eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5509/1/skripsiku.docx · web viewsalah satu kesenian yang masih...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan cermin kehidupan masyarakat suatu
daerah, dari tata cara hidup dapat dinilai tingkat keberadaanya serta derajat
kemanusiaan dalam masyarakat daerah tersebut. Sehubungan dengan hal
tersebut upaya pelestarian budaya asli Indonesia harus ditingkatkan serta
dijaga kemurniannya dari pengaruh asing.
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar, jadi dapat
dikatakan seluruh tindakan adalah kebudayaan.
(Koenjaraningrat,1990:180).
Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa
harus dipelihara, dibina dan di kembangkan guna memperkuat
penghayatan dan pengalaman pancasila, meningkatkan kualitas hidup,
memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan
kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan
bangsa serta menjadi penggerak bagi terwujudnya cita-cita bangsa di masa
depan. (GBHN, 1983: 94).
Perkembangan kesenian khususnya kesenian tradisional
mengalami banyak hambatan akibat modernisasi dalam pembangunan
1
2
pada masa transisi seperti di Indonesia sekarang ini. Banyak diantara
mereka yang lebih menyukai budaya-budaya barat dan cenderung
meninggalkan beberapa bentuk kebudayaan asli milik bangsa sendiri.
Salah satu kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan (kesenian) dan
yang lebih mengkhusus adalah kebudayaan kesenian tradisionalisme.
Kesenian tradisional adalah merupakan pencerminan hidup dan
kehidupan dalam segala aspek dari suatu pada zamannya. Kesenian
tradisional yang ada di daerah dipelihara dan diselamatkan dari kepunahan
untuk dijadikan dokumen hidup yang abadi dari suatu masyarakat yang
berlangsung dari zaman ke zaman.
Tindakan pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional
bertujuan menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat
pendukungnya. Perlu adanya partisipasi dari berbagai pihak baik
pemerintah maupun masyarakat setempat.
Kesenian mempunyai kedudukan dalam bagian hidup ini
karenanya kesenian dapat dimiliki oleh siapapun yang memerlukannya,
seperti diuraikan oleh S. budhisantoso :
Sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan yang merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal, tidak hanya milik orang kaya atau yang serba kecukupan melainkan juga menjadi kebutuhan orang miskin. (Budhisantoso, 1981 : 23).
Salah satu kesenian yang masih hidup dalam masyarakat Desa
Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa adalah kesenian
tradisi A’dengka Ase Lolo. A’dengka Ase Lolo adalah suatu tradisi ritual
3
pesta panen bagi para petani masyarakat Makassar di Desa Pallantikang
sebagai bentuk rasa terima kasih kepada sang pencipta, karena hasil panen
yang di dapatkan sesuai dengan apa yang diharapkan. A’dengka Ase Lolo
jika diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah “Menumbuk Padi Muda”.
Pada dasarnya permainan ini didasarkan dari bunyi tumbukan alu ke
lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi, dan yang menarik
dalam kesenian tradisional ini adalah kita dapat mendengar alunan irama
lebih teratur pada saat alu di tumbukan ke lesung. Seiring berkembangnya
zaman telah banyak perubahan dari kesenian tradisional ini.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk
mengangkat Pertunjukan a’dengka ase lolo dalam panen padi masyarakat
Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.
Selain itu penulisan tentang pertunjukan a’dengka ase lolo di desa tersebut
belum pernah ada yang meneliti. Maka dari itu, penulis lebih tertarik lagi
untuk menjadikan penulisan ini sebagai aset budaya yang potensial di
Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Gowa dengan diberi judul
“Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat
Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten
Gowa”.
4
B. Rumusan Masalah
Mengingat banyaknya masalah yang timbul dalam penelitian ini
serta keterbatasan kemampuan peneliti, maka perlu adanya suatu
pembatasan. Pembatasan masalah tersebut dimaksudkan untuk menghindari
timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal yang tidak dibahas
dalam penelitian ini. Maka dari itu, perlu ditegaskan pembatasannya karena
luasnya ruang lingkup seperti yang dideskripsikan di atas, Berdasarkan
penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Bentuk penyajian Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam
ritual panen padi masyarakat Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan
Pattallassang Kabupaten Gowa.
2. Apa fungsi Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi
masyarakat makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang
Kabupaten Gowa.
C. Tujuan Peneletian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
maupun gambaran pada masyarakat luas secara jelas dan nyata tentang
keberadaan suatu bentuk kesenian tradisional yaitu A’dengka Ase Lolo
dalam panen padi masyarakat Makassar di Desa pallantikang Kecamatan
Pattallassang Kabupaten Gowa. Selani itu pula dengan adanya tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui:
5
1. Bagaimana bentuk penyajian pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam
ritual panen padi masyarakat Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan
Pattallassang Kabupaten Gowa.
2. Apa fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi
masyarakat makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang
Kabupaten Gowa.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat
pada masyarakat luas. Ada pun manfaat yang bisa didapat dalam penelitian
ini adalah :
1. Menbantu pelestarian budaya dalam hal ini tentang pertunjukan
A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi dalam masyarakat Makassar
di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.
2. Berguna bagi masyarakat khususnya generasi penerus agar dapat
mengenal dan mengetahui tentang salah satu bentuk kesenian daerah dan
pelaksanaanya dalam kehidupan.
3. Sebagai bahan kajian sekaligus pelengkap informasi menyangkut nilai-
nilai budaya Kabupaten Gowa.
4. Secara pribadi dapat menambah pengetahuan penulis.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka seperti biasanya, berisi landasan-landasan teori
yang berkaitan dengan penelitian ini baik teori-teori yang sifatnya
mendukung dengan uraian tentang apa yang menjadi bahan pembahasan
pada variable penelitian. Berikut ini diuraikan beberapa hal sehubungan
judul penelitian dengan sebuah studi pustaka sebagai landasan teori, adapun
hal-hal yang diuraikan adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Seni
Seni merupakan hasil kreasi dan getaran jiwa manusia yang
dapat menimbulkan perasaan suka maupun duka seseorang. Sesuatu
ciptaan mengandung nilai seni jika memenuhi beberapa syarat, antara
lain kehalusan dan keindahan.
Menurut salah seorang tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar
Dewantara mengatakan bahwa “seni adalah keindahan yang berdasar
pada ketertiban, sedangkan moral (kesucian) berdasar pada ketertiban
lain”. (Wardhana, 1990 : 8)
Thomas Munro juga berpendapat bahwa “ Seni adalah buatan
manusia yang menimbulkan efek-efek yang psikologi tanggapan-
tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang
rasional”. Yang dimaksud dengan seni disini, lebih memerlukan
6
7
perhatian secara serius untuk menanggapi nilai-nilai yang terdapat
dibalik wujud tampak (Soedarsono, 1990 : 33)
Kesenian merupakan suatu pengertian yang luas mencakup
segala sesuatu yang mengenai rasa indah yang menjadi salah satu
kebutuhan dan pembawaan manusia. Walaupun pengertian kesenian itu
luas, tetapi sebenarnya ia sendiri hanyalah merupakan bagian dari
kebudayaan. (S. Saripin, 1976 : 4).
Kesenian sebagai kata yang mempunyai pengertian lebih lias
dari seni, yang merupakan bagian dari kebudayaan, seperti yang
diungkapkan oleh Koentjaningrat bahwa kesenian termasuk dalam unsur
kebudayaan yaitu :
a. Bahasa
b. Sistem ilmu pengetahuan
c. Organisasi sosial
d. Sistem peralatan hidup dan teknologi
e. Sistem mata pencaharian
f. Sistem religi
g. Kesenian (Koentjaraningrat, 1985 : 7).
Poppy Sudjana mengemukakan pendapatnya yaitu kesenian
adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan perasaan seseorang
karena kehalusan dan keindahan. (Sudjana, 1980 : 11)
8
Pendapat lain tentang kesenian menurut S. Budhisantoso adalah :
Kesenian dapat diartikan sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dapat dicapai dengan kemampuan tertentu, yang mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya dan dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan karenanya dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan. (Budhisantoso, 1981 : 24).
Setelah menyimak beberapa definisi tentang seni diatas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenian merupakan hasil karya
manusia yang mempunyai nilai estetis atau keindahan yang tinggi
serta suatu proses pengungkapan pengalaman bathin dan jiwa.
2. Kesenian Tradisional
Kesenian tradisional adalah seni yang mengikuti
perkembanngan dan pola yang diwariskan secara turun temurun.
Dalam perkembangannya hampir tidak mengalami pembaharuan
karena ada kecenderungan mempertahankan kemurnian dan kesucian
yang dianggap sebagi warisan. Pernyataan artistik selalu dikaitkan
dengan perbuatan magis, kerena ada maksud-maksud tertentu,
misalnya ingin terhindar dari marabahaya, ingin mendapat
kesejahteraan, ingin terhindar dari penyakit dan sebagainya. Bentuk
dan coraknya adalah bersifat lokal bervariasi sesuai denga masing-
masing daerah.
Kesenian tradisional lahir bukan dari konsep seseorang,
kesenian tradisional tidak dapat dipastikan siapa penciptanya.
Hadirnya ditengah-tengah masyarakat karena inprovisasi dan
9
spontanitas para pelakunya dan perbuatan itu dilakukan berulang-
ulang.
Kesenian tradisional memiliki sifat-sifat yaitu antara lain :
a. Asli, artinya benar-benar hasil kreasi bukan tiruan, sebab
dilahirkan secara spontan.
b. Murni, artinya dari ketulusan hati sanubari dan
dilahirkan tanpa pamrih.
c. Kumunial, artinya lahir ditengah-tengah masyarakat dan
dimiliki oleh masyarakat banyak.
d. Kedaerahan karena biasanya lahir dan didukung oleh
masyarakat didaerah tertentu. (kutipan langsung skripsi
Johar Linda kesenian tradisional di Desa Tamarunang
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa).
Kesenian tradisional mempunyai corak dan gaya khusus yang
memcerminkan pribadi masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu
mempunyai sifat kedaerahan dimana seni itu lahir tumbuh dan
berkembang sehiingga kesenian tradisional sering disebut seni daerah.
Pada dasarnya kesenia tradisional adalah seni asli yang lahir
karena adanya dorongan emosi dan kehidupan batin yang murni atas
dasar pandangan hidup dan kepentingan pribadi masyarakat
pendukungnya. Maka dari itu nilai kesenian tradisional adalah nilai
pribadi dan nilai pandangan hidup masyarakat pendukungnya.
10
Kesenian tradisional yang ada di daerah mengalami
perkembangan yang berbeda-beda, hal ini sangat bergantung pada
kondisi setempat serta pengaruh lingkungan. Pada garis besarnya
dapatlah dibedakan antara dua golongan yang mewarisi kutub
kesenian masa lalu dengan perkembangan yang berlainan yaitu :
a. Golongan pertama adalah golongan yang bersifat pasif
terhadap kesenian tradisional. Golongan ini tidak dapat berbuat
apa-apa karena dorongan untuk mencipta tidak ada lagi maka
ia mempertahankan tradisi tidak dibarengi dengan kesempatan
untuk mencipta hal-hal yang baru, akibatnya kemurnian seni
yang mencerminkan kejujuran tidak lepas dari tanggapan
hidup yang diliputi oleh pikiran-pikiran teramat tekun,
sehingga tidak ada kesempatan untuk menemukan pernyataan-
pernyataan baru.
b. Golongan aktif, yaitu aktif mencipta karena mereka adalah
koreografer, sehingga kesenian tradisional dan
perkembangannya ditangan para koreografer yang kreatif.
Golongan ini senantiasa terpanggil untuk menghasilkan seni
dengan dasar pertimbangan baru. Hal ini terjadi disuatu daerah
kesenian yang masyarakat penciptanya bersifat positif.
Segala jenis kesenian tradisional yang terdapat didaerah-daerah
Indonesia perlu dikembangluaskan dan ditingkatkan mutunya agar
seluruh warga masyarakat Indonesia merasa memiliki dan
11
membanggakannya. Dengan demikian jenis seni yang terdapat di
tanah air Indonesia yang menjadi puncaknya akan menjadi salah satu
identitas nasional Indonesia.
Usaha pengembangan kesenian nasional Indonesia antara lain
dengan meningkatkan pembinaan kesenian yang ada di daerah-daerah
agar dapat memperkaya kesenian Indonesia yang beraneka ragam.
Pendidikan seni yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, dalam
rumah tangga, maupun dalam kursus dilingkungan masyarakat
merupakan langkah-langkah yang baik untuk peningkatan pembinaan
kesenian nasional Indonesia.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri
kesenian tradisional yaitu :
a. Kesenian tradisional lahir bukan dari konsep seseorang.
b. Tidak dapat dipastikan siapa penciptanya.
c. Hadir ditengah-tengah masyarakat karena inprovisasi dan
spontanitas pelakunya.
d. Perbuatan ini dilakukan berulang-ulang.
e. Kesenian tradisional memiliki sifat-sifat : Asli, murni,
kumunial, dan kedaerahan.
3. Tradisi
Tradisi berasal dari bahasa Yunani, yaitu tradiun yang artinya
mewariskan. Rendra memberikan batasan tentang pengertian bahwa
tradisi adalah kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat.
12
Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat: sifatnya luas
sekali, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar
disisihkan dalam perincian yang tetap dan pasti (Rendra, 1084: 3).
Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan
pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke
generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan. (Sal Murgianto, 2004 :
15).
4. Musik
Musik merupakan nada atau suara yang disusun sedemikian rupa
sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang
menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi), atau ilmu
seni menyusun nada suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan
temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai
kesatuan dan kesinambungan (KBBI, 2002 : 766). Musik juga bisa
dikatakan sebagai suatu jenis kesenian yang mempergunakan suara
sebagai media ekspresinya baik suara manusia atau alat-alat (Yaya
Surakarya, 1982: 2).
Tradisional berasal dari bahasa Yunani, yaitu tradiun yang
mengandung pengertian sesuatu atau barang-barang yang diwariskan atau
dilimpahkan secara turun temurun. (Arief Hidayat, 1984: 10). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa, tradisional ialah
sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalau berpegang teguh
pada norma-norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun
13
(M. Ali, 1989: 74). Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa musik
tradisi merupakan nada atau suara yang dihasilkan suatu instrumen musik
yang khas pada suatu masyarakat yang dikembangkan secara turun
temurun oleh masyarakat itu sendiri (M.A Arifin, 1997: 17).
Jika musik dan tradisi dikaitkan, maka M.A Arifin berpendapat bahwa:
Musik Tradisional adalah cermin watak jiwa dari semua suku bangsa
dari etnis daerah yang lahir dan tumbuh berkembang mengikuti lajunnya
zaman yang sifatnya turun temurun (1997: 21). Musik tradisional
merupakan salah satu cabang dari seni budaya yang dijadikan sebagai
sarana komunikasi untuk menyampaikan maksud dari dalam kalbu melalui
keindahan suara dalam bernyanyi (Arifin, 1991: 1). Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa musik adalah curahan kekuatan tenaga batin dan
kekuatan tenaga penggambaran yang berasal dari gerak ras dalam suatu
rentetan suara (melodi ) yang berirama.
Sangatlah jelas bahwa musik tidak dapat dipisahkan dengan curahan
hati sebagai kekuatan yang diungkapkan melalui gerak, suara atau melodi
dengan nada dan birama yang teratur. Oleh sebab itu, yang bisa memberi
nilai indahnya suatu bunyi atau melodi melalui rasa estetika adalah
komponen panca indera seperti pendengaran dan pengelihatan.
Sesuai dengan pemaparan dan pandangan tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian musik adalah semua unsur-unsur yang
terkandung didalamnya dan saling mendukung satu dengan yang lainnya
14
dan membentuk satu kesatuan yang utuh sehingga mempunyai nilai
estetika (keindahan).
Ada dua unsur yang dapat dipetik dari kegiatan pa’dekko, unsur
pertama yaitu dari segi gerak saat melakukan kegiatan akdengka ase lolo,
dapat digolongkan dalam suatu unsur tari. Kemudian yang kedua yaitu
bunyi yang timbul saat alu ditumbukkan ke lesung silih berganti saat
proses menumbuk padi, menghasilkan suatu ensambel bunyi dalam bentuk
ritmis sehingga dapat dikatan suatu unsur musik.
Musik pada hakikatnya adalah bagian dari seni yang menggunakan
bunyi sebagai media penciptaannya. Walaupun dari waktu ke waktu
beraneka ragam bunyi, seperti klakson maupun mesin sepeda motor dan
mobil, handphone, radio, televisi, tape recorder, dan sebagainya senantiasa
mengerumuni kita, tidak semuanya dapat dianggap sebagai musik karena
sebuah karya musik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
tersebut merupakan suatu system yang ditopang oleh berbagai komponen
seperti melodi, harmoni, ritme, timbre (warna suara), tempo, dinamika,
danbentuk.(Blogspot.com)(http://ochanbhancine.wordpress.com/2009/12/0
5/ pengertian-musik)
Musik adalah kesenian yang bersumber dari bunyi. Musik dibangun
atas empat unsur yaitu: nada atau bunyi yang teratur, amplitude atau kuat-
lemahnya bunyi yang dalam bahasa musiknya disebut dinamik, unsure
waktu yang terdiri atas panjang pendeknya bunyi, serta timbre atau warna
suara.
15
Musik adalah seni yang paling abstrak sekaligus juga merupakan
realitas fisika bunyi yang memiliki banyak keunggulan untuk membantu
pendidikan watak halus seseorang. Ia telah banyak dikaji oleh para
pemikir, kaum agama, pendidik, dan teoretikus seni, selain sebagai seni ia
banyak digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari tradisi, adat,
hiburan, maupun pendidikan. (Blogspot.com)
(http://yunacahnjati.blogspot.com/ 2008/12/ pengertian-musik.html)
Ritme atau irama adalah susunan di antara durasi nada-nada yang pendek dan panjang, nada-nada yang bertekanan dan yang tak bertekanan, menurut pola tertentu yang berulang-ulang. Dapat juga dikatakan bahwa ritme ialah melodi yang monoton. Dalam berbagai situasi ritme ialah bagaikan denyut jantung bagi suatu karya musik sehingga tanpanya sebuah karya musik tidak bisa hidup atau bernafas (Moh. Mutaqin. 2008 :101)
Ritme adalah pengaturan bunyi dalam waktu. Birama merupakan
pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda birama menunjukkan
jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap
sebagai satu ketukan. Nada-nada tertentu dapat diaksentuasi dengan
pemberian tekanan (dan pembedaan durasi) (id.wikipedia.org/wiki/
teori_musik)
Ritme sangat berkaitan erat dengan beat, metrum dan tempo. Dalam
musik, beat merupakan lamanya suatu nada dinyanyikan atau dibunyikan.
Lamanya nada dinyanyikan atau dibunyikan ini dihitung dengan satuan
ketuk. Dengan satuan ketuk, nada dapat diketahui berapa lama
dinyanyikan atau dibunyikan. (id.wikipedia.org/wiki/ teori_musik)
16
Irama adalah alunan-alunan dalam lagu yang dimainkan secara
teratur sehingga membentuk suatu pola tertentu. Pola irama
dikelompokkan berdasarkan ketukannya menjadi beberapa unit hitungan.
Pengelompokkan beberapa unit hitungan ini sering disebut birama atau
metrum.Tempo adalah kecepatan lagu, yaitu banyaknya ketukan (beat)
dalam satu menitnya. Ukuran kecepatan lagu adalah dengan Metronom
Maelzel (M.M.) (id.wikipedia.org/ wiki/teori_musik)
5. Teori Fungsi
Pengertian fungsi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah :
fungsi ialah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan : jika ketua tidak ada,
wakil ketua yang melakukan. (KBBI, 2007 : 231).
Fungsi musik secara umum adalah sebagai media rekreatif atau
hiburan bagi masyarakat. Selain itu, musik juga berfungsi sebagai sarana
upacara adat, pengiring tari dan pertunjukan lain, media bermain, juga
media komunikasi atau penerangan. (Setyobudi dkk, 2007: 150).
Fungsi sosial musik hadir sebagai ungkapan nilai-nilai dan apa yang
dianggap penting oleh suatu masyarakat. (Tedi Sutardi, 2007: 8). Fungsi
musik dalam media pertunjukan sama halanya dengan suatu proses
kegiatan mengirim dan menerima pesan, sebagaimana Sin Nakagawa
dalam buku Musik dan Kosmos mengemukakan bahwa pertunjukan musik
selalu tergantung pada konteks dan setiap pertunjukan selalu ada
improvisasi.
17
Dalam buku “anthropology of music” menjelaskan bahwa ada
sepuluh fungsi penting dalam seni musik yaitu:
(a)The Function Of Emotional Expression, (b) The Function Of Aesthetic Enjoyment, (c) The Function Of Entertainment, (d) The Function Of Communication, (e) The Function Of Symbolic Repentation, (f) The Function Of Physical Response, (g) The Function Of Enforcing Conformity To Social Norms, (h) The Function Of Validation Of Social Institutions And Religious Rituals, (i) The Function Of Contribution To The Continuity And Stability Of Culture, (j) The Function Of Contribution To The Integration Of Society (Alam P Merriam, 1964: 219-226). (Kutipan langsung skripsi La Ode Abdul Ghaniyu Siadi Fungsi Latatou Pada Masyarakat Etnik Cia-Cia di Kelurahan Gonda Baru Kecamatan Sorawolio Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara).
a. Fungsi musik sebagai pengungkapan emosional. Bahwa musik
dapat berfungsi sebagai satu mekanisme dari pengungkapan
emosi dari suatu kelompok dari suatu kelompok besar
masyarakat yang beraktifitas bersama-sama.
b. Fungsi kenikmatan estetis, meliputi si pencipta dan penikmat,
dan ini dapat di pertimbangkan sebagai satu fungsi utama musik
yakni musik dapat mencerminkan budaya selain budaya kita
sendiri.
c. Sebagai fungsi media hiburan, musik dapat memberikan hiburan
kepada seluruh masyarakat. Musik memiliki fungsi hiburan
mengacu kepada pengertian bahwa sebuah musik pasti
mengandung unsur-unsur yang bersifat menghibur.
d. Fungsi sebagai media komunikasi, musik bukan bahasa dunia,
tetapi menjadi unsur budaya di manapun ia berada. Dalam
naskah lagu yang di gunakan, secara langsung
18
mengkomunikasikan informasi kepada merekayang mengerti
bahasa yang di gunakan dalam lagu.
e. Fungsi musik sebagai media simbolis atau gambaran symbol.
Terdapat sedikit keragaman bahwa musik berfungsi pada
seluruh kelompok masyarakat sebagai gambaran symbol selain
dari ide dan perilaku.
f. Fungsi musik sebagai respon fisik. Misalnya musik khas pada
suatu kelompok masyarakat, musik ini berfungsi untuk
menenangkan masyarakat.Selain itu musik juga bisa
mendatangkan kegembiraan, perilaku brutal, membangkitkan
semangat para pejuang yang menjadi kebutuhan sangat penting
saat itu.
g. Fungsi musik sebagai penjaga keserasian norma-norma sosial.
Lagu yang bersifat kontrol sosial memegang peranan penting
dalam substansi budaya, secara langsung dapat mengingatkan
anggota kelompok masyarakat dan secara tidak langsung dapat
mendukung penegakan aturan tentang prilaku yang pantas.
h. Fungsi musik sebagai pengesahan institusi sosial dan ritual
keagamaan. System keagamaan di sahkan oleh cerita rakyat,
mitos dan legenda yang di tuangkan dalam syair-syair lagu.
Musik juga dapat mengekspresikan aturan keagamaan, institusi
sosial yang disahkan dalam lagu yang menekankan dalam hal
yang pantas dan tidak pantas dalam masyarakat, selanjutnya
19
menjelaskan pada masyarakat apa yang harus di lakukan dan
bagaimana melakukannya.
i. Fungsi musik untuk menjaga kelestarian dan stabilitas budaya.
Dalam hal ini musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk
meneruskan sebuah sistem dalam kebudayaan terhadap generasi
selanjutnya.
j. Fungsi musik sebagai kontribusi pada integrasi dalam kelompok
masyarakat. Musik memiliki fungsi dalam pengintegrasian
masyarakat. Suatu musik jika dimainkan secara bersama-sama
maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa
kebersamaan diantara pemain atau penikmat musik itu.
