wisuda ke-98 _orasi ilmiah_ zulkarnain ibrahim-asli
TRANSCRIPT
DILEMA DI NEGARA KESEJAHTERAAN
(STUDI TERHADAP PKWT DAN OUTSOURCING
H. ZULKARNAIN IBRAHIM, SH., M.HUM
KETUA BAGIAN HUKUM
Disampaikan pada yudisium Sarjana Hukum Baru
Fakultas Hukum,
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
[ 0 ]
BURUH KONTRAK :
DILEMA DI NEGARA KESEJAHTERAAN
STUDI TERHADAP PKWT DAN OUTSOURCING)
O L E H
H. ZULKARNAIN IBRAHIM, SH., M.HUM
KETUA BAGIAN HUKUM DAN MASYARAKAT
Disampaikan pada yudisium Sarjana Hukum Baru
Fakultas Hukum, 19 Maret 2011
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
[ 1 ]
SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Perguruan Tinggi dicirikan dengan aktivitas ilmiahnya baik berupa seminar, penelitian atau karya ilmiah. Oleh karena
itu, menjadi kewajiban lembaga pendidikan untuk senantiasa menciptakan suasana akademik (acedmic atmosphere) agar
terbentuk budaya akademik (academic culture).
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya berkepentingan untuk mencapai semua itu. Oleh karenanya, Saya memulai
agar setiap pelaksanaan Wisuda Lokal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dilakukan tradisi pidato ilmiah yang
mewakili bagian.
Pada kesempatan Wisuda Lokal Ke-98 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini Bapak H. Zulkarnain Ibrahim, SH., M.
Hum menyampaikan pidato ilmiah dengan Judul BURUH KONTRAK : DILEMA DI NEGARA KESEJAHTERAAN
(STUDI TERHADAP PKWT DAN OUTSOURCING). Saya menyampaikan perhargaan yang tinggi kepada Bapak H.
Zulkarnain Ibrahim, SH., M. Hum yang telah berkontribusi dalam kegiatan tersebut. Saya yakin pokok-pokok fikiran yang
disampaikan akan memberikan kontribusi kepada Ilmu Hukum.
Palembang, 18 Maret 2011
D e k a n ,
Prof. Amzulian Rifai, SH., LL.M., Ph.D
NIP 19641202 199003 1 003
[ 2 ]
Disampaikan pada Rapat Senat Khusus Terbuka
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Kampus Bukit Besar - Palembang
Sabtu, 19 Maret 2011
Bismillahirrohmaanirrohim
Majelis Rapat Senat Khusus Terbuka Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Assalamualaikum W. W.
Selamat pagi dan salam sejahtera
Bapak/Ibu, hadirin yang kami hormati;
YTH :
1. Rektor Unsri / Pembantu Rektor ....
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
3. Para Permbantu Dekan FH. Unsri
4. Ketua Pengurus IKA Fakultas Hukum Unsri
Yang Berbahagia:
5. Ketua dan anggota Senat FH. Unsri
6. Ketua dan anggota Dharma Wanita FH. Unsri
7. Para civitas akademika FH. Unsri
8. Para Alumnus Baru, orang tua dan keluarga
Hadirin yang berbahagia,
Marilah kita panjatkan ” Segala puji – syukur kita hanya kepada Allah S.W.T; Shalawat dan salam
kepada Nabi dan Rasul Terakhir, Nabi Besar Muhammad S.A.W. Assalamualaikum: kepada keluarga beliau,
shahabatnya dan ummatnya sampai akhir zaman.
Rektor, Dekan dan hadirin yang berbahagia, pidato ilmiah yang akan disampaikan berjudul : Buruh
Kontrak : Dilema Di Negara Kesejahteraan (Studi Terhadap PKWT dan Outsorcing) .
Ikhlaskanlah saya untuk menyampaikan pidato Ilmiah ini, sebagai berikut:
[ 3 ]
Buruh Kontrak :
Dilema Di Negara Kesejahteraan
(Studi Terhadap PKWT Dan Outsourcing)1
Oleh: H. Zulkarnain Ibrahim, S.H., M. Hum.2
Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat
A. Latar Belakang
Setiap akhir tahun, kebijakan Pemerintah mengadakan seleksi penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada setiap
Pemerintahan Kota atau Kabupaten di seluruh Indonesia. Seleksi ini diikuti puluhan ribu atau ratusan ribu pelamar, baik
lulusan SLTA, D 3 , S 1 ataupun S 2. Para pelamar tidak terlalu memilih instansi mana yang disukainya, tempatnya jauh
atau dekat dari tempat tinggalnya, yang penting dapat menjadi PNS.
Pelbagai alasan dari para pelamar untuk menjadi PNS, antara lain: 1. ada jaminan penghasilan untuk hidup layak;
2. jenjang karir yang jelas; 3. waktu kerja hanya lima hari setiap minggu; 4. kerja agak santai, tidak begitu dituntut oleh
target dan omset; dan 5. adanya Taspen dan Askes. Latar belakang para pelamar macam-macam, antara lain: 1. baru lulus
atau wisuda dari pendidikannya; 2. sudah beberapa tahun belum mendapat pekerjaan; 3. sudah bekerja di sektor informal;
dan 4. sudah bekerja si perusahaan swasta.
Namun sebagian kecil saja yang diterima menjadi PNS, sedangkan yang lainnya harus berjuang lagi dengan
melamar bekerja si sektor swasta. Untuk bekerja di perusahaan swasta saat ini, bukan juga dapat diperoleh dengan mudah,
tergantung dengan persyaratan yang sangat ketat dan kebutuhan dari pihak perusahaan. Di samping itu, perusahaan-
perusahaan sekarang sangat selektif untuk menerima para pelamar. Kalaupun perusahaan menerima pekerja, faktor yang
harus diperhatikan: faktor ekonomi dan perburuhan. Ada kecenderungan sedapat mungkin hanya menerima untuk menjadi
Pekerja Waktu tertentu (PWT) atau outsourcing, bukan Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT = pekerja tetap) dengan
alasan-alasan, sebagai berikut: 1. pemberhentian pekerja cukup dengan menunggu perjanjian kerja berakhir; 2. jika PHK
tidak dibebani uang pesangon besar, 3. upah cukup dengan upah minimum propinsi (UMP); 4. kepesertaan Jamsostek
cukup dengan 2 program; 5. tunjangan keluarga tidak ada; dan 5. jika pekerja mengundurkan diri, STTB-nya ditahan dan
dapat dituntut ganti rugi. Hal senada dikemukakan ketua Apindo3 menyatakan, bahwa sistem buruh kontrak dan
outsourcing sebenarnya perusahaan diuntungkan dengan tidak dibebani kewajiban membayar uang pesangon jika terjadi
PHK.
