wordpress.com · web viewmidun : si bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah...

33
LAZUARDY Karya : Singgih Haryoso BABAK I Pesta rakyat mengawali cerita ini, semua bergembira, bersorak sorai satu sama lain saling berbagi makanan dan minuman, perempuan atau pun lelaki tak membatasi peristiwa yang hanya bisa di temukan satu tahun sekali yaitu pesta rakyat menjelang panen laut tiba, biasanya tokoh masyarakat mengumpulkan para lelaki yang sudah beristri untuk beradu kekuatan dengan saling memukul dengan ikan laut, istri-istri merekapun larut dalam kegembiraan dan tawaan melihat para suaminya saling memukul, tidak ada kemarahan dan kebencian, sehingga ketika perkelahian selesai mereka saling memberi makanan sekaligus menyuapi lawan mainnya seperti halnya pasangan pengantin baru yang menyimbolkan kasih sayang, itulah tujuan masyarakat dengan permainan itu. Matahari yang terus menemani mereka kini semakin menutupi wajah indahnya dan pestapun di tutup dengan saling berjabat tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, semakin hilang wajah matahari menandakan malampun segera tiba, kini tinggallah sosok lelaki terduduk lesu memandangi laut, suara jangkrik yang tak habis-habisnya menemani suasana malam yang dingin di tambah gemuruh suara angin pantai menambah dinginnya suasana, Sukarto yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tua terus memainkan senternya, dan berkata pada malam :

Upload: others

Post on 01-Nov-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

LAZUARDY

Karya : Singgih HaryosoBABAK I

Pesta rakyat mengawali cerita ini, semua bergembira, bersorak sorai satu sama lain saling

berbagi makanan dan minuman, perempuan atau pun lelaki tak membatasi peristiwa yang

hanya bisa di temukan satu tahun sekali yaitu pesta rakyat menjelang panen laut tiba,

biasanya tokoh masyarakat mengumpulkan para lelaki yang sudah beristri untuk beradu

kekuatan dengan saling memukul dengan ikan laut, istri-istri merekapun larut dalam

kegembiraan dan tawaan melihat para suaminya saling memukul, tidak ada kemarahan dan

kebencian, sehingga ketika perkelahian selesai mereka saling memberi makanan sekaligus

menyuapi lawan mainnya seperti halnya pasangan pengantin baru yang menyimbolkan kasih

sayang, itulah tujuan masyarakat dengan permainan itu. 

Matahari yang terus menemani mereka kini semakin menutupi wajah indahnya dan pestapun

di tutup dengan saling berjabat tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, semakin hilang

wajah matahari menandakan malampun segera tiba, kini tinggallah sosok lelaki terduduk lesu

memandangi laut, suara jangkrik yang tak habis-habisnya menemani suasana malam yang

dingin di tambah gemuruh suara angin pantai menambah dinginnya suasana, Sukarto yang

sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tua terus memainkan

senternya, dan berkata pada malam :

Malam… 

Aku mencintainya 

Dan aku yakin ada keikhlasan cinta dalam dirinya.

Malam...

Aku melihat kenyataan ini.

Kenyataan kalau perempuan yang selama ini aku banggakan

Terhina, karena aku.

Dan setelah itu, mata Sukarto dikejutkan dengan kedatangan sosok pria yang selalu

membawa tungku kemenyan.

Sukarto : Mahmud….!, sudah berapa kali ku katakan padamu.. disini tak ada setan yang

Page 2: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

datang..!

Mahmud : (Dengan mulut komat kamit, seperti membaca mantra)… Kau lihat, malam ini

asap kemenyanku mengarah pada pabrik ini, ini bertanda ada sesuatu yang akan terjadi.

Sukarto : Iya, malam ini aku akan mendapati sipemulung kurang ajar itu..

Mahmud : Mana si jaka?

Sukarto : (melihat ke arah jam), sebentar lagi dia datang..

Mahmud : Tahu betul kau, tentang sijaka..?

Sukarto : Aku lebih tahu si jaka ketimbang, setan yang tidak jelas itu.

Mahmud : (terus membaca mantra)

Sukarto : apa kau tadi bertemu Istriku?

Mahmud : (tidak menghiraukan, dan terus membaca mantra).

Sukarto : Mahmud aku kan sudah bilang padamu, kalau disini tak ada setan, dan kau perlu

tahu aku sudah 3 tahun menjaga pabrik ini, tapi nyatanya tempat ini aman-aman saja.

Mahmud : Tiga tahun kurang satu hari

Sukarto : Aku tahu tapi besok pagi aku akan meninggalkan pekerjaan yang membosankan

ini , dan pergi meninggalkan kampung ini.

Mahmud : Tolong diam sebentar (membaca mantra)

Sukarto : (sedikit kesal), mahmud! Apa kau tadi bertemu jamilah?

Mahmud : Ah.. kenapa kau ini, aku sedang konsentrasi, Karto…apa kau merasakan hal-hal

aneh di tempat ini..?

Sukarto : Iya,

Mahmud : Nah benarkan apa yang aku katakan, tempat ini rupanya mempunyai hawa aneh,

bukan?

Sukarto : Bukan..! yang aneh itu kamu..! di ajak bicara malah memikirkan hal yang bukan-

bukan.

Mahmud : Istrimu atau pekerjaannya?

Sukarto : (Diam).

Mahmud : Terus terang saja, kau kangen dengan istrimu?

Sukarto : Iya, Aku merindukan waktu yang telah memberiakan kami kebahagiaan.

Mahmud : Maksudmu, ketika kamu baru menikahinya?

Sukarto : Ketika dia menyanggupi dan mau untuk aku nikahi.

Mahmud : Bagaimana dengan bapakmu? Apa dia juga bahagia? 

Sukarto : Aku hanya melihat kesedihan dimatanya.

Mahmud : Menyesal kamu?

Page 3: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto : Untuk apa menyesali sesuatu yang sudah terjadi.

Mahmud : Apa kau juga menyesal dengan apa yang dikerjakan jamilah sekarang?

Sukarto : Apa ada hal lain yang bisa merubah penyesalan?

Mahmud : Lantas kenapa setiap oraang membicarakan tentang hubungan kalian kau marah?

Sukarto : Bukannya aku marah, tapi..

Mahmud : Tapi apa?, apa yang ingin kau katakan?, kau ingin megatakan kalau itu semua

fitnah? Karto, sedikitpun kau tak pernah membuktikan itu semua. Bahkan kau juga tak

pernah memikirkan nasib istrimu. 

Sukarto : Aku selalu memikirkanya..

Mahmud : Apa! Kau memikirkanya? Berpikir tentang apa, apa tentang cinta? Karto, cinta itu

juga harus melihat pada kenyataan, dan cintamu tak bisa menolong nasibnya. Pergilah

kepasar malam dan kau lihat sendiri, apa masih ada aroma cinta untukmu?

Sukarto : (Hanya diam dengan sedikit kesal) 

Mahmud : Oh.. jadi kau lebih suka berdiam diri disini menunggu sesuatu yang tak jelas?

Sukarto : He mahmud (dengan nada kesal), bukannya aku tak ingin pergi ketempat itu dan

membuktikan kebenaranny, tapi aku tak kuasa melangkah untuk pergi.

Mahmud : Lelah aku To, sudahlah kalau nanti aku bertemu dengan istrimu aku beritahu kau,

tentunya aku juga harus pergi ke pasar malam itu bukan?

Sukarto : Benar-benar kau ingin pergi ketampat itu? Sekalian bilang padannya Aku selalu

sayang dia.

Mahmud : Kasih sayang itu butuh pengorbanan, Karto...Jagan kau diam saja disini, tak jelas

arah tujuan kamu mau kemana… kau hanya memandangi langit dan laut.

Sukarto : Maksudmu..?

Mahmud :Mungkin kasih sayang adalah modal utama dari perkawinan, tapi bagaimana untuk

menjalani kehidupan berkeluarga yang normal, kau sendiri tak punya pekerjaan yang jelas..

Sukarto : Maksudmu?

Mahmud :Apa ada kata-kata lain selain pengangguran, orang yang selama bertahun-tahun

menjaga tempat ini tanpa mendapatkan sepeserpun dari pekerjaanmu ini..

Sukarto : Mahmud, sudah berapa kali kukatakan padamu. ini amanah..!

Mahmud : Amanah, katamu..?, lalu amanah yang bagaimana kalau kau sendiri susah dengan

amanahmu itu..?, sama saja kau bunuh diri.

Sukarto : (Meneruskan kalimat mahmud) apa kau tidak kasihan dengan si jamilah? Ah…

bosan aku menjelaskannya padamu…!, mahmud bukannya aku tak suka dengan bau

kemenyanmu itu, tapi lebih baik aku tak bertemu denganmu kalau ujung-ujungnya kau selalu

Page 4: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

mempertanyakan pekerjaanku.. 

Mahmud : (Sedikit kesal), sudahlah aku pergi dulu..

Sukarto : Silahkan…. Jangan harap kau bertemu denganku lagi, aku akan pergi….!!

(menundukkan kepala tak menghiraukan mahmud pergi). 

Mahmud : (Memalingkan tubuh dan sebelum meninggalkannya), jadi orang harus punya

pendirian, dan harus bisa menerima kenyataan. (pergi menjauh)

Sukarto : He…! bangsat sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu. aku tak segan-segan

menghajarmu, kenapa aku terpancing emosiku..?, padahal aku butuh bantuannya..

Sukarto berjalan tanpa arah seakan-akan ada yang dipikirkan lalu tak lama duduk di pinggir

pagar pabrik, suasana pun kembali tenang, kini Sukarto hanya di temani dinginya malam, dari

kejauhan terdengar suara senda gurau Suparman dan Darmo dengan membawa perlengkapan

pancing.

Suparman : Jadi benar pak kardi mau memberikan hadiah besar buat perayaan tahun ini.

Darmo : Katanya, karena bersamaan dengan ulang tahun negara kita dan panen rakyat, semua

warga disini khususnya kaum nelayan mendapatkan baju setelan.

Suparman : Iya, kalau kamu dapat juara satu, dua atau tiga..!

( Tertawa).

Mas Darmo : Kalau memang begitu, modal kita sebagai warga, ya.. semangat walaupun

sudah tua (tertawa)

Tarno yang sedang duduk di pinggir pagar pabrik, hanya mendengarkan kedua orang itu, dan

melemparkan batu ke tong pabrik, sehinga mengagetkan keduanya. 

Mas Darmo : Kamu To?

Suparman : He, pemuda… sedikit hormatlah dengan orang tua.

Sukarto : Jadi, Bapak-bapak mengharapkan tahun ini lebih meriah dari tahun sebelumnya dan

tentunnya banyak hadiahnya, bukan begitu pa?

Darmo : Loh, kamu tahu pembicaraan kita, To?

Suparman : (memotong pembicaraan), Karto alias Sukarto tidak punya kerjaan selain duduk-

duduk disini dan mengagetkan setiap orang yang lewat jalan sini, bukan begitu To.. 

Sukarto : (Hanya tersenyum)

Mas Darmo : Jangan begitu (melirik pada pa parman)

Page 5: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto : Biarkan saja mas Mo, biarkan orang tua yang satu ini berbicara sepuasnya malam

ini. (menegaskan) ya, malam ini...

Suparman : Kamu dengar lantunan musik itu? (menyinggung) Tepat ada di pasar malam. Apa

kamu tidak pergi kena malam ini? Sekalian menjenguk istrimu?

Sukarto : (Menggenggam tangannya), He, sekali lagi kau sebut istriku, tak ada lagi batasan

umur, kau boleh tua dariku tapi otakmu kaya anak kecil…!

Suparman : Perlu kau tahu, semua orang sedang membicarakan hubungan kalian.

Sukarto : Cukup…!

Darmo : Sudah, seharusnya kau tak usah mencampuri urusan orang lain, apalagi ini masalah

rumah tangga dan dia...

Suparman : Jadi kau membela Karto!?

Sukarto : Sudahlah Mas Darmo, biar saya pukul orang tua itu, seenaknya saja menghakimi

orang dengan kata-kata picik. 

Suparman : Picik, picik Katamu?, hai, anak muda dengarkan.. lebih picik mana seorang anak

yang bertahun-tahun aku besarkan, tapi… tapi apa? Apa! Yang kau berikan padaku? 

Sukarto : Jadi Bapak meminta imbalan?

Suparman : Aku tak pernah berharap kau mmberikan padaku apa yang kau punya, tapi aku

hanya ingin kau tahu.

Sukarto : Tahu apa?, Aku tahu kalau bapak tidak ingin anaknya menjadi pengangguran

bukan?, setelah lulus kuliah dan menjadi Sarjana Ekonomi, aku memang berkeinginan pergi

ke kota, tapi? Apa bapak mengizinkan?, malahan bapak menyuruhku menjadi nelayan seperti

yang lainnya.

Darmo : Sudahlah, tak enak nanti di dengar orang.

Suparman : (Hanya diam, memandang anaknya setengah hati).

Sukarto : Dan satu hal, bengkrutnya bapak sebagai juragan ikan, bukan karena aku.., apalagi

Istriku..!

Sukarto memandangi Suparman dengan rasa marah bercampur sedih dan berlari

meninggalkan mereka berdua. Suparman dan darmo hanya memandangi langkah Sukarto

hingga menghilang),

Darmo : Dia memang tak mau menjadi sepertimu, menjadi nelayan.

Suparman : Aku membiayainya sampai dia lulus kuliah memang kupersiapkan untuk itu, Mo.

Darmo : Iya, aku tahu. Mungkin hidup di kota lebih enak ketimbang disini, (lesu),mungkin.

Page 6: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Suparman : Tapi kau lihat sendirikan? Sudah tiga tahun aku bersabar, dari dia kecil aku selalu

menuruti permintaanya, aku sekolahkan dia bahkan sampai dia kuliah di kota. Tapi, aku

hanya menyesal dia berkenalan dengan jamilah perempuan pasar malam itu. (memandang

darmo dengan sedikit geram), dan kini aku tak punya apa-apa..!

Darmo : Harta itu bisa di cari...! tapi anak? apalagi kau hanya berdua saja ya setelah kematian

istrimu itu.

Suparman : Ini semua gara-gara pelacur itu..!

Darmo : (sedikit membentak), jangan bicara seperti itu, jamilah sekarang sudah jadi

menantumu, juga anakmu..!

Suparman : (menggeram) anakku adalah anakku, menantu adalah menantu, bukan berarti dia

anakku.

Darmo : Iya, tapi masyarakat sudah tahu semuanya, selama tiga tahun ini jamilah memang

sah menjadi istri dari anakmu, dan pasti jadi anakmu juga.

Suparman : (marah), ah. Perduli apa, aku hanya ingin karto tak dianggap remeh lagi oleh

masyarakat. Dan aku harus menghilangkan satu dari salah satunya.

Darmo : (Terperanjat) Jahat kamu Man..! tidak boleh kau melakukan ini, ini perbuatan setan,

istighfar kamu Man, cabut ucapanmu itu.

Suparman : ( Menangis dan memeluk Darmo) aku tak pernah meminta apapun darinya, aku

hanya ingin dia berani menghadapi kenyataan ini, kenyataan kalau apa yang dilakukannya itu

salah..!

Darmo : Sudah, sudahlah (menghibur).

Semoga saja dia mengerti perasaanmu sebagai seorang bapak, sudah… jangan menangis lagi,

kau lupa kalau kita mau pergi ke rumah pak Kardi?

Suparman : (Malu)

Mas Darmo : Kita menuju rumah pak kardi dan berharap ikannya besar-besar.

Keduanyapun pergi dan bergegas menuju rumah pak kardi, Darmo yang terus menghibur

bernyanyi dan tertawa, lalu suara mereka menghilang. Dari aranh yang berlawanan sambil

menyapa Suparman dan Darmo, mendekati pabrik perlahan.

Jaka : To...?(mengintip disela pintu pabrik), kali ini Karto tidak ada, dan aku bebas untuk

mengambil barang bekas di pabrik ini (tertawa)

Dari samping pabrik muncul sosok Sukarto, dan berteriak memanggil jaka sipemulung

Page 7: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

barang bekas itu.

Sukarto : Jaka..! kalau kau berani melangkah apalagi tanganmu merobek papan pintu itu, aku

hajar kamu (lari mengejar)

Jaka : Ampun, To. Ampun...

Sukarto : Kali ini, aku ampuni, tapi lain kali kepalan tanganku ini, kulandaskan di pipimu..!

Jaka : Iya, ampun To.

Sukarto : Ya, sudah. Sekarang bagaimana dengan pembicaraan kita yang kemarin?

Jaka : Aku belum mendapatkan informasinya To.

Sukarto : (Sedikit kesal).

Jaka : (Meledek), kalau mau cepat kamu sendiri saja yang ke pasar malam.

Sukarto : Itu namanya bunuh diri, sudahlah tak usah diteruskan.

Jaka : Loh, kamu bagaimana, kamu sudah janji padaku. Kalau ini selesai berarti bayarannya

penuh. Bukan begitu?

Sukarto : Nanti.

Jaka : Kapan?

Sukarto : Kalau besok aku bertemu denganmu.

Jaka : (memelas), janji?

Sukarto hanya diam tak menghiraukan pembicaraan Jaka, dan Jaka pergi meninggalkan

Sukarto untuk melanjutkan mencari barang bekas. Sukarto duduk melamun. Midun yang

sehari hari hanya mabuk dan berjudi terlihat rapih dan melintas pabrik dan bertemu Tarno

yang sedang melamun.

Midun : (Riang) Sudahlah, malam-malam tak usah melamun. Apa ini juga bagaian dari

pekerjanmu?

Sukarto : (Terperanjat) Kamu Dun? . Rapih betul kau, apa ada acara besar?

Midun : Jangan berlagak tidak tahu, kau tentunya masih ingat jalan menuju pasar malam di

ujung desa kita bukan, denagrkan musiknya(menari, meledek)?

Sukarto : Aku tidak begitu tertarik Dun?

Midun : Apa karena Istrimu?

Sukarto : Bukan (Acuh).

Midun : Bukan berarti kau juga tak tahu kalau aku akan pergi warung istrimu?

Sukarto : Sudahlah!, ini urusanku. tak usah kau ikut campur, kau sudah kalah waktu itu.

Page 8: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Midun : Tapi kali ini aku pasti menang, karena raja dari ratu pasar malam sedang asyik

melamun di pabrik tua ini (tertawa).

Sukarto : Menang?. Ingat, permainan apa saja yang belum aku menangi? Semuanya, dari

lempar ikan, adu jotos, lari dan...

Midun : (menyambung), dan kamu juga menang taruhan main kartu? Kau juga sudah

menerima hadiahnya, tapi tengoklah sebentar hadiah istimewamu di pasar malam itu, paling-

paling sedang asyik dengan lelaki lain.

Sukarto : Hai..!, Hati-hati kamu kalau bicara.

Midun : (Dengan nada sedikit keras), Ini kenyataan, kenyataan kalau kamu benar-benar

kalah. Ya, kamu kalah karena kamu tak bisa mempertahankan apa yang kau punya, kalah kau

juga tak pernah percaya dengan ucapan orang lain, kalah karena kau juga tak percaya pada

Bapakmu...!, (sinis),malahan kamu lebih percaya pada jamilah

Sukarto : Tapi kenapa waktu itu kau mau ku ajak taruhan?

Midun : Aku sedang mabuk, Aku sedang tidak sadar.

Sukarto : Tapi aku juga mencintainya, bahkan dari kecil, aku sudah mempunyai perasaan,

Dun. (berteriak lantang). Aku mencintainya melebihi apa yang aku punya....!

Keduanya terdiam.

Sukarto : (Mengingat).Ya. aku masih ingat ketika aku bermain pasir di tepi pantai, itu juga

ada kamu.

Midun : Iya,(menegaskan).

Sukarto : Sehabis pulang dari sekolah pasti aku selalu menunggunya di dekat pabrik ini, ya

waktu itu tepat pukul 11 siang, aku pasti melihatnya membawa jinjingan ikan bersama

ibunya.

Midun : Jadi, kenapa kau baru berterus terang?, kenapa kamu tidak ungkapkan perasaanmu

waktu itu.

Sukarto : Waktu itu akukan lansung dipindahkan oleh bapak dan aku hanya suka, belum

cinta..

Midun : Sekarang?

Sukarto : Sekarang?, entahlah. Aku hanya menunggu saja, kapan dia mau berhenti dari

pekerjaannya.

Midun : Kalau dia tidak mau berhenti juga?, apa kamu masih mencintainya?

Sukarto : (Diam).

Page 9: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Midun : Di tanya malah diam. (kesal).

Sukarto hanya diam, tak menghiraukan perkataan midun, tiba-tiba datanglah Darmo yang

sedikit terburu-buru, dan midun melihatnya dan bicara.

Midun : Mas darmo?

Mas darmo : Midun?, sedang apa kamu? 

Midun : Ini, Aku sedang membicarakan untuk persiapan acara 17an nanti.

Darmo : Baguslah, (melihat Karto) Kamu To? Tak baik anak muda melamun malam-malam.

Sukarto : Mas mo, Aku hanya melihat bintang-bintang, mungkin hari ini hujan tak akan

datang. loh mas Mo pulang lagi?

Darmo : Ada yang ketinggalan dirumah, pancinganku kalau tidak pakai benang yang lebih

besar, takut tidak dapat apa-apa.

Sukarto : Memangnya Ikannya besar-besar?

Darmo : Wah, bukan besar lagi, malahan bapakmu langsung beli senar disana, kalau aku ya,

mendingan aku pulang kerumah, ambil yang ada.

Midun : Mas Mo?

Darmo : Apa?

Midun : Pesta nelayankan sudah berakhir, bagaimana dengan persiapan perayaan hari

kemerdekaan nanti?

Sukarto : (mengambil batu dan melemparkanya ke arah laut).

Mas darmo : Ya, inikan sudah urusan anak muda, tentunya aku serahkan pada kalian ini, saya

yang sudah tua begini hanya mendukung.

Midun : Lantas bagaimana dengan pemilihan ketua pelaksana 17 agustusan nanti?

Sukarto : (Mengejek), Tentunya aku yang akan terpilih, Dun.

Darmo : (Melihat Sukarto) Siapapun yang terpilih pastinya dia harus bertanggung jawab dan

ketua itu harus bisa mengkoordinir anggotanya, supaya acaranya sukses. Bukan begitu?

Midun : Kalau nanti saya yang terpilih, akan aku buat desa ini ramai, meriah dan orang-orang

kampung sebelah berkunjung ke desa kami, iya kan mas?

Sukarto : (Karto hanya diam melihat tingkah Midun).

Darmo : Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi. Aku mau ambil senar pancing dulu. 

Midun : Aku juga akan pergi, To.

Sukarto melihat keduanya pergi dan mempertegas penglihatannya. Sukarto kembali lagi

Page 10: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

memainkan senternya dan duduk di bangku yang dibuatnya dari potongan bambu. Dan

memandang jauh ke arah laut seraya menghirup udara malam dan Karto sedikit bersyair.

Wahai malam.... kabarkan tentang bintangmu.

Wahai malam... kabarkan tentang bulanmu.

Satu bintangmu aku torehkan dalam hati ikhlasku.

Namun aku juga tak ingin kehilangan bulanmu, malam...

Mngkin esok masih ada bulan

Tapi apakah kau berani menampakkan bintangmu

Wahai malam...

Aku hanya ingin dunia tahu, aku mencintaitainya..

Slamet : (Bertepuk tangan)

Sukarto : Kamu, Met?

Slamet : Mas Karto ini rupanya pandai bersyair juga?

Sukarto : Hanya ingin melampiaskan kesedihan saja.

(Keduanya terdiam)

Sukarto : Kadang kesedihan juga bisa menjadikan kita dewasa, kadang juga bisa menjadikan

kita mati tanpa ada harapan, mau kemana kamu?

Slamet : Saya mau pergi ke juragan kardi, tahun ini dia yang dapat jatah. Ya, orang kaya

semacam dia, tidak rugi kalau empangnya di serahkan ke masyarakat buat menyambut 17

Aagustusan, Kau mau ikut denganku?

Sukarto : (ragu)

Slamet : Memangnya kau tidak punya alat pancing, saya pinjamkan untukmu, Hadiahnya

lumayan buat beli mainan anak-anak.

Sukarto : Memangnya anak-anakmu mau di belikan mainan apa?, sampai-sampai rela

bermalam untuk hal yang membosankan.?

Slamet :Ya. selain saya mengharapkan hadiahnya,saya juga bahagia berada di tempat itu,

walaupun badan sedikit gatal-gatal.

Sukarto : Jadi kebahagian, yang kau utamakan?

Slamet : Mungkin kebahagiaanlah yang menjadikan kita merasa hidup..

Sukarto : Apa kau punya pekerjaan tetap..?

Page 11: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Slamet : Pekerjaan..? ya.. inilah pekerjaan (menunjukkan alat pancing).

Sukarto : Lantas istrimu?

Slamet : Ya.. saya hanya berharap sepulang dari tempat pemancingan, istriku memberikan

senyuman yang manis (tertawa).

Sukarto : ( menyalakan sebatang rokok), merokok?

Slamet : (menggeleng) Tapi, yang sudah-sudah, tak mendapatkan jatah tidur seranjang

(tertawa)

Keduanya terlarut dengan tawa riang.

Sukarto : Lantas bagaimana kalau istrimu meminta pisah, hanya gara-gara kau tidak punya

pekerjaan selain memancing dan mendapatkan kebahagiaan?

Slamet : Saya ajak istriku untuk pergi memancing bersama (tertawa)

Sukarto : Maksudmu?

Slamet : Biar tahu bagaimana mendapatkan pekerjaan, dan bagaimana cara mencari

penghasilan.

Sukarto :Iya kamu sudah mendapatkan pekerjaan, Memancing..(tersenyum), Tetapi kau

belum menemukan apa yang di cari… (tertawa)

Slamet : Memang saya tidak tahu ikan apa yang akan ku dapatkan malam ini tapi biarpun

hasilnya ikan betik itulah hasilnya. 

Sukarto : (meledek) Tapi masalahnya istrimu itu lebih suka dengan ikan yang besar..

Slamet : Sudahlah, sekarang kita akan pergi memancing atau tidak?

Sukarto : Tunggu…

Slamet : Apa?

Sukarto : Saya ada makanan sedikit, sisa makanan pesta.. (menawarkan)

Slamet : (diam), Sukarto? 

Sukarto : Iya, aku Sukarto yang dulu, masih seperti dulu bahkan aku masih ingat apa yang

kita lakukan di akhir pesta.. 

Keduanya tertawa, tak lama dari kegelapan terlihat Midun gelisah.

Slamet : Tunggu, sepertinya itu si Midun, Hai Midun mau kemana kau.? Rapih sekali kau,

apa malam ini ada Pesta pernikahan?

Sukarto : (Melihat midun dan menunjukan makanan) Mau?

Page 12: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Midun : (sinis), Tidak ada perubahan.

Slamet : Bergabunglah bersama kami?

Midun : Oh.. tidak, saya mau ke rumah teman lama, dia baru tiba dari kota, tak enak kalau

aku tak berkunjung…

Slamet : Kau tidak mancing, iya malam ini kami mau bertanding..

Midun : Maksudmu ada lomba?,

Slamet : Pa Kardi, tahun ini dia yang mendapatkan jatah kalau empangnya rela untuk kita

habiskan.

Sukarto : (Menyindir), Tentunya dengan memancing.

Midun : Apa ada hadiahnya?

Slamet : Ini bukan lomba, tapi rezeki namanya.

Midun : Kau juga mau ikut bersama dengan Slamet, To?

Sukarto : (acuh), memangnya siapa yang akan kau kunjungi?

Midun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main

kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang dia sudah jadi

juragan tanah…

Sukarto : Jadi kau akan berlomba juga?

Midun : Ya.. tak jauhlah dengan lomba memancing.. harus sabar menunggu keajaiban…siapa

dapat dia menang…ya.. sudahlah hari sudah mulai malam nanti rezeki ku dimakan burung

hantu (pergi)

Sukarto : (sinis), hati-hati di jalan, nanti hantu beneran yang memakanmu..!

Slamet : Lantas bagaimana, kau mau ikut ?

Sukarto : (senyum), Terima kasih banyak, aku harusmenggu gedung ini sampai pagi.

Slamet : Kalau begitu saya pergi dulu.. (bernyanyi)

Ketika keduanya pergi Sukarto melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang

datang kini berjalan ke semak-semak dan mengambil sesuatu dan membukannya.

Sukarto : Ini ku persiapkan untukmu (tertawa geli), maafkan aku, aku hanya ingin semuanya

berakhir.

BABAK II

Page 13: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto yang bersahabat dengan dinginnya malam berjalan tanpa arah, dan bicara pada diri

sendiri.

Sukarto : Kalau ku pikir-pikir aku kuat, ototku berisi (sambil meragakan badannya dan

tersenyum)

(Merenung dan marah) ah..! kenapa setiap orang mengejekku “Karto kapan kau punya

anak..?” memangnya siapa mereka..!

Jaka : (Datang tiba-tiba, tanpa diketahui Karto), Tapi tetap saja kamu itu loyo.. ha..ha

(meledek).

Sukarto : Hai..! (setengah mengejar), dasar wong edan, mau aku pukul kepalamu, biar edan

mu bertambah.??

Jaka :Ampun, To… jaka Cuma mau ngasih ini (memakan isi plastik dan menawarkan), ini

dari Mas darmo tadi, aku bertemu dengannya di persimpangan jalan..

Sukarto : (sedikit acuh) Lantas kemana sekarang dia?

Jaka : Sebentar lagi dia juga lewat sini.

Sukarto : Jaka, memangnya kamu tidak bosan bekerja seperti, mengambil barang bekas dan

sisa limbah pabrik?

Jaka : Rasa bosan itu pasti ada To, tapi mau dikata apa, aku sudah mencoba mencari

pekerjaan lain dan akhirnya (tertawa kecil), aku tersesat di kampungmu ini.

Sukarto : Lantas dimana keluargamu?

Jaka : Keluargaku?, To, kau tanya perihal keluargaku itu sama saja kau bertanya tentang

rumahku. (tertawa)

Sukarto : Kau sudah beristri?

Jaka : Aku sudah punya anak dua.

Sukarto : Tidak kangen kau sama mereka?

Jaka : (Tersenyum). Kau sendiri bagaimana, apa yang membuatmu bertahan di pabrik ini?

Sukarto : Ini, amanah..!

Jaka : Selalu saja kau menjawab, ini amanah..!

Sukarto : Kau masih ingat, Pa Sualaiman?

Jaka : Iya, bapaknya jamilah?

Sukarto : Sebelum dia mati ditelan ombak, dia mempunyai hutang dengan juragan kardi. Dan

jamilah dipaksa untuk melunasinya, tapi,

Jaka : Iya, aku tahu, apalagi kebutuhan sehari-harinya tergantung dengan bapaknya.

Sukarto : Karena aku tak ingin juragan pak kardi terus menagih pada jamilah, da mengancam

akan mengambil rumahnya. akupun minta pada juragan kardi, kalau aku sanggup untuk

Page 14: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

melunasi hutang bapaknya.

Jaka : Dengan ini?

Sukarto : Ya, hampir tiga tahun. Kau sendiri bagaimana?

Jaka : (Tersenyum), To. Mereka meningalkan aku, karena satu hal.

Sukarto : Apa?

Jaka : Aku tak punya pekerjaan (tertawa). (memperhatikan Karto), To, memangnya kau tidak

kangen sama istrimu..?

Sukarto : Peduli apa kamu, (mengambil makanan yang ada di tangan jaka, dan memakannya),

mau?

Jaka : (Menggeleng) aku cuma mau masuk kedalam (lari kencang)

Sukarto : Ah.. dasar pemulung edan..!, awas jangan kau ambil karung yang paling pojok itu

punyaku..!

Malam berlalu bulan kian memancarkan sinarnya, suasanapun menjadi hening, dari ujung

pabrik, berjalan midun yang dengan asyik bersiul, Sukarto yang melihat langsung menyapa

dengan nada sinis.

Sukarto : Sepertinya kau menang besar.

Midun : Peduli apa kau?

Sukarto : Midun, kalau sudah kalah tidak usah kau berpura-pura seakan akan kau menang

besar malam ini.

Midun : He, aku ini tak pernah berpura, bahkan dalam hidupku aku selalu bahagia (tertawa).

Sedangkan kau?

Sukarto : Lantas dimana jam tangan pemberian istrimu itu, yang sering kau bangga

banggakan didepanku.?

Midun : (Sedikit kesal) apa urusanmu.?

Sukarto : Urusanku adalah, bagaimana caranya agar kau jujur padaku, tentang jam tanganmu,

tentang istrimu dan yang terpenting adalah tentang istriku..!

Midun : Sukarto..! sudah berapa kali ku katakan padamu aku tak ada urusan dengan istrimu..

Sukarto : Iya aku paham..! tapi apakah kau akan diam saja dan tak mau memberi tahu perihal

istriku..?

Midun : Aku berani bersumpah aku tak tahu dengan jelas tentang apa yang dilakukannya.

Sukarto : Oke… anggap saja kita tak pernah bertemu, dan anggap saja diantara kita tak punya

masa lalu…

Page 15: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Midun : Maksudmu?

Sukarto : (Tertawa geli), Jangan pura-pura pikun kau Midun, aku ini sahabatmu, yang selalu

menolong ketika kau sedang kesusahan, mengemis-ngemis padaku.. dan ingat siapa yang

menjemputmu pulang ketika kau nyasar di kota 

Midun : (memotong pembicaraan), iya, aku berterimakasih padamu.

Sukarto : Dan, ingat satu hal, tentang tempat ini.

Midun : Baik, aku mengakui itu, kalau aku pernah mengotori tempat ini, tapi apa pernah kau

berpikir kalu tempat ini juga menjadi saksi kalau istrimu jadi bahan taruhan..! dan sampai

detik ini istrimu yang paling kau sayangi belum tahu.. kalau dia jadi barang taruhan (tertawa).

Sukarto : Tapi tetap saja akulah jagoanya..

Midun : Jagoan katamu… apa kau telah membuktikan padaku, pada istrimu, atau pada yang

lain kalau kau ini jagoan?

Sukarto : Apa maksudmu?

Midun : Sudah berulang kali aku katakan padamu, seorang pria bisa dikatakan jagoan, kalau

bisa membuktikan….

Sukarto : Cukup..! (memetong kalimat midun), aku memang tak seperti lelaki lainnya tapi

ingat satu hal, aku mempunyai ketulusan cinta terhadap istriku, tidak seperti kau…!

Midun : Begitu, itukah ucapan seorang sahabat?

Sukarto : Bukan begitu , Aku hanya membalas ucapanmu saja..!

Keduanya diam, keadaan mulai tenang.

Midun : (Memandang sinis), Jadi kau minta pamrih..! 

Sukarto : Aku tak ingin pamrih darimu.. apalagi perhatianmu untuk belas kasihan darimu

agar kau menceritakan kebenaran tentang istriku..

Midun : Lantas apa..?

Sukarto : Aku hanya ingin kau jujur..!

Midun : Tentang apa?

Sukarto diam sejenak untuk menutupi kegelisahannya

Sukarto : Tentang Apa yang dikatakan semua orang. (memandangi temannya tajam).

Somad : (Tertawa geli), Aku tak bisa yakin kau dapat menerima ini semua, Pergilah dan

temui istrimu sendiri, nanti kau akan melihat sendiri, dan tahu semuanya.

Page 16: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto : Midun, apa kau tidak merasa kasihan padaku?.

Somad : Benar? Kau ingin tahu semuanya? apa kau tidak menyesal kalau kau menikahi

seorang.

Sukarto : Cukup..!

Somad : Cukup katamu? Lihatlah kenyataan, lihatlah kawan, (menegaskan) kalau istrimu

seorang pelacur...!

Sukarto : Bangsat…! (mengeluarkan pisau )

Somad : He kawan, pelan sedikit kawan…

Sukarto : Aku tak peduli apa katamu, kali ini langit dan laut sudah tak dapat menampakan

lazuardinya, dan kali ini aku akan merubah semuanya.

Tiba-tiba Suparman datang dan melemparkan ember berisi ikan ke arah Sukarto, dan

kartopun terpental.

Suparman : Ini caramu?

Sukarto hanya diam dan menundukan kepalanya, Sukarto hendak berkata tentang sesuatu,

tapi berbeda dengan Midun yang sengaja mengambil kesempatan suasana itu, tiba-tiba

bicara…) 

Midun : Biarkan saja Pa... biarkan anakmu jadi pembunuh, lagipula kalau dia masih saja

disini dia hanya menjadi bebanmu sajakan?

Suparman : Siapa yang ingin kau bunuh, siapa yang kau jadikan pendaratan pisau itu?

Sukarto : (Mencoba menjawab), Aku hanya ingin.

Suparman : Ingin kalau semuannya berakhir?

Sukarto : Aku hanya ingin membentaknya saja. Dan bukan dia yang akan ku jadikan sasaran.

Midun : (Acuh) Oh, jadi seorang Sukarto yang pemberani ini, yang selalu menang

dipermainan adu jotos ikan ini, ingin mengggertakku?, Untuk apa kawan?

Suparman : Aku tak penah berpikir kalau kau akan brbuat seperti ini, kau sama saja dengan

bajingan..!

Suasana hening, Sukarto hanya memandangi bapaknya dengan tatapan kosong.

Suparman : Pergi kau dari desa ini, aku tak ingin di desa ini ada seorang bajingan..!

Page 17: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto : Bapak..( memandangi wajah bapaknya dengan sedih).

Suparman hanya diam, dan tak berucap, mengakhiri dengan saling memandang kemudian

Sukartopun lari pergi meninggalkan mereka berdua, suasana menjadi sunyi.

Midun : Karto..!, mau kemana kamu?

Suparman : Biarkan saja, biarkan dia memilih jalannya.

Midun : Apa, Bapak tidak keterlaluan mengusirnya?

Suparman : Aku bukan mengusirnya, tapi aku hanya ingin dia melihat kenyataan.

Midun : Tapi bukannya itu juga lari dari kenyataan?

Suparman : Selagi kita masih bisa kembali pada kenyataan dan membuktikannya, itu bukan

lari dari kenyataan, tapi berani mengambil keputusan.

Suparman bergegas pergi meninggalkan Midun, tapi disitu rupanya ada si jaka yang sejak

tadi sudah hadir dan melihat kejadian itu.

Midun : (Acuh).

Jaka : Wah lumayan ikan-ikan ini, jadi aku tak bersusah payah memancing di empangnya pa

kardi.

Midun : (Masih memandangi jejak langkah pa parman), Itu bukan milikmu jaka, antarkan

ikan-ikan itu ke rumah pa parman.(dan pergi menyusul).

Jaka : (Mengumpulkan ikan), nasib-nasib, aku dari dulu jadi pemulung, tetap sekarangpun

jadi pemulung, ya begini kerjaanku ngambilin milik sesuatu yang sudah jatuh ke tanah

(senyum).

Dari arah berlawanan Darmo dan para rombongan lainnya termasuk Slamet, mendekati jaka

yang sedang mengumpulkan ikan, dan Darmo sedikit heran karena ember yang di pakai jaka

adalah ember milik pa parman.

Darmo : Bukanya itu milik pa parman, mana dia?

Jaka : (sedikit cuek), tidak tahu?

Slamet : Hai, sinting. Kalau ditanya dengan orang tua harus dijawab yang jelas.

Jaka : Memangnya kurang jelas apa aku ini?, kalian juga lihatkan aku lagi ngumpulin ikan,

jadi aku ng tahu.

Page 18: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Darmo : Ikan-ikan itu, bukannya?

Jaka : Iya, Kalau sesuatu sudah dibuang oleh pemiliknya, itu sudah menjadi kewajibanku

sebagai seorang pemulung untuk mengambilnya.

Slamet : Bukan berarti itu juga jadi hak milik kamu. (mencoba merampas)

Jaka : Apa-apaan ini?, aku kan sudah mengambilnya, berarti ini juga milikku. 

Darmo : (masih terheran-heran), Ada apa?, apa yang terjadi?

Jaka : Tadi Pa Parman melemparkan embernya ke arah kepala anaknya.

Slamet : Maksudmu, sukarto?

Jaka : (mengangguk).

Darmo : Memangnya ada apa?, coba ceritakan.

Slamet : (menyuruh warga lainya untuk pergi), yasudah tidak ada apa-apa, kalian sana cepat

pergi ke rumah masing-masing.

Jaka : Aku juga heran, kenapa bapaknya tega melakukan ini (mengangkat ember), ke arah

Sukarto.

Mas Darmo : Mereka berdua membicarakan apa?

Jaka : Bukan, bukan berdua tapi bertiga.

Slamet : Siapa lagi?

Jaka : Midun.

Slamet : Kurang ajar si Midun, sudah aku katakan padanya, jangan ganggu mas karto.

(mengepalkan tangannya). Dan ini gara-gara Midun..!

Jaka mengambil pisau yang dipakai untuk menggertak midun dan jatuh dari tangan sukarto,

keduanya memperhatikan pisau itu.

Mas darmo : Dari dulu Pa parman tidak pernah membawa pisau seperti itu, apalagi untuk

memancing, pisau siapa itu, Ka? 

Jaka : Ya, ini gara-garanya.

Semuanya diam menghening, dan terkejut

Slamet : Ada yang terluka?, Jangan-jangan... 

Mas Darmo : Sudah, kamu tidak usah berpikir yang bukan-bukan, mari kita pergi ke rumah

pa parman supaya tak banyak praduga.

Semua : Mari..

Page 19: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Merekapun pergi meninggalkan pelataran pabrik. Suara angin laut bertambah riuh. Gerimis

turun, membuat malam semakin kosong. dengan tas dan perlengkapan yang ada sukarto

berlari dan berdiri bersandar pada dinding pabrik. Ia berteduh dari gerimis. 

Malam semakin sunyi. Dari jauh terdengar suara musik dangdut tanpa syair yang

mengesankan akan berakhir pesta di pasar malam. Muncul Mahmud yang datang dari

berlawanan itu. Ia belum mengenali orang yang sedang berdiri berlindung itu. Setelah dekat

barulah ia menyapa.

Mahmud : Karto, sekirannya hujan seperti ini, mampir sajalah kerumahku. Nanti aku buatkan

segelas kopi sebagai pengganti penghangat badan.

Sukarto : (Sedikit menggigil), Terimakasih.

Mahmud : Kau sedikit gugup, mau kemana kamu pagi-pagi buta?

Sukarto : Pagi?, memangnya jam berapa?

Mahmud : Kira-kira jam Tiga pagi, To.

Sukarto : Apa? (bergegas ingin meninggalkan mahmud)

Mahmud : Tunggu dulu, memangnya kamu mau kemana?

Sukarto : Selagi masih kabut hitam masih menutupi langit, jadi ini masih ada kesempatan,

aku harus pergi.

Mahmud : Karto, walaupun kabut hitam masih menyelimuti langit, lihatlah lazuardimu sudah

berubah menjadi warna hitam ke merah-merahan, ini bertanda sudah pagi.

Sukarto : Tapi aku masih melihat harapan.

Mahmud : Harapanmu ada disini, To.

Sukarto : Disini hanya menghilagkannya.

Mahmud : Harapan tak bisa menghilang tapi bagaimana kita mengejar harapan itu.

Sukarto : Tak usahlah harapan di kejar.

Mahmud : Lantas Kau pergi, bukannya ingin mengejar harapanmukan?

Sukarto : Bukan, aku hanya ingin merubah semuanya, dan aku harus meninggalkan kampung

ini.

Mahmud : Aku tahu persoalanmu, tapi lihatlah sekelilingmu. Bapakmu, Istrimu dan juga

teman-temanmu.

Sukarto : Aku sudah yakin, apa yang aku lakukan adalah demi kehormatanku.

Mahmud : Kehormatan sebagai apa? sebagai seorang anak, kehormatan sebagai suami?

Bahkan kau sendiri tak bisa menemukan makna kehormatan. 

Page 20: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Sukarto : Aku sudah tak tahan lagi dengan semuanya, orang-orang selalu menghinaku,

meremehkanku. To, Kenapa kamu tidak kerja, kenapa kamu kawin sama jamilah, kenapa

kamu belum punya anak. Seakan-akan aku itu tidak ada harganya disini.

Mahmud : Pantaslah, semua orang menghakimimu seperti ini, karena apa yang terjadi dan

nyata adanya membuktikan.

Sukarto : Membuktikan apa?

Mahmud : Membukikan kalau itu gara-gara kamu dan kau mengawalinya dengan tingkahmu.

To, Kasihan dengan mendiang Ibumu.

Sukarto : (Membentak), Dia mati karena penyakitnya, Bukan karena aku.

Mahmud : Apa masyarakat yang lain tahu?

Sukarto : Bangsat..!,(menundukan badannya), kenapa harus aku?

Mahmud : Masalahmu sudah jelas To, bapakmu tidak setuju dengan si jamilah yang bekerja

di pasar malam, dan kau malah menikahinya. 

Sukarto : Karena aku mencintainya.

Mahmud : Apa dengan cinta, pandangan orang tentang jamilah berubah, apa dengan cinta kau

juga bisa meluluhkan bapakmu untuk menerima jamilah? 

Sukarto : (Diam).

Mahmud : Aku, benar-benar salut dengan kau, anak muda yang ingin mandiri dengan

keyakinannya dan ingin merubah nasib seseorang. 

Sukarto : Dan aku juga takut kehilangan dia.

Mahmud : lebih takut dari pada kehilangan orang tuamu?

Sukarto : (Setengah menjerit), Cukup, mahmud. Cukup kataku, aku tak tahan dengan semua

ini.

Mahmud : Lihat, Lihatlah karto. (menunjuk ke arah laut) Lazuardimu sudah berubah menjadi

bayangan merah, begitu juga kau, tak harus mengharapkan sesuatu yang lebih, pasti ada

batasanya. Lazuardimu hanya impian. Langit dan laut menyatu...? itu mustahil..!

Keduanya saling memandang, mahmud yang merasa kasihan dengan sukarto berjalan pergi

meninggalkan sukarto. Malam yang semakin hilang, dan senja kian menampakan wajahnya.

Gerimis yang semakin membasahi sukarto menambah dinginya badan sukarto, hanya

pandangan jauh menemani hilangnya gelap. Tiba-tiba datang jamilah dengan sedikit lari

menghindari gerimis dan sukarto terperanjat melihatnya, sukarto hanya diam tapi tidak

dengan jamilah istri yang paling dicintai sukarto.

Page 21: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Jamilah : Mas?

Sukarto ( Diam)

Jamilah : Lebih baik pulang kerumah

Sukarto : (Diam)

Jamilah : Disini hanya membuat basah badanmu saja, mas.

Sukarto : Biarlah, aku hanya ingin melihat laut menampakkan kesedihannya.

Jamilah : Lantas, Bagaimana dengan langitnya? 

Sukarto : Langit hanya harapan.

Jamilah : dan laut?

Sukarto : Dia bukan harapan tapi kenyataan.

Jamilah : Sekarang kau bisa menerima kenyataan, begitu?

Sukarto : Karena, aku sungguh-sungguh sayang padamu dan tidak akan aku biarkan semua

orang menghinamu.

Jamilah : Itu harapan mas, harapanmu ingin merubah pandangan semua orang kalau jamilah

istri sukarto bukanlah seorang pelacur? (menangis)

Sukato : Sudahlah, ini semua salahku. 

Jamilah : Aku ini pekerja di pasar malam, dan pastinya semua orang mengaggapku wanita

yang tidak baik. Mas, aku benar-benar tak ingin membahasnya disini.

Sukarto : Jamilah, lihat. Lihatlah wajahku ini, aku berdiam disini dan mendapati semua orang

menghinaku, ya mereka selalu menghinaku (memandang laut), dan juga menghinamu.

Jamilah : Aku tak peduli, apa semua orang pernah berpikir kalau apa yang mereka pikirkan

itu benar? Mereka hanya berpikir tentang perbuatanku tapi apakah mereka pernah berpikir

kenapa aku melakukan ini?

Sukarto : (Diam)

Jamilah : Ini salahku. kau menjaga pabrik ini, itu karena keluargaku. Tapi apa semua orang

tahu? Juga kau mencari pekerjaan dimana-mana tapi karena aku seorang pelacur, apa mereka

mau menerimamu jadi pegawai?.

Sukarto : Aku sudah membuang masalah itu jauh-jauh (tersenyum), aku mempercayaimu,

dan menyayangimu.

Jamilah : Mas?

Sukarto : Kau ingat, waktu itu kau selalu tersenyum padaku ketika kau mengambil ikan-ikan

dari kapal ayahmu?

Jamilah : (Tersenyum lega).

Sukarto : Tapi kau langsung berpaling ketika ibumu melihat aku melambaikan tanganku, Ya.

Page 22: WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang

Disini, dari sini aku melambaikan tanganku dan disitu awal pertemuan kita.

Jamilah : (tertawa kecil)

Sukarto : Dan aku lebih senang kau melakukam seperti itu. 

(Keduanya terdiam, dan kini matahari kian menampakkan wajahnya, sukarto merospon

munculnya matahari tapi berbeda dengan jamilah dia masih melihat sukarto dengan wajah

sedih).

Jamilah : Mas? (memeluk sukarto), maafkan aku.

Sukarto : Bagaimana dengan masyarakat yang lain dan juga bapakku?

Jamilah : ( Daiam).

Sukarto : Aku berencana untuk pergi ke kota, dan menghapus semua ini.

Jamilah : Lantas bagaimana dengan pabrik ini?

Sukarto : Ini sudah tiga tahun , jadi hutang Ayahmu, sudah aku lunaskan.

Jamilah : Terima kasih mas.

Kedunya memandang laut, seakan laut menyapa mereka, mereka berjalan untuk lebih dekat

dengan laut untuk menyapa kembali. 

Seandainya telah catatkan 

dia akan mejadi teman menapaki hidup 

Titipkanlah kebahagiaan diantara kami 

Agar kemesraan itu abadi 

Melontar bayangan jauh ke langit 

Hilang bersama senja nan merah 

Agarku bisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya