repository.ipb.ac.id · i pernyataan mengenai disertasi dan sumber informasi dengan ini saya...
TRANSCRIPT
DISERTASI
KLASIFIKASI VEGETASI ZONA SUB PEGUNUNGAN GUNUNG SALAK, BOGOR, JAWA BARAT
MUHAMMAD WIHARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Klasifikasi Vegetasi Zona Sub
Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Wiharto
E 061030101
ii
ABSTRACT
MUHAMMAD WIHARTO. Vegetation Classification of Gunung Salak Sub Mountain Zone, Bogor, West Jawa. Under supervision of CECEP KUSMANA, LILIK BUDI PRASETYO, and TUKIRIN PARTOMIHARDJO. The research objectives were classifying sub mountain zone of Salak Mountain’s vegetation structurally, physiognomically, floristically; studying the relationship between floristic vegetation types and abiotic factors; and the alteration of structure and species composition in each vegetation type along environmental gradient. Sampling was done with systematic sampling with random start. Vegetation alliances were determined by ordination with factor analysis, and vegetation associations were determined with cluster analysis. Vegetation types at physiognomic and structural level were determined based on UNESCO and NVCS vegetation types. U-Mann Whitney statistic was employed to know whether there were abiotic factors differentiations between alliances and between vegetation structures. Chi-square test was used to know the relationship between vegetation associations and abiotic factors, also the preference of dominant tree species toward abiotic factors. There are three vegetation types founded at alliance levels, which are Schima walichii-Pandanus punctatus/Cinchona officinalis forest alliance (alliance 1); Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/ C. officinalis forest alliance (alliance 2); and Pinus merkusii-Athyrium dilatatum/ Dicranopteris dichotoma forest alliance (alliance 3). Alliance 1 is a broad leaf mix forest dominated by Schima wallichii, alliance 2 is a bamboo forest dominated by G. apus, and alliance 3 is a planted forest dominated by P. merkusii. The abiotic factors that consistently differentiate alliance 1 with the other alliances are N total, dust content of the soil, and slope. P soil’s content for alliance 2, while C organic soil’s content and cation exchange capacity of the soil for alliance 3. Successively, there are 5, 6, and 7 vegetation associations at alliance 1, 2, and 3. Stand structure of alliance 1 and 3 forming J reverse curve. The mean value of dominant tree species diversity and evenness index increases from alliance 2 to 3, and to 1, while the mean value of dominant tree species richness index increases from alliance 3 to 2, and to 1. Each dominant tree species has clumped distribution pattern and uniquely preference to abiotic factor. Key words: Alliance, Cluster analysis, Ordination, Vegetation association, Vegetation
classification,.
iii
ABSTRAK
MUHAMMAD WIHARTO. Klasifikasi Vegetasi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, LILIK BUDI PRASETYO, dan TUKIRIN PARTOMIHARDJO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasi vegetasi Sub Pegunungan Gunung Salak secara fisiognomi, struktural, dan floristik, juga mengkaji hubungan antara tipe vegetasi floristik dengan faktor abiotik serta perubahan struktur dan komposisi spesies tipe vegetasi floristik di sepanjang gradien lingkungan di Gunung Salak. Sampling dilakukan secara systimatic sampling with random start. Tipe vegetasi tingkat aliansi ditentukan melalui ordinasi dengan analisis faktor dan asosiasi vegetasi ditentukan dengan analisis klaster. Tipe vegetatasi tingkat fisiognomi struktural ditentukan dengan mengacu pada tipe vegetasi UNESCO dan NVCS. Statistik U-Man Whitney dimanfaatkan untuk melihat perbedaan faktor abiotik antara aliansi dan perbedaan antara struktur vegetasi. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik, serta melihat preferensi pohon dominan terhadap faktor abiotik. Ditemukan 3 tipe vegetasi tingkat aliansi, yaitu aliansi hutan Schima walichii-Pandanus punctatus/Cinchona officinalis (aliansi 1); aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/ C. officinalis (aliansi 2); dan aliansi hutan Pinus merkusii-Athyrium dilatatum/ Dicranopteris dichotoma (aliansi 3). Aliansi 1 merupakan hutan campuran berdaun lebar di dominasi oleh S. wallichii, aliansi 2 adalah hutan bambu dan didominasi oleh G. apus, dan aliansi 3 merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh P. merkusii. Faktor abiotik yang konsisten membedakan aliansi 1 dengan aliansi lainnya adalah unsur N total tanah, debu tanah, dan arah lereng, untuk aliansi 2 adalah unsur P tanah, serta unsur C organik tanah dan KTK untuk aliansi 3. Ditemukan berturut-turut sejumlah 5, 6, dan 7 asosiasi vegetasi di aliansi 1, 2, dan 3. Sebagian besar asosiasi di hutan alam Gunung Salak berhubungan dengan unsur Ca tanah. Struktur tegakan di aliansi 1 dan 3 membentuk kurva J terbalik. Secara rata-rata indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies pohon dominan bergerak naik dari aliansi 2, ke 3, dan ke 1, sedangkan rata-rata indeks kekayaan spesies bergerak naik dari aliansi 3, ke 2, dan ke 1. Setiap spesies pohon dominan memiliki pola distribusi mengelompok dan preferensi yang khas terhadap faktor abiotik.
Kata kunci: Aliansi, Analisis Klaster, Asosiasi Vegetasi, Klasifikasi Vegetasi, Ordinasi,
iv
RINGKASAN
MUHAMMAD WIHARTO. Klasifikasi Vegetasi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, LILIK BUDI PRASETYO, dan TUKIRIN PARTOMIHARDJO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasi vegetasi Sub Pegunungan Gunung Salak secara fisiognomi, struktural, dan floristik, juga mengkaji hubungan antara tipe vegetasi floristik dengan faktor abiotik serta perubahan struktur dan komposisi spesies tipe vegetasi floristik di sepanjang gradien lingkungan di Gunung Salak.
Sampling dilakukan secara systimatic sampling with random start. Tipe vegetasi tingkat aliansi ditentukan melalui ordinasi dengan analisis faktor dan asosiasi vegetasi ditentukan dengan analisis klaster. Statistik U-Man Whitney dimanfaatkan untuk melihat perbedaan faktor abiotik antara aliansi dan uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik.
Ditemukan 3 tipe vegetasi tingkat aliansi, yaitu aliansi hutan Schima walichii-Pandanus punctatus/Cinchona officinalis (aliansi 1); aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/ Cinchona officinalis (aliansi 2); dan aliansi hutan Pinus merkusii-Athyrium dilatatum/ Dicranopteris dichotoma (aliansi 3). Aliansi 1 merupakan hutan campuran berdaun lebar di dominasi oleh puspa, aliansi 2 adalah hutan bambu dan didominasi oleh bambu tali, dan aliansi 3 merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pinus.
Bentuk tumbuh paku-pakuan baik yang murni semak maupun pohon paku-pakuan merupakan bentuk tumbuh paling dominan pada strata semak dan anakan pohon di seluruh aliansi Gunung Salak. Pada ketiga aliansi di Gunung Salak, spesies-spesies dengan bentuk tumbuh herba, paku-pakuan, rerumputan, dan jahe-jahean silih berganti menjadi spesies dominan pada blok-blok pengamatan yang menyusun aliansi
Setiap aliansi dibedakan oleh faktor abiotik yang khas, yakni unsur N total tanah, debu tanah, dan arah lereng untuk aliansi 1, unsur P tanah untuk aliansi 2, serta unsur C organik tanah dan KTK untuk aliansi 3. Berdasarkan keberadaan faktor abiotik maka aliansi 1 paling berbeda dengan aliansi 2. Terdapat 9 faktor abiotik yang membedakan kedua aliansi ini. Aliansi 3 juga paling berbeda dengan aliansi 2. Terdapat 8 faktor abiotik yang membedakan kedua aliansi ini. Selanjutnya ditemukan sebanyak 6 faktor abiotik yang membedakan antara aliansi 1 dan 3.
Asosiasi vegetasi di aliansi 1 adalah: Asosiasi hutan T. laxiflora – M. eminii/ P. polycephalus; Asosiasi hutan M. blumeanus–L. elegans/ F. sinuata; Asosiasi hutan I. macrophylla– N. umbelhflora/ Staurogyne sp; Asosiasi hutan P. elongata– P. integrifolia/ C. javensis; dan asosiasi hutan P. arboreum – G. hypoleucum /D. cannaeformis.
Asosiasi vegetasi di aliansi 2 adalah: asosiasi hutan C. javanica – M. eminii/ C. javensis; asosiasi hutan G. apus- C. acuminatissima /F. sinuata; asosiasi hutan P. laevifolia- P. javana/ E. punicea; asosiasi hutan A. dilatatum– G. hypoleucum/
v
Rhaphidophora Sp. ; asosiasi hutan C. officinalis- P. merkusii/ I. globosa; dan asosiasi hutan M. blumeanus- Schefflera aromatica./ P. aduncum.
Asosiasi di aliansi 3 adalah: Asosiasi hutan S. wallichii- H. glabra/ B. hirtella; Asosiasi hutan P. elongata-P. punctatus/ Rhaphidophora Sp.; Asosiasi hutan E. oclusa- F. grossulariodes/ E. megalocheilos; Asosiasi hutan A. excelsa- A. tetrandum /R. foraminifera; Asosiasi hutan M. eminii- C. javanica/ C. latebrosa; Asosiasi hutan A. dilatatum-E. latifolia/ S. plana; dan Asosiasi hutan L. elegans- P. merkusii/I. globosa .
Bentuk tumbuh pohon merupakan bentuk tumbuh dominan di seluruh aliansi sekaligus di temukan di seluruh asosiasi. Spesies dengan bentuk tumbuh murni semak ditemukan dalam jumlah paling sedikit di seluruh asosiasi vegetasi. Setiap asosiasi vegetasi memiliki komposisi floristik dan faktor abiotik yang khas di aliansi tempat asosiasi yang bersangkutan ditemukan.
Pada aliansi 1 ditemukan unsur Ca tanah pada kategori sedang dan unsur P tanah paling banyak berhubungan dengan berbagai asosiasi vegetasi. Arah lereng merupakan faktor yang paling banyak berhubungan dengan berbagai asosiasi di aliansi ini. Pada aliansi 2 ditemukan unsur Ca tanah pada kategori sangat rendah dan rendah paling banyak mempengaruhi keberadaan asosiasi vegetasi, diikuti oleh unsur P tanah, N total pada kategori rendah dan sedang, serta unsur C organik tanah pada kategori sangat tinggi. Ketinggian minimal plot dari permukaan laut di aliansi ini merupakan faktor topografi yang paling banyak berhubungan dengan keberadaan asosiasi vegetasi. Kapasitas tukar kation tanah pada kategori sedang, unsur P tanah, dan tekstur tanah merupakan faktor tanah yang paling banyak berhubungan dengan berbagai asosiasi vegetasi di aliansi 3, sedangkan ketinggian tempat dari permukaan laut, lereng curam, dan arah lereng paling banyak mempengaruhi asosiasi vegetasi di aliansi 3.
Unit vegetasi tingkat fisiognomi struktural di Zona Sub Pegunungan Gunung Salak adalah sebagai berikut:
Kelas : Hutan; Sub kelas : Hutan Selalu Hijau; Kelompok : Hutan Hujan Tropis Basah Selalu Hijau.
Formasi : Hutan hujan tropis basah sub pegunungan selalu hijau berdaun lebar
Formasi : Hutan bambu sub pegunungan tropis Formasi : Hutan Tanaman Sub Pegunungan Tropis
Pada aliansi 1 ditemukan 72 spesies pohon dengan jumlah total individu sebanyak 9046. Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah puspa. Terdapat 3 spesies dengan jumlah individu hanya 1 yaitu Pinanga javana, Dysoxylum exelsum, dan Antidesma tetendung. Pada aliansi 2 ditemukan 71 spesies pohon dengan total jumlah individu sebanyak 3124 pohon. Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah pinus. Ditemukan 7 spesies dengan jumlah individu hanya 1, yaitu Glochidion rumbrum, Goniothalamus macrophyllus, Scheflera scandens, Glutta renghas, A. tetendung, Dissochaeta grassilis, dan Polygala venenosa. Jumlah spesies pohon yang ditemukan di aliansi 3 adalah 56 pohon dengan jumlah total individu sebanyak 1527 pohon. Spesies pinus memiliki jumlah individu terbanyak. Terdapat 5 spesies dengan jumlah individu
vi
hanya 1, yaitu Pithecellobium montanum, Calliandra tetragoma, P. venenosa, Dipterocarpus haseltii, dan Symplocus spicata.
Distribusi kelas diameter pohon pada aliansi 1 dan 3 membentuk struktur tegakan J terbalik, sedangkan pada aliansi 2 terdapat kenaikan jumlah individu pohon pada kelas diameter terbesar. Seluruh spesies dominan pada strata pohon di seluruh aliansi memiliki pola distribusi mengelompok.
Berturut-turut nilai Nilai H’ di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 2,666 – 3,391, 1,163 – 3,233, dan 1,683 – 3,498. Berturut-turut nilai e di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 1,136-1,403, berkisar 0,551-1,331, dan berkisar 0,770-1,434. Selanjutnya berturut-turut nilai R di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 1,691-2,662, berkisar 0,621-2,829, dan berkisar 1,051-2,588. Secara rata-rata nilai H’ dan e bergerak naik dari aliansi 2, ke aliansi 3, dan ke aliansi 1, sedangkan rata-rata nilai R bergerak naik dari aliansi 3, ke aliansi 2, dan ke aliansi 1. Secara rata-rata nilai H’ dan nilai e bergerak naik dari aliansi 2, ke aliansi 3, dan ke aliansi 1, sedangkan rata-rata nilai R bergerak naik dari aliansi 3, ke aliansi 2, dan ke aliansi 1.
Berturut-turut ditemukan di aliansi 1, 2, dan 3 sejumlah 20, 23, dan 11 spesies dominan pada strata pohon yang memiliki preferensi terhadap berbagai faktor abiotik. Ditemukan 6 spesies yang memiliki konsistensi preferensi terhadap faktor abiotik di ketiga aliansi vegetasi. Spesies-spesies tersebut adalah manii yang memiliki konsistensi preferensi terhadap unsur N total tanah pada kategori sedang, unsur Mg tanah pada kategori rendah, dan unsur C organik tanah pada kategori sangat tinggi. Rasamala yang memiliki konsistensi preferensi terhadap terhadap tekstur tanah pada kategori lempung. Spesies-spesies lainnya yaitu, calik angin, cangkuang, pakis sier, dan puspa masing-masing memiliki konsistensi preferensi yang sama terhadap unsur C organik tanah pada kategori sangat tinggi.
vii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
viii
KLASIFIKASI VEGETASI ZONA SUB PEGUNUNGAN GUNUNG SALAK, BOGOR, JAWA BARAT
MUHAMMAD WIHARTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
ix
Judul Disertasi : Klasifikasi Vegetasi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat
Nama : Muhammad Wiharto
NRP : E 061030101
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Dr. Tukirin Partomihardjo Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputra, M.S.
Tanggal Ujian : 5 Februari 2009 Tanggal Lulus:
PRAKATA
x
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi dengan judul
“Klasifikasi Vegetasi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., dan Dr.
Tukirin Partomihardjo selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sejak masa perkuliahan,
pelaksanaan penelitian dan menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang
memberikan bantuan beasiswa pendidikan (BPPS) untuk penulis menempuh
pendidikan program doktor di Institut Pertanian Bogor.
3. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor serta seluruh staff Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah
menerima penulis untuk berinteraksi dalam menempuh sekolah dan mengembangkan
kemampuan.
4. Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
5. Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S. selaku Wakil Dekan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
6. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S beserta seluruh jajaran Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
7. Rektor Universitas Negeri Makassar, Dekan FMIPA dan Ketua Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Negeri Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
8. Dr. Soedarsono Riswan, yang telah bertindak sebagai penguji luar komisi dan
memberikan saran pada pelaksanaan Ujian Tertutup.
9. Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S. (Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut
Pertanian Bogor) dan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Kepala Balai Taman
xi
Nasional Gunung Halimun Salak) selaku penguji luar komisi dan memberikan saran
pada pelaksanaan Ujian Terbuka.
10. Pimpinan PERHUTANI Unit III Jawa Barat dan Pimpinan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak yang telah memberi kesempatan penulis melakukan penelitian di
kawasan Gunung Salak.
11. Pak Tarma, Iwan, dan Pak Yudi yang menemani penulis dalam menjelajahi terjalnya
hutan di Gunung Salak.
12. Abimanyu D. Nusantara, Eddi N. Sambas, Dr. Wilson Novarino dan rekan-rekan
sekolah Pascasarajana IPB lainnya yang senantiasa menjadi teman diskusi.
13. Drs. H. Rawi M. Caronge (Bapak), Hajjah Siti Nahar Kamase (Mama), Bapak Alm.
Imam rudin dan Ibu Hajjah Syamsinah (mertua), Drs. Anwar Caronge (kakak) dan
keluarga, Prof. Dr. Ir. Muhammad Wihardi Caronge, M. Eng. (adik) dan keluarga,
Muhammad Wirahmat Caronge (adik), dan seluruh keluarga yang senantiasa
memberikan dorongan pada penulis untuk menyelesaikan studi.
14. Diyahwati, S. Tp., (istri) dan Siti Adinda Dihar Indahwati Caronge serta Muhammad
Widinur Caronge (putra-putri) yang senantiasa ikhlas dan setia mendampingi serta
berbagi dalam suka dan duka.
Semoga disertasi ini bisa memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang vegetasi
kawasan sub pegunungan tropis basah khususnya, dan ekologi tumbuhan umumnya.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih, semoga disertasi ini dapat memberikan
manfaat.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Wiharto
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 30 September 1966 sebagai anak
pertama dari pasangan Drs. H. Rawi M. Caronge dan Hj. Siti Nahar Kamase. Pendidikan
sarjana diselesaikan penulis pada tahun 1990 di Fakultas Kehutanan dan Pertanian
Universitas Hasanuddin. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Biologi
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 1998. Pada
tahun 2003, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tingkat doktor
pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, dengan bantuan beasiswa pendidikan dari Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan sejak tahun
1992. Bidang kajian utama penulis adalah ekologi vegetasi, dengan tugas pengajaran
yang dilakukan mencakup Ekologi Tumbuhan, Pengetahuan Lingkungan, dan Ekologi
Lansekap.
Selama mengikuti pendidikan tingkat doktor, penulis mendapat kesempatan
mengikuti program Exchange Research Student pada Departement of Live and
Environmental Science, Tsukuba University di Jepang selama setahun, yaitu sejak bulan
Agustus tahun 2007 hingga bulan Juli tahun 2008.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...…... xvi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..… xx
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………... 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................... 3 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 5 E. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 8 A. Klasikasi Vegetasi ................................................................................. 8 B. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik, dan Numerik ................................................................................................. 9 C. Komposisi Spesies dan Struktur Vegetasi ............................................. 17 D. Ordinasi dan Analisis Faktor ................................................................. 20 E. Kawasan Tropis Pegunungan ................................................................ 21 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................................ 24 A. Letak dan Luas ....................................................................................... 24 B. Iklim ....................................................................................................... 24 C. Geologi, Tanah, dan Topografi ............................................................... 26 D. Vegetasi Penutup Lahan dan Floran di Kawasan Gunung Salak ............ 26 E. Fauna di Kawasan Gunung Salak .......................................................... 27 IV. METODE PENELITIAN ............................................................................ 28 A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 28 B. Bahan dan Alat Penelitian …………………………….……………… 29 1. Bahan Penelitian ............................................................................. 29 2. Alat Penelitian ................................................................................. 29 C. Cara Kerja .............................................................................................. 29 1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 29 2. Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi .................... 30 3. Teknik Pengambilan Data ................................................................ 31 a. Data Vegetasi ............................................................................. 31 b. Data Lingkungan Abiotik ........................................................... 32
xiv
c. Data Sekunder ............................................................................ 33 4. Analisis Data .................................................................................... 33 a. Kajian Komposisi Spesies Vegetasi ............................................ 33 b. Penentuan Persentase Penutupan Tajuk Strata Vegetasi ............. 34 c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi ............................ 34 d. Analisis Data Tanah ................................................................... 36 e. Penentuan Tipe Vegetasi ………………...……………………. 37 f. Pendugaan Lokasi Geografi Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi di Zona Sub Pegunungan Gunung Salak ........... 43 g . Kajian Perbedaan Faktor Abiotik, Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies, di Antara Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi ......................... ............................................................... 44 h. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan FaktorAbiotik dan Preferensi Ekologi Spesies ............... 44 i. Kajian Pola Penyebaran Spesies Pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi ............................................................................ 46 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 48 A. Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak .. 48 1. Aliansi Vegetasi ................................................................................. 48 2. Karakteristik Lingkungan Pada TipeVegetasi Tingkat Aliansi Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak ............................................. 63 3. Dugaan Penyebaran Secara Geografis Aliansi Vegetasi di Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak ......................................... 71 B. Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi .............................................................. 87 1. Asosiasi Vegetasi Pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak .............................................. 87 2. Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan Faktor Abiotik di Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak ......................................... 97 C. Tipe Vegetasi Tingkat Fisiognomi Struktural Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak ................................................... 103 1. Tipe Vegetasi Tingkat Kelas ............................................................ 103 2. Tipe Vegetasi Tingkat Sub Kelas ..................................................... 107 3. Tipe Vegetasi Tingkat Kelompok .................................................... 107 4. Tipe Vegetasi Tingkat Formasi ...... .................................................. 110 D. Struktur Vegetasi dan Komposisi Spesies Pohon Zona Sub Pegunungan Gunung Salak ..................................................... 113 1. Kerapatan dan Komposisi Spesies pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi ................................................................... 113 2. Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak .................................. 121 3. Pola Distribusi Spesies Pohon pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak ............................................... 128
xv
4. Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Indeks Kekayaan Spesies pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak .............................................. 132 E. Preferensi Ekologi Spesies di Setiap Aliansi Vegetasi Gunung Salak ......................................................................................... 137 VI. KESIMPULAN ............................................................................................ 154 A. Kesimpulan ............................................................................................ 154 B. Saran ....................................................................................................... 157
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 158
LAMPIRAN ....................................................................................................... 169
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran penutupan tajuk Braun-Blanquet ................................................. 34 2. Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS .......................... 37 3. Rotate Component Matrix yang memperlihatkan kelompok blok pengamatan penyusun tipe vegetasi tingkat aliansi .................................... 48 4. Spesies - spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 1 .............. 51 5. Spesies - spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 2 .............. 53 6. Spesies - spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 3 ............. 56 7. Karakteristik topografi pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ............. 64 8. Karakteristik faktor tanah pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........ 65 9. Perbedaan faktor abiotik pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........... 66 10. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 1 ........................ 89 11. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 2 ........................ 91 12. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 3 ........................ 95 13. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 1 ................................................................................................... 97 14. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 2 ................................................................................................... 98 15. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 3 ................................................................................................... 99 16. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 1 ................ 104 17. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 2 ................ 105 18. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 3 ................ 105 19. Jumlah pohon berbanir pada berbagai tipe vegetasi tingkat aliansi ............ 110 20. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 1 ............................................ 114 21. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 2 ............................................ 115 22. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 3 ............................................ 116 23. Kisaran jumlah individu pohon di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ..... 118 24. Total jumlah individu pohon di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ......... 119 25. Perbedaan jumlah individu pohon antara tipe vegetasi tingkat aliansi ...... 120 26. Kerapatan pohon pada berbagai hutan hujan tropis basah zone sub pegunungan ................................................................................. 120 27. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 1 ............................................... 122 28. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 2 ............................................... 123 29. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 3 ............................................... 125 30. Perbedaan jumlah individu pohon pada berbagai kelas diameter di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........................................................ 127 31. Pola pengelompokan spesies pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ..... 131 32. Deskripsi statistik nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........ 133 33. Perbedaan nilai H’ antara tipe vegetasi tingkat aliansi .............................. 133
xvii
34. Kisaran nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........................ 134 35. Deskripsi statistik nilai (e) pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ........ 135 36. Perbedaan nilai (e) antara seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi .................. 135 37. Deskripsi statistik nilai (R) pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ....... 137 38. Perbedaan nilai (R) antara tipe vegetasi tingkat aliansi ............................. 137 39. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 1 ................. 138 40. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 2 ................. 143 41. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 3 ................. 148
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemecahan masalah ................................................................. 6 2. Persentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh .................................... 12 3. Citra Gunung Salak melalui satelit Landsat ETM .................................... 25 4. Vegetasi penutuplahan di Gunung Salak .................................................. 25 5. Lokasi penelitian ....................................................................................... 28 6. Desain plot penelitian ................................................................................ 30 7. Pola penyebaran tipe vegetasi tingkat aliansi ............................................ 50 8. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-25% pada aliansi 1 ......................... 72 9. Penyebaran kelas kemiringan lereng 25-45% dan >45% pada aliansi 1 .... 73 10. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-15% pada aliansi 2 ........................ 75 11. Penyebaran kelas kemiringan lereng 15-45% dan >45% pada aliansi 2 ..... 76 12. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-25% pada aliansi 3 ....................... 77 13. Penyebaran kelas kemiringan lereng 25-45% dan >45% pada aliansi 3 ..... 78 14. Penyebaran kelas NDVI <= 0,05 pada aliansi 1 .......................................... 78 15. Penyebaran kelas NDVI 0,1-0,3 pada aliansi 1 ......................................... 79 16. Penyebaran kelas NDVI > 0,3 pada aliansi 1 ............................................. 80 17. Penyebaran kelas NDVI <= 0,05 dan NDVI 0.05-0,1 pada aliansi 2 ......... 80 18. Penyebaran kelas NDVI 0,1-0,3 dan NDVI > 0,3 pada aliansi 2 ............... 81 19. Penyebaran kelas NDVI 0,05-0,2 pada aliansi 3 ........................................ 82 20. Penyebaran kelas NDVI 0,2-0,3 dan NDVI > 0,3 pada aliansi 3 ............... 83 21. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan di aliansi 1 ................. 83 22. Penyebaran jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat; b. kompleks regosol kelabu dan litosol di aliansi 1 .................................... 84 23. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan pada aliansi 2.............. 84 24. Penyebaran jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat dan jenis tanah kompleks regosol kelabu dan litosol pada aliansi 2 .......... 85 25. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan pada aliansi 3 ............. 85 26. Penyebaran jenis tanah asosiasi andosol coklat regosol coklat dan kompleks regosol kelabu dan litosol pada aliansi 3 .................................... 86 27. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 1 ................................. 87 28. Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 1 .......................................................... 88 29. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi di aliansi 1 ..... 89 30. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 2 ................................. 90 31. Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 2 .......................................................... 90 32. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi di aliansi 2 ..... 92 33. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 3 ................................. 93 34. Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 3 .......................................................... 94 35. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi di aliansi 3 ..... 96 36. Rata-rata persentase penutupan tajuk pada seluruh aliansi ......................... 106
xix
37. Distribusi rata - rata suhu udara dan curah hujan (Tahun 2004 – 2008) di Gunung Salak ......................................................................................... 108 38. Distribusi kelas diameter seluruh individu pohon ...................................... 124 39. Hubungan eksponensial antara kelas diameter dengan jumlah individu pohon ................................................................... 124 40. Nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ..................................... 133 41. Nilai (e) pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi ..................................... 135 42. Nilai (R) pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi .................................... 136
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nama ilmiah dan daerah tumbuhan strata pohon dan semak .................... 169 2. Nama ilmiah dan daerah tumbuhan strata herba ....................................... 172 3. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 1 ..................................... 174 4. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 2 ..................................... 178 5. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 3 ...................................... 182 6. Indeks nilai penting spesies pada strata pohon ........................................... 185 7. Kategori faktor abiotik tanah dan topografi ............................................... 197 8. Hasil ordinasi dengan analisis faktor ......................................................... 200 9. Unsur iklim curah hujan dan suhu udara kawasan Gunung Salak periode 2004-2008 ..................................................................................... 203 10 Koordinat geografis plot penelitian ........................................................... 204 11. Zonasi altitudinal kawasan Gunung Salak ................................................ 205
xxi
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup:
Dr. Soedarsono Riswan (Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong)
Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S.
(Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc.
(Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa
Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut
(Van Steenis, 1972) kisaran ini mencakup ekosistem dataran rendah, sub
pegunungan sampai ke pegunungan. Putro (1997) mengatakan bahwa, pada
tingkat spesies, gunung ini penting bagi konservasi keanekaragaman hayati
pegunungan, khususnya bagi pelestarian spesies tumbuhan endemik dan langka
yang hanya terdapat di gunung ini. Di antara spesies tersebut adalah Rhizanthes
zippeli, Rafflesia rochusseni, Piper quenquangulatum, P. acre, Arthophyllum
diversifolium, dan Corybas vinosus .
Lahan pekarangan di desa-desa sekitar Gunung Salak juga memiliki
keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi, khususnya tanaman budidaya.
Inventarisasi yang dilakukan oleh Yayasan Bina Desa Lingkungan (1996)
menunjukkan bahwa lebih dari 600 spesies tanaman dapat ditemukan di lahan
pekarangan. Tanaman budidaya yang banyak ditemukan di lahan pekarangan
tersebut adalah: Durian (Durio zibethinus), Jambu air (Eugenia sp.), Duku
(Lansium domesticum), Jambu batu (Psidium guajava), Nangka (Arthocarpus
heterophyllus), Rambutan (Nephelium lappaceum), dan Melinjo (Gnetum
gnemon).
Sebagaimana ekosistem pegunungan lainnya di hutan hujan tropis basah,
Gunung Salak berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem, dan diantaranya untuk
menjaga iklim mikro, penyerap CO2, serta penghasil O2 (Dephut, 2003a).
Ekosistem Gunung Salak juga penting dalam konservasi tanah dan air, terutama
untuk menjamin pasokan air bagi daerah di sekitarnya. Menurut Sastrowihardjo
(1997), di gunung ini terdapat hulu sungai Cisadane yang merupakan salah satu
penyedia utama air baku PDAM bagi masyarakat kota Tangerang dan sekitarnya.
Laporan kelompok Rimpala (2001) mengatakan bahwa, di Gunung Salak terdapat
mata air Ciburial yang dikelola oleh PAM DKI Jaya untuk suplai air bersih bagi
penduduk di Kabupaten Bogor, Kotamadaya Jakarta Selatan, dan Depok.
2
Zona sub pegunungan yang merupakan bagian dari ekosistem di Gunung
Salak rentan terhadap berbagai gangguan manusia karena sangat berdekatan
dengan lokasi pemukiman. Yusuf et al., (2003) mengatakan bahwa sebagian besar
hutan Gunung Salak masih berupa hutan primer dengan kondisi hutan relatif baik,
meskipun di beberapa tempat mengalami gangguan. Tekanan lebih berat terjadi
pada kawasan hutan yang berdekatan dengan kampung yang memiliki tingkat
hunian padat. Pada kawasan ini, gangguan oleh masyarakat, antara lain terjadi
dalam bentuk alih fungsi menjadi sawah, selebihnya dimanfaatkan untuk ladang
dan kebun. Lahan-lahan ini kemudian banyak yang ditelantarkan dan menjadi
semak belukar maupun hutan sekunder.
Zona sub pegunungan di Gunung Salak, juga rentan terhadap berbagai
gangguan yang bersifat alami, mengingat kondisi topografinya yang terletak di
daerah ketinggian dengan lereng yang curam dan curah hujan yang relatif tinggi
mencapai 3000 mm/tahun (Sandy, 1997). Gangguan–gangguan tersebut
mengakibatkan perubahan pada distribusi, komposisi dan struktur dari berbagai
tipe vegetasi dalam ekosistem pegunungan. Ehrlich (1997) mengatakan bahwa
hilangnya berbagai tipe vegetasi mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman
habitat sehingga menyebabkan banyak spesies terancam kepunahan. Lambin et
al., (2000) mengatakan bahwa gangguan tersebut pada gilirannya akan
mengakibatkan menurunnya kemampuan ekologis dari suatu ekosistem dan
menimbulkan dampak seperti erosi, banjir, maupun tanah longsor.
Status Gunung Salak saat ini telah berubah dari hutan lindung menjadi
taman nasional dan digabung dengan Taman Nasional Gunung Halimun dengan
nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penggabungan ini berdasarkan SK
Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 (Dephut,
2003b). Dengan penggabungan tersebut maka dalam pengelolaannya sebagai
bagian dari taman nasional, diperlukan pengetahuan dan pemahaman mendalam
tentang kondisi ekologi tumbuhan yang terdapat di kawasan tersebut. Pada sisi
lain, sebagai sebuah area yang dulunya merupakan hutan lindung, perhatian
terhadap Gunung Salak lebih banyak pada fungsi hutan lindung itu sendiri
terutama sebagai pengatur tata air, sedangkan potensi lainnya berupa vegetasi dan
3
hewan belum banyak mendapat perhatian. Bahkan data kuantitatif flora dan fauna
dalam hutan lindung belum banyak diketahui.
Putro (1997) mengatakan bahwa, Gunung Salak yang merupakan daerah
yang kaya dengan spesies dapat dikatakan terbengkalai sejak lebih kurang 50
tahun yang lalu dari eksplorasi ilmiah atau pengumpulan data dasar lainnya.
Banyak data mengenai gunung ini terlalu tua sehingga sulit untuk dipetakan
dalam dimensi ruang dan waktu manajemen. Di antara data tersebut adalah
kondisi ekologi dari vegetasi di Gunung Salak.
B. Perumusan Masalah
Sebagai bagian dari sebuah taman nasional, zona sub pegunungan dan
seluruh ekosistem Gunung Salak perlu dikelola dengan perencanaan yang matang
dan baik. Faktor-faktor penting untuk kegiatan tersebut adalah klasifikasi tipe
vegetasi secara fisiognomi struktural dan floristik, dan juga pemahaman mengenai
struktur dan komposisi vegetasi yang terkait dengan faktor abiotik di zona sub
pegunungan Gunung Salak.
Sampai saat ini klasifikasi tipe vegetasi secara fisiognomi struktural dan
floristik untuk zona sub pegunungan, Gunung Salak belum pernah dilakukan.
Jennings et al., (2003) mengatakan bahwa klasifikasi tipe vegetasi diperlukan
untuk pelaksanaan manajemen ekosistem yang efektif, juga dibutuhkan untuk
kegiatan perencanaan, inventarisasi, restorasi, dan meramalkan berbagai
tanggapan ekosistem terhadap berbagai perubahan lingkungan. Selanjutnya Webb
(2000) mengatakan bahwa implikasi praktis klasifikasi tipe vegetasi terhadap
manajemen lingkungan dapat terjadi pada skala ekologi regional, sistem lahan,
maupun pada skala pekarangan rumah tangga.
Menurut laporan Ministry of Forestry, Rep. of Indonesia & JICA (2004),
hubungan antara vegetasi yang merupakan komponen biotik dengan komponen
abiotik dari seluruh ekosistem Gunung Salak belum banyak diketahui dan
dipahami secara utuh, padahal informasi ini penting sekali untuk tujuan
pengelolaan Gunung Salak sebagai bagian dari taman nasional. Kershaw (1973)
mengatakan bahwa pemahaman tentang struktur vegetasi penting, karena
merupakan dasar dari seluruh kegiatan pekerjaan ekologi. Menurut Kusmana
4
(1993), struktur vegetasi harus diklarifikasi terlebih dahulu dalam rangka
melaksanakan suatu manajemen yang layak berdasarkan prinsip kelestarian.
Selanjutnya Lamonier (1997) mengatakan bahwa kajian organisasi spasial dari
parameter-parameter floristik dan struktural vegetasi tetap merupakan kunci yang
paling penting dalam kaitannya dengan permasalahan vegetasi. Spies & Tunner
(1999) selanjutnya mengatakan bahwa, manajemen dinamika suatu lansekap harus
didasarkan pada proses-proses vegetasi yang menjadi dasar dari proses-proses
ekologi yang berlangsung pada suatu ekosistem.
Berdasarkan keterangan di atas, maka permasalahan vegetasi di zona sub
pegunungan, Gunung Salak adalah:
1. Bagaimana sesungguhnya tipe vegetasi fisiognomi struktural, dan floristik
zona sub pegunungan, Gunung Salak?
2. Bagaimana kaitan antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor abiotik
zona sub pegunungan, Gunung Salak?
3. Bagaimana perubahan komposisi, struktur, kemelimpahan, keanekaragaman,
dan pola penyebaran spesies serta Struktur vegetasi yang menyusun tipe
vegetasi floristik sepanjang gradien lingkungan zona sub pegunungan,
Gunung Salak?
4. Bagaimana preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik zona sub
pegunungan, Gunung Salak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengklasifikasi berbagai tipe vegetasi yang menyusun zona sub
pegunungan, Gunung Salak secara fisiognomi struktural dan floristik.
2. Menelaah hubungan antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor
abiotik zona sub pegunungan, Gunung Salak.
3. Mengkaji perubahan komposisi, kemelimpahan, keanekaragaman dan pola
penyebaran spesies, serta struktur vegetasi yang menyusun tipe vegetasi
floristik sepanjang gradien lingkungan zona sub pegunungan, Gunung Salak.
4. Menentukan preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik zona sub
pegunungan, Gunung Salak.
5
D. Manfaat Penelitian
Klasifikasi tipe vegetasi dan informasi mengenai kondisi vegetasi yang
terkait dengan berbagai faktor abiotik merupakan pengetahuan ekologi vegetasi.
Informasi yang diperoleh akan sangat bermanfaat untuk kegiatan manajemen
Gunung Salak secara khusus dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara
umum. Hasil penelitian juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan
perlindungan dan pengelolan kawasan konservasi di daerah lain di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Ekosistem dikendalikan oleh proses-proses biotik dan fisik yang
berlangsung pada setiap hirarki dari skala ruang maupun tingkat ekologi (Spies &
Tunner, 1999). Berbagai pola-pola yang kompleks dari distribusi, komposisi, dan
struktur vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan fisik dan antropogenik dari masyarakat di sekitar Gunung Salak yang
memanfaatkan berbagai sumberdaya alam yang ada (Putro, 1989).
Pendekatan yang dipilih untuk memahami kompleksitas ekologi dari
vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah dengan klasifikasi.
Pendekatan klasifikasi digunakan dengan asumsi bahwa gangguan-gangguan baik
secara abiotik maupun antropogenik, serta adanya gradasi lingkungan di zona sub
pegunungan, Gunung Salak yang mengakibatkan timbulnya berbagai tipe vegetasi
yang berbeda dan sifatnya tidak menerus tapi diskrit.
Menurut Gauch (1982) dalam Ludwig & Reynold (1988), terdapat 3 tujuan
utama melakukan klasifikasi dalam ekologi, yaitu untuk : (1) meringkaskan data
yang besar dan kompleks, (2) membantu dalam menginterpretasikan berbagai
variasi pola komunitas pada suatu lingkungan, dan (3) memperhalus model
struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah.
Data Vegetasi
Data Lingkungan
Abiotik
Analisis Vegetasi
6
Gambar 1. Kerangka pemecahan masalah.
Konsep tentang pola-pola vegetasi dapat saja berbeda, namun seluruh
kegiatan klasifikasi memerlukan pengidentifikasian seperangkat kelas-kelas
vegetasi yang bersifat diskrit. Mueller-Dombois & Ellenberg (1974a)
mengungkapkan beberapa ide yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi,
sebagai berikut: (1) Pada kondisi habitat yang serupa akan ditemukan kombinasi
spesies yang serupa yang berulang kehadirannya dari satu tegakan ke tegakan
lainnya. (2) Tidak ada tegakan atau sampel vegetasi yang betul-betul serupa
bahkan pada tegakan yang sangat berdekatan akan memperlihatkan penyimpangan
sedemikian rupa terhadap yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya peluang
dari kejadian penyebaran spesies tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan
kepunahan spesies. (3) Kumpulan spesies akan berubah kurang lebih menerus
Data Sekunder
o Klasifikasi secara fisiognomi
struktural
o Klasifikasi Floristik: Aliansi dan
Asosiasi
Penyebaran Secara Geografi tipe vegetasi
Aliansi
1. Mengkaji pembeda dan kaitan antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor abiotik di zona sub pegunungan Gunung Salak.
2. Menelaah perubahan komposisi, keanekaragaman, pola penyebaran, preferensi spesies, serta struktur tegakan yang menyusun tipe vegetasi di sepanjang gradien lingkungan di zona sub pegunungan, Gunung Salak.
7
seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan. (4) Komposisi tegakan
vegetasi bervariasi dalam skala ruang dan waktu.
Asumsi dasar dari klasifikasi vegetasi adalah, pengelompokan vegetasi
secara alami sesungguhnya terjadi di alam atau, merupakan hal yang logis untuk
memisahkan variasi dari komposisi dan struktur vegetasi yang bersifat menerus ke
dalam serangkaian kelas-kelas yang bersifat arbiter (Kimmins, 1987).
Ringkasan kerangka pemecahan masalah untuk kegiatan penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah menentukan transek di zona sub pegunungan, Gunung Salak untuk
pengambilan data lapangan. Hubungan di antara faktor-faktor lingkungan di zona
sub pegunungan, Gunung Salak dengan pola vegetasi yang ada kemudian di
deteksi melalui analisis vegetasi.
Kompleksitas pola-pola vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak
dapat dipahami lebih jauh dengan mengklasifikasikan vegetasi di kawasan
tersebut. Klasifikasi dilakukan pada tingkat fisiognomi struktural dan floristik.
Pada tingkat floristik akan diperoleh unit vegetasi paling dasar dari tipe vegetasi,
berupa Aliansi dan Asosiasi.
Pada setiap tipe vegetasi yang terbentuk, khususnya pada tingkat aliansi dan
asosiasi ditentukan hubungan antara struktur dan komposisi vegetasi dari sinusia
yang menyusun vegetasi dan hubungannya dengan berbagai faktor lingkungan
fisik. Selanjutnya juga dikaji pola distribusi spesies pada setiap tipe vegetasi yang
terbentuk.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan seluruh tutupan tumbuhan yang terdapat
pada suatu daerah (Jenning et al., 2003) dan memperlihatkan pola distribusi
menurut ruang dan waktu (Barbour et al., 1974 dan Hardjosuwarno, 1990).
Vegetasi tidak hanya merupakan tumbuhan yang hidup bersama dan saling
berinteraksi satu dengan lainnya, tetapi lebih jauh dengan cara bersama-sama
memodifikasi habitatnya sehingga menyebabkan lingkungan di bawah kanopi
menjadi lebih basah, mampu memperkaya tanah, dan dapat mengurangi pancaran
sinar matahari (Weaver & Clements, 1980).
Tipe vegetasi merupakan suatu kelompok tegakan yang memiliki komposisi
dan fisiognomi tumbuhan yang serupa, dan tipe tersebut harus memiliki kriteria
diagnostik sehingga memungkinkannya untuk dikenali. Tipe vegetasi dapat
dipandang sebagai segmen-segmen yang terdapat di sepanjang gradien vegetasi
dengan variasi yang kurang lebih menerus di dalam maupun di antara gradien
biofisik.
Ekologiwan telah lama menyadari perlunya mengkomunikasikan fenomena
ekologi dan biologi serta berbagai interaksi di antara dan di dalam suatu
komunitas biotik (Jenning et al., 2003). Terkait dengan hal tersebut, peranan
klasifikasi menjadi penting, karena merupakan alat yang bermanfaat untuk
beberapa tujuan, seperti untuk komunikasi yang efisien, sintesis dan reduksi data,
interpretasi dan perencanaan, serta manajemen. Crawley (1986) mengatakan
bahwa, klasifikasi adalah tindakan atau kegiatan mengelompokkan benda, objek,
atau fakta ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan karakter yang sama.
Klasifikasi vegetasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan
komunitas vegetasi ke dalam kelas-kelas yang relatif homogen (Kimmins, 1987).
Karakter yang digunakan untuk klasifikasi diperoleh melalui suatu area vegetasi
dan hasil pengelompokkan tersebut merupakan tipe komunitas tumbuhan pada
kawasan yang dikaji (Kent & Coker, 1992). Selanjutnya Webb (2000)
mengatakan bahwa, klasifikasi vegetasi merupakan salah satu sarana untuk
meringkaskan pengetahuan manusia tentang pola-pola vegetasi.
9
Tipe-tipe vegetasi di permukaan bumi sangat beragam dalam hal komposisi,
struktur, dinamika, dan determinan-determinan ekologi lain, yang menyebabkan
kegiatan klasifikasi menjadi sangat sulit. Sayangnya konsensus terhadap
klasifikasi vegetasi yang dapat diterima oleh semua kalangan belum dicapai. Hal
ini menimbulkan beragam klasifikasi vegetasi yang dilakukan dengan pendekatan
yang berbeda pada berbagai vegetasi yang ada (Laumonier, 1997).
Beragam cara yang tersedia untuk menganalisis data tegakan vegetasi dalam
rangka melakukan klasifikasi tipe vegetasi. Tiga metode di antaranya adalah
ordinasi, analisis klaster, dan analisis tabular (analisis tabel), dan metode-metode
ini umumnya digunakan saling melengkapi satu sama lainnya (Mac Cracken et
al., 1983 ). Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah ordinasi dan
analisis klaster.
B. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik, dan Numerik 1. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi-Struktural
Atribut utama klasifikasi vegetasi secara fisiognomi struktural adalah bentuk
tumbuh, stratifikasi vertikal, ukuran dari tumbuhan dominan, dan biomassa
tumbuhan, juga bagaimana penutupannya (coverage) di antara strata, serta aspek
fenologi dan musim dari tumbuh-tumbuhan (Descoings, 1980). Fitur ini mudah
dikenali di lapangan dengan pengetahuan flora yang tidak terlalu mendalam
Metode ini menekankan pada pola-pola dari atribut kelompok-kelompok spesies
dominan di dalam vegetasi (Grosman et al., 1994).
Ahli geografi tumbuhan Humbolt dan Grisbach adalah di antara orang-orang
yang pertama kali melakukan klasifikasi vegetasi berdasarkan kriteria fisiognomi.
Mereka menyusun kelas-kelas vegetasi berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan
dominan dan tipe lingkungan tempat vegetasi tersebut ditemukan (Kimmins,
1987). Kelas-kelas ini disebut formasi dan merupakan unit dasar klasifikasi
vegetasi berdasarkan fisiognomi struktural (Mueller-Dombois & Ellenberg,
1974a).
Kuchler dan selanjutnya diikuti oleh Dansereau mengembangkan klasifikasi
fisiognomi berdasarkan deskripsi struktur vegetasi secara langsung. Terdapat 6
10
parameter yang dipakai dalam mendeskripsikan vegetasi, yaitu: (1) bentuk
tumbuh, (2) ukuran tumbuhan, (3) fungsi (konifer, gugur daun, dan sebagainya),
(4) bentuk dan ukuran daun, (5) tekstur daun, dan (6) penutupan tajuk (Kimmins,
1987).
Fosberg kemudian mengembangkan klasifikasi formasi struktural, dan
seperti halnya klasifikasi yang dikembangkan oleh Kuchler juga Dansereau,
mereka melakukan klasifikasi yang secara ketat didasarkan pada ciri-ciri
struktural vegetasi. Klasifikasi dimulai dengan membagi vegetasi menjadi
vegetasi tertutup, terbuka, dan jarang. Penentuan ini didasarkan pada penutupan
tajuk. Ketiga kelompok ini merupakan kelompok vegetasi utama. Vegetasi
tertutup merupakan komunitas dengan tajuk saling berhubungan. Vegetasi terbuka
menunjukkan tajuk dari komunitas tumbuhan yang tidak saling berhubungan, dan
vegetasi jarang menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang menyusun vegetasi
sangat tersebar, seperti yang ditemukan pada vegetasi di kawasan gurun.
Setiap kelompok vegetasi utama ini kemudian, dibagi lagi menjadi beberapa
kelas vegetasi yang penentuannya berdasarkan ketinggian lapisan vegetasi dan
juga kesinambungan dan ketidaksinambungan vegetasi. Pembagian lebih lanjut
dilakukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah dedaunan pada strata dominan dari
suatu vegetasi selalu hijau atau mengalami periode meranggas. Klasifikasi lebih
lanjut dilakukan berdasarkan tekstur daun dari bentuk tumbuh tumbuhan dominan
yang menyusun vegetasi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974b).
Sistem klasifikasi vegetasi secara struktural-ekologi yang dikembangkan
oleh UNESCO juga mengklasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi dan struktur
vegetasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Fosberg. Namun, penentuan tipe
vegetasi juga didasarkan pada kondisi lingkungan, yang dalam hal ini mencakup
iklim, tanah, dan bentuk lahan. Hal ini disebabkan perbedaan ekologi yang nyata
pada suatu habitat tidak selalu dapat dilihat hanya berdasarkan tanggapan
fisiognomi dan struktur dari vegetasi. Misalnya, hutan hujan tropis dataran rendah
secara ekologi berbeda dengan hutan tropis subpegunungan terutama dalam hal
iklim, namun secara fisiognomi dan struktur vegetasi yang terdapat di kedua
kawasan ini tidak terlalu berbeda. Klasifikasi yang dikembangkan bersifat hirarki.
(Kuchler & Zonneveld, 1988). Sistem ini mencakup tipe vegetasi alami dan semi
11
alami yang ada di dunia, namun tidak termasuk penutup vegetasi yang merupakan
tanaman budidaya (Grosman et al., 1994).
Tipe vegetasi ditentukan berdasarkan kondisi vegetasi yang sesungguhnya di
lapangan. Namun dalam sistem ini kondisi lingkungan juga dipertimbangkan
dalam penentuan tipe vegetasi. Tipe vegetasi yang terletak pada hirarki paling atas
disebut kelas formasi dan dibagi menjadi 7 kelas, yaitu: (1) hutan tertutup, (2)
hutan terbuka (woodland), (3) semak atau lahan semak, (4) semak kerdil, (5)
komunitas herba darat, (6) komunitas tumbuhan gurun dan daerah bervegetasi
jarang, dan (7) tumbuhan pada lingkungan berair. Kelas-kelas formasi ditentukan
berdasarkan ketinggian, penutupan tajuk, dan distribusi spasial dari bentuk
tumbuh tumbuhan dominan serta fisiognomi dari tumbuhan dominan (Mueller-
Dombois & Ellenberg, 1974b).
Kelas vegetasi kemudian dibagi lagi menjadi subkelas, dan ditentukan
berdasarkan fungsi, yaitu apakah ia merupakan vegetasi dengan daun yang selalu
hijau atau daun meranggas. Pembagian selanjutnya menjadi kelompok vegetasi,
yang penentuannya terutama berdasarkan iklim makro tempat vegetasi berada,
misalnya iklim tropis, iklim sedang. Kelompok vegetasi juga ditentukan
berdasarkan morfologi daun, misalnya sclerofil berdaun lebar, berdaun jarum.
Contoh kelompok formasi adalah, Hutan meranggas iklim sedang, Hutan hujan
tropis berdaun lebar.
Tipe vegetasi pada tingkat berikutnya adalah formasi. Penentuannya
berdasarkan salah satu kombinasi dari hal berikut: (1) Tinggi dan bentuk tajuk
tumbuhan. Misalnya, pohon besar dengan ketinggian 5 – 50 m, memiliki tajuk
yang menyerupai payung, antara lain Samanea saman. (2) Zona kehidupan, misal
kawasan dataran rendah beriklim sedang, kawasan sub pegunungan, kawasan
pegunungan. (3) Subtrat tempat vegetasi tumbuh, misal alluvial, dan serpentine.
(4) Komunitas tumbuhan bukan dominan yang ditemukan bersama dengan
komunitas tumbuhan dominan yang menjadi penciri vegetasi, misal Hutan
berdaun lebar bercampur dengan pepohonan berdaun jarum selalu hijau, Hutan
hujan tropis sub pegunungan berdaun lebar dengan tumbuhan bawah yang
melimpah. Di bawah formasi adalah subformasi. Penentuannya berdasarkan
12
bentuk daun, dan kondisi hidrologi dari habitat vegetasi, misalnya daerah dataran
banjir di tepian sungai (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Jennings, 1999).
Tajuk Tajuk Penutupan saling tidak saling tajuk sangat Berhubungan berhubungan tersebar
(100%-60%) (60%-25%) (25%-10%) (<10%)
Bentuk tumbuh/ Ketinggian Pohon > 5 m Semak/Pohon 0.5 – 5 m Semak Kerdil/ Semak/Pohon < 0.5 mHerba
Herba
Gambar 2. Persentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh.
Klasifikasi vegetasi UNESCO mempunyai kelebihan dibanding sistem
klasifikasi yang ada sebelumnya, karena memiliki akurasi dan makna secara
ekologi yang tinggi, dan dihasilkan melalui kesepakatan ahli-ahli internasional.
Klasifikasi yang dikembangkan dapat diterapkan pada berbagai permukaan bumi
dengan tipe vegetasi berbeda. Standar hirarki tipe vegetasi yang dikembangkan
memang dirancang untuk tujuan klasifikasi dan pemetaan vegetasi pada berbagai
skala. Selanjutnya dikatakan bahwa struktur yang dikembangkan bersifat open-
ended dan tipe vegetasi dapat ditambahkan jika diperlukan.
FGDC (Federal Geographic Data Commitee) Amerika Serikat
mengembangkan sistem klasifikasi vegetasi yang dinamakan NVCS (National
Lahan semak (Semak) Lahan semak tersebar
Hutan Hutan Terbuka Hutan Terbuka tersebar
Lahan semak kerdil (Semak) Lahan semak kerdil tersebar
Herba
Penutupan oleh vegetasi jarang dan tersebar/Tidak berpembuluh (1- 10 % vegetasi berpembuluh)
13
Vegetation Classification Standard System). Klasifikasi ini merupakan
penyempurnaan terhadap sistem klasifikasi UNESCO, sehingga klasifikasi yang
dihasilkan memiliki konsistensi tinggi pada setiap tingkat unit hirarki.
Klasifikasi NVCS bersifat hirarki dan mengkombinasikan klasifikasi
fisiognomi (bentuk tumbuhan, penutupan tajuk, struktur, tipe daun) pada tipe
vegetasi bagian atas. Bentuk tumbuh (misalnya pohon, semak, dan herba) dari
tumbuhan dominan, atau menempati strata teratas dari vegetasi berperanan
penting dalam klasifikasi tipe vegetasi. Iklim dan variabel lingkungan abiotik
lainnya juga digunakan dalam mengorganisasi klasifikasi yang dibentuk, namun
faktor yang paling dominan adalah fisiognomi. Dua tingkat terbawah dari
klasifikasi ini didasarkan pada kondisi floristik yang aktual dari vegetasi. Tipe
vegetasi berupa budidaya tanaman baik yang semusim maupun tahunan juga
termasuk ke dalam bagian klasifikasi, karena tipe vegetasi ini memiliki penutupan
yang meliputi kawasan yang sangat luas (Grosman et al., 1994 & 1998).
Kriteria sistem NVCS sebagian besar diambil berdasarkan kriteria yang
dikembangkan oleh UNESCO. Penentuan tipe vegetasi tingkat kelas didasarkan
pada struktur vegetasi, yaitu ketinggian dan persentasi penutupan tajuk. Berbagai
kelas fisiognomi yang ada ditentukan dengan cara sebagaimana yang terlihat
pada Gambar 2.
Subkelas fisiognomi ditentukan berdasarkan fenologi daun dari bentuk
tumbuh yang paling dominan (daun selalu hijau, daun meranggas, daun campuran
selalu hijau dan meranggas), untuk strata tumbuhan herba berdasarkan ketinggian
rata-rata (tinggi, sedang, rendah), dan untuk vegetasi jarang dan
tersebar/komunitas vegetasi tidak berpembuluh ditentukan berdasarkan ukuran
partikel dari subtrat vegetasi tersebut (bebatuan, kerikil, pasir, lumpur). Contoh:
Hutan selalu hijau, Hutan meranggas, Hutan campuran selalu hijau dan
meranggas, Padang rumput tinggi, Vegetasi jarang dan tersebar dengan subtrat
pasir (Grossman et al., 1994).
Formasi merupakan komunitas yang didefinisikan berdasarkan bentuk
tumbuh dari tumbuhan yang paling dominan pada strata teratas dari suatu
komunitas tumbuhan, atau oleh kombinasi dari beberapa bentuk tumbuh yang
dominan dan hadir pada habitat yang serupa (Mueller-Dombois & Ellenberg,
14
1974b). Menurut UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler &
Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman
et al., 1994), tipe vegetasi ini merupakan pengejawantahan dari kondisi
lingkungan hidup tertentu, yang dalam prakteknya ditentukan berdasarkan
berbagai kombinasi dari hal berikut: bentuk tumbuh dominan, faktor fisiognomi
struktural vegetasi seperti bentuk tajuk dan ketinggian lapisan tajuk, juga kondisi
faktor lingkungan yang umum, seperti ketinggian tempat dan sistem hidrologi.
Formasi tidak ditentukan berdasarkan kondisi floristik dari vegetasi. Contoh:
Hutan hujan tropis basah pegunungan selalu hijau, padang rumput dengan tinggi
sedang yang sewaktu-waktu tergenang, dan hutan terbuka selalu hijau bertajuk
membulat
Suatu formasi biasanya tersusun atas beberapa sampai banyak asosiasi, yang
seluruhnya memiliki fisiognomi yang sama, namun masing-masing memiliki
komposisi spesies yang relatif berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif
(Grosman et al., 1994).
