yellow rose2
DESCRIPTION
Indonesian Short StoryTRANSCRIPT
“CUORE INFRANTO”
—————————
“Kau bisa bodohi aku dengan seutas senyum yang terpatri dalam bingkaian tegas wajahmu namun
aku tak bisa bodohi diriku sendiri yang meretas lengkungan pada kurva delima sebabku nodai rasa
ini.”
Sesekali sisir cokelat beraksen kayu itu menyisir surai emas yang menjuntai lurus hingga
bahunya. Otot wajahnya berkerja sedikit tak ringan demi menyunggingkan senyum termanis yang
pernah ia tampilkan seumur hidup. Tingkahnya masih sama, bercermin berjam-jam—ia sungguh tak
ingin merusak acara berjalan ditaman bunga mawar bersama sahabat yang lebih pantas dianggap
dengan istilah kencan. Namun hal itu adalah hal mustahil bagi paradigma putri Jason Smith. Perlahan
pipinya bersemu merah menanggapi suara-suara yang bersahutan dikepalanya, Christopher Watkins,
Christopher Watkins, Christopher Watkins... ya, mereka bersahutan memanggil nama itu. Nama yang
selalu memberi degupan kuat pada jantungnya itu.
And your heart is nothing, but the gravity pulling me towards you.
Rasa itu sungguh membuat jantungku ingin meledak. Pikirnya sempit, ia berusaha
tersenyum manis untuk kesekian kalinya walau gugup. Lesung yang menghiasi pipinya itu terlukis
indah bersamaan dengan make-up natural berkesan indahnya flora—romantis. Sapuan blush on dan
lipgloss baby pink meyakinkan pada keseluruhan tampilan. Ia ingin terlihat bagai bidadari. Ia jatuh
cinta. Ya, ia jatuh cinta pada seseorang yang berhasil membuat hatinya menyerah pasrah begitu saja.
Jatuh menimpa angan-angan yang terlampau berserakan jatuh, sebelumnya.
—————————
Early Spring in Roses Cavriglia, Italy.
Bibirnya menyuguhkan senyum yang masih membuat gadis dihadapannya itu selalu ingin
mendampingi dirinya seumur hidup. Masih merah, ia tak membiarkan puntung sigaret manapun
menodai kepunyaannya itu, berbeda dengan laki-laki lain. Ini serentetan giginya yang sungguh rapi,
nampak dipelupuk mata biru Olivia. Gelak tawa mereka pecah kemudian, meredam kesunyian.
Keduanya saling bertautan mengadu mana yang lebih indah, safir langit atau zamrud emerald.
Keduanya tersenyum. Christopher kemudian tertawa. Ia tak sabar menceritakan
kebahagiaan yang menyesakkan dadanya dengan penuh. Mungkin ia akan mati karena terlalu
bahagia, pikirnya. “Olivia… Kau tahu?” tuturnya tiba-tiba, berusaha melepas keterkaitan antara
kedua jenis iris itu. Ia menghela nafas menyusun kata-kata. “Aku sedang bahagia.” Kalimatnya
singkat. Mimik wajahnya sungguh bercerita lebih banyak dibanding dengan perkataannya barusan. Ia
tak pernah terlihat begitu bahagia, sejak kematian ayahnya yang menghantui hari-harinya selama
dua tahun terakhir.
“Really? What makes you happy today?” sahut gadis itu penasaran, ia tak menunggu
kesempatan lain mendorongnya untuk berkata. Safirnya melebar, ia merasa senang. Rupanya lelaki
tak memerlukan waktu lama untuk menghapus duka yang terpendam dalam relungnya. “Biar aku
tebak,” matanya berotasi menyapu bersih latar yang bermandikan bunga warna-warni. “kau menang
lotre lagi?” ah, tidak mungkin sepertinya. Ia bisa membedakan dimana saat Christopher
memenangkan lotre atau memanglah mendapat kebahagiaan lainnya. Lagi pula, ia hanya menggoda
personalitas yang ada didepannya baru saja. Kemudian ia melangkahkan kakinya jauh, ingin
memandangi lelaki itu dengan sudut yang sedikit berbeda. Didekatinya sang tiang hijau tunggal
didepannya, kemudian menyandarkan seluruh titik bebannya pada tiang itu.
Christopher menggeleng dua kali. Lelaki itu tersenyum kemudian. “Kau salah, kali ini!” ia
sedikit menahan ledakan euforia yang menggebu dalam dirinya. Meringis menanggapi kalimat
konyol Olivia yang memang biasa menjadi kebiasaannya—menang lotre. Tapi bukanlah itu alasannya
mengajak berjalan menyusuri taman bunga pada awal musim semi tahun ini. “It’s about Oxford.”
Tabir kebenarannya terbuka, berusaha menyingkap rahasia semua kebahagiaan yang mengangkat
seluruh angannya. Ia ingin membagi kebahagiaan yang ia simpan rapat-rapat selama beberapa
waktu sebelumnya. “Kau pasti bisa ‘kan, menemaniku besok jam 7 di bandara?”
“Oh, Sorry. You make me say stupid things.” Ringisannya muncul dengan kebahagiaan tanpa
kepalsuan. Namun masih ada sedikit kekhawatiran yang terbesit dalam hatinya walau sama sekali
tak terpampang pada air mukanya, rasa itu tersembunyi karena terselip begitu indahnya.
“Congratulations my boy.” helaan nafasnya memperjelas kesunyian dalam obrolan mereka. “But I’m
afraid, I can’t.” serunya dalam bisikan lirih yang mengarah menuju daun telinga sang perjaka
menanggapi kepastiannya untuk mengantar Christoper ke bandara. Kemudian kedua tangan mungil
gadis itu melingkar, mengepung perawakan tegap yang akan meninggalkannya tak lama lagi. Bahu
lebar maskulin itu menjadi sandaran paling nyaman yang pernah menahan kepalanya yang begitu
berat, ia tak sanggup untuk melepasnya.
Mengikuti refleksi tubuhnya begitu saja. Ia balas pelukan itu dengan khidmat. Tetapi
perhatiannya memusat pada sekuntum bunga yang melambangkan perangai ceria Olivia.
Kepribadian gadis itu memang terlalu mirip dengan sepucuk mawar merah muda yang sudah berada
digenggamannya sekarang. Manis, murah senyum, tutur kata yang indah, merah muda, dan
feminimitas lainnya. “Miss Smith?” ia membisiki Olivia menyadari pelukan itu terasa semakin erat
pada tiap detiknya. Jemarinya menyisir anak rambut yang menutupi tepian paras memesona itu.
“Aku pikir, semua wanita menyukai bunga.” Kemudian tanpa suara ia menyerahkan mawar merah
muda itu. Membiarkan waktu melambatkan langkahnya atau bahkan berhenti, sementara. Agar
menundanya untuk pergi ke tanah lain, segera.
—————————
“Dan bila kau mengingat semua yang terjadi hari itu. Aroma mawar yang segar serta bau
khas musim semi yang persis sepertimu. Kuharap waktu itu bahasa tubuhku bisa membuat
pikiranmu mengerti akan hatiku yang kini jauh lama menanti. Tetap setia menanti.”
—————————
Five years later...
Menatap nanar menerabas keluar jendela dengan air mata yang mengalir dengan
mudahnya, turun. Membasahi pipinya, mengeringkan harapannya yang diambang batas. Ia tandus,
bersama dengan pohon pengharapannya. Nafasnya sesak sesekali, mengetahui penantiannya sudah
cukup lama. Lima tahun bukanlah waktu yang mudah dilaluinya. Lima tahun bukanlah sesuatu yang
menyenangkan untuk dinanti. Hari-harinya habis untuk menanti tiap tahun bergulir yang bersamaan
dengan para musim silih berganti. Dan hatinya masih saja belum goyah. Belum, ia tak semudah itu
memutuskan siapa yang pantas menjadi pangeran yang menghidupi istana cintanya. Setelah
kepergian putra bungsu Watkins. Setelah semua angannya ikut terbawa terbang dengan perangai
itu.
