07 modul 6 - kelompok.doc
DESCRIPTION
07 Modul 6 - Kelompok.docTRANSCRIPT
ADPU4218/MODUL 1 1.1
Modul 6KELOMPOK
Prof.Dr. M. Enoch Markum
Sebagian besar hidup kita berada dalam kelompok, seperti dalam
keluarga, kelompok arisan, kelompok rekreasi, kampus, kantor
sampai dengan negara. Kelompok merupakan nama generik yang
merujuk pada berkumpulnya dua orang atau lebih. Selain ini,
kelompok bisa dilihat dari berbagai dimensi : ukuran kelompok
(kecil : keluarga, teman dekat; dan besar: suku, negara); keberadaan
(sementara : kepanitiaan, kerumunan yang menyaksikan
kecelakaan; dan tetap : kelompok agama, negara): struktur (sangat
berstruktur: angkatan bersenjata, perusahaan; dan struktur longgar :
pendukung tim sepakbola, rukun tetangga/RT); dan penyebaran
(sangat tersebar : kelompok pengguna komputer, kolektor
perangko; dan terkonsentrasi: kelompok kerja penyusunan sistem
remunerasi, awak pesawat terbang) dan lain-lain.
Berbagai kelompok ini mempengaruhi perilaku kita
sehari-hari, keluarga, misalnya, menentukan bagaimana kita harus
berbicara atau berbahasa dan perilaku mana yang boleh dan tidak
boleh ditampilkan. Demikian pula kelompok agama menentukan
bagaimana perilaku kita bertetangga, sikap terhadap orangtua, sikap
terhadap orang miskin. Selain ini negara juga menentukan perilaku
kita, seperti harus membayar pajak, meminta ijin mendirikan
PENDAHULUAN
1.2 Psikologi Sosial
bangunan, dan harus memiliki KTP serta mengemudikan kendaraan
di sebelah kiri. Perlu dikemukakan catatan bahwa individu yang
sebagaian besar hidupnya dalam kelompok ini, tidaklah pasif dalam
pengaruh kelompok, tetapi ia juga bisa mempengaruhi bahkan
merubah kelompok. Tokoh-tokoh terkemuka dunia merupakan
contoh dari individu yang merubah masyarakat atau dunia
(Soekarno, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Thomas Alva
Edison, Madame Currie, Karl Marx, dan lain-lain). Dalam lingkup
yang lebih kecil, selain kultur dikenal sub-culture, bahkan counter-
culture, yang mencerminkan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
terhadap aturan atau kebiasaan kelompok mapan, Sebagai contoh
dari hal ini adalah kelompok remaja yang menggunakan “bahasa
gaul”, mencat rambut dengan warna merah dan hijau, serta
kelompok musik rock dan punk.
Setelah mempelajari Modul 6 ini, diharapkan Anda mampu:
1. Menjelaskan pengertian kelompok
2. Menjelaskan alasan orang berkelompok
3. Menerapkan konsep-konsep dinamika kelompok, dan
4. Menjelaskan konsep-konsep kepemimpinan.
ADPU4218/MODUL 1 1.3
Kegiatan Belajar 1
PENGERTIAN KELOMPOK
Minggu pagi anda sedang santai membaca
surat kabar dengan ditemani secangkir kopi.
Pada halaman utama, tampak foto ribuan
aktivis mahasiswa sedang berdemonstrasi di
depan Istana Merdeka, lengkap dengan jaket
almamater dan berbagai macam bendera
mereka masing-masing. Pada pokoknya
mereka menolak kenaikan harga BBM yang
ditetapkan oleh pemerintah. Pada halaman
yang sama, ada pula foto antrian panjang
yang terdiri dari ratusan ibu-ibu yang
sedang antri membeli minyak tanah.
Melihat kedua foto yang dimuat dalam surat kabar yang sedang anda baca
itu, pertanyaannya adalah foto mana yang menggambarkan kelompok?
Tentunya, anda memilih foto pertama, ribuan mahasiswa yang
berdemonstrasi, dibandingkan dengan foto kedua yang berisi antrian ibu-ibu
membeli minyak tanah. Memang, kedua foto menunjukkan sekumpulan
manusia yang berada pada suatu tempat secara bersamaan, namun, secara
intuitif anda telah menerima definisi kelompok sebagaimana telah digunakan
oleh para psikolog sosial, yakni sekumpulan individu, yang dipersepsikan,
saling terkait satu sama lain, dalam suatu unit yang kompak.
1.4 Psikologi Sosial
“A collection of persons who are perceived to be bonded together in a coherent unit to some degree” (Baron and Byrne, 1997:12)
Apakah ratusan ibu-ibu yang sedang mengantri membeli minyak
tanah itu termasuk sebagai kelompok atau bukan, ditentukan oleh
sejauhmana suatu kelompok dipersepsikan sebagai suatu unit yang kompak
atau entiativity (Campbell, 1958 dalam Vaughan dan Hogg, 2005). Entiativity
kelompok sangat beragam dan berbeda-beda antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Secara lebih khusus entiativity diartikan sebagai ciri
kelompok yang kahas, memiliki ikatan yang kuat, dan membedakan antara
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Sekumpulan individu yang
secara kebetulan berada pada suatu tempat secara bersamaan pada waktu
tertentu, seperti ibu-ibu yang sedang mengantri membeli minyak tanah,
hanya memiliki entiativity yang rendah karena hanya memiliki sedikit
kesamaan antara satu sama lain. Sementara, mahasiswa yang sedang
berdemonstrasi, dapat dikatakan memiliki entiativity yang lebih tinggi karena
keberadaan mereka pada suatu tempat dan waktu tertentu terjadi bukan
karena suatu ketidaksengajaan, melainkan, sesuatu yang telah terencana.
Pada derajat entiativity yang tinggi, seperti dalam keluarga, pernikahan, dan
tim olahraga profesional, terdapat kedekatan yang intim antara anggotanya.
Semakin tinggi entiativity suatu kelompok, semakin dekat hubungan antara
anggota kelompok tersebut.
Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, kedua foto yang berisi
baik kumpulan orang, mahasiswa maupun ibu-ibu, masing-masing
menggambarkan kelompok, hanya, mereka berbeda berdasarkan derajat
entiativity. Ibu-ibu yang mengantri membeli minyak tanah juga termasuk
sebagai kelompok, hanya memiliki entiativity yang sangat rendah. Dengan
demikian, jelas bahwa beberapa jenis kelompok, lebih mendekati
ADPU4218/MODUL 1 1.5
pemahaman kita mengenai apa itu suatu kelompok, dibandingkan dengan
jenis kelompok lainnya.
Pertanyaan berikutnya adalah apa yang menentukan kekompakan
(entiativity) suatu kelompok, dan sejauhmana kita dapat mempersepsikan
bahwa sekumpulan individu membentuk kelompok yang erat/kompak, atau
tidak? Penelitian yang dilakukan oleh Lickle dkk. (2000) mencoba untuk
menjawab pertanyaan ini. Mereka merancang suatu penelitian yang
menggunakan daftar nama 40 jenis kelompok (misalnya: tim olahraga, dan
penonton dalam tayangan bioskop). Selanjutnya, mereka meminta subjek
penelitian untuk memberikan penilaian bagi masing-masing jenis kelompok
berdasarkan kriteria: (a) derajat entiativity kelompok, (b) derajat pentingnya
kelompok tersebut bagi anggotanya, (c) jumlah anggota kelompok yang
saling berinteraksi, (d) sejauhmana anggota kelompok memiliki kesamaan
tujuan dan hasil, dan (e) sejauhmana kemiripan satu anggota kelompok
dengan anggota kelompok lainnya. Selanjutnya, subjek penelitian diminta
untuk membuat prediksi berapa lama masing-masing kelompok akan
bertahan. Selain itu, subjek penelitian juga diminta untuk mengelompokkan
kelompok-kelompok tersebut ke dalam beberapa kategori, berdasarkan
kemiripan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian menilai kelompok-
kelompok tersebut berbeda berdasarkan entiativity masing-masing kelompok.
Beberapa kelompok dinilai memiliki entiativity tinggi (misalnya: keluarga,
kelompok musik), sementara kelompok lain dinilai rendah (misalnya: orang
yang sedang menunggu bis). Selain itu, derajat interaksi antara anggota
kelompok sangat berperan dalam penilaian tersebut. Berbagai faktor lain
yang berpengaruh adalah sejauhmana kelompok dianggap penting oleh
anggotanya, sejauhmana mereka memiliki tujuan yang sama, dan sejauhmana
1.6 Psikologi Sosial
kemiripan masing-masing anggota kelompok. Semakin tinggi berbagai
dimensi tersebut dalam kelompok, semakin kompak kelompok tersebut
dipersepsikan oleh anggotanya.
Kembali ke kedua foto yang anda lihat di surat kabar, yaitu foto
mahasiswa yang sedang berdemonstrasi akan dipersepsikan sebagai
kelompok dengan derajat entiativity yang lebih tinggi. Pertama, sebagai
mahasiswa, interaksi antara anggota kelompok jelas lebih sering (misalnya:
di Universitas/fakultas, demonstrasi lainnya) dibandingkan dengan ibu-ibu
yang hanya kebetulan mengantri membeli minyak tanah , yang kemungkinan
hanya sekali seumur hidup. Kedua, organisasi kemahasiswaan lebih penting
bagi anggotanya (para mahasiswa) dibandingkan dengan ‘organisasi ibu-ibu’,
karena nyatanya memang tidak ada organisasi ibu-ibu pengantri minyak
tanah. Ketiga, dari segi tujuan, mahasiswa yang berdemonstrasi memiliki
tujuan bersama, yaitu menurunkan harga BBM, sementara ibu-ibu hanya
memiliki tujuan pribadi, yaitu untuk mendapatkan minyak tanah untuk
dirinya masing-masing. Keempat, kelompok yang terdiri dari mahasiswa
cenderung lebih homogen dibandingkan dengan kelompok ibu-ibu (mis:
berdasarkan usia, status pendidikan), sehingga mereka lebih mirip satu sama
lain.
Lickle, dkk (2000, dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008:381)
melakukan penelitian mengenai derajat entiativity dan hubungannya dengan
pentingnya kelompok menurut responden. Hasilnya menunjukkan korelasi
yang tinggi antara derajat entiativity dengan pentingnya kelompok (r = 0.75).
Untuk lebih jelasnya berikut dikemukakan hasil studi Lickle, dkk
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Keterangan : 1 = bukan kelompok
9 = benar-benar kelompok.
ADPU4218/MODUL 1 1.7
Tabel 1 : Hubungan entiativity dan pentingnya kelompok
Jenis kelompok Entiativity Pentingnya kelompok
Keluarga 8.57 8.78
Teman 8.27 8.06
Kelompok agama 8.20 7.34
Kelompok musik 7.33 5.48
Kelompok olahraga 7.12 6.33
Kelompok tugas 6.78 5.73
Kelompok etnis 6.67 7.67
Kelompok kepentingan 6.53 5.65
Kelompok nasional 5.83 5.33
Mahasiswa sekuliah 5.76 4.69
Kelompok jender 4.25 3.00
Kelompok sewilayah 4.00 3.25
Kelompok dengan ciri fisik yang sama
3.50 2.50
Berdasarkan berbagai dimensi di atas, kelompok dapat
diklasifikasikan menjadi berbagai jenis kelompok. Robbins (2003)
mengklasifikasikan kelompok sebagai berikut :
Kelompok formal (formal groups) : merupakan kelompok
yang memiliki baik struktur, pembagian tugas, maupun peraturan tertulis
yang jelas. Perilaku anggotanya dikendalikan oleh organisasi (mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan ) dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Contoh organisasi formal adalah perguruan tinggi,
perseroan terbatas, induk organisasi olahraga, dan organisasi militer.
