eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii puisi bima, saudara kembar,...

211
PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Upload: dinhdieu

Post on 16-Jun-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

i

PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,DAN DEWA RUCI:

Tinjauan Semiotik Riffaterre

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratanguna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret

Disusun olehAGUS SETYANA

C0202003

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPAUNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA2009

Page 2: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

ii

PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,DAN DEWA RUCI:

Tinjauan Semiotik Riffaterre

Disusun oleh

AGUS SETYANAC0202003

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Drs. Wiranta, M.S.NIP 131 569 261

Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Indonesia

Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag.NIP 131 859 875

Page 3: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

iii

PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,DAN DEWA RUCI:

Tinjauan Semiotik Riffaterre

Disusun oleh

AGUS SETYANAC0202003

Telah disetujui oleh Tim Penguji SkripsiFakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada Tanggal 30 April 2009

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua

Sekretaris

Penguji I

Penguji II

Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum.NIP 132 086 961

Asep Yudha Wirajaya, S.S.NIP 132 300 849

Drs. Wiranta, M.S.NIP 131 569 261

Dra. Murtini, M.S.NIP 131 281 867

..................................

..................................

...................................

...................................

DekanFakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Drs. Soedarno, M.A.NIP 131 472 202

Page 4: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

iv

PERNYATAAN

Nama : Agus SetyanaNIM : C0202003

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 7 April 2007

Yang membuat pernyataan,

Agus Setyana

Page 5: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

v

PERSEMBAHAN

Bapak-Ibu

untuk doa dan harapan

yang selalu menyertai

Page 6: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah

melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan dan sebentuk kesadaran, sehingga skripsi

dengan judul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan

Semiotik Riffaterre dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan

dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Drs. Soedarno, M.A., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis dalam menyusun skripsi ini.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Dengan segala hormat, Drs. Wiranta, M.S., dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menyusun skripsi,

terima kasih telah membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat selesai

dengan baik.

4. Dra. Hesti Widyastuti, M.Hum., pembimbing akademik yang telah banyak

memberikan motivasi, perhatian, petunjuk, dan pengarahan selama

perkuliahan.

5. Asep Yudha Wirajaya, S.S., yang telah memberikan saran dan masukan

kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Semoga beliau diberikan

kelancaran dalam menyelesaikan studi S-2.

Page 7: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

vii

6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Indonesia khususnya dan Fakultas

Sastra dan Seni Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.

7. Seluruh staf serta karyawan perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

dan perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

membantu penulis.

8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.

9. Dwi Ayu Febri Kustiyani, terima kasih atas segala bentuk bantuan,

semangat, dan pengharapan.

10. Para penyair yang telah menghadirkan tokoh Bima lewat karya puisinya.

Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Saini K.M., penulis

menyerahkan segala hormat, sebab tanpa puisi mereka tidak mungkin ada

skripsi ini.

11. Anung, Dimas, terima kasih atas dorongannya kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

12. Semua pihak, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya segala puji dan syukur, hormat dan kuasa serta kemuliaan hanya bagi

Allah SWT. Penulis menyadari banyak sekali ketidaksempurnaan dalam penulisan

skripsi ini. Terlepas dari semua, penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat

berguna bagi pembaca sekalian.

Surakarta, 7 April 2009

Penulis

Page 8: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………… iii

HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………. v

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… vi

DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii

ABSTRAK ………………………………………………………………… xiii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………… 1

B. Pembatasan Masalah………………………………………………….. 7

C. Rumusan Masalah…………………………………………………….. 8

D. Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 8

E. Manfaat Penelitian …………………………………………………… 9

1. Manfaat Teoretis ………………………………………………… 9

2. Manfaat Praktis ……………………………………………………. 9

F. Sistematika Penulisan ………………………………………………… 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR …….……….. 12

A. Studi Terdahulu ……………………………………………………… 12

B. Landasan Teori ….……………………………………………………. 15

1. Pengertian Semiotik ……..………………………………………… 15

2. Semiotik Riffaterre ……………………………………………….. 16

Page 9: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

ix

3. Peranan Pembaca dalam Puisi ……………………………………. 21

4. Peranan Penyair dalam Puisi ………………………………............ 22

C. Kerangka Pikir …….………………………………………………… 22

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………….. 24

A. Metode Penelitian ……………………………………………………. 24

B. Pendekatan …………………………………………………………… 24

C. Objek Penelitian ……………………………………………………… 25

D. Sumber Data …………………………………………………………. 25

E. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………. 25

F. Teknik Analisis Data ………………………………………………… 26

1. Tahap Pengumpulan Data ………………………………………. 26

2. Tahap Analisis………………………………………………….. 26

3. Tahap Melaporkan……………………………………………... 26

BAB IV ANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,

DAN DEWA RUCI ……………………………………………………........ 27

A. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi ………………………………….. 27

1. Puisi Bima ………………………………………………………. 27

a. Penggantian Arti ……………………………………………… 28

b. Penyimpangan Arti …………………………………………… 32

c. Penciptaan Arti …….…………………………………………. 34

2. Puisi Saudara Kembar …………………………………………… 37

a. Penggantian Arti ………………………………………………. 37

b. Penyimpangan Arti ……………………………………………. 39

c. Penciptaan Arti ………………………………………………… 41

Page 10: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

x

3. Puisi Telinga ……………………………………………………… 44

a. Penggantian Arti ……………………………………………….. 44

b. Penyimpangan Arti …………………………………………….. 46

c. Penciptaan Arti ………………………………………………… 47

4. Puisi Dewa Ruci ………………………………………………….. 49

a. Penggantian Arti ……………………………………………….. 50

b. Penyimpangan Arti …………………………………………….. 51

c. Penciptaan Arti ………………………………………………… 53

B. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik ………………………………. 57

1. Puisi Bima ………………………………………………………… 58

a. Pembacaan Heuristik …………………………………………… 58

b. Pembacaan Hermeneutik ………………………………………. 59

2. Puisi Saudara Kembar ……………………………………………. 71

a. Pembacaan Heuristik …………………………………………… 71

b. Pembacaan Hermeneutik ………………………………………. 72

3. Puisi Telinga ………………………………………………………. 79

a. Pembacaan Heuristik …………………………………………… 79

b. Pembacaan Hermeneutik ………………………………………. 80

4. Puisi Dewa Ruci …………………………………………………… 84

a. Pembacaan Heuristik …………………………………………… 86

b. Pembacaan Hermeneutik ……………………………………….. 87

C. Matriks, Model, dan Varian-varian …………………………………… 98

1. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Bima ………………….. 98

2. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Saudara Kembar …….. 100

Page 11: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

xi

3. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Telinga ………………. 102

4. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Dewa Ruci …………… 103

D. Hipogram …………………………………………………………….. 105

1. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik Puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan Cerita Dewaruci …….. 118

a. Puisi Bima …………………………………………………… 118

b. Puisi Saudara Kembar ………………………………………. 124

c. Puisi Telinga ………………………………………………… 132

d. Puisi Dewa Ruci …………………………………………….. 139

2. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci ……………………………….. 147

BAB V PENUTUP ………………………………………………………… 151

A. Simpulan ……………………………………………………………. 151

B. Saran ………………………………………………………………. 151

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 153

LAMPIRAN …………………………………………………………………. 156

1. Data Puisi ……………………………………………………………. 157

2. Biografi Ringkas Penyair Puisi ……………………………………… 161

3. Biografi Ringkas Yasadipura I …………………………………........ 164

4. Bima, dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia ……………………... 167

5. Gambar Tokoh Bima dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia ……… 178

6. Cerita Dewarutji (Kitab Dewarutji tembang Macapat ciptaan

Kjai Ngabehi Yasadipura I), disadur dan diindonesiakan oleh

Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian

Page 12: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

xii

Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan Yogyakarta) …………… 182

Page 13: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

xiii

ABSTRAK

Agus Setyana. C0202003. 2009. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu (1) bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci? (2) Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci? (3) Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. (2) Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci. (3) Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini adalah puisi-puisi pilihan yang menghadirkan tokoh Bima, yaitu puisi Bima,Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap melaporkan.

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci yaitu baris, bait, rima, tipografi, dan bunyi yang tersusun dalam bentuk kata-kata, serta arti atau makna, tema, asosiasi-asosiasi, citra, dan emosi. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci merupakan pengejawantahan yang kreatif dari cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Keempat puisi yang menghadirkan tokoh Bima mengikuti hipogramnya yaitu cerita Dewaruci, kecuali pada puisi berjudul Bimakarya Subagio Sastrowardoyo yang menentang hipogramnya. Makna kehadiran tokoh Bima, Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci adalah sebagaigambaran manusia biasa, pengingat dan teladan, serta wujud kebesaran Tuhan.

Page 14: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam khasanah perpuisian di Indonesia nuansa pewayangan menjadi

salah satu dimensi yang telah memperkayanya. Salah satu nuansa tersebut adalah

cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi sebuah wacana bagi penyair sebagai

tema puisi yang kemudian menjadi inspirasi penyair untuk mencipta sebuah puisi.

Cerita Dewaruci mengandung kefilsafatan serta keagamaan yang dalam

karena menggambarkan seorang kesatria dengan kemauan keras mencari jalan

sebaik-baiknya untuk dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal di

surga. Dalam usaha memperoleh cita-cita, kesatria tersebut menjumpai

bermacam-macam kesukaran, tetapi berkat ketabahan hati dan disertai dengan

kemauan tidak mengenal menyerah akhirnya kesatria tersebut dapat mencapai

yang diidam-idamkan. Kesatria tersebut tidak hanya menerima petunjuk tentang

kehidupan di dunia fana saja, tetapi juga memperoleh keterangan mengenai dunia

yang baka serta tentang cara dapat masuk ke surga (Prawiraatmadja, 1954:4).

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki fungsi dalam

penciptaannya. Fungsi tersebut seperti yang dikemukakan Horatius dalam Ars

Poetica-nya yang dikutip Teeuw, “tujuan penyair ialah berguna atau memberi

nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk

kehidupan”. Horatius memakai kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan

penyair atau efek puisi yang dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dan

yang enak (Teeuw: 1984:183). Dengan demikian karya sastra (puisi) diciptakan

Page 15: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

2

bukan tanpa maksud, melainkan karya sastra (puisi) berusaha memberikan sesuatu

kepada pembacanya seperti nasihat, amanat, atau pelajaran.

Dengan bahasa yang dimiliki, penyair mencoba mengungkapkan

permasalahan sejelas-jelasnya dan seindah-indahnya sebagai upaya untuk menarik

hati pembaca. Untuk hal ini penyair memilih kata yang tepat sehingga dapat

menjelmakan jiwanya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:54). Dalam puisi (karya

sastra pada umumnya), sebuah kata atau bahasa tidak hanya mengandung aspek

denotasinya saja. Bahasa puisi cenderung mengarah kepada makna konotatif

(Atmazaki, 1993:12). Dari hal tersebut, konotasi bahasa menjadi ciri yang

dominan dalam puisi.

Kata atau bahasa tidak hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti

tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (tautan) yang keluar dari

denotasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:59). Kelebihan puisi sebagai karya

kreatif terletak pada bahasa dan unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan

dunia yang di luarnya. Pilihan kata dan pemanipulasian kata mampu

mengkonkretkan imaji-imaji yang memenuhi intuisi seorang penyair. Dalam

penelitian ini akan ditekankan pada karya sastra puisi. Ketertarikan penulis pada

puisi terletak pada pemilihan dan penataan kata yang cermat dan pemanfaatan

simbol atau tanda tertentu. Adanya penggunaan kata tertentu, simbol atau tanda

dalam puisi merupakan bentuk pengungkapan batin pengarang dan penegasan

maksud puisi.

Puisi meliputi dua wilayah makna (denotatif dan konotatif), sehingga

usaha pemberian makna tidak hanya terhenti pada yang tersurat, melainkan juga

mencari yang tersirat di dalamnya. Pembaca dihadapkan pada beberapa

Page 16: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

3

kemungkinan makna yang dirasa cukup mewakili untuk menguraikan simbol dan

seperangkat tanda lain dalam puisi. Oleh karena itu, pembaca tidak boleh

mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik

konvensi bahasa maupun konvensi sastra sebagai konvensi tambahan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1995:115). Di antara konvensi puisi itu adalah ucapan atau

ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu

dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang

berubah. Namun ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu menyatakan suatu hal

dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

Penulis tertarik untuk meneliti puisi bertema pewayangan yang salah satu

sumbernya dari cerita Mahabarata dengan alasan sebagai berikut. Pertama, bahwa

intisari cerita Mahabarata berisi tentang keutamaan-keutamaan, keteladanan,

kepahlawanan, kejujuran, dan kebenaran. Warna-warni kehidupan manusia

diceritakan dengan segala sebab-akibatnya. Keyakinan, janji, dan sumpah

seseorang akan menjadi kenyataan sesuai dengan pernyataan sebelumnya

(Purwadi, 2004:5). Nilai-nilai luhur dalam cerita pewayangan dapat digunakan

sebagai cermin kehidupan sehari-hari. Kedua, kisah pewayangan mengandung

tontonan serta tuntunan yang menjadi dasar moral, kewajiban dan kebenaran.

Dalam bahasa Mahatma Gandhi, konflik abadi yang di dalam jiwa diuraikan

demikian jelasnya, sehingga menyebabkan untuk berpikir bahwasannya

perbuatan-perbuatan yang dilukiskan di dalamnya seolah-olah benar-benar

dilakukan oleh manusia (Pendit, 1980:xxiii).

Tindakan dan nasib masing-masing tokoh wayang dalam lakon-lakon

tertentu seringkali dipakai oleh orang untuk memahami makna kehidupan atau

Page 17: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

4

realitas yang dihadapinya. Dalam realitas kehidupan, manusia mempunyai dua

dunia yang selalu menyertainya, yaitu lahir dan batin. Segi lahiriah manusia

mengikatkan manusia pada dunia materi yang dapat menjadi hambatan, serta

menjadi hal yang berbahaya. Hambatan atau bahaya tersebut sebagian besar

disebabkan oleh hawa nafsu dan pamrih yang dimiliki manusia (Sardjono,

1995:19).

Penulis memilih puisi dengan judul Bima, Saudara Kembar karya Subagio

Sastrowardoyo dari kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh

PN Balai Pustaka tahun 1985 cetakan pertama; puisi dengan judul Telinga karya

Sapardi Djoko Damono dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan

oleh PT Grasindo tahun 1994 cetakan pertama, dan puisi berjudul Dewa Ruci

karya Saini KM dari kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh

PT Grasindo tahun 2000 cetakan pertama. Dari nama penyair yang mencipta puisi

tersebut, menurut anggapan penulis, merupakan nama besar pengarang/penyair

dalam dunia puisi Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan begitu banyak karya

mereka yang diterbitkan baik puisi, kritik, maupun esai-esai.

Penulis memilih puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci

sebagai bahan penelitian dengan alasan sebagai berikut. Pertama, adalah adanya

keunikan dalam penggunaan kata atau diksi. Dimulai dari penggunaan judul

keempat puisi yang berbeda, kemudian penggunaan kata-kata tertentu yang

merupakan tanda bermakna. Hal ini merupakan bentuk kreatif penyair dalam

menangkap wacana cerita Dewaruci. Kedua, adalah tipografi. Tipografi

merupakan penyusunan baris dan bait sajak. Bentuk tipografi puisi menjadi

struktur penceritaan dalam puisi. Dari keempat puisi tersebut, terdapat puisi yang

Page 18: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

5

berbentuk naratif dan ada yang berbentuk dialog. Ketiga, adalah imaji. Imaji

merupakan kilasan bayangan yang muncul dari pembacaan puisi. Keempat, puisi

tersebut mempunyai suasana serta imajinasi yang kuat. Hal ini muncul dari

kemampuan penyair memanfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik

sehingga menimbulkan kilasan bayangan dalam pikiran pembaca.

Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci mengingatkan pada

sebuah karya sastra lama atau cerita Dewaruci. Adapun nama pengarang asli kitab

Dewaruci hingga sekarang belum diketahui. Mengenai cerita Dewaruci atau

Bimasuci ada beberapa macam redaksinya. Di wilayah Surakarta, karya ini pada

mulanya dikarang (digubah) oleh Pujangga Yasadipura I. Serat Bimasuci atau

Dewaruci digubah oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa atau 1793 Masehi

(Purwadi, 2002:1).

Dalam kaitannya pergelaran wayang kulit, cerita Dewaruci diciptakan

dalam bentuk pakem pedhalangan lengkap dengan judul Lampahan Dewaruci

oleh Ki Manteb Soedharsono (Purwadi, 2002:22). Untuk lampahan sejenis,

Sudarko juga membuat lampahan Dewaruci yang diterbitkan oleh Cendrawasih

Surakarta. Hal ini menunjukkan cerita Dewaruci masih diminati sampai sekarang.

Cerita Dewaruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri yang

mengandung pelajaran sebagai berikut. 1). Sura dira jayaningrat lebur dening

pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan

atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya

bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di

samping itu, lakon atau cerita Dewaruci merupakan lakon atau cerita yang banyak

berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan (Wawan Susetya,

Page 19: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

6

2007:200). Semua lakon dalam wayang kulit selalu dikemas dan dibungkus

dengan metafora atau perlambang, sehingga pemahamannya bergantung dari

keluasan pandang masing-masing orang.

Pemegang peranan terpenting dalam cerita Dewaruci adalah tokoh Bima.

Tokoh Bima merupakan tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata. Tokoh

Bima telah memerankan peran sebagai seorang individu dalam hal moralitas

kemasyarakatan yang berkaitan dengan kodrat manusia sebagai makhluk individu

dan sosial. Tokoh Bima telah mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, namun

rela menanggalkan sikap egoisnya demi perjuangan dan pengabdian kepada

negara dan masyarakatnya.

Penulis menganggap tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar,

Telinga, dan Dewa Ruci sebagai tokoh utama. “Ia merupakan tokoh yang paling

banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian”

(Burhan Nurgiyantoro, 2000:177). Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa

tokoh yang dikagumi merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma,

nilai-nilai yang ideal bagi kita (Burhan Nurgiyantoro, 2000:178). Tokoh Bima

merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan-pesan

moralnya. “Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan

penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan

pengarang kepada pembaca” (Burhan Nurgiyantoro, 2000:167). Oleh karena itu,

penulis ingin mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci

Penulis menggunakan pendekatan semiotik Riffaterre dalam menemukan

makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan

Page 20: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

7

Dewa Ruci. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tentang tanda. Bahasa

merupakan sistem tanda dan sebagai suatu tanda, bahasa bersifat mewakili sesuatu

yang lain yang disebut makna. Pendekatan semiotik Riffaterre relevan digunakan

dalam penelitian ini karena puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci

banyak menampilkan kata maupun bahasa dan aspek di luar kebahasaan yang

menjadi tanda dan sistem tanda. Hal ini juga disebabkan adanya

ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Bima, Saudara Kembar,

Telinga, dan Dewa Ruci. Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi itu

pengertian–pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan

sesuatu hal yang lain.

Sebuah karya sastra biasanya bermakna penuh dalam hubungan atau

pertentangan dengan karya lain (Teeuw, 1983:65). Oleh karena itu, selanjutnya

puisi tersebut akan ditelusuri hipogramnya dengan cerita Dewaruci. Berdasarkan

uraian di atas penelitian ini berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan

Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ini dimaksudkan untuk membatasi masalah sehingga

tujuan penelitian ini menjadi lebih jelas dan terarah. Penelitian ini dibatasi pada

unsur-unsur struktur puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci,

meliputi metafora, pembaitan, rima, enjambemen dan tipografi yang membentuk

kepaduan puisi; hubungan intertekstual atau hipogramatik antara puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci; serta makna

kehadiran tokoh Bima yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga,

dan Dewa Ruci.

Page 21: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

8

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

2. Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci?

3. Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung

puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan

permasalahan sebagai tujuan untuk memecahkan masalah yang ada. Sejalan

dengan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi

Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita

Dewaruci.

3. Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 22: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

9

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mewujudkan bentuk penerapan teori

semiotik dalam karya sastra khususnya puisi, dan teori ini dapat dimanfaatkan

untuk menangkap makna kehadiran tokoh Bima yang teraktualisasi dalam

puisi yaitu pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat menambah wawasan dan

pemahaman terhadap karya sastra. Selain itu, dengan mengetahui tema dan

makna yang dikandung puisi dapat memberikan tambahan wawasan tentang

pentingnya mengolah segi batin dan lahir manusia dalam bersikap hidup,

hubungannya dengan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial.

F. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian pada hakikatnya akan mempermudah dan

mengarahkan hasil penelitian tidak menyimpang dari pembahasan yang akan

diteliti. Penelitian yang sistematis akan banyak membantu penelitian dan

pembacaaan serta pemahaman terhadap hasil penelitian. Sistematika penulisan

penelitian ini dapat disusun sebagai berikut.

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penulis

mengambil kajian semiotik untuk meneliti puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga,

dan Dewa Ruci. Pembatasan masalah yang berupa makna kehadiran tokoh Bima

yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 23: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

10

Perumusan masalah yang berupa makna apa yang terdapat pada kehadiran tokoh

Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Tujuan

penelitian yang berguna untuk menjawab rumusan masalah. Manfaat penelitian

diharapkan dapat menambah khazanah penelitian terutama puisi dengan

menggunakan pendekatan semiotik, dan sistematika penelitian untuk

memudahkan dalam proses analisis permasalahan sehingga lebih sistematis.

Bab kedua adalah kajian pustaka dan kerangka pikir, berisi penelitian-

penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini serta kajian teori

tentang teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori semiotik Riffaterre. Teori semiotik Riffaterre berkaitan dengan permasalahan

yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai makna kehadiran tokoh Bima

dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Bab ketiga adalah metode penelitian yang memberikan gambaran proses

penelitian yang di dalamnya diuraikan mengenai metode penelitian, pendekatan

yang digunakan, objek penelitian, sumber data, metode, teknik pengumpulan data,

teknik analisis data, dan teknik penarikan simpulan.

Bab keempat adalah analisis puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan

Dewa Ruci dengan menggunakan teori semiotik Riffaterre. Tahap yang dilakukan

dalam analisis yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, kemudian

dilanjutkan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, dilanjutkan dengan

pencarian matriks, dan dilakukan penelusuran hubungan intertekstual atau

hipogramatik yang menjadi latar proses penciptaan puisi Bima, Saudara Kembar,

Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 24: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

11

Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari hasil analisis dan

dilengkapi dengan saran. Penelitian ini dilengkapi dengan daftar pustaka yang

digunakan sebagai acuan atau referensi dalam melakukan penelitian, dan lampiran

yang berupa puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, biografi

pengarang puisi, biografi Yasadipura I, cerita dan gambar tokoh Bima dalam

pewayangan dari buku Ensiklopedi Wayang Indonesia, cerita Dewa Ruci karangan

(gubahan) Yasadipura I yang diterbitkan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan

Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Yogyakarta.

Page 25: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

12

BAB IIKAJIAN PUSTAKA DAN

KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo

menurut sepengetahuan penulis adalah Menyingkap Dunia Kepenyairan Subagio

Sastrowardoyo oleh Wahyu Wibowo diterbitkan PN Balai Pustaka tahun 1984.

Pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama adalah gagasan cipta puisi Subagio Sastrowardoyo. Ekspresi

pengalaman lahir maupun batin penyair, dalam hubungan ini berupa pengalaman

lahir maupun batin yang sudah diolah oleh sejumlah kemampuan diri penyair.

Berdasarkan kemampuan diri ditambah pandangan hidup yang positif, Subagio

Sastrowardoyo “meramunya” menjadi niat dasar dalam menciptakan puisi-

puisinya. Bayangan batin yang terjadi setelah melalui proses penglihatan

bayangan batin disebut Subagio Sasytrowardoyo sebagai ilham. Obsesi Subagio

Sastrowardoyo terhadap kematian, secara nyata menonjol pada citra-citra yang

tampak pada puisi-puisinya.

Kedua, adalah Perempuan yang Berumah Dekat Pantai, sebagai corak

pribadi Subagio Sastrowardoyo. Bayangan batin yang berasal dari pengalaman

lahir dan batin Subagio Satrowardoyo, senantiasa berpatok pada satu latar

belakang peristiwa yakni ketakutannya pada kematian. Kesepian perempuan atau

si aku lirik dalam puisi Subagio Sastrowardoyo tersebut adalah kesepian dalam

merindukan sesuatu, yaitu maut atau kematian.

Page 26: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

13

Penelitian terdahulu tentang tokoh Bima menurut sepengetahuan penulis

sebagai berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Afendy Widayat (1990) berjudul “Tinjauan

Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An”, sebagai tulisan

Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Penelitian yang dilakukan Afendy Widayat

(1990) ini menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam Serat Bimapaksa selalu

berorientasi kepada kebagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai

religius (theologis). Cerita Bima Bungkus menjelaskan moralitas yang berkaitan

dengan nilai kebenaran, kepahlawan, dan ketabahan hidup.

Penelitian yang dilakukan oleh Purwadi (1995) berjudul “Cerita Sena

Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna”, sebagai Skripsi Sarjana

Fakultas Sastra UGM. Kehidupan Surgawi adalah kehidupan masa muda. Mereka

selamat meneliti bayangan surga, kemudahan, kenikmatan dalam bahasa Surgawi,

yang di dunia ini dapat dilacak dalam konsekuensi sengsara membawa nikmat.

Cerita Sena Sinaraya menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan sikap

gagah berani, rela berkorban, dan kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita

hidup. Penelitian yang dilakukan Purwadi ini juga menyebutkan bahwa Bima

senantiasa mengusahakan tindakan moral yang tujuannya meraih kebahagiaan

bersama (eudaemonisme) yang sangat dianjurkan oleh nilai-nilai keagaman

(theologis).

Penelitian yang dilakukan oleh Endro Sasmito (1992) berjudul “Cerita

Begawan Senaroda karya R.M. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna”

sebagai Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Dalam Cerita Begawan Senaroda

itu, Bima tampil sebagai Begawan Senaroda. Dia membeberkan ilmu

Page 27: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

14

kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kwaruh begja, dan sangkan paraning dumadi.

Dalam cerita tersebut diajarkan bahwa orang hidup hendaknya selaras lahir batin,

jiwa raga, cipta-rasa-karsa, dan iman ilmu amal. Cerita Begawan Senaroda

menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal

kebatinan. Penelitian yang dilakukan oleh Endro Sasmito (1992) juga

mempertegas bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan

supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati (eudaemonisme) dan memperhatikan

moralitas keagamaan.

Yang membedakan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini

meneliti jenis karya sastra puisi, berjumlah empat buah puisi. Puisi yang diteliti

diambil dari kumpulan puisi oleh 3 penyair, yaitu Bima dan Saudara Kembar

karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa

Ruci karya Saini KM. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan semiotik

Riffaterre, dengan analisis melalui beberapa tahapan, yaitu bentuk

ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik dan pembacaan

hermeneutik, pencarian matriks, model, dan varian, serta penelusuran hubungan

intertekstual atau hipogramatik puisi.

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur yang

membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci,

mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci, mendeskripsikan

makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan

Dewa Ruci. Penelitian terdahulu oleh penulis digunakan dan dimanfaatkan

sebagai tambahan wacana dalam proses penulisan skripsi ini.

Page 28: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

15

B. Landasan Teoretis

1. Pengertian Semiotik

Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics. Berpangkal pada

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman

Umum Pembentukan Istilah, bahwa orientasi pembentukan istilah tersebut

terdapat pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia

berubah menjadi –ik atau –ika (Puji Santosa, 1993: 2).

Kata semotika berasal dari bahasa Yunani semion, yang berarti tanda.

Semiotika adalah cabang ilmu tentang tanda dan segala yang berurusan dengan

pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti

sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1).

Nama lain semiotika adalah semiologi. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian

yang sama yaitu sebagai ilmu tentang tanda.

Peletak dasar teori semotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure

dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa

modern mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce yang seorang ahli

filsafat memakai istilah semiotik. Kedua tokoh tersebut berasal dari dua benua

yang berjauhan, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama

mengemukakan sebuah teori yang secara prinsipal tidak berbeda (Burhan

Nurgiyantoro, 2000:39).

Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan satu teori semiotik, yaitu

dari Michael Riffaterre. Pengunaan semiotik Riffaterre merupakan usaha untuk

mengungkap makna serta menelusuri hipogramnya dengan melalui beberapa

tahapan, yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik

Page 29: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

16

dengan terdapat kegiatan memparafrasekan (per-bait) puisi. Selanjutnya

pembacaan hermeneutik, merupakan proses pembacaan berdasar konvensi sastra

(puisi) dan pemberian makna puisi. Tahapan selanjutnya adalah pencarian matriks

(kata kunci), model dan varian-varian, serta penelusuran hubungan intertekstual

atau hipogramatik puisi.

2. Semiotik Riffaterre

Dalam buku berjudul Semiotic of Poetry (1978), bahwa untuk

mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek

kesejarahan puisi tersebut. Tugas pembacalah untuk menemukan dan menafsirkan

respon yang terkandung dalam sajak tersebut. Riffaterre menyatakan bahwa karya

sastra (puisi) merupakan a dialectic between text and reader (Riffaterre, 1978:10).

Riffaterre (1978:1) mengangggap puisi adalah sebagai salah satu aktivitas

pemroduksian bahasa. Bahasa yang diproduksi tersebut berbicara mengenai

sesuatu yang disampaikan secara tidak langsung atau ketidaklangsungan ekspresi.

Dikemukakan Riffaterre (1978:1—2) puisi itu menyatakan suatu hal secara tidak

langsung. Selanjutnya, Riffaterre menegaskan ketidaklangsungan tersebut

disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning),

penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of

meaning).

a. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang

lain, yaitu pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora

melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain. Secara umum

dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan disebut dengan metafora. Dalam

Page 30: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

17

penggantian arti, suatu kata (kiasan) berarti sesuatu yang lain (tidak

menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:212).

b. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning),

Penyimpangan arti dalam sajak disebabkan ambiguitas,

kontradiksi, atau pun nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas,

merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali

mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu

(Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi

kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan

asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh

paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara

menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi

biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215-216). Paradoks merupakan pernyataan yang

tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan

pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu

kebenaran (Panuti Sudjiman, 1990:59).

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti

sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan

asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh,

suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219).

Page 31: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

18

c. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari

hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di

antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan

kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris

berikutnya), tipografi (penyusunan baris dab bait sajak), atau ekuivalensi-

ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues)

(Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa

memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, serta konvensi tanda, maka

struktur karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal (Rachmat Djoko

Pradopo, 1995:118). Tanda baru memperoleh makna yang optimal apabila

mendapatkan apresiasi dari pembaca (Teeuw, 1983:62). Hal tersebut

menunjukkan bahwa antara pembaca dengan teks sastra terjadi dialektika dalam

pemaknaan karya sastra.

Selanjutnya tahap yang dilakukan untuk memberi makna sajak (puisi)

secara semiotik adalah pembacaan heuristik (heuristic reading) dan pembacaan

hermeneutik (hermeneutic reading) atau retroaktif (retroactive reading)

(Riffaterre, 1978:5—6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan

pada struktur bahasanya atau secara semotik adalah berdasarkan konvensi sistem

semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan berdasarkan

sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Rachmat

Djoko Pradopo, 1995:135).

Page 32: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

19

Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur bahasa

atau secara sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan heuristik, sajak

dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Yang dilakukan dalam pembacaan

heuristik yaitu menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-

sinonim. Untuk memperjelas arti bisa diberi sisipan kata atau sinonim kata-

katanya yang ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga dengan struktur kalimatnya

disesuaikan dengan kalimat baku (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:136).

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan

sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan

hermeneutik merupakan pembacaan yang diulang kembali dengan ditafsirkan

berdasarkan konvensi sastra (puisi). Konvensi sastra yang memberikan makna itu

di antaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (Rachmat Djoko

Pradopo, 1995:137).

Dalam pemahaman makna karya sastra, pembaca harus memahami bahwa

sajak (puisi) bermula dari adanya matriks (Riffaterre, 1978:13). Matriks adalah

kata kunci atau inti sari dari serangkaian teks. Selanjutnya, (Riffaterre, 1978:19)

mengatakan bahwa matriks bersifat hipotesis yang berupa aktualisasi gramatikal

dan leksikal suatu struktur. Matriks tidak muncul dalam suatu kata dalam teks,

tetapi diaktualisasikan dalam model, sedangkan model adalah pengembangan teks

dengan pemaparan.

Matriks dapat diringkas dalam satu kata tunggal yang tidak terdapat dalam

teks. Matriks ini selalu teraktualisasi dalam varian-varian yang berurutan. Bentuk

varian-varian ini selalu ditentukan oleh aktualisasi pertama, yaitu model

(Riffaterre, 1978:19).

Page 33: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

20

Dikemukakan Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry, bahwa sajak

baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak yang lain, baik dalam

persamaan maupun pertentangannya. Sajak itu baru dapat dipahami makna secara

sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar

penciptaannya. Riffaterre menyatakan bahwa sajak (teks) yang menjadi latar

penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain disebut hipogram (1978:23).

Setiap teks, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan

merupakan penyerapan serta transformasi dari teks lain (Kristeva dalam Rachmat

Djoko Pradopo, 2002:55).

Hipogram teks ditelusuri untuk mendapatkan makna teks sastra yang

optimal secara semiotik. Hipogram bisa berwujud satu kata, frase atau kutipan,

atau ungkapan klise yang mereferensi pada kata atau frase yang sudah ada

sebelumnya (Riffaterre, 1978:23). Riffaterre (1978:23) menyatakan bahwa

hipogram ada dua macam, yaitu potensial dan aktual. Hipogram potensial dapat

dilihat pada bahasa atau segala bentuk implikasi makna kebahasaan, baik yang

berupa presuposisi maupun makna konotatif yang sudah dianggap umum di dalam

karya sastra itu sendiri meskipun tidak diekspresikan secara langsung. Hipogram

aktual dapat dilihat pada teks-teks yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos

maupun karya sastra lain. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks (karya

sastra) baru atau ditransformasikan menjadi teks (karya sastra) baru.

Untuk memberi makna sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas perlu

diterapkan, yaitu dengan membandingkan suatu karya sastra dan hipogramnya.

Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks

sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan mensejajarkan

Page 34: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

21

sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut

menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya

(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55). Jadi, ada empat hal pokok dalam analisis

semiotik Riffaterre (1978), yaitu (1) ketidaklangsungan ekpresi puisi; (2)

pembacaan heuristik dan hermeneutik; (3) matriks, model, dan varian; dan (4)

hipogram.

3. Peranan Pembaca dalam Puisi

Konvensi yang mendasari dalam pemberian makna karya sastra

(konkretisasi) yaitu pembaca sebagai pemberi makna. Pembaca mempunyai

peranan yang penting dalam konkretisasi makna karya sastra. Dalam hal

konkretisasi, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang

mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra.

(Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115).

Dalam proses konkretisasi terjadi hubungan yang dialektis antara teks

karya sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca yang memiliki horison harapan

tersendiri terhadap karya sastra yang dibaca. Konkretisasi sebuah karya sastra

perlu diperhatikan hasil pembacaan atas sebuah karya dari generasi ke generasi

karena ada penambahan apresiasi terhadap karya sastra. Hal itu disebabkan oleh

horison harapan pembaca dari tiap generasi selalu berubah karena konsep estetika,

kepandaian, dan pengalaman (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115—116).

Wellek dan Warren menyatakan bahwa pembaca sebagai pembongkar

makna harus mempunyai bekal cukup. Pendidikan kepribadian, yang meliputi

latar belakang religi, filosofis, iklim budaya serta wawasan kebahasaan yang luas

mempengaruhi daya tangkap pembaca terhadap makna puisi (1990:180).

Page 35: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

22

4. Peranan Penyair dalam Puisi

Kedudukan penyair dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl

melalui tiga dalil. Pertama, ada kaitan antara sebuah arti karya sastra dan niat

penyairnya. Kedua, penyair yang nyata terlibat bertanggung jawab atas proporsi

yang diajukan dalam karyanya. Jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan

antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu arti. Arti

tersebut bukan yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis, melainkan yang

diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan penyair dalam karyanya. Niat bukan

sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan karya sastra; niat terwujud dalam

proses perumusan kalimat yang dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177).

Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan, pikiran, dan

pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang

tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan (Rachmat Djoko

Pradopo, 1995: 114).

C. Kerangka Pikir

Penyimpangan gramatikal merupakan hal yang dikehendaki dalam

penulisan puisi. Dalam perpuisian dikenal adanya licentia poetica, yaitu

kebebasan penyair untuk menyalahi kaidah-kaidah gramatika. Dengan adanya

demikian, puisi yang dihasilkan senantiasa mengandung kelainan, terkesan

kontras atau berbeda dengan bahasa masyarakat atau bahasa sehari-hari. Selain

terjadi perbedaan dengan bahasa sehari-hari, terdapat tanda-tanda yang mempuyai

makna yang terkandung dalam puisi. Dari bentuk penulisan puisi yang tidak

gramatikal (sesuai dengan tata bahasa) tersebut, puisi diubah ke dalam bentuk

yang gramatikal sebagai usaha untuk memahami dan menafsirkan tanda yang

Page 36: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

23

bermakna dalam puisi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori untuk

menganalisis puisi dalam usaha untuk mencari makna yang dikandung puisi.

Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci ditulis oleh penyair

dengan bahasa mereka dengan terdapat tanda-tanda yang bermakna. Di dalam

puisi tersebut terdapat kata-kata sebagai tanda untuk menunjukkan kehadiran

tokoh Bima, dan beserta makna yang dikandungnya. Oleh karena itu digunakan

teori semiotik Riffaterre untuk menganalisis teks puisi tersebut.

Penelitian ini menggunakan tahap-tahap analisis semiotik Riffaterre, yaitu

ketidaklangsungan ekspresi puisi; pembacaan heuristik dan hermeneutik;

pencarian matriks, model, dan varian; serta hipogram (hubungan intertekstual),

untuk menemukan unsur-unsur yang membangun puisi, mengungkap makna

kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa

Ruci dan menelusuri hubungan intertekstual atau hipogramatik dengan cerita

Dewaruci. Dari analisis yang dilakukan, akan diperoleh simpulan mengenai

unsur-unsur yang membangun puisi, hubungan hipogram dengan cerita Dewaruci

dan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga,

dan Dewa Ruci.

Hipogram.

Pencarian matriks, model,dan varian-varian.

Pembacaan heuristik dan hermeneutik.

Ketidaklangsungan ekspresi puisi.

Puisi yang menghadirkan tokoh Bimapuisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Teori Semiotik Riffaterre

simpulan

Makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci.

Hubungan intertekstual atau hipogramatik dengan cerita Dewaruci.

Unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 37: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

24

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,

dengan bentuk penelitian yang bersifat deskriptif. Metode kualitatif merupakan

jenis penelitian yang data-datanya berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-

angka (Lexi J. Moleong, 2001:6).

Penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka,

tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep

yang sedang dikaji secara empiris. Penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya

terurai dalam bentuk kata-kata, bukan berbentuk angka (Suwardi Endraswara,

2003:5).

B. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan semiotik

Riffaterre. Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena pendekatan

semiotik Riffaterre sesuai dengan permasalahan yang dianalisis oleh peneliti.

Dengan pendekatan Semiotik Riffaterre pemaknaan terhadap puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci tersebut dapat dilakukan dengan

maksimal. Hal tersebut dikarenakan pendekatan semiotik Riffaterre menggunakan

tahapan-tahapan analisis, yaitu (1) ketidaklangsungan ekspresi karya sastra (puisi)

disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning),

penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of

meaning), (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) pencarian matriks, model

dan varian, serta (4) penelusuran hipogram (hubungan intertekstual).

Page 38: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

25

C. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah unsur-unsur yang

membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, hubungan

intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa

Ruci dengan cerita Dewaruci, dan makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung

puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah

1. puisi dengan judul Bima karya Subagio Sastrowardoyo dari buku

kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai

Pustaka tahun 1985,

2. puisi dengan judul Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo dari

buku kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai

Pustaka tahun 1985,

3. puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari buku

kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo

tahun 1944, dan

4. puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM.dari buku kumpulan puisi

Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik pustaka. Teknik pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan

Page 39: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

26

menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data yang berkaitan

dengan puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dan teori semiotik

Riffaterre.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut.

1. Tahap Pengumpulan Data

Tahap ini merupakan tahap mengumpulkan data-data yang relevan, akurat

yang digunakan dalam menemukan makna yang terdapat pada puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Tahap Analisis

Tahap ini merupakan tahap analisis untuk menemukan makna yang terdapat

pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

3. Tahap Melaporkan

Tahap ini merupakan tahap melaporkan hasil penelitian terhadap makna yang

terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 40: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

27

BAB IVANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,

DAN DEWA RUCI

Dalam bab ini diuraikan mengenai analisis terhadap makna yang

dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Pemaknaan

puisi tersebut melalui empat tahap dalam analisis semiotik Riffaterre, yaitu (1)

ketidaklangsunagn ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)

matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (hubungan intertekstual).

A. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi

Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2)

disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan

arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Dalam

tahap ini diuraikan mengenai bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi Bima,

Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

1. Puisi Bima

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan

Page 41: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

28

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

a. Penggantian Arti

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain,

yaitu pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora ini untuk

menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tetapi tidak terbatas pada bahasa

kiasan metafora dan metonimi saja. Metafora melihat sesuatu dengan

perantaraan hal atau benda lain. Secara umum dalam pembicaran puisi bahasa

kiasan disebut dengan metafora. Dalam penggantian arti, suatu kata (kiasan)

berarti sesuatu yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko

Pradopo, 1993:212).

Pada bait pertama, terdapat kalimat “di dalam pengelanaannya” yang

merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi

yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang

singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan

sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139). “Pengelanaannya” menyatakan hal

mengenai rangkaian perjalanan hidup yang telah dilalui oleh tokoh Bima.

Rangkaian hidup tersebut terjadi semenjak tokoh Bima muda hingga pada saat

tokoh Bima dapat menyadari hal-hal yang terjadi padanya.

Kalimat “dilihatnya tiada yang kekal” merupakan gaya bahasa

sinekdoke. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan

sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto)

(Gorys Keraf, 2000: 142). Sinekdoke (pars pro toto) kalimat tersebut berarti

Page 42: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

29

bahwa bentuk “dilihatnya” merupakan aktivitas yang dilakukan dengan

menggunakan organ penglihatan yaitu mata. Organ penglihatan ini mewakili

dari proses seluruh tubuh manusia beserta perasaan manusia akan suasana hati

yang terjadi dari kegiatan melihat tersebut.

Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” merupakan bentuk gaya

bahasa metafora dan sinekdoke (pars pro toto). Metonimia adalah suatu gaya

bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain,

karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Gorys Keraf, 2000: 142).

Metafora “bahasa” menyatakan bentuk komunikasi dalam hubungan dan

interaksi dengan orang lain. Sinekdoke (pars pro toto) “bahasa” menyatakan

bahwa bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam masyarakat itu

mewakili bentuk hubungan manusia dalam bermasyarakat.

Pada bait kedua, terdapat kalimat “hutan jati hilang kumandangnya”

yang merupakan gaya bahasa metafora. Hutan jati merupakan kiasan untuk

hal-hal yang baik, hilang kumandangnya berarti hilang gaungnya.

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati

Ungkapan tersebut mempunyai arti bahwa benih kejahatan merajalela, benih

kebaikan mati (Hariwijaya, 2003: 72). Pohon jati merupakan pohon pilihan

yang multiguna. Pohon jati dijadikan simbol kebaikan. Hal ini mengisyaratkan

bahwa kebaikan terkalahkan oleh kebatilan baik dari kualitas maupun

kuantitas.

Jadi kalimat “hutan jati hilang kumandangnya” mempunyai arti bahwa

hal-hal yang baik yang semestinya dilakukan oleh orang atau masyarakat kini

tidak dilakukan lagi. Hal baik telah ditinggalkan dan semakin lama menjadi

Page 43: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

30

tidak ada. Kalimat “sudut kota habis diperkata” merupakan gaya bahasa

metafora. “Sudut kota habis diperkata” menyatakan tempat atau keadaan yang

telah berubah, yang sebelumnya baik telah berubah menjadi buruk. Kenyataan

mengenai perihal baik yang tidak ada lagi pada masyarakat.

Kalimat “langit telah hangus terbakar” merupakan gaya bahasa

hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung

suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal

(Gorys Keraf, 2000: 135). Kalimat “langit telah hangus terbakar” menyatakan

keadaan sangat memprihatinkan dengan keadaan langit atau udara yang telah

tercemar dan menyebabkan manusia sulit untuk bernafas serta burung

kesulitan untuk terbang. Kalimat “di nyala matahari” merupakan bentuk

metafora, yang menyatakan bahwa matahari merupakan tanda kehidupan.

Keadaan yang telah berubah karena disebabkan oleh perilaku manusia dalam

menjalani hidupnya.

Pada bait ketiga, kalimat “meninggalkan tanah kapur” merupakan

gaya bahasa metafora. “Meninggalkan tanah kapur” menyatakan bahwa tokoh

Bima meninggalkan tempat yang kini telah kering dari sumber penghidupan

dan kering dari hal-hal yang baik. Hal ini dilakukan untuk mencari kebenaran

atas kejadian yang terjadi. Kalimat “tidur dengan naga” merupakan gaya

bahasa metafora dan gaya bahasa hiperbola. Naga diibaratkan sebagai bentuk

cobaan atau rintangan yang sangat berat.

Kalimat “tidur dengan naga” menyatakan bahwa tokoh Bima

melakukan perbuatan dengan menenangkan diri untuk menghadapi

permasalahan yang berat. Hiperbola “dan tidur dengan naga” berarti tokoh

Page 44: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

31

Bima melakukan perbuatan atau tindakan yang sangat berat yang tidak

dilakukan oleh manusia pada umumnya.

Kalimat “di samudra angan-angan” merupakan gaya bahasa metafora.

“Di samudra angan-angan” menyatakan tempat sangat luas manusia jarang

mengunjunginya yang telah dicita-citakan oleh tokoh Bima dan menjadi

harapan yang terdapat dalam batin tokoh Bima.

Pada bait keempat, kalimat “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi”

merupakan gaya bahasa personifikasi dan metafora. Personifikasi adalah

semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau

barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat

kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Personifikasi “di sana ia bisa

bertatapan dengan sunyi” menyatakan bahwa Bima dapat bertatapan dengan

sunyi yang berarti bertatapan dengan keadaan yang tidak ada suara atau bunyi,

alam yang kosong, selayaknya manusia yang saling bertatapan. Metafora

“bertatapan dengan sunyi” menyatakan suatu tempat atau alam dengan

keadaan yang kosong, tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan.

Pada bait kelima, kalimat “matanya cerah seperti punya bocah”

merupakan gaya bahasa simile. Persamaan atau simile adalah perbandingan

yang bersifat eksplisit, langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang

lain. Untuk itu, memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan

kesamaan tersebut, yaitu dengan menggunakan kata-kata: seperti, sebagai,

bagaikan, laksana, dan sebagianya (Gorys Keraf, 2000: 138). “Matanya cerah

seperti punya bocah” menyatakan bahwa tokoh Bima mempunyai mata cerah

seperti mata yang dimiliki oleh seorang bocah atau anak kecil. Keadaan yang

Page 45: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

32

demikian, juga menunjukkan keadaan rohani yang bersih (belum terdapat

dosa).

Kalimat “yang hidup abadi” merupakan bentuk gaya bahasa metafora.

Kalimat tersebut menyatakan sifat yang tidak dimiliki oleh makhluk, hanya

dimiliki oleh Sang Pencipta (Tuhan). Sifat abadi berhubungan dengan keadaan

tokoh Bima yang mempunyai mata cerah.

b. Penyimpangan Arti

Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang

sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau

ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi

memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan

asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Dalam puisi Bima, kalimat “di dalam pengelanaannya” mempunyai

arti berkelana, pergi kemana-mana, mengembara, masuk hutan, naik gunung

turun gunung. “Di dalam pengelanaannya” juga mempunyai arti pengalaman

hidup, cobaan yang datang dan menimpa, kesukaran dan kemudahan, susah,

senang bahagia, menderita, dan segala tindakan dan perbuatan baik maupun

buruk tokoh Bima dalam menghadapi dan menjalani hidup.

Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” mempunyai arti sistem

lambang bunyi yang dipakai sebagai alat komunikasi antar sesama manusia

untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran, perkataan-perkataan yang

dipakai oleh suatu bangsa, percakapan yang baik disertai dengan tindakan

yang dapat membuat orang lain nyaman. Kalimat “di samudra angan-angan”

Page 46: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

33

mempunyai arti pikiran, ingatan, cita-cita, maksud, niat, kehendak, gambaran

dalam ingatan, harapan-harapan yang luas, terletak dalam batin.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh

paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara

menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi

biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215-216).

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)

Dalam puisi Bima diungkapkan bahwa terdapat yang berlawanan atau

berbalikan yaitu bahwa dengan kenyataan dan keadaan buruk yang terjadi,

tokoh Bima memilih dan memutuskan untuk meninggalkan lingkungannya

tersebut. Semestinya tokoh Bima berusaha untuk memperbaiki hal buruk yang

terjadi tersebut. Tokoh Bima memilih pergi dan “tidur dengan naga”.

Hal ini bertentangan dengan kenyataan, ketika orang pergi

meninggalkan sesuatu permasalahan semestinya memilih untuk mencari hal

atau tempat yang nyaman dan baik. Tetapi tokoh Bima memilih untuk tidur

dengan naga, mencari kesukaran yang lebih sulit lagi. Pertentangan kembali

berlanjut dengan tokoh Bima setelah “tidur dengan naga”, oleh tokoh Bima

“tak jadi dibunuhnya” yang semestinya untuk menyelesaikan bahaya tokoh

Bima harus membunuh “naga” tersebut.

Page 47: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

34

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak

mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat

menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana

aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219).

Dalam puisi Bima tidak terdapat bentuk nonsense (bentuk kata yang secara

linguistik tidak mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-

hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di

antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan

kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris

berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi-

ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues)

(Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Puisi Bima terdiri dari lima bait, yang tiap baitnya memiliki baris

berbeda-beda. Pada bait pertama terdapat tiga baris, bait kedua mempunyai

empat baris, bait ketiga terdapat lima baris, bait keempat terdapat tiga baris,

dan bait kelima mempunyai dua baris. Tiap bait dalam puisi tersebut

mempunyai rima yang berbeda-beda.

Biasanya rima ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan

lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi

Page 48: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

35

berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan

seterusnya (Atmazaki,1993:80). Puisi Bima mempunyai rima dengan berpola:

Di dalam pengelanaannya adilihatnya tiada yang kekal bpada bahasa yang tinggal mati c

Hutan jati hilang kumandangnya adan sudut kota habis diperkata ajuga langit telah hangus terbakar ddi nyala matahari e

Maka diputuskannya auntuk meninggalkan tanah kapur fdan tidur dengan naga a(yang tak jadi dibunuhnya) adi samudra angan-angan g

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi c-- makhluk kecil itu hberhuni di lubuk hati c

Matanya cerah seperti punya bocah iyang hidup abadi c

Pada bait pertama terdapat rima berpola yang tidak beraturan, yaitu dengan

pola a-b-c. Pada bait kedua, mempunyai rima (persamaan bunyi akhir) dengan

pola aa-dc. Bait ketiga mempunyai pola af-aag. Bait keempat berpola c-h-c.

Bait kelima mempunyai rima dengan pola i-c. Bentuk bait serta rima yang

berbeda-beda tersebut menciptakan arti tentang keadaan serta suasana yang

menyertai tokoh Bima berbeda dari tiap peristiwa yang dilalui.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting,

yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan

bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan

sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Pada bait pertama tampak

bunyi u menonjol baris pertama, dan kedua dan rima bunyi a.

Page 49: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

36

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkata

Kombinasi bunyi u dan a menciptakan arti memperjelas suasana dari keadaan

suram atau tidak baik.

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocahyang hidup abadi

Rima bunyi i yang dimiliki larik puisi pada bait tersebut memberikan

kesan suasana yang tenang, nyaman dan teratur. Bunyi a menciptakan arti

memperjelas suasana yang tenang, nyaman dan teratur tersebut. Bunyi nya

dan ah menciptakan arti tentang kejelasan keadaan bocah kecil. Kombinasi

bunyi a, uk, i, dan nya menciptakan arti berirama dan liris (penuh perasaan).

Terdapat tanda (--) yang memberikan maksud adanya hubungun antara

“sunyi” dengan “makhluk kecil”. Bahwa dalam kesunyian tersebut terdapat

makhluk kecil yang mendiaminya.

Homologues (persamaan posisi) dalam puisi Bima terdapat pada

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkata

Dalam bait tersebut menimbulkan persejajaran arti: bahwa keadaan yang

terjadi sangat tidak baik, hal baik telah hilang, begitu juga dengan keadaan

alam lingkungan yang rusak dan parah. Tipografi puisi Bima mempunyai

bentuk yang tidak rapi. Hal tersebut menciptakan arti melukiskan suasana hati

tokoh Bima dari kebimbangan menuju ketegasan dan akhirnya ketenangan

seperti yang terkandung dalam puisi Bima.

Page 50: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

37

2. Puisi Saudara Kembar

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulurindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

a. Penggantian Arti

Pada bait pertama, kalimat “sebagai kilat” merupakan gaya bahasa

simile. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit,

bahwa langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu,

memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan tersebut,

yaitu dengan menggunakan kata-kata: seperti, sebagai, bagaikan, laksana,

dan sebagianya (Gorys Keraf, 2000: 138). Kalimat “sebagai kilat” merupakan

kiasan yang menunjukkan sifat cepat seperti halnya cepatnya suatu kilat, yang

membuat orang terkejut, kaget dan menjadi waspada dari keadaan

sebelumnya.

Kalimat “kepada lubuk laut lain” merupakan gaya bahasa metonimia.

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk

menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat

Page 51: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

38

(Gorys Keraf, 2000: 142). “Kepada lubuk laut lain” mempunyai arti tempat

berupa laut tempat terjadi peristiwa yang menyangkut diri tokoh Bima.

Kalimat “dan berjumpa dengan gambar muka” merupakan gaya

bahasa personifikasi dan sinekdoke. Personifikasi adalah semacam gaya

bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang

yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys

Keraf, 2000:140). Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang

mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan

(pars pro toto) (Gorys Keraf, 2000: 142). Personifikasi kalimat “berjumpa

dengan gambar muka” berarti berjumpa dengan sebuah gambar muka yang

diibaratkan berjumpa dengan muka seseorang manusia. Sinekdoke (pars pro

toto) “berjumpa dengan gambar muka” menyatakan gambar muka yang

mewakili bentuk keseluruhan tubuh yang berarti berjumpa dengan bentuk

manusia atau makhluk.

Kalimat “(seperti saudara kembar)” merupakan gaya bahasa simile.

Kalimat “seperti saudara kembar” menyatakan perihal seperti saudara kembar

yang mempunyai bentuk tubuh dan keadaan sama, yang dilahirkan bersama-

sama, yang mempunyai pertalian darah serta perasaan. Kalimat “tercipta dari

ilham yang sama” merupakan gaya bahasa metafora. Metafora adalah

semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam

bentuk yang singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai,

bagaikan, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139).

Kalimat “tercipta dari ilham yang sama” menyatakan kiasan adanya

kesamaan tentang petunjuk dari Tuhan yang menggerakkan untuk

Page 52: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

39

menciptakannya. Terdapat persamaan substansi yang diwujudkan dalam

jasmani maupun rohani.

Pada bait kedua, kalimat “ia tidak bertukar kata” merupakan gaya

bahasa sinekdoke (pars pro toto). Kalimat “ia tidak bertukar kata”

menyatakan bahwa ia tidak hanya tidak bertukar kata, tetapi juga tidak saling

berbicara, berkomunikasi, dan bentuk kegiatan yang melibatkan anggota

badan, seperti bersalaman, berpelukan, membungkukkan badan, selayaknya

dua orang yang saling bertemu.

Pada bait ketiga, kalimat “rindu yang dahsyat” merupakan gaya

bahasa hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang

mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan

sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Kalimat “rindu yang dahsyat”

menyatakan sebuah keadaan rindu yang disebabkan tidak bertemu dalam

jangka waktu yang lama sehingga menjadi sangat rindu. Kalimat “lalu

membuatnya berpaling” merupakan metafora yang berarti bahwa kembali ke

asal atau tempat sebelumnya, tempat asal sebelum bertemu dan melepas

kerinduan.

b. Penyimpangan Arti

Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang

sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau

ambigu (Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan

kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Pradopo,

1993:215).

Page 53: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

40

Kalimat “sebagai kilat” mempunyai arti seperti cahaya yang

berkelebat dengan cepat di langit, dalam waktu singkat, dengan cepat,

datangnya sulit diterka, membuat terkejut, menjadi ketakutan, menjadi

terdiam. Kalimat “cermin di tangannya” mempunyai arti kaca bening yang

salah satu sisi dicat dengan air raksa sehingga memperlihatkan bayangan

benda yang ditaruh di depannya, sesuatu bayangan, bayangan perasaan, isi

hati, keadaan batin. Kalimat “ia tidak bertukar kata”, mempunyai arti tidak

saling berbicara, tidak saling bercakap-cakap, tidak saling berkomunikasi,

diam, tidak berdialog, tidak saling menyapa, tidak melakukan hubungan

selayaknya dua insan bertemu.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh

paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara

menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi

biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215-216).

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

rindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

Bait tersebut menyatakan perihal atau keadaan setelah bertemu yang

tidak melakukan hal atau perbuatan yang selayaknya dua orang saling bertemu

atau berjumpa. Bahwa ia tidak bertukar kata, berarti ia hanya diam, tidak

menyapa, tidak berkomunikasi dan melakukan tindakan seperti orang bertemu

Page 54: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

41

yang seharusnya bersalaman, berpelukan atau sekedar membungkukkan

badan.

Pada bait selanjutnya, “rindu yang dahsyat lalu membuatnya

berpaling” memberikan pengertian atas kerinduan besar antara dua insan yang

telah lama tidak berjumpa, namun karena suatu hal membuat kedua berpisah

kembali. Hal itu tidak seperti orang yang rindu, tidak bertemu dalam jangka

waktu yang lama, maka setelah bertemu akan melepas kerinduan tersebut

dengan berduaan dalam jangka waktu yang lama, bahkan dimungkinkan untuk

hidup bersama untuk selamanya.

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara lingustik tidak

mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat

menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana

aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219).

Puisi Sudara Kembar tidak terdapat bentuk nonsense (bentuk kata yang secara

linguistik tidak mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-

hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di

antaranya yaitu simitri (kesimbangan), rima (persamaan bunyi akhir),

enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan

sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait

Page 55: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

42

sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam

bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Puisi Saudara Kembar terdiri dari tiga bait, yang tiap bait memiliki

baris yang berbeda-beda. Bait pertama terdiri dari sepuluh baris, bait kedua

terdiri dari tiga baris, dan bait ketiga terdiri dari dua baris. Tiap bait puisi

tersebut memiliki rima yang berbeda pula.

Rima umumnya ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan

lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi

berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan

seterusnya (Atmazaki,1993:80).

Puisi Saudara Kembar memiliki rima dengan berpola:

tiba-tiba asebagai kilat bcermin di tangannya amengingatkan dia akepada lubuk laut lain cdi mana ia pernah menjenguk ddan berjumpa dengan gambar muka a(seperti saudara kembar) ebegitu serupa atercipta dari ilham yang sama a

ia tidak bertukar kata ahanya tahu fia ditunggu sejak dulu f

rindu yang dahsyat blalu membuatnya berpaling g

Pada bait pertama mempunyai rima dengan berpola a-b-a-a-c-d-a-e-a-

a. Bait kedua berpola a-f-f, dan bait ketiga berpola b-g. Bentuk bait dan rima

yang berbeda menciptakan arti bahwa terdapat perbedaan waktu dan suasana

dari peristiwa yang terjadi.

Page 56: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

43

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting,

yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan

bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan

sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Pada baris puisi Bima

terdapat persamaan bunyi yang menambah suasana yang terjadi di dalamnya.

Pada baris ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi a.

cermin di tangannyamengingatkan dia

Kombinasi bunyi an dan a memberikan kesan berirama dan memperjelas

suasana muram yang terjadi pada tokoh tersebut.

Persamaan bunyi a terdapat pada baris 9 dan 10

begitu serupatercipta dari ilham yang sama

Persamaan bunyi a pada baris tersebut menyebabkan berirama dan memberi

kesan liris (penuh perasaan).

Kombinasi bunyi u terdapat pada baris 12 dan13

hanya tahuia ditunggu sejak dulu

Persamaan bunyi u memberikan kesan suasana yang tenang dan membuat

liris. Puisi Saudara Kembar mempunyai bentuk tipografi yang khas, yaitu

bentuk penyusunan baris dan bait puisi tersebut menyerupai bentuk wajah

manusia dilihat dari sisi samping, hal ini menciptakan arti adanya kaitan

dengan kandungan puisi.

Page 57: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

44

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

rindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

3. Puisi Telinga

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.

Gila:ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri

a. Penggantian Arti

Kalimat “masuklah ke telingaku,” merupakan gaya bahasa sinekdoke.

Sinekdoke adalah semacam bahasa yang mempergunakan sebagian dari

sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) (Gorys Keraf,

2000: 142). Sinekdoke “masuklah ke telingaku” menunjukkan pusat tempat

untuk mendengar dan menerima suara atau bunyi masuk ke dalam tubuh.

“Telinga” digunakan untuk mewakili keseluruhan bentuk atau tubuh manusia.

Page 58: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

45

Kalimat “agar bisa mendengar apa pun” dan “…baiknya apapun yang

dibisikkannya” merupakan gaya bahasa sinekdoke. Sinekdoke adalah

semacam bahasa figuratif yang mempergunakan keseluruhan untuk

menyatakan sebagaian (totum pro parte) (Gorys Keraf, 2000: 142).

Sinekdoke “agar bisa mendengar apa pun” menunjukkan semua atau seluruh

hal yang dapat didengar. Pengunaan “apa pun” digunakan untuk mewakili

bunyi, suara, yang berupa ucapan maupun perkataan baik dan buruk yang

semua dapat diterima.

“Secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis”

merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi

yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang

singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan

sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139). Kalimat “setiap kata, setiap huruf”

berarti perkataan mengenai rangkaian proses hidup yang terdapat dalam

kehidupan manusia di dunia. Kalimat “bahkan letupan dan desis” menyatakan

proses yang melibatkan udara dan suara yang keluar atau yang dihasilkan.

Udara dan suara merupakan tanda kehidupan.

Kata “Gila:” dan “Gila!” merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola.

Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu

pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys

Keraf, 2000: 135). Penggunaan “gila” menunjukkan bahwa di situ terdapat hal

yang dirasa sangat kurang masuk di akal sehingga menjadi heran, dan

kemudian diulang lagi untuk memperjelas keanehan hal itu atau tidak wajar

sehingga menjadi tidak percaya.

Page 59: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

46

b. Penyimpangan Arti

Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang

sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau

ambigu (Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan

kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215).

Penggunaan “Gila:” dan “Gila!” mempunyai arti: tidak masuk akal,

kurang waras, tidak sehat, aneh, tidak biasa, tidak seperti mestinya, tidak

wajar. Kalimat “yang menciptakan suara” mempunyai arti: bunyi yang

dikeluarkan dari mulut manusia, ucapan, perkataan, bunyi ujaran, pendapat,

pernyataan.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh

paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara

menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi

biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215-216).

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya Gila:

Kalimat tersebut menyatakan hal tidak semestinya bahwa orang

dibujuk untuk masuk ke dalam telinga, padahal organ tubuh telinga

mempunyai lubang yang kecil yang secara nalar tidak mungkin bisa dimasuki

badan manusia.

Page 60: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

47

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak

mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat

menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana

aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219).

Pada puisi Telinga tidak terdapat nonsense (kata yang secara linguistik tidak

mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-

hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di

antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan

kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris

berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi-

ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues)

(Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Rima umumnya ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan

lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi

berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan

seterusnya (Atmazaki,1993:80).

Puisi Telinga hanya terdiri dari satu bait, yang terdiri dari sebelas

baris.

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya. a Gila: aia digoda masuk ke telinganya sendiri bagar bisa mendengar apa pun c

Page 61: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

48

secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, dbahkan letupan dan desis eyang menciptakan suara. a “Masuklah,” bujuknya. aGila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik- fbaiknya apa pun yang dibisikkannya akepada diri sendiri b

Puisi Telinga mempunyai rima dengan pola a-a-b-c-d-e-a-a-f-a-b.

Bait puisi Telinga yang berjumlah satu dengan jumlah baris yang

banyak tersebut mempunyai arti bahwa peristiwa yang terkandung puisi itu

terdapat pada satu peristiwa dalam jangka waktu yang lama.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting,

yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan

bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan

sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22).

Bunyi t kuat tampak pada baris 5, 6, dan 7.

secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

Variasi bunyi t tersebut menyebabkan berirama dan menyiratkan ketegasan.

Bunyi a tampak menonjol pada baris 9, 10, dan 11.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri

Persamaan bunyi a menyebabkan berirama dan membuat liris.

Persejajaran arti tampak pada baris ‘“Masuklah ke telingaku,”

bujuknya’ dengan ‘“Masuklah,” bujuknya’ yang kemudian menimbulkan arti

baru, selain bermakna masuk ke dalam tempat untuk mendengar suara juga

bermakna tempat yang memang sudah disediakan baginya. Pengulangan kata

gila pada baris kedua dan kesembilan, “Gila:” dan “Gila!” mempunyai arti

Page 62: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

49

untuk menunjuk ketidakmungkinan terhadap hal yang akan diketahui

berikutnya dan dipertegas ketidakmungkinan tersebut setelah tahu hal yang

telah diketahuinya.

Pada baris ketiga dan kedelapan ada persejajaran yang menciptakan

makna baru: “agar bisa mendengar apa pun” menjadi bermakna baru karena

disejajarkan dengan “hanya agar bisa menafsirkan sebaik-”. Baris tersebut

mempunyai arti dapat menerima dan mengamalkan nasehat atau ajaran yang

diberikan. Puisi Telinga mempunyai bentuk tipografi yang unik, yaitu seperti

irisan telinga. Hal ini untuk merujuk pada organ telinga manusia yang

dikaitkan dengan judul serta kandungan puisi.

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri

4. Puisi Dewa Ruci

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Page 63: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

50

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

a. Penggantian Arti

Pada bait pertama, kalimat “aku adalah engkau” merupakan gaya

bahasa metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan,

hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai laksana,

seperti, dan sebagainya (Rahmat Djoko Pradopo, 1993:66). Metafora

menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang

sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dalam Rahmat Djoko Pradopo,

1993:66). Kalimat “aku adalah engkau” berarti si ‘aku’ seperti halnya si

‘engkau’ yang sama dalam bentuk maupun rupa. Kesamaan tersebut selain

bersifat jasmani juga dalam sifat rohani.

Kalimat “Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu”

merupakan gaya bahasa metafora. Naga diibaratkan sebagai cobaan atau

kesukaran yang sangat berat. Kalimat ini berarti bahwa tokoh Bima telah

berhasil menghadapi cobaan kesukaran berat yang menyelimuti batinnya.

Dasar laut sebagai kiasan dasar perasaan yaitu batin

Pada bait kedua, “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu”

merupakan gaya bahasa metafora dan hiperbola. Hiperbola merupakan

semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan,

dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Metafora

“anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” berarti ganjaran atau

karunia yang diperoleh atas usaha atau pengorbanan yang telah dilakukan.

Hiperbola “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” menyatakan

Page 64: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

51

proses yang dilalui untuk mendapat anugerah dilakukan dengan sangat berat,

harus ditebus atau diperoleh dengan pengorbanan besar dengan melewati

penderitaan dan kesusahan.

Pada bait ketiga, kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan

nagamu” merupakan gaya bahasa hiperbola, personifikasi, dan metafora.

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan

benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah

memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Metafora “dan

hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” berarti bahwa akhirnya

kembali hidup dengan kesukaran dan cobaaan yang berat. Personifikasi “dan

hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” menyatakan tindakan

bergulat atau bergelut dengan seekor naga, seperti kegiatan bergulat atau

bergelut yang dilakukan oleh manusia, seakan-akan naga bisa bergulat atau

bergelut seperti halnya manusia. Hiperbola dari “dan hidup selama-lamanya

bergulat dengan nagamu” menyatakan perbuatan sangat berat yang harus

dilakukan dengan diibaratkan bergulat dengan seekor naga.

b. Penyimpangan Arti

Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang

sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau

ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi

memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan

asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Page 65: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

52

Kalimat “Aku adalah engkau yang telah mendamba” mempunyai arti

si ‘aku’ adalah si ‘engkau’ yang sangat menginginkan sesuatu, mendambakan

sesuatu, merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu. Kalimat “Yang lain

tiada, kecuali aku” mempunyai arti tidak ada yang lain kecuali si ‘aku’, yang

lain tidak mempunyai kepentingan kecuali si aku, tidak ada yang berkenan

lainnya, tidak ada pihak atau makhluk lain, tidak ada yang menyamai, bersifat

tunggal.

Kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu”

mempunyai arti hidup selamanya bergumul atau bergelut dengan naga, hidup

selamanya dengan kesukaran, hidup dengan penuh rintangan, hidup penuh

dengan kesusahan, hidup dengan penuh penderitaan, hidup dengan penuh

perjuangan, hidup dengan penuh kesulitan.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh

paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara

menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi

biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat

Djoko Pradopo, 1993:215-216).

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu

Pada baris tersebut terjadi peritiwa ketika tokoh Bima menyangkal

bahwa bukan si ‘aku’ yang tokoh Bima cari, namun kenyataannya bahwa si

‘aku’ yang tokoh Bima temukan. Dan ternyata, si ‘aku’ merupakan anegerah

Page 66: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

53

bagi tokoh Bima. Hal itu merupakan permulaan yang ironis (bertentangan)

bagi tokoh Bima.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

Baris tersebut menyatakan bahwa tokoh Bima menanyakan guna atau

manfaat dari tokoh Bima mendapatkan si ‘aku’. Si ‘aku’ menerangkan bahwa

kegunaan tersebut adalah untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa.

Jawaban yang keluar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa

semestinya ketika orang menanyakan manfaat atau kegunaan maka

semestinya dijawab dengan jelas manfaat atau kegunaan baiknya bagi orang

yang bertanya. Dengan memperoleh jawaban yang jelas, maka orang mudah

menerima atau memahami.

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti

sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-

asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau

suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219). Pada puisi Telinga tidak

terdapat nonsense (kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku

sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-

hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di

antaranya yaitu simitri (keseimbangan), rima (persamaan bunyi akhir),

enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan

Page 67: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

54

sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait

sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam

bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Puisi Dewa Ruci terdiri dari tiga bait. Tiap bait dalam puisi Dewa Ruci

mempunyai jumlah baris yang sama yaitu terdiri dari empat baris. Puisi Dewa

Ruci mempunyai rima yang tiap baitnya berbeda.

Biasanya rima ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan

lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi

berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan

seterusnya (Atmazaki,1993:80). Puisi Dewa Ruci berima dengan pola sebagi

berikut.

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci a- Aku adalah engkau yang telah mendamba b

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan cEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. d

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima a- Tapi akulah yang kau temukan c

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu dYang lain tiada, kecuali aku. d

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima a- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa a

kau dapat menerima atau menolakku d dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. d

Bait pertama berima dengan pola ab-cd, bait kedua berima dengan pola ac-dd,

dan bait ketiga berima dengan pola aa-dd. Pada bait pertama, terdapat

penggunaan kata ganti orang yaitu ‘engkau’ yang menonjol yang memberi arti

untuk mempertegas bentuk individu yang ada dalam puisi Dewa Ruci.

Pada bait kedua, juga terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu

‘kau’ dan ‘aku’ yang menonjol. Penggunaan tersebut untuk mempertegas

Page 68: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

55

bentuk individu (personal) yang ada dalam puisi Dewa Ruci. Adanya

penggunaan kata ‘yang’ yang diulang pada baris ke-1, ke-2, ke-3 memberi

kesan berirama dan menjelaskan kata sebelumnya.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting,

yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan

bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan

sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Variasi bunyi t dalam baris

ketiga “….. dinista, ditipu dan disesatkan”, menciptakan arti memperkeras

suasana dan keadaaan yang tidak menyenangkan.

Pada bait ketiga, bunyi a tampak dominan. Bahkan hampir di tiap

baris terdapat bunyi a. Terdapat bentuk asonansi bunyi a, yang terdapat pada:

Apa gunanya saya … dan segala-galanya… apa-apa.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Bunyi a yang dominan dan bentuk asonansi bunyi a memberi kesan

berirama dan membuat liris (penuh perasaan). Homologues terdapat pada bait

ketiga baris ke-2 dan ke-3.

- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apakau dapat menerima atau menolakku

Dari persejajaran bentuk tersebut menimbulkan persejajaran arti bahwa

dengan menerima hal itu dapat digunakan untuk menghadapi segala bentuk

permasalahan yang datang sehingga bisa mendapatkan penyelesaian, namun

juga bisa untuk tidak mempergunakannya.

Page 69: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

56

Puisi Dewa Ruci tersebut penuh dengan keseimbangan (simitri).

Keseimbangan tersebut terdapat pada rima akhirnya, baris-baris dalam

baitnya, dan antar bait yang satu dengan bait yang lain. Baris dan bait puisi

Dewa Ruci tersusun dalam bentuk yang rapi. Hal ini menyiratkan suasana

dialog antara tokoh Bima dan Dewa Ruci yang nyaman dan kondusif.

Puisi Dewa Ruci berbentuk dialog, yaitu dialog Sang Bima dan Dewa

Ruci. Puisi Dewa Ruci memiliki tipografi yang dibuat seimbang dan teratur.

Pemakaian jumlah baris dan pengaturannya dalam tiap bait seimbang,

sehingga secara visual tipografi puisi Dewa Ruci terlihat rata. Hal ini

melukiskan bahwa dialog atau percakapan antara tokoh Bima dan Dewa Ruci

terbentuk keteraturan dan keselarasan suasana.

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu

Page 70: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

57

B. Pembacaan Heuristik Dan Hermeneutik

Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang pembacaan heuristik dan

hermeneutik atau retroaktif keempat puisi yang menghadirkan tokoh Bima. Dalam

pembacaan keempat puisi tersebut peneliti menitikberatkan pada analisis tokoh

Bima yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut.

Untuk dapat memberi makna sajak secara struktural semiotik, dilakukan

dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif) (Riffaterre, 1978:5—6).

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau

secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.

Pembacaan hermenutik adalah pembacaan karya sastra (puisi) berdasarkan

konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang sesudah

pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.

Dalam pembacaan hermeneutik, puisi dibaca berdasarkan konvensi-

konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang

memberikan makna itu di antaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan

(ekspresi) puisi (Riffaterre, 1978:1). Dikemukakan Riffaterre (1978:2)

ketidaklangsungan ekspresi puisi disebabkan oleh penggantian arti (displacing of

meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti

(creating of meaning).

Dalam pelaksanaannya, pembacaan heuristik dilakukan terlebih dahulu

kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik (retroaktif). Di bawah ini

adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif) puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Page 71: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

58

1. Puisi Bima

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

b. Pembacaan Heuristik

Di dalam pengelanaannya, dilihatnya tiada yang kekal (abadi). (Hal

tersebut terjadi) pada bahasa (komunikasi) yang tinggal mati (tidak

dipergunakan lagi).

Hutan jati hilang kumandangnya (gaungnya), dan sudut kota (telah)

habis diperkata. Langit telah hangus terbakar (hitam banyak asap), (terlihat) di

nyala matahari (siang hari).

Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur (tanah cadas),

dan (akhirnya) tidur dengan naga (ular besar), (yang tak jadi dibunuhnya) di

samudra (lautan) angan-angan (maksud atau pikiran).

Page 72: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

59

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi (tidak ada bunyi, hening). (Ia

bertemu) makhluk kecil (yang) berhuni (mendiami) di lubuk hati (batin, dalam

hati).

Matanya (mata Bima) cerah seperti mata seorang bocah, yang hidup

abadi (kekal).

c. Pembacaan Hermeneutik

Judul “Bima” sebagai tanda menunjukkan tokoh Bima yang ada dalam

cerita pewayangan. Dalam puisi Bima, tokoh Bima dihadirkan secara eksplisit

atau tersurat. Kalimat “di dalam pengelanaannya” yang merupakan bentuk

gaya bahasa metafora. Kalimat “di dalam pengelanaannya” merupakan bentuk

ambiguitas yang mempunyai arti berkelana, pergi ke mana-mana,

mengembara, masuk hutan, naik gunung turun gunung. “Di dalam

pengelanaannya” juga mempunyai arti pengalaman hidup, cobaan yang datang

dan menimpa, kesukaran dan kemudahan, susah, senang bahagia, menderita,

dan segala tindakan dan perbuatan baik maupun buruk tokoh Bima dalam

menghadapi dan menjalani hidup.

Di dalam kehidupan Bima, dalam pengelanaannya merupakan

metafora mengenai rangkaian perjalanan hidup yang telah dilalui Bima. Bima

mengembara atau berkelana untuk mencari ilmu yang dapat membawa ke arah

kemampuan melebihi kebanyakan orang. Bima melalui tahap ketika manusia

berupaya untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hal yang dilakukan Bima

adalah dengan menuntut ilmu. Dari ilmu yang diperoleh maka selanjutnya

dipergunakan ilmu tersebut untuk bekal hidup Bima. Dalam menuntut ilmu,

diperlukan usaha atau bentuk laku untuk menjalani prosesnya.

Page 73: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

60

Usaha dalam sehari-hari, di dalam bahasa Jawa disebut ngudi atau

ngupaya (mencari) (Purwadi, 2003:159). Di dalam suatu kehidupan, berjalan

mengembara atau berkelana dilakukan pada waktu usia menginjak dewasa

untuk mencari ilmu dalam arti mencari guru yang dapat membimbing ke arah

lebih baik. Rangkaian perjalanan hidup Bima tersebut terjadi semenjak Bima

muda hingga dewasa. Ketika beranjak dewasa pada saat itulah Bima

menyadari hal-hal yang terjadi padanya. Bima dapat memahami arti suatu

hubungan. Bima menyadari bahwa dirinya tidak hidup sendiri, Bima berada

dalam lingkungan masyarakat yang saling berhubungan dan berkaitan dengan

alam sekitarnya.

Dalam waktu interaksi yang dilakukan oleh Bima, terdapat peristiwa

yang menarik diri Bima. Bima melihat, merasakan, dan kemudian menyadari

bahwa semua yang ada tidak ada yang kekal atau abadi. Manusia mengalami

mati, begitu juga dengan alam sekitar yaitu lingkungan tempat tinggal Bima

mengalami perubahan dan tidak kekal. Hal tersebut berlaku pada benda mati

maupun makhluk hidup. Alam lingkungan dengan semua isinya tidak ada

yang kekal, pasti semua akan hilang, rusak dan musnah. Begitu juga dengan

yang ada di sekitar hidup Bima. Orang tua, saudara, kerabat yang setiap hari

saling bersapa, berkasih sayang, berbicara, melakukan pekerjaan bersama.

Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” merupakan bentuk

ambiguitas yang mempunyai arti sistem lambang bunyi yang dipakai sebagai

alat komunikasi antar sesama manusia untuk mengungkapkan perasaan dan

pikiran, perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa, percakapan

disertai dengan tindakan yang dapat membuat orang lain nyaman. Kalimat

Page 74: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

61

“pada bahasa yang tinggal mati”, yang merupakan bentuk gaya bahasa

metafora dan sinekdoke (pars pro toto). Metafora “bahasa” menyatakan

bentuk komunikasi atau hubungan, dan interaksi dalam hidup. Sinekdoke

(pars pro toto) “bahasa” menyatakan bahwa bahasa yang digunakan untuk

berkomunikasi dalam masyarakat itu mewakili bentuk hubungan manusia

dalam bermasyarakat.

Sebagai mahkluk hidup seharusnya menyadari bahwa setiap orang

atau manusia mempunyai bentuk hubungan kepada sang Pencipta. Dalam hal

ini, setiap orang atau manusia harus melaksanakan kewajiban atau perbuatan

yang seharusnya dilakukan, seperti seorang mahkluk menyembah pada

Tuhannya. Manusia harus sadar akan dirinya sendiri dan sadar kewajibannya

sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di samping itu, setiap orang mempunyai

kedudukan sebagai makhluk sosial. Setiap orang atau manusia mempunyai

keluarga yang di dalamnya terdapat hubungan atau interaksi. Keluarga

merupakan tempat awal terbentuk sifat atau watak manusia atau orang

sebelum melakukan hubungan dengan masyarakat.

Sebagai makhluk sosial, setiap orang atau manusia mempunyai

hubungan dan komunikasi dengan orang lain. Masyarakat merupakan tempat

orang untuk saling berkomunikasi dan melakukan perbuatan untuk suatu

tujuan bersama. Di dalamnya, terdapat sikap untuk saling menghargai dan

menghormati dalam upaya untuk membentuk kerukunan dan kenyamanan.

Sosok manusia utama dalam konsep religiusitas Jawa berdimensi pada

dua wilayah: (1) kepada sesama manusia (horisontal), dan (2) kepada Tuhan

(vertikal) (Mulyana, 2006:4). Pergaulan manusia yang bersifat horisontal

Page 75: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

62

terwujud dalam simbol bahasa untuk dapat beradaptasi dan memahami.

Sementara itu, dimensi horisontal dilihat dari pemahaman dan tindakan

manusia sebagai makhluk Tuhan. Simbol kebahasaan tersebut berupa taat

kepada Tuhan, menjalankan perintah-Nya, serta memahami orang lain.

Hal ini tidak terjadi secara semestinya. Pergaulan dan perbuatan yang

baik telah ditinggalkan oleh manusia. Manusia telah lupa terhadap kewajiban

yang dimilikinya. Manusia tidak lagi menjaga hubungan serta komunikasi

dengan anggota keluarganya. Manusia telah melupakan dirinya sendiri, dan

meninggalkan kewajiban kepada Tuhan. Dalam bermasyarakat, manusia tidak

lagi menjaga kerukunan, tidak saling menghargai antara sesama anggota

masyarakat. Hal itu dikarenakan manusia lebih mementingkan dirinya sendiri.

Ketidakkekalan juga berlaku pada hal-hal yang ada dalam hidup Bima.

Hal itu disebutkan dengan “hutan jati hilang kumandangnya”, yang

merupakan gaya bahasa metafora. Hutan jati merupakan kiasan untuk hal-hal

yang baik, hilang kumandangnya berarti hilang gaungnya. Hutan jati hilang

kumandangnya merupakan kiasan yang mempunyai arti bahwa perbuatan baik

yang semestinya dilakukan oleh orang atau masyarakat kini tidak dilakukan

lagi. Perbuatan baik telah ditinggalkan dan semakin lama menjadi hilang atau

tidak lagi dilakukan oleh manusia.

Hal ini merupakan kenyataan mengenai perbuatan baik yang tidak ada

lagi pada masyarakat, dan merupakan sisi sifat baik yang ada pada manusia

telah berubah dan hilang. Hal kurang baik tersebut dikuatkan dengan keadaan

yang sangat memprihatinkan yang terjadi pada alam sekitar manusia pada

waktu itu.

Page 76: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

63

Kalimat “sudut kota habis diperkata” merupakan gaya bahasa

metafora. Sudut kota habis diperkata merupakan kiasan tempat atau wilayah

yang telah berubah keadaan dari kenyataan yang sebelumnya terjadi. Keadaan

berubah dari tempat bersih dan terjaga berubah menjadi kotor dan tidak lagi

diperhatikan, ditinggalkan oleh orang-orang. Orang-orang tidak lagi menjaga

kebersihan, keamanan dan kenyamanan lingkungan. Begitu juga dengan

tempat yang seharusnya mendapat perhatian lebih kini telah dilupakan begitu

saja.

Keadaan yang buruk juga terlihat dengan adanya kalimat “langit telah

hangus terbakar”, yang merupakan gaya bahasa hiperbola. Kalimat “langit

telah hangus terbakar” menyatakan keadaan sangat memprihatinkan dengan

keadaan langit atau udara yang telah tercemar dan menyebabkan manusia sulit

untuk bernafas serta burung kesulitan untuk terbang. Udara yang dihirup

manusia dan langit tempat burung terbang telah hangus karena polusi udara

yang sangat hebat. Keadaan yang demikian menjadikan suasana yang tidak

nyaman dan kondusif.

Kalimat “di nyala matahari” merupakan bentuk metafora, yang

menyatakan bahwa matahari merupakan tanda kehidupan. Suatu kehidupan

yang terdapat manusia dan alam sekitar yang saling melengkapi. Keadaan

yang telah berubah karena disebabkan oleh perilaku manusia dalam menjalani

hidupnya. Manusia tidak lagi menjaga alam lingkungannya. Mereka bertindak

sesuai kehendaknya sendiri, tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari yang

dilakukan. Alam sekitar telah berubah menjadi tidak baik lagi dan menuju

kehancuran. Keadaan seperti itulah yang terjadi dan masuk ke dalam pikiran

Bima. Bima pun menjadi berpikir akan hal tersebut.

Page 77: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

64

Ahli pikir (Philosopers) menyatakan bahwa dengan akal dan pikiran,

alam yang luas dan besar terdiri dari bumi, langit, matahari, bulan dan berjuta-

juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk

manusia yang ada dan diciptakan maka sifatnya tidak sempurna, sedangkan

Tuhan yang menciptakan maka sifatnya sempurna (Barnas Sumantri dan

Kanti Waluyo, 1999:85).

Inilah salah satu sifat yang terdapat pada makhluk hidup (ciptaan),

yaitu mati atau tidak kekal. Manusia pasti akan mati, begitu juga dengan

makhluk yang lain dan oleh sebab itu hendaknya manusia bisa sadar akan

pentingnya hidup. Oleh karena itu, dalam setiap kondisi hendaknya manusia

berlaku “aja dumeh, eling lan waspada”. Aja dumeh adalah kata dalam bahasa

Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti jangan mentang-mentang. Eling

artinya bukan sekedar mengingat-ingat saja tetapi juga menyadari keadaan diri

dan sekelilingnya. Waspada, berarti tidak hati-hati saja tetapi juga sebagai

manusia hendaknya selalu teliti dalam hidupnya (Soeparno dan Soesilo,

2007:78). Hal tersebut terjadi pada diri Bima. Bima menjadi sadar akan

dirinya, tujuan dari hidupnya di dunia.

Bima memutuskan meninggalkan tanah kapur, hal itu merupakan

kiasan tempat yang telah kering dari sumber penghidupan dan kering dari hal-

hal baik. Hal ini merupakan bentuk kontradiksi bahwa dengan kenyataan dan

keadaan buruk yang terjadi, tokoh Bima memilih dan memutuskan untuk

meninggalkan lingkungannya tersebut. Semestinya tokoh Bima berusaha

untuk memperbaiki hal buruk yang terjadi tersebut.

Page 78: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

65

Hal ini dilakukan untuk mencari hakikat atau kebenaran atas yang

terjadi. Di dalam melakukan perjalanan hidup maka setiap orang harus

memiliki keteguhan dan kemantapan hati agar tidak tergoyahkan oleh segala

ujian dan godaan selama di perjalanan. Bima pergi menghadapi rintangan

berat melewati tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia. Akhirnya,

perjalanan Bima sampai dengan bertemu atau tidur dengan seekor naga.

Kalimat “tidur dengan naga” merupakan gaya bahasa metafora dan

gaya bahasa hiperbola. Naga diibaratkan sebagai bentuk cobaan atau rintangan

yang sangat berat, yaitu nafsu duniawi. Keberhasilan menyingkirkan naga

melambangkan bahwa Bima berhasil mengalahkan nafsu duniawi yang

menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan (Barnas Sumantri dan

Kanti Waluyo, 1994:84). Naga merupakan kiasan untuk menunjuk pada

bentuk perjuangan Bima dalam mencari harapannya.

Kalimat “tidur dengan naga” menyatakan bahwa tokoh Bima

melakukan perbuatan dengan menenangkan diri untuk menghadapi

permasalahan yang berat. Hiperbola “dan tidur dengan naga” berarti tokoh

Bima melakukan perbuatan atau tindakan yang sangat berat yang tidak

dilakukan oleh manusia pada umumnya. Inilah bentuk tindakan yang dilalui

Bima. Bima harus mengalahkan nafsu yang ada dalam dirinya.

Hidup manusia dikuasai oleh empat jenis nafsu, yakni aluamah,

amarah, sufiah, dan mutmainah (Suwardi Endraswara, 2006:71). Keempat

nafsu tersebut saling berebut menang dalam diri manusia. Ketiga nafsu lain

selalu ingin merobohkan nafsu mutmainah, nafsu yang baik yang terdapat

dalam sanubari, bersifat tenang dan berwarna putih. Adapun nafsu amarah

Page 79: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

66

biasanya kemarahan, berwarna merah, suka pada hal-hal yang tidak baik.

Nafsu aluamah berwarna hitam (nafsu makan, yang tak mau berusaha), dan

nafsu sufiah berwarna kuning (nafsu terhadap keindahan). Dalam hidup,

seharusnya manusia mengikuti nafsu mutmainah, yang mengarah kepada

kebaikan, sabar dalam tingkah laku dan perbuatan.

Bima tidak jadi membunuh naga tersebut, hal ini berarti bahwa Bima

tidak membunuh, namun hanya mengalahkan dan mengendalikan. Bahwa

nafsu yang ada dalam diri manusia tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan,

hanya dapat dikalahkan dan dikendalikan. Hal itu berarti bahwa dengan

menjalani cobaan berat tersebut menjadikan Bima sampai dengan tahap atau

bentuk kesabaran Bima untuk menjalani semua, dan hanya Bima saja yang

mampu mengalaminya.

