geologi zona rembang

27
GEOLOGI ZONA REMBANG Geomorfologi Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras. Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo. Stratigrafi Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949). Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda. Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini

Upload: nadia-corinna

Post on 03-Oct-2015

225 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

QWERRTUUIUPIOMHGBFVassf ghjuikuiujtgedwderhyjrfwed3frhhrtjbd. ggegedhyfj

TRANSCRIPT

  • GEOLOGI ZONA REMBANG

    Geomorfologi

    Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui

    Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang

    berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran

    aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491

    (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter

    tanah keras.

    Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang

    ke arah Barat Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau

    Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi

    dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan

    punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat Timur, sehingga pola aliran

    sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic).

    Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah

    Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.

    Stratigrafi

    Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam

    Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara

    (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur

    Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).

    Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan

    geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas

    dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala

    tektonik Tersier Muda.

    Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan

    Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur

    Akhir Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi

    pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang

    penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah

    Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi

    dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai

    juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi

    menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini

  • ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van

    Bemmelen, 1949).

    Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan endapan yang berada pada

    Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng

    pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik

    dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya

    sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala

    Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar

    karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang

    memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar

    laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting)

    yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau

    rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang

    hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

    Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan

    belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen

    berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan

    berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).

    Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para

    pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957),

    Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami

    perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah

    dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan

    Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari

    tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban,

    Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan

    yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari

    Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro,

    1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi

    Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan

    Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan

    dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).

    Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun

    oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra

    Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun,

    Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi

  • Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing masing satuan

    dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

    1. Formasi Tawun

    Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi

    Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari

    Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit,

    sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan

    moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida

    besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh

    Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari

    lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan

    masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah

    paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 50

    meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona

    Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur

    Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

    2. Formasi Ngrayong

    Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi

    Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan

    batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang

    moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai

    yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal

    dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi

    Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur

    bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan

    berumur Miosen Tengah.

    3. Formasi Bulu

    Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal

    dengan nama Platen Complex dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi

    Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara

    batugamping dengan kalkarenit, kadang kadang dijumpai adanya sisipan batulempung.

    Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur

    skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran

    memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang,

    bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 100

  • meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur

    Miosen Tengah bagian atas.

    4. Formasi Wonocolo

    Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal

    dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas

    Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang

    batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi

    Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 500 meter.

    Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan

    berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

  • Gambar Kolom Stratigrafi Mandala Rembang (Harsono Pringgoprawiro, 1983)

    Struktur Geologi

    Pada masa sekarang (Neogen Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa

    dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman

    (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia Australia (Hamilton, 1979,

    Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).

  • Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 65 juta

    tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa

    Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola

    tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen Oligosen), yang berorientasi Timur

    Laut Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur

    bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan

    yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra Tersier menunjukkan pola akresi

    berarah Timur Laut Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar sesar di batuan dasar,

    horst atau sesar sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen

    Pliosen) berubah menjadi relatif Timur Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang

    merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar

    sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio

    Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang

    mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang

    tersingkap.

    Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java

    Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable

    Platform) dan Zona Depresi Randublatung.

    Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya

    berarah Barat Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut Barat

    Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur Barat.

    Zona pegunungan Rembang Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan

    menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan

    (Middle Rembang Anticlinorium).

    Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di

    bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang kadang sampai

    Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur struktur

    Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.

    Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas

    berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan lapangan minyak

    yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan

    termasuk juga antiklin antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di

    dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus,

    Trembes, Kluweh, Kedinding Mundu, Balun, Tobo, Ngasem Dander, dan Ngimbang High.

  • Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan

    menjadi 2 bagian, yaitu :

    1. Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut Timur

    Tenggara.

    2. Bagian Barat, yang masing masing porosnya mempunyai arah Barat timur dan secara

    umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.

    Gambar Kerangka tektonik Cekungan Jawa Timur bagian Utara (Katili dan Reinemund, 1984).

  • GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN

    Fisiografi dan Geomorfologi Regional

    Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome

    besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai Oblong Dome.

    Dome ini mempunyai arah utara timur laut selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km,

    dengan arah barat laut-timur tenggara.

    Gambar Sketsa Fisografi Jawa (Van Bemmmelen, 1949) dan Citraan Landsat (SRTM NASA, 2004)

    Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian

    selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut

    pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.

    Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup

    dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang

    terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan

    Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang

    terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,

    kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian

    inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai

    terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon

    Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian

    dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.

  • Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini

    dikenal sebagai Jonggrangan Platoe yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan

    memberikan kenampakan topografi kars. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan,

    sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.

    Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara

    dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini

    banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang.

    Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo

    Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara

    stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit stratigrafis yang paling

    tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak

    selaras diatasnya diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang

    menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang

    sama, keduanya hanya berbeda faises.

    1. Formasi Nanggulan

    - Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah pegunungan Kulon

    Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar

    desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo.

    - Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari

    Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit,

    sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan

    Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

    - Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan

    oleh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi

    Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah

    sebagai berikut

    a) Anggota ( Axinea Berds), marupakan bagian yang paling bawah dari

    formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit,

    kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda,

    dengan Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea

    ini mencapai 40 m.

    b) Anggota Djogjakartae (Djokjakarta). Batuan penyususn dari bagian ini

    adalh Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang

  • bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar

    dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae MARTIN,

    bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

    c) Anggota Discocyclina (Discocylina Beds), Batuan penyususn dari bagian

    ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas

    sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian

    ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.

    - Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran

    umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo

    dkk, 1977).

    2. Formasi Andesit Tua

    - Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili, Aglomerat

    dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit

    augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977).

    - Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan

    yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari

    kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah

    Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api

    Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah

    pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara

    Pegunungan Kulon Progo.

    - Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi

    dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan

    Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian

    Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi

    yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung

    Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh

    intrusi Dasit dan Trakhiandesit.

    - Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan telah

    menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff

    napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki

    gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera

    plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli, Globigerina geguaensis

    weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan

    umur Oligosen atas.

    - Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono

    Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa

  • umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah

    berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di

    bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen

    Atas (hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai,

    maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah.

    Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini

    adalah Oligosen.

    3. Formasi Jonggrangan

    - Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan, suatu

    desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai Plato

    Jonggrangan.

    - Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal

    tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas

    berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)

    - Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua.

    Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen,

    1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa

    formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo

    (Westopo Beds) ini diduga berumur Miosen Tengah.

    4. Formasi Sentolo

    - Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan

    Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik.

    Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi

    Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda

    (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

    - Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975) dijumpai

    beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH,

    dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin

    Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau

    berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo

    ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara

    Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai

    ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977).

    - Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan

    hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing

    formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk

  • penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera

    besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil

    plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya

    perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di daerah

    pegunungan Kulon Progo tersebut.

    Struktur Geologi Regional

    Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon Progo oleh

    Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-

    timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada

    kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang

    membentuk pola radial.

    Gambar Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van Bemmelen (1945,

    hal.596)

    Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan

    arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona

    sesar.

  • GEOLOGI GUNUNG UNGARAN

    Fisiografi Regional

    Pulau Jawa secara fisiografi dan struktural, dibagi atas empat bagian utama (Bemmelen,

    1970) yaitu: Sebelah barat Cirebon (Jawa Barat) Jawa Tengah (antara Cirebon dan

    Semarang) Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) Cabang sebelah timur Pulau Jawa,

    meliputi Selat Madura dan Pulau Madura Jawa Tengah merupakan bagian yang sempit di antara

    bagian yang lain dari Pulau Jawa, lebarnya pada arah utara-selatan sekitar 100 120 km. Daerah

    Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh dua pegunungan yaitu Pegunungan Serayu Utara yang

    berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah

    timur serta Pegunungan Serayu Selatan yang merupakan terusan dari Depresi Bandung di Jawa

    Barat.

    Pegunungan Serayu Utara memiliki luas 30-50 km, pada bagian barat dibatasi oleh

    Gunung Slamet dan di bagian timur ditutupi oleh endapan gunung api muda dari Gunung

    Rogojembangan, Gunung Prahu dan Gunung Ungaran.

    Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang menjadi bagian paling timur dari

    Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran ini di sebelah utara berbatasan dengan

    dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian selatan merupakan jalur gunung api Kuarter

    (Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu), sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan

    Pegunungan Kendeng (Gambar 2.1). Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan geosinklin yang

    memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).

    Sketsa fisiografi Pulau Jawa bagian tengah (Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970, dengan modifikasi)

  • Stratigrafi Regional

    Secara lebih rinci, fisiografi Pegunungan Serayu Utara dibagi menjadi tiga bagian yaitu

    bagian barat (Bumiayu), bagian tengah (Karangkobar) dan bagian timur (Ungaran). Dalam

    Bemmelen (1970) diuraikan bahwa stratigrafi regional Pegunungan Serayu Utara bagian timur

    (Gunung Ungaran dan sekitarnya) dari yang tertua adalah sebagai berikut:

    1. Lutut Beds Endapan ini berupa konglomerat dan batugamping dengan fosil berupa

    Spiroclypeus, Eulipidina, Miogypsina dengan penyebaran yang sempit. Endapan ini

    menutupi endapan Eosen yang ada di bawahnya.endapan ini berumur Oligo-Miosen.

    2. Merawu Beds Endapan ini merupakan endapan flysch yang berupa perselangselingan

    lempung serpihan, batupasir kuarsa dan batupasir tufaan dengan fosil Lepidocyclina dan

    Cycloclypeus. Endapan ini berumur Miosen Bawah.

    3. Panjatan Beds Endapan ini berupa lempung serpihan yang relatif tebal dengan kandungan

    fosil Trypliolepidina rutteni, Nephrolepidina ferreroi PROV., N. Angulosa Prov.,

    Cycloclypeus sp., Radiocyclocypeus TAN., Miogypsina thecideae formis RUTTEN.

    Fosil yang ada menunjukkan Miosen Tengah.

    4. Banyak Beds Endapan ini berupa batupasir tufaan yang diendapkan pada Miosen Atas.

    5. Cipluk Beds Endapan ini berada di atas Banyak Beds yang berupa napal yang berumur

    Miosen Atas.

    6. Kapung Limestone Batugamping tersebut diendapkan pada Pliosen Bawah dengan

    dijumpainya fosil Trybliolepidina dan Clavilithes sp. Namun fosil ini kelimpahannya

    sangat sedikit.

    7. Kalibluk Beds Endapan ini berupa lempung serpihan dan batupasir yang mengandung

    moluska yang mencirikan fauna cheribonian yang berumur Pliosen Tengah.

    8. Damar Series Endapan ini merupakan endapan yang terbentuk pada lingkungan transisi.

    Endapan yang ada berupa tuffaceous marls dan batupasir tufaan yang mengandung fosil

    gigi Rhinocerous, yang mencirikan Pleistosen awal-Tengah.

    9. Notopuro Breccias Endapan ini berupa breksi vulkanik yang menutupi secara tidak

    selaras di atas endapan Damar Series. Endapan ini terbentuk pada Pleistosen Atas.

    10. Alluvial dan endapan Ungaran Muda Endapan ini merupakan endapan alluvial yang

    dihasilkan oleh proses erosi yang terus berlangsung sampai saat ini (Holosen). Selain itu

    juga dijumpai endapan breksi andesit yang merupakan produk dari Gunung Ungaran

    Muda. Menurut Budiardjo et. al. (1997), stratigrafi daerah Ungaran dari yang tua ke yang

    muda adalah sebagai berikut:

    a. Batugamping volkanik

    b. Breksi volkanik III

    c. Batupasir volkanik

    d. Batulempung volkanik

    e. Lava andesitic

  • f. Andesit porfiritik

    g. Breksi volkanik II

    h. Breksi volkanik I

    i. Andesit porfiritik

    j. Lava andesit

    k. Aluvium

    Peta geologi regional daerah Ungaran (Budiardjo, et. al., 1997)

    Tatanan Tektonik

    a. Tektonik Regional

    Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari

    waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur.

    Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran,

    perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke

    waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut Barat Daya (NE-

    SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur

    Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut Barat Daya

    (NE-SW) menjadi relatif Timur Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah

    menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang

    pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada

    unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.

    Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah

    terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah Karang Sambung.

    Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, Florence timur,

  • Central Deep. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian

    Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan

    terekspresikan di bagian timur.

    Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara

    perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah

    pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda

    pada Umumnya berupa struktur regangan.

    Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan

    sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat

    pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar

    Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.

    Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang

    paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan

    tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah

    Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda.

    Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah

    mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen

    Akhir.

    Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah

    ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan

    arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.

    Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran

    tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang stratigrafi

    yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua

    kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian

    timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa.

    Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri memanjang

    relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan dan

    timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian

    Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang

    berarah timur-barat lebih dominan.

    Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah

    Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini membentuk

    struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya. Kemudian selama tersier

  • pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada di sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola

    ini struktur yang terbentuk berarah timur-barat.

    Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan gaya utama

    kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique wrench fault) dengan arah

    baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola pegunungan akhir Cretasisus.

    Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-selatan. Aktifitas

    tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan arah timur-barat yang

    dapat dikenali di Zona Kendeng.

    Volkanisme

    Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif (zona penunjaman)

    sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya terletak pada jarak kedalaman 100 km di

    selatan hingga 400 km di utara zona Benioff. Konfigurasi memberikan empat pola busur atau

    jalur magmatisme, yang terbentuk sebagai formasi-formasibatuan beku dan volkanik. Empat

    jalur magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah :

    1. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona Pegunungan

    Selatan.

    2. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara jalur Pegnungan

    Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku.

    3. Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan gunungapi aktif.

    4. Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh sejumlah gunungapi

    yang berumur Kuarter yang terletak di belakang busur volkanik aktif sekarang.

    a. Magmatisme Pra Tersier

    Batuan Pra-Tersier di pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang Sambung dan

    Bayat. Dari ketiga tempat tersebut, batuan yang dapat dijumpai umumnya batuan beku

    dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang menunjukkan aktifitas magmatisme

    terdiri atas batuan asal kerak samudra seperti, peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit.

    Batuan-batuan ini sebagian telah menjadi batuan metamorf.

    b. Magmatisme Eosen

    Data-data yang menunjukkan adanya aktifitas magmatisme pada Eosen ialah adanya

    Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltik yang memotong Formasi

    Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan berumur Eosen di Bayat dan lava

    bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan. Formasi Jatibarang merupakan batuan

    volkanik yang dapat dijumpai di setiap sumur pemboran. Ketebalan Formasi Jatibarang

  • kurang lebih 1200 meter. Sementara di daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung

    Bujil yang berupa dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat

    dapat ditemui di kompleks Perbukitan Jiwo berupa dike basaltik dan stok gabroik yang

    memotong sekis kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal.

    c. Magmatisme Oligosen-Miosen Tengah

    Pulau Jawa terentuk oleh rangkaian gunungapi yang berumur Oligosen-Miosen Tengah

    dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas batuan volkanik berupa breksi

    piroklastik,breksi laharik, lava, batupasir volkanik tufa yang terendapkan dalam

    lingkungan darat dan laut. Pembentukan deretan gunungapi berkaitan erat dengan

    penunjaman lempeng samudra Hindia pada akhir Paleogen. Menurut Van Bemmelen

    (1970) salah satu produk aktivitas volkanik saat itu adalah Formasi Andesit Tua.

    d. Magmatisme Miosen Atas-Pliosen

    Posisi jalus magmatisme pada periode ini berada di sebelah utara jalur magmatisme

    periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode in aktivitas magmatisme tidak

    terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi berupa intrusi-intrusi seperti

    dike, sill dan volkanik neck. Batuannya berkomposisi andesitik.

    e. Magmatisme Kuarter

    Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebagai kerucut-kerucut

    gunungapi. Ada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama terletak di tengah

    pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur. Gunungapi pada jalur utama

    ersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk alkali dan kalk alkali kaya potasium.