Kelompok informal (informal groups) : merupakan
kelompok yang berlawanan dengan kelompok formal karena kelompok
1.8 Psikologi Sosial
ini selain tidak memiliki struktur yang jelas, juga tidak memiliki
pembagian tugas dan peraturan yang jelas. Contoh kelompok informal
adalah kelompok arisan para ibu, kelompok tenis untuk rekreasi suatu
instansi, dan kelompok alumni SMA.
Kelompok komando (command groups) : merupakan
kelompok yang terdiri dari sejumlah anggota yang dibawahi oleh
seorang atasan seperti sejumlah supervisor yang bertanggungjawab
kepada seorang manajer, sejumlah komandan peleton dibawah seorang
komandan kompi, dan kepala sekolah yang membawahi sejumlah guru.
Kelompok komando ini dalam organisasi tampak dari bagan organisasi.
Kelompok tugas (task groups) : merupakan kelompok yang
mempunyai tuas khusus untuk menyelesaikan suatu masalah. Di
Indonesia istilah kelompok tugas ini dikenal juga dengan sebutan
“kelompok kerja” (Pokja) yang anggotanya terdiri dari berbagai sub-
kelompok atau departemen, misalnya, kelompok kerja penyusunan suatu
peraturan, atau sistem remunerasi, dan pembukaan kantor cabang.
Sebagai contoh anggota sistem remunerasi bisa terdiri dari perwakilan
divisi sumberdaya manusia. Keuangan, hukum, dan pemasaran.
Kelompok kepentingan (interest group) : merupakan
kelompok yang anggotanya memperjuangkan kepentingan tertentu,
misalnya, sejumlah karyawan yang berkumpul melakukan protes atas
sistem remunerasi yang tidak adil, atau sejumlah tokoh masyarakat yang
bersatu menuntut hukuman seumur hidup bagi koruptor kelas kakap.
Kelompok paguyuban (friendship groups) : merupakan
kelompok yang anggotanya memiliki karakteristik yang sama, dan
umumnya berkumpul di luar organisasi formal, misalnya, kelompok
yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari daerah
tertentu, suku-bangsa tertentu, atau kelompok kolektor lukisan.
ADPU4218/MODUL 1 1.9
Pembagian jenis kelompok juga dilakukan oleh Charles Horton
Cooley. Menurut pendapatnya terdapat beberapa jenis kelompok, yakni :
(a) kelompok primer (primary groups),
(b) kelompok referensi (reference groups),
(c) kelompok tugas formal (formal task groups),
(d) kelompok informal (informal groups), dan
(e) agregat (aggregates).
Kelompok primer mengacu pada kelompok yang merupakan sumber
kehidupan sosial individu. Kelompok ini memberikan dukungan sosial
sehingga individu mampu untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Kelompok primer umumnya hanya terdiri dari anggota yang sedikit
jumlahnya dengan frekuensi interaksi antara anggota kelompok juga tinggi.
Selain itu, kelompok primer bentuknya cukup permanen dan tidak
berorientasi untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh: keluarga dan teman-
teman dekat.
Kelompok referensi, adalah kelompok yang menjadi bahan rujukan
dalam menilai sikap dan tingkah laku dan seseorang. Suatu kelompok bisa
dijadikan sebagai kelompok referensi karena individu yang bersangkutan
merasa bahwa kelompok tersebut lebih unggul, mereka ingin untuk
bergabung dengan kelompok tersebut, atau mereka merupakan bagian dari
kelompok tersebut. Seringkali kelompok primer juga menjadi kelompok
referensi. Kelompok referensi bisa bersifat positif atau negatif. Kelompok
yang kita inginkan untuk bergabung sebagai anggota disebut kelompok
referensi positif, sementara kelompok yang kita tolak dan tidak kita sukai
merupakan kelompok referensi negatif.
Kelompok tugas formal, memiliki karakteristik yang berisi norma-
norma tertentu yang diakui oleh masing-masing anggota. Kelompok ini
memiliki bentuk atau struktur yang pasti, dan dibentuk dengan tujuan untuk
1.10Psikologi Sosial
mencapai hasil tertentu. Seperti memenangkan pertandingan sepak bola,
menyelesaikan proyek, kepanitiaan tertentu, dan lain-lain. Kelompok tugas
formal terdiri dari anggota dengan berbagai macam peran yang saling
berhubungan.
Kelompok informal, kelompok ini tidak memiliki norma atau
peraturan tertulis, dan pada umumnya hanya memiliki tujuan yang bersifat
sementara. Contohnya adalah kelompok teman sebaya yang bisa saja suatu
hari berkumpul untuk tujuan jalan-jalan di mal, dan pada waktu lain
berkumpul untuk main bowling bersama. Peran dalam kelompok ini berubah-
ubah, tergantung dari tujuan sementara kelompok tersebut.
Jenis terakhir adalah agregat. Kelompok ini berbeda dengan
kelompok informal karena dalam agregat masing-masing orang tidak
memiliki keterikatan satu sama lain. Kelompok dalam bentuk agregat
terbentuk tanpa sengaja, seperti ibu-ibu yang sedang mengantri minyak
tanah, sejumlah orang yang kebetulan saling bertemu pada suatu tempat dan
waktu yang sama. Hal serupa juga dapat terjadi ketika orang berkerumun di
halte menunggu bis atau di peron menunggu kereta api.
ADPU4218/MODUL 1 1.11
.
Buatlah kelompok diskusi dengan empat rekan anda. Kemudian masing-
masing anggota kelompok membuat daftar keanggotaan kelompok apa
saja yang mereka miliki. Dari daftar tersebut sebutkan kelompok apa saja
yang menjadi kelompok primer, kelompok referensi, kelompok tugas
formal, dan kelompok informal. Diskusikan jawaban tersebut dalam
kelompok dan buatlah urutan kelompok berdasarkan seberapa besar
peran masing-masing kelompok bagi kehidupan anda.
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajarilah dengan seksama pengertian kelompok, dimensi dimensi
kelompok dan perbedaan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya,
serta bentuk nyata dalam masyarakat dari masing-masing dimensi.
Setelah berlatih menjawab pertanyaan di atas, bacalah rangkuman di
bawah ini supaya pemahaman Anda tentang hakekat kelompok menjadi
lebih mantap.
LATIHAN
Setelah membaca materi kegiatan belajar 1 di atas dengan cermat, untuk memantapkan pemahaman anda, cobalah kerjakan latihan berikut. Anda dapat mengerjakannya berama-sama dengan teman-teman kelompok belajar sehingga Anda dapat saling bertukar pendapat.
Coba diskusikan dengan teman-teman Anda persamaan dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Buatlah daftar persamaan dan perbedaan tersebut.Di sekitar Anda tentu banyak fakta, atau konsep yang secara turun-temurun dipercaya kebenarannya. Pilihlah satu saja, kemudian cobalah kaji, apakah fakta atau konsep tersebut merupakan hasil suatu kajian ilmiah atau pemikiran non-ilmah.
Petunjuk Jawaban Latihan
Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat pengetahuan.Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan
1.12Psikologi Sosial
Psikolog sosial mendefinisikan kelompok sebagai sekumpulan individu yang
dipersepsikan saling terkait satu sama lain, dalam satu unit yang kompak.
Menurut Campbell, ada faktor yang menentukan derajat kekompakan suatu
kelompok, yaitu entiativity. Suatu kelompok yang memiliki sedikit kesamaan
hanya memiliki entiativity yang rendah, sementara kelompok dengan banyak
kesamaan antara anggotanya memiliki entiativity yang tinggi. Pada dasarnya,
semakin tinggi entiativity suatu kelompok semakin dekat hubungan antara
anggota kelompok tersebut. Namun, penelitian oleh Lickle dan rekan (2000)
menunjukkan bahwa kekompakan suatu kelompok, dan persepsi akan
kekompakan suatu kelompok ditentukan oleh beberapa dimensi. Pertama
adalah entiativity, kemudian sejauh mana kelompok dianggap penting oleh
anggotanya, sejauhmana mereka memiliki tujuan yang sama, dan kemiripan
masing-masing anggota kelompok. Semakin tinggi dimensi tersebut, semakin
tinggi persepsi kekompakan kelompok oleh anggotanya. Berdasarkan
dimensi tersebut, kelompok dapat dimasukkan ke dalam kategori : kelompok
intim, kelompok tugas, kategori sosial, dan asosiasi. Charles Horton Cooley
membuat kategorisasi sendiri yang lebih sering digunakan. Kelompok
primer, yang merupakan sumber kehidupan sosial individu. Kelompok
referensi, menjadi sumber rujukan dalam menilai sikap dan perilaku
seseorang. Kelompok tugas formal, dibentuk untuk suatu tujuan yang pasti.
Kelompok informal, tidak memiliki norma maupun aturan tertulis, dan untuk
tujuan sementara. Jenis terakhir adalah agregat, dalam agregat anggota tidak
saling memiliki keterikatan satu sama lain.
RANGKUMAN
ADPU4218/MODUL 1 1.13
1. Di bawah ini mana yang merupakan suatu kelompok dengan
entiativety tinggi
A. sekumpulan orang yang sedang menunggu bis
B. sekumpulan orang yang sedang mengantri tiket bioskop
C. sekumpulan orang yang sedang berteduh menunggu hujan
berhenti
D. sekumpulan orang yang sedang berdemonstrasi ke gedung
MPR/DPR
2. Di bawah ini mana yang merupakan kelompok dengan entiativity
yang paling tinggi
A. kelompok kerja yang dibentuk untuk menangani suatu
proyek
B. kelompok bermain di taman kanak-kanak
C. kelompok unit pasukan khusus di angkatan darat
D. kelompok belajar mahasiswa
3. Untuk menangani suatu proyek, perusahaan X membentuk
kelompok kerja yang terdiri dari para direktur. Kelompok ini
merupakan
A. Kelompok referensi
B. Kelompok primer
C. Agregat
D. Kelompok tugas formal
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1.14Psikologi Sosial
4. Adhi adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta. Di
kampusnya, ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan, kelompok
musik dan kelompok drama. Kedua orangtua Adhi sangat taat
menjalankan agamanya, dan mereka pun menerapkan hal yang sama
pada Adhi. Bagi Adhi, kelompok referensi mana yang paling
dominan.
A. Kelompok mahasiswa
B. Kelompok agama
C. Kelompok drama
D. Kelompok musik
5. Menurut Likcle dan rekan, selain entiativity, dimensi lain yang
menjadi rujukan kekompakan suatu kelompok adalah :
A. sejauhmana kelompok dianggap penting oleh anggotanya
B. sejauhmana mereka memiliki tujuan yang sama
C. kemiripan masing-masing anggota kelompok
D. semua jawaban benar
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Tingkat penguasaan =
ADPU4218/MODUL 1 1.15
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
1.16Psikologi Sosial
Kegiatan Belajar 2
ALASAN ORANG BERKELOMPOK
Mengapa orang berkelompok? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu bertanya, apakah mungkin seseorang hidup tanpa kelompok? Jelas jawabannya adalah tidak. Mungkin anda akan berargumen bahwa ada orang yang bisa hidup tanpa berkelompok, seperti para petapa yang memilih untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Mereka tinggal sendiri di tempat-tempat terpencil, dan dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sehari-hari. Itu benar, tapi pada awal kehidupannya semua manusia hidup dalam kelompok. Tanpa kelompok sejak awal hidupnya, manusia akan mati.
Manusia dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, dalam suatu
keluarga. Selain keluarga inti : ibu, bapak, kakak/adik, terdapat juga keluarga
besar : kakek, nenek, paman dan bibi, serta saudara-saudara lainnya. Di
Indonesia beberapa suku menerapkan sistem marga, sehingga seseorang yang
lahir dalam marga tersebut secara otomatis ia menjadi bagian dari marga.
Selanjutnya, identitas kelompok yang melekat pada keluarga juga akan
melekat pada seseorang yang dilahirkan dalam keluarga tersebut. Hal-hal
seperti, agama, status sosial ekonomi keluarga juga melekat pada anak.