Beard (1973) dalam Rohrig (1991) mengatakan bahwa ekosistem darat yang
beragam dapat dibagi ke dalam tipe-tipe tertentu berdasarkan fisiognominya, dan
fisiognomi didefinisikan berdasarkan kenampakan luar dan struktur dari anggota
spesies dominan, seperti hutan meranggas selalu hijau, hutan konifer, savana, dan
sebagainya. Tipe yang demikian ini disebut formasi, yang keberadaannya banyak
dipengaruhi oleh lingkungan fisik. Nampak jelas bahwa pada kondisi ekologi di
darat yang beragam, akan dijumpai tipe formasi yang berbeda, dan walaupun dari
segi komponen floristik yang spesifik berbeda, tetapi secara fisiognomi akan
nampak sama.
Dua unit terbawah dari hirarki yaitu, aliansi dan asosiasi dikembangkan
berdasarkan struktur floristik dari vegetasi. NVCS menetapkan bahwa aliansi dan
asosiasi harus ditetapkan berdasarkan analisis numerik dengan memanfaatkan
data-data yang diperoleh dari plot-plot vegetasi. Spesies diagnostik terutama
ditentukan berdasarkan tumbuhan dominan (FGDC, 1997; Jenning et al., 2003).
2. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik dengan Metode Perbandingan Tabel
15
Klasifikasi vegetasi secara floristik adalah sistem klasifikasi yang
dikembangkan terutama berdasarkan struktur dan komposisi floristik dari suatu
vegetasi. Tipe vegetasi yang menyusun hirarki klasifikasi pada tingkat floristik ini
adalah aliansi dan asosiasi.
Berikut ini dikemukakan beberapa definisi aliansi. Aliansi adalah gabungan
berbagai asosiasi yang secara fisiognomi relatif seragam dan bersama-sama
memiliki 1 atau lebih spesies diagnostik yang ketentuannya ditemukan pada strata
teratas (FGDC, 1997). Aliansi, yang juga sering disebut dengan tipe penutupan
vegetasi adalah kelompok komunitas tumbuhan yang memiliki spesies dominan
utama yang sama, juga secara fisiognomi serupa; atau merupakan kumpulan dari
komunitas tumbuhan (Grosman et al., 1994). Aliansi merupakan tipe vegetasi
yang mengandung satu atau lebih asosiasi dan didefinisikan melalui kisaran
komposisi spesies, kondisi habitat, fisiognomi dan spesies diagnostik, yang secara
khusus dan sekurang-kurangnya ditemukan sejumlah 1 atau lebih pada strata
teratas atau paling dominan dari vegetasi (Jennings et al., 2003).
Ciri-ciri asosiasi tumbuhan adalah: (1) memiliki komposisi floristik yang
relatif konsisten, (2) memiliki fisiogomi yang relatif seragam, dan (3) hadir pada
habitat yang relatif konsisten (Barbour, et al., 1987) serta dengan spesies
diagnostik yang khas.
Dalam menentukan asosiasi, beberapa metode floristik fokus pada spesies
yang hadir secara konsisten pada area pengamatan. Sementara metode lain
menekankan pada spesies diagnostik, spesies indikator, spesies dominan, maupun
spesies yang terbatas penyebarannya pada area pengamatan. Pada sistem ini
dituntut sampling lapangan yang intensif, pengetahuan yang mendalam tentang
flora, dan melakukan analisis dengan cermat terhadap data-data tegakan dari
lapangan yang telah ditabulasi untuk menentukan berbagai atribut spesies (seperti
konstan, diagnostik, dan sebagainya) (Grosman et al., 1994).
Sistem klasifikasi floristik paling sering digunakan adalah sistem yang
dikembangkan oleh Braun Blanquet, juga dikenal dengan nama sistem
perbandingan tabular (Kent & Cooker, 1992). Klasifikasi ini mengelompokkan
tegakkan vegetasi atau releve ke dalam unit-unit berdasarkan pada kriteria
floristik, yaitu komposisi spesies dengan variasi yang sifatnya kuantitatif.
16
Pengelompokan dilakukan setelah seluruh daftar spesies yang terdapat pada
seluruh tegakan dipindahkan ke dalam suatu tabel tunggal yang disebut tabel
sintesis. Melalui tabel sintesis ini dapat diperlihatkan informasi floristik semua
releve yang diperbandingkan.
Dalam tabel sintesis dapat diketahui distribusi spesies pada seluruh releve,
sehingga kecendrungan distribusi spesies diantara releve dapat segera dikenali.
Kemudian peneliti mengusahakan untuk mengisolir kelompok spesies yang
memperlihatkan distribusi serupa diantara releve yang diperbandingkan, dan
kemudian menempatkannya secara berdampingan dalam tabel yang mempunyai
komposisi spesies serupa (Hardjosuwarno, 1996).
3. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik dengan Metode Numerik
Tujuan utama klasifikasi vegetasi dengan metode numerik sama dengan
metode perbandingan tabular, yaitu mengelompokkan seperangkat sampel-sampel
vegetasi atau kuadrat ke dalam kelas-kelas berdasarkan attribut yang ada pada
vegetasi. Idealnya setiap kelas harus memiliki komposisi spesies yang serupa.
Kelompok atau kelas ini kemudian diinterpretasikan dan digunakan untuk
menentukan tipe komunitas tumbuhan yang terdapat pada area yang dikaji (Kent
& Cooker, 1992).
Metode klasifikasi numerik merupakan teknik untuk mereduksi data dan
dimanfaatkan untuk menentukan adanya pola-pola dan keteraturan dari suatu
perangkat data. Melalui metode ini, seperangkat aturan yang jelas telah ditetapkan
sebelumnya untuk mengatur proses pengelompokan individu atau kuadrat secara
bersama-sama (Pielou, 1984). Hal ini akan menyebabkan unsur subjektifitas
terabaikan. Dengan demikian, jika kemudian ada seperangkat data yang sama dan
digunakan oleh dua peneliti yang berbeda untuk menemukan pola pengelompokan
vegetasi dengan menggunakan klasifikasi numerik yang sama, maka akan
diperoleh hasil yang sama.
Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan klasifikasi numerik adalah
menentukan kesamaan (similaritas) dan ketidaksamaan (disimilaritas) di antara
objek-objek yang dibandingkan. Berbagai macam koefisien kesamaan dan
ketidaksamaan dapat diterapkan untuk menentukan kesamaan diantara kuadrat-
17
kuadrat ini. Di antaranya yang paling sering digunakan adalah koefisien jarak
Euclidean, dan Squared Eulidean Distance (Kent & Cooker, 1992).
Jika seluruh pasangan objek dihitung kedekatannya maka hasilnya dapat
disusun dalam suatu matriks kesamaan. Selanjutnya adalah mengelompokkan
objek-objek yang memiliki kesamaan paling dekat ke dalam satu kelompok.
Untuk kegiatan ini ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan. Di
antaranya adalah Metode Tetangga Terdekat yang juga dikenal sebagai single-
lingkage clustering, metode Ward, Centroid, Median, dan Rata-rata Kelompok
(Pielou, 1984 dan Jaya, 1999).
C. Komposisi Spesies dan Struktur Vegetasi
Setiap pengelola suatu kawasan lindung pasti ingin mengetahui jawaban dari
pertanyaan mengenai, komunitas tumbuhan apa yang terdapat pada kawasan yang
dikelolanya? spesies apa saja yang menyusun komunitas tersebut? dan di mana
dapat ditemukan? (MacKinnon et al., 1990). Untuk dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini, diperlukan kajian mengenai struktur dan komposisi vegetasi dari
suatu kawasan yang dikelola (MacCracken et al., 1983).
Struktur vegetasi adalah organisasi individu-individu di dalam ruang yang
membentuk tegakan dan secara lebih luas membentuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan. Komposisi vegetasi merupakan susunan dan jumlah spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas tumbuhan (Dansereau dalam Mueller -
Dombois & Ellernberg, 1974a). Elemen utama struktur vegetasi adalah bentuk
pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan. Dalam ekologi vegetasi paling sedikit
terdapat 5 tingkat struktur vegetasi, yaitu: (1) fisiognomi vegetasi, (2) struktur
biomassa, (3) struktur bentuk tumbuh, (4) struktur floristik, dan (5) struktur
tegakan (Mueller-Dombois & Ellernberg, 1974a).
Tegakan biasanya merupakan unit-unit pengelolaan yang membentuk hutan.
Dalam kehutanan tegakan merupakan unit yang agak homogen dan dapat
dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi, struktur,
tempat tumbuh, atau geografi. Struktur tegakan menunjukkan sebaran umur dan
kelas diameter yang biasanya berkaitan dengan umur, serta kelas tajuk (Daniel et
al., 1979). Menurut Mueller-Dombois & Ellernberg (1974a), struktur tegakan
18
adalah distribusi secara numerik individu-individu dari spesies pohon yang
memiliki ukuran berbeda. Jika individu-individu dari penyusun spesies dianalisis
dengan cara seperti ini, maka dinamakan analisis struktur populasi. Selanjutnya
jika kurva struktur populasi dari seluruh jenis di dalam tegakan yang sama
dibandingkan satu sama lain maka dinamakan analisis struktur tegakan atau
analisis struktur komunitas.
Strata adalah lapisan vegetasi yang mencakup seluruh bentuk tumbuh yang
terdapat di dalamnya. Tumbuh-tumbuhan dikelompokkan ke dalam strata tertentu
berdasarkan posisi dominansinya atau berdasarkan ketinggian di dalam tegakan,
dan bukan berdasarkan taksonomi atau bentuk tumbuh tumbuhan tersebut pada
saat dewasa. Konsekuensinya, tumbuhan pohon dapat memiliki beberapa strata
seperti anakan dan sapling. Pada lingkungan darat, strata tumbuhan jika dalam
keadaan lengkap akan tersusun atas pohon, semak, herba, dan lumut (Jenning et
al., 2003).
Konsep tentang pola dalam vegetasi mengacu pada cara dari individu-
individu suatu spesies tumbuhan berdistribusi di dalam suatu komunitas tumbuhan
(Kent & Cooker, 1987). Terdapat 3 pola dasar distribusi tumbuhan di alam, yaitu:
acak, mengelompok, dan regular, dan yang paling sering ditemukan adalah pola
mengelompok (Barbaur et al., 1987; Ewusie, 1990, dan Kershaw, 1973). Hal ini
disebabkan biji dan permudaan vegetatif cenderung untuk terkonsentrasi dekat
tumbuhan induk dan lingkungan mikro ini lebih sesuai dengan kebutuhan
(Barbour et al., 1987). Kershaw (1973) mengatakan bahwa, pola penyebaran acak
hanya terjadi bila lingkungan suatu spesies sangat seragam dan tumbuhan tersebut
tidak mempunyai kecendrungan untuk mengelompok. Penyebaran seragam terjadi
bila kompetisi antar individu tersebut telah terjadi tolak menolak positif sehingga
timbul ruang atau jarak yang teratur antara individu. Selanjutnya, apabila individu
menyebar secara mengelompok, maka masing-masing kelompok kecil dapat
tersebar baik secara acak maupun seragam.
Secara biologis keanekaragaman spesies adalah ukuran heterogenitas
populasi suatu komunitas (Hunter, 1999). Keanekaragaman merupakan kombinasi
antara kekayaan spesies dan kemerataan spesies. Kekayaan spesies adalah jumlah
spesies dalam suatu area pengamatan. Setiap spesies tumbuhan umumnya tidak
19
mempunyai jumlah individu sama. Distribusi individu di antara spesies disebut
kemerataan spesies. Makin tinggi jumlah dan kemerataan spesies makin tinggi
pula keanekeragaman spesies (Barnes et al., 1980). Secara umum terdapat gradien
kenaikan keanekaragaman dari daerah kutub ke ekuator dan dari daerah tinggi ke
yang lebih rendah (Begon et al., 1990).
Indeks yang menggabungkan antara kekayaan spesies dengan kemerataan
spesies disebut Indeks Keanekaragaman (Ludwig & Reynold, 1988). Selanjutnya
Cox (1974) mengatakan bahwa, indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk
membandingkan data komposisi komunitas dari sumber yang berbeda. Perbedaan
sumber tersebut antara lain perbedaan suksesi, habitat, maupun waktu.
MacCracken et al., (1983) mengatakan bahwa, keberhasilan manajemen
vegetasi untuk suatu kawasan lindung atau kawasan yang dikelola untuk berbagai
tujuan lainnya, memerlukan pengetahuan tentang keanekaragaman komunitas
tumbuhan di kawasan yang dikelola tersebut. Unit-unit vegetasi yang berbeda
akan menghasilkan tanggapan yang berbeda terhadap aplikasi suatu manajemen.
Praktek pengelolaan vegetasi yang berhasil diterapkan pada suatu lahan belum
tertentu berhasil jika diaplikasikan pada vegetasi di lahan lain, walaupun vegetasi
tersebut nampak sama.
D. Ordinasi dan Analisis Faktor
Ordinasi merupakan istilah gabungan untuk teknik-teknik multivariat yang
sesuai bagi kelompok-kelompok data multidimensi (Clarck, 1984) dan hasil yang
diperoleh dapat diproyeksikan ke dalam bentuk dua dimensi. Dengan demikian
pola-pola bawaan yang dimiliki oleh data kajian akan nampak secara visual
(Clarck, 1984; Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a). Melalui ordinasi, maka
dimungkinkan untuk menampilkan tegakan vegetasi dalam bentuk geometrik
sehingga tegakan yang paling serupa berdasarkan komposisi spesies beserta
kemelimpahannya akan mempunyai posisi saling berdekatan, sedang tegakan-
tegakan lainnya yang berbeda muncul saling berjauhan (Mueller-Dombois &
Ellenberg, 1974a). Barbour et al., (1987) dan Clarck (1984) mengatakan bahwa
pada dasarnya, ordinasi bertujuan untuk meringkas data menjadi lebih sederhana,
20
menghemat ruang, mudah dibaca dan kemudian dapat digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara pola-pola komposisi spesies dengan gradasi
lingkungan yang mempengaruhi pola-pola tersebut.
Hal yang penting untuk diingat yaitu, tujuan ordinasi adalah untuk
membantu peneliti menemukan pola-pola tertentu dari seperangkat data yang
terlalu rumit untuk diinterpretasi. Teknik ordinasi yang baik akan sanggup
mengidentifikasi dimensi-dimensi paling penting dari perangkat data yang sedang
dianalisis, dan mengabaikan gangguan dalam rangka memperlihatkan pola-pola
tersebut. Namun demikian, ordinasi seharusnya tidak digunakan di dalam kajian
yang dituntun oleh hipotesis. Ordinasi dapat dipandang sebagai alat untuk
mengeksplorasi data. Dengan demikian, analisis post-hoct dapat diterima, dan
banyak teknik yang berbeda dapat diterapkan pada perangkat data yang sama.
Tidak ada hipotesis nol yang dapat ditolak, demikian juga nilai p untuk menguji
signifikasi secara statistik. Ketika nilai p (p-value/probablitas p) diusulkan, maka
ia hanya dapat digunakan sebagai tuntunan yang kasar atau indikator dari proses-
proses yang ada, yang memiliki kemungkinan menjelaskan pola-pola komunitas
(Clarck, 1984).
Analisis faktor adalah salah satu metode statistik multivariat yang sering
digunakan dalam ordinasi (Clifford & Stephenson, 1975; Greig-Smith, 1983).
Analisis faktor merupakan istilah umum untuk sejumlah teknik matematik dan
statistik yang berbeda tapi berhubungan, yang dirancang untuk meneliti sifat
hubungan-hubungan antara variabel dalam perangkat (set) tertentu. Masalah
dasarnya adalah menentukan apakah variabel-variabel n dalam suatu perangkat
menunjukkan pola hubungan satu sama lain, sehingga perangkat tersebut dapat
dipecah menjadi subperangkat m, yang masing-masing terdiri atas sekelompok
variabel yang cenderung lebih berhubungan satu sama lain dalam subperangkat
dari pada variabel lain dari subperangkat yang beda (Hardjodipuro, 1985).
E. Kawasan Tropis Pegunungan
Istilah ataupun nama hutan hujan tropis umumnya diberikan tidak hanya
pada hutan selalu hijau dari dataran rendah tropis yang lembab. Formasi ini
ditemukan juga menyebar mulai pada ketinggian rendah sampai pada ketinggian
21
sedang di daerah pegunungan tropis, walau dengan struktur yang tidak
semelimpah dibanding hutan hujan tropis dataran rendah (Richard, 1964).
Penyebaran kawasan tropis pegunungan berdasarkan lintang terbatas pada
kawasan tropis, yang meliputi wilayah katulistiwa dan meluas ke utara sampai
garis balik utara dan ke selatan sampai garis balik selatan. Hutan tropis
pegunungan ditemukan pada ketinggian antara 500 m sampai dengan 4000 m dpl,
dan sebagian besar terletak pada kisaran ketinggian antara 1500 m dpl sampai
dengan 2800 m dpl. Namun pada daerah kepulauan di daerah tropis, misalnya di
kepulauan Karibia, hutan tropis pengunungan telah dapat ditemukan pada
ketinggian 300 m dpl (Kappelle, 2004). Menurut UNEP (2003) sekitar 3.4% dari
permukaan bumi di daerah tropis adalah kawasan pegunungan.
Zonasi di kawasan pegunungan terkait dengan penyebaran tumbuhan dan
pada gilirannya terkait dengan perubahan kondisi lingkungan terutama iklim yang
terdapat di sepanjang pegunungan. Semakin tinggi lokasi suatu daerah kondisi
iklim menjadi semakin tidak bersahabat terhadap mahluk hidup, dan dalam
kaitannya dengan tumbuhan akan ditemukan perubahan struktur dan komposisi
seiring dengan perubahan ketinggian (UNEP, 2003).
Kawasan Malesia oleh Van Steenis (1972) yang mencakup Semenanjung
Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Nugini memiliki
beberapa zona kehidupan. Zona ini ditetapkan oleh Van Steenis setelah mengkaji
perubahan komposisi spesies tumbuhan berdasarkan ketinggian tempat dengan
cara menemukan batas distribusi terendah dan tertinggi dari spesies tersebut di
kawasan ini. Zona kehidupan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketinggian 1 – 1000 m dpl : Zona Tropis dan pada rentang ketinggian
500 – 1000 m dpl disebut zone Colline.
2. Ketinggian 1000 – 1500 m dpl : Zona Sub Pegunungan.
3. Ketinggian 1500 – 2400 m dpl : Zona Pegunungan.
4. Ketinggian 2400 – 4000 m dpl : Zona sub Alphin
5. Ketinggian 4000 – 4500 m dpl : Zona Alphin
6. Ketinggian di atas 4500 m dpl : Zona Nival.
Setiap kenaikan 100 m dpl penurunan suhu udara yang terjadi adalah sekitar
0.60 C namun penurunan ini juga bergantung pada faktor-faktor seperti penutupan
22
oleh awan, waktu, dan kandungan uap air yang terdapat di udara (Hadiyanto,
1997). Perubahan dari hutan tropis dataran rendah menjadi hutan tropis sub
pegunungan nampaknya sangat banyak dipengaruhi oleh suhu udara, yaitu saat
suhu udara turun di bawah 180C banyak spesies tumbuhan dataran rendah
digantikan oleh spesies pegunungan yang secara floristik berbeda. Pada
pegunungan daratan di daerah tropis transisi ini biasanya ditemukan pada
ketinggian 1200–1500 m dpl (Bruijnzeel, 2001), bahkan menurut Van Steenis
(1972) kawasan ini telah ditemukan pada kisaran ketinggian 1000-1500 m dpl.
Perubahan struktur, fisiognomi, dan komposisi hutan dari hutan tropis
dataran rendah ke hutan tropis sub pegunungan bersifat gradual yakni tinggi,
ukuran, biomassa, dan keanekaragaman pohon semakin berkurang (Aiba &
Kitayama, 1999; Bruijnzeel, 2001). Pohon-pohon mencuat yang besar dan
ditemukan melimpah pada hutan tropis dataran rendah menjadi sangat sedikit
pada hutan sub pegunungan. Penyusutan ini menyebabkan strata pepohonan pada
hutan tropis dataran rendah yang terdiri atas 3 lapis, menjadi 2 lapis (Whitmore,
1986). Hanya sedikit pepohonan yang memiliki banir, dan jika ada, ukurannya
kecil. Tumbuhan liana berkayu berukuran besar juga jarang ditemukan. Pada sisi
lain tumbuhan epifit seperti anggrek jauh lebih melimpah (Whitten et al., 1996).
Tipe hutan sub pegunungan tropis di gantikan oleh tipe hutan pegunungan
pada ketinggian tempat penutupan oleh awan berlangsung terus menerus. Pada
pegunungan-pegunungan besar, kisaran ketinggian hutan tropis pegunungan
adalah 2000-3000 m dpl. Perbedaan tinggi pohon yang jelas akan ditemukan
antara hutan tropis sub pegunungan dengan hutan tropis pegunungan pada hutan
sub pegunungan tinggi pepohonan relatif masih tinggi, berkisar antara 15-35 m
dan pada hutan tropis pegunungan hanya berkisar 2–30 m dan tertutup oleh lumut
sangat melimpah (70–80% tertutup oleh Bryophyt) (Bruijnzeel, 2001), dan pada
hutan ini epifit jenis anggrek semakin berkurang dan digantikan oleh spesies
paku-pakuan transparan. Ukuran pohon lebih kecil dan kanopi menjadi lebih
seragam (Whitmore, 1986).
Di atas kawasan yang selalu tertutup awan curah hujan berkurang dengan
drastis. Karakter lingkungan menjadi kering dan hutan menjadi semakin terbuka
(Walter, 1971) dan pepohonan sangat kerdil dengan ketinggian berkisar antara
23
1.5–9 m. Pada kawasan ini tumbuhan epifit tidak ditemukan sama sekali dan
kelimpahan lumut sangat besar. Kawasan ini adalah kawasan hutan sub alphin dan
ditemukan pada kisaran ketinggian 2800-3200 m dpl (Bruijnzeel, 2001).
Sebagian besar kawasan hutan hujan tropis Indo-Malaya dan Australia
adalah daerah pegunungan. Pegunungan yang ada di kawasan ini jarang yang
mencapai ketinggian 3500 m, dan sebagian besar di antaranya jarang mencapai
ketinggian yang secara iklim pertumbuhan pohon menjadi terhambat. Hanya
puncak Gunung Kinabalu di Sabah dan Pegunungan Jayawijaya di Papua yang
memiliki ketinggian di atas 4000 m dpl (Richard, 1964).
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Luas
Kawasan Gunung Salak secara administratif meliputi wilayah Kecamatan
Ciampea, Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Pamijahan (Kabupaten Bogor), serta
Kecamatan Cicurug dan Kecamatan Parungkuda (Kabupaten Sukabumi). Secara
geografis kawasan ini terletak pada posisi 060 43’ 32” - 060 43’ 32” LS dan 1060
37’41” - 106040’50” BT. Kenampakan kawasan Gunung Salak melalui citra satelit
dapat dilihat pada Gambar 3.
Kawasan Gunung Salak memiliki luas ± 31.327 ha. Berdasarkan SK Menteri
Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 status Gunung Salak
berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sebelumnya, kawasan ini
merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutan Unit III Jawa Barat.
Luas total taman nasional ini ± 113.357 ha dan meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu
Bogor, Sukabumi, dan Lebak.
B. Iklim
Rata-rata curah hujan bulanan cukup tinggi di kawasan Gunung Salak terjadi
pada bulan November hingga Mei, umumnya mencapai di atas 300 mm/bulan,
sedangkan pada bulan Juni hingga Oktober, curah hujannya kurang dari 300
mm/bulan.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember. Pada bulan-bulan
selanjutnya mulai sedikit menurun dan mencapai intensitas terendah pada bulan
Agustus yaitu sebesar 159 mm. Selanjutnya mengalami kenaikan kembali dengan
intensitas yang cukup tinggi mulai bulan November. Secara klimatologis tidak
tampak perbedaan yang jelas antara musim hujan dan kemarau di kawasan ini
sehingga dapat dikatakan mengalami musim hujan sepanjang tahun. Suhu udara rata-
rata di kaki Gunung Salak sekitar 25.70 C sedangkan suhu udara maksimum sekitar
29.90C dan minimumnya sekitar 21.60 C. (Hadiyanto, 1997).
25
Gambar 3. Citra Gunung Salak melalui satelit Landsat ETM.
Gambar 4 . Vegetasi penutup lahan di Gunung Salak.
26
C. Geologi, Tanah, dan Topografi
Gunung Salak merupakan salah satu dari lebih kurang 40 gunung utama di
Pulau Jawa yang saat ini tidak aktif lagi. Sisa-sisa aktivitas vulkanik Gunung Salak
masih dapat ditemukan antara lain di kawah Ratu, kawah Hirup, kawah Paeh, kawah
Perbakati, dan kawah Cibeureum.
Dilihat dari letak topografinya, Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan
dengan gunung Halimun Timur (1750 m dpl) dan gunung Halimun Barat (1929 m
dpl), namun terpisah dari gunung Gede Pangrango oleh lembah sungai Cisadane dan
Cicurug. Batu-batuan induk terdiri atas lahar, lava, bahan-bahan piroklastik dengan
komposisi basaltik andesit yang berasal dari kegiatan gunung Perbakti zaman
Pleiston atas (Putro, 1997).
Tanah pada kawasan Gunung Salak sebagian besar terdiri atas jenis Andosol,
dengan solum sedang sampai dalam sekitar 60 -120 cm. Lapisan atas kaya zat
organik berwarna coklat kemerahan sampai hitam. Tekstur lempung sampai lempung
liat berdebu. Struktur granular kasar, konsistensi sedang. Lapisan di bawahnya merah
kekuningan, coklat kemerahan sampai coklat kuat, tekstur lempung sampai lempung
berpasir. Struktur granular kasar, konsistensi sedang (Pertamina-UGI dalam Vivien,
2002).
Kawasan ini juga sebagian besar merupakan daerah dengan kemiringan lereng
lebih besar 40%, selebihnya merupakan daerah bergelombang dan berbukit dengan
kemiringan lereng 15-40%.
D. Vegetasi Penutup Lahan dan Flora di Kawasan Gunung Salak
Tanah yang digunakan untuk kegiatan budi daya pertanian di kawasan Gunung
Salak, sebagian besar terletak pada daerah dengan kemiringan lereng 15 % - 40%
berupa tegalan dan kebun campuran. Pada kawasan ini juga telah banyak dibuka
lahan untuk kegiatan perkebunan (Sastrowihardjo, 1997). Pada Gambar 4 dapat
dilihat vegetasi penutup lahan di kawasan Gunung Salak yang diperoleh melalui hasil
klasifikasi citra Landsat ETM tahun 2001. Vegetasi penutup lahan tersebut adalah:
hutan, semak, alang-alang, kebun, perkebunan teh, ladang, sawah, dan lahan terbuka.
27
Putro (1995) mengatakan bahwa di hutan dataran tinggi atau sub pegunungan
banyak ditemukan rasamala (Altingia exelsa), pasang (Quercus lineata), puspa
(Schima walichii), saninten (Castanopsis javanica), pasang kiriung anak (C.
argertea), sampang (Euodia alba), gompong (Arthrophyllum diversifolium) dan ki
leho (Sauraria peduncluosa). Lebih lanjut dikatakan bahwa vegetasi kawah di
Gunung Salak dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain Kawah Ratu, Kawah
Cibeureum, Kawah Perbakti dan Kawah Paeh. Vivien (2002) mengatakan bahwa
jenis tumbuhan bawah yang melimpah di kawasan Gunung Salak antara lain
Dioscorea myriantha dan Strobilanthes blumei.
Selanjutnya Putro (1995) menyatakan bahwa di kawasan Gunung Salak banyak
sekali ditemukan spesies tumbuhan langka, diantaranya Creochiton bibrateata,
Cannarium kipella, Diplycosia pilosa, Rhododendron album, R. Wilheminae,
Pinanga javana, Corybas vornicatus, Nervelia concolor, Macodes asrgyroneura.
E. Fauna di Kawasan Gunung Salak
Komposisi spesies satwa di Gunung Salak diduga memiliki banyak kesamaan
dengan Gunung Gede Pangrango (Putro, 1995). Beberapa jenis mamalia yang
penting yang ditemukan di kawasan Gunung Salak antara lain owa Jawa (Hylobates
moloch), surili (Presbytis comata), lutung Jawa (Trachypithecus uratus), lutung
hitam (T. cristatus), macan tutul (Panthera Pardus), kijang (Muntiacus muntjak),
rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix barachyura), garangan (Herpestes
javanicus), trenggiling (Manis javanica), dan sigung (Mydaus javanicus) (Putro,
1997; Paulina, 2005).
Di kawasan Gunung Salak ditemukan beberapa jenis burung yang memiliki
nilai konservasi tinggi karena merupakan hewan endemik di Jawa dan Bali, hewan
dilindungi, maupun hewan yang jarang. Burung-burung tersebut diantaranya elang
Jawa (Spizaetus bartelsii), elang ular (Spilornis cheela), elang brontok (Spizaetus
sirrhatus), elang hitam (Ictungaetus malayensis), alap-alap (Accipiter trivirgatus),
puyuh gonggong (Arborophylla javanicus), serindit (Loriculus pusillus), menintin
(Alcedo meninting), bututut (Megalaima corvina), tohtor (M. armillaris), caladi tikus
(Sasia arbonis), kepodang gunung (Coracina larvata) (Putro, 1997).
IV. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di zona sub pegunungan (sub montane),
Gunung Salak pada kisaran ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Lokasi kawasan sub
pegunungan Gunung Salak dapat didaki dari beberapa tempat, dan pada penelitian
ini melalui Desa Gunung Bunder Dua (S 6o41’484”- E 106o42’234”) dan Desa
Gunung Sari (Kawah Ratu) (S 6o41’786”-E 106o42’006”) Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor. Sebelumnya beberapa kegiatan penjajakan terhadap kondisi
lapangan telah dilakukan beberapa kali. Penelitian di lapangan berlangsung sejak
pertengahan bulan Febuari tahun 2006 sampai dengan akhir bulan Juli tahun 2006
dan selanjutnya dilakukan penelitian berupa analisis tanah, analisis spesies
tumbuhan serta pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian dapat di lihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Lokasi penelitian.
29
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah, (a) Citra dijital satelit Landsat
ETM tanggal 12 Mei 2001 yang diperoleh dari PPLH IPB (Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor). (b) Peta kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak skala 1:50.000 dari JICA, peta digital kontur, peta
administrasi kawasan Gunung Salak, dan peta jenis tanah kawasan Gunung Salak
yang diperoleh dari PPLH IPB. (c) Bahan untuk pembuatan herbarium, berupa:
alkohol (70%), label, sasak bambu, koran bekas, kertas karton, kantong plastik
besar (40 x 110 cm), dan kantong plastik berbagai ukuran.
2. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan adalah, (a) Perangkat komputer, perangkat
lunak Microsoft Office 2003, Erdas Imagine ver. 8.5, ArcView ver. 3.3 beserta
file ekstensionnya, dan SPSS ver. 13. (b) Alat pengecekan lapangan: GPS Garmin
Extrex Vista, kompas geologi, klinometer sunto, dan altimeter. (c) Alat
dokumentasi berupa kamera dijital Canon Power Shoot A95 5 Mp dan baterai
charger sebanyak 4 buah. (d) Peralatan inventarisasi vegetasi, berupa: Kompas,
meteran panjang (50 m), meteran pendek (10 m) dari logam, pita diameter,
gunting stek, dan patok-patok dari bambu atau kayu, tali plastik, cat untuk
penomoran. (e) Alat tulis menulis dan (e) Peralatan jelajah lapangan.
C. Cara Kerja
Langkah-langkah yang ditempuh dalam melaksanakan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian Pendahuluan
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan tempat
pengambilan data akan dilaksanakan. Hal ini di lakukan melalui penjajakan awal
ke lokasi penelitian. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pengambilan data
sekunder dari berbagai instansi terkait dan penduduk di sekitar kawasan Gunung
Salak.
30
2. Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi
Pengambilan sampel vegetasi dilakukan di empat tempat di zona sub
pegunungan, Gunung Salak, yaitu pada lereng arah Utara, Selatan, Timur, dan
Barat sehingga secara ekologi seluruh kawasan dapat terwakili. Sampling vegetasi
dilakukan dengan cara systematic sampling with random start dengan teknik
analisis vegetasi berupa kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak.
Metode jalur untuk inventarisasi vegetasi tingkat pohon dan metode garis
berpetak untuk inventarisasi vegetasi tingkat semai dan anakan serta herba.
Setiap jalur yang dibuat memiliki panjang 1000 m dan lebar 20 m. Di setiap
lereng tempat pengamatan vegetasi dilakukan, diambil unit contoh sebanyak 3
buah jalur. Peletakan jalur pertama pada setiap lokasi dilakukan secara acak dan
peletakan selanjutnya secara sistimatis dengan jarak antara jalur adalah 200 m.
Peletakan jalur dilakukan memotong tegak lurus garis kontur pada arah
ketinggian.
Keterangan : Plot ukur ukuran 20 x 20 m digunakan untuk pengambilan data pohon. Plot ukur
ukuran 10 x 10 m digunakan untuk pengambilan data semak dan anakan pohon. Plot ukur ukuran 5 x 5 m digunakan untuk pengambilan data herba.
Gambar 6. Desain plot penelitian.
Pada setiap jalur sampling dilakukan pembagian plot-plot pengamatan
sebagai berikut: (1) plot pengamatan untuk strata pohon berukuran 20 x 20 m, (2)
plot pengamatan untuk strata semak dan anakan pohon berukuran 10 x 10 m, plot
ini terletak di dalam plot pengamatan untuk strata pohon dan (3) plot pengamatan
untuk strata herba berukuran 5 x 5 m, plot ini terletak di dalam plot pengamatan
untuk vegetasi tingkat semak dan anakan pohon (Gambar 6). Untuk memudahkan
di dalam risalah penelitian maka setiap kumpulan plot pengamatan sebanyak 10
31
buah dijadikan 1 buah blok pengamatan. Dengan demikian terdapat 60 buah blok
pengamatan dengan luas seluruh lokasi sampling adalah ± 24 ha.
3. Tehnik Pengambilan Data
a. Data Vegetasi
Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan di
setiap plot. Data yang diamati adalah vegetasi strata pohon, semak dan anakan
pohon, serta herba. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pohon adalah
semua tumbuhan berkayu dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian
130 cm di atas permukaan tanah) ≥ 10 cm. Setiap pohon di dalam plot
pengamatan diukur diameter batangnya dan kemudian diidentifikasi sampai pada
tingkat spesies. Selanjutnya, pada setiap pohon yang ditemukan di dalam plot,
dicatat keberadaan akar banir pada pohon tersebut.
Ketentuan untuk pengukuran diameter batang pohon dan penghitungan
jumlah pohon adalah sebagai berikut: (1) Pengukuran dilakukan pada setinggi
dada (130 cm di atas permukaan tanah). (2) Untuk pohon yang berbanir lebih dari
130 cm di atas permukaan tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir. (3)
Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka
pengukuran dilakukan setinggi 130 cm (pohon dianggap satu), sedangkan apabila
tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah maka pengukuran
dilakukan terhadap kedua cabangnya (pohon dianggap dua). (4) Pengukuran
diameter batang yang berada pada permukaan tanah yang miring dilakukan di
sebelah atasnya searah dengan menurunnya lereng. (5) Apabila setengah atau
lebih dari garis menengah pohon tersebut masuk ke dalam plot, maka pengukuran
terhadap diameternya dilakukan, namun jika sebaliknya tidak dilakukan. (6)
Khusus untuk bambu yang tumbuh dalam rumpun, baik pada strata pohon maupun
semak, maka setiap rumpun dihitung sebagai 1 individu.
Semak pada penelitian ini adalah semua tumbuhan berkayu yang memiliki
percabangan tepat di atas permukaan tanah dan tidak memiliki batang utama,
sedangkan anakan pohon adalah tumbuhan pohon yang memiliki diameter batang
lebih kecil dari 10 cm. Setiap individu tumbuhan semak dan anakan pohon
dihitung, selanjutnya diidentifikasi sampai ke tingkat spesies.
32
Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan tumbuhan herba adalah
tumbuhan yang tidak memiliki bagian tubuh yang berkayu. Pengambilan data
dilakukan dengan cara menaksir persentase luas penutupan tajuk setiap tumbuhan
herba yang ditemukan terhadap plot pengamatan ukuran 5 x 5m. Penaksiran
dilakukan dengan mengacu pada skala Braun-Blanquet (Tabel 1). Selanjutnya
dilakukan identifikasi sampai pada tingkat spesies.
Dominansi strata pohon ditentukan berdasarkan basal area, sedangkan
untuk strata semak dan anakan pohon dominansi tidak dihitung. Untuk strata
herba dominansi ditentukan berdasarkan luas penutupan tajuk terhadap plot
pengamatan. Kerapatan diamati berdasarkan jumlah individu spesies yang
dijumpai pada setiap plot pengamatan, dan hanya dilakukan untuk strata pohon
serta semak dan anakan pohon. Frekuensi ditentukan berdasarkan kehadiran setiap
spesies di dalam plot pengamatan.
Untuk keperluan penentuan tipe vegetasi, maka pada setiap plot ukuran 20 x
20 m dilakukan penaksiran luas penutupan tajuk dari setiap strata tumbuhan.
Penaksiran dilakukan secara visual sambil mengitari plot 20 x 20 m. Penaksiran
dilakukan dengan mengacu pada skala Braun-Blanquet (Tabel 1). Penaksiran
terhadap ketinggian strata pohon dilakukan secara visual.
b. Data Lingkungan Abiotik
Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
(1) Koordinat geografi dari plot pengamatan dengan menggunakan perangkat
GPS (Global Positioning System).
(2) Contoh tanah yang diambil merupakan tanah terganggu yang diperoleh dari 5
titik dalam setiap plot pengamatan pada suatu blok pengamatan. Contoh tanah
diambil pada kedalaman 30 cm. Contoh tanah dari setiap plot pengamatan
pada blok yang sama kemudian dicampur menjadi composite sample. Berat
contoh tanah adalah 1 kg (Kusmana, 1989; Notohadiprawiro, 1987).
(3) Data kualitatif berupa ada atau tidak kejadian gangguan pada plot pengamatan
diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan
(4) Kemiringan lereng plot pengamatan diukur dengan menggunakan Clinometer
dengan satuan persen, dan arah lereng diketahui dengan menggunakan alat
penunjuk arah kompas.
33
(5) Ketinggian plot pengamatan dari permukaan laut diukur dengan menggunakan
alat altimeter. Pengukuran dilakukan pada titik tengah plot pengamatan.
c. Data Sekunder
Data sekunder curah hujan sejak tahun 2004-2008 diperoleh dari stasion
Ciaten (ketinggian 947 m dpl; S -06o43’21,3"; E 108o36’14,1"). Data suhu udara
sejak tahun 2004-2008 diperoleh dari stasion Citeko (ketinggian 920 m dpl; S -
06o42' ; E 06o56'). Data dari Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dan penduduk
setempat berupa berbagai aktivitas manusia di kawasan penelitian dan peristiwa
alam yang berlangsung pada kawasan penelitian.
4. Analisis Data
a. Kajian Komposisi Spesies Vegetasi
Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui
dari daftar spesies yang dicatat saat pengamatan lapangan. Identifikasi langsung
dilakukan di lapangan. Spesies tumbuhan yang tidak dapat diketahui namanya,
diidentifikasi melalui herbariumnya di laboratorium. Proses yang dilakukan
untuk kajian komposisi vegetasi adalah sebagai berikut:
(1) Menggunakan buku-buku kunci determinasi tumbuhan antara lain dari
Backer & Bakhizen Van Den Brink (1963-1968); Balgooy (2001); Koorders
(1922). Karakteristik bentuk batang, daun, bungan dan buah (jika ada) dari
spesies yang diidentifikasi disesuaikan dengan spesies yang ada di buku
kunci determinasi.
(2) Melakukan identifikasi dengan mencocokkan karakteristik spesies yang
diidentifikasi dengan voucer spesimen.
(3) Memanfaatkan jasa teknisi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
(4) Identifikasi sampai tingkat spesies di lakukan di Herbarium Bogoriense,
LIPI, Cibinong.
b. Penentuan Persentase Penutupan Tajuk Strata Vegetasi
Data dari kajian ini dimanfaatkan dalam klasifikasi vegetasi khususnya
penentuan tipe vegetasi tingkat kelas. Untuk strata herba juga dimanfaatkan untuk
34
analisis vegetasi. Data dugaan persentase penutupan tajuk dari lapangan kemudian
dikonversi ke skala Braun-Blanquet (Tabel 1).
Tabel 1. Kisaran penutupan tajuk Braun-Blanquet
Kelas Penutupan Tajuk
Kisaran Penutupan Tajuk (%)
Rata-Rata
5 75 – 100 87,5 4 50 – 75 62,5 3 25 – 50 37,5 2 5 – 25 15,0 1 1 – 5 2,5 + < 1 0,1 r << 1 *
Keterangan: * Individu muncul hanya sekali, penutupan diabaikan. c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi
(1) Kemelimpahan Spesies Penyusun Vegetasi
Perhitungan kemelimpahan spesies di area kajian ditentukan berdasarkan
kepentingan relatif dari spesies-spesies yang menyusun vegetasi dengan rumus-
rumus berikut. Penentuan basal area pohon dihitung dengan rumus dari Mueller-
Dombois & Ellenberg (1974a) sebagai berikut:
b a = (½ d)2 π
keterangan : ba = basal area = luas penutupan; d = diameter batang setinggi dada (diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah); dan π = 3.142875.
Langkah-langkah yang diperlukan untuk menghitung indeks nilai penting
setiap spesies dilakukan dengan menggunakan serangkaian rumus-rumus berikut
:
Jumlah individu suatu spesies
Kerapatan Mutlak = Luas petak contoh Kerapatan mutlak suatu spesies Kerapatan Relatif = x 100 % Kerapatan total seluruh spesies Jumlah sub petak contoh suatu spesies hadir Frekuensi Mutlak = Jumlah seluruh petak contoh
35
Frekuensi mutlak suatu spesies Frekuensi Relatif = x 100% Jumlah frekuensi seluruh spesies Jumlah luas penutupan suatu spesies Dominansi Mutlak = Luas petak contoh Dominansi mutlak suatu spesies Dominansi relatif = x 100 % Jumlah dominansi seluruh spesies (Cox, 1978; Hardjosuwarno, 1990; dan Kusmana, 1997).
Ketentuan yang digunakan dalam penentuan indeks nilai penting setiap
strata adalah, untuk pohon rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Indeks nilai penting = dominansi relatif + kerapatan relatif + frekuensi relatif.
Untuk strata semak dan anakan pohon, indeks nilai penting dihitung dari
kerapatan relatif dan frekuensi relatif dengan rumus sebagai berikut:
Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif.
Selanjutnya untuk tumbuhan herba indeks nilai penting dihitung dari
dominansi relatif dan frekuensi relatif, dan rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut: Indeks nilai penting = dominansi relatif + frekuensi relatif
(2) Sebaran Kelas Diameter Pohon
Struktur tegakan horizontal dari strata pohon diketahui dengan mengkaji
sebaran diameter setiap individu pohon di dalam blok pengamatan. Setiap pohon
di dalam setiap blok pengamatan ditentukan kelas diameternya. Kelas diameter
dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu: kelas 10–19cm, 20-29cm, 30-39cm, 40-
49cm, 50-59cm, 60-69cm, 70-79cm, dan ≥ 80 cm. Jumlah individu pohon yang
terdapat pada setiap kisaran kelas diameter kemudian diplotkan pada bidang 2
dimensi.
(3) Indeks Keanekaragaman Spesies
Berbagai parameter keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus-rumus
berikut:
(a) Indeks Keanekaragaman Spesies Shannon-Wienner
36
Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus Shannon-Wienner.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
H’ = - ∑ pi ln pi (Michael, 1984).
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman spesies; pi = n/N; n: indeks nilai penting suatu spesies; dan N: total nilai penting seluruh spesies. (b) Indeks Kemerataan Spesies
Indeks kemerataan spesies dihitung dengan rumus dari Pilou dalam Odum H’ (1993), yaitu: e = log S Keterangan: e = Indeks kemerataan; H’ = Indeks keanekaragaman spesies; s = Total kerapatan seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk pohon dan semak) atau total dominansi seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk herba). (c) Indeks Kekayaan Spesies
Indeks kekayaan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Menhinick
dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut:
nSR =
Keterangan: R = Indeks kekayaan spesies; S = Jumlah spesies; dan n = Jumlah individu seluruh spesies (untuk pohon dan semak) atau jumlah dominansi seluruh spesies (untuk herba).
d. Analisis Data Tanah
Data jenis tanah diketahui melalui operasi tumpang susun antara peta jenis
tanah kawasan Gunung Salak dengan peta administrasi kawasan gunung Salak.
Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah, Institut Pertanian
Bogor. Data tanah tersebut adalah: pH, kadar air, tekstur tanah yang ditentukan
dengan analisis granular dengan cara pipet; unsur N total dengan formulasi
Kjedahl; unsur P dengan metode Olsen, unsur K dengan metode cobalt nitrit,
unsur Al dengan metode titrasi ekstrak KCL; dan unsur C organik dengan metode
kimiawi yang dikembangkan oleh Walkley dan Black. Juga unsur Ca, Na dan Mg
tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa.
e. Penentuan Tipe Vegetasi
37
(1) Penentuan Tipe Vegetasi Fisiognomi Struktural
Tipe vegetasi pada setiap blok pengamatan diklasifikasi dengan mengacu
pada tipe vegetasi UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler &
Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman
et al., 1994 ). Klasifikasi ini bersifat hirarki yang bermakna bahwa untuk setiap
komponen klasifikasi terdapat tingkat generalisasi dan pemisahan. Delineasi tipe
vegetasi pada setiap tingkat dalam hirarki berdasarkan kriteria objektif yang
diperoleh dari unit vegetasi.
Unit vegetasi dalam penelitian ini adalah unsur-unsur klasifikasi yang
kurang lebih sama dan digunakan untuk pembentukan tipe vegetasi (Tabel 2).
Pada tipe vegetasi 1 sampai 4 dari hirarki paling atas didasarkan pada kondisi
fisiognomi struktural vegetasi.
Tabel 2. Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS
No Tipe Vegetasi UNESCO
Tipe Vegetasi NVCS
Kriteria Delineasi
1. Kelas Formasi Kelas Fisiognomi Penutupan Tajuk 2. Subkelas Formasi Subkelas Fisiognomi Morfologi 3. Kelompok Formasi Kelompok Fisiognomi Iklim Makro 4. Formasi Formasi 1. Zona Kehidupan
2. Ketinggian Tajuk 5. Aliansi Floristik, Struktural,
Fisiognomi 6. Asosiasi Floristik
(2) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi
Tipe vegetasi ke 5 adalah tipe vegetasi tingkat aliansi yang ditentukan
berdasarkan fisiognomi, struktur, dan komposisi vegetasi. Tipe ini merupakan
peralihan antara tipe vegetasi yang ditentukan secara fisiognomi struktural dan
tipe yang murni ditentukan secara floristik, yaitu tipe vegetasi tingkat Asosiasi.
Level unit ini dalam hirarki klasifikasi adalah level floristik. Acuan yang
digunakan adalah NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994&1998).
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Pengelompokan blok pengamatan yang membentuk tipe vegetasi tingkat
aliansi dilakukan melalui teknik ordinasi dengan Analisis Faktor. Data struktur
38
vegetasi berupa INP, dominansi, kerapatan, frekuensi, dan densitas dari spesies
strata pohon dimanfaatkan untuk analisis ini. Perangkat lunak yang digunakan
untuk perhitungan adalah SPSS. Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan
ini adalah sebagai berikut:
a. Melakukan standarisasi terhadap data ke bentuk Z score yang diperoleh
melalui rumus berikut:
σ
__XxZ −
= .
Keterangan: x = nilai data; X = nilai rata-rata; dan σ = standar deviasi
Hal ini dilakukan karena nilai data yang ada antara satu blok pengamatan
dengan blok yang lain sangat bervariasi.
b. Menentukan apakah data-data yang terdapat pada setiap blok dapat diproses
lebih lanjut. Dalam analisis faktor hal ini dapat di ketahui dengan mencari:
(1) Nilai total Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy,
dengan kriteria bahwa data pada blok pengamatan dapat dimanfaatkan
jika nilai yang diperoleh lebih besar 0,5.
(2) Barlett’s Test of Sphericity. Hipotesis untuk signifikansi melalui uji ini
adalah sebagai berikut:
Ho = Data pada blok pengamatan belum memadai untuk dianalisis lebih
lanjut.
Hi = Data pada blok pengamatan sudah memadai untuk dianalisis lebih
lanjut.
Kriteria angka signifikasi atau probabilitas yang digunakan adalah:
Jika angka signifikasi atau probabilitas > 0.05 maka Ho diterima.
Jika angka signifikasi atau probabilitas < 0.05 maka Ho ditolak.
c. Mengekstraksi data-data sehingga dapat diketahui berapa kelompok blok
pengamatan vegetasi atau faktor yang dapat terbentuk. Hal ini dilakukan
dengan Principle Component Analysis. Faktor-faktor yang terbentuk akan
diterima jika memiliki nilai eigenvalues di atas 2,45. Langkah berikutnya
adalah melakukan rotasi dengan metode Varimax.
d. Banyaknya kelompok blok pengamatan yang terbentuk dapat dilihat pada
nilai eigenvalues yang lebih besar atau sama dengan 2,45, juga dapat dilihat
39
pada Scree Plot yang terbentuk. Untuk mengetahui di kelompok mana suatu
blok pengamatan berada, dapat dilihat melalui tabel Rotate Component
Matrix yang terbentuk. Suatu blok pengamatan masuk ke dalam kelompok
tertentu jika blok-blok tersebut memiliki nilai komponen loading yang
tertinggi pada kelompok blok pengamatan tempat blok yang bersangkutan
berada.
e. Melalui langkah-langkah di atas maka akan dapat diperoleh nilai-nilai
Communalities dan Eigenvalues dari masing-masing faktor atau kelompok
blok pengamatan yang terbentuk. Masing-masing kelompok blok
pengamatan yang terbentuk ini selanjutnya akan dikelompokkan lagi
berdasarkan kesamaan fisiognomi, sehingga akan diperoleh tipe vegetasi
tingkat aliansi di Gunung Salak.
f. Untuk mengetahui apakah suatu komponen yang dalam hal ini kelompok
blok pengamatan yang terbentuk sudah tepat, dapat dilihat pada tabel
Component Transformation Matrix. Dikatakan tepat jika matriks diagonal
yang menunjukkan hubungan korelasi antara komponen mempunyai nilai di
atas 0,55. (Santoso & Tjiptono, 2001; dan Santoso, 2002).
g. Nama aliansi ditentukan dengan mengacu pada NVCS (FGDC, 1997; dan
Grossman et al., 1994 & 1998) melalui cara berikut ini:
(g1) Pada setiap tipe vegetasi tingkat aliansi dilakukan kegiatan berikut ini:
• Menyusun Tabel Dasar. Tabel ini disusun dengan mengurutkan seluruh plot
dalam suatu blok pengamatan menjadi kolum dan spesies yang terdapat pada
setiap plot menjadi baris. Spesies yang menyusun bentuk tumbuh pohon
diletakkan pada kelompok baris paling atas dari tabel, diikuti oleh bentuk
tumbuh semak dan terakhir herba.
• Spesies yang terdapat pada Tabel Dasar kemudian diurutkan letaknya
berdasarkan frekuensi kehadiran spesies tersebut dalam plot pengamatan.
Spesies dengan frekuensi kehadiran tertinggi diletakkan pada baris teratas.
Pengurutan dilakukan per bentuk tumbuh.
• Langkah berikutnya adalah membentuk Tabel Konstansi. Konstansi adalah
jumlah kehadiran spesies pada seluruh strata dalam plot-plot yang menyusun
kumpulan blok pengamatan yang dalam hal ini merupakan tipe vegetasi
40
tingkat aliansi. Untuk itu setiap spesies yang menyusun Tabel Dasar
ditentukan konstansinya. Selanjutnya spesies-spesies yang ada dipisahkan
menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat konstansi. Kelompok tersebut
adalah:
(1) Kelompok spesies dengan konstansi > 60%, yang disebut kelompok
spesies konstan atau spesies umum.
(2) Kelompok spesies dengan konstansi sedang, yaitu antara 10–60%.
Kelompok spesies ini juga disebut spesies diferensial, yang
mempunyai distribusi terbatas pada plot yang sedang dikaji. Kelompok
spesies ini, merupakan spesies-spesies yang dimanfaatkan untuk
penentuan nama Aliansi dan juga dalam pembentukan asosiasi dan
penentuan nama asosiasi.
(3) Kelompok spesies dengan konstansi < 10% dan juga disebut spesies
jarang. Kelompok spesies ini merupakan spesies yang kehadirannya
dalam plot pengamatan bersifat kebetulan sehingga tidak banyak
berperan dalam klasifikasi.
(g2) Inti dari pemberian nama suatu tipe vegetasi tingkat aliansi adalah spesies
dominan yang dilihat berdasarkan Indeks Nilai Penting dan spesies
diferensial. Jika ditemukan 2 atau lebih spesies dengan jumlah kehadiran
yang sama sebagai spesies dominan atau sebagai spesies diferensial, maka
yang dipilih adalah spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi.
(g3) Jumlah spesies yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi minimal
3 dan minimal terdiri atas 2 spesies dari strata yang berbeda yang ada pada
suatu aliansi.
(g4) Nama spesies pertama yang menyusun aliansi diberikan berdasarkan spesies
yang hadir paling banyak pada blok-blok pengamatan dengan INP tertinggi
pada suatu aliansi. Spesies ini harus berada pada strata teratas atau strata
dengan fisiognomi paling nyata di lapangan. Jika ditemukan 2 spesies yang
serupa INP nya, maka dipilih spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi.
(g5) Spesies kedua yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi tipe
vegetasi, harus merupakan spesies diferensial yang memiliki nilai konstansi
41
tertinggi. Jika memungkinkan, merupakan spesies dominan, dan pada strata
yang sama dengan spesies yang terpilih sebagai nama pertama suatu aliansi.
(g6) Spesies ketiga yang dipilih untuk menyusun nama aliansi, harus merupakan
spesies diferensial. Jika memungkinkan merupakan spesies dominan.
Spesies ini dipilih dari strata yang lebih rendah dari strata spesies yang
menyusun nama pertama dari suatu aliansi tipe vegetasi.
(g7) Di antara 2 spesies yang berada pada strata yang sama diberi tanda ” – ”
dalam penulisannya dan jika berada pada strata yang berbeda diberi
tanda ”/” di antara kedua spesies dalam penulisannya.
(g8) Spesies dengan nama taksonomi yang kurang jelas dapat diberikan nama
dalam bahasa daerah dan diletakkan dalam tanda kurung.
(g9) Pemberian nama aliansi vegetasi harus menyertakan unit vegetasi pada
tingkat kelas dan sekaligus menyertakan sebutan aliansi pada awal nama
dari aliansi yang ditentukan.
(3) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi.
Pada kegiatan ini spesies-spesies akan dikelompokkan berdasarkan
kesamaan distribusinya pada plot pengamatan di suatu aliansi. Langkah-langkah
yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Menentukan Jarak kesamaan atau Indeks Similaritas antara spesies dengan
metode squared euclidean distance berikut ini:
( )∑=
=
−=ni
iikijjk xxD
1
2
Keterangan: Djk = Jarak atau disimilaritas antara klaster ke j dan k; xij = Nilai variabel ke i pada objek ke j; xik = nilai variabel ke i objek ke k.
b. Mengelompokkan spesies-spesies yang memiliki kesamaan jarak yang tinggi
melalui analisis klaster menggunakan metode Ward sebagai berikut:
np + nr np + nr nr
dtr = dpr + dqr - dpq
nt + nr nt + nr nt + nr
Keterangan: dtr merupakan jarak antara klaster t dengan klaster r, dengan mengandaikan bahwa 2 klaster p dan q akan membentuk klaster t yang merupakan merger p dan q, nt = np + nq. (Jaya, 1999).
42
Data-data yang digunakan untuk analisis adalah data biner, yaitu 1
menunjukkan kehadiran spesies pada plot pengamatan dan 0 menunjukkan
ketidakhadiran. Hasil akhir analisis klaster ditampilkan dalam bentuk diagram
dendogram, yang melalui diagram tersebut dapat diketahui spesies diagnostik
yang membentuk tipe vegetasi tingkat asosiasi. Oleh karena dendogram yang
ditampilkan merupakan visualisasi pengelompokan spesies diferensial melalui
perangkat lunak SPSS, maka jarak yang ditampilkan tidak lagi dalam bentuk jarak
euclidean, tetapi telah diskala ulang dengan nilai yang berkisar antara 0-25.
Analisis klaster dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.
Pemberian nama asosiasi mengacu pada NVCS (The National Vegetation
Classification Standard. FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 & Grossman et
al., 1998), sebagai berikut:
a. Spesies yang terpilih memiliki nilai konstansi terbesar pada asosiasi yang
bersangkutan. Kecuali pada asosiasi dengan jumlah spesies kurang dari 3,
maka nama asosiasi minimal terdiri atas 3 spesies yang menyusun asosiasi
bersangkutan.
b. Jika asosiasi terdiri atas beberapa bentuk tumbuh tumbuhan maka penulisan
nama asosiasi harus menyertakan minimal 2 bentuk tumbuh yang menyusun
asosiasi tersebut dan penulisannya berdasarkan urutan bentuk tumbuh
pohon, semak dan herba.
c. Jika ditemukan spesies dengan konstansi tertinggi memiliki bentuk tumbuh
yang sama maka penulisannya dipisahkan oleh tanda ”-”, dan jika berbeda
maka penulisannya dipisahkan dengan tanda ”/”.
d. Penulisan nama asosiasi pada suatu aliansi harus menyertakan nama dari
unit vegetasi tingkat kelas tempat asosiasi tersebut ditemukan.
f. Pendugaan Lokasi Georafi Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi di Zona Sub
Pegunungan Gunung Salak Pada kegiatan ini, dilakukan pendugaan lokasi geografis setiap aliansi
dengan menampilkan posisi dari masing-masing aliansi tersebut di atas peta.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Membuat koordinat lapangan dari aliansi yang ada berdasarkan data GPS.
