07 husnul yaqin...husnul yaqin: manajemen pendidikan dalam perspektif al-qur’an sosio-religia,...

33
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010 Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an Oleh: Husnul Yaqin * Abstrak Dalam sistem pendidikan, kegiatan manajemen tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran. Jika manajemen masuk dalam wilayah proses penyelenggaraan pendidikan, maka pembelajaran masuk dalam wilayah action pendidikan. Dalam konteks ini manajemen pendidikan berfungsi sebagai penghantar agar proses pembelajaran berjalan lancar dan tepat menuju sasaran. Tanpa adanya kegiatan manajemen, proses pembelajaran tidak akan terlaksana secara baik yang berakibat pada tidak tercapainya sasaran atau tujuan pendidikan itu sendiri. Tulisan ini melihat manajemen pendidikan dalam perspektif al-Qur’an, di mana ia merupakan sumber utama ajaran Islam. Kajian terhadap masalah ini dilakukan dengan memperhatikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an dan didukung dengan pendapat para ahli. Pembahasan difokuskan pada pengertian manajemen pendidikan, tujuan manajemen pendidikan, unsur-unsur manajemen pendidikan, prinsip-prinsip manajemen pendidikan, dan macam-macam manajemen pendidikan. Kata kunci: manajemen, pendidikan, dan al-Qur’an A. Pendahuluan Al-Qur’an adalah petunjuk yang benar bagi setiap kegiatan manusia, baik kegiatan itu berlangsung antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, maupun antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Keragaman aktivitas manusia tersebut terjelma dalam berbagai lapangan kehidupan; sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam lapangan pendidikan, perhatian al-Qur’an akan hal ini sungguh sudah tidak diragukan lagi. Lima ayat pertama 1 yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. memberi isyarat akan pentingnya pendidikan. Demikian juga dalam surat al-Zumar ayat 9 Allah * Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin., menyelesaikan program S2 (Master) di Curtin University of Techlogogy Australia pada tahun 1994, dan program S3 (Doktor) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. 1 Lihat Q.S. al-‘Alaq: 1–5. Wahyu yang pertama kali turun ini mengandung perintah (1) membebaskan akal dari khurafat/takhayul/mitos dan kebodohan, (2) membebaskan aqidah dari budaya taqlid dan perbudakan, dan (3) membebaskan jiwa manusia dari penindasan dan perbudakan. Lihat Kamal Muhammad Isa, Khashaish Madrasatin Nubuwwah, terj. Chairul Halim, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1994), p. 68.

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    Oleh: Husnul Yaqin *

    Abstrak

    Dalam sistem pendidikan, kegiatan manajemen tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran. Jika manajemen masuk dalam wilayah proses penyelenggaraan pendidikan, maka pembelajaran masuk dalam wilayah action pendidikan. Dalam konteks ini manajemen pendidikan berfungsi sebagai penghantar agar proses pembelajaran berjalan lancar dan tepat menuju sasaran. Tanpa adanya kegiatan manajemen, proses pembelajaran tidak akan terlaksana secara baik yang berakibat pada tidak tercapainya sasaran atau tujuan pendidikan itu sendiri. Tulisan ini melihat manajemen pendidikan dalam perspektif al-Qur’an, di mana ia merupakan sumber utama ajaran Islam. Kajian terhadap masalah ini dilakukan dengan memperhatikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an dan didukung dengan pendapat para ahli. Pembahasan difokuskan pada pengertian manajemen pendidikan, tujuan manajemen pendidikan, unsur-unsur manajemen pendidikan, prinsip-prinsip manajemen pendidikan, dan macam-macam manajemen pendidikan.

    Kata kunci: manajemen, pendidikan, dan al-Qur’an

    A. Pendahuluan

    Al-Qur’an adalah petunjuk yang benar bagi setiap kegiatan manusia, baik kegiatan itu berlangsung antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, maupun antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Keragaman aktivitas manusia tersebut terjelma dalam berbagai lapangan kehidupan; sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, pendidikan, dan lain sebagainya.

    Dalam lapangan pendidikan, perhatian al-Qur’an akan hal ini sungguh sudah tidak diragukan lagi. Lima ayat pertama1 yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. memberi isyarat akan pentingnya pendidikan. Demikian juga dalam surat al-Zumar ayat 9 Allah

    * Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin., menyelesaikan

    program S2 (Master) di Curtin University of Techlogogy Australia pada tahun 1994, dan program S3 (Doktor) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008.

    1 Lihat Q.S. al-‘Alaq: 1–5. Wahyu yang pertama kali turun ini mengandung perintah (1) membebaskan akal dari khurafat/takhayul/mitos dan kebodohan, (2) membebaskan aqidah dari budaya taqlid dan perbudakan, dan (3) membebaskan jiwa manusia dari penindasan dan perbudakan. Lihat Kamal Muhammad Isa, Khashaish Madrasatin Nubuwwah, terj. Chairul Halim, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1994), p. 68.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    32

    menyinggung tentang orang yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan,2 serta banyak lagi ayat-ayat lainnya yang sangat mendukung pentingnya pendidikan bagi manusia.

    Persoalannya adalah seberapa jauh proses pendidikan itu dapat dilaksanakan sehingga menghasilkan output yang berkualitas dan memuaskan. Pertanyaan ini tidaklah mudah dijawab, karena banyak faktor yang turut berperan di dalamnya, baik faktor penentu pengambil kebijakan pendidikan maupun pelaksana operasional pendidikan di lapangan, di samping faktor-faktor lain seperti sumber daya manusia yang tersedia, kurikulum, model pembelajaran,3 pendanaan, sarana dan fasilitas, partisipasi masyarakat, manajemen dan lain sebagainya.

    Tulisan ini mengangkat salah satu faktor penting yang tampaknya turut mempengaruhi keberhasilan tersebut, yakni masalah manajemen pendidikan. Kajian terhadap masalah ini dilakukan dengan memperhatikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an dan didukung dengan pendapat para ahli yang kompeten dalam bidangnya. Mengingat luasnya permasalahan manajemen pendidikan ini, maka fokus bahasan dibatasi pada hal-hal berikut; pengertian manajemen pendidikan, tujuan manajemen pendidikan, unsur-unsur manajemen pendidikan, dan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.

    B. Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an 1. Pengertian Manajemen Pendidikan

    Manajemen pendidikan terdiri dari dua istilah, yaitu manajemen dan pendidikan. Sebelum mengartikan istilah menejemen pendidikan, terlebih dahulu dikemukakan pengertian manajemen dan pengertian pendidikan. Manajemen berasal dari kata “manage” atau “managiare” yang berarti melatih kuda dalam melangkahkan kakinya, karena kuda mempunyai daya mampu yang hebat. Selanjutnya dalam pengertian manajemen terkandung dua kegiatan, yaitu kegitan pikir (mind) dan kegiatan tindak (action). Kedua kegiatan ini tampak dalam fungsi-fungsinya seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian.4

    2 Arti ayat 9 Surat al-Zumar adalah: “… Katakanlah: adakah sama orang yang

    berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”

    3 Lebih jauh lihat Abuddin Nata, "Mencari Model Pembelajaran Yang Memberdayakan Peserta Didik", Makalah (Jakarta: 2003).

    4 Piet A. Sahertian, Dimensi Administrasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), p. 20.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    33

    Mourell dkk. secara singkat menyebutkan: “Management is the process of efficiently getting activities completed with and through other people”.5 Selanjutnya Stoner seperti dikutip oleh Handoko menyebutkan: “Manajamen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha anggota organisasi dan penggunaan sumber-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.6

    Dari tiga definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen itu adalah suatu proses atau fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam suatu kelompok tertentu secara efektif dan efisien sehingga dapat mencapai hasil atau tujuan yang ditetapkan. Dari definisi di atas juga diketahui bahwa manajemen adalah proses, bukan seni. Mengartikan manajemen sebagai seni mengandung arti bahwa hal itu adalah kemampuan atau keterampilan pribadi. Kalau dikatakan suatu proses, itu berarti mengandung cara yang sistematis untuk melakukan pekerjaan. Manajemen dapat dipahami sebagai proses karena semua manajer harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan.

    Istilah manajemen dalam al-Qur’an mungkin tepat disebut sebagai idarah. Hal ini mengacu kepada firman Allah s.w.t.7 :

    للشهادة وأَقْوم اللَّه عند أَقْسطُ ذَلكُم أَجله إِلَى كَبِريا أَو صغريا تكْتبوه أَنْ تسأَموا ولَا بينكُم تديرونها حاضرةً تجارةً تكُونَ أَنْ إِلَّا ترتابوا أَلَّا وأَدنى

    “…dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu…”

    Di dalam ayat di atas terdapat ungkapan “ " ا يرو تد بينكم yang berati “ yang kamu jalankan di antara kamu”. Asal katanya adalah " ادار " yang berarti menjalankan, mengelola atau mengatur. Kepala, direktor, manajer

    dalam bahasa Arab disebut ير مد .8

    5 Stephen P. Robbins, Peter S. Low and Mark P. Mourell, Managing Human Resources, (Australia: Prentice-Hall, 1986), p. 1.

