zona rembang

13
5 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Jawa bagian timur dan Madura terbagi menjadi tujuh zona fisiografi, dari selatan hingga utara berturut-turut yaitu Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunungapi Kuarter. Pembagian tujuh zona ini dikemukakan oleh van Bemmelen (1949) (Gambar 2.1). 1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri atas endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona ini bersifat tidak menerus dan terdiri dari paling tidak tiga bagian yang terisolasi (Bemmelen, 1949). Zona ini memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta hingga ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini umumnya memiliki topografi yang terbentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai segala karst. 2. Zona Solo Zona ini memiliki formasi yang berumur Tersier ditutupi oleh beberapa gunungapi Kuarter. Zona ini terbagi menjadi tiga subzona, yaitu: Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh endapan aluvial. Subzona Solo pada bagian tengah. Subzona ini terbentuk oleh deretan gunungapi vulkanik muda dan dataran-dataran antar pegunungan. Gunungapi tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger, dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya yaitu Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini umumnya terbentuk akibat endapan lahar. Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di

Upload: naos

Post on 16-Sep-2015

40 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

#GeologiRegional

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB II

    GEOLOGI REGIONAL

    2.1 Fisiografi Regional

    Jawa bagian timur dan Madura terbagi menjadi tujuh zona fisiografi, dari selatan hingga

    utara berturut-turut yaitu Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona

    Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan

    Gunungapi Kuarter. Pembagian tujuh zona ini dikemukakan oleh van Bemmelen (1949)

    (Gambar 2.1).

    1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur

    Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri atas endapan

    silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan

    yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona ini bersifat tidak menerus

    dan terdiri dari paling tidak tiga bagian yang terisolasi (Bemmelen, 1949). Zona ini

    memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta

    hingga ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini umumnya memiliki topografi yang

    terbentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai segala karst.

    2. Zona Solo

    Zona ini memiliki formasi yang berumur Tersier ditutupi oleh beberapa gunungapi

    Kuarter. Zona ini terbagi menjadi tiga subzona, yaitu:

    Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang

    sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh

    endapan aluvial.

    Subzona Solo pada bagian tengah. Subzona ini terbentuk oleh deretan gunungapi

    vulkanik muda dan dataran-dataran antar pegunungan. Gunungapi tersebut adalah

    Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger, dan Gunung

    Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya

    yaitu Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar

    gunungapi ini umumnya terbentuk akibat endapan lahar.

    Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang

    berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di

  • 6

    bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan

    endapan gunungapi yang kecil.

    3. Zona Kendeng

    Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang

    kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara.

    Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke arah timur dari Pegunungan Serayu

    Utara, Jawa Tengah. Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur

    (Smyth, dkk., 2005). Zona ini umumnya terbentuk oleh endapan volkanik, batupasir,

    batulempung, dan napal.

    4. Zona Randublatung

    Zona ini merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah

    barat hingga Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona

    Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.

    5. Zona Rembang

    Zona ini merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai

    dari sebelah timur Semarang hingga Pulau Madura dan Kangean. Zona ini memiliki

    lebar rata-rata 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier

    Akhir (Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri atas sikuen mulai dari Eosen hingga

    Pliosen yang berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona

    ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor

    berarah ENE-WSW (Smyth, dkk., 2005)

    6. Dataran Aluvial Jawa Utara

    Bagian barat dari Dataran Aluvial Jawa Utara meliputi Semarang ke timur sampai ke

    Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur. Pada bagian timur

    mulai dari Surabaya hingga ke arah barat laut, di sebelah barat berbatasan dengan

    Zona Randublatung, dan di sebelah utara serta selatan berbatasan dengan Zona

    Rembang.

    7. Gunungapi Kuarter

    Gunungapi Kuarter berada di bagian tengah sepanjang Zona Solo, selain Gunung

    Muria. Smyth, dkk., (2005) menamakan zona ini sebagai Busur Volkanik

    Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.

    Berdasarkan pembagian zona fisiografi tersebut, maka daerah penelitian termasuk ke

    dalam Zona Rembang, yang terdiri atas pegunungan lipatan berbentuk antiklinorium

  • 7

    yang memanjang pada arah barat-timur. Pegunungan lipatan ini memanjang mulai

    dari utara Purwodadi yang melewati Blora, Jatirogo, Tuban, dan berakhir di Pulau

    Madura.

    Gambar 2.1 Peta fisiografi Jawa Timur (Bemmelen, 1949)

    2.2 Stratigrafi Regional

    Mandala pengendapan Rembang termasuk ke dalam Zona Fisiografi Rembang (van

    Bemmelen, 1949). Tidak seperti sedimen-sedimen pada Zona Kendeng, Mandala

    Rembang tidak mengandung unsur volkanik serta merupakan endapan khas paparan

    (Pringgoprawiro, 1983). Paparan ini memiliki kemiringan landai ke arah selatan dan diisi

    oleh endapan relatif tipis. Mandala Rembang mengandung urut-urutan endapan-endapan

    Kenozoikum yang tebal dan tak terputus hingga Pleistosen.

  • Gambar 2.2 Stratigrafi Lembar Rembang beberapa penulis (Kadar dan Sudijono, 1994)

  • 9

    Berikut adalah beberapa formasi yang diendapkan pada Mandala Rembang menurut

    Kadar dan Sudijono (1994) (Gambar 2.2):

    1. Formasi Tawun

    Penamaan formasi ini pertama kali digunakan oleh Brouwer (1957; dalam Kadar dan

    Sudijono, 1994) yang menempatkannya dalam status anggota. Pringgoprawiro (1983)

    meningkatkan statusnya menjadi formasi dan menetapkan penampang antara desa

    Sumberan dan Brangkal di Tuban sebagai hypostratotype. Satuan ini disebut pula

    sebagai Formasi Batugamping Orbitoid (Orbitoid Limestone Formation) oleh

    Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Anggota Batugamping

    Orbitoid (Orbitoid Limestone Member) Formasi Rembang oleh Marks (1957; dalam

    Kadar dan Sudijono, 1994) dan Hartono (1973; dalam Kadar dan Sudijono). Formasi

    ini memiliki stratotipe berupa sumur pengeboran BPM Tawun-5.

    Formasi ini terdiri atas batulempung bersisipan batugamping, batupasir, batulanau,

    dan kalkarenit. Bagian bawah formasi ini didominasi oleh batulempung hitam-kelabu

    yang bergradasi hingga batulanau pasiran berwarna kelabu. Bagian atas dari formasi

    ini ditandai oleh akumulasi batugamping bioklastik yang ketebalannya mencapai 100

    meter di beberapa tempat. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Tuban di bawahnya

    dan Formasi Ngrayong di atasnya adalah selaras. Penyebaran formasi ini cukup luas

    di Mandala Rembang Barat dan di Pulau Madura. Dijumpai pula pada sumur

    pengeboran lepas pantai Jawa Timur Utara dan Madura. Tebal Formasi ini di sumur

    Tawun-5 adalah 1500 meter. Di permukaan tebalnya adalah sekitar 730 meter seperti

    pada penampang Sumberan-Brangkal. Analisa mikropaleontologi yang dilakukan

    menunjukkan umur Miosen Awal, Zona N7-N8 ditentukan dengan menggunakan

    foraminifera plankton, sedangkan dengan menggunakan foraminifera besar

    didapatkan pengendapannya berada di laut agak dangkal, neritik hingga neritik

    tengah.

    2. Formasi Ngrayong

    Satuan batuan ini semula disebut Batugamping Orbitoid (Orbitoid Kalk) Atas oleh

    Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Marks (1957; dalam Kadar dan

    Sudijono, 1994). Kemudian Koesoemadinata (1978; dalam Kadar dan Sudijono,

    1994) menyebutnya Anggota Ngrayong (Ngrayong Member) Formasi Tuban.

  • 10

    Pranggoprawiro (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menyebut satuan ini

    Anggota Ngrayong Formasi Tawun berumur Miosen Tengah (N9 hingga N12).

    Formasi ini terdiri atas batupasir, serpih, batulempung, batulanau, dan sisipan

    batugamping. Terkadang dapat ditemukan pula sisipan batubara dan lignit. Batupasir

    pada umumnya terdiri atas batupasir kuarsa dengan butiran menyudut sampai

    menyudut tanggung. Serpih sering sekali mengandung sisa tumbuhan berwarna hitam

    (carbonaceous), sedangkan batulempung kadang-kadang mengandung banyak

    foraminifera plankton yang menunjukkan umur Miosen Awal hingga Miosen Tengah,

    Zona N8-N12. Sisipan batugamping sering dicirikan oleh fosil foraminifera besar

    genus Lepidocyclina dan Cyclocypeus annulatus secara berlimpah. Lingkungan

    pengendapan Formasi Ngrayong diendapkan dalam lingkungan laut agak dangkal,

    mulai dekat pantai sampai neritik tengah.

    3. Formasi Bulu

    Penamaan formasi ini diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983) sebagai pengganti nama

    "Platen Komplex" oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1983). Tipe lokasinya

    berada di Desa Bulu, Rembang yaitu sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri litologi pada

    stratotipenya terdiri atas batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk plat (tebal 10

    cm-33 cm) dan sisipan napal di bagian tengahnya. Hubungan stratigrafi Formasi Bulu

    dengan Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro, 1983), seperti

    yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek, Bulu. Formasi

    Wonocolo diendapakan selaras di atas formasi ini. Penyebarannya cukup luas di

    Mandala Rembang mulai daerah Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian

    timur. Endapan Formasi Bulu juga ditemukan pada sumur-sumur pengeboran lepas

    pantai. Pada lokasi ini tipe tebalnya mencapai 248 meter, sedangkan di daerah lain

    ketebalannya berkisar antara 55 meter hingga 200 meter. Umur formasi ini adalah

    berupa Miosen Tengah, zona N14-N15 atau Tf bawah berdasarkan atas kandungan

    foraminifera, sedangkan lingkungan pengendapannya adalah berupa zona litoral

    hingga zona sublitoral pinggir berdasarkan kandungan biotanya.

    4. Formasi Wonocolo

    Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro,

    1983), dengan lokasi tipe di sekitar Desa Wonocolo, 20 kilometer ke arah timur laut

    dari Cepu. Ciri litologinya terdiri dari perulangan antara napal, napal lempungan,

  • 11

    hingga napal pasiran dengan perselingan kalkarenit. Napalnya kaya akan foraminifera

    plankton. Formasi ini terendapkan secara selaras di bawah Formasi Ledok pada

    stratotipenya. Formasi Wonocolo memiliki penyebaran yang luas di Mandala

    Rembang dengan arah barat-timur, mulai dari Todanan hingga tinggian Tuban. Di

    daerah Rembang tebalnya mencapai 100 meter. Umur dari formasi ini adalah bagian

    bawah Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona bathial

    atas.

    5. Formasi Ledok

    Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono,

    1994) dengan lokasi tipenya berada di Antiklin Ledok, yaitu berjarak 10 km sebelah

    utara dari Cepu. Pada lokasi tipenya, ciri litologinya adalah perulangan antara napal

    pasiran, kalkarenit dengan napal dan batupasir. Glaukonit berlimpah ditemukan di

    bagian atas formasi. Kalkarenit dan napal pasiran memperlihatkan struktur silang siur.

    Hubungan stratigrafi dengan Formasi Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di

    atasnya adalah selaras pada lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang

    terbatas di Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah

    Todanan, akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian Tuban.

    Ketebalan terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di daerah lain

    ketebalannya berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan kehadiran

    Globorotalia plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen Akhir atau Zona

    N17. Lingkungan pengendapannya adalah sublitoral pinggir berdasarkan rasio

    plankton/benthon yang berkisar 27% hingga 30%.

    6. Formasi Mundu

    Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok dan pada awalnya diberi nama

    Jenjang Mundu oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Satuan batuan

    ini kemudian diberi status anggota oleh Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono,