43
2. Membuat AOI (Area of Interest) dari lokasi penelitian pada citra Landsat
dan kemudian memotong citra berdasarkan AOI.
3. Melakukan overlay data GPS dan Citra Landsat.
4. Menentukan training area berdasarkan data-data GPS pada citra landsat.
Oleh karena data GPS yang ada tidak terlalu banyak akibat kondisi lapangan
yang selalu tertutup awan maka training area juga ditentukan berdasarkan
nilai spektral dari setiap aliansi yang dibuat. Dalam hal ini, blok-blok
pengamatan dalam aliansi yang sama dicari kesamaan dan pola-pola nilai
spektralnya. Acuan lain dalam pembuatan training area adalah berbagai
peta kawasan Gunung Salak dalam bentuk hardcopy. Selain membuat kelas
tipe vegetasi tingkat aliansi, juga dibuat kelas penutupan awan dan badan
air.
5. Melakukan klasifikasi terbimbing dengan metode pengkelas kemiripan
maksimum (maximum likehood classification). Dari proses ini akan
diperoleh citra tipe vegetasi tingkat aliansi zona sub pegunungan Gunung
Salak.
6. Menentukan nilai indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index) dari citra Landsat. NDVI diperoleh dari rumus berikut:
NIR – RED NDVI = NIR + RED keterangan: NIR : daerah panjang gelombang infra merah dekat (near infra red), band 4 ; RED : daerah panjang gelombang merah, band 3.
7. Transformasi data raster ke vektor.
8. Operasi tumpang susun untuk mengetahui penyebaran kelas lereng, jenis
tanah, dan NDVI di aliansi zona sub pegunungan Gunung Salak.
g. Kajian Perbedaan Faktor Abiotik, Struktur Vegetasi dan
Keanekaragaman Spesies, di antara Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi
Statistik U Mann-Whitney digunakan untuk menentukan faktor-faktor
abiotik yang membedakan di antara aliansi. Data-data faktor abiotik dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu faktor tanah (edafik) dan topografi. Statistik ini juga
44
dimanfaatkan untuk mengetahui perbedaan struktur vegetasi serta indeks
keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan spesies antara aliansi.
Statistik U Mann-Whitney diperoleh dengan cara-cara berikut (Daniel, 1987;
Santosa, 2000):
1. Hipotesis statistik yang digunakan adalah H0 : Mx = My yang berarti tidak
ada perbedaan di antara kedua populasi; H0 : Mx / My
2. Hitung statistik U Mann-Whitney dengan rumus berikut: ( )
21+
−=nnST
Keterangan: T = statistik U Mann-Whitney; S = jumlah skor rangking pada sampel pertama. Penentuan sampel mana yang menjadi sampel pertama ditentukan dengan penetapan; n = jumlah hasil pengamatan pada sampel pertama.
3. Kriteria penolakan H0 jika T ≤ Wα/2 atau T > W1 - α/2; dimana Wα/2 = nilai
kritis T untuk untuk n, m, dan α/2 sesuai dengan tabel Mann-Whitney ; m =
jumlah hasil pengamatan pada sampel kedua; α = tingkat signifikasi yang
dalam penelitian ini 0.05; dan W1 - α/2 = nm - Wα/2.
4. Jika jumlah pengamatan n atau m lebih dari 20 maka nilai kritis T yang
diperoleh dari tabel U Mann-Whitney tidak dapat digunakan, maka
digunakan rumus Z normal berikut dan hasilnya dibandingkan dengan tabel
distribusi normal.
( ) 2/112/
++−
=mnnm
mnTZ
h. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan Faktor
Abiotik dan Preferensi Ekologi Spesies. Pada kajian ini dilakukan 2 macam kegiatan, yaitu: 1. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan Faktor
Abiotik
Pada kegiatan ini setiap faktor abiotik yang akan diuji hubungannya dengan
asosiasi vegetasi, dibagi ke dalam beberapa kelas. Untuk faktor tanah, pembagian
ke dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB,
sedangkan untuk faktor abiotik yang tidak memiliki pembagian kelas tersendiri
45
dilakukan dengan membagi secara merata nilai faktor abiotik tersebut ke dalam
kelas-kelas tersendiri. Kelas-kelas dari setiap faktor abiotik dapat dilihat pada
Lampiran 7.
2. Kajian Preferensi Ekologi Spesies pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi
Uji statistik Chi-Square dilakukan untuk mengkaji hubungan antara spesies-
spesies dengan berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di setiap aliansi.
Spesies-spesies yang dipilih adalah yang memiliki nilai INP tertinggi dari urutan 1
sampai 3 pada strata pohon di seluruh aliansi. Dasarnya adalah, spesies-spesies ini
merupakan spesies paling dominan, sehingga merupakan spesies yang paling baik
beradapatasi dengan berbagai faktor lingkungan yang menyusun habitat dari
berbagai spesies di zona sub pegunungan Gunung Salak.
Faktor abiotik yang dikaji adalah faktor-faktor yang membedakan di antara
aliansi. Faktor-faktor ini selanjutnya dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu,
sehingga hasil uji Chi-Square nantinya akan menghasilkan hubungan antara
penyebaran spesies dengan berbagai kategori faktor abiotik pada blok pengamatan
di suatu aliansi. Untuk faktor tanah, pembagian ke dalam kelas-kelas mengikuti
pedoman Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik
yang tidak memiliki kelas tersendiri, pembagian dilakukan dengan cara mebagi
rata nilai faktor abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri. Kelas-kelas dari
setiap faktor abiotik dapat dilihat pada Lampiran 7.
Kedua kajian di atas di uji dengan Statistik Chi-Square dengan cara berikut:
(a) Hipotesis statistik yang digunakan adalah H0 : Faktor vegetasi/spesies yang
diamati tidak berhubungan dengan faktor abiotik; HA: Faktor
vegetasi/spesies yang diamati berhubungan dengan faktor abiotik.
(b) Menghitung statistik Chi-Square dengan rumus berikut:
( )∑= ⎥
⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡ −=
k
i i
ii
EEO
1
22χ
keterangan : 2χ = Chi-Square; Oi = Nilai pengamatan pada sel ke i; Ei = Nilai harapan pada sel ke i dengan derajat bebas : (r – 1) (c – 1); dengan r : nilai baris sel; dan c : nilai kolum sel (Daniel, 1987).
i. Kajian Pola Penyebaran Spesies pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi
46
Pola penyebaran spesies pada strata pohon di setiap aliansi dihitung dengan
rumus Ip (Standardized Morisita Index of Dispersion) (Smith-Gill, 1975 dalam
Krebs, 1989) dengan langkah-langkah berikut ini:
1. Menghitung Id (Indeks Penyebaran Morisita) dengan rumus berikut :
( ) ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
−
−=
∑∑∑ ∑
xx
xxnId 2
2
Keterangan: n = Luas plot/kuadrat pengamatan; x = plot/kuadrat pengamatan.
2. Menghitung dua titik signifikansi dari Id dengan rumus berikut:
( ) 1
2975.0
−
−−=
∑∑
i
iu x
xnM
χ
Keterangan: Mu = Indeks Keseragaman = Nilai Chi-Square tabel dengan derajat bebas n–1 dan derajat kepercayaan 97.5% pada area sisi kanan; xi = jumlah individu dalam plot/kuadrat ke i (i = 1, ...., n); n = jumlah plot/kuadrat.
( ) 1
2025.0
−
−−=
∑∑
i
ic x
xnM
χ
Keterangan: Mc = Indeks Pengelompokan = Nilai Chi-Square tabel dengan derajat bebas n -1 dan derajat kepercayaan 2.5% pada area sisi kanan.
3. Selanjutnya menghitung Ip dengan menggunakan salah satu rumus berikut:
Jika Id ≥ Mc > 1.0 digunakan rumus: ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+=c
cdp Mn
MII 5.05.0
Jika Mc > Id ≥ 1.0 digunakan rumus: ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=1
15.0
c
dp M
II
Jika 1.0 > Id > Mu digunakan rumus: ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=1
15.0
u
dp M
II
Jika 1.0 > Mu > Id digunakan rumus: ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −+−=
u
udp M
MII 5.05.0
Nilai Ip berkisar antara -1.0 sampai +1.0, dengan batas 95% derajat
kepercayaan pada +0.05 dan -0.05. Pola acak akan menghasilkan nilai Ip = 0, pola
mengelompok akan menghasilkan Ip di atas 0, dan pola seragam akan
menghasilkan nilai Ip di bawah 0.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak
1. Aliansi Vegetasi
Terdapat 4 kelompok blok pengamatan yang berhasil diekstraksi melalui
ordinasi (Tabel 3), dan varians total yang dapat diterangkan adalah 77,24%.
Selanjutnya berdasarkan kesamaan struktur dan fisiognomi vegetasi, maka dari 4
kelompok ini berhasil diidentifikasi 3 aliansi, yaitu aliansi 1 yang diperoleh dari
kelompok blok pengamatan 1, aliansi 2 yang diperoleh dari kelompok blok
pengamatan 2 dan 4, dan aliansi 3 yang diperoleh dari kelompok blok pengamatan
3 (Tabel 3). Dari ketiga aliansi ini, aliansi 1 tersusun atas blok-blok pengamatan
yang paling banyak yaitu sebanyak 36 blok (60 %), disusul oleh aliansi 2
sebanyak 17 blok (28,34%), dan aliansi 3 sebanyak 7 blok (11,66 %) .
Tabel 3. Rotate Component Matrix yang memperlihatkan kelompok blok pengamatan penyusun tipe vegetasi tingkat aliansi
BLOK
KOMPONENNilai
Maksimum
Kelompok Blok
Pengamatan Aliansi 1
2 3 4
3 0,943 0,005 -0,060 -0,082 0,943 1 1 4 0,945 0,008 -0,065 -0,131 0,945 1 1 5 0,950 0,005 -0,076 -0,094 0,950 1 18 0,903 0,001 0,131 -0,012 0,903 1 1
10 0,909 0,001 0,025 -0,008 0,909 1 113 0,893 0,007 0,152 -0,103 0,893 1 114 0,966 0,005 -0,088 -0,085 0,966 1 115 0,965 0,000 0,016 -0,004 0,965 1 120 0,827 -0,008 0,138 0,123 0,827 1 1 24 0,911 -0,004 0,157 0,045 0,911 1 1 25 0,923 -0,008 0,207 0,135 0,923 1 1 30 0,596 -0,014 0,350 0,234 0,596 1 131 0,773 -0,013 0,280 0,235 0,773 1 133 0,817 -0,009 0,123 0,165 0,817 1 135 0,637 -0,017 0,095 0,229 0,637 1 137 0,391 -0,014 0,102 0,255 0,391 1 138 0,934 -0,007 0,130 0,141 0,934 1 1 39 0,870 -0,008 0,114 0,162 0,870 1 1 40 0,803 -0,012 0,080 0,185 0,803 1 1 42 0,848 -0,003 0,418 0,114 0,848 1 143 0,973 0,001 0,058 0,017 0,973 1 144 0,934 -0,007 0,159 0,149 0,934 1 145 0,588 -0,020 0,411 0,378 0,588 1 146 0,899 0,003 0,191 -0,017 0,899 1 149 0,728 -0,002 0,511 0,114 0,728 1 1 50 0,749 -0,001 0,495 0,082 0,749 1 1
49
Lanjutan Tabel 3.
BLOK
KOMPONENNilai
Maksimum
Kelompok Blok
Pengamatan Aliansi 1
2 3 4
51 0,933 0,001 0,189 0,020 0,933 1 152 0,784 -0,009 0,437 0,187 0,784 1 153 0,976 -0,002 0,053 0,030 0,976 1 154 0,914 -0,004 0,061 0,073 0,914 1 155 0,933 -0,004 0,110 0,084 0,933 1 156 0,904 -0,001 0,253 0,059 0,904 1 1 57 0,802 -0,012 0,389 0,233 0,802 1 1 58 0,969 -0,002 0,093 0,055 0,969 1 1 59 0,951 -0,003 0,031 0,050 0,951 1 160 0,984 0,001 0,002 -0,003 0,984 1 16 -0,012 0,653 0,071 -0,060 0,653 2 27 -0,004 0,981 -0,010 0,030 0,981 2 2
16 -0,006 0,981 -0,004 0,026 0,981 2 217 -0,004 0,981 -0,008 0,029 0,981 2 2 18 -0,006 0,987 -0,008 0,011 0,987 2 2 19 -0,002 0,996 -0,009 0,015 0,996 2 2 21 -0,005 0,981 -0,007 0,027 0,981 2 222 -0,003 0,981 -0,014 0,031 0,981 2 223 -0,004 0,981 -0,003 0,011 0,981 2 226 -0,005 0,982 -0,004 0,027 0,982 2 227 0,001 0,611 -0,008 0,007 0,611 2 228 0,012 0,981 0,002 0,025 0,981 2 2 29 0,001 0,879 0,016 -0,010 0,879 2 2 2 -0,026 0,337 -0,176 0,700 0,700 4 2
32 0,000 0,000 -0,178 0,742 0,742 4 234 0,539 -0,008 -0,086 0,665 0,665 4 236 0,004 -0,009 0,004 0,123 0,123 4 21 0,005 0,027 0,734 -0,258 0,734 3 39 0,115 -0,020 0,426 0,363 0,426 3 3
11 -0,058 0,024 0,487 -0,216 0,487 3 3 12 0,319 0,010 0,627 -0,104 0,627 3 3 41 0,384 0,013 0,823 -0,038 0,823 3 3 47 0,310 -0,023 0,537 0,422 0,537 3 348 0,336 -0,019 0,453 0,368 0,453 3 3
Melalui Tabel 3 dapat dilihat pada aliansi mana suatu blok pengamatan
terletak. Selain itu juga terlihat nilai komponen loading dari setiap blok
pengamatan. Nilai tersebut nampak pada kolum komponen. Pada Gambar 7
terlihat bahwa blok-blok pengamatan 6, 7, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 26, 27, 28,
29 yang memiliki komponen loading terbesar pada komponen 2 (Tabel 3) dan
blok 2, 32, 34, dan 36 yang memiliki komponen loading terbesar pada komponen
4 (Tabel 3) merupakan sebuah aliansi yang sama, mengingat letak blok-blok
pengamatan yang ada di kedua aliansi ini sangat berdekatan. Pada Tabel 5 terlihat
bahwa pada sebagian besar blok-blok pengamatan di kedua aliansi ini didominasi
oleh spesies bambu pada strata pohon. Dengan demikian, maka kedua kelompok
blok pengamatan tersebut digabung menjadi sebuah aliansi.
50
Tabel 4 memperlihatkan spesies-spesies yang memiliki nilai INP (Indeks
Nilai Penting) tertinggi pada semua strata yang terdapat pada blok-blok
pengamatan yang membentuk aliansi 1. Berdasarkan tabel ini, dapat ditentukan
nama dari aliansi 1. Spesies paling dominan, dalam arti memiliki INP tertinggi
untuk strata pohon di aliansi ini adalah puspa. Spesies ini ditemukan paling
dominan pada 30 dari 36 blok pengamatan di aliansi 1 (83,33%). Berdasarkan hal
ini, maka puspa merupakan spesies pertama yang menyusun nama pertama dari
aliansi 1.
Keterangan: 1 : Aliansi hutan Schima wallichii-Pandanus punctatus/Cinchona officinalis (aliansi 1); 2 : Aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/ C. officinalis (aliansi 2); 3 : Aliansi
hutan Pinus merkusii-Athyrium dilatatum/ Dicranopteris dichotoma (aliansi 3) Gambar 7. Pola penyebaran tipe vegetasi tingkat aliansi.
Spesies berikutnya yang menyusun nama aliansi 1 merupakan spesies
diferensial (Lampiran 3) dan yang paling dominan. Berdasarkan spesies-spesies
diferensial yang ada, maka cangkuang (Pandanus punctatus) dan sulibra
(Cinchona officinalis) terpilih sebagai spesies yang menyusun nama kedua dan
ketiga aliansi 1. Cangkuang terpilih karena merupakan spesies paling dominan
pada blok pengamatan 45 dan juga spesies diferensial. Sulibra terpilih karena
alasan yang sama, yaitu hadir sebagai spesies paling dominan pada strata semak
dan anakan pohon di blok pengamatan 43 (Tabel 4) dan merupakan spesies
diferensial.
51
Tabel 4. Spesies-spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 1
Blok
Strata Vege-tasi
Nama Spesies Blok
Strata Vege-tasi
Nama Spesies
3 1 Schima wallichii 37 1Schizostachyum brachycladum.
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Staurogyne sp. 3Eltingera megalocheilos
4 1 Schima wallichii 38 1 Schima wallichii
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Selaginella plana 3 Nephrolepis exalltata.
5 1 Schima wallichii 39 1 Dysoxylum arborescens
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3 Etlingera punicea
8 1 Schima wallichii 40 1Dysoxylum arborescens
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3 Etlingera punicea
10 1 Schima wallichii 42 1 Schima wallichii
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
13 1 Schima wallichii 43 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Cinchona officinalis
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
14 1 Schima wallichii 44 1 Schima wallichii
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Dinochloa scandens
15 1 Schima wallichii 45 1Pandanus punctatus
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Commelina nudiflora L.
20 1 Schima wallichii 46 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
24 1 Schima wallichii 49 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Dicranopteris dichotoma
52
Lanjutan 4.
Blok
Strata Vege-tasi
Nama Spesies Blok
StrataVege-tasi
Nama Spesies
3 Scleria purpurascens 3
Pogonatherum paniceum
25 1 Schima wallichii 50 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Nephrolepis exalltata.
30 1 Dysoxylum arborescens 51 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Scleria purpurascens 3
Eltingera megalocheilos
31 1 Schima wallichii 52 1 Schima wallichii
2 Dicranopteris dichotoma 2
Dicranopteris dichotoma
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
33 1 Schima wallichii 53 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Cyathea contaminans
3 Etlingera punicea 3Eltingera megalocheilos
35 1 Eugenia oclusa 54 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Dicranopteris dichotoma
3 Etlingera punicea 3 Nephrolepis exalltata.
58 1 Schima wallichii 55 1 Schima wallichii
2 Cyathea contaminans 2
Dicranopteris dichotoma
3 Eltingera megalocheilos 3
Nephrolepis exalltata.
59 1 Schima wallichii 56 1Schima wallichii
2 Dicranopteris dichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
60 1 Schima wallichii 57 1 Schima wallichii
2 Dicranopterisdichotoma 2
Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata. 3
Eltingera megalocheilos
Keterangan: Strata vegetasi: 1: Pohon; 2: Semak dan anakan pohon; 3: Herba
Tabel 5. Spesies - spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 2
53
Blok Strata
Vegetasi Nama
Spesies BlokStrata
VegetasiNama
Spesies 2 1 Schizostachyum
iraten 23 1 Gigantochloa
apus. 2 Cyathea
contaminans 2 Cyathea
contaminans 3 Isachne globosa 3 Scleria
purpurascens 6 1 Pinus merkusii 26 1 Gigantochloa
apus. 2 Cyathea
contaminans 2 Cyathea
contaminans 3 Dinochloa
scandens 3 Isachne globosa
7 1 Gigantochloa apus.
27 1 Mallotus blumeanus
2 Cyathea contaminans
2 Cyathea contaminans
3 Isachne globosa 3 Setaria palmifolia
16 1 Gigantochloa apus.
28 1 Gigantochloa apus.
2 Cyathea contaminans
2 Cinchona officinalis
3 Isachne globosa 3 Selaginella plana
17 1 Gigantochloa apus.
29 1 Gigantochloa apus.
2 Cinchona officinalis
2 Cyathea contaminans
3 Isachne globosa 3 Nephrolepis exalltata.
18 1 Gigantochloa apus.
32 1 Schizostachyum iraten
2 Cyathea contaminans
2 Cyathea contaminans
3 Nephrolepis exalltata.
3 Etlingera punicea
19 1 Gigantochloa apus.
34 1 Pandanus punctatus
2 Cyathea contaminans
2 Cyathea contaminans
3 Vittaria ensiformis
3 Etlingera punicea
21 1 Gigantochloa apus.
36 1 Schizostachyum brachycladum.
2 Cyathea contaminans
2 Athyrium dilatatum
3 Isachne globosa 3 Eltingera megalocheilos
22 1 Gigantochloa apus.
2 Cyathea contaminans
3 Rubus moluccanus Keterangan: Strata vegetasi: 1: Pohon; 2: Semak dan anakan pohon; 3: Herba
Pada aliansi ini hanya sulibra yang ditemukan sebagai spesies diferensial
sekaligus spesies dominan pada strata semak dan anakan pohon. Spesies
54
lainnya, yaitu pakis sier (Cyathea contaminans) dan pakis andam (Dicranopteris
dichotoma (Thumb) Bernh) hanya merupakan spesies dominan. Pada strata herba,
juga ditemukan spesies dominan dan sekaligus spesies diferensial. Spesies-spesies
tersebut adalah palias (Pogonatherum paniceum Hack), balakatoak (Etlingera
megalocheilos Griff.), tepus (Etlingera punicea (Roxb.) R.M.Smith.), dan
aawiyan (Dinochloa scandens). Selengkapnya nama dari aliansi 1 adalah: Aliansi
hutan S. walichii-P. punctatus/C. officinalis, dan selanjutnya disebut aliansi 1.
Aliansi 1 merupakan hutan campuran berdaun lebar, dan pada strata pohon
di aliansi ini juga ditemukan beberapa spesies paling dominan lain yang
penyebarannya sebagai spesies paling dominan tidak sebanyak puspa. Spesies-
spesies tersebut adalah panggang puyuh (Dysoxylum arborescens) yang
merupakan spesies paling dominan pada 3 buah blok pengamatan, serta ki sirem
(Eugenia oclusa Kurz.), bambu buluh (Schizostachyum brachycladum Kurz.), dan
cangkuang yang masing-masing menjadi spesies paling dominan pada 1 blok
pengamatan.
Bambu buluh merupakan satu-satunya spesies bambu dengan INP tertinggi
pada aliansi ini, yaitu pada blok pengamatan 37. Blok ini nampak sangat dekat ke
aliansi 2 (Gambar 7), namun tetap termasuk ke dalam aliansi 1, karena memiliki
komponen loading yang paling besar pada aliansi ini (Tabel 3). Selanjutnya, dari
sisi struktur vegetasi tetap termasuk ke dalam aliansi 1 karena pada blok ini,
ditemukan spesies-spesies yang memiliki INP urutan kedua dan ketiga tertinggi
adalah rasamala (A. excelsa) dan puspa, dan kedua spesies ini bukan spesies
bambu.
Tabel 5 memperlihatkan spesies-spesies yang memiliki INP tertinggi pada
semua strata yang terdapat pada blok-blok pengamatan di aliansi 2. Berdasarkan
tabel ini, dapat ditentukan nama aliansi 2. Spesies yang paling banyak ditemukan
sebagai spesies paling dominan pada strata pohon adalah bambu tali
(Gigantochloa apus (Bl. Ex Schutt.) Kurz.), yaitu pada 11 (84,62%) dari 17 blok
pengamatan di aliansi ini. Berdasarkan hal ini, maka bambu tali merupakan
spesies pertama yang menyusun nama pertama dari aliansi 2.
Spesies berikutnya penyusun nama aliansi 2 merupakan spesies-spesies
diferensial (Lampiran 4) dan yang paling dominan. Pada aliansi ini, ditemukan
55
beberapa spesies paling dominan sekaligus spesies diferensial pada strata pohon.
Spesies-spesies tersebut adalah calik angin (Mallotus blumeanus), cangkuang,
dan pinus (Pinus merkusii), yang berturut-turut merupakan spesies paling
dominan pada blok pengamatan 27, 34, dan 6. Calik angin terpilih sebagai spesies
kedua penyusun nama aliansi ini karena memiliki nilai konstansi tertinggi
dibanding cangkuang dan pinus.
Spesies berikutnya yang menyusun nama aliansi 2 adalah spesies paling
dominan dan diferensial yang ditemukan pada strata yang lebih rendah dari strata
pohon. Pada Tabel 5 terlihat bahwa sulibra dan pakis benyir merupakan spesies
paling dominan pada strata semak dan anakan pohon dan juga diferensial. Sulibra
ditemukan sebagai spesies dominan pada 2 blok pengamatan (blok pengamatan 17
dan 28), sedangkan pakis benyir hanya pada 1 blok (blok pengamatan 36). Spesies
dominan lainnya pada strata ini, yaitu pakis sier bukan spesies diferensial.
Dengan demikian sulibra terpilih untuk menyusun nama ketiga dari aliansi 2.
Nama aliansi 2 yang lengkap adalah Aliansi hutan G. apus-M. blumeanus/ C.
officinalis yang selanjutnya disebut aliansi 2.
Pada aliansi 2 ditemukan beberapa spesies paling dominan dan sekaligus
spesies diferensial pada strata herba. Spesies-spesies tersebut adalah tepus,
bayondah minyak (Isachne globosa (Thumb.) O. K.), balakatoak, sauhen (Setaria
palmifolia), rane (Selaginella plana Hieron), ilat (Scleria purpurascens Steud),
harees (Rubus moluccanus L), dan pakis kadaka (Vittaria ensiformis Sw.). Di
antara spesies-spesies ini, bayondah minyak ditemukan paling banyak hadir
sebagai spesies paling dominan, yaitu berturut - turut di blok pengamatan 2, 7, 16,
21, dan 26.
Aliansi 2 merupakan hutan bambu. Pada aliansi ini spesies bambu
mendominasi strata pohon di sebagian besar blok pengamatan, yakni pada 14
blok (82,35%) dan hanya 3 blok (17,65%) pengamatan yang tidak didominasi
oleh spesies ini. Spesies dominan pada ketiga blok tersebut adalah pinus, calik
angin, dan cangkuang berturut-turut pada blok pengamatan 6, 27, dan 34.
Pada sisi lain, pada 2 blok pertama, spesies dominan urutan kedua dan
ketiga pada strata pohon ditempati oleh spesies bambu, yakni untuk blok
pengamatan 6 oleh bambu andong (Giganthocloa pseudoarundinaceae) dan
56
bambu tali, serta pada blok pengamatan 27 oleh bambu bitung (Dendrocalamus
asper) dan bambu tali (Lampiran 6). Hal yang hampir sama ditemukan pada blok
pengamatan 34, yakni spesies dominan di urutan ketiga pada strata pohon di blok
ini merupakan spesies bambu, yaitu bambu tamiyang (Lampiran 6).
Tabel 6. Spesies - spesies paling dominan pada seluruh strata di aliansi 3
Blok Strata
Vegetasi Nama
Spesies 1 1 Pinus merkusii 2 Cyathea contaminans 3 Isachne globosa 9 1 Quercus gemelliflora 2 Cyathea contaminans 3 Staurogyne elongata
11 1 Pinus merkusii 2 Cyathea contaminans 3 Isachne globosa
12 1 Maesopsis eminii 2 Dicranopteris dichotoma 3 Nephrolepis exalltata.
41 1 Pinus merkusii 2 Cyathea contaminans 3 Scleria purpurascens
47 1 Athyrium dilatatum 2 Cyathea contaminans 3 Etlingera punicea
48 1 Altingia excelsa 2 Cyathea contaminans 3 Eltingera megalocheilos
Keterangan: Strata vegetasi: 1: Pohon; 2: Semak dan anakan pohon; 3: Herba
Jika dilihat pada Gambar 7, terlihat bahwa blok pengamatan 34 sangat dekat
ke aliansi 1, namun sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3 blok ini tetap masuk
ke dalam aliansi 2. Hal ini disebabkan oleh komponen loading yang dimiliki blok
ini jauh lebih besar di aliansi 2 (komponen 4), yaitu sebesar 0,665 dibanding di
aliansi 1 (komponen 1), yaitu sebesar 0,539. Terlihat bahwa selisih kedua
komponen loading tersebut sangat kecil, sehingga pada Gambar 7 blok ini terlihat
demikian dekat dengan aliansi 1. Blok ini merupakan daerah peralihan dari aliansi
1 ke aliansi 2.
Aliansi 3 didominasi oleh spesies pinus pada strata pohon (Tabel 6). Pada
Tabel 6, terlihat bahwa pinus merupakan spesies paling dominan pada 3 blok
57
(42,86%) dari 7 blok pengamatan di aliansi ini. Dengan demikian pinus terpilih
menjadi spesies pertama yang menyusun nama aliansi 3.
Ditemukan 4 spesies diferensial pada strata pohon (Lampiran 5) yang
sekaligus spesies dominan di aliansi 3. Spesies-spesies tersebut adalah pasang
batarua (Quercus gemelliflora), manii (Maesopsis eminii), pakis benyir (Athyrium
dilatatum), dan rasamala berturut-turut pada blok pengamatan 9, 12, 47, dan 48.
Oleh karena masing-masing spesies tersebut hanya dominan pada 1 blok
pengamatan, maka penentuan spesies yang menyusun nama kedua di aliansi ini
didasarkan atas nilai konstansi dari setiap spesies tersebut. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa pakis benyir memiliki nilai konstansi tertinggi di antara
keempat spesies ini, dan terpilih untuk menyusun nama kedua dari aliansi ini.
Pada strata semak dan anakan pohon, ditemukan hanya 1 spesies yang
merupakan spesies paling dominan dan sekaligus spesies diferensial. Spesies
tersebut adalah pakis andam dan berdasarkan atas hal ini terpilih untuk menyusun
nama ketiga dari aliansi ini. Selengkapnya nama dari aliansi ini adalah Aliansi
hutan P. merkusii- A. dilatatum /D. dichotoma dan selanjutnya disebut aliansi 3.
Pada aliansi 3, ditemukan beberapa spesies paling dominan sekaligus spesies
diferensial pada strata herba. Spesies-spesies tersebut adalah bayondah minyak,
rende (Staurogyne elongata (Blume) O.K.), tepus, dan balakatoak. Bayondah
minyak ditemukan paling banyak hadir sebagai spesies paling dominan, yaitu di 2
blok pengamatan (blok pengamatan 1 dan 11), sedangkan yang lainnya hanya
pada 1 blok pengamatan.
Aliansi 3 merupakan hutan tanaman. Kecuali pasang batarua dan pakis
benyir, spesies-spesies paling dominan pada strata pohon di aliansi ini merupakan
tumbuhan yang ditanam oleh petugas dalam rangka reboisasi. Spesies-spesies
tersebut adalah pinus (Kom. pribadi dengan petugas PERHUTANI, 2006),
rasamala, dan manii (Yusuf et al., 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pembentukan tipe
vegetasi tingkat aliansi di zona sub pegunungan, Gunung Salak terutama
berdasarkan kesamaan struktur dan komposisi floristik dari spesies yang
menyusun masing-masing aliansi. Selain itu juga dapat diketahui bahwa setiap
aliansi memiliki perbedaan fisiognomi yang sangat jelas. Komunitas tumbuhan
58
yang menyusun aliansi 1 didominasi oleh hutan campuran berdaun lebar. Aliansi
2, oleh hutan-hutan bambu, sedangkan aliansi 3 oleh hutan berdaun jarum yang
bercampur dengan hutan berdaun lebar.
Puspa merupakan tumbuhan yang sering ditemukan mendominasi hutan-
hutan alam pada zona sub pegunungan dan pegunungan di Jawa Barat,
sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian Herayuara (2005) di Gunung
Sawal; Jessie (2004) dan Utomo (2005) di Gunung Gede Pangrango; Kartini
(2005) di Gunung Kencana Cianjur; Pradiastoro (2004) di Gunung Cakrabuana,
Sumedang; dan Simbolon et al., (2002) di Gunung Halimun. Pada penelitian ini
ditemukan 30% dari seluruh blok pengamatan di dominasi oleh puspa. Tumbuhan
ini menurut Whitten et al., (1996) merupakan salah satu spesies tumbuhan yang
menjadi penciri hutan-hutan di daerah pegunungan di Jawa Barat.
Penelitian pada kawasan tropis Indo-Malaya menunjukkan bahwa puspa
merupakan komponen penting di beberapa hutan hujan tropis basah pegunungan
di zona sub pegunungan, seperti yang ditemukan oleh Ohsawa et al.,(1985) di
Gunung Kerinci, Sumatera dan Kitayama (1992) di Gunung Kinibalu, Malaysia.
Spesies-spesies lainnya menurut Whitten et al., (1996) adalah rasamala,
Podocarpus imbricatus, dan P. nerifolious.
Kondisi ini kemungkinan karena puspa merupakan spesies yang dapat
tumbuh pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Sjarif (1999)
mengatakan bahwa, puspa dapat beradaptasi pada lokasi ketinggian dari
permukaan laut, sehingga ditemukan dapat hidup dengan baik mulai dari dataran
rendah pada ketinggian 100 m dpl sampai hutan sub pegunungan di ketinggian
1500 m dpl. Bahkan menurut Bloembergen (1952) dalam Kartini (2005), di Pulau
Jawa, puspa dapat dijumpai sampai pada ketinggian 2400 m dpl.
Sjarif (1999) mengatakan bahwa, tumbuhan puspa selain dapat tumbuh
pada hutan primer, juga mampu tumbuh pada hutan sekunder dan lahan marjinal.
Kemampuan spesies ini untuk tahan terhadap perubahan kadar air tanah (antara
musim kemarau dan musim hujan), membuatnya termasuk salah satu spesies
pionir. Whitmore (1986) mengatakan bahwa, puspa memiliki karakter sebagai
spesies pioner, karena membutuhkan cahaya dalam pertumbuhannya. Selain itu,
menurut Ohsawa et al., (1985), spesies ini termasuk tumbuhan yang dapat
59
beregenarasi di bawah tajuknya sendiri. Namun dibanding spesies pioner murni,
menurut Whitmore (1986) aggretivitas spesies ini lebih rendah didalam
mengkolonisasi suatu wilayah.
Keberadaan hutan bambu yang dominan di salah satu aliansi di zona sub
pegunungan, Gunung Salak belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya,
namun hutan ini tumbuh secara alami di gunung ini (Kom. pribadi dengan petugas
Perhutani, 2006). Pada sisi lain menurut Van Steenis (1972), hutan-hutan bambu
di Pulau Jawa merupakan hutan-hutan sekunder, yang terbentuk karena pengaruh
antropogenik, terutama oleh aktivitas pembakaran. Hal yang sama ditemukan oleh
Widjaja et al., (2002) pada penelitian mereka di Gunung Halimun, yaitu di
kawasan tersebut keberadaan hutan bambu sangat dipengaruhi oleh aktivitas
penduduk berupa perpindahan dan pemukiman penduduk di masa lalu.
Sutiyono et al., (1992) mengatakan bahwa, bambu dapat tumbuh dengan
baik pada berbagai kondisi lingkungan. Tumbuhan ini dapat tumbuh mulai dari
dataran rendah sampai dataran tinggi, dan juga pada pegunungan. Penyebaran
vertikal bambu cukup luas, dimulai dari ketinggian 0 m dpl sampai 3000 m dpl.
Jumlah spesies bambu akan semakin beragam dengan semakin bertambahnya
ketinggian tempat.
Kehadiran spesies pohon paku-pakuan dan murni paku-pakuan sebagai
bentuk tumbuh dominan pada strata semak dan anakan pohon di seluruh aliansi
nampak sangat menyolok. Pada aliansi 1, spesies-spesies paling dominan pada
strata semak-anakan pohon adalah pakis sier yang memiliki bentuk tumbuh
pohon paku-pakuan, dan pakis andam yang murni tumbuhan paku-pakuan, dan
sulibra. Pakis sier hadir sebagai spesies yang memiliki INP tertinggi pada 23 blok
pengamatan di aliansi ini, diikuti oleh pakis andam pada 12 blok pengamatan,
dan sulibra pada 1 blok pengamatan (Tabel 4). Terlihat bahwa 97,30% blok-blok
pengamatan didominasi oleh bentuk tumbuh pohon paku-pakuan dan murni paku-
pakuan.
Spesies paling dominan pada strata semak-anakan pohon yang ditemukan
pada aliansi 2 adalah pakis sier dan pakis benyir yang memiliki bentuk tumbuh
pohon paku-pakuan, dan sulibra. Pakis sier ditemukan sebagai spesies yang
memiliki INP tertinggi di 14 dari 17 blok pengamatan yang ada di aliansi ini.
60
Pakis benyir ditemukan memiliki INP tertinggi pada 1 blok pengamatan,
sedangkan sulibra ditemukan memiliki INP tertinggi pada 2 dari 17 blok
pengamatan di aliansi ini. Dengan demikian, nampak bahwa untuk strata semak
dan anakan pohon, blok-blok pengamatan di aliansi ini juga didominasi oleh
bentuk tumbuh pohon paku-pakuan dengan persentase 88,24% (Tabel 5).
Hal yang sama juga ditemukan di aliansi 3, yaitu bentuk tumbuh pohon
paku-pakuan pada strata semak-anakan pohon merupakan bentuk tumbuh yang
dominan. Pada aliansi ini, bentuk tumbuh paku-pakuan, yaitu pakis sier
merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada 6 blok pengamatan,
selanjutnya pakis andam ditemukan memiliki INP tertinggi pada 1 blok
pengamatan (Tabel 6). Oleh karena aliansi ini hanya tersusun atas 7 blok
pengamatan maka berdasarkan apa yang dikemukakan di atas bentuk tumbuh
paku-pakuan merupakan penguasa pada strata semak-anakan pohon dengan
persentase mencapai 100%.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa spesies-spesies dengan bentuk
tumbuh paku-pakuan baik yang murni semak maupun pohon paku-pakuan pada
strata semak dan anakan pohon memiliki kemampuan adaptasi yang paling tinggi
dibanding spesies-spesies lain terhadap kondisi lingkungan di zona sub
pegunungan, Gunung Salak.
Bahkan pakis sier yang merupakan pohon paku-pakuan selalu ditemukan
sebagai spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi pada setiap aliansi di
Gunung Salak. Pada aliansi 1, spesies ini ditemukan pada 355 (96,61%) dari 360
plot pengamatan yang ada, pada aliansi 2, spesies ini ditemukan pada 166
(97,65%) dari 170 plot pengamatan yang ada. Pada aliansi 3, ditemukan pada 66
(94,29%) dari 70 plot pengamatan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa spesies
ini selalu ditemukan sebagai spesies umum pada setiap aliansi.
Pada sebagian besar blok pengamatan di area penelitian, bentuk tumbuh
paku-pakuan membentuk lapisan vegetasi yang sangat rapat, sehingga sulit untuk
dilewati oleh manusia. Bailey & Bailey (1972) mengatakan bahwa, spesies pohon
paku-pakuan lebih banyak di daerah pegunungan daripada di daerah dataran
rendah.
61
Whitten et al.,(1988) mengatakan bahwa bentuk tumbuh paku-pakuan
adalah komponen utama yang umum dari komposisi spesies di daerah hutan hujan
tropis basah pegunungan, khususnya kawasan sub pegunungan. Di kawasan ini,
bentuk tumbuh ini dapat tumbuh dengan baik di dalam hutan primer maupun
terganggu. Hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi, banyaknya
aliran air, adanya kabut, dan curah hujan yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan
bahwa spesies paku-pakuan dari famili Cyatheaceae dan spesies marga
Dicranopteris yang menjadi bagian dari spesies-spesies dominan di zona sub
pegunungan, Gunung Salak, juga merupakan spesies yang tahan terhadap api,
sehingga berbagai gangguan antropogenik dalam bentuk pembakaran dapat
ditahan oleh spesies-spesies dari famili dan marga ini.
Tanner (1983) mengatakan dalam Whitten et al.,(1988) bahwa pada
kawasan ini, bentuk tumbuh paku-pakuan dapat tumbuh mencapai tinggi 1 m
dalam jangka 15 tahun. Stadmuller (1987) mengatakan bahwa kehadiran pohon
paku-pakuan dari famili Cyatheaceae yang melimpah merupakan karakteristik
khas dari hutan hujan tropis pegunungan yang selalu tertutup oleh awan.
Pola-pola berupa adanya satu bentuk tumbuh yang sangat dominan,
sebagaimana yang ditemukan pada strata semak dan anakan pohon tidak
ditemukan pada strata herba. Pada strata ini, di ketiga aliansi tidak didominasi
oleh satu bentuk tumbuh tumbuhan. Pada ketiga aliansi tersebut ditemukan
bahwa spesies-spesies dengan bentuk tumbuh herba, paku-pakuan, rerumputan,
dan jahe-jahean silih berganti menjadi spesies dominan pada blok-blok
pengamatan yang menyusun aliansi seperti yang terlihat pada Tabel 4, 5, dan 6 .
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh luasnya penutupan tajuk strata pohon
di dalam hutan. Pada penelitian ini, 80,11% blok-blok pengamatan yang ada di
aliansi 1 memiliki penutupan tajuk lebih dari 60 %, aliansi 2 sebesar 76,47%, dan
aliansi 3 sebesar 85,71%. Kondisi ini mengakibatkan tidak ada satupun bentuk
tumbuh pada strata herba yang dapat mendominasi sebagian besar blok-blok
pengamatan pada seluruh aliansi di zona sub pegunungan, Gunung Salak.
Menurut Walter (1971), pengaruh penutupan tajuk terhadap tumbuhan pada
strata herba bersifat tidak langsung, yaitu mengakibatkan berkurangnya intensitas
62
cahaya matahari yang dapat mencapai lantai hutan dan pada gilirannya
menghambat pertumbuhan strata herba.
Selanjutnya melalui tabel-tabel yang sama, terlihat bahwa spesies paku-
pakuan yang ditemukan memiliki INP tertinggi pada strata herba adalah pakis
benter (Nephrolepis exalltata) dan pakis kadaka. Bahkan pakis benter selalu
ditemukan pada ketiga aliansi sebagai salah satu spesies dengan INP tertinggi,
minimal pada 1 blok pengamatan. Spesies-spesies dengan bentuk tumbuh
rerumputan yang sering ditemukan memiliki INP tertinggi adalah bayondah
minyak, ilat, dan aawiyan. Bentuk tumbuh herba yang ditemukan memiliki INP
tertinggi adalah rende badak (Staurogyne sp.), dan rende.
Spesies-spesies dengan bentuk tumbuh jahe-jahean yang ditemukan
memiliki INP tertinggi hanya balakatoak dan tepus. Kedua spesies terakhir ini
merupakan spesies penyusun strata herba yang memiliki kisaran tinggi 1,2 –3 m.
Walter (1971) dan Jacobs (1981) mengatakan bahwa spesies jahe-jahean (famili
Zinggiberaceae) bersama spesies Pisang (Famili Musaceae) merupakan bentuk
tumbuh herba raksasa yang sering ditemukan pada daerah hutan hujan tropis
basah. Menurut Cranbrooks & Edwards (1994) kedua spesies ini adalah anggota
dari famili Zinggiberaceae dengan bentuk tumbuh herba yang hidup dalam jangka
waktu tahunan (perrenial).
63
2. Karakteristik Lingkungan pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak
Karakteristik topografi setiap aliansi dapat dilihat pada Tabel 7. Terlihat
bahwa faktor topografi mencakup kemiringan lereng, ketinggian tempat dari
permukaan laut, dan arah lereng. Variasi kemiringan lereng dari datar sampai
agak curam paling luas terdapat pada blok-blok pengamatan di aliansi 3,
sedangkan untuk variasi kemiringan lereng curam dan sangat curam yang paling
luas ditemukan pada blok-blok pengamatan aliansi 2. Variasi ketinggian blok
pengamatan terlihat paling besar ditemukan di aliansi 2. Hal ini memperlihatkan
bahwa blok-blok pengamatan yang ada di aliansi 1, jika dilihat dari faktor
ketinggian tempat dan kemiringan lereng lebih seragam dibanding dengan blok-
blok pengamatan di aliansi-aliansi lainnya.
Pengamatan yang lebih jauh terhadap Tabel 7 memperlihatkan bahwa
ketinggian rata-rata blok pengamatan di aliansi yang di dominasi oleh hutan
bambu (aliansi 2) lebih rendah dibanding dengan aliansi 1 dan 3, juga terlihat
bahwa blok-blok pengamatan di aliansi 1 lokasinya terletak lebih tinggi dibanding
aliansi-aliansi lainnya. Walaupun demikian pada Tabel 9, nampak bahwa secara
statistik hanya aliansi 1 dan 2 yang memiliki perbedaan yang nyata dalam hal
ketinggian letak blok-blok pengamatan dari permukaan laut.
Pada Tabel 8 dapat dilihat karakteristik faktor abiotik tanah di setiap aliansi
di Gunung Salak. Variasi unsur kimia tanah pada setiap aliansi nampak berbeda
satu dengan lainnya, dan nampak bahwa untuk beberapa unsur kimia ada
kecendrungan yang jelas antara satu aliansi dengan aliansi lain.
Pada Tabel 9 disajikan faktor-faktor abiotik yang secara signifikan menjadi
pembeda di antara aliansi. Selanjutnya, berdasarkan jumlah faktor abiotik
pembeda tersebut dapat ditentukan sejauh mana perbedaan di antara aliansi.
Nampak bahwa aliansi 1 paling berbeda dengan aliansi yang dikuasai oleh hutan
bambu, yaitu aliansi 2. Terdapat 9 faktor abiotik yang membedakan kedua aliansi
ini. Aliansi 3 juga paling berbeda dengan aliansi 2. Terdapat 8 faktor abiotik yang
membedakan kedua aliansi ini. Selanjutnya ditemukan sebanyak 6 faktor abiotik
yang membedakan antara aliansi 1 dan 3.
Tabel 7. Karakteristik topografi pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
64
Plot pengamatan dengan kemiringan lereng:
Aliansi 1 Aliansi 2
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Datar 3,94 0,55 83,30 5,00 0,75 61,644Landai 5,08 0,58 68,69 4,65 0,66 58,410Agak Curam 4,61 0,58 75,35 3,53 0,60 70,206Curam 5,17 0,50 58,06 2,35 0,76 132,656Sangat Curam 1,64 0,42 153,78 0,47 0,33 292,116
Plot pengamatan dengan kemiringan lereng:
Aliansi 3
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Datar 3,57 1,62 119,73 Landai 3,00 0,98 86,07 Agak Curam 4,00 1,18 77,73 Curam 3,14 1,32 110,88 Sangat Curam 1,00 0,65 173,21
Ketinggian blok pengamatan dari permukaan laut (m dpl):
Aliansi 1 Aliansi 2
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Ketinggian Minimal 1200,53 10,06 5,03 1113,71 15,96 5,910Ketinggian Maksimal 1234,69 10,04 4,88 1162,29 17,28 6,130
Ketinggian blok pengamatan dari permukaan laut (m dpl):
Aliansi 3
Rata- Rata
Std. Err. of Mean CV (%)
Ketinggian Minimal 1155,29 20,99 4,81 Ketinggian Maksimal 1184,86 23,90 5,34
Arah lereng Aliansi 1 Aliansi 2
JUMLAH BLOK JUMLAH BLOK Selatan 8 3 Timur 4 11 Barat 11 3 Utara 13 0
Arah lereng Aliansi 3
JUMLAH BLOK Selatan 4 Timur 0 Barat 1 Utara 2
Keterangan: * : CV = Coefficient of Variation; Aliansi 1: (N=36); Aliansi 2 : (N=17); Aliansi 3: (N=7).
Melalui tabel yang sama terlihat bahwa blok-blok pengamatan yang terdapat
di aliansi hutan bambu (aliansi 2) memiliki kecuraman lerang yang berbeda
dengan yang terdapat pada blok pengamatan di hutan alam (aliansi 1). Pada Tabel
7, terlihat bahwa penyebaran lereng-lereng curam secara rata-rata lebih sempit
pada blok pengamatan yang ada di aliansi hutan bambu.
Tabel 8. Karakteristik faktor tanah pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
65
Sifat Kimia Tanah:
ALIANSI 1 ALIANSI 2
Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%)Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%)PH 4,35 0,04 5,28 4,37 0,07 6,948 C-Organik (%) 6,97 0,28 23,70 7,81 0,55 29,026 N-Total (%) 0,42 0,02 25,98 0,32 0,02 27,034 P (ppm) 6,99 0,25 21,14 5,54 0,42 31,362Ca (me/100g) 2,85 0,27 57,59 2,76 0,33 49,590Mg (me/100g) 1,29 0,17 77,43 1,15 0,20 70,748K (me/100g) 0,30 0,02 38,01 0,29 0,02 30,143 Na (me/100g) 0,37 0,02 35,43 0,38 0,02 26,028 KTK (me/100g) 24,90 0,81 19,46 26,19 1,15 18,111 Kejenuhan Basa (%) 21,00 2,48 70,73 19,61 3,63 76,215 Al (me/100g) 1,72 0,15 51,54 2,00 0,22 44,711 C/N Ratio 27,28 0,60 13,28 26,59 1,06 16,406Kadar Air (%) 30,26 1,71 33,94 26,26 1,04 16,376
Sifat Kimia Tanah:
ALIANSI 3
Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%) PH 4,53 0,06 3,76 C-Organik (%) 6,02 0,33 14,53 N-Total (%) 0,32 0,05 38,70 P (ppm) 7,00 0,39 14,62 Ca (me/100g) 2,20 0,57 69,26 Mg (me/100g) 0,90 0,32 95,33 K (me/100g) 0,28 0,04 37,04 Na (me/100g) 0,34 0,05 37,22 KTK (me/100g) 21,18 1,06 13,25 Kejenuhan Basa (%) 17,40 4,15 63,15 Al (me/100g) 1,78 0,24 36,14 C/N Ratio 27,72 2,30 21,92 Kadar Air (%) 40,65 5,64 36,73
Tekstur Tanah (%):
ALIANSI 1 ALIANSI 2
Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%)Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%)Pasir 30,56 1,61 31,59 35,30 1,69 19,734 Debu 41,96 1,48 21,19 37,53 1,25 13,741 Liat 27,45 1,14 24,83 25,87 1,68 26,826
Tekstur Tanah (%):
ALIANSI 3
Rata- Rata
Std. Err. of
Mean CV (%) Pasir 36,26 3,60 26,26 Debu 33,49 3,05 24,08 Liat 30,24 3,79 33,17
Keterangan: * : CV = Coefficient of Variation; Aliansi 1: (N=36); Aliansi 2 : (N=17); Aliansi 3: (N=7)
Walaupun secara statistik penyebaran lereng curam di aliansi 1 tidak
menunjukkan perbedaan dengan aliansi 3, namun pada Tabel 7 terlihat bahwa
secara rata-rata blok-blok pengamatan dengan lereng curam lebih luas
66
penyebarannya di aliansi 1. Dibandingkan dengan aliansi-aliansi lainnya, nampak
penyebaran lereng-lereng curam lebih luas di blok-blok pengamatan di aliansi 1.
Hal ini menunjukkan bahwa hutan alam campuran yang tumbuh secara
alami memiliki kemampuan tumbuh yang lebih baik di lereng-lereng curam di
banding hutan bambu yang tumbuh secara alami. Data ini juga menunjukkan
bahwa kegiatan penanaman hutan lebih banyak dilakukan pada blok-blok
pengamatan dengan lereng curam yang lebih sempit.
Tabel 9. Perbedaan faktor abiotik pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi vegetasi
Statistik Faktor Abiotik Curam Sangat
CuramTinggi Minimal
Tinggi Maksimal
1-2 Mann-Whitney U
151 214 97 139
Z -2,976** -2,118** -3,983** -3,183** N Total Debu Arah
Lereng Pasir P
1-2 Mann-Whitney U
156** 216,00 ŧ 1570,5** 186 163**
Z -2,862** -1,715 ŧ -4,515** -2,287* -2,76**
N Total Debu Arah Lereng
1-3 Mann-Whitney U
66* 63* 832,5**
Z -1,978* -2,073* -2,013* pH C org KTK 1-3 Mann-
Whitney U 72,000 ŧ 68,000 ŧ 69,500 ŧ
Z -1,797 ŧ -1,908 ŧ -1,858 ŧ Na Kadar
AirC org KTK P
2-3 Mann-Whitney U
32,000 ŧ 32,000 ŧ 31,500 ŧ 22,000 ŧ 30,00 ŧ
Ca Mg 2-3 Mann-
Whitney U 26* 23,5*
Keterangan: ** : signifikan pada P <0,01; * : signifikan pada P < 0,05;
ŧ : signifikan pada taraf 0,10.
Kandungan unsur Ca dan Mg tanah nampak hanya berbeda antara aliansi 2
dan 3 (Tabel 9), namun demikian terdapat kecendrungan penurunan kadar unsur
tersebut dari aliansi 1 ke aliansi 2 dan paling kecil di aliansi 3 (Tabel 8).
Kandungan unsur Na tanah juga berbeda antara aliansi 2 dan 3 (Tabel 9), dan
terdapat kecendrungan penurunan unsur ini dari aliansi 2, ke aliansi 1, dan yang
paling kecil ditemukan pada aliansi 3 (Tabel 8). Selanjutnya, kadar air tanah juga
67
berbeda antara aliansi 2 dan 3 (Tabel 9) dan juga ditemukan kecendrungan adanya
penurunan kadar air dari aliansi 3 ke aliansi 1, dan terakhir pada aliansi 2. (Tabel
8).
Melalui Tabel 9 terlihat bahwa unsur N total tanah di aliansi 1 selalu
berbeda dengan yang ada di aliansi lainnya. Pada Tabel 8 nampak bahwa secara
rata-rata unsur N total tanah di aliansi ini lebih tinggi dibanding dengan yang ada
di kedua aliansi lainnya. Hal yang sama ditemukan untuk unsur debu tanah.
Selanjutnya pada Tabel 9 terlihat bahwa arah lereng yang ada pada aliansi 1
berbeda dengan aliansi-aliansi lainnya, dan melalui Tabel 7 terlihat bahwa
aliansi ini hadir pada seluruh arah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa, unsur N
total tanah, debu tanah, dan arah lereng merupakan faktor abiotik yang konsisten
membedakan aliansi 1 dengan aliansi lainnya.
Faktor abiotik yang konsisten membedakan aliansi 2 dengan aliansi 1 dan 3
adalah unsur P tanah (Tabel 9). Rata-rata unsur P tanah di aliansi ini lebih rendah
dibanding dengan yang ada di aliansi lainnya (Tabel 8). Hal ini merupakan salah
satu ciri dari hutan bambu. Menurut Backer dalam Hommel (1987) tegakan-
tegakan bambu umumnya dicirikan oleh unsur P tanah yang rendah.
Kandungan unsur C organik tanah dan KTK (kapasitas tukar kation)
merupakan faktor abiotik yang secara konsisten membedakan aliansi 3 dengan
aliansi lainnya (Tabel 9). Rata-rata unsur C organik tanah yang ada di aliansi ini
lebih rendah dibanding dengan yang ada di aliansi 1 dan 2, demikian juga halnya
dengan KTK tanah yang ada di aliansi ini (Tabel 8).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa keberadaan tipe vegetasi tingkat
aliansi di zona sub pegunungan, Gunung Salak dipengaruhi oleh kombinasi faktor
abiotik tanah, dan topografi. Miyamoto et al., (2003) mengatakan bahwa
perbedaan antara tipe-tipe hutan dalam skala lokal terkait dengan kondisi
topografi dan edafik dari hutan yang bersangkutan. Peet (1989) mengatakan
bahwa untuk daerah pegunungan, faktor lingkungan utama yang mengendalikan
pola penyebaran vegetasi adalah ketinggian tapak dari permukaan laut.
Ketinggian tempat dari permukaan laut merupakan suatu gradasi lingkungan yang
bersifat kompleks yang mengkombinasikan beberapa faktor lingkungan yang
penting untuk pertumbuhan tumbuhan, terutama suhu udara dan curah hujan.
68
Webb & Peart (2000) yang melakukan penelitian di Taman Nasional
Gunung Palung berhasil mengelompokkan vegetasi pepohonan ke dalam 3
kelompok. Faktor abiotik yang paling membedakan kelompok vegetasi pertama
dengan kelompok lainnya adalah letaknya pada dataran tinggi dengan lapisan
humus yang dalam, kelompok kedua merupakan kelompok vegetasi yang terdapat
pada bubungan bukit yang tajam dan lereng bagian atas, dan kelompok ketiga
merupakan kelompok vegetasi yang terletak pada lereng bagian bawah dengan
tingkat kelembapan yang tinggi.
Pada sisi lain, Van Steenis (1972) mengatakan bahwa, pada skala yang
lebih luas keberadaan hutan pegunungan di Pulau Jawa terbentuk karena respon
biologi vegetasi akibat kejadian-kejadian yang berlangsung pada ekosistem di
masa lalu, seperti longsor, jatuhan debu vulkanik, dan terutama oleh kebakaran
yang terjadi secara antropogenik. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor
gangguan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada keberadaan hutan
pegunungan.
Pada penelitian ini, walaupun hanya antara aliansi 1 dan 3 yang memiliki
perbedaan nilai pH tanah, namun perlu mendapat perhatian mengingat kisaran
nilai pH tanah pada setiap blok pengamatan adalah 3,9–4,8. Berdasarkan kategori
kemasaman tanah Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB kisaran nilai ini
menunjukkan bahwa tanah di zona sub pegunungan, Gunung Salak hanya
memiliki 2 kategori kemasaman, yaitu sangat masam dan masam. Selanjutnya dari
hasil pengamatan ditemukan jumlah blok pengamatan dengan kategori tanah
bersifat masam adalah 30 (50%) dan sangat masam 30 (50%). Nilai pH tanah
yang sangat rendah ini penting karena berpengaruh pada kandungan hara tanah di
seluruh aliansi. Menurut Kappelle (2004); Whitmore (1986); dan Whitten et
al.,(1988) salah satu ciri tanah pada hutan hujan tropis basah sub pegunungan dan
pegunungan adalah sifat tanah yang masam. Kemasaman tanah akan semakin
bertambah dengan semakin bertambahnya ketinggian.