    6 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1995), p. 8. Lihat pula TIM Dosen FIP IKIP Malang, Administrasi Pendidikan, (IKIP Malang, 1989), p. 7.

    7 Q.S. al-Baqarah (2): 282. 8 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab–Indonesia, (Yogyakarta:

    Ponok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), p. 466.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    34

    Ayat di atas sesungguhnya menerangkan tentang persoalan yang berhubungan dengan urusan sesama manusia, yakni persoalan jual beli, transaksi atau persoalan kesekretariatan. Maka tidaklah heran apabila asal penemuan ilmu manajemen itu dari persoalan-persoalan yang berhubungan dengan usaha atau bisnis, perdagangan, perniagaan atau perindustrian, yang kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang mempelajari setiap usaha kelompok untuk lebih terarah serta mudah mendapatkan keberhasilan. Lahirnya ilmu pengetahuan ini dipelopori oleh Frederick Winslow Taylor (1856-1915) dan Hendry Fayol (1851-1925) dari Perancis.9

    Selanjutnya definisi tentang pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli dalam rumusan yang beraneka ragam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesian disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.10 Ahmad D. Marimba memberikan definisi, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”11

    Selanjutnya Abuddin Nata setelah memperhatikan beberapa rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli seperti Ahmad D. Marimba, Ki Hajar Dewantara dan Soegarda Poerbakawaca, menyatakan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang yang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Dan apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat, dimana kelak mereka hidup.12

    Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hakikat pendidikan itu adalah terjadinya perubahan pada diri anak, baik menyangkut pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang dilakukan secara sadar oleh

    9 Lebih jauh baca James G. March and Herbert A. Simon, Organizations, (United

    State of America: Fraduate School of Industrial Administration Carnegie Institute of Technology, 1958), pp. 12 -33. Lihat juga T. Tani Handoko, Manajemen, pp. 39-45, dan Sutaryadi, Administrasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), pp. 13-16.

    10 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), edisi kedua, p. 232.

    11 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. ke-4, (Bandung: Alma’arifm, 1980), p. 19.

    12 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2001), p. 10. Beberapa pengertian pendidikan dari para ahli dapat juga dilihat dalam Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), pp. 2-6.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    35

    si pendidik terhadap peserta didik sehingga ia menjadi orang yang berguna di masyarakatnya. Dari pengertian manajemen dan pendidikan sebagaimana di kemukakan di atas, maka manajemen pendidikan bisa kita artikan sebagai suatu proses yang mengandung fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien menghasilkan peserta didik yang mempunyai pengetahuan, kepribadian dan keterampilan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

    Made Pidarta menambahkan, manajemen pendidikan tidak hanya terbatas pada proses atau fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan di atas, tapi juga merupakan aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sumber-sumber itu kalau diklasifikasikan bisa dalam bentuk personal, finansial, material dan immaterial13

    2. Tujuan Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    Pada dasarnya, tujuan pokok manajemen pendidikan adalah keinginan untuk memanifestasikan efektifitas dan efisiensi yang optimal dalam penyelenggaraan tugas-tugas operasional pendidikan yang bersifat teknis guna mencapai tujuan pendidikan.14 Dalam tujuan pokok tersebut, ada dua kata kunci yang harus menjadi perhatian utama, yakni efektifitas dan efisiensi. Bagaimana al-Qur’an memberi isyarat terhadap kedua kata kunci tersebut ?

    Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah efektifitas (berhasil guna) antara lain adalah:15 "Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita)

    13 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), p. 4.

    Untuk mengetahui Lebih rinci lihat juga Ary H. Gunawan, Administrasi Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996); Tim Dosen FIP IKIP Malang, Administrasi Pendidikan, (Malang, 1989); Ahmad Rohani HM dan Abu Ahmadi, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), pp. 7-8; Yusak Burhanuddin, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), p. 30; Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), pp. 51-102; B. Suryo Subroto, Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), pp. 19-112.

    14 Ahmad Rohani H.M. dan Abu Ahmadi, Pedoman, p. 6; Lihat pula Tim Dosen FIP IKIP Malang, Administrasi, p. 4; Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, t.t), p. 15; dan Yusak Burhanuddin, Administrasi, p. 21.

    15 Q.S. al-An’am (6): 135.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    36

    yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan”.

    Ayat lain yang juga terkait dengan masalah ini adalah:16 “Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang sempurna”.

    Selanjutnya berkaitan dengan efisiensi paling tidak harus memenuhi beberapa azas berikut: 1) Azas keseimbangan, firman Allah s.w.t:17 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. 2) Azas manfaat, firman Allah s.w.t:18 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” 3) Azas tidak boros (mubazir), firman Allah s.w.t:19 “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

    Efisiensi yang diinginkan dalam pengelolaan pendidikan tentunya mencakup semua bidang atau elemen yang terkait, seperti keuangan, sarana dan prasarana, fasilitas, sumber daya manusia, waktu, prosedur, dan lain sebagainya.

    Hasan Langgulung menyebutkan secara rinci tujuan manajemen pendidikan dalam pendidikan Islam dan secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:20 1) Memudahkan pekerjaan administratif dan pendidikan.

    16 Q.S. al-Najm (53): 39-41. 17 Q.S. al-Qashash (28): 77. 18 Q.S. Ali Imran (3): 191-192. 19 Q.S. al-Isra (17): 26-27. 20 Lebih jauh lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al

    Husna Zikra, 2000), pp. 231-232.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    37

    2) Menciptakan iklim rohaniah, psikologis dan sosial dimana dilaksanakan aqidah dan akhlak Islam.

    3) Meningkatkan moral atau semangat anggota-anggota lembaga pendidikan dan mengembangkan semangat setia kawan di antara mereka.

    4) Menambahkan produktivitas pekerja dalam aparat administratif atau lembaga pendidikan, memperbaiki kualitas dan metode-metode dan medianya.

    5) Mengembangkan sistem-sistem dan media administratif secara terus menerus.

    6) Mengadakan perubahan yang diinginkan dalam proses pendidikan dengan seluruh aspeknya.

    7) Menghubungkan antara proses pendidikan dan tujuan-tujuan pembangunan dalam masyarakat. Kalau diperhatikan tujuan-tujuan di atas, tampak bahwa kesemuanya

    itu mengacu kepada efektifitas dan efesiensi dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. Dikatakan efektif bila tujuan pendidikan yang dicanangkan dapat dicapai secara optimal, dan dikatakan efisien bila usaha mencapai tujuan itu bisa dilakukan dengan tenaga, waktu, biaya, sarana, fasilitas dan prosedur yang seminimal mungkin.

    3. Unsur-unsur Manajemen Pendidikan dalam perspektif al-Qur’an

    Sebelum membicarakan unsur-unsur manajemen pendidikan dalam al-Qur’an, terlebih dahulu kita lihat secara garis besar bagaimana pendapat para ahli tentang unsur-unsur manajemen pendidikan pada umumnya. Mochtar Effendy menyebutkan beberapa konsep tersebut sebagai berikut:21

    1) Konsep Louis A. Allen, dalam bukunya Management and Organization, unsur-unsur manajemen meliputi: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), coordinating (koordinasi), motivating (motivasi), dan controlling (pengawasan).

    2) Konsep Koontz, Harold dan Cyril O. Donnell dalam bukunya Principles of Management, unsur-unsur tersebut meliputi: planning, organizaing, staffing, directing dan controlling.

