vi. pembangunan hutan tanaman industri dalam … · 87 vi. pembangunan hutan tanaman industri dalam...
TRANSCRIPT
87
VI. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Community Based
Forest Mmanagement (CBFM) adalah pola pengelolaan hutan bersama antara
perusahaan MHP dan masyarakat dengan semangat berbagi manfaat sehingga
kepentingan bersama untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.
Pembangunan HTI dengan pola PHBM ini meliputi kegiatan berbasis lahan
dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dapat dilakukan di dalam kawasan dan
di luar kawasan konsesi hutan tanaman. Di dalam kawasan konsesi perusahaan
telah mengembangkan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM)
dan diluar kawasan telah dikembangkan program Mengelola Hutan Rakyat
(MHR). Masing-masing program ini adalah program yang unik, yang hanya
dilakukan di perusahaan MHP dengan dikukuhkan oleh surat kesepakatan yang
dilakukan secara legal formal. Kegiatan berbasis bukan lahan juga dapat
dilakukan di dalam dan di luar kawasan yang meliputi pengembangan industri,
jasa dan perdagangan, serta pengembangan unit usaha dan kegaiatan
perekonomian masyarakat.
Program MHBM adalah program yang memberikan kesempatan sebesar-
sebesarnya bagi masyarakat masuk ke dalam kawasan HTI untuk ikut mengelola
hutan mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen.
Masyarakat akan mendapat upah yang layak dari setiap pekerjaan yang mereka
lakukan. Disamping itu masyarakat juga mendapat bagian dari produksi kayu
88
HTI yang dihasilkan berupa jasa manajemen dan jasa produksi sebesar Rp2
500/m3.
Program MHR adalah program dimana perusahaan ke luar dari lahan
konsesi, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang
memiliki lahan yang belum dikelola untuk di tanami HTI (Acacia mangium).
Kerjasama ini di kukuhkan dengan sebuah kesepakatan kerjasama yang legal,
dimana perusahaan menanggung semua biaya yang dikeluarkan mulai dari
pembukaan lahan sampai panen dan pengangkutan. Biaya ini nanti langsung
dikurangi penerimaan dari hasil kayu yang di panen, lalu penerimaan tersebut di
bagi dengan proporsi 40% petani dan 60% perusahaan. Namun jika gagal semua
biaya ditanggung oleh perusahaan dan petani tidak dibebani biaya apapun.
Tinjauan analisis pembangunan HTI dengan pola PHBM ini secara lebih
mendalam dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang dengan berbagai
perspektif. Untuk mendalami persoalan ini maka dalam pembahasan sub bab ini
akan dilihat pembangunan HTI dalam empat perspektif yang berbeda, yaitu: (1)
perspektif perusahaan, (2) perspektif petani, (3) perspektif pemerintah, dan (4)
perspektif daerah.
6.1. Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan
Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang
cukup menjanjikan bagi para investor besar. Hal ini di dukung oleh kebijakan
pemerintah yang sangat kondusif untuk pengembangan HTI secara besaran-
besaran bagi program pengembangan pembangunan sektor kehutanan. Beberapa
peraturan pemerintah dan perundang-undangan telah diterbitkan untuk
89
memberikan insentif dan kemudahan bagi perusahaan untuk ikut berkiprah di
sektor hutan tanaman industri. Sebagai landasan Hukum pembangunan HTI
adalah PP No.7 tahun 1990, lalu dirubah dengan PP No.6 tahun 1999, lalu
disempurnakan dengan PP No.34 tahun 2002.
Dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi
yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses
produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh
dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu pengusaha sangat berhati-hati dan
penuh perhitungan yang cermat sebelum terjun ke sektor usaha hutan tanaman ini.
Sebagai pertimbangan yang cermat seorang investor selalu melihat ke belakang
dan sekaligus ke depan, menghubungkan antara potensi sumberdaya dengan
potensi pasar, dimana perusahaan dapat menentukan faktor-faktor prospek
investasi tersebut dari sisi kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan
struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh.
6.1.1. Kepastian Berusaha
Dalam perspektif perusahaan, kepastian berusaha merupakan aspek penting
yang sangat menentukan sekaligus jaminan keberlangsungan usaha dalam jangka
panjang, karena investasi dan kelestarian hutan umumnya memerlukan waktu
yang panjang. Di Indonesia dan umumnya di negera berkembang lainnya
kepastian lahan masih ditempatkan sebagai faktor yang paling rawan, karena
disamping pengurusan izin yang sulit dengan birokrasi yang panjang, serta sering
terjadi friksi atau benturan dengan masyarakat sekitar yang telah bermukim lebih
dulu di sekitar kawasan.
90
Perusahaan telah melalui tahapan dan prosedur yang panjang untuk
mendapatkan kepastian lahan, dengan kronologisnya sebagai berikut:
1. Dengan SK Menteri Kehutanan No.l 775/Menhut-V/1989, Barito Pacific
Group dijinkan membuat percobaan penanaman Acacia mangium dengan luas
50 000 ha yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 5 tahun (1990-1994).
2. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) mengeluarkan surat
No.1109/DJRRL/V/1989 untuk menindak lanjuti keputusan Menteri
Kehutanan tersebut.
3. Pada tahun 1991 menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.
276/Menhut-V/1991 untuk menetapkan areal HPHTI seluas 311 215 ha.
4. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan itu, Barito Pacific Group
membuat anak perusahaan dengan nama PT Enim Musi Lestari (EML).
5. Mengikuti peraturan umum yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, selanjutnya
PT Enim Musi Lestari membentuk perusahaan patungan dengan PT Inhutani
II yang pada waktu itu ditugasi oleh Departemen Kehutanan membangun
kawasan hutan tak produktif di kabupaten Muara Enim tersebut.
6. Perusahaan patungan tersebut dinamakan PT Musi Hutan Persada (MHP),
yang mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman No.C2.1767.H1.01.10-
Th 91, tertanggal 24 Mei 1991.
7. Dengan terbentuknya MHP, maka lokasi HPHTI lalu ditetapkan secara pasti.
Namun untuk itu memerlukan proses yang cukup panjang sehingga sempat
beberapa kali mengalami perubahan. Akhirnya kepastian tersebut dapat
diperoleh setelah Gubernur Sumatera Selatan memberikan rekomendasi yang
kedua kalinya pada tanggal 16 Januari 1995.
91
Berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan Nomor:
522/00237/95 tahun 1995 dan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
038/Kpts-II/1996 tahun 1996. PT MHP memperoleh kepastian hak pengusahaan
hutan tanaman industri (HPHTI) di atas areal seluas kurang lebih 296 400 ha
HPHTI tetap di Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan kebijakan pemerintah, sumber lahan untuk hutan tanaman
industri adalah tanah kosong atau alang-alang, belukar, hutan alam rawang
(kurang produktit) dan lain-lain. Namun lahan HTI diperbolehkan juga berasal
dari hutan alam yang dikonversi jika memang ada alasan yang kuat dan tidak
merugikan lingkungan.
Berpedoman pada arahan pemerintah tersebut PT MHP dalam pembangunan
HTI lebih memprioritaskan pada lahan alang-alang yang biasanya sering terbakar
dan tidak produktif. Selanjutnya, Perusahaan bekerjasama dengan PT. Inhutani
dalam pelaksanaan pembangunan HTI. Walaupun sudah mendapatkan kepastian
lahan dari pemerintah perusahaan HTI tidak luput dari masalah klaim pemilikan
lahan oleh penduduk sekitar kawasan.
Pembangunan HTI mendapat dukungan politik yang besar dari pemerintah
Orde Baru dengan memberi banyak subsidi. Pada era reformasi desakan untuk
tidak mengkonversi hutan alam datang dari IMF (International Monetary Fund)
melalui LOI (Letter of intent) dan Bank Dunia, dengan alasan utama
keanekaragaman hayati dan masalah lingkungan.
Pembangunan HTI di Indonesia didukung oleh subsidi dana reboisasi (DR),
yaitu partisipasi modal pemerintah dan pinjaman bunga rendah dan dibalik itu ada
daya tarik lahan HTI yaitu kesempatan usaha dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
92
Pengalaman MHP di Sumatera Selatan dalam membuat hutan tanaman
(dengan Acacia mangium) mulai tanam sampai dipanen, dapat dijadikan acuan
dalam pembangunan HTI di Indonesia. Pengalaman ini dapat memberi informasi
berguna kepada investor lain yang berminat. Dari aspek legal sebetulnya lahan
hutan tanaman sudah cukup kuat sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) di mana hutan tanaman diselenggarakan pada hutan
produksi bebas. Kemudian dikeluarkan PP No.17 tahun 1998 yang mengatur
prosedur pendirian unit-unit manajemen HTI pada lokasi yang mendapat izin.
Masalah yang langsung dan berat terhadap kepastian usaha HTI adalah
konflik (friksi) dengan penduduk sekitar areal hutan tanaman terutama tentang
perebutan lahan dengan berbagai sebab. Permasalahan sosial (adat) penduduk di
sekitar hutan hendaknya dapat diselesaikan terlebih dahulu, jika tidak maka
investasi pada lahan HTI tersebut akan menghadapi banyak kesulitan yang akan
sangat mengganggu kelangsungan usaha.
Pengalaman MHP yang telah membangun hutan tanaman Acacia mangium
seluas lebih kurang 193 500 ha yang dalam perjalanannya banyak menghadapi
konflik sosial dengan masyarakat sekitar, mulai dari pencurian kayu, kebakaran
hutan, dan klaim lahan telah mengakibatkan keamanan dan kepastian berusaha
menjadi ancaman yang cukup berat. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun
1999/2000, dimana terjadi pembakaran, demonstrasi dan pendudukan areal hutan
oleh masyarakat secara besar-besaran. Konflik ini berakhir melalui negosiasi
yang panjang antara perusahaan dan masyarakat dengan mediasi para ahli,
pemerintah, dan para tokoh masyarakat, yang akhirnya menghasilkan beberapa
kesepakatan-kesepakatan agar perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan
93
masyarakat. Perusahaan juga harus membayar milyaran rupiah untuk mengganti
lahan yang diklaim mereka sebagai lahan eks marga. Belajar dari konflik tersebut
kemudian perusahaan MHP merubah strategi pengelolaan hutan dengan
melakukan pendekatan kemasyarakatan antara lain dengan program Mengelola
Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di
areal tanah penduduk dengan kerjasama bagi hasil. Sejauh ini pendekatan tersebut
sudah relatif berhasil dan konflik dengan masyarakat tidak pernah terjadi lagi,
sehingga risiko investasi dapat dikurangi, seperti masalah lahan dan kebakaran
hutan jauh berkurang.
6.1.2. Luas Lahan Konsesi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Menhut-
V/1991, luas areal untuk HPHTI adalah sebesar 311 215 ha, namun berdasarkan
pengukuran planimetris, ternyata luas bruto areal untuk HPHTI MHP itu menjadi
447 190 ha, lalu setelah studi ulang areal tersebut berubah lagi menjadi 343 224
ha, yang terdiri atas kelompok hutan Martapura, Subanjeriji dan Benakat. Dengan
rekomendasi dari Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
No.1668/KWL-6.1/7/94 dan rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan
No.522/00237/95, areal MHP ditambah 64 034 ha sehingga seluruhnya menjadi
407 224 ha.
Berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan hutan
seluas 407 224 ha yang dicadangkan untuk MHP itu berstatus hutan produksi
seluas 359 878 ha (88.4%), hutan produksi terbatas 40 936 ha (10.1%), dan hutan
produksi konversi 6 408 ha (1.6%). Namun berdasarkan RUTR Provinsi Sumatera
94
Selatan seluruh kawasan hutan MHP termasuk dalam kawasan budidaya
kehutanan. Dari aspek topografi, 290 505 ha (71.3%) tergolong landai, 95 059 ha
(23.3%) termasuk datar, dan sisanya 21 660 ha (5.3%) agak curam. Rincian luas
hutan menurut peruntukannya menurut kelompok hutan disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Luas areal HPHTI yang dicadangkan untuk PT Musi Hutan Persada menurut peruntukan dan kelompok hutan
Kelompok Hutan
HP (ha)
HPT (ha)
HPK (ha)
Jumlah (ha)
Persen
1. Martapura 15 313 12 462 0 27 775 6.8 2. Subanjeriji 104 837 7 800 0 112 637 27.7 3. Benakat 239 728 20 676 6 480 266 884 65.5
Jumlah 359 878 40 938 6 480 407 224 100.0 Persen 88.4 10.0 1.6 100
Sumber: PT. MHP, tahun 1995.
Dari Tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar kawasan yang dicadangkan
untuk areal HPHTI MHP terdiri atas hutan produksi (88.4%). sedangkan hutan
produksi yang dapat dikonversi hanya 1.6%. Bahkan setelah dikaji dengan
membuat scoring berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/l1/1980
tentang kriteria penetapan hutan lindung dan SK Menteri Pertanian
No.683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria penetapan hutan produksi, kawasan
hutan produksi terbatas sehanyak 10% itupun dapat diubah statusnya menjadi
hutan produksi. Hal itu memungkinkan bagi MHP untuk bekerja dengan tenang
karena kawasan yang di sediakan untuknya memang kawasan budidaya
kehutanan.
Di antara tiga kelompok hutan, sebagian besar arealnya (65.3%) terletak di
Benakat, Subanjeriji menduduki tempat kedua (27.7%) dan kelompok hutan
Martapura hanya 6.8%. Kelompok hutan Martapura terletak paling jauh dari
95
industri pulp PT TEL, sehingga biaya pengangkutan kayu dari wilayah ini yang
relatif paling mahal. Kelompok hutan Subanjeriji merupakan wilayah kerja untuk
HTI yang paling ideal, karena di samping lokasinya dekat dengan pabrik,
asesibilitasnya paling baik dan topografinya relatif datar. Namun demikian justru
karena hal-hal yang menguntungkan itu maka daerah ini berpenduduk paling
padat sehingga intensitas masalah sosial-ekonominya juga yang paling tinggi.
6.1.3. Skala Investasi dan Struktur Modal
Sampai dengan akhir tahun 2002 penanaman skala komersial yang telah
berhasil dilakukan MHP berupa penanaman Acacia mangium adalah 193 500 ha
pada semua tipologi lahan yang di miliki perusahaan. Secara kronologis kinerja
penanaman disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Kinerja penanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada
Tahun Tanam Luas (ha) Tahun Tanam Luas (ha) 1990/1991 27 928.25 1996/1997 14 276.0 1991/1992 50 214.58 1997/1998 2 609.0 1992/1993 24 025.05 1998/1999 2 355.7 1993/1994 35 427.02 1999/2000*) 6 927.0 1994/1995 24 869.10 2000/2001 12 750.0 1995/ 1996 14 1 51.00 2001 /2002 14 260.0 *) mulai rotasi kedua, dengan jenis yang diperbaiki genetiknya.
Untuk mempertahankan kemampuan memasok badan Baku ke industri,
sejak tahun 2000 perusahaan menanam dalam luasan yang rata-rata seragam yaitu
10 750 ha, sebagai ganti penutupan lahan hutan yang dipanen pada tahun yang
sama. Penyeragaman ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara luas panen
dengan luas tanaman.
96
Di samping menanam, perusahaan juga melakukan pemelihartan. Skedulnya
dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rencana atau realisasi pemeliharaan tegakan dan penebangan HTI, Tahun 1990/91-2004/05
Tahun Pemeliharaan
(ha) Penebangan
(ha) Tahun
Pemeliharaan (ha )
Penebangan (ha )
1990/91 - - 1998/99 91 332 5 429 1991/92 27 928 - 1999/00 55 905 9 400 1992/93 78 143 - 2000/01 36 465 10 750 1993/94 102 168 - 2001/02 31 714 10 750 1994/95 137 595 - 2002/03 25 579 10 750 1995/96 162 464 - 2003/04 36 329 10 750 1996/97 148 678 - 2004/05 47 079 10 750 1997/98 115 357 -
Dukungan dari semua pihak yang berkepentingan, serta adanya jaminan
keberlangsungan usaha dan luasan areal yang memadai membuat usaha
pembangunan HTI menjadi ekonomis dan menguntung. HTI terutama jenis
Acacia mangium mempunyai keunggulan kompetitif, karena memiliki produksi
per hektar yang tinggi, kualitas produk kayu relatif seragam dan transfer teknologi
dari luar relatif mudah diterapkan pada hutan tanaman.
Pembangunan HTI memerlukan dana investasi yang besar, besarnya
investasi yang diperlukan ini menuntut kehati-hatian bagi pemilik modal.
Beberapa kendala yang perlu diperhatikan adalah bunga modal yang relatif tinggi
dan langka di Indonesia sehingga investasi menjadi mahal dan beresiko jika tidak
diimbangi dengan upaya lain. Rotasi tanaman yang relatif panjang (paling pendek
5-8 tahun) juga menjadi sebab paling utama kelemahan investasi di sektor hutan
97
tanaman. Makin panjang proses produksi (rotasi) makin berat dampak bunga
yang dirasakan investor, karena suku bunga modal mengikuti rumus eksponensial.
Sementara hasil baru diperoleh hanya sekali pada akhir rotasi, hal ini sangat
berbeda dengan tanaman perkebunan yang dapat dipanen tiap tahun.
Pembangunan HTI sangat dibebani dengan arus kas (cash-flow) yang tidak
berimbang (karena tidak terjadi tiap tahun), dengan demikian nilai diskon faktor
panen pada akhir rotasi menjadi kecil.
Modal untuk investasi di sektor yang relatif berisiko tinggi dan yang lambat
menghasilkan (slow-yielding) biasanya sukar didapat karena bunga yang dapat
dibayarkan kepada pemilik modal rendah. Sektor usaha yang cepat
menguntungkan biasanya akan memperoleh modal usaha lebih mudah karena
dapat membayar bunga yang tinggi. Dengan demikian investasi hutan tanaman
meskipun tujuannya mulia dalam mencari modal akan kalah bersaing dengan
investasi tanaman lain, yang dapat dianggap lebih bankable, bila tidak ada faktor
lain yang mendukung atau membantu pembangunan hutan tanaman. Bantuan atau
dukungan itu antara lain diharapkan dari:
− Program pembangunan pemerintah
− Kebutuhan hasil hutan untuk bahan baku industri
− Kehutuhan hasil hutan kayu untuk masyarakat (perumahan d1l.)
− Dibatasinya penebangan di hutan alam
− Adanya dampak lain yang positif seperti mengurangi erosi, banjir dll.
− Tidak ada peluang usaha alternatif selain hutan tanaman (pada tanah marginal).
Untuk mendukung pemodalan pembangunan HTI, pemerintah melalui
Departemen Kehutanan memberikan subsidi pada HTI dengan partisipasi modal
98
dan pinjaman bunga rendah dari alokasi dana reboisasi (DR). Disamping itu juga
ada bantuan dari beberapa negara donor seperti Finlandia dan Jepang, pada
program pengembangan hutan tanaman di Indonesia berupa bantuan teknis dan
pinjaman lunak.
Selain itu banyak terjadi integrasi vertikal dengan sektor industri di bidang
kehutanan untuk mendapatkan jaminan bahan baku yang pasti dan kontinyu.
Integrasi antara industri dan hutan tanaman ini diharapkan tidak sekedar dukungan
modal, tetapi juga dapat meningkatkan rate of return di bidang hutan tanaman
yang relatif tidak tinggi (slow yielding). Integrasi ini menunjang persyaratan
pelestarian karena keduanya berorientasi jangka panjang. Kebijakan pemerintah
yang selalu mendukung integrasi ini, namun tetap mencegah kecenderungan
kearah monopoli. Pengembangan hutan tanaman tidak seyogyanya hanya sekedar
menggantungkan subsidi. Dengan adanya ekspektasi harga dan pendapatan di
masa depan, investasi dapat ditarik bila rate of return dapat dibuat tidak terlalu
rendah dan risiko tidak terlalu tinggi. Dalam hal ini peran kemajuan teknologi
baik di hutan tanaman maupun di industrinya sangat menentukan.
Investasi hutan tanaman menyadari akan hal ini sehingga dapat dimengerti
bila hutan tanaman yang disukai adalah jenis tanaman tumbuh cepat (rotasi
pendek). Selain masalah yang bersifat teknis-ekonomis, akhir-akhir ini masalah
nya makin kompleks antara lain munculnya pandangan atau penilaian masyarakat
yang menyoroti aspek konservasi dan sosial di mana banyak timbul konflik yang
menyebabkan hambatan biaya dan waktu. Berhubung dengan itu hutan tanaman
diusahakan agar mengikuti prinsip pengelolaan hutan yang lestari (PHL) di mana
kriteria aspek konservasi dan sosial diintegrasikan dengan produksi dan ekonomi.
99
Dalam rangka pengelolaan hutan tanaman lestari banyak tujuan manajemen
yang bersifat non-finansial antara lain pembuatan stasiun pengamatan debit
sungai, program pengembangan masyarakat dan berbagai kegiatan konservasi
(konservasi plasma nutfah ex-situ, konservasi cagar alam dsb). Semua ini akan
masuk dalam biaya investasi yang disehut biaya sosial (social cost).
Sebagai investor pada lahan (land-use) maka akan terjadi persaingan
penggunaan lahan (land-user), dimana hutan tanaman akan bersaing dengan
tanaman lainnya, seperti karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, dan lain-lain.
Keunggulan masing-masing sebenarnya dapat di lihat dari usaha yang paling
menguntungkan dengan rate of return yang paling tinggi.
Kendala lain adalah besarnya biaya-biaya umum per unit produksi yang
disebut pungutan-pungutan liar (biaya siluman) oleh pihak ketiga. Situasi seperti
ini menyebabkan high cost economy yang perlu dipertimbangkan dalam
melakukan investsi di hutan tanaman industri pada khususnya.
Paling tidak penanaman Acacia mangium di lahan alang-alang secara fisik
sudah nyata berhasil (exist) dan sekarang sudah dapat dipanen dan dipasarkan
(untuk pabrik pulp). Dari aspek finansial dapat dibuktikan bahwa harga pohon
berdiri (stumpage value) lebih tinggi dari pada biaya pembuatan tanaman
(stumpage cost) dengan discount factor komersial. Hasil penelitian oleh Divisi
Penelitian dan Pengembangan PT. MHP, tanaman rotasi kedua pertumbuhannya
lebih baik.
Berdasarakan pengalaman dan hasil yang telah dicapai oleh MHP maka
dapat dikatakan bahwa prospek investasi pada sektor HTI di Indonesia adalah
positif. Dengan produksi per hektarnya yang cukup tinggi, kayunya juga
100
disamping untuk penggunaan bahan baku kertas (pulp), ternyata sifat kayunya
(bagian teras) juga dapat dipakai untuk kayu pertukangan.
Pada awalnya pemegang saham MHP adalah PT Inhutani V yang mewakili
pemerintah dan PT Enim Musi Lestari (EML). Dalam perusahaan patungan itu PT
Inhutani V memiliki 84 000 saham bernilai Rp84 milyar (40%), sedangkan EML
memiliki 126 000 saham bernilai Rp126 milyar (60%). Setelah perusahaan
patungan tersebut disepakati dan disahkan oleh Menteri Kehakiman, maka
selanjutnya PT. MHP membentuk susunan organisasi perusahaan. Sejak tahun
2004 kepemilikan saham PT. EML diambil alih oleh perusahaan jepang
Marubeni. Saat ini proporsi kepemilikan saham PT. MHP adalah 40% di miliki
oleh PT. Inhutani V dan 60% di miliki perusahaan Marubeni dari Jepang.
6.1.4. Teknologi dan pengembangan pasar
Salah satu keunggulan investasi di hutan tanaman industri adalah teknologi
dan alih teknologi yang dapat diaplikasikan secara luas dibandingkan dengan
hutan alam. Bahkan alih teknologi hutan yang beriklim sedang ke hutan tropis
menunjukkan hasil yang baik dan menguntungkan. Berdasarkan alasan
kemudahan alih teknologi inilah, pengembangan hutan tanaman industri lebih
menjanjikan ketimbang hutan alam.
Kendala-kendala fisik-biologis yang tadinya merupakan ancaman HTI satu
persatu dapat diatasi oleh penemuan baru dari hasil riset dan pengembangan yang
telah dilakukan secara terus menerus. Masalah serangan hama dan penyakit,
gangguan kebakaran, dapat diatasi dengan mengaplikasikan pengalaman dari
beberapa negara maju dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan kondisi yang
101
dihadapi di daerah tropis. Penanggulangan kebakaran di HTI MHP sudah diakui
oleh badan intetnasional dianggap dan dinilai yang paling siap di Indonesia.
Pengembangan pemuliaan pohon merupakan peluang yang sangat
menjanjikan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Penemuan dan
peranan penelitian serta kemajuan teknologi pada semua proses penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan di hutan tanaman satu per satu dapat mengatasi
kendala yang diharapkan meningkatkan produksi dan kelayakan investasi serta
ekspansi. Hal ini telah diaplikasikan pada penanaman siklus daur kedua dari bibit
dengan faktor genetis yang di perbaiki.
Pasar hasil hutan saat ini memang sudah tersedia, namun masih harus di
kembangkan lebih lanjut. Diversifikasi pasar adalah syarat utama untuk
pengembangan pasar. Pasar dapat dibagi ke dalam pasar ekspor (global), pasar
domestik dan pasar lokal. Umumnya produk yang bernilai tinggi untuk ekspor,
sedangkan yang bernilai sedang untuk pasar dalam negeri, dan yang bernilai
rendah untuk pasar lokal. Karena hasil hutan merupakan komoditas alam, maka
tidak semua produk dapat dipaksakan untuk produk yang bernilai tinggi, sehingga
konsekuensinya pasar dalam negeri harus ada dan bahkan kadang menjadi syarat
kelayakan usaha.
Hasil hutan kayu secara tradisional sebagian untuk ekspor, terutama ketika
produksi kayu bulat diameter besar dari hutan alam masih berlimpah. Hasil dari
hutan alam ini kini dikurangi jatah tebangannya. Pada saat ini hutan tanaman
industri mendapat peluang mengisi pasar ekspor hasil hutan tanaman berapa pulp,
sedangkan ekspor kayu bulat HTI masih belum berjalan secar baik.
102
Situasi pasar hasil hutan saat ini mempunyai kecenderungan dimana jumlah
produsen dan jumlah pembeli masih sedikit, hal ini dapat menciptakan peluang
adanya produsen tunggal dan atau pembeli tunggal dan ada jarak yang jauh antara
mereka satu sama lain maka persaingan pasar tidak terjadi. Kalaupun dapat terjadi
transaksi, maka pasarnya lebih bersifat bilateral, dengan demikian harga yang
terjadi tergantung negosiasi atau posisi tawar masing-masing. Permintaan akan
hasil hutan kepada produsen (HTI) umumnya melalui derived demand yaitu
permintaan yang terkait dengan adanya permintaan akan hasil olahan yang sudah
punya pasar.
Hasil hutan HTI PT. MHP tidak mengalami masalah dalam pemasaran
karena dijual di pasar sendiri (captive market), yaitu ke pabrik pulp PT. TEL yang
dibangun berdasarkan adanya HTI yang telah dibangun dan cukup mampu
memasok keperluan bahan bakunya. Integrasi antara hutan tanaman dengan
industri pengolahannya adalah usaha pengamanan pasar (bagi HTI) sekaligus juga
pengamanan bahan baku yang kontinyu (bagi industri).
Seperti disebutkan di atas bahwa prospek pasar sama pentingnya dengan
upaya pelestarian dan besarnya sumber (potensi hutan tanaman), sehingga tidak
benar kalau pasar dituduh selalu menjadi penyebab kerusakan hutan. Pasar
diperlukan lalu dikembangkan dan dikendalikan agar pasar seimbang dengan
sumber, dimana produksi (supply) seimbang dengan permintaan (demand).
Sebelum investasi dilakukan telah dilakukan studi tentang pasar dan
proyeksinya ke depan. Perkembangan pasar (permintaan) dapat diramalkan
dengan beberapa indikator, diantaranya adalah daya beli (tingkat pendapatan),
selera, dan tren perkembangan teknologi. Pasar bahkan harus ikut di
103
pertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam. Jenis Acacia
mangium ternyata jenis yang mudah dipasarkan baik untuk pulp maupun untuk
kayu pertukangan dan ini merupakan hasil pemilihan yang cukup kuat. Pasar hasil
hutan tanaman (kayu) sebagian besar diterima pada industri pengolahan kayu,
pertukangan dan bahan bangunan lainnya, sebagian lagi langsung dikonsumsi
sebagai kayu bakar dan kayu untuk tiang, hal ini sangat penting untuk tujuan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Industri pengolahan kayu, besar perannya dalam pemanfaatan hasil hutan
yang dapat meningkatkan nilai tambah kayu, menciptakan lapangan kerja dan
kelestarian industri dan hutannya. Industri pengolahan kayu seperti dua sisi mata
uang, tidak ada industri kayu kalau tidak ada hutan. Investasi pada pabrik
pengolahan kayu yang permanen biasanya memerlukan jaminan bahan baku
jangka panjang dengan pasokan yang kontinyu. Hal ini sejalan dengan
pengelolaan hutan yang lestari. Bila industri (pabrik) menginginkan kelangsungan
bahan baku kayunya, maka industri akan memperhatikan, menjaga dan
melestarikan hutan tanaman, dengan membiayai penanaman, pemeliharaan dan
pemanfaatan. Sebaliknya, agar hutan dapat lestari maka diperlukan juga pelayanan
jaminan kepada industri agar pabrik dapat hidup terus (lestari) dengan pasokan
bahan baku dengan jumlah, kualitas dan harga yang dapat diterima. Kalau
hubungan antara industri pengolahan kayu dan pengelolaan hutan tidak serasi
bahkan tidak ada keseimbangan antara pasokan dan permintaan, maka yang akan
terjadi adalah kegagalan bagi keduanya.
Untuk mencapai keadaan seimbang diperlukan perencanaan dan
pengawasan yang baik. Bila permintaan terlalu tinggi maka ada dua cara
104
menyeimbangkannya, yaitu menekan permintaan (menutup pabrik-pabrik yang
tidak efisien) atau dengan meningkatkan pasokan dengan membangun hutan-
hutan tanaman (hutan alam tidak mungkin lagi ditingkatkan). Atau dari sisi lain,
pasokan terlalu tinggi, misalkan hasil hutan tanaman terlalu tinggi, maka ada dua
cara untuk menyeimbangkan juga yaitu pertama pasokan dikurangi dengan tidak
menebang (jatah tebang tahunan, dikurangi) atau permintaan ditingkatkan dengan
memberi insentif didirikannya lagi pabrik- pabrik pengolahan kayu dan pasar.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila
dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan pembangunan
hutan tanaman industri. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari
politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan
menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas
kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk hutan tanaman dan kawasan yang
harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas
lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap
dipertahankan.
6.1.5. Keuntungan Perusahaan
Keuntungan perusahaan merupakan jaminan bagi perusahaan agar usaha
dilakukan dapat berkelanjutan. Produksi yang dihasilkan dari hutan tanaman
industri di PT MHP adalah berupa kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp.
105
Biaya dan penerimaan HTI dengan pola tanaman Acasia mangium per hektar
secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 14. Biaya dan penerimaan (Rp/ha) dari tanaman Acacia Mangium per hektar dalam sekali daur produksi, tahun 2009
Uraian Tahun Jumlah (Rp/ha)
1. Persiapan Lahan 1.1 Tebas Tebang 1 430 000 1.2 Penyemprotan herbisida 1 425 000 2. Penanaman 2.1 Bibit dan transportasi 1 600 000 2.2 Penanaman 1 350 000 2.3 Pemupukan 1 875 000 3. Pemeliharaan 3.1 Tebas Manual 1 449 500 3.2 Pengendalian gulma 1 1 464 500 3.3 Pengendalian gulma 2 2 428 500 3.4 Penunggalan dan pemangkasan cabang 2 113 000 3.5 Pengendalian gulma 3 3 338 700 3.6 Pengendalian gulma 1 3 338 700 4. Panen dan Pengangkutan 6 10 260 000 Total biaya (tanpa compound) 15 072 900 Total biaya (compound rate 10%) 18 490 863 Hasil (ton/ha) 180 Penerimaan sekarang (Harga Rp200 000 /ton) 6 36 000 000 Net return NPV (compound rate of 10%, Rp/ha) 17 509 137
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan sebelum
dicompound adalah sebesar Rp15 072 900, karena biaya tersebut telah dikeluar-
kan pada beberapa tahun yang lalu maka untuk menghitung biaya dalam nilai kini
dikalikan dengan compounding faktor (CF 10%) diperoleh nilai biaya sebesar
Rp18 490 863. Jika produksi rata-rata diasumsikan sebesar 180 m3/ha dan harga
kayu Rp200 000/m3, maka penerimaan per hektar tanaman HTI adalah sebesar
106
Rp36 juta. Jadi keuntungan bersih perusahaan yang dihitung dalam nilai sekarang
adalah sebesar Rp17 509 137 per ha. Jika rata-rata luas areal yang di panen per
tahun di PT MHP adalah seluas 10.750 hektar per tahun maka penghasilan bersih
perusahaan per tahun adalah sebesar Rp188 223 225 556. Jika luas tanam
keseluruhan sebesar 193 500 ha dan jumlah tanam/tebang per tahun 10 750 ha
maka nilai tegakan HTI PT. MHP adalah sebesar Rp3 199 794 834 448.
Dari sisi keuntungan perusahaan dan nilai tegakan HTI yang demikian besar
merupakan sektor usaha yang mempunyai prospek yang sangat menjanjikan bagi
perusahaan untuk tetap eksis dibidang usaha HTI ini.
6.2. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Petani
Dalam perspektif petani hutan tanaman industri merupakan peluang usaha
baru yang di harapkan dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan
mereka. Untuk itu dari sudut pandang petani adalah bagaimana upaya agar
keberadaan HTI di lingkungan mereka bisa memberikan sebesar-besarnya peluang
bekerja dan mencari penghidupan yang layak guna meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka.
Pembangunan hutan tanaman sejak awal bertujuan untuk menunjang
program pembangunan nasional dan pemerintah daerah, ikut memperluas
lapangan kerja, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Dalam beberapa studi
yang telah dilakukan, kegiatan pembangunan HTI PT. MHP telah menyerap
tenaga kerja lebih dari 10 ribu orang per tahun. Dampak lainnya adalah telah
terjadinya peningkatan aktivitas angkutan, jasa, sarana umum, dan perdagangan
107
komoditi. Disamping itu telah terjadi introduksi terhadap pola pandang dan pola
pikir masyarakat.
Sesuai dengan semangat PP No.7/1990 bahwa pembangunan HTI telah
mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Secara faktual dapat
dianggap bahwa perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha merupakan realisasi
dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perluasan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha yang diaktualisasikan dalam lingkup pekerjaan
pembangunan HTI mulai dari penanaman, pemeliharaan tegakan hutan,
pemungutan kayu, pengolahan kayu dan pemasaran hasil olahan. Ada banyak
jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat
sekitar di dalam pekerjaan HTI akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
mereka. Bagi sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa usaha
(entrepreneurship), mereka dapat membuka usaha yang melayani aktivitas
pembangunan hutan tanaman misalnya menjadi pemborong pekerjaan, membuka
restoran, dan semua aktivitas pelayanan kepada pelaksana kerja. Dengan
bertambahnya pengalaman manajemen MHP, maka makin banyak pekerjaan yang
diborongkan ke masyarakat.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar HTI
adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat sekitar dalam kegiatan
perusahaan. Melalui pendekatan sosial-kemasyarakatan, saat ini perusahaan
melakukan dua program yang sejalan dengan perspektif masyarakat, yaitu
Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) di lahan konsesi milik PT MHP
dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di lahan milik rakyat yang tidak produktif.
Program ini dimaksudkan sebagai kegiatan partisipatif, di mana masyarakat tidak
108
hanya diminta partisipasinya (masukan tenaga, pikiran dan komitmen) tetapi juga
ikut menikmati hasilnya dan berbagi hasil. Pembahasan lebih lanjut mengenai
MHBM dan MHR ini akan di bahas pada sub bab selanjutnya.
6.3. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Pusat
Dalam perspektif pemerintah pusat, pembangunan kehutanan secara
nasional, selalu diarahkan untuk pencapaian optimal dalam manfaat ekologi,
ekonomi, dan sosial. Sebagai sumberdaya alam yang pokok hutan seharusnya
dapat berfungsi sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidro-orologi),
penyangga iklim bumi (pemanasan global), sumber keanekaragaman hayati, serta
modal atau penunjang pembangunan.
Pemanfaatan hutan alam yang dilakukan secara berlebihan selama ini telah
memberikan dampak berkurangnya luasan kawasan hutan serta adanya kerusakan
yang akhirnya dapat menurunkan fungsi hutan secara keseluruhan. Berdasarkan
kenyataan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan di
dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat
dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan.
Untuk mempertahankan fungsi hutan, salah satu kebijakan pemerintah
adalah melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman
Industri (HTI). HTI sebagai hutan tanaman kayu dikelola dan diusahakan dengan
tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan yang tidak atau kurang
produktif guna mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri
pengolahan kayu baik industri penggergajian, kayu lapis, mebel, pulp, kertas serta
bahan industri kayu lainnya.
109
Berdasarkan data FAO selama kurun waktu 2000-2005 di Indonesia telah
terjadi kerusakan hutan sekitar 11.2 ha. Untuk itu pemerintah berkepentingan
menggantikan fungsi hutan alam yang rusak tersebut dengan hutan tanaman
industri (HTI). Sampai sekarang, pemerintah telah mengalokasikan sekitar 10.26
juta hektar areal hutan produksi negara untuk di bangun hutan tanaman industri.
Kerusakan hutan yang terjadi telah menimbulkan total nilai biaya ekonomi
yang tinggi, baik berupa biaya sosial, finansial dan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan akibat rusaknya hutan. Menurut penelitian FAO (2005) kerusakan
hutan akibat penebangan liar telah mengakibatkan kerugian negara penghasil kayu
sedikitnya sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan telah
mempengaruhi mata pencaharian penduduk di Indonesia yang hidup dalam
kemiskinan. Rusaknya hutan juga telah mengancam eksistensi banyak spesies
yang rentan kelestariannya. Dampak negatif dari kerusakan tersebut juga secara
langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan
kuantitasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data mengenai kerusakan
hutan di Indonesia dan perubahannya dari tahun 1998 sampai dengan 2004 dapat
dilihat pada tabel 15.
Program pembangunan hutan tanaman industri dengan target Rp12 juta
hektar hingga tahun 2012, pemerintah berusaha untuk mengoptimalkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Reboisasi (DR). Pada tahun
2005-2009 pencapaian jumlah PNBP sebesar Rp1 triliyun dan di harapkan terus
meningkat sebesar 5% setiap tahunnya. Disamping itu pemerintah juga
mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product),
110
dengan indikator pendapatan produk hasil hutan non kayu meningkat dan
beragam. Dalam kurun waktu 2005-2009 terlihat pencapaian pendapatan produk
hasil hutan non kayu meningkat minimal 15 % dari produk hasil hutan non kayu
dari tahun 2004.
Tabel 15. Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan perubahannya di Indonesia 1998 – 2004 (tidak termasuk reboisasi)
Tahun Luas (ha)
Perubahan
Primer ke Sekunder
(ha)
Sekunder ke Degradasi
(ha)
Total
(ha) (%)
1998 101 843 486 901 775 1 674 725 2 576 500 2.53 1999 99 266 986 991 953 1 842 198 2 834 150 2.86 2000 96 432 836 1 091 148 2 026 417 3 117 565 3.23 2001 93 315 271 1 200 263 2 229 059 3 429 322 3.67 2002 89 885 950 1 320 289 2 451 965 3 772 254 4.20 2003 86 113 696 1 452 318 2 697 161 4 149 479 4.82 2004 81 964 217 - - - -
Total 6 957 746 12 921 525 19 879 270 - Rata-rata perubahan per tahun 1 159 624 2 153 588 3 313 212 3,55
Sumber: Departemen Kehutanan, 2005
Dengan adanya sasaran dan indikator pencapaian tersebut, maka
diharapkan terjadi dampak langsung maupun tidak langsung (outcome) berupa : 1)
nilai tambah industri kehutanan meningkat, 2) peningkatan penyerapan tenaga
kerja, 2) peningkatan devisa, 3) peningkatan ekonomi wilayah, 4) peningkatan
kesejahteraan masyarakat, 5) pengelolaan lebih efisien dan kompetitif, 6) tercapai
pengelolaan hutan yang berkelanjutan, disamping menyelenggarakan perbaikan
kualitas.
111
6.4. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Daerah
Dalam perspektif daerah pembangunan HTI diharapkan berdampak terhadap
percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, menciptakan kesempatan
bekerja, dan meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll.
Dalam hal ini pemerintah daerah berhak mengambil pajak, iuran, pungutan,
sumbangan, bea sewa, imbalan jasa dll., untuk menunjang pembangunan daerah.
Pajak, iuran sumbangan yang diberlakukan sekarang untuk sektor kehutanan
adalah: Pajak Penghasilan (Pph), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provisi
Sumberdaya Hutan (PSDH), Pajak Air Permukaan (Perda), dan Pajak Penerangan
(Perda).
Pajak PSDH berdasarkan PP No. 15 tahun 2000 (pembagian penghasilan
antara Pusat dan Daerah) adalah 75% untuk daerah dan 25% untuk Pusat,
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari perusahaan MHP pada tahun 2006,
pajak, iuran, sumbangan yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut disajikan pada
Tabel berikut ini.
Tabel 16. Pajak, iuran dan sumbangan yang dibayarkan oleh PT. MHP, tahun 2006
No. Jenis Pengeluaran Besaran (Rp) 1. Pph 7 467 253 477 2. PBB 2 694 689 192 3. PSDH 991 094 395 4. Pajak air permukaan 11 272 129 5. Pajak penerangan 6 368 719 6. Sumbangan pihak ketiga 450 000 000 Jumlah 14 620 676 912
112
Jumlah tersebut dibebankan pada luas hutan tanaman MHP seluas 193 500
ha maka pajak iuran, sumbangan MHP per ha per tahun kepada daerah adalah
Rp75 559. Bagi Kabupaten Muara Enim yang memiliki luas areal HTI MHP
seluas 161 400 ha (54%) maka bagian yang diterima Kabupaten Muara Enim
adalah = 0.54 x Rp14 620 676 912 = Rp7 895 165 532 atau lebih kurang sekitar
Rp8 milyar. Ini berarti jumlahnya hampir separuh PAD Kabupaten Muara Enim
(Dispenda Kabupaten Muara Enim, 2006).
Di samping penerimaan berupa uang, manfaat lain juga banyak yang didapat
dalam bentuk fisik seperti bangunan mesjid, mushola, gedung sekolah dll., serta
dampak sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan tanaman.
Demimikian juga terjadi percepatan pembangunan prasarana ekonomi berupa
pembangunan jalan raya utama sepanjang 1000 km dan jalan cabang sepanjang
2000 km. Disamping itu juga dibangun jalan logging sepanjang 360 km.
Kontribusi hutan tanaman kepada masyarakat setempat yang terbesar adalah
penyediaan lapangan kerja yang besarnya tergantung dari jumlah orang yang
bekerja di pembuatan hutan tanaman dan kegiatan pemanenannya. Menurut
pengamatan setempat upah pekerja sebelum bekerja di MHP adalah sekitar Rp350
ribu per bulan atau kurang. Tetapi setelah bekerja di MHP upah rata-rata sebesar
Rp550 ribu per bulan. Jadi ada perbedaan, yaitu dengan peningkatan rata-rata
sekitar Rp200 ribu per orang per bulan.
Jumlah pekerja pada kegiatan tebangan diperkirakan sebanyak 1 400 orang,
sedangkan pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan diperkirakan dua kalinya.
yang dapat bekerja sepanjang tahun sehingga juunlahya sebanyak 3 200 orang.
113
Pada musim kemarau penanaman dihentikan tetapi tenaga tersebut dapat dialihkan
pada pemeliharaan, persemaian dll.
Penambahan pendapatan masyarakat dengan adanya hutan tanaman tersebut
dapat diperkirakan Rp200 000 x 3 200 orang = Rp640 000 000 per bulan atau Rp7
680 000 000 per tahun. Uang sebanyak Rp7.6 milyar per tahun tersebut bila
dibelanjakan oleh pemegangnya akan menimbulkan kesempatan kerja secara
simultan bagi orang lain. Selanjutnya bila uang tersebut dibelanjakan pula kepada
orang lain lagi akan memberikan pendapatan atas hasil kegiatan yang terimbas,
demikian seterusnya dan ini disebut efek ganda pendapatan (income multiflier
effect). Besarnya efek ganda tersehut tergantung pada perilaku masyarakat dalam
mengatur anggaran rumah tangganya, apakah cenderung untuk membelanjakan
uangnya atau cenderung untuk menabungnya.
Pemerintah daerah Sumatera Selatan menyatakan bahwa perusahaan MHP
telah berperan besar dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi
Sumatera Selatan. Salah satu di antaranya adalah menyumbang pada Pendapatan
Asli Daerah berupa pajak perseroan, retribusi dan sumbangan-sumbangan untuk
kegiatan insidentil, antara lain untuk menyumbang penyelenggaraan PON 2004.
Peran ini dinilai murni tanpa ada kebocoran untuk mengimpor bahan Baku dan
bahan penolong proses produksi. Bahan baku yaitu hasil kayu dan hutan tanaman
diperoleh dari daerah setempat. Sedangkan pajak yang dibayar oleh MHP adalah
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak
Penghasilan (PP 21 dan PP 23). Pajak Pertambahan Nilai dan pajak-pajak lainnya
misalnya kendaraan bermotor, air, penerangan jalan.
114
Peran lainnya adalah penyedia lapangan kerja dan kesempatan kerja, baik
bagi pekerja tetap maupun pekerja borongan untuk melaksanakan pekerjaan di
MHP. Sebagian besar pekerjaan diborongkan dan dampaknya para pemborong
mengalami peningkatan ekonomi secara sangat nyata. Misalnya seorang
pemborong yang semula tak bermodal sekarang memiliki tiga kendaraan, satu
untuk pribadi, satu truk untuk pekerjaan pemborongan dan satu bus melayani rute
setempat. Ada pula seorang yang semula pekerja biasa namun karena keuletannya
mampu berkembang menjadi pemborong sehingga kondisi ekonominya sangat
membaik. Pekerjaan-pekerjaan yang diborongkan itu boleh dikatakan tersedia
sepanjang tahun sehingga dengan kejelian pemborong, pekerja yang tergabung
sebagai regu (crew) pemborong itu hampir memiliki pekerjaan tetap selama
setahun, dan terus bergulir sepanjang tahun.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa usaha pokok membangun HTI
telah mampu menumbuhkan kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan
penduduk sekitar hutan, beberapa kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat.
Mungkin saja pengusaha lokal itu sudah agak berjaya berkat karet, namun dengan
melakukan pemborongan, kapasitas manajerial mereka makin berkembang.
Fasilitas yang diberikan oleh MHP adalah untuk setiap kerja yang
diborongkan selalu ditopang dengan standard operating procedures (SOP)
sebagai pegangan bagi semua yang terlibat di dalam kegiatan itu. Nama yang
dicetak di sampul depan adalah standard operating procedures (SOP) dan bukan
istilah lainnya. Di dalam SOP itu dicantunkan Uraian Pekerjaan, Spesifikasi
Teknis, Standar Hasil, Pelaksana dan Penanggung Jawab. Masing-masing SOP
dilegalisasi oleh Direktur Teknik, misalnya Direktur Penanaman dan
115
Pengembangan Hutan. Dengan uraian di dalam SOP, semua pihak mengacunya
dan hasil kinerja juga dinilai berdasar isi di dalam SOP. Rumusan SOP untuk
semua jenis pekerjaan yang diborongkan adalah sebuah lompatan managerial yang
jauh ke depan karena dengan pemborong yang memiliki manual berupa SOP,
struktur organisasi perusahaan dapat dibuat seringkas mungkin, pekerjaan dapat di
bagi kepada sebanyak mungkin pemborong dan basil kerja akan seragam untuk
seluruh kawasan seluas 193.500 ha. Proses peningkatan kesejahteraan bagi semua
pihak benar-benar mengacu pada kualitas hasil kerja, atau melakukan meritokrasi
dan bukan pada "manajemen belas kasihan" atau "manajemen tidak jelas".
Di samping manfaat ekonomi dari pembangunan HTI, manfaat sosial yang
diciptakannya adalah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha
termasuk usaha yang mendukung usaha pokok yaitu pembangunan HTI. Perluasan
kesempatan kerja juga memperluas landasan ekonomi dan sekaligus membuat
diversifikasi usaha bagi para pelakunya. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha
dimanifestasikan dengan berkembangnya kelompok pengusaha baru, yaitu
pemborong kerja di MHP dan penyedia berbagai pelayanan usaha untuk MHP
maupun untuk karyawannya. Pembangunan HTI yang menggunakan teknologi
yang akrab di masyarakat merupakan pendorong berkembangnya ekonomi
masyarakat. Untuk membangun ekonomi berbasis peran serta masyarakat kita
tidak harus selalu mengandalkan pada teknologi tinggi dan modal yang kuat,
karena yang terpenting adalah memancing peran serta mereka sebagai homo
economiucs, disamping mengembangkan mereka sebagai homo ecologicus.
Sumatra Selatan dengan segala kemudahan yang diberikan mengundang
investor untuk mengembangkan HTI dikawasan hutan yang kritis dan tanah
116
kosong yang luas di daerah ini. Pemerintah daerah dapat mengusahakan
penyediaan lahan yang clean and clear yang bebas konflik dan bebas dari claim
masyarakat. Diharapkan investor dapat mengembangkan industri selain pulp dan
kertas untuk memperkaya industri berbasis hutan tanaman di Sumatra Selatan.
Pemerintah juga menghendaki adanya variasi tanaman yang ditanam dan bukan
hanya Acacia mangium saja, melainkan berbagai jenis tanaman yang kayunya
dapat diproses oleh industri kehutanan. Bahkan mungkin juga dikembangkan
industri terintegrasi (integrated industry), kayu-kayu berdiameter besar diproses
menjadi furniture dan limbahnya dapat di proses menjadi serpih untuk kemudian
di proses menjadi pulp. Kedepan bila memungkinkan adalah dengan memperluas
HTI yang berpola inti-plasma.