wanpretasi hukum bisnis

15
TUGAS PENGANTAR HUKUM BISNIS KASUS MENGENAI WANPRESTASI MATA KULIAH PENGANTAR HUKUM BISNIS (EKU 220) DISUSUN OLEH : M. HATTA DIMAN ARDE (1306205118) FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

Upload: bunghatta

Post on 10-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

mata kuliah pengantar hukum bisnis universitas udayana

TRANSCRIPT

TUGAS PENGANTAR HUKUM BISNISKASUS MENGENAI WANPRESTASI

MATA KULIAHPENGANTAR HUKUM BISNIS (EKU 220)

DISUSUN OLEH :

M. HATTA DIMAN ARDE(1306205118)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS UDAYANABALI2015

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bisnis terdapat perjanjian kerjasama atau lebih dikenal dengan istilah kontrak. Kontrak ini dilakukan dengan pertimbangan adanya hubungan saling menguntungkan. seseorang atau perusahaan bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Dalam hal ini sengketa dapat berwujud sengketa antara sesama rekan bisnis atau antar perusahaan yang terlibat dalam perjanjian. Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara tersebut adalah pengadilan. sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah Arbitrase. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Hukum Bisnis mengatur bagaimana membuat kesepakatan usaha dagang atau kita kenal perjanjian kontrak. Dalam kontrak tersebut ada ketentuan yang diatur termasuk wanprestasi (melanggar janji). Sebagai contoh kasus permasalahan dalam bisnis adalah adanya sengketa yang melibatkan PT Korindo Heavy Industry (KHI) dan Hyundai Motor Company (Hyundai) yaitu pemutusan kerjasama secara sepihak. Berdasarkan kasus tersebut, akan dibahas bagaimana membuat perjanjian yang sah, bagaimana prosedur pembatalan atau pemutusan perjanjian, bagaimana tindakan jika salah satu pihak dalam perjanjian melanggar, termasuk bagaimana penyelesaian sengketa tersebut berdasarkan teori-teori hukum perdata.

BAB II

PERMASALAHAN

PT Korindo Heavy Industry (KHI) sebagai agen tunggal untuk kendaraan niaga merek Hyundai di Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp1,6 triliun akibat diakhirinya perjanjian ke-agenan secara sepihak dan dihentikannya pasokan suku cadang oleh prinsipal Hyundai Motor Company (Hyundai), Korea Selatan. Kerugian dihitung dari investasi yang sudah berjalan selama 5 tahun dan stok kendaraan dan suku cadang. Korindo memiliki tiga perjanjian kerja sama dengan Hyundai Motor Company menyangkut pasokan, distribusi dan lisensi teknis. Mulai 29 Maret 2012 Hyundai Motor Company memutuskan kerja sama. Dikhawatirkan dengan dihentikannya pasokan suku cadang tersebut, akan menggangu operasi kendaraan niaga Hyundai di Indonesia. Tidak sedikit konsumen KHI yang menggunakan truk atau bus Hyundai sebagai sumber penghasilan mereka. Penolakan atau penghentian pasokan suku cadang ini secara otomatis mengurangi pendapatan mereka, karena unit-unit yang rusak dan harus diganti suku cadangnya tidak bisa beroperasi. Padahal permintaan suku cadang setiap hari makin meningkat. KHI menyesalkan tindakan pihak Hyundai yang memutus kerjasama itu. Padahal selama pelaksanaan perjanjian ke-agenan yang diteken pada 16 Juni 2006 itu berlangsung, KHI sudah berupaya memenuhi kewajibannya untuk menjual produk kendaraan niaga merek Hyundai jenis truk dan bus dengan sepenuh hati dan maksimal secara profesional. Diantaranya dengan melakukan investasi dalam bentuk lahan gedung, pabrik, mesin dan alat pendukung penjualan serta perakitan lainnya. Bahkan, sejak 2007 penjualan bus dan truk meningkat. Dari 2007 hingga 2012 penjualan kendaraan niaga Hyundai telah mencapai 7.361 unit. Penjualan tertinggi terjadi pada 2008 yang mencapai 3.240 unit.

Hotma Sitompoel, kuasa hukum KHI mengakui, pada 2010 penjualan mengalami penurunan. Hal itu tidak disebabkan oleh internal KHI, melainkan sebagai imbas dari kondisi perekonomian di Indonesia saat itu. Mulai 2007 sampai 2008 penjualan KHI terus mengalami kenaikan dan KHI memperoleh penghargaan dari Hyundai sebagai distributor terbaik. Sehingga pihak KHI kaget, tiba-tiba diputuskan hubungan kerjasama tersebut. Sementara pihak KHI yang telah beberapa kali meminta penjelasan, tetapi hingga kini juga tidak kunjung mendapatkan balasan. HMC diminta membuktikan KHI melanggar kontrak yang ada atau tidak. Kemudian akan lihat apakah KHI menghormati ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

Selanjutnya, HMC diketahui tengah digugat perusahaan local PT Korindo Heavy Industry di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatan yang terdaftar pada No166/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tersebut, Korindo menuding Hyundai melakukan perbuatan melawan hukum karena mengakhiri perjanjian bisnis yang telah disepakati secara sepihak. Gugatan tersebut telah diajukan KHI pada 15 Maret 2012 KHI berharap dengan diajukannya gugatan ini, tergugat dapat bertaggungjawab atas kerugian yang ditanggung KHI karena pemutusan kontrak secara sepihak. Dalam gugatannya KHI menuntut Hyundai untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp1,2 triliun dan immateriil sebesar Rp200 miliar. Hyundai telah membuat kesepakatan yang berisi pemberian hak eksklusif untuk menjual dan merakit produk tergugat yang berbentuk commercial vehicle, pada 16 Juni 2006. Perjanjian tersebut diperpanjang setiap tahunnya. Namun pada September 2010 perjanjian tersebut diputus secara sepihak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sementara, KHI telah mengirimkan surat teguran namun sampai dengan adanya gugatan tersebut tidak mendapat tanggapan dari Hyundai. KHI akan melihat apakan Hyundai akan taat terhadap hukum di Indonesia atau tidak dengan adanya pemanggilan sidang oleh pengadilan.

BAB III

PEMBAHASAN

Perikatan HMC dengan KHI karena Kontrak atau Persetujuan Berkaitan dengan pemutusan kerjasama antara HMC dengan KHI secara sepihak, maka yang perlu ditinjau adalah bagaimana melakukan perikatan di awal kontrak. Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih yang melahirkan hak dan kewajiban menuntut suatu barang. Pihak yang berhak disebut kreditur, dan pihak yang berkewajiban disebut debitur. Barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, dapat berupa ;(1) Menyerahkan suatu barang, (2) Melakukan suatu perbuatan, (3) Tidak melakukan suatu perbuatan. Suatu perikatan itu sendiri dapat berasal dari perjanjian dan dapat juga berasal dari undang-undang. Berdasarkan KUH Perdata pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat : (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Pasal 1331 Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Melihat penjelasan tersebut, Setelah memenuhi persyaratan, dan terbentuk kontrak, HMC terikat pada persetujuan untuk menyerahkan suatu barang, yaitu memberikan pasokan suku cadang pada KHI selaku agen Hyundai. Disamping itu KHI juga telah memiliki hak menjual, distribusi, dan lisensi teknis. Wanprestasi adalah apabila si debitur tidak memenuhi kewajibannya, berupa: (1) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan; (2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; (3) Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; (4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Terhadap kelalaian tersebut dapat diancam sanksi berupa: membayar kerugian yang diderita kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, membayar biaya perkara, kalau sampai di pengadilan. Pada kasus ini HMC tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi kontrak. Tiba-tiba melakukan penghentian pasokan suku cadang pada KHI.

Sehingga wajar, jika HMC dapat diamcam membayar kerugian yang diderita KHI baik materiil maupun immaterial. HMC tidak dikatakan bersalah apabila perikatan itu terhapus. Berdasarkan pasal 1381 ada 10 cara hapusnya perikatan, yaitu : (1)Pembayaran. Menurut pasal 1393 KUHP, disebutkan pembayaran harus dilakukan yang ditentukan dalam perjanjian, atau kalau berkaitan dengan suatu barang tertentu dapat dilakukan ditempat barang tersebut berada pada saat perjanjian dibuat. Pembayaran juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga. (2)Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan (3)Pembaharuan hutang. Apabila seseorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru, mengganti hutang yang lama hapus karnanya. Dan apabila debitur baru ditunjuk sebagai pengganti debitur lama dan debitur lama dibebaskan karnanya. (4)Perjumpaan hutang atau kompensasi. Terjadi jika 2 orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah suatu perjumpaan yang menghapuskan hutang keduanya (Pasal 1424 KUHP). (5)Pencampuran hutang. Terjadi apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada 1 orang. Misalnya si debitur menerima testamen dari krediturnya atau si debitur kawin dengan kreditur dalam suatu persatuan hata kawin. (6)Pembebasan hutang. Adalah apabila kreditur dengan tegas tidak mengkehendaki lagi prestasi dari kreditur sehingga melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi. (7)Musnahnya barang atau hutang. Juga menjadi penyebab hapusnya perikatan karna dipandang force mayor, artinya diluar kekuasaan debitur. (8)Kebatalan atau Pembatalan. Dalam pasal 1446 KUHP berkaitan dengan tidak terpenuhinya syarat objektif atau syarat subjektif. (9)Berlakunya suatu syarat batal. Berkaitan dengan perjanjian bersyarat (10)Lewat waktu atau daluarsa. Menurut pasal 1967 KUHP adalah apabila telah lewat 30 tahun, sehingga akan muncul natuurlijike verbintenis, artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut didepan hakim.

Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Jalur Litigasi Dalam menjalankan kegiatan bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu hal yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis sudah mulai mengantisipasi atau paling tidak mencoba meminimalisasi terjadinya sengketa. Langkah yang ditempuh adalah dengan melibatkan para penasehat hukum (legal adviser) dalam membuat dan ataupun menganalisasi kontrak yang akan ditanda tangani oleh pelaku usaha. Yang menjadi soal adalah, bagaimana halnya kalau pada awal dibuatnya kontrak, para pihak hanya mengandalkan saling percaya, kemudian timbul sengketa, bagaimana cara penyelesaian sengketa yang tengah dihadapi pebisnis. Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa dekade yang lampau jika ada sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut membawa kasusnya ke lembaga peradilan ditempuh, baik lewat prosedur gugatan perdata maupun secara pidana. Jika pilihannya penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan, para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat melalui pengadilan. Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang mendalilkan, wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865 KUHP yang mengemukakan bahwa: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk itu, jika penyelesaian sengketa bisnis dipilih lewat lembaga peradilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangan, yakni pihak penggugat wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Di samping itu, penggugat harus tahu persis di mana tempat tinggal tergugat, sebagai gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat, Asas ini dikenal dengan istilah Actor Secuitor Forum Rei. B. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Jalur Non Litigasi B.1. Diluar Lembaga Peradilan B.1.1.

Lembaga Arbitrase sebagai Alternatif Mencermati penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, butuh waktu dan biaya yang cukup mahal. Penyelesaian sengketa bisnis oleh pihak ketiga ataupun suatu lembaga swasta sebagai suatu alternative yakni melalui lembaga arbitrase. Lembaga ini sering pula disebut lembaga perwasitan. Para anggota dari lembaga arbitrase terdiri dari berbagai keahlian, antara lain, ahli dalam perdagangan, industri, perbankan, dan hukum. Sebenarnya, masalah penyelesaian sengketa bisnis atau perdagangan melalui lembaga arbitrase bukanlah sesuatu hal yang baru dalam praktek hukum di indonesia. Disebut demikian karena pada zaman hindia Belanda pun sudah dikenal. Hanya saja, pada waktu itu berlaku untuk golongan tertentu saja sehingga pengaturan lembaga ini pun diatur tersendiri yakni dalam hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang termuat dalam reglement op de rechtelijke rechtsvordering (RV). Dalam Pasal 615 Rv ditegaskan adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter). Apabila diperhatikan secara sepintas isi Pasal tersebut, seolah-olah setiap sengketa dapat diselesaikan oleh lembaga ini, tetapi tidaklah demikian halnya karena yang dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah hanya yang menyangkut kekuasaan para pihak yang bersengketa, yakni tentang hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian. Untuk itu ada baiknya perlu diperhatikan asas yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang mengemukakan bahwa : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berjanji, maka bagi mereka hal tersebut dianggap merupakan suatu undang-undang yang harus ditaati. Dalam praktek dunia bisnis yang berlaku sekarang, sudah ada suatu standar kontrak yang baku, karenanya para pihak tinggal mempelajarinya, apakah ia setuju atau tidak terhadap syarat-syarat yang tercantum dalam kontrak tersebut. Biasanya dalam standar kontrak dicantumkan suatu klausul bahwa apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan penafsiran tentang isi perjanjian, akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase (badan perwasitan). Hal ini berarti sejak para pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut, sudah menyatakan diri bahwa perselisihan yang mungkin akan terjadi diselesaikan oleh lembaga arbitrase. Tetapi, dapat pula terjadi bahwa dalam suatu kontrak tidak ada klausul tersebut, tetapi jika dikehendaki oleh para pihak apabila ada perselisihan masih dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase, yakni berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, tetapi harus dibuat secara tertulis. Adapun tugas lembaga arbitrase adalah menyelesaikan persengketaan yang diserahkan kepadanya berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa. B.1.2. Badan arbitrase Nasional Indonesia Apabila dikaji terlebih jauh tentang tugas dan peranan lembaga arbitrase ini, ternyata yang paling membutuhkan adalah para pengusaha sehingga kalau diperhatikan, pusat-pusat lembaga arbitrase di negara-negara industri yang telah maju, seperti Jepang, dikenal The Japan comercial arbitration Association yang berkedudukan di Tokyo; di USA dikenal dengan The American Arbitration association yang berkedudukan di New York, sedangkan pusat arbitrase internasional yang paling tua dan terkenal adalah court of Arbitration of the International Chamber of Commerce yang didirikan sejak tahun 1919 dan berkedudukan di Paris. Bagaimana halnya dengan Indonesia, apakah sudah ada lembaga arbitrase yang permanen? Rupa-rupanya para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang notabene adalah juga anggota dari Kamar Dagang International (The International chamber of Commerce) ingin mendirikan lembaga tersebut secara permanen.

Usaha ini ternyata berhasil pada tahun 1877 di Indonesia telah berdiri lembaga arbitrase yang diberi nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Hubungan antara Kadin dan BANI erat sekali, masalah ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 1 Anggaran Dasar BANI yang mengemukakan: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa kamar dagang dan industri (Kadin), yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang bersifat nasional dan bersifat internasional. Melihat tujuan dibentuknya BANI adalah menyelesaikan sengketa perdata yang cepat dan adil, mungkin timbul pertanyaan apakah BANI dapat dipaksakan andai kata para pihak tidak mematuhinya? Dalam hal ini, peraturan prosedur BANI menentukan bahwa jika suatu putusan telah dijatuhkan, namun para pihak tidak memenuhinya, ketua BANI dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum mana putusan BANI telah ditetapkan agar putusan BANI dapat dijalankan. Jika dicermati dalam praktik dunia bisnis yang berkembang dewasa ini, tampak bahwa dalam suatu kontrak apakah ia yang sudah baku ataupun belum sudah ada suatu klausul arbitrase, artinya jika timbul perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga ini. Tampaknya, penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (Out of Court Settlement) semakin banyak diminta sebab ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yakni prosedurnya cukup cepat dan rahasia perusahaan lebih terjamin. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dikenal dengan Alternative Dispute Resolution atau Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR atau MAPS). Asas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu putusan harus dijalankan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.

Di Indonesia sendiri, penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138 tahun 1999 tanggal 12 Agustus 1999. selanjutnya, disebut UUAPS. 3.3. Penyelesaian Sengketa Pemutusan Kontak Kerjasama HMC dengan KHI Pada asasnya, para pihak yang terlibat dalam dunia bisnis ingin agar segala sesuatunya dapat berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan begitu juga dengan HMC dan KHI. Akan tetapi, dalam praktik ada kalanya apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak tidak dapat dilaksanakan karena salah satu pihak mempunyai penafsiran yang berbeda dengan apa yang telah disetujui sebagaimana yang tercantum dalam kontrak sehingga dapat menimbulkan perselisihan. Munculnya perselisihan tersebut dapat menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, untuk merealisasikan kembali perjanjian diperlukan kesepakatan lagi. Dengan demikian, ditinjau dari sudut bisnis jelas kurang menguntungkan karena hal ini dapat menimbulkan kerugian bukan saja materiil, melainkan juga kemungkinan terjadinya kerugian immaterial, yaitu nama baik yang selama ini terjaga dengan baik. Dalam kasus ini, proses awal dilakukan dengan itikad untuk negoisasi yaitu berupa pengiriman surat teguran dari KHI kepada HMC. Namun, HMC ternyata tidak merespon surat tersebut. DI proses selanjutnya ternyata sengketa ini diselesaikan melalui jalur litigasi karena HMC diketahui tengah digugat perusahaan local PT Korindo Heavy Industry di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatan yang terdaftar pada No166/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tersebut, Korindo menuding Hyundai melakukan perbuatan melawan hukum karena mengakhiri perjanjian bisnis yang telah disepakati secara sepihak. Sebagai pihak penggugat, KHI tentu saja wajib membuktikan gugatanya atas pemutusan kontrak kerjasama yang dilakukan bersama HMC. KHI harus dapat menyajikan bukti-bukti atau pihak yang dapat membenarkan gugatannya termasuk ganti rugi yang diajukan kepada HMC Selanjutnya ketika masalah HMC dan KHI dibawa ke Pengadilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh kedua belah pihak selain waktu dan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, juga identitas para pihak yang bersengketa akan diketahui oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui prinsip yang dianut oleh lembaga peradilan adalah pada asasnya terbuka untuk umum. Tentunya, jika benar-benar terbukti HMC menyalahi hukum, maka akan dikethui oleh masyarakat dan tentu akan mempengaruhi kebonafiditasannya.

Oleh karana itu, jika diikuti prosedur yang biasa, yaitu menggugat melalui pengadilan, ada dua hal yang dapat merugikan para pihak yakni identitas yang bersangkutan akan diketahui oleh umum dan waktu untuk menyelesaikan persengketaan cukup lama. Tentunya, kedua hal tersebut tidak dikehendaki oleh kalangan pebisnis. Dari seluruh mekanisme yang ada, litigasi dianggap sebagai yang paling tidak efisien oleh para pelaku dunia ekonomi komersial, berkaitan dengan waktu dan biaya yang dibutuhkan. Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, di mana para pihak yang berperkara dipengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Beberapa faktor lain yang mengakibatkan pengadilan bersikap tidak responsif, kurang tanggap dalam merespon tanggapan umum dan kepentingan rakyat miskin (ordinary citizen). Hal yang paling utama adalah kemampuan hakim yang sifatnya generalis (hanya menguasai bidang hukum secara umum tanpa mengetahui secara detil mengenai suatu perkara). Faktor lain yang mengakibatkan badan pengadilan dianggap tidak kondusif bagi kepentingan penyelesaian sengketa. Rumitnya proses pemeriksaan perkara di pengadilan mengakibatkan lambatnya pengambilan keputusan. Ketika KHI dan HMC menyelesaikan sengketanya melalui litigasi di pengadilan negeri Jakarta Selatan, maka hasil penyelesaiannya sangat bergantung pada proses jalannya sidang dan putusan hakim.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Sengketa Pemutusan Kontrak Perjanjian Sepihak oleh Hyundai Motor Company dengan Korindo Heavy Industry merupakan salah satu bentuk kasus pelanggaran perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Akibat pelanggaran kontrak atau perjanjian yang disepakati bersama sebelumnya adalah ganti rugibaik secara materiil maupun immaterial. Penyelesain sengketa dapat dilakukan dengan bermacam cara, tetapi penyelesaian sengketa antara pihak HMC dengan KHI ini dilakukan melalui Litigasi yaitu KHI melakukan gugatan kepada HMC melalui lembaga peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana penyelesaian tersebut bergantung pada jalannya sidang dan putusan hakim yang membutuhkan waktu yang cukup lama dalam prosesnya.

SARAN

Perlu ditekankan dalam melakukan perikatan dengan kontrak atau perjanjian harus dibuat secara matang dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan resiko yang terjadi. Dalam pembuatannya pun perlu melibatkan pihak hukum yang ahli sehingga jika terjadi hal di luar perjanjian dapat langsung diselesaikan. Dalam penyelesaian sengketa, sebaiknya mengutamakan musyawarah atau negoisasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Selain Lebih murah, efisien waktu, kerahasiaan tetap terjaga.