abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn...

13
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Kinerja didefinisikan sebagai tindakan yang hasilnya dapat dihitung, selain itu juga dapat didefinisikan sebagai hasil kontribusi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994) mendefinisikan kinerja sebagai perilaku yang sejalan dengan kesuksesan organisasi. Dari beberapa definisi kinerja tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan tidakan atau perilaku karyawan yang hasilnya dapat dihitung dan sejalan dengan tujuan organisasi. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja Menurut Gibson Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske (2008) ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja, meliputi: a. Variabel Individu Ada beberapa variabel individu yang mempengaruhi kinerja karyawan di antaranya kemampuan dan keterampilan, latar belakang, dan demografis. b. Variabel Psikologi Ada beberapa variabel psikologi yang mempengaruhi kinerja karyawan di antaranya persepsi, sikap, kepribadian, motivasi, kepuasan kerja, dan stres kerja.

Upload: dinhhanh

Post on 12-Jul-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kinerja

1. Pengertian Kinerja Kinerja didefinisikan sebagai tindakan yang hasilnya dapat dihitung, selain

itu juga dapat didefinisikan sebagai hasil kontribusi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994) mendefinisikan kinerja sebagai perilaku yang sejalan dengan kesuksesan organisasi. Dari beberapa definisi kinerja tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan tidakan atau perilaku karyawan yang hasilnya dapat dihitung dan sejalan dengan tujuan organisasi.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja Menurut Gibson Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske (2008) ada tiga

faktor yang mempengaruhi kinerja, meliputi: a. Variabel Individu

Ada beberapa variabel individu yang mempengaruhi kinerja karyawan di antaranya kemampuan dan keterampilan, latar belakang, dan demografis.

b. Variabel Psikologi

Ada beberapa variabel psikologi yang mempengaruhi kinerja karyawan di antaranya persepsi, sikap, kepribadian, motivasi, kepuasan kerja, dan stres kerja.

Page 2: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

2

c. Variabel Organisasi Ada beberapa variabel organisasi yang mempengaruhi kinerja

karyawan di antaranya kepemimpinan, kompensasi, konflik, kekuasaan, struktur organisasi, desain pekerjaan, desain organisasi, dan karir.

Selain beberapa faktor di atas, berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Pourbarkhordari et al. (2016) ada hal lain yang mampu mengerahui kinerja adalah work engagement.

3. Penilaian Kinerja Beberapa tujuan kinerja adalah untuk membantu manajemen membuat

keputusan sumberdaya manusia secara umum, khususnya adalah promosi, perpindahan, dan penghentian karyawan. Evaluasi juga mengidentifikasi pelatihan dan kebutuhan pengembangan karyawan (Robbins & Judge, 2013). Menurut Robbins dan Judge (2013) ada tiga kriteria yang harus dinilai dalam penilaian kinerjanya, di antaranya

a. Hasil Tugas Individu Manajemen menilai hasil sebagai kuantitas produksi, nota

produksi, dan harga produksi per unit, total penjualan, peningkatan dollar dalam penjualan.

b. Perilaku Hasil kinerja berdasarkan perilaku. beberapa hal yang bisa

dinilai adalah gaya kepemimpinan, dan jumlah penawaran yang dilakukan oleh bagian penjualan.

Page 3: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

3

c. Sifat

Kinerja dinilai dari nilai tingkah laku karyawan yang baik, rasa percaya diri, dan terlihat sibuk. Sifat adalah kriteria yang paling lemah, tetapi naif untuk mengabaikan realitas bahwa organiasi masih menggunakan kriteria sifat untuk menilai kinerja.

B. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Robbins dan Judge (2008), berpendapat bahwa OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Organ, Podsakoff dan MacKenzie (2006) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Organ et al. (2006) mengatakan bahwa OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa di tumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan beban kerja mereka, tidak banyak beristirahat, melaksanakan tugas yang tidak diminta, dan membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka OCB bisa didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku karyawan secara sukarela dan tanpa mengharap imbalan yang menguntungkan bagi organisasi dan tidak menjadi bagian dari deskripsi kerja.

Page 4: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

4

2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Menurut Organ (1988), ada lima dimensi OCB, yaitu: a. Altruisme yaitu perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong

rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. b. Courtesy yaitu perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan

rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi.

c. Sportsmanship yaitu kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya.

d. Conscientiousness yaitu pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek.

e. Civic virtue yaitu perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta dan peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi.

C. Work engagement 1. Pengertian Work Engagement

Pengertian work engagement menurut Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker (2002) adalah sesuatu yang positif, kepuasan, tingkat kerja yang terhubung dengan vigor, dedication, dan absorption. Adapun penjelasannya adalah

a. Vigor Vigor ditandai dengan tingginya tingkat energi dan ketahanan

mental saat bekerja, kemauan seseorang untuk memberikan usaha

Page 5: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

5

maksimal pada pekerjaan yang dilakukan, dan ketekunan bahkan dalam menghadapi kesulitan.

b. Dedication Dedication mengacu pada keterikatan, antusiasme, inspirasi,

rasa bangga, dan tantangan pada pekerjaan yang dilakukan. c. Absorption

Absorption ditandai dengan ada rasa bahagia dan fokus ketika bekerja, sehingga seseorang merasa waktu berlalu dengan cepat, serta memiliki rasa memiliki pada pekerjaan yang dikerjakan

Ada beberapa sedikit perbedaan pandangan mengenai pengertian dari work engagement. Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker (2002) menyoroti bahwa work engagement merupakan tingkat emosional yang tinggi antara karyawan dan pekerjaanya yang ditandai dengan vigor, dedication, dan absorption. Sedangkan menurut Bakker (2003); Maslach dan Leiter (1997) menyoroti work engagement sebagai kebalikan dari burnout. Berdasarkan dua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa work engagement adalah tingkat emosional yang berlawanan dengan burnout pada karyawan dan pekerjaanya yang ditandai dengan vigor, dedication, dan, absorption.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Work Engagement Ada beberapa hal yang mempengaruhi work engagement. Menurut Bakker

dan Demerouti (2008) ada tiga faktor yang mempengaruhi work engagement yaitu a. Job Resource

Page 6: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

6

Job resource merujuk pada aspek fisik, sosial, dan organisasi dari pekerjaan yang memungkinkan tiap individu untuk 1) Mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis terhadap pekerjaan tersebut, 2) menjadi fungsi dalam mencapai tujuan kerja, dan 3) menstimulasi peningkatan, pembelajaran, dan pengembangan individu (Bakker & Demerouti, 2007).

b. Salience of Job Resource Faktor ini merujuk pada seberapa berguna dan pentingnya

sumberdaya pekerjaan yang dimiliki oleh individu. c. Personal Resources

Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, usia, sifat, dan lain sebagainya. Personal Resource merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa individu bisa memanipulasi, mengontrol, dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.

D. Kepemimpinan Transformasional 1. Pengertian Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass (1999) kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang secara tidak langsung mampu menggerakkan karyawan melalui karisma, inspirasi, stimulasi, dan pendekatan yang dimiliki pemimpin tersebut. Antonakis, Avolio dan Sivasubramniam (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah perilaku proaktif, upaya peningkatan perhatian

Page 7: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

7

atas kepentingan bersama, dan membantu karyawan mencapai tujuan pada tingkatan tertinggi. Dari dua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan pemimpin yang secara tidak langsung mampu menginspirasi, memberikan perhatian, dan memotivasi karyawan untuk mencapai hasil dan tujuan pada tingkatan tertinggi.

2. Aspek – Aspek Kepemimpinan Transformasional Bass, Avolio, Jung, dan Berson (2003) merumuskan bahwa ada empat

komponen dari kepemimpinan transformasional, yaitu a. Idealized Influence

Idealized Influence adalah pemimpin yang dikagumi, dihormati, dan dipercaya oleh karyawan. Karyawan ingin meniru pemimpin mereka. Pemimpin berbagi risiko dengan karyawan dan secara konsisten memimpin berdasarkan etika, prinsip, dan nilai.

b. Inspirational Motivation Inspirational Motivation adalah pemimpin yang berperilaku

dengan memotivasi para karyawan. Pemimpin memberi tantangan dan deskripsi kerja, sehingga semangat setiap individu dan kelompok meningkat, dan antusiasme dan optimisme karyawan terlihat.

c. Intellectual Stimulation Pemimpin menstimulasi kesungguhan karyawan untuk menjadi

lebih inovatif dan kreatif dengan pertanyaan asumsi, membingkai ulang masalah, dan pendekatan masalah dengan cara baru. Pemimpin melakukan stimulasi tanpa ejekan atau kritikan. Ide baru dan solusi

Page 8: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

8

kreatif terhadap masalah yang berasal dari karyawan ditampung, termasuk proses penanganan masalah dan pencarian solusi.

d. Individual Consideration Pemimpin memberi perhatian terhadap kebutuhan karyawan.

Pemberian perhatian dilakukan untuk mensukseskan pencapaian dan meningkatkan kualitas karyawan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor.

E. Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional pada kinerja yang

dimediasi oleh work engagement Hal yang paling umum untuk diasosiasikan dengan kepemimpinan

transformasional adalah menjelaskan visi dan masa depan organisasi, menjelaskan model jangka panjang yang konsisten dari visi organisasi, membina kelompok organisasi, memberi dukungan berupa stimulasi dan pandangan tentang kinerja karyawan yang baik. Kepemimpinan transformasional membentuk hubungan positif antara individu, kelompok, penilaian terhadap bawahan, dan kinerja (Wang, Law, Hackett, Wang & Chen, 2005).

Dalam organisasi dan kerja secara berkelompok, pemimpin membutuhkan pemahaman yang lebih tentang bagaimana karyawan lebih terikat pada pekerjaan, sehingga secara efektif meningkatkan kinerja (Pourbarkhordari et al., 2016). Karyawan yang mendapatkan dukungan, inspirasi, dan coaching dari pemimpin akan memberikan dampak positif seperti karyawan akan berkerja lebih tertantang, muncul rasa bangga, dan menjadi lebih terikat dengan pekerjaan (work

Page 9: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

9

engagement) (Avery, McKay & Wilson, 2007). Pemimpin yang terpercaya dan memiliki sikap mendukung akan meningkatkan work engagement yang mengarah pada kinerja (Hoon, Kolb, Hee & Kyoung, 2012).

Work engagement memberikan kesempatan bagi karyawan untuk lebih berinovasi dan mendorong untuk melakukan determainasi kerja. Karyawan yang terlibat akan bekerja lebih ekstra dan melakukan pekerjaannya dengan baik, serta menghasilkan kinerja yang dahsyat (Bakker, 2012). Work engagement memberikan dampak pada kinerja, baik kinerja karyawan atau kinerja perusahaan (Bakker & Leiter, 2010).

Birasnav (2014) meneliti hubungan kepemimpinan transformsional terhadap kinerja dan proses manajemen ilmu pada industri jasa. Penelitian yang melibatkan 119 responden itu diwakili oleh perusahaan jasa pada sektor kesehatan, akuntan, transportasi, retail, hotel, institusi pendidikan, dan konsultan. Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki modal untuk meningkatkan kinerja. Ketika pemimpin memotivasi, menginspirasi karyawan untuk berinovasi, menyelesaikan masalah dengan cara yang baru dan selalu berusaha untuk bekerja lebih baik, maka karyawan akan termotivasi secara intrinsic sehinga berkontribusi lebih baik dan meningkatkan kulitas kerjanya.

Hasil dari penelitian Pourbarkhordari et al. (2016) menunjukkan bahwa pemimpin dengan karakteristik perilaku transformasional secara positif akan mempengaruhi work engagement dan kinerja karyawan. Hasil hipotesa kedua dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinnan transformasional berpengaruh positif terhadap work engagement. Ketika pemimpin memperlakukan

Page 10: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

10

karyawan dengan karakter kepemimpinan transformasional seperti stimulasi intelektual yang baik kepada karyawan dan mendorong karyawan meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, maka karyawan lebih terikat pada pekerjaan yang dikerjakan. Pada hipotesis ketiga dinyatakan bahwa work engagement berpengaruh positf terhadap kinerja. Karyawan yang giat dan antusias dalam bekerja, serta larut pada pekerjaan yang dilakukan meningkatkan kualitas kerja karyawan tersebut. Hubungan peningkatan tersebut dikarenakan work engagement dikategorikan sebagai salah satu bagian dari affective-motivational experience. Pada hipotesis keempat dinyatakan bahwa work engagement menjadi variabel yang menonjol untuk meningkatkan kinerja, khususnya sebagai model mediasi. Karyawan yang terikat dengan pekerjaan akan lebih giat dalam bekerja sehingga berdampak pada kinerja mereka ketika pemimpin memperlakukan karyawan dengan karakter kepemimpinan transformasional seperti menginspirasi, memotivasi, dan mendorong mereka untuk berkontribusi lebih baik dalam bekerja. Karakter tersebut membuat karyawan giat dalam bekerja dan merasa memiliki pada pekerjaan tersebut sehingga berdampak pada kinerja. Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu maka peneliti menyusun hipotesis:

H1: Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif pada kinerja (in-role performance)

H2: Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada work engagement.

H3: Work engagement berpengaruh positif pada kinerja (in-role performance)

Page 11: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

11

H4: Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kinerja (in-role performance) dimediasi oleh work engagement.

2. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional pada OCB yang dimediasi oleh work engagement

Organizational citizenship behavior (OCB) adalah tindakan bebas oleh karyawan yang mana tindakan tersebut tidak tertera secara formal pada lingkup perusahaan tetapi sangat mendukung kinerja dan tujuan perusahaan. Wang et al. (2005) meneliti hubungan antara kepemimpinan transformasional dan OCB. Penelitian dilakukan di beberapa perusahaan di China dan melibatkan 357 responden. Hasil dari penelitian tersebut adalah ada hubungan positif signifikan antara kepemimpinan transformasional dan OCB. Pemimpin yang memimpin perusahaan dengan menstimulus karyawan dengan cara memotivasi, mengarahkan karyawan, mendorong kinerja karyawan, dan menginspirasi serta memotivasi karyawan akan mendorong karyawan berkontribusi dan melakukan tindakan yang mendukung kinerja mereka secara sukarela (voluntary).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Pourbarkhordari et al. (2016) membuktikan bahwa kepemimpinnan transformasional berpengaruh positif terhadap work engagement. Ketika pemimpin memperlakukan karyawan dengan karakter kepemimpinan transformasional seperti stimulasi intelektual yang baik kepada karyawan dan mendorong karyawan meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, maka karyawan akan lebih terikat pada pekerjaan yang dikerjakan, sehingga karyawan lebih giat dalam bekerja.

Page 12: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

12

Babcock-Roberson dan Strickland (2010) meneliti hubungan work engagement pada OCB. Hasil penelitian yang melibatkan 102 responden tersebut menyatakan bahwa work engagement berpengaruh positif pada OCB. Pengaruh positif tersebut dijelaskan bahwa ketika karyawan memiliki keterikatan kerja yang ditandai dengan adanya rasa giat bekerja dan dedikasi yang tinggi dalam melakukan pekerjaan akan memunculkan rasa cinta dalam bekerja, sehingga secara spontan karyawan akan melakukan pekerjaan yang melebihi apa yang seharusnya mereka kerjakan tanpa ada rasa keinginan mendapatkan imbalan.

Berdasarkan tiga penelitian sebelumnya maka diprediksi bahwa kepemimpinan transformasional akan berpengaruh pada OCB melalui work engagement. Ketika pemimpin menstimulus karyawan dengan cara memotivasi, menginspirasi, dan mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik maka karyawan akan lebih giat dalam bekerja dan mempunyai dedikasi serta loyalitas pada pekerjaan, sehingga memicu karyawan dalam bekerja mendukung tujuan organisasi secara lebih meskipun pekerjaan itu di luar deskripsi kerja yang telah ditentukan. Berdasarkan penelitian terdahulu dan logika tersebut, peneliti merumuskan hipotesis:

H5: Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada OCB (extra-role performance).

H6: Work engagement berpengaruh positif pada OCB (extra-role performance).

H7: Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada OCB (extra-role performance) dimediasi oleh work engagement

Page 13: abstrak.ta.uns.ac.id · phqjkdvlondq nlqhumd \dqj gdkv\dw %dnnhu :run hqjdjhphqw phpehulndq gdpsdn sdgd nlqhumd edln nlqhumd ndu\dzdq dwdx nlqhumd shuxvdkddq %dnnhu /hlwhu %ludvqdy

Dalam melakukan analisa terkerangka pemikiran yang memberikan gambaran hubungan antar variabel sehingga mencapai kesimpulan.

Sumber: dimodifikasi dari BobcockPourbarkhordari, Zhou, dan Pourkarimi (2016)

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Bobcockdan Pourbarkhordari et al.kepemimpinan transformasional sebagai variabel independen, sebagai variabel mediasi, dan kinerja serta OCB sebagai variabel dependen.

13

F. Kerangka Penelitian Dalam melakukan analisa terhadap masalah yang dihadapi, maka

kerangka pemikiran yang memberikan gambaran hubungan antar variabel sehingga mencapai kesimpulan.

Sumber: dimodifikasi dari Bobcock-Roberson dan Strickland (2010); Pourbarkhordari, Zhou, dan Pourkarimi (2016)

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari

penelitian yang telah dilakukan oleh Bobcock-Roberson dan Strickland (dan Pourbarkhordari et al. (2016). Pada kerangka tersebut digambarkan bahwa

pinan transformasional sebagai variabel independen, work engagement sebagai variabel mediasi, dan kinerja serta OCB sebagai variabel dependen.

hadap masalah yang dihadapi, maka diperlukan kerangka pemikiran yang memberikan gambaran hubungan antar variabel

Roberson dan Strickland (2010);

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari Strickland (2010)

(2016). Pada kerangka tersebut digambarkan bahwa work engagement

sebagai variabel mediasi, dan kinerja serta OCB sebagai variabel dependen.