zaman batu

12
Zaman Batu Zaman Batu adalah masa zaman prasejarah yang luas, ketika manusia menciptakan alat dari batu (karena tak memiliki teknologi yang lebih baik). Kayu, tulang, dan bahan lain juga digunakan, tetapi batu (terutama flint ) dibentuk untuk dimanfaatkan sebagai alat memotong dan senjata. Istilah ini berasal sistem tiga zaman . Zaman Batu sekarang dipilah lagi menjadi masa Paleolitikum , Mesolitikum ,Megalitikum dan Neolitikum , yang masing-masing dipilah-pilah lagi lebih jauh Poleolitikum Paleolitikum atau Zaman Batu Tua [1] (Bahasa Inggris : Paleolithic atau Palaeolithic, Yunani:παλαιός (palaios) — purba dan λίθος (lithos) — batu) adalah zaman prasejarah yang bermula kira- kira 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Periode zaman ini adalah antara tahun 50.000 SM - 10.000 SM. Pada zaman ini, manusia Peking dan manusia Jawa telah ada. Di Afrika, Eropa dan Asia, manusia Neanderthal telah hidup pada awal tahun 50.000 SM, manakala pada tahun 20 000 SM, manusia Cro-magnon sudah menguasai kebudayaan di Afrika Utara dan Eropa. Beberapa perkembangan kebudayaan ditemukan di sekitar Pacitan (ditemukan oleh Von Koenigswald) dan Ngandong. Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden atau berpindah- randah dalam kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka mencari biji-bijian, umbi, serta dedaunan sebagai makanan. Mereka tidak bercocok tanam. Mereka menggunakan batu , kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan sehari-hari. Alat-alat ini juga digunakan untuk mempertahankan diri dari musuh. Peninggalan yang ditemukan antara lain berupa peralatan batu seperti flakes (alat penyerpih berfungsi misalnya untuk mengupas, menguliti), chopper (kapak genggam/alat penetak),

Upload: sandra-mei

Post on 09-Apr-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Wildhan Putra

TRANSCRIPT

Page 1: Zaman Batu

Zaman BatuZaman Batu adalah masa zaman prasejarahyang luas, ketika manusia menciptakan alat dari batu(karena tak memiliki teknologiyang lebih baik). Kayu, tulang, dan bahan lain juga digunakan, tetapi batu (terutama flint) dibentuk untuk dimanfaatkan sebagai alat memotong dan senjata. Istilah ini berasal sistem tiga zaman. Zaman Batu sekarang dipilah lagi menjadi masa Paleolitikum, Mesolitikum,Megalitikumdan Neolitikum, yang masing-masing dipilah-pilah lagi lebih jauh

Poleolitikum

Paleolitikum atau Zaman Batu Tua[1] (Bahasa Inggris: Paleolithic atau Palaeolithic, Yunani:παλαιός (palaios) — purba dan λίθος (lithos) — batu) adalah zaman prasejarah yang bermula kira-kira 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Periode zaman ini adalah antara tahun 50.000 SM - 10.000 SM.

Pada zaman ini, manusia Peking dan manusia Jawa telah ada. Di Afrika, Eropa dan Asia, manusia Neanderthal telah hidup pada awal tahun 50.000 SM, manakala pada tahun 20 000 SM, manusia Cro-magnon sudah menguasai kebudayaan di Afrika Utara dan Eropa.

Beberapa perkembangan kebudayaan ditemukan di sekitar Pacitan (ditemukan oleh Von Koenigswald) dan Ngandong.

Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden atau berpindah-randah dalam kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka mencari biji-bijian, umbi, serta dedaunan sebagai makanan. Mereka tidak bercocok tanam. Mereka menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan sehari-hari. Alat-alat ini juga digunakan untuk mempertahankan diri dari musuh.

Peninggalan yang ditemukan antara lain berupa peralatan batu seperti flakes (alat penyerpih berfungsi misalnya untuk mengupas, menguliti), chopper (kapak genggam/alat penetak), selain itu terdapat pula peralatan dari tulang.

Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan, biasa disebut Chopper (alat penetak/pemotong). Dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara menggunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatannya dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.

Spesies manusia purba yang telah ada: 1. Meganthropus Paleojavanicus 2. Pithecanthropus Erectus (Pithecanthropus Mojokertensis, Pithecanthropus Robustus)

Proses pembuatan kapak batu: 1. Memilih batu yang cocok dan mudah dibentuk 2. Batu tersebut dipukulkan dengan menggunakan batu yang lebih keras 3. Pembentukan dengan cara dihaluskan menggunakan kapak tulang, tangan juga dilindungi dengan kulit.

Page 2: Zaman Batu

Megalitikum

Zaman Megalitikum (mega berarti besar dan lithikum atau lithos berarti batu) disebut juga zaman batu besar. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar yang berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang. Kebudayaan ini berlangsung hingga zaman logam, bahkan sampai saat ini kita masih dapat menjumpai di berbagai daerah di indonesia sebagai sisa-sisa tradisi budaya Megalitikum. Adapun hasil budaya Megalitikum ini meliputi: menhir, batu berundak, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis arca berukuran besar.

1. Menhir

Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di suatu tempat untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut.

Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.

Page 3: Zaman Batu

2. Punden berundak

Punden berundak merupakan bangunan yang di susun secara bertingkat-tingkat yang di maksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang, bangunan ini kemudian menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa hindu-buddha.

Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk di Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara sampai Polinesia, meskipun di kawasan Polinesia tidak selalu berupa undakan, dalam struktur yang dikenal sebagai marae oleh orang Maori. Masuknya agama-agama dari luar sempat melunturkan praktik pembuatan punden berundak pada beberapa tempat di Nusantara, tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli ini pada bangunan-bangunan dari periode sejarah berikutnya, seperti terlihat pada Candi Borobudur, Candi Ceto, dan Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.

3. Kubur batu

Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini, umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar. Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke barat.

Pada masa prasejarah ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu merupakan salah satu dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan sesuai dengan namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan (stonecists) bagi orang-orang yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup pada masa megalit. Kubur batu ini sudah dilakukan pengamanan dengan cara diberi pagar keliling

Page 4: Zaman Batu

yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 5,50 meter dan lebar 5 meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang penyangga dari kayu dan pondasi semen.

4. Sarkofagus

Sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara wadah dan tutup berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.

Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan alabaster

5. Dolmen

Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi, sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di letakan di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang ada hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.

Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan kalau masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua belah

Page 5: Zaman Batu

pihak.

6. Arca batu

Arca batu banyak di temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia, diantaranya pasemah, Sumatra Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai binatang atau manusia dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang dinamakan Batu Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat pahatan wajah manusia yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek pemujaan.

Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: त atau murthi, yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti “penubuhan”, murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan. Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji. Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.

7. Waruga

Page 6: Zaman Batu

Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak ditemukan di situs Gilimanuk, Bali.

Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.

Mesolitikim

Mesolitikum atau Zaman Batu Madya[1] (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu) adalah suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.[2]

Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V. Gordon Childe mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe (1947)

Zaman mesolitikum di Indonesia

Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[3] Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.[3]

1. Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.[4] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7 meter.[4] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai

Page 7: Zaman Batu

ratusan bahkan ribuan tahun.[4] Di antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk menghaluskan cat merah.[4] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu sihir.[4] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya masih kasar.[4] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[4] Berdasaran pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid)[4]

2. Abris Sous Roche

Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.

Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal.[4] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[5] Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.[5] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[6]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala [4] . Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah flakes dan pebble[4]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[4]. Sementara itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil),

Page 8: Zaman Batu

pecahan tembikar, dan benda-benda perunggu [4] .

Zaman Batu Neolitikum (Zaman Batu Muda)

Zaman neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya semakin maju. Manusia tidak hanya sudah hidup secara menetap tetapi juga telah bercocok tanam. Masa ini penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk membuat ladang-ladang. Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah menguasai lingkungan alam beserta isinya.

Masyarakat pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu perkampungan yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah mereka masih kecil-kecil berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Rumah ini diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman. Kemudian barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan menggunakan tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.

Oleh karena mereka sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong. Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga dalam menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil tanaman, membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.

Masyarakat bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah satunya ialah sikap terhadap alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya yang meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan lain-lain agar perjalanan si mati ke alam arwah terjalin keselamatannya.

Jasad seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat biasanya diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati. Bangunan-bangunan yang dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu pada akhirnya melahirkan kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu besar).

Kemajuan masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat dari corak kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil peninggalan budaya mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat kemampuannya dalam membuat alat-alat

Page 9: Zaman Batu

kebutuhan hidup mereka. Alat-alat yang berhasil mereka kembangkan antara lain: beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, mata panah, gerabah, perhiasan, dan bangunan megaltikum.

Batu persegi

Beliung persegi ditemukan hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama bagian barat seperti desa Sikendeng, Minanga Sipakka dan Kalumpang (Sulwasei), Kendenglembu (Banyuwangi), Leles Garut (Jawa Barat), dan sepanjang aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparege (Rengasdengklok). Beliung ini digunakan untuk alat upacara.

Kapak lonjong

Kapak lonjong ditemukan terbatas hanya di wilayah Indonesia bagian timur seperti

Page 10: Zaman Batu

Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Meluku, Leti, Tanibar dan Papua. Kapak ini umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang simetris.

Alat-alat obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung. Alat-alat obsidian ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat saja, seperti: dekat Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor, Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit di Flores Barat.