    21 Ek. Mochtar Effendy, Manajemen Suatu Pendeketan Berdasarkan Ajaran Islam,

    (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986), pp. 72-73. Lihat pula pembagian menurut Guliek (1937); Newman (1950); Sears (1950); ASSA (1955); Gregg (1957); dan Cambell et al (1958) dalam Piet A. Sahertian, Dimensi, p. 29.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    38

    3) Konsep Henry Fayol, beliau adalah seorang pelopor ilmu manajemen sesudah Taylor, menyebutkan bahwa unsur-unsur manajemen tersebut adalah: planning, organization, command, coordination, dan control. Dari tiga pendapat di atas, paling tidak ada lima unsur penting yang

    harus ada dalam manajemen pendidikan yang coba dilihat isyarat-isyaratnya dalam al-Qur’an. yang meliputi:

    1) Planning (perencanaan) 2) Organizing (pengorganisasian) 3) Actuating (penggerakan) 4) Communication (komunikasi) 5) Controlling (pengawasan) 1. Planning (perencanaan)

    Secara sederhana planning (perencanaan) berarti merencanakan segala sesuatunya terlebih dahulu, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau aktivitas. Menurut Kamal Muhammad Isa, perencanaan adalah suatu pemikiran yang mantap terhadap suatu pekerjaan yang akan dilakukan, agar bentuk dan tahapan pelaksanaannya dapat berjalan menurut garis yang telah ditentukan dengan jelas, baik sasaran maupun saranya.22

    Di samping itu, rencana memungkinkan: a. Organisasi bisa memperoleh dan mengikat sumber daya–sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan.

    b. Para anggota organisasi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang konsisten dengan berbagai tujuan dan prosedur terpilih, dan

    c. Kemajuan terus dapat dimonitor dan diukur, sehingga tindakan korektif dapa diambil bila tingkat kemajuan tidak memuaskan.23 Dalam kaitan perencanaan ini, al-Qur’an selalu memberikan

    petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang baik untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan bagi aspek kehidupan manusia yang beragama termasuk dalam hal ini adalah lapangan pendidikan. Dalam lapangan pendidikan, tentu banyak keberhasilan yang ingin dicapai yang kesemuanya itu harus dilalui melalui suatu perencanaan yang matang. Stimuli ini antara lain disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:24 “Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”

    22 Kamal Muhammad Isa, Khashaish Madrasatin Nubuwwah, terj. Chairul Halim,

    Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1994), p. 15. 23 T. Tani Handoko, Manajemen, p. 23. 24 Q.S. al-Hajj: 77

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    39

    Hal serupa diterangkan juga dalam ayat lain:25 “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperlihatkan apa yang telah diperbuat untuk esok hari”. Perbuatan yang baik dan “memperlihatkan apa yang akan diperbuatnya hari esok” di dalam ayat tersebut jelas tersirat dalam hatinya niat yang baik pula dan terencana untuk memulai tindakan atau aktivitas. Ayat tersebut jelas menganjurkan kepada orang-orang yang beriman supaya memperhatikan apa yang akan dilakukannya untuk kepentingan hari esok atau masa depan. Tindakan yang seperti ini bisa dikategorikan sebagai planning.

    Setiap orang yang mau meneliti sejarah Rasulullah s.a.w. pasti akan menemukan bahwa dakwah Rasulullah tidak pernah melewatkan tahapan dakwah secara sekaligus. Langkah-langkah dakwahnyapun tidak dilakukan asal jadi dan semborono, namun selalu dijalankan setelah dipikirkan. Bahkan, untuk setiap tahapan dakwahnya, selalu diamati terlebih dahulu berdasarkan wahyu Ilahi.26 Ketika menghadapi perang Uhud, beliau bersama kaum muda dan kaum tua membuat perencanaan yang sedemikian rupa, baik masalah perangnya sendiri, harta benda, perekonomian maupun berbagai kemungkinan kehidupan setelah perang usai.27

    Planning yang baik tentu tidak keluar dari konstitusi atau hukum yang berlaku dan dirumuskan sesuai kebutuhan yang akan dicapai. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:28 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan yang keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

    Kemudian juga didasarkan apada ayat:29 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” 2. Organizing (pengorganisasian)

    Organizing bisa diartikan sebagai “pengelompokkan dan pengaturan orang untuk dapat digerakkan sebagai satu kesatuan sesuai dengan rencana

    25 Q.S. al-Hasyr: 18 26 Kamal Muhammad Isa, Khashaish, p. 24. 27 Ibid., p. 25. 28 Q.S. al-Nahl: 90. 29 Q.S. al-Mujadalah: 9.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    40

    yang telah dirumuskan, menuju tercapainya tujuan yang ditetapkan”.30 Dalam pendidikan, organizing merupakan faktor yang sangat menentukan dan erat kaitannya dengan perencanaan yang telah menjadi patokan, di dalam menggerakkan orang-orang guna mencapai tujuan. Karena kelompok itu sendiri terdiri dari beberapa orang yang bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan profesinya masing-masing, maka kerja sama yang terpadu antara semua itu merupakan suatu keniscayaan.

    Rasulullah sendiri sangat memperhatikan aspek pengorganisasian ini. Diceritakan bahwa selama berada di Mekkah, Nabi Muhammad menyampaikan ajarannya dari mulut ke mulut dan kemudian berkembang, sehingga terbentuk kelompok-kelompok muslim di tengah mayoritas kaum musyrik Quraisy. Di sini secara langsung beliau memimpin masyarakat Islam yang terdiri dari beberapa orang kemudian menjadi kelompok bersama-sama dengan para pelopor Islam (al-sabiqun al-awwalun). Dengan kemampuan pengorganisasian yang baik dan disiplin dari Rasulullah, terbentuklah masyarakat Islam yang kuat di kota Mekkah. Ketika tekanan dan penindasan dari kaum Quraisy makin kuat, Rasulullah memerintahkan pengikutnya berhijrah ke Habasyah (sekarang Etiopia), guna keselamatan pengikutnya. Di samping itu, beliau juga membentuk satuan tugas (taskforce) untuk berdakwah jika perlu dikirim ke daerah-daerah lain di tanah Arab, antara lain ke Yatsrib (Madinah) untuk berdakwah di sana.31

    Wujud dari pelaksanaan organizing adalah tampaknya kesatuan yang utuh, kekompakan, kesetiakawanan dan terciptanya mekanisme kerja yang sehat. Dengan demikian pengelolaan pendidikan diharapkan bisa berjalan lancar, stabil dan mudah mencapai tujuan yang ditetapkan. Proses organizing ini menekankan pentingnya menciptakan kesatuan dalam segala tindakan. Al-Qur’an telah memberikan isyarat sebagai berikut:32 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

    Dari ayat di atas jelas bahwa dalam mengelola pendidikan, diperlukan penyatuan setiap tindakan secara utuh dan kuat. Sebaliknya,

    30 Alex Gunur, Managemen Kerangka Pokok-pokok, (Jakarta: Bharata, 1975), p. 23.

    Lihat juga T. Hani Handoko, Manajemen, p. 24. 31 Ek. Mochtar, Manajemen, p. 83. 32 Q.S. Ali ‘Imran: 103.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    41

    dilarang untuk melakukan tindakan ado domba, bercerai, berpecah belah, baik antara atasan dengan bawahan, atasan dengan sesama atasan, bawahan dengan sesama bawahan, dan seterusnya. Pertentangan, perselisihan, percekcokan hanya akan berakibat pada kegagalan dan kehancuran. Firman Allah:33 “Dan taatilah Allah dan RasulNya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar hilang kekuatanmu dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

    Uraian di atas juga memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam pengorganisasian harus dilakukan apa yang disebut dengan “koordinasi”, yaitu tindakan yang diambil oleh seorang manajer dalam kegiatan untuk mendapatkan kepastian dari perbedaan macam-macam pekerjaan, atau macam-macam orang yang berkerja. Hal ini dilakukan agar dapat menciptakan keadaan yang harmonis dan seimbang dalam mencapai hasil yang diharapkan. 3. Actuating (penggerakan)

    Unsur actuating merupakan bagian dari proses kelompok yang di dalamnya terdapat tindakan komando, tindakan membimbing, memberikan petunjuk dan mengarahkan kepada tujuan. Di dalam proses ini juga, seseorang bisa memberikan motivasi untuk memberikan pengertian dan kesadaran terhadap apa yang sedang dikerjakan staf atau bawahan, sehingga mereka bisa bekerja secara tekun dan baik guna mencapai tujuan.

    Sokerano dalam bukunya Dasar-dasar Manajemen memberikan rumusan actuating sebagai “suatu fungsi pembimbing dan pemberian pimpinan serta penggerakan orang (dalam kelompok) agar kelompok itu suka dan mau bekerja”.34 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa tekanan yang terpenting dalam actuating adalah tindakan membimbing, mengarahkan, menggerakkan, agar orang-orang dalam suatu kelompok tertentu bisa bekerja dengan baik, tenang, tekun sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

    Dalam masalah actuating ini, al-Qur’an telah memberikan pedoman dasar terhadap proses pembimbingan, pengarahan ataupun memberikan peringatan, antara lain sebagai berikut:35 “Sebagai pembimbing yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pahala yang baik”

    33 Q.S. al-Anfal: 46. Lihat pula Q.S. al-Syura: 13. 34 Soekarno, Dasar-dasar Manajemen, (Jakarta: Telaga Bening, t.t.), p. 92. 35 Q.S. al-Kahf: 2. Lihat pula Q.S. al-Baqarah: 213.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    42

    Kegiatan membimbing dan memberikan peringatan merupakan faktor yang sangat penting demi suksesnuya suatu rencana. Tindakan-tindakan di luar perencanaan yang matang apalagi jika secara subsantif bertentangan dengan rencana yang dibuat, tentunya turut mempengaruhi kelangsungan proses penyelenggaraan pendidikan yang diharapkan bisa mencapai tujuan yang diharapkan.

    Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam actuating ini adalah pemberian motivasi. Motivasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk memberikan kegairahan, kegiatan atau pengertian sehingga orang lain mau mendukung dan bekerja dengan suka rela untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya.36

    Fungsi motivasi berkenaan dengan prilaku manusia, bagaimana agar manusia itu mau mendukung dan bekerja untuk suatu gagasan tertentu. Perilaku manusia tergantung pada emosi, stamina, semangat, cita-cita dan adat istiadat yang melatarbelakangi manusia tersebut. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang memberi isyarat akan perlunya motivasi, antara lain dalam bentuk memberikan balasan atau penghargaan terhadap sesuatu pekerjaan.37 Masalah ini secara detail dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, orang yang melakukan/ berbuat baik akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah.38 Hal ini antara lain terdapat dalam surat al-Ahzab (33) ayat 29: “Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar”.

    Firman Allah dalam al-Qur’an S. Ali Imran (3): ayat 172: “(Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar”.

    Lebih lanjut ditegaskan bahwa pahalanya itu sepuluh kali lipat amalnya39 atau lebih baik daripada kebaikannya itu.40

    Kedua, orang yang melakukan/ berbuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan,41 baik di dunia42 maupun di akhirat dalam bentuk sorga.43 Seorang muslim seyogyanya selalu berdo’a kepada Allah untuk

    36 Ek. Mochtar, Manajemen, p. 105. 37 Untuk mendalami masalah ini lihat Ronald W. Rebore, Personnel Administration

    In Education A Management Approach, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1991), pp. 191-241. 38 Lihat pula Q.S. Ali Imran (3): 148; Q.S. Hud (11): 115; Q.S. al-Ahzab (33): 29 39 Q.S. al-An’am (6): 60. 40 Q.S. al-Qashash (28): 84. 41 Q.S. al-Rahman (55): 60; Q.S. al-Syura (42): 23. 42 Q.S. al-Nahl (16): 30; Q.S. al-Zumar (39): 10. 43 Q.S. Yunus (10): 26; Q.S. al-Ra’du (13): 22.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    43

    mendapatkan kebahagiaan dan itu bisa ia jadikan motivasi dalam setiap gerak dan langkahnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan: “Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

    Menurut Toshihiko Izutsu, kata hasanah dalam ayat di atas mengandung arti kebahagiaan, kemakmuran, atau keburuntungan.44 M. Quraish Shihab lebih jauh menjelaskan bahwa terdapat bermacam-macam penafsiran ulama tentang makna hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Adalah bijaksana memahaminya secara umum, bukan hanya dalam arti iman yang kukuh, kesehatan, afiat, rezeki yang memuaskan, pasangan yang ideal dan anak-anak yang shaleh, tetapi segala yang menyenangkan di hari kemudian. Demikian juga hasanah di akhirat, tidak terbatas pada kebebasan dari rasa takut di akhirat, hisab/perhitungan yang mudah, masuk ke surga dan mendapat ridla-Nya, tetapi lebih dari itu, karena anugerah Allah tidak terbatas.45

    Ketiga, orang yang melakukan/berbuat kebaikan akan dihapuskan dosa-dosanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Hud (11) ayat 114: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk”.

    Tentunya masih banyak faktor lain yang dapat memotivasi seseorang giat bekerja sehingga ia memiliki sense of belonging dan sense of responsibility terhadap pekerjaannya.

    4) Communication (komunikasi) Komunikasi dapat diartikan sebagai proses di mana seseorang,

    kelompok atau organisasi (the sender) menyampaikan informasi (the message) kepada orang, kelompok, atau organisasi lainnya (the receiver).46 Komunikasi ini bertujuan untuk saling mengerti, karena saling mengerti adalah pangkal dari tindakan bersama yang baik.

    Kemampuan berkomunikasi dengan baik dan fasih, serta benar, perlu dibina dalam suatu lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap pimpinan atau atau pejabat haruslah berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga dapat menjamin lancarnya komunikasi.

    Di pihak lain, kesediaan mendengar terhadap usul-usul, saran-saran, pendapat-pendapat dari bawahan juga sangat diperlukan oleh pejabat

    44Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in The Qur’an, terj. Mansurddin Djoely

    dkk., Konsep-konsep Etika Beragama dalam Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, p. 365. 45M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , p. 412. 46 Robert A. Baron and Jerald Greenberg, Behavior In Organizations, 3rd ed. (Boston:

    Allyn and Bacon, 1990), p. 334.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    44

    pendidikan, baik yang ada dalam bentuk lisan (oral), tulisan, dan lain sebagainya. Komunikasi langsung secara lisan, hendaklah dilakukan secara sopan dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, fasih dan mudah dimengerti. Dalam hal ini Allah s.w.t. berfirman:47 “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan berkatalah kamu dengam perkataan yang benar” Isyarat ini juga ditegaskan dalam ayat lain seperti:48 “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.

    Kata husnan mencakup “segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi.”49 Lebih jauh dijelaskan bahwa ucapan yang disifati seperti itu adalah ucapan yang kandungannya benar, sesuai dengan pesan yang akan disampaikan serta indah, bukan saja redaksinya tetapi juga kandungannya. Kata ini dapat mencakup perintah berbuat baik dan larangan berbuat munkar.

    Bagaimana sikap manusia ketika mendengarkan ucapan yang baik itu, al-Qur’an mengisyaratkan agar kita mengikuti apa yang terbaik di antaranya sesuai petunjuk agama dan pertimbangan akal sehat. Isyarat ini terdapat dalam surat al-Zumar (39) ayat 18: “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

    Bahwa manfaat berkata “baik” apakah baik dari segi redaksi maupun dari segi kandungan perkataannya, tentu tidaklah diragukan lagi. Paling tidak dengan mengucapkan perkataan yang baik akan terjadi hubungan yang harmonis dan saling mempercayai antara sesama dalam aktivitas penyelenggaraan pendidikan. 5. Controlling (pengawasan)

    Dalam suatu organisasi apapun, termasuk lembaga-lembaga pendidikan, proses controlling (pengawasan) merupakan sesuatu yang harus ada dan dilaksanakan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meneliti dan mengetahui apakah pelaksanaan tugas-tugas perencanaan semuanya sudah betul-betul dilaksanakan. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi penyimpangan, penyalahgunaan, kebocoran,

    47 Q.S. al-Ahzab (33): 70. 48 Q.S.al-Baqarah (2): 83. 49 M. Quraish Shihab, Tafsir, p. 239.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    45

    kekurangan dalam melaksanakan tugas-tugas dan sekaligus dapat mengetahui jika sekiranya terdapat segi-segi kelemahan. Dengan demikian, hasil dari pada pengawasan dapat menjadi masukan bagi pimpinan untuk selanjutnya memberikan petunjuk yang tepat sesuai dengan perencanaan semula.

    Arifin Abdurrahman memberikan definisi pengawasan ini sebagai “Kegiatan/proses untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan, untuk diperbaiki kemudian dan mencegah terulangnya kembali kesalahan itu sehingga pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan.”50

    Untuk melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang telah ditetapkan, maka proses pengawasan bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama disebut dengan istilah direct control, yaitu dengan cara observasi langsung yang dilakukan oleh pimpinan tanpa memberi tahu sebelumnya. Kedua adalah indirect control atau pengawasan tidak langsung, yaitu pimpinan memerintah staf-stafnya atau orang tertentu untuk memberikan laporan terhadap pimpinannya yang tertinggi.

    Dalam masalah pengawasan ini, al-Qur’an telah memberikan petunjuk secara jelas dan tegas. Tekanan al-Qur’an lebih dahulu pada introspkesi, control diri pribadi sebagai pimpinan; apakah sudah sejalan dengan pola dan tingkah berdasarkan planning dan program yang telah dirumuskan semula. Setidak-tidaknya menunjukkan sikap yang simpatik dalam menjalankan tugas, selanjutnya mengadakan pengecekan atau pemeriksaan terhadap kerja anggota atau bawahannya. Pimpinan yang melupakan dirinya akan mengakibatkan sulitnya segala bentuk perintahnya diterima oleh anggotanya. Petunjuk al-Qur’an itu antara lain sebagai berikut:51 “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membacakan al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir”.

    50 Arifin Abdur Rahman, Kerangka Pokok-pokok Management Umum, (Jakarta: Ihtiar

    Baru, 1976), p. 99. Lihat pula Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), pp. 255-256.

    51 Q.S. al-Baqarah: 44. Lihat juga Q.S. al-Dzâriyât: 21 “… Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikannya”; Kemudian Q.S. al-Shaf: 2-3 “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besarlah kebencian di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    46

    4. Prinsip- prinsip Manajemen Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an

    Prinsip-prinsip manajemen pendidikan dalam perspektif al-Qur’an ini seyogianya dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam maupun lembaga pendidikan pada umumnya. Paling tidak ada beberapa prinsip yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Prinsip tauhid/keimanan

    Dalam menjalankan fungsi-fungsi atau unsur-unsur manajemen pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, faktor tauhid/keimanan harus dijadikan landasan yang kuat. Keyakinan akan keesaan dan kemahabesaran Allah akan melahirkan ketentraman jiwa dan kelurusan tindakan. Keimanan yang benar juga akan menghindarkan seseorang dari berbagai manifestasi syirik kepada Tuhan seperti kultus individu, kultus jabatan, dan lain sebagainya.

    Dalam al-Qur’an Allah s.w.t. berfirman:52 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. Ayat di atas memberi isyarat kepada setiap orang untuk tidak tunduk kepada siapapun apakah dia seorang raja, seorang presiden, seorang manajer dan lain sebagainya. Ketundukan hanya boleh dilakukan kepada Allah s.w.t. Mana kala seseorang telah tunduk kepada-Nya, maka hati dan penglihatannya akan selalu dipenuhi oleh kebesaran dan keagungan Allah. Semua makhluk, perhiasan dan jabatan yang diembannya sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya. Lebih dari itu, semua tindakan dan perbuatannya akan dipertangung jawabkan kepadaNya di akhirat kelak.

    Diriwayatkan dari Abu Musa, Ja’far bin Abi Thalib berkata: “Kami sampai kepada Raja Najasyi, di mana ketika itu beliau sedang duduk di singgasananya. Sementara Umar bin Ash di sebelah kanannya dan Imarah di sebelah kirinya. Beberapa pemuka agama duduk dengan ta’dzim. Pada saat itu, Umar dan Imarah berkata kepada Raja Najasyi: “Sesungguhnya mereka tidak sujud kepadamu”. Maka seteleh urusan kami selesai, kami dikerumuni oleh para pemeluk agama dan beberapa orang pendeta yang lantas berkata: “Sujudlah kalian kepada raja kami.” Namun Ja’far bin Abi Thalib menjawab: “Sesungguhnya kami tidak akan pernah sujud, kecuali kepada Allah.”53

    52 Q.S. al-Hujurat (49): 15. 53 Kamal Muhammad Isa, Khashaish, p. 52.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    47

    Cerita di atas memberikan gambaran bahwa dalam mengelola suatu pendidikan yang baik, seseorang harus mampu mempertahankan keimanannya meskipun tidak bersama dengan orang yang menjaga dan membelanya. Dengan kata lain, manajemen yang ia jalankan tidak boleh keluar dari prinsip aqidah Islam yang benar. 2) Prinsip ta’abbudiyah

    Dalam manajemen pendidikan Islam, aktivitas yang dilakukan selalu diniatkan dalam kerangka ibadah kepada Allah. Niat semacam ini mempunyai implikasi yang sangat besar. Pertama, bahwa seseorang tidak akan pernah keluar dari aturan-aturan yang telah digariskan baik dalam al-Qur’an maupun dalam sunnah Rasul-Nya. Kedua, hasil yang dia capai tidak saja berukuran jangka pendek di dunia semata, tetapi juga berukuran jangka panjang sampai ke negeri akhirat. Ketiga, seluruh aktivitas/ pekerjaannya tidak saja dipertanggung jawabkan secara horizontal kepada manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Allah s.w.t.

    Perintah untuk menjadikan semua aktivitas manusia dalam kerangka pengabdian kepada Allah s.w.t. ditemukan dalam al-Qur’an:54 “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". Dalam ayat lain Ia berfirman:55 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

    Abuddin Nata melihat ayat tersebut tidak bisa dilepaskan dengan fungsi manusia yang lain, yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-An’am (6): 165; Fathir (35): 39; dan al-A’raf (7): 69. Sebagai khalifah, ia memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya. Sebagai ‘abd, maka seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah. Dengan pandangan yang terpadu ini, seseorang tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan.56

    Dengan demikian, fungsi-fungsi yang dijalankan oleh seorang manajer pendidikan pada hakikatnya tidak lepas dari fungsi diciptakannya manusia di muka bumi ini dengan selalu memperhatikan rule of the game yang Allah berikan kepadanya, sehingga tidak keluar dari rel yang sebenarnya.

    54 Q.S. al-An’am (6): 162-163. 55 Q.S. al-Dzariyat (51): 56. 56 Abuddin Nata, Filsafat, p. 41.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    48

    3) Mengutamakan akhlak yang luhur Setiap muslim di manapun ia berada harus mempunyai akhlak yang

    mulia. Nabi Muhammad s.a.w. diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, akhlak yang mulia ini harus menjadi landasan yang kuat dalam menjalankan manajamen pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan manapun. Prinsip ini memiliki implikasi yang sangat luas, di mana para manajer dan seluruh karyawan pendidikan harus mempunyai dan mengutamakan akhlak yang mulia, baik dalam menjalankan tugasnya maupun dalam melayani orang lain.

    Allah s.w.t. telah memberikan pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai rasul dan dengan sendirinya juga sebagai manajer dengan pujian sebagai orang yang benar-benar berbudi pekerti yang agung, seperti firman Allah:57 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

    Hasan Langgulung mengatakan bahwa tidak dapat dibayangkan suatu administrasi (manajemen) yang baik menurut konsep Islam tanpa ia ditegakkan di atas aqidah dan nilai-nilai akhlak yang sehat. Sebab iman itulah yang memberi kekuatan pendorong bagi akhlak yang membangkitkan rasa takut dan cinta kepada Allah. Administrasi (manajemen) tanpa akhlak akan menjadi lelucon dan tidak sanggup menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Akhlak membuka simpul dan menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh politik.58

    Banyak masalah pendidikan dewasa ini yang belum bisa dipecahkan secara tuntas, karena di dalam pengelolaannya belum didasarkan pada akhlak yang mulia. Isu KKN (Korupsi, kolusi dan Nipotisme) adalah salah satu masalah akhlak yang masih belum dapat diberantas secara tuntas hampir dalam semua lapangan kehidupan masyarakat, termasuk dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. 4) Bersifat terbuka

    Mengelola sebuah pendidikan bukanlah mengelola harta benda milik sendiri. Pendidikan adalah amanat umat yang harus dipertanggung jawabkan kepada umat itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus dikelola secara baik, secara sehat, dan jujur. Dengan kata lain, pendidikan harus dikelola dengan sistem manajemen terbuka.

    Manajemen terbuka bermakna bahwa pihak manajemen bersedia secara transparan dimintai keterangan mengenai pengelolaan pendidikan yang dijalankannya. Jika perlu setiap waktu ia bersedia untuk diperiksa, baik pembukuan kas, aset yang ada dan kebijakan yang diambilnya.

    57 Q.S. al-Qalam: 4. 58 Hasan Langgulung, Asas, p. 248.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    49

    Manajer pendidikan dalam semua lini seharusnya dapat menerima masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, karena hak mereka untuk melalukan, baik secara individu maupun melalui lembaga khusus seperti BP3, Komite Sekolah atau Dewan Madrasah. Isyarat ini nampak terlihat dalam firman Allah s.w.t:59 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

    5) Bersifat demokratis Sebagai akibat dari manajemen terbuka, maka pengelolaan

    pendidikan harus pula dilaksanakan secara demokrastis. Manajemen demokratis artinya, semua harus dimusyawarahkan bersama semua yang terlibat, seperti siswa, orangtua siswa, yayasan pendidikan, dan lain sebagainya. Mereka harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Prinsip ini sangat jelas terdapat dalam al-Qur’an seperti:60 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.

    Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan semua kegiatan yang penting, kecuali setelah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabatnya, seperti dalam menghadapi perang sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu. Dengan demikian, musyawarah merupakan tingkat yang sangat penting dalam suatu proses manajemen yang baik.61

    6) Bersifat ilmiah Pendidikan yang baik itu harus dimanaj secara benar berdasarkan

    kepada ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, dalam hal penempatan personil misalnya, ia haruslah mempunyai pengetahuan di bidang atau tempat ia bertugas. Apalagi seorang manajer pendidikan, tentulah harus berilmu bagaimana mengelola pendidikan itu secara baik dan benar. Dalam al-Qur’an Allah swt. banyak memberi isyarat antara lain:62 “Janganlah engkau turuti sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati masing-masing akan diminta pertanggungjwabannya”.

    59 Q.S. al-Nisa: 58. 60 Q.S. al-Syura: 38. Lihat pula surat Ali ‘Imran: 159. 61 Kamal Muhammad Isa, Khashaish, p. 25. 62 Q.S. Bani Israil (17): 36.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    50

    Dalam ayat lain disebutkan:63"…Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar”

    Dengan demikian, seorang manajer pendidikan haruslah orang yang berilmu pengetahuan, karena dia yang merencanakan, atau mengurus atau mengelola setiap fungsi manajemen. Pendidikan yang dikelola tidak secara ilmiah akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan, sebagaimana disinyalir oleh Nabi Muhammad s.a.w. dalam sebuah hadits yang sangat terkenal yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, ia bersabda: “Jika sesuatu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”

    7) Prinsip tolong menolong Konsepsi tolong menolong menunjukkan bahwa manusia dijadikan

    sebagai makhluk sosial karena mereka ditakdirkan Allah menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Untuk melakukan fungsi tersebut, maka ia harus bekerja sama, bersatu dan tolong menolong. Konsep Islam bahwa manusia adalah makhluk sosial hampir sama dengan konsep Aristoteles yang terkenal dengan istilah zoon politicon, tetapi dasarnya berbeda. Di dalam Islam, konsep tersebut berdasarkan tujuan pengabdian kepada Allah, baik sebagai khalifah-Nya maupun sebagai manusia yang harus mencari hidup bersama, yang keduanya terkait pada pengabdian kepada Allah juga.

    Prinsip tolong menolong ini jelas tergambar dalam firman Allah:64 “Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan janhgnalah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan Takutlah kepada Allah sesungguhnya Allah itu amat keras siksa-Nya ”.

    Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena itu ta’awun atau tolong menolong adalah suatu sunnatullah yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan demikian, konsepsi ta’awun ini sangat luas jangkauannya, baik menyangkut kebutuhan ekonomi, politik, budaya, keamanan, pendidikan dan lain-lain.

    Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi dewasa ini sudah sedemikian canggihnya. Semua yang dicapai dalam bidang pendidikan ini, tentunya tidak lepas dari konsepsi ta’awun. Karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, prinsip ta’awun ini harus benar-benar ditegakkan secara optimal.

    63 Q.S. al-An’am (6): 143. 64 Q.S. al-Maidah (5): 2.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    51

    8) Prinsip perdamaian Prinsip manajemen yang lain adalah prinsip perdamaian. Hal ini

    diisyaratkan oleh firman Allah:65 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

    Melalui firman tersebut, Allah s.w.t. memerintahkan untuk senantiasa berusaha menciptakan perdamaian dalam semua lapangan kehidupan manusia. Demikian juga pengaturan hubungan antar manusia dalam proses manajemen pendidikan harus berdasarkan prinsip perdamaian ini. Dengan demikian, tidak ada hubungan kerja atas dasar paksaan, tipuan, perbudakan dan lain-lain.

    Perbedaan fungsi dan kedudukan dalam lini manajemen apapun tidak menimbulkan pertentangan-pertentangan sebagai akibat dari pembagian kerja secara profesional dan proporsional. Itu semua justeru merupakan rahmat Tuhan. Masing-masing menjalankan tugas dan kewajibannya dengan saling menghormati dan saling menghargai.

    Fungsi manajer dalam hal ini adalah sebagai penyatu atau pemersatu. Persatuan diperlukan agar dapat bekerja sama dan tolong menolong antar sesama anggota. Persatuan juga diciptakan agar tercipta lembaga pendidikan yang produktif dan menguntungkan bagi kelangsungan pendidikan yang berkualitas.

    Adanya tawar menawar antara berbagai pihak yang terkait haruslah dilakukan atas prinsip perdamaian dengan memperhatikan rule of the game yang disepekati. Tuntutan yang diajukan haruslah wajar dan proporsional. Misalnya tuntutan gaji guru di satu pihak dengan kemampuan yayasan atau pengelola pendidikan di pihak lain. Dengan demikian, akan dapat diciptakan suatu iklim manajemen pendidikan yang harmonis dan produktif.

    D. Macam-macam Manajemen Pendidikan

    Ketika membicarakan tentang macam-macam manajemen pendidikan, paling tidak ada tiga istilah yang saling punya keterkaitan, yaitu School Base Management, Total Quality Management, dan Bench Marking Management. Ketiga macam manajemen pendidikan ini akan dibahas menurut teori menejemen, kemudian dicoba untuk dilihat bagaimana konsep al-Qur'an mengenai masalah ini.

    65 Q.S. al-Baqarah (2): 208.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    52

    1. School Base Management Gagasan tentang School Base Management yang di dalam

    bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sangat ramai dibicarakan terutama setelah lahimya kebijakan pemerintah mengenai desentralisasi pengelolaan pendidikan di Indonesia, yang ditandai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 25 tahun 2002 tentang kewenangan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.

    Implementasi gagasan tentang MBS ini tentu saja diharapkan tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik sekolah maupun pengelolaan sekolah itu sendiri, tetapi jugs membawa perubahan dalam pola kebijakan dan partisipasi orang tua maupun masyarakat secara luas.

    Manajemen Berbasis Sekolah dapat didefinisikan sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.66

    Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa esensi MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi itu sendiri dapat diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Dengan MBS, unsur pokok sekolah memegang kontrol yang jauh lebih besar terhadap segala kejadian di sekolah yang pada masa diberlakukannya sistem sentralisasi pendidikan, kontrol tersebut hampir-hampir sangat sedikit karena kewenangan pusat sangat dominan.

    Gagasan di atas senada dengan pendapat Djam'an Satori yang menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dalam satu keutuhan entitas sistem. Di dalamnya terkandung adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. 67 Dengan demik ian, MBS diper lukan

    66Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan,

    http:/www.pdk.go.id/publikasi/bulletin/Pppg Tertulis/08 2001/manajemen pendidikan masa depan, htm, h. 22

    67 Djam’an Satori, "Manajemen Berbasis Sekolah dan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Madrasah", Makalah disajikan dan dibahas dalam lokakarya pengelola organisasi pemdidikan Majelis Petimbangan Pendidikan dan Pengajaran pada 13-15 Nopember 2002, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag RI, 2002), p. 2.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    53

    dengan tujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas atau mutu sekolah yang berimplikasi pada output yang berkualitas pula.

    Dengan kemandirian yan dimiliki oleh sekolah, maka: a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.

    b. Sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.

    c. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan in put pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan.

    d. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua murid, dan masyarakat.

    e. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikannya.68 Di negara-negara maju, sebutan untuk MBS/ SBM ini

    bermacam-macam. Di Inggris disebut Local Management of School atau Grant Maintained School. Di Australia disebut the School of the Future atau Better Schools. Di Kanada disebut School-Based Budgetting, kemudian diganti dengan School-Based Decision Making. Di Selandia Baru disebut Tomorrow's Schools. Di Amerika disebut Charter Schools, atau Site Based Management, atau School-Based Leadership. Dan di Hongkong disebut School Management Initiative.

    Jika diperhatikan penamaan atau penyebutan di atas, semuanya tidak lepas dari substansi Manajemen Berbasi Sekolah yaitu desentralisasi, kewenangan sekolah dan mutu pendidikan di sekolah yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dan harapan peserta didik dan masyarakat pada umumnya seiring dengan kemajuan zaman dalam berbagai aspeknya.

    Manajemen Berbasis Sekolah tidak dengan sendirinya (otomatis) meningkatkan mutu pendidikan.69 Ini terjadi kalau MBS hanya ditafsirkan secara harfiah sebagai evolusi kewenangan dari pusat ke sekolah, sementara dalam waktu yang bersamaan tidak disertai kesadaran akan mutu pendidikan. Pada tataran inilah kemudian diperlukan bentuk/macam manajemen yang lebih spesifik yaitu Total Quality

    68 Erman Suparman, Manajemen, pp. 24-25. 69 Umaedi, "Manajemen Berbasis Sekolah", Bahan Ajar PPS UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 2002

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    54

    Management (TQM). 2. Total Quality Management

    Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu adalah suatu konsep manajemen yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh seorang ahli statistik Amerika W. Edward Deming (l.1900) dari berbagai praktik manajemen serta usaha peningkatan dan pengembangan produktivitas.70 Konsep im membuka jalan menuju paradigma berpikir baru yang memberi stressing pada kepuasan pelanggan. Lahimya perubahan paradigma ini tentu saja disebabkan oleh banyak faktor, antara lain persaingan yang semakin ketat dan ketidakpuasan pelanggan terhadap mutu pelayanan dan produk.

    Di Indonesia, TQM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980-an dan sekarang cukup populer di sektor swasta khususnya perusahaan dan industri dengan adanya program ISO 9000.

    71 Meskipun TQM ini berasal dari perusahaan dan industri , namun kini penggunaannya telah merambah ke berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta, termasuk lembaga pendidikan.

    Jika memperhatikan kondisi Indonesia pada saat ini dimana berada pada periode "transisi" dari gaya pemerintahan otoriter yang sangat sentra l istik menuju gaya pemerintahan bottom-up yang desentralistik, maka konsep TQM dalam bingkai SBM mempunyat peluang yang sangat besar untuk diimplementasikan, walaupun mungkin memerlukan proses jangka panjang dan berlangsung terus menerus, karena budaya suatu organisasi termasuk lembaga-lembaga pendidikan, sangatlah sulit untuk dirubah. Yang diperlukan sekarang adalah political will dan komitmen dari pemerintah maupun pengelola pendidikan itu sendiri terhadap peningkatan mutu yang selama ini terus "ditunggu-tunggu".

    Hari Suderadjat menyebutkan hahwa mutu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia secara akademik lebih rendah dibanding negara tetangga, bahkan di bawah mutu pendidikan Vietnam. Secara umum, Mutu SDM kita berada pada ranking 102 dari 106 negara yang disurvey.72 Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan tentunya

    70 Lebih jauh lihat Edward` Sallis, Total Quality Management in Education, (London:

    Philadelphia, 1993), pp. 15-16. 71 Untuk mengetahui lebih jauh tentang masalah ISO ini, lihat Himam, Diah,

    Yosi, Menebar ISO Menuai Curiga, Sajut1, Techno4,http:/www.brawijaya.ac.id/student/techno/sajut%20techno4A.htm

    72 Hari Suderadjat, "Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah", Makalah disampaikan pada lokakarya pengelola organisasi pendidikan Majelis

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    55

    memotivasi semua kita untuk melakukan reorientasi pendidikan yang selama ini telah kita kelola, untuk kemudian bisa diharapkan menghasilkan lulusan yang qualified dan bisa bersaing dalam era global sekarang.

    Pendekatan Total Quali ty Management hanya akan dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya sebagai benikut: Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. a. Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas. b. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputLisan dan pemecahan masalah.

    c. Memiliki komitmen jangka panjang. d. Membutuhkan kerja sama tim. e. Memperbaiki proses secara berkesinambungan. f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. g. Memberikan kebebasan yang terkendali. h. Memiliki kesatuan tujuan. i. Adanya keterhbatan dan pemberdayaan73

    Satu dari sepuluh karakteristik di atas adalah memperbaiki proses secara berkesinambungan. Proses ini di dalam ilmu manajemen disebut Bench Marking yang berfungsi sebagai alat Total Quality Management. 3. Bench Marking Management

    Bench marking sesungguhnya adalah suatu alat/cara yang digunakan dalam TQM dengan membandingkan produk dan proses yang dijalankan terhadap yang paling baik di dunia.74 Karena itu Bench Marking bisa dikatakan sebagai "kunci" untuk perbaikan berkesinambungan. Karena konsep "yang paling baik di dunia" akan selalu mengalami perubahan dan penyempurnaan, maka kalau bench marking ini tidak dilakukan, suatu lembaga semisal pendidikan akan terus mengalami ketertinggalan.

    Karena konsep ini berasal dari industri atau perusahaan, di sini dikemukakan salah satu contoh Bench marking yang dilakukan oleh Xerox pada akhir tahun 1970. Perusahaan ini melakukan bench marking ketika ia mengetahui ada pesaing luar negeri dapat menjual

    Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (MP3A), (Jakarta, Nov. 2002), p. 1

    73 PPs Bogor, Manajemen Mutu Total (Total Quality Management), http//rudyct.com/sem1012/ke3012.htm, p. 91.

    74 James A.F. Stoner et. al, Manajemen, Edisi Bahasa Indonesia, alih Bahasa Alexander Sindoro, Jilid I, (Jakarta: PT. Preballindo, 1996), p. 224.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    56

    mesin photo copy yang setara dengan harga yang sama dengan biaya produksi Xerox. Untuk menemukan produk pembandingnya, Xerox menggunakan perusahaan Jepang yang menjadi afiliasinya, Fuji Xerox, sebagai jendela untuk melihat persaingan. Dengan mengambil proses yang efesien dari pesaing yang dipilih, Xerox mampu merampingkan operasinya sendiri tanpa mengorbankan pelayanan atau mutu: misalnya, Xerox menemukan bahwa mereka dapat memotong jumlah langkah dalam menyimpan dan menanganai material dari empat menjadi dua, menghemat waktu dan uang.75

    Se jak awal tahun 1980-an, bench marking te lah membuat Xerox mampu mengurangi biaya produksi sampai separuh. Di samping itu, perusahaan juga berhasil mengurangi biaya tenaga kerja pelayanan dan menaikkan cukup besar tingkat produktivitas dari organisasi distribusinya. Dengan demikian, perusahaan benar-benar bertekad untuk terus menggunakan peralatan ini sebagai suatu bagian penting dari usahanya ke arah perbaikan berkesinambungan.76

    Kalau diperhatikan uraian di atas dan dikaitkan dengan dunia pendidikan, tampak bahwa memperbaiki proses secara berkesinambungan adalah suatu keniscayaan. Bench marking perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di satu sisi, dan meningkatkan efektivitas dan efesiensi di sisi lain. Introspeksi terhadap potensi dan kinerja internal yang dimiliki dalam lembaga pendidikan kita, kemudian melihat secara objektif berbagai kemajuan eksternal dalam skala yang lebih luas adalah modal utama untuk bisa mengejar ketertinggalan dan meningkatkan mutu/kualitas yang diharapkan, baik pada tataran proses maupun pada tataran produk atau hasil pendidikan itu sendiri. Sebagai realisasi dari konsep ini, di Indonesia antara lain sering dilakukan studi banding atau comparative study terhadap lembaga-lembaga yang dianggap lebih maju dan berkualitas. Dari studi banding ini diharapkan ada perbaikan-perbaikan yang signifikan yang bisa dilakukan sehingga bisa mengejar ketertinggalan yang bermuara pada peningkatan mutu.

    Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaiaman kalau semua konsep di atas (School Base Management, Total Quality Management, dan Bench Marking) dilihat dari perspektif al-Qur'an. Kalau diperhatikan substansi ketiga konsep di atas, maka

    75Ibid. 76 Ibid., p. 225.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    57

    sebenarnya tidak lepas dari prinsip efesiensi, efektivitas dan mutu atau kualitas. Pemberlakuan sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan membuat kita jauh dari ketiga prinsip tersebut. Terdapat banyak indikator yang dapat kita paparkan. Misalnya, terjadinya pemborosan anggaran pada tingkat pusat yang bisa dirasakan hanya sebagian kecilnya pada tingkat operasional sekolah, terdapatnya kurikulum yang tidak link dan match dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat sebagai usernya, karena kurikulum didesain oleh pihak pemerintah pusat. Penempatan tenaga guru yang kadang-kadang missmatch dengan kebutuhan lokal; misalnya y ang d im in t a s e ko l ah a da l a h gu ru Ma tema t i k a namun y ang d i be r i k an o l e h peme r i n t ah adalah guru bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah droping pejabat dari pusat yang sama sekali tidak mengenal lapangan sekolah dan latar belakang sosial-budaya masyarakat di sekitarnya, sehingga yang diperjuangkannya adalah kepentingan pribadinya. Serta banyak lagi kebijakan dan prosedur pemerintah pusat yang sebenarnya lebih bersifat inefesiensi dan kontra produktif, sehingga jauh dari mutu yang diinginkan oleh sekolah dan masyarakat pada umumnya.

    Dari gambarana di atas t idak heran kalau Hari Suderadjat menyebutkan hahwa mutu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia secara akademik lebih rendah dibanding negara tetangga, bahkan di bawah mutu pendidikan Vietnam. Dan secara umum, mutu SDM kita berada pada ranking 102 dari 106 negara yang disurvey,77 suatu kondisi yang sangat memprihatinkan.

    Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam bukanlah kitab manajemen yang berbicara secara rinci dan technical mengenai masalah di atas. Namun kalau dipelajari secara mendalam, di dalamnya banyak terdapat isyarat atau petunjuk universal yang berbicara tentang efesiensi, efektivitas dan mutu atau kualitas sebagai substansi dari konsep School Base Management, Total Quality Management dan Bench Marking Management.

    Dalam hal School Base Management misalnya, yang secara substantif merupakan refleksi dari otoritas atau kewenangan yang lebih lokal (dalam hal ini sekolah) terdapat isyarat al-Qur'an sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri”78

    Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas berbicara dalam

    77 Himam, Diah, Yosi, Menebar. 78 Q.S. al-Ra’du (13): 11.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    58

    konteks social. Dari ayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang boleh saja perubahan bermula dari seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat.79

    Ayat di atas juga dapat dipahami bahwa suatu perubahan yang dikehendaki bermula dari kaum itu sendiri, karena mereka lebih tahu tentang keadaan mereka dari pada orang lain. Dalam konteks manajemen pendidikan, tentunya suatu sekolah tentu lebih tahu tentang dirinya dari pada lembaga lainnya semisal pihak birokrasi pusat. Karena itu, adalah wajar kalau kemudian pengelolaan, kewenangan dan pengambilan keputusan berada pada atau lebih dominan ada pada sekolah. Dan ini merupakan subtansi dari School Base Management.

    Di dalam ayat lain diisyaratakan tentang perlunya musyawarah di antara mereka seperti pada firman Allah swt : “Dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka sendiri”80 Tentu saja dari situ kemudian punya implikasi yang sangat besar terhadap efesiensi dan efektivitas. Berkaitan dengan efesiensi ini antara lain diisyaratkan dalam al-Qur'an.:81 "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. "

    Efisiensi yang diinginkan dalam pengelolaan pendidikan tentunya mencakup semua bidang atau elemen yang terkait, seperti keuangan, sarana dan prasarana, fasilitas, sumber daya manusia, waktu, prosedur, dan lain sebagainya. Pada saat yang bersamaan faktor efektivitas atau ketercapaian tujuan sebagai basil akhir dari pada kerja manusia harus juga dapat diwujudkan, sebagaimana dapat dipahami dan ayat:82 "Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemompuanmu, vesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dart dunia ini. Sesungguhnya, orang-orang yang -ahm itu tidak akan mendapat keberuntungan ".

    Ayat di atas juga memberi isyarat bahwa berhasil saja belumlah cukup. Hasil yang didapatkan haruslah hasil yang baik atau berkualitas. Di

    79 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), pp.

    556-557. 80 Q.S. al-Syura ((42):38. 81 Q.S. al-Isra (17):26-27. 82 Q.S. al-An’am (6):135.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    59

    sinilah perlunya TQM untuk mencapai hasil yang berkualitas tersebut. Ayat lain yang memberi isyarat ke arah ini adalah:83 "Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia maha perkasa lagi maha pengampun” "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.84

    Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas ditujukan kepada mereka yang berada di sekeliling pemilik harta yang sakit dan diduga segera akan wafat.85 Mereka seringkali memberi aneka nasehat kepada pemilik harta yang sakit itu, agar mewasiatkan kepada orang-orang tertentu sebagian harta mereka yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai dan lemah. Selanjutnya beliau juga mengutip pendapat Tanthawi yang menyatakan bahwa ayat di atas ditujukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintalikan untuk berlaku adil, berucap yang benar, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan di atas.86

    Menurut Abuddin Nata, dalam konteks ayat di atas orang yang diberikan wasiat jangan sampai menjual, memakan, menggelapkan dan sebagainya harta anak yatim, sehingga pada saat anak yatim tersebut dewasa tidak berada dalam kesusalian. Orang yang diberi wasiat ini harus pula membina akhlak anak yatim tersebut dengan memberikan keteladanan perbuatan dan perkataan serta membiasakan berakhtak mulla.87

    Jika itu semua tidak dilakukan, maka besar kemungkinan anak akan mengalami keterbengkala ian. Keterbengkalaian anak merupakan suatu keadaan yang dapat menghalanginya dan mengejar kemajuan yang berujung pada kualitas anak itu sendiri. Anak yang tidak dapat meraih kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan tentunya kualitasnya juga rendah. Persoalan kualitas rendah ini merupakan agenda penting dari suatu pengelolaan pendidikan yang hares dicarikan jalan pemecahannya.

    Sebagaimana diuraikan di muka, agar mutu atau kualitas

    83 Q.S. al-Mulk (67): 2. 84 Q.S. al-Nisa (4):9. 85 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), p. 337. 86 Ibid., p. 338. 87 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2002). p. 197.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    60

    i tu tetap terjamin diperlukan Benchmarking sebagai upaya perbaikan yang berkesinambugan dengan cara melakukan perbandingan-perbandingan yang menghasilkan manfaat. Al-Qur'an banyak sekali menyuruh manusia untuk melakukan perbandingan secara kiitis, misalnya: “Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkannya”.88 Ayat lain:89 "Katakanlah: Ddak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai oran-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan ". Kemudian pada ayat lain:90 "Katakanlah: Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesunoluhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ".

    Pada ayat-ayat di atas kita disuruh membanding dua variabel yang saling kontradiktif secara kritis, yaitu variabel orang yang buta dengan orang yang melihat, yang buruk dengan yang baik, dan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Kalau dianalisa lebih jauh, maka vanabel orang yang buta, yang buruk, dan orang yang tidak mengetahui, semua ini tampaknya merupakan representasi dari suatu ketertinggalan. Sebaliknya variabel orang yang melihat, yang baik, dan orang yang mengetahui merupakan representasi dari suatu kemajuan Manusia disuruh untuk membandingkan dan memikirkan semua itu. Hasilnya tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan; misalnya mengapa ketertinggalan itu bisa terjadi atau sebahknya mengapa kemajuan itu bisa dicapai. Dari sinilah kemudian, menurut penulis, Bench marking itu merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan kalau kita ingin meningkatkan mutu pendidikan nasional, sebagai bagian dan upaya TQM dalam bingkai School Base Management.

    C. Penutup

    Manajemen pendidikan dalam perspektif al-Qur’an memuat berbagai petunjuk, arahan dan prinsip yang dapat dipegangi dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efesien. Petunjuk, arahan dan prinsip itu dalam tataran praksis sesungguhnya telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. sebagai seorang Nabi dan Rasul sekaligus juga sebagai seorang manajer yang meraih banyak kesuksesan dalam memimpin masyarakatnya.

    88 Q.S. al-An’am (6):50. 89 Q.S. al-Maidah (5):100. 90 Q.S. al-Zumar (39):9.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    61

    Manajemen sebagai suatu ilmu yang dapat diterapkan dalam berbagai lapangan usaha manusia, termasuk bidang pendidikan, baru lahir pada pertengahan abad ke-19 yang dipelopori oleh Frederick Winslow dan Hendry Fayol dari Perancis. Prinsip-prinsip dasar ilmu manajemen telah banyak ditemukan dalam kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Unsur manajemen misalnya, telah ditunjukkan oleh al-Qur’an yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, komunikasi dan pengawasan. Kesemua unsur ini harus berada dalam koridor prinsip yang diajarkan oleh al-Qur’an. Di antara prinsip itu adalah prinsip aqidah/ keimananan, ta’abbudiyah, mengutamakan akhlak yang luhur, bersifat terbuka, bersifat demokratis, bersifat ilmiah, prinsip tolong menolong, dan prinsip perdamaian.

    Dalam tataran operasional manajemen pendidikan bias mengacu kepada School Base Management, Total Quality Management, dan Bench Marking. Ketiga konsep ini saling terkait dan mengacu pada efesiensi, efektivitas, dan mutu. Al-Qur’an telah banyak memberi isyarat kea rah ini, sehingga tidak diragukan lagi dapat dijadikan landasan filosofis dalam upaya mengelola lembaga-lembaga pendidikan secara profesional.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    62

    Daftar Pustaka

    ‘Abd al-Baqy, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahharas li Alfazh al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

    Arikuntor, Suharsimi, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

    Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

    Burhanuddin, Yusak, Administrasi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

    Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1993.

    Effendy, Ek. Mochtar, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986.

    Gunawan, Ary H., Administrasi Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

    Gunur, Alex, Managemen Kerangka Pokok-pokok, Jakarta: Bharata, 1975.

    Handoko, T. Hani, Manajemen, Yogyakarta: BPFE, 1995.

    Isa, Kamal Muhammad, Khashâish Madrasatin Nubuwwah, terj. Chairul Halim, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1994.

    Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in The Qur’an, terj. Mansurddin Djoely dkk., Konsep-konsep Etika Beragama Dalam Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

    Langgulung, Hasan, Asas-asan Pendidikan Islam,Jakarta: al-Husna Zikra, 2000.

    March, James G. and Simon, Herbert A., Organizations , United State of America: Fraduate School of Industrial Administration Carnegie Institute of Technology, 1958.

    Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Alma’arif, 1980.

    Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984.

    Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2001.

  • Husnul Yaqin: Manajemen Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, Edisi Khusus, Februari 2010

    63

    Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

    Rahman, Arifin Abdur, Kerangka Pokok-pokok Management Umum, Jakarta: Ihtiar Baru, 1976.

    Rebore, Ronald W., Personnel Administration In Education A Management Approach, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1991.

    Robbins, Stephen R., Low, Peter S., and Mourell, Mark P., Managing Human Resources, Australia: Prentice-Hall, 1986.

    Rohani H,M., Ahmad dan Ahmadi, Abu, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

    Sahertian, Piet A., Dimensi Administrasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1994.

    Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. I , Jakarta: Lentera Hati, 2002.

    Soekarno, Dasar-dasar Manajemen, Jakarta: Telaga Bening, t.t.

    Soetopo, Hendyat dan Soemanto, Wasty, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.t.

    Subroto, B. Suryo, Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

    Sutaryadi, Administrasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.

    Tim dosen FIP IKIM Malang, Administrasi Pendidikan, IKIP Malang, 1989.

    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua Jakarta: Balai Pustaka, 1994.