iirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47436...kajian fiqh muamalah jual beli...

99

Upload: others

Post on 25-Jan-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    ABSTRAK

    Rizka Yunita NIM 11150490000023 BARANG MILIK NEGARA

    SEBAGAI ASET SBSN PERSPEKTIF TEORI KEPEMILIKAN FIQH

    MUAMALAH DAN FATWA DSN MUI (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi

    Nomor 143/pu-vii/2009), Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,

    Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

    Tahun 2019 M/ 1440 H, 1x + 90 Halaman

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dengan perspektif Fiqh

    Muamalah dan Fatwa DSN MUI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi nomor

    143/PUU-VII/2009. Putusan tersebut merupakan hasil uji materil Undang-Undang

    SBSN yang diajukan pemohon karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya

    dengan penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN

    dengan akad jual beli hak atas manfaat BMN.

    Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

    pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute

    approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

    sekunder berupa Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Fatwa DSN MUI, Buku

    terkait SBSN maupun Fiqh Muamalah.

    Hasil Penelitian ini menunjukkan Putusan MK nomor 143/PUU-VII/2009

    menguatkan kewenangan Pemerintah menggunakan Barang Milik Negara (BMN)

    sebagai aset SBSN. Mahkamah berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan

    telah mengatur secara detail tata cara penggunaan BMN sebagai aset SBSN. Dalam

    kajian Fiqh Muamalah jual beli (al-Ba’i) merupakan akad pertukaran dengan

    kepemilikan sempurna (al-milk al-tamm) Sedangkan perpindahan berupa

    manfaatnya saja (al-milk an-naqish) disebut dengan Ijarah (sewa-menyewa). Fatwa

    DSN MUI hanya menyebutkan akad jual beli sebagai perpindahan kepemilikan

    BMN tanpa penyebutan ha katas manfaat, sehingga definisi jual beli dalam fatwa

    seharusnya kembali pada pengertian dalam literature Fiqh Muamalah

    Kata Kunci : Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),

    Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Barang Milik

    Negara

    Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.

    Daftar Pustaka : 1986-2018

  • vi

    KATA PENGANTAR

    ِحيمِِ ْحمِنِالرَّ بِْسِمِهللاِِالرَّ

    Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, rasa syukur ke Hadirat Allah Subhanahu wa

    Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah memberikan ampunan,

    rahmat, dan pertolongan-Nya, sehingga atas kuasa-Nya peneliti dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Salawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada

    sebaik-baik tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, semoga

    kelak kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat

    Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

    gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Selanjutnya izinkan peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak

    yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian

    skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

    1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, Dekan Fakultas Syariah dan

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2. AM. Hasan Ali, MA., ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr.

    Abdurrauf, MA., sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas

    Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu

    penyelesaian skripsi ini

    3. AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing dalam

    penulisan skripsi ini yang senantiasa meluangkan waktunya, memberikan

    arahan, bimbingan, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

    dengan baik.

    4. Ir. Nadratuzzaman Hosen, M.Sc, M.Ec., Ph.D, selaku dosen pembimbing

    akademik telah memotivasi peneliti dan kawan-kawan untuk terus

    memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan selama menjalani

    masa perkuliahan.

  • vii

    Jakarta, 02 Juli 2019

    Peneliti

    Rizka Yunita

    5. Pimpinan beserta staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

    Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan fasilitas

    untuk mengadakan studi kepustakaan.

    6. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta yang telah membagi banyak ilmu dan pengalaman serta

    staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

    memberikan fasilitas dan menjaga kebersihan fakultas selama masa

    perkuliahan.

    7. Teristimewa kepada keluarga peneliti, Ayahanda Budiyanto dan Ibunda

    Muntamah yang selalu mendoakan dan telah membesarkan putra-putri yang

    salih dan salihah dengan penuh kasih sayang, juga kepada Kak Ridha dan

    Wildan yang selalu memotivasi untuk segara wisuda.

    8. Keluarga intelektual peneliti, Lingkar Studi Ekonomi Syariah (Lisensi) yang

    telah mewarnai masa perkuliahan ini dengan ukhuwah, ilmiah, dan dakwah.

    Terkhusus kepada sahabat dalam kebaikan, Nuri, Azizah, Nining, Aisyah,

    Ummi, Sandi, Alfin, Halid, Nasrulloh, dan Lisensi 2015 lainnya

    9. Kepada seluruh teman-teman Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015,

    khususnya sahabat peneliti yang selalu membersamai selama masa perkuliahan

    Ulfa, Dinda, Mahesti, dan Isnova.

    10. Seluruh pihak yang telah membantu, memberi masukan dan memotivasi dalam

    penyelesaian skripsi ini

    Semoga Allah memberikan ampunan, rahmat, dan balasan pada setiap

    kebaikan yang telah diberikan untuk penliti. Semoga skripsi ini dapat memberikan

    manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi syariah.

  • viii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined.

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii

    LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iiiv

    ABSTRAK .............................................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

    DAFTAR TABEL .................................................................................................xi

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1

    B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah ......................................... 7

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8

    D. Metode Penelitian ..................................................................................... 9

    E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 11

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH (SEWA-

    MENYEWA), BA’I (JUAL BELI), DAN HAK MANFAAT

    A. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ................................................. 13

    1. Pengertian SBSN ................................................................................ 13

    2. Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) .......................... 14

    3. Perbedaan Sukuk dan Obligasi ........................................................... 15

    4. Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN .......... 17

    5. Fatwa DSN MUI tentang SBSN ......................................................... 20

    6. Struktur Akad Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ..................... 23

    B. Teori Hak Milik ...................................................................................... 31

    1. Pengertian Hak Milik ......................................................................... 31

    2. Sebab-sebab Pemilikan ....................................................................... 33

    3. Macam-macam Hak Milik .................................................................. 35

    4. Berakhirnya al-Milk............................................................................ 39

  • ix

    5. Haqq Al-Intifa (Hak Manfaat) ............................................................ 39

    C. Al-Ba’i (Jual Beli) ................................................................................... 41

    1. Pengertian Ba’i (Jual Beli) ................................................................. 41

    2. Dalil Hukum disyariatkannya Ba’i (Jual Beli) ................................... 43

    3. Rukun dan Syarat Ba’i (Jual Beli) ...................................................... 43

    4. Persyaratan dalam Jual Beli................................................................ 44

    D. Ijarah (Sewa-Menyewa) ......................................................................... 46

    1. Pengertian Ijarah (Sewa-Menyewa)................................................... 46

    2. Dasar Hukum Ijarah ........................................................................... 48

    3. Hubungan Ba’i dan Ijarah .................................................................. 48

    4. Rukun dan Syarat Sah Ijarah ............................................................. 49

    5. Menyewakan barang sewaan .............................................................. 51

    E. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 52

    BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 143/PUU-

    VII/2009 TENTANG JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG SBSN

    A. Eksesitensi Mahkamah Konstitusi .......................................................... 57

    1. Pengertian Mahkamah Konstusi ......................................................... 57

    2. Pengujian Undang-Undang ................................................................ 57

    B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 ................... 59

    1. Pemohon : ........................................................................................... 59

    2. Duduk Perkara .................................................................................... 60

    3. Pendapat Mahkamah .......................................................................... 64

    BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 143/PU-VII/2009

    MENGENAI BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI ASET SBSN DALAM

    TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN FATWA DSN MUI

    A. Peralihan Kepemilikan BMN Sebagai Aset SBSN pada Putusan MK

    Nomor 143/PUU-VII/2009 .................................................................... 69

    B. Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 Perspektif Teori Hak Milik

    Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI .......................... 74

    1. Penerapan Akad Jual Beli BMN sebagai Aset SBSN dalam Teori

    Kepemilikan Fiqh Muamalah ............................................................. 74

  • x

    2. Ketentuan Syariah Fatwa DSN MUI tentang SBSN .......................... 77

    BAB V KESIMPULAN

    A. Kesimpulan ............................................................................................. 82

    B. Rekomendasi ........................................................................................... 83

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1 Total Penerbitan Sukuk Negara di beberapa Negara……………………1

    Tabel 2.1 Perbedaan Sukuk dan Obligasi ............................................................. 15

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Mekanisme Struktur Akad Ijarah Sale and Lease Back ……...…….24

    Gambar 2.2 Mekanisme Sturktur Akad SBSN Wakalah…………………..…………26

    Gambar 2.3 Mekanisme Penerbitan SBSN Ijarah Asset to be Leased…….………28

    Gambar 2.4 Mekanisme Struktur Akad SBSN Ijarah al-Khadamat...……………30

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Instrumen produk alternatif dalam investasi pasar modal di Indonesia

    dewasa ini semakin berkembang. Di sisi lain, rancangan defisit Anggaran dan

    Pendapatan Belanja Negara (APBN) harus dipenuhi dengan instrument

    pembiayaan berbasis utang dalam bentuk pinjaman dan penerbitan surat

    berharga. Untuk menutup defisit APBN sekaligus mengembangkan pasar

    keuangan Syariah di Indonesia, Pemerintah meluncurkan instrument investasi

    dan pembiayaan berbasis syariah yang disebut Surat Berharga Syariah Negara

    (SBSN) atau sukuk negara.