Selain itu, seseorang juga dilahirkan sebagai warga suatu negara. Maka,
ketika manusia pertama kali menghirup udara segar, ia sudah menjadi
anggota berbagai macam kelompok : jender, keluarga, marga, ras/suku,
warga negara, agama, kelas dan status sosial.
Apabila kepada anda diajukan pertanyaan, ”siapa anda?” apa yang
akan anda jawab? Setelah memberikan nama anda, kemungkinan besar anda
ADPU4218/MODUL 1 1.17
akan menjawab kewarganegaraan anda, atau suku/ras anda, apakah anda
sudah berkeluarga atau belum, tempat anda bekerja sekarang, dan mungkin
agama anda apabila anda orang yang taat beragama. Jadi jelas bahwa
identitas seseorang itu tidak bisa lepas dari keanggotaannya dalam kelompok.
Bahkan petapa diawal tulisan ini pun bagian dari kelompok, baik ia sadari
atau tidak, maupun ia terima atau tidak.
Menurut para psikolog sosial, setiap manusia memiliki identitas
sosial, yaitu definisi diri yang membimbing setiap individu dalam
mengonseptualisasikan dirinya dan ketika individu tersebut mengevaluasi
dirinya (Deaux, 1993). Deaux menjelaskan bahwa identitas diri mencakup
karakterisitik unik seseorang seperti nama dan konsep diri, dan hal-hal yang
juga dimiliki oleh orang lain seperti, usia, hubungan antar pribadi (bapak,
ibu, anak, dll); hobi, pekerjaan (kolektor tanaman, psikolog); ideologi
keagamaan (Islam, Kristen, ateis); atribut spesifik (kidal, tinggi); dan
etnisitas (orang Padang, Jawa, Batak).
Manusia berkelompok untuk keamanan. Seorang bayi tanpa
dukungan keluarga akan meninggal. Sejak awal hidupnya, manusia
membutuhkan orang lain agar dapat berlangsung hidup. Bayi mendapatkan
perawatan dan pengasuhan. Selanjutnya manusia bergabung dalam tali
persaudaran keterikatan keluarga melalui pernikahan, keluarga besar, dan
kemargaan. Selanjutnya keluarga besar merupakan bagian dari masyarakat
yang membentuk suatu negara. Masyarakat dan negara memberikan
perlindungan bagi anggotanya dari ancaman masyarakat dan negara lain.
Semua tingkatan kelompok memberikan suatu bentuk perlindungan bagi
anggotanya. Menurut Abraham Maslow, salah satu kebutuhan dasar manusia
adalah rasa aman. Sebagai mahluk sosial, manusia mendapatkan rasa aman
dengan menjadi bagian dari keluarga, dan/atau bagian dari komunitas. Pada
kebutuhan dasar ini manusia membutuhkan lingkungan hidup yang aman.
1.18Psikologi Sosial
Individu merasa aman ketika ia menjadi bagian dari suatu kelompok.
Terdapat istilah safety in numbers, atau rasa aman dalam jumlah banyak.
Artinya, dengan berkelompok individu akan merasa aman karena merasa
menjadi bagian dari sekumpulan orang yang saling melindungi.
Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, manusia juga memiliki
kebutuhan psikologis. Kebutuhan psikologis mencakup rasa kepemilikan,
berafiliasi, untuk diterima, dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Kebutuhan psikologis manusia mendorong individu untuk menjadi bagian
dari sesuatu (sense of belonging). Semua kebutuhan ini dapat tercapai dengan
bergabung dalam kelompok. Dengan bergabung dalam kelompok, dalam diri
individu akan muncul rasa memiliki terhadap kelompok tersebut, dan dengan
menjadi bagian dari kelompok, individu akan mendapatkan pengakuan.
Selanjutnya, di dalam kelompok terjadi interaksi antara anggotanya, sehingga
individu dapat berafiliasi dengan anggota kelompok lainnya. Rasa aman yang
diberikan oleh kelompok terhadap individu terbentuk seiring dengan
terjalinnya afiliasi dan pertemanan dalam kelompok. Hal tersebut menjadi
dukungan sosial (social support) bagi individu yang bersangkutan, yang
memberikan rasa aman.
Berkelompok memberikan sarana untuk mencapai tujuan dan ambisi
seseorang. Seorang individu bisa memiliki cita-cita, namun hal tersebut tidak
dapat dicapainya seorang diri. Dengan berkelompok, ia akan bertemu dengan
individu-individu lain yang memiliki tujuan yang serupa dengan dirinya.
Bersama-sama sebagai kelompok, kumpulan individu di dalamnya membuat
suatu tujuan bersama yang walaupun tidak sama persis dengan tujuan
masing-masing, dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan individual
masing-masing.
Selain untuk mencapai suatu tujuan tertentu, bergabung dengan
kelompok juga bisa menjadi tujuan bagi individu. Salah satu alasan kuat
ADPU4218/MODUL 1 1.19
mengapa individu termotivasi untuk bergabung dengan kelompok adalah
untuk mendapatkan status tertentu. Kelompok menyediakan dan memberikan
imbalan bagi individu. Dengan mendapatkan imbalan, maka status yang
diinginkan individu akan terpenuhi dan individu merasa puas. Hal ini
memotivasi individu untuk bergabung dalam kelompok. Selain status,
kelompok juga memberikan sarana bagi individu untuk mewujudkan nilai-
nilainya (values). Individu dengan pandangan agama tertentu dapat
bergabung dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama agar
dapat menjalankan praktik beragama yang diinginkannya. Individu dengan
orientasi politik tertentu dapat bergabung dengan kelompok, partai politik,
yang memiliki orientasi politik yang sesuai.
Seseorang yang tidak merasa menjadi bagian dari suatu kelompok,
akan merasa terisolasi. Hal ini bisa berlanjut menjadi gangguan psikologis,
seperti depresi yang dapat berdampak terhadap kesehatan. Pada berbagai
kasus tertentu, individu yang mengalami depresi berat akan memutuskan
untuk bunuh diri. Kasus ini beberapa kali muncul dan bisa kita lihat melalui
media-massa, seorang anak SD bunuh diri karena tidak dapat bergabung
dengan kelompok ekstra kulikuler karena alasan ekonomi; seorang siswi
SMP bunuh diri karena dikucilkan oleh teman-temannya, dan kasus-kasus
lainnya.
Persoalan mengapa orang berkelompok ini dapat dikembalikan pada
kebutuhan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk afiliasi. Menurut
Baumeister dan Leary (1995, dalam Vaughan dan Hogg, 2005) manusia
memiliki kebutuhan yang sangat mendasar, yakni menjadi anggota suatu
kelompok. Hal ini mendorong manusia untuk bergabung dalam suatu
kelompok, dan karena kebutuhannya terpenuhi melalui interaksinya dengan
orang lain baik secara perorangan maupun kelompok, menyebabkan
munculnya manfaat- dari (self-worth) dan harga-diri (self-esteem).
1.20Psikologi Sosial
Pendapat lain mengenai mengapa orang berkelompok dikemukakan
oleh Greenberg dkk (1986, dalam Vaughn dan Hogg, 2005) dengan terror
management theory. Ancaman yang sangat hakiki yang dihadapi manusia
adalah tidak dapat dihindari datangnya maut atau kematian. Ancaman
kematian ini meneror manusia secara terus-menerus, dan untuk mengatasi
atau mengurangi ancaman teror ini, manusia begabung dengan kelompok
atau melakukan afiliasi. Strategi melakukan afiliasi ini menyebabkan hidup
menjadi menarik, menyenangkan, positif, dan terbentuknya harga-diri.
Alasan penting dalam kehidupan manusia mengenai mengapa
manusia bergabung dalam kelompok adalah idenitas sosial (social identity,
Hogg dan Abrams, 1988: Tajfel dan Turner, 1979, dalam Vaughn dan Hogg,
2005). Menurut para pakar psikologi sosial ini kelompok menyediakan siapa
diri kita, bagaimana kita berperilaku, dan bagaimana orang lain
memperlakukan kita. Dengan demikian, kelompok berfungsi mengurangi
atau menghilangkan rasa ketidakpastian (uncertainty) individu. Atau dengan
rumusan lain, individu akan bergabung atau menyatukan diri (identification)
dengan kelompok manakala ia berada dalam kondisi ketidakpastian, dan
kelompok dapat memberikan rasa kepastian. Selanjutnya, alasan bahwa
faktor ketidakpastian sebagai alasan oarang berkelompok perlu juga diikuti
oleh bagaimana persepsi orang yang bersangkutan mengenai reputasi suatu
kelompok : positif atau negatif. Orang akan merasa bangga terhadap
kelompok yang reputasinya positif, seperti perguruan tinggi terkenal,
pasukan tempur yang elit, dan tempat tinggal yang mewah, karena akan
meningkatkan status dan harga dirinya. Dengan demikian, ia akan berusaha
untuk menjadi anggota kelompok dan mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok yang bersangkutan.
Mengenai alasan orang berkelompok, ada gejala menarik yang
dikemukakan oleh Williams (2002, dalam Vaughn dan Hogg, 2005), yakni
ADPU4218/MODUL 1 1.21
dikucilkannya seseorang secara sosial (social ostracism). Dalam
eksperimennya, Williams menggunakan tiga mahasiswa yang saling
melempar bola satu sama lain. Setelah beberapa saat lemapr-melempar bola
itu hanya berlangsung di antara dua mahasiswa (mahasiswanya Williams
yang diinstruksikan untuk melakukan hal itu), sedangkan satu mahasiswa
sebagai objek eksperimen tidak diberikan bola sama sekali. Ternyata
mahasiswa yang tidak diikutsertakan dalam permainan lempar bola ini
merasa sangat tidak nyaman, bahkan saat menyaksikan tayangan rekaman
videonya pun tetap merasa tidak nyaman.
Buatlah daftar kelompok yang anda miliki, kemudian bagilah ke dalam kategori kelompok berdasarkan kapan anda menjadi anggota kelompok tersebut, apakah sejak lahir, atau setelah anda dilahirkan. Selanjutnya bagilah ke dalam kategori kelompok yang bisa anda keluar darinya dan yang tidak bisa. Kemudian dengan daftar kelompok yang sama, tentukan apakah anda sendiri yang memilih untuk menjadi anggota kelompok tersebut, atau keanggotaan anda bukan karena pilihan anda. Jika anda memilih untuk menjadi anggota kelompok tersebut, apa alasan anda.
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajari alasan mengapa orang berkelompok, khususnya yang berkenaan
dengan faktor ketidakpastian dan reputasi kelompok serta gejala pengucilan
sosial.
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1.22Psikologi Sosial
Ketika manusia pertama kali menghirup udara segar, ia sudah menjadi
anggota berbagai macam kelompok: jender, keluarga, marga, ras/suku, warga
negara, agama kelas dan status sosial. Menurut para pakar psikolog sosial,
manusia memiliki identitas sosial, yaitu definisi diri yang membimbing
individu untuk mengkonseptualisasikan dirinya. Menurut Deaux (1993)
identitas diri merupakan kumpulan karkateristik-karakteristik unik orang
tersebut. Manusia berkelompok karena beberapa hal. Pertama-tama adalah
keamanan, menurut Maslow, rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia
yang harus dipenuhi sebelum manusia bisa memenuhi kebutuhan lainnya.
Menjadi anggota suatu kelompok memenuhi kebutuhan ini dengan
memberikan rasa aman, safety in numbers.
Selanjutnya, menjadi anggota suatu kelompok juga memenuhi kebutuhan
psikologis seseorang, ada rasa sense of belonging dengan menjadi anggota
kelompok. Dengan berada dalam kelompok, individu juga mendapatkan
social support. Fungsi lain dari berkelompok adalah sebagai sarana untuk
mencapai tujuan dan ambisi seseorang. Dengan berkelompok, individu
bertemu dengan orang-orang lain yang memiliki tujuan yang sama. Menjadi
anggota suatu kelompok bisa menjadi tujuan individu itu sendiri, yaitu untuk
mendapatkan status tertentu. Seseorang yang tidak merasa bagian dari suatu
kelompok akan merasa terisolasi. Hal ini dapat menimbulkan gangguan
psikologis seperti depresi.
