menanam pohon-pohon mangrove sehingga meningkatkan kerapatan vegetasi dan

memperluas areal mangrove

3. Memperbaiki atribut-atribut sensitif pada semua dimensi keberlanjutan dengan

prioritas perbaikan dimensi keberlanjutan yang mempunyai nilai indeks

keberlanjutan yang rendah, yaitu: ekologi, dimensi teknologi & infrastruktur dan

dimensi hukum & kelembagaan. Perbaikan-perbaikan atribut pada setiap dimensi

seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif, tetapi juga tetap

mengelola atribut yang tidak sensitif berpengaruh terhadap peningkatan nilai

indeks keberlanjutan agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan secara

maksimal.