    Perkembangan penerbitan sukuk negara cukup signifikan baik dalam pasar

    Nasional maupun Internasional. Porsi penerbitan SBSN terhadap total

    outstanding SBN sebesar 18%, dengan Total Akumulasi penerbitan SBSN

    hingga bulan Oktober 2018 telah mencpai lebih dari Rp950 triliun dengan

    SBSN outstanding per 25 Oktober 2018 sebesar Rp 657 Triliun.1 Dalam pasar

    sukuk Internasional, Indonesia menempati posisi pertama pada bulan Maret

    2018 dengan total penerbitan sebagai berikut.2

    Tabel 1.1

    Total Penerbitan Sukuk Negara di beberapa Negara

    No Negara Total Penerbitan

    1. Indonesia USD 13.150

    2. Saudi Arabia USD 9.000

    3. Dubai USD 8.219

    4. Malaysia USD 7.000

    1 Dikutipdari website Kementrian Keuangan

    http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2286 pada 01 Juni 2019 Pukul 15:20.

    2 Dikutip dari Kementrian Keuangan (di akses melalui http://www.comcec.org/en/wp-

    content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdf ) pada 01 Juni 2019 Pukul 15:25.

    http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/2286http://www.comcec.org/en/wp-content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdfhttp://www.comcec.org/en/wp-content/uploads/2018/03/10-FIN-PRE-IND.pdf

  • No Negara Total Penerbitan

    5. Turkey USD 6.256

    6. Qatar USD 6.231

    7. Bahrain USD 5.238

    8. Pakistan USD 5.044

    9. Oman USD 3.149

    10. Hongkong USD 3.000

    11. Emirates of Ras Al Khaimah USD 2.625

    12. Emirates of Sharjah USD 1.250

    13. South Africa USD 500

    Total Penerbitan USD 68.31

    SBSN diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, oleh karena itu SBSN

    memiliki perbedaan dengan surat utang negara yaitu adanya underlying asset

    untuk menghindari riba. Aset tersebut berupa objek pembiayaan SBSN dan/atau

    Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis dapat berupa tanah

    dan/ bangunan, dan selain tanah dan/ bangunan3. Komisi XI Dewan Perwakilan

    Rakyat (DPR) resmi menyetujui penggunaan Barang Milik Negara (BMN)

    senilai Rp43,69 triliun sebagai aset penjaminan(underlying asset) dalam rangka

    penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Adapun

    BMN tersebut berbentuk tanah dan bangunan yang berada di bawah 50

    Kementerian/Lembaga.4 Dengan menjadi pembeli sukuk, maka investor akan

    memiliki sertifikat sebagai bukti atas kepemilikan hak manfaat (beneficial title)

    aset SBSN.

    Undang-Undang nomor 19 tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga Syariah

    Negara (SBSN) lahir sebagai bentuk dukungan atas legalisasi keberadaan sukuk

    3 Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga

    Syariah Negara (SBSN).

    4 Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-

    230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukuk tanggal 18 Agustus 2019

    https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukukhttps://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170726195603-78-230574/komisi-xi-restui-aset-negara-rp4369-t-jadi-jaminan-sukuk

  • negara di Indonesia. SBSN merupakan sebuah instrumen produk alternatif bagi

    investor Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim untuk melakukan

    investasi syariah di pasar modal. Tujuan diterbitkannya SBSN terdapat dalam

    pasal 4 UU SBSN, yaitu untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja

    Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.

    Namun Undang-Undang ini pernah dilakukan uji materil terhadap Pasal 10

    ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang

    nomor 19 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut dianggap

    bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang

    Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia. Selain itu, berlakunya UU ini

    dianggap dapat berpotensi merugikan hak konstitusional pemohon selaku

    Warga Negara Indonesia

    Pemohon yaitu saudara Bastian Lubis, selaku Ketua Yayasan Patria Artha

    dan Pembina Universitas Patria Artha Makassar, mengajukan permohonan

    dalam surat permohonan bertanggal 2 November 2009. Pemohon sebagai

    perorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusioanlnya

    dengan berlakunya pasal tersebut sebagai dasar penerbitan SBSN sehingga

    Barang Milik Negara (BMN) beralih kemanfaatannya. Pemohon tidak berhak

    lagi mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

    kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

    terhadap Barang Milik Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 H ayat

    (2) UUD 1945.

    Dalam pasal 10 dan 11 UU SBSN dijelaskan bahwa BMN dapat digunakan

    sebagai dasar penerbitan SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN

    dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak atas manfaat aset

    SBSN atau dengan cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam

    penerbitan SBSN. Kemudian aset SBSN disewa kembali oleh menteri hingga

    waktu jatuh tempo sesuai akad tertentu dalam penerbitannya.

    Dengan berlakunya kedua pasal tersebut, nyata terlihat potensi kerugian

    konstitusional merujuk pada potensi kerugian. Apabila dalam jangka waktu

    dijaminkannya aset SBSN ternyata gagal bayar (default), maka saat itu juga

  • berarti objek tersebut dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai). Pemohon

    selaku warga negara tidak dapat memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang

    merupakan publik domain, dimana public domain tidak dapat dijadikan objek

    perdagangan sebagaimana tercermin dalam Pasal 49 ayat (4) UU nomor 1

    Tahun 2004 tentang Perbendahaaran Negara bahwa BMN dilarang diserahkan

    kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah

    Pusat/Daerah.

    Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM dan

    Menteri Keuangan menyampaikan keterangan tertulis yang menyatakan secara

    tegas bahwa permohonan pemohon didasarkan pada alasan yang tidak jelas,

    tidak cermat, dan kabur (obscuur libel), utamanya dalam mengkonstruksikan

    kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Pemerintah berpendapat

    pemohon tidak tepat dan berlebihan dalam menggunakan Pasal 28 H ayat (2)

    dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.

    Pemerintah perlu mengutip komentar Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    bahwa pasal 28 H ayat (2) mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan

    yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian

    atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan

    bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan

    yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga

    kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus.

    Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal

    penguji yang menyatakan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan

    fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”,

    karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan

    Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang

    termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas

    umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan.

    Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN

    tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9

    ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut

  • harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa

    Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan

    pengelolaan BMN. Pnggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara

    Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga

    pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda

    dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya

    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN

    tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan

    mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan

    pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat

    dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan

    aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan (legal title), sehingga

    kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah.

    Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 143/PUU-VII/2009 telah menyatakan

    dalam amar putusan untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya

    karena tidak beralasan hukum. Pendapat Mahkamah menyebutkan penggunaan

    Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak

    tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan

    konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran atau

    diskriminasi. Selain itu BMN bukan dijadikan objek perdagangan dan bukan

    merupakan jaminan yang dapat dipindahtangankan karena

    pemindahtanganannya berbeda dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang

    Perbendaharaan Negara.

    Pemerintah juga sependapat dengan keterangan enam orang ahli

    Pemerintah bahwa SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan

    negara khususnya dalam membiayai APBN, BMN yang dijadikan underlying

    asset tetapi digunakan oleh instansi bersangkutan karena hanya ha katas

    manfaat yang dijadikan underlying asset, tidak dilakukan pengalihan fisik

    barang maupun pemindahan hak milik (legal title).

  • Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji putusan MK tersebut dalam

    perspektif konstruksi akad SBSN yang meniscayakan adanya peralihan

    kepemilikan dalam akad jual beli. Bahwa dalam Undang-undang SBSN dan

    konstruksi akad yang dilakukan Kementrian Keuangan pemindahtanganan

    hanya berupa hak atas manfaat saja tanpa kepemilikan secara sempurna.

    Putusan MK nomor 143/PUU-VII/2009 terhadap penggunaan BMN akan dikaji

    berdasarkan teori kepemilikan yang terdapat dalam kajian Fiqh Muamalah dan

    prinsip-prinsip syariah yang terdapat dalam Fatwa DSN MUI.

    Sebelumnya, telah ada penelitian yang dilakukan oleh Aries Mawarni Putri5,

    yang memaparkan prosedur penerbitan SBSN seri sukuk negara ritel dan

    permasalahan-permasalahannya. Diantara permasalahan tersebut, adalah

    substansi UU 19 tahun 2008 tentang SBSN yang telah mengalami uji materil ke

    Mahkamah Konstitusi mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset

    SBSN.

    Penelitian lain dilakukan oleh Dani Arsyad Anwar dalam skripsinya

    berjudul Akad Sale and Lease Back pada Transaksi Sukuk Ritel di PT BNI

    Securities6, yang mengungkapkan bahwa dalam SBSN Ijarah Sale and Lease

    Back, akad jual beli yang digunakan adalah jual beli bersyarat (Ba’i al-wafa),

    yaitu mensyaratkan pembeli aset Barang Milik Negara untuk menjual kembali

    BMN kepada penjual semula setelah masa jatuh tempo.

    Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya terkait

    dengan SBSN, yaitu merupakan analisis dari pada Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 berdasarkan teori kepemilikan dalam

    Fiqh Muamalah dan Fatwa DSN MUI, dan bagaimana teori akad dan akibat

    hukum kepemilikannya dalam hal ini adalah BMN sebagai underlying asset

    peneribtan SBSN. Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini

    5 Aries Mawarni Putri. Impelementasi Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Seri

    Sukuk Negara Ritel Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Privat Law Vol. III No

    2 Juli-Desember 2015.

    6 Dani Arsyad Anwar, Akad Sale and Lease Back Pada Transaksi Sukuk Ritel di PT BNI

    Securities, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010).

  • berjudul “BARANG MILIK NEGARA SEBAGAI ASET SBSN

    PERSPEKTIF TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN

    FATWA DSN MUI (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/pu-

    vii/2009)”.

    B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

    mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana Kedudukan Hak Milik BMN sebagai underlying asset

    SBSN dalam Fatwa DSN MUI dan Fiqh Muamalah.