RANGKUMAN
ADPU4218/MODUL 1 1.23
1. Alasan orang menjadi anggota suatu kelompok adalah :A. Untuk mendapatkan rasa amanB. Untuk mencapai tujuan yang diinginkanC. Untuk memenuhi kebutuhan psikologisD. Semua jawaban benar
2. Karena urusan pekerjaan, Ida dipindahkan ke kantor cabang di luar kota. Ketika Ida berada di kota yang baru ia merasa sangat tidak nyaman. Hal ini terjadi karena :
A. Ida tidak menyukai pekerjaannyaB. Ida tidak menyukai kota di mana ia berada C. Ida kehilangan sense of belongingD. Ida tidak suka bepergian
3. Menurut Hogg dan Abrams, alasan orang menjadi anggota suatu kelompok adalah :
A. karena reputasi kelompok yang positifB. karena kelompok meningkatkan statusnyaC. karena kelompok meningkatkan harga dirinyaD. semua jawaban benar.
4. “Menjadi anggota kelompok merupakan kebutuhan dasar manusia”, dikemukakan oleh para pakar :
A. Hogg dan AbramsB. Vaughn dan HoggC. Baumister dan LearyD. Tajfel dan Turner
.
TES FORMATIF 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1.24Psikologi Sosial
5. Greenberg, dkk mengemukakan suatu teori dalam menjelaskan orang berkelompok :
A. Social identity theoryB. Terror management theoryC. Self-esteem theoryD. Social ostracism theory
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kegiatan Belajar 3
DINAMIKA KELOMPOK
Jika anda membuka koran hari ini atau menonton
berita di televisi, sering kali anda melihat berita mengenai
partai politik. Beritanya bisa mengenai partai yang baru
dibentuk, atau sedang dalam proses bubar, atau sebagian
anggotanya memisahkan diri dan membentuk partai baru, atau
mungkin beberapa partai bergabung menjadi satu partai.
Masing-masing kejadian menunjukkan bahwa kelompok
merupakan suatu entitas yang dinamis. Semua kelompok, baik
yang hanya beranggotakan beberapa orang (misalnya anggota
group band) hingga yang beranggotakan jutaan orang
(misalnya partai) selalu berubah. Dalam kegiatan belajar 2 ini
akan dibahas segala sesuatu yang berkait dengan dinamika
kelompok.
Dinamika kelompok atau group dynamics adalah suatu bidang ilmu
pengetahuan yang memusatkan diri pada pengkajian ilmiah mengenai
perilaku individu dalam kelompok. Hal-hal yang menjadi pusat perhatian
dinamika kelompok adalah karakterisitik kelompok dan perkembangan
kelompok. Selain itu, sebagai suatu cabang ilmu, dinamika kelompok juga
meneliti pengaruh kelompok (group influence) yaitu hubungan antara
kelompok dengan individu, kelompok dengan kelompok lain, dan kelompok
dengan entitas lain di luar kelompok.
Konsep dinamika kelompok berasal dari Kurt Lewin (1890 – 1947)
yang dicetuskan pada tahun 1940-an. Menurut Lewin, pada dasarnya setiap
kelompok memiliki struktur tertentu yang mencakup norma dan peran.
Norma dan peran adalah bagian dari karakteristik kelompok. Kelompok juga
berubah dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, melalui
beberapa tahap, yang mempengaruhi produktivitas kelompok tersebut.
Untuk memahami dinamika kelompok, kita perlu melihat
karakteristik yang mendasari setiap kelompok. Walaupun kelompok berbeda-
beda, terdapat kesamaan karakterisitik mendasar dalam setiap kelompok.
Karakterisitik pertama adalah adanya suatu tujuan yang menjelaskan ruang
lingkup kelompok tersebut dan mengikat anggotanya. Kedua, adanya pola
komunikasi yang stabil antara anggota. Ketiga, adanya fungsi spesifik bagi
masing-masing anggota yang melengkapi pembagian tugas dalam kelompok.
Keempat, adanya prosedur penanganan masalah. Kelima, adanya harapan
mengenai perilaku (conduct) mana yang dapat diterima dan perilaku mana
yang tidak dapat diterima, dan terakhir adalah berlangsungnya adaptasi
kelompok terhadap organisasi, masyarakat dan kebudayaan di mana ia
berada.
Khusus mengenai karakteristik ketiga dan kelima adalah berkenaan
dengan apa yang dimaksudkan oleh Lewin sebagai peran dan norma yang
besar pengaruhnya terhadap dinamika kelompok. Peran adalah sekumpulan
perilaku yang diharapkan ditampilkan oleh seseorang sesuai dengan
posisinya dalam kelompok. Dalam kelompok, masing-masing individu
melakukan tugas yang berbeda dan diharapkan dapat menyelesaikan hal-hal
yang berbeda untuk kelompok. Hal ini penting demi tercapainya tujuan
kelompok. Peran seseorang bisa ditentukan, namun dapat juga didapatkan
oleh seseorang tanpa secara langsung diberikan padanya. Misalnya, dalam
partai politik ada peran ketua, wakil ketua, bendahara, dan peran lainnya.
Peran-peran tersebut, merupakan peran yang ditentukan oleh kelompok bagi
anggotanya. Namun, sering kita mendengar istilah ”tokoh senior” atau ”tokoh
spiritual”. Individu dengan peran seperti itu, tidak mendapatkan perannya
melalui pemilihan, atau seleksi formal. Peran seperti itu didapatkan secara
tidak langsung oleh individu yang bersangkutan. Bagaimana pun cara
seseorang mendapatkan perannya, individu tersebut akan menginternalisasi
peran yang dimilikinya.
Karena keanggotaan individu bisa pada lebih dari satu kelompok,
maka salah satu masalah yang dapat muncul adalah konflik peran. Dampak
dari konflik peran adalah munculnya stres yang disebabkan oleh dua atau
lebih peran yang dimiliki oleh seseorang yang saling bertentangan.
Misalnya, seorang pemimpin partai sedang merapatkan calon-calon kader
yang akan diterima oleh partai. Salah satu kader adalah anaknya. Terjadi
konflik peran, antara peran sebagai orangtua dengan peran sebagai ketua
partai. Perannya sebagai bapak mengharuskan dirinya untuk memberi
dukungan penuh terhadap anaknya, namun sebagai ketua partai ia harus
bersikap objektif dan tindakannya harus demi kepentingan partai, bukan
kepentingan peribadi. Walaupun masing-masing peran sama pentingnya bagi
kelompok di mana peran itu didapatkan, sering kita amati bahwa dalam
konflik peran biasanya satu peran akan diutamakan dibandingkan peran
lainnya. Misalnya dalam kasus ini, peran sebagai bapak akan diutamakan
dibandingkan perannya sebagai ketua partai. Maka kader, yang notabene
adalah anaknya, akan dimudahkan dalam proses peneriman ke dalam partai
Peran individu berdampak langsung pada statusnya dalam kelompok. Status
adalah posisi atau peringkat dalam kelompok. Pada umumnya suatu
kelompok memiliki sistem hierarki berdasarkan peran masing-masing
individu. Ini jelas dengan adanya peran ketua umum, pimpinan daerah, dan
lain-lain. Peran berkaitan erat dengan posisi dalam kelompok. Keduanya pun
diasosiasikan dengan peringkat dan status tertentu. Status sering digunakan
oleh kelompok sebagai mekanisme kontrol dan pengaruh terhadap
anggotanya. Contohnya, seorang anggota partai yang menolak keputusan
partai biasanya akan disingkirkan, diturunkan dari jabatannya, atau bahkan
dikeluarkan. Hanya anggota yang mengikuti peraturan kelompok dengan baik
yang akan mendapatkan status tinggi dan peran penting di dalam kelompok.
Status berkaitan dengan motivasi pribadi yang mendasari tujuan individu
untuk bergabung dalam kelompok tertentu. Status menjadi penting karena
individu yang berstatus yang tinggi mendapatkan lebih banyak akses dan
keutamaan dibandingkan dengan individu yang berstatus lebih rendah. Status
yang tinggi memberikan banyak manfaat bagi individu. Pada dasarnya, status
merupakan salah satu imbalan (reward) yang ditawarkan oleh kelompok
untuk anggotanya. Maka status merupakan salah satu faktor dari pengaruh
kelompok (group influence).
Karakterisitik kelompok yang berkaitan erat dengan peran dan status
adalah norma. Norma adalah semacam ”aturan main”, atau secara spesifik,
norma adalah peraturan dalam kelompok yang mengatur bagaimana perilaku
anggota kelompok seharusnya. Ketaatan inividu terhadap norma yang
berlaku merupakan hal yang penting untuk sejauhmana individu tersebut
dapat menaikkan statusnya dan untuk mendapatkan berbagai manfaat dari
kelompok. Norma bisa berupa norma deskriptif (decriptive norm) dan
injunctive norms. Norma deskriptif adalah norma yang menjelaskan apa yang
dilakukan oleh kebanyakan orang dalam situasi tertentu. Norma deskriptif
mempengaruhi perilaku dengan menginformasikan kepada individu perilaku
apa yang pada umumnya efektif pada situasi tertentu. Injuctive norms adalah
norma yang menjelaskan apa yang ’seharusnya’ dilakukan dalam situasi
tertentu, menjelaskan perilaku apa yang diterima atau tidak diterima dalam
situasi tertentu.
Telah dikemukakan terdahulu bahwa karakteristik kelompok yang
pertama adalah ”tujuan”. Tujuan kelompok mendefinisikan ruang lingkup
kelompok tersebut yang mengikat anggotanya. Suatu kelompok ada karena
ada suatu tujuan tertentu. Kelompok partai ada karena ada tujuan politis,
mengubah sistem pemerintahan, misalnya. Dengan adanya tujuan tersebut,
ruang lingkup kelompok tersebut pun dapat dirumuskan secara nyata, yakni
sebagai kelompok di bidang politik/pemerintahan. Tujuan mengikat
anggotanya karena ”tujuan” tersebut tidak dapat diraih oleh anggota
kelompok seorang diri. Sangat kecil kemungkinan seorang individu dapat
mengubah, memimpin sistem pemerintahan seorang diri, bahkan cenderung
mustahil.
Karakteristik kedua adalah adanya pola komunikasi yang stabil
antara anggota. Pola komunikasi ini terbentuk karena ada saling
ketergantungan antara anggota kelompok dan adanya interaksi antara
individu dalam kelompok. Dengan adanya rasa ketergantungan maka
dibutuhkan interaksi antar anggota. Dalam interaksi dibutuhkan suatu pola
komunikasi untuk memfasilitasi interaksi tersebut. Pola komunikasi dalam
kelompok bisa dalam bentuk yang terstruktur, formal, atau yang bersifat
informal. Misalnya, suatu keputusan ketua dalam partai disampaikan kepada
seluruh anggotanya secara formal melalui surat. Dalam situasi yang lain,
seorang anggota biasa bisa berbincang-bincang dengan ketua partai secara
informal. Suatu kelompok dapat disebut kelompok hanya apabila terdapat
komunikasi dan interaksi antar anggotanya.
Karakteristik berikutnya adalah adanya prosedur penanganan
masalah. Prosedur ini dapat bersifat formal, maupun non formal. Secara
formal, suatu kelompok memiliki prosedur tetap untuk mengatasi masalah.
Misalnya, bila terjadi pelanggaran peraturan, maka dapat diterapkan sanksi
lisan, sanksi tertulis, dan dikeluarkan dari kelompok. Penerapan sanksi
tersebut tersusun dan tertulis, dan mengikuti mekanisme tertentu. Secara non
formal, konflik antara anggota dapat ditengahi oleh pemimpin, atau oleh
tokoh senior dalam kelompok. Suatu kelompok harus memiliki prosedur
penanganan masalah baik secara formal maupun non formal
Karakteristik terakhir dari kelompok adalah adaptasi. Kelompok
akan menyesuaikan dirinya terhadap organisasi, masyarakat dan kebudayaan
di mana ia berada. Pada dasarnya suatu kelompok berada dalam kelompok
lain yang lebih besar, di mana kelompok terbesar adalah masyarakat. Oleh
karena itu, untuk dapat diterima, suatu kelompok harus bisa mengikuti
peraturan (norma) kelompok yang lebih besar, dan norma yang paling besar
adalah kebudayaan.
Setiap kelompok pasti mengalami perubahan seiring dengan
berjalannya waktu. Hal ini terjadi baik karena perubahan dalam struktur
keanggotaan, tuntutan dalam kelompok itu sendiri, maupun sebagai adaptasi
kelompok terhadap tuntutan eksternal. Menurut Bales (1965, dalam Vaughn
dan Hugg, 2005), kelompok berubah melalui tahap-tahap yang berulang
(recurring phase theory). Menurut teori ini, suatu kelompok perlu
menemukan titik keseimbangan antara pekerjaan yang berorientasi pada
tugas dengan ekspresi emosional anggota kelompok. Hal ini dibutuhkan
untuk membangun hubungan baik antar anggota. Dinamika kelompok
berjalan dalam batasan dua hal tersebut, ada periode di mana kelompok akan
fokus pada ekspresi emosional untuk membangun solidaritas, dan akan ada
periode di mana kelompok akan lebih fokus pada kerja.
Pendekatan lain terhadap dinamika kelompok adalah teori
perubahan secara bertahap (sequential-stage theories). Dari sisi individual,
Morland dan Levine (1988, dalam Vaughn dan Hogg, 2005) menyatakan
bahwa anggota kelompok mengalami beberapa fase perkembangan. Diawali
dengan calon anggota (prospective member), anggota baru, anggota penuh,
anggota marjinal, dan diakhiri dengan mantan anggota. Pada masing-masing
tahap, perhatian anggota terhadap kelompok berbeda-beda pula. Misalnya,
seorang mahasiswa yang sedang memilih antara beberapa partai politik yang
gencar menawarkan kaderisasi dalam kampus. Masing-masing partai akan
berusaha memikat calon dengan menawarkan berbagai macam fasilitas, dan
mencari kesamaan dalam tujuan. Pada tahap ini status mahasiswa tersebut
adalah calon anggota ia akan memilih kelompok (partai) mana yang
memiliki tujuan yang paling sama dengan tujuan peribadinya.Hal ini bisa
bedasarkan orientasi agama, atau berdasarkan visi partai dalam mekanisme
pemerintahan yang ”benar”.
Setelah mahasiswa tersebut memilih dan bergabung menjadi
anggota baru, ia akan mencoba mengubah kelompok sesuai dengan
kebutuhannya, sementara kelompok akan mencoba mengubah individu untuk
memenuhi kebutuhan kelompok. Hal ini lebih mudah dilakukan oleh
kelompok karena kelompok dapat menawarkan status sebagai imbalan
terhadap kepatuhan terhadap norma kelompok, group influence. Setelah
berada dalam kelompok, sebagai anggota penuh, individu akan mencari
posisi spesifik dalam kelompok yang sesuai untuk dirinya. Individu bisa
mencoba untuk masuk dalam berbagai divisi tertentu dalam partai, atau
masuk ke struktur kepemimpinan partai.Apabila individu berhasil, maka ia
bisa mendapatkan peran yang memberikannya status yang penting. Hanya
ketika individu memiliki status yang tinggi, misalnya ketua, ia dapat
melakukan perubahan untuk lebih memenuhi kebutuhan dan tujuannya.
Namun bisa juga individu tersebut tidak mendapatkan peran yang signifikan
hingga hanya menjadi anggota marjinal.
Tahap terakhir adalah mantan anggota, hal ini terjadi apabila
individu memilih untuk keluar, atau dikeluarkan oleh kelompok. Kebanyakan
mantan anggota tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap kelompok, hanya
dalam kasus-kasus khusus seorang mantan anggota kelompok masih dapat
memberikan pengaruh terhadap kelompok.
Tuckman (1965, dalam Vaughn dan Hogg, 2005) mengajukan teori
mengenai perubahan kelompok dari segi perkembangan kelompok itu sendiri,
khususnya yang berkenaan dengan kelompok kecil yang sifatnya ad-hoc,
seperti kelompok kerja atau satuan tugas. Menurut pendapatnya suatu
kelompok akan melalui lima tahap perkembangan yakni, (a) tahap
pembentukan kelompok (forming), (b) pencarian jati diri (storming), (c)
pengukuhan nilai-nilai dan struktur (norming), (d) berkarya (performing),
dan (e) pembubaran (adjourning). Secara skematis lima tahap perkembangan
kelompok ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar : Lima tahap perkembangan kelompok
Prestage Stage I Stage II Stage III Forming Storming Norming
Stage VI Stage V Performing Adjourning
Sumber : Robbins, 2003:221.
Berdasarkan lima tahap perkembangan ini, Johnson dan Johnson
(2006) mengembangkannya menjadi tujuh tingkat perkembangan kelompok,
sebagai berikut:.
Tahap pertama, mendefinisikan dan mementuk struktur pelaksanaan
(Defining and Structuring procedures). Ketika kelompok mulai dibentuk,
anggota akan bertanya mengenai peran mereka dan apa tujuan dibentuknya
kelompok tersebut. Pada tahap ini dibutuhkan seorang kordinator yang dapat
menjelaskan prosedur dalam kelompok, mendefinisikan tujuan kelompok,
membangun saling ketergantungan antara anggota kelompok, dan secara
umum mengorganiasikan kelompok.
Tahap kedua, mengikuti tatacara pelaksanaan kelompok dan saling
mengenal antar anggota (conforming to procedures and getting acquainted).
Ketika anggota kelompok mulai bekerja dalam kelompok, mereka mulai
memahami cara kelompok bekerja dan dalam prosesnya mulai berlangsung
pengenalan antar anggota. Dalam tahap ini fungsi kordinator tetap penting
sebagai sumber informasi mengenai arah dan tujuan kelompok, dan
cara/prosedur untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam tahap ini pula
kordinator menanamkan norma kelompok terhadap anggotanya.
Tahap ketiga, memahami kesamaan dan membangun kepercayaan
(recognizing mutuality and building trust). Sesuai dengan namanya, pada
tahap ini perkembangan kelompok ditandai dengan pemahaman anggota
kelompok mengenai perlunya saling ketergantungan antara anggota, dan
membentuk rasa percaya satu sama lain. Kelompok mulai berfungsi sebagai
satu unit atau sebagai suatu kesatuan yang menentukan kegagalan atau
keberhasilan bersama.
Tahap keempat, pemberontakan dan pembedaan (rebelling and
differentiating). Pada tahap ini anggota kelompok melakukan protes terhadap
kordinator dan prosedur yang berlaku. Selain itu anggota akan membedakan
dirinya dari anggota lain melalui perbedaan pendapat dan konflik. Periode
penentangan terhadap otoritas bisa berlangsung dalam jangka waktu pendek
atau jangka panjang. Tahap ini merupakan titik ubah dari kelompok yang
bergantung pada satu sosok (kordinator) menjadi kelompok yang mandiri.
Selain itu proses pembedaan antara anggota menghasilkan batasan peran
yang jelas dan otonomi individual.
Tahap kelima, komitmen terhadap tujuan kelompok dan prosedur
(commiting to the groups’s goals and procedures). Pada tahap ini kelompok
tidak lagi bergantung pada koordinator. Terjadi saling ketergantungan antara
anggota, dan munculnya komitmen individual dalam proses kolaboratif
kelompok. Rasa memiliki kelompok semakin kental pada para anggota dan
terjadi internalisasi nilai-nilai kelompok. Kepedulian terhadap anggota lain
meningkat, rasa persaudaraan terbentuk, dan muncul tanggungjawab bersama
terhadap kesejahteraan anggota lain dan kelompok secara keseluruhan.
Motivasi anggota berubah menjadi motivasi intrinsik.
Tahap keenam, berfungsi secara dewasa dan produktif (functioning
maturely and productively). Setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, pada
tahap ini kelompok telah memiliki kematangan, otonomi dan produktivitas.
Selanjutnya muncul identitas kelompok. Anggota kelompok bekerjasama
untuk mencapai berbagai macam tujuan dan konflik dapat diatasi secara
efektif. Fungsi kordinator berubah menjadi konsultan, kolaborasi antar
anggota meningkat, sementara hubungan baik terus dijaga. Tahap ini
menandai perubahan kelompok menjadi kelompok efektif, dan tidak semua
kelompok bisa sampai ke tahap ini.
Tahap ketujuh, pembubaran (terminating). Setiap kelompok
memiliki umur yang pasti, bisa singkat, beberapa bulan ( kelompok kerja
dalam proyek) atau bisa sangat lama (kelompok Freemason sudah berusia
ratusan tahun). Namun, pada akhirnya setiap kelompok akan bubar.
Pembubaran dapat terjadi secara menyeluruh, suatu kelompok dapat tidak
ada sama sekali, atau dapat juga terjadi hanya pada bagian-bagian tertentu,
kelompok tetap ada tapi anggotanya sudah berubah total. Misalnya,
kelompok struktur kepemimpinan partai pada periode tertentu, ketika masa
kepemimpinan berakhir, maka berakhir pula unit tersebut, namun partai
sebagai kelompok besar, tetap ada. Perubahan dalam kelompok pasti terjadi,
karena anggota meninggal, pensiun, atau ingin melakukan hal lain dalam
hidupnya.
Faktor lain yang berperan dalam dinamika kelompok adalah
kohesivitas (cohesiveness) yang merupakan kekuatan yang mengikat seluruh
anggota dalam kelompok. Dengan kata lain, kohesivitas merupakan suatu
bentuk keeratan dan kekompakan dalam kelompok. Secara spesifik,
kohesivitas mengacu pada semua kekuatan dan faktor yang membuat anggota
suatu kelompok tetap berada dalam kelompok tersebut, seperti menyukai
anggota kelompok lainnya dan keinginan untuk meningkatkan status dengan
berada dalam kelompok yang tepat. Kedekatan antar anggota kelompok tidak
semata-mata dilandasi oleh ketertarikan terhadap karakteristik individual,
akan tetapi sejauhmana individu dapat menampilkan perilaku dan memiliki
sifat yang sesuai dengan karakteristik kelompok. Misalnya, suatu kelompok
pemuda binaan partai terkenal sebagai kelompok yang ”ditakuti”. Seorang
anggota yang dapat menampilkan sifat ’macho’, ’sangar’ dan berani,
kemungkinan besar akan disukai karena ia dapat mereperesentasikan
karakterisitik perkumpulan pemuda tersebut. Terlepas apakah sebenarnya
sebagai individu, anggota tersebut lemah lembut, bertuturkata sopan, dan
cenderung pendiam. Gejala ini dikenal sebagai depersonalized attraction,
yaitu menyukai anggota kelompok lainnya karena individu tersebut berada
dalam kelompok yang sama, dan dapat menjiwai dan menampilkan
karkteristik kelompok, terlepas dari sifatnya sebagai individu.
Kohesivitas kelompok juga dipengaruhi oleh struktur kelompok.
Status dan peran anggota sangat mempengaruhi kohesivitas. Anggota dengan
status yang tinggi cenderung lebih erat dibandingkan dengan anggota dengan
status rendah. Selain itu, proses penerimaan ke dalam kelompok juga
berpengaruh terhadap keeratan. Pada umumnya semakin sulit untuk
bergabung dalam suatu kelompok, semakin tinggi kohesivitas dalam
kelompok tersebut. Faktor eksternal, seperti adanya ancaman dan kompetisi
dari luar juga meningkatkan kohesivitas suatu kelompok. Faktor terakhir
adalah ukuran kelompok. Kelompok kecil cenderung lebih erat dibandingkan
dengan kelompok dengan ratusan atau ribuan anggota.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dinamika kelompok
merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan struktur kelompok dan
tahap-tahap perkembangan kelompok. Proses dinamika kelompok juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kohesivitas, dan faktor
eksternal yang berupa tuntutan masyarakat dan budaya.
Menurut Kurt Lewin peran adalah sekumpulan perilaku yang diharapkan
ditampilkan oleh individu dalam kelompok. Pilih salah satu kelompok
dimana anda menjadi anggota, kemudian jelaskan peran anda dalam
kelompok tersebut, dan perilaku apa yang diharapkan dari anda. Kaitkan
peran yang diharapkan dari anda dengan norma yang berlaku dalam
kelompok, baik descriptive norm maupun injuctive norm. Diskusikan
jawaban anda dalam kelompok.
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajarilah dengan seksama karakteristik kelompok yang berkenaan dengan norma atau “aturan main” kelompok yang berisi perilaku apa yang diperbolehkan atau dilarang ditampilkan oleh individu sebagai anggota kelompok. Pelajari juga pengertian dan perbedaan antara descriptive norm dan injuctive norm.
Dinamika kelompok atau group dynamics adalah suatu bidang ilmu
pengetahuan yang mempelajari perilaku individu dalam kelompok, seperti
karakteristik, perkembangan, dan pengaruh kelompok (group influence).
Konsep dinamika kelompok pertama kali dicetuskan oleh Kurt Lewin pada
tahun 1940an, yang intinya menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki
struktur, norma dan peran tertentu. Selanjutnya Lewin menyatakan bahwa
kelompok memiliki lima karakteristik dasar : tujuan, pola komunikasi,
fungsi spesifik masing-masing anggota, prosedur penanganan masalah, dan
adaptasi.
Tujuan kelompok mendefinisikan ruang lingkup kelompok, suatu
kelompok ada karena ada suatu tujuan tertentu. Misalnya, kelompok partai
ada karena ada tujuan politis. Karakteristik kedua, adalah adanya pola
komunikasi yang stabil antara anggota. Pola komunikasi terbentuk karena
adanya rasa ketergantungan antara anggota kelompok. Pola komunikasi
dalam kelompok bisa dalam bentuk yang terstruktur, formal, atau informal.
Karakteristik berikutnya adalah adanya prosedur penanganan masalah.
Prosedur ini bisa bersifat formal, misalnya dengan sanksi tertulis, atau non
RANGKUMAN
formal, misalnya diselesaikan oleh pemimpin, atau tokoh senior.
Karakteristik terakhir adalah adaptasi, kelompok pasti akan mengalami
perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, kelompok
harus mampu beradaptasi terhadap perubahan organisasi, masyarakat, dan
kebudayaan di mana dia berada.
Mengenai peran, Lewin menjelaskannya sebagai sekumpulan
perilaku yang diharapkan ditampilkan oleh individu dalam kelompok.
Peran masing-masing individu berbeda dalam kelompok, namun
dibutuhkan untuk tercapainya tujuan kelompok. Peran seseorang dapat
ditentukan oleh kelompok, atau didapatkan secara tidak langsung. Karena
keanggotaaan individu bisa pada lebih dari satu kelompok, maka dapat
muncul konflik peran yang berakibat munculnya stres pada individu.
Dalam konflik peran, ada kecenderungan pada individu untuk
mengutamakan salah satu perannya.
Suatu kelompok juga memiliki sistem herarki, baik secara formal
maupun informal, peran individu dalam kelompok berkaitan erat dengan
statusnya (posisi/peringkat) dalam kelompok. Status juga digunakan
sebagai mekanisme kontrol keanggotaaan dalam kelompok. Semakin tinggi
status individu dalam kelompok, semakin penting peran yang dimilikinya,
dan dengan demikian semakin besar pula fasilitas dan imbalan yang
didapatkannya. Oleh karena itu, status merupakan salah satu faktor dari
pengaruh kelompok (group influence).
Karakteristik lain dari kelompok yang berkaitan dengan peran dan
status adalah norma, yaitu peraturan tidak tertulis mengenai perilaku apa
yang diperbolehkan, dan perilaku apa yang tidak. Ada dua macam norma,
descriptive norm dan injuctive norm. Descriptive norm mengacu pada apa
yang dilakukan oleh kebanyakan orang dalam situasi tertentu. Sementara
injuctive norm mengacu pada apa yang “seharusnya” dilakukan dalam
situasi tertentu.
Proses dinamika kelompok dapat terjadi melalui tahap-tahap yang
berulang (recurring phase theory), atau secara berurut (sequential-stage
theories) Menurut recurring phase theory, suatu kelompok perlu
menenmukakn titik keseimbangan antara pekerjaan yang berorientasi pada
tugas dengan ekspresi emosional anggota kelompok. Dalam pendekatan
sequantial-stage theories, anggota kelompok mengalami beberapa fase
perkembangan, mulai sebagai calon anggota (prospectus member), anggota
penuh, dan terakhir sebagai mantan anggota. Individu dalam kelompok
akan mencoba untuk mengubah kelompok untuk kepentingannya,
sementara kelompok pun akan mengubah individu sesuai dengan keinginan
kelompok melalui group influence. Pendekatan lain memfokuskan pada
perkembangan kelompok itu sendiri. Perubahan kelompok melalui lima
tahap, pembentukan, pencarian jati diri, pengukuhan nilai-nilai, berkarya,
dan pembubaran.
Kelima tahap ini kemudian dikembangkan menjadi tujuh tingkat
tahap perkembangan kelompok. Tahap pertama adalah mendefinisikan dan
membentuk strukrur pelaksanaan. Tahap kedua adalah mengikuti tatacara
pelaksanaan kelompok dan saling mengenal antar anggota. Tahap ketiga,
memahami kesamaan dan membangun kepercayaan. Tahap keempat,
pemberontakan dan pembedaan. Tahap kelima, komitmen terhadap tujuan
kelompok dan prosedur. Tahap keenam, kelompok berfungsi secara
dewasa dan produktif. Tahap terakhir adalah pembubaran, karena pada
akhirnya setiap kelompok pasti akan mencapai umurnya.
Faktor lain yang berperan dalam dinamika kelompok adalah
kohesivitas, yang merupakan suatu bentuk keeratan dan kekompakan
dalam kelompok. Kohesivitas kelompok dipengaruhi oleh struktur
kelompok, status dan peran anggotanya. Faktor kesulitan masuk dalam
kelompok, ada atau tidaknya tekanan eksternal, dan ukuran kelompok juga
mempengaruhi keeratan kelompok.
Dari uraian di atas, jelas bahwa kelompok sangat dinamis. Baik
individu di dalam kelompok, maupun kelompok itu sendiri terus
mengalami perubahan dengan berjalannya waktu.
1. Dinamika kelompok mempelajari hal-hal berikut ini
A. Karakteristik individu dalam kelompok
B. Pengaruh kelompok terhadap individu didalamnya
C. Perkembangan individu maupun kelompok
D. Semua jawaban benar
2. Seorang senior di Fakultas Psikologi menganjurkan para yunior, dan
mahasiswa baru untuk ikut kegiatan perkemahan (camping).
Menurut anda, dalam pendekatan kelompok, hal apa yang ia
gunakan ? Pilih jawaban yang paling tepat.
A. Ia menggunakan statusnya sebagai senior
B. Ia menggunakan statusnya sebagai mahasiswa
C. Ia menggunakan perannya sebagai panitia acara
D. Ia menggunakan perannya sebagai teman
TES FORMATIF 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
3. Seorang anggota partai berseteru dengan anggota lainnya. Apabila
permasalahan ini akan diselesaikan secara informal, maka caranya
adalah masing-masing anggota partai yang terlibat:
A. diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. dibawa ke pengadilan
C. dikeluarkan dari partai
D. diajak makan-makan di restoran besar kemudian
didamaikan
4. Di suatu desa akan dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir.
Beberapa warga merasa keberatan dengan rencana ini dan tanpa
diorganisir membentuk suatu kelompok “Warga Anti Nurklir”.
Warga desa tersebut membentuk kelompok karena :
A. Adanya kebutuhan untuk meningkatkan status mereka di
antara warga desa.
B. Adanya tujuan bersama utnuk menentang pembuatan
reaktor nuklir
C. Adanya kepentingan individu untuk melawan perubahan
D. Semua jawaban salah
5. Berdasarkan Johnson dan Johnson terdapat tujuh tahap
perkembangan kelompok. Pada tahap pembentukan kelompok
“Warga Anti Nuklir” hal apa saja yang menjadi pertimbangan
kelompok ?
A. Saling mengenal antar anggota dan mengikuti tatacara
pelaksanaan kelompok.
B. Memahami kesamaan antar anggota dan membangun
kepercayaan
C. Dipilihnya koordinator untuk menjelaskan peran masing-
masing anggota dan tujuan kelompok
D. Komitmen terhadap tujuan kelompok dan mengikuti
prosedur yang ada
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kegiatan Belajar 4
KEPEMIMPINAN
Ketika anda mendengar nama-nama seperti Soekarno, Mahatma
Gandi, Nelson Mandela, dan Mao Tse Tung, apa yang terlintas di pikiran
anda? Kemungkinan besar anda akan menjawab bahwa mereka semua adalah
pemimpin besar bangsanya. Mereka masing-masing telah membawa suatu
perubahan besar bagi bangsanya, selain itu mereka dicintai, dipatuhi dan
diiukuti oleh jutaan jiwa manusia. Maka muncul pertanyaan, sifat (trait) apa
yang dimiliki oleh para pemimpin besar? Selain itu apa yang dilakukan oleh
para pemimpin besar sehingga mereka diikuti oleh banyak orang? Untuk bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ikutilah uraian materi dalam Kegiatan
Belajar 4 berikut ini.
Sebelumnya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya diperjelas
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kepemimpinan (leadership).
Salah satu rumusan kepemimpinan adalah suatu proses yang merujuk kepada
adanya satu anggota kelompok (seorang pemimpin) yang mempengaruhi
anggota kelompok lainnya dalam mencapai suatu tujuan bersama (Baron dan
Byrne, 1997 :13).
Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah anggota kelompok yang
memiliki pengaruh yang paling besar dalam suatu kelompok,
Dengan demikian, jelas bahwa seorang pemimpin besar memiliki
sifat kepemimpinan tertentu. Untuk memahami sifat kepemimpinan ini, pada
awalnya ilmuwan melihat atau mempelajari sifat kepribadian pemimpin (trait
approach) Pendekatan ini dikenal dengan The Great Person Theory (teori
orang hebat), yang mengacu pada pandangan bahwa pemimpin besar
memiliki berbagai karakterisitik sifat tertentu yang membedakan mereka dari
kebanyakan manusia. Karakterisitik tersebut selalu dimiliki oleh para
pemimpin hebat, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Namun,
penelitan-penelitian terhadap hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan
antara kareakteristik sifat kepribadian pemimpin dengan efektivitas
kepemimpinan ternyata rendah (0,30). (Yukl, 1998 dalam Baron,
Branscombe, dan Byrne, 2008) Namun, ketika dilakukan rangkuman
terhadap penelitian-penelitian serupa ditemukan bahwa pemimpin yang
efektif cenderung memiliki kebutuhan akan keberhasilan (need for
achievement), harga diri (self esteem), motivasi (motivation), orisinalitas
(originality), dan toleransi terhadap stres (stress tolerance) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemimpin yang kurang efektif.
Meninjau sosok Soekarno, sebagai salah satu contoh pemimpin
efektif, jelas bahwa beliau adalah orang yang sangat percaya diri.