Pada kawasan yang terletak pada ketinggian antara 1000 m dan zona
penutupan oleh awan, atau daerah yang terletak pada kawasan formasi hutan
hujan tropis basah sub pegunungan maupun pegunungan, curah hujan yang sangat
tinggi berlangsung sepanjang tahun sebagaimana halnya yang ditemukan pada
69
daerah dataran rendah tropis basah. Stadmuller (1987) mengatakan bahwa,
presipitasi horizontal di kawasan ini sangat tinggi, menyebabkan pencucian hara
dari permukaan tumbuhan menjadi sangat tinggi. Air hasil pencucian ini jauh
lebih asam dibanding air curah hujan.
Dibanding dengan dataran rendah hutan hujan tropis basah, di kawasan ini
penutupan oleh awan dan kelembapan udara jauh lebih tinggi. Evapotranspirasi
berkurang dengan sangat tajam dan demikian juga halnya dengan suhu udara.
Veneklaas (1991) mengatakan bahwa kondisi ini menyebabkan proses
dekomposisi bahan organik sulit berlangsung sehingga bahan-bahan organik yang
terdapat di tanah menjadi sulit terurai dan menimbulkan pengaruh masam yang
tinggi. Sulitnya bahan organik terurai dapat dilihat pada hasil pengamatan
terhadap unsur C organik tanah di Gunung Salak. Pada penelitian ini ditemukan
kisaran nilai unsur C organik tanah di seluruh blok pengamatan adalah 3,21 –
11,94, sehingga kategori unsur C organik tanah di seluruh blok pengamatan hanya
ada 2, yaitu sangat tinggi yang ditemukan di 57 blok (95%) dan tinggi di 3 blok
pengamatan (5%).
Selanjutnya, pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai rata-rata C:N rasio tanah di
seluruh aliansi lebih besar 25, dan kisaran nilainya adalah 18,93 – 38,17. Pada
aliansi 1, terdapat 72,22% blok pengamatan memiliki nilai C:N rasio dengan
kategori sangat tinggi, dan sisanya dengan kategori tinggi. Pada aliansi 2 terdapat
58,82% blok pengamatan memiliki nilai C:N rasio dengan kategori sangat tinggi,
dan sisanya dengan kategori tinggi. Pada aliansi 3 terdapat 71,43% blok
pengamatan memiliki nilai C:N rasio dengan kategori sangat tinggi, dan sisanya
dengan kategori tinggi. Dengan demikian hanya ada 2 kategori C:N rasio tanah di
seluruh aliansi, yaitu sangat tinggi dan tinggi. Menurut Gardiner & Miller (2004)
dan Hakim et al.,(1986) kondisi ini menunjukkan bahwa proses penguraian sulit
berlangsung di kawasan ini.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kategori unsur P tanah pada setiap
blok pengamatan di seluruh aliansi adalah kategori sangat rendah (100%). Diduga
kandungan yang sangat rendah ini berpengaruh terhadap vegetasi di area
penelitian. Menurut Kitayama et al., (2000), pada suatu ekosistem yang sangat
defisit dengan unsur P tanah, maka unsur P tanah tersebut akan sangat berperan
70
dalam menentukan produktivitas primer bersih dan pelapukan bahan organik baik
secara langsung maupun melalui interaksi dengan unsur N. Jordan (1985)
mengatakan bahwa sebagian besar ekosistem hutan hujan tropis basah memiliki
kendala dengan kandungan unsur P tanah yang sangat rendah.
John et al., (2007) yang melakukan penelitian di hutan hujan tropis basah
pegunungan La Planada, Kolumbia menemukan bahwa unsur P tanah sangat
berpengaruh pada keberadaan struktur tegakan hutan. Higuera & Martinez (2006)
dalam penelitian mereka di hutan hujan tropis basah sub pegunungan Kolombia
menemukan bahwa unsur P tanah merupakan faktor pembatas di ekosistem
tersebut. Aiba & Kitayama (1999) menemukan hal yang sama di hutan hujan
tropis basah pegunungan, Kinabalu.
Bruijnzeel & Veneklass (1988) mengatakan bahwa unsur P merupakan
unsur hara esensial bagi tumbuhan. Unsur ini berada di lingkungan terutama
melalui pelapukan bahan induk. Konsekuensi dari tanah-tanah tropis yang sangat
tua dan pencucian yang sangat tinggi menyebabkan unsur P tanah menjadi sangat
rendah. Vitousek et al., (1993) mengatakan bahwa pemasukan unsur hara ke
dalam ekosistem terus berlangsung melalui curah hujan dan jatuhan kering,
namun dengan kuantitas yang sangat kecil. Pada sisi lain dari segi kuantitas unsur
N yang masuk ke dalam ekosistem dengan cara ini relatif besar.
Vitousek (1984) mengatakan bahwa, untuk ekosistem di daerah iklim
sedang, unsur N tanah merupakan faktor pembatas karena ditemukan dalam
jumlah yang sedikit, sedangkan untuk ekosistem hutan hujan tropis basah,
kandungan unsur P tanah lebih sering menjadi faktor pembatas karena alasan yang
sama.
Pada penelitian ini, ditemukan pada aliansi 1 sebanyak 80,56% blok
pengamatan memiliki unsur N total tanah dengan kategori sedang, dan sisanya
dengan kategori tinggi. Pada aliansi 2, sebanyak 5,88% blok pengamatan
memiliki unsur N total tanah dengan kategori rendah dan juga persentase yang
sama untuk kategori tinggi, sedangkan sisanya sebesar 88,24% dengan kategori
sedang. Hanya pada aliansi inilah ditemukan 1 blok pengamatan yang memiliki
nilai N total tanah dengan kategori rendah. Selanjutnya pada aliansi 3, terdapat
71
85,71% blok pengamatan memiliki unsur N total tanah dengan kategori sedang
sedangkan sisanya dengan kategori tinggi.
Secara keseluruhan, 83,33% blok pengamatan di seluruh aliansi memiliki
unsur N total tanah dengan kategori sedang, 15 % dengan kategori tinggi, dan
1,67% dengan kategori rendah. Tidak ditemukan sama sekali blok pengamatan
yang memiliki unsur N total dengan kategori sangat rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa unsur N bukan merupakan faktor pembatas di area penelitian.
3. Dugaan Penyebaran Secara Geografis Aliansi Vegetasi di Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak
Pada Gambar 8 sampai 25 dapat dilihat penyebaran aliansi zona sub
pegunungan, Gunung Salak. Selain ketiga aliansi tersebut, juga terlihat kelas-
kelas penutupan oleh awan, dan badan air. Gambar-gambar tersebut diperoleh
melalui klasifikasi terbimbing dengan overall accuracy sebesar 63,49%, dan
Kappa accuracy sebesar 52%. Aliansi 1 nampak memiliki penyebaran yang
paling luas dibanding aliansi-aliansi lainnya. Aliansi ini terlihat pada seluruh area
zona sub pegunungan, Gunung Salak. Penyebaran terluas berikutnya ditemukan
pada aliansi 2. Aliansi 3 terlihat menyebar hanya pada bagian tepi yang
merupakan bagian bawah di Gunung Salak. Selanjutnya dapat dilihat bahwa batas
antara satu aliansi dengan aliansi lainnya saling tumpang tindih.
Kelas-kelas kemiringan lereng di aliansi 1 meliputi 0-8% yang merupakan
lereng datar; 8-15% yang merupakan lereng landai; 15-25% yang merupakan
lereng agak curam (Gambar 8a, 8b, dan 8c); 25-45% yang merupakan lereng
curam; dan lereng dengan kemiring lebih besar 45% yang merupakan lereng
sangat curam (Gambar 9a dan 9b). Lereng curam paling luas menempati area
aliansi 1 (33,37%), diikuti agak curam (23,10% ); landai (18,60%); datar
(14,79%); dan terakhir sangat curam (10,24%).
72
a
b
c
Keterangan: a. kemiringan 0-8%; b. kemiringan 8-15%; c. kemiringan 15-25%; Gambar 8. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-25% pada Aliansi 1.
73
a
b
Keterangan: a. Kemiringan25-45%; b. kemiringan >45% Gambar 9. Penyebaran kelas kemiringan lereng 25-45% dan > 45% pada Aliansi 1.
Lereng curam paling luas ditemukan di aliansi 2 (45,07%), diikuti oleh
lereng agak curam (18,58%), sangat curam (15,89%) (Gambar 11b, 11a, 11c);
datar (10,55%), dan landai (9,91%) (Gambar 10a dan 10b). Lereng landai paling
banyak menempati area di aliansi 3 (34,67%); diikuti lereng agak curam
(23,85%); datar (23,37%) (Gambar 12b, 12c, 12a); curam (15,17%); dan sangat
curam (2,94%) (Gambar 13a dan 13b). Data ini menunjukkan bahwa pada hutan-
74
hutan alam (aliansi 1 dan 2) dapat tumbuh pada lereng-lereng yang sangat curam
di zona sub pegunungan, Gunung Salak.
Pada penelitian ini, kelas NDVI dibagi menjadi 5 kelas, yaitu NDVI < 0,05;
NDVI 0,05-0,1; NDVI 0,1-0,2; NDVI 0,2-0,3; dan NDVI > 0,3. Kelas NDVI yang
paling banyak ditemukan di aliansi 1 adalah kelas 0,2-0,3 (39,20%); diikuti
berturut-turut oleh NDVI > 0,3 (28,49%); NDVI < 0,05 (18,16%); NDVI 0,1-0,2
(11,12%); dan NDVI 0,05-0,1 (3,03%) (Gambar 16, 14, 15b dan 15a).
Pada aliansi 2 kelas NDVI yang paling banyak ditemukan adalah NDVI 0,2-
0,3 (27,88%) (Gambar 18b); diikuti berturut-turut NDVI 0,1-0,2 (25,84%); NDVI
< 0,05 (25,29%); NDVI > 0,3; dan NDVI 0,05-0,1 (8,21%) (Gambar 18a, 17a,
18c, 17b). Kelas NDVI yang paling banyak ditemukan di aliansi 3 adalah NDVI
0,2-0,3 (61,78%) (Gambar 20a); diikuti berturut-turut oleh NDVI > 0,3 (25,78%);
NDVI 0,1-0,2 (8,63%); NDVI<0,05 (2,04%); dan NDVI 0,05-0,1 (1,77%)
(Gambar 20b, 19c, 19a, 19b).
Data ini menunjukkan bahwa pada aliansi 1 dan 3 terdapat penutupan tajuk
hijau yang luas dari vegetasi mengingat pada kedua aliansi tersebut kelas NDVI
0,2-0,3 % dan NDVI > 0,3 % menempati urutan pertama dan kedua. Nilai NDVI
> 0,3 pada aliansi 2 yang hanya menempati urutan keempat diduga disebabkan
karena tajuk-tajuk bambu yang kebanyakan berwarna kekuningan dari rumpun
bambu.
Berdasar tumpang susun peta jenis tanah dengan aliansi, diketahui bahwa
ada 3 jenis tanah di seluruh aliansi zona sub pegunungan, Gunung Salak. Jenis-
jenis tanah tersebut adalah: (i) Andosol Coklat Kekuningan; (ii) Asosiasi Andosol
Coklat dan Regosol Coklat; dan (iii) Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol.
Penyebaran jenis tanah yang paling luas di aliansi 1 adalah Kompleks
Regosol Kelabu dan Litosol (33,45%); disusul oleh Asosiasi Andosol Coklat
Regosol Coklat (33,29%); dan terakhir Andosol Coklat Kekuningan (33,28%)
(Gambar 22b, 22a, dan 21). Nampak bahwa ketiga jenis tanah ini memiliki luas
penyebaran yang relatif sama di aliansi ini.
Jenis tanah yang paling banyak menyebar di aliansi 2 adalah Kompleks
Regosol Kelabu dan Litosol (45,52%); disusul oleh Andosol Coklat Kekuningan
(31,57%); dan terakhir Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (27,92%)
75
(Gambar 24b, 23, 24a). Selanjutnya jenis tanah yang memiliki penyebaran yang
paling luas di aliansi 3 adalah Andosol Coklat Kekuningan (85,25%); diikuti oleh
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol (9,47%); dan terakhir Asosiasi Andosol
Coklat dan Regosol Coklat (5,29%) (Gambar 25, 26a, 26b).
a
b
Keterangan: a. Kemiringan0-8%; b. kemiringan 8-15% Gambar 10. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-15% pada Aliansi 2.
76
a
b
c
Keterangan: a. Kemiringan lereng 15-25;b. kemiringan 25-45%; c. kemiringan > 45% Gambar 11. Penyebaran kelas kemiringan lereng 15-45% dan >45% pada aliansi
2.
77
a
b
c
Keterangan: a. kemiringan 0-8%; b. kemiringan 8-15%; c. kemiringan 15-25% Gambar 12. Penyebaran kelas kemiringan lereng 0-25% pada Aliansi 3.
78
a
b
Keterangan: a. kemiringan 25-45%; b. kemiringan > 45% Gambar 13. Penyebaran kelas kemiringan lereng 25- 45% dan > 45% pada Aliansi 3.
Gambar 14. Penyebaran kelas NDVI <= 0,05 pada aliansi 1.
79
a
b
c
Keterangan: a. NDVI 0,05-0,1; b. NDVI 0,1-0,2; c. NDVI 0,2-0,3 Gambar 15. Penyebaran kelas NDVI 0,1-0,3 pada aliansi 1.
80
Gambar 16. Penyebaran kelas NDVI > 0,3 pada aliansi 1.
a
b
Keterangan: a. NDVI <=0,05; b. NDVI 0,05-0,1 Gambar 17. Penyebaran kelas NDVI <=0,05 dan NDVI 0,05-0,1 pada aliansi 2.
81
a
b
c
Keterangan: a. NDVI 0,1-0,2; b. NDVI 0,2-0,3; c. NDVI >0,3 Gambar 18. Penyebaran kelas NDVI 0,1-0,3 dan NDVI > 0,3 pada aliansi 2
82
a
b
c
Keterangan: a. NDVI <=0,05; b. NDVI 0,05-0,1; c. NDVI 0,1-0,2 Gambar 19. Penyebaran kelas NDVI 0,05-0,2 pada aliansi 3.
83
a
b
Keterangan: a. NDVI 0,2-0,3; b. NDVI > 0,3 Gambar 20. Penyebaran kelas NDVI 0,2-0,3 dan NDVI > 0,3 pada aliansi 3.
Gambar 21. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan di aliansi 1
84
a
b
Keterangan: a. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat; b. kompleks regosol kelabu dan litosol
Gambar 22. Penyebaran jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat; b. kompleks regosol kelabu dan litosol di aliansi 1.
Gambar 23. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan pada aliansi 2.
85
a
b
Keterangan: a. Jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat; b. jenis tanah kompleks regosol kelabu dan litosol
Gambar 24. Penyebaran jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat dan jenis tanah kompleks regosol kelabu dan litosol pada aliansi 2.
Gambar 25. Penyebaran jenis tanah andosol coklat kekuningan pada aliansi 3.
86
a
b
a. Asosiasi andosol coklat regosol coklat; b. kompleks regosol kelabu dan litosol Gambar 26. Penyebaran jenis tanah Asosiasi andosol coklat regosol coklat dan
kompleks regosol kelabu dan litosol pada aliansi 3.
87
B. Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi
1. Asosiasi Vegetasi pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak
Aliansi 1 terdiri atas 360 buah plot pengamatan (36 buah blok pengamatan).
Total spesies yang ditemukan pada seluruh strata di aliansi ini adalah sebanyak
176. Pada aliansi ini spesies dengan bentuk tumbuh pohon ditemukan dalam
jumlah yang paling banyak disusul spesies dengan bentuk tumbuh herba, dan
terakhir spesies dengan bentuk tumbuh semak.
Jumlah spesies umum atau spesies yang hadir pada 260 buah plot
pengamatan atau lebih adalah 21, terdiri atas 5 (23,81%) dengan bentuk tumbuh
pohon, 4 (19,05%) dengan bentuk tumbuh semak, dan 12 (57,14%) dengan bentuk
tumbuh herba. Jumlah spesies yang kehadirannya kurang dari 36 plot pengamatan
adalah 86 spesies. Spesies-spesies ini merupakan spesies jarang yang terdiri atas
29 (33,72%) dengan bentuk tumbuh pohon, 27 (31,40%) dengan bentuk tumbuh
semak, dan 30 (34,88%) dengan bentuk tumbuh herba. Dengan demikian spesies-
spesies diferensial, yaitu spesies yang hadir pada 10 – 60 % dari jumlah plot yang
ada berjumlah 69. Dari jumlah ini, bentuk tumbuh pohon ditemukan sebanyak 38
(55,07%), bentuk tumbuh semak sebanyak 10 (14,50%), dan bentuk tumbuh
herba sebanyak 21 (30,43%) (Gambar 27).
2927
30
38
10
21
5 4
12
0
5
10
15
20
25
30
35
40
POHON SEMAK HERBA
BENTUK HIDUP
JUMLAH SPESIES
SJ
SD
SU
Keterangan: SJ: Spesies jarang, SD: spesies diferensial, dan SU: Spesies umum. Gambar 27. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 1.
88
Keterangan: nama latin dari setiap spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2
Gambar 28 Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 1
Klasifikasi terhadap spesies-spesies diferensial pada aliansi 1 menghasilkan
5 asosiasi vegetasi (Gambar 28). Nilai konstansi spesies yang menyusun asosiasi
vegetasi di aliansi ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Asosiasi-asosiasi tersebut
adalah: Asosiasi hutan Tarenna laxiflora – M. eminii/ Pandanus polycephalus
(asosiasi 1); Asosiasi hutan M. blumeanus - Lithocarpus elegans Hottus/ Ficus
sinuata (Asosiasi 2); Asosiasi hutan Itea macrophylla – Nothaphoebe
umbelliflora/ Staurogyne sp. (Asosiasi 3); Asosiasi hutan Plectocomia elongata -
Polysoma integrifolia / Calamus javensis (Asosiasi 4); dan Asosiasi hutan Prunus
arboreum - Glocidion hypoleucum /Donax cannaeformis (Asosiasi 5).
1 2
3 4
5
89
15
11
5 5
2
5
10
1
3
11
1
7
2
00
2
4
6
8
10
12
14
16
1 2 3 4 5ASOSIASI
JUMLAH SPESIES
P
SA
H
Keterangan: Asosiasi 1,2,3,4, dan 5 merupakan asosiasi-asosiasi yang terdapat
di Aliansi 1. P : Bentuk tumbuh pohon, S: bentuk tumbuh semak; H bentuk tumbuh herba. Gambar 29. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi
di aliansi 1.
Pada Gambar 29 terlihat bahwa spesies dengan bentuk tumbuh pohon
ditemukan pada seluruh asosiasi. Nampak juga bahwa dari asosiasi yang ada,
terdapat 3 asosiasi (60%) yang memiliki spesies dengan bentuk tumbuh pohon
yang paling banyak. Pada aliansi ini, spesies dengan bentuk tumbuh semak
maupun herba ditemukan pada 4 (80%) dari 5 asosiasi yang ada.
Tabel 10. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 1
ASOSIASI Rata- rata Min. Max. Range
Std. Error CV N
1 56,61 36 96 60 2,680 26,353 31 2 120,15 75 182 107 10,543 31,639 13 3 144,42 103 192 89 8,984 21,549 12 4 154,75 120 212 92 12,779 23,357 8 5 188,40 173 207 34 7,554 8,965 5
Keterangan: Asosiasi 1, 2, 3, 4, 5 merupakan asosiasi-asosiasi yang terdapat pada Aliansi 1
Melalui Tabel 10 dapat dilihat variasi nilai konstansi dari spesies yang
menyusun asosiasi 2 merupakan yang terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pada
asosiasi 2 perbedaan penyebaran spesies di seluruh aliansi 1 adalah yang terbesar.
Asosiasi 5 memiliki spesies-spesies dengan penyebaran paling luas, namun
dengan anggota spesies yang paling sedikit dibanding asosiasi lain di aliansi 1.
Asosiasi 1 memiliki spesies dengan penyebaran paling sempit di aliansi ini.
90
31
16
24
44
11
26
3 2 1
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
POHON SEMAK HERBA
BENTUK HIDUP
JUMLAH SPESIES
SJ SD SU
Keterangan: SJ: Spesies jarang, SD: spesies diferensial, dan SU: Spesies umum Gambar 30. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 2.
Keterangan: nama latin dari setiap spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2
Gambar 31. Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 2
1 2
34
56
91
Aliansi 2 memiliki 158 spesies pada seluruh strata, yang menyebar di 170
plot yang terdapat pada 17 blok pengamatan. Pada aliansi ini, jumlah spesies
dengan bentuk tumbuh pohon paling banyak ditemukan diikuti oleh spesies
dengan bentuk tumbuh herba, dan terakhir spesies dengan bentuk tumbuh semak.
Jumlah spesies umum, yaitu spesies yang hadir pada 102 plot pengamatan
atau lebih pada aliansi 2, sebanyak 6 (3,80%) , yang terdiri atas 3 bentuk tumbuh
pohon (50,00%), 2 bentuk tumbuh semak (33,33%), dan 1 bentuk tumbuh herba
(16,67%). Spesies jarang, yaitu spesies yang hadir pada 17 plot pengamatan atau
kurang berjumlah 71 (44,94%), terdiri atas 24 dengan bentuk tumbuh herba
(33,80%), 16 dengan bentuk tumbuh semak (22,54%), dan 31 bentuk tumbuh
pohon (43,66%).
Spesies-spesies diferensial, yaitu spesies-spesies dengan jumlah kehadiran
pada plot pengamatan antara 17-102 plot pengamatan ditemukan sebanyak 81
(51,27%), terdiri atas 44 dengan bentuk tumbuh pohon, 11 dengan bentuk tumbuh
semak, dan 26 dengan bentuk tumbuh herba. Selanjutnya jumlah spesies dengan
bentuk tumbuh pohon paling banyak ditemukan (49,37%), diikuti oleh bentuk
tumbuh herba (32,28%), dan terakhir bentuk tumbuh semak (18,35%). (Gambar
30).
Tabel 11. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 2
ASOSIASI
Rata- Rata Min. Max. Range
Std.
Error CV(%) N 1 28,47 17 48 31 1,634 32,46224 322 39,15 21 60 39 3,421 31,50702 133 71,57 50 86 36 4,951 18,30376 74 71,47 55 87 32 2,226 117,9026 175 68,25 60 85 25 5,721 16,76484 46 88,75 74 100 26 3,544 11,29577 8Keterangan: Asosiasi 1,2,3,4,5,6 merupakan asosiasi-asosiasi yang terdapat pada Aliansi 2
Klasifikasi terhadap spesies-spesies diferensial di aliansi 2 menghasilkan
6 asosiasi vegetasi (Gambar 31). Nilai konstansi dari spesies yang menyusun
asosiasi di aliansi ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Asosiasi-asosiasi tersebut
adalah: asosiasi hutan Cyathea cf. javanica – M. eminii/ C. javensis (Asosiasi 1),
asosiasi hutan G. apus- Castanopsis acuminatissima /F. sinuata (asosiasi 2),
asosiasi hutan Peperomia laevifolia- Pinanga javana / E. punicea (asosiasi 3),
asosiasi hutan A. dilatatum – G. hypoleucum/ Rhaphidophora Sp. (Asosiasi 4),
92
asosiasi hutan C. officinalis - P. merkusii/ I. globosa (asosiasi 5), dan asosiasi
hutan M. blumeanus - Schefflera aromatica./ P. aduncum (Asosiasi 6).
19
64
8
2
64
20
5
0 0
9
53
42 2
02468
101214161820
AS1 AS2 AS3 AS4 AS5 AS6
ASOSIASI
JUMLAH SPESIES
P
SA
H
Keterangan: As: Asosiasi: 1: 2: 3: 4: 5: dan 6: . P : Bentuk tumbuh pohon, S: bentuk tumbuh
semak; H bentuk tumbuh herba.
Gambar 32. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi di aliansi 2.
Pada Tabel 11 terlihat bahwa variasi nilai konstansi paling besar ditemukan
pada asosiasi 4 dan paling kecil pada asosiasi 6. Namun pada asosiasi 6
ditemukan spesies dengan nilai konstansi tertinggi dan juga pada asosiasi ini
ditemukan spesies yang paling luas penyebarannya. Pada asosiasi 1 ditemukan
jumlah spesies yang paling banyak, namun pada asosiasi ini juga ditemukan
spesies dengan nilai konstansi terendah dan juga spesies yang paling sempit
penyebarannya. Jumlah spesies yang paling sedikit ditemukan pada asosiasi 5.
Pada Gambar 32 terlihat bahwa bentuk tumbuh pohon dan herba ditemukan
pada seluruh asosiasi vegetasi, sedangkan bentuk tumbuh semak hanya ditemukan
pada 3 asosiasi. Selanjutnya terlihat bahwa, hanya pada asosiasi 5 jumlah spesies
dengan bentuk tumbuh pohon bukanlah yang terbanyak, namun pada asosiasi
tersebut jumlah spesies dengan bentuk tumbuh pohon sama dengan jumlah spesies
dengan bentuk tumbuh herba. Pada asosiasi lainnya, spesies dengan bentuk
tumbuh pohon selalu ditemukan dalam jumlah yang paling banyak. Hal ini
93
menunjukkan bahwa spesies dengan bentuk tumbuh pohon memiliki adaptasi
yang paling tinggi di aliansi ini diikuti oleh spesies dengan bentuk tumbuh herba.
Pada aliansi 3 ditemukan 137 spesies pada seluruh strata vegetasi. Pada
aliansi ini, spesies dengan bentuk tumbuh pohon selalu ditemukan dalam jumlah
terbanyak diikuti spesies dengan bentuk tumbuh herba dan terakhir spesies
dengan bentuk tumbuh semak.
23
10
17
43
15
24
30 2
0
10
20
30
40
50
POHON SEMAK HERBA
BENTUK HIDUP
JUMLAH SPESIES
SJ
SD
SU
Keterangan: SJ: Spesies jarang, SD: spesies diferensial, dan SU: Spesies umum Gambar 33. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada aliansi 3.
Seluruh plot pengamatan di aliansi 3 berjumlah 70 buah yang tersebar pada
7 buah blok pengamatan. Jumlah spesies umum, yaitu spesies yang ditemukan
hadir pada 42 buah plot pengamatan (lebih dari 60% ) atau lebih adalah 5, terdiri
atas 3 (60,00%) dengan bentuk tumbuh pohon, 2 (40,00%) dengan bentuk
tumbuh herba, dan tidak ditemukan sama sekali spesies dengan bentuk tumbuh
semak. Spesies jarang, yaitu yang kehadirannya kurang dari 7 plot pengamatan
(kurang dari 10% ) berjumlah 50, yang terdiri atas 23 (46%) dengan bentuk
tumbuh pohon, 10 (20%) dengan bentuk tumbuh semak, dan 17 (34%) dengan
bentuk tumbuh herba. Dengan demikian spesies-spesies diferensial yaitu spesies
yang hadir pada 10 – 60 % dari jumlah plot pengamatan berjumlah 82, yang
terdiri atas 43 (52,44%) dengan bentuk tumbuh pohon, 15 (18,30%) dengan
bentuk tumbuh semak dan 24 (29,27%) dengan bentuk tumbuh herba (Gambar
33).
Klasifikasi terhadap spesies-spesies diferensial pada aliansi 3 menghasilkan
7 asosiasi vegetasi (Gambar 34). Nilai konstansi spesies yang menyusun asosiasi
94
vegetasi di aliansi ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Asosiasi-asosiasi tersebut
adalah: asosiasi hutan S. wallichii- Hoersfieldia glabra/ Begonia hirtella
(asosiasi 1); asosiasi hutan P. elongata- P. punctatus/ Rhaphidophora Sp.
(asosiasi 2); asosiasi hutan E. oclusa- Ficus grossulariodes/ E. megalocheilos
(asosiasi 3); asosiasi hutan A. excelsa- Antidesima tetrandum /Rhaphidophora
foraminifera (asosiasi 4); asosiasi hutan M. eminii- C. javanica/ Cyathea
latebrosa (asosiasi 5); asosiasi hutan A. dilatatum-Euoidea latifolia/ S. plana
(asosiasi 6); dan asosiasi hutan L. elegans- P. merkusii/I. globosa (asosiasi 7) .
Keterangan: Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Gambar 34. Asosiasi-asosiasi penyusun aliansi 3.
5 4
61
2
7 3
95
Pada Tabel 12 terlihat bahwa di aliansi 3, jumlah spesies paling banyak
ditemukan pada asosiasi 5, dan paling sedikit pada asosiasi 7. Variasi nilai
konstansi yang terbesar ditemukan pada spesies-spesies penyusun asosiasi 5
sedangkan yang terkecil di asosiasi 1. Asosiasi 7 nampak memiliki spesies-spesies
dengan nilai konstansi tertinggi, sedangkan asosiasi 4 dan 5 nampak memiliki
spesies-spesies dengan nilai konstansi terendah.
Pada aliansi 3 bentuk tumbuh semak tidak ditemukan pada asosiasi 3, 6, dan
7. Bentuk tumbuh pohon dan herba ditemukan pada seluruh asosiasi, dan dari 7
asosiasi yang ada di aliansi ini, ditemukan 5 asosiasi yang memiliki spesies
dengan bentuk tumbuh pohon dalam jumlah yang paling banyak, sisanya yaitu
pada asosiasi 1 dan 7 spesies dengan bentuk tumbuh herba paling banyak
ditemukan (Gambar 35).
Tabel 12. Deskripsi statistik nilai konstansi dari asosiasi di aliansi 3
ASOSIASI Rata- rata Min. Max. Range
Std. Error CV N
1 35,78 27 42 15 1,588 13,315 9 2 19,94 11 32 21 1,445 28,985 16 3 29,50 24 38 14 1,701 16,307 8 4 15,45 8 23 15 1,580 33,915 11 5 12,25 7 27 20 0,913 36,527 24 6 30,90 22 42 20 1,816 18,588 10 7 34,75 30 42 12 2,562 14,744 4
Keterangan: Asosiasi 1, 2, 3, 4 ,5 ,6, 7 merupakan asosiasi-asosiasi yang terdapat pada Aliansi 3
Melalui Gambar 28, 31, dan 34 terlihat bahwa asosiasi-asosiasi yang
terbentuk memiliki kombinasi komposisi floristik yang khas pada aliansi tempat ia
ditemukan, dalam arti bahwa di antara asosiasi yang ada, baik pada aliansi yang
sama maupun pada aliansi yang berbeda maka kombinasi spesies-spesies yang
menyusun komposisi floristik dari masing-masing asosiasi tersebut berbeda.
Menurut Shimwell (1971) salah satu ciri asosiasi adalah komunitas tumbuhan
yang memiliki komposisi floristik yang khas.
Pada setiap aliansi ditemukan spesies dengan bentuk tumbuh pohon selalu
ditemukan dalam jumlah yang terbanyak, disusul oleh spesies dengan bentuk
tumbuh herba dan terakhir oleh spesies dengan bentuk tumbuh semak (Gambar 27,
30, dan 33). Selanjutnya pada setiap asosiasi di setiap aliansi vegetasi, ditemukan
bentuk tumbuh pohon sebagai penyusun dari asosiasi tersebut (Gambar 29, 32,
96
dan 35). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk tumbuh pohon merupakan komponen
utama dari vegetasi hutan di setiap aliansi. Whitmore (1986) mengatakan bahwa
pohon merupakan bentuk tumbuh utama di hutan hujan tropis basah.
3
9
5
6
12
6
22
4
0
4
5
0 0
4
3 3
1
7
4
2
0
2
4
6
8
10
12
14
1 2 3 4 5 6 7
ASOSIASI
JUMLAH SPESIES
P SA H
Keterangan: Asosiasi: 1: 2: 3: 4: 5: 6: dan 7: . P : Bentuk tumbuh pohon, S: bentuk tumbuh semak;
H bentuk tumbuh herba. Gambar 35. Penyebaran bentuk tumbuh tumbuhan pada setiap asosiasi
di aliansi 3.
Pada setiap aliansi, nampak bahwa bentuk tumbuh semak selalu merupakan
bentuk tumbuh dengan jumlah spesies paling sedikit. Hal ini disebabkan, pada
seluruh area penelitian, sebagian besar spesies dengan bentuk tumbuh murni
semak didominasi oleh pakis andam. Pertumbuhan spesies ini sangat melimpah
dengan batang yang menjalar kemana-mana, sehingga menghalangi spesies-
spesies lain pada bentuk tumbuh semak. Bentuk tumbuh semak dengan jumlah
spesies relatif banyak akan ditemukan terutama pada tepi-tepi sungai.
Menurut Walter (1987) dan Whitmore (1986) di daerah hutan hujan tropis
basah, tumbuhan semak yang sejati hanya ditemukan dalam jumlah yang kecil
pada strata semak. Pada strata ini, anakan pohon lebih banyak ditemukan. Van
Steenis (1972) mengatakan bahwa, kehadiran paku-pakuan Dicranopteris yang
melimpah pada suatu kawasan merupakan indikator kondisi iklim yang selalu
lembab di kawasan tersebut.
97
2. Hubungan antara asosiasi vegetasi dan faktor abiotik di Zona Sub Pegunungan, Gunung Salak.
Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan berbagai faktor abiotik di aliansi
1 dapat dilihat pada Tabel 13. Nampak bahwa setiap asosiasi vegetasi memberi
tanggapan yang berbeda terhadap berbagai kombinasi faktor abiotik. Keberadaan
asosiasi 1 nampak hanya berhubungan dengan kandungan unsur Ca tanah pada
kategori sedang. Diduga hal ini menunjukkan asosiasi ini merupakan indikator
unsur Ca tanah di zona sub pegunungan, Gunung Salak. Beberapa asosiasi-
asosiasi lain, selain keberadaannya berhubungan dengan unsur Ca tanah, juga
berhubungan dengan faktor-faktor abiotik lain, seperti yang ditemukan pada
asosiasi 3 dan 4.
Tabel 13. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 1
Faktor Tanah
Kate-gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5
Ca Sedang 19,32* 19,96* 19,84* Mg Rendah 20,51*P 6,6-7,3 20,78* 24,20** 22,70** C organik Tinggi 21,61** Tekstur Lempung 17,40*
Lempung Berliat 17,90*
Lempung Berdebu 17,38*
Topo-grafi
Kate-gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5
Tinggi mini-mal (m dpl)
1050-1100 21,32*
1100-1200 22,26**
Tinggi maksi-mal (m dpl)
1100-1250 21,32*
Curam 4-6 19,20** 7-10 21,58**Arah Lereng Selatan 20,00** Utara 29,03** 17,69* 23,49**
Keterangan: **: Sangat Signifikan pada P < 0,01 dan * Signifikan pada P < 0,05.
Untuk faktor abiotik tanah, unsur Ca tanah pada kategori sedang dan unsur P
tanah nampak paling banyak berhubungan dengan berbagai asosiasi vegetasi di
aliansi ini, diikuti oleh tekstur tanah pada berbagai kategori. Faktor topografi
98
berupa arah lereng merupakan faktor yang paling banyak berhubungan dengan
berbagai asosiasi di aliansi ini.
Tabel 14. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 2.
Faktor Tanah
Kate- gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5 6
N total Rendah 20,23* Sedang 30,24* 24,06*
Ca Sangat Rendah 21,86* 21,08* 19,53*
Rendah 21,61* 18,05* 22,08** Mg Rendah 18,18* P 5,6-6,5 17,96** 25,29** C organik Tinggi
Sangat Tinggi 28,98** 20,26*
KTK Tinggi 23,15** Tekstur Lempung 22,41**
Lempung Berliat 20,82*
Lempung Berpasir 9,47*
Topografi Kate- gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5
Tinggi minimal (m dpl) <1050 19,58* 21,91** 34,85**
1050-1100 18,64*
1100-1200 25,18**
Tinggi maksimal (m dpl)
1100-1150 31,64**
1150-1250 21,25*
Curam ≤3 17,22* 18,44* 7-10 23,49** 22,31** Sangat Curam 4-6 30,77** Arah Lereng Timur 19,42* 17,45*
Keterangan: **: Sangat Signifikan pada P < 0,01 dan * Signifikan pada P < 0,05.
Pada Tabel 14 nampak bahwa unsur Ca tanah pada kategori sangat rendah
dan rendah paling banyak mempengaruhi keberadaan asosiasi vegetasi di aliansi
ini. Tekstur tanah selanjutnya paling banyak mempengaruhi asosiasi vegetasi,
diikuti oleh unsur P tanah, N total pada kategori rendah dan sedang, serta unsur C
organik tanah pada kategori sangat tinggi. Ketinggian minimal plot dari
permukaan laut di aliansi ini merupakan faktor topografi yang paling banyak
berhubungan dengan keberadaan asosiasi vegetasi.
99
Kapasitas tukar kation tanah pada kategori sedang, unsur P tanah, dan
tekstur tanah merupakan faktor tanah yang paling banyak berhubungan dengan
berbagai asosiasi vegetasi di Aliansi 3. Kandungan unsur N total, Ca, dan Mg
tanah nampak berhubungan sangat signifikan dengan asosiasi 7. Untuk faktor
topografi di Aliansi 3, nampak ketinggian tempat dari permukaan laut, lereng
curam, dan arah lereng masing-masing mempengaruhi 4 asosiasi yang ada di
aliansi ini (Tabel 15).
Tabel 15. Hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik di aliansi 3.
Tanah Kate-gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5 6 7
N total Tinggi 23,36**Ca Sedang 23,36**Mg Tinggi 23,36**P 6,6-7,5 23,31** 24,56** 7,6-8,5 27,45** KTK Sedang 18,40* 20,27* 25,55** Tekstur Liat 20,27* Lempung 19,92* 21,30*
Topo-grafi Kate-gori
ASOSIASI 1 2 3 4 5 6 7
Tinggi minimal(m dpl)
1050-1100 22,53*
1100-1200 17,10* 21,54*
1200-1300 23,36**
Tinggi maksimal(m dpl) <1100 23,36**
1100-1150 23,31** 24,55*
1150-1250 18,18*
1250-1350 23,36**
Curam ≤3 20,87* 35,35** 23,36** 7-10 22,53** Sangat Curam ≤3 17,93* Arah Lereng Selatan 16,96* 19,42* 17,89* Barat 23,36*
Utara 17,93*
Keterangan: **: Sangat Signifikan pada P < 0,01 dan * Signifikan pada P < 0,05.
Melalui Tabel 13 dan 14 terlihat bahwa sebagian besar asosiasi yang
terdapat di hutan-hutan alam di zona sub pegunungan, Gunung Salak sangat erat
berhubungan dengan unsur Ca tanah. Pada Aliansi 1, 60% dari asosiasi yang ada
100
berhubungan dengan unsur Ca tanah pada kategori sedang. Pada Aliansi 2,
66,77% dari asosiasi yang ada berhubungan dengan unsur Ca tanah pada kategori
sangat rendah. Selanjutnya pada Tabel 15 terlihat bahwa pada hutan yang
didominasi oleh hutan tanaman hanya 1 asosiasi yang berhubungan dengan unsur
Ca tanah.
Diduga hal ini menunjukkan bentuk adaptasi komunitas tumbuhan terhadap
unsur Ca tanah di kawasan Gunung Salak dengan katagori dari sangat rendah
hingga sedang. Pada penelitian ini ditemukan 27 (45,0%) blok pengamatan
memiliki kandungan Ca tanah dengan kategori sangat rendah, 22 (36,7%) dengan
kategori rendah, dan sisanya 11 (18,3%) dengan kategori sedang.
Adaptasi ini diperlukan karena beberapa hal. Menurut Whitten et al., (1988)
tanah-tanah di hutan hujan tropis basah sub pegunungan maupun pegunungan
umumnya defisit unsur Ca. Daniel et al., (1979) mengatakan bahwa pada tanah-
tanah yang sangat masam (sebagaimana tanah yang ditemukan di 50 % blok-blok
pengamatan di Gunung Salak dan sisanya merupakan tanah dengan kategori
masam) mengakibatkan defisiensi unsur Ca, walaupun pH tanah yang rendah
tidak selalu bermakna adanya defisiensi unsur Ca.
Adaptasi ini juga menjadi sangat penting, mengingat Gunung Salak
merupakan kawasan dengan curah hujan yang sangat tinggi (Gambar 27).
Menurut Hakim et al., (1986) pada daerah yang demikian kehilangan unsur Ca
dari tanah dalam kuantitas yang besar lebih banyak terjadi akibat proses
pencucian dan erosi. Pada akhirnya proses ini mengakibatkan tanah menjadi
masam. Gadner & Miller (2004) mengatakan bahwa tumbuhan yang tumbuh baik
pada tanah dengan kemasaman yang tinggi seringkali memiliki kebutuhan yang
rendah terhadap kation-kation dasar, terutama unsur Ca dan K.
Vitousek (1984) mengatakan bahwa, salah satu mekanisme konservasi hara
oleh vegetasi hutan hujan tropis basah adalah memiliki kemampuan adaptasi
secara fisiologis terhadap rendahnya unsur Ca dalam tanah. Lebih jauh adaptasi
ini diperlukan mengingat rendahnya unsur P tanah di zona sub pegunungan,
Gunung Salak. Menurut Hakim et al.,(1986) salah satu faktor yang menentukan
keberadaan unsur P anorganik tanah adalah unsur Ca tanah.
101
Pengelompokan spesies ke dalam asosiasi tertentu diduga disebabkan oleh
kebutuhan terhadap faktor-faktor abiotik yang sama. Melalui Tabel 13, 14, dan 15
terlihat bahwa setiap asosiasi memiliki kombinasi unik dalam hubungannya
dengan berbagai faktor abiotik, sehingga tidak ada di antara asosiasi-asosiasi ini
yang memiliki hubungan dengan kombinasi faktor abiotik yang identik.
Hal yang dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa spesies-spesies
dengan kebutuhan yang sama akan mengelompok bersama. Chapin (1985) dalam
Barbour et al., (1987) berhasil menunjukkan bahwa asosiasi-asosiasi spesies
tumbuhan di daerah beriklim dingin terbentuk terutama karena faktor suhu udara,
unsur hara tanah, penutupan tajuk, kompetisi, dan kombinasi dari faktor-faktor
tersebut. Menurut Kimmins (1987), spesies-spesies dengan kebutuhan yang sama
akan menyusun asosiasi yang sama. Mueller-Dombois & Ellenberg (1974a)
mengatakan bahwa, komposisi komunitas tumbuhan sebagian tergantung pada
lingkungan lokal.
Komunitas tumbuhan didefinisikan sebagai kumpulan spesies tumbuhan
yang memperlihatkan asosiasi atau kedekatan yang jelas satu dengan lainnya. Ide
tentang asosiasi ini penting karena mengimplikasikan bahwa spesies-spesies
tertentu ditemukan tumbuh bersama pada tempat dan lingkungan tertentu tidak
semata-mata karena faktor peluang belaka, tetapi karena adanya kebutuhan yang
sama terhadap berbagai faktor abiotik yang ditemukan pada kondisi lingkungan
yang sama (Golley, 1983).
Kebutuhan suatu spesies terhadap faktor abiotik tertentu merupakan salah
satu dari faktor biologi (Hubbel & Foster, 1986a). Menurut Etherington (1976),
setiap spesies memiliki kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan
abiotik dan biotik di sekitarnya. Selama faktor lingkungan masih dalam taraf
yang dapat ditolerir, maka tumbuhan akan menyesuaikan diri pada kondisi
lingkungan tempat ia tumbuh.
Hal berikutnya yang diduga berpengaruh terhadap pengelompokan spesies
pada asosiasi yang sama adalah peluang propagul spesies dalam asosiasi tertentu
untuk berpencar dan kemudian tiba pada lokasi sama dan tumbuh pada tempat
tersebut (Whitmore, 1986). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28, 31, dan 34,
yang menunjukkan bahwa dari spesies-spesies yang sama, akan memiliki
102
kelompok spesies yang relatif berbeda dalam suatu asosiasi jika ditemukan pada
aliansi lain.
Menurut Hubbel & Foster (1986a), kejadian propagul suatu spesies untuk
mencapai dan tumbuh pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhannya untuk
tumbuh dan berkembang adalah hal yang sulit untuk diprediksi. Penulis yang
sama mengatakan bahwa, biologi spesies memegang peranan penting dalam
pengelompokan spesies pada suatu komunitas. Hal ini disebabkan spesies
tumbuhan sangat bervariasi. Variasi ini antara lain menyangkut: kapasitasnya
untuk menyebarkan biji, kemampuan biji untuk berdormansi, kemampuan anakan
untuk tumbuh di bawah tajuk, dan toleransi spesies terhadap lingkungan mikro.
Pada penelitian ini, diduga hubungan antara spesies yang memiliki
kebutuhan yang yang sama terhadap kombinasi faktor abiotik dalam suatu asosiasi
adalah positif dan bukan negatif atau kompetisi (karena memanfaatkan
sumberdaya yang sama). Fedorov (1966) dalam Burgeron (1983) mengatakan
bahwa di dalam hutan hujan tropis basah kompetisi mutlak yang menghasilkan
hanya satu pemenang (competitive exclusion) tidak terjadi karena tanggapan
spesies yang berbeda terhadap kondisi lingkungan. Pada penelitian ini, respon
spesies yang berbeda terhadap kondisi abiotik dapat dilihat pada Tabel 39, 40, dan
41.
Burgeron (1983) melalui penelitiannya di hutan hujan tropis basah Tai
menyimpulkan bahwa kompetisi mutlak dari spesies-spesies tumbuhan yang
tumbuh di hutan ini dapat di hindari karena: (a) hanya beberapa dari spesies yang
ada hadir dalam plot yang sama, dan (b) oleh ukuran populasi spesies yang kecil
dari setiap spesies tumbuhan dalam plot yang sama. Pada penelitian ini, ukuran
populasi spesies yang kecil dapat dilihat pada Tabel 23.
Barbour et al.,(1987) mengatakan bahwa, dalam prosedur klasifikasi
komunitas, setelah spesies jarang yang merupakan spesies yang dipandang hadir
secara kebetulan pada plot pengamatan, dan spesies umum, yaitu spesies yang
ditemukan hadir pada sebagian besar plot pengamatan dihilangkan dalam
penentuan komunitas, maka yang tersisa adalah spesies-spesies yang
memperlihatkan tingkat asosiasi yang tinggi satu dengan lainnya dan terhadap
habitat tertentu.
103
Menurut Hardjosuwarno (1990) spesies–spesies yang berada pada asosiasi
yang sama dalam aliansi yang sama mempunyai hubungan mutualistik, yang
bermakna mengelompok dalam satu group (asosiasi atau komunitas dari spesies
tersebut) dan menghindari mengelompok dengan group lainnya. Kimmins (1987)
mengatakan bahwa, spesies-spesies yang berada pada asosiasi yang sama sampai
pada kisaran tertentu saling beradaptasi satu sama lain.
Selanjutnya Barbour et al.,(1987), mengatakan bahwa keberadaan tumbuhan
dalam asosiasi yang sama secara tidak langsung memperlihatkan adanya interaksi
positif positif (protokooperasi dan mutualisme) dan netral (bukan negatif) diantara
mereka, serta juga secara tidak langsung memperlihatkan adanya interaksi negatif
dengan anggota spesies dari asosiasi lainnya.
C. Tipe Vegetasi Tingkat Fisiognomi Struktural Zona Sub Pegunungan Gunung Salak
1. Tipe Vegetasi Tingkat Kelas
Hasil konversi persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi ke skala
Braun Blaunquet di aliansi 1 dapat dilihat pada Tabel 16. Terlihat bahwa jumlah
blok pengamatan yang memiliki nilai penutupan tajuk strata pohon yang lebih
besar 60% adalah 31 blok (80,11%). Pengamatan di lapangan juga menunjukkan
bahwa tajuk-tajuk strata pohon di aliansi ini saling berhubungan. Nilai persentase
penutupan tajuk tertinggi adalah 77,50% dan ditemukan pada 4 buah blok
pengamatan dan terendah adalah 50,50% yang hanya ditemukan pada 1 blok
pengamatan.
Nilai persentase penutupan tajuk untuk strata semak dan anakan pohon
yang tertinggi adalah 85% dan hanya ditemukan pada 1 blok pengamatan. Namun
demikian terlihat juga bahwa jumlah blok pengamatan yang memiliki nilai
penutupan tajuk strata semak dan anakan pohon yang lebih besar 60% adalah 25
blok (69,44%). Persentase penutupan tajuk strata herba berkisar 17,25-47,50%.
Tabel 16. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 1
Blok Pengamatan
Persentase Penutupan Tajuk Pohon Semak dan Herba
104
Anakan Pohon 3 77,50 75,00 21,75 4 77,50 80,00 37,75 5 77,50 82,50 47,50 8 77,50 85,00 45,50 10 72,50 77,50 42,75 13 72,50 75,00 42,50 14 67,50 75,00 28,50 15 72,50 70,00 40,00 20 67,50 60,25 28,50 24 62,50 62,50 28,50 25 75,00 62,50 28,50 30 70,00 65,00 35,25 31 62,50 65,00 17,25 33 57,50 47,50 48,25 35 67,50 55,25 31,00 37 62,50 62,50 26,25 38 65,00 57,50 30,75 39 70,00 52,50 28,50 40 67,50 50,00 33,75 42 72,50 52,75 26,50 43 65,00 57,50 28,75 44 60,00 65,00 33,25 45 72,50 57,50 31,00 46 50,50 57,50 35,75 49 70,25 60,00 30,75 50 62,50 62,50 37,50 51 57,50 62,50 30,75 52 65,00 65,00 35,25 53 62,50 60,00 26,25 54 65,00 62,50 28,50 55 62,50 62,50 17,25 56 60,00 62,50 28,50 57 65,00 65,00 35,25 58 62,50 62,50 26,25 59 65,00 62,50 33,00 60 62,50 62,50 17,25
Keterangan: Nilai berdasarkan konversi ke skala Braun-Blanquet
Pada Tabel 17 dapat dilihat hasil konversi persentase penutupan tajuk
berbagai strata vegetasi ke skala Braun-Blaunquet di aliansi 2. Nampak bahwa
jumlah blok pengamatan yang memiliki persentase penutupan tajuk pada strata
pohon yang lebih besar 60% adalah 13 blok (76,47%). Nilai persentase penutupan
tajuk tertinggi adalah 70% yang ditemukan pada 4 buah blok pengamatan.
Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa tajuk-tajuk pepohonan di
aliansi ini saling berhubungan. Nilai persentase penutupan tajuk terendah adalah
55,50 % dan hanya ditemukan pada 1 blok.
Tabel 17. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 2.
Blok Persentase Penutupan Tajuk
105
Pengamatan Pohon SA Herba 6 65,00 50,25 77,50 7 55,50 53,00 50,75
16 70,00 55,50 48,25 17 70,00 62,50 48,50 18 70,00 60,00 29,00 19 70,00 62,50 26,25 21 62,50 62,50 41,00 22 65,00 60,25 26,75 23 62,50 60,00 26,25 26 57,50 58,00 55,25 27 57,50 60,00 53,00 28 62,50 62,50 28,75 29 67,50 50,00 24,00
2 65,00 55,25 19,50 32 55,50 55,00 40,75 34 67,50 60,00 42,50 36 65,00 55,00 31,25
Keterangan: Nilai berdasarkan konversi ke skala Braun-Blanquet
Tabel 18. Persentase penutupan tajuk berbagai strata vegetasi di aliansi 3.
Blok Pengamatan
Persentase Penutupan Tajuk
Pohon Semak dan
anakan pohon Herba 1 77,50 62,50 47,75 9 82,50 67,50 24,00 11 50,50 57,75 60,75 12 67,50 65,00 33,25 41 62,50 65,50 31,00 47 55,00 62,50 40,25 48 60,00 62,50 37,75
Keterangan: Nilai berdasarkan konversi ke skala Braun-Blanquet
Nilai persentase penutupan tajuk tertinggi untuk strata semak dan anakan
pohon adalah 62,50% dan ditemukan pada 4 buah blok. Pada strata ini terdapat 5
blok pengamatan yang persentase penutupan tajuknya di atas 60%. Kisaran
penutupan tajuk pada strata herba adalah 24%-77,50%.
Hasil konversi persentase penutupan tajuk berbagai strata ke skala Braun-
Blaunquet di aliansi 3 dapat dilihat pada Tabel 18.Terlihat bahwa terdapat 4 blok
pengamatan yang memiliki persentase penutupan tajuk lebih besar 60% pada
strata pohon (57,14%). Nilai penutupan tajuk tertinggi sebesar 82,50% ditemukan
pada blok pengamatan 9, dan terendah sebesar 50,50% ditemukan pada pada blok
pengamatan 11. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tajuk-tajuk
pepohonan di aliansi ini saling berhubungan.
Persentase penutupan tajuk tertinggi untuk strata semak dan anakan pohon
di aliansi 3 adalah 65,50% dan hanya ditemukan pada 1 blok pengamatan.
106
Terdapat 6 blok pengamatan (85,71%) yang memiliki persentase penutupan tajuk
di atas 60%. Untuk strata herba, penutupan tajuk berkisar antara 24-60,75%.
Gambar 36 memperlihatkan bahwa pada seluruh aliansi di Gunung Salak,
rata-rata persentase penutupan tajuk pada strata pohon berkisar antara 65,07%-
66,76%, strata semak dan anakan pohon berkisar 57,78%-63,91%, dan untuk
strata herba berkisar 31,79%-41,17%. Terlihat bahwa pada seluruh aliansi rata-
rata kisaran penutupan tajuk pada strata pohon di atas 60%. Dengan demikian tipe
vegetasi pada tingkat kelas zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah kelas
vegetasi hutan.
64,03 65,0766,76
63,3257,78
63,91
31,79
39,37 39,25
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Aliansi1 Aliansi2 Aliansi3Strata Vegetasi
Rata-rata Penutupan Tajuk (%)
Pohon Semak dan Anakan Herba
Gambar 36. Rata-rata persentase penutupan tajuk pada seluruh aliansi
Kriteria penutupan tajuk sebagai dasar dalam penentuan tipe vegetasi tingkat
kelas merupakan kriteria berdasarkan fisiognomi vegetasi. Hal ini mengacu pada
UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler & Zonneveld, 1988;
dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994), yang
menyebutkan bahwa suatu tipe vegetasi tingkat kelas disebut hutan jika penutupan
tajuk dari strata pohon di area yang diamati berkisar 60 %-100 % dan sebagian
besar tajuk-tajuk pepohonan saling berhubungan.
2. Tipe Vegetasi Tingkat Sub Kelas
107
Pada penelitian ini diketahui bahwa hutan yang menyusun seluruh aliansi di
zona sub pegunungan, Gunung Salak terbentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang
sepanjang tahun memiliki tajuk dengan daun-daun yang selalu hijau. Berdasarkan
kriteria UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler & Zonneveld,
1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994),
tipe vegetasi tingkat sub kelas ditentukan berdasarkan kesamaan morfologi dari
berbagai komunitas utama penyusun vegetasi yang diamati. Untuk kelas-kelas
hutan, hutan terbuka (woodland), lahan belukar (shrubland) dan lahan belukar
rendah (dwarf shrubland) didasarkan pada salah satu diantara hal berikut:
1. Tumbuhan yang selalu hijau, yang dalam hal ini vegetasi dengan tajuk yang
selalu ditutupi oleh dedaunan, namun demikian individu tumbuhan yang
menyusun vegetasi ini dapat saja menggugurkan daunnya.
2. Tumbuhan luruh daun, yang dalam hal ini sebagian besar dedaunan tajuk
tumbuhan yang menyusun vegetasi meluruhkan daunnya dalam kaitannya
dengan musim tumbuh yang kurang menguntungkan.
3. Tumbuhan dengan karakter xeromorphic. Vegetasi ini dicirikan oleh tegakan
yang melimpah dengan tumbuhan berbentuk hidup phanerophyte
xeromorphic.
Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas maka ditetapkan bahwa tipe
vegetasi tingkat subkelas di zona sub pegunungan, Gunung salak adalah hutan
selalu hijau.
3. Tipe Vegetasi Tingkat Kelompok
Mengacu pada UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler &
Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman
et al., 1994) disebutkan bahwa kriteria yang digunakan dalam penentuan tipe
vegetasi tingkat kelompok adalah kondisi iklim makro di lokasi suatu vegetasi
ditemukan.
108
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES
Bulan
Rata-rata Curah Hujan (mm)
20
20,2
20,4
20,6
20,8
21
21,2
21,4
21,6
21,8
22
Rata-rata Suhu Udara (oC)
Curah Hujan (mm)
Suhu Udara (oC)
Gambar 37. Distribusi rata-rata suhu udara dan curah hujan
(tahun 2004-2008) di Gunung Salak
Gambaran unsur iklim berupa rata-rata curah hujan dan suhu udara selama
periode tahun 2004 – 2008 di kawasan Gunung Salak dapat dilihat pada Gambar
37. Nampak bahwa suhu rata-rata bulanan pada daerah penelitian adalah 21,100 C
dengan suhu rata-rata tertinggi adalah 21,680 C pada bulan Oktober, dan terendah
adalah 20,380 C pada bulan Febuari. Rata-rata curah hujan bulanan adalah 392,07
mm, curah hujan tertinggi (639 mm) terjadi pada bulan November dan terendah
(237,70 mm) pada bulan Juli. Terlihat bahwa bulan-bulan terpanas berlangsung
antara bulan Maret hingga bulan Mei, dan kemudian pada bulan Oktober. Pada
bulan Oktober walaupun rata-rata suhu udara meningkat, namun rata-rata curah
hujan tetap tinggi (595, 6 mm) pada bulan.ini.
Vegetasi alami di wilayah tropika sangat erat berkaitan dengan iklim. Sistem
penggolongan wilayah tropika yang utama dan paling sering digunakan adalah
klasifikasi iklim Koppen. Melalui sistem ini, nama-nama vegetasi digunakan
untuk menggolongkan wilayah-wilayah iklim yang berbeda (Sanches, 1992).
Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen (Critchfield, 1975; Kimmins, 1987;
Longman & Jenik, 1987) suatu kawasan dikatakan beriklim tropis basah jika tidak
memiliki musim dingin dan suhu udara pada bulan yang terdingin tidak kurang
dari 180 C. Pada Gambar 37 nampak bahwa suhu rata-rata udara yang ada di
109
daerah penelitian tidak ada yang di bawah 180 C, bahkan pada bulan yang
terdingin sekalipun.
Selanjutnya berdasarkan klasifikasi iklim yang sama, suatu kawasan
dikatakan beriklim tropis basah jika memiliki curah hujan pada bulan yang
terkering lebih besar dari 60 mm. Data pada Gambar 37 memperlihatkan bahwa
curah hujan di daerah penelitian selalu di atas 200 mm, bahkan pada bulan
November melebihi 600 mm. Data ini menunjukkan bahwa curah hujan di daerah
penelitian jauh di atas kriteria iklim Koppen. Van Steenis (1972) mengatakan
bahwa di Jawa Barat, iklim pegunungan selalu basah dengan curah hujan hampir
tetap sepanjang tahun, yaitu sekitar 3000-4000 mm per tahun hingga elevasi 3000
m. Curah hujan ini terbagi agak merata sepanjang tahun, dengan masa agak
kurang basah cukup pendek pada bulan Juli hingga Agustus, yang masih
mempunyai 20 hari hujan atau lebih dalam sebulan.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Gunung Salak termasuk ke dalam
daerah dengan kriteria iklim Koppen Af , yaitu daerah iklim hutan hujan tropis
basah secara permanen, dan seluruh bulan memiliki curah hujan yang relatif
tinggi. Dengan demikian kawasan Gunung Salak adalah kawasan yang memiliki
iklim tropis basah.
Hal ini ditunjang oleh kriteria iklim berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt &
Fergusson (Tadjang & Mandung, 1987), yang menyebutkan bahwa suatu daerah
termasuk ke dalam daerah beriklim tropis A (sangat basah), jika memiliki periode
bulan basah (curah hujan > 100mm) relatif lebih panjang dari pada periode bulan
kering (curah hujan < 100mm). Sesuai dengan data curah hujan bulanan rata-rata
pada Gambar 37 diketahui bahwa bulan basah di kawasan penelitian berlangsung
sepanjang tahun.
Selanjutnya menurut Tadjang & Mandung (1987), garis lintang merupakan
salah satu pengendali iklim yang dapat mempengaruhi jumlah radiasi surya yang
diterima di permukan bumi. Berdasarkan hal ini, maka permukan bumi yang
terletak pada garis lintang 23,50 LS - 23,50 LU adalah daerah beriklim tropis, dan
kawasan Gunung Salak berada pada kisaran garis lintang ini.
4. Tipe Vegetasi Tingkat Formasi
110
Menurut UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler &
Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman
et al., 1994) formasi menggambarkan pengelompokan secara ekologi unit-unit
vegetasi dan tingkat kesamaan dari unit-unit tersebut pada penelitian ini
didefinisikan berdasarkan kriteria berikut:
1. Faktor struktural tambahan dari vegetasi:
• Hutan raksasa dengan tajuk strata pohon mencapai tinggi di atas 50 m
• Hutan dengan tinggi tajuk strata pohon antara 5 - 50 m
2. Zona kehidupan pada lokasi suatu vegetasi ditemukan yang dalam hal ini
antara lain dataran rendah, sub pegunungan, pegunungan, alpine, pantai, dan
rawa.
Pada penelitian ini tajuk strata pohon yang ditemukan masuk pada kategori
hutan dengan tinggi tajuk antara 5- 50 m. Yang dimaksud dengan zona kehidupan
adalah posisi relatif dari suatu bentang alam di permukaan bumi. Selanjutnya zona
kehidupan yang digunakan untuk menentukan tipe vegetasi tingkat formasi adalah
zona kehidupan berdasarkan Van Steenis (1972). Hal ini disebabkan penentuan
zona ini murni berdasarkan secara floristik. Zona ini juga menunjukkan zonasi
altitudinal floristik yang sesuai dengan penelitian ini.
Tabel 19. Jumlah pohon berbanir pada berbagai tipe vegetasi tingkat aliansi.
Aliansi
Jumlah Pohon Berbanir
1 9712 2433 82
Total 1296
Berdasarkan zona kehidupan Van Steenis (1972), diketahui bahwa daerah
yang terletak pada ketinggian 1000-1500 m dpl dimasukkan ke dalam kategori
zona sub pegunungan. Pada penelitian ini, vegetasi yang dikaji terdapat pada
kisaran ketinggian 1000–1350 m dpl, sehingga berdasarkan kategori tersebut
maka area kajian di Gunung Salak merupakan zone sub pegunungan.
Menurut Whitmore (1986) di antara ciri-ciri hutan hujan tropis basah sub
pegunungan adalah: sedikit sekali pohon-pohon di kawasan ini yang memiliki
akar banir, dan jikapun ada maka ukuran akar banir tersebut lebih kecil dibanding
111
ukuran rata-rata akar banir pohon-pohon di hutan hujan tropis basah dataran
rendah. Pada Tabel 19 nampak bahwa, pada aliansi 1 hanya 10,73% pohon yang
memiliki akar banir, pada aliansi 2; hanya 7,78% pohon yang memiliki akar banir,
dan pada aliansi 3, hanya 5,35% pohon yang memiliki akar banir. Untuk seluruh
tipe vegetasi tingkat aliansi ditemukan hanya 9,46% pohon yang memiliki akar
banir. Data ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pohon di daerah penelitian
tidak memiliki akar banir, dan hal ini merupakan penciri hutan hujan tropis basah
sub pegunungan .
Berdasarkan kriteria UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a;
Kuchler & Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999) suatu tipe vegetasi tingkat
formasi untuk hutan hujan tropis pegunungan dapat lagi dibedakan menjadi 3,
yaitu: (1) hutan yang didominasi oleh tumbuhan berdaun lebar; (2) hutan yang
didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum; dan (3) hutan yang didominasi oleh
tumbuhan bambu. Selanjutnya berdasarkan kriteria NVCS (FGDC, 1997; dan
Grossman et al., 1994) hutan tanaman termasuk ke dalam kriteria tersendiri, yaitu
formasi hutan tanaman/perkebunan dan budidaya. Pada penelitian ini ditemukan
bahwa di kawasan Gunung Salak, ketiga tipe formasi beserta fomasi hutan
tanaman yang dikemukan di atas telah ditemukan pada zona sub pegunungan.
Bardasarkan hal di atas maka tipe vegetasi tingkat formasi zona sub
pegunungan, Gunung Salak adalah:
1. Hutan Sub Pegunungan. Jika diikut sertakan nama dari unit klasifikasi pada
hirarki yang lebih atas, maka nama selengkapnya adalah Hutan hujan tropis
basah sub pegunungan selalu hijau berdaun lebar.
2. Hutan Bambu Sub Pegunungan Tropis.
3. Hutan Tanaman Sub Pegunungan Tropis
Berikut ini disajikan hirarki tipe vegetasi zona sub pegunungan Gunung
Salak, yaitu:
Kelas : Hutan
Sub kelas : Hutan Selalu Hijau.
Kelompok : Hutan Hujan Tropis Basah Selalu Hijau.
1. Formasi : Hutan hujan tropis basah sub pegunungan selalu hijau
berdaun lebar
112
Aliansi : Aliansi hutan S. walliichii-P. punctatus/C. officinalis
a. Asosiasi hutan T. laxiflora – M. eminii/ P.
polycephalus
b. Asosiasi hutan M. blumeanus – L. elegans / F. sinuata
c. Asosiasi hutan I. macrophylla – N. umbelliflora/
Staurogyne sp.
d. Asosiasi hutan P. elongata - P. interifolia ./ C.
javanensis .
e. Asosiasi hutan P. arboreum–G. hypoleucum /D.
cansformis
2. Formasi: Hutan bambu sub pegunungan tropis
Aliansi : Aliansi hutan G. apus-M. blumeanus/ C. officinalis
a. asosiasi hutan Cyathea cf. javanica – M. eminii/ C.
javensis
b. asosiasi hutan G. apus- C. acuminatissima /F. sinuata
c. asosiasi hutan P. laevifolia- P. javana / E. punicea
d. asosiasi hutan A. dilatatum – G. hypoleucum/
Rhaphidophora Sp.
e. asosiasi hutan C. officinalis - P. merkusii/ I. globosa
f. asosiasi hutan M. blumeanus – S. aromatica./ P.
aduncum
3. Formasi: Hutan Tanaman Sub Pegunungan Tropis
Aliansi : Aliansi hutan P. merkusii-A. dilatatum/D. dichotoma
a. asosiasi hutan S. wallichii- H. glabra/ B. hirtella
b. asosiasi hutan P. elongata- P. punctatus/
Rhaphidophora Sp.
c. asosiasi hutan E. oclusa- F. grossulariodes/ E.
megalocheilos
d. asosiasi hutan A. excelsa- A. tetrandum/R. foraminifera
e. asosiasi hutan M. eminii- C. javanica/ C. latebrosa
f. asosiasi hutan A. dilatatum-Euoidea latifolia/ S. plana
g. asosiasi hutan L. elegans- P. merkusii/I. globosa
113
Tipe vegetasi yang menyebar secara horizontal juga terdapat di zona sub
pegunungan ketinggian 1500-3000m dpl pada Gunung Jayawijaya, Papua.
Terdapat 3 tipe vegetasi floristik di zona tersebut, yaitu vegetasi yang didominasi
oleh Castanopsis acuminatissima dan kadang-kadang Lithocarpus spp, vegetasi
yang didominasi oleh Nothofagus spp, dan menjelang ketinggian 3000 m dpl
ditemukan tipe vegetasi yang didominasi oleh spesies-spesies dari famili
Cunoniaceae, Elaocarpaceae, Podocarpaceae, Myrtaceae, Rubiaceae, dan
Rutaceae (Paijmans dalam Whitmore, 1986).
D. Struktur Vegetasi dan Komposisi Spesies Pohon Zona Sub Pegunungan Gunung Salak
1. Kerapatan dan Komposisi Spesies Pohon pada Tipe Vegetasi Tingkat
Aliansi
Pada aliansi 1 ditemukan 72 spesies pohon dengan jumlah total individu
sebanyak 9046 pohon (Tabel 20). Jumlah ini menyusun 66,04 % jumlah individu
pohon di seluruh aliansi (Tabel 24). Spesies yang memiliki individu terbanyak
adalah puspa, yaitu sebanyak 1258 pohon. Ditemukan 3 spesies yang hanya
memiliki 1 individu, yaitu jambe rende (P. javana), kokosan monyet (Dysoxylum
excelsum), dan seserehan (Antidesma tetendung) (Tabel 20).
Jumlah spesies pohon pada aliansi 2 adalah 71 dengan total jumlah individu
sebanyak 3124 pohon (Tabel 21). Jumlah ini menyusun 22,81 % total individu
pohon di seluruh aliansi (Tabel 24). Spesies yang memiliki jumlah individu
terbanyak adalah pinus, yaitu sebanyak 374 pohon. Ditemukan 7 spesies yang
hanya memiliki 1 individu, yaitu cantigi (Glochidion rubrum), ki cantung
(Goniothalamus macrophyllus), panggang (Schefflera scandens), renghas (Glutta
renghas), seserehan, harendong (Medinela axima), dan katuk/kakatukan
(Polygala venenosa) (Tabel 21).
Tabel 20. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 1
No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu
1 Pinanga javana 1 25
Cinchona officinalis 21 49
Tarenna laxiflora 114
114
2 Dysoxylum excelsum 1 26 Caryota mitis 23 50
Lithocarpus elegans 121
3 Antidesma tetrandrum 1 27
Macaranga cf. rhizimoides 25 51
Phoebe grandis 134
4 Dissochaeta gracilis 2 28 Ficus ribes 27 52
Ficus grossulariodes 141
5 Ficus involucrata 2 29
Archydeudron clypearia 28 53
Macaranga rhizimoides 142
6 Knema cinera 2 30Ficus deltoidea 31 54
Altingia excelsa 185
7 Symplocos spicata 2 31 Ficus padana 35 55
Notaphoebe umbelliflora 214
8 Ficus lepicarpa 3 32
Urophyllum arboreum 37 56
Glochidion hypoleucum 220
9 Ficus globosa 3 33 Litsea tomentosa 38 57
Polyosma interifolia 221
10 Antidesma bunius 4 34
Aporosa octandra 38 58
Litsea macrophylla 224
11 Schizostachum brachycladum 5 35
Litsea cubeba 45 59
Euodia latifolia 227
12 Medinilla axima 5 36
Litsea brachystachia 46 60
Prunus arboreum 248
13 Polygala venenosa 5 37 Lasiathus sp. 47 61
Mallotus blumeanus 266
14 Maesa latifolia 7 38
Ficus fistulosa 48 62
Athyrium dilatatum 268
15 Mangifera cf. indica 8 39
Peperomia laevifolia 52 63
Hoersfieldia glabra 310
16 Cleistocalyx opperculata 9 40
Michelia montana 52 64
Clustocalyx opperculata 316
17 Pinus merkusii 11 41
Castanopsis argentea 52 65
Castanopsis acuminatissima 332
18 Ficus elastica 12 42
Homalanthuspopulnes 57 66
Quercus gemelliflora 342
19 Lannea coromandelica 14 43
Schefflera longifolia 61 67
Schefflera aromatica 379
20 Cinnamomum javanicum 14 44
Manglietia glauca 68 68
Symplocos fasciculata 443
21 Saurauria cauliflora 16 45
Cyathea contaminants 74 69
Pandanus punctatus 478
22 Sapium virgatuns 16 46 Elaocarpus sp. 75 70
Cyathea contaminans 497
23 Ficus variegata 16 47
Maesopsiseminii 77 71
Dysoxylum arborescens 653
24 Helicia robusta 17 48
Plectocomia elongata 80 72
Schima wallichii 1258
Keterangan: Jumlah individu pohon/36 blok pengamatan (14,4 ha).
Pada Tabel 22 dapat dilihat spesies-spesies yang menyusun strata pohon
pada aliansi 3. Jumlah spesies yang ditemukan di aliansi ini sebanyak 56 dengan
jumlah total individu sebanyak 1527 pohon. Jumlah ini menyusun 11,15 % total
individu pohon di seluruh aliansi (Tabel 24). Spesies pinus memiliki individu
terbanyak, yaitu 311 pohon. Terdapat 5 spesies pohon yang hanya memiliki 1
individu, yaitu haruman (Pithecellobium montanum), kaliandra (Calliandra
tettragoma), katuk / kakatukan, palahlar (Dipterocarpus haseltii), dan sasah
(Symplocos spicata).
Tabel 21. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 2
115
No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu
1 Glochidon rubrum 1 25
Castanopsis argentea 6 49
Lithocarpus elegans 29
2 Goniothalamus macrophyllus 1 26
Helicia robusta 7 50
Castanopsis acuminatissima 32
3 Schefflera scanden 1 27
Peperomia laevifolia 7 51
Plectocomia elongata 39
4 Gluta renghas 1 28
Michelia montana 7 52
Quercus gemelliflora 46
5 Antidesma tetrandrum 1 29
Homalanthus populneus 7 53
Giganthocloa pseudoarundina-cea 49
6 Dissochaeta gracilis 1 30
Cinnamomum javanicum 8 54
Glochidion hypoleucum 52
7 Polygala venenosa 1 31
Ficus ribes 10 55
Clustocalyx opperculata 65
8 Dipterocarpus haseltii 2 32
Prunus arboreum 10 56
Cyathea cf. javanica 66
9 Dysoxylum excelsum 2 33
Maesa latifolia 12 57
Notaphoebe umbelliflora 66
10 Lannea coromandelica 2 34
Aporosa octandra 12 58
Cinchona officinalis 67
11 Ficus padana 2 35Archydeudron clypearia 14 59
Athyrium dilatatum 71
12 Lasianthus sp. 2 36 Litsea cubeba 14 60Maesopsis eminii 76
13 Ficus fistulosa 2 37
Elaeocarpus sp. 14 61
Euodia latifolia 94
14 Mangifera cf. indica 3 38
Schizostachyum iraten 18 62
Horsfieldia glabra 95
15 Macaranga cf. Rhizimoides 3 39
Polyosma interifolia 18 63
Schefflera aromatica 96
16 Ficus deltoidea 3 40
Dendrocalamus asper 19 64
Cyathea contaminans 107
17 Calliandra tetragoma 4 41
Schefflera longifolia 19 65
Dysoxylum arborescens 141
18 Clustocalyx opperculata 4 42
Litsea tomentosa 20 66
Schima wallichii 149
19 Urophyllum arboreum 4 43
Tarenna laxiflora 20 67
Pandanus punctatus 159
20 Ficus globosa 5 44 Phoebe grandis 20 68Symplocos fasciculata 182
21 Schizostachyum brachycladum 5 45
Antidesma tetrandum 20 69
Gigantochloa apus 322
22 Saurauia cauliflora 6 46
Ficus grossulariodes 22 70
Mallotus blumeanus 326
23 Caryota mitis 6 47Altingia excelsa 22 71
Pinus merkusii 374
24 Litsea brachystachya 6 48
Macaranga rhizinoides 27
Keterangan: Jumlah individu pohon/17 blok pengamatan (6,8 ha).
Melalui Tabel 20, 21, dan 22 terlihat bahwa spesies-spesies pohon yang
hanya ditemukan di aliansi 1 adalah ki ara payung (Ficus involucrata), kimokla
(Knema cinera), bisoro (Ficus lepicarpa), huni hutan (Antidesma bunius),
harendang (Medinela axima), kiara kebo (Ficus elastica), dan kondang (Ficus
variegata).
116
Spesies-spesies pohon yang hanya ditemukan di aliansi 2 adalah cantigi, ki
cantung (Goniothalamus macrophyllus), panggang, renghas, bambu bitung,
bambu andong, bambu tamiyang dan bambu tali. Kedua spesies bambu yang
disebutkan terakhir juga merupakan spesies paling dominan di aliansi 2. Seluruh
spesies pohon yang ditemukan di aliansi 3 juga ditemukan di aliansi lain.
Tabel 22. Jumlah individu spesies pohon pada aliansi 3
No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu No Spesies
Jumlah Indi-vidu
1 Calliandra tetragoma 1 20
Ficus fistulosa 7 39
Plectocomia elongata 26
2 Dipterocarpus haseltii 1 21
Saurauia cauliflora 8 40
Nothaphoebe umbeliflora 26
3 Symplocos spicata 1 22
Macaranga rhizinoides 10 41
Schefflera aromatica 30
4 Polygala venenosa 1 23 Phoebe grandis 11 42
Ficus grossulariodes 37
5 Pithecellobium montanum 1 24
Antidesma tetrandrum 12 43
Maesopsis eminii 40
6 Aporosa octandra 2 25
Mangifera cf. indica 12 44
Cyathea cf. javanica 42
7 Litsea brachystachya 2 26 Lasianthus sp. 12 45
Altingia excelsa 46
8 Ficus padana 3 27Maesa latifolia 13 46
Castanopsis acuminatissima 50
9 Manglietia glauca 3 28 Litsea cubeba 13 47
Schefflera longifolia 52
10 Sapium virgatuns 4 29
Tarenna laxiflora 14 48
Schima wallichii 52
11 Peperomia laevifolia 4 30
Cinchona officinalis 15 49
Horsfieldia glabra 53
12 Homalanthus populneus 4 31
Ficus deltoidea 15 50
Pandanus punctatus 55
13 Polyosma interifolia 4 32
Prunus arboreum 15 51
Cyathea contaminans 64
14 Pinanga javana 5 33Glochidion hypoleucum 17 52
Symplocos fasciculata 68
15 Elaeocarpus sp. 5 34
Litsea macrophylla 20 53
Quercus gemelliflora 72
16 Macaranga cf. rhizimoides 6 35
Euodia latifolia 22 54
Athyrium dilatatum 74
17 Ficus ribes 6 36Dysoxylum arborescens 22 55
Mallotus blumeanus 76
18 Actinorhytis calapparia 7 37
Lithocarpus elegans 24 56
Pinus merkusii 311
19 Litsea tomentosa 7 38
Clustocalyx opperculata 24
Keterangan: Jumlah individu pohon/7 blok pengamatan (2,8ha).
Pada penelitian ini juga ditemukan spesies-spesies pada strata pohon yang
memiliki jumlah individu kurang atau sama dengan 1, yaitu sebanyak 27,77 % di
aliansi 1, 35,22 % di aliansi 2, dan 12,5 % spesies-spesies yang ada di aliansi 3.
Spesies-spesies ini bersama dengan spesies yang penyebarannya sangat terbatas
117
perlu mendapat perhatian karena diduga kelangsungan keberadaannya di zona sub
pegunungan, Gunung Salak menjadi sulit.
Hal ini disebabkan pertama, pada strata pohon inilah spesies-spesies tersebut
dapat menghasilkan alat perkembangbiakan dan sekaligus bereproduksi. Namun
pada kondisi ini, peluang untuk menghasilkan anakan dalam jumlah yang
mencukupi untuk dapat bertahan menjadi kecil.
Kedua, dengan kondisi ini akan membuat spesies-spesies tersebut sangat
rentan terhadap fluktuasi kondisi lingkungan baik yang terjadi secara alami
maupun secara antropogenik. Cody (1986), mengatakan bahwa fluktuasi yang
demikian dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya, baik makanan maupun
ruang hidup dari spesies-spesies jarang ini, sehingga mengancam kehadirannya di
zona sub pegunungan, Gunung Salak. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi
keanekaragaman hayati Gunung Salak, dan juga mengakibatkan keseimbangan
ekologi kawasan ini menjadi terganggu. Alasan berikutnya untuk perlunya
spesies-spesies ini mendapat perhatian karena data dari penelitian ini yang
menunjukkan jumlah spesiesnya yang relatif banyak di aliansi 1 dan 2 yang
merupakan hutan alam.
Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa di seluruh aliansi, jumlah spesies
pohon yang memiliki individu yang sedikit, jauh lebih banyak dibanding jumlah
spesies pohon yang memiliki individu yang banyak. Melalui penelitian ini
ditemukan bahwa untuk aliansi 1, ditemukan 73,61 % spesies pohon dengan
jumlah individu antara 1 – 10 individu pohon/ha, 19,44 % memiliki jumlah
individu antara 11 – 30 individu pohon/ha, 6,94% memiliki jumlah individu
pohon antara 31-100 individu pohon/ha, dan tidak ada sama sekali spesies yang
memiliki individu pohon lebih dari 100 individu pohon/ha. Untuk aliansi 2,
terdapat sebanyak 83,10 % spesies pohon dengan jumlah individu antara 1 – 10
individu pohon/ha, 12,68 % memiliki jumlah individu antara 11 – 30 individu
pohon/ha, 4,23% memiliki jumlah individu pohon antara 31-100 individu
pohon/ha, dan tidak ada sama sekali spesies yang memiliki individu pohon lebih
dari 100/ha. Untuk aliansi 3 terdapat 73,43% spesies pohon dengan jumlah
individu antara 1 – 10 individu pohon/ha, 26,79 % memiliki jumlah individu
antara 11 – 30 individu pohon/ha, tidak ada sama sekali spesies yang memiliki
118
individu pohon antara 31-100 individu pohon/ha, dan 1,79% spesies yang
memiliki individu pohon lebih dari 100 individu pohon /ha.
Menurut Whitthen et al., (1996) vegetasi pepohonan yang disusun oleh
spesies dengan jumlah individu yang sangat sedikit adalah karakter dari hutan
hujan tropis basah. Dilaporkan oleh penulis yang sama, bahwa Meijer (1959) yang
melakukan penelitian di zone hutan hujan tropis basah sub pegunungan Gunung
Gede Panggrango dengan area sampel seluas 1 ha, menemukan bahwa dari 73
spesies pohon yang diperoleh di kawasan tersebut, hanya 1 spesies (1,37%) yang
memiliki jumlah individu pohon lebih dari 30. Sebanyak 53 spesies pohon
(72,6%) memiliki jumlah individu pada kisaran 1-10, dan selebihnya, sebanyak 19
pohon (26,03%) memiliki jumlah individu pohon pada kisaran 11-30.
Tabel 23. Kisaran jumlah individu pohon di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi
Kisaran jumlah individu spesies /ha
Jumlah 1-10 11-30 31-100 >100 1 53 14 5 0 72 2 59 9 3 0 71 3 40 15 0 1 56
Pada penelitian ini tidak ditemukan sama sekali spesies pada strata pohon
yang memiliki INP tertinggi pada satu atau lebih blok di seluruh aliansi (Tabel 20,
21, dan 22). Selanjutnya hanya pinus, bambu buluh dan panggang puyuh yang
ditemukan memiliki INP tertinggi pada satu atau lebih blok pengamatan di 2
aliansi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun spesies pada strata pohon
yang mendominasi seluruh zona sub pegunungan, Gunung Salak.
Kecuali bambu buluh, semua spesies pohon yang memiliki INP tertinggi di
satu atau lebih blok pengamatan di aliansi 1 memiliki jumlah individu lebih dari
300 pohon/14,4 ha (± 21 pohon/ha). Spesies-spesies dengan INP tertinggi ini
berjumlah 5 (6,94% dari jumlah spesies pohon di alinsi ini), yaitu puspa,
panggang puyuh, cangkuang, ki sirem, dan bambu buluh. Jumlah total individu
spesies ini adalah 2750 batang pohon/14,4 ha (29,96% ) (Tabel 20).
Pada aliansi 2, jumlah spesies pohon yang memiliki INP tertinggi adalah 6
(8,45% dari total jumlah spesies yang ada di aliansi ini) dengan jumlah individu
sebanyak 1204 pohon/6,8 ha (38,70%). Ke enam spesies ini adalah pinus, bambu
tali, calik angin, bambu tamiyang, cangkuang dan bambu buluh (Tabel 21).
119
Pada aliansi 3 ditemukan 5 spesies pohon (8,93 % dari total jumlah spesies
yang ada di aliansi ini) yang memiliki INP tertinggi di satu atau lebih blok
pengamatan. Spesies-spesies tersebut adalah pinus, panggang puyuh, manii, pakis
benyir, dan rasamala. Jumlah individu seluruh spesies ini adalah 493 pohon/2,8
ha (32,28%) (Tabel 22).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa jumlah spesies dominan pada suatu
aliansi hanya sedikit dengan persentase di bawah 10% dari jumlah total spesies
pada suatu aliansi. Salah satu faktor yang diduga penyebab tingginya nilai INP
yang menunjukkan dominansi dari spesies-spesies ini karena memiliki jumlah
individu yang lebih melimpah dibanding spesies-spesies lainnya.
Keseluruhan jumlah spesies pohon yang ditemukan pada seluruh aliansi
zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah sebanyak 83, dengan jumlah individu
dari seluruh spesies yang telah disampling adalah 13697 batang pohon. Perincian
yang lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Total jumlah individu pohon di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi
1 2 3 Jumlah individu pohon/ luas aliansi(a)
9046 (66,04%)
3124 (22,81%)
1527(11,15%)
Keterangan: Aliansi 1: a: 14,4 ha, 36 blok pengamatan; Aliansi 2: a: 6,8 ha, 17 blok pengamatan; Aliansi 3: a: 2,8 ha, 7 blok pengamatan.
Pada Tabel 25 terlihat bahwa secara statistik jumlah individu pohon pada
aliansi 1 berbeda dengan aliansi 2, namun tidak berbeda dengan aliansi 3, dan
juga jumlah individu pohon antara aliansi 2 dan 3 secara statistik tidak berbeda.
Namun pada Tabel 26 terlihat bahwa ada kecendrungan jumlah individu pohon/ha
terbanyak ditemukan pada aliansi yang didominasi vegetasi hutan campuran
(aliansi 1), diikuti pada aliansi yang didominasi oleh hutan tanaman (aliansi 3),
dan terakhir aliansi yang didominasi oleh hutan bambu (aliansi 2). Data ini
menunjukkan bahwa individu tumbuhan yang ada di hutan bambu lebih sedikit
dibanding hutan alam campuran dan hutan tanaman.
Tabel 25. Perbedaan jumlah individu pohon antara tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Vegetasi Uji Statistik 1-2 1-3 2-3 Mann-Whitney U 90** 68,5 30 Z -4,116** -1,892 -1,874
120
Keterangan: ** : sangat signifikan pada P < 0,01
Tabel 26. Kerapatan pohon pada berbagai hutan hujan tropis basah zona sub pegunungan
No Lokasi Zone
KehidupanKetinggian (m dpl)
Jumlah individu Pohon/ha (dbh* ≥ 10
cm) Sumber 1 Volcan Barva, Hutan sub Heaney&Proctor,
Costa Rica pegunungan 1000 546 1990 2 Volcan Barva, Hutan sub Heaney&Proctor,
Costa Rica pegunungan 1500 553 1990
3 Neotropis, Hutan sub Nadkarni et al.,
Montevirde, pegunungan 1480 555 1995 Costa Rica 4 Gunung Salak, Hutan sub 1050-1350 628 Penelitian ini
Bogor, Jabar pegunungan
(aliansi 1)
5 Gunung Salak, Hutan sub 1050-1350 459 Penelitian ini Bogor, Jabar pegunungan
(aliansi 2)
6 Gunung Salak, Hutan sub 1050-1350 545 Penelitian ini Bogor, Jabar pegunungan
(aliansi 3)
Jumlah individu pohon yang ditemukan pada penelitian ini jika
dibandingkan dengan yang ada di beberapa hutan hujan tropis basah sub
pegunungan lainnya dapat dilihat pada Tabel 26. Terlihat bahwa aliansi 1
memiliki jumlah individu pohon yang paling banyak, dan aliansi 2 yang terdapat
pada lokasi yang sama memiliki jumlah individu pohon paling sedikit. Dua hutan
hujan tropis basah sub pegunungan di Volcan Barva memperlihatkan perbedaan
jumlah individu pohon yang tidak terlalu besar. Secara keseluruhan terlihat bahwa
jumlah individu pohon pada hutan-hutan ini relatif sama, hanya pada hutan di
aliansi 2, yang relatif lebih sedikit dibanding hutan-hutan lainnya dengan jumlah
individu pohon/ha di bawah 500 pohon.
Melalui tabel yang sama, terlihat bahwa masing-masing hutan menempati
ketinggian yang berbeda, namun rentang kisaran ketinggian setiap hutan tersebut
berada kisaran 1000 – 1500 m dpl. Sebagaimana yang telah diketahui
sebelumnya, untuk daerah tropis, zone kehidupan yang ada pada kisaran
ketinggian ini, menurut van Steenis (1972) adalah zone hutan hujan tropis basah
sub pegunungan. Selanjutnya karaketeristik yang sama dari hutan-hutan tersebut
121
adalah lokasi terdapat pada daerah dengan iklim tropika basah. Data ini
menunjukkan bahwa pada kondisi iklim yang sama, walaupun terdapat pada
lokasi geografi yang berbeda akan menghasilkan struktur vegetasi yang dalam hal
ini adalah jumlah individu pohon yang relatif sama.
2. Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Seluruh Aliansi Zona Sub
Pegunungan, Gunung Salak
Distribusi kelas diameter (KD) pohon pada seluruh blok pengamatan di
aliansi 1 dapat dilihat pada Tabel 27. Pola distribusi kelas diameter pohon pada
seluruh blok pengamatan hampir sama, yakni ditemukan jumlah individu pohon
terbanyak pada kelas diameter kecil, dan semakin berkurang dengan
bertambahnya ukuran kelas diameter.
Hal yang menyolok dari distribusi kelas diameter pohon pada aliansi ini
adalah sedikitnya jumlah individu pada kelas diameter yang besar, yaitu kelas
diameter E (50cm≤KD<60cm); F (60cmcm≤KD<70); G (70cm≤KD<80); dan H
(KD>80). Ditemukan 23 blok pengamatan (63,89%) memiliki total jumlah pohon
pada kelas diameter E sampai H sebanyak 10 pohon atau kurang (kurang dari 25
pohon/ha).
Distribusi kelas diameter individu pohon pada blok-blok pengamatan di
aliansi 2 dapat dilihat pada Tabel 28. Nampak jelas dari distribusi kelas diameter
spesies-spesies di aliansi ini adalah banyaknya individu pohon yang ditemukan
pada kelas diameter tertinggi, yaitu kelas diameter H. Seluruh blok pengamatan
(100%) di aliansi 2 memiliki individu pohon dengan kelas diamater H. Kecuali
pada blok pengamatan 7, jumlah individu pohon pada kelas diameter E sampai H
lebih dari 10, bahkan pada kisaran kelas diameter ini (E – H), jumlah individu
paling banyak ditemukan pada kelas diameter H. Dari 17 blok pengamatan yang
ada di aliansi ini terdapat 14 blok pengamatan semuanya didominasi oleh spesies
bambu.
Tabel 27. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 1
No
DISTRIBUSI KELAS DIAMETER JUM- LAH Blok A B C D E F G H
1 3 145 39 27 7 4 3 2 1 228 2 4 86 77 22 14 5 4 10 4 2223 5 175 39 20 5 4 0 0 0 243 4 8 97 37 9 2 0 1 0 1 147
122
5 10 113 39 11 9 2 3 0 0 177 6 13 89 41 16 3 7 1 1 2 1607 14 96 27 14 5 3 1 5 2 153 8 15 111 42 20 5 2 1 2 1 1849 20 151 57 7 4 0 0 0 1 220
10 24 166 59 11 20 4 0 0 1 26111 25 181 54 28 8 2 1 1 0 275 12 30 172 58 13 6 2 1 1 0 25313 31 156 51 20 6 0 1 1 0 235 14 33 140 62 30 14 6 3 1 3 25915 35 192 44 23 4 1 0 0 0 264 16 37 137 45 18 17 3 8 0 18 246 17 38 147 43 11 18 8 3 3 1 23418 39 161 41 32 6 3 6 2 1 252 19 40 155 57 21 14 4 7 0 2 26020 42 166 63 25 14 5 7 0 0 280 21 43 187 60 25 17 4 6 10 1 31022 44 176 65 10 5 3 3 1 3 266 23 45 207 78 32 6 2 3 0 0 32824 46 130 46 13 23 4 3 1 1 221 25 49 169 80 30 21 5 3 2 6 31626 50 153 68 41 10 1 1 1 6 281 27 51 173 61 23 5 7 11 4 0 28428 52 166 64 32 19 3 1 0 3 288 29 53 155 92 43 17 4 2 0 2 31530 54 156 69 43 25 0 4 0 1 298 31 55 122 96 25 11 0 0 0 1 255 32 56 161 69 15 7 4 10 3 0 26933 57 151 64 33 11 4 1 0 2 266 34 58 141 90 41 8 1 2 0 0 28335 59 136 54 44 20 0 2 1 0 257 36 60 151 61 29 10 0 4 1 0 256
Totall 5370 2092 857 396 107 107 53 64 9046Rata-Rata 149 58,1 23,8 11 2,97 2,97 1,47 1,78 251,
28 Maksimum 207 96 44 25 8 11 10 18 328 Minimum 86 27 7 2 0 0 0 0 147
Keterangan: KD (Kelas Diameter): A: 10cm≤KD<20cm; B: 20cm≤KD<30cm; C:30cm≤KD<40 cm; D: 40cm≤KD<50cm; E: 50cm≤KD<60cm; F: 60cmcm≤KD<70cm; G:70cm≤KD<80cm; H:
KD>80cm. Jumlah individu = Jumlah individu pohon/Blok = Jumlah individu pohon/0,4 ha.
Blok pengamatan 6, 27, dan 34 di aliansi 2, tidak didominasi oleh bambu.
Namun demikian pada blok-blok ini, spesies-spesies yang memiliki kelas
diameter tertinggi adalah spesies bambu, yakni untuk blok 6, dari 19 individu
yang memiliki kelas diameter tertinggi seluruhnya disusun oleh rumpun bambu,
yaitu bambu andong, bambu bitung dan bambu tali. Untuk blok 27, dari 9
individu yang memiliki kelas diameter H seluruhnya adalah merupakan spesies
bambu, yaitu bambu bitung dan bambu tali.
Tabel 28. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 2
No BLOK KELAS DIAMETER JUM-
LAH A B C D E F G H 1 2 84 22 7 3 1 0 1 12 1302 6 34 63 43 5 3 4 0 19 1713 7 95 16 2 1 0 1 0 9 1244 16 10 6 8 29 27 2 1 44 1275 17 72 21 2 0 0 2 2 36 135
123
6 18 79 13 7 3 0 0 0 97 1997 19 112 31 9 5 2 2 1 46 2088 21 30 20 24 9 2 4 2 36 1279 22 133 28 4 5 1 1 0 33 205
10 23 114 30 7 1 7 1 0 16 17611 26 57 20 21 13 3 0 1 19 13412 27 128 24 6 1 1 2 0 9 17113 28 156 37 6 4 2 5 0 11 22114 29 106 46 9 3 2 1 4 19 19015 32 130 45 17 6 2 3 1 7 21116 34 250 52 16 4 4 6 2 9 34317 36 192 29 13 3 1 2 2 10 252
TOTAL: 1782 503 201 95 58 36 17 432 3124RATA-RATA: 104,8 29,6 11,8 5,59 3,41 2,12 1 25,41 183,76MAKSIMUM: 250 63 43 29 27 6 4 97 343MINIMUM: 10 6 2 0 0 0 0 7 124
Keterangan: KD (Kelas Diameter): A: 10cm≤KD<20cm; B: 20cm≤KD<30cm; C:30cm≤KD<40 cm; D: 40cm≤KD<50cm; E: 50cm≤KD<60cm; F: 60cmcm≤KD<70cm; G:70cm≤KD<80cm; H:
KD>80cm. Jumlah individu = Jumlah individu pohon/Blok = Jumlah individu pohon/0,4 ha.
Distribusi kelas diameter individu pohon pada blok-blok pengamatan di
aliansi 3 dapat dilihat pada Tabel 29. Nampak pada seluruh blok pengamatan
terjadi penurunan jumlah individu pohon dari kelas diameter kecil ke kelas
diameter besar. Juga nampak pada seluruh blok pengamatan, jumlah individu
pohon pada kelas diameter E sampai H kurang atau sama dengan 10.
Pada aliansi ini, terdapat 2 blok pengamatan tanpa individu pohon pada
kelas diameter G dan H, yaitu blok pengamatan 11 dan 47. Diduga blok
pengamatan 11 merupakan blok yang banyak mendapat gangguan. Hal ini dapat
dilihat dari persentase penutupan tajuk pohon di blok ini yang hanya sebesar
50,50%. Nilai ini merupakan yang terendah di aliansi 3 dan juga di seluruh blok
pengamatan. Indikasi lainnya adalah tingginya persentase penutupan tajuk herba
di blok ini, yaitu 60,75% dan terbesar di aliansi 3, serta menduduki urutan kedua
terbesar di seluruh blok pengamatan (Tabel 18). Pada blok pengamatan 47, pakis
benyir merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi namun hanya memiliki
individu pohon pada kelas diameter A (10cm≤KD<20cm).
124
ALIANSI 1
2092
53 64107107396
857
5370
0
550
1100
1650
2200
2750
3300
3850
4400
4950
5500
A B C D E F G HKELAS DIAMETER (cm)
JUMLAH INDIVIDU/ 36 BLOK
ALIANSI 3984
324
62101885
98
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
A B C D E F G H
KELAS DIAMETER (cm)
JUMLAH INDIVIDU/7 BLOK
(a) (b)
Keterangan: (a) Aliansi 1 (b) Aliansi. 3. Keterangan: KD (Kelas Diameter): A: 10cm ≤ KD < 20cm; B: 20cm ≤KD < 30cm; C: 30cm ≤ KD < 40 cm; D: 40cm ≤ KD < 50cm; E: 50cm ≤ KD <
60cm; F: 60cm ≤ KD < 70; G: 70cm ≤KD < 80cm; H: KD > 80cm. Gambar 38. Distribusi kelas diamater seluruh individu pohon
a b
Keterangan: (a) aliansi 1 dan (b) aliansi 3. Gambar 39. Hubungan eksponensial antara kelas diameter dengan
jumlah individu pohon
Pada Gambar 38 dapat dilihat grafik distribusi kelas diameter pada aliansi
1 dan 3. Nampak pada aliansi 1 yang merupakan hutan campuran dan aliansi 3,
yang merupakan hutan yang didominasi oleh hutan tanaman membentuk kurva
struktur tegakan J terbalik, dan terjadi penurunan jumlah individu pohon secara
eksponensial dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar.
Hal ini sesuai dengan persamaan regresi antara kelas diameter dan jumlah
individu pohon di kedua aliansi ini (Gambar 39a dan b). Persamaan regresi yang
125
terbentuk di aliansi 1 adalah Y = 6,87. exp(-0,006X); R2 = 84,74%; P < 0,01, dan
di aliansi 3 adalah Y = 6,84 exp.(-0,006X); R2 = 85,37%; P < 0,01. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar kelas diameter pada suatu aliansi maka
jumlah individu pohon akan semakin berkurang. Sebaliknya, pada aliansi 2 hal ini
tidak ditemukan. Menurut Barbour et al., (1987), struktur tegakan yang
membentuk kurva J terbalik menunjukkan bahwa komunitas tumbuhan tersebut
mampu tumbuh secara berkelanjutan.
Richard (1964) mengatakan bahwa kepadatan pohon di dalam hutan hujan
tropis basah umumnya tidak teratur, biasanya kepadatan pohon akan tinggi pada
kelas diameter yang kecil untuk kemudian menurun pada kelas diameter yang
semakin besar. Struktur tegakan J terbalik menunjukkan bahwa individu pohon
yang tumbuh pada masa awal pertumbuhan cukup. Seiring dengan perubahan
waktu, individu-individu tersebut mengalami pertumbuhan dan untuk itu
diperlukan sumber daya yang lebih banyak. Hal ini pada gilirannya meningkatkan
kompetisi di antara individu-individu pohon tersebut, baik di antara spesies yang
sama maupun di antara spesies yang berbeda untuk memperoleh sumber daya.
Persaingan melalui proses ini akan terus berlanjut, sehingga pohon yang kalah
akan mati atau tetap dalam keadaan kecil, sebaliknya yang menang akan tumbuh
menjadi lebih besar.
Tabel 29. Distribusi kelas diameter pohon di aliansi 3
NO BLOK KELAS DIAMETER POHON (cm) JUM-
LAH A B C D E F G H 1 1 166 48 4 1 2 1 1 2 2252 9 111 65 14 10 2 2 0 2 206 3 11 50 35 21 37 7 3 0 0 153 4 12 138 27 11 5 3 1 0 1 186 5 41 153 50 10 9 4 0 1 0 227 6 47 204 44 16 10 0 2 0 0 276 7 48 162 55 22 13 0 1 0 1 254 JUMLAH: 984 324 98 85 18 10 2 6 1527
RATA-RATA: 140,57 46,29 14,00 12,14 2,57 1,43 0,29 0,86 218,14 MAKSIMUM: 204 65 22 37 7 3 1 2 276 MINIMUM: 50 27 4 1 0 0 0 0 153
Keterangan: KD (Kelas Diameter): A: 10cm≤KD<20cm; B: 20cm≤KD<30cm; C:30cm≤KD<40 cm; D:40cm≤KD<50cm; E: 50cm≤KD<60cm; F: 60cmcm≤KD<70cm; G:70cm≤KD<80cm; H:
KD>80cm. Jumlah individu = Jumlah individu pohon/Blok = Jumlah individu pohon/0,4 ha Melalui Tabel 28, terlihat bahwa pada aliansi 2, jumlah individu meningkat
pada kelas diameter terbesar, yaitu kelas diameter H. Hal ini disebabkan blok-
blok pengamatan di aliansi ini dikuasai oleh bambu. Tumbuhan bambu dihitung
126
berdasarkan rumpun dan kelas diameter bambu diukur berdasarkan ukuran
keliling dari rumpun bambu tersebut, yang umumnya menghasilkan ukuran kelas
diameter yang sangat besar. Ukuran yang besar dari rumpun bambu yang
ditemukan dalam penelitian ini, disebabkan dalam satu rumpun bambu dapat
ditemukan puluhan individu dengan diameter rata-rata 10 cm.
Pada Tabel 30 terlihat bahwa hutan-hutan alam di aliansi 1 berbeda nyata
dengan hutan bambu di aliansi 2 dalam hal jumlah individu yang terdapat pada
kelas diameter kecil, yaitu pada kelas diameter A, B (20cm≤KD<30cm), C
(30cm≤KD<40cm), dan D (40cm≤ KD<50cm). Perbedaan juga nampak di antara
kedua aliansi ini pada kelas diameter paling besar, yaitu kelas diameter H. Antara
aliansi 2 dan 3 juga terdapat perbedaan pada kelas diameter kecil, yaitu pada kelas
diameter B dan D, dan di antara kedua aliansi ini juga terdapat perbedaan pada
kelas diameter yang paling besar, yaitu pada kelas diameter H. Untuk aliansi 1
dan 3 perbedaan hanya ditemukan pada kelas diameter kecil, yaitu kelas diameter
C.
Kondisi yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa jumlah individu
pohon pada kelas diameter kecil di hutan-hutan yang didominasi oleh spesies
bambu lebih sedikit dibanding dengan yang ada di hutan-hutan tanaman di aliansi
3 dan hutan alam di aliansi 1. Namun demikian jumlah individu pohon pada kelas
diameter terbesar di aliansi 2 selalu lebih banyak dibanding dengan yang ada di
aliansi 1 dan 3.
Salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah
individu pohon pada kelas diameter besar di aliansi 1 dan 3 selain kompetisi,
adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Pendry & Proctor (1996) dalam
penelitian mereka di Bukit Belalong (913 m dpl) yang merupakan sebuah gunung
kecil di Brunei menemukan bahwa struktur tegakan hutan hujan tropis basah
dataran rendah dengan ukuran pohon yang besar ditemukan sampai pada
ketinggian 750 m dpl, dan di atas ketinggian tersebut terjadi perubahan yakni
ukuran pohon semakin mengecil. Menurut mereka, hal tersebut menunjukkan
kehadiran hutan hujan tropis basah sub pegunungan.
Tabel 30. Perbedaan jumlah individu pohon pada berbagai kelas diameter di seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
127
Uji Statistik ALIANSI 1 DAN 2
KELAS DIAMETER A B C D
Mann-Whitney U 131** 64** 102,5** 118** Z -3,336** -4,613** -3,881** -3,594** Uji Statistik ALIANSI 1 DAN 2
KELAS DIAMETER E F G H
Mann-Whitney U 236,5 266 305,5 8** Z -1,341 -0,774 -0,01 -5,751** Uji Statistik ALIANSI 1 DAN 3
KELAS DIAMETER A B C D
Mann-Whitney U 116,5 76,5 58* 120 Z -0,313 -1,629 -2,24* -0,198 Uji Statistik ALIANSI 1 DAN 3
KELAS DIAMETER E F G H
Mann-Whitney U 108 87,5 82 109,5 Z -0,601 -1,293 -1,56 -0,567 Uji Statistik ALIANSI 2 DAN 3
KELAS DIAMETER A B C D
Mann-Whitney U 33 23* 40,5 28* Z -1,683 -2,319* -1,209 -2,016* Uji Statistik KELAS DIAMETER ALIANSI 2 DAN 3 E F G H Mann-Whitney U 54 48 36,5 0,000** Z -0,357 -0,751 -1,587 -3,791**
Keterangan: ** : Sangat signifikan pada P < 0,01; * : signifikan pada P < 0,05. KD (Kelas Diameter): A: 10cm ≤ KD < 20cm; B: 20cm ≤ KD <30cm; C: 30cm ≤ KD < 40 cm; D: 40cm ≤ KD
< 50cm; E: 50cm ≤ KD < 60cm; F: 60cm ≤KD < 70cm; G:70cm ≤ KD <80cm; H: KD > 80cm. *: berbeda nyata; P>0,05.
Whitmore (1986) mengatakan bahwa, sedikitnya individu pohon yang
memiliki kelas diameter besar merupakan ciri hutan hujan tropis basah sub
pegunungan. Whitten et al., (1988) mengatakan bahwa pada hutan tropis basah
dataran rendah, walaupun struktur tegakan memperlihatkan kurva J terbalik,
namun tetap ditemukan individu pohon yang relatif lebih banyak pada kelas
diameter yang besar dibanding yang terdapat pada hutan hujan tropis basah sub
pegunungan.
Pendry & Proctor (1996) menjelaskan bahwa perubahan struktur hutan ini
disebabkan oleh perubahan ketinggian tempat yang pada gilirannya menyebabkan
menurunnya suhu udara. Soedomo (1984) mengatakan bahwa, pengaruh
ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung. Artinya
perbedaan ketinggian tempat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh
pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan
lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
128
Jumlah individu pohon pada kelas diameter kecil di aliansi 1 dan 3 yang
berbeda dengan jumlah individu pohon pada kelas diameter yang sama di aliansi 2
menunjukkan bahwa pada aliansi hutan bambu, banyak individu tumbuhan selain
bambu yang dapat tumbuh di tempat tersebut, tidak dapat berkembang maksimal
oleh karena adanya tekanan dari tumbuhan bambu.
Pratiwi (2006) yang melakukan penelitian di Gunung Gede Pangrango
menemukan bahwa jumlah maupun macam spesies selain bambu pada tegakan
yang didominasi oleh bambu terbilang rendah sehingga dapat dikatakan
keberadaan rumpun bambu memiliki tingkat asosiasi yang rendah dengan spesies
tumbuhan lain.
Kehadiran tumbuhan bambu membentuk rumpun-rumpun yang besar di
aliansi 2 menunjukkan bahwa tumbuhan ini tahan terhadap kondisi lingkungan di
daerah ketinggian. Widjaja (1994) mengatakan bahwa, bambu adalah tumbuhan
dengan tingkat adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Hal ini
terlihat dari penyebaran bambu baik secara alami maupun yang sengaja ditanam
yang dapat ditemui di daerah datar, lembah, perbukitan, dan pegunungan berbukit.
Sutiyono et al., (1992) mengatakan bahwa, bambu dapat tumbuh dengan baik
pada berbagai kondisi tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering,
tanah becek, tanah subur, dan tanah tidak subur.
3. Pola Distribusi Spesies Pohon pada Seluruh Aliansi Zona Sub
Pegunungan Gunung Salak
Pola distribusi spesies pohon dominan (nilai INP urutan 1 sampai 3) di
seluruh aliansi dapat dilihat pada Tabel 31. Nampak bahwa seluruh spesies
tersebut memiliki nilai ip lebih besar dari 0 yang menunjukkan bahwa spesies-
spesies tersebut memiliki pola distribusi mengelompok. Di aliansi 1 terlihat
bahwa bambu buluh memiliki nilai ip tertinggi diikuti cangkuang.
Seluruh spesies pohon dominan di aliansi 2 memiliki pola distribusi
mengelompok. Pada aliansi 2 nilai ip spesies-spesies bambu, yaitu bambu bitung
dan bambu buluh lebih tinggi dibanding spesies dengan bentuk tumbuh pohon,
dan hanya cangkuang yang memiliki nilai ip yang relatif sama dengan spesies
bambu. Di aliansi 3, beunying cai (Ficus fistulosa) memiliki nilai ip tertinggi.
129
Walaupun spesies pohon dominan memiliki pola distribusi mengelompok,
namun jika nilai ip dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu sangat rendah (0,0 – 0,3),
rendah (0,3 – 0,5), sedang (0,5 – 0,7), tinggi (0,7 – 0,9), dan sangat tinggi (> 0,9)
dan spesies-spesies pohon dominan dikelompokkan berdasarkan kategori tersebut,
akan terlihat bahwa sebagian besar spesies tersebut memiliki kategori pola
pengelompok sedang.
Ki pare (Glochidion hypoleucum), anggrip (Tarenna laxiflora), dan pasang
batarua (Quercus gemelliflora) memiliki kategori pola pengelompokan rendah,
namun pasang batarua juga memiliki pola pengelompokan sedang. Ramogiling
memiliki pola pengelompokan sangat rendah bahkan nilai ip spesies ini mendekati
pola pengelompokan acak. Beunying cai dan bambu buluh memiliki pola
pengelompok tinggi, namun bambu buluh juga memiliki pola pengelompokan
sangat tinggi (Tabel 31). Keterangan ini menunjukkan bahwa peluang untuk
menemukan individu spesies yang sama yang memiliki kategori pengelompokan
sangat tinggi pada suatu lokasi di Gunung Salak adalah paling besar, dan semakin
menurun dengan semakin rendahnya kategori nilai ip suatu spesies.
Tingginya nilai ip spesies-spesies bambu menunjukkan bahwa tingkat
pengelompokan spesies ini sangat tinggi. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan
rumpun dengan anakan yang tumbuh rapat satu sama lain dekat
induknya.
Selanjutnya bambu selalu ditemukan dalam jumlah yang banyak pada plot
pengamatan sehingga meningkatkan peluang untuk memperoleh nilai ip yang
tinggi.
Hasil penelitian Djufri (1993) di padang rumput Taman Nasional Baluran,
Jawa Timur memperlihatkan bahwa tumbuhan rumpun memiliki kecendrungan
yang sangat tinggi untuk mengelompok. Hal ini disebabkan oleh
perkembangbiakan dari bentuk tumbuh herba ini dengan rimpang atau stolon
yang menghasilkan anakan vegetatif yang tumbuh dekat dengan induk. Pada
penelitian tersebut, tumbuhan rumpun yang ditemukan memiliki bentuk tumbuh
yang murni herba. Cangkuang merupakan tumbuhan dengan individu yang
tumbuh rapat satu sama lainnya, yang menyebabkan jika individu spesies ini
130
ditemukan pada suatu plot pengamatan maka akan ditemukan individu spesies ini
dalam jumlah yang banyak.
Penelitian Kusmana (1989) di Gunung Gede Pangrango juga menemukan
bahwa pola distribusi pohon adalah pola mengelompok. Dijelaskan bahwa pola
pengelompokan terjadi terutama karena topografi tapak yang cukup berat dan
keadaan lapang yang berbatu dengan lapisan tanah atas yang tipis. Kondisi
topografi pada lokasi penelitian tersebut sangat mirip dengan yang ditemukan
pada penelitian ini, sehingga diduga bahwa salah satu faktor yang berpengaruh
pada pola distribusi mengelompok spesies pohon di zona sub pegunungan,
Gunung Salak adalah topografi.
Pada sisi lain Parthasaranthy (1999), melaporkan bahwa pola distribusi
mengelompok tumbuhan dominan di hutan hujan tropis basah bagian barat daya
Ghat, India sangat erat terkait dengan buah yang dihasilkan oleh pohon-pohon
tersebut. Sebagian besar pepohonan dominan di hutan tersebut menghasilkan buah
kecil dengan daging tebal dan kebanyakan mengelompok, serta terutama
disebarkan oleh hewan (burung maupun mamalia).
Lebih jauh Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa sebagian besar spesies
tumbuhan memiliki pola distribusi mengelompok. Hal ini terkait dengan
kehadiran biji dan permudaan vegetatif yang cenderung untuk berkonsentrasi
dekat tumbuhan induk, juga lingkungan mikro dekat tumbuhan induk lebih sesuai
dengan kebutuhan dari anakan spesies yang bersangkutan. Selanjutnya Barbour et
al., (1987); Ewusie (1990); dan Kershaw (1973) mengatakan bahwa penyebaran
individu suatu spesies secara mengelompok merupakan pola yang paling umum
terjadi di alam.
131
Tabel 31. Pola pengelompokan spesies pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
No Spesies Nama Daerah
Aliansi 1 Aliansi 2 Aliansi 3
ip*
Kategori Pengelom-
pokan ip*
Kategori Pengelom-
pokan ip*
Kategori Pengelom-
pokan 1 Tarenna laxiflora Anggrip 0,40692 Rendah
2 Gigantoclhoa pseudoarundinacea Bambu Andong 0,54907 Sedang
3 Dendrocalamus asper Bambu Bitung 0,58422 Sedang
4 Schizostachyum brachycladum Bambu buluh 1
Sangat Tinggi 0,88451 Tinggi
5 Schizostachyum iraten Bambu Tamiyang 0,51709 Sedang 6 Gigantoclhoa apus Bambu Tali 0,5202 Sedang 7 Ficus deltoidea Beunying cai 0,73711 Tinggi 8 Mallotus blumeanus Calik angin 0,5018 Sedang 0,50659 Sedang 0,51534 Sedang 9 Pandanus punctatus Cangkuang 0,50418 Sedang 0,56151 Sedang
10 Schefflera aromatica Gompong 0,50044 Sedang 0,50117 Sedang 11 Nocaphoebe umbelhflora Huru leer 0,50067 Sedang 12 Symplocos fasciculata Jirak 0,50041 Sedang 0,50184 Sedang 0,50477 Sedang 13 Prunus arboreum Kawoyang 0,50204 Sedang 14 Glochidion hypoleucum Ki pare 0,32565 Rendah 15 Euodea latifolia Ki sampang 0,50019 Sedang 16 Eugenia oclusa Ki sirem 0,50055 Sedang 17 Maesopsis eminii Manii 0,50232 Sedang 0,50852 Sedang 0,64923 Sedang 18 Athyrium dilatatum Pakis benyir 0,52366 Sedang 19 Cyathea contaminans Pakis sier 0,50146 Sedang 0,50322 Sedang 0,50175 Sedang 20 Dysoxylum arborescens Panggang puyuh 0,50008 Sedang 0,50259 Sedang 0,51032 Sedang 21 Pinus merkusii Pinus 0,5104 Sedang 0,51877 Sedang 22 Quercus gemelliflora Pasang batarua 0,49994 Rendah 0,51917 Sedang
23 Castanopsis acuminatissima Pasang putih 0,50028 Sedang
24 Hoersfieldia glabra Piskulit 0,5002 Sedang 0,50252 Sedang 0,50503 Sedang 25 Schima wallichii Puspa 0,50031 Sedang 0,50841 Sedang 0,50818 Sedang
26 Schefflera longifolia Ramogiling 0,2093 Sangat Rendah
27 Altingia exelsa Rasamala 0,50016 Sedang 28 Ficus grossularioides Sehang 0,52341 29 Cinchona officinalis Sulibra 0,51479 Sedang
Keterangan: *: ip: Stardardized Morishita index of dispersion
132
4. Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Indeks Kekayaan Spesies pada Seluruh Aliansi Zona Sub Pegunungan Gunung Salak.
Perhitungan H’ (indeks keanekaragaman spesies Shanon Wienner) di
aliansi 1, menghasilkan nilai yang berkisar antara 2,666 – 3,391. Nilai H’ terkecil
ditemukan pada blok pengamatan 4, dan terbesar pada blok pengamatan 24. Nilai
H’ di aliansi 2 berkisar antara 1,163 – 3,233 dengan nilai H’ terkecil ditemukan
pada blok pengamatan 16, dan terbesar pada blok pengamatan 34. Nilai H’ di
aliansi 3 berkisar antara 1,683 – 3,498. Nilai H’ terkecil di temukan pada blok
pengamatan 11 dan terbesar ditemukan pada blok pengamatan 47 (Gambar 40).
Melalui Tabel 33 dapat dilihat hasil uji statistik perbedaan nilai H’ di antara
ketiga aliansi. Secara statistik hanya nilai H’ antara aliansi 1 dan 2 yang berbeda
nyata, sedangkan antara aliansi lainnya tidak. Namun jika dilihat pada Tabel 32,
nampak bahwa rata-rata nilai H’ pada aliansi 1 merupakan yang tertinggi disusul
oleh aliansi 3, dan terakhir oleh aliansi 2. Hal ini menunjukkan bahwa hutan alam
campuran yang ditemukan di aliansi 1 memiliki nilai H’ yang paling tinggi, dan
yang terendah ditemukan pada hutan bambu di aliansi 2.
Tingginya keanekaragaman spesies di aliansi 1 dibanding aliansi lainnya
juga nampak pada banyaknya blok pengamatan dengan nilai H’ di atas 3. Pada
aliansi ini terdapat 72,22% blok pengamatan dengan nilai H’ di atas 3, dan tidak
ditemukan sama sekali blok pengamatan dengan nilai H’ di bawah 2. Pada aliansi
2, terdapat 17,65% blok pengamatan dengan nilai H’ di bawah 2, 70,59% dengan
nilai H’ di antara dan 2 dan 3, dan 11,76% dengan nilai H’ di atas 3. Pada aliansi
3 ditemukan 14,29% blok pengamatan dengan nilai H’ di bawah 2, 42,86%
dengan nilai H’ antara 2 dan 3, dan 42,86% dengan nilai H’ lebih besar 3 (Tabel
32).
Nilai e (indeks kemerataan spesies) pada aliansi 1 berkisar antara 1,136-
1,403. Blok pengamatan 24 memiliki nilai e tertinggi, sedangkan terendah pada
blok pengamatan 4. Blok pengamatan 47 memiliki nilai e tertinggi pada aliansi 2,
sedangkan blok pengamatan 11 memiliki nilai e terendah. Kisaran nilai e di
aliansi ini adalah 0,551-1,331. Pada aliansi 3 nilai e yang ditemukan berkisar
antara 0,770-1,434. Blok pengamatan 11 memiliki nilai e terendah dan blok
pengamatan 47 memiliki nilai e tertinggi (Gambar 41).
133
Keterangan: H’ : Indeks Keanekaragaman Shanon Wienner Gambar 40. Nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Tabel 32. Deskripsi statistik nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Rata-Rata Min Max Range
Std. Error CV (%) N
1 3,105 2,670 3,390 0,730 0,031 5,986 36 2 2,457 1,163 3,233 2,070 0,128 21,405 17 3 2,778 1,683 3,498 1,815 0,235 22,379 7
Tabel 33. Perbedaan nilai H’ antara tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Test Statistics 1-2 1-3 2-3 Mann-Whitney U 52** 85 37 Z -4,84** -1,349
Nilai e (indeks kemerataan spesies) pada aliansi 1 berkisar antara 1,136-
1,403. Blok pengamatan 24 memiliki nilai e tertinggi, sedangkan terendah pada
blok pengamatan 4. Blok pengamatan 47 memiliki nilai e tertinggi pada aliansi 2,
sedangkan blok pengamatan 11 memiliki nilai e terendah. Kisaran nilai e di
Aliansi 1
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
4 13 3 5 55 14 10 60 37 8 38 20 15 39 43 58 46 54 59 33 42 35 50 31 45 53 51 56 49 44 25 30 40 57 52 24
H'
Aliansi 2
0,0
2,0
4,0
16 6 21 17 26 18 7 22 27 28 19 2 36 23 32 29 34
H'
Aliansi 3
0,01,02,03,04,0
11 1 9 41 12 48 47
BLOK PENGAMATAN
H'
134
aliansi ini adalah 0,551-1,331. Pada aliansi 3 nilai e yang ditemukan berkisar
antara 0,770-1,434. Blok pengamatan 11 memiliki nilai e terendah dan blok
pengamatan 47 memiliki nilai e tertinggi (Gambar 41).
Hasil uji perbedaan nilai e di antara ketiga aliansi menunjukkan bahwa
hanya antara aliansi 1 dan 2 yang berbeda nyata, sedangkan antara aliansi lainnya
tidak (Tabel 36). Pada sisi lain jika dilihat pada Tabel 35 nampak ada
kecendrungan nilai rata-rata e yang bergerak naik dari aliansi 2 ke aliansi 3, dan
terakhir pada aliansi 1. Hal ini menunjukkan bahwa aliansi 1 memiliki kemerataan
spesies yang paling tinggi, disusul oleh aliansi 3, dan terakhir aliansi 2.
Tabel 34. Kisaran nilai H’ pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
ALIANSI
JUMLAH BLOK KISARAN NILAI H' <2 2-3 >3
1 0 10 26 2 3 12 2 3 1 3 3
Kisaran nilai R (indeks kemerataan spesies) di aliansi 1 adalah 1,691-2,662.
Blok pengamatan 55 memiliki nilai R terendah, dan tertinggi pada blok
pengamatan 24. Pada aliansi 2 ditemukan bahwa blok pengamatan 16 memiliki
nilai R terendah, sedangkan pada blok pengamatan 29 memiliki nilai R tertinggi.
Pada aliansi ini kisaran nilai R adalah 0,621-2,829. Pada aliansi 3 nilai R terendah
ditemukan pada blok pengamatan 11 sedangkan tertinggi pada blok pengamatan
47. Kisaran nilai R pada aliansi 3 adalah 1,051-2,588 (Gambar 42).
Perbedaan nilai R yang nyata hanya ditemukan antara aliansi 1 dengan 2,
sedangkan antara aliansi lainnya tidak (Tabel 38). Selanjutnya jika dilihat pada
Tabel 37 nampak ada kecendrungan nilai rata-rata R bergerak naik dari aliansi 3
ke aliansi 2 dan terakhir pada aliansi 1. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-
rata aliansi 1 memiliki nilai kekayaan species yang lebih tinggi, disusul oleh
aliansi 2, dan terakhir aliansi 3.
Keanekaragaman spesies yang relatif lebih tinggi di aliansi 1 dibanding
aliansi-aliansi lainnya diduga disebabkan oleh kemerataan dan kekayaan spesies
di aliansi ini relatif lebih tinggi. Menurut Barnes et al., (1998) komponen dari
keanekaragaman spesies terdiri atas kemerataan spesies dan kekayaan spesies.
135
Keterangan: e : Indek Kemerataan Spesies Gambar 41. Nilai e pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Tabel 35. Deskripsi statistik nilai e pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Mean Minimum Maximum Range
Std. Error CV (%) N
1 1.301694 1.136 1.403 0.267 0.011 4.998 362 1.067529 0.551 1.331 0.78 0.049 18.821 173 1.186143 0.77 1.434 0.664 0.090 20.162 7
Tabel 36. Perbedaan nilai e antara seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi Aliansi Test Statistics(a) 1-2 1-3 2-3 Mann-Whitney U 51** 97 36.5 Z -4.859** -0.95425
Keterangan: ** : Signifikan pada P < 0,05.
Aliansi 3
0,000
0,500
1,000
1,500
2,000
11 1 9 41 12 48 47
BLOK PENGAMATAN
e
Aliansi 2
0,0000,2000,4000,6000,8001,0001,2001,400
16 6 21 2 17 18 26 22 28 27 7 36 19 32 23 34 29
eAliansi 1
0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
1,200
1,400
1,600
4 3 5 55 60 13 37 43 54 38 58 39 53 10 42 50 49 20 59 33 51 35 46 56 44 31 15 45 25 52 40 30 8 57 14 24
e
Aliansi 1
0,500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
R
136
Keterangan: R : Indeks Kekayaan Spesies Gambar 42. Nilai R pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Faktor lain yang mendukung lebih tingginya keanekaragaman spesies di
aliansi 1 karena di aliansi ini banyak jenis unsur hara tanah makro yang secara
rata-rata lebih tinggi. Dari 6 unsur hara makro yang dikaji, terdapat 4 unsur hara
yang secara rata-rata lebih tinggi di aliansi 1 dibanding aliansi lainnya (Tabel 8).
Unsur-unsur tersebut adalah N total tanah, K, Ca, dan Mg, bahkan secara statistik
kandungan unsur N total tanah di aliansi ini berbeda nyata dengan kedua aliansi
lainnya (Tabel 9). Kondisi ini akan membuat ekosistem di aliansi 1 mampu
mendukung lebih banyak individu spesies maupun jumlah spesies untuk tumbuh
di aliansi ini. Kandungan unsur Al yang ada di aliansi 1 secara rata-rata lebih
rendah dibanding aliansi lainnya. Hal ini akan mengakibatkan peluang keracunan
unsur Al akibat tingginya kemasaman tanah di aliansi 1 menjadi lebih kecil.
137
Adanya spesies jarang dalam jumlah yang relatif banyak di duga juga
merupakan salah satu faktor yang mendukung tingginya keanekaragaman spesies
di aliansi 1 (Tabel 20). Whitten et al., (1988) mengatakan bahwa suatu ekosistem
yang memiliki spesies jarang yang melimpah akan memiliki ruang yang lebih luas
untuk ditempati oleh banyak spesies, dan pada gilirannya akan meningkatkan
keanekaragaman spesies.
Tabel 37. Deskripsi statistik nilai R pada seluruh tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Mean Minimum Maximum Range
Std. Error CV (%) N
1 2.197 1.691 2.662 0.971 0.041 11,260 362 1.901 0.621 2.829 2.208 0.142 30,756 173 1.87 1.051 2.588 1.537 0.198 28,150 7
Tabel 38. Perbedaan nilai R antara tipe vegetasi tingkat aliansi
Aliansi Test Statistics(a) 1-2 1-3 2-3
Mann-Whitney U 200.5 * 74.5
55.5
Z -2.010 *
-1.694
Keterangan: ** : Signifikan pada P < 0,05.
Keanekaragaman spesies yang lebih rendah di aliansi 2 diduga disebabkan
oleh tekanan tumbuhan bambu yang sangat kuat terhadap spesies lain sehingga
mengakibatkan spesies bersangkutan sulit untuk tumbuh. Menurut (Heyne, 1987)
bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat dan
membentuk rumpun yang besar dan tinggi. Pada umumnya tumbuhan lain sulit
tumbuh pada daerah yang didominasi oleh bambu.
E. Preferensi Ekologi Spesies di Setiap Aliansi Vegetasi Gunung Salak.
Komunitas tumbuhan yang diperlihatkan melalui struktur dan komposisinya
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan habitatnya. Istilah habitat secara
ekologi merujuk pada seluruh faktor fisik dan kimia yang menyusun komunitas
tumbuhan. Oleh karena itu, Miyamoto et al., (2003) mengatakan bahwa usaha
untuk menyingkap asosiasi antara distribusi spesies dengan berbagai variasi faktor
tanah (edafik) dan topografi adalah salah satu kunci yang paling penting dalam
memahami karakteristik hutan hujan tropis basah.
138
Tabel 39. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 1
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
1
Tarenna laxiflora Angrip Tekstur 73,198** 3 SC a) 81,425** 2
2 Mallotus blumeanus N 289,130** 3 AL b) 87,080** 3
Calik Angin Ca 161,906* 1 Curam 138,320** 2 Ca 135,117* 2 SC a) 76,379** 1 Ca 37,000** 3 Tmin c) 223,784** 3 pH 225,209** 1 Tmax d) 16,194* 2 pH 139,590* 2 193,685** 3 C organik 361,399** 5 Mg 238,316* 2 Mg 87,080** 4 P 112,156** 3 P 53,314* 5 Na 266,885** 2 Na 87,08** 3 Tekstur 157,970* 2 Tekstur 90,231** 4 Kadar Air 42,272* 1 Kadar Air 191,978** 2 Kadar Air 31,858* 4 KTK 151,818** 3 KTK 209,834** 4
3 Pandanus punctatus N 779,701** 3 AL b) 182,896** 1
Cangkuang N 169,232** 4 AL b) 54,489** 2 Ca 362,644** 1 AL b) 269,587** 3 pH 394,606** 1 AL b) 253,152** 4 pH 542,193** 2 Curam 277,088** 1 Kadar Air 33,534* 1 Curam 288,668** 2 Kadar Air 428,439** 2 Curam 149,110** 3 Kadar Air 197,904** 3 SC a) 144,609** 1 Kadar Air 40,170** 4 SC a) 100,458** 2 Ca 249,232** 2 Tmin c) 631,485** 3 Ca 138,219** 3 Tmin c) 173,783** 4 Mg 532,197** 2 Tmin c) 72,829** 5 Mg 269,587** 4 Tmax d) 645,883** 3 Na 588,906** 2 Tmax d) 202,702** 4 Na 269,587** 3 Tmax d) 41,340** 5 P 131,375** 1 P 139,042** 2 P 237,532** 3 P 111,625** 4 P 114,919** 5 Tekstur 443,972** 2 Tekstur 225,567** 3 Tekstur 162,075** 4 KTK 502,433** 3 KTK 401,562** 4
Lanjutan Tabel 39. No
Spesies/Nama Daerah
FaktorTanah
Chi-Square
Kate-gori e)
Topografi
Chi- Square
Kate-gori e)
C organik 934,012** 5
139
4 Schefflera aromatica N 315,324** 3 AL b) 90,080* 1
Gompong Ca 182,821** 1 Curam 169,109** 1 pH 192,612** 2 Tmin c) 263,485** 3 Mg 258,945** 2 Tmax d) 255,505** 3 P 78,405* 2 P 77,350* 4 Tekstur 221,710** 2 KTK 198,784** 3 C organik 368,736** 5 Kadar air 198,843* 2 Kadar air 28,533* 4
5 Nothaphoebe umbelhflora N 76,385* 4 AL b) 123,147* 4
Huru leer Ca 154,556* 1 Curam 174,461** 2 pH 178,624** 2 Tmin c) 237,952** 3 Mg 251,603** 2 Tmax d) 225,609** 3 P 114,726** 3 Na 257,076** 2 Kadar air 187,715* 2 Tekstur 172,980* 2 Tekstur 90,601* 4 KTK 201,555** 4 C organik 355,292* 5
6 Prunus arboreum AL b) 71,166** 1 Kawoyan Curam 126,869** 1 SC a) 67,733* 1
7 Glochidion hypoleucum P 62,327* 5
Ki Pare KTK 199,382* 4
8 Euodea latifolia pH 208,846* 1 Tmin c) 222,034* 3
Ki Sampang Tekstur 188,055** 2 Tmax d) 207,400* 3 C organik 348,241* 5 Kadar air 202,606* 2
9 Eugenia oclusa Tekstur 165,165* 2 AL b) 40,404* 2 Ki Sirem Tmax d) 212,345* 3
10 Maesopsis eminii N 171,737** 3 AL b) 86,162* 4
Manii Ca 136,938** 1 Curam 65,650* 2 Ca 100,625** 2 SC a) 23,889* 1 pH 119,378* 1 Tmin c) 204,537** 3 pH 103,652** 2 Tmax d) 155,414** 3 Mg 224,681** 2 P 55,767* 1 P 26,000* 2 Tekstur 101,892** 2 Tekstur 29,541* 3 KTK 77,338* 3 KTK 135,957** 4 Kadar air 112,772* 2 C organik 233,962** 5
11 Cyathea contaminans N 447,077** 3 AL b) 176,541** 3
Pakis Sier N 90,260** 4 AL b) 217,765** 4 Ca 167,573** 1 Curam 177,860** 1 Ca 227,472** 2 Curam 175,321** 2 Ca 100,293** 3 Curam 117,103** 3 Lanjutan Tabel 39.
No Spesies/Nama
Daerah FaktorTanah
Chi-Square
Kate-gori e)
Topografi
Chi- Square
Kate-gori e)
pH 264,142** 1 SC a) 112,167** 1
140
pH 299,317** 2 SC a) 89,257* 2 Mg 304,129** 2 Tmin c) 287,109** 3 Mg 176,541** 4 Tmin c) 213,886** 4 Na 335,532** 2 Tmax d) 268,118** 3 Na 308,379** 3 Tmax d) 228,415** 4 P 42,222* 1 P 146,627** 3 P 117,888** 4 P 651,263* 5 Kadar air 58,509** 1 Kadar air 282,531** 2 Kadar air 134,655** 3 Tekstur 215,414** 2 Tekstur 167,490** 3 Tekstur 143,446** 4 KTK 310,517** 3 KTK 219,945** 4 C organik 561,816** 5
12 Dysoxylum arborescens N 278,152* 3 AL b) 117,229* 3
Panggang puyuh pH 167,315** 2 Curam 85,630** 3 Mg 216,622* 2 SC a) 65,084* 1 Mg 117,229* 4 Tmin c) 227,553** 3 P 68,476* 1 Tmin c) 29,482* 5 P 104,548* 3 Tmax d) 224,125** 3 Na 117,229* 3 Tekstur 180,636** 2 Tekstur 85,041* 4 KTK 210,602** 3 Kadar air 28,922* 4
13 Quercus gemelliflora N 281,327* 3
Pasang Batarua Ca 148,104* 1 Kadar air 49,217** 1 Kadar air 11,333* 4 P 63,090* 1 P 73,904* 4 Tekstur 182,699** 2
14 Castanopsis acuminatissima Tekstur 159,859* 2
Pasang putih Kadar air 42,511* 1
15 Hoersfieldia glabra Curam 121,366* 2
Piskulit KTK 165,280* 3
16 Schima wallichii N 413,636** 3 AL b) 122,159** 1
Puspa N 78,061* 4 AL b) 42,457* 2 Ca 207,662** 1 AL b) 157,733** 3 Ca 186,637** 2 AL b) 151,234** 4 Ca 102,804** 3 Curam 152,264** 1 pH 270,778** 1 Curam 177,716** 2 pH 226,462** 2 Curam 106,201** 3 Mg 326,783** 2 SC a) 101,024** 1 Mg 157,733** 4 Tmin c) 285,301** 3 Na 342,365** 2 Tmin c) 151,694** 4 Na 157,733** 3 Tmin c) 31,621* 5 Kadar air 77,168** 1 Tmax d) 38,490** 2 Lanjutan Tabel 39.
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
Kadar air 220,311** 2 Tmax d) 249,317** 3
141
Kadar air 97,672* 3 Tmax d) 151,088** 4 Kadar air 38,985** 4 P 116,442* 2 P 114,941** 3 P 78,556* 4 P 97,032** 5 Tekstur 252,788** 2 Tekstur 126,560** 3 KTK 219,496** 3 KTK 277,611** 4 C organik 504,225** 5
17 Schefflera longifoli P 35,750* 4
Ramogiling
18 Altingia excelsa P 70,271** 2 Curam 107,287** 3
Rasamala pH 143,543* 2 Tekstur 145,932* 2
19 Ficus grossulariodes Mg 99,549* 4 AL b) 99,549* 3
Sehang P 105,505* 3 Tmin c) 196,663* P 57,442* 4 pH 144,609* 2 Na 99,549* 3 Kadar air 179,949** 2 Tekstur 97,884** 4
20 Athyrium dilatatum N 273,112** 3 AL b) 19,333* 1
Pakis Benyir 84,928** 4 142,519** 3 Ca 118,620** 1 123,978* 4 136,782** 2 Curam 87,541* 1 81,435** 3 130,806** 2 pH 190,867** 1 77,691* 3 179,208** 2 Sc a) 78,459* 1 C organik 371,507** 5 52,599* 2 Na 240,245 2 Tmin c) 209,967** 3 142,519 4 97,411* 4 KTK 189,164 2 35,136** 5 171,722 3 Tmax d) 200,093** 3 Kadar air 57,419** 3 106,514* 4 200,119** 4 23,969** 5 100,688** 1 Tekstur 144,357** 2 108,657** 3 P 65,917** 2 96,998** 4 66,793* 2 Mg 220,230** 2 142,519** 4
Keterangan : a. Sangat Curam, b: arah lereng; c : ketinggian minimal plot pengamatan dari permukaan laut; d: tinggi maksimal plot pengamatan dari permukaan laut; e: nilai kategori dapat
dilihat pada Lampiran 7 * : signifikan pada P < 0,05; ** : signifikan pada P < 0,01.
Tabel 39 memperlihatkan preferensi ekologi spesies-spesies pada strata
pohon terhadap berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di aliansi 1. Dari 29
142
spesies yang memiliki dominansi yang paling tinggi (spesies-spesies dengan nilai
INP urutan 1 sampai 3), hanya 20 spesies yang berhasil dideteksi preferensinya
terhadap berbagai faktor abiotik. Diantara spesies ini, ditemukan 16 spesies
memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi, 4 spesies
memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan hanya 1 spesies yang memiliki
preferensi terhadap faktor topografi.
Di aliansi 1 ditemukan 16 spesies yang memiliki preferensi ekologi terhadap
tekstur tanah, diikuti 14 spesies terhadap unsur P tanah, 13 spesies terhadap kadar
air tanah, 12 spesies terhadap pH tanah, 11 spesies terhadap kapasitas tukar kation
tanah, dan 10 spesies masing-masing terhadap unsur N total dan Mg tanah.
Selanjutnya ditemukan sebanyak 9 spesies memiliki preferensi terhadap unsur C
organik, dan juga masing-masing sebanyak 8 spesies untuk unsur Ca dan Na
tanah.
Selanjutnya untuk faktor topografi, ditemukan masing-masing sebanyak 12
spesies yang memiliki preferensi terhadap arah lereng dan lereng curam, lalu
masing-masing sebanyak 11 spesies untuk ketinggian minimal dan maksimal plot
pengamatan dari permukaan laut, dan 9 spesies memiliki preferensi terhadap
lereng sangat curam.
Hubungan antara spesies-spesies pada strata pohon yang berdistribusi di
blok-blok pengamatan dengan berbagai faktor abiotik di aliansi 2 dapat dilihat
pada Tabel 40. Pada aliansi ini, berhasil dideteksi 23 spesies yang memiliki
preferensi terhadap berbagai faktor abiotik. Dari jumlah tersebut ditemukan 22
spesies yang memiliki preferensi baik terhadap faktor abiotik tanah dan juga
topografi, dan 1 spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap faktor tanah.
Spesies-spesies di aliansi 2 memiliki preferensi yang paling banyak terhadap
unsur Mg dan Na tanah, yaitu masing-masing sebanyak 19 spesies, diikuti
terhadap KTK, C organik, dan tekstur tanah, masing-masing sebanyak 18 spesies,
lalu terhadap unsur N total, P, dan kadar air tanah masing-masing sebanyak 17
spesies, unsur Ca tanah sebanyak 16 spesies, dan pH tanah sebanyak 11 spesies.
Tabel 40. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 2
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo-grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
143
1 Giganthocloa pseudoarundinacea N 73,100** 3 AL b) 73,100** 2
B.Andong Ca 10,88* 1 Curam 29,436** 1 Ca 46,124** 2 Curam 12,000** 3 pH 10,888* 1 Tmin c) 31,000** 2 pH 46,124** 2 Tmax d) 12,000** 3 Mg 75,518** 2 Na 75,518** 2
Kadar air 41,001** 2
P 36,750** 1 Tekstur 38,722** 2 KTK 73,100** 4
C organik 73,100** 5
2 Dendrocalamus asper N 33,333** 3 AL b) 33,333** 2
B.Bitung Ca 40,000** 2 Curam 32,000** 1 pH 30,000** 2 Tmin c) 24,000** 2 Mg 42,222** 2 Na 42,222** 2 Tekstur 30,000** 2 KTK 33,333** 4
Kadar air 11,000** 3
C organik 33,333** 5
3 Gigantochloa apus N 563,321** 3 AL b) 48,000** 1 Bambu tali Ca 200,384** 1 AL b) 460,203** 2 Ca 352,361** 2 Curam 349,839** 1 pH 152,484** 1 Tmin c) 23,578** 1 pH 396,469** 2 Tmin c) 217,355** 2 Mg 535,551** 2 Tmin c) 60,326** 3 Mg 53,545** 3 Tmin c) 46,667** 4 Na 535,551** 2 Tmax d) 199,063** 1 Na 53,545** 3 Tmax d) 50,455** 3
Kadar air 392,007** 2 Tmax d) 98,667** 4
Kadar air 208,440** 3
P 351,21** 1 P 22,753** 2 P 21,000** 3 Tekstur 290,938** 2 Tekstur 177,497** 3 KTK 37,300** 3 KTK 510,585** 4
C organik 43,429** 4
C organik 507,859** 5
4 Schizostachyum iraten N 16,880* 3 AL b) 9,000* 3
Bambu tamiyang Ca 9,000* 3 Curam 16,880* 1 Mg 9,000* 4 Tmin c) 16,880* 3 Na 9,000* 3 KTK 9,000* 3
Kadar air 16,880* 2
Corganik 16,888* 5
Lanjutan Tabel 40.
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
5 Mallotus blumeanus N 263,726** 3 AL b) 223,214** 2
144
Calik Angin Ca 123,719* 1 Curam 174,294** 1 Ca 97,968** 2 Tmin c) 139,869** 2 pH 116,865** 1 pH 128,103** 2 Mg 161,269** 2 Tmax d) 167,424** 1 Mg 41,869** 3 Tmax d) 39,081** 4 Na 161,269** 2 Na 74,701** 3 P 172,002** 1 P 21,269* 2 Tekstur 130,293** 2 Tekstur 56,517* 3 KTK 37,371** 3 KTK 209,461** 4 Kadarair 159,017** 2 Kadarair 92,556** 3 Corganik 226,068** 5
6 Pandanus punctatus N 350,286** 3 AL b) 15,581** 1 Cangkuang Ca 23,138* 2 AL b) 108,601** 3 Ca 108,601** 3 Curam 337,095** 1 pH 307,697** 1 pH 79,337** 2 Mg 100,228** 2 Tmin c) 233,408** 3 Mg 108,601** 4 Tmax d) 113,220** 3 Na 100,228** 2 Na 158,452** 3 P 97,041** 3 P 21,896* 4 Tekstur 241,994** 2 Tekstur 42,524** 3 KTK 158,452** 3 KTK 100,228** 4
Kadar air 330,949** 2
Corganik 336,546** 5
7 Schefflera aromatica N 155,987** 3 AL b) 107,209** 2
Gompong Ca 47,667* 1 Curam 110,798* 1 pH 62,510* 1 Mg 103,652** 2 Tmin c) 67,838* 2 Na 103,652** 2 P 80,913* 1 Tekstur 99,326* 2 KTK 120,112** 4
Kadar air 42,137* 3
Corganik 160,888** 5
8 Nothaphoebe umbelliflora Tekstur 56,028* 3 AL b) 11,000* 1
Huru Leer
9 Symplocos fasciculata N 125,313* 3 AL b) 34,519** 1
Jirak Ca 41,259** 3 AL b) 41,259** 3 Lanjutan Tabel 40
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
pH 119,071** 2 Curam 117,886** 1
145
Mg 41,259** 4 Tmin c) 63,002* 2 Na 59,191** 3 Tmin c) 55,145* 3 P 32,837** 3 Tmax d) 40,098** 2 P 45,511** 4 Tekstur 95,706* 2 Tekstur 43,121* 3 KTK 78,253** 3
Kadar air 116,371** 2
C organik 148,250** 5
10 Euodea latifolia Mg 83,382* 2 Ki Sampang Na 83,382* 2
11 Eugenia oclusa N 121,15688 3 Ki Sirem Ca 52,929** 1 AL b) 74,871** 2 Ca 31,486** 2 Curam 77,052** 1 pH 36,571* 1 Tmin c) 52,456* 3 pH 66,058* 2 Tmin c) 32,000** 4 Mg 117,812** 2 Tmax d) 57,000** 4 Na 117,812** 2 Tekstur 98,521** 2 Tekstur 43,380** 3 KTK 95,472** 4
Corganik 121,574** 5
P 67,078** 1 P 22,148* 3
12 Maesopsis eminii N 138,755** 3 AL b) 127,025** 2 Manii Ca 80,353** 1 Curam 90,087** 1 pH 87,452** 1 Tmin c) 57,510* 2 Mg 113,659** 2 Tmin c) 23,997** 4 Na 113,659** 2 Tmax d) 32,722** 1 Tekstur 66,764** 2 Tmax d) 23,997** 4 Tekstur 56,466** 3 KTK 138,755** 4
Kadar air 87,900** 2
Kadar air 30,347** 3
C organik 120,588** 5
P 127,025** 1
13 Cyathea contaminans N 136,520* 3 AL b) 32,785* 3
Pakis Sier Ca 32,785* 3 Curam 103,428** 1 Mg 32,785* 4 Na 58,249* 3 Tekstur 93,499* 2 KTK 54,820* 3
Kadar air 133,266* 2
C organik 145,961* 5
P 26,833* 3
14 Dysoxylum arborescens N 120,522* 3 AL b) 98,537** 2
Panggang Puyuh Ca 26,343* 1 Curam 24,218** 3 Mg 86,575** 2 Tmax d) 56,827* 3 Na 86,575** 2 Lanjutan Tabel 40.
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
Tekstur 29,790* 3
146
KTK 92,490** 4
Kadar air 85,623* 2
C organik 130,313* 5
P 66,434* 1
15 Quercus gemelliflora pH 45,250* 1
Pasang batarua Mg 76,825* 2 Tmax d) 45,333* 3 Na 76,825* 2
Tekstur 70,625** 2 KTK 76,852* 4
Kadar air 16,000* 3
P 39,000* 1
16 Castanopsis acuminatissima Ca 30,042* 3 AL b) 30,042* 3
Pasang putih pH 44,058** 2 Mg 30,042* 4 Tmax d) 12,000* 2 Na 46,819** 3 KTK 46,819* 3
Kadar air 75,733* 2
Corganik 75,733* 5
P 26,000* 4
17 Pinus merkusii N 145,490** 3
Pinus pH 144,555** 1
pH 121,869** 2 AL b) 32,689* 1 Ca 42,366** 1 AL b) 92,967** 2 Ca 99,495** 2 Curam 86,339** 1 Mg 152,884** 2 Tmin c) 19,821** 1 Na 152,884** 2 Tmin c) 62,838* 2 Na 26,203* 3 Tmin c) 24,000** 3 Tekstur 76,088** 2 Tmax d) 79,921** 1 Tekstur 93,935** 3 Tmax d) 17,000** 2
Kadar air 146,648** 2 Tmax d) 15,000** 3
Kadar air 44,584** 3 Tmax d) 18,819** 4
KTK 32,579* 3 KTK 137,681** 4 P 82,717** 1 P 18,819* 3 P 18,000** 4
18 Hoersfieldia glabra N 149,350* 3 AL b) 115,722** 2
Piskulit Ca 73,105* 2 Tmin c) 78,700* 2 Mg 111,405* 2 Na 111,405* 2 Tekstur 94,709* 2 Tekstur 52,474* 3 P 80,340* 1 KTK 121,155* 4
Kadar air 60,594** 3
C organik 154,256* 5
19 Schima wallichii N 229,860** 3 AL b) 127,699** 2 Puspa Ca 118,104** 2 AL b) 50,901** 3 Lanjutan Tabel 40.
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
Ca 50,901** 3 Curam 214,926** 1
147
Mg 161,525** 2 Curam 21,280** 3 Mg 9,000* 3 Tmin c) 81,842** 2 Mg 50,901** 4 Tmin c) 117,398** 3 Na 161,525** 2 Tmin c) 35,332** 4 Na 99,521** 3 Tmax d) 45,629** 2 Tekstur 189.761** 2 Tmax d) 110,493** 3 Tekstur 48,321** 3 Tmax d) 38,857** 4 P 111,302** 1 P 49,066** 4 KTK 90,463** 3 KTK 149,721** 4
Kadar air 174,939** 2
Kadar air 82,417** 3
C organik 244,748** 5
20 Schefflera longifolia N 74,197** 3 Curam 43,750* 1
Ramogiling Mg 31,778* 2 Tmin c) 29,333* 3 Na 31,778* 2 Tekstur 31,778* 2 KTK 31,778* 4 C org 74,179** 5
21 Altingia excelsa Ca 9,625* 2 AL b) 4,000* 2 Rasamala Tekstur 43,438* 2 pH 47,430* 2
Kadar air 4,000* 3
P 4,000* 1
22 Cinchona officinalis N 80,070* 3 AL b) 56,597* 2
Sulibra pH 37,707* 2 Curam 58,398* 1
C organik 80,070* 5 Tmax d) 14,182* 4
23 Athyrium dilatatum P 52,924* 1 AL 52,924* 2 Pakis Benyir pH 66,819* 1 Tmin 25,568* 2
Corganik 4,000* 4 Tmax 4,000* 1
Keterangan : a. Sangat Curam, b: arah lereng; c : ketinggian minimal plot pengamatan dari permukaan laut; d: tinggi maksimal plot pengamatan dari permukaan laut; e: nilai kategori dapat
dilihat pada lampiran 7 * : signifikan pada P < 0,05; ** : signifikan pada P < 0,01.
Selanjutnya untuk faktor topografi, spesies-spesies di aliansi ini memiliki
preferensi paling banyak terhadap arah lereng, yaitu sebanyak 20 spesies, diikuti
preferensi terhadap lereng curam sebanyak 16 spesies. Berikutnya preferensi
terhadap ketinggian minimal plot pengamatan dari permukaan laut sebanyak 15
spesies, dan terhadap ketinggian maksimal plot pengamatan dari permukaan laut,
sebanyak 14 spesies.
Tabel 41. Preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik di aliansi 3
No Spesies/Nama
Daerah Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo-grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
148
1 Mallotus blumeanus
P 27,370* 2 Curam 45,358** 1
KTK 58,083* 3 Tmax d) 40,123* 3
Calik Angin pH 27,370* 1 Tmin c) 45,651* 3
C organik. 74,293** 5
2 Pandanus punctatus N 100,232** 3 AL b) 78,944** 1
Ca 100,232** 1 Tmin c) 0,670** 3
pH 48,179** 2 Tmax d) 23,248** 2
C organik. 100,232** 5 31,059** 3
Mg 100,232** 2
Na 0,811** 2
P 23,248** 3
KTK 79,288** 3
C organik. 100,232** 5
3 Symplocos fasciculata N 66,892* 1 AL b) 43,960* 1
Jirak Ca 66,892* 2 Tmax d) 15,653* 2
pH 29,672** 2
pH 50,158** 2
Na 66,892* 2
Kadar air 43,960* 5
P 29,672* 2
P 15,653* 3
KTK 64,878* 3
Corg 78,998* 5
4 Maesopsis eminii N 53,991** 3 Curam 51,235** 1
Manii Ca 53,991** 1 Tmin c) 53,991** 1
pH 39,426** 2 Tmax d) 34,222* 2
Mg 53,991** 2
Na 53,991** 2
P 12,857* 4
Tekstur 28,844* 2
KTK 60,727** 3
C organik 78,346** 5
5 Cyathea contaminans N 89,635** 3 Curam 54,067** 1
Pakis sier Ca 89,635** 1 Scuram 16,404* 1
pH 31,323* 1 AL b) 47,744** 1
pH 72,294** 2 AL b) 16,404* 4
C organik 112,793** 5 Tmin c) 70,653** 3
Na 89,635** 2 Tmax d) 18,857* 2
Mg 89,635** 2 Tmax d) 55,464** 3
P 31,323* 2
P 18,857* 3
P 13,333* 4
Kadar air 16,404* 2
Kadar air 47,744** 3
Tekstur 49,318** 2
Tekstur 14,000* 3
Lanjutan Tabel 41. No
Spesies/Nama Daerah
Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
KTK 85,505** 3
6 Pinus merkusii N 121,941** 3 AL b) 79,664** 1
149
Na 121,941** 2 AL b) 5,000* 4
pH 5,000* 1 Curam 37,987** 1
pH 108,163** 2 Scuram 5,00** 1
Ca 121,941** 1 Tmin c) 111,652** 3
Mg 121,941** 2 Tmax d) 87,647** 3
P 5,00* 2
P 43,787** 4
Tekstur 11,000* 2
Tekstur 29,032** 4
Kadar air 5,000* 2
Kadar air 79,664** 5
KTK 73,702** 3
C organik 149,744** 5
7 Hoersfieldia glabra N 61,214* 1 AL b) 41,239* 1
Piskulit Na 61,214* 2 Curam 39,535** 1
Ca 61,214* 1
Mg 61,214* 1
KTK 72,650** 3
Kadar air 41,239* 5
C organik 81,956** 5
8 Schima wallichii N 53,704* 3 AL b) 34,519* 1
Puspa Na 53,740* 2 Curam 43,997* 1
Ca 53,704* 1 Tmin c) 53,704* 3
pH 30,148* 2
Mg 53,704* 2
KTK 55,644* 3
C organik 71,365* 5
9 Altingia excelsa N 52,899** 3 Curam 55,331* 1
Rasamala Ca 52,899** 1 Tmin c) 52,899** 3
Mg 52,899** 2
Tekstur 42,529** 2
KTK 55,331** 3
C organik 62,796** 5
10 Ficus grossulariodes N 44,018** 3 Curam 38,944* 1
Sehang Ca 44,018** 1 Tmin c) 44,019** 3
Mg 44,018** 2 Tmax d) 41,780** 4
Tekstur 44,018** 2
P 41,780** 2
KTK 55,195** 3
Na 44,018** 2
C organik 55,145** 5
11 Athyrium dilatatum N 74,821** 3 AL 17,417* 1
Pakis Benyir Ca 74,821** 1 AL 25,427** 4
pH 25,427** 1 Curam 40,363* 1
pH 33,583** 2 SC 25,427** 1
Lanjutan Tabel 41. No
Spesies/Nama Daerah
Faktor Tanah
Chi- Square
Kate-gori e)
Topo grafi
Chi- Square
Kate-gori e)
C organik 83,213** 5 Tmin 50,209** 3
Na 74,821** 2 Tmax 40,606** 3
150
KTK 64,310** 3
Kadar air 25,427** 2
Kadar air 17,417* 5
Tekstur 33,947* 2
Tekstur 6,000* 3
P 25,427** 2
P 8,000* 4
Keterangan : a. Sangat Curam, b: arah lereng; c : ketinggian minimal plot pengamatan dari permukaan laut; d: tinggi maksimal plot pengamatan dari permukaan laut; e: nilai kategori dapat
dilihat pada lampiran 7 * : signifikan pada P < 0,05; ** : signifikan pada P < 0,01.
Pada Tabel 41 disajikan hubungan antara spesies-spesies pada strata pohon
yang berdistribusi di blok-blok pengamatan dengan berbagai faktor abiotik di
aliansi 3. Dibanding dengan aliansi lainnya, jumlah spesies yang memiliki
preferensi dengan berbagai faktor abiotik yang ada di aliansi ini lebih sedikit,
yaitu 11 spesies. Dari jumlah tersebut ditemukan 11 spesies yang memiliki
preferensi baik terhadap faktor abiotik tanah maupun topografi.
Spesies-spesies yang berdistribusi di blok-blok pengamatan aliansi 3
memiliki preferensi yang paling banyak terhadap KTK dan unsur C organik tanah,
yaitu masing-masing sebanyak 11 spesies. Berikutnya terhadap unsur N total dan
Ca tanah, masing-masing sebanyak 10 spesies, diikuti preferensi terhadap unsur
Na tanah, sebanyak 9 spesies, lalu terhadap unsur Mg dan pH tanah, yaitu masing-
masing 8 spesies, terhadap unsur P tanah sebanyak 7 spesies, dan terakhir
terhadap tekstur dan kadar air tanah masing-masing sebanyak 5 spesies.
Untuk faktor topografi, spesies-spesies di aliansi ini memiliki preferensi
paling banyak terhadap lereng curam dan ketinggian minimal plot dari permukaan
laut yaitu masing-masing sebanyak 9 spesies, diikuti preferensi terhadap
ketinggian maksimal plot pengamatan dari permukaan laut sebanyak 8 spesies,
lalu terhadap arah lereng sebanyak 7 spesies, dan terhadap lereng curam
sebanyak 1 spesies.
Ditemukan 6 spesies yang memiliki konsistensi preferensi terhadap faktor
abiotik di ketiga aliansi vegetasi. Spesies-spesies tersebut adalah manii yang
memiliki konsistensi preferensi terhadap unsur N total tanah pada kategori
sedang, unsur Mg tanah pada kategori rendah, dan pada unsur C organik tanah
pada kategori sangat tinggi. Rasamala, merupakan spesies yang memiliki
konsistensi preferensi terhadap terhadap tekstur tanah pada kategori lempung.
151
Spesies-spesies lainnya yaitu, calik angin, cangkuang, pakis sier, dan puspa
masing-masing memiliki konsistensi preferensi yang sama terhadap unsur C
organik tanah pada kategori sangat tinggi. Selanjutnya, dari 6 spesies yang
disebutkan di atas, tidak ditemukan satupun diantaranya yang memiliki
konsistensi preferensi terhadap faktor abiotik topografi di ketiga aliansi vegetasi.
Pada sisi lain, hal yang harus diperhatikan dari keenam spesies ini dalam
berdistribusi di ketiga aliansi, spesies-spesies ini juga memiliki preferensi
terhadap kombinasi faktor abiotik lainnya, yang bersifat khas. Hal yang sama
ditemukan pada 29 spesies lainnya, yaitu distribusi spesies-spesies pada aliansi
yang berbeda akan menghasil preferensi terhadap kombinasi faktor abiotik yang
berbeda. Selanjutnya preferensi terhadap kombinasi faktor abiotik di antara
spesies ini juga berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 39, 40, dan 41.
Pada penelitian ini ditemukan 3 spesies dominan yang preferensinya
terhadap faktor abiotik sangat sedikit, dan ketiganya hanya berhasil dideteksi
preferensinya di aliansi 1. Spesies-spesies tersebut adalah kawoyan (Prunus
arboreum) yang memiliki preferensi terhadap faktor topografi, yaitu terhadap arah
lereng, lereng curam, dan sangat curam. Spesies lainnya adalah ki pare yang
hanya memiliki preferensi terhadap unsur P tanah dan KTK. Terakhir adalah
anggrip yang memiliki preferensi terhadap 1 faktor abiotik tanah, yaitu tekstur
tanah dan 1 faktor topografi, yaitu lereng sangat curam.
Sedikitnya preferensi spesies-spesies ini terhadap faktor abiotik
menunjukkan bahwa amplitudo ekologis spesies-spesies ini sangat rendah di
banding spesies dominan lainnya. Hal ini diduga akan membuat spesies-spesies
ini rentan terhadap gangguan yang terjadi pada lingkungan tempat mereka
tumbuh, walaupun ketiga spesies ini merupakan spesies dominan.
Data dan keterangan yang dikemukan di atas menunjukkan bahwa faktor
edafik dan topografi mempengaruhi distribusi spesies pada skala lokal melalui
preferensi spesies-spesies tersebut pada berbagai kisaran dari kategori faktor
abiotik. Penelitian-penelitian lain juga memperlihatkan hasil yang serupa.
Penyebaran spesies yang terbatas pada kondisi tanah tertentu di dalam hutan hujan
tropis basah juga telah dilaporkan oleh Richard (1964). Dalam laporan tersebut,
dikatakan bahwa pada hutan kayu besi yang terdapat di Kalimantan dan Sumatera,
152
ditemukan Eusideroxylon swageri merupakan spesies yang sangat dominan pada
tanah dengan tekstur liat berpasir atau murni liat. Sebaliknya pada tapak-tapak
dengan kondisi tekstur tanah yang berbeda, kehadiran spesies ini menjadi sangat
terbatas.
Penelitian yang dilakukan oleh Miyamoto et al., (2003) menunjukkan bahwa
spesies-spesies yang paling melimpah berdistribusi di hutan hujan tropis basah
Kalimantan, memiliki preferensi terhadap faktor edafik khususnya kedalaman
humus, dan faktor topografi berupa ketinggian relatif tapak dari permukaan laut.
Hubbel & Foster (1986b) menemukan di hutan hujan tropis basah Barro
Colorado, Panama, 36% dari spesies yang paling melimpah di hutan tersebut
dalam berdistribusinya memiliki preferensi terhadap faktor topografi. John et al.,
(2007), melaporkan adanya hubungan yang kuat antara distribusi spesies
pepohonan dengan distribusi unsur hara tanah di hutan yang sama, demikian juga
halnya di Taman Nasional Yasuni, Ekuador, dan di Cagar Alam Hutan Hujan
Tropis Basah Pegunungan La Planada, Kolumbia. Aiba & Kitayama (1999)
melaporkan interaksi antara ketinggian tempat dan jenis subrat tanah berpengaruh
terhadap distribusi spesies tumbuhan di Gunung Kinabalu.
Hal berikutnya yang dapat dilihat adalah, tanggapan spesies terhadap
kondisi habitat berbeda-beda satu dengan lainnya. Setiap spesies memiliki
preferensi yang khas spesies tersebut terhadap kombinasi kisaran faktor abiotik
tanah maupun topografi dalam berdistribusi di seluruh aliansi. Hal ini nampak
pada aliansi yang berbeda akan ditemukan preferensi suatu spesies yang berbeda
terhadap kombinasi kisaran faktor abiotik. Juga dapat dilihat adanya tumpang
tindih preferensi terhadap faktor abiotik. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
spesies memiliki preferensi yang khas terhadap faktor abiotik dalam suatu kisaran
tertentu. Kondisi yang terjadi ini menurut Crawley (1986) memperlihatkan adanya
partisi sumber daya oleh spesies-spesies yang hadir bersama pada suatu area.
Good (1958) dalam Barbour et al.,(1987) menjelaskan lebih jauh bahwa
setiap spesies dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran tertentu dari suatu
faktor lingkungan. Kisaran toleransi spesies ini dapat luas untuk faktor abiotik
tertentu dan sebaliknya dapat sempit untuk faktor abiotik lainnya. Hal ini
mengakibatkan adanya tumpang tindih dalam pemanfaatan sumberdaya. Kondisi
153
ini sekaligus menunjukkan tanggapan spesies yang sifatnya individualistik
terhadap kondisi lingkungan, dan sekaligus memperlihatkan bahwa spesies
melakukan adaptasi yang khas terhadap kondisi lingkungan pada tempat ia
tumbuh.
Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa, implikasi dari hal ini adalah
peluang untuk terjadinya kompetisi mutlak yang hanya menghasilkan satu
pemenang menjadi sangat kecil, karena walaupun setiap spesies memiliki
kebutuhan akan faktor abiotik tertentu yang sama dalam suatu ekosistem yang
sama, namun kebutuhan tersebut akan berbeda-beda pada tingkat atau kategori-
kategori tertentu dari faktor abiotik tersebut. Sifat adaptasi yang khas ini sekaligus
merupakan faktor yang mendukung banyaknya spesies yang dapat hidup bersama
pada suatu lingkungan yang sama.
154
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.
Di zona sub pegunungan, Gunung Salak ditemukan 3 tipe vegetasi tingkat aliansi,
yaitu aliansi hutan S. walliichii-P. punctatus/ C. officinalis (Aliansi 1), aliansi hutan G.
apus-M. blumeanus/ C.officinalis (Aliansi 2), dan aliansi hutan P. merkusii- A.
dilatatum/ D. dichotoma (Aliansi 3). Secara fisiognomi struktural ketiga aliansi ini
berbeda, yakni aliansi 1 merupakan hutan alam campuran berdaun lebar yang didominasi
oleh puspa. Aliansi 2 merupakan hutan bambu yang didominasi oleh bambu tali,
sedangkan Aliansi 3 merupakan hutan tanaman yang bercampur dengan hutan berdaun
lebar yang didominasi oleh pinus.
Setiap aliansi dibedakan oleh faktor abiotik yang khas, yakni unsur N total tanah,
debu tanah, dan arah lereng untuk Aliansi 1, unsur P tanah untuk Aliansi 2, serta unsur
C organik tanah dan KTK untuk Aliansi 3. Ditemukan 50 % blok pengamatan memiliki
kategori tanah sangat masam dan 50 % lainnya masam. Pada seluruh blok pengamatan di
Gunung Salak ditemukan kategori unsur P tanah yang sangat rendah.
Asosiasi vegetasi di Aliansi 1 adalah: Asosiasi hutan T. laxiflora – M. eminii/ P.
polycephalus; Asosiasi hutan M. blumeanus–L. elegans/ F. sinuata; Asosiasi hutan I.
macrophylla– N. umbelliflora/ Staurogyne sp; Asosiasi hutan P. elongata– P.
integrifolia/ C. javensis; dan asosiasi hutan P. arboreum – G. hypoleucum /D.
cannaeformis.
Asosiasi vegetasi di Aliansi 2 adalah: asosiasi hutan C. javanica – M. eminii/ C.
javensis; asosiasi hutan G. apus- C. acuminatissima /F. sinuata; asosiasi hutan P.
laevifolia- P. javana/ E. punicea; asosiasi hutan A. dilatatum– G. hypoleucum/
Rhaphidophora Sp. ; asosiasi hutan C. officinalis- P. merkusii/ I. globosa; dan asosiasi
hutan M. blumeanus- Schefflera aromatica./ P. aduncum.
Asosiasi di Aliansi 3 adalah: Asosiasi hutan S. wallichii- H. glabra/ B. hirtella;
Asosiasi hutan P. elongata-P. punctatus/ Rhaphidophora Sp.; Asosiasi hutan E. oclusa-
F. grossulariodes/ E. megalocheilos; Asosiasi hutan A. excelsa- A. tetrandum /R.
155
foraminifera (asosiasi 4); Asosiasi hutan M. eminii- C. javanica/ C. latebrosa; Asosiasi
hutan A. dilatatum-E. latifolia/ S. plana; dan Asosiasi hutan L. elegans- P. merkusii/I.
globosa .
Bentuk hidup pohon merupakan bentuk hidup dominan di seluruh aliansi sekaligus
di temukan di seluruh asosiasi. Spesies dengan bentuk hidup murni semak ditemukan
dalam jumlah paling sedikit di seluruh asosiasi vegetasi. Setiap asosiasi vegetasi
memiliki komposisi floristik dan faktor abiotik yang khas di aliansi tempat asosiasi yang
bersangkutan ditemukan.
Pada Aliansi 1 unsur Ca tanah pada kategori sedang dan unsur P tanah merupakan
faktor tanah yang paling banyak berhubungan dengan berbagai asosiasi vegetasi. Arah
lereng merupakan faktor topografi yang paling banyak berhubungan dengan berbagai
asosiasi di aliansi ini. Pada Aliansi 2 ditemukan unsur Ca tanah pada kategori sangat
rendah dan rendah merupakan faktor tanah yang paling banyak mempengaruhi
keberadaan asosiasi vegetasi. Ketinggian minimal plot dari permukaan laut di aliansi ini
merupakan faktor topografi yang paling banyak berhubungan dengan keberadaan
asosiasi vegetasi. Kapasitas tukar kation tanah pada kategori sedang, unsur P tanah, dan
tekstur tanah merupakan faktor tanah yang paling banyak berhubungan dengan berbagai
asosiasi vegetasi di Aliansi 3, sedangkan ketinggian tempat dari permukaan laut, lereng
curam, dan arah lereng merupaka faktor topografi paling banyak mempengaruhi asosiasi
vegetasi di Aliansi 3.
Tipe vegetasi fisiognomi struktural di zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah
sebagai berikut: Kelas : Hutan;
Sub kelas : Hutan Selalu Hijau;
Kelompok : Hutan Hujan Tropis Basah Selalu Hijau.
Formasi : Hutan hujan tropis basah sub pegunungan selalu hijau
berdaun lebar
Formasi : Hutan bambu sub pegunungan tropis
Formasi : Hutan Tanaman Sub Pegunungan Tropis
156
Pada Aliansi 1 ditemukan 72 spesies pohon dengan jumlah total individu sebanyak
9046. Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah puspa. Terdapat 3 spesies
dengan jumlah individu hanya 1 yaitu jambe rende, kokosan monyet, dan seserehan.
Pada Aliansi 2 ditemukan 71 spesies pohon dengan total jumlah individu sebanyak 3124.
Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah pinus. Ditemukan 7 spesies
dengan jumlah individu hanya 1, yaitu cantigi, ki cantung, panggang, renghas, seserehan,
harendong, dan katuk/ kakatukan. Jumlah spesies pohon di Aliansi 3 adalah 56, dengan
total individu sebanyak 1527. Spesies pinus memiliki jumlah individu terbanyak.
Terdapat 5 spesies dengan jumlah individu hanya 1, yaitu haruman, kaliandra,
katuk/kakatukan, palahlar, dan sasah.
Distribusi kelas diameter pohon pada Aliansi 1 dan 3 membentuk kurva struktur
tegakan J terbalik, sedangkan pada Aliansi 2 terdapat kenaikan jumlah individu pohon
pada kelas diameter terbesar. Seluruh spesies dominan pada strata pohon di seluruh
aliansi memiliki pola distribusi mengelompok.
Berturut-turut nilai Nilai H’ di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 2,666 – 3,391, 1,163 –
3,233, dan 1,683 – 3,498. Berturut-turut nilai e di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 1,136-
1,403, berkisar 0,551-1,331, dan berkisar 0,770-1,434. Selanjutnya berturut-turut nilai R
di aliansi 1, 2, dan 3 berkisar 1,691-2,662, berkisar 0,621-2,829, dan berkisar 1,051-
2,588. Secara rata-rata nilai H’ dan e bergerak naik dari aliansi 2, ke aliansi 3, dan ke
aliansi 1, sedangkan rata-rata nilai R bergerak naik dari aliansi 3, ke aliansi 2, dan ke
aliansi 1.
Berturut-turut ditemukan di Aliansi 1, 2, dan 3 sejumlah 20, 23, dan 11 spesies
dominan pada strata pohon yang memiliki preferensi terhadap berbagai faktor abiotik.
Ditemukan 6 spesies yang memiliki konsistensi preferensi terhadap faktor abiotik di
ketiga aliansi vegetasi. Spesies-spesies tersebut adalah manii yang memiliki konsistensi
preferensi terhadap unsur N total tanah pada kategori sedang, unsur Mg tanah pada
kategori rendah, dan unsur C organik tanah pada kategori sangat tinggi. Rasamala yang
memiliki konsistensi preferensi terhadap terhadap tekstur tanah pada kategori lempung.
Spesies-spesies lainnya yaitu, calik angin, cangkuang, pakis sier, dan puspa masing-
157
masing memiliki konsistensi preferensi yang sama terhadap unsur C organik tanah pada
kategori sangat tinggi.
B. SARAN
Kawasan aliansi 1 dan 3 seharusnya ditetapkan sebagai zona inti, demikian juga
kawasan aliansi 2 dengan kelerengan > 15%. Hal ini disebabkan: Pertama, karena
mewakili formasi biota tertentu, yaitu formasi hutan hujan tropis basah sub pegunungan.
Kedua, karena kelestarian formasi ini memerlukan usaha konservasi, mengingat: (a)
banyaknya spesies dengan kelimpahan rendah di area penelitian, (b) kondisi unsur hara
tanah yang khas pegunungan, dan (c) topografi dan iklim. Implikasi dari hal ini adalah,
seluruh aplikasi manajemen dalam area penelitian di Gunung Salak seharusnya
meminimalkan intervensi manusia dan memberi keleluasaan yang sebesar-besarnya bagi
berbagai proses-proses alami dalam mengatur ekosistem.
Untuk kawasan aliansi 2 dengan kelerengan lebih kecil 15% sebaiknya dilakukan
pengendalian terhadap penyebaran spesies bambu, karena tumbuhan ini dapat menjadi
kompetitor yang sangat kuat terhadap spesies selain bambu.
Metode klasifikasi citra dengan klasifikasi terbimbing yang memanfaatkan nilai-
nilai spekral dari piksel-piksel blok pengamatan sebaiknya dikembangkan lagi sehingga
dapat diperoleh nilai akurasi yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aiba, S., & K. Kitayama .1999. Structure, composition and species diversity in an altitude-substrate matrix of rain forest tree communities on Mount Kinabalu, Borneo. Plant Ecology 140: 139-157.
Backer, C.A., & R.C. Bakhizen Van Den Brink., Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I.
N.V.P. Noordhoff-The Netherlands, Groningen. ______________________________________.,1965. Flora of Java. Vol. II.
N.V.P. Noordhoff-The Netherlands, Groningen. ______________________________________.,1968. Flora of Java. Vol. III.
N.V.P. Noordhoff-The Netherlands, Groningen. Balgooy, M.M.J. Van. 2001. Malesian Seed Plants. Vol. I, II, III. National
Herbarium Netherland-Universiteit Leiden Branch, Leiden. Barbour, M.G., J.H. Burk., & W.P. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The
Benjamin/Cumming Publishing Company Inc. Menlo Park, Reading, California, Massachusetts, Singapore.
Barners, B.V., D. R. Zak., S. R. Denton., & S.H. Spurr. 1980. Forest Ecology.
John Wiley & Sons, New York. Bailey, L.H., & E.Z.Bailey. 1972. Hortus Second, A Concise Dictionary of
Gardening, General Holticulture and Cultivated Plantas in North America. MacMillan Co., New York.
Begon, M., J.L. Harper., & C.R. Townsend. 1990. Ecology. Blackwell Scientific
Publications, London, Edinburgh. Bruijnzeel, L. A. 2001. Hydrology of Tropical Mountain Cloud Forest: A
Reassesment Land Use and Water Resource Researc 1: 1.1 – 1.18. ., & E.J. Veneklass. 1988. Climate Condition and Tropical
Mountain Forest Productivity. The Fog Has Not Lifted Yet. Ecology, Vol. 79 No. 1, p. 3-9.
Bourgeron, P.S. 1983. Spatial Aspect of Vegetation Structure, Structure and
Function in Tropical Rain Forest Ecosystem. Ecosystem of The Worls 14A. Edit by F.B. Golley. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, Oxford.
Clark, C. 1984. An Introduction to Ordination. http:// www. okstate.edu /artsci /botany /ordinate/. [15 April 2005].
159
Clifford, H.T., & W. Stephenson. 1975. An Introduction to Numerical Classification. Academic Press. New York, London.
Cody, L.M. 1986. Diversity, Rarity, and Conservation in Mediteranean Climate Regions in Conservation Biology, The Science of Scarcity and Diversity. Edit by Soule, M.E. Sinaver Associates, Inc. Publisher, Sunderland.
Cox, G.W. 1978. Laboratory Manual of General Ecology. W.M.C. Brown Company Publisher, Dubuque, Iowa.
Cranbrook, E. O., & D.S. Edwards. 1994. A Tropical Rain Forest. The Nature of
Biodiversity in Borneo at Belalong, Brunei. The Royal Geographical Society & Sun Tree Publishing, London, Singapore.
Crawley, M. J. 1986. The Structure of Plant Communities in Plant Ecology. Edit
by M.J. Crawley. Blackwell Scientific Publication, Oxford, London. Critchfield, H.J. 1975. General Climatology. 3rd. ed. Prentice-Hall of India,
Private Limited, New Delhi. Daniel, T.W., J.A. Helms., & F.S. Baker. 1979. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi
Kedua. Terjemahan. Gadjahmada University Press, Yogjakarta. Daniel, W.W. 1987. Biostatistics: A Foundation For Analysis in The Health
Sciences. 5 th. ed. John Wiley & Sons, New York. Dephut (Departemen Kehutanan). 2003a. Telaga Warna. http:// www. geocities.
com/ bksda-jb1/ indeks-files/ photo-files/ tel-warna.htm. [22 Mei 2004]. . 2003b. Kontroversi di Balik Perluasan Taman
Nasional Gunung Halimun. hhtp: // www. sinarharapan. co. id/ berita/ 0307/ 09/ ipt01/ html. [1 November 2003].
Descoings, B. 1980. Classification of Grassy Formations by The Structure of The
Vegetation. http:// www. fao. org/ wairdocs / ilri/ x5543b /x5543bln.htm. [9 Juni 2005].
DJufri. 1993. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Jenis Tumbuhan
Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi – Jawa Timur. Tesis. Proram Pasca Sarjana, Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta.
Ehrlich, P.R. 1997. A World of Wound: Ecology and The Human Dillemma.
Ecology Institut Oldendorf/Luhe, Germany. Etherington, J. R. 1976. Environmental and Plant Ecology. Wiley Eastern
Limited, New Delhi.
160
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Terjemahan. Penerbit ITB, Bandung.
FGDC (Federal Geographic Data Committee). 1997. Vegetation Classification
Standard. http://www.fgdc.gov/fgdc.html. [15 Agustus 2004]. Gadner, D.T., & R.W. Miller. 2004. Soil in Our Environment. 10. th. ed. Pearson,
Prentice Hall, New Jersey. Golley, F.B. 1983. Tropical Rain Forest Ecosystem. Ecosystem of The World 14
A. Edit by Golley, F.B. Elsevier Scientific publishing Company, New York. Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology. 3 rd. ed. Blackwell Scientific
Publications, Great Britain. Grossman, D.H, K. L. Goodin, X.Li., D.F. Langerdoen., & M. Anderson.1994.
USGS NPS Vegetation Mapping Program. http://biologi.usgs.gov/upsveg/ classification /execsum.html. [15 Juni 2005].
____________, D. F. Langerdoen., A. S. Weakly., M. Anderson., P. Bourgeron.,
R.Crowford., K.Goodin., S. Landaal., K. Metzler., K. Patterson., M. Pyne., M. Reid., & L. Sneddon. 1998. International Classification of Ecologycal Community. Terrestrial Vegetation of The United State. Vol. 1. The Hational vegetation Classification System: Development, Status, and Applications. The nature Conservancy, Airlington, Virginia, USA.
Hadiyanto, S. 1997. Kondisi Iklim Makro dan Mikro di Daerah Gunung Salak,
Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Halimun dalam Manajemen Bioregional. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Prosiding. Puslitbang Biologi-LIPI dan Program Studi Biologi Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Hakim, N., Y. Nyakpa., A. M. Lubis., S. G. Nugroho., M. A. Diha., G. B. Hong.,
H., & H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
Hardjodipuro, S. 1985. Aplikasi Komputer dan Analisi Multivariat: Analisis
Faktor. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. IKIP, Jakarta.
Hardjosuwarno, S. 1990. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Departemen
Kehutanan, Jakarta.
161
Heaney, A., & J. Proctor. 1990. Prelimary Syudies on Forest Structure and Floristic on Volcan Barva, Costa Rica. Journal of Tropical Ecology 6: 307-320.
Herayuara, I. 2005. Kelimpahan Jenis Magnolia blumei Pranti dan Michelia
velutina Bl pada Beberapa Ketinggian dan Kemiringan Lahan di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fahutan, IPB, Bogor.
Higuera, D., & E. Martinez. 2006. Litter Fall and Nutrient Fluxes in Canopy Oaks
in Neotropical Cloud Forest, Colombia. Lyconia, Vol: 11(1), p. 67-79. Hommel, P.W.F.M. 1987. Landscape Ecology of Ujung Kulon (West Java,
Indonesia). Privately publish by: Patrick W.F.M. Hommel, Soil Survey Institute, Wageningen.
Hubbel, S.P., & R.B. Foster. 1986a. Canopy Gaps and Dynamics of a Neotropical
Forest in Plant Ecology. Edit by M.J. Crawley. Blackwell Scientific Publication, Oxford, London.
. 1986b. Commoness and Rarity in A Neotropical
Forest: Implication for Tropical Tree Conservation in Conservation Biology, The Science of Scarcity and Diversity. Edit by Soule, M.E. Sinaver Associates, Inc. Publisher, Sunderland.
Hunter, M. 1999. Biological Diversity in Maintaining Biodiversity in Forest
Ecosystem. Edited by Hunter, M.L, Jr. Cambridge University Press, Cambridge.
Jaya, I.N.S. 1999. Analisis Klaster (Cluster Analysis). Laboratorium Inventarisasi
Sumber Daya Hutan, Fahutan, IPB, Bogor. Jennings, M., O. Loucks., R. Peet., D.F. Langendoen., D.G. Lewin., D.
Grossman., A. Damman., M. Barbour., R. Pfister., M. Walker., S. Talnot., J. walker., G. Harstorn., G. Waggoner., M. Abrams., A. Hill., D. Roberts., D. Tart., & M. Rejmanek. 2002. Guidelines for Describing Associations and Alliances of The U.S. National Vegetation Classification. Version 3.0. The Ecological Society of America Vegetation Classification Panel. Washington, DC.
. 1999. Modified UNESCO Natural Terrestrial Cover Classification.
http:// www.gap.uidaho.edu / handbook/ LandCoverMapping/ UNESCO/ default.htm. [9 Juni 2005].
Jessie, F.N. 2004. Struktur Tegakan dan Komposisi Jenis Tumbuhan pada Zona
Montana di Hutan Pegunungan Gunung Gede, Jawa Barat. Skripsi. Jur. Manajemen Hutan, IPB, Bogor.
162
John, R., J.W. Dalling., K.E. Harms., J.B. Yavitt., R.F. Stallard., M. Mirabello., S.P. Hubble., R. Valencia., H. Navarate., M. Vallejo., & R. B. Foster. 2007. Soil Nutriens Influnce Spatial Distributions of Tropical Tree Species. PNAS. Vol. 104. No. 3. 869-875.
Jordan, C.F. 1985. Nutrien Cycling in Tropical Ecosystems. John Wiley&Sons,
New York, Toronto, Singapore. Kappelle, M. 2004. Tropical Mountain Forest. Regional Forest Type. Elsevier
LTD, Netherland. Kartawinata, K. 1976. Penelahaan Dasar-Dasar Penyusunan Pedoman untuk
Menentukan Jenis, Jumlah Luas, Lokasi, Sera Urutan Priotitas Penyelenggaraan Wilayah Suaka Alam Darat dalam Perlindungan dan Pelestarian Alam. Kumpulan Kertas Kerja, Lokakarya. LIPI & Man&Biosphere.
Kartini. 2005. Sebaran dan Kelimpahan Jenis Pohon Puspa (Schima. wallichii
(D.C.) Korth) di Kawasan Gunung Kencana Cianjur-Jawa Barat. Skripsi. Prog. Studi Biologi. FMIPA, Univ. Pakuan. Bogor.
Kent, M., & P. Coker. 1992. Vegetation Description and Analysis. A Practical
Approach. CRC Press, Belhaven Press, London. Kerhaws, K.A. 1973. Quantitative and Dynamic Plant Ecology. 2nd. ed. The
English Language Book Society and Edward Arnold (Publishers) Ltd, London.
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. McMillan Publishing Company, New York. Kitayama, K., N. M. Lee., L.Shin., & I. Aiba. 2000. Soil Phosphorous Fractional
and Phosphorous Use Efficiencies of Tropical Rainforests along Altitudinal Gradients of Mount Kinabalu, Borbeo. Oecologia 123:342-349.
.1992. An Altitudinal Study of The Vegetation on Mount Kinabalu,
Borneo. Vegetatio 102: 149-171. Koorders, S.H. 1922. Exkursions Flora Von Jawa. Atlas. Bluten pflanzen. Jena
Verlag Von Gustav, Buitenzorg. Krebs, C.J. 1989. Ecologycal Methodology. Harper & Row, Publishers, New
York, Cambridge, Singapore, Sidney. Kuchler, A.W. 1967. Vegetation Mapping. The Ronald Press Company, New
York ., & I.S. Zonneveld. 1988. Handbook of Vegetation Science.
Vegetation Mapping. Kluwer Academic Publishers, Boston, London.
163
Kusmana, C .1989. Phitososiologi Hutan Hujan Pegunungan Gn-Gede
Pangrango, Jawa Barat. Laporan Penelitian. Fahutan, IPB, Bogor. . 1993. A Study on Mangrove Forest Management Based on
Ecologycal Data in East Sumatera, Indonesia. Kyoto University, Japan. . 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor,
Bogor Lambin, E. F., M.D. A. Rousenvell., & H.J. Geist. 2000. Are Agricultural Land
Use Models Able to Predict Changes? in Land Use Intensity. Agricultural, Ecosystem and Environment 82:321-331.
Laumonier, Y. 1997. The Vegetation and Physiography of Sumatera. Kluwer
Academic Publisher, Boston, London. Ludwig, J.A., & J.F. Reynold. 1998. Statistical Ecology. A Wiley Interscience
Publication, John Wiley and Sons, New York. MacCracken, J.G., D.W. Uresl., & R.M. Hanssen. 1983. Plant Community
Variability on A Small Area in Southeasthern Montana. Forest Service, Rock Mountain and Range Experiment Station, South Dakota.
MacKinnon, J., & K. MacKinnon. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Di Lindungi
Di Daerah Tropika. Terjemahan oleh: Amir, H.H. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Michael, P. 1984. Ecologycal Method for Filed Biology and Laboratory
Investigation. Tata McGraw Hill Company Limited, New Delhi. Ministry of Forestry, The Republic of Indonesia & JICA. 2004. Project on The
Gunung Halimun-Salak National Park Management Project in The Republic of Indonesia. Project Document. Jakarta (Not Published).
Misra, K. C. 1980. Manual of Plant Ecology. 2nd. ed. Oxford and IBH Publishing
Co, New Delhi. Miyamoto, K., E. Suzuki., T. Kohyama., T. Seino., E. Mirmanto., & H. Simbolon.
2003. Habitat Diffrentiation Among Tree Species With Amall-Scale Variation of Humus Depth and Topography in a Tropical Heath Forest of Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Tropical Ecology 19: 43-54.
Mountain Watch. 2000. Mountain Environment. http://www.mountain.org/grte.
[24 September 2004]. Mueller-Dombois, D., & H. Ellenberg. 1974a. Aims and Method of Vegetation
Ecology. John Willey and Sons, New York.
164
.1974b. Vegetation Types: A Consideration of Available Methods and Their Suitability for Various Purposes. Technical Report No. 49. Island Ecosystem IRP. U.S. International Biological Program.
Nadkarni, N.M., T.J. Matelson., & W.A. Haber. 1995. Structural Characteristic
and Flosritic Composition of a Neotropical Cloud Forest, MonteVirede, Costa Rica. Journal of Tropical Ecology 11: 481-495.
Notohadiprawiro, T. 1987. Metode dan Teknik Pengumpulan Analisis dan
Interpretasi Data Tanah. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan. Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta. Ohsawa, M., P.H.J. Nainggolan., N. Tanaka., & C. Anwar. 1985. Altitudinal
Zonation of Forest Vegetation on Mount Kerinci, Sumatera with Comparisons to Zonation in Temperate Region of East Asia. Journal of Tropical Ecology, 1: 193-216.
Osborne, P.L. 2000. Tropical Ecosystem and Ecological Concepts. Cambridge
University, Edinburgh, New York. Pandeya, S.C., G.S. Puri., & J.S. Singh.1968. Reasearch Methods in Plant
Ecology. Asia Publishing House. Bombay, Calcutta, NewYork. Parthasarathy, N. 1999. Tree Diversity and Distribution in Undisturbes and
Human Impacted Sites of Tropical Wet Evergreen Forest in Southern Western Ghat, India. Biodiversity and Conservation 8: 1365-1381.
Paulina, R. 2005. Penentuan Indeks Palatabilitas Lutung Hitam (Trachypitus
cristatus Reichenbach, 1862) di kawasan gunung Salak Unocal Geothermal of Indonesia, Ltd. Gunung Salak. Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Jur. Konservasi Sumberdaya Hutan, IPB, Bogor.
Peet, K. 1989. Forest of Rocky Mountains in North American Terrestrial
Vegetation. Edit by Barbour, M.G., & W.D. Billings. Cambridge University Press. Cambridge, New York.
Pendry, C.A., & J. Proctor. 1996. The causes of Altitudinal Zonation of Rainforest
on Bukit Belalong, Brunei. Journal of Ecology 84: 407-418. Pielou, E.C. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A Primer on
Classification and Ordination. John Wiley and Sons, New York, Singapore. Poole, R.W. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. McGraw-Hill Book
Company, New York.
165
Pradiastoro, A. 2004. Kajian Tempat Tumbuh Alami Palahlar Gunung
(Dipterocarpus retusus Bl) di Kawasan Hutan Lindung Gunung Cakrabuana, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fahutan, IPB, Bogor.
Pratiwi, E.R.T. 2006. Hubungan antara Peneyebaran Alami Bambu Betung
(Dendrocalamus asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. Skripsi. Program Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor.
Putro, H.R. 1997. Keanekaragaman Hayati Gunung Salak dan Kendala
Pengelolaannya dalam Manajemen Bioregional. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Prosiding. Puslitbang Biologi-LIPI dan Program Studi Biologi Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Rabinowitz, D., S. Cairns., & T. Dillon. 1986. Seven Forms of Rarity and
Frequency in the Flora of the British Isles in Conservation Biology, The Science of Scarcity and Diversity. Edit by Soule, M.E. Sinaver Associates, Inc. Publisher, Sunderland.
Resosoedarmo, R., K. Karwinata., & A. Soegiarto. 1986. Pengantar Ekologi.
Remaja Karya, Bandung. Richard, P. W. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. At The
University Press, Cambridge. 1971. The Structure of Tropical Rain Forest: Synusiae and
stratification in Word Vegetation Type. Ed: S.R. Eyre. MacMillan, London. Rimpala. (Rimbawan pencinta Alam). 2001. Laporan Ekspedisi Gunung Salak
(Tumbuhan Obat dan Amphibi-Reptil) di Kawah Ratu. Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.
Rohrig, E. 1991. Temperate Decidous Forests. Ecosystem of The World 7. edit by
Rohrig, E., & B. Ulrich. Elsevier, Amsterdam. Sanches, P.S. 1992. Sifat-Sifat dan Penggolongan Tanah Tropika. Jilid 1.
Terjemahan. Penerbit ITB, Bandung. Sandy, I.M. 1997. Karakteristik Iklim, Geomorfologi, dan tata Guna Lahan dari
Gunung Gede-Pangrango Sampai Gunung Halimun dalam Manajemen Bioregional. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Prosiding. Puslitbang Biologi-LIPI dan Program Studi Biologi Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Santosa, S., & F. Tjiptono. 2001. Riset Pemasaran. Konsep dan Aplikasi SPSS. PT
Elex media Komputindo, Jakarta.
166
Santosa, S. 2002. Buku latihan SPSS Statistik Multivariat. PT Elex media
Komputindo, Jakarta. . 2000. Statistik Parametrik. Buku latihan SPSS. PT Elex media
Komputindo, Jakarta. Sastrowihardjo, M. 1997. Karakter Umum Tata Guna Tanah Wilayah Gunung
Salak, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Halimun dalam Manajemen Bioregional. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak. Prosiding. Puslitbang Biologi-LIPI dan Program Studi Biologi Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Shimwell, D. W. 1971. The Description and Classification of Vegetation. Sidwick
and Jackson, London. Simbolon, H., H. Wiradinata., & M. Yoneda. 2002. Plant Diversity in Gunung
Halimun National Park, West Java Indonesia: Inventoring Activities in Gunung Halimun: The Last Submontane Tropical Forest in West Jawa. Reasearch and Conservation of Biodiversity in Indonesia. Vol IV. Edit By: Simbolon, H., M. Yoneda., & J. Sugardjito. LIPI, JICA, PHKA, Bogor.
Soedomo, S. 1984. Studi Hubungan Sifat-Sifat Tanah dan Fisiografi dengan
Peninggi Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Tesis. Fakultas Pasca sarjana, IPB, Bogor.
Sjarif, F. 1999. Fluktuasi Potensi Air Harian (Diurnal) dan Musiman (Seasonal)
Puspa (S. wallichii), Damar (Agathis dammara) dan Manii (Maesopsis eminii) dan Lahan Reklamasi Jampang. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor.
Spies, T.A., & M.G. Tunner. 1999. Dynamic Forest Mosaic in Maintaining
Biodiversity in Forest Ecosystem. Edited by Hunter, M.L, Jr. Cambridge University Press, Cambridge.
Stadmuller, T. 1987. Cloud Forest in The Humid Tropics. A Bibliographic Review.
United Nation University Press, Tokyo. Sutiyono, Hendromono, M. Wardani., & I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya
Tanaman Bambu. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Tadjang, M.H.L., & S. Mandung. 1987. Dasar-Dasar Klimatologi. Faperta, Univ.
Hasanuddin, Makassar. Utomo, B. 2006. Peran Seed Bank Terhadap Regenerasi Hutan Kaitannya
dengan Invasi Tumbuhan Eksotik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.
167
UNEP. 2003. Main Theme: Mountain Biodiversity. Status and Trend of , and Threats to, Mountain Biological Diversity. Montreal.
Van Steenis, C.G.G.J., 1972. The Mountain Flora of Java. E.J. Brill, The
Netherlands, Leiden. Veneklaas, E.J. 1991. Litterfall and Nutrient Fluxes in Two Montane Rain
Forests, Columbia. Journal of Tropical Ecology, 7 : 319-336. Vitousek, P.M. 1984. Litterfall, Nutrient Cycling, and Nutrient Limitation in
Tropical Forest. Ecology 65(1) : 285-298 ., L.R. Walker., L.D. Whiteaker., & P.A. Matson. 1993.
Nutrient Limitation to Plant Growth During Primary Succession in Hawaii Volcanoes National Park. Biogeochemistry 23: 197-215.
Vivien, L. 2002. Studi Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu di Area Unocal
Geothermal of Indonesia Limited Gunung Salak Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Jur. Konservasi Sumberdaya Hutan, IPB, Bogor.
Walter, H. 1971. Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation. Van Nostrand
Reinhold Company, New York, London. Weaver, J. E., & F.E. Clements. 1980. Plant Ecology. Tata McGraw Hill
Company Limited, New Delhi. Webb, C.O., & D.R. Peart. 2000. Habitat Association of Trees and Seedlings in
Bornean Rain Forest. Ecology: 88, 464-478. Webb, L.J. 2000. A General Classification of Australian Rainforests. Brisbane
rainforest Action & Information Network. http: //www.brisnane. webcentral. com. au/ special_articles/web1.html. [24 September 2004].
Whitmore, T.C. 1986. Tropical Rain Forest of The Far East. 2nd. ed. ELBS
Oxford University Press, Oxford. Whitten, J. A., M. Mustafa., & G.S. Henderson. 1988. The Ecology of Sulawesi.
Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Whitten, T., R. E. Soeriatmadja., & S.A. Adif. 1996. The Ecology of Java and
Bali. Periplus Edition, Singapore. Widjaja, E.A. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari, Bogor. ., Purwaningsih., & Z. Fanani. 2002. The Bamboos of Gunung
Halimun National Park, in Gunung Halimun: The Last Submontane Tropical Forest in West Jawa. Reasearch and Conservation of Biodiversity in
168
Indonesia. Vol IV. Edit By: Simbolon, H., M. Yoneda., & J. Sugardjito. LIPI, JICA, PHKA, Bogor.
Yayasan Bina Desa Lingkungan Gunung Salak. 1996. Laporan Inventarisasi
Keanekaragaman hayati Lahan Pekarangan Desa Pasir Eurih, Ciomas, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Yusuf, R. Purwaningsih., E.N. Sambas., & Ismail. 2003. Dinamika Perubahan
Ekosistem Bagian Hulu Dan Tengah Das Cisadane dalam Manajemen Bioregional Jabotabek: Tantangan dan Harapan. Pusat Penelitian Biologi. LIPI, Bogor.
Lampiran 1. Nama ilmiah dan nama daerah tumbuhan strata pohon dan semak No Spesies Famili Nama Daerah
1 Arisaema filiforme Blume Araceae Acung 2 Tarenna laxiflora (Blume) K. & V. Rubiaceae Anggrip
3 Donax cannaeformis (G. Forxt.) K. Schum Maranthaceae Arey Banbang
4 Rhaphidophora foraminifera Engl. Araceae Arey Lolok 5 Arey Tandang 6 Clibadium surinamense L. Asteraceae Babanyaran/Nampong
7 Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaya. Poaceae Bambu Andong
8 Dendrocalamus asper (Schult.f)Baker ex Heyne Poaceae Bambu Bitung
9 Schizostachyum brachycladum Kurz Poaceae Bambu Buluh
10 Gigantochloa apus (Blume Ex Schult. f.) Kurz Poaceae Bambu Tali
11 Schizostachyum iraten Steud. Poaceae Bambu Tamiyang12 Manglietia glauca Blume Mangnoliaceae Baros 13 Ficus fistulosa Reinw. ex Blume Moraceae Beunying 14 Ficus deltoidea Jack. Moraceae Beunying Cai 15 Ficus lepicarpa Blume Moraceae Bisoro
16 Plectocomia elongata Mart. ex Blume Arecaceae Bungbuay
17 Peperomia laevifolia (Blume) Miq. Piperamaceae Cacabean 18 Mallotus blumeanus M. A. Euphorbiaceae Calik Angin 19 Smilax leucophylla Blume Smilaxaceae Canar 20 Smilax macrocarpa Blume Smilaxaceae Canar Gede/Kebo21 Pandanus punctatus Pandanaceae Cangkuang 22 Glochidon rubrum Blume Euphorbiaceae Cantigi 23 Michelia montana Blume Magnoliaceae Cempaka 24 Lantana camara L. Verbenaceae Cente
25 Dracontomelon dao (Blanco) Merr & Rolfe Anacardiaceae Dahu
26 Ficus sinuata Thunb. Moraceae Darandang 27 Durio zibethinus Murr. Bombacaceae Durian
28 Schefflera aromatica (Blume) Harms Araliaceae Gompong
29 Ficus padana Burm f. Moraceae Hamerang 30 Vernonia arborea Buch. Ham. Asteraceae Hamirung 31 Prunus parviflorum T. B. Rosaceae Hamirung
32 Pleomele elliptica (Thunb.) N. E. Br. Liliaceae Hanjuang
33 Medinilla exima Blume Melastomaceae Harendang 34 Dissochaeta gracilis (Jack) Bakh. Melastomaceae Harendong 35 Melastoma malabattricum L. Melastomaceae Harendong Bulu
36 Archydeudron clypearia (Jack) Kasterm Mimosaceae Haruman
37 Antidesma bunius (L.) Spreng. Euphorbiaceae Huni Hutan 38 Litsea tomentosa Blume Lauraceae Huru Dapong
39 Litsea brachystachya (Blume) F. Vill. Lauraceae Huru Hiris
40 Phoebe grandis (Ness) Merr. Lauraceae Huru Kacang 41 Nothaphoebe umbelhflora Blume Lauraceae Huru Leer 42 Litsea garciae Vidal Lauraceae Huru Tangkalak43 Pinanga javana Blume Arecaceae. Jambe Rende
44 Actinorhytis calapparia (Blume) Wendl. Et Drude ex sechefler Arecaceae Jambe Sinagar
45 Symplocos fasciculata Zoll. Symplocaceae Jirak 46 Lannea coromandelica (Hout.)Merr Anacardiaceae Kadondong Hutan47 Elaeocarpus oxypyren K. et V Elaeocarpaceae Kakalapaan
170
No Spesies Famili Nama Daerah
48 Calliandra tetragoma Mimosaceae Kaliandra
49 Homalanthus populneus (Gieseler) Pax. Euphorbiaceae Kareumi
50 Polygala venenosa Juss. ex Poir. Polygalaceae Katuk/Kakatukan
51 Prunus arboreum (Blume) Endl. ex F. V. M. Rosaceae Kawoyang
52 Helicia robusta (Roxb.)R.Br.ex wall. Proteaceae Kenung
53 Litsea cubeba (Lour.) Pers. Lauraceae Ki Limo 54 Ficus globosa Blume Moraceae Ki Ara 55 Ficus involucrata Blume Moraceae Ki Ara Payung56 Rhodamnia cinerea Jack Myrtaceae Ki Besi
57 Goniothalamus macrophyllus (Blume) Hook.& Thoms. Annonaceae Ki Cantung
58 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume) Korth. Rubiaceae Ki Cengkeh
59 Pangium edule Reinw. Flacourtiaceae Ki Dage 60 Knema cinera (Poir.)Warb. Myristicaceae Kimokla 61 Cinnamomum javanicum Blume Lauraceae Ki Harendong 62 Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae Ki Huut 63 Polyosma integrifolia Blume Sarifragaceae Ki Jebug 64 Saurauia cauliflora DC. Actinidiaceae Ki Leho 65 Glochidion hypoleucum Miq. Euphorbiaceae Ki Pare 66 Maesa latifolia (Blume) DC. Myrsinaceae Ki Piit 67 Eupatorium inulifolium H.B.K. Asteraceae Ki Rinyuh 68 Euodia latifolia DC. Rutaceae Ki Sampang 69 Litsea macrophylla Wall Saxifragaceae Ki Seer 70 Clustocalyx opperculata Myrtaceae Ki Sirem
71 Lithocarpus elegans (Blume) Hatus ex Soepadmo Fagaceae Ki Wates
72 Ficus elastica Mors. ex Blume Moraceae Kiara Kebo 73 Buchanania arborescens Blume Anacardiaceae Kiara Payung 74 Sapium virgatuns Euphorbiaceae Kidawolong 75 Lasianthus sp. Rubiaceae Kokopian 76 Dysoxylum excelsum Blume Meliaceae Kokosan Monyet 77 Ficus variegata Blume Moraceae Kondang
78 Macaranga rhizinoides (Blume) M. A. Euphorbiaceae Manggong
79 Maesopsis eminii Engl. Rhamnaceae Manii
80 Macaranga cf. rhizimoides(Blume) M. & A. Euphorbiaceae Mara
81 Villebrunea rubescens Blume Urticaceae Nangsi
82 Dicranopteris dichotoma (Thunb) Bernh Gleicheniaceae Pakis Andam
83 Athyrium dilatatum (Blume) Milde Dennstaedtiaceae Pakis Benyir 84 Blechnum orientale L. Polypodiaceae Pakis Hurang85 Angiopteris evecta (Forsk.) Hottm Marattiaceae Pakis Kebo 86 Oleandra pistilaris (Sw.) C. Chr. Oleandroideaceae Pakis Payung 87 Cyathea contaminans (Hook) Copel Cyatheaceae Pakis Sier 88 Cyathea junghuniana Author Cyatheaceae Paku Payung 89 Cyathea cf. javanica Blume Cyatheaceae Paku Tihang 90 Dipterocarpus hakseltii Blume Dipterocarpaceae Palahlar 91 Pandanus polycephalus Lamk Pandanaceae Pandan Hutan92 Schefflera scanden (Blume) Vig. Araliaceae Panggang
93 Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. Meliaceae Panggang Puyuh
94 Quercus gemelliflora Blume Fagaceae Pasang Batarua
171
No Spesies Famili Nama Daerah
95 Castanopsis acuminatissima (Blume) A.DC. Fagaceae Pasang Putih
96 Aporosa octandra (Buck.Ham ex Don) Vickery. Euphorbiaceae Peris
97 Pinus merkusii Jungh. & De Vrese Pinaceae Pinus 98 Hoersfieldia glabra (Blume) Warb. Myristicaeae Piskulit 99 Mangifera cf. indica L. Anacardiaceae Ponggokan 100 Pilea melastomoides (Poir.) Blume Urticaceae Pohpohan 101 Schima wallichii(DC.) Korth Theaceae Puspa
102 Schefflera longifolia (Blume) Vig. Araliaceae Ramogiling
103 Schefflera lucescens (Blume) Vig. Araliaceae Rangasa 104 Altingia excelsa Norona Hamamelidaceae Rasamala 105 Gluta renghas L. Anacardiaceae Renghas
106 Calamus ciliaris Blume ex Roemer & Schults Arecaceae Rotan Cacing
107 Calamus javensis Blume Arecaceae Rotan Omas 108 Calamus reinwarditii Blume Arecaceae Rotan Pelah 109 Calamus heteroideus Blume Arecaceae Rotan Pungkur/Ceel 110 Flacourtia rukam Z. et M. Flacortiaceae Rukem
111 Cleistocalyx operculata (Roxb.) Merr. & Perry. Myrtaceae Salam Anjing
112 Castanopsis argentea (Blume) A. DC. Fagaceae Saninten
113 Symplocos spicata Roxb. Symploceae Sasah 114 Ficus grossularioides Burm. f. Moraceae Sehang 115 Blumea balsamifera (L.) DC. Asteraceae Sembung Hutan 116 Antidesma tetrandrum Blume Euphorbiaceae Seserehan 117 Leea indica (Burm.F.) Merr. Leeaceae Sulangkar 118 Cinchona officinalis L. Rubiaceae Sulibra 119 Caryota mitis Lour. Arecaceae Suwangkung 120 Gnetum gnemon L. var. gnemon Gnetaceae Tangkil Hutan 121 Ficus ribes Reinw. ex. Blume Moraceae Walen
172
Lampiran 2. Nama ilmiah dan nama daerah tumbuhan strata herba No Spesies Famili Nama Daerah1 Arundina speciosa Blume Orchidaceae Anggrek Bambu
2 Dinochloa scandens (Blume ex Ness O. K. Poaceae Aawiyan
3 Dipteris conjugata Reinw. Andam Payung
4 Eltingera megalocheilos (Griff.) Baker. Zinggiberaceae Balakatoak
5 Isachne globosa (Thumb.) O. K. Poaceae Bayondah Minyak
6 Erechthites hieracifolia (L)Rafm. ex DC. Asteraceae Bolostrok
7 Neonauclea obtusa (Blume) Merr. Rubiaceae Cangcaratan
8 Mikania cordata (Burm. f.) Blume Robinson Asteraceae Capit Tuher
10 Homalonema cordata Schott Areaceae Cariang
11 Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Z. & M. Areaceae Ciriwuh
12 Trivalvaria macrophylla (Blume) Miq. Annonaceae Cileh Anjing
13 Curculigo capitulata (Lour.) Herb. Amaryllidaceae Congkok 14 Curculigo orchinoides Gaertn. Amaryllidaceae Congkok Gede15 Phragmites karka (Retz).Trin Poaceae Gayonggong 16 Polygonum perfoliatum L. Polygonaceae Gingseng Hutan 17 Kalanchoe pinnata (Link) Pers. Crassulaceae Gamet Hutan18 Rubus moluccanus L. Rubiaceae Harees
19 Begonia hirtella Link BegoniaceaeHariang Bulu (As.Hariang)
20 Begonia bracteata Jack Begoniaceae Hariang Laki 21 Scleria purpurascens Steud. Cyperaceae Ilat
22 Coleus scufellarioides (L.) Bth. Lamiaceae Jewer Kotok Hutan
23 Cyathula protrata (L.) Blume Amaranthaceae Jotang Hutan24 Digitaria adscendeus (H. B. K) Hem. Poaceae Jukut Pahit 25 Lasianthus inodurus Blume Rubiaceae Kahitutan 26 Alocasia macrorrhiza (L.) G.Don Araceae Kajar-Kajar 27 Garcinia paroifolia (Miq.) Cluciaceae Kakawatan 28 Trichosanthes bracteata (Lmk) Vorgt Cucubitaceae Kalayar 29 Saecharum spontaneum L. Poaceae Kaso
30 Millettia sericea (Vent.) W. & A. ex Hassk. Fabaceae Kawawo
31 Poikilosperma saveolens (Blume) Merr Moraceae Kekejoan
32 Tetraglochidium bibracteatum (Blume.) Brem. Acanthaceae Ki Beling
33 Ki Genteng
34 Coleus scutellarioides (L.) Bth. LamiaceaeHerba1 (Kekentangan)
35 Commelina paludosa Blume Commelinaceae Ki Sepet 36 Mussaenda frondosa L. Rubiaceae Kinkilaban37 Orthosiphon aristatus (Blume).Miq. Lamiaceae Kumis Kucing
38 Catimbium malaccansis (Burm.f).Holf.t Zingiberaceae Laja Goa
39 Aglaia odorata Lour. Meliaceae Pacar Cina40 Costus speciosus (Koen.) J E.Smith. Castaceae Pacing 41 Nephrolepis exalltata Shcott. Polypodiaceae Pakis Benter42 Cycas sp. Cycadaceae Pakis Haji 43 Vittaria ensiformis Sw. Vitaceae Pakis Kadaka
44 Asplenium nidus L. Polypodiaceae Pakis Kadaka
173
Gede
No Spesies Famili Nama Daerah
45 Athyrium bantamense (Blume) Milde. Dennstaedtiaceae Pakis Kebo Kecil
46 Pogonatherum paniceum (Link)Hack. Poaceae Palias 47 Phrynium capitatum Willd. Maranthaceae Patat
48 Hornstedtia paludosa K. Schuman ZinggiberaceaePinding Ranjang
49 Mussa cf. seuminania Musaceae Pisang Kole
50 Deudranejek stimulans (L.f.) Gaud. Ex. Miq. Urticaceae Pulus
51 Selaginella plana Hieron. Selaginellaceae Rane 52 Themeda arguens (L.) Hack. Poaceae Rangkas Bitung53 Staurogyne elongata (Blume)O. K. Acanthantaceae Rende 54 Staurogyne sp. Acanthantaceae Rende Badak 55 Daemonorops melanochaetes Blume Arecaceae Rotan Pelah 56 Setaria palmifolia (Wild.) Stapf Poaceae Sauhen 57 Piper aduncum Linn. Piperaceae Sisirihan 58 Commelina nudiflora L. Commelinaceae Tali Sahid 59 Schizostachyum sp. Poaceae Tamiyang Cai 60 Etlingera punicea(Roxb.) R.M.Smith. Zingiberaceae Tepus
174
Lampiran 3. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 1
No KODE Nama Spesies Kon-
stansi Keterangan
1 S55 Balimbing Hutan 1 SJr SJr: Spesies Jarang
2 T4 Bambu Buluh 1 SJr SD : Spesies Diffrensial
3 S41 Pedes Hutan 1 SJr SU : Spesies Umum
4 H3 Andam Payung 1 SJr 5 H21 Jewer Kotok Hutan 1 SJr 6 H28 Kaso 1 SJr 7 H29 Kawawo 1 SJr 8 H36 Kumis Kucing 1 SJr 9 T15 Cantigi 2 SJr
10 S9 Dahu 2 SJr 11 S13 Hanjuang 2 SJr 12 S42 Huru Madang 2 SJr 13 T52 Kimokla 2 SJr 14 S28 Rangasa 2 SJr 15 S33 Rukem 2 SJr 16 H14 Gayonggong 2 SJr 17 H26 Kakawatan 2 SJr 18 H51 Rangkas Bitung 2 SJr 19 H58 Tamiyang Cai 2 SJr 20 S44 Huru Tangkil 3 SJr 21 S21 Nangsi 3 SJr 22 S31 Rotan Pelah 3 SJr 23 H48 Pisang Kole 3 SJr 24 T10 Bisoro 4 SJr 25 S8 Cente 4 SJr 26 S18 Ki Dage 4 SJr 27 S40 Papatatan 4 SJr 28 H27 Kalayar 4 SJr 29 T38 Ki Cantung 5 SJr 30 H22 Jotang Hutan 5 SJr 31 S16 Kakalapaan 6 SJr 32 S32 Rotan Pungkur/Ceel 6 SJr 33 S35 Sulangkar 6 SJr 34 H31 Ki Beling 6 SJr 35 H32 Ki Genteng 6 SJr 36 S43 Katapang/Ketepang 7 SJr 37 T54 Kokosan Monyet 7 SJr 38 T74 Renghas 7 SJr 39 T22 Huni Hutan 8 SJr 40 H16 Gamet Hutan 8 SJr 41 H38 Pacar Cina 8 SJr 42 H39 Pacing 8 SJr 43 S1 Acung 9 SJr 44 S57 Duduitan 9 SJr
175
45 T36 Ki Ara 9 SJr 46 T37 Ki Ara Payung 9 SJr 47 S23 Pakis Hurang 9 SJr 48 S27 Pohpohan 9 SJr 49 S36 Tangkil Hutan 9 SJr 50 H1 Anggrek Bambu 10 SJr 51 T33 Katuk/Kakatukan 11 SJr 52 S17 Ki Besi 11 SJr 53 T68 Pinus 12 SJr 54 H37 Laja Goa 12 SJr 55 T31 Kaliandra 13 SJr 56 T75 Salam Anjing 13 SJr 57 H6 Bolostrok 13 SJr 58 T62 Palahlar 14 SJr 59 S34 Sembung Hutan 14 SJr 60 H8 Capit Tuher 14 SJr 61 H11 Cileh Anjing 14 SJr 62 T55 Kondang 15 SJr 63 T79 Seserehan 15 SJr 64 T30 Kadondong Hutan 16 SJr 65 H46 Patat 16 SJr 66 T28 Jambe Sinagar 19 SJr 67 S19 Ki Rinyuh 19 SJr 68 S12 Hamirung 20 SJr 69 H23 Jukut Pahit 20 SJr 70 H47 Pinding Ranjang 20 SJr 71 T39 Ki Harendong 21 SJr 72 T50 Kiara Kebo 21 SJr 73 S25 Pakis Payung 21 SJr 74 H24 Kahitutan 24 SJr 75 T45 Ki Piit 26 SJr 76 H19 Hariang Laki 27 SJr 77 T20 Harendong 29 SJr 78 H43 Pakis Kadaka Gede 29 SJr 79 T51 Kidawolong 30 SJr 80 T70 Ponggokan 32 SJr 81 T9 Beunying Cai 33 SJr 82 T82 Walen 34 SJr 83 H9 Cariang 34 SJr 84 H57 Tali Sahid 34 SJr 85 T23 Huru Dapong 35 SJr 86 T63 Panggang 35 SJr ASOSIASI 87 S5 Babanyaran/Nampong 36 SD 1 88 T77 Sasah 38 SD 1 89 H17 Harees 39 SD 1 90 H2 Aawiyan 40 SD 1 91 H5 Bayondah Minyak 41 SD 1 92 S24 Pakis Kebo 42 SD 1 93 T21 Haruman 42 SD 1 94 T67 Peris 42 SD 1 95 H52 Rende 43 SD 1
176
96 S26 Paku Payung 43 SD 1 97 H34 Ki Sepet 49 SD 1 98 H41 Pakis Haji 49 SD 1 99 H13 Congkok Gede 51 SD 1
100 H25 Kajar-Kajar 51 SD 1 101 T42 Ki Leho 54 SD 1 102 T76 Saninten 55 SD 1 103 S29 Rotan Cacing 58 SD 1 104 T24 Huru Hiris 59 SD 1 105 H55 Sauhen 60 SD 1 106 T35 Kenung 61 SD 1 107 T18 Hamerang 65 SD 1 108 T61 Paku Tihang 65 SD 1 109 S38 Pandan Hutan 66 SD 1 110 T43 Ki Limo 66 SD 1 111 T80 Sulibra 66 SD 1 112 H15 Gingseng Hutan 71 SD 1 113 T81 Suwangkung 74 SD 1 114 H49 Pulus 75 SD 1 115 T72 Ramogiling 75 SD 1 116 T57 Manii 83 SD 1 117 T1 Anggrip 96 SD 1 118 T7 Baros 75 SD 2 119 S10 Darandang 76 SD 2 120 T19 Harendang 89 SD 2 121 T8 Beunying 92 SD 2 122 T32 Kareumi 97 SD 2 123 T16 Cempaka 98 SD 2 124 T25 Huru Kacang 112 SD 2 125 T83 Ki Cengkeh 116 SD 2 126 T78 Sehang 129 SD 2 127 T73 Rasamala 151 SD 2 128 T49 Ki Wates 164 SD 2 129 H4 Balakatoak 181 SD 2 130 T13 Calik Angin 182 SD 2 131 H45 Palias 103 SD 3 132 H35 Kinkilaban 107 SD 3 133 H10 Cariwuh 112 SD 3 134 H59 Tepus 114 SD 3 135 T27 Jambe Rende 133 SD 3 136 T12 Cacabean 140 SD 3 137 T14 Cangkuang 151 SD 3
138 H18 Hariang Bulu (As.Hariang) 157 SD 3
139 H12 Congkok 165 SD 3 140 H53 Rende Badak 174 SD 3 141 T26 Huru Leer 185 SD 3 142 T47 Ki Seer 192 SD 3 143 T40 Ki Huut 120 SD 4 144 T58 Mara 125 SD 4 145 H44 Pakis Kebo Kecil 126 SD 4
177
146 T53 Kokopian 130 SD 4 147 T41 Ki Jebug 159 SD 4 148 S30 Rotan Omas 164 SD 4
149 H33 Herba1 (Kekentangan) 202 SD 4
150 T11 Bungbuay 212 SD 4 151 S7 Canar Gede/Kebo 173 SD 5 152 T44 Ki Pare 174 SD 5 153 S3 Arey Lolok 182 SD 5 154 S2 Arey Banbang 206 SD 5 155 T34 Kawoyan 207 SD 5 156 T66 Pasang Putih 220 SU 157 H42 Pakis Kadaka 225 SU 158 T48 Ki Sirem 236 SU 159 T69 Piskulit 236 SU 160 S4 Arey Tandang 238 SU 161 H50 Rane 243 SU 162 T65 Pasang Batarua 250 SU 163 T46 Ki Sampang 251 SU 164 S22 Pakis Andam 252 SU 165 S6 Canar 258 SU 166 T17 Gompong 260 SU 167 H20 Ilat 272 SU 168 H56 Sisirihan 272 SU 169 T64 Panggang Puyuh 275 SU 170 T59 Pakis Benyir 276 SU 171 T56 Manggong 279 SU 172 S14 Harendong Bulu 281 SU 173 T29 Jirak 315 SU 174 T71 Puspa 323 SU 175 H40 Pakis Benter 324 SU 176 T60 Pakis Sier 355 SU
178
Lampiran 4. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 2 No Nama
Daerah Spesies Kon-
stansi Keterangan SJr: Spesies Jarang
1 Baros 1 SJr SD : Spesies Diffrensial
2 Cantigi 1 SJr SU : Spesies Umum
3 Dahu 1 SJr 4 Jambe Sinagar 1 SJr 5 Kadondong Hutan 1 SJr 6 Kidawolong 1 SJr 7 Totongoan 1 SJr 8 Gamet Hutan 1 SJr 9 Kawawo 1 SJr
10 Hamirung 2 SJr 11 Huru Tangkalak 2 SJr 12 Kokosan Monyet 2 SJr 13 Pakis Payung 2 SJr 14 Pedes Hutan 2 SJr 15 Renghas 2 SJr 16 Rotan Pungkur/Ceel 2 SJr 17 Bolostrok 2 SJr 18 Cangcaratan 2 SJr 19 Gingseng Hutan 2 SJr 20 Kakawatan 2 SJr 21 Kaso 2 SJr 22 Laja Goa 2 SJr 23 Tamiyang Cai 2 SJr 24 Bambu Buluh 3 SJr 25 Hanjuang 3 SJr 26 Nangsi 3 SJr 27 Paku Payung 3 SJr 28 Pandan Hutan 3 SJr 29 Rukem 3 SJr 30 Salam Anjing 3 SJr 31 Pacar Cina 3 SJr 32 Pinding Ranjang 3 SJr 33 Pohpohan 4 SJr 34 Kumis Kucing 4 SJr 35 Katuk/Kakatukan 5 SJr 36 Ki Cengkeh 5 SJr 37 Jewer Kotok Hutan 5 SJr 38 Kahitutan 5 SJr 39 Pisang Kole 5 SJr 40 Kakalapaan 6 SJr 41 Kaliandra 6 SJr 42 Ki Ara 6 SJr 43 Beunying Cai 7 SJr 44 Kiara Kebo 7 SJr 45 Pakis Hurang 7 SJr
179
46 Saninten 7 SJr 47 Sasah 7 SJr 48 Capit Tuher 7 SJr 49 Hariang Laki 7 SJr 50 Rangkas Bitung 7 SJr 51 Bambu Bitung 8 SJr 52 Bambu Tamiyang 8 SJr 53 Huru Hiris 8 SJr 54 Rotan Cacing 8 SJr 55 Kekejoan 8 SJr 56 Ki Cantung 9 SJr 57 Ki Harendong 10 SJr 58 Congkok Gede 10 SJr 59 Tali Sahid 10 SJr 60 Harendang 11 SJr 61 Panggang 11 SJr 62 Harendong 12 SJr 63 Peris 12 SJr 64 Palahlar 13 SJr 65 Jukut Pahit 13 SJr 66 Pakis Haji 13 SJr 67 Bambu Andong 14 SJr 68 Pakis Kadaka Gede 14 SJr 69 Ki Jebug 15 SJr 70 Seserehan 15 SJr 71 Kawoyan 16 SJr Asosiasi 72 Cileh Anjing 17 SD 1 73 Ki Limo 17 SD 1 74 Cente 18 SD 1 75 Huru Kacang 18 SD 1 76 Ponggokan 18 SD 1 77 Palias 20 SD 1 78 Anggrip 20 SD 1 79 Ki Leho 22 SD 1 80 Kokopian 22 SD 1 81 Pacing 23 SD 1 82 Babanyaran/Nampong 23 SD 1 83 Hamerang 23 SD 1 84 Haruman 23 SD 1 85 Kareumi 23 SD 1 86 Cariang 25 SD 1 87 Ki Piit 26 SD 1 88 Rotan Omas 28 SD 1 89 Kenung 28 SD 1 90 Rende 29 SD 1 91 Ki Rinyuh 29 SD 1 92 Ki Huut 30 SD 1 93 Rasamala 30 SD 1
94 Herba1 (Kekentangan) 33 SD 1
95 Pulus 33 SD 1
180
96 Ki Seer 33 SD 1 97 Ramogiling 34 SD 1 98 Cempaka 40 SD 1 99 Sehang 42 SD 1
100 Manii 43 SD 1 101 Paku Tihang 45 SD 1 102 Harees 48 SD 1 103 Kinkilaban 48 SD 1 104 Huru Dapong 21 SD 2 105 Kajar-Kajar 24 SD 2 106 Pakis Kebo 27 SD 2 107 Walen 30 SD 2 108 Ki Sepet 34 SD 2 109 Suwangkung 35 SD 2 110 Beunying 38 SD 2 111 Patat 41 SD 2 112 Pakis Kebo Kecil 43 SD 2
113 Hariang Bulu (As.Hariang) 47 SD 2
114 Pasang Putih 53 SD 2 115 Bambu Tali 56 SD 2 116 Darandang 60 SD 2 117 Mara 50 SD 3 118 Pakis Kadaka 60 SD 3 119 Jambe Rende 67 SD 3 120 Cariwuh 77 SD 3 121 Cacabean 78 SD 3 122 Rende Badak 83 SD 3 123 Tepus 86 SD 3 124 Huru Leer 55 SD 4 125 Canar Gede/Kebo 59 SD 4 126 Cangkuang 62 SD 4 127 Ki Wates 64 SD 4 128 Panggang Puyuh 65 SD 4 129 Pasang Batarua 68 SD 4 130 Arey Banbang 69 SD 4 131 Rane 70 SD 4 132 Arey Lolok 71 SD 4 133 Puspa 72 SD 4 134 Pakis Andam 73 SD 4 135 Ki Pare 74 SD 4 136 Balakatoak 75 SD 4 137 Pakis Benyir 82 SD 4 138 Ilat 84 SD 4 139 Congkok 85 SD 4 140 Arey Tandang 87 SD 4 141 Aawiyan 60 SD 5 142 Pinus 62 SD 5 143 Sulibra 66 SD 5 144 Bayondah Minyak 85 SD 5 145 Ki Sirem 74 SD 6
181
146 Sauhen 77 SD 6 147 Ki Sampang 84 SD 6 148 Piskulit 87 SD 6 149 Bungbuay 91 SD 6 150 Gompong 98 SD 6 151 Sisirihan 99 SD 6 152 Calik Angin 100 SD 6 153 Canar 109 SU 154 Harendong Bulu 119 SU 155 Manggong 119 SU 156 Pakis Benter 121 SU 157 Jirak 143 SU 158 Pakis Sier 166 SU
182
Lampiran 5. Spesies umum, jarang dan diferensial di aliansi 3
No KODE Nama Daerah
Spesies Kon-
stansi Keterangan
1 T16 Cempaka 1 SJr SJr: Spesies Jarang
2 T38 Ki Cantung 1 SJr SD : Spesies Diffrensial
3 T39 Ki Harendong 1 SJr SU : Spesies Umum
4 T50 Kiara Kebo 1 SJr 5 S26 Paku Payung 1 SJr 6 T62 Palahlar 1 SJr 7 T63 Panggang 1 SJr 8 T76 Saninten 1 SJr 9 S34 Sembung Hutan 1 SJr
10 S35 Sulangkar 1 SJr 11 H21 Jewer Kotok Hutan 1 SJr 12 H23 Jukut Pahit 1 SJr 13 H27 Kalayar 1 SJr 14 H38 Pacar Cina 1 SJr 15 H39 Pacing 1 SJr 16 T10 Bisoro 2 SJr 17 S8 Cente 2 SJr 18 S44 Huru Tangkil 2 SJr 19 T54 Kokosan Monyet 2 SJr 20 S33 Rukem 2 SJr 21 H24 Kahitutan 2 SJr 22 H36 Kumis Kucing 2 SJr 23 H43 Pakis Kadaka Gede 2 SJr 24 H46 Patat 2 SJr 25 H48 Pisang Kole 2 SJr 26 H58 Tamiyang Cai 2 SJr 27 T21 Haruman 3 SJr 28 T33 Katuk/Kakatukan 3 SJr 29 T41 Ki Jebug 3 SJr 30 T70 Ponggokan 3 SJr 31 S32 Rotan Pungkur/Ceel 3 SJr 32 T77 Sasah 3 SJr 33 T9 Beunying Cai 4 SJr 34 T35 Kenung 4 SJr 35 S17 Ki Besi 4 SJr 36 T45 Ki Piit 4 SJr 37 T52 Kimokla 4 SJr 38 S25 Pakis Payung 4 SJr 39 S27 Pohpohan 4 SJr 40 H13 Congkok Gede 4 SJr 41 H15 Gingseng Hutan 4 SJr 42 H19 Hariang Laki 4 SJr 43 H26 Kakawatan 4 SJr 44 T19 Harendang 5 SJr 45 T20 Harendong 5 SJr
183
46 T79 Seserehan 5 SJr 47 H25 Kajar-Kajar 5 SJr 48 T23 Huru Dapong 6 SJr 49 T28 Jambe Sinagar 6 SJr 50 H57 Tali Sahid 6 SJr Asosiasi 51 H10 Cariwuh 39 SD 1
52 H33 Herba1 (Kekentangan) 27 SD 1
53 H53 Rende Badak 31 SD 1 54 H59 Tepus 35 SD 1 55 S14 Harendong Bulu 42 SD 1 56 S22 Pakis Andam 34 SD 1 57 T13 Calik Angin 36 SD 1 58 T69 Piskulit 37 SD 1 59 T71 Puspa 41 SD 1 60 H11 Cileh Anjing 11 SD 2 61 H2 Aawiyan 17 SD 2 62 H52 Rende 17 SD 2 63 S19 Ki Rinyuh 18 SD 2 64 S4 Arey Tandang 25 SD 2 65 S6 Canar 21 SD 2 66 S7 Canar Gede/Kebo 23 SD 2 67 T11 Bungbuay 32 SD 2 68 T12 Cacabean 16 SD 2 69 T14 Cangkuang 28 SD 2 70 T27 Jambe Rende 23 SD 2 71 T34 Kawoyan 12 SD 2 72 T42 Ki Leho 19 SD 2 73 T72 Ramogiling 18 SD 2 74 T8 Beunying 25 SD 2 75 T82 Walen 14 SD 2 76 H12 Congkok 29 SD 3 77 H35 Kinkilaban 24 SD 3 78 H4 Balakatoak 38 SD 3 79 T17 Gompong 27 SD 3 80 T44 Ki Pare 24 SD 3 81 T48 Ki Sirem 34 SD 3 82 T78 Sehang 31 SD 3 83 T80 Sulibra 29 SD 3 84 H17 Harees 12 SD 4 85 S10 Darandang 14 SD 4 86 S23 Pakis Hurang 9 SD 4 87 S3 Arey Lolok 23 SD 4 88 S38 Pandan Hutan 13 SD 4 89 T24 Huru Hiris 8 SD 4 90 T43 Ki Limo 17 SD 4 91 T47 Ki Seer 21 SD 4 92 T53 Kokopian 19 SD 4 93 T73 Rasamala 22 SD 4 94 T81 Suwangkung 12 SD 4 95 H18 Hariang Bulu 11 SD 5
184
(As.Hariang) 96 H34 Ki Sepet 8 SD 5 97 H41 Pakis Haji 15 SD 5 98 H44 Pakis Kebo Kecil 13 SD 5 99 H47 Pinding Ranjang 11 SD 5
100 H49 Pulus 10 SD 5 101 H9 Cariang 8 SD 5 102 S2 Arey Banbang 11 SD 5 103 S24 Pakis Kebo 16 SD 5 104 S29 Rotan Cacing 9 SD 5 105 S30 Rotan Omas 14 SD 5 106 S5 Babanyaran/Nampong 10 SD 5 107 T1 Anggrip 10 SD 5 108 T18 Hamerang 11 SD 5 109 T25 Huru Kacang 12 SD 5 110 T31 Kaliandra 8 SD 5 111 T32 Kareumi 14 SD 5 112 T40 Ki Huut 10 SD 5 113 T51 Kidawolong 12 SD 5 114 T57 Manii 27 SD 5 115 T58 Mara 16 SD 5 116 T61 Paku Tihang 21 SD 5 117 T7 Baros 7 SD 5 118 T83 Ki Cengkeh 10 SD 5 119 H42 Pakis Kadaka 27 SD 6 120 H45 Palias 27 SD 6 121 H50 Rane 42 SD 6 122 H56 Sisirihan 30 SD 6 123 T26 Huru Leer 22 SD 6 124 T46 Ki Sampang 33 SD 6 125 T59 Pakis Benyir 38 SD 6 126 T64 Panggang Puyuh 32 SD 6 127 T65 Pasang Batarua 29 SD 6 128 T66 Pasang Putih 29 SD 6 129 H5 Bayondah Minyak 42 SD 7 130 H55 Sauhen 30 SD 7 131 T49 Ki Wates 34 SD 7 132 T68 Pinus 33 SD 7 133 H20 Ilat 43 SU 134 T56 Manggong 45 SU 135 H40 Pakis Benter 46 SU 136 T29 Jirak 55 SU 137 T60 Pakis Sier 66 SU
185
Lampiran 6. Indeks Nilai Penting Spesies pada Strata Vegetasi Pohon
oNo Nama Daerah B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 1 Anggrip 0,00 0,00 7,34 0,00 2,30 0,00 0,00 0,00 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 67,25 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11,67 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 29,70 0,00 0,00 0,00 46,65 108,53 0,00 6 Bambu Tamiyang 0,00 84,89 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 0,00 0,00 0,00 0,00 4,17 0,00 0,00 2,19 8 Beunying 0,00 0,00 3,51 0,00 1,48 0,00 2,34 0,00 9 Beunying Cai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 4,31 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 2,38 2,04 0,00 1,41 0,00 0,00 11,64 4,38 12 Cacabean 0,00 0,00 3,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13 Calik Angin 5,71 17,47 12,45 8,97 22,61 0,00 11,13 5,33 14 Cangkuang 12,15 12,33 18,25 1,44 3,53 0,00 12,58 19,75 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17 Gompong 0,00 6,90 6,33 11,66 6,49 0,00 14,96 34,83 18 Hamerang 0,00 0,00 1,51 4,45 0,00 0,00 0,00 0,00 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 2,05 1,47 0,00 0,00 0,00 0,00 7,27 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 0,00 4,86 2,94 6,28 8,96 0,00 0,00 0,00 24 Huru Hiris 0,00 2,82 10,33 5,18 4,47 0,00 0,00 0,00 25 Huru Kacang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 26 Huru Leer 5,99 12,99 17,69 14,72 6,02 0,00 2,33 2,48 27 Jambe Rende 2,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 7,11 15,44 32,85 11,25 12,25 5,36 18,19 12,10 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 0,00 2,04 0,00 0,00 0,00 5,20 0,00 0,00 32 Kareumi 0,00 0,00 0,00 0,00 10,84 0,00 0,00 2,25 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 34 Kawoyan 0,00 0,00 0,00 12,87 13,64 0,00 0,00 0,00 35 Kenung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 40 Ki Huut 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,66 4,02 41 Ki Jebug 2,54 0,00 0,00 0,00 2,37 0,00 0,00 0,00 42 Ki Leho 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,98 0,00 43 Ki Limo 0,00 0,00 6,39 0,00 4,45 0,00 0,00 4,57 44 Ki Pare 0,00 8,23 7,00 4,45 8,50 0,00 0,00 0,00 45 Ki Piit 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,98 0,00 46 Ki Sampang 2,69 8,97 7,72 18,55 3,01 0,00 0,00 2,38 47 Ki Seer 7,30 0,00 16,20 7,16 11,19 0,00 0,00 0,00 48 Ki Sirem 0,00 2,04 0,00 21,13 22,88 4,64 5,54 2,19 49 Ki Wates 2,47 8,19 0,00 5,76 4,47 0,00 0,00 16,91 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 1,42 0,00 0,00 0,00 0,00 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 8,85 0,00 2,82 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 0,00 4,09 3,51 1,94 5,53 0,00 0,00 0,00 57 Manii 41,37 10,64 0,00 8,37 0,00 0,00 0,00 12,22 58 Mara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 59 Pakis Benyir 8,87 2,04 1,98 0,00 4,63 5,19 11,64 5,38 60 Pakis Sier 16,20 2,04 5,90 3,93 7,08 9,19 18,02 20,09
186
61 Paku Tihang 0,00 2,04 0,00 0,00 0,00 0,00 2,33 2,34
62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 0,00 5,66 0,00 1,42 3,07 0,00 0,00 15,14 65 Pasang Batarua 0,00 4,97 12,90 9,59 4,74 0,00 5,55 12,64 66 Pasang Putih 0,00 2,04 1,51 0,00 10,82 0,00 0,00 10,58 67 Peris 0,00 0,00 0,00 0,00 5,63 0,00 0,00 0,00 68 Pinus 123,04 4,08 0,00 0,00 0,00 125,95 26,00 0,00 69 Piskulit 11,94 23,05 4,26 11,41 2,33 0,00 5,50 21,10 70 Ponggokan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Puspa 7,75 7,34 76,40 98,41 89,81 13,54 2,35 53,43 72 Ramogiling 15,29 2,05 15,39 12,85 3,84 0,00 14,92 6,41 73 Rasamala 8,24 4,10 15,02 3,08 3,09 5,38 2,33 0,00 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 76 Saninten 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,40 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,65 78 Sehang 0,00 0,00 0,00 0,00 1,49 0,00 0,00 6,07 79 Seserehan 7,74 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 80 Sulibra 0,00 4,87 0,00 8,68 0,00 0,00 5,48 2,89 81 Suwangkung 0,00 0,00 1,44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 82 Walen 0,00 0,00 3,83 3,60 0,00 0,00 0,00 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
No Nama Daerah B9 B10 B11 B12 B13 B14 B15 B16 1 Anggrip 0,00 2,76 0,00 0,00 5,26 0,00 2,70 0,00 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 163,94 6 Bambu Tamiyang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,68 0,00 8 Beunying 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,58 0,00 9 Beunying Cai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 6,02 1,73 10,44 8,28 7,65 0,00 0,00 0,00 12 Cacabean 0,00 2,66 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13 Calik Angin 10,60 42,37 6,56 11,71 23,42 13,11 16,47 0,00 14 Cangkuang 5,99 14,19 9,58 22,84 12,90 5,13 6,61 0,00 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17 Gompong 6,71 1,74 3,95 3,21 3,70 3,89 5,40 0,00 18 Hamerang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,04 0,00 0,00 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 1,78 0,00 1,68 0,00 0,00 0,00 0,00 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 3,69 0,00 0,00 7,98 0,00 4,49 7,21 0,00 24 Huru Hiris 0,00 5,52 0,00 3,45 0,00 13,78 3,50 0,00 25 Huru Kacang 3,53 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,99 6,05 26 Huru Leer 11,09 2,63 0,00 7,61 6,67 17,60 11,25 0,00 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,28 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 16,36 16,75 14,07 23,01 9,91 10,95 27,77 0,00 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 32 Kareumi 0,00 3,50 0,00 0,00 4,35 0,00 6,52 0,00 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
187
Lanjutan Lampiran 6. 34 Kawoyan 7,34 14,36 0,00 0,00 9,73 16,13 8,11 0,00 35 Kenung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,19 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 0,00 1,78 0,00 0,00 0,00 0,00 6,16 0,00 40 Ki Huut 0,00 2,15 0,00 0,00 0,00 4,24 10,36 0,00 41 Ki Jebug 0,00 10,26 0,00 0,00 0,00 0,00 3,67 0,00 42 Ki Leho 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 43 Ki Limo 0,00 1,79 0,00 0,00 4,02 0,00 0,00 0,00 44 Ki Pare 3,18 9,73 0,00 8,19 6,42 6,86 10,89 0,00 45 Ki Piit 17,93 0,00 3,44 1,74 0,00 0,00 0,00 0,00 46 Ki Sampang 0,00 8,91 0,00 3,44 16,76 10,10 11,81 0,00 47 Ki Seer 2,06 6,35 0,00 4,71 0,00 2,10 3,38 0,00 48 Ki Sirem 8,01 8,49 6,50 3,20 1,94 6,45 12,49 0,00 49 Ki Wates 8,42 0,00 0,00 21,37 15,19 3,97 6,74 6,05 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,01 0,00 0,00 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 3,16 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 0,00 1,81 0,00 0,00 2,73 0,00 4,87 0,00 57 Manii 1,56 0,00 0,00 38,29 18,20 0,00 0,00 0,00 58 Mara 10,46 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 59 Pakis Benyir 0,00 0,00 7,93 1,59 0,00 2,82 0,00 0,00 60 Pakis Sier 0,00 3,45 17,36 12,27 7,96 6,01 4,88 6,05 61 Paku Tihang 4,71 0,00 9,83 0,00 0,00 0,00 0,00 6,05 62 Palahlar 1,64 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 0,00 21,65 0,00 9,30 38,03 44,03 19,58 0,00 65 Pasang Batarua 52,11 13,12 0,00 0,00 0,00 2,99 12,43 0,00 66 Pasang Putih 17,65 8,13 0,00 10,11 0,00 6,51 5,91 0,00 67 Peris 6,84 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 68 Pinus 0,00 0,00 175,39 6,26 0,00 0,00 0,00 96,58 69 Piskulit 0,00 3,87 28,39 20,71 18,70 11,11 4,16 15,26 70 Ponggokan 21,75 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Puspa 0,00 64,89 0,00 24,38 67,09 87,53 61,75 0,00 72 Ramogiling 48,72 4,83 0,00 14,43 2,55 5,50 6,66 0,00 73 Rasamala 16,62 2,06 0,00 1,57 0,00 2,10 1,90 0,00 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 76 Saninten 0,00 3,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,66 0,00 77 Sasah 2,13 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Sehang 0,00 10,15 0,00 7,95 10,30 2,04 6,06 0,00 79 Seserehan 1,68 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 80 Sulibra 0,00 1,74 0,00 17,46 0,00 0,00 0,00 0,00 81 Suwangkung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 82 Walen 0,00 1,84 6,56 3,25 6,53 4,23 1,68 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
oNo Nama Daerah B17 B18 B19 B20 B21 B22 B23 B24 1 Anggrip 0,00 0,00 1,49 0,00 0,00 0,00 1,45 7,31 2 Bambu Andong 0,00 42,35 23,74 0,00 0,00 0,00 32,25 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 11,91 10,54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 131,88 112,93 94,93 0,00 147,42 121,64 83,83 0,00
188
Lanjutan Lampiran 6. 6 Bambu Tamiyang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,36 8 Beunying 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,55 0,00 0,00 9 Beunying Cai 0,00 1,79 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 2,56 0,00 2,98 0,00 0,00 6,17 5,80 1,13 12 Cacabean 0,00 0,00 0,00 4,92 0,00 0,00 2,90 5,74 13 Calik Angin 41,87 7,65 7,47 9,22 10,05 30,95 11,06 5,73 14 Cangkuang 0,00 0,00 5,44 4,03 4,22 4,63 2,90 12,41 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 0,00 0,00 0,00 3,21 0,00 0,00 0,00 0,00 17 Gompong 15,80 4,08 16,29 13,72 0,00 6,66 8,41 10,59 18 Hamerang 0,00 0,00 0,00 2,01 0,00 0,00 0,00 1,50 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,37 21 Haruman 2,56 0,00 0,00 0,00 0,00 2,53 2,92 1,78 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 0,00 7,15 4,97 4,95 6,85 1,55 1,45 8,43 24 Huru Hiris 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25 Huru Kacang 0,00 0,00 3,95 0,00 0,00 3,08 4,92 4,61 26 Huru Leer 0,00 10,96 13,91 16,26 4,30 3,08 6,58 8,95 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 0,00 21,12 7,43 21,62 0,00 10,18 17,95 16,41 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 2,56 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 32 Kareumi 0,00 0,00 0,00 1,65 3,42 0,00 0,00 3,98 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 34 Kawoyan 0,00 3,57 1,49 5,26 0,00 0,00 5,80 6,09 35 Kenung 0,00 1,79 0,00 2,19 0,00 0,00 3,47 2,30 36 Ki Ara 0,00 1,78 0,00 0,00 0,00 0,00 2,03 5,35 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 0,00 0,00 0,00 2,07 0,00 1,55 0,00 1,85 40 Ki Huut 0,00 0,00 0,00 1,71 0,00 1,55 0,00 2,80 41 Ki Jebug 0,00 0,00 1,49 20,28 10,30 3,59 0,00 4,35 42 Ki Leho 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 43 Ki Limo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 44 Ki Pare 2,56 4,60 5,50 9,99 6,84 5,12 4,95 21,03 45 Ki Piit 0,00 3,07 4,96 0,00 0,00 0,00 1,45 0,00 46 Ki Sampang 7,70 9,16 12,87 15,54 10,26 3,08 6,98 10,30 47 Ki Seer 0,00 1,79 2,46 1,80 0,00 0,00 1,45 3,13 48 Ki Sirem 0,00 0,00 12,30 28,43 3,43 2,04 7,68 11,19 49 Ki Wates 5,87 5,36 2,99 0,00 0,00 1,54 0,00 2,74 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 0,00 7,14 8,43 4,72 0,00 3,09 0,00 5,72 57 Manii 15,10 0,00 6,10 1,61 3,42 0,00 9,30 5,29 58 Mara 0,00 1,79 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 59 Pakis Benyir 0,00 0,00 1,49 0,00 4,21 0,00 2,90 0,00 60 Pakis Sier 9,91 0,00 6,45 2,00 12,64 7,14 9,27 0,00 61 Paku Tihang 2,56 1,79 0,00 0,00 3,42 5,61 6,96 9,55 62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 2,58 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 2,66 13,47 11,88 23,17 0,00 15,30 19,72 23,21 65 Pasang Batarua 0,00 4,07 1,49 9,04 0,00 6,73 4,05 4,62 66 Pasang Putih 0,00 0,00 0,00 4,61 0,00 5,14 3,49 2,95 67 Peris 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
189
Lanjutan Lampiran 6. 68 Pinus 11,74 1,83 0,00 0,00 62,36 9,18 0,00 0,00 69 Piskulit 11,74 11,73 6,08 18,57 0,00 12,29 14,97 13,35 70 Ponggokan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,43 71 Puspa 3,33 1,79 14,39 39,18 0,00 7,71 5,87 37,52 72 Ramogiling 0,00 0,00 0,00 1,57 0,00 5,12 0,00 5,72 73 Rasamala 4,05 0,00 0,00 14,46 0,00 0,00 1,46 10,43 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 3,44 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,33 76 Saninten 0,00 0,00 0,00 1,42 0,00 0,00 0,00 5,10 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,18 78 Sehang 0,00 3,58 3,48 5,09 0,00 0,00 1,45 4,63 79 Seserehan 0,00 0,00 0,00 0,00 3,42 0,00 0,00 0,00 80 Sulibra 22,94 0,00 0,00 0,00 0,00 7,09 1,46 1,13 81 Suwangkung 0,00 1,79 1,50 2,13 0,00 1,54 0,00 1,43 82 Walen 0,00 0,00 1,49 3,57 0,00 3,58 2,90 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
oNo Nama Daerah B25 B26 B27 B28 B29 B30 B31 B32 1 Anggrip 6,23 0,00 2,13 1,76 5,45 3,23 8,14 2,72 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 49,17 0,00 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 3,76 61,76 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 118,08 46,05 97,83 59,99 0,00 0,00 0,00 6 Bambu Tamiyang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 91,00 7 Baros 2,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8 Beunying 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,18 0,00 0,00 9 Beunying Cai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 0,00 2,54 4,04 3,33 7,81 6,20 5,39 6,74 12 Cacabean 3,40 2,54 0,00 0,00 1,35 2,30 1,39 0,00 13 Calik Angin 5,78 22,64 63,61 35,43 10,11 10,56 7,31 6,64 14 Cangkuang 5,42 2,54 0,00 1,67 3,23 1,17 1,41 4,09 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 1,36 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 1,34 0,00 0,00 0,00 4,06 1,21 0,00 0,00 17 Gompong 9,43 5,83 4,64 6,88 7,84 20,51 16,55 10,02 18 Hamerang 0,00 2,54 0,00 0,00 0,00 2,77 0,00 1,36 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 2,83 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 2,55 0,00 4,29 1,38 0,00 0,00 0,00 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 6,85 0,00 2,02 1,81 2,72 1,21 0,00 1,34 24 Huru Hiris 0,00 0,00 0,00 0,00 3,26 0,00 0,00 0,00 25 Huru Kacang 4,75 0,00 0,00 0,00 1,35 3,08 0,00 2,67 26 Huru Leer 13,13 5,12 6,11 3,34 4,08 2,98 2,11 6,48 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 5,86 14,25 4,04 10,23 16,82 25,44 20,16 26,34 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 32 Kareumi 0,00 5,09 0,00 1,67 0,00 1,21 0,00 2,62 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,43 1,31 34 Kawoyan 15,65 0,00 0,00 0,00 0,00 9,68 1,79 1,37 35 Kenung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,50 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 2,70 1,15 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 1,36 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 4,16 0,00 0,00 0,00 0,00 1,46 2,09 0,00
190
Lanjutan Lampiran 6. 40 Ki Huut 6,49 0,00 2,02 1,69 0,00 2,11 4,49 1,34 41 Ki Jebug 9,97 0,00 0,00 0,00 2,73 9,60 5,84 3,29 42 Ki Leho 1,07 0,00 0,00 1,67 0,00 0,00 0,00 0,00 43 Ki Limo 0,00 2,54 2,02 1,68 0,00 0,00 0,00 1,33 44 Ki Pare 12,71 0,00 6,09 3,54 4,66 5,16 11,57 4,04 45 Ki Piit 0,00 0,00 4,08 0,00 0,00 1,21 0,00 1,31 46 Ki Sampang 16,61 0,00 19,73 20,66 7,06 12,38 8,34 8,92 47 Ki Seer 6,56 0,00 0,00 0,00 3,24 7,68 1,43 1,31 48 Ki Sirem 17,38 0,00 0,00 1,67 11,56 20,32 6,43 7,60 49 Ki Wates 3,46 5,09 6,06 1,67 0,00 0,00 3,18 6,40 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 52 Kimokla 2,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 0,00 0,00 0,00 0,00 2,71 1,23 0,00 0,00 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,93 55 Kondang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 7,09 0,00 0,00 1,70 1,35 2,32 9,23 2,62 57 Manii 3,65 16,09 4,10 14,03 18,51 4,64 6,51 0,00 58 Mara 0,00 0,00 0,00 0,00 2,70 0,00 2,79 0,00 59 Pakis Benyir 0,00 3,29 0,00 15,08 2,70 6,49 8,77 13,29 60 Pakis Sier 2,13 12,68 8,08 9,25 6,99 1,65 17,75 5,72 61 Paku Tihang 0,00 12,15 6,07 7,83 7,04 0,00 5,00 2,63 62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 2,72 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 18,50 0,00 4,07 3,83 2,72 28,73 32,17 14,54 65 Pasang Batarua 13,91 5,11 3,05 0,00 4,94 5,86 12,62 11,18 66 Pasang Putih 8,47 0,00 0,00 0,00 4,08 11,16 6,50 2,66 67 Peris 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,95 1,90 68 Pinus 0,00 45,13 14,87 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69 Piskulit 8,91 5,11 2,63 8,18 5,95 25,48 12,02 1,82 70 Ponggokan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,58 4,15 1,55 71 Puspa 41,29 0,00 9,37 10,05 13,60 19,58 36,25 22,86 72 Ramogiling 4,68 0,00 2,02 2,15 0,00 1,30 2,74 1,33 73 Rasamala 12,48 0,00 0,00 0,00 0,00 10,86 16,75 8,59 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 3,22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 76 Saninten 3,72 0,00 0,00 1,80 0,00 2,86 10,20 2,94 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Sehang 5,94 0,00 0,00 0,00 4,15 5,61 0,00 3,21 79 Seserehan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 80 Sulibra 0,00 2,54 11,32 25,29 0,00 0,00 0,00 0,00 81 Suwangkung 1,97 0,00 0,00 0,00 1,91 3,15 0,00 0,00 82 Walen 3,61 0,00 0,00 0,00 4,62 6,70 3,04 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
oNo Nama Daerah B33 B34 B35 B36 B37 B38 B39 B40 1 Anggrip 5,18 6,22 7,43 4,94 6,95 0,00 3,24 17,07 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 94,05 38,37 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6 Bambu Tamiyang 0,00 26,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 0,00 0,00 1,48 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8 Beunying 0,00 0,00 0,00 0,00 1,29 1,24 0,00 1,26 9 Beunying Cai 2,07 2,10 7,79 0,00 5,06 7,10 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 1,25 0,00 3,86 3,62 0,00 1,24 2,56 0,00
191
Lanjutan Lampiran 6. 12 Cacabean 2,39 3,17 1,34 0,00 0,00 0,00 1,75 2,43 13 Calik Angin 13,84 0,00 0,00 16,25 0,00 0,00 5,62 0,00 14 Cangkuang 12,10 41,92 17,23 5,65 8,00 7,69 14,17 10,44 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 0,00 1,52 0,00 1,63 0,00 0,00 0,00 1,37 17 Gompong 26,87 6,57 6,36 4,83 9,43 12,87 14,78 7,44 18 Hamerang 2,13 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,96 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,21 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 0,00 0,00 1,21 0,00 0,00 0,00 0,00 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 24 Huru Hiris 3,90 1,13 0,00 0,00 0,00 3,92 0,00 1,70 25 Huru Kacang 0,00 5,19 1,33 2,57 2,76 6,05 1,42 4,85 26 Huru Leer 1,72 4,25 19,10 4,89 3,78 6,32 8,76 2,66 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 9,89 8,93 7,15 13,78 12,86 23,37 9,42 13,02 30 Kadondong Hutan 0,00 1,55 6,89 0,00 0,00 0,00 0,00 5,03 31 Kaliandra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 32 Kareumi 1,21 0,00 0,00 1,20 5,46 0,00 4,50 1,36 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,27 0,00 0,00 34 Kawoyan 3,61 1,56 3,58 0,00 0,00 6,80 1,36 4,68 35 Kenung 0,00 2,11 0,00 1,21 3,85 0,00 2,51 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 0,00 5,03 2,35 2,86 0,00 0,00 0,00 0,00 40 Ki Huut 7,34 9,70 4,66 2,50 0,00 3,37 6,00 6,36 41 Ki Jebug 6,73 7,72 16,72 0,00 0,00 6,38 7,15 13,01 42 Ki Leho 0,00 2,17 4,52 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 43 Ki Limo 4,33 0,00 0,00 7,32 1,35 0,00 0,00 0,00 44 Ki Pare 3,36 3,36 0,00 10,39 6,11 12,00 1,57 2,07 45 Ki Piit 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 46 Ki Sampang 5,39 1,04 6,70 4,84 4,76 5,05 15,41 5,77 47 Ki Seer 2,47 9,59 20,05 0,00 9,69 12,58 8,44 17,45 48 Ki Sirem 14,92 7,05 27,11 4,08 3,87 6,54 13,21 11,10 49 Ki Wates 1,40 0,00 0,00 2,43 0,00 2,74 2,75 3,00 50 Kiara Kebo 2,13 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 0,00 2,47 0,00 0,00 6,32 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 0,00 0,00 6,14 0,00 1,25 0,00 3,90 6,70 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 1,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,90 56 Manggong 3,70 6,43 8,96 0,00 3,72 9,60 9,93 13,35 57 Manii 0,00 0,00 0,00 1,21 0,00 0,00 0,00 0,00 58 Mara 2,42 0,00 7,99 0,00 0,00 0,00 1,25 2,45 59 Pakis Benyir 8,43 10,54 16,68 9,27 6,75 15,60 10,69 2,97 60 Pakis Sier 9,03 10,21 9,12 11,69 18,55 20,76 21,47 14,51 61 Paku Tihang 3,91 2,96 0,00 12,61 2,51 0,00 0,00 2,98 62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 32,61 18,95 3,72 21,15 26,14 28,11 46,09 31,31 65 Pasang Batarua 9,15 6,30 2,77 3,02 15,89 18,63 11,97 5,68 66 Pasang Putih 3,57 19,62 26,19 10,02 23,21 21,72 11,64 21,59 67 Peris 0,00 3,32 7,62 6,13 0,00 2,12 0,00 4,74 68 Pinus 0,00 0,00 0,00 10,53 0,00 0,00 0,00 0,00 69 Piskulit 11,36 1,16 0,00 4,94 4,81 9,82 5,35 7,31 70 Ponggokan 3,22 2,90 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Puspa 42,38 28,87 26,70 10,77 31,97 43,04 36,19 30,62 72 Ramogiling 1,25 1,09 0,00 0,00 0,00 1,39 1,28 0,00 73 Rasamala 20,81 7,14 1,83 4,78 36,33 1,25 9,39 0,00
192
Lanjutan Lampiran 6. 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 7,41 1,89 0,00 1,41 0,00 0,00 1,89 76 Saninten 3,70 3,57 3,71 0,00 0,00 1,44 0,00 1,68 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Sehang 8,96 6,59 8,97 3,64 1,40 0,00 4,78 3,37 79 Seserehan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,45 0,00 80 Sulibra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 81 Suwangkung 0,00 1,06 2,06 0,00 0,00 0,00 0,00 1,42 82 Walen 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 3,77 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
oNo Nama Daerah B41 B42 B43 B44 B45 B46 B47 B48 1 Anggrip 4,97 6,74 2,23 0,00 2,52 6,34 15,17 5,88 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6 Bambu Tamiyang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 0,00 0,00 1,29 0,00 3,86 10,61 1,22 2,75 8 Beunying 2,23 0,00 0,00 0,00 2,43 6,17 2,67 1,68 9 Beunying Cai 0,00 0,00 0,00 0,00 3,24 0,00 16,21 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 3,84 2,09 7,53 8,77 1,09 6,58 3,75 3,83 12 Cacabean 0,00 2,09 3,04 3,40 1,06 0,00 3,68 1,21 13 Calik Angin 18,33 8,33 2,27 5,15 2,41 26,87 10,15 26,71 14 Cangkuang 0,00 0,00 8,97 11,91 43,46 5,54 6,74 1,87 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 0,00 0,00 1,83 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17 Gompong 8,84 6,73 17,88 6,71 4,65 1,52 8,81 5,89 18 Hamerang 0,00 0,00 0,00 1,27 3,37 0,00 2,65 1,37 19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 2,15 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 0,00 1,07 1,11 0,00 5,36 0,00 0,00 22 Huni Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,96 0,00 0,00 23 Huru Dapong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 24 Huru Hiris 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25 Huru Kacang 9,39 6,50 6,14 3,61 0,00 0,00 0,00 5,39 26 Huru Leer 1,81 5,45 4,50 4,00 8,95 1,81 10,26 6,41 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,61 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,74 0,00 29 Jirak 3,74 10,08 5,79 17,32 15,73 10,82 11,84 16,52 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 1,18 3,57 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,35 0,00 32 Kareumi 2,08 6,62 0,00 1,29 1,18 6,23 0,00 3,54 33 Katuk 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,25 0,00 34 Kawoyan 2,76 5,19 9,60 1,67 9,30 0,00 7,02 2,43 35 Kenung 0,00 0,00 0,00 3,62 0,00 0,00 0,00 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 2,44 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 1,57 0,00 0,00 0,00 40 Ki Huut 2,02 0,00 3,73 4,02 1,09 1,57 1,92 2,64 41 Ki Jebug 0,00 5,40 12,47 10,91 9,15 0,00 1,26 2,35 42 Ki Leho 0,00 0,00 0,00 2,65 1,26 0,00 9,67 0,00 43 Ki Limo 5,54 2,51 0,00 0,00 0,00 7,45 3,04 8,06 44 Ki Pare 8,21 15,95 1,79 9,92 5,83 7,96 1,88 12,42 45 Ki Piit 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,82 0,00 0,00
193
Lanjutan Lampiran 6. 46 Ki Sampang 6,01 13,95 2,85 9,19 6,49 16,18 4,79 13,62 47 Ki Seer 0,00 11,40 7,76 6,60 6,35 0,00 7,43 7,33 48 Ki Sirem 4,41 3,32 4,58 8,22 13,94 0,00 4,93 9,19 49 Ki Wates 3,46 3,25 10,13 3,46 7,15 5,75 0,00 0,00 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,87 6,27 2,36 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 0,00 2,09 2,04 5,78 0,00 0,00 1,25 3,23 54 Kokosan Monyet 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 0,00 0,00 0,00 0,00 3,14 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 3,29 2,09 2,22 5,00 3,83 4,69 6,72 2,48 57 Manii 27,42 16,50 3,63 0,00 0,00 7,61 6,34 6,70 58 Mara 0,00 2,09 0,00 2,30 1,12 0,00 2,46 0,00 59 Pakis Benyir 2,25 8,39 6,04 11,82 10,66 17,25 25,66 15,94 60 Pakis Sier 4,45 9,06 15,97 13,67 5,06 20,54 9,12 15,06 61 Paku Tihang 21,58 6,35 0,00 3,86 3,66 7,08 10,67 6,68 62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 5,08 18,14 15,16 11,71 10,01 0,00 12,55 8,92 65 Pasang Batarua 20,51 21,61 19,88 20,13 24,58 13,50 22,99 15,76 66 Pasang Putih 17,13 11,54 22,97 22,64 27,26 3,31 7,30 12,68 67 Peris 0,00 2,55 3,57 1,63 2,60 0,00 0,00 0,00 68 Pinus 50,88 0,00 0,00 0,00 0,00 9,99 3,34 1,24 69 Piskulit 21,74 15,56 12,10 8,66 13,95 15,29 5,92 5,83 70 Ponggokan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Puspa 27,51 41,77 63,10 42,41 20,62 47,56 6,17 9,99 72 Ramogiling 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 73 Rasamala 4,52 13,12 5,94 12,46 3,20 10,16 11,09 35,11 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 1,49 2,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 76 Saninten 0,00 0,00 0,00 0,00 1,52 0,00 0,00 0,00 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Sehang 6,00 12,07 4,97 7,09 5,59 6,45 8,11 16,92 79 Seserehan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,44 0,00 80 Sulibra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,65 0,00 0,00 81 Suwangkung 0,00 0,00 2,52 2,40 1,41 1,51 0,00 0,00 82 Walen 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,54 0,00 83 Ki Cengkeh 0,00 0,00 2,14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6.
oNo Nama Daerah B49 B50 B51 B52 B53 B54 B55 B56 1 Anggrip 7,91 10,38 0,00 7,17 9,23 16,65 0,00 0,00 2 Bambu Andong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Bambu Bitung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Bambu Buluh 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Bambu Tali 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6 Bambu Tamiyang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 Baros 11,44 5,23 5,03 9,47 2,00 0,00 0,00 5,71 8 Beunying 2,06 4,04 0,00 0,00 5,89 3,58 4,40 0,00 9 Beunying Cai 1,05 2,33 0,00 1,84 2,15 0,00 0,00 0,00 10 Bisoro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Bungbuay 0,00 2,19 2,13 4,20 0,00 5,60 0,00 1,08 12 Cacabean 0,00 0,00 1,08 0,00 2,92 2,04 4,27 2,19 13 Calik Angin 8,27 2,14 2,45 8,54 4,44 3,22 4,31 1,24 14 Cangkuang 13,22 10,07 8,02 6,78 4,22 10,43 0,00 11,26 15 Cantigi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16 Cempaka 1,93 0,00 10,28 8,53 4,05 0,00 2,85 7,54 17 Gompong 8,91 10,07 14,94 9,16 11,72 5,60 5,51 9,66
194
18 Hamerang 8,75 0,00 2,84 2,41 0,00 0,00 0,00 2,96
19 Harendang 0,00 0,00 0,00 0,00 2,38 0,00 0,00 0,00 20 Harendong 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Haruman 0,00 1,13 4,36 0,00 4,00 0,00 0,00 4,57 22 Huni Hutan 1,18 1,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 Huru Dapong 0,00 0,00 1,26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 24 Huru Hiris 2,11 3,06 0,00 1,44 0,00 0,00 5,41 1,27 25 Huru Kacang 1,97 8,52 11,36 0,00 3,88 8,98 21,60 11,96 26 Huru Leer 2,48 5,41 6,59 10,84 3,65 11,06 5,17 4,57 27 Jambe Rende 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Jambe Sinagar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Jirak 15,94 4,64 12,44 11,35 3,06 9,33 12,18 12,07 30 Kadondong Hutan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 31 Kaliandra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 32 Kareumi 0,00 0,00 3,17 2,03 0,00 0,00 0,00 2,13 33 Katuk 3,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 34 Kawoyan 5,15 2,97 6,69 10,45 15,14 10,89 3,76 9,08 35 Kenung 0,98 0,00 0,00 0,00 0,00 1,95 0,00 0,00 36 Ki Ara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37 Ki Ara Payung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 38 Ki Cantung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 39 Ki Harendong 1,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 40 Ki Huut 0,00 5,88 0,00 2,55 0,00 1,90 2,97 0,00 41 Ki Jebug 2,21 8,62 6,36 1,25 13,25 8,74 21,80 10,70 42 Ki Leho 0,00 0,00 0,00 2,32 1,92 0,00 0,00 0,00 43 Ki Limo 0,00 0,00 2,35 3,93 0,00 4,76 0,00 2,40 44 Ki Pare 16,62 7,29 6,70 12,17 9,30 8,72 16,79 4,87 45 Ki Piit 0,00 0,00 0,00 2,33 0,00 0,00 0,00 0,00 46 Ki Sampang 0,96 2,04 4,84 3,83 7,50 6,05 24,23 3,79 47 Ki Seer 6,69 7,66 12,09 8,29 2,97 0,00 2,79 9,16 48 Ki Sirem 8,35 21,91 3,96 7,76 7,29 3,11 4,11 6,23 49 Ki Wates 2,72 4,17 9,84 4,45 5,16 0,00 0,00 8,31 50 Kiara Kebo 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,11 8,70 0,00 51 Kidawolong 0,00 0,00 0,00 1,02 0,00 0,00 2,75 0,00 52 Kimokla 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 53 Kokopian 0,95 0,00 2,11 1,03 2,91 5,18 0,00 1,07 54 Kokosan Monyet 0,00 1,38 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 55 Kondang 0,00 1,04 0,00 3,30 1,22 0,00 0,00 0,00 56 Manggong 0,97 0,00 0,00 3,13 3,69 0,00 0,00 2,16 57 Manii 18,81 21,06 10,05 8,46 2,68 0,00 0,00 10,68 58 Mara 3,63 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 59 Pakis Benyir 5,46 15,48 9,90 8,71 4,23 5,10 2,65 10,88 60 Pakis Sier 9,34 10,32 16,32 18,86 8,99 10,24 6,22 19,22 61 Paku Tihang 3,01 0,00 2,28 3,28 0,00 7,22 0,00 2,32 62 Palahlar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63 Panggang 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 64 Panggang Puyuh 12,84 18,88 11,70 10,69 19,04 14,86 28,37 11,86 65 Pasang Batarua 31,45 19,76 21,27 19,53 14,29 20,36 19,23 25,13 66 Pasang Putih 9,99 10,88 6,64 17,00 12,61 15,41 6,23 7,75 67 Peris 0,00 0,00 1,26 0,00 5,25 6,30 0,00 1,30 68 Pinus 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69 Piskulit 10,18 20,31 10,65 19,32 12,20 0,96 11,62 10,65 70 Ponggokan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Puspa 36,61 37,27 49,43 32,70 57,65 58,10 56,50 44,57 72 Ramogiling 1,28 1,04 1,11 0,00 0,00 1,99 0,00 1,13 73 Rasamala 7,03 4,72 10,89 0,00 14,51 4,13 8,40 10,42 74 Renghas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 75 Salam Anjing 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 76 Saninten 0,00 0,00 0,00 0,00 5,29 13,39 0,00 0,00 77 Sasah 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Sehang 10,18 1,10 1,42 7,34 5,53 0,00 7,19 2,87 79 Seserehan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
80 Sulibra 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,86 0,00 0,00
195
81 Suwangkung 1,35 0,00 0,00 0,00 0,00 5,16 0,00 0,00 82 Walen 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 83 Ki Cengkeh 1,94 5,71 6,19 2,53 3,78 0,00 0,00 5,22
J U M L A H: 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00 300,00
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Lanjutan Lampiran 6. No Nama Daerah B57 B58 B59 B60
1 Anggrip 4,463 13,769 8,967 1,436 2 Bambu Andong 0,000 0,000 0,000 0,000 3 Bambu Bitung 0,000 0,000 0,000 0,000 4 Bambu Buluh 0,000 0,000 0,000 0,000 5 Bambu Tali 0,000 0,000 0,000 0,000 6 Bambu Tamiyang 0,000 0,000 0,000 0,000 7 Baros 8,263 1,115 0,000 0,000 8 Beunying 0,000 6,269 2,996 3,9909 Beunying Cai 2,007 3,654 0,000 0,00010 Bisoro 0,000 0,000 0,000 0,000 11 Bungbuay 2,247 0,000 6,901 3,049 12 Cacabean 1,074 1,059 3,302 1,473 13 Calik Angin 8,441 4,880 6,664 6,175 14 Cangkuang 7,360 3,306 9,283 0,000 15 Cantigi 0,000 0,000 0,000 0,000 16 Cempaka 9,214 2,267 0,000 1,461 17 Gompong 13,312 12,499 7,558 9,265 18 Hamerang 2,560 0,000 0,000 0,000 19 Harendang 0,000 0,000 0,000 0,00020 Harendong 0,000 0,000 0,000 0,000 21 Haruman 0,000 4,292 0,000 0,000 22 Huni Hutan 0,000 0,000 0,000 0,000 23 Huru Dapong 0,000 0,000 0,000 0,000 24 Huru Hiris 1,492 0,000 0,000 7,295 25 Huru Kacang 0,000 5,343 9,081 11,778 26 Huru Leer 7,281 0,000 8,168 3,927 27 Jambe Rende 0,000 0,000 0,000 0,000 28 Jambe Sinagar 0,000 0,000 0,000 0,000 29 Jirak 14,582 1,072 12,070 6,253 30 Kadondong Hutan 0,000 0,000 0,000 0,00031 Kaliandra 0,000 0,000 0,000 0,000 32 Kareumi 0,000 0,000 0,000 0,000 33 Katuk/Kakatukan 0,000 0,000 0,000 0,000 34 Kawoyan 10,368 15,413 10,836 5,303 35 Kenung 0,000 0,000 1,108 0,000 36 Ki Ara 0,000 0,000 0,000 0,000 37 Ki Ara Payung 0,000 0,000 0,000 0,000 38 Ki Cantung 0,000 0,000 0,000 0,000 39 Ki Harendong 0,000 0,000 0,000 0,000 40 Ki Huut 3,857 0,000 3,847 4,86341 Ki Jebug 2,701 12,850 6,943 13,56742 Ki Leho 1,235 3,170 0,000 0,000 43 Ki Limo 1,143 0,000 6,084 0,000 44 Ki Pare 11,802 10,138 11,271 9,988 45 Ki Piit 3,737 0,000 0,000 0,000 46 Ki Sampang 1,143 6,831 5,235 12,303 47 Ki Seer 5,303 6,644 0,000 2,879 48 Ki Sirem 11,045 6,942 5,090 2,691 49 Ki Wates 6,842 3,440 0,000 0,000
196
50 Kiara Kebo 0,000 0,000 0,000 4,388 51 Kidawolong 2,148 0,000 0,000 2,814 52 Kimokla 0,000 0,000 0,000 0,000 53 Kokopian 1,075 0,000 5,891 0,000 54 Kokosan Monyet 0,000 0,000 0,000 0,000 55 Kondang 6,569 1,403 0,000 0,000 56 Manggong 2,211 7,560 0,000 4,11657 Manii 4,895 4,684 0,000 1,295 58 Mara 0,000 0,000 0,000 1,263 59 Pakis Benyir 9,626 0,000 2,551 5,361 60 Pakis Sier 16,097 13,777 11,128 19,704 61 Paku Tihang 5,897 0,000 7,085 0,000 62 Palahlar 0,000 0,000 0,000 0,000 63 Panggang 0,000 0,000 0,000 0,000 64 Panggang Puyuh 12,910 25,001 14,955 33,404 65 Pasang Batarua 23,853 19,135 15,294 15,020 66 Pasang Putih 15,684 11,726 20,083 9,822 67 Peris 0,000 1,918 6,760 0,000 68 Pinus 1,264 0,000 0,000 0,00069 Piskulit 12,854 9,769 0,000 8,098 70 Ponggokan 0,000 0,000 0,000 0,000 71 Puspa 35,186 54,439 55,648 73,918 72 Ramogiling 0,000 0,000 1,652 0,000 73 Rasamala 0,000 9,519 5,947 3,389 74 Renghas 0,000 0,000 0,000 0,000 75 Salam Anjing 0,000 0,000 0,000 0,000 76 Saninten 0,000 6,140 14,224 5,969 77 Sasah 0,000 0,000 0,000 0,000 78 Sehang 4,452 6,816 0,000 3,74379 Seserehan 0,000 0,000 0,000 0,000 80 Sulibra 0,000 0,000 6,148 0,000 81 Suwangkung 0,000 0,000 7,232 0,000 82 Walen 0,000 0,000 0,000 0,000 83 Ki Cengkeh 3,811 3,160 0,000 0,000
J U M L A H: 300,000 300,000 300,000 300,000
Keterangan: Bn : Blok pengamatan ke n. Nama latin dari spesies dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Lampiran 7. Kategori Faktor Abiotik Tanah dan Topografi.
Kategori sifat tanah berdasarkan Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB, Bogor adalah
sebagai berikut: .
SIFAT TANAH SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
SANGAT TINGGI
C (%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00
N (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75
C/N Ratio < 5 5-10 11-15 16-25 > 25 P2O5 HCL 25% (ppm) < 15 15-20 21-40 41-60 > 60 P2O5 Bray (ppm) < 10 10-15 16-25 26-35 > 35 P2O5 Olsen (ppm) < 1 10-25 26-45 46-60 > 60 K2O HCL 25% (ppm) < 10 10-20 21-40 41-60 > 60 KTK (me/100g) < 5 5-16 17-24 25-40 > 40
SUSUNAN KATION SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
SANGAT TINGGI
K (me/g) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 > 1,0 Na (me/100g) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 > 1,0 Mg (me/100g) < 0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8,0 Ca (me/100g) < 2 2-5 6-10 11-20 > 20 Kejenuhan Basa (%) < 20 20-35 36-50 51-70 > 70
SANGAT MASAM MASAM AGAK MASAM NETRAL
AGAK ALKALIS ALKALIS
PH (H2O) < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5
Kategori tanah selain pH, P, dan tektsur di atas maka nilai yang dipakai adalah
seperti pada tabel berikut :
Nilai Kategori 1 Sangat Rendah 2 Rendah 3 Sedang 4 Tinggi 5 Sangat Tinggi
Kategori pH tanah sebagaimana pada Tabel berikut:
Nilai Kategori 1 Sangat Masam 2 Masam 3 Agak Masam 4 Netral 5 Agak Alkalis 6 Alkalis
198
Untuk kategori P tanah, karena semua blok pengamatan memiliki kategori P tanah
yang sama, yaitu sangat rendah, maka untuk dapat dikaji dengan statistik chi-kuadrat
maka nilai kategori tanah yang sangat rendah tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa
kelas sebagaimana pada tabel berikut:
Nilai Kategori (ppm) 1 <= 5,5 2 5,6 – 6,5 3 6,6 – 7,5 4 7,6 – 8,6 5 > 8,6
Kategori kadar Air dapat dilihat pada tabel berikut:
Nilai Kategori 1 10-20 2 20-30 3 30-40 4 40-50 5 > 50
Kategori tekstur tanah seperti pada tabel berikut:
Nilai Kategori 1 Liat 2 Lempung 3 Lempung Berliat 4 Lempung Berdebu 5 Lempung Berpasir
Kategori arah lereng sebagaimana pada tabel berikut:
Nilai Kategori 1 Selatan 2 Timur 3 Barat 4 Utara
Ketinggian suatu blok pengamatan memiliki kategori ketinggian minimal dan
ketinggian maksimal. Hal ini disebabkan dalam suatu blok pengamatan terdapat 10 buah
plot pengamatan, dan plot-plot tersebut ada yang memiliki katinggian paling tinggi dpl
disebut tinggi maksimal atau Tmaks, dan ada yang memiliki ketinggian terendah dari
permukaan laut atau Tmin. Dalam penelitian, kategori ketinggian minimal dpl (tmin) dan
ketinggian maksimal dpl (tmaks) adalah sebagai berikut:
199
Kategori ketinggian minimal dpl dalam suatu blok pengamatan Nilai Kategori (m dpl) 1 < 1050 2 1050 - 1100 3 1100 - 1200 4 1200 - 1300 5 > 1300
Kategori ketinggian minimal dpl dalam suatu blok pengamatan
Nilai Kategori (m dpl) 1 < 1100 2 1100 - 1150 3 1150 - 1250 4 1250 - 1350 5 > 1350
Kategori kecuraman lereng adalah sebagai berikut:
Kategori Kecuraman lereng 1 0 - 8% 2 8 – 15 % 3 15 – 25 % 4 25 – 45 % 5 > 45 %
Lereng dalam suatu plot pengamatan sering memiliki berbagai variasi dari kategori
datar sampai sangat curam. Oleh karena itu maka untuk pengolahan data, maka data
dibentuk dengan kategori ada atau tidak kecuraman lereng dengan kategori datar-sampai
sangat curam pada suatu blok pengamatan. Selanjutnya berdasarkan hal ini maka kategori
lereng dalam penelitian ini dikaji sebagaimana pada berikut: Nilai Kategori 1 Jumlah plot pada suatu blok pengamatan dengan kecuraman lereng
pada kategori datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam kurang atau sama dengan 3
2 Jumlah plot pada suatu blok pengamatan dengan kecuraman lereng pada kategori datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam 4 – 6 plot
3 Jumlah plot pada suatu blok pengamatan dengan kecuraman lereng pada kategori datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam 7 – 10 plot
200
Lampiran 8. Hasil Ordinasi dengan Analisis Faktor
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy: 0,77284454 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square : 117589,205 df : 1770 Sig. : 0.000
Component Initial Eigenvalues
Component Total % of
Variance Cumulative
% Component Total % of
Variance Cumulative
%
1 29,232 48,72 48,72 31 0,022 0,037 99,845 2 11,37 18,949 67,669 32 0,019 0,031 99,876 3 3,27 5,45 73,119 33 0,013 0,021 99,898 4 2,47 4,117 77,236 34 0,011 0,018 99,916 5 2,343 3,904 81,141 35 0,009 0,015 99,931 6 1,783 2,971 84,112 36 0,007 0,012 99,943 7 1,513 2,522 86,633 37 0,007 0,012 99,955 8 1,263 2,105 88,738 38 0,006 0,01 99,965 9 1,074 1,789 90,528 39 0,005 0,008 99,972 10 1,035 1,724 92,252 40 0,004 0,007 99,979 11 0,653 1,088 93,339 41 0,003 0,004 99,984 12 0,644 1,073 94,413 42 0,002 0,004 99,988 13 0,541 0,902 95,315 43 0,002 0,004 99,992 14 0,474 0,789 96,104 44 0,002 0,003 99,995 15 0,404 0,673 96,777 45 0,001 0,002 99,997 16 0,304 0,506 97,283 46 0,001 0,001 99,998 17 0,293 0,488 97,771 47 0,001 0,001 99,999 18 0,249 0,415 98,186 48 0 0,001 100 19 0,177 0,295 98,481 49 0 0 100 20 0,155 0,258 98,739 50 1,70E-05 2,83E-05 100 21 0,118 0,197 98,936 51 1,11E-05 1,86E-05 100 22 0,095 0,158 99,094 52 8,12E-06 1,35E-05 100 23 0,093 0,155 99,249 53 1,64E-06 2,73E-06 100 24 0,077 0,128 99,377 54 7,06E-07 1,18E-06 100 25 0,068 0,113 99,49 55 4,16E-07 6,94E-07 100 26 0,055 0,092 99,582 56 1,77E-07 2,95E-07 100 27 0,041 0,069 99,651 57 1,21E-07 2,02E-07 100 28 0,034 0,057 99,707 58 5,62E-08 9,36E-08 100 29 0,033 0,055 99,762 59 2,58E-08 4,30E-08 100 30 0,028 0,047 99,809 60 1,19E-08 1,99E-08 100
Extraction Sums of Squared Loadings Rotation Sums of Squared
Loadings
Component Total % of
Variance Cumulative
% Total % of
Variance Cumulative
% 1 29,232 48,72 48,72 27,774 46,29 46,29 2 11,37 18,949 67,669 11,356 18,927 65,217 3 3,27 5,45 73,119 4,403 7,338 72,554 4 2,47 4,117 77,236 2,809 4,682 77,236
201
Communalities
BLOK INITIAL EXTRACTION BLOK INITIAL EXTRACTION 1 1 0,606 31 1 0,731 2 1 0,635 32 1 0,582 3 1 0,9 33 1 0,71 4 1 0,915 34 1 0,741 5 1 0,918 35 1 0,467 6 1 0,435 36 1 0,015 7 1 0,963 37 1 0,229 8 1 0,833 38 1 0,91 9 1 0,327 39 1 0,796 10 1 0,827 40 1 0,686 11 1 0,287 41 1 0,826 12 1 0,506 42 1 0,907 13 1 0,832 43 1 0,95 14 1 0,949 44 1 0,919 15 1 0,932 45 1 0,658 16 1 0,963 46 1 0,845 17 1 0,963 47 1 0,564 18 1 0,974 48 1 0,453 19 1 0,993 49 1 0,804 20 1 0,719 50 1 0,813 21 1 0,963 51 1 0,907 22 1 0,963 52 1 0,84 23 1 0,963 53 1 0,956 24 1 0,857 54 1 0,845 25 1 0,912 55 1 0,89 26 1 0,965 56 1 0,884 27 1 0,374 57 1 0,848 28 1 0,962 58 1 0,951 29 1 0,772 59 1 0,909 30 1 0,532 60 1 0,969
Extraction Method: Principal Component Analysis.
202
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
987654321
Component Number
30
25
20
15
10
5
0
Eig
enva
lue
Scree Plot
Component Transformation Matrix
Component 1 2 3 4 1 0,972 -0,008 0,210 0,108 2 0,004 0,999 -0,005 0,040 3 -0,223 0,001 0,966 0,127 4 -0,078 -0,040 -0,148 0,985
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.
Lampiran 9. Unsur iklim curah hujan dan suhu udara kawasan Gunung Salak periode 2004-2008 Curah hujan (mm) Station Cianten Elevasi: 947 m dpl Lintang: -06o43’21,3" LS Bujur: 108o36’14,1" BT Ditakar jam : 7.00 Tahun JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES 2004 356,00 206,00 369,00 343,00 454,00 0,00 174,00 2,00 143,00 413,00 819,50 273,002005 350,20 435,00 322,20 153,70 231,00 387,50 330,50 472,00 424,50 519,00 158,00 431,902006 541,50 342,50 175,00 358,00 173,00 160,00 216,00 71,50 259,50 398,00 721,50 670,002007 226,00 560,50 523,00 634,50 561,00 424,00 312,50 119,00 170,50 612,50 784,00 510,502008 457,50 288,50 811,50 718,50 293,50 363,00 155,50 541,00 516,50 1035,50 712,00 338,50
Jumlah 1931,20 1832,50 2200,70 2207,70 1712,50 1334,50 1188,50 1205,50 1514,00 2978,00 3195,00 2223,90Rata-rata 386,24 366,50 440,14 441,54 342,50 266,90 237,70 241,10 302,80 595,60 639,00 444,78 Suhu Udara (Celcius) Stasion Citeko Elevasi: 920 m dpl Lintang: -06o42' LS Bujur: 106o56' BT Tahun JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES 2004 20,90 19,90 21,50 21,70 21,50 21,00 20,50 20,70 21,00 22,60 21,60 20,90 2005 20,60 20,80 21,10 20,90 21,70 20,60 20,90 20,90 20,60 21,30 20,50 21,10 2006 20,60 21,10 21,30 21,50 21,70 21,20 21,20 20,90 21,50 21,70 21,90 21,30 2007 21,40 20,40 21,20 21,20 21,70 21,30 21,20 20,90 21,20 21,30 21,10 20,60 2008 21,10 19,70 20,80 21,00 21,10 20,40 21,00 20,70 21,30 21,50 21,60 21,60
Jumlah 104,60 101,90 105,90 106,30 107,70 104,50 104,80 104,10 105,60 108,40 106,70 105,50 Rata-rata 20,92 20,38 21,18 21,26 21,54 20,90 20,96 20,82 21,12 21,68 21,34 21,10
204
Lampiran 10. Koordinat Geografis Plot Penelitian
Y X Vegetasi Blok Y X Vegetasi BlokS -6 41. 566 E 106 41. 822 PUSPA 1 S -6 41. 508 E 106 41. 909 B. TALI 28S -6 41. 495 E 106 41. 728 PINUS 1 S -6 41. 537 E 106 41. 882 B. TALI 29S -6 41. 506 E 106 41. 743 PUSPA 1 S -6 41. 539 E 106 41. 989 B. TALI 29S -6 41. 513 E 106 41. 757 PUSPA 1 S -6 41. 652 E 106 42. 989 PUSPA 30S -6 41. 532 E 106 41. 770 PUSPA 1 S -6 41. 666 E 106 42. 222 PUSPA 30S -6 41. 573 E 106 41. 833 B.TAMIYANG 2 S -6 41. 682 E 106 42. 234 PUSPA 30S -6 41. 573 E 106 41. 846 B.TAMIYANG 2 S -6 41. 786 E 106 41. 650 PUSPA 31S -6 41. 585 E 106 41. 859 B.TAMIYANG 2 S -6 41. 813 E 106 41. 653 PUSPA 31S -6 41. 679 E 106 41. 985 PUSPA 3 S -6 41. 835 E 106 41. 673 PUSPA 31S -6 41. 809 E 106 42. 029 PUSPA 4 S -6 41. 713 E 106 41. 416 B.TAMIYANG 32S -6 41. 815 E 106 42. 044 PUSPA 4 S -6 41. 937 E 106 41. 733 B.TAMIYANG 32S -6 41. 851 E 106 42. 082 PUSPA 4 S -6 42. 002 E 106 41. 773 B.TAMIYANG 32S -6 41. 420 E 106 41. 741 B. TALI 6 S -6 42. 019 E 106 41. 780 B.TAMIYANG 32S -6 41. 594 E 106 41. 866 B. TALI 7 S -6 42. 125 E 106 41. 935 B.TAMIYANG 34S -6 41. 603 E 106 41. 879 PUSPA 8 S -6 42. 115 E 106 41. 973 B.TAMIYANG 34S -6 41. 417 E 106 41. 746 PINUS 11 S -6 42. 187 E 106 42. 105 PUSPA 35S -6 41. 602 E 106 41. 897 PUSPA 13 S -6 41. 722 E 106 41. 896 PUSPA 38S -6 41. 632 E 106 41. 915 PUSPA 13 S -6 41. 779 E 106 41. 654 B.TAMIYANG 36S -6 41. 710 E 106 41. 944 PUSPA 14 S -6 41. 796 E 106 41. 661 B.TAMIYANG 36S -6 41. 734 E 106 41. 953 PUSPA 14 S -6 41. 941 E 106 41. 741 PUSPA 37S -6 41. 825 E 106 42. 048 PUSPA 15 S -6 41. 973 E 106 41. 778 PUSPA 38S -6 41. 423 E 106 41. 741 B. TALI 16 S -6 42. 047 E 106 41. 859 PUSPA 38S -6 41. 523 E 106 41. 873 B. TALI 17 S -6 41. 729 E 106 41. 676 PINUS 41S -6 42. 048 E 106 41. 803 B. TALI 18 S -6 41. 894 E 106 41. 913 PUSPA 44S -6 41. 475 E 106 42. 045 B. TALI 18 S -6 42. 346 E 106 42. 290 PUSPA 45S -6 41. 674 E 106 42. 141 B. TALI 19 S -6 41. 753 E 106 41. 735 PUSPA 46S -6 41. 693 E 106 42. 150 PUSPA 20 S -6 41. 732 E 106 41. 754 PUSPA 46S -6 41. 769 E 106 42. 184 PUSPA 25 S -6 41. 787 E 106 41. 428 PINUS 48S -6 41. 645 E 106 42. 132 PUSPA 24 S -6 41. 786 E 106 41. 724 PINUS 48S -6 41. 423 E 106 41. 730 B. TALI 21 S -6 41. 724 E 106 41. 774 PUSPA 49S -6 41. 431 E 106 41. 819 B. TALI 21 S -6 41. 723 E 106 41. 855 PUSPA 52S -6 41. 502 E 106 41. 872 B. TALI 22 S -6 41. 716 E 106 41. 872 PUSPA 53S -6 41. 550 E 106 42. 058 B. TALI 23 S -6 41. 721 E 106 41. 884 PUSPA 53S -6 41. 560 E 106 42. 075 B. TALI 23 S -6 41. 732 E 106 41. 928 PUSPA 54S -6 41. 675 E 106 42. 146 PUSPA 24 S -6 41. 734 E 106 41. 939 PUSPA 54S -6 41. 408 E 106 41. 741 B. TALI 26 S -6 41. 761 E 106 41. 983 PUSPA 55S -6 41. 385 E 106 41. 853 B. TALI 27 S -6 41. 474 E 106 41. 904 B. TALI 28 S -6 41. 477 E 106 41. 905 B. TALI 28
205
Lampiran 11. Zonasi altitudinal kawasan Gunung Salak