reformasikuhp.orgreformasikuhp.org/.../10/kompilasi-buku-i-pasal-1-69.doc · web viewdalam hukum...

178
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BUKU KESATU NO DIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (MINTA PENJELASAN) F-PDIP : TETAP F-GOLKAR : TETAP F-GERINDRA : TETAP F-DEMOKRAT : TETAP F-PAN : TETAP F-PKB : TETAP F-PKS : MENGENAI PENAMAAN JUDUL, APAKAH TEPAT UU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG? Ada 2 x ‘frase “undang-undang”, Bagaimana pula kedudukan UU Kitab dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Indonesia (UU No. 12 Tahun 2011)? MINTA PENJELASAN F-PPP : TETAP F-NASDEM : TETAP F-HANURA : TETAP 2. Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia antara lain perlu disusun hukum pidana F-PDIP : Kata “upaya” dihapuskan karena mengesankan belum ada aksi ,selain juga bisa mereduksi aksi konkrit untuk memperbaharui KUHP. Kata “Pembaharuan” diganti dengan “pembaruan” a. bahwa untuk mewujudkan pembaruan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi REDAKSIONAL 1

Upload: others

Post on 18-Feb-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAFTAR INVENTARISASI MASALAHRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR… TAHUN…TENTANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BUKU KESATU

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

1. RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

(MINTA PENJELASAN)

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : MENGENAI PENAMAAN JUDUL, APAKAH TEPAT UU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG? Ada 2 x ‘frase “undang-undang”,Bagaimana pula kedudukan UU Kitab dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Indonesia (UU No. 12 Tahun 2011)?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

2. Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya pembaharuan hukum

nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia antara lain perlu disusun hukum pidana nasional untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda;

REDAKSIONAL

F-PDIP : Kata “upaya” dihapuskan karena mengesankan belum ada aksi ,selain juga bisa mereduksi aksi konkrit untuk memperbaharui KUHP.Kata “Pembaharuan” diganti dengan “pembaruan”

a. bahwa untuk mewujudkan pembaruan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia antara lain perlu disusun hukum pidana nasional untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda;

REDAKSIONAL

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

1

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

3. b. bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia;

(SUBSTANSI)

F-PDIP : Perubahan kalimat ” politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan” diganti dengan ” politik hukum,dan perkembangan kehidupan

b. bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia;

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Kata “keadaan” dihapus, diganti frasa “nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat” dan frasa “berbangsa dan bernegara bangsa” disederhanakan.

b. bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, dan perkembangan kehidupan bangsa dan negara Indonesia;

REDAKSIONAL

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : yang menghendaki

diberlakukannya keadilan restoratif

bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia yang menghendaki diberlakukannya keadilan restoratif;

SUBTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Mengapa ‘politik hukum’ menjadi acuan pertama dalam menyusun materi hukum pidana nasional, dibanding ‘keadaan’ serta ‘perkembangan masyarakat ?’Bukankah hukum yang benar itu adalah hukum yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat?

MEMINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP2

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

4. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

5. Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

6. Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

7. F-PDIP : TETAP

3

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Sama seperti DIM No. 1 CATATANF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

8.BUKU KESATU

KETENTUAN UMUM

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

9.BAB I

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Mengenai Bab I Berdasarkan Uu 12 Tahun 2011 Seharusnya Memuat Pengertian/Definisi, Format Yang Ada Dalam Ruu Ini Tidakkah Menyimpang?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

4

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP10.

Bagian KesatuMenurut Waktu

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

11. Pasal 1(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan

tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

F-PDIP : Catatan:Untuk Pasal 1 ayat 1 tentang Azas legalitas, perlu diberikan pengecualian bagi tindak pidana HAM Berat. Sebab, azas legalitas telah diterobos dengan penerapan prinsip retroaktif (perlakuan surut atau mundur) pada aturan (UU) tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

CATATAN

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

11A. SUBSTANSI BARU F-DEMOKRAT : Penambahan Pasal 1 ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) tidak termasuk dalam tindak pidana terhadap kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Pasal 1 ayat 1 merupakan wujud dari asas legalitas yakni nullum delictum noela poena siene praevia legi poenali, yang bermakna tiada delik yang dapat dipidana tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Asas tersebut dianut

SUBSTANSI BARU

5

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

oleh sebagian besar negara-negara yang menganut sistem hukum civil law sistem yang berasal dari negara-negara Eropa Continental. Asas legalitas ini yang pada akhirnya membedakan dua sistem hukum yang eksis di dunia yakni Civil Law Sistem dan Common Law Sistem yang cenderung banyak digunakan negara-negara Anglo Saxon. Dalam penerapannya, asas legalitas menempatkan posisi penegak hukum sebagai penjaga undang-undang. Artinya, tiada pidana tanpa kesahalan berdasarkan kepada apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan secara tertulis. Sedangkan, pada negara-negara yang menganut sistem Common Law Sistem, penegakan hukum atau pencarian keadilan direpresentasikan pada preseden, kehendak publik dan atau mosaik kemanusiaan. Pasal 1 ayat (1) ini kemudian akan menentukan arah dari sistem hukum yang dianut dalam RUU KUHP ini. Pasal 1 ayat 2, dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat, terdapat pengecualian karena berlaku asas retroaktif (berlaku surut), karena peraturan perundang-undangan di Indonesia ada yang menganut asas retroaktif, seperti UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

12. (2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Dalam hal terjadinya kekosongan hukum, aparat penegak hukum kerap menggunakan analogi untuk mempidanakan objek hukum. Pada negara yang menganut sistem hukum civil law sistem, penggunaan analogi sejatinya merupakan pelanggaran terhadap asas legalitas. Namun, di satu sisi, di dalam menjawab adanya kebuntuan terhadap hukum tersebut, analogi dipergunakan

Perubahan menjadi Pasal 1 ayat (3) REDAKSIONAL

6

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

dengan menggunakan argumen “hakim dapat menggali hukum” atau rechtsvinding dalam rangka mencari keadilan. Hal yang patut menjadi perhatian terkait pelarangan dalam hal menggunakan analogi juga terkait dengan penggunaan yurisprudensi sebagai bahan pertimbangan dalam suatu putusan perkara pidana. Penggunaan yurisprudensi sebagai sebuah kecenderungan yang bersifat analogi, berbeda halnya dengan negara yang menganut sistem hukum common law sistem. Pada common law sistem, yurisprudensi dari Pengadilan yang lebih tinggi bersifat mengikat. Sedangkan di Indonesia, dengan sistem Civil Law Sistem, yurisprudensi boleh diikuti atau tidak. Dalam hal terjadinya dua perkara yang mirip, dan terdapat yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, maka yang harus diambil sebagai bahan pertimbangan adalah undang-undang.F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Didalam NA disebutkan dilarang menggunakan analogi dan ekstensifikasi, mengapa dalam draft hanya analogi yang dilarang?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Perlu dijabarkan lebih lanjut mengenai arti dari kata ‘Analogi’ yang dimaksudkan dalam pasal ini.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP12A SUBSTANSI BARU F-PAN : Sebelum Pasal 2, ditambah

ketentuan Pasal yang menyatakan bahwa: Negara mengakui adanya hukum yang hidup di dalam masyarakat .

PasalNegara mengakui adanya hukum yang hidup

dalam masyarakat SUBSTANSI BARU

13. Pasal 2(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam

F-PDIP : Catatan:a. Apakah yang dimaksud dengan “hukum yang

MINTA PENJELASAN

7

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

SUBSTANSI

hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat? Hukum adat yang mana, mengingat di Indonesia banyak hukum adat. Bahkan hukum adat di Aceh, misalnya, berbeda dengan hukum adat yang berlaku di Padang, Bugis atau Madura. Akanhalnya hukum adat di Jawa, mungkin kini sudah tidak ada. Pada beberapa daerah, agaknya hukum adat sudah tidak berlaku lagi, atau masyarakat adatnya telah meninggalkan hukum adat.

b. Hampir sebagian besar hukum adat bersifat patriarki, dan permisif pada kekerasan terhadap perempuan serta anak.

c. Hukum adat tidak mengenal pembedaan antara pidana dan perdata. Hukum adat tergolong sebagai hukum tidak tertulis.

d. Bila yang dimaksud dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum pidana adat, maka ketentuan ini menjadi bertentangan dengan asas legalitas, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 Ayat (1) RUU KUHP. Azas legalitas tidak bisa diberlakukan terhadap hukum tidak tertulis, dalam hal ini hukum pidana adat.

e. Karena hukum pidana adat bersifat tidak tertulis, lantas siapa yang bakal menentukan terjadinya tindak pidana adat?

f. Penerapan Pasal 2 Ayat (1) RUU KUHP ini kelak juga bakal menimbulkan banyak masalah. Diantaranya, tak mustahil seorang yang dianggap melakukan tindak pidana adat telah diproses secara adat, dan kemudian dijatuhi hukuman atau sanksi adat. Haruskah ia nantinya diadili lagi melalui proses atau peradilan hukum pidana? Dan, banyak tindak pidana adat yang diakomodasi pada Peraturan Daerah (Perda). Terlebih di Aceh, melalui Qanun. Lantas, bagaimana pula mengontrol Perda-Perda tersebut?

F-GOLKAR : ketentuan ini melanggar asas Hapus Pasal 2 SUBSTANSI8

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

legalitas dalam pasal 1 ayat (1) dan kontradiksi dengan Pasal 1 ayat (2) tentang larangan analogiF-GERINDRA : Perlu ada tambahan di Penjelasan ayat ini, bahwa pengertian “hukum yang hidup dalam masyarakat” mencakup hukum adat dan hukum agama, sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Seminar Hukum Nasional ke-1 tahun 1963, butir ke-4 (tentang hukum adat) dan ke-8. Butir ke-8 menyatakan, “Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalankan dalam KUHP.” (Lihat NA hlm. 26)

CATATAN

F-DEMOKRAT : DICABUT Ketentuan ini bersifat kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (1) yang mengandung asas legalitas. Bila Pasal ini diterapkan, dikhawatirkan terjadi dualisme dalam penegakan hukum sehingga berpotensi menimbulkan kondisi ketidakpastian hukum karena perbuatan yang terkategori sebagai tindakan yang patut dipidana seperti dimaksud, tidak terkodifikasi. Di samping itu, Negara Indonesia yang menganut sistem hukum civil law sistem, menempatkan posisi penegak hukum adalah sebagai penjaga undang-undang yang bersifat tertulis. Adapun ketentuan yang memberlakukan hukum yang hidup di masyarakat, cenderung digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem common law sistem, dengan menjadikan “preseden” atau pandangan masyarakat umum sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara. Lagi pula, di negara-negara yang menganut common law sistem, hakim-hakim memiliki integritas yang tinggi sehingga keputusan yang dihasilkan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Pemberlakuan pasal 2 ayat (1) ini akan merepotkan.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : Pasal ini harus diperjelas mengenai :

MINTA PENJELASAN

9

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

- Seperti apa konsep perumusan dan hukum yang hidup dalam masyarakat ?

- Lembaga apa yang merumuskan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut ?

- Bagaimana formulasi penegakan hukum yang berlaku di masyarakat atau hokum adat?

F-PKS : - Perlu Pengkajian Yang Mendalam Karena

Contradictio Interminis Dengan Pasal 1, - Bila Memang Politik Hukum Menghendaki

Pengakuan Hukum Yang Hidup Di Masyarakat Diakui, Maka Harus Jelas Dan Tegas Disebutkan,

- Apabila Politik Hukumnya Tidak Menghendaki Maka Sebaiknya Dihapuskan.

- Perlu Disebutkan Hukum-Hukum Yang Hidup Di Masyarakat

CATATAN

F-PPP : DIHAPUSKAN bunyi Pasal 2 ini, dan DIGANTI dengan usulan ketentuan baru sehingga hanya ada satu ayat sebagai Pasal 2

Ketentuan ini melanggar asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) dan kontradiksi dengan Pasal 1 ayat (2) tentang larangan analogi.

Hukum pidana sangatlah berbeda dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat. Dalam hukum adat tidak dikenal pembagian hukum yang berupa hukum pidana, tetapi pelanggaran adat. Lagi pula, walaupun tanpa harus ditarik ke dalam hukum formal, seperti KUHP, hukum yang hidup dalam masyarakat ini tetap eksis. Rasa keadilan bagi masyarakat dapat terpenuhi dengan membiarkan masyarakat menegakkan hukumnya sendiri tanpa campur tangan pengadilan.

Uusulan ketentuan baru ini untuk memungkinkan tindak pidana yang ditetapkan dalam suatu

Pasal 2Ketentuan pada ayat (1) diatas mencakup perbuatan yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam suatu perjanjian internasional atau antar negara yang telah diratifikasi dengan suatu undang – undang oleh Indonesia

SUBSTANSI

10

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

perjanjian (konvensi) internasional atau multilateral yang telah diratifikasi Indonesia namun belum dimasukkan atau dijadikan delik dalam UU yang bersangkutan, dapat diterapkan. Seperti delik “memperdagangkan pengaruh (trade in influence)” dalam UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang suadh diratifikasi tetapi belum masuk sebagai delik dalam UU Tipikor.F-NASDEM :Pengertian ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ perlu dijabarkan lebih spesifik apa saja yang termasuk dalam ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Agar tidak ada masalah dalam penerapannya kelak dimasyarakat akibat dari ketidakjelasan aturan ini yang dikhawtirkan akan berakibat pada penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena.

Dalam RKUHP sudah banyak muncul jenis-jenis tindak pidana baru, yang proses kriminalisasinya berdasarkan praktek pengadilan dan dinamika masyarakat. Lalu pertanyaannya, perbuatan jahat apa yang masih tersisa? Lagi pula, politik criminal yang mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagi dasar menetapkan orang melakukan tindak pidana akan rentan terjadinya krisis kelebihan kriminaisasi. Dengan demikian akan melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalkan.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : Menurut Van Bemellen penerapan analogi menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi rakyat akan menjadi terlalu besar. Sama juga dengan “penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat” yang jelas-jelas merupakan analogi yang bertentangan dengan asas paling fundamental dalam Hukum Pidana.

Pada tahun 1987 ketika Tim Penyusun RUU KUHP

Menghilangkan Pasal 2 ayat (1) SUBSTANSI

11

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

berdiskusi dengan Prof. Keijzer dan Prof. Schaffmeister (Pakar Hukum Pidana Belanda dan Jerman) keduanya mengkritik penerapan “hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai konsep RUU KUHP yang menyimpang dari asas legalitas dan merupakan salah satu ketentuan akrobatik rancangan tersebut.

14. (2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Frasa “hak asasi manusia” dihapus, ditambahkan frasa “Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945“.

Hak Asasi Manusia, seperti juga Hukum Humaniter Internasional, merupakan bagian dari hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : DICABUT Tujuan dari penerapan Pasal ini baik. Tetapi, berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1), pemberlakuan hukum yang hidup di masyarakat tidak bisa serta-merta dituangkan ke dalam bentuk undang-undang. Hal ini karena menyangkut perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945 dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat amat luas jangkauannya sehingga pada akhirnya berpotensi menimbulkan suatu kondisi ketidakpastian hukum di dalam penerapannya.

SUBSTANSI

F-PAN : Setelah frasa “bangsa-bangsa”, ditambah dengan frasa; yang telah diatur di dalam konvensi internasional

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.yang telah diatur di dalam konvens-ikonvensi internasional

SUBSTANSI

F-PKB : TETAPF-PKS : Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat SUBSTANSI

12

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

- Perlu Pengkajian Yang Mendalam Seperti Pada Pasal 2 Ayat (1).

- Selain Itu Juga Perlu Dipersoalkan Dengan “Prinsip Hukum Umum Yang Diakui Oleh Masyarakat Bangsa-Bangsa”, Mengingat Ini Dapat Menjadi Pintu Hukum Yang Dianut Masyarakat Bangsa-Bangsa Yang Tidak Sesuai Dengan Nilai-Nilai Bangsa Indonesia.

- Bila Hal Tersebut Tetap Dilakukan, Harus Ada Pembatasan Dan Kejelasan Agar Tidak Asal Ambil Dan Multi Interprestatif.

- Hal Lain Yang Perlu Diatur, Mengingat Pasal 2 Ini Pengecualian Asas Legalitas Pada Apasal 1, Maka Perlu Juga Pengecualian Lain, Misal Menyoal Tindak Pidana Ham Berat Yang Dapat Berlaku Surut

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

F-PPP : DIHAPUS Ayat 2 ini

Catatan khusus: - Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai

Hukum yang Hidup dalam Masyarakat- Penerapan Hukum yang Hidup dalam

Masyarakat adalah Analogi yang justru melanggar pasal 1 R KUHP

- Pencantuman Hukum yang hidup dalam KUHP dalam masyarakat justru Menghilangkan Esensi penting dari Hukum Adat

Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu perbuatan

SUBSTANSI

F-NASDEM : Catatan khusus :- Belum ada batasan yang jelas mengenai

hukum yang hidup dalam masyarakat- Hukum yang hidup dalam masyarakat

berbeda dengan hukum pidana- Penerapan hukum yang hidup dalam

masyarakat adalah analogi yang justru

SUBSTANSI

13

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

melanggar Pasal 1 RKUHP- Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah

tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu perbuatan.

F-HANURA : Catatan khusus: - Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai

Hukum yang Hidup dalam Masyarakat- Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Berbeda dengan Hukum Pidana- Penerapan Hukum yang Hidup dalam

Masyarakat merupakan analogi yang melanggar pasal 1 R KUHP

- Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dipandang tidak Mengakomodasi Pluralisme

- Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat menghilangkan Esensi penting dari Hukum Adat

- Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu perbuatan

Menghilangkan Pasal 2 Ayat (2)

SUBSTANSI

14A F-GERINDRA : Ada tambahan ayat (3) baru.

Asas legalitas di Pasal 1 ayat (1) dikecualikan, misalnya, untuk pelanggaran HAM yang berat sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberlakukan asas retroaktif.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya asas universal untuk kejahatan internasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.

15. Pasal 3(1) Dalam hal terdapat perubahan peraturan

perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat.

F-PDIP : Frasa “pembuat” diganti dengan “pelaku tindak pidana”.

Istilah “PEMBUAT” tidak tepat,baik menurut kamus besar bahasa Indonesia,maupun pengertian hukum pidana. Seharusnya, istilah yang digunakan adalah”Pelaku tindak Pidana” atau “orang yang melakukan tindak pidana”.

Pasal 3(1) Dalam hal terdapat perubahan peraturan

perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun-dang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi Pelaku tindak pidana

SUBSTANSI

14

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

SUBSTANSI Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia “PELAKU” berarti orang yang melakukan suatu perbuatan,pemeran,pemain,(sandiwara dan sebagainya),yang melakukan suatu perbuatan ,merupakan pelaku utama dalam perubahan situasi tertentu.F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Kata “pembuat” diganti dengan kata “pelaku”

Pasal 3(2) Dalam hal terdapat perubahan peraturan

perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perun-dang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pelaku

SUBSTANSI

F-PKB : TETAPF-PKS : Perlu Kiranya Diatur Mengenai Hak-Hak Korban Akibat Tindak Pidana Dalam Peraturan Perundang-Undangan Sebelumnya, Kesesuaian Dengan Konteks Situasi Dan Waktu.

TETAP

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Makna “lebih meguntungkan”, disini harus mengandung unsur tidak hanya dari segi ancaman pidana melainkan juga memperhatikan asas subsidiaritas (sanksi diluar ancaman pidana).

Mengganti kata ‘pembuat’ dengan kata ‘pelaku tindak pidana’

Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pelaku tindak pidana.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP16. (2) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh

kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

15

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- Yang Dimaksud Setelah Putusan Pemidanaan

Ini Apa?- Kalau Ini Dimaknai Secara Luas, Maka Seluruh

Putusan Pemidanaan Yang Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Kemudian Berubah Dan Bukan Lagi Tindak Pidana, Pelaksanaannya Harus Dihapuskan, Bagaimana Dengan Yang Sedang Menjalankan Putusan Tersebut?

- Selain Itu, Perlu Dipikirkan Juga Mengenai Hak Korban

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

17. (3) Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang- undangan yang baru.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : HARUS TETAP MEMPERHATIKAN HAK KORBAN CATATAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Tidak ada perubahan, dengan catatan bahwa pemberian keringanan pidana tidak menimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.

CATATAN

F-HANURA : TETAP18.

Bagian KeduaMenurut Tempat

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

16

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

19.Paragraf 1

Asas Wilayah atau Teritorial

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

20. Pasal 4Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

21. a. tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAP

17

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

22. b. tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Untuk Mengantisipasi Perkembangan Teknologi Transportasi Di Masa Mendatang, Ada Baiknya Juga Mengakomodir Hal Tersebut,.

b.tindak pidana dalam kapal, pesawat udara atau alat transportasi lainnya milik Indonesia; atau SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Perlu diperjelas dalam bab penjelasan apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang informasi.

CATATAN

F-HANURA : TETAP23. c. tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak

pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- YANG DIMAKSUD TINDAK PIDANA LAINNYA

ITU APA? BUKANKAH INI SUDAH TER-COVER PADA PASAL 4 HURUF b?

- “YANG AKIBATNYA DIRASAKAN” UKURANNYA APA?

- PUN HARUS JUGA MENGAKOMODIR PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRANSPORTASI.

MINTA PENJELASAN

18

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

23A SUBSTANSI BARU F-PPP : d. tindak pidana dalam kapal yang berada dalam wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia.

SUBSTANSI BARU

24. Paragraf 2Asas Nasional Pasif

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

25. Pasal 5Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

26. a. warga negara Indonesia; atau F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

19

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

27. b. kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan: F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : Kepentingan negara indonesia tidak hanya mencakup 9 jenis tindak pidana tersebut, melainkan juga tindak pidana terkait Transnasional Crime seperti : 1. tindak pidana peyeludupan manusia2. tindak pidana perdagangan manusia3. tindak pidana narkotika dan psikotropika

Masukkan tindak pidana dibawah ini dalam pasal 5 huruf b • tindak pidana penyeludupan manusia• tindak pidana perdagangan manusia• tindak pidana narkotika dan psikotropika

CATATAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : Kepentingan indonesia di luar wilayah Negara Republik Indonesia tidak hanya mencakup 9 jenis tindak pidana tersebut, melainkan juga tindak pidana terkait Transnasional Crime seperti : 1. tindak pidana peyeludupan manusia2. tindak pidana perdagangan manusia3. tindak pidana narkotika dan psikotropika4. tindak pidana terorisme.

Masukkan tindak pidana dibawah ini dalam pasal 5 huruf b 1. tindak pidana peyeludupan manusia2. tindak pidana perdagangan manusia3. tindak pidana narkotika dan psikotropika4. tindak pidana terorisme.

CATATAN

F-PKS : PERLU PENAMBAHAN 5 JENIS TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL CRIME CATATAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Kepentingan negara Indonesia tidak hanya mencakup 9 (sembilan) jenis tindak pidana tersebut, melainkan juga tindak pidana terkait Transnasional Crime, seperti:1. Tindak pidana penyelundupan manusia2. Tindak pidana perdagangan manusia3. Tindak pidana narkotika dan psikotropika

Masukkan tindak pidana dibawah ini dalam Pasal 5 huruf b 1. Tindak pidana penyelundupan manusia2. Tindak pidana perdagangan manusia3. Tindak pidana narkotika dan psikotropika

CATATAN

20

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : Masukkan tindak pidana dibawah ini dalam penjelasan pasal 5 huruf b:- tindak pidana penyelundupan manusia- tindak pidana perdagangan manusia- tindak pidana narkotika dan psikotropika

Kepentingan negara indonesia tidak hanya mencakup 9 jenis tindak pidana tersebut, melainkan juga tindak pidana terkait Transnasional Crime seperti : 1. tindak pidana peyeludupan manusia2. tindak pidana perdagangan manusia3. tindak pidana narkotika dan psikotropika4. tindak pidana korupsi5. tindak pidana pencucian uang

CATATAN

28. 1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

29. 2. martabat Presiden, Wakil Presiden,atau pejabat Indonesia di luar negeri;

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Kata “martabat” dihapus.

Penyesuaian dilakukan untuk Buku II Bab II dst.

2. Presiden, Wakil Presiden, atau pejabat Indonesia di luar negeri; REDAKSIONAL

F-DEMOKRAT :Frasa Presiden dan Wakil Presiden, sebaiknya dihilangkan karena dikhawatirkan justeru akan merongrong kewibawaan hukum Negara Indonesia, termasuk kewibawaan dan martabat presiden, bila perbuatan yang terkategori pidana dalam perbuatan dimaksud tidak dapat dijangkau oleh aparat penegak hukum Negara Indonesia. Akibat hukum dari tidak dijangkaunya perbuatan yang terkategori pidana tersebut juga pada akhirnya menyebabkan tidak adanya supremasi

Martabat pejabat Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri, berdasarkan adanya aduan dari pejabat yang bersangkutan

SUBSTANSI

21

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

hukum dan ketidakpastian hukum. Frasa “Martabat” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut juga bisa menjadi multitafsir, sehingga tidak ada kepastian hukum. Lagi pula, kecenderungan tindak pidana yang berkaitan dengan martabat harus dikaitkan dengan situasi iklim demokrasi yang kian berkembang. Bahkan di Negara Amerika Serikat sendiri, hal-hal yang berkaitan dengan penurunan martabat presiden di luar negeri, tidak menjadi perbuatan yang patut dipidana. Kalaupun Pasal ini mau diterapkan, dapat mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP. Adapun bila terjadi perbuatan pidana yang berkaitan dengan penurunan martabat presiden bisa dikenakan sebagai menyerang kehormatan pribadi, dan proses hukumnya dilakukan karena adanya aduan (delik aduan). Frasa Presiden dan Wakil Presiden diganti dengan Frasa “Pejabat Indonesia”F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

30. 3. pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, mata uang, atau kartu kredit;

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Setelah frasa: mata uang, ditambah dengan frasa: “surat berharga”

Surat berharga diantaranya adalah: Surat Utang Negara

(3). pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, mata uang, surat berharga atau kartu kredit;

SUBSTANSI

22

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : PENAMBAHAN FRASA "SURAT BERHARGA”

(3). pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, mata uang, surat berharga atau kartu kredit;

SUBTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

31. 4. perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

32. 5. keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Kalimat ‘negara Indonesia’ dalam ayat ini sebaiknya dihilangkan, karena pada penjelasan sebelumnya sudah menyebutkan terkait negara Indonesia dan segala kepentingannya.

Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP33. F-PDIP : TETAP

23

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

6. keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia;

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

34. 7. keselamatan atau keamanan peralatan komunikasi elektronik;

SUBSTANSI

F-PDIP : Frasa “peralatan komunikasi elektronik” diubah menjadi ”Sistem Komunikasi elektronik”

7. Keselamatan atau keamanan Sistem komunikasi elektronik SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Kata “peralatan” diganti “sistem”.Sistem lebih luas daripada peralatan.

7. keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik; SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Kata “peralatan” diganti dengan kata “sistem”

Kata peralatan hanya merupakan bagian dari system komunkasi elektronik, tindak pidana terhadap keselamatan atau keamanan terhadap system komunikasi elektronik lebih berbahaya dibandingkan terhadap peralatan sebagai asset penunjang.

7. keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;

SUBSTANSI

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

35. 8. tindak pidana jabatan atau korupsi; atau F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Kata “atau” dihapus. REDAKSIONAL

24

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

36. 9. tindak pidana pencucian uang. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

36A SUBSTANSI BARU F-PKS F-NASDEMF-PPPF-PKBF-PGF-HANURA

10. tindak pidana peyeludupan manusia

SUBSTANSI BARU

36B SUBSTANSI BARU F-PKS F-NASDEMF-PPPF-PKBFGERINDRAF-PGF-HANURAF-PDIPF-PAN

11. tindak pidana perdagangan manusiaATAU tindak pidana perdagangan orang

SUBSTANSI BARU

36C SUBSTANSI BARU FPKSFGERINDRA

12. tindak pidana narkotika dan psikotropika SUBSTANSI BARU

25

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

FNASDEMF-PPPF-PKBF-PGF-PANF-HANURA

36D SUBSTANSI BARU F-PKS 13. tindak pidana pencurian ikan SUBSTANSI BARU36E SUBSTANSI BARU F-PKS 14. tindak pidana yang merugikan sumber

daya alam Indonesia SUBSTANSI BARU

36F SUBSTANSI BARU F-GERINDRAF-PKBF-PAN

15. tindak pidana terorismeSUBSTANSI BARU

36G SUBSTANSI BARU F-PPP 16. tindak pidana lainnya yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang

SUBSTANSI BARU

37.Paragraf 3

Asas Universal

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Ditambahkan kata ‘apabila’ dalam pasal ini

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia apabila melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang di Indonesia.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP38. Pasal 6

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indone-

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

26

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

sia melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang di Indonesia.

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Apakah kita bersedia jika negara lain menerapkan yang sama dengan kita?Bagaimana penerapannya?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

39. Pasal 7Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah negara asing yang penuntutannya diambil alih oleh Indonesia atas dasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Isinya telah diakomodasi dalam Pasal 8 ayat (1) di bawah. SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : Proses hukum atau penuntutan dapat diambil alih Indonesia atas dasar suatu perjanjian ekstradisi atau mutual legal assistance yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara asing dimaksud

CATATAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Apa bedanya dengan Pasal 8?

MINTA PENJELASANF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

40.Paragraf 4

Asas Nasional Aktif

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

27

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP41. Pasal 8

(1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

42. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya diancam pidana denda Kategori I atau pidana denda Kategori II.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

43. (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- Maksud “tersangka menjadi warga negara

Indonesia”, padahal ayat (1) juga sudah menjadi WNI. Apakah bukannya “tersangka menjadi warga negara asing”.

MINTA PENJELASAN

28

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

- Pertanyaan: Kalimat yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) ini apakah yang dimaksudkan WNA atau WNI?

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Maksud ‘tersangka menjadi warga negara indonesia’, padahal ayat (1) juga sudah menjadi WNI? Dan apakah pasal ini relevan untuk diaplikasikan sekarang? Karena bisa saja di negara asal pelaku, perbuatan yang dilakukan bukanlah termasuk tindak pidana. Tapi karena di Indonesia ada aturan seperti ini maka akhirnya pelaku dipidana atas perbuatan yang setaunya bukan merupakan suatu tindak pidana?

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP44. (4) Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Republik

Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Mengapa redaksionalnya seperti itu? Kalau begitu dia akan didakwa menggunakan Pasal apa? Sementara Pasal yang ada dalam hukum Indonesia mengancam hukuman mati misalnya. Apakah pasal ini menjadikannya tidak sesuai dengan asa nasional aktif itu sendiri?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

44A SUBSTANSI BARU F-PKB : Prinsip Protektif (Protective Principle) sangat di perlukan untuk melindungi kepentingan nasional bangsa Indonesia. Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan

Penambahan ketentuan baru yaitu :

Paragraf 5Azas Kepentingan Nasional

Pasal 9Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang

SUBSTANSI BARU

29

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara.

Sebagai contoh : Bandar Narkoba yang melakukan penjualan Narkoba atau mendistribusikan Narkoba di laut lepas yang mana sebagai kurirnya adalah orang-orang Indonesia yang membawa Narkoba dari Bandar tersebut dengan menggunakan perahu-perahu kecil masuk kewilayah Indonesia, maka kegiatan yang dilakukan Bandar Narkoba warga Negara Asing tersebut yang beroperasi dilaut lepas sangat membahayakan kepentingan nasional Indonesia.Contoh Negara yang memberlakukan prinsip ini adalah :1. Israel pada tahun 1972 sudah membuat

peraturan perundang-undangan yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan Israel untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan di luar negeri yang mengancam keamanan, ekonomi, transportasi atau komunikasi dari Negara Israel.

2. Kasus United v. Archer (1943) yang diputuskan bahwa hokum Amerika Serikat dapat menghukum warga Negara asing yang melakukan perjury terhadap diplomat Amerika Serikat di luar negeri.

Dengan demikian, maka perlu penambahan ketentuan baru dalam paragraph tersendiri yaitu

Paragraf 5Azas Kepentingan Nasional

Pasal 9Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di laut lepas atau di luar yurisdiksi Negara manapun yang mengancam dan

melakukan tindak pidana di laut lepas atau di luar yurisdiksi Negara manapun yang mengancam dan membahayakan kepentingan nasional Indonesia.

30

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

membahayakan kepentingan nasional Indonesia.45.

Paragraf 5Pengecualian

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

46. Pasal 9 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, penerapannya dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan menurut hukum internasional.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- Apakah dengan demikian hukum internasional

lebih kuat dibandingkan hukum Indonesia? Dimana letak kedaulatan hukum Indonesia kalau begitu? Indonesia menganut monism atau dualism? menganut primat hukum nasional atau primat hukum internasional?

- Usulan Redaksi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, penerapannya dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan menurut hukum internacional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

47. F-PDIP : TETAP

31

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Bagian KetigaWaktu Tindak Pidana

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

48. Pasal 10 Waktu tindak pidana adalah saat pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : Menambah kriteria waktu tindak pidana berupa saat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan tindak pidana dan saat timbulnya akibat dari tindak pidana.

Klasifikasi tiga jenis waktu tindak pidana ini disesuaikan dengan teori tentang waktu tindak pidana.

Pasal 10 Waktu tindak pidana adalah :a. Saat tindak pidana dilakukan; ataub. Saat bekerjanya alat atau bahan untuk

menyempurnakan tindak pidana; atauc. Saat timbulnya akibat tindak pidana.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Ketentuan ini tidak membedakan antara tindak pidana yang dirumuskan secara formal dan yang dirumuskan secara materiil.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP49.

Bagian KeempatTempat Tindak Pidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAP

32

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

50. Pasal 11Tempat tindak pidana adalah:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

51. a. tempat pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana; atau

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

52. b. tempat terjadinya akibat dari perbuatan yang dapat dipidana atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

33

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Kata ‘pembuat’ diganti dengan pelaku tindak pidana.

tempat terjadinya akibat dari perbuatan yang dapat dipidana atau tempat yang menurut perkiraan pelaku tindak pidana akan terjadi akibat tersebut.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP52A SUBSTANSI BARU F-PKB :

Tempat tindak pidana (locus delicti) berdasarkan teori baru, ada yang disebut teori dimana mana, di Inggris disebut ubiquity theory, di Belanda disebut ubiquitetstheorie. Untuk menghemat uang Negara dan proses pengadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

Contoh : A membuat bom surat di Bogor, di kirim ke B di Johor meledak dan melukai berat B, lalu B dilarikan ke Singapura dan meninggal di Singapura, maka tempat tindak pidana, di mana-mana (Bogor, Johor dan Singapura) semua tempat (negara) itu bisa mengadili A. Jika diadili di Indonesia, maka pengadilan Negeri yang mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena sebagian dilakukan di luar negeri.

Usulan Penambahan Ketentuan, yaitu : Pasal 11 perlu ditambah dengan huruf c. di mana-mana.

Usulan Penambahan Ketentuan, yaitu : Pasal 11 perlu ditambah dengan huruf c. di mana-mana.Catatan FPKB :Selanjutnya perlu disinkronisasi dengan hukum Acara Pidana yang akan di revisi.

SUBSTANSI BARU

53.BAB II

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

34

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

54.Bagian KesatuTindak Pidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

55.Paragraf 1

Umum

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

56. Pasal 12(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak

melakukan sesuatu, yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan pidana.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

35

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP57. (2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana suatu perbuatan

yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

SUBSTANSI

F-PDIP : - Ayat (2) ini diubah menjadi Ayat (3).- Frasa ”bersifat melawan hukum” dihilangkan.- Setelah frasa ”hidup”, ditambahkan kalimat

“dan masih berlaku dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.

Perubahan ini dimaksudkan:1. Untuk mengontrol dan mengoreksi hukum

adat, yang tidak tertulis, sebagain besar masih bersifat patriarki, dan permisif pada kekerasan terhadap perempuan dan anak.

2. Diselaraskan dengan kaidah hukum pada ketentuan Pasal 2 ayat 2 RUU KUHP, yang membatasi secara limitatif terhadap hukum yang hidup di masyarakat dengan 3 kriteria yaitu : sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan harus juga bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan masih berlaku dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Ketentuan tentang Pasal ini amat rawan bila diterapkan karena menjadikan landasan pijak “Melawan Hukum” dari sisi pandangan hukum yang hidup di masyarakat. Hukum yang hidup di masyarakat terlalu luas jangkauan serta penafsirannya. Hal ini karena sifat melawan hukum yang hidup dalam masyarakat relatif berbeda-beda. Ada perbuatan yang dianggap “Melawan Hukum” menurut suatu masyarakat tertentu, tetapi bagi masyarakat lainnya, perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan

Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur rumusan delik dari Pasal-Pasal yang disangkakan.

SUBSTANSI

36

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

melawan hukum. Sehingga kata “Masyarakat” ini perlu dipertegas lagi, maksudnya ditujukan kepada masyarakat yang mana. Di satu sisi, penerapan pasal ini juga berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap kasus-kasus tertentu terhadap subjek hukum pidana, sehingga lebih baik ketentuan tentang Pasal ini dihapuskan.F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu elaborasi mengenai politik hukum yang hidup dalam masyarakat. CATATAN

F-PPP : DIRUBAH, dengan menghilangkan anak kalimat “atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”

Rumusan menjadi:(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana suatu perbuatan yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum

SUBSTANSI

F-NASDEM : Perlu diperjelas makna kalimat ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP58. (3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan

hukum, kecuali ada alasan pembenar.

SUBSTANSI

F-PDIP : 1. Ayat (3) ini diubah menjadi Ayat (2).

Frasa “, kecuali ada alasan pembenar” diganti dengan frasa “dan mengandung kesalahan”.

Dasar penghapus pidana, yang terdiri dari alasan pembenar sebagai penghapus sifat melawan hukum dan alasan pemaaf sebagai penghapus kesalahan akan diatur tersendiri pada bagian dasar penghapus pidana.

(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum dan mengandung kesalahan.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

37

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

59. Pasal 13(1) Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana

mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal ini tidak perlu, atau dihapuskan.

Aturan tentang hakim ini termasuk domain KUHAP, khususnya tentang hakim atau putusan. SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Berlaku asas legalitas. Penafsiran hukum dan keadilan sesuai sistem hukum yang berlaku di Indonesia, posisi hakim sebagai penjaga undang-undang.

Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan, berdasarkan ketentuan undang-undang dan keyakinan hakim

Perlunya penambahan frasa “berdasarkan ketentuan undang-undang dan hati nurani” adalah untuk menghindari penafsiran hakim berdasarkan seusuatu yang di luar ketetapan undang-undang.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : perlu juga dipikirkan pertimbangan kepentingan publik atau umum yang terukur

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

60. (2) Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal ini tidak perlu, atau dihapuskan.

Aturan tentang hakim ini termasuk domain KUHAP, khususnya tentang hakim atau putusan. SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Kata ‘dapat’ sebaiknya digantikan dengan kata ‘harus’. Sehingga dalam

Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat

SUBSTANSI

38

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

penerapannya kelak, keadilan lebih diutamakan. (1) terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim harus mengutamakan keadilan.

F-HANURA : TETAP61. Paragraf 2

Permufakatan JahatF-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

62. Pasal 14(1) Permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana,

jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP TETAPF-DEMOKRAT :Untuk dapat dipenuhinya pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang harus terpenuhinya dua unsur yakni actus reus (perbuatan yang terkategori sebagai perbuatan melawan hukum sesuai undang-undang), dan mens rea (sikap batin) seseorang apakah seseorang tersebut memiliki niat jahat atau tidak dalam melakukan perbuatannya. Pemufakatan jahat, sepanjang bisa dibuktikan, maka unsur mens rea sudah terpenuhi, dan pemufakatan jahat yang dalam draft RUU KUHP ini diatur sebagai delik formil, maka perbuatan tersebut sudah bisa dikategorikan sebagi tindak pidana.

CATATAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAP

39

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Cara mengukurnya bagaimana? Apa tolok ukurnya sehingga bisa disimpulkan bahwa telah ada permufakatan jahat?

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP63. (2) Pidana untuk permufakatan jahat melakukan tindak

pidana adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Harus diperjelas legal reasoning

atas bobot pemidaan atas tindak pidana ini.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP64. (3) Permufakatan jahat melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Harus diperjelas legal reasoning

atas bobot pemidaan atas tindak pidana ini.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP65. (4) Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan

tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

40

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

66. Pasal 15Permufakatan jahat melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika pembuat:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

67. a. menarik diri dari kesepakatan itu; atau

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Kata “kesepakatan”” dirubah

dengan kata “permufakatan””a. menarik diri dari permufakatan itu; atau TETAP

F-PKB : TETAPF-PKS : Kata “atau”, diganti dengan “dan”, artinya bersifat kumulatif bukan alternatif. Hal ini penting, karena bila hanya salah satunya maka dia akan dapat begitu saja lolos, padahal bila pelaku berposisi sebagai inisiator (otak) permufakatan jahat yang mempengaruhi orang lain, maka tetap layak untuk dipidana bila tidak melakukan dua tindakan ini secara kumulatif.

SUBTANSI

F-PPP : TETAP, namun perlu diberi CATATAN

41

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

uraian dalam Penjelasan

Perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan:a. menarik diri dari kesepakatanb. Mengambil langkah-langkah yang patut untuk

mencegah terjadinya tindak pidanaF-NASDEM : Apa tolok ukur yang digunakan hingga bisa menyimpulkan bahwa pembuat telah menarik diri?

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP68. b. mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah

terjadinya tindak pidana.F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Harus diperjelas dalam bab penjelasan, apa yang dimaksud dengan langkah-langkah yang patut termasuk kategorinya.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP69. Paragraf 3

PersiapanF-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

70. Pasal 16 F-PDIP : CATATAN

42

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(1) Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana.

SUBSTANSI

Catatan:Pasal 16 dan Pasal 17 RUU KUHP memperkenalkan pengertian baru tentang persiapan untuk melakukan tindak pidana, yang bisa dipidana sebesar sepertiga dari ancaman pidana pokok. Hal ini tak ada pada KUHP. Harus ada pembedaan yang tegas dan jelas untuk definisi, rumusan, maupun kategori antara percobaan (poging) dan persiapan.F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Cakupan tindak pidana yang masuk kualifikasi tindak pidana persiapan harus diperluas.

Perlu memasukkan tindak pidana yang membahayakan kehidupan masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan.Perlu perluasan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan, seharusnya tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana makar (Pasal 227 RUU KUHP), tindak pidana sabotase dan pada waktu perang (Pasal 242 RUU KUHP, dan tindak pidana terorisme (Pasal 251 RUU KUHP). Namun, harus dikualifikasi tindak pidana lainnya yakni : pembajakan, menimbulkan kebakaran, penyanderaan, pencurian dengan kekerasan, kesaksian palsu, dan berbuat asusila dengan perempuan dibawah umur.

SUBSTANSI

F-HANURA : TETAP71. (2) Persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika F-PDIP : SUBSTANSI

43

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

SUBSTANSI

Catatan:Ternyata, tidak satu pasal pun pada RUU KUHP yang mencantumkan unsur atau kata-kata “perbuatan persiapan”.

Karena itu, Pasal 16 Ayat (2) perlu diubah menjadi: “persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika ancaman pidananya delapan tahun atau lebih”.

Akan tetapi, ada tindak pidana berancaman pidana 8 tahun atau lebih, yang tidak mungkin membuktikan unsur “perbuatan persiapan”, yakni tindak pidana perkosaan.

Oleh sebab itu pula, mungkin, lebih tepat dengan mencantumkan pada pasal-pasal tertentu, yang perbuatan persiapann

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : Dalam RKUHP ini tidak Nampak pasal mana yang perbuatan persiapan di pidana. Jika di ambil contoh KUHP Nederland, dicari gampangnya, dimana bahwa semua delik dalam KUHP yang ancaman pidananya delapan tahun penjara atau lebih perbuatan persiapan dipidana.Pasal 16 ayat (2) tersebut dapat dirubah menjadi “Persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika ancaman pidana penjaranya delapan tahun atau lebih”.

Pasal 16 ayat (2) tersebut dapat dirubah menjadi :“Persiapan melakukan tindak pidana dipidana, jika ancaman pidana penjaranya delapan tahun atau lebih”.

SUBSTANSI

F-PKS :- Pendalaman apakah dapat persiapan di

pidana?- Apa saja standar atau kriteria persiapan tindak

MINTA PENJELASAN

44

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

pidana yang akan dipidanakan?- Perlu dipertegas kriteria persiapan yang

dimaksud. Misalnya menggunakan kriteria membahayakan masyarakat, bangsa dan negara.

F-PPP : Sebagai perbandingan WvS Belanda telah mengalami perubahan khususnya pasal 46 yang mengancam pidana terhadap tindakan persiapan melakukan kejahatan berat yang diancam dengan pidana penjara 8 tahun atau lebih, yang dalam hal ini adalah berupa delik-delik yang menimbulkan ancaman bahaya terhadap kehidupan masyarakat, seperti makar, pembajakan, menimbulkan kebakaran, penyanderaan, pencurian dengan kekerasan, kesaksian palsu, dan berbuat asusila dengan perempuan dibawah umur. Di mana terhadap tindak pidana tersebut diancam dengan maksimum pidana selama ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan apabila tindak pidana tersebut selesai.

Berbeda dengan di Belanda yang memberlakukan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan dalam skala yang lebih luas dengan pertimbangan tingkat keseriusan suatu kejahatan dan sifatnya yang berbahaya terhadap kehidupan masyarakat, RUU KUHP secara sangat terbatas pada tindak pidana makar (pasal 227 RUU KUHP), tindak pidana sabotase dan pada waktu perang (pasal 242 RUU KUHP, dan tindak pidana terorisme (pasal 251 RUU KUHP).

Pilihan ketiga tindak pidana tersebut

Cakupan tindak pidana yang masuk kualifikasi tindak pidana persiapan harus di perluas.

