iirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47436...kajian fiqh muamalah jual beli...
TRANSCRIPT
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
ABSTRAK
Rizka Yunita NIM 11150490000023 BARANG MILIK NEGARA
SEBAGAI ASET SBSN PERSPEKTIF TEORI KEPEMILIKAN FIQH
MUAMALAH DAN FATWA DSN MUI (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 143/pu-vii/2009), Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2019 M/ 1440 H, 1x + 90 Halaman
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dengan perspektif Fiqh
Muamalah dan Fatwa DSN MUI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
143/PUU-VII/2009. Putusan tersebut merupakan hasil uji materil Undang-Undang
SBSN yang diajukan pemohon karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya
dengan penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN
dengan akad jual beli hak atas manfaat BMN.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder berupa Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Fatwa DSN MUI, Buku
terkait SBSN maupun Fiqh Muamalah.
Hasil Penelitian ini menunjukkan Putusan MK nomor 143/PUU-VII/2009
menguatkan kewenangan Pemerintah menggunakan Barang Milik Negara (BMN)
sebagai aset SBSN. Mahkamah berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan
telah mengatur secara detail tata cara penggunaan BMN sebagai aset SBSN. Dalam
kajian Fiqh Muamalah jual beli (al-Ba’i) merupakan akad pertukaran dengan
kepemilikan sempurna (al-milk al-tamm) Sedangkan perpindahan berupa
manfaatnya saja (al-milk an-naqish) disebut dengan Ijarah (sewa-menyewa). Fatwa
DSN MUI hanya menyebutkan akad jual beli sebagai perpindahan kepemilikan
BMN tanpa penyebutan ha katas manfaat, sehingga definisi jual beli dalam fatwa
seharusnya kembali pada pengertian dalam literature Fiqh Muamalah
Kata Kunci : Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Barang Milik
Negara
Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : 1986-2018
-
vi
KATA PENGANTAR
ِحيمِِ ْحمِنِالرَّ بِْسِمِهللاِِالرَّ
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, rasa syukur ke Hadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah memberikan ampunan,
rahmat, dan pertolongan-Nya, sehingga atas kuasa-Nya peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada
sebaik-baik tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, semoga
kelak kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya izinkan peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. AM. Hasan Ali, MA., ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr.
Abdurrauf, MA., sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini
3. AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing dalam
penulisan skripsi ini yang senantiasa meluangkan waktunya, memberikan
arahan, bimbingan, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
4. Ir. Nadratuzzaman Hosen, M.Sc, M.Ec., Ph.D, selaku dosen pembimbing
akademik telah memotivasi peneliti dan kawan-kawan untuk terus
memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan selama menjalani
masa perkuliahan.
-
vii
Jakarta, 02 Juli 2019
Peneliti
Rizka Yunita
5. Pimpinan beserta staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan.
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membagi banyak ilmu dan pengalaman serta
staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan fasilitas dan menjaga kebersihan fakultas selama masa
perkuliahan.
7. Teristimewa kepada keluarga peneliti, Ayahanda Budiyanto dan Ibunda
Muntamah yang selalu mendoakan dan telah membesarkan putra-putri yang
salih dan salihah dengan penuh kasih sayang, juga kepada Kak Ridha dan
Wildan yang selalu memotivasi untuk segara wisuda.
8. Keluarga intelektual peneliti, Lingkar Studi Ekonomi Syariah (Lisensi) yang
telah mewarnai masa perkuliahan ini dengan ukhuwah, ilmiah, dan dakwah.
Terkhusus kepada sahabat dalam kebaikan, Nuri, Azizah, Nining, Aisyah,
Ummi, Sandi, Alfin, Halid, Nasrulloh, dan Lisensi 2015 lainnya
9. Kepada seluruh teman-teman Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015,
khususnya sahabat peneliti yang selalu membersamai selama masa perkuliahan
Ulfa, Dinda, Mahesti, dan Isnova.
10. Seluruh pihak yang telah membantu, memberi masukan dan memotivasi dalam
penyelesaian skripsi ini
Semoga Allah memberikan ampunan, rahmat, dan balasan pada setiap
kebaikan yang telah diberikan untuk penliti. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi syariah.
-
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iiiv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah ......................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8
D. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH (SEWA-
MENYEWA), BA’I (JUAL BELI), DAN HAK MANFAAT
A. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ................................................. 13
1. Pengertian SBSN ................................................................................ 13
2. Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) .......................... 14
3. Perbedaan Sukuk dan Obligasi ........................................................... 15
4. Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN .......... 17
5. Fatwa DSN MUI tentang SBSN ......................................................... 20
6. Struktur Akad Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ..................... 23
B. Teori Hak Milik ...................................................................................... 31
1. Pengertian Hak Milik ......................................................................... 31
2. Sebab-sebab Pemilikan ....................................................................... 33
3. Macam-macam Hak Milik .................................................................. 35
4. Berakhirnya al-Milk............................................................................ 39
-
ix
5. Haqq Al-Intifa (Hak Manfaat) ............................................................ 39
C. Al-Ba’i (Jual Beli) ................................................................................... 41
1. Pengertian Ba’i (Jual Beli) ................................................................. 41
2. Dalil Hukum disyariatkannya Ba’i (Jual Beli) ................................... 43
3. Rukun dan Syarat Ba’i (Jual Beli) ...................................................... 43
4. Persyaratan dalam Jual Beli................................................................ 44
D. Ijarah (Sewa-Menyewa) ......................................................................... 46
1. Pengertian Ijarah (Sewa-Menyewa)................................................... 46
2. Dasar Hukum Ijarah ........................................................................... 48
3. Hubungan Ba’i dan Ijarah .................................................................. 48
4. Rukun dan Syarat Sah Ijarah ............................................................. 49
5. Menyewakan barang sewaan .............................................................. 51
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 52
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 143/PUU-
VII/2009 TENTANG JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG SBSN
A. Eksesitensi Mahkamah Konstitusi .......................................................... 57
1. Pengertian Mahkamah Konstusi ......................................................... 57
2. Pengujian Undang-Undang ................................................................ 57
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 ................... 59
1. Pemohon : ........................................................................................... 59
2. Duduk Perkara .................................................................................... 60
3. Pendapat Mahkamah .......................................................................... 64
BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 143/PU-VII/2009
MENGENAI BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI ASET SBSN DALAM
TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN FATWA DSN MUI
A. Peralihan Kepemilikan BMN Sebagai Aset SBSN pada Putusan MK
Nomor 143/PUU-VII/2009 .................................................................... 69
B. Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 Perspektif Teori Hak Milik
Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI .......................... 74
1. Penerapan Akad Jual Beli BMN sebagai Aset SBSN dalam Teori
Kepemilikan Fiqh Muamalah ............................................................. 74
-
x
2. Ketentuan Syariah Fatwa DSN MUI tentang SBSN .......................... 77
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 82
B. Rekomendasi ........................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Total Penerbitan Sukuk Negara di beberapa Negara……………………1
Tabel 2.1 Perbedaan Sukuk dan Obligasi ............................................................. 15
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme Struktur Akad Ijarah Sale and Lease Back ……...…….24
Gambar 2.2 Mekanisme Sturktur Akad SBSN Wakalah…………………..…………26
Gambar 2.3 Mekanisme Penerbitan SBSN Ijarah Asset to be Leased…….………28
Gambar 2.4 Mekanisme Struktur Akad SBSN Ijarah al-Khadamat...……………30
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Instrumen produk alternatif dalam investasi pasar modal di Indonesia
dewasa ini semakin berkembang. Di sisi lain, rancangan defisit Anggaran dan
Pendapatan Belanja Negara (APBN) harus dipenuhi dengan instrument
pembiayaan berbasis utang dalam bentuk pinjaman dan penerbitan surat
berharga. Untuk menutup defisit APBN sekaligus mengembangkan pasar
keuangan Syariah di Indonesia, Pemerintah meluncurkan instrument investasi
dan pembiayaan berbasis syariah yang disebut Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) atau sukuk negara.
Perkembangan penerbitan sukuk negara cukup signifikan baik dalam pasar
Nasional maupun Internasional. Porsi penerbitan SBSN terhadap total
outstanding SBN sebesar 18%, dengan Total Akumulasi penerbitan SBSN
hingga bulan Oktober 2018 telah mencpai lebih dari Rp950 triliun dengan
SBSN outstanding per 25 Oktober 2018 sebesar Rp 657 Triliun.1 Dalam pasar
sukuk Internasional, Indonesia menempati posisi pertama pada bulan Maret
2018 dengan total penerbitan sebagai berikut.2
Tabel 1.1
Total Penerbitan Sukuk Negara di beberapa Negara
No Negara Total Penerbitan
1. Indonesia USD 13.150
2. Saudi Arabia USD 9.000
3. Dubai USD 8.219
4. Malaysia USD 7.000
1 Dikutipdari website Kementrian Keuangan
http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2286 pada 01 Juni 2019 Pukul 15:20.
2 Dikutip dari Kementrian Keuangan (di akses melalui http://www.comcec.org/en/wp-
content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdf ) pada 01 Juni 2019 Pukul 15:25.
http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2286http://www.comcec.org/en/wp-content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdfhttp://www.comcec.org/en/wp-content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdf
-
No Negara Total Penerbitan
5. Turkey USD 6.256
6. Qatar USD 6.231
7. Bahrain USD 5.238
8. Pakistan USD 5.044
9. Oman USD 3.149
10. Hongkong USD 3.000
11. Emirates of Ras Al Khaimah USD 2.625
12. Emirates of Sharjah USD 1.250
13. South Africa USD 500
Total Penerbitan USD 68.31
SBSN diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, oleh karena itu SBSN
memiliki perbedaan dengan surat utang negara yaitu adanya underlying asset
untuk menghindari riba. Aset tersebut berupa objek pembiayaan SBSN dan/atau
Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis dapat berupa tanah
dan/ bangunan, dan selain tanah dan/ bangunan3. Komisi XI Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) resmi menyetujui penggunaan Barang Milik Negara (BMN)
senilai Rp43,69 triliun sebagai aset penjaminan(underlying asset) dalam rangka
penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Adapun
BMN tersebut berbentuk tanah dan bangunan yang berada di bawah 50
Kementerian/Lembaga.4 Dengan menjadi pembeli sukuk, maka investor akan
memiliki sertifikat sebagai bukti atas kepemilikan hak manfaat (beneficial title)
aset SBSN.
Undang-Undang nomor 19 tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga Syariah
Negara (SBSN) lahir sebagai bentuk dukungan atas legalisasi keberadaan sukuk
3 Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga
Syariah Negara (SBSN).
4 Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-
230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukuk tanggal 18 Agustus 2019
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukukhttps://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukuk
-
negara di Indonesia. SBSN merupakan sebuah instrumen produk alternatif bagi
investor Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim untuk melakukan
investasi syariah di pasar modal. Tujuan diterbitkannya SBSN terdapat dalam
pasal 4 UU SBSN, yaitu untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.
Namun Undang-Undang ini pernah dilakukan uji materil terhadap Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
nomor 19 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut dianggap
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia. Selain itu, berlakunya UU ini
dianggap dapat berpotensi merugikan hak konstitusional pemohon selaku
Warga Negara Indonesia
Pemohon yaitu saudara Bastian Lubis, selaku Ketua Yayasan Patria Artha
dan Pembina Universitas Patria Artha Makassar, mengajukan permohonan
dalam surat permohonan bertanggal 2 November 2009. Pemohon sebagai
perorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusioanlnya
dengan berlakunya pasal tersebut sebagai dasar penerbitan SBSN sehingga
Barang Milik Negara (BMN) beralih kemanfaatannya. Pemohon tidak berhak
lagi mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
terhadap Barang Milik Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 H ayat
(2) UUD 1945.
Dalam pasal 10 dan 11 UU SBSN dijelaskan bahwa BMN dapat digunakan
sebagai dasar penerbitan SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN
dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak atas manfaat aset
SBSN atau dengan cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam
penerbitan SBSN. Kemudian aset SBSN disewa kembali oleh menteri hingga
waktu jatuh tempo sesuai akad tertentu dalam penerbitannya.
Dengan berlakunya kedua pasal tersebut, nyata terlihat potensi kerugian
konstitusional merujuk pada potensi kerugian. Apabila dalam jangka waktu
dijaminkannya aset SBSN ternyata gagal bayar (default), maka saat itu juga
-
berarti objek tersebut dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai). Pemohon
selaku warga negara tidak dapat memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang
merupakan publik domain, dimana public domain tidak dapat dijadikan objek
perdagangan sebagaimana tercermin dalam Pasal 49 ayat (4) UU nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendahaaran Negara bahwa BMN dilarang diserahkan
kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah
Pusat/Daerah.
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM dan
Menteri Keuangan menyampaikan keterangan tertulis yang menyatakan secara
tegas bahwa permohonan pemohon didasarkan pada alasan yang tidak jelas,
tidak cermat, dan kabur (obscuur libel), utamanya dalam mengkonstruksikan
kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Pemerintah berpendapat
pemohon tidak tepat dan berlebihan dalam menggunakan Pasal 28 H ayat (2)
dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Pemerintah perlu mengutip komentar Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
bahwa pasal 28 H ayat (2) mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan
yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian
atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan
bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan
yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga
kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus.
Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal
penguji yang menyatakan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”,
karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang
termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas
umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan.
Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN
tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9
ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut
-
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa
Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan
pengelolaan BMN. Pnggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara
Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga
pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda
dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN
tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan
mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan
pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat
dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan
aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan (legal title), sehingga
kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah.
Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 143/PUU-VII/2009 telah menyatakan
dalam amar putusan untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya
karena tidak beralasan hukum. Pendapat Mahkamah menyebutkan penggunaan
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak
tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan
konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran atau
diskriminasi. Selain itu BMN bukan dijadikan objek perdagangan dan bukan
merupakan jaminan yang dapat dipindahtangankan karena
pemindahtanganannya berbeda dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Pemerintah juga sependapat dengan keterangan enam orang ahli
Pemerintah bahwa SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan
negara khususnya dalam membiayai APBN, BMN yang dijadikan underlying
asset tetapi digunakan oleh instansi bersangkutan karena hanya ha katas
manfaat yang dijadikan underlying asset, tidak dilakukan pengalihan fisik
barang maupun pemindahan hak milik (legal title).
-
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji putusan MK tersebut dalam
perspektif konstruksi akad SBSN yang meniscayakan adanya peralihan
kepemilikan dalam akad jual beli. Bahwa dalam Undang-undang SBSN dan
konstruksi akad yang dilakukan Kementrian Keuangan pemindahtanganan
hanya berupa hak atas manfaat saja tanpa kepemilikan secara sempurna.
Putusan MK nomor 143/PUU-VII/2009 terhadap penggunaan BMN akan dikaji
berdasarkan teori kepemilikan yang terdapat dalam kajian Fiqh Muamalah dan
prinsip-prinsip syariah yang terdapat dalam Fatwa DSN MUI.
Sebelumnya, telah ada penelitian yang dilakukan oleh Aries Mawarni Putri5,
yang memaparkan prosedur penerbitan SBSN seri sukuk negara ritel dan
permasalahan-permasalahannya. Diantara permasalahan tersebut, adalah
substansi UU 19 tahun 2008 tentang SBSN yang telah mengalami uji materil ke
Mahkamah Konstitusi mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset
SBSN.
Penelitian lain dilakukan oleh Dani Arsyad Anwar dalam skripsinya
berjudul Akad Sale and Lease Back pada Transaksi Sukuk Ritel di PT BNI
Securities6, yang mengungkapkan bahwa dalam SBSN Ijarah Sale and Lease
Back, akad jual beli yang digunakan adalah jual beli bersyarat (Ba’i al-wafa),
yaitu mensyaratkan pembeli aset Barang Milik Negara untuk menjual kembali
BMN kepada penjual semula setelah masa jatuh tempo.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya terkait
dengan SBSN, yaitu merupakan analisis dari pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 berdasarkan teori kepemilikan dalam
Fiqh Muamalah dan Fatwa DSN MUI, dan bagaimana teori akad dan akibat
hukum kepemilikannya dalam hal ini adalah BMN sebagai underlying asset
peneribtan SBSN. Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini
5 Aries Mawarni Putri. Impelementasi Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Seri
Sukuk Negara Ritel Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Privat Law Vol. III No
2 Juli-Desember 2015.
6 Dani Arsyad Anwar, Akad Sale and Lease Back Pada Transaksi Sukuk Ritel di PT BNI
Securities, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010).
-
berjudul “BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI ASET SBSN
PERSPEKTIF TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN
FATWA DSN MUI (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/pu-
vii/2009)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Kedudukan Hak Milik BMN sebagai underlying asset
SBSN dalam Fatwa DSN MUI dan Fiqh Muamalah.
2. Tinjauan Yuridis hakim dalam membuat amar putusan menolak judicial
review.
3. Tinjauan aspek Fiqh Muamalah dan Fatwa DSN MUI dalam Putusan
MK Nomor 143/PUU-VII/2009.
4. Tidak adanya bentuk jaminan perlindungan yang pasti kepada investor
SBSN dari kemungkinan resiko gagal bayar (default).
