wrup up skenario 3 emergensi

36
BLOK EMERGENCY “REAKSI OBAT” Kelompok : B – 4 KETUA : Renny Dwi Sandhitia Sari (1102010235) SEKRETARIS : Pranindya Nur Adha (1102010216) ANGGOTA : Norman Yudha Mahendra (1102009206) Nidia Ranah Azmi Lubis (1102010205) Novi Septiani (1102010210) Risty Yasmin Bonita (1102010249) Sandra Aldira (1102010262) Selvia Helena Utami (1102010265) Winda Vresiana Haryanto (1102010288)

Upload: renny

Post on 11-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

wrup up

TRANSCRIPT

Page 1: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

BLOK EMERGENCY“REAKSI OBAT”

Kelompok : B – 4

KETUA : Renny Dwi Sandhitia Sari (1102010235)SEKRETARIS : Pranindya Nur Adha (1102010216)ANGGOTA : Norman Yudha Mahendra (1102009206)

Nidia Ranah Azmi Lubis (1102010205) Novi Septiani (1102010210) Risty Yasmin Bonita (1102010249) Sandra Aldira (1102010262) Selvia Helena Utami (1102010265) Winda Vresiana Haryanto (1102010288)

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi2013 -2014

Page 2: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

SKENARIO 3

REAKSI OBAT

Seorang laki laki, 28 tahun dating ke UGD dengan sesak nafas , nafas nya berbunyi disertai gatal gatal ditubuhnya, kulit merah melepuh sejak dua hari yang lalu .Keluhan ini dialami setelah pasien mendapat injeksi obat di sebuah pelayanan kesehatan primer oleh dokter UGD yang memeriksanya didapatkan :KU : sedang , sens : CMVital Sign : TD 100/70 mmHg.

Nadi 100x/menit RR 30x / menit Suhu 36,5 C

Pemeriksaan fisik :THT : sesak nafas Jackson derajat II-IIIRegio Thorak : Inspeksi > Simetris

Palpasi > SF Kanan – kiri Perkusi > Sonor Auskultasi > Vesikuler kanan-kiri sama

Status Dermatologis :Lokasi 1 : mataUjud kelainan : mata merah, secret (+)Lokasi 2 : Kulit wajah , badan dan ekstremitas atas dan bawahUjud kelainan kulit : Vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target (+) , erosi Lokasi 3 : bibirUjud kelainan kulit : Krusta hemoragiKulit tubuh Hiperemis (+) , Bullae (+)

Page 3: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

HIPOTESIS

Seorang laki-laki, 28 tahun, sebelumnya didiagnosis mengalami laringitis akut dengan gejala sesak napas, napasnya berbunyi, dan pada auskultasi thorax terdengar Stridor (+), diduga mengalami Sindrom Steven Johnson yang ditandai dengan keluhan mata merah, vesikel dan bula berbagai ukuran di kulit, lesi target (+), dan terdapat krusta hemoragik di bibir yang disebabkan oleh reaksi obat setelah mendapat injeksi obat di sebuah pelayanan kesehatan primer.

Page 4: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Sasaran Belajar

LO 1. Memahami dan menjelaskan Obstruksi Saluran Napas Atas (Laring)1.1 Definisi Obstruksi saluran napas atas1.2 Etiologi Obstruksi saluran napas atas1.3 Patofisiologi Ostruksi saluran napas atas1.4 Manifestasi klinis Obstruksi saluran napas atas1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Obstruksi saluran napas atas1.6 Penatalaksanaan Obstruksi saluran napas atas

LO 2. Memahami dan menjelaskan Syndrome Steven Johnson2.1 Definisi Syndrome Steven Johnson2.2 EtiologiSyndrome Steven Johnson

2.3 Patofisiologi Syndrome Steven Johnson2.3 Manifestasi klinis Syndrome Steven Johnson2.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding Syndrome Steven Johnson2.5 Penatalaksanaan Syndrome Steven Johnson2.6 Komplikasi Syndrome Steven Johnson2.7 Prognosis Syndrome Steven Johnson

Page 5: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

1. Memahami dan Menjelaskan Obstruksi Saluran Napas Atas

1.1 Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas

Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas (laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.