6. Musik Tradisional
Musik tradisional adalah musik yang hidup dimasyarakat secara
turun-temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan. Tiga komponen
yang saling mempengaruhi di antaranya Seniman, musik itu sendiri dan
masyarakan penikmatnya. Sedangkan maksudnya untuk mempersatukan
persepsi antara pemikiran seniman dan masyarakat tentang usaha
bersama dalam mengembangkan dan melestarikan seni musik tradisional
manjadikan musik tradisional sebagai pembendaharaan seni di
masyarakat sehingga musik tradisional lebih menyentuh pada sector
komersial umum. (Di kutip dari Wikipedia, ensiklopedia
bebas,http//Wikipedia.org/Wiki/Musik Tradisional).
20
Musik tradisi adalah musik yang tertentu selama beberapa generasi
dan selalu berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Oleh karena
diturunkan dari generasi ke generasi mengakibatkan musik tradisional
menjadi tradisi, yaitu menjadi adat dengan mengikat diri pada tradisi
lama masyarakat yang menjadi tradisialisme, yaitu memuja pandangan
dan praktek lama serta menjaga supaya tetap lestari dan berkembang.
(Sampurno, 1976 : 40).
Ciri-ciri dari musik tradisional antara lain Karya seni tersebut
berkembang dalam suatu masyarakat, Menggambarkan kepribadian
komunal, karya tersebut menyuarakan semangat dan spirit kebersamaan
masyarakat yang bersangkutan, karya tersebut senantiasa bersangkutan
dengan kehidupan sehari-hari anggota, bersifat fungsional, dan proses
pewarisannya tidak mengenal cara-cara tertulis. (Mustopo, 1983 : 67).
7. Masyarakat
Masyarakat adalah setiap kelompok manusia, yang hidup dan
bekerja sama dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga meraka
dapat mengorganisir diri sendiri dan sadar, bahwa mereka merupakan
suatu kesatuan sosial dengan batas batas yang jelas. (Prof Dr. Ralph
Linton,1984:118)
8. Etnik
Pengertian Etnik dalam Kamus Umum Indonesia adalah berkaitan
dengan bangsa,suku, atau kelompok sosial yang dibedakan oleh
keturunan, adat, agama, budaya dan bahasa. (KUBI, 1994: 412).
21
Jika dilihat dari karakter biologisnya, umat manusia wajib
dikelompokkan dalam berbagai ras. Selanjutnya bila ras tersebut
dikaitkan dengan kebudayaan, maka terbentuklah etnik. Dengan
demikian suatu ras yang sama dapat menimbulkan berbagai macam etnik.
Mengutip Naroll, federich barth yang merumuskan etnik sebagai berikut :
“Etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri cirri kelompoknya, yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain”. (Barth, 1988: 1)
9. Pertunjukan
Pengertian pertunjukan dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah
sesuatu yang dipertunjukan atau mempertontonkan atau
mendemonstrasikan keahlian atau kepandaian di depan orang.
(Depdikbud, Balai pustaka, 1994: 1086). Seni pertunjukan (performance
art) sebagai salah satu cabang seni yang selalu hadir dalam kehidupan
manusia, ternyata memiliki perkembangan yang cukup kolmpleks,
mengingat seni pertunjukan dapat dikatakan pula sebagai seni yang
hilang dalam waktu, yaitu hanya dinikmati apabila seni tersebut sedang
dipertunjukan. Kata ‘pertunjukan secara eksplisit lebih mendorong
kepada manusia untuk menikmatinya cenderung dengan kasatmata (Amir
dkk, 2007: 81).
22
Bentuk penyajian merupakan kesatuan dari beberapa unsur yang
menunjang dalam pertunjukan. Ragam ini dapat berupa garapan atau ide-
ide. Ide atau garapan merupakan suatu kreatifitas yang lahir dari pelaku
seni. Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu kondisi yang
tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik yang satu sama lainnya
memilki ciri khas masing-masing. Dalam lingkungan-lingkungan etnik
tersebut, adat atau norma/nilai dari hasil kesepakatan bersama yang
terjadi secara turun temurun mengenai sikap dan perilaku memiliki
pengaruh yang sangat dominan untuk menentukan mati hidupnya
kesenian. Dengan demikian proses yang terjadi di adat yang seperti ini
dapat dikatakan sebagai landasan eksistensi yang paling urgen bagi
pementasan-pementasan seni pertunjukan. (Hardianan, 1995:46).
10. Ritual dan Kepercayaan
Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama
untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau
bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-
kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak
dapat dilaksanakan secara sembarangan. Sedangkan Kepercayaan atau
religi adalah kegiatan keagamaan manusia dalam konteks budaya.
Artinya, perilaku keagamaan dilihat sebagai bagian dari kebudayaan, dan
terpisah dari pengertian agama menurut devinisi agama-agama seperti
Islam, Kristen, atau Agama wahyu lainnya. (Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas). (http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual)
23
Bidang kepercayaan, baik yang profetis maupun non profetis,
melibatkan ikatan emosi yang kokoh para pengikutnya. Terlebih lagi
kalau kepercayaan tersebut dilihat sebagai bagian kebudayaan secara
umum. Pengaruh keagamaan terhadap umatnya merupakan respon dari
system kayakinan yang didominasi citra ideal dan pada gilirannya
membentuk karakter dan pola sosialisasi (Hubungan terhadap sesama
manusia, khususnya antara sesama pemeluk serta terhadap hal-hal
supranatural yang berkaitan dengan hal yang diyakini). (Yusuf Akib
2003 : 9-10).
Teori asal mula religi adalah membebaskan diri dari sikap dan
perasaan “curiga” terhadap selain religi yang dianut. Hal ini ditegaskan J.
Van Ball dalam dalam buku sejarah dan pertumbuhan Antropologi
Budaya (hingga decade 1970) I, bahwa : …sebab pada hakikatnya sangat
banyak metafisik adalah religi dan hampir selalu ia datang dengan
gagasan dan ide-ide yang tidak dapat di buktikan melalui pengamatan
dan oleh sebab itu terbebas dari pembuktian dan sanggahan (J. Van Ball
1987 : 34). (http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual).
11. A’dengka Ase Lolo
A’dengka Ase Lolo adalah ritual perayaan pesta panen yang sudah
menjadi rutinitas warga batubassi setiap tahun. Ritual budaya ini
berlangsung menjelang panen raya dan dilakukan di rumah Pinati.
Persiapan kegiatan ini dimulai dari penataan lokasi pesta, tetapi umumnya
pesta ditempatkan pada halaman rumah Pinati, sedangkan alat yang
24
disediakan warga berupa Lesung atau Assung dan penumbuk padi atau Alu
serta dapur penggorengan padi yang akan ditumbuk.
(http://batubassi.blogspot.com/2012/02/adengka-ase-lolo.html)
12. Panen Padi
Panen padi adalah pemungutan atau pemetikan hasil sawah atau
ladang. Memetik hasil tanaman dari sawah atau ladang (Anto M.
Moeliono, 1988:643).
13. Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
latin Colore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia
(http://seabass86.wordpress.com/2009/05/07pengetian-budaya-dan-asal-
usul-kebudayaan-serta-macam-macam-kebudayaan/).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan memiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsure yang rumit, termasuk system
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
25
yang takterpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkounikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).
Adat sebagai budaya menggariskan ketentuan bagi segenap sikap dan
tingkah laku yang diketahui, dimiliki, dan dipertahankan sebagai milik
bersama. Mereka yang mematuhinya akan mendapat penghargaan
sebaliknya bagi mereka yang melanggarnya akan memperoleh hukuman.
(Sugira. 2008 : 67).
14. Upacara
Upacara Tradisional merupakan bahagian yang integral dari
kebudayaan masyarakat pendukungnya yang berfungsi sebagai pengokoh
norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku dalam
masyarakat secara turun temurun. Upacara Tradisional sebagai pranata
social penuh dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat
komunikasi antara sesame manusia dan menjadi penghubung antar dunia
nyata dan dunia gaib. (Drs. Nonci S.Pd 2003 4:5)
Upacara adat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada aturan-aturan
tertentu menurut adat atau agama (Yudistira. 2005:892)
26
15. Alat Musik yang di Gunakan
a. Lesung
Lesung adalah alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah
menjadi beras. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah (sekam, Jawa
merang) dari beras secara mekanik. Lesung terbuat dari kayu berbentuk
seperti perahu berukuran kecil dengan panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5
meter dan kedalaman sekitar 40 cm. Lesung sendiri sebenarnya hanya
wadah cekung, biasanya dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya.
Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau
gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang
sampai beras terpisah dari sekam. (Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas)
b. Alu
Alu adalah berupa kayu silinder yang berbentuk tongkat panjang,
berdiameter kurang lebih 7 Cm, ukurannya setinggi orang dewasa,
panjangnya sekitar 1,5 meter. Alu digunakan oleh para pemain pa’dekko
untuk memukul padi yang diletakkan di kedalam lesung
27
B. Kerangka pikir
Skema 1. kerangka pikir
Bentuk Penyajian Pertunjukan A’dengka Ase Lolo
Fungsi Pertunjukan A’dengka Ase Lolo
Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat Makassar di
desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
Kesimpulan
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Desain Denelitian
Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah variabel
tentang fungsi serta bentuk penyajian trasdisi ritual a’dengka ase lolo.
Desain penelitian ini dimaksudkan agar mempermudah dalam
melaksanakan penelitian dan juga agar dalam pelaksanaannya penelitian
dapat lebih terarah, terkontrol dan penelitian yang dikemukakan dapat
mencapai hasil atau sasaran yang diteliti. Agar lebih jelasnya dapat
dilihat pada desain penelitian berikut:
Skema 2. Desain penelitian
28
Pengelolaan data
Bentuk penyajian Pertunjukan A’dengka
Ase Lolo Hasil
skripsi
Fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo
Pengumpulan data
29
B. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variable adalah penjelasan tentang apa yang
dimaksudkan dalam setiap poin dalam rumusan masalah. Untuk mencegah
efek bias dalam penelitian ini maka fokus yang akan diteliti diupayakan
untuk dioprasionalkan sehingga tidak terdapat pengertian ganda dan
tumpang tindih antara fokus yang satu dengan yang lain. Ada pun definisi
yang dimaksudkan adalah :
1. Bentuk penyajian pertunjukan A’dengka Ase Lolo meliputi: orang-orang
yang terlibat serta alat-alat yang digunakan.
2. Fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo yang meliputi fungsi dari
keberadaan dan perkembangan dalam tradisi ritual masyarakat Gowa.
C. Sasaran dan Responden
1. Sasaran
Sasaran dalam penelitian ini ialah masyarakat yang bermukim di
Desa Pallantikang khususnya yang menampilkan pertunjukan A’dengka
Ase Lolo di Desa pallantikang Kabupaten Gowa.
2. Responden
Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
Pemain atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan pertunjukan
A’dengka Ase Lolo di desa pallantikang Kabupaten Gowa.
30
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data diperlukan teknik pengumpulan data
sebagai berikut :
1. Observasi
Menurut Suharsini Arikunto (2010: 200), mengobservasi dapat
dilakukan melalui penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan.
Pengamatan langsung di dalam artian penelitian observasi dapat
dilakukan tes, kusioner, rekaman suara. Mengetes adalah mengadakan
pengamatan terhadap aspek kejiwaan yang diukur. Kuesioner di berikan
kepada respon untuk mengamati aspek-aspek yang ingin diselidiki.
Rekaman gambar dan rekaman suara sebenarnya hanyalah menyimpan
kejadian untuk penundaan observasi.
Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara
sitematik kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-
hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian. Pada tahap awal
obsservasi peneliti telah mengumpulkan beberapa data atau informasi.
Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu
mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga
peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus
menerus terjadi. Sehingga dalam penelitian ini , penulis menggunakan
teknik observasi terhadap bentuk penyajian dan fungsi pertunjukan
A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat Makassar di
Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.
31
Disamping itu juga observasi dilakukan untuk mendapatkan data
tambahan sekiranya terdapat hal yang kurang jelas pada teknik
pengumpulan data sebelumnya.
2. Wawancara
Menurut Lexy, wawancara terbagi atas tiga yaitu wawancara
informal, pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara dan
wawancara baku terbuka. Pendekatan menggunakan petunjuk umum
wawancara yang mengharuskan untuk membuat kerangka dan garis
besar pokok rumusan dan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
Penggunaaan dan pemilihan kata untuk wawancara dalam hal tertentu
tidak perlu dilakukan sebelumnya. Pelaksanaan wawancara dan
pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam
konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2009: 186-187)
Wawancara dilakukan sebagai sebuah kegiatan mengumpulkan
data yang dilakukan kapada beberapa Narasumber yang memiliki
kapastias dalam objek yang bersangkutan. Metode ini dilakukan dengan
tanya jawab serta langsung dengan responden yang telah ditentukan.
Wawancara ini bersifat bebas dan santai, dengan maksud memberikan
para informan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk keterangan
mengenai pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi
masyarakat Makassar tersebut serta dapat memberikan keterangan
umum karena seringkali para informan memberikan keterangan yang
32
tidak diduga yang tidak dapat diketahui sehingga penulis mengadakan
wawacanra langsung.
3. Dokumentasi
Dokumentasi, berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-
barang tertulis. Di dalam melakukan metode dokumentasi, peneliti
menyelidki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya
(Arikunto, 2010: 201). Penggunaan dokumentasi ini berkaitan dengan
apa yang disebut analisis isi. Cara menganalisis isi dokumen ialah
dengan memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk
komunikasi yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk dokumen
secara objektif.
Dokumentasi sebagai salah satu upaya penulis dalam melakukan
pengumpulan data yang bertujuan untuk memberikan keterangan yang
jelas dan lebih akurat, maka dilakukan dengan cara pengambilan
gambar, rekaman audio atau video tentang peliputan pertunjukan.
4. Studi Pustaka
Studi Pustaka yaitu pengumpulan data dengan membaca
berbagai literatur tentang kondisi masyarakat baik secara geografis dan
sosial budaya. Data didapatkan melalui kalangan birokrasi/pemerintah
dan dokumen ataupun website dari instansi yang terkait. Hal ini
dimaksud untuk pengetahuan tambahan dan dasar teori yang
berhubungan dengan obyek yang diteliti.
33
Sumber bacaan yang dilakukan dapat berasal dari penelitian luar
maupun peneliti dari Indonesia sendiri. Selain bacaan yang dapat
berupa majalah, koran, buletin, buku, jurnal, skripsi, tesis, berita dan
lain-lain, penulis juga menggunakan artikel-artikel yang penulis dapat
dari beberapa situs internet dan buku-buku yang dianggap cukup
relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini, terutama yang
menyangkut A’dengka Ase Lolo.
E. Teknik Analisis Data
Data primer yang terkumpul melalui teknik pengumpulan data
dianalisis sesuai permasalahan yang diajukan, dengan demikian data-
data yang ada berdasarkan variabel ditafsirkan berdasarkan metode
deskriptif yaitu penggambaran data sesuai fakta yang terjadi di lapangan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan penafsiran data tersebut hasilnya
disebut data kualitatif. Demikian teknik analisis data yang digunakan
disebut analisis kualitatif atau analisis non statistik.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tentang Desa Pallantikang Kecamatan
Pattallassang Kabupaten Gowa
Masyarakat Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku bangsa, yaitu
suku Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Setiap suku bangsa tersebut
secara geografis menempati wilayah tertentu dalam keadaan terpisah,
masing-masing membentuk kelompok social serta mengembangkan
kebudayaannya.
Dalam hal ini sasaran penelitian adalah kesenian yang ada di
kabupaten Gowa yang menempati daerah wilayah tertentu, yakni
kecamatan Pattallassang.
Daerah kabupaten Gowa terletak di sebelah selatan kota Makassar.
Ibu kota kabupaten Gowa adalah Sungguminasa terletak kurang lebih 11
kilometer disebelah selatan pusat kota Makassar. Mempunyai 18
kecamatan 167 Desa dan Kelurahan, Jumlah penduduk sebanyak ±
652.329 jiwa dan luas daerah ini adalah 1.883,32 Km2 dengan batas
wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara dengan kota Makassar, Kabupaten Maros
b. Sebelah Timur dengan Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba,
Kabupaten Bantaeng.
34
35
c. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Takalar, dan Kabupaten
Jeneponto.
d. Sebelah Barat dengan Kota Makassar.
Penduduk asli Kabupaten Gowa adalah orang-orang suku Makassar
yang beragama Islam. Selain penduduk asli terdapat juga suku Bugis,
Toraja, Mandar dan penduduk orang asing (cina). Penduduknya selain
beragama Islam terdapat pula yang beragama Kristen, Katolik atau
Protestan, Hindu dan Budha.
Sasaran penelitian ini adalah tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa
Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa maka data
tentang Desa Pallantikang perlu dituliskan dalam skripsi ini yaitu :
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa setempat, Desa
Pallantikang mempunyai jumlah penduduk 3.035 jiwa, laki-laki 1.205 jiwa
dan perempian 1.830 jiwa, mempunyai luas kurang lebih 1.204,00 Ha atau
12.04 KM2, berjarak 2 km dari ibukota kecamatan Pattalasang, dan 15 km
dari ibukota Kabupaten Gowa, serta 25 km dari Kota Makassar. Terdiri
dari 5 dusun, yaitu: 1) Birring Bonto, 2) Teamate, 3) Borongloe, 4)
Tamalayu dan 5) Bilaya. Batas-batas desa Pallantikang adalah: a) sebelah
Utara berbatasan Desa Panaikang, b) sebelah Selatan berbatasan dengan
Desa Timbuseng, c) sebelah Timur berbatasan dengan desa Pattalasang,
dan d) sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Parangloe. (Sumber
Kantor Desa Pallantikang).
36
a. Asal mula adanya tradisi ritual A’dengka Ase Lolo
Sejarah tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang
Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa tidak diketahui secara tertulis,
tapi hanya diketahui melalui cerita-cerita para leluhur yang bersifat mitos.
A’dengka Ase Lolo dipercaya muncul pada masa manusia menganut
kepercayaan animisme atau percaya pada dewata. A’dengka Ase Lolo
termasuk permainan rakyat yang berfungsi sebagai upacara syukuran jika
panen telah selesai. Konon kabarnya asal mula munculnya tradisi ritual
A’dengka Ase Lolo pada suatu waktu panen masyarakat Desa Pallantikang
mengalami kerusakan, maka pada tahun berikutnya pada saat petani mulai
menanam padinya, mereka bernasar bahwa bila panen yang akan datang
berhasil, maka akan diadakan acara A’dengka Ase Lolo.
Pada dasarnya permainan ini berdasarkan dari bunyi tumbukan alu
ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi. Dalam fase-fase
berikutnya permainan ini lebih dikembangkan lagi, alunan irama lebih
teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan diiringi dengan
tarian yang dalam istilah daerah Makassar disebut asse’re atau melakukan
gerakan tari sambil menumbuk lesung.
37
2. Bentuk Penyajian Tradisi Ritual A’dengka Ase lolo di Desa
Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo dilaksanakan dengan beberapa
syarat-syarat yang mesti dilakukan, awalnya sebelum petani mau
mengambil padi muda tersebut harus membakar Dupa atau Kemenyan,
dan cara mengambil padinya pun berbeda, jika pada umumnya padi di
ambil dengan cara di potong batangnya di ritual ini padinya di keruk dari
tongkolnya setelah itu padinya di rendam semalaman setelah itu padi
tersebut di sangrai.
Gambar 1
Saat padi muda sedang di sangrai
(dok. Penulis)
Setelah di sangrai, padi akan ditumbuk didalam lesung, tetapi
sebelum ditumbuk terlebih dahulu dibacakan mantra (do’a) memohon
38
keselamatan dan kesuksesan dalam pelaksanaan tradisi ritual A’dengka
Ase Lolo.
Gambar 2
Pinati menuangkan padi muda (Ase Lolo) kedalam lesung sebelum
ditumbuk
(dok Penulis)
Sebelum para penumbuk padi muda (Ase Lolo) memulai ritual
A’dengka Ase Lolo, para penumbuk akan dibacakan mantra (do’a) terlebih
39
dahulu oleh Pinati (pemimpin upacara) sebelum melakukan ritual
A’dengka Ase Lolo.
Gambar 3
Prosesi pembacaan mantra (do’a) oleh Pinati bersama para penumbuk
padi muda (Ase Lolo)
(dok. Penulis)
Setelah dibacakan mantra (do’a) oleh Pinati barulah para
penumbuk padi muda (Ase Lolo) melangkah menuju lesung untuk
melakukan ritual A’dengka Ase Lolo. Ada pun alat yang biasa di gunakan
dalam tradisi ritual a’dengka ase lolo adalah Alu dan Lesung. Alu berupa
kayu silinder yang berbentuk tongkat panjang, berdiameter kurang lebih 7
Cm, ukurannya setinggi orang dewasa, panjangnya sekitar 1,5 meter. Alu
digunakan oleh para pemain pa’dekko untuk memukul padi yang
diletakkan di kedalam lesung, sedangkan Lesung adalah alat tradisional
dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras yang terbuat dari kayu
40
nangka. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah dari beras secara mekanik.
Lesung terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu berukuran kecil dengan
panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5 meter dan kedalaman sekitar 40 cm.
Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya dari kayu besar
yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam
lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal
dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam.
Gambar 4
Lesung dan Alu
(dok. Penulis)
Kedua alat inilah yang digunakan untuk menumbuk padi pada saat
ritual A’dengka Ase Lolo dilaksanakan, tapi sebelumnya kepala Assung
atau lesung di gantung terlebih dahulu menghadap ke barat sedangkan
ekornya tidak di gantung tapi dilapisi dengan sebatang kayu.
41
Dalam sebuah ritual dupa dan sesajen selalu ada karena sudah
menjadi salah satu hal yang wajib ada saat melakukan ritual, guna untuk
menambah kesakralan dalam sebuah ritual.
Gambar 5
Dupa dan sesajen yang disiapkan sebelum melakukan ritual
(dok. Penulis)
Dupa yang dimaksud adalah sebuah wadah yang terbuat dari tanah
liat dan diberi bara arang, sebagai wewangiannya maka diatas bara arang
tersebut diberi kemenyan, sedangkan sesajennya yaitu roko’-roko’ (kue yg
terbuat dari terigu dan tengahnya diisi dengan gula merah dan luarnya di
bungkus oleh daun pisang), Lappo Ase (padi yang telah mempunyai beras
didalamnya lalu disangrai sehingga padi tersebut mekar seperti pop corn),
Leko’ (daun sirih) dan lain-lain.
42
Ketika ritual telah berlangsung, semua warga Desa Pallantikang
berbondong-bondong menuju rumah Pinati sambil membawa beras ketan
(Ase Punu) lalu mengikuti ritual A’dengka Ase Lolo. Bukan hanya
masyarakat pallantikang saja yang hadir dalam ritual ini, tetapi banyak
juga warga dari desa-desa lain yang turut meramaikan acara ini, karena
bagi sebagian besar masyarakat desa khususnya kaum pemuda dan pemudi
menganggap acara ini sebagai tempat pencarian jodoh, karena biasanya
pada acara inilah mereka saling bertemu dan menjalin kasih hinggah ke
jenjang pernikahan. Setelah ritual selesai semua warga akan makan
bersama dengan memakan padi muda (Ase Lolo) yang telah ditumbuk
tersebut. Padi muda (Ase Lolo) yang selesai ditumbuk akan disaring
terlebih dahulu (Ri Tapi) setelah disaring barulah padi muda (Ase Lolo) di
campur dengan gula merah dan kelapa kemudian disajikan dan dimakan
bersama. Menurut keyakinan tetua kampung, bagi orang yang hadir pada
ritual tersebut dapat diberi berkah (Barakka) terhadap hasil panen
berikutnya.
Kesenian tradisional A’dengka Ase Lolo menghasilkan musik dari
tabuhan alu ke lesung yaitu :
ALkr 1:
ALkn 2:
43
PT :
V 1 :
V 2 :
Keterangan : a. AL-kr = Penabuh (Alu), Perempuan Kiri
b. AL-kn = Penabuh (Alu), Perempuan Kanan
c. PT = Pengatur Tempo
d. V1 = Variasi 1
e. V2 = Variasi 2
44
3. Apa fungsi tradisi ritual A’dengka ase lolo di Desa Pallantikang
Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
Dalam buku “’antropology of music” menjelaskan bahwa fungsi
musik untuk menjaga kelestarian dan stabilitas budaya. Dalam hal ini
musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk meneruskan sebuah system dalam
kebudayaan terhadap generasi selanjutnya. (Alam P Meriam, 1964: 219-
226).