    Sedangkan batuan volkanik yan terletak di belakan busur utama berkomposisi

    shoshonitik dan ultra potasik dengan kandungan leusit.

    f. Magmatisme Belakang Busur

    Gunung Ungaran merupakan magmatisme belakang busur yang terletak di Kota Ungaran,

    Jawa Tengah dengan ketinggian sekitar 2050 meter di atas permukaan laut. Secara

    geologis, Gunung Ungaran terletak di atas batuan yan tergabung dalam Formasi batuan

    tersier dalam Cekungan Serayu Utara di bagian barat dan Cekungan Kendeng di bagian

    utara-timur. Gunung Ungaran merupakan rangkaian paling utara dari deretan gunungapi

    (volcanic lineament) Gunung Merapi-Gunung Merbabu-Gunung Ungaran. Beberapa

    peneliti menyatakan bahwa fenomena itu berkaitan dengan adanya patahan besar yan

    berarah utara-selatan.

  • Komposisi batuan yang terdapat di Gunung Ungaran cukup bervariasi, terdiri dari basal

    yang mengandung olivin, andesit piroksen, andesit hornblende dan dijumpai juga gabro.

    Pada perkembangannya, Gunung Ungaran mengalami dua kali pertumbuhan, mulanya

    menghasilkan batuan volkanik tipe basalt andesit pada kala Pleistosen Bawah.

    Perkembangan selanjutnya pada Kala Pleistosen Tengah berubah menjadi cenderung

    bersifat andesit untuk kemudian roboh. Pertumbuhan kedua mulai lagi pada Kala

    Pleistosen Atas dan Holosen yang menghasilkan Gunung Ungaran kedua dan ketiga. Saat

    ini Gunung Ungaran dalam kondisi dormant.

    Tatanan Tektonik Daerah Ungaran

    Gunung Ungaran selama perkembangannya mengalami ambrolan-tektonik yang

    diakibatkan oleh pergeseran gaya berat karena dasarnya yang lemah (Gambar 2.3 dan 2.4).

    Gunung Ungaran tersebut memperlihatkan dua angkatan pertumbuhan yang dipisahkan oleh dua

    kali robohan (Zen dkk., 1983). Ungaran pertama menghasilkan batuan andesit di Kala Pliosen

    Bawah, di Pliosen Tengah hasilnya lebih bersifat andesit dan berakhir dengan robohan. Daur

    kedua mulai di Kala Pliosen Atas dan Holosen. Kegiatan tersebut menghasilkan daur ungaran

    kedua dan ketiga.

    Struktur geologi daerah Ungaran dikontrol oleh struktur runtuhan (collapse structure)

    yang memanjang dari barat hingga tenggara dari Ungaran. Batuan volkanik penyusun pre-caldera

    dikontrol oleh sistem sesar yang berarah barat laut-barat daya dan tenggara-barat daya,

    sedangkan batuan volkanik penyusun post-caldera hanya terdapat sedikit struktur dimana

    struktur ini dikontrol oleh sistem sesar regional (Budiardjo et al. 1997).

  • Blok diagram struktur volkano-tektonik Ungaran Tua (akhir Pleistosen). (Bemmelen,1943 vide Bemmelen,

    1970 dengan perubahan)

  • Peta Ungaran fault System dan antiklinorium utara Candi (Bemmelen, 1943 vide Bemmelen, 1970 dengan

    perubahan)

  • GEOLOGI PEGUNUNGAN KENDENG

    Fisiografinya

    Gambar Sketsa Fisografi Pulau Jawa Bagian Timur (de Genevraye and Samuel, 1972)

    Zona Kendeng juga sering disebut Pegunungan Kendeng dan adapula yang menyebutnya

    dengan Kendeng Deep, adalah antiklinorium berarah barat-timur. Pada bagian utara berbatsan

    dengan Depresi Randublatung, sedangkan bagian selatan bagian jajaran gunung api (Zona Solo).

    Zona Kendeng merupakan kelanjutan dari Zona Pegunungan Serayu Utara yang berkembang di

    Jawa Tengah. Mandala Kendeng terbentang mulai dari Salatiga ke timur sampai ke Mojokerto

    dan menunjam di bawah alluvial Sungai Brantas, kelanjutan pegunungan ini masih dapat diikuti

    hingga di bawah Selat Madura.

    Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan Kendeng dibagi menjadi 3 bagian, yaitu

    bagian barat yang terletak di antara G.Ungaran dan Solo (utara Ngawi), bagian tengah yang

    membentang hinggaJombang dan bagian timur mulai dari timur Jombang hingga Delta Sungai

    Brantas dan menerus ke Teluk Madura. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian

    barat.

    Stratigrafi

    Menurut Harsono P. (1983) Stratigrafi daerah kendeng terbagi menjadi dua cekungan

    pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed) yang membentuk Pegunungan Kapur

    Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng. Formasi

    yang ada di Kendeng adalah sebagi berikut:

  • 1. Formasi Kerek

    Formasi ini mempunyai ciri khas berupa perselingan antara lempung, napal lempungan,

    napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan. Perulangan ini menunjukkan struktur

    sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun (graded bedding) yang mencirikan gejala

    flysch. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk

    pada Miosen Awal Miosen Akhir ( N10 N18 ) pada lingkungan shelf. Ketebalan formasi

    ini bervariasi antara 1000 3000 meter. Di daerah Lokasi Tipe, formasi ini terbagi menjadi 3

    anggota (de Genevreye & Samuel, 1972), dari tua ke muda masing-masing :

    a. Anggota Banyuurip Tersusun oleh perselingan antara napal lempungan, napal, lempung

    dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter.

    Pada bagian tengah perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5

    meter, sedangkan bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5

    meter dengan sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10 N15 (Miosen

    Tengah bagian tengah atas).

    b. Anggota Sentul Tersusun oleh perulangan yang hampir sama dengan Anggota Banyuurip,

    tetapi lapisan yang bertufa menjadi lebih tebal. Ketebalan seluruh anggota ini mencapai

    500 meter. Anggota Sentul diperkirakan berumur N16 (Miosen Tengah bagian bawah).

    c. Batugamping Kerek Anggota teratas dari Formasi Kerek ini tersusun oleh perselang-

    selingan antara batugamping tufan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan dari

    anggota ini adalah 150 meter. Umur dari Batugamping Kerek ini adalah N17 (Miosen

    Atas bagian tengah).

    2. Formasi Kalibeng

    Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Kerek. Formasi ini terbagi menjadi dua anggota

    yaitu Formasi Kalibeng Bawah dan Formasi Kalibeng Atas. Bagian bawah dari Formasi

    Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600 meter berwarna putih kekuningan

    sampai abu-abu kebiruan, kaya akan foraminifera planktonik. Asosiasi fauna yang ada

    menunjukkan bahwa Formasi Kalibeng bagian bawah ini terbentuk pada N17 N21 (Miosen

    Akhir Pliosen). Pada bagian barat formasi ini oleh de Genevraye & Samuel, 1972 dibagi

    menjadi Anggota Banyak, Anggota Cipluk, Anggota Kalibiuk, Anggota Batugamping, dan

    Anggota Damar. Di bagian bawah formasi ini terdapat beberapa perlapisan batupasir, yang

    ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan debris

    flow, yang disebut Formasi Banyak (Harsono, 1983, dalam Suryono, dkk., 2002). Sedangkan

    ke arah Jawa Timur bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang

    menunjukkan struktur turbidit. Fasies tersebut disebut sebagai Formasi Atasangin, sedangkan

    bagian atas Formasi Kalibeng ini disebut sebagai Formasi Sonde yang tersusun mula mula

  • oleh Anggota Klitik, yaitu kalkarenit putih kekuningan, lunak, mengandung foraminifera

    planktonik maupun foraminifera besar, moluska, koral, alga, bersifat napalan atau pasiran

    dan berlapis baik. Bagian atas bersifat breksian dengan fragmen gamping berukuran kerikil

    sampai karbonat, kemudian disusul endapan bapal pasiran, semakin ke atas napalnya bersifat

    lempungan, bagian teratas ditempati napal lempung berwarna hijau kebiruan.