You make me nostalgic for a love that hasn’t happened yet.
Setelah seluruh perhatiannya tersita hanya untuk seorang pemuda yang tak memberinya
kendali. Kendali yang dinanti untuk memberhentikan seluruh rindunya. Bukan, sekali lagi ia bukan
patah hati. Namun sejak menyimpan semua guratan indah dalam benaknya serta menganggap
mawar merah muda itu tanda yang luar biasa. Jantungnya remuk. Ia hancur.
Isak tangisnya masih terdengar jelas. Bendungannya sudah penuh bahkan meluap,
membanjiri segala hal yang begitu berharga dulunya. Tapi air matanya sama sekali tiada guna, untuk
menggugah keindahan kenangan masa lalu. Bahkan petal-petal yang tersusun rapi diatas tangkai
mawar yang dulu berwarna khas feminim itu terlanjur layu, kecoklatan. Tampak lusuh, tidak
berguna, walau sekalipun air mata itu membasuh mereka seribukali. Tetap saja, waktu menggerogoti
kesegaran itu menjadi sia-sia. Namun sumur pengharapan itu masih saja menjadi tempat bergantung
akan kejayaan masa lalu. Apapun itu walaupun musim panas yang gersang melanda, ia masih
menyediakan setetes air. Setetes, yang tersisa.
“I can’t promise you to come back. I have to make my family proud. You see?”
“I understand it. I know your father, your brothers and your family are.”
“Forgive me and forget the feeling, then. You have to follow your heart now, Olivia!”
“Chris! Stop telling me to follow my heart. It once led me to you.”
“…”
Dan gadis ini masih seperti dulu. Masih sama, sejak detik-detik percakapan yang sering
terngiang dikepalanya itu terjadi. Saat semuanya menjadi beku bermula waktu itu. Bahkan
kehangatan mentari saat menjelang subuh tak dapat mencairkan bekunya keadaan saat itu. Serta,
potongan kecil memori itu selalu membuat lidahnya kelu. Terdiam dan tak bisa mengeluarkan
sepatah katapun dari kurva delimanya itu. Ia membisu.
—————————
“Seandainya, kata mereka. Namun keyakinan itu belum pernah goyah sebelumnya. Sebelum hari ini
ada, saat kutemui jemari manismu terikat dengan besi yang menjagamu dari semua cintaku. Cinta
yang dari dulu aku perjuangkan, sayang…”
Telapak kakinya belum lelah melangkah, menyusuri taman bunga yang tiap meternya
menyimpan turunan saksi bisu adegan-adegan bagai Romeo dan Juliet dalam versi modern, dengan
Chris. Saat mereka berdekapan dengan begitu hangat, saat Chris mengecup keningnya dengan
begitu lembut. Saat semua itu kini hanyalah sebuah kenangan. Saat salah satu mawar yang tersebar
bukanlah sekuntum yang terpaksa layu dalam bufetnya, sekarang. Saat ia bisa melihat Chris tanpa
beban, bukan menanggung nama baik keluarganya. Saat mereka bisa tertawa lepas, menertawakan
kesunyian yang selalu menghampiri karena mereka begitu malu untuk berkata-kata. Saat semuanya
menjadi begitu indah untuk dituliskan dalam sejarah.
