warta anggaran edisi 30, tahun 2016

56
Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016 1

Upload: dangthuy

Post on 12-Jan-2017

247 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

1

Page 2: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

2

Page 3: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

3

Diterbitkan oleh :Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan

Redaktur : Haritedjo Soekirno, Walidi, Jati Wi-bowo, Ari Untung Subardianta, Mus-likhudin, Hendra Kurniawan K.H, Wahyu Indrawan, Asrukhil Imro, Dede Solihin, Aries Setiadi, Melissa Candra Puspi-tasari, Ade Permadi, Agus Slamet Ri-yadi, Sri Moedji Sampurnanto, Nurokhim

Penyunting/editor :Achmad Zunaidi, Cahya Setiawan, Shinta Putri Permata Dewi, Hafiz Yossi Aprilian

Desain Grafis/Photografer :Fr. Edy Santoso, Kandha Aditya San- djoyo, Agus Priyono

Sekretariat :Faisal Khabibi, Reza Ibnu Prakoso, Yudanto D. Nugroho

Alamat Redaksi :Gedung Sutikno SlametJl. Wahidin Raya No. 1, Jakarta 10710Telepon (021)3866117 pst. 8009email : [email protected]

Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.

Salam Redaksi

Pembaca yang budiman,

Sebagaimana kita ketahui bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Artinya dalam penyusunan RAPBN dan RKA-K/L, Pemerintah wajib menerapkan anggaran berbasis kinerja.

Pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow function), sebagai salah satu prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya dialokasi-kan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas fung-sinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan pemikiran-nya mengenai anggaran yakni anggaran mesti menggunakan konsep money follow program. Lantas, bagaimanakah sebenarnya penerapan konsep ini dalam peng-anggaran di Indonesia?

Pembahasan ini akan dikupas dalam Warta Anggaran edisi 30 ini. Pada edisi ini akan dibahas mengenai bagaimana sebenarnya konsep anggaran berbasis kinerja itu. Dan bagaimana pula hubungannya de-ngan konsep money follow program ataupun money follow function.

Dalam rubrik suplemen akan disajikan pembahasan berkaitan dengan anggaran berbasis kinerja dalam kinerja DJA serta target-target pem-bangunan dalam APBN. Informasi yang tak kalah menarik adalah mengenal ekonomi syariah dalam rubrik khazanah. Rubrik komunitas kali ini akan membahas mengenai kegiatan bermusik di DJA dalam komunitas yang menye-but kelompoknya DJAKustik. Dalam rubrik Catatan Perjalanan, akan disajikan perjalanan untuk menyaksikan sisi keindahan negeri ini. Bagi pecinta sinema, resensi film juga disajikan sebagaimana edisi-edisi sebelumnya untuk menjadi acuan pemilihan film yang ditonton.

Selamat membaca.

Page 4: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

4

7 Penerapan Anggaran Ber-basis Kinerja Melalui Money Follow Program

9 Money Follow Function dan Money Follow Program

13 Lonceng Kematian Anggar-an Berbasis Kinerja

15 Optimalisasi Peran DJA Dalam Kerangka Let The Manager Manages

48 Renungan : Seberapa Pantas

46 Khazanah : Cara Seder-hana Mengenal Riba

29 Baku Cakap Penelaahan Online

43 SIMPONI Quick Response

32 Survei Transparansi Ang-garan Indonesia

27 Gotong Royong Pemerin-tah Dan Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur

41 Konsep Evaluasi Kinerja Penganggaran Kemente-rian/Lembaga

19 Wawancara : Made Arya WijayaKonsepsi Dan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja

49 Komunitas : DJAKustik

35 Transparansi Anggaran Dan Partisipasi Publik Dalam Penganggaran

23 Reviu ADIK Ditjen Pem-belajaran dan Kemaha-siswaan, Kemenristekdikti

38 Menuju Sistem Perlin- dungan Purna Tugas PNS Yang Baru

52 Catatan Perjalanan : “Prau” Di Atas Awan

54 Resensi Film : Now You See Me 2

Daftar Isi

Laporan Utama Suplemen

Page 5: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

5

L I N TA S P E R I S T I W A

Sosialisasi Pokok-Pokok Kebijakan Anggaran, 12 Februari 2016Direktorat Jenderal Anggaran melaksanakan Sosialisasi Pokok-pokok Kebijakan Anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), pada hari Jum’at (12/2), bertempat di Auditorium Gedung Dhanapala. Seluruh pihak yang terlibat dalam proses penganggaran di berbagai Kementerian dan Lembaga perlu memiliki kesamaan persepsi sehingga proses penganggaran ke depan dapat berjalan lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Sosialisasi Nasional : Penyeleng-garaan JKK dan JKM Bagi Pega-wai ASN, 25 Februari 2016Untuk meningkatkan pemahaman me-ngenai program JKK dan JKM bagi pegawaiASN, pada hari Kamis (25/2) diselenggarakan Sosialisasi Nasional Pe-nyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai ASN. Sosialisasi yang diselenggarakan di Ballroom Dhanapala ini disampaikan kepada sekretariat daerah seluruh provinsi dan sekretariat jenderal seluruh Kemen-terian Negara/Lembaga.

Page 6: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

6

L I N TA S P E R I S T I W A

Forum Group Discussion : Sistem Jaminan Pensiun dan Hari Tua Aparatur Sipil negara, 8 Maret 2016Untuk menyempurnakan RPP terkait jaminan pensiun dan jaminan hari tua, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor-masi Birokrasi, serta PT Taspen (Persero) melaksanakan Forum Grup Discussion : Sistem Jaminan Pensiun dan Hari Tua Apara-tur Sipil Negara

Pengukuhan Eselon III dan Eselon IV di Lingkungan DJAPada hari Kamis (24/3), dilaksanakan pe-ngukuhan terhadap para pejabat Eselon III dan Eselon IV di lingkungan Direktorat Jen-deral Anggaran (DJA). Pengukuhan ditetap-kan berdasarkan Keputusan Menteri Keuang-an RI Nomor 118/KM.1/UP.11/2016.

Rapat Kerja DJA Tahun 2016DJA menyelenggarakan Rapat Kerja pada Selasa (5/4). Acara yang diselenggarakan di Ballroom Dhanapala ini mengangkat tema ‘Peningkatan Profesionalisme dan Kualitas Pelayanan DJA Melalui Perbaikan Berkelan-jutan dan Semangat Kebersamaan’.

Review Proyeksi PNBP TA 2016, Pe-nyusunan Rencana PNBP TA 2017 Dan Pemberian Apresiasi Pengguna SimponiDirektorat Jenderal Anggaran pada Rabu (6/4), mengundang wakil Kementerian/Lembaga dalam acara pembukaan (kick off) review proyeksi PNBP TA 2016 dan penyu-sunan rencana PNBP pada RAPBN TA 2017 dan MTBF TA 2018 – 2020 dan pemberian apresiasi/penghargaan penggunaan SIMPONI TA 2015 kepada Kementerian/Lembaga.

Page 7: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

7

PENERAPAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA MELALUI MONEY FOLLOW PROGRAM

Teks : Achmad Zunaidi

Rumusan program dan kegiatan beserta hasil yang akan dicapai harus jelas, teru-tama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan. Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaannya, kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai.

L A P O R A N U TA M A

Page 8: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

8

Baru kali ini pucuk pimpinan peme- rintahan Indonesia secara jelas dan

tegas membahas konsep penerapan anggaran (berbasis kinerja). Inti pemikir-an Presiden Jokowi tentang anggaran tersebut disampaikan pada saat mem-buka pertemuan kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 10 Februari 2016 lalu. “Tidak lagi money follow function, jadi yang betul mestinya money follow program, ya program kita apa, kita fokus ke situ”.

Apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan arahan sebagai pimpinan pemerintahan dalam hal pene-rapan penganggaran berbasis kinerja. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja se-bagai pendekatan penganggaran akan mengubah fokus pengukuran penca- paian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut.

Apa yang ada dalam undang-undang tersebut sejalan dengan maksud Presi-den, “Anggaran kedepan harusnya tidak dibagi-bagi mengikuti organisasi, karena selama ini cara tersebut membuat ang-garan kita hilang tidak berbekas. Ke depan, kita punya prioritas dan punya fokus sehingga kalau ada direktur di satu K/L tidak masuk program prioritas maka tidak perlu dianggarkan”. Inilah gambaran akhir yang akan dicapai dari penerapan money follow program.

Presiden sepertinya telah memperha-tikan bahwa selama ini program-program dan kegiatan yang dilakukan kementerian negara/lembaga tidak fokus pada hasil. Hal ini ditandai dengan nama program dan kegiatan serta hasil yang diharapkan kurang jelas keterkaitannya, kurang jelas dari sisi hasil yang akan dicapai.

Padahal, maksud UU Nomor 17 terse-but adalah agar penghitungan alokasi anggaran yang semula dilakukan se-cara incremental (tambah-kurang) dari alokasi anggaran periode sebelumnya (dikenal dengan anggaran tradisional atau line item budget) diubah menjadi anggaran berbasis kinerja. Kinerjanya terlebih dahulu yang dibahas dan didiskusikan untuk ditetapkan, menyu-

sul kemudian diskusi mengenai besaran anggarannya. Bukan lagi anggaran dibagi dan dikelompokkan menurut organisasi semata.

Dengan bahasa orang awam, rumus-an program dan kegiatan beserta hasil yang akan dicapai harus jelas, terutama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan. Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaanya, kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai.

Meskipun demikian, istilah money follow program sebagai suatu perintah atau arahan pimpinan memang telah jelas. Namun, sebagai suatu konsep perlu diketahui duduk perkaranya apabila dihadapkan dengan konsep money follow function, yaitu konsep yang dipahami para birokrat perencana penganggaran selama ini. Banyak pertanyaan muncul dengan jargon baru ini: Apakah sebenar-nya kedua konsep ini berseberangan; Apakah hanya sudut pandang yang ber-beda; Barangkali, permasalahan tersebut hanya persoalan optimalisasi peran dan koordinasi antar unit yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran (baca Money Follow Program dan Money Fol-low Function).

Di samping mengenai penggunaan konsep, masih ada permasalahan lain dalam penerapan penganggaran berbasis keinerja di Indonesia. Pertama, upaya berbagai pihak untuk meng-kavling anggaran sesuai sektor-sektor yang menandakan bahwa perencanaan ang-garan tidak diperlukan lagi karena alokasi

anggaran terbagi berdasarkan amanat undang-undang sektoral. Secara tidak langsung juga menyiratkan, rumusan kinerja yang jelas atau mempunyai keterkaitan yang kuat antara program dan kegiatan beserta keluarannya tidak diperlukan lagi. Semua itu memang tidak perlu karena masing-masing sektor de-ngan jaminan anggaran yang dinyatakan dalam undang-undang, tidak membu-tuhkan perencanaan yang amat cang-gih (baca Lonceng Kematian Anggaran Berbasis Kinerja).

Kedua, penerapan aspek let the ma-nagers manage sebagai langkah selan-jutnya dari penerapan anggaran berbasis kinerja perlu dielaborasi dan dioptimal-kan. Konsep tersebut memang memberi-kan kebebasan bagi manajer (pimpinan K/L) untuk berkreasi tetapi dengan tu-juan kinerjanya berhasil. Di samping itu, bagi central agency bidang penganggar-an seperti Ditjen Anggaran, penerapan let the managers manage harus diartikan sebagai peralihan tugas-pekerjaan yang semula bersifat administratif semata (pe-nyusunan dan penetapan dokumen ang-garan) menjadi tugas-pekerjaan bersifat strategis, yaitu review baseline atau mengkaitkan tambahan anggaran dengan isu-isu prioritas pembangunan dalam pertemuan forum trilateral meeting (baca Optimalisasi Peran DJA dalam Kerangka Let The Managers Manage). n

L A P O R A N U TA M A

Page 9: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

9

MONEY FOLLOW FUNCTION dan MONEY FOLLOW PROGRAMTeks : Hendra Kurniawan K.H.

Pilihan itu muncul seiring dengan isu yang ramai dibicarakan dalam proses perencanaan dan peng-anggaran di tahun 2016 ini. Isu yang memunculkan dikotomi antara Money Follow Function dan Money Follow Program sehingga menimbulkan perbedaan persepsi, padahal jika kita memban-dingkan dengan seksama maka keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsip. Kedua-duanya mengedepankan pemilihan untuk mendanai program/kegiatan prioritas, menekankan pada efisiensi alokasi anggaran, serta transparansi dan akuntabilitas yang ditunjukkan dengan kejelasan sasaran kinerja.

L A P O R A N U TA M A

Page 10: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

10

Ada dua alasan yang dikemukakan mengapa Money Follow Function dianggap tidak tepat yaitu, pertama,

dianggap menjadi penyebab terjadinya inefisiensi dalam penganggaran, karena melalui pendekatan ini maka semua fungsi-fungsi pemerintahan harus didanai walaupun tidak semuanya termasuk dalam program-program prioritas, metode yang digunakan adalah tambah/kurang sebesar persentase perubahan pagu berdasarkan data tahun sebelumnya; kedua, melemah-kan koordinasi antar sektor-sektor pem-bangunan, karena banyaknya program/kegiatan yang jalan sendiri-sendiri (tidak terkoordinasi satu sama lainnya).

Sebaliknya di sisi lain justru ber-pendapat bahwa Money Follow Function sangat tepat untuk dilaksanakan saat ini dengan alasan : pertama, memperkuat koordinasi karena dengan program/ke-giatan berada dalam fungsi yang sama maka akan memudahkan koordinasinya; kedua, dengan meletakkan anggaran pada fungsi yang tepat dan hanya unit-unit yang secara profesional mempunyai tugas dan fungsi atas suatu kegiatan yang dapat melaksanakan kegiatan tersebut maka akan dapat mendorong terciptanya efisien-si dalam alokasi (menghindari duplikasi kegiatan/program). Lantas sebenarnya apa dan bagaimana paradigma Money Follow Function dan Money Follow Program?

”Konsep money follow function pada prinsipnya menegaskan bahwa peng-alokasian anggaran harus berdasarkan fungsi tiap-tiap unit dalam organisasi pemerintah. Secara filoso-fi, konsep penganggaran yang efektif - efisien dan menjaga kesinambungan fiskal dimulai dari pelaksa-na program/kegiatan oleh fungsi organisasi yang tepat.”

Konsep Money Follow Function pada prinsipnya menegaskan bahwa pengalo-kasian anggaran harus berdasarkan fungsi masing-masing unit dalam organisasi pemerintah. Secara filosofi maksud dari konsep ini adalah ingin membangun konsep penganggaran yang efektif, efisien, dan menjaga kesinambungan fiskal melalui upaya peningkatan kualitas belanja (quali-ty spending), yang dimulai dari pelaksa-naan program/kegiatan oleh fungsi organ-isasi yang tepat. Jika anggaran atas suatu kegiatan itu dikelola dan dilaksanakan oleh unit organisasi yang tepat maka : (1) akan menghindari terjadinya duplikasi dalam penganggaran, karena sebuah ke-giatan hanya akan dilaksanakan oleh unit yang memang melaksanakan tugas dan fungsi tersebut; (2) mendorong terciptanya efisiensi, karena dapat dihindari terjadinya kegiatan yang overlapping, sebuah kegi-atan tidak dapat dialokasikan anggarannya jika tidak sesuai dengan tugas dan fungsi unit organisasi; (3) mendorong pencapai-an sasaran secara lebih optimal, karena diselenggarakan oleh unit organisasi yang sesuai maka akan lebih profesional dalam pengelolaannya yang pada akhirnya dapat mengarah pada pencapaian sasaran se-cara lebih optmal.

Dalam konsep Money Follow Function tidak serta merta membagi anggaran pada semua unit/organisasi secara merata, tetapi tetap ada proses penilaian (assessment) terhadap usul sebuah pro-gram/kegiatan yang akan diusulkan oleh setiap unit/organisasi. Penilaian tersebut utamanya menyangkut apakah program/kegiatan yang diusulkan termasuk dalam proses prioritas yang harus didanai atau tidak serta bagaimana kontribusi dan dampaknya terhadap pelaksanaan pem-bangunan.

Sementara pada konsep Money Follow Program sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Peren-canaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, maupun Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasu-tion dalam beberapa kesempatan, yang menegaskan perlunya pendekatan peng-anggaran yang berdasarkan pada bobot program/kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana program/kegiatan dikatakan memiliki bo-bot yang tinggi jika memberi manfaat yang besar kepada rakyat. Melalui pendekatan ini diharapkan : (1) adanya skala prioritas

alokasi yang tinggi pada program-program yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat; (2) program dan kegiatan yang akan didanai lebih tegas dan jelas, sehingga jelas sasaran yang akan dicapai lebih optimal dan teratur; (3) mendorong terciptanya efisiensi melalui koordinasi yang jelas antarprogram dan kegiatan.

”Konsep money follow program menegaskan per-lunya pendekatan peng-anggaran yang berdasar-kan pada bobot program/kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah.”

Pada konsep Money Follow Prog-ram juga menegaskan adanya fase penilaian atas program-program yang akan diajukan. Program-program yang memberi manfaat yang besar pada rakyat akan mendapatkan prioritas utama dalam pengalokasian anggaran, baru berikutnya diikuti pengalokasian anggaran pada pro-gram-program dengan bobot dibawahnya (lebih rendah). Sebaliknya jika terjadi efisiensi (penghematan) anggaran maka program-program yang memiliki bobot yang memberikan manfaat lebih rendah kepada rakyat yang harus dihemat (di-potong) terlebih dahulu. Prinsipnya tidak semua fungsi pemerintahan yang didanai, jika memang tidak memberikan manfaat yang lebih besar kepada rakyat, maka tidak perlu didanai.

Melihat perbandingan dari kerangka berfikir di atas baik Money Follow Func-tion maupun Money Follow Program se-benarnya tidak memiliki perbedaan dalam kerangka konsepnya, yaitu : (1) kedua-duanya tetap mengedepankan proses penilaian atas program/kegiatan yang diu-sulkan, sehingga alokasi anggaran dapat diarahkan untuk mendanai program/kegiatan yang benar-benar prioritas yaitu program/kegiatan yang memberi man-faat yang besar kepada masyarakat; (2) kedua-duanya menekankan pada upaya pencapaian efisiensi dalam pengalokasian anggaran dengan menciptakan koordi-

L A P O R A N U TA M A

Page 11: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

11

nasi antarprogram/kegiatan; dan (3) kedua-duanya menekankan akuntabilitas, transparansi dan kejelasan atas sasaran kinerja yang ingin dicapai.

Alur proses yang berlaku adalah bahwa setiap unit organisasi harus mengusulkan program/kegiatan terlebih dahulu baru memperoleh pendanaan, itupun harus ter-lebih dahulu “lolos” dalam penilaian yaitu, harus memenuhi kriteria sebagai program/kegiatan prioritas. Jadi jangan dibalik. Bukan ada anggaran dulu baru mem-buat program/kegiatan (Function Follow Money/Program Follow Money). Peng-gunaan data tahun lalu hanya sebagai ba-han dalam penyusunan dan penilaian usul alokasi anggaran, jika sebuah kegiatan pada tahun X merupakan kegiatan prioritas yang telah dialokasikan anggarannya pada tahun X, maka tahun X+1 akan dinilai lagi apakah masih temasuk program/kegiatan prioritas atau tidak. Jika masih masuk sebagai program/kegiatan prioritas yang harus dilanjutkan maka akan disediakan kembali alokasi anggarannya sesuai target kinerja pada tahun yang direncanakan, se-

baliknya jika sudah selesai dan tidak lagi menjadi kegiatan prioritas lagi pada unit tersebut, maka tidak akan dialokasikan lagi anggaran untuk mendanai kegiatan tersebut. Berkenaan dengan hal itu sangat terbuka ruang sebuah unit organisasi tidak mendapatkan alokasi anggaran program/kegiatan (kecuali untuk gaji dan operasional perkantoran) jika memang program/kegiatan yang diusulkan oleh sebuah unit tidak menjadi prioritas (tidak memberi manfaat yang besar untuk rakyat). Bahkan konsep Money Fol-low Function memiliki kelebihan dengan adanya unit-unit yang secara profesional melakukan pekerjaan itu sehingga meng-hindari terjadinya duplikasi dan mendorong efisiensi anggaran.

Sementara itu dari sisi kerangka hu-kum istilah Money Follow Function lebih dikenal daripada Money Follow Program, hal itu bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pada pasal 11 ayat (5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja; Pasal 12 ayat

(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja peme-rintah dalam rangka mewu-judkan tercapainya tujuan bernegara; pasal 14 ayat (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasar-kan prestasi kerja yang akan dicapai, dan Pasal 15 ayat (1) APBN yang disetujui oleh DPR terrinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dalam penjelasan umum atas UU No 17 Tahun 2003 dimaksud juga ditegas-kan kelemahan pengelompok-an anggaran berdasarkan kelompok anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang pernah dilaksanakan sebelum tahun 2005, yang dikatakan mem-berikan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran.

Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pem-

bangunan Nasional juga ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Ren-stra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); Pasal 21 ayat (1) Pimpinan Kemen-terian/Lembaga menyiapkan rancangan Renja-K/L sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awak RKP sebagaimana di-maksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ber-pedoman pada Renstra-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Hal di atas dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan RKA-K/L Pasal 5 ayat (1) Penyusunan RKA-K/L harus menggunakan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Peng-anggaran terpadu dan Penganggaran Berbasis Kinerja, dan ayat (2) RKA-K/L disusun secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran yang meliputi : Klasifikasi Organisasi, Klasifikasi Fungsi

L A P O R A N U TA M A

Page 12: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

12

L A P O R A N U TA M A

dan Klasifikasi Jenis Belanja; Pasal 6 ayat (1) RKA-K/L disusun berdasarkan Renja K/L, RKP, dan Pagu Anggaran K/L. Selanjutnya pada pasal 7,8,9,10,11,12, dan 13 sangat jelas digambarkan proses penyusunan anggaran yang diawali de-ngan pidato presiden yang menyampaikan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk tahun yang direncanakan, berdasarkan hasil evaluasi kebijakan berjalan, yang menjadi pedoman awal pe-rencanaan dan penganggaran tahun yang direncanakan. Dijelaskan pula tugas Bappenas untuk mengoordinasikan evalu-asi perencanaan program dan kegiatan untuk disinergikan prioritas pembangunan nasional, serta Kementerian Keuangan yang bertugas menyusun kapasitas fiskal menyusun pagu, mengkoordinasikan penelaahan dan menetapkan dokumen pelaksanaan anggaran. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 90 Tahun 2010 ditegaskan Penerapan pengang-garan berbasis kinerja paling sedikit me-ngandung tiga prinsip yang salah satunya adalah Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (Money Follow Funtion).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja

Pemerintah juga ditegaskan pada Pasal 3 ayat (1) Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat; ayat (2) Program dan kegi-atan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 20 tahun 2010 juga menegaskan bahwa sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP juga disusun dengan mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara tersebut. Pendekatan baru tersebut mencakup tiga hal : penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, penera-pan penganggaran terpadu, dan penera-pan penganggaran berbasis kinerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip atas kedua paradigma tersebut baik Money Follow Function maupun Money Follow Program, kedua-duanya mengan-

dung prinsip-prinsip yang sama dalam penganggaran. Perbedaan persepsi atau sudut pandang dimungkinkan disebab-kan oleh tidak optimalnya peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran central agency maupun K/L. Bisa juga permasalahan tersebut disebabkan oleh lemahnya koordinasi sehingga antara setting pendanaan dan program yang didanai masih kurang optimal (kurang pas).

Selanjutnya yang dibutuhkan saat ini adalah optimalisasi peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran, meningkatkan koordinasi, serta mem-berikan penjelasan yang lebih detail dan informatif terhadap kebijakan yang dilaksanakan, agar dapat memberikan pengetahuan yang sama pada pihak-pihak yang berkepentingan, juga dalam rangka memperoleh kesepahaman yang tidak membingungkan khususnya buat Kementerian/Lembaga selaku eksekutor dari alokasi anggaran. n

Page 13: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

13

LONCENG KEMATIAN ANGGARAN BERBASIS KINERJATeks : Achmad Zunaidi

Melalui penetapan suatu undang-undang, anggaran pendidikan mematok 20% dari belanja negara; anggaran kesehatan mematok 5% dari APBN; anggaran desa mematok 10% dari dan di luar (dana) Transfer ke Daerah. Ini merupakan fakta bahwa politik anggaran sekadar membagi-bagikan ang-garan, tanpa tahu apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak. Saat-saat seperti ini merupakan lonceng kematian bagi penerapan anggaran berbasis kinerja di Indonesia.

Usaha dan taktik para pihak yang berkepentingan untuk memperoleh anggaran tanpa usaha ‘memadai’

kerap dilakukan. Seharusnya, para pihak yang bermaksud memperoleh anggaran negara berinistif merancang program/kegiatan beserta keluaran yang hendak dicapai sebagai isu yang nantinya menjadi keputusan dalam forum para pengambil kebijakan, baik pada tingkat menteri atau kabinet. Memang upaya ini memerlukan usaha sungguh-sungguh agar program/kegiatan terlihat menarik dari sisi kebijakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Berlawanan dengan itu, pihak yang berkepentingan tidak melakukan seperti tersebut di atas tetapi lebih berorientasi pada bagaimana mendapat alokasi ang-garan sebesar-besarnya. Caranya adalah melalui peraturan perundangan setingkat undang-undang yang mengamanatkan adanya keharusan untuk mematok ang-garan negara sebesar persentase tertentu dari belanja negara.

Upaya dimaksud merupakan upaya sekali ‘pukul’ tetapi berdampak selamanya, tanpa mengacuhkan kondisi keuangan

negara (defisitnya mau berapa besar, masa bodoh). Yang paling utama, alokasi anggaran pada satu sektor sebagaimana amanat undang-undang terjaga sebesar persentase tertentu dari APBN. Mengenai program/kegiatan yang menjadi substan-sinya, dipikirkan belakangan. Kalaupun program/kegiatan beserta keluaran kegi-atannya tidak bermanfaat bagi masyara-kat, yang penting adalah kepastian alokasi anggarannya pada sektor tersebut.

L O N C E N G K E M AT I A N

Page 14: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

14

Anggaran Berbasis Kinerja Versus Pematokan Anggaran

Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan tujuan reformasi penganggaran yaitu ang-garan berbasis kinerja mengubah fokus pengukuran pencapaian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut.

Dalam kalimat yang lebih lugas, John Mercer seorang konsultan pengang-garan, menggambarkan mengenai anggaran berbasis kinerja dalam beberapa kalimat di bawah ini: • Anggaran berbasis kinerja adalah

proses penganggaran yang dapat menjelaskan hubungan antara proyeksi biaya yang dibutuhkan dengan ekspektasi hasil yang akan dicapai oleh pengeluaran pemerintah;

• Kegiatan yang dibiayai ang-garan akan menghasilkan keluaran(output), dan pada akhirnya kombinasi dari berbagai keluaran kegiatan tersebut dalam suatu program diharapkan meng-hasilkan dampak positif program (outcome);

• Anggaran berbasis kinerja yang efektif memiliki prinsip utama yaitu kejelasan hubungan (link-ages) antara ukuran kinerja pada tingkatan bawah dengan hierarki tujuan/sasaran yang lebih tinggi, baik dari sisi organisasional maupun dari sisi dampak positif (outcome).

Jadi, anggaran berbasis kinerja menurut pengertian di atas merupakan alat untuk mencapai kinerja tertentu yang diharapkan dari suatu perencanaan penganggaran.

Apalagi saat ini Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Anggaran sedang melakukan reformasi penganggaran ber-basis kinerja jilid II melalui arsitektur dan informasi kinerja (ADIK). Pada intinya, ADIK berupaya untuk memperjelas kelu-aran kegiatan yang berdampak kepada masyarakat secara langsung dan mem-perkuat kejelasan hubungan antara ukuran kinerja pada berbagai tingkatan organisasi.

Dengan landasan anggaran berbasis kinerja seperti tersebut di atas, upaya berbagai pihak untuk mematok anggaran

melalui penerbitan undang-undang yang mengamanatkan hal tersebut, tentu berto-lak belakang. Tanpa ada diskusi, alokasi anggaran dialokasikan dengan bersandar pada amanat undang-undang. Tidak ada lagi upaya adu program beserta capaian kinerja untuk rakyat yang dipertontonkan tetapi hanya sekadar membagikan ang-garan belanja sesuai amanat atau norma peraturan perundangan.

Kelemahan lain atas modus mematok anggaran sektoral dapat dirinci berikut ini.

Pertama, Pemerintah secara teknis sulit (kalaupun bisa, akan berupaya keras) melakukan harmonisasi dalam proses penyusunan postur APBN. Kesulitannya terletak memadu-padankan antara tujuan dari sisi ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi) pada satu sisi dan keharusan memenuhi anggaran belanja pada sektor tertentu berdasarkan undang-undang yang ada. Apalagi mandat tersebut tidak bisa ditawar oleh situasi dan kondisi, misal kondisi perekonomian yang lesu.

Kedua, fleksibilitas Pemerintah dalam membuat prioritas anggaran semakin berkurang karena adanya pembatasan anggaran berdasarkan peraturan per-undang ini. Pemerintah tidak bisa lagi menggeser peruntukan belanja yang lebih penting/mendesak pada suatu tahun

TABEL BATASAN DALAM PENYUSUNAN POSTUR APBNNo Komponen dalam

Postur APBNBesaran Persentase Keterangan

1. Defisit Maksimal sebesar 3% dari GDP (gross domestic bruto)

Amanat UU nomor 17 tahun 2003, penjelasan Pasal 12

2. Anggaran pendidikan 20% dari APBN • Amanat UUD 1945 Amandemen-IV, Pasal 31

• Daerah juga mengalokasi-kan 20% dari APBD

3. Anggaran Kesehatan Minimal 5 % dari APBN diluar gaji

• Amanat UU nomor 36 tahun 2009, Pasal 171

• Daerah mengalokasikan Minimal 10% dari APBD diluar gaji

4. Anggaran Desa 10% dari dan di luar dana transfer (on top) secara bertahap

Amanat Penjelasan UU nomor 6 tahun 2014, Pasal 72, Ayat (2)

5. Anggaran Transfer Daerah

DAU sekurang-kurangnya sebesar 26 % dari Pendapa-tan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam.

Amanat UU nomor 33 tahun 2004, Pasal 27

karena adanya ’tembok’ pembatas ini.

Ketiga, tidak ada unsur kompetisi bagi kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan dalam memperoleh anggaran. Hal ini menyebabkan kurangnya rasa me-miliki terhadap suatu program/kegiatan, utamanya mengenai tujuan yang ingin dicapai. Peruntukan program/kegiatan dapat dipikirkan belakangan yang pen-ting ketersediaan alokasi anggarannya. Kementerian/lembaga yang bertanggung jawab terhadap program/kegiatan tidak

perlu berpikir sungguh-sungguh, apakah program/kegiatan yang akan dilaksanakan itu efektif untuk kesejahteraan masyarakat atau efisien dalam penghitungan biaya kegiatannya.

Di samping itu, apabila pematokan anggaran sampai sebesar 100% (arti-nya anggaran dibagi habis berdasarkan persentase tertentu) melalui amanat undang-undang, ada ketidakjelasan politik anggaran. Program dan kegiatan prioritas apa yang didukung oleh anggaran? Juga, tidak ada kegunaanya bagi pengambil kebijakan berupa masukan atau umpan balik atas permasalahan yang ada sebagai mekanisme evaluasi perencanaan-peng-anggaran di masa yang akan datang. Inilah lonceng kematian anggaran yang digembar-gemborkan berbasis kinerja. n

L O N C E N G K E M AT I A N

Page 15: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

15

Optimalisasi Peran DJA Dalam Kerangka LET THE MANAGERS MANAGE

Teks : Hendra Kurniawan. KH

Dua belas tahun sudah perjalanan reformasi sistem penganggaran di Indonesia sebagai wujud implemen-

tasi UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan PP Nomor 21 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan PP Nomor 90 Tahun 2010) Tentang Pe-nyusunan RKA-K/L. Berbagai hal sudah dilakukan dalam rangka menerapkan refor-masi sistem penganggaran. Penyiapan perangkat aturan, petunjuk dan pedoman teknis, sampai pada pengembangan Sum-ber Daya Manusia dilakukan agar proses reformasi sistem penganggaran berjalan dengan baik.

Dimulai pada 2005, diwujudkan peng-gabungan dokumen panganggaran dalam satu dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Semula kita menge-

nal Daftar Isian Kegiatan (DIK) untuk mengalokasikan anggaran yang bersifat rutin/operasional, Daftar Isian Proyek (DIP) untuk menampung alokasi anggaran yang bersifat investasi/pembangunan, atau dokumen-dokumen lain seperti Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan Daftar Isian Kegiatan Suplemen (DIKS). Doku-men ini digunakan untuk menampung alokasi anggaran untuk tujuan tertentu. Dokumen SKO menampung alokasi dari Belanja BUN khususnya belanja lain-lain, sedangkan DIKS menampung alokasi yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Langkah selanjutnya adalah menjadikan Satuan Kerja sebagai satu-satunya entitas dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pelaporan dan pertanggungjawaban ang-

garan. Beberapa hal dilaksanakan untuk langkah ini antara lain memperkenalkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (meminta K/L untuk mengisi formulir KPJM dalam RKA-KL), serta menerapkan penganggaran berbasis kinerja secara sederhana (mengalokasikan anggaran dalam RKA-K/L dan DIPA berdasarkan kegiatan/sub kegiatan yang memiliki out-put dan indikator kinerja tertentu).

Sejalan dengan semakin baiknya pemahaman tentang penganggaran berba-sis kinerja, konsep dan implementasi ten-tang penganggaran berbasis kinerja (PBK) telah diperbaiki. Ciri utama PBK adalah anggaran disusun dengan memperhati-kan keterkaitan antara pendanaan (input) dan hasil yang diharapkan (outcome) sehingga dapat memberikan informasi

L E T T H E M A N A G E R S M A N A G E

Page 16: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

16

tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan. Perbaikan konsep dan implementasi PBK dilakukan dengan Restrukturisasi Pro-gram dan Kegiatan dan melalui Penataan Arsitektur dan Informasi Kinerja pengang-garan. Berdasarkan penjelasan umum atas PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, ditegas-kan bahwa penerapan PBK paling sedikit mengandung 3 (tiga) prinsip, yaitu :

a. Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (money follow function);

b. Prinsip alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented);

c. Prinsip fleksibilitas pengelolaan ang-garan dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas (let the managers ma-nage);

Prinsip let the managers manage menunjukkan pemberian kewenangan/keleluasaan kepada pimpinan unit pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan dan mencapai ke-luaran sesuai dengan rencana. Kewenang-an yang diberikan menyangkut fleksibilitas dalam menentukan cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran.

Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan hanya menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan. Cara dan tahapan tetap mem-perhatikan akuntabilitas pengelolaannya dengan mempertanggungjawabkan peng-gunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.

Konsekuensi dari penerapan prinsip ini adalah munculnya pandangan bahwa K/L bebas menentukan (merencanakan dan menganggarkan), sedangkan DJA sudah tidak lagi meneliti alokasi anggaran dalam dokumen penganggaran secara detail. Dengan demikian kewenangan DJA untuk menjaga kualitas belanja dalam APBN menjadi berkurang. Pertanyaan yang mun-cul adalah apakah kualitas alokasi belanja dalam APBN sudah lebih baik, apakah K/L sudah dapat melaksanakan tugas perencanaan dan pengalokasian anggaran dengan baik pula, dan bagaimana DJA memposisikan dirinya untuk tetap dapat berperan dalam menjaga kualitas belanja yang dialokasikan dalam APBN.

Let The Managers Manage Sebagai Sebuah Tuntutan

Syarat agar implementasi prinsip let the managers manage berjalan efektif adalah pengelola (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, aturan/regulasi yang jelas, Standard Operating Procedure (SOP) penganggaran yang baik, serta dukung-an seperangkat sistem (teknologi) yang baik. Sinergi keseluruhan unsur ini dalam perencanaan dan penganggaran akan mendorong upaya peningkatan kualitas belanja.

Mencermati hasil evaluasi data yang ada, sejujurnya bisa dikatakan bahwa kualitas RKA-KL sebagai salah satu indi-kator dari perencanaan dan penganggaran masih belum sampai pada taraf kuali-tas yang baik. Masih banyak ditemukan RKA-K/L yang belum menggambarkan keterkaitan yang tegas antara pendanaan dengan output/hasil. Alokasi anggaran atas suatu output masih “fleksibel”, dapat naik/turun sesuai ketersediaan anggar-an. Komponen yang membentuk output juga belum memiliki relevansi yang kuat sehingga tahapan/komponen dapat

berkurang atau bertambah sesuai dengan kebutuhan perencana. Hal ini menunjuk-kan bahwa alokasi atas sebuah output dimaksud belum efisien dan efektif.

Apabila tidak segera dicarikan solusi, kondisi seperti ini akan berpotensi terjadi inefisiensi dalam pengalokasian anggaran. Tentunya ini menjadi sebuah dilema. Di satu sisi DJA sudah harus menerapkan konsep Performance Based Budgeting secara penuh, namun di sisi lain ada ke-wajiban untuk menjaga efisiensi dan efek-tifitas pengalokasian anggaran sebagai komitmen dan tanggung jawab DJA.

Belum lagi jika dilihat dari kualitas pengelola anggaran K/L yang masih belum pada kualifikasi yang diharapkan dan belum siap menerima tongkat estafet “kewenangan”. Bahkan sebagian masih berharap DJA tetap menjadi “pengawas” atas alokasi anggaran yang diusulkan, masih berharap peran DJA untuk meli-hat kesesuaian usul RKA-K/L dengan peraturan dan prinsip-prinsip efisiensi penganggaran. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yang bertugas melak-sanakan kewenangan untuk melakukan

L E T T H E M A N A G E R S M A N A G E

Page 17: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

17

reviu atas RKA-K/L masih belum berada pada tingkat kualifikasi yang handal untuk melaksanakan tugas tersebut, sehingga proses assesment RKA-K/L belum berja-lan sebagaimana mestinya.

Parameter sederhana yang dapat dija-dikan ukuran adalah hasil evaluasi K/L. Alokasi anggaran bisa saja tidak terserap seluruhnya tapi sasaran kinerja tercapai. Bukan karena efisiensi tapi justru kemung-kinan terjadinya over alokasi atas sebuah output/kegiatan. Disamping itu masih tingginya revisi anggaran untuk mengu-rangi alokasi output tanpa mengurangi sasaran kinerja juga menunjukkan hal yang sama (over alokasi). Kondisi objektif ini haruslah disikapi secara wajar, dengan melakukan perbaikan-perbaikan ke arah kemajuan.

Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah “komitmen” K/L untuk sungguh-sungguh dalam menyusun dan melakukan penelaahan RKA-K/L. Sudah menjadi hal yang umum terjadi jika pada saat penelaahan RKA-K/L, penelaah dari K/L hanya diwakili sekedarnya saja, staf atau bahkan honorer. Ini menunjuk-kan bahwa K/L tidak lagi menganggap forum penelaahan itu sebagai forum yang strategis. Mereka lebih memilih hadir di tempat lain daripada harus hadir di forum penelaahan. K/L merasa yakin sekali bahwa DJA tidak lagi sampai membatal-kan (mencoret) usul mereka, sehingga tidak ada kewajiban moral dari mereka untuk mempresentasikan usul secara baik dan mempertanggungjawabkan usulan itu dalam forum penelaahan. Mereka yakin bahwa usul mereka akan disetujui dan ditampung dalam DIPA.

Hal yang sangat berbeda jika diban-dingkan dengan penelaahan “tempo dulu”. Dalam penelaahan, pejabat yang hadir adalah pejabat yang dapat menyampaikan dan mempertanggungjawabkan usul ke-giatan yang dialokasikan dalam dokumen penganggaran. Bahkan terkadang usulan didukung dengan dokumen-dokumen yang berlebihan, sebagai wujud kesiapan dan upaya meyakinkan penelaah DJA atas pentingnya alokasi kegiatan tersebut. Apalagi dengan pelaksanaan penelaahan online ke depan, akan sulit mewujudkan forum penelaahan sebagai forum untuk mengklarifikasi dan menilai bahwa output telah disusun dengan komponen yang tepat dan biaya yang efisien.

Dalam situasi ini, sulit untuk menga-takan bahwa output dari proses penelaah-an itu adalah RKA-K/L yang menampung usul belanja, program, kegiatan dan output yang berkualitas.

Reorientasi Peran DJA

Situasi seperti di atas haruslah dires-pon dengan bijak. Tidak harus melihat atau berjalan ke belakang lagi, kebijakan harus tetap berlanjut. Upaya perbaikan kualitas melalui edukasi harus semakin dioptimalkan. Pembuatan regulasi yang jelas, mudah diimplementasikan dan tidak multitafsir, serta penyederhanaan proses bisnis tetap dilanjutkan. Semua itu di-harapkan akan semakin mendorong upaya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran pada semua lini.

Di samping itu, DJA harus dapat mem-perkuat perannya pada sisi-sisi lain dari

proses perencanaan dan penganggaran. Mengingat proses perencanaan dan peng-anggaran merupakan sebuah rangkaian proses dalam sebuah siklus perencanaan dan penganggaran, maka opsi untuk mengoptimalkan alur proses lainnya harus dilakukan yaitu penguatan fungsi-fungsi lainnya yang berkorelasi dalam upaya meningkatkan kualitas belanja dimaksud. Penguatan fungsi dan peran DJA seba-gai ikhtiar meningkatkan kualitas belanja dalam APBN tidak harus dilakukan dengan hal yang baru. Fungsi dan peran yang sudah dilakukan sejak dahulu, seperti misalnya reviu baseline, penilaian inisiatif baru, trilateral meeting, serta penerapan standar biaya perlu diperkuat.

Upaya ini juga perlu didukung dengan komitmen bersama serta dukungan aturan pelaksanan yang lebih detail, sehingga fungsi dan peran tersebut di atas tidak hanya menjadi rutinitas yang dilakukan

L E T T H E M A N A G E R M A N A G E

Page 18: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

18

L E T T H E M A N A G E R S M A N A G E

setiap tahun tanpa ada komitmen untuk mengoptimalkan proses dan hasilnya.

Forum reviu baseline, sejatinya tidak hanya dalam rangka memperbaiki angka prakiraan maju dan exercise pagu saja, tetapi bagaimana hasil reviu baseline dimaksud secara konsisten digunakan sebagai dasar penetapan Pagu Indikatif. Agar hal tersebut dapat diwujudkan, perlu diperkuat dengan aturan-aturan penun-jang yang lebih jelas, metodologi reviu yang terukur dan jelas, menggunakan hasil monev dalam penilaian, dan jika memungkinkan, mendesain rancangan pengembangan SDM untuk melakukan reviu baseline melalui Diklat. Pada saat reviu baseline, dapat dilakukan penilaian kembali atas alokasi anggaran pada setiap output dan dilakukan tambah/kurang atas alokasi yang sudah diberikan atas suatu output yang sudah ditetapkan pada RKA-K/L tahun sebelumnya. Selain itu dapat pula dilakukan penilaian penuh untuk menetapkan alokasi anggaran yang efektif dan efisien atas sebuah output.

”Penguatan fungsi dan peran DJA sebagai ikhtiar meningkatkan kualitas belanja dalam APBN tidak harus dilakukan dengan hal yang baru. Fungsi dan peran yang sudah dilaku-kan sejak dahulu, seperti misalnya reviu baseline, penilaian inisiatif baru, trilateral meeting, serta penerapan standar biaya perlu diperkuat.” Sampai saat ini, penilaian inisiatif baru termasuk kebijakan yang belum konsisten dilakukan padahal PP No. 90 Tahun 2010 tegas mengatur inisiatif baru sebagai bagian dari kebijakan penetapan pagu/alokasi anggaran. Agar kebijakan ini dapat diterapkan secara efektif, harus ada komit-men bahwa setiap tambahan alokasi atas Pagu Baseline harus disertai dengan pro-posal inisiatif baru dan sudah dinilai oleh kedua belah pihak (Bappenas dan DJA),

dengan mengacu pada Peraturan Menteri Perencanaan No. 1 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011 tentang Tata Cara Penyu-sunan Inisiatif Baru. Selain itu metodologi penilaian inisiatif baru dan SOP-nya juga perlu dipertegas, sehingga akuntabilitas proses dan kualitas hasilnya dapat diper-tanggungjawabkan. Saat ini, masih banyak tambahan atas pagu anggaran yang tidak dilengkapi dengan proposal inisiatif baru apalagi proses penilaiannya. Cara-cara seperti ini harus dihilangkan dalam proses perencanaan dan penganggaran.

Forum Trilateral Meeting perlu lebih diperkuat dari sisi prosesnya terutama keterlibatan DJA khususnya bagaimana mensinkronkan kegiatan-kegiatan prioritas dengan ketersediaan anggaran. DJA harus ikut mengkonfirmasi atas kegiatan-kegiatan prioritas yang akan dialokasikan dalam RKA-K/L. Di samping itu DJA juga memperhatikan bagaimana menang-gapi usulan tambahan anggaran yang hampir pasti selalu dilakukan oleh K/L. Forum trilateral meeting juga harus dapat mengharmonisasikan semua program baik internal maupun lintas K/L, sehingga sinyalemen adanya perencanaan dan penganggaran yang tidak nyambung men-jadi tidak beralasan.

Untuk itu diperlukan keterbukaan dari Bappenas mengenai desain program-pro-gram prioritas baik internal maupun lintas K/L (antar sektor). Forum trilateral meet-ing harus benar-benar bisa merancang skala prioritas belanja K/L. Di samping itu, harus ada komitmen untuk menggu-nakan rekomendasi yang disepakati dalam kebijakan alokasi dan pagu selanjutnya. Misalnya jika terdapat optimalisasi setelah proses pembahasan di DPR maka pri-oritasnya sesuai dengan yang disepakati dalam forum trilateral meeting. Demikian pula sebaliknya apabila terjadi pengu-rangan pagu/alokasi maka yang harus ”dieksekusi” terlebih dahulu adalah yang skala prioritasnya rendah.

Standar Biaya, khususnya standar biaya keluaran, sampai saat ini juga meru-pakan hal yang sulit dilaksanakan karena ternyata kebijakan standar biaya belum memiliki “nilai jual” yang tinggi. Faktor yang menjadi penyebabnya antara lain, standar biaya keluaran belum menjajikan kemudahan dalam proses penyusunan RKA-K/L, dan menyebabkan kaku/tidak fleksibel bagi K/L dalam menyusun RKA-K/L. Untuk itu harus dibuatkan terobosan

bagaimana standar biaya khususnya standar biaya keluaran menjadi “menarik” dan merangsang setiap K/L untuk menyu-sunnya. Misalnya dengan adanya standar biaya keluaran maka penuangan kom-ponen/rincian belanja dalam RKA-K/L tidak perlu detail, kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam standar biaya keluaran tidak terikat dalam beberapa kode akun akan tetapi cukup ditetapkan dalam akun tertentu.

Demikian pula halnya saat dilakukan audit agar sejalan dengan prinsip perfor-mance based budgetting cukup dilakukan dengan melihat capaian dan penyerapan anggaran atas output saja. Hal seperti ini sudah pernah dilakukan dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran di masa lalu. Dengan dapat disusunnya standar biaya keluaran atas suatu output tertentu maka diharapkan ada standardisasi atas output baik dari segi pentahapannya mau-pun dari sisi besaran alokasinya.

Penerapan Prinsip Let The Managers Manage

Sesungguhnya penerapan prinsip Let the Managers Manage, sebagai wujud penerapan penganggaran berbasis kinerja secara penuh, tidaklah serta merta mere-duksi kewenangan DJA dalam menjaga kualitas belanja dalam APBN. Optimalisasi fungsi dari pelaksanaan tugas-tugas lain dapat menjawab kekhawatiran itu. Banyak sisi dari upaya menjaga kualitas belanja dalam APBN yang dapat dilakukan oleh DJA yang mungkin selama ini belum opti-mal penyelenggaraannya.

Sebagaimana disampaikan di atas, yang paling penting dari semua itu adalah komitmen untuk melaksanakan hal tersebut secara sungguh-sungguh dan komitmen untuk menggunakan rekomen-dasi yang dihasilkan dalam implementasi kebijakan-kebijakan penganggaran, khu-susnya kebijakan tentang pagu.

Penting juga dilakukan adalah penjelas-an konsep sesungguhnya dari let the managers manage, bukan hanya kelelu-asaannya saja yang dikedepankan tetapi juga akuntabilitasnya baik proses maupun hasilnya. Dengan konsep let the mana-gers manage bukan berarti K/L dapat untuk tidak bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses perencanaan dan penganggaran.n

Page 19: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

19

Made Arya WijayaD I R E K T U R H A R M O N I S A S I P E R A T U R A N P E N G A N G G A R A NKo n s e p s i d a n Pe n e r ap a n A n g g a r a n B e r b a s i s K i n e r j a

W A W A N C A R A

Page 20: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

20

Amanah ini tentunya membawa dampak perubahan yang sa-ngat mendasar jika dibandingkan

dengan sistem penganggaran yang diterapkan sebelumnya yakni bersifat incremental dan berbasis input. Untuk mendukung penerapan sistem pengang-garan berbasis kinerja dalam pengelolaan APBN, Pemerintah yang dimotori oleh Kementerian Keuangan dan Kemente-rian Perencanaan telah membangun sistem penganggaran berbasis kinerja dengan mengacu pada best practice dan pengalaman dari beberapa negara yang telah lebih dahulu menerapkan sistem ini, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia.

Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga) prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (performance oriented), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan ang-garan (let the managers manage), dan (3) pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow func-tion). Penjelasan untuk masing-masing prinsip utama dimaksud sebagai berikut :

Pertama, berorientasi pada kinerja. Prinsip ini dalam penerapannya menga-manahkan bahwa setiap rupiah anggaran

yang dialokasikan kepada Satuan Kerja atau kementerian negara/lembaga harus dapat menghasilkan kinerja atau dapat dikaitkan dengan kinerja tertentu yang akan dihasilkan. Di samping itu, melalui prinsip ini juga dapat menjaga bahwa se-tiap usulan anggaran yang diajukan oleh kementerian negara/lembaga didukung dokumen perencanaan dengan target kinerja yang jelas dan terukur.

Kedua, fleksibilitas dalam pelak-sanaan anggaran. Prinsip ini pada dasarnya memberikan keleluasaan kepada para Pengguna/Kuasa Peng-guna Anggaran dalam membelanjakan anggarannya guna mendukung pelaksa-naan rencana kerja yang telah disusun sehingga target kinerja dapat dicapai de-ngan lebih efisien. Yang perlu dipahami dengan baik atas prinsip ini adalah para Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran diberikan fleksibilitas dalam menentu-kan metode pelaksanaan kegiatan atau menggunakan komposisi sumber daya yang paling efektif dan efisien sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan baik dari sisi volume maupun kualitasnya.

Ketiga, pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi. Prinsip ini merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya dialokasikan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas fungsinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional. Di samping itu, melalui prinsip ini juga diharapkan dapat mencegah ada-nya duplikasi pengalokasian anggaran mengingat secara rumusan tugas fungsi, setiap unit seyogyanya mempunyai tugas fungsi yang spesifik dan tidak overlap dengan tugas fungsi unit yang lain.

Selain ketiga prinsip utama di atas, untuk memudahkan dalam mengimple-mentasikan sistem penggaran berbasis kinerja pada seluruh kementerian/lem-baga, juga dibangun 3 (tiga) instrumen atau tools yaitu : (1) Indikator kinerja. Instrumen ini

merupakan alat ukur yang digunakan pada saat melaku-kan pengukuran dan evalu-asi kinerja. Melalui indikator kinerja ini, evaluator akan dapat menilai apakah sebuah

unit atau satuan kerja berkinerja baik atau tidak dalam pelaksanaan tugas fungsinya.

(2) Standar biaya. Instrumen ini dimak-sudkan sebagai alat untuk menge-tahui berapa biaya yang dibutuh-kan untuk melaksanakan sebuah kegiatan dan menghasilkan kinerja tertentu. Disamping itu, melalui standar biaya ini juga akan dapat diketahui apakah sebuah kegiatan efisien atau tidak dengan memban-dingkan antara standar biaya yang ditetapkan dengan realisasi dalam implementasinya.

(3) Evaluasi kinerja. Instrumen ini meru-pakan alat untuk mengetahui apakah target kinerja yang direncanakan dapat dicapai dengan baik. Selanjut-nya berdasarkan hasil dari evaluasi kinerja ini dapat direkomendasikan langkah-langkah untuk perbaikan ke depan, baik dari sisi desain program, rumusan kinerja, indikator kinerja maupun metodologinya termasuk juga dalam hal rekomendasi terkait pemberian reward atau pengenaan sanksi bagi kementerian/lembaga.

Apakah pendekatan money follow function yang diterapkan selama ini telah mampu mendorong terciptanya efisiensi dalam pengalokasian dana di setiap satuan kerja?

Kalau dilihat dari prinsip dan tujuan yang menjadi dasar penerapan pendekatan ini, berdasarkan pengalaman penerapannya pada periode 10 (sepuluh) tahun tera-khir, pendekatan money follow function telah mampu mendorong ter- ciptanya efisiensi

dalam pengalo- kasian ang-garan walau-pun hasilnya belum optimal.

Hal ini dapat

dili-hat

“Sesuai amanah yang tertu-ang dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuang- an Negara disebutkan bahwa “Rencana kerja dan anggaran yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga, disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai”. Hal ini secara tegas dapat dimaknai bahwa dalam rangka penyu-sunan RAPBN dan dokumen RKA-K/L, Pemerintah wajib menerapkan sistem pengang-garan berbasis kinerja.”

W A W A N C A R A

Page 21: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

21

dari beberapa faktor antara lain : (1) pengalokasian anggaran tidak lagi berdasarkan pada line item atau input base tetapi sudah mengacu pada output dan outcome; (2) semakin tumbuhnya pemahaman tentang manfaat penyu-sunan dan penggunaan standar biaya keluaran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Hal ini tentu-nya akan menjadi acuan dalam menilai tingkat efisiensi mengingat salah satu fungsi standar biaya adalah sebagai tools dalam menilai efisiensi anggaran; dan (3) pengalokasian anggaran fokus pada unit atau satuan kerja sesuai tugas fung-sinya sehingga dapat dihindari adanya duplikasi pendanaan atau kesalahan alokasi pada unit atau satuan kerja yang tidak relevan.

Kendala terbesar apa yang menyebab-kan implementasi money follow func-tion belum mampu mendorong efisiensi penganggaran di Kementerian Negara/Lembaga?

Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang pernah dikunjungi sebagai benchmark di dalam penerapan pende-katan money follow function termasuk juga kondisi yang terjadi di Indonesia, ada 2 (dua) penyebab utama yang men-jadi kendala yaitu : (1) paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran; dan (2) pemahaman dalam penerapan pende-katan money follow function.

Berkaitan dengan paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran yang dimaksud adalah sampai dengan saat ini sebagian besar Kementerian Negara/Lembaga masih berorientasi pada besarnya pagu anggaran yang dapat dialokasikan (budget oriented), tidak berorientasi pada target kinerja yang akan dihasilkan (performance oriented).

Dengan adanya paradigma ini masing-masing Kementerian Negara/Lembaga berusaha untuk mendapatkan alokasi anggaran yang semakin besar setiap tahun tanpa didukung dengan rencana kinerja yang jelas dan terukur sehingga dalam implementasiannya sangat tidak efisien.

Selanjutnya, berkaitan dengan pema-haman dalam penerapan pendekatan money follow function, kondisi yang terjadi hingga saat ini masih banyak Kementerian Negara/Lembaga yang belum memahami pendekatan ini dengan baik. Kondisi ini membawa dampak pengalokasian anggaran kepada sebuah Satuan Kerja menjadi tidak tepat dan tidak efisien mengingat alokasi anggaran

diberikan kepada Satuan Anggaran yang tidak sesuai fungsinya atau digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang bu-kan merupakan tugas fungsinya.

Akhir-akhir ini di media massa ba nyak dimuat ide Bappenas yang dires-tui Presiden bahwa perlunya pengang-garan dengan menggunakan money follow program. Apakah ada perbe-daan yang mendasar di antara kedua pendekatan tersebut?

Menurut pandangan saya, pendeka-tan money follow program merupakan strategi atau kebijakan dalam pengalo-kasian anggaran yang mengacu pada program prioritas pembangunan. Melalui pendekatan ini, anggaran belanja yang disediakan dalam APBN akan dialokasi-kan ke dalam program-program pemba- ngunan sesuai prioritasnya. Semakin tinggi prioritas sebuah program maka alokasi anggaran yang ditetapkan sema-kin besar dan sebaliknya. Setelah alokasi

anggaran ditetapkan, langkah selanjut-nya adalah mendistribusikan anggaran dimaksud kepada kementerian/lembaga yang tugas fungsinya sesuai dengan target kinerja yang direncanakan. Kalau kita cermati lebih jauh, kedua pendekatan ini sebenarnya tetap digunakan dalam tahapan yang berurutan (sequence).

Secara prinsip perbedaan yang men-dasar adalah pada proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran untuk sebuah program pembangunan. Me-lalui pendekatan money follow program, penyusunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan urutan prioritas sebuah program pembangun-an dengan tetap memperhatikan target kinerja yang akan dicapai. Dengan

pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat top-down. Sedangkan untuk pendekatan money follow function, proses penyu-sunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan usulan rencana kerja dari kementerian/lembaga sesuai tugas fungsinya dengan tetap mengacu pada program prioritas pembangunan yang telah dituangkan dalam RPJMN, RKP atau direktif Presiden. Melalui pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat bottom-up.

Apa yang melatarbelakangi munculnya ide money follow program?

Berdasarkan hasil pengamatan saya pribadi dan mencermati komentar serta pandangan publik berkaitan dengan volume APBN yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sering kita dengar komentar bahwa volume APBN dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir naik hampir 4 kali lipat atau dalam kurun

Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga) prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (performance

oriented), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran (let the managers manage), dan (3) pengalokasian anggaran dengan

pendekatan fungsi (money follow function).

W A W A N C A R A

Page 22: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

22

waktu 5 (lima) tahun terakhir naik hampir 2 kali lipat. Tapi bagaimana dikaitkan dengan hasil atau kinerja yang dihasil-kan? Secara umum publik berpandangan dengan tambahan volume belanja APBN yang naik sedemikian besar tidak ada perubahan yang signifikan yang dapat di-rasakan oleh masyarakat, sehingga pub-lik berkesimpulan pola belanja Pemerin-tah dinilai tidak efisien atau kurang tepat sasaran.

Di samping itu, mencermati statement Bapak Presiden dan arahan kepada para Menteri disampaikan bahwa pendekatan pengalokasian anggaran kepada Kemen-terian Negara/Lembaga selama ini lebih bersifat “incremental” dan “bagi rata”. Hal ini tentunya tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat.

Apakah konsekuensi pada sistem pen-ganggaran yang selama ini existing?

Kalau dikaitkan dengan sistem pe-ngang-garan

yang saat ini sudah diterapkan, menurut pendapat saya secara prinsip tidak ada konsekuensi atau dampaknya, baik ter-hadap pendekatan pengangaran terpadu, kerangka pengeluaran jangka menengah maupun penganggaran berbasis kinerja. Sebagaimana saya jelaskan di atas, pendekatan money follow program pada dasarnya merupakan strategi dalam pengalokasian anggaran berdasarkan pada program sesuai dengan priori-tasnya. Yang perlu menjadi perhatian adalah adanya perubahan proses dalam pengalokasian anggaran yang semula lebih bersifat bottom-up menjadi top-down. Sekali alokasi anggaran untuk sebuah program ditetapkan, proses se-lanjutnya akan kembali mengikuti sistem penganggaran yang sudah ada.

Bagaimana peran Bappenas ke depan sebaiknya pada sistem penganggaran di Indonesia?

Berkaitan dengan peran sebuah unit atau Kementerian Negara/Lembaga dalam sistem pemerintahan menurut pandangan saya harus tetap mengacu pada amanah

regulasi dan tugas fungsi yang men-jadi tanggung jawabnya. Kalau kita perhatikan sesuai amanah regulasi dan tugas fungsi yang men-jadi tanggung jawab Bappenas adalah menyusun arah kebijakan pembangunan dan menyusun perencanaan pembangunan nasional.

Di samping itu, kalau kita cermati arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden pada be-

berapa forum dan kesempatan ditegaskan bahwa peran Bappe-nas diposisikan sebagai “system

integrator” yang diharapkan dapat menghasil-

kan sebuah perenca-

naan pem-

bangunan nasional yang terintegrasi, baik secara horisontal yakni antar Kemente-rian Negara/Lembaga maupun bersifat lintas sektor dan secara vertikal yakni antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Berdasarkan penga-laman dari beberapa ne- gara yang pernah dikun-jungi sebagai benchmark di dalam penerapan pendekatan money fol-low function termasuk juga kondisi yang terjadi di Indonesia, ada 2 (dua) penyebab utama yang menjadi kendala yaitu: (1) paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran; dan (2) pema-haman dalam penerapan pendekatan money fol-low function.”Selanjutnya untuk mendukung pelak-sanaan tugas fungsi Bappenas dalam menyiapkan perencanaan sebuah program/kegiatan pemerintah, diharap-kan dapat bersinergi dengan universitas dan lembaga-lembaga penelitian seperti BPPT atau LIPI dalam menyusun design, perekayasaan atau studi kelayakan yang selama ini kegiatan-kegiatan seperti dilaksanakan oleh tenaga konsultan de-ngan biaya yang cukup mahal/tinggi.

Dengan gambaran peran Bappenas sebagaimana dijelaskan di atas, diharap-kan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan nasional yang berkualitas sesuai dengan prioritas pembangunan dan program kerja Pemerintah sehingga Kementerian Keuangan akan lebih mu-dah di dalam mendistribusikan alokasi anggaran untuk setiap program/kegiatan yang akan dilaksanakan. n

W A W A N C A R A

Page 23: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

23

Teks : Asrukhil Imro

ADIK dalam RKA-K/L adalah gambar-an ringkas mengenai suatu program

sebagai respon/tanggapan terhadap suatu situasi/permasalahan/kebutuhan pemangku kepentingan dengan menunjuk-

kan hubungan logis antara sumber daya (input) yang digunakan, kegiatan yang dilaksanakan, keluaran (output) yang dihasilkan dan manfaat atau perubahan yang diinginkan atau dihasilkan (outcome)

dengan adanya program tersebut. Dalam PMK 192/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Ang-garan Kementerian Negara/Lembaga

reviu adik

Penataan Arsitektur Dan Informasi Kinerja (ADIK) sudah dimulai pada TA 2016. Apabila diperhatikan pada DIPA TA 2016 ada perubahan tampilan yakni pada halaman IA berisi Informasi Kinerja Kemen-terian/Lembaga mulai dari informasi fungsi, sub fungsi, program, outcome, IKU Program, kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan dan Keluaran (output).

R E V I U A D I K

KEMENRISTEKDIKTIDitjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Page 24: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

24

dan Pengesahan DIPA, Penataan ADIK dalam RKA-K/L dimaknai sebagai bukan menyusun dokumen baru atau menambah dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang sudah ada, melainkan penajaman isi RKA-K/L untuk menghasil-kan cara pandang yang ringkas atas suatu program agar dapat terlihat dari perspektif yang utuh, terlihat jelas relevansinya, dan mudah dimengerti oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).

“Pertanyaannya adalah mengapa harus melakukan penataan ADIK? Berdasarkan evaluasi atas sub-stansi program yang dikelola K/L memberikan hasil sebagai berikut : tidak jelas mana input, atau output, atau outcome; rumusan outcome kurang jelas dan terlalu norma-tif; sulit melihat relevansi antara input dengan output, dan dengan outcome; dan relevansi outcome terhadap need or problem tidak terlihat karena informasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam data-base RKA K/L.”

Penataan ADIK dalam RKA-K/L sebagai prasyarat keberhasilan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (performance based bud-geting) dengan melihat keterkait-an antara anggaran yang dike-luarkan (input) dengan kinerja (output). Penentu keberhasilan performance based budgeting tersebut adalah adanya rencana strategis yang jelas, relevan, dan terukur, yang didalamnya terdapat titik krusial berupa penentuan hasil (outcome) dan keluaran (output) pada level strategis.

Pertanyaannya adalah me-ngapa harus melakukan penata-an ADIK? Berdasarkan evaluasi atas substansi program yang dikelola K/L memberikan hasil sebagai berikut : tidak jelas mana input, atau output, atau outcome; rumusan outcome kurang jelas dan terlalu normatif; sulit melihat relevansi antara input dengan output, dan dengan outcome; dan relevansi outcome terhadap need

No Program Hasil (Outcome)

1. Pembelajaran dan Kemaha-siswaan

Meningkatnya kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan pendidikan tinggi

IKU PROGRAM

1. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi2. Jumlah mahasiswa yang berwirausaha3. Prosentase lulusan bersertifikat kompetensi4. Jumlah Prodi terakreditasi Unggul5. Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat nasional6. Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat internasional7. Prosentase lulusan yang langsung kerja8. Jumlah LPTK yang meningkat mutu penyelenggaraan pendidikan akademik9. Jumlah calon pendidik mengikuti Pendidikan Profesi Guru

or problem tidak terlihat karena informasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam data-base RKA K/L.

Berdasarkan evaluasi tersebut, RKA-K/L belum dapat menyajikan rumusan informasi kinerja yang terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan belum dapat menunjukkan relevansinya dengan sumber daya yang digunakan untuk mem-bantu proses perencanaan, penganggaran, dan evaluasi terhadap program-program pembangunan. Selain itu, ketiadaan output level K/L dan output level eselon I juga menjadi pertimbangan utama perlunya dilakukan penataan ADIK yang menggu-nakan pendekatan logic model.

Penyempurnaan atas Penataan ADIK

PMK 192/PMK.02/2015 mengatur bagaimana melakukan penataan ADIK yakni dengan mulai menyusun informasi kinerja K/L berdasarkan dokumen Renstra K/L dan/atau dokumen Renja K/L yang disusun dengan menggunakan kerangka berpikir/konsep logic model. Penyusunan informasi kinerja juga harus memperhati-kan tugas dan fungsi K/L beserta unit-unit organisasi/struktural di lingkup K/L (unit eselon I dan unit eselon II/Satker).

Tabel Informasi Kinerja Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Penyusunan informasi kinerja dilakukan mulai dari level K/L, kemudian dilanjut-kan dengan menyusun informasi kinerja pada level Eselon I dan Eselon II/Satker (mekanisme top down). lnformasi kinerja yang berada pada level K/L merupakan informasi yang sifatnya strategis. Informasi kinerja berorientasi kepada customer/stakeholder diluar K/L. Penerapan konsep Logic Model dengan mekanisme top down akan menghasilkan informasi kinerja yang apabila dilihat dari segi jumlah akan mengerucut dari level Eselon II/Satker dan Eselon I ke level K/L.

Selanjutnya informasi kinerja yang telah disusun dituangkan pada Formulir I untuk RKA level K/L; Formulir II untuk RKA level Unit Eselon I; dan Formulir III untuk RKA level Unit Eselon II/Satker. Untuk menjembatani penataan ADIK dengan aplikasi RKA-K/L SPAN, digunakan ap-likasi penataan ADIK untuk memasukkan rumusan output dan outcome (informasi kinerja) yang baru tersebut.

Untuk mengetahui bagaimana imple-mentasi penataan ADIK untuk TA 2016 marilah kita melihat DIPA Induk Kemen-terian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran

R E V I U A D I K

Page 25: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

25

IKK (Indikator Kinerja Kegiatan) Keluaran (Output) Komponen

Jumlah Mahasiswa penerima bea-siswa dan bantuan biaya pendidi-kan

Layanan Kesejahteraan dan Kewi-rausahaan Mahasiswa

Bantuan Bidikmisi

Jumlah mahasiswa yg dilatih kewi-rausahaan

Beasiswa ADik

Beasiswa Prestasi

Mahasiswa Melaksanakan Belajar Bekerja Terpadu

Penyaluran Beasiswa dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA

Koordinasi, Pengelolaan dan Vali-dasi Data

Pelatihan Kewirausahaan Maha-siswa dan Dosen

Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi 2015

Koordinasi, Pengelolaan dan Vali-dasi DataSosialisasi Sistem Penetapan dan Penyaluran Bidikmisi

Sosialisasi Program ADik

dan Kemahasiswaan pada halaman I A. Berdasarkan dokumen Renstra Kemen-terian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja Ditjen Belmawa sudah sesuai dengan sasaran strategis yaitu meningkatnya kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan pendidikan tinggi. IKU Program juga sesuai dengan Indikator Kinerja Sasaran Strategis. Demikian pula, dengan tugas dan fungsinya Ditjen Belmawa yakni me-nyelenggarakan perumusan dan pelaksa-naan kebijakan di bidang pembelajaran dan kemahasiswaan.

Selanjutnya kita melihat keluaran (out-put) dan Indikator Kinerja Kegiatan pada halaman I A. Informasi Kinerja pada DIPA Induk Satker Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan untuk kegiatan (5704) Peningkatan Layanan kemahasiswaan dan Penyiapan Karir, output (5704.003) La-yanan kesejahteraan dan Kewirausahaan

Mahasiswa : Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja untuk IKK dan Output sudah sesuai dengan Sasaran Kegi-atan (Output)/Indikator. Penyusunan rumusan keluaran (output) pada level eselon II/Sat-ker berpedoman pada penataan ADIK yakni merumuskan output de-ngan mengambil sasaran kegiatan yang terdapat dalam dokumen Renstra K/L dan/atau Renja K/L. Idealnya, sasaran kegiatan dalam Renstra K/L dan/atau Renja

R E V I U A D I K

Page 26: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

26

IKK (Indikator Kinerja Kegiatan)

Keluaran (Output) Komponen

Jumlah Mahasiswa pener-ima beasiswa dan bantuan biaya pendidikan

Beasiswa Sosialisasi Program Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK, Beasiswa Prestasi

Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi 2015

Sosialisasi Sistem Penetapan dan Penyaluran Bidik-misi

Penyaluran Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK, Beasiswa Prestasi dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA

Koordinasi, Pengelolaan dan Validasi Data

Monitoring dan Pelaporan Beasiswa Bidikmisi, Bea-siswa ADiK, Beasiswa Prestasi dan Bantuan Biaya Pendidikan PPA

Jumlah mahasiswa yg dilatih kewirausahaan

Kewirausahaan Maha-siswa

penyiapan perumusan kebijakan pengembangan di bidang kewirausahaan

Fasilitasi di bidang kewirausahaan

Pelaksanaan dibidang kewirausahaan

Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang kewirausahaan

K/L merupakan output eselon II/Satker dalam RKA KL. Sedangkan penyusunan Indikator Kinerja Output Eselon II/Satker dengan memperhatikan rumusan output eselon II/Satker yang mengacu kepada sasaran kegiatan dalam Renstra K/L atau Renja K/L.

“Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja untuk IKK dan Output sudah se-suai dengan Sasaran Kegi-atan (Output)/Indikator. “

Untuk penyusunan aktivitas atau taha-pan kegiatan yang akan dilakukan dalam menghasilkan output mengacu kepada rumusan output yang akan dihasilkan dan tugas/fungsi serta urusan yang menjadi tanggung jawab eselon II/Satker. Rumus-an aktivitas dinyatakan dalam bentuk kata kerja yang saling terkaitan dan menjadi satu kesatuan proses.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ristek Dikti Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, salah satu tugas/fungsi Direktorat Kemahasiswaan adalah pelaksanaan pengawasan dan pengendalian bidang penalaran, kreativitas, kesejahteraan ma-hasiswa, kewirausahaan, minat dan bakat, organisasi kemahasiswaan, serta penye-larasan dunia kerja. Untuk menjalankan

tugas dan fungsi dibidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa dilak-sanakan oleh Subdirektorat Kesejahteraan dan Kewirausahaan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pe-rumusan kebijakan, fasilitasi, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa.

Dengan mencermati tugas dan fungsi serta sasaran kegiatan pada Renstra tersebut, perumusan nomenklatur output dan aktivitas perlu disempurnakan kembali sehingga lebih fokus kepada hasil akhir berupa pemberian beasiswa dan pelatihan kewirausahaan. Demikian pula aktivi-tas mampu menjelaskan tahapan dalam mencapai output tersebut. Berikut adalah alternatif rumusan output dan aktivitas dengan tetap mempertahankan IKK. n

R E V I U A D I K

Page 27: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

27

Gotong Royong Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur

Teks : Wahyu Indrawan

Pemerintah senantiasa berupaya untuk menyediakan infrastruktur bagi rakyat

sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional. Keberpihakan Pemerintah pada penyediaan infrastruktur antara lain dapat dilihat dari terus meningkatknya anggaran untuk infrastruktur di APBN. Sebagai con-toh, pada tahun 2011 anggaran infrastruk-tur yang tersedia adalah sebesar Rp114,2 triliun kemudian melesat menjadi (hampir 3x lipat) Rp313,5 triliun dalam lima tahun berikutnya pada APBN tahun 2016. Na-mun, kita juga menyaksikan bahwa kondisi infrastruktur di Indonesia saat ini belum memadai dan belum merata antarwilayah.

Kondisi inilah yang menjadi salah satu pertimbangan untuk menjadikan APBN 2016 dan juga tema pembangunan tahun 2017 yang merupakan bagian dari RPJMN 2015-2019 fokus pada percepatan pem-bangunan infrastruktur dan pengurangan ketimpangan antarwilayah. Di sisi lain Pemerintah juga menyadari bahwa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di bi-dang infrastruktur dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan meningkatkan daya saing infrastruktur Indonesia, diperlukan pendanaan yang sangat besar. Berdasar-kan kajian BAPPENAS (2014), kebutuhan pendanaan untuk memenuhi target-target

infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 adalah sebesar Rp5.519,4 triliun selama 5 tahun. Dari total kebutuhan pendanaan tersebut, diperkirakan dana dari APBN hanya sanggup mencukupi sebesar 40,14% atau sebesar Rp2.215,6 triliun selama 5 tahun anggaran.

Menyadari besarnya kebutuhan penda-naan untuk infrastruktur yang memerlukan anggaran yang besar dan di tengah keter-batasan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan investasi infra-struktur sangat terbatas, Pemerintah terus mencari terobosan untuk mencari solusi atas hal ini, salah satunya melalui melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) dalam model pengadaan infrastruk-tur untuk meningkatkan partisipasi pihak swasta. Skema ini sejalan dengan juga dengan nilai kegotongroyongan bangsa Indonesia. Melalui KPS, pihak swasta bergotong royong bersama Pemerintah untuk turut serta membangun bangsa melalui investasi di bidang infrastruktur. Gotong royong diimplementasikan dalam bentuk kesediaan pihak swasta untuk ikut membangun infrastruktur, sedangkan Pemerintah memberikan dukungan dalam pelaksanaannya.

Aspek Legal KPS

Pada periode Kabinet pemerintahan sebelumnya, Pemerintah telah menge-luarkan Perpres Nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah terakhir berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 67 Tahun 2005.Seiring berkembangnya sektor infra-struktur yang dianggap potensial untuk dikerjasamakan, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ju-suf Kalla telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagai peraturan pengganti Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005. Dalam peraturan ini, KPS yang selanjutnya disebut dengan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) didefinisikan sebagai kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur un-tuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber

P E M B A N G U N A N I N F R A S T R U K T U R

Page 28: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

28

daya Badan Usaha dengan memperhati-kan pembagian risiko di antara para pihak. Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Ta-hun 2015, cakupan jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan tidak hanya kepada infrastruktur ekonomi tapi juga diperluas kepada infrastruktur sosial.

Dukungan Pemerintah terhadap KPS

Untuk mendukung pengembangan infrastrukur dengan skema KPBU, Pemer-intah juga telah mendirikan PPP Unit yang selanjutnya disebut Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (Dit. PDPPI) di bawah Direk-torat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan. Unit ini bertugas untuk mengelola fasilitas Du-kungan Pemerintah untuk proyek dengan skema KPBU.

Dalam Nota Keuangan APBN 2016 diuraikan bahwa fasilitas dukungan pemerintah yang diberikan kepada pihak swasta tidak hanya berupa dana dukun-gan tunai untuk proyek infrastruktur atau Viability Gap Funding (VGF), tetapi juga dalam bentuk penyiapan proyek KPBU dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan melalui lembaga pembiayaan infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)) dengan skema Project Development Fund (PDF) serta penjaminan risiko infrastruk-tur yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (dalam hal ini PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)).

Penyiapan proyek melalui skema PDF merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Penanggung Jawab Proyek (PJP) dalam rangka memper-siapkan proyek KPBU agar menarik dan siap ditawarkan kepada investor. Saat ini terdapat dua proyek yang mendapat

fasilitas ini yakni Proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta-Manggarai dan Proyek Pem-bangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur.

Dukungan kelayakan proyek kerja sama (VGF) merupakan dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek kerja sama. Dukungan kelayakan bertujuan untuk: (1) meningkatkan kelayakan

finansial proyek kerja sama; (2) mening-katkan kepastian pengadaan proyek kerja sama dan pengadaan badan usaha pada proyek kerja sama sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan; dan (3) mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang ter-jangkau oleh masyarakat. Saat ini, Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan prinsip Dukungan Kelayakan untuk tiga proyek KPBU yakni Proyek SPAM Bandar Lampung, Proyek SPAM Umbulan, dan Proyek SPAM Semarang Barat. Dalam APBN tahun 2016 telah dialokasikan VGF (termasuk cadangan VGF) sebesar Rp1,1 triliun melalui Bagian Anggaran Non- Kementerian/Lembaga.

Di sisi penjaminan, Pemerintah ber-sama dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) telah memberikan penjaminan untuk proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Ten-gah (2 x 1000 MW) setelah mengalami kemunduran jadwal tanggal pemenuhan pembiayaan (financial close date) di-karenakan pembebasan lahan yang belum selesai. Pemerintah telah menargetkan bahwa proyek ini mulai beroperasi pada tahun 2017. Selain Proyek IPP PLTU Jawa Tengah, PT Penjaminan Infrastruktur Indo-nesia (Persero) dan Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan penjaminan kepada proyek mulut tam-bang 9 dan 10 di Sumatera Selatan yang saat ini se-dang dalam proses

pelelangan. Adapun skema penjaminan yang akan dilakukan adalah penjaminan bersama/co-guarantee dengan Peme-rintah atas prinsip pembagian risiko (risk sharing).

Selain fasilitas yang disediakan terse-but, Pemerintah dapat memberikan du-kungan dalam bentuk insentif perpajakan dan/atau kontribusi fiskal dalam bentuk finansial berdasarkan usulan Menteri/Ke-pala Lembaga/Kepala Daerah.

Merujuk pada amanat Perpres Nomor 38 Tahun 2015, Kementerian Keuang-an telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 untuk penerapan skema Availability Pay-ment (AP) yang merupakan salah satu struktur pembiayaan guna memastikan pengembalian investasi bagi Badan Usaha (swasta) dalam skema KPBU. Availability Payment diharapkan dapat meningkat-kan minat berinvestasi karena adanya kepastian pengembalian investasi bagi Badan Usaha. Availability Payment akan dibayarkan oleh Menteri/Kepala Lem-baga/Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama pada masa ope-rasi dengan suatu komitmen pembayaran jangka panjang berdasarkan target kinerja yang telah disepakati sehingga mengu-rangi risiko pendapatan Badan Usaha. Proyek Palapa Ring adalah proyek KPBU pertama yang memakai skema Availability Payment di Indonesia.

Dengan seperangkat dukungan Pemer-intah, terlepas dari tantangan dan ken-dala dalam pelaksanaannya, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (Public Pri-vate Partnership) diharapkan akan dapat disediakan infrastruktur yang memadai dan merata bagi masyarakat Indonesia. n

P E M B A N G U N A N I N F R A S T R U K T U R

Page 29: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

29

Teks : Dede Solihin

“Apa sih maksud jawaban ini?”, “Ngerti enggak ya, mereka?”, “Lama kali responnya!”, “Bingung, harus tanya apalagi?”, “Eeh ! yang nanya malah tanya!, “Lelet, nih! Jaringannya!”. Cuitan-cuitan itu mucul bukan saat brow-sing, apalagi update status, baca berita on line, tidak juga!, apalagi nonton youtube, bukan itu!, bukan itu!, tapi ini adalah secuil ekspresi penelaah RKA KL Online. Terus apa hubungannya dengan judul di atas? Santai saja, enggak usah sewot gitu! Alon-alon biar kelakon. Langsung tunjeb point saja (Srimulat), kondisi itu bisa saja terjadi karena pola pembakuan pertanyaan dalam penelaahan online belum ada. Menurut pengamatan penulis, setidak-tidaknya, ada 2 argumen mengapa pembakuan percakapan penelaahan online itu perlu. Pertama, pembakuan atau standardi-sasi apapun itu, merupakan ciri umum or-

ganisasi ber-good governance. Non sense organisasi telah melaksanakan ini dan itu, jika layanan tak miliki standar pelayanan konsumen/pemangku kepentingan/pihak ekstern. Pendek kata, sudah seharusnya bahwa semua jenis layanan punya standar pelayanan. Entah itu, bentuknya Stan-dar Pelayanan Minimal (SPM), Standard Operating Procedure (SOP) ataupun pengaturan lainnya. Pembakuan adalah bentuk acuan sebagai barometer berucap dan bertindak orang-orang yang terlibat dalam pelayanan.

Kedua, tuntutan akan adanya ke-cepatan dan ketepatan pelayanan. Model konvensional (tatap muka) sulit melak-sanakan tugas ini. Kemampuan manusia dalam memproses kecepatan dan ketepa-tan layanan akan selalu paradoks, misal apabila intensitas proses banyak proses sekali kerja, ada kecenderungan ketelitian menurun. Namun, apabila tugas itu dilaku-

kan melalui pemakaian teknologi informasi, maka akan mempermudah proses kerja. Man power akan diposisikan sebagai quality control dan analisis pekerjaan. Kecepatan dan ketepatan menjadi inti dari suatu layanan. Dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, jujur diakui bahwa sektor pemerintah belum bisa menyamai sektor swasta dalam hal penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi.

Online bukan perkara aneh apa-lagi ngawang-ngawang, misal internet banking, jual-beli online, ojek online, taksi online serta ”online online” kata Saikoji dalam lirik lagunya. Dunia seakan mengkerut, perdagangan melalui online lebih nyata manfaatnya dan tumbuh pesat menjelma bagai raksasa pengguna online. Jaman sekarang, orang tidak perlu repot-repot ke pasar nyata untuk memenuhi kebutuhannya, cukup duduk, kalau perlu sambil “siul-siul” di depan komputer ter-

B A K U C A K A P

Baku Cakap Penelaahan

OnlineMengingat begitu strategisnya penelaahan yang dilakukan secara online, maka harus ada upaya-upaya ke arah penyusunan suatu pola percakapan online standar sehingga struktur percakapan menjadi sistematis dan produktif.

Page 30: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

30

sambung jaringan internet, lalu goyangkan telunjuk tangan “Klik, klik, klik carilah sesuatu kebutuhan sepuasnya”. Kita tidak menyadarinya, bahwa aktivitas online telah lekat jadi kebiasaan sehari-hari, tidak berkelebihan bila dari bangun tidur sampai tidur kembali pasti ada aktivitas online. Beragam bentuk, umpamanya sosmed (facebook, twitter, instagram. Path, whats-apps, google + dll), jual-beli online, baca berita online, chatting, SMS, atau minimal pasang alarm di handphone. Istilah ba-hasa komputernya, aktivitas online sudah kebutuhan hingga jadi lengket dengan kegiatan sehari-hari/default.

Mundur sedikit melihat kembali judul “Baku Cakap Penelaahan Online” di atas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online. Arti baku ialah standar atau tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, contoh air baku, bahasa baku, bahan baku. Percaka-pan dengan kata dasar cakap adalah ber-dialog, sementara itu online ialah jaringan. Jadi, kalau dirangkai urutan makna Baku Cakap Penelaahan Online adalah dialog ‘percakapan’ atau komunikasi berstandar menggunakan jaringan internet. Sementa-ra itu, menurut petunjuk penyusunan RKA K/L, Penelaahan RKA K/L Online ialah penelaahan dengan menggunakan fasilitas komputer dan internet yang melibatkan peserta penelaah dan berinteraksi dalam sebuah forum online.

Penelaahan melalui media online telah diterapkan sejak Tahun Anggaran 2013. Paradigma penelaahan mengalami perubahan dari offline oriented (tatap muka) menjadi online oriented (virtual). Perubahan ini merupakan loncatan besar atas ciri layanan kepada pemangku kepentingan, bolehlah dikatakan “REVO-LUSI” atas pelayanan Ditjen Anggaran kepada pemangku kepentingan. Kebijakan itu sama sekali baru dan baru pertama kali, tidak pernah terbayang bahwa proses penelaahan bisa dilakukan secara online. Kebijakan itu berdampak sistemik terhadap pendokumentasian, contohnya peng-gunaan barcode/digital stamp pengganti tanda tangan pada petikan DIPA, peruba-han proses bisnis intern pelayanan DJA serta eksternal (penguatan Biro Perenca-naan K/L, Aparat Inspektorat Pemerintah (APIP)), dan sebagainya.

DJA menerapkan penelaahan online secara bertahap kepada K/L, kurang lebih 60 K/L telah melakukan penelaahan online. Rencana besarnya bahwa seluruh K/L akan melakukan penelaahan online dalam pembuatan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (RKA-K/L/DIPA) dan tidak menutup kemungkinan bahwa revisipun akan diolah melalui proses penelaahan online. Sekedar nostalgia saja, rasanya masih hangat dalam ingatan kita gamba-ran penelaahan offline (tatap muka). Saat itu, orang-orang satuan kerja (satker) berbondong-bondong datang ke DJA un-tuk melakukan penelaahan. Suasana kala itu sangat tidak nyaman karena fasilitas gedung tidak dirancang untuk keperluan rapat penelaahan dalam skala besar dan kolosal. Oleh karena itu, ruang lobby, se-lasar ruangan, ruang-ruang kosong disulap menjadi ruang darurat tempat penelaa-han. Hiruk-pikuk dan riuh-redam suasana saat itu jadi pemandangan lumrah karena penelaahan dilakukan secara tatap muka (full body contact) dan tinggi nada volume percakapan mirip pasar, tambah ruwet

lagi manakala satker-satker mengerjakan perbaikan langsung di “TKP” karena dike-jar deadline. Mereka selonjoran, duduk-duduk, berkumpul mengerjakan perbaikan RKA KL/DIPA dekat “matalistrik” atau colokan laptop. Namun, dengan cara online kondisi itu 180 derajat berbeda, suasana hening, “sepi ing pamrih rame ing gawe” penelaahan di create di alam maya

membicarakan konten RKA-K/L. Kemajuan teknologi informasi mem-bantu terciptanya forum penelaahan nyata dalam dunia maya. Para peserta dari Pihak Pertama (Kasubdit, Kepala Seksi dan Pelaksana DJA), Pihak Kedua (Biro Perencanaan K/L) dan Pihak Ketiga (Bappenas). Mereka semua terhubung melalui Internet Protocol Address (IP address) jaringan komputer server DJA. Jalannya proses komunikasi persis seperti melakukan komunikasi via Short Mes-sage Service (SMS), cuma bedanya adalah bahwa komunikasi di antara 3 pihak tersebut diwadahi melalui aplikasi RKA K/L DIPA online. Dialog percaka-pan ditekankan untuk menelaah 2 tema besar RKA K/L, meliputi; tema adminis-tratif dan substantif. Forum penelaahan melalui percakapan online ini menjadi krusial karena dibentuk sebagai pengganti penelaahan offline (tatap muka). Proses ini guna memastikan bahwa penyusunan dan pengesahan Anggaran dan Pendapat-an dan Belanja Negara (APBN) telah sesuai dengan kaidah-kaidah peng-

anggaran. Forum proses ini pun ternyata direkam secara baik dan menyimpan data pelaku beserta isi percakapannya. Bila-mana diperlukan, misalnya pemeriksaan atau berbagai kepentingan lainnya, maka histori percakapan itu bisa diungkap kem-bali (audit trail). Apakah antisipasi ke arah sana sudah terpikirkan, terwacanakan? Kiranya belum!

B A K U C A K A P

Page 31: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

31

B A K U C A K A P

Mengingat begitu strategisnya penela-ahan yang dilakukan secara online, maka semestinya harus ada upaya-upaya ke arah penyusunan suatu pola percakapan online terstandar sehingga struktur per-cakapan menjadi sistematis dan produktif. Perlu digarisbawahi bahwa langkah per-tama yang perlu distandarkan itu adalah Pertanyaan Penelaahan. Pembakuan itu penting karena terdapat kaidah umum

yang berlaku dalam menyusun suatu per-tanyaan seperti halnya kita ketahui melalui buku buku metodologi penelitian ilmiah atau pedoman penyusunan kuesioner. Rumusan pertanyaan ituharus memenuhi unsur reliabilitas (handal) dan validitas (sahih) dengan kata lain pertanyaan itu hendaknya mengukur apa yang semes-tinya harus diukur dan dengan alat ukur yang akuntabel. Pertanyaan-pertanyaan itu diturunkan dari ruang lingkup tugas dan fungsi Kementerian Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO). Petunjuk tugas dan fungsi itu bisa digali dari UU Keuangan Negara, PP petunjuk penyusun-an RKA K/L dan aturan-aturan turunan-nya. Hasil perumusan akan menjadi daftar pertanyaan dan membentuk suatu daftar pertanyaan dengan keluasan dan ke-dalaman yang berbeda-beda. Tentunya keluasan dan kedalaman ini sangat dipe-ngaruhi oleh besar/kecil pagu dan struktur kegiatan K/L. Keluasan pertanyaan terkait

dengan variasi atau ragam pertanyaan karena faktor pagu dan kompleksivitas tiap K/L berbeda-beda (persfektif horizontal) begitupun kedalaman (persfektif vertikal). Misal pertanyaan-pertanyaan untuk K/L yang mengelola sebagian besar belanja operasional/mengikat/non discretion-ary (K/L kecil) berbeda dengan yang mengelola belanja non operasional/tidak mengikat/discretionary (K/L besar).

Pertanyaan-pertanyaan itu akan mem-

bentuk suatu rangkaian tema/topik dan bisa disebut sebagai upaya CFO untuk mengecek ulang dan memastikan bahwa alokasi dana telah memenuhi kebutuhan dasar dan kegiatan strategis Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Respon atau jawaban dari pihak mitra adalah ruang atau cakupan yang harus dianalisa oleh Kasubdit, Kepala Seksi dan Penelaah DJA dan tentunya Bappenas. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, bisa merupakan refleksi atas proses penyu-sunan RKA-K/L yang telah dilampaui (review baseline, tritlateral meeting) dilakukan oleh K/L sebagai Chief Opera-tional Officer (COO). Dari jawaban-jawab-an itulah kita bisa mengerti apa saja yang telah dilakukan oleh K/L terkait dengan proses penganggaran.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus bersumber dari tugas dan fungsi dari

CFO melalui UU, PP dan berbagai aturan turunannya. Mengutip dari buku Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan (Umar, Husein, 2008 : 14) bahwa struktur teori dilihat dari tingkatannya adalah dari yang tinggi sampai terendah yaitu bermula dari Paradigma, Teori dan Model, Dalil, Konsep, Dimensi, Indikator. Berdasarkan pola pikir itu, maka pertanyaan-pertanyaan itu sedemikian rupa disusun bersumber dari dan diturunkan dari urutan terakhir yaitu indikator. Alur pikir itu ternyata mirip dengan substansi yang diatur dalam tata urutan peraturan, semakin ke bawah tingkatan maka akan didapat pengaturan semakin operasional.

Guna keperluan percakapan yang efektif dan produktif maka tidak salah jika kita juga memahami efektivitas kalimat dengan memperhatikan diantaranya ragam bahasa, kelogisan berbahasa, diksi (pili-han kata). Ragam bahasa misalnya ragam umum dan tak umum, raga umum dan ragam sopan, ragam umum dan ragam sentuh rasa, ragam umum tanpa pesona, ragam umum dan ragam stalistik, ragam umum dan ragam diplomasi, ragam lisan dan ragam tulisan. Kelogisan berbahasa seperti kalimat sintetis dan kalimat analitis, kontradiksi dan analisis komponen, per-tentangan makna, tautologi dan predikasi dikutif dari buku Belajar Mengemukakan Pendapat (Parera, Jos Daniel, 1991). Unsur-unsur tersebut sangat membantu dalam proses penyusunan pertanyaan dan menganallisis jawaban dalam forum pene-laahan. Apabila pertanyaan-pertanyaan telah disusun dan ilmiah maka wajib hu-kumnya untuk diujicobakan di lingkungan dan ekstern DJA sehingga reliabilitas dan validitas pertanyaan dapat dipertanggung-jawabkan (policy by reseach).

Coba simak 2 kalimat yang barangkali kita pernah melihatnya :” Terima Serpis Jok” atau kalimat lainnya, “Menerima Ser-vise Joke”, maksud sama, tulisan berbeda akan dijumpai perbedaan arti. Begitupun pemilihan kata (diksi) untuk kata “meng-gagahi” dengan “menggagahkan” jauh berbeda. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pembakuan percaka-pan dalam penelaahan RKA K/L online sangat penting. Akhirnya dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman untuk memenuhi kepuasan pemangku kepentingan adalah salah satu nilai-nilai keuangan yang bernama pelayanan. n

Page 32: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

32

B U D G E T T R A N S P A R E N C Y T O U R

SURVEI TRANSPARANSI ANGGARAN INDONESIA

Kebanyakan pengukuran/penilaian atas akuntabilitas proses pengang-

garan pemerintah didasarkan pada dokumen-dokumen atau laporan-laporan keuangan yang telah dihasilkan, lain halnya dengan survei transparansi ang-garan yang dilaksanakan oleh lembaga independen ini. Hasil survei ditentukan dari jawaban atas 140 pertanyaan dalam

kuesioner dan direviu oleh tenaga ahli. Tiga puluh satu pertanyaan diantaranya ditujukan khusus untuk mengukur tingkat partisipasi publik dalam proses pengang-garan. Dari hasil survei tersebut, peme-rintah diberi kesempatan untuk melaku-kan reviu dan memberikan komentar atas hasil survei.

Survei transparansi anggaran men-cakup pengukuran atas tiga aspek utama: ketersediaan informasi anggaran untuk publik, kesempatan publik untuk berpartisipasi di dalam proses pengang-garan, dan peran strategis lembaga pengawas termasuk legislatif dan BPK. Mayoritas pertanyaan-pertanyaan dalam survei mengukur tentang apa yang telah

Teks : IG. A. Krisna Murti Rs

Survei transparansi anggaran adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh sebuah negara dalam mengimplementasikan inisiatif transparansi anggaran, termasuk melihat bentuk partisipasi publik dalam proses penyusunan anggaran hingga pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan lembaga audit.

Page 33: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

33

dilakukan dan bukan pada apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan keten-tuan yang berlaku.

Pengukuran ketersediaan informasi anggaran untuk publik mengacu pada dokumen-dokumen anggaran yang diterbitkan pada setiap tahapan dalam siklus penyusunan anggaran termasuk materi dan data anggaran yang tercan-tum di dalamnya. Terdapat sedikitnya 8 dokumen utama yang harus dilihat untuk memastikan apakah konten yang terdapat di dalamnya telah memenuhi kriteria atau tidak. Kriteria tersebut disusun dalam panduan survei yang telah disepakati organisasi-organisasi multilateral, seperti IMF (Code of Good Practices on Fiscal Transparency), World Bank, OECD (Best Practices for Fiscal Transparency), dan the International Organization of Supreme Audit (Lima Declaration of Guidelines of Supreme Audit Precepts). Panduan ini dapat diterapkan di beberapa negara yang memiliki sistem penganggaran yang berbeda, termasuk pada negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda pula.

Survei transparansi anggaran ta-hun 2015 dilaksanakan juga oleh IBP (International Budget Partnership) bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat di 102 negara selama 18 bulan (di Indonesia bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Forum Transpar-ansi Anggaran – Seknas FITRA). Ke 102 negara yang disurvei mencakup seluruh kawasan di dunia dengan tingkat pendapatan yang beragam. Survei transparansi anggaran tahun 2015 ini di-lakukan untuk yang kelima kalinya sejak tahun 2006. Setelah tahun 2006, survei serupa dilakukan pada tahun 2008, 2010, 2010, 2012 dengan bebearapa perbaikan metodologi survei.

Sebagai panduan dalam menentukan indeks transparansi anggaran, sebagian besar jawaban atas pertanyaan-per-tanyaan dalam kuesioner dikategorikan ke dalam 5 skala. Jawaban “a” dan “b” mengindikasikan bahwa inisiatif keter-bukaan anggaran telah dilakukan sesuai dengan kriteria dan praktik-praktik pada umumnya. Huruf “a” berarti telah memenuhi standar, sedangkan “b” masih sedikit di bawah standar. Jawaban “c” mengandung arti bahwa usaha-usaha yang telah dilakukan masih kurang se-hingga tidak dapat memenuhi standar/

kriteria. “D” untuk usaha yang sangat kurang dan ti-dak memenuhi kriteria. Se-dangkan untuk jawaban “e” adalah tidak ada inisiatif sama sekali untuk mengim-plementasikan transparansi anggaran. Beberapa pertanyaan lainnya dengan 3 skala, “a” (sesuai stan-dar), “b” (tidak sesuai standar), dan “c” (tidak tersedia/tidak melakukan usaha apapun terkait keterbukaan anggaran). Jawaban untuk skala 5 masing-masing diberi nilai : a=100, b=67, c=33, d=0, e=tidak dimasukkan dalam perhitungan. Nilai untuk jawaban dengan skala 3 : a=100, b=0, c=tidak dimasukkan dalam perhitungan.

Open Budget Index (OBI)

Rata-rata nilai jawaban atas 109 pertanyaan survei, setelah direviu oleh tenaga ahli, menghasilkan nilai Indeks Transparansi Anggaran, biasa dikenal dengan OBI dengan skala penilaian 1 – 100. Nilai OBI mencerminkan upaya-

Dokumen Anggaran Batas Waktu Publikasi / Penayangan

Pre-Budget Statement (KEM-PPKF)

Satu bulan sebelum jadwal pengajuan Executive Budget Proposal ke DPR

Executive Budget Proposal (RAPBN)

Pada masa pembahasan dan sebelum ditetapkan DPR

Enacted Budget (APBN) Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah ditetapkan DPR

Citizens Budget (Budget in Brief) Pada masa pembahasan dan sebelum ditetapkan DPR (untuk RAPBN)

In-Year Report (Laporan Bulanan) Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran

Mid-Year Report (Laporan Semes-ter I)

Sekurang-kurangnya 3 bulan setelah periode pelaporan berakhir

Year-End Report (LKPP) Sekurang-kurangnya 12 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran

Audit Report (Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP)

Sekurang-kurangnya 18 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran

Tabel 1

B U D G E T T R A N S P A R E N C Y T O U R

Page 34: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

34

upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengimplementasikan transpar-ansi anggaran sesuai kriteria yang ditetapkan atas 8 dokumen utama. Salah satu tolok ukurnya adalah batas waktu penerbitan/penayangan atas 8 dokumen utama tersebut (tabel 1):

“Secara keseluruhan in-deks transparansi anggaran (OBI) Indonesia tahun 2015 adalah 59 (informasi/data anggaran yang disediakan oleh Pemerintah untuk publik masih terbatas).”

Pada hasil survei tahun 2015, nilai yang diberikan untuk Indonesia un-tuk aspek partisipasi publik adalah 35 (skala 100), artinya masih cukup lemah dalam memberi kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses

penyusunan anggaran. Nilai untuk aspek pengawasan oleh legislatif dan BPK masing-masing 82 dan 75. Secara keseluruhan indeks transparansi angga-ran (OBI) Indonesia tahun 2015 adalah 59 (informasi/data anggaran yang disediakan oleh Pemerintah untuk publik masih terbatas). Nilai indeks ini menurun

dibanding survei tahun 2012 dengan nilai OBI 62 (peringkat 1 di kawasan Asia). Berikut grafik perkembangan indeks

transparansi anggaran – OBI Indonesia dalam 5 kali survei (Grafik 1).

Dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia dan Australia, nilai OBI Indonesia tahun 2015 masih berada di peringkat 4, dibawah Selandia Baru, Korea Selatan, dan Filipina. Namun, jika

dibandingkan dengan rata-rata nilai OBI dari seluruh negara yang disurvei, nilai OBI Indonesia tahun 2015 masih di atas

rata-rata (Grafik 2).

Dengan nilai capaian OBI 59, IBP kemudian merekomendasikan kepada Indonesia beberapa hal terkait kriteria transparansi anggaran yang belum/tidak dipenuhi. Salah satunya, pada dokumen Pre-Budget Statement (Kebijakan Eko-nomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal) yang mendapat nilai kurang pada saat survei tahun 2015 karena doku-men tersebut tidak dipublikasikan, pada survei berikutnya diharapkan dapat dipublikasikan tepat waktu. Rekomendasi lainnya adalah saran bagi Pemerintah untuk menyusun suatu mekanisme yang mengatur tentang partisipasi publik dalam proses penyusunan anggaran, contohnya pada saat public hearing, pelaksanaan survei, atau diskusi/FGD, yang tujuan-nya adalah untuk menangkap perma-salahan-permasalahan anggaran dilihat dari kacamata publik. Yang menarik, dari beberapa rekomendasi yang disarankan, Pemerintah diharapkan dapat menyiap-kan atau membentuk suatu entitas yang bertugas untuk membantu legislatif dalam melakukan riset tentang anggaran sehingga pengawasan terhadap proses penyusunan anggaran dapat berjalan se-cara efektif yang berujung pada mening-katnya kualitas penyusunan anggaran (APBN-red). n

Grafik 1

Grafik 2

B U D G E T T R A N S P A R E N C Y T O U R

Page 35: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

35

Open Budget Index

Transparansi anggaran mengacu pada ketersediaan anggaran penerimaan dan belanja negara yang dapat diakses oleh publik secara bebas dan tidak terbatas

waktu. Anggaran merupakan dokumen kunci dan sumber informasi masyarakat untuk mengetahui kebijakan pemerintah, program prioritas, dan alokasi pendana-annya. Transparansi menjadi esensial karena dapat menutup ruang bagi pe-

dan Partisipasi Publik dalam PenganggaranTeks : Aries Setiadi

Publik semakin menunjukan kepedulian terhadap transparansi anggaran dan menuntut akses informasi anggaran pemerintah. Upaya untuk melibatkan publik dalam proses penganggaran juga kini banyak diadopsi baik oleh negara maju maupun negara berkembang dan dalam skala kecil maupun besar. Di era digital, berbagai media berbasis teknologi informasi mendorong peningkatan transparansi anggaran dan partisipasi publik.

nyalahgunaan anggaran, memberikan ruang bagi publik untuk memberikan masukan kepada pemerintah, serta mem-bantu meningkatkan kepercayaan publik. Keterbukaan anggaran menjadi sebuah prasyarat bagi akuntabilitas pemerintah.

T R A N S P A R A N S I A N G G A R A N

Page 36: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

36

International Budget Partnership, organisasi internasional yang mengadvo-kasi peningkatan tata kelola pemerintah dan transparansi anggaran, melakukan penilaian Open Budget Survey setiap dua tahun di lebih dari seratus negara. Survei tersebut meliputi 109 pertanyaan terkait tata kelola, akses informasi, partisipasi publik, dan pengawasan. Hasil Open Budget Survey kemudian dikompilasi menjadi Open Budget Index dan dikelom-pokan menjadi lima tahapan transparansi anggaran: kurang (skor 0-20), minimal (20-40), terbatas (40-60), substansial (60-80), dan ekstensif (80-100).

Open Budget Index juga diperban- dingkan antar negara. Selandia Baru, Inggris, Perancis, Afrika Selatan, dan Norwegia merupakan negara-negara yang bergantian menjadi peringkat lima besar terbaik dalam survei transparansi anggaran ini. Sementara Guinea Khatu-listiwa, Irak, Lebanon, Myanmar, dan Qatar dinilai kurang transparan dalam proses penganggaran pemerintahnya.

Sejak keikutsertaannya dalam Open Budget Survey di tahun 2006, Indone-sia terus melakukan perbaikan dalam transparansi penganggaran. Pada saat pertama kali survei ini dilakukan, Indo-nesia hanya meraih skor 41 dan berada di bawah rata-rata indeks keterbukaan anggaran global (lihat Grafik 1). Infor-masi dalam dokumen penganggaran

yang diterbitkan Pemerintah dinilai tidak memenuhi standar keterbukaan informasi untuk publik dan terdapat inkonsistensi dalam penerbitannya. Akses bagi publik untuk memperoleh dokumen anggaran dan berpartisipasi dalam proses dengar pendapat (public hearing) di badan legis-latif juga dinilai sangat terbatas.

Pada tahun-tahun berikutnya, dengan berbagai upaya untuk mendistribusikan informasi dan dokumen anggaran untuk publik, Indonesia berhasil menunjukan peningkatan dan selalu berada di atas rata-rata indeks keterbukaan angga-ran global. Dalam Open Budget Survey tahun 2015, Indonesia mendapatkan nilai indeks sebesar 59, yang menun-jukan bahwa Indonesia cukup baik dalam mendistribusi dokumen anggaran serta menjalankan pengawasan ang-garan dengan baik oleh badan legislatif maupun badan audit. Meskipun demikian, Indonesia masih tetap dinilai lemah dalam menyediakan kesempatan bagi publik untuk berperan aktif dalam proses penganggaran. Menjawab tantangan tersebut, Direk-torat Jenderal Anggaran berupaya untuk terus meningkatkan akses informasi ang-garan dan penganggaran untuk publik. Berbagai dokumen anggaran dan buku panduan penganggaran dapat dibaca dan diunduh melalui situs resmi Direktorat Jenderal Anggaran. Informasi dan data

dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pun kini tersedia dalam format infografis yang lebih mudah dicerna. Selain itu, sosial- isasi anggaran juga dilakukan dengan mengunjungi sekolah dan universitas di berbagai daerah melalui program DJA Menyapa dan Budget Goes to Campus.Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih relatif lebih transparan dalam proses penganggarannya. Pada tahun 2012, Indonesia bahkan sempat menjadi negara dengan indeks keterbukaan ang-garan tertinggi. Namun, Filipina berhasil meningkatkan upaya mereka sehingga berhasil menjadi yang terbaik dalam Open Budget Survey 2015. Dalam lima survei yang telah dilaksanakan Interna-tional Budget Partnership, Indonesia dan Filipina selalu bergantian menjadi yang terbaik dalam berusaha menyediakan transparansi anggaran di Asia Tenggara (lihat Grafik 2). Sebagai catatan, Open Budget Survey ini tidak mengikutsertakan Singapura sebagai negara yang disurvei di kawasan Asia Tenggara. Dalam berbagai literatur, Singapura disebutkan telah memberikan akses anggaran dan laporan keuangan secara terbuka kepada publik. Untuk melibatkan partisipasi masyarakat, pada tahun 2013, Singapura juga pernah menggelar kompetisi bagi warganya untuk mengajukan berbagai inisiatif ang-garan dan kebijakan di bidang sosial, ekonomi dan perpajakan. Sementara Brunei Darussalam dan Laos dianggap sebagai negara yang pemerintahannya kurang memiliki komitmen politik dalam transparansi anggaran.

Penganggaran Partisipatif

Penganggaran partisipatif (participatory budgeting) menjadi salah satu topik yang banyak dibahas dalam perkembangan transparansi penganggaran. Pengang-garan partisipatif merupakan upaya untuk melibatkan publik dalam proses penganggaran dan pengambilan kepu-tusan. Mekanisme ini dipercaya dapat mengurangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah.

Dengan menyediakan media bagi publik untuk menyuarakan pendapatnya, proses anggaran pemerintah menjadi

Grafik 1Perkembangan Open Budget Index, 2006 - 2015

T R A N S P A R A N S I A N G G A R A N

Page 37: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

37

lebih inklusif. Penganggaran partisipatif umumnya melibatkan beberapa langkah dasar meliputi akses bagi publik untuk mengidentifikasi anggaran pemerintah dan mengajukan proposal anggaran untuk membiayai program tertentu. Publik juga dapat memilih berbagai alternatif proposal anggaran yang ada untuk men-jadi program prioritas. Pemerintah lalu mengimplementasikan program prioritas yang diajukan melalui proses pengang-garan partisipatif.

Berawal di Porto Alegre, Brazil pada tahun 1989, partido dos trabalhadores (partai buruh) menginginkan emansipasi kelas pekerja dengan model demokrasi sosialis pasca rezim militer. Olivio Dutro walikota Porto Alegre dari Partai Buruh saat itu kemudian menggulirkan kebi-jakan orcamento participativo (anggaran partisipatif) sebagai kontrak sosial dalam menyusun anggaran yang berkeadilan. Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa penganggaran partisipatif telah membawa perbaikan langsung dalam pengadaan fasilitas publik di Porto Alegre. Misalnya, jumlah sekolah me-ningkat empat kali lipat sejak tahun 1986 dan cakupan saluran air minum dan lim-bah meningkat hingga 98 persen rumah tangga dalam satu dekade pertama.

Partisipasi aktif publik dalam pengang-garan hingga kini berjalan di berbagai negara. Di Kota New York, Amerika Serikat, warga dan dewan kota bekerja sama dalam menentukan program yang akan dianggarkan oleh pemerintah kota. Sementara di Freiburg, Jerman, warga

mendapatkan akses data dan dapat menggunakan simulator penganggaran untuk mengetahui dampak dari setiap alternatif alokasi anggaran.

Peranan Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi informasi memiliki potensi dalam mendorong peningkatan transparansi anggaran dan implementasi penganggaran partisipa-tif. Teknologi informasi seperti telepon selular dan internet berperan dalam memberikan akses yang lebih luas serta mobilisasi partisipasi yang lebih mudah dan murah. India dalam proses peren-canaan anggaran di tahun 2016/2017 menginisiasi program MyGov dengan menyediakan media daring (online plat-form) untuk menjaring opini masyarakat dalam memprioritaskan anggaran negara. Hanya dalam beberapa bulan, lebih dari tujuh puluh ribu ide masyarakat India terkait anggaran terkumpul dalam fasilitas tersebut. Menteri Keuangan India, Arun Jaitley, menyebutkan bahwa setidaknya sepuluh dari berbagai program yang direncanakan dalam anggaran Pemerin-tah India tahun ini merupakan hasil ma-sukan dari publik yang disalurkan melalui media MyGov.

Pemanfaatan teknologi informasi dipercaya meningkatkan partisipasi publik secara signifikan. Pengalaman di Rosario, Argentina menunjukan hasil penganggaran partisipatif yang mening-kat tiga kali lipat setelah menggunakan media berbasis teknologi. Sementara di

Belo Horizonte, Brazil praktik yang sama menunjukan jumlah partisipasi yang me-ningkat tujuh kali lipat. Sosialisasi melalui media sosial yang lebih mudah dan men-jangkau banyak orang menjadi alasan utama di balik peningkatan tersebut.

Teknologi informasi juga dapat men-jadi media bagi publik untuk memahami dan mengawasi pelaksanaan anggaran Pemerintah ataupun sebaliknya. Peme-rintah Meksiko menyediakan media daring Transparencia Presupuestaria yang berisikan informasi mengenai ang-garan pemerintah, program pembangun-an berjalan, dan peta interaktif yang menunjukan di mana fasilitas publik sedang dibangun. Hal serupa pernah diimplementasikan di Kota Solo. Dengan dukungan sistem informasi geografis, media daring Solo Kota Kita menye-diakan peta interaktif bagi warga Solo untuk memantau fasilitas publik seperti klinik kesehatan dan sekolah. Peta dan visualisasi yang dihasilkan dapat dicetak dan digunakan dalam proses mu-syawarah warga. Sayangnya media ini tidak diperbarui secara rutin.

Indonesia memiliki potensi yang sa-ngat besar untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam menjaring partisipasi masyarakat. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia sampai dengan Februari 2016, terdapat 88,1 juta pengguna internet dan 48 persen diantaranya adalah pengguna internet aktif harian. Selaras dengan itu, terdapat pula 79 juta pengguna me-dia sosial di Indonesia. Populasi media daring ini dapat menjadi sumber bagi pemerintah untuk menjaring masukan dalam perencanaan pembangunan serta pengalokasian anggaran dan penga-wasannya.

Tentunya pemerintah tidak boleh semata-mata mengandalkan akses daring untuk memperluas akses transpa-ransi anggaran dan menjaring aspirasi. Pemerintah tetap harus menyalurkan informasi dan mempertimbangkan masu-kan warga di area yang belum terjangkau fasilitas internet. Transparansi anggaran dan penganggaran partisipatif, baik se-cara daring maupun luring, pada tujuan-nya merupakan sarana bagi pemerintah untuk membantu menentukan anggaran prioritas yang dapat memberikan manfaat bagi khalayak banyak. n

T R A N S P A R A N S I A N G G A R A N

Page 38: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

38

Secara alamiah siklus hidup akan bergerak dari mulai bayi, anak-anak,

remaja, dewasa, dan sampailah ke masa tua. Tentu dari setiap fase yang dilewati, setiap orang mendambakan kehidupan yang sejahtera. Dambaan atau harapan itulah yang mendorong manusia untuk bekerja secara optimal. Berpijak dari pe-mikiran ini, maka tak mengherankan bila unit-unit organisasi/ekonomi berupaya untuk merancang sistem manajemen sumber daya manusia dengan sebaik-baiknya dan selalu berupaya memberikan nilai tambah pada kesejahteraan pega-wainya, baik selama aktif maupun pada saat berhenti atau pensiun.

Saat ini, berdasarkan perangkat legal yang ada yakni UU No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pen-siun Janda/Duda Pegawai dan PP No. No. 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan PP No. 20 Tahun 2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil

(PNS), PNS mendapatkan perlindungan kesejahteraan ketika memasuki masa purnatugas dalam bentuk Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT).

Program Pensiun dan Pendanaan

Secara umum terdapat dua kutub pro-gram pensiun yang lazim dikenal yakni program pensiun manfaat pasti (defined benefit) dan program pensiun iuran pasti (defined contribution)1. Program pensiun manfaat pasti

(PPMP)Dalam PPMP, peserta dijanjikan untuk memperoleh manfaat pensiun dengan besaran yang telah ditentu-kan. Rumus manfaat pensiun sudah ditetapkan dalam Peraturan. Adapun besaran manfaat pensiun ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaris. Besarnya iuran didasarkan pada kebutuhan dana yang harus disisih-kan sekarang untuk merealisasikan

pembayaran manfaat pensiun. Pada umumnya, porsi iuran peserta telah ditetapkan dalam peraturan. Se-dangkan porsi iuran pemberi kerja disesuaikan dengan manfaat pensiun yang dijanjikan setelah dikurangi de-ngan porsi iuran peserta.

2. Program pensiun iuran pasti (PPIP)Pada PPIP, besar iuran ditetapkan dalam peraturan. Manfaat pensiun yang diperoleh dari PPIP bergantung kepada hasil pengembangan yang diperoleh. Oleh karena itu, iuran yang dikumpulkan harus diinvestasikan se-optimal mungkin agar hasil pengem-bangan juga optimal. Setiap peserta memiliki akun untuk mencatat akumu-lasi iuran dan hasil pengembangan-nya. Sehingga ketika peserta telah memasuki usia pensiun, saldo yang dimiliki dapat langsung diketahui.

Dalam PSAK 24 dinyatakan bahwa program pensiun iuran pasti adalah

MENUJU SISTEM PERLINDUNGAN PURNA TUGAS PNS YANG BARU

Teks : Ade Permadi dan Heri Yulianto

M E N U J U S I S T E M P E R L I N D U N G A N

Page 39: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

39

program imbalan pascakerja di-mana entitas membayar iuran tetap kepada entitas terpisah (dana) dan tidak memiliki kewajiban hukum atau kewajiban konstruktif untuk membayar iuran lebih lanjut jika dana tersebut tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar seluruh imbalan kerja ter-kait dengan jasa yang diberikan oleh pekerja pada periode berjalan dan periode sebelumnya.

Dalam pendanaan program pensiun di atas, terdapat beberapa skema penda- naan pensiun yang dikenal antara lain:1. Pay As You Go. Dalam skema ini,

iuran yang terkumpul dari peserta aktif akan digunakan untuk membia-yai pembayaran manfaat pensiunan yang telah ada, untuk peserta aktif akan diberikan “janji” atas kontribusi yang diberikannya

2. Fully Funded. Dalam skema ini, iu-ran dari peserta aktif akan diakumu-lasikan dalam suatu dana pensiun. Dana pensiun yang terkumpul akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk pembayaran manfaat pensiun di masa yang akan datang.

Demikian pula untuk program THT, dikenal program THT manfaat pasti dan program iuran pasti. Seperti halnya dalam PPMP, program THT manfaat pasti juga sudah menghitung manfaat yang akan diterima peserta dari awal dan kemudian menghitung besar iuran untuk dapat memenuhi manfaat tersebut. Se-baliknya, dalam program THT iuran pasti, besarnya manfaat tidak ditentukan di awal dan akan sangat bergantung pada besarnya iuran, hasil pengembangan, dan lamanya bekerja.

Praktik Penyelenggaraan Saat Ini

Sesuai dengan amanah UU No. 11 Tahun 1969, program pensiun PNS menganut program pensiun manfaat pasti dengan sistem pendanaan fully funded dan dilaksanakan oleh suatu dana pensiun PNS. Adapun formula manfaat pastinya diatur bahwa besarnya man-faat pensiun pokok setiap bulan adalah: 2,5% X jumlah tahun masa kerja X gaji pokok terakhir (catatan: jumlah maksi-mum adalah sebesar 75% dari gaji pokok terakhir).

Mengingat sampai dengan saat ini

dana pensiun PNS belum terbentuk, Pemerintah melaksanakan program pen-siun PNS dengan menggunakan sistem pendanaan pay as you go yaitu pem-bayaran manfaat pensiun kepada PNS yang memasuki usia pensiun dibiayai se-luruhnya dari APBN. Iuran pegawai yang dipotong dari gaji hanya diakumulasikan dan dikelola oleh PT Taspen (Persero). Besarnya iuran adalah 4,75% dari gaji

pokok plus tunjangan keluarga.

Terkait program THT, saat ini PNS mengikuti program manfaat pasti. Manfaat THT dihitung berdasarkan suatu formula/rumusan aktuaria dan mengacu pada gaji pokok terakhir. Pendanaannya berasal dari iuran PNS sebesar 3,25% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga. Namun, karena formula manfaat men-gacu pada gaji pokok terakhir maka setiap ada kenaikan gaji pokok menim-bulkan pembayaran Unfunded Past Service Liability (UPSL). UPSL timbul karena akumulasi dana yang terkumpul tidak dapat memenuhi kewajiban yang harus dibayar. Akumulasi dana dihimpun sepanjang masa kerja pegawai. Biasanya gaji di awal lebih rendah dibanding-kan gaji terakhirnya. Padahal, formula perhitungan manfaat menggunakan gaji pokok terakhir. Jika terdapat UPSL maka Pemerintah mengalokasikan dana untuk menutupi kekurangan pendanaan pro-gram THT tersebut.

Arah Ke Depan Berdasarkan Pasal 130 UU No. 5 Ta-hun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan bahwa dengan berlakunya UU ini, maka UU No. 11 Tahun 1969 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sampai ditetapkannya peraturan pelak-

sanaan dari Undang-Undang ini yang mengatur mengenai program pensiun PNS. Dengan demikian, sampai saat ini, pelaksanaan jaminan pensiun PNS masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1969 dan peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya, di Pasal 91 UU No. 5 Tahun 2014 diatur bahwa pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah

(PP).

Sehubungan dengan itu, perlu disusun regulasi yang baru dalam bentuk PP untuk memayungi pelaksanaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua ke depan. Dalam rangka penyusunan PP dimaksud paling tidak terdapat 2 rambu yang harus dipedomani yaitu pengaturan dari regulasi yang lebih tinggi yakni undang-undang dan rambu yang bersifat konsepsional yang lazim diterapkan dalam penyusunan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua.

Beberapa pengaturan dalam UU No. 5 tahun 2014 yang dapat menjadi pedo-man dalam penyusunan PP mengenai program jaminan pensiun dan jaminan hari tua antara lain:• Jaminan pensiun PNS dan jaminan

hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan peng-hasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengab-dian PNS.

• Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberi-kan dalam program jaminan sosial nasional.

• Sumber pembiayaan jaminan pensi-un dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja

Skema Program Pensiun PNS

M E N U J U S I S T E M P E R L I N D U N G A N

Page 40: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

40

dan iuran PNS yang bersangkutan.• PNS diberikan jaminan pensiun

apabila:a. meninggal dunia;b. batas permintaan sendiri

dengan usia dan masa kerja tertentu;

c. mencapai batas usia pensiun;d. perampingan organisasi atau

kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewa-jiban.

Dari sisi konsepsi, penyusunan pro-gram tentu harus didesain dengan hati-hati dan cermat. Program harus secara optimal bisa menyeimbangkan kriteria adequacy (kecukupan/memadai), af-fordability (pembiayaan terjangkau), dan sustainability (keberlanjutan program).

Program harus bisa memberikan manfaat yang cukup untuk pesertanya. Makna cukup ini bisa sangat relatif, tetapi International Labor Organization (ILO) merekomendasikan angka Replacement Rate/Replacement Ratio (RR) sebesar 40% dari penghasilan sebagai angka yang dipandang memadai untuk memper-tahankan hidup yang layak. RR adalah perbandingan antara penghasilan pensiun dengan penghasilan ketika masih aktif bekerja. Contoh, manfaat pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagak-erjaan: 1% X (masa iur : 12 bulan) X (rata-rata upah tahunan tertimbang selama mengiur : 12). Secara seder-hana formula tersebut dapat dimaknai bahwa apabila seseorang bekerja selama 30 tahun maka dia akan memperoleh pensiun sebesar 30% dari rata-rata gaji bulanan selama bekerja.

Saat ini iuran pensiun yang dipotong adalah sebesar 4,75% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga. Dengan asumsi persentase iuran tersebut masih terjang-kau oleh PNS maka persentase tersebut dapat digunakan sebagai iuran program pensiun yang baru. Tentu sebagaimana amanat UU No. 5 tahun 2014 di atas, pemerintah baik pusat maupun daerah juga akan memberikan kontribusi guna pendanaan program tersebut.

Terkait dengan keberlanjutan program,

untuk memperoleh hasil yang tepat, tentu harus dilakukan perhitungan secara aktu-aria terutama menyangkut arus kas (cash flow) program. Meskipun demikian, ada salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai sustainability program jaminan PNS yang disebut dengan Contingent Fund Reserve (CFR). Apabila program bisa memelihara angka CFR minimal sekitar 11 tahun maka hal ini dipandang sudah cukup memadai. Angka ini menunjukkan berapa lama akumulasi dana program bisa mendanai program bila terdapat masalah/ketidaklancaran dana yang masuk.

Berdasarkan simulasi sederhana dan menggunakan kriteria-kriteria di atas yakni RR minimal 40% dari rata-rata penghasilan selama bekerja, iuran pega-wai berkisar 4,75% dari penghasilan, dan CFR berkisar 11 tahun sebagai acuan perhitungan maka didapat 2 hasil yaitu:• Replacement Ratio (RR) dapat

mencapai 50% dari penghasilan rata-rata selama bekerja.

• Iuran pemerintah berkisar 5% s.d 6,2% dari penghasilan bergantung dari pola pembayaran iuran apakah bersifat flate dari awal program atau mulai dari iuran rendah dan secara bertahap meningkat sampai menjadi 6,2%.

Dengan hasil simulasi tersebut, apabila besar iuran dipandang terlalu besar tentu persentasenya dapat diturunkan dengan konsekuensi Replacement Ratio (RR) juga akan turun dibawah 50%.

Seperti halnya jaminan pensiun di atas, program jaminan hari tua juga dapat dianalisis dengan memakai iuran yang saat ini berlaku yaitu 3,25% seba-gai titik awal analisis. Namun, berbeda dengan jaminan pensiun yang meng-gunakan skema manfaat pasti maka jaminan hari tua ada baiknya dikelola berdasarkan skema iuran pasti. Pertim-bangannya, skema manfaat pasti seperti yang saat ini berlaku seringkali menim-bulkan kewajiban UPSL bagi pemerintah. Disamping itu, sesuai dengan prinsip investasi yang baik maka diversifikasi perlu dilakukan untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi.

Jika jaminan pensiun dengan rentang total iuran antara 10%-11% dapat men-danai RR sebesar 50% maka secara sederhana program jaminan hari tua akan

bisa mendanai Replacement Ratio (RR) sebesar 25% apabila total iuran antara 5%-5,5%. Dengan skenario ini dan apa-bila iuran pegawai tetap dipertahankan sebesar 3,25% maka iuran yang akan dibayar pemerintah, baik pusat maupun daerah berkisar antara 1,75%-2,25%. Tentu pemanfaatan jaminan hari tua tidak seluruhnya bersifat anuitas (dibayar tiap bulan). Peserta bisa saja mengambil misalnya 50% dari total manfaat selu-ruhnya dimuka dan sisanya dianuitaskan untuk menambah pensiun bulanan.

Namun, yang perlu digarisbawahi, skema program jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana dipapar-kan di atas kemungkinannya lebih cocok diberikan hanya kepada pegawai baru yang masuk setelah tanggal cut off. Apa-bila system fully funded diterapkan juga untuk PNS lama maka pemerintah akan menanggung beban UPSL yang sangat signifikan karena selama ini pemerin-tah belum membayar iuran program. Oleh karenanya, untuk program jaminan pensiun, bisa jadi pilihannya adalah tetap mempertahankan skema lama yaitu pay as you go.

Sedangkan untuk jaminan THT perlu dilakukan modifikasi formula manfaat. Formula manfaat pasti dengan gaji mengikuti gaji terakhir kiranya perlu dimodifikasi menjadi manfaat pasti yang gajinya mengacu pada gaji tahun tertentu ditambah selisih gaji plus hasil pengem-bangannya apabila terdapat kenaikan gaji. Dengan pola kombinasi ini, fairness kepada PNS tetap terjaga dan pemerin-tah juga terhindar dari kewajiban mem-bayar UPSL apabila terdapat kenaikan gaji.

Sebagai penutup, tulisan ini meru-pakan upaya untuk mendiskripsikan pola pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS yang saat ini sedang berlangsung. Selanjutnya juga memuat kewajiban perubahan seba-gaimana amanat undang-undang dan acuan-acuan umum dalam menyusun regulasi perubahan tersebut. Akan tetapi, penting untuk disampaikan bahwa pilih-an-pilihan atas skema jaminan pensiun dan jaminan hari tua, baik untuk PNS lama, maupun PNS baru sebagaimana disajikan di atas adalah analisis pribadi yang belum tentu mencerminkan kebi-jakan organisasi. n

M E N U J U S I S T E M P E R L I N D U N G A N

Page 41: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

41

Konsep Evaluasi Kinerja Penganggaran Ke m e n t e r i a n / L e m b a g a

Teks : Jati Wibowo

Definisi kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu 1) sesuatu yang dicapai; 2) prestasi yang di-

perlihatkan; 3) kemampuan kerja (tentang peralatan). Kinerja menjadi penting dalam bidang apapun karena dengan menga-nalisis kinerja, seseorang dapat menyim-pulkan apakah tujuan suatu organisasi tercapai atau tidak. Selain itu, kinerja dapat menjadi indikator apakah tercipta efisiensi. Kinerja yang optimal tercermin dari terwujudnya efektivitas dan efisiensi.

Penganggaran merupakan serangkaian proses yang terjadi pada siklus anggaran. Siklus anggaran dimulai dari fase pe-

rencanaan anggaran, fase pelaksanaan anggaran, dan fase pertanggungjawaban anggaran.

Fase perencanaan anggaran berjalan pada satu tahun sebelum tahun anggaran (T-1). Fase ini terdiri dari serangkaian upaya Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun anggaran tahun berikut-nya. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L, tahapan pada fase peren-canaan setidaknya terdiri dari penyusunan pagu indikatif, pagu anggaran, dan alokasi anggaran.

Fase perencanaan anggaran berakhir dengan diterbitkannya DIPA sebagai dasar pelaksanaan anggaran K/L. Perencanaan menjadi sangat penting karena perenca-naan anggaran yang berkualitas menjadi awal dari sebuah keberhasilan. Tidak heran, muncul pernyataan “fail to plan, is plan to fail” (gagal dalam merencanakan berarti merencanakan kegagalan).

Fase pelaksanaan anggaran mencakup satu tahun anggaran berjalan (1 Januari s.d. 31 Desember). Pada periode tersebut, K/L melaksanakan berbagai kegiatan sebagaimana yang telah direncanakan pada tahun sebelumnya (T-1). Dengan

K O N S E P E V A L U A S I K I N E R J A

Page 42: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

42

adanya dinamika kebijakan penganggaran, perubahan kondisi di lapangan, dan faktor lainnya, K/L diberi celah untuk melakukan revisi anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengang-garan. Pelaksanaan revisi yang ideal apa-bila revisi tersebut dilakukan dalam rangka memastikan target kinerja K/L tercapai. Kelihaian pengelola anggaran menjadi kunci pelaksanaan anggaran berjalan opti-mal. di akhir tahun anggaran berjalan akan terlihat tingkat efektivitas pelaksanaan anggaran. tingkat efektivitas yang tinggi akan semakin bermakna apabila diikuti dengan efisiensi anggaran.

Fase pertanggungjawaban anggaran muncul ketika tahun anggaran telah ber-akhir. K/L wajib menyampaikan laporan kinerja penganggaran kepada Menteri Keuangan. Tingkat partisipasi satuan kerja dalam menyampaikan kinerja pengang-garan melalui aplikasi monev kinerja penganggaran menjadi keharusan karena sebagus apapun kinerja yang dicapai sepanjang tidak dilaporkan dengan baik dan benar maka hasil analisis atas data tersebut menjadi tidak berkualitas. Hasil dari kinerja dapat tercermin pada laporan kinerja penganggaran tidak lama setelah tahun anggaran berakhir. Namun untuk menghasilkan laporan yang komprehensif, diperlukan audit atas kinerja pengangga-ran. Untuk saat ini, belum ada unit yang

melakukan audit terhadap kinerja peng-anggaran. Ke depan unit yang melaku-kan audit kinerja perlu menyentuh aspek penganggaran, karena dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja, audit ter-hadap kinerja setidaknya akan mengung-kap tingkat kualitas kinerja penganggaran K/L.

Pengukuran dan evalusi atas kinerja penganggaran tentu harus mencakup ke-tiga fase tersebut. Melalui kegiatan peng-ukuran dan evaluasi, Kementerian/Lem-baga diharapkan dapat mengetahui tingkat kinerja penganggaran pada setiap fase. Keakuratan penilaian tingkat kinerja di setiap fase salah satunya ditentukan oleh variabel yang digunakan. Variabel sangat berperan sebagai indikator yang mewakili kinerja pada setiap fase. Hasil penilaian atas setiap fase tersebut memudahkan unit yang terlibat dalam penganggaran untuk menjawab pertanyaan sederhana yang muncul dari pihak manapun ketika mereka ingin tahun K/L mana saja yang perenca-naan anggarannya sangat baik dan bisa dijadikan benchmark bagi K/L lainnya.Manfaat lain dari penilaian setiap fase tersebut yaitu K/L lebih mudah mengiden-tifikasi fase mana yang kinerjanya kurang optimal dan perlu ditingkatkan. Sehingga, hasil pengukuran dan evaluasi pada ketiga fase tersebut bermanfaat dalam rangka perbaikan dalam penyusunan anggaran di

tahun berikutnya. Arah perbaikan tersebut sesuai dengan fungsi evaluasi kinerja yang dijelaskan dalam PMK No 249 Tahun 2011 yaitu fungsi peningkatan kualitas (improving) di samping fungsi akuntabilitas (proving). Selain dalam rangka kebutuhan evaluasi, kinerja penganggaran selama ini juga dimanfaatkan dalam implementasi sistem penghargaan dan sanksi. Untuk lebih menyelaraskan konsep evaluasi kinerja dengan sistem penghargaaan dan sanksi maka ada satu fungsi dari evaluasi yang dapat dipertimbangkan yaitu fungsi pemberian penghargaan (rewarding), yaitu hasil evaluasi kinerja penganggaran men-jadi dasar dalam pemberian penghargaan dan pengenaan sanksi kepada K/L.

Apabila fungsi rewarding dapat diterap-kan maka kaitan antara hasil evaluasi de-ngan penerapan sistem penghargaan dan sanksi akan semakin erat. Fungsi reward-ing akan menjadi pendorong/stimulus bagi K/L dalam rangka meningkatkan kinerja penganggaran. Kunci sukses dari fungsi rewarding adalah ketepatan rumusan variabel kinerja dan bentuk penghargaan bagi K/L yang kinerja penganggarannya sangat baik. Apabila bentuk penghargaan kepada K/L selaras dengan harapan dari individu-individu di internal K/L tersebut maka percepatan peningkatan kinerja penganggaran akan terwujud. Semoga. n

Page 43: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

43

QUICK RESPONSE

“Perilaku Utama Pelayanan adalah melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan serta bersikap proaktif dan cepat tanggap (KMK 312 Tahun 2011 tentang

Nilai-Nilai Kemenkeu)”

Sistem Informasi PNBP Online, atau SIMPONI, adalah sistem infor-

masi yang dikelola oleh Ditjen Anggaran Kemenkeu, dalam rangka memfasilitasi pengelolaan PNBP, yang meliputi: sistem perencanaan PNBP, sistem billing, dan sistem pelaporan PNBP. SIMPONI dituju-kan untuk memberi kemudahan bagi Wajib Bayar/Wajib Setor guna membayar atau menyetor PNBP dan penerimaan non- anggaran. Pembayaran dapat dilakukan melalui berbagai channel pembayaran seperti teller (Over The Counter), ATM (Automatic Teller Machine), EDC (Elec-tronic Data Capture), dan internet banking.

Saat ini, SIMPONI telah menjadi sarana sentral dalam pembayaran/penyetoran PNBP dan penerimaan Nonanggaran yang cepat dan mudah, namun tetap mengu-tamakan aspek akuntabilitas penerimaan negara.

Seiring dengan terus meningkatnya transaksi pembayaran PNBP melalui SIMPONI, Ditjen Anggaran berkomit-men untuk terus melakukan peningkatan pelayanan. Hal ini sejalan dengan Imbaun Menteri Keuangan melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-535/MK.02/2015 untuk melakukan pembayaran/penyetoran PNBP melalui SIMPONI.

Untuk melayani seluruh pengguna SIMPONI secara optimal, selain pelayanan melalui Pusat Layanan Direktorat Jenderal Anggaran, SIMPONI menyediakan help-desk berupa Frequently Asked Questions (FAQ). FAQ ini disediakan untuk me-nyediakan informasi, bantuan, perbaikan (troubleshooting), dan petunjuk teknis terkait penggunaan sistem billing serta

pembayaran dan penyetoran PNBP.Berbeda dengan FAQ pada umumnya, FAQ dalam SIMPONI digunakan sebagai sarana korespondensi (komunikasi) dua arah antara pengelola SIMPONI dengan User SIMPONI, sehingga FAQ dalam SIMPONI bersifat dinamis, bukan statis. Setiap pertanyaan dan permohonan bantu-an yang diajukan oleh pengguna SIMPONI melalui FAQ akan direspon dengan cepat. Hampir semua pertanyaan dan permohon-an bantuan yang diajukan, sudah dapat diselesaikan pada hari yang sama.

Karena sifatnya yang dinamis, berbagai jenis pertanyaan dan permohonan muncul setiap harinya. Pertanyaan dan permohon-an bantuan dalam FAQ SIMPONI yang kerap muncul, beserta solusinya antara lain terkait,1. Tata cara pembuatan billing dalam

SIMPONI• Tata cara pembuatan billing

dalam SIMPONI merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Ang-garan Nomor Per-16/AG/2016 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Non Anggaran Secara Elektronik.

• Panduan atau tutorial SIMPONI terkait registrasi dan pembuatan billing dapat diunduh di website Ditjen Anggaran dengan alamat www.anggaran.kemenkeu.go.id.

2. Kedudukan dari Bukti Penerimaan Negara (BPN) hasil cetakan dari SIMPONI, sebagai bukti administrasi yang sah• Sesuai Pasal 1 angka 17 Per-

aturan Menteri Keuangan Nomor

32/PMK.05/2014 tentang Penerimaan Negara Secara Elektronik, disebutkan bahwa Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas transak-si penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.

• Sesuai Surat Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan atas nama Dirjen Perbendaharaan No. S-4607/PB.6/2014 tanggal 18 Juli 2014 kepada Para Kepala Biro Keuangan K/L perihal Petunjuk Pencatatan Setoran PNBP dan Penerimaan Non- anggaran melalui Sistem MPN G2, dokumen hasil cetakan dari SIMPONI dapat digunakan seba-gai dokumen sumber pencatatan penyetoran PNBP ke dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan.

3. Akun yang digunakan untuk penye-toran penerimaan negara (PNBP dan Penerimaan Nonanggaran)• Akun yang digunakan untuk

penyetoran penerimaan negara merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-428/PB/2016 tentang Kodefikasi Segmen Akun pada Bagan Akun Standar.

4. Integrasi SIMPONI dan Sistem Ap-likasi Satker (SAS)• Terwujudnya integrasi SIMPONI-

SAS diharapkan memudahkan bendahara satker dalam men-

Teks : Muslikhudin

P N B P

Page 44: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

44

jalankan tugas dan fungsinya. Data transaksi setoran PNBP yang terekam dalam SIMPONI dapat diunduh (download) untuk digunakan sebagai data input pada aplikasi SAS. Sehingga, satker tidak perlu memasuk-kan (input) ratusan atau bahkan ribuan data secara manual, dan meminimalisasi terjadinya kesala-han pelaporan data.

• Agar bisa mengunduh ADK SIMPONI untuk digunakan dalam aplikasi SAS, User SIMPONI

(satker) harus mengajukan permohonan admin satker ke [email protected] dengan menyebutkan kode Kementerian/Lembaga, Unit, dan Satuan Kerja serta contact person.

• Aplikasi SAS adalah aplikasi yang dikembangkan oleh Ditjen Perbendaharaan. Apabila terdapat permasalahan terkait aplikasi SAS, user dapat men-ghubungi (021) 3813024 atau (021) 3449230 Ext 5322, 5673.

5. Rekap Realisasi Penerimaan melalui SIMPONI• Di dalam SIMPONI terdapat

menu Manajemen report yang dapat menyajikan laporan rekap billing yang sudah disetorkan. User dapat memantau pem-bayaran/penyetoran PNBP den-gan memilih menu manajemen report--> Laporan Reali-sasi-->Laporan Pembayaran PNBP

Kementerian/Lembaga. Laporan Realisasi tersebut dapat digunak-an untuk memonitor Pembayaran PNBP pada Kementerian/Lem-baga.

6. Penambahan User Billing• User yang dapat digabungkan

dalam satu username adalah User Billing Kementerian/Lem-baga & User Billing Nonang-garan. Sementara untuk user billing lain, sebaiknya mendaftar lagi dengan user yang berbeda. Sebagai contoh, apabila User

Billing Kementerian/Lembaga atau User Billing Nonanggaran ingin menambahkan user billing SDA nonmigas, maka Wajib Bayar/Wajib dianjurkan mendaf-tar kembali di SIMPONI sebagai user billing SDA nonmigas, sebab untuk user billing SDA non Migas, Wajib Bayar/Wajib Setor harus mengisi nama badan usahanya, sementara di User Billing Kementerian/Lembaga & User Billing Nonanggaran tidak terdapat pilihan tersebut.

7. Pembayaran Perhitungan Pihak Ke-tiga (PFK)• Sesuai Peraturan Men-

teri Keuangan Nomor 212/PMK.05/2015 tentang Pe-rubahan Atas Peraturan Men-teri Keuangan Nomor 222/PMK.05/2014 tentang Dana Perhitungan Fihak Ketiga, Dana PFK merupakan sejumlah dana yang dihimpun dari:1) Iuran Wajib Pegawai;

2) Iuran Pemda;3) Iuran tabungan perumahan;4) Iuran jaminan kesehatan

PPNPN Pusat/ PPNPN Daerah;•

5) Iuran jaminan kesehatan pensiunan pada PT Taspen (Persero);

6) Iuran jaminan kesehatan pensiunan pada PT Asabri (Persero); dan

7) Iuran beras Bulog,untuk dibayarkan kepada pihak ketiga

• Untuk Pembayaran PFK melalui SIMPONI, maka wajib Bayar/Wajib Setor menggunakan Bill-ing Non anggaran, dengan cara sebagai berikut:1) Memilih Jenis Setoran :

Pembayaran Pihak Ketiga/ PFK

2) Memilih atau mengisi rincian --> Kementerian/Lembaga : 999 Bendahara Umum Neg-ara, unit : 99 Pengelola tran-saksi khusus, Satuan Kerja : 440780 pengembalian penerimaan PFK. (Sesuai Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.05/2015, Menteri Keuangan selaku BUN adalah PA bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lem-baga)

8. Setoran atas Pengembalian Belanja • Untuk setoran pengembalian be-

P N B P

Page 45: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

45

P N B P

lanja, terdapat 2 jenis perlakuan, yaitu1) Pengembalian belanja yang

telah lewat tahun atau be-lanja tahun anggaran yang lalu akan menjadi setoran PNBP TAYL dengan MAP 423xxx. Setoran ini tidak perlu dikaitkan dengan program dan kegiatan. Pengembalian TAYL di-input menggunakan user billing K/L, dengan cara memilih Kelompok PNBP Umum, dan jenis penerimaan pengem-balian belanja TAYL (Akun: 423xxx).

2) Sementara itu, pengem-balian untuk tahun berjalan penyetorannya tertuju ke program, kegiatan dan akun belanja yang digunakan (sesuai dengan Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA)). Belanja tahun ang-garan berjalan ini menggu-nakan user billing Nonang-garan, dengan cara memilih jenis setoran Pengembalian Belanja.

9. Troubleshooting Pembayaran Billing• Kode billing yang sudah dibayar-

kan melalui Bank Persepsi, kadang kala belum ada kon-

firmasi di email serta status kode billing dalam history billing masih “belum bayar” (belum ada NTPN). Maka,1) Wajib Bayar/Wajib Setor

menyampaikan informasi dimaksud dengan memberi-tahukan nomor billing-nya.

2) Pengelolaan SIMPONI akan melakukan pengecekan kode billing

3) Apabila kode billing sudah terbayarkan di-settlement (Perbendaharan negara), maka Simponi akan segera memberikan notifikasi ke email dan merubah status billing pada history billing.

4) Apabila kode billing sudah terbayarkan di settlement (Perbendaharan negara), maka SIMPONI (MPN G2) akan meminta Bank untuk

segera melimpahkan data pembayaran kode billing di-maksud ke Perbendaharaan negara yang kemudian akan diteruskan oleh SIMPONI dengan memberikan notifi-kasi ke email dan merubah status billing pada history billing.

10. Bank Persepsi• Sampai dengan saat ini, telah

terdapat 75 Bank Persepsi dan 1 Pos Persepsi yang dapat melay-ani transaksi Setoran PNBP dan Nonanggaran melalui SIMPONI. Ke depannya, seluruh bank dan pos persepsi akan melayani transaksi Setoran PNBP dan Nonanggaran.

• Untuk Pembayaran PNBP dan Nonanggaran dengan meng-gunakan USD, sampai saat ini baru dapat disetorkan melalui tiga bank, yaitu BRI, BNI ,dan Mandiri.

Seluruh history pertanyaan dan permo-honan bantuan yang dilengkapi dengan solusi serta pemecahan masalah, tersim-pan dan dapat dilihat di manajemen FAQ SIMPONI. Untuk mempermudah pencar-ian solusi dan pemecahan masalah, user dapat menggunakan fasilitas search. n

Apabila user simponi tidak menemukan jawaban, silakan ketik permasalahan, permo-

honan informasi, bantuan, dan perbaikan, kami siap membantu, karena kepuasan user SIMPONI

adalah concern kami.

Page 46: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

46

K H A Z A N A H

”Bank syariah itu kan sama dengan bank biasa. Namanya aja kearab-araban....”

Banyak pihak saat kini menyatakan bahwa transaksi perbankan syariah sama dengan bank konvensional. Betulkan pernyataan tersebut ? Fenomena penya-maan transaksi di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah dengan industri perbankan pada umumnya, perlu kita cermati. Ini agar kita tidak masuk dalam golongan orang sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam QS Al Baqoroh 275 ; ….. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..[2:275]. Perlu dikenali dengan mendalam tentang jenis transaksi riba dan sejenisnya, agar kita tidak masuk dalam kategori dalam kebanyakan pihak seba-gaimana disindir oleh Sang Khalik.

Pengkajian tentang riba harus dimulai dengan pemahaman tentang kaedah fiqih. Kaedah fiqih menyatakan bahwa untuk urusan yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh, maka berlaku ketentuan bahwa semua ibadah dilarang kecuali yang dipe-rintahkan. “Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan”. Sedangkan dari sisi muamalah terdapat kaidah hukum yang menyatakan bahwa “Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkan-nya)” (Imam As Suyuthi, dalam al Asyba’ wan Nadhoir: 43)

Kegiatan ekonomi adalah bagian dari kegiatan muamalah maka merujuk pada kaedah fiqih yang kedua yang menyatakan bahwa hukum asal dari sesuatu (mua-malah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memak-

ruhkannya atau mengharamkannya) ini bermakna bahwa dalam kerangka fiqih muamalah maka semua kegiatan ekonomi dibolehkan kecuali ada dalil yang meng-haramkannya.

Yang dilarang dalam transaksi muala-mah yaitu transaksi maysir, gharar, dan riba yang orang sering menyingkatnya dengan dengan MAGRIB. Maisyr terkait transaksi spekulasi, gharar terkait transaksi yang tidak jelas dan riba transaksi yang memberikan tambahan yang diharamkan. Pada kesempatan ini, kita akan coba se-dikit mengurai tentang transaksi riba.Secara garis besar riba bisa dikelompok-kan menjadi dua yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Fadhl (jual beli/barter) Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar

CARA SEDERHANA MENGENAL RIBA

Teks : Walidi

Page 47: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

47

K H A Z A N A H

benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun den-gan kadar atau takaran yang berbeda terhadap barang tertentu yang disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandum, terigu, kurma dan garam saja. Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, kurma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim). Jadi barang – barang tersebut tidak bisa ditukarkan apabila kualitasnya beda misalnya barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukuran-nya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.

Barang ribawi dalam riba fadl, apabila kita cermati terdapat dua jenis barang yaitu barang mata uang (emas & perak) dan barang bahan makanan pokok (gandum, terigu, kurma dan garam). Hal ini mengindikasikan terhadap kedua jenis barang tersebut untuk menyikapinya dalam perdagangan/pertukaran harus hati – hati karena terkait ketahanan finansial dan ketahanan pangan.

Perlakukan hukum terhadap emas per-ak digunakan untuk menghukumi produk yang setara yaitu uang. Oleh karena itu, fenomena penukaran uang baru dengan uang lama (yang biasanya dilakukan di waktu lebaran) dengan jumlah yang berbeda diharamkan. Perlakukan hukum terhadap kurma dan gandum disetarakan dengan makanan pokok. Oleh karena itu, pertukaran beras dan jagung harus merujuk pada kaedah terhadap komoditi tersebut (diqiyaskan).

Riba Nasi’ah (utang piutang)

Riba Nasi’ah berasal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi utang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya saja, tetapi juga dengan tambahan persentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Praktik riba seperti inilah yang saat ini lazim dilakukan masyarakat sekarang ini. Riba ini terjadi karena tiga unsur kumulatif dalam suatu transaksi. Tiga unsur tersebut adalah (1) adanya akad pinjaman/utang piutang, (2) adanya tambahan pengem-balian, (3) tambahan tersebut bersifat wa-jib. Bila ada tambahan dan tambahannya wajib maka namun bukan utang piutang maka transaksi tersebut adalah jual beli. Bila ada tambahan transaksi utang piutang namun bukan suatu kewajiban maka tambahan tersebut merupakan hadiah. Maka, berkumpulnya tiga unsur tersebut dalam suatu perekonomian adalah suatu keharusan untuk dikategorikan sebagai

transaksi riba nasi’ah.

Contoh praktik perbankan saat ini yang sering disamakan adalah praktik jual ’mark up’ (dengan sistem murabbaha) yang secara umum dilaksanakan oleh bank sya-riah. Termasuk transaksi yang ditujukan untuk menggantikan kredit mobil dan kredit rumah. Praktik jual ’mark up’ (murabaha) ini banyak diminati oleh Saudara kita yang di Glodok karena mereka tidak perlu ber-pikir naik turunnya bunga bank dan dolar.

Kembali kepada pandangan bahwa transaksi perbankan syariah sama dengan transaksi konvensional maka sebenarnya kesyariahan suatu produk perbankan merupakan tanggung jawab Dewan Syariah yang memastikan suatu transaksi sesuai dengan kaedah syariah (syariah comply), sedangkan umat dapat mengi-kuti aja. Dan seharusnya otoritas Dewan Syariah Nasional melakukan audit atas kesyariahan sebuah produk perbankan apakah mengandung transaksi maysir, gharar atau riba.

Bila keraguan masih menghantui bagi praktisi muamalah islami maka mengalir-kan dana ke sektor riil adalah sebuah pilihan yang menentramkan dan memas-tikan bahwa dana kita mendorong bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Wallahua’lam. n

Page 48: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

48

Siang ini saya pergi ke tukang sol untuk memperbaiki sepatu anak saya yang

rusak. Pilihan saya jatuh pada seorang tukang sol yang kiosnya terletak di depan toko peralatan olah raga. Kenapa? Tentu-nya karena tukang sol memiliki kelebihan dibanding yang lain. Hasil pekerjaannya yang rapi sudah terkenal di lingkungan saya. Walaupun di sekitar kios tukang sol itu terdapat beberapa orang tukang sol yang lain, namun tukang sol yang saya datangi ini jauh lebih ramai dibanding tukang sol yang lain.

Sampai di tempat tukang sol, ternyata antrian sudah cukup panjang. Banyak sekali orang yang bertujuan sama dengan saya. Selain itu juga antrian sepatu yang menunggu untuk diperbaiki. Karena tidak mungkin untuk menunggu sepatu saya di-perbaiki pada saat itu, saya putuskan un-tuk meninggalkan sepatu untuk diperbaiki dan mengambilnya pada pekan berikutnya. Saya tidak langsung meninggalkan kios tukang sol tersebut. Saya meme-san minuman dingin di depan kios dan duduk-duduk di bangku yang memang tersedia di depan kios. Selain saya, ada beberapa orang pelanggan tukang sol itu yang duduk disana. Bebebapa dari mereka

sedang memperbincangkan tukang sol itu. “Padahal disini ongkosnya lebih mahal dari tukang sol yang lain ya. Tapi pelang-gannya paling banyak di antara tukang sol yang ada di sekitar sini”, kata salah seorang pelanggan.

Pelanggan yang lain menimpali,”tapi kalo melihat hasil kerjaannya, saya rasa pantas dia ngasih harga segitu. Meskipun ongkos-nya lebih mahal dari tukang sol yang lain, tapi hasilnya memuaskan. Bener-bener halus kerjaannya”. Memang, jika dilihat dari hasil pekerjaannya, tampak sekali kalau tukang sol ini mengerjakan tugasnya dengan cara terbaik yang dia mampu.

Sebenarnya, hal-hal seperti ini sering juga kita jumpai di peristiwa yang lain. Ketika tiba pembagian raport bagi anak seko-lah, sering kali orang mengomentari anak yang mendapat nilai yang bagus.” Pantas saja si A mendapatkan nilai yang bagus. Pantas saja si B jadi juara kelas. Dia anak yang rajin belajar”. Kata-kata seperti itu sangat sering kita dengar. Atau pada orang yang berhasil dalam usaha atau aktivitas yang dilakukannya, sering pula kita dengar komentar yang sama. “Pantas dia berhasil. Dia adalah orang yang tekun dalam menjalankan usahanya”.

Jika melihat kondisi ini, tentunya hal ini berlaku pula di lingkungan kerja lain. Misalnya bagi yang bekerja di instansi pemerintah ataupun bekerja pada orang lain. Setiap bulan, pegawai/pe-kerja mendapatkan sejumlah penghasilan berupa gaji atau upah yang nilainya sudah ditentukan. Dengan jumlah penghasilan itu, pegawai/pekerja diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Memberikan kemampuan yang dimiliki secara optimal. Tujuannya, agar dapat menghasilkan output yang terbaik.

Setiap pegawai/pekerja memiliki tugas masing-masing yang telah ditetapkan. Ketika pegawai tersebut melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, dengan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan kemampuan terbaik yang dimilikinya, pada hakikatnya pegawai tersebut sedang memantaskan dirinya untuk sejumlah penghasilan yang diterimanya setiap bulan sebagai imbalan.

Sebagai seorang pegawai yang menerima sejumlah penghasilan setiap bulan, ada satu pertanyaan yang pantas kita pak-sakan untuk melintas di benak kita yaitu “Sudah seberapa pantaskah kita menerimanya?” n

S E B E R A P A P A N T A STeks : Cahya Setiawan

R E N U N G A N

Page 49: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

49

K O M U N I TA S

DJAKust ik

Berjalan menuju ballroom Dhanapala, mulai terdengar alunan musik dan lagu-lagu indah menyam-but. Semakin dekat ke pintu masuk, semakin terdengar selaras karena keseluruhan suara instrumen musik menjadi terdengar jelas. Demikian juga dengan lagu yang dinyanyikan. Sajian seperti ini membuat suasana ruangan menjadi lebih sejuk dan akrab.

Menjelang acara-acara yang diseleng-garakan DJA, kita akan disambut

dengan sajian alunan musik dan lagu yang indah oleh para pegawai DJA. Mereka ter-gabung dalam komunitas musik “DJAkus-tik”. Sebuah nama yang dipilih untuk mewakili komunitas ini karena musik yang disajikan dengan nuansa akustik, tanpa sound sistem yang berat dan suara-suara distorsi dari sound effect pada instru-

orang, namun tetap dapat memberikan sajian apik dalam setiap penampilannya.

Dari masa ke masa

Berawal dari kompetisi menyanyi yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan pada Hari Oeang, muncullah pegawai-pegawai yang memiliki talenta

mennya. Cukup sederhana namun tidak mengurangi keindahan alunan musik yang disajikan.

DJAkustik adalah sebuah komunitas di DJA yang memiliki aktivitas di bidang musik dan lagu. Anggotanya adalah hanya para pegawai DJA saja. Tak ada anggota dari luar DJA. Walaupun saat ini ang-gotanya yang aktif hanya sekitar sebelas

Teks : Cahya Setiawan & Yudanto Dwi Nugroho

Page 50: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

50

K O M U N I TA S

menyanyi. Awalnya hanya untuk mengikuti kompetisi itu. Namun nyatanya, hasil-nya cukup menggembirakan. Beberapa prestasi diraih di ajang kompetisi itu. Hal ini memunculkan talenta-talenta baru di bidang musik.

Awal terbentuknya komunitas ini bisa dibilang cukup unik. Bisa dibilang berawal dari perintah. Mulai tahun 2011, di setiap kegiatan yang diadakan oleh setiap unit di Kementerian Keuangan, diharapkan ada hiburan yang bisa membuat kegiatan men-jadi tidak monoton. DJA juga tak ketingga-lan. Dari situ, pegawai-pegawai bertalenta menyanyi ini dihimpun dan dibuatkan wadah. Pada kegiatan yang diadakannya, diharapkan grup ini dapat mengisi hiburan dengan nyanyian.

“Sebenarnya pada awalnya namanya nggak ada. Hingga pada suatu kegiatan DJA, pembawa acara menyebutnya dengan nama DJA All Star untuk mem-permudah penyebutannya”, kata Juniartha, salah seorang anggota komunitas ini. Merasa kurang pas dengan nama DJA All Star, ada yang berinisiatif untuk mengganti nama komunitas ini menjadi DJA Voice. Nama ini dirasa lebih tepat untuk mewakili komunitas ini mengingat kegiatan yang dilakukan saat itu hanya menyanyi, se-dangkan pemain musiknya adalah personil dari luar DJA.

Keadaan ini mendorong komunitas ini untuk mencari para pegawai yang mempunyai talenta bermain musik. De-

ngan demikian biaya untuk tampil akan lebih bisa ditekan. Nyatanya, banyak juga pegawai DJA yang mempunyai talenta bermain musik dan mau tampil di kegiatan yang diselenggaran DJA. Berawal dari sini, komunitas ini tampil dengan pemusik yang berasal dari internal DJA, dan meng-gunakan instrumen musik milik pribadi masing-masing pemusiknya. “Karena alat musik yang ada memang bersifat akustik,

akhirnya sepakat mengubah namanya menjadi DJAkustik di 2015”, jelas Gu-nawan.

Siapakah Mereka?

Saat ini, anggota yang aktif berlatih dan tampil berjumlah sebelas orang. Sengaja tidak ditunjuk seorang ketua dalam komu-nitas ini. “Ini kan kumpulan nonformal. Jadi sampai saat ini belum perlu ditunjuk ketua. Supaya tidak berjenjang. Biar lebih akrab dan memudahkan komunikasi”, ujar Juni-artha. Walaupun tidak ditunjuk ketua, tapi tetap ada koordinator. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi terutama dengan sesama anggota.

Keterbatasan waktu karena kesibu-kan pekerjaan, dan tidak adanya ruan-gan khusus untuk berkumpul, membuat komunitas ini tidak memiliki jadwal latihan rutin. Jadwal latihan baru disusun jika ada permintaan tampil di suatu acara. Selain itu, instrumen musik yang digunakan saat ini adalah milik pribadi masing-masing musisinya. Hal ini juga membuat jadwal latihan menjadi kurang fleksibel.Kenyataanya, keterbatasan ini tidak mengurangi performa mereka ketika tampil di suatu acara. Penyanyi-penyanyi yang

Page 51: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

51

handal itu didukung oleh musisi yang mumpuni dan fleksibel dan mudah me-nyesuaikan dengan kondisi para penyanyi. Hal ini membuat komunitas ini tetap eksis hingga saat ini.

Keinginan Untuk Berkembang

Pada awal terbentuknya komunitas ini, banyak pengorbanan yang dihadapi oleh anggotanya. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana membuat ang-gotanya sempat putus asa sehingga tidak ingin melanjutkan komunitas ini. Peran dari anggota senior terutama Fredij Ger-aard Josias Matatula, dan panggilan dari hobi,memberikan semangat untuk tetap eksis.

Dalam kondisinya saat ini, komunitas ini berharap untuk lebih berkembang. “Sebenarnya pengen ada regenerasi. Kita mencari siapa yang mau. Semakin banyak anggota akan menjadi semakin bagus. Jadi banyak ragam yang musik yang bisa dimainkan”, ungkap Niar Afdhal Luthfi. Tidak ada persyaratan khusus untuk bisa menjadi anggota DJAkustik. “Kalau kamu suka menyanyi, dan mau tampil menyanyi di depan orang banyak, bergabunglah”, imbuhnya. “Kebutuhan saat ini terutama dari kurangnya musisi”, sambung Juniartha dan ditegaskan pula oleh Gunawan.

Keinginan untuk berkembang ini, ten-tunya juga perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya studio dan instrumen musik yang mema-dai dan sekretariat untuk berkumpul dan

membahas materi. Di samping itu, diper-lukan pula ajang untuk tampil sehingga latihan yang dilakukan bisa diaplikasikan.

Berkumpul dalam sebuah komunitas, tentunya juga memberikan kesenangan tersendiri. “Senengnya, karena di balik pekerjaan, ada kegiatan yang sesuai de- ngan hobi sehingga ada penyaluran”, ujar Juniartha. “Menjadi kenal dengan pegawai dari unit lain”, kata Niar. “Kalo saya sih banyak sukanya. Dukanya sampai saat in belum ada”, kata Poppy. Intinya, di balik pekerjaan rutin sesuai tugas masing-masing, juga ada kegiatan untuk menyal-urkan hobby. Sebuah apresiasi bagi yang mempunyai hobby.

Bekerja, menjalani hobby, bersosialisa-si, dan berkesempatan menghibur. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi DJAkustik. n

Page 52: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

52

Suksesnya film “5 cm” pada tahun 2012 menimbulkan fenomena baru di masyarakat Indonesia, khusus-

nya para pemuda. Dengan mengambil latar perjalanan sekelompok pemuda yang melewati segala rintangan dalam perjala-nannya menuju puncak Gunung Semeru, film ini cukup menginspirasi pemuda untuk mencoba mendaki gunung. Tak luput dari pengaruh fenomena tersebut, penulis pun tertarik untuk mencoba menantang diri untuk mendaki gunung. Sebagai ‘pemuda’ yang belum pernah sama sekali mendaki gunung, penulis memutuskan mendaki sebuah gunung yang rumornya cocok bagi para pendaki pemula, Gunung Prau.Gunung Prau menjulang dengan tinggi 2.565 mdpl dan terletak di Kawasan Da-taran Tinggi Dieng, tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Wonosobo dan Kendal, Jawa Tengah. Kawasan Dieng yang terkenal membuat gunung ini cukup ramai dikunjungi oleh para pendaki.

Perjalanan dan PendakianBersama 8 kawan, penulis berangkat dari Jakarta melalui jalur darat – tepatnya kereta – menuju stasiun besar terdekat dengan tujuan, yakni Stasiun Purwokerto. Pada hari Jumat sekitar pukul 9 malam, kami meluncur dan tiba di Purwokerto sekitar pukul 6 pagi. Setelah sejenak

merapikan diri, kami meneruskan perjala-nan melewati Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo menggunakan mobil sewa. Perjalanan lebih dari tiga jam ini sebagian besar kami lalui dengan terlelap. Sempat mampir sejenak di Wonosobo untuk men-cicipi masakan khas kota ini, Mie Ongklok.

Sekitar pukul 12 siang kami tiba di basecamp Patak Banteng, titik awal pendakian Gunung Prau. Letaknya cukup strategis, tak jauh dari jalan raya Wonosobo-Dieng. Fasilitas di basecamp ini cukup lengkap, meski bisa dibilang belum terintegrasi dengan baik. Basecamp ini sebenarnya ruang istirahat bagi para pendaki, sekaligus menjadi pos pelayanan. Di sini calon pendaki membayar retribusi Rp10.000 per orang sebelum naik. Petu-gas basecamp menjelaskan tata tertib, serta jalur pendakian yang akan ditempuh agar perjalanan aman dan nyaman.

Setelah bersiap, kami memutuskan mulai menyusuri jalur pendakian sekitar pukul 2 siang. Jalur pendakian ini melalui tiga pos sebelum ke puncak. Pos I Sikut Dewo, Pos II Canggal Walangan, dan Pos III Cacingan. Berdasarkan medan-nya, jalur pendakian ini bisa saya bagi menjadi beberapa jenis. Awal pendakian, kami disuguhi jalur pendek tetapi lang-

sung menguras tenaga: beberapa puluh anak tangga melewati permukiman warga. Setelah lepas dari jalur ini, kami melewati jalur jalan batu yang membelah ladang warga sepanjang beberapa ratus meter, dilanjutkan jalan setapak menanjak di sela-sela perbukitan ladang warga setem-pat. Setelahnya, kami mulai memasuki kawasan hutan.

Pos Sikut Dewo berada di ujung wilayah ladang. Di sini kami masih menemui aktivitas warga yang meladang maupun yang membuka warung makanan. Banyak pendaki yang beristirahat sejenak di sini sambil membeli makanan.

Pos berikutnya adalah Pos II Canggal Walangan yang menandai perjalanan kami telah memasuki hutan, yakni hutan pinus. Jalur pendakian masih bisa terlihat jelas. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan para pendaki yang menuruni gunung. Pada umumnya pendaki memu-lai pendakian pada siang hari agar dapat mendirikan tenda di puncak pada sore hari dan berkemah, selanjutnya baru menuruni puncak antara pukul 9 pagi hingga sore hari esoknya.

Tak terasa dua jam lebih kami berjalan, dan sampailah kami di Pos III Cacingan.

C ATATA N P E R J A L A N A N

“PRAU” DI ATAS AWANTeks : Hafiz Yossi Aprilian

Page 53: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

53

Baik Pos I maupun Pos II, tak lebih hanya sekadar tempat yang agak landai dan di-beri penanda. Bukan masalah, saya yakin setiap pendaki di sini terutama pemula pasti sangat senang ketika berhasil men-capai pos-pos ini. Tak lain karena pos ini sebagai bentuk achievement bertahap yang dilalui pendaki. Dengan melihat tanda pos, pendaki bisa beristirahat sambil merasa berbangga hati karena berhasil menyelesaikan satu tahapan perjalanan pendakian, bagaimanapun kondisinya.Beranjak dari Pos III ini medan semakin terjal, pohon semakin jarang, dan tanah semakin berdebu. Ditambah angin yang cukup kencang di sore hari membuat kami berhati-hati, untuk mengatasi debu beter-bangan yang menusuk mata dan hidung, dan mencari pijakan dan pegangan agar tak tergelincir dan jatuh ke jurang.

Puncak Perahu Terbalik Lewat pukul lima sore, kami telah mencapai bagian puncak Gunung Prau. Beberapa saat kami beristirahat sambil menikmati pemandangan Kawasan Dieng, yang belum sempat kami pandang selama mendaki. Nampak dari kejauhan Telaga Warna yang membiru, wilayah permuki-man warga dengan ladang sayuran, serta di seberang Gunung Pakuwaja. Segera kami bergegas mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda karena senja sudah menggantung di ufuk barat. Udara makin dingin, angin makin kencang, tetapi kawasan puncak semakin ramai oleh para pendaki.

Puncak Prau di malam hari sangat dingin, terutama karena hembusan angin langsung dari lembah. Perlu Anda ketahui, kawasan puncak berupa tanah lapang berumput dan jarangnya pepohonan yang bisa melindungi tenda dari angin. Hal ini menambah dinginnya udara di puncak.Kami melewati malam dengan memasak makanan, ngobrol ringan, sambil sesekali mencoba mempraktikkan fotografi ponsel. Menantang seorang kawan, apakah ka-mera ponselnya bisa menangkap gambar secara jelas dalam mode slow speed shutter. Tak lama kemudian kami istira-hat sambil berusaha menahan dinginnya puncak Prau.

Mengatasi dinginnya suhu puncak, disarankan agar mendirikan tenda sedekat mungkin dengan rumpun pepohonan atau kumpulan tenda lain. Begitu gelap, segeralah memasak makanan dan air untuk menambah energi. Semakin malam ,angin bertambah kencang, perlu diwaspa-dai tenda roboh. Pastikan tenda didirikan dengan kuat dan kokoh. Selama di puncak kenakan pakaian sehangat mungkin, serta lindungi mata, hidung, dan ruang dalam tenda dari debu. Pada musim kemarau, rumput mengering dan menyebabkan debu mudah beterbangan masuk ke dalam tenda.

Menanti Fajar Tujuan utama sebagian besar pen-daki Gunung Prau ini saya yakin adalah menikmati pemandangan matahari terbit, walaupun lebih dari itu yang bisa didapat. Memang gunung ini tenar tak hanya karena ramah kepada pendaki pemula, tetapi juga karena panorama sunrise yang katanya terbaik di Pulau Jawa. Peman-dangan di khatulistiwa sebelah timur selain matahari terbit adalah jajaran pegunung-

an megah. Dapat kita saksikan puncak gunung-gunung menyembul di atas awan. Gunung Ungaran, Sumbing, Sindoro, bahkan Merbabu dan Merapi. Selain itu terdapat punggungan bukit-bukit kecil di bagian bawah puncak Prau yang dijuluki bukit Teletubbies. Di sinilah para pen-gunjung biasanya mengabadikan momen untuk dibagikan di media sosial.

Kami bergegas bangun. Setelah Subuh kami bersiap menanti sajian utama di pun-cak Prau: matahari terbit. Pemandangan menakjubkan, seperti yang dikatakan ba nyak orang. Tak mau melewatkan kesem-patan ini kami mengabadikan dalam foto dan video hingga matahari mulai meninggi. Sungguh pengalaman pertama yang tak kan terlupakan.

Puas dengan sajian utama, kami bersegera menyiapkan sarapan dan selanjutnya merapikan tenda, bersiap turun. Tak lupa kami memastikan tak ada sampah tertinggal demi menjaga kelesta-rian lingkungan Prau. Sekitar pukul 9 pagi kami memutuskan turun dan menghabis-kan kurang dari tiga jam untuk sampai ke basecamp Patak Banteng. Perjalanan turun cenderung lebih cepat dibanding kala mendaki.

Cukup lama kami beristirahat sam-bil membersihkan badan di basecamp. Setelah itu kami menyempatkan membeli oleh-oleh berupa Carica. Carica adalah buah endemik kawasan Dieng yang berkerabat dengan pepaya, dan disajikan dalam bentuk manisan buah kemasan. Sekitar pukul satu lebih, kami mening-galkan Patak Banteng menuju Purwokerto untuk kemudian kami lanjutkan menuju Ja-karta. Perjalanan yang melelahkan tetapi menambah pengalaman. n

C ATATA N P E R J A L A N A N

Page 54: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

54

Teks : Yudanto Dwi Nugroho

Melihat suksesnya film Now You See Me pada tahun 2013 silam, sang sutradara seakan sudah mengetahui “bum-bu” apa yang dapat membuat penonton memberikan rating tinggi dan menanti sekuel setelahnya. Memperoleh nilai 7,3 dari 10 dalam laman IMDb dalam film pertama, bukanlah merupakan prestasi yang dapat diremehkan begitu saja. Sayangnya, dalam sekuel yang kedua ini, sang sutradara masih menggunakan “bumbu” yang sama dengan film yang pertama sehingga menghasilkan rasa yang itu-itu saja.

Pada awal film, penonton diajak untuk kembali pada tahun 1982. Saat

itu, diceritakan bahwa Dylan Rhodes kecil sedang menyaksikan pertunjukkan ayahnya, Lionel Shrike, yang sedang melakukan debut terbarunya dengan menenggelamkan diri pada sebuah danau dengan kondisi terkunci dalam se-buah brankas besi. Hadir juga Thaddeus Bradley, diperankan oleh Morgan Free-man, yang meliput langsung debut terse-but pada siaran TV lokal. Thaddeus juga dikenal kerap mengungkap trik-trik sulap Lionel Shrike dalam setiap debut sebe-lumnya. Diceritakan bahwa Thaddeus meragukan debut nekat Lionel Shrike kali ini, yang bertujuan agar rahasia dibalik debut kali ini tidak berhasil diungkap oleh Thaddeus. Naas, debut tersebut berujung

pada tenggelamnya pesulap tenar, Lionel Shrike. Hal ini tentu membuat Dylan Rhodes menaruh rasa dendam kepada Thaddeus dalam hidupnya.

Film yang kedua ini pun masih penuh dengan unsur pembalasan dendam atas kesalahan seseorang di masa lalu. Setelah berhasil membalaskan dendam-nya kepada Thaddeus dengan menjeb-loskannya ke penjara dalam film pertama, Dylan, yang kemudian terungkap sebagai The Fifth Horsemen, memutuskan untuk vakum beberapa tahun dan menjalankan pekerjaan rutinnya sebagai anggota FBI. The Four Horsemen, yang dulunya terke-nal sebagai pesulap jalanan, terdiri dari Daniel Atlas, Merritt McKinney, dan Jack Wilder yang ketiganya masih diperankan oleh pemeran yang sama dengan film

yang pertama, Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, dan Dave Franco. Namun, Henley Reeves yang diperankan oleh Isla Fisher harus absen dalam sekuel kali ini karena kehamilannya. Namun jangan khawatir, Lizzy Caplan akan hadir sebagai Lula, yang hadir dengan karakter yang nyeleneh dan memberikan warna tersendiri dalam aksi The Four Horse-men. Namun, tidak dijelaskan secara gamblang, mengapa Henley Reeves tidak terlibat dalam aksi The Four Horsemen.

Sesungguhnya produser film telah menyajikan modal cerita yang dibeberkan pada awal film ini. Sayangnya, modal cerita tersebut dirasa tidak cukup untuk membekali penonton dengan alur cerita yang bergerak cepat. Sepanjang film, penonton dibuat bertanya-tanya dengan

R E S E N S I F I L M

Page 55: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

55

twist-twist cerita yang begitu banyak. Belum sempat terjawab seluruhnya, dan penonton masih harus mendapat sajian kebingungan-kebingungan setelahnya.

Sebagai aksi come-back-nya, The Four Horsemen berencana akan mem-bongkar aksi jahat seorang CEO peru-sahaan teknologi ternama, OCTA, yang menyalahgunakan data privasi konsumen dalam acara peluncuran sebuah produk terbaru perusahaan tersebut. Belum tuntas menyelesaikan aksinya tersebut, The Four Horsemen harus dihentikan dan kemudian diculik ke Republik Rakyat Tiongkok, Makau.

Adalah Walter Mabry, yang dipe-rankan oleh Daniel Radcliffe, orang yang berada dibalik kekacauan itu. Ia adalah putera dari seorang pemimpin perusa-haan asuransi Arthur Tressler. Dalam sekuel pertama, The Four Horsemen mencuri uang Arthur yang tersimpan dalam brankas bank yang dijaga sangat ketat. The Four Horsemen saat itu berhasil membobol keamanan bank dan menyebar uang klaim asuransi yang ditahan oleh Arthur dengan segala alasan tersebut kepada para penonton dalam sebuah perhelatan besar. Tidak menye-rah begitu saja, Arthur bersama dengan Walter kemudian menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya kepada para The Four Horsemen.

Peran Daniel Radcliffe kali ini masih sangat kental dengan sosok anak laki-laki yang bergelut dengan dunia sihir dalam perannya sebagai Harry Potter pada tahun 2001 s.d. 2011. Hal ini mungkin dikarenakan target penonton Now You See Me 2 kurang lebih sama dengan target penonton film Daniel sebelumnya. Terlebih lagi, kedua film itu sama-sama mengandung unsur magic di dalamnya. Namun, pada kesempatan ini, Daniel mencoba menjadi tokoh antagonis dibanding tetap berdiri sebagai tokoh protagonis. Daniel, dengan kecanggihan sains dan teknologi terkini, berniat akan mengalahkan kekuatan magic yang dimi-liki oleh para The Four Horsemen. Lebih dari itu, pendapat-pendapat penonton yang meragukan perannya ini dimentah-kan kembali oleh Daniel melalui dialog-nya, “Science beats magic”.

Kesulitan untuk menolong teman-temannya, Mark Ruffalo, yang berperan sebagai Dylan Rhodes, mendatangi Thaddeus yang dirasa mengetahui

tentang kekacauan ini. Dengan syarat membebaskan dirinya, Thaddeus ber-sedia untuk membantu Dylan menolong The Four Horsemen.

Di Makau, Walter menggunakan keahlian mereka, membobol sebuah pe-rusahaan teknologi dan mencuri sebuah chip yang dapat mengakses seluruh komputer di dunia. Tidak ada pilihan lain, The Four Horsemen harus berkom-plot dengan Walter. Namun di balik itu semua, juga berniat mengkhianati me-reka semua setelah aksinya berhasil.Arthur dan Walter berhasil membalas-kan dendamnya kepada Dylan dengan menguncinya ke dalam sebuah brankas dan menenggelamkannya ke dalam danau, cara yang sama dengan teng-gelamnya sang ayah. Namun, ia berhasil diselamatkan dengan bantuan Thaddeus, melalui trik tersiratnya, dan tentunya The Four Horsemen.

Berkaca dalam film sebelumnya, ten-tunya aksi The Four Horsemen tidak jauh dari kehebohan dunia sulap. Namun, penonton jangan mengharapkan dapat melihat sebuah real magic dalam film ini. Penonton harus memaklumi bahwa semua hanyalah sebatas cerita fiktif dan rekayasa teknologi dunia perfilman. Hadirnya wajah-wajah baru seperti Jay Chou yang berperan sebagai Li, Tsai Chin sebagai Bu Bu, dan Sanaa Lathan sebagai Deputi Direktur Natalie Austin, dan David Warshofsky sebagai Agen Cowan seakan tidak cukup untuk mem-berikan nafas segar dalam film ini. Atensi penonton lebih condong memerhatikan peran Daniel Radcliffe yang hadir se-bagai villain dan tampil sebagai penjahat yang berkarakter geek dan konyol, bukan ganas dan garang.

Yang perlu digaris-bawahi lagi, film ini tetap mengguna-kan “bumbu” yang sama dengan “bumbu” pada film sebelumnya sehingga tidak ada ke-jutan-kejutan berarti yang membuat penonton

tercengang dalam film tersebut. Memang, penonton dihadirkan sebuah aksi sulap yang menakjubkan dan aksi pertengkaran dengan bumbu-bumbu kungfu khas Tiongkok, namun hal tersebut juga tidak mampu memenuhi ekspektasi penonton.

Hal ini terjadi mungkin karena penon-ton sudah membangun ekspektasi yang sangat tinggi dengan membandingkan twist dalam ending film pertamanya. Selain itu, penonton juga sudah menanti dan menerka-nerka twist apa yang akan diberikan dalam akhir film. Dan ketika pi-hak film memutuskan menggunakan cara yang sama dengan film pertama, para penonton tidak terlalu mendapatkan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Na-mun, beragam konflik yang dimunculkan dalam film ini patut diapresiasi sehingga tidak melulu menceritakan sebuah cerita yang datar.

Di akhir film, ditunjukkan bahwa The Four Horsemen berjalan menuju sebuah pintu dan sebuah tangga yang memben-tuk ornamen “The Eye”. Tidak dijelaskan kemana arah tangga itu akan berujung. Mungkin penonton diantarkan menuju lanjutan serial dalam film Now You See Me 3 yang sampai sekarang masih belum diumumkan tanggal mainnya. Kita tunggu saja bagaimana aksi The Four Horsemen dalam sekuel selanjutnya. n

Sutradara : Hon M. Chu

Penulis Naskah

: Ed Solomon

Pemain : Jesse Eisenberg, Mark Ruffalo, Woody Harrelson, Dave Fran-co, Daniel Radcliffe, Lizzy Caplan, Morgan Freeman

Durasi : 129 menit

Skor : 5 dari 10

R E S E N S I F I L M

Page 56: Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

56