1.2 Penyebab dan Gejala Klinis Obstruksi Saluran Napas Atas

Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut,

kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis,

pangkal lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau

narkose maupun karena benda asing.

Obstruksi saluran napas bagian atas ditandai dengan sesak napas, stridor inspiratore,

ortopne, pernapasan cuping hidung, dan cekung di daerah jugularis-supraklavikula-

interkostal. Selanjutnya penderita akan sianotik dan gelisah.

Obstruksi jalan napas atas

Kongenital atresia koane

stenosis supraglotis,glottis dan infraglotis

kista duktus tireoglosus

kista bronkiegen yang besar

laringokel yang besar

Radang laringotrakeitis

epiglotitis

hipertrofi adenotonsiler

angina ludwig

abses parafaring atau retrofaring

Traumatik ingesti kaustik

patah tulang wajah atau mandibula

cedera laringotrakeal

intubasi lama: udem/stenosis

dislokasi krikoaritenoid

paralysis n. laringeus rekurens bilateral

Tumor hemangioma

higroma kistik

Page 6: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

papiloma laring rekuren

limfoma

tumor ganas tiroid

karsinoma sel skuamosa laring, faring atau oesofagus

Lain-lain benda asing

udem angioneurotik

Kelainan Kongenital

Atresia koane

Koane dapat menyumbat total atau sebagian, di satu atau dua sisi, akibat kegagalan

absorpsi membran bukofaringeal. Obstruksi mungkin berupa membran atau tulang. Gejalanya

ialah kesulitan bernapas dan keluar sekret hidung terus menerus. Diagnosis mudah dibuat

dengan timbulnya sianosis pada waktu diam yang menghilang pada waktu menangis, dan

melihat sumbatan di belakang rongga hidung. Pengobatan dengan pembedahan.

Sindrom Piere Robin

Sindrom ini terdiri dari trias gejala yaitu mikrognasia, celah langit-langit, dan oleh

karena mikrognasia, lidah jatuh ke belakang mengakibatkan obstruksi jalan napas atas.

Kadang sindroma ini disertai defek pada mata.

Selaput (web) glotis dan stenosis glotis

Pita suara terbentuk dari membran horizontal primordial yang terbelah pada garis

tengah. Kegagalan pemisahan mengakibatkan berbagai derajat stenosis glotis, mulai dari

selaput pada komisura anterior sampai atresia total glotis. Biasanya ditandai suara parau

sedangkan pada bayi menifestasinya berupa suara serak dan menangis tidak keras. Derajat

sesak dan disfonia tergantung dari luasnya kelainan.

Pengobatan sementara pada bayi atau anak dengan businasi. Diperlukan tindakan

bedah untuk memisahkan pita suara melalui tirotomi.

Obstruksi di subglotis jarang ditemukan, yaitu berupa penyempitan jalan napas

setinggi rawan krikoid.

Page 7: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Radang

Angina Ludwig

Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang invasif,

menyebabkan udem hebat di leher bagian atas yang dapat menyumbat jalan napas. Kuman

penyebab biasanya streptokokus atau stafilokokus. Infeksi biasanya berasal dari lesi di mulut

seperti abses alveolar gigi atau infeksi sekunder pada karsinoma dasar mulut. Kelainan ini

cepat meluas melalui ruang fasia tertutup dan dapat menyebabkan udem glotis yang dapat

mengancam jiwa karena obstruksi jalan napas. Karena radang dasar mulut ini lidah terdorong

ke palatum dan ke dorsal, ke arah dinding dorsal faring sehingga menutup jalan napas.

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan pemeriksaan biakan

dan uji kepekaan kuman dari nanah.

Bila dapat dibuat diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadang

memberikan hasil yang memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar mulut tidak segera

berkurang maka dilakukan dekompresi terhadap ruang fasia yang tertutup di dasar mulut dan

leher, selanjutnya dipasang pipa penyalir.

Trauma

Menelan bahan kaustik

Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuat seperti

soda kaustik, potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapa mengakibatkan terbakarnya

mukosa saluran cerna. Pada penderita yang tak sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan

besar luka baker hanya pada mulut dan faring karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya

sedikit saja masuk ke dalam lambung. Tetapi pada mereka yang coba bunuh diri akan terjadi

luka bakar yang luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam

di sini agak lama sebelum memasuki kardia lambung.

Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar

dan di dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usia dibawah enam tahun,

sedangkan kasus bunuh diri pada dewasa.

Trauma trakea

Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpul tidak

menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat berupa sesak

napas, karena penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisema kutis bila trakea

robek.

Page 8: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyerta seperti

fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak di mediastinum, leher dan subkutis.

Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita diobservasi bila

terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada trauma tajam yang menyebabkan

robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di distal robekan. Kemudian robekan trakea

dijahit kembali.

Trauma intubasi

Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan trakea.

Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar parau dan ada

kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat obstruksi pernapasan.

Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila obstruksi napas terlalu hebat

maka dilakukan trakeotomi.

Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon dalam waktu

lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai penyembuhan dengan

jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.

Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian yang stenosis dalam waktu lama,

tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan anstomosis ujung ke ujung.

Dislokasi krikoaritenoid

Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoid yang

mengakibatkan suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada pemeriksaan

roentgen leher tampak dislokasi struktur laring, penyempitan jalan napas, dan udem jaringan

lunak.

Penanganannya berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secara terbuka dan

dipasang bidai dalam. Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoid dapat mengakibatkan

stenosis laring.

Paralisis korda vokalis bilateral

Kedua pita suara tidak dapat bergerak sedangkan posisinya paramedian dan

cenderung bertaut satu sama lain waktu inspirasi. Penderita mengalami sesak napas hebat

yang mungkin memerlukan intubasi dan atau trakeotomi.

Page 9: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Tumor

Papiloma laring rekuren (papilomatosis laring infantil)

Tumor epithelial papiler yang multipel pada laring ini disebabkan oleh papova virus

yang banyak didapatkan di lembah sungai Missisipi (AS). Penderitanya sering mempunyai

veruka kulit yang mengandung virus. Biasanya kelainan sudah mulai pada usia dua tahun.

Jika si ibu mempunyai veruka vagina maka kelainan ini dapat terjadi pada bayi usia enam

bulan.

Gejala khas berupa disfonia dan sesak napas yang bertambah hebat sampai terjadi

sumbatan total jalan napas.

Terapi terdiri dari pembedahan dengan mikrolaringoskopi. Eksisi papiloma dilakukan

tanpa mengikutsertakan jaringan sehat. Kadang digunakan laser CO2, pembedahan dingin

atau radiasi ultrasonik. Angka kekambuhan tinggi sehingga perlu dilakukan pembedahan

berulang kali.

Papiloma pada orang dewasa merupakan lanjutan dari papilomatosis infantile atau

tumbuh pada usia pertengahan dan tetap sebagai satu lesi tunggal terbatas pada satu korda.

Kedua keadaan ini dapat berubah jadi karsinoma sel skuamosa. Perubahan ke

keganasan terjadi khusus pada penderita yang sebelumnya pernah mendapat radioterapi.

Penanganannya sama seperti pada anak-anak, hanya tidak memerlukan trakeotomi.

Neoplasma tiroid

Karsinoma tiroid dapat berinvasi ke laring dan mempengaruhi jalan napas. Adanya

invasi ini harus dicurigai bila tumor tiroid tidak dapat digerakkan dari dasarnya, disertai suara

parau dan gangguan napas. Pada pemeriksaan photo roentgen leher terlihat distorsi laring

atau bayangan suatu massa yang menonjol ke lumen laring dan trakea.

Kadang tumor tiroid berada pada saluran napas atas secara primer. Diduga tumor

primer di laring atau trakea bagian atas berasal dari sisa tiroid yang terletak dalam submukosa

yang melapisi krikoid dan cincin trakea atas yang ditemukan pada 1-2 % populasi. Tumor ini

harus dieksisi dengan laringektomi.

Udem angioneurotik

Udem angiopneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab obstruksi laring yang disebabkan oleh alergi. Gejala berupa suara parau yang progresif setelah kontak dengan menghirup atau menelan alergen tanpa tanda infeksi. Kadang diperlukan trakeotomi untuk menyelamatkan jiwa.2

Page 10: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

1.3 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas3,4

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang.

Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :

· Serak (disfoni) sampai afoni

· Sesak napas (dispnea)

· Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

· Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,

supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot

pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.

· Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

· Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan,

diantaranya adalah :

· Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat

dilakukan secara direk dan indirek.

· Nasoendoskopi

· X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas. Apabila

sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada

epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.

· Foto polos sinus paranasal

· CT-Scan kepala dan leher

· Biopsi

1.4 Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas

Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:

Stadium I : Adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang

Stadium II : Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah

lagi dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.

Stadium III : Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga terdapat di

infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.

Stadium IV : Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat

ketakutan dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan

Page 11: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada keadaan ini penderita

tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.1

1.5 Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas7

Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas atas

diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.

Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta

pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada obstruksi

laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan.

Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi

orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea),

membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring

stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi yang

dilakukan pada obstruksi laring stadium IV.1,5,6

Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :

1. Intubasi

Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau hidung.

Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving procedure) dan dapat

dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.

Indikasi intubasi endotrakea adalah :

- Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas.

- Membantu ventilasi.

- Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial.

- Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari lambung.

Keuntungan intubasi, yaitu:

- Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut.

- Mudah dikerjakan.

Kerugian intubasi, yaitu:

- Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas.

- Tidak dapat digunakan dalam waktu lama.

Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7-10 hari.

- Tidak enak dirasakan penderita.

- Tidak bisa makan melalui mulut.

Page 12: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

- Tidak bisa bicara.

Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea.

Teknik intubasi endotrakea:

- Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi

- Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkan

melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan

menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat keatas, sehingga

pita suara dapat terlihat.

- Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus melalui celah

antara kedua pita suara kedalam trakea.

- Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.

- Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang

itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah

diekstensikan maksimal.

- Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan

mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal ketas bersama-

sama sehingga laring jelas terlihat.

- Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita

suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi

dengan plester.

Page 13: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

\

Gambar 3. Teknik pelaksanaan intubasi endotrakea

2. Laringotomi (Krikotirotomi)

Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid

(krikotirotomi).

Krikotiromi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.

Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus dikerjakan cepat walaupun

persiapannya darurat.

Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah usia 12 tahun, demikian

juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis.

Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul

yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga

terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48

jam.

Teknik krikotirotomi:

- Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlantooksipitalis.

- Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri.

Page 14: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

- Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah sampai

ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antara kedua tulang

rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan

horizontal pada kulit.

- Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.

- Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.

- Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk

sementara.

Gambar 4. Krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV

3. Trakeostomi

Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat lubang

sehingga terjadi hubungan langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk mengatasi

gangguan pernapasan bagian atas.

Indikasi trakeostomi adalah:

1. Mengatasi obstruksi laring.

2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas.

3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus.

4. Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator).

5. Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas

bronkoskopi.

Page 15: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

a. Keuntungan trakeostomi yaitu:

- Dapat dipakai dalam waktu lama.

- Trauma saluran napas tidak ada.

- Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat dihindari.

- Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah

- Penderita dapat makan seperti biasa.

- Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.

- Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.

Kerugian trakeostomi, yaitu:

- Tindakan lama.

- Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.

Jenis irisan trakeostomi ada dua macam:

- Irisan vertikal di garis median leher.

- Irisan horizontal.

Berdasarkan jenis trakeostomi:

- Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3.

- Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3-4.

- Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4-5.

Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah:

1. Kelembaban udara masuk.

- Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat.

- Nebulizer.

- Kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma.

2. Kebersihan dalam kanul.

- Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½-1 jam pada 24 jam

pertama dan tidak boleh terlalu lama setiap suksion, biasanya 10-15 detik. Bila

lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau cardiac arrest.

- Lakukanlah berkali-kali sampai bersih.

3. Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali.

Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi berikut:

- Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak.

- Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur,

makan dan bekerja.

Page 16: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

- Penderita sudah dapat bersuara.

Komplikasi trakeostomi:

- Waktu operasi:

Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock.

- Pasca operasi:

Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada pembuluh

darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea, disfagia, granulasi.

Teknik trakeostomi:

- Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk menurunkan tekanan

vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga terjadi ekstensi. Leher

harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi.

- Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol.

- Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan epinefrin atau

adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap diberikan meskipun

trakeostomi dilakukan secara anestesi umum.

- Dilakukan insisi.

- Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum, insisi

ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah

- Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum,

membentang antara kedua tepi depan dan medial m.sternokleidomastoid, panjang

irisan 4-5 cm.

Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisial secara

tumpul. Bila tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila

mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong saja.

- Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian suntikkan

anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada waktu memasang

kanul.

- Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakea yaitu

dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut. Kemudian

kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.

- Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan longgar

agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.

Page 17: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Gambar 5. Trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laring

stadium II dan III

Page 18: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)

Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring

secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak di hipofaring.

Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan pada paru.

Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang tertutup oleh sumbatan.

Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan terlempar keluar.

Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati dan fraktur iga.

Teknik perasat heimlich:

- Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.

- Tangan kanan dikepalkan dan dengqan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan

pada perut bagian atas.

- Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan kearah atas

dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing

akan terlempar keluar. Pada anak, penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk

dan jari tengah kedua tangan.

- Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara penolong

berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakkan di

bawah tangan kiri di daerah epigastrium.

- Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru

akan mendorong benda asing keluar.

Page 19: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Gambar 6. Perasat heimlich

Page 20: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

2. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Steven Johnson

2.1 Definisi Syndrome Steven Johnson

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

2.2 Etiologi Syndrome Steven Johnson

2.3 Patofisiologi Syndrome Steven Johnson

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.

Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.

Reaksi hipersensitif tipe III- Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam

darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.

Page 21: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

- Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.

- Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.

- Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

Reaksi hipersensitif tipe IVPada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil

limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

2.4 Manifestasi klinis Syndrome Steven Johnson

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

Setelah itu akan timbul lesi di : Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh

tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna

merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Page 22: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Syndrome Steven Johnson

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.

Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

Diagnosis Banding SJSAda 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat denganTEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulitd i t anda i dengan k rus t a yang menge lupas pada ku l i t . B i a sanya mukosa t e rkena(Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.Jakarta. 2004. hal 141-142).

Page 23: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Pemeriksaan penunjang SJS1.Pemeriksaan laboratorium :

a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalamdiagnose selain pemeriksaan biopsy.

b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yangnormal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putihdapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.

c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnsondengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.

d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.e) Pemeriksaan elektrolit.f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

Page 24: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. (Adithan, 2006).

2.Imaging studies :Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.

3.Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnose

2.6 Penatalaksanaan Syndrome Steven Johnson

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yangdicurigai penyebab reaksi.Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.Orangdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkanspesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,2004)

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapiyang diberik an biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji

resistensikuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,

kemudianse l ama 3 ha r i 0 , 2 -0 ,5 mg /kg BB t i ap 6 j am . Penggunaan s t e ro id s i s t emik mas ih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak   bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,namun ada j uga yang menganggap s t e ro id mengun tungkan dan menye l ama tkan nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-1 2 t a h u n 1 5 m g / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k Setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5 10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase. T e r a p i i n f e k s i s e k u n d e r d e n g a n a n t i b i o t i k a y a n g j a r a n g

m e n i m b u l k a n a l e r g i ,   be r spek t rum lua s , be r s i f a t bak t e r i s i da l dan t i dak be r s i f a t ne f ro toks ik , m i sa lnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

Page 25: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologissetiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva

2.7 Komplikasi Syndrome Steven Johnson

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi -Esophageal strictures Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina Pulmonari – pneumonia Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,

infeksi kulitsekunder  Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock

2.8 Prognosis Syndrome Steven Johnson

SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi inidapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaantotal, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalamwaktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagaikomplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas.Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairandan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Page 26: Wrup Up Skenario 3 Emergensi

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142.

Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access on : June 22, 2008. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com

Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190-200

Abdurrahman MH, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke2, Jakarta:FKUI,2003,931& Obat, Bandung:Mizan Media Utama,2006,13-20