wayang golek okke k.s. zaimar - website staff...

Download WAYANG GOLEK Okke K.S. Zaimar - Website Staff UIstaff.ui.ac.id/system/files/users/okke.ksz/publication/golek.okz.pdf · bayang-bayang dari Jawa . ... apabila ada pesta perkawinan,

If you can't read please download the document

Upload: truongdiep

Post on 06-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • Wayang Golek

    Pertemuan para pakar Sunda

    WAYANG GOLEK

    Okke K.S. Zaimar

    Aspek kesejarahan

    Wayang berasal dari zaman dahulu, yaitu pada masa animisme dan

    dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang

    menyatakan bahwa wayang berasal dari India, namun tidak ada bukti-bukti yang

    menguatkan hipotesis tersebut. Memang beberapa sumber ceriteranya yang terkenal,

    seperti Mahabharata dan Ramayana, datang dari India. Meskipun demikian, setelah

    dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli

    orang Indonesia, karena tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.

    Dapat dikatakan bahwa pada mulanya, para dalang mempunyai fungsi sosial,

    yaitu menampilkan pertunjukkan suci. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian,

    sandiwara boneka ini dianggap sebagai pertunjukkan seni. Dahulu, agama atau

    kepercayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi,

    tidaklah mengherankan apabila pada awalnya, wayang diciptakan sebagai pertunjukan

    arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak orang yang masih percaya

    akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu, yang dianggap

    mempunyai kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya disebut

    jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam usahanya

    untuk menghindarkan bahaya yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya bahwa

    mereka dapat mengandalkan pertolongan dari arwah nenek moyang dengan mengundang

    mereka dan memberikan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang dibuat

    dari batang padi. Orang yang mempunyai keahlian mengundang arwah nenek moyang,

    disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal usul wayang. Beberapa orang ahli

    menyatakan bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang

    atau hyang, yang berarti dewa.

  • Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, wayang, merupakan tradisi kuno.

    Sebenarnya, tradisi wayang kulit bahkan lebih tua lagi, namun dahulu, pertunjukan

    wayang kulit hanya dapat dilakukan pada malam hari, dengan memakai cahaya blencong

    (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak tanah). Di lain pihak, wayang

    golek, berusia jauh lebih muda (1583). Sunan Kuduslah yang pertama-tama

    memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan, agar boneka ini dapat

    dimainkan pada siang hari. Dalam perkembangannya, pertunjukkan boneka kayu dari

    Jawa Barat ini, dikenal sebagai wayang golek, yang berasal dari wayang kulit, teater

    bayang-bayang dari Jawa . (Supandi, Atik. 1988:Tetekon Padalangan Sunda).

    Bentuk wayang.

    Pada awalnya, wayang memiliki bentuk manusia. Namun, setelah kedatangan

    agama Islam, wayang berubah bentuk, sesuai dengan aturan agama Islam; karena Islam,

    melarang pemeluknya menciptakan sesuatu yang sangat mirip dengan manusia. Itulah

    sebabnya maka bentuk wayang berubah menjadi bentuk mahluk yang toh masih sangat

    mirip dengan manusia, meskipun segera tampak bahwa wayang itu bukan representasi

    manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat langsing, sedangkan tangannya tidak

    menampilkan proporsi yang baik dengan bagian tubuh yang lain. Meskipun demikian,

    setiap boneka merepresentasikan tokoh khusus. Karena boneka tidak dapat

    menggambarkan perasaan tokoh, maka peran dalang dalam memainkan boneka, dalam

    mengemukakan ceritera dan dalam berkomunikasi dengan penonton sangat penting.

    Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para

    pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain musik). Dalam

    bahasa sunda, ada ungkapan yang berasal dari kepercayaan agama Islam, dan

    menyatakan Wayang sakotak, dalangna ngan hiji (wayangnya sekotak, hanya

    memerlukan seorang dalang) yang berarti bahwa begitu banyak manusia di dunia

    hanya memerlukan satu Tuhan.