    3. Formasi Pucangan

    Di bagian barat dan tengah Zona Kendeng formasi ini terletak tidak selaras di atas Formasi

    Sonde. Formasi ini penyebarannya luas. Di Kendeng Barat batuan ini mempunyai

    penyebaran dan tersingkap luas antara Trinil dan Ngawi. Ketebalan berkisar antara 61 480

    m, berumur Pliosen Akhir (N21) hingga Plistosen (N22). Di Mandala Kendeng Barat yaitu di

    daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung

    hitam.

    4. Formasi Kabuh

    Formasi Kabuh terletak selaras di atas Formasi Pucangan. Formasi ini terdiri dari batupasir

    dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur silangsiur dengan sisipan

    konglomerat dan tuff, mengandung fosil Moluska air tawar dan fosil fosil vertebrata

    berumur Plistosen Tengah, merupakan endapan sungai teranyam yang dicirikan oleh

    intensifnya struktur silangsiur tipe palung, banyak mengandung fragmen berukuran kerikil.

    Di bagian bawah yang berbatasan dengan Formasi Pucangan dijumpai grenzbank. Menurut

    Van Bemmelen (1972) di bagian barat Zona Kendeng (daerah Sangiran), formasi ini diawali

    lapisan konglomerat gampingan dengan fragmen andesit, batugamping konkresi,

    batugamping Globigerina, kuarsa, augit, hornblende, feldspar dan fosil Globigerina.

    Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan batupasir tuffaan berstruktur silangsiur dan

    berlapis mengandung fragmen berukuran kecil yang berwarna putih sampai cokelat

    kekuningan.

    5. Formasi Notopuro

    Terletak tidak selaras di atas Formasi Kabuh. Litologi penyusunnya terdiri dari breksi lahar

    berseling dengan batupasir tufaan dan konglomerat vulkanik. Makin ke atas, sisipan

    batupasir tufaan makin banyak. Juga terdapat sisipan atau lensa lensa breksi vulkanik

    dengan fragmen kerakal, terdiri dari andesit dan batuapung, yuang merupakan ciri khas

    Formasi Notopuro. Formasi ini pada umumnya merupakan endapan lahar yang terbentuk

    pada lingkungan darat, berumur Plistosen Akhir dengan ketebalan mencapai lebih dari 240

    meter.

  • 6. Formasi Undak Bengawan Solo

    Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen batugamping, napal dan

    andesit di samping batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata, di daerah Brangkal dan

    Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang

    agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pad Formasi Kabuh maupun

    Notopuro.

    Gambar Stratigrafi Kendeng (Harsono, 1983)

    Struktur Geologi

    Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio Plistosen),

    deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada konsep tektonik lempeng yang

    diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif utara selatan dengan tipe formasi berupa ductile

    yang pada fase terakhirnya berubah menjadi deformasi brittle berupa pergeseran blok blok

  • dasar cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah bagian barat

    Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan sesar naik dimana banyak zona

    sesar naik juga merupakan kontak antara formasi atau anggota formasi.

    Deformasi Plio Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase/ stadia, yaitu; fase pertama

    berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah

    umum barat timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran

    yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah

    berubahnya deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas

    kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang

    merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok blok dasar cekungan Zona

    Kendeng yang mengakibatkan terjadinya sesar sesar geser berarah relatif utara selatan.

    Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan

    mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung

    hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen

    termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan Undak.

    Gambar Pola Struktur Jawa (Sribudiyani dkk., 2003)

    Secara umum struktur struktur yang ada di Zona Kendeng berupa :

    1. Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan asimetri

    bahkan beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan lipatan di daerah ini ada yang

    memiliki pola en echelon fold dan ada yang berupa lipatan lipatan menunjam. Secara

    umum lipatan di daerah Kendeng berarah barat timur.

    2. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan yang banyak dijumpai di Zona Kendeng,

    dan biasanya merupakan kontak antar formasi atau anggota formasi.

    3. Sesar Geser Sesar geser pada Zona Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan

    tenggara -barat laut.

  • 4. Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat di daerah

    Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut menunjukkan bahwa struktur

    kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen.