krdfhundip.comkrdfhundip.com/wp-content/uploads/2020/10/pengesahan-ruu... · web viewpembentukan...
TRANSCRIPT
Pengesahan RUU KPK (UU No.19 Thn 2019) dalam
Konteks Cacat Formil dan Cacat Materil
Oleh : Salsabila Rahma Az Zahro
Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Pendahuluan
Korupsi menjadi persoalan yang terus menerus terjadi di Indonesia.
Korupsi dilakukan oleh setiap cabang kekuasaan yang terlibat dalam hal ini, mulai
dari ranah pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini dapat
menyebabkan perekonomian di Indonesia menjadi menurun. Bukan hanya itu
saja, kejahatan korupsi ini akan merusak aspek demokrasi dan dapat menyebabkan
pelanggaran hak asasi manusia. Maka dari itu diperlukan undang-undang yang
mengatur akan hal ini.
Pembentukan undang-undang harus memperhatikan dua hal, yakni
kewenangan lembaga negara dan keinginan rakyat. Jika pembentukan undang
undang ini hanya dibentuk sebagai suatu kewenangan saja tanpa adanya keinginan
rakyat, akan menyebabkan kekhawatiran terhadap konstitusionalisme pembentuk
undang-undang.
Menurut pakar hukum, Zainal Arifin Mochtar yang menjadi ahli dalam
sidang uji materill Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), menjelaskan bahwa
konstitusionalisme pembentuk undang-undang harus diturunkan dari konsep
kedaulatan, masuk ke konsep kekuasaan, kemudian ke kewenangan untuk
membentuk undang-undang, yang dimana peran masyarakat menjadi sangat
besar.1 Maka , masyarakat memiliki hak untuk mengetahui proses legislasi yang
1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Pembentukan UU Harus Perhatikan Kewenangan Lembaga dan Keinginan Rakyat” MKRI, (https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16247#).
berlangsung di DPR. Selain itu, menurut pendiri Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menilai bahwa proses pembentukan UU KPK
bertentangan dengan aturan main dan membuat masalah fundamental dalam hal
daya laku, validitas, sehingga Mahkamah Konstitusi perlu memutuskan sebaik-
baiknya untuk memastikan terpenuhinya tujuan konstitusional.2
Adanya perubahan kedua undang-undang komisi pemberantasan korupsi
menjadi polemik bagi masyarakat, dan RUU ini sudah di sahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi undang-undang. Setelah DPR mengesahkan
Undang-Undang KPK hasil revisi pada bulan September 2019 lalu, Mahkamah
Konstitusi menerima sejumlah permohonan pengujian pasal atas undang-undang
tersebut. Terdapat 7 permohonan pengujian yang diajukan oleh sejumlah pihak
terhadap UU KPK.3 Para pemohon mempermasalahkan UU KPK yang dinilai
cacat formil yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Perundang-undangan. Di dalam kajian ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai pengesahan RUU KPK dalam konteks cacat formil.
Cacat Formil Revisi Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi
Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sejatinya, telah
disebutkan dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang kemudian diatur lebih lanjut oleh Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, menentukan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi pembuatan peraturan perundang-undangan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan.4 Berdasarkan permohonan uji formil dengan
Nomor Perkara 79/PUU-XVII/2019 yang merupakan salah satu permohonan yang
Diakses 09 September 20202 Ibid3 Media Indonesia, “2019, Putusan dan Pengajuan Perkara PHPU dan PUU di MK Menurun.”,(https://mediaindonesia.com/read/detail/280770-2019-putusan-dan-pengajuan-perkara-phpu-dan-puu-di-mk-menurun). Diakses 10 September 2020.4 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
diajukan ke MK terkait Revisi UU KPK. Pemohon perkara tersebut yaitu Agus
Rahardjo dan Laode Muhammad Syarif sebagai petinggi KPK, mereka
berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan
itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga
terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara.
Menurut para pemohon, Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarif, bahwa
proses pembentukan RUU KPK ini terkesan terburu-buru dan berlangsung cepat,
yang menjadi faktor cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat didalam
undang-undang a quo tersebut.5 Secara yuridis, pada Pasal 50 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa “DPR mulai membahas
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.”
Maksud dari Pasal ini adalah dalam waktu 60 hari itu dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh pembentuk undang-undang. Tetapi pada kenyataanya, pasal
tersebut bertentangan dengan pembentukan UU, hal ini dapat kita lihat di ketiga
tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni Tahap Perencanaan,
Tahap Penyusunan dan Tahap Pembahasan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada penjelasan dibawah ini:
1. Tahap Perencanaan
Tahap Perencanaan memiliki cacat formil karena perubahan kedua UU
KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Progam Legislasi Nasional
(Prolegnas) prioritas 2019. Berdasarkan Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20 dan
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa dalam pembentukan
undang-undang harus melalui proses perencanaan dalam prolegnas, sebagai
instrumen perencanaan progam pembentukan undang-undang yang disusun
5 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019”,(https://mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_2038_Perkara%20No%2079.pd). Diakses 11 September 2020.
secara berencana, terpadu dan sistematis telah memasuki babak baru
menyusul dilakukannya Perubahan UUD NRI 1945.6
Prolegnas dibagi menjadi dua, yaitu Prolegnas Jangka Menegah yang
memuat daftar RUU selama satu periode (5 tahun) dan Proglenas Prioritas
Tahunan yang berisi daftar RUU selama satu tahun.7 Tetapi, faktanya revisi
UU KPK ini tidak masuk dalam proglenas prioritas 2019. Hal ini tertulis
dalam keputusan DPR Nomor 19/DPR-RI/I/2018-2019 tentang Progam
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan
Perubahan Progam Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun
2015-2019.
Pada tanggal 5 September 2019, DPR menggelar rapat pengesahan
revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR, yang hanya dihadiri oleh sekitar
70 orang anggota yang diadakan dalam rapat yang singkat. Hingga sampai
tangal 17 September 2019, revisi UU KPK disahkan di rapat paripurna DPR.8
Kemudian, di dalam revisi UU KPK juga menggunakan Naskah Akademik
yang fiktif. Naskah akademiknya menggunakan Prolegnas Prioritas 2011,
yang tidak sesuai dengan zamannya dan tidak menyajikan poin-poin krusial
yang dinilai memperlemah KPK. Dalam Putusan MK No.73/PUU-XII/2014,
menurut Prof. Dr. Maria Farida Indrati S.H, M.H., yang merupakan Mantan
Hakim MK berpendapat bahwa “tidak dibahasnya suatu materi perubahan
undang-undang dalam naskah akademik, pembentukan undang-undang yang
demikian bernilai cacat hukum dalam proses pembentukannya.”9
2. Tahap Penyusunan
6 Putra, Andi Irman,”Penulisan Kerangka Ilmiah tentang Peran Prolegnas dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD 1945 (Pasca Amandemen).”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008, hal 1.7 Firdaus, Fahmi Ramadhan, “Catatan atas Perubahan Proglenas Prioritas 2020.”, Detik News, (https://news.detik.com/kolom/d-5086102/catatan-atas-perubahan-prolegnas-prioritas-2020). Diakses pada 11 September 2020.8 Tim detikcom,”Superkilat, ini Kronologi 13 Hari DPR-Jokowi Revisi UU KPK.”, Detik News, (https://news.detik.com/berita/d-4709596/superkilat-ini-kronologi-13-hari-dpr-jokowi-revisi-uu-kpk) Diakses pada 11 September 2020.9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XII/2014
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan
tujuh asas yang harus dipedomani dalam membentuk suatu undang-undang
yang bersifat kumulatif, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan.
Dalam revisi UU KPK yang kedua terdapat 6 asas yang dilanggar
yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan pembentuk yang tepat, kesesuaian antara
hierarki dan materi muatan, kejelasan rumusan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, dan keterbukaan. Sehingga, revisi UU KPK menghasilkan
kontradiksi dalam pasal pasalnya yang menyebabkan tidak dapat
dilaksanakan karena ada kekosongan hukum yang terjadi pasca revisi UU
KPK disahkan. Contohnya seperti Pasal 69D dan 70C.10
Pasal 69D
“Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum
Undang-Undang ini diubah.”
Pasal 70C
“Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
3. Tahap Pembahasan
Dalam pembahasan perubahan kedua UU KPK ini berlangsung singkat
dan penuh kejanggalan, hal tersebut dapat dilihat dari proses pembentukan
hanya berlangsung 14 hari (3-17 September 2019), yang mana untuk
10 Oktaryal,Agil, “Lima Argumen Revisi UU KPK cacat hukum dan harus dibatalkan.”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.”, (https://pshk.or.id/rr/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan/). Diakses pada 11 September 2020.
membahas sebuah rancangan undang-undang dapat dilihat waktunya terkesan
amatlah singkat. Berdasarkan situs website DPR menjelaskan bahwa RUU
Usulan Komisi yang dimulai 3 September 2019, tahap harmonisasi dilakukan
pada 1-10 Februari 2016, pembicaraan tingkat I pada 12-16 September 2019,
dan persetujuan pada 17 September 2019,11 jadi tidak mungkin harmonisasi
undang-undang dilakukan jauh 3 tahun sebelum RUU Usulan Komisi
disetujui.
Dalam pembentukan perubahan kedua UU KPK ini, KPK secara
kelembagaan tidak pernah dilibatkan. Pada tangal 13 September 2019, tiga
pimpinan KPK yang terdiri dari Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif
dan Saut Situmorang, menyerahkan mandat pengelolaan KPK secara
kelembagaan kepada Presiden Joko Widodo. Menurut Agus terhadap revisi
UU KPK ini memiliki dampak baik dan buruk bagi lembaga antirasuah
tersebut dan KPK perlu dilibatkan dalam pembentukan revisi UU KPK ini,
karena hingga saat ini lembaga antirasuah ini sama sekali belum menerima
draf resmi revisi UU KPK.12 Kemudian, dalam proses pembahasan, DPR
melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Sekretariat Jenderal
(PPID Setjen) dan Badan Keahlian (BK) DPR mengklain sepanjang tahun
2019 tidak pernah dilakukan rapat terbuka (RDPI) dengan agenda revisi UU
KPK. Bahkan, banyak rapat yang dilakukan dari tanggal 3-16 september
diklaim sebagai informasi yang rahasia dan tidak banyak masyarakat yang
mengetahuinya. Saat rapat paripurna perubahan UU KPK pada 17 september
2019 ini hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna
tersebut saat proses perhitungan manual. Jadi sidang tersebut tidak kourum
dan tidak sah untuk mengesahkan revisi UU KPK.
11 Dewan Perwakilan Rakyat RI, “RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Progam Legislasi Nasional, (http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/88). Diakses pada 11 September 2020.12 Movanita, Ambaranie Nadia Kemala, “Mulusnya Pengesahan Revisi UU KPK, Abai Kritik hingga Tak Libatkan KPK.”Kompas News, (https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/11032741/mulusnya-pengesahan-revisi-uu-kpk-abai-kritik-hingga-tak-libatkan-kpk?page=all). Diakses pada 11 September 2020.
Cacat Materill Revisi Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan Revisi Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi terdapat pasal-pasal yang dapat memperlemah KPK, yaitu sebagai
berikut:
1. Runtuhnya Independensi Lembaga.
Berdasarkan Pasal 3 UU KPK yang berbunyi Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun dapat dibantah. Rumusan ini hanya
mengambil sebagian dari putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK
sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang
bersifat constitutional important.
2. Tafsir Keliru Pengawasan
Pengawasan dalam penindakan kasus korupsi yang dilakukan
KPK, bagian yang didapatkan publik adalah informasi yang keliru yang
menimbulkan kesimpulan yang jauh dari permasalahan, yang membuat
kewenangan KPK melakukan supervisi menjadi dikurangi.
3. Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas KPK
Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, tetapi
syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat dibanding dewan pengawas.
Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara,
yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan
dan penyitaan.
4. Memaknai Ulang Pemberian Surat Penghentian Penyidikan dan
Penuntutan (SP3)
Dalam Pasal 40 UU No.19 Tahun 2019 menjelaskan limitasi waktu
2 tahun bagi KPK untuk menerbitkan SP3. Model lex specialis seperti ini
tidak lazim untuk memberantas kejahatan korupsi maka semestinya aturan
yang tertera dalam UU KPK memperketat ruang untuk menghentikan
penyidikan atau pun penuntutan. Sebaliknya, didalam KUHAP sama sekali
tidak membahas tentang pembatasan waktu penegakan hukum menangani
sebuah perkara. Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya
menyinggung tentang tidak diperoleh bukti yang cukup, bukan merupakan
tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum.13
5. Hilangnya Status Penyidik dan Penuntut pada Pimpinan KPK
Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga
akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justitia dalam pelaksanaan tugas
penindakan.
6. Tertutup Kemungkinan KPK membuka Kantor Perwakilan
Sejak KPK berdiri hingga tahun 2019, KPK sudah menyelesaikan
berbagai macam perkara korupsi yang berada di berbagai daerah. Hal ini
menjadi peluang untuk membuka Kantor Perwakilan. Hal ini tertuang
dalam Pasal 19 Ayat (2) UU KPK lama yang berbunyi KPK dapat
membentuk perwakilan di daerah provinsi. Namun ketentuan ini di hapus
dengan berlakunya UU KPK baru. Sehingga, kasus korupsi di daerah
masih akan terus terjadi.
7. Persoalan Alih Status Kepegawaian KPK (PP Nomor 41 Tahun 2020)
Penanganan perkara sewaktu-waktu dapat terganggu dengan
adanya alih status kepegawaian ini. Hal ini karena ketika pegawai KPK
menjadi bagian dari aparatur sipil negara maka kapan saja dapat
dipindahkan ke lembaga negara lainnya. Dan juga, dapat berpotensi
mengurangi independensi penyidik karenan dengan berlakunya regulasi ini
13 Pasal 109 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana
maka setiap penyidik KPK akan berganti status menjadi Penyidik
Pengawai Negeri Sipil.14
Banyaknya permasalahan dalam proses perubahan regulasi KPK menuai
banyak kritikan dari masyarakat, dikarenakan masyarakat disini tidak dipandang
sebagai pemilik mandat utama dalam penyelenggaraan negara oleh pembentuk
undang-undang. Situasi ini semestinya menjadi fokus pemerintah dan DPR, untuk
mempertahankan kewenangan KPK dan merumuskan legislasi-legislasi yang
berkualitas untuk menyokong kinerja penegak hukum. Pemerintah dan DPR perlu
mempertanyakan ulang konsep pemberantasan korupsi, karena KPK menjadi
sektor penggerak untuk memberantas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Internet
Dewan Perwakilan Rakyat RI, “RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.” Progam Legislasi Nasional,
(http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/88). Diakses pada 11 September 2020.
Firdaus, Fahmi Ramadhan, “Catatan atas Perubahan Proglenas Prioritas 2020.”,
Detik News, (https://news.detik.com/kolom/d-5086102/catatan-atas-
perubahan-prolegnas-prioritas-2020). Diakses pada 11 September 2020
KPK, “KPK Identifikasi 26 Poin yang berisiko melemahkan di RUU KPK.”
Siaran Pers, (https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1255-kpk-
14 KPK, “KPK Identifikasi 26 Poin yang berisiko melemahkan di RUU KPK.” Siaran Pers, (https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1255-kpk-identifikasi-26-poin-yang-beresiko-melemahkan-di-ruu-kpk). Diakses pada 11 September 2020
identifikasi-26-poin-yang-beresiko-melemahkan-di-ruu-kpk). Diakses pada
11 September 2020
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Pembentukan UU Harus Perhatikan Kewenangan Lembaga dan Keinginan Rakyat” MKRI, (https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16247#). Diakses 09 September 2020.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019”, MKRI, (https://mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_2038_Perkara%20No%2079.pd). Diakses 11 September 2020.
Media Indonesia, “2019, Putusan dan Pengajuan Perkara PHPU dan PUU di MK
Menurun.”, (https://mediaindonesia.com/read/detail/280770-2019-putusan-
dan-pengajuan-perkara-phpu-dan-puu-di-mk-menurun). Diakses 10
September 2020.
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala, “Mulusnya Pengesahan Revisi UU KPK,
Abai Kritik hingga Tak Libatkan KPK.”Kompas News,
(https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/11032741/mulusnya-
pengesahan-revisi-uu-kpk-abai-kritik-hingga-tak-libatkan-kpk?page=all).
Diakses pada 11 September 2020.
Oktaryal,Agil, “Lima Argumen Revisi UU KPK cacat hukum dan harus
dibatalkan.”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.”,
(https://pshk.or.id/rr/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-
dibatalkan/). Diakses pada 11 September 2020.
Tim detikcom,”Superkilat, ini Kronologi 13 Hari DPR-Jokowi Revisi UU KPK.”,
Detik News, (https://news.detik.com/berita/d-4709596/superkilat-ini-
kronologi-13-hari-dpr-jokowi-revisi-uu-kpk) Diakses pada 11 September
2020.
Jurnal
Putra, Andi Irman,”Penulisan Kerangka Ilmiah tentang Peran Prolegnas dalam
Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD 1945 (Pasca
Amandemen).”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia, 2008, hal 1.
Putusan
Keputusan DPR-RI Nomor 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan
Penetapan Progam Legislasi Nasional Tahun 2005-2009, Dewan Perwakian
Rakyat, Jakarta, 2005, hal 7-8.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XII/2014
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.