irenneagustina.files.wordpress.com · web viewbahan makanan mudah terkontaminasi oleh kapang atau...
TRANSCRIPT
MAKALAH TOKSIKOLOGI
“AFLATOKSIN”
KELOMPOK 4
Rezky Bela Putri N. (G1F014007)
Zidna Akmala D. (G1F014019)
Eling Bunga Nurani (G1F014031)
Dendy Arikasandi (G1F014047)
Rizki Amalia Husada (G1F014059)
Irenne Agustina Tanto (G1F014071)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan makanan mudah terkontaminasi oleh kapang atau cendawan.
Jenis bahan makanan utama yang dapat terkontaminasi oleh kapang adalah
biji-bijian, padi-padian, dan kacang-kacangan, yang salah satunya adalah
kacang tanah dan hasil olahannya. Salah satu jenis racun yang dihasilkan oleh
kapang pada makanan adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah senyawa racun
yang dihasilkan oleh metabolit sekunder kapang Aspergillus flavus dan A.
parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan
yang mengalami proses pelapukan, antara lain jagung. Kerusakkan akibat
kontaminasi kapang sangat beragam. Kerusakkan meliputi kerusakkan fisik:
perubahan warna, bau, perubahan tekstur, dan kerusakkan kimiawi:
perubahan nilai nutrisi, sehingga berakibat pada kesehatan konsumen manusia
maupun hewan (Diener dan Davis, 1969).
Jagung yang baru dipanen memiliki kadar air yang tinggi, jagung
dengan kadar air tinggi cocok sebagai substrat untuk pertumbuhan Aflatoksin.
Aflatoksin yang paling mendominasi untuk tumbuh subur pada jagung adalah
Aspergillus flavus. Pertumbuhan dan perkembangan Aspergillus flavus pada
substrat jagung sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan substrat tersebut.
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus flavus
diantaranya adalah suhu, kelembapan, pH, aktivitas air, keadaan udara, dan
curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu hanya bisa ditemui di negara
tropis seperti Indonesia. Apabila kondisi tersebut optimal maka pertumbuhan
Aspergillus flavus akan mencapai pertumbuhan yang optimal pula. Adanya
kontaminasi aflatoksin yang melebihi ambang batas maksimal yang
dipersyaratkan dunia perdagangan menyebabkan jagung menjadi tidak laku
untuk diperdagangkan. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan
pentingnya mutu dan keamanan pangan termasuk pangan dari jagung. Oleh
Page | 1
karena itu mutu dan keamanan jagung harus dijaga, termasuk dijaga dari
kontaminan Aspergillus flavus yang dapat menghasilkan aflatoksin pada
jagung. Senyawa aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu B1, B2, G1, dan
G2, namun yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang sangat
tinggi serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (Diener dan Davis 1969).
Kualitas jagung untuk pakan ternak antara lain ditentukan oleh ada
atau tidaknya cemaran aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin
yang tinggi pada jagung sebagai bahan dasar pakan ternak akan menyebabkan
kontaminasi aflatoksin yang tinggi pula pada pakan jadinya, karena sekitar
50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung sebagai sumber
karbohidrat. Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak
unggas (ayam, itik), maka residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk
ternaknya seperti telur, daging dan hati. Kandungan aflatoksin pada produk
ternak akhirnya akan mempengaruhi kesehatan konsumen yang
mengkonsumsinya (Budiarso, 1995).
Aflatoksin memiliki sifat karsinogenik bagi manusia maupun hewan,
dan pada akhir-akhir ini menjadi isu sentral bagi keamanan pangan pada
dunia industri kacang tanah (Wright, 2001). Di Amerika Serikat cemaran
aflatoksin pada produk biji-bijian, terutama kacang tanah, jagung, biji kapas,
dan ‘mustard’ telah menjadi salah satu kriteria apakah produk tersebut layak
dikonsumsi dan dijual atau tidak, baik sebagai bahan makanan ataupun
sebagai pakan ternak. Di Indonesia, cemaran aflatoksin belum secara spesifik
disebutkan sebagai salah satu kriteria dalam keamanan pangan, namun baru
disebutkan tentang batas cemaran untuk kacang secara umum, yakni
sebanyak 104 cfu/gr kacang olahannya (Dirjen POM, 1989).
Page | 2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah aflatoksin?
2. Bagaimana asas umum aflatoksin?
3. Bagaimana keadaan aflatoksin pada pangan dan ternak?
4. Bagaimana sifat dan karakteristik aflatoksin?
5. Apakah efek aflatoksin?
6. Bagaimana mendiagnosis aflatoksin?
7. Bagaimana upaya pencegahan aflatoksin?
8. Bagaimana langkah penanganan aflatoksin?
C. Tujuan
Mengetahui asas umum Aflatoksin dan dapat mendiagnosis,
mencegah, dan menangani bahaya dari Aflatoksin tersebut.
Page | 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aflaktoksin
Di Amerika Serikat banyak dijumpai ikan air tawar yang baru menetas
terserang kanker hati. Biang keladinya ternyata juga akibat kontaminasi
aflatoksin pada tepung biji kapas yang digunakan sebagai pakan ikan. Akibat
keracunan zat ini dapat menimbulkan kerusakan organ hati, menurunkan
produksi susu dan telur, dan juga dapat menurunkan ketahanan ternak
terhadap penyakit ( Tabbu,2002).
Di Uganda, pada tahun 1970, anak-anak berumur 15 tahun meninggal
akibat pembengkakan hati yang merupakan gejala aflatoksikosis. Setelah
diteliti, bahan makanan yang terbuat dari ketela terkontaminasi 1,7 mg
aflatoksin/kg. Di India, penyebab sirosis hati (gejala kanker hati) yang
menyerang anak-anak diperkirakan karena jamur A. flavus. Demikian juga di
Thailand dan Filipina, ada hubungan antara frekuensi kanker hati dengan
kandungan A. flavus pada makanan. Oleh karena itu, tahun 1988 IARC
(International Agency for Research on Cancer) memasukkan aflatoksin B1 ke
dalam daftar zat karsinogen pada manusia (Fadilah dan Polana ,2004).
B. Asas Umum Aflatoksin
Nama Senyawa : Aflatoksin
Sasaran : DNA
Jenis : Metabolit
Wujud Efek Toksik : Perubahan Struktural, Aflatoksin dapat
menyebabkan nekrosis hati
Sifat efek toksik : Tak Terbalikkan
Page | 4
Struktur :
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mitoksin,
toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsingenik
bagi manusia dan hewan (Cooper, 2000).
Mekanisme :
(Wu,2010)
Aflatoksin B1 pada tanaman Aspergillus flavus kacang-kacangan
yang mengalami epoksidasi akan menjadi metabolit epoksida. Metabolit
ini yang akan berikatan secara kovalen dengan DNA di dalam hati
sehingga mengakibatkan hepatokarsinogenik, selain itu juga dapat
menghambat metabolisme karbohidrat dan lipid, dan menghambat sintesis
protein (Cooper,2000).
Page | 5
Kondisi Aflatoksin :
Aflatoksin bersifat toksik dan di antara zat yang paling karsinogen
tinggi. Setelah memasuki tubuh, aflatoksin dapat dimetabolisme oleh hati
ke epoksida reaktif intermediate atau dihidroksilasi dan menjadi terlalu
berbahaya aflatoxin M1. Kontaminasi aflatoksin dalam bahan makanan
maupun pakan ternak lebih sering terjadi di daerah beriklim tropik dan sub
tropik karena suhu dan kelembabannya sesuai untuk pertumbuhan jamur.
Kondisi pertumbuhan jamur dan produksi Aflatoksin adalah : iklim yang
lembab, suhu, karakteristik substrat yang disukai, dan faktor yang
mengurangi imunitas tanaman induk (kerusakan oleh serangga,
pemupukan yang buruk dan kekeringan) (Lanyasunya et al., 2005)
Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan memproduksi
aflatoksin yaitu : nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70%
dan suhu (T)= 24 – 32,2° C. Selain itu kapang akan berkembang biak pada
kondisi lingkungan yang tidak higienis, misalnya banyak tikus, serangga
gudang, burung dan lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang
sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang
terserang penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi
perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat pertumbuhan komoditi
di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang (Rasyid,2006).
Efek Samping : Nekrosis akut, sirosis, Karsinoma, Edema,
Kerusakan hati akut (Cooper,2000).
C. Keberadaan Aflatoksis Di Pangan Dan Ternak
Aflatoksin merupakan nama sekelompok senyawa yang termasuk
mikotoksin, bersifat sangat toksik. Kontaminasi aflatoksin dalam bahan
makanan maupun pakan ternak lebih sering terjadi di daerah beriklim tropik
dan sub tropik karena suhu dan kelembabannya sesuai untuk pertumbuhan
jamur (Lanyasunya et al., 2005). Menurut Internasional Agency for Research
Page | 6
on Cancer (IARC, 1988 dalam Suryadi et al., 2005), aflatoksin B1 merupakan
salah satu senyawa yang mampu menjadi penyebab terjadinya kanker pada
manusia. Aflatoksin berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan
bersifat imunosupresif (Lanyasunya et al., 2005).
Salah satu produk kacang adalah kacang garing, yang diproses dengan
dioven. Ditinjau dari proses pengolahannya, kacang garing (yang masih
berupa kacang utuh, kacang polong) aman dari cemaran aflatoksin. Kacang
segar setelah dipanen langsung dibawa ke pabrik pengolah kacang dalam
waktu kurang dari dua hari. Kacang segera diproses melalui beberapa
tahapan, yaitu pertama kali dilakukan pencucian untuk menghilangkan tanah
yang masih banyak menempel pada kulit, dilanjutkan dengan blanching
(perebusan) untuk inaktivasi enzim-enzim serta membunuh mikroorganisme
termasuk spora-spora jamur. Proses berikutnya adalah pengeringan untuk
menurunkan kadar air sampai dengan 7%. Kacang berkulit dengan kadar air
7% dengan penyimpanan yang baik, praktis akan terhindar dari serangan
jamur, termasuk jamur penghasil aflatoksin. Berdasarkan pengalaman salah
satu pabrik pengolah kacang terbesar di Indonesia, kacang berkulit dengan
kadar air rendah ini apabila disimpan dalam cool storage (sekitar 10°C), dapat
bertahan sampai dengan satu tahun, namun apabila pada suhu ruang hanya
mampu bertahan sampai dengan 3 bulan. Kacang garing yang dihasilkan
dengan meng-oven kacang sampai dengan kadar air mencapai 1%, jarang
menghadapi problem terkait dengan cemaran aflatoksin. Kacang yang kadar
airnya dikendalikan tetap rendah, terhindar dari pertumbuhan jamur
Aspergillus flavus maupun A. parasiticus penghasil aflatoksin
(Anonim,2011).
Produk pangan lainnya yang berbasis kacang yaitu kacang atom dan
sejenisnya, bumbu pecel, enting-enting gepuk, dan lain sebagainya yang
menggunakan kacang ose (kacang yang telah dikupas kulitnya) sebagai bahan
dasar. Di level petani dan pengepul, dengan fasilitas pengering yang masih
sangat terbatas, menyebabkan cemaran aflatoksin berdasarkan survei yang
Page | 7
dilakukan ternyata masih cukup tinggi. Cemaran ini ternyata juga muncul
pada produk pangan berbasis kacang seperti pada bumbu pecel, enting-enting
gepuk, dan lain sebagainya (Anonim,2011).
Ciri-ciri kacang tanah yang baik dan rendah aflatoksin, dicirikan
dengan biji kering, mengkilat dan utuh. Adapun tanda-tanda biji yang diduga
tercemar dengan aflatoksin, ciri-cirinya adalah sebagai berikut: telah
mengalami kerusakan fisik, biji terbelah, kulit ari mengelupas, warna biji
kusam. Muncul pertumbuhan jamur di permukaan kacang, menyebabkan
kacang memiliki warna yang sesuai dengan spora jamur yang dihasilkan,
hijau, hitam, coklat (Anonim,2011).
Aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat
peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi
produksi telur, menurunkan imun respon (daya kekebalan tubuh ternak),
jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu,
Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada produk ternak,
yang akan berbahaya bagi manusia. Dampak terhadap manusia jika terpapar
oleh aflatoksin secara terus menerus dalam jumlah kecil dapat menyebabkan
kerusakan organ hati. Efek kronis lainnya, menurunkan respon kekebalan,
mudah terkena infeksi, sirosis hati, kanker hati (Rasyid,2006).
D. Sifat dan Karakteristik Aflatoksin
Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai
kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi
kimiawinya dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus.
Page | 8
Dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2 (Lewis L,
2005).
Jenis aflatoksin dan spesies penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1.
Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya
adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International Agency for
Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen
(menyebabkan kanker) pada manusia. Batas maksimum kandungan aflatoksin
B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah
masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan Kepala Badan POM RI No.
HK.00.05.1.1405, tahun 2004).
Spesies Jenis aflatoksin Ditemukan pada
Aspergillus flavus
Aspergillus nomius
B1, B2. Kacang tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
Aspergillus parasiticus B1, B2, G1, G2
M1, M2 (metabolit aflatoksin)
Susu
Tabel 1. Jenis kapang dan jenis aflatoksin yang dihasilkan
Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke
Page | 9
dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan
dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2,
yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.
Aflatoksin Rumus molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)
B1 C17H12O6 312 268-269
B2 C17H14O6 314 286-289
G1 C17H12O7 328 244-246
G2 C17H14O7 330 237-240
M1 C17H12O7 328 299
M2 C17H14O7 330 293
B2A C17H14O7 330 240
G2A C17H14O8 346 190
Tabel 2. Karakteristik Aflatoksin
Nama-nama ini diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang
ditimbulkan pada medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet,seperti biru
(blue atau B), atau hijau (green atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan
analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1. Diantara keempat isomer yang
ditemukan,aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling toksik dan paling
karsinogenik. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan
karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi AFB1 (Lewis L, 2005).
AFB1 merupakan karsinogen yang potenpada binatang, sehingga
timbul perhatian terhadap paparan aflatoksin konsentrasi rendah dalam jangka
panjang pada manusia. Tahun 1988, International Agency for Research on
Cancer (IARC) memasukkan AFB1 dalam golongan karsinogen pada
manusia. Hal ini didukung oleh sejumlah studi epidemiologi yang dilakukan
di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara konsumsi
aflatoksin dan karsinoma sel hati. Sebagai tambahan, penyakit-penyakit pada
manusia yang berkaitan dengan paparan aflatoksin juga dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan infeksi
bersamaan dengan agent penyebab lain seperti hepatitis virus (Anonim,2004).
Page | 10
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air,
tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang
dan memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ;
kelembaban (RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk
pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk
pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan
maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar
air, nutrien dan lain-lain (Lewis L, 2005).
E. Efek Aflatoksin
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik,
karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin
mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas
akut terhadap manusia. Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam
jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada
dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering
terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai
dengan dosis paparan (Rasyid A,2006).
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan makanan
yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang terserang
adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan
timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi
aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Efek yang Ditimbulkan
20 Level maksimal yang diijinkan untuk
manusia
50 Level maksimal yang diijinkan untuk hewan
100 Pertumbuhan lambat pada usia muda
Page | 11
200 – 400 Pertumbuhan lambat pada usia tua
>400 Kerusakan hati dan kanker
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam
jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati, organ tubuh yang sangat
penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Data dari
berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati
tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C.
Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu mutasi P53
gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul dugaan
bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa karsinogen
termasuk Aflatoksin B1 (Rasyid A,2006).
1. Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
- Kanker hati
Hasil studi eksperimental pada hewan menunjukkan AFB1
merupakan karsinogen hati yang poten. Pemberian AFB1 melalui
berbagai cara pemberian dapat menyebabkan kanker hati pada mencit,
tikus, ikan, marmot dan monyet. Jenis kanker yang dapat disebabkan
oleh AFB1 antara lain hepatoselular karsinoma, kanker colon dan
ginjal (tikus), cholangiocellular carcinoma (hemster), adenoma paru
(mencit), osteogenic sarcoma, adenocarcinoma kandung empedu dan
karsinoma pankreas (monyet). Aflatoksin pada manusia terutama
dikenal sebagai agent yang dapat menyebabkan kanker hati, walaupun
kanker paru ternyata merupakan risiko yang juga dapat ditemui pada
pekerja yang menangani padi-padi yang terkontaminasi (Galvano
F,2001).
Page | 12
- Supresi imunologis
Efek supresi sistem imun oleh aflatoksis kebanyakan
didapatkan dari penelitian yang dilakukan di peternakan atau
menggunakan hewan coba yang terpapar kronis dengan aflatoksin
pada kadar yang cukup tinggi untuk menimbulkan gejala seperti
aflatoksikosis akut. Paparan pada manusia lebih bervariasi oleh karena
tingginya distribusi variasi kontaminan yang terdapat dalam makanan.
In vitro, aflatoksin menghambat fungsi fagosit sel monosit darah
perifer manusia. AFB1 pada konsentrasi ≥ 100 pg/ml bersifat
sitotoksik terhadap monosit, dan pada konsentrasi 0,5 – 1 pg/ml
menghambat aktivitas fagosit monosit dan intracellular killing dari
Candida albicans. Efek imunosupresi aflatoksin dapat dipindahkan
dari plasenta dan mengenai fetus. Titer dari vaksinasi juga dapat
dipengaruhi oleh paparan aflatoksin. Aflatoksin secara bermakna
mengurangi respon antibodi terhadap vaksinasi. Pada penelitian yang
dilakukan terhadap anak-anak di Gambia didapatkan fakta kadar
sekretoris imunoglubulin A (Ig A) lebih rendah pada anak yang
terpapar oleh aflatoksin. Efek toksisitas akut, efek karsinogenik, dan
juga respon imun, secara variatif dijumpai pada perbedaan spesies
(Turner PC, 2003).
- Gangguan nutrisi
Aflatoksikosis yang terjadi pada anak ternyata menyebabkan
malnutrisi protein berat (kwashiokor). Pernyataan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan pada anak-anak berusia <5 tahun di Benin
dan Togo dimana semua anggota populasi penelitian terpapar oleh
aflatoksin (aflatoksin-albumin antara 5– 1064 pg/mg albumin pada
99% anak) menunjukkan dose-response relation antara paparan
aflatoksin dan derajat stunting dan underweight. Terhadap sintesis
protein aflatoksin dikatakan merupakan faktor yang memodulasi
kecepatan penyembuhan dari kwashiorkor, walaupun aflatoksin
Page | 13
sendiri tidak berperanan pada terjadinya hambatan pertumbuhan yang
biasanya menyertai kondisi di atas (Gong YY dkk, 2002).
- Paparan akut
Keracunan akut aflatoksin pada manusia relatif jarang
dijumpai dan kontaminasi yang terjadi kebanyakan tidak cukup serius.
Keracunan akut di mana 25% di antaranya menyebabkan kematian,
terjadi sebagai akibat paparan aflatoksin konsentrasi tinggi
(Lewis,2005). Laporan kematian karena keracunan tersebut biasanya
datang dari negara-negara berkembang yang berada dalam zona atau
daerah berisiko. Jumlah kasus keracunan akut tidaklah besar bila
dibandingkan dengan jumlah populasi yang mengalami risiko, ini
mungkin disebabkan karena penduduk yang bersangkutan umumnya
menghindari makanan yang jelas-jelas berjamur, dan juga karena
manusia adalah spesies yang cukup toleran terhadap aflatoksin.
Namun, pada kondisi kekurangan pangan atau pada keadaan
kemiskinan, orang biasanya tidak mempunyai pilihan selain
menggunakan bahan makanan dengan harga murah tapi dengan
kualitas yang buruk yang biasanya terkontaminasi oleh aflatoksin.
Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat mengabsorbsi
aflatoksin segera setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan
sistem peredaran darah membawa aflatoksin tersebut ke dalam hati.
Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi itu akan terikat secara
iriversibel pada protein dan basa-DNA untuk membentuk ikatan
seperti misalnya aflatoksin B1-lysine di albumin. Disrupsi protein dan
basa-DNA di dalam sel hepatosit menyebabkan toksisitas hepar.
Manifestasi dini dari hepatotoksisitasberupa anoreksia, malaise, dan
demam (lowgrade). Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi hepatitis
akut yang bersifat letal dengan gejala-gejala seperti muntah, nyeri
perut, hepatitis dan kematian (Azziz-Baumgartner dkk, 2005).
Page | 14
- Paparan kronis
Paparan kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor
risiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan
karsinoma hepatoselular terutama di negara di mana infeksi hepatitis
virus B merupakan penyakit yang endemik. Menurut Azziz-
Baumgartner et al, orang-orang yang mengalami paparan secara
kronis terhadap aflatoksin pada kadar yang tinggi memiliki risiko
untuk menderita karsinoma hepatoseluler tiga kali lebih besar dari
pada mereka yang tidak mengalami paparan tersebut, dan angka
kematian karena aflatoksikosis pada laki-laki lebih besar
dibandingkan wanita. Paparan kronis aflatoksin dalam dosis rendah
dapat meningkatkan risiko terhadap karsinoma hepatoseluler,
sedangkan kelainan hepar yang akut dan berat dengan angka
mortalitas yang besar dijumpai pada pada paparan aflatoksin dosis
tinggi. Asupan aflatoksin dalam dosis 2-6 mg/hari selama satu bulan
dapat menyebabkan hepatitis akut dan kematian (Krishnamachari KA,
1975).
2. Aflaktoksikosis
Aflatoksikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
aflatoksin. Aflatoksikosis yang terjadi pada manusia dapat disebabkan
karena mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung aflatoksin
diantaranya yaitu biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio,
atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta
kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung).
Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak
yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut serta produk
olahannya seperti keju, yoghurt dan mentega. Selain itu, aflatoksikosis
juga terjadi jika memakan daging, hati dan telur ternak yang memakan
pakan yang mengandung aflatoksin serta udang yang mengandung
aflatoksin. AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi diantara
Page | 15
keempat jenis aflatoksin (AFB1, AFB2, AFG1, AFG2) karena bersifat
karsinogenik, hepatatoksik, mutagenik, tremogenik dan sitotoksik. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan aflatoksin sebagai karsinogenik
gol 1A. Selain bersifat hepatotoksik dan mutagenik, aflatoksin juga
bersifat immunosupresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Efeknya bersifat kumulatif sehingga tidak dapat dirasakan dalam waktu
singkat. Selain itu, kontaminasi pada makanan tidak mudah terdeteksi
kecuali dengan melakukan analisa laboratorium. Toksisitas dari
mikotoksin (aflatoksin) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi;
2) rute pemaparan;
3) lamanya pemaparan;
4) spesies;
5) umur;
6) jenis kelamin;
7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan
8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan
terdapat pada tumbuhan/bahan pangan (Fadhilah,2015).
Aflatoksikosis akut relatif jarang terjadi. Aflatoksikosis akut
terjadi jika mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dalam
jumlah banyak. Hal menyebabkan terjadinya perlemakan di hati sehingga
hati menjadi pucat, gangguan pembekuan darah secara normal
menyebabkan terjadinya hemoragi, penurunan total protein serum pada
hati, aflatoksin terakumulasi di dalam darah dan menuju ke saluran
gastrointestinal, glomerular nefritis, dan kongesti paru-paru serta juga
menimbulkan efek mematikan. Aflatoksikosis kronis terjadi ketika
mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dalam jumlah
sedikit dengan jangka waktu yang lama. Menyebabkan kongesti hati
sampai hemoragi dan terbentuk zona nekrosa, proliferasi sel parenkim
hati dan sel epitel saluran empedu, kongesti ginjal serta kadang-kadang
Page | 16
enteritis hemoragi. Ketika dikonsumsi dalam jumlah rendah
mengakibatkan gangguan sistem imun dan menjadi resisten
(Fadhilah,2015).
Hasil penelitian pada hewan coba mencit dan tikus menunjuk
bahwa aflatoksin B1 dapat menginduksi terjadinya karsinogenesis pada
hati (karsinoma hati/kanker hati). Pada manusia kontaminasi aflatoksin
B1 pada pangan yang dikonsumsi juga menunjukkan efek yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80 dari 81 orang pasien (66 orang
pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi
oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin.
AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh hati dari 58% pasien
tersebut dengan konsentrasi di atas 400 μg/kg (Fadhilah,2015).
Aflatoksin B1 berpotensi terjadinya mutasi gen (mutagenik)
dimana organ hati menjadi target utama dari toksin ini. Aflatoksin yang
masuk dalam sistem metabolisme tubuh memiliki sifat toksik bagi tubuh.
Toksin ini akan mengalami proses biotransformasi atau bioaktifasi oleh
CYP450 dengan munculnya AFB1-8-9-epoksida yang lebih reaktif dan
radikal. Bentuk ini akan berikatan dengan asam dioksinukleat (DNA)
menyebabkan terjadinya perubahan dari GC menjadi TA sehingga terjadi
mutasi subsekuen di koding gen yaitu di onkogen P53. Aflatoksin yang
berikatan dengan DNA menyebabkan terjadinya penghambatan aktifitas
polimerase DNA sehingga menginduksi terjadinya mutasi gen
(Fadhilah,2015).
Menurut penelitian yang dilakukan di Gambian (Afrika Barat),
menunjukkan bahwa kontaminasi aflatoksin pada anak-anak akan
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan. Selain itu juga
kontaminasi aflatoksin pada masa kehamilan dapat memicu terjadinya
gangguan perkembangan janin (teratogenik). Seperti halnya zat racun
lain, aflatoksin mengalami proses detoksifikasi yang terjadi di dalam hati
untuk dikeluarkan dari tubuh. Sebelum diekskresi zat tersebut akan
Page | 17
mengalami proses hidroksilasi dan setelah itu dikonjungasikan dengan
glukuronat atau sulfat dalam membentuk zat yang lebih polar sehingga
dapat dikeluarkan dari tubuh melalui saluran pencernaan. Proses ini
sejajar dengan proses detoksifikasi dari berbagai zat racun yang
memasuki tubuh binatang ataupun manusia. Enzim yang berperan dalam
proses hidroksilasi ini ialah “Mixed Function Oxidase” yang bekerjanya
memerlukan pertolongan NADPH dan oksigen sebagai donor H dan O.
Produk dari aflatoksin yang sudah dikonyugasikan dengan glukuronat
ataupun sulfat tersebut kemudian dikeluarkan melalui saluran pencernaan
mungkin bersama-sama campuran empedu. Tetapi di dalam pencernaan
ada berbagai macam mikroorganisme yang dapat memisahkan glukuronat
ataupun sulfat dari aflatoksin sehingga sebagian derifat aflatoksin dapat
terserap kembali. Proses penyerapan kembali dan pengeluaran lagi
aflatoksin sebagai penyebab kerusakan hati dan karsinoma hati. Selain
itu, aflatoksin B1 diaktifkan oleh enzim-enzim mikrosomal hati
membentuk suatu hasil metabolisme yang bersifat mutagenik dan
mempunyai aktivitas karsinogenik yaitu 2,3-eposida yang merupakan
penyebab utama kanker (karsinoma hati) (Fadhilah,2015).
Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom
penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang,
koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan
jantung. Keadaan-keadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk
terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya
ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk
berkembang biaknya jamur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan
dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan
kontrol aflatoksin. Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada
beberapa spesies seperti burung dan mamalia antara lain hipolipidemia,
hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia di mana hal inidihubungkan
dengan steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan (Farfan JA,
1999).
Page | 18
3. Efek Aflatoksin bagi ternak.
Hasil-hasil penelitian melaporkan bahaya aflatoksin dan
dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot
badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur,
menurunkan respon imun (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah
kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe
dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada produk
ternak, yang akan berbahaya bagi manusia (Rasyid,2006).
F. Upaya Mendiagnosis Aflatoksin
1. Teknologi deteksi aflatoksin
Teknologi deteksi aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara pendeteksian yang umum
digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan metode semi
kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme
Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium
Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat
menentukan cemaran aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun
pengujian diagnostik dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi)
atau HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor
fluoresen, dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi
untuk mengubah aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta
teknik ELISA. Analisis aflatoksin pada pakan dan bahan pakan dengan
kedua metoda tersebut (HPLC dan ELISA) telah masuk ruang lingkup
terakreditasi berdasar ISO guide 17025 (Rachmawati, 2005).
Telah pula dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS
dapat memotong tahapan derivatisasi dan memberikan hasil konfirmasi
yang lebih akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk teknologi deteksi
secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di suplai ke para
pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang lingkup kegiatan yang
hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada laboratoriumnya.
Page | 19
Analisis menggunakan kit ELISA lebih disukai, karena dapat
menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu analisis dan
ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih cepat.
Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit impor),
namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri
dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah). Metode analisis aflatoksin
secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan lapang,
seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian baik
metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat lebih
luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain
ataupun makanan (Rachmawati, 2005).
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan
menggunakan cendawan Neurospoa sp. Dan Rhizopus sp. Selanjutnya
untuk menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat
dilakukan dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah
dipanen sampai kadar air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai
kadar air 11% kemudian disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji
jagung, maka tidak terserang cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah
penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam propionate dapat
megurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung, sehingga
mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan (Rachmawati,
2005).
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi
menggunakan pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau
sodium bikarbonat atau dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan
amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida juga efektif dalam
mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk dekontaminasi
pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang.
Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat, kalium
sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2.
Page | 20
Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis
dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan (Rachmawati, 2005).
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal
penggarangan kacang tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan
mengurangi aflatoksin B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%.
Penggorengan dengan minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan
mengurangi kadar aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan
aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%. Aflatoksin
dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal
(100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak
oleh pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi
kadar aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari
pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar
aflatoksin dari 7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg (Rachmawati, 2005).
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa
menghancurkan spora A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga
menyebabkan berkurangnya zat-zat gizi dalam bahan pakan.Bahan-bahan
kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan
aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah. Pencegahan
aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed aditiv yang
dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini
akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki
kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga
tidak berbahaya bagi ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai
feed aditiv antara lain activated charcoal, yeast produk dinding sel.
Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain zeolit,
aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif
melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak 1mg/kg bahan
pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar aflatoksin
dalam hati sampai 30-40% (Rachmawati, 2005).
Page | 21
G. Upaya Pencegahan Aflatoksin
Keberadaan mikotoksin dalam bahan pangan atau pakan sangat
dipengaruhi oleh faktor yang tidak bisa terkontrol (uncontrollable) seperti
halnya kondisi iklim. Stres atau tekanan terhadap temperatur menjadi
penyebab utama tumbuhnya kapang pada hasil panen bebijian, sementara
temperatur dan kelembaban yang tinggi menjadi penyebab utama tumbuhnya
kapang selama penyimpanan hasil panen. Namun kadar mikotoksin
(aflatoksin) dalam bahan pangan atau pakan dapat ditekan melalui tindakan
berikut ini (Fadhilah,2015):
1) Penerapan cara penanganan pra panen dan paska panen serta persiapan
pengolahan yang baik misalnya pencucian, pengeringan dan penyimpanan
pada suhu rendah dan kering.
2) Mencegah tumbuhnya kapang pada komoditas pertanian melalui
penerapan Good Agricultural Practices (GAP) atau Good Manufacturing
Practices (GMP).
3) Kontrol regulatori
FAO, WHO dan UNICEF telah menetapkan bahwa “safe level”
kandungan aflatoksin dalam bahan pangan adalah maksimum 30 ppb (part
perbillion atau ug/kg) untuk aflatoksin B1. Beberapa negara Ada yang
mengikuti anjuran WHO misalnya India. FDA (Food Drug
Administration) di Amerika Serikat menetapkan kadar aflatoksin
maksimum yang dibolehkan pada kacang tanah 15 ppb sedang pada
makanan lain dan makanan ternak 20 ppb, di Swedia kadar aflatoksin
maksimum yang dibolehkan pada bahan makanan 5 ppb untuk aflatoksin
total sedangkan pada makanan ternak kadar yang dibolehkan 600 ppb
aflatoksin B1. Di Indonesia, berdasarkan keputusan Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.1.4057 tanggal 9
September 2004, batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin
total pada produk olahan jagung dan kacang tanah masing-masing adalah
20 ppb dan 35 ppb. Sementara itu Codex Alimentarius Commission pada
Page | 22
tahun 2003 menentukan batas maksimum kandungan aflatoksin total pada
kacang tanah yang akan diproses sebesar 15 ppb. Hal ini menunjukkan
bahwa penerapan keamanan pangan di Indonesia masih jauh di bawah
negara-negara maju.
4) Strategi detoksifikasi dari aflatoksin
Beberapa cara telah dicoba untuk menghilangkan daya racun
(detoksifikasi) aflatoksin dari bahan pangan, baik secara fisik mencakup
radiasi, pemanasan, dan ekstraksi aflatoksin dari bahan pangan. Metode
kimia mencakup perlakuan dengan asam, basa, oksidator dan dengan
bisulfit. Metode biologi mencakup fermentasi dengan kapang dan
pembuatan oncom, tempe serta percobaan-percobaan dengan mikroba lain
termasuk bakteri dan protozoa (Fadhilah,2015).
H. Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
a. Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas
tanaman tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta
pemilihan terhadap bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak
berkapang.
b. Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan
dan pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan
jagung yang baik, melalui media berupa brosur, artikel pada majalah
ilmiah populer, dan lain-lain.
c. Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan
secara kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
d. Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi
aflatoksin pada berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah
(kabupaten, provinsi) di Indonesia.
Page | 23
e. Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi
pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.
f. Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada
penyuluh pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta
industri pangan dan pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
g. Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi
kacang tanah yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat
kehijauan hingga kehitaman, dan berasa pahit.
Page | 24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai
kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi
kimiawinya dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus.
Dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2.
- Sasaran Aflatoksin adalah DNA, jenis Aflatoksin adalah metabolit, wujud
efek aflatoksin adalah perubahan struktural, sifat efek aflatoksin tak
terbalikkan.
- Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan
bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada
manusia.
- Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik,
dan immunosuppresif pada hewan percobaan.
- Efek aflatoksin pada manusia adalah kanker hati, supresi imunologis,
gangguan nutrisi, paparan akut, dan paparan kronis.
Page | 25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004, Aflatoxins Occurance and Health Risks, Animal Science Cornell
University; 1-8.
Anonim, 2011, Metode Sortasi dan Deteksi untuk Memperoleh Kacang Bebas
Aflatoksin , http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=55844,
diakses tanggal : 28 September 2015.
Azziz-Baumgartner E, Lindblade K, Gieseker K, Rogers HS, Kierszak S, Njapau
H, et al. 2005, Case-Control Study Of An Acute Aflatoxicosis Outbreak,
Kenya, 2004, Environt Health Perspect; 113: 1779-83
Beasley V., 1999, Mycotoxins That Affect The Liver, New York, International
Veterinary Information Service (IVIS)
Budiarso, I. T., 1995,Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan, Cermin Dunia
Kedokteran, 103: 5.
Cooper, L., dkk., 2000, Nutrition in Health and Disease 13th Edition, 198-200
Diener. U.L. and N. D. Davis, 1969, Aflatoxin Formation by Aspergillus FlavusIn
L.A. Goldlatt (Ed). Aflatoxin, New York, Academic Press.
Dirjen POM, 2004, SK Dirjen POM No. 03726/B/SK/VII/89 Tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan.
Fadhilah, Debby, 2015, Aflatoksikosis pada Manusia .
http://ilmuveteriner.com/aflatoksikosis-pada-manusia/,Diakses 25
September 2015.
Fadhilah, Debby, 2015, Pencegahan Aflatoksitosis pada Manusia.
http://ilmuveteriner.com/pencegahan-aflatoksikosis-pada-manusia/,
Diakses 25 September 2015
Fadilah, R. dan Polana, A., 2004, Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara
Mengatasinya, Jakarta, Agromedia Pustaka, Hal 130-131.
Page | 26
Farfan JA, 1999, Aflatoxin B1-Induced Hepatic Steatosis: Role of Carbonyl
Compounds and Active Diols on Steatogenesis, The Lancet ; 353: 747-
48.
Galvano F, Piva A, Ritieni A, Galvano G., 2001, Dietary Strategies to Counteract
The Effects of Mycotoxins:A Review, J Food Prot; 64: 120-31.
Gong YY, Cardwell K, Hounsa A, Turner PC, Hall AJ, Wild CP., 2002, Dietary
Aflatoxin Exposure and Impaired Growth in Young Children From Benin
and Togo: Cross Sectional Study, Br Med J; 325: 20-1.
Krishnamachari KA, Nagarajan V, Ramesh VB, Tilak TBG, 1975, Hepatitis Due
to Aflatoxicosis: An Outbreak In Western India, Lancet; 1: 1061-3.
Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al, 2005,
Aflatoxin Contamination of Commercial Maize Products During An
Outbreak of Acute Aflatoxicosis in Eastern And Central Kenya: Environ
Health Perspect; 113: 1763-7.
Lanyasunya, T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput,
2005, The Risk of Mycotoxins Contamination of Dairy Feed and Milk on
Smallholder Dairy Farms in Kenya, Pakistan Journal of Nutrition 4 (3):
162-169
Rachmawati, S., 2005, Aflatoksin Pada Pakan Di Indonesia: Persyaratan Kadar
dan Peraturan Perundang-Undangannya, Wartazoa 4(1): 26-35.
Rasyid A., 2006, Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular
(Hepatoma), M Ked Nus, 39(2):100-103
Suryadi, H., K. Maryati, dan Y. Andi, 2005, Analisis Kuantitatif Aflatoksin dalam
Bumbu Pecel secara KLT-Densitometri, www.ns.ui.ac.id/seminar
2005/Data/SPF-2003.pdf.Diakses tanggal : 26 September 2015
Tabbu, C.R, 2002, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2,
Yogyakarta, Kanisius, Hal 171-174.
Page | 27
Turner PC, Moore SE, Hall AJ, Prentice AM, Wild CP, 2003, Modification of
Immune Function Through Exposure to Dietary Aflatoxin In Gambian
Children, Environ Health Perspect; 111: 217-20.
Wu F, Khlangwiset P, 2010, Health Economic Impacts and Cost-Effectiveness of
Aflatoxin Reduction Strategies in Africa: Case Studies in Biocontrol and
Postharvest Interventions, Food Additives & Contaminants 27: 496-509.
Page | 28