Perlu memasukkan tindak pidana yang membahayakan kehidupan masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan.

perlu perluasan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan, seharusnya tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana makar (pasal 227 RUU KUHP), tindak pidana sabotase dan pada waktu perang (pasal 242 RUU KUHP, dan tindak pidana terorisme (pasal 251 RUU KUHP). Namun harus di kualifikasi tindak pidana lainnya yakni:

pembajakan, korupsi, menimbulkan kebakaran, penyanderaan, pencurian dengan kekerasan, kesaksian palsu, dan berbuat asusila dengan perempuan dibawah umur

SUBSTANSI

45

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

mencerminkan bahwa pemidanaan terhadap perbuatan persiapan lebih menitikberatkan pada tindak pidana yang mengancam pemerintah atau Negara.

Tidak ditemukan apa yang menjadi latar belakang penyusun RUU KUHP menetapkan pemidanaan perbuatan persiapan terhadap ketiga tindak pidana tersebut. Pertimbangan yang digunakan di Belanda khususnya mengenai tindak pidana yang membahayakan kehidupan masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan.

Terkait korupsi Tim perusmus RUU KUHP tidak mengkualifikasi “perbuatan persiapan” melakukan tindak korupsi sebagai perbuatan yang dapat dipidana, padahal berkaitan dengan hal ini, UNCAC sebagaimana yang diatur dalam artcicle 27 telah menganjurkan kepada negara peserta untuk mengadopsiF-NASDEM : TETAPF-HANURA :Cakupan tindak pidana yang masuk kualifikasi tindak pidana persiapan harus di perluas.

Perlu memasukkan Tindak pidana yang membahayakan kehidupan masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan.

perlu perluasan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan, seharusnya tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana makar (pasal 227 RUU KUHP), tindak pidana sabotase dan pada waktu

Sebagai perbandingan WvS Belanda telah mengalami perubahan khususnya pasal 46 yang mengancam pidana terhadap tindakan persiapan melakukan kejahatan berat yang diancam dengan pidana penjara 8 tahun atau lebih, yang dalam hal ini adalah berupa delik-delik yang menimbulkan ancaman bahaya terhadap kehidupan masyarakat, seperti makar, pembajakan, menimbulkan kebakaran, penyanderaan, pencurian dengan kekerasan, kesaksian palsu, dan berbuat asusila dengan perempuan dibawah umur.1 Di mana terhadap tindak pidana tersebut diancam dengan

SUBSTANSI

1 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 300.

46

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

perang (pasal 242 RUU KUHP, dan tindak pidana terorisme (pasal 251 RUU KUHP). Namun harus di kualifikasi tindak pidana lainnya yakni: pembajakan, menimbulkan kebakaran, penyanderaan, pencurian dengan kekerasan, kesaksian palsu, dan berbuat asusila dengan perempuan dibawah umur

maksimum pidana selama ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan apabila tindak pidana tersebut selesai.2

Berbeda dengan di Belanda yang memberlakukan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan dalam skala yang lebih luas dengan pertimbangan tingkat keseriusan suatu kejahatan dan sifatnya yang berbahaya terhadap kehidupan masyarakat, RUU KUHP secara sangat terbatas pada tindak pidana makar (pasal 227 RUU KUHP), tindak pidana sabotase dan pada waktu perang (pasal 242 RUU KUHP, dan tindak pidana terorisme (pasal 251 RUU KUHP).

pilihan ketiga tindak pidana tersebut mencerminkan bahwa pemidanaan terhadap perbuatan persiapan lebih menitikberatkan pada tindak pidana yang mengancam pemerintah atau Negara.

Tidak ditemukan apa yang menjadi latar belakang penyusun RUU KUHP menetapkan pemidanaan perbuatan persiapan terhadap ketiga tindak pidana tersebut. Pertimbangan yang digunakan di Belanda khususnya mengenai tindak pidana yang membahayakan kehidupan masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan.

72. (3) Pidana untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

2 Ibid, hal. 304.47

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

73. (4) Persiapan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

74. (5) Pidana tambahan untuk persiapan melakukan tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

75. Pasal 17Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika pembuat menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Dalam beberapa kasus, frasa “meninggalkan” bisa menjadi bentuk melepaskan tanggungjawab atas

Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika pembuat menghentikan, meninggalkan atau mencegah kemungkinan

SUBSTANSI

48

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

SUBSTANSIpersiapan yang telah dilakukan. Bila meninggalkan tersebut tidak disertai dengan tindakan yang patut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas persiapan yang berpotensi menimbulkan korban, maka frasa “meninggalkan” tersebut tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Frasa “meninggalkan” perlu dilihat kembali aspek mens rea (sikap batin) dari pelakunya.

digunakan sarana tersebut, melaporkan kepada pihak berwajib.

F-PAN : frasa “”tindak pidana tindak pidana”” dirubah menjadi “”tindak pidana””

Pasal 17Persiapan melakukan tidak dipidana, jika pembuat menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.

SUBSTANSI

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

76. Paragraf 4Percobaan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

77. Pasal 18 (1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika

pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya

F-PDIP :Catatan:Pasal 18 sampai dengan Pasal 21 RUU KUHP mengatur tentang percobaan, yang bisa dipidana

MINTA PENJELASAN

49

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.

MINTA PENJELASAN

sebesar setengah dari ancaman pidana pokok. Ancaman pidana ini berbeda dengan Pasal 53 KUHP tentang percobaan, yang dapat dipidana sebesar dua pertiga dari ancaman pidana pokok. Apa legal reasoningnya, sehingga ancaman hukuman percobaan pada RUU KUHP menjadi lebih rendah ketimbang ancaman hukuman percobaan pada KUHP?F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Frasa dari,dan yang dituju dihapus

Pasal 18 (1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.

REDAKSIONAL

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

78. (2) Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

50

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP79. a. perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau

ditujukan untuk terjadinya tindak pidana;F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

80. b. perbuatan yang dilakukan langsung mendekati atau berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju; dan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

81. c. pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- Apa makna perbuatan melawan hukum yang

dimaksudkan dalam pasal 18 ayat (2) huruf c

MINTA PENJELASAN

51

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

ini?- Apakah maknanya sama dengan perbuatan

melawan undang-undang?F-PPP : TETAP dengan catatan berikut

- RUU KUHP tidak menegaskan arti “melawan hukum”

- Penjelasan yang menyebutkan bahwa “perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum” apakah bermakna bertentangan dengan undang-undang?

CATATAN

F-NASDEM : Persoalannya adalah bahwa RUU KUHP tidak menegaskan makna ‘melawan hukum’. Penjelasan yang menyebutkan bahwa “perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum”, mempunyai tendensi bahwa yang dimaksud dengan “bertentangan dengan hukum” adalah bertentangan dengan undang-undang.Bila suatu “permulaan pelaksanan” diisyaratkan harus merupakan perbuatan yang telah melanggar suatu peraturan perundnag-undangan, maka dikhawatirkan hanya tersedia ruang yang sangat sempit untuk dapat menjerat para pelaku tindak pidana yang tidak selesai, terlebih lagi dalam suatu delik percobaan yang tertangguh, dalam arti perbuatan yang dilakuakn pelaku tidak selesai. Dalam suatu delik percobaan selesai, hal ini mungkin tidak menimbulkan persoalan, karena dalam hal ini pelaku telah menyelesaikan keseluruhan perbuatan. Keadaan semacam ini akan memberikan kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum, khususnya para penyidik dalm menangkap para pelaku tindak pidana, karena dalam operasi penangkapan sedemikian harus selalu menunggu

CATATAN

52

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

diselesaikannya tindak pidan oleh pelaku atau menunggu hingga pelaku melanggar suatu ketentuan hukum.Dengan demikian maka perlu untuk ditegaskan setidaknya dalam penjelasan Pasal 18 ayat (2) RUU KUHP, bahwa “melawan hukum“ sebagai salah satu syarat “permulaan pelaksanaan”, bukan semata-mata sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan setidak-tidaknya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”melawan hukum” dalam Pasal 18 ayat (2) RUU KUHP adalh bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.Ini untuk menghindari adanya tafsir yang sempit bahwa pengertian “melawan hukum” tersebut semata-mata sebagai perbuatan yang telah bertentangan dengan perundang-undangan.F-HANURA : TETAP

82. Pasal 19(1) Tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan

pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1):

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

83. a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela;

F-PAN : kata “karena” diganti dengan kata “ätas”

a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya atas kehendaknya sendiri secara sukarela; REDAKSIONAL

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAP

53

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

84. b. pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

85. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

86. Pasal 20Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I, tidak dipidana.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

54

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Sebaiknya tetap dipidana minimal denda atau ganti rugi. Untuk kejahatan percobaan minimal sanksi adalah pidana denda dan ganti rugi.

CATATAN

F-HANURA : Catatan :Pidana Denda Katagori I disamakan dengan Tindak Pidana “pelanggaran”, karenanya melakukan ‘percobaan’ tidak perlu dipidana. Kecuali ‘percobaan’ terhadap tindak pidana “kejahatan”.

CATATAN

87. Pasal 21 (1) Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya

tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Acuan ketentuan tentang ancaman pidana dari perbuatan yang disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek secara normatif sepatutnya bukan merupakan ukuran dalam hal menjatuhkan hukuman. Hal yang justeru dapat dijadikan acuan adalah niat jahat, perbuatan, dan potensi akibat perbuatan yang pidana yang dilakukan.

Ayat (1). Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, namun tetap menimbulkan kerugian dan korban, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana sesuai dengan ancaman pidana yang dituju.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Harus diperjelas legal reasoning atas bobot pemidaan atas tindak pidana ini. MINTA PENJELASAN

F-HANURA : Rumusan tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju

Pasal 21(1) Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan

SUBSTANSI

55

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

diubah menjadi “tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju”.

R KUHP telah bersikap lebih lunak terhadap pelaku tindak pidana percobaan, bila dibandingkan dengan apa yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan (3) KUHP, di mana maksimum pidana yang diancamkan adalah 2/3 dari maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana terkait.rumusan Pasal 21 dengan Pasal 18 (1) yakni “jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri ” tidak

Catatan :

“K etidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju ” tidak termasuk dalam Konsep ‘percobaan’ (poging), tetapi merupakan pengembangan konsep. Dengan demikian, dapat dipahami jika ancaman sanksinya hanya 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. Tidak sama atau lebih ringan dari ancaman sanksi dalam Pasal 53 KUHP (WvS).

ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

87A. SUBSTANSI BARU F-Demokrat : Ayat (2) Sedangkan dalam kondisi alat yang digunakan atau ketidakmampuan alat yang digunakan belum menimbulkan kerugian korban, maka ancaman hukuman ½ (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan.

SUBSTANSI BARU

88. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

56

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 10 (sepuluh) tahun.

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

89. Paragraf 5Penyertaan

SUBSTANSI

F-PDIP :Catatan:Pada Pasal 22 dan Pasal 23 tentang ketentuan hukum penyertaan (deelneming), perlu diperjelas secara khusus bagaimana peran dan derajat kesalahan antara pembantu dan pelaku, terlebih bila kemudian berkembang dengan adanya penanggung jawab pembujuk, ataupun perencana tindak pidana (uitlokker), atau yang sering disebut sebagai intellectueel dader. Sebab, perbedaan peran dan derajat kesalahan itu tentu akan berdampak pada proses pembuktian di persidangan, dan kelak perbedaan hukuman

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : Dalam Pasal 22 butir a disebutkan “melakukan sendiri tindak pidana”, maksudnya yaitu pelaku (pleger), yang jelas maksudnya yaitu melakukan sendiri tindak pidana itu tidak termasuk penyertaan. Jadi judul Paragraf 5 harus ditambah sehingga berbunyi “Pembuat dan Penyertaan “.

Judul Paragraf 5 harus ditambah sehingga berbunyi :

Pembuat dan Penyertaan SUBSTANSI

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

57

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

90. Pasal 22Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

91. a. melakukan sendiri tindak pidana; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

92. b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Frasa “perantara” yang digunakan sebagai alat dalam melakukan perbuatan pidana tidak tepat karena bisa bermakna subjek hukum pidana itu sendiri. Kata perantara lebih tepat digunakan untuk subjek manusia.

melakukan tindak pidana dengan menggunakan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

REDAKSIONAL

58

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

93. c. turut serta melakukan; atau F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

94. d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalah-gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya melakukan tindak pidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : Frasa“memancing orang lain” diganti dengan frasa “mempengaruhi orang lain secara langsung ataupun tidak langsung” Kata “memancing” lebih mencerminkan perilaku yang cenderung pasif, sehingga berpotensi memposisikan korban tindak pidana sebagai tersangka atau menyalahkan korban atas terjadinya tindak pidana, misalnya dalam hal tindak pidana perkosaan, atau kejahatan kesusilaan terhadap perempuan.

d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, mempengaruhi orang lain secara langsung ataupun tidak langsung supaya melakukan tindak pidana.

SUBSTANSI

F-PKB : TETAP

59

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

95. Pasal 23(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang

yang:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

96. a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana; atau

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : Ditambahkan kalimat ‘selama itu terjadi dengan sepengetahuan orang tersebut’.

memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana, selama itu terjadi dengan sepengetahuan orang tersebut; atau

SUBSTANSI

F-HANURA : TETAP97. b. memberi bantuan pada waktu tindak pidana

dilakukan. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

60

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

98. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak -berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

99. Pasal 24Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 24 tidak Perlu ada, atau Dihapuskan,

Dihapuskan, karena :a. sudah ada ketentuan tentang kemampuan

bertanggung jawab (Pasal 41 dan 42)b. sudah ada ketentuan hukum tentang

pemidanaan terhadap anak dibawah umur.c. sudah ada ketentuan hukum tentang

peringanan dan pemberatan pidanad. ketentuan pasal ini juga terdapat kata

“hanya”,padahal pada”penyertaan “,memang hanya ada pembuat dan pembantu tindak pidana.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAP

61

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

100. Paragraf 6Pengulangan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

101. Pasal 25Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Apakah tindak pidana yang sama

atau beda? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAP dengan catatan:perlu diperjelas maksud “Pengulangan tindak pidana terjadi” apakah tindak pidana yang sama atau tidak.

Perlu ditambahakan penjelasan bahwa Pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang sama ataupun tidak sama CATATAN

F-NASDEM : Perlu diperjelas maksud “Pengulangan tindakpidana terjadi” apakah indak pidana yag sam atau tidak?

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : perlu diperjelas maksud “Pengulangan tindak pidana terjadi” apakah

Menambahkan pada penjelasan pasal bahwa Pengulangan tindak pidana, adalah tindak pidana

CATATAN

62

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

tindak pidana yang sama atau tidak. yang sama.102. a. dalam waktu 5 (lima) tahun sejak menjalani seluruh atau

sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

103. b. pada waktu melakukan tindak pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum daluwarsa.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

104. Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

63

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP105. Pasal 26

(1) Dalam hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

106. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

107. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan semua pembuat, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Perbaikan redaksi. Ditambahkan “terhadap” antara “dilakukan” dan “semua pembuat”.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan terhadap semua pembuat, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.

REDAKSIONAL

F-DEMOKRAT : Ditambah frasa “terhadap” setelah frasa “penuntutan dilakukan”

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan

REDAKSIONAL

64

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

secara mutlak, penuntutan dilakukan terhadap semua pembuat, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

108. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara relatif, penuntutan hanya dilakukan terhadap orang-orang yang disebut dalam pengaduan.

F-PDIP : Catatan:Definisi “pengaduan secara relatif” perlu diperjelas ,

MINTA PENJELASAN

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

109. Pasal 27(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan belum

berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Frasa “16 (enam belas)” diganti dengan “18 (delapan belas)”.

Pasal 27(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan

belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

Disesuaikan dengan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

SUBSTANSIF-DEMOKRAT : Demi kepastian hukum perlu penjelasan tentang definisi yang lebih tegas dari frasa “Wakilnya yang sah”. Hal ini untuk menghindari adanya pihak-pihak yang tidak

CATATAN

65

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

memiliki kompetensi bertindak secara hukum mengatasnamakan “wakil yang sahF-PAN : Frasa 16 (enam belas) diganti dengan frasa 18 (delapan belas)

Disesuaikan dengan Pasal 1 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

Pasal 27(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan

belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

SUBSTANSI

F-PKB : TETAPF-PKS : Perubahan Subtansial16 tahun diganti menjadi 18 tahun Sesuai dengan UU Perlindungan Anak

(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Mengapa 16 tahun, bukannya 18 tahun? Usia anak agar disinkronkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan UU Perlindungan Anak.

Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.

SUBSTANSI

F-HANURA : TETAP109A. SUBSTANSI BARU F-DEMOKRAT : Usulan penambahan ayat (2)

Wakil yang sah dimaksud dalam ayat (1) adalah orang tua atau walinya

SUBSTANSI BARU

110. (2) Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi walipengawas.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 27 ayat (2),(3), dan (4) dijadikan satu dan disederhanakan

Pasal 27 ayat (2) berbunyi “Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada,maka pengaduan dilakukan wali pengawas,atau majlis yang menjadi wali pengawas,atau majlis yang menjadi wali pengampu,atau pengaduan istri wakil yang tidak ada itu, atau keluarga sedarah dalam garis lurus, atau keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Frasa “16 (enam belas)” diganti dengan “18 (delapan belas)”.

(2) Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas

SUBSTANSI

66

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas.

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perubahan Subtansial tahun diganti menjadi 18 tahun Sesuai dengan UU Perlindungan Anak

(2) Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi walipengawas.

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Usia anak agar disinkronkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan UU Perlindungan Anak.

(2) Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi walipengawas.

TETAP

F-HANURA : TETAP111. (3) Dalam hal wakil yang sah dari korban yang berada di

bawah pengampuan tidak ada maka penuntutan dilakukan atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 27 ayat (3) menjadi tak ada. SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : Ditambahkan kata “suami atau” (3) Dalam hal wakil yang sah dari korban yang

berada di bawah pengampuan tidak ada maka penuntutan dilakukan atas dasar pengaduan suami atau istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

SUBSTANSI

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

112. (4) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah

F-PDIP : Pasal 27 ayat (4) menjadi tak ada.

SUBSTANSI

67

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

dalam garis menyamping sampai derajat ketiga atau majelis yang menjadi walipengampu.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

113. Pasal 28(1) Dalam hal korban tindak pidana aduan meninggal dunia

dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya, suaminya, atau isterinya yang masih hidup.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

114. (2) Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur, jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki penuntutan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

68

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

115. Pasal 29(1) Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan

pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Perbaikan redaksi. Kata “dituntut” diganti “untuk dilakukan penuntutan terhadap orang yang diadukan”. Penomoran ayat ditiadakan, karena ayat (2) diusulkan dihapus.

Pasal 28 Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang yang diadukan.

REDAKSIONAL

F-DEMOKRAT : Pengaturan tentang bagaimana proses penuntutan mengacu kepada peraturan yang berlaku pada hukum acara (hukum formil/KUHAP)

Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dilakukan proses penuntutan .

REDAKSIONAL

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Pendalaman:

Apakah ini bukan materi KUHAP? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

116. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Dihapus Teknis pengaduan diatur di KUHAP.

SUBSTANSIF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Pendalaman :

Apakah ini bukan materi KUHAP? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

117. Pasal 30(1) Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

69

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

118. a. enam bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; atau

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

119. b. sembilan bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

120. (2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

70

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

dihitung sejak masing-masing mengetahui adanya tindak pidana.

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

121. Pasal31(1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga)

bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Pasal 30

(1) Pengaduan dapat ditarik kembali sebelum berkas perkara diajukan ke pengadilan.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : Di dalam hukum acara (KUHAP) berkas yang sudah masuk ke dalam proses penuntutan di Kejaksaan, maka proses pengaduan tidak dapat ditarik kembali. Bila pasal ini diterapkan, maka akan terjadi kontradiksi dengan KUHAP. Adapun penarikan berkas, sebaiknya dibatasi pada tahap proses penyidikan (di Kepolisian). Adapun berkas yang ditarik kembali setelah proses sudah memasuki tahap penuntutan, hal ini akan mengganggu proses penegakan hukum yang berkepastian hukum.

(1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan, selama berkas perkara belum dilimpahkan dari tahap penyidikan ke tahap penuntutan

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

122. (2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

71

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

123. Paragraf 8 Alasan Pembenar

F-PDIP : Catatan:

Alasan Pembenar seharusnya tercantum sebelum Paragraf 5 Alasan Pemaaf (Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pidana, Bab II Buku Kesatu).

Sebab, pada aspek/tahap Pertanggungjawaban Pidana, ada dasar-dasar penghapus pidana, yang terdiri dari:1. Alasan pembenar.2. Alasan pemaaf

REDAKSIONAL

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

124. Pasal 32Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.

F-PDIP : Catatan:Pasal 32 s/d Pasal 35 tentang ketentuan “Alasan Pembenar” perlu dicermati secara serius, Sebab, pada praktek hukum selama ini, sering alasan pembenar dijadikan dalih pada sejumlah kasus

CATATAN

72

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

SUBSTANSI

aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi, yang menembak mati, atau mengakibatkan cacat ataupun luka, tersangka. Pada kasus-kasus itu, didalihkan pula bahwa polisi terpaksa menembak karena tersangka melakukan perlawanan yang mengancam jiwa sang polisi. Pada masalah ini, tentu harus dikritisi secara mendalam definisi ataupun penjelasan tentang alasan pembenar, baik karena dalih bela paksa (noodweer), ataupun karena kewajiban menurut UU ataupun perintah jabatan.Pada Penjelasan Pasal 35 RUU KUHP disebutkan bahwa bela paksa dibenarkan, bila antara lain memenuhi asas keseimbangan, dalam hal ini: keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dan serangan yangF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Dihapus.- Perintah peraturan per-UU-an atau perintah

jabatan, atau perintah atasan, tidak boleh melawan hukum. Kebenaran dan hukum tidak ditegakkan dengan cara-cara batil.

- Pejabat yang melaksanakan, pejabat atau atasan yang memberi perintah, atau bawahan yang melaksanakan perintah atasan, yang mengetahui perbuatan itu merupakan tindak pidana dan melawan hukum, harus dipidana.

- Atasan/komandan yang mengetahui bawahannya akan atau telah melakukan tindak pidana dan pelanggaran hukum, tetapi membiarkan terjadinya perbuatan tersebut, atau tidak melaporkannya, sesuai wewenangnya harus dipidana. (Norma ini berlaku universal terhadap komandan atau atasan dalam Hukum Humaniter Internasional jo UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.)

- DPR telah menolak Perppu JPSK (2008) yang

SUBSTANSI

73

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

memuat ketentuan sejenis.- DPR telah menyatakan kebijakan bailout Bank

Century melanggar hukum.F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : PendalamanBerpotensi abuse of power, Peraturan perundang-undangan terlalu luas, perlu adanya kriteria yang jelas

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Ditambahkan kata ‘dengan dimaksud’ pada bunyi pasal ini

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi dilakukan dengan dimaksud untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan, tidak dipidana.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP125. Pasal 33

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan, tidak dipidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Dihapus. Alasan idem dg DIM No. 124. SUBSTANSIF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Dapat terjadi penyalah gunaan perintah jabatan, abuse of power, perlu batasan. CATATAN

F-PPP : PERUBAHAN dengan penambahan kata “yang sah”

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah, tidak dipidana.

REDAKSIONAL

F-NASDEM : Ditambahkan kata ‘dilakukan’ Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan, tidak dipidana.

REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP126. Pasal 34 F-PDIP : TETAP

74

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang karena keadaan darurat, tidak dipidana.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Frasa “keadaan darurat” perlu penegasan lebih lanjut agar tidak menjadi frasa yang multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang karena keadaan darurat, yang patut diduga dapat mengancam keselamatan jiwanya atau merugikan dirinya tidak dipidana.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu definisi yang jelas dan limitatif untuk kondisi keadaan darurat yang tidak dipidana

CATATAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Keadaan darurat dalam hal ini

seperti apa? MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP127. Pasal 35

Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain, tidak dipidana.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

128. Pasal 36Termasuk alasan pembenar adalah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 36 Ini tidak perlu ada, atau dihapuskan saja.

Tidak perlu ada atau dihapuskan saja ,sebab : a. Pada penjelasan pasal 32 dan 33 RUU KUHP

sudah disebutkan alas an pembenar merupakan alas an yang menghapuskan sifat melawan hokum

b. Pada alas an pembenar ,perbuatan pelaku tindak pidana termasuk perbuatan yang dilarang ataupun diancam pidana oleh

SUBSTANSI

75

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

peraturan perundang-undangan ,namun,tidak dianggap bersifat melawan hokum,karena dibenarkan atau dilindungi Undang-undang (pasal 32) perintah jabatan,(Pasal 33) keadaan darurat, ataupun bela paksa (pasal 35)

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

129. Bagian KeduaPertanggungjawaban Pidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

130. Paragraf 1Umum

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

76

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

131. Pasal 37Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

SUBSTANSI

F-PDIP : Catatan:Apa yang dimaksud dengan istilah “celaan yang objektif”.Untuk perbandingan, tindak pidana dapat diartikan pula sebagai Perbuatan melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, yang dinilai memiliki tingkat atau taraf sudah mengganggu ketentraman masyarakat atau ketertiban umum.

MINTA PENJELASAN

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah.a. Perbuatan yang dicela tidak seluruhnya tindak

pidana.b. Definisi yang ada terlalu filosofis, kurang jelas

dan membingungkan.c. Definisi yang diusulkan diadaptasi dari teori

Roscoe Pound, filosof besar abad ke-20.

Pasal 37Pertanggungjawaban pidana adalah suatu kewajiban yang harus ditanggung seorang pembuat tindak pidana sebagai penghukuman atas perbuatannya itu.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Meminta rumusan yang lebih

mudah dimengerti. REDAKSIONAL

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

132. Paragraf 2Kesalahan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

77

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

133. Pasal 38(1) Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana

tanpa kesalahan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

134. (2) Kesalahan meliputi unsur kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan unsur

“kelalaian”.

Kealpaan menunjuk pada ketidaksengajaan, sedangkan kelalaian (nalaten) pada tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (sesuai wewenang atau keadaan) secara sengaja.Lihat DIM No. 56 (Pasal 12 ayat (1), yang menyatakan tidak melakukan sesuatu juga termasuk tindak pidana.Rujukan a.l.: Pasal 42 UU No. 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sesuai Hukum Humaniter Internasional. Perlu keterangan di Penjelasan mengenai perbedaan makna kealpaan dan kelalaian.

(2) Kesalahan meliputi unsur kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan, atau kelalaian, dan tidak ada alasan pemaaf.

SUBSTANSI

78

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Mengapa hanya alasan pemaaf

yang dimasukkan, alasan pembenar bagaimana?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

135. Pasal 39(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat

menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Pasal ini bertentangan dengan asas pidana yakni tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dalam penerapannya, memang ada pidana yang dijatuhkan karena kelalaian yang mengakibatkan jatuhnya korban atau kerugian. Namun, karena adanya kerugian atau korban tersebut, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap dirinya.

Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan, sepanjang adanya kerugian yang ditimbulkan.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu pendalaman dan kriteria tindak pidana tertentu, karena ini justru mengecualikan 38 Ayat (1)

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Bahwa “strict liability” dimungkinkan untuk tindak pidana tertentu maka tindak pidana atau hal-hal tertentu itu ditentukan secara spesifik

CATATAN

79

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

dalam “aturan khusus” (misal di dalam Buku II KUHP atau UU diluar KUHP).Dalam hal Buku II RUU, “ketentuan khusus” itu belum terlihat. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang.Maksud “tindak pidana tertentu” harus diperjelas dalam penjelasan.F-HANURA : Belum jelasnya tindak pidana tertentu seperti apa.

bahwa “strict liability” dimungkinkan “untuk tindak pidana tertentu atau dalam hal-hal tertentu” maka “tindak pidana atau hal-hal tertentu” itu ditentukan secara spesifik dalam “aturan khusus” (misal di dalam Buku II KUHP atau UU di luarKUHP).

Dalam Buku II RUU, “ketentuan khusus” itu belum terlihat. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang

maksud tindak pidana tertentu, harus diperjelas dalam penjelasan

CATATAN

136. (2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT :Ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang tidak melakukan tindak pidana lazimnya dikenakan dalam hal pertanggungjawaban pidana diatur secara kolektif. Namun, dalam hal pertanggungjawaban secara kolektif tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk menghapus pertanggungjawaban individu atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini mengacu kepada prinsip-prinsip hukum pidana secara umum yang menempatkan setiap individu adalah subjek hukum pidana

Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain , dengan tidak menutup kemungkinan pemidanaan tetap dilakukan terhadap pelaku pidana langsung .

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Bagaimana kriterianya? Jangan sampai orang lain harus MINTA PENJELASAN

80

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan orang lain.F-PPP : TETAPF-NASDEM : Harus diperjelas bahwa yang

dimaksud di sini adalah tanggungjawab atasan.

SUBSTANSI

F-HANURA : TETAP137. Paragraf 3

Kesengajaan dan Kealpaan

SUBSTANSI

F-PDIP : Catatan:Definisi, gradasi (tingkatan) kesalahan, dan kategori bagi “kesengajaan” (dolus atau opzet) dan ketidaksengajaan atau kealpaan atau kelalaian (culpa) harus dirumuskan secara mendetail. Sebab:a. Gradasi kesalahan pada kesengajaan lebih

tinggi dari pada kelalaian (tidak sengaja). Karena itu, sanksi hukuman kesengajaan lebih tinggi dari pada kelalaian.

b. Percobaan pada kesengajaan bisa dipidana. Tetapi, percobaan pada kelalaian, tidak dipidana.

c. Dari segi doktrin (ajaran) hukum pidana, Kesengajaan punya tiga tingkatan (dari tertinggi hingga terendah), yakni: 1. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan atau kehendak (oogmerk); 2. Kesengajaan sebagai keharusan atau kepastian, atau kesengajaan dengan kesadaran pasti; 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, atau kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis).

d. Sedangkan Gradasi Kelalaian ataupun ketidaksengajaan (juga tertinggi ke terendah), yaitu: 1. Kealpaan berat (culpa lata); 2. Kealpaan ringan (culpa levis). Culpa lata bersyarat adanya kekurangwaspadaan pada diri pelaku. Culpa levis bersyarat adanya hasil perkiraan atau perbandingan antara tindakan

SUBSTANSI

81

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

pelaku dan tindakan orang lain segolongan atau sekemampuan seperti pelaku pada situasi dan kondisi sebagaimana tindak pidana itu terjadi.

e. Ajaran (teori) hukum pidana tersebut di atas juga sudah dijabarkan pada sejumlah putusan hakim (yurisprudensi). Dengan demikian, pengertian kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian, tidak bisa diserahkan begitu saja pada pertimbangan hakim, sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 603 RUU KUHP.

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan unsur “kelalaian”.

Paragraf 3Kesengajaan, Kealpaan, dan Kelalaian SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

138. Pasal 40(1) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang

tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan unsur “kelalaian”.Disesuaikan dengan DIM No. 134 (Pasal 38 ayat (2))

Pasal 40(1) Seseorang hanya dapat

dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan atau kelalaian.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

82

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

139. (2) Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang di-lakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan unsur “kelalaian”.Idem.

Perlu perbaikan Penjelasan ayat ini terkait penggunaan istilaah “kelalaian” dan ”kealpaan” serta penomoran Pasal.

(2) Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan atau kelalaian dapat dipidana.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Kata kecuali menunjukkan pengenyampingan perbuatan yang dapat dipidana, bukankah kesengajaan atau kealpaan suatu alternatif yang menyebabkan dapat dipidana? Bukan malah mengenyampingkan.

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

140. (3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan unsur “kelalaian”.Idem.

(3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan atau kelalaian.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

83

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

141. Paragraf 4Kemampuan Bertanggung Jawab

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

142. Pasal 41Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental atau disabilitas mental lainnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Pasal 41 dapat diartikan terhadap pembuat tindak pidana “lepas dari tuntutan hukum”

CATATAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Namun harus dipastikan adanya keterangan ahli yang menyatakan kondisi tersebut.

Apakah ini dapat dimasukan kedalam ketentuan pasal atau penjelasan??

CATATAN

F-PPP : TETAP, namun sebagai catatan:

Istilah “gangguan jiwa”, “penyakit jiwa”, “retardasi mental”, atau “disabilitas mental

Penyesuaian istilah dengan Rancangan Undang-Undang Disabilitas

CATATAN

84

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

lainnya” perlu disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undnag DisabilitasF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

143. Pasal 42Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Namun harus dipastikan adanya keterangan ahli yang menyatakan kondisi tersebut.

CATATAN

F-PPP : TETAP, namun sebagai catatan:

Istilah “gangguan jiwa”, “penyakit jiwa”, “retardasi mental”, atau “disabilitas mental lainnya” perlu disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undnag Disabilitas

Penyesuaian istilah dengan Rancangan Undang-Undang Disabilitas

CATATAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

144. Paragraf 5Alasan Pemaaf

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

145. Pasal 43 F-PDIP : TETAP

85

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(1) Tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Ketentuan Pasal 43 ayat (1) perlu diberikan penjelasan mengenai frasa “sesat mengenai keadaan”, sehingga tidak menjadi multitafsir dalam penerapannya. Di dalam adagium hukum, setiap orang dianggap paham terhadap hukum yang tervaliditas ke dalam undang-undang melalui suatu Lembaran Negara. Sebagai bentuk kehati-hatian, seseorang tersebut dapat bertanya atau melakukan tindakan yang patut agar tidak dipersalahkan secara pidana atas perbuatannya itu.

Jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya, tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atas pertanggungjawaban pidana terhadap dirinya.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- Kata “sesat” maksudnya apa?- Masalah tidak tahu, batasannya seperti apa?- Bukankan itu merupakan bagian dari asas fictie

(setiap orang dianggap tau)

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAP, namun dengan catatan:

kalimat “atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya ” membingungkan dan mutitafsir

P erlu dilakukan perbaikan redaksional

REDAKSIONAL

F-NASDEM : Kalimat “atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya” membingungkan dan multitafsir.

Perlu dilakukan perbaikan redaksional.

REDAKSIONAL

F-HANURA : perlu dilakukan perbaikan redaksional

kalimat “atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau

REDAKSIONAL

86

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya ” membingungkan dan mutitafsir

146. (2) Jika seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

147. Pasal 44Tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

148. a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :- “kekuatan yang tidak dapat ditahan?- Apa yang dimksud dengan ditahan dan

perbedaannya dengan kata dihindari.

MINTA PENJELASAN

87

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Apa yang dimaksud dengan kekuatan yang tidak bisa di tahan? Apa yang dimaksud dengan ditahan dan perbedaannya dengan kata dihindari.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP149. b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan

yang tidak dapat dihindari.F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Batasan kekuatan yang tidak

dapat dihindari apa? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

150. Pasal 45Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu definisi dan batasan yang

jelas pembelaan terpaksa yang melampaui batas

CATATAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Perlu diperjelas dalam bab penjelasan, apa yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : TETAP151. Pasal 46 F-PDIP : TETAP

88

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah

Adanya kewenangan atau tidak pada pemberi perintah tidak bisa dijadikan alasan untuk pertanggungjawaban pidana pelaksana perintah, tetapi pada ada/tidaknya unsur kesalahan dari perintah tersebut.

Pasal 46Tidak dipidana, setiap orang yang melaksanakan perintah jabatan yang dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut tidak melawan hukum dan bukan tindak pidana. SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : Frasa “jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” bertentangan dengan adagium hukum “seseorang dianggap paham atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian, frasa tersebut sebaiknya dihapus.

Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :Potensial disalahgunakan.

CATATANF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

152. Pasal 47Termasuk alasan pemaaf adalah:

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 47 TIDAK PERLU ADA ATAU DIHAPUSKAN.

Catatan:Pasal 47 tidak perlu ada, atau dihapuskan saja. Sebab:a. Ketentuan pada Pasal 47 huruf a. sudah

diperjelas pada Penjelasan Pasal 43 Ayat (1), yang menyatakan bahwa “alasan pemaaf” adalah alasan yang meniadakan kesalahan pembuat tindak pidana, dan oleh karena itu pembuat tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pembuat tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat alasan pemaaf tersebut maka pembuat tindak pidana tidak dipidana.

b. Ketentuan pada Pasal 47 huruf b. juga sudah diatur pada Pasal 40.

SUBSTANSI

89

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

c. Ketentuan pada Pasal 47 huruf c. pun sudah ada pada Pasal 115 Ayat (1).

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

153. a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);

SUBSTANSI

F-PDIP : DIHAPUSKAN SUBSTANSIF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

154. b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau

SUBSTANSI

F-PDIP : DIHAPUSKAN SUBSTANSIF-GOLKAR : frase “yang dimaksud dalam pasal 40” kemungkinan typo . seharusnya Pasal 41

dirubah menjadi ““yang dimaksud dalam pasal 41” REDAKSIONAL

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Redaksi; mungkin yang dimaksud Pasal 41 bukan Pasal 40. CATATAN

90

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Harus adanya keterangan ahliF-PPP : TETAP, dengan catatan:

Frase “yang dimaksud dalam pasal 40” kemungkinan typo-error. Seharusnya Pasal 41

Dirubah menjadi ““yang dimaksud dalam pasal 41” REDAKSIONAL

F-HANURA : frase “yang dimaksud dalam pasal 40” kemungkinan typo . seharusnya Pasal 41

dirubah menjadi ““yang dimaksud dalam pasal 41” REDAKSIONAL

F-HANURA : TETAP155. c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1).

SUBSTANSI

F-PDIP : DIHAPUSKAN SUBSTANSIF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

156. Paragraf 6 Korporasi

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

157. Pasal 48 Korporasi merupakan subjek tindak pidana.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

91

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Korporasi merupakan subjek

hukum tindak pidana. REDAKSIONAL

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

158. Pasal 49Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : Perlu diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi” yaitu bila perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan yang berkaitan dengan salah satu atau lebih kegiatan yang termasuk dalam lingkup usaha korporasi”.

CATATAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu penjelasan apa saja lingkup

usaha korporasi? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAP, namun dengan catatan untuk pembahasan:

KUHP tidak menjelaskan yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi”?

Kriteria yang membatasi suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan korporasi merupakan hal yang sangat penting, agar kita tidak mengkualifikasi perbuatan yang pada dasarnya merupakan perbuatan yang justru bertentangan dengan kegiatan korporasi (crime

Perlu diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi” yaitu bila perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan yang berkaitan dengan salah satu atau lebih kegiatan yang termasuk dalam lingkup usaha korporasi”.

CATATAN

92

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

against corporation) sebagai perbuatan korporasi.

Batasan bahwa hal tersebut harus berada dalam lingkup usaha korporasi juga dapat mencegah hal tersebut. Namun demikian bila kriteria tersebut keliru dipahami maka dikhawatirkan menjadi terlalu sempit atau bahkan dengan perilaku penegak hukum yang tekstual, maka dapat menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan korporasi

Kriteria “dalam lingkup usaha korporasi” tampaknya berasal dari kriterium Ijzerdraad yang berasal dari arrest HR 23 Februari 1954. Putusan yang sesungguhnya bukan mengenai korporasi ini telah diterima di Belanda untuk diberlakukan dalam membangun kriteria perbuatan korporasi, yaitu bahwa “tindakan itu harus masuk dalam rentang kekuasaan atau lingkungan kekuasaan pengusaha dan pada galibnya ia harus menerima atau menyetujui tindakan tersebut”.3

F-NASDEM : RKUHP tidak menjelaskan yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi”?

MINTA PENJELASAN

F-HANURA : R KUHP tidak menjelaskan yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi”?

Kriteria yang membatasi suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan korporasi merupakan hal yang sangat penting, agar kita tidak mengkualifikasi perbuatan yang pada dasarnya merupakan perbuatan yang justru bertentangan dengan kegiatan korporasi (crime against corporation) sebagai perbuatan korporasi. Batasan bahwa hal tersebut harus berada dalam lingkup usaha korporasi juga dapat mencegah hal

Perlu diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi” yaitu bila perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan yang berkaitan dengan salah satu atau lebih kegiatan yang termasuk dalam lingkup usaha korporasi”.

CATATAN

3 Jan Remmelink, Op. Cit., hal. 107.93

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

tersebut. Namun demikian bila kriteria tersebut keliru dipahami maka dikhawatirkan menjadi terlalu sempit atau bahkan dengan perilaku penegak hukum yang tekstual, maka dapat menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan korporasi

Kriteria “dalam lingkup usaha korporasi” tampaknya berasal dari kriterium Ijzerdraad yang berasal dari arrest HR 23 Februari 1954. Putusan yang sesungguhnya bukan mengenai korporasi ini telah diterima di Belanda untuk diberlakukan dalam membangun kriteria perbuatan korporasi, yaitu bahwa “tindakan itu harus masuk dalam rentang kekuasaan atau lingkungan kekuasaan pengusaha dan pada galibnya ia harus menerima atau menyetujui tindakan tersebut”.

159. Pasal 50Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau personil pengendali korporasi.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambah “pemegang saham pengendali”.

Pengertian “personil pengendali korporasi” di Penjelasan berbeda dengan pengertian pemegang saham pengendali di dalam UU bidang korporasi dan perbankan.Pengertian “personil pengendali korporasi” di Penjelasan perlu diperluas, yakni termasuk orang yang di belakang layar sesungguhnya adalah pemilik dan bertindak selaku pengendali korporasi.

Pasal 50Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau personil pengendali korporasi, dan/atau pemegang saham pengendali.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : SUBSTANSI

94

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Menambah rumusan Pasal 51 menjadi, korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan atau demi kepentingan korporasi (disesaikan dengan Pasal 49).F-HANURA : TETAP

160. Pasal 51Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR :Kalimat “dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang¬kutan” sebenarnya sangat membatasi pertangungjawaban korporasi. Padahal dalam prakteknya tidak semua perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, itu dapat di temukan dalam anggara dasar atau lingkup usahanya. Namun seluruh perbuatan pembuat demi kepentingan korporasi apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP justru tidak berhubungan dengan rumusan pasal 51dan ini dapat berbenturan dengan dengan apa yang diatur dalam pasal 38 ayat (2) RUU KUHP, di mana disyaratkannya bahwa vicarious liability hanya dapat diterapkan bila dinyatakan dalam undang-undang. Sementara pertanggungjawaban pidana pengurus atas perbuatan korporasi tidak diatur dalam suatu pasal tertentu tetapi hanya dilandaskan pada suatu penjelasan pasal 51, yang bila kita cermati rumusan pasal 51 sesungguhnya hanya mengatur tanggung jawab pidana dari korporasi dan bukan mengenai tanggung jawab pidana pengurus. Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam praktek ke depan, maka apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP seyogyanya

menambah rumusan pasal 51 menjadi Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang¬kutan atau demi kepentingan korporasi (disesuaikan dengan pasal 49)

SUBSTANSI

95

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

ditempatkan sebagai penjelasan pasal 49 RUU KUHP.F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : Kalimat “dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan” sebenarnya sangat membatasi pertangungjawaban korporasi.

Padahal dalam prakteknya tidak semua perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, itu dapat di temukan dalam anggara dasar atau lingkup usahanya. Namun seluruh perbuatan pembuat demi kepentingan korporasi.Apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP justru tidak nyambung dengan rumusan pasal 51, dan ini dapat berbenturan dengan dengan apa yang diatur dalam pasal 38 ayat (2) RUU KUHP, di mana disyaratkannya bahwa vicarious liability hanya dapat diterapkan bila dinyatakan dalam undang-undang. Sementara pertanggungjawaban pidana pengurus atas perbuatan korporasi tidak diatur dalam suatu pasal tertentu tetapi hanya dilandaskan pada suatu penjelasan pasal 51, yang bila kita cermati rumusan pasal 51 sesungguhnya hanya mengatur tanggung jawab pidana dari korporasi dan bukan mengenai tanggung jawab pidana pengurus. Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam praktek ke depan, maka apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP seyogyanya ditempatkan sebagai penjelasan pasal 49 RUU KUHP.

menambah rumusan pasal 51 menjadi

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang kutan atau demi kepentingan korporasi (disesuaikan dengan pasal 49) .

SUBSTANSI

F-PKS :kalimat “dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang-kutan” sebenarnya sangat membatasi

TETAP

96

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

pertangungjawaban korporasi. Padahal dalam prakteknya tidak semua perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, itu dapat di temukan dalam anggara dasar atau lingkup usahanya. Namun seluruh perbuatan pembuat demi kepentingan korporasi harusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidanaF-PPP :kalimat “dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang - kutan ” sebenarnya sangat membatasi pertangungjawaban korporasi. padahal dalam prakteknya tidak semua perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, itu dapat di temukan dalam anggara dasar atau lingkup usahanya. Namun seluruh perbuatan pembuat demi kepentingan korporasi

apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP justru tidak berhubungan dengan rumusan pasal 51

dan ini dapat berbenturan dengan dengan apa yang diatur dalam pasal 38 ayat (2) RUU KUHP, di mana disyaratkannya bahwa vicarious liability hanya dapat diterapkan bila dinyatakan dalam undang-undang.

Sementara pertanggungjawaban pidana pengurus atas perbuatan korporasi tidak diatur dalam suatu pasal tertentu tetapi hanya dilandaskan pada suatu penjelasan pasal 51, yang bila kita cermati rumusan pasal 51 sesungguhnya hanya mengatur tanggung jawab pidana dari korporasi dan bukan mengenai tanggung jawab pidana pengurus.

Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam praktek ke depan, maka apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP seyogyanya ditempatkan sebagai penjelasan pasal 49 RUU

menambah rumusan pasal 51 menjadi

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang kutan atau demi kepentingan korporasi (disesuaikan dengan pasal 49)

SUBSTANSI

97

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

KUHP.F-NASDEM : TETAPF-HANURA :kalimat “dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang - kutan ” sebenarnya sangat membatasi pertangungjawaban korporasi.

Dalam prakteknya tidak semua perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, itu dapat di temukan dalam anggara dasar atau lingkup usahanya. Namun seluruh perbuatan pembuat demi kepentingan korporasi

apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP justru tidak nyambung dengan rumusan pasal 51

dan ini dapat berbenturan dengan dengan apa yang diatur dalam pasal 38 ayat (2) RUU KUHP, di mana disyaratkannya bahwa vicarious liability hanya dapat diterapkan bila dinyatakan dalam undang-undang.

Sementara pertanggungjawaban pidana pengurus atas perbuatan korporasi tidak diatur dalam suatu pasal tertentu tetapi hanya dilandaskan pada suatu penjelasan pasal 51, yang bila kita cermati rumusan pasal 51 sesungguhnya hanya mengatur tanggung jawab pidana dari korporasi dan bukan mengenai tanggung jawab pidana pengurus.

Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam praktek ke depan, maka apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 51 RUU KUHP seyogyanya ditempatkan sebagai penjelasan pasal 49 RUU KUHP.

menambah rumusan pasal 51 menjadi

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersang kutan atau demi kepentingan korporasi (disesuaikan dengan pasal 49)

SUBSTANSI

161. Pasal 52 F-PDIP : TETAP

98

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Pembatasan ini maksudnya

bagaimana? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

161A SUBSTANSI BARU F-GERINDRA : Ada tambahan ayat (2). (2) Pertanggungjawaban pidana pemegang saham pengendali korporasi dibatasi sepanjang pemegang saham pengendali tersebut melakukan dan/atau terlibat dalam tindak pidana korporasi.

SUBSTANSI BARU

162. Pasal 53(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus

dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

SUBSTANSI

F-PDIP : Tidak perlu ada atau dihapuskan, Kaidah hukum Pasal 53 termasuk domain KUHAP , khususnya menyangkut tuntutan pidana dan putusan hakim.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Frasa “memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana” sebaiknya tidak menghapuskan pemidanaan terhadap korporasi. Hal ini penting sebagai bagian dari fungsi penegakan hukum yakni sebagai efek jera terhadap masyarakat di samping memberikan fungsi pembinaan.

Dalam hal adanya pertimbangan hukum lain berupa perlindungan terhadap korporasi karena korporasi telah memberikan perlindungan yang lebih berguna, tidak serta merta menghapuskan pemidanaan terhadap korporasi itu sendiri. SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

99

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

163. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.

SUBSTANSI

F-PDIP : DIHAPUSKAN SUBSTANSIF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

164. Pasal 54Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 54 tidak perlu ada, atau dihapuskan.

Kaidah hukum utama tentang Alasan pemaaf dan alasan pembenar sudah diatur pada RUU KUHP ini.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

165. BAB III PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

100

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP166. Bagian Kesatu

PemidanaanF-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

167. Paragraf 1Tujuan Pemidanaan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

168. Pasal 55(1) Pemidanaan bertujuan:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

101

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

169. a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

170. b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

171. c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

SUBSTANSI

F-PDIP : Menambahkan kalimat ”sebagai mekanisme pengendalian sosial yang bersifat”, setelah frasa ”tindak pidana” pada ayat 1 huruf c.

Tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP merupakan absorpsi dari pandangan utilitarian dari Herbert L. Paker yang melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, sebagai mekanisme pengendalian sosial yang bersifat memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

SUBSTANSI

102

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).Terkait hal tersebut, untuk mempertegas salah satu tujuan pemidanaan yaitu sebagai restitutio in integrum atau sebagai mekanisme pengendalian sosial yang bersifat memulihkan kembali tatanan masyarakat yang terganggu ke keadaan semula, maka perlu ditambahkan kalimat ”sebagai mekanisme pengendalian sosial yang bersifat”, setelah frasa ”tindak pidana” pada ayat 1 huruf c.F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Tetap. Kata “dan” di akhir kalimat dihapus, karena ada tambahan huruf setelah huruf d.

CATATAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

172. d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Perlu dimasukkan sebagai tambahan di Penjelasan huruf d:

Karena itu hukum nasional dan putusan hakim tidak boleh bertentangan dengan agama/kepercayaan, dan/ atau adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.

CATATAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAP

103

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

172A SUBSTANSI BARU F-GERINDRA : Ada tambahan huruf eF-NASDEM : Ada tambahan huruf eF-PAN : Ada tambahan huruf e

e. memberikan penjeraan agar tindak pidana tidak diulangi; dan

e. memberikan penjeraan terhadap terpidana; pemidanaan dilakukan agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya sehingga pemidanaan harus menjerakan terpidana

e. memberikan efek jera pada pembuat tindak pidana.

SUBSTANSI BARU

172B SUBSTANSI BARU F-GERINDRA : Ada tambahan huruf f

F-NASDEM :F-PAN :

f. memberikan rasa keadilan bagi korban.

f. memberikan rasa keadilan bagi korban; pemidanaan harus ditujukan untuk memberikan rasa keadilan bagi korban sebagai individu yang terlanggar haknya dari tindak pidana yang dialaminya.

SUBSTANSI BARU

172C SUBSTANSI BARU F-PAN : g. menimbulkan efek pencegahan tindak pidana. SUBSTANSI BARU

173. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Pasal ini bertentangan dengan hakikat hukum pidana. Salah satu fungsi hukum pidana adalah memberikan siksaan kepada pelakunya karena dia melakukan perbuatan yang dianggap cela atau melanggar hukum. Pemidanaan tersebut sehingga bermaksud memberikan efek jera, agar perbuatan pidana itu bisa diminimalisir.

Pemidanaan juga dimaksudkan untuk memberikan penderitaan bagi pelakunya, agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat maupun pelakunya sendiri. SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAP

104

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

174. Paragraf 2Pedoman Pemidanaan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

175. Pasal 56 (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

176. a. kesalahan pembuat tindak pidana; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

105

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

177. b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

178. c. sikap batin pembuat tindak pidana; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

179. d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

106

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP180. e. cara melakukan tindak pidana; F-PDIP : TETAP

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

181. f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

182. g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

107

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

183. h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

184. i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau ke-luarga korban;

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

185. j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Perlu dimasukkan keterangan dalam Penjelasan:Dalam hukum Islam, pemaafan dari keluarga korban pembunuhan secara sengaja mengubah pidana mati, menjadi pidana diyat (ganti kerugian). Denda ini bermanfaat untuk menolong kehidupan kelurga korban/ ahli waris korban.Artinya, hakim harus diberi kewenangan mengubah hukuman berupa pidana mati atau pidana penjara dengan pidana denda/ganti kerugian untuk korban/keluarga korban.

CATATAN

108

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Hal itu berbeda dengan ketentuan ayat (2) Pasal ini dan Penjelasannya (DIM No. 187) serta Pasal 59 (DIM No. 199 dst), yang memberi hak kepada hakim untuk memberi maaf (dalam arti: hakim tidak menjatuhkan hukuman pidana atau tindakan) hanya atas tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius).F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

186. k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Frasa “Pandangan Masyarakat” sepatutnya

dipertimbangkan untuk dicabut, karena mengandung unsur multitafsir dalam penerapannya. Hal ini berkaitan dengan kondisi masyarakat yang begitu majemuk sehingga menimbulkan pertanyaan masyarakat yang mana dan tidak menjamin kepastian hukum karena tidak ada dimensi yang dapat dijadikan ukuran.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

187. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAP

109

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

188. Pasal 57Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Perlu keterangan dalam Penjelasan tentang frasa “alasan peniadaan pidana”, yaitu “alasan pembenar” dan “alasan pemaaf”.

CATATAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP dengan catatan:

Perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai “sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut”.

Penjelasan mengenai “sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut” CATATAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

189. Paragraf 3Perubahan atau Penyesuaian Pidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAP

110

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-HANURA : TETAP190. Pasal 58

(1) Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR :Kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak diskriminatif. Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadap hal ini.Sebagai contoh, yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang di latar belakangi oleh pelaksanaan yang dipandang tidak adil khususnya terhadap narapidana korupsi. Dalam konteks inilah diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas “Perubahan atau Penyesuaian Pidana”, baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu, atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat.

perubahan rumusan menjadi

Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana, dan tujuan pemidanaan dengan tidak menciderai perasaan keadilan masyarakat.

SUBSTANSI

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Dalam hal putusan telah memiliki kekuatan

hukum tetap, sebaiknya tidak mengalami perubahan lagi, tanpa alasan apapun. Karena keputusan yang sudah tetap berlaku mengikat (binding). Hal ini demi menjaga kewibawaan dan martabat hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus untuk menjaga kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum itu sendiri.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Harus diatur lebih rinci agar nantinya tidak diskriminatif yang kemudian dapat

MINTA PENJELASAN

111

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

menciderai perasaan keadilan bagi korban ataupun masyarakat, serta membuka peluang obral perubahan putusan pidana.

Apa bedanya dengan remisi, grasi, asimilasi, pembebasan bersyarat, amnesty, abolisi?F-PPP : TETAPF-NASDEM : Tetap, dengan tambahan kalimat “dengan tidak menciderai perasaan keadilan masyarakat

Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan dengan tidak menciderai perasaan keadilan masyarakat.

SUBSTANSI

F-HANURA :Kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak diskriminatif. Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadap hal ini.

Sebagai contoh, yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang di latar belakangi oleh pelaksanaan yang dipandang tidak adil khususnya terhadap narapidana korupsi.

Dalam konteks inilah diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas “Perubahan atau Penyesuaian Pidana”, baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu, atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat.

perbaikan rumusan menjadi

Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana, dan tujuan pemidanaan dengan tidak menciderai perasaan keadilan masyarakat.

SUBSTANSI

191. (2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan

penambahan rumusanPerubahan atau penyesuaian sebagaimana

SUBSTANSI

112

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.

SUBSTANSI

petusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menhukham, eksekutif hanya sebagai eksekutor dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang telah ada.Oleh karena itu harus di perjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuain ini adalah pengadilan

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pengadilan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) SUBSTANSIF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Kalaupun ada perubahan atau penyesuaian putusan pidana atau tindakan harus dengan putusan hakim

(2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui putusan pengadilan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.

SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan putusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menkumham, eksekutif hanya berposisi sebagai pelaksana dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah system yang telah ada.

Harus diperjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuaian ini adalah pengadilan.

(2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pengadilan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas. SUBSTANSI

F-HANURA : Perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan petusan Judicial, bukan keputusan eksekutif lewat menhukham, eksekutif hanya berposisi sebagai pelaksana dari keputusan Hakim karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang telah ada.

Harus di perjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuain ini adalah pengadilan

penambahan rumusan

Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pengadilan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas

SUBSTANSI

192. F-PDIP : TETAP

113

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(3) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

193. (4) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

194. a. pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

195. b. penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

114

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

196. (5) Jika permohonan perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

197. (6) Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut patut untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Lihat penjelasan ayat (1) CATATANF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

197A SUBSTANSI BARU F-PDIP : Penambahan Ayat (7) ini dimaksudkan agar terhadap ketentuan aquo, tidak memberikan penafsiran dalam hal syarat

Pasal 58 Ayat (7): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur

SUBSTANSI BARU

115

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

dan tata cara perubahan atau penyesuaian putusan pidana dan tindakan yang dijatuhkan kepada terpidana.

kemudian dalam Peraturan Pemerintah.

198. Paragraf 4Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan

Tunggal dan Perumusan Alternatif

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Kata “Penjara” dihapus.Selain ancaman pidana penjara (Pasal 59), diatur juga piidana denda (Pasal 60).

Paragraf 4Pedoman Penerapan Pidana dengan Perumusan

Tunggal dan Perumusan AlternatifSUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Apakah perumusannya tepat? Bukankah ini bagian dari KUHAP?Kalaupun ada harusnya diletakkan pada Bagian ke-3 Pasal 114

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : paragraf ini tidak cocok di taruh bagian Kesatu, pertama karena melompati kronologi perumusannya, kedua karena dapat membingungkan.

paragraf ini sebaiknya di pindahkan di setelah bagian ketiga, setelah pasal 114 REDAKSIONAL

199. Pasal 59 (1) Jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya

diancam dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Ditambahkan frasa “pindana mati” dan frasa “pidana penjara” yang kedua diganti dengan “pidana tersebut”.

Lihat keterangan di DIM No. 185.

Pasal 59 (1) Jika seseorang melakukan tindak pidana

yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana tersebut setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

116

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

200. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

201. (3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak menurut Kategori V dan pidana denda paling sedikit menurut Kategori III.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

202. (4) Jika tujuan pemidanaan tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara maka untuk tindak pidana terhadap harta benda yang hanya diancam dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dalam masyarakat, dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Kategori V bersama-sama dengan pidana penjara.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAP

117

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

203. Pasal 60(1) Jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda

maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

204. (2) Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, dapat dijatuhi pidana penjarapaling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.

F-PDIP : Frasa “berulang kali” diganti dengan frasa “lebih dari sekali”.

Perubahan frasa mana dimaksudkan agar tidak memberikan interpretasi terhadap frasa “berulang kali”, mengingat frasa “berulang kali” dapat diinterpretasikan lebih dari sekali, lebih dari dua kali, lebih dari tiga kali dll, sehingga rumusan ayat aquo memenuhi asas lex certa (asas kejelasan rumusan).

Pasal 60 Ayat (2) menjadi berbunyi “Terhadap orang yang telah lebih dari sekali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda”.

REDAKSIONAL

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

205. Pasal 61 F-PDIP : TETAP

118

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

(1) Dalam hal suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan, jika hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Pasal 61 ayat (1) bersifat kontradiktif terhadap pemberian efek jera sebagai salah satu tujuan pemidanaan. Pemidanaan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok secara alternatif yang mengutamakan pidana pokok yang lebih ringan bisa menimbulkan kesan memberikan perlindungan terhadap pelaku pidana dari perbuatannya

Dalam hal suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif maka penjatuhan pidana pokok yang lebih berat harus lebih diutamakan, jika hal itu dipandang telah sesuai dengan fungsi hukum pidana sebagai pemberi efek jera sebagai salah satu tujuan pemidanaan

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

206. (2) Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.

F-PDIP : Menambahkan kalimat ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55”, setelah frasa ”tujuan pemidanaan”.

Penambahan kalimat ini dimaksudkan agar memberikan “guideline” bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana.

Pasal 61 Ayat (2) berbunyi, ”Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut”.

REDAKSIONAL

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

119

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

207. (3) Jika dalam menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama-sama dengan pidana pengawasan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

208. Paragraf 5Lain-lain Ketentuan Pemidanaan

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Harusnya diletakkan setelah

bagian ke3 Pasal 114 SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : paragraf ini tidak cocok di taruh bagian Kesatu, pertama karena melompati kronologi perumusan, kedua karena dapat membingungkan.

paragraf ini di pindahkan di setelah bagian ketiga, setelah pasal 114 SUBSTANSI

209. Pasal 62Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Frasa “dan pidana tutupan” dihapus.Pidana tutupan ditiadakan dari jenis pidana (pokok) karena sifatnya yang mengistimewakan narapidana politik.

Pasal 62Pidana penjara bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.

SUBSTANSI

120

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

210. Pasal 63(1) Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan

masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara untuk waktu tertentu atau dari pidana penjara pengganti denda.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah redaksinya. Pasal 63

(1) Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dihitung sebagai pengurang terhadap masa pidana penjara untuk waktu tertentu atau terhadap pidana penjara pengganti denda.

REDAKSIONAL

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

211. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi terpidana yang berada dalam tahanan untuk berbagai perbuatan dan dijatuhi pidana untuk perbuatan lain yang menyebabkan terpidana berada dalam tahanan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP

121

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

212. Pasal 64(1) Jika narapidana yang berada dalam lembaga

pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

213. (2) Jika terpidana yang berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah (2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud

ayat (1) tidak bisa diajukan oleh terpidana yang berada di luar lembaga pemasyarakatan.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

214. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

SUBSTANSI

F-PDIP : Menambahkan kalimat ”setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”, setelah frasa ”Presiden”.

Penambahan itu sejalan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah

Pasal 64 Ayat (3) berbunyi ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, menentukan lain”.

SUBSTANSI

122

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Agung”.F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Dihapus. Diganti dengan ayat baru.

(3) Narapidana yang berhak mengajukan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk narapidana korupsi dan narapidana pembuatan dan pengedaran narkotika.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Maksud Presiden menentukan

lain itu apa? MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

215. Pasal 65Jika narapidana melarikan diri maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pasal 65 tidak perlu ada, atau dihapuskan.

Untuk apa perlu aturan atau ketentuan hukum bagi hal yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sudah jelas bila narapidana melarikan diri, tentu masa pelariannya tidak akan diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

216. Bagian KeduaPidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

123

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : CatatanSeyogyanya masalah penetapan ‘Pidana’ termasuk jenis dan bentuk-bentuknya diselaraskan dengan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatarbelakangi disusunnya RUU KUHP, yang antara lain : ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang bersifat ‘pidana’ (straf / punishment) dengan jenis sanksi yang bersifat ‘tindakan’ (maatregel / punishment). Sebagai salah satu permasalahan dari 3 (tiga) permasalahan pokok dalam Ilmu Hukum Pidana, seharusnya Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana kita memperhatikan dan menerapkan konsep ‘double track system’ (sistem dua jalur) atau sistem dua sanksi, yakni hanya ada 2 (dua) jenis sanksi, pertama : Sanksi Pidana (punishment/straaf) dan kedua, jenis Sanksi Tindakan (treatment/maatregel). Seharusnya bentuk-bentuk dari jenis Sanksi Pidana Tambahan diintegrasikan menjadi jenis Sanksi Tindakan. Hal ini sangat penting terhadap konsistensi dan sistematisasi soal Sanksi dalam peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang sudah menganut konsep ‘double track system’.

CATATAN

217. Paragraf 1Jenis Pidana

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAP

124

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PPP : TETAP218. Pasal 66

(1) Pidana pokok terdiri atas:

SUBSTANSI

F-PDIP : Catatan:1. Pasal 66 tentang Pidana Pokok

mencantumkan hal baru sebagai pidana, yakni kerja sosial. Akan tetapi, pada praktek atau penerapannya kelak tentu bakal menimbulkan banyak kendala/masalah.

2. Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 RUU KUHP mengintrodusir jenis pemidanaan baru, seperti pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian, pemenuhan kewajiban adat, dan tindakan. Jenis pemidanaan baru ini perlu dijelaskan secara detail dan diantisipasi penerapannya kelak. Pencermatan ini juga penting dilakukan agar maksud dan tujuan semula dari pemberlakuan jenis pemidanaan baru itu tak terabaikan.

3. Akan halnya pidana denda, yang menggunakan enam kategori dalam RUU KUHP, juga harus mempertimbangkan perubahan nilai uang antara lain karena inflasi, jenis tindak pidana ataupun akibat dari tindak pidana yang dilakukan pelaku. Dan untuk jenis pemidanaan yang bukan pidana penjara, seharusnya tidak dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana yang benar-benar membahayakan masyarakat, ataupun terhadap pelaku kejahatan kerah putih atau orang berdasi (white collar crime), atau kejahatan yang menimbulkan kerugian sangat besar.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS :FPKS berpandangan hukuman mati tetap sebagai SUBSTANSI

125

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

hukuman pokok. Kemudian juga perlu dipertimbangkan mengenai urutan jenis pidana pokok, mulai dari yang ringan sampai yang ke berat, agar terlihat politik hukum pidana bukan semata-mata untuk pembalasan.a. pidana kerja sosialb. pidana dendac. pidana pengawasand. pidana tutupane. pidana penjaraf. pidana matiF-PPP : PERUBAHAN DALAM BENTUK

PENAMBAHAN

Meskipun pidana mati dalam Pasal 67 dinyatakan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus, namun karena pidana mati diakui sebgai pidana pokok, maka seharusnya tetap dicantumkan dalam Pasal 66 ini

SUBSTANSI

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

219. a. pidana penjara;

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Ada tambahan huruf (a) dan huruf a awal menjadi huruf b.Pidana mati perlu disebut sebagai bentuk pidana pokok, sebelum ia dijelaskan sifat khususnya dalam Pasal 67 (DIM No. 225).

a. pidana mati;b. pidana penjara;

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Urutan sebagaimana diatas REDAKSIONALF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

220. b. pidana tutupan; F-PDIP : Dihapuskan. Jenis pidana tutupan pernah diterapkan pada SUBSTANSI

126

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

SUBSTANSI

tahun 1946. Ketika itu, Mohammad Yamin dan kawan-kawan dituduh mengatur penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Mereka dikenakan pidana tutupan, karena adanya perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pejuang kemerdekaan tahun 1945.

Kini, tentu pidana tutupan tidak relevan lagi. Apalagi sekarang berlaku sistem pemasyarakatan, bukan sistem penjara.

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Urutan sebagaimana di atas,Perlu dijelaskan apa itu pidana tutupan? Dan masih relevankah diberlakukan?

MINTA PENJELASAN DAN REDAKSIONAL

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

221. c. pidana pengawasan;

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Urutan sebagaimana di atas,Perlu dijelaskan apa itu pidana pengawasan?

MINTA PENJELASAN DAN REDAKSIONAL

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

222. d. pidana denda; dan F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAP

127

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Urutan sebagaimana diatas REDAKSIONALF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

223. e. pidana kerja sosial. F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Urutan sebagaimana diatas REDAKSIONALF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

224. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

225. Pasal 67Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

F-PDIP : Catatan:

Pasal 67 yang masih mencantumkan pidana mati

SUBSTANSI

128

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

SUBSTANSI

sangat perlu dicermati secara kritis.

Sebab:1. Apa yang dimaksud dengan frasa “bersifat

khusus”? Ini bisa menimbulkan beragam interpretasi. Karena tidak menegaskan kekhususan jenis tindak pidana seperti apa yang harus mendapatkan pidana mati. Ini tentu bisa berpotensi melanggar asas lex certa (asas kejelasan rumusan).

2. Pidana (hukuman) mati menjadi paradoksal dengan tujuan pemidanaan, sebagaimana diatur pada Pasal 55.

3. Pidana mati melanggar hak hidup sebagai non derogable rights, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945, Pasal 3 dan Pasal 5 DUHAM, dan Pasal 6 International Covenant Civil dan Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Pasal 28I ayat 1 UUD 1945:“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Pasal 3 dan Pasal 5 DUHAMPasal 3

“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu”

Pasal 5“Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina”

129

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Pasal 6 ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 20051. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup

yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.

3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami, bahwa tidak satupun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.

4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.

5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia 18 tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Tidak satupun dalam

130

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dlaam Kovenan ini.

6. Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.

Bila pidana mati tetap “dipaksakan” untuk diberlakukan dan dicantumkan pada RUU KUHP, seyogyanya rumusan Pasal 67 direvisi menjadi sebagai berikut :1. “Pidana mati merupakan pidana pokok

terberat dan terakhir yang dijatuhkan terhadap tindak pidana paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat terjadinya tindak pidana dan selalu diancamkan secara alternatif”

2. “Penjatuhan pidana mati harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan memperhatikan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56”

F-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Frasa selalu “diancamkan secara alternatif” ini

patut dinilai bertentangan dengan rasa keadilan dan kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Selain itu, tujuan hukum untuk efek jera khususnya terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dapat tidak tercapai bila pidana mati dilaksanakan secara alternatif. Melihat kondisi kejahatan luar biasa yang terus mengalami peningkatan, sepatutnya pidana mati bisa dilaksanakan lebih tegas, tanpa ampun.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAP

131

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PKS :Pendalaman seharusnya tetap dimasukkan dalam Pasal 66, dan perlu diperdalam mengapa harus selalu diancamkan secara alternatif?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

226. Pasal 68(1) Pidana tambahan terdiri atas:

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Pidana tambahan ini harus secara jelas disebutkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempergunakannya dengan baik dan tidak sembarangan.

CATATAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM :Penjelasan pasal yang menyatakan bahwa Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana. Kurang cukup mengakomodir pemberian pidana tambahan.

Tidak sesuai dengan rumusan Pasal 68 ayat (2) R KUHP, pembatasan pidana tambahan harus dihilangkan dalam R KUHP dengan membuka peluang yang lebih luas, sehingga hakim dapat menggunakan pidana tambahan bagi kepentingan tujuan pemidanaan.Jika tidak maka sangat sedikit pidana tambahan

CATATAN

132

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

yang dapat diberlakukan oleh Hakim.F-HANURA :penjelasan pasal yang menyatakan bahwa Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana kurang cukup mengakomodir pemberian pidana tambahan. tidak sesuai dengan rumusan pasal 68 ayat (2) R KUHP

pembatasan pidana tambahan harus di hilangkan dalam R KUHP dengan membuka peluang yang lebih luas, sehingga hakim dapat menggunakan pidana tambahan bagi kepentingan tujuan pemidanaan

jika tidak maka sangat sedikit pidana tambahan yang dapat diberlakukan oleh Hakim

rumusan penjelasan ayat (1)

Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana

di hilangkan

SUBSTANSI

227. a. pencabutan hak tertentu;

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Perlu dielaborasi pencabutan

hak tertentu itu apa saja. MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

228. b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAP

133

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

229. c. pengumuman putusan hakim;

MINTA PENJELASAN

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Yang dimaksud disini apa?

Apakah pengumuman di media atau bagaimana?

MINTA PENJELASAN

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

230. d. pembayaran ganti kerugian; dan

SUBSTANSI

F-PDIP :Menambahkan kalimat “dan masih berlaku dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa” setelah frasa “hidup”. diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”

Penambahan kalimat dimaksud dengan mengingat bahwa pada beberapa daerah/ masyarakat hukum adat yang memiliki hukum adat/ hukum yang hidup dalam masyarakat, tapi sebagian atau diantaranya sudah tidak berlaku lagi atau masyarakat adatnya telah meninggalkan hukum adat dimaksud. Selain itu, hampir sebagian besar hukum adat adalah hukum yang

Dengan demikian Pasal 68 Ayat (1) Huruf e. menjadi berbunyi “pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dan masih berlaku dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang

SUBSTANSI

134

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

tidak tertulis, bersifat patriarki, dan permisif pada kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena itu, perlu penegasan frasa agar tidak menimbulkan beragam interpretasi.

Penambahan kalimat aquo juga sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 RUU KUHP yang membatasi secara limitatif terhadap hukum yang hidup di masyarakat dengan 3 kriteria yaitu : sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

F-GOLKAR :Rumusan sudah cukup mengakomodir, namun khusus untuk pidana tambahan pembayaran ganti kerugian harus dimasukkan dalam rumusan tindak pidana, maka Harus ada rumusan yang menyatakan bahwa dalam setiap kasus pidana maka hakim harus mempertimbangkan pemberian ganti rugi sebagai pidana tambahan dan Jaksa sedapat mungkin menuntut pidana ganti rugi, demi keadilan bagi korban tindak pidana.Prinsipnya pemberian pidana ganti kerugian yang akan di berikan kepada korban tindak pidana harus diperluas dalam RKUHP

Penambahan dalam rumusan penjelasan:

“Dalam setiap kasus pidana maka hakim sedapat mungkin untuk mempertimbangkan pemberian ganti rugi sebagai pidana tambahan dan Jaksa sedapat mungkin menuntut pidana ganti rugi, demi keadilan bagi korban tindak pidana” CATATAN

F-GERINDRA : Dalam Penjelasan perlu ditambahkan:Ganti kerugian yang dimaksud termasuk restitusi, sebagaimana dimuat dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

CATATAN

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAP, dengan tambahan pada Penambahan dalam rumusan penjelasan: CATATAN

135

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

Penjelasan atas Pasal ini“Dalam setiap kasus pidana maka hakim berkewajiban mempertimbangkan pemberian ganti rugi sebagai pidana tambahan dan Jaksa sedapat mungkin menuntut pidana ganti rugi dalam hal terdapat tuntutan dari korban atau keluarganya”

F-NASDEM : TETAPF-HANURA : Jika pidana tambahan pembayaran ganti kerugian harus dimasukkan dalam rumusan tindak pidana, maka akan sangat terbatas pemberian pidana ganti kerugian yang akan di berikan kepada korban tindak pidana

SUSBTANSI

231. e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebaiknya tidak di masukkan dalam pidana tambahan

Dihilangkan

SUBSTANSI

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : DICABUT Frasa “Pemenuhan kewajiban adat setempat

atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” tidak perlu diatur di dalam Undang-Undang ini. Hal ini karena dimensi kewajiban adat yang merupakan bagian dari hukum adat perlu dikodivikasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk undang-undang atau secara tegas diatur di dalam Undang-Undang ini. Atas alasan itu, ketentuan Pasal ini dalam draft RUU KUHP sebaiknya dicabut.

SUBSTANSI

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : Hanya harus ditegaskan dalam putusan hakim.Inkonsistensi istilah

pemenuhan kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. SUBSTANSI

F-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : Pemenuhan kewajiban adat SUBSTANSI

136

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebaiknya tidak di masukkan dalam pidana tambahan

232. (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : Tidak dengan pejelasan pasal 68 ayat (1)

penjelasan pasal 68 ayat (1) di perbaiki sesuai rekomendasi di atas point 226 REDAKSIONAL

233. (3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

SUBSTANSI

F-PDIP : Pada Pasal 68 Ayat (3), ditambahkan kalimat “dan masih berlaku dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa” setelah frasa “hidup”.

Keterangan atau alasan, sebagaimana keterangan pada Pasal 68 Ayat (1) e.

Pasal 68 Ayat (3) menjadi berbunyi “Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dan masih berlaku dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana”.

SUBSTANSI

F-GOLKAR : Rumusan “berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” sebaiknya di hilangkan dan Rumusan Mengenai “pencabutan hak yang diperoleh korporasi” di pindahkan ke bagian korporasi

Rumusan dalam ayat (3) di hilangkan, dan sebagain di masukkan ke bagian pidana korporasi SUBSTANSI

F-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : Pidana tambahan atau pencabutan hak yang

diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

SUBSTANSI

137

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

F-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

234. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : TETAPF-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

235. (5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Dihapus Ayat ini secara implisit menegaskan rezim

hukum militer dalam tindak pidana sipil berbeda dengan KUHP sipil, dan karena itu bertentangan dengan perkembangan hukum internasional yang menghendaki militer yang melakukan tindak pidana sipil diadili di dalam pengadilan sipil.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

138

NODIM NASKAH RUU USUL PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN KETERANGAN

236. Pasal 69Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur tersendiri dengan Undang-Undang.

SUBSTANSI

F-PDIP : TETAPF-GOLKAR : TETAPF-GERINDRA : Diubah. Frasa “Undang-Undang” diganti dengan “Peraturan Perundang-undangan”. Dan ditambahkan batasan waktu legislasi UU tersendiri yang dimaksud.Apa konsekuensinya apabila UU tersendiri yang dimaksud belum ada?

Pasal 69Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur tersendiri dengan Peraturan Perundang-undangan yang paling lambat terbit dalam waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini disahkan.

SUBSTANSI

F-DEMOKRAT : TETAPF-PAN : TETAPF-PKB : TETAPF-PKS : TETAPF-PPP : TETAPF-NASDEM : TETAPF-HANURA : TETAP

139