Kebutuhannya akan keberhasilan ditunjukkan dengan kegigihannya dalam
berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Perjuangan yang beliau lakukan
tidaklah sebentar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu motivasi yang
sangat besar dalam dirinya. Sementara serangkaian orasi beliau
menunjukkan gagasan yang orisinal. Toleransi yang tinggi terhadap stres
ditunjukkan dengan selalu tampil penuh semangat walaupun nyawanya
seringkali terancam.
Penelitian-penelitian selanjutnya mencoba untuk melihat dimensi
lain dari seorang pemimpin yang efektif, yaitu perilakunya. (Lippit & White,
1934; Stugdill, 1974 dalam Vaughn & Hogg, 2005). Pendekatan ini dikenal
sebagai Behavioral Theory of Leadership. Penelitian oleh Robert Bales
(1950), misalnya, menunjukkan bahwa pada dasarnya ada dua macam gaya
kepemimpinan, yaitu pemimpin kerja (task leader) dan pemimpin sosio-
emosional (socio-emotional leader). Pemimpin kerja mengontribusikan ide-
ide, mencari dan memberikan informasi dan opini, mengoordinasi aktivitas
kelompok, memberikan ’energi’ ke dalam kelompok, dan mengeveluasi
kinerja kelompok. Sementara, pemimpin sosio-emosional memberikan
pujian, memediasi konflik, mendorong partisipasi, dan juga memberikan
umpan balik terhadap kelompok dan proses kelompok. Dengan kata lain,
pemimpin kerja adalah pemimpin yang berorientasi pada tugas yang
dihadapi, sedangkan pemimpin sosio-emosional lebih berorientasi pada
orang-orang yang menjalankan tugas. Pada kelompok informal seringkali
kedua peran tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda, tetapi dalam suatu
kelompok kerja (task force) yang pemimpinnya merupakan hasil pemilihan,
kedua peran tersebut dilakukan oleh satu orang.
Penelitian lain (Fleshman, 1973: Stogdill, 1974, dalam Vaughn &
Hogg, 2005) juga membagi gaya pemimpin menjadi dua dimensi. Dimensi
pertama adalah initiating structure/production orientation, yaitu gaya
kepemimpinan yang berfokus pada penyelesaian tugas. Pemimpin akan
mengorganisasi kerja, mendorong bawahan untuk mengikuti peraturan,
menetapkan target, dan memperjelas perbedaan peran pemimpin dan
bawahan. Dimensi kedua adalah consideration/person orientation,
pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini lebih fokus pada menjalin
hubungan baik dengan bawahannya agar disukai. Mereka akan membantu
bawahannya, memberikan penjelasan kepada bawahan, dan meperhatikan
kesejahteraan bawahannya.
Gaya kepemimpinan lain (Lippit dan White, 1943, dalam Vaughn &
Hogg, 2005), yang masih berhubungan dengan dimensi kepemimpinan di
atas, adalah gaya otokratis (autocratic leadership style) dan gaya demokratis
(democratic leadership style) Gaya otokratis lebih cenderung berorientasi
kepada pekerjaan karena pemimpin membuat semua keputusan. Sementara
gaya demokratis, cenderung berorientasi pada manusia (people oriented),
karena melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan adanya dua dimensi
mendasar perilaku pemimpin, yaitu pemimpin yang berorientasi pada tugas,
dan pemimpin yang berorientasi pada individu-individu yang melakukan
tugas. Jelas bahwa orang cenderung lebih menyukai pemimpin yang
demokratis dibandingkan dengan pemimpin otokratis, dan pada umumnya
perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas menimbulkan ketidakpuasan
yang lebih tinggi pada bawahan dibandingkan dengan perilaku pemimpin
yang berorientasi pada bawahan. Namun, tidak dapat dikatakan bahwa satu
jenis perilaku pemimpin akan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingakan perilaku pemimpin yang lainnya. Kepemimpinan yang efektif
perlu menggabungkan kedua dimensi tersebut, yaitu pemimpin yang peduli
terhadap bawahannya dan tetap fokus pada tugas yang dihadapi.
Renis Likert, seorang peneliti dari Amerika, mencoba untuk
mengambil sudut pandang yang berbeda. Ia berhasil mengidentifikasi empat
macam perilaku pemimpin yang efektif. Dua dari perilaku tersebut adalah
perilaku mendukung (supportive behaviours), dan membuat target kerja yang
tinggi (high performance goal) telah ditunjukkan oleh kedua dimensi
kepemimpinan yang telah disebutkan di atas. Perilaku pemimpin yang efektif
lainnya adalah kemampuan untuk menyupervisi kelompok, bukan individu,
dan kemampuan untuk memosisikan dirinya sebagai juru bicara kelompok.
Seorang pemimpin yang menunjukkan keempat perilaku ini memiliki
kelompok yang lebih puas, hubungan yang lebih erat, mampu berkomunikasi
lebih efektif, dan kelompok lebih termotivasi. Selain itu, kelompok yang
dipimpin pun menjadi lebih produktif, lebih sedikit mengeluh, dan jarang ada
anggota yang keluar dari kelompok. Penerapan sistem Likert telah terbukti
dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan.
Selain sifat kepribadian (personality strait) dan gaya kepemimpinan,
faktor lain yang juga berpengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan adalah
situasi dan kondisi kerja. Penelitian terhadap para politisi dari dua partai
besar di Amerika, Democrats dan Republicans, menunjukkan bahwa
efektivitas dari suatu gaya kepemimpinan bergantung pada situasi di mana
pemimpin tersebut bekerja. Situasi yang berbeda membutuhkan strategi
kepemimpinan yang berbeda pula (situational approach)
Perhatikan ilustrasi berikuti ini: Seorang jenderal sebagai pemimpin
di medan perang, dan seorang psikolog sosial yang menjadi pemimpin
program rehabilitasi pascabencana yang dijalankan oleh Lembaga Swadaya
masyarakat (LSM) Jenderal yang sangat otoriter memenangkan perang
dengan cepat dan memperoleh tanda jasa, sementara psikolog yang otoriter
dengan cepat diturunkan dan digantikan oleh anggota LSM yang lain.
Mengapa suatu kepemimpinan yang jelas efektif pada satu situasi,
berdampak sangat buruk pada situasi lainnya? Pertama-tama, terdapat
perbedaan organisasi: militer adalah organisasi formal, sementara LSM
adalah organisasi non-formal. Perbedaan jenis organisasi mempengaruhi
status pemimpin dalam organisasi. Seorang jenderal menjadi pemimpin
berdasarkan sistim hierarki formal yang diterapkan oleh institusi. Sementara
psikolog sebagai pemimpin sukarelawan menjadi pemimpin karena
kesepakatan anggota lainnya. Maka, walaupun statusnya sebagai pemimpin,
individu tersebut tidak memiliki kekuasaan yang sebenarnya, berbeda dengan
jenderal yang jelas memiliki wewenang atas prajurit-prajuritnya. Perbedaan
lainnya adalah kondisi kerja. Dalam medan perang, pemimpin dan anggota
dihadapkan pada kondisi hidup atau mati, sehingga keputusan yang diambil
oleh pemimpin sangat vital demi keselamatan kelompok. Maka seorang
jenderal di medan perang membutuhkan gaya kepemimpinan yang otokratis
karena perlu membuat keputusan dengan cepat, dan keputusan tersebut harus
dipatuhi oleh semua bawahannya. Sementara kondisi kerja yang dialami para
sukarelawan jauh lebih aman, sehingga tidak dibutuhkan seorang pemimpin
yang otoriter. Di sini justru yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bisa
menjaga motivasi para sukarelawan. Pemimpin yang otoriter justru akan
ditinggalkan oleh rekan-rekannya. Selain itu jenis pekerjaan yang dilakukan
juga berbeda. Semakin cepat perang dapat dimenangkan semakin bagus.
Sementara proses rehabilitasi membutuhkan proses yang lebih lama. Maka
dapat disimpulkan bahwa tipe organisasi, kondisi dan lingkungan kerja, serta
jenis pekerjaan mempengaruhi strategi kepemimpinan yang dapat digunakan
agar efektif.
Suatu model kepemimpinan efektif yang cukup rumit diajukan oleh
Victor Vroom dan Phillip Yetton (1997). Mereka mempromosikan
Normative Model of Leadership (model normatif kepemimpinan). Menurut
mereka, strategi kepemimpinan yang paling efektif bergantung pada beberapa
hal, yakni sejauhmana keputusan dapat dilakukan secara rasional, dan
sejauhmana komitmen pengikut yang diinginkan, serta seberapa banyak
waktu yang tesedia untuk mengambil keputusan. Dengan bertanya kepada
dirinya sendiri, seorang pemimpin dapat memilih lima alternatif strategi yang
dapat digunakan dalam situasi tertentu. Pertanyaanya adalah sebagai berikut:
Apakah ada kebutuhan kualitas sehingga suatu solusi lebih
rasional dibandingkan dengan solusi lainnya?
Apakah anda memiliki cukup informasi untuk membuat
keputusan yang tepat?
Apakah masalahnya terstruktur?
Apakah bawahan menganggap keputusan yang ditetapkan
sebagai keputusan penting, sehingga bawahan mau menjalankan
keputusan tersebut.
Jika anda harus mengambil keputusan sendiri, apakah anda
yakin akan diterima oleh bawahan anda?
Apakah bawahan anda turut memahami tujuan organisasi yang
akan dicapai dengan terpecahkannya masalah ini?
Apakah konflik di antara bawahan dapat anda selesaikan
diselesaikan dengan solusi yang anda pilih?
Berdasarkan jawaban terhadap masing-masing pertanyaan, seorang
pemimpin dapat memilih satu dari lima strategi berikut:
1. Anda menyelesaikan masalahnya sendiri,
2. Anda mencari informasi-informasi yang dibutuhkan dari
bawahan untuk menyelesaikan masalah dan kemudian baru
melakukan keputusan sendiri,
3. Anda menceritakan masalahnya pada bawahan anda secara
individual, baru kemudian anda mengambil keputusan,
4. Anda menceritakan masalahnya pada bawahan anda secara
berkelompok, baru kemudian anda mengambil keputusan, atau
5. Anda menceritakan masalahnya pada bawahan anda secara
berkelompok, baru kemudian anda mengambil keputusan
bersama dengan kelompok.
Kembali ke tokoh-tokoh pada awal tulisan ini, jelas bahwa mereka
adalah pemimpin yang efektif. Tidak hanya itu, mereka masuk ke dalam
kategori pemimpin transformational atau pemimpin karismatik. Hasil studi
House & Howell (1992, dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008)
menunjukkan bahwa pemimpin karismatik adalah pemimpin yang mampu
mempengaruhi dan menggerakkan jutaan orang, sehingga menghasilkan
suatu perubahan yang besar. Mereka juga mengemukakan bahwa pemimpin
karismatik memiliki beberapa karakteristik yang unik. Karakteristik pertama
adalah, idealized influence, mereka menjadi tokoh yang diidolakan dan
manjadi contoh bagi pengikutnya. Soekarno merupakan tokoh nasional yang
masih diidolakan oleh jutaan orang walaupun beliau telah lama tiada.
Karakteristik kedua adalah, intelectual stimulation, mereka menumbuhkan
kreativitas pada pengikutnya dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dan
status quo. Pada periode sebelum kemerdekaan, Soekarno terus mendorong
perjuangan menuju kemerdekaan bangsa, beliau banyak mempertanyakan
hak Belanda selaku status quo. Karakteristik ketiga, inspirational motivation,
pemimpin karismatik mampu menggambarkan visi yang jelas dan
menumbuhkan semangat bagi pengikutnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pidato-pidato Soekarno mampu membangkitkan semangat jutaan rakyat
Indonesia. Karakteristik keempat, pemimpin karismatik menunjukkan
individual consideration, yaitu memperhatikan dan memberikan dukungan
terhadap kebutuhan individual pengikutnya. Walaupun setelah menjadi
Presiden, Soekarno sering terlihat berdialog langsung dengan rakyat,
menunjukkan kepedulian akan kebutuhan mereka. Keempat karakteristik
tersebut telah menjawab pertanyaan ”apa yang dimiliki oleh para pemimpin
besar?”.
Apa yang dilakukan oleh para pemimpin besar sehingga mereka
diikuti oleh banyak orang?. Menurut Shamir, House, dan Arthur (1993,
dalam Robbins, 2003) ada empat langkah yang dilakukan oleh para
pemimpin besar. Pertama, pemimpin karismatik menggambarkan keadaan di
masa depan yang dapat dan seharusnya dicapai oleh kelompok maupun
organisasi yang dipimpinnya. Soekarno yakin bangsa Indonesia pasti
merdeka. Sejauhmana gambaran tersebut diterima dan diyakini oleh
pengikutnya akan mempengaruhi komitmen mereka terhadap pemimpin
tersebut. Kedua, pemimpin karismatik tidak hanya memberikan gambaran,
tapi mereka juga menjabarkan dengan jelas kepada pengikutnya rute yang
perlu ditempuh untuk mencapai visi tersebut. Di dalam orasi-orasinya,
Soekarno menjabarkan dengan rinci rute perjuangan menuju kemerdekaan.
Selain itu, Soekarno, dan para pemimpin karismatik lainnya, mampu
menjabarkan tujuannya dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga menjadi
lebih menarik dan lebih penting untuk dicapai, suatu tehnik yang disebut
sebagai framing. Ketiga perilaku tersebut didukung oleh kepercayaan diri
yang sangat tinggi, tehnik komunikasi yang luar biasa, dan pembawaan diri
yang memukau, menimbulkan tingkat komitmen dan motivasi yang sangat
tinggi pada pengikut pemimpin karismatik, seperti Soekarno.
Pemimpin karismatik juga ternyata erat hubungannya dengan tiga
sifat atau dimensi dari The Big Five Personality Theory yang dicetuskan,
antara lain, oleh Botwin dan Buss (1989) dan Goldberg (1993). Ketiga
dimensi dimaksud adalah agreeableness (bertanggungjawab, berterusterang,
penolong, rendah hati, dan lemah lembut), extraversion (hangat, asertif,
emosi positif, dan bersahabat), dan openness to experience (memiliki fantasi,
estetik, berperasaan, memiliki gagasan dan nilai).
Hasil penelitian itu mendukung penelitian-penelitian awal mengenai
kepemimpinan, bahwa beberapa aspek kepemimpinan memang berhubungan
dengan dimensi kepribadian.
Selain pemimpin karismatik, jenis pemimpin efektif lainnya adalah
pemimpin transactional. Pemimpin transactional mengarahkan kelompok
mereka dengan cara memberikan hadiah pada bawahan/kelompok untuk
setiap perilaku yang positif, menindak kesalahan dan penyimpangan
peraturan, dan secara umum memperkuat struktur dan strategi organisasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin karismatik lebih berhasil ketika
kondisi kerja sangat dinamis, cepat berubah, dan tidak pasti. Sementara
pemimpin transactional, lebih berhasil dibandingkan pemimpin karismatik
pada lingkungan kerja yang stabil, dan relatif menetap (Goodwin, Wofford,
dan Whittington, 2001, dalam Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008).
Kontras dengan kepemimpinan transactional adalah kepemimpinan
transformational yang dikemukan oleh Bass (1990, dalam Robbins, 2003).
Karakteristik pemimpin transformasional adalah memberikan perhatian
terhadap kebutuhan anggota, merubah suatu isu lama anggota menjadi isu
baru, dan menimbulkan gugahan (aronsal) atau inspirasi bawahan sehingga
bawahan bersedia menampilkan upaya lebih besar dalam mencapai tujuan
organisasi. Dengan kata lain, pada kempemimpinan transformasional setiap
bawahan dianggap penting kedudukan dan perannya karena pemimpin akan
mengajak bawahannya untuk melakukan transformasi ke masa depan. Secara
lebih rinci Bass mengemukakan empat karakteristik pemimpin
transformasional :
a. Charisma : menetapkan visi dan misi, serta menimbulkan rasa
bangga, hormat, dan percaya.
b. Inspiration : mengkomunikasikan harapan besar, menggunakan
berbagai simbol untuk memfokuskan upaya bawahan,
mengemukakan tujuan penting organisasi dengan cara yang mudah
dipahami.
c. Intellectual Stimulation : mendorong ke-intelektual-an, penalaran,
dan kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah.
d. Individualized consideration : memberikan perhatian dan
memperlakukan bawahan secara pribadi, demikian pula dalam
memberikan arahan dan nasihat
Walaupun kepemimpinan transformasional bertentangan dengan
kepemimpinan transaksional, namun menurut Bass keduanya tidak boleh
dipertentangkan karerna keduanya justru saling melengkapi. Kepemimpinan
transformasional yang mengajak bawahan berorientasi ke masa dapan, harus
tetap dibarengi oleh praktik kepemimpinan sehari-hari, seperti pemberian
imbalan dan hukuman, melakukan koreksi terhadap kesalahan bawahan, dan
melakukan intervensi bila standar kerja tidak terpenuhi.
.
Pilihlah salah satu tokoh dunia yang anda sukai, kemudian coba
gambarkan merupakan tipe pemimpin apakah dia berdasarkan
dimensi gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Robert Bales.
Selanjutnya perilaku apa saja yang ditampilkan oleh pemimpin
tersebut berdasarkan empat macam perilaku pemimpin yang efektif
yang dikemukakan oleh Renis Likert. Diskusikan jawaban anda
dalam kelompok.
Petunjuk Jawaban Latihan
Baik Bales maupu Likert menggunakan pendekatan perilaku dalam
menganalisis efektivitas seorang pemimpin. Pelajari perbedaan antara
pendekatan sifat dan pendekatan perilaku dalam menjelaskan
kepemimpinan, serta dimensi gaya kepemimpinan yang dikemukakan
oleh kedua pakar ini.
LATIHAN
Setelah membaca materi kegiatan belajar 1 di atas dengan cermat, untuk memantapkan pemahaman anda, cobalah kerjakan latihan berikut. Anda dapat mengerjakannya berama-sama dengan teman-teman kelompok belajar sehingga Anda dapat saling bertukar pendapat.
Coba diskusikan dengan teman-teman Anda persamaan dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Buatlah daftar persamaan dan perbedaan tersebut.Di sekitar Anda tentu banyak fakta, atau konsep yang secara turun-temurun dipercaya kebenarannya. Pilihlah satu saja, kemudian cobalah kaji, apakah fakta atau konsep tersebut merupakan hasil suatu kajian ilmiah atau pemikiran non-ilmah.
Petunjuk Jawaban Latihan
Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat pengetahuan.Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan
RANGKUMAN
Sejarah telah memberikan contoh-contoh pemimpin besar, dan Indonesia
pun memiliki tokohnya seperti Soekarno. Menurut ahli psikologi sosial,
kepemimpinan (leadership) adalah suatu proses di mana seorang
anggota kelompok mempengaruhi anggota kelompok lainnya untuk
mencapai tujuan bersama (Baron and Byne, 1973). Untuk memahami
pemimpin besar, pada awalnya ilmuwan melihat kepribadian pemimpin
berlandaskan Great Person Theory. Ternyata, sifat pemimpin tidak
banyak berpengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan karena
diperlukan sifat yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Meskipun
korelasi antara sifat dan efektivitas kepemimpinan itu rendah, namun
ditemukan kecenderungan bahwa seorang pemimpin yang efektif
memiliki sejumlah sifat : kebutuhan akan keberhasilan, kepercayaan diri,
motivasi, orisinalitas dan toleransi terhadap stres yang tinggi.
Atas dasar ini efektivitas kepemimpinan dipelajari melalui perilaku
pemimpin.
Robert Bales meninjau pemimpin hebat dari perilakunya, dan
menemukan dua macam gaya kepemimpinan, task leader dan socio –
emotional leader. Penelitian lain membagi perilaku pemimpin menjadi
dua dimensi, initiating structure dan consideration Gaya kepemimpinan
lain yang juga berhubungan adalah autocratic leadership style dan
democratic leadership style.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya dua dimensi dasar
dari gaya kepemimpinan, pemimpin yang berorientasi pada tugas, dan
pemimpin yang berorientasi pada individu yang melakukan tugas.
Kepemimpinan yang efektif adalah pemimpin yang peduli terhadap
bawahannya dan tetap fokus pada tugas yang dihadapi.
Sudut pandang yang berbeda dikemukakan oleh Renis Likert,
yang mengidentifikasi empat macam perilaku pemimpin yang efektif :
perilaku mendukung, membuat sasaran kerja yang tinggi, kemampuan
untuk menyupervisi kelompok, dan kemampuan untuk memposisikan
dirinya sebagai juru bicara kelompok. Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap efektivitas kepemimpinan adalah tipe organisasi, kondisi dan
lingkungan kerja, serta jenis pekerjaan.
Vroom dan Yetton, mempromosikan Normative Model of
Leadership, strategi kepemimpinan yang efektif bergantung pada
sejauhmana keputusan dapat dilakukan secara rasional dan sejauhmana
komitmen pengikut yang diinginkan, serta berapa banyak waktu yang
tersedia untuk mengambil keputusan.
Selanjutnya Bass mengemukakan kepemimpinan transaktional
dan transformasional. Meskipun karakteristik kedua tipe kepemimpinan
ini berbeda, bahkan bertentangan, namun menurut Bass, keduanya
jangan dikontraskan, karena dalam kaitan dengan efektivitas
kepemimpinan keduanya saling melengkapi.
1. ”Pendekatan sifat ” dianggap tidak memuaskan dalam menjelaskan
keberhasilan seorang pemimpin karena :
A. sifat setiap pemimpin itu unik
B. setiap situasi menuntut sifat yang berbeda
C. sifat merupakan karakteristik bawaan dari orangtua
D. sifat pemimpin terbentuk melalui proses yang panjang.
2. Dimensi kepemimpinan menurut Bales adalah :
A. autocratic dan task oriented
B. democratic dan socio-emotional
C. task dan socio-emosional
D. socio-emotional dan initiating structure
3. Yang dimaksud dengan consideration dalam kepemimpinan
menurut Stogdill adalah pemimpin yang :
A. menjalin hubungan baik dengan bawahan
B. mengutamakan tugas
C. mengutamakan tugas dan bawahan
D. semuanya salah.
TES FORMATIF 4
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
4. Pendekatan situasional dalam mempelajari efektivitas
kepemimpinan merupakan reaksi terhadap :
A. gaya kepemimpinan demokratik
B. gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas
C. pendekatan sifat
D. The great person theory
5. Mana yang paling mendekati atau sesuai untuk menilai Presiden
Republik Indonesia pertama (Soekarno) dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
A. Pemimpin otoriter
B. Pemimpin transaksional
C. Pemimpin situasional
D. Pemimpin transformasional
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 11) D2) C3) D4) B5) A
Tes Formatif 21) D2) C3) D4) C5) B
Tes Formatif 31) D2) A3) C4) B5) C
Tes Formatif 31) B2) C3) A4) C5) D
Daftar Pustaka
Allport, G.W. (1958). The nature of prejudice. New York: Addison Wesley.
Baron, R.A., Branscombe, N.R. & Byrne, D. (2008) Social psychology, Boston ; Pearson Education, Inc.
Vaughn, G.M. & Hogg, M.A. (2005). Social psychology. Harlow: Printice Hall.
Johnson, D.W., & Johnson, F.P. (2006). Joining together, Group theory and group skills, Boston : pearson Education, Inc.
Moskowitz, G.B. (2005). Social Cognition. New York: The Guilford Press.
Myers, D.G. (1999). Social psychology. Boston: McGraw – Hill.
Sarwono, S.W. (1996). Psikologi sosial. Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.