vi. pembangunan hutan tanaman industri dalam … · 87 vi. pembangunan hutan tanaman industri dalam...

30
87 VI. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Community Based Forest Mmanagement (CBFM) adalah pola pengelolaan hutan bersama antara perusahaan MHP dan masyarakat dengan semangat berbagi manfaat sehingga kepentingan bersama untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan. Pembangunan HTI dengan pola PHBM ini meliputi kegiatan berbasis lahan dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dapat dilakukan di dalam kawasan dan di luar kawasan konsesi hutan tanaman. Di dalam kawasan konsesi perusahaan telah mengembangkan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan diluar kawasan telah dikembangkan program Mengelola Hutan Rakyat (MHR). Masing-masing program ini adalah program yang unik, yang hanya dilakukan di perusahaan MHP dengan dikukuhkan oleh surat kesepakatan yang dilakukan secara legal formal. Kegiatan berbasis bukan lahan juga dapat dilakukan di dalam dan di luar kawasan yang meliputi pengembangan industri, jasa dan perdagangan, serta pengembangan unit usaha dan kegaiatan perekonomian masyarakat. Program MHBM adalah program yang memberikan kesempatan sebesar- sebesarnya bagi masyarakat masuk ke dalam kawasan HTI untuk ikut mengelola hutan mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Masyarakat akan mendapat upah yang layak dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Disamping itu masyarakat juga mendapat bagian dari produksi kayu

Upload: buikhanh

Post on 07-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

87

VI. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Community Based

Forest Mmanagement (CBFM) adalah pola pengelolaan hutan bersama antara

perusahaan MHP dan masyarakat dengan semangat berbagi manfaat sehingga

kepentingan bersama untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat

sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.

Pembangunan HTI dengan pola PHBM ini meliputi kegiatan berbasis lahan

dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dapat dilakukan di dalam kawasan dan

di luar kawasan konsesi hutan tanaman. Di dalam kawasan konsesi perusahaan

telah mengembangkan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM)

dan diluar kawasan telah dikembangkan program Mengelola Hutan Rakyat

(MHR). Masing-masing program ini adalah program yang unik, yang hanya

dilakukan di perusahaan MHP dengan dikukuhkan oleh surat kesepakatan yang

dilakukan secara legal formal. Kegiatan berbasis bukan lahan juga dapat

dilakukan di dalam dan di luar kawasan yang meliputi pengembangan industri,

jasa dan perdagangan, serta pengembangan unit usaha dan kegaiatan

perekonomian masyarakat.

Program MHBM adalah program yang memberikan kesempatan sebesar-

sebesarnya bagi masyarakat masuk ke dalam kawasan HTI untuk ikut mengelola

hutan mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen.

Masyarakat akan mendapat upah yang layak dari setiap pekerjaan yang mereka

lakukan. Disamping itu masyarakat juga mendapat bagian dari produksi kayu

88

HTI yang dihasilkan berupa jasa manajemen dan jasa produksi sebesar Rp2

500/m3.

Program MHR adalah program dimana perusahaan ke luar dari lahan

konsesi, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang

memiliki lahan yang belum dikelola untuk di tanami HTI (Acacia mangium).

Kerjasama ini di kukuhkan dengan sebuah kesepakatan kerjasama yang legal,

dimana perusahaan menanggung semua biaya yang dikeluarkan mulai dari

pembukaan lahan sampai panen dan pengangkutan. Biaya ini nanti langsung

dikurangi penerimaan dari hasil kayu yang di panen, lalu penerimaan tersebut di

bagi dengan proporsi 40% petani dan 60% perusahaan. Namun jika gagal semua

biaya ditanggung oleh perusahaan dan petani tidak dibebani biaya apapun.

Tinjauan analisis pembangunan HTI dengan pola PHBM ini secara lebih

mendalam dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang dengan berbagai

perspektif. Untuk mendalami persoalan ini maka dalam pembahasan sub bab ini

akan dilihat pembangunan HTI dalam empat perspektif yang berbeda, yaitu: (1)

perspektif perusahaan, (2) perspektif petani, (3) perspektif pemerintah, dan (4)

perspektif daerah.

6.1. Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan

Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang

cukup menjanjikan bagi para investor besar. Hal ini di dukung oleh kebijakan

pemerintah yang sangat kondusif untuk pengembangan HTI secara besaran-

besaran bagi program pengembangan pembangunan sektor kehutanan. Beberapa

peraturan pemerintah dan perundang-undangan telah diterbitkan untuk

89

memberikan insentif dan kemudahan bagi perusahaan untuk ikut berkiprah di

sektor hutan tanaman industri. Sebagai landasan Hukum pembangunan HTI

adalah PP No.7 tahun 1990, lalu dirubah dengan PP No.6 tahun 1999, lalu

disempurnakan dengan PP No.34 tahun 2002.

Dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi

yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses

produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh

dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu pengusaha sangat berhati-hati dan

penuh perhitungan yang cermat sebelum terjun ke sektor usaha hutan tanaman ini.

Sebagai pertimbangan yang cermat seorang investor selalu melihat ke belakang

dan sekaligus ke depan, menghubungkan antara potensi sumberdaya dengan

potensi pasar, dimana perusahaan dapat menentukan faktor-faktor prospek

investasi tersebut dari sisi kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan

struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh.

6.1.1. Kepastian Berusaha

Dalam perspektif perusahaan, kepastian berusaha merupakan aspek penting

yang sangat menentukan sekaligus jaminan keberlangsungan usaha dalam jangka

panjang, karena investasi dan kelestarian hutan umumnya memerlukan waktu

yang panjang. Di Indonesia dan umumnya di negera berkembang lainnya

kepastian lahan masih ditempatkan sebagai faktor yang paling rawan, karena

disamping pengurusan izin yang sulit dengan birokrasi yang panjang, serta sering

terjadi friksi atau benturan dengan masyarakat sekitar yang telah bermukim lebih

dulu di sekitar kawasan.

90

Perusahaan telah melalui tahapan dan prosedur yang panjang untuk

mendapatkan kepastian lahan, dengan kronologisnya sebagai berikut:

1. Dengan SK Menteri Kehutanan No.l 775/Menhut-V/1989, Barito Pacific

Group dijinkan membuat percobaan penanaman Acacia mangium dengan luas

50 000 ha yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 5 tahun (1990-1994).

2. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) mengeluarkan surat

No.1109/DJRRL/V/1989 untuk menindak lanjuti keputusan Menteri

Kehutanan tersebut.

3. Pada tahun 1991 menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.

276/Menhut-V/1991 untuk menetapkan areal HPHTI seluas 311 215 ha.

4. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan itu, Barito Pacific Group

membuat anak perusahaan dengan nama PT Enim Musi Lestari (EML).

5. Mengikuti peraturan umum yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, selanjutnya

PT Enim Musi Lestari membentuk perusahaan patungan dengan PT Inhutani

II yang pada waktu itu ditugasi oleh Departemen Kehutanan membangun

kawasan hutan tak produktif di kabupaten Muara Enim tersebut.

6. Perusahaan patungan tersebut dinamakan PT Musi Hutan Persada (MHP),

yang mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman No.C2.1767.H1.01.10-

Th 91, tertanggal 24 Mei 1991.

7. Dengan terbentuknya MHP, maka lokasi HPHTI lalu ditetapkan secara pasti.

Namun untuk itu memerlukan proses yang cukup panjang sehingga sempat

beberapa kali mengalami perubahan. Akhirnya kepastian tersebut dapat

diperoleh setelah Gubernur Sumatera Selatan memberikan rekomendasi yang

kedua kalinya pada tanggal 16 Januari 1995.

91

Berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan Nomor:

522/00237/95 tahun 1995 dan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

038/Kpts-II/1996 tahun 1996. PT MHP memperoleh kepastian hak pengusahaan

hutan tanaman industri (HPHTI) di atas areal seluas kurang lebih 296 400 ha

HPHTI tetap di Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan kebijakan pemerintah, sumber lahan untuk hutan tanaman

industri adalah tanah kosong atau alang-alang, belukar, hutan alam rawang

(kurang produktit) dan lain-lain. Namun lahan HTI diperbolehkan juga berasal

dari hutan alam yang dikonversi jika memang ada alasan yang kuat dan tidak

merugikan lingkungan.

Berpedoman pada arahan pemerintah tersebut PT MHP dalam pembangunan

HTI lebih memprioritaskan pada lahan alang-alang yang biasanya sering terbakar

dan tidak produktif. Selanjutnya, Perusahaan bekerjasama dengan PT. Inhutani

dalam pelaksanaan pembangunan HTI. Walaupun sudah mendapatkan kepastian

lahan dari pemerintah perusahaan HTI tidak luput dari masalah klaim pemilikan

lahan oleh penduduk sekitar kawasan.

Pembangunan HTI mendapat dukungan politik yang besar dari pemerintah

Orde Baru dengan memberi banyak subsidi. Pada era reformasi desakan untuk

tidak mengkonversi hutan alam datang dari IMF (International Monetary Fund)

melalui LOI (Letter of intent) dan Bank Dunia, dengan alasan utama

keanekaragaman hayati dan masalah lingkungan.

Pembangunan HTI di Indonesia didukung oleh subsidi dana reboisasi (DR),

yaitu partisipasi modal pemerintah dan pinjaman bunga rendah dan dibalik itu ada

daya tarik lahan HTI yaitu kesempatan usaha dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

92

Pengalaman MHP di Sumatera Selatan dalam membuat hutan tanaman

(dengan Acacia mangium) mulai tanam sampai dipanen, dapat dijadikan acuan

dalam pembangunan HTI di Indonesia. Pengalaman ini dapat memberi informasi

berguna kepada investor lain yang berminat. Dari aspek legal sebetulnya lahan

hutan tanaman sudah cukup kuat sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK) di mana hutan tanaman diselenggarakan pada hutan

produksi bebas. Kemudian dikeluarkan PP No.17 tahun 1998 yang mengatur

prosedur pendirian unit-unit manajemen HTI pada lokasi yang mendapat izin.

Masalah yang langsung dan berat terhadap kepastian usaha HTI adalah

konflik (friksi) dengan penduduk sekitar areal hutan tanaman terutama tentang

perebutan lahan dengan berbagai sebab. Permasalahan sosial (adat) penduduk di

sekitar hutan hendaknya dapat diselesaikan terlebih dahulu, jika tidak maka

investasi pada lahan HTI tersebut akan menghadapi banyak kesulitan yang akan

sangat mengganggu kelangsungan usaha.

Pengalaman MHP yang telah membangun hutan tanaman Acacia mangium

seluas lebih kurang 193 500 ha yang dalam perjalanannya banyak menghadapi

konflik sosial dengan masyarakat sekitar, mulai dari pencurian kayu, kebakaran

hutan, dan klaim lahan telah mengakibatkan keamanan dan kepastian berusaha

menjadi ancaman yang cukup berat. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun

1999/2000, dimana terjadi pembakaran, demonstrasi dan pendudukan areal hutan

oleh masyarakat secara besar-besaran. Konflik ini berakhir melalui negosiasi

yang panjang antara perusahaan dan masyarakat dengan mediasi para ahli,

pemerintah, dan para tokoh masyarakat, yang akhirnya menghasilkan beberapa

kesepakatan-kesepakatan agar perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan

93

masyarakat. Perusahaan juga harus membayar milyaran rupiah untuk mengganti

lahan yang diklaim mereka sebagai lahan eks marga. Belajar dari konflik tersebut

kemudian perusahaan MHP merubah strategi pengelolaan hutan dengan

melakukan pendekatan kemasyarakatan antara lain dengan program Mengelola

Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di

areal tanah penduduk dengan kerjasama bagi hasil. Sejauh ini pendekatan tersebut

sudah relatif berhasil dan konflik dengan masyarakat tidak pernah terjadi lagi,

sehingga risiko investasi dapat dikurangi, seperti masalah lahan dan kebakaran

hutan jauh berkurang.

6.1.2. Luas Lahan Konsesi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Menhut-

V/1991, luas areal untuk HPHTI adalah sebesar 311 215 ha, namun berdasarkan

pengukuran planimetris, ternyata luas bruto areal untuk HPHTI MHP itu menjadi

447 190 ha, lalu setelah studi ulang areal tersebut berubah lagi menjadi 343 224

ha, yang terdiri atas kelompok hutan Martapura, Subanjeriji dan Benakat. Dengan

rekomendasi dari Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan

No.1668/KWL-6.1/7/94 dan rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan

No.522/00237/95, areal MHP ditambah 64 034 ha sehingga seluruhnya menjadi

407 224 ha.

Berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan hutan

seluas 407 224 ha yang dicadangkan untuk MHP itu berstatus hutan produksi

seluas 359 878 ha (88.4%), hutan produksi terbatas 40 936 ha (10.1%), dan hutan

produksi konversi 6 408 ha (1.6%). Namun berdasarkan RUTR Provinsi Sumatera

94

Selatan seluruh kawasan hutan MHP termasuk dalam kawasan budidaya

kehutanan. Dari aspek topografi, 290 505 ha (71.3%) tergolong landai, 95 059 ha

(23.3%) termasuk datar, dan sisanya 21 660 ha (5.3%) agak curam. Rincian luas

hutan menurut peruntukannya menurut kelompok hutan disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Luas areal HPHTI yang dicadangkan untuk PT Musi Hutan Persada menurut peruntukan dan kelompok hutan

Kelompok Hutan

HP (ha)

HPT (ha)

HPK (ha)

Jumlah (ha)

Persen

1. Martapura 15 313 12 462 0 27 775 6.8 2. Subanjeriji 104 837 7 800 0 112 637 27.7 3. Benakat 239 728 20 676 6 480 266 884 65.5

Jumlah 359 878 40 938 6 480 407 224 100.0 Persen 88.4 10.0 1.6 100

Sumber: PT. MHP, tahun 1995.

Dari Tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar kawasan yang dicadangkan

untuk areal HPHTI MHP terdiri atas hutan produksi (88.4%). sedangkan hutan

produksi yang dapat dikonversi hanya 1.6%. Bahkan setelah dikaji dengan

membuat scoring berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/l1/1980

tentang kriteria penetapan hutan lindung dan SK Menteri Pertanian

No.683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria penetapan hutan produksi, kawasan

hutan produksi terbatas sehanyak 10% itupun dapat diubah statusnya menjadi

hutan produksi. Hal itu memungkinkan bagi MHP untuk bekerja dengan tenang

karena kawasan yang di sediakan untuknya memang kawasan budidaya

kehutanan.

Di antara tiga kelompok hutan, sebagian besar arealnya (65.3%) terletak di

Benakat, Subanjeriji menduduki tempat kedua (27.7%) dan kelompok hutan

Martapura hanya 6.8%. Kelompok hutan Martapura terletak paling jauh dari

95

industri pulp PT TEL, sehingga biaya pengangkutan kayu dari wilayah ini yang

relatif paling mahal. Kelompok hutan Subanjeriji merupakan wilayah kerja untuk

HTI yang paling ideal, karena di samping lokasinya dekat dengan pabrik,

asesibilitasnya paling baik dan topografinya relatif datar. Namun demikian justru

karena hal-hal yang menguntungkan itu maka daerah ini berpenduduk paling

padat sehingga intensitas masalah sosial-ekonominya juga yang paling tinggi.

6.1.3. Skala Investasi dan Struktur Modal

Sampai dengan akhir tahun 2002 penanaman skala komersial yang telah

berhasil dilakukan MHP berupa penanaman Acacia mangium adalah 193 500 ha

pada semua tipologi lahan yang di miliki perusahaan. Secara kronologis kinerja

penanaman disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kinerja penanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada

Tahun Tanam Luas (ha) Tahun Tanam Luas (ha) 1990/1991 27 928.25 1996/1997 14 276.0 1991/1992 50 214.58 1997/1998 2 609.0 1992/1993 24 025.05 1998/1999 2 355.7 1993/1994 35 427.02 1999/2000*) 6 927.0 1994/1995 24 869.10 2000/2001 12 750.0 1995/ 1996 14 1 51.00 2001 /2002 14 260.0 *) mulai rotasi kedua, dengan jenis yang diperbaiki genetiknya.

Untuk mempertahankan kemampuan memasok badan Baku ke industri,

sejak tahun 2000 perusahaan menanam dalam luasan yang rata-rata seragam yaitu

10 750 ha, sebagai ganti penutupan lahan hutan yang dipanen pada tahun yang

sama. Penyeragaman ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara luas panen

dengan luas tanaman.

96

Di samping menanam, perusahaan juga melakukan pemelihartan. Skedulnya

dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rencana atau realisasi pemeliharaan tegakan dan penebangan HTI, Tahun 1990/91-2004/05

Tahun Pemeliharaan

(ha) Penebangan

(ha) Tahun

Pemeliharaan (ha )

Penebangan (ha )

1990/91 - - 1998/99 91 332 5 429 1991/92 27 928 - 1999/00 55 905 9 400 1992/93 78 143 - 2000/01 36 465 10 750 1993/94 102 168 - 2001/02 31 714 10 750 1994/95 137 595 - 2002/03 25 579 10 750 1995/96 162 464 - 2003/04 36 329 10 750 1996/97 148 678 - 2004/05 47 079 10 750 1997/98 115 357 -

Dukungan dari semua pihak yang berkepentingan, serta adanya jaminan

keberlangsungan usaha dan luasan areal yang memadai membuat usaha

pembangunan HTI menjadi ekonomis dan menguntung. HTI terutama jenis

Acacia mangium mempunyai keunggulan kompetitif, karena memiliki produksi

per hektar yang tinggi, kualitas produk kayu relatif seragam dan transfer teknologi

dari luar relatif mudah diterapkan pada hutan tanaman.

Pembangunan HTI memerlukan dana investasi yang besar, besarnya

investasi yang diperlukan ini menuntut kehati-hatian bagi pemilik modal.

Beberapa kendala yang perlu diperhatikan adalah bunga modal yang relatif tinggi

dan langka di Indonesia sehingga investasi menjadi mahal dan beresiko jika tidak

diimbangi dengan upaya lain. Rotasi tanaman yang relatif panjang (paling pendek

5-8 tahun) juga menjadi sebab paling utama kelemahan investasi di sektor hutan

97

tanaman. Makin panjang proses produksi (rotasi) makin berat dampak bunga

yang dirasakan investor, karena suku bunga modal mengikuti rumus eksponensial.

Sementara hasil baru diperoleh hanya sekali pada akhir rotasi, hal ini sangat

berbeda dengan tanaman perkebunan yang dapat dipanen tiap tahun.

Pembangunan HTI sangat dibebani dengan arus kas (cash-flow) yang tidak

berimbang (karena tidak terjadi tiap tahun), dengan demikian nilai diskon faktor

panen pada akhir rotasi menjadi kecil.

Modal untuk investasi di sektor yang relatif berisiko tinggi dan yang lambat

menghasilkan (slow-yielding) biasanya sukar didapat karena bunga yang dapat

dibayarkan kepada pemilik modal rendah. Sektor usaha yang cepat

menguntungkan biasanya akan memperoleh modal usaha lebih mudah karena

dapat membayar bunga yang tinggi. Dengan demikian investasi hutan tanaman

meskipun tujuannya mulia dalam mencari modal akan kalah bersaing dengan

investasi tanaman lain, yang dapat dianggap lebih bankable, bila tidak ada faktor

lain yang mendukung atau membantu pembangunan hutan tanaman. Bantuan atau

dukungan itu antara lain diharapkan dari:

− Program pembangunan pemerintah

− Kebutuhan hasil hutan untuk bahan baku industri

− Kehutuhan hasil hutan kayu untuk masyarakat (perumahan d1l.)

− Dibatasinya penebangan di hutan alam

− Adanya dampak lain yang positif seperti mengurangi erosi, banjir dll.

− Tidak ada peluang usaha alternatif selain hutan tanaman (pada tanah marginal).

Untuk mendukung pemodalan pembangunan HTI, pemerintah melalui

Departemen Kehutanan memberikan subsidi pada HTI dengan partisipasi modal

98

dan pinjaman bunga rendah dari alokasi dana reboisasi (DR). Disamping itu juga

ada bantuan dari beberapa negara donor seperti Finlandia dan Jepang, pada

program pengembangan hutan tanaman di Indonesia berupa bantuan teknis dan

pinjaman lunak.

Selain itu banyak terjadi integrasi vertikal dengan sektor industri di bidang

kehutanan untuk mendapatkan jaminan bahan baku yang pasti dan kontinyu.

Integrasi antara industri dan hutan tanaman ini diharapkan tidak sekedar dukungan

modal, tetapi juga dapat meningkatkan rate of return di bidang hutan tanaman

yang relatif tidak tinggi (slow yielding). Integrasi ini menunjang persyaratan

pelestarian karena keduanya berorientasi jangka panjang. Kebijakan pemerintah

yang selalu mendukung integrasi ini, namun tetap mencegah kecenderungan

kearah monopoli. Pengembangan hutan tanaman tidak seyogyanya hanya sekedar

menggantungkan subsidi. Dengan adanya ekspektasi harga dan pendapatan di

masa depan, investasi dapat ditarik bila rate of return dapat dibuat tidak terlalu

rendah dan risiko tidak terlalu tinggi. Dalam hal ini peran kemajuan teknologi

baik di hutan tanaman maupun di industrinya sangat menentukan.

Investasi hutan tanaman menyadari akan hal ini sehingga dapat dimengerti

bila hutan tanaman yang disukai adalah jenis tanaman tumbuh cepat (rotasi

pendek). Selain masalah yang bersifat teknis-ekonomis, akhir-akhir ini masalah

nya makin kompleks antara lain munculnya pandangan atau penilaian masyarakat

yang menyoroti aspek konservasi dan sosial di mana banyak timbul konflik yang

menyebabkan hambatan biaya dan waktu. Berhubung dengan itu hutan tanaman

diusahakan agar mengikuti prinsip pengelolaan hutan yang lestari (PHL) di mana

kriteria aspek konservasi dan sosial diintegrasikan dengan produksi dan ekonomi.

99

Dalam rangka pengelolaan hutan tanaman lestari banyak tujuan manajemen

yang bersifat non-finansial antara lain pembuatan stasiun pengamatan debit

sungai, program pengembangan masyarakat dan berbagai kegiatan konservasi

(konservasi plasma nutfah ex-situ, konservasi cagar alam dsb). Semua ini akan

masuk dalam biaya investasi yang disehut biaya sosial (social cost).

Sebagai investor pada lahan (land-use) maka akan terjadi persaingan

penggunaan lahan (land-user), dimana hutan tanaman akan bersaing dengan

tanaman lainnya, seperti karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, dan lain-lain.

Keunggulan masing-masing sebenarnya dapat di lihat dari usaha yang paling

menguntungkan dengan rate of return yang paling tinggi.

Kendala lain adalah besarnya biaya-biaya umum per unit produksi yang

disebut pungutan-pungutan liar (biaya siluman) oleh pihak ketiga. Situasi seperti

ini menyebabkan high cost economy yang perlu dipertimbangkan dalam

melakukan investsi di hutan tanaman industri pada khususnya.

Paling tidak penanaman Acacia mangium di lahan alang-alang secara fisik

sudah nyata berhasil (exist) dan sekarang sudah dapat dipanen dan dipasarkan

(untuk pabrik pulp). Dari aspek finansial dapat dibuktikan bahwa harga pohon

berdiri (stumpage value) lebih tinggi dari pada biaya pembuatan tanaman

(stumpage cost) dengan discount factor komersial. Hasil penelitian oleh Divisi

Penelitian dan Pengembangan PT. MHP, tanaman rotasi kedua pertumbuhannya

lebih baik.

Berdasarakan pengalaman dan hasil yang telah dicapai oleh MHP maka

dapat dikatakan bahwa prospek investasi pada sektor HTI di Indonesia adalah

positif. Dengan produksi per hektarnya yang cukup tinggi, kayunya juga

100

disamping untuk penggunaan bahan baku kertas (pulp), ternyata sifat kayunya

(bagian teras) juga dapat dipakai untuk kayu pertukangan.

Pada awalnya pemegang saham MHP adalah PT Inhutani V yang mewakili

pemerintah dan PT Enim Musi Lestari (EML). Dalam perusahaan patungan itu PT

Inhutani V memiliki 84 000 saham bernilai Rp84 milyar (40%), sedangkan EML

memiliki 126 000 saham bernilai Rp126 milyar (60%). Setelah perusahaan

patungan tersebut disepakati dan disahkan oleh Menteri Kehakiman, maka

selanjutnya PT. MHP membentuk susunan organisasi perusahaan. Sejak tahun

2004 kepemilikan saham PT. EML diambil alih oleh perusahaan jepang

Marubeni. Saat ini proporsi kepemilikan saham PT. MHP adalah 40% di miliki

oleh PT. Inhutani V dan 60% di miliki perusahaan Marubeni dari Jepang.

6.1.4. Teknologi dan pengembangan pasar

Salah satu keunggulan investasi di hutan tanaman industri adalah teknologi

dan alih teknologi yang dapat diaplikasikan secara luas dibandingkan dengan

hutan alam. Bahkan alih teknologi hutan yang beriklim sedang ke hutan tropis

menunjukkan hasil yang baik dan menguntungkan. Berdasarkan alasan

kemudahan alih teknologi inilah, pengembangan hutan tanaman industri lebih

menjanjikan ketimbang hutan alam.

Kendala-kendala fisik-biologis yang tadinya merupakan ancaman HTI satu

persatu dapat diatasi oleh penemuan baru dari hasil riset dan pengembangan yang

telah dilakukan secara terus menerus. Masalah serangan hama dan penyakit,

gangguan kebakaran, dapat diatasi dengan mengaplikasikan pengalaman dari

beberapa negara maju dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan kondisi yang

101

dihadapi di daerah tropis. Penanggulangan kebakaran di HTI MHP sudah diakui

oleh badan intetnasional dianggap dan dinilai yang paling siap di Indonesia.

Pengembangan pemuliaan pohon merupakan peluang yang sangat

menjanjikan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Penemuan dan

peranan penelitian serta kemajuan teknologi pada semua proses penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan di hutan tanaman satu per satu dapat mengatasi

kendala yang diharapkan meningkatkan produksi dan kelayakan investasi serta

ekspansi. Hal ini telah diaplikasikan pada penanaman siklus daur kedua dari bibit

dengan faktor genetis yang di perbaiki.

Pasar hasil hutan saat ini memang sudah tersedia, namun masih harus di

kembangkan lebih lanjut. Diversifikasi pasar adalah syarat utama untuk

pengembangan pasar. Pasar dapat dibagi ke dalam pasar ekspor (global), pasar

domestik dan pasar lokal. Umumnya produk yang bernilai tinggi untuk ekspor,

sedangkan yang bernilai sedang untuk pasar dalam negeri, dan yang bernilai

rendah untuk pasar lokal. Karena hasil hutan merupakan komoditas alam, maka

tidak semua produk dapat dipaksakan untuk produk yang bernilai tinggi, sehingga

konsekuensinya pasar dalam negeri harus ada dan bahkan kadang menjadi syarat

kelayakan usaha.

Hasil hutan kayu secara tradisional sebagian untuk ekspor, terutama ketika

produksi kayu bulat diameter besar dari hutan alam masih berlimpah. Hasil dari

hutan alam ini kini dikurangi jatah tebangannya. Pada saat ini hutan tanaman

industri mendapat peluang mengisi pasar ekspor hasil hutan tanaman berapa pulp,

sedangkan ekspor kayu bulat HTI masih belum berjalan secar baik.

102

Situasi pasar hasil hutan saat ini mempunyai kecenderungan dimana jumlah

produsen dan jumlah pembeli masih sedikit, hal ini dapat menciptakan peluang

adanya produsen tunggal dan atau pembeli tunggal dan ada jarak yang jauh antara

mereka satu sama lain maka persaingan pasar tidak terjadi. Kalaupun dapat terjadi

transaksi, maka pasarnya lebih bersifat bilateral, dengan demikian harga yang

terjadi tergantung negosiasi atau posisi tawar masing-masing. Permintaan akan

hasil hutan kepada produsen (HTI) umumnya melalui derived demand yaitu

permintaan yang terkait dengan adanya permintaan akan hasil olahan yang sudah

punya pasar.

Hasil hutan HTI PT. MHP tidak mengalami masalah dalam pemasaran

karena dijual di pasar sendiri (captive market), yaitu ke pabrik pulp PT. TEL yang

dibangun berdasarkan adanya HTI yang telah dibangun dan cukup mampu

memasok keperluan bahan bakunya. Integrasi antara hutan tanaman dengan

industri pengolahannya adalah usaha pengamanan pasar (bagi HTI) sekaligus juga

pengamanan bahan baku yang kontinyu (bagi industri).

Seperti disebutkan di atas bahwa prospek pasar sama pentingnya dengan

upaya pelestarian dan besarnya sumber (potensi hutan tanaman), sehingga tidak

benar kalau pasar dituduh selalu menjadi penyebab kerusakan hutan. Pasar

diperlukan lalu dikembangkan dan dikendalikan agar pasar seimbang dengan

sumber, dimana produksi (supply) seimbang dengan permintaan (demand).

Sebelum investasi dilakukan telah dilakukan studi tentang pasar dan

proyeksinya ke depan. Perkembangan pasar (permintaan) dapat diramalkan

dengan beberapa indikator, diantaranya adalah daya beli (tingkat pendapatan),

selera, dan tren perkembangan teknologi. Pasar bahkan harus ikut di

103

pertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam. Jenis Acacia

mangium ternyata jenis yang mudah dipasarkan baik untuk pulp maupun untuk

kayu pertukangan dan ini merupakan hasil pemilihan yang cukup kuat. Pasar hasil

hutan tanaman (kayu) sebagian besar diterima pada industri pengolahan kayu,

pertukangan dan bahan bangunan lainnya, sebagian lagi langsung dikonsumsi

sebagai kayu bakar dan kayu untuk tiang, hal ini sangat penting untuk tujuan

kesejahteraan masyarakat lokal.

Industri pengolahan kayu, besar perannya dalam pemanfaatan hasil hutan

yang dapat meningkatkan nilai tambah kayu, menciptakan lapangan kerja dan

kelestarian industri dan hutannya. Industri pengolahan kayu seperti dua sisi mata

uang, tidak ada industri kayu kalau tidak ada hutan. Investasi pada pabrik

pengolahan kayu yang permanen biasanya memerlukan jaminan bahan baku

jangka panjang dengan pasokan yang kontinyu. Hal ini sejalan dengan

pengelolaan hutan yang lestari. Bila industri (pabrik) menginginkan kelangsungan

bahan baku kayunya, maka industri akan memperhatikan, menjaga dan

melestarikan hutan tanaman, dengan membiayai penanaman, pemeliharaan dan

pemanfaatan. Sebaliknya, agar hutan dapat lestari maka diperlukan juga pelayanan

jaminan kepada industri agar pabrik dapat hidup terus (lestari) dengan pasokan

bahan baku dengan jumlah, kualitas dan harga yang dapat diterima. Kalau

hubungan antara industri pengolahan kayu dan pengelolaan hutan tidak serasi

bahkan tidak ada keseimbangan antara pasokan dan permintaan, maka yang akan

terjadi adalah kegagalan bagi keduanya.

Untuk mencapai keadaan seimbang diperlukan perencanaan dan

pengawasan yang baik. Bila permintaan terlalu tinggi maka ada dua cara

104

menyeimbangkannya, yaitu menekan permintaan (menutup pabrik-pabrik yang

tidak efisien) atau dengan meningkatkan pasokan dengan membangun hutan-

hutan tanaman (hutan alam tidak mungkin lagi ditingkatkan). Atau dari sisi lain,

pasokan terlalu tinggi, misalkan hasil hutan tanaman terlalu tinggi, maka ada dua

cara untuk menyeimbangkan juga yaitu pertama pasokan dikurangi dengan tidak

menebang (jatah tebang tahunan, dikurangi) atau permintaan ditingkatkan dengan

memberi insentif didirikannya lagi pabrik- pabrik pengolahan kayu dan pasar.

Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan

kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem

yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa

lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila

dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan pembangunan

hutan tanaman industri. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari

politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan

menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas

kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk hutan tanaman dan kawasan yang

harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas

lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap

dipertahankan.

6.1.5. Keuntungan Perusahaan

Keuntungan perusahaan merupakan jaminan bagi perusahaan agar usaha

dilakukan dapat berkelanjutan. Produksi yang dihasilkan dari hutan tanaman

industri di PT MHP adalah berupa kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp.

105

Biaya dan penerimaan HTI dengan pola tanaman Acasia mangium per hektar

secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 14. Biaya dan penerimaan (Rp/ha) dari tanaman Acacia Mangium per hektar dalam sekali daur produksi, tahun 2009

Uraian Tahun Jumlah (Rp/ha)

1. Persiapan Lahan 1.1 Tebas Tebang 1 430 000 1.2 Penyemprotan herbisida 1 425 000 2. Penanaman 2.1 Bibit dan transportasi 1 600 000 2.2 Penanaman 1 350 000 2.3 Pemupukan 1 875 000 3. Pemeliharaan 3.1 Tebas Manual 1 449 500 3.2 Pengendalian gulma 1 1 464 500 3.3 Pengendalian gulma 2 2 428 500 3.4 Penunggalan dan pemangkasan cabang 2 113 000 3.5 Pengendalian gulma 3 3 338 700 3.6 Pengendalian gulma 1 3 338 700 4. Panen dan Pengangkutan 6 10 260 000 Total biaya (tanpa compound) 15 072 900 Total biaya (compound rate 10%) 18 490 863 Hasil (ton/ha) 180 Penerimaan sekarang (Harga Rp200 000 /ton) 6 36 000 000 Net return NPV (compound rate of 10%, Rp/ha) 17 509 137

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan sebelum

dicompound adalah sebesar Rp15 072 900, karena biaya tersebut telah dikeluar-

kan pada beberapa tahun yang lalu maka untuk menghitung biaya dalam nilai kini

dikalikan dengan compounding faktor (CF 10%) diperoleh nilai biaya sebesar

Rp18 490 863. Jika produksi rata-rata diasumsikan sebesar 180 m3/ha dan harga

kayu Rp200 000/m3, maka penerimaan per hektar tanaman HTI adalah sebesar

106

Rp36 juta. Jadi keuntungan bersih perusahaan yang dihitung dalam nilai sekarang

adalah sebesar Rp17 509 137 per ha. Jika rata-rata luas areal yang di panen per

tahun di PT MHP adalah seluas 10.750 hektar per tahun maka penghasilan bersih

perusahaan per tahun adalah sebesar Rp188 223 225 556. Jika luas tanam

keseluruhan sebesar 193 500 ha dan jumlah tanam/tebang per tahun 10 750 ha

maka nilai tegakan HTI PT. MHP adalah sebesar Rp3 199 794 834 448.

Dari sisi keuntungan perusahaan dan nilai tegakan HTI yang demikian besar

merupakan sektor usaha yang mempunyai prospek yang sangat menjanjikan bagi

perusahaan untuk tetap eksis dibidang usaha HTI ini.

6.2. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Petani

Dalam perspektif petani hutan tanaman industri merupakan peluang usaha

baru yang di harapkan dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan

mereka. Untuk itu dari sudut pandang petani adalah bagaimana upaya agar

keberadaan HTI di lingkungan mereka bisa memberikan sebesar-besarnya peluang

bekerja dan mencari penghidupan yang layak guna meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan mereka.

Pembangunan hutan tanaman sejak awal bertujuan untuk menunjang

program pembangunan nasional dan pemerintah daerah, ikut memperluas

lapangan kerja, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Dalam beberapa studi

yang telah dilakukan, kegiatan pembangunan HTI PT. MHP telah menyerap

tenaga kerja lebih dari 10 ribu orang per tahun. Dampak lainnya adalah telah

terjadinya peningkatan aktivitas angkutan, jasa, sarana umum, dan perdagangan

107

komoditi. Disamping itu telah terjadi introduksi terhadap pola pandang dan pola

pikir masyarakat.

Sesuai dengan semangat PP No.7/1990 bahwa pembangunan HTI telah

mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Secara faktual dapat

dianggap bahwa perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha merupakan realisasi

dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perluasan kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha yang diaktualisasikan dalam lingkup pekerjaan

pembangunan HTI mulai dari penanaman, pemeliharaan tegakan hutan,

pemungutan kayu, pengolahan kayu dan pemasaran hasil olahan. Ada banyak

jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat

sekitar di dalam pekerjaan HTI akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan

mereka. Bagi sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa usaha

(entrepreneurship), mereka dapat membuka usaha yang melayani aktivitas

pembangunan hutan tanaman misalnya menjadi pemborong pekerjaan, membuka

restoran, dan semua aktivitas pelayanan kepada pelaksana kerja. Dengan

bertambahnya pengalaman manajemen MHP, maka makin banyak pekerjaan yang

diborongkan ke masyarakat.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar HTI

adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat sekitar dalam kegiatan

perusahaan. Melalui pendekatan sosial-kemasyarakatan, saat ini perusahaan

melakukan dua program yang sejalan dengan perspektif masyarakat, yaitu

Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) di lahan konsesi milik PT MHP

dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di lahan milik rakyat yang tidak produktif.

Program ini dimaksudkan sebagai kegiatan partisipatif, di mana masyarakat tidak

108

hanya diminta partisipasinya (masukan tenaga, pikiran dan komitmen) tetapi juga

ikut menikmati hasilnya dan berbagi hasil. Pembahasan lebih lanjut mengenai

MHBM dan MHR ini akan di bahas pada sub bab selanjutnya.

6.3. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Pusat

Dalam perspektif pemerintah pusat, pembangunan kehutanan secara

nasional, selalu diarahkan untuk pencapaian optimal dalam manfaat ekologi,

ekonomi, dan sosial. Sebagai sumberdaya alam yang pokok hutan seharusnya

dapat berfungsi sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidro-orologi),

penyangga iklim bumi (pemanasan global), sumber keanekaragaman hayati, serta

modal atau penunjang pembangunan.

Pemanfaatan hutan alam yang dilakukan secara berlebihan selama ini telah

memberikan dampak berkurangnya luasan kawasan hutan serta adanya kerusakan

yang akhirnya dapat menurunkan fungsi hutan secara keseluruhan. Berdasarkan

kenyataan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan di

dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat

dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan.

Untuk mempertahankan fungsi hutan, salah satu kebijakan pemerintah

adalah melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman

Industri (HTI). HTI sebagai hutan tanaman kayu dikelola dan diusahakan dengan

tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan yang tidak atau kurang

produktif guna mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri

pengolahan kayu baik industri penggergajian, kayu lapis, mebel, pulp, kertas serta

bahan industri kayu lainnya.

109

Berdasarkan data FAO selama kurun waktu 2000-2005 di Indonesia telah

terjadi kerusakan hutan sekitar 11.2 ha. Untuk itu pemerintah berkepentingan

menggantikan fungsi hutan alam yang rusak tersebut dengan hutan tanaman

industri (HTI). Sampai sekarang, pemerintah telah mengalokasikan sekitar 10.26

juta hektar areal hutan produksi negara untuk di bangun hutan tanaman industri.

Kerusakan hutan yang terjadi telah menimbulkan total nilai biaya ekonomi

yang tinggi, baik berupa biaya sosial, finansial dan kerusakan lingkungan yang

ditimbulkan akibat rusaknya hutan. Menurut penelitian FAO (2005) kerusakan

hutan akibat penebangan liar telah mengakibatkan kerugian negara penghasil kayu

sedikitnya sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan telah

mempengaruhi mata pencaharian penduduk di Indonesia yang hidup dalam

kemiskinan. Rusaknya hutan juga telah mengancam eksistensi banyak spesies

yang rentan kelestariannya. Dampak negatif dari kerusakan tersebut juga secara

langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa

banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan

kuantitasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data mengenai kerusakan

hutan di Indonesia dan perubahannya dari tahun 1998 sampai dengan 2004 dapat

dilihat pada tabel 15.

Program pembangunan hutan tanaman industri dengan target Rp12 juta

hektar hingga tahun 2012, pemerintah berusaha untuk mengoptimalkan

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Reboisasi (DR). Pada tahun

2005-2009 pencapaian jumlah PNBP sebesar Rp1 triliyun dan di harapkan terus

meningkat sebesar 5% setiap tahunnya. Disamping itu pemerintah juga

mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product),

110

dengan indikator pendapatan produk hasil hutan non kayu meningkat dan

beragam. Dalam kurun waktu 2005-2009 terlihat pencapaian pendapatan produk

hasil hutan non kayu meningkat minimal 15 % dari produk hasil hutan non kayu

dari tahun 2004.

Tabel 15. Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan perubahannya di Indonesia 1998 – 2004 (tidak termasuk reboisasi)

Tahun Luas (ha)

Perubahan

Primer ke Sekunder

(ha)

Sekunder ke Degradasi

(ha)

Total

(ha) (%)

1998 101 843 486 901 775 1 674 725 2 576 500 2.53 1999 99 266 986 991 953 1 842 198 2 834 150 2.86 2000 96 432 836 1 091 148 2 026 417 3 117 565 3.23 2001 93 315 271 1 200 263 2 229 059 3 429 322 3.67 2002 89 885 950 1 320 289 2 451 965 3 772 254 4.20 2003 86 113 696 1 452 318 2 697 161 4 149 479 4.82 2004 81 964 217 - - - -

Total 6 957 746 12 921 525 19 879 270 - Rata-rata perubahan per tahun 1 159 624 2 153 588 3 313 212 3,55

Sumber: Departemen Kehutanan, 2005

Dengan adanya sasaran dan indikator pencapaian tersebut, maka

diharapkan terjadi dampak langsung maupun tidak langsung (outcome) berupa : 1)

nilai tambah industri kehutanan meningkat, 2) peningkatan penyerapan tenaga

kerja, 2) peningkatan devisa, 3) peningkatan ekonomi wilayah, 4) peningkatan

kesejahteraan masyarakat, 5) pengelolaan lebih efisien dan kompetitif, 6) tercapai

pengelolaan hutan yang berkelanjutan, disamping menyelenggarakan perbaikan

kualitas.

111

6.4. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Daerah

Dalam perspektif daerah pembangunan HTI diharapkan berdampak terhadap

percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, menciptakan kesempatan

bekerja, dan meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll.

Dalam hal ini pemerintah daerah berhak mengambil pajak, iuran, pungutan,

sumbangan, bea sewa, imbalan jasa dll., untuk menunjang pembangunan daerah.

Pajak, iuran sumbangan yang diberlakukan sekarang untuk sektor kehutanan

adalah: Pajak Penghasilan (Pph), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provisi

Sumberdaya Hutan (PSDH), Pajak Air Permukaan (Perda), dan Pajak Penerangan

(Perda).

Pajak PSDH berdasarkan PP No. 15 tahun 2000 (pembagian penghasilan

antara Pusat dan Daerah) adalah 75% untuk daerah dan 25% untuk Pusat,

Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari perusahaan MHP pada tahun 2006,

pajak, iuran, sumbangan yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut disajikan pada

Tabel berikut ini.

Tabel 16. Pajak, iuran dan sumbangan yang dibayarkan oleh PT. MHP, tahun 2006

No. Jenis Pengeluaran Besaran (Rp) 1. Pph 7 467 253 477 2. PBB 2 694 689 192 3. PSDH 991 094 395 4. Pajak air permukaan 11 272 129 5. Pajak penerangan 6 368 719 6. Sumbangan pihak ketiga 450 000 000 Jumlah 14 620 676 912

112

Jumlah tersebut dibebankan pada luas hutan tanaman MHP seluas 193 500

ha maka pajak iuran, sumbangan MHP per ha per tahun kepada daerah adalah

Rp75 559. Bagi Kabupaten Muara Enim yang memiliki luas areal HTI MHP

seluas 161 400 ha (54%) maka bagian yang diterima Kabupaten Muara Enim

adalah = 0.54 x Rp14 620 676 912 = Rp7 895 165 532 atau lebih kurang sekitar

Rp8 milyar. Ini berarti jumlahnya hampir separuh PAD Kabupaten Muara Enim

(Dispenda Kabupaten Muara Enim, 2006).

Di samping penerimaan berupa uang, manfaat lain juga banyak yang didapat

dalam bentuk fisik seperti bangunan mesjid, mushola, gedung sekolah dll., serta

dampak sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan tanaman.

Demimikian juga terjadi percepatan pembangunan prasarana ekonomi berupa

pembangunan jalan raya utama sepanjang 1000 km dan jalan cabang sepanjang

2000 km. Disamping itu juga dibangun jalan logging sepanjang 360 km.

Kontribusi hutan tanaman kepada masyarakat setempat yang terbesar adalah

penyediaan lapangan kerja yang besarnya tergantung dari jumlah orang yang

bekerja di pembuatan hutan tanaman dan kegiatan pemanenannya. Menurut

pengamatan setempat upah pekerja sebelum bekerja di MHP adalah sekitar Rp350

ribu per bulan atau kurang. Tetapi setelah bekerja di MHP upah rata-rata sebesar

Rp550 ribu per bulan. Jadi ada perbedaan, yaitu dengan peningkatan rata-rata

sekitar Rp200 ribu per orang per bulan.

Jumlah pekerja pada kegiatan tebangan diperkirakan sebanyak 1 400 orang,

sedangkan pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan diperkirakan dua kalinya.

yang dapat bekerja sepanjang tahun sehingga juunlahya sebanyak 3 200 orang.

113

Pada musim kemarau penanaman dihentikan tetapi tenaga tersebut dapat dialihkan

pada pemeliharaan, persemaian dll.

Penambahan pendapatan masyarakat dengan adanya hutan tanaman tersebut

dapat diperkirakan Rp200 000 x 3 200 orang = Rp640 000 000 per bulan atau Rp7

680 000 000 per tahun. Uang sebanyak Rp7.6 milyar per tahun tersebut bila

dibelanjakan oleh pemegangnya akan menimbulkan kesempatan kerja secara

simultan bagi orang lain. Selanjutnya bila uang tersebut dibelanjakan pula kepada

orang lain lagi akan memberikan pendapatan atas hasil kegiatan yang terimbas,

demikian seterusnya dan ini disebut efek ganda pendapatan (income multiflier

effect). Besarnya efek ganda tersehut tergantung pada perilaku masyarakat dalam

mengatur anggaran rumah tangganya, apakah cenderung untuk membelanjakan

uangnya atau cenderung untuk menabungnya.

Pemerintah daerah Sumatera Selatan menyatakan bahwa perusahaan MHP

telah berperan besar dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi

Sumatera Selatan. Salah satu di antaranya adalah menyumbang pada Pendapatan

Asli Daerah berupa pajak perseroan, retribusi dan sumbangan-sumbangan untuk

kegiatan insidentil, antara lain untuk menyumbang penyelenggaraan PON 2004.

Peran ini dinilai murni tanpa ada kebocoran untuk mengimpor bahan Baku dan

bahan penolong proses produksi. Bahan baku yaitu hasil kayu dan hutan tanaman

diperoleh dari daerah setempat. Sedangkan pajak yang dibayar oleh MHP adalah

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak

Penghasilan (PP 21 dan PP 23). Pajak Pertambahan Nilai dan pajak-pajak lainnya

misalnya kendaraan bermotor, air, penerangan jalan.

114

Peran lainnya adalah penyedia lapangan kerja dan kesempatan kerja, baik

bagi pekerja tetap maupun pekerja borongan untuk melaksanakan pekerjaan di

MHP. Sebagian besar pekerjaan diborongkan dan dampaknya para pemborong

mengalami peningkatan ekonomi secara sangat nyata. Misalnya seorang

pemborong yang semula tak bermodal sekarang memiliki tiga kendaraan, satu

untuk pribadi, satu truk untuk pekerjaan pemborongan dan satu bus melayani rute

setempat. Ada pula seorang yang semula pekerja biasa namun karena keuletannya

mampu berkembang menjadi pemborong sehingga kondisi ekonominya sangat

membaik. Pekerjaan-pekerjaan yang diborongkan itu boleh dikatakan tersedia

sepanjang tahun sehingga dengan kejelian pemborong, pekerja yang tergabung

sebagai regu (crew) pemborong itu hampir memiliki pekerjaan tetap selama

setahun, dan terus bergulir sepanjang tahun.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa usaha pokok membangun HTI

telah mampu menumbuhkan kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan

penduduk sekitar hutan, beberapa kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat.

Mungkin saja pengusaha lokal itu sudah agak berjaya berkat karet, namun dengan

melakukan pemborongan, kapasitas manajerial mereka makin berkembang.

Fasilitas yang diberikan oleh MHP adalah untuk setiap kerja yang

diborongkan selalu ditopang dengan standard operating procedures (SOP)

sebagai pegangan bagi semua yang terlibat di dalam kegiatan itu. Nama yang

dicetak di sampul depan adalah standard operating procedures (SOP) dan bukan

istilah lainnya. Di dalam SOP itu dicantunkan Uraian Pekerjaan, Spesifikasi

Teknis, Standar Hasil, Pelaksana dan Penanggung Jawab. Masing-masing SOP

dilegalisasi oleh Direktur Teknik, misalnya Direktur Penanaman dan

115

Pengembangan Hutan. Dengan uraian di dalam SOP, semua pihak mengacunya

dan hasil kinerja juga dinilai berdasar isi di dalam SOP. Rumusan SOP untuk

semua jenis pekerjaan yang diborongkan adalah sebuah lompatan managerial yang

jauh ke depan karena dengan pemborong yang memiliki manual berupa SOP,

struktur organisasi perusahaan dapat dibuat seringkas mungkin, pekerjaan dapat di

bagi kepada sebanyak mungkin pemborong dan basil kerja akan seragam untuk

seluruh kawasan seluas 193.500 ha. Proses peningkatan kesejahteraan bagi semua

pihak benar-benar mengacu pada kualitas hasil kerja, atau melakukan meritokrasi

dan bukan pada "manajemen belas kasihan" atau "manajemen tidak jelas".

Di samping manfaat ekonomi dari pembangunan HTI, manfaat sosial yang

diciptakannya adalah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha

termasuk usaha yang mendukung usaha pokok yaitu pembangunan HTI. Perluasan

kesempatan kerja juga memperluas landasan ekonomi dan sekaligus membuat

diversifikasi usaha bagi para pelakunya. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha

dimanifestasikan dengan berkembangnya kelompok pengusaha baru, yaitu

pemborong kerja di MHP dan penyedia berbagai pelayanan usaha untuk MHP

maupun untuk karyawannya. Pembangunan HTI yang menggunakan teknologi

yang akrab di masyarakat merupakan pendorong berkembangnya ekonomi

masyarakat. Untuk membangun ekonomi berbasis peran serta masyarakat kita

tidak harus selalu mengandalkan pada teknologi tinggi dan modal yang kuat,

karena yang terpenting adalah memancing peran serta mereka sebagai homo

economiucs, disamping mengembangkan mereka sebagai homo ecologicus.

Sumatra Selatan dengan segala kemudahan yang diberikan mengundang

investor untuk mengembangkan HTI dikawasan hutan yang kritis dan tanah

116

kosong yang luas di daerah ini. Pemerintah daerah dapat mengusahakan

penyediaan lahan yang clean and clear yang bebas konflik dan bebas dari claim

masyarakat. Diharapkan investor dapat mengembangkan industri selain pulp dan

kertas untuk memperkaya industri berbasis hutan tanaman di Sumatra Selatan.

Pemerintah juga menghendaki adanya variasi tanaman yang ditanam dan bukan

hanya Acacia mangium saja, melainkan berbagai jenis tanaman yang kayunya

dapat diproses oleh industri kehutanan. Bahkan mungkin juga dikembangkan

industri terintegrasi (integrated industry), kayu-kayu berdiameter besar diproses

menjadi furniture dan limbahnya dapat di proses menjadi serpih untuk kemudian

di proses menjadi pulp. Kedepan bila memungkinkan adalah dengan memperluas

HTI yang berpola inti-plasma.