village justice in indonesia -...

169
VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA 1 VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA Studi kasus tentang akses terhadap keadilan, demokrasi dan pemerintahan desa Februari 2004

Upload: ledang

Post on 01-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

1

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA Studi kasus tentang akses terhadap keadilan,

demokrasi dan pemerintahan desa Februari 2004

Page 2: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

2

DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPD Badan Perwakilan Desa

CAS Country Assistance Strategy

CGI Consultative Group on Indonesia

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

GDS Governance and Decentralization Survey

GOI Government of Indonesia

ICG International Crisis Group

KUD Koperasi Unit Desa

KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

KUT Kredit Usaha Tani

LBH Lembaga Bantuan Hukum

LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

LLI Local Level Institutions

LMD Lembaga Musyawarah Desa

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

NMC National Management Consultants PPK

P2KP Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

PCD Project Concept Document

PKK Program Kesejahteraan Keluarga

PN Pengadilan Negeri (Tingkat Kabupaten)

Page 3: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

3

Polres Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota)

Polsek Kepolisian Sektor (Kecamatan)

PPK Program Pengembangan Kecamatan

PT Pengadilan Tinggi (Tingkat Propinsi)

SERP Social and Economic Revitalization Project – Proyek Pemulihan Sosial Ekonomi Daerah

TAF The Asia Foundation

TI Transparency International

TPKD Tim Pelaksana Kegiatan Desa

UDKP Unit Daerah Kerja Pembangunan

UPK Unit Pengelola Keuangan

UU Undang-undang

Page 4: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

4

UCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini adalah keluaran Social Development Unit, Bank Dunia di Indonesia dan merupakan hasil kerja tim Justice for the Poor (disingkat tim Justice) yang didasarkan pada sejumlah studi kasus yang dilakukan tim Justice tentang hukum dan keadilan masyarakat di tingkat lokal di Indonesia. Tim Justice menghaturkan ucapan terima kasih kepada seluruh warga desa, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah, pengacara lembaga bantuan hukum (LBH), jurnalis, aktivis ornop, aparat kepolisian, jaksa dan hakim yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

Penulis utama laporan ini adalah Andrea Woodhouse. Seluruh anggota tim Justice memberikan kontribusi dalam hal analisis materi kasus, masukan dan komentar baik tertulis maupun lisan atas naskah laporan ini. Su Lin Lewis secara khusus memberi kontribusi selama penulisan; Pieter Evers dan Matt Stephens bertanggungjawab dalam kerangka laporan; Taufik Rinaldi dan Bambang Soetono dalam aspek sistem hukum, analisis kelembagaan dan sosial. Mega Adam, Peri Umar Farouk, Dewi Novirianti dan Shinto Nugroho memberikan komentar dan masukan. Linda Ayu Citra, Ela Hasanah, Intania Fajar, Fajar Pane, Sentot Satria, Marsillam Simanjutak dan Kristen Stokes berpartisipasi dalam pelaksanaan studi kasus yang menjadi dasar dari laporan ini. Arie Purwanti dan Inge Sutardi memberi dukungan mengatur jadwal kunjungan studi kasus. Karena itu, laporan ini merupakan hasil kerja bersama seluruh anggota tim dan pihak lain yang memberi sumbangan yang sangat berarti.

Tim Lindsey dari University of Melbourne dan Mohan Gopal, Richard Messick dan Michael Woolcock dari Bank Dunia bertindak sebagai reviewer atas naskah laporan. Victor Bottini, Leni Dharmawan, Asmeen Khan, David Madden, Karin Nordlander dan Claire Q. Smith telah menyumbangkan komentar dan masukan. Secara khusus tim Justice menyampaikan terima kasih kepada Pieter Evers, Scott Guggenheim dan Joel Hellman atas dukungan dan tuntunan intelektual dalam penyusunan laporan ini serta program kerja yang lebih luas. Selain itu tim juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Jemal ud-din Kassum, Sarwar Lateef, Andrew Steer dan Anthony Toft atas dukungan mereka terhadap program Justice for the Poor dan World Bank-DFID Strategic Poverty Partnership Trust Fund atas dukungan finasial yang telah diberikan.

Page 5: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

5

PERTANGGUNGJAWABAN EDISI BAHASA INDONESIA

Penerjemahan “Village Justice in Indonesia: Case studies on access to justice, village democracy and governance” ke dalam bahasa Indonesia ini dilakukan oleh Liana Husein. Penyuntingan dikerjakan oleh Taufik Rinaldi, serta terakhir diselaraskan oleh Matt Stephens dan Peri Umar Farouk.*)

*) Pertanyaan berkaitan dengan laporan ini harap ditujukan kepada Justice for the Poor Project – The World Bank; Bambang Soetono ([email protected]), Dewi Novirianti ([email protected]), Matt Stephens ([email protected]), Peri Umar Farouk ([email protected]), Taufik Rinaldi ([email protected])

Page 6: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

6

RINGKASAN

Membuat hukum bekerja dengan lebih baik, terutama bagi masyarakat miskin, merupakan salah satu tugas terpenting masyarakat dan pemerintah Indonesia. Masyarakat miskin di Indonesia telah lama dikecewakan oleh sistem peradilan yang ada. Lemahnya penegakan hukum tersebut berkontribusi pada masalah kemiskinan serta rasa tidak aman yang – ditambah pula dengan runtuhnya kontrol represif a la Orde Baru, barakibat pada meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk main hakim sendiri serta pecahnya konflik di berbagai wilayah.

Sejauh ini kebanyakan penelitian hukum di Indonesia masih terfokus pada sistem hukum formal: kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan dengan keluaran rekomendasi dengan fokus yang serupa. Padahal, persoalan hukum dan keadilan bukan sekedar masalah lembaga hukum atau organ-organ negara melainkan juga menyangkut upaya penegakan keadilan yang bersifat informal yang berupa mekanisme penyelesaian masalah alternatif: musyawarah, negosiasi dan mediasi lewat berbagai institusi sosial masyarakat. Dengan demikian, strategi pembaruan hukum dan perbaikan akses masyarakat terhadap keadilan harus pula mencakup kedua wilayah tersebut: hukum formal dan informal – berangkat dari pengalaman konkret proses penyelesaian masalah di masyarakat dan tidak sekedar melihat apa yang terjadi di ruang sidang semata.

Dengan latar belakang Indonesia dimana baik mekanisme formal maupun informal belum berhasil menghadirkan keadilan bagi kelompok masyarakat miskin, strategi pembaruan hukum yang seperti apakah yang kiranya dapat membuahkan hasil? Penelitian ini berangkat dari pengalaman nyata warga masyarakat miskin di pedesaan dalam upaya menyelesaikan sengketa atau problem hukum yang muncul. Untuk upaya yang berhasil akan diteliti lebih jauh mengenai faktor apa yang mendukung keberhasilan tersebut. Dengan demikian, secara umum tujuan penelitian ini adalah (i) mengetahui preferensi dan standar harapan masyarakat dalam upaya penyelesaian masalah yang sedang terjadi; (ii) mengidentifikasi pola hubungan antara kelompok masyarakat miskin – lembaga informal masyarakat – dan lembaga peradilan; serta (iii) mengidentifikasi faktor-faktor yang membuka peluang kelompok masyarakat miskin dapat berhasil –dengan latar belakang lemahnya kinerja lembaga hukum formal.

Page 7: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

7

Analisis penelitian ini didasarkan pada 18 studi kasus etnografik dari 14 lokasi yang berbeda di 9 propinsi di Indonesia. Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan di masyarakat seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Kasus yang diteliti pada dasarnya merupakah ‘pintu masuk’ bagi tim Justice untuk menggali lebih jauh pengalaman dan persepsi masyarakat desa terhadap mekanisme penyelesaian masalah formal dan informal. Dalam rentang waktu penelitian selama 13 bulan ini, tim Justice mewawancarai tidak kurang dari 500 orang; warga masyarakat desa, akademisi, LSM, tokoh agama dan masyarakat, konsultan program, pengacara, tokoh politik, pejabat pemerintah serta polisi, jaksa dan hakim.

Temuan Pokok

A. Penyelesaian Kasus Secara Informal

Masyarakat dan tokoh masyarakat di desa cenderung memakai mekanisme informal untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang muncul karena beberapa alasan. Pertama, mekanisme informal dianggap lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan dengan mekanisme hukum formal. Waktu penyelesaian, jarak geografis dan biaya merupakan hambatan utama bila mereka ingin mengggunakan jalur hukum formal. Sebagai contoh, masyarakat di sebuah desa di Kalimantan Tengah bahkan memerlukan waktu tiga hari ditambah dengan pengeluaran ongkos transportasi yang hampir sama dengan setengah upah minimum regional di propinsi tersebut untuk sampai ke kantor polisi yang terletak di Ibukota kabupaten. Kedua, mekanisme informal dianggap lebih sesuai dengan semangat kerukunan masyarakat dibanding bila menempuh jalur hukum formal. Alasan ini, selain mencerminkan realitas kehidupan desa yang masih saling tergantung, seringkali juga diakibatkan kekhawatiran pihak yang lemah akan adanya aksi balas dendam dari kelompok pelaku kejahatan atau menjadi alasan bagi para elit desa untuk menghindar dari sorotan para atasan atau cemooh dari desa lain. Terakhir, masyarakat desa pada umumnya mengaku tidak terlalu mengerti aturan hukum formal sekaligus tidak percaya pada aparat. Menyerahkan penyelesaian pada jalur formal dianggap akan mengurangi daya kontrol mereka atas proses dan hasilnya. “Jika masalah dilaporkan ke polisi, kami tidak tahu apa yang terjadi,” ucap salah seorang penduduk. “Melaporkan pelaku korupsi di Indonesia,” ujar warga yang lain, “sama seperti melaporkan seorang juragan pada konco-nya.”

Page 8: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

8

Kendati demikian, mekanisme informal juga punya masalahnya sendiri seperti: proses penyelesaian cenderung didominasi oleh elit dan konsultan program daripada diupayakan oleh masyarakat secara bersama-sama. Hal ini diakibatkan beberapa faktor. Pertama, warga masyarakat cenderung enggan terlibat atau mendorong upaya penyelesaian bila menyangkut kasus ‘publik’ (korupsi, kajahatan lain). Kedua, masyarakat desa lebih suka mewakilkan kepentingan mereka pada orang-orang atau tokoh yang sudah ditunjuk yang dianggap lebih mengerti masalah, punya jaringan dan akses yang lebih luas. Terakhir, rendahnya partisipasi masyarakat ini juga diakibatkan maraknya contoh kelemahan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi miliaran rupiah di tingkat nasional (budaya impunitas) sehingga ada anggapan bahwa setiap upaya melawan koruptor akan berakhir dengan sia-sia.

Begitupun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini, mekanisme infomal cenderung gagal memberi penyelesaian yang adil bagi masyarakat miskin terutama bila terdapat kesenjangan posisi tawar yang besar antara koruptor dan warga miskin yang menjadi korban. Akan lebih sulit lagi jika si pelaku kejahatan merupakan pejabat pemerintah atau memiliki hubungan yang dekat dengan pejabat pemerintah setempat. Dengan adanya kesenjangan posisi tawar tersebut, pelaku kejahatan biasanya bersikap abai terhadap berbagai ancaman sanksi sosial maupun sanksi hukum. Situasi akan membaik bila tidak ada kesenjangan posisi tawar antara pelaku dan masyarakat. Dalam situasi itu, masyarakat bisa menyelesaikan masalah dengan cara memobilisasi tekanan publik dan politik serta mempertegas ancaman sanski hukum. bila kesenjangan tersebut dapat diseimbangkan dengan cara memobilisasi tekanan publik dan politik serta mempertegas ancaman sanksi hukum. Dikatakan oleh seorang tokoh masyarakat dalam kasus di Semarang bahwa, “Walau kasus ini dilaporkan, sebenarnya kami nggak berharap polisi kok langsung bertindak. Tapi (laporan kepada polisi) itu bisa bikin dia takut.”

Pada akhirnya, bagaimanapun persepsi mereka terhadap mekanisme hukum formal, dalam beberapa situasi toh masyarakat desa masih mau memakai jalur hukum formal sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan haknya.

B. Penyelesaian Kasus Secara Formal

Studi kasus memperlihatkan bahwa akses masyarakat terhadap jalur hukum formal tergantung pada pendampingan dari aktor luar yang memiliki akses terhadap lembaga bantuan hukum, LSM, media massa, pemerintah daerah atau

Page 9: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

9

manajemen program. Pendampingan tersebut berupa penyediaan akses informasi, peningkatan keterampilan masyarakat serta pembentukan jaringan advokasi antara masyarakat – LSM dan masyarakat sipil.

Di jalur formal, kinerja polisi dan jaksa pada umumnya buruk ditandai dengan sikap yang tidak transparan, lambannya respon atas laporan kasus serta kuatnya dugaan permainan suap. Para aparat sendiri mengidentifikasi sejumlah faktor penyebab buruknya kinerja institusi mereka antara lain: anggaran operasional yang terbatas untuk penyelidikan yang bila dikombinasikan dengan rendahnya akuntabilitas internal menyebabkan mereka secara struktural melakukan korupsi atau membuka celah penyalahgunaan wewenang lainnya. Faktor lain yang menurunkan motivasi kerja antara lain kentalnya budaya hirarki dan birokrasi, ketidakjelasan mekanisme promosi dan tidak berlakunya “reward and punishment”. Yang paling lemah adalah mekanisme pertanggungjawaban lembaga hukum tersebut kepada publik.

Di sisi lain, kinerja Pengadilan lebih baik dari yang diperkirakan. Begitu kasus telah melalui tahap penyelidikan dan diajukan ke Pengadilan, persidangan berlangsung tanpa adanya penundaan yang berarti, pelaku kejahatan dikenai hukuman dan masyarakat desa pada umumnya puas dengan apa yang mereka alami di Pengadilan.

Dengan demikian, lembaga hukum formal mampu mengatasi persoalan kesenjangan posisi tawar antar para pihak yang merupakan masalah utama mekanisme informal. Keberhasilan penyelesaian masalah lewat jalur hukum formal tersebut memberi preseden yang sangat berarti bagi upaya memerangi korupsi dan membangun kepercayaan masyarakat. Sayangnya, masih tersisa persoalan pelaksanaan putusan Pengadilan (eksekusi) dimana belum satupun dari kasus yang mendapat putusan Pengadilan berkekuatan tetap (inkracht) telah dieksekusi seluruhnya. Selain itu, putusan Pengadilan tersebut seringkali tidak disosialisasikan di tingkat desa sehingga efek perubahan tidak terlalu terasa. Untuk beberapa kasus kelemahan tersebut justru membuat masyarakat merasa enggan untuk menempuh jalur hukum formal bila kelak mengalami masalah yang sama.

Karakteristik Keberhasilan

Pada dasarnya kunci keberhasilan penyelesaian kasus, terutama kasus korupsi, oleh masyarakat lebih bersifat sosial politis daripada bersifat hukum teknis yang

Page 10: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

10

berupa keberadaan pendampingan advokasi di masyarakat, pemantauan terhadap lembaga hukum, transparansi serta pembentukan koalisi antara warga masyarakat pencari keadilan – kelompok masyarakat sipil (LSM, LBH, jurnalis) – aparat hukum/ pemerintah daerah yang reformis.

Berikut ini adalah tiga karakteristik yang sama untuk setiap kasus yang berhasil.

Pertama, adanya ‘pemimpin kasus’ atau fasilitator yang berdedikasi dan terampil untuk mengorganisir gerakan bersama sekaligus membangun kontak antara masyarakat dan lembaga eksternal di luar masyarakat. Pemimpin kasus yang paling efektif memiliki kekuatan sosial/politik atau mendapat dukungan dari lembaga eksternal lain.

Kedua, munculnya desakan transparansi yang disuarakan oleh jaringan kerjasama antara masyarakat dan kelompok masyarakat sipil. Meskipun merupakan faktor pendorong keberhasilan, namun desakan transparansi bukanlah jaminan mutlak adanya keberhasilan. Setidaknya hal itu dapat memperkecil peluang korupsi di lembaga hukum serta di sisi lain dapat memperkuat posisi tawar aparat reformis dari lembaga hukum itu sendiri. Koalisi masyarakat dan LSM akan lebih kuat bila diteruskan dengan upaya membangun koalisi dengan para reformis ‘dari dalam’. Irfanuddin, salah seorang hakim reformis dari kasus Lampung berpendapat bahwa dukungan LSM dan media massa dapat memperkuat posisinya menghadapi ancaman dan tekanan pihak terdakwa atau tekanan dari dalam lembaga peradilan sendiri yang memintanya memutuskan kasus tidak berdasarkan bukti yang muncul di Pengadilan.

Ketiga, bertemunya berbagai kepentingan untuk mendorong penyelesaian kasus. Dengan mengangkat kasus korupsi ke jalur hukum formal membuat kasus tersebut masuk ke wilyah publik yang pada gilirannya mendorong berbagai elemen anti korupsi berkumpul di sekitar masyarakat –situasi yang tidak terjadi pada penyelesaian kasus secara informal. Pengacara LBH dan aktivis LSM anti korupsi menggunakan kasus sebagai wadah pemberdayaan hukum dan advokasi; Bank Dunia memakai kasus sebagai kesempatan untuk menunjukkan keseriusannya dalam memerangi kasus korupsi; pemerintah daerah menggunakan kasus untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menghadapi masalah korupsi demi menjaga kepercayaan lembaga donor.

Page 11: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

11

Implikasi

Penelitian ini merekomendasikan strategi dua arah (i) pembaruan struktural yang harus dilakukan pemerintah guna menjawab persoalan lemahnya kelembagaan hukum formal yang bersifat endemik serta menelurkan kebijakan untuk mendukung penguatan lembaga-lembaga penyelesaian masalah informal; dan (ii) inisiatif pemberdayaan hukum yang berbasis pada kasus konkret dengan berfokus pada peningkatan demand masyarakat akan kinerja lembaga hukum, fasilitasi masyarakat, peningkatan keterampilan dan akses bantuan lembaga eksternal serta menciptakan contoh keberhasilan yang –meski sedikit tapi nyata. Termasuk dalam strategi ini adalah mengarahkan inisiatif dukungan pada kasus-kasus yang menyedot perhatian publik dan mendukung upaya aparat hukum reformis dan membantu mereka membentuk jaringan kerjasama antar-reformis maupun dengan kelompok masyarakat sipil.

Selain itu, ada 3 rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Pertama, perubahan struktural sistem peradilan yang harus dilakukan pemerintah untuk (i) memperbaiki kualitas personal aparat penegak hukum dengan cara mereview ketentuan mengenai perekrutan, seleksi, promosi dan mutasi; (ii) memperbaiki kondisi kerja terutama anggaran operasional polisi dan jaksa untuk menjalankan penyelidikan. Namun, perbaikan fasilitas ini harus diikuti dengan perbaikan ketentuan penguatan akuntabilitas lembaga tersebut kepada publik. Kedua, direkomendasikan agar pemerintah melakukan perbaikan atas peraturan tentang penyelidikan antara lain: (i) mengatur ketentuan adanya sanksi terhadap polisi dan jaksa yang terbukti menghalangi penyelidikan, (ii) mengatur ketentuan kewajiban bagi lembaga hukum untuk memberi informasi kepada publik atas proses penanganan kasus, dan (iii) membuat ketentuan yang membatasi lamanya waktu penyelidikan. Terakhir, pemerintah sudah seharusnya membuat kebijakan penguatan lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan menjembatani kesenjangan antara lembaga hukum formal dan lembaga informal dengan cara: (a) Pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) menyangkut pembentukan Badan Perwakilan Desa yang demokratis; (b) mempertimbangkan inisiatif menghidupkan lembaga pengadilan desa atau sejenisnya dimana negara memberi pengakuan atas hasil lembaga tersebut sebagaimana sistem barangay di Philipina.

Penelitian ini juga merekomendasikan beberapa prinsip pemberdayaan hukum kepada lembaga donor dan LSM yang bekerja untuk inisiatif pemberdayaan masyarakat secara umum. Pertama, setiap inisiatif pemberdayaan hukum sebaiknya diarahkan pada kasus konkret yang terjadi di masyarakat dimana

Page 12: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

12

penguatan akses hukum bagi masyarakat dianggap sebagai bagian integral dari gerakan advokasi atau pemberdayaan. Memakai kasus konkret sebagai media dimaksudkan untuk memastikan bahwa berbagai dukungan yang diberikan relevan dengan kepentingan mayoritas anggota masyarakat. Kedua, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan mekanisme hukum formal sebagai satu-satunya cara penyelesaian masalah. Sebaliknya, inisiatif pemberdayaan hukum yang dimaksud adalah membuka alternatif bagi masyarakat untuk memilih sendiri mekanisme penyelesaian yang paling baik (formal atau informal) dan lembaga eksternal sekedar mendukung langkah penyelesaian yang telah dipilih.

Terakhir, penelitian ini merekomendasikan bahwa berbagai program pembangunan masyarakat di tingkat desa dapat menjadi lahan yang baik bagi setiap inisiatif penguatan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Lewat struktur dan mekanisme dalam program-program tersebut, berbagai dukungan dapat diberikan (a) membantu penguatan masyarakat lokal dalam mengorganisir dan mengakses bantuan hukum dan lembaga hukum jika mereka memang membutuhkan berdasarkan pendekatan kasus konkret di atas (b) mendorong agar lembaga hukum dapat bekerja lebih baik dengan cara menghubungkan masyarakat desa dengan organisasi masyarakat sipil dan pemantau lembaga peradilan; dan (c) memastikan bahwa setiap tahap upaya penyelesaian serta hasil yang diperoleh akan dikomunikasikan kepada warga masyarakat di tingkat desa. Berbagai inisiatif tersebut memerlukan pendampingan yang intensif baik oleh aktivis lembaga bantuan hukum, konsultan program atau paralegal di tingkat masyarakat.

Berbagai inisiatif pemberdayaan hukum di tingkat lokal ini diharapkan dapat melengkapi program reformasi hukum di tingkat nasional. Berbagai strategi yang ditawarkan di atas dimaksudkan untuk mengurangi kelemahan strategi reformasi hukum yang terpusat pada legalistik formal dengan mengarahkan perhatian pada kegiatan bantuan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat desa untuk menyelesaikan kasus yang sudah ada di depan mata mereka. Termasuk dalam inisiatif tersebut upaya penguatan keterwakilan kelompok masyarakat miskin dan meningkatkan kemampuan mereka dalam penyelesaian sengketa atau konflik yang ada guna mendukung strategi reformasi hukum secara luas di Indonesia.

Page 13: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

13

DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN UCAPAN TERIMA KASIH PERTANGGUNGJAWABAN EDISI BAHASA INDONESIA RINGKASAN DAFTAR ISI BAB 1 : PENDAHULUAN

I. Pendahuluan II. Studi Kasus

III. Sejarah Hukum, Kegagalan Institusional Dan Perubahan Politik BAB 2 : TEMUAN POKOK

I. Tinjauan Kasus II. Pelaku Utama

III. Penyelesaian Secara Informal IV. Penyelesaian Melalui Jalur Hukum Formal V. Dampak Keberhasilan Kasus

BAB 3 : KESIMPULAN

I. Kesimpulan Studi Kasus II. Implikasi

BAB 4 : LAMPIRAN

I. Analisis Hukum Teknis II. Ringkasan Studi Kasus

III. Putusan Pengadilan Dan Sanksi Pidana DAFTAR BACAAN DAN REFERENSI CATATAN AKHIR

Page 14: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

14

DAFTAR TABEL & BOKS

TABEL

Tabel 1: Deskripsi kasus-kasus yang diteliti Tabel 2: Proses penyelesaian kasus korupsi Tabel 3: Peran & motivasi warga desa serta tokoh masyarakat Tabel 4: Peran dan motivasi pelaku eksternal Tabel 5: Pelaporan kasus korupsi Tabel 6: Karakteristik investigasi polisi & jaksa Tabel 7: Dakwaan terhadap tersangka Tabel 8: Eksekusi Putusan Pengadilan Tabel 9: Putusan Pengadilan dan sanksi pidana

BOKS

Boks 1: Temuan utama studi kasus Boks 2: Apa yang dimaksud dengan institusi desa? Boks 3: Profil pelaku kejahatan Boks 4: Profil pencari keadilan: demak Boks 5: Apa yang dimaksud ‘warga desa’ dan 'tokoh masyarakat'? Boks 6: Pihak eksternal yang berperan Boks 7: Strategi konsultan & LSM mengatasi sikap skeptis masyarakat Boks 8: Sejarah bantuan hukum di indonesia Boks 9: Perspektif masyarakat: kecenderungan penyelesaian masalah Boks 10: Menjabarkan kerukunan Boks 11: Peran penting konsultan lokal & forum musyawarah masyarakat:

PPK & P2KP vs KUT Boks 12: Profil tim penyelesaian masalah bentukan masyarakat Boks 13: Apa yang dimaksud dengan penyelesaian korupsi yang 'berhasil'? Boks 14: Strategi tim Demak: Contoh mekanisme informal yang berhasil Boks 15: Sanksi sosial vs budaya impunitas terhadap koruptor Boks 16: Kasus Mamodu: Contoh dampak budaya impunitas Boks 17: Perspektif masyarakat: Pengetahuan tentang prosedur hukum

formal Boks 18: Sulitnya menjangkau kantor penegak hukum Boks 19: Perpektif masyarakat: Pengalaman berinteraksi dengan polisi dan

jaksa Boks 20: Strategi jaksa menghambat persidangan: Kasus Bukit Kemuning,

Page 15: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

15

Lampung Boks 21: Kurang faham atau kebingungan yang disengaja? Potret aparat

kejaksaan di Tambusai Boks 22: Tekanan yang memperburuk kinerja: Terbatasnya anggaran,

manajemen yang buruk & budaya korupsi Boks 23: Perspektif polisi dan jaksa: Persaingan antar-lembaga Boks 24: Mendorong masyarakat desa menghadiri sidang Boks 25: Organisasi keagamaan sebagai fasilitator & mediator Boks 26: Rekomendasi untuk pembaruan sistem peradilan Boks 27: Rekomendasi penguatan dan penegakan peraturan Boks 28: Rekomendasi prinsip untuk inisiatif penguatan akses keadilan bagi

masyarakat di tingkat lokal Boks 29: Rekomendasi pendekatan untuk inisiatif pemberdayaan hukum

masyarakat Boks 30: Persyaratan penyidikan dalam KUHAP Boks 31: Strategi jaksa mengulur proses persidangan Boks 32: Putusan pengadilan belum tentu dalam bentuk tertulis Boks 33: Instrumen potensial bagi publik untuk meminta

pertanggungjawaban aparat penegak hukum

Page 16: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

16

BAB 1 PENDAHULUAN

Page 17: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

17

I. Pendahuluan

“Teriakan warga tidak didengar oleh yang berkuasa. Lebih baik mengurusi pekerjaan dan mengisi perut daripada menangani kasus ini lagi. Kami ini rakyat kecil, jadi lebih baik tinggal diam saja.”

Warga desa Ayawan, Kalimantan Tengah

Penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di Indonesia telah sekian lama berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal (musyawarah, pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki dan ketimpangan struktur kekuatan di tingkat lokal. Lembaga hukum formal – polisi, jaksa dan Pengadilan bias terhadap kekuasaan dan terasing dari masyarkat. Akibatnya, orang miskin di desa lebih suka menekan masalah dan rasa ketidakadilan yang dialami daripada berupaya memperbaiki situasi. Setelah runtuhnya rejim Orde Baru, tekanan ketidakadilan itu justru kerapkali muncul dalam bentuk tindak kekerasan dan aksi main hakim sendiri. Lemahnya penegakan hukum membuat situasi tersebut masih terus berlanjut sekaligus berkontribusi pada meningkatnya rasa tidak aman yang mengendurkan legitimasi politik pemerintah yang berkuasa.

Masih banyak catatan dan laporan yang dibuat mengenai lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah: apakah ada catatan keberhasilan? Faktor apa yang kiranya memungkinkan masyarakat miskin bisa memperoleh keadilan dalam situasi lemahnya lembaga hukum dan lembaga informal di masyarakat?

Pertanyaan itulah yang coba dijawab dalam penelitian ini dengan cara mendeskripsikan pengalaman masyarakat miskin, terutama di pedesaan, dapat mengakses sistem hukum formal untuk mendapatkan keadilan dengan latar belakang pengalaman penegakan hukum yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Pemerintah Orde Baru menciptakan berbagai peraturan yang melemahkan kedudukan dan peran lembaga-lembaga informal di tingkat desa sekaligus membentuk desa-desa yang berwatak otoriter dimana akses dan partisipasi masyarakat yang terbatas.

Namun seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, terjadi berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Meskipun masih

Page 18: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

18

penuh ketidakpastian, namun perubahan tersebut membuka peluang agar lembaga pemerintah dan juga lembaga hukum dapat melayani kepentingan masyarakat miskin dengan lebih baik dimana terjadi pembaruan pemerintahan desa dan penghapusan pembatasan peran politik masyarakat. Dalam rentang masa transisi ini pulalah sejumlah kelompok masyarakat miskin berhasil mengupayakan keadilan atas hak dan kepentingan mereka. Dalam penelitian ini kami mengamati dan menganalisis contoh kasus keberhasilan tersebut terutama menyangkut langkah dan strategi yang dilakukan oleh masyarakat miskin, harapan dan pilihan-pilihan yang melatarbelakangi pilihan strateginya dan kendala yang dihadapi. Ringkasnya, tujuan penelitian ini adalah:

Memahami preferensi dan ekspektasi penduduk desa dalam menyelesaikan sengketa atau mempertahankan kepentingan mereka, baik secara informal maupun melalui lembaga peradilan formal.

Mengidentifikasi pola interaksi antara masyarakat miskin, lembaga desa dan sistem peradilan.

Mengindetifikasi faktor yang membuat masyarakat miskin berhasil mempertahankan kepentingan mereka dalam situasi lemahnya kelembagaan di Indonesia.

Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis inisiatif dukungan (intervensi) seperti apa yang kiranya dapat memperkuat keterwakilan masyarakat desa dan akses mereka terhadap hukum dan keadilan. Penelitian ini adalah salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan oleh tim Justice for The Poor, sebuah program Bank Dunia yang bergerak di bidang pembaruan hukum di tingkat lokal. Pendekatan program ini pada pembaruan hukum di tingkat lokal dilatarbelakangi situasi dimana reformasi hukum di Indonesia cenderung berpusat di tingkat nasional. Program ini adalah bagian dari strategi pembaruan hukum dari Bank Dunia yang menjadi salah satu prioritas utama untuk pemerintahan yang baik dan penanggulangan kemiskinan dalam Country Assistance Strategy yang terakhir, yang bertujuan untuk mengidentifikasi langkah reformasi hukum dan Strategi Bantuan kepada Negara (Country Assistance Strategy). Bersama dengan lembaga donor lainnya yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI), Bank Dunia memandang reformasi hukum sebagai elemen penting dalam masa transisi di Indonesia.1 Di sisi lain, baik pemerintah atau masyarakat Indonesia pun secara konsisten menyatakan bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu prioritas utama dalam reformasi di Indonesia.

Page 19: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

19

Bekerjanya sistem hukum di tingkat lokal adalah merupakan hasil dari sejumlah faktor yang saling berkaitan yang termasuk diantaranya: kinerja pengacara, jaksa dan hakim; lembaga informal di masyarakat, LSM dan media massa; lembaga politik dan pemerintah daerah; dan kekuatan mekanisme informal untuk penyelesaian masalah. Karena itu, pembaruan hukum di tingkat lokal tidak sebatas perombakan struktur lembaga peradilan atau perubahan peraturan semata, namun termasuk beberapa inisiatif yang bersifat non-struktural seperti memperbaiki interaksi antara masyarakat miskin dan lembaga hukum formal, pemantauan peradilan, perluasan akses kepada lembaga hukum dan penguatan kapasitas lokal dalam penyelesaian sengketa alternatif.

Inisiatif pembaruan di tingkat lokal tersebut banyak berkaitan dengan struktur politik dan lembaga sosial di tingkat lokal. Dengan demikian, strategi yang dibutuhkan akan berbeda dengan pendekatan reformasi hukum di tingkat nasional yang berfokus pada penguatan lembaga hukum formal. Karena itu, tujuan program Justice for the Poor memiliki cakupan yang luas: (i) memperkuat perwakilan desa dan memperbaiki kualitas pemerintahan tingkat desa; (ii) memperbaiki akses terhadap lembaga peradilan formal dan mempertinggi tingkat transparansi dan pemantauan publik; dan (iii) memperbaiki dan memperluas akses masyarakat pada mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (informal). Program Justice berupaya mendukung tujuan tersebut dengan cara melakukan kajian dan analisis terhadap proses penegakan hukum di tingkat lokal, merancang inisiatif bagi reformasi hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat lokal, dan memperkuat jaringan kerjasama antara aktor pembaharu setempat.

Selain penelitian ini, tim Justice juga melakukan penelitian lain yaitu “Mapping Reformers” mengenai pemetaan aktor reformis di tingkat lokal yang juga didasarkan pada studi kasus dalam penelitian ini. Mapping Reformers betujuan untuk mengidentifikasi aparat pembaharu dalam tubuh lembaga hukum formal sekaligus mendapatkan perspektif internal tentang masalah dan strategi perubahan terbaik guna perbaikan lembaga peradilan itu sendiri. Lebih luas lagi, Mapping Reformers bertujuan untuk memberi perhatian terhadap suara kaum reformis di dalam lembaga hukum dan bekerja bersama mereka untuk mengembangkan strategi reformasi hukum di Indonesia. Laporan Mapping Reformers akan dipublikasi menyusul di akhir September 2004.

Berbagai penelitian tersebut merupakan bagian dari inisiatif penelitian Bank Dunia secara luas guna mengeksplorasi perubahan peran lembaga lokal di Indonesia pasca Orde Baru. Inisiatif terdahulu termasuk mengupayakan

Page 20: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

20

perubahan peran pemerintahan desa (Evers 2000); studi terhadap lembaga di tingkat lokal (Local Level Institution – LLI) (Watterberg 2002); studi tentang korupsi di pedesaan (Woodhouse 2003); studi tentang konflik dan kekerasan di desa (Barron & Madden 2003; Smith 2003); dan studi tentang kemajuan buruh migran perempuan serta perkembangan masyarakat dan resolusi konflik (Barron dkk 2003). Pertanyaan pokok berbagai studi tersebut adalah bagaimana memahami sifat perubahan lembaga transisi dan faktor apa yang dapat membuat lembaga di tingkat lokal tersebut dapat berperan dengan lebih baik.

Mengapa penelitian ini penting?

Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia dan salah satu yang paling beragam. Negara ini memiliki sistem peradilan pluralistik yang memadukan kitab undang-undang hukum dan perundang-undangan modern pasca kemerdekaan dengan kitab undang-undang hukum kolonial Belanda, hukum Islam dan hukum adat.2 Ada sekitar 200-300 kelompok etnik dan kelompok adat berbeda yang memakai norma tersendiri untuk menyelesaikan sengketa bersamaan dengan lembaga pemerintahan desa dan pengadilan (lihat Benda-Beckmann 1984; Haverfield 1999; Hooker 1978a; Lindsey 1998). Namun, bagi sebuah negara sebesar dan sekompleks Indonesia ini, sangat mengejutkan bahwa ternyata sangat sedikit dokumentasi yang mencatat bagaimana rakyat menggunakan sistem peradilan. Dibandingkan dengan banyak negara lain, studi tentang bagaimana sistem hukum dan keadilan bekerja di tingkat lokal ini belum banyak diteliti.

Padahal, memahami bagaimana sebenarnya masyarakat berinteraksi dengan lembaga keadilan, baik yang formal maupun informal adalah hal yang penting. Saat ini Indonesia berada dalam situasi yang menentukan. Rejim Orde Baru menyeragamkan dan membuat berbagai ketentuan yang melemahkan lembaga informal masyarakat yang sebenarnya dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan masalah atau sengketa di antara mereka. Lembaga informal tersebut justru diposisikan dalam struktur birokrasi yang tersentralisasi dan birokratis dan didukung oleh kekuasaan militer. Dominasi ini runtuh seiring jatuhnya rejim Orde Baru. Namun demikian, di tingkat masyarakat masih belum jelas ‘kekuatan’ apa yang akan menggantikan dominasi tersebut. Dalam situasi demikian, kegagalan lembaga hukum untuk memberi rasa aman dan menghadirkan penyelesaian masalah secara adil menyumbang bagi peningkatan eskalasi konflik dan tindakan main hakim sendiri di banyak tempat di Indonesia (Baron & Madden 2003). Kelemahan penegakan hukum juga meningkatkan

Page 21: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

21

rasa tidak aman bagi kelompok miskin: ketidakpastian status kepemilikan tanah, sengketa karena tidak jelasnya hak milik, rendahnya akuntabilitas pemerintah, maraknya korupsi dan pemotongan dana penanggulangan kemiskinan oleh para elit.

Transisi di Indonesia terjadi pula pada beberapa aspek. Salah satu aspek yang bersifat administratif tapi mengandung implikasi politik adalah dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sering disebut sebagai Undang-undang Otonomi Daerah). Undang-undang ini memindahkan kekuasaan atas kebanyakan fungsi pemerintah kepada pemerintah daerah, termasuk kekuasaan untuk membangun kembali bentuk desa tradisional dan mengesahkan undang-undang yang menyangkut adat daerah khusus. Peraturan ini juga memuat ketentuan untuk mendorong desa agar lebih demokratis dan memberi peluang bagi DPRD untuk mengatur peraturan bagi penerapan kebijakan tersebut. Kebijakan desentralisasi akan menciptakan peluang variasi yang lebih besar dalam struktur pemerintahan daerah serta penggunaan mekanisme adat di tingkat lokal. Meneliti kasus-kasus mengenai upaya penegakan keadilan di tingkat desa dapat menjadi lensa untuk melihat bagaimana perubahan hukum, sosial dan politik tersebut berperan dalam perubahan di tingkat desa di seluruh Indonesia. Studi kasus dalam penelitian ini juga akan memberi gambaran mengenai peran lembaga demokratis di desa serta berbagai perubahan sosial di sebuah negara yang sedang berada dalam masa transisi.

Page 22: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

22

II. Studi Kasus

Analisis dalam laporan ini didasarkan pada 18 studi kasus yang dilakukan di 14 lokasi penelitian di 9 propinsi di Indonesia. Dalam studi kasus tersebut dilakukan wawancara dan diskusi kelompok tak kurang terhadap 500 orang narasumber di antaranya adalah warga masyarakat desa, tokoh masyarakat, konsultan program, pengacara LBH, wartawan dari media massa lokal, aktivis LSM, tokoh agama, akademisi, aparat pemerintah daerah, anggota DPRD, polisi, jaksa dan hakim.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian

Akses masyarakat miskin terhadap hukum dan keadilan dalam penelitian ini diasumsikan tidak sebatas akses pada lembaga hukum formal, melainkan mencakup semua jalan yang dapat digunakan untuk merepresentasikan kepentingan mereka guna mencapai keberhasilan dalam penyelesaian masalah secara adil. Dengan demikian, fokus penelitian ini tidak hanya pada lembaga peradilan saja, melainkan berbagai lembaga sosial lain yang digunakan oleh masyarakat desa dalam menyelesaikan sengketa seperti: pemerintahan desa, unit pengaduan dan penanganan masalah dalam berbagai program pengentasan kemiskinan dan lembaga adat (meskipun tidak terlalu menonjol perannya karena jarang dipakai untuk menyelesaikan masalah korupsi).3 Walaupun lembaga-lembaga tersebut seringkali juga adalah lembaga resmi, namun dalam konteks penyelesaian sengketa lembaga tersebut dianggap sebagai “lembaga informal” karena di luar sektor peradilan formal.

Pemilihan kasus

Sebagian besar kasus yang diteliti adalah kasus korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan program penganggulangan kemiskinan yang didanai oleh Bank Dunia. Meskipun korupsi hanya sebagian dari sekian banyak kasus atau sengketa yang dialami oleh masyarakat desa – seperti pencurian, sengketa tanah atau warisan – namun kasus korupsi memiliki berbagai aspek yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Pertama, kasus korupsi bukan masalah perseorangan melainkan menyangkut kepentingan seluruh warga masyarakat. Korupsi menyangkut kepentingan kelompok masyarakat yang paling miskin

Page 23: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

23

dan yang paling terpinggirkan –yang biasanya adalah kelompok yang menjadi target utama dari program pengentasan kemiskinan. Kedua, kasus korupsi sekaligus melibatkan warga dan para tokoh masyarakat dari berbagai kelas sosial serta elemen masyarakat sipil lain yang akan mempengaruhi akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Ketiga, pengalaman lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di Indonesia mengakibatkan sebuah contoh keberhasilan dimana masyarakat miskin desa berhasil mendapatkan keadilan atas pelaku korupsi merupakan kasus yang cukup istimewa untuk diteliti. Selain itu, meskipun termasuk wilayah hukum pidana, namun korupsi di Indonesia seringkali ditangani dalam wilayah hukum perdata sehingga kesempatan untuk meneliti tentang bagaimana masyarakat menangani kasus korupsi, baik secara informal maupun formal, merupakan kesempatan emas.4

Disadari bahwa memilih kasus korupsi dalam pelaksanaan program tersebut menghadirkan beberapa bias dimana struktur pelaksanaan program tersebut sudah memiliki standar mekanisme penyelesaian masalah serta kosultan di tingkat lokal yang bertanggungjawab membantu warga untuk menyelesaikan masalah dalam program bila terjadi korupsi. Selain itu, program tersebut didanai oleh Bank Dunia yang, meski tidak selalu berhasil, memiliki otoritas untuk menahan pengucuran dana bila pemerintah daerah tidak menangani kasus korupsi dengan baik. Begitupun, berbagai upaya warga masyarakat dalam melawan korupsi dan mempertahankan hak mereka seperti yang terjadi dalam kasus-kasus yang diteliti memiliki perbedaan dan keistimewaan dibanding kasus yang terjadi di daerah lain di Indonesia.

Kasus korupsi tersebut juga pada dasarnya adalah ‘pintu masuk’ bagi tim Justice untuk mengidentifikasi atau menggali pengalaman dan perspektif masyarakat desa pada berbagai kasus lain yang pernah atau sedang mereka alami. Berbagai temuan dan analisis dalam laporan ini tidak hanya didasarkan pada hasil wawancara atas kasus korupsi tersebut melainkan pada diskusi atas kasus yang lebih luas. Apa lagi, pola penyelesaiaan kasus non-korupsi sangat mirip dengan kasus korupsi yang diteliti, dan dengan demikian memperkuat temuan dan kesimpulan yang diambil. Disamping itu, beberapa penelitian Bank Dunia lainnya, seperti penelitian mengenai konflik dan pembangunan masyarakat yang sedang berlangsung, akan memperjelas mekanisme yang dipergunakan oleh masyarakat desa lebih lanjut –khusus masalah (Baron dkk., 2004).

Page 24: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

24

Metodologi

Lokasi studi kasus dipilih dengan memperhatikan berbagai variasi seperti: perbedaan status ekonomi, letak geografis dan akses terhadap lembaga pemerintah dan lembaga peradilan, kultur masyarakat dan keberadaan lembaga sosial di masyarakat serta institusi adat. Sementara itu, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam serta kelompok diskusi terfokus terhadap aktor utama yang terlibat dalam proses penyelesaian masalah ditambah dengan analisis terhadap informasi dan latar belakang munculnya kasus seperti laporan pengacara, surat menyurat lembaga pemerintah, dan laporan supervisi Bank Dunia. Diskusi mendalam terhadap aktor yang terlibat langsung juga dilakukan untuk mendapatkan persepsi dan pengalaman mereka sehingga untuk beberapa lokasi dilakukan lebih dari dua kali kunjungan ke lapangan untuk melakukan verifikasi atas kronologis kasus dan upaya penyelesaiannya dari perspektif berbagai pelaku yang ada.

Tim peneliti kemudian berusaha untuk menyusun gambaran cerita satu persatu untuk mengidentifikasi tumpang tindih data dan inkonsistensi dalam kasus yang sama namun memiliki versi yang berbeda dengan cara melakukan pemetaan berbagai versi tersebut yang disesuaikan dengan kronologi kasus. Sering terjadi dimana responden berpartisipasi dalam menggambar peta masalah dan diagram bagi peneliti.

Sebagaimana disampaikan pada bagian terdahulu, tim memakai kasus sebagai pintu masuk untuk menggali pengalaman dan persepsi responden atas kasus yang lain. Selain kasus korupsi, dalam studi kasus ini terdapat pula empat kasus lain mengenai salah tangkap dan kasus sengketa tanah yang melibatkan kepentingan para petani miskin.

Oleh karena itu, data tentang preferensi dan ekspekstasi warga desa tersebut didasarkan pada cakupan yang lebih luas (walau masih terbatas) daripada sekedar kasus korupsi saja. Begitupun, penelitian ini tidak dimaksudkan mewakili seluruh situasi yang terjadi melainkan berupaya untuk merekonstruksi realitas sosial di masyarakat secara detil: memahami sudut pandang para pelaku, pilihan strategi penyelesaian masalah yang dipilih, motivasi dan faktor yang membuka peluang keberhasilan.

Pola yang secara konsisten terjadi pada berbagai studi kasus tersebut kemudian digambarkan untuk mempermudah pemahaman mengenai penyelesaian sengketa di tingkat desa dan persoalan umum yang dihadapi oleh kelompok

Page 25: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

25

masyarakat miskin di desa ketika berurusan dengan sistem hukum formal. Berbagai pola yang teridentifkasi kemudian dibandingkan dengan berbagai literatur mengenai penegakan hukum di tingkat lokal di Indonesia serta dokumen lain yang diambil dari berbagai sumber (lihat Asia Foundation 2001; ADB 2001; Bappenas 1997; Benda-Beckmann K. 1984; Lindsey 1999; Pompe 2003).

Pola Utama

Boks di bawah ini tinjauan mengenai pola utama yang diidentifikasi dalam studi kasus. Kami menelaah pola ini lebih dalam pada Bab 2.

Boks 1: Temuan utama studi kasus

1. Penyelesaian sengketa secara informal Masyarakat desa lebih cenderung untuk memakai mekanisme informal di tingkat

lokal untuk menyelesaikan masalah karena dianggap lebih cepat, murah dan mudah dibanding dengan sistem hukum formal.

Proses penyelesaian masalah di desa cenderung dipimpin oleh tokoh masyarakat atau konsultan program, bukan oleh warga desa itu sendiri.

Meskipun di beberapa tempat bisa berhasil, namun pada umumnya mekanisme informal di tingkat lokal gagal menyelesaikan kasus korupsi terutama dikarenakan (a) terdapat ketidakseimbangan posisi tawar yang besar antara warga desa yang menjadi korban dan si pelaku korupsi, atau (b) si pelaku bersikap abai terhadap ancaman pengenaan sanksi hukum.

Ketika lembaga informal gagal, masyarakat desa menunjukkan kesediaan untuk memakai jalur hukum formal sebagai upaya terakhir melindungi hak dan kepentingan mereka.

2. Penyelesaian sengketa secara formal Akses masyarakat desa terhadap lembaga hukum formal tergantung pada

keberadaan fasilitator yang memiliki kontak dengan LSM bantuan hukum, pemerintah daerah atau struktur konsultan program. Fasilitator tersebut yang dapat memimpin, mendampingi dan mengorgranisir upaya bersama warga masyarakat.

Sementara polisi dan jaksa cenderung tidak responsif, Pengadilan bekerja dengan lebih baik dari yang diperkirakan.

Page 26: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

26

Sistem peradilan – dalam situasi tertentu – mampu mengatasi masalah ketidakseimbangan posisi tawar dengan cara memberi sanksi pidana pada pelaku tindak pidana korupsi –sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh mekanisme informal.

Implikasi atas keberhasilan suatu kasus bagi masyarakat cukup bervariasi. Keberhasilan tersebut menciptakan preseden yang sangat penting dalam upaya memerangi korupsi dan untuk kadar tertentu membantu membangun kepercayaan masyarakat kepada lembaga hukum. Sayangnya penundaan eksekusi putusan Pengadilan serta kurangnya sosialisasi putusan tersebut pada warga desa membuat mereka enggan menggunakan sistem hukum formal bila menghadapi masalah yang sama di masa mendatang.

3. Pola keberhasilan Faktor keberhasilan pada dasarnya bersifat sosial-politis dimana terdapat tokoh

masyarakat atau figur pemimpin kasus yang dapat memobilisasi masyarakat di lapis bawah, memiliki jaringan dengan kelompok masyarakat sipil (LSM, media massa, LBH, partai politik) serta memperoleh dukungan yang kuat dari lembaga eksternal.

Keberhasilan masyarakat desa menyelesaikan kasus korupsi melalui jalur hukum formal terletak pada kemampuan lembaga hukum formal untuk ‘menarik minat’ berbagai konstituen yang memiliki kepentingan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi dan gerakan advokasi –faktor yang tidak muncul dalam mekanisme informal.

Page 27: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

27

III. Sejarah Hukum, Kegagalan Institusional dan Perubahan Politik

Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan dalam konteks sosial politik yang spesifik yang berpengaruh pada kecenderungan masyarakat desa dalam menyelesaikan masalah. Latar belakang yang sama sekaligus mempengaruhi perilaku lembaga hukum formal.

Sejarah hukum

Periode antara 1950 – 1957 dianggap sebagai masa yang paling bebas dalam sejarah Indonesia untuk menyatakan sikap politik (Ricklefs 1981: 237). Pada masa itu terdapat sejumlah perubahan besar dalam lembaga legislatif yang baru dibentuk namun sistem hukum sudah berdiri tegak yang dihormati dan dianggap bersih –terlepas dari masalah kekurangan jumlah aparat yang terlatih. Mulai tahun 50-an sampai awal 60-an, lembaga peradilan mulai dibentuk di daerah-daerah dan ‘Pengadilan’ di tingkat masyarakat secara perlahan mulai dihentikan (Pompe 2003: 6). Dalam masa ini manajemen lembaga peradilan dibentuk berdasarkan pertimbangan penghargaan atas kemampuan, penghargaan atas senioritas serta hasil kerja. Sistem yang memastikan standar kualitas lembaga peradilan di Indonesia tersebut dihancurkan pada masa Orde Baru (Pompe 2003).

Ketika Soekarno memunculkan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959 dimana lembaga legislatif dan yudikatif secara formal didudukkan di bawah lembaga eksektuif, harapan munculnya sistem hukum yang independen mulai pudar (Lindsey 1998: 7; Wignyosoebroto 1994: 209-223). Sistem peradilan dianggap sebagai alat bagi lembaga eksekutif dan bukan untuk mengontrolnya. Pemerintahan Orde Baru yang otoriter semakin meminggirkan peran polisi, jaksa dan Pengadilan bahkan membuat mereka lemah dan kompromis. Upaya penguatan sistem hukum yang dilakukan di tingkat nasional amat sulit untuk dapat berhasil karena kurangnya kepemimpinan dan dukungan politik.

Page 28: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

28

Lembaga peradilan formal : Polisi, Jaksa, Pengadilan

Hukum kita ini seperti sarang laba-laba; kalau nyamuk, nah bisa dia tangkap. Tapi kalau yang lewat itu burung yang besar, malah bisa dia rusak sarang laba-labanya itu...

Tokoh masyarakat, Lampung

Kelemahan sistem hukum di Indonesia sudah diketahui secara luas (lihat Bappenas 1997; Mahkamah Agung 2003; Pompe 2003). Di antaranya: tidak independen, korupsi, rendahnya pengembangan sumber daya aparat, manajemen yang lemah dan rendahnya tingkat akuntabilitas. Struktur administrasi, keterbatasan anggaran ikut memberi kontribusi pada terbentuknya situasi sebagai berikut:

Rendahnya kualitas aparat dan mutu pelatihan hukum Tingginya tingkat korupsi, di mana keadilan dipandang sebagai sesuatu untuk ‘dijual’:

mafia peradilan Struktur perekrutan, anggaran dan sumber daya manusia yang mendorong adanya

insentif korupsi secara struktural. Buruknya manajemen internal dan kurangnya penghargaan atas prestasi dalam

lembaga-lembaga penegak hukum. Kurangnya independensi dan rentan terhadap intervensi penguasa.

Di tingkat Kabupaten, Ketua Pengadilan Negeri (PN) merupakan anggota Forum Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) yang merupakan forum konsultasi informal antara aparat militer, pemerintah daerah, polisi dan jaksa. Dalam forum ini terbuka peluang militer atau pemda menekan lembaga hukum agar bertindak ‘kondusif’ sesuai dengan kepentingan eksekutif.

Lemahnya independensi ini diperburuk dengan terbatasnya akuntabilitas dan transparansi. Misalnya, meskipun putusan Pengadilan adalah ‘milik publik’ namun tidak selalu dipublikasikan secara berkala sehingga menyulitkan kelompok masyarakat (LSM, media massa, perguruan tinggi) untuk dapat meneliti kelemahan atau inkonsistensi putusan Pengadilan dan, terutama, untuk meneliti kemungkinan adanya aksi suap atau penyimpangan lain. Selain itu, mekanisme perlindungan saksi hanya terdapat untuk kasus yang menyangkut pelanggaran hak azasi manusia.5

Page 29: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

29

Kendala geografis juga menyulitkan akses masyarakat desa pada lembaga hukum formal. Meski struktur kepolisian bisa mencapai tingkat desa, namun Pengadilan dan kejaksaan hanya sampai di tingkat kabupaten. Padahal, di banyak tempat, diperlukan waktu beberapa hari dan biaya yang tidak sedikit untuk berpergian dari desa terpencil menuju kantor aparat hukum.

Peradilan informal: institusi adat dan pemerintahan desa

Dalam keragaman wilayah di Indonesia, struktur pemerintahan desa pada dasarnya sama sebagaimana diperkenalkan oleh Orde Baru sejak tahun 1979 dimana desa dijadikan unit administrasi pemerintahan tingkat terendah serta kekuasaan yang terpusat di tangan kepala desa. Kepala desa tersebut hanya bertanggungjawab kepada atasan mereka dan tidak pada warganya. Setiap desa juga diharuskan memiliki Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Anggota lembaga tersebut diangkat oleh kepala desa sehingga semakin menguatkan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa.

Kesempatan warga desa untuk dapat merepresentasikan kepentingan mereka sendiri (yang seringkali berbeda dengan kepentingan si kepala desa) menjadi sangat terbatas. Persoalan di tingkat desa biasanya diselesaikan melalui musyawarah mufakat yang juga dikelola oleh si kepala desa. Jelas kepala desa mempunyai motivasi yang sangat terbatas untuk mendorong proses musyawarah ketika persoalan yang dibahas akan mengganggu kepentingannya.

Boks 2: Apa yang dimaksud dengan institusi desa?

Istilah ‘institusi desa’ atau ‘lembaga desa’ dalam laporan ini mengacu pada (i) pemerintahan desa (ii) forum yang memang diciptakan oleh proyek sebagai wadah musyawarah dan penyelesaian masalah di tingkat desa (sebagaimana dibentuk oleh program PPK) dan (iii) lembaga adat tradisional – walaupun yang terakhir ini jarang dipakai dalam upaya penyelesaian masalah korupsi.

Pemerintah desa Desa-desa di Indonesia merupakan unit administratif terendah dari struktur pemerintah yang disusun seperti berikut: Negara – Presiden

Page 30: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

30

Propinsi – Gubernur (dipilih oleh lembaga legislatif propinsi, DPRD I)6 Kabupaten/Kota – Bupati/Walikota (dipilih oleh lembaga legislatif kabupaten/kota,

DPRD II) Kecamatan – Camat (setelah desentralisasi, sekarang merupakan bagian dari

kabupaten/kota) Kelurahan – Lurah (ditunjuk) Desa – Kepala Desa (dipilih)

Setiap desa lebih jauh dibagi menjadi dusun dan Rukun Warga/Rukun Tetangga (RW/RT), yang masing-masing memiliki ketua Dusun – Kepala Dusun RW/RT – Ketua RW/RT

Pemerintah desa di Indonesia telah berubah sejak masa Orde Baru. Di bawah Orde Baru, kepala desa bertanggung jawab menjaga keharmonisan dan membantu penduduk desa untuk menyelesaikan sengketa mereka, besama-sama dengan ketua RW/RT dan dusun. Selain kepala desa, forum utama untuk mendiskusikan kebutuhan masyarakat atau menyelesaikan sengketa adalah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) bagi perencanaan pengembangan. Tetapi kepala desa menunjuk anggota lembaga-lembaga ini dan secara efektif memiliki wewenang atas mereka, sehingga tidak ada penyeimbang bagi kekuasaannya. Undang-undang Desentralisasi yang dikeluarkan tahun 1999 memuat berbagai ketentuan yang mendorong desa menjadi lebih demokratis. Meskipun kepala desa masih merupakan alat utama pemerintahan, namun muncul lembaga legislatif yang lebih demokratis (BPD) untuk menggantikan LMD. Anggota BPD dipilih langsung oleh masyarakat desa dan mempunyai hak untuk merekomendasikan pemecatan kepala desa. Dengan demikian BPD dapat bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan kepala desa dan memberi peluang perbaikan bagi kelompok masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan desa yang ada. Implikasi atas ketentuan tersebut masih variatif mengingat peraturan pelaksana atas ketentuan itu diserahkan kepada pemerintah daerah.

Forum bentukan program pembangunan masyarakat desa Sebagai tambahan lembaga pemerintah desa, berbagai program bantuan membentuk forum semi formal (seperti kelompok pengguna air, nelayan dll) atau memberi dukungan kepada lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya. Dalam PPK dikenal musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus), musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) dan musyawarah antar desa (MAD) berturut-turut

Page 31: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

31

diadakan di tingkat dusun sampai kecamatan untuk pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah yang muncul. Konsultan program ikut hadir dalam pertemuan di forum-forum tersebut untuk memfasilitasi dan memberi dukungan untuk penyelesaian masalah.

Penyeragaman dan standarisasi pemerintahan desa yang dibentuk oleh Orde Baru tersebut melemahkan lembaga masyarakat tradisional, serta institusi alternatif di luar tatanan yang sudah ada. Dalam beberapa penelitian Bank Dunia di tingkat pedesaan di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun pemerintahan desa yang standar dan seragam ini berhasil meningkatkan modal sosial (‘social capital’) secara keseluruhan, namun lembaga itu tidak melibatkan bahkan meminggirkan kelompok rakyat miskin (Wetterberg 2004). Namun, bahkan di mana institusi tradisional masih berperan, merekapun tidak melibatkan kelompok miskin tersebut meskipun persepsi umum kerap meromantisir lembaga sebagai penjaga harmonisasi dan representatif. Lembaga tradisional tak jarang juga merupakan ajang peperangan memperebutkan kontrol atas sumber daya dimana keluarga-keluarga terpandang mendominasi suara kelompok masyarakat miskin. Dengan demikian, lembaga tersebut tidak selalu efektif sebagai alat penyelesaian sengketa yang menyangkut kepentingan kelompok miskin (lihat Benda-Beckmann, F & K 2001).

Contoh keberhasilan berlatar belakang kegagalan

Dengan konteks sosial politik tersebut, bisa dibayangkan bahwa sama sekali tidak mungkin kelompok masyarakat miskin berhasil mempertahankan hak serta merepresentasikan kepentingan mereka melalui mekanisme yang tersedia. Akan tetapi, studi kasus dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan upaya tersebut dan menggambarkan karakteristik keberhasilannya. Penelitian ini juga memberi tekanan pada proses transisi dan reformasi di tingkat lokal dengan mengidentifikasi peluang potensial yang bisa dipakai oleh masyarakat desa agar dapat berhasil memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.

Page 32: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

32

Bab 2 TEMUAN POKOK

Page 33: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

33

PENDAHULUAN

Bagian ini terdiri atas 5 bagian:

1. Tinjauan kasus. Bagian ini berisi pemaparan mengenai kasus yang diteliti serta tinjauan atas pola-pola yang ditemukan.

2. Pelaku utama. Bagian ini mengidentifikasi aktor dan lembaga yang berperan dalam kasus yang diteliti.

3. Penyelesaian sengketa secara informal. Bagian ini memaparkan aspek yang berkaitan dengan mekanisme informal; proses penyelesaian kasus dan kaitannya dengan preferensi dan ekspektasi masyarakat untuk memilih mekanisme informal serta analisis tingkat keberhasilan mekanisme informal dalam kasus-kasus yang diteliti.

4. Penyelesaian sengketa secara formal. Bagian ini memaparkan aspek yang berkaitan dengan mekanisme hukum formal; proses penyelesaian kasus dan kaitannya dengan preferensi dan ekspektasi masyarakat. Akan diuraikan pula pengalaman masyarakat berhubungan dengan lembaga hukum formal dan analisis keberhasilan polisi, jaksa dan Pengadilan dalam menyelesaikan kasus yang diteliti termasuk analisis mengapa mekanisme formal bisa berhasil di satu kasus namun gagal di kasus lainnya.

5. Implikasi kasus. Bagian ini menguraikan dampak dari proses penyelesaian kasus.

I. Tinjauan Kasus

1. Deskripsi

Hampir seluruh studi kasus merupakan kasus korupsi dalam program pemberdayaan masyarakat miskin: 9 kasus korupsi dalam PPK –sebuah program pengembangan masyarakat senilai $1 milyar di lebih dari 20.000 desa di Indonesia; 3 kasus korupsi dalam program serupa di perkotaan, P2KP, dan satu kasus korupsi dari program Koperasi Unit Desa (KUD), sebuah program mikro-kredit dari Pemerintah. Dana program pemberdayaan masyarakat yang berasal dari Bank Dunia merupakan pinjaman kepada pemerintah Indonesia

Page 34: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

34

sehingga merupakan uang negara. Dengan demikian, pencurian atas dana tersebut merupakan kasus korupsi dalam kacamata hukum di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 31/1999 Pasal II ayat 2 dan 3.

Empat kasus lainnya antara lain: satu kasus penyalahgunaan wewenang aparat kepolisian di Sumba Barat dan tiga kasus sengketa tanah menyangkut kelompok masyarakat di Lampung. Aspek yang menonjol pada tiap kasus adalah adanya indikasi keberhasilan berupa koalisi warga masyarakat dengan kelompok masyarakat sipil, lembaga keagamaan, LBH dan media massa lokal. Rincian studi kasus terdapat dalam Bab 4 Lampiran II.

Page 35: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

35

Tabel 1: Deskripsi kasus-kasus yang diteliti

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

Bukit Kemuning, Lampung

Pedesaan, dapat dijangkau

Pejabat Pemerintah

Camat memotong dana PPK sebesar Rp 125 juta. Para kepala desa yang dirugikan melaporkan hal tersebut ke polisi dan lembaga pemerintah lain. Dibantu oleh dukungan dari konsultan program di tingkat pusat serta pengacara LBH, warga masyarakat melakukan dorongan penyelesaian dan pemantauan selama proses hukum. Jaksa berusaha menghalangi proses hukum namun mendapat sorotan dari media massa, LSM dan LBH serta Bank Dunia. Akhirnya pelaku dinyatakan bersalah atas tindakan korupsi dan dihukum satu tahun penjara, mengembalikan dana yang dicuri dan membayar denda pada negara. Sanksi penjara baru bisa dilaksanakan setelah beberapa saat yang bersangkutan sempat melarikan diri.

Tokoh masyarakat Kepala Desa Konsultan Program Pengacara LBH Media Lokal LSM Bank Dunia

Informal: Tidak Dipakai

Formal: Jaksa menghambat, Pengadilan bekerja dengan baik

Resolusi berhasil melalui Pengadilan

Mamodu, Sumba Barat, NTT

Pedesaan, terpencil

Pejabat Pemerintah

Seorang anggota DPRD diduga menggelapkan dana PPK dan program lain total sebesar Rp 82,5 juta pada saat ia bertugas sebagai Kepala Desa berdasarkan hasil audit BPKP. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh konsultan program dan Pemda gagal memaksa yang bersangkutan untuk mengembalikan uang tersebut. Pelaku akhirnya bisa diadili meskipun terdapat penundaan yang panjang serta intervensi dari walikota setempat. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 1 tahun penjara, mengembalikan dana yang dicuri serta denda

Tokoh masyarakat Konsultan Program Pemerintah Daerah Bupati

Informal: Upaya gagal

Formal: Jaksa menghambat, Pengadilan berhasil

Resolusi berhasil melalui Pengadilan

Page 36: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

36

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

sebesar Rp 5 juta.

Ayawan, Kalimantan Tengah

Pedesaan, terpencil

Pejabat Pemerintah

Kepala desa menggelapkan dana PPK dan program lain total sebesar Rp 16,5 juta. Setelah didesak, ia hanya mengembalikan sejumlah kecil dana tersebut. Upaya hukum yang dipilih oleh warga masyarakat justru berujung pada aksi intimidasi aparat kepolisian pada masyarakat. Kemungkinan penyelesaiaan melalui perundingan sangat kecil, dan kebanyakan warga sudah putus asa.

Tokoh Masyarakat Konsultan Program

Informal: Upaya gagal, diupayakan kembali Formal: Hambatan dari kepolisian

Tidak berhasil Kasus dihentikan & warga putus asa

Tangerang, Banten

Perkotaan

Pejabat – dengan koneksi kuat

Pengelola KUT yang dipilih oleh masyarakat menggelapkan dana program senilai Rp 1 milyar. Proses hukum dapat berjalan berkat tekanan dari LSM anti korupsi dan media massa. Meskipun pelaku melarikan diri, namun ia tetap diadili secara in absentia dengan putusan sanksi penjara 8 tahun.

LSM Media

Informal: Tidak ada upaya

Formal: Jaksa menghambat, Pengadilan berhasil

Resolusi di Pengadilan berhasil namun, yang bersangkutan melarikan diri

Tambusai, Riau

Pedesaan

Konsultan Program

Konsultan PPK akhirnya mengaku telah menggelapkan dana program sebesar Rp 94 juta. Setelah diancam akan dipenjara, ia akhirnya berjanji mengangsur pengembalian uang tersebut dan membayar sebagian. Tetapi sisa hutangnya masih Rp 27 juta dan angsuran

Konsultan Program

Informal: Berhasil dengan memakai ancaman

Resolusi informal berhasil, pemantauan masyarakat

Page 37: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

37

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

macet seiring dengan melemahnya pemantuan dari warga masyarakat. Proses hukum sama sekali stagnan.

sanksi hukum

Formal: Jaksa menghambat

lemah

Maniang Pajo, Sulawesi Selatan Pedesaan

Konsultan Program

Konsultan PPK diketahui melarikan diri dengan uang sebesar Rp 51 juta. Warga kemudian menekan pengurus Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang juga diduga ikut terlibat. Ia diancam akan dilaporkan ke kepolisian dan akhirnya dia membayar kembali jumlah yang dicuri. Tetapi setelah uangnya dibayar, proses hukum berhenti.

Tokoh Masyarakat

Informal: Upaya berhasil

Formal: Polisi menghambat

Penyelesaian informal berhasil, tapi pelaku utama tetap bebas

Rowosari, Semarang, Jawa Tengah

Perkotaan

Konsultan Program

Seorang Fasilitator Kelurahan P2KP mencairkan dana Rp 100 juta untuk kepentingan pribadi. Diduga ia bekerja sama dengan beberapa pengurus perwakilan masyarakat (yand didukung kelompok preman) dalam aksi tersebut. Masyarakat sejak awal apatis sementara laporan ke kepolisian tidak ditindaklanjuti. Sementara polisi mengaku sedang memburunya, tersangka justru sering berada di kelurahan.

Konsultan Program

Informal: Upaya gagal

Formal: Macet di kepolisian

Mekanisme hukum macet, warga menduga polisi menerima suap

Bintoro, Demak, Jawa Tengah

Perkotaan

Warga yang dipilih jadi pengurus program

Tiga orang pengurus P2KP yang dipilih oleh masyarakat dituduh melakukan penyimpangan menyangkut dana senilai Rp 94 juta. Tim bentukan warga pencari keadilan secara aktif mendorong penyelesaian kasus melalui mekanisme informal. Berbagai upaya tersebut berhasil:

Tim anggota masyarakat Konsultan Program

Informal: Upaya yang berhasil dan inovatif

Berhasil. Masyarakat puas akan hasil yang dicapai

Page 38: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

38

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

uang dikembalikan dan para pelaku diberhentikan dari jabatannya.

Cipadung, Bandung

Perkotaan

Warga yang dipilih jadi bendahara

Bendahara P2KP yang dipilih masyarakat menggelapkan dana Rp 100 juta selama waktu kekosongan konsultan program. Tokoh masyarakat kemudian berinisiatif membentuk tim penyelidik dan secara aktif bekerjasama dengan pihak kepolisian. Sayangnya hasil investigasi polisi bolak-balik dari kantor polisi ke kantor jaksa –tanpa inisiatif dari kedua lembaga untuk bertemu muka membahasnya. Masyarakat kemudian frustrasi dan melakukan pengucilan kepada si pelaku.

Tim yang terdiri dari anggota masyarakat

Informal: Upaya gagal

Formal: Kasus berhenti antara polisi dan jaksa

Mekanisme formal masih berlangsung, warga mengaku kecewa

Lebakwangi, Jawa Barat Pedesaan

Warga yang dipilih jadi pengurus UPK

Ketua UPK diduga menggelapkan dana PPK sebesar Rp 107 juta. Si pelaku mengabaikan persetujuan yang dibuat. Dengan setengah hati, warga berupaya menyelesaikan masalah melalui musyawarah dan akhirnya melaporkan kasus ke kepolisian. Pemeriksaan polisi berjalan lamban dan si pelaku melarikan diri. Polisi kemudian justru menahan bendahara UPK dan mengabaikan upaya pencarian terhadap si pelaku utama.

Konsultan Program Masyarakat Pemda

Informal: Ada kesepakatan, namun diabaikan karena kurangnya tekanan

Formal: Hambatan dari kepolisian

Tidak berhasil melalui proses formal dan informal

Page 39: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

39

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

Seruyan Tengah, Kalimantan Tengah

Pedesaan, terpencil

Warga yang dipilih jadi pengelola program

Mantan pemimpin adat dan anggota DPRD setempat menggelapkan dana PPK dari 4 desa total senilai Rp 40 juta. Meski tekanan sosial dilancarkan, namun yang bersangkutan tidak mau mengembalikan dana tersebut. Ketika kasus dilaporkan ke kepolisian, masalah jarak dan biaya transportasi serta persaingan antara polisi dan jaksa menghalangi penyelidikan. Meski pemantauan warga terhadap proses hukum berjalan, namun tidak ada kemajuan dalam penyelesaian.

Kelompok masyarakat

Informal: Upaya gagal

Formal: Kasus berhenti antara polisi dan jaksa

Proses penyelesaian macet di mekanisme formal

Sakkoli, Sulawesi Selatan

Pedesaan

Warga yang dipilih sebagai pelaksana kegiatan

Ketua Tim Pelaksana Kegiatan menggelapkan uang PPK sebesar Rp 27,5 juta. Kepala desa baru melaporkan kasus ini ke kepolisian dan kejaksaan begitu menyadari bahwa desanya dikenai sanksi penghentian program karena tidak jelasnya pemakaian dana. Sayangnya polisi menolak kasus dengan alasan kasus ini merupakan masalah perdata sementara ketika ditanyakan ke kejaksaan, warga mendapat jawaban bahwa berkas laporan itu sudah hilang.

Kepala Desa Informal: Tidak ada upaya

Formal: Hambatan dari kejaksaan dan kepolisian

Mekanisme formal gagal, kasus macet, warga putus asa

Wanareja, Jawa Tengah

Pedesaan

Warga yang dipilih sebagai bendahara UPK

Selama 1 tahun penuh bendahara UPK Wanareja beraksi dan menggelapkan dana total Rp 250 juta. Meskipun perundingan nyaris berhasil, namun tiba-tiba si pelaku memilih memakai pengacara dan memakai mekanisme hukum formal. Berbagai elemen di tingkat kecamatan termasuk forum lintas partai ikut berperan

Kepala Desa Tim Masyarakat Forum lintas partai politik kecamatan

Informal: Sudah ada pengakuan dan kesepakatan membayar,

Sistem hukum bekerja baik, tapi uang tidak kembali ke masyarakat

Page 40: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

40

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

dalam penyelesaian masalah dan memantau jalannya proses hukum. Jaksa menuntaskan pemeriksaan dengan amat singkat dan mengajukan kasus ke Pengadilan. Putusan dikeluarkan dan si pelaku menjalani hukuman. Sayangnya, salah seorang aparat kecamatan yang diduga kuat ikut menikmati uang tersebut hanya mendapat sanksi administrasi dari atasan.

namun gagal

Formal: Jaksa dan Pengadilan bekerja sangat baik

Grobogan, Jawa Tengah Pedesaan

Warga yang dipilih untuk mengelola program (pejabat setempat diduga kuat sebagai motor korupsi)

Atas dorongan warga masyarakat, beberapa pengurus PPK dibawa ke Pengadilan atas penggelapan uang sebesar Rp 24 juta. Mereka divonis bersalah dan dipenjara, tetapi yang diduga sebagai otak pelaku korupsi – kepala desa – lolos dari proses hukum. Diduga kepala desa melakukan aksi suap serta intimidasi.

Anggota masyarakat (Ketua BPD) Konsultan Program

Informal: Upaya gagal

Formal: Pengadilan berhasil

Berhasil melalui Pengadilan, sayangnya pelaku utama lolos

Lampung Selatan (tiga kasus)

Pedesaan

Warga masyarakat vs. Perusahaan – Pemerintah Daerah – Perkebunan Negara

Tiga kelompok masyarakat di wilayah kabupaten Lampung Selatan selama berpuluh tahun berkonflik dengan pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan negara mengenai status tanah yang mereka diami sejak lama. Dukungan dari koalisi LBH – LSM – Media massa dan aktivis mahasiswa, membuat proses penyelesaian berjalan lebih seimbang. Meskipun mengalami tekanan dan intimidasi, posko bantuan hukum yang dibentuk oleh warga bersama koalisi bersikeras menolak membalas dengan aksi kekerasan.

Anggota masyarakat LSM, koalisi masyarakat sipil

Informal: Kasus berhasil

Upaya yang berhasil pada tahap mediasi, menurunkan skala konflik kekerasan

Page 41: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

41

Lokasi Pelaku Kejahatan Ringkasan Kasus Pemimpin

Kasus Proses

Resolusi Hasil Akhir

Tiga kasus ini dan banyak kasus tanah lainnya di propinsi Lampung menelurkan inisiatif lokal berupa pembentukan Tim Mediasi masalah tanah (Tim 13) yang beranggotakan masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Dikira, Sumba Barat, NTT

Pedesaan, terpencil

Polres menuduh seorang kepala desa dan tujuh penduduk lainnya membunuh seorang anggota polisi. Penduduk ditahan di penjara. Gereja Katolik melakukan upaya bantuan hukum dan menyewa seorang penasehat hukum bagi mereka dan memastikan bahwa Pengadilan berjalan dengan adil. Terlepas dari adanya tekanan polisi dan jaksa, Pengadilan Negeri memutuskan bahwa warga desa tidak bersalah. Tetapi kasus ini diajukan ke Mahkamah Agung, yang memutuskan keempat warga desa bersalah.

Jurnalis Pastor Katolik

Informal: Tidak ada upaya

Formal: Pengadilan berhasil

Sistem formal sebagian berhasil

Page 42: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

42

2. Jenis penyelesaian

Berdasarkan proses penyelesaian masalah, berbagai kasus yang diteliti dapat dibedakan dalam 3 kategori sebagai berikut:

1. Kasus yang diselesaikan secara informal tanpa melibatkan sistem hukum formal. 2. Kasus yang meski dilaporkan ke kepolisian atau kejaksaan namun tidak ada

tindak lanjut dan proses penyelesaiannya terhenti. 3. Kasus yang diselesaikan melalui mekanisme hukum formal dan diselesaikan di

Pengadilan

Kategorisasi di atas sekedar untuk penulisan laporan karena pada kenyataannya hampir tidak ada kasus dimana mekanisme yang dipakai berdiri sendiri (formal saja atau informal saja). Mekanisme formal, misalnya, lebih sering dipakai ketika mekanisme informal gagal atau macet. Sebaliknya, keberhasilan penyelesaian informal seringkali memakai ancaman sanksi hukum kepada si pelaku.

Tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang cara penyelesaian kasus

Tabel 2: Proses penyelesaian kasus korupsi

Kasus hanya mencapai Polisi/Jaksa

Penyelesaian Kasus Kasus

diselesaikan secara

informal masih dalam

proses kasus macet

Kasus diselesaikan

melalui Pengadilan

Pejabat pemerintah atau tokoh yang

berpengaruh Ayawan

Bukit Kemuning Mamodu

Tangeranga

Konsultan Program Tambusaib Maniang

Pajob Rowosaric

Pelak

u ya

ng d

icurig

ai

Warga masyarakat yang dipilih sebagai pengelola program

Demak Bandung

Lebakwangid Seruyan Tengah Sakkoli

Wanarejae Grobogane

Page 43: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

43

a. Di Tanggerang, salah satu pelaku tidak dituntut. b. Kasus Tambusai dan Maniang Pajo dilaporkan ke jaksa tetapi tidak ada tindak lanjut. Sebagian besar atau seluruh uang yang digelapkan dalam kasus-kasus ini telah dikembalikan c. Di Rowosari, salah satu pelaku adalah konsultan program. Pelaku lainnya adalah seorang penduduk yang dipilih untuk mengelola program, yang memiliki hubungan dengan tokoh agama Islam yang berpengaruh (kiyai). d. Kasus Lebakwangi akan disidangkan,tetapi hanya satu pelaku, dan bukan pelaku utama e. Orang yang dicurigai sebagai otak kasus Grobogan and salah satu yang dicurigai sebagai pelaku kasus Wanareja tidak diadili. Keduanya merupakan pejabat pemerintah. Mereka yang divonis merupakan penduduk yang juga terlibat.

II. Pelaku Utama

Tiga aktor utama yang terlibat dalam kasus yang diteliti adalah:

Pelaku tindak kejahatan. Mereka adalah pejabat pemerintah, konsultan program atau warga desa biasa.

Pemimpin Kasus. Pemimpin kasus utama adalah tokoh masyarakat desa yang bertindak atas nama penduduk.

Pihak eksternal. Pihak eksternal utama adalah (a) konsultan program & manajemen program; (b) pemerintah daerah; (c) Bank Dunia; (d) media & kelompok masyarakat sipil; dan (e) pengacara lembaga bantuan hukum.

Aparat hukum formal. Polisi Kecamatan (Polsek), Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri

1. Koruptor

Koruptor dalam semua studi kasus adalah: pejabat pemerintah, konsultan program atau warga yang dipilih oleh masyarakat untuk mengelola program. Namun, meski sama-sama memiliki pengaruh formal, konsultan program atau warga pengelola program tidak memiliki pengaruh sosial dan politik sebesar koruptor yang berasal dari pejabat pemerintah. Sementara itu, koruptor yang berasal dari konsultan program (yang berasal dari luar) relatif independen terhadap struktur kekuasaan setempat. Pelaku yang paling kecil pengaruhnya adalah warga masyarakat yang dipilih menjadi pengelola program –kecuali bila si pelaku memiliki hubungan atau mendapat dukungan dari pejabat pemerintah.

Page 44: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

44

Boks 3 : Profil pelaku kejahatan

Kepala desa, Sumba. Di Mamodu, Sumba Barat, pelaku korupsi adalah mantan Kepala Desa yang kemudian menjadi anggota DPRD II. Ketika menjadi kepala desa, ia secara terbuka menyalahgunakan dana PPK yang seharusnya diperuntukkan kepada kelompok simpan pinjam peternak sapi dengan alasan ia juga berhak menerima bantuan tersebut. Sementara warga desa tidak berani melaporkan masalah itu, konsultan program juga gagal memaksanya mengembalikan dana PPK. Penuntutan baru dilakukan oleh jaksa dua tahun setelah aksi penggelapan dilakukan, itu pun setelah Bupati mengirim surat dan mendapat ijin resmi dari Gubernur (untuk memeriksa anggota DPRD).

Konsultan program, Tambusai, Riau. Konsultan program dalam kasus di Riau bekerjasama dengan bendahara UPK setempat secara rutin melakukan penggelapan dana PPK. Kejadian tersebut diketahui dan dilaporkan oleh konsultan program yang baru menggantikan si pelaku. Namun, setelah dilakukan audit, konsultan yang baru justru terancam akan dipecat karena masalah di lokasinya. Konsultan baru tersebut yang sedang dalam rencana pernikahan merasa terpukul dengan ancaman itu dan akhirnya ikut melakukan penggelapan dana PPK dalam jumlah yang lebih besar. Namun setelah adanya ancaman akan dikenakan sanksi hukum, si konsultan baru akhirnya mau mengembalikan sejumlah besar dana yang digelapkan tersebut.

Warga desa, Bandung. Bendahara P2KP yang dikenal sebagai guru agama melakukan penggelapan dana program selama kekosongan konsultan program. Dana tersebut seharusnya akan dipakai bagi kelompok simpan pinjam masyarakat miskin. Akhirnya tokoh masyarakat setempat membentuk tim untuk mengusut dan melaporkan kasus ke kepolisian. Si pelaku dikenai sanksi sosial berupa pengucilan.

2. Pemimpin kasus

Boks 4: Profil pencari keadilan: Demak

“Uang ini milik orang miskin,” adalah jargon yang dipakai oleh konsultan program sebagai pemicu tekanan masyarakat bagi pelaku penggelapan dana P2KP di Demak. Figur kunci dari gerakan masyarakat adalah pemimpin informal, Pak Kurnen, seorang pensiunan yang sejak lama telah aktif membela kepentingan masyarakat sekitar seperti untuk mendapatkan aliran listrik atau pengaspalan jalan. Selain itu ada pula Labit, mantan aktivis mahasiswa yang bersemangat serta rekan lain, Pak Harno, tokoh pemuda dan aktivis sosial. Ketiganya sepakat bahwa melawan korupsi merupakan upaya investasi sosial jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat

Page 45: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

45

miskin. Anggota tim yang lain punya motivasi yang berbeda – mereka hanya ingin uangnya kembali agar bisa bergulir terus untuk kelompok mereka masing-masing. Yang memotori penyelesaian adalah Kurnen, Labit dan Harno. Labit membuat selebaran mengenai hasil audit dan mengajak agar sebanyak mungkin warga ikut dalam musyawarah pembahasan kasus. Kurnen juga menghubungi wartawan lokal dan lembaga pemerintah daerah agar bertindak sebagai mediator antar tim masyarakat dan para pelaku. Berbagai strategi tim masyarakat membuahkan hasil dimana para pelaku akhirnya berjanji akan mengembalikan dana yang digelapkan serta mereka diberhentikan dari jabatannya sebagai pengelola program. Dampaknya, masyarakat semakin percaya diri bahwa mereka sanggup menyelesaikan kasus korupsi di wilayahnya, “Saya yakin, kapan pun kalau kita memang membela kepentingan orang miskin, kita pasti menang,” ujar salah seorang anggota tim masyarakat.

Dalam kebanyakan kasus, para pencari keadilan yang mendorong proses penyelesaian kasus bukanlah anggota warga desa biasa, melainkan tokoh atau pemimpin masyarakat dan konsultan program yang biasanya berasal dari kelompok sosial yang sama dengan si pelaku. Dalam beberapa kasus, warga masyarakat memang terkesan apatis atau ‘mengampuni’ koruptor sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang warga di Demak, “Kalau dia ambil sekali dua kali yang kita bisa tutup mata. Tapi kalau sampai tiga kali, nah sudah tidak bisa dimaafkan. Kami akan cari jalan untuk menyelesaikannya.” Tapi yang terjadi sebenarnya bukanlah apatisme melainkan karena warga biasa tidak mengerti strategi apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus dan tidak merasa mampu mempengaruhi prosesnya. “Masyarakat tentu saja marah kalau uangnya dicuri,” ujar seorang warga di Ayawan, “Tapi mereka hanya protes di belakang karena takut (menyatakan protes secara terbuka).”

Alasan warga desa biasa untuk tidak terlibat secara langsung dapat diuraikan berdasarkan pernyataan mereka sebagai berikut:

Pertama, warga desa lebih senang bertindak melalui orang yang telah ditunjuk sebagai pemimpin yang, karena dianggap memiliki jaringan dan akses yang lebih baik dengan orang luar, memiliki posisi tawar yang lebih kuat.

Kedua, kasus korupsi dianggap sebagai kasus publik dan bukannya kasus perseorangan sehingga warga masyarakat merasa tidak mempunyai tanggung jawab langsung dan kurang termotivasi untuk terlibat dalam proses penyelesaian karena dipandang tidak akan berdampak langsung dengan kepentingan pribadi mereka. “Biasanya kita harus menemukan orang yang mau,” kata seorang warga karena, “sulit sekali mengajak orang desa (mendorong penyelesaian kasus)”.

Page 46: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

46

Terakhir, pesimisme yang diakibatkan pengalaman akan lemahnya penegakan hukum atas pelaku korupsi baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Di Mamodu, dukungan warga secara signifikan baru terjadi setelah mereka mulai yakin bahwa kasus bisa diselesaikan dengan dukungan pihak eksternal.

Tokoh masyarakat yang terlibat dalam penyelesaian masalah biasanya adalah tokoh arus bawah (ketua RT/RW, pengurus ojek, anggota BPD) yang mempunyai pengalaman aktif membantu warga masyarakat setempat menyelesaikan masalah. Tokoh masyarakat inilah yang menghubungi konsultan, wartawan, LSM, membuat laporan, mengorganisir pertemuan warga atau bahkan melakukan pendekatan pribadi untuk menekan pelaku agar mau bekerjasama menyelesaikan masalah.

Tabel 3: Peran & motivasi warga desa serta tokoh masyarakat

Aktor Motivasi mendukung penyelesaian Alasan pasif/menghambat proses penyelesaian

Warga Desa Keinginan untuk melihat uang dikembalikan secara benar untuk kepentingan masyarakat.

Keinginan agar dana diputar untuk kredit usaha kecil.

Kemarahan / keinginan akan keadilan

Apatis / takut Sejarah bebasnya pelaku kejahatan dari hukuman: ekspektasi bahwa upaya akan gagal

Masalah tindakan kolektif: upaya pribadi tidak sepadan dengan hasil yang akan didapat.

Tokoh Masyarakat

Tanggung jawab sipil atau moral Mempertinggi kedudukan sosial atau masyarakat

Mempertinggi modal politik/persaingan politik dengan tertuduh

Hubungan dengan pelaku kejahatan Sejarah bebasnya pelaku kejahatan.

Motif para tokoh masyarakat pemimpin kasus tersebut cukup beragam di antara motif persaingan politik. Di Grobogan, misalnya, Ketua BPD memadukan motif untuk membela kepentingan masyarakat sekaligus keinginan untuk mengurangi kekuasaan lawannya si Kepala Desa yang otoriter. Dalam kasus Wanareja, para tokoh forum lintas partai memakai kasus sebagai peluang untuk mendemonstrasikan mandat reformasi partai masing-masing. Namun motivasi yang paling kuat adalah rasa ikut bertanggungjawab untuk melindungi kepentingan kelompok masyarakat miskin sesama anggota masyarakat. Pemimpin kasus di Demak mengatakan, “Kami sebagai bagian dari masyarakat

Page 47: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

47

sini merasa bahwa kerugian mereka ya kerugian kita juga.” Seorang Lurah di Bandung mengatakan bahwa “Kami ingin melindungi uang masyarakat karena uang itu kan dapat mensejahterakan masyarakat bila digunakan dengan baik dan disalurkan dengan benar.”

Boks 5: Apa yang dimaksud dengan 'warga desa' & 'tokoh masyarakat’?

Istilah ‘warga’ dalam laporan ini untuk merujuk kepada pria dan wanita biasa yang tinggal di pedesaan. Istilah ‘tokoh masyarakat’ merujuk pada figur yang dihormati (dengan atau tanpa jabatan formal) seperti tokoh adat, pemimpin agama atau kepala kampung. Kategori ini dipakai dalam penulisan untuk menyingkat peran aktor yang memiliki akses lebih besar kepada pihak luar dibanding warga desa lainnya. Selain itu, tokoh masyarakat juga biasanya memiliki tanggungjawab tertentu. Meski demikian, disadari bahwa “warga desa” dan “tokoh masyarakat” tidak merupakan kelompok yang homogen dimana anggotanya memiliki persepsi dan kepentingan yang sama. Desa-desa di Indonesia adalah masyarakat yang heterogen yang terdiri dari petani, pedagang kecil, buruh, bidan, guru, pemimpin agama, pemimpin adat dan wakil pemuda. Setiap rumah tangga mungkin berbeda satu sama lain sesuai dengan kelompok dan kelas ekonomi, pekerjaan, agama atau etnis yang berbeda dalam preferensi dan kepentingan. Tokoh masyarakat dibedakan dalam laporan ini karena mereka memiliki tanggungjawab tertentu secara publik dan secara tradisional mampu bertindak dalam melindungi kepentingan mereka dibanding kemampuan warga desa kebanyakan.

3. Pihak Eksternal

Pihak eksternal yang paling aktif mendukung masyarakat dalam upaya penyelesaian masalah diantaranya konsultan program, aktivis LSM, wartawan dan LBH. Aktor lain seperti pemerintah daerah atau Bank Dunia kadang juga ikut berperan walau cenderung di belakang layar. Pihak eksternal yang berperan dalam kasus dapat diuraikan sebagai berikut:

Page 48: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

48

Boks 6: Pihak eksternal yang berperan

Manajemen program dan konsultan program. Setiap program pemberdayaan yang didanai oleh Bank Dunia memiliki struktur manajemen dan konsultan program yang bertugas melakukan pendampingan termasuk memfasilitasi penyelesaian masalah selama kegiatan berlangsung. Namun, dalam beberapa kasus justru konsultan program yang menjadi pelaku korupsi atau setidaknya bersikap pasif dalam mengupayakan penyelesaian masalah. Bila hal itu yang terjadi, dibutuhkan dorongan dari pihak eksternal lain untuk memotivasi konsultan mengambil tindakan. Dengan latar belakang sebagai ‘pendatang’, para konsultan relatif independen terhadap struktur kekuasaan di tingkat lokal.

Pemerintah daerah. Meskipun kasus yang diselesaikan menyangkut tindakan korupsi pejabat pemerintah, namun aparat pemerintah daerah yang lain kadang ikut mendorong upaya penyelesaian. Motivasinya biasanya karena kekhawatiran penghentian dana bantuan program atau agar mereka dapat dipercaya karena dianggap dapat mengelola dana publik dengan baik.

Media dan kelompok masyarakat sipil. Di beberapa kasus yang diteliti, peran media lokal, LSM, LBH dan kelompok masyarakat sipil lainnya sangat besar. Di Lampung, misalnya, wartawan harian Lampung Pos bekerjasama dengan pengacara LBH dan LSM anti korupsi mendampingi masyarakat dan melakukan pemantauan jalannya proses hukum. Di Dikira, Sumba Gereja Katolik, LBH dan media lokal (Sabana) bekerjasama untuk mencari dan membiayai pengacara dari Kabupaten lain untuk menjadi penasehat hukum bagi warga desa dalam kasus salah tangkap.

Bank Dunia. Bank Dunia berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam beberapa kasus, seperti Lampung, Bank Dunia mengancam akan meminta pemerintah pusat menghentikan dana PPK bila Pemda tidak mengambil tindakan yang mendorong upaya penyelesaian. Dalam situasi yang lain, Bank Dunia mendorong pemda untuk melakukan tekanan dan pemberian sanksi pada pelaku seperti dalam kasus Sumba Barat di mana Bupati memakai alasan penghentian dana oleh Bank Dunia untuk meyakinkan gubernur dan pemda agar mengambil tindakan atas anggota DPRD yang mencuri dana program.

Pengacara masyarakat. Tedapat 7 kasus dimana warga masyarakat meminta bantuan dari pengacara masyarakat untuk mewakili mereka serta membuka akses kepada lembaga penegak hukum. Meskipun demikian, pada praktiknya peran pengacara tidak sama. Di Lampung misalnya, pengacara (dari LBH) sangat aktif mendorong masyarakat dan melakukan advokasi, memberi pendidikan hukum agar warga berpartisipasi dalam pemantauan. Di tempat lain seperti di Lebakwangi, pengacara memainkan peran yang sangat terbatas sekedar mewakili kepentingan elit yang merasa terancam.

Page 49: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

49

Tabel berikut ini memberikan garis besar tentang berbagai motivasi para pelaku dalam mendukung atau menghambat upaya masyarakat dalam menyelesaikan kasus:

Tabel 4: Peran & motivasi pelaku eksternal

Pelaku Eksternal Alasan Mendukung Resolusi Alasan bersikap pasif / menghambat

upaya penyelesaian kasus

Bank Dunia Keinginan untuk mengurangi korupsi dalam program – bagian dari kebijakan lembaga dalam hal anti-korupsi.

Seringkali kasus terlalu kecil nilainya atau terlalu banyak jumlahnya sehingga tidak bisa terlibat secara aktif dalam setiap masalah.

Manajemen Program (PPK, P2KP, KUT)

Menekan angka korupsi merupakan bagian dari mandat.

Kasus terlalu kecil bagi penanganan masalah dalam struktur manajemen program untuk terlibat secara aktif pada setiap kasus.

Perlu bagi manajemen program lokal untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah daerah

Pemerintah Daerah

Takut kehilangan dana program untuk tahun/periode berikutnya

Keinginan untuk tampil ‘bersih’ guna menarik dana bantuan luar negeri

Memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan

Merebaknya perilaku korupsi di jajaran pemerintah mengurangi motivasi pemda menyelesaikan kasus korupsi yang lain.

Media / Masyarakat Sipil

Advokasi masyarakat Networking dengan lembaga

internasional dapat memberikan nilai lebih

Fasilitas dari pemerintah Ancaman atau intimidasi

Praktisi lembaga bantuan hukum

Advokasi masyarakat – kasus digunakan sebagai kesempatan

Keinginan untuk tetap membina hubungan baik dengan penegak hukum.

Page 50: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

50

(a) Konsultan Program & aktivis LSM: memfasilitasi upaya penyelesaian masalah

Konsultan program dan aktivis LSM lokal memainkan peran khusus yang penting dalam membantu tokoh masyarakat setempat untuk mencari keadilan. Dalam banyak kasus, upaya seperti itu tidak akan mungkin tanpa upaya konsultan program dan penasehat hukum masyarakat yang menyebarkan informasi, memberikan garis besar strategi penyelesaian dan menghubungkan mereka dengan pihak eksternal lain. Dalam beberapa kasus, konsultan program lokal merupakan pemimpin kasus utama atas nama masyarakat. Bila peran ini dijalankan, konsultan berkesempatan melakukan advokasi, mempertinggi kesadaran hukum masyarakat dan membuka akses informasi dan kontak dengan lembaga luar. Posisi mereka sebagai pendatang membawa keuntungan karena relatif independen terhadap struktur kekuasaan setempat dan tekanan sosial untuk menjaga ‘kerukunan’ komunal.

Boks 7: Strategi konsultan dan LSM mengatasi sikap skeptis masyarakat

Editor surat kabar dan ketua LSM. Pemimpin redaksi surat kabat yang sekaligus ketua LSM setempat membantu warga desa yang diduga melakukan pembunuhan terhadap aparat polisi dengan cara menghubungkan warga dengan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik setempat. Ia mengatakan, “Saya bilang pada mereka (warga) bahwa mereka harus memperjuangkan haknya, ada biaya atau tidak, karena kalau tidak sekarang, di waktu akan datang nasib mereka akan lebih buruk lagi.” Warga yang didampingi menyatakan bahwa LSM dan gereja sangat membantu, “bukan hanya soal uang tapi juga dengan pemikiran...”

Pengacara masyarakat. Di Lampung, seorang pengacara LBH secara rutin mengendarai sepeda motor mengunjungi desa-desa untuk menyebarkan informasi hukum, memberitahukan masyarakat tentang hak mereka, dan mendorong warga untuk memantau sidang korupsi atas Camat setempat. Strategi yang dipakainya adalah dengan menyebarkan cerita sukses di tempat lain di mana sekelompok warga berhasil mendapat kemenangan menghadapi pelaku kejahatan. Ia, secara sederhana namun meyakinkan, dapat memahamkan warga masyarakat betapa perjuangan melawan korupsi saat ini merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan mereka.

Page 51: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

51

(b) Pengacara LBH: mediasi dan membangun akses warga pada lembaga formal

“Orangtua dulu-dulu pernah bilang bahwa suatu hari nanti kampung kami ini akan menemukan ayah, ibu dan anak-anaknya. Omongan itu sekarang terbukti; mereka inilah (pengacara LBH dan aktivis mahasiswa) yang menjadi ayah, ibu dan anak kampung ini. Sejarah sudah kelihatan kalau negara ini sebentar lagi akan jatuh di tangan mereka yang muda-muda ini...”

Seorang warga desa Kubang Badak, Lampung Selatan.

Dalam ketiga kasus sengketa tanah di propinsi Lampung, LBH Bandar Lampung (yang berada di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/ YLBHI) memainkan peranan yang penting dimana secara aktif melakukan advokasi, pendidikan hukum dan mediasi untuk kepentingan warga desa. LBH bersama dengan LSM lain dan aktivis mahasiswa membangun posko-posko masyarakat tempat dimana para aktivis memberi pendampingan dan tinggal bersama warga secara sukarela.

Dalam 4 kasus lain, masyarakat juga mendapat dukungan dari pengacara dengan difasilitasi oleh konsultan atau elemen lain. Pada kasus Lampung, konsultan PPK menghubungkan masyarakat dengan Alpian, pengacara LBH, sementara pada kasus Wanareja pengacara masyarakat disediakan oleh program “Bantuan Hukum PPK” dan di Dikira, LSM bersama gereja menyewa jasa seorang pengacara dari Ibukota propinsi. Di Lebakwangi warga atas inisiatif sendiri menyewa pengacara yang kebetulan bertempat tinggal di kecamatan tersebut.

Boks 8: Sejarah bantuan hukum di Indonesia

Bantuan Hukum mulai muncul di Indonesia pada dekade 70-an ketika terjadi gerakan politik di kalangan advokat yang bertujuan menegakkan kembali kedaulatan hukum. Dalam konteks Indonesia, masa kejayaan sistem hukum terjadi pada sekitar tahun 1950 sebelum pada akhirnya pemerintah Soekarno mengeluarkan kebijakan demokrasi terpimpin yang pada praktisnya menghapuskan pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif. Organisasi Bantuan Hukum pertama (LBH) dibentuk tidak sekedar untuk memberikan pelayanan hukum pada rakyat miskin tapi juga mendorong penyusunan kembali prinsip utama penegakan hukum. Pekerjaan rutin LBH adalah memberi pelayanan

Page 52: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

52

hukum dan mewakili ribuan klien yang tidak mampu membayar. Sarjana hukum yang masih muda dipekerjakan untuk memberi nasehat hukum dan pendampingan di Pengadilan bagi korban penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan dan kejahatan lain. Melihat permintaan akan jasa LBH yang tidak terbendung, inisiatif ini kemudian diikuti dengan munculnya ratusan organisasi serupa pada tahun 80-an. YLBHI sebagai pioner hingga saat ini telah membuka 13 kantor di daerah. Tapi selain pendampingan di Pengadilan, advokasi selalu menjadi sasaran ideologis yang lebih umum di LBH dimana setiap kasus dilihat sebagai kesempatan untuk melakukan pendidikan dan pemberdayaan hukum warga masyarakat. Sebagian besar kasus yang ditangani adalah sengketa yang melibatkan masyarakat berhadapan dengan negara (militer, pemda, BUMN) atau kepentingan sektor swasta pemilik modal besar. Selain itu, kasus juga menjadi sarana terbangunnya koalisi antara jaringan LSM dan media massa yang pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan politik. Dalam dua atau tiga tahun terakhir YLBHI mulai terlibat dalam proses dialog dengan pemerintah melalui berbagai inisiatif seperti Kerjasama Pemerintahan (Partnership for Governance). Sayangnya, YLBHI saat ini sedang menghadapi masalah keuangan dan masalah internal yang berkaitan dengan desentralisasi wewenang dan perbedaan pandangan antara kantor-kantor daerah. Meski demikian, inisiatif yang diciptakannya akan terus bertahan melalui ratusan LSM dan LBH lain yang sekarang bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia. (Sebagian besar box ini dikutip dari Lev 1986).

Peran penasehat hukum dalam proses penyelesaian masalah yang beragam ditentukan oleh latar belakang mereka. Pengacara LBH atau LSM advokasi cenderung melihat peran mereka sebagai bagian dari gerakan advokasi secara luas dan pemberdayaan masyarakat. Dalam kasus Lampung, peran mereka tidak sekedar memberi nasehat hukum teknis sebagai kuasa hukum, melainkan secara sukarela membantu masyarakat dalam pengambilan keputusan, pendidikan hukum, dukungan bagi masyarakat untuk mengorganisir diri, partisipasi dalam pemantauan lembaga hukum dan memperkuat tekanan publik kepada polisi, jaksa dan Pengadilan.

Pengacara yang tidak memiliki latar belakang kerja sosial cenderung melihat peran mereka dalam lingkup yang lebih terbatas sesuai dengan standar praktisi hukum swasta. Pengacara masyarakat dalam kasus Lebakwangi bekerja setelah ada kesepakatan mengenai honornya dan membatasi peran sebagai pendamping para saksi dalam pemeriksaan. Jelas ia beranggapan bahwa kliennya adalah pengurus PPK dan camat, bukan masyarakat umum. Pengacara ini mungkin saja mengerti peraturan hukum dengan baik, tapi sebagaimana

Page 53: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

53

terlihat dalam studi kasus, warga dalam menghadapi persoalan korupsi pada dasarnya tidak membutuhkan keahlian litigasi, melainkan lebih pada kemampuan advokasi serta membangun akses mereka dengan berbagai lembaga dan pihak eksternal lain untuk bersama mereka memperkuat tekanan terhadap si pelaku atau aparat hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak semua pengacara masyarakat dilengkapi dengan keterampilan advokasi tersebut.

4. Lembaga hukum formal: Polisi, Jaksa & Hakim

Tiga pilar utama lembaga hukum formal di Indonesia adalah polisi, jaksa dan Pengadilan.

Polisi yang merupakan kontak pertama antara masyarakat dengan sistem hukum memiliki struktur organisasi yang terentang dari tingkat nasional hingga tingkat desa –walaupun pada prakteknya sulit mendapatkan polisi yang bertugas di desa. Dari seluruh studi kasus ini, polisi berperan dalam proses penyelidikan sekitar 2/3 kasus.

Jaksa mewakili negara dalam menuntut semua pelaku tindakan kriminal yang biasanya didasarkan pada laporan formal polisi yang memuat bukti, kesaksian dan pengakuan. Namun dalam Undang Undang Korupsi, jaksa memiliki wewenang untuk langsung melakukan penyelidikan atas kasus korupsi. Dalam studi kasus ini terdapat 4 kasus dimana jaksa melakukan penanganan langsung tanpa melibatkan polisi. Secara umum tingkat pendidikan jaksa lebih tinggi dari pada polisi, termasuk sarjana hukum.

Begitu jaksa siap dengan dakwaan, kasus bergulir ke Pengadilan. Terdapat 4 jenis Peradilan di Indonesia: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Namun pengetahuan warga desa pada umumnya hanya pada Peradilan Umum (kasus perdata dan pidana) dan Peradilan Agama (yang memiliki jurisdiksi terbatas pada kasus perceraian dan warisan di kalangan penganut agama Islam) (Lihat Evers 2002). Perkara korupsi disidangkan di Peradilan Umum.

Setelah vonis turun, kejaksaan mempunyai tanggung jawab atas eksekusi putusan hakim. Di Peradilan Umum, persidangan tahap pertama dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) yang berkedudukan di ibukota kabupaten. Terdakwa diberi kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) yang berkedudukan di tingkat propinsi bahkan sampai kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta.

Page 54: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

54

III. Penyelesaian Secara Informal

Temuan utama Preferensi & ekspektasi. Masyarakat desa lebih suka menyelesaikan sengketa

secara informal, karena dianggap lebih cepat, mudah, murah dan tidak terlalu merusak kerukunan dibanding penyelesaian formal.

Pola penyelesaian. Upaya pemimpin masyarakat dan konsultan program untuk berunding atas nama masyarakat desa diikuti proses dua-tahap: (i) pendekatan pribadi kepada pelaku kejahatan; dan (ii) pendekatan ‘berskala komunitas’ dengan mengenakan sanksi sosial serta berbagai upaya tekanan dari pelaksana program dan pemerintah daerah.

Keberhasilan/kegagalan. Keberhasilan pencari keadilan dalam menyelesaikan masalah kasus korupsi di luar mekanisme hukum formal cukup bervariasi. Kerberhasilan mekanisme informal biasanya terjadi ketika posisi tawar para pihak (warga desa dan pelaku kejahatan) relatif seimbang. Kasus yang gagal biasanya disebabkan karena (a) ketidakseimbangan kekuatan di antara pihak-pihak terlalu besar (b) sejarah lemahnya penegakan hukum kepada pelaku korupsi sehingga para pelaku tidak serius melihat ancaman hukum.

A. Preferensi dan Ekspektasi

Boks 9: Perspektif masyarakat: kecenderungan penyelesaian masalah

Isi wawancara dalam sebuah diskusi kelompok masyarakat di Demak, Jawa Tengah T: Apa yang terjadi bila seseorang melakukan tindak kejahatan? J: (Responden 1): Kita berusaha menyelesaikannya…. Tapi memang sulit. Karena itu kita datang ke pertemuan ini mencari cara penyelesaiannya

T: Bagaimana jika saya salah seorang anggota BKM [dewan pengelola dana program] dan menyimpan uang tersebut [untuk diri sendiri]?

Page 55: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

55

J: (Responden 2): Kalau dia ambil sekali dua kali ya kita bisa tutup mata. Tapi kalau sampai tiga kali, nah sudah tidak bisa dimaafkan. Kami akan cari jalan untuk menyelesaikannya.

J: (Responden 3): Kesabaran pasti ada batasnya. T: …mengapa anda tidak melaporkannya kepada polisi? J: (Responden 1): Kalau lapor polisi nama baik kita di sini akan rusak… karena itu kalau bisa kita coba simpan dan selesaikan secara musyawarah. Untungnya kami belum pernah mengalami masalah seperti itu.

J: (Responden 2): Biasanya kalau ada yang dibawa ke Pengadilan, akibat setelahnya malah lebih jelek. Kami berusaha menghindari hal itu. Kami ini satu kampung. Selain itu, untuk menjaga nama baik desa, ya lebih baik tidak membuka masalah sampai ke luar kampung… T: Jadi anda lebih suka untuk tidak membawa perkara ke sistem peradilan? A: (Responden 3): Ya, ini untuk melindungi kami karena kami semua akan rasa malu. Kasihan kalau kita laporkan mereka ke polisi karena mereka akan merasa lebih dikucilkan.

Warga dan tokoh masyarakat di desa cenderung menyelesaikan masalah secara informal dan terbatas di tingkat desa. Beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan ini diantaranya bersifat praktis dimana mekanisme informal dianggap lebih mudah, lebih cepat dan tidak menganggu kerukunan. Faktor lain adalah motivasi agar uang yang dicuri dapat dikembalikan langsung ke masyarakat. Mekanisme informal sering dianggap sebagai ciri khas Indonesia. Padahal situasi yang sama juga ditemukan di negara manapun, bagaimanapun kinerja sistem hukum maupun budayanya, karena Pengadilan dianggap sebagai upaya penyelesaian terakhir.7

Beberapa alasan mendahulukan mekanisme informal antara lain:

Lebih mudah, lebih cepat, lebih murah. PN yang berkedudukan di Kabupaten seringkali sulit dijangkau. Di Seruyan, misalnya, untuk mendatangi pemeriksaan ke Polres, warga harus berhenti bekerja selama 3 hari dengan biaya yang hampir sama nilainya dengan setengah upah minimum bulanan di wilayah itu. Seorang anggota BPD mengatakan, “Kalau tahu (proses hukum) akan demikian lama, saya pasti tidak mau pergi. Saya banyak kerjaan.”

Dianggap lebih baik dalam menjaga kerukunan serta menyelamatkan muka. Warga desa, dan terlebih lagi tokoh desa cenderung menekankan kerukunan dan

Page 56: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

56

menganggap mekanisme informal membuat masyarakat tetap damai dan menghindari rasa malu dihadapan orang luar. Desa digambarkan sebagai satu kesatuan keluarga besar sehingga, “Tujuan kita,” ujar seorang kepala desa, “Adalah menjadi hakim perdamaian desa, untuk mencari jalan keluar yang harmonis dan bukannya ada yang menang atau kalah.”

Masyarakat merasa dapat mengontrol proses penyelesaian masalah dan memastikan agar uang kembali pada mereka. Dalam banyak kasus, masyarakat merasa bahwa bila kasus diserahkan ke aparat hukum maka kasus itu terlepas dari tangan mereka, “Kalau dilaporkan ke polisi, kami tidak tahu apa yang terjadi... kami tidak dapat mengontrol prosesnya,” ujar seorang warga dari Lebakwangi. Kepala desa di Wanareja mengatakan, “Ada urusan sana (pengadilan) dan urusan sini (desa). Yang penting uangnya kembali. Masalah hukum sih bukan urusan kita.” Pengalaman masyarakat memperlihatkan bahwa sekali koruptor dihukum, si pelaku tidak ada keinginan untuk mengembalikan uangnya.

Sistem peradilan formal korup dan tidak dapat dipercaya. Salah satu alasan memilih mekanisme informal adalah anggapan bahwa hukum formal itu korup, tidak dapat dipercaya dan alat kekuasaan orang berduit. Masyarakat, meski berulang-ulang mengatakan, “Kami buta hukum,” sesungguhnya memahami tantangan besar bila mereka hendak menyelesaikan masalah lewat hukum formal, “Melaporkan pejabat yang korupsi di Indonesia ini seperti melaporkan seorang jurangan pada temannya,” ujar seorang warga di Lampung. Di Ayawan seorang warga yang melaporkan kepala desa justru dituduh sebagai provokator dan dikurung dalam sel.

Takut hukum. Dibanding sebagai alat untuk membela hak orang lemah, hukum lebih dipersepsi sebagai perpanjangan alat negara yang menekan. Dalam studi kasus terungkap contoh misalnya seorang warga desa di Wanareja bahkan hampir terkencing-kencing ketika menjadi saksi dalam pemeriksaan di kantor polisi. Bahkan kepala desa sempat merasa khawatir bahwa justru dia sendiri yang nanti bisa dijadikan tersangka. “Saya tidak punya uang sedangkan si Warnengsih (pelaku) punya 257 juta. Dia juga punya pengacara. Penegakan hukum kan masih lemah di sini,” katanya. Bahkan, putusan Pengadilan yang menghukum pelaku tidak dilihat sebagai kemenangan keadilan melainkan lebih sebagai penegasan kuatnya ancaman hukum negara pada masyarakat. Dikatakan oleh Ketua Forum Lintas Partai di Wanareja bahwa setelah putusan Pengadilan keluar, “Rakya sekarang tahu harus hati-hati.”

Page 57: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

57

Faktor kerukunan

Penekanan terhadap faktor menjaga kerukunan masyarakat desa merefleksikan idelogi Pancasila dimana salah satu nilainya adalah pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat.8 Berapa besar faktor kerukunan ini menahan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa melalui hukum formal? Dalam studi kasus terlihat bahwa faktor kerukunan lebih merupakan upaya untuk menutup masalah yang lain.

Boks 10: Menjabarkan kerukunan

Hubungan yang saling bergantung. Studi kasus dilakukan di masyarakat desa dimana warganya saling mengenal satu sama lain dan saling tergantung dalam kehidupan keseharian. Bila kasus muncul dalam situasi demikian, masyarakat memilih untuk memakai mekanisme yang lebih menyenangkan buat semua pihak dibanding mekanisme hukum dimana pihak yang kalah sangat jelas. Padahal ketidakpuasan si kalah akan mengakibatkan sulitnya bekerjasama di masa yang akan datang.

Takut akan balas dendam. Dalam kasus lain, kehendak untuk menyelesaikan masalah dengan menjaga kerukunan lebih sebagai alasan karena khawatir adanya aksi balas dendam. Seorang aparat yang terlibat dalam perundingan pada kasus Demak ketika ditanya mengapa ia lebih suka penyelesaian informal mengatakan, “Kalau (ia dan si pelaku) ketemu dijalan, masih senyum-senyum. Tapi kalau dibawa ke Pengadilan, kemungkinan balas dendam sangat besar.”9 Bahkan tim peneliti sempat mendapat ancaman dari putera si pelaku dalam kasus Seruyan Tengah. Setelah menekankan bahwa ia memiliki banyak pengikut, ia mengatakan, “Jangan repot-repot di Seruyan Tengah atau bisa jadi masalah.”

Menjaga nama baik. Ada pula semacam anggapan bahwa setiap kasus seharusnya tidak dipublikasikan demi menjaga nama baik masyarakat desa tersebut. Dikatakan oleh seorang Lurah di Semarang bahwa ia merasa malu jika kasus itu tidak diselesaikan di tingkat desa karena hal itu akan memberi kesan jelek dimana ia dianggap tidak mampu menjaga kerukunan kampungnya – faktor yang menjadi salah satu indikator kinerjanya di mata atasan.

Page 58: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

58

B. Pola Penyelesaian Masalah Secara Informal

Tujuan utama mekanisme informal terutama pada kembalinya dana yang dicuri daripada untuk menghukum atau membuat malu si pelaku. Karena itu setiap perundingan mengarah pada kesepakatan pengembalian dana oleh si pelaku melalui dua tahap (i) pendekatan pribadi, dan bila tidak berhasil maka (ii) tekanan komunal, yaitu dengan pengenaan sanksi sosial serta menggunakan otoritas kelembagaan dari manajemen program atau pemerintah daerah.

Jika pendekatan pribadi gagal, para pemimpin kasus akan memanfaatkan kekuatan masyarakat lain atau lembaga eksternal untuk meningkatkan tekanan terhadap si pelaku, masih dengan tujuan agar pelaku mengembalikan uang. Tekanan biasanya didatangkan dari lembaga formal pemerintahan dan bukan lembaga adat karena yang terakhir dipersepsi hanya cocok untuk menyelesaikan sengketa menyangkut adat dan bukan problem pembangunan di masyarakat.

Boks 11: Peran penting konsultan lokal dan forum musyawarah masyarakat: PPK & P2KP vs. KUT

Faktor penting dalam program pemberdayaan yang didanai oleh Bank Dunia (PPK dan P2KP) adalah diciptakannya forum musyawarah masyarakat dari tingkat dusun sampai antar desa yang selain untuk membahas kegiatan bisa pula dipakai sebagai forum penyelesaian masalah. Selain itu, program juga memiliki jaringan konsultan di tingkat lokal yang bertugas memfasilitasi masyarakat dan menghubungkannya dengan pihak eksternal bila dianggap perlu. Konsultan mendapat dukungan dari manajemen program sehingga relatif independen terhadap struktur kekuasaan setempat. Sebaliknya program KUT (kasus Tangerang) tidak memiliki forum serupa atau jaringan konsultan. Kasus tersebut melibatkan dana sebesar Rp 1 milyar – jumlah yang paling besar dari semua kasus yang diteliti. Jadi, meskipun seorang anggota masyarakat akhirnya mengadukan kasus ini ke polisi, namun tanpa forum musyawarah dalam program membuat masyarakat kebanyakan tidak terlibat dalam upaya penyelesaian. Situasi yang berbeda terjadi dalam kasus tanah di Lampung dimana kasus tidak terjadi dalam sebuah skema program tertentu tapi masyarakat beruntung mendapat fasilitasi dari kelompok masyarakat sipil (LSM, media massa, mahasiswa, LBH). Jadi meskipun berbeda dengan program pemberdayaan (PPK dan P2KP) namun dukungan yang didapatkan kurang lebih sama dan menjadi tujuan jangka panjang dari berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Page 59: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

59

Gambar 1: Mekanisme informal: peta pelaku di luar sistem peradilan

Dalam beberapa kasus, tersangka pelaku kejahatan hadir dalam forum masyarakat, mengakui kesalahan mereka dan menandatangani pernyataan mengembalikan dana dalam jangka waktu tertentu. Tetapi dalam kasus lain, sebagaimana terjadi di Bandung, pelaku sama sekali tidak mau menghadiri musyawarah. Ia bahkan merasa malu dan memboikot pertemuan tersebut sehingga warga membawa kasusnya ke Pengadilan.

Masyarakat biasanya membentuk Tim yang beranggotakan tokoh masyarakat untuk menginvestigasi dan menekan pelaku agar mau mengembalikan uang. Di Demak, tim tersebut dinamakan “Tim penyelamat dana P2KP”, di Grobogan ada “Tim Reformasi” dan di Wanareja ada tim yang berisi anggota Forum Lintas Partai di tingkat kecamatan.

Page 60: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

60

Boks 12: Profil tim penyelesaian masalah bentukan masyarakat

Tim masyarakat yang dibentuk untuk menarik kembali dana yang dicuri umumnya terdiri dari figur masyarakat yang dihormati, beberapa di antaranya mempunyai aspirasi politik atau merupakan anggota Badan Perwakilan Desa yang baru. Grobogan, Demak, dan Bandung merupakan contoh yang baik. Di Grobogan, ‘Tim Reformasi’ dibentuk untuk menarik kembali dana. Ketua tim merupakan Ketua BPD dan putera kepala desa terdahulu. Ketua BPD memiliki sejarah persaingan panjang dengan kepala desa, yang kroni-kroninya telah menyerangnya karena menuduh kepala desa mengantongi uang penjualan tanah masyarakat. Di Demak, tim yang disebut “Tim penyelamat dana P2KP”, dibentuk dengan bantuan konsultan program dan seorang anggota masyarakat yang mempunyai aspirasi politik. Kedua orang tersebut memobilisasi sembilan orang lainnya dari lintas-bagian masyarakat, termasuk anggota LSM pemuda dan kelompok ekonomi perempuan. Salah satu anggota merupakan ketua RW yang vokal. Di Bandung, tim serupa dibentuk dalam sebuah musyawarah. Seorang anggota aktif LPM (badan legislatif di kelurahan) memimpin upaya ini dan Lurah sendiri secara resmi menyetujui pembentukan tim tersebut.

Page 61: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

61

C. Seberapa Berhasilkah Perundingan Informal?

Boks 13: Apa yang dimaksud dengan penyelesaian kasus korupsi yang ‘berhasil’?

Dengan beberapa pengecualian, warga desa dan pemerintah daerah berpikir bahwa penyelesaian informal berhasil jika pelaku kejahatan mengemballikan uang yang telah mereka curi. Dan bila uang tersebut dikembalikan, biasanya tidak muncul keinginan untuk mendorong penerapan sanksi hukum formal sehingga semakin mempertebal budaya impunitas atas pelaku korupsi.

Ketika kasus diselesaikan lewat Pengadilan dapat diartikan bahwa sistem hukum telah berjalan dengan baik dan adil. Tapi biasanya masalah eksekusi putusan Pengadilan cukup problematis. Tidak ada kejelasan bagaimana uang yang dibayarkan ke “kas negara” bisa dikembalikan untuk masyarakat miskin yang selama ini telah memperjuangkannya. Tak jarang masyarakat merasa sia-sia mendorong penyelesaian – bahkan merasa ditipu, “Kalau begini (tidak jelas keberadaan uang hasil korupsi), kayaknya lebih enak ikut korupsi, uangnya disimpan, dipenjara sebentar dan setelah bebas bisa menikmati uangnya,” ujar seorang tokoh pemuda di Wanareja.

Hasil mekanisme informal cukup beragam terutama karena kasus korupsi memiliki banyak aspek. Kasus korupsi biasanya ditandai oleh ketidak-seimbangan posisi tawar antara korban (kelompok miskin) dan pelaku. Meskipun ada contoh keberhasilan dimana mekanisme informal berhasil menyeimbangkan posisi tawar tersebut dengan menggabungkan tekanan sosial dan ancaman sanksi hukum, namun yang sering terjadi adalah kegagalan yang disebabkan: pertama, karena sejarah lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia, tekanan penerapan sanksi hukum kerap diabaikan oleh pelaku. Padahal, pada waktu yang sama ancaman sanksi sosial tidak cukup kuat memaksanya mengembalikan uang. Pada kasus dimana pelakunya adalah pejabat pemerintah, mekanisme informal gagal menyeimbangkan posisi tawar sehingga memunculkan sikap pesimis bahwa upaya apapun memberantas korupsi pasti akan gagal.

Page 62: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

62

1. Beberapa kasus dengan kesenjangan posisi tawar yang berhasil diselesaikan

Keberhasilan penyelesaian kasus korupsi biasanya bila ada mobilisasi tekanan dari masyarakat, tekanan politik atau adanya ancaman penerapan sanksi hukum. Ancaman penerapan sanksi hukum, baik langsung atau tidak, dilancarkan oleh para pemimpin kasus guna meningkatkan posisi tawar mereka.

Boks 14: Strategi Tim Demak: contoh mekanisme informal yang berhasil

Tim penyelamat dana P2KP di Demak menerapkan beberapa strategi inovatif guna mendorong penyelesaian secara informal: Publikasi kasus. Atas prakarsa mantan aktivis mahasiswa yang sudah sejak lama

curiga ada penggelapan dana program, tim mengeluarkan pamflet yang berisi hasil audit serta pesan-pesan sederhana yang mendorong minat warga desa agar datang dalam musyawarah di kelurahan.

Memakai fungsi sanksi sosial. Di antara ke-11 anggota tim Penyelamat Dana P2KP, dua diantaranya adalah tokoh yang dikenal oleh banyak kelompok di masyarakat (RT, RW, kelompok pengajian) sehingga menjamin adanya arus sosialisasi masalah lintas kelompok di masyarakat mengenai proses penyelesaian masalah.

Penerapan ancaman sanksi hukum. Selama proses perundingan, setiap surat yang ditujukan kepada kelompok pelaku ditembuskan kepada pihak kepolisian. Selain itu, anggota tim yang memiliki kenalan seorang aparat polisi sering bertukar pikiran mengenai kemungkinan menggunakan jalur hukum.

Memanfaatkan otoritas Pemerintah Daerah. BAPPEDA, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah diminta untuk bertindak sebagai moderator pihak ketiga yang netral dalam diskusi antara pelaku kejahatan dan tim.

Kerjasama dengan media massa. Ketua tim menghubungi wartawan setempat untuk meliput proses penyelesaian di BAPPEDA –dengan asumsi bahwa lembaga tersebut akan bekerja serius bila ada peliputan dari media massa. Liputan media massa tersebut sekaligus menekan para pelaku sehingga mereka berupaya menyelesaikan masalah secepatnya untuk mengembalikan nama baik mereka.

Masyarakat desa dapat melancarkan tekanan baik secara langsung (pembentukan tim masyarakat) maupun tidak langsung (menggunakan otoritas

Page 63: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

63

pemerintah daerah atau manajemen program dan media massa). Dalam kasus Demak, meskipun sama sekali tidak menempuh jalur hukum formal, namun ancaman sanksi hukum selalu menjadi “bayang-bayang” mengikuti setiap proses sehingga menekan para pelaku untuk bekerja sama dan mengembalikan dana yang dicuri.

Peranan ancaman penerapan sanksi hukum dalam proses penyelesaian informal

“Walau kasus ini dilaporkan, sebenarnya kami nggak berharap polisi kok langsung bertindak. Tapi (laporan kepada polisi) itu bisa bikin dia takut.”

Tokoh masyarakat di Semarang

Ancaman penerapan sanksi hukum dapat mendorong jalannya proses informal –terutama karena semua pihak (pelaku, korban) menyadari bahwa bila sampai ke jalur hukum formal akan memakan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian, ancaman sanksi hukum dipakai untuk “membayangi” jalannya proses informal. Akibatnya, jika sejarah penegakan hukum di mata masyarakat lemah, maka tekanan ancaman penerapan sanksi hukum tersebut tidak bisa berhasil memaksa pelaku untuk bekerja sama. Dalam kata lain, kalau pengadilan lemah, proses penyelesaiaan informal juga bisa lemah.

Fungsi penerapan ancaman sanksi hukum tersebut cukup beragam tergantung bagaimana para pemimpin kasus menggunakannya secara efektif. Pada kasus Tambusai misalnya, si pelaku bahkan sempat menangis begitu tahu kasusnya sudah dilaporkan ke kejaksaan. Tak lama kemudian ia segera membayar sebagian besar uang yang digelapkan. Namun seringkali pelaku justru mengabaikan ancaman sanksi hukum tersebut seperti di Rowosari dimana si pelaku utama tetap merasa bebas untuk berkeliaran di desa walau sudah tahu bahwa kasusnya dilaporkan ke polisi. Di Seruyan Tengah, warga berkomentar tentang si pelaku dimana, “Dia berlaku sepertinya tidak terjadi apa-apa di sini,” walaupun kasus telah dilaporkan ke polisi. Dengan demikian, penerapan ancaman sanksi hukum sebagai “bayang-bayang” proses informal tidak mendorong keberhasilan bila kesenjangan posisi tawar antara masyarakat korban dan pelaku terlalu besar. Dengan kata lain, lemahnya penegakan hukum menjadi faktor yang akan melemahkan posisi tawar warga desa untuk menekan pelaku agar mau berunding mencari penyelesaian.

Page 64: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

64

2. Kegagalan untuk mengatasi ketidakseimbangan kekuatan

Terlepas dari satu atau dua kisah sukses, kebanyakan upaya penyelesaian kasus kourpsi secara informal tidak berhasil. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan kekuatan antara warga desa dengan pelaku tindak kejahatan korupsi yang membuat pelaku kejahatan abai pada ancaman hukum atau sanksi sosial.

Kelemahan sistem peradilan dan tumpulnya sanksi sosial

Dalam beberapa kasus, pelaku tindak pidana korupsi mengabaikan kesepakatan untuk mengembalikan dana yang dicuri. Sebagai contoh, di Seruyan Tengah, Kalimantan Selatan, seorang mantan anggota DPRD II dan ketua adat mengembalikan hanya sejumlah kecil uang yang telah ia gelapkan dari PPK bahkan setelah penandatanganan beberapa pernyataan untuk membayar seluruh dana. Di Lebakwangi, pelaku tindak kejahatan juga tidak mengembalikan dana terlepas dari janji yang berulang-ulang yang mereka kumandangkan. Dalam kasus-kasus seperti itu, pelaku tindak kejahatan cenderung mempertahankan diri dengan alasan bahwa tidak ada lagi uang yang tersisa untuk mereka kembalikan. Dalam beberapa kasus, seperti Wanareja, hal ini benar, karena tersangka resmi hanya salah satu dari pelaku dan tidak mampu mengembalikan uang yang dicuri. Namun, dalam banyak kasus, pelaku juga tidak berupaya menjual aset mereka atau mencari dukungan dana dari keluarga atau teman untuk mengembalikan dana. Nampaknya, kesepakatan dibuat sekedar untuk mengulur waktu dan bukan keinginan yang serius untuk menyelesaikan persoalan.

Boks 15: Sanksi sosial versus budaya impunitas terhadap koruptor

Penyelesaian secara informal tergantung pada bekerjanya sanksi sosial – perasaan malu, perasaan bahwa telah terjadi pelanggaran nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Sebagai contoh, di banyak lokasi hukuman utama bagi pelanggaran hukum adat termasuk “hukuman sosial” seperti teguran, peringatan, permintaan maaf kepada publik, pegucilan atau diusir dari masyarakat. Meskipun ancaman sanksi hukum kadang dapat menjadi faktor penekan, banyak orang berpandangan bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli. Terkadang sanksi sosial dianggap lebih keras. Saat ditanya mana yang lebih mengancam bagi pelaku

Page 65: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

65

kejahatan; sanksi hukum atau sanksi sosial, Kurnen, tokoh masyarakat di Demak menyatakan, “Yang paling menakutkan adalah pandangan masyarakat. Polisi memang menakutkan tapi mereka dapat disuap atau dipengaruhi. Masyarakatlah yang paling menakutkan. Kalau sampai kena sanksi masyarakat, dia nggak mungkin tinggal di sini lagi.” Tim masyarakat pada kasus Demak yang mempublikasikan kasus terdiri dari berbagai elemen masyarakat – perempuan, ketua RW serta tokoh lain yang punya akses ke berbagai kelompok lokal. Tekanan dari Tim ini terbukti efektif. Seorang pelaku menyatakan bahwa dampak terbesar kasus ini atas dirinya adalah rasa malu pada masyarakat, “Bahkan teman kerja saya serta orang Pemda tanya-tanya tentang masalah itu. Saya rasa malu. Masalah ini sudah merusak nama baik saya.” Saat menyatakan hal itu, ia telah mengembalikan hampir semua uang yang digelapkan. Bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki otoritas kekuasaan yang besar dan harus hidup berdampingan dengan warga yang lain, perasaan malu serta pengucilan masyarakat mempunyai dampak yang kuat. Begitupun bagi pelaku yang cukup mempunyai pengaruh luas. Mereka merasa seolah tidak terpengaruh oleh ancaman sanksi hukum maupun sosial hampir. Pelaku dalam kasus Seruyan Tengah, misalnya, mengaku sangat kehilangan muka. Tindakan korupsi yang dilakukannya diliput oleh media massa dan dilaporkan baik kepada masyarakat, Camat maupun kepada Ketua DPRD dan Bupati setempat. Akibatnya nama baiknya rusak: dari seorang tokoh terpandang menjadi seorang penjahat. “Nama baik ayah saya,” aku puteranya, “sudah rusak.” Anehnya, tidak ada upaya untuk mengembalikan uang yang dicuri dalam kasus ini guna memulihkan nama baiknya. Tapi, mengapa tekanan sanksi sosial tidak cukup bagi berhasilnya penyelesaian informal? Sejarah penegakan hukum, baik skala nasional atau lokal memperlihatkan bebasnya pelaku korupsi yang memunculkan budaya impunitas. Beberapa pelaku sering membandingkan kasusnya dengan kasus Akbar Tanjung – Ketua DPR yang divonis bersalah dalam kasus menyangkut dana miliaran dolar namun tetap diperbolehkan bertindak atas nama jabatannya. Hal ini, misalnya, menjadi simbol budaya impunitas di banyak tempat. Jadi, ketika sanksi sosial belum terasa menekan bagi seorang pelaku, ia juga dapat mengasumsikan bahwa lembaga peradilan tidak akan meminta pertanggungjawabannya. Untuk situasi Indonesia dimana sistem peradilan tidak responsif, asumsi serupa cukup masuk akal. Dan di pedalaman Kalimantan dimana terjadi kasus Seruyan Tengah, prospek penegakan hukum yang efektif memang kecil. Meskipun tidak memiliki kesadaran hukum yang tinggi, warga di sana cukup mengerti bahwa, “Hukum hanya bekerja kalau kita bayar,” ujar seorang warga di desa Rantau Pulut. Dengan demikian, tindak kejahatan terus berjalan dan pelaku dapat menghindar dari tekanan sosial yag memaksanya untuk merundingkan upaya penyelesaian.

Page 66: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

66

Tidak jelas mengapa pelaku tindak pidana korupsi begitu mudah mengabaikan kesepakatan yang ia buat, tapi nampaknya lemahnya penegakan hukum dan peluang sanksi sosial cukup punya peranan. Penyelesaian secara informal biasanya bekerja dengan baik bila ada tekanan dari pihak luar, dan terutama bila ada sanksi atas pelanggaran terhadap kesepakatan. Tapi dalam banyak kasus, si pelaku berfikir kemungkinan penerapan sanksi hukum toh sangat kecil atau ancaman sanksi sosial tidak menghambat dirinya. Seperti di Lebakwangi, si pelaku bersikap abai terhadap ancaman sanksi hukum sekaligus tidak memiliki keterikatan sosial yang besar dengan masyarakat sekitar. Hanya di Demak dimana mekanisme informal sangat berhasil, warga menyatakan bahwa sanksi sosial jauh lebih penting dibanding ancaman sanksi hukum (lihat boks 15).

Ketidakseimbangan kekuatan

Tidak ada satu pun di antara kasus yang melibatkan pejabat pemerintah dapat diselesaikan secara informal. Di Lampung si pelaku adalah seorang camat yang memiliki kedudukan adat yang tinggi. Di Mamodu, pelaku adalah kepala desa yang telah menjadi anggota DPRD dan secara terbuka mengatakan bahwa ia berada di atas hukum. Di kebanyakan kasus, bahkan para pemimpin kasus tidak mencoba mekanisme tersebut karena merasa yakin bahwa penyelesaian informal pasti gagal. Kegagalan akibat ketidakseimbangan posisi tawar tersebut berakibat masyarakat desa cenderung bersikap tidak peduli bahkan pasif.

Boks16: Kasus Mamodu: contoh dampak budaya impunitas

Di Mamodu, Sumba Barat, tidak ada upaya melaporkan si kepala desa. Meskipun warga mengaku sangat jengkel dengan perbuatan tersebut namun intimidasi si pelaku menghambat mereka. “Kalau punya kuda, dia ambil kuda. Kalau punya babi, nah dia ambil babi itu tanpa bayar. Kuda, kerbau, babi... masalahnya bukan apa yang diambil tapi kepala desa itu bisa ambil apa saja yang dia mau,” kata seorang warga. Yang lain mengatakan, “Dia (kepala desa) itu bangsawan. Kelihatannya keras... (juga) pintar. Kita ini tidak bisa menyetop apa yang mau dia buat. Dia buat apa saja yang dia mau.” Tapi diamnya masyarakat bukanlah tanda persetujuan melainkan sikap pasif karena merasa bahwa apa yang diperbuat untuk melawan kepala desa pasti akan gagal. “Mereka (masyarakat) itu kan orang kecil, tahu haknya tapi tidak tahu bagaimana mempertahankan haknya. Mereka belum mengerti bagaimana caranya melawan,” kata kepala desa pengganti. Pada akhirnya sebuah tim yang berisi tokoh masyarakat –beberapa diantaranya

Page 67: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

67

disebut-sebut sebagai lawan politik si kepala desa, memutuskan untuk melapor kepada Camat serta memberi keterangan kepada badan pemeriksa keuangan pemerintah daerah. Setelah dua kali kunjungan tim Bank Dunia yang mempersoalkan masalah tersebut, barulah konsultan program dan pemda mendorong agar kasus diproses di Pengadilan. Akhirnya kepala desa divonis bersalah melakukan tindakan korupsi dan dipenjara. Warga desa mengatakan mereka puas bahwa kepala desa mereka dipenjara. “Kami tidak lagi takut sama dia,” kata seorang warga. “Ia seperti musuh buat kami.”

Kesediaan untuk menggunakan sistem peradilan

Meskipun lebih dipilih oleh masyarakat, mekanisme informal gagal ketika tidak ada keseimbangan posisi tawar; si pelaku yang memiliki posisi tawar lebih tinggi dalam struktur kekuasaan di desa kurang berminat untuk terlibat dalam perundingan, abai terhadap ancaman sanksi hukum karena belajar dari pengalaman bahwa aparat hukum kerap bias dengan kekuasaan. Dengan demikian, menguatkan penegakan hukum formal akan berdampak positif bagi berbagai mekanisme informal yang dipakai oleh masyarakat untuk menyelesai-kan masalah mereka.

Terlepas dari berbagai kelemahan sistem hukum yang ada, masyarakat tetap memperlihatkan harapan untuk menggunakannya sebagai upaya terakhir –walau dorongan ke arah itu masih berasal dari konsultan program atau pihak eksternal lainnya. Situasi ini semakin memperjelas betapa akses masyarakat desa pada lembaga hukum formal memang sangat tergantung pada pihak eksternal yang mempunyai jaringan dan informasi serta memiliki kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan lembaga penegak hukum.

Page 68: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

68

IV. Penyelesaian Melalui Jalur Hukum Formal

Temuan utama Preferensi & ekspektasi. Masyarakat dan tokoh masyarakat di desa cenderung

takut, tidak percaya dan sangat sedikit mengerti prosedur hukum. Tapi mereka masih menunjukkan kesediaan untuk memakai mekanisme hukum formal sebagai upaya terakhir.

Kinerja aparat hukum. Kinerja polisi dan jaksa pada kebanyakan kasus sangat buruk, ditandai dengan pelaksanaan tugas yang sengaja diperlambat dan adanya dugaan menerima/meminta suap. Namun, begitu sebuah kasus usai diproses di kepolisian dan kejaksaan, Pengadilan bekerja dengan lebih baik dari yang diperkirakan. Secara umum lembaga hukum formal dapat menekan ketidak-seimbangan posisi tawar para pihak dengan cara menegakkan sanksi hukum pada si pelaku. Sayangnya keberhasilan ini masih dilemahkan dengan kegagalan kejaksaan untuk melakukan eksekusi putusan Pengadilan serta sikap kerja yang tidak transparan.

Keberhasilan/kegagalan. Faktor utama pendorong keberhasilan mekanisme hukum formal pada dasarnya lebih bersifat sosio-politis dibanding legal teknis. Artinya, kasus yang berhasil adalah kasus dimana para pemimpin kasus berhasil memobilisasi partisipasi warga masyarakat, memiliki kontak dengan jaringan LSM/LBH/media massa serta dapat mengupayakan dukungan dari pihak eksternal.

A. Preferensi dan Ekspektasi

1. Perspektif masyarakat desa

“Kami tidak tahu urusan hukum dan Pengadilan, hanya buang waktu dan biaya. Lebih baik kami ini kerja di kebun untuk cari makan.”

Seorang warga di Lampung

Hampir di semua kasus yang diteliti, masyarakat desa lebih menyukai mekanisme di luar Pengadilan. Hal ini diperkuat oleh berbagai penelitian kuantitatif misalnya survei yang dilakukan Asia Foundation (2001) yang memperlihatkan bahwa 86% responden di Indonesia percaya bahwa musyawarah lebih disukai dibanding menggunakan jalur hukum atau

Page 69: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

69

mekanisme formal lainnya dalam menyelesaikan sengketa. Alasan utama yang diberikan adalah pertimbangan waktu, biaya, nama baik dan alasan tidak mengerti sistem hukum (Asia Foundation, 2001).

Pertimbangan serupa juga terlontar dari masyarakat desa dalam kasus yang diteliti; mereka takut berurusan dengan lembaga hukum karena mekanismenya yang adversarial dianggap tidak sesuai dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari. Lebih dari separuh masyarakat Indonesia tinggal di daerah pedesaan dimana anggota masyarakat saling tergantung, tinggal berdekatan dan saling mengenal dalam aktivitas mereka sehari-hari. Karena itu mereka enggan menyelesaikan masalah lewat Pengadilan yang bersifat “menang – kalah” karena dianggap tidak sesuai dengan perikehidupan mereka. Pada umumnya masyarakat desa memiliki dasar pengetahuan hukum yang rendah dan, jika pun ada, hanya memiliki akses yang sangat minim akan informasi hukum.

Boks 17: Perspektif masyarakat: Pengetahuan tentang prosedur hukum formal

Transkrip wawancara diskusi kelompok Penduduk di salah satu kelurahan Bandung:

T: Nah, kalau kita lapor ke polisi, terus apa yang akan terjadi?

J: (Responden satu) Ya, sudah. Polisi akan memproses dan kasih keputusan...(ragu-ragu)... tapi kayaknya terus ke jaksa, kan?

J: (responden lain): Ya, ke jaksa

T: Oh begitu, terus setelah jaksa, apa lagi kelanjutannya?

J: Jaksa akan diproses. Jaksa menentukan dia (pelaku) bersalah atau tidak (responden lain setuju tapi kemudian lama terdiam, ragu-ragu)

T: Kalau begitu, terus hakim ngapain?

J: (Responden satu): [diam sebentar] Kayaknya hakim dulu... baru jaksa....

J: (Responden dua): Nggak, jaksa dulu, mungkin, terus ke hakim....

Page 70: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

70

Responden perempuan (pengurus PKK) di sebuah desa di Lampung

T: Gimana Bu, kalau lihat ada polisi?

J: Awalnya ya kami takut sama polisi. Kalau lihat polisi ke desa, kami bertanya-tanya ada apa, ya takut karena pasti ada masalah. Tapi, seperti tadi saya bilang, kalau ada polisi ya aman rasanya...

T: Kalau jaksa, kerjanya apa?

A: Jaksa itu yang menentukan orang itu (si pelaku kejahatan) salah apa tidak...

T: Kalau hakim?

A: [bingung, diam sejenak, senyum malu karena merasa jawabannya salah]

Demikianpun, dalam situasi dimana si pelaku begitu berkuasa dan upaya informal sepertinya tidak akan membawa hasil apa-apa, masyarakat desa menunjukkan kesediaan untuk menempuh jalur hukum sebagai upaya terakhir.

B. Pola Penyelesaian Secara Formal

Pengalaman masyarakat desa berhubungan dengan aparat penegak hukum cukup beragam. Dengan beberapa pengecualian, pada umumnya polisi dan jaksa cenderung memberi pelayanan yang buruk pada mereka, menyalahi prosedur dan kewajibannya, mengulur-ulur investigasi dan menunjukkan bias terhadap kepentingan pejabat atau orang kaya. Di pihak lain, Pengadilan relatif bekerja dengan baik – walau tidak tuntas karena kegagalan jaksa untuk mengeksekusi putusan Pengadilan sesuai dengan hukuman dan prosedur yang seharusnya.

Namun, diantara kasus korupsi yang diteliti, setidaknya terdapat tiga kasus dimana mekanisme hukum formal berhasil. Dalam kasus berhasil tersebut, pemimpin kasus mampu menerapkan strategi menggerakkan masyarakat umum, pemantauan publik dan tekanan kepada lembaga hukum agar bekerja dengan baik. Pengadilan berhasil menjawab ketidakseimbangan posisi tawar antar pelaku dengan cara penerapan sanksi hukum pada si pelaku korupsi. Dalam situasi dimana masyarakat desa mendapat pendampingan yang tepat dan dilengkapi dengan pengetahuan mengenai prosedur dan peraturan hukum

Page 71: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

71

ditambah dengan akses kepada dukungan pihak eksternal, mereka berhasil mendapatkan keadilan lewat mekanisme hukum formal.

1. Pelaporan

Upaya melalui jalur hukum biasanya dimulai ketika mekanisme informal gagal. Inisiatif biasanya datang dari konsultan program atau aktor eksternal lain –jarang terjadi inisiatif datang dari warga masyarakat sendiri.

Boks 18: Sulitnya menjangkau kantor penegak hukum

Pada kasus Demak (urban), lebih mudah bagi masyarakat untuk melibatkan aparat polisi untuk mendukung penyelesaian informal; dengan berkonsultasi mengenai prosedur hukum kepada aparat polisi, pemimpin kasus di Demak mendapat posisi tawar yang lebih baik ketika berhadapan dengan para pelaku korupsi karena berhasil membuat ‘bayangan’ penerapan sanksi hukum terlihat lebih nyata. Hal yang sama terjadi di Bandung dimana aparat polisi hadir dalam musyawarah masyarakat dan menjelaskan prosedur hukum dan konsekuensinya. Dalam kasus-kasus dimana terdapat kedekatan jarak geografis antara masyarakat dan kantor penegak hukum –situasi yang memungkinkan interaksi yang lebih baik antara aparat dan masyarakat, memungkinkan aparat polisi menjadi narasumber yang bermanfaat sebagai kontak pertama antara masyarakat dan lembaga peradilan.

Melaporkan kasus ke polisi adalah sarana bagi pemimpin kasus untuk meningkatkan posisi tawar mereka terhadap si pelaku sebagaimana terjadi pada kasus di Seruyan Tengah dan Maniang Pajo. Di semua kasus, laporan disusun oleh tokoh masyarakat atau konsultan program atau tim bentukan masyarakat – dan bukan oleh anggota masyarakat biasa. Hal ini mencerminkan persepsi masyarakat desa bahwa tokoh masyarakatlah yang bertanggungjawab. Warga di Rowosari mengaku mereka takut untuk melaporkan kasus ke polisi sehingga hanya menunggu inisiatif dari aktor eksternal (manajer program) untuk melakukannya.

Dalam Undang-undang Tindakan Pidana Korupsi, 1999, baik jaksa maupun polisi memiliki wewenang untuk melakukan investigasi dalam kasus korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.10 Tetapi karena pengetahuan masyarakat masih terbatas, kebanyakan kasus tetap dilaporkan kepada polisi – yang lebih dikenal oleh masyarakat, dan bukan kepada kantor kejaksaan.

Page 72: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

72

Tabel 5: Pelaporan kasus korupsi

Terjadi Pelaporan Pelapor Ditujukan kepada:

Bukit Kemuning Kepala Desa Polisi Sakkoli Kepala Desa Polisi Maniang Pajo Wakil masyarakat Jaksa Grobogan Wakil masyarakat (“Tim Reformasi”) Polisi Bandung Wakil masyarakat (Tim Penyelamat Dana P2KP) Polisi Lebakwangi Wakil masyarakat Polisi Mamodu Wakil masyarakat Jaksa Wanareja Forum Partai Politik, Kepala Desa & Konsultan

Program Polisi

Rowosari Konsultan Program (Manajer Wilayah P2KP) Polisi Tambusai Konsultan Program (Manajer Area PPK) Jaksa Seruyan Tengah Wakil Rakyat & Konsultan Program Polisi Ayawan Wakil Rakyat Polisi Tangerang NN Jaksa

Respon polisi dan jaksa atas laporan masyarakat desa biasanya buruk. Di beberapa kasus aparat menolak memberi informasi mengenai kemajuan atau tindak lanjut laporan kepada masyarakat korban – bahkan untuk informasi yang sebenarnya tidak dikategorikan sebagai ‘rahasia’. Padahal, menurut Undang-undang No. 31/1999, anggota masyarakat memiliki hak khusus kepada informasi dalam investigasi kasus korupsi [lihat Undang-undang 31/1999, Pasal 5 ayat (41)].11 Pada kasus Dikira, polisi diceritakan telah menyiksa warga desa yang jadi tersangka dan mereka mengaku dipaksa untuk menandatangani berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibawah ancaman fisik. Apalagi, si jaksa diduga mencoba menyuap saksi dan orang lain yang dilibatkan dalam persidangan.

Boks 19: Perspektif masyarakat: Pengalaman berinteraksi dengan polisi dan jaksa

Warga desa memiliki beragam kesan dan pengalaman –kebanyakan pengalaman buruk, saat berinteraksi dengan kantor polisi atau jaksa baik untuk melaporkan atau untuk menanyakan tindak lanjut laporan mereka. Di Lebakwangi dimana polisi sempat mengeluh pada tim Justice mengenai kendala warga desa yang malas diperiksa sebagai saksi, seorang warga mengaku dibiarkan menunggu dari pagi hingga petang ketika ia datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Warga Sakoli mengatakan, “Kalau lapor ke polisi, kita disuruh datang berkali-kali. Padahal desa kami ini jauh mana kami tidak punya ongkos. Kalau kita lapor tapi tidak kasih uang

Page 73: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

73

rokok, mereka keras dan kasar.” Sementara di Ayawan, sekelompok warga yang melaporkan aksi korupsi si kepala desa justru dituduh oleh polisi setempat sebagai provokator. Salah satu dari mereka bahkan sempat ditahan beberapa jam, sementara tidak ada tindak lanjut pengusutan kepada si kepala desa. Kesimpulan warga adalah, “Peran polisi adalah manakutkan orang.” Pada sejumlah kecil kasus lain, respon polisi dan jaksa atas laporan masyarakat cukup baik. Sebagian besar warga Seruyan Tengah (yang telah mengalokasikan uang program sebesar Rp 25 juta untuk biaya trasportasi penyelidikan polisi) menyatakan puas dengan kinerja aparat kepolisian. Di Bandung, pemimpin kasus mengatakan bahwa aparat polisi sudah bekerja keras dan bersedia menjalin komunikasi dengan tim bentukan masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena aparat tersebut sebelumnya pernah bertugas sebagai polisi tingkat desa (Babin Kamtibmas) di wilayah tersebut. Pengalaman warga dengan jaksa juga cukup beragam. Di Lampung, sekelompok warga masyarakat yang mendatangi kantor kejaksaan untuk menanyakan perkembangan pemeriksaan kasus oleh kejaksaan justru diperintahkan untuk dibubarkan (bahkan dengan mendatangkan polisi) dengan alasan “identitas mereka tidak jelas”. Tapi di Wanareja masyarakat mengaku puas dengan kinerja jaksa yang terbilang sangat cepat menyelesaikan penyelidikan korupsi.

2. Investigasi (polisi/jaksa) & dakwaan (jaksa)

a) Melakukan investigasi – pola dan karakteristik

Polisi dan jaksa cenderung melaksanakan investigasi dengan buruk: mengulur waktu, penundaan tanpa alasan yang jelas dan pelayanan terhadap masyarakat desa yang tidak terbuka. Terdapat kesamaan masalah di kedua lembaga tersebut:

Sikap diskriminatif terutama untuk tersangka yang memiliki jabatan di pemerintahan Kemacetan dan pengabaian kasus Persaingan kelembagaan antara kepolisian dan kejaksaan Kurangnya pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan kasus yang ditangani Sulit diakses dan tidak transparan Rentan menerima suap dari pelaku atau kerabat pelaku

Page 74: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

74

Dalam kasus dimana pelakunya adalah pejabat atau orang yang mendapat dukungan dari tokoh berpengaruh, jaksa tidak bertindak kecuali jika ada tekanan dan sorotan publik yang luar biasa. Di Mamodu, misalnya, tidak ada langkah konkret menyidik pelaku (anggota dewan) selama hampir dua tahun sejak kasus itu dilaporkan; tidak berupaya meminta ijin dari Bupati sebelum si Bupati sendiri yang meminta agar kasus ditindaklanjuti. Akibatnya, si terdakwa secara terbuka mengatakan pada warga bahwa ia berada ‘di atas’ hukum. Jaksa melapaskan seorang tersangka pada kasus Tangerang karena yang bersangkutan dikenal sangat dekat dengan tokoh politik di Jakarta. Sementara itu di Grobogan jaksa hanya mengusut kelompok tersangka yang merupakan warga biasa dan ‘membiarkan’ tersangka yang merupakan pejabat pemerintah.

Boks 20: Strategi jaksa menghambat persidangan: kasus Bukit Kemuning, Lampung

Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Bukit Kemuning melakukan beberapa taktik untuk menghambat persidangan atas tersangka, seorang camat yang diketahui sebagai kerabat Kepala Kejaksaan Negeri dan pejabat Pemda. Pertama, jaksa mengulur-ulur penyelidikan dan menolak untuk memberikan progres ketika diminta oleh masyarakat. Kedua, jaksa mengajukan dakwaan ‘sungsang’ dimana dakwaan yang lebih ringan diletakkan sebagai dakwaan utama di atas dakwaan yang lebih berat. Ketiga, selama di bawah penahanan kejaksaan, pengawasan terhadap pelaku sangat lemah – beberapa kali bakan si pelaku dilaporkan bebas berkeliaran. Keempat, Jaksa Penuntut Umum berbohong pada publik dengan mengatakan bahwa persidangan tertunda karena rencana tuntutan belum dikembalikan oleh kejaksaan Tinggi. Padahal jaksa baru mengirimkan berkas tersebut satu hari sebelumnya. Akhirnya, meskipun telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, si pelaku yang berada di bawah pengawasan kejaksaan bahkan sempat melarikan diri selama beberapa bulan sebelum muncul tekanan publik yang kuat memaksa kejaksaan mengembalikan yang bersangkutan ke penjara.

Kecuali di Bandung dan Wanareja, polisi dan jaksa memerlukan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan penyelidikannya. Beberapa kasus bahkan tidak beranjak dari tahap awal ketika dilaporkan, dan bahkan ada yang memerlukan waktu dua tahun untuk menuntaskan penyelidikan. Situasi ini disamping membuat warga frustasi juga memberi kesempatan kepada pelaku untuk melarikan diri dan menghilangkan alat bukti.

Lambannya kinerja ini masih diperparah dengan adanya persaingan kelembagaan antara polisi dan jaksa serta tidak adanya ketentuan tentang batas

Page 75: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

75

waktu yang diperbolehkan untuk melakukan penyelidikan. Saling lempar berkas laporan antara polisi dan jaksa terjadi pada kasus Bandung dan Seruyan Tengah tanpa ada inisiatif sederhana untuk sekedar duduk bersama membahas perbedaan persepsi antara keduanya. Akibatnya, karena batas waktu penahanan tersangka terlampaui, maka tersangka dalam kasus Bandung terpaksa dibebaskan sebelum penyelidikan selesai. Hal ini membuat masyarakat marah dan menguatkan kecurigaan mereka bahwa terjadi aksi suap di tubuh aparat penegak hukum.12

Dugaan suap ini sangat beralasan di beberapa kasus. Di Rowosari warga kelurahan sempat melihat bahwa aparat polisi pernah mendatangi rumah dan bertemu dengan tersangka. Anehnya, tidak ada tindak lanjutan apa pun setelah peristiwa itu bahkan tak lama kemudian polisi menyatakan bahwa si tersangka saat ini berstatus buron dan melarikan diri. Padahal, hanya dalam waktu tiga jam berkeliling mencari informasi, tim Justice dapat menemukan tempat tinggal dan menghubungi si tersangka lewat handphonenya. Tersangka lain bahkan beroperasi sebagai agen pemasaran jasa perbankan yang tiap hari hilir mudik di kelurahan tersebut. Meskipun dugaan masyarakat akan aksi suap masih harus dibuktikan, namun ketidakterbukaan lembaga itu sendiri yang semakin menguatkan dugaan masyarakat.

Tabel 6: Karakteristik investigasi polisi & jaksa

Kasus dilaporkan

kepada Kinerja Polisi Kinerja jaksa Komentar

Bukit Kemuning [Polisi]

Kasus segera dilimpahkan ke kejaksaan

Penundaan dan hambatan yang terus menerus

Tersangka kerabat dekat Kepala Kejaksaan, pengabaikan atas kasus terus berjalan sebelum adanya tekanan pemberitaan di media massa

Sakkoli [Polisi]

Buruk. Kasus dikategorikan sebagai kasus perdata dan dengan demikian polisi menghentikan penyelidikan

Pengabaian. Berkas laporan kasus dinyatakan ‘hilang’.

Jaksa berkutat dalam kebingungan apakah kasus tersebut ‘korupsi’ atau sekedar ‘penggelapan’. Kurangnya pemantauan publik

Maniang Pajo [Jaksa]

Nil

Pengabaian. Tindak lanjut kejaksaan amat terbatas

Tidak membuat perbedaan antara ‘korupsi’ dan ‘penggelapan’.

Page 76: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

76

Kasus dilaporkan

kepada Kinerja Polisi Kinerja jaksa Komentar

Grobogan [Polisi]

Cepat – tekanan dari aktor eksternal; pemda dan partai politik

Sangat cepat –tekanan dari aktor eksternal

Orang yang diduga sebagai dalang kejahatan tidak diusut. Diduga aparat menerima suap

Lebakwangi [Polisi]

Penundaan. Satu tahun setelah dilaporkan polisi masih memeriksa tersangka. Tersangka sekunder dinyatakan sebagai tersangka, sementara yang diduga sebagai pelaku utama melarikan diri tapi tidak dinyatakan sebagai buron

Nil Lambannya pemeriksaan kepolisian mendorong masyarakat untuk kembali memakai pendekatan informal

Mamodu [Jaksa]

NIL Penundaan. Tindak lanjut sangat sedikit selama dua tahun

Jaksa harus menunggu ijin Gubernur untuk memeriksa tersangka. Muncul dugaan suap

Wanareja [Polisi]

Lamban & tidak professional. Polisi menyita aset tersangka –termasuk puluhan ekor ayam ternak yang diangkut ke kantor polisi

Baik. Jaksa aktif. Pemda khawatir kepercayaan lembaga donor hilang sehingga mendorong lembaga peradilan untuk memproses kasus dengan serius

Rowosari [Polisi]

Mengabaikan dengan tindak lanjut yang sangat sedikit. Kuat dugaan ada suap

NIL Menurut warga kasus tidak akan diselesaikan tanpa tekanan ‘orang atas’ (kecamatan/kodya) karena polisi dianggap tidak peduli dengan ‘wong cilik’.

Tambusai [Jaksa]

NIL Penundaan & menghambat. Jaksa terus terang minta uang untuk memproses laporan kasus. Kasus dianggap ‘perdata’ dan bukan ‘pidana’

NIL

Seruyan Tengah [Polisi]

Beragam; cepat pada tahap awal, baik Polsek maupun Polres sampai pelimpahan kepada jaksa –namun belakangan ada banyak penundaan

Penundaan. Berkas pemeriksaan bolak-balik ke polisi sebanyak 3 kali. Beberapa pihak menduga jaksa menerima suap

Berkas yang di ‘ping pong’ antara jaksa – polisi menunjukkan adanya disfungsi kerjasama antara lembaga tersebut. Kemajuan terjadi setelah adanya tekanan politik dan pemantauan dari media massa serta Bank Dunia

Page 77: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

77

Kasus dilaporkan

kepada Kinerja Polisi Kinerja jaksa Komentar

Ayawan [Polisi]

Buruk. Tidak ada tindakan yang diambil untuk kepala desa yang mengaku melakukan korupsi. Warga yang melapor justru ditahan dengan dugaan sebagai provokator

NIL NIL

Tangerang [Jaksa]

Buruk. Upaya polisi sangat terbatas untuk membawa para tersangka ke Pengadilan

Beragam. Sempat aktif tapi kemudian lamban karena ada pergantian staf serta kaburnya tersangka utama

Dinamika politik lokal mempengaruhi penegakan hukum; tersangka memiliki hubungan dengan tokoh politik di tingkat nasional serta tokoh mantan petinggi militer

Bandung [Polisi]

Baik. Respon polisi sangat cepat hingga menyelesaikan berkas pemeriksaan. Polisi kesal karena berkas berulangkali dikembalikan oleh jaksa

Beragam. Jaksa bekerja dengan cukup baik tapi berulang kali mengembalikan berkas pemeriksaan polisi

Penundaan akibat komunikasi yang buruk antar lembaga mengakibatkan masa tahanan tersangka habis dan harus dibebaskan. Hal ini mengakibatkan kemarahan warga masyarakat

Demak [NIL]

NIL.Seorang aparat polisi kerap diajak berkonsultasi oleh pemimpin kasus

NIL NIL

(b) Tahap rumusan dakwaan – pola dan karakteristik

Selain lamban, jaksa cenderung kurang mengerti Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebingungan yang paling banyak ditemui adalah mengenai frasa ‘merugikan keuangan negara’ dimana menurut UU tersebut, yang termasuk korupsi adalah tindakan memberi suap kepada pejabat pemerintah dan penggelapan dana yang ‘merugikan negara’ – termasuk dana pengembangan masyarakat. Uang dalam program yang didanai oleh Bank Dunia masuk dalam kategori ‘uang negara’ sehingga penggelapan atas uang tersebut termasuk dalam rumusan ‘merugikan uang negara’.

Tapi dalam banyak kasus terjadi ketidakpahaman sehingga jaksa ragu apakah akan menggolongkan tindakan pencurian uang program bantuan tersebut dalam ‘korupsi’ (dengan dakwaan dan hukuman yang lebih berat) atau sekedar ‘penggelapan’ dengan implikasi sanksi hukum yang lebih ringan. Namun,

Page 78: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

78

berdasarkan studi kasus yang dilakukan, seringkali sulit mengatakan apakah situasi tersebut memang dikarenakan kekurangpahaman atau merupakan strategi jaksa untuk mengulur waktu atau mempertinggi tawaran suap sebagaimana tergambar dalam kasus Tambusai berikut ini:

Boks 21: Kurang faham atau kebingungan yang disengaja? Potret aparat kejaksaan di Tambusai

Di Tambusai, Riau, seorang konsultan PPK dituduh mencuri dana program. Meskipun kasus telah dilaporkan langsung ke kejaksaan (karena dugaan korupsi), namun sampai enam bulan berikutnya belum ada tindakan apa pun dari jaksa kecuali menanyai beberapa orang saksi. Bahkan jaksa sendiri yang memberitahu pada tersangka bahwa ia diberi waktu 6 bulan untuk segera mengembalikan dana tersebut sebelum jaksa melakukan penyelidikan. Toh lewat 6 bulan itu jaksa belum melakukan apa-apa. Ketika ditanya, jaksa mengaku bingung mengkategorikan kasus sebagai ‘pidana’ atau ‘perdata’. Konsekuensinya, jika kasus digolongkan sebagai kasus perdata, maka jaksa tidak memiliki kewenangan apapun. Dan jika dianggap sebagai penggelapan, maka kasus harus melewati pemeriksaan oleh kepolisian terlebih dahulu. Jaksa bukannya secara terbuka menjelaskan persoalan dan kebingungan yang dihadapi melainkan tidak melakukan tindakan apa pun sehingga lembaganya terbuka untuk dugaan kolusi atau bahkan melakukan pemerasan atas kasus ini.

Dalam kasus dimana proses dakwaan dituntaskan, jaksa biasanya dengan tegas menggolongkan masalah itu dalam tindak pidana korupsi.

Table 7: Dakwaan terhadap tersangka

Kasus Tersangka Dakwaan Pasal & UU yang digunakan

Bukit Kemuning

Darmajaya, Camat Korupsi [tidak ada penjelasan]

Mamodu Jusuf L Habamananga, Anggota DPRD II

Korupsi UU No. 3/1971, Pasal 1 (1) sub b, 28, 34 sub c

Tangerang M Sururi, Kepala KUD Korupsi UU No. 3/1971, Pasal 1 (1) sub 6, 28 UU No. 20/2001, Pasal 43ª (1) KUHP, Pasal 55 (1)

Page 79: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

79

Kasus Tersangka Dakwaan Pasal & UU yang digunakan

Wanareja Warnengsih, warga Korupsi UU No. 20/2001, Pasal 2 (1), 3

Moh. Hadi, warga

Setu, warga Grobogan

Siti Wati, warga

Korupsi UU No. 31/1999, Pasal 3 (1)

c) Hambatan kerja: perspektif aparat sebagai ‘orang dalam’

Beberapa faktor sistemik yang mempengaruhi kinerja polisi dan jaksa antara lain: anggaran yang membuat mereka mengabaikan kasus kecil atau cenderung menerima suap; sistem evaluasi yang tidak transparan dimana promosi lebih mengutamakan faktor senioritas dibanding kemampuan atau kinerja; budaya hirarki yang menghambat munculnya terobosan atau inisiatif. Faktor tersebut diidentifikasi sendiri oleh aparat ketika menyebutkan faktor yang menyulitkan kerja mereka.

Minimnya anggaran & kurangnya akuntabilitas ⇒ mendorong korupsi & ketergantungan pada dukungan pemerintah daerah.

Hirarki dan budaya birokratis ⇒ mengakibatkan penundaan berkepanjangan dan sikap pasif.

Sistem promosi yang berbasis senioritas tanpa kriteria penilaian yang jelas ⇒ mengakibatkan motivasi kerja yang rendah.

Perbedaan penafsiran mengenai tanggung jawab polisi dan jaksa ⇒ mengakibatkan persaingan antar lembaga.

Kelemahan dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) ⇒ mendorong terjadinya penyimpangan atau mengambil ‘kesempatan’ dalam proses penyusunan dakwaan.

Perspektif ‘orang dalam’ ini dibahas secara lebih khusus dalam studi “Mapping Reformers”.

Page 80: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

80

(i) Kurangnya dana operasional dan mekanisme akuntabilitas

“Kalau tanya dana berasal dari mana,.. ya, susah dijawab.”

Polisi senior, Sumatera.

Baik polisi maupun jaksa berulang-ulang menyatakan bahwa kendala anggaran operasional karena terlalu kecil dibanding cakupan pekerjaan dalam investigasi. Seorang polisi di Sampit misalnya mengatakan bahwa anggaran resmi perkasus berkisar antara Rp 75 ribu untuk tindak kejahatan ringan dan Rp 150 ribu untuk kejahatan yang lebih besar.13 Sementara biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat sendiri dalam pemeriksaan polisi sekitar Rp 6 juta dan Rp 6 juta lainnya untuk biaya transport bagi para saksi.14 Di Bandung menghitung dana operasional untuk pemeriksaan kasus korupsi yang diteliti sekitar Rp 8 juta.15

Tak jauh beda, seorang jaksa senior di Lampung mengatakan bahwa staffnya seringkali harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli alat tulis sehingga kantornya mulai berusaha mengelola kantin sederhana untuk menutupi kekurangan tersebut.

Namun masalah yang tidak kalah seriusnya adalah berbagai kendala yang disampaikan di atas berbarengan dengan terbatasnya akses publik untuk mendapat akuntabilitas aparat hukum serta pelaksanaan sanksi internal lembaga bila aparatnya melakukan tindak korupsi. Beberapa orang aparat mengeluhkan ‘pemotongan’ uang operasional yang terjadi dalam setiap level; nasional ke propinsi, propinsi ke kabupaten. “Dari uang (operasional kerja) yang sudah minim itu masih juga dipotong dari atas terus hingga ke bawah,” ungkap seorang jaksa.

Perpaduan berbagai kendala di atas; minimnya anggaran, kurangnya transparansi dan akuntabilitas membuka peluang untuk terjadinya korupsi aparat (suap) yang berakibat kasus korupsi dengan nilai uang yang kecil tidak menjadi prioritas. Kata warga desa Ayawan, seorang aparat polisi mengatakan bahwa ketika diberitahu bahwa uang yang dikorupsi hanya Rp 16,5 juta, kasus itu tidak layak untuk diselidiki. Pernyataan tersebut tidak terlalu mengherankan bila mengingat jarak perjalanan dari Sampit ke Ayawan selama 7 jam dengan biaya transportasi yang tinggi.

Kedua, situasi yang memaksa untuk membiayai ongkos operasional sendiri menumbuhkan budaya ‘curi kesempatan’ dimana aparat menggunakan

Page 81: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

81

pekerjaan mereka tidak sekedar untuk menutupi biaya operasional melainkan untuk mendapat keuntungan pribadi. Polres di Sumba, misalnya, meskipun mengeluhkan minimnya dana operasional namun memiliki seperangkat alat karaoke yang mentereng dan unit motor baru di ruang penerimaan tamu. Kantor tersebut juga sedang membangun hotel di tanah polisi untuk membiayai operasional mereka. Ketika ditanyakan apakah hotel itu milik pribadi atau milik lembaga Polres, Kapolres sulit membedakannya. “Itu milik polisi... milik saya.” Pada kesempatan lain seorang aparat polisi mengatakan, “Ditugasi di daerah ini memberi kesempatan untuk membangun rumah. Di sini kita punya banyak teman pengusaha atau pejabat pemerintah sehingga kalau kita katakan kita mau buat rumah biasanya mereka mau membantu. Pejabat pemerintah tidak rewel mempersoalkan peraturan atau ijin ini itu, sedang penguasaha membantu dengan cara kasih diskon barang untuk pembangunan rumah.”

Boks 22: Tekanan yang memperburuk kinerja: terbatasnya anggaran, manajemen yang buruk dan budaya korupsi

Suasana pasif dan tidak ramah sangat terasa ketika memasuki kantor Polsek Seruyan Tengah. Bangunan tua ini lapuk oleh cuaca, berjamur dan dikelilingi jalan yang berlumpur. Bangungan ini sederhana, dilengkapi dengan papan jadwal yang kadaluarsa, perabotan dari kayu serta serangkaian asrama tempat tinggal anggota polisi dan keluarganya yang padat dan tidak nyaman. Anggaran operasional tidak membuat lega; mereka memiliki satu unit motor dan tergantung dari ‘dukungan’ anggota masyarakat untuk tambahan transportasi. Di Sampit, Polres mengatakan bahwa ada dana operasional untuk setiap penyelidikan, tergantung kompleksitas kasusnya. Tetapi di Seruyan Tengah, tidak ada sistem seperti itu. Kapolsek sendiri yang menentukan penggunaan anggaran. “Selama saya ada disini,” kata seorang polisi di Seruyan Tengah, “Saya belum pernah dengar apa-apa tentang dana operasional.” Manejemen kepolisian pun buruk; meskipun kebanyakan hanya menangani kasus perselisihan antara tetangga, namun untuk kasus yang lebih serius mereka melaporkan kepada Polres di kabupaten. Seringkali tidak ada umpan balik dari Polres sehingga Polsek sendiri tidak tahu apakah laporan tersebut ditindaklanjuti atau tidak. Situasi ini membuat motivasi kerja rendah. Situasi tersebut mendorong maraknya aksi suap dan sikap diskriminatif sehingga pada akhirnya polisi memiliki reputasi yang buruk di mata warga masyarakat. Tidak heran ketika pecah konflik antara suku Dayak dan Madura, persepsi yang beredar di

Page 82: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

82

kalangan Dayak adalah bahwa polisi telah ‘dibeli’ oleh orang Madura. Isu ini semakin memperburuk ketegangan antar etnis di Kalimantan Tengah pada tahun 2001 tersebut (lihat ICG, 2001). Persepsi masyarakat disimpulkan dalam lontaran seorang remaja yang dengan lantang berujar, “Polisi disini dibenci masyarakat.”

Ketiga, kendala yang sama mengakibatkan ketergantungan polisi dan jaksa kepada fasilitas dari pemerintah daerah. Pada beberapa kasus, polisi dan jaksa meminta dana operasional tambahan dari pemda atau meminjam fasilitas seperti kendaraan guna melaksanakan tugas penyelidikan. Di satu lokasi Ketua Kejaksaan Negeri mengatakan bahwa ia secara rutin meminta dukungan dana dari Pemda untuk mencegah staff nya mencari uang secara ilegal dari publik. Situasi tersebut membuat polisi dan jaksa sulit menjaga independensi mereka terutama dalam kasus-kasus yang mengancam kepentingan pemda atau aparat pemda. “Sudah sifat manusia,” kata seorang hakim, “kalau kita hutang menerima sesuatu dari seseorang maka ada perasaan hutang budi.” Tidak heran, meskipun kejaksaan tersebut telah menyelediki beberapa kasus korupsi, baru beberapa saja yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Seorang wartawan berspekulasi bahwa pemda menyediakan dukungan dana bagi kejaksaan karena ingin menghindari penyidangan kasus korupsi hingga pemilihan umum tahun 2004.

(ii) Hirarki, budaya birokrasi & tidak berlakunya mekanisme “penghargaan dan hukuman”

“Supaya kerja kami bisa lebih efektif dan efesien, urusan birokrasi harus disederhanakan... (bayangkan) kita harus melapor dan konsultasi dengan atasan di setiap tahap. (Hal ini) bisa mempengaruhi kualitas dakwaan karena kerjanya dobel; buat draft dakwaan juga buat draft laporan untuk atasan,”

Jaksa, Jawa Tengah

Hambatan kedua adalah budaya birokrasi yang berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tahap proses penyelesaian kasus. Di kejaksaan, misalnya, ada ketetapan Jaksa Agung agar Jaksa Penuntut Umum mengirim naskah dakwaan ke Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung untuk meminta persetujuan yang kemudian baru akan dikirimkan kembali ke daerah tempat si Jaksa Penuntut Umum. Khusus untuk tindak pidana korupsi, naskah tuntutan harus disetujui oleh Ketua

Page 83: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

83

Kejaksaan Tinggi di tingkat propinsi.16 Akibatnya sering terjadi penundaan proses karena sebuah naskah dapat bolak-balik berulang kali. Selain itu, jaksa menambahkan bahwa mereka harus meminta persetujuan Jaksa Agung untuk membekukan dan menjual aset koruptor dalam pelaksanaan eksekusi.17 Selain memakan waktu, ketentuan tersebut juga membatasi independensi Jaksa Penuntut Umum dan meredam munculnya insiatif.

Prakter promosi dan mutasi yang tidak transparan berkontribusi pada masalah internal lembaga. Promosi biasanya didasarkan pada senioritas –juga disebut-sebut faktor uang pelicin, bukan karena kriteria kinerja yang baik. Dengan demikian, motivasi untuk bekerja lebih baik sangat lemah. Dikatakan oleh seorang hakim bahwa mekanisme “penghargaan dan hukuman” tidak berjalan di lembaga peradilan sehingga sebagian besar aparat enggan untuk menangani kasus dengan serius atau bekerja dengan keras tidak berdampak positif bagi karier mereka. Mereka melihat justru rekan kerja lain yang sering menyuaplah yang acap mendapat promosi.

(iii) Peraturan yang mendua dan tidak jelas

“Polisi itu yang harus mengerjakan semua (penyelidikan) dan jaksa tinggal duduk.”

Aparat kepolisian di Bandung

“Polisi tidak terlibat dalam (penyelidikan) kasus korupsi.”

Jaksa di Sumba

Faktor ketiga yang mendorong buruknya kinerja jaksa dan polisi adalah kelemahan peraturan. Tiga kelemahan yang sering ditemui dalam studi kasus antara lain:

Pertama, tidak ada ketentuan mengenai batas waktu menyelesaikan penyelidikan sehingga peluang untuk terjadi penundaan sangat besar. Kedua, peraturan mengenai peran polisi dan jaksa dalam penyelidikan kasus korupsi untuk tindak pidana korupsi bersifat mendua. Undang-undang No. 5/1999 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatur bahwa jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan investigasi untuk tindak pidana khusus [lihat pasal 32(b)].18 Tapi karena KUHAP menyebutkan bahwa hanya polisi yang

Page 84: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

84

berwenang melakukan investigasi untuk semua kasus tindak pidana, maka penundaan sering menjadi tak terhindarkan karena ketidakjelasan tersebut.

Boks 23: Perspektif polisi dan jaksa: Persaingan antara lembaga

Persaingan antar kedua lembaga tersebut nampaknya tidak sekedar alasan ketidakjelasan peraturan wewenang penyelidikan melainkan berakar pada beberapa faktor lain. Dikatakan oleh seorang jaksa, perbedaan opini atara keduanya diperburuk dengan perbedaan tingkat pendidikan. Banyak aparat polisi memulai karir selepas SMU sementara jaksa harus sarjana. Dalam beberapa situasi, jaksa kerap memandang remeh aparat polisi dan kemampuan mereka menangani kasus yang bersifat kompleks. “Masing-masing punya ego yang besar,” kata sang jaksa, sehingga, “tahap penyelidikan kasus korupsi sering menjadi ajang konflik antara kedua lembaga.” Untuk itu di tempatnya bekerja diadakan forum polisi-jaksa untuk melatih aparat polisi dalam menyusun berita acara pemeriksaan serta meningkatkan pengetahuan akan KUHAP. Perbedaan opini tidak hanya antar lembaga melainkan dalam satu lembaga yang sama. Situasi ini terlihat jelas di tubuh kepolisian dimana aparat Polres (tingkat kabupaten) cenderung memandang remeh rekan mereka yang bekerja di Polsek (tingkat kecamatan).

Ketiga, menyangkut KUHAP yang mengatur ketentuan hukuman maksimal yang bisa dipakai oleh jaksa dalam penuntutan. Sebagaimana diceritakan oleh beberapa orang jaksa mengenai perilaku rekan sejawatnya, kewenangan untuk menetapkan tuntutan yang paling minimal merupakan alat sentral bagi jaksa untuk melakukan tawar menawar dengan tersangka atau keluarganya ketika berunding layaknya jual beli hukuman.

(d) Lantas, apa faktor pendorong kinerja yang baik?

Di dalam dua studi kasus, kinerja polisi dan jaksa sangat baik. Pada kasus Bandung, investigasi polisi sangat cepat dan teliti. Polis juga terbuka untuk berbagi informasi dengan masyarakat yang mereka layani. Prestasi yang sama ditunjukkan oleh jaksa dalam kasus Wanareja – yang dikenal sebagai orang yang jujur dan reformis.

Meski pada tahap tertentu seorang aparat yang reformis dapat berperan sentral untuk menentukan keberhasilan penyelesaian melalui mekanisme hukum

Page 85: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

85

formal, namun sulit melakukan peran tersebut tanpa dukungan lingkungan yang kondusif. Perpaduan antara keberadaan aparat reformis dan lingkungan yang kondusif sangat jarang ditemui. Hambatan dan penundaan lebih mudah terjadi di tempat-tempat dimana pemantauan publiknya lemah. Contohnya di Bandung aparat menjalankan tugas dengan baik karena ia memiliki hubungan baik dengan anggota masyarakat. Di Wanareja, disamping memang dikenal jujur dan memiliki integritas, jaksa juga didorong oleh adanya pemantauan publik yang kuat, komunikasi dengan konsultan PPK dan pengamatan dari forum partai politik.

3. Persidangan (Pengadilan)

“Tahap paling berat itu waktu mendorong kasus ini dari kejaksaan ke Pengadilan. Kalau sudah di Pengadilan, proses selanjutnya relatif lancar. Dan yang paling penting (prosesnya) cukup transparan.”

Pengacara LBH, Lampung

a) Pola dan karakteristik

Korupsi di pengadilan dianggap sebagai bentuk korupsi yang paling serius di Indonesia (Transparency International 2003:2). Dan walaupun reputasi pengadilan di Indonesia sangat buruk, pada studi kasus ini pengadilan berkerja dengan cukup baik. Dibanding tahap penyelidikan dan penuntutan, persidangan umumnya berjalan lancar dan cepat. Persidangan diadakan secara teratur tanpa penundaan yang tidak perlu, putusan dikeluarkan dan tanpa munculnya dugaan korupsi. Satu-satunya kasus dimana terjadi penundaan sidang adalah kasus Bukit Kemuning yang bukan disebabkan karena Pengadilan melainkan kegagalan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa ke ruang sidang atau ketidaksiapan pembela terdakwa.

b) Di dalam Pengadilan: pengalaman warga desa

Persidangan untuk beberapa kasus yang diteliti cukup menarik perhatian masyarakat atau kelompok lain. Di Lampung empat dari enam sidang dihadiri oleh masyarakat, LBH, LSM, media massa, Pemda, dan Bank Dunia. Kasus ini menyedot perhatian karena merupakan kasus pertama dimana seorang pejabat pemerintah diajukan ke Pengadilan atas dakwaan korupsi. Kasus Tangerang

Page 86: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

86

diliput secara intensif oleh media lokal karena menyangkut jumlah uang yang sangat besar. Kasus Dikira dan Wanareja bahkan menjadi berita sensasional di tingkat lokal; Dikira karena menyangkut pembunuhan atas aparat kepolisian sementara Wanareja dilingkupi dengan rumor adanya perselingkuhan dan penggunaan ilmu hitam.

Pada kasus yang lain, warga desa biasanya hanya datang jika dipanggil sebagai saksi. Pemantauan yang minim dari masyarakat itu disebabkan karena disamping memakan biaya dan waktu, juga karena terbatasnya informasi yang sampai ke masyarakat. Bahkan dalam kasus Wanareja yang mendapat perhatian serius dari pemerintah dan elit di tingkat kecamatan, informasi tentang perkembangan kasus atau putusan Pengadilan tidak sampai kepada masyarakat desa yang menjadi korban langsung dari tindakan korupsi tersebut.

Dalam kacamata warga yang datang dalam persidangan, pada umumnya mereka merasa puas melihat apa yang terjadi di ruang sidang meskipun mereka mengaku pada mulanya merasa gugup. Mereka merasa diperlakukan dengan baik, setidaknya tidak merasa diintimidasi oleh para hakim yang memimpin sidang. Dalam persidangan di Dikira, warga yang sebagian hanya dapat bicara dalam bahasa setempat mengaku bahwa hakim berupaya keras untuk membuat mereka nyaman selama berlangsungnya persidangan. Di sana Pengadilan Negeri mengambil sumpah para saksi disesuaikan dengan budaya setempat yang mayoritas menganut Merapu –kepercayaan animisme setempat.

Boks 24: Mendorong masyarakat desa menghadiri sidang

Di Sumba Barat dimana sebagian besar warga masyarakat menganut kepercayaan Merapu, Pengadilan Negeri menyesuaikan praktik pengambilan sumpah para saksi sesuai dengan kepercayaan mereka dengan tujuan membuat mereka merasa nyaman. “Saat orang Merapu mengambil sumpah di Pengadilan,” cerita seorang hakim, “mereka tidak menggunakan Alkitab atau Alquran melainkan memakai biji pinang. Ucapan sumpah mereka juga khusus: ‘Jika saya berkata bohong, kalau saya ke hutan saya akan digigit ular. Jika ke sungai, saya akan digigit buaya. Jika ke ladang, saya akan disambar petir. Dan sepanjang hidup saya akan dikutuk oleh Merapu.’ Kemudian mereka melempar biji pindang lewat bahu mereka.”

Pengalaman yang sebaliknya terjadi dalam kasus Grobogan. Di sana, masyarakat yang sempat menghadiri persidangan atau bertindak sebagai saksi

Page 87: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

87

mengatakan bahwa hakim sering menyalahgunakan wewenang, bersikap sangat memaksa untuk meminta jawaban, memojokkan dan intimidatif.

c) Di luar ruang sidang: Ancaman dan Intimidasi

Di sini, sering juga orang diancam pihak tersangka sehingga takut untuk menjadi saksi. Jadi, sampai-sampai saksi sering minta dikawal oleh polisi. Ini terjadi dalam kasus tertentu terutama jika melibatkan... jika dia (si pelaku) adalah orang yang berkuasa.

Hakim, Sumba

Saksi kerap mengalami ancaman atau intimidasi di luar sidang. Saksi utama dalam kasus Grobogan misalnya mengaku bahwa motornya yang diparkir di halaman Pengadilan dicuri saat ia menjadi saksi. Dari cerita masyarakat ia mendapat informasi bahwa si tersangka memerintahkan empat orang untuk mengambil motor tersebut. Umum tahu bahwa si pelaku, kepala desa, memiliki hubungan dekat dengan kelompok preman. Polisi tidak melakukan tindakan apa pun untuk mengungkap pencurian motor tersebut. Dalam persidangan kasus Bukit Kemuning, beberapa preman yang disewa oleh si pelaku sering beredar di sekitar ruang sidang menyamar sebagai wartawan dan melakukan aksi intimidasi pada warga yang menjadi saksi atau yang datang untuk memantau jalannya persidangan. Menurut pengacara LBH, Alpian, intimidasi serupa itu sudah biasa terjadi. Namun ia menegaskan bahwa masih untung baginya karena memiliki dukungan dari lembaga (LBH) sementara masyarakat tidak memiliki perlindungan dari manapun.

Kendala yang dihadapi oleh masyarakat atau saksi Pengadilan seperti di atas adalah akibat logis karena tidak adanya perlindungan saksi dalam sistem peradilan di Indonesia. Peraturan tentang perlindungan saksi di Indonesia hanya ditetapkan dalam kasus menyangkut pelanggaran Hak Azasi Manusia (lihat Undang Undang No. 26/2000; Peraturan Pemerintah 2/2002).

4. Putusan Pengadilan dan Pelaksanaan Eksekusi

Dalam semua kasus yang maju ke pengadilan, hakim mengabulkan dakwaan jaksa dan terdakwa dinyatakan bersalah. (Daftar tentang hasil akhir persidangan bisa dilihat di Bab 4 Lampiran III).

Page 88: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

88

Masalah muncul dalam tahap pelaksanaan putusan/eksekusi. Menurut Pasal 1 (6) dan Pasal 270 KUHAP, Jaksa Penuntut Umum bertanggungjawab dalam melaksanakan eksekusi putusan hakim dalam perkara pidana. Tetapi jaksa gagal untuk mengeksekusi putusan pengadilan secara penuh atau secara benar dalam kasus-kasus yang diteliti, kecuali kasus Bukit Kemuning. Walaupun mereka cenderung mengeksekusi hukuman penjara dengan mulus, terdapat dua kasus dimana jaksa menunda eksekusi atau terdakwa sempat kabur dari tahanan dimana para terdakwa tersebut memiliki hubungan dengan tokoh politik/pemerintah daerah yang berpengaruh. Walaupun di semua putusan hakim disebutkan sanksi untuk mengembalikan uang yang digelapkan, tapi hanya satu kasus dimana jaksa berhasil memastikan putusan tersebut terlaksana. Hal ini mengundang komentar sinis dan ketidakpercayaan dari masyarakat pencari keadilan sehingga mereka cenderung enggan untuk menggunakan jalur hukum formal bila menghadapi masalah yang sama di masa mendatang. Seorang konsultan program yang aktif mendorong upaya penyelesaian kasus menyatakan bahwa kegagalan jaksa ini harus dibayar mahal secara sosial, “Kalau kami tahu dari awal ongkos sosialnya akan besar,” katanya, “pasti dari awal kami tidak mau menempuh jalur hukum formal. Kalau ada kasus seperti ini lagi, lebih baik kami menyelesaikan dengan cara kami sendiri.”

Situasi tersebut berkaitan dengan posisi terdakwa yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah atau tokoh politik yang berpengaruh. Dalam kasus Bukit Kemuning, jaksa memerlukan waktu lima bulan sebelum membawa terpidana ke penjara memenuhi putusan Pengadilan. Itupun setelah mendapat tekanan keras dari berbagai kelompok masyarakat dan Bank Dunia yang secara khusus menemui Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membicarakan masalah penundaan pelaksanaan eksekusi tersebut. Sementara uang baru dibayarkan setelah terjadi pergantian posisi Kepala Kejaksaan Negeri. Di Tangerang dimana tersangka disidangkan secara in absentia, jaksa tidak berhasil menemukan terdakwa sehingga tidak satu senpun dari uang korupsi sebesar Rp 1 milyar itu yang berhasil kembali ke masyarakat.

Page 89: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

89

Tabel 8: Eksekusi putusan Pengadilan

Kasus Status Terdakwa Vonis Eksekusi Pengembalian Uang

Upaya mengembalikan

dana

Bukit Kemuning

Pejabat pemerintah

1 tahun Ditunda; hukuman sedang dijalani

Ya, tetapi denda belum

Ya

Mamodu Pejabat pemerintah

1 tahun Segera; hukuman dijalani

NIL NIL

Tangerang Kepala KUD Kaliasin

8 tahun Tidak ada; tersangka absen

NIL NIL

Wanareja Warga desa (bendahara TPKD)

4 tahun Langsung; hukuman sedang dijalani

NIL Sedang berlangsung

Warga desa (Sekretaris TPKD)

2 tahun, menjadi 1 tahun setelah banding

Segera; hukuman dijalani

NIL NIL

Warga desa (Kepala TPKD)

1 tahun Segera; tahanan rumah

NIL NIL

Warga desa (Bendahara TPKD)

1 tahun Segera; tahanan rumah

NIL NIL

Grobogan

Kepala Desa Bebas NIL NIL NIL

Jaksa juga gagal, kecuali untuk satu kasus, untuk memastikan bahwa vonis mengenai pengembalian uang dapat dilaksanakan. Satu kasus yang dimaksud adalah Bukit Kemuning dimana jaksa akhirnya melaksanakan isi putusan majelis hakim yang mengganti putusan vonis pengembalian uang dengan memperpanjang masa penahanan. Dalam kasus lain jaksa tidak berusaha menyita aset milik tersangka, bahkan meskipun jelas bahwa para terdakwa tersebut memiliki aset yang bisa dilikuidasi.

Kelemahan tersebut menambah daftar alasan kemarahan dan ketidakpercayaan dari masyarakat dan para pemimpin kasus. Persepsi umum bahwa kecil kemungkinan uang bisa kembali ke masyarakat semakin menguat dan mereka makin yakin bahwa hanya mekanisme informal saja yang memungkinkan untuk

Page 90: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

90

tujuan tersebut. Sebagaimana pernah dikatakan oleh tokoh pemuda di Wanareja, bila dikalkulasi, empat tahun mendekam di penjara toh cukup sesuai dengan kesempatan untuk menikmati uang curian sebesar Rp 257 juta yang tidak berhasil dikembalikan oleh jaksa.

C. Seberapa Berhasilkah Mekanisme Hukum Formal?

Meski memiliki beberapa masalah serius, namun mekanisme hukum formal dapat mengatasi ketidakseimbangan posisi tawar antar pelaku dan masyarakat dalam kasus korupsi. Keseimbangan ini terjadi bila pemimpin kasus mampu memunculkan momentum dimana terjadi sorotan publik yang luas, sehingga proses berhasil melampaui tahap penyelidikan dan dakwaan. Dengan adanya pemantauan publik, kesempatan terjadinya penyimpangan atau aksi suap dapat diperkecil sehingga proses hukum berjalan dengan baik.

Karakteristik keberhasilan

Faktor utama yang memberi kontribusi pada keberhasilan mekanisme hukum formal adalah faktor sosial-politis, antara lain: mobilisasi arus bawah, fasilitasi bagi masyarakat, jaringan kerja dengan LBH, LSM dan media massa, pemantauan publik dan dukungan dari lembaga pemerintah atau lembaga eksternal seperti konsultan dan Bank Dunia. Tekanan lembaga eksternal dan pemantauan yang luas sekaligus memungkinkan para penegak hukum yang reformis, terutama hakim Pengadilan Negeri, untuk melawan tekanan dari pihak terdakwa atau sesama rekan yang berupaya mengganjal kasus atau mendorong penetapan putusan yang tidak adil.

Pemimpin kasus

Pada semua kasus yang berhasil diselesaikan melalui mekanisme hukum formal memiliki pemimpin kasus yang berdedikasi tinggi untuk mendorong kasus sampai ke Pengadilan, mengorganisir masyarakat, mendampingi mereka selama pemantauan dan membangun hubungan dengan lembaga eksternal. Mereka antara lain tokoh masyarakat, pemuda, pengurus BPD atau konsultan program tersebut terdorong oleh perasaan ikut bertanggungjawab pada masyarakat miskin atau motivasi lain seperti kedudukan sosial dan prestise. Pada beberapa

Page 91: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

91

kasus bahkan terlihat jelas motif adanya persaingan politis dengan si pelaku korupsi. Pada kasus Mamodu, misalnya, pesaing politik si pelaku (sesama anggota DPRD) disebut-sebut menyemangati warga masyarakat untuk melaporkan kasus tersebut ke jalur hukum.

Motif utama konsultan program adalah mandat yang diberikan pada mereka untuk menangani masalah yang muncul dalam pelaksanaan program. Jadi, kalaupun mereka tidak memiliki motivasi personal, tetap saja tuntutan kerja mendorong mereka untuk mendampingi masyarakat menyelesaikan masalah tersebut.

Akses kepada lembaga eksternal

Boks 25: Organisasi keagamaan sebagai fasilitator dan mediator

Kasus Dikira berawal ketika seorang aparat kepolisian terbunuh. Meskipun tidak ada indikasi yang jelas, anggota polisi yang lain mencari kambing hitam dengan menahan beberapa warga masyarakat dan diduga menjadikan mereka sasaran penyiksaan di tahanan. Dibantu seorang jurnalis dan aktivis masyarakat, isteri dari para tersangka tersebut mendatangi pastur setempat yang dihormati. Kebetulan sang pastor adalah ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian milik Gereja Katolik se-Sumba Barat. Komisi tersebut mendapat mandat dari Roma untuk mempromosikan kesadaran hukum dan upaya-upaya perdamaian. Bersama dengan si jurnalis, pastor tersebut menyewa jasa seorang pengacara swasta yang berdomisili di ibukota propinsi. Dengan bantuan pengacara tersebut para tersangka terbukti tidak bersalah dan mereka dibebaskan dari tahanan. Selain memberi dukungan finansial untuk menyewa jasa pengacara, keberadaan gereja sekaligus menjadi sumber otoritas untuk menyeimbangkan posisi warga desa dengan lembaga kepolisian. Begitu mendapat sorotan publik yang luas, kepala Polsek tersebut segera dimutasi ke wilayah Timor-Timur dan dikabarkan menderita gangguan jiwa. Jadi, meskipun telah mengirim surat yang berisi peristiwa penganiayaan atas para tersangka oleh aparat Polsek setempat, si jurnalis tetap yakin bahwa faktor keterlibatan gerejalah yang mendorong mutasi tersebut. Ia berkata, “Saya pikir bukan surat saya tapi keterlibatan gereja dalam kasus ini. Di sini, keuskupan itu punya kedudukan yang tinggi di mata masyarakat seperti juga para kyai di Jawa. Mereka adalah pemimpin informal. Waktu saya mendatangi Romo, saya kira dialah satu-satunya yang memiliki kapasitas untuk melindungi masyarakat. Saya pasti akan dipukuli juga kalau hanya sendirian,” katanya.

Page 92: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

92

Waktu ditanya tentang motivasi yang mendorong ia melakukan upaya tersebut, Romo menjawab, “Misi gereja adalah membela masyarakat. Mereka bukan hewan. Mereka manusia. Kita harus selalu melihat mereka dari sisi kemanusiaan ini. Manusia diinjak-injak, ditipu, diperkosa. Hal ini tidak boleh terjadi lagi. Kita harus mengatasinya dan melakukan sesuatu. Memang tidak mudah karena kita harus berhadapan dengan para pejabat. Sudah banyak masyarakat yang jadi korban.” Kasus ini mengindikasikan potensi berbagai lembaga informal dalam mendukung upaya masyarakat desa untuk mewakili kepentingan masyarakat.

Secara umum para pemimpin kasus memiliki akses kepada lembaga eksternal yang berada di luar sturktur kekuasaan di tingkat lokal; konsultan didukung oleh manajemen program sampai tingkat nasional, pengacara LBH mendapat dukungan dari institusinya dan pastur mendapat dukungan dari gereja Katolik bahkan di tingkat internasional. Situasi ini membuat mereka tidak terlalu rentan terhadap ancaman, intimidasi dan resiko lain ketika memobilisasi arus bawah menuntut pelayanan hukum yang adil. Hubungan dengan berbagai lembaga pendukung tersebut justru meningkatkan posisi tawar mereka serta perlindungan. Selain itu, masyarakat memperoleh sumber informasi alternatif mengenai proses dan kemajuan upaya penyelesaian kasus.

Mobilisasi berbagai lembaga

Faktor keberhasilan para pemimpin kasus adalah kecakapan untuk meletakkan kasus sebagai titik sentral yang akan menarik berbagai kepentingan positif dari lembaga-lembaga eksternal untuk berkerja di seputar kasus tersebut. Di Lampung, cerita mengenai kasus langsung berdampak proses hukum kembali berjalan sehari setelah koran memuat cerita tersebut. Sama halnya dengan kasus Seruyan Tengah dimana polisi dan jaksa kembali bekerja setelah ada berita di surat kabar.

Kendati demikian, akuntabilitas yang diakibatkan tekanan berbagai aktor di atas harus dilihat secara realistis bahwa faktor itu sekedar alat pendorong dan bukan obat mujarab untuk semua situasi. Pada kasus Lampung, meskipun tekanan publik demikian kuat, namun jaksa masih saja melakukan berbagai strategi untuk mengganjal proses hukum. Pemantauan publik terjadi hampir di semua kasus, namun toh penyelesaian waktu rata-rata memakan waktu sekitar 2 tahun.

Page 93: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

93

Faktor yang membuat tekanan publik tersebut lebih mungkin untuk berhasil adalah adanya kontak antara kelompok penekan (LSM, LBH, media massa, masyarakat) dengan aparat hukum (‘orang dalam’) yang reformis. Begitu pula sebaliknya. Irfanuddin, hakim reformis dalam kasus Bukit Kemuning mengatakan bahwa dukungan LSM dan media massa tersebut melindungi dia dari ancaman luar dan membebaskan dia dari tekanan internal untuk memihak tersangka.

Sebagian besar terbentuknya jaringan kerjasama antara kelompok penekan merupakan koalisi tidak permanen dan sekedar respon dari kasus yang sedang hangat diberitakan. Tapi ada juga koalisi yang berjangka panjang seperti “Tim 13” di Lampung yang akhirnya berfokus pada masalah sengketa tanah di wilayah Lampung. Berdasarkan data yang ada, Lampung merupakan propinsi dengan jumlah sengketa tanah yang sangat besar. Sementara itu, di propinsi tersebut berbagai LSM dan elemen gerakan tumbuh subur dan cukup aktif. Koalisi antara masyarakat korban sengketa tanah dengan mahasiswa, LBH, LSM dan media massa (tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung) pada tahun 1999 mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menyuarakan penyelesaian berbagai sengketa tanah yang merugikan kelompok masyarakat miskin. Dalam demonstrasi tersebut, aparat pemda mendapat tekanan yang besar untuk kemudian menyetujui pembentukan tim independen yang berfungsi sebagai mediator bagi penyelesaian berbagai sengketa tanah antara masyarakat dengan pemerintah daerah atau para pengusaha bermodal besar. Tim tersebut mulanya beranggotakan 13 personal yang berasal dari unsur advokat, LSM, media massa, LBH, perguruan tinggi dan aparat pemda. Hingga kini Tim yang disebut sebagai “Tim 13” tersebut telah bekerja untuk memediasi berbagai sengketa tanah dan mendorong proses mediasi dan mengurangi eskalasi koflik kekerasan di wilayah tersebut.

Sebagaimana diutarakan sebelumnya, kasus yang paling berhasil adalah ketika terjadi titik temu antar sekian banyak lembaga/aktor yang berkepentingan untuk bekerja dan mendorong penyelesaian kasus. Insentif yang diharapkan oleh masing-masing aktor beragam. Pemda terdorong oleh motivasi agar terus mendapat kepercayaan dari lembaga donor karena dianggap cakap dan bertanggungjawab dalam pengelolaan dana bantuan. Karena itu mereka merasa perlu mendatangi lokasi kasus korupsi untuk mendorong penyelesaian karena khawatir terjadi penghentian dana bantuan. Di tingkat nasional, peran Bank Dunia dan pemerintah pusat cukup krusial. Dalam satu kasus kedua lembaga tersebut berperan secara langsung. Di Lampung, keduanya mengancam akan menangguhkan dana program, kecuali jika Jaksa Penuntut Umum berhenti

Page 94: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

94

menghalangi jalannya proses hukum. Dalam kasus lain lembaga tersebut berperan tidak langsung. Di Wanareja, Jaksa Penuntut Umum menyelesaikan tuntutan atas kasus korupsi dengan cepat dan teliti. Ia bahkan memakai waktu cutinya untuk mengerjakan berkas dakwaan tersebut. Saat ditanya tentang motivasinya, ia mengatakan bahwa aparat pemda berulang-ulang mengatakan bahwa mereka perlu melakukan tindakan agar tidak mendapat malu di mata donor.

V. Dampak Keberhasilan Kasus

Dampak mekanisme hukum formal cukup beragam. Meskipun pada beberapa kasus terdapat hasil yang baik dan bisa menjadi preseden di masa mendatang, namun kelemahan para pemimpin kasus untuk mensosialisasikan kemajuan kepada masyarakat desa membuat efek positif di masyarakat tidak terlalu kuat untuk merubah persepsi mereka tentang peluang keberhasilan memanfaatkan upaya hukum fomal.

Dampak di tingkat lokal

Reaksi masyarakat desa atas keberhasilan mekanisme hukum formal juga beragam. Dengan keluarnya putusan Pengadilan yang menjatuhkan sanksi terhadap koruptor telah menjadi preseden positif mendorong semangat anti korupsi di masa mendatang – seberapa berkuasanya pun si koruptor. Warga desa di Lampung mengatakan, “Siapapun yang jadi Camat di sini (Bukit Kemuning), dia akan berfikir ribuan kali untuk melakukan korupsi lagi.” Di Wanareja, ucapan yang sering terlontar di kalangan aparat pemda dan pengurus PPK adalah, “Mau main-main dengan uang? Hati-hati anda akan di-Warnengsih-kan!” Warnengsih adalah terpidana dalam kasus korupsi senilai Rp 257 juta di Wanareja. Bahkan seorang tokoh masyarakat amat menghargai tindakan jaksa yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri terhadap Warnengsih dengan mengatakan, “Jaksa bahkan mau naik banding untuk membela rakyat kecil. Ini bagus sekali.”

Sayangnya, tidak ada uang yang jelas-jelas kembali ke masyarakat. Baik karena putusan Pengadilan adalah “uang dikembalikan ke kas negara” atau bahkan jaksa tidak berupaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Padahal, di mata

Page 95: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

95

masyarakat desa yang sudah berupaya mendorong penyelesaian kasus, “adil” itu terutama ketika uang mereka yang dicuri dikembalikan lagi pada mereka. Hal ini mengakibatkan keengganan untuk menempuh jalur hukum bila terjadi kasus korupsi lagi. Konsultan program di Grobogan mengeluhkan betapa upaya penyelesaian lewat jalur hukum formal tersebut telah memakan ‘biaya sosial’ yang besar, namun tetap saja orang miskin tidak mendapat kembali uang mereka.

Penundaan dan lamanya proses hukum juga menyumbang pada rasa frustasi masyarakat terhadap mekanisme formal. Di Bandung, akibat aksi ‘ping-pong’ antar polisi dan jaksa mengakibatkan masa penahanan tersangka habis, sehingga ia bebas berkeliaran di desa. Masyarakat yang sebelumnya sudah berupaya keras melalui mekanisme informal merasa frustasi dan kecewa. Situasi ini secara umum terjadi pada beberapa kasus lainnya.

Dampak di masyarakat atas kasus Demak (yang diselesaikan secara informal) lebih terasa dibanding kasus yang diselesaikan lewat jalur formal. Walaupun hanya dimotori oleh beberapa pemimpin kasus, dampaknya nyata terlihat: uang kembali dan si pelaku dipecat dari posisinya sebagai pengurus program. Karena dipublikasikan secara aktif, masyarakat terdorong untuk ikut dalam musyawarah di kelurahan serta ikut dalam pemilihan pengurus program yang baru. Mereka juga aktif untuk menyusun beberapa peraturan dan batasan bagi pengurus baru untuk menjamin adanya tranparansi dan akuntabilitas publik. Dalam kasus ini, warga merasa bahwa inilah keberhasilan sesungguhnya dari program pemberdayaan masyarakat. Anggota tim penyelesaian masalah bentukan masyarakat dengan bangga menyatakan, “Saya yakin, kapan pun kalau kita memang membela kepentingan orang miskin, kita pasti menang.”

Masyarakat mengaku bahwa para aktor eksternallah yang paling berpengaruh pada upaya advokasi yang mereka lakukan dengan peranan utama sebagai jembatan untuk mengakses informasi. “Untung kita punya orang LBH dan Bank Dunia,” ujar seorang warga. “Kalau tidak, rasanya masalah tersebut tidak akan pernah selesai. Tanpa mereka tidak ada kemajuan.” Mereka merasa sangat berterima kasih kepada pengacara LBH yang membantu mereka untuk mengerti tentang proses hukum. Pada kasus Dikira, warga yang dijadikan polisi sebagai tersangka mengatakan bahwa ia sangat terbantu dengan jurnalis dan pastor yang membayar jasa pengacara untuk membelanya. “Saya tahu perlu pengacara supaya bisa bebas. Tapi saya ini orang kecil nggak tahu hukum. Saya juga miskin nggak sanggup bayar pengacara.”

Page 96: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

96

Keinginan dan kebutuhan akan pengetahuan hukum muncul ketika berbicara dengan masyarakat. Seorang warga di Kalimantan mengatakan, “Kami haus akan hukum.” Sebagian besar warga masyarakat di desa merasa kurang percaya diri ketika berinteraksi dengan sistem hukum tanpa bantuan konsultan atau paralegal. Ketika berdiskusi lebih lanjut dengan masyarakat di beberapa tempat, biasanya mereka mengatakan bahwa paralegal sebaiknya berasal dari luar desa karena dianggap akan lebih obyektif dan tidak terpengaruh dengan konstelasi kekuasaan di tingkat lokal. Apalagi, sebagaimana dikatakan oleh seorang warga di Kalimantan, “Tidak ada orang di sini yang punya pengetahuan atau dihormati disini.” Namun, dari diskusi di tempat lain, warga juga menekankan bahwa meskipun ada orang luar yang menjadi paralegal, tetap saja dibutuhkan orang setempat yang juga terlatih dan mengetahui situasi masyarakat sehari-hari. Perpaduan antara orang luar dan orang setempat dianggap sebagai kombinasi yang ideal.

Page 97: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

97

Bab 3 KESIMPULAN

Page 98: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

98

I. Kesimpulan Studi Kasus

Pendahuluan

Kelompok masyarakat miskin dan yang terpinggirkan di Indonesia sejak lama tidak dilibatkan dalam upaya pencapaian keadilan, baik dalam mekanisme formal maupun informal. Kendati demikian, toh terdapat beberapa kasus dimana masyarakat desa dapat dengan berhasil mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kasus sukses tersebut dengan tujuan antara lain: pertama, mengetahui harapan dan kecenderungan masyarakat desa dalam melakukan upaya penyelesaian masalah/sengketa; kedua, untuk mengidentifikasi pola yang terjadi dalam interaksi kelompok masyarakat miskin tersebut dengan lembaga-lembaga masyarakat di tingkat desa dan lembaga peradilan; ketiga, untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang memungkinkan masyarakat miskin di tingkat desa dapat memperjuangkan hak dan kepentingan mereka dengan berhasil. Pada gilirannya, penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari intervensi/inisiatif bantuan apa, jika memang ada, yang akan menguatkan derajat keterwakilan desa serta akses masyarakatnya terhadap hukum dan keadilan.

Penelitian ini menghasilkan temuan yang kaya dan cukup beragam. Intinya, berbagai proses dalam hal bagaimana masyarakat menyelesaikan masalah mereka, bagaimana lembaga hukum formal melayani masyarakat desa dan bagaimana akhirnya kasus dapat diselesaikan –masih sangat didominasi oleh lembaga negara (pemerintahan/hukum formal). Begitupun, mobilisasi masyarakat dan dukungan dari pihak eksternal, dalam situasi tertentu, memungkinkan adanya jalan keluar atas kebuntuan berbagai lembaga tersebut serta memungkinkan masyarakat desa berhasil mempertahankan hak mereka. Tapi, meskipun kasus keberhasilan tersebut memberi manfaat pada seluruh lapisan masyarakat, namun tetap saja kelompok miskin dan kelompok marjinal jarang terlibat dalam berbagai proses pencapaian tersebut. Berbagai upaya yang dilakukan masih terlihat sebagai permainan kelompok elit.

Pada mulanya, kasus yang dipilih terlihat tidak terlalu kompleks. Studi kasus yang dipilih adalah kisah sukses diantara sekian banyak kegagalan penegakan keadilan di Indonesia. Kasus yang diteliti umumnya adalah kasus dimana figur

Page 99: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

99

yang memegang jabatan (pemerintahan/pengurusan program) melakukan penyimpangan atas dana program yang ditujukan pada kelompok masyarakat miskin di tingkat lokal. Asumsinya, kasus kemudian akan merepresentasikan pola dimana berbagai lembaga formal atau informal akan mengabaikan kepentingan kelompok miskin tersebut. Dengan demikian, kasus dimana masyarakat miskin akhirnya berhasil membela kepentingan mereka merupakan kasus yang cukup unik untuk diteliti.

Kasus yang ‘berhasil’ tersebut toh sulit untuk didapatkan. Hanya beberapa kasus dari seluruh kasus yang diteliti benar-benar berhasil – dan bilapun itu terjadi, proses pencapaian keberhasilan oleh masyarakat itupun lebih kompleks dibanding saat kasus pertama dipelajari. Tapi, dibanding dengan kasus lainnya, kasus keberhasilan teresebut memberi gambaran keterwakilan masyarakat desa dengan lebih baik. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberi petunjuk tentang bagaimana memecahkan kebuntuan mekanisme penyelesaian masalah – sesuatu yang jarang diperoleh dalam kebanyakan kasus lain. Hasil penelitian ini sekaligus mengidentifikasi pola interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan berbagai lembaga yang bisa bekerja untuk mencapai keadilan: bagaimana polisi, jaksa dan Pengadilan bekerja di tingkat lokal; dan bagaimana berbagai elemen perubahan ikut berperan di tingkat lokal guna membuka akses keadilan bagi masyarakat.

Mekanisme Penyelesaian Masalah Secara Informal

Sejarah kelembagaan di tingkat lokal mempengaruhi kecenderungan masyarakat serta kinerja lembaga informal tersebut dalam mengupayakan keadilan. Baik warga masyarakat maupun tokoh masyarakat sama-sama lebih suka menyelesaikan masalah korupsi secara informal karena dianggap lebih mudah, murah, cepat serta tidak mengganggu kerukunan di masyarakat dibanding bila menempuh jalur hukum formal. Selain itu, masyarakat desa juga merasa takut dan tidak percaya untuk berhubungan dengan lembaga hukum yang dianggap korup, diskriminatif dan sulit diakses. Terlepas dari anggapan tersebut, mekanisme informal gagal menyelesaikan kasus korupsi dalam situasi dimana terdapat kesenjangan posisi tawar antara si pelaku dan masyarakat. Mekanisme ini berhasil jika kesenjangan tersebut berhasil diperkecil serta penggunaan ancaman penerapan sanksi hukum serta mobilisasi tekanan politik sebagai alat tawar dalam perundingan informal. Tapi ancaman penerapan sanksi hukum bukanlah ‘obat paten’ melainkan hanya salah satu kartu yang bisa dimainkan dan hanya bisa berhasil jika kesenjangan posisi tawar tidak terlalu besar.

Page 100: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

100

Informal versus formal

Hampir dalam semua kasus masyarakat desa lebih menyukai upaya perundingan – dan hanya mengajukan kasus ke jalur hukum bila perundingan gagal. Pengecualian dari ini hanya terjadi bila posisi tawar si pelaku begitu kuat (pejabat atau mendapat dukungan kuat dari pejabat) sehingga setiap upaya perundingan diperkirakan pasti akan gagal. Bila hal ini terjadi biasanya masyarakat langsung menempuh jalur hukum atau sama sekali diam.

Kecenderungan pada mekanisme informal berdasarkan beberapa alasan di antaranya bahkan bersifat praktis dan terjadi di negara manapun. Waktu, jarak dan biaya adalah pertimbangan utama mengapa mereka memilih perundingan. Masyarakat di Seruyan Tengah, misalnya, mengatakan bahwa mereka pasti telah lama menyerah jika tidak ada dana dari PPK yang dapat mereka pergunakan untuk biaya perjalanan ke Polres dan kantor kejaksaaan. Perjalanan pulang pergi dari desa itu ke ibu kota kabupaten, Sampit, harus ditempuh selama dua hari dengan bis atau perahu motor yang memakan biaya sekitar Rp 160 ribu. Padahal, sebagai pembanding, UMR (upah minimum regional) di wilayah itu adalah Rp 425 ribu per bulan.19 Bila masih dihitung dengan biaya makan dan lain-lain, bagi kelompok masyarakat miskin mereka harus betul-betul yakin akan berhasil untuk memilih mekanisme formal. Polisi memang sangat tergantung dengan dana dari masyarakat untuk memenuhi panggilan pemeriksaan karena keterbatasan dana operasional mereka. Dan oleh karena itu, sikap polisi pasif – dari pada mendatangi desa, mereka menunggu saksi yang dipanggil.

Situasi masih diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum formal. Ungkapan yang sering dilontarkan masyarakat desa adalah, “Kalau kita lapor kehilangan ayam, maka kita akan kehilangan kambing. Lapor kehilangan kambing maka akan kehilangan kerbau,” ujar masyarakat menggambarkan kerugian karena masih harus mensupport biaya operasional bagi polisi atau praktek keharusan memberi ‘yang kerja’. Selain itu, peran polisi menurut seorang warga adalah, “untuk menakutkan orang.” Dalam situasi demikian, terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, kelompok masyarakat miskin cenderung tergantung pada mekanisme infomal dalam menyelesaikan masalah atau sengketa yang muncul.

Kecenderungan memakai perundingan juga didasarkan pada anggapan bahwa cara ini lebih mungkin untuk menjaga kerukunan sosial. Asumsinya, jika Pengadilan menghasilkan pihak yang menang-kalah, perundingan akan

Page 101: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

101

mendatangkan penyelesaian yang memuaskan semua pihak. Tapi jika ditilik lebih jauh, alasan kerukunan sosial sering disampaikan untuk menutupi kekhawatiran adanya aksi balas dendam dari pihak pelaku yang memiliki kekuasaan. Alasan kerukunan juga sering disuarakan kelompok elit desa dengan motivasi untuk menjaga nama baik desa terhadap orang luar. Pada kasus Mamodu, misalnya, para staf dan kerabat si pelaku mengelak dari desakan untuk menuntutnya ke jalur hukum dengan alasan bahwa pelaporan tersebut merupakan kesalahan besar karena ‘membawa malu’ dan mengganggu kerukunan. Sementara masyarakat miskin di situ mengatakan puas dengan proses hukum dan tidak keberatan bila pun muncul keretakan sosial akibat penyelesaian hukum tersebut.

Penyelesaian lewat lembaga informal di tingkat desa

Meskipun lebih disukai, namun mekanisme informal pada umumnya tidak berhasil menyelesaikan kasus korupsi. Di semua kecuali satu kasus di mana komunitas desa mampu mencapai kesepatakan informal, pelaku korupsi hanya mengembalikan uang yang mereka gelapkan ketika diancam akan dikenakan sanksi hukum. Lembaga masyarakat di tingkat desa tidak memadai untuk menyelesaikan kasus dimana si pelaku adalah pejabat atau mendapat dukungan dari pejabat yang berkuasa. Semua kasus dimana terdapat kesenjangan posisi tawar menunjukkan kegagalan.

Kegagalan mekanisme informal – ditambah dengan ketakutan terhadap pihak yang berkuasa, berakibat keengganan masyarakat untuk terlibat dalam penyelesaian masalah. Di Rowosari, meskipun pelaku bukan pejabat tapi didukung oleh kelompok preman yang berbahaya membuat warga desa tidak berani menentang dengan mempersoalkannya secara terbuka. Hal yang sama terjadi di Grobogan walau akhirnya ketua BPD, yang memiliki motivasi politis berani mengajukan protes. Begitupun, dengan taktik suap kanan kiri dan intimidasi oleh kelompok preman, kepala desa Grobogan toh luput dari ancaman hukum dengan menyisakan kenyataan hanya pelaku sekunder yang menanggung akibatnya. Demikian pun, warga toh mengatakan tetap akan memilih kepala desa yang sama karena alasan takut dan juga karena si kepala desa inilah yang biasanya dapat memberi uang lebih banyak untuk membeli suara.

Kelemahan lembaga masyarakat di tingkat desa untuk menyeimbangkan posisi tawar tersebut sangat terkait dengan sejarah pembentukannya di bawah rejim

Page 102: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

102

Orde Baru, dimana kepala desa hanya bertanggungjawab pada atasannya dan bukan pada masyarakatnya. Tidak ada mekanisme bagi warga untuk meminta pertanggungjawaban kepala desa, sehingga hampir tidak mungkin warga memakai lembaga masyarakat di tingkat desa tersebut untuk melawan kepentingan para pejabat kecuali bila ada tekanan politik yang sangat kuat atau aksi kekerasan.

Dalam studi kasus belum terlihat bukti awal yang cukup kuat tentang pengaruh perubahan struktur pemerintahan desa terhadap akses keadilan bagi masyarakat. Di beberapa tempat, adanya lembaga BPD yang dipilih secara demokratis dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memperjuangkan haknya berhadapan dengan pelaku yang kuat sebagaimana terjadi di Grobogan. Namun sebaliknya, di Ayawan justru kepala desa memanipulasi proses pembentukan BPD yang didominasi oleh para sekutunya sehingga tidak dapat mengawasi jalannya pemerintahan desa.

Karakteristik keberhasilan

Keberhasilan melalui mekanisme informal dikarenakan masyarakat dapat memobilisasi tekanan serta menggunakan ancaman sanksi hukum pada si pelaku. Sayangnya, karena kelemahan penegakan hukum sendiri, pelaku seringkali mengabaikan ancaman sanksi hukum dan kerap merasa ‘di atas hukum’. Camat dalam kasus Bukit Kemuning Lampung bahkan memanfaatkan hubungan kekerabatannya dengan Kepala Kejaksaan Negeri untuk memanipulasi proses hukum. Kelemahan sejarah penegakan hukum formal itu memperkecil peluang masyarakat desa untuk meningkatkan tekanan dan posisi tawar ketika bernegosiasi dengan pelaku. Ancaman sanksi hukum hanya berlaku terhadap pihak yang lemah.

Sistem hukum formal

Kendati merasa takut dan tidak percaya serta dianggap jauh dari realitas kehidupan mereka, toh masyarakat desa masih menunjukkan kesediaan untuk memakai jalur hukum formal sebagai upaya terakhir, terutama ketika mekanisme perundingan gagal menyeimbangkan posisi tawar. Dari studi kasus terlihat bahwa kinerja aparat hukum buruk. Kepolisian dan kejaksaan menghambat, menyimpangi prosedur atau lalai melaksanakan putusan Pengadilan. Sebaliknya, kinerja lembaga Pengadilan relatif baik dibanding yang diperkirakan sebelumnya. Meski demikian, lembaga hukum

Page 103: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

103

formal berhasil menyeimbangkan posisi tawar antara pelaku dan masyarakat miskin dengan penerapan sanksi hukum pada si pelaku. Dan walaupun kinerja institusi penegakan hukum relatif buruk, terdapat beberapa orang polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang reformis. Faktor yang mendorong keberhasilan lembaga hukum formal antara lain adanya pendampingan kepada masyarakat, partisipasi warga masyarakat, tekanan dari aktor eksternal, transparansi dan jaringan kerjasama antar lembaga/elemen yang berpengaruh.

Penyelesaian melalui jalur hukum formal

Hasil temuan dalam studi kasus mengenai kinerja aparat hukum cukup beragam. Secara umum polisi dan jaksa memperlihatkan pola yang ‘normal’: mengabaikan, tidak transparan dan bias terhadap kekuasaan ketika melakukan tugasnya. Kebanyakan aparat tidak terlalu peduli – atau dalam beberapa kasus bahkan menghambat, penyelidikan sampai datangnya tekanan atau pemantauan dari aktor eksternal. Contoh yang jelas terdapat dalam kasus Lampung dan Mamodu serta kasus Dikira dimana institusi kepolisian sendiri yang terancam kepentingannya.

Satu di antara sekian faktor yang berkontribusi pada rendahnya kinerja polisi dan jaksa adalah adanya keterkaitan si pelaku dengan figur politik atau pejabat yang berkuasa. Pada kasus Lampung dimana pelaku memiliki keterkaitan dengan kejaksaan dan aparat pemda, Jaksa Penuntut Umum berulangkali menghalangi penyelidikan dan menghambat jalannya persidangan. Bahkan, si pelaku sempat ‘melarikan diri’ setelah jatuhnya putusan hakim yang mengatakan bahwa ia bersalah.

Kedua, faktor persaingan kelembagaan antara kepolisian dan kejaksaan yang dalam kadar tertentu mengakibatkan buruknya kinerja keduanya. Hal itu masih diperparah dengan perbedaan tafsir peraturan perundang-undangan menyangkut tindak pidana korupsi yang berakibat pada penundaan proses penyelidikan karena terjadi saling lempar berkas pemeriksaan yang sekaligus mencerminkan buruknya koordinasi antar lembaga penegak hukum.

Kedua lembaga tersebut terlihat tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap peraturan hukum terutama menyangkut tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Masalah yang muncul biasanya mengenai penentuan apakah suatu tindakan merupakan “korupsi” atau sekedar “penggelapan” (dengan dakwaan

Page 104: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

104

lebih ringan). Kebingungan seringkali malah menjadi peluang untuk manipulasi dimana dengan sengaja memilih ketentuan dengan pidana yang lebih ringan sebagai alat ‘tawar menawar’ dengan si pelaku. Situasi diperburuk dengan terbatasnya akses aparat hukum terhadap informasi analisis hukum dan yurispudensi.

Berbeda dengan kejaksaan dan kepolisian, kinerja Pengadilan relatif baik. Masyarakat desa cenderung puas dengan pengalaman mereka di Pengadilan dimana hakim menjalankan persidangan dengan lancar tanpa penundaan yang berarti atau dugaan penyimpangan. Meskipun berbeda dengan anggapan umum tentang tingginya angka korupsi di Pengadilan Indonesia, temuan tersebut sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh The Asia Foundation dimana 85% responden yang menempuh jalur hukum formal merasa puas dengan hasilnya –terlepas dari anggapan tingginya korupsi di Pengadilan (Asia Foundation 2001:79).

Meskipun temuan megenai analisis kelembagaan penegak hukum dalam penelitian ini masih bersifat sementara (akan diperdalam dalam studi terpisah “Mapping Reformers”), namun beberapa pola yang muncul dalam studi kasus memperlihatkan beberapa faktor kelembagaan yang mempengaruhi kinerja aparat penegak hukum. Pertama, kebanyakan kasus korupsi dalam penelitian ini hanya melibatkan uang yang kecil sehingga peluang untuk terjadinya aksi suap maupun dorongan untuk menuntaskannya juga tidak terlalu besar. Namun sebagaimana karakter kasus pidana, mengumpulkan bukti dan pemeriksaan merupakan tugas yang sulit dan membutuhkan banyak biaya – hal yang cukup sulit mengingat anggaran operasional jaksa dan polisi yang tidak seberapa. Aparat kepolisian di Sampit misalnya, diduga memberitahu warga yang melapor bahwa kasus mereka terlalu kecil untuk diproses. Kendala tersebut tidak dihadapi oleh Pengadilan yang tidak harus mengeluarkan biaya investigasi. Selain itu, dalam studi kasus Pengadilan terdorong oleh tingkat perhatian publik yang tinggi.

Karakteristik keberhasilan

Faktor keberhasilan menggunakan mekanisme formal cukup beragam; lembaga dan aparat hukum dalam studi kasus memperlihatkan standar kerja, manajemen dan keahlian teknis yang bervariasi. Situasi masyarakat yang diteliti juga beragam meliputi geografis (urban/rural), akses informasi dan akses pada berbagai lembaga penyelesaian masalah serta pada pelayanan bantuan hukum.

Page 105: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

105

Dari semua faktor penentu keberhasilan yang paling utama adalah faktor sosial politik; adanya strategi advokasi yang kuat, pemantauan publik, dukungan dan tekanan aktor eksternal yang berpengaruh. Berbagai faktor pendorong keberhasilan dari sisi aparat penegak hukum dikaji lebih khusus dalam studi “Mapping Reformers”.

Karakteristik keberhasilan yang pertama, setiap kasus yang berhasil pasti memiliki pemimpin kasus yang berdedikasi – bisa konsultan program atau tokoh lain yang memiliki kepentingan, yang berupaya menindaklanjuti upaya penyelesaian kasus dengan mengerahkan berbagai sumberdaya tekanan dan pemantauan. Pemimpin kasus tersebut mendapat dukungan secara sosial maupun politik dari aktor luar yang tidak terikat dengan struktur kekuasaan setempat (organisasi keagamaan, manajemen program, LBH, Bank Dunia) berupa dukungan dalam menghadapi intimidasi atau ancaman dari pihak pelaku yang sekaligus mempertinggi posisi tawarnya. Pada kasus Mamodu, kepala desa disebut-sebut sering melakukan aksi pemotongan atas berbagai dana masyarakat. Barulah pada PPK, dimana terdapat konsultan program yang mendapat dukungan dari manajemen program, aksi pemotongan tersebut mendapat perlawanan. Tekanan pada si pelaku kemudian diikuti pula oleh tindakan Bupati dan para pemimpin politik sehingga proses hukum dapat berjalan.

Karakteristik kedua yang terdapat dalam semua kasus yang berhasil adalah adanya pemimpin kasus yang secara aktif membangun kontak dengan elemen masyarakat sipil (LSM, lembaga bantuan hukum, media massa) yang memperbesar tekanan dan aksi pemantauan publik atas jalannya proses hukum. Pemantauan yang luas ini membuat polisi atau jaksa sulit terlibat dalam aksi suap atau penyimpangan wewenang. Dukungan dari elemen masyarakat sipil sekaligus memperkuat posisi aparat reformis yang bekerja untuk keberhasilan dari ‘dalam’. Dengan kata lain, pemimpin kasus secara aktif menerapkan strategi membangun koalisi dan memperkuat transparansi.

Karakteristik ketiga adalah bertemunya berbagai kepentingan positif dari beragam lembaga atau aktor perubahan yang berkumpul di sekitar kasus: pengacara LBH dan LSM bekerja untuk kepentingan pendidikan advokasi; Bank Dunia memanfaatkan kasus untuk menunjukkan keseriusannya memerangi korupsi; Pemda juga memanfaatkan kasus untuk mendapat kepercayaan donor; konsultan program harus mengupayakan penyelesaian sesuai mandat pekerjaannya. Faktor ketiga ini mengarahkan penelitian pada temuan yang cukup mengejutkan yaitu: kasus yang melibatkan pejabat negara

Page 106: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

106

sebagai pelaku justru lebih berhasil ‘melewati’ polisi dan jaksa dibandingkan kasus lain dimana pelakunya adalah warga masyarakat biasa. Tekanan dan pemantauan oleh berbagai elemen di atas sangat penting untuk memastikan apakah kasus berhasil ‘lolos’ dari kepolisian dan kejaksaan sementara kasus dimana pelakunya adalah warga masyarakat biasa kurang menarik perhatian bagi berbagai pihak untuk terlibat dalam tekanan atau pemantauan. Jadi, meskipun posisi sebagai pejabat memberi peluang bagi si pelaku untuk merasa ‘di atas’ hukum, namun faktor tersebut sekaligus merupakan pendorong terkonsentrasinya berbagai motif dan kepentingan untuk mendorong penyelesaian dan mendukung upaya advokasi di masyarakat korban.

Sejauh menyangkut lembaga Bank Dunia, terdapat variasi temuan tentang apakah sebuah kasus pasti akan berhasil bila mendapat tekanan dari lembaga ini. Meskipun Bank Dunia memiliki wewenang untuk menghentikan pengucuran dana program bila pemda tidak menindaklanjuti kasus korupsi, namun dalam studi kasus wewenang ini hanya digunakan dalam satu kasus, Bukit Kemuning. Dan dalam kasus tersebut ancaman itu tetap tidak menghentikan berbagai taktik Jaksa Penuntut Umum untuk menghambat jalannya proses hukum atas tersangka. Walaupun di sisi lain, tekanan Bank Dunia berdampak pada tekanan dari pemerintah daerah serta penguatan posisi tawar aparat hukum yang reformis. Pada kasus lainnya, keterlibatan Bank Dunia terjadi secara tidak langsung (kasus Mamodu dan Wanareja) dimana kunjungan Bank Dunia dapat mengerahkan pemda untuk menindaklanjuti kasus korupsi. Jadi, meski Bank Dunia mendorong terciptanya situasi yang kondusif bagi bantuan hukum dan upaya konsultan program, itu bukanlah jaminan bahwa kasus pasti akan berhasil; kendati terlibat dalam hampir semua kasus, toh setengah dari keseluruhan kasus yang diteliti tetap gagal melewati tahapan penanganan oleh kepolisian dan kejaksaan.

Page 107: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

107

II. Implikasi

Reformasi hukum dan keadilan di tingkat lokal

Salah satu tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi inisiatif dukungan seperti apa yang kiranya dapat memperkuat akses keadilan dan hukum bagi kelompok masyarakat miskin di tingkat lokal. Studi kasus diharapkan dapat memberi input yang cukup kaya mengingat studi dilakukan dalam situasi masyarakat yang beragam dilihat dari aksesnya terhadap lembaga penyelesaian masalah (formal/informal), situasi lembaga informal di masyarakat, tingkat pembangunan dan pemberdayaan. Karena itu, jika ada, inisiatif program bantuan hukum yang dihasilkan oleh penelitian ini diharapkan cukup layak diterapkan dalam beragam situasi masyarakat.

Temuan pokok studi kasus ini adalah: meski peta kekuasaan lokal mempengaruhi pola tindakan masyarakat dan lembaga hukum, tapi dalam situasi tertentu, lembaga penegak hukum dapat mengatasi kelemahan dalam mekanisme informal yaitu menyeimbangkan posisi tawar antar pelaku dan masyarakat korban dengan penerapan sanksi hukum. Masyarakat masih menunjukkan kesediaan untuk memakai jalur hukum formal sebagai upaya terakhir ketika proses musyawarah gagal. Sayangnya kinerja lembaga penegak hukum pada umumnya rendah dan bias oleh kekuasaan. Kelemahan ini dapat diatasi ketika para pemimpin kasus dapat membangun kerjasama dengan elemen masyarakat sipil untuk memobilisasi tekanan dan mendapat perlindungan dalam mengatasi inditimidasi dan ancaman si pelaku.

Sekilas temuan di atas nampak kontradiktif; bagaimana mungkin tekanan sosial bisa berhasil dimobilisasi untuk mendorong bekerjanya mekanisme di lembaga hukum formal sementara tekanan itu gagal dikonsentrasikan pada upaya mekanisme informal –yang relatif tidak terlalu ‘berkuasa’? Penjelasannya mungkin terletak pada karakteristik lembaga hukum formal itu sendiri yang memberi peluang pada terkonsentrasinya berbagai kepentingan dari berbagai aktor yang lebih banyak dibanding yang terjadi pada proses informal. Upaya masyarakat untuk mendapatkan pelayanan hukum yang lebih baik merupakan titik perhatian yang menarik keterlibatan aktor eksternal lain. Mendorong kasus menuju jalur hukum formal sama artinya dengan mengangkat kasus tersebut menjadi ‘milik’ publik.

Page 108: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

108

Karena itu tim Justice yakin bahwa, terlepas dari berbagai kelemahan masing-masing mekanisme penyelesaian masalah di atas, adalah cukup rasional untuk memperbaiki akses masyarakat miskin pada hukum dan keadilan. Lebih jauh penelitian ini mengarahkan bahwa akses tersebut tentu saja tidak terbatas pada akses terhadap lembaga hukum formal. Bagaimanapun masyarakat desa masih cenderung menggunakan mekanisme informal dan menganggap lembaga hukum formal sebagai ‘berjarak’ dan sulit diakses. Terburu-buru mengalamatkan rekomendasi pada perbaikan lembaga peradilan saja sama kiranya mengundang masalah yang sama, yakni ketidakseimbangan posisi tawar dalam mekanisme informal kepada ketidakseimbangan posisi tawar yang terjadi di lembaga hukum formal.

Tujuan inisiatif program bantuan untuk penguatan akses pada keadilan harus didefinisikan secara luas yakni mendukung perbaikan mekanisme informal dan hukum formal agar mampu melayani kepentingan masyarakat miskin dengan lebih baik. Perbaikan lembaga hukum formal tidak sekedar menyangkut perbaikan sistem dan kelembagaan melainkan juga penyediaan informasi dan fasilitas yang diperlukan masyarakat untuk dapat mengakses informasi dan pelayanannya serta membangun hubungan antara lembaga penegak hukum dengan elemen masyarakat sipil yang akan mendukung penguatan lembaga peradilan lewat kegiatan pemantauannya. Berbagai kegiatan yang diturunkan dari inisiatif bantuan hukum ini juga seharusnya dilihat sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat secara umum dimana keberhasilan pemanfaatan lembaga hukum formal, misalnya, haruslah diikuti dengan tindakan sosialisasi dan pelibatan kelompok masyarakat miskin.

Rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia

a) Pembaruan sistem dan peraturan untuk memperkuat akses hukum dan keadilan di tingkat lokal

Kebutuhan untuk pembaharuan sistem hukum secara top-down di Indonesia sudah banyak dipublikasikan. Walau memang diperlukan, yang harus diperhatikan adalah bahwa model pembaruan tersebut tidak dengan sendirinya menjawab persoalan pokok mengenai lemahnya penegakan keadilan –yang sebenarnya lebih bersifat sosio-politik daripada legal-teknis.

Sejauh menyangkut perbaikan sistem hukum dan peraturan, aparat hukum yang ditemui dalam penelitian ini menunjuk beberapa pembaruan institusional,

Page 109: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

109

seperti peningkatan kualitas aparat hukum dan akuntabilitas aparat serta lembaga. Satu persoalan yang selalu dinyatakan adalah mengenai keterbatasan dana operasional serta pemotongan anggaran dari tingkat pusat sampai ke tingkat terendah di daerah.

Boks 26: Rekomendasi untuk pembaruan sistem peradilan

Perumusan standar peningkatan kualitas aparat. Kebijakan mengenai rekruitmen, seleksi, promosi dan mutasi aparat penegak hukum harus melalui proses yang objektif, cermat dan lebih terbuka.

Perumusan standar perbaikan kondisi kerja... Kebijakan mengenai gaji, anggaran operasional, perlengkapan kerja, pemeliharaan kantor serta kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau keterampilan tambahan harus dikaji ulang. Pemerintah harus memastikan setiap institusi di setiap level mendapat informasi yang jelas mengenai besarnya dana operasional yang harus diterima, serta menyediakan pusat pengaduan jika terjadi pemotongan.

…tapi, perubahan di atas harus sejalan dengan peningkatan standar akuntabilitas publik, misalnya publikasi berkas putusan Pengadilan. Meskipun sarana dan kualitas aparat memang menjadi hambatan, namun perbaikan atas kendala tersebut tidak akan berhasil bila tidak dibarengi dengan kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap publik (rekomendasi ini juga disampaikan oleh berbagai literatur pemberantasan korupsi, lihat Klitgaard 2000; Woodhouse 2003). Standar akuntabilitas tersebut meliputi akuntabilitas internal yang akan memastikan bahwa kinerja yang buruk, apalagi terlibat suap, akan mendapat sanksi sama halnya dengan kinerja yang baik akan mendapatkan penghargaan dan apresiasi. Selain itu juga termasuk standar akuntabilitas eksternal yang mensyaratkan lembaga penegak hukum untuk menyediakan akses bagi masyarakat terhadap hasil pekerjaannya dengan tanpa dikenai biaya serta kesediaan aparat untuk melakukan klarifikasi bila diminta. Dengan demikian, target pemantauan terhadap lembaga peradilan harus diperluas tidak hanya untuk Pengadilan melainkan termasuk kepolisian dan kejaksaan.

Sebagai tambahan atas perubahan sistemik di atas, perlu juga dilakukan perubahan serangkaian peraturan, terutama menyangkut pidana korupsi, guna memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin dalam mempertahankan haknya. Beberapa kendala peraturan yang ditemui dalam studi kasus ini antara lain: pertama, beberapa peraturan menyangkut mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban jaksa mengenai hasil pemeriksaan, penuntutan dan pelaksanaan putusan Pengadilan (rincian dapat dilihat pada Lampiran I: Analisis Hukum Teknis) yang sudah ada tidak dapat ditegakkan. Hal itu

Page 110: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

110

berakibat pada munculnya sinisme dan ketidakpercayaan masyarakat korban korupsi. Kedua, peraturan menyangkut wewenang melakukan penyelidikan atas tindak pidana korupsi yang sering memperparah situasi persaingan kelembagaan antara polisi dan jaksa. Peraturan ini sering menjadi alasan untuk pengabaian atau penundaan penyelidikan. Terakhir, dalam beberapa kasus, jaksa menolak memberi informasi kepada publik mengenai hasil penyelidikan walaupun peraturan secara tegas mengatur kewajiban tersebut berdasarkan Undang-undang No. 31/1999.

Boks 27: Rekomendasi penguatan dan penegakan peraturan

Penegakan peraturan mengenai pertanggungjawaban polisi dan jaksa yang menghambat penyelidikan atau gagal melaksanakan eksekusi. Peraturan harus ditegakkan untuk (i) memberi sanksi pada polisi dan jaksa yang mengabaikan penyelidikan (lihat Pasal 13 (1b) Undang-undang No. 5/1991); (ii) memberikan sanksi kepada jaksa dan penasehat hukum karena menghambat jalannya prosedur Pengadilan serta mengabaikan perintah Majelis hakim (lihat Pasal 21 Undang-undang No. 31/1999); dan (iii) memberikan sanksi kepada jaksa karena tidak segera melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap secara menyeluruh (lihat pasal 27 (1b) Undang-undang No. 5/1991).

Memperjelas peraturan mengenai ‘pidana biasa’ dan ‘pidana khusus’. Pembuat undang-undang harus memperjelas perbedaan dan hukum acara atas kedua jenis pidana tersebut serta menguraikan tanggungjawab dan peran polisi dan jaksa dalam proses penyelidikan.

Penegakan peraturan mengenai hak masyarakat atas informasi. Pemerintah harus menegakkan peraturan yang mewajibkan jaksa memberi informasi mengenai hasil penyelidikan kasus korupsi kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (2d) Undang-undang No. 31/1999.

(b) Demokratisasi dan penguatan peran berbagai lembaga masyarakat desa

Beberapa upaya reformasi pemerintahan dapat dilakukan oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan akses masyarakat desa terhadap keadilan. Undang-undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah mengatur sejumlah perubahan kebijakan penting untuk pembentukan otonomi lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat desa. Termasuk di dalamnya peraturan mengenai pembentukan BPD secara demokratis yang, antara lain, memiliki kekuasaan untuk mengusulkan

Page 111: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

111

pemberhentian kepala desa. Tapi wewenang untuk membuat peraturan pemilihan BPD tersebut ada pada DPRD sehingga terdapat keragaman mekanisme bahkan masih banyak BPD yang dibentuk bukan melalui cara pemilihan yang demokratis. Pemerintah kabupaten juga menyusun regulasi masalah teknis pemilihan kepala desa. Peraturan daerah yang memastikan proses pemilihan BPD dan kepala desa yang benar-benar demokratis dan adil dan yang diawasi dengan baik oleh Pemda dan publik harus menjadi prioritas.

Studi kasus mengungkapkan bahwa sistem peradilan dapat berhasil bagi komunitas miskin dengan sejumlah faktor pendukung. Namun kesenjangan antara pengadilan dan komunitas desa tetap lebar dan nampaknya, mengingat betapa luas dan miskinnya Indonesia, sulit untuk dipersempit secara signifikan. Oleh karena itu, di tingkat nasional pemerintah juga harus mengkaji perubahan kebijakan yang perlu diambil untuk menjembatani kesenjangan antara berbagai lembaga penyelesaian masalah di masyarakat dengan lembaga peradilan. Salah satu alternatif pilihan adalah pembentukan lembaga pengadilan desa atau lembaga musyawarah lainnya yang bisa mendapat pengakuan dari lembaga hukum formal. Model yang bisa dilihat untuk rekomendasi ini adalah semacam barangay di Filipina dimana pihak yang bersengketa wajib mengupayakan perdamaian terlebih dahulu sebelum menempuh jalur hukum formal (lihat Gerry Roxas Foundation 2000a, 2000b; Sosmena 1996). Bila kemudian tercapai kesepakatan, maka kesepakatan itu diberi status hukum sebagaimana putusan Pengadilan. Tingginya angka penggunaan dan kepuasan terhadap model ini (serta model sejenis di Bangladesh dan Srilangka) nampaknya bisa membuat model ini layak dipertimbangkan di Indonesia terutama untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi prasyarat agar model inisiatif tersebut dapat bekerja secara efektif; ketersediaan tenaga pendamai, mekanisme beracara serta supervisi untuk melihat daerah mana saja yang sesuai.

Rekomendasi bagi lembaga donor dan LSM

a) Prinsip – prinsip pemberdayaan hukum

Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa berbagai inisiatif pemberdayaan hukum cenderung akan berjalan efektif jika dilekati dengan seperangkat prinsip pokok sebagai berikut:20

Page 112: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

112

Boks 28: Rekomendasi prinsip untuk inisiatif penguatan akses keadilan bagi masyarakat di tingkat lokal

Strategi dan fokus. Perbaikan struktural sistem hukum perlu dijalankan oleh pemerintah pusat, namun bagaimana lembaga dan aparat penegak hukum bekerja juga sangat dipengaruhi oleh para aktor di tingkat lokal; tokoh politik, elemen masyarakat sipil dan standar kepuasan masyarakat. Sementara menjalankan reformasi dari tingkat nasional, strategi pokok dalam pemberdayaan hukum adalah mempertinggi ekspektasi (standar kepuasan) masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dan meningkatkan ‘permintaan’ masyarakat atas pelayanan lembaga hukum yang lebih baik. Salah satu jalan yang paling efektif untuk membangun permintaan masyarakat tersebut adalah dengan mengubah persepsi mereka mengenai bagaimana seharusnya aparat hukum bekerja dengan menciptakan ‘kisah sukses’ pemakaian lembaga hukum formal yang nyata.

Prinsip pemberdayaan yang terintegrasi dan melalui pendekatan yang diarahkan pada kebutuhan dalam kasus konkret. Pertama, berbagai inisiatif pemberdayaan hukum haruslah merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian aktivitas pemberdayaan masyarakat secara umum. Kedua, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai literatur, pendekatan melalui pendidikan hukum masyarakat atau pelatihan –pelatihan hukum cenderung akan gagal jika tidak relevan dengan kasus konkret yang dihadapi oleh masyarakat setempat pada saat itu (lihat ADB 2001a). Dengan demikian, inisiatif pemberdayaan hukum haruslah berjalan dalam target yang konkret (kasus yang sedang dihadapi masyarakat) dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk sebuah kegiatan pemberdayaan yang terpadu; penyediaan bantuan hukum, mobilisasi masyarakat dan membangun koalisi antara masyarakat dengan elemen masyarakat sipil untuk menekan dan memantau kinerja lembaga peradilan. Salah satu jalan yang paling efektif yang bisa dipakai oleh lembaga donor untuk memastikan bahwa inisiatif mereka sejalan dengan kebutuhan masyarakat desa adalah dengan memanfaatkan berbagai program pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal yang sudah ada sebagai media untuk mengimplementasikan intervensi pemberdayaan hukum.

Penyelesaian sengketa informal vs hukum formal. Untuk beberapa alasan praktis, masyarakat desa lebih suka menyelesaikan masalah secara informal –apalagi lembaga hukum memperlihatkan sikap bias terhadap kekuasaan. Jadi, meskipun masyarakat butuh dukungan bantuan hukum ketika mereka sudah memilih jalur hukum formal, namun inisiatif pemberdayaan hukum seharusnya tidak menutup peluang penguatan mekanisme informal. Tujuan inisiatif ini tentu saja bukan untuk mempertinggi angka kasus di Pengadilan melainkan untuk membuka pilihan bagi kelompok masyarakat miskin dalam menyelesaikan masalah mereka dengan memperbaiki baik mekanisme informal maupun formal.

Page 113: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

113

Munculkan preseden dan dukungan terhadap aparat yang reformis. Strategi yang melekat dalam inisiatif ini adalah kesadaran bahwa reformasi hukum tidak melulu tergantung pada perombakan sistem dari tingkat nasional melainkan dipengaruhi oleh keberadaan preseden dan kisah sukses yang nyata yang diasumsikan mempunyai efek domino untuk merubah situasi agar lebih kondusif bagi keberhasilan di masa mendatang. Pendekatan ini termasuk selektif dalam penggunaan sumber daya dan memusatkan dukungan pada kasus-kasus yang strategis dimana telah nampak peluang keberhasilan. Salah satu strategi yang bisa dipakai adalah memberi dukungan kepada aparat hukum yang reformis dengan cara membantu mereka membangun jaringan dan kerjasama dengan reformis lainnya serta elemen masyarakat sipil sebagaimana diperlihatkan dengan sangat baik dalam kasus Bukit Kemuning, Lampung.

b) Rekomendasi kepada program-program pemberdayaan masyarakat

Bantuan hukum seperti kuasa hukum masyarakat di Pengadilan bukanlah yang paling dibutuhkan masyarakat ketika mereka berinteraksi dengan mekanisme formal. Bahkan untuk kasus yang sampai ke jalur hukum, kebutuhan akan kuasa hukum ini masih perlu dilengkapi dengan pentingnya pendamping lokal, keterampilan mengorganisir massa, jaringan elemen masyarakat sipil dan akses informasi terhadap lembaga eksternal yang bisa membantu memberi dukungan. Kasus Lebakwangi, misalnya, dengan sangat jelas memperlihatkan bahwa kehadiran kuasa hukum yang memiliki pengetahuan hukum yang baik tapi gagal karena tidak memiliki keterampilan advokasi atau penyuluhan hukum.

Keberhasilan upaya masyarakat itu terjadi bila berbagai faktor pendukung di atas bisa bekerja secara terpadu –daripada sekedar terfokus pada penguatan salah satu faktor inisiatif, seperti berikut ini: (a) mendukung peningkatan keterampilan masyarakat untuk mengorganisasi diri serta penyediaan pendamping yang terampil bertindak sebagai jembatan antara masyarakat dengan lembaga hukum formal; (b) mendukung lembaga peradilan agar dapat bekerja baik dalam melayani kebutuhan masyarakat yang memilih menyelesaikan masalah mereka melalui mekanisme formal terutama dengan membangun jaringan antara kelompok masyarakat miskin tersebut dengan elemen masyarakat sipil serta penguatan lembaga-lembaga pemantau lembaga peradilan; dan (c) dukungan untuk memastikan bahwa kemajuan dan hasil kerja pada tiap tahapnya disosialisasikan secara aktif kepada warga masyarakat miskin.

Page 114: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

114

Strategi untuk menjalankan dukungan di atas adalah dengan memadukan kegiatan pemberdayaan hukum kedalam berbagai program pemberdayaan masyarakat yang sudah berjalan di lokasi yang bersangkutan serta mendorong agar manajemen program pemberdayaan masyarakat tersebut agar siap untuk merespon keluhan atau pengaduan dari masyarakat sasaran. Keuntungannya adalah, inisiatif pemberdayaan hukum sejalan dengan kehidupan dan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk unit yang secara khusus bertugas untuk menerima laporan dan pengaduan selama pelaksanaan program, sehingga bila muncul masalah, unit tersebut secara aktif mengambil peran untuk memberi dukungan yang kuat kepada konsultan atau pendamping lokal mengupayakan penyelesaiannya secara partisipatif.

Boks 29: Rekomendasi pendekatan untuk insiatif pemberdayaan hukum masyarakat

Paralegal dan bantuan hukum. Inisiatif pemberdayaan hukum harus selalu dilihat sebagai bagian dari pemberdayaan dan advokasi masyarakat. Hampir di semua kasus, masyarakat tidak sekedar membutuhkan pengacara dari bantuan hukum, melainkan juga keterampilan untuk dapat mengorganisir diri serta kontak dengan lembaga eksternal yang bisa memperkuat posisi tawar.

Penguatan masyarakat sipil. Dalam mengupayakan penyelesaian masalah, baik secara formal maupun informal, dibutuhkan adanya pemimpin kasus yang memiliki kesadaran mengenai hak masyarakat atau adanya kontak dengan kelompok masyarakat sipil di luar komunitas yang kuat. Inisiatif pemberdayaan hukum masyarakat harus sejalan dengan penguatan kapasitas ‘outreach’ masyarakat sipil secara umum, serta membantu terbentuknya koalisi.

Diarahkan oleh kebutuhan konkret. Pendekatan bantuan hukum seperti pendidikan atau pelatihan yang berangkat dari ‘ruang hampa’ cenderung tidak akan berhasil. Mengingat keterbatasan sumber daya, peluang keberhasilan inisiatif pemberdayaan hukum masyarakat lebih besar jika diarahkan pada lokasi di mana masyarakat setempat memang menghadapi masalah/sengketa konkret dan ada permintaan akan dukungan. Tantangannya, memang tidak mudah untuk mendesain struktur program dengan pendekatan yang diarahkan pada kasus konkret seperti ini. Karena itu, direkomendasikan bila lembaga donor atau LSM akan melakukan inisiatif ini dengan cara menggabungkannya dengan pembentukan unit penanganan pengaduan dan penyelesaian masalah yang ada dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin.

Page 115: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

115

Memadukan inisiatif bantuan hukum dengan program pemberdayaan masyarakat miskin. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan inisiatif bantuan hukum ini, maka program pemberdayaan masyarakat miskin (a) harus memiliki mekanisme penanganan pengaduan yang jelas (b) memiliki fasilitator lokal yang kuat; dan (c) harus memiliki struktur manajemen yang bisa memberi dukungan pada konsultan dalam menjalankan tugasnya.

Mengenai kehadiran paralegal, di beberapa tempat warga desa berpendapat bahwa lebih baik paralegal adalah orang luar dengan asumsi mereka tidak terpengaruh dengan ancaman atau intimidasi yang dimainkan oleh aktor dalam struktur kekuasaan lokal. Namun akan muncul dilema bila keberadaan paralegal sebenarnya harus dikaitkan dengan tujuan jangka panjang, yakni untuk membangun kapasitas masyarakat di tingkat lokal itu sendiri. Sebagai kompromi, peneliti berpendapat bahwa paralegal haruslah orang dari luar desa setempat namun harus bekerja secara aktif bersama masyarakat setempat untuk membangun keterampilan mereka mengorganisir diri dan melakukan advokasi.

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa berbagai inisiatif di atas dapat melengkapi berbagai strategi reformasi hukum di tingkat nasional. Bagi masyarakat desa, dimana inti persoalan lebih bersifat sosio-politis dibanding hukum teknis, solusi yang diajukan adalah inisiatif yang mengarah pada pengorganisasian masyarakat, hak dan akses atas informasi sebagaimana tercermin dalam rekomendasi penyediaan tenaga paralegal serta pendekatan pada kasus konkret. Bahkan para reformis aparat hukum pun menekankan bahwa kontak dengan elemen masyarakat sipil untuk pemantauan dan akses informasi membuat lembaga hukum dapat bekerja dengan lebih baik.

Berbagai inisiatif penguatan hukum di tingkat lokal ini diharapkan dapat melengkapi program reformasi hukum di tingkat nasional terutama untuk mengurangi berbagai pendekatan legalistik yang tidak perlu dan mengarahkan sumberdaya pada kebutuhan real masyarakat. Dalam pelaksanannya, inisiatif di atas sekaligus menguatkan derajat keterwakilan kelompok masyarakat miskin dengan mendorong upaya penyelesaian masalah yang pada gilirannya akan mendukung upaya reformasi hukum di Indonesia.

Page 116: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

116

Bab 4 LAMPIRAN

Page 117: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

117

Lampiran I: Analisis Hukum Teknis

Hukum untuk mendorong penegakan akuntabilitas aparat

Meskipun terdapat indikasi bahwa lembaga hukum formal dapat membantu masyarakat desa melawan perilaku korupsi serta bentuk kejahatan lain, namun masih terdapat kendala serius bagi kelompok masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan yang baik dan keadilan; sikap aparat kepolisian dan kejaksaan yang tidak responsif dalam menindaklanjuti laporan, proses kasus yang lamban (kadang disengaja), intimidasi atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat untuk menghalangi proses hukum, dan kegagalan untuk melaksanakan eksekusi. Temuan lain dalam penelitian ini adalah bahwa dibanding lembaga kepolisian dan kejaksaan, kinerja pengadilan relatif lebih baik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai kendala penegakan hukum dapat diatasi dengan mempertinggi transparansi serta publikasi tindakan yang menghambat proses keadilan. Begitupun, keberhasilan baru bisa dicapai bila kelompok masyarakat miskin memiliki keberanian, ketekunan serta dukungan dari lembaga elemen lain yang kuat untuk memastikan aparat hukum bekerja dengan baik.

Pertanyaannya, bagaimana masyarakat dapat mempergunakan hukum itu sendiri demi menghadapi kinerja buruk aparat hukum? Aparat hukum tidak berada di atas hukum dan terdapat beberapa contoh dimana kinerja mereka ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku. Berikut ini merupakan tinjauan sekilas mengenai bentuk hambatan dari aparat hukum yang paling umum ditemui serta perangkat peraturan yang penting dalam mengatasi hal tersebut.

Hambatan dari aparat penegak hukum

Hambatan dari aparat sering terjadi dalam empat bentuk utama:

Penundaan yang berlebihan saat penyelidikan dan penuntutan sebelum persidangan Salah penafsiran atau ketidakpahaman terhadap peraturan perundang-undangan

Page 118: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

118

Hambatan dalam proses persidangan Pengabaian dalam pelaksanaan putusan Pengadilan

1. Penundaan yang berlebihan saat penyelidikan dan penuntutan sebelum persidangan.

Hambatan yang paling sering ditemui adalah kurang responsifnya polisi dan jaksa pada tahap penyelidikan (Seruyan Tengah, Lebakwangi, Bukit Kemuning dan Wajo). Polisi dan jaksa saling lempar berkas pemeriksaan selama berbulan-bulan, berkas laporan hilang dan laporan yang ‘diam di tempat’ karena kekurangan dana operasional. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan yang ada di KUHAP sebagai berikut;

Boks 30: Persyaratan penyidikan dalam KUHAP

Seorang penyelidik polisi yang menerima laporan tentang kemungkinan tindak pidana wajib dengan ‘segera’ melakukan tindakan penyidikan (KUHAP Pasal 106). Jika sudah jelas dalam penyidikan bahwa hal itu merupakan tindak pidana, Jaksa Penuntut Umum setempat harus diberitahu [KUHAP Pasal 109 (1)].

Penyidik polisi dapat menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti. Jaksa Penuntut Umum juga harus diberitahukan mengenai hal ini [KUHAP Pasal 109 (2)].

Setelah penyidikan polisi selesai, penyidik bertanggung jawab untuk ‘segera’ menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum [KUHAP Pasal 110 (1)].

Jika menurut Jaksa Penuntut Umum hasil penyidikan belum lengkap, berkas perkara harus ‘segera’ dikembalikan kepada penyidik yang bertanggung jawab bersama dengan instruksi penyidikan lanjutan [KUHAP Pasal 110 (2). Pasal terakhir yang mencakup fase dakwaan dari prosedur pra-persidangan lebih spesifik: ‘dalam jangka waktu tujuh hari setelah penerimaan hasil penyidikan’ Jaksa Penuntut Umum memberitahu penyidik apakah hasil penyidikan tersebut cukup lengkap atau belum [KUHAP Pasal 138 (1)].

Ketentuan terakhir agak bertentangan dengan ketentuan lain yang mengatakan bahwa penyidikan polisi ‘dianggap lengkap’ jika dalam waktu empat belas hari Jaksa Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan [KUHAP Pasal 110 (4)].

Page 119: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

119

Jika berkas perkara dikembalikan kepada penyidik, ia wajib ‘dengan segera’ melaksanakan penyidikan tambahan sesuai dengan instruksi jaksa [KUHAP Pasal 110 (3). Pasal terkemudian kembali menyatakan jangka waktu yang lebih eksplisit: dalam waktu empat belas hari setelah penyidik menerima instruksi bagi penyidikan tambahan, berkas perkara harus dikembalikan kepada jaksa [KUHAP Pasal 138 (2)].

Akhirnya, setelah jaksa menerima berkas perkara penyidikan (untuk pertama kali atau setelah penyidikan tambahan), ia harus memutuskan apakah (i) terdapat cukup bukti bagi dakwaan formal, atau (ii) apakah bukti tidak cukup dan oleh sebab itu kasus harus dihentikan. (KUHAP Pasal 139 jo. Pasal 140).

Namun secara implisit, jaksa juga masih memiliki opsi tersebut di atas jika ia mengembalikan berkas perkara sekali lagi kepada penyidik untuk meminta penyidikan tambahan. Undang-undang tidak menyebutkan bahwa seorang jaksa hanya dapat meminta ‘penyidikan tambahan’ satu kali, sebaliknya, hal ini dianggap dapat berlanjut hingga jaksa puas. Prosedur bolak-balik ini juga merupakan jalan keluar yang mudah bagi jaksa yang ragu-ragu untuk menghentikan kasus secara terus terang (sebagai contoh bilamana jaksa telah ‘bernegosiasi’ dengan tertuduh, namun juga berada di bawah tekanan publik untuk bertindak tegas ).

Peraturan di atas memiliki beberapa kelemahan; pertama, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan kata ‘segera’ sehingga memungkinkan polisi dan jaksa mengembalikan berkas acara berulang-ulang (setiap 14 hari). Kedua, ketentuan ayat 4 dan 5 tentang “7 hari setelah diterima” dan “14 hari setelah diterima” dapat dipakai sebagai alasan untuk menunda proses dengan cara memundurkan tanggal “penerimaan” berkas. Selain itu, ketentuan tersebut tidak mewadahi adanya pengecualian atau situasi khusus karena kesulitan memperoleh bukti di daerah terpencil. Secara teori, keterbatasan waktu bisa mempengaruhi kualitas penyelidikan. Lagipula, apa yang bisa ditindaklanjuti oleh polisi bila memang tidak ada dana operasional? Atau, bagaimana bila jaksa terus menerus mengembalikan berkas penyelidikan dari polisi sebagai taktik untuk menunda penuntutan?

Pada prakteknya, peraturan tentang batas waktu tersebut tetap saja bisa diabaikan karena tidak ada aturan mengenai sanksi bila hal itu dilanggar. Kasus Seruyan Tengah, misalnya, jaksa memerlukan waktu lebih dari 40 hari untuk menanggapi berkas pemeriksaan dari kepolisian yang pertama dikirimkan. Polisi telah menyerahkan berkas laporan ketiga pada Juli 2003 tapi belum ada respon dari jaksa hingga November 2003 –entah dakwaan atau surat penghentian dakwaan. Hal itu memberi kesempatan pada tersangka untuk

Page 120: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

120

kabur dan menghilangkan barang bukti, serta menguatkan sikap apatis di masyarakat.

2. Salah penafsiran atau ketidakpahaman terhadap peraturan perundang-undangan

Korupsi atau penggelapan? Pidana atau perdata?

Meski dalam beberapa kasus aparat dengan jelas menerapkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus penyimpangan dana PPK (penyelidikan oleh kejaksaan), namun di tempat lain aparat polisi dan jaksa masih melihat penyimpangan dana tersebut sebagai ‘penggelapan’ (dengan sanksi pidana yang lebih ringan dan penyelidikan awal oleh kepolisian). Bahkan terdapat kasus dimana aparat polisi beranggapan bahwa penyimpangan dana program tersebut merupakan masalah pribadi antar perseorangan pengelola program dan dianggap sebagai wilayah perdata. Dengan demikian, polisi mengatakan tidak dapat bertindak apa-apa.

Penundaan dengan alasan mencari bukti tambahan yang tidak dibutuhkan

Di Lebakwangi, polisi beralasan bahwa perlu bukti tambahan –meskipun sudah ada pernyataan tertulis dari si pelaku, serta jumlah total dana yang diselewengkan. Berbagai bukti yang cukup kuat tidak terbantahkan dan seharusnya telah cukup untuk menetapkan bahwa orang-orang yang dimaksud bersalah atas penggelapan sebagaimana diuraikan dalam KUHP, Pasal 372 dan 374.21 Jika penggelapan yang dimaksud merugikan keuangan atau ekonomi negara, penggelapan kriminal menjadi ‘korupsi’, dan mengakibatkan hukuman yang lebih tinggi [UU No. 31/1999, Pasal 2 & 3]. Dalam kasus di atas aparat polisi tetap saja mengatakan bahwa mereka perlu ‘bukti tambahan’ tanpa menjelaskan kalimat tersebut kepada masyarakat, sehingga orang desa tidak memiliki alasan yang kuat untuk dapat mempertanyakan lamanya waktu penanganan kasus tersebut.

Baik polisi maupun jaksa cenderung menerima alasan pemaaf dari tersangka yang mengaku hanya ‘meminjam’ uang tersebut – meskipun tindakan itu bertentangan dengan peraturan program dan ketentuan hukum. Berdasarkan KUHPerdata, untuk meminjam diharuskan ada perjanjian antara kedua belah pihak (KUHPerdata, Pasal 1754) sementara yang terjadi di Lebakwangi dan kasus lain adalah pengambilan uang secara sepihak tanpa otorisasi. Lebih jauh

Page 121: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

121

bahkan disebutkan bahwa meskipun uang dikembalikan, namun hal itu tidak menghilangkan kejahatannya [UU No.31/1999, Pasal 4].

Meskipun bukti kuat telah terkumpul, namun penyelidikan seringkali masih berlangsung sebagai alasan untuk melakukan perundingan dengan si tersangka agar segera mengembalikan uang yang dicuri –sebuah jalan keluar yang dianggap menghemat pekerjaan semua pihak. Penundaan tersebut dapat berujung pada pengabaian kasus untuk waktu yang tidak terbatas karena biasanya warga masyarakat tidak mau lagi mengeluarkan uang untuk bolak balik mendatangi panggilan sebagai saksi. Dilemanya, alasan tersebut sering pula dipakai oleh aparat untuk menghentikan kasus dengan alasan kurangnya alat bukti dari pemeriksaan sesuai dengan ketentuan KUHAP [Pasal 140 ayat (2)].

3. Kendala proses di Pengadilan

Jika terjadi ‘kesepakatan’ antara jaksa dengan terdakwa, ada banyak cara untuk menghambat proses di Pengadilan:

Boks 31: Strategi jaksa mengulur proses persidangan

Alasan terdakwa sedang sakit. Bila jaksa mendukung keinginan terdakwa untuk berada di luar tahanan atau agar sidang ditunda, tidak sulit untuk mendapatkan surat keterangan dari dokter yang mungkin diperoleh dengan cara menyuap. Bahkan penundaan bisa berlanjut meski si terdakwa duduk-duduk di rumah dalam keadaan sehat sebagaimana terjadi dalam kasus Bukit Kemuning – meskipun majelis hakim berulangkali memerintahkan jaksa untuk menghadirkan terdakwa di ruang sidang.22

Menyiasati peraturan untuk menguntungkan terdakwa. Studi kasus di Bukit Kemuning memperlihatkan dua macam ‘trik’ jaksa demi menguntungkan terdakwa; membuat dakwaan sungsang (dakwaan yang lebih ringan dijadikan dakwaan primer, sementara yang berat menjadi dakwaan sekunder) serta beralasan bahwa rencana tuntutan belum disetujui oleh Kejaksaan Tinggi.23 Jaksa mungkin pula sepakat dengan terdakwa untuk meminta hakim menjatuhkan hukuman seringan mungkin, walau bisa jadi malah merugikan bila majelis hakim bersikeras mengukuhkan independensinya dengan cara menjatuhkan hukuman yang lebih berat.24

Gagal menghadirkan saksi. Saksi penting yang dipanggil dalam persidangan seringkali tidak hadir. Ada banyak alasan ketidakhadiran ini, salah satunya adalah keharusan saksi untuk mengeluarkan biaya sendiri untuk menghadiri persidangan. Beberapa saksi mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan pengganti atas

Page 122: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

122

pengeluaran mereka sesuai KUHAP, yang menyatakan bahwa saksi berhak mendapatkan “pengganti biaya sesuai dengan peraturan yang berlaku.” Meski peraturan tersebut mengatur pula kewajiban aparat untuk “memberi tahu saksi ... akan hak mereka.” [KUHAP, Pasal 229 (1)], namun praktek serupa jarang terjadi.

Mengabaikan perintah Pengadilan. Jaksa kerap mengabaikan perintah Pengadilan seperti perintah untuk mengembalikan terdakwa ke Pengadilan, menyita aset atau memanggil secara paksa saksi kunci dengan bantuan polisi. Di Bukit Kemuning, jaksa bahkan mengabaikan perintah Pengadilan untuk memperpanjang masa penahanan terdakwa selama 60 hari.

4. Pengabaian eksekusi putusan Pengadilan

Salah satu bentuk pengabaian yang paling serius adalah ketika jaksa gagal melaksanakan eksekusi atas putusan Pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Baik KUHAP (Pasal 270) maupun Undang-undang No. 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Pasal 27), mewajibkan jaksa untuk mengeksekusi putusan Pengadilan –walau, sebagaimana terlihat dalam kasus Bukit Kemuning, jaksa mungkin saja mengabaikannya.25

Ada berbagai cara jaksa untuk menutupi kegagalan tersebut. Misalnya, jaksa di kasus Bukit Kemuning menyatakan bahwa terdakwa dalam status buronan, meski si terdakwa hilir mudik di area publik. Bahkan jaksa sempat menyatakan bahwa ia sedang ‘berunding’ dengan si buron mengenai kapan ia akan menjalankan hukumannya. Kedua, alasan yang dipakai jaksa untuk menutupi kegagalan mengeksekusi sanksi pengembalian uang atau denda, yaitu bahwa asset yang ada bukan atas nama terdakwa.26 Biasanya hukuman yang diberikan dalam putusan hakim atas pidana korupsi menyangkut hukuman badan serta denda dan perintah untuk mengembalikan uang yang digelapkan.27 Strategi efektif yang dipakai oleh majelis hakim dalam kasus Bukit Kemuning adalah penambahan masa tahanan bila si terdakwa gagal mengembalikan dana tersebut. Jaksa jarang sekali memastikan bahwa tersangka memberikan informasi menyangkut aset-aset milik suami/isteri, anak-anak atau orang lain yang diduga terlibat dalam tindakan korupsi tersebut (UU No. 31/1999, Pasal 28).

Page 123: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

123

Boks 32: Putusan Pengadilan belum tentu dalam bentuk tertulis

Pengadilan sendiri ikut memberi kontribusi pada kegagalan eksekusi putusan karena putusan Pengadilan dalam bentuk tertulis jarang dikeluarkan. Definisi resmi atas ‘putusan Pengadilan’ dalam KUHAP tidak menyebutkan surat putusan melainkan justru menekankan adanya pernyataan lisan yang diputuskan hakim di sidang yang terbuka untuk umum [KUHAP, Pasal 1 ayat (11)]. Dalam KUHAP juga ada ketentuan bahwa surat putusan Pengadilan harus ditandatangani oleh hakim dan panitera segera setelah putusan tersebut dibacakan (lihat KUHAP, Pasal 200). Terlepas dari kewajiban tersebut, merupakan hal yang umum putusan Pengadilan dibaca berdasarkan catatan-catatan (yang kadangkala ditulis tangan) yang dibuat hakim ketua majelis, dan kemudian diserahkan kepada panitera untuk diketik dalam format baku putusan Pengadilan. Hal ini akan makan waktu berbulan-bulan, dan karena catatan tersebut mungkin tidak akan diperiksa kembali oleh hakim, catatan tersebut mungkin saja memuat kesalahan-kesalahan serius. Sebagai contoh, putusan Pengadilan dalam kasus Grobogan terdapat beberapa kalkulasi yang berbeda dalam hal jumlah yang digelapkan yang tidak menghasilkan jumlah keseluruhan yang sama. Secara resmi jaksa harus mendasarkan eksekusi putusan Pengadilan kepada salinan surat putusan yang dikirim oleh panitera yang bertanggung jawab atas kasus tersebut (KUHAP, Pasal 270). Oleh sebab itu tidak jelas dasar formal apa yang mereka miliki untuk mengeksekusi putusan yang belum diketik. Di Bukit Kemuning, tidak ada versi surat putusan formal beberapa bulan setelah Pengadilan menjatuhkan putusan, dan akhirnya jaksa mengeksekusi putusan tanpa dokumen formal tertulis. Walaupun jaksa wajib melaksanakan putusan Pengadilan segera, mereka mungkin lebih condong mengabaikan putusan yang belum disusun secara resmi. Penundaan dalam mengeluarkan surat putusan dapat pula menghambat kemampuan terdakwa untuk melakukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi. Naik banding harus didaftarkan dalam waktu tujuh hari dari putusan [KUHAP, Pasal 233 ayat (2)]. Jika terdakwa tidak memiliki akses salinan surat putusan formal, kemampuan mereka untuk menyusun keberatan atas putusan dan menemukan cacat dalam interpretasi hakim terhadap undang-undang menjadi sangat terancam.

Instrumen hukum yang tersedia bagi publik

Ketika praktek buruk di atas terjadi, perangkat hukum apa yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menghadapinya? Menilik peraturan hukum yang ada, beberapa strategi masyarakat untuk mengatasi kendala tersebut sangat rumit dan membutuhkan tenaga hukum profesional (misalnya bila mereka mau

Page 124: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

124

menuntut aparat hukum yang melakukan penyimpangan). Pilihan bagi masyarakat nampaknya tetap sama sebagaimana yang direkomendasikan oleh penelitian ini bahwa harus dilakukan strategi pemantauan oleh media massa, elemen masyarakat sipil, pemantauan lembaga peradilan, LBH, lembaga donor serta institusi hukum di tingkat nasional (Kejagung, Mahkamah Agung) yang mendorong transparansi sehingga tindakan aparat yang negatif tersebut dinyatakan sebagai tindakan menghambat proses hukum. Di bawah ini beberapa alternatif instrumen hukum yang mungkin digunakan oleh masyarakat (disusun berdasarkan tata urutan kekuatan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan).

1. Tindakan formal melawan Jaksa Penuntut Umum.

Peraturan hukum di Indonesia belum memberi peluang bagi hakim untuk menahan jaksa atau pembela dengan tuduhan “contempt of court” atau penghinaan atas lembaga peradilan karena menghambat jalannya proses hukum.28 Tapi, bila pun peraturan semacam itu ada, hal itu tidak banyak membantu karena inisiatif harus datang dari hakim dan bukan oleh publik. Tapi UU No. 31/1999 dan UU No. 5/1991 menyediakan instrumen yang mungkin dipakai oleh publik.

Boks 33: Instrumen potensial bagi publik untuk meminta pertanggungjawaban aparat penegak hukum

Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Anti Korupsi menetapkan bahwa siapa yang “dengan sengaja menahan, menghalangi, atau merusak (…) investigasi, dakwaan dan persidangan (…) kasus korupsi dapat dijatuhi hukuman penjara tiga hingga dua belas tahun” (UU No. 31/1999, Pasal 21). Dalam kasus Bukit Kemuning, jaksa dengan sengaja berbohong mengenai tertundanya draft rencana tuntutan serta memakai ijin Pengadilan mengenai pengeluaran tahanan untuk berobat dengan memberi peluang terdakwa untuk melarikan diri. Sulit bagi jaksa yang dicurigai melakukan tindakan menghalangi proses hukum untuk membela diri sendiri melawan tuduhan tersebut.

Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 41 mengatur ketentuan mengenai partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi. Undang-undang No. 31/1999 berisikan ketentuan yang mengatur ‘partisipasi masyarakat’ dimana tertulis hak-hak masyarakat dalam hal melaporkan dan menginvestigasi tindakan korupsi. Pasal yang memberi peluang masyarakat untuk mempertanyakan kerja jaksa adalah ketentuan mengenai hak warga masyarakat

Page 125: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

125

untuk mengirimkan saran dan pendapat ke kantor kejaksaan dan meminta jawaban dari kejaksaan mengenai pertanyaan tentang kasus selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari (UU No.31/1999, Pasal 41 2c dan 2d).

Undang-undang No. 5/1991 tentang Kejaksaan. Pasal 27 UU No. 5/1991 menyatakan bahwa untuk tindak pidana, “...jaksa memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan eksekusi atas putusan Pengadilan...” dan pada Pasal 13 ayat (1b) diatur bahwa, “Jaksa akan dihentikan dengan tidak hormat bila mana...secara terus menerus melalaikan tugasnya.” Dalam penjelasan UU tersebut jaksa dianggap ‘mengabaikan tugasnya’ jika “selama periode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan jaksa tidak menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya tanpa ada penjelasan yang bisa diterima.” Meskipun pasal ini merupakan indikator kinerja secara internal tapi dapat dijadikan dasar masyarakat umum untuk menghadapi jaksa yang mengabaikan putusan Pengadilan sebagaimana terjadi di Bukit Kemuning.

2. Gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi dari negara

Kitab Undang-undang Hukum Perdata berisikan pasal kerugian umum (Pasal 1365), yang menyatakan:

“Setiap tindakan melawan hukum dan menyebabkan kerugian material bagi pihak lain, mewajibkan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut membayar ganti rugi.”30 (“Melawan hukum” dalam konteks ini diinterpretasikan secara luas untuk mengartikan setiap tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku).32

Interpretasi atas bunyi pasal di atas telah menjadi perdebatan terutama arti dari kata “melawan hukum”, “menyebabkan” atau “bertanggungjawab”. Terdapat yurisprudensi yang memperluas pengertian pasal yang semula ditujukan pada tindakan individu menjadi tindakan melawan hukum oleh negara.

Di atas kertas, masyarakat yang merasa dirugikan oleh aparat hukum dapat mengajukan gugatan berdasarkan peraturan di atas. Masyarakat Lebakwangi atau Bukit Kemuning, misalnya, dapat mengajukan gugatan karena polisi atau jaksa telah memenuhi tiga kriteria: (i) gagal melaksanakan tugas mereka meskipun telah ada bukti hukum yang kuat, (ii) akibatnya terdakwa mendapat kesempatan untuk melarikan diri karena polisi atau jaksa gagal menahannya dan (iii) Jaksa gagal menyita aset dan melaksanakan putusan agar terdakwa membayar ganti rugi sehingga menyebabkan kerugian materil kepada

Page 126: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

126

masyarakat desa – walaupun akan sulit mengungkap hubungan sebab akibat antara kinerja kejaksaan dan kerugian materil yang dialami masyarakat.32

Tentu saja disadari bahwa mengajukan gugatan terhadap aparat hukum seperti itu tidak mudah dan memerlukan persiapan serta konsultasi hukum yang intensif. Namun sebagai sebuah upaya ujicoba, tantangan tersebut layak dilakukan untuk mengetahui respon lembaga peradilan akan gugatan tersebut. Apalagi jika ternyata putusan Pengadilan ternyata berpihak pada kepentingan masyarakat desa, maka hal itu bisa dipakai sebagai preseden –walau sistem hukum Indonesia tidak mengenal prinsip stare decisis.

Pengawasan terhadap kinerja hakim

Sangat sulit membuat peraturan mengenai akuntabilitas pengadilan tanpa di saat yang sama membahayakan independensi lembaga tersebut. Karena itu, untuk lembaga peradilan, cara yang paling obyektif adalah dengan mempublikasikan putusan pengadilan secepatnya, agar dapat dianalisis dan didiskusikan oleh para pemerhati hukum. Sayangnya publikasi putusan Pengadilan, bahkan putusan Mahkamah Agung, hanya dilakukan secara insidental (tidak menjadi sesuatu yang umum dan rutin), sehingga menghalangi kesempatan masyarakat untuk mengetahui kualitas putusan dan pengetahuan majelis hakim dalam sebuah kasus.

Tersedia alternatif untuk menggugat kinerja Pengadilan jika memang terdapat dugaan adanya pengabaian tugas, kolusi atau bentuk kinerja yang buruk serta tidak profesional dari para hakim (termasuk jika menunda penulisan putusan atas sebuah kasus). Menurut UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung, merupakan tugas Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan atau supervisi teknis terhadap Pengadilan yang lebih rendah. Mahkamah Agung, dengan demikian memiliki otoritas untuk bertanya tentang jalannya sebuah persidangan, mengeluarkan instruksi atau peringatan tanpa mengurangi independensi majelis hakim. Selain tugas yudisial, seorang hakim agung juga memiliki tanggungjawab untuk melakukan tugas di atas dan untuk memantau administrasi peradilan di lokasi yang ditunjuk. Demikian pula Pengadilan Tinggi (di tingkat propinsi) memiliki tugas yang sama terhadap Pengadilan Negeri di wilayah mereka (UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 53). Masyarakat desa, dengan demikian, dapat mengadukan laporan ke Pengadilan yang lebih tinggi dengan harapan akan melakukan pengawasan, pemantauan dan bila perlu mengambil tindakan terhadap hakim di Pengadilan di bawahnya.

Page 127: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

127

Dampak negatif akibat buruknya kinerja aparat penegak hukum

Kinerja aparat yang buruk berakibat langsung menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan mendorong mereka untuk memakai mekanismenya sendiri – biasanya tanpa mengindahkan aspek legalitas atas sanksi yang dijatuhkan. Meski tidak ada catatan tentang tindakan main hakim sendiri dalam studi kasus ini, namun bila itu terjadi maka bisa memperburuk situasi karena kemungkinan berlanjut dengan aksi balas dendam atau kekerasan yang tidak terkendali seperti membakar si pelaku hidup-hidup. Sanksi informal – seperti yang diterapkan dalam kasus-kasus yang diteliti – tidak terlalu keras dan menciptakan kesan masuk akal dan adil. Namun demikian, sanksi tersebut tetap saja mungkin bisa melanggar hukum, dan dapat dianggap tidak adil.

Pada kasus-kasus yang diteliti – seperti Wanareja, Lebakwangi dan Wajo – cara yang disukai dalam menanggapi penggelapan adalah meminta pelaku tindak kejahatan untuk menyerahkan harta milik pribadi (atau aset keluarga) sebagai kolateral/jaminan atas uang yang hilang – walaupun dalam prakteknya, lelang publik terhadap aset ini sangat jarang.33 Kendati adil dan masuk akal, tetap saja praktek penetapan sanksi tersebut diragukan legalitasnya. Pertama, hal itu membuka peluang menerapkan sanski hukum terhadap orang yang belum terbukti bersalah melalui proses hukum. Pada kasus korupsi di PPK misalnya, walau pengurus UPK atau staf melakukan kejahatan pidana korupsi, biasanya ada aktor lain yang lebih berpengaruh yang menjadi otak tindakan tersebut. Dengan kemampuan penyelidikan masyarakat yang hanya di permukaan, maka otak kejahatan sangat mungkin tetap aman, sementara kejahatan harus ditanggung oleh orang yang kurang memiliki kekuasaan.

Kedua, pengalihan aset dalam mekanisme informal diragukan legalitasnya. Secara hukum, aset yang disita adalah aset yang terkait dengan aksi kejahatan dan aset tersebut hanya boleh disita dan dilelang atas perintah pengadilan. Kriteria ini jarang diperhatikan dalam aksi penyitaan pada mekanisme informal. Kemudian bila terjadi lelang, kekuatan hukum pemilik yang baru juga diragukan. Ketiga, meskipun telah terjadi pengembalian uang yang diseleweng-kan, toh tanggungjawab pidana tidak hilang dengan sendirinya. Padahal, pola dimana ‘uang kembali, tidak ada tuntutan hukum’ yang umum terjadi pada penyelesaian informal justru mendorong orang untuk terus melakukan korupsi dan penggelapan.

Tujuan utama dalam musyawarah adalah untuk menyelamatkan uang yang hilang (atau dalam kasus penggelapan dana pembangunan sarana fisik,

Page 128: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

128

tujuannya untuk menuntaskan pekerjaan). Seringkali penyelesaian dilakukan dengan segera meminta bantuan dari kelompok masyarakat yang memiliki uang tanpa diikuti dengan upaya yang serius untuk membawa pelaku kejahatan sebenarnya ke Pengadilan.

Pada kenyataanya, berbagai instrumen hukum yang bisa dipakai masyarakat menggugat aparat yang lalai sebagaimana dipaparkan di atas hampir tidak pernah dipakai, sangat mungkin karena masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa ada aturan tersebut. Tapi, walaupun toh mereka mengerti peraturan tersebut, masih harus dilihat lagi apakah peraturan tersebut memang dapat diterapkan. Pemerintah daerah misalnya, pada banyak kasus memiliki alasan untuk menghambat gugatan masyarakat kepada kepolisian dan kejaksaan. Sebagaimana pengalaman lemahnya penegakan hukum selama ini, setiap gugatan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum cenderung akan gagal. Namun demikian, kalau bisa diupayakan melalui beberapa ‘kasus ujicoba’ di tingkat nasional diharapkan dapat mendorong akuntabilitas, transparansi dan memperbaiki kinerja lembaga hukum. Ujicoba tersebut sekaligus dapat menjadi titik awal diskusi atas beberapa isu penting yang saat ini bahkan sering dihambat oleh aparat penegak hukum sejak awal.

Daripada menghambat dan mengintimidasi masyarakat desa yang menuntut penegakan hukum yang adil, aparat hukum di tingkat lokal harusnya mendorong berbagai inisiatif anti korupsi masyarakat dan menerapkan substansi Pasal 42 UU No. 31/1999 yang menyatakan bahwa, “Pemerintah akan memberi penghargaan pada anggota masyarakat yang mendukung dalam upaya pencegahan, mengurangi atau mengawasi tindak pidana korupsi.”34 Pengalaman penduduk desa dengan pejabat penegakan hukum dalam kasus-kasus yang diteliti membuat pasal perundang-undangan seperti itu sama sekali tak ada gemanya.

Page 129: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

129

Lampiran II: Ringkasan Studi Kasus

Lampiran berikut adalah ringkasan studi kasus dalam penelitian ini. Laporan lengkap masing-masing kasus dapat diminta kepada tim Justice dan akan diterbitkan secara terpisah.

Bukit Kemuning, Lampung

Bukit Kemuning adalah salah satu kecamatan di Lampung Utara yang terletak di jalur lintas sumatera yang sangat padat. Ibukota kecamatan berjarak sekitar 50 km dari ibukota kabupaten, Kotabumi, yang dapat dijangkau dengan akses jalan raya dengan mudah dari Bandar Lampung. Sebagian besar penduduk kecamatan ini adalah petani, peladang dengan keragaman suku antara lain: suku asli Lampung dan pendatang dari Jawa Barat serta bagian lain pulau Sumatera.

Kasus bermula pada Januari 2001 ketika camat melakukan pemotongan terhadap dana PPK total sebesar Rp 125 juta yang seharusnya dicairkan untuk pelaksanaan kegiatan PPK di 6 desa. Camat –yang disebut-sebut memiliki kedudukan adat yang terpandang dan memiliki kekerabatan dengan pejabat pemda serta Kepala Kejaksaan Negeri setempat, melakukan pemotongan dana dengan cara yang amat terbuka, mengambil sebagian tumpukan uang PPK dihadapan kepala desa yang dipanggil satu persatu ke ruang kerjanya. Hanya satu orang kepala desa (Sekipi) yang mendapat urutan terakhir masuk ke ruang Camat yang menolak mengambil dana PPK yang sudah dipotong dan langsung pulang ke desa. Ke-5 kepala desa yang lain yang masih diliputi kebingungan (salah seorang mengatakan bahwa praktek pemotongan dana seperti itu hampir rutin terjadi pada program apapun) menjadi gusar mengetahui bahwa akhirnya desa Sekipi dapat memperoleh dana itu secara utuh. Karena tidak berhasil menemui Camat, beberapa hari kemudian kepala desa Sidokayo membuat laporan tertulis mengenai tindakan pemotongan tersebut yang dikirimkan ke berbagai lembaga hukum (termasuk kepolisian dan kejaksaan) serta pemerintah daerah dan media massa. Tindakan ini diikuti oleh 4 kepala desa lainnya dua minggu kemudian.

Penanganan kasus pada mulanya sangat lamban. Meski konsultan program, badan pemeriksa keuangan dan polisi segera menindaklanjuti laporan

Page 130: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

130

masyarakat, namun kejaksaan belum juga melakukan tindakan. Atas inisiatif konsultan program, masyarakat ke-5 desa itu dihubungkan dengan LBH yang segera mengirim pengacaranya untuk berbicara dengan masyarakat. Pengacara LBH tersebut, Alpian, kemudian membangun kerjasama dengan rekan-rekan wartawan dan LSM anti korupsi untuk mendorong upaya penyelesaian. Mereka kemudian memfasilitasi warga desa untuk mendatangi kantor Kejaksaan Negeri untuk mempertanyakan tindak lanjut atas kasus tersebut. Namun rombongan tersebut dibubarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang menyebut warga desa sebagai “gerombolan liar”. Aparat kepolisian bahkan sempat ikut membubar-kan warga desa di kantor kejaksaan. Perisitiwa pengusiran warga serta perkembangan kasus tersebut mendapat liputan intensif dari media massa setempat. Melihat tidak ada kemajuan, Bank Dunia memberi peringatan kepada Pemda propinsi untuk segera menindaklanjuti kasus tersebut meskipun tekanan pihak propinsi tidak terlalu terasa mengingat si pelaku mendapat dukungan dari aparat pemda kabupaten, wakil DPRD dan juga kejaksaan.

Berbagai tekanan dan pemantauan publik terus dilancarkan hingga akhirnya kasus ini berhasil dilimpahkan ke Pengadilan negeri Kotabumi pada bulan November 2001. Masyarakat desa cukup beruntung karena persidangan dipimpin oleh majelis hakim yang reformis; mau belajar mengenai program dari konsultan, bertahan dari berbagai aksi initimidasi pihak terdakwa serta memberi akses informasi mengenai jadwal persidangan kepada LBH, LSM dan media massa.

Namun Jaksa Penuntut Umum secara aktif membuat masalah selama persidangan; mulai dari pembuatan dakwaan sungsang (dakwaan primer lebih ringan daripada dakwaan sekunder), tidak mampu menghadirkan terdakwa ke ruang sidang dengan alasan yang bersangkutan sakit, rencana tuntutan masih ditahan di Kejaksaan Tinggi dan sebagainya. Majelis hakim terus bertahan dan bersikap tegas pada jaksa. Akhirnya putusan dapat dikeluarkan 7 bulan berikutnya. Camat divonis bersalah melakukan pidana korupsi dengan sanksi pidana penjara 1 tahun, membayar uang yang dicuri serta denda. Usai sidang tersebut, Camat yang berada di tahanan atas pengawasan Jaksa Penuntut Umum tiba-tiba dikabarkan melarikan diri. Jaksa selalu beralasan bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena yang bersangkutan tidak diketahui keberadaanya –walau dalam salah satu kesempatan ketua Kejaksaan Negeri bahkan terus terang mengatakan bahwa ia sedang ‘bernegosiasi’ dengan terdakwa agar segera menyerahkan diri untuk menjalankan hukuman yang kemudian menjadi kenyataan hanya 2 minggu beselang. Dampak dari kasus ini cukup positif karena masyarakat dengan percaya diri mengatakan bahwa,

Page 131: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

131

“Siapapun yang jadi camat di sini akan berpikir ribuan kali kalau mau korupsi lagi.” Sayangnya mereka harus kecewa lagi karena ternyata uang mereka yang dicuri tersebut “dikembalikan ke kas negara” tanpa ada kepastian bahwa ‘kas negara’ akan mencairkan dana tersebut untuk kegiatan kelompok miskin di desa mereka.

Mamodu, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur

Sumba Barat merupakan kabupaten di Pulau Sumba –pulau yang miskin dan terpencil di Indonesia bagian timur. Dari 350 ribu penduduknya, sebagian besar beragama Kristen dan sepertiganya masih menganut kepercayaan Merapu. Sementara itu, Mamodu adalah desa yang sulit dicapai dimana sebagian besar warganya adalah petani miskin dengan rumah tinggal beratap rumbia, memelihara babi atau kerbau.

Antara tahun 1990 sampai 1999, kepala desa Mamodu, Habamananga, memotong dana program dari IDT dan PPK dengan total sebesar Rp 82,5 juta. Dana IDT (Rp 60 juta) dipakai untuk mendanai pemilihannya sebagai anggota DPRD serta dana PPK dipakai untuk membeli perahu motor untuk mencari ikan. Meski mengaku sangat marah dengan kejahatan si kepala desa, namun warga desa tidak melakukan upaya apapun karena merasa bahwa semua upaya untuk melawannya pasti akan gagal.

Tahun 1999 ia terpilih sebagai anggota DPRD dari fraksi Golkar. Tak lama kemudian, sekelompok warga desa mengirim surat protes atas tindakan pemotongan dana dan melaporkannya kepada Bupati dan Bawasda. Secara luas beredar kabar bahwa lawan politiknyalah yang mendorong aksi pelaporan tersebut. Untungnya, walau ada catatan tindakan korupsi di pemda setempat yang sempat memicu kerusuhan massal tahun 1998, pada tahun 1999 kabupaten itu dipimpin oleh seorang bupati yang disebut-sebut cukup reformis.

Dari hasil audit pemda ditemukan fakta bahwa ia memang melakukan korupsi. Setelah dilaporkan, pemda bersama konsultan PPK berkali-kali mengajak Habamananga berunding agar ia mau mengembalikan uang tersebut. Meskipun diberi kelonggaran waktu, sampai satu tahun berikutnya ia tetap tidak membayar uang satu sen pun. Saat itulah, Juni 2000, konsultan program menekan Bupati agar mengambil tindakan konkret yang ditindaklanjuti oleh Bupati dengan melimpahkan kasus ini Kejaksaan Negeri.

Page 132: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

132

Tapi tidak ada tindakan apapun dari kejaksaan hingga hampir setahun kemudian; tidak ada permintaan ijin kejaksaan untuk memeriksa tersangka (untuk anggota DPRD diperlukan ijin pemeriksaan dari Gubernur), tidak ada pemberitahuan apapun kepada masyarakat dan pemda. Tak heran bila kemudian publik beranggapan bahwa jaksa telah disuap oleh Habamananga. Tidak ingin kasus berhenti, warga mengirim surat protes kepada pemda kabupaten dan propinsi pada saat bersamaan ketika ada kunjungan Bank Dunia ke lokasi tersebut. Meski tidak ada tekanan dari Bank Dunia, Bupati atas inisiatif sendiri kemudian meminta ijin dari Gubernur agar jaksa bisa memeriksa tersangka.

Tanggapan dari Gubernur terbilang cepat dimana mulai Juli 2001 jaksa menahan Habamananga dan menyerahkan berkas penyelidikan tiga bulan kemudian. Persidangan relatif lancar dan setelah 4 bulan hakim menjatuhkan vonis; ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dijatuhi sanksi penjara selama 1 tahun dan harus mengembalikan dana yang dicuri serta denda Rp 5 juta. Warga mengaku puas dengan putusan tersebut. Saat ini Habamananga telah selesai menjalani pidana penjara dan kembali menetap di Mamodu.

Seruyan Tengah, Kalimantan Tengah

Seruyan Tengah adalah kecamatan miskin yang terletak di hutan dekat sungai Seruyan, Kalteng. Kecamatan ini juga dikenal sebagai basis tentara Dayak yang terlibat dalam konflik etnis dengan suku Madura, Februari 2001 lalu. Walau bukan pusat konflik, tapi etnis Madura seluruhnya sudah mengungsi keluar dari lokasi kecamatan ini yang harus dicapai selama 7 jam berkendaraan dari Ibukota Sampit.

Kasus dimulai hanya 6 bulan ketika PPK baru dijalankan. Ketua UPK, Ijuh Biring –yang merupakan tokoh adat dan mantan anggota DPRD, menggelapkan dana program sebesar Rp 40 juta. Meski yang bersangkutan telah mengakui perbuatannya, sampai 18 bulan berikutnya tetap tidak ada penyelesaian. Masyarakat telah melakukan beberapa perundingan dimana ia menandatangani surat pernyataan bahwa mengakui perbuatannya dan akan mengangsur pembayaran. Tapi setiap jatuh tempo, Ijuh Biring selalu berkilah sehingga membuat warga masyarakat kesal dan kasus dilaporkan ke kepolisian.

Page 133: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

133

Awalnya, dengan dukungan dana operasional dari warga masyarakat, polisi bergerak cepat. Tapi buruknya koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan membuat penanganan kasus ini terhenti sampai lebih dari setahun. Sampai studi kasus ini ditulis, masih belum ada kemajuan yang signifikan meskipun dengan pemantauan terhadap aparat hukum dari warga masyarakat, media massa, konsultan program dan Bank Dunia diharapkan proses penyelesaian kasus ini akan kembali ke jalur yang seharusnya.

Ayawan, Seruyan Tengah, Kalimantan Tengah

Ayawan adalah salah satu desa di kecamatan Seruyan Tengah. Ketika terjadi kasus korupsi di tingkat kecamatan oleh Ijuh Biring, Kepala Desa Ayawan melakukan tindakan yang sama di tingkat desa. Ia menggelapkan dana dua program bantuan masyarakat miskin (PPK dan PPM-Pras) dengan total Rp 16,5 juta dengan cara memaksa tim pelaksana kegiatan PPK menyetorkan dana tersebut. Baik Ketua LKMD maupun Ketua BPD sama-sama mengaku tidak berdaya menghadapi aksi pemotongan tersebut –meski belakangan baru diketahui bahwa si Kepala Desa telah mendominasi proses pembentukan pengurus BPD dan menempatkan kroninya dalam lembaga tersebut.

“Warga desa ini sangat marah dengan dia (kepala desa)”, ujar seorang warga, namun, “Hanya bisa mengeluh di belakang karena takut”. Demikianpun tetap terjadi musyawarah untuk membahas masalah ini dimana dengan difasilitasi oleh konsultan PPK dan aparat kecamatan, kepala desa berhasil didatangkan. Sebagaimana sudah diduga, meski telah sepakat untuk mengembalikan dana tersebut di depan musyawarah, toh berbulan-bulan kemudian tidak ada satu sen pun yang telah dibayarkan. Permintaan warga desa agar camat menekan si kepala desa tidak mendapat respon yang melegakan.

Ketika mekanisme musyawarah semakin tidak menampakkan hasil, tim bentukan masyarakat yang terdiri dari 20 orang (bidan, ketua LKMD, guru SD dan Ketua RT) sepakat untuk melaporkan kasus ke polisi walau mengaku, “Kami sebenarnya tidak biasa melaporkan kasus ke polisi karena kami tidak tahu hukum.” Mereka terpaksa melakukannya karena tidak ada alternatif penyelesaian yang lain. Anehnya, tim ini justru mendapat tekanan dari Polsek setempat yang menuduh mereka sebagai ‘provokator’ dan menahan salah seorang anggota tim selama beberapa jam. Bahkan bidan dan guru diancam akan dimutasi dari desa tersebut. Hal itu menguatkan kecurigaan bahwa telah terjadi kolusi antara kepala desa dan polisi walau muncul pula dugaan lain yang

Page 134: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

134

mengatakan bahwa mungkin karena kasus tersebut terlalu kecil nilai uangnya, sehingga tidak mendorong polisi untuk mengambil tindakan. Namun berbeda dengan kasus Ijuh Biring, kasus Ayawan ini tidak mendapat sorotan dari media massa.

Dana PPK pada akhirnya dibayar oleh si kepala desa akibat dari tekaan camat (baru) yang terus menerus, namun tidak ada uang yang dikembalikan untuk program PPM-Pras sementara kasus itu menguap begitu saja. Warga desa mengaku enggan dan malas memperjuangkan keadilan karena merasa hukum hanya bekerja untuk melindungi orang yang berkuasa saja. Dan, faktanya, toh Laun tetap menjadi kepala desa di tempat itu dengan sikap yang semakin pasti untuk mengabaikan kewajiban melakukan akuntabilitas publik.

Tangerang, Banten

Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta menjadi bagian dari Propinsi Banten sejak tahun 2000. Warga masyarakat pada umumnya adalah buruh pabrik, petani atau pekerja di sektor swasta lainnya. Budaya masyarakat asli mengenal tokoh masyarakat yang identik dengan kekerasan dan keberanian yang disebut ‘jawara’. Kelompok jawara ini pada umumnya dihormati (lebih tepatnya ditakuti) dan dianggap tetap perlu untuk mengurangi angka kriminalitas.

Salah satu desa di Tangerang, Kaliasin, menerima dana bantuan KUT (Koperasi Usaha Tani) yang dikelola oleh badan pemerintah sekitar tahun 1990-an. Kasus bermula ketika antara tahun 98 – 99 kepala KUT yang bernama Suratman diketahui menyelewengkan dana program sebesar Rp 2,19 miliar. Suratman, yang tidak berprofesi sebagai jawara melainkan guru mengaji, menilep dana tersebut dengan cara mengajukan proposal fiktif. Kuat dugaan Koes Noegroho –seorang jawara yang punya koneksi pejabat terkenal di Jakarta, berada di belakang aksi korupsi Suratman tersebut.

Kasus tersebut dilaporkan oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya ke kantor Kejaksaan Negeri pada tahun 1999. Penyelidikan kejaksaan yang langsung dimulai tak lama setelah ada laporan tersebut berjalan selama satu tahun lebih bahkan sempat berhenti pada tahun 2001 karena ada pergantian aparat kejaksaan yang menangani kasus ini. Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini, Mursidi, dialihtugaskan ke wilayah lain sebelum persidangan berjalan.

Page 135: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

135

Dan Suratman, sebagaimana dapat diduga kabur dari desa sehingga berakibat pada semakin tertundanya proses penyelidikan.

Mulai saat itu kasus ini diliput oleh media massa bekerja sama dengan LSM Government Watch menekan jaksa agar menuntaskan kasus untuk segera dilimpahkan ke Pengadilan. Jaksa pengganti Mursidi menuntaskan penyelidikan dan kasus mulai disidangkan di Pengadilan secara in absentia dengan vonis 8 tahun penjara buat Suratman. Tapi terdakwa entah berada di mana.

Anehnya, kasus menyangkut pelaku Koes seperti di peti eskan tanpa alasan yang jelas. Seorang aparat kejaksaan yakin hal itu karena tersangka memiliki kedekatan dengan tokoh politik terpandang di Jakarta serta dukungan kuat dari kelompok jawara dan bupati setempat. Koes pun bebas melenggang sementara para petani miskin yang menjadi sasaran program tetap tak tertolong nasibnya.

Tambusai, Rokan Hulu, Riau

Kecamatan Tambusai merupakan kecamatan yang sepi dan terpencil dengan iklim yang sangat panas dan lahan bersemak. Situasi lebih gersang dan penuh asap akibat sering terjadinya kebakaran hutan. Di lokasi ini, korupsi kecil-kecilan merupakan praktek yang umum terjadi selama pelaksanaan PPK. Kasus yang cukup serius terjadi ketika konsultan PPK bekerjasama dengan staf UPK menilep dana program hingga sejumlah Rp 94 juta pada Desember 2001. Toh pemda dan konsultan di kabupaten setempat hanya menindaklanjuti kasus itu dengan setengah hati.

Awalnya upaya penyelesaian berpusat pada model musyawarah yang difasilitasi oleh Pemda dan konsultan kabupaten. Pendekatan ini, ditambah dengan pemantauan serius dari Bank Dunia, membawa hasil hingga tinggal Rp 24 juta saja yang belum dikembalikan. Karena tidak kunjung ada kemajuan, tekanan terhadap para pelaku diperkuat dengan tindakan melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri setempat. Respon dari pihak kejaksaan sangat tidak memadai namun aksi pelaporan itu cukup berbuah karena mendorong konsultan lokal berupaya sekuat tenaga untuk mengangsur tunggakan dana tersebut. Namun, absennya pemantauan masyarakat atas kasus ini membuat baik proses hukum maupun janji pengembalian uang dari si pelaku seakan menguap. Kasus ini merefleksikan betapa lemahnya upaya penegakan hukum atas perilaku korupsi yang berimbas pada lemahnya tekanan pada mekanisme musyawarah informal.

Page 136: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

136

Maniang Pajo, Wajo, Sulawesi Selatan

Maniang Pajo adalah kecamatan di wilayah kabupaten Wajo, Sulsel dengan jumlah penduduk sekitar 350 ribu jiwa. Diantara desa-desa di kecamatan tersebut adalah Arrajang dan Sogi dengan warga sebagian besar bertani. Bila Arrajang yang berjarak sekitar 16 km dari jalan utama menuju bukit yang curam dan berlumpur, Sogi tepat berada pada jalur jalan utama tersebut namun tetap saja tidak ada angkutan umum reguler dari atau menuju ibukota. Di kedua desa tersebutlah bermula kasus penggelapan dana PPK oleh konsultan kecamatan PPK sendiri mencapai hingga Rp 50 juta termasuk pula dana PPM-Pras. Kuat dugaan bahwa konsultan tidak sendirian melainkan bekerjasama dengan pejabat kecamatan dan ketua UPK setempat.

Warga kemudian membentuk tim penanganan masalah yang beranggotakan tokoh masyarakat yang kemudian diberi tugas untuk melakukan klarifikasi langsung pada konsultan dan ketua UPK. Konsultan lokal mengakui telah mengambil dana tersebut dan berjanji akan mengembalikannya dalam waktu 7 hari. Janji tersebut tidak pernah ditepati, bahkan yang bersangkutan melarikan diri. Beberapa bulan berlalu, bersama ketua UPK tim masyarakat melakukan pelacakan atas keberadaan si konsultan lokaldengan meminta bantuan dari LSM setempat. Upaya tersebut gagal dan tim mulai bergeser melakukan tekanan kepada orang yang tertinggal, Ketua UPK. Ia kemudian sepakat untuk mengembalikan seluruh uang yang hilang dengan cara menggadaikan aset pribadi serta meminjam uang. Toh, ia tetap merasa dikambinghitamkan dan segera melaporkan konsultan tersebut ke kantor polisi. Malang, bukannya ditindaklanjuti, polisi malah beralasan bahwa berkas laporan itu hilang.

Kejadian yang sama terjadi pula di Sogi dimana sasaran kemarahan warga mengarah pada Jide, Ketua LKMD yang diduga bekerjasama dengan konsultan lokal tersebut. Jide, meski mengaku melakukan nepotisme dalam pelaksanaan kegiatan PPK, namun menyangkal telah mengijinkan konsultan tersebut mengambil dana untuk desa mereka. Kejaksaan yang menerima surat tanpa identitas mengenai dugaan korupsi Jide pada januari 2000 tidak melakukan tindakan apa pun. Dan Jide tetap bersikeras bahwa ia tidak terlibat dalam penggelapan dana tersebu dan merasa telah dituduh secara tidak adil.

Dalam kedua kasus tersebut terlihat bahwa yang paling banyak menanggung akibat justru bukan pelaku utama (konsultan lokal) melainkan warga desa lain yang juga diduga terlibat. Nampaknya masyarakat lebih mudah menekan para

Page 137: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

137

pelaku sekunder tersebut daripada melacak keberadaan si pelaku utama atau menekan aparat hukum menjalankan tugas mereka.

Rowosari, Semarang, Jawa Tengah

Walaupun termasuk wilayah Kotamadya Semarang, namun lokasi Rowosari lebih merupakan wilayah terpencil yang sulit dijangkau. Kelurahan ini dikenal dengan reputasi buruk sebagai ‘pabrik preman’ yang sering melakukan kejahatan di wilayah Semarang dan sekitarnya. Setiap memasuki wilayah kelurahan tersebut selalu terasa menegangkan terlebih lagi karena budaya kekerasan yang selalu diceritakan oleh warga sekitar.

Kasus bermula ketika pemilihan pengurus program P2KP, dimana seorang guru mengaji namun mendapat dukungan kuat dari sekelompok preman menjadi ketua badan pengurus setempat. Bekerjasama dengan konsultan lokal (faslitator kelurahan/faskel), ketua badan pengurus melakukan pencairan dana program sebesar Rp 100 juta namun uang tersebut diselewengkan. Begitu berita tersebar, manajemen program di tingkat regional segera melakukan tindakan klarifikasi dan pengecekan ke bank tempat dana dicairkan serta melacak keberadaan faskel. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil.

Sasaran berikutnya adalah ketua badan pengurus, Bashori, yang menandatangani surat pencairan tersebut. Meski bersikeras tidak melakukan pencairan tersebut, Bashori menyanggupi untuk mengembalikan seluruh dan yang dicairkan secara tidak sah tersebut. Karena itu, manajemen program yang mengontrol jalannya penyelesaiannya masalah mendudukan masalah ini sebagai ‘hutang piutang’ dan bukannya kasus ‘korupsi’. Dengan demikian, tindakan hukum yang dilakukan bukannya melaporkan kepada polisi atau jaksa, kasus ini justru akan dibawa ke notaris untuk dibuatkan akte ‘hutang piutang’. Sayangnya, tidak seorangpun warga atau tokoh masyarakat di Rowosari yang bersedia menandatangani akte notaris tersebut sebagai ‘wakil dari masyarakat’. Lurah, meski menunjukkan sikap ikut bertanggungjawab, namun tidak ingin terlibat secara hukum atas kasus hilangnya dana tersebut sehingga tetap keberatan menandatangani akte tersebut.

Setelah ada rekomendasi dari Bank Dunia, manajemen program wilayah melaporkan kasus itu ke Polsek setempat. Telah dua tahun berlalu sejak laporan tersebut, namun tidak ada kemajuan yang berarti dalam pemeriksaan kepolisian kecuali pernyataan polisi bahwa mereka telah menanyai beberapa

Page 138: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

138

orang saksi dan melacak keberadaan si faskel yang dinyatakan buron tersebut. Pada kenyataan tidak seorangpun warga Rowosari merasa pernah diperiksa oleh polisi. Bahkan, ketika melakukan kunjungan untuk studi kasus ini, tim justice dengan mudah dapat melacak keberadaan para tersangka. Dan bashori, yang dinyatakan polisi sebagai buron, tetap melaksanakan kerjanya keluar masuk kelurahan sebagai agen dari bank lokal. Tak heran bila warga dengan sinis mengatakan bahwa mereka yakin polisi telah disuap.

Dalam situasi tersebut, jelas bahwa mekanisme perundingan sulit dilakukan karena ketidakseimbangan posisi tawar antara para pelaku dan masyarakat korban. Apalagi, akibat buruknya sosialisasi program, rasa kepemilikan warga terhadap program sangat kecil. Dengan demikian, mekanisme hukum formal harusnya menjadi alternatif yang paling menjanjikan. Sayangnya warga masyarakat tidak memiliki pendamping dan pemimpin kasus yang bisa mengarahkan strategi penyelesaian dan melakukan pemantauan terhadap proses hukum. Situasi lebih diperparah karena tidak adanya dukungan dari pemerintah daerah atau lembaga yang memiliki otoritas yang lebih tinggi sehingga, “kalau tidak ada kemauan politik orang yang di atas, ya tidak ada perubahan apa-apa”, ujar seorang warga kelurahan.

Bintoro, Demak, Jawa Tengah

Kasus korupsi di kelurahan Bintoro, Demak, merupakan contoh model penyelesaian melalui mekanisme informal yang sangat berhasil. Upaya penyelesaian masalah dimulai ketika Labit,salah seorang tokoh pemuda dan mantan aktivis mahasiswa, mencurigai adanya penyelewengan dana oleh para pengurus P2KP di kelurahan tersebut. Ia kemudian menghubungi warga Bintoro yang kebetulan menjadi faskel untuk kelurahan lain guna mengetahui prosedur dan strategi penyelesaian yang mungkin dilakukan. Oleh faskel, Labit disarankan untuk menjaring dukungan lebih banyak lagi dari warga kelurahan.

Karena itu ia kemudian mengeluarkan selebaran berisi hasil audit keuangan lembaga independen yang memperlihatkan adanya penyimpangan keuangan. Selain itu, dalam selebaran yang memakai bahasa sederhana itu, ia mendorong warga untuk datang pada rapat pertanggungjawaban pengurus di kelurahan. Ketika rapat berlangsung, ia mengamati tokoh lain yang bisa diajak bekerjasama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di situlah Labit bertemu Kurnen, tokoh masyarakat setempat yang memang dikenal berani dan kritis terhadap berbagai program di kelurahan mereka. Kurnen dan beberapa tokoh

Page 139: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

139

masyarakat lain diundang untuk menghadiri pertemuan di rumah Labit guna membahas strategi penyelesaian masalah.

Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa mereka akan membentuk tim penyelesaian masalah yang diberi nama ‘tim-9; penyelamat dana P2KP’. Selain itu, mereka sepakat untuk mendahulukan pendekatan musyawarah terlebih dahulu sebelum melimpahkan kasus ke jalur hukum formal. Alasan mendahulukan musyawarah ini dinyatakan oleh Kurnen, “Kalau dulu mungkin kita memang langsung lapor ke polisi lantas cuci tangan. Tapi sekarang, bila masih (memakai cara) begitu, masyarakat tidak yakin bahwa uang yang dicuri itu bisa kembali ke kami lagi. Kita ini kan satu kelurahan ini merupakan keluarga besar, sedapat mungkin ya kita selesaikan lewat musyawarah”.

Melalui penyelesaian informal tersebut, anggota tim yakin bahwa uang dapat kembali, sementara kerukunan di masyarakat tetap terjaga. Begitupun, sebagai alternatif, Kurnen tetap berkonsultasi dengan rekannya seorang aparat kepolisian menyangkut prosedur yang harus dilalui jika suatu saat mereka memutuskan memakai jalur hukum formal. Untuk mempertinggi tekanan kepada para pelaku, Tim juga selalu mencantumkan kepolisian dalam ‘tembusan’ setiap surat yang berkaitan dengan penyelesaian kasus tersebut. Suatu ketika, para pelaku pernah melobi aparat Bappeda untuk mendukung mereka menghadapi tim masyarakat. Tapi tim tak kalah gesit, beberapa anggota segera mendatangi kantor Bappeda dan secara resmi meminta lembaga pemerintah tersebut untuk bertindak sebagai mediator dalam musyawarah di kelurahan. Akhirnya, dalam pertemuan di kelurahan para pelaku bersedia untuk mengembalikan dana yang telah diselewengkan sekaligus dipecat dari kepengurusan P2KP.

Dampak kasus itu cukup terasa terutama dengan semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan pemantauan jalannya kegiatan program. Ditanya mengenai pelajaran apa yang paling penting dari kasus ini, salah seorang warga kelurahan Bintoro mengatakan dengan tegas bahwa, “Saya yakin kalau kita berjuang untuk kepentingan masyarakat miskin, kita pasti menang”.

Page 140: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

140

Cipadung, Bandung, Jawa Barat

Mulai bulan Mei 2000, kelurahan Cipadung di Bandung bagian selatan mendapat dana kegiatan P2KP. Sesuai dengan prosedur program, masyarakat kemudian membentuk pengurus program yang dipilih dari warga masyarakat sendiri. Sayangnya, setelah setahun bekerja, bendahara pengelola program tersebut diduga melakukan penggelapan dana sebesar Rp 100 juta dengan cara memberi pinjaman pada kelompok fiktif juga tidak menyetorkan angsuran dari kelompok peminjam lainnya.

Penyimpangan dana itu baru dibahas secara terbuka oleh pengelola program dan konsultan setelah terjadinya rapat tahunan, Desember 2001. Mengetahui hal tersebut, beberapa tokoh masyarakat membentuk tim penanganan masalah dan memilih Budi, ketua BPK Kelurahan sebagai ketua tim. Budi bukan saja dikenal sebagai ketua BPK, melainkan juga sebagai ketua kelompok tukang ojek di kelurahan tersebut.

Usai melakukan penelitian selama tiga bulan, anggota tim yakin bahwa bendahara memang satu-satunya pelaku penggelapan tersebut. Ia lalu diundang untuk bermusyawarah dengan tim, namun selalu menolak untuk hadir dengan berbagai alasan. Barulah di bulan Maret 2002 ia bersedia menandatangani pernyataan bahwa ia bertanggungjawab atas hilangnya uang program dan akan mengembalikannya sebulan kemudian. Karena bendahara ingkar janji akhirnya tim melaporkan kasus ini ke kepolisian walau, “Masyarakat sebetulnya lebih suka menyelesaikan dengan jalan musyawarah, tapi dia (bendahara) tidak ada itikad baik. Langsung saja kita laporkan,” ujar salah seorang anggota tim.

Polisi segera menindaklanjuti laporan tersebut bahkan menahan bendahara mulai September 2002. Meski polisi telah menyelesaikan berkas penyelidikan segera dan melimpahkannya ke Kejaksaan Negeri, namun progres penanganan kasus ini mulai lamban karena berkas berulangkali bolak balik antara polisi dan jaksa dengan alasan berkas masih kurang lengkap. Akibatnya waktu penahanan polisi atas tersangka sudah habis dan yang bersangkutan harus dibebaskan demi hukum. Masyarakat mulai marah dengan perkembangan tersebut dan menganggap aparat hukum tidak serius menangani kasus ini. Sementara, tidak ada insiatif baik dari polisi maupun jaksa untuk sekedar mengadakan pertemuan singkat membahas perbedaan pandangan atas berkas laporan tersebut. Saat laporan ini ditulis, telah terjadi perkembangan yang cukup baik karena jaksa dan polisi akhirnya mengadakan pertemuan untuk melengkapi berita acara pemeriksaan.

Page 141: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

141

Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat

Lebakwangi adalah salah satu kecamatan di kabupaten Kuningan yang terletak di bawah gunung Ceremai yang menjadi salah satu industri pariwisata yang cukup ramai. Pusat kecamatan hanya berjarak sekitar 17 km dari ibukota Kuningan dengan jalan yang mulus dan beraspal. Desa-desa di kecamatan tersebut ditandai dengan mesjid yang indah dan bangunan rumah yang cukup besar. Namun, begitu memasuki perkampungan, yang tampak adalah perumahan yang hanya semi permanen dengan jalan berbatu yang sempit. Kebanyakan rumah-rumah tersebut kosong karena para penghuninya bermigrasi ke Jakarta atau daerah perkotaan lain di Jawa Barat.

Dalam pemilihan pengurus UPK, salah seorang pemuda di kecamatan tersebut, Cecep Gandamana, terpilih sebagai ketua UPK. Namun sekitar Januari 2000 sampai Oktober 2001 lambat laun pola kehidupan ketua UPK ini berubah semakin royal, membeli mobil baru dan merenovasi rumah tinggalnya. Namun kecurigaan warga selalu ditutupi anggapan bahwa toh memang keluarga Cecep cukup berada. Barulah ketika dana perguliran untuk masyarakat desa terhenti, kecurigaan meruak. Meski semula bersikeras menyangkal telah menggelapkan dana PPK, ia akhirnya menandatangani pernyataan bahwa ia bertanggungjawab atas hilangnya dana UPK sebesar Rp 107 juta sesuai dengan hasil temuan Badan Pengawas Keuangan.

Upaya penyelesaian melalui musyawarah yang diupayakan nampaknya tidak berjalan karena berbagai tekanan sosial dan ancaman pengenaan sanksi hukum dapat dengan mudah diabaikan oleh si pelaku. Apalagi partisipasi masyarakat dalam upaya penyelesaian sangat rendah. Akhirnya tim bentukan masyarakat yang terdiri dari lima orang perwakilan masing-masing desa PPK melaporkan kasus ini ke kepolisian.

Semula Polres Kuningan memberi respon yang cukup cepat dengan memeriksa para saksi. Tapi, tanpa penjelasan yang memadai, proses pemeriksaan di kepolisian macet –bahkan meski didorong dengan dua surat resmi dari Bupati serta beberapa kali kunjungan supervisi Bank Dunia. Atas kemacetan tersebut, aparat polisi mengaku kesulitan karena para saksi jarang yang datang ketika dipanggil. Sementara, beberapa orang warga desa yang sempat diwawancarai bahkan bercerita bahwa mereka selalu memenuhi panggilan kepolisian. Bahkan pernah mereka datang tepat jam 8 pagi namun dibiarkan saja sampai jam 3 sore dengan alasan aparat polisi yang menangani kasus ini sedang sibuk. Dan proses pemeriksaan betul-betul macet ketika pada Mei 2002 Cecep meninggalkan

Page 142: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

142

tempat tinggalnya tanpa jejak. Anehnya, secara mengejutkan tak berapa lama kemudan Polres menyatakan bendahara UPK –seorang janda yang berpendidikan rendah, sebagai tersangka tunggal atas kasus ini. Ia pun diajukan ke meja hijau.

Dari sisi masyarakat, tidak heran bila dukungan untuk penyelesaian masalah sangat rendah. Aparat kecamatan yang seharusnya dapat mendorong penyelesaian justru secara luas diketahui sering meminjam dana UPK untuk keperluan pribadi. Konsultan lokal mengaku tidak tahu apa yang harus dilakukan sementara pihak Pemda enggan mendorong atau memantau proses di kepolisian karena, “tidak mau dianggap melangkahi wewenang aparat hukum atau mengganggu independensi hukum”. Keadaan menjadi lebih buruk karena sulit mendapatkan LSM atau elemen masyarakat sipil lain yang bisa dihubungi oleh warga desa.

Dan sampai 17 bulan sejak ditangani aparat hukum, polisi hanya menyerahkan satu orang tersangka ke Pengadilan. Ia sangat mungkin ikut terlibat. Namun dari berbagai bukti dan pengakuan ketua UPK sendiri, si bendahara hanyalah alat, sementara si Ketua adalah otak dari aksi penggelapan tersebut. Namun, melihat mudahnya si Ketua meninggalkan kecamatan dan kasus ini, masyarakat jelas melihat bahwa paling jauh hukum hanya bisa memakan orang yang lemah, si bendahara.

Sakkoli, Sajoaning, Wajo, Sulawesi Selatan

Beberapa tahun lalu, Hasanuddin datang ke desa Sakkoli tanpa berbekal apa-apa. Kabar yang banyak beredar mengatakan bahwa ia mantan pegawai negeri yang dipecat. Kepala desa setempat memberi kesempatan Hasanudin bekerja sebagai tenaga penagih di koperasi desa. Dengan latar belakang kegiatan tersebutlah, ia dipilih oleh warga sebagai ketua tim pelaksana kegiatan PPK pada awal tahun 1999.

Tidak ada yang aneh sebelumnya. Barulah ketika konsultan lokal PPK menegaskan agar para peminjam dana PPK segera membayar tunggakan dalam sebuah rapat tahunan, warga justru terkejut karena mereka tidak pernah sama sekali menerima dana pinjaman apapun dari program. Segera saja ketua tim pelaksana menjadi tersangka utama karena ialah orang yang paling bertanggungjawab atas pencairan dana tersebut. Apalagi, belum lama berselang ia baru saja membeli truk dan melunasi semua hutang-hutangnya. Lewat

Page 143: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

143

pendekatan pribadi, konsultan PPK memintanya mengembalikan uang tersebut. Cukup mengherankan karena baru satu tahun kemudian, Hasanudin berhasil dipaksa untuk menandatangani pernyataan hutang pada PPK dan mengembalikan uang tersebut. Tapi, tak lama kemudian, ia justru menghilang.

Ketika konsultan lokal menyampaikan bahwa desa tersebut tidak dapat menerima dana PPK lagi sejak Agustus 2001, barulah kemarahan warga meluap. Mereka sepakat menempuh jalur hukum formal. Ketika melapor ke kepolisian, mereka mendapat jawaban bahwa kasus adalah sengketa perdata dan bukan pidana, sehingga kepala desa melaporkan kasus langsung ke kejaksaan. Sayangnya, laporan tersebut hilang tak tentu rimbanya. Bahkan enam bulan berselang ketika warga menanyakan kelanjutan laporan tersebut ke kejaksaan diperoleh jawaban bahwa aparat yang bertugas di sama belum pernah mendengar laporan itu sebelumnya.

Sejak awal ketika kasus terbongkar, tidak dilakukan sosialisasi untuk mendorong partisipasi warga. Ketika mereka ditanya tentang masalah yang terjadi, tak banyak dari mereka yang tahu. Di antara yang mengaku pernah mendengar tentang kasus itu, mereka merasa bahwa bukan uang mereka yang hilang melainkan uang Bank Dunia. Tak heran bila yang muncul adalah sikap apatis –ditambah lagi menurut mereka penggelapan serupa adalah hal yang jamak terjadi dalam program pemerintah. Ketika digali lebih jauh, kebanyakan warga menyatakan lebih suka menyelesaikan kasus tersebut melalui musyawarah karena mereka percaya si pelaku pasti mau mengembalikan dana tersebut. Apalagi, mengingat si pelaku memiliki kedekatan dengan kepala desa, warga khawatir mempersoalkan masalah tersebut karena akan dikucilkan.

Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah

Peribahasa “Sebaik-baik menyimpan bangkai, toh akhirnya tercium juga” sangat tepat menggambarkan apa yang terjadi pada kasus di kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap ini dimana Warnengsih, bendahara UPK, telah menggelapkan dana PPK sebesar Rp 250 juta.

Kasus mulai terkuak ketika kelompok peminjam dari desa Palugon tidak mendapat pencairan dana perguliran pinjaman mereka. Janji bendahara yang terus menjanjikan akan mengantar uang tersebut langsung ke desa-desa sampai beberapa minggu kemudian tidak terlaksana. Kecurigaan masyarakat semakin menguat mengingat sejak beberapa saat terakhir kehidupan Warnengsih jauh

Page 144: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

144

berubah; sering membeli tanah, belanja berbagai peralatan elektronik dan perlengkapan rumah. Dari hasil audit diketahui bahwa ternyata selama setahun ia tidak menyetorkan pembayaran kelompok peminjam ke rekening UPK di bank. Lewat musyawarah di kecamatan, masyarakat membentuk tim-9 yang ditugasi untuk menangani kasus ini. Akhirnya, lewat berbagai tekanan masyarakat dan pemerintah kecamatan, bendahara dengan enggan mengakui perbuatannya dan berjanji akan membayar kembali uang itu dengan cara menyerahkan aset miliknya sebagai jaminan.

Proses penyelesaian informal mengarah pada pembuatan akte notaris penyerahan aset bendahara kepada tim-9 sebagai jaminan hutangnya. Namun, sesuatu terjadi antara anggota tim-9 dan elemen Forum Lintas Partai kecamatan. FLK menduga anggotanya yang duduk di dalam tim-9 melakukan kolusi dengan camat untuk mengambil keuntungan dari kasus tersebut. Jengkel dengan dugaan itu, anggota tim-9 segera melaporkan kasus kepada polisi untuk membuktikan bahwa strategi mereka sepenuhnya transaparan. Pelaporan ini dimaksudkan pula untuk menekan bendahara yang terkesan menunda-nunda waktu penandatanganan akte tersebut. Beberapa hari sebelum penanda-tanganan akte, tiba-tiba bendahara berubah pikiran dan menyewa tenaga pengacara swasta serta bertekad menyelesaikan masalah lewat jaur hukum formal.

Upaya perdamaian gagal dan proses penyelidikan di kepolisian dimulai. Polres Cilacap hanya membutuhkan waktu 4 bulan untuk menuntaskan berkas pemeriksaan dan melimpahkannya keapada Kejaksaan Negeri Cilacap. Hanya dalam waktu satu bulan kasus telah dilimpahkan oleh jaksa ke Pengadilan. Proses persidangan tak kalah cepat. Dimulai pada Agustus 2002, kasus yang melibatkan 35 orang saksi ini selesai dalam waktu 4 bulan. Pengadilan bahkan menjadwalkan persidangan secara rutin sebanyak 2 kali dalam seminggu (rata-rata persidangan suatu kasus dijadwalkan 1 kali dalam seminggu).

Sedikit di luar kebiasaan, jaksa menyatakan tidak puas dengan putusan Pengadilan dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Dua bulan kemudian Pengadilan Tinggi memberi putusan yang tidak jauh berbeda dengan putusan sebelumnya; Warnengsih dinyatakan bersalah melakukan korupsi, dikenai sanksi penjara 4 tahun, mengembalikan uang dan dikenai denda.

Tapi, baik uang pengganti maupun denda diperintahkan untuk dikembalikan ke kas negara. Sehingga cukup sulit untuk mengatakan apakah keadilan telah sampai kepada masyarakat desa yang telah mengupayakan penyelesaian selama

Page 145: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

145

beberapa tahun. Tidak ada mekanisme yang jelas bagaimana untuk mengembalikan dana dari ‘kas negara’ itu kembali ke kas UPK Wanareja dan kembali bisa digulirkan untuk kepentingan simpan pinjam kelompok warga miskin. Selain soal pengembalian dana tersebut, secara umum lembaga hukum formal bekerja sangat baik dalam kasus ini.

Mlilir, Gubug, Grobogan, Jawa Tengah

Gubug adalah salah satu desa di kecamatan Grobogan yang terletak sekitar 1 jam berkendaraan dari kota Semarang. Sebagaian besar warga desa adalah petani, pegawai pemerintah atau penggarap sawah. Desa yang sudah dilengkapi dengan sarana transportasi dan komunikasi itu dikenal sebagai ‘daerah hitam’ karena tingginya angka kejahatan serta jumlah kelompok preman yang berasal dari wilayah semi perkotaan tersebut. Kepala Desa, Jasmo, disebut-sebut mendapat dukungan kuat dari kelompok preman. Toh, warga tetap memilihnya karena ia yang dapat memberi uang paling banyak saat kampanye pemilihan kepala desa.

Desa ini menerima dana PPK mulai November 2000 – Januari 2001. Dalam rentang waktu tersebut terjadi kasus dimana Sekretaris tim pelaksana kegiatan menggelapkan uang PPK sebesar Rp 24 juta. Selain ketua tim, bendahara juga diduga ikut terlibat. Namun banyak pihak percaya bahwa si Kepala Desalah yang menjadi dalang dan memaksa ketua tim dan bendahara untuk menerima uang agar kelak dapat ‘berbagi resiko’.

Kasus terbongkar akibat peran kelompok pemuda yang dimotori oleh Ketua BPD yang baru, Gondo. Ia yang baru saja terpilih merupakan anak dari mantan kepala desa yang dikalahkan oleh Jasmo dalam pemilihan terakhir, sehingga mudah memperkirakan bahwa upaya Gondo didorong oleh motivasi persaingan antar keluarga. Sebelum kasus, ada insiden sebelumnya dimana Jasmo dan kawan-kawannya menyerang kelompok Gondo karena melempar tuduhan bahwa si kepala desa menggelapkan dana penjualan tanah desa. Dalam kasus itu, semua orang sangat takut untuk menjadi saksi atas penyerangan tersebut.

Kelompok pemuda tersebut melaporkan pada konsultan PPK dan pengurus UPK yang kemudian menyarankan warga membentuk tim penyelesaian kasus. Kasus pun dilaporkan pada polisi yang segera menangkap ketua tim pelaksana kegiatan. Tiga bulan kemudian, polisi menambah dua orang lagi mejadi

Page 146: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

146

tersangka. Usai penyelidikan, berkas langsung diserahkan pada kejaksaan yang hanya butuh waktu 20 hari untuk menyelesaikan tuntutan mereka dan menyerahkan pada Pengadilan.

Meski sidang atas ketiga tersangka tersebut berjalan lancar, namun semua orang yang menjadi saksi di Pengadilan mengaku mendapat intimidasi dan ancaman dari si kepala desa agar tidak mengaitkan dana tersebut dengan dirinya. Bahkan, ketika Gondo menjadi saksi, kelompok preman mencuri motor miliknya yang diparkir di halaman Pengadilan. Anehnya, polisi tidak mengambil tindakan atas kejadian pencurian motor tersebut.

Indikasi keterlibatan si kepala desa sangat jelas selama jalannya persidangan. Baik tersangka maupun saksi lain menyatakan bahwa para tersangka terpaksa melakukan penggelapan tersebut dibawah ancaman kelompok preman pendukung Jasmo. Meski akhirnya Jasmo menjadi salah satu tersangka di Pengadilan, namun sidangnya dibuat terpisah dari tiga tersangka lain. Dalam sidang Jasmo, tidak seorang saksi pun yang memberi keterangan yang memberatkannya, sehingga di akhir persidangan ia hanya dikenai sanksi hukum percobaan.

Sidang atas tiga tersangka lain selesai pada September 2001 dimana mereka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun. Selain itu, ketua tim pelaksana juga dikenai denda Rp 5 juta dan diharuskan mengembalikan uang Rp 16,7 juta. Merasa keberatan, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang tetap menyatakannya bersalah, namun tidak diharuskan mengembalikan uang apa pun.

Kasus Tanah Lampung

Propinsi Lampung telah menjadi lokasi sasaran transmigrasi dari Jawa dan Bali sejak pemerintah Belanda, 1905. Ditambah dengan kebijakan tanah untuk usaha perkebunan dan hutan negara selama Orde Baru, konflik tanah di Lampung sangat banyak terjadi, baik antara warga pendatang dengan kelompok transmigran maupun antara kelompok masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah Orde Baru jarang sekali mengakui kepemilikan tanah adat ketika mengalokasikan suatu lahan baik untuk transmigrasi, perkebunan atau penetapan batas hutan negara. Dalam konflik tanah yang terjadi bertahun-tahun itu, pengusaha atau pemerintah selalu memakai tangan aparat militer atau polisi lengkap dengan pendekatan kekerasan dalam menghadapi protes dari

Page 147: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

147

warga. Tekanan itu dilengkapi pula dengan aksi intimidasi, penjarahan, penangkapan ilegal, pengusiran serta pelekatan stigma politik –para penentang pemerintah adalah pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sejak awal 80-an, gerakan protes masyarakat miskin cukup terbantu dengan dukungan dari LBH Bandar Lampung serta meningkatkan aktivitas advokasi dari berbagai LSM dan para wartawan muda. Elemen masyarakat sipil ini bekerja sama melakukan satu atau seluruh strategi berikut: pendidikan hak dan kewajiban, keterampilan advokasi, pendampingan dan membentuk posko bantuan hukum bagi masyarakat di lokasi sengketa. Saat terjadi gejolak reformasi yang ditandai dengan keruntuhan pemerintahan Soeharto, tekanan elemen masyarakat sipil dan warga miskin ini semakin meningkat dan berhasil menekan pemda propinsi untuk bersama-sama membentuk tim mediasi penyelesaian sengketa tanah di propinsi Lampung (lebih dikenal dengan nama Tim-13). Tim yang diperkuat dengan SK Gubernur ini bekerja secara independen dengan anggota yang berasal dari berbagai elemen LSM, advokat, jurnalis, perguruan tinggi serta unsur dari pemda.

Berikut ini 3 studi kasus tanah yang dilakukan oleh tim Justice di propinsi Lampung

Hanau Berak

Pada tahun 1997, kelompok warga miskin yang beberapa tahun terakhir mengelola lahan perkebunan di Hanau Berak sudah bersiap-siap menjelang panen pertama tanaman mereka antara lain kopi dan cengkeh. Mereka mulai mengelola lahan tersebut sejak akhir tahun 80-an ketika lahan itu ditelantarkan oleh perusahaan perkebunan yang ijinnya telah berakhir. Namun, belum sempat memetik panen tersebut, terjadi tindakan pengosongan lahan dengan aksi perusakan tanaman yang siap panen pertama oleh perusahaan tersebut didukung oleh aparat keamanan. Tentu saja tindakan sepihak itu memancing kemarahan warga –beberapa bahkan mengalami gangguan jiwa.

Merasa tidak tahu apa yang harus diperbuat melawan perusahaan yang didukung oleh aparat keamanan, warga dengan segera menyetujui inisiatif pembentukan posko bantuan hukum sebagaimana yang mereka lihat di beberapa lokasi sengketa tanah di sekitar mereka. Posko yang didirikan oleh warga dan aktivis LBH dan elemen masyarakat sipil di Bandar Lampung ini biasanya menampung sekitar 80-an anggota yang diperkenalkan dengan

Page 148: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

148

pengetahuan hukum serta strategi advokasi. Pendekatan LBH dan LSM pendukung tidak sekedar melatih atau memberi pelajaran saja. Sebelum sebuah posko dibangun, para aktivis LBH, LSM dan mahasiswa harus melalui proses ‘live in’ atau tinggal bersama warga sekitar selama beberapa waktu untuk memahami dinamika masyarakat sekaligus untuk membangun kepercayaan dari warga masyarakat. Pola pendidikan hukum dan advokasi jarang sekali memakai metode kelas melainkan diberikan di sela-sela kegiatan bersama atau pendampingan langsung ke Pengadilan atau ke berbagai momen untuk berinteraksi dengan lembaga formal. Pada tahun 2002, warga Hanau Berak telah memiliki cukup keberanian dan keyakinan untuk mendorong penyelesaian konflik tanah dengan perusahaan tersebut melalui jalur hukum formal. Hakim menganjurkan perdamaian dimana disepakati bahwa warga diijinkan untuk terus mengelola lahan perkebunan “sejauh lahan tersebut tidak digarap oleh perusahaan”. Tapi pada saat yang bersamaan, perusahaan merekrut warga non-posko sebagai pengelola lahan-lahan milik perusahaan. Hal ini sering memicu konflik kecil-kecilan antara warga masyarakat sendiri. Tidak jarang tanaman warga posko dirusak oleh warga non-posko. Namun, warga posko bertahan dengan komitmen yang dibangun bersama LBH dan elemen masyarakat sipil untuk tidak melakukan aksi kekerasan, sehingga tidak melancarkan aksi balasan. Beberapa bulan berselang, tiba-tiba perusahaan melaporkan warga posko ke kepolisian dengan tuduhan telah melakukan perusakan dan pencurian alat milik perusahaan. Respon aparat setempat ‘sangat cepat’; mereka melakukan penangkapan sekaligus perusakan rumah yang selama ini dipakai sebagai sekretariat posko.

Warga dengan didampingi oleh pengacara LBH kemudian menyerahkan kasus ini ke Tim-13 karena menganggap bahwa kesepakatan perdamaian di Pengadilan telah dilanggar. Ketika laporan ini ditulis, proses mediasi oleh Tim-13 sedang berlangsung. Namun, dengan pantauan dari para anggota tim, aksi kekerasan terhadap warga tidak berlanjut lagi.

Kubang Badak

Sengketa tanah antara negara (Dinas Kehutanan) dan rakyat desa Kubang Badak telah berlangsung lama. Warga telah menempati lahan tersebut sejak tahun 60-an dan secara hukum diperlakukan sebagai warga yang sah; membayar pajak dan mendapat KTP beralamatkan dusun tersebut. Namun selama waktu tersebut, isu mengenai penggusuran dari lahan tersebut selalu timbul tenggelam tapi selalu dijawab oleh lurah, camat dan pemda bahwa status lahan tersebut

Page 149: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

149

‘aman’. Pernah suatu ketika, warga yang kembali mendengar adanya rencana pengosongan lahan memutuskan untuk mendaftarkan diri secara sukarela ikut program transmigrasi lokal.

Pendaftaran tersebut ditolak oleh Departemen Transmigrasi dengan alasan bahwa tidak ada persoalan dengan status lahan tersebut. Hal semacam itu berulang beberapa kali sampai tiba pada tahun 1998. Pada tahun itu, Dinas Kehutanan melakukan pengosongan lahan dan pengusiran warga Kubang Badak. Ironisnya, dalam operasi yang diberi nama “Operasi Senyum” itu Dinas dibantu aparat militer dan polisi melakukan pembakaran rumah, penjarahan ternak dan kebun milik warga serta penangkapan ilegal dengan alasan lahan tersebut akan dikembalikan sebagai lahan hutan negara. Dalam berbagai surat kabar lokal keesokan harinya, kepala dinas bersikeras membantah bahwa telah terjadi aksi kekerasan karena “aparat sudah diberitahu untuk memakai pendekatan yang manusiawi sesuai dengan nama Operasi Senyum”.

Anggota keluarga dari orang-orang yang ‘diciduk’ aparat mengadukan masalah ini ke LBH Bandar Lampung yang segera mendatangi kantor polisi begitu warga menandatangani surat kuasa. Meski sempat berkilah, polisi baru mengirimkan surat penangkapan atas warga Kubang Badak itu sore hari setelah didatangi oleh pengacara LBH. Dalam surat tersebut, warga dituduh melanggar peraturan perlindungan hutan negara.

Tak lama kemudian kasus disidangkan. Pengadilan menolak keberatan pengacara LBH yang mengajukan alasan penangkapan melanggar hukum. Sidang dilanjutkan dimana warga yang menjadi saksi atau para tersangka melihat hanya seperti permainan saja. Mereka bercerita bahwa beberapa kali sidang bahkan hanya berjalan kurang dari 10 menit saja. Hasilnya, 3 warga Kubang Badak dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara.

Sejak Operasi Senyum itu, kerjasama antara warga dan LBH semakin intensif yang ditandai dengan pembentukan posko reformasi. Tujuan pembentukan posko antara lain untuk memberikan bantuan hukum yang berkelanjutan dengan cara meningkatkan keterampilan warga masyarakat itu sendiri. Pembentukan posko di Kubang Badak (yang didirikan beberapa bulan sebelum posko Hanau Berak) diikuti dengan pembentukan posko reformasi di berbagai lokasi dampingan LBH lainnya. Bahkan, dari posko-posko tersebut terbentuklah jaringan kerjasama yang lebih kuat dan meluas tidak saja terdiri dari warga yang memiliki sengketa tanah melainkan juga unsur masyarakat nelayan, buruh, pelajar dan mahasiswa. Koalisi ini kemudian diberi nama

Page 150: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

150

“Dewan Rakyat Lampung’ yang menggerakkan aksi demonstrasi besar-besaran yang salah satu hasil konkretnya adalah pembentukan Tim 13 pada Agustus 1998.

Kasus Kubang Badak akhirnya dilimpahkan pula pada tim 13 yang menghasilkan kesepakatan antara warga dan Dinas Kehutanan. Dinas menetapkan bahwa area tersebut sebagai lahan “Hutan Kemasyarakatan” dimana warga boleh menetap di lahan tersebut dengan beberapa persyaratan tertentu. Dinas bersedia untuk membayar kompensasi atas kerugian warga akibat dari “Operasi Senyum” yang akan diwujudkan dalam bentuk pembangunan sarana umum dan fasilitas publik. Sayangnya, hingga akhir tahun 2002, belum ada satu pun fasilitas tersebut yang terwujud.

Sidodadi Asri

Akar persoalan sengketa tanah di Sidodadi Asri bahkan sudah dimulai sejak tahun 1930 ketika warga mengaku mendapat konsesi dari perusahaan perkebunan milik Belanda. Sementara, pihak perkebunan yang sejak kemerdekaan mengelola perkebunan tersebut menganggap bahwa desa Sidodadi termasuk wilayah yang harus dikebalikan ke perkebunan. Konflik pecah pada tahun 1981 dimana perusahaan perkebunan bersama aparat melakuan pengusiran, pembakaran rumah penduduk serta penangkapan ilegal 13 orang warga setempat. Ketika itu, warga kocar-kacir dan melarikan diri ke berbagai wilayah di Sumatera. Apalagi, tidak hanya pengusiran dan pembakaran, sudah sejak lama mereka mendapat stigma sebagai kelompok pendukung PKI.

Waktu belasan tahun ternyata tidak membuat konflik tersebut lenyap. Tahun 1997, generasi kedua dari warga Sidodadi kembali berinisiatif untuk mengambil hak mereka yang dirampas oleh perkebunan. Warga yang datang kembali ke lokasi Sidodadi mulai mengajukan usul untuk mengadakan perundingan dengan perusahaan. Tapi saat perusahaan membawa kasus ini ke Pengadilan, warga kebingungan karena mereka takut dan merasa tidak mengerti tentang hukum. Yang terjadi kemudian warga menduduki lahan milik mereka secara paksa dan menebangi tanaman perkebunan yang berada di atas lahan yang dulu dirampas. Aksi kekerasan dibalas dengan aksi kekerasan. Perkebunan dibantu dengan aparat keamanan melakukan intimidasi terhadap warga masyarakat. Kekerasan kembali terulang.

Page 151: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

151

Di tengah upaya perlawanan, warga mengetahui ada inisiatif posko yang dimotori oleh LBH di beberapa lokasi sengketa tanah di Lampung. Setelah beberapa kali mendatangi posko di desa lain, warga Sidodadi membentuk posko mereka sendiri pada tahun 1999 terutama didorong upaya perundingan dengan pihak perusahaan nampaknya tidak akan berhasil. Dampak dari posko cukup terasa karena meredam eskalasi konflik karena para pendamping posko dengan tegas mengatakan menolak membantu masyarakat bila mereka melakukan aksi kekerasan.

Untuk menyelesaikan sengketa, pada tahun yang sama Bupati membentuk tim mediasi sengketa Sidodadi Asri. Pembentukan tim ini cukup kontroversial karena seluruh anggota tim adalah aparat pemerintah daerah yang bahkan tidak pernah sekalipun mengunjungi lokasi sengketa melainkan hanya berbicara dengan pihak perusahaan. Warga kemudian mengadakan aksi demonstrasi besar-besaran di halaman kantor DPRD pada Januari 2002. Aksi tersebut mendapat respon positif dari DPRD dengan membentuk tim dan mengadakan kunjungan langsung ke lokasi. Hasil rekomendasi tim DPRD mengatakan bahwa wargalah yang berhak atas tanah tersebut. DPRD juga mengirim surat kepada Menkeu (sebagai pemegang saham perkebunan) agar mempertimbang-kan rekomendasi mereka. Meskipun tidak ada jawaban dari Menteri dan ditolak tegas oleh perusahaan, warga Sidodadi memakai surat tersebut sebagai dasar untuk mendirikan kembali bangunan mereka di atas lahan sengketa.

Sementara itu sidang di Pengadilan masih terus berjalan sampai 19 bulan kemudian. Warga menghadiri persidangan dengan sikap pasif hanya sebagai tanda bahwa mereka tidak menyerah. Tak heran bila putusan Pengadilan kemudian memenangkan posisi perusahaan –walau perusahaan dikenai keharusan membayar ganti rugi pada warga. Meski pesimis, warga Sidodadi mengajukan banding atas putusan tersebut, “Rakyat kecil tidak mungkin menang di Pengadilan karena kami tidak punya uang. Tapi kalau bicara benar atau salah, pasti ada sedikit kebenaran dari kami ini.” Sampai laporan ini ditulis status lahan masih belum jelas dan warga masih terus menguasai lahan tersebut.

Page 152: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

152

Dikira, Sumba Barat, NTT

Nasib beberapa warga biasa di desa Dikira berubah ketika suatu malam terjadi pembunuhan terhadap aparat kepolisian yang lokasinya di sekitar desa tersebut. Cerita bermula ketika seorang pencuri melarikan diri dari kejaran aparat dan masuk ke Dikira. Penduduk sekitar hanya mendengar suara bentrokan dan teriakan. Beberapa saat kemudian diketahui bahwa Kepala Polsek ternyata terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal itu memancing kemarahan aparat polisi yang beberapa hari kemudian datang mengobrak-abrik desa dengan alasan untuk mencari si pencuri yang membunuh. Karena tidak berhasil, polisi justru menahan 8 orang warga Dikira yang digiring ke kantor polisi sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Warga yang ditahan kemudian bercerita bahwa mereka mengalami penyiksaan dan dipaksa menandatangani berkas acara pemeriksaan. Padahal, seminggu setelah penahanan warga, pencuri yang sebenarnya akhirnya tertangkap dan meninggal di rumah sakit setelah tertembak sebanyak dua kali.

Namun penahanan atas ke 8 warga tersebut tidak berakhir sehingga para istri dan kerabat mereka berusaha mencari bantuan kepada seorang kerabat yang bekerja sebagai wartawan dan aktivis LSM. Orang tersebut kemudian mempertemukan warga dengan Romo Moses, pastur yang mengetuai komisi keadilan dan perdamaian (Justice and Peace Commision) yang ada di setiap kepastoran dengan struktur sampai ke gereja Roma. Romo kemudian mendatangi para tahanan dan merasa yakin bahwa mereka tidak bersalah dan mendapat perlakuan yang semena-mena. Ia berasama aktivis LSM tersebut kemudian berusaha mencari dana guna mendatangi pengacara swasta yang didatangkan dari Kupang untuk memberi pembelaan kepada warga Dikira tersebut.

Di dampingi pengacara tersebut, warga yang jadi tersangka disidangkan di Pengadilan Negeri setempat secara terpisah menjadi dua kelompok tersangka masing-masing 4 orang. Lewat 43 kali persidangan yang menarik perhatian banyak anggota warga masyarakat, Pengadilan memutuskan ke-8 orang itu tidak bersalah. Namun jaksa naik banding. Karena keterlambatan memasukkan memori banding, kelompok pertama naik ke Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa 4 orang tersebut dinyatakan bersalah. Mereka ditangkap kembali dan sekarang menjalankan sanksi penjara selama 15 tahun. Anehnya, kelompok kedua dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung. Cukup ironis bahwa putusan Pengadilan Negeri –melalui sidang yang mendapat pemantauan

Page 153: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

153

kuat dari warga masyarakat digantikan oleh putusan sebuah lembaga yang berjarak ribuan kilometer dari mereka.

Terlepas dari kenyataan tersebut, warga dengan jelas mengakui bahwa faktor eksternal, dalam hal ini LSM dan gereja, merupakan faktor penentu untuk mempertahankan keadilan bagi warga yang tidak bersalah tersebut. Seorang warga mengatakan bahwa, “Gereja menjadi faktor penentu dalam kasus ini karena kedudukan mereka sangat dihargai seperti Kyai kalau di Jawa... Saya (masyarakat) melihat Romo-lah satu-satunya orang yang punya kemampuan. Kalau harus berusaha sendiri, saya mungkin sudah dipukuli”.

Page 154: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

154

Lampiran III. Putusan Pengadilan & Sanksi Pidana

Tabel 9: Putusan Pengadilan dan Sanksi

Kasus Terdakwa & Uang yang dicuri Dakwaan Jaksa Keputusan & Sanksi

Bukit Kemuning

Darmajaya Rp 125 juta

Dakwaan: Korupsi Vonis: Denda: Pembayaran Kembali:

Putusan: Bersalah Vonis: 1 tahun hukuman penjara Denda: RP 50 juta Pembayaran Kembali: Rp 125 juta

Mamodu Jusuf Habamananga Rp 73,7 juta

Dakwaan: Korupsi Vonis: 1 tahun 6 bulan Denda: 10 juta atau 6 bulan penjara Pembayaran Kembali: 73,7 juta

Putusan: Bersalah Vonis: 1 tahun Denda: Rp 5 juta atau penjara 3 bulan Pembayaran Kembali: Rp 73,7 juta

Tangerang M Sururi Rp 1 milyar

Dakwaan: Korupsi Vonis: 6 tahun penjara Denda: Pembayaran Kembali:

Putusan: Bersalah Vonis: 8 tahun penjara Denda: Rp 25 juta Pembayaran Kembali: 979,5 juta

Wanareja Warnengsih RP 257 juta

Dakwaan: Korupsi Vonis: 6 tahun penjara Denda: Rp 20 juta atau 3 bulan penjara Pembayaran Kembali: Rp 154 juta atau 2 tahun penjara

Putusan: Bersalah Vonis: 4 tahun penjara Denda: Rp 75 juta Pembayaran Kembali: Rp 154 juta

Grobogan Moh. Hadu, Setu, Sitiwati, Jasmo Rp 24,7 juta

Dakwaan: Korupsi Vonis: Setu & Siti 4 bulan penjara, Hadi 1 tahun penjara Denda: Pembayaran Kembali: Rp 24,7 juta

Putusan: Bersalah Vonis: 1 tahun penjara (Hadi & Setu); 1 tahun tanpa perlu menjalani penjara (Siti); Bebas (Jasmo) Denda: Rp 5 juta Pembayaran Kembali: 16,3 juta

Dikira Daniel, Bulu Ngongo, Bulu Malo, Timothius Malo, Ruwa Kaka, David, Agus Malo, Ngongo Malo

Dakwaan: Pembunuhan Vonis: Denda : Pembayaran Kembali:

Putusan: Tidak bersalah (PN) ; 4 bersalah, lainnya tidak (MA) Vonis: 15 tahun Denda: Pembayaran Kembali:

Page 155: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

155

DAFTAR BACAAN DAN REFERENSI

Undang-undang dan Peraturan Republik Indonesia

Undang-undang No. 2/1986 tentang Peradilan Umum

Undang-undang No. 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Peraturan Pemerintah No. 2/2002 tentang Tatacara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 (11); 24-28; 106; 109 (1); 109 (2); 110 (1); 110 (2); 138 (1); 110 (4); 110 (3); 138 (2); 139; 140 (2); 197; 198; 200; 200; 229 (1); 233 (2); 270

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 372 & 274

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1365; 1754

Artikel, buku, dan laporan

Keadilan

Abaya, A (1999), “A Comparative Assessment of Community Justice Systems in the Philippines, Sri Lanka and Bangladesh”, makalah pribadi yang diberikan oleh Gerry Roxas Foundation, Manila.

Anderson, M R (1999), “Access to Justice and Legal Process: Making Legal Institutions Responsive to Poor People in LDCs”, makalah pada presentasi World Development Report Meeting, 16-17 Agustus 1999.

Asia Foundation (2001), Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation.

Page 156: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

156

Asian Development Bank (2001a), Law and Policy Reform at the Asian Development Bank, Manila: Asian Development Bank.

Asian Development Bank (2001b), Legal Literacy for Supporting Governance: Indonesia Report, ADB RETA 5856, Manila: Asian Development Bank.

Australian Law Reform Commission (1998), Issue Paper 25, Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia.

Bappenas/World Bank (1997), Law Reform in Indonesia, Jakarta: Bappenas

Benda-Beckmann, K von (1984), The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau, Dordrecht: Foris Publications.

Benda-Beckmann, K von (1981). “Forum Shopping and Shopping Forums: Dispute Processing in a Minangkabau Village in West Sumatra”, 19 Journal of Legal Pluralism: 117-59.

Benda-Beckmann, F & K von (2001), “Recreating the Nagari: Decentralization in West Sumatera”, versi terbaru makalah yang dipresentasikan di 3rd Conference of the European Association for Southeast Asian Studies, London, 6-8 September 2001.

Burg, E (1977), “Law and Development: A Review of the Literature & a Critique of ‘Scholars in Self-Estrangement”, 25 American Journal of Comparative Law 492-530.

Evers, PJ (2002), “The Indonesian Rural Judiciary”, catatan untuk World Bank Justice for the Poor Project, Indonesia, April 2002.

Galanter, M (1974), “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change”, 9 Law & Society Review 95-160.

Gerry Roxas Foundation (2000a), Report on the Efficacy of the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region, Manila: Gerry Roxas Foundation.

Gerry Roxas Foundation (2000b), The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice, Manila: Gerry Roxas Foundation.

Griffith, J (1986), “What is Legal Pluralism?”, 24 Journal of Legal Pluralism 1-50

Page 157: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

157

Haverfield, R (1999), “Hak Ulayat and the State: Land Reform in Indonesia”, in Lindsey (ed), Indonesia: Law and Society, Federation Press, Sydney.

Hooker, MB (1978a), Adat Law in Modern Indonesia, New York: Oxford University Press.

Hooker, MB (1978b), A Concise Legal History of Southeast Asia, Oxford: Clarendon.

Kennedy, D (2003), “Laws and Developments”, dalam Hatchard, J & Perry-Kessaris, A (eds), Law and Development: Facing Complexity in the 21st Century, London: Cavendish.

Lev, D (1986), Working Paper No. 44: Legal Aid in Indonesia, Melbourne: Monash University.

Lindsey, T (1998), “Square Pegs & Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia?”, 7 Pacific Rim Law and Policy Journal, 699-719.

Lindsey, T (ed) (1999), Indonesia: Law and Society, Federation Press, Sydney.

Mahkamah Agung Republik Indonesia (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menkel-Meadow, C (1999), “Do the ‘Haves’ Come Out Ahead in Alternative Judicial Systems?”, Ohio State Journal on Dispute Resolution 15:19-61.

Merry, SE (1982), “The Social Organization of Mediation in Non-industrial Societies: Implications for Informal Community Justice in America”, dalam Abel, RL (ed), The Politics of Informal Justice, Academic Press, New York.

Merry, SE (1988), “Legal Pluralism”, 22(5) Law and Society Review 869-896.

Merryman, J (1977), “Comparative Law and Social Change: On the Origins, Style, Decline & Revival of the Law and Development Movement”, American Journal of Comparative Law 25:457-491.

Messick, R (1999), “Judicial Reform and Economic Development: A Survey of the Issues”, World Bank Research Observer 14 (1):117-136.

Page 158: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

158

Messick, R & Beardsley, L (eds) (2002), Sourcebook on Access to Justice, Koleksi Makalah World Bank Legal Institutions Thematic Group, World Bank Empowerment Retreat, 7-8 Mei 2002.

Moore, SF (1973), “Law & Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study”, 7(4) Law and Society Review 719-746.

Pompe, S (2003), Court Corruption in Indonesia: An Anatomy of Institutional Degradation and Strategy for Recovery, makalah pribadi penulis.

Roberts, S (1998), “Against Legal Pluralism: Some Reflections on the Contemporary Enlargement of the Legal Domain”, 42 Journal of Legal Pluralism: 95-106.

Roelof, H (2001), The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Ciputat, Indonesia: Tatanusa

Seidman, R (1978), “The Lessons of Self-Estrangement: On the Methodology of Law and Development”, 1 Research in Law and Sociology 1-29.

Soerodibroto, SH (2001), Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sosmena Jr, GC (1996), “Barangay Justice: a Delegalisation Mechanism”, Hiroshima Law Journal 20: 384-404.

Stephens, M (2003), “Local-level Dispute Resolution in Post-reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines”, 5(3) Australian Journal of Asian Law 1.

Stephenson, MC (2000), “A Trojan Horse Behind Chinese Walls?: Problems and Prospects of US-Sponsored "Rule of Law" Reform Projects in the People’s Republic of China”, CID Working Paper No. 47, May 2000, Law and Development Paper No. 3.

Tamanaha, BZ (1993), “The Folly of Legal Pluralism”, 20 Journal of Law and Society 192-217.

Tamanaha, BZ (1995), “The Lessons of Law and Development Studies”, 89 American Journal of International Law 470-486.

Page 159: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

159

Trubek, D & Galanter, M (1974), “Scholars in Self-Estrangement: Some Reflections on the Crisis in Law and Development Studies in the United States”, Wisconsin Law Review 1062-1102.

Wignjosoebroto, S (1994), Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

World Bank (2003), Justice for the Poor Case Studies, kumpulan studi kasus tentang keadilan desa Indonesia, disusun oleh the World Bank Justice for the Poor project, tidak diterbitkan.

Korupsi

Bardhan, P (1998), “Corruption and Development: A Review of Issues”, 35 Journal of Economic Literature, 1320-1346.

Klitgaard, R, Maclean-Abaroa, R, dan Lindsey Parris, H (2000), Corrupt Cities, Oakland, CA: Institute for Contemporary Studies Press.

Mauro, P (1995), “Corruption and Growth”, Quarterly Journal of Economics 110 (3): 681-712.

Partnership for Governance Reform in Indonesia (2002), A Diagnostic Study of Corruption in Indonesia, Jakarta: Partnership for Governance Reform in Indonesia.

Rose-Ackerman, S (1999), Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, Cambridge: Cambridge University Press.

Transparency International (2003), Global Corruption Barometer, Berlin: Transparency International.

Woodhouse, A (2003), Village Corruption in Indonesia, Washington, D.C.: World Bank (akan terbit).

Page 160: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

160

Pemerintahan, politik dan sejarah di Indonesia

Antlöv, H & Cederroth, S (1994), Leadership on Java, Surrey, UK: Curzon Press.

Antlöv, H (2000), Village Governance in Indonesia – Past, Present and Future Challenges, makalah untuk presentasi di konferensi Yayasan PERCIK, “Dynamics of Local Politics in Indonesia”, Yogyakarta, Juli 2000.

Antlöv, H (2003), “Village Government and Rural Development in Indonesia: The New Democratic Framework”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 39 No. 2 Agustus 2003, Canberra: Australian National University.

Barron, P & Madden, D (2003), Violence and Conflict in ‘Non-Conflict’ Regions: the Case of Lampung, Washington, D.C.: World Bank (akan terbit).

Barron, P, Diprose, R, Madden, D, Smith, C, Woolcock, M (2003), Do Participatory Development Projects Help Villagers Manage Local Conflicts? A Mixed Methods Approach to Assessing the Kecamatan Development Project, Indonesia, Washington, D.C.: World Bank.

Chandler, DP et. al (1987), In Search of Southeast Asia, United States: University of Hawaii Press.

Economist Intelligence Unit (2003), EIU, Country Profile: Indonesia, London: Economist Intelligence Unit.

Evers, PJ (2000), Resourceful Villagers, Powerless Communities: Rural Village Government in Indonesia, World Bank/BAPPENAS.

Geertz, C (1976), The Religion of Java, Chicago: University of Chicago Press.

International Crisis Group (2001), Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Jakarta/Brussels: International Crisis Group.

Hofman, B & Kaiser, KA (2002), The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective, Atlanta: Georgia State University.

Kecamatan Development Program (2000), Second Annual Report 1999/2000, Jakarta: Ministry of Home Affairs.

Page 161: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

161

Liddle, WR (1996), Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen & Unwin.

Ricklefs, M C (1981), A History of Modern Indonesia since c.1300, Stanford: Stanford University Press.

Schwarz, A (1999), A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, St. Leonards: Allen & Unwin.

Smith, CQ (2003), Conflict and Conflict Resolution at the Local Level in Indonesia: Cases from Lampung, Central Kalimantan and East Java, Washington, D.C.: World Bank (akan terbit).

United Nations (2001), Common Country Assessment: Indonesia, Jakarta: United Nations.

Wetterberg, A (2002), “Social Capital, Local Capacity and Government: Findings from the Second Indonesian Local Level Institutions Study”, Washington, D.C.: World Bank (akan terbit).

World Bank (2001), Indonesia Country Assistance Strategy FY 2001 – 2003, Report No. 21580-IND, Washington, DC: World Bank.

World Bank (2002), Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report, Jakarta: World Bank Office Jakarta.

Page 162: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

162

CATATAN AKHIR

1) Pernyataan Donor tentang Reformasi Sektor Peradilan, yang disiapkan oleh para donor untuk pertemuan Consultative Group on Indonesia, menyatakan, “Reformasi Hukum dan sektor peradilan tetap penting bagi penguatan demokrasi di Indonesia, stabilitas sosial dan politik jangka panjang, perlindungan dan pemberdayaan hak asasi, dan pemulihan ekonomi serta reformasi kebijakan yang berkaitan… reformasi sektor peradilan Indonesia penting untuk menarik investasi, baik domestik maupun asing, yang merupakan faktor kunci dalam pemulihan ekonomi jangka menengah.” (http://wbln0018.worldbank.org/eap/eap.nsf/Attachments/012103-12CGI-S4-Justice/$File/12CGI-S4-Justice.pdf)

2) Undang-undang Dasar 1945 dan sistem peradilan Indonesia mengakui keberadaan hukum adat yang secara luas didefinisikan sebagai hukum adat tradisional. Namun beberapa ahli telah menentang definisi ini. Roelof H Haveman (2001) contohnya, mendebat bahwa hukum adat bukan sekedar yang berkaitan dengan adat istiadat tetapi termasuk elemen yang tidak didasari adat istiadat, seperti peraturan desa. Dalam makalah ini, kami tidak memasukkan peraturan desa dalam definisi kami mengenai adat.

3) Pendekatan kami dipengaruhi oleh antropologi hukum, khususnya pluralisme hukum (lihat Benda-Beckmann F. 1981; Griffith 1986; Merry 1988; Moore 1973; Roberts 1998; Tamanaha 1993). Titik tolak analitis pendekatan ini adalah pengalaman rakyat, bukan negara dan alat hukum formal. Menurut pandangan ini, hukum dilihat hanya sebagai salah satu dari banyak bidang yang melaluinya rakyat mengatur kehidupan mereka dan menyelesaikan sengketa. Hukum lainnya, seperti agama, hukum adat dan norma sosial setempat, merupakan alat bagi tatanan masyarakat yang sama atau mungkin lebih penting, tergantung pada konteks. Seperangkat aturan yang disusun oleh sebuah proyek – seperti proyek pengembangan – merupakan salah satu bidang seperti tersebut di atas. Seperangkat norma dan aturan seperti itu merupakan hukum bagi kelompok masing-masing, entah dalam bentuk undang-undang atau pun tidak. Oleh sebab itu hal ini bukan hanya satu hukum melainkan banyak.

Page 163: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

163

Beberapa penganut pluralisme hukum mendebat bahwa ketika diperhadapkan pada suatu masalah, rakyat akan memilih bidang mana pun di antara bidang-bidang tersebut di atas – atau forum – yang sangat mungkin memberikan hasil sesuai dengan keinginan mereka, dalam proses yang dikenal sebagai ‘belanja forum’. Ketika diperhadapkan pada berbagai pilihan, mereka memilih yang paling menguntungkan bagi mereka. Dalam situasi di mana Pengadilan lemah dan tidak terakses, rakyat nampaknya tidak akan menempuh jalur tersebut untuk menyelesaikan masalah, kecuali masalah yang paling serius dan sengketa yang tidak terselesaikan. Dalam lingkungan di mana tidak ada satu pun lembaga yang tersedia yang berhasil membela kepentingan mereka, mereka mungkin tetap pasif.

Pendekatan seperti itu membuat beberapa asumsi luas mengenai cara rakyat bertindak. Mereka mengasumsikan bahwa, dengan adanya sejumlah pilihan, rakyat cenderung melakukan apa yang mereka anggap akan paling menguntungkan mereka. Kami memakai asumsi ini tetapi membuat pernyataan secara luas. Kami percaya bahwa rakyat memandang kepentingan mereka bukan sekedar masalah materi tetapi juga yang berkaitan dengan kekuasaan, status sosial, dan penghargaan non-materi lainnya. Kami percaya bahwa rakyat mungkin termotivasi bukan hanya oleh kepentingan pribadi, tetapi oleh kesetiaan kepada keluarga, komunitas, dan kelompok sosial lainnya. Akhirnya, kami percaya bahwa norma sosial – dan lembaga-lembaga yang melaluinya mereka terekspresikan – memiliki pengaruh signifikan terhadap bagaimana rakyat memandang pilihan dan kepentingan mereka.

4) Pertimbangan praktis juga memberi petunjuk pilihan kasus. Proyek-proyek yang diteliti memiliki jejaring fasilitator setempat yang berskala nasional yang menyediakan akses untuk melakukan penelitian keadilan desa kalau ada ketidakcocokan. Hampir semua kasus korupsi dari dua proyek kemiskinan desa yang didanai oleh Bank Dunia, Program Pengembangan Kecamatan/PPK (KDP – Kecamatan Development Program) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan/P2KP (UPP – Urban Poverty Project). Kedua program tersebut bertujuan menaikkan pendapatan dan juga mempromosikan reformasi pemerintahan dan memampukan warga desa biasa untuk berpartisipasi secara demokratis dalam membuat keputusan tentang bagaimana dana desa mereka dibelanjakan. Kedua proyek, yang jika dijumlahkan secara keseluruhan mencapai lebih dari $1 miliar, mencakup lebih dari 30,000 desa terpencil dan perkotaan di seluruh Indonesia. Proyek tersebut memiliki jejaring fasilitator di desa-desa tersebut

Page 164: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

164

dan kecamatan-kecamatan untuk membantu mengorganisasi pertemuan/ rapat warga di mana penduduk desa membuat keputusan terhadap dana mereka. Jejaring fasilitator berskala nasional ini – dengan hubungan yang bukan hanya dengan penduduk desa, tetapi juga dengan anggota pemerintah setempat, lembaga peradilan dan LSM – memberikan akses untuk melakukan penelitian keadilan desa jika ada ketidakcocokan.

5) Ada sistem perlindungan saksi bagi kasus hak asasi manusia. Lihat Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Peraturan Pemerintah No. 2/2002 tentang Tatacara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

6) Setelah desentralisasi, propinsi tidak memiliki wewenang langsung terhadap wilayah/kabupaten.Propinsi hanya memainkan peran pengawasan atas nama pemerintah pusat dan hanya berwenang menetapkan standar minimum. Gubernur dan Bupati sekarang akan dipilih langsung (lihat Bank Dunia 2002).

7) Menurut Komisi Reformasi Hukum Australia (Australian Law Reform Commission) sebagai contoh, kurang dari 6% perselisihan dagang di Australia berakhir di Pengadilan, yang sebagian kecil mencapai putusan akhir (lihat makalah terbitan Komisi Reformasi Hukum Australia No. 25, “Review of the Adversarial System of Litigation”).

8) Patut diperhatikan bahwa terlepas dari penekanan pada kerukunan dan musyawarah di Indonesia, kekerasan dan konflik – dan secara historis – merupakan hal yang juga umum terjadi.

9) Perhatikan juga penelitian di empat negara tentang penyelesaian sengketa tradisional yang dilakukan Merry, yang menyimpulkan bahwa mediasi tingkat desa pada umumnya didukung oleh penggunaan paksaan entah dalam bentuk sanksi sosial atau pun ancaman tindak kekerasan. Kesimpulannya, ia memberikan argumentasi bahwa penyelesaian yang dimediasi tidak dapat dihindari merefleksikan ‘yang lebih kuat bersedia mengaku dan yang lebih lemah dapat menuntut dengan berhasil’ (lihat Merry 1982).

10) Lihat Undang-undang No. 31/1999, Bab II, Pasal 2 & 3.

Page 165: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

165

11) Artikel ini menyatakan dengan jelas bahwa semua anggota masyarakat memiliki hak untuk meminta informasi dalam kasus korupsi. Artikel juga menyatakan bahwa publik memiliki hak untuk menerima jawaban mengenai kemajuan kasus korupsi dalam waktu 30 hari. Kalimat ini tidak jelas, tetapi menganjurkan hanya anggota masyarakat yang telah melaporkan kasus yang mempunyai hak jawab dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan tersebut.

12) Regulasi mengenai penangkapan dan penahanan dapat ditemukan dalam Pasal 24-28 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

13) Anggaran resmi sebenarnya mungkin lebih tinggi dari jumlah ini. Seorang aparat polisi di Sumatera yang diwawancara tim Justice memperlihatkan semacam surat keputusan dari Kapolri yang menetapkan bahwa untuk menangani kasus ‘kekerasan’ menerima Rp 52.000,- ($6), investigasi ‘ringan’ Rp 500.000,- ($60), investigasi ‘menengah’ Rp 1,5 juta ($175) dan investigasi ‘serius’ Rp 2,5 juta ($295). Kategori ditetapkan berdasarkan kompleksitas investigasi, bukan sifat tindak kejahatan. Namun, polisi setempat dan jaksa mengatakan bahwa mereka menerima jumlah uang yang lebih sedikit, karena atasan mereka telah memotong bagian yang seharusnya diterima.

14) Di Seruyan Tengah, anggota masyarakat memutuskan untuk menyisihkan Rp 25 juta ($2,940) dari dana mereka sendiri untuk mendukung proses hukum terhadap kasus PPK yang menjadikan mereka korban. Pada Musyawarah Antar Desa (MAD), anggota masyarakat memutuskan untuk menyisihkan dana dalam ‘kas masyarakat’, sehingga mereka dapat memberi pelajaran kepada pelaku kejahatan, walaupun pelaku hanya diduga mencuri uang sebesar Rp 40 juta ($4,705). Hingga Maret 2003, kira-kira Rp12 Juta ($1,410) dari alokasi dana Rp 25 juta ($2,940) telah terpakai. Kira-kira setengah dari dana tersebut disediakan bagi polisi. Rincian penggunaan dana adalah sebagai berikut: (i) transportasi bagi empat orang untuk menciduk pelaku dari Sampit sebesar Rp 1,4 juta ($165); (ii) perjalanan aparat Polsek ke ibukota kabupaten untuk membicarakan kasus dengan aparat Polres sebesar Rp 2 Juta ($235); (iii) transportasi untuk truk milik pelaku ke ibukota kabupaten yang akan digunakan sebagai bukti, sebesar Rp 3 juta ($352); (iv) transportasi bagi Kapolsek ke ibukota kabupaten, sebesar Rp 500.000,- ($58); (v) uang makan bagi aparat polisi sebesar Rp 150.000,- ($18). Kemudian dana yang tersisa sebagian besar dipakai untuk biaya transportasi dan uang makan bagi penduduk yang memberikan

Page 166: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

166

kesaksian. Tanpa dukungan ini, nampaknya tidak mungkin bagi penduduk untuk melakukan kesaksian, khususnya untuk pergi ke ibukota kabupaten.

15) Polisi Bandung mengatakan bahwa investigasi mereka telah menghabiskan biaya Rp 8 juta ($940), sebagian besar dari jumlah tersebut dipakai untuk biaya makan, transportasi dan akomodasi anggota BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah), yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan pembukuan bagi kasus ini.

16) Tim Justice tidak dapat menemukan surat keputusan yang relevan untuk menetapkan apakah hal ini benar atau tidak.

17) Tim Justice tidak dapat memverifikasi hal ini. Walaupun undang-undang mengharuskan Jaksa Penuntut Umum mengeksekusi putusan Pengadilan, termasuk kekuasaan untuk menyita dan mengambil alih aset. Lihat Pasal 27 (1b) UU No. 5/1999 dan Pasal 18 UU No. 31/1999.

18) Lihat Pasal 27 UU No. 31/1999 dan Pasal 284 ayat (2) KUHAP untuk dukungan lebih jauh tentang hak jaksa dalam melakukan investigasi.

19) Angka-angka diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi http://www.nakertrans.go.id/PINAKER/indeks_20Upah.html.

20) Upaya gerakan ‘negara hukum’ di tahun 60-an berdasarkan pendekatan formal diagnostik untuk melakukan pembaruan. Upaya seperti itu cenderung mengasumsikan bahwa jika sistem peradilan dapat diramping-kan, dibersihkan dari korupsi dan dibuat lebih netral, maka sistem politik dan masyarakat juga akan bekerja dengan baik. Pendiri utama dari gerakan rule of law ini kemudian mengingkari upaya tersebut (lihat Trubek & Galanter 1974), tetapi di tahun-tahun terakhir pendekatan tersebut popular kembali sebagai strategi pengembangan (Kennedy 2003). Pendekatan ini tetap sebagai sumber debat dalam hal teori hukum dan pengembangan (untuk informasi detil lihat Burg 1977; Merryman 1977; Messick 1999; Seidman 1978; Tamanaha 1995).

Upaya pokok yang mendasari gerakan rule of law adalah seperangkat asumsi tentang lembaga peradilan. Pendukung gerakan ini cenderung melihat lembaga peradilan sebagai lembaga arbitrase netral dan ruang Pengadilan sebagai tempat di mana, jika sistem bekerja sebagaimana mestinya, rakyat dapat menerima putusan yang pada dasarnya lebih adil dibanding dengan

Page 167: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

167

penyelesaian yang mereka capai secara informal. Mereka juga memperlaku-kan undang-undang sebagai suatu entitas otonom, dengan mengasumsikan bahwa reformasi teknis pada sistem peradilan akan dengan sendirinya mendorong perubahan sosial dan stabilitas politik.

Makalah ini memiliki seperangkat asumsi yang berbeda, yang diyakini lebih bermanfaat dalam upaya memahami kompleksitas negara dalam transisi seperti Indonesia. Makalah ini meyakini bahwa cara terbaik untuk mengerti perilaku lembaga peradilan adalah melihat mereka bukan sebagai lembaga arbitrase netral, tetapi sebagai lembaga yang merefleksikan perbedaan kekuatan seperti yang juga dilakukan lembaga lain. Makalah ini juga meyakini bahwa lembaga peradilan yang paling baik bukan sebagai entitas otonom, melainkan sebagai lembaga yang melekatkan diri pada realitas sosial dan politik. Reformasi bagi mereka efektif hanya sepanjang diakui oleh masyarakat dan sistem politik yang di dalamnya reformasi merupakan salah satu bagian.

Pendekatan ini berfokus pada pilihan reformasi berbagai bidang yang lebih luas dibandingkan yang semata standar. Pendekatan ini mengakui bahwa cara lembaga-lembaga hukum bekerja dan digunakan oleh masyarakat bergantung pada aspek sosial politik sebanding dengan aspek legal, dan intervensi reformasi hukum (di mana intervensi itu sendiri amat sangat politis) harus berfokus pada faktor yang lebih luas – seperti kekuasaan dan hubungan sosial – dibandingkan dengan sistem peradilan sendiri. Makalah ini memakai faktor seperti ini untuk perlahan-lahan masuk ke dalam rekomendasi yang diusulkan.

21) Pasal 372 KUHP menguraikan penggelapan secara umum (secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dari dana yang dipercayakan untuk dikelola), sementara Pasal 374 KUHP membuat penggelapan menjadi tindak kejahatan yang lebih serius, jika pelakunya menahan dana sebagai bagian dari pekerjaan dan/atau dibayar untuk mengelola dana.

22) Mungkin ada juga ambiguitas dalam undang-undang tentang hal ini. UU No. 5/1991 menyatakan bahwa “Kepala Kejaksaan Negeri dapat, dalam kondisi tertentu, memberikan ijin tertulis kepada tersangka atau tertuduh untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit” (Pasal 33 ayat (2) UU No. 5/1991). Tidak jelas apakah wewenang ini juga berlaku pada situasi di mana Pengadilan yang memerintahkan penahanan. Biasanya hakim akan menyatakan hal tersebut sebagai hak prerogatif, tetapi undang-undang

Page 168: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

168

tersebut memberikan dukungan akan interpretasi yang berbeda (contoh referensi “tertuduh”, sebagai tambahan pada “tersangka”, dapat berarti bahwa ijin juga dapat diberikan selama prosedur Pengadilan).

23) Upaya ini dibatasi oleh Pengadilan: hakim tidak menaruh perhatian terhadap sederetan dakwaan dan pengakuan palsu bahwa persetujuan tingkat propinsi terhadap dakwaan masih tertunda, tidak terungkap setelah media masa dan penasehat hukum lembaga bantuan hukum memeriksanya di Kantor Kejaksaan Tinggi. Ternyata mereka belum menerima dakwaan dari Kejaksaan Negeri.

24) Ada banyak kasus di luar studi kasus di mana terdakwa yang marah, setelah menerima vonis yang lebih berat dibanding yang mereka harapkan, melempar sepatu atau menyerang jaksa, dengan berteriak ‘bukan itu kesepakatan kita’ atau ‘bukan itu alasan saya memberi banyak uang kepada anda”.

25) Putusan Bukit Kemuning akhirnya dieksekusi.

26) Patut diperhatikan pula bahwa terdakwa yang dihadapkan pada masalah demikian mungkin juga akan mengalihkan aset mereka kepada anggota keluarga.

27) Walaupun UU No. 31/1999 tidak mengindikasikan bahwa aset ini harus masih di bawah kepemilikan pelaku kejahatan, seringkali tidak mungkin bagi jaksa untuk menetapkan hubungan sebab akibat langsung antara tindak pidana korupsi dengan pemilikan aset tertentu oleh pelaku.

28) Hakim Bukit Kemuning dalam beberapa wawancara mengkonfirmasi bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa; bahwa hakim tidak memiliki wewenang untuk menekan jaksa agar melaksanakan perintah hakim.

29) Teks Indonesia secara eksplisit menyatakan “diberhentikan” bukan “dapat diberhentikan”. Namun, ketetapan berikutnya Pasal 13 ayat (2) memberi-kan hak kepada jaksa tertuduh untuk didengar pertama kali oleh Majelis Kehormatan Jaksa, yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung.

30) Ini merupakan terjemahan tidak resmi dari Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa

Page 169: VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA - …siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/04... · Sebagian besar merupakan kasus korupsi yang terjadi dalam program pembangunan

VILLAGE JUSTICE IN INDONESIA

169

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.

31) Pada tahun 1919, Mahkamah Agung Belanda (Lindenbaum vs. Cohen), membuat putusan yang terkenal yang di dalamnya mereka mengatakan bahwa “melanggar hukum” juga dapat berarti “bertentangan dengan praktek yang secara sosial dapat diterima”. Pengadilan Tinggi Kolonial Belanda bukan bawahan Mahkamah Agung di Belanda, tetapi mengikuti pertimbangan serupa yang selalu dipelihara oleh Mahkamah Agung Indonesia.

32) Penduduk desa dapat bermasalah dengan argumentasi bahwa mereka menderita kerugian materi sebagai akibat kelalaian jaksa. Uang korupsi yang dbayarkan kembali harus dimasukkan ke Kas Negara. Jadi sekalipun jika jaksa telah melakukan tugasnya dengan benar, uang yang digelapkan pasti tidak akan dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini dapat mengancam setiap tindakan merugikan oleh suatu komunitas, karena Negara akan menyanggah bahwa masyarakat telah mengalami kerugian, entah jaksa bekerja dengan efektif atau tidak. Tidak akan ada hubungan sebab akibat antara hasil kerja jaksa dengan kerugian materi.

33) Pengecualian pada Wajo, di mana mantan kepala Unit Pengelola Keuangan menjual barang rumah tangga milik fasilitator proyek kecamatan, yang dicurigai melakukan penggelapan, tetapi yang bersangkutan yang telah melarikan diri dari desa. Namun, kepala Unit Pengelola Keuangan telah mendapatkan ijin tertulis dari fasilitator kecamatan untuk melakukan hal ini. Ia juga terlibat dalam kasus dan menyatakan bahwa ia telah meminjam uang dari sanak famili untuk mengembalikan sejumlah kekurangan (terlepas dari tidak pernah mengakui bahwa ia mengambil uang itu sendiri).

34) Pasal yang sama memerintahkan pemerintah untuk mengatur lebih jauh bentuk dari ‘penghargaan’ ini dalam peraturan pemerintah.