    2. Tinjauan Yuridis hakim dalam membuat amar putusan menolak judicial

    review.

    3. Tinjauan aspek Fiqh Muamalah dan Fatwa DSN MUI dalam Putusan

    MK Nomor 143/PUU-VII/2009.

    4. Tidak adanya bentuk jaminan perlindungan yang pasti kepada investor

    SBSN dari kemungkinan resiko gagal bayar (default).

    2. Pembatasan Masalah

    Putusan Nomor 143/PUU-VII/2009 dikeluarkan Mahkamah Konstitusi

    dalam hal majelis hakim menolak permohonan pemohon dalam pengujian

    materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga

    Syariah Negara (SBSN). Pokok materi yang diujikan adalah Pasal 10 ayat

    (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; dan Pasal 11 ayat (1) terkait status

    Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN yang hak atas

    manfaatnya menjadi milik investor. Dengan berlakunya pasal tersebut

    pemohon selaku personal merasa terdapat potensi kerugian apabila terjadi

    kondisi default sehingga aset SBSN tersebut jatuh kepada investor.

    Penelitian ini membatasi pada analisia putusan dalam teori hak milik

    berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI

  • terkait dengan SBSN ditinjau dari strukutur penggunaan akad jual beli

    SBSN.

    3. Perumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang, Identifikasi dan Batasan masalah di

    atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana peralihan kepemilikan BMN sebagai aset SBSN dalam akad

    jual beli pada Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 ?

    2. Bagaimana analisa Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 dalam

    perspektif teori hak milik berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan

    Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI ?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan

    Tujuan Penelitian ini secara objektif adalah untuk menjawab rumusan

    masalah yaitu:

    1. Mengetahui Peralihan kepemilikan BMN sebagai aset SBSN dalam

    akad jual beli pada Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009.

    2. Mengetahui Putusan MK Nomor 143/PUU-VII/2009 dalam perspektif

    teori hak milik berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan Prinsip Syariah

    Fatwa DSN MUI.

    2. Manfaat

    Adapun manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:

    1. Diharapkan bisa melengkapi literature review yang telah ada

    sebelumnya mengenai Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying

    asset SBSN.

    2. Penelitian ini dapat dijadikan refrensi bagi Pemerintah dalam

    mengeluarkan kebijakan terkait dengan penelitian ini.

    3. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi Kementrian Keuangan

    Direktorat Jenderal Pengelola Pembiayaan dan Resiko selaku instansi

    terkait yang mengeluarkan Sukuk Negara.

  • D. Metode Penelitian

    Penelitian merupakan suatu usaha untuk menganalisa serta mengadakan

    konstruksi secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis artinya,

    suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara tertentu,

    sistematis artinya dalam melakukan penelitian ada langkah-langkah atau

    tahapan yang diikuti, dan konsisten berarti penelitian dilakukan secara taat

    asas.7 Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi

    kriteria sebagai tulisan ilmiah, maka diterapkan metode penelitian sebagai

    berikut.

    1. Tipe Penelitian

    Penelitian ini adalah penelitan kualiatif dengan tipe penelitian

    hukum normatif. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang mendasarkan

    data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa

    dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.8 Penelitian hukum

    normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

    kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya..9

    2. Pendekatan Masalah

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kasus

    (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach).

    Pendekatan kasus yaitu bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-

    norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama

    mengenai kasus-kasus yang telah diputus.10 Kasus yang diangkat yaitu

    7 Sri Mamudji, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Badan Penerbit Fakultas

    Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 2.

    8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

    Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.9.

    9 9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

    Bayumedia Publishing, 2007), h. 57.

    10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

    Bayumedia Publishing. 2007), h. 321.

  • mengenai penerbitan sukuk dalam hal kepemilikan akad jual beli pada

    underlying asset, konsep jual beli. Fokus Peraturan perundang-undangan

    dalam penelitian ini yaitu UU nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga

    Syariah Negara (SBSN).

    3. Bahan Hukum

    Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian adalah data

    sekunder, yaitu data yang telah disediakan oleh peneliti lain atau oleh

    instansi tertentu. Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum

    primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan

    perundang-undangan yang terkait dengan Surat Berharga Syariah Negara

    (SBSN) seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN,

    Putusan MK No. 143/PUU-VII/2009, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    2004 tentang Perbendaharaan Negara, Fatwa DSN MUI, dan lan-lain.

    Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa dokumen-dokumen

    resmi yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan, buku-buku terkait

    SBSN, konsep kepemilikan, maupun jual beli,dan sumber media online dan

    media cetak lainnya tentang SBSN.

    4. Prosedur Pengumpulan Bahan

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

    studi kepustakaan. Melalui studi pustaka dikumpulkan dokumen yang

    mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literature seperti buku,

    artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan peraturan perundang-undangan yang terkait

    dengan judul penelitian ini.

    5. Pengelolaan dan Analisa Bahan Hukum

    Bahan Hukum yang telah ada dari bahan hukum primer dan bahan

    hukum sekunder diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga

    terlihat lebih sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah

    dirumuskan. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni

    menarik kesimpulan dari suatu permaslahan yang dihadapi. Setelah bahan

    hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum satu sama lain

  • sehingga diketahui kesimpulan dari kasus pemindahan hak milik dalam

    penerbitan SBSN.

    6. Teknik Penulisan

    Tekhnik Penulisan penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan

    Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017 yaitu sesuai kaidah dan

    Teknik penulisan yang telah ditentukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    E. Sistematika Penulisan

    Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

    Syariah dan Hukum Tahum 2017, yang di dalamnya terbagi menjadi 5 bab.

    Pada setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang digunakan untuk

    memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang diteliti. Adapun urutan

    dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahannya sebagai berikut.

    BAB I PENDAHULUAN

    Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori dan

    konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH

    (SEWA- MENYEWA), BA’I (JUAL BELI), DAN HAK

    MANFAAT

    Merupakan pemaparan kajian konsep hak manfaat dan teori

    dari akad Ijarah dan jual beli dalam literature fiqih

    muamalah dan Fatwa DSN MUI tentang SBSN

    BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

    143/PUU-VII/2009 TENTANG JUDICIAL REVIEW

    UNDANG-UNDANG SBSN

    Latar belakang diajukan pengujian undang-undang oleh

    pemohon dan pendapat mahkamah dalam putusan menolak

    permohon pemohon

  • BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

    143/PU-VII/2009 TENTANG BARANG MILIK

    NEGARA SEBAGAI ASET SBSN PERSPEKTIF

    TEORI KEPEMILIKAN FIQH MUAMALAH DAN

    FATWA DSN MUI

    Analisis Putusan MK Nomor 143/PU-VII/2009 dalam

    ketentuan syariah Fatwa DSN MUI dan Kajian Fiqh

    Muamalah tentang Jual Beli dan Ijarah serta perbedaan

    keduanya dalam konteks jual beli BMN dan konsep

    kepemilikan dalam Fiqh Muamalah

    BAB V KESIMPULAN

    Simpulan akhir dari hasil penelitian serta rekomendasi bagi

    Kementrian Keuangan, DSN MUI, serta Mahkmah

    Konstitusi

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG SBSN, IJARAH (SEWA-MENYEWA), BA’I

    (JUAL BELI), DAN HAK MANFAAT

    A. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

    1. Pengertian SBSN

    Kata sukuk (صكوك) bentuk jamak dari kata sakk (صك) merupakan

    istilah Arab yang dapat diartikan sertifikat. Sukuk ini bukan merupakan

    istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak

    abad pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks

    perdagangan internasional. Sukuk dipergunakan oleh para pedagang pada

    masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang

    timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun

    sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan

    bangsa Arab menyatakan bahwa dari kata sakk inilah yang kemudian

    menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, sebagai suatu istilah yang

    lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.1

    Dalam UU No 19 Tahun 2008 Pasal 1 angka 1 tentang SBSN,

    pengertian Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN,

    atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang

    diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian

    penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun

    valuta asing. Pengertian serupa juga terdapat dalam fatwa DSN MUI No.

    69/DSN-MUI/VI/2008 dinyatakan Surat Berharga Syariah Negara atau

    dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan

    berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari aset

    SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

    1 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, cet. Ke-

    2 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 136.

  • Pengertian sukuk menurut Accounting and Auditing Organization

    for Islamic Financial Institusion (AAOIFI) adalah sertifikat bernilai sama

    yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset,

    hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan

    investasi tertentu.

    2. Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

    Sebagaimana kita tahu, rancangan Anggaran dan Pendapatan

    Belanja Negara (APBN) menunjukkan angka negatif yang berarti belanja

    negara lebih besar dari pendapatannya. Untuk menutupi defisit tersebut,

    Pemerintah mengeluarkan instrumen pembiayaan dalam bentuk

    pinjaman/utang luar negeri dan Surat Berharga Negara (SBN). SBN terbagi

    menjadi 2 jenis pembiayaan, yaitu Surat Utang Negara (SUN) yang

    berdasarkan suku bunga, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang

    berdasarkan prinsip syariah.

    SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai APBN dan

    pembangunan proyek.2 Maksud dari membiayai pembangunan proyek

    adalah membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapat

    alokasi APBN, misalnya proyek infrastruktur dalam sektor energi,

    telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, perumahan

    rakyat, dan lain-lain. Upaya ini perlu dijalankan dalam rangka

    memperlancar proses pembangunan.3

    SBSN dapat diterbitkan langsung oleh pemerintah atau melalui

    perusahaan penerbit SBSN yang dilakukan untuk kepentingan Negara.

    Dalam hal penerbitan SBSN oleh perusahaan Penerbit SBSN dilakukan

    hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan adanya Special Purpose

    Vehicle (SPV).4

    2 Lihat Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.

    3 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya. (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 7.

    4 Lihat Pasal 6 UU No. 19 tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.

  • SBSN memiliki beberapa seri penerbitan sejak tahun 2008, antara

    lain yaitu sukuk Negara/ Islamic Fix Rated, Sukuk Ritel/SR, Global Sukuk

    USD, Sukuk Dana Haji/SDHI, Surat Perbendaharaan Negara Syariah/SPN-

    S, Islamic MTN Program, Sukuk Wakalah dimana 35%nya dialokasikan

    untuk Investor Timur Tengah, dan SBSN Project Based Sukuk.5

    Perbedaan seri dan akad akan mempengaruhi dokumen perjanjian

    apa saja yang harus dibuat untuk menunjang penerbitan SBSN, namun

    sebelum dipasarkan, penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapatkan

    fatwa dan /atau pernyataan kesesuaian dari Sharia Compliance

    Endorsement (SCE), untuk menjamin bahwa SBSN yang akan diterbitkan

    telah sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam

    Pasal 25 UU SBSN.6

    3. Perbedaan Sukuk dan Obligasi

    Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga

    konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan

    konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu

    transaksi pendukung (underlying assets) berupa sejumlah tertentu aset yang

    menjadi dasar penerbitan sukuk, serta adanya akad atau perjanjian antara

    para pihak berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Secara ringkas,

    perbandingan obligasi dan sukuk adalah sebagai berikut.

    Tabel 2.1

    Perbedaan Sukuk dan Obligasi

    Deskripsi Sukuk Obligasi

    Penerbit Pemerintah, Korporasi Pemerintah, Korporasi

    5 Intan Puspitarini, Analisis SWOT atas Penggunaan Data Barang Milik Negara Sebagai

    Dasar Penetapan Underlying asset SBSN, (Jurnal MKP STAN Vol. 1 No. 1, 2017), h. 10.

    6 Rukhul Amin, SBSN dan Pengaturannya di Indonesia, (Jurnal Perbankan Syariah Vol. 1

    No. 2 November, 2016), h. 81.

  • Sifat Instrumen Sertifikat

    kepemilikan/

    penyertaan atas suatu

    asset

    Instrumen Pengakuan

    Utang

    Penghasilan Bagi Hasil, Margin,

    Fee

    Bunga/kupon, capital

    gain

    Jangka Waktu Pendek-Menengah Menengah-Panjang

    Underlying asset Perlu Tidak Perlu

    Pihak yang Terkait Obligor, SPV,

    Investor, trustee

    Obligor/issuer,

    investor

    Harga Market Price Market Price

    Investor Syariah, Konvensional Konvensional

    Pembayaran Pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi

    Penggunaan Hasil

    Penerbitan SBSN

    Harus sesuai syariah Bebas

    Secara spesifik, keuntungan berinvestasi pada Sukuk Negara adalah

    sebagai berikut:

    1. Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang

    kompetitif, investor memperoleh imbalan yang lebih tinggi dari rata-rata

    tingkat bunga deposito bank BUMN.

    2. Pembayaran imbalan dan Nilai Nominal sampai dengan sukuk jatuh

    tempo dijamin oleh pemerintah. Imbalan bersifat tetap dan dibayarkan

    setiap bulan sampai dengan jatuh tempo.

    3. Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder sesuai dengan harga pasar,

    sehingga investor berpotensi mendapatkan capital gain di pasar sekunder.

    4. Investasi yang aman, karena pembayaran imbalan dan nilai nominalnya

    dijamin oleh Undang-Undang.

    5. Investasi yang menentramkan, karena tidak bertentangan dengan prinsip-

    prinsip syariah seperti riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir

    (gambling).

  • 6. Prosedur pembelian dan penjualan yang mudah dan transparan. Cara

    berinvestasi dalam sukuk negara ritel itu sangat mudah dan transparan.7

    Di balik kelebihan sukuk ada sejumlah resiko yang perlu

    diperhatikan. Resiko sukuk dapat dibagi menjadi risiko pasar (market risk),

    risiko operasional (operational risk) dan risiko ketentuan syariah (shariah

    compliance risk). Market risk terdiri dari risiko suku bunga (interest rate

    risk atau rate of return risk) dan resiko nilai tukar (foreign exchange rate

    risk) dapat di jelaskan berikut.

    1. Resiko tingkat bunga, sukuk Ijarah, Istisna, salam dan yang didasarkan

    atas fixed rate menanggung akibat dari naik turunnya tingkat suku

    bunga. Kenaikan suku bunga menjadikan tingkat nilai sukuk kurang

    diminati oleh investor.

    2. Resiko nilai tukar (foreign exchange rate) dapat dijelaskan bahwa

    sertifikat sukuk didenominasi di dalam Dolar Amerika (US$) sehingga

    naik turunnya nilai rupiah terhadap dolar akan menjadikan nilai

    pembayaran terhadap investor akan berubah dari nilai awal. Seperti

    turunnya nilai rupiah terhadap dolar menjadikan beban pembayaran

    cicilan menjadi semakin besar kepada investor.

    3. Resiko operasional sukuk (operastional risk) terdiri dari resiko

    kegagalan pembayaran (default risk), resiko pembayaran kupon (coupon

    payment risk), resiko pelunasan asset (asset redemption risk), resiko

    SPV (SPV specific risk), resiko investor (investor specific risks), resiko

    berhubungan dengan aset (risk related to the asset).8

    4. Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset SBSN

    Perbedaan instrument investasi sukuk dengan obligasi didasarkan

    pada adanya underlying asset yang menjadi dasar penerbitan untuk

    7 Wiwin Kurniasari, Perkembangan dan Prospek Sukuk Tinjauan Teoritis, (Jurnal

    Muqtasid Volume 5 Nomor 1, Juni 2014), h. 118.

    8 Wiwin Kurniasari, Perkembangan dan Prospek Sukuk Tinjauan Teoritis, (Jurnal

    Muqtasid Volume 5 Nomor 1, Juni 2014), h. 119.

  • menghindari riba, atau disebut juga Aset SBSN. Dalam pasal 1 angka 3 UU

    SBSN, aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik

    Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomi, berupa tanah dan/atau

    bangunan maupun selain tanah dan/ atau bangunan, yang dalam rangka

    penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.

    BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

    Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan

    lainnya yang sah.9 Dalam penerbitan SBSN agar BMN dapat digunakan

    sebagai aset SBSN, maka paling tidak harus memenuhi persyaratan sebagai

    berikut.

    a. memiliki nilai ekonomis

    b. dalam kondisi baik/layak.

    c. telah tercatat dalam dokumen penatausahaan barang milik negara.

    d. bukan merupakan alat utama sistem persenjataan

    e. tidak sedang dalam sengketa

    f. tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN10

    Penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN dilakukan

    menteri dengan menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik

    negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka

    penerbitan SBSN. Apabila barang milik negara sedang digunakan oleh

    instansi pemerintah dan akan digunakan sebagai aset SBSN, maka menteri

    terlebih dahulu memberitahukuan kepada intsani pemerintah pengguna

    barang milik negara. Jangka waktu peyewaan aset SBSN oleh pemerintah

    kepada perusahaan penerbit SBSN ditetapkan paling lama 60 tahun.11

    Menteri wajib membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad

    sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saaat SBSN jatuh

    9 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN serta penjelasannya.

    10 Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 4/PMK.08/2009 tentang Pengelolaan

    Aset SBSN yang berasal dari Barang Milik Negara.

    11 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada., 2011), h. 55.

  • tempo. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, menteri membayar nilai

    nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lainnya sesuai akad penerbitan

    SBSN kepada pemegang SBSN.12

    Menteri selaku pihak pegelola menetapkan secara rinci jenis, nilai,

    dan spesifikasi barang milik negara yang akan dijadikan sebagai aet SBSN.

    Oleh karena itu, untuk mendukung upaya tersebut, menteri dapat

    menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan

    penguasaan barang milik negara yang telah tercantum dalm daftar barang

    milik negara, terutama apabila belum tersedia sertifikat hak pakai atau bukti

    kepemilikan lain atas barang milik negara yang akan dijadikan sebagai aset

    SBSN.13

    Pemindahtanganan barang milik negara bersifat khusus berbeda

    dengan pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana diatur dalam

    Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. adapun

    sifat pemindahtanganan barang milik negara dalam pengertian ini antara

    lain sebagai berikut.

    a. Penjualan dan/ atau penyewaan dilakukan hanya atas hak manfaat

    barang milik negara.

    b. tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) barang milik

    negara.

    c. tidak dilakukan pengalihan fisik barang milik negara sehingga tidak

    menganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan

    Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggunaan

    barang milik negara sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan

    instansi pengguna barang milik negara untuk tetap memanfaatkannya sesuai

    dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab pengelolaan barang

    12 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55.

    13 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55.

  • milik negara ini tetap melekat pada instansi pengguna barang milik negara

    tersebut sesuai peraturan perundang-undangan.14

    5. Fatwa DSN MUI tentang SBSN

    Majelis Ulama Indonesian (MUI) telah menerbitkan beberapa fatwa

    yang menunjang penerbitan SBSN, diantaranya fatwa DSN MUI No.

    69/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN, fatwa DSN-MUI No. 70/DSN-

    MUI/VI/2008 tentang metode penerbitan SBSN, Fatwa DSN-MUI No.

    71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back, fatwa DSN-MUI No.

    72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN Ijarah Sale and Lease Back, fatwa

    DSN No. 76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset to be leased,

    dan Fatwa DSN No. 95/DSN-MUI/VII/2014 tentang SBSN Wakalah.

    Dalam Fatwa DSN MUI No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat

    Berharga Syariah Negara (SBSN) disebutkan bahwa SBSN lahir dalam

    rangka mendorong pengembangan ekonomi dan pasar keuangan syariah

    dalam negeri diperlukan adanya instrument investasi berbasis syariah untuk

    mengoptimalkan pemanfaatan dana-dana masyarakat. Diterbitkannya

    SBSN berlandaskan dalil al-Qur’an:

    QS. al-Nisa ayat 29

    ْقتُلُوا أَْن تَُكوَن تَِجاَرةً َعْن تََراٍض ِمْنُكْم ۚ َوََل تَ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آَمنُوا ََل تَأُْكلُوا أَْمَوالَُكْم بَْينَُكْم بِاْلبَاِطِل إَِلَّ

    َ َكاَن بُِكْم َرِحيًما أَْنفَُسُكْم ۚ إِنَّ اَّللَّ

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

    membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

    kepadamu.

    14 Burhanuddin S, Hukum Surat Berharga Syariah Negara dan Pengaturannya, (Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 55-56.

  • QS. al-Baqarah ayat 278

    بَا إِْن ُكْنتُْم ُمْؤِمِنينَ يَا أَيُّهَ َ َوذَُروا َما بَِقَي ِمَن الِرِّ ا الَِّذيَن آَمنُوا اتَّقُوا اَّللَّ

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan

    sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman

    Dalam Fatwa DSN tersebut dipaparkan pengertian SBSN, Aset

    SBSN, Imbalan, dan Perusahaan Penerbit. Adapun pengertian Aset SBSN

    dalam Fatwa tersebut adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang

    Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau

    bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka

    penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN. Dalam ketentuan

    khusus disebutkan bahwa penggunaan aset SBSN harus sesuai dengan

    prinsip-prinsip syariah. Pemerintah juga diwajibkan membayar imbalan

    serta nilai nominal atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh

    tempo sesuai akad yang digunakan.

    Kemudian Fatwa DSN MUI No. 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang

    Ijarah Sale and Lease Back lahir setelah Fatwa DSN MUI No. 71/DSN-

    MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back. Dalam penerbitannya, SBSN

    dengan struktur akad Ijarah Sale and Lease Back menggunakan akad Ba’i

    dan Ijarah yang dilakukan secara terpisah. Sale and Lease Back sendiri

    memiliki pengertian yaitu adalah jual beli suatu aset yang kemudian

    pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.15

    Dalam ketentuan khusus fatwa Ijarah Sale and Lease Back

    disebutkan bahwa Pemerintah menjual aset yang akan dijadikan objek

    Ijarah kepada perusahaan penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya

    yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual kembali aset yang

    dibelinya sesuai dengan kesepakatan.

    Ketentuan khusus SBSN Ijarah Sale and Lease Back juga

    menyebutkan Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan

    15 Ketentuan Umum Fatwa DSN MUI No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease

    Back.

  • SBSN sebagai bukti atas bagian kepemilikan Obyek Ijarah, yang dibeli oleh

    investor pada tingkat harga tertentu sesuai kesepakatan. Ini berarti investor

    yang membeli SBSN adalah sebagai pemilik dari obyek Ijarah atau aset

    SBSN. Kemudian di dalam fatwa pemerintah sebagai penyewa obyek Ijarah

    memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang SBSN selama jangka waktu

    SBSN. Pemerintah sebagai penyewa juga wajib memelihara dan menjaga

    obyek Ijarah sampai dengn berakhirnya masa sewa.

    Fatwa SBSN lainnya yaitu Fatwa Nomor 76/DSN-MUI/ VI/2010

    tentang SBSN Ijarah Asset to Be Leased. Ijarah Asset To Be Leased (Ijarah

    al Maujudat al-Mau’ud Bisti’jariha) adalah akad Ijarah yang obyek

    Ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek Ijarah

    sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek

    Ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan.

    Dalam ketentuan khusus Fatwa Ijarah Asset to be Leased,

    disebutkan bahwa Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan hak atas

    sebagian asset yang akan dijadikan Obyek Ijarah Asset To Be Leased

    kepada Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang

    ditunjuk. Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang

    ditunjuk, wajib menyediakan Obyek Ijarah Asset To Be Leased sesuai

    dengan kesepakatan. Pemerintah dapat bertindak sebagai wakil untuk

    menyediakan objek Ijarah termasuk untuk menggunakan aset yang

    dimilikinya sendiri.

    Fatwa SBSN yang terakhir yaitu Fatwa SBSN Wakalah No.

    95/DSN-MUINII/2014, yaitu Penerbit SBSN wajib menyatakan bahwa

    dirinya bertindak sebagai Wali Amanat/Wakil dari pemegang SBSN, untuk

    mengelola dana hasil penerbitan SBSN dalam berbagai kegiatan yang

    menghasilkan keuntungan. Aset SBSN Wakalah adalah aset yang berupa

    barang, jasa, proyek, atau asset lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah

    sebagai dasar (underlying) penerbitan SBSN Wakalah.

    Penerbit SBSN sebagai Wakil dalam pengelolaan dana hasil

    penerbitan SBSN wajib:menggunakan dana tersebut dalam berbagai

  • kegiatan yang menguntungkan, baik berupa kegiatan Ijarah (sewa

    menyewa), tijarah (seperti pengadaan barang dan jasa) dan kegiatan lainnya

    yang sesuai dengan prinsip syariah. Kemudian penerbit menyampaikan

    jenis akad wakalah yang digunakan. Untuk dapat diperdagangkan di pasar

    sekunder, SBSN wakalah harus memiliki komposisi kegiatan penggunaan

    sebagian besar dana atau sekurang-kurangnya 51% dalam bentuk aset

    berwujud.

    6. Struktur Akad Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

    Dalam situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat

    Jenderal Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara,16

    terdapat empat struktur yang digunakan dalam menerbitkan SBSN,

    diantaranya SBSN Ijarah Sale and Lease Back, SBSN Ijarah Asset to be

    leased, Ijarah al-Khadamat, dan SBSN Wakalah. Masing-masing stuktur

    akad memiliki mekanisme sebagai berikut.

    • SBSN Ijarah Sale and Lease Back adalah Surat Berharga Syariah

    Negara yang diterbitkan dengan menggunakan akad Ijarah dengan

    mekanisme Sale and Lease Back (البيع مع اَلستئجار). Penerbitannya

    menggunakan underlying asset berupa Barang Milik Negara (BMN)

    yang dijual hak manfaatnya dengan mekanisme sebagai berikut.17

    16 Diperoleh dari situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal

    Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara www.djppr.kemenkeu.go.id.

    17 Diperoleh dari situs online Direktorat Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal

    Pengelolaan Utang mengenai struktur akad sukuk negara www.djppr.kemenkeu.go.id.

    http://www.djppr.kemenkeu.go.id/http://www.djppr.kemenkeu.go.id/

  • Gambar 2.1

    Mekanisme Struktur Akad Ijarah Sale and Lease Back

    I. Penerbitan SBSN:

    1a. Penjualan Hak Manfaat Barang Milik Negara (BMN) oleh

    Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN untuk digunakan

    sebagai Aset SBSN (Akad Bai’).

    1b. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit SBSN sebagai

    bukti atas penyertaan/ kepemilikan investor terhadap Aset SBSN.

    1c. Dana hasil penerbitan SBSN dari investor (pembeli SBSN)

    kepada Perusahaan Penerbit SBSN

    1d. Pembayaran atas pembelian hak manfaat Aset SBSN oleh

    Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah.

  • II. Pembayaran Imbalan SBSN:

    2a. Penyewaan Aset SBSN oleh Pemerintah untuk digunakan

    dalam operasional pemerintahan sehari-hari (Akad Ijarah).

    2b. Pembayaran Imbalan (ujrah) atas penyewaan Aset SBSN oleh

    Pemerintah sebagai penyewa (Musta’jir/Lessee) kepada

    Pemegang SBSN selaku pemberi sewa (Mu’jir/Lessor) melalui

    Agen Pembayar.

    III. Jatuh Tempo SBSN:

    3. Pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah dari pemegang SBSN

    melalui Perusahaan Penerbit SBSN (Akad Ba’i).

    4a&4b.Pembayaran atas pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah

    kepada pemegang SBSN melalui Agen Pembayar sebagai

    pelunasan SBSN

    5. Jatuh tempo SBSN

    • SBSN Wakalah adalah SBSN wakalah bit istitsmar; yaitu SBSN yang

    diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas

    bagian dari aset dalarn kegiatan investasi yang dikelola oleh Perusahaan

    Penerbit SBSN selaku Wakil dari pernegang SBSN.18 Mekanisme

    penerbitannya sebegai berikut.

    18 Fatwa DSN MUI No. 95 Tahun 2014 tentang SBSN Wakalah.

  • Gambar 2.2

    Mekanisme Struktur Akad SBSN Wakalah

    Penerbitan:

    1a. Perusahaan Penerbit SBSN menyatakan dirinya bertindak sebagai

    Wakil dari pemegang SBSN, untuk mengelola dana hasil

    penerbitan SBSN dalam rangka kegiatan yang menghasilkan

    keuntungan:

    o Perusahaan Penerbit SBSN menyampaikan kepada calon

    investor tentang rencana penggunaan dana dalam berbagai

    kegiatan yang akan dilakukan;

    o Akad wakalah yang digunakan: wakalah dengan ujrah (wakalah

    bil ujrah) atau wakalah tanpa ujrah (bi dunil ujrah);

    o Perusahaan Penerbit SBSN menginformasikan kegiatan

    investasi yang dilakukan, antara lain: jenis kegiatan, komposisi

  • kegiatan, perhitungan keuntungan masing-masing kegiatan, dan

    perhitungan komposit;

    o Dalam hal SBSN akan diperdagangkan di pasar sekunder,

    Perusahaan Penerbit SBSN menjaga komposisi kegiatan

    penggunaan dana minimal 51% dalam bentuk aset berwujud.

    1b. Penerbitan SBSN Wakalah oleh Perusahaan Penerbit SBSN.

    2.Dana hasil penerbitan SBSN (proceeds).

    Kegiatan Investasi dan Imbalan SBSN:

    3. Perusahaan Penerbit SBSN melakukan berbagai kegiatan yang

    menguntungkan, baik berupa kegiatan Ijarah, tijarah, dan kegiatan

    lainnya yang sesuai prinsip syariah.

    4. Dana kegiatan investasi.

    5. Keuntungan yang diperoleh dari hasil kegiatan tersebut akan

    diberikan kepada pemegang SBSN sebagai imbalan. Imbalan SBSN

    dapat diberikan selama jangka waktu SBSN secara periodik

    dan/atau pada saat jatuh tempo sesuai kesepakatan.

    6. Pembayaran imbalan SBSN secara periodik kepada pemegang

    SBSN.

    Jatuh Tempo:

    7. Pada saat jatuh tempo, Pemerintah membeli Aset SBSN dengan

    membayar harga sesuai kesepakatan.

    8. Harga pembayaran atas pembelian Aset SBSN.

    9. Pelunasan SBSN.

    • SBSN Ijarah Asset To Be Leased adalah surat berharga negara yang

    diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas

    bagian dari Asset SBSN yang menjadi obyek Ijarah, baik yang sudah

    ada maupun akan ada.19 Adapun mekanisme penerbitannya sebagai

    berikut.

    19 Fatwa DSN MUI No. 76 Tahun 2008 tentang SBSN Ijarah Asset to be Leased.

  • Gambar 2.3

    Meknisme Struktur Akad Ijarah Asset to be Leased

    I. Penerbitan SBSN:

    1. Pemesanan Obyek Ijarah dengan spesifikasi tertentu oleh

    Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN (PP SBSN) untuk

    disewa melalui akad Ijarah Asset to be Leased.

    2a. Pemberian kuasa (Wakalah Agreement) oleh PP SBSN kepada

    Pemerintah dalam rangka pembangunan proyek yang akan

    dijadikan sebagai obyek Ijarah.

    2b. Pembelian (Akad Ba’i) tanah dan/atau bangunan yang berupa

    Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai bagian obyek

    Ijarah (dalam hal diperlukan).

    3. Penerbitan SBSN oleh PP SBSN sebagai bukti atas bagian

    penyertaan investor terhadap Aset SBSN

  • 4. Dana hasil penerbitan SBSN (Proceeds) dari investor kepada PP

    SBSN.

    5. Proceeds dari PP SBSN (Pemberi Kuasa) kepada Pemerintah

    (Wakil).

    II. Pembayaran Imbalan SBSN

    6. Akad Ijarah Asset To Be Leased antara Pemerintah (Penyewa)

    dengan PP SBSN (Pemberi Sewa).

    7. Pembayaran uang sewa (ujrah) secara periodik oleh Pemerintah

    kepada PP SBSN, untuk diberikan kepada investor sebagai

    imbalan SBSN.

    8. Pembayaran imbalan SBSN secara periodik kepada investor

    melalui Agen Pembayar.

    9. Penandatangan Berita Acara Serah Terima (BAST) proyek antara

    Pemerintah (wakil) dan PP SBSN (Pemberi Kuasa).

    III. Jatuh Tempo SBSN:

    10. Pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah dari pemegang SBSN

    melalui Perusahaan Penerbit SBSN (Akad Ba’i) pada saat jatuh

    tempo.

    11. Pembayaran atas pembelian Aset SBSN oleh Pemerintah kepada

    pemegang SBSN melalui Agen Pembayar sebagai pelunasan

    SBSN.

    12. Jatuh tempo dan Pelunasan SBSN.

    • SBSN Ijarah al-Khadamat yaitu sukuk yang diterbitkan menggunakan

    akad Ijarah al-khadamat dengan underlying asset berupa jasa, yaitu jasa

    layanan haji. Jenis sukuk ini merepresentasikan kepemilikan atas jasa

    yang tersedia di masa yang akan datang.

  • Gambar 2.4

    Mekanisme Penerbitan SBSN Ijarah Al-Khadamat

    1. Perjanjian penyediaan jasa layanan haji oleh Perusahaan Penerbit

    SBSN kepada Pemerintah (akad Ijarah al-khadamat)

    2. Penerbitan SBSN (Sukuk Dana Haji Indonesia/SDHI) oleh

    Perusahaan Penerbit SBSN sebagai bukti atas bagian

    penyertaan/kepemilikan investor terhadap Aset SBSN berupa jasa

    layanan haji

    3. Dana hasil penerbitan SBSN dari investor (pembeli SBSN) kepada

    Perusahaan Penerbit SBSN

    4. Pemberian kuasa (wakalah) dari Perusahaan Penerbit SBSN kepada

    Pemerintah untuk pengadaan jasa layanan haji

    5. Penyerahan dana pengadaan jasa layanan haji dari Perusahaan

    Penerbit SBSN kepada Pemerintah.

    6. Pengadaan jasa layanan haji oleh Pemerintah selaku Wakil.

  • 7. Laporan pengadaan jasa layanan haji dari Pemerintah selaku Wakil

    kepada Perusahaan Penerbit SBSN selaku Muwakkil

    8. Penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) pengadaan

    jasa layanan haji antara Pemerintah dengan Perusahaan Penerbit

    SBSN

    9. Pembayaran ujrah jasa layanan haji oleh Pemerintah selaku

    pengguna jasa (Mu’ajjir) kepada Pemegang SBSN selaku penyedia

    jasa (Ajir) melalui Agen Pembayar

    10. Dana pelunasan SBSN

    11. Jatuh tempo SBSN

    B. Teori Hak Milik

    Teori kepemilikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kajian

    teoritis yang dimuat dalam berbagai buku Fiqh Muamalah maupun penelitian

    yang berfokus pada hak milik dalam Fiqh Muamalah

    1. Pengertian Hak Milik

    Kata hak berasal dari Bahasa arab al-haqq, yang secara etimolgi

    mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antarannya berarti milik,

    ketetapan dan kepastian, seperti terdapat dalam Qur’an surat Yasin ayat 7:20

    ٰٓ أَْكثَِرِهْم فَُهْم ََل يُْؤِمنُونَ لَقَدْ َحقَّ ٱْلقَْوُل َعلَى

    Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap

    kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.

    Dalam terminologi fiqih, terdapat beberapa pengertian hak yang

    dikemukakan para ulama fiqih. Ulama fiqih muta’akhkhirin (generasi

    belakangan) mendefinisikan hak sebagai suatu hukum yang telah ditetapkan

    secara syara’. Definisi hak yang dikemukakan oleh Ibn Nujaim,, tokoh fiqh

    Hanafi adalah suatu kekhususan yang terlindung, sementara itu Mustafa

    20 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),

    h.1.

  • Ahmad az-Zarqa mendefinisikannya dengan suatu kekhususan yang

    padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan.21

    Menurut Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih kontemporer dari Syria,

    definisi komprehensif adalah definisi yang dikemukakan Ibn Nujaim dan

    Mustafa Ahmad az-Zarqa, karena kedua definisi itu mencakup berbagai

    macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya, hak-hak yang

    menyangkut perkawinan, hak-hak umum, seperti hak-hak negara, hak-hak

    kehartabendaan, dan hak perwalian atas seseorang.22

    Milik (al-milk) secara bahasa berarti

    الملك لغة معناه احتواء الشيئ والقدرة على اَلستبدابه

    Pemilikan atas sesuatu (al-mal atau harta benda) dan kewenangan

    bertindak secara bebas terhadapnya. Dengan demikian milik merupakan

    penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai

    kekuasaan khusus terhadap harta tersebut.23

    Terdapat beberapa definisi tentang hak milik atau milkiyah yang

    disampaikan oleh para fuqaha, antara lain:

    • Pengertian yang disampaikan Musthafa Ahmad al-Zarqa

    إختصاص حاجز شرعا يسوغه صاحبه التصرف إَل لمانع

    Milik adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat mengahalangi (orang

    lain) yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemiliknya bertasharruf

    kecuali terdapat halangan

    • Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan al-milk sebegai berikut.

    ف ابتداء اَل لمانع عيصاحبه من التصر الغير منه ويمكناجتصاص با لشيئ يمنع

    21 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),

    h.2.

    22 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),

    h.2.

    23 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2002), h.53.

  • Milik adalah keistimewaan (istishash) terhadap sesuatu yang menghalangi

    orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara

    langsung kecuali ada halangan syar’i

    Seluruh definisi yang disampaikan oleh para fuqaha terdapat term

    ihtishash (keistimewaan). terdapat dua keisitimewaan yang diberikan oleh

    syara’ kepada pemilik harta yaitu keistimewaan dalam menghalangi orang

    lain memanfaatkannya tanpa izin pemiliknya, dan keistimewaan dalam

    bertasarruf (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan

    kehendaknya).24

    2. Sebab-sebab Pemilikan

    Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik Allah

    SWT. kedudukan manusia hanyalah sebagai makhluk yang diberi amanah

    (kepercayaan untuk menguasai dan mendayagunakan harta sesuai dengan

    petunjuk Allah dan rasulnya. Walaupun demikian tidak semua manusia

    dapat bebas menguasai atau memilikinya. 25 Faktor-faktor yang

    menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain:

    1. Penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahat)

    Yaitu cara pemilikan pada harta yang belum dimiliki orang lain

    secara sah dan tak ada penghalang syara’ untuk dimiliki. Untuk

    memiliki benda-benda bebas diperlukan dua syarat yaitu benda tersebut

    belum dikuasai oleh orang lain dan ada niat untuk memilikinya.26

    Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah “penguasaan atas

    al-mubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Wahbah al-Zuhaily

    mencatat empat cara penguasaan harta bebas. Yaitu ihya al-mawat

    (membuka lading baru), berburu hewan, dengan mengumpulkan kayu

    24 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2002), h. 55.

    25 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 49-50.

    26 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 50.

  • dan rerumputan di rimba belukar, melalui penggalian tambang yang

    tersimpan di perut bumi.27

    2. Khalafiyah

    Al-khalafiyah adalah perpindahan sesuatu menjadi milik seseorang

    karena kedudukannya sebagai penerus pemilik lama atau kedudukannya

    sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak dan diganti dengan

    sesuatu yang baru. Atas dasar pengertian di atas al-khalafiyah dibagi

    menjadi dua macam yaitu Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy (seorang

    pewaris menempati tempat muwaris dalam memiliki harta yang

    ditinggalkan oleh muwaris) dan Khalafiyah Syai’an Syai’in (apabila

    seseorang merugikan milik orang lain kemudian rusak ditangannya atau

    hilang, maka wajib dibayar dan diganti kerugian pemilik harta.28

    3. Tawallud (anak pinak atau berkembang biak)

    Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang

    dihasilkan dari sesuatu yang lainnya dinamakan tawallud. Prinsip

    tawallud hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif, seperti

    binatng yang bertelur, menghasilkan air susu dan kebun yang

    menghasilkan buah dan bunga.29 Segala sesuatu yang lahir atau tumbuh

    dari obyek hak yang telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki

    objek hak tersebut. Misalnya, bulu domba menjadi milik pemilik

    domba.30

    4. Akad, yaitu pertalian atu keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan

    kehendak syariah yang menumbulkan akibat hukum pada obyek akad.

    Seperti akad jual beli, hibah, dan wasiat. Akad merupakan sebab

    27 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),

    2002, h. 58.

    28 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 50-51.

    29 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),

    2002, h. 61.

    30 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 51.

  • pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan

    manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.31

    3. Macam-macam Hak Milik

    Pembagian macam hak milik dapat dilihat dari segi unsur harta

    (benda dan manfaat), segi objek (mahal) pemlikan, dan dari sisi bentuknya.

    a. Dari segi unsur harta (benda dan manfaat) dapat dibedakan menjadi dua,

    yaitu

    1. Milk al-Tamm (Pemilikan sempurna)

    Pengertian hak milik yang sempurna menurut Wahbah az-

    Zuhali adalah32

    فا لملك التام هو ملك ذات الشيء )رقبة( ومنفعته معا، بحيث يثبت للمالك جميع الحقوق المشرقعة

    Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu

    (bendanya) dan manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan

    demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’ tetap ada ditangan

    pemilik

    Dapat dipahami bahwa hak milik yang sempurna merupakan hak

    penuh yang memberikan kesempatan dan kewenangan kepada si

    pemilik untuk melakukan berbagai jenis tasharruf terhadap barang

    dan manfaatnya yang dibenarkan oleh syara’. Pemilikan yang

    meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda (zat

    benda) dan kegunaannya dapat dikuasai sehingga seluruh hak yang

    terkait dalam harta itu berada di bawah penguasaannya.

    Menurut ulama fiqih, ciri khusus al-milk at-tamm adalah:33

    Sejak awal pemilikan terhadap materi dan terhadap manfaat harta itu

    bersifat sempurna, pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang

    dimiliki sebelumnya (materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan

    benda itu), pemilikannya tidak dibatasi waktu, kepemilikannya tidak

    31 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h. 51.

    32 Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah). 2013. h. 72. 33 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 53.

  • boleh digugurkan, apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka

    masing-masing orang dianggap bebas mempergunakan miliknya

    tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing.

    2. Milk Naqishah

    Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi Milk naqish sebagai

    berikut.

    أَِواْلَمْنفَعَِة َوْحدََها َواْلِمْلُك النًّا قُِص هَُو ِمْلُك اْلعَْيِن َوْحدََها

    Milk naqish (tidak sempurna) adalah memiliki bendanya saja, atau

    memiliki manfaatnnya saja.

    Yaitu apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari

    benda tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya, atau

    memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki zatnya. Milk naqish yang

    berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut raqabah,

    sedangkan milik naqish yang berupa penguasaan terhadap

    kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai.

    Para ulama fiqh menyatakan bahwa pemilikan manfaat (al-milk an-

    naqish) dapat terjadi melalui lima cara, yaitu al-I’arah (pinjam-

    meminjam), al-Ijarah (sewa-menyewa), wakaf, wasiat, dan al-

    Ibahah (pembolehan).34

    Milk naqish memiliki ciri-ciri diantaranya sebagai berikut.35

    1. Boleh dibatasi waktu, tempat, dan sifatnya.

    2. Tidak boleh diwariskan menurut ulama Hanafiah, karena

    manfaat tidak termasuk harta dalam pengertian mereka,

    sedangkan jumhur ulama membolehkannya, seperti pewarisan

    pemanfaatan rumah kepada seseorang.

    3. Orang yang memanfaatkan harta itu dapat menuntut harta itu

    dari pemiliknya dan apabila harta itu telah diserahkan oleh

    34 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta,

    2007), h.35.

    35 Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h. 68.

  • pemiliknya kepada orang yang memanfaatkannya, maka harta

    itu menjadi amanah di tangannya dan ia dikenakan ganti rugi

    apabila bertindak sewenang-wenang terhadap harta itu.

    4. Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban mengeluarkan

    biaya pemeliharaan.

    5. Orang yang memanfaatkan harta itu berkewajiban untuk

    mengembalikan harta itu apabila diminta kembali oleh

    pemiliknya, kecuali apabila orang yang memanfaatka harta itu

    mendapat mudharat dengan pengembalian harta itu.

    Adapun menurut pasal 19 kompilasi hukum ekonomi

    syariah, prinsip pemilikan amwal adalah:

    a. Pemilikan yang penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat

    dan tidak dibatasi waktu;

    b. Pemilikan yang tidak penunh, mengharuskan adanya kepemilikan

    manfaat dan dibatasi waktu;

    c. Pemilikan yang penuh tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dialihkan;

    d. Pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan

    terpisah tasharruf-nya;

    e. Pemilikan syarikat yang penuh di-tasharruf-kan dengan hak dan

    kewajiban secara proposional.36

    b. Dari segi objek (mahal) pemilikan dibedakan menjadi tiga, yaitu:37

    1. Milk Ain’ (memiliki benda)

    Pemilikan ini diperoleh melalui empat sebab pemilikan yaitu

    Ihraz al-Mubahat, at-Tawallud minal Mamluk, al-Khalafiyah, dan

    Al-Aqd. Pada prinsipnya pemilikan benda disertai dengan pemilikan

    36 Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h. 69.

    37 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2002), h. 64.

  • atas manfaat benda, sampai ada kehendak untuk melepaskan

    manfaat benda melalui cara yang dibenarkan oleh syara’.

    2. Milk al-Manfaat

    Pemilikan seseorang untuk memanfaatkan suatu harta benda

    milik orang lain dengan keharusan menjaga materi bendanya.

    Seperti pemilikan atas manfaat membaca buku, mendiami rumah

    atau menggunakan segala perabotan berdasarkan Ijarah (persewaan)

    dan ariyah (pinjaman).

    3. Milk al-Dain (milik piutang)

    Pemilikan harta benda yang berada dalam tanggung jawab

    orang lain karena sebab tertentu. Seperti harta yang diutangkan,

    harga jual yang belum terbayar, harga kerugian barang yang dirusak

    atau dimusnahkan oleh pihak lain.

    c. Dari sisi bentuknya dibedakan menjadi dua yaitu:38

    1. Milk al-Mutamayyaz (Milik Jelas)

    Pemilikan suatu benda yang mempunyai batas-batas yang

    jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti

    pemilikan terhadap seekor binatang, sebuah kitab, atau pemilikan

    atas sebagian tertentu dari rumah yang terdiri dari beberapa bagian

    2. Milk al-Masya (Milik Bercampur)

    Pemilikan atas sebagian, baik sedikit atau banyak, yang tidak

    tertentu dari sebuah harta benda, seperti pemilikan atas separuh

    rumah, atau seperempat kebun dan lain sebagainya. Ketika diadakan

    pembagian atas harta campuran ini untuk masing-masing

    pemiliknya, maka berakhirlah masya’ menjadi mutamayyaz.

    38 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2002), h. 66.

  • 4. Berakhirnya al-Milk39

    Ada beberapa sebab yang menyebabkan berakhirnya al-milk at-

    tamm, menurut para pakar fiqh, yaitu:

    a. pemilik meninggal dunia, sehingga seluruh miliknya berpindahtangan

    kepada ahli warisnya, dan

    b. harta yang dimiliki itu rusak atau hilang

    Sedangkan al-milk an-naqish atau pemilikan terhadap manfaat suatu

    harta akan berakhir, menurut para ulama fiqh, dalam perkara-perkara

    sebagai berikut:

    a. Habisnya masa berlaku pemanfaatan ini, seperti pemanfaatan sawah,

    padinya sudah panen

    b. Barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang, seperti runtuhnya

    rumah yang dimanfaatkan

    c. Orang yang memanfaatkannya wafat, menurut ulama Hanafiyah

    d. Wafatnya pemilik harta itu, apabila pemilikan manfaat itu dilakukan

    melalui al-I’arah (pinjam-meminjam) dan al-Ijarah (sewa-menyewa)

    menurut ulama Hanafiyah, karena akad al-Ijarah bagi mereka tidak

    boleh diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama baik pinjam-

    meminjam maupun sewa-menyewa tidak berhenti masa lakunya apabila

    pemiliknya meninggal karena kedua akad ini menurut mereka boleh

    diwariskan.

    5. Haqq Al-Intifa (Hak Manfaat)

    Secara etomologi, kata haqq berarti “kekuasaan” atau

    “kewenangan”, dan kata al-intifa berarti “menggunakan, memanfaatkan

    atau memakai”. Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan haqq

    al-intifa’ dengan “kewenangan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam

    kekuasaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi disebabkan

    39 Nasrun Haroen, , Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta,

    2007), h.36.

  • oleh beberapa hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam.” Haqq al-Intifa’

    disebut juga dengan milk manfa’ah asy-syakhshi (pemilik manfaat pribadi).

    Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya haqq al-intifa’

    yang dikemukakan pada ulama fiqh, diantaranya adalah para fukaha dari

    berbagai madzhab, menetapkan beberapa hal yang menyebabkan haqq al-

    intifa’ itu terjadi. Hal-hal itu ialah sebagai berikut:

    1. Al-I’arah (Pinjam Meminjam)

    Para ulama fiqh dari Kalangan madzhab Hanafiyah dan Malikiyah

    mendefinisikan al-I’arah sebagai Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.

    Maksudnya, memberikan manfaat suatu benda kepada orang lain tanpa

    mengharapkan ganti rugi selama benda itu dipergunakan oleh orang

    lain. Menurut mereka, hakikat al-ia’ara adalah tamlik al-manfa’ah

    (pemberian milik atas suatu manfaat). Implikasi dari definisi ini adlah

    orang yang meminjam suatu benda, menjadi pemilik manfaat benda

    yang dipinjam itu.

    2. Al-Ijarah (sewa-menyewa)

    Para ulama fiqih mendefinisikan al-Ijarah dengan Pemilikan

    manfaat dengan imbalan ganti rugi. Al-Ijarah disyariatkan dalam

    Islam, karena sudah menjadi keperluan masyarakat, di mana dalam

    kehidupn masyarakat tidak smeua orang memiliki sesuatu yang ia

    perlukan manfaatnya. Untuk memenuhi keperluan itu,

    Menurut kesepakatan ulama fiqh orang yang menyewa suatu benda

    dari orang lain mempunyai hak memanfaatkan benda itu. Di samping

    memanfaatkan sendiri, ia juga dibolehkan menyewa benda itu kepada

    orang lain selama penyewa kedua ini memanfaatkannya sebagaimana

    hak manfaat yang diberikan kepada penyewa pertama. Misalnya, jika

    seseorang menyewa sebuah mobil untuk dimanfaatkan sebagai

    pengangkut penumpang, maka ia boleh menyewakan kepada orang lain

    untuk dimanfaatkan sebagai pengangkut penumpang pula.

    3. Al-Waqf (Wakaf)

  • Haqq al-intifa’ selanjutnya adalah wakaf. Para ulama fiqh

    mendefinisikan wakaf dengan Penyerahan manfaat sesutau kepada

    orang lain untuk dimanfaatkan. Jika suatu benda telah diwakafkan,

    maka pewakaf tidak berhak lagi melakukan transaksi terhadap harta itu.

    Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang menerima

    wakaf mempunyai hak untuk meanfaatkan harta yang diwakafkan itu

    untuk dirinya sendiri. Dia tidak memiliki hak untuk mengalihkan

    manfaat itu kepada orang lain.

    4. Al-Washiyyah bi al-Manfa’ah (Wasiat dengan manfaat)

    Bentuk haqq al-intifa’ lainnya adalah Al-Washiyyah bi al-Manfa’ah

    (berwasiat dengan manfaat) ialah memberikan manfaat suatu benda

    kepada seseorang untuk dimanfaatkan setelah ia wafat.

    5. Al-Ibahah (Pembolehan)

    Yang dimksud dengan al-ibahah ialah kebolehan atau keizinan yang

    diberikan seseorang kepada orang lain untuk memanfaatkan suatu benda

    yang dimilikinya, seperti kebolehan orang lain untuk memakan

    makanan yang dihidangkan, kebolehan untuk memanfaatkan jalan raya,

    irigasi untuk lahan pertanian.

    C. Al-Ba’i (Jual Beli)

    1. Pengertian Ba’i (Jual Beli)

    Kata al-Ba’i mencakup dua pengertian, yaitu jual (al-Ba’i) dan beli

    (al- syira’), adapun pengertian al-Ba’i secara Bahasa yaitu:40

    1. Muqabalah/ saling menerima (berasal dari kata qabala yang berarti

    menerima), yaitu menerima sesuatu atas sesuatu yang lain

    2. Mubadalah/ saling mengganti (berasal dari badala yang berarti

    mengganti)

    3. Mua’awadhat / pertukaran (berasal dari kata adha’ yang berarti memberi

    ganti).

    40 Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah akad Jual-Beli, (Bandung:

    Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 4.

  • Adapun definisi al-Ba’i secara terminologi dijelaskan oleh ulama

    sebagai berikut:

    1. Hanafiyah: Saling tukar menukar sesuatu yang disenangi dengan yang

    semisalnya.

    2. Malikiyah: Akad saling tukar-menukar terhadap selain manfaat.

    3. Syafi’iyah: Akad saling tukar menukar yang bertujuan memindahkan

    kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi.

    4. Hanabilah: saling tukar menukar harta dengan tujuan memindahkan

    kepemilikan.

    Pengertian jual beli secara istilah yang dijelaskan ulama,

    menunjukkan perbuatan dan akibat hukum jual-beli yaitu: 41

    1. Harta yang dipertukarkan, yaitu barang yang dijual (al-mabi’) dan harga

    (tsaman).

    2. Shigat akad, yaitu pernyataan atau perbuatan yang berupa penawaran

    (ijab) dan penerimaan (qabul)

    3. Pemindahan kepemilikan (intiqal al-milkiyyah/ al-tamlikiyyah), yaitu

    barang yang dijual (mabi’) berpindah kepemilikannya dari milik penjual

    menjadi milik pembeli dan harga (tsaman) berpindah kepemilikannya

    dari pembeli menjadi milik penjual.

    4. Al-tab’id; ulama syafi’iyah menyatakan bahwa pemindahan

    kepemilikan objek yang dipertukarkan (al-tsaman dan al-mutsman)

    bersifat kekal (abadi); tidak bersifat sementara.

    Jual beli menurut Imam Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli

    yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus, yaitu jual beli dalam

    arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan

    kemanfaatan dan kenikmatan. Sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa

    benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai obyek

    penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

    41 Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah akad Jual-Beli, (Bandung:

    Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 4 .

  • 2. Dalil Hukum disyariatkannya Ba’i (Jual Beli)

    Allah Dalam al-Qur’an telah dengan nyata dan lugas menjelaskan

    kebolehan jual beli, yaitu dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 275:

    ُ اْلبَْيَع وَ بَاَوأََحلَّ اَّللَّ َم الرِِّ َحرَّ

    Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba

    Q.S an-Nisa ayat 29

    نُوا ََل تَأُْكلُوا أَْمَوالَُكْم بَْينَُكْم بِاْلبَاِطِل إَِلَّ أَْن تَُكوَن تَِجاَرةً َعْن تََراٍض ِمْنُكمْ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آمَ

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu

    Terdapat pula Hadis Rasululah yang membahas tentang Jual beli

    diantaranya:

    Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:

    إِنََّما اْلبَْيُع َعْن تََراض

    “Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka”

    3. Rukun dan Syarat Ba’i (Jual Beli)

    Para Ulama berbeda pendapat tentang rukun jual beli ini. Menurut

    Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu yaitu ijab dan qabul. Sementara

    menurut malikiyah, rukun jual beli ada tiga, yaitu aqidain (dua orang yang

    berakad), ma’qud alaih (barang yang diperjualbelikan dan nilai tukar), dan

    shigat. Ulama syafi’iyah juga berpendapat sama dengan Malikiyah,

    sementara Hanabilah berpendapat sama dengan pendapat Hanafiyah.42

    Akan tetapi Jumhur Uama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,

    yaitu:43

    a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)

    42 Enang Hidayat. Fiqih Jual Beli. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015). h.17.

    43 Nasrun Haroen, Fiqh Mualamah, (Banten: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta, 2007),

    h.115.

  • b. Ada shigat (lafal ijab dan qabul)

    c. Ada barang yang dibeli

    d. Ada nilai tukar pengganti barang

    Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang

    dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai b