03_tgjawab dan kewajiban pengurus pt menurut uu
TRANSCRIPT
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
15
TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PENGURUS PT (BANK) MENURUT UU
NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Oleh : Prof. Dr. Nindyo Pramono*)
A. Siapakah Pengurus Perseroan
Terbatas itu ?
Pengurus Perseroan Terbatas
(selanjutnya disingkat PT) dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disingkat UUPT) dikenal
dengan nama Direksi (selanjutnya
akan digunakan sebutan Direksi).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) UU PT,
Direksi adalah organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan
serta mewakili Perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.
Menurut teori Organisme dari Otto
von Gierke sebagaimana yang dikutip
oleh Syuiling (1948), Direksi adalah
organ atau alat perlengkapan badan
hukum. Seperti halnya manusia
mempunyai organ-organ, seperti
tangan, kaki, mata, telinga dan
seterusnya dan karena setiap gerakan
organ-organ itu dikehendaki
atau diperintahkan oleh
______________________
*) Guru Besar Hukum Bisnis, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
otak manusia, maka setiap gerakan
atau aktifitas Direksi badan hukum
dikehendaki atau diperintah oleh
badan hukum sendiri, sehingga
Direksi adalah personifikasi dari badan
hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul
Scholten dan Bregstein (1954),
langsung mengatakan bahwa Direksi
mewakili badan hukum (PT: Penulis).
Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli
tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Direksi PT itu
bertindak mewakili PT sebagai badan
hukum. Kapan PT memperoleh status
sebagai badan hukum, menurut Pasal
7 ayat (4) UUPT adalah sejak tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri
Kehakiman dan HAM mengenai
pengesahan badan hukum Perseroan.
Hakekat dari sebuah perwakilan
adalah bahwa seseorang melakukan
sesuatu perbuatan untuk kepentingan
orang lain atas tanggung jawab dari
orang yang mewakilkan itu. Menjadi
pertanyaan di sini, kapan sebenarnya
kewenangan perwakilan Direksi itu
timbul?
Kalau dikaji secara mendalam
bukankah kewenangan perwakilan
yang diemban oleh Direksi itu timbul
karena adanya pengangkatan oleh
RUPS sebagai organ PT yang
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
16
mempunyai wewenang mengangkat
anggota Direksi, sesuai ketentuan
Pasal 94 ayat (1) UUPT. Pengangkatan
di sini bersifat sepihak, sebab
pengangkatan adalah perintah untuk
melakukan pengurusan PT untuk
kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan PT, mewakili PT di
dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar. Kewenangan untuk mewakili
yang berdasarkan pengangkatan itu
menjadi hapus atau tidak ada ketika
kewenangan mewakili itu ditarik
kembali atau orang yang mewakili
meninggal dunia. Oleh sebab itu,
UUPT mengatur di dalam Pasal 94
ayat (3), yang mengatakan bahwa
anggota Direksi diangkat untuk
jangka waktu tertentu dan dapat
diangkat kembali.
Keputusan RUPS untuk mengangkat
anggota Direksi itu biasanya disertai
dengan penetapan gaji, honorarium
dan fasilitas lainnya. Bisa juga di
dalam praktik penetapan gaji,
honorarium dan fasilitas lainnya
didelegasikan kepada Dewan
Komisaris. Dalam hubungan dengan
diberikannya fasilitas gaji dan lain-lain
fasilitas tersebut timbul pertanyaan
bagaimanakah sifat hubungan hukum
antara Direksi PT dengan PT yang
diwakilinya? Beberapa pemerhati
senior di bidang hukum bisnis, seperti
Purwosutjipto (1980), Sukardono
(1983) berpendapat bahwa sifat
hubungan hukum antara Direksi
dengan PT yang diwakilinya adalah
kombinasi antara hubungan
perburuhan (karena menerima gaji:
Penulis) dan hubungan pemberian
kuasa (karena mewakili PT: Penulis).
Induk dari kuasa ini adalah volmacht.
Ruang lingkup volmacht ditentukan
oleh isi volmacht itu sendiri. Apabila
volmacht hanya dirumuskan dalam
rumusan yang umum, maka volmacht
hanya akan berisi kewenangan
mengenai perbuatan pengurusan saja.
Padahal Direksi itu tidak hanya
berwenang untuk mengurus (beheer
daden) PT tetapi juga berwenang
untuk menguasai atau memelihara
(beschikking daden) PT.
Jika pendapat Purwosutjipto (1980)
dan Sukardono (1983) tersebut
diikuti, maka konsekuensinya
hubungan hukum antara Direksi PT
dengan PT yang diwakilinya adalah
hubungan antara buruh dengan
majikan. Berarti di sini ada hubungan
subordinasi, hubungan antara atasan
dengan bawahan. Pendapat demikian
jika dihadapkan pada ketentuan di
dalam UUPT yang mengatur bahwa PT
sebagai badan hukum dalam
bertindak atau melakukan hubungan
hukum dengan pihak ketiga diwakili
oleh Direksi akan dapat menimbulkan
pertanyaan: apakah pandangan
bahwa sifat hubungan hukum antara
Direksi dengan PT adalah hubungan
perburuhan masih dapat dipandang
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
17
tepat? Bukankah Direksi adalah wakil
PT – bukan “buruh“ atau “karyawan“
PT. Sebagai wakil sah-sah saja ia
menerima honorarium, diberi gaji dan
fasilitas lainnya. Perkara yang
mengangkat Direksi adalah RUPS
sebagai representasi dari wewenang
PT tidak perlu dikatakan bahwa
dengan demikian Direksi adalah buruh
atau karyawan dari PT. Sampai di sini
tampaknya tidak ada masalah.
Jika pandangan bahwa sifat
hubungan hukum antara Direksi
dengan PT adalah hubungan
perburuhan atau ketenagakerjaan,
dapat timbul masalah. Bagaimana jika
pada suatu ketika Direksi suatu PT
sebelum masa jabatannya berakhir
terpaksa diberhentikan dengan
hormat oleh RUPS. Dalam
pemberhentian itu fasilitas-fasilitas
perusahaan yang seharusnya diterima
Direksi seperti gaji, honorarium, bonus
dan sebagainya sudah diberikan,
namun kemudian setelah Direksi
tersebut berada di luar PT, kemudian
Direksi tersebut menempatkan diri
selaku mantan buruh atau karyawan
PT menggugat PT ke Peradilan
Perburuhan untuk menuntut hak-
haknya seperti pesangon dan
sebagainya dengan menggunakan
dasar UU Tenaga Kerja. Apakah
tindakan demikian sesuai dengan
kaidah-kaidah hukum PT? Apa tepat
konstruksi hukum demikian ini.
Saya berpadangan bahwa sifat
hubungan perburuhan antara Direksi
PT dengan PT yang diwalikinya itu
layak untuk ditinggalkan dalam era
sekarang ini. Sifat hubungan hukum
antara Direksi dengan PT yang diwakili
adalah hubungan hukum perwakilan
(volmacht) dengan secara spesifik
mengambil jenis perwakilan yang
dikenal dalam surseance van betaling
yang disebut bewindvoering. Direksi
PT mewakili PT dalam mengurus dan
memelihara (beheer en beschikking
daden) PT. Direksi PT itu adalah
manager. Dia yang diberi wewenang
oleh PT melalui organ PT yang disebut
RUPS untuk mengurus dan
memelihara PT untuk kepentingan PT
sesuai dengan maksud dan tujuan PT
dengan mengacu pada anggaran
dasar PT. Dalam mengurus dan
memelihara PT, Direksi antara lain
diberi wewenang untuk mengangkat
dan memberhentikan buruh
(karyawan) PT. Dia adalah wakil PT
selaku majikan dalam mengikat
perjanjian kerja dengan buruh
(karyawan) PT. Jika Direksi PT juga
diberi status “buruh“ (karyawan PT
karena diangkat oleh RUPS, karena
menerima gaji dari PT) dan kemudian
timbul kasus seperti yang kami
uraikan di atas, dapat dibayangkan
betapa harta kekayaan PT akan bisa
“terkuras habis“ untuk memberi hak
Direksi selaku Manager PT dan
sekaligus juga sebagai buruh atau
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
18
karyawan PT. Konsep demikian
menurut hemat saya tidak sejalan
dengan kaedah-kaedah hukum PT
sekarang ini yang mengedepankan
Good Corporate Governance.
B. Apakah perbuatan
Pengurusan itu ?
Pasal 92 ayat (1) UUPT mengatakan
bahwa Direksi menjalankan
pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Ketentuan ini merupakan
penyempurnaan rumusan Pasal 82
ayat (1) jo Pasal 85 ayat (1) UU Nomor
1 Tahun 1995 Tentang PT. Menurut
Pasal 92 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (5)
UUPT dapat diketahui bahwa tugas,
wewenang dan tanggung jawab
Direksi adalah mengurus Perseroan
(beheer van daden), antara lain
pengurusan sehari-hari Perseroan.
Kata “pengurusan sehari-hari
Perseroan“ ini sejalan dengan
pandangan para ahli di bidang hukum
bisnis yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan perbuatan
pengurusan atau dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah
“beheer van daden“ adalah tiap-tiap
perbuatan yang perlu atau termasuk
golongan perbuatan yang biasa
dilakukan untuk mengurus atau
memelihara perserikatan perdata
(Pitlo: 1964). Demikian tentunya tidak
berbeda jika bentuk perusahaan
tersebut adalah PT.
Lingkup norma hukum perbuatan
“mengurus“ Perseroan itu pada
dasarnya ada dua yaitu: beheer van
daden dan beschikking van daden.
Yang biasanya dirumuskan dalam
Anggaran Dasar PT adalah kaedah
“beschikking daden“ dengan kaedah
“larangan”. Di dalam UUPT yang baru
juga terdapat rumusan “beschikking
daden“ sebagaimana dapat dilihat di
dalam ketentuan Pasal 102 ayat (1)
yang mengatakan bahwa Direksi
wajib meminta persetujuan RUPS
untuk :
a. mengalihkan kekayaan Perseroan;
atau
b. menjadikan jaminan utang
kekayaan Perseroan, yang
merupakan lebih dari 50 % (lima
puluh persen) jumlah kekayaan
bersih Perseroan dalam 1 (satu)
transaksi atau lebih, baik yang
berkaitan satu sama lain maupun
tidak.
Perbuatan “mengalihkan dan
menjadikan jaminan utang kekayaan
PT“ adalah contoh perbuatan
beschikking dalam hukum PT. Secara
a contrario, kaedah yang tidak
dirumuskan di dalam Anggaran Dasar
dengan ketentuan harus mendapat
persetujuan RUPS atau Dewan
Komisaris, perbuatan tersebut masuk
dalam lingkup perbuatan pengurusan.
Perbuatan itu adalah perbuatan yang
biasa sehari-hari dilakukan oleh
Direksi dalam mengurus PT.
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
19
Selanjutnya Pasal 92 ayat (2)
mengatur bahwa Direksi berwenang
menjalankan pengurusan sesuai
dengan kebijakan yang dipandang
tepat dalam batas UU dan/atau
Anggaran Dasar. Yang dimaksud
dengan “kebijakan yang dipandang
tepat“ adalah kebijakan yang antara
lain didasarkan pada keahlian,
peluang yang tersedia, dan kelaziman
dalam dunia usaha sejenis. Kebijakan
yang dipandang tepat di dalam Ps 92
(2) UU No.40/07 ini secara teoritis
masuk dalam kategori “blanket norm“
(open norm) . Apa yang dimaksud
dengan “kebijakan yang dipandang
tepat“ hanya diberikan contoh secara
demonstratif (tidak limitatif) dengan
kata-kata ”antara lain” dan di dalam
contoh itu ada kaedah yang
mengatakan bahwa kebijakan secara
tepat itu di dasarkan atas “kelaziman
dalam dunia usaha sejenis“.
Kelaziman dalam dunia usaha sejenis
ini secara teoritis sulit diberikan
kriterianya atau ukurannya. Di dalam
praktik tidak tertutup kemungkinan
dapat diberikan tafsiran secara luas
atau sempit. Oleh sebab itu perlu
“kearifan“ Pengurus sebagai organ
Perseroan yang diberi tugas,
wewenang dan tanggung jawab
mengurus Perseroan. Menurut hemat
saya kebijakan yang dipandang tepat
adalah kebijakan yang dapat
mendatangkan keuntungan bagi
Perseroan, kebijakan yang berguna
bagi kepentingan PT. UUPT
memberikan kelonggaran untuk
dijabarkan sendiri dalam praktik
asalkan hal itu sesuai dengan norma-
norma kelaziman dalam dunia usaha
sejenis.
C. Untuk kepentingan siapa
Pengurusan itu?
UUPT di dalam Pasal 1 ayat (5) jo Pasal
92 ayat (1) hanya menyebut untuk
kepentingan Perseroan. Jadi dengan
pendekatan legalistik, perbuatan
pengurusan (beheer van daden)
Direksi itu hanya ditujukan untuk
kepentingan Perseroan. Singkat kata
kepentingan Perseroan itu ya hanya
keuntungan. Berbeda dengan faham
klasik yang mengajarkan kepada kita
bahwa kebijakan Direksi PT itu harus
ditujukan untuk kepentingan
Pemegang Saham. Sejak diikutinya
faham institutional atau institutionale
opvating (Prasetya: 2005,
Schilfgaarde: 1990, Pramono: 1997)
orientasi kebijakan Pengurus PT
adalah tidak lagi semata-mata hanya
ditujukan kepada Pemegang Saham,
tetapi lebih luas dari itu yaitu untuk
kepentingan PT sesuai dengan
maksud dan tujuan PT dan anggaran
dasar. Oleh sebab itu, di dalam UUPT
mulai dirumuskan dengan ”... untuk
kepentingan Perseroan .........”.
Sebenarnya banyak kepentingan PT
itu, Schilfgaarde (2004) menyebut
selain kepentingan Pemegang Saham,
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
20
ada kepentingan PT sendiri (het
vennootschap belang). Dalam
perkembangan baru sekarang ini yang
mulai memandang penting penerapan
prinsip tata kelola perusahaan yang
baik dan benar (Good Corporate
Governance), di samping kepentingan
Pemegang saham dan kepentingan PT
sendiri, masih ada kepentingan lain
dalam PT, seperti kepentingan
karyawan, kepentingan pihak ke tiga
atau kreditur, kepentingan negara
dan sebagainya. Filosofi pengaturan
demikian adalah bertujuan
memberikan perlindungan hukum
kepada Perseroan dan sekaligus
kepada Pemegang Saham secara
intern. Jika Pemegang saham atau
Pihak Ketiga atau orang di luar PT
ada yang merasa dirugikan atas
perbuatan Direksi, maka Pihak
tersebut berdasarkan alas hak umum
“perbuatan melawan hukum“ ex Ps
1365 KUHPdt dapat saja melakukan
gugatan ke Pengadilan Negeri kepada
Direksi yang bersangkutan.
D. Tanggung Jawab dan
Kewajiban Pengurus PT
(Perbankan).
Agar Direksi sebagai organ Perseroan
yang mengurus Perseroan sehari-hari
dapat mencapai prestasi terbesar
untuk kepentingan Perseroan, maka ia
harus diberi kewenangan-
kewenangan tertentu untuk mencapai
hasil yang optimal dalam mengurus
Perseroan. Dari kewenangan yang
diberikan, ia perlu diberi tanggung
jawab untuk mengurus Perseroan. Hal
ini berarti dalam membicarakan
kewenangan Direksi, diperlukan
pemahaman tentang tanggung
jawabnya.
Apa yang dimaksud dengan tanggung
jawab itu? Tanggung jawab adalah
kewajiban seseorang individu (baca:
Direksi) untuk melaksanakan aktivitas
yang ditugaskan kepadanya sebaik
mungkin, sesuai dengan
kemampuannya (Winardi: 1983).
Tanggung jawab dapat berlangsung
terus atau dapat berhenti apabila
tugas tertentu yang dibebankan
kepadanya telah selesai dilaksanakan.
Dalam Perseroan biasanya antara
wewenang dan tanggung jawab
seorang Direksi harus mempunyai
tingkatan yang sama. Dengan
demikian, wewenang seorang Direksi
memberikan kepadanya kekuasaan
untuk membuat serta menjalankan
keputusan-keputusan yang
berhubungan dengan bidang
tugasnya yang telah ditetapkan dan
tanggung jawab dalam bidang
tugasnya tersebut menimbulkan
kewajiban baginya untuk
melaksanakan tugas–tugas tersebut
dengan jalan menggunakan
wewenang yang ada untuk mencapai
tujuan Perseroan.
Jadi, dalam Perseroan, tanggung
jawab Direksi timbul, apabila Direksi
yang memiliki wewenang atau Direksi
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
21
yang menerima kewajiban untuk
melaksanakan pengurusan Perseroan,
mulai menggunakan wewenangnya
tersebut. Agar wewenang atau
kewajiban Direksi tersebut
dilaksanakan untuk kepentingan
Perseroan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan, maka idealnya
wewenang itu dapat dilaksanakan
sesuai dengan tanggung jawabnya
dan sebaliknya tanggung jawab harus
diberikan sesuai dengan wewenang
yang ada.
Untuk itulah Pasal 97 ayat (1) UUPT
menentukan bahwa Direksi
bertanggung jawab atas pengurusan
Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 ayat (1). Pengurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib dilaksanakan dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab (ayat 2).
Setiap anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan bila yang
bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), demikian bunyi ayat
(3)nya. Kemudian ayat (4)
mengatakan bahwa dalam hal Direksi
terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi
atau lebih, tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Direksi.
Ayat (5)nya mengatakan bahwa
anggota Direksi tidak dapat
dipertangung-jawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
apabila dapat membuktikan :
a. kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan
kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian;
d. telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Ketentuan Pasal 97 ayat (5) tersebut
di atas, tidak mengurangi hak
anggota Direksi lain dan/atau anggota
Dewan Komisaris untuk mengajukan
gugatan atas nama Perseroan.
Selanjutnya menurut Pasal 97 ayat (6),
atas nama Perseroan, Pemegang
Saham yang mewakili paling sedikit
1/10 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara dapat
mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian
Perseroan
Jika dicermati, ketentuan Pasal 97
UUPT ini tampaknya merupakan
perbaikan pengaturan tentang
tanggung jawab Direksi terhadap
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
22
pengurusan PT yang diatur di dalam
Ps 82 dan Ps 85 UU Nomor 1 Tahun
1995 Tentang PT yang lalu. Pasal 97
berisi kaedah yang lebih lengkap jika
dibanding dengan ketentuan Pasal 82
dan Pasal 85 UU Nomor 1 Tahun
1995 dahulu.
Tanggung jawab Direksi Perseroan
erat kaitannya dengan sifat
kolegialitas Direksi Perseroan.
Menurut Pasal 98 ayat (1) UUPT,
Direksi mewakili PT baik di dalam
maupun di luar Pengadilan. Ayat (2)
mengatakan bahwa dalam hal
anggota Direksi terdiri lebih dari satu
orang, yang berwenang mewakili PT
adalah setiap anggota Direksi, kecuali
ditentukan lain dalam anggaran dasar.
Ayat (3) mengatakan bahwa
kewenangan Direksi mewakili PT
adalah tidak terbatas dan tidak
bersyarat, kecuali ditentukan lain
dalam UU, AD atau Keputusan RUPS.
Ketentuan Pasal 98 ayat (2) tersebut
di atas memberikan petunjuk kepada
kita bahwa lembaga Direksi PT dalam
sistemnya bersifat kolegial (Prasetya:
2003). Artinya, Direksi PT itu
seharusnya terdiri dari lebih satu
orang atau berbentuk Dewan.
Sekalipun di dalam struktur organisasi
diatur adanya Direktur Utama,
Direktur Personalia, Direktur
Kepatuhan, Direktur Produksi dan lain
sebagainya, tidak berarti bahwa
kedudukan Direktur Utama lalu
menjadi lebih, kedudukannya
sederajat. Mereka adalah Dewan,
kolegial. Sistem tanggung jawabnya
pada dasarnya bersama-sama atau
tanggung renteng.
Oleh sebab itu dalam Pasal 98 ayat (2)
tersebut ditentukan yang berwenang
mewakili PT adalah setiap anggota
Direksi, kecuali ditentukan lain dalam
Anggaran Dasar. Bahkan dari sudut
pandang doktrin, kedudukan masing-
masing organ PT (RUPS, Dewan
Komisaris dan Direksi) pada asasnya
satu sama lain mempunyai kedudukan
yang sama atau sejajar, yang satu
tidak berada di bawah yang lain,
masing-masing mempunyai tugas
sendiri-sendiri yang diberikan oleh UU
dan/atau Anggaran Dasar.
Konsekuensi selanjutnya, kiblat atau
fokus Direksi dan/atau Dewan
Komisaris dalam mengurus Perseroan
tidak semata-mata hanya tertuju
kepada Pemegang Saham, tetapi lebih
kepada kepentingan PT yang
cakupannya lebih luas dari pada
kepentingan Pemegang Saham.
Jika di muka dikatakan bahwa
wewenang Direksi itu erat kaitannya
dengan kewajiban Direksi, maka di
dalam UUPT kewajiban Direksi itu
dapat kita lihat di dalam Pasal 100
ayat (1) yang menyatakan bahwa
kewajiban Direksi itu ialah :
a. membuat daftar Pemegang
Saham, daftar khusus, risalah
RUPS dan risalah rapat Direksi;
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
23
b. membuat laporan tahunan
sebagaimana dimaksud Pasal 66
dan dokumen perusahaan ex UU
No.8 Tahun 1997;
c. memelihara seluruh daftar, risalah
dan dokumen keuangan dan
dokumen lainnya.
Kemudian di ayat (2) nya ditentukan
bahwa seluruh daftar, risalah,
dokumen keuangan Perseroan dan
dokumen Perseroan lainnya disimpan
di tempat kedudukan PT dan atas
permohonan tertulis dari Pemegang
Saham, Direksi memberi izin kepada
Pemegang Saham untuk memeriksa
daftar Pemegang Saham, daftar
khusus, risalah RUPS dan laporan
tahunan, serta Pemegang Saham
boleh mendapat salinannya. Demikian
ditentukan di dalam ayat (3) Pasal
100.
Yang menarik untuk dibahas lebih
lanjut adalah kewajiban Direksi untuk
membuat laporan tahunan
sebagaimana dimaksud Pasal 66 UUPT
tersebut di atas. Pasal 66 ayat (1)
UUPT mengatakan bahwa Direksi
menyampaikan laporan tahunan
kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris dalam jangka waktu
paling lambat 6 (enam) bulan setelah
tahun buku Perseroan berakhir.
Menurut Pasal 67 ayat (1) UUPT
bahwa laporan tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
ditandatangani oleh semua anggota
Direksi dan semua anggota Dewan
Komisaris yang menjabat pada tahun
buku yang bersangkutan dan
disediakan di kantor Perseroan sejak
tanggal panggilan RUPS untuk dapat
diperiksa oleh pemegang saham.
Persoalan akan muncul ketika terjadi
suatu keadaan di mana laporan
tahunan pada tahun-tahun
sebelumnya belum sempat dibuat
Direksi yang bersangkutan, kemudian
Direksi yang bersangkutan
diberhentikan oleh RUPS atau saya
beri ilustrasi ekstrem kemudian Direksi
yang bersangkutan setelah
diberhentikan tidak selang berapa
lama karena sakit Direksi tersebut
meninggal dunia, Direksi yang lain
tidak diketahui lagi domisilinya,
bagaimana memenuhi ketentuan
Pasal 67 ayat (1) UUPT ini?
Sudah barang tentu di dalam praktik
Direksi yang baru menjabat
menggantikan Direksi yang lama yang
telah diberhentikan tersebut dalam
rangka tertib manajemen akan
membuat laporan tahunan, termasuk
penyusunan neraca dan perhitungan
laba rugi Perseroan, dan
melaporkannya kepada RUPS atau
bahkan untuk PT Perbankan
disamping melaporkannya pada RUPS
juga akan melaporkannya ke BI atau
jika PT Bank tersebut sudah ”go
publik” ia wajib melaporkan kepada
Bapepam-LK. Kemudian karena bunyi
Pasal 67 ayat (1) UUPT tersebut
mengatakan bahwa yang berhak
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
24
menandatangani laporan tahunan
tersebut adalah semua anggota
Direksi dan semua anggota Dewan
Komisaris, maka oleh Direksi yang
baru tersebut kemungkinan akan
dimintakan kepada Direksi dan
Komisaris yang lama. Namun
pertanyaannya, apakah Direksi dan
Komisaris yang lama masih berhak
menandatangani laporan tahunan
tersebut, sementara mereka sekarang
ini sudah tidak menjabat lagi?
Mungkin jalan keluarnya, tanggal
laporan tahunan akan dibuat mundur
sesuai dengan waktu ketika Direksi
dan Komisaris lama masih menjabat.
Jika ditempuh cara demikian, apakah
dokumen tersebut sah? Apakah
tanggal ”antidateren” tersebut tidak
dapat menyalahi ketentuan
keabsahan dokumen? Apakah tidak
terbuka kemungkinan masuk
kualifikasi dokumen palsu? Belum
lagi, bagaimana jika Direksi dan
Komisaris yang sudah diberhentikan
tersebut menyatakan tidak mau
menandatangani dokumen laporan
tahunan tersebut dengan dalil karena
sudah tidak menjabat lagi.
Bagaimana jika laporan tahunan
tertunggak tersebut dibuat oleh
Direksi yang baru apa adanya dengan
mendasarkan pada audit akuntan
misalnya, kemudian ditandatangani
sendiri oleh semua anggota Direksi
dan semua anggota Dewan Komisaris
dan dimintakan pengesahan kepada
RUPS atau dilaporkan kepada instansi
yang berkepentingan, misalnya BI dan
Bapepam-LK tersebut, apakah
tindakan dengan secara yuridis dapat
dibenarkan? Jawabannya: bisa dua
kemungkinan. Jika mendasarkan pada
ketentuan Pasal 67 ayat (1) UUPT
tentunya jawabannya tidak benar,
karena harafiah ketentuan itu
mengatakan bahwa yang berhak
menandatangani laporan tahunan
adalah semua anggota Direksi dan
semua anggota Dewan Komisaris
yang bersangkutan yang menjabat
saat itu. Namun problemnya semua
Direksi dan Dewan Komisaris sudah
diganti, sudah tidak menjabat lagi,
mereka tidak mau menandatangani,
mereka mengatakan justru sudah
tidak berhak. Kemungkinan kedua,
kemudian Direksi dan Dewan
Komisaris yang baru yang membuat
laporan tahunan tertunggak tersebut
dan menadatanganinya. Atas nama
Perseroan ia menyampaikan laporan
tahunan tersebut kepada RUPS untuk
mendapatkan pengesahan dan
kepada instansi yang berkepentingan.
Menurut hemat saya, kemungkinan
kedua ini yang tepat. Mengapa
demikian? Direksi dan Dewan
Komisaris pada hakekatnya adalah
organ Perseroan. Direksi adalah organ
Perseroan yang berhak mewakili PT
baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Ia wajib mengurus PT
untuk kepentingan PT, sesuai dengan
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
25
maksud dan tujuan PT. Pertanyaan
dalam ilustrasi kasus di atas, siapakah
yang menjabat sebagai Direksi dan
Dewan Komisaris saat ini. Jawabannya
adalah Direksi dan Dewan Komisaris
yang baru. Siapa yang berhak
mewakili PT dalam mengurus PT saat
ini. Jawabannya adalah Direksi yang
baru. Siapakah yang harus membuat
laporan tahunan PT saat ini?
Jawabannya: secara hakiki adalah
Direksi dan Dewan Komisaris yang
baru. Itu yang benar menurut hemat
saya sesuai dengan kaedah hukum PT.
Bagaimana jika ternyata di kemudian
hari terdapat penyimpangan-
penyimpangan yang terindikasi
dilakukan oleh Direksi dan Dewan
Komisaris yang lama. Jawabnya
adalah hal itu adalah urusan dan
tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris yang lama. Apalagi jika
persoalan hukum tersebut terkait
dengan tindak pidana, jelas tidak bisa
dilimpahkan kepada Direksi dan
Dewan Komisaris yang baru menjabat
yang menggantikannya. Dari uraian
kami tersebut di atas, tampak bahwa
pembentuk UUPT kurang jeli dalam
membuat rumusan Pasal 67 ayat (1)
tersebut.
Selanjutnya Pasal 101 ayat (1)
menentukan anggota Direksi wajib
melaporkan kepada PT mengenai
saham yang dimilikinya dan/atau
keluarganya dan PT lain untuk
selanjutnya dicatat dalam daftar
khusus; anggota Direksi yang tidak
melaksanakan kewajiban tersebut dan
menimbulkan kerugian PT, ia akan
dipertanggungjawabkan secara
pribadi atas kerugian PT.
Kemudian kewajiban Direksi yang lain
adalah sebagaimana diatur di dalam
Pasal 102 seperti yang sudah kami
bahas di atas adalah Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS untuk :
a. mengalihkan kekayaan Perseroan;
atau
b. menjadikan jaminan utang
kekayaan Perseroan, yang
merupakan lebih dari 50 % jumlah
kekayaan bersih Perseroan dalam
satu transaksi atau lebih, baik yang
berkaitan satu sama lain maupun
tidak.
Pertanyaannya apakah kewajiban
meminta persetujuan RUPS itu
mandatory atau tidak? Dwingenrecht
atau bukan? Boleh atau tidak di
Anggaran Dasar diatur bahwa
persetujuan RUPS tersebut
dilimpahkan kepada Dewan
Komisaris. Artinya kekuasaan RUPS
tersebut dihilangkan dan diganti
menjadi dikuasakan kepada Dewan
Komisaris? Dalam pandangan kami
filosofinya tidak demikian. Persetujuan
RUPS tersebut tidak boleh
didelegasikan kepada Dewan
Komisaris. Persoalan mengalihkan
harta kekayaan PT, menjaminkan
harta PT untuk jaminan utang yang
melebihi 50% akan sangat
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
26
berdampak pada kelangsungan hidup
Perseroan yang harus diketahui dan
diputus langsung oleh RUPS. Jangan
wewenang yang sangat strategis dan
sangat berpotensi mengandung risiko
bagi kelangsungan kepentingan dan
tujuan PT yang nota bene adalah juga
kepentingan Pemegang Saham,
menurut hemat kami Pemegang
Saham harus mengetahui secara
langsung kebijakan itu dan
memutuskannya sendiri.
Bagaimana sekarang jika PT
menghadapi kepailitan?
Ps 104 ayat (2) menentukan bahwa
dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan
harta pailit tidak cukup untuk
membayar seluruh kewajiban
Perseroan dalam kepailitan tersebut,
setiap anggota Direksi secara
tanggung renteng bertanggung jawab
atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit. Tanggung
jawab tersebut berlaku juga bagi
anggota Direksi yang salah atau lalai
yang pernah menjabat sebagai
anggota Direksi dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan. Demikian
ditentukan di dalam ayat (3) Pasal
104. Anggota Direksi tidak
bertanggung jawab atas kepailitan
Perseroan apabila dapat membuktikan
keadaan seperti yang diatur dalam
Pasal 97 ayat (5) sebagaimana
diuraikan di atas.
Bagaimana dengan UU Perbankan?
UU UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998
(selanjutnya disebut UU Perbankan),
mengatur bahwa salah satu bentuk
hukum Bank Umum ataupun BPR
adalah PT (Ps 21 UU Perbankan). Oleh
sebab itu, konstruksi hukum organ PT
Perbankan sudah tentu sama dengan
yang diatur di dalam UUPT.
Jika UU Perbankan termasuk
peraturan pelaksanaannya, termasuk
Peraturan Bank Indonesia (PBI) telah
dan/atau akan mengatur sendiri hal-
hal yang berkaitan dengan organ PT,
misalnya: persyaratan pencalonan
Direksi PT. Bank, yang tidak hanya
mengacu pada ketentuan Ps 93 UUPT,
tapi ditambahkan syarat tambahan,
misalnya: harus lulus fit and proper
test yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, harus mempunyai latar
belakang keahlian di bidang
perbankan, ekonomi, hukum, lulus
sertifikasi manajemen risiko dan
sebagainya, hal ini boleh saja
dilakukan dan dibenarkan menurut
Pasal 93 ayat (2) UUPT.
Yang menarik untuk dibahas adalah
ketentuan di dalam praktik
perbankan Indonesia. Berdasarkan PBI
diatur bahwa yang dimaksud dengan
Pengurus Bank adalah Komisaris dan
Direksi. Komisaris sekaligus
dimasukkan dalam lingkup Direksi
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
27
(Vide: PBI No.7/25/PBI/2005). Apakah
hal demikian tidak bertentangan
dengan UUPT? Jawabannya: pada
prinsipnya tidak! Pasal 118 ayat (1)
UUPT menentukan demikian:
Berdasarkan anggaran dasar atau
keputusan RUPS, Dewan Komisaris
dapat melakukan tindakan
pengurusan Perseroan dalam keadaan
tertentu untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2)nya mengatakan: Dewan
Komisaris yang dalam keadaan
tertentu untuk jangka waktu tertentu
melakukan tindakan pengurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berlaku semua ketentuan mengenai
hak, wewenang dan kewajiban Direksi
terhadap Perseroan dan pihak ketiga.
Apa yang dimaksud dengan kalimat
”dalam keadaan tertentu” itu?
Menurut penjelasan Pasal 118 ayat (1)
UUPT dikatakan bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan
wewenang kepada Dewan Komisaris
untuk melakukan pengurusan
Perseroan dalam hal Direksi tidak ada.
Yang dimaksud dengan ”dalam
keadaan tertentu” antara lain
keadaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99 ayat (2) huruf b dan
Pasal 107 huruf c. Pasal 99 ayat (2)
huruf b tersebut mengatur mengenai
siapa yang berhak mewakili Perseroan
jika terjadi perkara di Pengadilan
antara Perseroan dengan anggota
Direksi yang bersangkutan, dimana
seluruh anggota Direksi mempunyai
benturan kepentingan dengan
Perseroan. Jika terjadi keadan
demikian, maka Dewan Komisaris
berhak mengambil alih posisi Direksi
mewakili Perseroan melawan Direksi
yang berperkara dengan Perseroan.
Kemudian Pasal 107 huruf c
mengatakan bahwa dalam anggaran
dasar diatur ketentuan mengenai: c.
Pihak yang berwenang menjalankan
pengurusan dan mewakili Perseroan
dalam hal seluruh anggota Direksi
berhalangan atau diberhentikan untuk
sementara.
Dari bunyi Pasal 99 ayat (2) huruf b
dan Pasal 107 huruf c. Kemungkinan
Dewan Komisaris melakukan
perbuatan pengurusan tampaknya
hanya berkaitan dengan hal-hal
seperti yang diatur di dalam Pasal 97
ayat (2) huruf b jika ada perkara
antara Direksi dengan Perseroan
sementara seluruh anggota Direksi
mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan dan Pasal 107
huruf c perlunya diatur di dalam
anggaran dasar PT, jika sewaktu-
waktu seluruh anggota Direksi
berhalangan atau diberhentikan untuk
sementara, siapa pihak yang
berwenang menjalankan pengurusan
dan mewakili Perseroan.
Sekarang pertanyaannya, apakah
ketentuan di dalam PBI yang serta
merta menentukan bahwa yang
dimaksud dengan Pengurus PT
Perbankan adalah Direksi dan Dewan
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
28
Komisaris, apakah ketentuan seperti
ini sudah sejalan dengan ketentuan
Pasal 118 ayat (1) jis Pasal 99 ayat (2)
huruf c dan Pasal 107 huruf c.
Tampaknya BI perlu mengkaji hal ini
agar di dalam praktik tidak perlu ada
keragu-raguan dalam menyikapi
ketentuan PBI terkait dengan
ketentuan dalam UUPT.
Memang jika mengacu pada
ketentuan Pasal 4 UUPT yang
mengatakan bahwa terhadap
Perseroan berlaku Undang-undang ini
(maksudnya UUPT : Penulis), anggaran
dasar Perseroan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan
lainnya, ketentuan PBI yang mengatur
secara spesifik PT Perbankan
tampaknya tidak perlu dikatakan
bertentangan. Namun perlu
diperhatikan adalah bunyi penjelasan
Pasal 4 UUPT tersebut. Berlakunya UU
ini, anggaran dasar Perseroan dan
ketentuan peraturan perundang-
undangan lain, tidak mengurangi
kewajiban setiap Perseroan untuk
menaati asas itikad baik, asas
kepantasan, asas kepatutan dan
prinsip tata kelola Perseroan yang baik
(good corporate governance) dalam
menjalankan Perseroan. Yang
dimaksud dengan ”ketentuan
peraturan perundang-undangan
lainnya” adalah semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan
dengan keberadaan dan jalannya
Perseroan, termasuk peraturan
pelaksanaannya, antara lain peraturan
perbankan, peraturan perasuransian,
peraturan lembaga keuangan. Dalam
hal terdapat pertentangan antara
anggaran dasar dan undang-undang
ini yang berlaku adalah UU ini (UUPT:
Penulis).
Jadi sekali lagi, BI perlu menguji apa
yang menjadi ”recht ide” sehingga
mengatur dengan tegas bahwa yang
dimaksud dengan Pengurus PT
Perbankan adalah Direksi dan Dewan
Komisaris. Jika ketentuan ini
diterjemahkan secara harafiah berarti
yang melakukan perbuatan
pengurusan PT Perbankan itu serta
merta adalah Direksi dan Dewan
Komisaris. Jika demikian halnya,
pertanyaan bisa muncul: lalu siapakah
yang kemudian menjalankan fungsi
pengawasan sebagai organ PT? Bisa
saja barangkali dijawab: kan tidak
semua anggota Dewan Komisaris
yang ikut melakukan perbuatan
pengurusan? Kalau tidak semua
anggota Dewan Komisaris bagaimana
mengaturnya? Apakah di dalam
anggaran dasar ditentukan demikian?
Sementara PBI hanya menentukan
yang dimaksud dengan Pengurus PT
Perbankan adalah Direksi dan
Komisaris. Tidak ada ketentuan yang
mengatakan bahwa tidak semua
anggota Dewan Komisaris yang
menjadi bagian dari Pengurus bank.
Oleh sebab itu menurut hemat saya BI
tetap perlu mencermati kembali
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
29
ketentuan ini, supaya tidak
diterjemahkan telah bertentangan
dengan asas hukum PT. Pada
prinsipnya Dewan Komisaris memang
boleh ikut terlibat dalam pengurusan
PT, namun hanya dalam hal dan
keadaan-keadaan tertentu. Itu yang
penting untuk diketahui dan disadari
oleh semua pihak.
Hal tersebut menjadi penting karena
belakangan ini dalam rangka
menegakkan ketentuan UU PT dan
UU Perbankan berkaitan dengan
kejahatan dan pelanggaran UU
Perbankan sebagaimana diatur di
dalam Ps 47 (2), 47 A, 48, 49, Direksi
harus cukup ekstra hati-hati
mengelola atau mengurus dan
memelihara PT Bank. Jangan sampai
terjadi di dalam praktik anggota
Dewan Komisaris yang tidak
memahami ketentuan dalam PBI
terkait dengan UUPT dan sehari-
harinya ternyata tidak aktif sebagai
Pengurus Bank, namun karena ada
indikasi kejahatan atau pelanggaran
UU Perbankan yang sedang diselidiki
oleh Aparat Penegak Hukum,
kemudian anggota Dewan Komisaris
tersebut terpaksa harus menghadapi
panggilan dan pertanyaan-pertanyaan
dari Aparat Penegak Hukum yang
seharusnya tidak perlu terjadi.
Ditengarai masih banyak organ PT
Perbankan yg belum memahami
sungguh-sungguh filosofi UUPT
terkait dengan pengaturan organ PT,
sifat hubungan hukum antar organ,
fungsi, hak dan wewenang masing-
masing organ dalam kaitannya
dengan kegiatan usaha Perseroan.
Terlebih lagi mayoritas PT di
Indonesia, termasuk PT Perbankan
adalah PT Tertutup yg belum “go
publik” ke Pasar Modal. PT Tertutup,
kebanyakan berasal dari bisnis
keluarga, teman dekat, group yang
dirancang sejak awal dengan
“kurang“ mengedepankan atau
memperhatikan aspek hukum yang
membingkai bentuk hukum PT
Perbankan tersebut. Misalnya adanya
hubungan afiliasi diantara anggota
organ masih sangat dominan dan
kurang mendapat perhatian khusus
berkaitan dengan konsekuensi
hukumnya. Hal tersebut kurang
disadari telah berpotensi merugikan
kepentingan Perseroan.
Demikian pula untuk PT-PT “Plat
Merah“ baik BUMN maupun BUMD,
tidak jarang indikasi mismanajemen
dalam pengurusan PT Bank, berujung
pada pemeriksaan Kejaksaan–bukan
dengan menggunakan UU
Perbankan–tapi dengan
menggunakan UU Tipikor dapat
merepotkan semua pihak yg terlibat
dalam pengurusan perbankan. Jika
ternyata terdapat benturan
pengaturan antara UUPT vs UU
Perbankan misalnya, maka
berdasarkan pendekatan doktrin
seharusnya UU Perbankan
____________________________________________________________________________________________________________
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 3, Desember 2007
30
diperlakukan sebagai UU khusus
dengan mendasarkan pada adagium
“lex specialis derogat legi generali“.
Akan tetapi karena adagium ini
berada dalam wilayah doktrin hukum
yang merupakan salah satu sumber
hukum, maka jika doktrin tersebut
tidak dipakai, tidak diterapkan oleh
semua Aparat Penegak Hukum, kata
adagium tersebut ya hanya akan
menjadi kata-kata tidak bermakna
apa-apa menghadapi benturan
pengaturan tersebut.
DAFTAR REFERENSI
Pitlo, 1986., Het Nederlands Burgerlijk Wetbook, Deel 1a, Het Rechtspersonen
Recht, 2e druk, door F.J.W.Lowensteyn, Gouda Quint, Arnhem.
------, 1964., Het Verbintenissen Recht naar het Nederland Burgerlijk Wetboek,
Gouda Quint, Arnhem.
Prasetya,Rudhy, 1983., Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban dari
Perseroan Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya.
---------, 1988., Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Perseroan Terbatas,
Makalah, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Pramono, Nindyo, 2001., Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di
Indonesia, Cet.2, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Shilfgaarde, 1990., Van de BV en de NV, achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arnhem.
Scholten, P.Bregstein,M.H, 1954., Handleiding tot de Beoefening van het
Nederlands Burgerlijk Recht, Eerste Deel, Personen Recht, Tweede Struck,
Vvertegen woordiging en Rechts Person.
Suyling,J.Ph.1948., Inleiding Tot het Burgerlijk Recht, Algemenebeginselen, Derde
Druk.
Winardi,1983., Asas-asas Manajemen, Alumni, Bandung.
Peraturan Perundang-undangan :
UU Nomor 1 Tahun 1995 Tentang PT
UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PT
UU No.7 Tahun 1992 yo UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia
PBI No.7/25/PBI /2005.