    1994) dan Brouwer (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), meskipun kedua penulis

    memasukkannya ke dalam formasi yang berbeda. Lokasi tipe Formasi Mundu berada

    di Sungai Kalen, Desa Mundu, 10 km arah barat dari Cepu, sedangkan stratotipenya

    yaitu lintasan sepanjang 1,5 km pada sayap Utara Antiklin Kedinding, 3 km ke arah

    barat Desa Mundu. Ciri litologinya yaitu napal kehijauan yang masif. Bagian atasnya

    ditempati oleh batugamping pasiran. Formasi Mundu diendapkan selaras di atas

  • 12

    Formasi Ledok dan dengan Formasi Lidah di atasnya. Penyebarannya sempit di

    kawasan Mandala Rembang, yaitu di sekitar Todanan dan Tinggian Tuban. Ketebalan

    rata-rata Formasi Mundu adalah 255 meter hingga 342 meter. Umumnya adalah

    Miosen Akhir hingga Pliosen atau zona N18-N12 dari analisa foraminifera

    planktonnya. Lingkungan pengendapannya adalah lingkungan laut terbuka dengan

    kedalaman antara 700 meter hingga 1000 meter. Semakin ke atas kedalamannya

    berkurang hingga laut dangkal pada zona sublitoral pinggir.

    7. Anggota Solorejo Formasi Lidah

    Terdiri dari perselingan lapisan tipis batugamping dengan kalkarenit yang kaya akan

    foraminifera plankton. Kalkarenit terkadang mengandung glaukonit. Cangkang

    foraminifera yang menjadi unsur utama penyusun batuan, umumnya telah terabrasi

    dan buram. Dapat dipastikan bahwa fosil tersebut telah mengalami proses

    pengendapan ulang (reworked fossils). Pada lembar Rembang, Anggota Solorejo

    terkadang berkembang sebagai napal yang kaya akan foraminifera plankton dan

    terkadang lebih didominasi oleh batugamping. Pada bagian utara, satuan ini menipis

    ke arah barat daya dan ke arah timur laut. Pada Sungai Klateng ketebalannya

    mencapai 75 meter. Satuan ini awalnya dinamakan Jenjang Solorejo (Solorejo Bed)

    oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan memasukkannya ke dalam

    Formasi Tambakromo berumur Pliosen. Koesoemadinata (1978; dalam Kadar dan

    Sudijono, 1994) menempatkan satuan ini sebagai anggota dalam Formasi Lidah.

    Pringgoprawiro (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menyebutnya sebagai

    Anggota Solorejo Formasi Mundu. Satuan batuan ini terletak tidak selaras di atas

    Formasi Mundu, maka oleh Kadar dan Sudijono (1994), Anggota Solorejo

    digabungkan dengan Formasi Lidah.

    8. Formasi Lidah

    Litologinya terdiri dari batulempung abu-abu dan batulempung hitam, dan

    mengandung sisipan batupasir moluska. Terkadang mengandung sisipan batulempung

    yang kaya akan moluska (Ostrea). Pada beberapa tempat, batulempung mengandung

    banyak foraminifera benthon dan terkadang batulempung mengandung banyak

    foraminifera plankton yang merupakan rombakan dari formasi yang lebih tua. Pada

    bagian utara Zona Rembang, ketebalan formasi ini umumnya sekitar 70 meter,

    sedangkan pada Sungai Kedunglo mencapai kurang lebih 230 meter. Pada daerah

  • 13

    selatan Pati-Juwangi satuan batuan terdiri dari batulempung hitam. Pada level

    tertentu, batulempung akan memiliki sangat banyak fosil moluska genus Ostrea yang

    diameternya dapat mencapai 10 cm. Pada daerah Godo, satuan ini terletak selaras di

    atas batugamping Anggota Solorejo dengan ketebalan kurang lebih 120 meter.

    Formasi Lidah pada awalnya dinamakan Mergelton oleh Trooster (1937; dalam Kadar

    dan Sudijono, 1994). Beberapa penulis lain menyebutnya Lempung Biru (Blue Clays)

    Bemmelen (1949; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), Formasi Turi-Domas (Turi-

    Domas Formation) oleh Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), dan MT

    series oleh Koesoemadinata (1969; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Pringgoprawiro

    (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) meresmikan satuan batuan ini sebagai

    Formasi Lidah dan menetapkan penampang antara Banyuurip-Blangbali, Cepu,

    sebagai hypostratotype. Umur formasi adalah Pliosen hingga Plistosen.

    9. Formasi Paciran

    Penamaannya diambil dari Kota Paciran (Pringgoprawiro, 1983), Tuban.