2. Pembatasan Masalah
Putusan Nomor 143/PUU-VII/2009 dikeluarkan Mahkamah Konstitusi
dalam hal majelis hakim menolak permohonan pemohon dalam pengujian
materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN). Pokok materi yang diujikan adalah Pasal 10 ayat
(1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; dan Pasal 11 ayat (1) terkait status
Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN yang hak atas
manfaatnya menjadi milik investor. Dengan berlakunya pasal tersebut
pemohon selaku personal merasa terdapat potensi kerugian apabila terjadi
kondisi default sehingga aset SBSN tersebut jatuh kepada investor.
Penelitian ini membatasi pada analisia putusan dalam teori hak milik
berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI
-
terkait dengan SBSN ditinjau dari strukutur penggunaan akad jual beli
SBSN.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, Identifikasi dan Batasan masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana peralihan kepemilikan BMN sebagai aset SBSN dalam akad
jual beli pada Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 ?
2. Bagaimana analisa Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 dalam
perspektif teori hak milik berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan
Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan Penelitian ini secara objektif adalah untuk menjawab rumusan
masalah yaitu:
1. Mengetahui Peralihan kepemilikan BMN sebagai aset SBSN dalam
akad jual beli pada Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009.
2. Mengetahui Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 dalam perspektif
teori hak milik berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah
Fatwa DSN MUI.
2. Manfaat
Adapun manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Diharapkan bisa melengkapi literature review yang telah ada
sebelumnya mengenai Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying
asset SBSN.
2. Penelitian ini dapat dijadikan refrensi bagi Pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan terkait dengan penelitian ini.
3. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi Kementrian Keuangan
Direktorat Jenderal Pengelola Pembiayaan dan Resiko selaku instansi
terkait yang mengeluarkan Sukuk Negara.
-
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu usaha untuk menganalisa serta mengadakan
konstruksi secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis artinya,
suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara tertentu,
sistematis artinya dalam melakukan penelitian ada langkah-langkah atau
tahapan yang diikuti, dan konsisten berarti penelitian dilakukan secara taat
asas.7 Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah, maka diterapkan metode penelitian sebagai
berikut.
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitan kualiatif dengan tipe penelitian
hukum normatif. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang mendasarkan
data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa
dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.8 Penelitian hukum
normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya..9
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kasus
(case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan kasus yaitu bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama
mengenai kasus-kasus yang telah diputus.10 Kasus yang diangkat yaitu
7 Sri Mamudji, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 2.
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.9.
9 9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), h. 57.
10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing. 2007), h. 321.
-
mengenai penerbitan sukuk dalam hal kepemilikan akad jual beli pada
underlying asset, konsep jual beli. Fokus Peraturan perundang-undangan
dalam penelitian ini yaitu UU nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN).
3. Bahan Hukum
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian adalah data
sekunder, yaitu data yang telah disediakan oleh peneliti lain atau oleh
instansi tertentu. Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN,
Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Fatwa DSN MUI, dan lan-lain.
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa dokumen-dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan, buku-buku terkait
SBSN, konsep kepemilikan, maupun jual beli,dan sumber media online dan
media cetak lainnya tentang SBSN.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
studi kepustakaan. Melalui studi pustaka dikumpulkan dokumen yang
mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literature seperti buku,
artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan judul penelitian ini.
5. Pengelolaan dan Analisa Bahan Hukum
Bahan Hukum yang telah ada dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga
terlihat lebih sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu permaslahan yang dihadapi. Setelah bahan
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum satu sama lain
-
sehingga diketahui kesimpulan dari kasus pemindahan hak milik dalam
penerbitan SBSN.
6. Teknik Penulisan
Tekhnik Penulisan penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017 yaitu sesuai kaidah dan
Teknik penulisan yang telah ditentukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Tahum 2017, yang di dalamnya terbagi menjadi 5 bab.
Pada setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang digunakan untuk
memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang diteliti. Adapun urutan
dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahannya sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori dan
konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH
(SEWA- MENYEWA), BA’I (JUAL BELI), DAN HAK
MANFAAT
Merupakan pemaparan kajian konsep hak manfaat dan teori
dari akad Ijarah dan jual beli dalam literature fiqih
muamalah dan Fatwa DSN MUI tentang SBSN
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
143/PUU-VII/2009 TENTANG JUDICIAL REVIEW
UNDANG-UNDANG SBSN
Latar belakang diajukan pengujian undang-undang oleh
pemohon dan pendapat mahkamah dalam putusan menolak
permohon pemohon
-
BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
143/PU-VII/2009 TENTANG BARANG MILIK
NEGARA SEBAGAI ASET SBSN PERSPEKTIF
TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN
FATWA DSN MUI
Analisis Putusan MK Nomor 143/PU-VII/2009 dalam
ketentuan syariah Fatwa DSN MUI dan Kajian Fiqh
Muamalah tentang Jual Beli dan Ijarah serta perbedaan
keduanya dalam konteks jual beli BMN dan konsep
kepemilikan dalam Fiqh Muamalah
BAB V KESIMPULAN
Simpulan akhir dari hasil penelitian serta rekomendasi bagi
Kementrian Keuangan, DSN MUI, serta Mahkmah
Konstitusi
-
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH (SEWA-MENYEWA), BA’I
(JUAL BELI), DAN HAK MANFAAT
A. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
1. Pengertian SBSN
Kata sukuk (صكوك) bentuk jamak dari kata sakk (صك) merupakan
istilah Arab yang dapat diartikan sertifikat. Sukuk ini bukan merupakan
istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak
abad pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks
perdagangan internasional. Sukuk dipergunakan oleh para pedagang pada
masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang
timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun
sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan
bangsa Arab menyatakan bahwa dari kata sakk inilah yang kemudian
menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, sebagai suatu istilah yang
lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.1
Dalam UU No 19 Tahun 2008 Pasal 1 angka 1 tentang SBSN,
pengertian Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN,
atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing. Pengertian serupa juga terdapat dalam fatwa DSN MUI No.
69/DSN-MUI/VI/2008 dinyatakan Surat Berharga Syariah Negara atau
dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
1 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, cet. Ke-
2 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 136.
-
Pengertian sukuk menurut Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institusion (AAOIFI) adalah sertifikat bernilai sama
yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset,
hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan
investasi tertentu.
2. Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Sebagaimana kita tahu, rancangan Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN) menunjukkan angka negatif yang berarti belanja
negara lebih besar dari pendapatannya. Untuk menutupi defisit tersebut,
Pemerintah mengeluarkan instrumen pembiayaan dalam bentuk
pinjaman/utang luar negeri dan Surat Berharga Negara (SBN). SBN terbagi
menjadi 2 jenis pembiayaan, yaitu Surat Utang Negara (SUN) yang
berdasarkan suku bunga, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang
berdasarkan prinsip syariah.
SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai APBN dan
pembangunan proyek.2 Maksud dari membiayai pembangunan proyek
adalah membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapat
alokasi APBN, misalnya proyek infrastruktur dalam sektor energi,
telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, perumahan
rakyat, dan lain-lain. Upaya ini perlu dijalankan dalam rangka
memperlancar proses pembangunan.3
SBSN dapat diterbitkan langsung oleh pemerintah atau melalui
perusahaan penerbit SBSN yang dilakukan untuk kepentingan Negara.
Dalam hal penerbitan SBSN oleh perusahaan Penerbit SBSN dilakukan
hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan adanya Special Purpose
Vehicle (SPV).4
2 Lihat Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.
3 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 7.
4 Lihat Pasal 6 UU No. 19 tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.
-
SBSN memiliki beberapa seri penerbitan sejak tahun 2008, antara
lain yaitu sukuk Negara/ Islamic Fix Rated, Sukuk Ritel/SR, Global Sukuk
USD, Sukuk Dana Haji/SDHI, Surat Perbendaharaan Negara Syariah/SPN-
S, Islamic MTN Program, Sukuk Wakalah dimana 35%nya dialokasikan
untuk Investor Timur Tengah, dan SBSN Project Based Sukuk.5
Perbedaan seri dan akad akan mempengaruhi dokumen perjanjian
apa saja yang harus dibuat untuk menunjang penerbitan SBSN, namun
sebelum dipasarkan, penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapatkan
fatwa dan /atau pernyataan kesesuaian dari Sharia Compliance
Endorsement (SCE), untuk menjamin bahwa SBSN yang akan diterbitkan
telah sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 25 UU SBSN.6
3. Perbedaan Sukuk dan Obligasi
Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga
konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan
konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu
transaksi pendukung (underlying assets) berupa sejumlah tertentu aset yang
menjadi dasar penerbitan sukuk, serta adanya akad atau perjanjian antara
para pihak berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Secara ringkas,
perbandingan obligasi dan sukuk adalah sebagai berikut.
Tabel 2.1
Perbedaan Sukuk dan Obligasi
Deskripsi Sukuk Obligasi
Penerbit Pemerintah, Korporasi Pemerintah, Korporasi
5 Intan Puspitarini, Analisis SWOT atas Penggunaan Data Barang Milik Negara Sebagai
Dasar Penetapan Underlying asset SBSN, (Jurnal MKP STAN Vol. 1 No. 1, 2017), h. 10.
6 Rukhul Amin, SBSN dan Pengaturannya di Indonesia, (Jurnal Perbankan Syariah Vol. 1
No. 2 November, 2016), h. 81.
-
Sifat Instrumen Sertifikat
kepemilikan/
penyertaan atas suatu
asset
Instrumen Pengakuan
Utang
Penghasilan Bagi Hasil, Margin,
Fee
Bunga/kupon, capital
gain
Jangka Waktu Pendek-Menengah Menengah-Panjang
Underlying asset Perlu Tidak Perlu
Pihak yang Terkait Obligor, SPV,
Investor, trustee
Obligor/issuer,
investor
Harga Market Price Market Price
Investor Syariah, Konvensional Konvensional
Pembayaran Pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi
Penggunaan Hasil
Penerbitan SBSN
Harus sesuai syariah Bebas
Secara spesifik, keuntungan berinvestasi pada Sukuk Negara adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang
kompetitif, investor memperoleh imbalan yang lebih tinggi dari rata-rata
tingkat bunga deposito bank BUMN.
2. Pembayaran imbalan dan Nilai Nominal sampai dengan sukuk jatuh
tempo dijamin oleh pemerintah. Imbalan bersifat tetap dan dibayarkan
setiap bulan sampai dengan jatuh tempo.
3. Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder sesuai dengan harga pasar,
sehingga investor berpotensi mendapatkan capital gain di pasar sekunder.
4. Investasi yang aman, karena pembayaran imbalan dan nilai nominalnya
dijamin oleh Undang-Undang.
5. Investasi yang menentramkan, karena tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah seperti riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir
(gambling).
-
6. Prosedur pembelian dan penjualan yang mudah dan transparan. Cara
berinvestasi dalam sukuk negara ritel itu sangat mudah dan transparan.7
Di balik kelebihan sukuk ada sejumlah resiko yang perlu
diperhatikan. Resiko sukuk dapat dibagi menjadi risiko pasar (market risk),
risiko operasional (operational risk) dan risiko ketentuan syariah (shariah
compliance risk). Market risk terdiri dari risiko suku bunga (interest rate
risk atau rate of return risk) dan resiko nilai tukar (foreign exchange rate
risk) dapat di jelaskan berikut.
1. Resiko tingkat bunga, sukuk Ijarah, Istisna, salam dan yang didasarkan
atas fixed rate menanggung akibat dari naik turunnya tingkat suku
bunga. Kenaikan suku bunga menjadikan tingkat nilai sukuk kurang
diminati oleh investor.
2. Resiko nilai tukar (foreign exchange rate) dapat dijelaskan bahwa
sertifikat sukuk didenominasi di dalam Dolar Amerika (US$) sehingga
naik turunnya nilai rupiah terhadap dolar akan menjadikan nilai
pembayaran terhadap investor akan berubah dari nilai awal. Seperti
turunnya nilai rupiah terhadap dolar menjadikan beban pembayaran
cicilan menjadi semakin besar kepada investor.
3. Resiko operasional sukuk (operastional risk) terdiri dari resiko
kegagalan pembayaran (default risk), resiko pembayaran kupon (coupon
payment risk), resiko pelunasan asset (asset redemption risk), resiko
SPV (SPV specific risk), resiko investor (investor specific risks), resiko
berhubungan dengan aset (risk related to the asset).8
4. Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN
Perbedaan instrument investasi sukuk dengan obligasi didasarkan
pada adanya underlying asset yang menjadi dasar penerbitan untuk
7 Wiwin Kurniasari, Perkembangan dan Prospek Sukuk Tinjauan Teoritis, (Jurnal
Muqtasid Volume 5 Nomor 1, Juni 2014), h. 118.
8 Wiwin Kurniasari, Perkembangan dan Prospek Sukuk Tinjauan Teoritis, (Jurnal
Muqtasid Volume 5 Nomor 1, Juni 2014), h. 119.
-
menghindari riba, atau disebut juga Aset SBSN. Dalam pasal 1 angka 3 UU
SBSN, aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik
Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomi, berupa tanah dan/atau
bangunan maupun selain tanah dan/ atau bangunan, yang dalam rangka
penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah.9 Dalam penerbitan SBSN agar BMN dapat digunakan
sebagai aset SBSN, maka paling tidak harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut.
a. memiliki nilai ekonomis
b. dalam kondisi baik/layak.
c. telah tercatat dalam dokumen penatausahaan barang milik negara.
d. bukan merupakan alat utama sistem persenjataan
e. tidak sedang dalam sengketa
f. tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN10
Penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN dilakukan
menteri dengan menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik
negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka
penerbitan SBSN. Apabila barang milik negara sedang digunakan oleh
instansi pemerintah dan akan digunakan sebagai aset SBSN, maka menteri
terlebih dahulu memberitahukuan kepada intsani pemerintah pengguna
barang milik negara. Jangka waktu peyewaan aset SBSN oleh pemerintah
kepada perusahaan penerbit SBSN ditetapkan paling lama 60 tahun.11
Menteri wajib membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad
sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saaat SBSN jatuh
9 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.
10 Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 4/PMK.08/2009 tentang Pengelolaan
Aset SBSN yang berasal dari Barang Milik Negara.
11 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada., 2011), h. 55.
-
tempo. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, menteri membayar nilai
nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lainnya sesuai akad penerbitan
SBSN kepada pemegang SBSN.12
Menteri selaku pihak pegelola menetapkan secara rinci jenis, nilai,
dan spesifikasi barang milik negara yang akan dijadikan sebagai aet SBSN.
Oleh karena itu, untuk mendukung upaya tersebut, menteri dapat
menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan
penguasaan barang milik negara yang telah tercantum dalm daftar barang
milik negara, terutama apabila belum tersedia sertifikat hak pakai atau bukti
kepemilikan lain atas barang milik negara yang akan dijadikan sebagai aset
SBSN.13
Pemindahtanganan barang milik negara bersifat khusus berbeda
dengan pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. adapun
sifat pemindahtanganan barang milik negara dalam pengertian ini antara
lain sebagai berikut.
a. Penjualan dan/ atau penyewaan dilakukan hanya atas hak manfaat
barang milik negara.
b. tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) barang milik
negara.
c. tidak dilakukan pengalihan fisik barang milik negara sehingga tidak
menganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan
Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggunaan
barang milik negara sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan
instansi pengguna barang milik negara untuk tetap memanfaatkannya sesuai
dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab pengelolaan barang
12 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55.
13 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55.
-
milik negara ini tetap melekat pada instansi pengguna barang milik negara
tersebut sesuai peraturan perundang-undangan.14
5. Fatwa DSN MUI tentang SBSN
Majelis Ulama Indonesian (MUI) telah menerbitkan beberapa fatwa
yang menunjang penerbitan SBSN, diantaranya fatwa DSN MUI No.
69/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN, fatwa DSN-MUI No. 70/DSN-
MUI/VI/2008 tentang metode penerbitan SBSN, Fatwa DSN-MUI No.
71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back, fatwa DSN-MUI No.
72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN Ijarah Sale and Lease Back, fatwa
DSN No. 76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset to be leased,
dan Fatwa DSN No. 95/DSN-MUI/VII/2014 tentang SBSN Wakalah.
Dalam Fatwa DSN MUI No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) disebutkan bahwa SBSN lahir dalam
rangka mendorong pengembangan ekonomi dan pasar keuangan syariah
dalam negeri diperlukan adanya instrument investasi berbasis syariah untuk
mengoptimalkan pemanfaatan dana-dana masyarakat. Diterbitkannya
SBSN berlandaskan dalil al-Qur’an:
QS. al-Nisa ayat 29
ْقتُلُوا أَْن تَُكوَن تَِجاَرةً َعْن تََراٍض ِمْنُكْم ۚ َوََل تَ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آَمنُوا ََل تَأُْكلُوا أَْمَوالَُكْم بَْينَُكْم بِاْلبَاِطِل إَِلَّ
َ َكاَن بُِكْم َرِحيًما أَْنفَُسُكْم ۚ إِنَّ اَّللَّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
14 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55-56.
-
QS. al-Baqarah ayat 278
بَا إِْن ُكْنتُْم ُمْؤِمِنينَ يَا أَيُّهَ َ َوذَُروا َما بَِقَي ِمَن الِرِّ ا الَِّذيَن آَمنُوا اتَّقُوا اَّللَّ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman
Dalam Fatwa DSN tersebut dipaparkan pengertian SBSN, Aset
SBSN, Imbalan, dan Perusahaan Penerbit. Adapun pengertian Aset SBSN
dalam Fatwa tersebut adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang
Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau
bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka
penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN. Dalam ketentuan
khusus disebutkan bahwa penggunaan aset SBSN harus sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Pemerintah juga diwajibkan membayar imbalan
serta nilai nominal atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh
tempo sesuai akad yang digunakan.
Kemudian Fatwa DSN MUI No. 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang
Ijarah Sale and Lease Back lahir setelah Fatwa DSN MUI No. 71/DSN-
MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back. Dalam penerbitannya, SBSN
dengan struktur akad Ijarah Sale and Lease Back menggunakan akad Ba’i
dan Ijarah yang dilakukan secara terpisah. Sale and Lease Back sendiri
memiliki pengertian yaitu adalah jual beli suatu aset yang kemudian
pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.15
Dalam ketentuan khusus fatwa Ijarah Sale and Lease Back
disebutkan bahwa Pemerintah menjual aset yang akan dijadikan objek
Ijarah kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya
yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual kembali aset yang
dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
Ketentuan khusus SBSN Ijarah Sale and Lease Back juga
menyebutkan Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan
15 Ketentuan Umum Fatwa DSN MUI No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease
Back.
-
SBSN sebagai bukti atas bagian kepemilikan Obyek Ijarah, yang dibeli oleh
investor pada tingkat harga tertentu sesuai kesepakatan. Ini berarti investor
yang membeli SBSN adalah sebagai pemilik dari obyek Ijarah atau aset
SBSN. Kemudian di dalam fatwa pemerintah sebagai penyewa obyek Ijarah
memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang SBSN selama jangka waktu
SBSN. Pemerintah sebagai penyewa juga wajib memelihara dan menjaga
obyek Ijarah sampai dengn berakhirnya masa sewa.
Fatwa SBSN lainnya yaitu Fatwa Nomor 76/DSN-MUI/ VI/2010
tentang SBSN Ijarah Asset to Be Leased. Ijarah Asset To Be Leased (Ijarah
al Maujudat al-Mau’ud Bisti’jariha) adalah akad Ijarah yang obyek
Ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek Ijarah
sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek
Ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan.
Dalam ketentuan khusus Fatwa Ijarah Asset to be Leased,
disebutkan bahwa Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan hak atas
sebagian asset yang akan dijadikan Obyek Ijarah Asset To Be Leased
kepada Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang
ditunjuk. Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang
ditunjuk, wajib menyediakan Obyek Ijarah Asset To Be Leased sesuai
dengan kesepakatan. Pemerintah dapat bertindak sebagai wakil untuk
menyediakan objek Ijarah termasuk untuk menggunakan aset yang
dimilikinya sendiri.
Fatwa SBSN yang terakhir yaitu Fatwa SBSN Wakalah No.
95/DSN-MUINII/2014, yaitu Penerbit SBSN wajib menyatakan bahwa
dirinya bertindak sebagai Wali Amanat/Wakil dari pemegang SBSN, untuk
mengelola dana hasil penerbitan SBSN dalam berbagai kegiatan yang
menghasilkan keuntungan. Aset SBSN Wakalah adalah aset yang berupa
barang, jasa, proyek, atau asset lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah
sebagai dasar (underlying) penerbitan SBSN Wakalah.
Penerbit SBSN sebagai Wakil dalam pengelolaan dana hasil
penerbitan SBSN wajib:menggunakan dana tersebut dalam berbagai
-
kegiatan yang menguntungkan, baik berupa kegiatan Ijarah (sewa
menyewa), tijarah (seperti pengadaan barang dan jasa) dan kegiatan lainnya
yang sesuai dengan prinsip syariah. Kemudian penerbit menyampaikan
jenis akad wakalah yang digunakan. Untuk dapat diperdagangkan di pasar
sekunder, SBSN wakalah harus memiliki komposisi kegiatan penggunaan
sebagian besar dana atau sekurang-kurangnya 51% dalam bentuk aset
berwujud.
6. Struktur Akad Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Dalam situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara,16
terdapat empat struktur yang digunakan dalam menerbitkan SBSN,
diantaranya SBSN Ijarah Sale and Lease Back, SBSN Ijarah Asset to be
leased, Ijarah al-Khadamat, dan SBSN Wakalah. Masing-masing stuktur
akad memiliki mekanisme sebagai berikut.
• SBSN Ijarah Sale and Lease Back adalah Surat Berharga Syariah
Negara yang diterbitkan dengan menggunakan akad Ijarah dengan
mekanisme Sale and Lease Back (البيع مع اَلستئجار). Penerbitannya
menggunakan underlying asset berupa Barang Milik Negara (BMN)
yang dijual hak manfaatnya dengan mekanisme sebagai berikut.17
16 Diperoleh dari situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara www.djppr.kemenkeu.go.id.
17 Diperoleh dari situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara www.djppr.kemenkeu.go.id.
http://www.djppr.kemenkeu.go.id/http://www.djppr.kemenkeu.go.id/
-
Gambar 2.1
Mekanisme Struktur Akad Ijarah Sale and Lease Back
I. Penerbitan SBSN:
1a. Penjualan Hak Manfaat Barang Milik Negara (BMN) oleh
Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN untuk digunakan
sebagai Aset SBSN (Akad Bai’).
1b. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit SBSN sebagai
bukti atas penyertaan/ kepemilikan investor terhadap Aset SBSN.
1c. Dana hasil penerbitan SBSN dari investor (pembeli SBSN)
kepada Perusahaan Penerbit SBSN
1d. Pembayaran atas pembelian hak manfaat Aset SBSN oleh
Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah.
-
II. Pembayaran Imbalan SBSN:
2a. Penyewaan Aset SBSN oleh Pemerintah untuk digunakan
dalam operasional pemerintahan sehari-hari (Akad Ijarah).
2b. Pembayaran Imbalan (ujrah) atas penyewaan Aset SBSN oleh
Pemerintah sebagai penyewa (Musta’jir/Lessee) kepada
Pemegang SBSN selaku pemberi sewa (Mu’jir/Lessor) melalui
Agen Pembayar.
III. Jatuh Tempo SBSN:
3. Pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah dari pemegang SBSN
melalui Perusahaan Penerbit SBSN (Akad Ba’i).
4a&4b.Pembayaran atas pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah
kepada pemegang SBSN melalui Agen Pembayar sebagai
pelunasan SBSN
5. Jatuh tempo SBSN
• SBSN Wakalah adalah SBSN wakalah bit istitsmar; yaitu SBSN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas
bagian dari aset dalarn kegiatan investasi yang dikelola oleh Perusahaan
Penerbit SBSN selaku Wakil dari pernegang SBSN.18 Mekanisme
penerbitannya sebegai berikut.
18 Fatwa DSN MUI No. 95 Tahun 2014 tentang SBSN Wakalah.
-
Gambar 2.2
Mekanisme Struktur Akad SBSN Wakalah
Penerbitan:
1a. Perusahaan Penerbit SBSN menyatakan dirinya bertindak sebagai
Wakil dari pemegang SBSN, untuk mengelola dana hasil
penerbitan SBSN dalam rangka kegiatan yang menghasilkan
keuntungan:
o Perusahaan Penerbit SBSN menyampaikan kepada calon
investor tentang rencana penggunaan dana dalam berbagai
kegiatan yang akan dilakukan;
o Akad wakalah yang digunakan: wakalah dengan ujrah (wakalah
bil ujrah) atau wakalah tanpa ujrah (bi dunil ujrah);
o Perusahaan Penerbit SBSN menginformasikan kegiatan
investasi yang dilakukan, antara lain: jenis kegiatan, komposisi
-
kegiatan, perhitungan keuntungan masing-masing kegiatan, dan
perhitungan komposit;
o Dalam hal SBSN akan diperdagangkan di pasar sekunder,
Perusahaan Penerbit SBSN menjaga komposisi kegiatan
penggunaan dana minimal 51% dalam bentuk aset berwujud.
1b. Penerbitan SBSN Wakalah oleh Perusahaan Penerbit SBSN.
2.Dana hasil penerbitan SBSN (proceeds).
Kegiatan Investasi dan Imbalan SBSN:
3. Perusahaan Penerbit SBSN melakukan berbagai kegiatan yang
menguntungkan, baik berupa kegiatan Ijarah, tijarah, dan kegiatan
lainnya yang sesuai prinsip syariah.
4. Dana kegiatan investasi.
5. Keuntungan yang diperoleh dari hasil kegiatan tersebut akan
diberikan kepada pemegang SBSN sebagai imbalan. Imbalan SBSN
dapat diberikan selama jangka waktu SBSN secara periodik
dan/atau pada saat jatuh tempo sesuai kesepakatan.
6. Pembayaran imbalan SBSN secara periodik kepada pemegang
SBSN.
Jatuh Tempo:
7. Pada saat jatuh tempo, Pemerintah membeli Aset SBSN dengan
membayar harga sesuai kesepakatan.
8. Harga pembayaran atas pembelian Aset SBSN.
9. Pelunasan SBSN.
• SBSN Ijarah Asset To Be Leased adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas
bagian dari Asset SBSN yang menjadi obyek Ijarah, baik yang sudah
ada maupun akan ada.19 Adapun mekanisme penerbitannya sebagai
berikut.
19 Fatwa DSN MUI No. 76 Tahun 2008 tentang SBSN Ijarah Asset to be Leased.
-
Gambar 2.3
Meknisme Struktur Akad Ijarah Asset to be Leased
I. Penerbitan SBSN:
1. Pemesanan Obyek Ijarah dengan spesifikasi tertentu oleh
Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN (PP SBSN) untuk
disewa melalui akad Ijarah Asset to be Leased.
2a. Pemberian kuasa (Wakalah Agreement) oleh PP SBSN kepada
Pemerintah dalam rangka pembangunan proyek yang akan
dijadikan sebagai obyek Ijarah.
2b. Pembelian (Akad Ba’i) tanah dan/atau bangunan yang berupa
Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai bagian obyek
Ijarah (dalam hal diperlukan).
3. Penerbitan SBSN oleh PP SBSN sebagai bukti atas bagian
penyertaan investor terhadap Aset SBSN
-
4. Dana hasil penerbitan SBSN (Proceeds) dari investor kepada PP
SBSN.
5. Proceeds dari PP SBSN (Pemberi Kuasa) kepada Pemerintah
(Wakil).
II. Pembayaran Imbalan SBSN
6. Akad Ijarah Asset To Be Leased antara Pemerintah (Penyewa)
dengan PP SBSN (Pemberi Sewa).
7. Pembayaran uang sewa (ujrah) secara periodik oleh Pemerintah
kepada PP SBSN, untuk diberikan kepada investor sebagai
imbalan SBSN.
8. Pembayaran imbalan SBSN secara periodik kepada investor
melalui Agen Pembayar.
9. Penandatangan Berita Acara Serah Terima (BAST) proyek antara
Pemerintah (wakil) dan PP SBSN (Pemberi Kuasa).
III. Jatuh Tempo SBSN:
10. Pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah dari pemegang SBSN
melalui Perusahaan Penerbit SBSN (Akad Ba’i) pada saat jatuh
tempo.
11. Pembayaran atas pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah kepada
pemegang SBSN melalui Agen Pembayar sebagai pelunasan
SBSN.
12. Jatuh tempo dan Pelunasan SBSN.
• SBSN Ijarah al-Khadamat yaitu sukuk yang diterbitkan menggunakan
akad Ijarah al-khadamat dengan underlying asset berupa jasa, yaitu jasa
layanan haji. Jenis sukuk ini merepresentasikan kepemilikan atas jasa
yang tersedia di masa yang akan datang.
-
Gambar 2.4
Mekanisme Penerbitan SBSN Ijarah Al-Khadamat
1. Perjanjian penyediaan jasa layanan haji oleh Perusahaan Penerbit
SBSN kepada Pemerintah (akad Ijarah al-khadamat)
2. Penerbitan SBSN (Sukuk Dana Haji Indonesia/SDHI) oleh
Perusahaan Penerbit SBSN sebagai bukti atas bagian
penyertaan/kepemilikan investor terhadap Aset SBSN berupa jasa
layanan haji
3. Dana hasil penerbitan SBSN dari investor (pembeli SBSN) kepada
Perusahaan Penerbit SBSN
4. Pemberian kuasa (wakalah) dari Perusahaan Penerbit SBSN kepada
Pemerintah untuk pengadaan jasa layanan haji
5. Penyerahan dana pengadaan jasa layanan haji dari Perusahaan
Penerbit SBSN kepada Pemerintah.
6. Pengadaan jasa layanan haji oleh Pemerintah selaku Wakil.
-
7. Laporan pengadaan jasa layanan haji dari Pemerintah selaku Wakil
kepada Perusahaan Penerbit SBSN selaku Muwakkil
8. Penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) pengadaan
jasa layanan haji antara Pemerintah dengan Perusahaan Penerbit
SBSN
9. Pembayaran ujrah jasa layanan haji oleh Pemerintah selaku
pengguna jasa (Mu’ajjir) kepada Pemegang SBSN selaku penyedia
jasa (Ajir) melalui Agen Pembayar
10. Dana pelunasan SBSN
11. Jatuh tempo SBSN
B. Teori Hak Milik
Teori kepemilikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kajian
teoritis yang dimuat dalam berbagai buku Fiqh Muamalah maupun penelitian
yang berfokus pada hak milik dalam Fiqh Muamalah
1. Pengertian Hak Milik
Kata hak berasal dari Bahasa arab al-haqq, yang secara etimolgi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antarannya berarti milik,
ketetapan dan kepastian, seperti terdapat dalam Qur’an surat Yasin ayat 7:20
ٰٓ أَْكثَِرِهْم فَُهْم ََل يُْؤِمنُونَ لَقَدْ َحقَّ ٱْلقَْوُل َعلَى
Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap
kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.
Dalam terminologi fiqih, terdapat beberapa pengertian hak yang
dikemukakan para ulama fiqih. Ulama fiqih muta’akhkhirin (generasi
belakangan) mendefinisikan hak sebagai suatu hukum yang telah ditetapkan
secara syara’. Definisi hak yang dikemukakan oleh Ibn Nujaim,, tokoh fiqh
Hanafi adalah suatu kekhususan yang terlindung, sementara itu Mustafa
20 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),
h.1.
-
Ahmad az-Zarqa mendefinisikannya dengan suatu kekhususan yang
padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan.21
Menurut Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih kontemporer dari Syria,
definisi komprehensif adalah definisi yang dikemukakan Ibn Nujaim dan
Mustafa Ahmad az-Zarqa, karena kedua definisi itu mencakup berbagai
macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya, hak-hak yang
menyangkut perkawinan, hak-hak umum, seperti hak-hak negara, hak-hak
kehartabendaan, dan hak perwalian atas seseorang.22
Milik (al-milk) secara bahasa berarti
الملك لغة معناه احتواء الشيئ والقدرة على اَلستبدابه
Pemilikan atas sesuatu (al-mal atau harta benda) dan kewenangan
bertindak secara bebas terhadapnya. Dengan demikian milik merupakan
penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai
kekuasaan khusus terhadap harta tersebut.23
Terdapat beberapa definisi tentang hak milik atau milkiyah yang
disampaikan oleh para fuqaha, antara lain:
• Pengertian yang disampaikan Musthafa Ahmad al-Zarqa
إختصاص حاجز شرعا يسوغه صاحبه التصرف إَل لمانع
Milik adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat mengahalangi (orang
lain) yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemiliknya bertasharruf
kecuali terdapat halangan
• Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan al-milk sebegai berikut.
ف ابتداء اَل لمانع عيصاحبه من التصر الغير منه ويمكناجتصاص با لشيئ يمنع
21 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),
h.2.
22 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),
h.2.
23 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h.53.
-
Milik adalah keistimewaan (istishash) terhadap sesuatu yang menghalangi
orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara
langsung kecuali ada halangan syar’i
Seluruh definisi yang disampaikan oleh para fuqaha terdapat term
ihtishash (keistimewaan). terdapat dua keisitimewaan yang diberikan oleh
syara’ kepada pemilik harta yaitu keistimewaan dalam menghalangi orang
lain memanfaatkannya tanpa izin pemiliknya, dan keistimewaan dalam
bertasarruf (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan
kehendaknya).24
2. Sebab-sebab Pemilikan
Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik Allah
SWT. kedudukan manusia hanyalah sebagai makhluk yang diberi amanah
(kepercayaan untuk menguasai dan mendayagunakan harta sesuai dengan
petunjuk Allah dan rasulnya. Walaupun demikian tidak semua manusia
dapat bebas menguasai atau memilikinya. 25 Faktor-faktor yang
menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain:
1. Penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahat)
Yaitu cara pemilikan pada harta yang belum dimiliki orang lain
secara sah dan tak ada penghalang syara’ untuk dimiliki. Untuk
memiliki benda-benda bebas diperlukan dua syarat yaitu benda tersebut
belum dikuasai oleh orang lain dan ada niat untuk memilikinya.26
Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah “penguasaan atas
al-mubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Wahbah al-Zuhaily
mencatat empat cara penguasaan harta bebas. Yaitu ihya al-mawat
(membuka lading baru), berburu hewan, dengan mengumpulkan kayu
24 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 55.
25 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 49-50.
26 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 50.
-
dan rerumputan di rimba belukar, melalui penggalian tambang yang
tersimpan di perut bumi.27
2. Khalafiyah
Al-khalafiyah adalah perpindahan sesuatu menjadi milik seseorang
karena kedudukannya sebagai penerus pemilik lama atau kedudukannya
sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak dan diganti dengan
sesuatu yang baru. Atas dasar pengertian di atas al-khalafiyah dibagi
menjadi dua macam yaitu Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy (seorang
pewaris menempati tempat muwaris dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris) dan Khalafiyah Syai’an Syai’in (apabila
seseorang merugikan milik orang lain kemudian rusak ditangannya atau
hilang, maka wajib dibayar dan diganti kerugian pemilik harta.28
3. Tawallud (anak pinak atau berkembang biak)
Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang
dihasilkan dari sesuatu yang lainnya dinamakan tawallud. Prinsip
tawallud hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif, seperti
binatng yang bertelur, menghasilkan air susu dan kebun yang
menghasilkan buah dan bunga.29 Segala sesuatu yang lahir atau tumbuh
dari obyek hak yang telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki
objek hak tersebut. Misalnya, bulu domba menjadi milik pemilik
domba.30
4. Akad, yaitu pertalian atu keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan
kehendak syariah yang menumbulkan akibat hukum pada obyek akad.
Seperti akad jual beli, hibah, dan wasiat. Akad merupakan sebab
27 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),
2002, h. 58.
28 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 50-51.
29 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),
2002, h. 61.
30 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 51.
-
pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan
manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.31
3. Macam-macam Hak Milik
Pembagian macam hak milik dapat dilihat dari segi unsur harta
(benda dan manfaat), segi objek (mahal) pemlikan, dan dari sisi bentuknya.
a. Dari segi unsur harta (benda dan manfaat) dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu
1. Milk al-Tamm (Pemilikan sempurna)
Pengertian hak milik yang sempurna menurut Wahbah az-
Zuhali adalah32
فا لملك التام هو ملك ذات الشيء )رقبة( ومنفعته معا، بحيث يثبت للمالك جميع الحقوق المشرقعة
Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu
(bendanya) dan manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan
demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’ tetap ada ditangan
pemilik
Dapat dipahami bahwa hak milik yang sempurna merupakan hak
penuh yang memberikan kesempatan dan kewenangan kepada si
pemilik untuk melakukan berbagai jenis tasharruf terhadap barang
dan manfaatnya yang dibenarkan oleh syara’. Pemilikan yang
meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda (zat
benda) dan kegunaannya dapat dikuasai sehingga seluruh hak yang
terkait dalam harta itu berada di bawah penguasaannya.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus al-milk at-tamm adalah:33
Sejak awal pemilikan terhadap materi dan terhadap manfaat harta itu
bersifat sempurna, pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang
dimiliki sebelumnya (materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan
benda itu), pemilikannya tidak dibatasi waktu, kepemilikannya tidak
31 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 51.
32 Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah). 2013. h. 72. 33 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 53.
-
boleh digugurkan, apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka
masing-masing orang dianggap bebas mempergunakan miliknya
tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing.
2. Milk Naqishah
Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi Milk naqish sebagai
berikut.
أَِواْلَمْنفَعَِة َوْحدََها َواْلِمْلُك النًّا قُِص هَُو ِمْلُك اْلعَْيِن َوْحدََها
Milk naqish (tidak sempurna) adalah memiliki bendanya saja, atau
memiliki manfaatnnya saja.
Yaitu apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari
benda tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya, atau
memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki zatnya. Milk naqish yang
berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut raqabah,
sedangkan milik naqish yang berupa penguasaan terhadap
kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa pemilikan manfaat (al-milk an-
naqish) dapat terjadi melalui lima cara, yaitu al-I’arah (pinjam-
meminjam), al-Ijarah (sewa-menyewa), wakaf, wasiat, dan al-
Ibahah (pembolehan).34
Milk naqish memiliki ciri-ciri diantaranya sebagai berikut.35
1. Boleh dibatasi waktu, tempat, dan sifatnya.
2. Tidak boleh diwariskan menurut ulama Hanafiah, karena
manfaat tidak termasuk harta dalam pengertian mereka,
sedangkan jumhur ulama membolehkannya, seperti pewarisan
pemanfaatan rumah kepada seseorang.
3. Orang yang memanfaatkan harta itu dapat menuntut harta itu
dari pemiliknya dan apabila harta itu telah diserahkan oleh
34 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta,
2007), h.35.
35 Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h. 68.
-
pemiliknya kepada orang yang memanfaatkannya, maka harta
itu menjadi amanah di tangannya dan ia dikenakan ganti rugi
apabila bertindak sewenang-wenang terhadap harta itu.
4. Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban mengeluarkan
biaya pemeliharaan.
5. Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban untuk
mengembalikan harta itu apabila diminta kembali oleh
pemiliknya, kecuali apabila orang yang memanfaatka harta itu
mendapat mudharat dengan pengembalian harta itu.
Adapun menurut pasal 19 kompilasi hukum ekonomi
syariah, prinsip pemilikan amwal adalah:
a. Pemilikan yang penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat
dan tidak dibatasi waktu;
b. Pemilikan yang tidak penunh, mengharuskan adanya kepemilikan
manfaat dan dibatasi waktu;
c. Pemilikan yang penuh tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dialihkan;
d. Pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan
terpisah tasharruf-nya;
e. Pemilikan syarikat yang penuh di-tasharruf-kan dengan hak dan
kewajiban secara proposional.36
b. Dari segi objek (mahal) pemilikan dibedakan menjadi tiga, yaitu:37
1. Milk Ain’ (memiliki benda)
Pemilikan ini diperoleh melalui empat sebab pemilikan yaitu
Ihraz al-Mubahat, at-Tawallud minal Mamluk, al-Khalafiyah, dan
Al-Aqd. Pada prinsipnya pemilikan benda disertai dengan pemilikan
36 Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h. 69.
37 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 64.
-
atas manfaat benda, sampai ada kehendak untuk melepaskan
manfaat benda melalui cara yang dibenarkan oleh syara’.
2. Milk al-Manfaat
Pemilikan seseorang untuk memanfaatkan suatu harta benda
milik orang lain dengan keharusan menjaga materi bendanya.
Seperti pemilikan atas manfaat membaca buku, mendiami rumah
atau menggunakan segala perabotan berdasarkan Ijarah (persewaan)
dan ariyah (pinjaman).
3. Milk al-Dain (milik piutang)
Pemilikan harta benda yang berada dalam tanggung jawab
orang lain karena sebab tertentu. Seperti harta yang diutangkan,
harga jual yang belum terbayar, harga kerugian barang yang dirusak
atau dimusnahkan oleh pihak lain.
c. Dari sisi bentuknya dibedakan menjadi dua yaitu:38
1. Milk al-Mutamayyaz (Milik Jelas)
Pemilikan suatu benda yang mempunyai batas-batas yang
jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti
pemilikan terhadap seekor binatang, sebuah kitab, atau pemilikan
atas sebagian tertentu dari rumah yang terdiri dari beberapa bagian
2. Milk al-Masya (Milik Bercampur)
Pemilikan atas sebagian, baik sedikit atau banyak, yang tidak
tertentu dari sebuah harta benda, seperti pemilikan atas separuh
rumah, atau seperempat kebun dan lain sebagainya. Ketika diadakan
pembagian atas harta campuran ini untuk masing-masing
pemiliknya, maka berakhirlah masya’ menjadi mutamayyaz.
38 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 66.
-
4. Berakhirnya al-Milk39
Ada beberapa sebab yang menyebabkan berakhirnya al-milk at-
tamm, menurut para pakar fiqh, yaitu:
a. pemilik meninggal dunia, sehingga seluruh miliknya berpindahtangan
kepada ahli warisnya, dan
b. harta yang dimiliki itu rusak atau hilang
Sedangkan al-milk an-naqish atau pemilikan terhadap manfaat suatu
harta akan berakhir, menurut para ulama fiqh, dalam perkara-perkara
sebagai berikut:
a. Habisnya masa berlaku pemanfaatan ini, seperti pemanfaatan sawah,
padinya sudah panen
b. Barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang, seperti runtuhnya
rumah yang dimanfaatkan
c. Orang yang memanfaatkannya wafat, menurut ulama Hanafiyah
d. Wafatnya pemilik harta itu, apabila pemilikan manfaat itu dilakukan
melalui al-I’arah (pinjam-meminjam) dan al-Ijarah (sewa-menyewa)
menurut ulama Hanafiyah, karena akad al-Ijarah bagi mereka tidak
boleh diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama baik pinjam-
meminjam maupun sewa-menyewa tidak berhenti masa lakunya apabila
pemiliknya meninggal karena kedua akad ini menurut mereka boleh
diwariskan.
5. Haqq Al-Intifa (Hak Manfaat)
Secara etomologi, kata haqq berarti “kekuasaan” atau
“kewenangan”, dan kata al-intifa berarti “menggunakan, memanfaatkan
atau memakai”. Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan haqq
al-intifa’ dengan “kewenangan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam
kekuasaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi disebabkan
39 Nasrun Haroen, , Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta,
2007), h.36.
-
oleh beberapa hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam.” Haqq al-Intifa’
disebut juga dengan milk manfa’ah asy-syakhshi (pemilik manfaat pribadi).
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya haqq al-intifa’
yang dikemukakan pada ulama fiqh, diantaranya adalah para fukaha dari
berbagai madzhab, menetapkan beberapa hal yang menyebabkan haqq al-
intifa’ itu terjadi. Hal-hal itu ialah sebagai berikut:
1. Al-I’arah (Pinjam Meminjam)
Para ulama fiqh dari Kalangan madzhab Hanafiyah dan Malikiyah
mendefinisikan al-I’arah sebagai Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.
Maksudnya, memberikan manfaat suatu benda kepada orang lain tanpa
mengharapkan ganti rugi selama benda itu dipergunakan oleh orang
lain. Menurut mereka, hakikat al-ia’ara adalah tamlik al-manfa’ah
(pemberian milik atas suatu manfaat). Implikasi dari definisi ini adlah
orang yang meminjam suatu benda, menjadi pemilik manfaat benda
yang dipinjam itu.
2. Al-Ijarah (sewa-menyewa)
Para ulama fiqih mendefinisikan al-Ijarah dengan Pemilikan
manfaat dengan imbalan ganti rugi. Al-Ijarah disyariatkan dalam
Islam, karena sudah menjadi keperluan masyarakat, di mana dalam
kehidupn masyarakat tidak smeua orang memiliki sesuatu yang ia
perlukan manfaatnya. Untuk memenuhi keperluan itu,
Menurut kesepakatan ulama fiqh orang yang menyewa suatu benda
dari orang lain mempunyai hak memanfaatkan benda itu. Di samping
memanfaatkan sendiri, ia juga dibolehkan menyewa benda itu kepada
orang lain selama penyewa kedua ini memanfaatkannya sebagaimana
hak manfaat yang diberikan kepada penyewa pertama. Misalnya, jika
seseorang menyewa sebuah mobil untuk dimanfaatkan sebagai
pengangkut penumpang, maka ia boleh menyewakan kepada orang lain
untuk dimanfaatkan sebagai pengangkut penumpang pula.
3. Al-Waqf (Wakaf)
-
Haqq al-intifa’ selanjutnya adalah wakaf. Para ulama fiqh
mendefinisikan wakaf dengan Penyerahan manfaat sesutau kepada
orang lain untuk dimanfaatkan. Jika suatu benda telah diwakafkan,
maka pewakaf tidak berhak lagi melakukan transaksi terhadap harta itu.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang menerima
wakaf mempunyai hak untuk meanfaatkan harta yang diwakafkan itu
untuk dirinya sendiri. Dia tidak memiliki hak untuk mengalihkan
manfaat itu kepada orang lain.
4. Al-Washiyyah bi al-Manfa’ah (Wasiat dengan manfaat)
Bentuk haqq al-intifa’ lainnya adalah Al-Washiyyah bi al-Manfa’ah
(berwasiat dengan manfaat) ialah memberikan manfaat suatu benda
kepada seseorang untuk dimanfaatkan setelah ia wafat.
5. Al-Ibahah (Pembolehan)
Yang dimksud dengan al-ibahah ialah kebolehan atau keizinan yang
diberikan seseorang kepada orang lain untuk memanfaatkan suatu benda
yang dimilikinya, seperti kebolehan orang lain untuk memakan
makanan yang dihidangkan, kebolehan untuk memanfaatkan jalan raya,
irigasi untuk lahan pertanian.
C. Al-Ba’i (Jual Beli)
1. Pengertian Ba’i (Jual Beli)
Kata al-Ba’i mencakup dua pengertian, yaitu jual (al-Ba’i) dan beli
(al- syira’), adapun pengertian al-Ba’i secara Bahasa yaitu:40
1. Muqabalah/ saling menerima (berasal dari kata qabala yang berarti
menerima), yaitu menerima sesuatu atas sesuatu yang lain
2. Mubadalah/ saling mengganti (berasal dari badala yang berarti
mengganti)
3. Mua’awadhat / pertukaran (berasal dari kata adha’ yang berarti memberi
ganti).
40 Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah akad Jual-Beli, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 4.
-
Adapun definisi al-Ba’i secara terminologi dijelaskan oleh ulama
sebagai berikut:
1. Hanafiyah: Saling tukar menukar sesuatu yang disenangi dengan yang
semisalnya.
2. Malikiyah: Akad saling tukar-menukar terhadap selain manfaat.
3. Syafi’iyah: Akad saling tukar menukar yang bertujuan memindahkan
kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi.
4. Hanabilah: saling tukar menukar harta dengan tujuan memindahkan
kepemilikan.
Pengertian jual beli secara istilah yang dijelaskan ulama,
menunjukkan perbuatan dan akibat hukum jual-beli yaitu: 41
1. Harta yang dipertukarkan, yaitu barang yang dijual (al-mabi’) dan harga
(tsaman).
2. Shigat akad, yaitu pernyataan atau perbuatan yang berupa penawaran
(ijab) dan penerimaan (qabul)
3. Pemindahan kepemilikan (intiqal al-milkiyyah/ al-tamlikiyyah), yaitu
barang yang dijual (mabi’) berpindah kepemilikannya dari milik penjual
menjadi milik pembeli dan harga (tsaman) berpindah kepemilikannya
dari pembeli menjadi milik penjual.
4. Al-tab’id; ulama syafi’iyah menyatakan bahwa pemindahan
kepemilikan objek yang dipertukarkan (al-tsaman dan al-mutsman)
bersifat kekal (abadi); tidak bersifat sementara.
Jual beli menurut Imam Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli
yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus, yaitu jual beli dalam
arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan
kemanfaatan dan kenikmatan. Sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa
benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai obyek
penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
41 Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah akad Jual-Beli, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 4 .
-
2. Dalil Hukum disyariatkannya Ba’i (Jual Beli)
Allah Dalam al-Qur’an telah dengan nyata dan lugas menjelaskan
kebolehan jual beli, yaitu dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 275:
ُ اْلبَْيَع وَ بَاَوأََحلَّ اَّللَّ َم الرِِّ َحرَّ
Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba
Q.S an-Nisa ayat 29
نُوا ََل تَأُْكلُوا أَْمَوالَُكْم بَْينَُكْم بِاْلبَاِطِل إَِلَّ أَْن تَُكوَن تَِجاَرةً َعْن تََراٍض ِمْنُكمْ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آمَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu
Terdapat pula Hadis Rasululah yang membahas tentang Jual beli
diantaranya:
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:
إِنََّما اْلبَْيُع َعْن تََراض
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka”
3. Rukun dan Syarat Ba’i (Jual Beli)
Para Ulama berbeda pendapat tentang rukun jual beli ini. Menurut
Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu yaitu ijab dan qabul. Sementara
menurut malikiyah, rukun jual beli ada tiga, yaitu aqidain (dua orang yang
berakad), ma’qud alaih (barang yang diperjualbelikan dan nilai tukar), dan
shigat. Ulama syafi’iyah juga berpendapat sama dengan Malikiyah,
sementara Hanabilah berpendapat sama dengan pendapat Hanafiyah.42
Akan tetapi Jumhur Uama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu:43
a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
42 Enang Hidayat. Fiqih Jual Beli. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015). h.17.
43 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),
h.115.
-
b. Ada shigat (lafal ijab dan qabul)
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang
Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai b