04 abdurahman hoda - pendahuluan

69
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda. Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang, seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding. Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal. Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal (kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada kambing di Indonesia. Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting

Upload: suparnobawono

Post on 06-Aug-2015

97 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda.

Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang,

seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa

permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi

lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh

dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang

diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed

lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan

pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya

kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding.

Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan

karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan

terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik

beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas

dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri

dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang

relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi

efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal.

Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal

(kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat

produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor

dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada

kambing di Indonesia.

Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan

disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan

ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani

penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk

ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting

Page 2: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

2

untuk menumbuhkan aktivitas pendapatan sebagian besar petani kecil disamping

menjadi sumber protein hewani yang menunjang ketahanan pangan nasional.

Hampir 50.3% populasi kambing di Indonesia terdapat di pulau Jawa. Dari

13 182 064 ekor kambing di seluruh Indonesia, sekitar 6 626 653 ekor kambing

berada di pulau Jawa (Ditjen Peternakan 2005). Di luar Jawa, provinsi yang

memiliki populasi kambing terbanyak adalah Lampung (868 133 ekor), Sumatera

Utara (72 858 ekor), Nangroe Aceh Darussalam (655 242 ekor) , Sulawesi Selatan

(511 895 ekor) dan sisanya 3 798 283 ekor tersebar di provinsi lainnya. Apabila

dibandingkan dengan domba, populasi kambing jauh lebih tinggi. Namun data

yang berkenaan tentang kambing sangat minim, padahal data ini sangat diperlukan

dalam rangka pelaksanaan usaha pemuliaan serta pengembangannya. Disamping

itu, pengaruh iklim, topografi maupun vegetasi menyebabkan penampilan

kambing yang dipelihara di satu wilayah dengan wilayah lain berbeda. Perbedaan

ini diperbesar dengan terjadinya kawin silang dengan kambing jenis yang berbeda

(misalnya etawah maupun peranakan etawah) maupun frekwensi pemindahan

antar pulau kambing lokal pada wilayah yang pulaunya sangat berdekatan. Hal ini

dapat dilihat dari bentuk dan performance ternak kambing kacang di beberapa

pulau yang mempunyai karakter sangat beragam seperti di provinsi Maluku Utara

yang dikenal sebagai Provinsi Kepulauan.

Provinsi Maluku Utara yang terbentuk dengan Undang-Undang No.46

tahun 1999 adalah daerah kepulauan yang terdiri atas 395 pulau besar kecil,

sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 pulau tidak berpenghuni, dengan luas 33 278

km2 (23.73%) yang tersebar di atas perairan seluas 106 977.32 km2 (76.27%).

Luas wilayah seluruhnya 140 255.36 km2 dengan hamparan topografi yang

berbukit dengan bergunung-gunung dengan ketinggian tempat yang bervariasi

antara 25 sampai 1000 di atas permukaan laut (dpl). Mata pencaharian sebagian

besar penduduknya adalah bertani tanaman pangan, berkebunan dan nelayan dan

sebagian lainnya melakukan kegiatan usaha sampingan seperti memelihara ternak

sapi, kambing dan unggas (ayam buras, ras dan itik).

Populasi kambing kacang tahun 2005 di provinsi Maluku Utara adalah

101 962 ekor (Badan Pusat Statistik Maluku Utara 2006) dan seluruhnya berpola

peternakan rakyat ekstensif dan diusahakan secara tradisional. Pemeliharaan

Page 3: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

3

ternak secara tradisional ini menggunakan ketrampilan yang sederhana dan

menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu yang relatif terbatas. Ternak

kambing digembalakan di padang penggembalaan umum, pinggir jalan dan

sawah, pinggir sungai, atau tegalan. Kalau siang hari ternak dibiarkan mencari

makan sendiri dan diberi minum dan dimandikan seperlunya, lalu dimasukkan ke

dalam kandang pada sore hari. Pemeliharaan dengan cara ini dilakukan setiap hari

dan dikerjakan oleh anggota keluarga peternak dengan jumlah kepemilikan rata-

rata 5-10 ekor ternak kambing. Persoalan mendasar yang dijumpai adalah

pengetahuan dan ketrampilan peternak yang masih rendah, akibatnya mereka

mengalami kesulitan mengadopsi teknologi baru, yang konsekuensinya adalah

rendahnya produktivitas ternak kambing di Maluku Utara.

Sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas, studi untuk mengamati

dan mempelajari karakterisasi, produktivitas dan dinamika populasi ternak

kambing kacang di provinsi Maluku Utara perlu dilakukan sehingga diperoleh

data dasar yang dapat digunakan untuk landasan bagi pengembangan program

pemuliaan kambing kacang di wilayah ini. Dengan demikian usaha pelestarian

sumber genetik ternak asli khususnya ternak lokal dapat dilakukan dengan tetap

memanfaatkannya secara optimal.

Tujuan Penelitian

Merancang pola pemuliaan dan pengembangan ternak kambing kacang di

provinsi Maluku Utara. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan

untuk:

1. Memahami karkateristik petani-ternak khususnya peternak kambing di

Maluku Utara sebagai informasi dasar untuk pengembangan program

pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara

2. Melakukan karakterisasi kambing kacang meliputi karakterisasi fenotip

kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karakterisasi genotip dengan

tujuan untuk menentukan tingkat keragaman dan jarak genetik dalam

populasi pada masing-masing wilayah sebagai database genetik untuk

menentukan arah pengembangan program pemuliaan kambing kacang di

wilayah tersebut.

Page 4: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

4

3. Mengkaji penampilan produktivitas kambing kacang serta pola

pertumbuhan anak kambing dengan umur tetua yang berbeda yang

dikawinkan secara acak (tanpa melihat umur serta bobot ) dan tetua yang

terseleksi dan dikawinkan tidak secara acak (terpilih) baik pada ternak

kambing yang dipelihara di stasiun percobaan maupun yang di pelihara

secara tradisional di pedesaan untuk mendapatkan pola pertumbuhannya.

4. Mempelajari dinamika populasi kambing kacang yang meliputi struktur

populasi, gambaran tentang sifat-sifat dasar kambing kacang, tingkat

mortalitas untuk menentukan besaran populasi secara berkesinambungan.

5. Menentukan pola dan program pemuliaan yang berkelanjutan untuk

menghasilkan ternak kambing unggul di Maluku Utara.

Manfaat Penelitian

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang

berarti bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan peternakan

kambing khususnya berkaitan dengan upaya pelestarian plasma nutfahnya

di Maluku Utara.

2. Diharapkan hasil penelitian ini juga akan memberi petunjuk bagi

pengembangan suatu model dalam rangka pemeliharaan dan pembinaan

kelestarian sumberdaya genetik ternak kambing kacang dalam lingkungan

pedesaan di Provinsi Maluku Utara yang bersifat aplikatif bagi peternak.

Page 5: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

5

Kondisi Saat ini - Populasi

relatif tinggi - Produksi

daging saja - Pemeliharaan

tradisional - Jarang

menggunakan kandang

- Sebagai usaha sambilan

- Sering dijangkiti penyakit menular

- Ternak dibiarkan cari makan sendiri

- Tidak ada program pemuliaan

Peluang - Sumberdaya lahan tersedia - Ketersediaan pakan tinggi - Adanya political will

pemerintah daerah - Keragaman breed tinggi - Sosial budaya masyarakat

mendukung

Kambing kacang merupakan

plasma nutfah ternak potensial

Tantangan - Kondisi geografis provinsi

kepulauan - SDM peternak rendah - Skala usaha kecil dan menyebar - Kualitas dan mutu bibit rendah - Perkawinan inbreeding - Tidak jelas pola pengembangan - Data dasar molekuler tidak ada

DINAMIKA POPULASI

- Struktur Populasi

- Sifat-sifat dasar Populasi

Produktivitas dan Pola Pertumbuhan

ASPEK GENETIK - Karakt.

Fenotipe - Karakt.

Genotip

PROGRAM PEMULIAAN

TERNAK KAMBING

Keadaan Umum : - Peternak - Kelembagaan - Aspek sosial

Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Page 6: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

6

TINJAUAN PUSTAKA

Karakterstik Wilayah Penelitian

Geografi dan Wilayah Administratif

Provinsi Maluku Utara merupakan hasil pemekaran dari wilayah provinsi

Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif adalah di Sofifi.

Mempertimbangkan berbagai aspek daya dukung prasarana dan sarana

pemerintahan yang ada di Sofifi belum memadai untuk menjalankan

pemerintahan, maka dalam rangka menjalankan roda pemerintahan provinsi,

untuk sementara ditempatkan di kota Ternate dan berjalan sampai dengan saat ini.

Secara geografis wilayah Provinsi Maluku Utara berada pada posisi

koordinat 30 Lintang Utara sampai 30 Lintang Selatan dan 1240 sampai 1290

Bujur Timur, dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera

• Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku

• Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram (Maluku).

Luas total wilayah provinsi Maluku Utara mencapai 140 255.36 km2,

dengan luas wilayah perairan 106 977.32 km2 (76.27%), dan daratan seluas 33

278 km2 (23.73 %). Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu,

sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 331 pulau lainnya tidak dihuni.

Jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 910 656 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan

sebesar 2.16% per tahun.

Sebagai wilayah kepulauan, provinsi Maluku Utara terdiri dari pulau besar

dan pulau kecil. Pulau yang tergolong relatif besar ialah Pulau Halmahera (18

000 km2), Pulau-pulau yang relatif sedang besar ialah Pulau Obi (3 900 km2),

Pulau Taliabu (3 295 km2), Pulau Bacan (2 878 km2) dan Pulau Morotai (2 325

km2) dan pulau – pulau yang relatif kecil antara lain pulau Ternate, Tidore, Moti,

Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainya.

Page 7: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

7

Secara administratif pemerintahan, provinsi Maluku Utara terdiri dari 6

Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Ternate,

Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera

Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota

Tidore Kepulauan (Tabel 1).

Tabel 1 Luas wilayah kabupaten/kota di provinsi Maluku Utara

No. Kabupaten/Kota Jumlah kecamatan

Jumlah desa/kelurahan Luas wilayah (km2) Desa Kelurahan

1 2 3 4 5 6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Halmahera Tengah Kota Ternate Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Selatan Kepulauan Sula Halmahera Timur Tidore Kepulauan

3 4 5 9 9 6 4 6

31 -

130 174 194 86 41 21

- 63 - - - - -

20

2 276.65 1 122.98

2 897 575 10 493.73 8 977 497 4 977 497

6 506.20 1 797.18

Total 45 676 83 140 255.36 Sumber : Bappeda Provinsi Maluku Utara (2006) Geologi dan Fisiografi

Berdasarkan struktur dan tektonik serta litologinya, geologi sebagian besar

Provinsi Maluku Utara bagian Tengah dan Utara merupakan daerah pegunungan

dengan bahan induk bervariasi. Bagian Utara dan Timur Laut semenanjung

Halmahera didominasi oleh pegunungan, semenanjung Utara disusun oleh formasi

gunung api (Andesit dan bahan batuan beku Andesit). Pada semanjung Timur

Laut ditemukan batuan beku asam, basa, dan ultra basa serta bahan sedimen.

Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung api aktif

dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada bagian ini, dataran alluvial

tidak ditemukan, tetapi memasuki daerah Kao ditemukan dataran alluviasi yang

luas pada daerah pedalaman, dataran vulkanik yang berombak dan dataran berawa

secara lokal. Pulau Morotai memiliki banyak kesamaan dengan Pulau Halmahera

bagian Utara dan Timur yang dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang

dari batuan sediment dan batuan beku basa. Pada semenanjung bagian Selatan

Halmahera lebih didominasi oleh daerah gunung yang terutama berkembang dari

Page 8: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

8

bahan-bahan sedimentasi dan batu gamping , dimana bagian ini terbentang dataran

sempit alluvial arah Timur-Barat.

Kawasan sepanjang pantai Barat Halmahera terbentang sejumlah pulau-

pulau besar dan kecil yang dimulai dari pulau Ternate bagian Utara sampai Obi di

bagian Selatan. Pulau-pulau kecil di bagian Utara umumnya merupakan daerah

vulkanik yang tersusun dari bahan andesit, dan batuan beku basaltik dengan

lereng curam (30 – 45 %) sampai sangat curam (> 45%).

Kelompok pulau-pulau Bacan mempunyai bentangan lahan pegunungan

yang sama dengan Halmahera Utara yaitu batuan beku basa dan batuan

metamorfik. Batuan metamorfik walaupun menyebar secara lokal tetapi

merupakan batuan induk dominan pada daerah ini. Sepanjang pesisir terdapat

dataran pantai yang sempit, dan bagian tengah dari pusat pulau Bacan dibentuk

oleh daratan alluvial.

Bentang lahan pulau Obi mengikuti pola yang sama, dimana bagian tengah

didominasi oleh daerah pegunungan dengan bahan penyusunnya batuan beku basa

dan diapit oleh deretan perbukitan dari batuan sediment.

Kelompok kepulauan Sulabesi mempunyai struktur yang sama tetapi memiliki

susunan bahan induk yang berbeda sebagian besar pulau. Taliabu dan Pulau

Sanana merupakan daerah pegunungan dengan puncak tajam dan lereng yang

curam, berkembang terutama dari batuan metamorfik. Bagian Barat pulau Sanana

juga ditemukan bahan induk granit.

Topografi

Provinsi Maluku Utara dibentangkan oleh relief-relief besar dimana

palung Oceanis dan punggung pengunungannya saling bergantungan dengan

kemiringan lahannya. Sebagian besar bergunung – gunung dan berbukit – bukit

yang terdiri dari pulau – pulau Vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian

lainnya merupakan hamparan dataran. Pulau Halmahera mempunyai banyak

pegunungan yang rapat mulai dari teluk Kao, teluk Buli, teluk Weda, teluk

Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat

ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar teluk Buli, pesisir barat mulai dari

Page 9: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

9

teluk Jailolo ke Utara dan teluk Weda ke Selatan ditemui daerah hamparan

dataran yang luas. Pada bagian lainnya terdapat deretan pegunungan yang

melandai dengan arah pesisir. Pulau – pulau yang relatif sedang (Obi, Morotai,

Taliabu dan Bacan) umumnya memiliki dataran luas yang diselingi pegunungan

yang bervariasi.

Jenis Tanah

Tanah yang terdapat di wilayah provinsi Maluku Utara menunjukkan

sifat–sifat yang berbeda, mulai dari pulau Morotai di bagian Utara sampai pulau

Sulabesi di bagian selatan perbedaan ini disebabkan oleh faktor klimatologi

(curah hujan, suhu dan angin ) yang tinggi.

Selain itu, yang membedakan sifat-sifat tanah adalah tipe batuan/bahan

induk dan kemiringan lereng yang berkorelasi dengan kedalaman efektif

perakaran serta vegetasi dimana tanah itu berkembang. Selain iklim dan vegetasi,

kompleks geologi provinsi Maluku Utara sangat erat hubungannya dengan

penyebaran sifat-sifat tanah. Keadaan geologi dibarengi pula dengan proses

pelapukan dan pencucian di bawah kondisi suhu dan curah hujan yang

bervariasi. Oleh karena itu, tanah di daerah Maluku Utara berada dalam suatu

perkembangan dan kedalaman yang bervariasi dengan drainasi baik, tekstur

tanah halus, kesuburan yang relatif rendah pada daerah-daerah perbukitan dan

pegunungan yang berlereng curam sampai sangat curam dengan penutupan

vegetasi yang jarang. Ini secara relatif juga mempengaruhi erosi permukaan,

sehingga sering ditemukan tanah-tanah dengan kedalaman solum dangkal sampai

sedang dengan tingkat perkembangan lemah sampai sedang. Adapun jenis tanah

yang tersebar di daerah Maluku Utara antara lain, adalah:

1. Jenis tanah mediteran terdapat di pulau Morotai bagian Barat, Timur dan

Selatan, pulau Doi, dan kecamatan Loloda .

2. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat di pulau Halmahera dari Utara ke

Selatan, Tobelo, Ibu, Obi, bagian Timur, Sanana, pulau Taliabu, Oba, Weda,

Patani dan Maba.

Page 10: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

10

3. Jenis tanah kompleks terdapat di pulau Morotai bagian Barat dan Timur ,Obi

bagian tengah , pulau Halmahera bagian Tengah sampai Timur.

4. Jenis tanah latosol terdapat di Loloda, Jailolo bagian Selatan, Gane Timur,

Gane Barat, Bacan, Oba, Wasile, Weda dan Maba

5. Jenis tanah regosol terdapat Loloda, Galela, Sahu, Kao, pulau Ternate, pulau

Makian, Pulau Obi di pesisir Utara .

6. Jenis tanah alluvial terdapat di pulau Obi bagian Barat, pulau Taliabu, bagian

Utara dan Tenggara, Oba, Wasile, Weda, Patani dan Maba.

Klimatologi

Secara Umum iklim di kepulauan Maluku Utara hampir sama. Temperatur

rata-rata tahunan yang diukur dari stasiun Duma Galela, Ternate dan Tobelo

antara 25.60 C – 26.10 C dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.138 mm –

3.693 mm.

Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim

musim. Oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi

antara tiap bagian wilayah, yaitu Halmahera Utara, Halmahera Tengah/Barat,

Bacan dan Kepulauan Sula.

a. Daerah iklim Halmahera Utara terdiri atas dua musim yaitu :

● Musim hujan pada bulan Desember sampai Februari

● Musim kemarau pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, yang

diselingi pancaroba pada bulan November – Desember.

b. Daerah iklim Halmahera Tengah/Barat yang dipengaruhi oleh dua musim

yaitu :

● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret dan musim pancaroba pada bulan

April.

● Musim Selatan pada bulan April – September yang diselingi angin Timur

dan pancaroba pada bulan September.

c. Daerah iklim Bacan yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu :

● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret yang diselingi angin Barat dan

pancaroba pada bulan April.

Page 11: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

11

● Musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba

pada bulan September.

d. Daerah iklim kepulauan Sula yang terdiri dari dua musim yaitu :

● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret diselingi angin barat dan

pancaroba pada bulan April.

Sebagaimana umumnya daerah Maluku Utara yang didominasi wilayah

laut. Kota Ternate sangat dipengaruhi oleh iklim laut karena mempunyai tipe

iklim tropis yang terdiri dari dua musim (Utara-Barat dan Timur-Selatan), yang

seringkali diselingi dengan dua kali masa pancaroba disetiap tahunnya.

Temperatur rata bulanan 26.96°C (maksimum 30.68 °C – minimum 24.12 °C),

dengan rata-rata kelembaban 86.42 % dan penyinaran matahari 54.42 % dengan

kecepatan angin 4.25 km/jam.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt dan Ferguson, daerah Maluku Utara

umumnya bertipe iklim B, dengan rata-rata curah hujan per tahun 1869.4 mm.

Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih tinggi atau sama dengan 1000

mm dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan lebih rendah atau sama

dengan 600 mm. Bulan November dan bulan Agustus adalah bulan dengan curah

hujan yang tertinggi selain itu bulan April juga bulan dengan curah hujan yang

tinggi yaitu 293.3 mm (Tabel 2). Periode curah hujan rendah berlangsung pada

bulan September dan Oktober dengan curah hujan terendah 50.8 mm pada bulan

September lihat Tabel 3.

Adapun curah hujan di propinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut :

● Curah hujan antara 1000 – 2000 mm, meliputi Pulau Tobelo, Pulau Mangole,

Pulau Sulabesi, Pulau Obi dan sekitarnya, Pulau Bacan dan sekitarnya dan

Pulau Halmahera bagian Selatan.

● Curah hujan antara 2500 – 3000 mm, meliputi Pulau Halmahera bagian Utara,

sebagian Kecamatan Ibu, Galela dan Loloda.

● Sedangkan lainnya adalah curah hujan antara 2000 – 2500 mm per tahun.

Page 12: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

12

Tabel 2 Curah hujan, bulan basah dan bulan kering di provinsi Maluku Utara

Kabupaten Curah Hujan per Tahun Pola Tipe Iklim Bulan Hujan Kota Ternate 3000 - 4000 Berfluktuasi Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln

CH ≤ 100 - 150 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kota Tidore Kepulauan

2000 - 3000 Ganda (double wafe)

Basah CH ≤ 100 = ≤ 4 mm/bln CH ≤ 100 - 150 = ≤ 4 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 5 mm/bln CH > 200 = 6 – 8 mm/bln

Kabupaten Halmahera Barat

3000 - 4000 Berfluktuasi Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kabupaten Halmahera Utara

1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)

Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kabupaten Halmahera Timur

1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)

Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kabupaten Halmahera Tengah

2000 - 3000 Ganda (double wafe)

Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kabupaten Halmahera Selatan

2000 - 3000 Ganda (double wafe)

Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Kabupaten Kepulauan Sula

1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)

Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln

Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006)

Page 13: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

13

Tabel 3 Suhu udara, kelembaban dan rataan penyinaran matahari pada stasiun

meteorologi Babullah Ternate 2005

No. Bulan

Suhu Udara (OC) Kelembaban

(%)

Penyinaran Matahari Rata-rata

(Jam)

Maks

Min

Rataan

1. Januari 30.1 24.9 26.9 83 41 2. Pebruari 30.5 23.9 26.5 84 62 3. Maret 31.4 24.5 27.2 82 68 4. April 30.6 24.3 26.9 85 56 5. Mei 31.3 24.0 27.0 84 61 6. Juni 30.8 24.1 27.0 83 59 7. Juli 30.0 24.0 27.0 82 41 8. Agustus 31.1 24.0 27.0 77 59 9. September 31.4 23.7 27.1 77 71 10. Oktober 30.8 23.9 26.9 90 49 11. Nopember 30.0 24.0 27.0 86 44 12. Desember 27.0 30.2 27.0 86 37

Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006) Keadaan Umum Peternakan Provinsi Maluku Utara

Pembangunan pertanian termasuk didalamnya sub sektor peternakan

sebagai bagian integral dari Pembangunan Daerah mempunyai peranan yang

strategis dalam pemulihan ekonomi daerah. Peranan strategis tersebut khususnya

adalah dalam peningkatan pendapatan daerah, penyediaan pangan, penyediaan

bahan baku industri, peningkatan ekspor, penyediaan kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan

masyarakat.

Namun di era pasca konflik yang bernuansa sara diikuti dengan krisis

moneter yang dialami bangsa Indonesia, kondisi subsektor peternakan di wilayah

Maluku Utara terkena imbasnya yang mengakibatkan rusaknya sarana prasarana

peternakan baik milik pemerintah maupun aset-aset peternakan yang dimiliki

masyarakat di daerah ini. Puluhan ribu ternak hilang, baik ternak ruminansia ( sapi

dan kambing), maupun ternak unggas (ayam ras, buras dan itik). Hal ini dapat

dilihat dari jumlah populasi ternak dari tahun 1999 – 2007 di Maluku Utara pada

Tabel 4.

Page 14: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

14

Tabel 4 Populasi ternak tercatat (ekor) pada 1999 – 2007 di provinsi Maluku Utara

No Jenis Ternak Populasi (ekor)

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Sapi Potong 2 650 13 631 16 760 20 000 20 212 40 537 41 685 41 115 42 842

2 Sapi Perah 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Kerbau - - - - 78 89 89 16 16

4 Kambing 3 220 24 31 151 648 113 700 82 402 99 982 101 962 159 981 184 778

5 Domba 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 Babi 421 736 1 288 1 630 1 950 41 236 12 491 20 600 21 012

7 Kuda 30 30 30 30 30 32 33 28 28

8 Ayam Buras 13 800 10 620 8 710 7 120 400 000 600 205 486 742 533 658 656 399

9 Ayam Ras 64 750 44 366 40 151 35 908 80 212 84 325 520 922 290 451 698 935

10 Itik - - - - 14 205 17 620 31 097 46 545 76 519

Sumber : data sekunder rangkuman berbagai sumber (-) data belum diketahui

Page 15: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

15

Dari data populasi pada Tabel 4 terjadi pertambahan populasi yang

signifikan pada ternak sapi tahun 2004, hal ini disebabkan beberapa program

pemerintah untuk pengadaan ternak sapi di tahun 2003 melalui program

peningkatan ketahanan pangan melalui sub kegiatan Inpres No. 6 tahun 2003 dan

Program Peningkatan kesejahteraan petani di provinsi Maluku Utara. Hal yang

sama juga dilakukan terhadap ternak kambing pada tahun 2001 sampai dengan

tahun 2003, ternak unggas (ayam ras, buras dan itik) terjadi pertambahan populasi

yang sangat signifikan pada tahun 2003. Jumlah populasi ternak sapi dan

kambing terendah terjadi pada tahun 1999, hal ini disebabkan karena konflik

yang terjadi di masyarakat, dimana pada tahun 1998 untuk ternak sapi di Maluku

Utara sebanyak 86 213 ekor, sedangkan ternak kambing sebayak 133 261 ekor,

penurunan populasi yang sangat drastis terjadi di tahun 1999 untuk kedua jenis

ternak ini disebabkan karena peternak membiarkan ternak sebagian masuk ke

hutan dan sebaian besar dibawa ke provinsi Sulawesi Utara.

Tingkat pertumbuhan populasi pertahun dari masing-masing ternak di provinsi

Maluku Utara dapat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat pertumbuhan populasi ternak (2000 -2005)

No. Jenis Ternak Tingkat Pertumbuhan pertahun (%) 1. Sapi potong 25.05 2. Kambing 33.2 3. Babi 76.17 4. Ayam Buras 114.8 5. Ayam Ras 63.6

Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006)

Tingkat pemotongan untuk beberapa komoditas ternak yang tercatat pada

tahun 2004-2006 disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pemotongan ternak tercatat (ekor) tahun 2004-2006 No. Jenis Ternak Pemotongan tercatat

2004 2005 2006 1. 2. 3.

Sapi Potong Kambing Babi

4 370 8 056 2 491

4 768 6 887 2 702

5 006 7 231 2 837

Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006)

Page 16: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

16

Sedangkan untuk tingkat produksi/hasil peternakan pada tahun 2005 dapat

di lihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Produksi hasil ternak di Maluku Utara (2005) No. Jenis Produksi Jumlah (kg)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Daging Sapi

Daging kambing

Daging Ayam Buras

Daging Ayan Ras

Telur Ayam Ras

Telur Ayam Buras

Telur Itik

978 751

344 350

705 776

3 334 943

57 672

204 432

145 532

Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah (2006)

Pola peternakan di wilayah Maluku Utara untuk semua komoditas ternak

sebagian besar (80-90 persen) masih bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Pola

peternakan rakyat ini mempunyai ciri-ciri antara lain (Yusdja 2004), tingkat

pendidikan rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi

konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil,

penggunaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan hijauan makanan ternak

(HMT) yang terbatas.

Kambing Liar dan Kambing Domestikasi

Kambing tergolong genus Capra. Ellerman dan Morrison-Scott (1951)

yang dikutip oleh Devandra dan Burns (1970) membagi genus ini atas lima

spesies yaitu Capra hircus (termasuk bezoar), Capra ibex, Capra caucasica,

Capra pyrenaica (Ibex Spanyol) dan Capra falconeri. Menurut Herre dan Rohrs

(1973) yang dikutip oleh Devendra dan Nozawa (1976) kambing liar (Capra

aegagrus) yang hidup dan menyesuaikan diri terutama di lingkungan pegunungan

dan lingkungan yang agak kering (semi-arid) dapat dibagi atas tiga spesies yaitu: -

Bezoar atau Psaang (C.a.aegagrus) yang hidup liar di Asia Barat,- Ibex (C.a..ibex)

hidup di Asia Barat, Afrika Timur dan Eropah, - Markhol (C.a.falconeri) hidup

liar di Afganistan dan Kashmir – Karakorum. Tiap spesies terdiri dari beberapa

Page 17: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

17

sub spesies karena terpisah secara geografik, namun persilangan antar sub spesies

adalah subur.

Menurut Murtidjo (1993), umumnya kambing merupakan hewan yang

hidup di lereng-lereng pegunungan, bukit-bukit yang curam ataupun tempat-

tempat yang curam, selain tempat yang tandus dan sedikit ditumbuhi rumput atau

tanaman. Kambing yang kita kenal sekarang merupakan hasil domestikasi

manusia yang diturunkan dari tiga jenis kambing liar, yaitu: Capra hircus,

merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sekitar perbatasn Pakistan-

Turki; Capra falconeri, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah

sepanjang Kashmir, India; Capra prisca, merupakan jenis kambing liar yang

berasal dari daerah sepanjang Balkan. Dari ketiga jenis kambing liar tersebut, kini

dikenal beberapa bangsa kambing yang tersebar di seluruh dunia, seperti: kambing

Kacang, kambing Etawah, kambing Saanen, kambing Kashmir, kambing Angora,

kambing Toggenburg, Nubian dan lain-lain.

Penyebaran Kambing ke Asia Tenggara

Devendra dan Nozawa (1976) mengemukakan bahwa kambing piara dari

Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalan utama. Pertama, dari Persia dan

Afganistan melalui Turkestan ke Mongolia atau Cina Utara, yang dinamakan

lintasan sutera, yang terjadi pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi. Kedua,

kearah anak benua India melalui Khyber Pass. Jalan ini sangat tua, yaitu sejak

orang Indo-Aryan mengetahuinya pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi.

Dengan demikian, Mongolia, Cina dan India menerima kambing piara dari Barat

dengan perantaraan para pengembara.

Gambar 2 menunjukkan jalan migrasi kambing asli Asia dari wilayah

penjinakan. Jalan ini diduga atas konfirmasi dari peninggalan-peninggalan lama

dari hasil penelitian. Dari anak benua India, kambing piara ini menyebar ke pulau

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan terus ke Jepang. Thailand

menerima kambing piara dari Utara. Perkembangan selanjutnya, kambing

pendatang ini menjadi kambing asli di wilayah penyebarannya dan di Indonesia

Page 18: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

18

kita kenal dengan kambing kacang tersebar di pulau-pulau Indonesia terutama

Jawa dan Sumatera.

Kambing-kambing asli yang sekarang terdapat di Negara di kawasan

Asia Tenggara berasal dari turunan bangsa kambing yang sama dapat dilihat

terutama dari kesamaan morfologinya, terutama warna bulu. Warna bulu coklat

dengan garis punggung berwarna hitam (ciri dari Bezoar) dan warna bulu hitam

merupakan jumlah terbanyak dari kambing asli di Malaysia Barat dan Timur

(Shotake et al. 1976). Hal yang serupa juga terdapat di Philipine, di Tahiland dan

Taiwan. Penelitian yang dilakukan oleh Abdulgani et al. (1981) di Sumatera

Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kambing yang

berwarna bulu coklat dan hitam merupakan jumlah terbanyak.

Murtidjo (1993) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan bangsa

kambing lokal asli Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan

dan kecil, telinga pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan. Kehidupannya

sangat sederhana, memiliki daya adapasi yang tinggi terhadap kondisi alam

setempat dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini

juga terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya. Kambing

tipe kecil yang disebut kambing kacang merupakan kambing pendatang pertama

di Malaysia dari India dan akhirnya menjadi kambing asli Malaysia (Devendra

1966).

Selanjutnya dikatakan bahwa kambing yang tipenya serupa telah

menyebar di bagian lain dari Asia Tenggara sampai Taiwan dan kepulauan Jepang

bagian Selatan. Imigrasi orang-orang Pakistan ke Thailand menyertakan kambing

tipe dwiguna sehingga menyebabkan variabilitas genetik yang tinggi pada

kambing-kambing asli Thailand, namun tidak dapat dikesampingkan

kemungkinan telah terjadi persilangan dengan bangsa-bangsa kambing Eropah

seperti Seaanen atau lainnya.

Page 19: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

19

Gambar 2 Postulat penyebaran kambing piara ( ●) ke Asia Timur dan

Tenggara Sumber Devendra dan Nozawa (1976)

Klasifikasi Bangsa Kambing

De Haas dan Horst (1979) mengelompokkan kambing atas tiga tipe

berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan hidup (Tabel 8).

Tabel 8 Klasifikasi bangsa kambing (dewasa) menurut tinggi Pundak dan Bobot

badan Hidup Tipe kambing Tinggi pundak (cm) Bobot badan hidup (kg) Besar Sedang Kecil (dan Kerdil)

65 50-65 50

30-60 20-45 9-30

Sumber : De Haas dan Horst (1979)

Fungsi utama kambing tipe kecil adalah penghasil daging, tipe sedang

untuk penghasil daging dan susu, sedangkan tipe besar ditujukan untuk penghasil

Page 20: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

20

susu. Tipe kerdil (dwarf) sama sekali tidak ideal sebagai penghasil daging karena

pertumbuhannya yang sangat lambat.

Chai (1961) dikutip Gunawan (1982) menyatakan bahwa peningkatan

bobot badan dapat dilakukan melalui kawin silang dengan bangsa lainnya yang

superior karena gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang lebih

besar dominant terhadap gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang

lebih kecil.

Berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan Devendra dan Burns (1970)

menyimpulkan bahwa kambing yang tergolong tipe besar diantaranya adalah

Jamnapari, Beetal, Barbari, Malabar, Damascus, Syrian Mounain, Sardinian,

Benadir, Angora, Sahel, Maradi, Mudugh, Sudanese Nubian, Sudanese Shukria,

Soviet Mohair dan Moxoto; yang tergolong tipe kecil diantaranya adalah Ma

T’ou, kambing kacang, Kigezi, Arab angora, Melteze dan Moxoto; yang tergolong

tipe kerdil (dwarf) di antaranya adalah , South China, Bengal, East African ,

South Sudan, Congo dwarf, West African Dwarf dan Kosi.

Selanjutnya dinyatakan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh

terhadap ukuran-ukuran serta bobot badan kambing. Dengan demikian suatu

bangsa kambing yang tergolong tipe besar pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe

kecil pada lokasi lainnya, atau suatu bangsa kambing yang tergolong tipe kecil

pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe kerdil (dwarf) pada lokasi lainnya.

Beberapa Ciri Kambing Kacang

Menurut Murtidjo (1993), kambing kacang merupakan kambing lokal asli

Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan dan kecil, telinga

pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan, dengan kehidupan yang

sederhana, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat

dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini juga

terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kambing kacang memiliki warna tunggal,

yakni: putih, hitam dan coklat, serta adakalanya warna campur dari ketiga warna

tersebut. Kambing Kacang kelamin jantan maupun betina mempunyai tanduk 8 –

Page 21: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

21

10 cm. Berat tubuh kambing kacang dewasa rata-rata sekitar 17 – 30 kg. Betina

umumnya memiliki bulu pendek pada seluruh tubuh, kecuali pada bagian ekor dan

dagu. Gambaran beberapa ciri kambing kacang dapat disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Jenis kambing kacang (Sumber dok: Hoda 2006)

Damshik (2001) mengemukakan bahwa kambing kacang berbadan relatif

kecil dengan tinggi pundak dewasa rata-rata 50 cm dan bobot badan 30 kg. Bila

dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya maka kepala mempunyai proporsi

yang sangat baik dan seimbang; ukuran telinga sedang, selalu bergerak, tidak

tergantung tetapi tegak. Tanduk terdapat baik pada yang jantan maupun pada

betina dan ukurannya relatif pendek. Janggut tumbuh dengan baik pada kambing

jantan, namun juga terdapat pada yang betina dewasa walaupun tidak begitu lebat.

Leher pendek dan memberi kesan tebal dan tegap. Punggung lurus dan pada

beberapa kasus terlihat agak melengkung dan memeberi kesan makin kebelakang

makin tinggi sampai pinggul. Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa

profil kambing kacang berbentk lurus. Ekor kelihatan kecil dan tegang. Ambing

kecil dengan konformasi baik dengan puting yang besar. Bulu pendek serta kasar

pada yang betina, tetapi pada yang jantan lebih panjang. Kambing kacang tahan

hidup pada keadaan kondisi lingkungan yang sangat beragam dan sanggup

beradaptasi pada metode manajemen yang berubah-ubah dan sangat beragam.

Umur ketika mencapai pubertas sekitar enam bulan pada yang jantan. Umur

beranak pertama dicapai ketika umur 12 – 13 bulan.

Page 22: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

22

Siklus Reproduksi Ternak Kambing

Pada umumnya, ternak kambing mulai dewasa kelamin pada umur 5 – 10

bulan. Dewasa kelamin sangat tergantung dari rasa tau tipe, jenis kelamin dan

lokasi pemeliharaan. Kambing tipe kecil lebih cepat mengalami dewasa kelamin

dibandingkan kambing tipe besar. Perkawinan induk kambing betina sebaiknya

dilakukan pada umur 9 – 12 bulan, karena pada umur ini secara fisik kambing

sudah tumbuh dewasa sehingga mampu memproduksi susu dan menjalani masa

kebuntingan. Menurut Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa

kebanyakan bangsa kambing daerah tropis biasa melahirkan pada umur satu

tahun dan dapat digunakan sebagai produsen anak sampai kambing berumur 5 – 6

tahun. Umur dini pada beranak pertama mengurangi biaya pemeliharaan calon

induk dan meningkatkan pendapatan ekonomi, serta menunjang perbaikan genetik

yang cepat, dan oleh karenanya hal itu sangat diinginkan.

Siklus birahi seekor kambing betina antara 20 – 24 hari. Masa birahinya

berlangsung selama 1 – 2 hari. Kambing betina tidak akan bunting bila

dikawinkan dalam keadaan tidak sedang birahi. Kambing yang sedang bunting

tidak mengalami masa birahi lagi. Mishra dan Biswas (1966) yang mempelajari

penyebaran birahi pada kambing lokal di India, yang melibatkan 12 081 ekor

kambing betina, menunjukkan bahwa rata-rata lama birahi sekitar 38 jam.

Pretorius (1977) mempelajari usap vagina dari induk kambing Angora yang

sedang mengalami siklus birahi dan yang tidak (anestrus) mencirikan perubahan

yang terjadi. Selama birahi, terjadi aliran lendir jernih dan encer yang membentuk

pola kristalisasi seperti pakis. Setelah ovulasi dan pada fase birahi akhir, lendir

tersebut menjadi masa putih yang kental, mengandung banyak elemen sel

bertanduk, sedangkan pada fase luteal dan anestrus ditandai dengan sekresi lender

yang sedikit dan tidak membentuk pola kristalisasi.

Kambing pejantan bisa dikawinkan pada umur 10 bulan tetapi tidak

dibiarkan melayani lebih dari 20 ekor induk betina sebelum umurnya genap satu

tahun. Pada tenggang waktu dua bulan itu, kambing jantan hanya kawin 16 – 20

kali atau maksimal dua kali kawin dalam seminggu. Pejantan dapat digunakan

sebagai pemacek sampai umur 7 – 8 tahun. Penjelasan mengenai perkembangan

Page 23: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

23

reproduksi ternak kambing jantan telah banyak dilakukan. Skinner (1975)

menyembelih pejantan kambing boer pada berbagai interval dari saat lahir sampai

berumur 196 hari. Selama waktu itu, berat testis meningkat secara lambat 1.3 g

pada saat lahir menjadi 9.9 g pada umur 84 hari, dan selanjutnya secara cepat

menjadi 25 g pada umur 140 hari, ketika spermatozoa untuk pertama kali tersedia

melalui saluran eferens. Spermatogenensis mulai pada umur 84 hari dan pada

umur 120 hari, spermatozoa ada dalam epididimis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama bunting pada kambing

ditemukan agak konstan sekitar 146 hari, meskipun kisaran yang dilaporkan

antara 143 – 153 hari. Otchere dan Nimo (1975) mengatakan bahwa lama bunting

pada kambing kerdil Afrika Barat dilaporkan rata-rata 141,3 ± 4.7 hari. Shelton

(1978) menduga bahwa lama bunting yang singkat merupakan ciri bangsa

kambing kecil. Penyebab keragaman dalam periode bunting tidak diketahui secara

rinci, tetapi seperti pada spesies hewan lainnya, hal itu dipengaruhi oleh jenis

kelamin janin, kondisi habis beranak, dan keragaman lingkungan lainnya,

khususnya makanan, dan oleh faktor keturunan. Mishra et al. 1979 menemukan

bahwa lama bunting rata-rata 146,42 ± 0.24 hari, dan berkorelasi secara kuat

dengan berat lahir anak (0.33) dan berat induk saat dikawinkan (0.41).

Periode perkawinan merupakan faktor penentu interval beranak yang

paling penting karena beda dalam lama bunting kecil dan manfaat praktisnya

sedikit. Lama periode perkawinan ini tergantung pada seberapa cepat induk

tersebut bunting lagi setelah beranak, yang pada gilirannya tergantung pada

timbulnya siklus birahi. Kondisi ini dipengaruhi oleh bangsa kambing dan oleh

beberapa faktor lingkungan. Kondisi hewan yang buruk, makanan yang tidak

memadai, atau sebab lain yang dapat menunda timbulnya birahi setelah

melahirkan. Devendra(1962) melaporkan bahwa periode perkawinan pada

kambing Anglo-Nubia murni di Malaysia rata-rata 327 hari, sedang pada kambing

lokal (kacang) rata-rata 92 hari.

Mengawinkan kambing sesuai dengan waktunya, baik waktu kelahiran,

penyapihan, serta mengawinkan kembali, perlu dilakukan pengaturan siklus

reproduksi ternak seperti pada Gambar 4 berikut ini.

Page 24: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

24

Gambar 4 Siklus reproduksi kambing betina agar dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun atau beranak setiap 8 bulan (Mulyono 2004).

Produktivitas Ternak Kambing

Produktivitas semua bangsa hewan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik

dan lingkungan hidup ternak bersangkutan (Johansson et al. 1968 yang disetir

Abdulgani 1981). Bersama-sama dengan kedua faktor di atas, peranan peternak

dalam mengelola ternaknya menentukan pula tinggi rendahnya produksi yang

akan dicapai.

Beberapa literatur umumnya dinyatakan bahwa pelaksanaan manajemen

untuk meningkatkan keefisienan produksi ternak antara lain : (1) berusaha agar

kondisi badan serta kesehatannya baik, (2) bebas dari gangguan penyakit, (3)

pelaksanaan flushing (pemberian makanan yang cukup dan bermutu menjelang

dan selama masa birahi), (4) berusaha agar dikawinkan pada umur muda dan tepat

waktunya, (5) lekas dikawinkan kembali setelah beranak, dan (6) cukup tersedia

pejantan unggul yang selalu dijaga kondisi makanannya (Ray dan Smith 1966;

Guha et al. 1967; Turner dan Young 1969 dikutip Abdullgani (1981). Selanjutnya

dinyatakan bahwa dalam bidang pemuliaan ternak, usaha untuk meningkatkan

keefisienan produksinya dilakukan dengan cara menyeleksi ternak-ternak yang

tingkat kesuburannya tinggi, menyisihkan ternak-ternak yang memiliki sifat

produksi buruk, dan cara-cara perkawinan yang tepat.

Menurut Devendra dan Nozawa (1976), usaha peningkatan produktivitas

ternak kambing di suatu wilayah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1)

penggunaan bibit ternak yang baik mutunya; (2) peningkatan banyaknya cempe

beranak kawin beranak

8 bulan

3 bulan 5 bln

lahir Sapih 2-3 bln

Dewasa kelamin 6-8 bln

Birahi Kawin 8-12 bln

Bunting 5 bulan

beranak

Page 25: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

25

yang dilahirkan serta memperpanjang kehidupan induk yang produktif; (3) usaha

pengendalian terhadap banyaknya ternak yang dipelihara; (4) meningkatkan

penggunaan bibit ternak yang telah terbukti keunggulannya; (5) manajemen yang

lebih efisien, terutama dalam hal pemberian bahan makanannya; (6) usaha

pengendalian penyakit; (7) penelitian terhadap ternak bersangkutan serta

penerapannya dalam praktek melalui pendidikan.

Untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat produktivitas ternak

kambing adalah dengan menghitung banyaknya cempe yang lahir dalam

kelompok kambing tersebut selama waktu tertentu, selang beranak atau interval

kelahiran, umur mulai dikawinkan, masa bunting, umur beranak pertama, bobot

lahir cempe, bobot kambing pada umur tertentu, bobot badan kambing dewasa,

tingkat kematian dan heritabilitasnya.

Jumlah Anak Kambing yang Lahir per Kelahiran (Litter Size)

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak lahir perkelahiran (litter

size) pada ternak kambing diantaranya umur induk, tingkat nutrisi maupun

pengaruh lingkungan lainnya. Astuti (1984) melaporkan bahwa rataan jumlah

anak lahir per kelahiran kambing Peranakan Etawah di Yogyakarta sebesar 1.7

relatif tinggi bila dibanding pengamatan Setiadi et al. 1984 di Bogor yakni sebesar

1.3 ekor.

Wilson (1983) yang mengamati kambing lokal di Sudan dan Mali

mendapatkan jumlah anak lahir per kelahiran sebesar 1.52 di Sudan dan 1.21 di

Mali. Astuti (1984) melaporkan bahwa pada Kambing Kacang di Imogiri

Jogyakarta, rata-rata banyaknnya cempe per kelahiran adalah 1.73 ekor. Data

kelahiran kambing di fakultas peternakan IPB selama periode 1954-1973 rata-rata

menunjukkan banyaknya cempe per kelahiran adalah 1.49 ± 0.07 ekor.

Jumlah anak lahir per kelahiran pada ternak kambing bervariasi baik

dalam satu bangsa maupun antar bangsa kambing. Dari 3 914 ekor anak kambing

Beetal di India, 24 persen lahir tunggal, 63 persen kembar dua, 11.5 persen

kembar tiga dan 1.5 persen kembar empat dan dilain pihak pada kambing Beetal

Page 26: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

26

di Zambia, lahir kembar dua jarang terjadi dan hanya kelahiran tunggal yang

sering terjadi (Mc Dowell dan Bove 1977).

Umur Beranak Pertama

Umur beranak pertama sangat erat hubungannya dengan umur mulai

dikawinkan yang bergantung pada kondisi badan atau makanan ternak

bersangkutan. Kambing dara yang masak dini akan lebih cepat beranak pertama

daripada yang masak lambat. Ini berarti bahwa bangsa kambing yang tergolong

masak dini akan lebih cepat mampu menyumbangkan hasil produksinya bagi

masyarakat.

Budihardi (1972) melaporkan bahwa umur beranak pertama pada kambing

kacang di Imogiri Jogyakarta, adalah 1.5 tahun. Di fakultas Peternakan IPB rata-

rata umur beranak pertama adalah 979.50±115.85 hari (29 bulan). Pengaruh

keadaan lingkungan tempat kambing hidup dan berkembang diperlihatkan oleh

adanya perbedaan dalam mencapai umur beranak pertama. Galeon (1951) yang

dikutip Abdulgani (1981) melaporkan bahwa kambing di Pilipina rata-rata umur

beranak pertamanya adalah 459.75 hari. Kambing Saanen yang diternakan di

Israel beranak pertama pada umur 2 tahun (masak lambat).

Bobot Lahir Cempe

Bobot lahir adalah salah satu faktor penting di dalam dunia peternakan,

karena merupakan titik awal pengukuran perkembangan selanjutnya. Epstein dan

Herz (1964) dan Scott (1970) disetir Setiadi (1987) menyatakan bahwa bobot lahir

dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap perkembangan setelah lahir.

Banyaknya anak per kelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap

bobot lahir. Setiadi (1987) melaporkan bahwa bobot lahir kambing Peranakan

Etawah (PE) di pedesaan sebesar 2.5±0.6 kg. Bobot lahir anak jantan lebih berat

dari betina, yaitu 2.6 kg vs 2.2 kg. Selanjutnya Singh et al.(2002) melaporkan

bahwa bobot lahir kambing Jamnapari jantan sebesar 2.92±1.06 kg dan betina

sebesar 2.68±1.06 kg. Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, dimana

Page 27: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

27

bobot lahir anak jantan lebih tinggi daripada bobot lahir anak betina seperti

disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir beberapa bangsa kambing

Bangsa Bobot lahir (kg) Peneliti Jantan Betina

Parbatsar Jamnapari Black Bengal Malabari Pashmina Kambing Kacang

2.40 ± 0.25 2.92 ± 1.06 1.82 ± 0.03 1.89 ± 0.03 2.34 ± 0.70 1.50

2.03 ± 0.32 2.68 ± 1.06 1.66 ± 0.03 1.69 ± 0.004 2.25 ± 0.80 1.40

Mittal dan Ghosh (1985) Singh et al. (1984) Malik et al. (1986) Mukundun et al. (1981) Mazumder dan Mazumder (1983) Devendra (1966)

Sumber : Abdulgani (1981)

Mittal (1979) menyatakan bahwa faktor musim berpengaruh terhadap

bobot lahir anak kambing (Tabel 10). Penelitiannya meliputi dua bangsa kambing

dengan dua faktor musim yaitu musim panas (summer) dan musim dingin dan

hujan (monsoon). Anak-anak kambing yang tetuanya kawin pada musim dingin

dan hujan mempunyai bobot lahir lebih tinggi dari anak-anak kambing yang

tetuanya kawin pada musim panas. Hal ini berlaku pada kedua bangsa, baik yang

terlahir tunggal maupun yang terlahir kembar.

Tabel 10. Pengaruh musim kawin terhadap bobot lahir anak kambing Bangsa Musim Panas (Summer) Musim Dingin (Winter)

Jantan Betina Jantan Betina Barbari

Tunggal

Kembar Dua

Jamnapari

Tunggal

Kembar dua

1.98 ± 0.30

1.84 ± 0.16

2.69 ± 0.04

2.32 ± 0.02

1.80 ± 0.18

1.72 ± 0.17

2.38 ± 0.09

2.12 ± 0.08

2.41 ± 0.09

2.38 ± 0.04

3.46 ± 0.13

3.20 ± 0.02

2.18 ± 0.04

1.98 ± 0.11

2.94 ± 0.14

2.85 ± 0.12

Sumber : Mittal (1979)

Mittal (1979) juga menyatakan bahwa umur induk berpengaruh terhadap

bobot lahir anak kambing. Ada kecendrungan bahwa makin tua umur induk maka

makin besar pula bobot lahir anaknya, baik pada tipe kelahiran tunggal maupun

pada tipe kelahiran kembar dua Tabel 11.

Page 28: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

28

Tabel 11 Pengaruh umur induk terhadap bobot lahir kambing Bangsa Tipe Kelahiran Jenis

Kelamin Umur Induk (tahun)

2 2-4 4-6 Barbari Jamnapari

Tunggal Kembar dua Tunggal Kembar dua

Jantan Betina Jantan betina Jantan Betina Jantan Betina

2.22 ± 0.30 1.89 ± 0.13 1.75 ± 0.23 1.53 ± 0.12 3.02 ± 0.13 2.79 ± 0.07 2.98 ± 0.13 2.51 ± 0.06

2.20 ± 0.12 2.05 ± 0.13 2.11 ± 0.23 1.77 ± 0.24 3.28 ± 0.07 2.88 ± 0.03 3.12 ± 0.20 2.66 ± 0.08

2.38 ± 0.17 2.28 ± 0.11 2.01 ± 0.32 1.71 ± 0.10 3.44 ± 0.12 2.80 ± 0.06 3.14 ± 0.08 2.58 ± 0.15

Sumber : Mittal (1979)

Potensi Ekonomi Ternak Kambing di Indonesia

Peternakan kambing di Indonesia yang masih berskala kecil perlu

diusahakan secara komersial. Hal ini perlu dikembangkan karena adanya

pertumbuhan penduduk sekitar 2% dan kenaikan tingkat daya beli masyarakat.

Kebutuhan daging saat ini belum mencukupi permintaan. Dengan jumlah

penduduk tahun 2005 mencapai sekitar 220 juta jiwa dengan rata-rata konsumsi

daging sekitar 1.75 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan daging domestik

mencapai sekitar 384.81 ribu ton. Sementara itu total produksi daging dalam

negeri hanya mencapai 271.84 ribu ton sehingga masih ada kekurangan sekitar

112.97 ribu ton atau 29.36% dari total kebutuhan dalam negeri (Ditjend

Peternakan 2005)

Selain pertimbangan di atas, ternak kambing juga mempunyai potensi

ekonomi yang baik. Potensi ekonomi ternak kambing ini antara lain menurut

Mulyono (2004):

1) Ternak Kambing mempunyai badan yang relatif kecil dan

pertumbuhan yang cepat sehingga tingkat reproduksi dan produksi

lebih tinggi,

2) ternak kambing tidak memerlukan lahan yang luas, apalagi dapat

dilakukan kemitraan dengan pihak pengadaan pakan hijauan,

3) suka bergerombol sehingga dalam hal tenaga kerja, sistem

pengembalaan lebih efisien,

4) skala usaha pembibitan ternak kambing yang dianjurkan adalah 8-

12 ekor induk dengan harapan setiap kali melahirkan akan

diperoleh anak sapih sekitar 12 – 18 ekor.

Page 29: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

29

5) memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap bermacam-macam

hijauan pakan ternak,

6) memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan

lingkungan sehingga dapat diternakkan dimana saja dan dapat

berkembangbiak sepanjang tahun.

Jumlah ternak kambing di Indonesia dibandingkan dengan ternak

ruminansia lainnya pada tahun 2005 relatif lebih banyak Tabel 12 dan untuk

populasi ternak kambing per provinsi dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 12 Populasi Ternak Tahun 2001-2005 (000 ekor)

No

Jenis Ternak

Tahun

2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1.

2.

3.

4.

5.

Sapi potong

Sapi perah

Kerbau

Kambing

Domba

11 137

347

2 333

12 464

7 401

11 298

358

2 403

12 549

7 641

10 504

374

2 459

12 722

7 811

10 533

364

2 403

12 781

8 075

10 680

374

2 428

13 182

8 307

Sumber : Dirjen Peternakan (2005)

Page 30: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

30

Tabel 13 Populasi kambing tahun 2003-2007 per provinsi di Indonesia Provinsi Tahun

2003 2004 2005 2006 2007

NAD 637 188 647 089 655 242 787 708 894 199 Sumut 712 566 717 196 721 858 643 86 712 753 Sumbar 256 230 195 176 148 467 223 334 259 058 Riau 231 757 203 999 215 793 238 043 250 527 Jambi 126 863 132 369 138 114 137 989 155 169 Sumsel 436 607 435 504 453 926 463 72 582 534 Bengkulu 166 589 108 619 112 964 102 855 106 969 Lampung 810 456 824 235 868 133 798 816 846 122 DKI Jakarta 5 351 6 971 7 313 9 333 10 373 Jabar 930 066 1 144 102 1 235 973 1 148 547 1 393 190 Jateng 2 984 845 2 993 138 3 007 593 3 165 040 3 193 842 DIY 241 007 256 417 258 981 280 182 282 984 Jatim 2 334 554 2 359 375 2 382 969 2 414 350 2 457 059 Bali 61 958 44 418 44 418 70 785 70 833 NTB 282 500 300 280 315 294 376 13 394 937 NTT 435 151 462 101 490 721 496 766 509 23 Kalbar 96 360 99 010 104 960 107 762 118 54 Kalteng 23 160 37 398 37 398 41 046 43 098 Kalsel 84 442 91 911 96 507 107 873 111 733 Kaltim 74 335 72 071 73 512 53 105 54 167 Sulut 45 910 44 234 44 375 42 759 43 399 Sulteng 161 920 163 090 163 948 188 362 171 723 sulsel 555 927 403 505 511 895 433 495 543 672 Sultra 73 927 82 160 90 080 97 976 102 645 Maluku 156 406 168 719 171 755 149 405 152 394 Papua 41 969 55 069 57 066 37 226 41 822 Babel 11 377 2 450 2 499 3 561 3 846 Banten 522 380 566 716 564 463 681 253 817 732 Gorontalo 137 879 92 944 131 618 96 568 111 098 Malut 82 402 70 695 74 229 139 981 149 776 Kepri - - 21 558 20 238 20 643 Irjabar - - 12 923 11 708 13 163 Sulbar - - 209 694 220 179 254 286 Total 12 722 082 12 780 961 13 182 064 13 789 954 14 873 516

Sumber: Dirjen Peternakan (2008)

Page 31: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

31

Dinamika Populasi

Dinamika populasi menjelaskan suatu keragaman di dalam ukuran

populasi serta komposisi umur-kelamin, laju reproduksi dan mortalitas di dalam

suatu populasi satwa. Dinamika populasi mempelajari bagaimana keragaman

tersebut muncul akibat adanya interaksi antara individu maupun individu dengan

lingkungannya (Bailey 1984).

Berbagai populasi satwa liar sebagai contoh dapat berubah ukurannya

dalam jangka waktu tertentu (satu musim, satu tahun, ataupun beberapa tahun).

Perubahan-perubahan anggota populasi ini sangat penting diketahui agar dapat

mengatur populasi untuk memperoleh suatu jumlah yang optimum sesuai dengan

daya dukung habitatnya. Perubahan ukuran populasi yang tidak beraturan menurut

skala waktunya (irregular) disebut fluktuasi, sedangkan perubahan yang

beraturan dan tetap skala waktunya (regular) disebut siklis. Fluktuasi dapat

disebabkan karena adanya perubahan cuaca, perubahan ketersediaan makanan,

ataupun karena adanya pengaruh perburuan untuk konsumsi manusia. Menurut

Sihombing (1977) bahwa semua makhluk hidup dalam populasi akan berubah

karena pengaruh perubahan lingkungannya.

Menurut Krebs (1978), populasi dapat dikelompokkan ke dalam deme-

deme atau populasi lokal, yang dapat melakukan perkawinan antara organisme.

Setiap populasi memiliki karakteristik kelompok yang beragam. Secara umum,

karakteristik populasi yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Empat

parameter yang mempengaruhi kepadatan adalah natalitas, mortalitas, emigrasi

dan imigrasi. Karakteristik sekunder dari populasi adalah sebaran umur,

komposisi genetik, dan pola sebaran (penyebaran secara individu di dalam suatu

ruang). Karakteristik yang terakhir adalah karakteristik yang dimiliki secara

individual.

Parameter populasi yang utama adalah struktur populasi, yang terdiri dari

seks rasio, distribusi kelas umur, tingkat kepadatan dan kondisi fisik (Van

Lavieren 1982). Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit

luas atau volume. Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya

dukung habitatnya.

Page 32: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

32

Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu

populasi, yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru

dalam suatu populasi (Odum 1971). Natalitas juga dapat dinyatakan dalam laju

kelahiran kasar (crude birth rate), yaitu perbandingan antara jumlah individu yang

dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada suatu periode waktu.

Keanekaragaman Genetik

Keanekaragaman genetik seringkali dihubungkan dengan tingkah laku

reproduktif dari individu dalam suatu populasi. Populasi adalah satu kelompok

individu yang kawin satu sama lain dengan menghasilkan keturunan; satu spesies

mungkin mencakup satu atau lebih populasi yang terpisah. Populasi mungkin

terdiri dari satu individu atau jutaan individu (Primack et al. 1998).

Individu di dalam suatu populasi biasanya berbeda secara genetik satu

sama lain. Variasi genetik muncul karena individu memiliki gen yang berbeda,

unit kromosom yang memberi kode untuk protein tertentu. Perbedaan bentuk dari

suatu gen disebut alel, dan perbedaan ini muncul karena mutasi yang terjadi di

dalam deoxyribonucleic acid (DNA) yang membentuk komponen-komponen

individu kromosom. Beragam alel dari satu gen mungkin akan mempengaruhi

perkembangan dan fisiologis suatu organisme secara berbeda. Pengembangbiakan

tanaman dan hewan mengambil keuntungan dari variasi genetik ini untuk

menghasilkan strain yang lebih tahan penyakit terutama untuk spesies yang sudah

dipelihara seperti gandum, jagung dan ternak.

Variasi genetik meningkat sewaktu keturunan menerima kombinasi unik

gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang muncul selama

reproduksi seksual. Gen dipertukarkan antara kromosom selama miosis, dan

kombinasi baru diciptakan sewaktu kromosom dari kedua induk dikombinasikan

untuk membentuk keturunan yang unik secara genetik.Walaupun mutasi memberi

materi dasar bagi variasi genetik, namun kemampuan untuk menghasilkan spesies

secara seksual menjadi alel yang disusun secara acak di dalam kombinasi yang

berbeda-beda meningkatkan potensi untuk variasi genetik (Primack et al. 1998).

Lebih jauh dikatakannya, bahwa jumlah variabilitas genetik di dalam suatu

Page 33: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

33

populasi ditentukan oleh jumlah gen pool (larikan total gen dan alel di dalam

suatu populasi) yang memiliki lebih dari satu alel (disebut juga gen polymorphik)

dan oleh jumlah alel dari setiap gen yang bersifat polimorfik. Keberadaan gen

polimorfik memungkinkan individu di dalam populasi menjadi heterozygous bagi

gen tersebut untuk menerima alel gen yang berbeda dari setiap induknya.

Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak

FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional

punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak Eropa sekarang ini diperkirakan

dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). Banyak bangsa ternak

tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa/breed

baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari 15%

bersifat jarang (FAO 2000) Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisme pertanian

dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan,

penggantian breed baru (Subandriyo dan Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006), maupun

pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam

keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak

akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa datang, karena tanpa adanya

keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk

mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003)

Pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak lokal sebagai bagian dari

komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan

pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan

datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 persen dari

bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang; (2)

konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum tidak

ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif

dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4) sedikit sekali

bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif

(FAO 2001).

Page 34: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

34

Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang

telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi ternak

hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet

yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3)

penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat

digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu

populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang

pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen

pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan

kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan

keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari

individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang

membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan

proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika gen-

gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat diseleksi

walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan. Sebagai

alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui lokasinya

dalam kromosom (marker lokus-lokus), seleksi dapat dilaksanakan berdasarkan

acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003).

Filogeografi Intraspesies

Sebagai prinsip atau proses yang mengarahkan distribusi geografi spesies

tertentu, filogeografi menekankan pada kajian variasi geografi yang mencakup

berbagai tipe karakter seperti morfologi, fisiologi, etologi dan genetik (Lougheed

and Handford 1993). Kajian tersebut memegang peranan penting dalam

memahami proses-proses evolusi, karena variasi-variasi yang bersifat menurun

adalah materi dasar yang terlibat dalam proses seleksi alam dan adaptasi.

Penyebaran populasi suatu spesies dimulai dari variasi-variasi geografi yang

semakin lama semakin berkembang. Filogeografi pada tingkat intraspesies dapat

mengungkap keragaman di dalam spesies, mulai dari tingkat populasi,

subpopulasi, subspesies sampai spesies.

Page 35: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

35

Selain dapat menjelaskan pola-pola biogeografi (Mustrangi dan Patton

1997), filogeografi juga memberikan kontribusi pada pemahaman respon populasi

terhadap perubahan lingkungan yang sangat cepat (Avise 1997). Pertama,

populasi konspesies yang berbeda (khususnya yang terpisah dalam kurun waktu

panjang) kemungkinan memberikan respon yang tidak sama terhadap perubahan

lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan gen-gen yang

terakumulasi berbeda antara populasi satu dengan populasi lainnya. Kedua,

perkembangan pesat dalam metode analisis genetik memungkinkan dilakukannya

identifikasi respon populasi terhadap modifikasi lingkungan pada tingkat

intraspesies. Ketiga, analisis filogeografi dapat membuktikan hubungan dekat

antara demografi populasi dan genetik. Hal ini akan berimplikasi pada konservasi

khususnya dalam periode perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keempat,

analisis filogeografi dapat menunjukkan catatan-catatan perubahan genetik

sebagai akibat dari perubahan kejadian demografi yang aneh.

Gambar 5 terlihat hubungan asal-usul genetik antara dua populasi

konspesies yang semula berasal dari satu daerah geografi tetapi kemudian terpisah

dalam dua daerah geografi ( daerah I dan II). Adanya Barrier menyebabkan tidak

adanya aliran gen antara populasi B dan C. Filogeni antara keturunan populasi B

dan C semakin berbeda akibat kurun waktu isolasi yang semakin lama. Perbedaan

tersebut dapat ditunjukkan dengan jarak genetik (genetic disttance) yaitu ukuran

perbedaan genetik dari dua takson ( Hillis et al. 1996).

Masa lalu, perspektif filogeografi intraspesies jarang diaplikasikan karena

kekurangan pendekatan genetik molekuler untuk mendapatkan hubungan historis.

Selain itu, juga masih terdapat persepsi luas bahwa pada populasi-populasi yang

masing-masing dapat melakukan silang antar (interbreding), filogeni tidak

memiliki pengertian yang nyata (Avise 1979). Hal tersebut disebabkan analisis

filogeografi dilakukan berdasarkan karakter morfolgi saja sehingga hanya sedikit

dapat menunjukkan keragaman intraspesies.

Page 36: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

36

Gambar 5 Hipotesis Avise tentang asal-usul DNA (Avise 1997 dalam Surata

2000). (A) populasi nenek moyang ; (B) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah I; (C) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah II ; ( → ) arah divergensi dari populasi induk kepada populasi-populasi keturunannya.

Seleksi dan Breeding

Seleksi dari segi genetik diartikan sebagai suatu tindakan untuk

membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak

diberi kesempatan berproduksi (Noor 2004). Lebih jauh dikatakannya bahwa

terdapat dua kekuatan yang menentukan apakah ternak-ternak pada generasi

tertentu bisa menjadi tetua pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah

seleksi alam dan seleksi buatan.

Seleksi dalam pemuliaan ternak adalah memilih ternak yang baik untuk

digunakan sebagai bibit yang menghasilkan generasi yang akan datang. Untuk

bidang peternakan, yang diseleksi adalah sifat-sifat terukur seperti kecepatan

pertumbuhan, bobot lahir, produksi susu dan bobot sapih (Falconer 1972). Sifat-

sifat ini memberikan manfaat secara ekonomi disamping harus mempunyai

kemampuan mewarisi yang tinggi yang dapat ditentukan dari nilai

heritabilitasnya.

B1

A

B14 B11 B13 B12

B2

B C

C14 C13 C12 C11

C2 C1

Barrier

Waktu

Page 37: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

37

Falconer (1972) yang dikutip oleh Hardjosubroto (1994) mengemukakan

bahwa ada tiga metode seleksi yang sederhana, yaitu:

1. Seleksi individu (individual selection) adalah seleksi per ternak sesuai

dengan nilai fenotipe yang dimilikinya. Metode ini adalah yang paling

sederhana daripada umumnya dan menghasilkan respon seleksi yang

cepat.

2. Seleksi keluarga ( family selection) adalah seleksi keluarga per keluarga

sebagai kesatuan unit sesuai dengan fenotip yang dimiliki oleh keluarga

yang bersangkutan. Individu tidak berperan dalam metode seleksi ini.

3. Seleksi dalam keluarga (within-family selection) adalah seleksi tiap

individu di dalam keluarga berdasarkan nilai rata-rata fenotip dari keluarga

asal individu bersangkutan.

Dasar pemilihan dan penyingkiran yang digunakan dalam seleksi adalah

mutu genetik seekor ternak. Mutu genetik ternak tidak tampak dari luar, yang

tampak dan dapat diukur dari luar adalah performansnya. Performans ini sangat

ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu,

harus dilakukan suatu pendugaan atau penaksiran terlebih dahulu terhadap mutu

genetiknya atas dasar performnsnya (Hardjosubroto 1994).

Menurut Widodo dan Hakim (1981) dalam Rahmat (2006), pada saat

melakukan seleksi, ternak yang mempunyai performans di atas dari performans

yang telah ditentukan terlebih dahulu akan dipilih, sedangkan yang lebih rendah

dari performans tadi akan disingkirkan. Ternak yang terpilih akan memiliki nilai

rerata performans yang lebih tinggi dari performans keseluruhan sebelum

seleksi. Menurut Hadjosubroto (1994), perbedaan antara rerata performans dari

ternak yang terseleksi dengan rerata performans populasi sebelum seleksi disebut

sebagai diferensial seleksi (selection differential) yang dirumuskan sebagai:

S = ( s - )

Keterangan : S = Diferensial seleksi (selection differential)

= rerata fenotip populasi

s= rerata fenotip sesudah adanya seleksi.

Selanjutnya dikatakan bahwa proporsi dari diferensial seleksi yang dapat

diwariskan kepada generasi berikutnya adalah hanya yang bersifat genetik saja,

Page 38: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

38

yaitu sebesar angka pewarisannya (heritability). Jadi, besarnya differensial seleksi

yang diwariskan adalah sebesar h2S dan ini disebut sebagai tanggapan (respon)

seleksi yang akan muncul pada generasi berikutnya.

Pola Pemuliaan (Breeding Scheme)

Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan

utamanya adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di

masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang

diharapkan tersebut (Warwick et al. 1990). Peran pemuliaan dalam kegiatan

produksi ternak sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak

yang efisien dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien

bergantung pada keberhasilan memadu sisitem manajemen, makanan, kontrol

penyakit, dan perbaikan genetik.

Salah satu cara untuk perbaikan genetik pada ternak dilakukan melalui

seleksi dalam kelompok ternak lokal dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi

gen yang diinginkan. Kegiatan seleksi akan efektif bila jumlah ternak yang

diseleksi banyak, walaupun catatan performan individu dari jumlah yang banyak

akan sangat mahal. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah, seleksi atau

peningkatan mutu genetik dilakukan pada kelompok-kelompok tertentu kemudian

disebarkan pada kelompok lain (Wiener 1999). Struktur ternak bibit umumnya

berbentuk piramida yang terbagi menjadi tiga strata (tiers) yaitu pada puncak

piramida kelompok elite (nucleus), kelompok pembiak (multiplier), dan paling

bawah kelompok niaga (Nicholas 1993; Warwick et al. 1990; Wiener 1999).

Pola pemuliaan pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup

(Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding

scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari puncak

(nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus. Perbaikan

genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus.

Peningkatan mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata di

bawahnya. Perlu waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke

strata berikutnya. Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan

Page 39: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

39

biasanya diekspresikan dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang

ditunjukkan oleh perbedaan performan antara strata yang berdekatan (Nicholas

1993).

Pola inti terbuka adalah suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup.

Oleh karena itu, aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah saja tetapi juga

dari bawah ke atas. Karena itu setiap perbaikan genetik yang diperoleh dari hasil

seleksi di tingkat dasar akan memberikan kontribusi pada peningkatan genetik

inti, yang besarnya kontribusi bergantung pada laju aliran gen dari dasar ke inti.

Dengan masuknya ternak bibit dari kelompok lain ke inti, hubungan kekerabatan

antara induk dengan jantan makin jauh sehingga laju inbreeding berkurang. James

(1979) mengemukakan bahwa kemajuan genetik pada sistem terbuka lebih tinggi

dibandingkan dengan sistem tertutup. Pada sistem terbuka respon seleksi

meningkat 10 sampai 15%, dengan laju inbreeding lebih rendah 50% bila

dibandingkan dengan sistem tertutup pada kondisi dan ukuran sama.

Kosgey (2004) mengemukakan bahwa pola inti terbuka cocok digunakan

untuk pemuliaan domba di negara berkembang (tropik). Selanjutnya dinyatakan

bahwa pola pemuliaan yang digunakan di negara berkembang berbeda-beda sesuai

dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya setempat Pola-pola tersebut antara

lain pola tiga strata terdiri atas inti (nucleus), kelompok pembiak (multiplier) dan

populasi dasar; pola dua strata (inti dan peternak); dan pola hanya inti saja, yang

programnya hanya menyeleksi jantan saja serta program seleksi jantan dan

betina.

Karakteristik Ternak

Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor

hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh

gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotype dan

lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994) Sifat kuantitatif dan

kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe.

Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetic di antara hewan

dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan

Page 40: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

40

lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-

ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Karthickeyan et al. 2006), warna dan pola

warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al. 1990). Warna

termasuk sifat kualitatif seekor ternak. Warna tubuh ternak dianggap sebagai

character displacement untuk membewdakan satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Sifat kuantitatif adalah kharakteristik dari makhluk hidup yang dapat

diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen

(poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981). Sedangkan

sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk

dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya

dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2004).

Sifat-sifat kualitatif adalah karakteristik yang pada umumnya dijelaskan

dengan kata-kata atau gambar (Warwic et al. 1990). Spesies-spesies sering

ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada

kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap

sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan

bangsa ternak (Wiley 1981).

Balai Penelitian Ternak Ciawi sudah memulai mengkarakterisasi kambing

Kosta (tahun 1995) dan Gembrong (tahun 1997) serta dilanjutkan oleh Loka

Penelitian Kambing Potong Sei Putih pada tahun 2000-2006 untuk

penelitian/karakterisasi kambing Marica (Sulawesi Selatan), kambing Muara

(Kabupaten Tapanuli Utara-Propinsi Sumatera Utara) dan kambing Samosir

(Kabupaten Samosir- Propinsi Sumatera Utara). Sampai saat ini sudah 7 bangsa

kambing yang sudah dikarakterisasi karakteristik penotipenya, dan akan

dilanjutkan untuk melaksanakan penelitian di beberapa daerah lain lagi (seperti

kambing Benggala- Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kambing Wetar- Propinsi

Maluku). Diperkirakan masih banyak lagi bangsa kambing lokal Indonesia yang

belum dapat dikarakterisasi dan sebagian mungkin sudah hampir punah atau

jumlah populasinya sudah mendekati punah padahal kita belum sempat

mengekplorasi potensi keragaman genetiknya untuk dimanfaatkan sebagai sumber

peningkatan mutu genetik kambing di Indonesia

Page 41: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

41

Struktur Kimia DNA

Setiap nukleotida tersusun oleh tiga komponen, yaitu molekul gula pentosa

(deoxyribose untuk DNA dan ribose untuk RNA), gugus phospat, dan basa

nitrogen. Dua komponen pertama terdapat di semua nukleotida dengan susunan

dan bentuk yang identik, sedangkan komponen ketiga (basa nitrogen) mempunyai

susunan dan bentuk yang berbeda di dalam suatu nukleotida dengan nukleotida

lainnya. Namun demikian, hanya terdapat macam basa nitrogen penyusun setiap

nukleotida (Muladno 2002).

Berdasarkan bentuk molekulnya basa nitrogen dikelompokan menjadi dua,

yaitu purin dan pyrimidin. Basa purin terdiri atas basa Adenin (A) dan Guanin

(G), sedangkan basa pyrimidin terdiri atas basa Cytosin (C), Uracyl (U) dan

Thymin (T). Perbedaan struktur molekul lima basa nitrogen tersebut disajikan

pada Gambar 6.

Gambar 6 Struktur kimia nukleotida pembawa basa nitrogen adenine (A), guanine (G), citosine (C), thymine (T) dan uracil (U) (Alberts et al. 1994).

Untai ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin.

Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel), rantai yang satu

mempunyai orientasi 5’ 3’, sedangkan rantai yang lain berorientasi 3’ 5’.

Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa

Page 42: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

42

adenine (A) dengan thymine (T), dan antara guanine (G) dengan cytosine (C).

Ikatan antara A dan T berupa dua ikatan hidrogen, sedangkan antara G dan C

berupa tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G dan C lebih kuat (Gambar 7).

Spesifitas pasangan basa semacam ini disebut sebagai komplementaritas.

Proporsi basa A dan T serta G dan C selalu sama sehingga komposisi DNA dapat

dinyatakan dengan kandungan G + C (G + C content) yang berkisar dari 26%

sampai 74%. Hal ini dikenal sebagai hukum Chargaff.

Gambar 7 Ikatan hidrogen antarnukleotida. Ikatan antara adenine

(A) dengan thymine (T) dilakukan melalui dua ikatan hidrogen, sedangkan pada ikatan antara guanine (G) dan cytosine (C) ada tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G-C lebih kuat diabandingkan dengan ikatan A-T.

Berkembangnya biologi molekuler dan teknik DNA rekombinan

menjadikan DNA inti dan mitokondria semakin banyak dapat diungkapkan.

Sejalan dengan itu, penggunaan kajian genetika molekul telah mulai banyak

dilakukan dalam dunia Genetika Populasi. Genom mitokondria akhir-akhir ini

sering dijadikan alat dalam genetika populasi seperti penelusuran perjalanan

kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan

penelusuran asal-usul hewan (Hayashi et al. 1995; Harihara et al. 1996; Ming

1999; Perwitasari-Parajallah 1999). Selain itu, beberapa penyakit degeneratif,

penuaan, dan kanker sering diimplikasikan dari kerusakan (defek) mitokondria

Page 43: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

43

(Wallace, 1999). Cukup strategisnya eksistensi genom mitokondria menyebabkan

biologi mitokondria perlu dipahami secara lebih mendalam.

Penciri DNA

Sejak era Mendel sampai tahun 1980-an, para ahli genetika hanya

mendapatkan penciri genetik lokus tunggal berupa tampilan fenotipe (Crawford

et al. 2000 dalam Margawati 2005). Penciri tersebut diantaranya seperti warna

mata Drosophila atau polimorfisme protein seperti dalam penggolongan darah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa penciri tersebut pada beberapa peta keterpautan

genetik secara rinci telah dikembangkan pada model jenis seperti mencit dan

drosophila. Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan untuk penyusunan

peta keterpautan pada persilangan jenis hewan domestik. Kehadiran teknologi

DNA rekombinan, terutama teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) telah

mengubah secara mendadak hambatan dalam penyediaan penciri DNA. Dengan

demikian seperti sekarang ini dapat dilihat banyak proyek pemetaan keterpautan

untuk jenis ternak apapun dapat direncanakan dan diimplementasikan. Selama

lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, terdapat sejumlah penciri DNA yang secara

rinci telah dideskripsikan dalam hubungannya dengan pencarian Quantitative

Trait Loci (QTL), peta keterpautan perbandingan (comparative linkage mapping)

dan pengukuran keragaman genetik dan pengukuran keragaman genetik.

Secara garis besar penciri DNA ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

Multilocus marker dan single locus marker (Crawford et al. 2000 dalam

Margawati 2005). Termasuk dalam multilocus marker yaitu minisatelit atau

variable number tandem reapeat (VNTR), randem amplified polymorphic DNA

fragment (RAPD) dan amplified fragment length polymorphisms (AFLP).

Sedangkan yang termasuk single locus markers adalah restriction fragment

lenghth polymorphisms (RFLPs), Mikrosatelit dan single nucleotide

polymorphisms (SNPs).

Page 44: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

44

DNA Mitokondria

Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat

diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria

(mtDNA). DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang

diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan

ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki

variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya

variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5 –

10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).

DNA mitokondria mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya

banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika

populasi . Beberapa kelebihan tersebut adalah: (1) memiliki ukuran yang kompak

dan relatif kecil (16 000 - 20 000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti

sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih

cepat dibandingkan dengan DNA inti; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan

material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk

betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju

yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran

kesamaan asal-usul (Park dan Moran 1995).

Dewasa ini sekuen lengkap basa-basa penyusun genom mitokondria

beberapa jenis organisme, terutama hewan, telah banyak diketahui. Beberapa

diantaranya, bahkan telah banyak dimanfaatkan dalam analisis keragaman genetik

dan biologi populasi pada hewan. Selain dapat melahirkan suatu rekonstruksi

filogenetik dari beberap spesies yang saling berdekatan, hasil analisis tersebut

juga dapat digunakan untuk menelusuri proses pemecahan dari spesies yang satu

terhadap spesies lainnya.

Umumnya DNA mitokondria hewan berbentuk sirkuler dan berutas ganda,

yakni terdiri dari utas berat (Heavy strand) dan utas ringan (Light strand).

Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria ini dapat dibagi menjadi dua

bagian, yaitu: daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi

(noncoding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen, yaitu: 13 gen penyandi

Page 45: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

45

protein, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen-gen tersebut

tersebar pada kedua utas mtDNA. Utas ringan dari mtDNA hewan umumnya

terdiri dari : 1 gen penyandi protein yaitu NADH Dehydrogenase 6 (ND.6) dan 8

gen penyandi tRNA yaitu Glutamic acid (tRNAGlu ), Proline (tRNAPro), Serine

(tRNASer), Tyrosine (tRNATyr), Cyteine (tRNACys), Asparagine (tRNAAsn),

Alanine (tRNAAla), Glutamine (tRNAGln); sedangkan sisanya terdapat pada utas

berat, yaitu: 2 gen penyandi rRNA (16 S rRNA dan 12 S rRNA), 12 gen penyandi

protein (NADH Dehydrogenase (ND) : ND.1, ND.2, ND.3, ND.4, ND.5, ND.4L;

Cytochrome c Oxidase (CO) : CO.I, CO.II, CO.III ; Cytochrome b (Cyt.b),

ATPase 6 dan ATPase 8, dan 14 gen penyandi tRNA : Phenylalanine (tRNAPhe),

Valine (tRNAVal), Leucine (tRNALeu), Isoleucine(tRNAIle), Methionine (tRNAMet),

Tryptophan (tRNATrp), Aspartic acid (tRNAAsp), Lysine (tRNALys), Glycine

(tRNAGly), Arginine (tRNAArg), Histidine (tRNAHis), Serine (tRNASer), Leucine

(tRNALeu) dan Threonine (tRNAThr). Sebaliknya daerah bukan penyandi, hanya

terdiri daerah control (control region), yang memegang peranan penting dalam

proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).

Daerah D-Loop

Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang tidak

membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya

angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan pada kedua

bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk membedakan di

antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999).

Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah

kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi tRNAPro (di

sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAPhe (di sebelah kanan atau

belakang). Daerah ini juga mengandung titik awal replikasi utas berat (H-strand

replication region) dan derah promotor untuk transkripsi pada masing-masing

utas DNA-nya, yaitu : LSP (Light Strand Promoter) dan HSP (Heavy Strand

Promoter).

Page 46: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

46

Pada proses awal replikasi mtDNA, ternyata utas berat mtDNA yang

sementara belum bereplikasi, digantikan oleh utas DNA yang berkomplementer

dengan utas ringan (leading strand), sehingga di daerah tersebut terbentuk

struktur tiga rantai seperti gelembung (Clyton 1982 yang dikutip Widayanti

2006). Oleh sebab itu, maka daerah control mtDNA dikenal juga dengan nama D-

loop (Displacement-loop).

D-loop merupakan bagian dari mtDNA yang sangat variatif dalam

subtitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memeliki variabel

number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang

hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop

dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan tRNAPro, terdiri

dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS)

yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian

sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D, E dan

F) dan domain III yang berbatasan dengan tRNAPhe, terdiri dari runutan yang

variabilitasnya tinggi karena subtitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta

VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan

promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light

strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah

blok runutan pendek yang kekal (Conserved sequence block) CSB1, CSB2, dan

CSB3 (Randi dan Luchini 1998).

Menurut Southern et al.(1998), blok runutan kekal (Conserved sequence

block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada

mtDNA lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-

loop mtDNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence

tandem repeat). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan

Chapman (1991) bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjanngnya

antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan

sebesar 81 pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di daerah D-loop.

Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan nukleotida di sekitar

daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya

adalah transisi dan variasi panjang nukleotida dalam repeat yang berurutan.

Page 47: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

47

Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi,

dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et

al.1994) dan semua terletak di region replikasi untai H (Gambar 8). RS1 dan RS2

berada di ujung 5’ dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar,

membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3’ dari CR

upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994).

▌ ▌ ▌

Gambar 8 Skema organisasi daerah control mtDNA pada mamalia.

CSB1, CSB2, CSB3: blok runutan berulang; OH : titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al.2000).

Prinsip Dasar Penelitian DNA

DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian

tubuh maupun organ organism dapat dijadikan sebagai sumber untuk

mendapatkan dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA

dimulai dari ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan

kuantitas DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil

purifikasi dapat pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar

konsentrasi tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni

apabila rasio antara nilai OD260 dan nilai OD280 pada sampel DNA diukur melalui

spektrofotometer berkisar antara 1.8 – 2.0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur

terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam

menentukan tingkat kemurniannya.

Control region

Cyt b

tRNAPro

tRNAThr

12 sRNA

CSB1 CSB2 CSB3

RS1 RS2 RS3 RS4 RS5

LSP

HSP

OH

Page 48: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

48

Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan)

dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),

penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation

of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses

untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi

tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya (Sulandari dan

Zein 2003).

Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR

(Polymerase Chain Reaction) PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk

menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis

molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut

dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu

thermocycler (Muladno 2002). Pada suhu 94-950C, DNA mengalami denaturasi.

Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses penempelan primer

(annealing). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 500C sampai 600C, primer

forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai

tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer

reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya. Setelah kedua primer

tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai

mensintesis molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada suhu 720C. Proses dari

denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya

berlangsung 35-40 siklus (Muladno 2002). Umumnya setelah proses siklus PCR

selesai, ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada suhu 720C agar semua

hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari dan Zein 2003).

Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose

untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan ukurannya.

Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif, ditempatkan

pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak menuju ke

muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat dari

pada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis dapat

diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah satunya

didapat dari yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al. 1996).

Page 49: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

49

Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan

metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua

metode dalam sekuensing: metode anger atau dideoxy atau Chain-terminating dan

metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih umum

digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian

rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah

satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005).

Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut berdasarkan ukuran, yang

menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili

tersekuensnya satu basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian

dikeringkan dan dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita

pada autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). Belakangan ini penggunaan

label memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan

menggantikan pelabelan dengan bahan radioaktif.

Page 50: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

50

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu kegiatan lapangan dilakukan

di Provinsi Maluku Utara selama duabelas bulan mulai Januari s/d Desember

2007 (Lampiran 1). Pertimbangan pemilihan Provinsi Maluku Utara sebagai

lokasi penelitian adalah (1) ada kebijakan pemerintah daerah setempat yang

menetapkan salah satu wilayah menjadi pusat pembibitan ternak kambing kacang,

(2) Secara geografis provinsi Maluku Utara merupakan daerah kepulauan dengan

jumlah ternak kambing yang terbanyak dibandingkan dengan ternak ruminansia

lainnya, (3) tingginya ternak kambing yang diantarpulaukan sehingga terjadi

persilangan dalam yang akan berdampak pada penurunan mutu genetik kambing

di wilayah ini, dan (4) adanya kebijakan pemerintah setempat untuk

mengembangkan sentra pengembangan ternak kambing tipe daging dan perah.

Kegiatan laboratorium untuk analisis DNA dilaksanakan pada bulan

Januari-Maret 2008 di Laboratorium Genetika Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) Cibinong kabupaten Bogor.

Bahan dan Alat

Ternak

Karakterisasi fenotip, digunakan 712 ekor kambing kacang dari beberapa

pulau yang mewakili kabupaten/kota yaitu pulau Jailolo (kabupaten Halmahera

Barat), pulau Sofifi (Kota Tidore Kepulauan), pulau Morotai (kabupaten

Halmahera Utara), pulau Bacan (kabupaten Halmahera Selatan) pulau Ternate

(Kota Ternate) dan pulau Sananan (kabupaten Kepulauan Sula). Untuk

karakterisasi genotipe, sampel darah dari 180 ekor kambing diambil secara

intravenus menggunakan venoject dengan tabung vacum 10 ml yang lebih dulu

diisi dengan heparin/etanol. Seluruh sampel darah tersebut merupakan sumber

DNA yang akan dianalisis selanjutnya. Jumlah dan asal masing-masing asal

kambing yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 14.

Page 51: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

51

Tabel 14 Jumlah dan lokasi kambing kacang yang diambil darahnya untuk penelitian laboratorium.

No. Lokasi Kambing Kacang

Jumlah Sampel (ekor) Jantan Betina Jumlah

1. 2. 3 4. 5 6

Bacan (Pbn) Jailolo (Pjo) Morotai (Pmi) Sanana (Psn) Sofifi (Psf) Ternate (Pte)

5 5 5 5 5 5

25 25 25 25 25 25

30 30 30 30 30 30

Jumlah 30 150 180

Bahan kimia yang digunakan pada setiap tahapan karakterisasi genotip

adalah :

A. Ekstraksi dan purifikasi

1. Larutan penyangga pelisis A (lysis buffer) yang tersusun dari:

0.32 M sucrose (timbang 54.8 gram sucrose

1 % v/v Triton X-100 (ambil 5 ml lartan Triton X-100)

5 mM MgCl2 (ambil 5 ml larutan 1 M Tris HCl pH 7.4)

Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml

2. Larutan Penyangga pencuci B (rinse buffer) yang tersusun dari:

75 mM NaCl (ambil 7.5 ml larutan 5 M NaCl)

50 mM EDTA pH 8.0 (ambil 50 ml larutan 0.5 M EDTA pH 8.0)

Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml

3. Larutan penyangga digesti C (digestion buffer) yang tersusun dari:

200 mM NaCl (ambil 20 ml larutan 5 M NaCl)

50 mM Tris HCl (ambil 25 ml larutan 1 M Tris HCl)

100 mM EDTA pH 8.0 (ambil 100 ml larutan 0.5 M EDTA)

1 % (w/v) SDS (50 ml dari larutan 10% SDS)

Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml

4. RNAase (10 mg/ml)

5. Proteinase K (10 mg/ml)

6. Larutan D tersusun dari:

TE pH 7.5

10 mM Tris HCl (ambil 1 ml larutan 1 M Tris HCl)

1 mM EDTA (ambil 0.2 ml larutan 0.5 M EDTA)

Page 52: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

52

0,02 mg/ml RNAase (ambil 0.2 ml atau 200 µl larutan stock RNAase)

Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 100 ml dan

simpan larutan D dalam freezer -200C

7. Fenol

8. Chloroform

9. Ethanol 70% yang disimpan dalam lemari pendingin (40C)

B. Analisis PCR

1. Sepasang Primer

2. Sampel DNA

3. Enzim taq polymerase

4. Deoxynucleoside triphosphate (dNTP)

5. Buffer PCR

6. Air

C. Elektroforesis gel agarose

1. Gel agarose

2. 1 x buffer TAE

3. Ethidium bromide (10 mg/ml)

4. DNA ladder

5. Loading dye

D. Elektroforesis gel polyacrylamide

1. Gel polyacrylamide

2. DNA ladder

3. Loading dye

A l a t

Alat yang akan digunakan selama penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. Untuk Karakterisasi fenotipe;

Alat tulis, tongkat ukur, kliper, pita ukur dan timbangan

B. Untuk Karakterisasi genotip terdiri atas:

B.1. Ekstraksi dan Purifikasi

1. Refrigerated Microcentrifuge (high speed)

Page 53: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

53

2. General centrifuge

3. Kotak Penyimpan sampel

4. Rak Tabung ependorf

5. Tabung ependorf 1.5 ml

6. Tabung 10 ml

7. Vortex mixter

8. Pipetor (1 set) dengan tip pepet kuning dan biru

9. Sarung tangan (hand glove), gunting dan pinset steril

10 Shaking Water bath, Autoclave, Rotary mixer, Aspirator, Kaca

pembesar/lop, dan Mortar

B.2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

1. Mesin Thermal cycler

2. Tabung ependorf 0.2 ml, 0.5 ml atau 1.5 ml dengan rak tabungnya.

3. Pipetor satu set dengan tip warna kuning, biru dan ptih

4. Vortex, dan Mesin sentrifuge.

B.3. Elektroforesis

1. Horizontal agarose electroforesis apparatus (MUPID)

2. Well-forming combs (sisir pembentuk sumur)

3. Power supply

4. Microwave atau hotplate

5. UV transilluminator

6. Camera Pollaroid

7. Parafilm atau plastic cling wrap.

Metode Penelitian

Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh gambaran mengenai penyebaran ternak kambing

kacang di Maluku Utara dilakukan studi awal dengan menggunakan data yang

tersedia di Dinas Peternakan masing-masing Kabupaten/Kota di bantu juga

dengan daftar pertanyaan (Lampiran 2)

Page 54: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

54

Jenis data yang dikumpulkan:

1. Informasi mengenai daerah sampel : meliputi informasi yang berkaitan

dengan penggunaan lahan, populasi ternak, curah hujan, komponen usaha tani,

produksi pertahun dan karakteristik wilayah lainnya. Kategori data ini

dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Provinsi sampai kantor desa.

2. Informasi mengenai petani responden; meliputi pengalaman beternak, umur

peternak, pemilikan ternak, tingkat pendidikan dan penguasaan lahan.

3. Dinamika Populasi : Struktur populasi ternak kambing (Jantan, betina, induk

kering, induk laktasi, jantan dan betina remaja, cempe).

4. Produktivitas ternak ; bobot lahir, bobot umur 30, 60, 90 dan 120 hari.

5. Karakterisasi Kambing Kacang meliputi tiga kegiatan yaitu karakterisasi

fenotip kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karaketerisasi genotip

berbasis varians mitokondria DNA pada daerah D-loop

Penentuan Responden

Penentuan responden dilakukan dengan metode Simple Random Sampling

yaitu sebesar 10% - 15% dari total peternak kambing yang ada pada setiap

lokasi terpilih dengan kriteria yang sudah melakukan pemeliharaan kambing

lebih dari 1 tahun.

Prosedur Penelitian

a) Mengetahui sifat-sifat dasar kambing kacang yang dimiliki atau dipelihara

oleh pemilik dan pemelihara terpilih dilakukan dengan pengamatan dan

dibantu dengan daftar pertanyaan (kuesioner), sedangkan untuk menentukan

struktur populasinya selain dengan daftar pertanyaan dilakukan pengamatan

pada struktur gigi kambing. Kambing yang gigi serinya belum berganti

diberi Kode I-0, berumur kurang atau sama dengan satu tahun. Kode I-2, I-

4, I-6, dan I-8 digunakan untuk kambing yang gigi serinya telah berganti

sebanyak dua, empat, enam dan delapan buah yang masing-masing berumur

1-1.5 tahun, 2-2.5 tahun, 3-3.5 tahun dan lebih dari empat tahun.

Page 55: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

55

b) Karakterisasi genotip dilakukan dengan metode eksperimen sesuai

petunjuk Sulandari dan Zein (2003). Secara ringkas tahapan karakterisasi

genotipe dapat disajikan pada Gambar 9 berikut ini:

Gambar 9 Tahapan karakterisasi genotipe

Kambing Kacang

Ektraksi Darah Total

Purifikasi

PCR

- Denaturasi - Anneling - Ekstension

- Agarose

Elektroforesis

- Haplotipe - Varians

Sekuen

Larutan DNA

Tepung DNA

Keping DNA

Analisis data

Pengukuran

Coding

Dokumentasi Pita/Band DNA

Page 56: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

56

b.1. Ekstraksi dan Purifikasi DNA

1. Sampel darah yang masih segar dipisahkan menjadi serum, sel darah

merah dan sel darah putih (buffy coat) dengan teknik sentrifugasi pada

kecepatan 3.500 rpm selama 10 menit.

2. Lapisan paling atas (serum) dibuang dengan menggunakan pipetor,

kemudian lapisan kedua yang merupakan sel darah putih dikoleksi dengan

pipetor dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 10 ml dan disimpan

didalam freezer sampai dilakukan ekstraksi DNA.

3. Kedalam tabung yang berisi sel darah putih (buffy coat) ditambahkan

larutan penyangga pelisis A dengan volume sama dan kocok secara

manual sampai larut.

4. Sentrifugasi dengan kecepatan 6500 rpm selama 1 menit pada temperatur

kamar.

5. Supernatan dibuang, sedangkan endapannya (erythrosit dan leukosit)

ditambahkan larutan penyangga pencuci B (rinse buffer) dengan volume

sama (200 µl), goyang-goyang dengan tangan dan divortex sampai

endapan larut.

6. Ditambah larutan penyangga digest C sebanyak 500 µl, 15 µl proteinase K

(10 mg/ml) dan 5 µl RNAase (10 mg/ml). Goyang dengan tangan dan

vortex sebentar.

7. Inkubasikan dengan menggunakan shaking water bath pada temperatur

550C selama kurang lebih 16 jam.

8. Setelah sampel tercerna semua, ambil sampel dari inkubator dan ditambah

phenol sebanyak 500 µl. Vortex atau menggunakan rotary mixer selama

30 menit sehingga larutan tercampur semua.

9. Sentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 2 menit , sehingga di

dalam tabung ependorf terlihat larutan terpisah menjadi dua.

10. Ambil larutan bagian atas/supernatan ( warna seperti putih telur) kemudian

pindahkan ke tabung ependorf baru.

11. Tambah phenol-chloroform (1:1) dengan volume yang sama, vortex atau

menggunakan rotary mixer perlahan-lahan selama 30 menit.

12. Sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.

Page 57: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

57

13. Ambil bagian atas (supernatan berwarna putih) dan pindahkan ke tabung

ependorf baru.

14. Tambahkan ethanol 100% sebanyak 2 kali volume sampel, digoyang

dengan tangan selama 10 menit dan biasanya akan terbentuk material putih

(jika kandungan DNA sedikit, material putih tidak jelas). Simpan di dalam

freezer selama 5 menit.

15. Sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.

16. Ethanol dibuang dan diganti dengan 70% ethanol (600 µl), kemudian

sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.

17. Ethanol 70% dibuang secara hati-hati menggunakan pipetor agar pellet

DNA tidak ikut terbuang bersama ethanol.

18. Material/pellet dikeringkan dengan bantuan aspirator.

19. Keluarkan larutan D dari tempat penyimpananya (-200C). Tambahkan

larutan D sebanyak 100 µl. Sentrifugasi sebentar dan inkubasi dalam

shaking water bath pada temperatur 370C selama 15 menit.

20. Simpan sampel DNA pada temperatur 40C.

b.2. Validasi Kuantitas dan Kualitas DNA

Secara kuantitatif, konsentrasi DNA ditentukan dengan spektrophotometri

sinar ultra violet dengan alat Spektrophotometer (Beckman DU 650). DNA

menyerap secara kuat sinar ultra violet pada panjang gelombang 260 nm (nano

meter), sedangkan protein pada panjang gelombang 280 nm. Pada panjang

gelombang 260 nm, absorbansi dengan nilai satu setara dengan 50 µg/ml DNA

untai ganda. Dengan demikian untuk mendapatkan konsentrasi digunakan rumus :

Konsentrasi DNA (µ/ml) = OD260 x 50 x faktor pengenceran

Mengetahui tingkat kemurnian DNA yang berkorelasi dengan kualitas

DNA ditentukan dengan cara membagi nilai Optical Density (OD)260 dengan

(OD)280. Apabila nilai ratio yang didapatkan berkisar antara 1.8 – 2.0 maka DNA

Page 58: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

58

dikatakan murni (kualitas DNA baik). Jika nilai ratio lebih kecil dari 1.80 maka

DNA tersebut terkontaminasi dengan protein.

b.3. Analisis PCR (Polymerase Chain Reaction)

Analisis PCR merupakan teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran

tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu, reaksi PCR dibuat

dalam tabung 0.2 ml dan proses reaksinya dilakukan dengan alat thermocycler

GeneAmp PCR system 9700 (Applied Biosystem). Komponen yang terdapat dalam

setiap tabung reaksi adalah sebagai berikut: larutan penyangga (buffer), dNTP

(Deoxynucleoside triphosphate), primer, enzim Taq DNA polymerase, sampel

DNA dan air. Semua komponen tersebut diatas dicampur dalam total volume 50

µl.

Reaksi PCR untuk volume 50 µl :

1µl forward primer (2.5 pmol/ µl)

1 µl reverse primer (2.5 pmol/ µl)

0.4 µl dNTP Mix 10mM

5 µl MgCl2 25mM

5 µl Buffer 10 x

0.25 µl Taq Ferment recomb

36.35 µl dH2O

Untuk mengamplifikasi mtDNA D-loop pada ternak kambing kacang,

sepasang PCR primer spesifik yang dibuat berdasarkan publikasi IAEA digunakan

(Tabel 15).

Tabel 15 Primer yang digunakan untuk analisis PCR dan sekuen Nama Primer 5’ to 3’ sequence

15388F

CD-774R

Forward: 5’-gcc cca cta tca aca ccc aaa gc-3’

Reverse: 5’-aat ggg cga ttt tag atg aga tgg c-3’

Sedangkan kondisi PCR yang dipakai selama 30 siklus adalah sebagai berikut:

Pre Denaturasi 950C selama 5 menit

Denaturasi 940C selama 45 detik

Page 59: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

59

Anneling 600C selama 45 detik

Extension 720C selama 90 detik

Final Extension 720C selama 10 menit

b.4. Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR

Melalui proses elektroforesis pada gel agarose 2% yang diestimasi dari

intensitas fluorescence dan dipancarkan oleh ethidium bromide, visualisasi produk

PCR dilakukan dibawah lampu Ultra Violet (UV) dengan menggunakan

transiluminator. Bila terlihat adanya fragmen yang teramplifikasi pengambilan

photograph dilaksanakan. Adapun proses elektroforesis dilaksanakan sebagai

berikut:

1. Letakan gel agarose di dalam tangki elektroforesis dan tuangkan larutan 1

X buffer TAE ke dalam tangki tersebut hingga sekitar 1 mm di atas

permukaan gel.

2. Ambil sampel dengan pipetor sebanyak kapasitas sumur yang biasanya

sekitar 4-8 µl. Letakkan sampel diatas parafilm atau plastik cling wrap dan

tambahkan loading dye buffer sebanyak 1/10 volume sampel kemudian

aduk hingga merata. Ambil larutan tersebut dengan pipetor dan masukkan

ke dalam sumur pada gel agarose.

3. Setelah sampel dimasukkan dalam sumur, tutup tangki elektroforesis dan

hubungkan arus listrik. Setelah itu proses elektroforesis siap dijalankan.

4. Lamanya elektroforesis tergantung dari persentasi gel agarose, tegangan

arus listrik dan ukuran molekul DNA. Tegangan arus listrik yang

digunakan 100 Volt dan ukuran fragmen DNA yang dianalisis 50 – 2000

pasang basa.

5. Setelah proses elektroforesis selesai, matikan arus listrik dan ambil tray

dengan menggunakan sarung tangan. Letakan gel pada UV

transilluminator dan jika pita molekul DNA kelihatan terang maka ambil

dokumentasi dengan menggunakan camera Polaroid.

Page 60: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

60

b.5. Purifikasi Produk PCR

Produk PCR dipurifikasi dengan QIAquick PCR purification kit (QIAGEN

GmbH, Germany). Tahapan purifikasi ini sangat penting untuk menghilangkan

subtansi-subtansi seperti primer, nukleotida dan garam yang dapat mengganggu

reaksi sekuen. Amplifikasi daerah kontrol dengan PCR (Polymerase Chain

Reaction) menggunakan Primer DNA 15388F untuk forward primer: 5’gcc cca cta

tca aca ccc aaa gc 3’ dan CD-774R untuk reverse primer: 5’ aat ggg cga ttt tag atg

aga tgg c 3’. Primer ini dirancang pada program IAEA ternak kambing di

Indonesia oleh Muladno dkk. (Komunikasi pribadi). Adapun tahapan dalam

analisis PCR adalah sebagai berikut:

1. Semua larutan produk PCR dipindahkan ke tabung eppendorf 1.5 ml

kemudian ditambahkan 5 volume buffer (5 x 25µl), kemudian di

sentrifugasi sebentar (±20 detik) pada kecepatan 3000 rpm.

2. Transfer 150 µl campuran tersebut ke tabung spin column dan di

sentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit. Kemudian

buang cairan yang terdapat didalam tabung koleksi (collection tube) dan

dipasang kembali column.

3. Tambahkan 750 ml buffer PE 750 µl ke dalam column, kemudian

sentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit. Buang cairan

yang terdapat di dalam tabung koleksi dan pasang kembali ke column.

Letakan kembali di dalam mesin sentrifugasi, dan sentrifugasi selama 1

menit pada kecepatan 14 000 rpm. Terakhir buang cairan sisa-sisa

buffer PE.

4. Buang tabung koleksi dan ganti dengan tabung eppendorf 1.5 ml.

Kemudian pasang column kembali ke tabung 1.5 ml eppendorf yang

baru dipasang. Tambahkan 35 µl buffer EB, dengan cara langsung di

tambahkan ke center membrane/column) Kemudian, sentrifugasi pada

kecepatan 13 000 rpm, selama 1 menit. Setelah selesai, buang

columnnya dan tutup 1.5 ml tabung eppendorf.

5. Produk PCR telah selesai dipurifikasi. Selanjutnya produk PCR tersebut

diukur kosentrasinya dengan spektrofotometer dan di elektrofotesis.

Page 61: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

61

b.6. Sekuen fragmen D-loop

Produk PCR yang telah dipurifikasi, disekuen dengan menggunakan mesin

DNA sekuenser untuk mengetahui runutan sekuen nukleotida dengan tepat. Direct

sequencing terhadap segmen Hypervariabel 1 (HV1) daerah D-loop dilakukan

dengan menggunakan primer 15388Forward. Kit Cycle sekuensing yang

digunakan adalah BigDye*Terminator version 3.1 (Macrogen, Korea) dengan

total volume 20 µl yang mengandung 20 ng produk PCR yang telah dipurifikasi

sebagai template DNA dan 3.2 pmol primer. Pada setiap tabung reaksi PCR berisi

8 µl Big Dye terluminator ready reaction mix (campuran dNTP, ddNTP, buffer,

enzim dan MgCl2), 8 µl air, 2 µl forward atau reverse primer dan 2 µl template di

edit dari sekuen fragmen D-loop.

c) Karakterisasi fenotip kualitatif dengan mengamati karakter fenotip sampel

kambing terpilih, meliputi:

1) Garis Muka: dilihat dari samping dan diklasifikasikan ke dalam

dua kelompok yaitu lurus dan cembung.

2) Mata : diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu cembung

(menonjol keluar) dan normal

3) Ada tidaknya tanduk, baik jantan maupun betina diklasifikasikan

dalam dua kelompok yaitu tidak bertanduk dan bertanduk

4) Garis punggung: dilihat dari samping pada posisi berdiri normal,

diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu cembung, lurus dan

cekung.

5) Warna dasar dominan: diklasifikasikan ke dalam kelompok yaitu

putih, hitam, coklat, abu-abu dan kombinasi diantara warna.

6) Kombinasi warna diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu

satu warna, dua warna dan tiga warna

7) Pola warna diklasifikasikan ke dalam warna polos, bintik-bintik

(speckle), bercak (belang) kecil, bercak (belang) besar, strip sempit

dan strip besar.

Page 62: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

62

d) Karakterisasi fenotip kuantitatif dilakukan berdasarkan petunjuk Herrera et

al. (1996) yaitu seperti pada Gambar 10 sebagai berikut:

(1) Withers height (HL) atau Tinggi pundak : diukur dari titik tertinggi

pundak sampai sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur dalam

satuan cm

(2) Body Length(BL) atau Panjang Badan : diukur dari tepi tulang

processus spinocus sampai dengan benjolan tulang tapis/tulang duduk

(os ischium), dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm.

(3) Shoulder point width (SW) atau Lebar dada : diukur dari penonjolan

sendi bahu (os scapula) kiri dan kanan, dengan menggunakan kaliper

dalam satuan cm.

(4) Chest girth(ChG) atau Lingkar dada: diukur melingkar rongga dada di

belakang sendi bahu (os scapula) menggunakan pita ukur dalam satuan

cm.

(5) Chest depth (ChD) atau Dalam dada : diukur dari bagian tertinggi

pundak sampai dengan dasar dada dalam satuan cm.

(6) Rump Length atau (RL) Panjang Pinggul

(7) Rump width (RW) atau Lebar Pinggul : diukur jarak antara pinggul kiri

dan pinggul kanan dalam satuan cm.

(8) Head Length (HL) atau Panjang Tengkorak: diukur jarak antara titik

tertinggi sampai titik terdepan tengkorak dalam satuan cm.

(9) Head Widht (HW) atau Lebar Tengkorak: diukur jarak antara titik

penonjolan tengkorak kiri dan kanan menggunakan kaliper dalam

satuan cm.

(10) Bobot Badan (BB) : ditimbang pada pagi hari sebelum kambing diberi

makan, dalam satuan kg.

(11) Shin circumference(SC) atau Lingkar kanon/lingkar pipa : diukur

melingkar ditengah-tengah tulang pipa kaki depan sebelah kanan,

diukur dengan pita ukur dalam satuan cm.

Page 63: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

63

Gambar 10 Cara pengukuran karakter fenotip kuantitatif.

Keterangan:

Zoometrical Variabels (Herrera et al. 1996):Withers height(WH), Chest depth(ChD), Body Length (BL), Shoulder point width (SW), Rump Length (RL), Rump width (RW), Head Length (HL), Head Widht (HW), ChG (Chest girth), Shin circumference (SC)

e) Mengetahui sifat pertumbuhan ternak kambing dilakukan seleksi kambing-

kambing untuk dijadikan tetua dan dikelompokan berdasarkan umur dan jenis

kelamin. Tetua yang yang berumur 1-1.5 tahun diberi kode I-2, kode I-4, I-6

dan I-8 masing-masing digunakan untuk tetua yang berumur 2-2.5, 3-3.5

tahun dan lebih dari 4 tahun. Dengan demikian ada 8 kelompok yaitu : J-2, J-

4, J-6, J-8 dan B-2, B-4, B-6 dan B-8 (J = jantan, B = betina dan angka =

kode umur). Hasil penimbangan ditabulasikan berdasarkan kedelapan

kelompok dihitung rataan serta simpangan bakunya.

Hasil perhitungan nilai rataan dan simpangan baku (SB) dari bobot badan,

maka setiap kelompok dibagi lagi atas dua anak kelompok berdasarkan

seleksi individu yang dilakukan dalam kelompok umur dan jenis kelamin

yaitu anak kelompok A untuk kelompok dengan berat badan diatas rata-rata

dan B untuk kelompok dibawah rata-rata berat badan. Dengan demikian

struktur dari pengelompokan ini adalah sebagai berikut:

Sub-Kelompok Jantan : J-2-A, J-4-A, J-6-A, J-8-A dan J-2-B, J-4-B, J-6-

B, J-8-B

Sub-Kelompok Betina : B-2-A, B-4-A, B-6-A, B-8-A dan B-2-B, B-4-B,

B-6-B, B-8-B

Page 64: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

64

Diadakan penyilangan (perkawinan) yang tergabung dalam perkawinan setara

antara sub-sub kelompok jantan dan betina dengan metode sebagai berikut:

1. J-2-A x B-2-A 2. J-2-B x B-2-B

3. J-4-A x B-4-A 4. J-4-B x B-4-B

5. J-6-A x B-6-A 6. J-6-B x B-6-B

7. J-8-A x B-8-A 8. J-8-B x B-8-B

Memastikan bahwa anak yang dikandung benar-benar berasal dari jantan

yang terpilih maka baik jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang

yang sama selama tiga bulan setelah terlebih dahulu induk disterilkan dari

jantan yang lain.

Seluruh turunan kambing diikuti pertumbuhan hariannya dengan cara

menimbang mulai dari lahir sampai berumur 90 hari. Penimbangan dilakukan

setiap bulan (30 hari) pada pagi hari sebelum diberi makan. Seluruh kambing

yang diteliti diberi identitas berupa kalung leher yang diberi nomor. Sebagai

kontrol juga diamati kambing-kambing yang melakukan perkawinan secara

acak tanpa seleksi dengan memperhatikan rataan bobot badan dalam

populasinya.

f) Menentukkan pola pemuliaan dilakukan melalui diskusi terfokus untuk

menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan pemuliaan

dengan memilih responden ahli. Kemudian faktor-faktor ini dilakukan

pembobotan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih dalam

merumuskan pola pemuliaan ternak kambing yang paling cocok diantara pola

yang ada dengan menggunakan proses analisis hirarki (Analitical Hierarchy

Process) menurut Saaty (1983).

Page 65: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

65

Analisis Data

1) Data karakteristik usaha peternakan kambing kacang maupun parameter-

parameter untuk dinamika populasinya (struktur populasi, seks rasio, distribusi

kelas umur, angka mortalitas, angka natalitas) ditabulasi silang dengan analisis

rataan kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.

2) Struktur populasi ternak kambing kacang dianalisis dengan menduga umur

ternak melalui pengamatan terhadap pertumbuhan gigi serinya dengan

berpedoman pada Tabel 16 di bawah ini:

Tabel 16 Pergantian gigi seri kambing

Sumber: Ensminger (2002).

3) Karakterisasi Kambing Kacang

Hasil pengamatan dari seluruh karakter fenotip kualitatif dihitung

frekuensinya, sehingga diperoleh karakter fenotip kualitatif yang dominan dari

setiap populasi kambing yang diamati. Untuk mendapatkan karakter fenotip

kuantitatif, nilai dari setiap karakter yang diperoleh dari hasil pengukuran

dihitung rata-rata dan standar deviasinya. Untuk menentukan jarak genetik

digunakan fungsi diskriminan sederhana seperti yang dijelaskan oleh Herrera et

al. (1996). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan sidik jari

Mahalanobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987), dimana matrik ragam antar

peubah dari masing-masing populasi kambing yang diamati digabung menjadi

sebuah matrik.

Menghitung jarak kuadrat genetik digunakan rumus sesuai petunjuk Nei

(1987) sebagai berikut :

Umur Gigi Seri yang berganti

Umur kurang dari 1 tahun Umur 1 – 1.5 tahun Umur 1.5 – 2 tahun Umur 2.5 – 3 tahun Umur 3 – 4 tahun

Lebih dari 4 tahun

Gigi seri belum ada yang berganti Gigi seri dalam (I1) berganti Gigi seri tengah dalam (I2) berganti Gigi seri tengah luar (I3) berganti Gigi seri luar (I4) berganti atau semua (8) gigi seri telah berganti Gigi tetap aus dan mulai lepas

Page 66: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

66

D2(i/j) = ( Xi – Xj) Cov-1 (Xi – Xj)

Keterangan:

D2(i/j) = Nilai statistik Mahalonobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antar

dua populasi (populsi i terhadap poplasi j).

Cov-1 = Kebalikan matrik gabungan ragam peragam antar peubah.

Xi = Vektor nilai rataan pengamatan dari populasi kambing kacang i pada

masing-masing peubah.

Xj = Vektor nilai rataan pengamatan dari populasi kambing j pada masing-

masing peubah.

Membantu analisis statistik Mahalanobis digunakan paket program

statistik SAS release 6.03 dengan menggunakan PROC.DISCRIM. Hasil

perhitungan jarak kuadrat tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut dengan

program software MEGA (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) seperti

petunjuk Kumar et al. (1993) untuk mendapatkan pohon fenogram. Teknik

pembuatan pohon fenogram dilakukan dengan metode UPGMA (Unweghted Pair

Group Methode with Arithmetic).

Analisis canonical (Herrera et al. 1996) dilakukan untuk menentukkan peta

penyebaran ternak kambing dan nilai kesamaan dan campuran di dalam dan

diantara populasi kambing. Analisis ini juga digunakan untuk menentukan

beberapa peubah dari ukuran fenotipik yang memiliki pengaruh kuat terhadap

penyebab terjadinya pengelompokan populasi kambing. Prosedur analisis dengan

menggunakan PROC CANDISC.

Data sekuen fragmen D-loop mitokondria DNA kambing dianalisis dengan

menggunakan berbagai program software genetik seperti:

a) Chromas digunakan untuk viewing dan editing hasil sekuen.

b) Multiple alignment sekuen digunakan program ClustalX ver.1.83

(Thompson et al. 1997; yang diperoleh dari ftp://ftp-igbmc:u-

strasbg.fr/pub/CulstalX)

c) Untuk penentuan polymorphic sites digunakan program MacClade 4.0

yang tersedia pada http://ag.arizopna.edu/macclade/macclade.html).

Page 67: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

67

d) Distance dan Phylogenetic digunakan program Molecular Evolutionary

Genetic Analaysis (MEGA) version 3.1 (Kumar et al.2004, tersedia

pada http://www.megasoftware.net/)

e) Untuk diversitas haplotype diilustrasikan dengan menggunakan analisis

Network yaitu program NETWORK 4.1.0.8 (Bandelt et al. 1999).

4) Laju Reproduksi Induk (LRI) dihitung dengan menggunakan rumus:

5) Mendapatkan gambaran pola pertumbuhan kambing dianalisis secara statistik

sebagai berikut:

5.1. Pertumbuhan dari masing-masing kelompok anak didekati dengan tiga

jenis fungsi yaitu:

Fungsi linier : = a + bX

Fungsi eksponensial: = abX

Fungsi kuadratik : = a + bX + cX2

dimana peubah bebasnya adalah umur sedangkan peubah tak bebasnya

adalah bobot badan. Pendekatan ini dilakukan berdasarkan

pengamatan kurva pertumbuhannya, kemudian ditentukan jenis fungsi

yang paling tepat untuk mengkaji pola pertumbuhannya.

5.2. Mengetahui efek pengelempokan atas sub-kelompok, atau dengan kata

lain efek dari perkawinan tetua yang telah mengalami seleksi massa,

maka diadakan pengujian dengan sidik ragam dan diteruskan dengan

pengujian terhadap pasangan rataan seperti A-2 dengan Kontrol, B-2

dengan Kontrol dan seterusnya, baik pada anak jantan maupun betina.

Pengujian ini dilakukan pada bobot badan dari umur 0 hari 30, 60, 90

dan 120 hari. Setelah itu dilakukan uji lanjut dengan prosedur Duncan

(Steel and Torrie 1980) dengan tahapan sebagai berikut:

Tahapan 1 : Menentukan nilai BNT (Beda Nyata Terkecil)

Page 68: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

68

Tahapan 2 : Menentukan nilai jarak terdekat Duncan (JNTD)

di mana : = nilai baku faktor R (range) pada taraf

uji α jarak P (=part) dan derajat bebas galat v

5.3. Dilakukan analisis terhadap pertambahan bobot harian dari setiap

kelompok anak yang berasal dari semua kelompok persilangan dengan

rumus (Devendra 1966) :

Dimana : PBBH = Pertambahan Bobot Badan Harian

BBakhir = Bobot Badan Akhir

BBawal = Bobot Badan Awal

6) Merumuskan pola pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara dilakukan

dengan Proses Hierarki Analitik (PHA). Langkah-langkah yang ditempuh

dalam analisis ini adalah : 1) Penilaian kriteria dan alternatif, yaitu

dilakukan melalui perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria

dan alternatif dengan menggunakan skala 1 sampai 9 untuk

mengekspresikan pendapat. Kriteria berdasarkan diskusi terfokus yang

berkontribusi terhadap program pemuliaan meliputi (1) sumberdaya

manusia, (2) sumberdaya ternak, (3) tujuan pemuliaan, (4) seleksi dan

breeding, (5) infrastruktur, (6) sosial budaya, (7) pasar, dan (8) parameter

genetik. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan

Saaty (1983) dapat dilihat pada Tabel 17.

Page 69: 04 Abdurahman Hoda - Pendahuluan

69

Tabel 17 Skala perbandingan Saaty Nilai Keterangan 1 3 5 7 9 2,4,6,8

Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A Sedikit lebih penting dari B A Jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B Mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Penentuan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan

perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan

relative kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh

alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kuantitatif dapat dibandingkan sesuai

dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah ditentukan untuk menghasilkan

bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas ini dihitung dengan manipulasi matriks

atau melalui penyelesaian persamaan matematik dengan langkah sebagai berikut:

Langkah 1:

(i,j = 1,2,…n)

Dimana :

Langkah 2:

)

Dimana :

Langkah 3:

Bila perkiraan baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah . Jika n

juga berubah maka n diubah menjadi maks sehingga diperoleh: