· web viewhasil penghitungan indeks tunggal disajikan secara lengkap dalam lampiran, dan...
TRANSCRIPT
Bagian ini menyajikan hasil perhitungan indeks tunggal dari masing-masing indikator yang digunakan untuk menyusun indeks komposit kualitas hidup anak, perlindungan khusus untuk anak, dan kemiskinan anak. Indeks tunggal diklasifikasikan menurut provinsi dan daerah tempat tinggal (kota-desa). Selain itu, beberapa indeks tunggal juga diklasifikasikan menurut jenis kelamin dan kelompok umur. Penentuan kelompok umur disesuaikan dengan jenis indikator, misalnya kelompok umur untuk indikator pendidikan disesuaikan dengan kelompok usia sekolah dan kelompok umur untuk indikator kesehatan disesuaikan dengan kelompok umur yang penting menurut kesehatan. Namun demikian, tidak semua indeks tunggal harus diklasifikasikan menurut kelompok umur, jenis kelamin, atau daerah tempat tinggal. Hal ini tergantung pada kepentingan dari pengklasifikasian tersebut.
Hasil penghitungan indeks tunggal disajikan secara lengkap dalam lampiran, dan dikelompokkan menjadi indeks tunggal yang terkait dengan Kualitas Hidup Anak (Lampiran 1-51), Perlindungan Khusus Untuk Anak (Lampiran 52-74), dan Kemiskinan Anak (Lampiran 75).
Pada bagian berikut disajikan contoh indeks tunggal untuk masing-masing kelompok dan cara menganalisisnya.
4.1 Analisis Indeks Tunggal Kualitas Hidup AnakBerikut disajikan contoh indeks tunggal dari kualitas hidup anak,
khususnya mengenai kesehatan, yaitu indeks tunggal anak balita (bawah lima tahun) yang pernah diberi ASI. Indikator anak balita yang pernah diberi ASI ini digunakan sebagai salah satu indikator yang menentukan kualitas kesehatan balita karena sangat berperan dalam menentukan tumbuh kembang anak balita pada tahap selanjutnya.
59
BAB IVPEMBAHASAN
HASIL
4.1.1Rank dan Indeks Tunggal Anak Balita Pernah Diberi ASI menurut Provinsi dan WilayahGambar 4.1 menunjukkan provinsi menurut indeks tunggal anak
balita yang pernah diberi ASI di perkotaan. Semakin tinggi nilai indeks tunggalnya, berarti semakin banyak anak balita yang pernah diberi ASI dan diharapkan kualitas kesehatan anak semakin baik. Provinsi yang mempunyai indeks tunggal tinggi diberi nilai rangking rendah, sedangkan provinsi yang mempunyai indeks tunggal rendah diberi nilai rangking tinggi.
Di daerah perkotaan, provinsi yang mempunyai indeks tunggal paling tinggi untuk anak balita yang pernah diberi ASI adalah DI Yogyakarta, Bali, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah, dengan rangking satu sampai lima. Artinya, dikelima provinsi tersebut jumlah anak balita yang pernah diberi ASI relatif lebih banyak dibandingkan propinsi lain di Indonesia. Hasil ini bisa diterima, mengingat provinsi tersebut berada di Pulau Jawa-Bali yang akses terhadap informasi lebih tinggi dibanding provinsi lainnya sehingga pengetahuan ibu tentang pengasuhan anak juga lebih baik. Khusus Provinsi DI Yogyakarta yang menduduki rangking tertinggi dalam pemberian ASI, dapat dipahami karena kenyataan provinsi ini juga mempunyai Angka Harapan Hidup waktu lahir yang tinggi.
Sementara itu, lima provinsi yang perlu mendapat perhatian karena memiliki nilai indeks tunggal rendah atau nilai rangking tinggi tentang anak balita yang pernah diberi ASI adalah Lampung, Maluku, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, dan Riau. Penyebab dari kondisi ini perlu diteliti lebih lanjut, diantaranya mungkin terkait dengan kebiasaan atau budaya setempat dalam pemberian makan pada bayi.
Catatan: pada waktu melihat dan menganalisis hasil perhitungan nilai indeks tunggal, perlu memperhatikan kondisi wilayah untuk memberikan pemaknaan yang baik terhadap nilai tersebut. Selain itu, perlu diperhatikan juga berbagai hal terkait dengan cara pengambilan sampel di lapangan. Kondisi geografis, dan keamanan suatu wilayah kadang mempengaruhi cara pengambilan sampel di lapangan. Hal ini
60
dimaksudkan untuk menghindari konflik akibat hasil yang kontradiktif. Beberapa provinsi yang mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam melakukan pengambilan sampel, misalnya Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku Utara, dan daerah lain yang mengalami konflik. Ke depan sangat menarik untuk melihat Provinsi DI Yogyakarta, mengingat tahun 2010 ini mengalami bencana Gunung Merapi.
Gambar 4.1. Indeks Tunggal Anak Balita Yang Pernah Diberi ASI, di Perkotaan
Kondisi berbeda diperlihatkan pada Gambar 4.2. Di daerah perdesaan, tampak bahwa Provinsi DI Yogyakarta justru mempunyai nilai indeks tunggal paling rendah untuk anak balita yang pernah diberi ASI. Selanjutnya Provinsi Bali, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Melihat kondisi seperti ini sepertinya merupakan sesuatu yang tidak mungkin karena kelima provinsi tersebut kondisinya berada di bawah Provinsi Maluku. Perlu penelaahan lebih lanjut terhadap hasil indeks ini, yang disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Salah satu kemungkinan, kelima provinsi ini merupakan provinsi yang mudah dijangkau sampai tingkat perdesaan, sehingga pelaksanaan sampling/pendataan lebih mudah dilakukan sampai ke pelosok-pelosok. Dengan demikian hasilnya lebih menggambarkan kondisi sebenarnya di wilayah perdesaan tersebut.
61
Tidak demikian halnya dengan provinsi yang aksesnya sulit sampai ke perdesaan.
Gambar 4.2. Indeks Tunggal Anak Balita Yang Pernah Diberi ASI, di Perdesaan
4.1.2Rank dan Indeks Tunggal Anak Balita Pernah Diberi ASI Menurut Provinsi, Wilayah dan Jenis KelaminLampiran 51 menunjukkan hasil perhitungan Gender Equality
Indexes (GEI) untuk anak balita yang pernah diberi ASI. Hasil Gender Equality Indexes (GEI) tersebut disajikan pada Gambar 4.3. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai GEI di perkotaan berkisar antara 0,5 sampai 2,6. Provinsi dengan nilai GEI paling tinggi di perkotaan yaitu Provinsi DI Yogyakarta. Selanjutnya keempat tertinggi lainnya yaitu provinsi Gorontalo, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Hal ini berarti di kelima provinsi tersebut resiko anak balita perempuan pernah diberi ASI jauh lebih tinggi dibandingkan resiko anak balita laki-laki.
Provinsi Di Yogyakarta mempunyai nilai GEI sama dengan 2,6. Hal ini menunjukkan bahwa resiko anak balita perempuan pernah diberi ASI 2,6 kali resiko anak balita laki-laki.
62
Gambar 4.3. Provinsi Menurut Capaian Gender Equality Indexes Dalam Anak Balita Yang Pernah Diberi ASI, di Perkotaan
Capaian nilai Indeks Kesetaraan Gender untuk daerah perdesaan berbeda dengan daerah perkotaan dalam hal anak balita pernah diberi ASI. Pada Gambar 4.4 tampak kisaran nilai GEI di perdesaan antara 0.6 sampai 1.6. Provinsi dengan indeks kesetaraan gender dalam hal anak balita pernah diberi ASI paling tinggi adalah Gorontalo, yaitu 1.6. Artinya anak balita perempuan mempunyai resiko pernah diberi ASI 1,6 kali anak balita laki-laki. Empat provinsi lain yang mempunyai indeks kesetaraan gender tinggi di perdesaan yaitu Kalimantan Tengah, Jambi, Papua Barat, dan Bengkulu. Dengan kata lain masih ada perbedaan gender dalam hal pemberian ASI terhadap anak balita.
63
Gambar 4.4. Provinsi Menurut Capaian Gender Equality Indexes Dalam Anak Balita Yang Pernah Diberi ASI, di Perdesaan
4.2 Analisis Indeks Tunggal Perlindungan Khusus Untuk AnakIndeks tunggal perlindungan anak dibentuk berdasarkan masing-
masing indikator yang telah disepakati. Pada Lampiran 52 - 74 disajikan berbagai indeks tunggal terkait perlindungan khusus untuk anak. Sebagai contoh, berikut ini disajikan gambaran mengenai indeks tunggal mengenai kepemilikan akte kelahiran.
4.2.1Rank dan Indeks Tunggal Kepemilikan Akte Kelahiran Menurut Provinsi dan WilayahPada Gambar 4.5 tampak gambaran provinsi menurut rangking
indeks tunggal dalam hal kepemilikan akte kelahiran di Perkotaan. Kepemilikan akte kelahiran dalam perlindungan khusus untuk anak dilihat dari anak yang tidak memiliki akte kelahiran. Arah panah menunjukkan semakin tinggi nilai indeks tunggal kepemilikan akte kelahiran, semakin jelek. Sejalan dengan itu, rangking provinsi juga semakin besar.
Provinsi dengan masalah anak yang tidak memiliki akte lahir di perkotaan paling tinggi yaitu Sumatera Utara, dengan indeks tunggal tidak memiliki akte kelahiran paling tinggi. Selanjutnya Provinsi Sulawesi Barat, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara
64
dengan rank 30-33. Sementara yang paling rendah rank anak yang tidak memiliki akte kelahiran yaitu DI Yogyakarta. Dengan kata lain provinsi ini merupakan provinsi yang paling baik dalam hal kepemilikan akte kelahiran oleh anak usia 0-6 tahun.
Gambar 4.5. Indeks Tunggal Anak Usia 0-6 Tahun Tidak Memiliki Akte Kelahiran
di Perkotaan
DI Yog
yakart
a
Bangka
-Belitun
g
Bengku
lu
Jawa T
enga
h
Kaliman
tan Bara
tJam
bi
Kaliman
tan Sela
tanBan
ten
Jawa B
arat
Papua
Barat
Bali
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenga
hRiau
Maluku
Nusa Ten
ggara
Timur
Sulawesi
Barat
0
50
100
150
200
250
100
Perkotaan
Kondisi anak yang tidak memiliki akte kelahiran di perdesaan disajikan pada Gambar 4.6. Jika diperhatikan capain indeks kepemilikan akte lahir di perkotaan dan perdesaan menunjukkan hasil yang konsisten. Provinsi DI Yogyakarta menduduki rangking terendah dalam kepemilikan akte kelahiran baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan kata lain, provinsi ini mempunyai masalah kepemilikan akte kelahiran paling rendah dibanding provinsi lainnya. Hal yang sama juga terjadi untuk capaian rangking tertinggi, terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Dengan kata lain, provinsi ini mempunyai permasalahan kepemilikan akte kelahiran paling tinggi. Berbeda hanya pada urutan rank provinsi yang masuk lima terendah yaitu Papua, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
65
Gambar 4.6. Indeks Tunggal Anak Usia 0-6 Tahun Tidak Memiliki Akte Kelahiran
di Perdesaan
DI Yogy
akarta
Jawa T
engah
Kalimant
an Timur
Bengkul
u
Kalimant
an Sela
tan
Sumate
ra Sela
tan
Kalimant
an Bara
t
Jawa B
arat
Sulawesi
Selatan
INDONESIABant
en
Goronta
lo
Sumate
ra Bara
t
Sulawesi
Tengah
Papua
Maluku
Sumate
ra Utar
a0
20406080
100120140160
100
Perdesaan
4.2.2Rank dan Indeks Tunggal Kepemilikan Akte Kelahiran Menurut Provinsi, Wilayah dan Jenis KelaminBerdasarkan Lampiran 74, dapat diketahui GEI khusus kepemilikan
akte kelahiran. Secara grafik hasil Gender Equality Indexes (GEI) untuk kepemilikan akte kelahiran disajikan pada Gambar 4.7. Dari gambar tersebut tampak bahwa untuk provinsi Kalimantan Tengah mempunyai GEI paling rendah dalam hal kepemilikan akte kelahiran. Selanjutnya empat provinsi terendah lainnya yaitu Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Gorontalo dan Papua Barat. Berarti di kelima provinsi tersebut terdapat perbedaan yang cukup rendah antara anak usia 0-6 tahun yang perempuan dengan laki-laki dalam hal kepemilikan akte kelahiran (dilihat dari yang tidak memiliki kate kelahiran).
Nilai GEI di perkotaan antara 0.73 sampai dengan 1.35. GEI Paling tinggi adalah Kepulauan Riau yaitu 1.35, artinya anak perempuan usia 0-6 tahun di provinsi tersebut mempunyai resiko tidak memiliki akte kelahiran sebesar 1.35 kali anak laki-laki.
66
Provinsi-provinsi yang mempunyai nilai GEI akte kelahiran = 1, menunjukkan anak laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama untuk memiliki akte kelahiran (Aceh, Jatim, Jabar, Kaltim, Sulteng).
Gambar 4.7. Gender Equality Indexes Kepemilikan Akte Kelahiran Anak Usia 0-6 Tahun Menurut Provinsi di Perkotaan
Kaliman
tan Ten
gah
Kaliman
tan Sela
tan
Papua
Barat
Riau
Nusa Ten
ggara
Timur
Sumate
ra Sela
tanPap
ua
Lampu
ng
Jawa T
imur
Jawa B
arat
Sulawesi
Tenga
h
Bengku
lu
Sulawesi
Selatan
Nusa Ten
ggara
Barat
Jambi
Bangka
-Belitun
g
Kaliman
tan Bara
t0.00.20.40.60.81.01.21.41.6
Perkotaan
Capaian Indeks Kesetaraan Gender untuk daerah perdesaan dalam hal kepemilikan akte lahir diperlihatkan pada Gambar 4.8. Provinsi dengan masalah indeks kesetaraan gender dalam hal kepemilikan akte kelahiran paling rendah adalah Papua Barat. Nilai GEI provinsi tersebut sekitar 0,87, artinya anak perempuan mempunyai resiko tidak memiliki akte kelahiran 0,87 kali anak laki-laki. Empat provinsi lain yang mempunyai indeks kesetaraan gender rendah di perdesaan yaitu Sulawesi Barat, Riau, Sumatera Barat dan Gorontalo. Sementara itu, provinsi dengan indeks kesetaraan gender paling tinggi dalam hal kepemilikan akte kelahiran di perdesaan yaitu DI Yogyakarta 1,31. Artinya, anak perempuan mempunyai resiko/peluang tidak memiliki akte kelahiran 1,31 kali anak laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua kurang memperhatikan pengurusan akte kelahiran anak perempuan mereka. Provinsi-provinsi yang mempunyai nilai GEI akte kelahiran = 1, menunjukkan anak laki-laki
67
dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk tidak memiliki akte kelahiran (Kepulauan Riau, NTB, Sumut, Sumsel, dan Kaltim).
68
Gambar 4.8. Gender Equality Indexes Kepemilikan Akte Kelahiran Anak Usia 0-6 Tahun Menurut Provinsi di Perdesaan
Papua
Barat
Riau
Goronta
loMalu
ku
Bengku
lu
Sulawesi
Selatan
Kepula
uan R
iau
Nusa Ten
ggara
Barat
Indon
esia
Jawa B
arat
Jawa T
enga
h
Kaliman
tan Bara
t
Lampu
ng
Kaliman
tan Sela
tan
Sulawesi
Utara Bali
DI Yog
yakart
a0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
Perdesaan
4.3 Analisis Indeks Tunggal Kemiskinan Anak Lampiran Indeks Tunggal Kemiskinan Anak (Lampiran 75a sampai
75c), berturut-turut, menyajikan hasil analisis dengan memakai Eviews, yaitu Persentase Anak usia 7-18 tahun yang tidak tamat SD dan tidak sekolah lagi (rerata Indeks Kemiskinan Anak-1/rerata IKM1), persentase Anak usia 13-18 tahun yang tidak tamat SD dan tidak sekolah lagi (rerata IKM2), dan persentase Anak usia 16-18 tahun yang tidak tamat SD dan tidak sekolah lagi (rerata IKM3), menurut Provinsi (B1R1), jenis kelamin (JK), dan wilayah Kota/Desa (B1R5).
Perhatikanlah hasil analisis tersebut, khususnya untuk IKM1 dalam Lampiran 75a, menyajikan rangkuman statistik seperti di bawah ini. Begitu juga halnya untuk IKM2 dan IKM3.
(1). “Table 1: Conditional table for B1R5=1” menyajikan rerata IKM1 menurut provinsi dan jenis kelamin, khusus untuk Perkotaan (B1R5=1). Tabel ini memuat tiga rerata IKM1 menurut Provinsi, yaitu untuk anak laki-laki (JK=1), anak perempuan (JK=2), dan untuk Perkotaan (All) tanpa memperhitungkan jenis kelamin.
69
(2). “Table 2: Conditional table for B1R5=2” menyajikan rerata IKM1 menurut provinsi dan jenis kelamin, khusus untuk Perdesaan (B1R5=2). Tabel ini memuat tiga rerata IKM1 menurut Provinsi, yaitu untuk anak laki-laki (JK=1), anak perempuan (JK=2), dan untuk Perdesaan (All) tanpa memperhitungkan jenis kelamin.
(3). “Table 3: Unconditional table” menyajikan rerata IKM1 menurut provinsi dan jenis kelamin. Tabel ini memuat tiga rerata IKM1 menurut Provinsi, yaitu untuk anak laki-laki (JK=1), anak perempuan (JK=2), dan untuk anak (all) tanpa memperhitungkan jenis kelamin.
Berdasarkan hasil dalam Lampiran 75, dapat disajikan rangkuman dekriptif sebagai di bawah ini.
4.3.1 Rank dan Indeks Tunggal Kemiskinan Anak Berdasarkan Indikator Kemiskinan-1 (IKM1) Menurut Provinsi dan Wilayah.
Berdasarkan hasil analisis dalam Lampiran 75a dapat dibentuk Rangkuman statistik deskriptif. Lampiran 76 menunjukkan rerata IKM1 dengan ukuran persentase, ranking menurut 33 provinsi dan satu pada tingkat national, dan indeks tunggal untuk masing-masing Perkotaan dan Perdesaan. Secara grafis disajikan pada Gambar 4.9.
Pada Gambar 4.9 tampak nilai indeks tunggal untuk IKM1, yang juga menggambarkan rangking masing-masing provinsi. Arah panah menunjukkan rangking IKM 1 semakin tinggi, dengan semakin tinggi nilai IKM1. Dengan kata lain, Rangking=1 untuk persentase yang terkecil, sementara untuk indeks tunggal kemiskinan anak berdasarkan IKM1 dibentuk sedemikian sehingga indeks pada tingkat nasional sama dengan 100.
Dari Gambar 4.9 dapat dilihat perbedaan tingkat masalah antar provinsi dan wilayah. Hal ini ditunjukkan baik oleh nilai rank maupun Indeks Tunggal Kemiskinan Anak yang dibentuk berdasarkan IKM1. Apabila dilihat rank menurut wilayah perkotaan dari masing-masing
70
provinsi, yang paling bermasalah dengan indeks kemiskinan anak yaitu Provinsi Sulawesi Barat yaitu rank 34. Selanjutnya Provinsi Bangka Belitung, Gorontalo, Jambi, dan Sumatera Selatan, berturut-turut dengan ranking 30 sampai dengan 33. Sementara provinsi dengan rank pertama yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan di bawah rank nasional. Dapat dikatakan bahwa provinsi tersebut mempunyai masalah kemiskinan anak di perkotaan paling rendah dibanding provinsi lain di Indonesia.
Gambar 4.9. Indeks Tunggal Kemiskinan Anak Berdasarkan Indikator Kemiskinan-1 (IKM1) di Perkotaan
Sulaw
esi Bara
t
Gorontal
o
Sumate
ra Se
latan Riau
Sulaw
esi Te
nggara
Sulaw
esi Se
latan
Nusa Te
nggara
Timur
Papua B
arat
Papua
DKI Jaka
rta
Maluku
Nusa Te
nggara
Barat
Jawa T
enga
h
Sumate
ra Bara
tBali
Nangg
roe A
ceh Daru
salam
Lampun
0
100
200
300
400
500
600
Pada Gambar 4.10 dapat dilihat kondisi di daerah perdesaan, provinsi yang mempunyai masalah terkait kemiskinan anak paling banyak terdapat di Provinsi Gorontalo. Provinsi lainnya yang termasuk tinggi dalam masalah kemiskinan anak di perdesaan yaitu Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Keempat provinsi tersebut menduduki ranking 30-33. Untuk capaian Provinsi Gorontalo dapat diterima, mengingat capaian IPM juga masih termasuk rendah, juga dalam hal status gizi buruk juga masih tinggi.
71
Bahkan untuk tahun 2005, status gizi buruk Gorontalo termasuk paling tinggi di Indonesia.
Gambar 4.10. Indeks Tunggal Kemiskinan Anak Berdasarkan Indikator Kemiskinan-1 (IKM1) di Perdesaan
Gorontal
o
Nusa Te
nggara
Timur
Sulaw
esi Bara
t
Papua B
arat
Maluku
Utara
Sumate
ra Bara
t
Indonesia(*
)
Sulaw
esi Te
nggara
Jambi
Bengk
ulu
Kaliman
tan Te
ngah
Riau
Jawa B
arat
Sumate
ra Utar
a
Lampun
Jawa T
enga
h
DI Yogy
akart
a0
100
200
300
400
500
600
Berkaitan dengan hasil analisis data, perlu dikemukakan catatan sebagai berikut:1. Beberapa propinsi seperti Maluku Utara, DI Yogyakarta, dan Lampung,
data menunjukkan persentase anak usia 7-18 tahun yang tidak tamat SD dan tidak sekolah lagi sama dengan 0 (nol). Hal ini harus ditafsirkan dengan bijaksana karena data sampel dapat memberikan hasil yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Demikian juga dengan hasil analisis untuk propinsi-propinsi lainnya yang ada kemungkinan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan (contoh: persentase NAD yang terlalu kecil dan persentase Sulawesi Barat yang terbesar), sehingga hasil data analisis tersebut perlu dikonfirmasikan kelayakannya dengan pihak-pihak terkait di masing-masing propinsi.
72
4.3.2 Rank dan Indeks Tunggal Kemiskinan Anak Berdasarkan Indikator Kemiskinan-1 (IKM1) Menurut Provinsi, Wilayah dan Jenis Kelamin.
Berdasarkan hasil dalam Lampiran 75a, dapat disusun rangkuman deskriptif dalam Lampiran 77 yang menyajikan statistik sebagai berikut:1. Persentase Anak Usia 7-18 tahun, yang Tak-tamat SD dan Tak-sekolah
lagi (Rerata IKM1) menurut Provinsi, Wilayah dan Jenis Kelamin, dalam Kolom (3), (5), (8) dan (10).
2. Kolom (4) dan (6) menyajikan indeks tunggal berdasarkan IKM1, yang dibentuk dengan memakai indeks pada tingkat national = 100 untuk anak perempuan di Perkotaan dengan memakai rumus ”=100*E41/$E$41” (Excel) untuk perempuan di perkotaan. Perhatikanlah bahwa berbagai macam indeks lain yang merupakan bilangan bulat positif, dapat dibentuk untuk perbedaan relatif antar provinsi dan wilayah.
3. Demikian pula Kolom (9) dan (11) menyajikan indeks tunggal untuk Perdesaan.
4. Akhirnya, Kolom (7) dan (12) menyajikan GEI (Gender Equaity Index) atau Indikator Kesetaraan Jender.
Gambar 4.11 menyajikan hasil Gender Equality Indexes (GEI) untuk IKM1 di perkotaan. Dari gambar tersebut tampak bahwa untuk provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, DI Yogyakarta, Lampung, dan Nanggroe Aceh Darusalam tidak mempunyai nilai GEI. Hal ini terakit dengan nilai indeks tunggal dari provinsi tersebut sama dengan nol. Sementara untuk provinsi Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Bali mempunyai nilai GEI sama dengan nol. Nilai GEI ketiga provinsi tersebut merupakan yang paling kecil dengan nilai sama dengan 0 (nol). Berarti menunjukkan tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam hal IKM1.
Provinsi yang menunjukkan nilai GEI paling tinggi yaitu Provinsi Jawa Timur, disusul oleh Papua dan Maluku. Ketiganya mempunyai nilai di atas nilai GEI nasional. Dalam hal ini terdapat perbedaan gender yang sangat
73
besar antara laki-laki dan perempuan dalam indikator kemiskinan anak (IKM1).
Gambar 4.11. Gender Equality Indexes (GEI) IKM-1 Menurut Provinsi di Perkotaan
Sumate
ra Bara
t
Sulaw
esi Utar
a
Banten
Sulaw
esi Te
ngah
Sumate
ra Se
latan
Jambi
Kaliman
tan Se
latan
DKI Jaka
rta
Indonesia
Bangk
a-Beli
tung
Nusa Te
nggara
Timur
Jawa B
arat
Bengk
uluPap
ua
Nangg
roe A
ceh Daru
salam
DI Yogy
akart
a
Maluku
Utara
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
Hasil yang dicapai dari perhitungan Gender Equality Indexes (GEI) untuk indek kemiskinan di perdesaan disajikan pada Gambar 4.12. Dari gambar tersebut tampak bahwa Provinsi DI Yogyakarta tidak ada nilainya, karena indeks tunggalnya mempunyai nilai 0 (nol). Dua provinsi dengan capaian GEI terbesar yaitu Papua dan terendah adalah Kalimantan Timur. Dengan kata lain bahwa kesenjangan gender di provinsi tersebut tertinggi dalam hal indeks kemiskinan anak.
Namun demikian, perlu melihat secara bijaksana dengan melihat kondisi sebenarnya, mengingat hasil ini adalah hasil survey yang tidak luput dari kesalahan dalam pengambilan sampel, dan sebagainya. Bagi provinsi tertentu bisa saja mempunyai kecocokan dengan kondisi sebenanrya, namun untuk provinsi lain, bisa juga kurang cocok. Apalagi provinsi tersebut merupakan provinsi yang sering terjadi konflik, sehingga dapat mempengaruhi cara pengambilan atau pelaksanaan survey.
74
Gambar 4.12. Gender Equality Indexes (GEI) IKM-1 Menurut Provinsi di Perdesaan
DI Yog
yaka
rta
Maluku
Utara
Sumate
ra Utar
a
Lampu
n
Papu
a Bara
t
Nangg
roe Ace
h Daru
salam
Goronta
lo
Sulaw
esi U
tara
Maluku
Kalim
antan
Barat
Kalim
antan
Teng
ahJam
bi
Sulaw
esi S
elatan
Jawa B
arat
Nusa T
engg
ara Ti
mur
Sumate
ra Bara
t
Kalim
antan
Timur
0.000.200.400.600.801.001.201.401.601.802.00
Sesuai dengan catatan tentang hasil analisis berdasarkan data sampel yang telah dikemukan sebelumnya, maka besaran GEI juga perlu dikonfirmasikan kepada pihak-pihak terkait di daerah untuk menilai kelayakannya.
75