Kalimat “di samudra angan-angan” mempunyai arti pikiran, ingatan,

cita-cita, maksud, niat, kehendak, gambaran dalam ingatan, harapan-harapan

yang luas, terletak dalam batin. “Di samudra angan-angan” merupakan gaya

bahasa metafora untuk menyatakan tempat sangat luas dengan manusia jarang

mengunjunginya yang telah dicita-citakan oleh tokoh Bima dan menjadi

harapan yang terdapat dalam batin tokoh Bima. Dengan bersabar dan penuh

perjuangan, Bima dapat mengalahkan nafsu yang berada dalam batinnya.

Keberhasilan Bima mengalahkan hawa nafsu duniawinya itulah yang akhirnya

membawa kepada keadaan batin yang tenang.

Bima menuju ke perjalanan berikutnya, yaitu ia bisa bertatapan

dengan sunyi. Kalimat “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” merupakan

gaya bahasa personifikasi dan metafora. Personifikasi “di sana ia bisa

Page 80: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

67

bertatapan dengan sunyi” menyatakan bahwa Bima dapat bertatapan dengan

sunyi yang berarti bertatapan dengan keadaan tidak ada suara atau bunyi, alam

kosong dan hening, selayaknya manusia saling bertatapan. Metafora

“bertatapan dengan sunyi” menyatakan suatu tempat atau alam dengan

keadaan yang kosong, tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan.

Bahwa dengan perjalanan yang telah Bima lakukan, akhirnya Bima

sampai pada tempat atau alam yang kosong dan sunyi dengan keadaan dan

suasana di situ tidak ada suara atau bunyi, suasana hampa. Kosong merupakan

simbol dari awal dan akhir suatu kehidupan. Di tempat tersebut Bima

mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Di

dalam alam tersebut, Bima bertemu dengan mahkluk yang kecil, yaitu

bertemu dengan Dewa Ruci yang mempunyai badan kecil dibandingkan

dengan Bima. Makhluk kecil tersebut berhuni di lubuk hati, merupakan kiasan

bahwa Dewa Ruci sebenarnya berada di dalam diri Bima yaitu batin Bima.

Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa dasar

hakikatnya ia berasal dari Ilahi. Dalam ingatan itu ia kembali menghayati

kesatuan hakikinya dengan asal-usul Ilahi, kesatuan hamba dan Tuhan.

Melalui kesatuan itu manusia mencapai suatu tahap yang orang Jawa disebut

dengan kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan tentang asal dan

tujuan segala yang diciptakan (Suseno, 2001: 117).

Dalam diri manusia terdapat segi lahir dan batin. Kedua segi tersebut

bersatu dalam diri manusia. Sebagai makhluk alam atau ciptaan, manusia

merupakan makhluk jasmani, manusia memiliki bentuk lahir atau wujud dan

dimengerti orang lain pertama kali melalui lahir atau wujudnya. Di belakang

Page 81: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

68

jasmaninya terdapat segi batin. Segi lahir manusia terdiri atas tindakan-

tindakan, gerakan-gerakan, omongan dan sebagainya. Segi batin manusia

menyatakan tentang bentuk kesadaran manusia. Bentuk kesadaran tentang diri

sendiri, sadar akan asal dan tujuan hidup.

Waktu Bima memasuki batinnya sendiri, semula ia kehilangan

orientasinya. Ia menemukan diri dalam kekosongan tanpa batas, tidak ada atas

dan bawah, tidak ada arah mata angin. Kekosongan itu, awang-uwung, dalam

mistik Jawa merupakan lambang Ilahi (Suseno, 2001: 119). Jiwa manusia

dipahami sebagai dasar batin manusia, merupakan ungkapan jiwa Ilahi yang

menyeluruh. Apabila manusia sampai pada batin sendiri, maka ia tidak hanya

mencapai kenyataannya sendiri melainkan kenyataan Yang Ilahi. Dengan

pengolahan batin yang tepat, maka manusia dapat menyadari semuanya.

Bima akhirnya mencapai pada keadaan yang lebih baik dan sempurna

setelah mengalami kejadian itu. Kejadian tersebut membuat Bima seakan

terlahir kembali, menjadi manusia baru. Terlahir kembali seperti anak kecil.

Dengan kata lain, Bima telah mampu memahami hakikat Tuhan atau Gusti

(sebagai pencipta) dan kawula (ciptaan-Nya) sehingga mampu menemukan

jati dirinya dalam bentuk yang masih kecil (bayi) dan asih murni atau suci.

Kalimat “matanya cerah seperti punya bocah” merupakan gaya bahasa

simile. “Matanya cerah seperti punya bocah” menyatakan bahwa tokoh Bima

mempunyai mata cerah seperti mata yang dimiliki oleh seorang bocah atau

anak kecil. Keadaan yang demikian, juga menunjukkan keadaan rohani yang

bersih (belum terdapat dosa). Dikatakan bahwa ‘yang hidup abadi’ merupakan

kiasan bahwa sifat kekal atau abadi merupakan sifat Tuhan (Allah). Bima

Page 82: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

69

dalam keadaan tersebut telah mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya

maka akan mengenal Tuhannya. Dalam mengenal Tuhan, bukan seperti

melihat dengan jelas karena tidak ada manusia yang bisa bertemu dengan

Tuhan. Oleh karena itu Bima mempunyai terlahir kembali dengan keadaan

seperti anak kecil, karena telah dapat mengenal diri dan Tuhannya.

Pengalaman Bima ini, Bima mampu menemukan jati dirinya, sehingga ia

merupakan tokoh “manunggaling kawulo-Gusti”.

Konsep Kejawen tentang manunggaling kawula Gusti bukan berarti

manunggalnya badan fisik manusia dengan Tuhan. Tapi, dalam konteks ini

diartikan sebagai manunggalnya cipta, rasa dan karsa antara Tuhan dengan

manusia (Wawan Susetya, 2007:340). Pemaknaan konsep mengenai ke-

manunggal-an seorang hamba dengan Tuhannya mengisyaratkan tingginya

dzikir (eling) kepada Allah. Artinya, orang yang selalu berdzikir dalam segala

posisi dan kondisi, dia akan memiliki akhlak, jiwa, cipta, rasa, dan karsa

sesuai dengan Asma dan SifatNya. Itulah yang disebut manunggal dengan-

Nya. Artinya, manusia bisa mengatasi dan menyatukan rasa senang dan susah

di dalam dirinya.

Bentuk bait serta rima yang berbeda-beda dari puisi Bima

menciptakan arti tentang keadaan serta suasana yang menyertai tokoh Bima

berbeda dari tiap peristiwa yang dilalui. Bunyi di samping hiasan dalam puisi,

juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan,

menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas,

menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo,

1993:22).

Page 83: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

70

Pada bait pertama tampak bunyi u menonjol baris pertama, dan kedua dan

rima bunyi a. Kombinasi bunyi u dan a menciptakan arti memperjelas suasana

dari keadaan suram atau tidak baik.

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocahyang hidup abadi

Rima bunyi i yang dimiliki larik puisi pada bait tersebut memberikan

kesan suasana yang tenang, nyaman dan teratur. Bunyi a menciptakan arti

memperjelas suasana yang tenang, nyaman dan teratur tersebut. Bunyi nya

dan ah menciptakan arti tentang kejelasan keadaan bocah kecil. Kombinasi

bunyi a, uk, i, dan nya menciptakan arti berirama dan liris (penuh perasaan).

Terdapat tanda (--) yang memberikan maksud adanya hubungun antara

“sunyi” dengan “makhluk kecil”. Bahwa dalam kesunyian tersebut terdapat

makhluk kecil yang mendiaminya.

Homologues (persamaan posisi) dalam puisi Bima terdapat pada

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkata

Dalam bait tersebut menimbulkan persejajaran arti: bahwa keadaan yang

terjadi sangat tidak baik, hal baik telah hilang, begitu juga dengan keadaan

alam lingkungan yang rusak dan parah. Tipografi puisi Bima mempunyai

bentuk yang tidak rapi. Hal tersebut melukiskan adanya kaitan tentang

suasana hati tokoh Bima dari kebimbangan menuju ketegasan dan akhirnya

ketenangan seperti yang terkandung dalam puisi Bima.

Page 84: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

71

2. Puisi Saudara Kembar

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulurindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

a. Pembacaan Heuristik

Menurut KBBI (1989:788) saudara merupakan orang yang seibu

seayah, orang yang bertalian keluarga. Kembar merupakan sama rupanya

(keadaaanya), dilahirkan bersama-sama dari satu ibu (1989:415).

Tiba-tiba, sebagai kilat (kilatan cahaya, dalam waktu singkat), cermin

di tangannya (telah) mengingatkan dia kepada lubuk laut (bagian laut yang

terdalam) lain, di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar

muka (tiruan wajah orang) seperti saudara kembar, begitu serupa (sama

rupanya) (yang) tercipta dari ilham (petunjuk dari Tuhan yang timbul dari

dalam hati) yang sama..

(Di tempat tersebut), ia tidak bertukar kata (bicara). (Ia) hanya

mengetahui (bahwa ia) ditunggu sejak dahulu.

Page 85: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

72

(Hal itu menjadi) kerinduan (rasa ingin bertemu) yang dahsyat (hebat),

(karena suatu hal), lalu membuatnya berpaling (berpisah).

b. Pembacaan Hermeneutik

Judul “Saudara Kembar” sebagai tanda untuk menunjukkan tokoh

yang mempunyai bentuk rupa sama tetapi lebih kecil dari Bima, yaitu Dewa

Ruci, dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Saudara Kembar, tokoh Bima

dihadirkan secara implisit atau tersirat.

Kalimat “sebagai kilat” merupakan gaya bahasa simile. Kalimat

“sebagai kilat” merupakan bentuk ambiguitas yang mempunyai arti seperti

cahaya yang berkelebat dengan cepat di langit, dalam waktu singkat, dengan

cepat, datangnya sulit diterka, membuat terkejut, menjadi ketakutan, menjadi

terdiam. “Sebagai kilat” merupakan kiasan yang menunjukkan sifat cepat

seperti halnya cepatnya suatu kilat, yang membuat orang terkejut, kaget dan

menjadi waspada dan sadar dari keadaan sebelumnya.

Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, maka harus sadar akan

dirinya dan tujuan manusia dilahirkan di dunia. Oleh karena itu, ia harus

selalu ingat, sadar, akan diri dan hidupnya. Bima ingat akan dirinya sebagai

seorang manusia yang hidup dalam suatu masyarakat.

Kalimat “cermin di tangannya” mempunyai arti kaca bening yang

salah satu sisi dicat dengan air raksa sehingga memperlihatkan bayangan

benda yang ditaruh di depannya, sesuatu bayangan, bayangan perasaan, isi

hati, keadaan batin. Rasa rumangsa merupakan inti wawasan psikologi Jawa

(Suwardi Endraswara, 2006:214). Melalui rasa rumangsa, orang Jawa akan

mengukur diri. Cermin diri orang jawa, baik cermin buram maupun bening

Page 86: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

73

tetap penting. Rasa rumangsa merupakan endapan rasa, yang mencoba

melihat diri sendiri dan orang lain Dengan bercermin dan rumangsa, orang

dapat melihat bayangan dirinya sendiri, dan dapat mengetahui serta

memikirkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam kehidupannya,

yang selanjutnya berusaha untuk tidak berbuat kesalahan lagi. Sebagai

seorang makhluk yang mempunyai akal dan perasaan, tentulah akan berupaya

untuk berusaha menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Hal demikian ini terjadi pada diri Bima. Bima dengan cepat teringat

dan sadar akan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Kalimat “kepada lubuk

laut lain” merupakan gaya bahasa metonimia. “Kepada lubuk laut lain”

mempunyai arti tempat berupa laut tempat terjadi peristiwa yang menyangkut

diri tokoh Bima. Bima berada di lubuk laut yaitu dasar laut atau samudera,

tempat Bima mencari hakikat hidup.

Di tempat itu, Bima “berjumpa dengan gambar muka”, yang

merupakan gaya bahasa personifikasi dan sinekdoke (pars pro toto).

Personifikasi kalimat “berjumpa dengan gambar muka” berarti berjumpa

dengan sebuah gambar muka yang diibaratkan berjumpa dengan muka

seseorang manusia. Sinekdoke (pars pro toto) “berjumpa dengan gambar

muka” menyatakan gambar muka yang mewakili bentuk keseluruhan tubuh

yang berarti berjumpa dengan bentuk manusia atau makhluk.

Kalimat “(seperti saudara kembar)” merupakan gaya bahasa simile.

Kalimat “seperti saudara kembar” menyatakan perihal seperti saudara kembar

yang mempunyai bentuk tubuh dan keadaan sama, yang dilahirkan bersama-

sama, yang mempunyai pertalian darah serta perasaan. Hal ini berarti gambar

Page 87: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

74

muka tersebut merupakan seseorang yang mempunyai rupa sama dengan

dirinya, seperti halnya saudara kembar. Seseorang yang mempunyai bentuk

dan rupa yang sama tersebut adalah Dewa Ruci. Dewa Ruci memiliki bentuk

dan rupa seperti Bima tetapi mempunyai tubuh yang lebih kecil dibandingkan

dengan Bima.

Makhluk atau Dewa Ruci tersebut “tercipta dari ilham yang sama”.

Kalimat “tercipta dari ilham yang sama” menyatakan kiasan adanya kesamaan

tentang petunjuk dari Tuhan yang menggerakkan untuk menciptakannya.

Terdapat persamaan substansi yang diwujudkan baik dalam jasmani maupun

rohani. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan jalan bagi diri Bima

untuk mengetahui semua hal. Dewa Ruci sebenarnya berada dalam diri Bima,

tetapi Bima tidak mengetahui.

Dewa Ruci menjelaskan pada Bima sebab ketidaktahuan Bima. Hal itu

dikarenakan Bima mengunakan matanya hanya untuk memandang yang jauh,

sehingga kesatuan antara Bima dan Dewa Ruci tidak dirasakan oleh Bima.

Oleh karena itu, Bima disuruh untuk mengenal diri sendiri. Dengan mengenal

dirinya sendiri, Bima akan mengenal sifat, kelebihan dan kekurangannya.

“Ia tidak bertukar kata” merupakan bentuk kontradiksi yang

menyatakan perihal atau keadaan setelah bertemu yang tidak melakukan hal

atau perbuatan yang selayaknya dua orang saling bertemu atau berjumpa.

Bahwa ia tidak bertukar kata, berarti ia hanya diam, tidak menyapa, tidak

berkomunikasi dan melakukan tindakan seperti orang bertemu yang

seharusnya bersalaman, berpelukan atau sekedar membungkukkan badan.

Page 88: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

75

Bima tidak bertukar kata, dikarenakan Bima berada dalam keadaan

tidak tahu akan semua yang terjadi Bima. Bima disuruh Dewa Ruci untuk

bersemedi. Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya,

mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta dan rasa

hening, penuh dengan ketenangan. Diperlukan ketenangan batin dalam proses

tersebut. Dengan batin yang tenang maka akan dapat memahami makna dari

hidup. Bima tanpa ragu-ragu sedikitpun melakukan semua hal yang memang

harus dilaksanakannya. Hal ini karena kesungguhan kehendak dan hati Bima

untuk mengetahui makna kehidupan. Oleh karena itu, Bima berhasil melewati

cobaan-cobaannya, dan telah ditunggu oleh Dewa Ruci.

Pertemuan antara Bima dan Dewa Ruci merupakan bentuk “rindu

yang dahsyat”. Kalimat “rindu yang dahsyat” merupakan gaya bahasa

hiperbola. Kalimat “rindu yang dahsyat” menyatakan sebuah keadaan rindu

dua pihak yang disebabkan tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama

sehingga menjadi sangat rindu. Hal ini menyatakan tentang Bima yang sangat

mengharapkan pencerahan tentang hidup dan kehidupan. Dalam proses rindu

tersebut, Bima melalui perjalanan yang panjang dan sangat berat, dan

akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci.

“Rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling” merupakan bentuk

kontradiksi yang memberikan pengertian atas kerinduan besar antara dua

insan yang telah lama tidak berjumpa, namun karena suatu hal membuat

kedua berpisah kembali. Hal itu tidak seperti orang yang rindu, tidak bertemu

dalam jangka waktu yang lama, maka setelah bertemu akan melepas

Page 89: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

76

kerinduan tersebut dengan berduaan dalam jangka waktu yang lama, bahkan

dimungkinkan untuk hidup bersama untuk selamanya.

Setelah Bima bertemu dengan Dewa Ruci karena kerinduan yang

dahsyat atau sangat diinginkan oleh Bima, Dewa Ruci memberikan pelajaran

bermacam-macam tentang asal muasal kehidupan. Bima mengetahui tentang

asal mula dan akhir dari kehidupan. Bima merasakan kenikmatan kebahagiaan

lahir batin ibarat memperoleh surga. Kenikmatan dan ketentraman tersebut

membuat Bima betah di sana dan tidak mau kembali ke asalnya, namun

dilarang oleh Dewa Ruci. Karena untuk merasakan kenikmatan hakiki harus

dalam keadaan mati atau ruh saja, dan Bima belum mati

Hal ini “membuatnya berpaling”. Kalimat “lalu membuatnya

berpaling” merupakan metafora yang berarti bahwa Bima kembali ke asal atau

tempat sebelumnya, tempat asal sebelum bertemu dan melepas kerinduan.

Bima pun kembali ke tempat asalnya karena mempunyai kewajiban terhadap

masalah yang lain. Bima harus menunaikan tugas dan tanggung jawabnya

sebagai seorang kesatria untuk membela nusa dan bangsa. Bima tidak hanya

mementingkan kebatinan saja, namun juga peduli dengan soal-soal lahiriah

duniawi berupa problem sosial dan kenegaraan yang perlu diselesaikan

berhubung posisi dirinya sebagai prajurit, pendidik, abdi negara, pemuka

masyarakat Amarta, dan satria agung. Bima mempunyai kewajiban untuk

membentuk kembali keadaan yang buruk menjadi baik kembali, baik manusia

maupun lingkungannya.

Bima tidak diperkenankan tetap tinggal dalam batin Dewa Ruci,

melainkan harus pulang kepada keluarganya dan negaranya. Manusia

Page 90: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

77

hendaknya memenuhi kewajibannya dalam dunia., bekerja untuk keluarga,

bekerja untuk masyarakat, bekerja untuk kemanusiaan. Tindakan manusia

bukan berarti mengubah dunia, melainkan menjaga keselerasannya. Dalam hal

ini Bima, melakukan seperti seorang kesatria dan sebagai seorang pribadi, dan

warga masyarakat harus mampu menempatkan dirinya. Sikap terhadap dunia

disebut memayu hayuning bawana (Suseno, 2001:147).

Memayu hayuning bawana merupakan watak dan perbuatan yang

senantiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera, dan bahagia (Suwardi

Endraswara, 2006:50). Manusia, dalam hal ini Bima, bekerja untuk

kepentingan bersama. Manusia berbuat sesuatu untuk kepentingan sesama dan

orang banyak, bukan kepentingan individu. Karena itu segala perilakunya ke

arah ketentraman individu, bukan konflik terus-menerus. Sikap dan perilaku

baik jasmani maupun rohani, perlu dilandasi kehendak untuk menghiasi dunia.

Bima yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam usahanya

memahami makna kehidupan, mau dan bersedia untuk bertindak atau

melakukan perbuatan serta aktivitas seperti manusia biasa. Seseorang manusia

yang telah sampai pada puncaknya, maka ia akan kembali ke titik awal. Ia

berusaha untuk kembali menjadi manusia biasa yang hidup di tengah-tengah

masyarakat. Ia bekerja seperti manusia pada umumnya, juga bergaul, makan,

minum, berkeluarga dan seterusnya. Namun, sesungguhnya ia diam-diam

telah menyimpan segala rahasia-Nya di dalam lubuk hati (batin) yang paling

dalam.

Kesadaran bahwa batin merupakan kenyataan yang sebenarnya

terungkap dalam spekulasi tentang makrokosmos (jagad gedhe) dan

Page 91: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

78

mikrokosmos (jagad cilik). Makrokosmos dalam mistik Jawa dimaksud alam

lahir, sedangkan mikrokosmos adalah jasad manusia (Suseno, 2001:118). Diri

atau jasad manusia merupakan gambaran alam semesta, yang berarti diri

manusia menjadi miniatur alam semesta. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewa

Ruci sebagai makrokosmos dan Bima sebagai mikrokosmos.

Bentuk bait dan rima puisi Saudara Kembar yang berbeda

menciptakan arti bahwa terdapat perbedaan waktu dan suasana dari peristiwa

yang terjadi. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas

penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan

menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus,

dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Pada baris puisi Bima

terdapat persamaan bunyi yang menambah suasana yang terjadi di dalamnya.

Pada baris ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi a.

cermin di tangannyamengingatkan dia

Kombinasi bunyi an dan a memberikan kesan berirama dan memperjelas

suasana muram yang terjadi pada tokoh tersebut.

Persamaan bunyi a terdapat pada baris 9 dan 10

begitu serupatercipta dari ilham yang sama

Persamaan bunyi a pada baris tersebut menyebabkan berirama dan memberi

kesan liris (penuh perasaan).

Kombinasi bunyi u terdapat pada baris 12 dan13

hanya tahuia ditunggu sejak dulu

Page 92: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

79

Persamaan bunyi u memberikan kesan suasana yang tenang dan

membuat liris. Puisi Saudara Kembar mempunyai bentuk tipografi yang khas,

yaitu bentuk penyusunan baris dan bait puisi tersebut menyerupai bentuk

wajah manusia dilihat dari sisi samping, hal ini adanya kaitan dengan

kandungan puisi.

3. Puisi Telinga

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri.

a. Pembacaan Heuristik

Menurut KBBI (1989:919) telinga merupakan organ tubuh untuk

mendengar; alat pendengar yang tampak di kanan kiri kepala (manusia).

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: (Ia merasa hal itu adalah hal

yang tidak mungkin dilakukan). Ia digoda (diajak supaya) masuk ke

telinganya sendiri. (Hal itu dilakukan) agar (ia) bisa mendengar

(mengindahkan) apa pun, secara terperinci – setiap kata (ujaran bicara), setiap

huruf (lambang bunyi), bahkan letupan (pecahan yang mengeluarkan bunyi)

dan desis (bisikan) yang menciptakan suara (perkataan).

Page 93: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

80

“Masuklah,” bujuknya. Gila! (Ia menjadi semakin tidak percaya)

(Hal itu dilakukan) hanya agar (ia) bisa menafsirkan (menangkap maksud)

sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya (diberitahu secra diam-diam)

kepada diri(nya) sendiri.

b. Pembacaan Hermeneutik

Judul “telinga” sebagai tanda untuk menunjukkan bagian yang harus

dilewati Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dalam cerita

pewayangan. Dalam puisi Telinga, tokoh Bima dihadirkan secara implisit atau

tersirat.

Kalimat “masuklah ke telingaku,” merupakan gaya bahasa sinekdoke

(pars pro toto). Kalimat tersebut menyatakan kontradiki, hal tidak semestinya

bahwa orang dibujuk untuk masuk ke dalam telinga, padahal organ tubuh

telinga mempunyai lubang yang kecil yang secara nalar tidak mungkin bisa

dimasuki badan manusia “Masuklah ke telingaku” menyatakan pusat tempat

untuk mendengar dan menerima suara atau bunyi masuk ke dalam tubuh.

“Telinga” digunakan untuk mewakili keseluruhan bentuk atau tubuh manusia.

Bima disuruh masuk ke telinga Dewa Ruci.

Masuk ke dalam telinga Dewa Ruci mempunyai arti masuk ke dalam

tubuh Dewa Ruci. Telinga merupakan salah satu organ yang digunakan Bima

untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa

Ruci melalui telinga sebelah kiri. Telinga kiri berfungsi membersihkan noda-

noda kotoran (Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1999:87). Hal ini

dikarenakan dalam jiwa manusia, yaitu Bima, melekat noda-noda kotor nafsu

angkara. Bima akan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang merupakan alam

Page 94: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

81

suci tidak ada noda sedikitpun. Hal ini berarti bahwa manusia jika akan masuk

ke tempat suci atau melakukan hal yang baik dan suci harus bersuci dahulu

atau membersihkan kotoran yang melekat pada tubuhnya.

Kata “Gila:” merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola. “Gila:” dan

“Gila!” merupakan bentuk ambiguitas yang berarti: tidak masuk akal, kurang

waras, tidak sehat, aneh, tidak biasa, tidak seperti mestinya, tidak wajar.

Penggunaan “gila” menunjukkan bahwa di situ terdapat hal yang dirasa sangat

kurang masuk di akal sehingga menjadi heran Bima merasakan

ketidakwajaran mendengar ajakan Dewa Ruci, ini berarti bahwa terjadi

kebimbangan pada diri Bima akan hal tersebut. Hal ini karena tubuh Dewa

Ruci sangat kecil dibandingkan tubuh Bima yang sangat besar. Ini merupakan

sifat yang dimiliki manusia dan kewajaran yang melihat sesuatu dari bentuk

atau wujudnya, karena belum tahu dari sebenarnya yang dilihat.

Kalimat “agar bisa mendengar apa pun” merupakan gaya bahasa

sinekdoke (totum pro parte). “Agar bisa mendengar apa pun” menunjukkan

semua atau seluruh hal yang dapat didengar. Pengunaan “apa pun” digunakan

untuk mewakili bunyi, suara, yang berupa ucapan maupun perkataan baik dan

buruk yang semua dapat diterima. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci

untuk mendengar apapun, yaitu Bima diberi penjelasan oleh Dewa Ruci

mengenai air hidup yang sedang dicarinya, tentang kehidupan, tentang asal

mula dan akhir kehidupan.

“Secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis”

merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kalimat “setiap kata, setiap huruf”

berarti perkataan mengenai rangkaian proses hidup yang terdapat dalam

Page 95: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

82

kehidupan manusia di dunia. Kalimat “bahkan letupan dan desis” merupakan

proses yang melibatkan udara dan suara yang keluar atau yang dihasilkan.

Udara dan suara merupakan tanda kehidupan. “Secara rinci setiap kata, setiap

huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan kiasan rangkaian proses

kehidupan manusia di dunia. Proses kehidupan manusia di dunia terdiri dari

tiga pase, yaitu: (i) lahir, mereka hanya bisa menangis, dan tidak punya apa-

apa, (ii) belajar, tahap untuk mengerti apa-apa, belajar, dan (iii) mati,

manusia hidup di dunia pasti mati (Soeparno dan Soesilo, 2007:85).

Kalimat “yang menciptakan suara” merupakan bentuk ambiguitas

yang berarti: bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, ucapan, perkataan,

bunyi ujaran, pendapat, pernyataan. “Yang menciptakan suara” merupakan

metafora untuk sifat mencipta, yang merupakan salah satu sifat Tuhan (Allah).

Dia-lah yang menciptakan semua kehidupan di alam semesta, serta memberi

hidup kepada semua makhluk yang hidup di dunia. Untuk mengenalnya maka

Bima harus mengetahui rahasianya. Dalam proses ini, Bima dipersilakan

masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telinga kiri.

“Gila!” merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola. Kata diulang lagi

untuk memperjelas keanehan hal itu, Bima disuruh masuk ke dalam telinga

Dewa Ruci, atau tidak wajar sehingga menjadi tidak percaya. Bima diperintah

untuk kedua kalinya oleh Dewa Ruci untuk masuk ke dalam tubuh Dewa

Ruci. Dewa Ruci mengajak Bima untuk memasuki batinnya melalui

telinganya. Walaupun Bima merasa ragu-ragu namun Bima taat dan mau

mengikuti perintah tersebut. Bima yang pada mulanya bimbang menjadi tidak

Page 96: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

83

percaya karena badan Bima yang besar harus masuk ke dalam tubuh Dewa

Ruci yang sangat kecil.

Dewa Ruci menjelaskan beberapa petunjuk kepada Bima agar Bima

berkonsentrasi. Setelah berhasil masuk lewat telinga Dewa Ruci, Bima

mendapati suatu keadaan yang kosong. Di dalamnya, Dewa Ruci kemudian

menjelaskan makna dari yang dilihat oleh Bima dan makna dari kehidupan.

Dewa Ruci memberi pelajaran tetang asal muasal dan akhir kehidupan. Bima

pun memahami tentang pengetahuan yang dijelaskan oleh Dewa Ruci.

Semula, Bima menemukan diri dalam keadaan kekosongan tanpa

batas dan kehilangan segala orientasi. Namun sesudahnya, Bima dapat

beradaptasi dan mengendalikan dirnya. Bima mengerti bahwa dalam tubuh

kecil Dewa Ruci seluruh alam luar secara terbalik. Bima menyadari bahwa

hakikat yang paling dalam adalah menyatu dengan yang Ilahi (Tuhan).

Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa dasar hakikatnya ia

berasal dari Ilahi. Dalam ingatan itu ia kembali menghayati kesatuan

hakikinya dengan asal-usul Ilahi itu, kesatuan hamba dan Tuhan. Melalui

kesatuan itu manusia mencapai suatu tahap yang orang Jawa disebut dengan

kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan tentang asal dan tujuan

segala yang diciptakan (Suseno, 2001: 117).

Bima diharuskan untuk dapat menafsirkan yang dibisikkan kepada

dirinya, yang berarti Bima harus dapat memahami dengan baik wejangan dari

Dewa Ruci. Wejangan Dewa Ruci berisi tentang makna kehidupan. Di

dalamnya terdapat isi tentang tatanan aturan hidup bagi manusia. Aturan

hidup ini merupakan pedoman pokok dalam mengarungi hidup sehingga

Page 97: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

84

dengan tatanan tersebut apabila diterapkan dengan benar maka manusia dapat

memperoleh manfaat serta keutamaan. Ilmu yang didapatkan dari Dewa Ruci

sebagai suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri dan alam

sekitarnya. Tujuannya, untuk mengenal manusia sendiri, perubahan yang

dialaminya dan mencegahnya nafsu, serta mengarahkan kehendak dengan baik

sehingga dapat mengambil manfaatnya.

Dengan demikian, maka Bima merupakan satu-satunya kesatria yang

dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya. Dalam

kesadaran itu Bima mencapai kesatuan hamba dan Tuhan. Pernyataan tersebut

menggambarkan akan manunggaling kawulo Gusti. Manunggaling kawulo

Gusti merupakan perwujudan sikap manembah. Manembah adalah

menghubungkan diri secara sadar, mendekat, menyatu, dan manunggal

dengan Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006:47). Proses ini menciptakan

ketenangan batin manusia, yang berarti ada titik temu yang harmonis antar

manusia dengan Tuhan, dengan menghadap Tuhan melalui batin.

Bait puisi Telinga yang berjumlah satu dengan jumlah baris yang

banyak tersebut mempunyai arti bahwa peristiwa yang terkandung puisi itu

terdapat pada satu peristiwa dalam jangka waktu yang lama. Bunyi di samping

hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam

ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas,

menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo,

1993:22).

Bunyi t kuat tampak pada baris 5, 6, dan 7.

secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desis

Page 98: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

85

yang menciptakan suara.

Variasi bunyi t tersebut memberi kesan berirama dan menyiratkan ketegasan.

Bunyi a tampak menonjol pada baris 9, 10, dan 11.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri

Persamaan bunyi a menyebabkan berirama dan membuat liris.

Persejajaran arti tampak pada baris ‘“Masuklah ke telingaku,”

bujuknya’ dengan ‘“Masuklah,” bujuknya’ yang kemudian menimbulkan arti

baru, selain bermakna masuk ke dalam tempat untuk mendengar suara juga

bermakna tempat yang memang sudah disediakan baginya. Pengulangan kata

gila pada baris kedua dan kesembilan, “Gila:” dan “Gila!” mempunyai arti

untuk menunjuk ketidakmungkinan terhadap hal yang akan diketahui

berikutnya dan dipertegas ketidakmungkinan tersebut setelah tahu hal yang

telah diketahuinya.

Pada baris ketiga dan kedelapan ada persejajaran yang menciptakan

makna baru: “agar bisa mendengar apa pun” menjadi bermakna baru karena

disejajarkan dengan “hanya agar bisa menafsirkan sebaik-”. Baris tersebut

mempunyai arti dapat menerima dan mengamalkan nasehat atau ajaran yang

diberikan. Puisi Telinga mempunyai bentuk tipografi yang unik, yaitu seperti

irisan telinga. Hal ini untuk merujuk pada organ telinga manusia yang

dikaitkan dengan judul serta kandungan puisi.

Page 99: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

86

4. Puisi Dewa Ruci

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

a. Pembacaan Heuristik

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci. (Dewa Ruci

menjawab) ”Aku adalah engkau yang telah mendamba (sangat menginginkan

sesuatu), yang pernah dinista (dihina), ditipu (dibohongi), dan disesatkan

(dibawa ke arah yang salah). Engkau yang membunuh naga (ular besar) dalam

dasar lautmu (tempat yang terdalam).

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima. (Dewa Ruci menjawab

bahwa) tapi akulah yang kau temukan (ditemui). Anugerah

(pemberian/ganjaran, karunia) yang (telah) kau tebus (diperoleh lewat

pengorbanan) dengan duka-deritamu (sedih hati, kesusahan dan

kesengsaraan). Yang lain tiada (tidak ada), kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima. (Dewa Ruci

menjawab bahwa) untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa. Kau dapat

menerima (menganggap) atau menolakku (tidak menerima), dan hidup

selama-lamanya bergulat (bergelut) dengan nagamu.

Page 100: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

87

b. Pembacaan Hermeneutik

Judul “Dewa Ruci” merupakan tanda yang menunjukkan pada tokoh

Dewa Ruci dalam pewayangan. Dalam puisi Dewa Ruci, tokoh Bima

dihadirkan secara eksplisit atau tersirat.

Kalimat “Aku adalah engkau yang telah mendamba” mempunyai arti

si ‘aku’ adalah si ‘engkau’ yang sangat menginginkan sesuatu, mendambakan

sesuatu, merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu. Kalimat “aku adalah

engkau” merupakan gaya bahasa metafora. “Aku adalah engkau” berarti si

‘aku’ seperti halnya si ‘engkau’ yang sama dalam bentuk maupun rupa.

Kesamaan tersebut selain bersifat jasmani juga bersifat rohani.

Dalam sebuah hubungan atau interaksi diperlukan kaidah yang

digunakan untuk mengatur pola interaksi dalam masyarakat yaitu prinsip

hormat. Prinsip hormat merupakan pola interaksi setiap orang dalam cara

bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap

orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 2001: 60).

Sesuai dengan prinsip tersebut, setelah Bima bertemu dengan Dewa

Ruci, Bima menanyakan siapakah sebenarnya Dewa Ruci. Bima sebagai

seorang kesatria mempunyai sifat yang tegas, dan bersikap hormat kepada

orang yang baik kepadanya. Dewa Ruci menjelaskan kepada Bima bahwa

dirinya adalah Bima sendiri. Dewa Ruci sebenarnya berada dalam diri Bima,

tetapi karena Bima tidak menyadari hal tersebut maka Bima pun tidak tahu

dengan Dewa Ruci bersatu di dalam dirinya. Oleh karena itu Bima disuruh

Dewa Ruci untuk mengenal dirinya sendiri, karena dengan mengenal diri

sendiri akan mengenal pula sifat, kelebihan, dan kekurangan yang ada.

Page 101: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

88

Bima disebutkan pernah dinista, ditipu dan disesatkan, dikarenakan

karena bahwa dijerumuskan oleh gurunya, yaitu Resi Durna. Hal ini

disebabkan kebencian dari Kurawa kepada Pandawa, khususnya kepada Bima.

Sebelumnya, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat

melakukan sidang istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari

Pandawa kecuali karena satu hal saja; Pandawa memiliki Bima yang sangat

sakti. Di samping sangat perkasa, Bima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat

kemauan. Bima harus disingkirkan dan dibuang dari keluarganya.

Dikarenakan Bima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Resi

Durna, maka Duryudana berniat mencelakakan Bima dengan menyuruh Resi

Durna untuk memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan. Resi Durna

mengatakan kepada Bima bahwa manusia yang dapat memperoleh air

kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna.

Dengan hati dan tekad yang kuat dan sikap patuh terhadap gurunya,

Bima melaksanakan perintah guru Durna. Bima yang hendak berguru kepada

Resi Durna, artinya orang yang ingin mendalami ilmu agama, dia harus

berguru kepada orang yang berilmu. Meskipun kadang-kadang ada orang

berilmu yang bertabiat kurang terpuji. Dalam mencari ilmu seseorang harus

selalu berbaik sangka terhadap guru, seperti yang telah dicontohkan oleh

Bima terhadap gurunya Resi Durna.

Supaya tujuannya dapat tercapai, Durna menganjurkan Bima untuk

mencari tirta pawitra dengan membongkar gunung Reksamuka. Artinya orang

yang mendalami ilmu tarikat harus melakukan hal-hal yang berat, seberat

membongkar sebuah gunung (Purwadi, 2007:105). Misalnya dia harus

Page 102: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

89

menghilangkan sifat keduniaannya. Di gunung Reksamuka Bima bertemu dua

raksasa besar, Rukmuka dan Rukmakala sewaktu Bima membongkar gunung

Reksamuka. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan dan dibunuh oleh Bima.

Orang yang berusaha mensucikan diri harus mampu memerangi semua

godaan duniawi. Kala Rukmuka melambangkan nafsu pancaindra yang selalu

membawa manusia menuju kesesatan. Rukmakala melambangkan akal pikiran

yang sering lepas kendali sampai membahayakan bagi keselamatannya sendiri

(Purwadi, 2007:106). Kedua rintangan besar itu mampu diatasi oleh Bima

dengan keperkasaannya.

Rukmuka dan Rukmakala dibunuh oleh Bima. Sesudah dibunuh oleh

Bima, kedua raksasa itu berubah menjadi dua dewa. Karena keduanya telah

ditolong dapat kembali berwujud dewa, Bima diberi anugerah Sabuk Cindhe

Wilis dengan bara kembar dan dapat dipakai di paha kanan kiri. Hal itu berarti

sudah menjadi kebiasaan bila seseorang yang hendak mensucikan diri itu

harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain. Lama-

kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka yang

mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sebagai hadiah (Sabuk Bara

dengan Cindhe Kembar) melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu

dengan tekad kuat laksana ikat pinggang (cindhe). Bara di kanan

menunjukkan perilaku yang harus melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara

di kiri melambangkan sikap yang memegang teguh ajaran guru yang

diterimanya (Purwadi, 2007:106).

Di negeri Astina Bima kembali menghadap gurunya, dan Durna

memberi wejangan tentang keharusan berbakti kepada Dzat yang harus

Page 103: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

90

disembah. Keistimewaan Bima salah satunya adalah lambang kejujuran dan

kesetiaan seorang murid kepada gurunya (Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo,

1999:83). Oleh karena itu, Bima melaksanakan perintah gurunya untuk

mencari Tirta Pawitra Sari di dasar lautan. Semakin kuat orang menuju hal

yang baik, maka suatu yang menjadi penghambatnya semakin besar. Adapun

tempat Tirta Pawitra Sari di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai

pada tingkat tinggi memang sukar, jauh dan dalam. Maka dia harus terjun dan

menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat-

sifat Allah seperti tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia

di sisi Tuhan (Purwadi, 2007:107).

Di negeri Amarta Bima mengejutkan keluarganya. Mendengar niat

Bima pergi ke samudera, ibunya dan para Pandawa menangis berusaha

mencegahnya. Tetapi tekad Bima tidak bisa dikendorkan, Bima tetap pada

pendiriannya. Dia bersedia melepaskan diri dari segala hal yang paling

dicintainya, terutama keluarganya.

Kalimat “Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu”

merupakan gaya bahasa metafora. Naga diibaratkan sebagai cobaan atau

kesukaran yang sangat berat. Kalimat ini berarti bahwa tokoh Bima telah

berhasil menghadapi cobaan kesukaran berat yang menyelimuti batinnya.

Dasar laut sebagai kiasan dasar perasaan yaitu batin. Di samudera, Bima

menemui halangan, dibelit Naga Nemburnawa yang hampir saja merengut

nyawa Bima, akan tetapi setelah didasari dengan kepasrahan dan kerelaan

karena ingin mencapai tujuan, Bima dengan kuku Pancanaka membunuh naga

dan akhirnya naga tersebut tewas. Keberhasilan Bima membunuh naga dalam

Page 104: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

91

dasar laut melambangkan bahwa Bima berhasil membunuh nafsu duniawi

dalam batinnya yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan

(Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1994:84).

Manusia diharapkan untuk selalu mengolah kemampuan batinnya

untuk dapat mengatasi segi lahiriah atau nafsunya, yaitu dengan sepi ing

pamrih, yang terkait dengan hal sebagai berikut. Pertama, sikap eling,

merupakan suatu sikap untuk selalu ingat akan asal-usulnya bahwa manusia

berasal dari Yang Ilahi dan dengan rendah hati tahu sikap dirinya. Kedua,

adalah sikap sabar. Sikap ini terwujud dalam keadaan tidak tergesa-gesa, tidak

khawatir dalam menghadapi sesuatu. Ketiga, adalah sikap nrimo. Sikap ini

bukan dalam arti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki

arti yang lebih mendalam. Manusia harus tetap bereaksi secara wajar dan bisa

membawa diri dalam situasi serta menunjukkan kemampuan untuk menerima

keadaan. Keempat, adalah sikap ikhlas, yaitu sikap untuk merelakan apa saja

jika memang menjadi tuntutan tanggung jawab atau tuntutan nasibnya

(Sardjono,1995:20).

Seseorang yang hendak mencapai suatu tujuan baik biasanya mendapat

godaan berat dari nafsu yang menyertainya. Agar berhasil maka harus mampu

mengatasinya dengan sabar dan tabah. Bima pun pada akhirnya bisa

mengalahkan nafsu yang ada dalam dirinya.

Bima mengatakan kepada Dewa Ruci bahwa Dewa Ruci bukanlah

yang Bima cari. Bima mencari air kehidupan seperti yang telah gurunya

perintahkan. Bima menyangkal bahwa bukan si Dewa Ruci yang Bima cari,

namun kenyataannya bahwa Dewa Rucilah yang Bima temukan. Dewa Ruci

Page 105: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

92

merupakan anegerah bagi tokoh Bima. Hal itu merupakan permulaan yang

ironis (bertentangan) bagi tokoh Bima. Dewa Ruci menerangkan bahwa air itu

hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah salah satu sifat Tuhan

(Allah). Dia-lah yang memberi hidup kepada semua makhluk yang ada di

dunia. Dewa Ruci pun mengatakan kepada Bima bahwa dirinyalah yang Bima

temukan. Dewa Rucilah yang akhirnya ditemukan oleh Bima setelah Bima

hampir menemui kematian.

Pertemuan antara Bima dan Dewa Ruci di dasar samodra mengandung

makna perbuatan berat yang dilakukan oleh seorang manusia, dengan disiplin

yang keras dapat memiliki kesempurnaan hidupnya. Untuk mencapai

anugerah Tuhan harus dengan jalan sesuai dengan lahir batinnya (Purwadi,

2003:39). Dewa Ruci memaparkan hakikat makna tirta pawitra digambarkan

dengan wujud Bima dalam bentuk kecil dengan suatu lambang bahwa

manusia telah menemukan Aku nya sendiri. Maksudnya bahwa kesempurnaan

hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa

nafsu dengan prihatin, mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan

keteguhan hati serta disiplin yang kuat.

Bima telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup.

Begitu bersatu sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang

manusia yang bertapa dan bersemadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah

dan memurnikan tekad batinnya.

Kalimat “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” merupakan

gaya bahasa metafora dan hiperbola. Metafora “anugerah yang kau tebus

dengan duka-deritamu” berarti ganjaran atau karunia yang diperoleh atas

Page 106: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

93

usaha atau pengorbanan yang telah dilakukan. Hiperbola “anugerah yang kau

tebus dengan duka-deritamu” menyatakan proses yang dilalui untuk mendapat

anugerah dilakukan dengan sangat berat, harus ditebus atau diperoleh dengan

pengorbanan besar dengan melewati penderitaan dan kesusahan.

Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan anugerah bagi Bima.

Hal ini dimaksudkan bahwa kejadian tersebut merupakan pemberian yang

dapat memberikan kesejahteraan dan kenikmatan kepada Bima. Bima berada

dalam keadaan memprihatinkan karena telah melalui cobaan hidup sangat

berat. Bima tidak tahu tujuan akhir perjalanannya sampai akhirnya sesuatu

terwujud yaitu bertemu dengan Dewa Ruci dari tindakan Bima yang

membutuhkan akan air dan makna kehidupan.

Kalimat “Yang lain tiada, kecuali aku” merupakan bentuk ambiguitas

yang mempunyai arti tidak ada yang lain kecuali si ‘aku’, yang lain tidak

mempunyai kepentingan kecuali si aku, tidak ada yang berkenan lainnya,

tidak ada pihak atau makhluk lain, tidak ada yang menyamai, bersifat tunggal.

Dewa Ruci mengaku bahwa dirinyalah yang menjadi tujuan keinginan Bima,

yang lainnya tidak ada, kecuali Dewa Ruci. Di sini berarti bahwa Dewa Ruci

sebagai sifat tunggal yang berarti sejati, dan akhirnya Dewa Ruci sebagai guru

sejati Bima. Dewa Rucilah yang dapat memberikan dan memenuhi keinginan

Bima untuk menemukan air kehidupan dan makna dari air kehidupan tersebut.