    Stratotipenya adalah berupa batugamping terumbu di sekitar Bukit Piramid. Formasi

    ini terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali memperlihatkan gejala

    karst. Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di atas Formasi Mundu dan

    mempunyai hubungan yang menjemari dengan Formasi Lidah. Endapan formasi ini

    banyak ditemukan di Tinggian Tuban dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar

    antara 105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan

    Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih, hangat, dekat

    pantai, zona litoral-sublitoral pinggir.

    Sejak Oligosen Akhir terjadi fasa transgresif. Fasa transgresif ini berlangsung sejak N4

    sampai N10 yang kemudian mencapai puncak selama interval N8-N10 (Djuhaeni dan

    Nugroho, 2002). Pada kala akhir Miosen Awal, Formasi Tawun mulai diendapkan. Pada

    kala Miosen Tengah, terjadi fasa transgresif disebabkan karena adanya suatu

    pengangkatan yang meliputi daerah yang luas di Indonesia (Umbgrove, 1949; dalam

    Pringgoprawiro, 1983). Pengangkatan ini menyebabkan terjadinya pembentukan sedimen

    batupasir kuarsa dengan sisipan-sisipan lapisan batubara dan gipsum, yaitu Formasi

    Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara selaras dan kadang-kadang menjari

    dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan pada lingkungan fluvial (non-marine),

  • 14

    daerah pasang-surut sampai dengan neritik tengah. Batupasir mendominasi formasi ini

    dengan sisipan batulempung karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994). Hampir 50% kuarsa

    pada batupasir Formasi Ngrayong berasal dari batuan metamorf, kemungkinan besar

    berasal dari Busur Karimunjawa dan Busur Bawean (Smyth dkk., 2003).

    Fasa transgresif terjadi pada akhir Miosen Tengah sehingga daerah Rembang tenggelam

    lagi di bawah permukaan (Pringgoprawiro, 1983). Proses pengendapan berlangsung pada

    lingkungan laut dangkal neritik tepi sampai neritik tengah yang ditandai dengan

    diendapkannya Formasi Bulu dan Formasi Wonocolo. Formasi Bulu diendapkan secara

    selaras di atas Formasi Ngrayong, terdiri dari batugamping, kadang-kadang berlapis dan

    pasiran, terkadang membentuk pelat-pelat (platy) atau berlapis tipis, dengan sisipan napal

    dan batupasir. Formasi Bulu ditindih secara selaras atau menjari dengan Formasi

    Wonocolo. Formasi Wonocolo dicirikan oleh batulempung gampingan dengan sisipan

    batugamping dan lapisan-lapisan tipis batupasir glaukonit di lapisan bagian bawah

    (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa transgresif mencapai maksimumnya pada N15-N16

    dan kemudian diikuti fasa regresif pada interval N16-N17 (Djuhaeni dan Nugroho,

    2002).

    Pada kala Miosen Akhir, diendapkan Formasi Ledok secara tidak selaras di atas Formasi

    Wonocolo pada lingkungan laut terbuka, tepatnya pada zona neritik tengah sampai batial

    atas. Formasi ini memiliki ciri litologi batuan sedimen klastik seperti batulempung napal,

    dan batulanau dengan sisipan batugamping yang berumur Miosen Akhir.

    Ketidakselarasan disini ditandai dengan hilangnya Zona N15 dan bagian bawah Zona

    N16 karena proses erosi atau ketiadaan pengendapan (hiatus) (Kadar dan Sudijono,

    1994). Formasi Mundu kemudian diendapkan secara selaras di atas Formasi Ledok pada

    kala Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa transgresif. Formasi ini diendapkan pada

    lingkungan laut dalam, batial sampai abisal. Maksimum transgresif berlangsung pada

    interval N19-N20, yang juga sebagai interval genang-laut terbesar selama Tersier di

    Cekungan Jawa Timur Utara (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

    Setelah Formasi Mundu, tepatnya pada Kala Pliosen sampai Pleistosen diendapkan

    Formasi Lidah secara tidak selaras pada lingkungan laut dangkal, neritik tepi. Pada

    bagian bawah formasi ini dijumpai Anggota Solorejo yang memiliki ciri litologi

    kalkarenit dan batupasir glaukonit gampingan. Pada kalkarenitnya banyak dijumpai fosil-

    fosil foraminifera plankton hasil rombakan (reworked fossils) dari formasi yang lebih

    tua. Hal tersebut mengindikasikan turunnya permukaan laut atau merupakan hasil erosi

    daerah-daerah yang terangkat akibat pengangkatan dan perlipatan Cekungan Jawa Timur

  • 15

    Utara (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa regresif berlangsung pada interval N21-N23

    (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

    Formasi Paciran diperkirakan terendapkan pada kala yang sama dengan Formasi Lidah

    karena sama-sama menindih Anggota Solorejo Formasi Lidah. Formasi ini diendapkan

    pada lingkungan laut dangkal, kemungkinan berupa neritik tengah.

    Kadar dan Sudijono (1994) memperkirakan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria

    mulai aktif sejak Pliosen Akhir. Kegiatan vulkanik ini menghasilkan endapan Gunungapi

    Kuarter di daerah ini. Endapan Gunungapi Lasem tersebar di sekitar lereng barat Gunung

    Lasem (806 m di atas permukaan laut), terdiri atas andesit berupa aliran lava, aglomerat,

    breksi volkanik, tuf lapili, tuf halus, dan lahar,sedangkan Gunung Muria menghasilkan

    Endapan Gunungapi Muria yang didominasi oleh tuf, lahar, dan tuf pasiran. Endapan

    Gunungapi Lasem dan Endapan Gunungapi Muria terletak secara tak selaras di atas

    satuan-satuan yang lebih tua. Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari endapan

    sungai dan endapan pantai.

    2.3 Struktur Regional

    Tatanan tektonik dan struktur geologi pada Pulau Jawa tidak terlepas dari adanya teori

    tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng

    besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif stabil, Lempeng Samudera Pasifik yang

    bergerak relatif ke arah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke

    arah utara (Hamilton, 1979).

    Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu

    Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang

    dengan arah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa

    Timur Utara. Struktur-struktur yang berkembang di Pulau Jawa diakibatkan oleh adanya

    suatu pengangkatan yang terjadi selama Kala Intra Miosen dan pada Kala Plio-Pleistosen

    (Bemmelen, 1949).

    Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang

    berkembang pada Pulau Jawa (Gambar 2.3) yaitu:

    Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 hingga 53

    juta tahun yang lalu (Kapur Akhir hingga Eosen Awal). Pola ini ditunjukkan

    dengan Tinggian Karimunjawa pada kawasan Laut Jawa yang diperkirakan

    menerus ke arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar

    Cimandiri (Jawa Barat).

  • 16

    Pola Sunda, berarah Utara-Selatan (N-S) terbentuk 53 hingga 32 juta tahun yang

    lalu (Eosen Awal hingga Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang

    paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang

    dalam dan menerus sampai Sumatera. Pola ini merupakan pola yang berumur

    lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.

    Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu

    hingga sekarang (Oligosen Akhir-Resen). Pola ini merupakan pola termuda yang

    mengaktifkan kembali seluruh pola yang ada sebelumnya.

    Gambar 2.3 Pola kelurusan di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)

    Proses tektonik yang cukup dinamis ikut memberikan peran dalam pembentukan dan

    pengangkatan cekungan-cekungan yang ada pada daerah Jawa. Pada cekungan Jawa

    Timur terjadi suatu perubahan rezim struktur yang cukup kontras di antara Zaman

    Paleogen dan Neogen. Pada Zaman Paleogen, terjadi suatu roll-back jalur subduksi yang

    menghasilkan fase ekstensi dan membentuk cekungan Jawa Timur hingga menjadi suatu

    cekungan busur belakang (Satyana, 2004). Pada Neogen, terjadi suatu rezim kompresi

    yang banyak mempengaruhi bagian Selatan yang dahulunya pada Zaman Paleogen

    adalah merupakan suatu laut dalam. Fasa ini menghasilkan inversi pada struktur-struktur

    yang lebih tua dan perlipatan dengan sumbu relatif Barat-Timur (Satyana dkk., 2004).

    Perlipatan yang terjadi pada Zona Rembang cenderung berarah ke selatan. Hal ini dapat

    terlihat dengan adanya antiklin-antiklin asimetris dengan kemiringan sayap selatan yang

    cenderung lebih besar.

  • 17

    Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003) pola

    struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang

    memiliki kelurusan berarah timurlaut-baratdaya dan barat-timur.

    BP?c0(4ZCJoBmYV:qW