Potret PWT , hampir sama dengan nasib petani, nelayan dan pedagang asongan; di strukturkan untuk mereka
bekerja dengan penghasilan yang tidak layak, meskipun hidup di bawah jaminan negara kesejahteraan. Hampir semua
negara di dunia ini mengaku negara kesejahteraan, meskipun rakyatnya banyak yang tetap miskin.
Nicholas Barr mengindentifikasi beberapa hal penting ketika kita bicara mengenai peran negara kesejahteraan.
Beberapa hal itu adalah:4 pertama, bahwa sumber kesejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara.
1 Pidato ilmiah pada Rapat Senat Khusus Terbuka Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Sabtu, 19 Maret 2011 2 Staf Pengajar FH. Unsri untuk mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan, Hukum Perdata dan Hukum Jaminan Sosial. 3 Kompas, 30 April 2008. 4 Tim Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, Pengembangan kebijakan dan perbandingan pengalaman, Univ.
Paramadina, Jakarta, 2008, hal. 19-20
[ 4 ]
(1) kesejahteraan masyarakat dapat mengalir lewat gaji atau pemasukan (income) dari tempat dimana ia bekerja.Gaji
yang layak dan aturan pekerjaan yang manusiawi dapat membawa warga pada kehidupan yang sejahtera.Selain itu, adanya
jaminan ketika mereka menghadapi masa sulit, seperti sakit atau di PHK juga menjadi ukuran penting bagi kesejahteraan
masyarakat.
(2) Adanya kemampuan untuk menyisihkan sebagain dari pendapatannya juga menjadi ukuran kesejahteraan warga
negara. Kemampuan itu dimungkinkan bila mereka sudah mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Bagaimana mungkin
mereka dapat menabung atau membuat asuransi secara pribadi ketika gaji yang mereka terma sangat jauh dari cukup.
Karenanya, kelayakan gaji menjadi pengandaian bagi inisiatif untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya.
(3) Selain itu, sumber kesejahteraan juga bisa datang dari donasi warga yang lebih mampu secara sukarela. Pemberian
sukarela ini memang tidak hanya dalam secara sukarela. Pemberian sukarela ini memang tidak hanya dalam bentuk uang.
Ia bisa saja diberikan dalam bentuk penjualan barang dan dibawah harga pasar atau memberikan tambahan waktu libur
kepada para pekerja.
(4) Sementara peran negara bagi pewujudan kesejahteran datang lewat kebijakan pemberian uang tunai atau dalam
bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind).
Kedua yang patut diperhatiakan dalam sistem negara kesejahteraan adalah bahwa cara penyampaian (modes of
delivery) sumber daya kesejahteraan juga beragam. Menurutnya, penyampaian manfaat kesejahteraan itu, misalnya bisa
dilakukan dengan cara memberikan pelayanan gratis (seperti pelayanan kesehatan tanpa biaya) atau memberikan uang
lewat peringanan pajak dsb. Hal terakhir yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak ada penjelasan mengenai negara
kesejahteraan yang betul-betul definitif, karena apa yang disebut dengan negara kesejahteraan itu beragan dan banyak
model, baik dalam hal sumber kesejahteraan maupun cara penyampaian kesejahteraan tersebut.
Alasan- alasan dan tujuan sekaligus menjadi alat ukur kesuksesan dalam menjalankan sistem negara
kesejahteraan,5 pertama adalah untuk mempromosikan efesiensi ekonomi; kedua untuk mengurangi kemiskinan; ketiga
mempormosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan integrasi sosial atau menghindai ekslusi
sosial, kelima mempromosikan stabilitas sosial; dan yang keenam mempromosikan otonomi atau kemandirian individu.
Secara tegas Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa: ”...negara wajib memajukan kesejahteraan umum, ...”
dan pasal 27 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Membaca UUD menurut Satjipto Rahardjo, merupakan suatu aktifitas intelektual yang istimewa yang tidak dapat
disamakan dengan membaca UU biasa. Mengikuti pendapat Ronald Dworkin, dalam bukunya: Freedom’s Law, The Moral
Reading of the American Constitution; risalah membaca UUD sebagai suatu “moral reading”. Naskah suatu teks UUD
tidak boleh dibaca secara datar, melainkan dicari maknanya yang dalam dan tersembunyi di belakang naskah. Membaca
secara bermakna tersebut adalah mencari dan menemukan kandungan moral dari naskah tersebut.6
5 Ibid. hal. 22 6 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yokyakarta, 2009, hal. 82
[ 5 ]
Dari latar belakang di atas, patut kita pertanyakan: 1. di mana eksistensi negara kesejahteraan untuk melindungi
warga negara (PWT) yang lemah; lemah secara yuridis, ekonomis, dan sosiologis ? 2. Apakah warga negara (PWT)
berhak untuk hidup layak di negara kesejahteraan ini ?
B. Aspek Yuridis dan Sosiologis PWT
Kebijakan di bidang ketenagakejaan saat ini, pada dasarnya tidak lepas dari kerangka proses pembangunan,
masing – masing mempunyai ciri penekanan yang berbeda antara tahap pembangunan yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Profesor Organski, Negara–negara modern sekarang ini seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang telah
melaksanakan pembangunan secara bertahap:7 pertama, tahap unifikasi, dimana negara baru pada tahap mengupayakan
proses penciptaan persatuan bangsa dan kesatuan suatu negara. Stabilitas politik merupakan persyaratan untuk masuk ke
tahap industrialisasi.
Kedua, tahap industrialisasi, dimana negara memfokuskan usahanya pada pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan akumulasi modal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan persyaratan untuk mencapai negara
kesejahteraan.
Ketiga, tahap negara kesejahteraan, di mana negara menyadari industrialisasi tidak selalu positif. Pada negara
kesejahteraan, Pemerintah mencoba memperbaiki implikasi negatif dari industrialisasi dengan melindungi pihak yang
lemah.
Untuk Indonesia, tahap pertama unifikasi sudah dilewati baik masa perjuangan kemerdekaan 17 Agustus 1945
atau masa mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan tahap kedua Industrialisasi telah dimulai semenjak tahun 1967 –
1968 dengan dicanangkankannya UU. PMA dan UU. PMDN. Maka sekarang Indonesia telah berada dalam tahap ketiga,
yaitu tahap negara kesejahteraan.
Salah satu upaya DPR dan Pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah atau mensejahterakan pekerja, adalah
dengan melalui perlindungan hukum ketenagakerjaan, yaitu UU. No. 13 Tahun 2003, dengan tujuan antara lain sebagai
berikut:
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
(1) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
(2) mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
(3) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
(4) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Kemudian upaya perlindungan PWT secara rinci dapat dilihat dalam pasal berikut:
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
7 Wallace Mendelson, Law and Development of Nation, The Journal of Politics, 32, 1979, hal. 223; Dalam : A. Wiyono, Hak Mogok
Di Indonesia, UI Press, Jakarta, 2003, hal. 22
[ 6 ]
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa
percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari
sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini
hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ketentuan per-uu-an di atas, jika dikaji dari disiplin deskriptif, ada tiga pola atau bentuk PWT :
1.berdasarkan jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu (pasal 56); contoh: buruh tanam dan tebang tebu
di PT. Cinta Manis, buruh pada perusahaan kontraktor bangunan, jembatan atau jalan.
2. berdasarkan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh(pasal 64, 65, 66); contoh : sclining servis, supir, catering dan
jaga malam.
3. di luar ketentuan point 1 dan 2 di atas, contoh: satpam dan teller bank, pengantongan pupuk di PT. PUSRI, pencatat
meteran PLN dan PAM.
Ketiga bentuk PKWT tersebut, selalu menjadikan PWT dalam posisi tak berdaya, dikarenakan: 1. upah; 2. , PWT
berdasarkan pasal 64,65 dan 66 UUK (outsourcing); 3. PWT di luar pasal 65 dan 66 UUK
[ 7 ]
B. 1. Upah
Upah bagi PWT saat ini dalam bentuk upah minimum propinsi (UMP); kelemahan UMP sebagai berikut:
1. Besarnya kebutuhan hidup minimum (KHM) masih berpedoman pada perhitungan biaya hidup standar seorang
buruh lajang.
2. Perhitungan UMR masih didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM), padahal KHM adalah KFM (sewa rumah,
beras, lauk pauk, minyak tanah, minyak goreng) ditambah dengan kebutuhan kesehatan, pendidikan, nilai gizi dan
dana siaga.
3. Masalah kejelasan hukum ketenagakerjaan hingga saat ini masih belum mampu mengatasi konflik ketenagakerjaan
secara adil.
4. Memeberlakukan UMR yang sama rata untuk seluruh buruh tanpa mempertimbangkan kualitas pekerja, jenis
keterampilan dan besarnya tanggungjawab secara pasti akan menurunkan produktivitas tenaga kerja.
5. Kenaikan UMR tidak berarti apa-apa, jika biaya hidup yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya (biaya
transport, uang makan, sundulan, jamsostek dan Pph) juga meningkat.
6. Pemberlakuan UMR tanpa membedakan sektor industri, hanya akan menjerumuskan seluruh pelaku ekonomi (pekerja,
pengusaha dan pemerintah) pada konflik ketenagakerjaan yang berkepanjangan.
7. Efesiensi perusahaan (produktivitas dan efisiensi produksi) tanpa dukungan efisiensi birokrasi (moneter, fiskal,
kecepatan pelayanan) dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan masalah peningkatan daya saing industri Nasional
secara menyeluruh. 8
Kebijakan UMP dari pemerintah adalah sebagai jaringan pengaman (safety net) untuk perusahaan yang lemah dari
segi keuntungan, bukan untuk perusahaan yang kuat atau pembayar pajak penghasilan (PPh) yang besar. Oleh karena itu,
tidaklah adil perusahaan besar membayar UMP kepada PWT. Sebenarnya upah dapat ditingkatkan 200 % - 300 % ,
apabila pemerintah dapat:
1. menghentikan pungutan liar; seperti pungli terhadap perusahaan di Serang oleh berbagai pihak, termasuk oknum
aparat desa, oknum aparat keamanan, dan keamanan lokal yang besarnya Rp. 150.000,- hingga Rp. 500.000,-.9
2. menghentikan pungutan-pungutan lain yang mencapai 10 % dari komponen biaya produksi. Pungutan tersebut terlalu
besar dibandingkan dengan komponen biaya upah di usaha padat modal sebesar 10 % dan di usaha padat karya 25-30
%. Pungli ini harus ditekan dan merupakan tugas pemerintah.10
3. menurunkan bunga bank BUMN dan pajak impor untuk bahan baku perusahaan.
4. perusahaan sendiri melakukan penghematan pada biaya-biaya rutin.
Sebagai solusi lain dalam kebijakan pengupahan antara lain, dengan:
1. upah yang dapat mengikuti fluktuasi inflasi (dapat dipakai pasal 1602 e ayat 1,2,3,4 KUHPerdata).
2. upah dengan pola KFM (Disnakertrans Prov. Sumsel).
3. upah dengan pola bagi hasil pada masyarakat adat/ pedesaan (mengetam padi, memetik kopi, menyadap karet).
4. upah harus dibayarkan langsung kepada pekerja tanpa melalui perantara, sepertio pada pekerja outsourcing.
B.2. PWT berdasarkan pasal 64,65 dan 66 UUK (outsourcing)
PWT outsourcing tepat untuk bidang pekerjaan yang berdasarkan a. jangka waktu; atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu, b. Pekerjaan tambahan. Namun tidak benar untuk bidang pekerjaan tetap, seperti : teller dan security
8 Hariyadi B. Sukamdani, Pola Pengupahan Sektor Padat Karya, Makalah pada Temu Konsultasi DPPN dengan Komisi-Komisi
Pengupahan dan Jamsos DKD, Cibodas, Jabar, pada tanggal 16-18 September 1996, h. 9. 9 Kompas, 30 April 2008. 10 Kompas, 30 April 2008
[ 8 ]
di perbankan, pengantongan pupuk di PT. PUSRI (dahulu), paramedis di Rumah Sakit, dan lainnya. Untuk lebih jelasnya
sebagai berikut:
Pasal 65
(1) .
(2) ... syarat-syarat sebagai berikut:
1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja ...sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) .
(6) Hubungan kerja ... dapat didasarkan atas pkwtt atau pkwt apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59.
(7) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(8) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka
hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; (catatan; lihat pasal
1 angka 15 UUK);
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana
dimaksud dalam undangundang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan
Secara empirik, saat ini perusahaan banyak melaksanakan sistem kerja outsourcing dengan menafsirkan sendiri
pasal 64,65, dan 66 UUK tanpa mendapat sentilan dari PPNS atau instutusi yang berwenang.
C. PWT : Diantara Negara Jaga Malam dan Negara Kesejahteraan
[ 9 ]
Dalam kajian Ilmu negara dikenal dua model negara, yaitu negara penjaga malam (nachtwakerstaat) dan
negara kesejahteraan (welvarestaat). Pertama,11 nachtwakerstaat adalah suatu keadaan dari pengaruh hukum privat bahwa
negara hanya mempunyai tugas negatif (nachtwakerstaat). Negara hanya mengurusi polisi, yustisi, pajak dan politik luar
negeri. Negara tidak boleh mengurusi tugas-tugas sosial yang positif, misalnya mengurusi pemeliharaan orang miskin .
Teori liberal atau ekonomi leberal dengan konsep bahwa jalan ke arah harmoni sosial dan ekonomi yang sehat lewat
melalui konkurensi (persaingan bebas) dan memajukan kepentingan sendiri.
Kedua, welvarestaat, atau istilah welfare state (Negara Kesejahteraan) muncul pertama kali tahun 1940-an di
Inggris, sebagai antitesis atas program warfare state (Negara perang) Nazi Hitler di Jerman yang sedang memperluas
wilayahnya. Negara kesejahteraan atau rezim kesejahteraan (welfare regime) lebih dari sekadar kebijakan sosial.
Bagaimana asal-usulnya? Sebelum Perang Dunia I, cikal bakal welfare regimes dimulai oleh tokoh-tokoh
kharismatis dan otoritarian, seperti Von Bismark (Jerman), Von Tappe (Austria), dan Napoleon III (Perancis), dengan
melansir jaminan- jaminan sosial untuk pegawai pemerintah dan kelompok pekerja industri. Di Inggris sistem welfare
diawali sekali dengan lahirnya UU Penanggulangan Kemiskinan (Poor Law- 1880-an). Dalam periode kedua, sesudah
Perang Dunia II, 1945-1990, welfare state merupakan kreasi dan produk demokrasi multipartai atau kebijakan (koalisi)
partai politik yang memerintah untuk menciptakan warga negara dan angkatan kerja yang terdidik dan sehat dan
mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.
Persoalan negara kesejahteraan berada pada fase ketiga menurut Algra. Dikatakannya bahwa perkembangan
hukum sosial terjadi dalam tiga fase:12
(1) Masa ketakutan (abad ke-19) , pada masa ini terdapat pemikiran, bahwa kemiskinan adalah nasib, orang miskin
hanya dapat dihibur dengan harapan, bahwa keturunannya mungkin akan berkedudukan lebih baik, apabila
bekerja dengan rajin, hemat dan dengan peningkatan moral dan susila; pada zaman ini pekerja sukar untuk
membebaskan diri dari perbudakan (ekspolitasi dan diskriminasi);
(2) Masa menguntungkan pekerja (1900-an – 1945); pada masa ini banyak per-uu-an ketenagakerjaan diundangkan,
misalnya: kinderwetje van houten (1873), de wet op de Arbeidsovereenkomst (1907), de wet op de Collectivieve
Arbeidsovereenkomst (1927), Arbeidswet (1919), Veiligheidswet (1934).
(3) Masa kemakmuran (1945 – sekarang), pengaruh dari pergantian ajaran negara penjaga malam ke ajaran negara
kemakmuran.
Dalam bagian lain A.M. Donner dalam bukunya: Over de term welvaartsstaat,menyatakan bahwa:
”..., Welfarestate atau negara kemakmuran atau negara kesejahteraan, bukanlah identik dengan negara yang
makmur/kesejahteraan (welvarende staat). Tapi yang dimaksud adalah suatu negara kesejahteraan (welzijns-staat), negara
sebagai pelindung dari kemakmuran/kesejahteraan. Negara kesejahteraan ialah negara yang melaksanakan politik ekonomi
dan sosial yang lebih mendalam daripada sebelumnya dan yang secara konkrit melibatkan diri pada pemenuhan kebutuhan
umum akan jaminan masyarakat”.
Sebagai trend negara modern, Negara13 selalu berpihak kepada kepentingan warga negara, Negara sebagai alat
lazim dipersamakan dengan bahtera, Negara adalah bahtera yang menyangkut para penumpangnya ke pelabuhan
kesejahteraan.arti Negara sebagai bahtera sudah terkandung dalam kata “pemerintah”.pemerintah adalah terjemahan dari
11 N.E. Algra en K. Van Duyvendijk, Rechtsaanvang, H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan der Rijn; Dalam Terjemahan : J.C.T.
Simorangkir, Mula Hukum, Binacipta, 1983. hal. 171 12 Algra, Op. Cit. h.255
13 F. Isywara, Ilmu Politik, Alumni, Bandung, 1985
[ 10 ]
kata asing”government”. Kata-kata asing itu semua berasal dari kata Yunani “kubernan” yang berarti mengemudikan
kapal. Jadi Negara dan pemerintah dapat dipersamakan dengan kapal yang dikemudikan oleh nahkoda beserta awak
kapalnya yang mengantarkan semua penumpang-penumpangnya menuju pelabuhan yang sejahtera. Hanya dengan
memandang Negara sebagai alat, sebagai bahtera dapatlah diselami hakekat Negara yang sebenarnya. Negara adalah
lembaga social yang diadakan manusia untuk memnuhi kebutuhannya yang vital. Sebagai lembaga social, Negara tidak
diperuntukkan memenuhi kebutuhan khusus dari segolongan orang tertentu, tetapi untuk memenuhi keperluan-keperluan
dari seluruh rakyat Negara itu.
Fungsi Negara14 sudah pula menetapkan problem yang menarik perhatian sarjan-sarjana ilmu politik sejak Plato
dan Aristoteles. Plato menulis dalam “republic “nya bahwa Negara timbul karena adanya kebutuhan – kebutuhan umat
manusia. Tiada manusia yang dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri-sendiri, sedangkan masing-masing manusia
mempunyai banyak kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan yang banyak dan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh
manusia secara individuil, maka dibentuklah Negara. Demikianlah aristoteles yang berpendapat bahwa Negara dibentuk
dan dipertahankan karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warganegara.
Retorika negara kesejahteraan15 telah dikupas oleh Asa Griggs (The Welfare State in Historical Perspektive,
1961), Friedrich Hayes (The meaning of the Welfare State, 1959), Richard Titmuss (Essays on the Welfare State, 1958);
Ketiga pendapat ini dapat disarikan: pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh
pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok;
Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarganya ada dalam situasi rawan/rentan
sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur dan miskin yang potensioal
mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial.
Ketiga, semua warga negara tanpa pembedaan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses
pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi, sanitasi dan air bersih.
Konsep negara kesejahteraan, telah dilaksanakan oleh penyelenggara-penyelenggara negara termasuk Soekarno –
Hatta beserta The Founding Father R. I. lainnya; telah merumuskan dalam UUD 1945 tentang model negara kesejahteraan
Indonesia. Demikian juga dalam per-uu-an, termasuk UUK telah menetapkan akan kesejahteraan Tenaga Kerja (termasuk
PWT). Untuk lebih jelas dapat kita baca antara lain sebagai berikut:
1. Konsideran Menimbang UUK:
a....untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. ...;
c. ...pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan
serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
14 Ibid.
15 Amich Alhumami, Kompas, 17 April 2008
[ 11 ]
2. Pasal 4 UUK
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
(5) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
(6) mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
(7) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
(8) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
3. Pasal 88 UUK
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Meskipun UUK telah memberikan kepastian hukum tentang jaminan kesejahteraan bagi semua pekerja, kenyataan
untuk PWT hal tersebut masih jauh dari harapan. PWT distrukturkan untuk tetap miskin dan tidak punya masa depan.
Untuk hal ini dimana letak salahnya, apakah: 1. perundang-undangan yang tidak baik; atau 2. adanya kesalahan dalam
penegakan hukum. Untuk menjawab hal ini patut disimak pendapat Gunnar Myrdal dan Sunaryati Hartono.
C. 1. Pendapat Gunnar Myrdal
Dalam bukunya The Challenge of World Poverty, pada bab ketujuh dengan judul: The Soft State menyatakan
bahwa: 16
“ Semua negara berkembang, sekalipun dengan kadar yang berlainan, adalah negara-negara yang lembek. Istilah
yang dipakai oleh Weber ini dimaksud untuk mencakup semua bentuk ketidak-disiplinan sosial yang manifestasinya
adalah cacat dalam perundang-undangan dan terutama dalam menjalankan dan menegakkan hukum, suatu ketidak-patuhan
yang menyebar dengan luasnya di kalangan pegawai negeri pada semua tingkatan terhadap peraturan yang ditujukan
kepada mereka, dan sering bertebrakan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berkuasa, yang justru harus
mereka atur...”
”...di negara-negara Asia Selatan, faktor dibelakang kelembekan suatu negara atau ketidak-disiplinan sosial yang
meluas itu, yaitu : ’ perundang-undangan yang main sikat (sweeping legislation). Maksudnya untuk memoderenisasi
masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan masyarakat yang umumnya diwarisi, yaitu otoritarianisme,
paternalisme, partikularisme dan banyak ketidak-teraturan lainnya. Per-uu-an tersebut diamksudkan untuk melindungi
rakyat banyak yang sengsara,tetapi tidak memberikan hasil yang banyak...”
Ada beberapa hal yang dapat digaris-bawahi kritikan Gunnar Myrdal tersebut, pertama, cacat per-uu-an dengan
contoh masuknya pasal 64, 65, 66 tentang outsourcing dalam UUK. Sebagai alasannya: a. Outsourcing adalah konsep
neoliberalisme yang masuk kedalam asas kekeluargaan, b. SPSI dalam rancangan UUK telah menyatakan sikap
penolakannya terhadap pasal tersebut17, c. telah dilakukan amandemen terhadap pasal 64, 65, 66 yang diusulkan oleh
berbagai pihak, ternyata 2 anggota Mahkamah Konstitusi (waktu itu, Laica Marzuki dan Mukti Fajar) menolak
outsourcing dengan alasan tidak ramah kemanusiaan, d. ketentuan pasal 66 (2) huruf a, bertentangan dengan pasal 1 angka
15 UUK. Alasannya antara PO dengan PPPJP tidak ada hubungn kerja dikarenakan tidak adanya unsur: 1. pekerjaan; dan
2. perintah,18 e. Berdasarkan point d tersebut, maka outsourcing merupakan salah satu bentuk human traficking.
Skema perjanjian kerja Outsourcing di atas dapat dinilai dari dua teori dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu:
pertama, theorie Labour Management Relation; kedua, theorie Human Traficking. Teori pertama, menyatakan bahwa
16 Satjipto Rahardjo, IlmuHukum, Alumni, Bandung, 1986. h. 195.
17 Wawancara dengan A. Wiyono, Agustus 2007
18 Ibid
[ 12 ]
antara pengusaha dengan pekerja harus ada hubungan kerja. Sedangkan antara PPJP dengan PO tidak ada hubungan kerja,
tidak ada pekerjaan dan tidak ada kewajiban antara kedua belah pihak. Pekerja outsourcing berkewajiban hanya pada
PPP.19
Teori kedua, theorie human trafficking menyangkut HAM bahwa pekerja outsourcing adalah manusia
(pekerja/buruh) harus diposisikan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya, bukan sebagai barang yang
dapat diperlakukan secara sewenang-wenangnya. Manusia tidak sama dengan barang, kalau transaksi barang ada
diperjanjikan komisi penjualan barang. Tetapi untuk manusia tidak ada dalam kamusnya yang dinamakan komisi dari
transaksi pengiriman manusia. 20
Kedua, Gunnar Myrdal melihat ketidak-disiplinan sosial, lemahnya penegakan hukum dan ketidak–patuhan
Pegawai Negeri. Hal ini tidak lepas dari sistem hukum itu sendiri yang menurut W. Friedmann yang terdiri dari stuktur,
substansi dan cultur. Sedangkan Soerjono Soekanto melihat adanya sistem Kaedah,21 selain kaedah hukum ada kaedah
ketuhanan, kesusilaan dan sopan santun. Baik sistem hukum atau kaedah hukum, harus dipatuhi dengan baik.
Dengan kaedah ketuhanan, seperti hubungan kerja, lembaga bipartite, tripartite dan hubungan industrial Indonesia
dapat berfungsi dengan baik jika pihak-pihak dapat melakukan pekerjaan yang terbaik (waamalan shalihan)22. Sikap
Islam terhadap kerja dapat dibaca ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :23
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa
saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak(pula) mereka bersedih hati (Al-Baqarah :
62).
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang
berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri., dan sekali-kali Tuhanmu tidaklah menganiaya hamba-hamba (Nya).”
(Fushshilat : 46)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah-pun maka dia juga akan melihat (balasannya).” (Az-Zalzalah : 7-8).
Khusus terhadap rendahnya pengupahan akibat dari toleransi sesama pengusaha untuk membayar upah dengan
struktur UMP, bukan mustahil tindakan pengusaha adalah merupakan pemerasan terhadap PWT. Islam melarang keras
pemerasan terhadap pekerja, sebagai berikut: 24
” Islam mengharamkan segala jenis kezaliman dengan memeras kaum buruh dan menahan upah kerja mereka.
Sesungguhnya hal semacam itu sangat diharamkan dan sangat jelas pelanggarannya karena dapat dikategorikan sebagai
19 Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, Penelitian TPSDP, Unsri, 2007.
20 Ibid.
21 Sorjono Soekanto, Prihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1977
22 Waamalan sholihan, Al Qur’an menulis 360 ayat tentang amal dan 109 tentang kerja.
23 Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, The International Institute of Islam Thought, Islamabad, 1995; Diterjemahkan: Samson
Rahman, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2005, h. 7-8. Lihat: Al Qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al
Malik Fahd Li Thiba Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah P.O. Box 6262 Kerajaan Saudi Arabia, 1990. 24 Baqir Sharief Qoraishi, Huququl Amil fil Islam, Diterjemahkan: Keringat Buruh, Ali Yahya, Penerbit Al Huda, Jakarta, 2007, h.
249.
[ 13 ]
memakan harta secara batil. Rasullulah saw bersabda, ”Tiga jenis orang yang menjadi musuhku pada hari kiamat
diantaranya adalah orang yang mempekerjakan seorang buruh namun tidak memenuhi upahnya.
Islam mengharamkan eksploitasi dengan segala bentuk dan jenisnya karena dapat menciptakan konflik kelas
antara buruh dan pemilik usaha. Islam menhapus sistem kelas dan menjadikannya keutamaan-keutamaan hanya pada
ketaqwaan dan perbuatan baik.
Ide keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang dideklarasikan Rasul teragung, Nabi Muhammad saw, telah
berfungsi sebagai penghalang munculnya kecenderungan kelas antara kaum buruh dan pemilik usaha (fenomena-
fenomena yang tidak akan Anda temukan jejaknya pada permulaan Islam karena sesungguhnya menurut Islam, seorang
individu itu dihagai melalui kerja kerasnya, pengabdiannya, dan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat bagi orang banyak-
sebab manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain). Selain pula pada saat itu, diseluruh penjuru
dunia Islam, belum muncul atau terlihat sama sekali adanya ide eksploitasi buruh.
Para pengusaha hendaknya berlaku adil terhadap pekerja yang di bawah pimpinannya. Keadilan bukan hanya
urusan hakim semata, tetapi juga berlaku bagi para pengusaha. Bismar Siregar sebagai salah satu hakim memeberi
keteladanan dan keadilan dalam sikap dan perbuatan, dalam bukunya ”Hukum, Hakim dan Keadilan Tuhan” mengutip
bahwa:
” dasar seorang hakim dalam mengambil putusan adalah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah
SWT. Atas nama-NYA-lah suatu putusan diucapkan. Ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat
itulah hatinya bergetar. Ini merupakan peringatan bagi siapa saja. Pesan Rasulullah Muhammad SAW kepada seorang
sehabatnya sebagai berikut: ” Wahai Abu Hurairah, keadilan satu jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun
shalat, zakat, dan puasa. Wahai Abu Hurairah, penyelewengan hukum satu jam lebih besar dalam pandangan Allah
daripada melakukan maksiat enampuluh tahun”. Sebuah pesan yang indah, yang wajib dipahami, dihayati, dan
diamalkan oleh para hakim (juga pengusaha, menurut penulis) ”.25
Seharusnya pengusaha dapat melakukan perbuatan yang terbaik atau amal shaleh kepada para buruhnya dengan
menambahkan upah dalam bentuk zakat, infaq dan shadaqah secara rutin setiap bulan. Demikian juga PWT dapat diubah
menjadi PWTT dan pola-pola kerja outsourcing ” human traficking ” diganti dengan PWTT.
C.2. Sunaryati Hartono
Menyoroti tentang penegakan hukum menyatakan bahwa:26
”Sebagaimana diketahui Komisi Ombudsman Nasional diadakan dalam rangka menegakkan keadilan, demokrasi,
Rule of Law demi kesejahteraan masyarakat dalam rangka Semangat Reformasi. Secara khusus Pertimbangan Keputusan
Presiden (Abdurrachman Wahid) No. 44 Tahun 2000 serta pasal 2 dan 3, bahwa fungsi dan tujuan Komisi Ombudsman
Nasional adalah:
a. mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan daerah, sesuai dengan asas-asas pemerintahan
yang baik, berdasarkan asas-asas negara hukum yang demokratis, transparan, dan bertanggungjawab;
b. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan,
rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
c. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek
maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi serta nepotisme;
d. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan
kebenaran serta keadilan.
25 Bismar siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 19-20.Dalam: Bambang Sutiyoso,
Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press, Yokyakarta, 2010, hal. 5-6 26 Sunaryati Hartono, Pemberdayaan Lembaga Ombudsman dalam kerangka Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Makalah pada
Seminar Nasional BPHN, Surabaya, 2007.
[ 14 ]
Sedangkan untuk pengawasan, beliau mengutip pendapat Giesen, Tentang arti “pengawasan” dalam buku yang
berjudul: “Toezicht en verantwoordelijkheid (Pengawasan dan Tanggungjawab), Prof. I. Giesen telah menunjukkan bahwa
di abad ke-21 tuntutan Negara Hukum telah menyebabkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku
dan/atau kinerja penyelenggara negara, sehingga pengawasan untuk organisasi publik perlu ditambah dengan pengawasan
ekstern yang mandiri dan independen dari fihak pemerintahan atau lembaga negara itu sendiri.
Menjadi pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan “pengawasan” itu ? Menurut pendapat Prof. I. Giesen27
dalam buku “Toezicht en Aansprakelijkheid” yang mengutip Berita Acara Pembahasan di Parlemen Belanda di tahun 2003
dalam Kamerstukken 2003/2004 sebagai berikut:
“ Toezicht is het verzamelen van de informatie over de vraag of een handeling of zaak voldoet aan de daaraan gestelde
eisen, het zich daarna vormen van een oordeel daarover en het eventueel naar aanleiding daarvan interveniëren”
(Pengawasan adalah mengumpulkan informasi tentang pertanyaan apakah suatu pembuatan atau benda memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan (kemudian) menarik kesimpulan dan membentuk pendapat tentang (perbuatan atau benda) itu,
dan bila perlu berdasarkan investigasi yang telah dilakukan, melakukan intervensi (agar supaya hal-hal yang menyimpang
itu diperbaiki – tambahan keterangan dari Penulis, Sunaryati Hartono). Ditambahkannya bahwa dalam pengertian
“pengawasan” di sini dimaksudkan pengawasan terhadap penegakan undang-undang dan lain peraturan perundang-
undangan, termasuk pengawasan negara terhadap lembaga-lembaga pemerintahan dan organ-organ kenegaraan (bestuurs
organen) yang mandiri.28
Proses proses pengawasan terdiri dari 6 (enam) langkah yaitu:29
a. Menentukan norma-norma dan tolok ukur yang harus diperhatikan;
b. Mengumpulkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai barang/benda dan perilaku/perbuatan yang harus
diawasi;
c. Menentukan cara bagaimana pengawasan itu harus dilaksanakan;
d. Mengadakan pemeriksaan (onderzoek en inspectie) dan investigasi dan mengumpulkan informasi tentang
perilaku, perbuatan atau kelalaian serta barang yang harus diperiksa/diawasi;
e. Menarik kesimpulan setelah diadakan evaluasi yang seksama, apakah terjadi penyimpangan dari norma/tolok ukur
dan prosedur yang telah ditentukan sebelumnya
f. dan jika terjadi penyimpangan, mengadakan intervensi untuk memperbaiki tindakan yang telah menyimpang itu,
atau bahkan untuk mencegah terjadinya maladministrasi atau perbuatan melawan hukum, yang akan sangat
merugikan masyarakat dan negara, jika tidak diadakan intervensi itu.
Kuantitas dan kualitas tenaga pengawas Disnaker harus dipulihkan sebagai dampak dari otoda, sehingga
pelaksanaan UUK berjalan dengan baik, UUK bukan sebagi macan di atas kertas.
C.3. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Disnaker
Pedoman ketenagakerjaan mempunyai landasan, asas dan tujuan dari hukum ketenagakerjaan: 1. landasan
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; 2. asas Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah; dan 3. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
27 I. Giesen: “Toezicht en Aansprakelijkheid” Kluwer, Deventer, 2005, hal 20; Dalam Sunaryati Hartono,
28 Ibid.
29 Ibid. hal 23-24
[ 15 ]
2. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan
nasional dan daerah;
3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Kemudian dalam pasal 86 UUK bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas: 1. keselamatan dan kesehatan kerja; 2. moral dan kesusilaan; dan 3. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia serta nilai nilai agama. Sedangkan dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai
fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Untuk pembinaan ketenagakerjaan dalam pasal 173 UUK: 1. pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-
unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan; 2. pembinaan tersebut dapat mengikut-sertakan organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait; 3. pembinaan dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi. Dalam penegakan hukum adalah Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
Pembinaan dan pengawasan belum dapat dilaksaanakan dengan baik oleh pemerintah, dalam hal ini Disnaker
Provinsi. Disnaker berjalan sendiri tanpa mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikatpekerja/serikat buruh dan
organisasi profesi terkait. Pelanggaran terhadap sistem kerja outsourcing dalam pasal 65 dan 66 UUK terjadi di banyak
PPP.
Pelanggaran terhadap pasal 65 dan 66 UUK, menurut salah seorang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) senior
pada lingkungan Disnaker Provinsi Sumsel, antara lain sebagai berikut:30
1. pembinaan dan pengawasan kalau dahulu pada Kanwil Depnaker, semenjak otonomi daerah menjadi pengawasan
langsung dari Guburnur. Instruksi Guburnur menjadi lemah karena tidak ada pemantauan di lapangan;
2. kinerja pembinaan dan pengawasan oleh PPNS belum dilaksanakan secara optimal, dikarenakan alasan-alasan non
yuridis;
3. pengawasan oleh Disnaker Provinsi Sumsel belum mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh, dan organisasi profesi terkait;
4. jika peraturan sudah jelas dan pelanggaranpun sudah jelas, berarti PPNS belum melaksanakan fungsinya dengan baik.
Penegakan hukum ketenagakerjaan jika dihubungkan dengan pendapat Soerjono Soekanto: harus ada keserasian
antara ketertiban dan ketentraman. Ada pendapat yang mengatakan bahwa berfungsinya hukum dalam masyarakat, ada
dua factor, yakni: 1. pemberian kesempatan yang sama kepada setiap warga masyarakat untuk dapat memanfaatkan unsur-
unsur sistem hukum (keserasian antara hukum, penegak hukum, fasilitas dan masyarakat); 2. adanya kemauan masyarakat
untuk mempergunakan kesempatan itu.31
30 Zulkarnain Ibrahim, op. cit. hal. 68 .
31 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta,, 1982, h. 106.
[ 16 ]
Masyarakat dan aparat penegak hukum sering mendua, di satu pihak masyarakat menghendaki penegakan hukum
dari aparat penegak hukum, dengan alasan bahwa masyarakat telah membayar pajak. Di pihak lain pihak aparat penegak
hukum selalu mengatakan bahwa penegakan hukum tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Pada hal kedua-
duanya baik masyarakat maupun aparat penegak hukum tidak ada interaksi yang harmonis, dikarenakan tidak menjalin
komunikasi.
D. Penutup
1. Eksistensi negara untuk melindungi buruh kontrak dengan upaya melakukan penegakan hukum yang menyeluruh
dengan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan daerah, sesuai dengan asas-asas
negara hukum yang demokratis, transparan, dan bertanggungjawab. Kemudian meningkatkan mutu pelayanan
negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan
kesejahteraan yang semakin baik. Di samping itu, membantu menciptakan dan meningkatkan pemberantasan dan
pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi serta nepotisme;
2. Warga negara (buruh kontrak) dengan penantian yang panjang, saat ini harus disejahterakan, dikarenakan:
pertama, kewajiban negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum
agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok; Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika
individu dan keluarganya ada dalam situasi rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti
sakit, usia lanjut, menganggur dan miskin yang potensioal mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga,
semua warga negara tanpa pembedaan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses
pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi, sanitasi dan air bersih.
3. Secara teoritis PWT sudah lepas dari era nachtwakerstaat dan telah berada dalam era welvarestaat. Secara yuridis
PWT adalah salah satu bagian dari warga negara yang berhak terhadap penghidupan yang layak yang dijamin
dalam UUD 1945 dan per-uu-an ketenagakerjaan. Namun secara sosiologis, PWT telah dijajah oleh sistem neo
liberalisme, kapitalisme dan individualisme.
4. Perlindungan hukum terhadap PWT tidak cukup dengan kaedah hukum, tetapi juga dengan kaedah ketuhanan,
kesusilaan dan sospan santun. Jika kaedah hukum tidak berfungsi, maka kaedah ketuhanan sebagai solusi untuk
mensejahterakan PWT. Pengusaha sebagai mitra PWT dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terbaik
(waamalan shalehan) dengan membayarkan upah berupa zakat, infaq dan shadakah secara rutin setiap bulan.
5. Pembinaan dan pengawasan, semenjak otonomi daerah menjadi pengawasan langsung dari Guburnur. Instruksi
Guburnur menjadi lemah karena tidak ada pemantauan di lapangan. Kinerja pembinaan dan pengawasan oleh
PPNS belum dilaksanakan secara optimal, dikarenakan alasan-alasan non yuridis. Pengawasan oleh Disnaker
belum mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait. Jika
peraturan sudah jelas dan pelanggaranpun sudah jelas, berarti PPNS belum melaksanakan fungsinya dengan baik.
Oleh karena itu PPNS harus bekerja secara profesional karena digaji dengan uang rakyat.
[ 17 ]
Sekian
Atas perhatian, diucapakan terima kasih
Mohon maaf lahir bathin
Wassalamualaikum W. W.
[ 18 ]
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba Mush-haf Asy-
Syarif Medinah Munawwarah P.O. Box 6262 Kerajaan Saudi Arabia, 1990.
Aloysius Uwiyono, Hak Mogok Di Indonesia, UI Press, Jakarta, 2003
Baqir Sharief Qoraishi, Huququl Amil fil Islam, Diterjemahkan: Keringat Buruh, Ali Yahya, Penerbit Al Huda,
Jakarta, 2007
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press,
Yokyakarta, 2010
Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, Jakarta, 1995
Giesen, I, Toezicht en Aansprakelijkheid, Kluwer, Deventer, 2005; Dalam: Sunaryati Hartono, Pemberdayaan
Lembaga Ombudsman dalam kerangka Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Makalah pada Seminar Nasional
BPHN, Surabaya, 2007.
Hariyadi B. Sukamdani, Pola Pengupahan Sektor Padat Karya, Makalah pada Temu Konsultasi DPPN dengan
Komisi-Komisi Pengupahan dan Jamsos DKD, Cibodas, Jabar, pada tanggal 16-18 September 1996.
Mendelson, Wallace, Law and Development of Nation, The Journal of Politics, 32, 1979;
Dalam : A. Wiyono, Hak Mogok Di Indonesia, UI Press, Jakarta, 2003
Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, The International Institute of Islam Thought, Islamabad, 1995;
Diterjemahkan: Samson Rahman, Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2005.
N.E. Algra en K. Van Duyvendijk, Rechtsaanvang, H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan der Rijn; Dalam Terjemahan :
J.C.T. Simorangkir, Mula Hukum, Binacipta, 1983.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
............, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yokyakarta, 2009
Soerjono Soekanto, Prihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1977
............, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta,, 1982.
Sunaryati Hartono, Pemberdayaan Lembaga Ombudsman dalam kerangka Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia, Makalah pada Seminar Nasional BPHN, Surabaya, 2007.
Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, Penelitian TPSDP, Unsri,
2007.
UU. No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
KUHPerdata
Kompas, 17 April dan 30April 2008
[ 19 ]
DDAAFFTTAARR RRIIWWAAYYAATT HHIIDDUUPP
A. Data Pribadi
Nama : H. Zulkarnain Ibrahim, S.H., M. Hum.
NIP : 131 639 379
Pangkat / Gol./ Jabatan : Pembina Utama Muda /
Gol. IV c / Lektor Kepala
Tempat dan tanggal lahir : Ranau OKU Selatan, 16 Juni 1955
Alamat Rumah : Jl. H.A. Halim (Jl. Politeknik)
No. 18 RT/RW : 02/06 Bukit Lama
Palembang 30139
Isteri : Hj. Nurmalina, AMK
Binti H. Harunurrasyid
RS. Muhammad Husin Palembang
Anak-anak : 1. Sebrina Nuzly Emira, S.Si.,
Karyawan BRI
2. Rizki Nuzly Ainun, S.H.,
PNS Kejaksaan
3. Ahmad Nizam Farabi, S.T.,
Karyawan. PT. Jamsostek
Menantu : 1. Dwi Diantara, S. Kom., PNS
2. Hari Anthoni, S.Ps. – anggota Polri
Cucu : Nikeisa Zahra Aquila (Zahra)
B. Pendidikan : 1. SDN Ranau OKU Selatan, 1967
2. SMP 8 Palembang, 1970
3. SMAN 3 1971 (1 tahun)
4. SMFarmasi Depkes. R.I. , Palembang 1975
5. SMA 2 Palembang, 1979
6. S 1 Hukum Perdata, Fak. Hukum Unsri, 1985 7. S 2 Ilmu Hukum Pascasarjana Unsri, 2000
Palembang, Maret 2011
H. Zulkarnain Ibrahim, S.H., M.Hum
NIP 131 639 379