Bima memperoleh yang dicarinya sebagai air hidup, asal-usul dirinya

sendiri dan sangkan paraning dumadi di dasar batin sendiri. Sangkan paran-

nya adalah Yang Ilahi dan Bima akhirnya bersatu dengan Tuhannya di dasar

suksmanya sendiri. Bima telah mencapai manunggaling kawula Gusti.

Page 107: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

94

Manunggaling kawula Gusti adalah ilmu tingkat tinggi orang Jawa utnuk

memperoleh derajat kasampurnan. Di sana diterangkan konsep mengenai

sangkan paraning dumadi, yaitu asal mula hakikat kehidupan, dengan tujuan

utamanya adalah mencapai khsunul khotimah yang bermuara pada kenikmatan

surgawi (Purwadi, 2005:iii).

Tataran pengalaman Bima mencapai kemanunggalan antara kawula

dan Gusti diistilahkan dengan sifat manusia di dalam Tuhan (Zoetmulder,

2001:213). Di sanalah tempatnya yang sejati, ke sanalah ia harus kembali.

Dengan kembali ke tempat sejatinya berarti telah terleburnya manusia di

dalam Tuhan. Tempat tersebut merupakan asal-usul manusia.

Bima kembali bertanya kepada Dewa Ruci tentang kegunaan Bima

mendapatkan Dewa Ruci. Hal ini dimaksud tentang sesuatu yang diperoleh

Bima setelah Bima bertemu dan akhirnya masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci.

Bima menanyakan guna atau manfaat dari tokoh Bima mendapatkan si ‘aku’.

Si ‘aku’ menerangkan bahwa kegunaan tersebut adalah untuk segala-galanya

atau tidak untuk apa-apa. Jawaban yang keluar tersebut tidak sesuai dengan

kenyataan bahwa semestinya ketika orang menanyakan manfaat atau

kegunaan maka semestinya dijawab dengan jelas manfaat atau kegunaan

baiknya bagi orang yang bertanya. Dengan memperoleh jawaban yang jelas,

maka orang mudah menerima atau memahami.

Di dalam tubuh Dewa Ruci, terjadi dialog antara Dewa Ruci dan Bima

yang membahas tentang hakikat kehidupan. Bima mengenal asal mula adanya

hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Ilmu atau pengetahuan yang

diperoleh Bima dapat digunakan atau tidak digunakan oleh Bima. Bima dapat

Page 108: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

95

menerima atau menolak, yaitu Bima dapat menerima atau menolak ilmu yang

telah diberikan oleh Dewa Ruci. Ilmu atau pengetahuan yang diperoleh Bima

dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar.

Dengan ilmu yang didapat tersebut, jika digunakan dengan tidak

dengan semestinya atau tidak benar, Bima dapat kembali hidup dengan

naganya yaitu nafsunya, dengan bentuk atau tindakan menyombongkan diri.

Kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” merupakan

bentuk ambiguitas yang mempunyai arti hidup selamanya bergumul atau

bergelut dengan naga, hidup selamanya dengan kesukaran, hidup dengan

penuh rintangan, hidup penuh dengan kesusahan, hidup dengan penuh

penderitaan, hidup dengan penuh perjuangan, hidup dengan penuh kesulitan.

Manusia selain mempunyai akal dan perasaan, juga mempunyai nafsu,

yaitu (i) nafsu menangnya sendiri, (ii) nafsu benarnya sendiri,dan nafsu

perlunya sendiri. Nafsu menangnya sendiri, yaitu manusia yang memaksakan

semuanya ingin serba nomor satu, dan pada akhirnya menjadi serakah. Nafsu

benarnya sendiri, yaitu manusia merasa bahwa dialah yang paling benar.

Nafsu perlunya sendiri, yaitu manusia yang hanya memperhatikan sisi

keperluannya sendiri serta tidak peduli orang lain (Soeparno dan Soesilo,

2007:115-116). Manusia dapat mencapai kesempurnaan, apabila memiliki

ilmu yang luas dan kesadaran yang tinggi. Ilmu yang luas adalah perilaku

yang baik dan perbuatan yang luhur, sedangkan kesadaran yang tinggi yaitu

dapat mengendalikan hawa nafsunya dan tidak emosional.

Pada bait pertama, terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu

‘engkau’ yang menonjol yang memberi arti untuk mempertegas bentuk

Page 109: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

96

individu yang ada dalam puisi Dewa Ruci. Pada bait kedua, juga terdapat

penggunaan kata ganti orang yaitu ‘kau’ dan ‘aku’ yang menonjol.

Penggunaan tersebut untuk mempertegas bentuk individu (personal) yang ada

dalam puisi Dewa Ruci. Adanya penggunaan kata ‘yang’ diulang pada baris

ke-1, ke-2, ke-3 memberi kesan berirama dan menjelaskan kata sebelumnya.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting,

yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan

bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan

sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Variasi bunyi t dalam baris

ketiga “….. dinista, ditipu dan disesatkan”, menciptakan arti memperkeras

suasana dan keadaaan yang tidak menyenangkan.

Pada bait ketiga, bunyi a tampak dominan. Bahkan hampir di tiap

baris terdapat bunyi a. Terdapat bentuk asonansi bunyi a, yang terdapat pada:

Apa gunanya saya … dan segala-galanya… apa-apa.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Bunyi a yang dominan dan bentuk asonansi bunyi a memberi kesan

berirama dan membuat liris (penuh perasaan). Homologues terdapat pada bait

ketiga baris ke-2 dan ke-3.

- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apakau dapat menerima atau menolakku

Dari persejajaran bentuk tersebut menimbulkan persejajaran arti bahwa

dengan menerima hal itu dapat digunakan untuk menghadapi segala bentuk

Page 110: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

97

permasalahan yang datang sehingga bisa mendapatkan penyelesaian, namun

juga bisa untuk tidak mempergunakannya.

Puisi Dewa Ruci tersebut penuh dengan keseimbangan (simitri).

Keseimbangan tersebut terdapat pada rima akhirnya, baris-baris dalam

baitnya, dan antar bait yang satu dengan bait yang lain. Baris dan bait puisi

Dewa Ruci tersusun dalam bentuk yang rapi. Hal ini menyiratkan suasana

dialog antara tokoh Bima dan Dewa Ruci yang nyaman dan kondusif.

Puisi Dewa Ruci berbentuk dialog, yaitu dialog Sang Bima dan Dewa

Ruci. Puisi Dewa Ruci memiliki tipografi yang dibuat seimbang dan teratur.

Pemakaian jumlah baris dan pengaturannya dalam tiap bait seimbang,

sehingga secara visual tipografi puisi Dewa Ruci terlihat rata. Hal ini

melukiskan bahwa dialog atau percakapan antara tokoh Bima dan Dewa Ruci

terbentuk keteraturan dan keselarasan suasana.

Page 111: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

98

C. Matriks, Model, dan Varian-varian

Dalam pembahasan ini diuraikan secara lebih lanjut tahap analisis untuk

mendapatkan makna puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci.

Untuk mendapatkan makna puisi lebih lanjut yaitu dengan mencari matriks,

model dan varian-varian. Dengan demikian, dari matriks, model, dan varian-

varian dapat disimpulkan tema puisi. Dalam pembahasan ini, juga dicari

mengenai amanat dari puisi-puisi tersebut.

Tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra

yang terungkap (tersurat) atau tidak (tersirat) (Panuti Sudjiman, 1999:78). Amanat

merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Panuti

Sudjiman, 1999:5).

1. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Bima

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

Page 112: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

99

Matriks dalam puisi Bima adalah perjalanan hidup tokoh Bima. Matriks ini

ditransformasikan menjadi model “Bima”. Model tersebut ditransformasikan

menjadi varian-varian yang berupa uraian dalam bait 1,2,3,4,5. Varian pertama:

dalam perjalanan hidupnya, tokoh Bima menyadari bahwa hidup tidak ada yang

abadi. Makhluk dan ciptaan yang ada di dunia pasti akan mati. Keadaan ini juga

berlaku dalam kaitannya hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitar.

Varian pada bait kedua: ketidakabadian berlaku dalam setiap sisi

kehidupan. Keadaan yang baik semakin lama berkurang dan berubah menjadi

buruk. Tempat yang dulunya bersih, terjaga, banyak dikunjungi orang berubah

menjadi kotor, dan tidak diperhatikan lagi. Begitu juga dengan alam sekitar yang

rusak, langit berubah menjadi kotor dan udara tidak lagi bersih untuk bernafas.

Varian pada bait ketiga: tokoh Bima melakukan perjalanan yang berat

dengan bertemu dan melawan seekor naga. Tokoh Bima dengan keteguhan hati

menempuh cobaan dan ujian berat untuk harapan yang diinginkannya. Bima

berusaha, dan akhirnya berhasil mengalahkan hawa nafsu yang ada dalam

batinnya.

Varian pada bait keempat: tokoh Bima sampai pada tempat kosong dan

bertemu dengan tokoh Dewa Ruci. Tokoh Dewa Ruci sebenarnya berada di dalam

diri Bima tepatnya dalam batin tokoh Bima. Tokoh Bima menjadi sadar dalam

tempat kosong tersebut, dan dapat mengenal tentang awal dan akhir dari

kehidupan.

Varian pada bait kelima: tokoh Bima terlahir kembali kecil dan abadi.

Bima seperti halnya bocah kecil baik secara jasmani maupun rohani Abadi atau

kekal merupakan sifat Tuhan (Allah). Tokoh Bima dalam keadaan tersebut telah

Page 113: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

100

mengenal dirinya. Dengan mengenal dirinya, maka tokoh Bima akan mengenal

Tuhannya.

Dari matriks, model dan varian-varian tersebut dapat disimpulkan bahwa

tema puisi Bima yaitu perjalanan tokoh Bima untuk memahami makna kehidupan.

Memahami kehidupan akan dapat mengenal akan diri dan penciptanya.

Amanat dari puisi Bima adalah sebagai berikut. Dalam kaitannya dengan

kehidupan, setiap manusia atau orang yang hidup di dunia jangan sampai

membuat kerusakan. Setiap manusia dituntut untuk selalu sadar akan hidupnya,

ingat dan selalu waspada akan hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam menjalani

hidupnya, manusia agar selalu kuat dalam menghadapi cobaan hidup meskipun

cobaan itu sangat berat. Dalam hidupnya, setiap manusia agar berusaha untuk

mengenal akan dirinya sendiri, mengetahui sifat, kelemahan, dan kelebihan untuk

hidup yang lebih baik.

2. Matriks, Model dan Varian-varian Puisi Saudara Kembar

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulurindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

Page 114: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

101

Matriks dalam puisi Saudara Kembar adalah kesadaran tokoh Bima akan

hakikat kehidupan. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “saudara

kembar”. Model tersebut ditransformasikan menjadi varian-varian yang berupa

uraian dalam bait 1, 2, 3.

Varian pertama: tokoh Bima ingat akan keadaan dirinya sebagai seorang

manusia. Keadaan tokoh Bima yang ingat dan sadar sebagai seorang manusia

untuk selalu berusaha mengetahui tentang dirinya. Tokoh Bima melakukan

perjalanan sampai akhirnya bertemu dengan makhluk yang mempunyai bentuk

dan rupa yang sama dengan dirinya, tak lain adalah Dewa Ruci. Pertemuan tokoh

Bima dengan tokoh Dewa Ruci menjadi jalan bagi tokoh Bima untuk mengenal

diri sebagai seorang manusia dan makna kehidupannya.

Varian pada bait kedua: tokoh Bima berdiam diri dengan penuh

ketenangan, merenungi dan memahami segalanya. Bima melakukan meditasi,

memusatkan perhatian dan batinnya. Tokoh Bima tanpa ragu-ragu sedikitpun

melakukan semua hal yang memang harus dilaksanakannya. Hal ini karena

kesungguhan kehendak dan hati tokoh Bima untuk mengetahui makna hidup.

Varian pada bait ketiga: ketika harapan telah terpenuhi maka harus

melaksanakan kewajibannya. Tokoh Bima mengetahui tentang asal mula dan

akhir dari kehidupan, sehingga merasakan kenikmatan dan kebahagian. Tokoh

Bima harus kembali ke tempat asalnya karena mempunyai kewajiban, tugas, dan

tanggung jawab sebagai seorang kesatria untuk membela nusa dan bangsa.

Dari matriks, model dan varian-varian tersebut dapat disimpulkan bahwa

tema puisi Saudara Kembar yaitu kesadaran tokoh Bima tentang makna

kehidupan dan kesadaran sebagai seorang manusia atau makhluk. Amanat puisi

Page 115: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

102

Saudara Kembar sebagai berikut. Sebagai seorang makhluk, manusia agar selalu

ingat dan sadar akan dirinya. Setiap manusia diharapkan agar dapat berintrospeksi

akan kesalahan yang telah diperbuat dan berusaha untuk tidak mengulangi

kesalahan itu. Setiap manusia diharapkan agar selalu berusaha memahami

pentingnya kehidupan, agar selalu ingat dan tetap melaksanakan tugas serta

tanggung jawab dalam setiap kehidupan.

3. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Telinga

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri

Matriks dalam puisi Telinga adalah pemahaman tokoh Bima tentang

hakikat kehidupan. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “Telinga”.

Model tersebut ditransformasikan menjadi varian-varian yang berupa uraian

dalam bait puisi Telinga. Varian pertama: Bima masuk ke dalam tubuh Dewa

Ruci. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga sebelah kiri.

Dikarenakan dalam jiwa manusia, yaitu Bima, melekat noda-noda kotor nafsu

angkara, maka melewati telinga kiri yang berfungsi untuk membersihkan noda-

noda kotoran tersebut yang mana Bima akan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci

yang merupakan alam suci tidak ada noda sedikitpun.

Page 116: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

103

Varian kedua: tokoh Bima diharapkan dapat memahami asal mula

kehidupan. Tokoh Bima diberi pengetahuan tentang rangkaian proses kehidupan

manusia di dunia, dan Dzat atau Tuhan yang menciptakan semua kehidupan di

alam semesta yang memberi hidup kepada semua makhluk yang hidup di dunia.

Varian ketiga: tokoh Bima diharapkan dapat memahami dan melaksanakan

pengetahuan yang telah diterima. Tokoh Bima diharuskan untuk bisa

menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk dapat memperoleh manfaat

yang baik.

Dari matriks, model dan varian-varian tersebut dapat disimpulkan bahwa

tema puisi Telinga sebagai yaitu manfaat dan keutamaan tokoh Bima dalam

memahami makna kehidupan. Amanat puisi Telinga sebagai berikut. Setiap

manusia agar mendekatkan diri pada Tuhan dalam kehidupannya. Setiap manusia

agar selalu belajar dalam waktu hidupnya sebelum sampai tiba waktu matinya.

Manusia yang ingin maju harus mau dan dapat mengutamakan pentingnya ilmu

pengetahuan.

4. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Dewa Ruci

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

Page 117: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

104

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Matriks dalam puisi Dewa Ruci adalah tentang pertemuan tokoh Bima

dengan Dewa Ruci. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “Dewa Ruci”.

Model tersebut ditransformasikan menjadi varian-varian yang berupa uraian

dalam bait 1,2,3. Varian pertama: Dewa Ruci berada dalam diri Bima. Dewa Ruci

hadir menemui Bima setelah Bima berhasil membunuh naga dalam dasar laut

yakni setelah Bima berhasil menaklukkan nafsu dalam batinnya.

Varian pada bait kedua: Dewa Rucilah guru sejati tokoh Bima. Bima

mendapat guru sejatinya, yang merupakan pemberian untuk dapat memberikan

kesejahteraan dan kenikmatan kepada Bima yang tengah berada dalam keadaan

memprihatinkan karena Bima telah melalui cobaan hidup sangat berat.

Varian pada bait ketiga: hal yang diperoleh Bima setelah bertemu Dewa

Ruci. Setelah mendapat wejangan dari Dewa Ruci, Bima dapat menggunakan atau

tidak pengetahuan yang telah diberikan kepadanya. Penggunaan pengetahuan

yang telah didapat Bima jika tidak digunakan secara benar dapat menyebabkan

kembali diliputi nafsu dan menjadi orang yang sombong.

Dari matriks, model dan varian-varian tersebut dapat disimpulkan bahwa

tema puisi Dewa Ruci yaitu keberhasilan Bima dalam menemukan guru sejatinya

dan mengenal dirinya. Amanat puisi Dewa Ruci sebagai berikut. Setiap manusia

harus selalu kuat dan sabar dalam menghadapi cobaan. Setiap orang agar berusaha

untuk mengenal dirinya, serta terus berusaha dengan kuat untuk mencapai sesuatu

yang diinginkan. Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang sebaiknya

dimanfaatkan secara baik dan benar.

Page 118: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

105

D. Hipogram

Riffaterre menyatakan bahwa sajak (teks) yang menjadi latar penciptaan

sebuah karya sastra (teks) yang lain disebut hipogram (1978:23). Riffaterre

(1978:23) menyatakan bahwa hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial

dan hipogram aktual. Hipogram potensial itu tidak tereksplisitkan dalam teks,

tetapi harus diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial adalah matriks yang

merupakan inti teks atau kata kunci, yang dapat berupa satu kata, frase atau

kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial adalah

model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian. Hipogram yang

dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hipogram aktual.

Adapun hipogram aktual berupa teks nyata, dapat berupa kata, kalimat,

peribahasa atau seluruh teks. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks baru

atau ditransformasikan menjadi teks baru. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks

yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra.

Hikmah yang bisa ditangkap dari kehadiran tokoh Bima di atas, adalah

bahwa kesulitan yang menimpa seseorang dan disusul dengan kesulitan

berikutnya, maka pada diri orang itu akan timbul kekebalan. Ketahanan seseorang

karena sudah terbiasa mendapat cobaan demi cobaan. Kisah kehidupan yang

berakhir dengan kegembiraan happy end, setelah mengalami cobaan, ujian dan

penderitaan sering terjadi. Hampir tidak ada tokoh dunia yang tampil mulus tanpa

pengorbanan dan ujian sebelumnya. Hal tersebut seperti peribahasa:

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepianBersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Artinya bersusah payah dahulu, kemudian baru bersenang-senang (Sarwono

Pusposaputro, 2003:285).

Page 119: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

106

Pengalaman atau peristiwa yang dialami tokoh Bima tersebut mengandung

pelajaran seperti halnya ungkapan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening

Pangastuti. Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti berasal dari “Serat

Witaradya” karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, dalam pupuh XXIX-Kinanthi,

pada (bait) 50, yang berbunyi

Jagra angawinangunSudira marjayeng westhiPuwara kasub kawasaWarsita jro Wedha muni:“Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening pangastuti”

yang artinya:

manungsa iku mungguh panjagane marang hawa napsu lan angkara murka, kudu kay dene wong gagah prakosa kang nedya mbengkas pakewuh kang tembene kasusra, kaya piwulang ing kitab wdha kang nyebutake: Watak angkara murka, kekendelan utawa kadigdayan, senajan kena ingaran linuwih ing jagad, adate kalah karo sipat utawa watak andhap asor, jujur, adil, sarta pangastuti marang Gusti Kang Maha Kuwasa(Moechtar dalam Panjebar Semangat no 36, 6 September 2008:7).

terjemahannya:

manusia itu dalam upaya melawan hawa nafsu dan angkara murka, harus seperti

halnya orang yang gagah perkasa yang bertekad membasmi halangan atau

rintangan yang merajalela. Seperti ajaran dalam Kitab Weda yang menyebutkan:

watak angkara murka, kehebatan atau kekuatan meskipun dapat dikatakan paling

hebat di dunia, biasanya kalah dengan sifat atau watak rendah hati, jujur, adil serta

berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keinginan dan harapan tokoh Bima untuk mendapatkan makna kehidupan

dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar, mempunyai kesamaan arti

dengan ungkapan:

Jer basuki mawa bea.

Page 120: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

107

Ungkapan tersebut berarti: setiap kesejahteraan yang diinginkan tentu harus

mengeluarkan biaya. Biaya yang dimaksud di sini dapat berupa uang, tenaga,

pengorbanan perasaan dan waktu. (Budiono Herusatoto, 2003:93).

Usaha tokoh Bima dalam hubungannya dengan usaha untuk mencari ilmu

dan melaksanakan proses mendapatkannya, seperti yang terkandung dalam

tembang Pocung, berasal dari Wedhatama karya Mangkunegara IV.

Pocung

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara.

Terjemahan :

Ilmu itu, terlaksananya dengan dijalankan, majunya dengan “kas”, arti “kas”

menguatkan, setia pada budi untuk memberantas hati jahat.

Ilmu itu tercapai karena ada usaha, artinya ilmu itu harus dikerjakan dan

diamalkan. Sesulit-sulitnya tindakan mencari, lebih sulit untuk mengamalkan.

Ilmu jika tidak diamalkan tidak ada gunanya, bahkan ilmu kadang-kadang bisa

menyusahkan.

Proses pengenalan diri, dalam upaya mengenal Tuhan, sebagaimana

makna kata mutiara “man arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yang artinya

barang siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.

Hal itu juga ditransformasikan dari ayat-ayat suci Al Quran. Dengan

demikian hipogram aktual dari Al Quran adalah sebagai berikut.

(i) Keutamaan zikir atau mengingat Allah swt.

Surat Al Baqarah ayat 152.

Page 121: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

108

Yang artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”.

Surat. Al Hasyr ayat 19.Yang artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Surat. Ar Ra’d ayat 28.Yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Surat Al Khafi ayat 24. Yang artinya: “kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

(ii) Menahan hawa nafsu (puasa)

Surat Al Ahzab ayat 35.Yang artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Surat Al Baqarah ayat 83. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

(iii) Menjaga kelestarian alam lingkungan

Surat Al A’raaf ayat 56. Yang artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Surat Al Qashash ayat 77. Yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang

Page 122: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

109

lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

(iv) Sabar (Perintah bersabar)

Surat Al Baqarah ayat 153. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Surat Ali ‘Imran ayat 120. Yang artinya: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”.

Hipogram aktual yang secara jelas dikandung dalam puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci adalah cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci

menjadi hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Karena adanya faktor keterbatasan yang terdapat dalam diri penulis, penulis

membatasi penelusuran hipogram puisi tersebut pada salah satu hipogram yaitu

cerita Dewaruci.

Secara historis Serat Bimasuci atau Dewaruci berkaitan dengan naskah

Nawaruci yang ditulis pada zaman Majapahit yang bercorak Hindu. Naskah ini

oleh Yasadipura digubah menjadi Serat Bimasuci yang sudah dipengaruhi unsur

Islam. Sesudah Yasadipura wafat, Serat Bimasuci terus disalin oleh beberapa

tangan, sehingga keberadaannya menjadi banyak variasi (Purwadi dan Rahmat

Fajri, 2005:31).

Para pujangga pun memberi apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan

cerita Bimasuci. Penyalinan Serat Bimasuci dilakukan secara berulang-ulang.

Tiap-tiap pujangga dan penyalin mempunyai selera yang berbeda dalam

menuangkan buah pikirannya. Dari hal itu, terdapat suatu kewajaran apabila

Page 123: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

110

terjadi penyimpangan, baik yang berupa penambahan dan pengurangan terhadap

naskah pertama Serat Bimasuci.

Perpustakaan yang memuat koleksi naskah Serat Bimasuci di antaranya

Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan

Nasional Jakarta, dan Perpustakaan Universitas Leiden. Variasi naskah yang

memuat cerita Dewaruci atau Bimasuci terdapat kurang lebih 29 naskah

(Poerbatajraka dalam Purwadi, 2002:15). Dari 29 naskah Serat Bimasuci itu, ada

19 naskah yang menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda

(Marsono dalam Purwadi, 2002:15).

Beberapa variasi naskah Serat Bimasuci sebagai berikut.

a. Dewaruci Tembang Gedhe

Cerita Dewaruci yang paling tua ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewaruci

itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita

Dewaruci yang tertua ini tidak begitu panjang. Cerita ini diawali dengan

kepergian Bima ke samudera kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir

cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa Ruci tentang usaha untuk

mencapai kesempurnaan hidup (Purwadi, 2002:15). Poerbatjaraka menyatakan

serat Dewaruci tembang gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum

diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang. Gaya

bahasanya masih menggunakan cara kuno, menggunakan sekar ageng tanpa

guru lagu (Purwadi, 2002:15).

b. Nawaruci

Kitab Nawaruci berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa yang timbul pada

zaman kejayan Majapahit. Kitab Nawaruci ditulis antara tahun 1500-1619 M

Page 124: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

111

oleh empu Siwamurti. Dengan demikian diperkirakan Nawaruci dibuat di

lingkungan luar keraton. Nama lain dari kitab Nawaruci adalah Sang Hyang

Tattwajnana yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup

(Woro Aryandini dalam Purwadi, 2002:16). Kitab Nawaruci ini merupakan

karya saatra religius yang terpengaruh mistik Hindu. Lahirnya kitab Nawaruci

bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di

kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat jawa

pada waktu itu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon

wayang.

Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk Disertasi oleh

Prijohoetomo pada tahun 1934. Dalam Disertasi tersebut dikemukakan

perbandingan antar kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Simpulannya,

bahwa kitab Nawaruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang

semakin populer dalam dunia pewayangan (Singgih Wibisono dalam Purwadi,

2002:18). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindu, sedangkan Serat

Dewaruci mulai ditambah dengan unsur Islam.

c. Dewaruci Jarwa

Pada abad ke-18, yaitu sekitar tahun 1796, pujangga Yasadipura I

menggubah teks Dewaruci tembang gedhe yang bercorak Hindu-Budha ke

dalam Serat Dewaruci macapat dengan berbahasa Jawa Baru dan mengandung

nafas Islam (Haqq dalam Purwadi, 2002:18). Teks Serat Dewaruci macapat

karya Yasadipura I tersebut diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramaprawira

dengan pencetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, 1880

dengan huruf Jawa (Marsono dalam Purwadi, 2002;18).

Page 125: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

112

Isi teks Dewaruci macapat dan Dewaruci tembang gedhe pada

dasarnya sama yaitu mengisahkan tekad perjalanan bima dalam mencari air

suci tirtapawitra yang diperintahkan gurunya, begawan Durna. Cerita ini

menggambarkan lika-liku perjalanan manusia dalam menuju kesempurnaan

hidup untuk menemukan identitas dirinya (Marsono dalam Purwadi, 2002:19).

Cabang Bagian Bahasa atau Urusan Adat-Istiadat dan Cerita Jawatan

Kebudayaan Departemen PP&K Yogyakarta pada tahun 1960 menerbitkan

kitab Dewaruci berbahasa Indonesia yang merupakan gubahan dari serat

Dewaruci jarwa sekar macapat Yasadipuran (Marsono dalam Purwadi,

2002:20). Adhikara pada tahun 1983 menerjemahkan cerita Dewaruci dengan

menggunakan bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit ITB tahun

1984. Adhikara menyatakan karya tersebut merupakan terjemahan tulisan

pujangga Yasadipura I pada tahun 1803, tetapi terjemahan ini tidak disertai

dengan suntingan teks, analisis, dan interpretasi (Purwadi, 2002:20).

Prawiradiwara di Yogyakarta pada tahun 1945 menyalin suluk

Dewaruci berwujud sekar macapat dengan tulisan tangan. Serat ini terdiri dari

lima pupuh. Pupuh I = 18 pada, pupuh II = 44 pada, pupuh III = 18 pada,

pupuh IV = 19 pada dan pupuh V = 39 pada. Serat karya Prawiradiwara ini

juga merupakan modifikasi serat Bimasuci karya Yasadipura I (Marsono

dalam Purwadi, 2002:20).

d. Serat Bimasuci Kidung Basa Mardawa

Balai Pustaka pernah menerbitkan Serat Bimasuci Kidung Basa

Mardawa pada tahun 1979. Induk serat Bimasuci ini berasal dari gubahan

Kyai Yasadipura I. penyalinannya disertai pengantar dengan tahun sengkalan:

Page 126: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

113

niring sikara wiku tunggal atau tahun 1720 pada masa pemerintahan Sunan

Paku Buwana IV. Penyalinan pertama kali dengan sengkalan: Muluking her

pangandikane sang aji atau tahun 1776, masih zaman sunan PB IV.

Penyalinan kedua kalinya dengan pengantar sengkalan: rasa pandhita sabda ji

atau tahun 1776 pada masa pemerintahan sunan PB VII (Purwadi, 2002:21).

Kedua serat Bimasuci itu masih ditulis dalam aksara Jawa. Tapi saat

ini, telah dialihaksarakan ke dalam huruf latin yang diteliti oleh Tanaya

dengan sengkalan: Kalepasaning buddhi nembus pangunggal atau tahun 1910.

Cerita Bimasuci berisi tentang ilmu kasampurnan, dapat dijumpai dalam serat

Purwawasana gubahan Kapujanggan Surakarta tahun Kawi Jumakir 1826

dengan sengkalan: raksa mulat esthine maring pribadi. Cerita Bima muksa

pada zaman Karimataya dan Bima berwenang membuka alam gaib juga

dibicarakan dalam serat Purwawasana (Purwadi, 2002:21).

Lakon Bimasuci di pedalangan ringgit purwa terbitan Surakarta

diciptakan pada awal abad ke-20. Lakon Bimasuci yang ditambahi tokoh

burung gemak, perkutut dan pelatuk dapat dijumpai dalam serat suluk

Bimasuci, Dewaruci gubahan tahun Alif 1827 dan Dewaruci tahun Be 1872

(Purwadi, 2002:22).

Ki Manteb Soedarsono menciptakan pakem pedalangan lengkap

dengan judul lampahan Dewaruci dan lampahan Bimasuci. Untuk pakem

pedalangan sejenis, Soekatno juga membuat lampahan Bimasuci yang

diterbitkan oleh Cendrawasih Surakarta. Penerbit ini juga menghimpun

wejangan, wewarah, bantah, cangkriman, piwulang kaprajan (Marwanto

dalam Purwadi, 2002:22).

Page 127: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

114

Hal yang perlu diperhatikan dari versi Dewaruci dan Nawaruci adalah

“Dilihat dari lakon wayang komposisi Serat Dewaruci lebih baik karena ada

klimaks. Sebelum Werkudara mendapat pelajaran dari Dewa Ruci dan masuk ke

dalam tubuhnya, ia harus mengalami dua kali percobaan ialah berperang melawan

raksasa dan kemudian berperang melawan naga di tengah samodra”

(Poerbatjaraka dalam Sudewa, 1991).

Sudewa menerangkan “…bahwa Serat Dewaruci disusun pada zaman

pemerintahan Paku Buwana IV ketika Yasadipura mempunyai kedudukan sebagai

pujangga terkemuka” (1991:345). Pada abad ke-18, yaitu sekitar tahun 1796,

Yasadipura I menggubah teks Dewaruci tembang gedhe ke dalam serat Dewaruci

macapat” (Hagg dalam Purwadi, 2007:13). Oleh karena itu, penulis memilih

cerita Dewaruci karya Yasadipura I sebagai hipogram dari puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Hubungan intertekstual atau hipogramatik seringkali bukan merupakan

sebuah proses kesadaran atau kesengajaan dari seorang penyair. Lintasan-lintasan

peristiwa, pengalaman, dan perenungan, merupakan potongan-potongan kejadian

yang kabur hubungannya antara satu dan yang lain, dan sebuah judul yang tiba-

tiba terlintas dalam pikiran penyair untuk dijadikan sebagai judul sajak bisa saja

merupakan potongan sebuah teks karya orang lain.

Untuk memberi makna sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas perlu

diterapkan, yaitu dengan membandingkan antara suatu karya sastra dan

hipogramnya. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan

ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan

menyejajarkan sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks

tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya

Page 128: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

115

(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55).

Penulis mengawali penelusuran hubungan intertektual atau hipogramatik

dengan menyertakan ikhtisar Bima dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia

yang ditulis oleh Tim Penulis Sena Wangi, kemudian dilanjutkan dengan tahap

penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci. Untuk mempermudah

proses penelusuran dengan cerita Dewaruci, penulis menggunakan cerita

Dewaruci karangan (gubahan) Yasadipura I dalam buku Kitab Dewaruci, yang

disadur dan di-Indonesiakan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Yogjakarta.

Cerita tentang tokoh Bima ini terdapat dalam buku Ensiklopedi Wayang

Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis Sena Wangi tahun 1999 halaman 294.

Kebulatan hati dan sifatnya yang pantang menyerah dibuktikan Bima waktu Pandita Drona menyuruhnya mencari Tirta Pawitrasari.Selain selalu menjunjung tinggi perintah gurunya, Bima sendiri memang bertekad tidak akan berhenti berusaha sebelum apa yang dicarinya diperoleh. Dalam pengembaraan mencari air suci Pawitrasari itu Bima harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Semuanya dihadapi dan ditanggulanginya. Di antaranya, di Gunung Candramuka ia harus melawan dua raksasa sakti bernama Rukmuka dan Rukmakala.

Setelah kedua penghalang itu dikalahkan, mereka berubah ujud menjadi Batara Endra dan Batara Bayu. Sewaktu harus pergi ke Teleng Samudra, (Telengsamudra artinya Pusat Samudra atau Inti Samudra), ia dicegat seekor ular naga bernama Nawawata atau Nemburnawa. Dengan kuku Pancanaka naga itu dibunuhnya. Akhirnya Bima berjumpa dengan Dewaruci, seorang dewa kerdil yang amat mirip dengan dirinya. Dewa Bajang itu menyuruh Bima masuk ke dalam telinganya. Walaupun perintah itu tidak masuk akal, karena Bima percaya, ia menurutinya. Di dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil itu, Bima justru dapat menyaksikan alam semesta yang maha luas. Dewa Ruci memberinya berbagai wejangan berharga yang bermanfaat untuk mengenali diri pribadinya, dan mengerti akan makna hidupnya.

Page 129: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

116

Bima mempunyai banyak nama, dan tiap nama-nama tersebut mempunyai makna.

Makna Bima mengacu pada salah satu tokoh Pandawa, yaitu Bima. Tokoh Bima

dalam pewayangan mempunyai banyak nama antara lain:

i Bima, maknanya sangat setia pada budi satu yang luhur. kalau sudah

menjadi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhinya, bahkan untuk

mencapai cita-citanya itu, meskipun sampai mati akan ditempuh juga.

Orang Jawa mengibaratkan Bima kalau sedang kaku bisa untuk teken atau

tongkat, kalau sedang kendur bisa untuk dhadhung atau tali.

ii Raden Arya Sena, maknanya ketika lahirnya masih berwujud bungkus,

dan dipecahkan oleh Gajah Sena di hutan Minangsraya.

iii Bratasena, maknanya pamungkas laku. Dia sering membereskan berbagai

masalah, rawe-rawe rantas malang-malang putung, dengan tetap

berlandaskan kebenaran dan keadilan.

iv Bimasena, maknanya panglima yang memimpin perang, jenderal atau

senapati yang menjadi handalan Pandawa ketika sedang bertemu dengan

musuh-musuhnya.

v Jodipati, maknanya raja prajurit yang bisa dihandalkan karena

kesaktiannya dalam menguasai ilmu perang. Bima tidak mau menaklukan

musuh dengan tipu muslihat.

vi Jayalaga, maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah

berperang dia malu dikalahkan, hanya saja kemenangannya tidak semata-

mata untuk kenikmatan sendiri.

Page 130: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

117

vii Kusumayuda, maknanya menjadi bunga, bintang, pemenang dalam setiap

peperangan. Bima berperang dengan segenap kelincahan dan

keanggunannya.

viii Kusumadilaga, maknanya dia selalu menjadi bintang dan kembang dalam

gelanggang apa saja, termasuk pertempuran dan persidangan. Pendapat-

pendapat yang dikemukakan Bima selalu mendasar dan argumentatif.

ix Wayuninda, maknanya suka angin. Bila sedang mengeluarkan tenaga

selalu disertai angin topan yang hebat. Angin topan merupakan salah satu

senjata bawaan Bima.

x Bayuputra, karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara

Bayu. Saudara seperguruan lain yang juga terkenal adalah Anoman yang

menjadi panglima perang Prabu Rama.

xi Gandawastratmaja, karena dia pernah diangkat menjadi putra Prabu

Gandawastra yang paling terkasih.

xii Pandhusiwi, karena putra Pandhu Dewanata raja di Astina.

xiii Kunthisunu, karena putra Dewi Kunthi Talibrata, seorang Ibu yang

berhasil mendidik anak-anaknya, tanpa pilih kasih antara anak kandung

dengan anak tiri. (Sumasaputra dalam Purwadi, 2007:98—100).

Cerita Dewaruci terdapat beberapa macam redaksinya. Untuk

memudahkan proses penelusuran, penulis memilih salah satu cerita Dewaruci

yang dikarang (digubah) oleh Yasadipura I dalam yaitu Kitab Dewaruci, yang

disadur dan di-Indonesiakan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Yogjakarta. Alasan

penulis mengambil cerita Dewa Ruci tersebut yaitu sebagaimana keterangan yang

Page 131: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

118

terdapat dalam bagian Pendahuluan buku itu, “Karena mengenai tjeritera

Dewarutji Tembang Matjapat itu ada beberapa macam redaksinja, maka kami

mengambil jang kami pandang terbaik, jaitu jang dikarangkan oleh almarhum

Kjai Ngabehi Jasadipura I dari Surakarta” (Prawiraatmadja, 1954:4).

Dalam analisis penulis menyertakan biodata ringkas para penyair. Hal ini

untuk membuktikan anggapan penulis bahwa penyair-penyair tersebut merupakan

penyair yang mempunyai nama besar di dunia perpuisian Indonesia modern.

1. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik Puisi Bima, Saudara Kembar,

Telinga dan Dewa Ruci dengan Cerita Dewaruci

a. Puisi Bima

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

Page 132: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

119

Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari

1924, meninggal di Jakarta 18 Juli 1995. berpendidikan HIS (di Bandung dan

Jakarta), HBS, SMP, SMA (di Yogyakarta), Fakultas Sastra UGM (tamat 1958),

dan meraih M.A. dari Departement of Comparative Literature, Universitas Yale,

AS (1963). Pernah menjadi Ketua Jurursan Bahasa Indonesia Kursus B-1 di

Yogyakarta (1954-1958), kemudian mengajar di Fakultas Sastra UGM (1958-

1961), SESKOAD Bandung (1966-1971), Salisbury Teachers College, Australia

Selatan (1971-1974) dan Universitas Flinders, Australia Selatan (1974-1981). Di

samping pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), SS

adalah anggota kelompok kerja sosial budaya Lemhanas dan Direktur Muda

Penerbitan PN Balai Pustaka (1981-1994).

Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing”, mendapat Hadiah Pertama majalah

Kisah tahun 1995; sajaknya, “Dan Kematian Makin Akrab”, meraih hadiah

majalah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat di majalah itu tahun 1966/1967;

dan kumpulan eseinya, Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), memperoleh

Hadiah Sastra DKJ 1983. Karyanya yang lain: Simphoni (ks, 1957), Kejantanan di

Sumbing (kc, 1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (ke, 1972), Keroncong

Motinggo (ks, 1975), Buku Harian (ks, 1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (s,

1980), Hari dan Hara (ks, 1982), Pengarang Modern sebagai Manusia

Perbatasan (ke, 1989), Sekilas Soal Sastra dan Budaya (ke, 1992), Dan Kematian

Makin Akrab (ks, 1995).

Studi mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo: Tim Peneliti Fakultas

Sastra UGM, Memahami sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo (1978) dan Wahyu

Wibowo, Menyingkap Dunia Subagio Sastrowardoyo. Tahun 1970 ia menerima

Page 133: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

120

Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya, Daerah Perbatasan

(1970). Tahun 1991 menerima Hadiah Sastra ASEAN. Subagio Sastrowardoyo

meninggal dunia pada 18 Juli 1995 (Pamusuk Eneste, 2001: 225).

Subagio melalui puisi Bima menggambarkan perjalanan hidup tokoh Bima

dalam menjalani kehidupan, menyelami dan memaknainya. Tokoh Bima dalam

mengembara atau berkelana bertujuan untuk mencari ilmu yang dapat membawa

ke arah kemampuan yang melebihi kebanyakan orang. Rangkaian perjalanan

hidup Bima tersebut terjadi semenjak Bima muda hingga dewasa.

Baris pertama puisi tersebut “Di dalam pengelanaannya” mempunyai

kaitan dengan cerita Dewa Ruci. Bima berguru kepada salah satu guru, yaitu guru

Durna. Dalam masa tersebut Bima diberitahu oleh gurunya, Durna, untuk mencari

air kehidupan yang dapat membuat Bima menjadi sempurna hidupnya. Hal itu

seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 1

paragraf 1 dan 11.

Sjahdan tatkala Bima, ksatria Pandawa jang kedua, mendjadi siswa Resi Druna, ia disuruh olehnja mencari Tirtaprawira, air sutji jang dapat menjutjikan hidupnja.

“Wahai anakku”, demikianlah Druna, “Hendaklah kamu pergi mencari air sutji Tirtaprawira, jang akan menyucikan hidupmu. Apabila terdapat, kamu akan mendjadi bersih, tak bertjatjat dan akan menguasai hidup. Dengan itu kamu mempunjai wasiat sempurna. Di seluruh dunia tidak ada makhluk jang sepadan dengan kamu. Kamu dapat melindungi serta memberi kebahagiaan kepada orang tuamu, kebahagiaan jang terbesar dalam tribuana (ketiga dunia) dan kekal adanja”.

Bima dengan keteguhan dan ketetapan hati memutuskan untuk mencari air

kehidupan. Bima meninggalkan keluarga dana negaranya untuk mencari air

kehidupan tersebut.

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapur

Page 134: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

121

Ketetapan hati Bima tidak dapat diubah lagi. Bima tetap ingin mencari air

kehidupan tersebut. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya

Yasadipura I pada bagian 5 paragraf 1 , 11 dan 16.

Dalam pada itu di negeri Ngamarta suasana duka cita sedang meliputi istana. Raja Judistira dan saudara Pandawa lain-lainnja sangat bersedih, karena ditingggalkan Bima. Mereka mengerti, bahwa Ngastina ingin memusnahkan dia, bahkan seluruh Pandawa. Tetapi Bima tidak menghiraukan segala petundjuk baik. Ia masih djuga meneruskan kemauannja, berguru kepada pendeta Druna jang memihak Ngastina.

Wrekodara menjahut: “Tidak usah diadakan pesta. Saja tidak dapat menunggu lama. Segera saja akan berangkat lagi. Saja hanja akan datang untuk memberitahukan tentang kepergianku selandjutnja.

…….. Wrekodara tak dapat ditahan. Semua jang memegangnja dilemparkannja. Bima keluar dari istana, terus berangkat menudju ke samudera.

Bima pergi menuju ke samudera, terjun ke dalam samudera dan akhirnya bertemu

dengan seekor naga. Bima pun berkelahi dengan naga tersebut. seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 6 paragraf 1,

dan bagian 7 paragraf 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10, dan 11.

Bima telah meninggalkan ibu kota Ngamarta dan melandjutkan perdjalanannja melalui dusun-dusun. Penduduk jang didjumpainja takut serta heran melihat Wrekodara berdjalan tjepat serupa naga murka. Karena pesat dijalanja seakan-akan Bima tak menapak tanah dan dalam beberapa saat sadja ia telah djauh perdjalanannja.

……….Tibalah Bima dipantai. Melihat kedahsjatan samudera, sekedjap

mata timbullah rasa ragu-ragu. Teringatlah ia akan peringatan saudara-saudaranja. Segala perkataan Pendeta Druna adalah tipu muslihat belaka, jang mengandung maksud untuk memusnahkan Bima dan selandjutnja seluruh Pandawa.

Tetapi Bima adalah seorang ksatria. Ia telah melahirkan kesanggupannja untuk menganut petundjuk gurunja. Bagi seorang ksatria berat sekali untuk mengingkari djandji. Itulah sebabnja, maka segera timbullah keputusannja jang tegas. Lebih baik hantjur lebur disamudera dari pada mundur, kembali ke negeri Ngamarta.

Page 135: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

122

Wrekodara menjingsingkan kain serta tjelananja dan terdjun ke air. Ombak samudera mengempas-empas dipahanja, gelombang mentjampak dimukanja

Tetapi pertjobaan Sang Dewata terhadap kesetiaan Bima belum habis djuga. Wrekodara baru sadja melandjutkan beberapa langkah, timbullah kesukaran baru.

Dari djauh terdengar suara mendesis-desis serta mengikik-kikik. Wrekodara melihat sesuatu benda hitam jang terapung-apung di air, jang makin dekat makin besar bentuknja. Sebuah pulaukah itu, atau sebuah perahu jang tergulingkah? Tetapi suara jang terdengar semakin gemuruh dashjat.

Setelah dekat sekali ternjatalah bahwa jang dilihat Bima itu adalah seekor ular raksasa, jang menjembur-njemburkan bisa. Kedua belah matanja membelalak merah, mengkilat menjala-jala seolah-olah kan membasmi Bima. Gigi taring terlihat berkilau-kilau sebagai pisau, menggerut-gerut.

Wrekodara tak dapat mentjamkannja lama, karena naga raksasa itu setjepat kilat menggulat dan membelit bulat tubuhnja, sambil menghambur-semburkan bisa ke mukanja.

Wrekodara merasa akan menemui adjalnja, bingung mentjari akan untuk meloloskan diri. Makin keras kemauannja untuk melepaskan diri, makin kuat pula naga raksasa membelit tubuhnja. Bima hampir tak dapat bernafas lagi.

