02-iriani walasuji

Upload: taufik-ahmad

Post on 14-Jul-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEMPUNG MATEI BILEI: SALAH SATU DELIK ADAT DI REJANG LEBONG (Tempung Matei Bilei: One Of Traditional Delicts In Rejang Lebong)

Iriani Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar 90221 Telp. (0411)885119 Fax. (0411) 865166, 883748 [email protected]

Diterima: 6 Maret 2010; Disetujui: 26 Mei 2010

Abstract This research aims to explore how common law is effective in the middle of the existence of state law and Islamic law in Rejang Lebong with respect to solving a problem considered assault to the chasitity (sex intercourse without marriage) and describing the ceremony tempung matei bilei which becomes one way of immoral problem solving in society. This research is held in Rejang Regency, Bengkulu Province. It is descriptive qualitative. Data collecting is done by library research, interview in depth, and observation. Having analyzed, the result indicates that Rejang Lebong society has three laws, namely, state, religion, and common law; the latest is used to solve an assault of chasitity problem. One way of this solving is by giving penalty to the dower, he has to do tempung matei bilei or cleaning the village to return balance in society. If he does not want to perform it, then he will be chucked out of village or punished by isolation law. Tempung matei bilei is held by butchering a goat and its blood is spread to four corners of village by the dower. Key words: cultural value, cleaning the village, common law

Abstrak 1

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana hukum rakyat bekerja di tengah kehadiran hukum negara dan hukum Islam di Rejang Lebong dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dianggap melanggar asusila (zina) dan mendeskripsikan jalannya upacara tempung matei bilei yang merupakan salah satu cara menyelesaikan suatu permasalahan bagi mereka yang dianggap melanggar asusila dalam masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi pustaka, wawancara mendalam, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dalam masyarakat Rejang Lebong selain hukum negara dan hukum agama, juga terdapat hukum adat (rakyat) dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran asusila (zina). Salah satu cara penyelesaiannya adalah dengan memberikan denda kepada pelaku yaitu harus melakukan tempung matei bilei atau dengan kata lain cuci kampung untuk mengembalikan keseimbangan di dalam masyarakat. Apabila si pelaku tidak mau melaksanakan tempung matei bilei maka ia akan diusir dari kampung atau akan dikenakan hukum kucil. Pelaksanaan tempung matei bilei adalah dengan menyembelih kambing dan darah kambing dipercikkan ke empat sudut kampung oleh pelaku.

Kata kunci: nilai budaya, cuci kampung, hukum adat

2

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara Indonesia, namun dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi komunitas adat belum terakomodasi. Bahkan secara sistematis sudah mulai disingkirkan dalam agenda politik nasional. Misalnya lembaga-lembaga adat di pedesaan sudah mulai tidak diberdayakan lagi. Padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menghormati adanya pluralisme hukum dalam masyarakat. Sesuai dengan bunyi pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masyarakat hukum masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat (Assiddiqi, 2000:4). Walaupun demikian masih ada segelintir masyarakat adat yang masih eksis, khususnya dalam menerapkan hukum adat. Misalnya di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, masyarakat adat dan pemerintah berusaha memperkuat posisi kultural dengan menerapkan nilai-nilai adat Rejang dalam menyelesaikan setiap permasalahan, yakni selalu diusahakan dengan cara damai. Demikian juga halnya dalam pelanggaran adat, yang mana pelanggaran dianggap dapat merusak tatanan dalam masyarakat (asusila), maka masyarakat yang bersangkutan harus diberi sanksi sesuai hukum Adat Rejang, yakni berupa denda.

3

Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang pemberlakuan hukum adat istiadat Rejang dalam wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Salah satu bunyi pasal dari Peraturan Daerah tersebut adalah setiap masalah yang timbul dalam masyarakat di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong, diupayakan dilaksanakan menurut hukum adat istiadat Rejang (2007). Termasuk bagi laki-laki dan perempuan yang telah melakukan perbuatan zina (ngaem), maka harus menerima sanksi dengan membayar denda adat berupa cuci kampung melakukan tempung matei bilei. Bunyi peraturan tersebut mengindikasikan, bahwa apapun permasalahan yang terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, harus diselesaikan berdasarkan hukum adat. Termasuk pelanggaran adat berupa pelanggaran atas peraturan-peraturan yang bersifat tabu, sehingga sanksi yang diberikan kepada yang bersangkutan tidak cukup bila hanya berupa hukuman penjara, tetapi diperlukan upaya-upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan (equilibrum) masyarakat yang terganggu dan dianggap sebagai perbuatan yang kotor dan harus dibersihkan. Sanksi adat berlaku bagi semua masyarakat yang tinggal di Rejang Lebong. Sanksi diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran asusila (berzina) menurut hukum adat Rejang adalah membayar denda dengan melakukan cuci kampung (tempung matei bilei), dengan menyembelih kambing sebagai salah satu persyaratan agar keseimbangan dalam masyarakat kembali stabil. Dalam hal ini anggota hakim desa (Badan Musyawarah Adat dan jenang ktei) yang berwewenang menangani permasahan tersebut (Iriani, 2008). atau

4

Apabila orang yang melakukan pelanggaran tidak bersedia membersihkan kampung atau melakukan tempung matei bilei, maka orang tersebut akan dikucilkan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila orang yang bersangkutan melaksanakan acara perhelatan atau kenduri, para tokoh masyarakat tidak bersedia menghadiri acara yang dilakukannya. Selain itu apabila si pelaku/keluarganya dapat masalah, jenang kutei tidak bersedia menyelesaikan masalahnya sebelum denda tersebut dibayar atau sebelum melaksanakan tempung matei bilei. Biasanya alasan seseorang untuk menolak melakukan cuci kampung adalah, karena mereka tidak mampu secara finansial, sehingga kadangkala mereka diberi waktu hingga satu tahun. Apabila sudah sampai satu tahun, namun belum juga melaksanakan tempung metei bilei, maka ada sanksi sosial yaitu diusir dari kampung (Iriani, 2008) Untuk mengetahui terjadinya pelanggaran adat (ngaem) didahului dengan adanya pengaduan dari masyarakat kepada ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) atau kepada RT. Hasil pengaduan tersebut tidak begitu saja diterima oleh ketua RT maupun ketua BMA, tanpa ada bukti yang jelas. Seperti bunyi salah satu ungkapan, bahwa ayam putih terbang siang adalah kebalikan dari ayam hitam terbang malam Artinya segala sesuatu dapat diputuskan apabila cukup saksi, cukup bukti, dan jelas perbuatannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan kejadian tersebut, maka Katua RT dan Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) mengecek dengan meminta data-data pernikahan orang yang dilaporkan. Apabila laporan dari masyarakat tersebut adalah benar, maka ketua BMA memanggil keluarga kedua belah pihak dan menyatakan, bahwa kelahiran anaknya tidak sesuai dengan pernikahan (ngaem), maka yang bersangkutan harus membayr denda adat yaitu cuci kampung (Iriani, 2008).

5

Fenomena mengenai hukum adat, khususnya tentang tempung matei bilei sangat menarik untuk diteliti yang mana menunjukkan adanya pluralisme hukum dalam masyarakat. Secara sosilogis-empirik praktek-praktek penerapan hukum adat di tengah masyarakat, khususnya di Rejang Lebong semakin berkembang, bahkan semakin lama semakin meluas ke sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan.

2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sistem nilai budaya masyarakat Rejang Lebong yang berkaitan dengan pelaksanaan tempung matei bilei ? 2. Bagaimana proses upacara tempung matei bilei menurut Rejang Lebong ? 3. Bagaimana pengaruh tempung batei bilei terhadap kondisi sosial masyarakat di Rejang Lebong. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian bertujuan untuk 1. Memahami sistem nilai budaya pada masyarakat Rejang Lebong yang mendasari pelaksanaan tempung matei bilei 2. Mendeskripsikan dan menganalisis proses upacara tempung matei bilei menurut adat Rejang Lebong 3. Memahami pengaruh cuci kampung terhadap kondisi sosial masyarakat di Rejang Lebong. adat

6

4. Landasan Teori a. Sistem Nilai Budaya Nilai budaya merupakan pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Nilai-nilai itu bisa jadi dari pengalaman manusia beronteraksi dengan sesamanya. Kemudian nilai-nilai itu akan berpengaruh terhadap pola berfikir manusia dan akan menentukan sikapnya. Kemudian sikap menimbulkan pola tingkah laku tertentu yang diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah yang nantinya mengatur prilaku manusia ketika berinteraksi (Soekanto, 1990:36). Adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Sehingga tingkah laku yang dianggap tidak cocok melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum dianggap sebagai masalah sosial (Kartono, 1999:2). Oleh karena itu, hukum merupakan konkritisasi dari pada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (2004:25) sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran sebagian masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia dan tingkatannya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, norma-norma. Semuanya berpedoman pada sisitem nilai budaya. Hal semacam ini juga ditunjukkan dalam masyarakat di Rejang Lebong. Masyarakat Rejang Lebong telah mengembangkan berbagai tatanan bagi kehidupan bersama, ada nilai-nilai yang tertuang dalam norma-norma yang berisi keharusan/kebolehan, dan larangan (cepalo). Misalnya, harga diri sebagai nilai sosial tidak hilang atau berubah, tetapi skala dari apa yang dapat dikategorisasikan sebagai harga diri dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimana harga diri yang 7

dipertahankan itu dapat diaktulisasikan. Misalnya di daerah Lampung, yaitu piil pesenggiri dan di daerah makassar adalah siri. Sistem nilai budaya tersebut memberikan pedoman bagi perilaku karena merupakan tata moral masyarakat yang bersangkutan.

b. Hukum Adat Rejang Budaya hukum orang Rejang tidak terlepas dari sejarah kehidupan orang Rejang. Hukum adat merupakan hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat berakar pada kebudayaan tradisional dan merupakan suatu hukum yang hidup nyata dari dalam masyarakat dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan struktur sosial masyarakatnya (Soepomo, 2007:3). Dalam hal ini sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat.

8

Berdasarkan data historis, hukum adat Rejang mengalami beberapa fase perkembangan, sampai ia menjadi hukum adat yang dapat menjadi tuntunan dan lebih bersifat humanis dalam mengatur segala tingkah laku yang terjadi dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan ajai-ajai masyarakat komunitas Rejang sudah mulai diatur oleh peraturan-peraturan yang sangat ketat, salah satunya adalah adanya peraturan, bahwa barang siapa yang melanggar adat akan dibunuh tanpa ada kebijaksanaan. Namun setelah masa pemerintahan empat biku dari Kerajaan Majapahit, peraturan adat mulai disempurnakan, sehingga muncullah penguasa dari dalam masyarakat itu sendiri yang menjalankan hukum-hukum bagi masyarakat/individu. Dengan demikian, peraturan-peraturan lama menjadi peraturan baru. Misalnya, gawai bunuh1 diganti dengan gawai bangun. Artinya barang siapa yang membuat kesalahan besar, seperti membunuh tidak lagi dibunuh, tetapi diganti dengan gawai bangun, yakni dengan membayar denda berupa emas dan perak kepada ahli waris (Hawab: 1977/1978:54-55). Dengan demikian, maka timbullah masyarakat hukum adat yang disebut dengan istilah kutei. Sedangkan penguasa yang mengatur dan menjalankan hukum bagi masyarakat disebut sebagai Tuai Kuteui (1980:104). Berasal dari perkataan Hindu kuta yang berarti dalam bahasa melayu adalah dusun yang berdiri sendiri (Youstra dalam Sidik, 1980:104).

. Maksudnya perbuatan membunuh pada zaman dahulu harus dibayar dengan membunuh, namun setelah adanya penyempurnaan dalam peraturan adat, aturan lama tersebut diganti.

1

9

Untuk menjatuhkan hukuman menurut adat Rejang ada beberapa persyaratan, yakni harus ada saksi, sehingga ada keterangan buat menuduh si pelaku atau dikenal dengan ada bekas jejak kaki atau harus ada bukti. Apabila syarat tersebut terpenuhi, maka orang yang bersangkutan bisa dihukum, namun apabila persayaran tidak terpenuhi, maka tuduhan dibatalkan dan orang yang tertuduh tidak dapat dihukum, walaupun pada dasarnya orang tersebut betul-betul telah malakukan pelanggaran. Akan tetapi, apabila tidak ada bukti yang kuat, maka orang tersebut tidak dapat dikenakan sanksi atau hukuman. Apabila ada orang datang kepersidangan, dengan istilah Rejang adalah mengipar sayur menukar paruh artinya mengakui kesalahannya dengan terus terang dan bertanggung jawab. Penegak hukum kemudian menerima pengakuan tersebut atau tidak menolak dan menentukan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Misalnya, apabila melakukan pelanggaran adat seperti berzina maka hukumannya bisa dikucilkan, yakni apabila yang bersangkutan tidak bersedia melaksanakan aturan adat yaitu cuci kampung. 3. Pluralisme Hukum Sampai saat ini banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama (Irianto, 2005:56). Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. Artinya dalam konteks apa orang memilih (gabungan) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain. Griffiths (dalam Irianto, 2005:59) membedakan adanya dua macam pluralisme hukum, yaitu weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Menurut Graffiths bahwa pluralisme hukum lemah adalah bentuk lain dari dari sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi

10

hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan di bawah hukum negara. Sementara konsep pluralisme hukum kuat (strong legal pluralism) menurut Grafiths, merupakan adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sisitem hukum rakyat di sisi yang lain. Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. Ia mengatakan, bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang berkembang dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem hukum tersebut berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimana keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam bersama-sama dalam suatu arena tertentu (Irianto, 2000: 69). Kasus semacam ini terjadi di Rejang Lebong, di mana aparat negara seperti kepolisian bekerja sama dengan lembaga adat dalam menyelesaikan suatu perkara. Misalnya dalam hal kecelakaan lalu lintas. Setelah kasus perdata diselesaikan, dilanjutkan dengan perdamaian di lembaga adat (jenang kutei), kemudian setelah kedua belah pihak bersedia berdamai, dilanjutkan lagi pada kepolisian. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara hukum negara (state low) dan hukum rakyat (lokal low). Sementara dalam kasus cuci kampung selain hukum adat (lokal low) juga sangat terkait dengan hukum Islam (religius law).

11

Metode Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara sampling. b. Observasi : observasi terhadap objek yang : wawancara dilakukan secara intensif

terhadap para informan yang telah dipilih secara purposive

berkaitan dengan fokus penelitian, misalnya bahan-bahan yang digunakan pada pelaksanaan tempung matei bilei atau cuci kampung. c. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi

2. Analisis Data Proses analisis dimulai sejak awal penelitian hingga akhir penulisan. Berkaitan dengan penelitian tersebut maka tahap yang ditempuh adalah dengan menalaah seluruh data yang diperoleh, kemudian diklarifikasikan berdasarkan kategori-kategori yang kemudian mencari hubungan dengan kategori lain agar tergambar proses upacara tempung matei bilei yang dihubungkan dengan yang mempengaruhi pelaksanaan upacara sistem nilai budaya orang Rejang

tersebut, dan pengaruh tempung matei bilei terhadap kondisi sosial masyarakat.

B. Hasil dan Pembahasan 1. Konsep-Konsep Berkaitan dengan Tempung Matei Bilei Tempung matei bilei adalah sanksi adat yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang telah melakukan perbuatan asusila atau melanggar ketentuan 12

agama dan adat, yang mana salah satunya dapat dibuktikan dengan lahirnya seorang anak yang tidak sesuai dengan bulan perkawinan (lebih tua dari pada usia perkawinan). Maksudnya orang yang bersangkutan hamil sebelum menikah. Perbuatan tersebut dianggap telah melanggar norma-norma dalam masyarakat, khususnya hukum adat Rejang. Bila terjadi pelanggaran seperti itu, maka akan merusak tatanan di dalam masyarakat, khususnya dalam hubungan dengan alam dan penguasa alam, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Untuk mengembalikan keseimbangan di dalam masyarakat, diharuskan melakukan tempung matei bilei atau biasa juga disebut cuci kampung. Berkaitan dengan pelaksanaan tempung matei bilei banyak istilah-istilah lokal yang ditemukan baik sebelum palaksanaan maupun pada saat pelaksanaan berlangsung. Oleh karena itu, sebelum membahas tempung matei bilei lebih dahulu dikemukakan konsep dari beberapa istilah yang berkaitan dengan pelaksanaan tempung matei bilei.

Adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jenang kutei adalah salah satu lembaga adat yang bertugas menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, sering juga disebut hakim desa, sebab ada di setiap desa atau kelurahan di Kabupaten Rejang Lebong. Anggota jenang kutei di setiap desa atau kelurahan beranggotakan 6 (enam) orang. 2. Badan Musyawarah Adat (BMA) adalah lembaga adat yang bertugas mengurus adat. BMA tersebut ada pada tingkat desa, tingkat kecamatan dan kabupaten.

13

3.

Piawang adalah dukun yang sangat berperan dalam pelaksanaan tempung matei bilei. Biasanya piawang merangkap sebagai anggota jenang kutei.

4. Ayam Biring adalah ayam yang kakinya berwarna kuning dan bulunya berwana kemerah-merahan. Ayam tersebut merupakan ayam yang sangat berharga dalam masyarakat adat Rejang. 5. Sawab adalah kegiatan membakar kemenyan pada acara tempung matei bilei yang dilakukan oleh piawang. 6. Setawar sedingin adalah semua bahan yang tercakup saat melakukan percikan darah kambing. 7. Kebat adalah ikatan daun dengan menggunakan benang 3 warna (merah, putih, hitam) yang akan digunakan untuk memercikkan darah kambing. 8. Sagon adalah tepung beras yang digoreng kemudian dicampur dengan gula merah dan kelapa parut. 9. Tangkil adalah daun pisang yang dibentuk seperti perahu yang dijadikan sebagai tempat bubur (merah dan putih).

2. Nilai Budaya Orang Rejang Berkaitan dengan Tempung Matei Bilei Larangan melakukan zina pada hukum adat Rejang dianggap sesuai dengan hukum Islam yang melarang keras berbuat zina sesuai dengan Surah Alisra:32, yang berbunyi: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Hal tersebut berarti mendekati zina saja sudah dilarang apa lagi sampai melakukan zina.

14

Beberapa informan menyatakan apabila ada yang berbuat asusila kemudian tidak dilaksanakan tempung matei bilei, maka wilayah tersebut tidak tentram dan makmur. Misalnya tanaman penduduk tiba-tiba diserang hama, sering terjadi pertengkaran di dalam masyarakat. Bahkan menurut kepercayaan orang Rejang kadang-kadang terjadi hujan secara terus menerus. Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa pandangan hidup (world view) dan ajaran agama merupakan inti dari kebudayaan orang Rejang kemudian akan terwujud secara operasional pada etos atau sistem etika serta digunakan untuk mendorong terwujudnya kelakuan. Aturan-aturan yang digunakan dalam membentuk kelakuan nyata bersumber pada kebudayaan sebagai pedoman untuk bertindak yang perwujudannya diatur dalam pranata-pranata sosial. Dalam pranata sosial ini diatur segala status dan peranan yang berlaku dalam masyarakat dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat (Suparlan, 2003/2004:159). Pranata sosial yang menyeluruh yang memberi makna serta pola dalam keseluruhan pranata sosial yang berlaku bagi kehidupan orang Rejang terwujud sebagai upacara tempung matei bilei. Bila terjadi hal-hal yang dianggap merusak tatanan atau menggeser tatanan, maka diperlukan suatu proses pensucian kembali (purifikasi). Hal-hal yang merusak atau dianggap merusak, berarti keadaan yang semula bersih menjadi tercemar dan hal ini dapat terjadi karena adanya sesuatu yang berubah dalam elemen tersebut. Misalnya, adanya perzinahan yang melanggar agama dan lahirnya seorang anak yang tidak sesuai dengan bulan pernikahan. Kehidupan sosial yang dianggap tercemar perlu dibersihkan dan untuk membersihkannya diperlukan suatu upacara yang berkenaan dengan sistem keyakinan. Pada prinsipnya perlu ada usaha untuk mengembalikan atau mencari keselarasan, keteraturan kembali dengan alam, nyata dan supranatural. Karena akibat kegiatan mereka sehari-hari, ada perubahan-perubahan pada alam, seperti lahirnya anak sebelum waktunya atau tidak sesuai dengan bulan perkawinan.

15

Untuk itu dalam agama terdapat ide-ide tentang pencemaran (pollution), artinya apabila ada sesuatu yang dianggap kotor dalam melaksanakan kegiatan keagamaan, maka kegiatan tersebut akan mengalami gangguan, atau dikatakan kesucian dalam agama menjadi tercemar. Konsep tentang kotor adalah sesuatu yang merusak tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat. Terdapatnya peranperan yang bertentangan dalam kaitan status di dalam struktur sosial masyarakat, mengakibatkan kehidupan yang terjalin tidak berfungsi maksimal. Hal-hal yang dianggap merusak tatanan atau menggeser tatanan, diperlukan suatu proses pensucian kembali (purifikasi). Hal-hal yang merusak atau dianggap merusak tersebut berarti keadaan yang semula bersih menjadi tercemar dan hal ini dapat terjadi karena adanya sesuatu yang berubah dalam elemen tersebut. Misalnya, adanya orang baru yang datang menetap dalam dusun, adanya orang yang lahir, menginjak dewasa, kawin, dan meninggal. Untuk membersihkannya kembali diperlukan suatu upacara yang berkenaan dengan sistem keyakinan yang berlaku (Douglas, 1966:7-28). Ritual tempung matei bilei merupakan sasaran kajian, karena ritual ini merupakan suatu sarana untuk mengembalikan keadaan sosial masyarakat menjadi normal kembali. Ritual tersebut mengandung makna simbolik yang merupakan alat penghubung antara dunia nyata dan dunia supranatural, serta mengharapkan suatu bentuk kehidupan dunia yang ingin dicapai. Ritual juga merupakan sarana untuk memantapkan keyakinan yang dipunyai individu mengenai dunia nyata. Kegiatan berdoa dalam ritual tempung matei bilei, yakni pembacaan mantera-mantera (terformulasi). Kegiatan ini menunjukkan dengan makhluk gaib yang seakan-akan sedang ditransformasikan ke dunia gaib. Doa tersebut merupakan suatu sarana melepaskan diri antara roh dengan badan kasar yang tampak, sehingga roh dengan perantara doa dapat meninggalkan dunia (badan kasar) untuk berkunjung ke dunia supranatural. Doa atau mantera selalu dikaitkan 16 dunianya (gaib/nyata). Hampir setiap upacara menginginkan kemantapan aturan (order), sehingga yang berpartisipasi akan mengingat tentang

dengan upaya untuk membebaskan diri dari kesengsaraan dalam kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan ekonomi. Untuk dapat mengerti tentang dunia nyata yang tergambar pada struktur sosial komuniti yang ada, dibutuhkan upacara yang pelaksanaannya mengkaitkan dengan mitologi kejadian dari komuniti setempat beserta dengan mitos-mitos yang mengiringinya. Fungsi diadakannya tempung matei bilei adalah membetulkan rusaknya hubungan antara roh nenek moyang dengan keturunannya yang masih hidup. Rusaknya hubungan dengan roh nenek moyang dapat menyebabkan kemarahan dari roh-roh lain dan juga jiwa-jiwa yang ada di dunia lain, karena roh nenek moyang telah meninggalkan atau memutuskan hubungan dengan anggota keluarga luas yang hidup. Dapat dikatakan bahwa di Rejang Lebong, selain hukum negara, agama, juga ada hukum adat yang mana hukum adat tersebut memadukan nilai-nilai Islam di dalamnya, seperti pada cambuk sebanyak 100 kali. Keberadaan hukum adat membuat hukum negara tidak berperan di dalam menyelesaikan kasus perzinahan, sehingga dapat dikategorikan sebagai pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism). Dalam hal ini menurut Griffiths (dalam F. Benda Beckmann, 2005:59) semua sistem hukum beropersi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi ada salah satu sistem hukum yang lebih superior dalam kasus ini hukum adat lebih superior dan hukum negara inferior.

3.

Sebelum Pelaksanaan Tempung Matei Bilei Sebelum pelaksanaan tempung matei bilei ada beberapa prosedur yang

perlu dilalui berkaitan dengan mau tidaknya seseorang melaksanakan tempung matei bilei. Bagi mereka yang melakukan tempung matei bilei berdasarkan kesadaran sendiri tidak perlu melalui persidangan di jenang kutei, cukup melapor kepada ketua RT, bahwa dirinya atau salah satu anggota keluarganya telah melakukan pelanggaran adat dan bersedia melaksanakan tempung matei bilei. 17

Bagi mereka yang menolak atau merasa keberatan untuk melakukan tempung matei bilei mempunyai mekanisme tersendiri yang akan berakhir dengan pelaksanaan tempung matei bilei maupun berakhir dengan keputusan hukum kucil. Misalnya apabila ada laporan dari masyarakat kepada ketua RT, bahwa ada seseorang atau warga masyarakat yang telah melakukan perzinahan, maka ketua RT melakukan penyelidikan terhadap orang yang dilaporkan atau dicurigai, maka ketua RT/RW menyerahkan kasus tersebut kepada ketua BMA desa/kelurahan. Setelah mendapat bukti bahwa, orang tersebut benar-benar telah berbuat zina, maka ketua BMA tidak langsung menegur, namun orang tersebut diberi kesempatan selama 40 hari. Apabila 40 hari belum juga melapor, maka diberi kesempatan selama 3 bulan. Apabila 3 bulan belum juga melapor kepada ketua RT/RW atau kepada ketua BMA, maka ketua RT/RW atau ketua BMA langsung mendatangi rumah orang yang bersangkutan untuk memberikan teguran kepada orang tersebut sekaligus menghimbau agar melakukan tempung matei bilei. Setelah itu diberi kesempatan selama 1 minggu untuk menyampaikan kesiapannnya melakukan tempung matei bilei. Apabia sudah sampai 1 minggu belum juga melapor, maka kepala desa selaku anggota jenang kutei membuat surat untuk dikirim kepada orang yang bersangkutan guna menghadiri sidang jenang kutei. Setelah yang bersangkutan memenuhi surat panggilan, maka kasus tersebut disidangkan di balai desa yang dihadiri oleh anggota jenang kutei, yang terdiri atas kepala desa sebagai penasehat, ketua BMA sebagai penuntut umum dan jenang kutei sebagai hakim desa. Setiap pelaksanaan sidang harus membayar denda sebesar Rp.100.000 (seratus ribu rupiah). Apabila hasil tidak diterima oleh orang yang bersangkutan, maka jenang kutei mengeluarkan hukum kucil. 4.Pelaksanaan Tempung Matei Bilei a. Sawab (Pembacaan yang dilakukan doa oleh dukun) Sebelum penyembelihan kambing, lebih dulu diadakan sawab atau membakar kemenyan yang dipimpin oleh seorang dukun (piawang). Pada saat membakar kemenyan dukun berdoa dengan menyampaikan permintaan maaf kepada Tuhan, kepada roh-roh leluhur, kepada langit dan bumi, agar orang yang

18

bersangkutan tersebut dilindungi dari segala bala atau malapetaka, baik bagi si pelaku maupun bagi seluruh masyarakat dalam kampung. Kegiatan ritual tempung matei bilei adalah sebagai berikut: Doanya, kami yang melanggar iko-iko, tolong, baik dari agama adat salah, bumi yang dipijak, langit yang dijunjung, maaf kepada leluhur, kepada laut, dari gunung, tumbuhtumbuhan, angin, dan dari suku-suku yang ada di sini maupun di laur sana Ritual ini sangat berkaitan dengan kepercayaan yang dimiliki oleh orang Rejang terhadap mahluk gaib yang dianggap berkuasa dan mengendalikan segalanya. Sehingga merupakan sebuah ritualisme yang banyak dihubungkan dengan mitos-mitos kepercayaan dalam masyarakat. Membakar menyan sambil baca doa merupakan ritualisme yang menjadi suatu keharusan yang dihubungkan dengan mahluk gaib yang diyakini masih memiliki kekuasaan selain Allah SWT. Artinya, jika tidak dilaksanakan nantinya akan mengakibatkan terjadinya malapetaka atau bala. b. Pemukulan terhadap si pelaku Setelah membaca doa dan bakar kemenyan (sawab), maka dilakukan pemukulan kepada kedua orang yang telah melakukan pelanggaran adat. Pemukulan dilakukan oleh tokoh adat, agama, dan pemerintah, dengan mengucapkan semoga Allah mengampuni segala dosa yang telah diperbuat oleh kedua orang tersebut. Pemukulan kepada kedua orang yang bersangkutan dengan menggunakan lidi kelapa hijau yang berjumlah seratus batang lidi dan diikat dengan benang menjadi satu dengan benang 3 (tiga) warna (merah, hitam dan putih). Seratus batang lidi merupakan simbolisasi seratus kali cambukan. Hal ini dikaitkan dengan hukum Islam yang menyebutkan bahwa hukuman bagi penzina adalah seratus kali cambukan. bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan secara turun temurun. Adapun doa yang disampaikan oleh dukun

19

Setelah itu keduanya dipukul dengan lidi sebanyak 10 x (sepuluh kali), kemudian minta maaf kepada leluhur karena telah melanggar seluruh ketentuan yang ditetapkan oleh para leluhur agar para leluhur tidak marah dan minta ampun kepada Tuhan. Minta maaf kepada bumi dan langit karena kita di atas bumi. Cara pemukulan yaitu tangan kanan dipegang oleh tangan kiri, lalu dipukul dengan tangan kanan sebanyak 10 kali. Posisinya adalah laki-laki (lanang) di sebelah kanan dan wanita di sebelah kiri. Adapun orang-orang yang malakukan pemukulan terdiri atas 3 orang: 1. Tokoh adat (ketua BMA). Ketika tokoh adat melakukan pemukulan yang diucapkannya adalah bagaimana nantinya yang bersangkutan bisa melakukan pembinaan kepada keluarganya sehingga tidak mengulangi kejadian serupa. 2. Tokoh Agama. Ketika tokoh agama melakukan pemukulan yang diucapkan adalah semoga Allah mengampuni perbuatan yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan 3. Pemerintah (Kepala Desa) Ketika kepala desa melakukan pemukulan yang diucapkannya adalah semoga masyarakat banyak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan dan agar masyarakat banyak tidak melakukan hal yang sama.

c. Penyembelihan Kambing Setelah membakar menyan dilanjutkan dengan pemukulan kepada suami istri dan dilanjutkan dengan penyembelihan kambing yang dilakukan oleh imam kampung atau imam desa. Darah kambing yang telah disembelih disimpan dalam mangkuk. Setelah penyembelihan kambing dilanjutkan dengan penyembelihan ayam biring (kakinya berwarna kuning dan bulunya kemerah-merahan), darah ayam yang telah disembelih diambil dan dimasukkan di dalam mangkuk bersama dengan darah kambing, kemudian dicampur sedikit air agar encer.

20

d. Pemercikan darah kambing Kambing dan ayam yang telah disembelih diambil darahnya kemudian dicampur sedikit air supaya lebih encer. Setelah segalanya siap termasuk daun sedingin/daun setawar (daun panciang) yang sudah diikat di simpan dalam mangkuk, maka laki-laki (lanang) dan para tokoh adat di arak menuju kampung untuk memercikkan darah ke empat sudut kampung (Timur, Barat, Utara, dan Selatan). Setelah pemercikan darah ketua adat mengumumkan bahwa ritual tersebut telah selesai.

e. Pembacaan doa oleh imam Bagian terakhir dalam tempung matei bilei adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh imam. Adapun bahan yang dipersiapkan pada acara tersebut adalah daging kambing yang telah disembelih, lalu dimasak, hati dan jantung dimasak secara utuh demikian juga dengan ayam, diberi bumbu namun tidak diberi garam. Kemudian dipersiapkan nasi kuning dan nasi putih diberi santan namun tidak diberi garam. Pada nasi putih di atasnya diletakkan hati dan jantung kambing yang telah dimasak dan di atas nasi kuning diletakkan ayam biring yang telah dimasak secara utuh tanpa diberi garam. Jantung dan hati itu dipersembahkan kepada roh-roh halus. Menurut kepercayaan orang Rejang apabila roh-roh marah, maka yang akan diambil terlebih dahulu adalah hati dan jantung manusia, demikian juga dengan harimau. Selain itu ada juga yang memaknai, bahwa nasi putih bermakna hati putih manusia, jika hati manusia ternoda maka jantung akan ikut tidak stabil. Adapun ayam yang berkaki kuning melambangkan, bahwa warna kuning itu adalah netral atau tidak memihak.

21

Selanjutnya membaca doa bersama yaitu doa umum yang dipimpin oleh imam, setelah itu dilakukan makan bersama. Pembacaan doa biasanya diadakan pada sore atau malam hari (sesudah shalat magrib). Doa umum untuk menerangkan kepada masyarakat, bahwa si pelaku telah bertobat dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat, sehingga orang tersebut dapat diterima kembali dalam masyarakat seperti biasa.

5. Benda-Benda dalam ritual tempung matei bilei Benda-benda yang digunakan dalam ritual tempung matei bilei beraneka ragam baik bentuk maupun jenisnya. Benda-benda yang digunakan dalam ritual tersebut sangat terkait dengan kepercayaan masyarakatnya, sehingga Pak Zahri menyatakan, bahwa apabila benda-benda tersebut tidak lengkap, maka ritual tidak dapat dilaksanakan, sebab roh-roh leluhur akan marah. Adapun benda-benda yang dimaksud adalah: 1 (satu) ekor kambing. Kambing dianggap binatang yang sangat istimewa

dalam masyarakat adat Rejang, hal ini sangat terkait dengan kepercayaan masyarakat, yang mana kambing dianggap binatang yang suci. Begitu berharganya kambing dalam ritual tempung matei bilei, sehingga tidak ada ketentuan seberapa besar kambing yang memenuhi persyaratan untuk disembelih dalam ritual tersebut. Ayam berkaki kuning dan bulu kemerah-merahan dengan sebutan ayam

biring2. Ayam tersebut dipersembahkan kepada roh atau dewa yang dianggap cukup kejam.Selain ayam biring ada dua warna yang digunakan dalam prosesi hidup orang Rejang yaitu ayam hitam dan ayam putih. Ayam putih digunakan untuk: Pengobatan, Kenduri atau pemberitahuan akan ada kenduri, Tempung matei bilei, Nazar, Ayam hitam digunakan untuk Pengobatan yang berkaitan dengan kesalahan pada tanah. Misalnya seseorang telah melakukan hal yang tidak pantas di lokasi tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat seperti membuang air kecil, maka akan berdampak pada kondisi seseorang tadi. Untuk penyembuhannya digunakanlah ayam hitam.2

22

Nasi bambo (lemang) ketan yang dimasak dalam bambu hingga matang.

Lemang terdiri atas: lemang putih, lemang merah, masing-masing 1 batang (ruas bambu) kemudian dibagi 9 (sembilan) iris. Pada zaman dahulu masing-masing sembilan batang ruas bambo (lemang merah dan putih). Tepung setawar, adalah dedaunan yang digunakan saat melaksanakan tempung matei bilei sebanyak 5 (lima) lembar. Adapun dedaunan tersebut adalah: Daun Kundur/Tendok, daun tersebut menandakan sudah bersih lidi daun kelapa hijau berjumlah 100 (seratus) batang diikat dengan benang air kelapa di taruh dalam 9 (sembilan) ruas bambo (laras) bubur putih dan bubur merah, masing-masing 9 (Sembilan) piring atau 9

berwarna hitam, merah dan putih.

(sembilan) tangkil (daun pisang yang dibentuk menyerupai perahu). Ini dimaknai dengan 9 (sembilan) wali, juga dikaitkan dengan 9 (sembilan) biku yang ada di Rejang Lebong. buih minyak kelapa disimpan dalam tangkil sagon, yaitu tepung beras yang telah ditumbuk kemudian dicampur gula pisang mas 9 (sembilan) biji dikaitkan dengan sembilan biku dan setelah seperangkat sirih (pinang, kapur, gambir, tembakau, rokok selengkapnya). Hati dan jantung kambing yang sudah dimasak tanpa diberi garam dan Kemenyan Punjung serawo Kelapa parut yang dicampur dengan gula merah (Gemuk Manis)

merah, dan kelapa, lalu digoreng sebentar dan diletakkan di dalam piring, masuknya Islam, maka dikaitkan dengan 9 (sembilan) wali.

bumbu dapur lainnya

23

Nasi ketan putih yang dicampur kunyit (seremba/paku Gambar 9 : Punjuang Serawo seribu)

Gemuk manis memiliki arti bahwa keputusan yang diambil mestilah diterima dan disenangi oleh semua pihak. Seremba memiliki arti bahwa keputusan yang tidak akan terombak. Hal ini disebabkan karena ketan akan selalu kait mengkait. Sehingga Seremba juga disebut dengan paku seribu. Yang artinya keputusan tersebut tidak bisa dirombak karena yang memakunya ada seribu buah. Simbolisasi dari nasi kuning dengan kelapa parut di atasnya artinya keputusan yang diambil adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat karena keputusan tersebut diterima oleh semua pihak, keputusan tersebut berbuah dengan kemanisan. (hehe ini interpretasi loh kak). Kelima daun yang digunakan dalam ritual diikat dengan benang yang terdiri atas pintalan benang berwarna merah, putih dan hitam. Warna hitam adalah penyembahan kepada penunggu tanah Merah adalah penyembahan kepada leluhur semulo jadi putih adalah penyembahan kepada dewa-dewa angka 5 (lima) dan 4 (empat) adalah angka sempurna, yakni 4, dengan 5 rajo, daun sirih dan rokok masing-masing lima. Masing-masing daun mempunyai sifat sendiri-sendiri yang terbagi dalam dua sifat besar yaitu sifat negatif yang merugikan kehidupan manusia dan sifat positif yang menguntungkan kehidupan manusia. Daun digunakan untuk memanggil roh-roh leluhur, sarana mencapai keseimbangan kehidupan, bahan penyembuhan penyakit, sebagai sarana mencari keselamatan, dan akhirnya, daun sebagai salah satu syarat penting untuk pelaksanaan ritual/upacara dalam mencapai kesejahteraan manusia. Segala keinginan manusia harus juga selaras dengan keinginan dari penghuni alam supranatural dan ini dapat diselaraskan dengan sifat dari daun-daunan. Sehingga pola kehidupan orang Rejang yang

24

merupakan tradisi dipolakan oleh sifat dan perlakuan terhadap daun, dan menjadi sebuah adat, adat daun-daunan. Setiap daun mempunyai sifat yang menghantarkan manusia kepada keseimbangan dalam kehidupan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Diyakini bahwa pada setiap daun terdapat mahluk-mahluk supranatural yang memberi sifat pada daun tersebut dan mengarahkan kehidupan manusia, sehingga dipercaya bahwa berjalannya kehidupan manusia tergantung pada sifat daun-daun tersebut. Dalam upacara tempung matei bilei tersebut memakai sarana daun-daun untuk memanggil sifat-sifat baik dan mengusir sifat-sifat jahat dan daun-daun dipakai juga untuk menangkal segala unsur jahat dan menyaring unsur jahat tersebut menjadi baik. Daun-daun tersebut sesuai dengan sifatnya antara dingin dan panas, sehingga daun-daun tersebut dapat golongkan ke dalam sifat-sifat panas dan dingin. Panas berarti mengandung unsur jahat dan dingin mengandung unsur baik. Daun-daun ini dapat juga dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit yang pada dasarnya adalah pengaruh dari energi panas dan dingin di alam ini dan dapat dinetralisasi oleh sifat daun yang berlawanan.

6. Orang-Orang yang melakukan tempung matei bilei Adapun orang-orang yang terlibat melakukan tempung matei bilei adalah: a. Dukun (biasanya dukun merangkap sebagai anggota jenang kutai) Dalam kehidupan komunitas adat Rejang dikenal tokoh yaitu seorang piawang yang dianggap mempunyai status yang sangat penting dalam masyarakat Rejang dalam perjalanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan pandangan hidup orang Rejang. Tanpa piawang, upacara tidak akan berlangsung hal ini berkaitan dengan 25

kedudukannya sebagai perantara. Sebagai satu kesatuan yang bulat antara piawang dan upacara dalam kehidupan orang Rejang, maka keberadaan upacara dapat terus berlangsung dalam aktivitas masyarakat Rejang sebagai bagian dalam masyarakat Rejang secara keseluruhan. b. Tokoh adat (ketua BMA dan beberapa anngota jenang kutei) Tokoh adat dalam masyarakat Rejang merupakan orang yang sangat dihormati dan berperan penting dalam mengawasi segala tindak tanduk yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat Rejang dikenal ada ketua BMA yaitu orang yang mengawasi pelaksanaan hukum adat dalam masyarakat. Adapun jenang kutei adalah orang yang bertugas menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang dikenal dengan hakim desa. Pada dasarnya ketua BMA juga termasuk dalam anggota jenang kutei, jadi keduanya saling terkait dan tidak terpisahkan. c. Kepala desa/lurah, seperti di daerah lain di Indonesia, secara administrasi pemerintahan, kepala desa merupakan pemerintah terendah di Kabupaten Rejang Lebong. Kadangkala kepala desa juga merangkap sebagai anggota jenang kutei, bahkan menurut adat Rejang kepala desa adalah Rajo. d. Imam desa Imam desa merupakan orang yang sangat penting dalam masyarakat, sebab imam desa adalah orang agama Islam. yang paling paham dengan ajaran

7. Waktu pelaksanaan Upacara 26

Waktu pelaksanaan juga sangat terkait dengan nama kegiatan tersebut, yaitu matei bilei yang berarti matahari mulai terbit. Sehingga sering juga disebut dengan menepung matahari (tempung matei bilei), yaitu dilaksanakan sekitar pukul 8:00 s.d 9:00. Di mana waktu tersebut matahari mulai meninggi di hadapan rumah, selembar tikar digelar dan sesajen diletakkan di atas tikar. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan agama diperlukan suatu kebersihan yang mutlak untuk mencapai kesucian.

8. Tempat Pelaksanaan tempung matei bilei a. Di rumah pelaku perempuan Mengenai tempat pelaksanaan tergantung hasil musyawarah dari sipelaku (kedua belah pihak), artinya tidak ada ketentuan baku di mana mestinya dilaksanakan. Tapi kebanyakan dilaksanakan di rumah (desa) dari perempuan. Hal ini terkait dengan adat semendo atau asen semendo3 yaitu adat setelah menikah sang suami berdiam di lingkungan keluarga istrinya yang diberlakukan dalam adat perkawinan di Kabupaten Rejang Lebong pada umumnya.

b. Di empat sudut kampung Ritual yang sangat penting dalam tempung matei bilei adalah pemercikan darah pada empat sudut kampung. Adapun sudut-sudut yang jadi sasaran percikan adalah sudut Utara, Timur, Selatan dan Barat4.Orang Rejang sampai saat ini mengenal tiga macam adat perkawinan, yakni asen bleket yaitu setelah menikah istri ikut bertempet tinggal di lingkungan keluarga suaminya (patrilokal), asen semendo yaitu setelah menikah suami ikut bertempat tinggal di tempat istri (matrilokal), dan semendo rajo-rajo yaitu adat setelah menikah suami dan istri bebas menentukan di mana saja bertempat tinggal.3 4 Pada zaman dahulu, percikan darah bukan hanya di empat sudut kampung tetapi seluruh rumah yang terdapat dalam kampung tersebut, yakni pada saat penduduk masih sekitar 100 rumah, setelah penduduk mulai banyak, maka yang dipercikan hanya keempat sudut kampung dan di rumah tokoh masyarakat dan akhirnya sekarang hanya empat sudut kampung (wawancara dengan

27

D.

Penutup 1. Kesimpulan Masyarakat adat Rejang mempunyai nilai budaya yang mempengaruhi tingkah laku dalam masyarakat, seperti pada perbuatan yang melanggar asusila dalam hal ini berbuat zina yang dibuktikan dengan melahirkan anak tidak sesuai dengan bulan menikah, maka orang tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan nilai-nilai dalam budaya Rejang dan nilai-nilai dalam agama. Sanksi yang di berikan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Rejang adalah dengan melaksanakan tempung matei bilei atau cuci kampung, yaitu menyembelih 1 ekor kambing. Apabila seorang yang telah berzina (ngaem) tidak mau melaksanakan tempung matei bilei maka dilakukan hukum kucil. Pelaksanaan tempung matei bilei melalui beberapa tahapan, pertama adalah persidangan bagi yang tidak mau melaksanakan tempung matei bilei. Bagi mereka yang bersedia melakukan tempung matei bilei tidak harus melalui persidangan. Akan tetapi langsung mempersiapkan segala susuatu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tempung matei bilei, baik mental maupun materi. Hal ini sesuai dengan yang disyaratkan oleh adat. Proses pelaksanaan tempung matei bilei di awali dengan pembacaan doa oleh dukun setelah itu dilakukan dan pemukulan kepada si pelaku (laki-laki dan perempuan), dilanjutkan dengan penyembelihan kambing oleh imam, setelah penyembelihan kambing dilakukan pemercikan darah kambing ke semua sudut kampung. Kemudian pada malam harinya dilakukan pembacaan doa oleh imam dan makan bersama. Pelaksanaan tempung matei bilei pada umumnya didukung oleh masyarakat Rejang Lebong, adapun mereka yang tidak mendukung adalah yang tidak paham dengan agama dan budaya. Bagi mereka yang tidak ingin melaksanakan tempung matei bilei adalah mereka yang tidak mampu secara finansial dan mereka yang m,erasa malu diketahui oleh orang banyak. Pemberian sanksi tempung matei bilei bagi si pelaku merupakan pemberian sikap jerah bagi si pelaku maupun seluruh masyarakat yang ada di Rejang Lebong.

Pak Zainal).

28

2. Saran Nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat Rejang Lebong yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian masalah perzinahann hendaknya dipelihara dan diimplementasikan untuk lebih memaksimalkan peranan hukum adat dan lembaga adat dalam pembangunan. Untuk itu perlu pemberdayaan lembaga adat dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat khusus dalam membuat kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashiddiqie, Jimly. 2000. Reformasi Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional. Makalah disajikan dalam Seminar Penelitian Hukum tantang eksisitensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional. Jakarta: diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 27 September 2000. Ardinarto, Es. 2008. Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat di Indonesia. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Beckmann, Franz. 2005. Pluralisme Hukum Sebuah Sketsa Geneologis dan Perdebatan Teoritis. Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa). Badan Musyawarah Adat (BMA). 2007. Kelepeak Ukum Adat Ngen Riyan Ca0 Kutei Jang, Kabupaten Rejang Lebong. Rejang Lebong: Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong. Griffiths, J. 2005. Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual. Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa). Hawab, Arsyik, dkk. 1977/1978. Sejarah Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Irianto, Sulistyowati. 2005. Perempuan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. di Antara Berbagai Pilihan Hukum.

29

Ihromi, T.O. 1993. Antropologi Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Koentjaraningrat. 2004. Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial (jilid I). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Miles, Mattheu. B dan Huberman, A. Micheal. 1992. Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjetjep Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia. Irianto, Sulistyowati. 2000. Pluralisme Hukum dan Krisis Nasional Saat ini dalam Masinambow. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka. Soepomo. 2007. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sani, A. 1956. Hukum Adat Rejang,Rejang. Bengkulu: Provinsi Bengkulu. Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Renika Cipta.

30

31