  • Sintaks naratif (Greimas)

    Penelitian yang saya lakukan, menemukan bahwa hubungan antara subjek dan

    objek sangat bervariasi. Cerita-cerita wayang yang berupa cerita sempalan (bagian dari

    ceritera sumber) atau carangan (yang merupakan kreasi dalang pada waktu pertunjukan)

    pada umumnya mempunyai empat atau lima alur, sedangkan ceritera-ceritera yang

    digunakan sebagai sumber (seperti Ramayana dan Mahabharata) mempunyai alur yang

    lebih kompleks dan dapat memiliki sepuluh alur atau lebih. Penelitian tentang sintaksis

    naratif menunjukkan bahwa satu subjek dapat memiliki beberapa objek, sebaliknya,

    objek yang sama dapat pula dijangkau oleh beberapa subjek. Sebagai contoh, dapat

    dikemukakan bahwa Mahabharata, salah satu sumber cerita wayang, suatu epos besar

    yang mengemukakan konflik keluarga Bharata yang berakhir dengan pertempuran dan

    musnahnya keluarga itu. Salah seorang tokoh yang penting, yaitu Bhisma muncul

    beberapa kali sebagai subjek. Pertama-tama objeknya adalah kebahagiaan sang ayah,

    sehingga dia rela bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup. Objeknya yang ke dua

    adalah tiga orang putri yang disayembarakan, dan dia melakukannya untuk kebahagiaan

    adiknya. Objeknya yang ke tiga adalah pemenuhan kewajiban sebagai seorang ksatria,

    sehingga dia terpaksa berperang dengan kemenakan yang dikasihinya. Sebaliknya, tentu

    saja satu objek dapat digapai oleh banyak subjek, bahkan subjek dan objek yang sama,

    dapat muncul dalam dua alur yang berbeda. Sebagai misal, dapat dikemukakan di sini

    salah satu sumber cerita wayang yang lain, yaitu Ramayana, yang mengemukakan drama

    kegagahan seorang ksatria, Rama, dalam menggempur kebathilan, yang menjelma pada

    seorang raksasa, Rahwana. Tokoh utama, Rama, berusaha untuk mencapai objek yang

    sama, yaitu Shinta, sebanyak dua kali, pertama ketika Rama ingin menikahi Shinta, dan

    kedua kalinya setelah Shinta diculik oleh Rahwana.

    Nilai-nilai ideologis

  • Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian aspek semantik

    menghasilkan gambaran tentang tokoh, sifat-sifat maupun kedudukannya di dalam

    masyarakat. Namun, yang paling menarik perhatian adalah nilai-nilai ideologis yang

    ditemukan tersembunyi di dalam karya, di antara kata-kata yang diucapkan. Hal ini

    menunjukkan bahwa teater boneka Indonesia mengungkapkan nilai-nilai ideologis

    yangmerupakan bagian dari tradisi, bagian dari budaya. Salah satu contoh yang perlu

    diutarakan adalah pentingnya kesetiaan yang sangat diagungkan dalam masyarakat.

    Kesetiaan ini dapat ditampilkan dengan berbagai cara, dan dapat ditujukan kepada orang

    maupun objek yang berbeda, antara lain: misalnya kesetiaan pada kekasih, kepada

    pasangan hidup, kepada majikan, dan kepada sumpah. Kesetiaan kepada suami tampak

    dalam Ramayana, dengan kesediaan Shinta untuk terjun ke dalam api yang menyala-

    nyala demi membuktikan kesetiaannya kepada suami. Dan akhirnya, dalam Mahabharata,

    Dewabrata atau Bhisma tetap setia pada sumpahnya hingga akhir hayatnya, meskipun ibu

    tirinya, Setyawati yang memintanya bersumpah, memohon kepadanya agar dia mau

    memecahkan sumpahnya.

    Prinsip lain yang sangat penting adalah perasaan hutang budi. Suatu pertolongan,

    bantuan atau tindakan lainnya yang telah diterima dari orang lain, seharusnya dianggap

    sebagai suatu hutang yang, cepat atau lambat, harus dilunasi. Melupakan hutang budi ini

    dapat dianggap sebagai tidak adil dan bertentangan dengan moral etis. Dalam

    Mahabharata, perasaan hutang budi ini tampak pada sikap Karna yang merasa berhutang

    budi pada Kurawa. Ketika sebelum perang saudara ini meletus, Dewi Kunti (ibu Karna

    dan juga ibu Pandawa), memintanya untuk meninggalkan Kurawa dan bergabung dengan

    Pandawa, Karna menolaknya dan lebih memilih mati di dalam perang melawan saudara-

    saudara kandungnya.

    Prinsip yang juga dipandang penting adalah kehormatan. Saya kira, di seluruh

    dunia kehilangan kehormatan di dalam masyarakat, tak dapat diterima dan dengan segala

    daya harus dihindari. Meskipun demikian, kehormatan yang dikemukakan dalam cerita-

    cerita ini berbeda dengan kehormatan yang dianut oleh masyarakat modern. Menurut

    cerita-cerita yang menjadi data penelitian ini, orang yang kehilangan kehormatan harus

    siap untuk mengorbankan segalanya, bahkan juga jiwanya. Sangat menarik untuk

    memperhatikan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kehormatan

  • seseorang. Dalam cerita-cerita ini, pengembalian kehormatan tidak ditekankan pada

    pembalasan dendam, misalnya dengan membunuh musuhnya, melainkan dengan

    tindakan yang menaikkan kembali pamornya.Dalam Mahabharata, Yudistira putra Pandu

    yang tertua dihianati, direbut kekuasaan dan kekayaannya sehingga dia kehilangan

    kehormatannya. Namun, alih-alih membalas dendam, Pandawa lebih memilih

    menjalankan hukumannya, yaitu pergi ke hutan untuk mengasingkan diri. Mereka mau

    menebus kesalahan yang telah dilakukan kakak tertua, Yudistira yang telah tergoda oleh

    permainan judi.

    Selain melaksanakan nilai-nilai ideologis, pertunjukkan wayang ini bahkan juga

    menampilkan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai tersebut. Yang

    terpenting adalah perasaan cemburu atau iri hati yang dalam berbagai kasus, merupakan

    penyebab dari tindakan negatif yang dilakukan seorang tokoh. Memang, rasa iri hadir

    dalam banyak cerita wayang.

    Pementasan / Pertunjukkan

    Wayang golek, menampilkan sejenis boneka di pentas. Wayang ini terbuat dari

    kayu dan dimainkan oleh manusia yang disebut dalang. Dalam pertunjukan tersebut,

    cerita dikemukakan oleh narator dengan iringan musik. Dahulu, pertunjukkan ini

    dimainkan dengan tujuan keagamaan, kini pementasan tersebut dianggap sebagai seni

    pertunjukkan, karena para penonton datang menghadiri pertunjukan ini, untuk hiburan,

    dan tidak lagi demi pemujaan dalam ritual keagamaan.

    Aspek kesastraan

    Wayang golek sebagai sastra lisan

    Wayang golek, merupakan sastra lisan, karena naratornya (dalang), menyusun

    ceriteranya sendiri dalam pertunjukkan cerita-cerita yang disebut sempalan (bagian dari

    cerita sumber) dan terutama dalam cerita-cerita carangan (karya dalang sendiri yang

    tentu saja berlandaskan cerita sumber) Sebenarnya, banyak cerita yang menjadi sumber

    cerita wayang ( seperti cerita panji, cerita tentang asal usul seuatu daerah, dan lain-lain),

    namun yang paling popular adalah Mahabharata. Biasanya para penonton telah

  • mengenal cerita sumbernya, sehingga mereka tidak akan begitu canggung apabila

    sebahagian dari cerita sumber hilang. Demikianlah, apabila kadang-kadang alur cerita

    tidak begitu utuh susunannya, hal itu tidak menjadi masalah bagi para penonton, karena

    sebagai tradisi lisan, ceritanya telah dikenal oleh penonton.

    Dalam pertunjukkan wayang golek, meskipun ceriteranya dapat juga betul-betul

    mengharukan, namun penonton tidak terlalu lama terbawa arus kesedihan, karena

    sebenarnya penonton telah mengenal ceritanya. Mereka datang untuk melihat

    pertunjukkannya, terutama untuk menyaksikan gerakan-gerakan wayang, beberapa

    adegan yang mengandung kritik terhadap pemerintah atau masyarakat, juga terhadap

    kondisi sosial yang dirasakan sendiri oleh penonton. Selain itu, mereka datang untuk

    melihat adegan-adegan lucu yang biasanya dipersiapkan untuk malam hari (pertunjukan

    wayang berlangsung semalam suntuk) agar penonton tidak mengantuk. Mereka juga

    sangat menyenangi agegan-adegan yang heroik, yaitu adegan perang atau perkelahian

    antar pahlawan. Dengan demikian, penonton tetap terjaga, meskipun waktu telah larut

    malam..

    Pertunjukan teater.

    a. Tempat pertunjukan

    Dalam pertunjukkan wayang golek, suasana sama sekali berbeda dengan

    pertunjukan sandiwara atau teater lain yang dipengaruhi tradisi barat.. Tidak ada tempat

    tertentu bagi pertunjukkan wayang golek, karena wayang golek hanya dipertunjukkan

    apabila ada permintaan dari individu atau suatu organisasi. Wayang golek dapat

    diperttunjukkan di rumah pribadi, di gedung pemerintah atau gedung resmi lainnya,

    bahkan juga di lapangan terbuka. Undangan pada kelompok wayang golek dilakukan

    apabila ada pesta perkawinan, sunatan, atau kesempatan lain seperti ruwatan (upacara

    untuk mengusir roh jahat) atau pun untuk perayaan 17 Agustus, peresmian gedung baru,

    dan lain-lain. Tak diperlukan uang pembayaran untuk menonton dan selama

    pertunjukkan, penonton bebas keluar masik tempat pertunjukkan. Penonton berpakaian

    bebas, banyak yang hanya memakai sarung dan baju kaos, meskipun demikian hal ini

    juga tergantung dari tempat pertunjukkannya. Di sekitar tempat pertunjukkan, banyak

  • para pedagang makanan dan minuman yang datang untuk menjual dagangannya.

    Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung dari tempat pertunjukannya. Apabila

    diadakan di tempat yang resmi seperti di kantor pemerintah atau di gedung pertunjukan,

    para penonton akan berpakaian rapi.

    b. Peran pencerita.

    Dalam wayang golek, hanya satu orang, yaitu dalang yang bertindak sebagai

    pencerita (narator) maupun sebagai pemain wayang. Selain itu, dia juga penembang

    (penyanyi), penulis cerita, bahkan juga manajer pertunjukkan. Mengenai pemain musik,

    banyak pemain musik yang terlibat dalam pertunjukkan wayang golek, mereka

    membentuk suatu orkestra yang memainkan kurang lebih 17 instrumen.

    c. Komunikasi

    Dalam pertunjukkan wayang golek, ketika terjadi komunikasi antar tokoh,

    pencerita berbicara sebagai tokoh yang berbeda-beda, sehingga dia harus mengubah-ubah

    suaranya, tergantung dari tokoh yang dimainkannya. Salah seorang dalang bahkan

    membanggakan dirinya dengan mengatakan bahwa dia dapat mengubah suaranya

    sebanyak 50 macam suara. Suatu ciri khas yang tampak dalam pertunjukkan teater ini

    adalah bahwa pada pertunjukkan wayang golek, dalang dapat berkomunikasi baik dengan

    para nayaga (pemain musik), maupun dengan para penonton, dengan menanyakan

    sesuatu hal atau meminta komentar mereka tentang suatu peristiwa atau suatu hal. Para

    nayaga dan penonton dapat menjawab pertanyaan si dalang dan memberi komentar.

    Justru hal inilah yang sering menarik perhatian penonton, karena percakapan dan

    komentar-komentar itu sering mengenai hal-hal yang mereka kenal bersama, misalnya

    tentang keadaan di daerah tempat pertunjukan atau keadaan politik dan ekonomi negara,

    bahkan juga tentang peristiwa mancanegara. Jadi di sini tampak beberapa lapisan

    komunikasi dua arah, yaitu komunikasi antar tokoh, antara dalang dengan nayaga dan

    antara dalang dengan penonton. Kadang-kadang, penonton dapat meminta lagu khusus

    kepada para penembang (penyanyi, biasanya ada dua atau tiga penyanyi) dan peminta

    lagu itu akan melemparkan sejumlah uang ke panggung. Komunikasi seperti ini

    menjadikan pertunjukkan lebih hidup

  • Kondisi masa kini.

    Di Indonesia, kelompok tradisional wayang golek tidak menghadapi kondisi

    menggembirakan. Tidak ada tempat khusus untuk pertunjukan wayang golek sehingga

    mereka tidak dapat mengadakan pertunjukan secara teratur. Pertunjukan hanya mungkin

    dilakukan atas permintaan dalam menghadapi kesempatan-kesempatan khusus, seperti

    perkawinan, sunatan atau selamatan lainnya. Jarangnya permintaan untuk manggung

    menyebabkan keberadaan kelompok-kelompok ini terancam gulung tikar. Lagi pula,

    wayang golek terpaksa menghadapi saingan yang berat, yaitu pertunjukkan musik

    Dangdut, yang pada masa kini makin menarik perhatian. Masyarakat makin lama makin

    tertarik pada Dangdut, dan mengabaikan yang lain, sehingga kehidupan kelompok

    wayang golek makin lama makin sulit. Terlebih lagi karena hampir tidak ada bantuan dari

    pemerintah pada kelompok seni tradisional ini. Apabila keadaan ini berlangsung terus,

    maka tidak heran apabila kelompok pertunjukan tradisional ini menghilang dari

    kehidupan seni di daerah sunda.

  • PUSTAKA ACUAN

    Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Editions du Seuil.

    Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics First Midland Book Edition.

    Bloomington: Indiana University Press.

    Guritno, cs. 1989. Lordly Shades. Wayang Purwa Indonesia.

    Jakarta: Jayakarta Agung Offset.

    Herbert, Mimi cs. 2002. Voices of the Puppet Masters. The Wayang Golek Theater of

    Indonesia.The Lontar Foundation. Honolulu: Univ. of Hawaii Press

    Jajang Suryana, Drs. M. Sn. 2002. Wayang Golek Sunda. Kajian Estetika Rupa Tokoh

    Golek. Bandung: Kiblat Buku Utama.

    Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics

    Bloomingon and Indianapolis: Indiana University Press

    Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy. The technologizing of the word.

    London and New York: Mathuen. Ed. Terence Hawkes.

    Schleifer, Ronald. 1987. A.J. Greimas and the Nature of Meaning: Linguistics, Semiotics

    and Discourse Theory. London & Sidney: Croom Helm.

    Supandi, Atik. 1988. Tetekon Padalangan Sunda.

    Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

    Todorov, Tzvetan. 1968. Structuralisme. 2. Potique. Paris: edition: Seuil

    Ubersfeld, Anne. 1978. Lire Le Thtre. Paris: Editios Sociales.

    Wickert, Utta and Tizar Purbaya. 1985. Wayang. Jakarta: Intermasa.

    Zoest, Aart van 1993 Semiotika (diterjemahkan oleh Ani Soekowati dari Semiotiek,

    Overteken hoe ze werken en wat we ermee doen, 1978)

    Jakarta: Yayasan Sumber Agung