Surainya sedikit berantakan, tersapu akan angin yang begitu menyenangkan keadaannya
saat musim semi. Namun hatinya masih saja berat untuk meninggalkan segala kenangan serta rasa
pada tiap momennya, masih kokoh, tak seperti helaian-helaian rambut itu yang dengan mudahnya
terombang-ambing. Lepas dari lamunan yang menghampirinya kini, panca inderanya masih aktif
bekerja walau nampaknya ia kini sungguhlah mati, kaku. Organ visualnya dengan jelas menangkap
simbol kebahagiaan musim semi lima tahun lalu yang berada tak jauh dari raganya. Kepala yang
berhiaskan dengan cokelat tua, kulit putih cerah ala ras kaukasoid, dan yang paling penting adalah
miniatur dedaunan yang menggantung pada ranting pepohonan saat musim semi datang—iris hijau
zamrud yang menyegarkan.
You are a drop of perfect in an imperfect world. And all I need, is a taste.
“Chris?” Sapanya lirih.
“Yeah?” Lelaki itu menanggapi, tampaknya ia mendengar panggilan gadis ini. Ia
membalikkan badannya secara penuh menghadap Olivia Smith. Gadis yang memberinya cinta
selama ini tanpa sepengetahuannya sejak hari kepergian dirinya yang terjadi tidak kurang dari lima
tahun lalu. Diamatinya perlahan perawakan gadis itu. Banyak hal yang terjadi padanya secara pasti,
namun tatapan lembut serta aroma tubuh manis semanis nektar itu masih selalu sama,
menggantung pada urutan pertama diotaknya. Dan rambut pirang emas itu selalu menyilaukan
matanya jika memandang gadis itu dibawah paparan sinar matahari langsung, rambut itu tanpa
difusi memantulkan sinar dengan sempurna. “Olivia si mawar merah jambu! Kau, rupanya.” Serunya
menanggapi situasi yang kini sangat ia hindari.
“Ya. Kau masih mengingat itu dengan baik, ternyata.”
“Mana bisa aku melupakan hari itu.”
“Tapi, kau yang menyuruhku melupakan semua itu.”
“Aku menyuruhmu melupakan rasa itu.” Dengan sikap prianya kini, ia mengambil nafas
panjang. Kemudian berdehem. “Bukan kenangannya.” Tutupnya.
Bibirnya yang semula sedikit membuka dan mentalnya telah siap membalas segala debatan
kata yang membicarakan perasaan itu, kini tertutup rapat. Ia sama sekali tak dapat menahan ledakan
rasa yang jelas bergejolak dalam hatinya. Rasa rindu, ingin mendekap tubuh yang hilang dari
perhatiannya selama ini, namun benci dengan keadaan yang ada sekarang, bercampur dengan
sempurna. Berkas cahaya yang beradiasi dengan penuh, menjadi pencahayaan yang sungguhlah
sederhana dalam cerita tanpa skenario berencana detik ini. Yang ia tahu hanyalah keyakinan untuk
dipertemukan oleh lelaki idamannya itu, Christopher Watkins. Bukanlah ia mengetahui akan adanya
konversasi bertajuk dalam tema masa lalu. Tanpa kecurigaan berlebihan, ia meraih tangan itu yang
telah lama membuatnya merindu. Dan menempelkan kulit dahinya pada punggung tangan lelaki itu.
“Aku tak bisa melupakan rasa itu,” Olivia menggeleng manja. “yang masih sama hangatnya seperti
dulu.” Kelopak matanya menutup anggun bagai tirai beledu yang lembut, mencoba meresapi
keindahan momen yang lama tak terjadi lagi sejak kepergian lelaki dihadapannya.
Merasakan kehangatan sentuhan kulit Olivia yang kini semakin lembut bukanlah suatu yang
menjadi penantiannya sekarang. Atau bahkan mendengar suara tawa gadis itu yang selalu terngiang
dalam lamunannya kini hanyalah sebuah pantangan. Dan lelaki berkomitmen itu, berusaha mati-
matian untuk membunuh segala keinginannya, kembali dalam pelukan Olivia. Sejak mengetahui
ibunya menyimpan wanita yang dirasa pantas baginya. Sejak jari manisnya harus rela dibebani
lingkaran besi yang dilingkarkan dari wanita selain wanita yang kini sedang menggenggam telapak
tangannya sekarang. Sejak hidupnya menjadi pondasi pengharapan bagi wanita yang melahirkannya.
“Maaf, bisa kau lepaskan?” Chris mengajukan pertanyaan itu tanpa berani menatap mega biru
kepunyaan Olivia. Ia menarik tangannya kembali.
If you can’t let go, you can’t put your heart back in your chest.
Sepertinya hati seorang wanita bukanlah hal yang mudah dibisikkan oleh permintaan
sederhana. Genggamannya semakin erat sejak Chris memintanya untuk melepaskan kedua
tangannya. Namun seiring dengan gestur yang berbicara jelas, seperti menarik tangannya lagi, ia
terpaksa untuk melepas kesenangannya itu. “Maaf,” bibirnya kini ia gigit, menyadari bahwa ia
melakukan sebuah kesalahan besar. Perlahan ia melepaskan kedua tangannya dengan irama detak
jantung yang ia usahakan menjadi normal, tidak terlalu cepat seperti kecepatan terbang elang
peregrine. Tetapi perhatian gadis ini memanglah tidak pernah lepas dari sosok itu. Sorot matanya
terpaksa menangkap sebuah simbol cinta abadi pada jemari manis sang lelaki, benda yang tiba-tiba
berkilau. “Kau?” sembari meneliti cincin yang melingkar itu bukanlah hanya sebuah imajinasi. “Sejak
kapan?”
“Tiga bulan silam.” Senyumnya mengembang namun matanya tidak lepas dari kebohongan,
berpura-pura bahagia. “Dan sebentar lagi, aku—” berujar dengan jelas, gerakannya ia merogoh isi
kantong jasnya yang membuat dirinya nampak lebih gagah dari biasanya. Mengeluarkan sepucuk
surat berwarna beige yang tampak minimalis, sedikit hiasan. “Datang ya.” Seraya menyerahkan
surat undangan itu kepada sosok bidadari yang sempat mewarnai kehidupan cintanya dengan lebih
indah dibanding wanita yang diputuskannya untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Walau
bertopeng dengan seribu kebahagiaan, bertopeng dengan tebalnya senyum palsu atau bahkan
bertopeng dengan mengatasnamakan cinta, hatinya merasa sungguh berdosa. Ia tak dapat
membayangkan betapa hancurnya hatinya jika ia menjadi wanita yang dihadapannya ini. Wanita
yang masih jelas mencintainya, bahkan segala bahasa tubuhnya masih mengindikasikan bahwa
harapannya masih disimpan untuknya.
“Ah,” Lirihnya berindikasi kekecewaan dengan kesempurnaan yang tiada batas, mimik serta
bahasa tubuh sang putri itu berbicara jelas. “aku tak dapat berjanji untuk datang.” Wanita itu
mungkin dapat terlihat sisi kekanakannya dengan cara berlari dari kenyataan, sekarang. Namun
bukanlah itu yang menjadi alasan utamanya. Ia kini bukanlah seorang bocah yang masih menyukai
barbie keluaran terbaru, ia sudah dewasa dan perlu memikirkan masa depannya. Masa depan
kehidupan hatinya, sendiri.
Bukan itu maksudku, membuat jantungmu terasa keras teremas luar biasa. Bukan juga
membuatmu makin terluka melihat aku yang kau cintai mengecup kening wanita lain didepan
bayanganmu. Atau bentuk penyiksaan lain yang lebih menghancurkanmu, seperti saat aku
mengucap janji setia seumur hidup nanti dalam naungan Tuhan yang maha kasih dalam setiap
kalamnya. Bukan. Namun yang kuinginkan hanyalah mencoba menggenggam tanganmu erat,
memohon kerestuanmu untuk menguatkan aku bertahan dalam keadaan yang memaksaku serta
terakhir kalinya rasa sayangku ini aku salurkan dalam bentuk apapun, dihadapanmu Olivia.
“Maafkan kesalahanku,” refleks sang lelaki memetik sebuah mawar bewarna kuning, lalu
memberikannya pada gadis itu. Dengan beribu maaf serta beribu penyesalan. “yang terlambat
memberi tahu semua ini.” tatapannya merunduk. Ia kalah, ia lemah.
Do you know the meaning of each roses, Chris? White is for pure love. Red is the passion. And
yellow, is for friendship. Sungguh kau memberiku warna kuning? Kini kau membuatku sangat ingin
menangis. Tangannya mengepal, berusaha menahan gejolak sakit yang menerpanya, baru saja. “Tak
apa Chris, ini takdir.” Matanya mengerjap perlahan, membiarkan detik-detik segera cepat menyerbu.
Menerima sekuntum bunga itu dengan lugas, namun hatinya meronta untuk menerima sikap
denialnya. Hati gadis itu gemeretak, memecah hingga berkeping pada bagian terkecilnya. Lidahnya
kelu kemudian, tarikan nafasnya terhenti sesaat, dan jantungnya enggan memompa darah lagi.
Dalam doanya kini hanyalah Azrael yang menumpu pada keinginannya untuk mati, terbang dengan
sayap yang menempel indah dipunggungnya.
Dan mereka, kedua entitas itu kaku. Terdiam beberapa detik, untuk kesekian kalinya.
“Semoga berhasil, ya.” Gadis itu terpaksa mengambil alih kesunyian, kedua kalinya ia
memunculkan senyum paksa tersebut. Kemudian didekatkannya sekuntum bunga kuning pemberian
Chris menuju indra penciumannya. Bersamaan dengan helaan nafasnya, bau khas tumbuhan ber-
famili roseceae itu melebur dengan atom-atom oksigen, melewati saluran pernapasannya, mencoba
menenangkan diri sang penghirup. Olivia sudah berusaha bersikap biasa saja. Ia hampir berhasil, dan
ia memang harus berhasil menutupi segala rasa kekecewaan itu. Dia tidak akan mungkin merusak
mimpi besar Mrs. Watkins pada putra akhir yang harus menutup sejarah dengan ‘happy ending’nya
tersebut. Sekali lagi ia menghela nafas panjang, menahan, kemudian menghembuskan dengan lebih
pelan melalui celah diantara bibirnya. “Astaga,” terlontar kalimat mengejutkan bersamaan dengan
terbuka matanya yang kemudian membelalak. “Aku lupa…. Aku belum bersiap-siap.”
“Ingin pergi?” Chris bertanya untuk mengetahui kepastian lebih lanjut.
Putri Mr. Smith mengangguk.
“Kenapa terlalu cepat?”
“Aku harus kembali ke Amerika, besok.” Olivia mengangkat kedua bahunya. Menandakan
harus bagaimana lagi secara tersirat. Namun yang dinamakan alasan hanyalah sebuah alasan, walau
dibalik alasan tersebut bersembuyi sebuah kebenaran. Perlahan ia memberanikan dirinya kembali,
menuntun sebuah kata yang terpaksa harus ia ucapkan, untuk sekarang, besok bahkan mungkin
selamanya. “Bye, Chris!” Ia melambaikan tangannya sembari berjalan mundur. Dengan penuh
ketegasan, namun tetap gemulai ia membalikkan badannya membelakangi Christopher Watkins.
Membelakangi takdir yang dengan jelas menyiksanya didepan rasa rindunya. Meninggalkan semua
kenangan yang sempat ia simpan rapat-rapat. Melangkah dengan beribu detak jantung baru. Ia,
mencoba melupakannya.
“I can’t remember what it felt like to be in love with you.
I just know that something’s missing.”
————THE END————