Bima dengan seluruh kekuatan dan kesaktiannya melawan naga tersebut. Dalam

puisi Bima terdapat larik yang menyatakan bahwa Bima tidak jadi membunuh

naga yang ditemuinya.

(yang tak jadi dibunuhnya) di samudera angan-angan

Hal tersebut berbeda dengan cerita Dewaruci, yang mana Bima pada akhirnya

berhasil membunuh naga yang hampir membunuhnya. Seperti yang dikisahkan

dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 7 paragraf 14.

Tetapi………..pada saat Bima tidak mempunjai harapan untuk hidup itu, datanglah pertolongan dari Atas. Sekonjong-konjong ia teringat akan kuku wasiatnja Pantjanaka. Seketika itu djuga Bima mengumpulkan segala kekuatan jang masih ada padanja. Segera ditusuknjalah naga raksasa dengan Pantjanakanja dan dirobek-robeknja. Darah berhambur-hamburan ke mana-mana, bagaikan hudjan. Sedjauh penglihatan mata laut tampak merah. Naga raksasa telah mati. Samudera mendjadi terang.

Page 136: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

123

Bima telah berhasil mengalahkan sang naga. Bima melanjutkan perjalanan dan

akhirnya sampai pada alam yang sunyi di mana di situ terdapat makhluk kecil.

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9

paragraf 1 dan 2.

Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Suasana pada waktu itu tenang. Udara djernih. Angin sepoi-sepoi menghembus silir-semilir. Wrekodara mengisap udara segar. Kebingungannja semakin reda. Achirnja lenjap sama-sekali. Tenang keadaan alam, tenang kalbu Bima. segala sesuatu menundjukkan akan datangnja saat jang membawa kebahagiaan bagi Wrekodara.

Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. Tampaknja hanja sebagai anak berdjalan-djalan bermain-main.

Dengan adanya penelusuran puisi dengan cerita Dewaruci di atas semakin

jelaslah gambaran keteguhan dan ketetapan hati Bima untuk mencari air

kehidupan sebagaimana yang diperintahkan oleh gurunya, yaitu Durna. Bima

meninggalkan keluarga dan negaranya. Dalam perjalanan berikutnya Bima

menuju samudera dan masuk ke dalam samudera, hingga bertemu dengan seekor

naga. Penyair puisi, Subagio, menggambarkan kehadiran tokoh Bima dalam

puisi tersebut sebagai tokoh manusia yang penuh keteguhan dan keyakinan dalam

menjalani dan memahami kehidupan.

Terdapat perbedaan antara puisi dengan cerita Dewaruci , yaitu pada larik

puisi tidak mengalahkan atau membunuh naga tersebut, hal itu berbeda dengan

yang ada dalam cerita Dewaruci. Dalam cerita Dewaruci, dengan keberanian dan

ketangguhan, Bima berhasil membunuh naga yang melawannya. Pada akhirnya,

Page 137: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

124

Bima berhasil membunuh naga tersebut. Kisah selanjutnya kembali terdapat

persamaan antara kisah yang dikandung puisi dengan cerita Dewaruci.

Bima dalam puisi ini adalah suatu bentuk yang mengikuti dan menentang

konvensi dari hipogramnya yaitu cerita Dewaruci.

b. Puisi Saudara Kembar

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

rindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

Puisi Saudara Kembar menggambarkan keadaan tokoh Bima untuk

mengingatkan kembali kejadian yang dialaminya. Kejadian yang mengingatkan

tokoh Bima untuk selalu berinterospeksi diri terhadap perbuatan yang telah

dilakukan dalam kehidupannya.

Bima teringat akan peristiwa atau kejadian yang menimpanya, ketika

tokoh Bima berada di dasar samudera.

mengingatkan dia

Page 138: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

125

kepada lubuk laut lain

Kandungan larik puisi tersebut seperti yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti

yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9

paragraf 1.

Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera.

Di tempat tersebut Bima bertemu dengan sesosok makhluk yang mempunyai

bentuk dan rupa yang sama dengan Bima. Bima bertemu dengan Dewa Ruci

di mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

Bima bertemu dengan sosok yang mempunyai bentuk sama dengan dirinya tetapai

dalam ukuran yang kecil. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya

Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 2 dan 5.

Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. “Orang apakah ini”, fikir Wrekodara, “besarnja hanja sekelingkingku. Sikapnja sangat sombong. Ia sudah tahu namaku”. Dewarutji meneruskan katanja:

Di dalam kandungan puisi, setelah bertemu dengan Dewa Ruci, Bima hanya diam

saja tidak mengerti artinya.

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

Bima tidak tahu kejadian yang tiba-tiba dialaminya. Kedatangan Bima di dasar

samudera telah ditunggu oleh Dewa Ruci. Dewa Ruci pun tahu siapa sebenarnya

Bima. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada

bagian 9 paragraf 3—9.

Page 139: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

126

“Hai, Wrekodara”, tegurnja, “untuk apa kamu datang kemari? Apakah maksudmu? Tempat ini adalah sunji senjap, tak berisi apapun djuga. Makanan tak ada, pakaian tak ada. Saja hanja makan, apabila ada daun melajang djatuh di mukaku”.

Mendengar teguran itu sesaat Bima tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ia keheran-heranan, bahwa di tempat sesunji itu ada seorang katik tak berkawan sama sekali.

“Orang apakah ini”, fikir Wrekodara, “besarnja hanja sekelingkingku. Sikapnja sangat sombong. Ia sudah tahu namaku”. Dewarutji meneruskan katanja:

“Ketahuilah bahwa tempat ini adalah penuh mara bahaja. Kenjataan disini djauh berlainan dengan angan-anganmu. Kamu hanja bertemu dengan kesunjian sadja, lain tak ada. Kamu tidak sajang kepada djiwamu, Bima”.

Wrekodara semakin mengerti, bahwa ia berhadapan dengan seorang dewa. Sikapnja diperbaiki dan dengan sangat sopan ia bersembah:

“Ja tuan, hamba jakin bahwa tuan tak chilaf akan maksud kedatangan hamba disini”.

“Hai Bima”, sahut Sang Resi, “aku tidak heran melihat keberanian serta ketabahan hatimu, karena aku tahu silsilahmu. Kamu adalah keturunan Sang Dewataradja. Sang Jang Guru berputera Sang Jang Brama, jang menurunkan segala radja, djuga ajahmu Radja Pandu adalah keturunannja. Adapun ibumu adalah keturunan Sang Jang Wisnu. Ibumu Kunti dengan ajahmu berputera tiga orang. Kakakmu Radja Judistira putera jang sulung, kamu jang kedua, Ardjuna adalah jang ketiga. Nakula dan Sadewa adalah putera Madrim, ibumu kedua. Lengkap lima orang djumlahnja, kamu semua adalah Pandawa, karena keturunan Pandu”.

Pertemuan dengan Dewa Ruci adalah hal yang sangat diinginkan oleh

Bima, dan Dewa Ruci pun juga suka atau senang kepada Bima. Hak itu dalam

puisi diyatakan sebagai “rindu yang dahsyat”. Dengan kerinduan yang terjadi pada

diri keduanya, Dewa Ruci memberikan petuah dan sesuatu yang diinginkan oleh

Bima. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada

bagian 9 paragraf 10—17.

Wrekodara semakin besar pengharapannja akan mendapatkan apa jang ditjarinja.

“Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja.

Sungguh sukar hidup di dunia. Anakku, djanganlah kamu pergi, apa bila belum mengetahui tempat tudjuanmu. Djanganlah makan

Page 140: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

127

makanan, jang belum pernah kamu makan. Djanganlah mengenakan pakaian, djika kamu belum tahu namanja. Kamu dapat mengetahui barang sesuatu dengan djalan bertanja. Orang dapat mendjalankan barang sesuatu dengan djalan meniru lebih dulu, achirnja bertindak sendiri. Djanganlah bersikap sebagai si bodoh jang datang dari gunung ingin membeli emas kepada seorang pandai emas, diberi kertas kuning disangkanja emas indah.

Demikian pula orang berbakti. Apabila belum mengetahui tempat jang diberi bakti, pasti mudah saat djalannja, mudah ditipu”.

Wrekodara menerima petuah-petuah itu semua dengan senang hati, tetapi disamping ini merasa djuga akan kekeliruannja, melakukan perintah dengan tidak mengerti tempat tudjuannja.

“Tuan”, sembahnja “sudi apalah kiranja tuan mengatakan kepada hamba, siapakah tuan ini dan mengapa tuan hanja seorang diri sadja”.

“Nama saja Dewarutji”, djawab Sang Batara.“Ja, tuan”, sembah Bima selandjutnja, “djika demikian hamba

mohon, sudi apalah kiranja tuan memberikan kepada hamba segala sesuatu jang hamba perlukan. Hamba masih seperti binatang liar, tidak mempunjai pengetahuan sama sekali, lebih-lebih tenang berbakti. Hamba belum mengerti pula, apakah badan sutji itu sesungguhnja. Hamba merasa masih muda bodoh bebal, mendjadi tjelaan dunia. Seperti keris jang tidak bersarung. Apabila bertjakap-tjakap tidak mengingat tempat dan suasana”.

Kemudian Bima disuruh untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Dewa

Ruci memberikan wejangan dan keterangan dari apa yang dilihat oleh Bima.

Dengan bentuk kerinduan Bima terhadap apa yang diinginkannya, Bima

mendengarkan apa yang Dewa Ruci katakan. Bima pun mendapatkan kenikmatan

dan kebahagian atas itu semua. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci

karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 18—49.

Dengan ramah-tamah, penuh rasa kasih mesra Dewarutji mendjawab :

“Anakku Bima, lekaslah kamu masuk kedalam tubuhku!” Wrekodara mendengar sabda Sang Dewarutji amat terkedjut. Sambil tertawa ia bersembah : “Maaflah, tuan bagaimanakah perintah tuan ini dapat hamba djalankan. Tuan bersifat kerdil, sedang hamba besar seperti gunung. Bagaimanakah hamba dapat masuk kedalam tubuh tuan, kelingking hamba sadja tak akan dapat masuk”.

“Bima”, sahut Sang Dewa Katik, “manakah lebih besar, kamu atau dunia ini. Sedangkan dunia ini dengan segala isinja, dengan gunung-gunungnja, dengan seluruh samuderanja, dengan rimba hutannja, semua dapat masuk dan tak akan sesak”.

Page 141: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

128

Mendengar keterangan demikian ini Bima merasa heran tetapi takut lalu bersembah : “Baiklah tuan hamba akan masuk kedalam tubuh tuan”.

Dewarutji memiringkan kepala sambil bersabda : “Di sanalah djalannja. Masuklah melalui telinga kiri !”

Wrekodara mendekati telinga kiri Sang Batara. Sekonjong-konjong lubang telinga tampak sebagai pintu gerbang terbuka lebar. Dengan tidak ragu-ragu lagi Bima masuk ke dalam tubuh Sang Dewarutji.

Tampaklah di hadapan Bima samudera jang luas sekali, hingga seakan-akan tak bertepi sama sekali. Hanja tjakrawalalah jang merupakan batas kelilingnja, kelihatan djauh sajup-sajup dimata.

Sang Dewarutji berkata : “Wrekodara, apakah jang kamu lihat sekarang?” Bima bersembah : hamba tak melihat apapun djuga, ketjuali pandangan jang sangat djauh tak terbatas. Hamba merasa berdjalan di angkasa, jang luas bukan buatan. Hamba sangat bingung tidak mengetahui utara, selatan, timur dan barat. Demikian pula kiri kanan, di muka, di belakang, di atas dan di bawah. Bagi hamba segala-galanja sama, tak ada perbedaannja sama sekali”.

“Anakku Bima”, demikian Sang Dewarutji, “djanganlah kamu takut”.

Dengan utjapan ini Sang Batara sekonjong-konjong menampakan diri di muka Wrekodara. Sang Dewarutji kelihatan bersinar berkilau-kilau. Pada saat itu djuga Bima tidak bingung lagi, telah dapat mengenal segala djurusan. Ia melihat Sang Surja lagi diangkasa. Hati Wrekodara mendjadi tenang kembali, sekalipun ia merasa berada di dunia terbalik. Dewarutji bersabda lagi : “Bima, silakan kamu melihat-lihat. Apakah jang sekarang tampak di mukamu” ?

“Ja, tuan”, sembah Bima, “pada saat ini hamba melihat pemandangan tjatur warna : hitam, merah, kuning dan putih. Adapun jang tadi tampak, sudah tidak kelihatan lagi dan hamba tidak tahu namanja”.

“Ketahuilah, Bima”, djawab Sang Batara, “jang kamu lihat pertama kali adalah tjahaja mengkilat, pantjamaja namanja. Pantjamaja itu adalah hati, jang mendjadi pemuka badan dan disebut mukasifat artinja hati jang membawa kepada sifat jang luhur, sifat jang sedjati. Hati ini selalu mendjadi petundjuk djalan. Dari sebab itu ikutilah pantjamaja itu. Tunduklah kepada larangannja. Djanganlah ragu-ragu akan pimpinannja. Tjamkanlah sifat-sifatnja, kekuasaannja serta chasiatnja. Petundjuk pantjamaja itu selalu menudju ke arah jang sedjati”.

Wrekodara senang sekali mendengarkan wedjangan Sang Batara, karena sangat haus kalbunja akan air sutji itu, bagaikan kuntum bunga jang kena sinar matahari mulai kembang.

Dewarutji melandjutkan sabdanja : “Adapun tjatur warna jang kamu lihat, merah, hitam, kuning dan putih itu adalah bahaja-bahaja jang terdapat dalam kalbu manusia dan jang menudju kedunia dengan segala isinja.

Warna merah, hitam dan kuning itu merupakan penghalang bagi manusia dalam mendjalankan perbuatan baik. Barang siapa dapat melepaskan diri dari pada ketiga bahaja itu akan bersatu padu dengan

Page 142: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

129

Sang Gaib, ketiga-tiganja itu adalah musuh para pertapa serta mendjadi perintang tjipta karsa jang luhur, jaitu untuk memperoleh perpaduan tersebut dengan Sang Sukma Mulia. Dari sebab itu hendaklah kamu awas dan waspada akan bahaja-bahaja itu. Ketahuilah kekuasaannja masing-masing.

Warna jang hitam itu mempunjai kekuatan besar sekali. Sifatnja mudah marah. Segala sesuatu digusari. Tjaranja marah luar biasa. Warna hitam adalah hati jang selalu menghalang-halangi maksud jang baik.

Adapun jang berwarna merah itu pekerdjaannja menutup hati jang awas dan waspada. Segala keinginan jang tidak baik timbul dari padanja. Sifatnja senang marah djuga serta tjemburu.

Warna jang kuning selalu merintangi angan-angan dan tindakan jang menudju ke arah keselamatan, sebaliknja setudju dengan perbuatan-perbuatan jang merusak dan membawa kedjurusan kesengsaraan.

Hanja warna jang putihlah jang terbaik serta mempunjai sifat-sifat jang luhur : tenang, sutji, tidak banjak bitjara, tetapi banjak kerdja. Berani mendjalankan tindakan utama, tetapi melakukan perbuatan djahat. Warna putih itu adalah hati jang dapat menerima ilham tentang rupa sedjati, memperoleh anugerah luhur dapat bersatu padu kekal dengan Sang Gaib.

Tetapi hati putih ini berhadapan dengan musuh jang kuat-kuat jakni hati merah, hitam dan kuning, sedang sihati putih hanja seorang diri sadja. Dari sebab itu perangnja selalu kalah. Tetapi apabila dapat memperoleh kemenangan dan dapat menghantjurkan musuh ketiga-tiganja, akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan ke arah persatuan manusia dan Sang Suksma Kawekas”.

Wrekodara semakin sungguh-sungguh tjaranja mendengarkan serta semakin besar hasratnja untuk mengetahui kesudahan hidup dan kesempurnaan perpaduan.

Setelah pemandangan empat matjam hilang, tampaklah di muka Bima sebuah njala berwarna delapan. Segera hal ini dimohonkan keterangan kepada Sang Dewarutji.

“Ja, tuan”, sembah Bima, “sudi apalah kiranja Sang Dewa memberikan makna tentang pemandangan ini. Diantara delapan warna itu manakah jang sedjati. Ada jang gemerlapan seperti ratna, ada pula jang kelihatan terang samar-samar dan ada djuga jang serupa sinar djamrud”.

“Ketahuilah, Bima”, sabda Sang Batara “jang kamu lihat itu adalah persatuan jang sedjati. Segala warna itu sudah ada padamu. Segala warna itu artinja isi alam semesta ini tergambar oleh seluruh tubuhmu, hingga tak ada perbedaan antara manusia sebagai dunia ketjil dengan dunia besar ini. Timur dan barat, utara dan selatan, atas dan bawah, semua mata angin ini terdapat tidak hanja di dunia besar sadja, melainkan djuga di dunia ketjil.

Warna merah, hitam dan kuning serta warna putih jang mendjadi hidupnja dunia itupun terdapat dalam kedua-duanja. Apabila sifat-sifat dunia tersebut hilang, akan tak adalah segala jang ada. Sesungguhnja segala sesautu itu terkumpul berupa satu, bukan wanita bukan lelaki,

Page 143: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

130

seperti anak lebah, jang tampak bagaikan boneka gading. Lihatlah, Wrekodara, apakah jang tampak di mukamu !”

Bima melihat boneka gading, mengkilat gemerlapan. “Ja, tuan”, sembah Bima, “hamba melihat sebuah boneka gading, jang elok gemerlapan : Apakah ini udjud Tirtapawitra, jang hamba tjari ?”

“Anakku Bima”, sahut Dewarutji lemah lembut, “boneka itu bukan jang kamu tjari. Adapun jang kamu maksudkan itu adalah sesuatu, jang menguasai segela hidup. Itu tidak dapat kamu lihat, karena tak berudjud dan tak berwarna serta tak bertempat kedudukan. Hanja orang jang waspada dapat mengerti di mana tempatnja, karena hanja menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, jang tak dapat diraba.

Adapun boneka gading jang berkilat-kilat bagaikan mutiara itu bernama Sang Pramana, jang mendjadi hidupnja badan, djadi bersatu dengan badan. Tetapi Sang Pramana itu tidak ikut bersusah, apabila manusia bersedih hati, tidak ikut menderita. Tidak ikut makan serta tidur. Kalau Sang Pramana ini terpisah dari manusia, maka tubuh akan tak berdaja lagi, lemah lesu tak berkekuatan sama sekali. Djadi teranglah, bahwa Sang Pramana itu adalah jang berkuasa dalam kehidupan manusia, karena jang membawa hidup manusia.

Tetapi, Bima, Sang Pramana itu djuga tidak dapat hidup sendiri, melainkan menerimanja dari Sang Sukma, jang memegang hidup, jang mendjadi inti dari pada dhat (zat). Sang Sukma ini ada padamu,sebagai simbar jang tumbuh dipohon-pohonan. Apabila manusia meninggal dunia, maka Sang Pramana ikut hilang djuga, tetapi Sang Sukma tetap ada. Memang Sang Sukma inilah jang bersifat njata”.

“Ja, tuan”, sembah Wrekodara seterusnja, “sudi apalah kiranja tuan hamba memberikan keterangan, manakah udjud Sang Sukma, jang njata itu ?”.

“Anakku, Bima”, sahut Sang Dewarutji, “itu tidak dapat kamu peroleh dengan kedjasmanianmu. Tjara untuk memperolehnja kadang-kadang mudah, tetapi ada kalanja sukar diduga”.

Wrekodara bersembah, “Ja, tuan, hamba mohon, hendaklah tuan memberi wedjangan lebih landjut. Hamba ingin sekali mengetahui hal ini sesempurna-sempurnanja. Hamba ingin sekali memperoleh pakaian rohani jang njata ini. Berikanlah itu kepada hamba, ja tuan. Djanganlah sampai sia-sia kesusah-pajahan hamba. Hamba mempersembahkan hidup mati hamba kehadapan tuan. Apabila tuan hamba tidak melandjutkan wedjangan tuan, hamba tidak akan meninggalkan tempat ini. Hamba telah merasa enak disini. Di sini tidak ada kesusahan dan penderitaan, tidak ada kesukaran dan tidak ada kesakitan, tidak merasa lapar dan tidak memerlukan tidur. Jang ada hanjalah kenikmatan dan kesedjahteraan”.

Bima harus meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke tempat asalnya. Bima

harus kembali ke negara dan keluarganya karena di situ bukan tempat Bima. Di

Page 144: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

131

dalam puisi disebutkan dengan “lalu membuatnya berpaling”. Kandungan tersebut

seperti yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita

Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 50, 69, dan 75.

“Hai, anakku”, sabda Sang Dewata, “kamu tidak boleh menetap disini sebelum kamu meninggal dunia”.

Setelah Sang Dewatarutji menjampaikan segala sabdanja, Wrekodara keluar kembali ke alam biasa, tetapi pada saat itu djuga Sang Guru minta diri dengan utjapan : “Nah, selamat tinggal, anakku”.

Pulanglah Wrekodara ke negeri Ngamarta. Dengan singkat Bima telah tiba di negerinja dan bertemu dengan seluruh keluarga Pandawa dalam keadaan selamat. Suasana gembira raja meliputi seluruh keraton Ngamarta. Mereka mengadakan pesta perajaan besar-besaran. Semuanja bersuka tjita, karena Sang Bima telah kembali dengan selamat.

Judul puisi ini adalah ”saudara kembar”, saudara kembar yang

dimaksudkan adalah menunjukkan kepada tokoh yang mempunyai bentuk rupa

sama tetapi lebih kecil dari Bima, yaitu Dewa Ruci, yang dijumpai Bima di dasar

samudera.

Puisi tersebut menyiratkan makna kehadiran tokoh Bima sebagai tokoh

yang dapat berinterospeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Bima menjadi

seperti itu karena teringat akan peristiwa penting yang pernah dialaminya. Bima

teringat akan kejadian yang dialaminya yaitu ketika berada di daasar samudera da

berjumpa dengan Dewa Ruci. Di sana Bima mendapat wejangan tentang makna

kehidupan. Kemudian, Bima pun harus kembali ke asalnya teringat untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Tokoh Bima menurut penyair puisi, Subagio, merupakan manusia yang

ingat akan hidup dan tanggung jawabnya. Bima dalam “Saudara Kembar”

merupakan yang mengikuti dan mengukuhkan konvensi sastra sesuai dengan

kisah Bima dalam cerita Dewaruci.

Page 145: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

132

c. Puisi Telinga

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri.

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940. menyelesaikan

pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian

memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1970-1971),

dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Pernah mengajar di

IKIP Malang cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra Universitas

Diponegoro (1968-1974), dan sejak 1975 mengajar di Fakultas Sastra UI. Sejak

tahun 1994 menjadi guru besar pada Fakultas Sastra UI dan tahun 1996-1999

menjadi Dekan Fakultas Sastra UI. Pernah menjadi redaktur majalah Basis (1969-

1975), redaktur majalah Horison (1973-1992) dan Tenggara (kuala lumpur,

Malaysia). Pernah mengikuti festival penyair internasional di Rotterdam (1976),

Page 146: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

133

festival seni di Adelaide, Australia (1978) dan Beinnale Internasionale de Poezie

XIII di Belgia (1979).

Balladanya, “Ballada Matinya Seorang Pemberontak”, mendapat hadiah

pertama majalah Basis tahun 1963. Kumpulan sajaknya, Sihir Hujan (1984),

meraih hadiah pertama hadiah puisi II Malaysia 1983, dan kumpulan sajaknya

yang lain, Perahu Kertas (1983), menggondol hadiah sastra dkj 1983. Karyanya

yang lain: DukaMu Abadi (ks, 1969), Mata Pisau (ks, 1974), Akuarium (ks,

1974), Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia

Sebelum Perang (s, 1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan

(ke, 1983), Suddenly the Night (ks, 1988), Hujan Bulan Juni (1994), arloji (ks,

1999), Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (ke, 1999), Sihir Rendra: Permainan

Makna (ke, 1999), dan Ayat-Ayat Api (ks, 2000).

Selain itu, ia juga menjadi editor buku: Tifa Budaya (bersama kasijanto,

1981), Seni dalam Masyarakat Indonesia (bersama edi sedyawati, 1983), dan H.B.

Jassin 70 Tahun (1987).

Sapardi juga banyak menerjemahkan karya sastra asing. Terjemahannya:

Lelaki Tua dan Laut (n Hemingway, 1973), Puisi Brazillia Modern (ks, 1973),

Daisy Manis (n Henry James, 1975), Sepilihan Sajak Georhe Seferis (ks, 1975),

Puisi Klasik Cina (ks, 1976), Lirik Klasik Parsi (ks, 1977), Kisah-Kisah Sufi

(karya Idries Shah, 1986), dan Afrika Yang Resah (karya okot p’Bitek, 1988).

Tahun 1986 Sapardi memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun 1990

menerima hadiah seni dari pemerintah RI (Pamusuk Eneste, 2001:209).

Sapardi menggambarkan puisi Telinga yang merupakan bentuk kiasan

telinga sebagai tanda untuk menunjukkan bagian yang harus dilewati Bima untuk

Page 147: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

134

masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Telinga,

tokoh Bima dihadirkan secara implisit atau tersirat.

Telinga merupakan organ yang mampu mendeteksi atau mengenal suara

dan juga banyak berperan dalam keseimbangan serta posisi tubuh. Suara

merupakan bentuk energi yang bergerak melewati udara, air atau benda lainnya,

dalam bentuk gelombang.

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

Di dalam samudera Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Bima disuruh masuk ke

telinga Dewa Ruci. Masuk ke dalam telinga Dewa Ruci mempunyai arti masuk ke

dalam tubuh Dewa Ruci. Hal ini seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci.

Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada

bagian 9 paragraf 18—23.

Dengan ramah-tamah, penuh rasa kasih mesra Dewarutji mendjawab :

“Anakku Bima, lekaslah kamu masuk kedalam tubuhku!” Wrekodara mendengar sabda Sang Dewarutji amat terkedjut. Sambil tertawa ia bersembah : “Maaflah, tuan bagaimanakah perintah tuan ini dapat hamba djalankan. Tuan bersifat kerdil, sedang hamba besar seperti gunung. Bagaimanakah hamba dapat masuk kedalam tubuh tuan, kelingking hamba sadja tak akan dapat masuk”.

“Bima”, sahut Sang Dewa Katik, “manakah lebih besar, kamu atau dunia ini. Sedangkan dunia ini dengan segala isinja, dengan gunung-gunungnja, dengan seluruh samuderanja, dengan rimba hutannja, semua dapat masuk dan tak akan sesak”.

Mendengar keterangan demikian ini Bima merasa heran tetapi takut lalu bersembah : “Baiklah tuan hamba akan masuk kedalam tubuh tuan”.

Dewarutji memiringkan kepala sambil bersabda : “Di sanalah djalannja. Masuklah melalui telinga kiri !”

Wrekodara mendekati telinga kiri Sang Batara. Sekonjong-konjong lubang telinga tampak sebagai pintu gerbang terbuka lebar. Dengan tidak ragu-ragu lagi Bima masuk ke dalam tubuh Sang Dewarutji.

Page 148: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

135

Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci untuk mendengar apapun, yaitu

Bima diberi penjelasan mengenai air hidup yang sedang dicarinya, tentang

kehidupan, tentang asal mula dan akhir kehidupan.

agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desis

“Secara rinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan

kiasan rangkaian proses kehidupan manusia di dunia. Proses kehidupan manusia

di dunia terdiri dari tiga pase, yaitu: lahir, belajar, dan mati. Kandungan puisi

tersebut seperti halnya yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan

dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 52—66.

“Anakku Bima”, demikian sabda Dewarutji seterusnja, “keinginannmu itu adalah baik sekali. Kelak akan terkabul djuga. Dari sebab itu hendaklah kamu selalu awas akan adanja perintang-perintang jang membahajakan perdjalanan hidupmu. Berdjalanlah terus, bersikaplah waspada. Kalau kamu sudah memiliki segala wedjangan ini, hendaklah kamu simpan baik-baik dan kamu rahasiakan. Berhati-hatilah dalam kamu bertjakap-tjakap, djangan sampai membitjarakannja dengan orang lain, ketjuali djika orang ini telah mendapat anugerah dari Sang Dewata. Karena apabila tidak demikian akan mudah timbul perselisihan faham. Dalam hal ini hendaklah kamu mengalah, djangan kamu mempertahankan diri, biar pembitjaraan lekas selesai.

Selandjutnja djanganlah kamu melekat kepada ratjun hidup. Sebaliknja peganglah teguh hasratmu untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup sedjati. Sang Hidup itu berada di dunia besar ini dan hidup, tidak ada jang memberi hidup dan ada, tetapi tak ada jang merasa akan adanja. Sang Hidup itu sesungguhnja ada padamu djuga dan tak dapat dipisahkan dengan kamu. Ketahuilah, bahwa asal usulmu itu dari padanja. Itulah sebabnja maka kamu mempunjai sifat jang mirip dengan Sang Hidup itu. Segala perbuatannja, pantjainderanja adalah padamu djuga. Hanja sadja Sang Sukma itu melihat tidak dengan mata djasmani dan mendengar tidak dengan telinga djasmani. Adapun telinga dan mata jang dipakainja sudah ada padamu. Kelahiran dan kebatinan Sang Sukma itu ada padamu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kaju terbakar, asap dan kaju tidak dapat dipisahkan. Demikian pula air dan alun tak dapat dtjeraikan. Djuga dapat dimisalkan sebagai minjak jang tidak dapat dipisahkan dari air susu. Demikianlah keadaanmu, dengan segala tjipta rasa karsamu, apabila kamu telah memperoleh anugerah dapat bersatu padu dengan Sang Sukma. Seterusnja, djika perpaduan itu telah tertjapai

Page 149: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

136

sungguh-sungguh, segala hasrat keinginanmu akan terlaksana. Kamu selandjutnja hanja bersikap sebagai wajang kulit jang, diwajangkan oleh Sang Sukma sebagai dalang jang ada didalammu. Segala tingkah lakumu, semua gerak-gerikmu ditentukan oleh Sang Dalang. Dunia ini merupakan panggung dan lajar putih, jang digunakan untuk memainkan wajang. Memang besar sekali kekuasaan Sang Dalang itu.

Perpaduan Manusia-Dewata atau Abdi-Gusti itu tak dapat digambar-gambarkan, karena tak berudjud. Tetapi kenjataannja sudah ada padamu. Perpaduan itu bagaikan orang bertjermin. Jang bertjermin itu Sang Sukma, sedangkan kamu merupakan bajangannja. Supaja lebih mudah, hal ini akan saja terangkan lebih landjut sebagai berikut : Manusia itu mempunjai dua matjam badan, badan djasmani dan badan rohani. Badan djasmani itu udjud lahir jang kelihatan, jang dapat diterima oleh pantjaindera. Adapun badan rohani terdapat di dalam tjermin, tetapi bukan tjermin biasa, melainkan tjermin di dalam kalbu. Itulah udjud kita sendiri jang tertjetak didalam hati.

Apabila badan djasmani menutup segala pantja inderanja, akan besar sekali faedahnja, karena semua godaan hidup tidak berpengaruh terhadap dia. Sungguh besar sekali arti perpaduan antara badan djasmani dan badan rohani itu. Manusia jang telah memperoleh persatuan ini mempunjai tingkatan hidup jang tinggi sekali, memiripi Sang Maha Dewata. Kalau pada sesuatu saat kedua-duanja mengadakan pertemuan, dan badan djasmani melahirkan keinginan-keinginannja, badan rohani pasti dapat mengabulkannja, asal tidak berlebih-lebihan sifat keinginan-keinginan itu.

Badan rohani itu djuga berada di dalam anak mata. Adapun rasa itu dibagi-bagi mendjadi tiga golongan : rasa luar, rasa dalam dan rasa kadim. Ras luar adalah rasa badan, rasa dalam itu rasa jang dialami mulut, sedang rasa kadim adalah rasa dalam impian. Ketiga-tiganja itu dikuasai oleh Sang Dewa Agung, jang bersifat hidup kekal dan jang mengadjak tidur, bangun, tenang, bergerak serta jang memberi ketjakapan bernafas. Djuga jang menerima keluar masuknja nafas. Sang Hidup kekal itu bertachta dalam badanmu dan menguasai badan itu. Rambut itu dapat dapat hidup karena kulit, kulit hidup karena daging, daging karena darah, darah karena nafas. Adapun jang mendjadi sumber nafas itu adalah ubun-ubun. Dari sini hidup itu mengalir ke seluruh tubuh. Dari sebab itu, apabila sumber tadi ditutup, hingga si hidup tak dapat mengalir, maka tubuh akan lemah lemas tak berdaja sama sekali.

Tetapi, anakku Bima, ketahuilah, bahwa segala-galanja itu hanja merupakan alat jang tidak kekal adanja. Karena hidup itu dikuasai oleh jang menjebabkan hidup, sedang jang menjebabkan hidup itu masih dikuasai lebih landjut oleh Sang Pembentuk Hidup, jang tidak dapat dilihat oleh mata kepala djasmani, bahkan tidak dapat diraba oleh budi manusia. Sang Pembentuk Hidup itu hanja dapat dilihat oleh manusia jang telah kosong sunji, artinja sudah tidak menggunakan alat sama sekali. Djadi orang dapat melihat Sang Hidup kekal itu hanja dengan melalui satu djalan sadja, jaitu dengan membulatkan kesatuan diri pribadi, hingga tidak terkena oleh pengaruh lain-lainnja, jang dapat membelokkan tekadnja.

Page 150: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

137

Ingatlah, anakku, bahwa segala tindakan itu ditimbulkan oleh bergeraknja kehendak. Dari sebab itu dengan singkat dapat saja katakana, bahwa dalam pokoknja orang harus berani mematikan diri, melepaskan diri dari segala nafsu, jang menghalang-halangi maksud pokoknja. Apabila orang tidak berani mematikan diri, maka setiap usahanja kandas, maksudnja gagal, tudjuannja tak tertjapai.

Kelepasan itu besar sekali artinja, lebih besar dari pada dunia besar ini. Lebih halus dari pada air dan lebih ketjil dari pada kuman. Lebih besar, karena dapat menguasai segala sesuatu. Lebih halus dan lebih ketjil, karena dapat mendjelma mendjadi besar dan ketjil. Dapat berudjud binatang besar, tetapi djuga berkuasa untuk mendjadi serangga jang ketjil. Sungguh luar biasa kelepasan itu, melebihi dugaan jang menerimanja, hingga sukar untuk dipertjaja, karena luar biasanja.

Anakku, usahakanlah dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh petundjuk-petundjuk dan pengetahuan jang njata. Latihlah dirimu dengan sekuat tenagamu, hingga achirnja dapat mengetahui tingkah laku jang gaib.

Petundjuk atau ilmu itu bagaikan benih, sedang jang menerimanja adalah tempat tumbuhnja. Benih katjang dan kedelai jang disebar dibatu, kalau tak ada tanahnja, kehudjanan dan kena panas terik matahari, nistjaja tidak akan dapat tumbuh.

Apabila kamu telah memperoleh kebidjaksanaan, hilangkanlah penglihatanmu biasa, supaja kamu dapat melihat setjara rohani. Selandjutnja wudjud dan suaramu itu sesungguhnja bukan milikmu sendiri. Itu semua adalah barang pindjaman. Kembalikanlah kelak kepada jang kamu pindjami.

Djanganlah kamu mempunjai kesenangan lain, melainkan kesenangan untuk bersatu padu dengan Sang Dewa Agung. Dengan demikian kamu telah berbadan dewata. Segala gerak-gerik dan tingkah lakumu adalah gerak-gerik dan tingkah laku Sang Dewata djuga. Djanganlah kamu merasa lagi, bahwa Sang Maha Sukma dan kamu itu dua. Djika masih merasa dua, maka ini mendjadi bukti, bahwa kamu masih ragu-ragu, belum mempunjai kebulatan tekad. Sang Maha Tinggi akan bermuram durdja kepada kamu.

Sebaliknja, apabila kamu sudah memperoleh perpaduan sungguh-sunguh, segala karsa terlaksana, segala tjipta terudjud, karena kamu telah menguasainja. Alam semesta sudah di tanganmu, karena kamu mendjadi pengganti Sang Dewata. Bersikaplah teguh dan sanggup.

Apabila kamu telah memiliki ilmu kelepasan, simpanlah ilmu itu sebaik-baiknja, djanganlah kamu bersikap tjongkak, sombong, bahkan tutupilah dengan sikap rendah diri. Tetapi dalam hatimu tak boleh kamu lupakan sama sekali.

Anakku Bima, masih ada satu hal jang akan kukatakan kepadamu, jang kamu perlukan di sini dan di sana, di dunia ini dan di zaman achir, jaitu tentang mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Hal ini demikian maksudnja : Hidup itu langsung adanja. Adapun jang mati itu hawa nafsu, jang didjalankan oleh badan djasmani. Mati dalam hidup dan hidup dalam mati berarti, bahwa selama manusia berada di dunia fana ini harus dapat

Page 151: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

138

mengalahkan segala hawa nafsu. Mati dalam hidup bermakna : Manusia harus dapat bersikap mati terhadap segala godaan-godaan dan keinginan-keinginan jang buruk, selama ia didunia ini. Hidup dalam mati : Manusia utama dapat tetap hidup dan memegang pendiriannja jang sutji, sekalipun terkepung oleh musuh-musuh rohani.

Wrekodara, barang siapa dapat bersikap demikian, membuktikan, bahwa ia telah memperoleh perpaduan jang njata”.

Dari wejangan yang diberikan oleh Dewa Ruci, bima diharapkan dapat

menafsirkan, memahami, dan melaksanakannya. Hal itu dilakukan agar Bima

dapat menyadari akan dirinya. Di sinilah sistem yang dalam manusia berjalan

secara keseluruhan. Walaupun telinga yang mendeteksi suara, fungsi dan

interpretasi dilakukan di otak dan sistem saraf pusat. Bima pun ingat akan arti

hidupnya. Hal ini seperti kandungan dalam cerita Dewaruci. Seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 70

dan 71.

Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perangbesar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima.

Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian.

Judul puisi ini adalah ”telinga”, telinga yang dimaksudkan adalah telinga

Dewa Ruci yang merupakan media Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci

dan selanjutnya menerima wejangan dari Dewa Ruci. Telinga merupakan organ

manusia yang digunakan untuk mendengar. Manusia pada saat setelah lahir di

Page 152: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

139

dunia maka salah satu aktivitas yang dapat dikerjakan pertama kali adalah

mendengar.

Puisi tersebut menyiratkan makna kehadiran tokoh Bima sebagai manusia

yang berusaha untuk meempelajari dan memahami makna kehidupan. Proses

pemahaman manusia tersebut diawali dengan mendengar, belajar dan memahami,

serta dapat melaksanakan sesuai dengan keyakinannya. Tokoh Bima menurut

Sapardi dalam puisi ini adalah bentuk manusia dalam usaha untuk mendengar dan

memahami serta dapat melakukan apa yang menjadi harapannya. Bima dalam

“Telinga” merupakan bentuk yang mengikuti atau mengukuhkan konvensi sastra

sesuai dengan kisah Bima dalam cerita Dewaruci.

d. Puisi Dewa Ruci

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Saini K.M. dilahirkan di Sumedang (Jawa Barat), pada 16 Juni 1928.

pendidikan terakhir: tamat jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung (1977). Pernah

menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Redaktur majalah Mangle. Redaktur

kebudayaan harian Harapan Rakyat (1967-1969). Anggota Dewan Pertimbangan

Kebudayaan Jawa Barat. Pernah mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia

Page 153: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

140

(ASTI) Bandung. Tahun 1988-1991 menjadi Direktur ASTI Bandung. Menjadi

Direktur Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995-1999).

Sejumlah dramanya memperoleh hadiah Sayembara Penulisan Drama

DKJ, yaitu Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Egon (1978),

Sarikat Kacamata Hitam (1980), dan Sang Prabu (1981). Dramanya yang lain,

Sebuah Rumah di Argentina (1980), mendapat hadiah sayembara BKPKB DKI

Jakarta Raya, sedangkan dramanya Kerajaan Burung (1980) dan Pohon

Kalpataru (1981) mendapat hadiah Sayembara Penulisan Drama Anak-Anak

Direktorat Kesenian Departemen P & K. karyanya yang lain: Pangeran Geusan

Ulun (d, 1963), Nyanyian Tanah Air (ks, 1968), Puragabaya (n, 1976), Siapa

Bilang Saya Godot (d, 1977), Restoran Anjing (d, 1979), Rumah Cermin (ks,

1978), Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1984),

Apresiasi Kesusastraan (bersama Jakob Sumardjo, 1986), Antologi Apresiasi

Kesusastraan (editor bersama Jakob Sumardjo, 1986), Protes Sosial dalam Sastra

(ks, 1986), Ken Arok (d, 1987), Teater Indonesia Modern dan Beberapa

Masalahnya (ke, 1988), Sepuluh Orang Utusan (ke, 1989), Seni Teater 1-6

(bersama Ade Puspa dan Isdaryanto 1989 dan 1990), Puisi dan Beberapa

Masalahnya: Pilihan dari Karangan Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat (ke, 1993),

dan Nyanyian Tanah Air (ks, 2000). Terjemahannya: Percakapan dengan Stalin

(karya Milovan Djilas, 1963) dan Bulan di Luar Penjara (ks, Ho tji Minh, 1965).

Saini KM. juga menulis dalam bahasa Sunda. (Pamusuk Eneste, 2001:205).

Saini melaluii puisi yang berjudul “Dewa Ruci” ini, menggambarkan

Dewa Ruci yang berarti tokoh Dewa Ruci dalam pewayangan dan cerita

Dewaruci. Tokoh Bima dalam usaha mencari air kehidupan pada akhirnya

bertemu dengan tokoh Dewa Ruci.

Page 154: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

141

Dalam cerita pewayangan, yakni pada lakon Dewaruci, atau Nawaruci,

terdapat tokoh yaitu Dewa Ruci dengan ukuran tubuhnya hanya sebesar

kelingking Bima, yang dijumpai ksatria Pandawa bertubuh tinggi besar di pusat

samudra. Walau tubuhnya sangat kecil telinganya dapat dimasuki oleh Bima yang

bertubuh tinggi besar, di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima merasa dapat

menyaksikan matahari, bulan, dan jagat raya. Di situlah Bima mendapat wejangan

mengenai apa sebenarnya arti hidup dan hakekat kehidupan. Dewa kerdil itu juga

dikenal dengan Dewa Bajang atau Sang Marbudingrat (Tim Penulis Sena Wangi,

1999:447).

Lakon Dewaruci sepenuhnya menceritakan perlambang manusia mencari

pribadinya, mencari kebenaran sejati. Dewa Ruci dianggap sebagai perlambang

dari pribadi Bima yang sesungguhnya, yang dalam pewayangan diistilahkan

dengan sejatining pribadi. Tokoh Dewa Ruci hanya muncul sebagai pemeran

utama dalam lakon saja, meskipun dalam berbagai lakon yang menyangkut Bima,

nama Dewa Ruci kadang kala juga disebut-sebut. Tokoh Dewa Ruci tidak terdapat

dalam Kitab Mahabarata, karena lakon carangan ini merupakan pelajaran filsafat

khas Jawa yang dikarang oleh para budayawan dulu. Jadi, Dewa Ruci merupakan

tokoh khas pewayangan. Itulah sebabnya, tidak jelas mengenai siapa orang tua

dan asal usul Dewa bajang tersebut.

Di sebagian masyarakat Jawa, Dewa Ruci sering dianggap sebagai

lambang hati nurani yang ada pada setiap manusia. Dengan adanya nurani, maka

manusia dapat menimbang yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.

Sebagian dalang yang beragama Islam, terkadang juga memasukkan bagian ajaran

Islam dalam wejangan yang disampaikan Dewa Ruci pada Bima. Di antaranya,

Page 155: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

142

tentang kelengkapan rukun Islam terutama tentang syahadat (Tim Penulis

Senawangi, 1999:447-448).

Pada awal puisi ini terdapat kandungan bahwa Bima telah bertemu dengan

Dewa Ruci dan menanyakan siapakah sebenarnya Dewa Ruci. Baris pertama puisi

tersebut, “Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci”. Kejadian

tersebut sama seperti yang terdapat dalam cerita Dewaruci. Seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 15

dan 16.

“Tuan”, sembahnja “sudi apalah kiranja tuan mengatakan kepada hamba, siapakah tuan ini dan mengapa tuan hanja seorang diri sadja”.

“Nama saja Dewarutji”, djawab Sang Batara.

Kemudian dijelaskan oleh Dewa Ruci bawah Dewa Ruci adalah Bima yang telah

mendamba, sangat menginginkan sesuatu sesuai dengan harapannya. Baris kedua

puisi terebut, “- Aku adalah engkau yang telah mendamba”. Hal itu seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci, seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci

karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 10, 11, dan 17

Wrekodara semakin besar pengharapannja akan mendapatkan apa jang ditjarinja.

“Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja.

“Ja, tuan”, sembah Bima selandjutnja, “djika demikian hamba mohon, sudi apalah kiranja tuan memberikan kepada hamba segala sesuatu jang hamba perlukan. Hamba masih seperti binatang liar, tidak mempunjai pengetahuan sama sekali, lebih-lebih tenang berbakti. Hamba belum mengerti pula, apakah badan sutji itu sesungguhnja. Hamba merasa masih muda bodoh bebal, mendjadi tjelaan dunia. Seperti keris jang tidak bersarung. Apabila bertjakap-tjakap tidak mengingat tempat dan suasana”.

Dewa ruci menambahkan penjelasan kepada Bima bahwa Bima sebenarnya telah

ditipu dan disesatkan agar Bima menemui ajal. “yang pernah dinista, ditipu dan

Page 156: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

143

disesatkan”. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci, seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 9,

10, dan 11.

“Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja.

Sungguh sukar hidup di dunia. Anakku, djanganlah kamu pergi, apa bila belum mengetahui tempat tudjuanmu. Djanganlah makan makanan, jang belum pernah kamu makan. Djanganlah mengenakan pakaian, djika kamu belum tahu namanja. Kamu dapat mengetahui barang sesuatu dengan djalan bertanja. Orang dapat mendjalankan barang sesuatu dengan djalan meniru lebih dulu, achirnja bertindak sendiri. Djanganlah bersikap sebagai si bodoh jang datang dari gunung ingin membeli emas kepada seorang pandai emas, diberi kertas kuning disangkanja emas indah.

Demikian pula orang berbakti. Apabila belum mengetahui tempat jang diberi bakti, pasti mudah saat djalannja, mudah ditipu”.

Bima ditipu oleh keluarga Kurawa agar pihak Pandwa dalam perang Baratyudha

esok mengalami kekalahan. Hal itu karena kesatria yang palin kuat pihak

Pandawa adalah Bima. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci

karya Yasadipura I pada bagian 1 paragraf 17, dan 18.

Seluruh rapat agung tersenyum. Radja Mandaraka berkata ”Bagaimanakah Bima nanti djadinja. Gua Tjandramuka itu sangat berbahaja, karena didiami dua orang raksasa sakti, hingga tak ada seorangpun jang berani mengindjak daerah itu. Bima pasti menemui adjalnja”.

Para hadirin tertawa semua, karena merasa memperoleh tipu muslihat sebaik-baiknja untuk melenjapkan Bima dari muka bumi. Selandjutnja di istana diadakan pesta besar-besaran.

Dewa Ruci menjelaskan kembali bahwa Bima telah membunuh naga yang

berada dalam dasar laut yang telah dilalui oleh Bima, ”Engkau yang telah

membunuh naga dalam dasar lautmu”. Bima telah membunuh naga yang

menghadang Bima ketika Bima berada di dalam samudera. Hal ini seperti yang

Page 157: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

144

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 7 paragraf 7—

14.

Tetapi pertjobaan Sang Dewata terhadap kesetiaan Bima belum habis djuga. Wrekodara baru sadja melandjutkan beberapa langkah, timbullah kesukaran baru.

Dari djauh terdengar suara mendesis-desis serta mengikik-kikik. Wrekodara melihat sesuatu benda hitam jang terapung-apung di air, jang makin dekat makin besar bentuknja. Sebuah pulaukah itu, atau sebuah perahu jang tergulingkah ? Tetapi suara jang terdengar semakin gemuruh dashjat.

Setelah dekat sekali ternjatalah bahwa jang dilihat Bima itu adalah seekor ular raksasa, jang menjembur-njemburkan bisa. Kedua belah matanja membelalak merah, mengkilat menjala-jala seolah-olah kan membasmi Bima. Gigi taring terlihat berkilau-kilau sebagai pisau, menggerut-gerut.

Wrekodara tak dapat mentjamkannja lama, karena naga raksasa itu setjepat kilat menggulat dan membelit bulat tubuhnja, sambil menghambur-semburkan bisa ke mukanja.

Wrekodara merasa akan menemui adjalnja, bingung mentjari akan untuk meloloskan diri. Makin keras kemauannja untuk melepaskan diri, makin kuat pula naga raksasa membelit tubuhnja. Bima hampir tak dapat bernafas lagi.

Perahu-perahu jang pada waktu itu berlajar dekat tempat Bima bergulat, mengelak mengambil djalan lain, untuk menghindari jang disangkanja bahaja. Sebentar lagi tak ada sebuahpun jang terlihat lagi.

Sementara itu Bima meneruskan usahanja supaja dapat terlepas dari pembelitan naga.

Tetapi segala daja dan upaja tak berguna, kekuatan Bima semakin berkurang. Dalam kalbunja ia telah menjerahkan djiwanja di tangan Sang Dewata.

Tetapi………..pada saat Bima tidak mempunjai harapan untuk hidup itu, datanglah pertolongan dari Atas. Sekonjong-konjong ia teringat akan kuku wasiatnja Pantjanaka. Seketika itu djuga Bima mengumpulkan segala kekuatan jang masih ada padanja. Segera ditusuknjalah naga raksasa dengan Pantjanakanja dan dirobek-robeknja. Darah berhambur-hamburan ke mana-mana, bagaikan hudjan. Sedjauh penglihatan mata laut tampak merah. Naga raksasa telah mati. Samudera mendjadi terang. Segala isinja seakan-akan ikut bersukaria. Dalam air jang semakin mendjernih itu kelihatan ikan beratus-ratus kedjar mengedjar, tangkap-menangkap. Binatang-binatang lainndja ada di antaranja jang mengambang tenang, menikmati udara samudera jang telah tenteram kembali, hela-menghela lagi, melarikan diri, membelok kembali………..

Page 158: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

145

Bima kurang berterima atas jawaban Dewa Ruci. Bima mengatakan kepada Dewa

Ruci bahwa bukan Dewa Ruci yang ia cari. Tapi dijawab oleh Dewa Ruci bahwa

Dewa Rucilah yang ditemukan oleh Bima.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

Bima menemukan Dewa Ruci ketika Bima berada di dasar samudera. Seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci bagian 9 paragraf 1 dan 2.

Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Suasana pada waktu itu tenang. Udara djernih. Angin sepoi-sepoi menghembus silir-semilir. Wrekodara mengisap udara segar. Kebingungannja semakin reda. Achirnja lenjap sama-sekali. Tenang keadaan alam, tenang kalbu Bima. segala sesuatu menundjukkan akan datangnja saat jang membawa kebahagiaan bagi Wrekodara.

Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. Tampaknja hanja sebagai anak berdjalan-djalan bermain-main.

Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan anugerah bagi Bima yang telah

ditebus dengan pengorbanan yang berat. Dewa Rucilah yang memberi wejangan

kepada Bima.

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Kejadian yang menimpa Bima itu Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci

karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 70 dan 71.

Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perang besar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima.

Page 159: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

146

Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian. Tanpa sajap ia dapat mengelilingi dunia dalam sekedjap mata. Bahkan triloka dengan segala isinja telah dikuasaninja. Hidup dan matipun di tangannja djuga. Bima dapat digambarkan sebagai sekuntum bunga, jang sekarang sudah berkembang, bertambah indah rupa warnanja dan bertambah pula keharuman baunja, semerbak merata.

Kemudian, Bima menanyakan kembali apa manfaat atau guna Bima setelah

bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci menjelaskan bahwa dengan apa yang

setelah Bima peroleh dapat dipergunakan Bima sesuai keinginannya.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

Bima telah memperoleh semua pengetahuan tentang makna kehidupan. Bima pun

bisa bersih dari nafsu namun juga dapat bergelut dengan nafsunya kembali jka

Bima tidak memperhatikan atau tidak bisa mengendalikan. Seperti yang

dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf

72—74.

Wrekodara setelah memperoleh pantjaratna itu kalbunja berubah mendjadi sutji djudjur, karena terpengaruh olehnja, bagaikan terusap oleh minjak kesturi.

Seterusnja segala nafsu telah lenjap sama sekali. Segala sifat-sifat dunia dengan segala gerak-geriknja diketahuinja, bahkan sorga neraka dikuasanja. Bima tahu pula, bila dan bagaimana tjaranja ia akan meninggalkan dunia fana ini. Karena Wrekodara telah memperoleh milik rohani jang tertinggi ini, maka tenanglah kalbunja. Dan ini bukannja ketenangan orang jang menjerah kepada keadaan, melainkan sebaliknja. Bima telah memiliki ketenangan sedjati, karena menguasai segala keadaan. Itulah jang menjebabkan ia kelihatan seakan-akan mengenakan pakaian sutera jang halus indah, dikembang-kembang dengan emas serta dihias dengan ratna mutu mannikam, hingga tamapak elok gemerlapan, bersinar-sinar terang, sebagai bukti, bahwa Bima mengetahui segala gerak-gerik manusia.

Bima bersifat halus lemah-lembut bagaikan bunga pandan jang terkembang, harum semerbak baunja, bau kesturi sedjati. Ini mendjadi

Page 160: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

147

bukti, bahwa ketadjaman budi Wrekodara menembus segala jang gelap, pengetahuan jang sulit-sulit diseluruh dunia, bahkan jang gaib sekalipun, telah dimiliki olehnja. ………….Sesungguhnja tatkala Bima lahir, keluar dari bungkusnja, telah bertjawat tjaturwarna, merah, hitam, kuning dan putih. Maksud Sang Hjang Guru, supaja tjawat itu mendjadi kekuatan rohani jang besar, jang dapat mengalahkan kesombongan, ketjongkakan dan tekebur. Hal ini oleh Bima selama hidup selalu diperhatikan.

Puisi Dewa Ruci menghadirkan tokoh Bima secara tersurat sebagai

manusia dengan usaha yang penuh kesabaran dan ketaguhan, melalui dan

menghadapi cobaan-cobaan berat untuk memperoleh makna kehidupan.

Tokoh Bima oleh penyair puisi ini digambarkan sebagai manusia yang

tabah dan tegar menghadapi cobaan berat untuk memperoleh sesuatu yang

diharapkan. Bima dalam “Dewa Ruci” merupakan bentuk yang mengikuti

konvensi sastra sesuai dengan kisah Bima dalam cerita Dewaruci.

2. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik antar Puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga dan Dewa Ruci

Dari pembahasan sebelumnya dan pemaknan isi yang terkandung dalam

keempat puisi tersebut diketahui bahwa keempat puisi itu memiliki persamaan

makna tentang kehadiran tokoh Bima dalam memahami hidup dan kehidupan

dengan proses yang dialami tokoh Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Penulis

menganggap dari hal tersebut bahwa keempat puisi yaitu puisi Bima, Saudara

Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci terdapat hubungan intertekstual atau

hipogramatik.

Hal pendukung yang menunjukkan hubungan intertekstual atau

hipogramatik adalah ekspresi, imajinasi dan ide penyair dalam pengggunaan kata-

kata kiasan sehingga menyebabkan adanya hubungan intertekstual atau

Page 161: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

148

hipogramatik dari keempat puisi dengan cerita Dewa Ruci. Pengunaan judul yaitu

“Bima”, “Saudara Kembar”, “Telinga”, dan “Dewa Ruci” menyiratkan bahwa

keempat puisi tersebut menghadirkan tokoh Bima di dalamnya. Penyair

menangkap wacana Dewaruci dan dengan bahasannya, diwujudkan dalam bentuk

puisi. Penulis dalam usaha untuk menentukan hipogram dari keempat puisi

tersebut penulis menunjuk pada tahun penulisan puisi dan/atau tahun penerbitan

puisi jika dalam keterangan teks puisi tidak terdapat angka tahun.

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985. Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai Pustaka Halaman 101

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

tiba-tiba

Page 162: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

149

sebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

rindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985. Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai PustakaHalaman 100

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri.

1982Sumber data:Sapardi Djoko Damono. 1994. (hal.87). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

Page 163: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

150

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakkudan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

1974

Sumber data:Saini K.M. 2000.Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo

Dari keterangan angka tahun yang terdapat pada keempat puisi, tertera

angka tahun dari tiap-tiap puisi. Keterangan tahun pada puisi Bima dan Saudara

Kembar karya Subagio Sastrowardoyo yaitu tahun 1985, pada puisi Telinga karya

Sapardi Djoko Damono yaitu tahun 1982, dan puisi Dewa Ruci karya Saini KM.

adalah tahun 1974. Penulis menganggap bahwa secara berurutan penulisan puisi

yaitu diawali puisi Dewa Ruci, puisi Telinga, puisi Saudara Kembar, dan puisi

Bima. Dari keterangan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa puisi Dewa Ruci

merupakan hipogram dari puisi Telinga, puisi Saudara Kembar, dan puisi Bima;

selain itu, puisi Dewa Ruci, puisi Telinga, dan puisi Saudara Kembar, merupakan

hipogram dari puisi Bima.

Page 164: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

151

BAB VPENUTUP

A. Simpulan

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab

sebelumnya, maka penelitian ini diperoleh suatu simpulan, yaitu sebagai berikut.

1. Unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan

Dewa Ruci yaitu baris, bait, rima, tipografi, dan bunyi yang tersusun dalam

bentuk kata-kata, serta arti atau makna, tema, asosiasi-asosiasi, citra, dan

emosi.

2. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci merupakan

pengejawantahan yang kreatif dari cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi

hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Keempat puisi yang menghadirkan tokoh Bima mengikuti hipogramnya yaitu

cerita Dewaruci, kecuali pada puisi berjudul Bima karya Subagio

Sastrowardoyo yang menentang hipogramnya.

3. Makna kehadiran tokoh Bima, Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa

Ruci adalah sebagai gambaran manusia biasa, pengingat dan teladan, serta

wujud kebesaran Tuhan.

B. Saran

Penulis pada waktu mengerjakan skripsi ini menemui kendala yaitu kurang

lengkapnya buku-buku yang dapat dijadikan referensi skripsi. Peneliti mengalami

hambatan karena minimnya buku-buku yang diperlukan dalam penelitian ini baik

di perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun perpustakan pusat UNS.

Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan pengadaan buku dan referensi

Page 165: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

152

kepustakaan untuk membantu kelancaran suatu penelitian, khususnya di

perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan perpustakaan pusat UNS pada

umumnya.

Penulis juga mengalami kendala lain yaitu penurunan semangat dalam

mengerjakan skripsi karena suatu peristiwa dalam hidup penulis. Peristiwa

tersebut sempat membuat penulis berhenti mengerjakan dan menjadi penghambat

bagi penulis, namun dengan terbentuknya kesadaran, penulis dapat melanjutkan

penulisan dan akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam

mengerjakan skripsi, diperlukan semangat dan konsentrasi agar berjalan dengan

baik, khususnya bagi penulis pribadi dan penulis pada umumnya.

Page 166: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

153

DAFTAR PUSTAKA

Afendy Widayat. 1990. Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus Karya Can Cu An. Yogyakarta: Fak.Sastra UGM.

Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.

Anton M. Moeliono (penyunting penyelia). 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia(cet. 2). Jakarta: Balai Pustaka.

Barnas Sumantri dan Kanti Walujo. 1999. Hikmah Abadi: Nilai-nilai Tradisional dalam Wayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiono Herusatoto. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Burhan Nurgiyantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Departemen Agama RI. 1999. Al Quran dan Terjemahannya (revisi terbaru). Semarang: Asy Syifa’.

Endro Sasmito. 1992. Cerita Begawan Senaroda karya RM. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna. Yogyakarta: Fak. Sastra UGM.

Gorys Keraf. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hariwijaya. 2003. Hikmah-hikmah Hidup Serat Jaya Baya. Yogyakarta: Nirwana.

Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Moechtar. 2008. “Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti: Mengeti ¾ Abad Umure Panjebar Semangat” dalam Panjebar Semangat no. 36, 6 September.

Mulyana. “Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa” dalam Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen. 2006. Volume 1. Nomor 2, Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa Seni UNY dan Narasi Yogyakarta.

Pendit, Nyoman S. 1980. Mahabarata: Sebuah Perang Dahsyat di Medan Kurusetra. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Pamusuk Eneste (ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.

Page 167: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

154

Panuti Sujiman (ed.). 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Puji Santosa. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Prawiraatmadja, S. 1954. Kitab Dewarutji. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan.

Purwadi. 1995. Cerita Sena Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna. Yogyakarta: Fak. Sastra UGM.

_______. 2002. Penghayatan Keagamaan Orang Jawa: Refleksi atas Religiositas Serat Bima Suci. Yogyakarta: Media Pressinda.

_______. 2003. Tasawuf Jawa. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2004. Mahabarata. Yogyakarta: Media Abadi.

_______. 2005. Manunggaling Kawula Gusti: Ilmu Tingkat Tinggi untuk Memperoleh Derajat Kasampurnan. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

_______. 2007. Ilmu Kasampurnaan: Mengkaji Serat Dewa Ruci. Yogyakarta Panji Pustaka.

Purwadi dan Rahmat Fajri. 2005. Mistik dan Kosmologi Serat Centhini. Yogyakarta. Media Abadi.

Rachmat Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan

Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.

Saini KM. 2000. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo.

Sapardi Djoko Damono. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo.

Subagio Sastrowardoyo. 1985. Keroncong Motinggo. Jakarta: Balai Pustaka.

Sardjono, Maria A. 1995. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Page 168: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

155

Sarwono Pusposaputro (penyunting). 2003. Kamus Peribahasa. Jakarta: Gramedia.

Sudewa. “Kawi dan Pujangga: Studi Kasus Serat Dewaruci” dalam Sulastin Sutrisno, Darusuprapta, dan Sudaryanto (ed.). 1991. Bahasa Sastra Budaya: Ratna Manikam Persembahan kepada Prof. Dr. P.J.Zoetmulder. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunardi DM. 2003. Barata Yudha. Jakarta: Balai Pustaka.

Suparno dan Soesilo. 2007. Nilai-nilai Kearifan Budaya Jawa: 130 Tokoh Wayang Karakter dan Pengabdiannya. Malang: Yayasan Yusula.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

_______. 2006a. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.

_______. 2006b. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Penulis Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia (jilid 1). Jakarta: Sena Wangi.

Wahyu Wibowo. 1984. Menyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardoyo. Jakarta: Balai Pustaka.

Wawan Susetya. 2007. Baratayuda: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika (edisi terjemahan oleh Ani Soekawati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Zoetmulder, PJ. 2000. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (edisi terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 169: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

156

LAMPIRAN

Page 170: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

157

Data Puisi

BIMAkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

Di dalam pengelanaannyadilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati

Hutan jati hilang kumandangnyadan sudut kota habis diperkatajuga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannyauntuk meninggalkan tanah kapurdan tidur dengan naga(yang tak jadi dibunuhnya)di samudra angan-angan

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi-- makhluk kecil ituberhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985 (hal.101). Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai Pustaka

Page 171: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

158

SAUDARA KEMBARkarya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo

tiba-tibasebagai kilat cermin di tangannyamengingatkan diakepada lubuk laut laindi mana ia pernah menjengukdan berjumpa dengan gambar muka(seperti saudara kembar)begitu serupatercipta dari ilham yang sama

ia tidak bertukar kata hanya tahuia ditunggu sejak dulu

rindu yang dahsyatlalu membuatnya berpaling

Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985. (hal 100). Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai Pustaka

Page 172: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

159

TELINGAkarya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiriagar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,bahkan letupan dan desisyang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannyakepada diri sendiri.

1982

Sumber data:Sapardi Djoko Damono. 1994. (hal.87). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo

Page 173: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

160

DEWA RUCIkarya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air

Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba

yang pernah dinista, ditipu dan disesatkanEngkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu.

Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima- Tapi akulah yang kau temukan

anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamuYang lain tiada, kecuali aku.

Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima- Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa

kau dapat menerima atau menolakkudan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu.

1974

Sumber data:Saini K.M. 2000. (hal.95). Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo

Page 174: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

161

Biografi Ringkas Penyair

Subagio Sastrowardoyo

Dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta 18

Juli 1995. Subagio berpendidikan HIS (di Bandung dan Jakarta), HBS, SMP, SMA

(di Yogyakarta), Fakultas Sastra UGM (tamat 1958), dan meraih M.A. dari

Departement of Comparative Literature, Universitas Yale, AS (1963). Pernah

menjadi Ketua Jurursan Bahasa Indonesia Kursus B-1 di Yogyakarta (1954-1958),

kemudian mengajar di Fakultas Sastra UGM (1958-1961), SESKOAD Bandung

(1966-1971), Salisbury Teachers College, Australia Selatan (1971-1974) dan

Universitas Flinders, Australia Selatan (1974-1981). Di samping pernah menjadi

anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), Subagio Sastrowardoyo adalah

anggota kelompok kerja sosial budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN

Balai Pustaka (1981-1994).

Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing”, mendapat Hadiah Pertama majalah

Kisah tahun 1995; sajaknya, “Dan Kematian Makin Akrab”, meraih hadiah majalah

Horison untuk sajak-sajak yang dimuat di majalah itu tahun 1966/1967; dan

kumpulan eseinya, Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), memperoleh Hadiah

Sastra DKJ 1983. Karyanya yang lain: Simphoni (ks, 1957), Kejantanan di Sumbing

(kc, 1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (ke, 1972), Keroncong Motinggo (ks,

1975), Buku Harian (ks, 1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (s, 1980), Hari dan Hara

(ks, 1982), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (ke, 1989), Sekilas Soal

Sastra dan Budaya (ke, 1992), Dan Kematian Makin Akrab (ks, 1995).

Studi mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo: Tim Peneliti Fakultas

Sastra UGM, Memahami sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo (1978) dan Wahyu

Wibowo, Menyingkap Dunia Subagio Sastrowardoyo.

Tahun 1970 Subagio Sastrowardoyo menerima Anugerah Seni dari

Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya, Daerah Perbatasan (1970). Tahun 1991

menerima Hadiah Sastra ASEAN. Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada 18

Juli 1995.

Sumber: Pamusuk Eneste (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas (hal:225)

Page 175: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

162

Sapardi Djoko Damono

Sapardi dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940, menyelesaikan pendidikan di

Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian memperdalam

pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1970-1971), dan meraih gelar

Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Pernah mengajar di IKIP Malang

cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (1968-

1974), dan sejak 1975 mengajar di Fakultas Sastra UI. Sejak tahun 1994 menjadi

guru besar pada Fakultas Sastra UI dan tahun 1996-1999 menjadi Dekan Fakultas

Sastra UI. Pernah menjadi redaktur majalah Basis (1969-1975), redaktur majalah

Horison (1973-1992) dan Tenggara (kuala lumpur, Malaysia). Pernah mengikuti

festival penyair internasional di Rotterdam (1976), festival seni di Adelaide,

Australia (1978) dan Beinnale Internasionale de Poezie XIII di Belgia (1979).

Balladanya, “Ballada Matinya Seorang Pemberontak”, mendapat hadiah

pertama majalah Basis tahun 1963. Kumpulan sajaknya, Sihir Hujan (1984),

meraih hadiah pertama hadiah puisi II Malaysia 1983, dan kumpulan sajaknya

yang lain, Perahu Kertas (1983), menggondol hadiah sastra dkj 1983. Karyanya

yang lain: DukaMu Abadi (ks, 1969), Mata Pisau (ks, 1974), Akuarium (ks,

1974), Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia

Sebelum Perang (s, 1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan

(ke, 1983), Suddenly the Night (ks, 1988), Hujan Bulan Juni (1994), arloji (ks,

1999), Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (ke, 1999), Sihir Rendra: Permainan

Makna (ke, 1999), dan Ayat-Ayat Api (ks, 2000).

Selain itu, ia juga menjadi editor buku: Tifa Budaya (bersama kasijanto,

1981), Seni dalam Masyarakat Indonesia (bersama edi sedyawati, 1983), dan H.B.

Jassin 70 Tahun (1987).

Sapardi juga banyak menerjemahkan karya asing. Terjemahannya: Lelaki

Tua dan Laut (n Hemingway, 1973), Puisi Brazillia Modern (ks, 1973), Daisy

Manis (n Henry James, 1975), Sepilihan Sajak Georhe Seferis (ks, 1975), Puisi

Klasik Cina (ks, 1976), Lirik Klasik Parsi (ks, 1977), Kisah-Kisah Sufi (karya

Idries Shah, 1986), dan Afrika Yang Resah (karya okot p’Bitek, 1988). Tahun

1986, Sapardi memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun 1990 menerima

hadiah seni dari pemerintah RI.

Page 176: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

163

Sumber: Pamusuk Eneste (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. (hal:209).

Saini K.M.

Saini KM. dilahirkan di Sumedang (Jawa Barat), 16 Juni 1928, pendidikan

terakhir: tamat jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung (1977). Pernah menjadi

anggota DPRD Jawa Barat. Redaktur majalah Mangle. Redaktur kebudayaan

harian Harapan Rakyat (1967-1969). Anggota Dewan Pertimbangan Kebudayaan

Jawa Barat. Pernah mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung.

Tahun 1988-1991 menjadi Direktur ASTI Bandung. Menjadi Direktur Kesenian,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995-1999).

Sejumlah dramanya memperoleh hadiah Sayembara Penulisan Drama

DKJ, yaitu Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Egon (1978),

Sarikat Kacamata Hitam (1980), dan Sang Prabu (1981). Dramanya yang lain,

Sebuah Rumah di Argentina (1980), mendapat hadiah sayembara BKPKB DKI

Jakarta Raya, sedangkan dramanya Kerajaan Burung (1980) dan Pohon

Kalpataru (1981) mendapat hadiah Sayembara Penulisan Drama Anak-Anak

Direktorat Kesenian Departemen P & K. karyanya yang lain: Pangeran Geusan

Ulun (d, 1963), Nyanyian Tanah Air (ks, 1968), Puragabaya (n, 1976), Siapa

Bilang Saya Godot (d, 1977), Restoran Anjing (d, 1979), Rumah Cermin (ks,

1978), Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1984),

Apresiasi Kesusastraan (bersama Jakob Sumardjo, 1986), Antologi Apresiasi

Kesusastraan (editor bersama Jakob Sumardjo, 1986), Protes Sosial dalam Sastra

(ks, 1986), Ken Arok (d, 1987), Teater Indonesia Modern dan Beberapa

Masalahnya (ke, 1988), Sepuluh Orang Utusan (ke, 1989), Seni Teater 1-6

(bersama Ade Puspa dan Isdaryanto 1989 dan 1990), Puisi dan Beberapa

Masalahnya: Pilihan dari Karangan Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat (ke, 1993),

dan Nyanyian Tanah Air (ks, 2000). Terjemahannya: Percakapan dengan Stalin

(karya Milovan Djilas, 1963) dan Bulan di Luar Penjara (ks, Ho tji Minh, 1965).

Saini KM. juga menulis dalam bahasa Sunda.

Sumber: Pamusuk Eneste (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. (hal:205).

Page 177: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

164

Biografi Ringkas Pujangga Yasadipura I

Salah satu tokoh sastrawan yang amat penting dalam masa penggubahan

karya-karya berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru adalah Yasadipura.

Pujangga besar Kyai Yasadipura lahir di Pengging tahun 1729. Nama lainnya

yaitu Bagus Banjar, Jaka Subuh, dan Jenal Ngalim. Ayahnya bernama Raden

Tumenggung Paduranegara, Bupati daerah Pengging. Pada usia 8 tahun beliau

dikirim ke pesantren di daerah Kedu. Beliau mempelajari agama Islam, tasawuf

dan kebatinan. Setelah usia 14 tahun beliau tamat belajar dan magang sebagai abdi

dalem Keraton Kartasura. Karena bakatnya dalam dunia karang mengarang besar,

maka beliau dinobatkan sebagai pujangga istana. Ini terjadi setelah berakhirnya

Geger Pecinan.

Ketika ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta, Yasadipura

pun ikut boyongan dan bertempat tinggal di kawasan Kedung Kol, yang terletak

di daerah Pasar Kliwon, sebelah timur benteng keraton Surakarta. Daerah ini

nantinya terkenal dengan sebutan kampung Yasadipuran. Di sini Yasadipura

bermukim bersama istri, anak, dan cucunya. Salah satu cucu Yasadipura yang

juga seorang pujangga agung adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Yasadipura diakui sebagai orang yang sangat berjasa dalam

mengembangkan dan membangun kepustakaan Jawa pada awal zaman Kerajaan

Surakarta. Jasanya yang sangat mengagumkan adalah menggubah naskah-naskah

berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru, sehingga mempermudah

generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yasadipura

juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra aslinya sendiri.

Keahliannya dalam dunia karang-mengarang diwariskan pada putranya dan

cucunya yaitu Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Keduanya juga mendapat tempat

terhormat dalam jajaran kapujanggaan Jawa. Kyai Yasadipura wafat pada hari

Senin Kliwon, 24 Dulkangidah tahun Be 1728 atau 26 April 1801, makamnya

terletak di Pengging, Surakarta, Jawa Tengah.

Silsilah Yasadipura telah disusun oleh Padmawasita. Menurut silsilah

tersebut Yasadipura masih keturunan raja Majapahit. Silsilah tersebut adalah

sebagai berikut.

Page 178: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

165

Prabu Brawijaya(Raja Majapahit)

Putri Majapahit + Andayaningrat (Pengging)

Kebo Kenanga

Sultan Hadiwijaya (Pajang)

Pangeran Benawa

Panembahan Raden (Adipati Pajang)

Pangeran Wiramenggala I

Pangeran Wiramenggala II

Pangeran Serang

Pangeran Adipati Danupaya

Raden Tumenggung Padmanegara (Bupati Pengging)

Yasadipura (Bagus Banjar)

Yasadipuran II (Raden Tumenggung Sastranegara)

Mas Pajangswara

Raden Mas Ngabehi Ranggawarsita

Sumber: Purwadi dan Rahmat Fajri. 2005. Mistik Kosmologi Serat Centhini. Yogyakarta: Media Abadi. (hal. 20—22).

Page 179: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

166

Bima, dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia

Bima merupakan anak kedua Dewi Kunti. Ayahnya adalah Prabu Pandu Dewanata, raja Astina. Dengan demikian ia juga merupakan orang kedua dalam keluarga Pandawa. Walaupun ayahnya resmi adalah Prabu Pandu Dewanata, raja Astina, namun demikian sebenarnya Bima adalah anak kandung Batara Bayu, dewa yang menjadi penguasa angin.

Mengenai hal ini kisahnya adalah sebagai berikut. Beberapa waktu sesudah Prabu Pandu Dewanata menikah dengan Dewi Kunti dan Dewi Madrim, ia dikutuk seorang brahmana bernama Resi Kimidama (atau Kimindama). Bunyi kutukannya adalah, bilamana Pandu sampai menjalankan kewajiban sebagai suami dan tidur seranjang dengan istrinya, maka saat itu juga ajalnya sampai. Karena adanya kutukan itu pandu tidak berani lagi menyentuh istrinya. Namun sebagai raja, ia harus mempunyai keturunan sebagai pewaris takhta. Itulah sebabnya, Prabu Pandu kemudian mengizinkan Dewi Kunti menerapkan Aji Adityarhedaya ajaran Resi Druwasa yang dimilikinya untuk memanggil dewa. Suami istri itu sepakat dewa yang dipanggil pertama kali adalah Batara Darma, yaitu dewa kejujuran dan kebenaran. Maka Batara Darma pun datang, dan sembilan bulan kemudian Dewi Kunti melahirkan seorang putra yang diberi nama Puntadewa. Beberapa waktu kemudian Kunti atas izin Pandu memanggil Batara Bayu. Dari Batara Bayu, dewa penguasa angin itu, Kunti mendapat putra yang diberi nama Bima. Karena itu pula Bima juga disebut Bayuputra, Bayusiwi, Bayusuta atau Bayutanaya, Pawanasuta. Semua nama itu menandakan ia seorang putra Batara Bayu.

Bima berperawakan tinggi, besar, gagah, berkumis, dan berjenggot. Ia mempunyai kuku panjang dan kuat, yang menjadi senjata alamiah, disebut Kuku Pancanaka. Pakaiannya juga khas seperti halnya putera angkat Batara Bayu lainnya, yakni berkain poleng bang bintulu lima warna. (Ada yang menyebut dodot poleng bang bintulu aji, terdiri atas warna putih, hitam, kuning, merah, hijau). Kepada siapa pun Bima tidak pernah memakai bahasa krama inggil atau bahasa halus. Ia selalu berbicara dengan bahasa ngoko, atau bahasa lugat sederajat, bahkan juga kepada para dewa. Tetapi khusus hanya kepada Dewaruci, Bima menggunakan bahasa halus atau krama inggil.

Di kalangan penggemar pewayangan, Bima dianggap mewakili karakter seorang yang jujur, lugas, tidak pandang bulu, ulet, tidak pernah putus asa, spontan, dan tak pernah menghindari tantangan. Bima dikenal sebagai ksatria yang tak mengenal belas kasihan pada musuhnya yang jahat. Kepada Dursasana dan Sengkuni yang dibencinya, Bima melampiaskan dendamnya dalam Baratayuda. Setelah dibunuh, Dursasana dirobek dadanya dan dihirup darahnya; sedangkan Sengkuni selain dipatahkan kaki dan tangannya, disobek kulitnya, juga dirobek mulutnya. Peristiwa ini juga sekaligus merupakan bukti terlaksananya kutukan Gandamana terhadap Sengkuni yang pernah memfitnahnya.

Sejak saat kelahirannya Bima telah membuat sensasi. Ia lahir dalam keadaan terbungkus kulit tebal. Bermacam cara telah dilakukan untuk membuka kulit itu, berbagai senjata tajam telah dipakai untuk merobeknya, namun tidak satu pun yang berhasil. Melihat kenyataan itu Prabu Dewanata lalu masuk ke sanggar pamujan untuk memohon petunjuk dari para dewa. Akhirnya, Batara Guru terpaksa mengutus Batara Narada untuk menolongnya.

Page 180: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

167

Atas petunjuk Batara Narada, seekor gajah bernama Sena disuruh memecahkan kulit pembungkus itu. Saat itu pula Batara Bayu merasuk ke tubuh Gajah Sena. Bayi Bima yang terbungkus kulit tebal itu diinjak-injak dan ditendang oleh Gajah Sena sehingga akhirnya pembungkus itu robek. Begitu keluar dari pembungkusnya bayi Bima langsung menyerang sang Gajah. Sekali pukul, gajah itu mati. Dan begitu mati, Gajah Sena langsung menghilang musnah dan menyatu dalam diri Bima. Itulah sebabnya, ia juga disebut Bimasena, Bratasena, atau Sena saja. Beberapa dalang juga menyebutkan panggilan kesayangan Prabu Kresna terhadap Bima adalah Bungkus. (Lakon Bima Bungkus).

Peristiwa pecahnya bungkus bayi Bima itu disertai dengan datangnyaangin ribut. Kulit pembungkus bayi itu diterbangkan angin ke angkasa, melayang-layang, dan akhirnya jatuh di pangkuan seorang pertapa sakti bernama Begawan Sapwani. Sebagian dalang menyebutkan kulit pembungkus bayi Bima itu memang dibawa Batara Narada dan sengaja dijatuhkan ke pangkuan Begawan Sapwani.

Karena tidak mempunyai anak, Begawan Sapwani kemudian memuja kulit pembungkus bayi Bima itu. Atas permohonan pendeta sakti itu, paradewa mengubah ujud kulit pembungkus itu menjadi seorang bayi. Begawan Sapwani dan istrinya memelihara bayi hasil pujaan itu dengan tekun dan penuh kasih sayang. Setelah besar, bayi itu tumbuh menjadi seorang ksatria gagah perkasa dengan bentuk badan dan raut muka yang mirip sekali dengan Bima. Begawan Sapwani memberi nama Jayadrata pada anak hasil pujaannya itu.

Versi lain mengenai lakon Bima Bungkus adalah sebagai berikut: Karena usaha untuk membuka bungkus bayi Bima tidak berhasil, Abiyasa menyarankan agar bayi bungkus itu dibawa ke Hutan Krendawahana (Krendayana) dan ditinggalkan di sana. Penghuni hutan itu, yaitu para jin gandarwa anak buah Batari Durga menjadi resah karena bungkus bayi itu memancarkan hawa panas. Batari Durga memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan bungkus bayi itu, tetapi tidak berhasil.

Keresahan itu akhirnya menjalar pula ke kahyangan. Batara Guru memutuskan Gajah Sena untuk memecahkan bungkus bayi Bima. Sebelum Gajah Sena datang, lebih dulu Batari Durga masuk ke dalam bungkus Bima. Karena kagum pada keperkasaan bayi itu, dalam bungkus itu Batari Durga menghadiahi Bima kelengkapan pakaian, kain kampuh poleng bang bintulu, gelang candrakirana, kalung naga banda, sumping surengpati, dan puput jarot asem.

Dengan demikian, ketika akhirnya Gajah Sena berhasil memecahkan bungkus itu, Bima keluar dengan berpakaian lengkap.

Cerita selanjutnya, sama dengan versi pertama. Pada masa kecilnya, ketika para Pandawa masih berkumpul bersama para Kurawa di Kerajaan Astina, Bima sudah menjadi saingan Duryudana. Mereka sering berkelahi. Waktu belajar bersama-sama pada Resi Krepa dan Begawan Drona pun, mereka selalu bersaing. Demikian pula ketika Prabu Baladewa mengajarkan ilmu berkelahi dengan gada, Bima dan Duryudana sama-sama berusaha menjadi murid yang rajin dan tekun.

Pada suatu saat, atas hasutan Patih Sengkuni, para Kurawa pernah meracuni Bima dengan tujuan membunuhnya. Para Kurawa memperhitungkan, bilamana Bima mati tentu kekuatan Pandawa akan lumpuh karena di antara para Pendawa, Bimalah yang paling kuat. Tetapi setelah kena racun, ternyata Bima tidak mati. Ia hanya tak sadarkan diri. Para Kurawa yang mengira Bima telah mati, beramai-ramai menggotong dan membuangnya di Sungai Gangga. Di sungai

Page 181: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

168

itu, tubuh Bima digigit puluhan ular berbisa. Namun bisa ular tersebut bukan membunuhnya, melainkan justru menambah kesaktiannya. Berkat pengaruh bisa ular itu, untuk selanjutnya Bima kebal terhadap racun apa pun.

Dalam pewayangan, usaha Kurawa untuk membunuh Bima diceritakan sebagai berikut :

Atas hasutan Patih Sengkuni, suatu saat Kurawa mengajak Bima bermabuk-mabukan. Mulanya Bima menolak. Tetapi karena Kurawa menyebutnya ia takut minum-minuman keras, Bima akhirnya mau. Ternyata minuman yang diberikan Bima sebelumnya telah diberi racun. Setelah Bima pingsan, para Kurawa menggotongnya dan memasukkan ke Sumur Jalatunda yang terkenal angker. Sumur itu dipenuhi oleh ular berbisa.

Namun usaha Kurawa membunuh Bima gagal karena ksatria bertubuh tinggi besar itu ditolong Batara Dawung Nala. Berkat pertolongan dewa itu Bima menjadi kebal terhadap segala macam racun. Setelah lolos dari Sumur Jalatunda, Batara Dawung Nala memberinya nama baru: Bondan Peksajandu.

Dalam pewayangan, sebuah lakon mengisahkan persaingan antar Kurawa dan Pandawa masa mereka masih muda. Suatu saat Duryudana menantang Yudistira (saat itu masih bernama Puntadewa) untuk mengadu bobot antara kedua keluarga itu. Mulanya Yudistira menolak, karena ia tahu benar bahwa bobot Kurawa yang seratus orang itu tentu lebih berat daripada Pandawa yang cuma lima orang. Namun Bima mendesak agar abang sulungnya melayani tantangan para Kurawa itu.

Sebuah balok kayu panjang disiapkan sebagai timbangan. Balok timbangan itu akan menentukan, mana yang lebih berat bobot seratus orang Kurawa dengan lima orang Pandawa. Duryudana dan adik-adiknya lebih dahulu duduk di ujung balok yang satu. Namun walaupun jumlah mereka sudah seratus orang, Duryudana masih menyuruh Bogadenta ikut, sehingga mereka menjadi seratus satu. Bogadenta seharusnya tidak termasuk Kurawa, karena ia hanya berasal dari ari-ari Kurawa yang dipuja menjadi manusia oleh Dewi Gendari.

Mengetahui kecurangan itu, Bima mendapat akal. Disuruhnya semua saudaranya duduk di ujung balok timbangan dengan menyisakan tempat paling ujung baginya. Setelah itu ia mundur beberapa langkah mengambil ancang-ancang. Dengan lompatan panjang Bima menghentak jauh dari balok, sehingga semua Kurawa di ujung yang lain terpental jatuh. Dari semua yang terpental, Bogadenta yang duduk di ujung balok timbangan terpental jauh, sampai jatuh ke Kerajaan Turilaya.

Kebulatan hati dan sifatnya yang pantang menyerah dibuktikan Bima waktu Pandita Drona menyuruhnya mencari Tirta Pawitrasari. Selain selalu menjunjung tinggi perintah gurunya, Bima sendiri memang bertekad tidak akan berhenti berusaha sebelum apa yang dicarinya diperoleh. Dalam pengembaraan mencari air suci Pawitrasari itu Bima harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Semuanya dihadapi dan ditanggulanginya. Di antaranya, di Gunung Candramuka ia harus melawan dua raksasa sakti bernama Rukmuka dan Rukmakala.

Setelah kedua penghalang itu dikalahkan, mereka berubah ujud menjadi Batara Endra dan Batara Bayu. Sewaktu harus pergi ke Teleng Samudra,(Telengsamudra artinya Pusat Samudra atau Inti Samudra), ia dicegat seekor ular naga bernama Nawawata atau Nemburnawa. Dengan kuku Pancanaka naga itu

Page 182: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

169

dibunuhnya. Akhirnya Bima berjumpa dengan Dewaruci, seorang dewa kerdil yang amat mirip dengan dirinya. Dewa Bajang itu menyuruh Bima masuk ke dalam telinganya. Walaupun perintah itu tidak masuk akal, karena Bima percaya, ia menurutinya. Di dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil itu, Bima justru dapat menyaksikan alam semesta yang maha luas. Dewa Ruci memberinya berbagai wejangan berharga yang bermanfaat untuk mengenali diri pribadinya, dan mengerti akan makna hidupnya.

Pada masa remaja, Bima menyelamatkan saudara-saudara dan ibunya dari amukan api, ketika para Kurawa mencoba membunuh mereka. Waktu itu mereka sedang menginap di Bale Sigala-gala, sebuah tempat peristirahatan yang jauh letaknya dari istana. Atas hasutan Sengkuni, para Kurawa membakar penginapan itu waktu Pandawa dan ibunya sedang tidur.

Mengenai cara Pandawa menyelamatkan diri bersama ibu mereka, ada dua versi cerita.

Yang pertama menyebutkan, sebelum Bale Sigala-gala terbakar, Batara Narada telah lebih dahulu mengingatkan Bima akan bahaya yang akan terjadi. Sesuai dengan pesan Batara Narada, waktu api berkobar Bima menggendong ibunya dan membimbing semua saudaranya, berlari mengikuti garangan putih(cerpelai–semacam musang) masuk ke dalam liang. Liang itu ternyata merupakan jalan di bawah tanah menuju ke Kahyangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga bersemayam. Di sini Bima bertemu dengan Dewi Nagagini puteri Antaboga. Mereka menikah dan mem-buahkan anak yang diberi nama Antareja.

Versi kedua menyebutkan, Yama Widura, yakni paman mereka dari pihak ayah, yang memperingatkan Bima. Karena itu mereka dapat meloloskan diri dan masuk ke hutan. Di hutan ini mereka bertemu dengan Sang Hyang Antaboga yang kemudian membawanya ke Kahyangan Saptapertala. Cerita selanjutnya sama dengan versi yang pertama. (Lakon Bale Sigala-gala).

Sesudah menikah Bima dengan Dewi Nagagini, para Pandawa dan Dewi Kunti meneruskan pengembaraannya di hutan. Di sini mereka bertemu dengan Prabu Arimba yang hendak membalas dendam dengan ayahnya, yaitu Prabu Trembaka. Dulu, dalam perang antara Astina dengan Pringgadani, Trembaka tewas dibunuh oleh Prabu Pandu Dewanata, ayah Pandawa.

Bima dan Arimba berkelahi selama berhari-hari. Dewi Arimbi, adik Arimba yang menyaksikan perkelahian itu, kagum dan akhirnya jatuh cinta pada Bima. Ia berusaha melerai perkelahian itu namun tidak berhasil. Arimba akhirnya tewas. Sebelum ajalnya ia berpesan pada adiknya, Arimbi, bahwa ia merestui cintanya pada Bima. Selain itu Arimba juga mewariskan Kerajaan Pringgadani pada Arimbi.

Pada mulanya cinta Arimbi pada Bima sama sekali tidak diacuhkan. Tetapi raseksi itu terus saja mengikuti perjalanan Bima dan sekalian saudaranya. Akhirnya dengan bijaksana Dewi Kunti yang mengetahui gelagat cinta raksasa wanita itu segera berkata:”Aduuuh, cantiknya gadis ini...” Maka seketika itu juga Dewi Arimbi berubah ujud menjadi gadis cantik yang bertubuh tinggi besar. Bima akhirnya menikah dengan Arimbi dan mereka mendapat seorang anak yang diberi nama Gatotkaca. Menurut pedalangan versi Jawatimuran, Bima bersedia memperistri Arimbi setelah wanita raksasa itu dirias oleh Dewi Kunti.

Suatu ketika,dalam pengembaraan mereka di tengah hutan, Nakula dan Sadewa menangis karena kelaparan. Dewi Kunti mengutus Bima dan Arjuna

Page 183: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

170

untuk mencari makanan. Mereka pergi ke arah yang berbeda. Dalam perjalanan itu Bima berjumpa dengan orang-orang yang sedang mengungsi. Setelah menanyakan sebabnya, Bima tahu bahwa raja negeri itu bernama Prabu Baka, mempunyai kegemaran makan orang. Penduduk takut jika harus menyerahkan salah seorang anggota keluarganya untuk santapan raja pemakan manusia itu. Mendengar hal itu, Bima lalu menawarkan dirinya sebagai santapan raja pemakan manusia itu. Pada saat berhadapan dengan Prabu Baka, Bima me-nantang dan akhirnya dapat membunuhnya.

Sebagai terima kasih, rakyat negeri itu minta agar Bima bersedia menjadi raja mereka. Tetapi Bima menolak. Orang-orang lalu bertanya apa yang diinginkannya. Dengan jujur Bima menjawab, ia membutuhkan dua bungkus nasi untuk adiknya yang sedang kelaparan. Nasi yang dibawa Bima diterima dengan senang hati oleh Kunti karena nasi itu diperoleh dengan cucuran keringat. Sedangkan nasi yang dibawa Arjuna ditolak, karena hanya merupakan pemberian orang hanya karena berdasarkan belas kasihan. Baca juga Arjuna.

Versi lain dari bagian kisah itu menceritakan bahwa ketika Bima pergi mencarikan makanan bagi Nakula dan Sadewa, ia bertemu dengan seorang brahmana bernama Resi Hijrapa. Brahmana ini tinggal di sebuah desa yang termasuk wilayah Kerajaan Manahilan. Dalam Kitab Mahabarata tempat ini disebut Ekacakra, yang sebenarnya masih termasuk wilayah Kerajaan Pancala (Cempalaradya). Ketika dijumpai Bima, brahmana ini sedang bertangis-tangisan dengan istri dan anak-anaknya. Kepada Bima, Resi Hijrapa mengatakan, hari itu ia mendapat giliran harus menyerahkan salah seorang dari tiga anaknya untuk dijadikan santapan rajanya, yakni Prabu Dawaka. Tanpa pikir panjang Bima segera menawarkan dirinya sebagai pengganti anak Hijrapa. Diantarkan oleh Resi Hijrapa, Bima akhirnya dibawa ke hadapan raja raksasa yang buas itu. Prabu Dawaka segera menerkam Bima hendak dimakan mentah-mentah. Namun segera gigi raksasa patah begitu digunakan menggigit Bima. Prabu Dawaka marah, dan mereka pun berkelahi. Raja raksasa itu pun akhirnya mati terkena kuku Pancanaka.

Karena merasa hutang budi, saat itu Resi Hijrapa dan salah seorang anaknya yang bernama Rawa, bersumpah akan mengorbankan jiwanya sebagai tawur atau tumbal perang, bagi kemenangan pihak Pandawa dalam Baratayuda kelak.

Cerita selanjutnya sama dengan versi yang pertama. Pada Wayang Parwa Bali, Bima pernah menyelamatkan arwah ayahnya, Pandu Dewanata, dan arwah ibu tirinya, Dewi Madrim dari siksaan neraka. Prakarsa untuk menyelamatkan Pandu dan Madrim datang dari Dewi Kunti. Sesudah saudara-saudaranya yang lain tidak sanggup melakukannya, Bima menyanggupinya. Kemudian dengan ilmu Angkusprana yang dimilikinya dari Batara Bayu, Bima berhasil menghimpun jiwa Dewi Kunti dan keempat saudaranya untuk masuk ke dalam dirinya. Setelah itu, Bima yang telah didampingi jiwa Kunti, Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa masuk ke neraka, menyelamatkan Pandu dan Madrim, dan membawanya ke sorga.

Kisah itu terdapat dalam lakon Bima Swarga yang lazim dipentaskan pada saat upacara kremasi, pembakaran jenazah, atau Pitra Yadnya. Pada suatu hari dalam pengembaraannya, sampailah Pandawa ke wilayah Kerajaan

Page 184: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

171

Cempalaradya. Sesudah beberapa hari Dewi Kunti dan kelima anaknya berada di negeri itu, mereka mendengar berita tentang adanya putri Cempala.

Menurut sayembara itu, siapa saja pria yang sanggup mengalahkan Patih Gandamana, ia berhak menjadi suami putri raja Cempala, bernama Dewi Drupadi. Banyak putra raja dan ksatria sakti yang mencoba mengadu nasib, tetapi mereka semua dikalahkan oleh Patih Gandamana. Akhirnya, Bima maju ke gelanggang. Dalam mengadu kekuatan melawan Patih Gandamana, semula Bima selalu terdesak. Bahkan suatu ketika Bima berhasil diringkus sehingga sulit bergerak. Untuk melepaskan diri dari cengkeraman Gandamana, tanpa sengaja kuku Pancanaka Bima menekan dan menusuk dada Gandamana. Seketika itu juga tubuh Gandamana menjadi kehilangan daya, dan terhuyung jatuh.

Sebelum sampai pada ajal Gandamana teringat bahwa menurut suratan takdir, ia hanya bisa mati bilamana dikalahkan salah seorang dari keluarga Pandawa. Karena itu ia lalu bertanya pada Bima, tentang asal usulnya. Setelah tahu siapa Bima, Gandamana lalu mewariskan ilmunya, yakni Aji Wungkal Bener atau Aji Bandung Bandawasa. Dengan aji itu, Bima akan memperoleh semangat dan kekuatan dahsyat bilamana ia merasa tindakannya benar.

Sesudah mengalahkan Patih Gandamana, Bima mengatakan kepada Prabu Drupada bahwa ia mengikuti sayembara itu sebagai wakil kakak sulungnya, Puntadewa. Karena itu, menurut pewayangan, yang menikah dengan Dewi Drupadi adalah Puntadewa.

Versi yang lain, yakni menurut Kitab Mahabarata, menyebutkan Arjunalah yang memenangkan sayembara itu. Bunyi sayembaranya juga berberda. Menurut versi ini, barang siapa yang sanggup memanah dengan gendewa pusaka milik Kerajaan Pancala (Cempalaradya), ialah yang akan dinikahkan dengan Drupadi. Menurut Mahabarata pula, Dewi Drupadi bukan hanya istri Puntadewa, melainkan istri kelima Pandawa.

Bima juga pernah menolong Prabu Basudewa dari negeri Mandura pada saat Kangsa, raja muda dari Sengkapura memberontak. Kangsa adalah anak haram yang lahir karena skandal yang melibatkan Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa. Ayah Kangsa yang sebenarnya adalah raja raksasa Prabu Gorawangsa, raja Gowabarong. Dalam lakon Kangsa Adu Jago dengan bantuan Arjuna, Bima berhasil mengalahkan Patih Suratimantra yang terkenal amat sakti dan nyaris tidak bisa mati. Sedangkan Kangsa sendiri mati dibunuh oleh putra-putra Prabu Basudewa sendiri, Narayana dan Kakrasana – yaitu Kresna dan Baladewa ketika masih muda. Peristiwa inilah yang kemudian menumbuhkan persahabatan antara Pandawa dan Baladewa dan Kresna.

Bima juga pernah berjasa pada Prabu Matswapati, raja Wirata. Ketika Bima dan para Pandawa lainnya serta Dewi Drupadi bersembunyi dan menyamar di Wirata, Bima menyamar sebagai pemotong hewan dengan nama Jagal Abilawa. Waktu itu Bima membunuh Rajamala, Rupakenca, dan Kencakarupa. Ketiganya adalah ipar Prabu Maswapati sendiri, yang berniat buruk terhadap raja. Selain itu Bima dan saudara-saudaranya juga membantu Kerajaan Wirata mengusir bala tentara Astina dan Kerajaan Trigata yang datang menyerang.

Ketika para Pandawa yang diwakili Puntadewa kalah berjudi melawan Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni, Permaisuri Amarta, Dewi Drupadi dihina serta diperlakukan melebihi batas oleh Dursasana. Waktu itu Dewi Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya untuk selamanya, sebelum ia

Page 185: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

172

berkeramas dengan darah Dursasana. Bima menyaksikan kesewenangan itu bersumpah akan membunuh Dursasana serta akan menghirup darahnya. Sumpahnya itu akhirnya terlaksana ketika pecah Baratayuda.

Setelah mengetahui Gatotkaca gugur oleh senjata Kunta Wijayandanu milik Adipati Karna, Bima mengamuk. Ia berusaha keras mendekati Adipati Karna, namun barisan Kurawa sekuat tenaga menghalanginya. Pada hari ke-16, ia berjumpa dengan Dursasana yang ikut menghalangi usaha Bima untuk berhadapan dengan Basukarna. Keduanya terlibat dalam perang tanding, namun tak lama kemudian Dursasana melarikan diri, Bima terus mengejar, sehingga suatu saat, ketika berusaha menyeberangi Sungai Kelawing, lawannya terjatuh. Dengan mudah Bima menangkapnya dan menjambak rambut Dursasana – seperti yang pernah dilakukan terhadap Drupadi dulu, diseret kembali ke gelanggang Tegal Kurusetra. Di medan perang itu dengan kuku Pancanakanya Dursasana dibunuh, darah Dursasana yang dihirup Bima digunakan untuk mengeramas rambut Dewi Drupadi.

Selain itu, dalam Baratayuda, di hari ke tujuh belas Bima juga membunuh Patih Sengkuni secara kejam. Patih Astina yang dikenal sebagai penyebar fitnah dan perencana macam-macam kejahatan itu, oleh Bima dirobek mulutnya. Belum puas dengan itu, Bima lalu menusukkan kuku Pancanaka ke anus Sengkuni dan menguliti Patih Astina itu, sehingga seluruh kulitnya lepas dari tubuhnya. Hanya dengan cara itulah Patih Sengkuni dapat dibunuh, karena seluruh kulitnya memang kebal berkat Lenga Tala yang pernah dilumurkan ke seluruh tubuhnya, kecuali anusnya. Kematian Sengkuni secara menyedihkan itu juga merupakan perujudan kutukan Patih Gandamana yang juga pernah difitnah Sengkuni (Lakon Gandamana Luweng).

Sebelum itu, bersama dengan Arjuna, dalam perang saudara itu Bima nyaris tewas dalam suatu jebakan yang dirancang oleh Prabu Gardapati, raja Purulaya yang dalam Baratayuda memihak Kurawa.

Bersama saudaranya Prabu Gardamuka, raja dari negeri Watanggapura,Gardapati merancang siasat jitu dengan memecah pasukan Pandawa dan menjebak Bima serta Arjuna agar terpisah dari pasukannya. Pada mulanya, setelah Prabu Gardamuka tewas terkena panah Sarutama, Bima yang bernafsu mengejar Gardapati tanpa sadar telah keluar dari gelanggang perang Kurusetra. Dalam pelariannya, setelah cukup jauh dari Kurusetra, Prabu Gardapati menancapkan cis sakti miliknya ke tanah, dan seketika itu terjadilah sebuah kubangan lumpur yang dalam. Karena terlalu bernafsu mengejar musuhnya, Bima menjadi kurang waspada dan masuk ke dalam jebakan kubangan lumpur itu. Arjuna yang melihat abangnya dalam bahaya segera menolong, namun sebelum ia berhasil menarik Bima, Prabu Gardapati mendorongnya sehingga ikut pula terjerumus masuk dalam jebakan itu. Karena Prabu Anom Duryudana berpesan agar Bima dan Arjuna langsung dibunuh, dengan pedangnya Prabu Gardapati berniat hendak memenggal kepala mereka. Namun sewaktu mengayunkan pedangnya, dengan cepat Bima melompat dan menarik tangan Gardapati sehingga ikut pula jatuh ke kubangan lumpur. Sebelum Gardapati sempat menghindar Bima membenamkannya dan menggunakan tubuh lawannya sebagai batu loncatan ke atas. Maka selamatlah Bima dan Arjuna, sedangkan Prabu Gardapati tewas terbenam dalam kubangan lumpur ciptaannya sendiri.

Page 186: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

173

Kematian Prabu Gardapati itu terjadi di hari ketiga Baratayuda. Kemenangan akhir Pandawa atas Kurawa dalam Baratayuda ditentukan pada hari ke-18. Setelah semua senapati Kurawa dikalahkan para Pandawa, Prabu Anom Duryudana terpaksa turun ke gelanggang. Ia dihadapi Bima. Mereka memang sudah menjadi musuh bebuyutan sejak kecil. Badan mereka sama-sama tinggi besar. Keduanya sama-sama murid Resi Krepa dan Resi Drona. Mereka juga dididik dalam ilmu perkelahian dengan gada dari guru yang sama, yakni Baladewa. Karena itu perkelahian di antara mereka sangat seru dan seimbang. Berbeda dengan pertempuran pada hari-hari sebelumnya, perang tanding Bima –Duryudana disaksikan dan diwasiti oleh Prabu Baladewa.

Dalam perang gada itu ditentukan peraturan, hanya bagian pinggang ke atas yang boleh dijadikan sasaran pukulan. Walaupun Bima lebih kuat dan lebih lincah, tetapi Duryudana memiliki kelebihan, seluruh tubuhnya kebal kecuali betis kirinya. Kekebalan tubuh Duryudana ini berkat Lenga Tala yang pernah melumuri hampir seluruh tubuhnya. Itulah sebabnya, walaupun pukulan Bima lebih banyak yang mengena, Duryudana masih saja tetap segar karena kekebalannya. Hal ini mengkhawatirkan Prabu Kresna dan Arjuna yang menyaksikan perang tanding itu. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, lama kelamaan Bima tentu akan kehabisan tenaga.

Kresna lalu berbisik memberitahukan pada Arjuna, bahwa sebenarnya tidak seluruh tubuh Duryuda-na kebal. Bagian paha kirinya tidak. Setelah mema-hami bisikan Kresna itu Arjuna lalu memberi isyarat pada abangnya, dengan cara menepuk-nepuk paha kirinya (Sebagian buku wayang menyebutkan bukan paha kirinya melainkan betisnya, namun yang benar adalah paha, karena kata wentisdalam bahasa Jawa artinya paha). Bima segera maklum akan isyarat adiknya itu. Dengan sekuat tenaga dihantamnya paha Duryudana hingga hancur dan sulit berdiri lagi. Habislah kekuatan musuhnya. Pukulan gada berikutnya menyebabkan Prabu Anom Duryudana tewas seketika.

Melihat apa yang dilakukan Bima terhadap musuhnya, Prabu Baladewamarah sekali. Ia menilai Bima curang. Karena itu sebagai wasit, Baladewa hendak menghukum Bima yang dianggapnya melanggar peraturan. Tetapi Prabu Kresna segera mencegah dengan mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena kutukan Begawan Maetreya yang pernah dihina Duryudana. Menjelang pecah Baratayuda, Begawan Maetreya datang menghadap Prabu Anom Duryudana untuk memberi saran pada penguasa Astina itu, agar memenuhi tuntutan para Pandawa.

Waktu itu Duryudana bukan mendengarkan nasihat itu, melainkan malahan membuang muka sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Katanya: “Seorang brahmana hanya boleh bicara kalau raja menanyakan pendapatnya....”. Karena sakit hati diperlakukan Duryudana seperti itu, Begawan Maetreya lalu mengutuknya, paha kirinya akan remuk dalam Baratayuda nanti. Setelah mendengar penjelasan Kresna seperti itu, barulah Prabu Baladewa reda marahnya dan memaafkan Bima.

Dalam lakon Makuta Rama diceritakan bahwa di betis kiri Bima bersemayam arwah Kumbakarna. Arwah pahlawan Alengka itu tidak dapat membuka pintu sorga, kecuali bila ia bisa menyatu pada diri seorang ksatria yang tahu benar mana yang salah dan mana yang keliru. Atas anjuran Gunawan Wibisana, arwah Kumbakarna lalu menyatu pada diri Bima dan menempati betis kirinya.

Page 187: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

174

Sebagian dalang menceritakan dalam Baratayuda, Prabu Anom Suyudana akan berbuat curang dengan menghantamkan betis kiri Bima, namun tidak mempan karena di tempat itu bersemayam arwah Kumbakar-na. Bima lalu membalas, dan Duryudana pun roboh seketika. Jadi menurut versi itu Duryudanalah yang memulai kecurangan, sedangkan Bima hanya sekedar membalas.

Bima hampir menemui ajalnya sesaat setelah Baratayuda usai. Waktu itu, diantarkan oleh Prabu Kresna, Bima dan para Pandawa lainnya datang ke Istana Astina untuk menghadap Prabu Drestarastra. Meskipun Destarastra adalah ayah para Kurawa, musuh mereka, namun raja Astina itu adalah kakak kandung Pandu Dewanata, ayah para Pandawa. Karena itu Puntadewa selalu mengingatkan adik-adiknya agar tetap hormat pada Prabu Drestarastra.

Namun rupanya Prabu Destarastra masih tetap menyimpan dendam pada para Pandawa. Dendam raja tua itu terutama ditujukan kepada Bima yang dianggapnya telah semena-mena dan bertindak keterlaluan kejam dalam Baratayuda. Sakit hati Prabu Destarastra ketika mendengar laporan tentang kematian Dursasana yang dirobek dadanya dan dihirup darahnya oleh Bima. Drestarastra juga sakit hati mendengar laporan tentang kematian Duryudana. Ayah para Kurawa itu menilai Bima curang, tidak berlaga secara ksatria dalam perkelahian itu.

Dendam inilah yang menyebabkan Prabu Drestarastra nyaris membunuh Bima dengan kesaktian yang dimilikinya, yakni Aji Lebur Seketi. (Sebagian dalang menyebutnya Aji Gelap Sayuta). Meskipun tunanetra, Drestarastra memiliki kesaktian yang luar biasa. Dengan Aji Lebur Seketi Prabu Destarastra sanggup menghancurluluhkan apa saja yang disentuh dengan ujung jarinya. Ketika Bima mendapat giliran untuk menghaturkan sembah hormatnya, jari-jari Drestarastra menjulur ke depan hendak menyentuhnya. Prabu Kresna yang kebetulan berdiri di belakang Bima serta merta mendorong Bima ke samping, sehingga jari-jari tangan Drestarastra hanya menyentuh sebuah arca batu. Seketika itu juga arca batu itu lebur luluh menjadi abu.

Seperti juga tokoh wayang terkenal lainnya, Bima memiliki banyak nama. Nama lainnya adalah Bratasena, atau Wijasena, yang sering digunakan para dalang untuk menyebut Bima tatkala masih muda. Nama Wrekudara yang berarti “perut serigala”, menandakan bahwa ia seorang yang amat banyak makannya. Bratasena dan Aryasena menandakan ia pernah membunuh Gajah Sena waktu masih bayi. Nama Arya Brata menandakan ia seorang yang tahan menderita. Arya Jodipati adalah sebutannya yang menandakan Bima tinggal di Kasatrian Jodipati. Kasatrian ini sebelumnya adalah sebuah kerajaan jin yang diperintah oleh Prabu Dandunwacana. Raja jin itu dikalahkan, dan menyatu dalam diri Bima. Sedangkan Kerajaan Jodipati dijadikan kasatriannya. Dari Dandunwacana pula Bima mewarisi gada pusaka Lukitasari. Nama Jayadilaga dan Kusumadilaga menandakan ia seorang yang selalu jaya dalam perang dan juga menjadi ‘kembang’nya peperangan. Wayunenda, Bayuputra, Bayu Tanaya, Bayu Suta dan Bayusiwi adalah nama-nama yang merupakan tanda bahwa Bima adalah putra Batara Bayu.

Selain Antareja dan Gatotkaca, menurut pedalangan di daerah Yogyakarta dan daerah-daerah di sebelah baratnya, Bima juga mempunyai anak yang lain, bernama Antasena. Ibu Antasena adalah Dewi Urangayu. Hidupnya di

Page 188: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

175

samudra. Sedangkan menurut pedalangan di sebelah timur Yogyakarta, Antasena dianggap sebagai nama lain dari Antareja.

Sementara itu dalam pedalangan gagrak Banyumasan, bernama Srenggini. Dalam pewayangan tokoh ini ditampilkan sebagai ksatria mirip Antasena, tetapi mempunyai ‘capit’ di kepalanya dan insang di lehernya.Dalam lakon Bima Kacep, sebuah lakon lama yang kini hampir tidak pernah lagi dipergelarkan, Bima juga mempunyai anak hasil hubungannya dengan Dewi Uma. Anak itu, lahir perempuan, dan diberi nama Bimandari.

Kisahnya, sewaktu Bima bertapa untuk memohon kemenangan dalam Baratayuda, Dewi Uma turun dari kahyangan untuk menggoda Bima. Pada waktu Bima sedang berasyik masyuk dengan Dewi Uma, Batara Guru memergokinya. Agar dapat memisahkan istrinya dari Bima, Batara Guru menggunakan senjata saktinya, Cis Jaludara. Akibatnya, kemaluan Bima terpotong, dan potongan itu berubah ujud menjadi pusaka yang berkhasiat untuk menolak hama padi. Pusaka itu disebut Angking Gobel.

Bima pernah bertukar ilmu dengan Anoman, salah satu saudara tunggal bayu-nya. Dari Anoman, Bima mendapat ilmu mengenai pembagian zaman, sedangkan Bima mengajarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat.

Selain kuku Pancanaka, Bima memiliki dua gada sakti, yakni gada Rujakpolo dan Lukitasari. Ksatria yang berkumis dan berjenggot itu juga memiliki anak panah pusaka bernama Bargawastra yang besar sekali ukurannya. Anak panah itu dapat digunakan berkali-kali, karena Bargawastra selalu akan kembali pada pemiliknya setelah mengenai sasarannya.

Watak Bima yang lugas, jujur, tidak pandang bulu, dan tegas, sebenarnya sering bertentangan dengan Yudistira. Bima menganggap kakak sulungnya itu sering bersikap terlalu nrima, terlalu pemaaf, terlalu lama mengambil keputusan. Ia juga membenci kebiasaan Yudistira yang dinilai suka berjudi. Waktu menyaksikan penistaan para Kurawa terhadap Dewi Drupadi, selain mengutuk Dursasana, Bima juga hendak mengumpat abangnya – yang dinilai bertanggung jawab terhadap kesengsaraan itu. Namun niatnya itu dicegah Arjuna yang sadar bahwa di hadapan para Kurawa, mereka tidak boleh tampak bertengkar.

Ketegasan sikap Bima juga tercermin tatkala Prabu Kresna memastikan keteguhan sikap para Pandawa. Waktu itu dengan tegas Bima menjawab: “Jika negara Astina tidak diserahkan, kita harus berperang! Baratayuda harus menjadi kenyataan.” Padahal ketika itu, pertanyaan yang sama dijawab Puntadewa dengan nada keengganan, sedangkan Arjuna menjawab, akan mengikuti apa yang terbaik yang diputuskan Kresna.

Menurut Serat Hariwangsa karya Empu panuluh, di kala muda usia Bima sebenarnya pernah mati. Ini terjadi sewaktu Kresna, yang waktu itu lebih dikenal dengan panggilan Narayana, menculik Dewi Rukmini. Prabu Bismaka; ayah Rukmini, merasa tidak sanggup melawan Kresna. Dewi Rukmini sebenarnya adalah saudara sepupu Kresna, karena Prabu Bisamaka adalah pamannya. Karena itu, atas saran Begawan Druna, raja Kumbina itu meminta bantuan Pandawa untuk melawan Kresna. Permintaan bantuan itu oleh Yudistira disetujui. Keputusan ini sebenarnya tidak disetujui oleh Bima dan Arjuna, namun bagaimana pun yang menjadi raja adalah Yudistira.

Akibat keputusan Yudistira itu, para Pandawa terpaksa berperang melawan Kresna. Prabu Baladewa ikut turun tangan membela adiknya. Dalam peperangan

Page 189: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

176

itu Bima dan Baladewa sama-sama mati sampyuh. Yudistira gugur di tangan Kresna. Namun sewaktu berhadapan dengan Arjuna, kesaktian Kresna ternyata seimbang. Kresna lalu mengubah ujud dirinya menjadi Batara Wisnu. Arjuna pun ikut menjadi Wisnu, sehingga saat itu ada dua Wisnyu saling berperang.

Perang itu baru berakhir sesudah para dewa datang melerai. Para Pandawa diberi tahu bahwa Dewi Rukmini sesungguhnya memang merupakan jodoh Narayana. Sesudah berdamai, dengan kembang Cangkok Wijayakusuma, Prabu Kresna lalu menghidupkan kembali Bima, Baladewa, dan Yudistira. Khusus dalam pewayangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Bratasena, Wijasena, atau Haryasena lebih sering digunakan untuk menyebut Bima ketika masih remaja, sedangkan nama Wrekudara digunakan untuk menyebut Bima setelah dewasa.

Bima mengenakan hiasan kening yang bernama pupuk mas. Di telinganya ada hiasan yang bernama sumping pudak sinumpet. Di lehernya melingkar kalung bernama naga banda yang berbentuk lilitan ular naga. Sedangkan di lengannya, terikat hiasan kelat bahu bernama balibar manggis. Gelang yang dikenakannya bernama candra kirana. Sedang kain kampuhnya yang bermotif poleng, bernama kampuh poleng bang bintulu.

Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa dari gagrak Surakarta dan Yogyakarta, tokoh Bima ditampilkan dalam enam belas macam wanda, yakni wanda Mimis, Lintang, Lindu Panon, Lindu Bambang, Tatit, Ketug, Jagor (Jagur), Kedu, Gandu, Jagong, Bedil, Mbugis, dan Gurnat. Wanda Lindu Panon ditampilkan mana kala Bima sedang mengamuk. Tokoh Bima pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta digambarkan bercawat, tidak bercelana. Sedangkan pada gagrak Surakarta, ia mengenakan celana.

Dalam pewayangan Bima adalah tokoh wayang yang memiliki wanda terbanyak. Bahkan wanda Arjuna pun kalah banyak jenisnya. Ini membuktikan bahwa Bima sejak dulu adalah tokoh idola bagi banyak penggemar wayang. Berikut ini adalah bentuk-bentuk sebagian wanda Bima.

Bima wanda Lindu Panon bertubuh agak gemuk, bahu belakang lebih tinggi daripada bahu depan, wajahnya menunduk seolah memandang ke bawah, dan lingkar gelungnya lebar. Wanda ini diciptakan pada zaman pemerintahan Sunan Amangkurat Seda Tegal Arum, yakni tahun 1578 Saka atau 1656 Masehi. Wanda Lindu Bambang digunakan sebagai peraga Bima muda, tubuhnya langsing dibandingkan dengan wanda Lindu Panon. Bahu belakang juga lebih tinggi dibandingkan yang depan. Perbedaan yang lain, lingkar gelungnya sedikit lebih kecil daripada wanda Lindu Panon. Wanda Lindu Bambang ini diciptakan pada zaman Sunan Paku Buwana IV, raja Kasunanan Surakarta yang memerintah dari tahun 1788 sampai dengan 1820.

Bima wanda Lintang diciptakan tahun 1655 Saka atau 1733 Masehi, pada zaman Paku Buwana II, raja Kartasura. Badannya agak gemuk, tubuhnya agak condong ke depan, dan bahu belakangnya lebih tinggi dibandingkan yang depan. Lehernya relatif agak panjang.

Wanda Gurnat, yang mengambil nama dari Kyai Jagurnat, sebuah meriam yang dianggap sebagsi pusaka di Surakarta, diciptakan pada zaman Paku Buwana IV. Badannya agak gemuk, kedua bahunya relatif rata dibandingkan dengan wanda-wanda yang lain, namun bahu belakang tetap sedikit lebih tinggi, wajahnya agak melongok ke depan, ukuran lingkar gelungnya sedang.

Page 190: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

177

Pada pertunjukan wayang orang, yang dipilih untuk memerankan tokoh Bima selalu adalah penari yang bertubuh tinggi besar, gagah, dan bersuara berat. Dibandingkan dengan tokoh wayang lainnya, Bima paling banyak ditampilkan dalam bentuk arca candi. Patung atau relief yang menggambarkan Bima di antaranya terdapat di Candi Sukuh, Candi Ceta, Candi Popoh di dekat Blitar, dan di Pura Kebo Edan dekat Gianyar, Bali.

Page 191: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

178

Gambar tokoh Bima pada pewayangan dalam Ensiklopedi Wayang

Indonesia.

Bima, wanda bugis. Wayang kulit purwa gagrak Yogyakarta

Bima, pada penampilan di panggung wayang orang

Bima, wanda Lintang, gambar grafis wayang kulit purwa gagrak Surakarta

Bima, gambar grafis wayang kulit purwa gagrak Cirebon.

Page 192: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

179

Bima, wayang kulit purwa gagrak Yogyakarta.Wayang ini digunakan pada saat melawan Duryudana dalam Baratayuda.

Bima, Wayang kulit parwa Bali

Bima, wanda lindu, gambar grafis wayang kulit purwa gagrak Surakarta.

Bima, gambar grafis bergaya buku komik berdasarkan penampilan wayang orang gaya Surakarta

Page 193: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

180

Bima pada penampilan di wayang golek purwa Sunda

Bima, gambar grafis wayang kulit purwa Yogyakarta.

Bima, gambar grafis wayang kulit parwa Bali.

Bima, bungkus, wayang kulit purwa gagrak Yogyakarta. Wayang ini digunakan dalam lakon Bima lahir.

Page 194: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

181

Bima, gambar grafis wayang kulit purwa gagrak Banyumas.

Page 195: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

182

Cerita selengkapnja menurut Dewarutji Tembang Macapat ciptaan Kjai Ngabehi Jasadipura I

BAGIAN IBima diberi tugas oleh Druna untuk mentjari air sutji Tirtapawitra

Sjahdan tatkala Bima, ksatria Pandawa jang kedua, mendjadi siswa Resi Druna, ia disuruh olehnja mencari Tirtaprawira, air sutji jang dapat menjutjikan hidupnja. Dengan segera Wrekodara kembali ke negeri Ngamarta ialah negeri Pandawa untuk minta diri kepada kakaknja Raja Judistira dan seluruh kerabatnja.

Setibanja di istana Ngamarta, kebetulan sekali semua sedang hadir menghadap Seri Radja. Atas permintaan diri Bima untuk melaksanakan perintah Pendeta Druna mencari air sutji, timbullah rasa sak wasangka dalam kalbu Seri Judistira dan mengira bahwa Wrekodara akan menghadapi bahaja besar.

“Kanda”, demikianlah sembah Ardjuna, saudara pandawa ketiga kepada Sang Radja, “Djanganlah kanda mengidjinkannja, karena kakanda Wrekodara pasti akan mengalami peristiwa jang tidak enak.”

“Ja kakanda Maharaja”, sambung Nakula dan Sadewa, saudara keempat dan kelima dari pada Pandawa, “Djanganlah kakanda mengidjinkannja, kakanda tahu, bagaimanakah tabiat kakanda Raja Durjudana di Ngastina. Ini pasti perbuatan Pendeta Druna, jang diminta pertolongannja untuk memusnahkan Pandawa.”

Tetapi Bima menjahut dengan tegas “Saja tidak akan dapat dicegah. Hidupku ini adalah kepunjaanku sendiri. Saja ingin sekali mencari djalan supaja dapat mempersatukan diri dengan Sang Maha Dewata, djangan dihalang-halangi.”

Dengan perkataan ini Bima dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menudju ke Ngastina untuk minta keterangan lebih landjut tentang tempat letaknja air sutji kepada Pendeta Druna.

Wrekodara berjalan seorang diri saja, hanja bertemankan angin topan jang biasa menjertai Bima dalam perdjalanannja, hingga di tempat-tempat jang dilalui timbul gaduh riuh, katjau balau bukan kepalang. Orang-orang jang terdjumpainja melontjat takut ke tepi, mendjongkok menyembah ksatria sakti Wrekodara, seraja mengaturkan berdjenis-djenis djamuan. Tetapi Bima sama sekali tidak memperdulikannja. Keras kemauannja untuk selekas mungkin tiba di negeri Ngastina. Bima berdjalan tjepat laksana kilat.

Dari jauh tampak putih gemerlapan puncak mutiara pintu gerbang negara Ngastina, muntjul mentjungul menondjol di angkasa, seolah-olah mengadu diri dengan sang surja.

Pada waktu itu Seri Durjudana di Ngastina sedang mengadakan pembitjaraan dengan pendeta Druna. Hadir djuga dalam pertemuan agung ini Raja Salja di negeri Mandaraka, Narpati Karna, radja dari negeri Ngawangga, Narpati Djajadjatra dari negeri Sindusena. Selanjutnja menghadap pula patih Sangkuni, Resi Bisma dan para pangeran saudara maharadja Durjudana, antara lain Raden Dursasana, Raden Kuwirja, Raden Djajasusena, Raden Rekadurdjaja. Adapun jang menjadi pokok pembicaraan ialah dengan djalan bagaimanakah mereka dapat mengalahkan Pandawa. Seluruh rapat agung ini berpendapat, alangkah baiknja apabila Pandawa dapat dimusnahkan dengan djalan jang halus tidak berperang. Hal ini juga disetudjui oleh Raden Sudarmana dan Raden Suranggakara. Tetapi

Page 196: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

183

Radja Durjudana tidak begitu setudju dengan memusnahkan Pandawa, karena mereka masih keluarga sendiri.

Tengah-tengah mereka berapat ini sekonyong-konyong menghadaplah Wrekodara. Semua jang hadir terperandjat dan bergerak. “Wrekodara, hendaklah dinda duduk dekat kanda di sini”. Demikianlah sabda sambutan Maharadja Durjudana.

Setelah diadakan sambutan-sambutan seperlunja, Bima dengan lekas menghadap kepada Pendeta Druna. Dipeluknjalah Bima olehnja.

“Wahai anakku”, demikianlah Druna, “Hendaklah kamu pergi mencari air sutji Tirtaprawira, jang akan menyucikan hidupmu. Apabila terdapat, kamu akan mendjadi bersih, tak bertjatjat dan akan menguasai hidup. Dengan itu kamu mempunjai wasiat sempurna. Di seluruh dunia tidak ada makhluk jang sepadan dengan kamu. Kamu dapat melindungi serta memberi kebahagiaan kepada orang tuamu, kebahagiaan jang terbesar dalam tribuana (ketiga dunia) dan kekal adanja”.

“Ja, bapakku jang mulia,” sembah Bima, “Sudi apalah kiranja bapak memberi petunjuk tentang letak air sutji itu”.

“Bima anakku”, jawab Pendeta Druna, “tjarilah air sutji itu di hutan Tikbrasara, dalam gua di gunung Tjandramuka, di bawah gunung Gadamana. Hingga sekarang belum ada jang mengetahui tempatnja”.

Wrekodara senang sekali mendengar jawaban itu. Dengan segera ia minta diri kepada hadirin untuk berangkat.

“Wrekodara dindaku”, pesan Durjudana, hendaklah kamu berhati-hati, djangan sampai sesat djalanmu. Ketahuilah, bahwa tempat jang kamu datangi itu amat berbahaja’.

“Kanda jang mulia, djanganlah kakanda mengchawatirkan hidupku. Saja akan melaksanakan perintah guruku dengan berhati-hati”. Demikianlah djawab Bima. Setelah itu ia meninggalkan istana dengan tjepat-tjepat.

Seluruh rapat agung tersenyum. Radja Mandaraka berkata ”Bagaimanakah Bima nanti djadinja. Gua Tjandramuka itu sangat berbahaja, karena didiami dua orang raksasa sakti, hingga tak ada seorangpun jang berani mengindjak daerah itu. Bima pasti menemui adjalnja”.

Para hadirin tertawa semua, karena merasa memperoleh tipu muslihat sebaik-baiknja untuk melenjapkan Bima dari muka bumi. Selandjutnja di istana diadakan pesta besar-besaran.

BAGIAN 2Bima berangkat ke hutan Tikbrasara

Wrekodara berangkat ke hutan Tikbrasara. Setibanja di situ senanglah hatinja melihat keindahan alam di situ, tak memikirkan sama sekali akan bahaja jang mengantjam kepadanja. Jang menjadi angan-angan hanjalah lekas terdapatnja Tirtapawitra, jang sangat digandrungi.

Perjalanan Bima naik gunung turun gunung, melalui lereng-lereng di pinggir djurang tjuram, menurut lekuk-kekuk litjin jang lekas luncur, penuh dengan tumbuh-tumbuhan mendjalar berduri, jang tampak segar karena kehudjanan. Melewati sela-sela sempit batu bertimbun-timbun, terselubung tebal oleh pala mendjalar. Beraneka bunga merata di mana-mana harum baunja. Bunga

Page 197: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

184

bogem, banas, cempaka, gambir, gandasuli, kanigara. Anggrek bulan, janggawure, worawari, melati, menur dan angsana. Bunga bakung, nagapuspa, angsoka, argulo, tandjung, semata, kemuning dan kenanga. Alam semesta menjambut Bima. Lebah madu, merangkak di kayu, sangat terharu lihat anak Pandu tertipu. Mentjari Tirtapawitra jang tak ada di sana.

Sang surja semakin tinggi. Udara semakin panas keringat keluar bertjutjuran membasahi seluruh tubuh, namun sang ksatria perwira tak menghiraukannja. Terus, terus, Bima berdjalan terus. Udara semakin panas, kemudian Bima semakin keras. Djalannja pun semakin tjepat bagaikan kilat, menerobos hutan. Bukan djalan, jadi djalan. Karena amat dahsjat kekuatan Bima, jang sebesar raksasa itu, banjak pohon-pohon terbanting tumbang. Angin topan meniup, keadaan rimba bertambah gaduh. Segalanja isinja katjau balau. Banjak binatang terindjak, terbunuh. Lainnja melontjat lari tunggang-langgang, berpekik-pekuk, mendengking-peking. Banjak kidjang banteng terbanting di djurang. Ular melilit lekat di pohon, lepas terpelanting djauh.

Para ajar bubar tersebar kemana-mana, karena pertapaannja kotjar-katjir bertjetjeran terserang badai kentjang. Djuga murid-murid mereka berlari-lari bingung menguasai dusun. Di sana-sini terdengar dengung genta pendeta memudja dewata, menabur bunga di angkasa.

BAGIAN 3Bima tiba di gunung Tjandramuka

Wrekodara tiba di gunung Tjandramuka, terus menudju ke gua. Batu-batu besar di bongkar, kayu-kayu dikelilingi dengan teliti, Tirtapawitra ditjari. Gua dibuka, Wrekodara masuk sambil mengosak-asik semak-semak. Belum terdapat djuga.

Terkedjutlah dua orang raksasa jang berdiam di gua, mendengar suara gemuruh menggelebuk menggelodar, membongkar-bongkar.

Raksasa Rukmaka dan Rukmakala mencium bau manusia. Dengan lekas-lekas mereka keluar, berdjumpa Bima di pintu gua. Sambil berteriak-riak kedua raksasa jang marah itu melemparkan gumpalan gunung kepadanja.

Mata membelalak, muka merah, mulut ternganga dahsjat. Demikianlah Rukmaka dan Rukmala, laksana Batara Kala kembar akan menelan bumi.

Wrekodara menangkis lemparan raksasa seraja berkata: “Hai kamu bedebah djahanam, sangat djahat perbuatanmu, sekonjong-konjong ingin membunuh aku.”

“Hai, kamu manusia durhaka, pentjuri perusak tempat kediamanku.” Demikian djawab kedua raksasa sambil menubruk Bima serta mengepruknja dengan batu besar. Wrekodara digigit sekuat-kuatnja. Tetapi segala usaha mereka untuk membunuh Bima sia-sia belaka. Wrekodara berdiri tegak laksana tonggak. Dionggah-onggah, diojak-ojak, sedikitpun tak bergerak.

Rukmaka jang telah rompang gigi taringnja segera ditangkap oleh Bima, diikalnja dan dikeprukkannja kepada pohon besar, hingga hancurlah tubuh raksasa dan melajanglah djiwanja.

Dengan menggertak dahsjat Rukmakala menjerang, tetapi diterima oleh Bima dengan tamparan jang sangat hebat. Rukmakala djatuh terdjerembap. Dipegangnjalah ia dan dilambungkannja ke angkasa. Achirnja dipegangnja

Page 198: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

185

tubuhnja, diajun-ajunkannja dan dibantingnja di atas batu besar, hingga hantjur beterbangan.

Rukmaka dan Rukmakala telah mati kedua-duanja, tetapi majat mereka hilang seketika itu djuga, karena sesungguhnja mereka itu adalah dewata semua, Sang Endra dan Sang Baju. Karena bersalah kepada Sang Dewaradja, mereka dikutuk, hingga berubah sifat mendjadi raksasa dan berdiam di gua Tjandramuka.

Wrekodara meneruskan usahanja. Bukit-bukit dibongkar, gua-gua digempur, tetapi Tirtaprawita tak dapat diketemukannja.

Matahari semakin tjondong, semakin turun di angkasa barat. Alam semesta mulai terlihat suram, kabur terselubung kabut sendja. Achirnja sang surja silam sama sekali. Seluruh hutan Tikbrasara menjadi gelap gulita, menggelisahkan kalbu Bima, jang belum memperoleh air sutji.

Wrekodara mengaso bersandar pada pohon beringin. Tiba-tiba terdengar olehnja berseru: “Hai, tjutjuku jang sedih, kamu mencari air sutji dan tidak mendapatnja, karena gurumu tidak memberikan petundjuk sebenarnja tentang tempat Tirtapawitra itu. Segala usahamu sia-sia belaka.”

“Ia, tuan,” demikian sahut Bima gelisah, “Siapakah tuan ini? Hamba mendengar suara tuan, tetapi wadjah tuan hamba tak dapat melihatnja. Adakah tuan bermaksud untuk mengachiri hidup hamba? Silakan tuan lekas melaksanakannja. Lebih baik mati dari pada pulang tidak membawa Tirtaprawira.”

“Tjutjuku,” jawab suara sambil tertawa gembira, “Kalau kamu belum mengenal kami, kami adalah Sang Dewa Endra dan Baju, jang terkutuk oleh Sang Dewaradja hingga berupa raksasa, kami adalah jang mendjadi Rukmaka dan Rukmakala, jang telah kau musnahkan. Sekarang kami berdua telah kembali berupa dewa lagi, kami sangat berterima kasih.”

“Tjutjuku, dengarkanlah perkataanku selandjutnja. Air sutji Tirtapawitra itu sungguh ada, tetapi tidak di sini tempatnja, kembalilah kamu kepada Druna, tanjakanlah akan tempat sesungguhnja. Sekianlah tjutjuku. Berbahagialah kamu.”

Suara tak terdengar lagi. Wrekodara diam, sesaat tak bergerak, bingung bimbang. Tetapi hanja sedjurus. Dengan segera ia meninggalkan hutan Tikbrasara menudju Negeri Ngastina.

BAGIAN 4Bima kembali ke Hastina

Perdjalanan kembali ini tak perlu dilukiskan di sini. Dengan singkat Bima telah tiba di negeri Ngastina, tepat pada hari seperti sewaktu ia berangkat.

Pada waktu itu kebetulan sekali seluruh keluarga Ngastina sedang berkumpul di istana seperti dulu. Resi Druna, Resi Bisma, Radja Ngawangga, Radja Mandaraka demikian djuga patih Sangkuni, Raden Sudarma, Raden Suranggakara, Raden Kuwirja, Raden Rekadurdjaja dan Raden Djajasusena. Mereka terkedjut melihat Wrekodara masuk istana dan mengutjapkan selamat datang kepadanja.

“Bima adinda,” demikian seru mereka, “Mendapat hasil agaknja kamu?”Pendeta Druna menjambungnja ”Bagaimanakah perdjalananmu anakku?

Berhasilkah kamu mentjari Tirtapawitra?”

Page 199: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

186

“Druna bapakku”, sahut Bima, “Dengan menjesal saja katakan, bahwa di gunung Tjandramuka tak ada Tirtawapitra. Jang ada hanjalah dua raksasa, jang telah saja musnahkan, karena mereka menjerang dan ingin membunuh saja. Bapakku, seluruh bukit-bukit di Tjandramuka saja bongkar, gua-gua saja gempur, tetapi air sutji tak dapat saja ketemukan. Tundjukkanlah kepadaku letak sesungguhnja, supaja tak usah melakukan pekerdjaan jang sia-sia.”

“Anakku Bima”, djawab Druna sambil memeluknja, “terlebih dahulu bapak ingin mengudji kesetiaanmu kepada guru. Sekarang telah terbukti, bahwa kamu memegang teguh petundjuk gurumu. Sekarang aku dapat mengatakan tempat sebenarnja dari pada air sutji itu. Anakku, pergilah kamu ke samudera. Kamu akan mendapat Tirtapawitra di tengah-tengah dasar samudera. Apabila kamu sunguh-sunguh berguru kepadaku, djalankanlah petundjukku.”

“Druna bapakku“, demikianlah sahut Wrekodara, djangankan di tengah-tengah samudra, sekalipun di atas sorga, maupun di dasar bumi ketudjuh, pasti akan sadja cari air sutji itu. Segala petundjuk bapakku akan sadja lakukan, sungguhpun hingga menemui adjalku.”

“Baiklah anakku”, kata sang Druna, “berangkatlah. Kalau kamu dapat menemukannja, segala nenek mojangmu jang telah meninggal dunia akan hidup kekal dan bahagia karena kamu, sedang kamu akan mempunjai kesaktian tertinggi di dunia. Tak ada sendjata jang dapat membunuh kamu. Kesaktian segala sendjata kalah dengan kesaktianmu.”

Maharadja Sujudana menjambung, “Aduh, adindaku Bima, apakah jang akan kamu alami nanti dalam perdjalananmu? Air sutji berada di tempat jang terlalu amat berbahaja. Hendaklah kamu sangat berhati-hati, djangan bersikap sebagai anak kecil.”

“Sujudana kakanda. Serahkanlah hidupku di tangan Dewata. Ikhlaskanlah aku. Djanganlah kakanda berduka tjita karena kepergianku. Mudah-mudahan usahaku berhasil dan aku dapat kembali dengan selamat.”

“Hendaklah Sang Dewata beserta dengan kamu Bima” kata Sang Sujudana.

“Terima kasih. Nah, sekianlah. Selamat tinggal” sembah Bima, dan dengan kata terachir ini Wrekodara meninggalkan istana, menudju ke negeri Ngamarta, untuk lebih dulu minta diri dari pada seluruh keluarga Pandawa.

BAGIAN 5Bima minta diri dari keluarga Pandawa dan Prabu Kresna

Dalam pada itu di negeri Ngamarta suasana duka cita sedang meliputi istana. Raja Judistira dan saudara Pandawa lain-lainnja sangat bersedih, karena ditingggalkan Bima. Mereka mengerti, bahwa Ngastina ingin memusnahkan dia, bahkan seluruh Pandawa. Tetapi Bima tidak menghiraukan segala petundjuk baik. Ia masih djuga meneruskan kemauannja, berguru kepada pendeta Druna jang memihak Ngastina.

Sang Nata, Ardjuna, Nakula dan Sadewa amat chawatir akan tindakanBima itu. Achirnja mereka memutuskan untuk mengirimkan utusan ke negeri Dwarawati, mempersilakan Seri Kresna datang di negeri Ngamarta.

Page 200: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

187

Para utusan berangkat dengan membawa surat. Setiba mereka di Dwarawati, mereka etrsu mauk ke istana dan memepersembahkan surat jng dibawanja kepada Radja Kresna.

Setelah Radja Dwarawati tiba di Ngamarta, didjemputnjalah baginda itu oleh Seri Judistira dan seluruh kerabat Pandawa. Semuanja mengaturkan selamat datang.

Segera Seri Judistira dan Ardjuna mengaturkan segala hal ihwal, jang menggelisahkan seluruh Pandawa. “Adinda sekalian”, demikian Seri Kresna, “djanganlah bersedih hati, Bima mempunjai kemauan jang sutji, berguru kepada seorang pendeta jang tersohor. Memang saja tahu akan kedjahatan Ngastina. Tetapi kalau maksud jang sutji itu dipergunkan oleh fihak lain untuk mendjatuhkan Bima, pertjajalah adindaku sekalian, bahwa Sang Dewata pasti akan mengukum perbuatan djahat itu”.

“Kakanda”, sahut Radja Judistira, “apabila Wrekodara dapat kembali dengan selamat, kami bernadar akan mengadakan pesta besar. Hendaklah kakanda menghadirinja.

Ah, kakanda, seandainja kakanda tidak lekas datang kami sekalian akan terus-menerus bersusah hati. Pasti kami semua akan pergi mentjari Bima”.

Tengah para agung berbitjara itu, datanglah sekonjong-konjong Wrekodara menghadap. Seketika itu djuga suasana sedih berubah mendjadi gembira. Semua mengerumuni Bima. Ardjuna, Nakula dan Sadewa, Pantjawala, Sumbadra, Drupadi dan Srikandi.

Seri Kresna bersabda: “Silakan adinda Judistira lekas mengadakan pesta”.Wrekodara menjahut: “Tidak usah diadakan pesta. Saja tidak dapat

menunggu lama. Segera saja akan berangkat lagi. Saja hanja akan datang untuk memberitahukan tentang kepergianku selandjutnja.

Djuga kepada kakanda Kresna saja minta diri untuk mentjari air sutji Tirtapawitra ke dasar tengah-tengah samudera, sesuai dengan petundjuk Resi Druna guruku.”

Mendengar keterangan Bima itu seluruh keluaraga Pndawa terkedjut menangis. Serempak mereka menahannja: “Aduh, kakanda, djanganlah kakanda melakukan petundjuk djahat itu.”

“Kakanda Kresna,” demikian Seri Judistira, “apakah jang harus kita perbuat? Bima tidak menghiraukan peringatan kita semua.”

Seri Kresna diam, tak dapat melahirkan sepatah katapun. Heran dan bingung meliputi kalbu baginda.

Seri Judistira lekas-lekas memeluk Bima sambil menangis. Demikian djuga Ardjuna, Nakula dan Sadewa, mereka mendekap kakai Wrekodara. Lain-lainnjapun berusaha untuk menghalang-halangi kemauan Bima. Pantjawala, Drupadi, Sumbadra, Srikandi, mereka memegang pakaian Bima. Tak berputus-putus Seri Kresna menasihati dia, supaja mengurungkan kehendaknja. Tetapi segala usaha Pandawa tak berguna. Wrekodara tak dapat ditahan. Semua jang memegangnja dilemparkannja. Bima keluar dari istana, terus berangkat menudju ke samudera.

Seluruh Pandawa berkabung, merasakan seolah-olah ditinggalkan oleh Bima untuk selama-lamanja, seakan-akan ditinggalkan mati olehnja. Dalam istana hudjan tangis. Radja Dwarawati tak berputus-putus menghibur serta memperkuat

Page 201: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

188

hati mereka. Berhubung dengan ini Seri Kresna tidak lekas-lekas kembali ke negeri Dwarawati.

BAGIAN 6Bima melandjutkan perdjalanannja menudju ke samudera

Bima telah meninggalkan ibu kota Ngamarta dan melandjutkan perdjalanannja melalui dusun-dusun. Penduduk jang didjumpainja takut serta heran melihat Wrekodara berdjalan tjepat serupa naga murka. Karena pesat dijalanja seakan-akan Bima tak menapak tanah dan dalam beberapa saat sadja ia telah djauh perdjalanannja.

Tempat-tempat ramai telah dilalui. Djalan semakin sunji dan achirnja ia masuk dihutan jang semakin lebat. Bima sama sekali tidak memikirkan segala bahaja jang mungkin akan menimpanja. Hanja satu hallah jang meliputi seluruh di djiwanja: terdapatnja air sutji Tirtapawitra.

Isi alam semesta seakan-akan memperingatkan kepada Wrekodara supaja kembali, karena meneruskan perdjalanan ini berarti dengan sengadja mentjari adjalnja. Pohon-pohonan tertiup angin melambai-lambaikan ranting daunja seolah-olah memanggil-manggil kembali. Daun talas bergojang-gojang, bagaikan orang menggeleng-gelengkan kepala tidak setudju akan perbuatkan Bima jang tak bertanggung djawab itu. Bawang merah, bawang putih menggelatar takut, chawatir, bahwa Wrekodara akan mengalami kesukaran-kesukaran berat. Beraneka warna bunga dengan baunja semerbak membudjuk-budjuk Bima supaja mengurungkan kemauannja. Suara serangga menangis. Burung murai menjambar-njambar menjuruh Bima kembali. Rusa dan kidjang melontjat-lontjat menjilang djalan, menghalangi-halangi perdjalanan Wrekodara.

Tetapi Bima berdjalan terus, tidak menghiraukan bisikan alam. Menembus menerobos hutan.

Hari berganti malam jang semakin gelap, namun Wrekodara tidak mengenal takut, tidak mengenal berhenti. Meraba, memegang, menarik dan melemparkan segala sesuatu jang berada didepannja. Hanja kilat malam jang tiap-tiap kali menggelebjar sebentar memberi penerangan kepada Bima dalam meneruskan perdjalannja.

Bima merasa perdjalananja mendaki, hingga semakin sukar. Tambahan pula litjin karena kehudjanan, kadang-kadang terpaksa merangkak dan memegang-megang.

Pada saat fadjar menjingsing, perdjalanan sudah mulai turun. Wrekodara dapat bernafas longgar, karena sekarang dapat berdjalan agak mudah.

Dari djauh mulai terdengar suara menderum menggelebjur, ombak gelombang samudera, tempat tudjuan Bima.

Sajup-sajup tampak sedjauh mata melihat, lautan luas mendjauh di kaki langit, didjauh kebiru-biruan, didekat menggelembung bergulung-gulung membanting diri dipantai. Kembali mengombak-ombak menengah, terbentur gelombang baru, mewudjudkan bukit berbaris-baris, meninggi, membubung, meletus memetjah, membuih-buih, membual-bual dashjat, laksana kawah Tjandradimuka terkebur. Suara mengguntur-guntur bagaikan Sang Dewa Kala hendak melebur bumi.

Page 202: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

189

BAGIAN : 7Bima sampai ditepi samudera, terdjun ke air berkelahi dengan naga radja

Tibalah Bima di pantai. Melihat kedahsjatan samudera, sekedjap mata timbullah rasa ragu-ragu. Teringatlah ia akan peringatan saudara-saudaranja. Segala perkataan Pendeta Druna adalah tipu muslihat belaka, jang mengandung maksud untuk memusnahkan Bima dan selandjutnja seluruh Pandawa.

Tetapi Bima adalah seorang ksatria. Ia telah melahirkan kesanggupannja untuk menganut petundjuk gurunja. Bagi seorang ksatria berat sekali untuk mengingkari djandji. Itulah sebabnja, maka segera timbullah keputusannja jang tegas. Lebih baik hantjur lebur di samudera dari pada mundur, kembali ke negeri Ngamarta.

Djauh sekali hampir di kaki langit, kelihatan perahu-perahu berlajar, tampak putih-putih bagaikan itik mengambang berenang.

Wrekodara menjingsingkan kain serta tjelananja dan terdjun keair. Ombak samudera mengempas-empas dipahanja, gelombang mentjampak dimukanja.

Permukaan air semakin naik, achirnja sudah sampai di leher Bima, hingga sukar sekali baginja untuk melandjutkan perdjalanannja, sedang kekuatan ombak berkali-kali hampir menghanjutkan dia. Bima menghadapi maut.

Tetapi untung, beribu-ribu untung, bahwa pada saat jang berbahaja itu ia teringat akan wasiat Djalasengara, doa gaib jang membebaskan dia dari pengaruh air. Segera itu diutjapkannja dan pada saat itu djuga Wrekodara merasa seakan-akan berdjalan di daratan biasa.

Tetapi pertjobaan Sang Dewata terhadap kesetiaan Bima belum habis djuga. Wrekodara baru sadja melandjutkan beberapa langkah, timbullah kesukaran baru.

Dari djauh terdengar suara mendesis-desis serta mengikik-kikik. Wrekodara melihat sesuatu benda hitam jang terapung-apung di air, jang makin dekat makin besar bentuknja. Sebuah pulaukah itu, atau sebuah perahu jang tergulingkah ? Tetapi suara jang terdengar semakin gemuruh dashjat.

Setelah dekat sekali ternjatalah bahwa jang dilihat Bima itu adalah seekor ular raksasa, jang menjembur-njemburkan bisa. Kedua belah matanja membelalak merah, mengkilat menjala-jala seolah-olah kan membasmi Bima. Gigi taring terlihat berkilau-kilau sebagai pisau, menggerut-gerut.

Wrekodara tak dapat mentjamkannja lama, karena naga raksasa itu setjepat kilat menggulat dan membelit bulat tubuhnja, sambil menghambur-semburkan bisa ke mukanja.

Wrekodara merasa akan menemui adjalnja, bingung mentjari akan untuk meloloskan diri. Makin keras kemauannja untuk melepaskan diri, makin kuat pula naga raksasa membelit tubuhnja. Bima hampir tak dapat bernafas lagi.

Perahu-perahu jang pada waktu itu berlajar dekat tempat Bima bergulat, mengelak mengambil djalan lain, untuk menghindari jang disangkanja bahaja. Sebentar lagi tak ada sebuahpun jang terlihat lagi.

Sementara itu Bima meneruskan usahanja supaja dapat terlepas dari pembelitan naga.

Tetapi segala daja dan upaja tak berguna, kekuatan Bima semakin berkurang. Dalam kalbunja ia telah menjerahkan djiwanja di tangan Sang Dewata.

Tetapi………..pada saat Bima tidak mempunjai harapan untuk hidup itu, datanglah pertolongan dari Atas. Sekonjong-konjong ia teringat akan kuku

Page 203: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

190

wasiatnja Pantjanaka. Seketika itu djuga Bima mengumpulkan segala kekuatan jang masih ada padanja. Segera ditusuknjalah naga raksasa dengan Pantjanakanja dan dirobek-robeknja. Darah berhambur-hamburan ke mana-mana, bagaikan hudjan. Sedjauh penglihatan mata laut tampak merah. Naga raksasa telah mati. Samudera mendjadi terang. Segala isinja seakan-akan ikut bersukaria. Dalam air jang semakin mendjernih itu kelihatan ikan beratus-ratus kedjar mengedjar, tangkap-menangkap. Binatang-binatang lainndja ada di antaranja jang mengambang tenang, menikmati udara samudera jang telah tenteram kembali, hela-menghela lagi, melarikan diri, membelok kembali………..

Wrekodara dapat bernafas longgar, sedjurus menikmati permainan alam seraja melandjutkan perdjalanannja. Ke mana ? Tudjuannja terang: mentjari air sutji Tirtapawitra. Namun Bima tak mengerti ke arah mana ia harus berdjalan. Lautan luas jang tak berukuran itu sangat membingungkan kalbunja. Bima berdjalan, asal berdjalan. Ke djurusan mana, tidak dihiraukannja. Ia hanja menurut arah kakinja…………

Djauh diangkasa Sang Dewata melihat Bima dengan bangga. Dalam kalbu telah timbul rasa kasih mesra serta hasrat untuk menolong Wrekodara, jang melakukan perintah jang gelap baginja. Tirtapawitra tersimpan tersembunji. Hanja orang jang mendapat anugerah Sang Dewata akan memperolehnja.

BAGIAN : 8Keluarga Pandawa gelisah akan nasib Bima

Dalam pada itu keluarga Pandawa terus menerus dalam suasana berduka tjita, karena kepergian Bima. Makin lama difikirkannja, makin sangat terasa kesusahannja. Kelima orang saudara Pandawa merupakan kesatuan bulat, sesuatu pantjatunggal jang tak dapat dipetjah-petjahkan. Kesatuan sehidup semati. Ringan sama mendjindjing, berat sama memikul. Lebih lagi Bima adalah tulang punggung Pandawa. Mereka semua ingin menjusul kepergiannja.

Mereka menangis dihadapan Baginda Kresna, mohon petundjuk tentang apa jang dapat mereka lakukan, agar supaja dapat berdjumpa dengan Wrekodara.

“Adinda semua”, demikian Seri Kresna, “djanganlah chawatir. Adinda Wrekodara tidak akan menemui adjalnja, bahkan sebaliknja ia akan mendapatkan anugerah Dewata. Bima akan timbul kembali sebagai ksatria sakti sutji, mendjadi kasih sajang Sang Batararadja, dapat berganti bersifat dewa jang maha awas. Dari sebab itu, djanganlah adindaku semua terus menerus bersedih hati”.

Dengan keterangan ini hilanglah segala kesedihan dari kalbu para kadang kedajan Pandawa, karena sabda Seri Kresna, sebagai pendjelmaan Batara Wisnu, pasti njata.

BAGIAN : 9Bima menerima wedjangan Ilmu Kesunjataan dari Dewarutji

Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Suasana pada waktu itu tenang. Udara djernih. Angin sepoi-sepoi menghembus silir-semilir. Wrekodara mengisap udara segar. Kebingungannja semakin reda. Achirnja lenjap sama-sekali. Tenang keadaan

Page 204: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

191

alam, tenang kalbu Bima. segala sesuatu menundjukkan akan datangnja saat jang membawa kebahagiaan bagi Wrekodara.

Dengan diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. Tampaknja hanja sebagai anak berdjalan-djalan bermain-main.

“Hai, Wrekodara”, tegurnja, “untuk apa kamu datang kemari? Apakah maksudmu? Tempat ini adalah sunji senjap, tak berisi apapun djuga. Makanan tak ada, pakaian tak ada. Saja hanja makan, apabila ada daun melajang djatuh di mukaku”.

Mendengar teguran itu sesaat Bima tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ia keheran-heranan, bahwa di tempat sesunji itu ada seorang katik tak berkawan sama sekali.

“Orang apakah ini”, fikir Wrekodara, “besarnja hanja sekelingkingku. Sikapnja sangat sombong. Ia sudah tahu namaku”. Dewarutji meneruskan katanja:

“Ketahuilah bahwa tempat ini adalah penuh mara bahaja. Kenjataan di sini djauh berlainan dengan angan-anganmu. Kamu hanja bertemu dengan kesunjian sadja, lain tak ada. Kamu tidak sajang kepada djiwamu, Bima”.

Wrekodara semakin mengerti, bahwa ia berhadapan dengan seorang dewa. Sikapnja diperbaiki dan dengan sangat sopan ia bersembah :

“Ja tuan, hamba jakin bahwa tuan tak chilaf akan maksud kedatangan hamba disini”.

“Hai Bima”, sahut Sang Resi, “aku tidak heran melihat keberanian serta ketabahan hatimu, karena aku tahu silsilahmu. Kamu adalah keturunan Sang Dewataradja. Sang Jang Guru berputera Sang Jang Brama, jang menurunkan segala radja, djuga ajahmu Radja Pandu adalah keturunannja. Adapun ibumu adalah keturunan Sang Jang Wisnu. Ibumu Kunti dengan ajahmu berputera tiga orang. Kakakmu Radja Judistira putera jang sulung, kamu jang kedua, Ardjuna adalah jang ketiga. Nakula dan Sadewa adalah putera Madrim, ibumu kedua. Lengkap lima orang djumlahnja, kamu semua adalah Pandawa, karena keturunan Pandu”.

Wrekodara semakin besar pengharapannja akan mendapatkan apa jang ditjarinja.

“Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja.

Sungguh sukar hidup di dunia. Anakku, djanganlah kamu pergi, apabila belum mengetahui tempat tudjuanmu. Djanganlah makan makanan, jang belum pernah kamu makan. Djanganlah mengenakan pakaian, djika kamu belum tahu namanja. Kamu dapat mengetahui barang sesuatu dengan djalan bertanja. Orang dapat mendjalankan barang sesuatu dengan djalan meniru lebih dulu, achirnja bertindak sendiri. Djanganlah bersikap sebagai si bodoh jang datang dari gunung ingin membeli emas kepada seorang pandai emas, diberi kertas kuning disangkanja emas indah.

Demikian pula orang berbakti. Apabila belum mengetahui tempat jang diberi bakti, pasti mudah saat djalannja, mudah ditipu”.

Wrekodara menerima petuah-petuah itu semua dengan senang hati, tetapi disamping ini merasa djuga akan kekeliruannja, melakukan perintah dengan tidak mengerti tempat tudjuannja.

Page 205: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

192

“Tuan”, sembahnja “sudi apalah kiranja tuan mengatakan kepada hamba, siapakah tuan ini dan mengapa tuan hanja seorang diri sadja”.

“Nama saja Dewarutji”, djawab Sang Batara.“Ja, tuan”, sembah Bima selandjutnja, “djika demikian hamba mohon, sudi

apalah kiranja tuan memberikan kepada hamba segala sesuatu jang hamba perlukan. Hamba masih seperti binatang liar, tidak mempunjai pengetahuan sama sekali, lebih-lebih tenang berbakti. Hamba belum mengerti pula, apakah badan sutji itu sesungguhnja. Hamba merasa masih muda bodoh bebal, mendjadi tjelaan dunia. Seperti keris jang tidak bersarung. Apabila bertjakap-tjakap tidak mengingat tempat dan suasana”.

Dengan ramah-tamah, penuh rasa kasih mesra Dewarutji mendjawab :“Anakku Bima, lekaslah kamu masuk kedalam tubuhku!” Wrekodara

mendengar sabda Sang Dewarutji amat terkedjut. Sambil tertawa ia bersembah : “Maaflah, tuan bagaimanakah perintah tuan ini dapat hamba djalankan. Tuan bersifat kerdil, sedang hamba besar seperti gunung. Bagaimanakah hamba dapat masuk kedalam tubuh tuan, kelingking hamba sadja tak akan dapat masuk”.

“Bima”, sahut Sang Dewa Katik, “manakah lebih besar, kamu atau dunia ini. Sedangkan dunia ini dengan segala isinja, dengan gunung-gunungnja, dengan seluruh samuderanja, dengan rimba hutannja, semua dapat masuk dan tak akan sesak”.

Mendengar keterangan demikian ini Bima merasa heran tetapi takut lalu bersembah : “Baiklah tuan hamba akan masuk kedalam tubuh tuan”.

Dewarutji memiringkan kepala sambil bersabda : “Di sanalah djalannja. Masuklah melalui telinga kiri!”

Wrekodara mendekati telinga kiri Sang Batara. Sekonjong-konjong lubang telinga tampak sebagai pintu gerbang terbuka lebar. Dengan tidak ragu-ragu lagi Bima masuk ke dalam tubuh Sang Dewarutji.

Tampaklah di hadapan Bima samudera jang luas sekali, hingga seakan-akan tak bertepi sama sekali. Hanja tjakrawalalah jang merupakan batas kelilingnja, kelihatan djauh sajup-sajup dimata.

Sang Dewarutji berkata : “Wrekodara, apakah jang kamu lihat sekarang?” Bima bersembah : hamba tak melihat apapun djuga, ketjuali pandangan jang sangat djauh tak terbatas. Hamba merasa berdjalan di angkasa, jang luas bukan buatan. Hamba sangat bingung tidak mengetahui utara, selatan, timur dan barat. Demikian pula kiri kanan, di muka, di belakang, di atas dan di bawah. Bagi hamba segala-galanja sama, tak ada perbedaannja sama sekali”.

“Anakku Bima”, demikian Sang Dewarutji, “djanganlah kamu takut”.Dengan utjapan ini Sang Batara sekonjong-konjong menampakan diri di

muka Wrekodara. Sang Dewarutji kelihatan bersinar berkilau-kilau. Pada saat itu djuga Bima tidak bingung lagi, telah dapat mengenal segala djurusan. Ia melihat Sang Surja lagi diangkasa. Hati Wrekodara mendjadi tenang kembali, sekalipun ia merasa berada di dunia terbalik. Dewarutji bersabda lagi : “Bima, silakan kamu melihat-lihat. Apakah jang sekarang tampak di mukamu?”

“Ja, tuan”, sembah Bima, “pada saat ini hamba melihat pemandangan tjatur warna : hitam, merah, kuning dan putih. Adapun jang tadi tampak, sudah tidak kelihatan lagi dan hamba tidak tahu namanja”.

“Ketahuilah, Bima”, djawab Sang Batara, “jang kamu lihat pertama kali adalah tjahaja mengkilat, pantjamaja namanja. Pantjamaja itu adalah hati, jang

Page 206: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

193

mendjadi pemuka badan dan disebut mukasifat artinja hati jang membawa kepada sifat jang luhur, sifat jang sedjati. Hati ini selalu mendjadi petundjuk djalan. Dari sebab itu ikutilah pantjamaja itu. Tunduklah kepada larangannja. Djanganlah ragu-ragu akan pimpinannja. Tjamkanlah sifat-sifatnja, kekuasaannja serta chasiatnja. Petundjuk pantjamaja itu selalu menudju ke arah jang sedjati”.

Wrekodara senang sekali mendengarkan wedjangan Sang Batara, karena sangat haus kalbunja akan air sutji itu, bagaikan kuntum bunga jang kena sinar matahari mulai kembang.

Dewarutji melandjutkan sabdanja : “Adapun tjatur warna jang kamu lihat, merah, hitam, kuning dan putih itu adalah bahaja-bahaja jang terdapat dalam kalbu manusia dan jang menudju ke dunia dengan segala isinja.

Warna merah, hitam dan kuning itu merupakan penghalang bagi manusia dalam mendjalankan perbuatan baik. Barang siapa dapat melepaskan diri dari pada ketiga bahaja itu akan bersatu padu dengan Sang Gaib, ketiga-tiganja itu adalah musuh para pertapa serta mendjadi perintang tjipta karsa jang luhur, jaitu untuk memperoleh perpaduan tersebut dengan Sang Sukma Mulia. Dari sebab itu hendaklah kamu awas dan waspada akan bahaja-bahaja itu. Ketahuilah kekuasaannja masing-masing.

Warna jang hitam itu mempunjai kekuatan besar sekali. Sifatnja mudah marah. Segala sesuatu digusari. Tjaranja marah luar biasa. Warna hitam adalah hati jang selalu menghalang-halangi maksud jang baik.

Adapun jang berwarna merah itu pekerdjaannja menutup hati jang awas dan waspada. Segala keinginan jang tidak baik timbul dari padanja. Sifatnja senang marah djuga serta tjemburu.

Warna jang kuning selalu merintangi angan-angan dan tindakan jang menudju ke arah keselamatan, sebaliknja setudju dengan perbuatan-perbuatan jang merusak dan membawa kedjurusan kesengsaraan.

Hanja warna jang putihlah jang terbaik serta mempunjai sifat-sifat jang luhur : tenang, sutji, tidak banjak bitjara, tetapi banjak kerdja. Berani mendjalankan tindakan utama, tetapi melakukan perbuatan djahat. Warna putih itu adalah hati jang dapat menerima ilham tentang rupa sedjati, memperoleh anugerah luhur dapat bersatu padu kekal dengan Sang Gaib.

Tetapi hati putih ini berhadapan dengan musuh jang kuat-kuat jakni hati merah, hitam dan kuning, sedang sihati putih hanja seorang diri sadja. Dari sebab itu perangnja selalu kalah. Tetapi apabila dapat memperoleh kemenangan dan dapat menghantjurkan musuh ketiga-tiganja, akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan ke arah persatuan manusia dan Sang Suksma Kawekas”.

Wrekodara semakin sungguh-sungguh tjaranja mendengarkan serta semakin besar hasratnja untuk mengetahui kesudahan hidup dan kesempurnaan perpaduan.

Setelah pemandangan empat matjam hilang, tampaklah di muka Bima sebuah njala berwarna delapan. Segera hal ini dimohonkan keterangan kepada Sang Dewarutji.

“Ja, tuan”, sembah Bima, “sudi apalah kiranja Sang Dewa memberikan makna tentang pemandangan ini. Diantara delapan warna itu manakah jang sedjati. Ada jang gemerlapan seperti ratna, ada pula jang kelihatan terang samar-samar dan ada djuga jang serupa sinar djamrud”.

Page 207: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

194

“Ketahuilah, Bima”, sabda Sang Batara “jang kamu lihat itu adalah persatuan jang sedjati. Segala warna itu sudah ada padamu. Segala warna itu artinja isi alam semesta ini tergambar oleh seluruh tubuhmu, hingga tak ada perbedaan antara manusia sebagai dunia ketjil dengan dunia besar ini. Timur dan barat, utara dan selatan, atas dan bawah, semua mata angin ini terdapat tidak hanja di dunia besar sadja, melainkan djuga di dunia ketjil.

Warna merah, hitam dan kuning serta warna putih jang mendjadi hidupnja dunia itupun terdapat dalam kedua-duanja. Apabila sifat-sifat dunia tersebut hilang, akan tak adalah segala jang ada. Sesungguhnja segala sesautu itu terkumpul berupa satu, bukan wanita bukan lelaki, seperti anak lebah, jang tampak bagaikan boneka gading. Lihatlah, Wrekodara, apakah jang tampak di mukamu !”

Bima melihat boneka gading, mengkilat gemerlapan. “Ja, tuan”, sembah Bima, “hamba melihat sebuah boneka gading, jang elok gemerlapan : Apakah ini udjud Tirtapawitra, jang hamba tjari?”

“Anakku Bima”, sahut Dewarutji lemah lembut, “boneka itu bukan jang kamu tjari. Adapun jang kamu maksudkan itu adalah sesuatu, jang menguasai segela hidup. Itu tidak dapat kamu lihat, karena tak berudjud dan tak berwarna serta tak bertempat kedudukan. Hanja orang jang waspada dapat mengerti di mana tempatnja, karena hanja menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, jang tak dapat diraba.

Adapun boneka gading jang berkilat-kilat bagaikan mutiara itu bernama Sang Pramana, jang mendjadi hidupnja badan, djadi bersatu dengan badan. Tetapi Sang Pramana itu tidak ikut bersusah, apabila manusia bersedih hati, tidak ikut menderita. Tidak ikut makan serta tidur. Kalau Sang Pramana ini terpisah dari manusia, maka tubuh akan tak berdaja lagi, lemah lesu tak berkekuatan sama sekali. Djadi teranglah, bahwa Sang Pramana itu adalah jang berkuasa dalam kehidupan manusia, karena jang membawa hidup manusia.

Tetapi, Bima, Sang Pramana itu djuga tidak dapat hidup sendiri, melainkan menerimanja dari Sang Sukma, jang memegang hidup, jang mendjadi inti dari pada dhat (zat). Sang Sukma ini ada padamu,sebagai simbar jang tumbuh dipohon-pohonan. Apabila manusia meninggal dunia, maka Sang Pramana ikut hilang djuga, tetapi Sang Sukma tetap ada. Memang Sang Sukma inilah jang bersifat njata”.

“Ja, tuan”, sembah Wrekodara seterusnja, “sudi apalah kiranja tuan hamba memberikan keterangan, manakah udjud Sang Sukma, jang njata itu ?”.

“Anakku, Bima”, sahut Sang Dewarutji, “itu tidak dapat kamu peroleh dengan kedjasmanianmu. Tjara untuk memperolehnja kadang-kadang mudah, tetapi ada kalanja sukar diduga”.

Wrekodara bersembah, “Ja, tuan, hamba mohon, hendaklah tuan memberi wedjangan lebih landjut. Hamba ingin sekali mengetahui hal ini sesempurna-sempurnanja. Hamba ingin sekali memperoleh pakaian rohani jang njata ini. Berikanlah itu kepada hamba, ja tuan. Djanganlah sampai sia-sia kesusah-pajahan hamba. Hamba mempersembahkan hidup mati hamba ke hadapan tuan. Apabila tuan hamba tidak melandjutkan wedjangan tuan, hamba tidak akan meninggalkan tempat ini. Hamba telah merasa enak di sini. Di sini tidak ada kesusahan dan penderitaan, tidak ada kesukaran dan tidak ada kesakitan, tidak merasa lapar dan tidak memerlukan tidur. Jang ada hanjalah kenikmatan dan kesedjahteraan”.

Page 208: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

195

“Hai, anakku”, sabda Sang Dewata, “kamu tidak boleh menetap di sini sebelum kamu meninggal dunia”.

Sang Dewarutji semakin besar tjintanja kepada Bima jang selalu mendesak, supaja wedjangan dilandjutkan hingga selesai.

“Anakku Bima”, demikian sabda Dewarutji seterusnja, “keinginannmu itu adalah baik sekali. Kelak akan terkabul djuga. Dari sebab itu hendaklah kamu selalu awas akan adanja perintang-perintang jang membahajakan perdjalanan hidupmu. Berdjalanlah terus, bersikaplah waspada. Kalau kamu sudah memiliki segala wedjangan ini, hendaklah kamu simpan baik-baik dan kamu rahasiakan. Berhati-hatilah dalam kamu bertjakap-tjakap, djangan sampai membitjarakannja dengan orang lain, ketjuali djika orang ini telah mendapat anugerah dari Sang Dewata. Karena apabila tidak demikian akan mudah timbul perselisihan faham. Dalam hal ini hendaklah kamu mengalah, djangan kamu mempertahankan diri, biar pembitjaraan lekas selesai.

Selandjutnja djanganlah kamu melekat kepada ratjun hidup. Sebaliknja peganglah teguh hasratmu untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup sedjati. Sang Hidup itu berada di dunia besar ini dan hidup, tidak ada jang memberi hidup dan ada, tetapi tak ada jang merasa akan adanja. Sang Hidup itu sesungguhnja ada padamu djuga dan tak dapat dipisahkan dengan kamu. Ketahuilah, bahwa asal usulmu itu dari padanja. Itulah sebabnja maka kamu mempunjai sifat jang mirip dengan Sang Hidup itu. Segala perbuatannja, pantjainderanja adalah padamu djuga. Hanja sadja Sang Sukma itu melihat tidak dengan mata djasmani dan mendengar tidak dengan telinga djasmani. Adapun telinga dan mata jang dipakainja sudah ada padamu. Kelahiran dan kebatinan Sang Sukma itu ada padamu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kaju terbakar, asap dan kaju tidak dapat dipisahkan. Demikian pula air dan alun tak dapat dtjeraikan. Djuga dapat dimisalkan sebagai minjak jang tidak dapat dipisahkan dari air susu. Demikianlah keadaanmu, dengan segala tjipta rasa karsamu, apabila kamu telah memperoleh anugerah dapat bersatu padu dengan Sang Sukma. Seterusnja, djika perpaduan itu telah tertjapai sungguh-sungguh, segala hasrat keinginanmu akan terlaksana. Kamu selandjutnja hanja bersikap sebagai wajang kulit jang, diwajangkan oleh Sang Sukma sebagai dalang jang ada didalammu. Segala tingkah lakumu, semua gerak-gerikmu ditentukan oleh Sang Dalang. Dunia ini merupakan panggung dan lajar putih, jang digunakan untuk memainkan wajang. Memang besar sekali kekuasaan Sang Dalang itu.

Perpaduan Manusia-Dewata atau Abdi-Gusti itu tak dapat digambarkan-gambarkan, karena tak berudjud. Tetapi kenjataannja sudah ada padamu. Perpaduan itu bagaikan orang bertjermin. Jang bertjermin itu Sang Sukma, sedangkan kamu merupakan bajangannja. Supaja lebih mudah, hal ini akan saja terangkan lebih landjut sebagai berikut : Manusia itu mempunjai dua matjam badan, badan djasmani dan badan rohani. Badan djasmani itu udjud lahir jang kelihatan, jang dapat diterima oleh pantjaindera. Adapun badan rohani terdapat di dalam tjermin, tetapi bukan tjermin biasa, melainkan tjermin di dalam kalbu. Itulah udjud kita sendiri jang tertjetak didalam hati.

Apabila badan djasmani menutup segala pantja inderanja, akan besar sekali faedahnja, karena semua godaan hidup tidak berpengaruh terhadap dia. Sungguh besar sekali arti perpaduan antara badan djasmani dan badan rohani itu. Manusia jang telah memperoleh persatuan ini mempunjai tingkatan hidup jang tinggi

Page 209: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

196

sekali, memiripi Sang Maha Dewata. Kalau pada sesuatu saat kedua-duanja mengadakan pertemuan, dan badan djasmani melahirkan keinginan-keinginannja, badan rohani pasti dapat mengabulkannja, asal tidak berlebih-lebihan sifat keinginan-keinginan itu.

Badan rohani itu djuga berada di dalam anak mata. Adapun rasa itu dibagi-bagi mendjadi tiga golongan : rasa luar, rasa dalam dan rasa kadim. Ras luar adalah rasa badan, rasa dalam itu rasa jang dialami mulut, sedang rasa kadim adalah rasa dalam impian. Ketiga-tiganja itu dikuasai oleh Sang Dewa Agung, jang bersifat hidup kekal dan jang mengadjak tidur, bangun, tenang, bergerak serta jang memberi ketjakapan bernafas. Djuga jang menerima keluar masuknja nafas. Sang Hidup kekal itu bertachta dalam badanmu dan menguasai badan itu. Rambut itu dapat hidup karena kulit, kulit hidup karena daging, daging karena darah, darah karena nafas. Adapun jang mendjadi sumber nafas itu adalah ubun-ubun. Dari sini hidup itu mengalir ke seluruh tubuh. Dari sebab itu, apabila sumber tadi ditutup, hingga si hidup tak dapat mengalir, maka tubuh akan lemah lemas tak berdaja sama sekali.

Tetapi, anakku Bima, ketahuilah, bahwa segala-galanja itu hanja merupakan alat jang tidak kekal adanja. Karena hidup itu dikuasai oleh jang menjebabkan hidup, sedang jang menjebabkan hidup itu masih dikuasai lebih landjut oleh Sang Pembentuk Hidup, jang tidak dapat dilihat oleh mata kepala djasmani, bahkan tidak dapat diraba oleh budi manusia. Sang Pembentuk Hidup itu hanja dapat dilihat oleh manusia jang telah kosong sunji, artinja sudah tidak menggunakan alat sama sekali. Djadi orang dapat melihat Sang Hidup kekal itu hanja dengan melalui satu djalan sadja, jaitu dengan membulatkan kesatuan diri pribadi, hingga tidak terkena oleh pengaruh lain-lainnja, jang dapat membelokkan tekadnja. Ingatlah, anakku, bahwa segala tindakan itu ditimbulkan oleh bergeraknja kehendak. Dari sebab itu dengan singkat dapat saja katakan, bahwa dalam pokoknja orang harus berani mematikan diri, melepaskan diri dari segala nafsu, jang menghalang-halangi maksud pokoknja. Apabila orang tidak berani mematikan diri, maka setiap usahanja kandas, maksudnja gagal, tudjuannja tak tertjapai.

Kelepasan itu besar sekali artinja, lebih besar dari pada dunia besar ini. Lebih halus dari pada air dan lebih ketjil dari pada kuman. Lebih besar, karena dapat menguasai segala sesuatu. Lebih halus dan lebih ketjil, karena dapat mendjelma mendjadi besar dan ketjil. Dapat berudjud binatang besar, tetapi djuga berkuasa untuk mendjadi serangga jang ketjil. Sungguh luar biasa kelepasan itu, melebihi dugaan jang menerimanja, hingga sukar untuk dipertjaja, karena luar biasanja.

Anakku, usahakanlah dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh petundjuk-petundjuk dan pengetahuan jang njata. Latihlah dirimu dengan sekuat tenagamu, hingga achirnja dapat mengetahui tingkah laku jang gaib.

Petundjuk atau ilmu itu bagaikan benih, sedang jang menerimanja adalah tempat tumbuhnja. Benih katjang dan kedelai jang disebar dibatu, kalau tak ada tanahnja, kehudjanan dan kena panas terik matahari, nistjaja tidak akan dapat tumbuh.

Apabila kamu telah memperoleh kebidjaksanaan, hilangkanlah penglihatanmu biasa, supaja kamu dapat melihat setjara rohani. Selandjutnja wudjud dan suaramu itu sesungguhnja bukan milikmu sendiri. Itu semua adalah barang pindjaman. Kembalikanlah kelak kepada jang kamu pindjami.

Page 210: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

197

Djanganlah kamu mempunjai kesenangan lain, melainkan kesenangan untuk bersatu padu dengan Sang Dewa Agung. Dengan demikian kamu telah berbadan dewata. Segala gerak-gerik dan tingkah lakumu adalah gerak-gerik dan tingkah laku Sang Dewata djuga. Djanganlah kamu merasa lagi, bahwa Sang Maha Sukma dan kamu itu dua. Djika masih merasa dua, maka ini mendjadi bukti, bahwa kamu masih ragu-ragu, belum mempunjai kebulatan tekad. Sang Maha Tinggi akan bermuram durdja kepada kamu.

Sebaliknja, apabila kamu sudah memperoleh perpaduan sungguh-sunguh, segala karsa terlaksana, segala tjipta terudjud, karena kamu telah menguasainja. Alam semesta sudah di tanganmu, karena kamu mendjadi pengganti Sang Dewata. Bersikaplah teguh dan sanggup.

Apabila kamu telah memiliki ilmu kelepasan, simpanlah ilmu itu sebaik-baiknja, djanganlah kamu bersikap tjongkak, sombong, bahkan tutupilah dengan sikap rendah diri. Tetapi dalam hatimu tak boleh kamu lupakan sama sekali.

Anakku Bima, masih ada satu hal jang akan kukatakan kepadamu, jang kamu perlukan di sini dan di sana, di dunia ini dan di zaman achir, jaitu tentang mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Hal ini demikian maksudnja : Hidup itu langsung adanja. Adapun jang mati itu hawa nafsu, jang didjalankan oleh badan djasmani. Mati dalam hidup dan hidup dalam mati berarti, bahwa selama manusia berada di dunia fana ini harus dapat mengalahkan segala hawa nafsu. Mati dalam hidup bermakna: Manusia harus dapat bersikap mati terhadap segala godaan-godaan dan keinginan-keinginan jang buruk, selama ia didunia ini. Hidup dalam mati : Manusia utama dapat tetap hidup dan memegang pendiriannja jang sutji, sekalipun terkepung oleh musuh-musuh rohani.

Wrekodara, barang siapa dapat bersikap demikian, membuktikan, bahwa ia telah memperoleh perpaduan jang njata”.

Wrekodara merasa telah dapat menerima semua wedjangan Sang Dewarutji. Segala sesuatu kelihatan terang tjuatja. Bagaikan bulan jang tertutup oleh awan, setelah angin meniup, awan tersapu bersih, hingga tampak sita semarak, demikian pula Sang Bima telah mendjadi sutji lahir batin.

Dengan ramah manis Sang Dewatarutji bersabda lagi : “Anakku Bima, kamu sekarang telah menerima segala wedjanganku. Ketahuilah, bahwa dengan ini kamu sudah memperoleh kesaktian luar biasa. Kamu dapat menguasai kesaktian lain-lainnja. Djuga dalam peperangan kamu akan selalu memperoleh kemenangan”.

Setelah Sang Dewatarutji menjampaikan segala sabdanja, Wrekodara keluar kembali ke alam biasa, tetapi pada saat itu djuga Sang Guru minta diri dengan utjapan : “Nah, selamat tinggal, anakku”.

Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perang besar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima.

Page 211: eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/7887/1/72880807200909031.pdf · iii PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI: Tinjauan Semiotik Riffaterre Disusun oleh AGUS SETYANA C0202003

198

Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian. Tanpa sajap ia dapat mengelilingi dunia dalam sekedjap mata. Bahkan triloka dengan segala isinja telah dikuasaninja. Hidup dan matipun di tangannja djuga. Bima dapat digambarkan sebagai sekuntum bunga, jang sekarang sudah berkembang, bertambah indah rupa warnanja dan bertambah pula keharuman baunja, semerbak merata.

Wrekodara setelah memperoleh pantjaratna itu kalbunja berubah mendjadi sutji djudjur, karena terpengaruh olehnja, bagaikan terusap oleh minjak kesturi.

Seterusnja segala nafsu telah lenjap sama sekali. Segala sifat-sifat dunia dengan segala gerak-geriknja diketahuinja, bahkan sorga neraka dikuasanja. Bima tahu pula, bila dan bagaimana tjaranja ia akan meninggalkan dunia fana ini. Karena Wrekodara telah memperoleh milik rohani jang tertinggi ini, maka tenanglah kalbunja. Dan ini bukannja ketenangan orang jang menjerah kepada keadaan, melainkan sebaliknja. Bima telah memiliki ketenangan sedjati, karena menguasai segala keadaan. Itulah jang menjebabkan ia kelihatan seakan-akan mengenakan pakaian sutera jang halus indah, dikembang-kembang dengan emas serta dihias dengan ratna mutu mannikam, hingga tamapak elok gemerlapan, bersinar-sinar terang, sebagai bukti, bahwa Bima mengetahui segala gerak-gerik manusia.

Bima bersifat halus lemah-lembut bagaikan bunga pandan jang terkembang, harum semerbak baunja, bau kesturi sedjati. Ini mendjadi bukti, bahwa ketadjaman budi Wrekodara menembus segala jang gelap, pengetahuan jang sulit-sulit diseluruh dunia, bahkan jang gaib sekalipun, telah dimiliki olehnja. Tjelana dan kain Bima berwarna dasar empat matjam, merah, hitam, kuning dan putih, terbelit rangkaian bunga, hingga kelihatan elok permai. Hal ini mendjadi peringatan tentang peristiwa-peristiwa jang dialaminja. Rangkaian bunga itu adalah peringatan tentang pergulatannja dengan naga raksasa di tengah samudera, sedang tjatur warna selalu mengingatkan dia akan empat matjam warna jang disaksikannja dalam tubuh Sang Dewarutji. Warna merah, hitam dan kuning adalah lambang dari pada musuh-musuh rohani manusia, jang mengurungkan terlaksananja tindakan-tindakan baik, sedang warna putih mendjadi lambang tertjapainja maksud-maksud jang baik. Kelima matjam hal tersebut tergambar djelas dipakaian Bima, hingga tak dapat dilupakannja sama sekali. Sesungguhnja tatkala Bima lahir, keluar dari bungkusnja, telah bertjawat tjaturwarna, merah, hitam, kuning dan putih. Maksud Sang Hjang Guru, supaja tjawat itu mendjadi kekuatan rohani jang besar, jang dapat mengalahkan kesombongan, ketjongkakan dan takabur. Hal ini oleh Bima selama hidup selalu diperhatikan.

Pulanglah Wrekodara ke negeri Ngamarta. Dengan singkat Bima telah tiba di negerinja dan bertemu dengan seluruh keluarga Pandawa dalam keadaan selamat. Suasana gembira raja meliputi seluruh keraton Ngamarta. Mereka mengadakan pesta perajaan besar-besaran. Semuanja bersuka tjita, karena Sang Bima telah kembali dengan selamat.

Lenjaplah segala kesusahan, berganti riang gembira.

TAMAT. Sumber:

Kitab Dewarutji. 1954. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan.