vii. analisis model kelembagaan sebagai sintesa … · sulit untuk diperoleh namun dengan kiat-kiat...

49
VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK 7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institutional Governance Aspek institusional governance akan lebih dioptimalkan analisisnya dalam rangka mencapai penjelasan ilmiah terkait dengan variabel-variabel yang telah diajukan dalam angket. Aspek ini demikian pentingnya juga karena terkait dengan beberapa alasan yaitu: 1) isu negatif terhadap kegiatan usaha pertambangan terutama pada aspek kerusakan lingkungan, ketimpangan antara wilayah dan klaim penguasaan lahan (PETI) sejatinya dapat dihindari bila ada proses penyadaran institutional kepada masyarakat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara melembaga; 2) hal ini dapat dilakukan bila ada asumsi ilmiah yang dilakukan melalui model pengembangan dan pendalaman persepsi masyarakat dan rona awal sosial ekonomi masyarakat sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang; 3) oleh karena prinsip tatakelola kelembagaan dalam penelitian ini akan diawali dengan membangun model data tentang aspek-aspek yang dibutuhkan untuk dijadikan rujukan awal. Adapun lokasi yang menjadi sampel dalam penelitian dapat ditunjukkan pada pada Lampiran 9 Tabel sebaran sampel lokasi pengambilan data. Model kelembagaan dalam penelitian ini diarahkan pada sembilan unsur yang terkandung dalam tatakelola atau yang dikenal dengan good governance seperti yang telah dijelaskan oleh United Nation Development programe (UNDP) mungkin menjadi bagian pedoman pada model kelembagaan yang baik dalam konteks pengelolaan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango. Setelah dicermati dari sembilan unsur tersebut maka ada enam unsur tatakelola yang menjadi bagian pedoman. Enam unsur tersebut yaitu: 7.1.1 Peran Hukum (Rule of Law) Pengertian peranan hukum dalam model kelembagaan sumberdaya tambang lebih dipandang bahwa hukum harus mencerminkan nilai keadilan dan kesamaan setiap orang didepan hukum melalui upaya penegakan hukum law inforcement dan hak asasi manusia. Mendalami hasil analisis pada unsur peran

Upload: leanh

Post on 13-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA

KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK

7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institutional Governance

Aspek institusional governance akan lebih dioptimalkan analisisnya dalam

rangka mencapai penjelasan ilmiah terkait dengan variabel-variabel yang telah

diajukan dalam angket. Aspek ini demikian pentingnya juga karena terkait dengan

beberapa alasan yaitu: 1) isu negatif terhadap kegiatan usaha pertambangan

terutama pada aspek kerusakan lingkungan, ketimpangan antara wilayah dan

klaim penguasaan lahan (PETI) sejatinya dapat dihindari bila ada proses

penyadaran institutional kepada masyarakat sehingga masalah tersebut dapat

diselesaikan secara melembaga; 2) hal ini dapat dilakukan bila ada asumsi ilmiah

yang dilakukan melalui model pengembangan dan pendalaman persepsi

masyarakat dan rona awal sosial ekonomi masyarakat sekitar pemanfaatan

sumberdaya tambang; 3) oleh karena prinsip tatakelola kelembagaan dalam

penelitian ini akan diawali dengan membangun model data tentang aspek-aspek

yang dibutuhkan untuk dijadikan rujukan awal. Adapun lokasi yang menjadi

sampel dalam penelitian dapat ditunjukkan pada pada Lampiran 9 Tabel sebaran

sampel lokasi pengambilan data.

Model kelembagaan dalam penelitian ini diarahkan pada sembilan unsur

yang terkandung dalam tatakelola atau yang dikenal dengan good governance

seperti yang telah dijelaskan oleh United Nation Development programe (UNDP)

mungkin menjadi bagian pedoman pada model kelembagaan yang baik dalam

konteks pengelolaan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango. Setelah

dicermati dari sembilan unsur tersebut maka ada enam unsur tatakelola yang

menjadi bagian pedoman. Enam unsur tersebut yaitu:

7.1.1 Peran Hukum (Rule of Law)

Pengertian peranan hukum dalam model kelembagaan sumberdaya

tambang lebih dipandang bahwa hukum harus mencerminkan nilai keadilan dan

kesamaan setiap orang didepan hukum melalui upaya penegakan hukum law

inforcement dan hak asasi manusia. Mendalami hasil analisis pada unsur peran

162

hukum dalam penelitian ini digunakan keterkaitan antara penegakan hukum

dengan aktivitas penambang tanpa izin (PETI) yang selama ini menjadi isu

konflik dan menjadi bahan perdebatan bahkan telah masuk pada rana politik

disetiap forum berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tambang.

Masalah ini dimulai dengan sejarah permulaan penambang tanpa izin.

Berdasarkan hasil wawancara kegiatan PETI ini dimulai sejak 1985 yaitu seorang

responden, tahun 1989 yaitu dua orang responden, tahun 1990 yaitu lima orang

responden, tahun 1991 yaitu satu orang responden, kemudian pada tahun 1992

yaitu sepuluh responden. Mulai kembali lagi tahun 1997 yaitu 1 responden, tahun

2005-2010 masing-masing 1 responden dan terakhir tahun 2011 yaitu 2 responden

dengan total 27 responden yang menjawab pada bagian ini atau 32,5 persen dari

total 83 responden. Terlihat terjadi lonjakan Penambang Tanpa izin pada tahun

1992 dimana terdapat 10 responden yang menjawab permulaannya menambang di

wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo

Minerals.

Permulaan dari penambangan ini yaitu di dusun Mohutango tepatnya

berada di sudut utara sebelah kiri peta konsesi kontrak karya. Daerah ini di bawah

administrasi Kecamatan Suwawa Timur yang merupakan pemekaran Kecamatan

Suwawa. Kemudian semakin meluas ke wilayah bekas titik bor (penelitian

eksplorasi) oleh pemegang konsesi sebelumnya diantaranya PT New Crase, PT

BHP, PT Yutah Pasific. Perusahaan ini melepas kontrak karyanya ke perusahaan

lain yaitu PT Gorontalo Minerals merupakan pemegang hak kontrak karya

generasi ke tujuh. Adapun alasan pelepasan ini (take over) belum dapat dijumpai

sampai saat ini namun informasi dari para penambang karena perusahaan itu telah

menemukan cadangan yang lebih besar di wilayah lain. Adapun awal mulai

kegiatan penambang tanpa izin dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel awal mulai

penambang tanpa izi (PETI).

Selanjutnya dalam analisis ini yaitu hubungan penambang tanpa izin

dengan pengelolah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone lebih diartikan dalam

konteks kelembagaan hukum di saat wilayah ini masih bagian dari TN. Pada di

lokasi penelitian terdapat Kantor Sub Balai Taman Nasional Bogani Nani

Wartabone yang berlokasi di Desa Bube Kecamatan Suwawa. Di kantor ini

163

terdapat beberapa pegawai staff administrasi dan Polisi Hutan. Hasil uji analisis

tabel frekuensi menunjukkan bahwa hubungan PETI dengan pengelola TN yang

menjawab tidak tahu 26 responden atau 31.3 persen, sedang jawabannya tidak

baik 3 responden atau 4 persen, dan yang menjawab hubungan baik yaitu 6

responden atau 7.2 persen dengan total 35 reponden yang menjawab atau 42.2

persen. Tabel mengenai hubungan penambang tanpa izin dengan pengelola TN

Bogani Nani Wartabone dapat dilihat pada Lampiran 11.

Adapun kepemilikan atau posisi dalam penambang tanpa izin telah menjadi

bagian dari penelusuran data melalui angket yang diedarkan. Pertanyaan ini relatif

sulit untuk diperoleh namun dengan kiat-kiat yang telah dilakukan cukup berhasil

mendapatkan jawaban dari para penambang. Hal ini wajar untuk disimak karena

terkait dengan keamanan diri masing-masing penambang. Hasil penelusuran data

diperoleh yaitu sebagai buruh 4 responden atau 5 persen, sebagai donatur 1

responden atau 1.2 persen, sebagai pemilik 29 responden atau 40 persen, dan

sebagai pedagang pengumpul yaitu 1 responden atau 1.2 persen dengan total yang

memberikan jawab yaitu 35 responden atau 42,2 persen dari total 83 responden

yang dapat ditelusuri. Lebih jelasnya item ini dapat dilihat pada Lampiran 12

Tabel posisi penambang tanpa izin.

Hubungan penambang tanpa izin dengan para pihak lebih diarahkan

kepada bagaimana interaksi mereka dengan para pihak terutama dengan orang-

orang yang ingin mempertahankan status quo ini yang disinyalir turut menerima

bagi hasil dari penghasilan penambang tanpa izin. Hal ini dapat dilihat pada

Lampiran 13 tentang hubungan PETI dengan para pihak, dimana masyarakat

penambang yang menjawab tidak tahu 22 responden atau 26.5 persen sedangkan

yang menjwab baik yaitu responden atau 5 persen. Keengganan menjawab ini

juga merupakan bentuk kecurigaan kepada peneliti karena lebih dihadapkan pada

alasan sebelumnya yaitu bentuk penguasaan lahan.

Asumsi sebelumnya semakin mengerucut pada penelusuran pertanyaan

terkait dengan kenyamanan bekerja Para Penambang Tanpa Izin. Seperti yang

telah dianalisis melaui tabel frekuensi nampak bahwa masyarakat penambang

yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 1.2 persen dan penambang yang

merasa tidak nyaman bekerja yaitu 2 reponden atau 2.4 persen, akan tetapi cukup

164

berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin yang merasa nyaman bekerja yaitu

32 responden atau 39 persen. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 14 Tabel

kenyamanan bekerja PETI.

Asumsi bahwa penambang tanpa izin cukup percaya diri bekerja dan

menjawab pertanyaan sebelumnya mulai terjawab pada pertanyaan dibawah ini,

dimana penambang tanpa izin mendapat dukungan para pihak. Hal ini dapat

ditunjukkan pada Lampiran 15 Tabel dukungan para pihak yaitu pihak keamanan

16 responden atau 19.3 persen dan yang didukung oleh pihak politisi yaitu 5

responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang mendapat dukungan dari pemerintah

setempat yaitu 6 responden atau 7.2 persen. Total yang menjawab pada item ini

yaitu 27 responden atau 32.5 persen.

Isu yang tidak kalah penting dalam konflik pertambangan ini yaitu

berkaitan dengan penggunaan Mercury dan Cianida di kalangan penambang tanpa

izin di lokasi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terbukti bahwa penggunaan

itu ada seperti pada jawaban penambang yaitu yang menjawab tidak tahu 17

responden atau 20.5 persen, kemudian penambang yang menjawab tahu 21

responden atau 25.3 persen. Jumlah total yang menjawab 38 responden atau 46

persen. Penggunaan mercury dan cianida dapat dilihat pada Lampiran 16.

Ekspansi ini telah menjadi isu politik praktis di kalangan masyarakat,

karena adanya penegakan hukum yang tidak optimal dan terpadu, bahkan pada

jawaban pertanyanan ternyata 16 responden yang menjawab pihak keamanan

termasuk yang memberikan perlindungan terhadap penambang tanpa izin. Terkait

dengan usaha penertiban yang dilakukan pihak keamanan akan menghadapi

persoalan sendiri dengan pihak PETI. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 17

tentang Tabel penertiban penambang tanpa izin. Penambang tanpa izin yang

menjawab tidak mengetahui tentang penertiban PETI 2 responden atau 2.4 persen,

dan menjawab tidak pernah ada penertiban 4 responden atau 5 persen, selanjutnya

yang memberikan jawaban pernah ada penertiban 31 responden atau 37.3 persen.

Jumlah total menjawab paertanyaan ini yaitu 37 reponden 45 persen.

Pertanyaan ini lebih lanjut diarahkan pada pengelolaan konsesi oleh PT

Gorontalo Mineral secara profesional, apakah menimbulkan konflik dengan

masyarakat. Jawaban responden pada pertanyaan ini yaitu pengelolaan secara

165

professional oleh PT GM tidak akan menimbulkan konflik 29 responden atau 35

persen dan menjawab akan menimbulkan konflik 9 responden 11 persen. Nampak

bahwa pengelolaan konsesi tersebut relatif dapat dipertimbangkan oleh para

pihak. Lebih jelasnya aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 18 tentang Tabel

konsesi lahan perusahaan PT Gorontalo Minerals.

Peluang pengelolaan secara professional kepada pemilik konsesi maka

kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat diarahkan untuk membangun

kohesivitas masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya konflik antara masyarakat

di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya dengan PT

Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 19 Tabel Kohesivitas

antar masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Adapun responden yang

menjawab tidak memberikan peluang konflik yaitu 13 responden 15,7 persen dan

menjawab kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat menimbulkan konflik yaitu

10 responden atau 12.0 persen. Nampak bahwa organisasi sosial kemasyarakatan

relatif tidak memberikan peluang terjadinya konflik bahkan dapat menjaga

kohesivitas.

Item ini lebih ditekankan pada peran kelembagaan organisasi sosial

kemasyarakatan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat

dengan PT Gorontalo Minerals. Terdapat 21 responden yang menjawab bahwa

kelembagaan organisasi tersebut bisa berperan mengatasi konflik antara

masyarakat (pemukim di lahan konsesi kontrak karya) dengan PT Gorontalo

Minerals atau 25.3 persen. Sedangkan 15 responden yang menjawab bahwa

kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan itu tidak bisa mengatasi konflik

atau 18.1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 20 Tabel organisasi untuk

fasilitasi konflik.

Permasalahan utama konflik ini karena tidak ada kesamaan visi baik dari

pihak perusahaan maupun dari pihak PETI demikian juga pemerintah. Akibatnya

tidak pernah ada solusi yang dapat menjadi titik tengah dari semua pihak dengan

mengedepankan aspek ketaatan hukum bagi semua pihak yang bias duduk

bersama untuk menyelesaikan konflik. Selain itu pimpinan pemerintahan di

daerah ini cenderung melihat konflik ini pada aspek politik. Artinya bila hukum

ditegakkan dan para penambang tanpa izin (PETI) akan keluar dari wilayah ini

166

akan mempengaruhi nilai dukungan masyarakat kepada pemerintah pada

pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif.

Pada item ini lebih diarahkan pada pendalaman konflik antara perusahaan

dengan pemerintah bila sumberdaya tambang akan dikelola secara professional.

Terdapat 23 responden yang menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara

pemerintah dengan perusahaan (PT GM) atau 28 persen. Sebanyak 12 responden

yang menjawab bahwa pengelolaan secara profesional oleh perusahaan akan

menimbulkan konflik antar pemerintah dengan perusahaan atau 14,5 persen,

dengan total 35 responden yang menjawab pada item ini atau 42.2 persen. Bila

informasi ini dijadikan rujukan dalam menatakelola sumberdaya tambang

haruslah pemerintah dan para pihak termasuk LSM dan PETI sudah dapat duduk

bersama untuk menyusun resolusi konflik yang selama ini menjadi perdebatan.

Konflik perusahaan dengan Pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 21.

Isu-isu konflik adanya pemanfaatan sumberdaya tambang secara

profesional bukan saja muncul antara masyarakat di sekitar lahan konsesi dengan

perusahaan (PT GM) namun potensi konflik dapat terjadi antara masyarakat

dengan pemerintah akibat arah kebijakan pembangunan ekonomi dengan

mengoptimalkan pemanfaata sumberdaya tambang secara profesional kepada

perusahaan tambang. Sebanyak 9 responden menjawab tidak akan menimbulkan

konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 11 persen dan yang menjawab

akan menimbulkan konflik 10 responden atau 12.0 persen. Mengenai kohesivitas

pemerintah dengan masyarakat ditampilkan pada Lampiran 22.

Arah dari item ini bagaimana peran lembaga sosial kemasyarakatan yang

ada dapat memfasilitasi kemungkinan konflik antara pemerintah dengan

masyarakat terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tambang di

lahan konsesi PT Gorontalo Minerals secara profesional. Sebanyak 14 responden

menjawab bahwa lembaga sosial kemasyarakatan ini tidak bisa menyelesaikan

kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 17 persen,

sedang yang menjawab bahwa kelembagaan sosial kemasyarakatan itu bias

mengatasi konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 10 persen. Terkait

dengan organisasi kemasyarakat untuk memfasilitasi konflik Pemerintah dengan

masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 23.

167

Lampiran 24 mendiskripsikan bentuk-bentuk konflik di wilayah timpang

tindih tersebut. Dijumpai bentuk konflik beda pendapat 3 responden, belum ada

konflik dan penertiban masing-masing 1 responden, konflik pengeboran 2

responden, perebutan kekuasaan dan salah paham 2 responden. Selanjutnya

perebutan lahan-lahan pertambangan tanpa izin 3 responden, perebutan lahan

pomukiman diwilayah konsesi kontrak karya 3 responden, perkelahian antar

warga 3 responden dan konflik minuman keras 1 responden serta konflik rumah

tangga 1 responden. Terdapat 20 responden yang menjawab pertanyaan item ini.

Dijumpai persaingan antar kelompok penambang tanpa izin di lokasi

penambangan cukup rawan dan relatif mudah terprovokasi karena karakter

pekerjaan dan sulitnya medan yang ditempuh karena bergunung-gunung membuat

perilaku penambang tanpa izin terkesan keras dan mudah tersinggung. Pengaruh

lain yaitu adanya persaingan antara kelompok penambang dengan kelompok

penambang lainnya cukup tinggi terutama bagaimana dapat mempertahankan

lahan-lahan yang menurut mereka memiliki potensi tambang serta siapa yang

menjadi beking masing-masing pemilik lahan dan tromol tersebut.

Arah pertanyaan terakhir lebih mencari solusi alternatif penyelesaian

konflik. Diharapkan alternatif ini dapat menjadi bagian penting dalam

memberikan umpan kepada para pihak agar saat pengelolaan secara professional

oleh perusahaan kemungkinan konflik dapat diperkecil dan bahkan dapat

memberikan informasi dan pengalaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Terkait dengan alternatif penyelesaian konflik dapat dilihat pada Lampiran

25 Tabel alternatif penyelesaian konflik. Responden yang menjawab yaitu konflik

dapat diselesaikan melalui jalur hukum 1 responden, dengan model musyawarah

mufakat yaitu 8 responden. Selanjutnya 4 responden memilih alternatif solusi

penyelesaian konflik yaitu penertiban, kemudian menjawab dengan persetujuan

masing-masing pihak 1 responden. Terakhir jawabannya yaitu PT Gorontalo

Minerals menghentikan dulu operasinya sampai saat yang lebih menjamin

keamanan dan kenyaman para pekerja yaitu 1 responden. Hirarki yang paling

tinggi dalam budaya kita yaitu musyawarah, artinya meskipun konflik ini belum

dapat teratasi namun keinginan masyarakat bermusyawarah masih cukup terbuka.

168

7.1.2 Partisipasi (Participation)

Prinsip kekuasaan berada di tangan negara namun kedaulatan berada

ditangan rakyat. Hal ini membutuhkan pelibatan masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan baik secara langsung atau melalui model intermediasi atau

lembaga yang mewakili kepentingan masing-masing secara konstruktif dan

dibangun diatas kejujuran. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dieksplorasi

tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di

Kabupaten Bone Bolango.

Mengetahui peran keterlibatan masyarakat dalam advokasi atau

penyuluhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang. Dijumpai bahwa

keinginan berpartisipasi masyarakat cukup tinggi dimana 83 responden yang

menjawab turut berpartisipasi yaitu 34 atau 41.0 persen. Sementara yang tidak

berpartisipasi yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Akan tetapi yang tidak

menjawab lebih banyak bila dibanding dengan yang tidak berpartisipasi yaitu 33

responden 39.8 persen. Keengganan masyarakat ini lebih dikarenakan oleh belum

optimalnya model materi advokasi yang disampaikan terutama kepada masyarakat

yang bermukim di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya

PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 26.

Meskipun pada model partisipasi advokasi masyarakat di wilayah konsesi

relatif tidak optimal. Namun dijumpai keikutsertaan masyarakat didalam kegiatan

penyuluhan cukup baik yaitu 52 responden yang mengikuti penyuluhan atau 63

persen dan yang tidak mengikuti sebanyak 28 responden 34 persen. Sedangkan

yang tidak jelas hanya 3 responden atau 4 persen. Meskipun mengikuti itu kurang

bermakna bila dibanding dengan makna partisipasi namun penting adanya suatu

proses pencapaian hasil advokasi atau penyuluhan bukan dilihat dari aspek hasil.

Kapasitas atau tingkat pendidikan masyarakat yang relatif kurang baik merupakan

satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Terkait dengan intesitas mengikuti

penyuluhan dapat dilihat pada Lampiran 27.

Kemampuan masyarakat tentang isi advokasi relatif cukup baik, hal ini

dapat dilihat pada Lampiran 28, dimana responden menjawab tahu dan mengerti

isi advokasi yaitu 54 responden atau 65.1 persen dan responden yang tidak tahu

dan tidak mengerti sebanyak 26 atau 31.3persen. Sedangkan responden yang tidak

169

menjawab yaitu 3 orang atau 3,6 persen. Lampiran 28 mengenai kemampuan

menyerap materi advokasi menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam

menyerap informasi tentang penyuluhan atau arahan mengenai pertambangan

profesional sudah cukup baik. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kemajuan

teknologi, kepekaan masyarakat terhadap kemajuan dan kebaruan informasi cukup

cepat terutama mengenai informasi pertambangan yang sepertinya sudah tidak

sulit lagi bagi mereka (PETI) untuk mendapatkannya.

Aspek penting yang dijumpai di masyarakat pemukim pada wilayah

berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu sifat dukungan terhadap

pemanfaatan sumberdaya tambang. Terlihat bahwa responden yang menjawab

sangat mendukung yaitu 43 responden atau 52 persen dan yang cukup mendukung

yaitu 28 responden atau 34 persen. Responden yang kurang mendukung sebanyak

8 responden atau 10 persen dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai.

Variabel sangat mendukung dan cukup mendukung yang dijawab responden

merupakan informasi yang baik dan menjadi harapan para pihak untuk mendesain

pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional tanpak mengabaikan aspek

lingkungan terutama masyarakat yang bermukim diwilayah tumpang tindih.

Bobot ini cukup berkaitan dengan kapasitas masyarakat dalam mengikuti

penyuluhan atau pengarahan dari para pihak. Semakin baik kualitas pemahaman

masyarakat maka semakin meningkat bobot pemahaman masyarakat terhadap

pemanfaatan sumberdaya tambang. Akan tetapi responden yang kurang

mendukung akan berkembang bila upaya advokasi tidak dilakukan secara baik

terutama kepada penambang tanpa izin karena upaya untuk melegalkan PETI ini

cukup berkembang. Misalnya seperti dijumpai dibeberapa aktivis mahasiswa dan

tokoh masyarakat menginginkan agar sebagian wilayah konsesi kontrak karya

tersebut diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat.

7.1.3 Kesepakatan (Consensus Orientation)

Orientasi membangun kesepakatan dalam mediasi antara kepentingan yang

berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas

dan jangka panjang dalam penelitian ini dicoba dilihat dari aspek dukungan

masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah kontrak karya

170

PT Gorontalo Minerals. Hal ini seperti digambarkan pada hasil wawancara dalam

angket. Mengenai sifat dukungan pemanfaatan sumberdya tambang dapat dilihat

pada Lampiran 29.

Terkait dengan dukungan yang disampaikan oleh responden pada

Lampiran 28, maka pada Lampiran 30 Tabel tentang bentuk dan dukungan

pemanfaatan sumberdaya tambang sasarannya yaitu mengetahui bagaimana

dukungan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya tambang secara

profesional. Total responden yang memberikan jawaban atau saran diterima yaitu

54 atau 65,1 persen. Responden yang menolak idea atau saran sebanyak16

responden atau 19.3 persen dan yang tidak menjawab yaitu 13 responden atau

15.7 persen.

Selanjutnya penting untuk mengetahui apakah masyarakat di wilayah

berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya mengikuti dan menyalurkan

aspirasinya lewat organisasi atau lembaga di tingkat lingkungan. Nampak bahwa

masyarakat enggan atau kurang tertarik menyampaikan hal itu didalam organisasi

dimana terdapat 46 responden yang menjawab tidak mengikuti organisasi atau

55.4 persen. Selanjutnya responden yang mengikuti organisasi yaitu 32 responden

atau 39 persen, namun yang tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen.

Umumnya masyarakat kurang tertarik masuk dalam organisasi karena lembaga

organisasi relatif menyusun kegiatan program yang bersifat ritual sedangkan

organisasi yang menyusun program terkait dengan isu-isu konflik pemanfaatan

ruang relatif tidak ditemui.

Indikator bahwa kelembagaan sosial ekonomi dan budaya memberikan

peran terhadap interaksi dan kohesivitas masyarakat dalam rangka menjadi salah

satu penentu apabila pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional akan

diwujudkan. Meskipun bobot keterlibatan masyarakat masih harus didalami dalam

kajian ilmiah selanjutnya agar nanti rekomondasi akan lebih berbobot pula.

Lampiran 31 lebih memperjelas mengenai keterlibatan dalam organisasi.

Keengganan masyarakat mengikuti organisasi menjadi tolok ukur penting bagi

para pihak terutama pemerintah dan pemegang izin kontrak karya untuk

membangun konsensus melalui penyadaran institutionl kepada para pihak agar

kesepakatan tersebut dapat dipahami secara melembaga dan dapat dipertanggung

171

jawabkan kepada publik untuk dinaungi bersama serta mengedepankan

kepentingan semua pihak diatas kepentingan sendiri maupun kelompok.

Demikian pula masyarakat yang mengikuti organisasi dan memiliki

kedudukan dalam organisasi relatif sedikit. Masyarakat yang ikut berorganisasi

dan memiliki kedudukan yaitu 27 responden atau 32.5 persen dan yang tidak

memiliki kedudukan dalam organisasi relatif lebih banyak yaitu 48 responden atau

58 persen. Sedangkan responden tidak menjawab sebanyak 8 responden atau 10

persen. Kedudukan dalam organisasi lebih disebabkan oleh kapasitas dan

pengalaman berorganisasi yang relatif kurang. Aspek kehadiran dalam rapat

organisasi relatif baik dimana jumlah responden yang sering hadir yaitu 30

responden atau 36.1 persen dan selalu hadir yaitu 10 responden. Sementara

responden yang jarang hadir yaitu 16 reponden dan yang tidak ikut hadir yaitu 22

responden atau 26.5 persen.ada pula responden yang tidak mejawab yaitu 5

responden atau 6.0 persen. Bila ditotalkan antara jarang hadir, sering hadir dan

selalu hadir yaitu 55 reponden atau 67.4 persen.

Animo masyarakat menghadiri rapat organisasi cukup besar dan peluang

untuk membangun komunikasi yang baik dalam rangka mencari resolusi konflik

yang terbaik cukup terbuka. Hal ini dijumpai di lokasi penelitian bahwa frekuensi

kehadiran merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun

interaksi yang berbobot cukup besar bahkan keinginan ini sering disampaikan

lewat media massa lokal. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 32.

Frekuensi kehadiran dalam rapat organisasi cukup intensif karena obyek

atau agenda yang sering muncul yaitu adanya informasi tentang potensi

pertambangan memiliki nilai ekonomi cukup baik. Dijumpai bahwa beberapa

tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan, termasuk mahasiswa terkesan

menolak Konsesi kontrak karya karena alasan akan kehilangan pekerjaan di PETI

namun sebagian juga mendukung karena mereka berharap akan menjadi bagian

karyawan diperusahaan tambang.

Keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran disetiap pertemuan

dalam organisasi diindikasikan melalui jawaban responden. Sebanyak 27

responden tidak memiliki saran atau 32.5 persen. Responden yang jarang

memberikan saran yaitu 20 responden atau 24.1 persen dan responden yang sering

172

memberikan saran sebanyak 18 responden atau 22 persen. Ada pula responden

yang selalu memberi saran yaitu 13 responden atau 16 persen, kemudian tidak

menjawab yaitu 5 responden atau 6 persen. Umumnya masyarakat di wilayah

yang berhimpitan langsung dengan Konsesi Kontrak karya menginformasikan

bahwa penduduk asli itu sebagian mengetahui tentang wilayah kontrak karya.

Pemahaman akan status kelembagaan hukum kontrak karya relatif sedikit.

Misalnya masyarakat yang pernah menjadi tenaga kerja diperusahaan pemilik

konsesi sebelumnya. Faktor kurangnya penyampaian informasi dan adanya

desakan kebutuhan ekonomi yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya

penduduk disekitar kawasan konsesi tersebut menyebabkan resolusi konflik

sampai hari ini masih dalam proses untuk mencari formulasi yang dapat diterima

oleh semua pihak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pemanfaatan

lahan secara ekspansif baik untuk kebutuhan pemukiman, sarana dan prasarana

pemerintah. Aspek keterlibatan memberikan saran dapat dilihat pada Lampiran 33

Kapasitas pemahaman masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya tambang

terutama yang bermukim disekitar kawasan konsesi di ilustrasikan melalui

jawaban responden pada Lampiran 34. Terdapat responden yang menjawab tidak

tahu dan tidak paham sebanyak 25 responden atau 30.1 persen, sedangkan

responden tahu dan paham yaitu 53 responden atau 64 persen, namun yang tidak

menjawab sebanyak 5 responden atau 6.0 persen. Dijumpai di lokasi penelitian

masyarakat ada yang pernah melakukan dan yang sedang melakukan

pertambangan tanpa izin memiliki pengalaman secara otodidak mereka

mempelajari tentang jenis batuan yang mengandung logam mulia dan

memprosesnya dengan mesin yang sudah modern serta memisahkan logam-logam

tersebut dengan Mercuri/Cianida. Kemampuan masyarakat dalam menggunakan

zat kimia ini sangat sulit terdeteksi. Pada bagian ini responden lebih banyak

memilih bungkam karena takut ketahuan menggunakan. Sehingga hal tersebut

menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat sedemikian mudah dapat

menggunakan zat ini secara bebas atau karena ada aparat yang melakukan upaya

perlindungan.

173

7.1.4. Keterbukaan (Transparence)

Status kawasan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak

ditetapkannya wilayah ini manjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

(TNWB) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1127/Kpts-

II/1992 tanggal 12 Desember 1992. Kemudian ditinjau kembali statusnya menjadi

Hutan Produksi Terbatas melalui kajian Tim Terpadu dalam Revisi Tata Ruang

Wilayah Provinsi Gorontalo oleh Menteri Kehutanan Repulik Indonesia kepada

Gubernur Gorontalo Nomor S.238/Menhut-VII/2010 tanggal 14 Mei 2010.

Selanjutnya ditetapkan lagi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi

Gorontalo tanggal 29 Desember 2011 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah

Provinsi Gorontalo. Item di atas menjadi bagian pertanyaan yang diajukan kepada

responden dengan jawaban yaitu 27 responden menjawab perubahan status

kawasan tersebut tidak diketahui atau 32.5 persen. Responden yang menjawab

tahu yaitu 7 responden atau 8.4 persen dengan total yang menjawab yaitu 34

responden atau 41.0 persen dari total 83 responden. Indikasi ketidaktahuan

masyarakat terhadap perubahan status kawasan adalah suatu fakta bahwa

sosialisasi tentang perubahan status kawasan kepada masyarakat masih sebatas

sosialisasi di forum-forum seminar saja. Sedangkan bagaimana sosialisasi tersebut

untuk membangun pemahaman amsyarakat secara konsisten dengan model

komunikasi yang mudah dipahami adalah penting untuk menghindari eskalasi

konflik yang sering terjadi diwilayah tumpang tindih tersebut. Hal ini dapat dilihat

pada Lampiran 35 Tabel perubahan status kawasan.

Selanjutnya mengenai informasi adanya potensi tambang di wilayah

konsesi dapat dilihat pada Lampiran 36. Informasi ini sangat cepat sampai kepada

masyarakat tentang status kontrak karya baik generesi pertama maupun generasi

ke tujuh. Saat ini telah ditelusuri bahwasanya informasi tersebut telah sampai

kepada masyarakat terutama pada pemukim disekitar kawasan konsesi. Pada

analisis tabel frekuensi diketahui bahwa responden yang tidak tahu tentang status

kontrak karya 21 responden atau 25.3 persen dan yang tahu hal itu 4 responden

atau 5 persen. Disimak dari persentase pengetahuan masyarakat tentang status

kontrak karya lebih didominasi oleh ketidaktahuan masyarakat, bukti konkrit

174

seperti yang telah dijumpai di lokasi penelitian terdapat 21 responden mengatakan

bahwa kontrak karya ini mereka tidak tahu.

Unsur ini lebih dilihat dari pandangan kemudahan mendapatkan informasi.

Dimana proses pemanfaatan sumberdaya tambang dapat langsung diakses oleh

para pihak yang membutuhkan secara bertanggung jawab. Proses pemanfaatan ini

dapat dimonitor dan dipahami secara berkelanjutan dan konsisten untuk

menyampaikan kepada publik agar nanti informasi ini menjadi bagian

peningkatan pemahaman masyarakat tentang pertambangan. Mengenai

pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang dapat dilihat pada

Lampiran 37.

Terkait dengan permulaan memperoleh informasi tentang wilayah yang

memiliki cadangan emas dan tembaga yang telah diteliti atau dieksplorasi oleh

perusahaan sebelumnya yaitu informasi dari Pemerintah, jawaban responden

sebanyak 11 responden atau 13.3 persen. Sedangkan yang menjawab informasi itu

dari bekas staf pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi 15 responden atau

18.1 persen dengan jumlah yang menjawab yaitu 26 responden atau 31.3 persen.

Berikut informasi dari salah seorang bekas staf di perusahaan pertambangan

pemegang kontrak karya sebelumnya PT Tropic Endeavour Indonesia pemegang

kontrak karya generasi kedua tahun 1971:

(Saya jadi pegawai diperusahaan PT Tropic dan saya tahu disini bekas eksplorasi

perusahaan mulai dari titik bor 1 sampai titik kesekian itu saya tahu tempatnya,

mulai dari motomboto, sungai mak, cabang kiri dan cabang kanan sudah

diekplorasi oleh Tropic. Tapi sayang perusahaan tidak melanjutkan izin kontrak

karyanya setelah berakhir tahun 1986 pedahal kami yang paling makmur di

Gorntalo saat itu karena gaji kami lebih tinggi dari pegawai negeri: Pak Guru

Ridha).

Variabel ketidaktahuan ini cukup signifikan, oleh karena itu perlu ada

upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang status kawasan konsesi

kontrak karya. Lebih diasumsikan kepada keengganan masyarakat penambang

untuk tidak menanggapi informasi. Pada lokasi penelitian beberapa penambang

tanpa izin memiliki sifat antipati terhadap keberadaan perusahaan, karena akan

mengusik keberadaan mereka (PETI). Namun ketidaktahuan masyarakat adalah

175

bentuk yang perlu dipertanyakan karena saat ini masing-masing melakukan

aktivitas di lokasi yang berhimpitan dan tidak saling mengenal. Artinya terdapat

perasaan yang tidak ingin tahu tentang lahan kontrak karya yang telah dimulai

sejak tahun 1971 oleh beberapa perusahaan pertambangan ini meskipun isu yang

masih menjadi perdebata. Lampiran 38 mengenai informasi status kontrak karya.

Peran informal leader atau tokoh masyarakat untuk menjembatani resolusi

konflik terkait konsesi kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan

pemukiman serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dapat dilihat pada

Lampiran 39. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak berperan aktif

sebanyak 36 responden atau 43.4 persen dan menjawab berperan aktif yaitu 39

responden atau 47.0 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 8 responden

atau 10 persen. Nampak bahwa peran tokoh masyarakat relatif seimbang antara

berperan dan tidak mengambil peran aktif, meskipun demikian responden yang

menjawab bahwa tokoh masyarakat tetap memberikan peranan aktif dalam

penyelesaian konflik ini cukup baik.

Aktualiasi peran tokoh masyarakat telah didalami sampai sejauh mana

penerimaannya terhadap keluhan masyarakat terkait dengan konflik kawasan ini,

nampak Lampiran 40. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak

menerima keluhan sebanyak 40 atau 48.2 persen dan selalu menerima keluhan

sebanyak 27 responden atau 32.5 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu

16 responden atau 19.3 persen. Konotasi tokoh masyarakat lebih diarahkan pada

tokoh politik, hal ini menjadi potret umum bahwa terkadang politisi itu akan lebih

melihat pada masyarakat yang mendukungnya/konstituennya, sehingga

masyarakat yang bersebrangan dengan kepentingannya kurang dilayani. Mengenai

peran tokoh masyarakat menerima keluhan dan informasi dari masyarakat dapat

dilihat pada Lampiran 40.

7.1.5 Kepekaan (Responsiveness)

Unsur ini berpandangan bahwa setiap proses dan kelembagaan yang

sedang dirancanakan dan diimplementasikan harus dapat memberikan pelayanan

kepada para pihak. Artinya aspek sosial budaya dalam membangun resolusi

konflik merupakan model yang dapat diterima oleh semua pihak karena

176

dipandang oleh semua pihak bahwa nilai-nilai budaya yang merupakan bagian

dari cara masyarakat untuk mencari solusi di setiap konflik yang muncul adalah

sebuah keniscayaan.

Meskipun nilai-nilai sosial budaya ini semakin luntur karena adanya

budaya luar yang masuk lewat media saat ini, namun ada saatnya nilai-nilai sosial

budaya tersebut dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang ada. Sebab

kemampuan nilai-nilai kearifan lokal dapat berada di semua kepentingan para

pihak. Seperti pada Lampiran 41 yang mendeskripsikan keaktifan masyarakat

dalam kegiatan organisasi sosial budaya. Responden yang menjawab mengikuti

organisasi sosial budaya yaitu 24 responden atau 29 persen dan tidak mengikuti

organisasi sosial budaya yaitu 19 responden atau 23 persen sedangkan yang tidak

menjawab sebanyak 40 responden atau 48.2persen. Potret data ini menjelaskan

bahwa keengganan masyarakat terhadap organisasi sosial budaya semakin terkikis

oleh aktivitas keseharian masyarkat meskipun mereka dibayang-bayangi oleh

persoalan konflik kawasan . Terkait dengan organisasi sosial budaya dapat dilihat

pada Lampiran 41.

Selanjutnya penelitian ini ditingkatkan pada pertanyaan alasan perlu

adanya organisasi sosial budaya. Terdapat beberapa alasan yang disampaikan

yaitu item banyak hal yang dapat dikembangkan 1 responden atau 1.2 persen,

keterkaitanya terhadap pengembangan lembaga desa terdapat 1 responden yang

menjawab 1.2 persen. Jawaban adanya organisasi ekonomi yaitu 1 responden atau

1.2 persen, kemudian yang merasa ekonomi rumah tangga terbantu yaitu 4

responden atau 5 persen, terkait dengan keberadaanya dalam organisasi terdapat 1

responden atau 1.2 persen. Terdapat pula 2 responden nyang menjawab bahwa

organisasi sosial budaya memberikan bantuan modal atau 2.4 persen. Responden

yang menjawab bahwa organisasi ini dapat membantu perekonomian yaitu 1

responden atau 1.2 persen, selanjutnya bahwa organisasi ini memberi penunjang,

memenuhi kebutuhan, organisasi memiliki pengaruh, organisasi mendukung

kemajuan, organisasi sebagai sarana pengembangan masyarakat juga sebagai

penghidupan ekonomi masing-masing 1 responden atau 1.2 persen. Mengenai

alasan perlu adanya organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 42.

177

Aspek yang berkaitan dengan perlu tidaknya syarat organisasi sosial

budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Dimana terdapat 61 responden yang

melakukan jawaban dan diantara responden tersebut hanya dua variabel yang

mendapatkan 2 jawaban dari responden yaitu mengikuti aturan dan variabel

memberdayakakan masyarakat. Item ini penting untuk membangun model

kelembagaan masyarakat kemasa yang akan datang karena sangat terkait variabel

mana menurut masyarakat yang perlu diutamakan. Artinya masyarakat cukup

menghargai aturan kelembagaan termasuk pola pemberdayaan masyarakat

cenderung yang dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pola

preferensi ini masih didominasi oleh variabel lain yang begitu banyak, dengan

angka masing-masing 1 responden namun dapat digarisbawahi bahwa keinginan

masyarakat untuk membangun kelembagaan sosial budaya ini cukup responsif.

Mengenai sayarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43.

Meskipun dari akumulasi persentasi hanya 48.5 persen atau sekitar 50

responden yang tidak menjawab item ini. Penting untuk mengetahui apakah

organisasi sosial budaya memiliki manfaat atau tidak buat masyarakat. Terdapat

16 responden yang menjawab tidak ada manfaat atau 19.3 persen dan yang

menjawab bahwa organisasi sosial budaya memiliki manfaat yaitu 17 responden

atau 20.5 persen. Responden memiliki pilihan antara manfaat dan tidaknya suatu

organisasi sosial budaya pada lokasi penelitian ini relatif seimbang. Terkait

dengan manfaat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 44.

Pada aspek kelengkapan organisasi yang diikuti masyarakat dalam artian

bahwa instrument dan struktur serta atribut organisasi telah dimiliki oleh

organisasi dapatlah dilihat pada tabel dibawah ini terdapat 13 responden yang

menjawab bahwa organisasi yang diikuti belum memilki kelengkapan atau 16

persen dan 11 responden yang menjawab bahwa organisasi tersebut telah

memiliki kelengkapan atau 13.3 persen sedangkan yang tidak menjawab yaitu 59

responden atu 71.1 persen.

Kelengkapan organisasi adalah intrumen untuk mencapai tujuan organisasi

yang akan menjadi bagian dari proses transformasi manajemen, budaya kerja dan

hubungan formal antara masyarakat yang membutuhkan tindak lanjut dan pada

akhirnya kelengkapan ini akan menjadi input yang akan diproses menjadi bagian

178

dari transformasi itu sendiri dalam dinamika organisasi kemasyarakatan dalam

suatu sistem kelembagaan. Oleh karena itu kelengkapan berada posisi penting

terutama kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang

saat ini yaitu teknologi. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 45 Tabel kelengkapan

organisasi yang diikuti.

Keterkaitan organisasi yang diikuti dengan pelestarian lingkungan

memiliki akumulasi persentasi yang relatif kecil yaitu 29 persen dari rata-rata total

responden. Akan tetapi aspek ini memiliki hubungan yang penting dengan aspek

pemanfaatan lahan diwilayah konsesi kontrak karya. Penambang tanpa izin dan

pemanfaatan pertanian dan perkebunan sebanyak 8 responden yang menjawab

kegiatan pelestarian lingkungan tidak diikuti atau 10 persen dan yang menjawab

mengikuti program pelestarian lingkungan yaitu 20 responden atau 71.4 persen.

Pada lokasi penelitian terdapat lahan-lahan yang kritis tidak dimanfaatkan lagi dan

dibiyarkan begitu saja karena sesuai denga informasi masyarakat bahwa ada

kebiasaan masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah-pindah. Mengenai

organisasi pelestarian lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 46.

Syarat organisasi dalam memelihara lingkungan memiliki akumulasi

persentase yang baik yaitu validitasnya mecapai 83.1 persen atau rata-rat 69

responden yang menjawab terkait dengan pertanyaan. Item bekerja sama, gotong

royong, kerja sama, menjaga kebersihan dan pemeliharaan lingkungan, semua

aturan harus diikuti serta tidak membuang sampah sembarang masing-masing 1

responden atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab bahwa tenaga kerja harus

siap yaitu 2 responden atau 2.4 persen. Keterlibatan organisasi dalam menjaga

lingkungan relatif tidak aktif terutama bagaimana membangun organisasi yang

memiliki persyaratan program terhadap pelestarian lingkungan. Sehingga nampak

beberapa anak sungai telah mengalami kekeringan karena hulu dari sungai

tersebut telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan sebagian

sungai juga telah berubah warna air karena limbah pertambangan tanpa izin

dialirkan lewat sungai-sungai tersebut. Beberapa penelitian menyampaika

hasilnya bahwa air sungai tersebut telah menurun kualitasnya dan berbahaya

untuk digunakan masyarakat. Oleh karena itu penting adanya organisasi yang

bergerak dibidang lingkungan yang bertujuan memberikan informasi dan advokasi

179

kepada masyarakat terkait dengan pelestarian lingkungan. Terdapat pula

organisasi yang disyaratkan untuk menjaga lingkungan, dapat dilhat pada

Lampiran 47.

Aspek kearifan lokal merupakan tata nilai yang tidak tertulis dalam

hubungan kekerabatan antar masyarakat merupakan hal yang diperlukan, seperti

pada tabel dibawah ini terdapat 12 responden yang menjawab bahwa dalam

organisasi sosial perlu mengedepankan kearifan lokal disetiap penyelesaian

konflik atau 14.5 persen dan menjawab tidak ada kearifan lokal dalam setiap

organisasi sosial yaitu 12 responden atau 14.5persen. sedangkan tidak menjawab

yaitu 59 responden atau 71.1 persen sehingga nampak pada akumulasi persentase

yaitu 50.0 persen atau dapat diinterpretasi bahwa aspek kearifan lokal diwilayah

berhimpitan langsung dengan konsesi relatif kecil bahkan mengalami degradasi.

Mengenai kearifan lokal dalam pembahasan dapat dilihat pada Lampiran 48.

Demikian pula pada aspek syarat organisasi tetap memelihara kearifan

lokal bila dilihat dari partisipasi responden untuk menjawab pertanyaan ini yaitu

belum adanya upaya pemeliharaan kearifan lokal sebagai syarat dalam organisasi

sosial 18 responden atau 22 persen. Responden yang menjawab sudah ada yaitu 5

responden atau 6.0 persen, sedangkan yang tidak menjawab yaitu 60 responden

atau 72.3 persen. Kegiatan organisasi sosial dengan tetap mempertahankan

kearifan lokal yang bersifat keagamaan seperti Zikir (Dikili), Mi’raz (meerazi)

surunani, buruda dan kegiatan olahraga tradisional seperti langga semakin

menurun peminatnya terutama dikalangan pemuda. Aspek syarat kearifan lokal

pada oraginasi sosial dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 49.

Selanjutnya bila disimak bagaimana peran organisasi sosial dalam

menyelesaikan konflik nampak pada akumulasi persentasi model tabel frekuensi

yaitu 56.5 persen, bila dibandingkan dengan responden yang tidak menjawab

yaitu 60 atau 72.3 persen maka nilai harapan untuk menggunakan atau member

peran terhadap organisasi sosial relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari responden

yang menjawab bahwa organisasi sosial tidak berperan dalam penyelesaian

konflik yaitu 13 atau 16 persen dan menjawab bahwa organisasi memainkan peran

dalam penyelesaian konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Organisasi yang

sering tampil dalam penyelesaian konflik bukanlah organisasi sosial, tetapi

180

organisasi non formal yang mengatasnamakan kelompok seperti Asosiasi

Pertambangan Rakyat yang memperjuangkan keinginan mereka untuk

memperoleh sebagian wilayah pertambangan dikawasan konsesi kontrak karya PT

Gorontalo Minerals. Terkait dengan peran organisasi dalam meyelesaikan konflik

yang dibahas, dapat dilhat tabelnya pada Lampiran 50.

Komponen penting dalam menyiapkan persyaratan perangkat organisasi

terkait dengan integritas orang-orang dalam organisasi dibutuhkan agar hasil yang

diinginkan bukan untuk kepentingan kelompok ataupun pribadi. Responden yang

menjawab belum ada perangkat organisasi yang baik sebanyak 15 responden atau

18.1 persen dan yang menjawab sudah ada perangkat atau persyaratan organisasi

sosia dalam menyelesaikan konflik yaitu 8 responden atau 10 persen. Sedangkan

yang tidak menjawab sebanyak 60 responden atau 72.3 persen. Dijumpai pada

spesifikasi persoalan ini kurang dapat dipahami oleh masyarakat terutama

bagaimana membentuk organisasi yang memiliki kapasitas kelembagaan hukum.

Adapun syarat yang di miliki organisasi dalam penyelesaian konflik yang dibahas

pada item ini dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 51.

7.1.6 Keadilan (Equity)

Setiap warga masyarakat yang berada di sekitar pemanfaatan sumberdaya

tambang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian naik

langsung maupun tidak langsung dalam proses meningkatkan kapasitas ekonomi

dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik dengan adanya pemanfaatan

sumberdaya tambang ini. Hal ini menjadi jawaban juga atas isu-isu negatif

terhadap kegiatan pertambangan disuatu wilayah yang tidak memperbaiki

ketimpangan pembangunan wilayah. Penelitian ini akan lebih memaknai aspek

keadilan ini secara mendalam dengan melihat bagaimana kelembagaan ekonomi

yang ada disekitar kawasan pemanfaatan sumberdaya tambang.

Sejak Tahun 1983 kegiatan perekonomian telah ada, wilayah ini masih

merupakan bagian dari Kabupaten Gorontalo (Kabupaten Induk) dan juga saat itu

masih bagian wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Meskipun relatif

usaha perekonomian ini tidak begitu berkembang namun indikasi ini

menunjukkan bahwa di wilayah ini telah ada aktivitas perekonomian masyarakat

181

bahkan dijumpai terdapat beberapa pasar mingguan dan 1 buah Pelabuhan

Pelelangan Ikan di Kecamatan Bulawa yang semua wilayah administrasinya

berada didalam kawasan konsesi kontrak Karya, Potensi perikasnan laut di pesisir

Toluk Tomini cukup potensial namun belum ada investasi yang berskala besar .

Terkait dengan waktu terbentuk lembaga ekonomi yang dibahas pada aspek ini,

dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 52.

Aspek ini membahas tentang perkembangan lembaga ekonomi dari tahun-

ketahun. Terdapat peningkatan jumlah kelembagaan pada Tahun 1990 yaitu 8

responden atau 10 persen dalam artian bahwa terdapat 8 responden yang memiliki

usaha ekonomi dan pada Tahun 1992 dan 1998 terjadi peningkatan 3 unit usaha

ekonomi hingga pada tahun 2005. Terdapat 5 unit usaha ekonomi dan sampai

akhir 2009 terdapat 2 unit usaha ekonomi sehingga dijumlahkan menjadi 34 unit

usaha ekonomi yang dimiliki oleh responden.

Pada aspek ini dibahas tentang kepemilikan usaha ekonomi yang telah

dijelaskan pada tabel di Lampiran 53. Sebanyak 60 persen yang menjawab pada

item pertanyaan ini yang lebih ditujukan kepada kepemilikan atau posisi pada

usaha, terdapat 1 responden sebagai bendahara, 1 responden sebagai buruh, 1

responden sebagai nelayan. Hal yang menarik terdapat 1 responden sebagai

pedagang sekaligus pemilik tromol atau masing-masing 1.2 persen. Terdapat pula

4 responden sebagai pedagang atau 5persen, kemudian sebagai pemilik usaha 18

responden atau 22 persen, serta 1 responden menjawab usahanya adalah milik

keluarga. Usaha ekonomi yang menarik dan unik yaitu 7 responden yang

menjawab sebagai pemilik Tromol atau 9 persen dimana usaha tersebut

merupakan bukti bahwa pertambangan tanpa izin telah menjadi bagian dari usaha

perekonomian masyarakat di wilayah konsesi kontrak karya. Mengenai

kepemilikan dalam lembaga ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 53. Selain

usaha lembaga ekonomi, terdapat juga kegiatan ekonomi masyarakat yang bersifat

massal, yaitu sebagai anggota PKK, arisan uang, pemanfaatan lahan kosong,

jualan makan tradisional, sumbangan duka dan sumbangan acara perkawinan

masing-masing 1 responden atau 1.2persen dan kegiatan arisan barang seperti

alat-alat rumah tangga dan perabot yaitu 24 responden atau 29persen .

182

Kegiatan ekonomi seperti ini cukup maju terutama di kalangan ibu-ibu

rumah tangga untuk memanfaatkan waktu. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 53

Tabel kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu usaha ekonomi ini memilki

administrasi yang sederhana dan lebih mengedepankan kepercayaan dimasing-

masing anggota arisan karena model ini hampir sama dengan orang menabung di

Bank meskipun tidak ada bunganya namun masyarakat lebih memilih hal ini

karena memelihara hubungan sosial dan kekerabatan antar masyarakat dan

keluarga yang ikut serta dalam arisan. Di sisi lain rumah tangga keluarga merasa

terbantu karena uang yang disimpan lewat arisan dapat diperoleh kembali

sehingga berbeda dengan uang tersebut hanya disimpan di rumah.

Terdapat 22 jenis organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan di

wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya. Terlihat bahwa

Ketua RT, ekonomi produktif, PNPM, Gotong Royong, Arisan, Huyula, huyulah

PNPM, Jama Tablig, Karang Taruna, KNPI HIPMI, Majelis Ta’lim Yatim Piatu,

majelis ta’lim PAB PNPM, PNPM pembangunan MCK, rukun duka, tadarus ibu-

ibu PKK, ta’mirul Masjid BPD, Taman pengajian Alquran masing-masing 1

responden dan organisasi nelayan 3 responden atau 4persen, juga arisan tadarus

Alquran sebanyak 8 responden atau 10 persen. Demikian pula taman pengajian 2

responden atau 2,4 persen. Dijumpai terdapat sarana olahraga seperti lapangan

sepak bola dan lapangan bola voli namun bila dilihat dari berbagai macam

organisasi pada tabelberikut bahwa organisasi olahraga nyaris tidak ada, demikian

juga organisasi kelembagaan petani relatif tidak ditemui meskipun pemanfaatan

lahan pada wilayah konsesi kontrak karya terus meluas.

Aspek ini cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada responden pada

item sebelumnya, karena keikutsertaan masyarakat pada lembaga sosial ekonomi

dan kemasyarakatan merupakan indikasi bahwa kesadaran masyarakat untuk

menyampaika saran dan pemikiran secara melembaga semakin berkembang dan

juga keinginan untuk mengetahui informasi atau saran dari anggota atau

msayarakat lain dapat diperoleh melalui keaktifan mereka mengikuti organisasi

tersebut. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang dibahas pada aspek ini

dapat dilihat Lampiran 54.

183

Organisasi yang paling banyak diikuti masyarakat disekitar kawasan

pemukiman yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu arisan

PKK dan pengajian 2 responden atau 2.4 persen. Kegiatan arisan tadarus Alquran

2 responden atau 2,4 persen, bakti sosial 1 reponden atau 1,2 persen. Selanjutnya

pemilihan ketua DPC 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 reponden atau

1.2 persen, karang taruna 7 responden atau 8.4 persen, karang taruna dan arisan 2

responden 2.4 persen, karang taruna, gotong royong 14 responden atau 17 persen,

karang taruna KNPI dan HIPMI, 1 responden atau 1.2persen, organisasi

keagamaan 1 responden, pengajian 2 responden atau 2.4 persen, PNPM 3

responden atau 3.6 persen, PNPM dan air bersih 1 responden atau 1.2persen dan

terakhir yaitu Taman Pengajian Alquran 1 responden atau 1.2 persen.

Total responden yang menjawab pada item ini sebanyak 44 atau 53.0

persen dari total 83 responden. Lebih dari 50 persen responden yang menjawab

pertanyaan ini. Sementara itu jumlah organisasi sosial ekonomi dan

kemasyarakatan yang paling banyak diikuti sebanyak 15 organisasi, hal ini

merupakan bentuk keinginan masyarakat untuk mengikuti perkembangan

informasi dan juga merupakan bentuk perkumpulan yang menjadi pilihan utama

karena kemungkinan pilihan organisasi selain itu sulit dijumpai dan meskipun ada

pusat kegiatannya lebih banyak di ibu kota kabupaten atau kota di setiap daerah.

Pilihan organisasi kemasyarakatan gotong royong dan karang taruna lebih

banyak diminati masyarakat sebagai indikasi disekitar kawasan konsesi kontrak

karya masih terpelihara tradisi gotong royong dalam bahasa Gorontalo yaitu

(Mohuyula), dan juga pada jaman yang semakin maju pun tradisi seperti itu masih

dapat dijumpai dalam masyarakat terutama pemukim yang berada dikawasan yang

berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals.

Aspek sosial ekonomi yang dibahas pada item dapat dilihat Lampiran 55.

Pola jawaban yang disampaikan reponden pada item pertanyaan berikut ini

memiliki keterkaitan langsung dengan pertanyaan yang telah dideskripsikan

diatas. Nampak pada jawaban responden yaitu arisan dan tadarus Alquran 2

responden atau 2.4 persen, BPD 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1

responden atau 1.2 persen, Karang taruna ditingkat Desa 3 responden atau

3.6persen, karang taruna ditingkat Kecamatan 2 responden atau 2.4persen, karang

184

taruna arisan 1 responden atau 1.2 persen, karang taruna gotong royong 11

responden atau 13.3 persen, selanjutnya karang taruna KNPI dan HIPMI 1

responden atau 1.2 persen, PKK kerja bakti 1 responden atau 1.2 persen, PNPM 3

responden atau 3.6 persen, PNPM air bersih dan MCK 1 responden atau

1.2persen, PNPM perbaikan jalan 2 responden atau 2.4 persen dan terakhir yaitu

organisasi sosial kesehatan 1 responden atau 1.2 persen.

Meskipun bentuk pertanyaan pada item ini bukan memilih namun menulis

sendiri bagi setiap responden dalam bentuk matriks isian. Hasilnya menunjukkan

bahwa organisasi yang bergerak atau berkecimpung dibidang pertanian dan

perkebunan nyaris tidak dijumpai namun secara eksplisit bahwa kegiatan

organisasi yang paling banyak memberikan manfaat yaitu karang taruna dan

gotong royong memiliki kedekatan dengan kegiatan pertanian dalam organisasi

usahatani atau nelayan yang merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi

georafis yang terdiri dari daratan dan pantai. Hal tersebut terkesan kontradiktif,

namun boleh jadi muncul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena kurangnya

keadilan ekonomi dalam mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat

dibidang ini atau mungkin adanya pilihan yang lebih baik seperti menjadi pekerja

di PETI. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang bermanfaat dibahas pada

aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 56.

Bentuk manfaat yang diperoleh dalam organisasi sosial ekonomi dan

kemasyarakatan yaitu yang menjawb baik 1 responden atau 1.2 persen. Jawaban

bahwa organisasi bermanfaat untuk belajar mengaji dan menabung 2 responden

atau 2.4 persen. Manfaatnya desa mengalami perkembangan yaitu 2 responden

atau 2.4 persen, desa mengalami perkembangan 1 responden atau 1.2 persen dan

masih jawaban yang sama yaitu desa mengalami perkembangan 7 responden,

kemudian desa mengalami perubahan 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi

berkembang 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi lebih baik 1 responden

juga 3 responden memberikan jawaban yang sama atau 4 persen, jalan semakin

membaik 1 responden atau 1.2 persen.

Kebersihan lingkungan terpelihara 1 responden atau 1.2 persen, ketertiban

masyarakat 1 responden atau 1.2 persen, lingkungan menjadi bersih 1 responden

1.2 persen, lingkungan terjaga denga baik dan memuaskan juga mendapatka

185

pengebatan yang gratis masing-masing 1 responden atau masing-masing 1.2

persen, menjalin persaudaraan 1 responden atau 1.2 persen, menyentuh

kepentingan masyarakat 1 responden atau 1.2 persen. Selanjutnya mudah

memperoleh air bersih dan desa berkembang masing 1 responden lagi, terjalinnya

tali persaudaraan yaitu 3 responden atau 3.6persen, dan terakhir tidak perlu ke kali

karena telah tersedia MCK yaitu 1 responden atau 1.2 persen. Hal ini dapat dilihat

pada Lampiran 57 Tabel bentuk manfaat organisasi sosial ekonomi.

Bila ditelaah dari isi tabel ini cukup banyak hal-hal yang terulangi dalam

bentuk jawaban responden. Tetapi jawaban ini merupakan jawaban masing-

masing secara terpisah disampaikan disetiap angket, sehingga hasil pengujiannya

terdapat kesamaan dalam tabel. Item pertanyaan dapat dipengaruhi juga oleh

kapasitas responden memberikan jawaban, sehingga perlu pencermatan dilokasi

penelitian agar pertanyaan ini tetap akan mendapatkan jawaban.

Pada aspek ini peneliti mencermati kebutuhan dasar masyarakat sekitar

kawasan yang berhimpitan langsung denga konsesi kontrak karya seperti sarana

dan prasana dasar, terdapat 59 responden yang menjawab atau 71.1 persen terkait

dengan sarana. Secara detil dapat disampaikan yaitu yang menjawab bahwa sarana

dasar itu buruk sebanyak 6 responden atau 7.2 persen. Ada pula yang menjawab

sarana dasar itu kondisinya sedang 40 responden atau 48.2 persen. Selanjutnya

yang menjawab sarana dalam keadaan baik yaitu 13 reponden atau 16 persen dan

tidak menjawab sebanyak 24 responden atau 29 persen. Mengenai persepsi

terhadap sarana yang dibahas pada item ini dapat dilihat pada Lampiran 58.

Terkait dengan pendalaman pertanyaan yaitu persepsi terhadap sarana

perhubungan disekitar kawasan yang berhimpitan langsung dilihat pada Lampiran

51 Tabel persepsi terhadap sarana perhubungan. Lampiran menunjukkan bahwa

sarana perhubungan dalam keadaan buruk 28 responden atau 34 persen, dan

jawaban bahwa sarana perhubungan kondisinya sedang yaitu 12 responden atau

14.5persen. responden yang menjawab sarana perhubungan kondisinya baik 10

responden atau 12.0 persen, selanjutnya tidak menjawab 33 responden atau 40

persen. Bila dibanding denga responden yang menjawab masih lebih banyak yaitu

58 responden atau 60.2 persen.

186

Pada item sarana perekonomian, masyarakat lebih terbuka menyampaikan

keadaan atau kondisi sarana ini karena kegiatan masyarakat sangat tergantung

pada sarana perekonomian ini untuk melakukan transaksi. Terdapat 31 responden

yang menjawab sarana perekonomian buruk 37.3 persen dan yang menjawab

kondisi sarana perekonomian sedang yaitu 12 responden atau 14.5 persen.

Selanjutnya yang menyatakan baik yaitu 8 responden atau 10 persen hingga total

51 responden atau 61.4 persen dari total 83 responden. Terkait dengan persepsi

terhadap sarana perekonomian yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 59.

Kebutuhan dasar masyarakat lainnya seperti sarana kesehatan sangat

penting untuk didalami kondisinya. Masyarakat yang menjawab bahwa kondisi

sarana kesehatan di wilayah berhimpitan langsung dalam keadaan buruk yaitu 39

responden atau 47.0 persen, dan yang menjawab sarana kesehatan dalam kondisi

sedang yaitu 8 responden atau 10 persen. Selanjutnya yang menjawab sarana

kesehatan dalam kondisi baik yaitu 3 responden atau 4 persen. Nampak bahwa

masyarakat lebih menjawab bahwa kondisi sarana kesehatan relatif buruk

meskipun dijumpai terdapat 1 buah Rumah Sakit Umum Daerah di Tombulilato

Kecamatan Bone. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 60 Tabel Persepsi terhadap

sarana kesehatan.

Sarana dasar lain yang sangat dibutuhkan masyarakat disekitar wilayah

konsesi kontrak karya yaitu pendidikan, pada umumnya sarana pendidikan ini

relatif kondisinya kurang baik. Jawaban masyarakat terkait dengan persepsi

terhadap sarana pendidikan yaitu 47 responden menyampaikan bahwa kondisi

sarana pendidikan dalam keadaan buruk atau 57 persen. Selanjutnya jawaban

bahwa kondisi sarana pendidikan sedang hanya 2 reponden atau 2.4 persen dan

menjawab bahwa sarana kesehatan baik yaitu 3 reponden atau 4 persen dengan

total jawaban terhadap item ini yeitu 52 responden atau 63 persen dari total 83

responden. Ketiadaan sarana pendidikan yang memenuhi standar minimal masih

jarang dijumpai di wilayah ini. Terdapat beberapa fasilitas Sekolah Dasar seperti

perpustakaan masih bergabung dengan ruangan guru bahkan ada yang bergabung

dengan ruang kelas. Ketersediaan buku di perpustakaan lebih banyak dari aspek

jumlahnya bukunya bukan jumlah jenis judul bukunya. Hal ini tidak sesuai

dengan prinsip keadilan bila ditinjau dari aspek keadilan masyarakat mendapatkan

187

pelayanan pendidikan yang baik. Terkait dengan persepsi masyarakat yang

dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 61.

Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat terutama

diwilayah konsesi kontrak karya yaitu sarana penerangan listrik terutama sarana

ini dibutuhkan pada malam hari agar masyarakat tetap dapat melakukan aktivitas

sosial ekonomi dam meningkatkan perekonomian. Terdapat 25 responden yang

menjawab bahwa sarana penerangan buruk atau 30.1 persen sedangkan

jawabannya terhadapa sarana penerangan sedang yaitu 15 responden atau

18.1persen dan yang menjawab sarana penerangan baik yaitu 12 responden atau

14.5persen. Bila dibandingkan dengan tabel sebelumnya maka dikatakan sarana

penerangan relatif baik. Demikian juga untuk persepsi terhadap sarana penerangan

jalan dapat dilihat pada Lampiran 62.

Persepsi masyarakat terhadap Air bersih disekitar kawasan konsesi yang

berhimpitan langsung denga pemukiman relatif menjawab bahwa sarana air bersih

dalam keadaan buruk yaitu 38 responden atau 46 persen. Selanjutnya yang

menjawab bahwa sarana air bersih kondisinya sedang sebanyak 13 responden atau

16 persen, dan yang menjawab baik yaitu 5 responden atau 6.0 persen dengan

jumlah total responden yang menjawab yaitu 56 atau 67.5persen. Hal ini dapat

dijumpai pada beberapa daerah aliran sungai seperti Sungai Waluhu dan Sungai

Mamungaa telah mengalami perubahan warna akibat penambangan tanpa izin

dihulu sungai sehingga tidak layak lagi diproses manjadi air bersih. Mengenai

persepsi terhadap sarana air bersih yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada

Lampiran 63.

Aspek lain menarik dalam pembahasan ini yaitu terkait dengan sarana

ibadah di wilayah konsesi kontrak karya. Kecenderungan masyarakat menjawab

bahwa sarana ibadah dalam keadaan buruk yaitu 45 responden atau 54.2 persen,

dan yang menjawab bahwa sarana ibadah kondisinya sedang sebanyak 7

responden atau 8.4 persen. Jawaban bahwa sarana ibadah kondisinya baik 1

responden atau 1.2 persen dengan akumulasi persentase 85 persen. Sehingga

sarana ibadah realtif dipersepsikan buruk. Terkait dengan persepsi terhadap sarana

ibadah yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 64.

188

Persepsi masyarakat diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi

kontrak karya terhadap kondisi sarana olahraga yaitu 32 responden yang

menjawab buruk atau 39 persen, selanjutnya yang menjawab sarana olahraga

dalam kondisi sedang 11 responden atau 13.3 persen dan yang menjawab sarana

olahraga dalam kondisi baik 10 responden atau 12.0 persen dengan kumulasi

persentasi 60.4persen atau dapat dikatan bahwa data terkait dengan penelitian

pada persepsi sarana olahraga cukup valid meskipun terdapat 30 responden atau

36.1 persen yang tidak menjawab. Tabel ini terdapat pada Lampiran 65.

7.1.7 Model Tata Kelola

Salah satu aspek penting model kelembagaan adalah mengenai tatakelola.

Pada penelitian ini aspek tatakelola didekati dengan model persepsi masyarakat di

sekitar wilayah tumpang tindih. Hasil dari pendekatan ini yaitu yang menjawaban

dari responden yaitu kurang sesuai sebanyak 6 responden atau 7.2persen, dan

menjawab cukup sesuai sebanyak 43 responden atau 52persen, kemudian yang

menjawab sangat sesuai yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Dijumpai adanya

keinginan masyarakat untuk menerima pertambangan secara professional tanpa

mengabaikan pertamabngan secara tradisional. Demikian pula terkait dengan

pemukiman dimana keinginan untuk menetap dalam kawasan konsesi tersebut

meskipun pengelolaan pertambangan ini akan dilakukan secara professional.

Terkait dengan model pengelolaan sumberdaya tambang yang aktual dibahas,

dapat dilihat pada Lampiran 66

7.1.8 Biaya Transaksi (Transaction cost)

Model biaya transaksi yang didalami dalam penelitian ini diarahkan pada

kegiatan transaksi secara aktual yang dilakukan oleh penambang tanpa izin karena

kegiatan pertambangan yang telah sedang berlangsung saat ini yaitu kegiatan

(PETI). Kemudian diarahkan juga kepada biaya transaksi yang dilakukan oleh

pihak perusahaan PT Gorontalo Minerals meskipun perusahaan ini belum masuk

pada fase produksi. Hal ini dapat disampaikan bahwa pada Bab IV telah dibahas

asumsi-asumsi yang digunakan dalam biaya transaksi.

189

Dijumpai bahwa perusahaan memiliki beberapa staff yang direkrut dari

tokoh masyarakat dengan tugas utama yaitu mengkoordinasikan rencana kerja

perusahaan kepada Pemerintah di Kabupaten Bone Bolango dan memberikan

pemahaman tentang manfaat dari pertambangan terhadap masyarakat serta

kerugian yang diakibatkan oleh pertambangan. Pembahasan tentang biaya

transaksi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dua sub komponen

yaitu:

A. Biaya Transaksi oleh Penambang Tanpa Izin (PETI)

Bentuk dukungan yang diberikan oleh para pihak pada penelitian ini

berkonsekuensi pada pembiayaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai biaya

perlindungan penambang tanpa izin. Hal ini dapat disimak pada pada penelusuran

penelitian yaitu masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 1 responden

atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab tidak memberikan biaya perlindungan

24 responden atau 29 persen sedang yang menjawab memberikan biaya

perlindungan 8 responden atau 10 persen. Total yang menjawab yaitu 33

responden atau 40persen. Terkait dengan biaya perlindungan PETI yang dibahas,

dapat dilihat pada Lampiran 67.

Meskipun jawaban mengeluarkan variabel biaya perlindungan hanya 8

responden, namun sedikit berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin

terhadap bentuk dan skema biaya perlindungan, nampak pada tabel frequensi

dimana penambang tanpa izin menjawab tergantung kebutuhan 2 responden atau

2.4 persen, sedangkan penambang menjawab skema biaya perlindungan tidak

menetu 10 responden atau 12.0 persen dan terakhir yang menjawab dengan skema

bagi hasil yaitu 2 reponden atau 2.4persen. Jumlah respoden yang menjawab pada

pertanyaan ini 14 responden atau 17persen sedikit meningkat dibanding dengan

pertanyaan sebelumnya. Hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat

beberapa aparat pemerintah terutama Kepelisian dan TNI yang menjadi beking

dari para PETI ini, termasuk wakil rakyat yang berada di DPRD Kabupaten Bone

Bolango yang teridentifikasi memiliki tromol di wilayah tumpang tindih dengan

lahan kotrak karya. Adapun komponen bentuk dan skema biaya perlindungan oleh

PETI dapat dilihat pada Lampiran 68.

190

B. Biaya Transaksi oleh Pihak Perusahaan Pertambangan

Kiat untuk meningkatkan usaha ekonomi melalui bantuan penguatan usaha

telah lama digulirkan, kenyataan ini merupakan fakta terbalik dari usaha ekonomi

yang ada disekitar kawasan konsesi kontrak karya, yang menjawab tidak

mengetahui bahwa ada bantuan pengembangan usaha yaitu 19 responden atau 23

persen, dan responden yang menjawab bahwa tidak pernah menerima bantuan

sebayak 18 responden atau 22 persen, sedangkan yang menjawab pernah

menerima bantuan yaitu 3 responden atau 4 persen. Hal ini merupakan informasi

bahwa bantuan untuk meningkatkan usaha tersebut belum sampai kepada

pengusaha kecil diwilayah ini, meskipun secara georafis daerah ini hanya memilki

satu ruas jalan dan merupakan jalan Trans Sulawesi lewat Pantai Selatan,

demikian pula diwilayah Kecamatan Suwawa Timur hanya terdapat satu ruas

jalan utama yang dapat mengakses kewilayah tersebut sehingga informasi terkait

dengan bantuan tersebut relatif mudah diperoleh. Dijumpai dimasyarakat bahwa

bantuan tersebut biasanya ada ketika mendekati Pemilihan Legislatif dan

Pemilihan Kepala Daerah. Terkait dengan penerimaan bantuan yang dibahas,

dapat dilihat pada Lampiran 69.

Meskipun pada tabel sebelumnya hanya terdapat 3 responden yang

menerima bantuan namun setelah ditelusuri terdapat dua lembaga pemberi

bantuan diwilayah ini yaitu 18 responden yang menjawab Lembaga Donor atau

22persen. Lembaga pemberi bantuan dari swasta dalam bentuk tanggung sosial

perusahaan (CSR) yaitu 1 responden. Dengan demikian bahwa pemberian bantuan

diwilah konsesi ini relatif ada meskipun dari total reponden yang menjawab hanya

19 atau 23 persen. Dijumpai dilokasi penelitian terutama sepanjang Jalan Trans

Sulawesi bagian selatan banyak usaha kecil yang berkembang, seperti pertokoan

atau kios barang campuran (kebutuhan sehari-hari) dan toko bahan bangunan dan

juga terdapat beberapa rumah makan diwilayah konsesi tersebut. Hal ini dapat

dilihat pada Lampiran 70 .

Terkait dengan bantuan yang diberikan mencoba mendalami apakah

responden tersebut merasa terbantu. Dari data yang ada, responden yang merasa

terbantu hanya 5 atau 6.0 persen sedangkan yang merasa tidak mengetahui yaitu

33 responden atau 40 persen. Selanjutnya yang merasa tidak terbantu yaitu 1

191

responden atau 1.2 persen. Nampak bahwa konsistensi responden memberikan

jawan relatif tidak ada, terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

mengindikasikan bahwa terdapat jawaban-jawaban sebenarnya namun tidak

dikatakan oleh reponden.

Dijumpai kebiasaan ini mulai ada sejak adanya otonomi daerah dimana

salah satu pilar yang dilakukan yaitu pemilihan langsung baik eksekutif maupun

legislative, karena prinsip mereka yang penting ada bantuan dan pilihan pada

siapa itulah hak masyarakat. Indikasi lain yang ditemui yaitu adanya kejenuhan

masyarakat terkait dengan pertanyaan menyangkut bantuan peningkatan usaha,

karena lebih banyak hanya sekedar pengambilan data saja namun realisasi bantuan

nyaris tidak ada. Terdapat bantuan dalam bentuk natura yang disampaikan

pemerintah seperti bantuan sapi dan kambing disaat pemilihan Bupati pada tahun

2009 yang lalu. Setelah pemilihan terdapat isu bahwa bantuan akan ditarik lagi

karena Bupati yang terpilih bukan calon Bupati yang memberikan bantuan sapi

dan kambing tersebut. Sehingga itu motif politik dalam barbagai bantuan di

wilayah ini masih cukup tinggi. Terkait dengan pembahasan responden merasa

terbantu pada aspek ini dapat dilihat di Lampiran 71.

Secara umum pengaruh bantuan peningkatan usaha selalu menjadi

pertanyaan disetiap program bantuan yang dimaksud. Terdapat 29 responden yang

menjawab tidak tahu atau 35 persen, merasa usahanya tidak mengalami

peningkatan yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang meresa terjadi

peningkatan usaha karena adanya bantuan yaitu 6 responden atau 7.2 persen.

Dijumpai pula bahwa sebagian bantuan yang diberikan seperti sarana produksi

pertanian (saprodi) berupa bibit jagung, pupuk atau alat pertanian lainnya itu tidak

tepat waktu musim tanam sehingga bantuan ini tidak efektif bahkan beberapa

usaha penyalur bantuan merasa rugi dan lebih tidak baik lagi bantuan saprodI ini

sering diperjual belikan oleh petani penerima bantuan. Mengenai peningkatan

usaha yang dibahas pada item ini, dapat dilihat di lampiran 72.

192

7.2 Analisis Regresi Model Logistik Persepsi dan Kelembagaan

Untuk melihat lebih jernih mengenai aspek kelembagaan pada pendekatan

yuridis, maka dilakukan analisis Logistik yang merupakan proksi dari hasil

penelitian yang diawali dengan aspek profil rumah tangga responden kaitannya

terhadap partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang. Kemudian tingkat

partisipasi pada model advokasi, partisipasi pada persepsi responden terhadap

sarana dan prasarana, serta partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang pada

penambang tanpa izin (PETI). Hasil analisis ini dapat menjadi informasi bagi para

pihak untuk memilah dan memilih aspek-aspek manakah yang menjadi prioritas

dalam membangun dukungan masyarakat terutama terkait dengan konflik

kelembagaan dan konflik pemanfaatan. Analisis ini akan sangat membantu

melihat manakah variabel-variabel yang memiliki pengaruh kevariabel lain secara

positif (signifikan) dan manakah variabel-variabel yang tidak segnifikan namun

tetap memiliki hubungan atau pengaruh terhadap variabel-variabel yang diteliti.

Adapun aspek-aspek yang dianalisis dengan menggunakan model ini

antara lain:

7.2.1 Regresi Partisipasi Versus Jenis Kelamin dan Umur dan Pekerjaan

Terdapat 4 variabel yang akan di interpretasi pada uji logistik terhadap

aspek demografi responden yang telah di paparkan pada halaman sebelumnya dan

juga hasil uji statistik uji G serta hipotesis akan di deskripsikan sebagai berikut:

Statistik uji G, hasil analisis Logistik diperoleh model P Value 0.001 dengan

nilai Log-Likelihood = -51.292 yang mengindikasikan model Fit, dan test that all

slopes are zero: G = 22.457, DF = 6, P-Value = 0.001. secara umum hipotesis

yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model

Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ).

Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah

Jenis Kelamin, nilai-p) (0.008) < alpha 10 persen maka Jenis Kelamin

berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 11.81 artinya pria

untuk berpartisipasi 11.81 kalinya dibandingkan wanita untuk berpartisipasi,

dengan kata lain kecenderungan pria lebih berperan dibandingkan wanita.

Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah umur,

nilai-p) (0.038) < alpha 10 persen maka umur berpengaruh nyata terhadap

193

partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.90 artinya setiap kenaikan 1 tahun umur

maka peluang untuk berpartisipasi adalah 0.9 kalinya dibanding tidak

berpartisipasi. kecenderungan orang lebih muda lebih berpartisipasi diabndingkan

dengan orang yang lebih tua.

Demikian juga pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap

partisipasi adalah pendidikan SMA, nilai-p) (0.079) < alpha 10 persen maka

pendidikan sma berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar

2.56 peluang orang yang pendidikan SMA untuk berpartisipasi adalah 2.56

kalinya dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya SMP.

Komponen variabel X lain yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi

adalah pendidikan PT, nilai-p) (0.015) < alpha 10 persen maka pendidikan PT

berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 15.19 peluang

orang yang pendidikan PT untuk berpartisipasi adalah 15.19 kalinya

dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya smp. Kesimpulan semakin

tinggi pendidikan maka peluang untuk berpartisipasi semakin besar.

7.2.2 Regresi Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan sumberdaya

Tambang

Pada aspek model advokasi pemanfaatan sumberdaya tambang

pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat nampaknya hanya 1 variabel yang

memiliki hubungan, hal ini dipengaruhi antara lain dijumpai dilokasi penelitian

program atau usaha para pihak untuk memberikan penyuluhan terhadap

masyarakat terutama yang bermukim diwilahan yang berhimpitan langsung

dengan dengan konsesi kontrak karya belum memperoleh penyuluhan atau

advokasi secara khusus yang dikaitkan dengan konflik pemanfatan lahan.

Statistik uji G, hasil analisis diperoleh nilai P value 0.000

mengindikasikan model fit dengan Log-Likelihood = -37.511 dan Test that all

slopes are zero: G = 50.019, DF = 10, P-Value = 0.000. untuk Hipotesis yaitu H0 :

Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit (

minimal ada satu variabel X yang signifikan ).

Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah

mengikuti, nilai-p) (0.035) < alpha 10persen maka mengikuti berpengaruh nyata

194

terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 12.78 artinya seseorang yang

mengikuti penyuluhan peluang untuk berpartisipasi adalah 12.78 kalinya

dibandingkan dengan yang tidak mengikuti penyuluhan. Kecenderungan orang

yang mengikuti penyuluhan lebih berpartisipasi dibandingkan dengan yang tidak

mengikuti penyuluhan.

7.2.3 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Persepsi Responden

Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan

Sumberdaya Tambang

Uji Statistik logistik pada persepsi responden terhadap kesiapan sarana dan

prasarana hubungannya terhadap partisipasi yaitu terdapat 4 variabel yang

memiliki hubungan signifikan terhapa partisipasi antara lain variabel infrastruktur

jalan, variabel prasarana perhubungan, variabel sarana perekonomian seprti pasar,

Pelelangan ikan dan juga variabel sarana olahraga. Deskripsi dari masing-masing

variabel yaitu:

Statistik uji G, hasil analisis diperoleh Nilai-p (0.013) < alpha 10 persen

tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -52.022 dan Test that all

slopes are zero: G = 20.998, DF = 9, P-Value = 0.013. Untuk Hipotesis yaitu H0 :

Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) H1 : Model Fit ( minimal

ada satu variabel X yang signifikan ).

Komponen variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah

infrastruktur jalan, nilai-p)(0.027)<alpha 10persen maka persepsi infrastruktur

jalan berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 5.2 artinya

setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang berpartisipasi adalah 5.2 kalinya

dibandingkan tidak berpartisipasi. Kemudian diikuti oleh variabel X yang

berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah sarana perhubungan, nilai-

p)(0.003)<alpha 10 persen maka persepsi perhubungan jalan berpengaruh nyata

terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 4.71 artinya setiap kenaikan persepsi

kebaikan maka peluang perhubungan adalah 4.71 kalinya dibandingkan tidak

berpartisipasi.

Aspek lain dalam variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi

adalah sarana perekonomian , nilai-p) (0.060) < alpha 10 persen maka persepsi

perekonomian berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar

195

0.29 artinya setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang perekonomian

adalah 0.29 kalinya dibandingkan tidak berpartisipasi.

Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah

sarana olah raga, nilai-p) (0.066) < alpha 10persen maka persepsi olah raga

berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 3.02 artinya

setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang olah raga adalah 3.02 kalinya

dibandingkan tidak berpartisipasi.

7.2.4. Binary Logistic Regression Partisipasi versus Pertambangan Tanpa

Izin

Pada uji statistik logistik dengan masyarakat penambang tanpa izin

hubungan terdapa partisipasi terdapat 1 varibel yang memiliki hubungan

signifikan yaitu variabel kepemilikan terhadap pertambangan tanpa izin. Deskripsi

dari variabel tersebut sebagai berikut:

Statistik uji G adalah analisis diperoleh bahwa Nilai-p(0.006) < alpha

10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -46.451 dan Test

that all slopes are zero: G = 32.139, DF = 15, P-Value = 0.006. Untuk Hipotesis

yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model

Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ).

Komponen pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi

adalah posisi (pemilik PETI), nilai-p) (0.062) < alpha 10persen maka posisi

berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.062 artinya

kecenderungan yang bukan pemilik untuk berpartisipasi lebih tinggi dibandingkan

yang pemilik.

7.2.5 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang

Efektif dalam Penyelesaian Konflik

Pada aspek kelembagaan yang efektif dalam penyelesaian konflik

hubungannya dengan partisipasi responden pada penelitian ini, terdapat 1 variabel

berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Variabel tersebut dapat dibaca setelah

statistik uji G dibawah ini.

196

Statistik uji G yaitu hasil analisis diperoleh bahwa Nilai-p (0.010) < alpha

10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -55.917 dan Test

that all slopes are zero: G = 13.208, DF = 4, P-Value = 0.010. Untuk Hipotesis

yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model

Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Dari semua variabel X yang

berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah aktivitas sosial ekonomi, nilai-p)

(0.056) < alpha 10 persen maka aktivitas sosial ekonomi berpengaruh nyata

terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.40 artinya aktivitas ekonomi untuk

berpartisipasi 0.4 kalinya dibandingkan aktivitas sosial untuk berpartisipasi,

dengan kata lain kecenderungan orang yang beraktivitas sosial lebih berperan

dibandingkan yang beraktivitas ekonomi.

Apabila hasil uji logistik diatas di telaah dengan jumlah responden yang

telah diwawancarai dikaitkan dengan variabel yang cukup banyak untuk

diwawancarai maka potret output dari olehan data ini dengan jumlah responden

cukup memadai cukup mempengaruhi alat uji yang kita gunakan. Uji statistik

logistic yang dapat diinput dalam model ini memiliki keterbatasan kapasitas input

juga. Hal ini hanya dapat dilakukan, apabila jumlah responden yang menjadi

sampel ini cukup banyak .

Namun di sisi lain faktor geografis sampel lokasi menjadi penentu untuk

dapat memperoleh jumlah responden, dimana lokasi pengambilan sampel ini

berada di pegunungan dan jauh dari jankauan sarana jalan, dan juga karakter

penambang tanpa izin yang sulit untuk diwawancarai dapat menjadi faktor

penentu dalam pengambilan data ini. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut yang

diluar dari logika yang telah terbangun namun memilki hubungan yang signifikan

juga. Perspektif ruang dan kepemilikan serta penguasaan lahan yang diarahkan

pada konflik hukum telah mengawali penelitian ini dan dilanjutkan pada

perspektif ekonomi yang berbasis sumberdaya dan lingkungan sebagi rona awal

dari aspek pembangunan wilayah, nampak belum memberikan suatu makna dari

adanya ketidak pastian yang telah berjalan selama 40 tahun di wilayah ini. Oleh

karena itu model kelembagaan yang menjadi terobosan hukum namun tidak

menghilangkan makna sosial ekonomi jangka panjang menjadi salah satu resolusi

konflik pada penelitian ini. Model kelembagaan ini terilhami oleh pernyataan

197

seorang penggagas wilayah ini menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

yaitu:

“Silahkan diambil emas, tembaga, dan perak di wilayah ini karena barang ini di

ciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia bukan untuk tumbuhan, monyet, dan

burung yang ada di dalamnya, akan tetapi jangan diusir mereka dari wilayah ini”

(Muh. Suryani 2009).

Pernyataan ini mengandung makna bahwa perlu adanya resolusi yang

berbanding lurus antara kepentingan ekonomi jangka panjang dan lingkungan

yang seimbang dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran

universal. Selanjutnya untuk mengartikulasi pernyataan diatas, penelitian

mengadopsi dua mashab kelembagaan ekonomi yang baru (Hand Book New

Institutional Economics) dalam (Minerd and Shirley 2005) yang dipadukan

dengan data primer di lokasi penelitian terkait dengan pengembangan model

kelembagaan yaitu:

7.3 Analisis Yuridis dalam Pendekatan Institutional Arrangement

Mekanisme kelembagaan pada penelitian ini diarahkan pada prinsip-

prinsip keterpaduan antara aspek hukum perundang-undangan yang terkait dengan

kelembagaan pertambangan dan memiliki keterkaitan erat dengan kondisi riil

lokasi penelitian. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:

7.3.1 Prinsip Human Capital

Dalam konteks institutional arrangement, salah satu komponen penting

untuk dipahami adalah prinsip hukum Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang

Minerba. Prinsip human capital terdapat pada pasal 20 sampai dengan pasal 26

yang berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pada

pasal 67 ayat (1) menjelaskan tentang kewenangan Bupati/Walikota memberikan

IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok

masyarakat dan/atau koperasi. Selanjutnya pasal 106 menegaskan bahwa

pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja

setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan dan peraturan

perundang-undangan.

198

7.3.2 Prinsip Kemitraan

Prinsip kemitraan secara eksplisit terdapat pada pasal 107 Undang-Undang

Minerba yang menekankan agar dalam kegiatan operasi produksi, badan usaha

pemegang IUP dan IUPK dan kontrak karya wajib mengikutsertakan pengusaha

lokal yang ada di daerah tersebut, sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-

undangan. Prinsip ini bermakna bahwa untuk mencegah kecumburuan sosial

terutama di wilayah sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone

Bolango perlu melibatkan pengusaha lokal dan koperasi atau membentuk badan

kerja bersama dengan melibatkan seluruh pihak yang memiliki pandangan (visi)

yang sama agar kerjasama tersebut akan lebih efektif dan dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai denga ketentuan yang berlaku.

Hal ini akan memberikan dorongan atau stimulus kepada pengusaha lokal untuk

meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka melalui pelatihan di bidang

usaha jasa pertambangan dan juga akan membuat biaya produksi perusahaan

pertambangan lebih efisien.

7.3.3 Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Prinsip ini dianggap sebuah keharusan dan diibaratkan seperti dua sisi

mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana GCG lebih mengarah pada

shareholders driven concept sedangkan prinsip model kelembagaan pemanfaatan

sumberdaya tambang kaitannya terhadap pembangunan wilayah lebih pada

stakeholders driven concept. Pada aspek ekonomi telah diatur dalam pasal 65 ayat

(1) Undang Undang Minerba yang menegaskan bahwa “badan usaha, Koperasi,

dan perseorangan seperti yang telah dijelaskan pada pasal 51, pasal 54, pasal 57,

dan pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi usaha

pertambangan, aspek administrasi, persayaratn teknis, persayaratan lingkungan,

dan persyaratan finansial.

7.3.4 Prinsip Pengembangan Komunitas

Makna penyusunan program pengembangan dan pemberdayaan

masyarakat harus secara konsisten dan berkelanjutan mulai dari aspek

perencanaan, rencana aksi, yang melibatkan para pihak bertujuan untuk

199

meminimalisir resistensi dengan masyarakat termasuk LSM agar ketimpangan

wilayah sekitar yang selalu terjadi pada pemanfaatan sumberdaya tambang dapat

diminimalisir.

Meskipun telah dijelaskan pada pasal 108 jo pasal 39 ayat (1) huruf j dan

ayat (2) huruf n, pasal 78 huruf j dan pasal 79 huruf m Undang Undang Minerba

namun orientasinya lebih pada pengembangan masyarakat community

development . Pandangan ini cukup sempit bila dibandingkan dengan aspek

human capital dalam pandangan stakeholders driven concept. Pada pasal 95 huruf

d yang berkaitan dengan pemegang IUP dan IUPK serta kontrak karya untuk

melaksanakan pengembangan masyarakat setempat. Sedangkan pada pasal 106

Undang-undang minerba menegaskan pada para pemegang IUP dan IUPK harus

mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri.

7.3.5 Prinsip Pendidikan

Prinsip ini termuat pada pasal 39 ayat (2) huruf r berkaitan dengan

keselamatan dan kesehatan kerja dan huruf v berkaitan dengan pengembangan

tenaga kerja Indonesia. Pada pasal 79 huruf q berkaitan dengan keselamatan dan

kesehatan kerja dan huruf u berkaitan dengan pengembangan tenaga kerja

Indonesia. Meskipun penekanan prinsip ini masih bersifat umum namun dapat

digarisbawahi bahwa peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal menjadi bagian dari

tanggung jawab perusahaan pemegang IUP, IUPK dan KK. Manfaat bagi

pemegang usaha kegiatan pertambangan dapat mengurangi biaya tidak tetap

terhadap pemanfaatan tenaga kerja asing yang harus disediakan akomodasi dan

transportasi lokalnya oleh pihak perusahaan.

7.3.6 Prinsip Keterbukaan Informasi

Makna dari prinsip ini lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas

pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Pasal 64

berkaitan dengan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai

dengan kewenangannya mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan

yang dilaksanakan oleh pemerintah di WIUP kepada masyarakat secara terbuka.

200

Demikian pula pada pasal 139 berkaitan dengan kewajiban Menteri ESDM untuk

melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan antara lain:

a) Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha

pertambangan. b) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi. c) Pendidikan

dan pelatihan; dan d) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemberitahuan,

dan evaluasi penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan

batubara.

Hasil pengamatan dilapangan bahwa prinsip keterbukaan informasi masih

cukup terbatas untuk dapat diakses oleh masyarakat, terutama berkaitan dengan

rencana anggaran dan produksi perusahaan pertambangan di suatu wilayah.

Meskipun hal ini erat kaitannya dengan etika perolehan informasi namun

komponen ini penting bagi masyarakat sebagai penerima manfaat dari usaha

pertambangan. Oleh karena itu perlu adanya kelembagaan yang dapat

menjembatani dua kepentingan tersebut.

7.3.7 Prinsip Pencegahan Perusakan lingkungan

Pada dasarnya pencegahan bermakna penanganan secara dini, oleh Karena

itu pemegang IUP , IUPK dan KK wajib memenuhi ketentuan AMDAL dan/atau

UKL/UPL sebagaimana yang telah diatur pada pasal 37 dan pasal 38 Undang-

Undang Minerba sehingga pencegahan dan perusakan lingkungan dapat diatasi

secara dini. Demikian pula pasal 99 Undang Undang Minerba telah menegaskan

bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan

rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP operasi produksi

dan IUPK operasi produksi.

Pada pasal 100 Undang Undang Minerba ayat (1) telah ditegaskan juga

bahwa Pemegang IUP dan IUP wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan

dan jaminan pasca tambang. Pada ayat (2) Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati

sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan

reklamasi dan pascatambang dengan dan jaminan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1). Kemudian pada ayat (3) menegaskan bahwa ketentuan sebagaimana pada

ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan

reklamasi dan pasca tambang sesuai denga rencana yang telah disetujui.

201

Pasal 145 ayat (1) Undang Undang Minerba lebih tegas lagi tentang

masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha

pertambangan yaitu a) memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam

pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang

undangan; b) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat

pegusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bila disimak bahwa

pencegahan secara dini maupun penyelesaian kerusakan lingkungan akibat dari

kegiatan usaha pertambangan pada pasal ini telah cukup maju namun lebih

dituntut konsistensi dari semua pihak. Perlindungan hak-hak masyarakat yang

terkena dampak negatif langsung telah tertuang dalam pasal 145 Undang Undang

Minerba. Adanya jaminan ini dapat lebih bermakna apabila semua pihak

manyadari akan pentingnya suatu kelembagaan bersama institutional multi

stakeholders yang menjadi wadah bersama masyarakat untuk menyusun program,

menerapkan program, mengevaluasi program dan mempertanggung jawabkan

program serta wujud kegiatannya kepada masyarakat secara profesional.

7.4 Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya

Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten Bone

Bolango

Adapun sintesa yang telah diformulasi berdasarkan hasil analisis fakta dan

telah diperkaya dengan pendekatan institutional arrangement dan institutional

governance untuk mendukung kerangka resolusi dalam kasus yang diangkat

dalam penelitian ini yaitu:

7.4.1. Kerangka Resolusi

Adanya ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah

konflik konsesi pertambangan PT Gorontalo Minerals telah ada sejak awal

terbentuknya kawasan konservasi, sejak statusnya sebagai Hutan Suaka

Margasatwa pada tahun 1971 sampai berstatus Taman Nasional pada tahun

1991 sampai Kawasan TNBNW, dan berlanjut terus sampai saat ini.

Berlangsungnya konflik yang telah berjalan selama 40 tahun, tanpa ada

pemecahan yang tuntas, mengakibatkan secara defacto wilayah konflik tidak

memiliki kejelasan tentang hak tenurial (tenurial right) atas kawasan dan

sumberdaya tambang yang terkandung di dalamnya. Keadaan ini

202

menimbulkan kesan bahwa status kawasan berikut sumberdaya tambangnya

berpeluang menjadi open access tanpa kontrol yang signifikan dari

pemerintah yang berkewenangan dalam mengatur sumberdaya publik. Hal

ini dimaknai sebagai kondisi ”kekosongan kelembagaan formal”.

Kegagalan memerintah (failur governace) terhadap berlangsungnya situasi

di atas akan menjadikan semakin besarnya peluang konflik yang berakibat

pada tren negatif dalam dampak lingkungan, jika tidak segera dilakukan

pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan yang terencana dan terkendali.

Hasil analisis fakta pada aspek sosial budaya menunjukkan adanya interaksi

sosial antarpihak dalam masyarakat yang cenderung bersifat kompetisi. Para

pihak merasa mempunyai dasar klaim pemanfaatan sebagai implikasi dari

kekosongan kelembagaan yang antara lain berlandaskan pada legitimasi

politik lokal, struktural birokrasi, pemerintah daerah, pemerintah,

cukong/permodalan lokal, dan PT Gorontalo Minerals serta Taman Nasional

sendiri. Kompleksitas situasi inilah yang membuat sulitnya mencapai solusi

tuntas apabila hanya mendasarkan pada pendekatan generik berupa

penegakan hukum (law enforcement) semata tanpa mengimbagi dengan

pendekatan soial ekonomi.

Konflik kelembagaan antar pihak terjadi secara horizontal antar para pelaku

di tingkat lapangan, dan juga secara vertikal dalam struktur birokrasi

kepemerintahan (daerah – pusat).

Konflik pada tataran regulasi juga terjadi, yang dipicu oleh distribusi

ekonomi dan kewenangan pengambilan keputusan yang lebih

mengedepankan distrubusi bagihasil yang merata dengan tidak diimbangi

oleh distribusi resiko dan konsekuensi yang ditanggung oleh daerah

penghasil.

Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi hal yang penting untuk

mengembangkan upaya bersama untuk resolusi konflik yang mampu

mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan model Dewan Tambang dengan azas keadilan

dan keseimbangan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, dan

203

dilengkapi dengan struktur eksekutif yang digunakan adalah lembaga multi

pihak di Kabupaten Bone Bolango.

7.4.2 Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan Tambang serta

Lembaga Multi pihak di Kabupaten Bone Bolango

Tujuan dari formulasi struktur kelembagaan dewan tambang dan lembaga

multi pihak antara lain yaitu:

Formulasi kelembagaan yang didukung oleh legalitas (keabsahan formal)

dan legitimasi (pengakuan para pihak) diharapkan akan menghadirkan

kelembagaan yang akan memberikan kejelasan tentang pemain, pembagian

peran dan aturan main, serta penataan hak atas manfaat kawasan dan

sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

Konflik kepentingan pada dasarnya berada pada tataran regulasi juga, oleh

karena itu dalam membangun resolusi konflik perlu memperkaya pandangan

kelembangaan melalui spektrum lebih luas. Artinya batasan regulasi dan

kewenangan yang menjadi bagian dari sumber konflik dalam tataran hukum

harus bersenyawa dengan fakta hukum dilokasi penelitian ini. Kemudian

multi pihak yang dimaksud diharap lebih mengedepankan

komunikasi/dialog dalam membangun keputusan.

Adapun resiko dan konsekuensi atas model kelembagaan ini, baik dalam

aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, menjadi dasar dalam

pengembangan resolusi konflik yang bersifat win-win solusion. Artinya,

multi pihak akan memahami bahwa dibalik manfaat yang menjadi hasrat dal

model kelembagaan ini, tersimpan potensi resiko yang harus dihadapi dalam

proses pencapaian tujuan.

Apabila diperoleh solusi bersama berupa diperolehnya model kelembagaan

tambang di Kabupaten Bone Bolango, maka permasalahan tidak berhenti

disitu. Solusi harus menjawab persoalan bagaimana terbangunnya suatu

koordinasi dan pengelolaan kelembagaan tambang yang baik. Hal ini

sebagai bentuk respon balik yang kontruktif dan positif terhadap persoalan

distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat, pemerintah daerah,

pemerintah, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan secara matang,

khususnya dalam rasionalitasnya sebagai penerima resiko. Keberadaan PETI

204

yang eksis di wilayah konsesi kontrak karya juga merupakan komponen

yang perlu disertakan dan dirumuskan transformasi legalitas model

kelembagaan tambang dalam sistem pengelolaan yang akan dikembangkan.

7.4.3. Struktur Kelembagaan Dewan Tambang.

A. Pendekatan Konsideran

Adapun pedoman yuridis dalam penyelenggaraan Model Kelembagaan

Sumberdaya tambang ini yaitu:

1. Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

pasal 2 ayat (1) huruf e yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan

kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat

dimana kepemilikan saham dalam PT Gorontalo Minerals di kuasai oleh

perusahaan BUMN yaitu PT Aneka Tambang sebanyak 20 persen.

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 10

ayat (1), (3) dan (4) berkaitan denga ketenagakerjaan, Pasal 17 berkaitan

dengan kewajiban mengalokasikan dana untuk pemulihan lingkungan.

3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Pasal 74

ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang pengaturan tanggung jawab sosial dan

lingkungan.

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yaitu

Bab XX tentang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan

pelatihan Pasal 146 dan pasal 148 yaitu pemerintah harus mendorong

penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan pertambangan.

5. Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal

menegaskan bahwa dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara

harus mengacu pada empat asas yaitu:

a. Manfaat, keadilan dan keseimbangan;

b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;

c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas

d. Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

205

B. Pendekatan Prinsip Kelembagaan dewan Tambang

Dewan Tambang adalah model kelembagaan yang dibentuk berdasarkan

kesepakatan para pihak dengan 3 prinsip utama yaitu:

1. Prinsip Ekonomi.

Artinya Dewan tambang ini dibentuk untuk meningkatkan kapasitas

ekonomi masyarakat di sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang melalui

program pemberdayaan ekonomi masyarakat agar kelak ketimpangan

wilayah pemanfaatan dan wilayah sekitarnya dapat terhindarkan.

2. Prinsip Sosiologi dan Antropologi.

Bahwa dewan tambang dibentuk untuk menjaga dan memelihara aktivitas

sosial budaya masyarakat sebagai perekat hubungan antar masyarakat yang

memiliki suku, kepercayaan dan agama yang sama dan hubungan antar

masyarakat yang berbeda agar kelak isu-isu konflik dapat diselesaikan

dengan pendekatan kultur yang ada disekitar kawasan. Dikawasan ini

terdapat Enclove Pinogu lokasinya berada di Zona inti kawasan Taman

Nasional Bogani Nani wartabone yang di tempati oleh masyarakat asli

gorontalo sekitar 1000 KK dimana dilokasi ini terdapat situs-situs

peninggalan sejarah keberadaan masyarakat Gorontalo (Eksistensi) yang

perlu dipelihara dan diarahkan secara terpadu agar enclove tersebut tidak

akan meluas kewilayah Zona inti Taman Nasional.

3. Prinsip Ekologi.

Dewan tambang dibentuk untuk menjamin pemeliharaan lingkungan sekitar

kawasan karena status wilayah ini adalah Hutan produksi terbatas HPT (Ex

Taman Nasional) yang berhimpitan langsung dengan Taman Nasional

Bogani nani warta Bone melalui program nyata dan terpadu serta

melibatkan seluruh para pihak agar adanya pemanfaatan sumberdaya

tambang yang diharapkan akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan

ekonomi disekitar kawasan namun tidak mengabaikan faktor ekologi atau

lingkungan.

206

Perusahaan

Pertambangan

Pemerintah pusat

dan daerah

Partial

RightLembaga

Multi Pihak

Masyarakat

Penambang

Tradisional

Masyarakat (Pemukiman

di Sekitar Kawasan

Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan

(CSR)

Transfer

Payment

Dewan Tambang

Dana Tambang

C. Pendekatan Tugas dan Fungsi Dewan Tambang

Berdasarkan intisari dari hasil analisis yang diperoleh maka struktur

kelembagaan diusulkan konteks ini seperti terlihat pada Gambar 39 berikut.

Gambar 39. Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di

Kabupaten Bone Bolango Legenda:

: Player

: Right Structure and Manajemen

: Rent flow / Rent Capture

: Garis Koordinasi

Adapun tugas pokok yaitu penyelenggara rencana kegiatan kerja

framework didalamnya terdapat model lembaga yang disebut Institutional Multi

pihak adalah model kelembagaan penerima manfaat atas sumberdaya tambang

secara konsisten dan konsekuen serta penuh tanggung jawab serta memiliki

dedikasi dan loyalitas terhadap lembaga penerima manfaat. Adapun fungsi

lembaga yaitu melakukan transformasi organisasi kelembagaan secara bertahap

dan konsisten serta menyerap aspirasi para pihak secara konstruktif dengan tetap

memperhatikan aspek yuridis.

207

Secara eksplisit seluruh arahan yuridis yang telah dideskripsikan diatas

memberikan signal yang kuat terhadap pembentukan dan penyelenggaraan

manfaat pertambangan secara melembaga agar efisiensi dan efektifitas

penerimaan manfaat dapat dikelola selanjutnya dalam penelitian ini disebut

Institutional multi Pihak. Adapun mekanisme tugas dan funsi Dewan Tambang

kepada Lembaga Multi Pihak yaitu:

1. Dewan Tambang dengan lembaga Multi Pihak sebagai pelaksana teknis

adalah lembaga yang bersifat formal berbadan hukum yang dibentuk

berdasarka statuta yang didaftarkan pada Akta Notaris dan sebagai

pengejawantahan dari isu-isu buruk tentang pertambangan terutama

kaitannya terhadap ketimpangan wilayah dan kerusakan lingkungan yang

terjadi di beberapa wilayah Indonesia.

2. Dewan Tambang adalah yayasan yang terdiri dari orang-orang yang dipilih

langsung oleh masyarakat yang merupakan perwakilan pemerintah, tokoh

masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan perwakilan perusahaan

Pertambangan berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa kepada

Allah SWT, memiliki kecakapan, dengan masa tugas kerja selama 5 tahun.

3. Dewan Tambang memiliki lembaga teknis yang selanjutnya disebut

Lembaga Multi Pihak berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa

kepada Allah SWT, memiliki kecakapan yang dipilih langsung oleh

masyarakat berdasarkan kriteria dan aturan serta mekanisme yang telah

disusun sebelumnya.

4. Lembaga Multi pihak akan bekerja selama 1 Tahun dan akan menerima

tunjangan kerja lembaga sesuai dengan kesapakatan dan kemampuan

anggaran serta akan dievaluasi kinerjanya kenudian akan dipilih kembali

oleh dewan penganggaran mineral.

5. Membentuk forum penyusun program dan jabaran pembiayaan dan

mengkoordinasikan program kerja tahunan kepada para pihak untuk

mendapatkan kesepakatan untuk selanjutnya disampaikan kepada Dewan

Penganggaran Mineral untuk disetujui dan diajukan kepada PT Gorontalo

Minerals untuk manjadi bagian dari program kerja Pengembangan

208

komunitas (Comdev) dan Tanggung Jawab sosial Perusahaan (CSR)

kemudian diserahkan kembali kepada Dewan Penganggaran Minerals.

6. Dewan Penganggaran Minerals melakuan rapat dengan pihak perwakilan

perusahaan untuk menyepakati waktu pembahasan dan realisasi anggaran

berdasarkan item-item program kerja serta model monitoring bersama

terhadap implementasi program kerja.

7. Lembaga Multi Pihak akan menerima paket kesepakatan nomor (6) dan

akan disampaikan kepada publik secara terbuka melalui media masa lokal

untuk selanjutnya memberikan waktu selama 1 minggu kepada untuk

memberikan tanggapan ataupun koreksi secara konstruktif terhitung sejak

dokumen kesepakatan tersebut disampaikan ke publik. Apabila tanggapan

ataupun kritikan tersebut melewati batas waktu disampaikan maka dianggap

kadaluarsa.

D. Pendekatan Satuan Kerja Dewan Tambang

Berdasarkan tiga prinsip utama yang menjadi visi dalam model

kelembagaan ini, maka Lembaga Multi Pihak yang menjadi badan eksekutif dari

Dewan Tambang akan memiliki tiga divisi. Adapun yang dimaksud adalah:

1. Divisi Ekonomi

Tugas koorganisasian dari divisi ini yaitu menjalankan program

kelembagaan dibidang ekonomi seperti pelatihan kewirausahaan dan

pengembangan usaha kecil menengah serta menjadi mediator terhadap

pengelolaan jasa usaha pertambangan kepada pengusaha lokal sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

2. Divisi Sosial Budaya

Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu memfasilitasi dan

mendorong penyusunan Peraturan Daerah tentang Desa Adat Pinogu dan

menggairahkan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan budaya serta

merevitalisasi keberadaan situs-situs peninggalan kerajaan Gorontalo yang

berada di Enclove Pinogu serta meningkatkan pemahaman masyarakat

terhadap pemeliharaan linbgkungan dengan pendekatan lokal jenius juga

209

dukungan program peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan,

ibadah dan olahraga.

3. Divisi Lingkungan

Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu mendorong dan

memfasilitasi penyusunan peraturan daerah tentang Jasa Lingkungan dan

meningkatkan motivasi masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon

dengan memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang berhasil

melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon terutama di wilayah

Enclove Pinogi dan wilayah sekitar Taman nasional Bogani nani

Wartabone.