Kesenian tradisional A’dengka Ase Lolo dalam kehidupan
masyarakat Desa Pallantikang dilaksanakan secara turun temurun dan
berfungsi sebagai sarana upacara pengucapan syukur atas keberhasilan
panen mereka. Ditambah lagi tradisi ini dilakukan hanya sekali dalam
setahun dan yang hadir rata-rata kaum petani jadi Pa’se’re-se’reang
(kebersamaan) dalam acara ini sangat terasa.
Fungsi tradisi ritual A’dengka Ase Lolo menurut Pinati (pemimpin
upacara) Abdul Muthalib Daeng Nambung.
“I katte anne parangta rupa tau tena naki akkulle takkalupa mange ri karaeng allataala, sukkurukki ka na sareki kabajikang mange ri katte ngaseng, iamintu na a’dengka ase lolo tawwa punna lebbakki angngalle ase ri tanayya (akkatto) ri Pallantikang ka le’ba’ a’jari kabiasangi poeng jari mara’-maraengi rikasia’ punna tena na a’dengka ase lolo tawwa, sollanna tamattappu anjo tarimakasika siagang kasukkuranga mange ri karaeng allataala attaung-taung saba punna teai sarenna tala bajikai jarinna asea ri tanayya ri pallantikang, anne acarayya riolo anjoengi ritanayya ri pare, mingka sallo-sallo kammanjo ri paletteki mange ri dallekang ballana pinatiya sollanna na tenamo na ballasa dudu tawa a’nassa-nassa.”
“Sebagai manusia kita harus senantiasa ingat kepada sang pencipta dan selalu mengucap syukur atas apa yang dianugrahkannya kepada kita, maka itulah A’dengka Ase Lolo dilaksanakan setiap selesai panen di Desa
45
Pallantikang karena sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat setempat, guna untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada sang pencipta yang telah memberikan hasil panen yang melimpah disetiap tahunnya di Desa Pallantikang, ritual ini dulunya di laksanakan di persawahan tapi seiring berjalannya waktu tradisi ini dilaksanakan dihalaman rumah Pinati (pemimpin upacara) untuk mempermudah masyarakat untuk berkumpul dan saling bercengkrama”. (wawancara penulis pada tanggal 21 maret 2013).
Tradisi A’dengka Ase Lolo ini juga diistilakan sebagai Paddekko
oleh masyarakat desa pallantikang dan kian berkembang dan mempunyai
beberapa fungsi :
a. Paddekko Upacara
b. Paddekko Ase Lolo
d. Paddekko Singara’ Bulang
e. Paddekko Pa’se’re-se’reang
Paddekko Pa’se’re-se’reang dilaksanakan pada saat mereka
berkumpul untuk mengadakan hajatan, seperti ada perkawinan dan
khitanan. Paddekko semacam ini boleh saja diadakan setiap hari, dan
semakin meriah ketika dilaksanakan dimalam hari.
46
B. Pembahasan
1. Bentuk Penyajian Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo di Desa
Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupateng Gowa
Tradisi ritual a’dengka ase lolo ini merupakan suatu ritual yang
sudah turun temurun di laksanakan sebagai warisan leluhur yang di
peringati setiap tahun oleh masyarakat Desa Pallantikang, ritual ini
merupakan suatu bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas
keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat sehingga dapat menikmati
kembali hasil panen seperti yang diharapkan.
Rendra memberikan batasan tentang pengertian bahwa tradisi
adalah kebiasaan turun temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan
kesadaran sebuah masyarakat, sifatnya luas sekali, meliputi segala
kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam perincian yang tetap
dan pasti. (Rendra, 1984 : 3).
Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran,
kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke generasi, dari
leluhur ke anak cucu secara lisan. (Sal Murgianto, 2004 : 15).
Sebelum tradisi ritual A’dengka Ase Lolo tersebut di lakukan, ada
beberapa syarat-syarat yang mesti dilakukan, awalnya sebelum petani mau
mengambil padi muda tersebut harus membakar Dupa atau Kemenyan,
dan cara mengambil padinya pun berbeda, jika pada umumnya padi di
ambil dengan cara di potong batangnya di ritual ini padinya di keruk dari
47
tongkolnya setelah itu padinya di rendam semalaman setelah itu padi
tersebut di sangrai. Pengambilan padi muda atau ase lolo tersebut juga
tidak boleh sembarangan orang, harus orang yang di percaya atau yang
biasa di sebut Pinati (Pemimpin Upacara).
A’dengka Ase Lolo adalah ritual perayaan pesta panen yang sudah
menjadi rutinitas warga batubassi setiap tahun. Ritual budaya ini
berlangsung menjelang panen raya dan dilakukan di rumah Pinati.
Persiapan kegiatan ini dimulai dari penataan lokasi pesta, tetapi umumnya
pesta ditempatkan pada halaman rumah Pinati, sedangkan alat yang
disediakan warga berupa Lesung atau Assung dan penumbuk padi atau Alu
serta dapur penggorengan padi yang akan ditumbuk.
(http://batubassi.blogspot.com/2012/02/adengka-ase-lolo.html)
Tradisi ritual a’dengka ase lolo bisa dilaksanakan ketika semua
padi yang ada disawah telah selesai di panen atau telah masuk ke areal
perkampungan setempat. Ritual a’dengka ase lolo biasa dilaksanakan satu
kali dalam satu tahun, jika dalam satu tahun panen mencapai tiga kali
panen, ritual a’dengka ase lolo dilaksanakan pada saat panen ke tiga tepat
pada saat pada bulan purnama karena dulunya masyarakat Desa
Pallantikang belum mengenal listrik jadi masyarakat dahulu
memanfaatkan bulan purnama sebagai bantuan penerangan, pelaksanaan
tradisi ritual a’dengka ase lolo itu sendiri biasa dilaksanakan di Saukan
atau Balai-balai atau tempat dimana masyarakat bisa berkumpul untuk
melaksanakan ritual tersebut tapi seiring berjalannya waktu tradisi ritual
48
A’dengka Ase Lolo sekarang dilaksanakan di halaman rumah Pinati
(pemimpin upacara). Dalam acara ritual a’dengka ase lolo dulunya
dirangkaikan pula beberapa acara tradisional A’pa’batte atau sabung ayam,
A’domi-domi atau bermain kartu domino, guna untuk menambah
kemeriahan dalam tradisi ini. Dalam rangkaian acara ini masyarakat yang
ikut terlibat kadang melakukan judi dalam rangkaian acara tersebut
khususnya A’ppa”batte (sabung ayam) sehingga banyak warga yang tidak
suka dengan rankaian acara ini walaupun sebenarnya rangkaian acara ini
dilakukan secara sembunyi-sembuyi. Ada pun alat yang biasa di gunakan
dalam tradisi ritual a’dengka ase lolo adalah Assung dan Alu, kedua alat
inilah yang digunakan untuk menumbuk padi pada saat ritual dilakukan,
tapi sebelumnya kepala Assung atau lesung di gantung terlebih dahulu
menghadap ke barat sedangkan ekornya tidak di gantung tapi dilapisi
dengan sebatang kayu. Sebelum menumbuk padi Pinati akan melakukan
beberapa ritual, awalnya Pinati akan membakar Dupa dan membaca
mantra di sekitar lesung sebelum menurunkan padi yang akan di tumbuk,
setelah padi di turunkan Pinati akan memulai penumbukan pertama dan
akan dilanjutkan oleh penumbuk-penumbuk lainnya, dikepala lesung yang
tergantung terdapat tiga sampai empat orang yang menumbuk yang disebut
Angngului (penentu birama, sekaligus yang Appaddekko membuat variasi
dengan menggunakan “alu”), hanya laki-laki dewasa yang dapat
Angngului di acara ini, sedangkan yang berada di tengah atau di badan
lesung ada empat orang dan masing-masing memakai baju adat, Baju Bodo
49
atau pakaian adat untuk perempuan Makassar dan Passapu atau ikat kepala
untuk laki-laki Makassar.
Setelah semuanya telah siap Pinati (Pemimpin Upacara) akan
memulai dengan menumbuk kepala lesung dengan alu beberapa tumbukan
dan dilanjutkan oleh orang yang Appaddekko/Angngului, dan dimulailah
ritual A’dengka Ase Lolo tersebut. Ritual A’dengka Ase Lolo biasanya
dimulai pada pukul 17.00 Wita sampai dengan adzan magrib di
kumandangkan di mesjid dan dilanjutkan pada saat selesai shalat isya atau
pada pukul 20.00 wita sampai selesai. Setelah semua Ase Lolo (padi muda)
selesai ditumbuk maka Ase Lolo (padi muda) akan dibersihkan terlebih
dahulu (Ri Tapi) guna untuk memisahkan kulit Ase Lolo (padi muda),
setelah bersih maka Ase Lolo (padi muda) akan dicampur dengan gula
merah dan kelapa parut kemudian Ase Lolo tersebut disajikan dan dimakan
bersama.
2. Apa fungsi tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang
Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
Kesenian ada dan berkembang dalam lingkungan masyarakat
pendukungnya, seperti kesenian tradisi lainnya yang ada di Sulawesi
Selatan. Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo berfungsi sebagai sarana upacara
pengucapan syukur atas keberhasilan panen mereka yang dulu
dilaksanakan di persawahan yang berkembang dan dipindahkan kerumah-
rumah Pinati (pemimpin upacara), selain itu juga berfungsi sebagai
50
pertunjukan rakyat yang dilaksanakan di rumah-rumah penduduk yang
mengadakan hajatan.
Fungsi lain dari ritual ini adalah :
a. Paddekko Upacara
Ritual ini diadakan pada saat menjelang panen, sebelum
dilaksanakan terlebih dahulu diadakan persembahan sesajen, memohon
rahmat dari Yang Maha Kuasa. Pada saat itu pemain berada pada posisi
masing-masing dalam keadaan siap. Setelah upacara selesai yang disertai
dengan mantra (do’a), maka ritual dimulai tanpa mengisi lesung dengan
padi, karena yang di utamakan adalah upacaranya.
b. Paddekko Ase Lolo
Nama dari ritual tersebut yaitu ritual yang sedang berlangsung,
dengan mengisi padi muda (Ase Lolo) pada lesung yang akan ditumbuk
dan pemainnya sementara mengadakan atraksi.
c. Paddekko Singarak Bulang
Ritual menumbuk padi pada saat bulan purnama atau lebih dikenal
dalam bahasa Singarak Bulang yang artinya Bulan Purnama. Paddekko
Singarak Bulang ini sangat ramai dikunjungi, selain tertarik pada bunyi
lesung dan alunya juga diundang oleh orang yang mengadakan pesta.
Paddekko semacam ini diadakan sebelum padi selesai ditunai tetapi sudah
ada yang dijemur, acara menumbuk diadakan pada malam hari. Penonton
51
turut bermain apabila melempar dialog, ataupun masuk arena sambil
menumbuk padi secara bergantian. Disinilah biasanya awal pertemuan
antara putra dan putri dan terjadilah kasih diantara mereka sampai
kejenjang perkawinan.
d. Paddekko Pa’se’re-se’reang
Paddekko ini biasanya dilaksanakan pada saat mereka sedang
berkumpul untuk mengadakan pesta seperti khitanan atau perkawinan.
Paddekko semacam ini dapat dilaksanakan setiap hari. Untuk penumbuk,
putri bisa saja wanita yang sudah berkeluarga dalam kelompok penumbuk
enam orang. Paddekko ini sangat meriah apabila dilaksanakan pada malam
hari, selain suasana terasa intim juga bunyi lesung sangat indah
kedengarannya.
Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo adalah suatu pesta rakyat yang
didukung oleh seluruh anggota masyarakat. Puncak keberhasilan mereka
tercermin dalam pelaksanaan Paddekko, maka timbul istilah dari pemuka-
pemuka masyarakat, sebagai berikut :
“Manna niundangi cipuruka antama ripa’rasanganga tenamemantong na ero antama”
Artinya :
“Biar kelaparan itu diundang ke daerah ini, ia tidak akan masuk atau tidak akan dijumpai kelaparan di daerah ini walaupun diundang”
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang
Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa adalah merupakan bahagian
dari masyarakat setempat.
Melihat cara melakukan Ritual A’dengka Ase Lolo bagi masyarakat
Desa Pallantikang dapat dikatakan bahwa Pertunjukan Tradisi Ritual
A’dengka Ase Lolo dilaksanakan setiap tahun dalam menyambut
keberhasilan panen mereka yang dilakukan setiap permulaan tahun padi.
Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo sebagai pengucapan
syukur, juga berfungsi sebagai kesenian atau pertunjukan rakyat yang
dilaksanakan di rumah-rumah perduduk yang mengadakan hajatan. Tapi
zaman dulu dilaksanakan dipersawahan, sebagai sarana upacara.
Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo sebagai salah satu
kesenian tradisional yang dalam pertumbuhannya mengalami banyak
perubahan artistik, dan membutuhkan respon dan keikutsertaan
penontonnya sebagaimana layaknya seni permainan rakyat.
52
53
B. Saran
1. Perlunya pendokumentasian tentang tradisi ritual A’dengka Ase Lolo
yang merupakan warisan leluhur turun temurun yang perlu dijaga dan
dilestarikan.
2. Perlunya pengetahuan baik pengalaman/praktek maupun teori bagi
generasi pelanjut guna menuju sasaran dan tujuan yang diinginkan
demi pengembangan pertunjukan tradisi ritual A’dengka Ase Lolo.
3. Diperlukan adanya dukungan dari masyarakat setempat untuk sadar
akan perlunya seni budaya tradisional untuk pelestarian kebudayaan
Nasional.
4. Perlunya kesenian tradisional diajarkan di sekolah-sekolah agar dapat
dilestarikan dan dijaga keberadaannya.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber Tercetak.
Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Indonesia (edisi ketiga)
Jakarta: Balai Pustaka.
Hidayat, Arif. 1984. Pengantar Apresiasi Seni, Depdikbud: Jakarta.
Hardianan. Suka, 1995. Seni Pertunjukan Indonesia, Yogyakarta: Bentang
budaya.
Linda Johar, 1997. Kesenian Tradisional Paddekko di Desa Tamarunang
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, Ujung Pandang, Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Ujung Pandang.
Merriam P, Alan. 1964. The Antrophology Of Music. Northwestern University Press.
Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisional Sulawesi Selatan ,
Makassar: Lamacca Press.
Moelino, Anton, M. 1988. Kamus Musik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Mahartono dkk. 2005. Seni Tradisional Sulawesi Selatan , Makassar: Lamacca
Press.
M. Soeharto, 1978. Kamus Musik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 1994. Kamus Besar Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan tradisi, PT Grahamedia: Jakarta.
Soedarsono, 2002. Seni Pertunjukan Indonesia. Jogjakarta, Gadja Mada
UNIVERSTY PRESS.
54
55
Solihing, 1990. Kesenian Paddekko Desa Tamarunang Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan. Yogyakarta, Institut Seni Indonesia.
S. Saripin dkk. 1976. Sejarah Kesenian Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramitha
Sal Murgiyanto. 2004. Tradisi dan Inovasi. Jakarta: Suku Dayarsana
Surakarya, Yayu. 1982. Musik Tradisional: Yogyakarta
Soedarsono. R.M,1992. Pengatar Apresiasi Seni, Jakarta. Depdikbud.
2. Sumber tidak tercetak.
Sunarso, 1996. Kemajemukan Etnik di Indonesia (Sebuah Resiko atau Potensi?) : Cakrawala Pendidikan
57
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Kepala Dusun Desa Pallantikang
Alamat : Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
58
Gambar. 1
(Dok. Penulis)
Narasumber II
Nama : Daeng Nyau
Umur : -
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa
63
Gambar 5. Pinati (pemimpin upacara) menabur Ase Lolo (padi muda) yang telah
disangrai kedalam lesung
(Dok. Penulis)
64
Gambar 6. Pinati (pemimpin upacara) membacakan mantra sebelum memulai
ritual A’dengka Ase Lolo
(Dok. Penulis)
65
Gambar 7. Pinati (pemimpin upacara) memulai penumbukan pertama tradisi ritual
A’dengka Ase Lolo
(Dok. Penulis)
72
Gambar 14. Masyarakat sekitar juga ikut meramaikan tacara tradisi ritual
A’dengka Ase Lolo
(Dok. Penulis)