vol. 8 no. 1, mei 2014 issn 1979 -3103...
TRANSCRIPT
i
Vol. 8 No. 1, Mei 2014 ISSN 1979 -31030000
ii
PHYSICAL EDUCATION HEALTH AND RECREATION JOURNALJurnal PJKR
Jl. Menteri Supeno 13 Manahan Surakarta 57139 E-Mail : [email protected], Fax. (0271) 714957
Terbit dua kali dalam setahun pada bulan Mei dan November , berisi naskah hasil Penelitian, gagasan konseptual,iptek mengenai pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi.
Ketua Dewan penyuntingDrs. Sarwono, M.S
Wakil Ketua Dewan penyuntingDrs. Heru Suranto, M.Pd
Mitra Bestari:Prof. Dr. Sugiyanto. (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Prof. Dr.H.M. Furqon H, M.Pd. (Universitas Sebelas Maret Surakarta)Prof. Dr. Agus Kristyanto, M.Pd (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Prof. Dr. H. Harsuki, M.A. (Universitas Negeri Jakarta)Prof. Dr. Tandyo Rahayu, M.Pd. (Universitas Negeri Semarang)
Prof. Dr. Gusril, M.Pd (Universitas Negeri Padang)Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.Kes (Universitas Pendidikan Ganesa Singaraja)
Prof. Drs. Wawan Sundawan, M.Pd (Universitas Negeri Yogyakarta)Prof. Dr. M.E. Winarno (Universitas Negeri Malang)Dr. dr. BM Woro K (Universitas Negeri Yogyakarta)
Penyunting PelaksanaDrs. Heru Suranto, M.Pd
Drs. Agus Margono, M.KesDrs. Sarwono, M.S
Dra. Hanik Liskustyowati, M.KesDrs. Budhi Satyawan, M.Pd
Sekertariat :Tri Winarti Rahayu, S.Pd, M.Or.
Deddy Whinata Kardiyanto, S.Or., M.PdRonny Syaifullah, S.Pd, M.Pd
Tata Usaha:Sri Wahyuni
Susanto
Jurnal PJKR :Diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan Rekreasi, Jurusan Pendidikan Olahraga danKesehatan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Publikasi Naskah: Penyunting menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam jurnal dan lain sebagainya.(Petunjuk bagi penulis : baca pada bagian sampul belakang)
Alamat Redaksi: JPOK FKIP UNS Surakarta. Jl. Menteri Supeno 13 Manahan Surakarta. 57139. Telp/Fax : (0271)714957. E-Mail : [email protected].
iii
PHYSICAL EDUCATION HEALTH AND RECREATION JOURNALJurnal PJKR
Jl. Menteri Supeno 13 Manahan Surakarta 57139 E-Mail : [email protected], Fax. (0271) 714957
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga dapat tersusun Jurnal “PHEDHERAL” ini.
Jurnal ini berisi tentang pembahasan permasalahan yang ada hubungannya dengan
pendidikan jasmani, kesehatan dan rekreasi. Dengan adanya jurnal ini diharapkan mampu
mewadahi ide, gagasan konseptual para peneliti dan penulis yang berupa artikel ataupun
hasil penelitian, agar dapat terpublikasi kepada masyarakat.
Setelah beberapa waktu berlalu, sehingga jurnal ini dapat diselesaikan sesuai
dengan rencana, dan dengan tersusunnya jurnal ini, kami selaku redaksi ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada para penulis yang telah memberikan
kontribusinya untuk penerbitan kali ini, dan mohon maaf kepada penulis yang artikelnya
belum termuat.
Demikian, mudah-mudahan jurnal ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan khususnya pendidikan jasmani, kesehatan dan rekreasi, dan taklupa redaksi
tetap mengharap kiriman artikel atau hasil penelitian dari para penulis.
Surakarta, Mei 2014
Redaksi
iv
PHYSICAL EDUCATION HEALTH AND RECREATION JOURNALJurnal PJKR. Volume 8 No. 1 Me 2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………… i
Personalia …………………………………………………… ii
Kata Pengantar ............................................................................... iii
Daftar Isi …………………………………………………… iv
Sarwono Meningkatkan Aktivitas Belajar Dan DisiplinSiswa Dalam Pembelajaran PendidikanJasmani................................................................
1 – 17
Deddy Whinata Faktor Penyebab Terjadinya Agresivitas SaatBertanding Pada Atlet Sepakbola PekanOlahraga Pelajar Daerah (Popda) KabSumenep..............................................................
18 – 30
Achmad Suparto Pengaruh Latihan Rubber Dan Burble TerhadapKekuatan Dan Power Otot Lengan Pada PemainBolavoli…………………….................................
31 – 45
Boby Ardiasyah Dampak Kecemasan Pada Atlet Bola Basket
Sebelum Bertanding.............................................
46 – 54
Yudha Ranto HB Efektifitas Kemimpinan Lembaga SwadayaMasyarakat Dalam Pembinaan Olahraga Prestasi(Study Kasus Di Padepokan Angkat Besi DanAngkat Berat Gajah Lampung)………................
55 – 73
Taufik Hidayat Strategi Public Relations Pt. Deteksi BasketLintas (Dbl) Indonesia Dalam Liga NationalBasketball League (Nbl) Indonesia 2013-2014......................................................
58-72
Petunjuk Penulisan ............................................................................... 73
v
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 1
MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN DISIPLIN SISWADALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
SarwonoUniversitas Sebelas Maret
ABSTRACT
Passive and undisciplined behavior of students on the learning processimplemented physical education is a frequent problem encountered by the teachers,especially for young teachers. In fact, an experienced teacher also still encounter studentswho are undisciplined and passive behavior of students in learning. Various efforts andstrategies to improve student learning activities and disciplines need to be owned by theteachers as to increase its efforts to avoid these problems become more severe. Some ofthe guidance system of discipline is more emphasis on extrinsic motivation, while othersemphasize the intrinsic motivation. Regardless of the coaching system selected by theteacher disciplined by the teacher, the application development needs to be doneconsistently disciplined, rigorous, and still appreciate the feelings and self-esteem.
Keyword: learning activities; discipline students; learning, and physical education
PENDAHULUAN
Mengawali tulisan ini ada baiknya dikemukan
beberapa hasil penelitian yang topiknya serupa
dan ada kaitannya dengan judul tulisan yang
diajukan, sekadar komparasi agar
pengkajiannya lebih komprehensif. Di antara
banyak penelitian dalam lingkup Pedagogi
Olahraga khususnya, berikut disajikan beberapa
contoh penelitian relevan yang telah
dilaksanakan di Amerika. Siedentop,
Tousignant, dan Parker (1982) meneliti tentang
Academic Learning Time-Physical Education
(ALT-PE). Zakrajsek, Darst, dan Mancini
(1989) mengembangkan instrumen-instrumen
observasi untuk keperluan penelitian dalam
Proses Belajar Mengajar (PBM) Pendidikan
Jasmani (Penjas) yang sampai sekarang
instrumen tersebut banyak digunakan oleh
lembaga-lembaga persiapan guru Penjas
(Physical Education = PE) di Amerika.
Siedentop (1994), mengembangkan
model manajemen kelas dan pembinaan disiplin
dalam PBM Penjas yang sering disebut sebagai
model Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian-
penelitian praktis seperti Penelitian Aksi (Action
Research dan/atau Penelitian untuk
“Sport Education” melalui aplikasi
konsep “Level of Affective Development”.
Penelitian untuk pengembangan aspek yang
sama juga dilakukan oleh Hellison (2003)
dengan sebutan model“Teaching Responsibility
through Physical Activity”. Model-model
pembelajaran Penjas seperti itu, sekarang ini
banyak diterapkan di sekolah-sekolah dalam
PBM Penjas di Amerika. Semua kegiatan
penelitian tersebut berdampak positif terhadap
pendidikan guru. Calon guru Penjas di Amerika
sekarang ini mempunyai pengetahuan dan
keterampilan yang lebih luas tentang
manajemen kelas, disiplin siswa, supervisi, dan
keterampilan mengajar lainnya. Namun
demikian, penelitian dalam lingkup Pedagogi
Olahraga di Indonesia masih jarang dilakukan.
Misalnya, Lutan (1992) meneliti tentang
Jumlah Waktu Aktif Belajar (JWAB) pada PBM
Penjas di Jawa Barat yang hampir serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Siedentop et al., (1982) yaitu tentang Academic
Learning Time-Physical Education (ALT-PE).
orang tua mungkin kurang merasa puas
terhadap keberhasilan program sekolah
anaknya. Pada akhirnya PBM Penjas kurang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 2
Pengembangan Kualitas Pembelajaran (PPKP)
lainnya (Puslitjaknov Depdiknas, 2008;
Pusbangsisjar LPP UNS, 2010) dalam kerangka
ilmu Pedagogi Olahraga mungkin akan dapat
lebih mengembangkan eksistensi Penjas di
Indonesia saat ini.
Salah satu tantangan yang senantiasa
harus dicari pemecahannya oleh guru Penjas
pada waktu mengajar di sekolah akhir-akhir ini
adalah bagaimana menciptakan lingkungan dan
manajemen pembelajaran yang mendukung
terhadap kelancaran pelaksanaan proses
pembelajaran sehingga siswa dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh
guru. Penciptaan lingkungan pembelajaran
tersebut ditujukan untuk menghindari
kemungkinan terbentuknya kondisi lingkungan
pembelajaran yang tidak kondusif terhadap
pelaksanaan pembelajaran Penjas. Beberapa
gejala tersebut dapat diamati dari kurangnya
perhatian siswa terhadap penjelasan guru, antara
lain: siswa sibuk dengan urusannya masing-
masing, tidak mengikuti petunjuk guru, tidak
mendengarkan guru, melalaikan perintah guru,
tidak mau belajar, dan sebagainya. Keadaan
tersebut sudah barang tentu tidak diinginkan
oleh semua guru Penjas, karena hal itu akan
merugikan semua pihak. Guru Penjas mungkin
akan merasa jenuh, bosan, atau jengkel terhadap
siswanya. Siswa tidak cukup memadai dan lama
mendapat kesempatan belajar (active learning
time =ALT atau waktu aktif belajar =WAB
tidak memadai). Demikian juga pihak
sekolah dan
dan mempresentasikan informasi, 3)
membuat pertanyaan, dan 4) mengevaluasi
kemajuan, sedangkan interaksi, proses, atau
kegiatan manajemen kelas meliputi: 1)
menciptakan dan memelihara kondisi kelas, 2)
memberi pujian terhadap perilaku yang baik,
berhasil. Untuk itu, upaya penciptaan
lingkungan pembelajaran Penjas yang
mendukung terhadap berhasilnya pencapaian
tujuan pembelajaran dipandang perlu untuk
diupayakan. Namun demikian, usaha-usaha
yang sifatnya dapat menghambat kreativitas
siswa dalam belajar, misalnya, menghukum
siswa dalam batas yang tidak wajar, harus
dihindari sedapat mungkin. Dengan hukuman
seperti itu, mungkin saja anak kelihatannya taat,
patuh, selalu mengikuti segala perintah
gurunya, dan sangat disiplin. Tetapi dibalik itu
semua, mungkin saja siswa tersebut sebenarnya
bukannya disiplin dengan penuh kesadaran
akan tetapi karena merasa takut hingga
perilakunya mengesankan penurut.
Disiplin karena takut ini lambat laun
dapat menyebabkan siswa tersebut menjadi
kurang berkembang dengan secara optimal,
mulai dari takut bertanya, takut mengemukakan
gagasan, takut salah, takut dan selalu takut yang
akhirnya kreativitas terhambat. Sifat penurut
seperti itu tentu saja tidak diinginkan oleh
semua guru Penjas, karena sifat penurut seperti
itu bukan salah satu dari tujuan yang
diharapkan dalam tujuan pembelajaran Penjas
yang sebenarnya. Sehubungan dengan uraian
tersebut, usaha-usaha yang sifatnya edukatif
untuk meningkatkan aktivitas belajar dan
disiplin siswa perlu diciptakan dan dikelola
oleh guru Penjas.
Guru Penjas perlu membedakan antara
proses pembejalaran dan manajemen kelas.
Interaksi, proses, atau kegiatan pembelajaran
meliputi:1) mendiagnosis kebutuhan kelas, 2)
merencanakan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta), di Indonesia tidak ada filosofi
pendidikan. Pendapat itu didapatkannya dari
tilikan dokumen yang menjadi dasar kegiatan
sejak beberapa tahun ini. Bahkan dokumen
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 3
dan 3) mengembangkan hubungan guru dan
siswa. Keterampilan manajemen kelas
merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran yang efektif-efisien. Praktik
manajemen kelas yang efektif-efisien yang
dilaksanakan oleh pendidik akan menghasilkan
perkembangan keterampilan manajemen diri
siswa yang efektif-efisien pula. Ketika siswa
telah belajar untuk mengatur diri lebih efektif-
efisien, guru penjas akan lebih mudah
berkonsentrasi untuk meningkatkan efektivitas
pembelajaran. Agar tulisan ini lebih bermakna,
maka deskripsi diawali dengan pembahasan
hakikat pembelajaran dan hasil belajar,
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
tentang: upaya meningkatkan aktivitas belajar,
meningkatkan disiplin siswa, bentuk-bentuk
latihan dalam tingkat pengembangan afektif,
karakteristik sistem pembinaan disiplin yang
efektif, dan menyikapi realitas secara berturut-
turut akan dikaji lebih lanjut dalam uraian
berikut.
PEMBAHASAN
Hakikat Pembelajaran dan Hasil Belajar
Praksis Pendidikan: Dari “Kujana”
(Pintar, Terampil, tetapi Berperilaku Durjana)
Menjadi Sujana (Pintar sekaligus Arif-
Bijaksana) Mungkinkah? Judul berita di Harian
“Kompas”, 1 Mei 2012 seminggu yang lalu
sungguh mengejutkan dan menarik untuk
disimak, karena menurut Paul Suparno (mantan
Rektor awalnya dalam memahami pembelajaran
ini ditilik dari apa itu belajar, yang
penekanannya terletak pada perpaduan antara
belajar dan mengajar, yakni kepada
penumbuhan aktivitas belajar. Dengan
demikian, untuk memahami hakikat
pembelajaran, maka terlebih dahulu harus
dipahami komponen pembentuknya, yaitu
tentang hakikat belajar dan mengajar.
rasional yang mendasari Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 pun tidak disertakan. Akibatnya, ...
dalam segala permasalahan praksis pendidikan
lebih menonjolkan pendekatan pragmatis
daripada pendekatan filosofis. Kekurangan itu
berdampak beruntun dalam kebijakan yang
diambil, yang menyangkut apa yang
dimaksudkan dengan pendidikan nasional,
tujuan, dan proses mencapainya dominasi
pragmatisme dalam kebijakan pemerintahan
pun tidak akan bertemu dengan pendekatan-
pendekatan pedagogis dan akademik, kecuali
masing-masing mengambil posisi demi baiknya
(Sularto, 2012). Dengan gambaran seperti
itulah, akhirnya orang atau makhluk hidup
belajar dan menghayati adanya proses
pembelajaran dalam arti pendidikan dan
pembelajaran di Masyarakat dan Negara yang
lebih luas.
Di lingkup yang lebih sempit, di Sekolah
konkretnya, pembelajaran dimaknai sebagai
akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan
konsep belajar (learning). Fathoni dan Riyana
(2011) memaknai konsep pembelajaran lebih
luas daripada konsep pengajaran, sementara
Suyono dan Hariyanto (2011) menyatakan
pembelajaran setara dengan pengajaran. Konsep
pembelajaran (belajar-mengajar) dan
pengajaran dapat diperdebatkan, atau diabaikan
saja yang penting makna dari keduanya.
Konsep-konsep tersebut dapat dipandang
sebagai sistem belajar bagi siswa dan sistem
mengajar bagi guru. Konsep awalnya dalam
memahami pembelajaran ini ditilik dari apa itu
belajar, yang penekanannya terletak pada
perpaduan antara belajar dan Pembelajaran
adalah suatu proses interaksi komponen-
komponen sistem pembelajaran. Konsep dan
pemahaman pembelajaran dapat dipahami
dengan menganalisis aktivitas komponen: guru,
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 4
Terhadap ketiga istilah tersebut yaitu
belajar, mengajar, dan pembelajaran; dalam
konteks kekinian dibatasi sebagai berikut: 1)
belajar adalah refleksi sistem kepribadian siswa
yang menunjukkan perilaku yang terkait dengan
tugas yang diberikan, 2) mengajar adalah
refleksi sistem kepribadian guru yang bertindak
secara profesional, dan 3) pembelajaran adalah
refleksi sistem sosial tempat berlangsungnya
mengajar dan belajar. Kaitannya dengan
pembelajaran Penjas dalam konteks yang lebih
spesifik, maka makna pembelajaran
didefinisikan sebagai: 1)
aksi/tindakan/perbuatan atau cara menjadikan
orang belajar, dan 2) proses kegiatan interaksi
antara siswa-guru dengan lingkungan
pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran, atau 3) proses untuk
mengembangkan dan memberdayakan semua
potensi siswa, baik potensi akademik (kognitif,
afektif, psikomotor)*, potensi kepribadian,
potensi sosial, dan potensi vokasional ke arah
yang lebih baik menuju kedewasaan dalam
berpikir, bersikap, dan bertindak (Hasil
Refleksi, 2012).
* Kognitif = kemampuan yang berkaitan
dengan hal yang bersifat intelektual.
* Afektif = kemampuan untuk memilih suatu
tindakan dalam menghadapi situasi yang bersifat
spesifik.
* Psikomotor = kemampuan dalam
mengoordinasikan gerakan tubuh untuk mencapai
tujuan spesifik.
Oleh karena itu, perubahan perilaku pada
siswa perlu ditilik dari dua segi: 1) perubahan
perilaku sebagai hasil belajar, dan 2) perubahan
perilaku yang bukan dari hasil belajar. Adapun
yang harus dipastikan guru Penjas adalah bahwa
perubahan perilaku tersebut sebagai hasil
belajar.
Secara umum, hasil belajar siswa
siswa, bahan ajar, media, alat, prosedur, proses
dan tujuan belajar. Perubahan dan munculnya
beberapa konsep dan pemahaman tentang
belajar merupakan suatu bukti bahwa
pembelajaran adalah proses mencari kebenaran,
menggunakan kebenaran, dan
mengembangkannya untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan hidup manusia,
khususnya yang berhubungan dengan upaya
mengubah perilaku, sikap, pengetahuan dan
pemaknaan terhadap tugas-tugas selama
hidupnya. Dalam proses pembelajaran terdapat
unsur-unsur yang akan menghasilkan hasil
belajar. Melalui hasil belajar inilah maka
pembelajaran bisa berkelanjutan, sehingga
segala sesuatu yang dibutuhkan manusia
terpenuhi.
Substansi tentang proses belajar dan
pembelajaran, yaitu adanya proses perubahan
perilaku (kognitif, afektif, psikomotor) sebagai
hasil interaksi antara siswa-guru dengan
lingkungan pembelajaran. Dari pengertian ini
terkandung dua indikator atau unsur penting
yang menjelaskan tentang belajar yaitu: 1)
perubahan perilaku, dan 2) hasil interaksi.
Dengan dua indikator ini dapat disimpulkan,
bahwa siswa yang telah belajar pasti terjadi
perubahan perilaku, jika tidak maka belum
terjadi belajar. Selanjutnya bahwa perubahan
yang terjadi itu, harus melalui suatu proses,
yaitu interaksi yang direncanakan antara siswa-
guru dengan lingkungan pembelajaran untuk
terjadinya aktivitas atau proses pembelajaran,
jika tidak maka perubahan tersebut bukan hasil
belajar. 3) belajar menjadi diri sendiri, dan 4)
belajar untuk hidup dalam kebersamaan.
Bloom, Engelhart, Frust, Hill, dan Krahtwohl
(1956) menyebutnya dengan tiga ranah hasil
belajar, yaitu: 1) kognitif, 2) afektif, dan 3)
psikomotor. Mereka adalah penggagas awal
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 5
dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor-
faktor yang ada dalam diri siswa dan faktor
eksternal, yaitu faktor-faktor yang berada di luar
diri siswa. Darmawan dan Permasih (2011)
memerinci dengan detail yang termasuk faktor
internal adalah: 1) faktor fisiologis atau jasmani
individu baik yang bersifat bawaan maupun
yang diperoleh dengan melihat, mendengar,
struktur tubuh, cacat tubuh, dan sebagainya, 2)
faktor psikologis baik yang bersifat bawaaan
maupun keturunan, yang mencakup faktor
intelektual, faktor non-intelektual, dan 3) faktor
kematangan baik fisik maupun psikis. Adapun
yang termasuk faktor eksternal terdiri atas: 1)
faktor sosial, yang mencakup faktor lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat, dan kelompok, 2) faktor budaya
seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian dan sebagainya, 3) faktor
lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas
belajar, iklim, dan sebagainya, dan 4) faktor
spiritual atau lingkungan keagamaan. Faktor-
faktor tersebut saling berinteraksi secara
langsung atau tidak langsung dalam
memengaruhi hasil belajar yang dicapai
seseorang.
Secara khusus, sebagaimana
dikemukakan oleh UNESCO ada empat pilar
hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai
melalui proses pendidikan dan pembelajaran,
yaitu: 1) belajar untuk mengetahui, 2) belajar
dengan melakukan, dalam proses serta hasil
belajar.
Sementara itu, dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) hasil belajar
dirumuskan dalam bentuk kompetensi, yaitu:
kompetensi akademik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi vokasional.
Keempat kompetensi tersebut harus dikuasai
oleh siswa secara menyeluruh/komprehensif,
yang selalu memandang bahwa kerangka pikir
tersebut sebagai sesuatu yang selalu
berkembang, tak pernah selesai dan tak pernah
menjadi baku. Mula-mula, hanya ranah kognitif
yang disusun (Bloom et al., 1956), ranah afektif
disusun kemudian (Krathwohl et al., 1964).
Akan halnya ranah psikomotor, Simpson
(1964), Harrow (1972), serta Jewett dan Mullan
(1977) telah menyusun kerangkanya, tetapi para
penggagas awal itu tak kunjung membuatnya.
Anderson dan Karthwohl (2001) merevisi
enam level proses kognitif Bloom et al. (1956),
yang semula tersusun dari: 1) pengetahuan; 2)
pemahaman; 3) aplikasi; 4) analisis; 5) sintesis;
dan 6) evaluasi dalam tabel taksonomi satu
dimensi (kolom saja), sekarang direvisi ke
dalam tabel taksonomi dua dimensi (baris dan
kolom), yakni empat level (baris) dimensi
pengetahuan: 1) pengetahuan faktual, 2)
pengetahuan konseptual, 3) pengetahuan
prosedural, dan 4) pengetahuan metakognitif,
sedangkan enam level (kolom) proses kognitif:
1) mengingat, 2) memahami, 3)
mengaplikasikan, 4) menganalisis, 5)
mengevaluasi, dan 6) mencipta. Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya proses pembelajaran ditandai dengan
perubahan tingkah laku atau perilaku secara
keseluruhan baik yang menyangkut segi
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Proses
perubahan dapat terjadi dari yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks, yang
bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya
peranan kepribadian Setelah guru mempelajari
kurikulum yang berlaku, selanjutnya guru
membuat suatu desain pembelajaran dengan
mempertimbangkan kemampuan awal siswa;
tujuan yang hendak dicapai; teori belajar dan
pembelajaran; karakteristik materi yang akan
diajarkan; pendekatan, strategi, model, metode,
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 6
sehingga menjadi pribadi yang utuh dan
bertanggung jawab (Darmawan dan Permasih,
2011).
Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar
Peran guru tidak hanya terbatas sebagai
pengajar (penyampai ilmu pengetahuan), tetapi
juga sebagai pembimbing, pengembang, dan
pengelola kegiatan pembelajaran yang dapat
memfasilitasi kegiatan belajar siswa dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gambar
1 berikut adalah bagan integrasi interaksi,
kegiatan, dan proses belajar dalam manajemen
pembelajaran.
namun guru Penjas perlu mengetahui
jenis-jenis strategi dan teknik pengawasan mana
yang sesuai untuk diterapkan. Beberapa strategi
sangat efektif digunakan oleh guru tertentu
terhadap siswa tertentu, sementara yang lainnya
kurang atau tidak efektif. Adapun jenis-jenis
teknik pengawasan untuk meningkatkan
aktivitas belajar menurut Graham (Suherman,
1998) sebagai berikut:
1. Berdiri di Pinggir Lapangan
teknik, dan prosedur yang akan diterapkan; juga
media, sumber belajar yang akan digunakan;
serta unsur-unsur lainnya sebagai penunjang.
Setelah desain dibuat, kemudian proses
pembelajaran dilakukan. Dalam proses
pembelajaran inilah guru Penjas memainkan
peran yang amat luas, setidaknya 4 (empat)
peran utama guru profesional dalam
pembelajaran, yaitu berfungsi: 1) sebagai
pendidik profesional sekaligus pengajar, 2)
sebagai pembimbing sekaligus konselor, 3)
sebagai ilmuwan, peneliti, sekaligus inovator,
dan 4) sebagai pribadi atau insan kamil.
Selengkapnya peran guru dalam pembelajaran
adalah berfungsi sebagai: 5) desainer,
perencana, atau perancang dalam pembelajaran,
6) manajer, pengelola, atau organisator dalam
pembelajaran, 7) mediator dalam pembelajaran,
8) pemimpin sekaligus contoh, teladan atau
demonstrator dalam pembelajaran, 9) fasilitator
dalam pembelajaran, 10) motivator dalam
pembelajaran, 11) evaluator dalam
pembelajaran, dan 12) sebagai pemantau atau
pengawas dalam pembelajaran (Hasil Refleksi,
2012).
Berkenaan dengan implementasi fungsi
guru dalam pemantauan atau pengawasan
pembelajaran khususnya, agar aktivitas
belajar siswa meningkat, maka seorang
guru mutlak memahami jenis-jenis strategi
pembelajaran dan teknik-teknik
pengawasan dalam pembelajaran.
Walaupun tidak dapat menjamin seratus
persen, aktivitas belajar siswa.
4. Pengawasan Melekat
Usaha mengawasi siswa dari pinggir
lapangan dan dengan cara mendekati siswa
pada dasarnya merupakan usaha untuk
menanamkan konsep “pengawasan
melekat”, yaitu usaha untuk memberi kesan
GAMBAR 1: INTEGRASI KEGIATAN,INTERAKSI, DAN PROSES
PEMBELAJARAN
REKAYASAPENGEMBANGANPEMBELAJARAN
PERKEMBANGAN SISWASESUAI ASAS
EMANSIPASI MENUJUKEUTUHASN DAN
KEMANDIRIAN PRIBADI
GURU
SISWA
KURIKULUM
YANGBERLAKU
DESAINPEMBELAJARAN
DAMPAKPENGAJARAN
HASIL
BELAJAR
DAMPAKPENGIRING
AKSIGURUMENGAJAR
AKSISISWABELAJAR
PBM
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 7
Ada kalanya untuk mengawasi siswa agar
tetap belajar sesuai dengan tujuannya, guru
Penjas berdiri di pinggir lapangan
atau di luar garis batas lapangan. Dengan
cara seperti ini sebagian besar siswa akan
terawasi dengan baik. Demikian pula siswa
akan merasa dirinya diawasi oleh gurunya
yang berdiri menghadapi siswa. Sebaliknya
guru yang berdiri di tengah-tengah siswa
tidak bisa mengawasi siswa secara merata.
2. Mendekati Siswa
Cara kedua yang dapat dilakukan untuk
mengurangi siswa pasif dalam belajar
adalah dengan cara mendekati, berdiri, dan
melihat siswa atau kelompok siswa yang
pasif dalam belajar. Dengan cara seperti ini,
sekalipun guru tidak bicara, siswa sering
kali mengetahui bahwa mengetahui bahwa
gurunya mengharapkan siswa belajar sesuai
dengan perintahnya, dengan demikian siswa
yang tadinya pasif menjadi giat belajar.
Namun demikian, ini tidak berarti guru
harus diam terus di tempat yang sama.
Setelah siswa aktif lagi belajarnya maka
guru Penjas harus mengawasi lagi atau
kelompok siswa lainnya, sehingga guru
akan terus berjalan di sekitar tempat belajar
untuk meningkatkan
yang berlangsung secara bersamaan,akan
tetapi masih tetap memelihara lingkungan
belajar seperti yang diharapkan. Sebagai
contoh: pada saat guru sedang mengawasi
jalannya proses pembelajaran, salah seorang
siswa datang dan minta ijin untuk
mengambil bola, selanjutnya guru melihat
siswa itu sambil mengangguk, menepuk
bahunya, tersenyum, atau mengatakan “Iya”
sebagai tanda setuju. Dalam contoh itu,
perhatian guru terbagi dua, yaitu melayani
siswa yang minta ijin dan mengawasi
pada siswa bahwa gurunya sedang
mengawasi siswa yang sedang belajar.
Namun demikian guru yang baik terkadang
mampu seolah-olah “menyimpan matanya
di belakang kepala siswa”, dengan
demikian tanpa harus diawasi langsung
oleh gurunya, siswa akan selalu belajar
dengan sungguh-sungguh karena dirinya
merasa selalu diawasi oleh gurunya,
5. Mengabaikan Kasus Tertentu
Dalam strategi ini, guru mengabaikan kasus
tertentu selama kasus itu tidak mengganggu
siswa yang lainnya dan siswa yang lainpun
tidak menganggu kasus itu. Sebagai contoh,
misalnya dalam pembelajaran senam yang
memfokuskan pada bentuk tubuh: bulat,
kecil, lebar, dan melilit. Setiap kali guru
menyuruh siswa tidak melakukan bentuk
tubuh tersebut, salah seorang siswa selalu
ingin lari. Namun dalam kasus tersebut,
siswa yang lari tidak mengganggu siswa
yang lainnya, demikian juga siswa yang
lainnya tidak merasa terganggu oleh siswa
yang lari tersebut. Maka dalam kasus ini
guru Penjas bisa saja mengabaikan kasus
siswa yang lari tersebut kalau saja cara
seperti itu akan lebih menguntungkan.
6. Secara Terpadu
Istilah ini merujuk pada kemampuan guru
Penjas dalam mengatasi beberapa masalah
atau kejadian misalnya, empat nama siswa.
Dengan demikian, lama kelamaan guru
akan mengingat seluruh nama siswanya
dengan baik.
7. Modeling
Yang dimaksud modeling (pemodelan) di
sini adalah guru Penjas menentukan dan
menunjuk satu atau beberapa siswa untuk
dijadikan model atas perilaku atau keterampilan
yang dilakukannya dengan baik. Sebagai
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 8
jalannya proses pembelajaran. Dengan
demikian dalam waktu yang bersamaan,
guru mampu melayani siswa secara
individual dan mengawasi siswa lain sedang
belajar.
3. Mengingat Nama
Salah satu aspek kesulitan mengajar adalah
mendapatkan perhatian dari siswa yang
belum dihafal namanya. Pada siswa yang
sudah tahu namanya, guru dapat
menyebutnya dari kejauhan sehingga siswa
tahu bahwa gurunya mengharapkan siswa
itu memperhatikan atau meneruskan
usahanya. Sebaliknya, pada siswa yang
belum diketahui namanya, guru mungkin
harus mendekatinya atau memanggil tanpa
nama yang secara psikologis kurang
meninggalkan kesan yang baik. Oleh karena
itu, salah satu strategi yang sering juga
dilakukan para guru Penjas untuk
meningkatkan aktivitas belajar siswa adalah
dengan cara mengingat nama siswa.
Beberapa cara misalnya: menanyakan
langsung nama siswa, memanggil dari
daftar hadir, menulis pada kartu dan
ditempelkan pada baju siswa, atau secara
terprogram yaitu setiap kali guru mengajar
selalu mengingat, terus-menerus.
Meningkatkan Disiplin Siswa
Bagi siswa yang berdisiplin dan sudah
menyatu dalam dirinya, amalan sikap dan
perbuatan disiplin yang dilakukan bukan lagi
dirasakan sebagai suatu beban, sebaliknya akan
merupakan beban bila siswa tersebut tidak
melakukan disiplin, karena disiplin telah
menyatu menjadi bagian dari perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Mendisiplinkan siswa
tidak mudah dan memerlukan waktu yang relatif
lama. Untuk meningkatkan disiplin siswa, maka
perlu dilakukan pembinaan disiplin yaitu
contoh, guru memberhentikan kegiatan dan
berkata pada siswa “Bapak senang melihat
bagaimana Amir dan Agus melakukan
“dribbling”. Selanjutnya guru tersebut langsung
meneruskan penjelasan berikutnya, atau guru
tersebut meminta siswa yang disebut tadi untuk
memperagakan kemampuannya di depan siswa
yang lain. Cara seperti ini biasanya sangat
efektif bila diberikan terhadap siswa SD (anak
kecil) yang ingin mendapat perhatian gurunya.
Namun demikian, apabila strategi ini diberikan
secara monoton, misalnya guru selalu
menggunakan kalimat yang sama pada setiap
melakukan modeling, maka strategi ini acap
kali diabaikan oleh para siswa. Oleh karena itu,
efektivitas strategi ini sangat bergantung pada
tipe siswa, cara menggunakannya, dan
frekuensi penggunaannya. Betapa bagusnya
guru Penjas menerapkan strategi-strategi
tersebut, terkadang guru masih tetap
menghadapi siswa yang tidak mau melakukan
apa-apa, dalam kesempatan tersebut maka
hampir dapat dipastikan bahwa siswa tersebut
menghadapi masalah disiplin. Oleh karena itu,
pembinaan disiplin terhadap siswa hendaknya
diterapkan secara bersamaan dan dalam
mengikuti pelajaran di sekolahnya. Usaha yang
dilakukan secara bertahap dimulai dari: 1)
bagaimana menciptakan lingkungan dan dalam
mengikuti pelajaran di sekolahnya. Usaha yang
dilakukan secara bertahap dimulai dari: 1)
bagaimana menciptakan lingkungan dan
manajemen pembelajaran yang kondusif dalam
pelaksanaan proses pembelajaran, 2)
menjelaskan dan membina kegiatan rutin dalam
proses pembelajaran, 3) mengawasi dan
meningkatkan aktivitas belajar seperti yang
dijelaskan sebelum uraian ini, dan 4)
menerapkan model-model pembinaan disiplin.
Sekadar untuk memperkaya pengetahuan guru
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 9
dengan memberikan layanan konseling pribadi.
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap
guru Penjas menghadapi siswa yang kurang
disiplin. Lepas dari beberapa faktor yang
memengaruhinya, guru Penjas seharusnya telah
berantisipasi dan siap menghadapi dan
memecahkan masalah tersebut melalui
pembinaan disiplin siswa sejak dini. Hasil
penelitian Graham (2008) menunjukkan, usaha
pembinaan disiplin yang efektif dilakukan
secara terintegrasi dengan proses pembelajaran
Penjas pada setiap kali mengajar dari sejak awal
hingga akhir tahun ajaran. Selain itu, usaha
pembinaan disiplin hendaklah merupakan suatu
kebutuhan bagi guru untuk menerapkannya.
Usaha pembinaan disiplin yang sifatnya sesaat,
sementara, atau hanya dilakukan pada saat
terjadi penyimpangan, biasanya membuat guru
keteteran dan berjalan tidak efektif karena
pembinaan seperti itu efeknya kurang
menyentuh nurani yang paling dalam pada diri
siswa.
1. Sehubungan dengan masalah disiplin itu,
para guru Penjas selalu berusaha, baik
disadari maupun tidak, membuat siswanya
lebih disiplin perilaku harus ditetapkan dan
disampaikan kepada siswa.
6. Konsekuensi haru dilaksanakan secara
konsisten tanpa bias.
7. Komunikasi verbal dan nonverbal harus
disampaikan dengan kontak mata antara
guru dan siswa.
8. Guru harus melatih ekspektasi dan
konsekuensi secara mental dengan
konsisten terhadap siswa. Contoh ekspektasi
yang dituangkan dalam bentuk peraturan,
dikembangkan di Sekolah Dasar meliputi:
a) menghargai orang lain, b) bermain jujur,
c) bermain dengan tidak membahayakan, d)
melakukan yang terbaik, dan e) mengikuti
Penjas, berikut dikemukakan beberapa teori dan
model pembinaan disiplin dari para ahli.
Model Disiplin Asertif
Orang pertama yang mengembangkan
model ini adalah Canter (1976). Ia membuat
model pembinaan disiplin dengan nama
Canter’s Assertive Discipline Model.
Pendekatan ini didasarkan pada beberapa
pandangan sebagai berikut:
1. Semua siswa dapat berperilaku baik.
2. Pengawasan yang ketat namun tidak pasif
dan tidak menakutkan adalah adil diberikan.
3. Harapan-harapan atau ekspektasi guru yang
rasional terhadap perilaku siswa yang sesuai
dengan perkembangannya (seperti tercermin
dalam peraturan) harus diberitahukan
kepada siswa.
4. Guru harus mengharapkan perilaku yang
layak dan pantas dilakukan oleh siswanya
serta mendapat dukungan dari orang tua
siswa,guru lain, dan kepala sekeloh.
5. Perilaku siswa yang baik harus segera
mendapat dukungan, dorongan, atau
penghaargaan sementara perilaku yang
tidak baik harus mendapat konsekuensi
logis.
oleh konsekuensi perilaku itu sendiri.
Konsekuensi yang elok, baik (positif)
mengakibatkan pengulangan perilaku itu.
Sementara konsekuensi tidak elok, tidak baik
(negatif) mengakibatkan perilaku terhenti.
Fokus pendekatan ini menekankan pada
perilaku elok dan mengabaikan perilaku yang
tidak elok. Salah satu contoh penerapan
pendekatan ini misalnya guru Penjas segera
memberikan pujian, dorongan, atau
penghargaan kepada siswa yang berperilaku
atau berpenampilan baik. Sebaliknya guru
Penjas membiarkan atau tidak memberi
penghargaan pada siswa yang tidak berperilaku
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 10
petunjuk guru, sedangkan contoh
konsekuensi sebagai berikut: a) peringatan,
b) time-out 5 menit, c) time-out 10 menit, d)
memanggil orang tua siswa, dan e)
mengirim siswa ke kepala siswa (Hill,
1990).
Psikoanalisis
Tokoh dari teori ini adalah C. Rogers
(Fuoss & Troppmann, 1981). Ia mempunyai
pandangan bahwa penyatuan antara aspek
emosional, sikap, dan intelektual manusia akan
menembah kesadaran tentang dirinya dan
lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini guru
bertindak selaku pendengar aktif, menerima dan
terbuka tanpa mempertimbangkan isi pesan
yang dikemukakan siswa. Cara seperti ini lebih
sering dilakukan oleh guru BK (Bimbingan dan
Konseling) terhadap siswa yang berperilaku
menyimpang di sekolah.
Modifikasi Perilaku
Teori modifikasi perilaku ini didasarkan
pandangan B.F. Skinner (Fuoss & Troppmann,
1981) yang menyatakan bahwa: perilaku
dibentuk pandangan bahwa siswa secara alami
berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang
baik dan penghargaan ekstrinsik adalah kontra
produktif. Melalui model ini guru berharap
bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi
aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan
bukannya untuk mendapatkan penghargaan
ekstrinsik seperti yang dikembangkan dalam
model Canter. Oleh karena itu, pada dasarnya
model Hellison ini dibuat untuk membantu
siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung
jawab pribadi.
Rasa tanggung jawab pribadi yang
dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima
tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4.
Level 0 = dinamai Irresponsibility, level 1 =
dinamai Self-Control, level 2 = dinamai
baik.
Pemberian penghargaan tersebut
diharapkan agar siswa yang berperilaku atau
berpenampilan baik akan terus melakukan
sesuatu yang baik-baik. Sebaliknya dengan
membiarkan atau tidak memberikan
penghargaan kepada siswa yang tidak
berperilaku baik diharapkan agar siswa tersebut
tidak mengulang perbuatannya, tetapi akan
selalu berusaha berperilaku baik agar mendapat
penghargaan seperti teman lain yang sudah
mendapat penghargaan. Pendekatan seperti ini
sangat efektif diterapkan terhadap siswa (anak-
anak kecil) yang masih berpikir realistik dan
banyak memerlukan perhatian gurunya.
Tingkat Pengembangan Afektif
Model pembinaan disiplin ini
dikembangkan oleh Hellison (2003).
Perbedaan model yang dikembangkan oleh
Hellison dengan yang dikembangkan
Canter terutama terletak pada jenis
motivasinya. Model Canter lebih
menekankan pada motivasi ekstrinsik,
seperti penghargaan, pujian, dan dorongan.
Sementara itu, model Hellison lebih
menekankan pada motivasi intrinsik.
Hellison mempunyai guru Penjas tanpa
mengganggu yang lain. Siswa nampak
hanya melakukan aktivitas tanpa usaha
sungguh-sungguh. Sebagai contoh,
misalnya: di rumah: menghindari dari
gangguan atau pukulan saudaranya
walaupun hal itu itu tidak disenanginya, di
tempat bermain: berdiri dan melihat orang
lain bermain, di kelas: menunggu sampai
dating waktu yang tepat untuk berbicara
dengan temannya, dan dalam Penjas:
berlatih tetapi tidak terus-menerus.
4. Level 2: Involvement
Siswa pada level ini secara aktif terlibat
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 11
Involvement, level 3 = dinamai Self-
Responsibility, dan level 4 = dinamai Caring.
Detail kelima level tersebut dikaji sebagai
berikut.
1. Level 0: Irresponsibility
Pada level ini siswa tidak mampu
bertanggung jawab atas perilaku yang
diperbuatnya, dan biasanya siswa suka
mengganggu orang lain dengan mengejek,
menekan orang lain, dan mengganggu orang
lain secara fisik. Sebagai contoh, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain, di
tempat bermain: memanggil nama jelek
(ejekan) terhadap orang lain, di kelas:
berbicara dengan teman saat guru sedang
menjelaskan, dan dalam Penjas: mendorong
orang lain pada saat mendapatkan peralatan
olahraga.
2. Level 1: Self-Control
Pada level ini siswa terlibat dalam aktivitas
belajar tetapi sangat minim sekali. Siswa
akan melakukan segala apa yang disuruh
sebelumnya. mereka biasanya
menghabiskan waktu untuk berargumentasi
daripada untuk melakukan gerakan
bersama-sama. Beberapa contoh perilaku
pada level tiga ini misalnya: di rumah:
membersihkan ruangan tanpa ada yang
menyuruh, di tempat bermain:
mengembalikan peralatan tanpa harus
disuruh, di kelas: belajar sesuatu yang
bukan merupakan bagian dari tugas
gurunya, dan dalam Penjas: berusaha
belajar keterampilan baru melalui berbagai
sumber di luar pelajaran Pendidikan
Jasmani dari sekolah.
3. Level 4: Caring.
Siswa pada level ini tidak hanya bekerja
sama dengan temannya, tetapi mereka
tertarik ingin mendorong dan membantu
dalam belajar. Mereka bekerja keras,
menghindari bentrokan dengan orang lain,
dan secara sadar tertarik untuk belajar dan
untuk meningkatkan kemampuannya.
Sebagai contoh, misalnya: di rumah:
membantu mencuci dan membersihkan
piring kotor, di tempat bermain: bermain
dengan yang lain, di kelas: mendengarkan
dan belajar sesuai dengan tugas yang
diberikan, dan dalam Penjas: mencoba
sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan
mengatakan tidak bisa.
5. Level 3: Self-Responsibility
Pada level ini siswa didorong untuk mulai
bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya
sendiri. Ini mengandung arti bahwa siswa
belajar tanpa harus diawasi langsung oleh
gurunya dan siswa mampu membuat keputusan
secara independen tentang apa yang harus
dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada
level ini siswa sering disuruh membuat
permainan atau urutan gerakan bersama
temannya dalam suatu kelompok kecil.
Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh
siswa pada level orang tua. Informasi disaring
tentang hal-hal yang sama, yang dialami secara
konkret oleh setiap siswa dalam pengalaman
pendidikan, kemudian merupakan dasar untuk
pengembangan teori. Namun semua teori
tersebut tidak akan bermakna dalam kehidupan
siswa terutama dalam sistem pembelajarannya,
apabila teori-teori tersebut tidak mengetuk hati
siswa dan tidak berkontribusi membentuk cara
berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak
siswa. Potensi-potensi yang dimiliki seorang
siswa tidak akan tumbuh kembang menjadi
kemampuan, sifat, dan sikap yang konkret,
melainkan hanya menjadi redumeter
(Semiawan, 2011).
Sebagaimana halnya upaya pembelajaran
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 12
temannya belajar. Siswa pada level ini akan
sadar dengan sendirinya menjadi
sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi
partner teman yang tidak terkenal di kelas
itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk
melakukan itu. Beberapa contoh, misalnya:
di rumah: membantu memelihara dan
menjaga binatang peliharaan atau bayi, di
tempat bermain: menawarkan pada orang
lain (bukan hanya pada temannya sendiri)
untuk ikut sama-sama bermain, di kelas:
membantu orang lain dalam memecahkan
masalah-masalah pelajaran, dan dalam
Penjas: bersemangat sekali untuk bekerja
sama dengan siapa saja dalam Pendidikan
Jasmani.
Bentuk-Bentuk Latihan dalam Tingkat
Pengembangan Afektif
1. Perkembangan manusia dalam menuju
pembangunan bangsa yang berkarakter
penting dipupuk sejak dini bukan hanya di
SD ataupun TK, melainkan dimulai dari
rumah oleh para diberi tugas untuk
memikirkan mengapa perilaku menyimpang
adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa
mengetahui jenis perilaku pada level 1 atau
level yang lebih tinggi dan cukup
meyakinkan, maka guru penjas mengijinkan
siswa tersebut untuk kembali mengikuti
pelajaran sebagaimana mestinya.
2. Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan
siswa yang lainnya, guru Penjas menyuruh
siswa yang mengeluh itu untuk
mengidentifikasi pada level mana perbuatan
siswa yang dikeluhkan tersebut berada dan
mencari beberapa cara bagaimana
sebaiknya bergaul dengan siswa yang
dikeluhkan tersebut.
3. Siswa kelas empat dan lima SD misalnya,
disuruh bekerja sama dalam sebuah grup.
Penjas dan pembinaan disiplin melalui
pendekatan model Canter dan model Hellison
pun harus dilakukan secara terintegrasi dengan
mata pelajaran Penjas, dan harus berlangsung
secara kontinu mulai usia dini. Penjelasan
tingkat perkembangan rasa tanggung jawab
pribadi yang terdiri atas lima tingkatan tersebut
di atas terlebih dahulu harus diberikan dan
selanjutnya diikuti dengan latihan-latihan.
Beberapa bentuk latihan dalam tingkat
pengembangan afektif dikemukakan oleh
Masser (1990) sebagai berikut:
4. Siswa disuruh mengambil peralatan
olahraga. Selanjutnya guru Penjas
menanyakan dan menyuruh siswa tentang
bagaimana perilaku seseorang pada level 0,
level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil
peralatan itu.
5. Pada saat belajar keterampilan baru, siswa
disuruh bekerja pada level yang paling
baik. Selanjutnya guru memberikan
penghargaan, pujian, atau modeling
terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
Pada saat siswa berperilaku menyimpang,
siswa tersebut mendapat “time out” dan
motivasi ekstrinsik (disiplin asertif) atau
motivasi instrinsik (tingkat pengembangan
afektif)? Pertanyaan tersebut agak sulit dijawab,
karena keberhasilan pembinaan disiplin bukan
terletak pada jenis sistem pembinaan disiplin
yang diterapkan, tetapi terletak pada bagaimana
karakteristik sistem pembinaan disiplin itu
diterapkann. Setidaknya ada 4 (empat)
karakteristik sistem pembinaan disiplin yang
dapat dikatakan berhasil, yaitu sebagai berikut:
4. Siswa betul-betul memahami dan mengerti
pelaksanaan sistem pembinaan disiplin
berikut alasan-alasan mengapa disiplin
perlu diterapkan. Oleh karena itu,
hendaklah sistem pembinaan disiplin
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 13
Sebelum melakukannya mereka
mendiskusikan bagaimana perilaku siswa
pada level 4 dalam bekerja sama pada
sebuah grup. Topik diskusi adalah
bagaimana bekerja sama dengan siswa yang
mempunyai level 0 dan level 1.
Karakteristik Sistem Pembinaan Disiplin
yang Efektif
1. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Pengaruh yang
dimaksud adalah motif atau motivasi baik
yang berasal dari instrinsik maupun
ekstrinsik. Motivasi ini menjadi determinan
dalam pembinaan disiplin. Terkait dengan
upaya pembinaan disiplin dalam belajar,
maka pertanyaan yang acap kali dilontarkan
oleh guru Penjas adalah sistem pembinaan
disiplin mana yang paling efektif
diterapkan? Apakah pembinaan disiplin
yang didasarkan pada Namun, setelah
beberapa pertemuan, seorang siswa tidak
meletakkan bola setelah gurunya bilang
“stop” dan guru mengabaikannya. Dalam
contoh itu, guru kurang konsisten dalam
menerapkan sistem pembinaaan disiplin.
Secara bertahap, bagaimanapun hal ini
menjadi bertambah banyak; dua siswa, tiga
siswa, enam siswa yang akhirnya
pembinaan disiplin memudar.
2. Sistem pembinaan disiplin itu didukung
oleh kepala sekolah dan guru kelas. Pada
saat tertentu mungkin guru Penjas akan
menemukan siswa yang tidak disiplin, siswa
tidak mau menerapkan peraturan dan
penghargaan maupun “time out” tidak
berpengaruh terhadap disiplin. Dalam
kesempatan itu, guru Penjas memerlukan
bantuan kepala sekolah dan guru kelas.
Mereka mungkin menyadari dan
mengetahui mengapa siswa berbuat seperti
dijelaskan secara teliti dan hati-hati kepada
siswa. Selanjutnya diikuti oleh contoh-
contoh yang jelas dan dilatihkan secara
memadai, dimulai dari setiap awal tahun
ajaran. Sehingga siswa akan akan
memahami mengapa pembinaan disiplin
sangat penting dan siswa juga memahami
bagaimana pembinaan disiplin itu
diterapkan.
Guru Penjas secara konsisten menerapkannya.
Sekali aktivitas rutin dan peraturan diterapkan,
maka guru harus konsisten menerapkan dan
menggunakan standar yang sama dari hari ke
hari, sehingga siswa akan mengerti dan
memahami betul apa-apa yang sebenarnya
diharapkan oleh gurunya. Hal ini sangat mudah
dikatakan, tetapi sangat sulit diterapkan. Guru
lebih cenderung menerapkan sistem pembinaan
disiplin ini hanya di awal-awal pertemuan saja.
Misalnya, pada awal-awal pertemuan, pada saat
guru penjas bilang “stop”, semua siswa
meletakkan bola yang dipegangnya. Menyikapi
Realitas
Pembahasan dalam uraian sebelumnya
lebih banyak menyoroti bagaimana mengurangi
masalah disiplin siswa. Namun demikian,
kebanyakan guru Penjas, bahkan dalam situasi
yang ideal sekalipun, terpaksa harus menerima
kenyataan mendapati seorang atau beberapa
siswa yang kurang disiplin. Tentu saja hal ini
akan menimbulkan rasa jengkel dan
menyakitkan bagi guru. Sehubungan dengan
itu, terdapat beberapa strategi yang dapat dipilih
oleh guru untuk mengurangi rasa kesal atau
kecewa tersebut sehingga tidak merugikan bagi
guru dan siswanya, antara lain dengan:
2. Menyadari bahwa perilaku menyimpang
bukan sifat individual, semua orang dalam
kondisi tertentu bisa saja berbuat hal yang
sama. Untuk itu, cobalah untuk tidak marah
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 14
itu dan bagaimana strategi yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah itu.
Oleh karena itu, salah satu konsekuensi bagi
siswa yang berperilaku menyimpang adalah
harus berhadapan dengan kepala sekolah
yang mungkin akan dapat membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
guru Penjas.
3. Sistem pembinaan disiplin itu harus
ditopang oleh orang tua siswa. Seperti
halnya bantuan kepala sekolah dan guru
kelas, manakala orang tua siswa mengetahui
dan mendukung sistem pembinaan disiplin
yang digunakan guru Penjas, maka orang
tua siswa cenderung ikut membantu guru
Penjas dalam memecahkan masalah-
masalah penyimpangan disiplin siswa di
sekolah.
dan berilah kesempatan untuk berpikir. Berilah
waktu untuk mengemukakan pendapatnya,
simaklah pendapat siswa dengan penuh
perhatian, hargai pendapatnya, dan berusaha
untuk memahami apa maksudnya. Setelah
selesai berinteraksi, guru menyimpulkan sambil
memberitahu konsekuensi yang harus diterima
akibat penyimpangan perilaku yang
diperbuatnya.
1. Melakukan pendekatan secara pribadi.
Daripada berteriak-teriak memarahi siswa
yang tidak disiplin dari kejauhan, sementara
siswa yang lainnya menonton dan
mendengarkan kejadiannya, maka lebih
baik guru melakukan pendekatan secara
pribadi. Dekati siswa yang kurang disiplin
tersebut, panggil ke pinggir lapangan, dan
lakukan interaksi singkat sehingga siswa
lain tidak mengetahuinya sebagaimana
mestinya. Kalau pilihan yang ke dua itu
sering dilakukan oleh guru penjas, maka
bukan hal yang mustahil siswa akan
atau menyesal, ambillah nafas dalam-dalam
dan selanjutnya memperlakukan siswa yang
kurang disiplin tersebut sebagaimana
mestinya.
3. Mencegah jangan pernah marah kepada
siswa dalam situasi dan kondisi apapun.
Interaksi yang tenang dan sabar jauh lebih
efektif daripada marah. Sekalipun siswa
jelas berperilaku menyimpang, guru Penjas
harus menjaga harga dirinya. Siswa yang
sakit hati, marah, atau frustasi karena
melakukan kesalahan, harus disadarkan
oleh guru, bahwa apa yang telah dilakukan
itu adalah melanggar peraturan, namun hal
itu wajar saja apabila dilakukan secara tidak
sadar atau karena lupa.
Menjelaskan kepada siswa. Memanggil
siswa yang tidak disiplin melalui teman
dekatnya, jelaskan kepada siswa peraturan apa
yang dilanggar tanpa gejolak dan secara
perlahan masalah tersebut sehingga diharapkan
siswa dapat kembali aktif belajar mempelajari
fokus pembelajarannya.
Ketika guru telah menerapkan berbagai
strategi peningkatan aktivitas belajar, akan
tetapi perilaku menyimpang masih sering
terjadi, maka hampir semua dapat dipastikan
bahwa guru tersebut menghadapi masalah
disiplin siswa. Oleh karena itu, sebagai
tambahannya, guru juga harus menerapkan
sistem pembinaan disiplin yang cukup
dimengerti oleh siswanya; siswa mengerti apa
yang diharapkan oleh guru, bagaimana akibat
dari perilaku yang salah, dan apa keuntungan
dari kerja sama dengan gurunya maupun denga
siswa lain pada waktu belajar.
Beberapa sistem pembinaan disiplin lebih
menekankan pada motivasi ekstrinsik,
sementara yang lainnya menekankan pada
motivasi intrinsik. Terlepas dari sistem
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 15
berpikir, bersikap, dan bertindak positif
terhadap lingkungan pembelajaran Penjas
yang diperolehnya di sekolah.
SIMPULAN
Perilaku pasif dan tidak disiplinnya siswa
sewaktu proses pembelajaran Penjas
berlangsung merupakan masalah yang sering
dihadapi oleh para guru, terutama guru pemula.
Untuk mengatasinya, para guru perlu dibekali
pengetahuan dan keterampilan berbagai strategi
yang efektif diaplikasikan untuk menghindari
meningkatnya permasalahan tersebut menjadi
lebih berat lagi. Penguasaan pengetahuan dan
keterampilan berbagai strategi peningkatan
aktivitas belajar akan menyadarkan guru
terhadap kemungkinan pasifnya siswa pada
waktu belajar dan memungkinkan guru siap
mengantisipasi
pembinaan disiplin yang dipilih oleh guru,
penggunaan sistem pembinaan sistem yang
efektif ditandai oleh penerapan yang dilakukan
secara konsisten dan ketat akan tetapi tetap
menghargai perasaan dan harga diri anak
didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W. and Krathwohl, D.R. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Terjemahan oleh
Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Judul asli: A Taxonomy for
Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives. A Bridged Edition. 2001. Addison Wesley: Longman, Inc.
Arifin, Z. 2011. “Prinsip-prinsip Pembelajaran”. dalam Tim Pengembang MKDP
Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Bloom, B.S. (Ed.), Engelhart, M.D., Furst, E.J., Hill, W.H. and Krathwohl, D.R. 1956.
Taxonomy of Educational Objectives: Hanbook I: Cognitive Domain. New York:
david McKay.
Canter, L. 1976. Assertive Discipline: A Take Charge Approach for Today’s Educator.
Santa Monica, CA: L.Canter & Associates.
Darmawan, D. dan Permasih. 2011. “Konsep Dasar Pembelajaran”. dalam Tim
Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 16
Fatoni, T. dan Riyana, C. 2011. “Komponen-komponen Pembelajaran”. dalam Tim
Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Fuoss, D.E., and Troppmann, R.J. 1981. Effective Coaching: A Psyshological Approach.
New York: John Wiley & Sons.
Graham, G. 2008. Teaching Children Physical Education: Becoming A Master Teacher
(3rd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics Publisher Inc.
Hill, D. 1990. Order in the Classroom, “Teacher” pp. 70-77.
Harrow, A.J. 1972. A Taxonomy of the Psychomotor Domain: A Guide for Developing
Behavioral Objectives. New York: Longman Inc.
Hellison, D. 2003. Teaching Responsibility Through Physical Activity (2nd ed.).
Champaign, IL: Human Kinetics, University of Illinois at Chicago.
Jewett, A.E., and Mullan, M.R., 1977. Curriculum Design: Purposes and Procesess in
Physical Education Teaching-Learning. Washington D.C.: American Association for
Health, Physical Education, Recreation, and Dance.
Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., and Masia, B.B., 1964. Taxonomy of Educational
Objectives The Classification of Educational Goals. Handbook 2: Affective Domain.
New York: Longman Inc.
Lutan, R. 1992. Profil Pengelolaan Pengajaran Olahraga Pendidikan dalam Kaitannya
dengan Kualifikasi Tenaga Guru SLTA, Laporan Penelitian. Bandung: FPOK IKIP
Bandung
Masser, L.S. 1990. “Teaching for Affective Learning in Elementary Physical Education”.
JOPRED. 67 (2), 18-19.
Semiawan, C.R. 2011. “Character Building for Children: Towards A National Identity of
Quality and Dignity”. dalam Alih Kepakaran. Bogor: Gocara Press.
Siedentop, D. 1994. Sport Education: Quality PE through Positive Sport Education.
Champaign, IL: Human Kinetics, The Ohio State University.
Siedentop, D., Tousignant, M., and Parker, M. 1982. Academic Learning Time-Physical
Education Coding Manual. Colombus, OH: School of Health Physical Education and
Recreation.
Suherman, A. 1998. Revitalisasi Keterlantaran Pengajaran dalam Pendidikan Jasmani.
Bandung: IKIP Bandung Press.
Sularto, ST. 2012. Praksis Pendidikan: Dari “Kujana” Menjadi Sujana, Mungkinkan?.
Jakarta: Harian Kompas, 1 Mei 2012. Halaman 1&15.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 17
Zakrajsek, D., Darst, P., dan Mancini, V. 1989. Analysing Physical Education and Sport
Instruction. Champaign, IL: Human Kinetics.
Tim Puslitjaknov. 2008. Metode Penelitian Pengambangan. Jakarta: Puslitjaknovdik BPP
Depdiknas.
Tim Pusbangsisjar. 2010. Buku Pedoman Penelitian untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran (PPKP). Surakarta: LPP UNS.
Wibowo, W. 2012. Langkah Kritis dan Kontemporer Menulis Buku Ajar Perguruan
Tinggi. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 18
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA AGRESIVITAS SAAT BERTANDINGPADA ATLET SEPAKBOLA PEKAN OLAHRAGA PELAJAR DAERAH
(POPDA) KAB SUMENEP
Deddy Whinata Kardiyanto
Universitas Sebelas maret
Abstract
This study aimed to determine the occurrence Causes AggressivenessAt Football Athletes Compete In Regional Sports Week (POPDA) KabSumenep. This study used a qualitative methodology with aphenomenological approach. The data collected by using observation and semi-structured interviews. Determination of research subjects by using purposivesampling with a reference from your observation. Researchers took four of the17 athletes that competed POPDA football as a primary Subject and two assecondary subjects, which includes the coach and one player. Data analyzed usingan interactive model data reduction, the data display, and verification ofconclusions by Miles andHuberman. The results indicate that the factors thatcaused the aggressiveness of the athletes POPDA Kab Sumenep is the referee'sleadership, endangering any bodily contact that makes the aggressiveness offootball athletes POPDA uncontrolled Kab Sumenep, any negative utterancesspoken by the opponent, and the presence of other aggressive that wish to injurean opponent.
Keywords: Aggressiveness At Compete, Athletes Football, Aggressiveness In Athlete
PENDAHULUANSepakbola merupakan cabang
olahraga paling populer dan paling
digemari di seluruh dunia.Pernyataan
tersebut dapat dibuktikan dengan
beberapa survey yang dilakukan di
beberapa negara di dunia.Berdasarkan
hasil survei yang dilakukan oleh
Fédération Internationale de Football
Association (FIFA) pada tahun
2001(situs most- popular.net, 2006),
menyatakan bahwa sepakbola adalah
olahraga paling populer dimainkan.
Survey ini menunjukkan bahwa lebih
dari 240 juta orang memainkan
olahraga sepak bola yang lebih dari
penggemarnya dibandingkan dengan
olahraga yang lainnya. Indonesia
200 negara di hampir setiap
bagian dari dunia. Tidak hanya sampai
disitu saja, pada tahun 2008 diajang
olimpiade yang diadakan di London,
penonton yang menyaksikan
pertandingan sepak bola mencapai 2,13
juta.(www.yahoosportindonesia.com,
2008).
Di Indonesia olahraga sepak bola
merupakan olahraga paling populer
dimasyarakat.Hal ini terlihat dari
penuhnya tribun penonton saat ada
pertandingan resmi(situs
www.yahoosportindonesia.com
Sebelum para atlet berkompetisi
pada Divisi 2, Divisi 1, Divisi
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 19
mempunyai induk organisasi sepakbola
resmi yang sudah terkenal di semua
kalangan, yaitu Persatuan Sepak bola
Seluruh Indonesia (PSSI) yang memiliki
wewenang untuk menyelenggarakan
liga atau kompetisi, kompetisi ini dibagi
menjadi beberapa tahap, mulai dari
Divisi 2, Divisi 1, Divisi Utama, dan
Super Liga.
2, Divisi 1, Divisi Utama, dan Super
Liga. Divisi 2 adalah kompetisi yang
levelnya lebih rendah daripada Divisi
1, Divisi Utama dan Super Liga.
Setelah Divisi 2, 2 klub yang
menempati peringkat pertama dan
kedua akan naik ke Divisi 1,
menggantikan 2 klub Divisi 1 yang
berada pada posisi paling bawah, dan
untuk 2 klub divisi 1 akan naik
menggantikan posisi 2 klub terbawah
yang ada pada Divisi Utama. Pada
Divisi Utama ini sama halnya dengan
klub yang ada pada divisi-divisi
sebelumnya, yaitu 2 klub terbawah
akan turun ke Divisi 1 dan 2 klub naik
tingkat ke level Super Liga. Pada Super
Liga ini ada yang berbeda pada 2 klub
yang berada pada klub yang teratas, 2
klub ini akan mewaliki Indonesia pada
kompetisi di benua Asia.
(www.pssi.org.id).
Tindakan agresif para pemain
sepak bola dikejuaraan saat bertanding
juga bukan hal yang asing lagi.
Menurut Sudibyo(Risna.2009) pemain
yang agresif sangat diperlukan untuk
Utama, dan Super Liga,mereka
biasanya mengikuti kompetisi atau
turnamen antar Sekolah Sepak Bola
(SSB). SSB ini biasanya dimulai
pada usia 7 tahun, setelah itu
pemain yang berprestasi akan
terpantau dan mengikuti seleksi untuk
tingkatan kompetisi yang lebih luas,
yaitu Pekan Olahraga Pelajar Daerah
(POPDA) pada usia dibawah 17 tahun,
dan Pekan Olahraga Provinsi
(PORPROV) pada usia dibawah 21
tahun. Pada turnamen dengan
pengelompokkan usia ini dinaungi oleh
Pengurus Cabang (Pengcab) PSSI pada
daerahnya sendiri-sendiri dan dicatat
pada situs resmi Pengcab PSSI daerah
setempat.
Para atlet muda dari SSB
berprestasi mampu menunjukkan
bakatnya pada beberapa even yang
diselenggarakan oleh PSSI dengan
tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Tingkat Daerah, yaitu tirta dharma,
POPDA (Pekan Olahraga Pelajar
Daerah), PORPROV (Pekan Olahraga
Provinsi). Untuk tingkat nasional
(negara), PON (Pekan Olahraga
Nasional), liga remaja U-17.Sedangkan
tingkat internasional adalah Danone
Nation Cup, AFF Cup, dan Piala Dunia.
Ketiga tindakan tersebut sudah
menjurus pada tindakan
untukmencelakai orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara oleh
peneliti (Grange dan Kerr, 2010), para
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 20
dapat memenangkan pertandingan
seperti dalam sepak bola, tinju dan
sebagainya, tetapi sifat dan sikap
agresif apabila tidak terkendali dapat
menjurus pada tindakan berbahaya,
melukai lawan, melanggar peraturan dan
mengabaikan sportivitas. Grange & Kerr
(2010) melakukan kajian kualitatif
secara mendalam terhadapdelapan orang
pemain Liga Sepakbola Australia
yang mendapat label sebagaipemain
yang paling agresif. Melalui metode
wawancara dengan para
pemaintersebut terungkap bahwa
tindakan agresif dilakukan dengan
tingkatan-tingkatan tertentu.
Menurut Grange dan Kerr
(2010), tindakan agresif tersebut
digolongkan menjadi empattingkatan,
yaitu play, power, anger dan thrill.Play
aggression adalah jenis agresifyang
bertujuan untuk sesuatu yang ada
hubungannya dengan permainan
danmerupakan tindakan yang masih
diperbolehkan oleh peraturan
pertandingan.Power, anger dan thrill
merupakan tindakan agresif yang sudah
tidak lagidiperbolehkan oleh peraturan.
Guilbert (2008) melakukan
penelitian terhadap 420 orang atlet
yangmelibatkan sembilan cabang
olahraga yang terbagi menjadi olahraga
beregu danolahraga individu.Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa
olahraga beregu dipersepsikan oleh para
atletnya mempunyai tingkat kekerasan
pemain tersebutmengaku pernah
melakukan semua jenis tindakan
agresif dalam pertandingan. Lebih
lanjut, tindakan agresivitas dapat
mengakibatkan kerugian untuk dirinya
sendiri dan lawan tandingnya yang
menjadi objek dari tindakan agresif
tersebut. Sudah banyakpenelitian
tentang agresivitas dalam dunia
olahraga yang sudah dilakukan, baik
didalam maupun diluar negeri.
Penelitian yang dilakukan oleh
Lemieux, McKelvie & Stout
(2002)membandingkan antara
mahasiswa atlet dan mahasiswa bukan
atlet dalam hal kecenderungan
tindakan agresif.Penelitian itu
menunjukkan bahwa mahasiswa atlet
ternyata mempunyai kecenderungan
perilakuagresif yang lebih besar
dibandingkan dengan mahasiswa bukan
atlet.Halini juga menjadi indikasi
bahwa aktivitas olahraga rentan
terhadap munculnyatindakan
agresif.Terutama untuk jenis olahraga
yangmemperbolehkan kontak tubuh
secara langsung dengan lawan serta
olahragayang bersifat beregu.
stereotip karena remaja tidak
selalu dalam kondisi “badai dan stres”.
Meskipun demikian tidak dapat
disangkal bahwa masa remaja awal
merupakan suatu masa dimana
fluktuasi emosi (naik dan turun)
berlangsung lebih sering.
Gejolak emosi pada atlet remaja
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 21
yang lebih tinggi.Lebih jauh,olahraga
beregu yang membolehkan kontak fisik
menempati urutan teratastingkat
kekerasan yang dipersepsikan oleh para
atlet. Bentuk kekerasan dari
cabangolahraga beregu dan kontak fisik,
seperti sepakbola dan bola basket,
menghasilkan bentuk kekerasan yang
juga dipersepsikan jauhlebih berat
dibandingkan dengan cabang yang lain.
Tindakan agresivitas bisa
muncul dari diri para atlet baik atlet
dewasa maupun atlet remaja.
Mashhoodi, Mokhtari dan Tajik
(2013) melakukan penelitian tentang
perbedaan agresivitas antara atlet
remaja dengan atlet dewasa. Hasil
dari penelitian Mashoodi dan kawan-
kawan menunjukkan bahwa atlet
remaja lebih agresif dibandingkan
dengan atlet dewasa. Hall (Santrock,
2007) menyebutkan bahwa masa remaja
dianggap sebagai masa badai
emosional. Dalam bentuknya yang
ekstrem, pandangan ini terlalu bersikap
KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Agresivitas
Menurut Berkowirz (Sukadiyanto.
2005) pengertian agresifitas sebagai
segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti
seseorang baik secara fisik maupun
psikis.
Baron dalam Gill (Sukadiyanto.
2005) mendefinisikan agresifitas adalah
bentuk perilaku yang diarahkanuntuk
akan berdampak pada tindakan mereka
saat bertanding. Gejolak emosi tersebut
terjadi karena adanya tekanan pada diri
atlet, sehingga mereka bisa saja
meluapkannya pada saat bertanding.
Seperti tindakan agresivitas pada atlet
lain. Hal serupa diungkapkan oleh
Dodge dan Coie (Hurlock,
2000) ketika individu mendapat
stimulus yang dirasa mengancam
dirinya, Individu. yang merasa
terancam tersebutakan cenderung
melakukan tindakan agresi reaktif
sebagai cara untuk mengurangi atau
melepaskan diri dari ancaman tersebut.
Oleh karena itu, peneliti
ingin meneliti atlet sepak bola
POPDA yang diperuntukkan pada
siswa-siswi yang usianya masih
dibawah 17 tahun. Pada akhirnya
peneiliti mengambil judul “Faktor
Penyebab Terjadinya Agresivitas Saat
Bertanding Pada Atlet Sepak Bola
Pekan Olahraga Daerah (POPDA) Kab
Sumenep.“
ancaman terhadap harga diri
seseorang bisa jelas dipahami dalam
kerangka ini.Orang seperti ini sangat
sensitif terhadap kemungkinan
penghinaan.Lebih lanjut mereka bisa
menjadi sangat murka jika beranggapan
bahwa pandangan mereka terhadap diri
sendiri terancam.Tantangan dan
ancaman terhadap citra diri seseorang
sangat mungkin mendorong reaksi
agresif oleh individu yang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 22
tujuan menciderai atau menyakiti
orang lain karena terdoronguntuk
menghindari perlakuan tertentu.
Agresi, menurut Baron adalah
tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan
individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut.
Definisi agresi dari Baron ini
mencakup empat faktor: tingkah laku,
tujuan untuk melukai atau
mencelakakan (termasuk mematikan
atau membunuh), individu yang
menjadi pelaku dan individu menjadi
korban, dan ketidakinginan si korban
menerima tingkah laku si pelaku (Sobur,
2003).
Bagi Berkowitz(Sobur, 2003),
perasaan negatif yang ditimbulkan oleh
suatu tekanan dapat menghasilkan
kecenderungan amarah dan perilaku
agresi.Pengaruh rasa tersinggung atau
manusia untuk menyakiti orang lain,
sedangkan untuk agresivitas adalah
segala bentuk dari tingkah laku
individu yang berusaha untuk
menyelakai atau meciderai orang lain
atau benda.
B. Faktor Penyebab Terjadinya
Agresivitas
Menurut Davidoff (Mu’tadin,
2002) terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan perilaku agresi,
yakni : a. Faktor Biologis Ada beberapa
faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi, yaitu faktor gen, faktor
bersangkutan karena mereka jelas
tidak senang. Tetapi sebenarnya
perasaan tidak senang tersebut bukan
murni sebagai hasil dari terusiknya
harga diri itu sendiri yang
menghasilkan dorongan untuk
menyerang pengganggu atau pihak
yang mengancam, melainkan sifat
negatif dari luka psikologis yang
ditimbulkan dari ancaman atau
gangguan terhadap harga diri.
Menurut Baron (Gunarsa,
2009). Agresif diartikan sebagai
“semua perilaku yang diarahkan untuk
menyakiti atau mencederai orang
lain yang dimotivasi untuk
menghindari perlakuaan semacam itu”.
Perbedaan dari denifisi agresi,
agresif dan agresivitas adalah agresi
adalah sebuah tingkah laku individu
untuk mencelakakn orang lain atau
benda, agresif adalahsebuah sifat
b. faktor Belajar Sosial
Dengan menyaksikan
perkelahian dan pembunuhan
meskipun sedikit pasti akan
menimbulkan rangsangan dan
memungkinkan untuk meniru model
kekerasan tersebut.
c. Faktor lingkungan
Perilaku agresi disebabkan
oleh beberapa faktor. Berikut
uraian singkat mengenai faktor-faktor
tersebut : 1) Kemiskinan. Bila seorang
anak dibesarkan dalam lingkungan
kemiskinan, maka perilakuagresi
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 23
sistem otak dan faktor kimia berdarah.
Berikut ini uraian singkat dari faktor-
faktor tersebut :
1) Gen berpengaruh pada
pembentukan sistem neural otak
yang mengatur penelitian yang
dilakukan terhadap binatang, mulai
dari yang sulit sampai yang paling
mudah amarahnya, faktor keturunan
tampaknya membuat hewan jantan
mudah marah dibandingkan dengan
betinanya.
2) Sistem otak yang terlibat dalam
agresi ternyata dapat memperkuat
atau mengendalikan agresi.
3) Kimia darah. Kimia darah
khususnya hormon seks yang
sebagian ditentukan faktor keturunan
mempengaruhi prilaku agresi.
berprilaku semaunya sendiri, karena
ia merasa tidak lagi terikat dengan
norma masyarakat dan kurang
bersimpati pada orang lain. 3) Suhu
udara yang panas dan kesesakan.
Suhu suatu lingkungan yang tinggi
memiliki dampak terhadap tingkah
laku sosial berupa peningkatan
agresivitas.
d. Faktor amarah
Marah merupakan emosi yang
memiliki ciri-ciri aktivitas sistem
saraf parasimpatik yang tinggi dan
adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat yang biasanya
disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin myata-nyata atau salah atau
mereka secara alami mengalami
peningkatan. 2) Anonimitas. Kota besar
seperti Jakarta, bandung, surabaya, dan
kota besar lainnya menyajikan berbagai
suara, cahaya, dan bermacam informasi
yang sangat luar biasa besarnya. Orang
secara otomatis cenderung berusaha
untuk beradaptasi dengan melakukan
penyesuaian diri terhadap rangsangan
yang berlebihan tersebut. Terlalu
banyak rangsangan indera kongnitif
membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang
dengan orang lain tidak lagi saling
mengenal atau mengetahui secara baik.
Lebih jauh lagi, setiap individu
cenderung menjadi anonim (tidak
mempunyai identitas diri). Bila
seseorang merasa anonim, ia cenderung
kekuatan dalam mempersiapkan diri
jauh-jauh hari sebelum pertandingan
dimulai.
D. Terjadinya Agresivitas Pada
Atlet
Menurut Sukadiyanto (2005) Perilaku
agresif dalam pertandingan olahraga
dapat dilakukan olehpara pemain
maupun para penonton. Munculnya
agresifitas lain di antaranya karena :
1. Kepemimpinan Wasit
Wasit yang berlaku tidak adil dan
lebih memihak kepada salah satu
tim, dapat menimbulkan agresivitas
dari tim yang dirugikan, hal ini dapat
berupa ejekan, mengumpat kepada
wasit, dan bersikap tidak
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 24
juga tidak.
C. Difinisi Atlet
Menurut Badudu–Zain
(Firmansyah, 2007), atlet merupakan
olahragawan yang memerlukan
ketangkasan dan kecepatan serta
kekuatan.
Menurut Sondakh(2009), atlet
adalah pelaku olahraga yang
berprestasi baik tingakt daerah,
nasional maupun internasional.
Sehingga bisa dikatakan atlet adalah
orang yang melakukan latihan agar
mendapatkan kekuatan badan ,
daya tahan, kecepatan, kelincahan,
keseimbangan, kelenturan dan
Perilaku atau tindakan lain yang dapat
menimbulkan agresivitas dapat
dilakukan oleh pemain lawan untuk
memancing agresivitas pemain lawan
dengan tujuan untuk merusak
konsentrasi dalam pertadningan,. Hal
ini dapat bermacam- macam, yaitu
berupa menarik baju lawan,
mengangkat kaki terlalu tinggi dan
menyuruh teman satu tim untuk
mencederai pemain lawan.
E. Difinisi Remaja
Remaja dalam bahasa Inggris disebut
adolescance dan dalam bahasa latin
disebut adolescere, memiliki arti
tumbuh ke arah kematangan.
Kematangan yang dimaksudkan tidak
hanya berarti kematangan secara fisik,
tapi terutama kematangan sosial dan
psikologis (Sarwono, 2006).
menghiraukan perkataan wasit.
2. Kontak Badan
Kontak badan adalah segala bentuk
gerakan dan gesekan yang
menggunakan anggota badan.
3. Ucapan
Ucapan adalah suatu kata-kata yang
ditujukan kepada pemain lawan untuk
memprovokasi atau memancing
kemarahan pemain lawan. Hal ini
dicontohkan seperti, mencemooh,
membentak, mengejek, mencaci lawan,
dan mengeluarkan kata-kata kotor atau
mengumpat kepada lawan atau wasit.
4. Prilaku lain yang disengaja
mempengaruhi lawan
terutama secara seksual, sosial,
psikologis yang diikuti dengan adanya
proses peralihan dari masa anak-anak ke
masa dewasa untuk berintegrasi
dengan masyarakat dewasa. Berkaitan
dengan batas usia diatas, penelitian
menggunakan rentang usia 19-24 tahun
sesuai dengan batasan usia remaja
menurut Sarwono (2006).
METODE PENELITIAN
Responden dan Desain Penelitian
Dalam proses penentuan subjek
dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan purposive sampling yaitu
pengambilan sampel dengan
pertimbangan tertentu menggunakan
teknik guide obsevation yang merupakan
pengambilan sampel sebagai sumber
data, yang pada awalnya banyak
diperkecil menjadi 4 subjek yang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 25
Menurut Sarwono (2006) dalam
masyarakat Indonesia, batasan usia
remaja yaitu 11-24 tahun dan belum
menikah. Pada proses penyesuaian diri
menuju kedewasaan ada tiga tahap
perkembangan remaja, yaitu :
a. Remaja awal 10 – 13 tahun
b. Remaja tengah 13 – 17 tahun
c. Remaja Akhir 18 – 21 tahun
Berdasarkan berbagai definisi
yang ada di atas, dapat disimpulkan
bahwa remaja adalah individu yang
telah mencapai kematangan fisik
2009). Teknik analisa data ini
menggunakan model interaktif Miles and
Huberman, dimana pada teknik ini
terdapat tiga macam tahapan dalam
analisis, yaitu reduksi data, display data,
dan verifikasi kesimpulan.
Teknik Pengumpulan Datadan
Prosedur Penelitian
Teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti dengan cara
observasi non-partisipan dan wawancara
semi terstruktur. Dengan demikian dalam
penelitian ini menggunakan dua jenis data
primer dan data sekunder. Data primer
pada penelitian adalah atlet sepak bola
POPDA Kab Sumenep yang sedang
bertanding, sedangkan data sekunder pada
penelitian ini adalah teman satu tim
bersama subjek dan pelatih POPDA Kab
Sumenep.
Pada penelitian ini prosedur
penelitian bermula dari penyusunan
guide line interview yang kemudian
kriterianya adalah atlet sepak bola
POPDA Kab Sumenep yang bertanding.
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Metode penelitian
kualitatif dengan pendekatang
fenomenologi merupakan penelitian
yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian dan berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap subjek yang berada
dalam situasi-situasi tertentu (Iskandar,
menggunakan model interaktif Mils
and Huberman.
HASIL PENELITIAN
1. AN sudah mengenal sepak
bola sejak usianya lima
tahun. AN dikenalkan
sepakbola oleh ayahnya,
yang juga penggemar
sepakbola. Ayah AN
menginginkan anaknya
kelak menjadi atlet
sepakbola profesional dan
bisa mengharumkan kota
serta orang tuanya. Pada
tahun 2000 AN dikenalkan
dengan Sekolah Sepak Bola
(SSB) yang ada di
Surabaya dan mulai dari
situlah AN berprestasi. AN
berasal dari Surabaya, dan
sekarang AN tinggal di Kab
Sumenep bersama
saudaranya.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 26
guide line tersebut Menjadi acuan
untuk melakukan wawancara kepada
subjek dengan menggunakan pendekatan
purposive sampling. Adapun cara
pengambilan data dengan menggunakan
guide observation yang telah disusun
sebelumnya dengan cara menggunakan
observasi non-partisipan. Kemudian
keseluruhan data yang telah didapat
dari hasil wawancara di analisa
tua RS memasukkannya di
Sekolah Sepak Bola (SSB)
dengan tujuan agar RS bisa
mengembangkan bakat yang
sudah dimilikinya sejak kecil.
Setelah beberapa tahun RS
bermain sepak bola akhirnya
RS bisa berprestasi diberbagai
ajang yang diadakan di Kab
Sumenep.
4. RM adalah seorang siswa
yang bersekolah di salah satu
SMKN di Kab. Sumenep.
RM berusia 17 tahun, RM
mengenal sepak bola sejak
RM berusia enam tahun,
kemudian oleh sang ayah RM
diikutkan sekolah sepakbola
di salah satu klub anggota
Persema. Karena bakat RM
sudah mulai terlihat, orang
tua RM mendukung
sepenuhnya agar anaknya
bisa menjadi pemain sepak
bola profesional. Cita-cita
orang tua RM disambut
2. RS berusia 17 tahun dan
bersekolah di salah satu
SMAN di kota KAB
SUMENEP. RS sudah
mengenal dunia sepak
bola sejak RS berusia 7
tahun, RS mengikuti jejak
kakaknya yang juga
seorang pemain sepak
bola. Akhirnya orang
bola saat IL berusia enam
tahun. Setelah melihat
kakaknya yang dulunya juga
seorang pemain sepak bola.
IL mempunyai cita-cita
menjadi pemain sepakbola
profesional. IL berharap
setelah selesai ajang
POPDA, IL dapat bermain
di klub profesioanal sebagai
awal IL memulai kariernya
sebagai pemain sepak bola.
DISKUSI
Berdasarkan hasil penelitian,
faktor-faktor menyebab terjadinya
agresivitas yang dialami oleh subjek
AN, RM, RS dan IL saat bertanding
adalah masalah dengan kepemimpinan
wasit yang lebih memihak pada tim
lawan, masalah dengan kontak badan
yang membuat agresivitas keempat
subjek tidak dapat terkontrol, ucapan dari
pemain lawan yang memancing
kemarahan oleh keempat subjek, dan
perilaku agresivitas lain yang bertujuan
untuk melukai pemain lawan.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 27
dengan gembira oleh
RM,karena RM sendiri juga
menyukai sepakbola sejak
kecil.
IL bersekolah di salah satu
SMAN yang ada di Kab Sumenep. IL
menyukai sepak haruslah adil, tidak
haruslah adil, tidak memihak salah satu
tim. Wasit yang berlaku tidak adil dan
lebih memihak kepada salah satu tim,
dapat menimbulkan agresivitas dari tim
yang dirugikan, hal ini dapat berupa
ejekan, mengumpat kepada wasit, dan
bersikap tidak menghiraukan perkataan
wasit.
Faktor kepemimpinan wasit
yang memihak pada tim
lawan membuat agresivitas
AN, RS, RM dan IL tidak
terkontrol. Hal ini
ditunjukkan dengan beberapa
kali keempat subjek
melakukan perlawanan
kepada wasit yang memimpin
pertandingan. Namun hal ini
juga disampaikan oleh
pelatih, akan tetapi tidak
sepenuhnya kesalahan pada
kepemimpinan wasit. Pelatih
menjelaskan bahwa anak
asuhnya kurang mampu untuk
mengontrol emosi saat
bertanding, sehingga sering
terjadi pelanggaran-
pelanggaran yang diperoleh
tim lawan, hal ini sesuai
A. Kepemimpinan Wasit
Menurut Sukadiyanto (2005)
kepemimpinan wasit adalah
sebagai orang mengawasi
jalannya pertandingan dan
menjalankan aturan-aturan yang
berlaku dalam sebuah
pertandingan, kepemimpian wasit
menjalankan tugasnya.
B. Kontak Badan
Sukadiyanto (2005)
mengungkapkan bahwa kontak
badan adalah segala bentuk
gerakan dan gesekan yang
menggunakan anggota badan.
Dalam sepak bola kontak
badan diperbolehkan,tetapi
tidak melanggar peraturan
yang berlaku. Seperti,
mentackling kaki lawan dengan
sengaja, mendorong lawan
hingga tersungkur, menyikut
lawan, menarik tangan lawan,
menendang lawan tanpa adanya
bola, dan menginjak kaki lawan
secara disengaja.
Faktor kontak badan yang sering
terjadi dalam sebuah
pertandingan membuat
agresivitas AN, RS, RM dan
IL semakin tidak terkendali.
Karena keempat subjek
terpancing oleh gaya permainan
lawan yang lebih memancing
kemarahan dari keempat subjek
dan membuat keempat subjek
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 28
dengan yang diungkapkan
oleh Santrock (Harter, 2007)
dalam upaya melindungi diri,
remaja cenderung cenderung
menyangkal karakteristiknya
yang negatif dan cenderung
memandang deskripsi diri
yang berupa dorongan,
tarikan kepada anggota badan
lawan, sikutan dan
mentackling kaki lawan
dengan berupa dorongan,
tarikan kepada anggota badan
lawan, sikutan dan
mentackling kaki lawan
dengan sengaja.Hal ini
beberapa kali dilakukan oleh
keempat subjek dalam
pertandingan. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan
oleh Pavlov(2008) bahwa
generalisasi dan transfer
menjelaskan bahwa kita
dapat memberikan reaksi
yang telah dipelajari untuk
situasi yang belum pernah
kita jumpai sebelumnya, yaitu
kita merespon situasi baru
seperti ketika kita merespons
situasi yang serupa yang
sudah kita kenali.
C. UCAPAN
Ucapan adalah suatu kata-kata
yang ditujukan kepada pemain
lawan untuk memprovokasi atau
memancing kemarahan pemain
memiliki keinginan untuk
membalas tindakan yang
dilakukan oleh lawan mereka.
Tindakan-tindakan tersebut
seperti, mencemooh,
membentak, mengejek, mencaci
lawan, dan mengeluarkan kata-
kata kotor atau mengumpat
kepada lawan atau
wasit.(Sukadiyanto, 2005).
C. Prilaku Agresivitas lainnya
Perilakuatau tindakan lain yang
dapat menimbulkan agresivitas
dapat dilakukan oleh pemain
lawan untuk memancing
agresivitas pemain lawan dengan
tujuan untuk merusak
konsentrasi dalam pertadningan,.
Hal ini dapat bermacam-macam,
yaitu berupa menarik baju lawan,
mengangkat kaki terlalu tinggi
dan menyuruh teman satu tim
untuk mencederai pemain
lawan.(Sukadiyanto, 2005)
Perilaku lain yang disengaja
untuk mencederai pemain lawan
terlihat beberapa kali yang
dilakukan oleh AN, RS, RM dan
IL dalam pertandingan dengan
tujuan ingin memenangkan
perebutan bola dengan lawannya
dengan mengangkat kaki terlalu
tinggi dan menarik baju dari
lawan.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 29
DAFTAR PUSTAKA
Azaiez, Fairouz,Nasr Chalghaf,Kaïs Ghattassi, Karim Achour, Abdelhakim Cheri.(2013).Football and Aggressiveness According To the Gender.JurnalIJES.Volume 2. No 4 hal 49-52.2013. Higher institute of Sport and the PhysicalEducation of Sfax (Tunisia)
Cahyo Utomo, Guntur. (2012). Agresivitas Pemain Sepak Bola: Studi FenomenologiTentang Kekerasan Pemain Sepak Bola Tingkat Universitas. Tesis.UniversitasGadjah Mada Jogjakarta.
Dodge, K.A., & Coie, J.D. (1987). Social information pro-cessing factors in reactiveand proactive aggression in children’s peer groups. Journal of Personality andSocial Psychology, 53 (6), 1146-1158. Diakseshttp://fulla.augustana.edu:2048/login, 1 September 2013.
Emzir.(2010). Metode Penelitian Kualitaitf. Jakarta: Erlangga
Friman, Margareta, Claes Nyberg, and Torsten Norlander, (2004).Threats andAggression Directed at Soccer Referees: An Empirical PhenomenologicalPsychological Study. Jurnal Psikologi. Volume 9 Number 4 Karlstad University,Sweden
Firmansyah, M. A. (2007) Kecemasan Atlet renang dalam menghadapi Pertandingan,Skripsi. Universitas Gunadarma.
Grange, Pippa, John H. Kerr. (2008). Physical aggression in Australian football: Aqualitative study of elite athletes.Jurnal Psikologi Olahraga. Volume 11 (2010)36–43. Toin University 1614 Kurogane, Aoba, Yokohama 225 8502, Japan.
Gunarsa, D. Singgih, dkk. (2009). Psiokologi Olahraga. Jakarta: PT BPK GunungMulia
Hergenhahn B. R and H. Olson Matthew (2008) the Teori Of Learning Edisi Ketujuh.Jakarta :k Kencana Prenada Media Group.
Hurlock, E. B (2000).Devplopment Psycology : alife Span Approach. 5th Edition. NewYork: Megraw – Hill Kogahuha Ltd.
Husdata, H. J. S. (2010). Psikologi Olahraga . Bandung: ALFABETA
Koeswara, C. (1988). Agresi Manusia. Bandung: PT. Eresco
Maentiningsih, Desiani, (2008). Hubungan antara secure attachment dengan motivasiberprestasi pada remaja. Jurnal Psikologi. 2008. Fakultas Psikologi UniversitasGunadarma
Mashhoodi, Samira, Pouneh Mokhtari dan Hamidreza Tajik, (2013).The comparison ofthe aggression of young and adult athletes in individual orteam sport.JurnalEksperimen. 2013,3(1):661-663. Department of Physical Education, Islamic AzadUniversity, Shahre-Rey Branch, Tehran, Iran
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 30
Moleong, L.J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mu’tadin, Zainun. (2002). Faktor PenyebabAgresi.Http.www.spikologi.com/remaja/100602htm. Diunduh tanggal 22Desember 2013
Podungge, Risna .(2012). Dampak Kecemasan dan Agreivitas Terhadap PrestasiOlahraga Bela Diri.Skripsi. Pendidikan Keolahragaan FIKK UNG
Sarwomo, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta : Radja Grafindo Persada
Satyobroto, Sudibyo. (2009).Psikologi Olahraga. Jakarta: PT Anem kosong Anem
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung; Pustaka Setia
Sukadiyanto. (2000). Perbedaan reaksi emosional antara Olahragawan Body Contactdan Non Body Contact.Jurnal Psikologi. Volume 33, No. 1, 50-62. Fakultas IlmuKeolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Sukadiyanto, (2005). Olahraga. Majalah Ilmiah. Volume 11 TH.IX, No. 03.FakultasIlmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Suyanto, Bagong. (2010). Pengantar Psikologi Sosial.Jakarta : Kencana.
Anonimous (2014), http:/Penonton-Sepakbola-DiOlimpiade-PecahkanRekor-YahooSportsIndonesia.htm. Diunduh tanggal 29 Januari 2014
Anonimous(2013), http:/www.pssi/liga-Indonesia.org.id. Diunduh tanggal 3 november2013
Anonimous(2013), http:/ situs most-popular/olahraga-paling-populer-didunia.net.Diunduh tanggal 25 November 2013
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 31
PENGARUH LATIHAN RUBBER DAN BURBLETERHADAP KEKUATAN DAN POWER OTOT LENGAN
PADA PEMAIN BOLAVOLI
Achmad SupartoSTKIP PGRI Sumenep
ABSTRACT
Arm muscle strength and power are determinants in performing movements thatrequire the achievement of success in performing a service effort and smash in volleyballgames. Volleyball is a dynamic sport with a high level of intensity in performing movementsand strategic techniques, either currently or survive when attacked. In this study to have thestrength and the muscle’s power you need to have burble and rubber exercise.
This research aims to analyze 1) the effect of rubber and burble training for armmuscle Strength and of volleyball player. 2) The effect of rubber and burble training for armmuscle power of volleyball player. The objects of this research are 30 junior volleyballplayers in Official Training Center Branch (Puslatcab), Sumenep.
This research uses quantitative research by using quasi experiment method. Theresearch used a matching only design. The One way Anova is used to analyze the data. Thedata is collected by using test. Push up test is used to measure arm muscle strength and BallMedicine Throw is used to measure the power in the pretest and post test.
Result: 1) On increasing the strength of the arm muscles of Anova test results statingF-count > F-tabel, or 37.227 > 3.35. it can be concluded that there are significant differencesbetween the groups of rubber, the burble group and the control group. 2). On increasingmuscle power arm of the Anova test results stating F-count > F-tabel, or 16.773 > 3.35. it canbe concluded that there are significant differences between the groups of rubber, the burblegroup and the control group.Conclusion. Rubber exercise more effective at increasing muscle power rather than exercisearm burble and control. While exercise is more effective burble to increase muscle strengthand rubber sleeves
Keywords : Rubber and Burble, Strength, Power, and Volleyball.
PENDAHULUAN
Setiap cabang olahraga memerlukan kesiapan
fisik dan penguasaan teknik yang tinggi di
samping faktor mental dan emosional sebagai
bagian dari sistem faktor penentu
keberhasilan pencapaian prestasi tinggi.
Dalam cabang olahraga bolavoli dua
komponen tersebut memegang peranan
penting, sebab permainan bolavoli
merupakan cabang olahraga dinamis dengan
yang relatif besar, khususnya dalam upaya
tingkat intensitas yang tinggi dalam
melakukan gerakan-gerakan teknik dan
strategis, baik saat bertahan maupun saat
menyerang, oleh karena itu permainan
bolavoli merupakan permainan yang bersifat
agresif. Hal tersebut ditandai oleh
penampilan pemain dalam melakukan
gerakan-gerakan selama permainan, yang
membutuhkan tingkat kelincahan, kelentukan
yang tinggi, kekuatan, dan eksplosif power
dalam melakukan suatu usaha servis dan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 32
melakukan servis, serangan (smash),
bendungan (block), serta kecepatan reaksi
untuk mengambil bola yang datang secara
cepat dan mendadak.
Kemampuan melakukan servis dan
smes dengan tepat merupakan gabungan
beberapa kondisi fisik yaitu eksplosif power
otot lengan (penggabungan antara komponen
kecepatan dan kekuatan), kekuatan otot
lengan, koordinasi dan sebagainya. Usaha
untuk meningkatkan kemampuan melakukan
servis dan smes perlu memperhatikan
komponen-komponen tersebut, serta
memperhatikan pelaksanaan teknis gerakan
agar dapat dicapai kebenaran gerak. Hal itu
akan menguntungkan pemain dalam
mencapai efisiensi dan efektivitas gerakan.
Untuk mencapai prestasi tersebut, faktor
yang penting antara lain adalah kekuatan dan
power otot lengan.
Terkait hal tersebut di atas Sandra
& Michelle (2010) melaporkan hasil
penelitiannya bahwa daya eksplosif dan
kekuatan otot lebih penting untuk menunjang
aktivitas fisik sebagai fungsi tubuh. Gerak
eksplosif membutuhkan daya eksplosif otot,
sehingga gerakan menjadi efektif.
Kekuatan dan power otot lengan
sengaja diangkat dalam penelitian ini
mengingat, unsur ini merupakan penentu
dalam melakukan gerakan-gerakan yang
mengharuskan tercapainya keberhasilan
diduga mempunyai pengaruh terhadap
kemampuan kekuatan dan power otot lengan
smes dalam permainan bolavoli.
Untuk dapat melakukan servis dan
smes dengan benar seorang pemain bolavoli
harus memiliki komponen kemampuan
seperti kekuatan dan power otot lengan.
Dengan memiliki kekuatan dan power otot
lengan seorang pemain bolavoli akan lebih
mudah untuk memukul bola ke sasaran yang
ingin dituju. Seperti diketahui bahwa gerakan
servis dan smes, terutama pada perkenaan
bola adalah “gerakan dengan meluruskan
lengan dan diayunkan ke depan seperti
gerakan melempar” (Sarumpaet, dkk,
1992:97). Sehingga dari gerakan melempar
ini diperlukan luas gerak lengan yang
maksimal.
Untuk memiliki kekuatan dan
power otot lengan maka latihan rubber dan
burble menjadi tolak ukur dalam penelitian
ini. Latihan rubber merupakan latihan beban
dengan menggunakan sebuah karet/elastis
yang diikat pada sebuah tiang, menarik
rubber tersebut dari atas kepala ke arah lurus
depan.
Sedangkan latihan burble
merupakan latihan beban yang menggunakan
burble yang dilakukan dengan kontinyu pada
posisi berdiri, dilakukan di atas kepala ke
arah depan dengan mengayunkan salah satu
tangan yang memegang sebuah burble.
Berdasarkan uraian di atas, maka
faktor latihan rubber dan latihan burble besar
sekali peranannya atau sebagai penyerang
maupun sebagai pemain yang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 33
terutama pada pemain bolavoli yunior putri
Pemusatan Latihan Cabang Pengurus
Kabupaten Sumenep, yang merupakan subjek
dalam penelitian ini. Pada tingkat pemain
tersebut, pengetahuan dan keterampilan
dalam bermain bolavoli diasumsikan relatif
sama. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha
mengkaji perbandingan latihan rubber dan
latihan burble terhadap kekuatan dan power
otot lengan. Sehingga diharapkan akan dapat
diperoleh informasi empiris yang akurat
tentang tingkat kebermaknaan latihan rubber
dan latihan burble terhadap kekuatan dan
power otot lengan dalam bolavoli yang
dilaksanakan pada pemain bolavoli putri
yunior Pemusatan Latihan Cabang Pengurus
Kabupaten Sumenep Tahun 2014.
KAJIAN PUSTAKA
Permainan bolavoli adalah cabang olahraga
yang dimainkan oleh dua regu (tim) dalam
setiap lapangan permainan yang dipisahkan
oleh net. Terdapat versi yang berbeda untuk
digunakan pada keadaan khusus dan pada
akhirnya adalah untuk menyebarluaskan
kemahiran bermain kepada setiap orang.
Beutelstahl (2011:65) menjelaskan bahwa
bolavoli merupakan suatu cabang olahraga
yang ditandai dengan peraturan-peraturannya
yang begitu khas dan kukuh. Bolavoli juga
merupakan permainan, dimana kemampuan
dan kecermatan masing- masing individu
kekuatan otot tubuh bagian atas (p < ).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Kawamori dan Haff (2004) dilaporkan bahwa
mempertahankan diri. Permainan bolavoli
merupakan permainan yang dinamis. Karena
seorang atlit dituntut untuk selalu bergerak,
baik bergerak ke depan, ke belakang, ke
samping maupun ke atas untuk melakukan
smes dan membendung. Oleh karena itu
seorang pemain bolavoli harus memiliki
kemampuan teknik, taktik, fisik dan
kemampuan mental yang baik.
Terkait dengan pelatihan fisik,
Chin, Marjike, Van Uffelen, Riphagen, dan
van Mechelen (2008) dalam penelitiannya
tentang pengaruh latihan fisik terhadap
kinerja fisik, hasil penelitiannya dilaporkan
bahwa tingkat kemampuan tubuh yang dilatih
secara teratur melalui pelatihan fisik dapat
meningkatkan kinerja fungsional. Dalam
rangka perbaikan fungsional dan agar
pelatihan lebih berkualitas tinggi diperlukan
keberadaan petunjuk pelatihan yang baik.
Keberadaan unsur-unsur pelatihan dalam
penyusunan program pelatihan seperti
jenis/model pelatihan, intensitas pelatihan,
frekuensi dan lama pelatihan sangat
dibutuhkan.
Miranda, Fleck, Simao, Barreto,
Da Restntas, & Novaes (2007) melaporkan
hasil penelitiannya bahwa pelatihan beban
untuk anggota tubuh bagian atas terdiri dari
tiga set untuk delapan ulangan tiap set
mempunyai pengaruh yang signifikan pada
(2010:20) menjelaskan bahwa penelitian
eksperimen adalah penelitian untuk menguji
apakah variabel-variabel eksperimen efektif
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 34
beban latihan yang digunakan merupakan
faktor yang paling penting karena
menentukan rangsangan pelatihan dan
memberikan konsekuensi terhadap adaptasi
pelatihan.
De Salles, Belmiro, Simao,
Miranda, da Silva, Lemos dan Willardson
(2009) juga melaporkan hasil penelitiannya
bahwa pelatihan kekuatan otot dengan
menggunakan beban antara 50% - 90% dari
IRM, direkomendasikan istirahat antar set
selama tiga sampai lima menit pada jumlah
ulangan yang banyak untuk meningkatkan
kekuatan dan daya eksplosif otot.
Ratamess, Faigenbaum, Mangine,
Hofman, dan Kang (2007) juga melaporkan
hasil penelitiannya bahwa pelatihan yang
bersifat mendorong atau menarik
mengandalkan otot maksimal melalui
genggaman tangan, dapat bemberikan
kontribusi yang bermakna pada peningkatan
kekuatan otot yang dilatih.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
a. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan metode eksperimen semu (quasi
experiment). Jenis penelitian kuantitatif
digunakan oleh peneliti atas dasar sifat
penelitian yang memberikan perlakuan
terhadap subjek. Menurut pendapat
Suryana (2010:20) menjelaskan bahwa
penelitian eksperimen adalah penelitian
untuk menguji apakah variabel-variabel
atau tidak. Untuk menguji efektif tidaknya
harus digunakan variabel kontrol.
Penelitian ini menggunakan
rancangan pretest dan posttest control group
design. Subjek penelitian dibagi menjadi dua
kelompok eksperimen dan satu kelompok
kontrol dengan pembagian kelompok
dilakukan secara ordinal pairing.
(Maksum, 2009:100)
Keterangan :
T1 : Pretest kekuatan dan power otot lengan
T2 : Posttest kekuatan dan power otot lengan
X1 : Kelompok 1 yang diberikan latihan
rubber
X2 : Kelompok 2 yang diberikan latihan
burble
X0 : Kelompok kontrol yang tidak diberikan
latihan rubber dan burble
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang menjadi sasaran
dalam penelitian ini adalah pemain bolavoli
yunior putri yang tergabung dalam
Pemusatan latihan cabang Pengurus
Kabupaten Sumenep yang berjumlah 30
orang, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Atlet tim Pemusatan Latihan Cabang
Kabupaten Sumenep
b. Jenis kelamin putri
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 35
d. Usia antara 14 - 16 tahun
e. Tahun kelahiran 1998 – 2000
Sampel dalam penelitian ini adalah
semua populasi, karena jumlah populasi yang
ada hanya 30 orang pemain. Sehingga
penelitian ini adalah penelitian populasi
(Population Research).
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pelaksanaan penelitian ini
di lapangan Bolavoli Komplek GOR A. Yani.
Alamat Jl. Urip Sumoharjo, Pangligur –
Sumenep. Penelitian ini dilaksanakan selama
8 minggu dengan frekuensi 3 kali dalam
seminggu. Pelaksanaan penelitian mulai
Maret sampai April 2014.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan
adalah sebagai berikut :
a. Tes eksplosif power otot lengan
dengan menggunakan tes Medicine
Ball Throw. (Pasurney, Sidik, Irianto
dan Dewanti, 2009 : 75).
b. Tes kekuatan otot lengan dengan
menggunakan tes Push-Up. (Johnson,
BL and Nelson JK., 1974).
Teknik Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis dan jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini, maka analisis statistik yang digunakan
adalah Analisis of Varians (Anova) dengan
taraf signifikansi 5 % menggunakan program
Statistical Product and Service Solution
(SPSS) 17.0. Untuk mengkaji dan
mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh
yang signifikan antara pelatihan rubber,
pelatihan burble dan kelompok kontrol
terhadap peningkatan kekuatan dan power
otot lengan pada pemain bolavoli.
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan
mengenai deskripsi data penelitian dan hasil
pengujian hipotesis dari penelitian yang telah
dilakukan. Deskripsi data yang akan
disajikan berupa data hasil tes dan
pengukuran kekuatan dan power otot lengan
yang diperoleh dari pretest dan post test
Push-Up dan Ball Medicine Throw yang
diberikan pada masing-masing kelompok
yang melitputi : kelompok rubber, kelompok
burble, dan kelompok kontrol pada pemain
bolavoli putri yunior Pemusatan Pelatihan
Cabang (Puslatcab) Pengurus kabupaten
Sumenep tahun 2014 yang berjumlah 30
orang dan dibagi menjadi 3 kelompok, dan
masing-masing kelompok berjumlah 10
orang.
1.Deskripsi data peningkatan kekuatan
otot lengan pada kelompok rubber,
kelompok burble, dan kelompok kontrol
Deskripsi dari variabel-variabel
yang dianalisis dengan jumlah sampel 30
atlet terdiri dari : latihan rubber : 10 atlet;
latihan burble : 10 atlet; dan kelompok
kontrol : 10 atlet.
a. Latihan rubber : rata-rata = 2,90;
simpangan baku = 0,994; nilai
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 36
terkecil (minimal) = 1; nilai terbesar
(maksimal) = 4.
c. Latihan burble : rata-rata = 4,10;
simpangan baku = 0,738; nilai terkecil
(minimal) = 3; nilai terbesar (maksimal)
= 5.
d. Kelompok kontrol : rata-rata = 1,20;
simpangan baku = 0,422 nilai terkecil
(minimal) = 1; nilai terbesar (maksimal)
= 2.
2. Dekripsi data peningkatan power otot
lengan pada kelompok rubber, kelompok
burble, dan kelompok kontrol.
Pada tabel di atas menunjukkan
deskripsi dari variabel-variabel yang
dianalisis dengan jumlah sampel 30 atlet
terdiri dari : latihan rubber : 10 atlet;
latihan burble : 10 atlet; dan kelompok
kontrol : 10 atlet.
a. Latihan rubber : rata-rata = 3,0280;
simpangan baku = 0,67216; nilai terkecil
(minimal) = 1,82; nilai terbesar (maksimal)
= 3,67.
b. Latihan burble : rata-rata = 2,2230;
simpangan baku = 0,62172; nilai terkecil
(minimal) = 1,11; nilai terbesar (maksimal)
= 3,45.
c. Kelompok kontrol : rata-rata =
1,3850; simpangan baku = 0,60739; nilai
terkecil (minimal) = 0,71; nilai terbesar
(maksimal) = 2,72.
B. Uji Persyaratan
1. Uji Normalitas
a. Uji Normalitas Data Tes
Awal dan Tes Akhir Kelompok Kekuatan
Otot Lengan pada Tiga Kelompok
Eksperimen.
Penghitungan uji normalitas data
menggunakan kolmogorov smirnov test dan
hasilnya menunjukkan bahwa seluruh data
pada tes awal dan tes akhir pada tiga
kelompok perlakuan adalah berdistribusi
normal, dengan rincian sebagai berikut :
1) Tes awal latihan kekuatan otot lengan
latihan rubber, yakni: 0,583 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
2) Tes akhir latihan kekuatan otot lengan
latihan rubber, yakni: 0,948 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
3) Tes awal latihan kekuatan otot lengan
latihan burble, yakni: 0,564 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
4) Tes akhir latihan kekuatan otot lengan
latihan burble, yakni: 0,819 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
5) Tes awal kekuatan otot lengan kelompok
kontrol, yakni: 0,699 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
6) Tes akhir kekuatan otot lengan
kelompok kontrol, yakni: 0,664 > 0,05, jadi
data berdistribusi normal.
b. Uji Normalitas Data Tes Awal dan
Tes Akhir Kelompok Power Otot Lengan
pada Tiga Kelompok Eksperimen.
Penghitungan uji normalitas data
menggunakan kolmogorov smirnov test dan
hasilnya menunjukkan bahwa seluruh data
pada tes awal dan tes akhir pada tiga
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 37
kelompok perlakuan (kelompok rubber,
kelompok burble, dan kelompok kontrol)
adalah berdistribusi normal, dengan rincian
sebagai berikut :
1) Tes awal latihan power otot lengan
latihan rubber, yakni: 0,434 > 0,05, jadi
data berdistribusi normal.
2) Tes akhir latihan power otot lengan
latihan rubber, yakni: 0,993 > 0,05, jadi
data berdistribusi normal.
3) Tes awal latihan power otot lengan
latihan burble, yakni: 0,870 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
4) Tes akhir latihan power otot lengan
latihan burble, yakni: 0,646 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
5) Tes awal power otot lengan kelompok
kontrol, yakni: 0,982 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
6) Tes akhir power otot lengan kelompok
kontrol, yakni: 0,906 > 0,05, jadi data
berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas DataDalam penelitian ini terdapat dua
variabel yang harus diuji untuk homogenitas
data yaitu kekuatandan power otot lengan.
Adapun kriteria uji homogenitas data
sebagai berikut :
Kriterian pengujian homogenitas
data.
1) Jika tingkat signifikan (p) > α = 0,05.
Maka varians homogen.
2) Jika tingkat signifikan (p) < α = 0,05.
Maka varians tidak homogen.
Berdasarkan hasil penghitungan uji
homogenitas data di atas dengan
menggunakan anova menunjukkan bahwa
seluruh data pada tiga kelompok perlakuan
(kelompok rubber, kelompok burble, dan
kelompok kontrol) adalah homogen dengan
hasil (0,694 > 0,05).
A. Uji Hipotesis
1. Uji Beda Rerata antar Kelompok
Pada Kekuatan Otot Lengan
Pengujian beda rerata antar kelompok
secara serempak dilakukan dengan
menggunakan Analisis varian
(Anova). Menurut Maksum (2012:
182) One Way Anova adalah teknik
statistik parametrik yang digunakan
untuk menguji perbedaan antara tiga
atau lebih kelompok data. Adapun
langkah-langkah dalam perumusan uji
hipotesis sebagai berikut:
Ho: tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara
latihan kekuatan otot
lengan pada ketiga
kelompok eksperimen.
Ha: terdapat perbedaan yang
signifikan antara latihan
kekuatan otot lengan pada
ketiga kelompok
eksperimen.
Kaidah pengujian signifikansi :
Jika
F-hitung ≥ F-tabel maka Ho
ditolak
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 38
F-hitung ≤ F-tabel maka Ho
diterima
Jadi F-hitung > F-tabel, atau
37,227 > 3,35.
hasil perhitungan uji
beda antar kelompok
menggunakan One Way Anova
(Anova satu jalur), dengan taraf
signifikansi 5% hasilnya
menunjukkan bahwa F-hitung
sebesar 37,227 dengan tingkat
signifikan 0,000. Sedangkan F-
tabel = F{(0,95) (2) (27)} , F-tabel
= 3,35.
Maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara latihan kekuatan
otot lengan antara kelompok
latihan rubber, latihan burble dan
kelompok kontrol pada pemain
bolavoli. Dengan adanya
perbedaan hasil rerata, maka
perhitungan akan dilanjutkan
dengan menggunakan Post Hoc
Test.
diketahui bahwa ada
perbedaan yang signifikan diantara
ketiga kelompok eksperimen.
Dengan rincian sebagai berikut:
a. Perbedaan rata-rata kelompok
latihan rubber dengan
kelompok burble = 1,200
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,004.
b. Perbedaan rata-rata kelompok
latihan rubber dengan
kelompok kontrol = 1,700
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,000.
c. Perbedaan rata-rata kelompok
latihan burble dengan
kelompok kontrol = 2,900
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,000.
Berdasarkan analisis di
atas disimpulkan bahwa latihan
burble lebih efektif jika
dibandingkan dengan latihan
rubber dan kelompok kontrol
terhadap peningkatan kekuatan
otot lengan.
2. Uji Beda Rerata antar Kelompok
Pada Power Otot Lengan
Langkah-langkah dalam
perumusan uji hipotesis sebagai
berikut:
Ho: tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara latihan
power otot lengan pada
ketiga kelompok eksperimen.
Ha: terdapat perbedaan yang
signifikan antara latihan
power otot lengan pada
ketiga kelompok eksperimen.
Kaidah pengujian signifikansi :
Jika F-hitung ≥ F-tabel maka Ho
ditolak
b. F-hitung ≤ F-tabel maka Ho
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 39
diterima
Jadi F-hitung > F-tabel, atau
16,773 > 3,35.
hasil perhitungan uji
beda antar kelompok
menggunakan One Way Anova
(Anova satu jalur), dengan taraf
signifikansi 5% hasilnya
menunjukkan bahwa F-hitung
sebesar 16,773 dengan tingkat
signifikan 0,000. Sedangkan F-
tabel = F{(0,95) (2) (27)} , F-tabel
= 3,35.
Maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara latihan power
otot lengan antara kelompok
latihan rubber, latihan burble dan
kelompok kontrol pada pemain
bolavoli. Dengan adanya
perbedaan hasil rerata, maka
perhitungan akan dilanjutkan
dengan menggunakan Post Hoc
Test.
diketahui bahwa ada
perbedaan yang signifikan diantara
ketiga kelompok eksperimen.
Dengan rincian sebagai berikut:
a. Perbedaan rata-rata kelompok
latihan rubber dengan
kelompok burble = 0,805
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,026.
Perbedaan rata-rata kelompok 85%,
latihan rubber dengan
kelompok kontrol = 1,643
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,000.
c. Perbedaan rata-rata kelompok
latihan burble dengan
kelompok kontrol = 0,838
dengan tingkat signifikan
sebesar 0,019.
Berdasarkan analisis di
atas disimpulkan bahwa latihan
rubber lebih efektif jika
dibandingkan dengan latihan
burble dan kelompok kontrol
terhadap peningkatan power otot
lengan.
DISKUSI HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian yang
didapatkan, maka dibuat suatu
pembahasan mengenai hasil-hasil dari
analisis penelitian dan perlu didiskusikan
dengan teori-teori atau hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang relevan untuk
dapat membuat suatu simpulan.
Pembahasan di sini membahas penguraian
hasil penelitian tentang pengaruh latihan
rubber dan burble terhadap kekuatan dan
power otot lengan pada pemain bolavoli.
Peningkatan kekuatan dan
power otot lengan dalam penelitian
ini, merupakan dampak dari
pelaksanaan penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan
pembebanan eksternal dengan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 40
dengan lama pemberian program pelatihan
selama 8 minggu dan frekuensi pelatihan 3
kali seminggu, (Sandler, 2005: 214). Dapat
dijabarkan hasil penelitian ini setelah
diberikan perlakuan.
Sesuai dengan rumusan masalah
dan tujuan penelitian tentang adakah
perbedaan pengaruh yang signifikan
antara latihan rubber dan latihan burble
terhadap kekuatan dan power otot lengan
pada pemain bolavoli yunior putri yang
tergabung dalam Pemusatan Latihan
Cabang Kabupaten Sumenep tahun 2014,
dimana didapatkan bahwa latihan burble
ternyata mempunyai pengaruh yang lebih
besar terhadap kekuatan otot lengan dari
pada latihan burble. Sedangkan latihan
rubber mempunyai pengaruh yang lebih
besar terhadap power otot lengan dari
pada latihan rubber. Untuk selanjutnya
akan dibahas dan diuraikan secara lengkap
tentang hasil-hasil yang sudah diperoleh
sebagai berikut ini:
A. Pengaruh Pelatihan Terhadap
Peningkatan Kekuatan Otot
Lengan
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, latihan rubber
dan burble terdapat perbedaan
pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kekuatan otot lengan (p
< 0.05). Pengaruh latihan burble
lebih besar dibandingkan latihan
menggunakan intensitas 60% -
rubber dan kelompok kontrol. Hal
ini dapat dikatakan bahwa
pemberian pelatihan burble
berpengaruh terhadap peningkatan
kekuatan otot lengan. Hasil tersebut
memberikan bukti nyata bahwa
pelatihan burble merupakan salah
satu bentuk pelatihan yang
fungsinya untuk melatih kekuatan
otot lengan.
Ratames, Faigenbaum,
Mangine, Hoffman, dan King (2007)
melakukan penelitian dengan
menggunakan dumble. Beban
digerakkan dengan cara didorong ke
depan dan ke atas, dengan hasil
penelitiannya dilaporkan bahwa
seluruh kelompok perlakuan
terdapat perbedaan yang signifikan
antar perlakuan terhadap variabel
kekuatan otot lengan. Pelatihan yang
bercirikan gerakan mendorong
hasilnya lebih meningkatkan kinerja
kekuatan otot pada bagian otot yang
dilatih secara signifikan
0,05).
C. Pengaruh Pelatihan Terhadap
Peningkatan Power Otot Lengan
Pengaruh latihan rubber
dan burble terdapat perbedaan
pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan power otot lengan (p <
secara signifikan dibandingkan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 41
0.05). Pengaruh latihan rubber lebih
besar dibandingkan latihan burble
dan kelompok kontrol. Hal ini dapat
dikatakan bahwa pemberian
pelatihan rubber berpengaruh
terhadap peningkatan power otot
lengan. Hasil tersebut memberikan
bukti nyata bahwa pelatihan rubber
merupakan salah satu bentuk
pelatihan yang fungsinya untuk
melatih power otot lengan.
Terkait hal tersebut di atas
Ghigiarelli, Nagle, Gross,
Robertson, Irrgang, Myslinski
(2009) melakukan penelitian berupa
pelatihan dengan menggunakan pita
elastic dan pelatihan beban
kaitannya dengan kekuatan otot
tungkai. Kesimpulan hasil penelitian
dilaporkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan kedua
bentuk pelatihan terhadap kekuatan
otot yang diperoleh ),
kedua pelatihan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap
variabel prediktor kekuatan otot.
B. Perbedaan Pengaruh Pelatihan
A. Pengaruh latihan rubber, burble dan
kontrol memiliki perbedaan pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan
kekuatan dan power otot lengan. Latihan
rubber memiliki pengaruh yang lebih
besar
latihan burble dan kontrol terhadap
peningkatan power otot lengan. Dan
latihan burble memiliki pengaruh
yang lebih besar secara signifikan
dibandingkan latihan rubber dan
kontrol terhadap peningkatan
kekuatan otot lengan. Pada pemain
bolavoli putri yunior yang tergabung
dalam Pemusatan Latihan Cabang
Kabupaten Sumenep tahun 2014.
D. Kelemahan dan Kelebihan
Penelitian
Dalam sebuah penelitian
semua mempunyai kelemahan dan
kelebihan penelitian. Kelemahan
yang terdapat dalam penelitian ini
akan menjadi koreksi oleh peneliti
selanjutnya. Kemudian kelebihan
dari penelitian ini adalah alat latihan
( rubber dan burble ) bisa dilakukan
di tempat fitnes atau tempat latihan
olahraga lainnya untuk melatih
kekuatan dan power otot lengan.
Dengan hasil penelitian ini
latihan rubber lebih baik dalam
meningkatkan power otot lengan, dan
latihan burble lebih baik dalam
meningkatkan kekuatan otot lengan pada
pemain bolavoli putri yunior yang
tergabung dalam Pemusatan Latihan
Cabang Kabupaten Sumenep tahun 2014.
PENUTUP
pelatih dalam pemberian latihan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 42
PENUTUP
A. Simpulan
Hasil penelitian tentang pengaruh
latihan rubber dan burble terhadap
kekuatan dan power otot lengan pada
pemain bolavoli, khususnya pemain
bolavoli putri yang tergabung dalam
Pemusatan Latihan Cabang (Puslatcab)
di Kabupaten Sumenep, maka
kesimpulan dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1. Terdapat perbedaan pengaruh yang
signifikan antara pelatihan rubber,
pelatihan burble dan kelompok
kontrol terhadap kekuatan otot
lengan pada pemain bolavoli.
2. Terdapat perbedaan pengaruh yang
signifikan antara pelatihan rubber,
pelatihan burble dan kelompok
kontrol terhadap power otot lengan
pada pemain bolavoli.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah
dikemukakan, maka saran yang
disampaikan sebagai berikut :
1. Penerapan latihan rubber dan burble
ternyata memberikan hasil yang
lebih baik terhadap peningkatan
kekuatan dan power otot lengan
pada pemain bolavoli putri
Pemusatan Latihan Cabang
Kabupaten Sumenep. Oleh karena
itu latihan rubber dan burble ini
dapat dijadikan sebagai acuan para
peningkatan kekuatan dan power otot
lengan.
3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut
mengenai penerapan latihan rubber
dan burble dengan karakteristik
populasi yang berbeda dan jumlah
sampel yang lebih banyak, agar
nantinya diharapkan mendapatkan
hasil yang lebih tepat mengenai
penerapan metode latihan tersebut.
2. Pemanfaatan model latihan rubber
dan burble ini bisa digunakan oleh
pembina, pelatih, guru pendidikan
jasmani, dan orang tua bukan saja
untuk peningkatan kekuatan dan
power otot lengan tetapi juga sebagai
evaluasi bagi pengambil kebijakan
dalam pembinaan cabang olahraga
bolavoli.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 43
DAFTAR PUSTAKA
Arazi, H. & Asadi, A. 2011. “Effect of 8 Weeks Equal-Volume Resistance Training withDifferent Workout Frequency on Maximal strength, Endurance and BodyComposition”. International Journal of Sport Science and Engineering”. Vol. 05(02) May 2011.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik: Jakarta: Renika Cipta.
Beutelstahl, D. 2005. Belajar Bermain Bola Volley. Bandung. CV. Pioner Jaya.
Bompa, T. 1986. Theory and Methodology of Training. Dhubuque, Iowa, Kendall/HuntPublishing Company, USA.
Chandler, T.J. and Brown, L.E. 2008. Conditioning for Trength and Human Performance.United States. Human Kinetics.
Chin, A.P., Marjike., J.M., van Uffelen, J.G., Riphagen, I., dan van Mechelen, W. 2008. TheFunctional Effect of Physical Exercise Training in Frail Older People. A SystemicReview. Journal Sport Medicine. Vol. 38 (9) September 2008.
De Salles, Belmiro, F., Simao, R., da Silva, N., Lemos, A., dan Willardson. 2009. RestInterval Between Sets in Strength Training. Journal Sport Medicine. Vol. 39 (9)2009: Suplemen Abstract.
Ghigiarelli, J.J., Nagle, E.F., Gross, F.L., Robertson, R.J., Irrgang, J.J. & Myslinski, T. 2009.“The Effects of a 7 week Heavy Elastic Band and Weight Chain Program on Upper-Body Strength and Upper-Body Power in a Sample of Division 1-AA FootballPlayers”. Journal of Strength and Conditioning Research. Vol. 23 (3) May 2009.Suplement Abstract.
Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta.
Harsono. 1993. Prinsip-prinsip Patihan. Jakarta. Komite Olahraga Nasional Pusat (KONIPUSAT).
Kawamori, N., & Haff, G. 2004. “The Optimal Training Load for development of MuscularPower’. Strength And Conditioning J. Vol. 18 (3) 2004. Suplement Abstract.Department of Kinesiology, Midwestern State University, Wichita Falls, Texas76308.
Kemenegpora RI. 2007. Pelatihan Pelatih Fisik Level 1. Jakarta. Kemenegpora. AsdepPengembangan tenaga dan Pembinaan Keolahragaan. Deputi Bidang Peningkatandan prestasi dan Iptek Olahraga.
Kusmawan, M.S. 2013.“Pengaruh Pelatihan Reverse Pushdown dan Triceps ExtentionTerhadap Kekuatan Otot Lengan”. Universitas Negeri Surabaya.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 44
Kusnanik, N.W. 2013. Pengembangan Pengukuran Antropometrik, Tes Fisiologis danBiomotorik Dalam Mengidentifikasi Bibit Atlet Berbakat Cabang OlahragaBolavoli. Disertasi. Universitas Negeri Surabaya.
Mackenzie, B. 2005. 101Performance EvaluationTests. London.
Maksum. A. 2009. Metodologi Penelitian Dalam Olahraga. Surabaya.
Maksum, A. 2012. Metodologi penelitian. Surabaya : Unesa University Press.
Miranda, H., Fleck, S.J., Simao, R., Barreto, A.C., Da Restntas, E.H., & Novaes, J. 2007.:effect of two Different Rest Period Lengths on the Number of repetitions PerformedDurring resistance Training”. Journal of Strength and Conditioning Research. Vol.21 (4) Nov. 2007. SuplementAbstract.
Nala, N. 1998. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar. Universitas Udayana.
Nurrochmah, S. 2012. Peningkatan Kekuatan dan Daya eksplosif Otot Tungkai dan LenganAkibat Pelatihan Beban Dinamis dan Statis. Disertasi. Surabaya. Universitas NegeriSurabaya. Program Pascasarjana.
Pasurney, P., Sidik, D.Z., Irianto, D.P., dan Dewanti, R.A. 2009. Pelatihan Pelatih FisikLevel 1. Asdep Pengembangan Tanaga dan Pembina Keolahragaan Deputi BidangPeningkatan Prestasi dan Iptek Olahraga Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga.
Program Pascasarjana. 2012. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Universitas NegeriSurabaya.
Rahimi, R., Boroujerdi, S.S., Ghaeeni, S., dan Noori, S.R. 2007. The Effect of Different RestIntervals Between Set on The Training Volume of Male Athletes. Journal PhysicalEducation and Sport. Vol. 5. (1). Nov. 2007.
Ratamess, N.A., Faigenbaum, A.D., Mangine, G.T., Hoffman, J.R., dan King, J. 2007. “AcuteMuscular Strength Assesment Using Free Weight Bars of Different Thickness”.Journal of Strength and Conditioning Research Vol. 21 (1) Feb. 2007.
Sajoto, M. 1988. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Semarang. ProyekPengembangan Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan.
Sandler, D. 2005. Sport Power. United States. Human Kinetics.
Sandra, C.W., & Michelle, M.P. 2010. “Reliability of Ankle Isometric and IsokineticStrength and Power Testing in Older Women”. Journal Physical Therapy. Vol. 90(8) May 2010. Suplement Abstract.
Sarumpaet, A, dkk. 1992. Permainan Besar. Jakarta. DEPDIKBUD. Dirjen PendidikanTinggi proyek Pengembangan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 45
Soebroto, M. 1975. Terjemahan: Problem of Sport Medicine and Sport Training andCoaching. Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga,Depdikbud.
Soemardiawan. 2012. Tesis: Pengaruh Pelatihan Reverse Curl Dan Barbell Curl TerhadapPeningkatan Power Lengan Pemain Bulutangkis. Universitas Negeri Surabaya.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alvabeta.
Suharno. 1993a. Metode Pelatihan. Jakarta : Depdikbud.
Suharno. 1993b. Penyusunan Program Latihan. Jakarta. Komite Olahraga Nasional Pusat(KONI PUSAT).
Suharno. 1993c. Metodologi Pelatihan. Jakarta. Komite Olahraga Nasional Pusat (KONIPUSAT).
Sukadiyanto, dan Muluk, D. 2011. Pengantar Teori dan Metodologi Melatih Fisik. Bandung.Lubuk Agung.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia.
Willardson, J.M., & Burket, L.N. 2008. “The Effect of Rest Interval between Sets on VolumeComponents and Strength Gains”. Journal Strength Conditioning Res. Vol. 22 (1)Jan. 2008.
www. ball medicine.com (diunduh tanggal 20 januari 2014)
http://www.neomax.ro (diunduh tanggal 20 januari 2014)
www.sporaletleri.org (diunduh tanggal 20 januari 2014)
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 46
DAMPAK KECEMASAN PADA ATLET BOLA BASKET
SEBELUM BERTANDING
Boby ArdiansyahIkip Budi Utomo Malang
ABSTRACT
There search was conducted t odetermine the impact of anxiety on basket ball athletes beforecompeting. This research used qualitative research methods to the case study approach.Determination of the subjectis done by using th etechnique of Extreme Sampling. Subjects consistedof three basketball athletes which have higher anxiety than fifteen basket ball athletes in basket ballclub Bima Sakti Malang.Data collection techniques using semi-structured interviews, non-participant observation, anddocumentation. Theresultsof thisresearch istheimpact ofanxiety on basketball athletes before competing caused by impaire dattention and concentration the naffec to therpsychicsymptoms. Physicalsymptoms arise due to thein fluenceof psychologicalsymptoms of anxietyand then have animpacton the basket ball athletes before competing.
Keywords:Basketballathlete,beforecompeting,anxiety
Latar Belakang
Seorang atlet bola basket untuk
mencapai prestasi yang maksimal dibutuhkan
kesiapan fisik, teknik, dan taktik, selain itu
diperlukan juga kesiapan psikologis untuk dapat
mencapai kemampuan permainan terbaik. Baik
atau buruknya kemampuan seorang atlet di
lapangan akan mempengaruhi keadaan psikologis
atlet tersebut khususnya pada perasaan seperti
kecemasan.
Permasalahan kecemasan yang dialam
oleh atlet bermacam-macam seperti
permasalahan yang ditimbulkan dari factor
eksternal, yaitu permalahan yang berasal dari
luar diri atlet, misalnya adanya lawan, wasit,
penonton, dan lingkungan. Adapun
permasalahan yang timbul karena factor internal,
yaitu permasalahan yang berasal dari dalam diri
atlet itu sendiri, misalnya permasalahan emosi,
motivasi, intelegensi, kecemasan yang
terhadap prestasi atlet, namun dalam
kesempatan ini peneliti hanya akan
mengambil salah satu permasalahan yang
ditimbulkan dari factor internal yaitu
kecemasan.
Kecemasan ini akan menyertai di
setiap kehidupan manusia terutama bila
dihadapkan padahal hal yang baru maupun
adanya sebuah konflik. Sebenarnya
kecemasan merupakan suatu kondisi yang
pernah dialami oleh hampir semua orang,
hanya tarafnya saja yang berbeda-beda.
Menurut Chaplin (Ghazalba,2009),
kecemasan merupakan perasaan campuran
berisikan ketakutan dan berisi keprihatinan
mengenai masa yang akan datang tanpa
sebab khusus untuk ketakutan tersebut.
Dari pernyataan di atas, kecemasan
dapat diartikan sebagai suatu reaksi emosi
seseorang. Kecemasan dapat didefinisikan
sebagai manifestasi dari berbagai proses
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 47
tinggi,stres yang berlebihan. Semua
permasalahan itu tentu akan berpengaruh
ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan
dan pertentangan. Hal ini muncul karena
beberapa situasi yang mengancam diri manusia
sebagai mahluk sosial. Ancaman ini berasal dari
adanya konflik,kegagalan,dan adanya tekanan
yang melebihi kemampuan (Ghazalba,2009).
Menurut Weekes (Ghazalba, 2009) secara
emosional seseorang yang mengalami keletihan
dalam menghadapi konflik akan merasakan
ketakutan dan akhirnya menjadi apatis, tidak
begitu menaruh minat terhadap sekelilingnya atau
bahkan berpengaruh terhadap kondisi fisiknya.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis
berharap dengan adanya penelitian ini, seorang
atlet bola basket yang mengalami dampak
kecemasan mampu untuk menanggulangi rasa
kecemasannya sendiri sebelum pertandingan,
sehingga atlet bola basket dapat memberikan
kontribusi secara maksimal saat diturunkan
dilapangan oleh pelatih dalam pertandingan bol
basket. Berangkat dari latar belakang masalah
tersebut, maka peneliti ingin meneliti Dampak
Kecemasan Pada Atlet Bola Basket Sebelum
Bertanding (Studi Kasus di Klub Bima Sakti
Malang).
Rumusan Masalah
Bagaimana dampak kecemasan padaatlet bola
basket sebelum bertanding ?
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak
kecemasan pada atlet bola basket sebelum
bertanding.
emosi yang bercampur baur yang terjadi
Kajian Pustaka
A. Pengertian kecemasan (Anxiety)
Singer (Gunarsa, 1996)
mendefinisikan kecemasan adalah reaksi dari
rasa takut terhadap atau didalam suatu situasi.
Secara lebih jelas Singe mengatakan bahwa
kecemasan menunjukkan suatu kecederungan
untuk mempersepsikan suatu situasi sebagai
ancaman atau stressful (situasi yang
menekan). Sementara Kroll (Satiadarma,
2000) mengatakan bahwa dimana kecemasan
dianggap sebagai akibat dari stress yang
sanggup untuk mempengaruhi tingkah laku.
Evans (Gunarsa,1996) mendefinisikan
kecemasan sebagai suatu keadaan stress tanpa
penyebab yang jelas dan hamper selalu
disertai gangguan pada susunan saraf otonom
dan gangguan pada pencernaan. Kecemasan
merupakan perasaan khawatir tentang
ketakutan atau adanya persepsi tentang
sesuatuhal yang mengancam.
Menurut Pahlevi (Firmansyah, 2007),
berpendapat bahwa kecemasan merupakan
suatu kecenderungan untuk mempersepsikan
situasi sebagai ancaman dan akan
mempengaruhi tingkah laku. Kecemasan
sebagai suatu keadaan emosional yang
dialami oleh seseorang, dimana ia merasa
tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan
keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak
menyenangkan serta mengakibatkan
perubahan-perubahan pada tubuhnya baik
secara somatic maupun psikologis.
Straub (Husdarta,2010) menyatakan
bahwa kecemasan adalah reaksi situasional
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 48
terhadap berbagai rangsang stress atau
ketegangan. Apabila ketegangan-ketegangan
yang dimiliki atlet berlebihan, dan melebihi batas
normal atlet akan mengalami kecemasan.
Greist (Gunarsa,1996) secara lebih jelas
merumuskan kecemasan sebagai suatu
ketegangan mental yang biasanya disertai
dengan gangguan tubuh yang menyebabkan
individu yang bersangkutan merasa tidak berdaya
dan mengalami kelelahan karena senantiasa
harus berada dalam keadaan waspada terhadap
ancaman bahaya yang tidak jelas.
B. Sumber-Sumber Yang Menimbulkan
Kecemasan.
Sumber kecemasan bermacam-macam, seperti
tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak atau
belum dapat dipenuhi oleh individu yang
bersangkutan, standar prestasi individu yang
terlalu tinggi dengan kemampuan yang
dimilikinya, seperti misalnya kecenderungan
perfeksionis, perasaan rendah diri pada indivudu
yang bersangkutan, kekurangsiapan individu
sendiri untuk menghadapi situasi yang ada,pola
fakir dan persepsi negative terhadap situasi yang
ada ataupun terhadap diri sendiri
(Firmansyah,2007).
Gunarsa (Firmansyah, 2007)
mengatakan bahwa terdapat sumber-sumber
yang menimbulkan kecemasan, yaitu:
a.Sumber kecemasan dari dalam,mempunyai
arti bahwa penyebab kecemasan berasal
dari diri atlet itu sendiri, yakni:
1) Seseorang atlet menghadapi lawan
yang ulet dan cermat, sehingga
lawan itu mampu mengantisipasi
setiap serangan yang ia lakukan.
Akibatnya atlet tersebut akan merasa
terdesak dan selanjutnya tidak mampu
lagi menguasai situasi yang sedang
dihadapinya.
2) Perasaan – perasaan yang
memberikan beban mental pada
diri atlet itu sendiri, misalnya; atlet
merasa bermain bagus sekali.
Demikian pula pada perasaan
sebaliknya, yang seakan-akan dia
telah menjatuhkan vonis pada diri
sendiri bahwa dia tidak akan
mencapai sukses.
3) Dicemooh atau dimarahi akan
menimbulkan reaksi pada diri atlet.
Reaksi tersebut akan tetap
bertahan, sehingga menjadi
sesuatu yang menekan dan
menimbulkan frustasi yang
mengganggu pelaksanaan tugas.
4) Bila dalam diri atlet ada pikiran atau
rasa puas diri, maka dia telah
menanamkan benih-benih stress pada
diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh
diri sendiri untuk mewujudkan sesuatu
yang mungkin berada diluar
kemampuannya. Bila demikian
keadaannya, maka sebenarnya atlet itu
telah menerima tekanan yang tidak
disadari (Firmansyah,2007).
b. Sumber-sumber dari luar, diartikan
sebagai kecemasan dari luar diri atlet.
Adapun beberapa factor yang
menimbulkan kecemasan adalah
sebagai berikut:
1) Rangsangan yang membingungkan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 49
Salah satu bentuk rangsang yang
membingungkan adalah komentar
anggota pengurus atau pelatih yang
merasa berkompeten untuk melakukan
koreksi,strategi atau teknik yang harus
diterapkan serta petunjuk lain pada
atlet. Menerima beberapa petunjuk
dan perintah sekaligus akan
membingungkan atlet.
2) Pengaruh massa penonton, terlebih yang
masih asing, dapat mempengaruhi
kestabilan mental atlet. Penonton juga
memainkan peranan yang sangat berarti
dalam suasana pertandingan. Pengaruh
mereka terhadap atlet bias dalam bentuk
negative seperti; tindakan agresif
berupa cemoohan terhadap atlet itu
sendiri, disamping pengaruh yang
merugikan, ada pula pengaruh yang
dapat membangkitkan semangat atau
rasa percaya diri, sehingga dalam situasi
yang kritis atlet merasa masih ada yang
mendukungnya dan selanjutnya secara
berangsur-angsur ia mampu menguasai
keadaan kembali dan melanjutkan
penampilan yang lebih baik.
3) Saingan yang bukan tandingannya
apabila atlet mengetahui lawan yang
akan dihadapi adalah atlet peringkat
diatasnya atau lebih unggul dari pada
dirinya, maka dalam hati kecil atlet
tersebut telah timbul pengakuannya
akan ketidak mampuannya untuk
menang. Situasi tersebut akan
menyebabkan berkurangnya
kepercayaan pada diri sendiri. Setiap
kali berbuat kesalahan, ia makin
menyalahkan diri sendiri.
4) Kehadiran atau ketidak hadiran pelatih
Pelatih tidak hadir pada saat
pertandingan berlangsung sehingga
membuat atlet kurang mendapat
petunjuk, motivasi dari pelatihnya.
Karena mungkin bagi atlet tersebut,
pelatihnya bias dipercaya dalam
memberikan arahan-arahan yangbaik
untuk memenangi pertandingan.
Namun bias juga atlet tersebut merasa
tertekan karena tuntutan pelatih yang
terlalu tinggi, sehingga atlet kurang
konsentrasi dalam pertandingan
(Firmansyah,2007).
MenurutCratty(Husdarta,2010)hubungan
antarakecemasandenganpertandingan:
a) Pada umumnya kecemasan
meningkat sebelum pertandingan
yang disebabkan oleh bayangan
akan beratnya tugas dan
pertandingan yang akan datang.
b) Selama pertandingan berlangsung,
tingkat kecemasan mulai menurun
karena sudah mulai adaptasi.
c) Mendekati akhir pertandingan,
tingkat kecemasan mulai naik
lagi,terutama apabila skor
pertandingan sama atau hanya
berbeda sedikit.
kewajaran, dan lain-lain.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 50
C. Gejala-gejala kecemasan
Menurut Gunarsa (2004), gejala-gejala
kecemasan dapat dibedakan atas:
a) Gejala Fisik
1) Adanya perubahan yang dramatis
pada tingkah laku, gelisah atau tidak
tenang dan sulit tidur.
2) Terjadi peregangan pada otot-otot
pundak,leher,perut.
3) Terjadiperubahaniramapernapasan.
4) Terjadi kontraksi otot setempat; pada
dagu,sekitar mata dan rahang.
b) Gejala Psikis
1) Gangguanpadaperhatiandankonsent
rasi.
2) Perubahan emosi
3) Menurunnya rasa percaya diri
4) Timbul Obsesi
5) Tidak ada motivasi
Gunarsa (Firmansyah,2007) juga
menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami
kecemasan cenderung untuk terus menerus
merasa khawatir akan keadaan yang buruk, yang
akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang
dikenalnya dengan baik. Biasanya seseorang
yang mengalami kecemasan cenderung tidak
sabar, mudah tersinggung, sering mengeluh,
sulit konsentrasi, dan mudah terganggu tidurnya
atau mengalami kesulitan untuk tidur. Penderita
kecemasan mengalami gejala-gejala seperti;
berkeringat berlebihan (walaupun udara tidak
panas dan bukan setelah berolahraga), jantung
berdegup ekstra cepat atau telalu keras, dingin
pada tangan atau kaki, mengalami gangguan
pencernaan,merasa mulut kering, tampak
pucat,sering buang air kecil melebihi batas
D. Kecemasan Pada Atlet Saat Menghadapi
Pertandingan
Kecemasan saat atlet akan
menghadapi pertandingan, terlihat bahwa
atlet akan mengalami puncak ketegangan
beberapa jam sebelum pertandingan. Pada saat
memasuki menit-menit akhir menjelang
pertandingan sampai dengan dimulainya
pertandingan, ketegangan akan menurun atau
hilang sama sekali .Akan tetapi, menurut
Gunarsa, Satiadarma, dan Soekasah (1996),
dalam pertandingan yang berlangsung
lama,tingkat kecemasan biasanya makin lama
makin naik. Mendekati akhir pertandingan,
tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi
terutama bilas kor pertandingan berimbang.
E. Dampak Kecemasan TerhadapPenampilan Atlet
Menurut Fauziah dan Widury
(Videman2007), kecemasan pada kadar yang
rendah membantu individu untuk bersiaga
mengambil langkah-langkah mencegah bahaya
atau memperkecil dampak bahaya tersebut.
Kecemasan sampai pada taraf tertentu dapat
mendorong meningkatnya performa.
Misalnya,cemas mendapat Indeks Prestasi (IP)
buruk membuat seorang mahasiswa belajar
keras dan mempersiapkan diri menghadapi
ujian. Kecemasan semacam ini disebut sebagai
facilitating anxiety. Namun, apabila kecemasan
sangat besar, justru akan sangat mengganggu.
Misalnya kecemasan berlebihan akan ujian
skripsi justru akan membuat mahasiswa
mengalami blocking an tidak bisamenjawab
pertanyaan ujian. Hal ini disebut sebagai
sebenarnya berpotensi sangat baik untuk dapat
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 51
debilitating anxiety.
Menurut Greist, Jefferson dan
Marks(Videman,2007), kecemasan sampai pada
batas tertentu merupakan hal yang normal dan
berfungsi sebagai alarm yang memberikan
sinyal- sinyal (tanda-tanda) bahaya sehingga
orang yang mengalaminya menjadi lebih siap
menghadapi keadaan yang akan muncul.
Gunarsa (Videman,2007) dalam bukunya
yang berjudul Psikologi Olahraga Prestasi
mengatakan bahwa dampak kecemasan dan
ketegangan terhadap penampilan atlet akan
secara bertingkat berakibat negatif. Apabila
tingkat kecemasan tinggi akan mempengaruhi
peregangan otot-otot yang berpengaruh pula
terhadap kemampuan teknisnya, penampilan pun
akan terpengaruh (tentunya lebih buruk) dengan
akibat permainan atau penampilan menjadi lebih
buruk. Selanjutnya, alam pikiran semakin
terganggu dan muncul berbagai pikiran
negatif,misalnya ketakutan akan kalah dan
kembali muncul kecemasan baru.
Gunarsa (Videman, 2007) mengatakan
bahwa jika seorang atlet pada dasarnya
memiliki trai tanxiety yang tinggi, maka
kecemasan yang ia miliki akan selalu berlebihan
dan mendominasi aspek psikisnya. Hal ini
merupakan kendala yang serius bagi atlet
tersebut untuk dapat berpenampilan baik.Secara
teoretis, seorang atlet yang didominasi oleh trait
anxiety dapat mengubah gambaran
kepribadiannya tersebut melalui berbagai
pengalaman positif tertentu, seperti meraih
sukses terus menerus. Namun, pada
kenyataannya, hal tersebut tidak mudah terjadi.
Sehingga tidak mustahil, seorang atlet yang
berprestasi atau meraih gelar juara, akhirnya
gagal akibat sifatnya yang sangat pencemas
dan mudah tegang. Atlet tersebut bahkan
mungkin sekali mengundurkan diri sebelum
tampil maksimal karena tidak dapat menguasai
kecemasannya. Oleh karena itu, penting sekali
untuk mengetahui apakah seorang calon atlet,
atlet junior, atau bahkan atlet elite memiliki trait
anxiety yang tinggi.
F. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir penelitian pada
dasarnya adalah dampak dari kecemasan atlet
bola basket sebelum melakukan sebuah
pertandingan, yang ingin diamati dan diteliti
oleh peneliti berdasarkan dengan teori-teori
yang ada khususnya dampak kecemasan pada
atlet bolabasket sebelum pertandingan.
Dalam kerangka berpikir penelitian
diatas, peneliti akan melakukan penelitian
mengenai bagaimana dampak kecemasan
pada atlet bola basket sebelum bertanding.
Kecemasan pada atlet bola basket tersebut
akan menguji kemampuan seorang atlet
basket pada saat sebelum bertanding,
biasanya kondisi psikologis atlet akan
berubah, hal ini disebabkan oleh situasi dan
kondisi yang akan di hadapi, dari kondisi
tersebut muncul reaksi- reaksi yang
menimbulkan dampak kecemasan seorang
atlet bola basket tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan memakai bentuk
studi kasus (case study). Penentuan subjek
dilakukan dengan cara menggunakan teknik
emosi, timbul obsesi, dan tiada
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 52
Extreme Sampling. Subjek terdiri dari tiga atlet
bola basket yang memiliki kecemasan tinggi dari
lima belas atlet bola basket di klub Bola Basket
Bima Sakti Malang. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara semi terstruktur,
observasi non-partisipan, dan dokumentasi.
Teknik analisa data deskriptif dengan
menggunakan coding.
Pengujian Validitas dan Reabilitas
Validitas dalam penelitian ini yang sesuai
dengan hasil penelitian yaitu, Rhizomatic validity
yang merupakan validitas yang mencoba untuk
member gambaran bahwa tidak ada peristiwa
yang terjadi secara linear, namun dengan
perhatian yang tinggi, setiap peristiwa itu dapat
dipahami dan diungkap banyak cerita sebagai
kebenaran yang sahih.
Reliabilitas data dalam penelitian
iniadalah synchronic reability yang merupakan
kepercayaan karena kesesuaian. Kirk dan Miller
(Moleong,2007), reliabilitas synchronic reability
ini mengacu pada kesesuaian data atau informasi
pada setiap kegiatan pengumpulan data, dalam
mengamati perilaku manusia seringkali didapati
adanya persamaan sikap, motif dan perilaku.
Hasil Penelitian
Hasil kecemasan darivketiga subjek
tidaklah selalu sama, karena adavfaktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya sumber
kecemasan, dari sumber kecemasan ini tentu saja
sangatlah berpengaruh terhadap timbulnya gejala
psikis kecemasan pada atlet tersebut, adapun
gejala psikis kecemasan yang dialami ketiga atlet
yaitu : Gejala psikis
1. Gejala psikis SC adalah gangguan
pehatian dankonsentrasi, perubahan
motivasi.
2. Gejala psikis MI adalah gangguan
pehatian dan konsentrasi,
menurunnya rasa percaya
diri,timbul obsesi,dan tiada
motivasi.
3. Gejala psikis HG adalah gangguan
pehatian dan konsentrasi,
perubahan emosi, timbul obsesi,
dan tiada motivasi.
Gejala-gejala psikis kecemasan yang
dialami oleh atlet mempunyai pengaruh
terhadap timbulnya gejala yang dapat diamati
atau disebut juga dengan gejala fisik dari
kecemasan. Adapun gejala fisik yang dialami
dari ketiga atlet tersebut, yaitu : Gejala fisik
1. Gejala fisik yang dialami SC adalah
nafas lebih cepat, keringat
berlebihan, dingin pada tangan
dan muka tampak pucat.
2. Gejala fisik yang dialami MI adalah
gelisah atau tidak tenang, nafas
lebih cepat, keringat berlebihan,
dingin pada tangan, muka tampak
pucat dan seringbuangairkecil.
3. Gejala fisik yang dialami HG
adalah nafas lebih cepat, keringat
berlebihan, dingin pada tangan
dan sering buang air kecil.
Pembahasan
Faktor utama yang menyebabkan atlet
mengalami kecemasan sebelum bertanding
adalah adanya gangguan perhatian dan
konsentrasi yang kemudian member pengaruh
Saran
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 53
pada gejala psikislainnya. Gejala-gejala kecemasan
fisik timbul karena atlet mengalami gejala
kecemasan psikis yang menimbulkan dampak
kecemasan sebelum bertanding. Dampak
kecemasan yang dialami atlet berasal dari luar atlet
seperti kebingungannya atlet dalam memahami
strategi pelatih, merasa tidak sesuainya strategi
dengan karakter permainan atlet, gangguan
konsentrasi yang disebabkan permasalahan
keluarga, adanya pengaruh penonton dan merasa
lawan tanding memiliki kemampuan lebih baik.
Sedangkan dampak kecemasan yang
dialamiatletberasaldari dalam diri atlet sendiri,
seperti menimbulkan keyakinan dalam menghadapi
pertandingan, situasi ini tentu saja dapat membuat
atlet merasa optimis, sehingga atlet dapat
mengontrol kecemasan sebelum bertanding.
Pengalaman akan kegagalan yang pernah dialami
atlet sendiri juga bisa menimbulkan motivasi untuk
tidak mengulangi kegagalan tersebut.
Dari ketiga atlet bola basket diatas sumber
kecemasan dan gejala-gejala kecemasan
membuktikan adanya hubungan timbale balik psikis
serta fisik, bila aspek psikis terganggu maka fungsi
fisik juga ikut terganggu dan menimbulkan dampak
kecemasan,yang pada gilirannya akan mengganggu
keterampilan motorik pada atlet saat dilapangan.
Satu hal penting yang banyak dilupakan bahwa
kecemasan tidak selamanya negatif, kecemasan
merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk
mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, dengan
kemampuan mengontrol rasa cemas pada tiga atlet
bola basket tersebut sebelum bertanding, maka hasil
yang diharapkan bias tercapai.
Bagi subjek, melalui penelitian ini
bisa lebih memahami mengenai dampak
kecemasan yang dialaminya, memahami apa
yang harus dilakukan jika mengalami
kecemasan dan mampu mengontrol kecemasan
untuk merubah menjadi hal yang positif. Bagi
para pembina, pelatih, atlit bola basket agar
memperhatikan kondisi psikologis atlit
khususnya kecemasan dalam pelaksanaan
program latihan maupun pertandingan. Dalam
upaya meminimalisir dampak kecemasan atlit
bola basket sebelum bertanding, sebaiknya
diberikan intervensi yang dapat mengurangi
kecemasan atlit sebelum bertanding.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 54
DaftarPustaka
Firmansyah, M. A. 2007. Kecemasan Atlet Renang Dalam Menghadapi Pertandingan.Skripsi.UniversitasGunadarma.
Ghazalba, F. A. 2009. Pengaruh Pelatihan Relaksasi Terhadap Kecemasan Pada AtletKarate.Skripsi.UniversitasMuhamadiyahSurakarta.
Gunarsa,D.S.1996.PsikologiOlahraga.Jakarta:GunungMulia
Gunarsa,S.D.,Satiadarma,M.P.danSoekasah,M.H.R.(1996):PsikologiOlahraga:TeoridanPraktik.Jakarta:BPKGunungMulia.
Gunarsa,D.S.2004.PsikologiOlahragaPrestasi.Jakarta:PTBPKGunungMulia
Husdarta,H.J.S.2010.PsikologiOlahraga.Bandung:ALFABETA
Moleong,L.J.2007.MetodePenelitianKualitatif.Bandung:PT.RemajaRosdakarya
Satiadarma,M.P.(2000).Dasar-dasarPsikologiOlahraga.Jakarta:PustakaSinarHarapan. Videman, H.
2007. Kecemasan Atlet Sepakbola Tim Persija Junior. Skripsi. FakultasPsikologi.UniversitasIndonesia.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 55
EFEKTIFITAS KEMIMPINAN LEMBAGA SWADAYA
MASYARAKAT DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA PRESTASI
(STUDY KASUS DI PADEPOKAN ANGKAT BESI DAN
ANGKAT BERAT GAJAH LAMPUNG)
Yudha Ranto HB, M.PdUniversitas Lampung
ABSTRAK
Permasalahan utama adalah efektivitas kemepimpinan lembaga swadaya masyarakat
dalam pembinaan olahraga prestasi pada angkat besi dan angkat berat, dengan
memperhitungkan konteks lingkungan sosial-budaya dan terhadap pembinaan prestasi
olahraga yang berkaitan dengan penghargaan dan bantuan.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah
menggunakan pendekatan kualitatif disusul dengan pendekatan kuantitatif. Data kualitatif
diperoleh melalui wawancara,observasi,dokumentasi dang angket, sedangkan data kuantitatif
melalui tes dan pengukuran serta angket.
Kesimpulan didapat: model menejemen, gaya kepemimpinan pelatih, dan lingkungan
sosial budaya dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pembinaan.Kebijakan pemerintah
dapat mendorong keberlangsungan pembinaan. Hasil data kuantitatif secara umum pada atlet
putra menunjukkan bahwa faktor fisiologis berupa kekuatan tarikan lengan dan daya ledak
terdapat hubungan dan pengaruh terhadap prestasi angkatan.
A. Latar belakang penelitian
Mengacu pada karakteristikolahraga medern
yang diketengahkan oleh beberapa ahli,antara
lain Guttmann (1978, 1988 : dalam Coackley
dan Dunning (ed), 2006:205) memaparkan
bahwa karakteristik olah raga bahwa modern
meliputi struktur formal, seperti sekulerisme,
persamaan hak, resionalisasi, spesifikasi,
birokratisasi, kuantifikasi dan perjuangan
untuk mengejar rekor. Sekulerisme, seperti
pernyataan seperti peningkatan pendidikan
dan status ekonomi. Resionalisasi,
Coackley dan Dunning (ed.) (2006 :253)
beart (2006 :253) bearti meniadakan
pengaruh kekui meniadakan pengaruh
kekuataan illahi di balik yang riil, hanya
menekan upaya manusia. Persamaan hak
atau equality bearti membuka kesempatan
bagi semua orang tanpa pandang bulu
masalah asal-usul, suku bangsa, ras, atau
status sosial dan gender sehingga terbuka
peluang bagi semua oranguntuk melakukan
perubahan mobilitas sosial ke arah vertikal,
Lebih lanjut,karakteristik olahraga
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 56
maksudnya adalah bahwa olah raga
terorganisasi dan terlembaga, yang tersusun
dalam aneka bentuk lengkap dengan
peraturan, misalnya alat yang digunakan dan
ketentuan permainan serta sanksi bagi
pelaku, agar ketetapan tersebut dilaksanakan,
yang diawasi oleh organisasi yang
bersangkutan.
Terkait dengan karakteristik struktur
formal organisasi olahraga, birokratisasi
merupakan ciri penting olahraga
modern,seperti terlihat oleh International
Olympic Commite(IOC,), komite olahraga
indonesia(KOI) atau federsi olahraga
international misalnya FIFA yang dilengkapi
dengan stafedersi olahraga international
misalnya FIFA yang dilengkapi dengan
statuta, struktur organisasi dan
kewenanangan yang ketat untuk mengontrol
atau menjatuhkan sanksi bagi organisasi di
bawahnya seperti kasus PSSI akhir-akhir ini.
Sementara itu spesifikasi dalam olahraga
terwujud berupa kekhasan cabang olahraga,
dan bahkan nomor-nomor yang
dipertandingan atau diperlombakan.
Selanjutnya kuantifikasi merupakan satu ciri
yang sangat menonjoldalam bentuk prestasi
dan performa serta teramati dan terukur
secara numerik seperti terkandung dalam
istilah ”Massen” dalam bahasa jerman atau
“measure” dalam bahasa inggris ( Guttman,
2004.
kekuatan Cina sebagai kekuatan baru dalam
olahraga internasional (misalnya dalam
modern, tak terkecuali cabang angkat besi
atau berat misalnya kian kompleks. Selain
bersifat mendunia atau global karena
pengaruh “revolusi dalam transportasi dan
teknologi komunikasi” (Guttman, 1977;
dalam Coackley dan Dunning, (ed),
2006:251), motif partisipasi individu dan
kelompok masyarakat dalam olahraga juga
berubah, seperti motif nasionalisme yang
diungkapkan oleh Allison (1986; dalam
coackley dan dunning, (ed), 2006;352) dalam
beberapa kasus, seperti seperti kekuatan Uni
Soviet dalam olahraga sebelum runtuh, kasus
kanada dengan kebijakan pembangunan
olahraga untuk persatuan nasional, atau
Brasil dengan keberhasilannya sepakbolanya,
atau Cuba dengan prestasi tinju
amatirnyayang menunjukkan tendeksi untuk
mengaitkan identitas nasionaldengan tim dan
prestasinya.
Meskipun tidak ada standar umum
tentang bagaimana hubungan antara olahraga
dan nasionalisme itu,tetapi secara emperik
dan tak terbantahkan, misalnya dalam
konteks PON atau Kajurnas, prestsi suatu
daerah diinterprestasikan oleh kelompok
setempat sebagai keberhasilanya yang
menjadi prestasi daerah, dan bahkan secara
politis diakui sebagai keberhasilan
pemerintah daerah. Dalam konteks lebih luas
keberhasilan Cina dalam Olympiade Beijing
2008 dapat dipandang sebagai metamorfosis
interprestasi asal usul olahraga moderen, atau
“ achievement sport “, yakni cabang –
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 57
Lutan, 2010: 2494) atau indonesia sendiri
dalam bungus visi olahraga sebagai alat bagi
“national and character building” , olahraga
merupakan bagian dari platform politik
semasa pemerintahan Bung Karno tahun
1960-an (Lutan, 2003:83).
Semakin kompeks karakteristik
olahraga modern bila disimak dari kutipan
dari tulisan Coackley (1998, dalam Maguire ,
et, al, 2002 :121) dibawah ini. “sport have
never been so pervasive and influential in
the lives of people is they are in many
socities today, and never before have
physical activitas and games been personal
so closely linked to profit making, charater
buiiding, patriotism, and personal health.
Organised sports in the united States have
become a combination of business,
entertainment, education of identity, and
endorsements of allegiance to countries and
corporate sponsor.
Kutipan diatas menggambarkan
“watak” olahraga sebagai sebuah
konglomerasi sifat, dan kemudian
penjabarannya, bergantung pada pembuat
kebijakan dan pelakunya, kearah mana
pemenuhan kebutuhan individu dan
masyarakat luas yang dirasakan mendesak.
Dalam kaitannya dengan karakteristik
olahraga moderen tersebut, filosof olahraga
hans lenk cenderung menyarankan
dan rasa aman ), (6) fasilitas latihan, (7)
pengadaan dan pengembangan pelatih, (8)
kompetisi nasional, (9) riset atau iptekor, dan
cabang olahraga yang prestasinya
menjangkau jauh dibalik yang dicapai kini
dan selanjutnya” measured comparisonand
are closey conected to the scientific
experimental atittudes of modern west “ (
lenk, 1972; dalam coakley dan dunning, ( ed
), 2006: 256 ).
Salah satu ciri atau karakteristik
olahraga moderen adalah pengejaran dan
penciptaan rekor dengan perbandingan antar
atlet dan atar waktu menyebabkan upaya
tersebut seolah tanpa henti dan tanpa limit,
bergerak maju daloam sebuah pencarian.
Bergerak maju dalam sebuah pencarian.
Kkarakteristik ini rupanya sangat cocok
dengan “ theory of progres “ yang diutarakan
oleh ullmann, 1971; dalam coakley dan
dunning, ( ed ): 2006: 250 ). Bila tercipta
sebuah rekor olahraga, berikut terkandung
sebuah potensi, yaitu munculnya recor baru.
Untuk mencapai hasil pembinaan yang
maksimal dari suatu performa seorang atlet
diperlukan adanya sistem pembinaan
olahraga secara nasional yang meliputi
sepuluh pilar kebmijakan, antara lain (1)
dukungan dana ( finansial ), (2) lembaga
olahraga terdiri dari struktur dan isi
kebijakan olahraga terpadu, (3) pemasalan (
landasan dan partisipasi ), (4) pembinaan
prestasi ( promosi dan identifikasi bakat), (5)
elip atau prestasi top ( sistem pengahargaan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 58
(10) lingkungan, media dan sponsor ( lutan,
2011 dan mutokhir, tohocholik 2009 ).
Pembinaan dipusat pelatihan (
padepokan ) angat besi dan angkat berat
lampung telah memberikan kontribusi yang
sangat berarti bagi pembangunan dan
kemajuan olahraga indonesia, hal ini
dibuktikan dengan perolehan prestasi dari
para lifter cabang olahrag tersebut pada
berbagai kejuruan baik pada tingkat asia
tenggara seperti sea games, kejuaraan asia
dan dunia. Catatan prestasi yang pernah
diraih oleh atlet para atlet padepokan gajah
lampung sepanjang dasawarsa terakhir ( 1999
– 2009 ). Catatan prestasi para lifter
padepokan gajah lampung, ditampilkan
grafik berikut :
Gambar1. Perolehan medali para liferpadepokan gajah lampung dalam
priode 1999 – 2009
Untuk melihat perbandingan perolehan
medali pada setiap kejuaraan atau event pada
setiap tingkatan, seperti asean, asia, dunia
maupun kejuaraan international lainnya
diliha pada Gambar berikut :
luar(eksogen ) yang selalu mempengaruhi
Gambar 2. Perbandingan perolehan medali
lifer padepokan gajah lampung pada
setiap kejuaraan selama 1999-2009
Dari kedua grafik terseut menunjukan
bahwa lifer cabang olahraga angakat besi dan
angakat berat lampung telah memberi andil
yang sangat besar terhadap nama baik negara
bangsa indonesia di kancah internasional.
Demikian pula dalam keikut sertaannya di
pekan olahraga nasional (PON ), Kontagen
lampung yang sebagian besar adalah atlet
yang dibina di padepokan gajah lampung
selalu mendominasikan perolehan medali,
sehingga telah menjadikan prestasi lampung
sebagai pusat pembinaan ca bang olahraga
angkat besi dan angkat berat nasional.
Pencapaiannya prestasi itu tentu saja tidak
datang sendirinya tetapi melalui perjuangan
dan kerja keras yang dilakukan oleh pelatih
peserta atlet yang didukung pula oleh
berbagai faktor, baik dari dalam
dirinya(endogen ) maupun faktor dari
dibandingkan dengan cabang olahraga
3919 18258 21 1 4
0
50
Asia Dunia
Emas
Perak
Perunggu
24
15
0
13
30
16
1 1
15
10
1
6 5
1 2 13
0
5
10
15
20
25
30
Emas
Perak
PerungguEmas
Perak
Perunggu
Emas
Perak
Perunggu
Putra
Putri
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 59
keberhasilan dalam pencapaian prestasi,
seperti dikemukakan oleh Rusli Lutan
(2005:13 )bahwa yang dimaksud dengan
faktor endogen ialah atribut atau ciri – ciri
yang melekat pada aspek fisik dan psikis
seseorang seperti aspek fisik ( kekuatan,
kecepatan, kelentukan, koordinasi dan daya
ledak ( explosive power ), ditambah pula oleh
aspek psikis, yakni motivasi atau keinginan
untuk meraih kemenangan (need
achievement ) di bawah tekanan (stress) atau
toleransi , pembebanan, dan eksternal
(eksogen) yakni faktor – faktor diluar
individu, dan bisa dipersepsikan sebagai
lingkungan yang lebih umum pengertiannya
seperti lingkungan fisikal – geografis,
ekonomi, sosial dan budaya, bahkan tradisi
kegiatan yang telah melekat di suatu
lingkungan masyarakat tertentu, serta
orientasi dan kemampuan ekonomi keluarga.
Oleh karena itu, pembinaan yang
dilakukan di Padepokan angkat besi dan
angkat berat lampung gajah Lmapung Cukup
menarik dabn fenomenal. Menarik, karena ca
bang ini telah banyak menorehkan prestasi
segitu banyak dan membanggakan seperti
ditampilkan pada gambar 1 dan gambar 2
diatas. Dikatakan fenomenal, karena cabang
ini hampir setiap ikut selalu memperoleh
penghargaan atau juara. Artinya, para atlet
yang dbina di Padepokan tersebut selalu
berprestasi dan konsisten, namum
kepopulerannya sangat kuarang bila
hidupnya, Hal ini tentu saja sanfat
lainnya terutama cabang olahraga permainan.
Selain faktor yang disebutkan, masih
banyak faktor yang mempengaruhi
pencapaian prestasi seorang atlet, antara lain
adalah sosial, struktur tubuh ( fisik ),
fisiologis dan psikologis, seperti yang
dikemukakan Cratty (1967) dalam carron, A
(1980:4-5 ) Bahwa As Having An Influence
Upon Individual Performance: Physiological,
Social, Body Structure And Psychological”.
Herimarto dan Winarno, (2010:53) Bahwa
interaksi sosial didasarkan atas berbagai
faktor , antara lain faktor imitasi, s ugesti,
identifikasi, simpati, motivasi, dan empati.
Salah satu faktor yang menarik untuk
dibahas dari pencapaian prestasi yang telah
diukir oleh para lifer angakat besi dan
angakat berat di Padepokan Gajah Lampung
adalah identifikasi. Identifikasi adalah upaya
yang dilakukan individu untuk menjadi sama
(identik ) dengan individu yang ditirunya.
Prestasi yang dicapai tersebut di atas
bukan hanya atlet yang relatif usia mmuda
saja tetapi juga yang telah berrumah tangga
bahkan ada yang berusia diatas 30 tahun.
Begitu pula faktor fisik, ternyata tidak
semuua atlet di Padepokan Gajah Lampung
memiliki tinggi badan yang relatif sama.
Demikian pula para atlet remaja yang
berdomisili disekitar Padepokan, mereka
selalu berusaha untuk meniru ( identifikasi )
dirinya dengan atlet yang sudah berhasil,
terutama keinginan untuk merubah taraf
iklim latihan, sosial, asal usul, dan gizi.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 60
mendukung upaya pembinaan berkelanjutan,
karena tidak perlu melakukan upaya untuk
menjaring calon atlet secara khusus, tetapi
dengan banyaknya atlet yang berminat maka
peluang pembinaan atlet usia muda cukup
terbuka. Sehingga apa yang dianjurkan dari
Depdiknas (2004:xiv) mengenai “
Pembangunan olahraga Indonesia hakikatnya
adalah suatu proses yang membuat manusia
memiliki banyak akses untuk melakukan
aktifitas fisik”. Makin banyaknya akses atau
kesempatan yang sangat luas pada
masyarakat maka terbuka pula peluang
banyak orang untuk ikut terlibat dalam ca
bang olahraga yang bersangkutan.
Karena itu, keberhasilan seorang lifer
angkat besi dan berat, sesungguhnya
ditentukan oleh bebrmacam – macam faktor
yang saling mempengaruhi secara kompleks
dan melibatkan berbagai disiplin ilmu.
Seperti : usia, jenis kelamin, daya ledak,
kelentukan dan lingkungan sosial
mempengaruhi penampilan ( performance)
atlet telah dikemukakan pula oleh Bompa (
1990), Stillwell dan Willgoose ( 1997:38),
bahkan menyangkut kinerja fisik Barger
(1982;242) membaginya dalam dua kekuatan
otot, yaitu tinggi dan renah. Adapun faktor
internal, dapat dipersepsikan sebagai
kemampuan fisik, penguasaan tehnik, dan
taktik serta mental (Harsono, 1988 dan
Bom.pa, 1990 ). Sedangkan faktor yang
datang dari luar ( eksternal ) adalah, pelatih,
3. Terkait dengan keberadaan LSM
Disamping itu masih terdapat pula faktor
yang mempengaruhi pencapaian prestasi,
seperti sarana dan prasarana yang memadai,
dana, dan kebijakan.
Dari uraian tersebut, nampak sekalo
bahwa beragam faktor dapat mempengaruhi
keberhasilan seorang atlet untuk mencapai
prestasi, khususnya pada cabang angkat besi
dan angkat berat. Faktor lain yang dianggap
sangat besar pengaruhnya terhadapa atlet
pada cabang tersebut adalah fisik . Dengan
fisik yang besar dan otot - otot yang nampak
kelihatan besar serta babdan yang pendek
maupun tinggi bukan jaminan pula bisa
mengangkat barbel secara maksimal dengan
mudah. Begitu pula dengan faktor fisiologis
yang dicerminkan dengan adanya perubahan
organisme tubuh seperti perubahan tonus otot
dan kepekaan syaraf mengantarkan implus
yang ditunjukan dengan kemampuan
seseorang seperti kekuatan, daya ledak (
power ) dan kelentukan dapat mempengaruhi
kemampuan atlet untuk mengangkat beban
secara maksimal dan mudah pula.
C. Masalah Penelitian
Adapun masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana efektifitas lembaga
swadaya masyarakat ( LSM ) dalam
olahraga terhadap pembinaan prestasi
angkat besi ditinjau dari lingkungan
sosial bmudaya dan kepemimpinan
pelatih ?
4. Mengetahui bagaimana hubungan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 61
tersebut bagaimana pola partisipasi
para atlet usia muda atau sosialisasi
cabang olahraga tersebut dengan
memperhitungkan prasarana para atlet
pendahuluan sebagai model ?
4. Se jauhmana peran kebijakan
pemerintah terhadap pelaksanaan
pembinaan prestasi olahraga yang
berkaitan dengan penghargaan dan
bantuan ?
5. Bagaimana hubungan fungsional
antara prestasi angakat besi dan
angakat bebrat dengan faktor fisik,
fisiologis, dan motivasi para atlet
yang bebrsangkutan?
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian secara
umum adalah :
1. Memperoleh gambaran dengan
efektifitas kepemimpinan LSM dalam
olahraga terhadap pembinaan prestasi
angkat bebsi dan angkat berat ditinjau
dari lingkungan sosial budaya da n
kepemimpinan pelatih.
2. Mengidentifikasi pola partisipasi para
atlet usia mmuda atau sosialisasi
dengan memperhitungkan peranan
para atlet pendahulu sebagai model.
3. Mengkaji lebih jauh peran
kebijmakkan pemerintah daerah
terhadap pelaksanaan pembinaan
prestasi olahraga bberkait dengan
perhargaan dan bantuan.
Physiological, Social, B Ody Structrure
fungsional antara prestasi ang kat besi
dan angakt berat dengan faktmor
fisik, fisiologis, dan motivasi para
atlet yang bersangkutan di
Padepokan Gajah Lampung.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dihharapkan dari hasil
kajian ini, antara lain :
1. Secara teoritis
Kerangka ini berguna untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan
terutama bidang – bidang ( sub
disiplin ) yang mempengaruhi
peningkatan prestasi atlet
2. Secara Praktis
Dari segi kepentingaqn praktis,
sumbangan penting dari penelitian ini
adalah diperolehnya gambaran
kontribusi beberapa faktor terhadap
peningkatan prestasi atlet, serta
mengidentifikasi berbagai
karakteristik suatu ca bang olahraga
khususnya bagi pembinaan.
E. Kerangka Berfikir
Penelitian ini bertitik tolak dari suatu
pandangan yang melihat adanya pengaruh
antara fokus ( karakteristik ) fisik, sosial,
fisiologis dan motivasi terhadap prestasi
yang lifer angkat besi dan berat. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Catty (1967 )
dalam Carron, A ( 1980:4-5)
Mengemukakan Bahwa As Having An
Influence Upon Individual Performance
untuk merubah kehidupan yang lebih
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 62
And Psychological.
Pemikiran tersebut secara visual di
gambarkan dalam gambar berikut ini :
Gambar 3. Kerangka pikiran penelitian
F. Asumsi Dasar
Dengan merujuk dengan kerangka
teori dan fakta empiris diajukan beberapa
premis sebagai berikut :
a. Keadaan atlet angkat besi dan berat (
tinggi babdan, berat badan, usia, jenis
kelamin ) yang berfariatif bukan
kendala untuk mengangkat beban
secara maksimal.
b. Pencapaian prestasi yang maksimal
pada cabang olahraga seringkali
ekonomis maupun sosial ekonomi
para atlet, baik secara ekonomis
maupun sosial. Sebagian besar atlet
yang menekuni cabang olahrag ini
berasal dari keluarga kurang mampu.
c. Kondisi sosial ekon,omi atlet relatif
rendah dimungkinkamn semangat
berlatih dan bertanding lebih tinggi.
Hl ini disebabkan karena adanya
faktor motivasi yang mendorong
dokumentasi, sedangkan data untuk
baik lagi di masa yang akan datang.
d. Dengan faktor motivasi yang tinggi (
secara intrinsik maupun ekstrinsik )
segala bentuk tekanan dapat diatasi
dengan baik.
e. Proses pembinaan yang tersusun
secara terencana da n
berkeseimbangan akan meningkatkan
kemampuan atlet angkat besi
terutama kekuatan, daya tahan dan
power untuk bagian tubuh seperti
lengan, dada, perut, bahu, punggung,
dan tungkai ( Harsono dalam
Menegpora. 1990;31). Peningkatan
itu disebabkan otot yang d igunakan
atlet cabang tersebut.
G.Hipotesis
Adapun hipotesis yang akan diuji
dalam penelitian ini adalaha: terdapat
hubungan fungsional yang signifikan antara
faktor fisik ( tinggi badan, berat badan, lemak
paha ), panjang lengann, panjang tungkai,
tinggi duduk, lingkar kiri, tarik lengan,
dorongan lengan, kekuatan tungkai,
fleksibilitas dan daya ledak ( power) terhadap
prestasi secara simultan maupun parsial pada
atlet angkat besi dan angkat berat Padepokan
Gajah Lampung, baik putra maupun putri.
H. Metode Penelitian
Pengambilan data menggunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif maka
tehniki pengumpulan data untuk kuantitatif
melalui observasi, wawancara dan
kedudukannya, jika ada pekerjaan yang akan
LSMOR PGL
POLAPARTISIPASIUSIA MUDA
(SOSIALISASI)ANGKAT BESIDAN BERAT
KEBIJAKAN PEMBINAANOLAHRAGA DAERAH
FISIK
MOTIVASI
FISIOLOGIS
LINGKUNGAN SOSIAL BNUDAYA DA N ORNIENTASINILAI FIGUR PEMBINA & KEPEMIMPINAN
PRESTASIIR
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 63
kuantitatif melalui tes & pengukuran angket.
Analisis data yang digunakan adalah analisis
regresi linier berganda ( multiple linier
regression).
I. Pembahasan Diskusi Temuan )
1. Beberapa temuan kuantitatif
1. Efektifitas lembaga swadavya
masyarakat ( LSM ) dalam olahraga terhadap
pembibnaan prestasi angkat besi dan angkat
berat ditinjau dari lingkungan sosial budaya
dan peran figur pembinaan kepemimpinan
yang berorientasi pada nilai – nilai sehingga
tercipta proses pembinaan berkelanjutan.
Organisasi atau lembaga swadaya masyarakat
( LSM ) dalam olahraga bernama “
Padepokan Angkat Besi dan ANGKAT
Gajah Lampung , Terdapat di kabupaten
pringsewu Provinsi Lampung. Padepokan ini
didirikan pada tahun 1979 oleh IR mantan
atlet angkat besi, yang prestasinya cukup
disegani pada zamannya (1970-an ). Kini ia
berperan sebagai pelatih di samping sebagai
pengurus atau pembina Pengprov cabang
angakat besi dan angkat berat lampung,
tempat itu juga sebagai rumah tinggalnya (
Lampung post, 2008:182-185).
Menurut model Davis dan Newton
dalam Purwanto ( 2007:50) bahwa unsur –
unsur yang memedahai syarat berdirinya
suatu organisasi , yaitu organisasi babru ada,
jika ada unsur manusia yang bekerjasama,
ada pimpinan dan ada yang dipimpin, jika
tujuan yang akan dicapai, jika ada tempat
Robbin ( 1999, dalam Purwanto, 2007 : 18 )
dikerjakan serta adanya pembagian
pekerjaan. Jika terdapat unsur – unsur tehnis,
jika ada hubungan manusia yang satu dengan
yang lainnya, sehinggga tercipta organisasi,
dan jika ada lingkungan yang saling
mempengaruhi, misalnya ada sisitem kerja
sama sosial.
Berdasarkan be berapa unsur tersebut
atau manakala keempat unsur pokok tersebut
terpenuhi yaitu people, technology dan
enveroment, maka organisasi atau lembaga
itu terbentuk.Karena itu padepokan angkat
besi dan angkat berat gajah lampung, bisa
dikatergorikan sebagai suatu “organisasi”
atau lembaga” yang tentu saja memiliki
semua unsur tersebut. Karena padepokan
angakat besi dan angakat berat gajah
lampung ini dapat dikategorikkan sebagai
suatu organisasi , maka terkandung dua
pengertian. Pertama, memadakan suatu
lembaga atau perkumpulan olahraga, Kedua
berkenaan dengan proses pengorganisasian,
sebagai suatu cara dalam mana kegiatan
organisasi di alokasikan dan ditugaskan di
antara para anggotanya agar tujuan
organisasi dapat tercapai dengan efisien
(Handoko, 2003:167)
Sebagai suatu organisasi yang
bergerak dalam bida ng olahraga, padepokan
gajah la,mpung, memiliki tujuan yang
sangat jelas, yaitu pencapapian prestasi baik
nasional maupun internasional yang diraih
secara efisien. Pengertian efisien menurut
staffing”. Bahkan lebih tegas Daft dan
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 64
adalah mengacu pada hubungan antara
masukan dengan keluaran. Dari s udut
pandang ini efisien seringkali dirujuk sebagai
“melalukan segala sesuatu secara tepat,” atau
tidak memboroskan sumber – sumber atauu
sarana.
STRUKTUR DAN MANAGEMEN
Struktur organisasi dan managemen
di Pdepokan tersebut sangat sederhana,
bahkan dapat disebut tidak lazim atau tidak
biasa dari organisasi keolahragaan lainnya,
hal ini seperti dikatakan IR sebagai
penanggung jawab Padepokan tersebut
mengatakan “ Dari pada pengurus banyak,
biasanya yang terjadi hanya “ngurusi”
pengurus dari pada mengurusi atlet, dan
selalu lempar tanggung jawab ketika ada
masalah dengan atlet dan begitu atlet
menang semuanya ngaku memiliki andil”.
Padahal, hampir semua le mbaga atau
organisasi keolahragaan pada umumnya
menggunakan model pengelolah atau
manajemen yang lebih lengkap, bahkan lebih
besar jumlah pengurusnya dari pada jumlah
atlet yang dibinanya. Hal ini sesuai pendapat
seperti Dubrin dan Williams (1989, dalam
Bucher dan Krotte, 2002:3)mendefinisikan
managemen as the cordinanted and
integrated process of resources (e.g., human,
financial, physical, informational/
technological, techni-cal) to achive specific
objecttives though the functions of planning,
organizing, leading, controlling, and
Lampung ), jelas sangat efektif meningkatkan
Marcic (1998, dalam Bucher dan Krotte,
2002:3), mengaris bawahi pendapat tadi
bahwa manajemen sebagai penca paian
tujuan organisasi secara efektif dan efisien
melalui perenca naan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengendalian sumber
daya organisasi. Sangat beralasan bila
menghadapi suatu event atau pertandingan,
biasanya kalau diurus oleh banyak orang ,
kata IR biasanya pengurus hanya mengurusi
pengurus aja, bukan fokus pada kebutuhan
atlet”. Lebih lanjut IR menjelaskan “
Apabila organisasi diurus oleh banyak orang,
biasanya banyak orang plula yang merasa
berkepentin gan seperti karena yang
menandatangani surat maka harus ketua yang
menjadi ketua kontigen, karena sekretaris
yang membuat konsep surat maka sekretaris
itu pula yang harus berangkat sebagai
manager. Nah, kalau sudah begitu,
bagaimana dengan simpelatih sendiri yang
punya tanggung jjawabb terhadap atlet
asuhannya, biasanya hanya pergi sebagai
penda mping saja, karena semua keperluan
atlet dan official, termasuk untuk keperluan
tanding harus ada izin ketua, sehingga
kepentinganb yang mendadak dan
mendesak si a tlet sering terlambat karena
faktor otoritas yang dimiliki oleh ketua dan
bendahara.
Kegiatan pembinaan yang dikelolah oleh
kelompok kecil ini ( Padepokan Gajah
artinya, organisasi atau lembaga swadaya
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 65
prestasi , seperti terungkap dalam beberapa
pendapat atlet, mantan atlet dan asisten
pelaltih. Seorang mantan atlet mengatakan : “
Saya setuju sekali dengan pola pembinaan
seperti ini, , bahkan T yang sudah
mendapatkan medali emas dalam kegiatan
Sea Games , mengatakan bahwa kallau tanya
soal ini (organisasi ) no commant, tapi
hasilnya ( terbukti) . Orang mau terima atau
tidak , didalam kenyataan setiap kejuaraan ,
baik nasional maupun dunia , selalu
memperoleh juara. Hasil sea games 1997
angakat besi dapat menyumbang 7 medali
emas dan 5 diantaranya berasal dari
lampung”. Begitu pula pendapat JS, seorang
atlet yang dianggap pada saat ini sebagai
andalan Lampung bahkan Indonesia. Sebagai
atlet pertama cabang olahraga angkat besi
yang meraih me dali di asiagames , Guang
Zhu tahun 2010 komentarnya adalah ‘ bagi
saya setuju aja, yang pe,nting lihat hasilnya
yang maksudkan adalah manajemen
pembinaan yang sangat sederhana.
Kenyataan itu tentu saja tidak bisa di
pungkiri lagi, karena teruji dilapangan
bahwa cabang olahraga lain khususnya
dilingkungan Lampung sendiri tidak ada
yang mampu menyamai prestasi angakat besi
dan angkat berat yang berperan di tingkat
nasional dan internasional.
Hasil pembinaan di Padepokan
Gajah Lampung tersebut cukup tinggi,
seperti: ditampilkan pada gambar 4.1 dan 4.2
lingkungan tempat atlet berada atau
masyarakat ( LSM ) yang dikenal sebagai
Padepokan Gajah Lampung itu bisa
dikatakan cukup efektif. Pengertian efekktif
menurut pendapat Robbins ( 1999:8) bahwa
efektif seringkali dilukiskan sebagai “
melakukan hal - hal mencapai sasarannya.
Dengan kata lain, efektif berkaitan dengan “
hasil akhir” atau pencapaian sasaran
organisasi. Dapat disimpulkan bahwa
organisasi atau lembaga Padepokan Gajah
Lampung memiliki cara atau lebih tepatnya
dilakukan secara manajerial yang lazim kitas
kita kenal dalam model pengelolahan suatu
organisasi modern. Kepengurusan atau
organisasi yang dipimpin oleh sosok IR
nampaknya tidak biasa, bahkan cenderung
agak “ unik” atau cara pengelolahan yang
berbeda dengan kebanyakan organisasi
keolahragaan umumnya, bahkan lebih simple
dari tujuan organisasi terbilang efektif dan
efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat
Handoko ( 2003: 7) bahwa, efisien adalah
kemampuan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dengan benar, dan efektifitas
merupakan kemampuan untuk memilih
tujuan yang peralatan yang tepat atau
peralaltan yang tepat untuk pencapaian
trujuan yang telah ditetapkan.
Lingkungan sosial budaya
Berkenaan denga hal ini Lutan ( 2005
pengaruh faktor eksternal ( endogen )
terhadap prestasi, meliputi berbagai faktor di
luar individu, yang dipersepsikan sebagai
tersebut cenderung berbuat menyimpang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 66
lingkungan tempat berlatih. Lebih umum
pengertiannya seperti lingkungan fisikal-
geografis, ekonomi, sosial dan budaya
bahkan tradisi Kegiatan yang telah melekaty
di suatu lingkungan masyarakat tertentu,
serta orientasi dan kemampuan ekonomi
keluarga.
Dari temuan penelitian menunjukan
bahwa pusat latihan angkat besi dan angkat
berat di Padepokan Gajah Lampung memiliki
fasilitas yang sangat lengkap dan nyaman,
yaitu selain fungsinya sebagai tempat
pemondokan atlet yang dilengkapi dengan
asrama putri dan putra yang letaknya
mengelilingi tempat latihan, juga sebagai
tempat latihan yang d ilengkapi dengan
sarana dan peralatanb latihan yang cukup
komplit dan memadai bagi cabang olahraga
tersebut. Sehingga tidak heran dari
padepokan ini, telah lahir pula lifter yang
telah mengharumkan nama lampung
Indonesia, Bahkan hamper 3 dasawarsa
menjadi tumpuan utama lampung dalam
pecan olahraga nasional ( PON ). Lairu (
2007: 7 ) bahwa, hitungan sosial tempat
berdomisili turut mempengaruhi dan
menentukan sikap terjang seseorang dalam
kehidupan sehari - hari, artinya orang - orang
yang tinggal dilingkungan masyarakat yang
tentram akan cenderung baik dan kecil
kemungkinan akan berbuat jahat, sebaliknya
apabila seseorang bertempat tinggal
dilingkungan yang tidak tentram, maka orang
pembentukan minat dan keterlibatan dalam
terhadap norma yang berlaku didalam
masyarakat pada dasarnyamanusia adalah
makluk sosial dan eksistensinya selalu
dipengaruhi dan menmpengaruhi lingkungan
s osial budayanya ( Depdiknaa 2003:18 ).
Demikian pula Fraenken ( 1994 )
menambahkan bahwa, ada beberapa faktor
yang mempengaruhi perbedaan motivasi
berprestasi ( n-ach), Diatntar faktor - faktor
tersebut adalah jenis kelamin, pola asuh,
kebudayaan dan tingkat sosial dan ekonomi.
Begitu pula Singgih (1989) menegaskan
bahwa, yang termasuk faktor eksternal adalah
fasilitas, sarana dan lapangan, metode
latihan, dan lingkungan. Sebagai contoh,
Brazil berhasil mengembangkan prinsip
pelatihan dan menerapkan iptek olahraga
tepat guna, sederhana tetapi efektif, dikaitkan
dengan faktor sosial ekonomi dan budaya (
Lutan, 2003:179).
Lingkungan terutama tempat tinggal
dan tempat latihan merupakan faktor penting
yang langsung dan sangat besar sekali
pengaruhnya terhadap perubahan atau
perkembangan anak atau siswa / atlet. Seperti
ditegaskan Lutan (2005:425) bahwa “ faktor
lingkungan sosial-budaya yang merupakan
landasan perilaku anggota masyarakat yang
menyebabkan terjadinya pembedaan
kesempatan dan pemanfaatan peluang yang
ada untuk melakukan aktivitas jasmani”.
Anggota keluarga, seperti kakakdalam suatu
keluarga memberuikan pengaruh terhadap
untuk terus menekuni Kegiatan latihan dalam
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 67
Kegiatan olahraga. Teman sepermainan juga
merupakan sumber pengaruh yang potensial
dalam proses sosialisasi olahraga yang
dimulai dilingkungan keluarga, bahkan
pelatih guru olahraga merupakan agen sosial
yang penting yang mempengaruhi
keterlibatan anak dalam olahraga (
Greendorfer & Lewko, 1978b, dalam Lutan,
2005:426). Karena Singgih ( 1998 )
menjelaskan bahwa yang termasuk faktor
eksternal adalah fasilitas, sarana dan
lapangan, metode latihan, dan lingkungan.
Berdasarkan fakta tersebut terungkap
bahwa lingkungan sosial sangat berperan
dalam proses sosialisasi anak usia muda atau
usia dini kedalam olahraga, terutama
keluarga antara lain orang tua dan saudara
sekandung. Sosialisasi dalam olahraga dapat
pula ditelaah dari proses modeling, dan
prosesnya dapat ditinjau dari teori
pembelajaran sosial ( social learning ). Teori
ini menekankan bahwa peranan lingkungan
sebagai rujukan. Menurut Bandura ( 1977;
dalam Weinber & Gould, 1995 ) dengan
teorinya, bahwa modeling itu terdiri Dario
tiga unsur: observasi, reinforcement, dan
perbandingan sosial. Para atlet muda
mengamati lingkungan sekitarnya untuk
dijadikan model. Mereka meniru prilaku
model dan keberhasilan yang dicapai oleh
atlet seniornya, demikian pula dukungan dari
luar seperti dari orang tua, pelatih, atau guru,
sehingga mengukuhkan komitment mereka
atlet lainnya, seperti T, MY, Iwyang
cabang angkat besi dan angkat berat.
Figur Pembina Dan Kemimpinan Yang
Terkait Dengan Orientasi Nilai
Perkembangan angkat besi dan angkat
berat Lampung tidak terlepas dari sosok IR
sebagai etnis Tionghoa. Pada zamannya, ia
merupakan atlet berprestasi di tingkat
nasional. Namun, pada tanggal 1979
mengalami cedera akibat beberapa struktur
tulangbelikat (scapula), bagian siku dan lutut,
terpaksa ia berhenti sebagai atlet angkat besi.
Setelah pensiun sebagai atlet, ia membangun
sebuah padepokan di tempat tinggalnya di
Prengsewu, yang ia sendiri beri nama
“Padepokan Angkat Besi Dan Angkat Berat
Gajah Lampung”. Ia pun bertindak sebagai
pelatih kepala dan manajer. Bagi warga
Lampung khususnya bahkan indonesia, sosok
IR sangat identik denganpadepokan Gajah
Lampung, karena sebutan gajah lampung
merupakan julukan yang ditujukan pada
dirinya ketika menjadi lifter yang di segani,
bagi di tingkat nasional maupun internasional
(Lampung Post, 2008: 182-185).
Berdasarkan hasil wawancara dengan
para ( 6 orang) lifter di padepokan Gajah
Lampung, maupun mantan lifter terungkap
kesan tentang IR: “ia memiliki sifat yang
sangat tegas dan menjunjung disiplin yang
sangat tinggi. ia memposisikan dirinya, selain
sebagai pelatih juga sebagai seorang manajer
yang brilian dan sebagai ayah bagi atle
asuhnya”. Demikian pula menurut beberapa
sangat tinggi”, tanpa beliau saya tidak bisa
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 68
mengatakan bahwa “sebagai pelatih, IR
sangat disiplin dan kerasdalam memegang
prinsip”. Pendapat ini di perkuat oleh asisten
pelatihnya, yakni IS : “ia sangat disiplin”,
dan AM sebagai satu-satunya pelatih wanita
mengatakan, “dia orangnya keras, disiplin
sangat tinggi, selalu harus onitime. Atlet
wanita andalan Lampung, ODR mengatakan:
“ia menumbuhkan semangat, sangat
care,disiplin luar biasa, dedikasinya sangat
tinggi. ia tidak mau terlalu santai, seperti
mottonya ’lebih baik hujan batu di negeri
sendiri dari pada hujan emas di negeri orang.
Masalah pribadi tidak dibawa dalam latihan”.
Oleh karena itu, tidaklah heran para
atlet sangat penurut dan disiplin ketika
intruksi pelatih harus dijalankan, bahkan
tidak ada seorangpun yang membantah atau
main-main, seperti yang disampaikan oleh
ES asisten pelatih:”beliau tidak kaku, juga
pemaaf kepada atlet yang buat salah, dari
segi disiplin yang ditanamkan adalah
keseriusan,[dan] dalam latihan tidak boleh
main-main.” Disamping IR sebagai pelatih
memiliki disiplin dan sikap yang
keras,seperti dipaparkan oleh berbagai pihak
seperti oleh atlet pemula, yunior, senior,
seorang pembina, yaitu kharesmatik,
tanggung jawab, kreatif, dan penuh
perhatian, seperti disampaikan berikut ini
oleh atlet yang masih aktif (Su) “ia memiliki
dedikasi yang cukup tinggi”, atau MY
(mantan atlet) mengatakan: “ia berdedikasi
atlet angkat berat yang paling senior (38
seperti ini sampai menjadi juara beberapa
kali di Sea Games (malaysia,
2001,Vietnam,2003, dan Philipina,2005).
MY menambahkan ’ia bisa bertindak sebagai
ayah sehingga ia mampu menggantikan orang
tua saya yang jauh di Bengkulu”.
Begitu pula pendapat dari T ( mantan
atlet), “IR itu pelatih yang sangat
berkharisma, menemukan, melatih, dan
mendidik saya dari nol sampai menjadi juara
Sea Games dua kali, yaitu Singapore (1993)
perak, Chiang Mai (1995) emas, dan Jakarta
(1997) emas”. Bahkan menurut W pemegang
mendali perunggu di Olympiade Syidney
(2000): “ia cukup kreatif, hal ini dibuktikan
dengan menciptakan berbagai alat bantu yang
mendukung latihan.” SI, rekan W yang sama-
sama yang dapat perunggu olympiade 2000
menambahkan pula: “Selain didiplin, ia juga
bertanggung jawab, [dan] terhadap atlet
sayang dan mampu seperti orang tua, sangat
perhatian, sampai pada jenis makanan yang
harus dimakan tlet pun ia sangat care”.
Selanjutnya, para tlet senior yang
pernah berseberangan dengan sang pelatih
(IR), seperti G mengakui keunggulan IR:”ia
disiplin, keras dan tegar serta penuh keping
jawab. Misalnya, untuk tanggung jawab ia
selalu perhatian ketika atlet sakit. Ia juga
menekankan teknik harus baik. Sebagai
mantan atlet ia selalu menjaga kesehatan fisik
melalui latihan fitness di dalam rumah nya
dan lari di tempat”.kemudian SU sebagai a
kebetulan dalam kontingen itu ada dr. Sony
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 69
tahun) peraih mendali emas lebih dari 15
keping di kejuaraan dunia, mengatakan
tentang IR, “orangnya keras dan disiplin
tinggi, bahkan saya saja yang sudah senior,
kalu tidak latihan sekali saja uang makan
dipotong.” Selain sifat kepribadian dan
kemimpinan yang khas, IR pun memiliki
kebiasaan yang sangat berbeda dengan
kebanyakan latihan. Pelatih lain, ketika
atletnya menjuarai dalam suatu event
misalnya, ia akan larut dalam kegembiraan,
seperti memeluk, jingkrak-jingkrak, dan
difoto bersama atletnya itu. Tetapi ia
sebaliknya,seperti diungkapkan oleh W: “Pak
IR tidak suka tampil di depan umum, karena
orang yang banyak tampil biasanya banyak
membuang energi.” Begitu pula pendapat
para atlet maupun mantan atlet yang
berkaitan dengan pengalamannya ketika
menjadi juara dalam berbagai event, MY
mengatakan “Ia jarang memuji di depan
atlet”, dengan alasan, kata IR sendiri
“menurut saya [cara itu] bagus biar, tidak
gede kepala.” Selanjutnya MY menambahi
“Pak IR malas kalau di puja-puja,malahan
ketika pengalungan mendalipun, maunya [ia]
pulang. Alasannya mungkin ia tidak mau di
angkat,betul-betul low profil atau ikhlas
saja.”
Dalam kesempatan lain SI
menceritakan pengalamannya ketika menang
pertadingan di luar negeri (Chiang Mai). IR
tidak mau pulang bersama rombongan, dan
caraq sedikit meremehkan dengan maksud
Tobing sebagai dokter kontingen. IR
berpesan “kalau nanti di Jakarta ada
wawancara, siapa yangmendapingimu, maka
jawab aja dr. Sony Tobing “, “kemungkinan
hal ini dilakukan untuk menghindari rasa
sombong dan lupa diri pada atlet”
tambahnya. Demikian pula komentar dari
beberapa orang sebagai wali atau orang tua
atlet yang mengatakan “ ia tidak pernah
memuji di depan atlet. Itu sudah menjadi
kebiasaannya, sehingga atlet pun sudahsudah
menyadrinya. Pada awalnya semasa jadi atlet,
anak saya merasa takut, tetapi lama kelamaan
sudah terbiasa.”
Hal unik lainnya dari sosok IR sebagai
pelatih atau pemimpin dari padepokan Gajah
Lampung, terungkap ketika peneliti
menyaksikan sendiri, ucapan IR kepada salah
seorang atlet yang menghuni asrama, yang
kebetulan merusak salah satu benda
dikamarnya. Dengan entengnya ia berkata
“Hey, untuk mengganti barang itu, mungkin
bonus yang kamu terima pun belum tentu
cukup untuk menggantinya”. Omongan yang
dianggap kasar oleh kebanyakan orang, tapi
bagi atlet ditanggapi sebagai hal biasa. Ketika
peneliti menanyakan hal ini kepada orang tua
atlet, mereka menjawab: “Bagi anak-anak
(atlet) hal itu tidak pernah ditanggapi sebagai
penghinaan, tetapi malah diimplementasikan
sebagai bentuk motivasi” . Bahkan TY
mengungkapkan, “IR jarang memberi ucapan
selamat, [dan] memberi motivasi dengan
persis, tapi sebagian nampak sekali, seperti :
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 70
agar kami terpacu.”
Sosok pelatih atau figur pembina
sekaligus pemimpin dari sebuah padepokan
angkat besi dan angkat berat, ,ia dianggap
suhu atau tokoh sentral dari sebuah puri
shaolin (Lampung Post, 2008: 182-185) yang
telah melahirkan banyak atlet dan mantan
atlet yang kemudian menjadi pelatih hampir
di semua daerah di indonesia. Fakta empiris
ini sesuaiyang dikemukakan Harsono
(1988:7) bahwa, :”tinggi rendahnya prestasi
atlet banyak tergantung dari tinggi rendah
nya pengetahuan dan keterampilan
pelatihnya”
Temuan penelitian ini bahwa dibalik
gaya kemimpinan ala atau model IR
nampaknya cukup berhasil dalam proses
pembinaan atlet usia muda, sehingga
mencapai prestasi yang cukup
membanggakan baik tingkat nasional,
regional maupun internasional. Karena
prestasinya pula, ia cukup disegani bahkan
PB PABBSI memberikan ijin dalam
menyelenggarakan pusat pelatihan nasional
(Pelatnas) untuk berbagi event internasional,
seperti SEA Games, Asian games hingga
Olympiade di Prengseweu, khususnya bagi
atlet-atlet Gajah Lampung. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Tutko dan Richards
(1975) yang dikutip Harsono, (1988:46-54)
bahwa model kemimpinan mirip dengan tipe
pelatih otoriter (authoritarian coach) dengan
ciri-ciri kepribadiannya walau tidak sama
semua orang dapat menjadi pemimpinan
berpegang teguh pada prinsip (tegas dan
keras ), menerapkan sistem hukuman untuk
memaksa atlet patuh pada peraturan
(contohnya, memotong uang saku ketika atlet
tidak hadir latihan), ketat dalam rencana dan
jadwal latihan (tidak bisa seenaknya dalam
mengikuti latihan sekalipun itu hari raya,
apalagi pertandingan yang akan dihadapi
sangat penting),dia bukan pribadi yang
hangat ( tidak pernah ikut larut bergenbira
saat atlet asuhannya memenangkan
kejuaraan), seringkali menggunakan tehnik
ancaman untuk memotivasi para atletnya
(sering kali melontarkan omongan ketika
atletnya merusak sesuatu barang, dengan kata
seperti : walaupun besok kamu dapat bonus
tidak akan cukup untuk mengganti kursi
yang patah itu), tidak senang punya asisten
yang mempunyai kepribadian sama
dengannya (karena itu wajarkalu dia
mengangkat anak nya sebagai asisten
pelatih). Semua itu meskipun dirasakan pahit
oleh sebagian atlet, tapi sisi baiknya cukup
terasa pula seperti: pelaksanaan pembinaan
(latihan) terorganisir dengan baik, sehingga
di kagumi karena beberapa faktor (a) sukses
yang diperoleh dengan cara melatihnya, (b)
kerja keras yang diperlihatkan dalam
menangani atletnya, dan (c) atlet merasakan
manfaatnya untuk dilatih oleh pelatih dengan
tipe pemikiran.
Karena itu, Gordon (1990) dalam
Muviarni (2008) mengemukakan bahwa tidak
3) Human relationship, yaitu
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 71
yang efektif dalam suatu organisasi.
Pemimpin yang efektif adalah pemimpin
yang anggotanya dapat merasakan bahwa
kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan
kerja, motifasi, rekreasi, kesehatan, sandang,
pangan, tempat tinggal maupun kebutuhan
lainnya yang pantas didapatkannya. Artinya,
semua kebutuhan anggota dalam organisasi
terpenuhi dengan baik. Situasi yang demikian
menggambarkan hubunngan yang positif
antara pemimpin dengan para anggota
organisasi. Namun, sampai saat ini belum ada
penelitian yang menyimpulkan bahwa salah
satu tipe kepemimpinnan dari seseorang
pelatih itu lebih baik, tentu saja dari setiap
tipe memiliki kelemahan dan kelebihannya.
Karena itu, denganseseorang
diidentifikasikan mirip dengan salah satu
tipe kemimpinan bukan berarti orang tersebut
dicap 100% identik dengan nilai-nilai
negatifnya saja. Akan tetapi cara seperti itu
akan memudahkan dalam aspek analisis saja.
Menurut G. R. Terry, kemimpinan adalah
kegiatan-kegiatan untukmempengaruhi
orang-orang agar mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan (Purwanto, 2007: 63),
Selanjutnya, Purwanto (2007:64)
menjelaskan ciri-ciri pemimpin yang baik:
1) Kekuatan,yaitu memiliki kekuatan
mental dan fisik yang baik.
2) Stabilitas emosi , yaitu tidak cepat
marah dan tenang mnghadapi masalah
yang pelik sekalipun.
pendapatnya dangan fasih sekali tentang
mempunyai pengetahuan tentang
hubungan manusiawi dan luwes
dalam pergaulan.
4) Personal motivasion, yaitu memiliki
motivasi untuk memimpinyang baik
dan dapat memotivasi dari dengan
benar dan terarah.
5) Communication skill, yaitu memiliki
kecakapan komunikasi yang efektif.
6) Teaching skill, yaitu memiliki
kecakapan untuk pengarahan,
mengajarka, menjelaskan dan
mengembangkan bawahan.
7) Social skill, yaitu memiliki keahlian
di bidang sosial; supaya terjamin
kepercayaan dan kesetiaan bawahan,
seperti peramah dan luwes dalam
pergaulan, dan lain-lain.
8) Technical competent, yaitu
mempunyai kecakapan
menganalisis,merencanakan,
mendelegasikan wewenang,
mengambil keputusan, serta mampu
menyusun konsep dan
mengoordinasikan.
Untuk menunjang keberhasilan proses
pembinaan tentu saja harus ada program
latihan. Namun setelah dikonfirmasi kepada
phak-pihak yang terkait, seperti pelatih
maupun asisten pelatih, hampir semua tidak
bisa mengungkapkan secara nyata tertulis
dari wujud program latihan itu. Ketika di
diskusikan mereka mengemukakan
pembinaan seperti ini’, bahkan T yang sudah
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 72
program latihan, Misalnya, tentang tehnik
yang di sesuiakan dengan karakter dan
kemampuan masing-masing atlet, periode
latihan di rancang dalam siklus mingguan
sehingga ada minggu ringan, minggu sedang
dan minggu berat. Dengan demikian, ujar ES,
“Atlet terkondisikan dengan baik.”
Selanjutnya IS menambahkan, “meskipun
kami sebagai asisten menjalankan program
latihan, tapi semuanya tetap tergantung pada
beliau,[IR]keputusan ada di tangannya.”
Ketika hal itu didiskusikan dengan IR
selaku pelatih kepala, tetap saja ia tidak
pernah menunjukkan dokumen program
latihan.” Bahkan ia sendiri berargumentasi
“Buat apa program latihan panjang lebar dan
cukup bagusm, tapi tidak bisa dilaksanakan
dan bahkan tidak pernah ada hasil.”
Selanjutnya ia menerangkan, bahwa “ Disini
pun ada program latihan yang dibuat sejak
dulu dan tentunya selalu disesuaikan dengan
situasi dan kondisi anak”. Bahkan A sebagai
asisten pelatih menegaskan, bahwa “hampir
40 tahun ikut serta berkecimbung sebagai
pelatih cabang olahraga ini, Pak IR sudah
dapat mengetahui berbagai hal tentang aspek
pelatihan”.
Karena itu, pengelolaan manajemen di
LSM Padepokan Gajah Lampung ini sangat
“unik”,namun prestasi sungguh luar biassa,
seperti komentar atau pendapat dari beberapa
atlet, mantan atlet dan asisten pelatih, antara
lain A: “saya setuju sekali dengan pola
individual,prinsip variasi, dan prinsip beban
mendukung emas Sea Games, mengatakan,
bahwa “kalau tanya soal ini i no comment
,tapi buktikan hasilnya, orang mau terima
atau tidak di dalam kenyataannya setiap
kejuaraan , baik nasional maupun dunia
selalu memperoleh juara, , hasil Sea
Games1997 angkat besi dapat menyumbang
7 mendali emas, 5 emas diantara nya dari
atlet lampung”. Demikian pula pendapat JS,
seorang atlet yang dianggap saat ini sebagai
andalan Lampung bahakn Indonesia. Sebagai
atlet pertama cabang angkat besi yang
meraih mendali di Asian Games,Guang Zhu
tahun 2010 (China), komentar nya adalah
“Bai saya setuju aja, yang penting lihat
hasilnya”,yang ia maksudkan adalah
manajemen pembinaan yang sangat
sederhana. Kenyataan ini tentu saja tidak bisa
dipungkiri lagi, karena teruji di lapangan
bahwa cabang olahraga lain khususnya di
lingkungan Lampung sendiri tidak adayang
mampu menyamai prestasi angkat besi dan
angkat berat yang berperan di tingkat
nasional dan internasional.
SIMPULAN
Dari temuan penelitian khususnya
tentang pelaksanaan pembinaan, walaupun
tidak ddapat menunjukan program latihan
secara tertulis,tetapi berdasarkan pengamatan
mereka melakukan pembinaan sudah
memenuhi kaida-kaidah keilmuan atau paling
tidak prinsip-prinsip latihan, antara lain ada
warming up sebelum latihan, ada prinsip
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 73
DAFTAR PUSTAKA
Bompa, Tudor O (1990) Theory and methodology of Training, Beatrice, Publishing PTY.Ltd
Depdiknas (2002) Indikator olahraga Indonesia 2002. Kerjasama Badan Pusat Statistuk dan
Direktorat Jendral Olahraga, Jakarta.
Harsono. (1998). Coaching dan aspek-aspek psikologis dalam coaching.Jakarta.CV.Tambak
Kusuma
Sansen Situmorang.2008.Teori sosial.Online Tersedia:
http://sansigerwordpress.com/tag/teori-sosial/ 10 APRIL 2012
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 74
STRATEGI PUBLIC RELATIONS PT. DETEKSI BASKET LINTAS (DBL)INDONESIA DALAM LIGA NATIONAL BASKETBALL LEAGUE (NBL)
INDONESIA 2013-2014
Taufik HidayatUniversitas Negeri Surabaya
ABSTRAKFokus penelitian ini adalah strategi Public Relations PT. DBL Indonesia dalam liga
NBL Indonesia 2013-2014. Penelitian ini menarik karena basket bukan termasuk salah satuolahraga yang diminati masyarakat Indonesia (Bappenas 2007). PT. DBL Indonesia berhasilmenarik ribuan penonton melalui penyelenggaraan liga NBL Indonesia. Rumusan masalahdalam penelitian ini adalah bagaimana strategi Public Relations PT. DBL Indonesia dalamliga NBL Indonesia 2013-2014. Tinjauan pustaka yang digunakan pada penelitian ini adalahPublic Relations dalam Perusahaan, Strategi Public Relations, dan Strategi Public Relationsdalam Event. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan tipe penelitianeksploratif. Hasil penelitian ini adalah PT. DBL Indonesia menerapkan strategi PR dalam ligaNBL Indonesia 2013-2014 didasari tujuan dan objective, yang dicapai melalui strategi PRyaitu stakeholder relations, media relations, PR Online, dan publikasi. Penerapan strategi PRtersebut tidak hanya mencitrakan atau mempublikasikan liga NBL Indonesia 2013-2014,melainkan juga PT. DBL Indonesia.
Kata kunci: NBL Indonesia 2011–2012, Strategi Public Relations, PT. DBL Indonesia
PENDAHULUAN
Fokus penelitian ini adalah strategi
Public Relations (PR) PT. Deteksi Basket
Lintas (DBL) Indonesia dalam
penyelenggaraan liga National Basketball
League (NBL) Indonesia 2013-2014.
Penelitian ini menjadi penting karena PT.
DBL Indonesia telah berhasil meningkatkan
kembali minat masyarakat Indonesia
terhadap liga basket Indonesia melalui liga
NBL Indonesia (NBL Indonesia 2011). Data
tentang meningkatnya minat masyarakat
Indonesia juga terlihat dari data Kemenpora
(2010, p. 61) yang mengatakan bahwa basket
merupakan salah satu olahraga yang sering
dilakukan masyarakat Indonesia yaitu sebesar
85,2 persen.
Penelitian ini menjadi menarik karena
selama ini basket bukan termasuk salah satu
olahraga yang diminati oleh masyarakat
Indonesia. Hal tersebut juga didukung oleh
data dari Bappenas (2007) yang
menunjukkan bahwa kejuaraan dunia dalam
berbagai cabang olah raga, seperti
Olimpiade dan Piala Dunia Sepak Bola
mampu mengundang jutaan suporter dan di
Indonesia olahraga yang paling diminati
adalah sepakbola, bukan olahraga basket.
Namun, PT. DBL Indonesia merubah
anggapan tersebut dengan berhasil menarik
ribuan penonton melalui penyelenggaraan
liga NBL Indonesia. Antusiasme penonton
terhadap basket yang menurun setelah
vakumnya Indonesian Basketball League
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 75
kembali oleh PT. DBL Indonesia melalui
strategi PRnya dalam penyelenggaraan liga
NBL Indonesia 2013-2014.
Kesuksesan tersebut terlihat pada
musim perdananya tahun 2010-2011, jumlah
penonton liga NBL Indonesia 2010-2011
yakni 2000 penonton setiap harinya (NBL
Indonesia 2011). Pada musim kedua NBL
Indonesia tahun 2013-2014 kesuksesan
kembali terlihat dari semakin luas kota yang
dikunjungi untuk penyelenggaraan liga,
yakni Jogjakarta dan Palembang. Selain itu,
pada musim kedua, ada dua tim baru yang
bergabung di NBL Indonesia, yakni NSH
GMC Riau dan Pasific Caesar Surabaya.
Pada Pre Season Tournament NBL Indonesia
2013-2014 jumlah penonton yang
menyaksikan liga tersebut hampir menembus
angka 10.000 penonton (NBL Indonesia
2012). Kesuksesan NBL Indonesia 2013-
2014 juga terlihat pada seri kelima di
Surabaya, penonton liga ini tembus hingga
6.200 penonton dalam satu hari. Jumlah
penonton liga NBL Indonesia 2013-2014
mencapai lebih dari 150 ribu orang, yang
artinya tumbuh 50 persen lebih besar dari
tahun sebelumnya (NBL Indonesia 2012).
Pertama, peneliti melihat bagaimana
stakeholder relations yang dilakukan oleh
PT. DBL Indonesia dalam penyelenggaraan
liga NBL Indonesia 2013-2014. Stakeholder
atau publik dalam penelitian ini adalah publik
(IBL) tahun 2008 berhasil dihidupkan
sekunder, dan marjinal. Kedua, peneliti
melihat bagaimana media relations yang
dilakukan oleh PT. DBL Indonesia selama
penyelenggaraan liga NBL Indonesia.
Ketiga, peneliti melihat aktivitas PR
Online yang dilakukan PT. DBL Indonesia
dalam menyelenggarakan liga NBL
Indonesia 2013-2014. Aktivitas PR Online
yang diteliti adalah penggunaan media sosial
internal PT. DBL Indonesia untuk
mempublikasikan dan mencitrakan liga NBL
Indonesia 2013-2014. Aktivitas PR Online
yang diteliti adalah maintaining official
websites dan fan page. Keempat peneliti
melihat bagaimana publikasi liga NBL
Indonesia yang dilakukan oleh PT. DBL
Indonesia. Peneliti melihat aktivitas publikasi
melalui media sosial dan juga media
partnership liga NBL Indonesia 2013-2014,
baik media cetak maupun elektronik.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana strategi Public
Relations PT. Deteksi Basket Lintas (DBL)
Indonesia dalam liga National Basketball
League (NBL) Indonesia 2013-2014?
Tinjauan pustaka yang digunakan adalah
Public Relations dalam Perusahaan, Strategi
Public Relations, dan Strategi Public
Relations dalam Event. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan
wawancara mendalam (in depth interview).
Wawancara dilakukan Yondang Tubangkit
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 76
internal maupun eksternal, mulai dari primer,
Indonesia), Dewi Indah Setyorini (Divisi
Sponsorship and Basketball Development
PT. DBL Indonesia), dan Didit Pamungkas
(Divisi Basketball Operations PT. DBL
Indonesia).
PEMBAHASAN
Bab III ini peneliti membahas tentang
hasil analisis mengenai strategi Public
Relations PT. DBL Indonesia dalam
penyelenggaraan liga NBL Indonesia 2013-
2014. Peneliti menjelaskan terlebih dulu
mengenai tujuan dan objective dari
penyelenggaraan liga NBL Indonesia 2013-
2014. Tujuan penyelenggaraan liga tersebut
adalah memberikan profit bagi perusahaan.
PT. DBL Indonesia menerapkan objective
untuk mencapai tujuan tersebut melalui
strategi PR yang dilakukan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa strategi PR PT.
DBL Indonesia diterapkan melalui
stakeholder relations (hubungan dengan tim
yang bertanding, sponsorship relations, fans
and audience relations, dan hubungan
dengan karyawan), media relations, PR
Online, dan publikasi. Paparan selanjutnya
menjelaskan mengenai penerapan strategi PR
tersebut.
PT. DBL Indonesia menentukan
tujuan dan objective terlebih dahulu untuk
menentukan strategi PR pada liga NBL
Indonesia 2013-2014. Sehingga ada
kaitannya antara tujuan dan objective PT.
(Communications Senior Manager PT. DBL
diterapkan dalam liga NBL Indonesia 2013-
2014. Tujuan yang ingin dicapai adalah
dengan mendapatkan profit bagi perusahaan
melalui liga tersebut. Objective yang dimiliki
PT. DBL Indonesia terkait dengan liga NBL
Indonesia 2013-2014 terlihat melalui strategi
PR yang dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian, liga
NBL Indonesia 2013-2014 merupakan salah
satu strategi PR dari PT. DBL Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
menerapkan strategi PR liga NBL Indonesia
2013-2014, PT. DBL Indonesia tidak hanya
memperkenalkan atau mencitrakan liga
tersebut saja, melainkan juga
memperkenalkan dan mencitrakan PT. DBL
Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan liga NBL
Indonesia 2013-2014 merupakan bagian dari
PT. DBL Indonesia. Sehingga penerapan
strategi PR dalam liga tersebut berkaitan
dengan strategi PR bagi perusahaan.
Strategi PR yang dilakukan PT. DBL
Indonesia dalam penyelenggaraan liga NBL
Indonesia 2013-2014 adalah media relations,
marketing support, promotional and publicity
work, sponsorship, websites management,
dan fan relationships. Strategi PR tersebut
sesuai dengan strategi PR yang disampaikan
oleh L’Etang (2006, p. 386) pada penelitian
terdahulu mengenai strategi PR pada institusi
British Sport PR. Strategi PR yang
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 77
DBL Indonesia dengan strategi PR yang
NBL Indonesia adalah salah satu upaya untuk
mencapai tujuan dan objective yang telah
ditentukan sebelumnya. Hal tersebut
didukung oleh Ruslan (2002, p.120) yang
mengatakan bahwa menyusun strategi PR
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dari dunia kerja praktisi PR karena strategi
merupakan alternatif optimal yang dipilih
untuk ditempuh guna mencapai tujuan
PR.Peneliti menjelaskan strategi PR tersebut
kedalam empat strategi, yakni stakeholder
relations, media relations, PR Online, dan
publikasi.
Berdasarkan hasil analisis, PT. DBL
Indonesia memiliki stakeholder primer dan
sekunder. Pembagian stakeholder tersebut
berpengaruh terhadap bagaimana skala
prioritas yang diterapkan perusahaan dalam
menjalin stakeholder relations. Strategi PR
yang kedua adalah media relations. Media
relations yang dilakukan oleh PT. DBL
Indonesia fokus dilakukan ketika
penyelenggaraan konferensi pers liga NBL
Indonesia 2013-2014. Ketiga adalah PT.
DBL Indonesia melakukan strategi PR
Online¸dimana media online yang sering
digunakan adalah website dan akun Twitter
@nblindonesia. Keempat adalah publikasi,
yaitu PT. DBL Indonesia berfokus pada
media partnership dari liga NBL Indonesia
dan media sosial yang dimiliki perusahaan
dalam melakukan publikasi.
diterapkan PT. DBL Indonesia dalam liga
Indonesia 2013-2014
PT. DBL Indonesia melakukan
strategi stakeholder relations dalam
penyelenggaraan liga NBL Indonesia 2013-
2014. PT. DBL Indonesia memiliki
stakeholder primer dan sekunder. Hal
tersebut mempengaruhi skala prioritas dari
PT. DBL Indonesia dalam melakukan
stakeholder relations. Stakeholder relations
sangat berkaitan erat dengan segmentasi dari
suatu event (Lattimore, Heiman,&Toth 2010,
p.102).
Stakeholder primer PT. DBL
Indonesia dalam liga NBL Indonesia 2013-
2014 yaitu tim, sponsor, dan fans atau
penonton. Strategi untuk menjalin dan
menjaga hubungan dengan tim-tim yang
bertanding tentunya tidak hanya dilakukan
oleh divisi BO saja, tetapi juga dilakukan
oleh divisi PMR. Strategi yang dilakukan
untuk menjaga hubungan dengan tim adalah
dengan selalu membangun komunikasi ketika
liga sedang berjalan maupun ketika liga
selesai (off event). Koordinasi antara divisi
PMR dan BO juga dilakukan untuk memilih
tim mana yang bisa dijadikan narasumber
dalam setiap konferensi pers. Stakeholder
primer dalam tingkatan kedua adalah
sponsor. Strategi sponsorship relations
dengan cara membangun dan menjaga
komunikasi dengan pihak sponsor,
menjalankan kerjasama sesuai dengan MOU
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 78
membuat media report sebagai salah satu
bukti bahwa PT. DBL Indonesia telah
melakukan publikasi sponsor-sponsor
melalui iklan liga NBL Indonesia 2013-2014
sesuai dengan kesepakatan. Berdasarkan
penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam
sponsorship relations tersebut juga ada
susunan skala prioritas yang dilakukan oleh
PT. DBL Indonesia. PT. DBL Indonesia
terlihat lebih memprioritaskan tittle partner
daripada official partners atau official
suppliers. Prioritas tersebut menunjukkan
pihak sponsor mana yang lebih primer bagi
perusahaan.
Stakeholder primer liga NBL Indonesia
2013-2014 pada tingkatan yang ketiga adalah
fans dan penonton liga NBL Indonesia.
Strategi PR yang dilakukan adalah dengan
memenuhi kebutuhan informasi dari para
fans dan penonton melalui media-media
promosi yang dimiliki liga NBL Indonesia
2013-2014.
Cara lain yang dilakukan untuk
menjalin dan menjaga hubungan baik dengan
fans dan penonton adalah melalui event-event
yang masih berkaitan dengan liga NBL
Indonesia 2013-2014, yaitu NBL Snapshot
dan NBL Berbagi.
Pembahasan selanjutnya adalah
mengenai stakeholder sekunder dari liga
NBL Indonesia 2013-2014. Stakeholder
sekunder ada dua yaitu media dan karyawan
yang disepakati dengan pihak sponsor,
membangun hubungan dengan masing-
masing karyawan adalah dengan sering
koordinasi dan evaluasi. Cara lain yang
digunakan oleh PT. DBL Indonesia dalam
membangun hubungan dengan karyawan dan
tim outsourcing adalah berkaitan dengan
pembayaran gaji sesuai dengan kesepakatan
antara pihak PT. DBL Indonesia dan
karyawan atau tim outsourcing. Pembayaran
gaji sesuai dengan kesepakatan tersebut dapat
membuat karyawan dan tim outsourcing
loyal bekerja di PT. DBL Indonesia.
Media Relations dalam liga NBL Indonesia
2013-2014
Media adalah stakeholder sekunder
dari liga NBL Indonesia. Strategi media
relations difokuskan melalui
penyelenggaraan konferensi pers liga NBL
Indonesia 2013-2014 setiap serinya, mulai
dari pengiriman press release, media
invitation, media alert, hingga memfasilitasi
segala kebutuhan rekan media akan informasi
mengenai liga. Menurut peneliti, hal tersebut
dikarenakan media merupakan stakeholder
relations dari PT. DBL Indonesia, sehingga
tidak menjadi prioritas utama dalam
menjalankan strategi-strategi PR di liga NBL
Indonesia 2013-2014. Selain itu, hal tersebut
dikarenakan PT. DBL Indonesia merupakan
perusahaan di bawah kepemilikian media
besar yaitu Jawa Pos Grup. Jawa Pos Grup
memiliki beberapa media, baik media cetak
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 79
dan tim outsourcing. Cara menjalin dan
membuat liga NBL Indonesia 2013-2014 dan
PT. DBL Indonesia dimuat dan diberitakan di
media-media milik Jawa Pos Grup. Sehingga
peliputan tentang liga NBL Indonesia dari
media lain tidak menjadi prioritas utama dari
PT. DBL Indonesia karena sudah ada
peliputan tentang liga NBL Indonesia 2013-
2014 melalui beberapa media milik Jawa Pos
Grup.
PR Online dalam Liga NBL Indonesia
2013-2014
PT. DBL Indonesia melakukan
aktivitas PR online dengan menggunakan
social media yang dimiliki oleh perusahaan
untuk memperkenalkan maupun mengupdate
informasi mengenai liga NBL Indonesia
2013-2014. Aktivitas PR online selama ini
yang dilakukan berfokus pada Twitter
@nblindonesia.
PT. DBL Indonesia memiliki social
media yang berkaitan dengan liga NBL
Indonesia, yaitu akun Twitter @nblindonesia,
dan Facebook NBL Indonesia. Selain itu, PT.
DBL Indonesia juga memiliki website
tentang liga NBL Indonesia, yaitu
www.nblindonesia.com.
Divisi Public and Media Relations
(PMR) bagian online bertugas mengupdate
pemberitaan mengenai liga NBL Indonesia
2013-2014 di media cetak Jawa Pos Group
berdasarkan timeline pemberitaan yang telah
dibuat. Berdasarkan hasil observasi peneliti,
maupun elektronik di Indonesia. Hal ini.
informasi di Twitter daripada di Facebook.
Hal tersebut karena saat ini orang-orang lebih
memilih mengakses Twitter, sehingga untuk
melakukan strategi PR Online akan lebih
efektif dengan menggunakan Twitter (Putri,
RP 2012, PR PT. DBL Indonesia, 16
January).
Publikasi dalam liga NBL Indonesia 2013-
2014
Penelitian ini melihat bagaimana
publikasi liga NBL Indonesia 2011 –2012
yang dilakukan oleh PT. DBL Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT.
DBL Indonesia melakukan aktivitas
publikasi melalui media, baik media cetak,
elektronik, hingga social media. Publikasi
melalui media yang dilakukan oleh PT. DBL
Indonesia hanya berfokus pada media
partnership dari liga NBL Indonesia dan
media sosial yang dimiliki perusahaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan temuan dan analisis data,
kesimpulan yang dapat diambil adalah PT.
DBL Indonesia menerapkan strategi PR
dalam liga NBL Indonesia 2013-2014 yang
didasari tujuan dan objective. Strategi PR liga
NBL Indonesia 2013-2014 diterapkan
melalui media relations, marketing support,
promotional and publicity work, sponsorship,
websites management, dan fan relationships.
Stakeholder relations PT. DBL
Indonesia membagi stakeholder menjadi
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 80
divisi PMR lebih aktif untuk mengupdate
dan sekunder (media dan karyawan atau tim
outsourcing), yang berpengaruh terhadap
skala prioritas yang diterapkan perusahaan
dalam menjalin hubungan dengan
stakeholder tersebut. Skala prioritas tersebut
dibuat berdasarkan pengaruh yang diberikan
oleh stakeholder kepada liga NBL Indonesia
2013-2014 dalam upaya pencapaian tujuan
dan objective yang telah sitentukan.
Media relations fokus dalam
penyelenggaraan konferensi pers liga NBL
Indonesia 2013-2014, yaitu melakukan media
invitations, media alert, hingga menjalin
komunikasi dengan rekan-rekan media.
Media merupakan stakeholder sekunder dari
PT. DBL Indonesia, sehingga fokus strategi
media relations hanya pada penyelenggaraan
konferensi pers. Temuan tersebut secara tidak
langsung menunjukkan bahwa PT. DBL
Indonesia tidak fokus pada peliputan media
mengenai liga NBL Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan PT. DBL Indonesia merupakan
perusahaan di bawah kepemilikan Jawa Pos
Grup. Sehingga liga NBL Indonesia 2013-
2014 akan dimuat dan diberitakan oleh
media-media milik Jawa Pos Grup di seluruh
Indonesia.
Strategi PR selanjutnya adalah PR
Online melalui social media perusahaan.
Aktivitas PR online yang dilakukan selama
ini berfokus pada Twitter @nblindonesia,
karena Twitter memiliki kemampuan menarik
primer (tim, sponsor, dan fans atau penonton)
dengan target audience dari liga NBL
Indonesia. Strategi PR yang keempat adalah
publikasi melalui media, baik media cetak,
elektronik, hingga social media. Namun
aktivitas publikasi tersebut hanya berfokus
pada media partnership dari liga NBL
Indonesia dan media sosial yang dimiliki
perusahaan.
Selain itu, penerapan strategi PR
tersebut tidak hanya memperkenalkan atau
mencitrakan liga NBL Indonesia 2013-2014,
melainkan juga memperkenalkan dan
mencitrakan PT. DBL Indonesia. Hal ini
dikarenakan liga NBL Indonesia 2013-2014
merupakan bagian dari PT. DBL Indonesia.
Sehingga penerapan strategi PR dalam liga
tersebut berkaitan dengan strategi PR bagi
perusahaan. Kesimpulannya strategi PR liga
NBL Indonesia 2013-2014 saling mendukung
dengan strategi PR PT. DBL Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, strategi PR liga NBL
Indonesia 2013-2014 juga berkaitan dengan
penerapan strategi PR dalam PT. DBL
Indonesia. Maka penelitian selanjutnya dapat
dikembangkan menjadi penelitian yang
menghubungkan antara strategi PR dalam
event dengan strategi PR perusahaan.
Phederal Vol. 8. No 1. Mei 2014 Page 81
audience yang mayoritas anak muda sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas 2007, Kajian pengembangan industri budaya dan olahraga dalam mendukungpembangunanpariwisata, accessed 4 April 2012, Available at:http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/10490/.
DBL Indonesia 2012, Penonton terbanyak sejarah basket professional, accessed 4 April2012, Available at:http://www.deteksibasketball.com/index.php?act=newsdetail&no=7384.
L’etang, J. 2006, ‘Public relations and sport in promotional culture’, PR and Sport, pp. 386-394.
Lattimore, D., Heiman, O.B.S.T. & Toth, E.L. 2010, Public Relations Profesi dan Praktik,Salemba Humanika, Jakarta.
NBL Indonesia 2011, Hampir tembus sepuluh ribu orang, accessed 17 March 2012,Available at: http://www.nblindonesia.com/v1/index08.php?page=newsdetail &id=1252.
Ruslan, R. 2002, Manajemen Public Relations dan Komunikasi, Rajawali Pers, Jakarta.