v. teguh suharto t841107016

272

Click here to load reader

Upload: joko-lelur

Post on 29-Dec-2015

205 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

fsdg

TRANSCRIPT

Page 1: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK,

DAN PENGAJARAN LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN

EMOSIONAL SISWA

EKSPERIMEN PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI JAWA TIMUR

DISERTASI

V. Teguh Suharto NIM: T841107016

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET DESEMBER 2011

Page 2: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL

PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN

EMOSIONAL SISWA

(Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur)

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia

V. Teguh Suharto NIM: T841107016

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET DESEMBER 2011

Page 3: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

DISERTASI

STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN

LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

(Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama

di Jawa Timur)

V. Teguh Suharto NIM: T.841107016

Surakarta, 12 Desember 2011

Telah Disetujui oleh Tim Promotor

Tim Promotor Tanda Tangan

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.

(Promotor)

…………………….

Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.

(Co Promotor I)

…………………….

Dr. H. Sujoko, M.A.

(Co Promotor II)

.................................

Mengetahui

Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP: 19440315 197804 1 001

Page 4: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

DISERTASI

STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN

LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama

di Jawa Timur

V. Teguh Suharto NPM: T.841107016

Telah Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji pada Ujian Terbuka Disertasi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 5 Januari 2012

Dewan Penguji: Tanda Tangan

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. Ketua Tim Penguji

…………………….

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Sekretaris

…………………….

3. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. Anggota

…………………….

4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Anggota

…………………….

5. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Anggota

…………………….

6. Dr. H. Sujoko, M.A. Anggota

.................................

7. Dr. Andayani, M.Pd. Anggota

…………………….

8. Prof. Dr. Setyo Yuwono Sudikan, M.Hum. Anggota

...................................

Mengetahui

Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP: 19440315 197804 1 001

Page 5: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

PERNYATAAN

Nama : V. Teguh Suharto

NIM : T.841107016

Program Studi : Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul Studi

Komparasi Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan

Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi Ditinjau dari

Kecerdasan Emosional Siswa: Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di

Jawa Timur adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal yang bukan karya, dalam

disertasi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan disertasi dan gelar yang

saya peroleh dari disertasi tersebut.

Madiun, 15 Desember 2011

Yang membuat pernyataan

V. Teguh Suharto

T.841107016

Page 6: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kasih. Karena

karunia-Nya yang besar, telah memungkinkan penulis dapat menyelesaikan pendidikan

doktor, menyelesaikan penulisan disertasi, dan mempertahankan di hadapan dewan

penguji dengan baik. Penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya serta terima

kasih yang tulus saya sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor UNS, yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menempuh studi program doktor di Program Pascasarjana UNS.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., P.Hd., Direktur Program Pascasarjana, yang telah menerima

penulis sebagai mahasiswa program doktor, dan menyediakan fasilitas belajar yang

memadai selama penulis mengikuti pendidikan.

3. Ketua dan Sekretaris Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia beserta staf, yang

telah menyelenggarakan proses pembelajaran dari awal sampai akhir, sehingga penulis

dapat menempuh studi dengan lancar.

4. Para promotor, yaitu Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. (Promotor), Prof. Dr. H.

Sarwiji Suwandi, M.Pd. (Co promotor I), dan Dr. H. Sujoko, M.A. (Co promotor II),

yang dengan penuh perhatian, ketelitian, kesabaran, telah membimbing penulisan

disertasi ini. Tanpa bantuan, arahan, masukan, dan bimbingan dari beliau bertiga,

disertasi ini tidak akan terwujud.

5. Dewan penguji, yaitu Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.,

Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd., Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Prof. Dr. H.

Sarwiji Suwandi, M.Pd., Dr. H. Sujoko, M.A., Dr. Andayani, M.Pd., Prof. Dr. Setyo

Yuwono Sudikan, M.Hum., atas segala kritik dan masukan yang sangat berharga demi

penyempurnaan disertasi ini.

6. Para guru besar dan dosen di Program Pascasarjana S3 UNS, yang telah membekali

ilmu kepada penulis selama mengikuti pendidikan program doktor.

7. Rektor, Dekan FPBS, Ketua dan Sekretaris Program Studi PBSI, pengurus UPK IKIP

PGRI Madiun, beserta dosen dan karyawan, yang telah memberikan kesempatan dan

bantuan baik materil maupun moril, sehingga penulis dapat melanjutkan studi.

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu kepala sekolah penelitian beserta semua guru pelaksana

penelitian di Kota Madiun, Kota Malang, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten

Page 7: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

Bojonegoro (daftar nama pada lampiran), yang telah mengizinkan dan membantu

penulis melakukan penelitian dengan penuh kesungguhan;

9. Bapak Prof. Dr. Zulkifley Hamid dan Bapak Prof. Dr. Rahim Bin Aman

(School of Malay Language, Literature and Culture Studies, National

University of Malaysia), yang telah bersedia menjadi advisor dalam P.Hd.

Sandwich Program yang pernah diikuti penulis.

Secara khusus terima kasih saya sampaikan kepada isteri tercinta

Adriana Sri Hardani; anak-anak terkasih Yoseph Rudy Pratama Putra, Thomas

Budi Satriawan, Margaretha Mega Tri Arlita, yang dengan penuh pengorbanan,

kesabaran, dan kasih sayang, memberi dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan studi ini. Tidak lupa terima kasih saya haturkan kepada Ibunda

Amiyah yang tidak pernah putus memberikan doa dan restu, kepada paman di

Solo yang selalu menuntun ke dalam rumput yang hijau. Juga kepada keluarga

besar penulis yang senantiasa menjadi pendorong semangat penulis untuk

menyelesaikan studi. Tanpa dorongan dan pengorbanan mereka, penulis tidak

akan mampu mengatasi banyak tantangan dalam menempuh studi ini.

Masih banyak pihak yang telah membantu penulis selama menempuh

program doktor ini hingga selesai. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis

hingga terwujudnya disertasi ini. Penulis berdoa semoga amal baik, pengorbanan,

perhatian, kasih sayang dari semua pihak yang mendorong penyelesaian studi ini

memperoleh imbalan karunia Tuhan yang melimpah. Amin.

Surakarta, Desember 2011

Penulis,

V. Teguh Suharto

Page 8: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

DAFTAR ISI

JUDUL ……………………………………………................................... i

PERSETUJUAN PROMOTOR ……………………………………….. iii

PERSETUJUAN PENGUJI .................................................................... iv

PERNYATAAN ....................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................... vi

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

ABSTRAK ................................................................................................. xiv

I. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1

B. Identifikasi Masalah ………………………………………… 13

C. Batasan Masalah ……………………………………………. 16

D. Rumusan Masalah …………………………………………… 16

E. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 17

F. Kegunaan Penelitian ………………………………………… 17

II. KAJIAN TEORETIK …………………………………………… 19

A. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ………………………….. 19

B. Model Pembelajaran ………………………………………… 65

1. Pengertian Model Pembelajaran ………………………. 65

2. Pendekatan Konstruktivisme sebagai Landasan Model

Pembelajaran Berbasis Pengalaman ..............................

70

3. Model Pembelajaran Experiential Learning ………….. 73

4. Model Pembelajaran Sinektik ………………………… 90

5. Model Pembelajaran Langsung ……………………...... 97

6. Perbedaan Keefektifan Model Pembelajaran Experi-ential Learning, Sinektik, dan Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra ………………....

108

C. Kecerdasan Emosional ............................................................. 120

D. Penelitian yang Relevan ........................................................... 148

Page 9: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

E. Kerangka Berpikir …………………………………………… 155

F. Hipotesis Penelitian …………………………………………. 171

III METODE PENELITIAN ……………………………………….. 172

A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………. 172

B. Rancangan dan Metode Penelitian ………………………….. 173

C. Variabel Penelitian ………………………………………...... 175

D. Populasi dan Sampel Penelitian …………………………….. 175

E. Definisi Operasional Variabel ………………………………. 177

F. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….. 178

G. Instrumen Penelitian ………………………………………… 179

H. Validitas Instrumen Penelitian ……………………………… 180

I. Teknik Analisis Data ………………………………………… 184

IV HASIL PENELITIAN ................................................................... 192

A. Deskripsi Data .......................................................................... 192

B. Pengujian Persyaratan Analisis Anava .................................... 203

C. Hasil Pengujian Hipotesis ....................................................... 205

D. Penyimpulan Terhadap Hasil Pengujian Hipotesis ................. 118

E. Diskusi Hasil Penelitian .......................................................... 221

F. Keterbatasan Penelitian ........................................................... 235

V PENUTUP ....................................................................................... 237

A. Simpulan ................................................................................. 237

B. Implikasi Hasil Penelitian ....................................................... 238

C. Saran-saran .............................................................................. 255

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...... 258

LAMPIRAN LAMPIRAN ……………………………………………... 269

Page 10: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR TABEL

Nomor Nama Tabel Hal

1. Gaya Belajar, Karakteristik, dan Ciri-ciri Gaya Belajar …….. 84

2. Concept Formation ………………………………………… 86

3. Skenario Model Pembelajaran Experiential Learning 87

4. Langkah Model Sinektik ………………………………….... 93

5. Langkah Model Sinektik Menciptakan Sesuatu yang Baru .... 94

6. Langkah Model Sinektik Melazimkan Sesuatu yang Asing .. 94

7. Skrenario Model Pembelajaran Sinektik ………………….... 95

8. Skenario Model Pembelajaran Langsung ……………........... 106

9. Langkah Model Pembelajaran Langsung ………………....... 107

10. Perbedaan Karakteristik Tiga Model Pembelajaran ………… 108

11. Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional ................................ 179

12. Kisi-kisi Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ................... 180

13. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning ...................................................................................

193

14. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik .....

195

15. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung ....

197

16. Perbandingan Rata-rata (Mean) Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Antara Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Pembelajaran Langsung

199

Page 11: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

Nomor Nama Tabel Hal

17. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ...... Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi ......................

200

18. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah ...................

201

19. Perbandingan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Antara Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah .................................

203

20. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi untuk Kelompok Model Pembelajaran ....................................

204

21. Rangkuman Uji Homogenitas ................................................. 205

22 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis 206

23. Perbandingan Karakteristik Model Pembelajaran Experiential

Learning dengan Sinektik ........................................................

223

Page 12: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Nama Gambar Hal

1. Alur Siklus Experiential Learning Model Dewey .................. 77

2. Alur Siklus Experiential Learning Model Piaget .................. 80

3. Alur Siklus Experiential Learning Model Lewin ................... 81

4. Siklus Experiential Learning Berkelanjutan .......................... 83

5. Alur Siklus Gaya Belajar ........................................................ 84

6. Siklus Holistik Experiential Learning .................................... 85

7. Diagram Kesadaran Emosi Model Golemen .......................... 128

8. Diagram Langkah Peningkatan Kepercayaan Diri .................. 137

9. Skema Desain Penelitian (Desain Faktorial 3 X 2) ................ 174

10. Distribusi Jumlah Data Tiap Sel ............................................ 177

11. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning ...................................................................................

194

12. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik .....

196

13. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung .....

198

14. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi .......................

200

15. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah ......................

202

Page 13: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Nama Lampiran Hal

1 Perbandingan Tiga Model Pembelajaran ................................... 270

2 Jadwal Penelitian ...................................................................... 278

3 Daftar Sekolah Sampel Penelitian ............................................. 279

4 Uji Homogenitas Kemampuan Siswa Tiap Kota/Kabupaten .... 280

5 Silabus dan RPP Model Experiential Learning 12 Pertemuan.. 292

6 Silabus dan RPP Model Sinektik 12 Pertemuan ....................... 341

7 Silabus dan RPP Model Behavioristik 12 Pertemuan ............... 390

8 Materi Pembelajaran Seluruh RPP ............................................ 439

9 Angket Kecerdasan Emosional ….............................................. 454

10 Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ..................................... 459

11 Uji Keseimbangan Sekolah Uji Coba dan Sekolah Sampel .... 477

12 Uji Validitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi ..................................... 480

13 Uji Validitas Angket Kecerdasan Emosional ........................... 504

14 Data Secara Keseluruhan .......................................................... 508

15 Analisis Statistik Deskriptif ....................................................... 509

16 Uji Persyaratan Analisis Anava ................................................. 525

17 Hasil Pengujian Hipotesis .......................................................... 540

18 Surat-surat Keterangan Penelitian .............................................. 545

19 Daftar Kepala Sekolah dan Guru Pelaksana Penelitian ............ 548

Page 14: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

ABSTRAK

V. Teguh Suharto. 2011. Studi Komparasi Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi Ditinjau dari Kecerdasan Emosional Siswa: Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur. Disertasi. Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Promotor: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.; Co Promotor 1: Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; Co Promotor 2: Dr. H. Sujoko, M.A.

Kata Kunci: Komparasi Experiential Learning, Sinektik, Pengajaran Langsung, Kecerdasan Emosional, dan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Tujuan penelitian ini ialah untuk (1) menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung; (2) menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah; (3) menemukan interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperiment dengan desain penelitian faktorial 3 X 2. Teknik pengumpulan data menggunakan angket untuk mengukur kecerdasan emosional siswa, tes untuk mengukur kemampuan apresiasi prosa fiksi. Uji validitas meliputi validitas isi, validitas muka, dan uji empiris. Uji empiris untuk mengetahui daya beda, tingkat kesulitan butir soal, reliabilitas. Untuk angket, uji empiris untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas menggunakan metode Levene’s test of equality of error variances. Analisis data menggunakan Anava dua faktor dengan program komputer SPSS.

Dari analisis inferensial diperoleh simpulan: (1) Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung. Siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang diajar dengan model sinektik, siswa yang diajar dengan model sinektik memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung. (2) Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. (3) Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.

Page 15: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

ABSTRACT

V. Teguh Suharto. 2011. Comparative Study of the Effectiveness Model of Experiential Learning, Sinectic, and Direct Instructional in Prose Fiction Appreciation Learning in the Perspective of Students’ Emotional Quotient: An Experiment at Junior High Schools in East Java. Disertation. Doctoral Program of Indonesian Language Teaching, Postgraduate School of University of Sebelas Maret Surakarta.Promotor: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.; Co-Promotor 1: Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; Co-Promotor 2: Dr. H. Sujoko, M.A.

Keywords: Comparison of experiential learning, synectic, direct instructional, emotional quotient, and prose fiction appreciation ability.

The goals of research were (1) to findings difference between the students’ appreciation of prose fiction ability taught by experiential learning, synectic, and direct instruction learning model, (2) to findings difference of prose fiction ability for students who have high and low emotional quotient, (3) to findings an interaction between the use of learning model and emotional quotient affecting prose fiction appreciation.

The research applies quasi experimental method and 3 x 2 factorial research design. The technique of collecting data made use questionnaires for measuring students’ emotional quotient and test for measuring the prose fiction ability. Validity test consists of content validity, surface validity, and empirical test for searching distinction value, the grade of exercise difficulties, and the reliability. For the questionnaires, empirical wasapplied to recognize the validity and reliability.

The normality test used the method of Kolmogrov-Smirnov. The homogenitytest used the method of Levene’s test of equality of error variances. Data analysis uses Anava factor two by SPSS computer program. The inferential analysis revealedthe conclusion as follows: (1) There is a difference in those students who have been taught by experiential learning, synectic, and behavioristic learning model. The students’ average ability in appreciating prose fiction taught by experiential learning model is higher than those taught by synectic learning model. The students’ ability of prose fiction appreciation taught by synectic learning model is higher than those taught by behavioristic learning model. (2) There is a significant difference in students’ ability in appreciating prose fiction. The students who have high emotional quotient are able to appreciate prose fiction better than those who have low emotional quotient. The ability of prose fiction appreciation belongs to high emotional quotient students is higher than those who have less. (3) There is an interaction between the use of learning model and emotional quotient in affecting students’ appreciation of prose fiction ability.

Page 16: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra mengandung unsur keindahan yang dapat membangkitkan

perasaan senang, terharu, sedih, dan bahagia. Sebuah karya sastra dihadirkan oleh

pengarang bukanlah sekedar untuk mengekpresikan pengalaman jiwanya saja,

atau sekedar sebagai media hiburan mengisi waktu luang, tetapi untuk memberi

dorongan pembaca agar ikut memahami dan menghayati ide serta masalah yang

diungkapkannya. Dengan demikian, dengan membaca karya sastra secara

sungguh-sungguh dan konsentratif, pembaca dapat menambah pengetahuan

tentang hidup dan kehidupan, mengasah kepekaan perasaan sehingga melahirkan

rasa mencintai dan menghargai karya sastra.

Karya sastra mengandung tema dan menyajikan amanat bagi pembaca

atau pendengar. Tema diangkat dari masalah-masalah hidup sehari-hari. Masalah-

masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah sumber tema yang

senantiasa dituangkan sebagai dasar sebuah cerita (Mochtar Lubis, 1983: 9).

Tema-tema yang diangkat dari nafas kehidupan manusia yang paling dasar

tersebut erat kaitannya dengan renungan moral dan kritik sosial. Permasalahan-

permasalahan yang tercermin dalam tema yang terdapat dalam karya sastra

mengandung pesan atau amanat yang dapat direnungkan oleh pembaca. Setelah

pembaca merenungi permasalahan yang disajikan dalam sastra, diharapkan

1

Page 17: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

pembaca dapat memperoleh nilai-nilai luhur yang dapat menolong untuk

memenuhi hakikat kemanusiannya yang berpribadi. Andy Zoelton (1984: 79)

mengatakan bahwa setelah merenungi sastra, pembaca akan mempunyai sikap

yang baik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, di samping

pembaca juga mendapatkan hiburan yang berguna bagi keperluan katarsis.

Pendek kata, sastra dapat bersifat dulce et utile, memberikan hiburan sekaligus

manfaat (Wellek & Warren, 1989: 25).

Dalam kaitannya dengan uraian di atas, penyair memberikan keberanian

untuk membina moral agar manusia melakukan perbuatan yang baik dan jujur,

sekalipun di sekitar masyarakat merajalela ketidakjujuran dan ketidakadilan.

Sastra sebagai potret kehidupan manusia menampilkan tema moralitas bahwa

kebaikan, kejujuran dan keadilan pasti akan menang. Sebagai tanggapan terhadap

keadaan, kritik sosial sering diberikan pengarang untuk memperjuangkan si kecil,

si miskin, dan si kalah sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi

yang kurang diimbangi dan meremehkan etika, estetika dan humaniora (Herman J.

Waluyo: 1994: 27).

Selaras dengan relevansinya dengan masalah-masalah dunia nyata, sastra

memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata

yang cukup rumit di dalam masyarakat, pengajaran sastra perlu dipandang penting

dan harus dilaksanakan dengan tepat. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan

agar pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk

pendidikan yang utuh. Selaras dengan hal ini, ada empat sasaran yang akan

Page 18: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

dibidik melalui pengajaran sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa;

(2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa yang

meliputi indra, penalaran, perasaan, kesadaran sosial, rasa religius; dan (4)

menunjang pembentukan watak (B. Rahmanto, 1998: 15-38; Moody, 1979: 16).

Dalam kaitannya dengan perolehan keterampilan berbahasa, B. Rahmanto

(1998:16) menyebutkan bahwa mengikutsertakan pengajaran sastra dalam

kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan berbahasa yang

meliputi menyimak, membaca, menyimak, wicara, dan menulis. Lewat

mendengarkan (apresiasi) rekaman karya sastra atau ketika mengikuti ceramah

dari guru, siswa dapat berlatih keterampilan menyimak. Siswa dapat belajar

wicara pada waktu siswa terlibat dalam suatu drama; latihan membaca pada saat

siswa terlibat dalam pembacaan puisi, dan latihan menulis pada saat siswa terlibat

dalam penulisan hasil diskusi sastra. Secara integratif, pada gilirannya

kemampuan berbahasa yang tinggi akan menjadi petunjuk bahwa siswa juga

tinggi kemampuan apresiasi sastranya (Burhan Nurgiyantoro, 2001: 319-320).

Guru sangat menentukan tinggi rendahnya kaulitas pengajaran sastra di

sekolah. Guru tidak cukup hanya menguasai materi yang akan diajarkan, tetapi

juga harus mampu menerapkan metode-metode yang tepat sesuai dengan situasi

dan kondisi yang ada. Dalam pasal 40 ayat 2 Undang-Undang nomor 20 tahun

2003 ditegaskan bahwa tenaga pendidik berkewajiban menciptakan sistem

pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, dialogis, kreatif, dan dinamis. Hal

ini mengharuskan guru kreatif membuat suasana kelas dan pembelajaran menjadi

Page 19: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

nyaman dan menyenangkan, sehingga pembelajaran bermakna yang ditunggu-

tunggu siswa segera terwujud. Pengaruh guru sangat penting dalam lingkup

pembelajaran. Menurut Yatim Riyanto (2009: 112), usia remaja merindukan

sesuatu yang dianggap bernilai dan pantas dihargai, ia memuja pribadi-pribadi

yang dipandangnya mendukung suatu nilai. Karena itu, remaja senang meniru

atau menokohkan seseorang yang disenanginya, misalnya guru yang cantik, yang

menyenangkan, yang memahami kondisi emosi, dan lain sebagainya.

Strategi yang diciptakan guru di kelas harus memiliki kebermaknaan

belajar bagi siswa. Kebermaknaan belajar (meaningfull learning) atau belajar

bermakna akan mempengaruhi kemampuan mengingat karena siswa merasa

bermakna, merasa butuh akan sesuatu yang diyakini dapat bermanfaat untuk

hidupnya (Ratna Wilis Dahar, 1989: 110). Belajar bermakna diartikan sebagai

proses mengaitkan informasi-informasi baru dengan konsep yang relevan yang

terdapat dalam struktur kognitif siswa. Kemampuan kognitif yang telah lama

dimiliki anak diaktifkan untuk menyambut stimulus baru sehingga anak terus

memperbaiki pengertian sesuai dengan negosiasi kedua faktor tersebut.

Dari tahun ke tahun pemerintah telah banyak mengupayakan peningkatan

kualitas pendidikan, di antaranya dengan perbaikan kurikulum, perundang-

undangan, dan peraturan-peraturan yang mengikat agar guru berkualitas dan

profesional (UU no. 14 pasal 10 tentang kualifikasi dan kompetensi guru).

Banyak kegiatan juga dilaksanakan antara lain ialah pelatihan-pelatihan,

penataran-penataran metodologi pembelajaran, in house training, diklat-diklat,

Page 20: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

kesempatan bagi guru untuk mengikuti studi lanjut. Namun demikian, sampai

desawa ini kualitas proses dan hasil pendidikan masih belum sesuai dengan

harapan. Proses dan hasil pembelajaran belum optimal.

Menurut Depdiknas (2007: 5), kondisi yang belum optimal di atas

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) pendidikan diselenggarakan untuk

kepentingan penyelenggara bukan untuk siswa; (2) pembelajaran yang

diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar

hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas

karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang diungkap lewat proses penilaian

hasil belajar yang artifisial. Pengajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total

dari siswa yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri siswa; (3)

aspek afektif cenderung terabaikan; (4) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi

akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibanding dengan

yang di daerah, cabang, maupun ranting; (5) pengajar selalu mereduksi teks yang

ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks dan buku acuan dianggap

segalanya, jika telah menyampaikan isi buku acuan berhasilah dia. Selaras

dengan kondisi tersebut, Bambang Yulianto (2009: 1) menyebutkan bahwa

penyebab rendahnya mutu pendidikan antara lain karena belum efektifnya proses

pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih berorientasi pada

penguasaan teori dan hafalan sehingga kemampuan belajar siswa terhambat. Di

samping itu, penerapan metode pembelajaran yang berorientasi pada guru

mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, pertumbuhan serta perkembangan siswa

Page 21: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan

mencerdaskan tidak optimal. Muatan belajar yang terlalu terstruktur dan sarat

beban juga mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah steril dari keadaan dan

perubahan lingkungan fisik dan sosial.

Umaedi (2003:45) menyatakan bahwa (1) pembelajaran di masa lampau

lebih menekankan pencapaian target ; (2) yang dicapai adalah hasil bukan proses;

(3) yang dipentingkan adalah banyaknya materi ajar, bukan mendalamnya materi

ajar. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi persoalan yang

bersifat metodologis dalam pengambilan strategi pembelajaran oleh guru. Dalam

kaitannya dengan life skill, lulusan sekolah sampai dewasa ini tidak global market

likes, lulusan yang tidak disukai pasar global. Dalam proses pendidikan, banyak

aspek belajar di luar keterampilan hidup (skill to lerning a living) yang bernilai

abadi untuk mengatasi persoalan yang lebih kompleks hilang begitu saja (Anwar,

2006: 7).

Kondisi pembelajaran yang belum optimal tersebut terjadi di berbagai

aspek pendidikan termasuk pada pembelajaran apresiasi sastra. Keterpurukan

pembelajaran apresiasi sastra dapat dibuktikan oleh adanya keadaan bahwa minat

baca sastra para siswa rendah yang didorong oleh rendahnya tingkat apresiasi

sastra masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat dewasa ini lebih

mementingkan ekonomi dan politik dengan pengutamaan efisiensi, rasio,

kekuasaan, ketertiban dan keamanan, sehingga kesusasteraan menjadi perhatian

dan kesibukan tak berarti. Bangsa Indonesia sebenarnya juga membaca sastra,

Page 22: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

tetapi sayangnya yang mereka baca kebayakan karya sastra yang tidak mewakili

perkembangan kebudayaan bangsanya. Masyarakat bersikap eskapistis, yaitu

cenderung menghindari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman di

alam khayal. (B. Rahmanto dalam Hasan Alwi, eds., 1998: 775).

Menambah data keterpurukan ini, Asep Yudha Wirajaya (dalam F.X.

Sawardi, eds., 2006: 124) mengatakan bahwa biasanya siswa menunggu perintah

dari guru untuk melakukan apresiasi. Mereka jarang memiliki inisiatif sendiri

untuk melakukannya. Bahkan sering ketika perintah apresiasi ini diberikan,

banyak anak yang merasa kesulitan untuk mengungkapkan ide atau gagasan

mereka Sifat-sifat tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan siswa hanya

memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Siswa kurang memiliki kesadaran

diri, pengaturan diri, motivasi diri yang diperlukan untuk penyelesaian tugas

(Casmini, 2007: 9). Padahal kecerdasan emosional itu memiliki peran sangat

penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah. Generasi sekarang lebih banyak

mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan

pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup

dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif (Verina H. Secapramana; 1999: 2).

Di tengah kecenderungan hidup manusia yang condong kepada gaya hidup

hedonis/ sekularis yang ditandai dengan anak mengagungkan kesenangan akan

popularitas dan kecukupan hidup yang layak ini, mengakibatkan anak kurang

memiliki tekad besar untuk mengembangkan kemampuan inteleknya (Casmisi,

2007: 18). Selain itu, kegiatan apresiasi juga sering dikalahkan oleh banyaknya

Page 23: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

aktivitas les privat anak misalnya les mata pelajaran, les komputer, les musik dan

lain sebagainya.

Biang keladi yang sering ditunjuk sebagai penyebab keterpurukan tersebut

berkisar pada guru, tiadanya minat siswa, minimnya buku, alokasi waktu yang

kurang, tes masuk perguruan tinggi, dan kurikulum. Boen S. Oemarjati (1979: 3)

menyatakan bahwa pengajaran sastra Indonesia lebih menekankan pada sejarah

sastra, siswa kurang diarahkan pada pelajaran apresiasi sastra sehingga

kemampuan siswa dalam apresiasi sangat kurang. Waktu yang tersedia untuk

pembelajaran apresiasi sastra digunakan untuk menjejalkan kepada siswa materi

yang bakal keluar dalam ujian akhir. Lebih mengenaskan lagi, selama ini format

soal dalam ujian akhir yang terstandar tidak memadai untuk menangkap dan

mengukur kenikmatan siswa dalam bersastra.

Melihat bahwa strategi pembelajaran lama yang mengacu pada materi dan

mementingkan content atau target kurang memuaskan, maka sangat perlu

diusahakan adanya alternatif baru yang berdampak positif. Banyak alternatif

yang dapat dipilih, di antaranya ialah strategi yang berbasis pada pandangan

bahwa anak akan belajar lebih baik jika anak mengalami apa yang dipelajari

dalam lingkungan kehidupan nyata secara konstruktivistik. Konstruktivisme

merupakan cara belajar untuk membangun konsep dengan menyatukan materi

yang diajarkan guru dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Proses pembelajaran berlangsung

Page 24: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer

pengetahuan dari guru ke siswa. Melalui model pembelajaran ini terjadi

experiential learning. Melalui proses belajar dari lingkungan, individu dapat

menemukan kembali jati dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru, merasakan

hubungan yang akrab dengan alam dan sesamanya dan dapat memperluas

kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas (Anwar, 2006: 12).

Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata, pelajaran

berlangsung menyenangkan (joifull) dan bermakna (meaning full). Dengan cara

ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal pelajaran, tetapi dengan mengalami

anak akan menemukan pengetahuan (konstruktivistik), pemahaman, dan ingatan

sepanjang hayat. Confucius (450 BC) memberikan semboyan yang sesuai dengan

paradigma belajar ini “Tel me, and I will forget. Show me, and I may remember.

Involve me, and I will understand” (Neill, 2004: 1,4).

Paradigma belajar konstruktivistik adalah belajar melalui proses

menginternalisasi, membentuk kembali atau membentuk baru pengetahuan (Haris

Mudjiman, 2007: 25). Oleh karena siswa harus mengalami atau menjalani proses

(process oriented), maka paradigma belajar ini termasuk dalam ketegori model

belajar aktif. Belajar aktif merupakan kegiatan belajar untuk mendapatkan

kompetensi-kompetensi yang secara akumulatif menjadi kompetensi lebih besar.

Ciri belajar aktif ialah siswa aktif (Haris Mudjiman, 2007: 53). Menurut Shuell

(dalam Duffy, Lowyck, Jonassen, 1992: 291) constructive learning is an active,

constructive, cumulative and goal directed process. Oleh karena membutuhkan

Page 25: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

keaktivan siswa, maka experiential lerning cocok diterapkan pada siswa dewasa.

Students in these courses tutored ..... worked with adolescents who were in

detention for illegal activites (McKeachi, 1987: 139). IQ menyumbangkan paling

banyak 20 persen bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 persen ditentukan oleh

faktor lain (Verina H. Secarpramana, 1999: 1)

Pengetahuan menurut pemikiran konstruktivisme dibangun oleh manusia

sendiri sedikit demi sekikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas

(sempit) dan tidak sekonyong-konyong, Dasar pemikiran konstruktivisme ialah

bahwa pemahaman pengetahuan akan makin berkembang apabila selalu

dihadapkan pada situasi-situasi baru, dihadapkan pada ujian-ujian melalui

perolehan input baru. Pengetahuan lama akan mengalami asimilasi ataupun

akomodasi secara dinamis untuk menyesuaikan dan memperbaiki terhadap input

baru. Oleh karena itu, pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi melalui

proses perkembangan yang terus menerus (Paulina Panen, Dina Mustafa, Mestika

Sekarwinahyu, 2005: 15-16; Paul Suparno, 1997: 11).

Berdasarkan konsep di atas, maka esensi dari konstruktivisme adalah

gagasan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan suatu

informasi kompleks ke situasi lain secara terus menerus sehingga ditemukan

pengetahuan final yang menjadi milik mereka. Dengan demikian, pembelajaran

harus dikemas menjadi proses pengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.

Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara

Page 26: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga memperoleh pengetahuan

(Paul Suparno, 1997: 11).

Experiential learning adalah model pembelajaran yang mengoptimalkan

aktivitas belajar siswa melalui pengalaman sehingga siswa memperoleh

kebermaknaan belajar. Belajar melalui pengalaman adalah salah satu strategi yang

dapat meningkatkan kadar CBSA atau student active learning (SAL) dalam

proses belajar mengajar. Belajar melalui pengalaman pemerolehan (acquisition)

pengetahun dan keterampilan serta pembentukan sikap melalui pengalaman

konkrit langsung baik di kelas maupun di luar kelas (Fernandes, 1989:40). Guru

harus menangani proses belajar mengajar yang berdasarkan pengalaman sehingga

anak didik dengan mudah dapat memperoleh pelajaran yang padat arti

(meaningfull learning). Pengalaman konkret (concrete depository experiences)

yang telah dimiliki anak merupakan titik tolak kegiatan belajar mengajar dalam

usaha memperoleh pengatahuan, keterampilan, dan pembentukan watak. Ia

memerlukan modal untuk bertitik tolak melaksanakan proses itu.

Pembelajaran apresiasi sastra dapat disajikan pula dengan model

pembelajaran sinektik. Model pembelajaran sinektik adalah model pembelajaran

(karya sastra) melalui proses metaforik dengan analogi. Sinektik adalah model

pembelajaran yang mempertemukan berbagai macam unsur dengan menggunakan

kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru (Gordon, 1980: 168). Inti dari

model pembelajaran sinektik ialah aktifitas metafora yang meliputi analogi

personal, analogi langsung, dan konflik kempaan (Suryaman, 2004: 71).

Page 27: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Pembelajaran sinektik menekankan keaktifan, kreativitas, dan memerlukan

keterlibatan emosional subjek didik dalam mengarahkan dan melakukan kegiatan

apresiasi karya sastra.

Penalaran siswa akan meningkat sesuai bertambahnya usia. Peningkatan

kemampuan penalaran masing-masing siswa berbeda sebab pada dasarnya

masing-masing individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Selain IQ, EQ

siswa dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Daniel Goleman menjelaskan

bahwa ketika otak kanan menerima tekanan atau ancaman, kapasitas saraf untuk

berpikir rasional menjadi mengecil. Otak dibajak secara emosional. EQ

merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk

menghadapi depresi atau frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur

suasana hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan dan menjaga agar beban stres

tidak melumpuhkan kegiatan berpikir (Goleman, 2001: 45). Memahami emosi

dan perasaan mereka sangat membantu mempercepat pembelajaran. Guru yang

disenangi siswa akan menciptakan ikatan emosional yang kuat untuk menyukai

belajar apresiasi sastra. Penelitian telah menguatkan adanya hubungan antara

keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar (Goleman, 2005: 14;

DePorter, Reardon, Nourie, 2000: 22). Hal ini berarti bahwa ikatan emosional

akan memperkuat memori dan ingatan siswa terhadap bahan-bahan yang

dipelajari.

Emosi dimiliki oleh setiap individu, termasuk pula siswa. Emosi dapat

berbentuk negatif atau positif. Emosi positif dapat menjadi motivasi internal yang

Page 28: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

membangun misalnya menyukai belajar, bergaul, bila mendapat kegagalan

dijadikan sebagai cermin untuk memburu keberhasilan. Emosi negatif bersifat

destruktif atau merusak, murung, putus asa, menarik diri, takut, malu, dan

sebagainya. Kecerdasan emosi (EQ) merupakan kemampuan untuk mengelola

emosi atau perasaan menjadi potensi positif. Terdapat lima dasar kecakapan

emosi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, keterampilan sosial, dan

empati.

B. Identifikasi Masalah

Atas dasar uraian pada latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi

permasalahan sebagai berikut :

1. Kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa sampai dewasa ini masih

memprihatinkan. Minat baca sastra para siswa rendah, jarang memiliki

inisiatif untuk apresiasi, kemampuan siswa untuk mengungkapkan ide atau

gagasan rendah. Rata-rata mereka hanya lebih mampu memahami unsur-unsur

yang bersifat informatif dan kurang mampu memahami unsur-unsur yang

bersifat apresiatif.

2. Meskipun kurikulum KBK dan KTSP telah mengarahkan agar guru

menggunakan model-model pembelajaran baru yang konstruktivistik, namun

sampai dengan saat ini banyak guru yang masih menggunakan model-model

pembelajaran lama yang bersifat behavioristik. Model mengajar dengan

pemberian ceramah sampai saat ini masih dominan digunakan oleh guru.

Page 29: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Model pemberian ceramah tersebut sangat mendarah-daging, setiap hari masih

menjadi unggulan guru di kelas. Dalam model pemberian ceramah, guru aktif

memberi dan siswa pasif menerima. Target oriented ditekankan, sehingga

berakibat siswa mengalami kegagalan dalam ingatan jangka panjang dan tidak

memiliki keterampilan dalam menghadapi masalah.

3. Banyak faktor baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi

kemampuan siswa dalam apresiasi prosa fiksi. Faktor eksternal siswa antara

lain meliputi kualitas lingkungan belajar (suasana rumah, masyarakat,

sekolah, teman bermain dan belajar); kualitas pelaku pendidikan (guru, kepala

sekolah, pengambil kebijakan); pendekatan, metode, teknik pembelajaran;

media pembelajaran; kualitas sarana dan prasarana pembelajaran; kondisi

keuangan yang menopang penyelenggaraan pendidikan. Faktor internal siswa

antara lain meliputi kompetensi intelektual, emosional, semangat, minat/

motivasi, bakat, dan lain sebagainya.

4. Di antara banyak faktor eksternal, model pembelajaran merupakan aspek yang

sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Selaras

dengan bergulirnya paradigma konstruktivisme, model pembelajaran

experiential learning efektif digunakan dalam pembelajaran apresiasi prosa

fiksi. Anak didik akan aktif mengalami apa yang dipelajari secara experiential

sehingga menemukan dan mengkonstruksikan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan yang dapat diingat sepanjang hayat. Model pembelajaran

sinektik juga dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran apresiasi

Page 30: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

sastra. Model pembelajaran ini menekankan kreatifitas dan keaktifan

emosional siswa dalam apresiasi sastra melalui proses analogi personal,

analogi langsung, dan konflik kempaan. Dalam analogi personal, analogi

langsung, dan konflik kempaan, anak didik membayangkan secara abstrak

(melalui kiasan metaforik) pelaku dan peristiwa dalam karya. Melalui proses

ini anak didik dapat mengapresiasi karya sastra.

5. Dari faktor internal siswa, kecerdasan emosional (EQ) dapat mempengaruhi

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa. EQ merupakan kemampuan siswa

sendiri untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk menghadapi depresi

atau frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, tidak

melebih-lebihkan kesenangan dan menjaga agar beban stres tidak

melumpuhkan kegiatan berpikir

6. Masing-masing model pembelajaran memiliki kekuatan dan kelemahan dalam

implementasinya di kelas. Anak didik juga memiliki latar belakang emosional

yang beragam. Kedua input ini mempengaruhi proses pembelajaran, sehingga

secara interaktif memiliki dampak yang bersifat kategorial terhadap hasil

belajar apresiasi prosa fiksi.

Page 31: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

C. Batasan Masalah

Dari permasalahan yang ada, masalah penelitian ini dibatasi pada:

1. Variabel bebas pertama ialah penggunaan model pembelajaran experiential

learning, model pembelajaran sinektik, dan model pembelajaran langsung

2. Variabel atributif ialah kecerdasan emosional (EQ) siswa

3. Variabel terikat ialah kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa

D. Rumusan Masalah

Atas dasar latar belakang dan batasan masalah di atas, penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat berkaitan dengan rumusan

sebagai berikut.

1. Apakah ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar

dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan

model pembelajaran langsung?

2. Apakah ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya

rendah ?

3. Apakah ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi ?

Page 32: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai

berikut.

1. Menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar

dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan

model pembelajaran langsung.

2. Menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya

rendah.

3. Menemukan interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.

F. Kegunaan Penelitian

Jika hasil penelitian ini telah diuji keefektifannya di lapangan, maka dapat

digunakan secara teoretis dan praktis sebagai berikut.

1. Kegunaan Teoretis

a. Sebagai masukan yang memberi suplemen terhadap kelemahan model

pembelajaran experiential learning, model pembelajaran sinektik seperti

diungkap pada beberapa artikel

Page 33: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

b. Sebagai data tambahan dalam rangka melengkapi contoh-contoh kasus

sehingga teori dapat dipahami dengan lebih mudah.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi guru, sebagai pertimbangan dalam mengupayakan penciptaan

suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan dengan melalui

pengambilam metode pembelajaran yang tepat

b. Bagi sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, sebagai landasan

keyakinan bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam menunjang

berbagai kegiatan belajar. Untuk itu, kecuali memperhatikan aspek

kognitif dan psikomotorik, juga perlu diperhatikan aspek afektifnya.

c. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

masukan dalam rangka pembinaan mentalitas generasi muda penerus

generasi bangsa.

Page 34: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

1. Pengertian Prosa Fiksi

Kata fiksi berasal dari bahasa Latin fictio yang berarti membentuk,

menciptakan, membuat atau mengadakan. Dalam bahasa Indonesia kata fiksi

dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikhayalkan atau diimajinasikan. Prosa

fiksi adalah karya sastra yang berupa uraian cerita atau karya yang terurai,

bercerita, dipaparkan secara langsung. Kata fiksi mengandung pengertian

bahwa apa yang diceritakan merupakan buah imajinasi (Herman J. Waluyo,

2006: 1-2). Kennedy (1983: 3) menyebutkan sebagai berikut.

“Fiction (from the Latin fictio, ”a shaping a counterfeiting”) is an name for stories not entirely factual, but at least partially shaped, made up, imagined …. The factual information in a historical novel, unlike that in a history book, is of secondary importance”

Dengan demikian, cerita fiksi adalah paparan cerita hasil imajinasi

atau cerita rekaan. Cerita rekaan adalah hasil imajinasi atau rekaan yang

bersifat fiktif atau tidak nyata. Hal ini selaras dengan pernyataan Wellek dan

Warren (1962: 26) yang menyatakan bahwa karya sastra bersifat fictionality

dan invention.

Fiksi (fiction) dalam pengertian kesusastraan juga merujuk pada prosa,

teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah

fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat cerkan) atau cerita

19

19

Page 35: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

khayalan. Hal ini disebabkan kepada fiksi isinya tidak menyaran pada

kebenaran sejarah. Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan

sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi

sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia

nyata (Burhan Nurgiantoro, 1994: 2).

Meskipun imajinatif, tetapi tidak berarti bahwa khayalan semata-mata.

Bekal utama suatu karya sastra adalah pengalaman empiris yang sudah

mengendap di dalam batin pengarang. Fiksi dapat diartikan sebagai prosa

naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung

kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.

Menurut Burhan Nurgiantoro (2010: 2-3), hal ini disebabkan fiksi merupakan

hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan

kehidupan, penghayatan dan perenungan secara intens terhadap hidup dan

kehidupan. Dengan demikian, fiksi menawarkan model-model kehidupan

sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang. Cerita rekaan yang ditulis tidak

merupakan khayalan seratus persen karena pengalaman jiwa tidak lepas dari

dunia empiris pengarang. Pengalaman dunia empiris itu dimasukkan dalam

pengalaman batin, mengendap dan kemudian diekspresikan melalui daya

kreatifnya (Herman J. Waluyo, 2002: 2).

Meskipun fiksi, yang ditampilkan dalam karya sastra berkaitan dengan

kenyataan, namun dunia yang ditampilkan dalam sastra adalah dunia sekunder,

yaitu dunia rekaan pengarang. Dalam menampilkan dunia sekunder,

Page 36: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

pengarang tidak menceritakan kenyataan hidup, namun khayalan atau

imajinasi. Dengan daya imajinasi kenyataan dilukiskan seperti halnya

kenyataan hidup agar pembaca tidak seperti membaca sesuatu yang imajinatif,

namun pembaca merasa menghadapi kenyataan hidup. Untuk kepentingan

membuat hal fiktif seolah menjadi kenyataan, pengarang perlu mengerahkan

segala daya imajinya. Semakin kuat daya imajinya, semakin mampu

meyakinkan pembaca bahwa hal yang fiktif itu suatu kenyataan. Pembaca

dapat menangis, tertawa, terharu, dan sebagainya karena merasa tidak

menghadapi fiksi tetapi merasa menghadapi kenyataan (Herman J. Waluyo,

2002: 247).

2. Jenis-Jenis Prosa Fiksi

Burhan Nurgiyantoro (2010: 9) menyebutkan fiksi dibatasi pada

karya yang berbentuk prosa, prosa naratif, atau teks naratif. Berdasarkan hal

itu, prosa naratif menunjuk pada karya novel dan cerita pendek (Kennedy

(1983: 4). Saleh Saad dan Panuti Sudjiman (1988: 11) membagi menurut

panjang pendeknya menjadi cerita pendek (cerpen), cerita menengah (cermen),

dan cerita panjang (cerpan). Burhan Nurgiyantoro (2010: 15) menambahkan

bahwa dalam bahasa Inggris ada dua ragam fiksi naratif yang utama, yaitu

romance (roman) dan novel. Novel bersifat realistis, dan romansa bersifat

puitis dan epik.

Page 37: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Ada beberapa prosa fiksi yang disusun berdasarkan kenyataan yang

disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction). Karya seperti ini antara lain

misalnya fiksi historis (historical fiction), fiksi biografi (biographical fiction),

fiksi outo biografi (outobiographical fiction), fiksi sains (scientific fiction).

dan sebagainya (Abrams, 1971:61; Burhan Nurgiantoro, 2010: 4).

Herman J. Waluyo (2002: 2) merumuskan istilah fiksi dalam karya

sastra prosa dapat diklasifikasikan menjadi (1) novel yang biasanya terdiri

atas novel realistik dan novel gaya; (2) outobiografi; (3) romansa prosa dan

anatomi atau satire. Fiksi juga dapat dikaitkan dengan cerita rakyat pada

kesusasteraan lama, roman, novel/ novelet, dan cerita pendek dalam sastra

modern. Dari beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan ada 2 jenis

prosa fiksi, yaitu (1) novel (termasuk di dalamnya roman); dan (3) cerita

pendek.

a. Roman

Roman adalah prosa fiksi yang mengisahkan sebagian besar

episode kehidupan tokohnya, bahkan biasanya dilukiskan sampai mati

(Herman J. Waluyo (2006: 2). Kata “roman” berasal dari kata “romagna”

yaitu bahasa yang dipakai di sekitar Roma yang menceritakan tokoh

dengan perkembangan psikologisnya. Oleh karena itu, roman tidak

berusaha menggambarkan tokoh secara nyata secara lebih realistis. Ia

lebih merupakan gambaran angan dengan tokoh yang bersifat introver dan

Page 38: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

subjektif (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 15). Kriteria tulisan roman adalah

sebagai berikut.

1) Secara tematis struktural mementingkan profil dan perkembangan

tokoh-tokoh dan menggambarkan suasana pada zaman tertentu atau

daerah tertentu.

2) Secara formal struktur menitik beratkan pada kriteria yang

berhubungan dengan aspek menceritakan sesuatu.

Mochtar Lubis (1983: 16) mengklasifikasikan roman ke dalam 5

jenis, yaitu: (1) roman sosial, (2) roman sejarah, (3) roman bertenden, (4)

roman keluarga, (5) roman psikologi. Guntur Tarigan (1986: 97)

menyebut enam, yaitu: (1) roman avontur, (2) roman psikologi, (3) roman

detektif, (4) roman sosial, (5) roman politik, (6) roman kolektif .

b. Novel

Novel berasal dari bahasa Latin “Novellus” yang kemudian

menjadi “Novies” yang artinya baru. Perkataan baru dikaitkan dengan

kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul

belakangan dibanding roman dan cerpen. Novel pertama lahir di Inggris

adalah “Pamela” yang terbit pada tahun 1740 (Herman J. Waluyo, 2002:

36).

Novel timbul karena pangaruh filsafat John Locke yang

menekankan fakta dan pengalaman serta memandang bahwa berpikir

Page 39: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

terlalu fantastis adalah sesuatu yang berbahaya. Pembaca dari golongan

kaya, menengah, dan terpelajar tidak menyukai puisi dan drama yang

kurang realistis. Suasana yang digambarkan novel adalah sesuatu yang

realistis dan masuk akal. Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh

nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Tokoh yang digambarkan

lebih memiliki derajad lifelike di samping tokohnya bersifat ekstrover

(Burhan Nurgiyantoro, 2010: 15).

Novel memiliki ciri-ciri: (1) perubahan nasib tokoh, (2) ada

episode-episode dalam kehidupan tokoh utama, (3) biasanya tokoh utama

tidak sampai mati. Ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir

adalah tidak menggarap realitas (realisme). Bidang itu telah digarap oleh

film. Yang ditampilkan dalam novel adalah tokoh dan cerita di luar

realitas kehidupan. Dengan demikian muncul tokoh-tokoh eksistensialistis

(absurd) seperti karya Iwan Simatupang, tokoh sufi dalam karya-karya

Danarto, atau tokoh aneh dalam karya-karya Budi Darma.

c. Cerita Pendek

Jenis kesusasteraan yang paling populer dan paling banyak dibaca

orang adalah cerita pendek (cerpen).

Dalam cerita pendek dikisahkan salah satu momen dalam

kehidupan manusia. Reid (1977: 8) menyatakan bahwa:

“There is something more than a fragmentary or an episodic structure, something more than a pious or a credulous tone, the

Page 40: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

potential interest of character iun action will hardly be realized. This does not contradict the previous point that some apparently disjointed narratives may quality as short stories”

Waktu penceritaannya pendek, jumlah baris (halamannya) pendek, dapat

dibaca dalam “a single sitting”. Reid (1977: 9) menyebutkan a tale … is

capable of being perused at one sitting. Menurut Burhan Nurgiyantoro,

2010: 10), cerita pendek dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:

(a) cerita pendek yang pendek (short-short story) memiliki kurang lebih

500 kata atau kurang lebih 12 halaman folio; (b) cerita pendek yang

panjangnya cukup (midle-short story), (c) cerita pendek yang panjang

(long short story) yang memiliki kurang lebih 50 sampai 90 halaman folio.

Cerita pendek yang panjang diklasifikasikan sebagai novelet, sedangkan

yang lebih dari itu diklasifikasikan sebagai novel.

Tentang panjang cerita pendek, Reid menyebutkan atara 1.600 kata

hingga 20.000 kata (Reid, 1977: 10). Mochtar Lubis (1983: 6) menyatakan

bahwa panjang cerita pendek antara 500 sampai 4000 kata. H.B. Jassin

(1983: 69) memberikan pedoman bahwa cerita pendek adalah cerita yang

pendek, sehingga cerita yang memakan 100 halaman atau lebih tidak

termasuk cerita pendek. Herman J. Waluyo (2002: 34) merangkum bahwa

cerita pendek kurang lebih terdiri dari 10.000 kata, 30 halaman kertas folio,

dibaca dalam waktu 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi

sangat ketat dan kelajuan ceritanya sangat cepat. Perbedaan pendapat

tentang cerita pendek kiranya dapat dirangkum dalam pandangan bahwa

Page 41: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

cerita pendek memiliki kepanjangan antara 10 sampai 30 halaman folio

spasi rangkap.

Reid menyebut tiga kualitas yang esensial dari cerita pendek,

yaitu: (a) adanya kesan (impresi) yang menyatu dalam diri pembaca; (b)

adanya konsentrasi dari krisis (konfliks); dan (c) adanya pola (desain)

yang harmonis (unity of impresion, conectrating of crisis, and symetri of

design) (Herman J. Waluyo, 2002: 33; Reid, 1977: 54-59).

Burhan Nurgiyantoro (2010: 11) menjelaskan bahwa cerita pendek

lebih padu, lebih memenuhi ke-unity-an. Cerita pendek menuntut

penceritaan yang ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus yang

kurang penting. Dalam cerita pendek, pengarang mengambil sari

ceritanya saja karena itu ceritanya pendek/ singkat. Kejadian-kejadian

perlu dibatasi, yaitu dibatasi pada kejadian-kejadian yang benar-benar

dianggap penting untuk membentuk kesatuan cerita. Di samping itu, cerita

harus memiliki kepaduan atau kebulatan yang tinggi dan biasanya

berpusat pada tokoh utama dari awal hingga akhir.

Herman J. Waluyo (2002: 3) menyimpulkan bahwa dalam cerita

pendek terjadi pemusatan perhatian pada satu tokoh saja yang ditempatkan

pada situasi sehari-hari, tetapi posisinya sangat menentukan. Artinya

menentukan perubahan dalam perspektif, kesadaran baru, dan keputusan.

Dalam cerita pendek sering dijumpai penyelesaian cerita yang mendadak

Page 42: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

dan penyelesaian cerita yang bersifat terbuka (open ending) untuk

diselesaikan sendiri oleh pembaca.

Mochtar Lubis (1983: 8) menjelaskan ciri-ciri cerita pendek yaitu:

(a) mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai

hidup, (b) harus dapat menimbulkan suatu hempasan pada pikiran para

penikmatnya, (c) harus dapat membangkitkan perasaan pembaca, (d)

mengetengahkan insiden-insiden yang bisa menimbulkan pertanyaan

dalam pikiran pembaca, (e) sebuah insiden utama dalam cerita pendek

menguasai jalan cerita melalui seorang pelaku utama, (f) jalan ceritanya

padat, sehingga dapat menciptakan atau meninggalkan kesan bagi para

membaca.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerita

pendek adalah cerita fiktif (rekaan) yang pendek, menceritakan kehidupan

manusia, memusatkan diri pada suatu tokoh dalam satu situasi pada suatu

ketika, ditandai dengan adanya suatu konflik yang utuh dan selesai.

3. Unsur Pembangun Prosa Fiksi

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan yang mengandung

unsur manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan sesama,

dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil

dialog, kontempalsi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.

Page 43: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Fiksi merupakan sebuah cerita dan karenanya terkandung juga di

dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya

tujuan estetis. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita,

menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya

pengalaman dan permasalahan yang ditawarkan sebuah karya fiksi haruslah

tetap merupakan cerita yang menarik tetap merupakan bangunan struktur yang

koheren dan tetap mempunyai tujuan estetis.

Perkataan cerita fiksi dikaitkan dengan cerita rakyat pada

kesusastraan lama, roman, novel, novelet, dan cerita pendek dalam sastra

modern. Cerita pendek sebagai karya fiksi atau rekaan yang mempunyai unsur

pembangun yang dibangun dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur

pembangun cerita rekaan menurut Herman J. Waluyo (2002: 248) adalah tema,

plot (alur cerita), penokohan, perwatakan, setting atau tempat dan waktu cerita,

cakapan atau dialog, dan gaya cerita. Jakob Sumardjo (1986: 52-65)

menyebutkan plot, karakter, tema, setting, suasana, gaya, dan sudut pandang

penceritaan. Stanton (terjemahan Sugihastuti, 2007: 9) menyebut dengan

sarana sastra, yaitu konfliks, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan lain

sebagainya. Semua unsur itu harus padu dalam mendukung cerita dan

menjalin suatu kesatuan yang bulat. Dalam hal ini antara fiksi dan cerpen

mempunyai hubungan yang sangat melekat dan keduannya mempunyai unsur

pembangun yang sama (intrinsik dan ekstrinsik). Tetapi fiksi mempunyai

bagian yang sangat luas dibanding cerpen. Sedangkan cerpen merupakan

Page 44: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

bagian dari fiksi. Studi tentang cerita fiksi atau rekaan dapat memperluas

wawasan seseorang atau siswa tentang manusia dan kemanusian. Manusia

yang ditampilkan dalam cerita rekaan memang bersifat fiktif namun

sebenarnya adalah potret gambaran manusia pada umumnya.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan satu persatu tentang unsur-unsur

pembangun fiksi sebagai berikut.

a. Tema Cerita

Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis

ceritannya bukan sekadar bercerita, tetapi menyampaikan sesuatu kepada

pembaca. Sesuatu yang akan disampaikan itu bisa suatu masalah

kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita semua didasari oleh

pengarang tersebut (Jakob Sumardjo, 1984: 56).

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga pengarang

dapat memaparkan karya yang diciptakan. Selain itu tema merupakan

sesuatu yang telah menjadi pikiran seorang pengarang dan dalam pikiran

itu seorang pengarang membayangkan tentang pandangan hidup atau cita-

citanya. Bagaimana pengarang melihat persoalan dan bagaimana

persoalan diberi pemecahannya oleh pengarang.

Menurut B. Rahmanto (1998: 75) tema adalah hasil analisis sebuah

cerita untuk memecahkan problem yang ada sehingga menemukan sebuah

kesimpulan dari seluruh fakta dalam tema yang telah dicerna. Kesimpulan

itu disebut orang sebagai tema.

Page 45: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Tema (theme) menurut Stanton (1965: 20; terjemahan Sugihastuti,

2007: 37) adalah gagasan utama atau maksud utama atau makna yang

terkandung dalam cerita, merupakan elemen yang relevan dengan setiap

peristiwa dan detail sebuah cerita. Menurut Panuti Soedjiman (1988: 47)

menerangkan bahwa tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik.

Pengarang dalam menulis cerita bukan hanya sekadar bercerita melainkan

bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang

disampaikan itu dapat berupa masalah sosial, moral, individual, politik

dan mental spiritual, bisa juga hanya merupakan masalah yang tidak

disertai pemecahannya. Pemecahannya sepenuhnya diserahkan pada

pembaca. Pembaca sendiri dapat menangkap makna dan menarik

kesimpulan tentang apa yang disampaikan oleh pengarang, atau dapat juga

memberikan pemecahan masalah yang disodorkan oleh pengarang.

Menurut Jakob Sumardjo dan Zaini (1996: 57) keberadaan tema

dalam cerpen tidak terlalu tampak jelas bahkan dalam cerpen yang

berhasil, tema justru tersamar dalam aliran elemen. Pengarang tidak

menyampaikan secara jelas tema karangannya tetapi merasuk, menyatu

dalam semua unsur, dan dengan begitu mengahasilkan cerpen yang lebih

baik. Kadang-kadang pengarang menyatakan tema dengan tersembunyi

dalam suatu potongan perkataan tokoh utamanya atau dalam satu adegan

cerita. Makin banyak implikasi persoalan yang dikandung dalam sebuah

cerpen semakin baik. Sebab cerpen tersebut akan kaya dengan penafsiran-

Page 46: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

penafsiran. Biasanya cerpen seperti itu akan bertahan lama karena tidak

menjemukan bagi pembaca yang kreatif.

Tema adalah masalah yang hakiki kehidupan manusia seperti cinta

kasih, ketakutan, kebahagiaan, pemberontakan, kesengsaraan,

keterbatasan, dan sebagainya. Pengarang yang baik mengemukakan tema

yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk menjabarkan tema

tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meski

pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil

namun yang penting bukan detil itu, tetapi nuansanya. Berkaitan dengan

hal ini, identitas tema dapat diibaratkan “maksud” dari sebuah gurauan,

yaitu membuat sebuah guraauan menjadi lucu. Jadi yang lebih

dipentingkan ialah terletak pada makna yang dapat memberikan sugesti

pada pembaca (Stanton, terjemahan Sugihastuti, 2007: 28).

Pengarang yang baik mampu menemukakan tema hakiki manusia

dan mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang dapat menembus

tubuh manusia dan seperti televisi yang dapat menangkap gambar-gambar

dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara

masyarakat, dan lagi bagaikan memiliki indra tambahan yang mampu

menangkap getaran masyarakat yang menderita. Wilayah garapan

pengarang luas tanpa batas, namun yang paling baik adalah menjelajah ke

“ruang dalam” manusia, artinya kepada batin manusia yang memiliki

berbagai permasalahan kehidupan (Herman J Waluyo, 2002: 192).

Page 47: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema

adalah ide yang menjadi dasar bagi pengarang menjabarkan menjadi

sebuah cerita atau karya sastra.

b. Plot atau Alur Cerita

Alur atau plot adalah jalannya suatu cerita yang dapat dimengerti

pembaca secara logis. Di dalam plot, jalan cerita saling terjalin dalam

hubungan sebuah cerita tersebut, tanpa jalinan atau ikatan itu peristiwa

atau jalinan tidak bisa dikatakan plot. Plot adalah struktur cerita atau

struktur gerak (Henry Guntur Tarigan, 1986: 126).

Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada

umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan

peristiwa sehingga terjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku

dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa

terbentuk dalam rangkaian peristiwa (Aminudin, 1984: 83). Menurut Dick

Hartoko (1984: 1) plot adalah struktur gerak, artinya struktur gerak ialah

konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang

secara logis dan kronologis saling berkaitan yang diakibatkan oleh para

pelaku.

Plot adalah kesinambungan peristiwa berdasarkan hukum sebab

akibat yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih

penting adalah mengapa hal ini terjadi. Peristiwa kausalitas itu tidak hanya

Page 48: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi

juga perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangan, putusan-

putusan, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam diri pelakon

(Stanton, terjemahan Sugihastuti, 2007: 26). Forster (1966: 93-94)

menjelaskan hubungan sebab akibat sebagai berikut.

“A story is a narrative of events arranged in their time sequence. A plot is a narrative of ivents, the amphasis falling on causality. Causality overshadows time sequence”

Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan mempengaruhi

hubungannya dengan karakter-karakter lain. Pada gilirannya, reaksi yang

ditimbulkan oleh karakter lain itu akan balik mempengaruhinya.

Tegangan-tegangan atau aksi-aksi yang saling mempengaruhi tersebut

terus menerus berlangsung hingga akhirnya menjadi stabil.

Jakob Sumardjo (1996: 49) berpendapat bahwa alur atau plot itu

ibarat gunung es, sebagian besar tak pernah tampak. Kenney (1966: 14-

17) langkah plot terdiri dari “(1) beginning, (2) exposition, (3) the midle

conflict, (4) complication, (5) climax, and (6) the end”. Mochtar Lubis

(1983: 15) membagi kronologi plot menjadi: (1) situation (pengarang

mulai melukiskan keadaan), (2) generating circumstances (peristiwa yang

bersangkutan mulai bergerak), (3) rising action (keadaan mulai

memuncak), (4) climacs (peristiwa mencapai puncaknya), (5) denonemen

(pemecahan masalah). Menurut Panuti Sudjiman (1988: 30), struktur alur

dibagi dalam tiga tahap, yaitu (1) awal yang terdiri dari paparan

Page 49: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

(exposition), rangsangan (inciting moment), gawatan (rising action); (2)

tengah yang terdiri dari tikaian (conflict), rumitan (complication), dan

klimaks; dan (3) bagian akhir yang terdiri dari leraian (falling action),

selesaian (denouement). Selanjutnya Kenney (1966: 20-21) menyebutkan

bahwa plot memiliki hukum plot yang disebut the laws of plot yang terdiri

dari tiga unsur, yaitu plausibility (masuk akal/ kebolehjadian), surprise

(kejutan), dan suspence (ketegangan). Dengan adanya struktur cerita

pembaca dibawa ke dalam suatu kejadian sejak terjadinya ketegangan

sampai pada akhirnya puncak ketegangan. Puncak ketegangan itulah

merupakan inti alur cerita. Timbulnya suatu konflik dalam cerpen erat

hubungannya dengan watak, tema, setting, dan suasana. Tingkah laku

seseorang yang mempunyai kelainan dapat menimbulkan persoalan bagi

orang lain, persoalan tersebut dapat dijadikan konflik atau alur dalam

cerpen. Meskipun alur secara garis besar terdiri dari pengenalan,

ketegangan (klimaks), dan penyelesaian. Sebaliknya, ada cerpen yang

dimulai dengan penyelesaian cerita, sedangkan pembukaan cerita tersebut

tergantung pada pengarang, bagaimana ia mulai bercerita.

Dari uraian pendapat di atas dapat dinyatakan pengertian tentang

plot yang mengandung indikator-insikator sebagai berikut.

1) Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-

menjalinnya suatu cerita dari awal sampai akhir.

Page 50: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

2) Dalam plot terdapat hubungan keusalitas dari peristiwa-peristiwa baik

dari tokoh, ruang, maupun waktu.

3) Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita

tokoh-tokohnya.

4) Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot dan berkaitan

dengan tempat dan waktu kejadian cerita.

5) Plot berkaitan dengan perkembangan koflik antara tokoh antagonis

dengan tokoh protagonis.

c. Karakterisasi atau Penokohan

Karakterisasi adalah cara pengarang melukiskan tokoh-tokoh

dalam cerita yang ditulis. Dalam sebuah cerpen atau novel, pengarang

yang baik dapat membentuk tokoh cerita yang meyakinkan sehingga

pembaca seolah-olah merasakan serta berhadapan dengan manusia

sesungguhnya. Bahkan berkat kepandaiannya seorang pengarang mampu

menghidupkan watak tokoh cerita, sehingga merangsang dapat pembaca

mengidentifikasi diri dengan bersikap memusuhinya.

Sebuah cerita mustahil tanpa adanya perwatakan. Daya tarik

sebuah cerita terpancar melalui imajinasi kreatif si pengarang. Pembaca

dapat kenal dengan sejumlah variasi manusia dan berikut masalahnya.

Biasanya seorang yang membaca sebuah cerita tertarik akan penafsiran,

persepsi dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang.

Page 51: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Perwatakan yang dipaparkan biasanya berlawanan antara “baik” dan

“buruk” (B. Rahmanto, 1998: 71).

Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga

peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh,

sedangkan cara mengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut

dengan penokohan (Aminudin, 1984: 79). Untuk menghidupkan watak

para tokoh cerita, ada beberapa cara yang dapat digunakan. Cara yang

digunakan menurut Jakob Sumardjo (1984: 66) adalah (1) melalui

tindakannya, (2) melalui ucapannya, (3) menggambarkan fiksinya, (4)

melalui pikirannya, penerangan secara langsung. Mochtar Lubis (1983:

11) menyebutkan 7 cara perwatakan pelakon, yaitu: (1) melukiskan bentuk

lahir dari lakon, (2) melukiskan jalan pikiran pelakon, (3) bagaimana

reaksi pelakon terhadap kejadian, (4) langsung dengan menganalisis watak

pelakon, (5) melukiskan keadaan sekitar pelakon, (6) bagaimana

pandangan pelaku lain terhadap pelakon utama itu, (7) bagaimana

pandangan pelakon lain membincangkan keadaan pelakon utama.

Sesuai dengan keakraban pengarang dengan masyarakat, nama-

nama tokoh dan wataknya memiliki tiga dimensi baik fisiologis, sosiologis,

dan psikologis. Ketiganya ini disebut block characterization (Wellek dan

Warren, 1962: 221). Berkaitan dengan ketiga aspek ini, Kenny (1966: 24)

menyebut bahwa:

Page 52: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

“…. To expect the people –or characters—in fiction to be similar to the people in life. To say of a fictional character that he is artificial is usually to imply disapproval. Whaterver degree of artifice we are willing to allow in plot, we expect characters to be natural or lifelike” Ada dua jenis perwatakan menurut Foster (1970: 75-85) dan Kenny

(1966: 28-29), yaitu perwatakan datar (simple flat characters) dan

perwatakan bulat (round character). Pada perwatakan datar, tokoh

diceritakan melalui satu sudut saja, selamanya baik-baik saja, atau

sebaliknya selamanya buruk-buruk saja. Pada perwatakan bulat, tokoh

dilukiskan secara kompleks dari berbagai dimensi. Selaras dengan hal ini,

perwatakan juga diklasifikasi menjadi perwatakan dinamis dan statis.

Perwatakan dinamis menggambarkan tokoh mengalami perkembangan,

dan perwatakan statis melukiskan tokoh tidak mengalami perubahan (I

Made Sukada, 1987: 63).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua cara umum

berkaitan dengan perwatakan tokoh, yaitu bagaimana tokoh dilukiskan,

dan bagaimana perubahan watak tokoh.

d. Setting atau Latar Cerita

Setting atau latar cerita adalah lingkungan. Lingkungan yang

dimaksud mencakup lingkungan rumah, pekerjaan, tempat, waktu, dan

suasana. Stanton (1965: 18-19; terjemahan Sugiharstuti, 2006: 35)

menjelaskan latar adalah tempat, waktu, cuaca, periode sejarah, yaitu

tempat dan kapan terjadinya peristiwa. Setting bukan sekedar background,

Page 53: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Unsur

cerita yang disebut setting atau latar itu menyangkut tentang lingkungan

geografi, sejarah, sosial bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau

latar belakang tempat kisah itu berlangsung (B. Rahmanto, 1998: 71).

Kenney (1966: 40) menyebutkan elements of setting terdiri dari:

(1) the actual geographical location, including topography, scenery, even the details of a room’s interior;

(2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters;

(3) the time in which the action takes places, e.g., historical period, season of the year;

(4) the religious, moral, intellectual, social, and emotional environment of the characters.

Hudson (1958: 158) menyatakan bahwa setting adalah keseluruhan

lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan

hidup tokoh, selanjutnya dinyatakan bahwa setting adalah lingkungan

kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Hudson

menyebutkan lingkungan alam sebagai setting material dan yang lain

setting sosial.

Dalam cerpen modern setting merupakan unsur cerita yang penting.

Setting berjalan erat dengan karakter, tema dan suasana cerita. Dalam

sebuah cerpen, setting merupakan unsur yang penting untuk menyusun

tema dan watak tokoh cerita. Misalnya untuk menghadirkan sosok pribadi

Jawa priyayi, setting dapat menggambarkan suasana kehidupan orang

Jawa golongan priyayi yang tidak sama dengan kehidupan orang Batak.

Page 54: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Setting harus integral atau menyatu. Setting integral tidak dapat

diganti dengan lingkungan lain, tanpa mengubah dan mempengaruhi

watak tokoh serta tema cerpen. Dalam cerpen yang berhasil setting

terintegrasi dengan tema, waktu, gaya dan implikasi atau kaitan filosofi.

Untuk menilai apakah suatu setting integral dalam cerpen dapat diajukan

pertanyaan-pertanyaan seperti (1) dapatkah setting diganti dengan tempat

lain tanpa mengubah karakter dan isi cerpen, (2) sampai sejauh mana

setting menentukan tema dan plot cerpen, (3) sampai sejauh mana setting

membentuk watak dan mengapa daerah lain tidak menghasilkan watak-

watak demikian, (4) apakah setting akan tetap efektif pada keseluruhan

cerpen kalau diabaikan atau dihilangkan (Jakob Sumardjo dan Zaini,

1986: 77).

Dalam karya sastra Indonesia sekitar tahun 1960–1970 dijumpai

setting lingkungan gelandangan. Para pengarang mungkin telah jenuh

menampilkan setting manusia formal dengan berbagai macam problemnya.

Setting tidak hanya menampilkan tempat, lokasi, dan waktu. Adat dan

kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Adat dan kebiasaan minang

dapat dibaca melalui karya-karya pengarang minang.

Setting sebagai latar belakang sering melambangkan suasana atau

keadaan tertentu. Pengarang tidak bermaksud melukiskan keadaan setting

hanya untuk setting semata-mata, namun untuk mewakili peristiwa

tertentu. Misalnya, pengarang menceritakan suatu malam hujan gerimis

Page 55: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

disertai angin ribut dan guruh. Peristiwa ini menandakan suasana sepi,

menakutkan dan mencemaskan. Jadi, dari uraian pendapat di atas setting

menyatakan latar belakang atau tempat kejadian atau keadaan di mana

cerita itu terjadi.

e. Sudut Pandang Cerita atau Point of View

Point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita

apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya ataukah

ia sebagai orang yang terbatas. Point of view juga berarti dengan cara

bagaimanakah pengarang berperan, apakah terlibat langsung dalam cerita

sebagai orang pertama, apakah sebagai pengobservasi yang berdiri di luar

tokoh-tokoh sebagai orang ketiga (Herman J Waluyo, 2002: 184). Point of

view berkenaan dengan hubungan pengarang dan tempatnya berdiri dalam

karya sastra (Wellek & Warren, 1962: 222)

Menurut Jakob Sumardjo (1996: 82) point of view pada dasarnya

adalah visi pengarang. Artinya, suatu pendangan yang diambil pengarang

untuk melihat suatu kejadian cerita. Point of view memang hanya

memasalahkan siapa yang bercerita, tetapi ketentuan yang dipilih oleh

pengarang yang akan menentukan cerita yang dituturkan kepada pembaca.

Tiap orang mempunyai pandangan hidup, kepercayaan, temperamen yang

berbeda-beda sehingga sudut pandang cerita tersebut menentukan sekali

wujud cerita.

Page 56: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku

dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan

dengan point of view atau titik kisah menurut Mochtar Lubis (1983: 13)

meliputi (1) author omniscient (pengarang sebagai orang ketiga), (2)

author participant (seorang peninjau berpartisipasi dalam cerita), (3)

author observer (pengarang sebagai peninjau), (4) multiple (campur aduk).

Hal yang mirip dinyatakan Jus Rusjana (1978: 74) bahwa pusat terdiri dari

empat, yaitu (1) tokoh utama dapat menceritakan ceritanya sendiri, (2)

cerita dapat disalurkan oleh orang peninjau yang merupakan partisipan

dalam cerita itu, (3) observer-outhor, yakni pengarang bertindak sebagai

peninjau saja, (4) cerita dapat dituturkan pengarang sebagai orang ketiga

atau omniscient-outhor. Morris membagi point of view menjadi 4 jenis,

yakni (1) the omniscient poit of view, (2) the first person point of view, (3)

the third person point of view, (4) the central intelligence (Herman J

Waluyo, 2002: 186).

Pada hakikatnya pembagian point of view ada kesamaannya, yaitu

(1) pengarang sebagai aku atau gaya akuan, dalam hal ia dapat bertindak

sebagai serba tahu (omniscient) dan dapat juga sebagai terbatas (limited),

(2) pengarang sebagai orang ketiga atau gaya diaan, dalam hal ini dapat

bertindak sebagai serba tahu (omniscient) dan dapat juga.

Dari uraian beberapa pandangan tentang macam-macam sudut

pandang. Pandangan itu berkisar pada tiga hal, yaitu pencerita terlibat

Page 57: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

secara menyeluruh dalam semua lakon baik sebagai “akuan” atau “diaan”,

pencerita diaan mengambil jarak, dan pencerita sebagai akuan yang tampil

hanya sebagai bagian pelaku, tidak melibatkan diri ke seluruh cerita.

f. Gaya Bahasa Cerita

Gaya bahasa merupakan cara seorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis

serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh

daya intelektual dan emosi pembaca. Bahasa yang indah yang perlu

dipelajari itu antara lain meliputi dialek, register, idiolek personal (B.

Rahmanto, 1998: 74).

Gaya bahasa adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara

bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau

persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain, gaya

adalah pribadi pengarang itu sendiri. Sebagai pribadi, ia berada secara

khas di dunia ini. Ia tak bisa lain dari dirinya. Setiap orang mempunyai

gaya sendiri, entah baik atau jelek (Jakob Sumardjo dan Zaini, 1986: 92).

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa

Latin stilus dan mengandung arti leksikal “alat tulis menulis”. Dalam

karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang

menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang

indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang

Page 58: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminudin, 1995:

72). Cara pengarang dalam kreasi karya sastra menunjukkan adanya

perbedaan meskipun pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama.

Pengarang dalam wacana ilmiah akan menggunakan gaya bersifat lugas,

jelas dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna

konotatif, sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru akan

menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif,

asosiatif dan bersifat konotatif.

Hakikat bahasa sastra adalah konotatif. Dalam karya sastra

digunakan bahasa yang berbeda dengan karya nonfiksi. Oleh karena itu,

sejak awal pembaca sudah mengetahui apakah bacaan itu sastra atau

bukan sastra. Ragam bahasa sastra timbul karena suasana hati pengarang

yang haru, terpesona, sengsem, trenyuh, dan sebagainya. Ragam sastra

bertujuan untuk menimbulkan kesan yang sama kepada pembaca. Dengan

kata lain, faktor emotif sangat kuat dalam ragam bahasa sastra, namun

sifat konotatif dan emotif itu berbeda-beda antara prosa, puisi, dan drama.

Meskipun ketiga genre sastra tersebut mempunyai sifat konotatif dan

emotif, namun di dalam cerita rekaan sifat konotatif dan emotif lebih

rendah dibanding puisi (Herman J Waluyo, 2002: 217).

Kiasan atau gaya bahasa, penggunaan kiasan, perbandingan, atau

persamaan biasanya untuk menciptakan efek estetis dan variasi ungkapan

Page 59: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

dalam cerita. Dengan gaya bahasa ini dimungkinkan penggambaran

suasana yang lebih konkret dan jelas

4. Apresiasi Karya Sastra

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Perancis “apprecier” atau

appretiare yang berakar dari bahasa Latin “price”, yang berarti

“mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah

apresiasi menurut Aminudin (1995: 34) mengandung makna (1) pengenalan

melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan

terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang dalam karya

sastra. Apresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungannya dengan sastra dan peristiwa

sastra, dan kata apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati dan

menghargai atau menilai. Untuk dapat memahami, menikmati dan menghargai

atau menilai, seorang pembaca memerlukan waktu untuk dapat memahami

karya sastra yang telah dibacanya (Jakob Sumardjo, 1996: 175).

Menurut S. Effendi (1983: 7) bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan

menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh untuk menambah pengertian,

penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan terhadap karya sastra. Tujuan

menggauli cipta sastra ialah: untuk memperoleh kesenangan (pleasure)

langsung, ingin mendapatkan terapi psikologis, ingin memperoleh informasi

estetis, ingin mengembangkan warisan budaya. Pendek kata sastra dapat

Page 60: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

berfungsi sebagai dulce et utile (memberikan kesenangan sekaligus

bermanfaat).

Apresiasi sastra mirip dengan kritik sastra, namun meski batasannya

sangat kabur, keduanya mempunyai perbedaan. Kritik sastra berusaha mencari

kelemahan-kelemahan karya sastra dan bertujuan mencari kebenaran nilai-

nilai sastra, sementara apresiasi berusaha menerima karya sastra sebagai

sesuatu yang layak diterima dan menerima nilai-nilai sastra sebagai sesuatu

yang benar (Dick Hartoko, 1984: 17). Kritik sastra lebih banyak diberikan

secara akademis di perguruan tinggi melalui kegiatan analisis sastra,

sedangkan apresiasi sastra lebih luas disajikan secara menyenangkan di

sekolah. Tetapi lepas dari perbedaan keduanya, pengkajian cerita rekaan akan

membantu pembaca dalam memahami karya sastra. Hal ini selaras dengan apa

yang dikatakan Kenney (1966: 5) sebagai berikut.

“Analysis properly understood and rightly undertaken contributes essentially to the full enjoyment of fiction”.

Kegiatan apresiasi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun

tidak langsung. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca

atau menikmati karya sastra berupa teks maupun performansi secara langsung

yang dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta

mengevaluasi teks sastra baik berupa cerpen, novel, roman maupun teks

naskah yang berupa puisi. Apresiasi sastra secara tidak langsung dapat

ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang

Page 61: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

berhubungan dengan kesusastraan, baik di majalah maupun koran,

mempelajari buku-buku maupun yang memberikan penilaian terhadap suatu

karya sastra maupun sejarah sastra (Aminudin, 1995: 36).

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan memang untuk dihayati oleh

pembaca agar pembaca bersikap kritis dan cermat menekuni bagian-bagian

pengalaman manusia yang terpilih sehingga pembaca dapat menemukan

gagasan dan perasaan penulisnya serta tanggapan penulis terhadap kehidupan.

Visi penulis ialah tentang hidup dan kehidupan. Pengarang melalui karyanya

ingin mengajak pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masa-

lah yang diketengahkan dalam karyanya (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14).

Untuk dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik, pembaca harus

menguasai berbagai sistem kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode

sastra (A. Teeuw, 1983: 15). Di samping itu, dalam melakukan penghayatan

terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor

afektif, yaitu merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca

(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Ada faktor emosional dalam realitas rasa pada

diri pembaca ketika menghayati/ pengapresiasi sastra. Dalam kegiatan

apresiasi sastra ada totalitas aktualisasi diri yang puncak atau peak experience.

Rockler (1988: 119) menyatakan peak experience ini sebagai berikut.

“One lives (peak experience) through a moment of feeling self actualized which is a brief period in an individual’s life when he or she function completely, and feels self-confident, strong, and self-assured”

Page 62: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Selanjutnya Brown (2000: 143-144) menyebutkan factor emosional sebagai

berikut.

“the affective domain is the emotional side of human behavior. The development of affective states or felling involves a variety of personality factors, felling both about ourselves and about others with whom we come into contact, and the context of communication. And willing and able to place a certain value on the communicative act of interpersonal exchange”

Sastra adalah seni yang banyak memainkan aspek-aspek subjektif, dengan

demikian pemahaman atas perbedaan masing-masing siswa menjadi prasyarat

penting dalam apresiasi sastra. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, muara

akhir kegiatannya tertuju kepada ranah afektif.

Berdasarkan uraian di atas, maka apresiasi sastra adalah kegiatan

penghayatan terhadap karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga

menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis terhadap

karya sastra. Faktor emosi merupakan unsur terdepan bertalian dengan

apresiasi sastra. Ketika disambut pembaca, pembaca tidak dapat

meninggalkan emosi dalam menghayati/ mengapresiasi karya sastra.

5. Pengajaran Apresiasi Prosa Fiksi

a. Tujuan Pengajaran

Banyak tujuan yang ingin dicapai dari pengajaran sastra, di

antaranya ialah agar sastra dapat menjadi katarsis atau pencuci jiwa

(cathartic), semangat juang (morale), solidaritas (solidarity), dan

pembelaan (advocatory) kemanusiaan menjadi kenyataan (Endraswara,

Page 63: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

2005: 52). Karya sastra memiliki peran seperti ini karena sastra bersifat

evokatif dan sugestif. Sifat evokatif memberikan daya gugah agar manusia

makin sadar akan eksistensinya sebagai makhluk yang bertanggung jawab

terhadap kehidupan. Sifat sugestif memberikan daya saran alternatif.

Moody menyebutkan ada 4 manfaat pembelajaran sastra yaitu

memberikan skill, knowledge, develompment, dan character (Moody,

1979: 7). Cartes and Long (1997: 1-11) menyebutkan alasan pembelajaran

sastra karena sastra dapat menjadi (1) the cultural model, (2) the language

model, (3) the personal growth model. Di samping itu, juga language

competence and literary competence. Pembelajaran bahasa dan sastra

bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahasa dan peningkatan daya

apresiasi sastra.

Menurut Moody, tujuan pengajaran sastra meliputi 2 aspek, yaitu:

(1) aspek pengetahuan yang terdiri atas informasi dan konsep; (2) aspek

apresiatif yang terdiri dari perspektif dan apresiatif. Menurut Bloom,

tujuan pengajaran sastra meliputi: (1) aspek kognitif yang meliputi tingkat

pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi, dan kreatifitas; (2)

aspek afektif yang meliputi sikap menerima, merespon, menilai,

mengorganisir nilai, dan mengkarakterisasikan nilai; dan (3) aspek

psikomotoris (Anderson & Krathowohl, 2001: 63-91). Menurut Gagne,

tujuan pengajaran meliputi (1) kemampuan intelektual; (2) strategi

kognitif; (3) informasi verbal; (4) keterampilan motorik; (5) sikap

Page 64: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

terhadap pilihan perbuatan yang bersifat pribadi. Sedangkan menurut

Merril, tujuan pengajaran mencakup (1) mengingat fakta; (2) mengingat

konsep; (3) menggunakan konsep; (4) mengingat prosedur; (5)

menggunakan prosedur; (6) mengingat prinsip; dan (7) menggunakan

prinsip (Herman J. Waluyo, 1986: 87–93).

Pada tahun 2000 Unesco merekomendasikan empat pilar tujuan

pembelajaran, yaitu (1) program pembelajaran hendaknya mampu

memberikan kesadaran bagi masyarakat sehingga mau dan mampu belajar

(learning to know or learning to learn), (2) bahan belajar yang dipilih

hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada

siswanya (learning to do), (3) mampu memberikan motivasi untuk hidup

dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learing

to be), (4) pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk

keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup

bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar

bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (Anwar, 2006: 5).

Urutan ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan menjadi basis untuk

melakukan keterampilan, keterampilan menjadi basis bagi kemandirian,

kemandirian merupakan basis bagi penyesuaian diri dan kerja sama.

Keempat pilar tersebut harus menjadi basis dalam proses

pendidikan karena akumulasi dari keempat pilar tersebut merupakan

modalitas kecakapan hidup (life skills) untuk memecahkan masalah yang

Page 65: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

perlu dimiliki siswa. Ada empat jenis life skills, yaitu kecakapan personal

yang meliputi kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan

berpikir (thinking skills); kecakapan sosial; kecakapan akademik; dan

kecakapan vokasional. Kecakapan personal dan sosial merupakan

kecakapan generik (general life skills), dan kecakapan akademik dan

vokasional merupakan kecakapan spesifik (specific life skills). Dengan

kecakapan hidup siswa memperoleh bekal untuk bekerja dan berusaha

yang dapat mendukung pencapaian taraf hidup yang lebih baik (Anwar,

2006: 20, 28). Life skills membantu siswa mengembangkan kemampuan

belajar (learning to learn) menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang

tidak tepat, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan

dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan dan

memecahkannya secara kreatif. Tujuan pembelajaran harus mengintegrasi-

kan life skill, karenanya harus terjadi perubahan oriantasi tujuan

pembelajaran di Indonesia dari subject matter oriented menjadi life skill

oriented (Depdiknas, 2003: 1-7).

Sesuai dengan uraian di atas, maka pembelajaran sastra memiliki

corak: (1) menekankan kegiatan berolah sastra; (2) orientasi belajar sastra

tidak hanya hasil, melainkan pada proses bersastra; (3) keragaman vasiasi

metode pengajar-an; (4) mengakomodasikan pendidikan budi pekerti yang

diintegrasikan ke dalam karya sastra; (5) kegiatan ekstra kurikuler dapat

menjadi wacana pengayaan dan menempa kompetensi siswa. Karakteristik

Page 66: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

pembelajaran sastra tersebut adalah mengarah ke kegunaan sastra bagi

siswa untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Dengan demikian

kompetensi sastra yang diharapkan adalah kemampuan siswa melakukan

tugas dan apresiasi sastra secara total. Riris Toha K. Sarumpaet (1995: 2-

3) menyebutkan tujuan dan kegiatan dalam pengajaran sastra hendaknya

sebagai berikut:

1) bukan saja menikmati dan memahami, melainkan juga menggali nilai dan hikmah sastra dan akhirnya sampai pada sikap mencintai karya sastra;

2) tidak saja dibekali dengan pengetahuan dan sejarah sastra, melainkan juga pengalaman kreatif mencipta dan membahas karya sastra;

3) Tidak hanya meningkatkan kemampuan berbahasa, tetapi juga kemampuan mempertajam penalaran, daya bayang, serta kepekaan terhadap budaya, masyarakat, dan lingkungan kehidupan, sehingga dapat mencintai kehidupan.

Secara riil, indikator tujuan pembelajaran sastra di sekolah (sampel

kelas VIII) dapat didata menurut standar kompetensinya sebagai berikut:

1) Melalui menyimak siswa dapat mengapresiasi (unsur-unsur pementasan, menemukan karakter tokoh, mengevaluasi pemeran tokoh) pementasan drama

2) Melalui berbicara siswa dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan (menemukan karakter tokoh, memerankan tokoh sesuai karakter, mengimprovisasi berdasarkan kerangka naskah) dengan bermain peran

3) Melalui membaca siswa mampu memahami teks drama secara intrinsik, dan mampu menganalisis kerangka serta membuat sinopsis novel remaja

4) Melalui menulis siswa mampu mengungkapkan keaslian pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis kreatif menyusun kerangka dan mengembangkannya menjadi naskah drama

5) Melalui menyimak siswa memahami unsur intrinsik (tokoh, karakter, tema, latar, alur) novel remaja (asli atau terjemahan) yang dibacakan.

Page 67: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

6) Melalui berbicara siswa dapat mengapresiasi (mendata masalah yang menarik dan mengomentari) kutipan novel remaja (asli atau terjemahan) melalui kegiatan diskusi

7) Melalui membaca siswa dapat memahami karakter tokoh, latar buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan ciri-ciri umum antologi puisi.

8) Melalui menulis siswa dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas dengan cara menentukan objek, pilihan kata, dan menyuntingnya secara tepat (Depdiknas, 2006: 515-535).

Menengok kurikulum 2004 yang merupakan tumpuan pengembangan

kurikulum 2006, secara umum dapat dinyatakan bahwa tujuan

pembelajaran sastra menurut standar kompetensinya sebagai berikut.

1) Melalui menyimak siswa mampu mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/ terjemahan sesuai tingkat kemampuan siswa,

2) Melalui berbicara siswa mampu membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya,

3) Melalui membaca siswa mampu membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat,

4) Melalui menulis siswa mampu: mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis kreatif, serta dapat menulis kritik dan essai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dicaba (Direktorat Dikdasmen Depdiknas, 2003:8).

Dengan berbagai kegiatan menggauli cipta sastra, tujuan apresiasi

karya sastra ialah agar pembaca menjadi peminat atau pecinta karya sastra.

Tujuan pokok pengajaran sastra untuk mencapai kemampuan apresiasi

kreatif, yakni respon terhadap karya sastra yang sampai pada aspek

kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan daya kritis. Sesuai pendapat ini, maka

pengajaran sastra yang berhasil akan mengakibatkan siswa memiliki

kegemaran membaca cerita-cerita bermutu, gemar mengumpulkan buku-

Page 68: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

buku cerita, gemar mengikuti diskusi-diskusi yang membicarakan sastra,

gemar membicarakan cerita yang dibacanya dengan orang lain, gemar

mengumpulkan ulasan-ulasan sastra, suka membantu orang lain dalam

menelaah/ memahami sebuah karya yang sukar ditafsirkan, dapat memetik

nilai-nilai yang dibacanya serta memadukan dengan pengalamannya

sendiri, sering mengikuti lomba sastra (I.G.A.K. Wardani, 1981: 2).

Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka tercapainya tujuan

pembelajaran sastra dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:

1) Tingkat menggemari, ditandai dengan adanya rasa tertarik pada buku-buku sastra dan berkeinginan membacanya,

2) Tingkat menikmati, ditandai dengan mulainya tumbuh pengertian karena sudah mulai menikmati karya sastra,

3) Tingkat mereaksi, ditandai dengan adanya keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati, misalnya dengan menulis resensi, berdebat dalam diskusi, dan lain sebagainya,

4) Tingkat produksi, ditandai dengan mulainya memproduksi cipta sastra (I.G.A.K. Wardani, 1981: 1; Herman Waluyo, 2002: 45).

b. Strategi Pembelajaran

Dalam mencapai tujuan pengajaran, seorang pengajar harus

mampu menggunakan berbagai pendekatan, strategi, atau metode yang

tepat dan relevan agar pengajaran apresiasi sastra mudah dimengerti. Hal

ini dikarenakan tugas guru adalah (1) memberikan pengalaman belajar

yang dapat menumbuhkan rasa senang dan rasa puas pada diri siswa

sehingga terus belajar, (2) membantu pembelajar mencari dan

menganalisis informasi yang diperlukan sehingga pembelajar dapat

Page 69: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

membuat keputusan yang benar (Haris Mudjiman, 2007: 13-14). Dalam

kaitannya dengan pembelajaran sastra, Miller (1980: 11) menerangkan

sebagai berikut.

“Even though the teacher knows interesting facts about the outhor which the student does not know, or has true insights into the work which the student has not yet discerned, still there comes a time when the teacher must practice restraint” Mengajar bukan berarti menstransfer pengetahuan kepada siswa,

tetapi membantu siswa mengembangkan pengetahuan mereka. Hal itu

disebabkan karena guru berfungsi sebagai manajer dan pemimpin

pembelajaran. Selaras dengan pernyataan di atas, Brown yang menyatakan

mengajar sebagai berikut.

“Teaching defined as showing or helping someone to learn how to do something, giving instructions, guiding in the study of something, providing with knowledge, and causing to know or understand” (Brown, 2000: 7).

Untuk membantu siswa, guru dapat menempuh taktik (siasat, muslihat,

akal) dan trategi yang kondusif.

Ajib Rosidi (1973: 67) mengemukakan bahwa untuk mencapai

tujuan pengajaran ada dua jalan yang harus ditempuh, yaitu (1) memberi

kesempatan kepada para siswa untuk berkenalan langsung dengan karya-

karya sastra yang dibicarakan, (2) memberi kesempatan kepada mereka

untuk mengetahui berbagai soal mengenai karya sastra. Selaras dengan hal

ini, Brumfit (1971: 295) menyarankan agar mereka (siswa) diberi waktu

yang cukup sehingga perlu ditambah dengan waktu ekstra kurikuler.

Page 70: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Selaras dengan uraian di atas, dalam konteks pengajaran maka

yang dimaksud strategi ialah kemampuan internal seseorang untuk

berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Strategi

merupakan taktik atau pola yang dilakukan oleh seorang pengajar dalam

proses pembelajaran, sehingga siswa dapat lebih leluasa dalam berpikir

dan dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya secara lebih

mendalam (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 3). Ada beberapa

model pembelajaran yang ditawarkan sebagai strategi pembelajaran sastra,

yaitu, model Stratta, model Rodrigues-Badaczewski, model Sinektik

Gordon, model Induktif Taba, model Moody (Suwardi, 1997: 61-64).

Moody dan B. Rahmanto (1998: 48-53) menawarkan model pembelajaran

sastra dengan membagi 6 tahap: (1) preliminary assessment, (2) practical

decision, (3) introduction of the work, (4) presentation of the work, (5)

discusion, dan (6) reinforcement/ testing. Dalam bahasa Indonesia, urutan

tersebut: (1) pelacakan pendahuluan oleh guru, (2) penentuan sikap kritis

oleh guru, (3) introduksi oleh guru, (4) penyajian dengan pembacaan puisi

atau memutar rekaman, (5) diskusi, dan (4) pengukuhan.

Di samping beberapa model pembelajaran yang ditawarkan di atas,

ada beberapa model pembelajaran modern yang berorientasi pada

konstruktivisme antara lain ialah belajar aktif, belajar mandiri, belajar

kooperatif dan kolaboratif, generative learning, dan model belajar kognitif

antara lain problem based learning, cognitif strategies (Paulina Panen,

Page 71: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Dina Mustafa, Mestika Sekarwinahyu, 2005: 41). Selain itu, ada CTL,

quantum, experiential learning.

Pembelajaran apresiasi sastra sejak kurikulum 1984 dilakukan

secara terpadu dengan pembelajaran keterampilan berbahasa berdasarkan

pendekatan terintegrasi (integratif approach). Pernyataan tersebut selaras

dengan uraian pada ruang lingkup Kurikulum KBK (Depdiknas, 2003:6)

bahwa aspek kemampuan bersastra meliputi mendengarkan, berbicara,

membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Apresiasi

sastra berhubungan dengan kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan

karya sastra, yaitu mendengar atau membaca karya sastra dengan

penghayatan, menulis sastra atau menulis resensi sastra (Herman J.

Waluyo, 2002: 44). Keempat keterampilan ini ada dalam wilayah kajian

bahasa. Apabila pada kegiatan membaca, menulis, berbicara,

mendengarkan, apresiasi dan ekspresi sastra muncul persoalan atau

kesulitan menyangkut aspek kebahasaan, di situlah saat yang tepat untuk

membahas dan menjelaskan aspek kebahasaan.

Pembelajaran dengan integratif approach ialah pembelajaran yang

memandang dan mengaitkan secara sadar dan sengaja berbagai aspek

materi inter/ antar bidang studi yang memungkinkan siswa memperoleh

pengetahuan (intelektual), sikap (afeksi), dan keterampilan (psikomotor)

secara utuh (holistic) dan simultan dalam konteks yang riil dan bermakna.

Integrasi inter-bidang studi adalah perpaduan materi pelajaran dalam

Page 72: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

lingkup pelajaran bahasa dan sastra itu sendiri, sedangkan integrasi antar

bidang studi adalah keterpaduan dengan mata pelajaran lain (Imam

Syafi’ie, 1990: 19). Dalam integrasi, beberapa aspek dari beberapa bidang

studi diintegrasikan. Namun oleh karena secara implisit hadir pada setiap

pendekatan, maka metode integratif ini jarang dimunculkan sebagai

metode tersendiri (Iskandarwasid dan Dadang Sunendar, 2008: 61).

Keterpaduan materi keterampilan berbahasa dengan materi

kesusasteraan secara riil dapat dilihat pada standar kompetensi bahan

kajian bahasa Indonesia kompetensi bersastra sebagai berikut:

1) Mendengarkan: mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/ terjemahan sesuai tingkat kemampuan siswa,

2) Berbicara: membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya,

3) Membaca: membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat,

4) Menulis: mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis kreatif, serta dapat menulis kritik dan essai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca (Depdiknas, 2003: 8).

Pembelajaran apresiasi sastra dilakukan melalui kegiatan mendengarkan,

menonton, membaca, dan melisankan hasil sastra berupa puisi, cerita

pendek, novel, drama; memahami dan menggunakan pengertian teknis

kesusasteraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai,

dan menganalisis hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta

sastra yang berupa puisi, cerita pendek, novel, dan drama (Depdiknas,

2003: 5).

Page 73: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Berdasarkan hal itu, sejak diberlakukannnya kurikulum 1984,

materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diintegrasikan secara

tematik interbidang. Dalam organisasi materi secara tematik ini, semua

komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam satu tema yang

sama dalam satu unit pertemuan. Kehadiran tema ini perlu dipahami

bahwa tema bukanlah tujuan, tetapi alat yang digunakan untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Tema tersebut haruslah diolah dan disajikan secara

kontekstual (budaya-sosial-religius lingkungan anak), kontemporer (baru),

konkrit (tidak abstrak), dan konseptual (dari konsep ke analisis atau dari

analisis ke konsep kebahasaan-penggunaan-pemahaman) (Depdiknas,

2007:32). Tema yang telah dipilih haruslah diolah dengan perkembangan

lingkungan siswa yang terjadi saat ini agar fungsinya benar-benar dapat

memayungi/ menjadi wahana pengikat keterpaduan materi pembelajaran.

c. Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Sastra

Tujuan penilaian/ evaluasi dalam pengajaran sastra menurut

Burhan Nurgiantoro (2001: 322-225) adalah (1) mengungkapkan

kemampuan apresiasi sastra siswa, dan (2) menunjang tercapainya tujuan

pengajaran apresiasi sastra. Tes kesastraan yang apresiatif adalah tes yang

berangkat dari karya sastra secara langsung, dan untuk dapat

mengerjakannya siswa harus membaca karya itu dengan sungguh-sungguh.

Kata kunci untuk dapat menjawab pertanyaan ialah siswa harus “membaca

Page 74: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

karya sastra secara langsung”. B. Rahmanto (1998: 122-123)

menyebutkan tujuan evaluasi sastra untuk (1) pengukur pencapaian

standar siswa atas apa yang mereka pelajari, (2) sebagai pendorong dan

tantangan belajar agar vsiswa menyiapkan diri, (3) sebagai perkiraan

untuk membantu menentukan bahan yang tepat untuk berbagai bentuk

pelajaran dan latihan selanjutnya. Baxter (1997:7) menyebutkan mengapa

melakukan penilaian sebagai berikut.

1) to compare student with each other, 2) to see if students meet a particular standard, 3) to help the student’s learning, 4) to check if the teaching programme is doing its job.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam evaluasi

pembelajaran Apresiasi sastra. Menurut Moody (1979: 89-96; B.

Rahmanto, 1998: 128; Burhan Nurgiantoro, 2001: 340-346) membagai

empat aspek evaluasi, yaitu: (1) aspek informasi, (2) aspek konsep, (3)

aspek prespektif, (4) aspek apresiatif.

Aspek informasi menanyakan data dasar yang dapat digunakan

untuk membantu memahami karya sastra, misalnya: peristiwa apa saja

yang disajikan, di mana, kapan, tokoh-tokohnya siapa saja, bagaimana

akhir ceritanya, pengarang siapa, kapan ditulis. Aspek konsep berkaitan

dengan persepsi tentang bagaimana data atau unsur-unsur karya sastra

tersebut diorganisir, apa saja macam unsur-unsur cerita itu, apa maksud

dan efek pemilihan unsur-unsur itu, bagaimana hubungan unsur-unsur

Page 75: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

cerita tersebut, konflik apa saja yang muncul, bagaimana kaitan antara

berbagai konflik yang ada, faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya

suatu konflik. Aspek perspektif berkaitan dengan pandangan siswa

terhadap karya sastra yang dibacanya. Apakah yang diceritakan di dalam

karya sastra tersebut signifikan dengan realita kehidupan, atau bersifat

tipikal, apakah ada kemungkinan cerita semacam itu terjadi di tempat lain,

kesimpulan apa yang dapat ditarik dari cerita tersebut, apa manfaat karya

tersebut bagi pembaca. Aspek apresiatif berkaitan terutama pada

hubungan sastra dengan kebahasaan yang berkisar: mengapa pengarang

justru memilih bentuk, kata atau ungkapan seperti itu, apa pengaruh yang

ditimbulkan dengan pemilihan atau penggunaan kata, ungkapan, imaji-

imaji, episode, dan penokohan bagi karya itu secara keseluruhan, jenis

ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya sastra tersebut.

Burhan Nurgiantoro (2001: 326-331) menjelaskan bahwa evaluasi

prosa fiksi (novel) dapat dilakukan dengan mengembangkan model

Bloom, yaitu:

1) Ranah kognitif (kemampuan berpikir), menanyakan apa yang anda ketahui tentang alur, siapa yang menulis novel, termasuk angkatan berapa;

2) Ranah afektif (sikap), menanyakan pendapat siswa tentang isi cerita;

3) Ranah psikomotor, mengevaluasi kegiatan apresiasi misalnya bedah buku, bermain drama, dan sebagainya

Dijelaskan oleh Burhan Nurgiantoro, 2001: 332-340) bahwa ranah

kognitif meliputi tingkatan ingatan, pemahaman, penerapan, analisis,

Page 76: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

sintesis, dan tingkat penilaian. Tes ingatan mengungkap kembali fakta,

konsep, definisi, deskripsi, nama pengarang, nama angkatan. Tes

pemahaman menyangkut pembedaan, memahami, menjelaskan, hubungan

antar-konsep, dan lain-lain yang sifatnya sekedar mengingat. Tes

penerapan menuntut penerapan pengetahuan teoretik ke dalam kegiatan

praktis yang konkret. Siswa dituntut dapat memperlakukan karya sastra

secara nyata melalui kegiatan mengubah, memodifikasi,

mendemonstrasikan, mengoperasikan, dan menerapkan sesuatu hal. Tes

tingkat analisis menuntut siswa menganalisis sastra baik secara intrinsik

maupun ekstrinsik. Tes tingkat sintesis menuntut siswa mengkategorikan,

menghubungkan, mengkombinasikan, dan meramalkan hal-hal yang

berkenaan dengan unsur-unsur karya sastra. Tes tingkat kognitif menuntut

evaluasi karya sastra dengan memberi komentar dengan alasan-alasan

estetika. Tagihan kognitif mengukur seberapa banyak siswa mampu

menguasai bahan pembelajaran kesusasteraan yang bersifat kognitif yang

dikembangkan melalui soal-soal yang berdasarkan kisi-kisi (standar

kompetensi, kompetensi dasar, materi standar, indikator, jumlah soal, dan

monor soal). Tagihan kognitif bersifat teoretis.

Tagihan untuk kerja merujuk kepada kemampuan melakukan

aktivitas tertentu sesuai dengan tuntutan kompetensi mata pelajaran.

Tagihan ini bersifat psikomotoris baik aktif-reseptif (menyimak-

membaca) maupun aktif produktif (berbicara-menulis). Tagihan afektif

Page 77: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

menjaring informasi sikap, minat, motivasi, kesungguhan belajar siswa.

Instrumen yang dapat disiapkan untuk memperoleh informasi ini ialah

dengan mengembangkan soal berdasarkan skala Liekert, misalnya dengan

kantinum sangat senang (5), senang (4), biasa-biasa saja (3), kurang

senang (2), dan tidak senang (1). Tagihan portofolio dilakukan dengan

pemberian tugas tulis menulis yang bersifat produktif, misalnya tulisan

yang isinya menceritakan kembali suatu teks.

Penilaian pembelajaran apresiasi sastra berdasarkan KTSP

menggunakan sistem penilaian berbasis kelas yang di dalamnya terdapat

proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang belajar

siswa yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau

menjelaskan unjuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas-

tugas terkait. Penilaian berbasis kelas ini menggunakan pengertian

penilaian sebagai authentic assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan

untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tantang hasil belajar

siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan belajar mengajar

(Abdul Majid, 2008: 185). Tujuan penilaian ini untuk (1) penelusuran

(keeping track), (2) pengecekan (cheking up), (3) pencarian (finding out),

(4) penyimpulan (summing up).

Umaedi (2003: 19-20) manyatakan bahwa authentic assessment

yaitu penilaian yang dilakukan bersama dan terintegrasi (tidak

terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran di kelas. Penilaian dilakukan

Page 78: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

sepanjang proses pembelajaran agar dapat diketahui peran serta, kesulitan

anak, serta dapat membantu bagaimana siswa mempu mempelajari

(learning how to learn). Data yang diambil ialah data siswa melakukan

kegiatan dalam proses pembelajaran, karenanya disebut data autentik.

Informasi atau data yang dikumpulkan digunakan untuk memahami siswa,

merencanakan, memonetor proses pembelajaran, dan menciptakan suasana

kelas yang bergairah. Brennan (2006: 623-626) mengutip dari beberapa

measurement experts mengatakan sebagai berikut.

“Based of classroom assessment strategies designed to be a integral part of teaching and learning. Advocated the use of objective measurement to adapt instruction to individual learning needs…the process of checking learning through direct observation of behavior and informal testing”

Bentuk evaluasi sesuai dengan paradigma di atas meliputi ragam

tagihan atau penilaian kelas, yaitu tes tulis, penilaian unjuk kerja

(performance assessment), penilaian portofolio, penilaian proyek,

penilaian hasil kerja (product assessment), penilaian sikap, penilaian diri

(Abdul Majid, 2008: 195-219) Secara riil, evaluasi dapat berwujud

pertanyaan lisan, ulangan harian, praktik unjuk kerja, tugas rumah,

ulangan akhir, karya siswa. Presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi,

laporan, jurnal, hasil tes, karya tulis. Inti dari authentic assessment adalah

menjawab pertanyaan ”apakah siswa belajar?” bukan ”apa yang sudah

diketahui?”

Page 79: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Kemampuan apresiasi prosa fiksi dipengaruhi oleh beberapa hal

yang ada di dalam diri siswa sendiri, yaitu (1) faktor jasmani meliputi

kesehatan seorang siswa agar dapat belajar dengan baik untuk

mengapresiasikan cerita pendek. Siswa harus dalam keadaan sehat, untuk

memenuhi siswa yang sehat dengan proporsional, yaitu tidur, makan, olah

raga, dan rekreasi. Dan apabila seorang mempunyai cacat tubuh tentu saja

kegiatan belajar dapat terganggu dan konsentrasi belajar berkurang, (2)

faktor rohani, siswa dipengaruhi oleh (a) perhatian, yaitu siswa harus

mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajari, (b) motif, yaitu

tujuan yang hendak dicapai karena menjadi penyebab berbuat suatu

kebiasaan atau latihan, (c) kematangan, tingkat dalam pertumbuhan

seseorang untuk melaksanakan kecakapan yang baru, (d) kesiapan, yaitu

kesediaan untuk memberi respon atau reaksi.

6. Definisi Konseptual Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan,

dan kekuatan. Dalam kaitannya dengan aktivitas belajar, kemampuan

merupakan keluaran belajar. Menurut Gagne & Briggs (1979: 49-56), Burhan

Nurgiantoro, (2001: 22), Mergel (1998: 11) ada lima kategori keluaran belajar

yang selanjutnya disebut sebagai kompetensi dan kapabilitas.

“The performance that may be observed as learning outcomes are considered to be made possible by internally stored states of the human learner called capabilities”

Page 80: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Kompetensi dan kapabilitas ini diterangkan oleh keduanya sebagai

kemampuan. Kemampuan ini diukur dengan evaluasi yang sesuai.

Berdasarkan konsep kemampuan, dan uraian mengenai pengertian prosa fiksi

serta pengertian apresiasi, maka kemampuan apresiasi prosa fiksi ialah

tingkatan kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan yang dipunyai seseorang

untuk memahami, menikmati dan menghargai atau menilai terhadap cerita

rekaan.

B. Model Pembelajaran

1. Pengertian Model Pembelajaran

Istilah “model pembelajaran” lahir pertama kalinya oleh Joyce pada

tahun 1972 (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: xvii; terjemahan Achmad Fawaid

& Ateilla Mirza, 2009: xx). Bersumber dari teori tersebut, sampai saat ini

guru-guru dapat mengembangkan profesionalismenya dalam mengemban

tugas menjadi pendidik melakukan pembelajaran di kelas. Karena itu,

bukunya sampai sekarang menjadi “a book for all seasons”.

Bagaimana pengertian model pembelajaran. Dorin, Demmin, dan

Gabel (dalam Mergel, 1998: 2) secara umum menyatakan bahwa “a model is a

mental picture that helps us understand somethink we cannot see or

experience directly”. Model adalah gambaran mental yang membantu

memahami sesuatu yang tidak dapat dilihat atau pengalaman langsung. Selain

pengertian ini, model pembelajaran memiliki beberapa definisi lain sesuai

Page 81: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu

definisi model dikemukakan Dilworth (1992: 74) sebagai berikut.

“A model is an abstract representation of some real world process, system, subsystem. Model are used in all aspect of life. Model are useful in depicting alternatives and in analysing their performance”

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa model merupakan

representasi abstrak dari proses, sistem, atau subsistem yang konkret. Model

digunakan dalam seluruh aspek kehidupan. Model bermanfaat dalam

mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis tampilan pilihan-

pilihan tersebut.

Dewey (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 13) mengatakan bahwa

“The core of the teaching process is the arrangement of environments within

which the student can interact and study how to learn. Selanjutnya dijelaskan

lebih lanjut bahwa berdasarkan hal itu, maka:

“A model of teaching is a description of a learning environment. The descriptions have many uses, ranging from planning curriculum, courses, units, and lessons to designing instructional materials – books and workbooks, multy media programs, and computer assisted learning program”

Menurut Chauhan (1979: 20) model mengajar sebagai berikut.

“Model of teaching can be defined as an instructional design which describes the process of specifying and producing particular environmental situations which cause the students to interact in such a way that a specific change occurs in their behavior” Suryaman (2004: 66) merumuskan model pembelajaran adalah kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

Page 82: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu

dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dari

beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model mengajar dapat

diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun

kurikulum, mengatur materi siswa, dan memberi petunjuk kepada pengajar di

dalam kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya.

Banyak model mengajar, Joyce, Weil, & Calhoun (2000: 13-28)

mengelompokkan menjadi empat keluarga, yaitu: (1) model pemrosesan

informasi (information processing family model), (2) model pribadi (personal

family model), (3) model interaksi sosial (social family model), dan model

perilaku (behavioral system family model). Menurut Joyce, Weil, & Calhoun

(2000: 135), semua model mengajar mengandung unsur model berikut: (1)

orientasi model, yaitu fokus atau kerangka acuan yang menyangkut tujuan

pengajaran dan aspek lingkungan; (2) urutan kegiatan (syntax), yaitu tahapan

tindakan model; (3) sistem sosial (social system), yakni norma (sikap,

keterampilan, pengertian) yang menyangkut hubungan antara guru dan siswa,

(4) prinsip reaksi (principle of reaction); (5) sistem penunjang (support

system), yakni instrumen pendukung terhadap keberhasilan guru dan siswa

seperti teks, OHP; dan (6) dampak instruksional dan penyerta (instructional

and nurturant effect).

Page 83: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Model mengajar pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus sebagai

berikut:

a. Memiliki prosedur yang sistematis untuk memodifikasi perilaku siswa berdasarkan asumsi-asumsi tertentu;

b. Hasil belajar ditetapkan secara khusus dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati;

c. Penetapan lingkungan secara khusus yang meliputi faktor-faktor pendukung seperti silabus/ RPP, media pembelajaran, dan lain sebagainya;

d. Ukuran (kriteria) keberhasilan yang ditunjukkan dalam bentuk unjuk kerja siswa;

e. Interaksi dengan lingkungan yang menetapkan bagaimana siswa melakukan interaksi dan mereaksi dengan lingkungan (Abdul Azis Wahab, 2008: 54-55).

Adapun pentingnya sebuah model dapat digambarkan melalui fungsinya yang

menurut Chauhan (1979: 201) meliputi: (1) sebagai pedoman yang

menjelaskan apa yang harus dilakukan guru; (2) membantu pengembangan

kurikulum; (3) menetapkan bahan-bahan pengajaran, serta (4) membantu

perbaikan dalam mengajar. Dengan demikian model mengajar merupakan

catak biru untuk mengajar, sebuah prosedur yang riil.

Model pembelajaran berbeda dengan pendekatan pembelajaran.

Pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat

pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan bersifat aksiomatif yang

memerikan hakikat pokok bahasan yang diajarkan (Anthony dalam Allen,

1965: 93-97). Pendekatan merupakan latar belakang filosofis tentang pokok-

pokok yang akan diajarkan. Anthony menyatakan:

“Approach is the level at which assumption and beliefs about language and language (and leterature) learning are specified. Approach refers to

Page 84: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

theories about the nature of language and language learning that serve as the source of practices and principles in language teaching” (dalam Richard & Rodgers, 2001: 20-21).

Klaus (1971: 6) menyatakan bahwa pendekatan sebagai berikut.

“This approach is based on principles of learning wich are focused on the response, or performances of the learner in the learning environment”

Dengan demikian, pendekatan mengacu pada teori tentang hakikat

bahasa dan hakikat pembelajaran bahasa dan sastra yang bertindak sebagai

sumber pelatihan dan prinsip di dalam pembelajaran. Pendekatan dapat

diartikan sebagai kaca pandang/ sudut pemetaan yang mengarahkan siswa

dalam melakukan kegiatan apresiasi.

Model pembelajaran juga berbeda dengan metode. Metode adalah cara

kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna

mencapai tujuan yang ditentukan (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008:

58). Jika pendekatan bersifat aksiomatik, metode bersifat prosedural. Suatu

metode bersifat teoretis, yaitu berdasarkan teori tentang apa, bagaimana, dan

mengapa menggunakan suatu metode itu. Dasar teori tersebut meliputi dasar

linguistik, psikologis, maupun praktis. Contoh metode dalam pembelajaran

bahasa ialah metode alamiah, metode langsung, dan sebagainya.

Page 85: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

2. Pendekatan Konstruktivisme sebagai Landasan Model Pembelajaran

Berbasis Pengalaman

Konstruktivisme merupakan konsep belajar yang mengintegrasikan

materi yang diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1).

Berdasarkan pendekatan ini proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam

bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan

dari guru ke siswa. Melalui proses belajar dari lingkungan, individu dapat

menemukan kembali jati dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru,

merasakan hubungan yang akrab dengan alam dan sesamanya dan dapat

memperluas kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas

(Anwar, 2006: 12). Selaras dengan pikiran ini, Mergel (1998: 7) menyatakan

sebagai berikut.

“Constructivists believe that learners construct their own reality or at least interpret it based upon their perceptions of experiences, so an individual’s knowledge is a fungtions of one’s prior experiences, mental structure, and beliefs that are used to interpret objects and events”

Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata,

pelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (joifull) dan bermakna

(meaning full). Dengan cara ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal

pelajaran, tetapi dengan mengalami anak menemukan pengetahuan secara

konstruktivistik dan menjadikannya ingatan sepanjang hayat. Paradigma

Page 86: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

belajar konstruktivisme adalah belajar melalui proses menginternalisasi,

membentuk kembali atau membentuk baru pengetahuan (Haris Mudjiman,

2007: 25). Oleh karena siswa mengalami atau menjalani proses (process

oriented), maka pendekatan belajar ini termasuk dalam ketegori model

belajar aktif. Belajar aktif merupakan kegiatan belajar untuk mendapatkan

kompetensi-kompetensi yang secara akumulatif menjadi kompetensi lebih

besar. Ciri belajar aktif ialah siswa aktif mengalami apa yang dipelajari (Haris

Mudjiman, 2007: 53). Menurut Shuell (dalam Duffy, Lowyck, Jonassen,

1992: 291) constructive learning is an active, constructive, cumulative and

goal directed process.

Pengetahuan menurut pemikiran konstruktivisme dibangun oleh

manusia sendiri sedikit demi sekikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks

terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Dasar pemikiran konstruktivisme

ialah bahwa pemahaman pengetahuan akan makin berkembang apabila selalu

dihadapkan pada situasi-situasi baru, dihadapkan pada ujian-ujian melalui

perolehan input baru. Pengetahuan lama akan mengalami asimilasi ataupun

akomodasi secara dinamis untuk menyesuaikan dan memperbaiki terhadap

input baru. Oleh karena itu, pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi

melalui proses perkembangan yang terus menerus (Paulina Panen, Dina

Mustafa, Mestika Sekarwinahyu, 2005: 15-16; Paul Suparno, 1997: 11).

Berdasarkan konsep di atas, maka esensi dari konstruktivisme adalah

gagasan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan

Page 87: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

suatu informasi kompleks ke situasi lain secara terus menerus sehingga

ditemukan pengetahuan final yang menjadi milik mereka. Dengan demikian,

pembelajaran harus dikemas menjadi proses pengkonstruksi bukan menerima

pengetahuan. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui

keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga

memperoleh pengetahuan (Paul Suparno, 1997: 11). Ada beberapa asumsi

yang mendasari psikologi konstruktivisme, menurut Merril (dalam Mergel;

1998: 7) sebagai berikut.

1) knowledge is constructed from experience, 2) learning is personal interpretation of the world, 3) learning is an active process in which meaning is developed on the

basis experience, 4) conceptual growth comes from the negotiation of meaning, the

sharing of multiple perpectives and the changing of our internal presentations through collaborative learning,

5) learning should be situated in realistic settings, testing should be integrated with the task and not a separate activity.

Oleh karena membutuhkan keaktivan siswa untuk mengalami, maka

pendekatan pembelajaran ini sangat tepat diterapkan pada murid yang sudah

dewasa. Students in these courses tutored ... worked with adolescents who

were in detention for illegal activites (McKeachi, 1987: 139) Kondisi ini

sesuai dengan kondisi anak SMP, anak SMP yang umurnya sekitar 12 tahun

berada dalam period of formal operation, usia di mana anak sudah mampu

berpikir secara simbolik dan mampu memahami makna secara abstrak. Pada

usia ini juga berkembang ketujuh kecerdasan majemuk (multiple

intellegences).

Page 88: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

3. Model Pembelajaran Experiential Learning

a. Konsep Model Pembelajaran Experiential Learning

Padan kata experiential learning ialah belajar melalui pengalaman.

McKeachi menyebutkan pengertian experiential learning sebagai berikut:

“Experiential learning refers to a broad spectrum of educational experiences such as community service activities, field work, sensitivity training groups, internship, or cooperative education involving work. The goal of experiential learning has both cognitif and motivational goals” (McKeachi, 1987: 140).

Keeton & Kate (I.G.A.K. Wardani, 2000: 117; Suciati, Ibrahim,

Refni Delfi, Siti Julaeha, 2007: 4.3) menyatakan bahwa:

“Experiential learning refers to learning wich the learner is directy in touch with the realities being studied”. Experiential learning adalah belajar melalui pengalaman yang melibatkan siswa secara langsung dalam masalah atau isu yang dihadapi.

Kelly (1997: 1) menerangkan experiential learning sebagai berikut.

“Experiential learning is not just fieldwork or praxis (the connecting of learning to real life situations) althougt it is the basic for these approaches, it is a theory that defines the cognitive processes of learning. In particular, it asserts the importance of critical reflection in learning”

Selaras dengan pengertian tersebut, menurut Marrison (dalam

Fernandes, 1989:40; Amir Achsin, 1984 : 5-6) ada asumsi yang mendasari

dilaksanakanya pendekatan ini, yaitu: (1) bahwa seseorang dapat belajar

dengan baik apabila ia sendiri secara pribadi terlibat langsung di dalam

pengalaman belajar itu, (2) bahwa pengetahuan haruslah ditemukan

sendiri kalau kita menginginkan ilmu lebih bermakna sehingga

Page 89: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

menimbulkan perubahan pada tingkah laku kita, (3) bahwa keterikatan

untuk belajar menjadi lebih tinggi apabila kita bebas menentukan sendiri

tujuan pelajaran kita dan kegiatan-kegiatan untuk mencapainya.

Berdasarkan pengertian dan asumsi di atas, pada hakikatnya dalam

belajar siswa mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata

sehingga secara konstruktivistik anak menemukan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan sebagai hasil dari pengalaman belajar. Amir Achsin (1984:

4) menyebutkan bahwa siswa dikatakan dalam situasi atau sedang belajar

melalui pengalaman ketika (1) seseorang menghasilkan suatu konsep,

rumus dan prinsip dari pengalamannya sendiri; (2) konsep, rumus dan

prinsip tersebut menuntun tingkah laku seseorang dalam proses belajar.

Suciati, Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha. (2007: 4.4) menyebutkan

bahwa belajar melalui pengalaman menekankan pada hubungan yang

harmonis antara belajar-bekerja-aktivitas kehidupan dengan menciptakan

pengetahuan itu sendiri. Agar siswa belajar, guru bertugas

mengkondisikan kelas dan lingkungan yang menyenangkan, membantu

siswa mengatasi kecemasan, membantu siswa mengenali perbedaan-

persamaan situasi agar dapat melakukan generalisasi (Baharuddin &

Esa Nur Wahyuni: 2007: 63-64) Pembelajaran dengan model ini tidak

mengutamakan target pencapaian materi yang bersifat behavioristik,

melainkan strategi yang harus diciptakan secara kreatif oleh guru agar

siswa dapat melakukan learning experiental.

Page 90: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

Berdasarkan pernyataan Fernandes, Jacobus, T. Tirtawijaya,

Kasurianto (1989: 40) dan Amir Achsin (1984: 5-6), ciri-ciri belajar

berdasarkan pengalaman dapat digambarkan sebagai berikut (1) anak

mengembangkan konsep-konsep, rumusan dan prinsip-prinsip dari

pengalaman-penglamannya sendiri, (2) konsep, rumus dan prinsip-prinsip

ini menuntun tingkah laku mereka dalam proses belajar (melalui

pengalaman itu), (3) dalam proses belajar itu mereka secara terus menerus

memperbaharui konsep-konsep, rumus-rumus dan prinsip itu untuk

meningkatkan kegunaannya. Raka Joni dan I.G.A.K. Wardani (2000: 119)

menyebutkan karakteristik dasar belajar melalui pengalaman yaitu (1)

dipersepsi sebagai proses daripada hasil, (2) proses berkesinambungan

melalui pengalaman, (3) proses belajar merupakan penyelesaian

pertentangan dialektis antara modus-modus dasar yang saling berlawanan

untuk beradaptasi dengan lingkungan, (4) merupakan proses adaptasi

terhadap dunia luar secara holistik, (5) merupakan interaksi antara

individu dan lingkungan, serta (6) merupakan proses penciptaan ilmu

pengetahuan.

b. Prosedur Model Pembelajaran Experiental Learning

Ada tiga model pembelajaran experiential learning, yaitu model

John Dewey, model Jean Piaget, dan model Kurt Lewin.

Page 91: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

1. Model John Dewey

Model pembelajaran yang disampaikan oleh John Dewey

menekankan pada balikan (feed back). Istilah balikan ini digunakan

untuk menjelaskan bagaimana belajar mengubah getaran-getaran

(impulses), perasaan, keinginan dan pengalaman konkrit ke dalam

tindakan yang memiliki tujuan yang lebih tinggi.

Menurut Dewey belajar adalah proses dialektis yang

mengintegrasikan pengalaman dengan konsep, observasi dan tindakan.

Getaran-getaran pengalaman memberikan ide dan ide-ide tersebut

memberikan arah terhadap getaran selanjutnya. Akhirnya dari proses

belajar tersebut terjadi perumusan tujuan. Perumusan tujuan tersebut

mencakup tiga hal yaitu:

(1) observasi keadaan sekeliling,

(2) pengetahuan tentang apa yang terjadi pada kondisi yang sama di

saat yang lalu,

(3) pertimbangan yang menggabungkan apa yang diobservasi dengan

apa yang diingat untuk menentukan pengetahuan yang signifikan.

Siklus belajar melalui pengalaman model John Dewey dapat dilihat

pada gambar di bawah ini

Page 92: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Gambar 1: Alur Siklus Experiential Learning Model Dewey

(Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha, 2007: 4.2; Kolb, 1984:23)

2. Model Jean Piaget

Menurut Piaget, dimensi pengalaman dan konsep, serta refleksi

dan tindakan membentuk landasan yang berkesinambungan bagi

perkembangan orang dewasa. Perkembangan dari anak-anak ke

dewasa bergerak dari pandangan yang bersifat konkret menuju

pandangan yang bersifat abstrak, dari pandangan egosentris yang aktif

kepada pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi (Ibrahim, Refni

Delfi, Suciati, Siti Julaeha., 2007:4.8).

Proses belajar merupakan suatu siklus interaksi antara

individu dan lingkungan yang unsur pokoknya terletak pada interaksi

yang saling menguntungkan antara proses akomodasi konsep atau

skemata terhadap pengalaman nyata dengan proses asimilasi peristiwa

dan pengalaman terdahadap konsep dan skemata yang dimiliki. Oleh

karena itu, menurut Piaget, belajar adalah adaptasi intelegensi yang

merupakan hasil keseimbangan antara proses akomodasi dan asimilasi

Page 93: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

tersebut. Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha (2007: 4.8)

menjelaskan bahwa ketika proses akomodasi mendominasi asimilasi,

terjadi proses imitasi terhadap segala sesuatu di lingkungan. Ketika

asimilasi mendominasi proses akomodasi, terjadi penekanan pada

konsep atau kesan tanpa memperhatikan kenyataan lingkungan.

Proses pertumbuhan kognitif dari konkrit menuju abstrak dan dari

tindakan menuju refleksi didasarkan pada transaksi yang

berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Proses ini melalui

tahapan, di mana tahap sebelumnya harus sudah dikuasai sebelum

berlanjut pada tahap yang lebih tinggi dari fungsi kognitif.

Berdasarkan logika di atas, Piaget mengidentifikasi siklus

belajar mulai anak lahir sampai kira-kira umur 16 tahun menjadi empat

tahap. Empat tahap belajar tersebut sebagai berikut.

1. Pertama tahap sensori-motorik (sampai 2 tahun)

Pada tahap ini kegiatan belajar didominasi oleh aktivitas melalui

perasaan, sentuhan, dan rabaan. Anak belajar mengenal api yang

panas karena menyentuh lilin, dan sebagainya. Proses belajar pada

tahap ini didominasi oleh proses akomodasi.

2. Kedua tahap preoperasional (2 sampai 6 tahun)

Pada tahap ini kegiatan belajar masih berorientasi pada hal-hal yang

konkrit tetapi sudah mulai berkembang ke arah orientasi refleksi.

Page 94: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Pada tahap ini anak sudah mampu menggunakan imajinasi melalui

pemanfaatan pengamatan alat indera dan membayangkannya.

3. Ketiga tahap operasional konkrit (7 sampai 11 tahun)

Pada tahap ini kegiatan belajar sudah diarahkan pada logika

pengelompokan dan hubungan. Siswa sudah dapat menggunakan

pola berpikir secara induktif. Gaya belajar siswa pada tahap ini

ialah operasi konkrit. Siswa pada tahap ini menggunakan konsep

dan teori untuk memilih dan membentuk pengalamannya.

4. Keempat tahap operasi formal (12 sampai 16 tahun)

Pada tahap ini kemampuan kognitif anak bergerak dari proses

simbolik yang didasarkan pada operasi konkret menuju proses

simbolik yang didasarkan pada logika. Siswa sudah lebih

berorientasi pada tindakan.

Siklus empat tahap belajar melalui pengalaman model Piaget dapat

dilihat di bawah ini.

Page 95: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

Gambar 2: Alur Siklus Experiential Learning Model Piaget

(Diabaptasi dari Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha, 2007: 4.15; Kolb, 1984:25)

3. Model Kurt Lewin

Model belajar melalui pengalaman dari Lewin hampir sama

dengan model belajar yang dikemukanan John Dewey (Suciati,

Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha., 2007:4.8). Menurut model Lewin,

secara umum ada empat urutan proses dalam belajar melalui

pengalaman :

“(1) concrete, personal experience, (2) observation, reflection examination, (3) formulation of abstract concepts, rules, and principles, (4) personal theory and Ideas to be tested in new situation” (Kolb, 1984: 21; Kolb, Rubin, Osland, 1991; Taba & Hills dalam Fernandes, 1989:44; Smith (1996: 3).

Siklus empat tahap belajar tersebut menurut David A. Kolb (dalam

Smith, 2008: 3) dapat dilihat pada diagram sebagai berikut.

Page 96: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

Gambar 3: Alur Siklus Experiential Learning Model Lewin

(Smith, 1996: 2; adaptasi dari Suciati, Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha, 2007: 4.5; Kolb, 1984:21)

Neill (1004: 1) berkaitan dengan siklus holistic di atas

menerangkan sebagai berikut.

Experiential learning cycles are models for understanding how the process of learning work. …. In two notable ways:

a. Experiential learning cycles treat the learners subjective experience as of critical importance in the learning process

b. Experiential leraning cycles propose an interactive series of processes wich underlies learning

Kelly (1997: 3) menambah penjelasan sebagai berikut.

“It help us understand our areas of weakness, giving us the opportunity to work on becoming more proficient in the other modes or it help us realize our strengths, which might be usefull in certain social situations, such as deciding on a career. It help them understand their learning tlyles and thus make transitions to higher levels of personal and cognitive functioning”

Page 97: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Walker (1985: 12) menjelaskan learning cicle Kolb di atas sebagai

berikut.

The core of the model is a simple description of the learning cycle: a. How experience is translated into concepts, which in turn

are used as guide in the choice of new experience b. Learning is conceived of as a four stage cycle. Immediate

concrete experience is the basis for observation and reflection, these observations are assimilated into a theory from which new implications for action can be deduced and these implications or hypotheses are used to indicate new experience.

Reflection on experience as if it were a kind of learning loop continually feeding back and forth berween the experience and the relationships being inferred.

Melengkapi pendapat Walker di atas, McKeachi (1987: 140)

menyebutkan sebagai berikut.

“Abstract will become meaningful when strudent see that they are helpful in describing and understanding real life phenomena. Experiences in the fild will stir up questions and student minds that will lead to active learning. Such qoestions and student’s reports of their experiences in the field should enliven class discussions. Most importantly, field experience links learning, thinking, and doing. Teachers hope that field experiences will not only motavate students to learn current course materials but also increase their instrinsic interest in further learning, motivation to be of service to others”

Mirip dengan apa yang dikemukakan McKeachi, Kelly (1997:

2) menjelaskan fungsi tahapan experiential learning sebagai berikut.

“Further perceiving, whereas in the critical reflection stage we ask questions about the experience in terms of previous experiences, in the abstract conceptualization stage, we try to find the answers. We make generalizations, draw conclusions and form hypotheses obout the experience. The action phase, in

Page 98: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

light of his interpretation, then becomes a phase of active experimentation, where we try the hiphoteses out”

Siklus yang terdiri dari empat tahap (4 stages) tersebut dialami siswa

secara berkelanjutan. Pengalaman siklus pertama akan diperbaharui

pada siklus kedua, ketiga, dan seterusnya sampai perolehan

pengetahuan sempurna. Menurut Kelly (1997: 3) paradigma ini dapat

dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4: Siklus Experiential Learning Berkelanjutan

(Kelly, 1997: 3)

Langkah Kolb di atas diperbaiki lebih lengkap dengan

mengetengahkan learning style (gaya belajar) yang merupakan

kegiatan antara dari masing-masing langkah serta hubungan yang

bersifat interaktif secara vertikal maupun horizontal. Langkah

perbaikan ini dapat dilihat sebagai berikut.

Page 99: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Gambar 5: Alur Siklus Gaya Belajar

(Mcleod, 2010: 3; Baharudin dan Esa Nur W., 2007: 170)

Gaya belajar, karakteristik, dan ciri-ciri gaya belajar dapat dijelaskan

dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 1: Gaya Belajar, Karakteristik, dan Ciri Gaya Belajar

Gaya Belajar

Karakteristik Belajar

Ciri-Ciri Gaya Belajar

Converger Abstract Conceptualization + Active Experimentation

1. Penerapan ide praktisnya kuat 2. Dapat fokus pada hipo-deduktif

untuk membahas masalah-masalah khusus

3. Tidak emosional 4. Penuh minat

Diverger Concrete Experience + refective Observation

1. Kemampuan imajinatifnya yang kuat

2. Mahir dalam menggeneralisasi ide dan melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda

3. Tertarik pada perilaku manusia 4. Minat pada budaya luar

Page 100: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Gaya Belajar

Karakteristik Belajar Ciri-Ciri Gaya Belajar

Assimilator Abstract Conceptualization + Reflective Observation

1. Kemampuan membuat model-model teoretisnya kuat

2. Baik dalam penalaran induktif 3. Berkonsentrasi pada konsep

abstrak daripada manusia Accommo- dator

Concrete Experience + Active Experimantation

1. Kekuatan terbesarnya adalah mengerjakan sesuatu

2. Lebih berani mengambil resiko (risk taker)

3. Pada saat yang mendadak, ia bisa menirukan dengan baik saat diminta

4. Menyelesaikan masalah secara intuitif

Secara konkrit siklus holistik gaya belajar dapat dilihat sebagai berikut.

PenangkapanPenangkapan aprehensionaprehension((melaluimelalui pengalamanpengalaman konkritkonkrit))

PengalamanKonkrit (CE)

Perasaan

KonseptualisasiAbstrak (AC)

BerpikirdPenangkapan Comprehension

(melalui interpretasi konseptual)

Observasi &Refleksi (RO)Mengamati

EksperimenAktif (AE)

Berbuat

Pengolahanisi Pengalaman

Penangkapan

Tranformasi eks-tension

Mengait-kan dgndunia luar

Tranformasiinten-sion(internal)

Tdk meng-kaitkan dg dunia luar

(1) Penget Gaya Confergen:

- Tdk emosional

- Minat kurang

- Suka berhub dgn benda

- Jurusan alam/ teknik

(3) Penget Gaya Asimilatif:

- Tdk tertarik konsep abstrak

- Tdk peduli penerapan praktis

- Suka matematika & penelitian

(4) Penget Gaya Akomodatif:

- Tdk sabar- Adaptif- Intuitif

- Tertarik konsep

abstrak

(2) Penget Gaya Devergen:

- Emajinasi tinggi

- Pandangan holistik

- Suka hubungan dg manusia

- Mendalami Bahasa & Sastra

Gambar 6: Siklus Holistik Experiential Learning

(Diadaptasi dari Mcleod, 2010: 3; Baharudin dan Esa Nur

Wahyuni., 2007: 170)

Page 101: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Bentuk langkah paling sederhana dapat dilukiskan dari 3 proses

yaitu: (a) proses pembedaan aspek-aspek khusus dari bagian-bagian

yang lebih besar, (b) proses pengelompokan objek-objek yang

mempunyai persamaan umum, (c) penamaan & pengkategorian objek-

objek yang mempunyai persamaan umum. Tiga proses tersebut dapat

diterangkan dalam concept formation (aktivitas mental) pada tabel

berikut ini.

Tabel 2: Concept Formation

Overt Activity Covert Mental

Operation Elisting Question

Enumaretion & listing

Differentiation What did you see, hear, note ?

Grouping Identifying comunon properties, abstracting

What belong together ?

Labelling, categorizing, summerizing

Determine the hierarchical order items Super and sub ordination

On what criterion ? How would you call these groups ? What belongs under what ?

(Hilda Taba & James Hills dalam Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 132)

Mengintegrasikan beberapa uraian di atas, secara rinci ada 5

langkah dalam pembelajar melalui pengalaman : (1) mengidentifikasi

pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik

(concrete-personal experiences), (2) guru menambahkan

complementary materials bagi hasil observasi anak di lapangan, (3)

site visit (kunjungan ke lapangan untuk observasi), (4) kegiatan kelas

Page 102: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

(sharing experiences), (5) debriefing oleh guru untuk pemantapan.

Zahorik (1995: 14-22) menyebutkan bahwa elemen pertama yang

harus diperhatikan dalam belajar konstruktivistik mengaktifkan

pengetahuan lama yang sudah ada (activating knowlegde); kedua ialah

pemerolehan pengetahuan baru dengan cara pertama pelajari

keseluruhan; kedua memperhatikan detail; ketiga ialah pemahaman

pengetahuan (understanding knowledge) dengan cara menyususn

hipotesis, sharing kelompok, dan revisi konsep; keempat ialah

mempraktikan pengetahuan dan pengalaman; dan kelima ialah refleksi

terhadap hasil belajar atau strategi pengembangan tersebut.

c. Penerapan dan Kontribusi Model Pembelajaran Experiental Learning

pada Pembelajaran Apresiasi Sastra

Penerapan model pembelajaran experiential learning pada

pembelajaran apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-langkahnya

dapat dijelaskan pada skenario pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 3: Skenario Model Pembelajaran Experiential Learning

Tahap Langkah (Syntax) Experiential Learning

Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi

1 Mengidentifikasi pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik (concrete-personal experiences)

Guru melakukan apersepsi dgn pertanyaan yang merangsang ingatan pengalaman apresiasi sastra siswa Atau guru menyuruh siswa membaca di sini dan sekarang

Page 103: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Tahap Langkah (Syntax) Experiential Learning

Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi

2 Guru nambah complementary materials bagi hasil ingatan pengalaman anak

Guru mengarahkan ingatan siswa dan memberi penjelasan tambahan (materi)

3 Siswa melakukan observasi dan refleksi (kunjungan ke lapangan atau wacana untuk observasi dan merefleksi langkah yang telah dilakukan

(1) Siswa diberi kesempatan dan kebebasan menjelajahi sastra secara kritis untuk identifikasi dan klasifikasi persoalan dari karya sastra. (2) Siswa merefleksi/ mengevaluasi proses & hasil identifikasi & klasifikasi hasil penjelajahan

4 Siswa melakukan diskusi untuk dapatkan respon tentang hasil observasi dan refleksi (sharing experiences),

Siswa mempresentasikan hasil kerja, siswa yang lain memberikan respon secara aktif

5 Guru memberikan debriefing untuk pemantapan.

Guru memberikan penjelasan dan meluruskan gagasan siswa

6 Siswa menyimpulkan konsep hasil diskusi (formating abstrac concep)

Siswa menyimpulkan hasil apresiasi sastra

7 Siswa mencoba konsep untuk mecahkan masalah baru (testing in new situation)

Guru memberi tugas pengayaan apresiasi sastra yang mirip dgn cara yang baru dilakukan anak.

Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,

model pembelajaran experiential learning memberikan kontribusi atau

kemanfaatkan dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, yaitu menuntun

siswa mengalamai apa yang dipelajari sehingga pembelajaran dirasakan

meaningfull dan joifull. Siswa dapat memaknai pengetahuan awal dan

pengalaman apresiasi yang telah dimilikinya bermanfaat menuntun dalam

membuat asosiasi atau hipotesis, pertanyaan-pertanyaan dalam hipotesis

merangsang siswa melakukan penjelajahan kritis dan memeriksa atau

Page 104: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

merefleksi hasil penjelajahan, hasil penjelajahan dan refleksi bermanfaat

untuk menyusun simpulan hasil apresiasi, simpulan hasil apresiasi siswa

merangsang siswa melakukan pencocokan atau pembandingan (testing)

dengan simpulan yang telah disiapkan guru. Kecocokan inilah yang

memberi makna mendalam bahwa yang dilakukan siswa telah benar.

Pengalaman tersebut dirasakan siswa sangat menyenangkan karena

merupakan kreasi baru yang tidak membosankan, anak merasa mudah

mengikuti pelajaran karena bebas membangun pengertiannya sendiri.

d. Definisi Konseptual Experiental Learning

Model pembelajaran experiential learning ialah strategi

pembelajaran yang merangsang siswa mengalami secara aktif apa yang

dipelajari dalam kehidupan nyata secara menyenangkan dan penuh makna

sehingga dapat menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan dan

keterampilan menjadi ingatan sepanjang hayat. Proses mengalami melalui

langkah: (1) mengidentifikasi pengalaman konkrit yang telah dimiliki

anak, (2) melakukan observasi dan merefleksi-mengevaluasi hasil

observasi (guru dapat menambahkan informasi bagi hasil observasi

pengalaman anak), (3) merumuskan teori/ rumus/ prinsip secara abstrak di

benak siswa, (4) perumusan teori dan gagasan pribadi dan mengetes

dalam situasi/ lingkungan baru. Empat langkah tersebut dapat ditambah

(5) sharing pengalaman dan (6) pemantapan (briefing) oleh guru.

Page 105: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

4. Model Pembelajaran Sinektik

a. Konsep Model Pembelajaran Sinektik

Pengembangan kreativitas dan keaktifan siswa merupakan hal

yang sangat penting diperhatikan dalam proses pembelajaran. Hal ini

dikarenakan kreativitas merupakan hal yang penting dalam kehidupan

manusia. Utami Munandar (1999: 46) mengatakan bahwa kreativitaslah

yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh

karena itu, sikap dan perilaku kreatif harus dibina untuk menunjang

keberhasilan siswa dalam aktivitas belajar. Kreativitas dan keaktifan

diperlukan dalam kegiatan apresiasi karya sastra.

Untuk menggerakkan kreativitas dan keaktifan anak diperlukan

pendekatan yang sesuai, di antaranya ialah sinektik yang oleh ditawarkan

oleh Gordon. Ada empat asumsi dasar model sinektik, (1) kreativitas

sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu sinektik dirancang

untuk meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah,

mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empati, memiliki

wawasan sosial. (2) Proses kreatifitas bukanlah hal yang misterius, ia

dapat dipaparkan, karena itu sangat mungkin melatih seseorang secara

langsung sehingga dapat meningkatkan kreatifitasnya. (3) Penemuan yang

kreatif pada hakikatnya sama dalam berbagai bidang dan ditandai oleh

proses intelektual yang melatarbelakanginya, (4) penemuan yang kreatif

Page 106: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

dari individu dan kelompok pada dasarnya serupa (Joyce, Weil, Calhoun,

2000: 220-221).

Sinektik merupakan strategi pengajaran yang baik untuk

mengembangkan kemampuan kreatif (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 182).

Sinektik berasal dari bahasa Greek “synectikos”, synectics (Inggris) yang

berarti menghubungkan, menyambung. Menurut Gordon, sinektik adalah

model pembelajaran yang mempertemukan berbagai macam unsur

menggunakan kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru (Gordon,

1980: 168). Treffinger (1980: 66) menyebutkan bahwa

“Synectics is a term which means the joining together of different and apparently irrelevant element. Applied to creative learning, synectics involves the use of metaphor and analogy to develop original ideas and new combinations of ideas”

Inti dari model sinektik ialah aktifitas metafora yang meliputi analogi

langsung (direct analogy), analogi personal (personal analogy), dan

konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68;

Suryaman, 2004: 71). Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra,

berdasarkan model ini maka berarti karya sastra akan dipahami melalui

proses metaforik dengan analogi. Sheela (1992: 1) menerangkan bahwa

analogi berfungsi untuk menjembatani antara konsep yang diketahui

dengan konsep yang tidak dikenal sebagai berikut.

“Analogies, which provide a bridge between a known concept and is unfamiliar concept are chief elements in synectics provides. Synectics model. Its aims at creating learning environments in which creativity and problem solving ability of children coult be fostered”

Page 107: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

Sinektik bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang

membangun kreatifitas dan kemampuan pemecahan masalah anak . Proses

metaforik/ analogi tersebut diperlukan keterlibatan emosional siswa.

Selanjutnya Paltasingh (2008: 1) menjelaskan sebagai berikut.

“Metaphors establish a relationship of likeness, the comparison of one object or idea with another object or idea by using one in place of other. Metaphors these substitutions the creative process occurs connecting the familiar with the unfamiliar or creating a new idea from familiar ideas. Metaphor introduced conceptual distance between the student and the object or the subject matter and prompt original thoughts”

Metafora membangun hubungan kemiripan, perbandingan dari satu objek

atau ide dengan objek lain atau ide dengan menggunakan sesuatu di

tempat lain. Melalui subtitusi ini terjadi proses kreatif yang

menghubungkan antara yang sudah akrab dengan yang masih asing atau

menciptakan sebuah ide baru dari ide-ide asing. Metafora

memperkenalkan konsep jarak antara siswa dengan objek atau pokok

persoalan dan meminta pikiran asli.

Berdasarkan konsep di atas, maka berarti sinektik merupakan

pendekatan pembelajaran dengan penggabungan unsur-unsur atau

gagasan-gagasan yang berbeda-beda yang tampaknya tidak relevan untuk

peningkatan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati dan

wawasan dalam hubungan sosial. Model ini menuntut keaktifan serta

Page 108: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

keterlibatan siswa ke dalam karya sastra baik secara individu maupun

bersama-sama.

b. Prosedur Model Pembelajaran Sinektik

Secara umum, Sinektik memiliki tiga langkah yang menurut

Joyce, Weil, Calhoun (2000: 223-225) sebagai berikut.

Tabel 4: Langkah Model Sinektik

Langkah Keterangan 1. Analogi Personal Siswa mengidentifikasi masalah yang ada pada

novel (apakah problem social, pribadi, religi, kekerasan, keamanan). Mereka diminta merasakan bagaimana seandainya menjadi novelis menulis seperti itu, andai menjadi tokoh yang mengalami peristiwa seperti itu, dan seterusnya. Describe comparison between tho ideas or object

2. Analogi Langsung Siswa membandingkan hasil pertama (di atas) dengan kondisi lingkungan budaya anak. Setelah itu, anak diminta menganalogikan dirinya sebagai tokoh protagonist/ antagonis, berdialog tentang watak & setting apakah mirip kehidupan sekitar anak. Mengapa novelis justru memilih hal itu. Siswa dapat diskusi lanjut mengenai hubungan novel dengan kehidupan. Discribe feelings of identification and empathy withs persons, plants, animals, or things. A Very simple personal analogy may be nothing more than a first-person description of some facts.

3. Konflik Kempaan Penajaman pandangan dan pendapat pada posisi masing-masing terutama dalam menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda, sehingga siswa memahami objek dan penalaran dari dua atau tiga kerangka berpikir. Make an analogy between two elements in a way that expresses the conflict of the strange with the familiar and helps us to find new insights.

Page 109: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

Ada dua strategi pembelajaran sinektik, yaitu strategi pembelajaran

untuk menciptakan sesuatu yang baru (creating something new) dan

strategi pembelajaran untuk melazimkan terhadap sesuatu yang masih

asing (making the strange familiar). Urutan kegiatan (syntax) menurut

Joyce, Weil, Calhoun (2000:226-235) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5: Langkah Model Sinektik Menciptakan Sesuatu yang Baru

Tahap Pertama: Mendeskripsikan kondisi nyata pada

saat itu Guru mengharapkan siswa mampu mendeskripsikan situasi atau topik sebagaimana yang dilihat saat itu

Tahap Kedua: Analogi langsung

Siswa mengajukan analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut

Tahap Ketiga: Analogi personal

Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua

Tahap Keempat: Konflik kempaan

Siswa membuat deskripsi sesuai tahap I dan II, dan mengembang-kan konflik kempaan, dan memilih salah satu

Tahap Kelima: Analogi langsung

Siswa mengembangkan dan Menyeleksi analogi langsung lainnya berdasarkan kempaan

Tahap Keenam: Ujicoba terhadap tugas semula

Guru meminta siswa meninjau kem-bali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik

Tabel 6: Langkah Model Sinaktik Melazimkan Sesuatu yang Asing

Tahap Pertama: Input substantif

Guru memberi informasi topik baru

Tahap Kedua: Analogi langsung

Guru mengajukan analogi langsung dan meminta siswa mendeskripsikan analogi tgersebut

Tahap Ketiga: Analogi personal

Guru meminta siswa membuat analogi personal

Tahap Keempat: Membandingkan analogi

Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan butir-butir yang sama di antara materi yang sedang dibahas dan analogi langsung

Page 110: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

Tahap Kelima:

Menjelaskan berbagai perbedaan Siswa menjelaskan analogi-analogi yang salah atau berbeda

Tahap Keenam: Eksplorasi

Siswa menjelaskan kembali topic semula menurut bahasanya sendiri

Tahap Ketujuh: Memunculkan analogi baru

Siswa memberikan analoginya sendiri dan menjelaskan mana yang sama atau berbeda

c. Penerapan dan Kontribusi Model Pembelajaran Sinektik pada

Pembelajaran Apresiasi Sastra

Penerapan model pembelajaran sinektik pada pembelajaran

apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-langkahnya dapat dijelaskan

pada skenario pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 7: Skenario Model Pembelajaran Sinektik

Ta- hap

Langkah (Syntax) Sinektik

Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi

1 Mendiskripsikan kondisi nyata pada saat itu Guru mengharapkan siswa mampu diskripsikan situasi / topik sebagaimana yg dilihat saat itu

Siswa mendiskripsikan cerita novel sebagaimana yang dilihat atau dibaca saat itu

2 Analogi langsung Siswa mengajukan analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut

Siswa membuat alur cerita dengan mengajukan beberapa analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut

3 Analogi personal Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua

Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua (dari 2/3 sudut pandang)

4 Konflik kempaan Siswa membuat deskripsi sesuai tahap I dan II, dan mengembangkan konflik kempaan, dan memilih salah satu

Siswa membuat sinopsis sesuai tahap I dan II, dan mengembangkan konflik kempaan, dan memilih salah satu

Page 111: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Ta- hap

Langkah (Syntax) Sinektik

Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi

5 Analogi langsung Siswa mengembangkan dan menyeleksi analogi langsung lainnya sesuai kempaan

Siwa mengembangkan dan menyeleksi analogi langsung lainnya berdasarkan konflik kempaan

6 Ujicoba terhadap tugas semula Guru minta siswa meninjau kembali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik

Siswa meninjau kembali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik

Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,

model pembelajaran sinektik memberikan kontribusi dalam pembelajaran

apresiasi prosa fiksi. Setelah siswa berhasil melakukan indentifikasi

terhadap isi permasalahan yang terkandung dalam karya sastra, langkah

selanjutnya yaitu analogi langsung. Analogi langsung merangsang siswa

membuat banyak alternatif analogi, berbagai alternatif analogi

merangsang anak mempertimbangkannya dari berbagai sudut pandang,

pemikiran siswa dari berbagai sudut dalam konflik kempaan menuntun

siswa membuat satu pilihan analogy sebagai simpulan akhir dari kegiatan

apresiasi karya sastra yang dilakukannya.

d. Definisi Konseptual Pendekatan Sinektik

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun definisi konseptual

bahwa pendekatan sinektik ialah strategi pembelajaran yang

mengembangkan keaktifan dan kemampuan kreatif siswa dalam

pemahaman karya sastra melalui proses metaforik dengan analogi, yakni

Page 112: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

dengan cara menggabungkan/ mempertemukan unsur-unsur atau gagasan-

gagasan yang berbeda-beda dengan menggunakan kiasan, untuk

memperoleh satu pandangan baru tentang isi karya sastra. Langkah utama

meliputi: analogi personal, analogi langsung, dan konflik kempaan.

5. Model Pembelajaran Langsung

a. Pendekatan Behavioristik sebagai Landasan Model Pembelajaran

Langsung

Sesuai sumber aslinya, istilah “pembelajaran” pada “model

pembelajaran langsung” tertulis “pengajaran”, sehingga secara lengkap

disebut “model pengajaran langsung”. Istilah “model pengajaran” itu

dapat diganti dengan istilah “model pembelajaran”. Hal ini dianggap sah

karena sesuai pernyataan Joyce, Weil, Calhoun (2000: 6-7; terjemahan

Achmad & Ateilla, 2009: 7-8) sebagai berikut.

“Model of teaching are really models of learning. As we help student acquire information, ideas, skill, values, ways of thingking, and mean of expressing themselves, we are also teaching them how to learn. In fact, the most important long-term outcome of instruction may be the student’s increased capabilities to learn more easily and effectively in the future, both because of the knowledge and skill they have acquired and because they have mastered learning processed”

Sesuai dengan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun

“model pengajaran” berpusat pada guru, tetapi karena pada akhirnya

mampu membimbing siswa bagaimana belajar, maka dapat diganti

istilahnya menjadi “model pembelajaraan”. Hal ini dikarenakan guru

Page 113: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

sudah melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan

sosial, serta mengajari mereka bagaimana mengerjakan tugas-tugas

tersebut secara produktif.

Model pengajaran langsung atau direct instruction termasuk

keluarga dari Kelompok Pengajaran Sistem Perilaku (The Behavioral

System Family). Hal ini sesuai dengan daftar model-model pengajaran

perilaku yang terdiri dari: (1) belajar tuntas (mastery learning), (2)

pembelajaran langsung (direct instructional), (3) belajar dengan simulasi

(simulation), (4) belajar kontrol diri (learning self control), (5) latihan

pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and concept

development), (6) latihan asertif (assertive training) (Joyce, Weil, Calhoun,

2000: 22-28; terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 40-41; Suryaman,

2004: 68-69).

Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Joyce tidak hanya

menyebut anggotanya saja sebagai “model pembelajaran”. Melalui

penelitian pengembangannya yang mendalam selama 40 tahun Joyce telah

mengubah “behavioristik” yang sejak dulu dipandang orang hanya

sebagai sebuah pendekatan (approach) yang paradigmatik, menjadi

“model pembelajaran” yang sudah sintakmatik. Hal ini selaras dengan

pernyataannya pada beberapa bagian buku sebagai berikut.

“Behavior theory offers much to teachers and learners, but its models, like the other in this book ....” “Behavioral models of learning and instruction have their origins in the classical

Page 114: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

conditioning experiments of Pavlov ....” (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 317-318) Dasar teoretik keluarga model perilaku ini adalah teori-teori

belajar sosial atau social learning theories yang dikenal dengan model

modifikasi perilaku atau behavioral modification. Dasar pemikiran

keluarga model ini ialah bahwa sistem komunikasi yang mengoreksi

sendiri atau self-correcting communications system dapat mengubah atau

memodifikasi perilaku saat merespon informasi tentang seberapa sukses

yang akan dikerjakan (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 22-28; terjemahan

Achmad & Ateilla, 2009: 39-45). Psikologi behavioristik memang

mendasarkan diri pada perilaku. Hal ini ditegaskan oleh Culatta (2009: 1)

yang menyatakan bahwa:

“… while still others argue that behavior itself is the only appropreiate subject of psychology, and that common psychological term (belief, goals, ect) have no referents and/ or only refer to behavior. Watson (1878-1958) rejected instrospective methods and sought to restrict psychology to experimental laboratory method. … Behaviorism is an approach to psychology based on the proposition that behavior can be researched scientifically without resourse to inner mental state”

Model mengajar behavioristik muncul dari penelitian-penelitian

tentang teori operant conditioning yang dilaksanakan oleh Skinner di

Universitas Harvard. Skinner melalui teorinya memberikan asumsi bahwa

perilaku itu adalah sesuatu yang alami dan sah dipengaruhi oleh variabel

eksternal, dapat diamati dan diukur. Perilaku dapat dibentuk sesuai

Page 115: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

perilaku “operant conditioning” (Abdul Azis Wahab, 2008: 76). Brown

(2000: 81) menyatakan bahwa

“operant behavior is behavior in which one operates on the inviront within this model the importance of stimuli is de-emphasized”.

Memberikan penjelasan mengenai pembentukan perilaku yang

teramati, Standridge (2007: 1) menyatakan sebagai berikut.

“Behaviorists assert that the only behaviors worthy of study are those can be directly observed; thus, is is actions, rather than thoughts or emotions, which are the legitimate object of study. Rather, it posits that all behavios is learned habits, and attempts to account for how these habits are formed. Behaviorists also hold that al behaviours can olso replaced by new behaviors. When a behavior becomes unacceptable, it can be replaced by an acceptable one”

Mergel (1998: 2) menambahkan keterangan mengenai teramatinya tingkah

laku sebagai berikut.

“It views the mind as a “black box” in the sense that response to stimulus can be observed quantitatively, totally ignoring the possibility of thought processes occurring in the mind”

Menurut psikologi behaviorisme, keberhasilan belajar seseorang

sangat ditentukan oleh faktor luar atau faktor eksternal. Skinner

menyatakan bahwa model pembelajaran ini dilaksanakan melalui

mekanisme stimulus – respon (S-R) dan ditambah penguatan atau

reinforcement (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 48). Hal ini

mengandung pengertian bahwa anak baru dapat belajar jika tersedia data

Page 116: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

input/ masukan (yang didemonstrasikan) dan digalakkan oleh adanya

penguatan. Fry & Bonner (dalam Medsker,eds., 2001: 45) menyebutkan:

“Behavior modeling present trainess with a model that demonstrates key behaviors and provides structured skill practice exercises for trainess to practice the key behaviors”

Culatta (2009: 1) menambahkan tentang peranan input dan penguatan

sebagai berikut.

“… all behavior is determined by the environment either through association of reinforcement”

Data input inilah yang membentuk stimulus yang kemudian

merangsang respon. Faktor penting yang berperan dalam teori belajar ini

ialah hadirnya penguatan (reinforcement). Jika suatu respon benar

mendapatkan reinforcement, maka suatu respon akhirnya menjadi

kebiasaan karena terus menerus diulangi oleh siswa. Jika suatu respon

tidak tepat mendapatkan punisher, maka suatu respon akhirnnya tidak

diulangi dan siswa lalu melakukan revisi respon. Memperkuat argumentasi

ini, Skinner menyatakan sebagai berikut.

“The reinforcement the learner derives from knowledge of his or her correctness both makes the achievement enduring and propels the learner toward new task. Punishment has several draw back. First, its effects are temporary, punished behavior is likely to recur. Second, the aversive stimuli used in punishment may generate unwanted emotions, such as predispositions to escape or retaliate, and disabling anxieties” (Skinner dalam Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 322). Proses kontingensi di atas bertolak dari prinsip operant conditioning,

di mana reinforces atau penguatan dapat mempertinggi respon. Penguatan

Page 117: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

dapat positif dan dapat negatif. Penguatan positif (reinforces) ialah

tanggapan yang bersifat menambah sesuatu pada suasana, misalnya

senyuman, acungan ibu jari. Penguatan negatif (punisher) bila yang

diberikan itu mengurangi suasana yang ada. Punishment can either the

withdrawal of a positive reinforcer or the presentation of and aversive

stimulus (Brown, 2000: 82).

Model behavioristik yang berorientasi kepada guru ini berusaha

mengubah perilaku langsung. Setelah guru memberikan input, diharapkan

siswa berusaha mengempor pengetahuan yang membawa dampak

perubahan perilaku (Fry dan Bonner dalam Medsker, eds., 2001: 45-46).

Tahapan penting untuk merangsang perilaku dilakukan melalui pemberian

pendahuluan atau pengenalan yang kemudian didemontrasikan melalui

video modeling. Setelah itu, perilaku yang dihasilkan dianalisis. Siswa

menerapkan tahapan ini dalam bentuk latihan keterampilan nyata dengan

menerima umpan balik dari teman-temannya, difasilitasi oleh guru, dan

dengan tekanan yang spesifik serta penguatan (reinforcement) yang positif.

Siswa belajar melalui proses imitasi, repetisi, latihan analisis, dan

menerima umpan balik.

Model pembelajaran behavioristik menurut Abdul Azis Wahab

(2008: 77-78) dapat dipraktikkan di kelas dengan langkah: (1) pemberian

stimulus, (2) siswa memberikan respon, (3) pemberian penguatan.

Terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan untuk

Page 118: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

pelaksanaan pembelajaran di kelas, Fry dan Bonner memberikan 15 uraian

implementasi sebagai berikut.

1) Identify critical steps that address the identified skill discrepancy,

2) Introduce content of the module and relate its purpose, value, and applications to the need of the participant and the organization,

3) Introduce and describe the critical steps, 4) Clarify the setting and cue the use of the critical steps in video

model, 5) instruct the trainees to record specific and significant use of the

critical steps, 6) Show a model of the critical steps being use effectively by a

credible person in a credible problem situation, 7) Fasilitate a discussion of the trainess’ observations of critical

step use and reinforce feedback that specific, significant, and accurate,

8) Ask for folunteers to practice using the critical steps in a preparated skill practice exercise,

9) Rehearse the folunteers regarding the objective of the meeting and how each critical step will be used,

10) Instruct the observers to record specific and significant uses of the critical steps,

11) Fasilitate a discussion of the observer’ social reinforcement feedback to the skill practice participants on how effectively they used the critical steps,

12) Ask trainees to write skill practice exercises based on their work settings,

13) Ask for folunteers to practice critical steps on trainee-written situations,

14) Ask trainees to use critical steps on the job and report their success at the next session

15) Train managers to reinforce trainees’ attempts to apply the critical steps on the job (dalam Medsker & Holdsworth, eds., 2001: 63).

Uraian Fry dan Bonner di atas memberikan simpulan bahwa kreasi

tahapan (langkah) dapat dikendalikan dengan pendahuluan oleh guru,

pemberian input dengan video, mengalami keterampilan yang praktis

Page 119: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

dengan sesama teman, fasilitiasi oleh guru, dan pemberian feedback dan

penguatan positif bagi siswa.

Simpulan tersebut, digaris bawahi oleh Joyce, Weil, Calhoun (2000:

324) bahwa secara umum langkah model pembelajaran behavioristik

hendaknya dilakukan dengan prinsip sebagai berikut.

1) Mungkinkan setiap siswa bekerja pada angan-anggannya yang mendasar melalui unit-unit tahapan belajar;

2) Buatlah atau nyatakan derajad ketuntasan yang harus dicapai oleh siswa;

3) Tumbuhkan dan kembangkan inisiatif pribadi dan self direction dalam belajar;

4) Bantu perkembangan siswa pada pemacahan masalah melalui proses;

5) Doronglah evaluasi diri (self evaluation) dan motivasi untuk belajar.

b. Model Pembelajaran Langsung

1) Konsep Model Pembelajaran Langsung

Merangkum banyak penjelasan, dapat dirumuskan konsep

atau pengertian model pembelajaran langsung yaitu model

pembelajaran dengan pemberian ceramah atau pemberian penjelasan

(Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 339; terjemahan Achmad & Ateilla,

2009: 423). Berangkat dari kata kunci “pemberian ceramah”, model

membelajaran seperti ini sering disebut dengan model pembelajaran

ekspositori. Oleh karena strategi ekspositori lebih menekankan pada

proses penyampaian materi secara verbal (dengan cara bertutur), sering

juga disebut strategi “calk and talk”. Rumusan pengertian ini

Page 120: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

didukung oleh pernyataan Ausebel (1963: 1977) bahwa bentuk

pembelajaran yang menekankan resepsi (bukan penemuan) dengan

mengutamakan penerangkan atau penjelasan atau ceramah (maklumat

lisan) dikenali sebagai model pembelajaran ekspositori.

Ada beberapa ciri model pembelajaran langsung yang

sekaligus merupakan orientasi model, yaitu antara lain:

a) Berpusat pada guru b) Transformasi pengetahuan secara langsung c) Siswa menerima atau reseptif d) Beroriantasi ke tujuan e) Lingkungan belajar terstruktur f) Pemberian penjelasan secara verbal dan tuntas g) Informasi dapat berupa pengetahuan prosedural maupun

deklaratif h) Mendemonstrasikan fakta, konsep, keterampilan secara

terstruktur i) Dalam memberikan informasi dapat menggunakan media

(gambar, peragaan, dan lain sebagainya) dan juga isyarat anggota badan

j) Secara behavioristik melaksanakan modeling, reinforcement, feed back, dan perkiraan suksesif.

k) Latihan secara terstruktur, terbimbing merupakan implikasi pada kelompok kecil (Joyce, Weil, Calhoun, terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 423-429).

2) Prosedur Model Pembelajaran Langsung

Yatim Riyanto (2009: 139) menjelaskan langkah

pembelajaran expository learning sebagai bentuk model pembelajaran

langsung meliputi: (1) preparasi secara rapi dan sistematis, (2)

apersepsi untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang akan

diajarkan, (3) presentasi melalui ceramah, (4) resitasi melalui tanya

Page 121: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

jawab atau siswa disuruh menyatakan dengan kata-kata sendiri. Lebih

rinci dari langkah-langkah di atas, Joyce, Weil, Calhoun (2000: 345;

terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 431) mengurutkan skenario atau

langkah sebagai berikut.

Tabel 8: Skenario Model Pembelajaran Langsung

Langkah Keterangan 1 Orientasi 1) Guru menentukan materi pelajaran

2) Guru meninjau pelajaran sebelumnya 3) Guru menentukan tujuan pembelajaran 4) Guru menentukan prosedur pengajaran

2 Presentasi 1) Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru 2) Guru menyajikan presentasi visual atas tugas

yang diberikan 3) Guru memastikan pemahaman

3 Praktik Terstruktur

1) Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah

2) Siswa merespon pertanyaan 3) Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan

memperkuat praktik yang telah benar 4 Praktik

Terbimbing 1) Siswa berpraktik secara semi independen 2) Guru menggilir siswa untuk melakukan praktik

dan mengamati praktik 3) Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian,

bisikan, maupun petunjuk 5 Praktik

Mandiri 1) Siswa melakukan praktik secara mandiri di rumah

atau di kelas 2) Guru menunda respon balik dan memberikannya

di akhir rangkaian praktik 3) Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam

periode waktu lama Berdasarkan dua sumber di atas, dapat disimpulkan langkah pokok

pada model pembelajaran langsung ialah: (1) orientasi (pendahuluan),

(2) presentasi (ceramah), (3) siswa praktik, (4) pemberian penguatan,

(5) penutup.

Page 122: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

3) Penerapan Model Pembelajaran Langsung pada Pembelajaran

Apresiasi Prosa Fiksi

Penerapan model pembelajaran langsung (direct instruction)

pada pembelajaran apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-

langkahnya dapat dijelaskan dan diadabtasikan pada skenario

pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 9: Langkah Model Pembelajaran Langsung

Ta-hap

Prosedur (Syntax) Pembel. Langsung

Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi

1 Orientasi Guru mengawali pelajaran dengan menyampaikan tujuan, menyampaikan pokok materi, memberikan apersepsi, memberi motivasi, agar memberikan orientasi belajar yang optimal

2 Presentasi Secara terstruktur, lengkap, dan tuntas, guru memberikan ceramah dan mendemostrasi-kan fakta, konsep, informasi, prosedur, atau keterampilan yang telah disusun secara urut

3

Praktik Siswa melakukan praktik terstruktur dan praktik terbimbing dibawah arahan guru

4 Pemberian penguatan

Guru mengecek pemahaman dengan memberi umpan balik, dan memberikan penguatan

5 Penutup Guru memberi latihan mandiri untuk pengayaan

Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,

model pembelajaran langsung memberikan kontribusi atau kemanfaatan

dalam pembelajaran apresiasi sastra, di antaranya yaitu (1) memberikan

input kepada siswa tentang materi yang diperlukan sesuai target

belajarnya; (2) siswa memperoleh rangsangan belajar yang menuntun

Page 123: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

respon (mengerjakan tugas-tugas); (3) siswa memperoleh penguatan yang

memberikan keyakinan bahwa responnya benar atau salah.

c. Definisi Konseptual Model Pembelajaran Langsung

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun definisi konseptual

bahwa model mengajar langsung adalah pola langkah proses pembelajaran

yang berdasarkan psikologi modifikasi tingkah laku berusaha

menggalakkan aktifitas belajar dengan memberikan penguatan baik yang

berupa reeinforcer maupun punisher terhadap respon yang benar.

6. Perbedaan Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning,

Sinektik, dan Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra

Mengadaptasi uraian Yatim Riyanto (2009: 146, 165-168),

perbedaan sifat antara model pembelajaran experiential learning, sinektik, dan

pembelajaran langsung dapat dipaparkan sebagai berikut.

Tabel 10: Perbedaan Karakeristik Tiga Model Pembelajaran

Experiential Learning

Sinektik Pengajaran Langsung

Cara Belajar Belajar dengan cara mengalami (mencari/ menjelajahi) langsung dalam masalah yang dipelajari secara bebas dan kreatif untuk menemukan pengetahuan

Belajar dengan cara membandingkan masalah yang dipelajari dengan berbagai alternatif pemecahan masalah untuk mendapatkan satu simpulan pengetahuan

Belajar dengan cara menerima dan merespon iput dari guru yang digalakkan dengan pengetahuan

Page 124: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

Experiential Learning Sinektik Pengajaran Langsung

Proses Belajar Secara holistik, dari tahap ke tahap siswa terus memperbaiki konsep pengetahuan

Dari berbagai alterna-tif pemecahan masa-lah yang dihadapi secara serentak, siswa memilih satu sebagai pengetahuan

Guru aktif memberi, dan siswa pasif menerima pengetahuan

Langkah Belajar Pengalaman lama menuntun membuat hipotesis; hipotesis menuntun melakukan observasi, evaluasi hasil observasi menuntun penyusunan konsep abstrak, konsep abstrak mendorong ujicoba; hasil ujicoba memperbaharui pengalaman/ pengetahuan siswa

Hasil identifikasi terhadap suatu masalah merangsang untuk membuat banyak alternatif analogi; berbagai alternatif analogi merangsang anak mempertimbangkan dari berbagai sudut; dan pertimbangan berbagai sudut membimbing membuat pilihan

Input dari guru merangsang siswa merespon sesuai pengalaman lama. Respon anak mendapatkan penguatan untuk menerima pengetahuan

Pandangan tentang Pengetahuan, Belajar, Pembelajaran Pengetahuan terus berubah

Pengetahuan banyak variasi alternatif

Pengetahuan tetap dan pasti

Belajar adalah kegiatan pemaknaan pengetahuan

Belajar adalah kegiatan analogi pengetahuan

Belajar adalah penerimaan pengetahuan

Mengajar merupakan fasilitasi penggalian makna

Mengajar merupakan fasilitasi berpikir banyak alternatif

Mengajar merupakan transfer pengetahuan

Pikiran untuk menginterpretasi

Pikiran untuk membandingkan

Pikiran merupakan alat berpijak

Siswa boleh memiliki pemahaman yang berbeda sesuai siklus pengalaman

Siswa boleh memiliki banyak perspektif pemahaman

Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan

Page 125: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Experiential

Learning Sinektik Pengajaran Langsung

Masalah Belajar dan Pembelajaran Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial

Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial

Pembiasaan disiplin sangat esensial Siswa harus taat aturan sebagai penentu keberhasilan

Kegagalan atau keberhasilan karena interpretasi berbeda, dihargai

Kegagalan atau keberhasilan karena sudut pandang berbeda, dihargai

Kegagalan/ kesalahan harus dihukum Keberhasilan pastas mendapat hadiah

Strategi Pembelajaran Mengikuti pandangan siswa

Mengikuti pandangan siswa

Mengikuti urutan kurikulum yang ketat

Aktivitas belajar dalam konteks nyata

Aktivitas belajar dalam multy konteks

Aktivitas belajar mengikuti buku teks

Evaluasi Menuntut pemecahan ganda

Menuntut pemecahan ganda

Menuntut satu jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari kegiatan pembelajaran

Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran

Evaluasi dilaksanakan terpisah dari kegiatan pembelajaran

Perbedaan karekteristik di atas secara rinci dapat dilihat menurut teori Joyce,

Weil, Calhoun pada lampiran 1 halaman 270.

Selaras dengan perbedaan karakteristik ketiga model pembelajaran

di atas, perbedaan keefektifan model secara konseptual dapat dijelaskan

sebagai berikut.

Page 126: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

a. Model pembelajaran experiential learning lebih efektif dibanding

dengan model pembelajaran sinektik untuk pembelajaran apresiasi

sastra

Model experiential learning mengintegrasikan materi yang

diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong

siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Pelajaran

menyenangkan (joifull) dan bermakna (meaning full) karena siswa diberi

kebebasan membangun konsep dan mencobakan konsep sendiri. Siswa

membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara

aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga memperoleh

pengetahuan (Paul Suparno, 1997: 11).

Untuk mengalami apa yang dipelajari, Kolb menuntun siswa ke

dalam 4 atau 5 langkah: (1) mengidentifikasi pengalaman-pengalaman

konkrit yang telah dimiliki (concrete, personal experience), (2)

observation, reflection examination dan guru menambahkan

complementary materials bagi hasil observasi anak (3) penyusunan

konsep abstrak (formulation of abstract concepts, rules, and principles),

(4) pengetesan konsep/ ide dalam situasi lain (personal theory and Ideas

to be tested in new situation). Melalui langkah-langkah ini siswa

mendapat kesempatan untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap dengan melakukan perjumpaan langsung dengan

Page 127: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

fenomena yang sedang dipelajari, bukan sekedar berpikir tentang

pertemuan atau hanya mempertimbangkan kemungkinan melakukan hal

itu. Pembelajaran terjadi sebagai partisipasi langsung dalam peristiwa-

peristiwa kehidupan sehari-hari yang ada di masyarakat (Smith; 1996: 1).

Experiential learning bernaung di bawah payung pendekatan

konstruktivistik. Ahmad Sudrajad menyimpulkan dari pernyataan. I.

Nyoman S. Degeng bahwa pembelajaran konstruktivistik melekat sifat (1)

siswa dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, (2) kebebasan

siswa merupakan unsur yang sangat esensial, (3) kebebasan dipandang

sebagai penentu keberhasilan, (4) kontrol belajar dipegang oleh siswa, (5)

mengikuti pandangan siswa, (6) aktivitas belajar dalam konteks nyata, (7)

menekankan pada proses (dalam Ahmad Sudrajad; 2008: 2-3). Ciri-ciri

tersebut merupakan prasyarat berkembangnya kreativitas. Utami

Munandar (1999: 49-50) menyatakan bahwa bila bebas dari neurosis,

gembira, penuh syukur dalam hidup, orang akan dapat mewujudkan diri

sampai peak experience. Dengan situasi aman dan kebebasan

psikologislah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan menyenangkan

juga akan dapat merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang

menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah

tertentu.

Model sinektik yang intinya aktifitas metafora mengikuti

langkah analogi langsung (direct analogy), analogi personal (personal

Page 128: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

analogy), dan konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger,

1980: 66-68). Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra,

berdasarkan hal ini maka karya sastra akan dipahami melalui proses

metaforik dengan analogi. Pembelajaran mempertemukan berbagai

macam unsur yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan

untuk memperoleh satu pandangan baru.

Dalam melakukan proses metaforik dan analogi tersebut

diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang

tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan

situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.

Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk

membentuk analogi dan metapora (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 222).

Sesuai dengan uraian di atas, anak merasa lebih mudah

mengikuti pelajaran dengan cara mengalami atau dengan cara

membayangkan melalui analogi dan metafora. Mengalami lebih sederhana

(konkrit) dibanding dengan membayangkan (abstrak). Menurut

pengalaman, belajar dengan cara mengalami membuahkan hasil yang baik.

Hasil pembelajaran experiential lebih baik karena (1) anak

mengembangkan konsep-konsep, rumusan dan prinsip-prinsip dari

pengalaman-penglamannya sendiri, (2) konsep, rumus dan prinsip-prinsip

ini menuntun tingkah laku mereka dalam proses belajar (melalui

pengalaman itu), (3) dalam proses belajar itu mereka secara terus menerus

Page 129: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

memperbaharui konsep-konsep, rumus-rumus dan prinsip itu untuk

meningkatkan kegunaannya Tyler di atas dan Taba (dalam Fernandes,

Jacobus, Tirtawijaya, Kasurianto, 1989:40). Proses pembelajaran

berlangsung alamiah secara experiential dalam bentuk kegiatan siswa

bekerja dan mengalami.

Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata,

pelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (joifull) dan bermakna

(meaning full). Dengan cara ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal

pelajaran, tetapi dengan mengalami secara alamiah anak mengkonstruksi

dan menemukan pengetahuan serta menjadikannya ingatan sepanjang

hayat. Secara individual anak diberikan kebebasan mengalami dan

membangun sendiri pengetahuan selaras dengan talentanya masing-

masing. Guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing (Umaedi, 2003:

2). Dengan demikian, dalam kondisi apapun, siswa dapat mengikuti

model ini dengan baik.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka untuk pembelajaran

apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih

efektif dibanding dengan model pembelajaran sinektik. Model

pembelajaran sinektik lebih sulit dibanding model pembelajaran

experiential learning.

Page 130: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

b. Model pembelajaran experiential learning lebih efektif dibanding

dengan model pembelajaran langsung untuk pembelajaran apresiasi

sastra

Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar untuk

mengerti, bukan merupakan kumpulan fakta yang harus diberikan kepada

siswa (Paul Suparno, 1997: 18; Aunurrahman, 2009: 15). Dalam proses

perkembangannya pemikiran-pemikiran baru mendapat tempat yang luas

karena proses pembentukannya yang terus menerus berkembang dan

berubah. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif

melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan,

seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan

tersebut sejauh yang dialaminya. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan

begitu saja dari otak guru ke otak siswa. Siswa sendirilah yang

mengartikan apa yang telah diajarkan sesuai pengalaman mereka.

Kedudukan siswa dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori

tentang dunia dan kehidupan. Guru bersikap interaktif dalam proses

pembelajaran, sekedar menjadi fasilitator dan mediator bagi siswa.

Sesuai dengan alirannya yang bersifat humanistik, proses belajar

ini berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Proses ini paling ideal

karena siswa bebas mengembangkan pengetahuan sendiri sesuai latar

kemampuan talenta intelektual, personal, sosial, kultural, dan

emosionalnya masing-masing. Dengan demikian cara belajar ini sangat

Page 131: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

menyenangkan dan penuh arti (c.f. Ausebel dalam Hamzah B. Uno, 2009:

13; Aunurrahman, 2009: 22). Dari pengalaman konkritnya anak

mengadakan observasi-refleksi aktif dan berusaha memikirkan dan

memahami kejadian. Dari situ ia membuat abstraksi atau teori tentang

kejadian yang diamati dengan cara mencari persamaan dan perbedaan.

Pada tahap akhir, anak melakukan eksperimentasi aktif dengan

mengapikasikan teori ke dalam situasi baru. Di tengah peran siswa yang

aktif ini, posisi guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing (Umaedi,

2003: 2). Dengan demikian, dalam kondisi apa pun, siswa dapat

mengikuti model ini dengan baik.

Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input atau

stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada

target penguasaan materi (content target mastery oriented). Model

pembelajaran langsung ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi

ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan

persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1). Kondisi ini

sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah

ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Ratna Wilis

Dahar, 1989: 35)

Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada

model behavioristik. Dalam pandangan behavioristik, belajar merupakan

aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan

Page 132: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

mekanis (Aunurrahman, 2009: 21). Kedudukan siswa dilihat sebagai

sumber kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari guru.

Guru mengajar dan menyebarkan informasi keilmuan kepada siswa.

Model pembelajaran langsung mengandalkan tranfer pengetahuan dengan

penjejalan materi (pemberian input) ke kepala anak.

Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat

membelanggu anak (Aunurrahman, 2009: 19). Model pembelajaran

behavioristik mengandalkan pemberian materi (input) ke kepala anak

dengan teknik ceramah, padahal teknik ceramah hanya cocok apabila

siswa telah termotivasi. Kondisi prasyarat ini sering tidak dipenuhi sebab

rata-rata siswa belum memiliki motivasi yang baik untuk belajar.

Mengajar dengan teknik ceramah membutuhkan waktu yang lebih banyak

untuk guru sebagai penceramah. Guru aktif dan siswa pasif karena guru

memberi dan siswa hanya mendengar dan mencatat. Selisih waktu yang

digunakan guru dan siswa ini akan berkembang ke arah negatif karena

siswa menjadi melamun, setengah menyimak, bahkan tidak menyimak

(Henry Guntur Tarigan, 1986:107-113).

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk pembelajaran apresiasi

prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih efektif

dibanding dengan model pembelajaran langsung.

Page 133: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

c. Model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding dengan model

pembelajaran langsung untuk pembelajaran apresiasi sastra

Aktifitas metafora dalam model sinektik mengikuti langkah

analogi langsung (direct analogy), analogi personal (personal analogy),

dan konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68).

Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini

maka karya sastra akan dipahami melalui proses metaforik dengan

analogi. Pembelajaran dengan model sinektik mempertemukan berbagai

macam unsur yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan

untuk memperoleh satu pandangan baru.

Dalam melakukan proses metaforik dan analogi tersebut

diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang

tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan

situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.

Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk

membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 222).

Melalui model sinektik siswa memperoleh kesempatan berpikir secara

bebas dalam mengembangkan analogi metaforis. Cara berpikir bebas

inilah merupakan modal dasar untuk mengembangkan kreatifitas dalam

melakukan proses metafora.

Model pembelajaran behavioristik mengandalkan adanya input

atau stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi

Page 134: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

pada target penguasaan materi (content target mastery oriented). Model

pembelajaran behavioristik ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi

ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan

persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003:1). Kondisi ini

sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah

ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Ratna Wilis

Dahar, 1988:35). Gagalnya siswa mengingat jangka panjang ini

mengakibatkan otak tidak dapat menyimpan pengetahuan yang dapat

dijadikan modal bagi siswa untuk interpretasi stimulus sehingga

menghambat respon. Kecerdasan emosionalnya yang rendah tidak mampu

memberikan suport kepada pikiran untuk memecahkan input, sehingga

terlambat memberikan respon.

Model pembelajaran behavioristik mengandalkan penjejalan

materi (pemberian input) ke kepala anak dengan teknik ceramah, padahal

teknik ceramah hanya cocok apabila siswa telah termotivasi. Kondisi

prasyarat ini sering tidak dipenuhi sebab rata-rata siswa belum memiliki

motivasi yang baik untuk belajar. Mengajar dengan teknik ceramah

membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk guru sebagai penceramah.

Guru aktif dan siswa pasif karena guru memberi dan siswa hanya

mendengar dan mencatat. Selisih waktu yang digunakan guru dan siswa

ini akan berkembang ke arah negatif karena siswa menjadi melamun,

Page 135: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

setengah menyimak, bahkan tidak menyimak (Henry Guntur Tarigan,

1986:107-113).

Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran

anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran

apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding

model pembelajaran langsung.

C. Kecerdasan Emosional

1) Pengetian Emosi

Emosi atau dalam bahasa Inggris emotion berasal dari bahasa Latin

“emovere”. “E” berarti keluar dan “movere” berarti bergerak. Secara

harafiah, movere berarti bergerak menjauh yang menyiratkan bahwa

kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman,

2005: 7). OSHO (2008: 1-13) menambahkan bahwa emosi yang berasal dari

kata “motion” tak pernah diam dan tak pernah akan menjadi permanen, ia

akan terus selalu berubah dari situasi ke situasi oleh karena seluruh emosi,

sentimen, dan pikiran – seluruh perangkat pikiran – telah dimanipulasi dari

luar. Perasaan (pikiran) adalah sebuah mekanisme untuk merekam

pengalaman-pengalaman dari luar (kumpulan kesan), mereaksi dan merespon

sesuai dengan stimulus yang muncul yang merupakan perwujudan dari

totalitas kesadaran kemanusiaan. Hamzah B. Uno (2009: 62-67) merumuskan

definisi emosi sebagai berikut: (a) emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah

Page 136: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

yang terjadi dalam memberi tanggapan terhadap suatu peristiwa, (b) ada dua

komponen yang pada dasarnya dipercayai membentuk emosi, yaitu tanggapan

psikologis dan perasaan subjektif.

Emosi merupakan sebuah kesatuan mental dan fisik yang dibangun

oleh berbagai variasi perasaan, pikiran, dan tingkah laku yang menentukan

kepekaan subjektif yang mendorong dan mengontrol gagasan dan

kecenderungan bertindak dalam berbagai aktivitas manusia. Mirip dengan

pengertian di atas, dirumuskan oleh Kassim (2000: 18) bahwa emosi

sebenarnya merupakan suatu keadaan yang kompleks yang melibatkan

komponen subjektif, fisiologi, dan ekspresi yang senantiasa memberi kesan

terhadap satu sama lain.

2) Fisiologi Emosi

Emosi dikawal oleh sistem syaraf. Sistem syaraf secara fisiologis

dibagi atas syaraf pusat dan syaraf periferi. Syaraf pusat adalah otak dan

syaraf tunjang, periferi terbagi pada pada sistem syaraf outononik dan somatik.

Sistem syaraf somatik mengawal aktivitas otot rangka; sistem saraf outonomik

mengawal aktivitas organ visera seperti jantung, perut, usus, saluran darah

kecil pada kulit, otot dan aktivitas kelenjar peluh. Sistem syaraf outonomik

Sistem syaraf outonomik menggabungkan kompleksitas otak dan syaraf

tunjang dengan organ visera. Jika sistem syaraf terangsang oleh stimulus luar

lalu orang merasa takut, maka akan terlihat tangannya dingin, berpeluh, terasa

Page 137: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

akan membuang air kecil/ air besar, dan seterusnya. Jika merasa malu, maka

muka terlihat kemerah-merahan. Jika merasa senang, maka muka terlihat ceria,

dan lain sebagainya. Hal ini karena sistem syaraf outonomik telah terangsang

(Kassim, 2000: 14; c.f. Goleman, 2009: 422-425).

Reaksi emosi ini melibatkan sistem dalam badan yang dikawal oleh

sistem syaraf outonomik. Sistem syaraf outonomik mempunyai dua bagian,

yaitu simpatetik dan parasimpatetik. Kebanyakan visera badan dikawal oleh

neuron simpatetik – parasimpatetik, kecuali kelenjar peluh dan saluran darah

di bawah kawalan outonomik simpatetik. Secara umum aktivitas simpatetik

meningkatkan rangsangan fisiologis terhadap fungsi badan untuk menyiapkan

seseorang melakukan aktivitas yang penuh semangat.

Sistem syaraf pusat mengawal/ mengatur respon atau gerak balas

emosi. Sistem syaraf ini terletak pada sistem limbik. Sistem limbik

dihubungkan ke sistem syaraf periferi melalui kelenjar hipotalamus. Sistem

limbik juga mengatur rangsangan ke bagian otak lain dan menerima perintah

dari semua sistem sensasi (Kassim, 2000: 16; c.f. Goleman, 2009: 422-425).

Perkara luaran (input) yang merangsang seseorang akan merangsang organ

visera dalam badan dan kemudian mengakibatkan terkumpulnya emosi atau

pengalaman emosi dan perubahan pada perasaan. Terkumpulnya pengalaman

emosi ini selaras dengan teori emosi kognitif (Kassim, 2000: 17-19; c.f.

Goleman, 2009: 422-425) yang menyatakan bahwa respon perasaan/ emosi

akan terjadi/ terpengaruh selaras dengan pengalaman emosi yang telah terlabel

Page 138: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

dan tersimpan sebelumnya. Seorang siswa yang sebelumnya mendapatkan

tekanan emosi dari gurunya, maka pengalaman itu akan mempengaruhi emosi/

perasaannya ketika diajar oleh guru tersebut.

3) Konsep Kecerdasan Emosional

Kemampuan masing-masing siswa berbeda sebab pada dasarnya tiap

individu mempunyai karakteristik (bakat, kecerdasan, emosi, dan lain-lain)

yang berbeda. Perbedaan kemampuan masing-masing siswa ini

mempengaruhi proses belajar. Emosi dimiliki oleh setiap individu siswa.

Emosi dapat berbentuk negatif atau positif. Emosi positif dapat memotivasi

secara internal yang pada gilirannya dapat membangun diri, misalnya menjadi

menyukai belajar, mau bergaul, bila mendapat kegagalan cepat bangkit untuk

berusaha mencapai keberhasilan. Sedangkan emosi negatif bersifat destruktif

atau merusak, misalnya murung, putus asa, menarik diri, takut, malu, dan

sebagainya. Keadaan ini pun sangat mempengaruhi belajarnya. Siswa akan

mengalami learning disability (ketidak-mampuan belajar) atau difficult

learning (kesulitan belajar) missconcepsi (kesalahan konsep), attention deficit

(kurang perhatian) dalam proses belajarnya. Goleman (2001: 22) menjelaskan

bahwa ketika otak menerima tekanan atau ancaman, maka kapasitas saraf

untuk berpikir rasional mengecil. Otak dibajak secara emosional.

Dari uraian di atas, tampak jelas ada hubungan antara emosi dan

kegiatan belajar. Penelitian telah menguatkan adanya hubungan antara

Page 139: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

keterlibatan emosi, memori jangka panjang dan belajar (Goleman, 2009: 22).

Hal ini berarti ikatan emosional akan memperkuat memori dan ingatan siswa

akan bahan-bahan yang dipelajari. Bertolak dari pernyataan ini, Emosional

Qutient (EQ) merupakan kemampuan siswa sendiri untuk memotivasi diri

sendiri dan bertahan untuk menghadapi depresi atau frustrasi, kesanggupan

mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, tidak melebih-lebihkan

kesenangan dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan

berpikir (cf. Verina H. Secapramana; 1999: 1). Yatim Riyanto (2009: 253)

merangkum kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah

kemampuan individu dalam menggunakan (mengelola) emosinya secara

efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dengan

orang lain dan meraih keberhasilan. Senada dengan pernyataan ini, Reigeluth

menyebutkan sebagai berikut.

“Emotional intelligence includes self-awareness and impulse control, persistence, zeal and self-motivation, empathy and social deftness, basic capacities needed if individuals are to thrive and if sociaty is to proper “ (Reigeluth, ed. 1999: 540). EQ termasuk kesadaran diri, kontrol perasaan, ketekunan, semangat,

motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial, yaitu kapasitas dasar keinginan

jika individu berkembang dan jika masyarakat maju. Kecerdasan emosional

merupakan kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan menjadi potensi

positif. Berdasarkan pengalaman, apabila sesuatu masalah menyangkut

pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan

Page 140: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi dan perasaan mereka sangat

membantu mempercepat pembelajaran. Guru yang disenangi akan

menciptakan ikatan emosional kuat sehingga siswa menyukai kegiatan belajar.

Bersamaan dengan kecerdasan emosional, lahir pula ”kecerdasan

majemuk” atau multyple intelligences yang dikemukakan oleh Howard

Gardner (dalam Hoerr, 2007: 15) yang menjelaskan manusia memiliki 8

kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa (kepekaan pada makna dan susunan kata),

logika matematika (kemampuan menangani relevansi/ argumentasi serta

mengenali pola dan urutan), musikal (kepekaan terhadap pola titinada, melodi,

irama, dan nada), kinestetik tubuh (kemampuan menggunakan tubuh dengan

terampil dan memegang objek dengan cakap), spasial (kemampuan

mengindra dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah

aspek-aspek dunia tersebut), natural (kemampuan untuk mengenali dan

mengklasifikasi aneka spesies, flora dan fauna dalam lingkungan),

interpersonal (kemampuan untuk memahami orang dan membina hubungan),

dan personal (kecerdasan emosional sebagai sarana untuk memahami diri

sendiri dan orang lain. Dalam kaitannya dengan kajian kecerdasan emosional

yang implisit ada pada kecerdasan majemuk, Goleman mengambil fokus

kajian terhadap kecerdasan personal dengan membahas pengendalian diri,

semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri (Hoerr, 2007:

116).

Page 141: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

4) Komponen Kecerdasan Emosional

Secara umum emosi adalah perasaan. Manusia adalah golongan

makhluk hidup yang paling memiliki perasaan yang tinggi dan halus. Emosi

memiliki tiga komponen, yaitu: (1) perasaan tersembunyi (covert), (2)

rangsangan fisiologis, (3) penonjolan perasaan secara terbuka (overt). Emosi

wujud dalam berbagai bentuk dan kekuatan yang dapat dikelompokkan

menjadi dua macam, yaitu: (1) emosi positif atau negatif, dan (2) emosi

primer atau campur (Plutchik dalam Kassim, 2000: 12). Emosi positif

misalnya suka, sayang; dan emosi negatif misalnya marah, takut. Emosi

primer contohnya gembira, benci, sedih; emosi campur misalnya keadaan

kompleks seperti kecewa yang merupakan gabungan antara sedih, terperanjat,

dan kecewa. Setiap emosi juga memiliki peringkat, misalnya peringat

kekuatan takut: rasa resah, tegang, aprehensif, menggeletar, rasa kacau, panik,

takut amat sangat (terrified).

Terdapat tiga model dalam kajian kecerdasan emosional. Model

pertama ialah model Reuven Bar-On yaitu Emotional Quotient Inventory (EQ-

i); kedua model Mayer & Salovery yaitu four Branch Model of Emotional

Intellegence (4 Branch Model); dan model Goleman yaitu Emotional

Competence Inventoty (ECI) Berdasarkan model-model tersebut, pada

hakikatnya kecerdasan emosi memerlukan beberapa kecakapan, keterampilan,

dan kompetensi (abilities, skill, and competencies) dalam dua aspek, yaitu: (1)

Page 142: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

kompetensi diri (personal) yang terdiri dari kesadaran diri, menejemen diri,

motivasi diri; (2) kompetensi sosial yang terdiri dari kesadaran sosial dan

keterampilan sosial (Goleman, 2009: 403-405); Michael, 2006: 16-19; Yatim

Riyanto, 2009: 253-257). Kedua aspek ini disebut emotional intellegence

competence framework.

Menurut Goleman, secara rinci unsur masing-masing aspek adalah

sebagai berikut. Aspek kesadaran diri terdiri dari unsur kesadaran emosi,

ketepatan penilaian dan keterbukaan diri, serta kepercayaan diri. Aspek

menejemen diri terdiri dari unsur kontrol diri, penyesuaian diri, kerajinan,

amanah, inisiatif, dan orientasi pencapaian. Aspek kesadaran sosial terdiri dari

unsur kompetensi empati, orientasi usaha, kesadaran organisasi. Kemahiran

sosial meliputi kompetensi kepemimpinan, pengaruh, kepedulian terhadap

sesama, kepekaan perubahan, komunikasi, penanganan konflik, membina tali

persahabatan, kekompakan kerja, kolaborasi (Goleman, 2009: 403-405);

Michael, 2006: 20; Yatim Riyanto, 2009: 253-257). Hubungan antar aspek

dan unsur dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Page 143: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

Pribadi Sosial

Kesadaran

Kesadaran diri - Kesadaran diri - Penilaian diri - Keyakinan diri

Kesadaran sosial - Empati - Orientasi usaha - Kesadaran organisasi

Pengaturan

Pengaturan diri

- Kawalan diri - Penyesuaian - Kerajinan - Amanah - Inisiatif - Orientasi

Kemahiran Sosial - Kepemimpinan - Pengaruh - Mengembangkan orang lain - Mendorong perubahan - Komunikasi - Mengatasi konflik - Membina tali persaudaraan - Kekompakan kerja - Kolaborasi

Gambar 7: Diagram Kesadaran Emosi Model Goleman

(Diadaptasikan dari Michael, 2006: 20)

a. Kompetensi Personal

Seperti telah disebutkan di atas bahwa kompetensi personal terdiri

dari tiga aspek, yaitu kesadaran diri, pembinaan diri, dan motivasi diri.

Kesadaran diri berarti kesadaran untuk mengenali emosi dan

perasaannya sendiri, kemampuan membuat tafsiran yang tepat dan

meyakinkan yang mendorong individu merasa memiliki harga diri atau

kehormatan diri (self esteem) yang berdampak pada kepercayaan diri

(Michael, 2006: 26). Muijs (2008: 219) menyebutkan self-esteem sebagai

penilaian (judgment) pribadi tentang worthiness (faedah/ kegunaan/

Page 144: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

kepantasan) yang diekspresikan dalam bentuk sikap yang dimiliki individu

terhadap dirinya sendiri. Harga diri secara umum dapat didefinisikan

sebagai penilaian keseluruhan terhadap diri individu baik dari segi positif

maupun negatif. Individu yang mempunyai harga diri yang tinggi atau

positif mempunyai perasaan yang baik tentang diri sendiri. Sebaliknya

jika harga dirinya rendah, maka akan mempiliki perasaan negatif terhadap

diri sendiri dan sering tidak yakin dengan diri sendiri (Fauzee, 2004: 97).

Harga diri ini pada gilirannya memberikan perasaan pada diri anak bahwa

dirinya pasti mampu melakukan sesuatu dengan baik.

Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya memiliki ciri-

ciri: (1) sadar terhadap emosi yang dirasakan serta penyebabnya; (2) sadar

akan kaitan antara perasaan dan pemikiran, perlakuan dan penuturan; (3)

sadar bagaimana emosinya mempengaruhi prestasinya; (4) mempunyai

kesadaran tinggi tentang nilai dan tujuan hidup; (5) sadar akan kelemahan

dan kekuatannya sendiri; (6) reflektif dan belajar dari pengalaman; (7)

terbuka bagi pemikiran dan perspektif baru yang mendorong belajar

sepanjang hayat; (8) berupaya menunjukkan perspektif lain tentang diri

sendiri; (9) berkeyakinan, berketerampilan dan disadari kehadirannya;

(10) berani menyuarakan pandangan yang kurang populer dan

mempertahankan sesuatu yang betul; (11) dapat membuat keputusan yang

baik walaupun dalam ketidakpastian dan tekanan.

Page 145: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

Pembinaan diri memiliki beberapa aspek pendukung, di antaranya

ialah manajemen emosi, amanah, ketekunan, penyesuaian diri, dan inovasi.

Manajemen diri adalah kemampuan mengurus emosi yang destruktif;

amanah adalah kemampuan membina kepiawaian, kejujuran, dan

integritas; ketekunan berarti kemampuan bertanggung jawab atas perstasi

diri; kebolehsesuaian berarti keluwesan dalam menangani perubahan; dan

inovasi adalah kerterbukaan atas ide-ide dan gagasan baru. Tiap-tiap

watak ini mempengaruhi dan membentuk watak dari segi emosi (Michael,

2006: 27-28).

Individu yang memiliki menejemen diri biasanya: (1) mampu

mengurus perasaan dan emosi negatif dengan baik; (2) tenang dan positif

pada waktu tertekan; (3) berpikiran waras dan berfokus dalam tekanan.

Individu yang memiliki integritas biasanya: (1) bertindak secara etis

mengikuti peraturan yang berlaku; (2) membina keyakinan melalui

informasi yang dapat dipercaya; (3) mengakui kesalahan sendiri dan

menentang tindakan tidak beretika orang lain; (4) berpegang teguh pada

pandangan yang berprinsip walau tidak populer. Individu yang memiliki

ketekunan biasanya: (1) memiliki komitmen dan menunaikan janji; (2)

bersifat akuntable untuk mencapai tujuan; (3) teratur dan sistematik dalam

melaksanakan tugas. Individu yang fleksibel biasanya: (1) mampu

menangani berbagai tuntutan, perubahan keutamaan dan pertukaran yang

kerap; (2) mempu menyesuaikan respon dan taktik dengan keadaan yang

Page 146: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

sering berubah; (3) luwes dalam persepsi terhadap peristiwa-peristiwa

yang berlaku. Individu yang memiliki inovasi biasanya: (1) mencari ide

baru dari berbagai sumber; (2) memikirkan penyelesaian kreatif terhadap

masalah-masalah; (3) mewujudkan ide baru; (4) mempunyai perspektif

terkini dan berani menanggung resiko dalam pemikiran.

Motivasi diri dapat dilihat dari beberapa aspek seperti motivasi

pencapaian, komitmen, inisiatif, dan optimisme. Tiap-tiap watak ini

mempengaruhi dan membentuk watak dari segi emosi (Michael, 2006: 28).

Motivasi pencapaian terlihat pada usahanya yang terus menerus dalam

memperbaiki dan membentuk kecemerlangan. Individu yang memiliki

kompetensi ini memiliki indikator: (1) berorientasi pada hasil, dengan

motivasi tinggi berusaha mencapai tujuan dengan kepiawaian; (2) dapat

menentukan tujuan dan mengambil resiko yang dipertimbangkan; (3)

mengejar tujuan untuk mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan untuk

menambah prestasi; (4) belajar cara baru untuk meningkatkan prestasi.

Komitmen berarti memegang teguh tujuan yang telah ditetapkan.

Individu yang memiliki komitmen: (1) bersedia membuat pengorbanan

untuk mencapai tujuan; (2) menyadari nilai tujuan dan misi; (3)

menggunakan nilai-nilai moral dalam membuat keputusan dan dapat

menjelaskan pilihan yang dibuat; (4) mampu mencari peluang secara aktif

untuk memenuhi misi dan tujuan. Inisiatif berarti kesediaan bertindak

apabila ada peluang. Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya: (1)

Page 147: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

bersedia memanfaatkan peluang; (2) mengejar tujuan yang tinggi dari

yang diperlukan; (3) mengesampingkan birokrasi dan peraturan sekiranya

perlu untuk menyelesaikan tugas; (4) menggerakkan orang lain melalui

usaha-usaha yang luar biasa dan berfaedah

Optimisme berarti keyakinan untuk mencapai tujuan walaupun ada

halangan dan masalah. Keyakinan diri merupakan kepercayaan diri atau

optimisme untuk berhasil dalam melakukan perbuatan atau menyelesaikan

suatu masalah untuk mencapai tujuan tertentu (Fauzee, 2004: 83).

Keyakinan diri merupakan salah satu puncak yang terpenting untuk

meningkatkan prestasi karena seseorang tidak putus asa, tidak terlalu

banyak pertimbangan yang membawa keraguan, kerja dengan sungguh-

sungguh. Kepercayaan diri dapat pula didefinisikan sebagai suatu harapan

yang tinggi untuk mencapai tujuan dan kesuksesan (Fauzee, 2004: 86). Ia

merupakan fasilitator sehingga sekiranya seseorang mempunyai keyakinan

diri yang tinggi, pikiran dan dirinya akan memberi tumpuan dan perhatian

terhadap apa yang sedang dilakukan, sehingga sangat mempengaruhi

kebolehan seseorang untuk berusaha mencapai apa yang diimpikan selama

ini. Dengan demikian, seberapa banyak usaha yang akan dilakukan untuk

mencapai tujuan bergantung kepada kepercayaan diri seseorang itu.

Kepercayaan diri perlu dibentuk dan ditingkatkan. Fauzee (2004:

88) merangkum peningkatan kepercayaan diri dapat dilakukan dengan

memperhatikan beberapa sumber, di antaranya ialah: (1) performance

Page 148: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

accomplishments (penyempurnaan tugas), (2) vicarious experience

(melihat pengalaman orang lain), (3) verbal persuasion (dorongan verbal),

(4) physiological states (kekuatan jasmani dan emosi). Peningkatan

kepercayaan diri memperhatikan 9 faktor, yaitu: (1) keberhasilan

melakukan aktivitas, yaitu kegiatan yang berhasil dilakukan dengan baik

untuk mencapai tujuan individu; (2) demonstrasi kebolehan, yaitu

demonstrasi yang lebih aktif berbanding orang lain; (3) dukungan sosial

dan masyarakat, yaitu dorongan positif dari kawan, guru, atau keluarga;

(4) kesiapan fisik dan mental, yaitu kesiapan optimal untuk mencapai

tujuan; (5) kepemimpinan guru, yaitu percaya dan yakin dengan keputusan

dan kebolehan guru; (6) pengalaman vicarious, yaitu menambah

keyakinan dengan memperhatikan orang lain yang berhasil; (7)

lingkungan kondusif yang membuat rasa aman; (8) keinginan lingkungan,

yaitu kesesuaian tindakan dengan harapan masyarakat; (9) persepsi sendiri,

yaitu padangan terhadap keadaan diri sendiri.

Fauzee (2004: 90-91) merangkum ada lima langkah untuk

membentuk keyakinan diri, yaitu (1) menghapuskan alasan yang negatif

yang senantiasa diberikan (get rid of excuses); (2) menggunakan gambaran

sebagai kekuatan (use picture power); (3) jangan takut salah (do not fear

failure); (4) mempertimbangkan penampilan (consider your appearance);

(5) mengulang kembali keberhasilan yang lalu (keep a record of past

Page 149: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

successes). Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai

berikut.

Gambar 8: Diagram Langkah Peningkatan Kepercayaan Diri

(Fauzee, 2004: 90-91)

Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya: (1) terus

berusaha mencapai tujuan walaupun ada halangan dan masalah; (2)

bertindak dari harapan untuk berhasil bukan ketakutan atau gagal; (3)

melihat masalah sebagai keadaan yang dapat diatasi bukan dari

kekurangan personal.

b. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial mempunyai subkomponen yaitu kesadaran

sosial dan kemahiran sosial. Goleman (2007: 83) menyebutkan definisi

kompetensi sosial sebagai berikut.

Get rid excuses

Use picture power

Do not fear failure

Consider your appearance

Keep a record of past successes

Page 150: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

Sosial intelligence include “noncognitive” aptitutes – the talent, for instance, that lets a sensitive nurse calm a crying toddler with just the reassuring fouch, having to think for a moment abaut what to do. .... As the brain’s social real estate overlaps with its emotional centers. Kesadaran sosial memerlukan kompetensi diri seperti empati,

orientasi untuk melayani orang lain, pengembangan orang lain, pelayaan

sosial, dan kesadaran politik. Kemahiran sosial menyangkut tingkah laku

antara lain pengaruh, komunikasi, kepemimpinan karismatik, pendorong

perubahan, penanganan konflik, membina hubungan, kolaborasi dan kerja

sama, berupaya kompak dalam tim (Michael, 2006: 41-45). Goleman

(2007: 83) menyebutkan kompetensi sosial terdiri dari komponen sebagai

berikut.

1. Social ewareness (refers to spectrum that runs from instantaneously sensing another’s inner state, to understanding her feelings and thoughts, to “getting” complicated sosial situations). Its includes: (a) primal empathy (feeling with others, sensing non-verbal emotional signal); (b) attunement (listening with full receptivity, attuning to a person); (c) empathyc accuracy (understanding another person’s thoughts, feelings, and intentions); (d) social cognition (knowing how the social world works).

2. Sosial facility (simply sensing how another feels, or knowing what they think or intend, does not guarantee fruitfull interactions, builds on social awareness to allow smooth, effective interactions. Its includes: (a) synchrony (interacting smoothly at the nonverbal level); (b) self-presentation (presenting ourself effectively); (c) influence (shaping the outcome of social interactions); (d) concern (caring obout others’ needs and acting accordingly).

Empati merupakan kemampuan memahami orang lain dengan cara

ikut merasakan, memahami pandangan dan ikut mengambil bagian sesuai

Page 151: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

dengan kondisi mereka. Anak yang mempunyai empati peka pada emosi

orang lain, bersedia mendengar, prihatin dan memahami perspektif

pandangan orang lain, memahami perasaan orang lain dan keperluan

orang lain serta bersedia membantunya. Kemampuan melakukan orientasi

maksudnya kemauan mengenali dan memenuhi keperluan. Anak yang

memiliki orientasi senang memahami keperluan dan menghasilkan

prestasi yang diinginkan sekolah, memikirkan cara-cara untuk

meningkatkan kepuasan sekolah, bersedia memberi bantuan, memahami

kemauan orang lain dan memberi nasehat yang meyakinkan.

Kepedulian mengembangkan orang lain berarti kepedulian untuk

mengupayakan orang lain berkembang. Anak yang memiliki kompetensi

ini bersedia memuji dan memberi ganjaran untuk menghargai kekuatan,

keberhasilan, dan perkembangan orang lain; memberikan motivasi yang

membina perkembangan orang lain, memberikan pertimbangan alternatif

perkembangan orang lain; memberikan penerangan terhadap pandangan

yang sempit dan bias. Kesadaran membina hubungan baik dalam

perkumpulan berarti kemampuan untuk membaca arus emosi orang

banyak dan peduli untuk menghubungkan dengan penguasa. Anak yang

memiliki kesadaran ini cakap dalam membina hubungan dengan

penguasa; mengikuti jaringan sosial yang ada; peka terhadap faktor-faktor

yang mempengaruhi pandangan dan perilaku orang dan persaingan antar

mereka; membaca dengan tepat situasi organisasi dan realitas luarnya.

Page 152: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

Kompetensi pelayanan sosial berarti kemampuan membina

peluang terhadap pelayanan berbagai sifat manusia. Anak yang memiliki

kompetensi ini akan menghormati dan bergaul dengan berbagai orang

yang memiliki latar belakang berbeda-beda; memahami berbagai

pandangan yang berbeda-beda; memanfaatkan keperbagaian sebagai

kesempatan mewujudkan suasana di mana semua orang dapat

berkembang; menentang ketidakadilan dan intoleransi.

Pengaruh merupakan aspek kemahiran sosial, yaitu kemampuan

menggunakan taktik untuk mendapatkan keyakinan orang lain (Michael,

2006: 43). Seorang yang memiliki pengaruh mahir dalam mendapat

keyakinan orang lain; menghasilkan karya yang dapat menarik perhatian

orang; dapat menngunakan cara yang santun untuk mendapatkan

persetujuan dan dorongan orang lain; dapat mengajar orang lain secara

dramatis dan mengesankan. Komunikasi berarti kebolehan menyampaikan

sinyal yang jelas, tepat dan meyakinkan. Anak yang pandai komunikasi

dapat luwes; menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan tulus;

mendengar, memahami dan mensukseskan misi organisasi; memupuk

komunikasi terbuka, dan bersedia menerima kenyataan baik maupun

buruk.

Kepemimpinan yang karismatik adalah kemampuan individu

dalam membimbing dan memberi inspirasi kepada orang lain. Anak yang

memiliki kompetensi ini akan mampu mewujudkan minat untuk mencapai

Page 153: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

visi dan misi; bersedia memimpin bila perlu; mampu membimbing orang

lain; dan menjadi teladan. Sebagai dinamisator anak akan menyadari

perlunya perubahan terutama untuk mengatasi hambatan; mempelajari

keadaan status quo dan menyakinkan perlunya perubahan; menyokong

perubahan itu dan mencari dorongan orang lain; menjadi model perubahan

untuk orang lain.

Kemampuan mengatasi konflik artinya kemampuan membuat

perundingan dan menyelesaikan perselisian dengan baik. Anak yang

mempunyai kemampuan ini memiliki kepandaian berdiplomasi yang baik

dalam mengatasi konflik; dapat mengambil tindakan yang bijak dalam

menyelesaikan konflik; menggalakkan diskusi dan pembahasan.

Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan memupuk hubungan

atau interaksi sosial. Anak ini punya kemampuan menyemai dan membina

jaringan hubungan yang luas; memupuk hubungan yang saling

menguntungkan; membina hubungan mesra dengan orang lain;

mengekalkan kesetiakawanan antar rekan sejawat. Anak yang memiliki

kemampuan kerja sama mampu berkolaborasi; memupuk iklim yang

mesra dan kerja sama; memanfaatkan peluang untuk kerja sama.

Kemampuan untuk kompak sebagai tim adalah kemampuan untuk

mewujudkan sinergi dalam usaha mencapai tujuan bersama kelompok.

Anak yang mempunyai kompetensi ini akan menjadikan diri sebagai

teladan dalam saling menghormati, saling membantu, dan kerjasama;

Page 154: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

melibatkan semua anggota secara aktif; membina identitas dan semangat

menjadi komitmen bersama; menjaga nama baik bersama.

Ada beberada komponen dalam kecerdasan emosional, yaitu

mengorganisasikan kelompok, merundingkan pemecahan, hubungan

pribadi, dan analisis sosial (Goleman, 2009: 166-167; Yatim Riyanto,

2009: 256-257). Melengkapi pengetahuan ini, Hare (1985: 21-23)

menyebutkan interaksi sosial terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut.

1. Form, yang terdiri dari communications network 2. Process, yang terdiri dari task behavior (self oriented, stereotyped,

real, involved, creative) dan social emotional behavior (upward dominant – downward submissive, positive – negative, serious – expressive, conforming – anti conforming)

3. Content yang terdiri dari values, norms, leadership, resources.

Albrecht (2006: 29) menambahkan lima keterampilan sosial sebagai

Simply enumerate, yaitu: situational awareness, presence, autenticity,

clarity, dan empathy.

5) Peranan Kecerdasan Emosional dalam Kegiatan Belajar Siswa

Belajar berarti mengubah pengetahuan dan pemahaman secara terus

menerus yang dilakukan oleh siswa melalui proses pemberian makna terhadap

pengalamannya. Joko Nurkamto (2004: 104-105) merangkum kebermaknaan

pengalaman tersebut memiliki dua sisi, yaitu intelektual dan emosional.

Kebermaknaan intelektual dicapai melalui proses kognisi, sedangkan

kebermaknaan emosional mengacu pada rasa memiliki pengalaman yang

ditandai oleh lahirnya rasa bahwa isi pengalaman itu penting baginya untuk

Page 155: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

memotivasi belajar secara terus menerus. Demikian besar pengaruh emosi

terhadap kegiatan belajar karena dalam kegiatan belajar manusia melibatkan

kekuatan emosi dan pikirannya yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini selaras

dengan harapan pelaksanaan pendidikan yang memang harus dilakukan secara

holistik dengan mengintegrasikan aspek intelektual, emosional, sosial, dan

spiritual dalam kesatuan yang utuh (Sarwiji Suwandi, 2004: 27).

Goleman (terjemahan T. Hermaya, 2009: 38) menjelaskan bahwa EQ

adalah prasyarat untuk kepiawaian IQ, maksudnya ialah IQ kita tidak akan

berfungsi dengan baik jika bagian otak kita rusak akibat kecacatan emosi.

Seterusnya Michael (2006: 56) memberi pernyataan sebagai berikut.

“People of high IQ flouder and those of moderate IQ do surprisingly well… Lack of emotional intellegence can sabotage the intellect and ruin careers”

Penilaian seseorang individu bukan saja didasarkan kepada kecerdasan

intelektuan (IQ), tetapi yang lebih penting ialah kecerdasan emosi (EQ). Hal

ini disebabkan karena emosi manusia adalah merupakan respon terhadap

pemikiran dan ide dalam otak. Pemikiran dan ide dalam otak tidak dapat

dipisahkan dari respon badan yang menghasilkan emosi itu. Pemikiran atau

ide, respon dan emosi yang saling berinteraksi disambungkan ke thalamus

(bagian otak). Di sini ide atau impuls dari semua organ anggota badan bersatu

dan berinteraksi untuk menghasilkan sensasi yang disebut perasaan atau

emosi.

Page 156: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

EQ meninggalkan kesan yang mendalam dalam keseluruhan aspek

dalam kehidupan seseorang individu, termasuk aspek kesehatan dan sosial.

Goleman (2001: 22) menjelaskan juga bahwa ketika otak menerima tekanan

atau ancaman, maka kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil.

Berdasarkan hal ini maka dapat diprediksi bahwa ketika siswa mulai tidak

menyukai pengajarnya secara otomatis dapat diperkirakan akan tidak

menyukai materi pelajarannya juga. Human Resource Magezine menyatakan

sebagai berikut.

“……..success at work is 80 % dependent on emotional intellegence and only 20 % dependent on IQ” (dalam Michael, 2006: 3; Verina H. Secapramana, 1999: 1).

Sebaliknya jika siswa dalam situasi bahagia, kebahagiaan akan

meningkatkan kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaan negatif dan

meningkatkan energi yang ada, dan menenangkan perasaan yang

menimbulkan kerisauan. Keadaan ini akan mengisyaratkan tubuh secara

menyeluruh dan menyiapkan antusiasme dalam menghadapi tugas-tugas dan

berjuang mencapai sasaran-sasaran yang lebih besar (Goleman: 2005: 8).

Berdasarkan hal itu, secara ekstrim OSHO (1999: 15) bahkan menyarankan

agar orang dalam menemukan kesadarannya harus berani memisahkan

perasaan dengan pikiran. Pikiran tidak boleh mendekte perasaan.

“Learner need to be receptive both to those with whom they are communicating…..responsive to person and the context of communication, and willing and able to place a certain value on the communicative act of interpersonal exchange. It could easily be claimed that no successful cognitive activity can be carried out without some

Page 157: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

degree of self esteem, self confidence, knowledge of yourself in your own capabilities for that activity” (Brown, 2000:144-155).

Berkaitan dengan respon terhadap sikap guru di atas, maka jelaslah

bahwa guru harus selalu berusaha menjadi pengajar yang baik. Penelitian

telah menunjukkan bahwa di antara kekuatan-kekuatan yang perlu ada pada

seorang guru ialah kemampuan untuk menangani emosi negatif. Seorang guru

yang ceria dan penuh kasih akan menghasilkan pelajar yang ceria dan

pengasih (Michael, 2006: 9). Elemen utama adalah dengan menciptakan

lingkungan yang suportif dan penuh kasih sayang dengan batas-batas yang

jelas, juga disiplin dengan aturan dan prosedur yang jelas dan tidak menekan

siswa (Muijs, 2008: 227). Kualitas guru akan menentukan tahap pencapaian

kompetensi kecerdasan emosional (KKE) di kalangan pelajar melalui

perwujudan suasana kelas yang mendorong perkembangan emosi secara sehat.

Pengalaman pembelajaran baru dapat menghasilkan emosi tertentu jika

mengaktifkan kegiatan belajar siswa (Michael, 2006: 56).

Seorang guru yang baik dan berhasil adalah guru yang dapat

menangani emosi negatifnya dengan cara yang baik. Perkembangan harga diri

dan motivasi di kalangan pelajar kecuali banyak dipengaruhi oleh ibu bapanya,

juga oleh tingkah laku guru, termasuk penguatan dan pujian terhadap usaha

pelajar (Fauzee, 2004: 98). Hal ini dikarenakan emosi tidak dapat dipisahkan

dengan motivasi. Keduanya saling membantu karena dengan adanya emosi

yang sesuai dan positif seperti suka dan gembira, akan membantu

Page 158: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

meningkatkan motivasi seseorang. Sebaliknya apabila berada dalam keadaan

emosi yang tidak sehat dan negatif seperti sedih, emosi ini akan

menghancurkan motivasi seseorang untuk belajar (Kassim, 2000: 14).

Keadaan sebaliknya terjadi jika guru memiliki kemampuan yang

rendah dalam menangani emosi negatif. Guru yang senang melakukan

kekerasan emosional akan mengakibatkan perasaan buruk yang

berkepanjangan pada diri siswa. Siswa akan mengalami trauma psikologis

yang akan terus menghantui pikiran/ perasaan, sehingga pikiran/ perasaannya

akan terus terganggu, keyakinan menjadi hilang, merasa tidak berdaya, hak-

hak pribadi terusik, sistem perlindungan diri akan punah, kesehatan tubuh

menurun, penderitaan batin yang luar biasa terutama jika teringat pengalaman

pahit sebelumnya (Kassim, 2000: 19-20).

Ada beberapa kategori tingkah laku guru (dan juga orang tua) yang

negatif sehingga menyiksa emosi anak. Kassim (2000: 20) merangkum

adanya 5 kategori tingkah laku guru, yaitu penolakan (rejection), pengasingan

(isolating), menakuti (terrorising), sikap tidak peduli (ignoring) dan merasuki

pikiran (corrupting). Penyiksaan ini merusakkan mental anak. Akibat

kerusakan mental anak ini harga dirinya menjadi merosot yang pada

gilirannya menyebabkan gairah belajar, respon menurun dan pencapaian

akademik menjadi merosot (Kassim, 2000: 39).

Keadaan yang sama berlaku pula pada pelajar, pelajar yang

mempunyai kemahiran menangani emosi, prestasinya lebih baik dalam semua

Page 159: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

ujian. Pelajar yang mempunyai KKE yang tinggi berpenampilan tenang, dapat

menyelesaikan konflik antara mereka tanpa pertolongan orang dewasa,

mereka lebih kooperatif, bersedia membantu, memiliki masa depan cerah dan

kemauan empati yang tinggi. Mereka juga dapat melakukan inrtospeksi,

mencoba-coba mengatasi masalah dan bersungguh-sungguh dalam proses

pembelajaran. Orang-orang dengan kecakapan emosional yang berkembang

baik juga cenderung puas dan efektif dalam kehidupannya, menguasai

kebiasaan-kebiasaan pikiran yang meningkatkan produktivitas. Kecakapan di

bidang ini akan memberi siswa kesempatan lebih baik untuk menggunakan

kecerdasan potensial apapun yang dibawa oleh gen mereka (Hoerr, 2007: 109,

116). Jadi ada hubungan langsung antara kecerdasan emosi dan kelakuan

konstruktif (Michael, 2006: 9). Berdasarkan hal ini, kecerdasan emosional

dapat digunakan sebagai pendekatan psikologis dalam membangun dan

membina kehidupan manusia.

Ciri-ciri anak yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi antara

lain: (1) dapat mengenali perasaannya dan bukan perasaan orang lain atau

situasi yang dihadapinya; (2) dapat membedakan pemikiran dan perasaan; (3)

bertanggung jawab atas perasaannya sendiri; (4) gunakan perasaannya untuk

membantu membuat keputusan; (5) menghormati perasaan orang lain; (6)

dapat merasa bertenaga bukan karena kemarahan; (7) memahami perasaan

orang lain dengan menunjukkan empati, pertimbangan, dan menerima

perasaan orang lain; (8) dapat berlatih untuk mendapatkan nilai positif

Page 160: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

daripada emosi negatif; (9) tidak menasihati, mengarahkan, mengritik,

mengadili atau menghardik orang lain; (10) tidak menghiraukan orang yang

tidak menerima atau menghormati perasaannya (Michael, 2006: 21).

Di antara pelajar-pelajar yang baik, banyak juga yang memiliki

kecerdasan emosi yang rendah, di antaranya karena mereka menghadapi

masalah harga diri atau keyakinan diri. Ciri anak yang menghadapi masalah

ini menurut Fauzee (2004: 100-101) antara lain adalah: (1) suka menggunakan

perkataan yang menunjukkan rasa marah, (2) memamerkan diri mereka yang

tidak bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) memamerkan

penampilan tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul

pada kelompok-kelompok orang yang alkoholik, murung, dan lain sebagainya.

Masalah keyakinan diri ini dapat diatasi dengan beberapa hal, di antaranya

ialah: (1) terapi berkumpul dan (2) terapi tingkah laku kognitif. Dari interaksi

dengan orang lain dapat membicarakan pengalaman mereka masing-masing

dalam menghadapi masalah dan cara mengatasinya. Perbincangan dalam

kelompok ini dapat membantu individu membentuk tingkah laku baru dan

menguji ide baru. Terapi tingkah laku kognitif dapat dilakukan dengan

menggunakan bahasa kiasan (covert speech) atau imageri visual untuk

membimbing dan mengarahkan tingkah laku. Dengan penggunaan visual

imageri yang positif seseorang dapat melihat gambaran pikiran tentang diri

mereka yang berjalan dengan penuh keyakinan bahwa upayanya pasti berhasil.

Terapi ini dapat meningkatkan gambaran diri yang positif karena dapat

Page 161: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

merangsang perasaan dan keyakinan diri. Self estem ini penting diperhatikan

karena mambantu anak mengembangkan potensinya dan mendidik dalam

hidupnya (Reigeluth, ed. 1999: 541)

6) Pengaruh Perbedaan Tingkat Kecerdasan Emosional terhadap

Kemampuan Apresiasi Sastra

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan memang untuk dihayati oleh

pembaca agar pembaca bersikap kritis dan cermat menekuni bagian-bagian

pengalaman manusia yang terpilih sehingga pembaca dapat menemukan

gagasan dan perasaan penulisnya serta tanggapan penulis terhadap kehidupan.

Visi penulis ialah tentang hidup dan kehidupan. Pengarang melalui karyanya

ingin mengajak pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masa-

lah yang diketengahkan dalam karyanya (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14).

Berdasarkan konsep di atas, maka dalam melakukan penghayatan

terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor

afektif, yaitu merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca

(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Diperlukan kekuatan emosional dalam realitas

rasa pada diri pembaca ketika menghayati/ pengapresiasi sastra. Dalam

kegiatan apresiasi sastra ada totalitas aktualisasi diri yang puncak atau peak

experience.

Berkaitan dengan masalah kegiatan apresiasi sastra yang tidak dapat

dilepaskan dari kekuatan emosional, banyak penelitian menguatkan adanya

Page 162: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar/

apresiasi sastra (Goleman, 2005: 14; DePorter, 2000: 22). Ikatan emosional

akan memperkuat memori dan ingatan siswa terhadap bahan-bahan yang

dipelajari yang selanjutnya menuntun kegiatan belajarnya. Hal ini dikarenakan

emosi menentukan kepekaan subjektif yang mendorong dan mengontrol

gagasan dan kecenderungan bertindak dalam berbagai aktivitas manusia.

Sistem limbiklah yang mengatur rangsangan bagian otak dan menerima

perintah dari semua sistem sensasi (Kassim, 2000: 16). Stimulus (input) yang

merangsang seseorang akan merangsang organ visera dalam badan dan

kemudian mengakibatkan terkumpulnya emosi atau pengalaman emosi dan

perubahan pada perasaan. Terkumpulnya pengalaman emosi ini selaras

dengan teori emosi kognitif (Kassim, 2000: 17-19) yang menyatakan bahwa

respon perasaan/ emosi akan terjadi/ terpengaruh selaras dengan pengalaman

emosi yang telah terlabel dan tersimpan sebelumnya.

Setiap individu memiliki emosi baik dalam bentuk negatif maupun

positif, setiap individu memiliki kompetensi emosional yang berbeda-beda.

Berdasarkan kenyataan bahwa kecerdasan emosional sangat berperan dalam

kegiatan belajar, maka perbedaan kompetensi emosional yang mempengaruhi

motivasi internal dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam melakukan

kegiatan apresiasi sastra.

Page 163: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

D. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan secara komprehensif disajikan antara lain

sebagai berikut. Keefektifan model pembelajaran experiential learning

ditunjukkan oleh Slamet Sartono (2007: 1) pada penelitiannya di SMK Negeri 3

Purwokerto tahun 2007 dengan judul Pelaksanaan Pembelajaran Dengan

Pendekatan Experiential Learning sebagai Upaya untuk Peningkatan Kualitas

Pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto. Penelitian

ini menyimpulkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran yang ditandai

dengan (a) siswa aktif; (b) menyenangkan; (c) melatih kerjasama kelompok; (d)

berpusat pada siswa; (e) meningkatkan tanggung jawab; (f) informatif dan

komunikatif.

Dalam penelitian yang diakui secara internasional, penelitian sejenis

dilakukan oleh Chun-Wang, I-Chun, Ling, dan Nian-Shing (2011: 20) di Taiwan

dengan judul A Joyful Classroom Learning System with Robot Learning

Companion for Children to Learn Mathematics Multiplication. Dua temuan

pokok penelitian ini: (1) pada penggunaan model pembelajaran experiential

learning, ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas

kontrol (nilai signifikansi 0,000); (2) pada penggunaan model pembelajaran

constructivistics learning, ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen

dan kelas kontrol (nilai signifikansi 0,000). Hal ini menyimpulkan bahwa model-

Page 164: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

model pembelajaran yang bernaung di bawah pendekatan konstruktivistik efektif

untuk pelaksanaan pembelajaran.

Penelitian selanjutnya oleh Pi-Shen dan Lip-Chai (2006: 19) di Singapure

yang berjudul Changing Enterpreneurial Perceptions and Developing

Enterpreneurial Competencies through Experiential Learning: Evidence From

Enterpreneurship Education in Singapore’s Tertiary Education Institutions.

Penelitian ini memberikan simpulan pokok bahwa opportunity sulit diajarkan di

kelas, tetapi lebih tepat melalui pengalaman nyata di masyarakat. Kalaupun dapat

diajarkan di kelas, hal itu dibutuhkan guru yang cerdik “slippery teacher”. Hasil

penelitian ini relevan dengan temuan Meyer (2007: 91) pada penelitiannya yang

berjudul The Effect of an Adventure Experiential Learning Programme on

Demensions of Self perception of Youth. Pada abstraknya disimpulkan bahwa

pengaruh program model pembelajaran experiential learning terhadap

kemampuan persepsi diri cukup baik. Hal ini terbukti perolehan nilai signifikansi

(p) cukup besar, yaitu 0,059. Relevan juga dengan hasil penelitian Akkuyunlu

dan Soylu (2008: 189) di Turki yang berjudul A Study of Student’s Perceptions in

a Blended Learning Environment Based on Different Learning Styles, yang

meneliti efek jenis gaya belajar (model Kolb) terhadap persepsi diri. Penelitian ini

menyimpulkan pokok temuan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan persepsi

diri antara siswa yang memiliki gaya belajar asimilatif dan siswa yang memiliki

gaya belajar diverger. Hal ini berarti semua gaya belajar yang dibangun di bawah

Page 165: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

model pembelajaran experiential learning efektif untuk menumbuhkan persepsi

diri.

Keefektifan model pembelajaran sinektik ditunjukkan oleh Sakdiahwati

(2006: 1) di SMPN 13 Palembang tahun 2006 dengan judul Penerapan Model

Sinektik dalam Peningkatan Keterampilan Menulis. Simpulan penelitian

menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran sinektik dapat meningkatkan

keterlibatan atau aktivitas siswa dalam menulis. Secara terinci hasil penelitian ini

disimpulkan bahwa (1) semua aspek karangan melalui model pembelajaran

sinektik dapat ditingkatkan, (2) penggunaan model sinektik lebih memberikan

pengaruh pada aspek tata bahasa dan aspek mekanika penulisan, (3) proses belajar

mengajar menulis dengan menggunakan model sinektik mampu memberikan

tingkat keefektifan yang lebih tinggi daripada proses pembelajaran dengan

menggunakan model konvensional. Berkaitan dengan kualitas pembelajaran

menulis dapat juga disimpulkan: (a) model sinektik dalam pembelajaran menulis

mempunyai keunggulan dalam mengembangkan dua ranah taksonomi yaitu

kognitif dan afektif/ emosional; (b) model sinektik dalam pembelajaran menulis

tidak luput dari kelemahan juga, di antaranya yaitu model ini menghabiskan

waktu cukup lama karena siswa harus merespons tahap demi tahap (tujuh tahap)

untuk membuahkan hasil yang optimal.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Iwan Kurniawan (2005: 1) di SMAN 4

Curup Bengkulu tahun 2005 dengan judul Pemanfaatan Model Sinektik Dalam

Pembelajaran Membaca Pemahaman di SMAN 4 Curup Bengkulu. Penelitian

Page 166: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

151

juga menyimpulkan bahwa model sinektik dalam pembelajaran membaca

pemahaman cukup efektif. Langkah-langkah dalam sinektik (tahap 1 s.d. 5) dapat

dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan pembelajaran membaca, terutama yang

menyangkut tujuan membaca pemahaman dapat meningkatkan kemampuan siswa

dalam memahami isi bacaan. Selain itu, siswa mampu mengekspresikan isi

bacaan dengan cara menganalogikan isinya, baik analogi langsung, analogi

personal, analogi persamaan, maupun analogi perbedaan. Beberapa kendala yang

ditemui antara lain (1) siswa belum bisa menggunakan analogi, (2) guru belum

terbiasa mengajar menggunakan analogi, dan (3) langkah-langkah sinektik ke-6

dan ke-7 terlalu sulit bagi siswa.

Dalam kancah internasional, penelitian sejenis lebih mendalam dilakukan

oleh Paltasingh (2008: 1-4) di Banpur Town of Khurda District of Orissa India

yang berjudul Impact Synectics Model of Teaching in Life Science to Develop

Creativity Among Pupils menyimpulkan (1) terdapat perbedaan yang signifikan

antara sinektik dan pengajaran tradisional dalam pengembangan ilmu dan

kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) kreatifitas kelompok ekeperimen secara

signifikan lebih tinggi daripada kelompok control yang mengunakan metode

tradisional; (3) pelatihan kreatifitas melalui model sinektik menghasilkan prestasi

yang lebih tinggi secara signifikan dalam ilmu pengetahuan. Simpulan ini relevan

dengan penelitian Pany (2008: 1-2) di India yang berjudul Effectiveness of

Synectics Model of Teaching in Enhancing Creativity, Academic Achievement

Motivations of Learner. Penelitian memberikan dua simpulan pokok, (1) model

Page 167: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

152

pembelajaran sinektik efentif untuk mengembangkan cara berpikir creative siswa;

tetapi (2) model pembelajaran sinektik tidak efektif untuk mengembangkan

motivasi berprestasi siswa.

Penelitian lainnya ialah penelitian Ramirez dan Ganaden (2008: 29) di

Philipina yang berjudul Creative Activities and Students’ Higher Order Thinking

Skill yang bertujuan menemukan pengaruh aktifitas berpikir kreatif pada siswa

SMK. Dari intervensi yang dilakukan, meskikun menyimpulkan bahwa perbedaan

antara siswa yang dikenai ICA (pembelajaran dengan perlakuan kreatif) dan siswa

yang dikenai INCA (pembelajaran tanpa kegiatan kreatif) tidak terlalu signifikan

(p = 0,189), namun kelompok ICA menunjukkan kenaikan nilai lebih tinggi yaitu

dari pretest 14, 20 ke posttest 21,5 (50%). Kelompok INCA mendapatkan nilai

rata-rata lebih rendah.

Penelitian terhadap penggunaan model pengajaran langsung antara lain

penelitian oleh Feng S.Din (2000: 4) di Petterson yang berjudul Direct Instruction

in Remedial Math Instruction. Penelitian menemukan nilai t test sebesar 22,75

dengan nilai p = 0,000; rata-rata nilai pretest sebesar 3,58 dan posttest sebesar

5,53. Hal itu berarti bahwa jika digunakan dengan tepat model pembelajaran

langsung efisien dan efektif membantu siswa meningkatkan keterampilan

matematika. Relevan dengan simpulan di atas, Hiks, Bethone, dan Mins (2011:

677) pada penelitiannya di Carolina yang berjudul Effects of Direct Instructional

on the Acquisition of Propositions by Students with Intellectual Disabilities

menyimpulkan adanya hubungan fungsional antara pengajaran langsung dengan

Page 168: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

153

siswa pebelajar preposisi. Setelah digunakan model pengajaran langsung, terjadi

peningkatan jumlah komulatif jawaban benar yang diberikan oleh siswa.

Simpulan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Gujjar (2007: 24-25) di Turki

yang berjudul Direct Instruction and Appropriate Intervention for Children with

Learning Problems. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan direct

instruction kinerja membaca siswa meningkat. Sebelum intervensi, antara kelas

eksperimen dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan, tetapi setelah

intervensi membuktikan ada perbedaan yang signifikan.

Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Hinze dan Berger (2007: 01)

di Jerman yang berjudul Cooperative Lerning, Motivational Effects, and Student

Characteristics: An Experimental Study Comparing Cooperatif Learning and

Direct Instruction in 12th grade Phisics Classes memberikan temuan pokok

bahwa Jigsaw lebih efektif dibanding model pengajaran langsung. Penelitian ini

memberikan perhatian pada berbedaan pengalaman siswa dalam kemampuan,

inisiatif, relasi sosial, aktivitas berpikir, dan tingkat motivasi intrinsik.

Penelitian tentang peranan kecerdasan emosional yang relevan antara lain

penelitian Tardi (2006: 1) di SMA Negeri Kota Wonogiri tahun 2006 yang

berjudul Kontribusi Kecerdasan Emosional dalam Interaksi Sosial dan Persepsi

tentang Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru

(Penelitian Pada Guru SMA Negeri Kota Wonogiri. Dari penelitiannya dapat

dilaporkan bahwa ada kontribusi yang signifikan kecerdasan emosional dalam

interaksi sosial terhadap kinerja guru (ro = 0,474 > rt = 0,291) sumbangan efektif

Page 169: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

154

18,30%. Selaras dengan penelitian di atas, penelitian oleh Nugroho di SMP

Kecamatan Tirtomoyo Wonogiri tahun 2009 yang berjudul Pengaruh Pendekatan

konsep dan Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris di

SMP N Kecamatan Tirtomoyo Tahun Pelajaran 2008/2009 menyimpulkan bahwa

ada perbedaan pengaruh siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi

dan siswa yang memiliki tingkat emosional rendah terhadap prestasi belajar. Dari

penelitian Tardi, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional sangat

berpengaruh terhadap kinerja atau prestasi kerja. Kenyataan ini menunjukkan

bahwa kecerdasan emosional memegang peran penting untuk dipertimbangkan

dalam proses pendidikan dan pembelajaran.

Dari penelitian-penelitian yang dipaparkan di atas, secara komprehensif

dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model experiential learning

maupun dengan model sinektik lebih efektif dibanding dengan model

konvensional (pengajaran langsung). Perbedaan penelitian-penelitian di atas

dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah terletak pada objek

penelitiannya. Penelitian-penelitian di atas banyak mengambil objek pada bidang

pengajaran matematika, fisika, membaca pemahaman (dan keterampilan menulis),

dan lain sebagainya; sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis ini

pada bidang pembelajaran apresiasi prosa fiksi dan bagaimana peranan

kecerdasan emosional mempengaruhinya. Namun demikian, ditinjau dari

linieritas efek dan kemanfaatannya semuanya tetap relevan dijadikan bandingan

Page 170: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

155

penelitian. Semuanya melibatkan kegiatan yang hampis sama, yaitu pemahaman

terhadap sebuah objek kajian.

E. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teoretik dan sifat hubungan antar variabel, dapat

disusun kerangka berpikir sebagai berikut.

1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Diajar

dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang Diajar

dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar dengan

Model Pembelajaran Langsung

Model pembelajaran experiential learning menyatukan materi

pembelajaran dengan alam kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan praksis

kehidupan sehari-hari. Pelajaran sangat menyenangkan dan memberikan

makna karena siswa diberi kebebasan membangun konsep dan mencobakan

konsep sendiri. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui

keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga

memperoleh pengetahuan.

Pembelajaran dengan model experiential learning memiliki sifat

siswa dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, kebebasan siswa

merupakan unsur yang sangat esensial, kebebasan dipandang sebagai penentu

keberhasilan, kontrol belajar dipegang oleh siswa, mengikuti pandangan siswa,

aktivitas belajar dalam konteks nyata, menekankan pada proses. Sifat-sifat

Page 171: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

156

tersebut merupakan prasyarat berkembangnya kreativitas karena dengan

situasi aman dan kebebasanlah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan

menyenangkan juga merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang

menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah tertentu.

Model pembelajaran sinektik yang intinya aktifitas metafora

mengikuti langkah analogi langsung, analogi personal, dan konflik kempaan

atau. Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan

mekanisme ini maka karya sastra akan dipahami melalui proses metaforik.

Melalui proses metaforik siswa akan mempertemukan berbagai macam unsur

yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan untuk

memperoleh satu pandangan baru. Dalam melakukan proses metaforik

tersebut diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa

yang tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan

situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.

Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk

membentuk analogi.

Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input yang

merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada target penguasaan

materi. Dalam pandangan behaviorstik, belajar merupakan aktivitas

pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis.

Siswa dipandang sebagai kaleng kosong tempat ditumpahkannya semua

pengetahuan dari guru. Guru menyebarkan informasi keilmuan dan siswa

Page 172: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

157

menerima, karena itu model pembelajaran langsung mengandalkan tranfer

pengetahuan dengan penjejalan materi ke kepala anak.

Cara transfer pengetahuan ini sering membelanggu siswa karena

rata-rata siswa belum memiliki motivasi yang baik untuk belajar. Transfer

pengetahuan sering dilakukan dengan teknik ceramah. Penggunaan teknik

ceramah inipun membosankan, sehingga cenderung siswa tidak menyimak.

Memperhatikan perbedaan karakteristik tiga model pembelajaran di

atas, mana yang lebih mudah diikuti dan membawa dampak lebih baik dalam

belajar. Dengan (1) menciptakan iklim akademik yang aman, bebas, dan

menyenangkan, sehingga secara konkrit anak mengalami, merasakan, terlibat

langsung sehingga kreativitas terbentuk, minat tergalakkan sehingga siswa

senang terlibat secara mendalam dalam kegiatan belajar; atau (2) menciptakan

iklim akademik yang aman dan bebas, tetapi anak dituntut untuk melibatkan

emosi, daya imaji, daya abstraksi yang tinggi untuk berkreasi membuat

analogi, atau dengan cara (3) siswa diberi input agar mereka menerima dan

menghafal. Berdasarkan kerangka berpikir ini, maka diduga kuat ada

perbedaan dampak yang cukup signifikan antara ketiga model tersebut dalam

menghasilkan kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Page 173: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

158

2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Prosa fiksi tidak merupakan khayalan seratus persen karena

pengalaman jiwa tidak lepas dari dunia empiris pengarang. Pengalaman dunia

empiris itu dimasukkan dalam pengalaman batin, mengendap dalam dirinya

untuk kemudian diekspresikan melalui daya kreatifnya. Pengarang melalui

karyanya ingin mengajak pembaca mengedepankan perasaan untuk

menghayati dan ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masalah yang

diketengahkan dalam karyanya. Pengarang menggunakan daya imajinya untuk

meyakinkan pembaca bahwa hal yang fiktif itu suatu kenyataan, sehingga

pembaca dapat menangis, tertawa, terharu, dan sebagainya karena merasa

menghadapi kenyataan.

Berdasarkan isi, cara, dan medium pengungkapannya di atas, maka

dalam melakukan penghayatan terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai

penghayat harus mengedepankan faktor afektif, yaitu merupakan realitas rasa

yang secara nyata ada pada diri pembaca. Diperlukan totalitas kekuatan

emosional yang puncak pada diri pembaca ketika pengapresiasi sastra. Respon

perasaan/ emosional siswa terhadap karya sastra terpengaruh dan selaras

dengan pengalaman emosi yang telah terlabel dan tersimpan sebelumnya.

Berkaitan dengan masalah kegiatan apresiasi sastra yang tidak dapat

dilepaskan dari kekuatan emosional, maka tinggi-rendahnya kecerdasan

Page 174: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

159

emosional siswa sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam apresiasi

terhadap karya sastra.

3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan

Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

a. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif untuk

Mengajar Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding

untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Langkah experiential learning terdiri dari (1) mengidentifikasi

pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik, (2)

guru menambahkan kelengkapan ingatan dan hasil observasi anak di

lapangan, (3) kunjungan ke lapangan untuk observasi, (4) kegiatan kelas,

(5) penjelasan oleh guru untuk pemantapan. Silus langkah tersebut sangat

membutuhkan kecerdasan emosional yang secara bersama-sama

mendukung pikiran. Langkah pembelajaran ini, terutama pada langkah

pertama, membutuhkan keaktifan siswa, dengan demikian experiential

lerning lebih sukses diikuti oleh siswa-siswa dewasa. Untuk melakukan

experiential learning dibutuhkan kematangan pikiran dan perasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa model

pembelajaran experiential learning lebih efektif untuk pembelajaran

apresiasi prosa fiksi pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi

dibanding pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

Page 175: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

160

b. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif untuk Mengajar Siswa

yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding untuk Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Pembelajaran apresiasi prosa fiksi dengan model sinektik

dilaksanakan melalui tiga fase aktifitas metafora yang meliputi analogi

langsung, analogi personal, dan konflik kempaan. Dalam kaitannya

dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini maka berarti karya

sastra akan dipahami dengan mengembangkan keaktifan dan kemampuan

kreatif siswa melalui proses metaforik.

Dalam proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan emosional

subjek didik. Untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif yang baik,

siswa perlu mengedepankan aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan daya

kritis yang tinggi. Emosi terlibat sebab imajinasi terikat dengan cara yang

rumit dengan kehidupan emosional kita. Untuk memasuki alam metaforik

dibutuhkan kematangan pikiran dan perasaan. Pada fase analogi personal,

misalnya, anak memerlukan kekuatan empati untuk menganalogikan

sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah langkah model pembelajaran

sinektik sangat membutuhkan kecerdasan emosional yang mendukung

pikiran. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa model pembelajaran sinektik

lebih efektif untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi pada siswa yang

Page 176: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

161

kecerdasan emosionalnya tinggi dibanding pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah.

c. Model Pembelajaran Langsung Lebih Efektif untuk Mengajar Siswa

yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding untuk Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Keberhasilan belajar menurut psikologi behaviorisme ditentukan

oleh faktor eksternal. Pembelajaran dilaksanakan melalui mekanisme

stimulus – respon dan diperkokoh oleh penguatan.

Anak baru dapat belajar jika tersedia data input/ masukan dan

digalakkan oleh adanya penguatan. Data input inilah yang membentuk

stimulus yang kemudian merangsang respon. Jika respon benar

mendapatkan penguatan, maka menjadi kebiasaan karena terus menerus

diulangi oleh siswa. Jika suatu respon tidak tepat mendapatkan hukuman,

maka siswa revisi respon. Dengan demikian, untuk melakukan kegiatan

belajar, seorang siswa memerlukan dorongan / dukungan dari lingkungan

(motivasi eksternal) yang dapat berupa pemberian penghargaan, pujian,

insentif.

Langkah model behavioristik yang terdiri dari (1) pemberian

stimulus, (2) siswa merespon, (3) pemberian penguatan, sangat

membutuhkan kecerdasan emosional dan pikiran. Ketika anak mengingat

kembali memori untuk mengidentifikasi input (stimulus), ketika anak

memperoleh penguatan bahwa yang dikatakan benar, maka anak

Page 177: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

162

membutuhkan kepekaan emosional yang tinggi untuk memaknai peristiwa

itu dan mengingat kembali memorinya. Setelah responnya dibenarkan oleh

lingkungan, anak merasa senang dan terdorong akan mengulangi lagi,

anak merasakannya dengan perasaan yang baik.

Berdasarkan hal itu, dapat diduga bahwa model pembelajaran

behavioristik lebih efektif untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi pada

siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dibanding pada siswa yang

kecerdasan emosionalnya rendah.

d. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding

dengan Model Pembelajaran Sinektik untuk Mengajar Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Model pembelajaran experiential learning merupakan model

pembelajaran berbasis pengalaman konkrit yang dapat dialami oleh siswa

dengan mudah sesuai dengan kebiasaan/ pengalaman hidup sehari-hari.

Melalui langkah-langkahnya, siswa terbimbing dan terbantu cara berpikir

dan belajarnya. Pada tahap refleksi kritis siswa diarahkan untuk dapat

bertanya tentang pengalaman terdahulu, dan dicoba dijawabnya dengan

membuat generalisasi, deskripsi penyelesaian tugas, dan hipotesis pada

tahap penyudunan konsep abstrak. Ketika siswa mengalami kesulitan,

siswa berkesempatan melakukan diskusi dengan teman-temannya.

Page 178: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

163

Pertanyaan pada hipotesisnya menuntun siswa terjun ke lapangan untuk

melakukan eksperimentasi aktif.

Berbeda dengan model pembelajaran sinektik. Kegiatan sinektik

yang intinya ialah aktifitas metafora berbasis berpikir absrak. Siswa

langsung dihadapkan pada fenomena yang harus dipikirkan melalui proses

abstraksi, imajinasi yang tinggi. Siswa perlu menganalogikan apa yang

dihadapi dengan perbandingan-perbandingan yang bersifat irasional.

Berdasarkan argumentasi ini, maka meskipun experiential learning

maupun sinektik sangat memerlukan kecerdasan emosional yang tinggi,

oleh karena yang satu lebih konkrit daripada yang lain, maka dapat diduga

bahwa untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran

experiential learning lebih efektif dibanding dengan model pembelajaran

sinektik pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi.

e. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding

dengan Model Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Seperti disebut pada butir (d) bahwa model pembelajaran

experiential learning bersifat konkrit. Dalam model ini secara konkrit anak

mengalami secara mandiri dan nyata. Proses pembelajaran berlangsung

alamiah secara experiential dalam bentuk kegiatan siswa bekerja, bukan

transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pengalaman konkrit yang telah

Page 179: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

164

dimiliki anak merupakan titik tolak kegiatan belajar-mengajar dalam

usaha memperoleh dan memperbaiki pengetahuan, keterampilan, dan

pembentukan watak.

Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input atau

stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada

target penguasaan materi. Model pembelajaran behavioristik ini terbukti

hanya berhasil dalam kompetisi ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam

membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Berdasarkan kerangka berpikir ini, maka dapat diduga bahwa untuk

pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential

learning lebih efektif dibanding dengan model pembelajaran langsung

pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi.

f. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif Dibanding dengan Model

Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Tinggi

Telah disebutkan pada butir (d) bahwa aktifitas metafora dalam

model pembelajaran sinektik merupakan aktifitas yang bersifat abstrak.

Hal ini dikarenakan karya sastra akan dipahami dengan cara membuat

kiasan atau analogi. Berbagai unsur yang seolah tidak relevan dan

irasional digunakan sebagai analogi untuk memperoleh perspektif baru.

Dalam melakukan proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan

emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang tinggi. Dengan

Page 180: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

165

kompetensi emosional, aspek irasional harus dipahami untuk menciptakan

situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.

Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk

membentuk analogi dan metaphor. Namun demikian, meskipun tuntutan

atas keterlibatan emosional cukup tinggi, siswa diberi kebebasan berpikir.

Melalui perolehan kesempatan berpikir secara bebas itulah siswa dapat

mengembangkan analogi metaforis.

Model pembelajaran behavioristik mengandalkan adanya input

atau stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi

pada target penguasaan materi. Dengan diberikannya rangsangan

terkondisi, siswa tidak memperoleh kesempatan berpikir secara bebas. Hal

ini dikarenakan sejak awal siswa hanya diarahkan untuk memberikan

respon tunggal. Dalam teori belajar behavioristik, siswa dituntut harus

mentaati peraturan yang ketat, cara berpikir tunggal, dan keseragaman

hasil belajar. Tuntutan ini menekan kebenasan siswa, sehingga

menghambat timbulnya motivasi belajar. Hal ini dikarenakan ketika otak

menerima tekanan atau ancaman, maka kapasitas saraf untuk berpikir

mengecil. Kondisi ini mengakibatkan siswa mulai tidak menyukai

pengajarnya dan otomatis juga tidak menyukai materi pelajarannya.

Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran

anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran

apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding

Page 181: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

166

model pembelajaran langsung pada siswa yang kecerdasan emosionalnya

tinggi.

g. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding

dengan Model Pembelajaran Sinektik untuk Mengajar Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Siswa yang kecerdasan emosinya rendah rata-rata memiliki

masalah dalam harga diri atau keyakinan diri. Ciri anak yang menghadapi

masalah ini antara lain adalah: (1) suka menggunakan perkataan yang

menunjukkan rasa marah, (2) senang melontarkan kata-kata pesimis dan

tidak bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) senang tampil

tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul dengan

orang yang murung, dan lain sebagainya.

Belajar berarti mengubah pengetahuan dan pemahaman secara

terus menerus yang dilakukan oleh siswa melalui proses pemberian makna

terhadap pengalamannya. Kebermaknaan pengalaman ini memiliki dua

sisi, yaitu intelektual dan emosional. Kebermaknaan intelektual dicapai

melalui proses kognisi, sedangkan kebermaknaan emosional mengacu

pada rasa memiliki pengalaman yang ditandai oleh lahirnya rasa bahwa isi

pengalaman itu penting baginya untuk memotivasi belajar secara terus

menerus.

Experiential learning merupakan cara belajar berbasis pengalaman

konkrit dan alamiah. Anak diberikan kebebasan belajar sesuai tingkat

Page 182: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

167

kecerdasan masing-masing. Dalam model pembelajaran experiential

learning, anak dibantu menumbuh kembangkan potensi diri mulai dari

cara yang paling sederhana, yaitu perasakan pengalaman. Dengan cara

yang sederhana ini, maka siswa yang kecerdasan emosional dan

inlektualnya rendah pun memiliki kesempatan membangun diri.

Kondisi di atas, sulit ditemukan pada model pembelajaran sinektik.

Dalam melakukan proses metaforik diperlukan keterlibatan emosional,

daya imaji, daya abstraksi siswa yang tinggi. Elemen emosional, irasional

harus dipahami untuk menciptakan situasi yang terbuka guna

mengembangkan kreativitas secara konstruktif. Aspek irasional akan

diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk membentuk analogi dan

metaphor. Melalui model sinektik siswa dituntut untuk dapat berpikir

secara abstrak dalam mengembangkan analogi. Untuk memenuhi tuntutan

ini, siswa yang kecerdasan emosional dan elektualnya rendah akan

mengalami kesulitan.

Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan model pembelajaran

sinektik lebih sulit dibanding model pembelajaran experiential learning.

Berdasarkan uraian ini, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran

apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih

efektif dibanding model pembelajaran sinektik pada siswa yang

kecerdasan emosionalnya rendah.

Page 183: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

168

h. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding

dengan Model Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Sesuai payungnya yang konstruktivistik dan alirannya yang

bersifat humanistik, model belajar melalui pengalaman berpusat pada

manusia itu sendiri yang dihargai sebagai individu manusia yang telah

memiliki emosi/perasan dan nilai-nilai. Sekecil apapun emosi dan nilai-

nilai ini merupakan modal siswa melakukan self regulated learning.

Melalui model pembelajaran ini siswa bebas mengembangkan

pengetahuan sendiri sesuai latar kemampuan, talenta intelektual, personal,

sosial, kultural, dan emosionalnya masing-masing. Selanjutnya,

pembelajaran menekankan proses yang mengajarkan bagaimana siswa

belajar dan nilai kegunaan belajar itu sendiri bagi dirinya. Kegagalan atau

keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai

interpretasi yang berbeda dan perlu dihargai, dengan demikian anak

memiliki keberanian dan motivasi untuk belajar. Dengan cara yang

sederhana ini, maka siswa yang kecerdasan emosional dan inlektualnya

rendah pun memiliki kesempatan membangun diri.

Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada

model behavioristik. Dalam pandangan behaviorstik, belajar merupakan

aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan

mekanis. Siswa hanya dilihat sebagai sosok yang hidup dan bertindak

Page 184: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

169

sebagai robot, ialah sumber kosong tempat ditumpahkannya semua

pengetahuan dari guru. Siswa dihadapkan bukan pada kebebasan berpikir

tetapi harus tunduk pada aturan yang kaku dan ketat, karena ketaatan dan

aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Keberhasilan belajar pada

model behavioristik diukur jika siswa mampu mengungkapkan kembali

apa yang telah dipelajari. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam

menerima pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang harus

dihukum. Berdasarkan situasi yang seperti ini, maka siswa yang sudah

dalam keadaan kurang mampu karena kecerdasan emosinya rendah, akan

menjadi tambah terpuruk, motivasinya dalam ambang batas mati.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diduga bahwa untuk

pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential

learning lebih efektif dibanding model pembelajaran behavioristik pada

siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

i. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif Dibanding dengan Model

Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Meskipun cara berpikirnya abstrak, model pembelajaran sinektik

berada di bawah payung konstruktivistik dan alirannya yang bersifat

humanistik. Dengan demikian, dalam model pembelajaran sinektikpun

siswa dihargai sebagai manusia yang memiliki emosi/perasan dan nilai-

Page 185: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

170

nilai yang bersifat individual. Melalui model pembelajaran ini siswa juga

memperoleh kebebasan mengembangkan pengetahuan sendiri, membuat

asosiasi-asosiasi, sesuai latar kemampuan, talenta intelektual, personal,

sosial, kultural, dan emosionalnya masing-masing. Kebebasan berpikir ini

merupakan basis lahirnya keberanian dan motivasi untuk belajar membuat

analogi-analogi. Bersandar pada kecenderungan ini, maka siswa yang

kecerdasan emosional dan inlektualnya rendah pun memiliki kesempatan

menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan diri.

Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada

model behavioristik. Dalam pandangan behaviorstik, siswa hanya dilihat

sebagai sosok yang bertindak sebagai robot, sebagai tong kosong yang

harus diisi pengetahuan oleh guru. Siswa tidak memperoleh kebebasan

berpikir tetapi harus tunduk pada aturan yang kaku dan ketat.

Keberhasilan belajar pada model behavioristik diukur jika siswa mampu

mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari. Kegagalan atau

ketidakmampuan dalam menerima pengetahuan dikategorikan sebagai

kesalahan yang harus dihukum. Berdasarkan situasi yang seperti ini, maka

siswa yang tadinya sudah dalam keadaan kurang mampu karena

kecerdasan emosinya rendah, akan menjadi tambah terpuruk, motivasinya

dalam ambang batas kematian.

Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran

anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran

Page 186: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

171

apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding

model pembelajaran behavioristik pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi.

F. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoretik dan kerangka berpikir, dapat dikemukakan

hipotesis sebagai berikut.

1. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar

dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan

model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model

pembelajaran Langsung.

2. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Page 187: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Jawa Timur. Peneliti memilih tempat

ini karena mempunyai beberapa alasan sebagai berikut.

a. Karakteristik emosional dan intelektual siswa SMP di Jawa Timur cukup

beragam. Keragaman ini merupakan karakteristik populasi yang menarik

dan potensial untuk diteliti.

b. Belum semua guru menerapkan strategi baru yang lebih sesuai dengan

perkembangan karakteristik siswa dan perkembangan paradigma

pembelajaran masa kini dalam pembelajaran sastra Indonesia, sehingga

perlu dicoba dan diperkenalkan strategi baru.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan

bulan Agustus 2011, dengan pembagian waktu sebagai berikut.

a. Pada bulan Januari sampai dengan bulan September 2009 dilakukan

penyempurnakan rencana penelitian.

b. Pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 dilakukan penyusunan

instrumen penelitian.

172

Page 188: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

173

c. Pada bulan Januari sampai dengan Juni 2010 dilakukan penelitian.

d. Pada bulan Juli sampai dengan Desember 2010 dilakukan analisis data

e. Pada bulan Januari sampai Juli 2011 dilakukan penyusunan laporan hasil

penelitian.

Rincian jadwal waktu selengkapnya lihat lampiran 2 halaman 278.

B. Rancangan dan Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahannya, maka penelitian ini akan menganalisis

perbedaan dengan membandingkan kemampuan apresiasi prosa fiksi berdasarkan

kelompok-kelompok (sel) dari dua variabel bebas. Berdasarkan hal ini, maka

langkah analisis yang dilakukan adalah mencari:

1. Perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar

menggunakan model pembelajaran experiential learning, dengan siswa yang

diajar menggunakan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang

diajar menggunakan model pembelajaran langsung,

2. Perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah,

3. Interaksi antara penggunaan model pembelajaran experiential learning, model

pembelajaran sinektik, dan model pembelajaran langsung dengan tingkat

kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Page 189: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

174

Penelitian ini menggunakan rancangan desain faktorial 3 X 2. Skema perbedaan

dan interaksi antar variabel dalam desain ini secara sederhana dapat dilihat dalam

gambar sebagai berikut:

B

B-1 B-2

A

A-1 Y Y

A-2 Y Y

A-3 Y Y

Gambar 9: Skema Desain Penelitian (Desain Faktorial 3 X 2)

Keterangan:

A = Model Pembelajaran A1 = Model Experiential Learning A2 = Model Sinektik A3 = Model Pengajaran Langsung B = Kecerdasan Emosional (EQ) B1 = EQ Tinggi B2 = EQ Rendah Y = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperiment atau eksperimen

semu. Metode eksperimen semu ialah metode yang mendekati percobaan

sesusungguhnya tetapi tidak mengontrol semua variable yang relevan. Harus

ada kompromi dalam menentukan validitas internal dan eksternal sesuai dengan

batasan-batasan yang ada (Moh. Nasir, 1998: 86). Quasi Experiment is used

when radom assignment of subjects to experimental and control groups is not

possible and has not been done (Borg & Gall, 1979: 556-557)

Page 190: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

175

C. Variabel Penelitian

Variabel-variabel penelitian ini ialah:

1. Variabel bebas pertama ialah penggunaan model pembelajaran

2. Variabel bebas kedua ialah kecerdasan emosional (EQ)

3. Variabel terikat ialah kemampuan apresiasi prosa fiksi.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini ialah seluruh siswa SMP provinsi Jawa Timur.

Jawa Timur terdiri dari 35 kota/ kabupaten, tiap kabupaten rata-rata memiliki

14 SMP, sehingga seluruh SMP berjumlah sekitar 490 buah.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian terdiri dari empat kota/kabupaten. Dua kota terdiri

dari Kota Madiun dan Kota Malang, dua kabupaten terdiri dari Kabupaten

Bojonegoro dan Kabupaten Trenggalek. Dari tiap-tiap kota/ kabupaten yang

dipilih sebagai sampel diambil tiga sekolah, dari setiap sekolah diambil satu

kelas, jadi jumlah seluruh kelas yang menjadi sampel penelitian sebanyak 12

kelas. Daftar sekolah sampel selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3

halaman 279. Tiga kelas dari setiap kota/ kabupaten, diambil dengan

mempertimbangkan keseimbangan strata kemampuan siswa. Keseimbangan

strata kemampuan siswa diketahui melalui pre test apresiasi prosa fiksi. Uji

Page 191: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

176

keseimbangan atau homogenitas sekolah tiap kota lihat pada lampiran 04

halaman 280.

Teknik sampling yang digunakan ialah multyple stage purposive

sampling. Kelas eksperimen terdiri dari 8 kelas. Dari kelas eksperimen, kelas

yang diajar dengan model pembelajaran eksperiential learning sebanyak 4

kelas, dan kelas yang diajar dengan model pembelajaran sinektik sebanyak 4

kelas. Kelas kontrol yang diajar dengan model pembelajaran langsung

sebanyak 4 kelas. Pembelajaran dengan tiga model pembelajaran tersebut

menggunakan Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan

suplemen materi, yang dapat dilihat pada lampiran 5, 6, 7, 8 halaman 292,

341, 390, 439.

Setelah pembelajaran selesai, seluruh siswa mengikuti tes. Seluruh data

yang telah masuk ditabulasi dan diklasifikasi menjadi 6 sel yang masing-

masing terdistribusi secara nyata sebagai berikut.

Page 192: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

177

B B-1 B-2

A

A-1 75 88 ∑ A-1= 163

A-2 71 76 ∑ A-2= 147

A-3 72 76 ∑ A-3= 148

∑ B-1= 218 ∑ B-2= 240 Total = 458

Gambar 10: Distribusi Jumlah Data Tiap Sel

Keterangan: A = Model Pembelajaran A1 = Model Experiential Learning A2 = Model Sinektik A3 = Model Pengajaran Langsung B = Kecerdasan Emosional (EQ) B1 = EQ Tinggi B2 = EQ Rendah

E. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional tiap-tiap variabel penelitian dijelaskan sebagai berikut:

1. Kecerdasan emosional yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tinggi

rendahnya tingkat kemampuan siswa dalam memotivasi diri dan

mengendalikan dorongan dan suasana hati agar kemampuan emosionalnya

dapat mempertajam kegiatan berpikir dan belajar. Tinggi rendahnya tingkat

kecerdasan emosional ditentukan berdasarkan median nilai angket kecerdasan

emosional. Nilai di atas median masuk klasifikasi tinggi, dan di bawah atau

sama dengan median masuk klasifikasi rendah,

Page 193: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

178

2. Kemampuan apresiasi prosa fiksi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah

tinggi dan rendahnya tingkatan kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan yang

dipunyai seseorang untuk memahami, menikmati dan menghargai atau

menilai terhadap cerita rekaan yang dinyatakan dalam wujud skor nilai.

Tinggi rendahnya tingkat kemampuan apresiasi prosa fiksi diperoleh dengan

tes apresiasi prosa fiksi.

F. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis data yang diperlukan untuk analisis, teknik

pengumpulan data yang dipergunakan sebagai berikut.

1. Kecerdasan Emosional Siswa

Data kecerdasan emosional siswa dikumpulkan dengan teknik angket.

Bentuk angket yang digunakan tertutup, yakni siswa memilih jawaban yang

telah disediakan (Burhan Nurgiantoro, 2001: 54).

2. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa

Data kemampuan apresiasi prosa fiksi dikumpulkan menggunakan

teknik tes apresiasi prosa fiksi. Tes dikembangkan dengan menggunakan teori

evaluasi menurut Moody (1979: 89-96) yang mengukur kemampuan

informasi, konsep, perspektif, dan apresiatif.

Page 194: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

179

G. Instrumen Penelitian

Sesuai dengan teknik pengumpulan data, instrumen yang dipergunakan

disusun sebagai berikut.

1. Angket

Angket disusun menggunakan skala Liekert dengan 5 alternatif

jawaban rating scalle. Skor untuk pertanyaan: 1 (sangat tidak sesuai), 2 (tidak

sesuai), 3 (kurang sesuai), 4 (sesuai), 5 (sangat sesuai). Skala dapat

diinterpretasi dengan kalimat keseringan, misalnya: 1 (most of the time), 2

(often), 3 (sometimes), 4 (reraly), 5 (olmost never) (Michael, 2006: 68-79).

Kisi-kisi lengkap dan instrumen angket dapat dilihat pada lampiran 9 halaman

454. Kisi-kisi singkat angket pada tabel sebagai berikut.

Tabel 11: Kisi-kisi Singkat Angket Kecerdasan Emosional

Aspek Sub Aspek Nomor Item

Jumlah Item

Kompetensi Personal Kesadaran diri 1 – 11 11 Menejemen diri 12 – 28 17 Motivasi diri 29 – 43 20

Kompetensi Sosial Empati 44 – 61 18 Keterampilan sosial 62 – 93 32

Jumlah Semua Instrumen..................................................... 93

2. Tes

Tes apresiasi prosa fiksi dikembangkan dengan menggunakan teori

evaluasi Moody (1979: 89-96) yang mengukur kemampuan informasi,

konsep, perspektif dan apresiatif. Bentuk yang dipilih ialah tes objektif

Page 195: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

180

dengan 4 alternatif jawaban. Soal dibuat 6 paket mengikuti materi

pembelajaran sesuai standar kompetensi (silabus) yang digunakan pada

penelitian. Semua soal pada tes apresiasi prosa fiksi lihat pada lampiran 10

halaman 459. Kisi-kisi soal terangkum dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 12: Kisi-kisi Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

No Aspek Jumlah Butir Tiap Paket Soal

Jumlah 1 2 3 4 5 6

1 Informasi 5 3 5 4 4 3 24

2 Konsep 5 7 4 6 6 7 35

3 Perspektif 3 3 4 3 3 3 19

4 Apresiatif 3 2 2 3 3 2 15

Jumlah 16 16 15 16 16 15 94

H. Validitas Instrumen Penelitian

Uji validitas yang dilakukan meliputi: (1) validitas isi, (2) validitas

konstruk, (3) validitas muka, dan (4) validitas empiris. Uji validitas isi dilakukan

dengan membuat kisi-kisi sesuai lingkup materi tes yang dikehendaki dan sesuai

dengan kurikulum sekolah yang berlaku. Uji validitas tes apresiasi prosa fiksi

menggunakan uji validitas isi, yaitu dengan penyusunan kisi-kisi tes. Kisi-kisi tes

apresiasi di samping memperhatikan silabus kelas VIII mata pelajaran bahasa

Indonesia, yang paling utama disusun berdasarkan taksonomi tujuan

pembelajaran sastra menurut H.L.B. Moody yang meliputi aspek informatif,

konsep, perspektif, dan apresiatif. Jumlah butir soal masing-masing aspek

Page 196: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

181

beragam sesuai karakteristik prosa fiksi yang diapresiasi. Tes apresiasi prosa fiksi

ini merupakan tes akhir, hal ini dikarenakan sebelumnya siswa telah mengikuti tes

proses dan produk yang dilaksanakan guru dalam skenario pembelajaran

berdasarkan kompetensi dasar dan standar kompetensi sesuai silabus dan

kurikulum yang berlaku. Uji validitas angket dilakukan dengan uji validitas

konstruk yaitu dengan penyusunan kisi-kisi angket kecerdasan emosional

memperhatikan konstruk inventori kecerdasan emosional menurut ahli.

Uji validitas muka dilakukan dengan cara mengkonsultasikan instrumen

kepada pakar di bidangnya. Sesuai dengan kriteria ini, instrumen kecerdasan

emosional kecuali yang utama telah dikonsultasikaan kepada para pembimbing,

juga telah dikonsultasikan kepada beberapa master di bidang psikologi. Oleh

karena para pembimbing adalah pakar di bidang sastra, istrumen tes apresiasi

prosa fiksi telah dikonsultasikan kepada para pembimbing. Kritik dan saran dari

para pembimbing dan pakar telah diperhatikan untuk kesempurnaan instrumen

penelitian ini.

Uji validitas empiris dilaksanakan melalui uji coba di lapangan secara

efektif. Untuk tes apresiasi prosa fiksi, uji empiris digunakan untuk mengetahui

validitas, daya beda, tingkat kesulitan butir soal, dan reliabilitas. Untuk angket, uji

empiris untuk mengetahui validitas dan reliabilitas angket.

Langkah-langkah atau prosedur yang dilakukan untuk menentukan

validitas dan reliabilitas kedua instrumen tersebut adalah sebagai berikut: (1)

melakukan uji coba dalam skala kecil terhadap 10 responden, (2) merevisi dan

Page 197: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

182

menyempurnakan hal-hal yang kurang jelas terutama dalam hal penggunaan

bahasa, (3) melakukan uji coba dalam skala besar terhadap 31 siswa (kelas

terkecil 30 siswa, kelas terbesar 33 siswa), (4) menganalisis hasil uji coba guna

menentukan butir-butir valid yang dapat dipeergunakan untuk intrumen

pengumpulan data sesungguhnya.

Kelas uji coba harus mempunyai keseimbangan karakteristik dengan

kelas sampel penelitian yang sebenarnya. Oleh karena itu, telah dipilih SMP

Negeri 04 Kota Madiun sebagai sekolah uji coba. Kelas yang digunakan untuk uji

terbatas (terhadap 10 siswa) berasal dari 1 (satu) kelas, dan kelas yang digunakan

untuk uji coba sebanyak 7 (tujuh) kelas, sehingga jumlah keseluruhan kelas yang

digunakan untuk uji coba sebanyak 8 (delapan) kelas. Keseimbangan karakteristik

antara sekolah uji coba dengan sekolah sampel penelitian diketahui dengan cara

melakukan uji beda dua rata-rata (homogenitas) menggunakan nilai pre-test

apresiasi prosa fiksi yang dilakukan. Dari uji beda rata-rata menggunakan Anava

satu faktor, diperoleh data F hitung sebesar 1,77 dan F tabel sebesar 2,60.

Perhitungan selengkapnya lihat lampiran 11 halaman 477. Oleh karena harga F

hitung lebih kecil daripada harga F tabel, maka disimpulkan bahwa Ho diterima

dan H1 ditolak. Temuan ini berarti bahwa ada keseimbangan antara kelas uji coba

dengan kelas sampel penelitian.

Hasil uji coba empiris yang dilakukan di SMP Negeri 04 Kota Madiun

dilaporkan sebagai berikut.

Page 198: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

183

1. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi

a. Validitas Butir Soal

Hasil analisis butir soal baik untuk paket soal I, II, III, IV, V, dan VI,

menyimpulkan bahwa soal yang tidak valid sebagai berikut: paket soal I

butir 11, 12, 15, 16; paket II butir 4, 9, 14, 16; paket III butir 3, 4, 11, 14,

17; paket IV butir 10, 13, 14, 19; paket V butir 10, 13, 15, 19; dan paket

VI butir 1, 7, 10, 11, 15.

b. Daya Beda

Hasil analisis daya beda baik untuk paket soal I, II, III, IV, V, dan VI,

menyimpulkan bahwa butir soal yang ditolak sebagai berikut: paket soal I

butir 11, 12, 15, 16; paket II butir 4, 9, 14, 16; paket III butir 3, 4, 11, 14;

paket IV butir 10, 13, 14, 19; paket V butir 10, 13, 15, 19; dan paket VI

butir 1, 7, 10, 11.

c. Indeks Kesukaran

Hasil analisis indeks kesukaran baik untuk paket soal I, II, III, IV, V,

dan VI, menyimpulkan bahwa soal yang ditolak karena sukar atau terlalu

mudah sebagai berikut: paket soal I butir 11; paket II butir 4 dan 9; paket

III butir 11; paket IV butir 13; paket V butir 15 dan 19; dan paket VI butir

semua sedang.

d. Reliabilitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi

Dali S. Naga (1992: 150) dan Burhan Nurgiyantoro (2001: 123)

menyatakan bahwa jika dikehendaki, koefisien reliabilitas Alpha (Alpha

Cronbach) dapat diterapkan pada skor yang bersifat dikhotomi

sebagaimana halnya rumus reliabilitas K-R. Hal ini karena pada dasarnya

keduanya sama, yaitu merupakan koefisien reliabilitas komposit untuk

semua butir pada uji tes. Berdasarkan pernyataan ini, maka hasil analisis

reliabilitas terhadap semua butir soal pada paket soal I, II, III, IV, V, dan

Page 199: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

184

VI, menyimpulkan bahwa semua soal reliebel (semua harga Alpha lebih

besar daripada koefisien alfa 0,05.

Berdasarkan temuan ini, maka jumlah semua butir soal yang

digunakan untuk evaluasi akhir sebagai berikut: paket soal I: 16 butir; paket

soal II: 16 butir; paket soal III: 15 butir; paket soal IV: 16 butir; paket soal V:

16 butir; paket soal VI: 15 butir. Proses perhitungan selengkapnya lihat

lampiran 12 halaman 480.

2. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Kecerdasan Emosional

a. Validitas Butir Angket

Hasil analisis validitas butir angket menyimpulkan bahwa pertanyaan

yang tidak valid hanya dua butir, yaitu butir nomor 21 dan 78.

b. Reliabilitas Angket

Hasil analisis reliabilitas angket menyimpulkan bahwa semua

pertanyaan reliabel karena harga Alpha lebih besar daripada koefisien

Alpha o,05.

Berdasarkan temuan ini, maka jumlah butir angket yang digunakan

untuk angket kecerdasan emosional siswa berjumlah 93 butir pertanyaan.

Proses perhitungan selengkapnya lihat lampiran 13 halaman 504.

I. Teknik Analisis Data

Oleh karena analisis menggunakan program SPSS, maka teknik uji

persyaratan analisis menggunakan:

1) Uji normalitas memakai metode Kolmogorov-Smirnov.

2) Uji homogenitas memakai metode Levene’s test of equality of error

variances.

Page 200: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

185

3) Sampel diambil secara random

Analisis data menggunakan Anova dua jalur (3 X 2). Adapun perhitungan

memakai komputer. Proses analisis data mengikuti langkah sebagai berikut.

1. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov.

Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan uji Liliefors. Uji ini digunakan

bilamana mean dan varians tidak diketahui tetapi harus diestimasi dari data

dan menggunakan prosedur uji beda (Duwi Priyatno, 2009: 187).

Berdasarkan metode ini, maka data normal jika nilai signifikansi

atau P (probabilitas) lebih besar dibanding dengan taraf signifikansi yang

ditentukan oleh peneliti. Jadi jika nilai sig / P > a = normal.

2. Uji Homogenitas Levene’s Test of Equality of Error Variances.

Uji Levene digunakan untuk menguji homogenitas (kesamaan)

varians dari seluruh group yang diuji. Uji ini dipilih karena paling sedikit

bergantung pada asumsi normalitas dibanding dengan uji-uji lainya. (Duwi

Priyatno, 2009: 96).

Berdasarkan metode ini, maka data homogenitas diperoleh dengan

menghitung selisih absolut dari tiap-tiap case terhadap rata-rata sel masing-

masing, kemudian dibuat analisis uji beda. Dengan cara seperti ini, maka

data homogen jika nilai signifikansi atau P (probabilitas) lebih besar

dibanding dengan taraf signifikansi yang ditentukan oleh peneliti. Jadi jika

nilai sig. / P > a = homogen.

Page 201: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

186

3. Analisis inferensial menggunakan SPSS

Analisis inferensial menggunakan program komputer SPSS. Secara manual

langkah analisis SPSS dapat diikuti dengan langkah analisis Anava dua

faktor sebagai berikut.

(1) Menentukan notasi dan tata letak data

Data ditabulasi dengan notasi dan tata letak sebagai berikut.

Notasi dan Tata Letak Data

B A b1 b2 Total

a1 ab 11 (n)

ab 12 (n)

A1

a2 ab 21 (n)

ab 22 (n)

A2

a3 ab 31 (n)

ab 32 (n)

A3

Total B1 B2 G

Jumlah baris (p) = 3, jumlah kolom (q) = 2 N = npq

Keterangan A = Model Pembelajaran ab11/ ab12/ dst = Sel a1 = Model Exp. Lerning n = Data pada Sel a2 = Model Sinektik B1 = Total Data EQ Tinggi a3 = Model Behavioristik B2 = Total Data EQ Rendah B = EQ A1 = Total Data Model Exp. Learning b1 = EQ Tinggi A2 = Total Data Model Sinetik b2 = EQ Rendah A3 = Total Data Model Behavioristik Y = Kem. Apre. Prosa Fiksi G = Total Seluruhnya N = Jumlah Seluruh Data npq = Jumlah Seluruh Data p = Jumlah Baris q = Jumlah Kolom

Page 202: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

187

(2) Menentukan hipotesis statistik

Hipotesis dirumuskan secara statistik sebagai berikut.

Ho A = ai = 0 untuk i = 1, 2, 3

H1 A = ai > 0 paling tidak untuk satu harga I

Ho B = bj = 0 untuk j = 1, 2, 3

H1 B = bj > 0 paling tidak untuk satu harga j

Ho AB = abij = 0 untuk ij

H1 AB = abij > 0 paling tidak untuk satu harga ij

Keterangan Ho A = Hipotesis nol baris = Tidak ada perbedaan baris 1, 2, 3 H1 A = Hipotesis 1 baris = Ada perbedaan baris 1, 2, 3 Ho B = Hipotesis nol kolom = Tidak ada perbedaan kolom 1 dan 2 H1 B = Hipotesis 1 kolom = Ada perbedaan kolom 1 dan 2 Ho AB = Hipotesis nol interaksi = Tidak ada interaksi baris dan kolom H1 AB = Hipotesis 1 interaksi = Ada interaksi baris dan kolom ai = Perbedaan antar baris bj = Perbedaan antar kolom abij = Perbedaan antar sel (interaksi)

(3) Memilih taraf signifikansi (α)

Taraf signifikansi yang dipilih sebesar 0,05 atau 5 persen

(4) Komputasi sebagai berikut:

Proses perhitungan statistik menggunakan teknik Anava dua factor

diurutkan sebagai berikut

Page 203: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

188

a. Menentukan Komponen Jumlah Kuadrat

Komponen jumlah kuadrat dihitung berdasarkan table persiapan

kerja sebagai berikut.

B A

b1 b2 Total

a1 Σ ab 11 Σ ab 12 A1

a2 Σ ab 21 Σ ab 22 A2

a3 Σ ab 31 Σ ab 32 A3

Total B1 B2 G

Keterangan Σ ab 11 / Σ ab 12 / dst = Jumlah data tiap sel

Ada lima komponen jumlah kuadrat yang perlu dicari sebagai

berikut:

1) G2 / N (Jumlah total kuadrat dibagi total cacah seluruh data) 2) Σ x2 ijk (Jumlah kuadrat data semua baris dan kolom) i, j, k

3) Σ A2 i / n.q (Jumlah kuadrat seluruh baris dibagi cacah data

i tiap sel kali banyak kolom) 4) Σ B2 j / n.p (Jumlah kuadrat seluruh kolom dibagi cacah

j data tiap sel kali banyak baris) 5) AB2 ij / n (Jumlah kuadrat setiap total sel dibagi cacah

ij data tiap sel)

Page 204: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

189

b. Jumlah Kuadrat

Jumlak kuadrat a, b, ab, galat, dan total ditentukan dengan langkah

sebagai berikut

JK a = (3) - (1)

JK b = (4) - (1)

JK ab = (5) - (4) - (3) + (1)

JK g = - (5) + (2)

JK t = (2) - (1)

Keterangan JK a = Jumlah kuadrat baris = hasil no 3 dikurangi hasil no 1 JK b = Jumlah kuadrat kolom = hasil no 4 dikurangi hasil no 1 JK ab = Jumlah kuadrat interaksi = hasil no 5 dikurangi hasil no 4 dikurangi hasil no 3 ditambah hasil no 1 JK g = Jumlah kuadrat galat = min hasil no 5 ditambah hasil no 2 JK t = Jumlah kuadrat total = hasil no 2 dikurangi hasil no 1

c. Derajad Kebebasan

Derajat bebas a, b, ab, galat, dan total dicari dengan langkah:

db a = p – 1

db b = q – 1

db ab = (p – 1)(q – 1)

db g = N – pq

db t = N - 1

Keterangan db a = Derajad bebas a = Jumlah baris dikurangi satu (1) db b = Derajad bebas b = Jumlah kolom dikurangi satu (2) db ab = Derajad bebas ab = Perhitungan (1) kali (2) db g = Derajad bebas galat = Jumlah total data dikurangi baris kali kolom db t = Derajad bebas total = Jumlah total data dikurangi satu

Page 205: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

190

d. Rerata Kuadrat

Rerata kuadrat a, b, ab, dan galat dicari dengan langkah sebagai

berikut.

K a = Jk a / db a

RK b = JK b / db b

RK ab = Jk ab / db ab

RK g = JK g / db g

Keterangan RK a = Rerata kuadrat baris = jumlah kuadrat a dibagi derajat bebas a RK b = Retata kuadrat kolom = jumlah kuadrat b dibagi derajat bebas b RK ab = Rerata kuadrat interaksi = jumlah kuadrat ab dibagi derajat bebas ab RK g = Rerata kuadrat galat = jumlah kuadrat galat dibagi

derajat bebas galat

e. Statistik Uji

Perhitungan nilai f hitung untuk uji hipotesis ditentukan

menggunakan kreteria sebagai berikut.

Ho 1 : ai = 0 VS H1 1 : ai > 0 ; Fa = RK a / RK g

Ho 2 : bj = 0 VS H1 2 : bj > 0 ; Fb = RK b / RK g

Ho 3 : abij = 0 VS H1 3 : abij > 0 ; F ab = RK ab / RK g

Keterangan Fa = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat baris dibagi rerata kuadrat galat Fb = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat kolom dibagi rerata kuadrat galat Fab = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat interaksi dibagi rerata kuadrat galat

Page 206: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

191

(5) Penentuan Daerah Kritik dan Keputusan Uji

Ho 1 ditolak bila F a > F (a; p – 1, N – pq)

Ho 2 ditolak bila F b > F (a; q – 1, N – pq)

Ho 3 ditolak bila F ab > F (a; (p-1)(q-1) , N – pq)

Keterangan 1. Ho baris ditolak bila f hitung lebih besar dibanding f tabel 2. Ho kolom ditolak jika f hitung lebih besar dibanding f tabel 3. Ho interaksi ditolak jika f hitung lebih besar dibanding f tabel

Page 207: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

192

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dilaporkan melalui dua tahap, yaitu: (1) secara deskriptif

dan (2) secara inferensial. Laporan secara deskriptif dilengkapi dengan tabel

frekuensi dan histogram. Laporan secara inferensial menyajikan hasil uji asumsi

yang berupa uji normalitas dan homogenitas populasi serta hasil analisis statistik

dengan Anava dua jalan. Berdasarkan variabel-variabelnya, maka hasil penelitian

ini dilaporkan sebagai berikut.

A. Deskripsi Data

1. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model

Pembelajaran Experiential Learning

Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan

yaitu: n sebanyak 163; nilai minimal (min) sebesar 52; nilai maksimal

(max) sebesar 91; rata-rata (Mn) sebesar 74,8; harga pertengahan (Me)

sebesar 76; varian (S2) sebesar 77,8; standar deviasi (S) sebesar 8,8;

kecondongan poligon (skewness) ke kiri (- 0,3); keruncingan (kurtosis)

negatif (- 0,9). Proses analisis lihat lampiran 15 halaman 509.

Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi

frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan panjang rentangan (range): 39,

banyak kelas interval (k): 8, dan panjang interval (C): 5, diperoleh

distribusi frekuensi sebagai berikut.

192

Page 208: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

193

Tabel 13: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning

Kelas Interval Frekuensi

Absolut

Frekuensi

Relatif

52 - 56 1 0,61

57 - 61 14 8,59

62 - 66 21 12,88

67 - 71 22 13,50

72 - 76 27 16,56

77 - 81 19 11,66

82 - 86 47 28,83

87 - 91 12 7,36

Jumlah 163 100,00

Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon

berikut ini.

Page 209: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

194

45 40 35 30 25 20 15 10 5 0

51,5 56,5 61,5 66,5 71,5 76,5 81,5 86,5 91,5

Mn: 74,8 Me: 76

Gambar 11: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experien-

tial Learning Keterangan : n: 163; min: 52; max: 9; Mn: 74,8, Me: 76; Poligon condong kiri (- 0,3); S: 8,8

2. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model

Pembelajaran Sinektik

Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan

yaitu: n sebanyak 147; nilai min sebesar 52; nilai max sebesar 91; Mn

sebesar 71,3; Me sebesar 72; S2 sebesar 77,6; S sebesar 8,8; skewness ke

kiri (- 0,02); kurtosis negatif (- 0,3). Proses analisis lihat lampiran 15

halaman 509.

Page 210: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

195

Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi

frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 39, k: 8, dan c: 5, diperoleh

distribusi frekuensi sebagai berikut.

Tabel 14: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik

Kelas Interval Frekuensi Absolut

Frekuensi Relatif

52 - 56 7 4,76 57 - 61 15 10,20 62 - 66 9 6,12 67 - 71 38 25,85 72 - 76 27 18,37 77 - 81 33 22,45 82 - 86 11 7,48 87 - 91 7 4,76

Jumlah 147 100,00

Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon

berikut ini.

Page 211: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

196

40 35 30 25 20 15 10 5 0

51,5 56,5 61,5 66,5 71,5 76,5 81,5 86,5 91,5

Mn: 71,3 Me: 72

Gambar 12: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik Keterangan : n: 147; min: 52; max: 91; Mn: 71,3, Me: 72,0; Poligon condong kiri (0,2); SD: 8,8

3. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model

Pembelajaran Langsung

Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan

yaitu: n sebanyak 148; nilai min sebesar 51; nilai max sebesar 86; Mn

sebesar 67,2; Me sebesar 68; S2 sebesar 101,4; S sebesar 10,1; skewness

ke kiri (- 0,1) dengan skwenes negatif (- 1,1). Proses analisis lihat lampiran

15 halaman 509.

Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi

frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 35, k: 9, dan C: 4, diperoleh

distribusi frekuensi sebagai berikut.

Page 212: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

197

Tabel 15: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa

yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung

Kelas Interval Frekuensi Absolut

Frekuensi Relatif

51 - 54 18 12,16 55 - 58 16 10,81 59 - 62 20 13,51 63 - 66 14 9,46 67 - 70 14 9,46 71 - 74 26 17,57 75 - 78 16 10,81 79 - 82 14 9,46 83 - 86 10 6,76

Jumlah 148 100,00

Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon

berikut ini.

Page 213: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

198

35 30 25 20 15 10 5 0

50,5 54,5 58,5 62,5 66,5 70,5 74,5 78,5 82,5

Mn: 67,2 Me: 68

Gambar 13: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung Keterangan : n: 148; min: 51; max: 86; Mn: 67,2; Me: 68; Poligon condong kiri (-0,1); SD: 10,1

4. Perbandingan Rata-rata Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara

Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning,

Sinektik, dan Langsung

Setelah dikelompok-kelompokkan sesuai dengan rancangan

penelitian, perbandingan Mn kemampuan apresiasi prosa fiksi sebagai

berikut.

Page 214: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

199

Tabel 16: Perbandingan Mn Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Langsung

Model Pembelajaran

Experiential Learning

Sinektik Langsung

Kemampuan

Apresiasi

Prosa Fiksi

Mn 74,7 71,3 67,2

S 8,8 8,8 10,1

5. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Tinggi

Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan

yaitu: n sebanyak 218; nilai min sebesar 52; nilai max sebesar 91; Mn

sebesar 72,6; Me sebesar 74; S2 sebesar 94,2; S sebesar 9,7; skewness ke

kiri (- 0,4); kurtosis negatif (- 0,7). Proses analisis lihat lampiran 15

halaman 509.

Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi

frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 39, k: 10, dan C: 4,

diperoleh distribusi frekuensi sebagai berikut.

Page 215: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

200

Tabel 17: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Kelas Interval Frekuensi Absolut

Frekuensi Relatif

52 - 55 13 5,96 56 - 59 15 6,88 60 - 63 14 6,42 64 - 67 14 6,42 68 - 71 33 15,14 72 - 75 28 12,84 76 - 79 43 19,72 80 - 83 28 12,84 84 - 87 23 10,55 88 - 91 7 3,21

Jumlah 218 100,00

Distribusi frekuensi tersebut dibuat histogram dan poligon berikut ini. 40 35 30 25 20 15 10 5 0

51,5 55,5 59,5 63,5 67,5 71,5 75,5 79,5 83,5 87,5 91,5

Mn: 72,6 Me: 74

Gambar 14: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Keterangan : n: 218; min: 52,00; max: 91; Mn: 72,6, Me: 74; Poligon condong kiri (-0,4); SD: 9,7

Page 216: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

201

6. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan

yaitu: n sebanyak 240; nilai min sebesar 51; nilai max sebesar 88; Mn

sebesar 69,9; Me sebesar 70; S2 sebesar 92,6; S sebesar 9,6; skewness ke

kiri (- 0,1); kurtosis negatif (- 0,9). Proses analisis lihat lampiran 15

halaman 509.

Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi

frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 37, k: 10, dan C: 4,

diperoleh distribusi frekuensi sebagai berikut.

Tabel 18: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Kelas Interval Frekuensi Absolut

Frekuensi Relatif

51 - 54 18 7,50 55 - 58 13 5,42 59 - 62 24 10,00 63 - 66 28 11,67 67 - 70 36 15,00 71 - 74 32 13,33 75 - 78 39 16,25 79 - 82 23 9,58 83 - 86 18 7,50 87 90 9 3,75

Jumlah 240 100,00

Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon

berikut ini.

Page 217: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

202

40 35 30 25 20 15 10 5 0

50,5 54,5 58,5 62,5 66,5 70,5 74,5 78,5 82,5 86,5 90,5

Mn: 69,9 Me: 70

Gambar 15: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Keterangan : n: 240; min: 51; max: 88; Mn: 69,9, Me: 70; Poligon condong kiri (-0,1); SD: 9,62

7. Perbandingan Rata-rata Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara

Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Setelah dikelompok-kelompokkan sesuai dengan rancangan

penelitian, perbandingan Mn kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa

yang kecerdasan emosionalnya dengan siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah sebagai berikut.

Page 218: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

203

Tabel 19: Perbandingan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Kecerdasan Emosional

Tinggi Rendah

Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Mn 72,5 69,9

S 9,7 9,6

B. Pengujian Persyaratan Analisis Anava

Sesuai dengan permasalahan penelitian ini, teknik analisis data yang

digunakan ialah uji beda rata-rata dengan menggunakan Anava dua jalan.

Dalam analisis ini diperlukan beberapa persyaratan, antara lain sampel

berdistribusi normal dan varian populasinya homogen.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebelum dilakukan analisis

data, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas data kemampuan apresiasi prosa fiksi dilakukan

dengan cara mengadakan pengetesan terhadap seluruh subjek pada tiap sel

(baris–kolom) dengan Kolmogorov-Smirnov Test. Proses analisis

selengkapnya lihat lampiran 16 halaman 525. Secara ringkas hasil uji

normalitas disajikan dalam tabel berikut ini.

Page 219: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

204

Tabel 20: Hasil Uji Normalitas Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2 tiled)

Sel

A1-B1 1,016 0,253

A1-B2 1,277 0,077

B2-B1 0,928 0,355

A2-B2 0,726 0,668

A3-B1 0,835 0,488

A3-B2 0,967 0,307

Keterangan: A1-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Experiential Learning dan EQ-nya Tinggi A1-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Experiential Learning dan EQ-nya Rendah A2-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Sinektik dan EQ-nya Tinggi A2-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Sinektik dan EQ-nya Rendah A3-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Langsung dan EQ-nya Tinggi A3-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar

dengan Model Langsung dan EQ-nya Rendah

Berdasarkan data pada tabel di atas, diperoleh data nilai

Kolmogorof-Smirnov Z sebesar: 1,016 (sel A1-B1); 1,277 (sel A1-B2);

0,928 (sel A2-B1); 0,726 (sel A2-B2); 0,835 (sel A3-B1); 0,967 (sel A3-

B2); dan nilai signifikansi (Asymp. Sig.2-tailed) sebesar: 0,253 (sel A1-

B1); 0,077 (sel A1-B2); 0,355 (sel A2-B1); 0,668 (sel A2-B2); 0,488 (sel

A3-B1); 0,307 (sel A3-B2). Berdasarkan kenyataan ini, disimpulkan

bahwa semua sel tingkat signifikansinya lebih besar dibanding 0,05 (5

%). Hal ini berarti data berasal dari sampel yang berdistribusi normal.

Page 220: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

205

2. Uji Homogenitas

Untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang

variannya homogen atau tidak, maka dilakukan uji homogenitas dengan

tes Levene’s. Dari analisis Levene’s test of equality of error variances,

diperoleh nilai bahwa dengan df1 sebesar 5 dan df2 sebesar 452 diperoleh

nilai F sebesar 1,678; dan signifikansi sebesar 0,071. Adapun data dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 21: Rangkuman Uji Homogenitas Levene,s

F df 1 df 2 signifikansi

1,678 5 452 0,071

Data ini menunjukkan bahwa nilai signifikansi 0,071 lebih besar

dari taraf signifikansi 0,05 (signifikansi > 0,05). Dengan demikian Ho

tidak ditolak yang berarti semua kelompok data tersebut variannya

homogen. Proses analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 16

halaman 525.

C. Hasil Pengujian Hipotesis

Setelah dilakukan analisis statistik dengan program komputer (SPSS),

diperoleh hasil pengujian hipotesis yang secara keseluruhan dirangkum dalam

tabel sebagai berikut.

Page 221: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

206

Tabel 22: Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Hasil Belajar

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 6020.274a 5 1204.055 14.590 .000

Intercept 2306987.790 1 2306987.790 27955.424 .000

Model_Pbl 4423.009 2 2211.505 26.798 .000

E_Q 851.084 1 851.084 10.313 .001

Model_Pbl * E_Q 721.835 2 360.917 4.373 .013

Error 37300.757 452 82.524 Total 2366036.000 458 Corrected Total 43321.031 457 a. R Squared = .139 (Adjusted R Squared = .129)

Berdasarkan rangkuman hasil pengujian hipotesis tersebut, dirumuskan

keputusan uji sesuai hipotesis sebagai berikut.

1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar

dengan Model Pembelajaran Langsung

Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan

univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 26,798

dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Setelah nilai signifikansi

dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi

0,000 lebih kecil dibanding 0,05 (0,000 < 0,05). Hasil perhitungan lihat

lampiran 17 halaman 540.

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar

dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar

dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model

Page 222: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

207

pembelajaran Langsung” ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran

Langsung”, diterima. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan kemampuan

apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran

sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran Langsung”.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh kenyataan bahwa: (1) perbandingan kemampuan apresiasi prosa

fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential

learning dengan siswa yang diajar dengan model sinektik menunjukkan

nilai signifikansi sebesar 0,004; (2) perbandingan kemampuan apresiasi

prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

experiential learning dengan siswa yang diajar dengan model langsung

menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000; (3) perbandingan

kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik dengan siswa yang diajar dengan model langsung

menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,001. Hasil perhitungan lihat

lampiran 17 halaman 540.

Data tersebut di atas menyimpulkan bahwa: (1) ada perbedaan

yang signifikan antara model pembelajaran experiential learning dan

sinektik dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, (2) ada perbedaan yang

signifikan antara model pembelajaran experiential learning dan langsung

Page 223: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

208

dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, (3) ada perbedaan yang

signifikan antara model pembelajaran sinektik dan bevarioristik dalam

pembelajaran apresiasi prosa fiksi.

2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan

univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 10,313

dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Setelah nilai signifikansi

dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi

0,001 lebih kecil dibanding 0,05 (0,001 < 0,05). Hasil perhitungan lihat

lampiran 17 halaman 540.

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”

ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan kemampuan apresiasi

prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan

siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah” diterima. Hal ini berarti

bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah.

Page 224: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

209

3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan

Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan

univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 4,373

dan nilai signifikansi sebesar 0,013. Setelah nilai signifikansi

dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi

0,013 lebih kecil dibanding 0,05 (0,013 < 0,05). Hasil perhitungan lihat

lampiran 17 halaman 540.

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi” ditolak,

dan H1 yang menyatakan “ada interaksi antara penggunaan model

pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi

kemampuan apresiasi prosa fiksi” diterima. Hal ini berarti bahwa ada

interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Analisis interaksi antara dua variabel bebas dianalisis dengan uji

komparasi ganda (multy comparison) yang hasilnya sebagai berikut.

a. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model

Pembelajaran Experiential Learning

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya

Page 225: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

210

tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi

prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential

learning dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A1-B2) sebesar

74,0341. Perbedaan kedua mean tersebut kecil (1,6059), tetapi

menunjukan sel A1-B1 lebih tinggi dibanding sel A1-B2.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,938. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,938 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,938 > 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran experiential

learning, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara

signifikan antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan

siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat

lampiran 17 halaman 540.

b. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model

Pembelajaran Sinektik

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A2-

B1) sebesar 71,4930; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan kecerdasan

emosionalnya rendah (sel A2-B2) sebesar 71,1579. Perbedaan kedua

Page 226: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

211

mean tersebut sangat kecil (0,3351), tetapi menunjukkan sel A2-B1

lebih tinggi dibanding sel A2-B2.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 1,000. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 1,000 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (1,000 > 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran sinektik,

tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan

antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang

kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat lampiran 17

halaman 540.

c. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model

Pembelajaran Langsung

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran langsung dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-

B1) sebesar 70,4028; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan

kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.

Perbedaan kedua mean tersebut kecil (6,2581), tetapi menunjukkan

sel A3-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

Page 227: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

212

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,004. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,004 lebih kecil

dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,004 < 0,05). Temuan ini

dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran langsung, ada

perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara

siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang

kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat lampiran 17

halaman 540.

Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A3-

B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

d. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan

Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik pada

Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya

tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi

prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan

kecerdasan emosionalnya tinggi (A2-B1) sebesar 71,4930. Perbedaan

kedua mean tersebut tidak besar (4,147), tetapi menunjukkan sel A1-

B1 lebih tinggi dibanding sel A2-B1.

Page 228: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

213

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,182. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,182 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,182 > 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa

fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dengan siswa yang diajar dengan

model pembelajaran sinektik. Hasil perhitungan lihat lampiran 17

halaman 540.

e. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan

Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada

Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya

tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi

prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung

dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-B1) sebesar 70,4028.

Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (5,2372), tetapi

menunjukkan sel A1-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,034. Dibandingkan dengan taraf

Page 229: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

214

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,034 lebih

kecil dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,034 < 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi

secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

experiential learning dengan siswa yang diajar dengan model

pembelajaran Langsung. Perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.

Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A1-

B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.

f. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik dan Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A2-

B1) sebesar 71,4930; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan

kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-B1) sebesar 70,4028.

Perbedaan kedua mean tersebut kecil (1,0902), tetapi menunjukkan

sel A2-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,992. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,992 lebih

Page 230: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

215

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,992 > 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa

fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan pembelajaran

sinektik dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung.

Hasil perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.

g. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan

Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik pada

Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya

rendah (sel A1-B2) sebesar 74,0341; nilai mean kemampuan apresiasi

prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan

kecerdasan emosionalnya rendah (sel A2-B2) sebesar 71,1579.

Perbedaan kedua mean tersebut kecil (2,8762), tetapi menunjukkan

sel A1-B2 lebih tinggi dibanding sel A2-B2.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,538. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,538 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,538 < 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa

Page 231: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

216

fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan siswa yang diajar dengan

model pembelajaran sinektik. Hasil perhitungan lihat lampiran 17

halaman 540.

h. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan

Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada

Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya

rendah (sel A1-B2) sebesar 74,0341; nilai mean kemampuan apresiasi

prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung

dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.

Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (9,8894), tetapi

menunjukkan sel A1-B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,000 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,000 < 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi

secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

Page 232: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

217

experiential learning dan siswa yang diajar dengan model

pembelajaran langsung. Perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.

Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A1-

B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

i. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswaa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik dan Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Rendah

Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean

kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A2-

B2) sebesar 71,1579; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan

kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.

Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (7,0132), tetapi

menunjukkan sel A2-B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Dibandingkan dengan taraf

signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,000 lebih

besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,000 < 0,05). Temuan

ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi

secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

Page 233: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

218

Sinektik dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung.

Hasil perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.

Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A2-

B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.

D. Penyimpulan terhadap Hasil Pengujian Hipotesis

1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar

dengan Model Pembelajaran Langsung

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar

dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar

dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model

pembelajaran langsung” ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model

pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model

pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran

langsung”, diterima. Hal ini berarti bahwa “ada perbedaan kemampuan

apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran

experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran

sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung”.

Page 234: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

219

2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”

ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan kemampuan apresiasi

prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan

siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”, diterima. Hal ini berarti

bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang

kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah.

3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan

Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi

Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada

interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi” ditolak,

dan H1 yang menyatakan “ada interaksi antara penggunaan model

pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi

kemampuan apresiasi prosa fiksi”, diterima. Hal ini berarti bahwa ada

interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Analisis interaksi antara dua variabel bebas dianalisis dengan uji

komparasi ganda (multiple comparisons) yang hasilnya sebagai berikut.

Page 235: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

220

a. Dengan model pembelajaran experiential learning, tidak ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah

b. Dengan model pembelajaran sinektik, tidak ada perbedaan kemampuan

apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

c. Dengan model pembelajaran langsung, ada perbedaan kemampuan

apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya

rendah

d. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran sinektik

e. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran langsung

f. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran sinektik dan siswa yang diajar

dengan model pembelajaran Langsung

Page 236: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

221

g. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, tidak ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran sinektik

h. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran langsung

i. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, ada perbedaan

kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang

diajar dengan model pembelajaran Sinektik dan siswa yang diajar

dengan model pembelajaran langsung

E. Diskusi Hasil Penelitian

1. Ada Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang

Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar

dengan Model Pembelajaran Langsung

Berdasarkan karakteristiknya yang melibatkan skemata, kebebasan

berpikir, perasaan senang tanpa tekanan, kreativitas tinggi, siswa sendiri

yang mengkonstruksikan pengetahuan/ keterampilan, baik model

pembelajaran experiential learning maupun sinektik keduanya merupakan

model-model pembelajaran konstruktivistik. Kondisi yang disampaikan

tersebut dipenuhi keduanya. Pada model pembelajaran sinektik, dalam

melakukan proses metaforis dan analogis diperlukan keterlibatan

Page 237: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

222

emosional, daya emaji, dan daya abstraksi (kebiasaan berpikir) yang tinggi

dalam membentuk analogi dan metafora guna membangun kreativitas

konstruktif (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Dalam pembelajaran

experiential learning disebutkan juga oleh Smith (1996: 3) bahwa melalui

langkah-langkah experiential learning siswa mengingat pengalaman

konkrit (skemata), bebas berpikir kreatif melakukan refleksi terhadap hasil

observasi dan membangun konsep abstrak serta hipotesis (personal theory

and idea), dan mencobakan pada setting lain. Selaras dengan dua

pernyataan itu, Paul Suparno (1997: 11) sesuai hal itu menyatakan bahwa

dalam konstruktivisme siswa sendirilah yang membangun pengetahuan

melalui keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar

sehingga memperoleh pengetahuan.

Sesuai dengan kanyataan yang diperoleh dari simpulan hasil

penelitian bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara

siswa yang memperoleh model pembelajaran experiential learning dengan

siswa yang memperoleh model pembelajaran sinektik dan dengan siswa

yang memperoleh model pembelajaran Langsung, maka dapat dirumuskan

bahwa simpulan tersebut dapat terjadi. Hal ini dikarenakan meskipun

keduanya memiliki persamaan bernaung di bawah konstruktivisme,

keduanya memiliki perbedaan yang dapat berakibat pada prestasi belajar.

Perbedaan tersebut berdasarkan reduksi data dapat diidentifikasi dalam

tabel sebagai berikut.

Page 238: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

223

Tabel 23: Perbandingan Karakteristik antara Model Pembelajaran

Experiential Learning dengan Model Pembelajaran Sinektik

Experiential Learning Sinektik Proses belajar melalui siklus pengalaman (lingkaran pengalaman)

Proses belajar melalui analogi dan metafor (perbandingan terhadap beberapa analogi/ metafora paralel

Siswa menghalami secara konkrit. Memerlukan daya abstraksi, tetapi lebih rendah karena dibantu oleh pengalaman konkrit melalui observasi di lapangan

Siswa mengalami secara abstrak. Siswa melibatkan daya abstraksi yang tinggi untuk membayangkan suatu hal seolah-olah merupakan hal lain

Emosi dibutuhkan untuk identifikasi (observasi) dan refleksi terhadap kenyataan pengalaman

Emosi dibutuhkan untuk membayangkan dua sampai tiga alternatif yang masing-masing perlu argumen

Siswa mengkonstruksikan pengetahuan melalui pengalaman konkrit

Siswa mengkonstruksikan pengetahuan melalui pembayangan

Dari tabel perbedaan antara model pembelajaran experiential

learning dan model pembelajaran sinektik di atas, dapat disimpulkan

bahwa titik tekan perbedaan keduanya ialah pada “mana yang paling

mudah diikuti oleh siswa, yang konkrit atau yang abstrak, melalui

observasi terhadap kenyataan pengalaman atau dengan cara

membayangkan.

Dari beberapa kajian, pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa

cara-cara yang konkrit lebih mudah diikuti oleh siswa daripada cara-cara

yang abstrak, mengalami secara konkrit di lapangan lebih mudah

dibandingkan dengan membayangkan. Rumusan ini dapat diterima karena

sesuai dengan siklus experiential learning sendiri telah memberi gambaran

bahwa siswa dengan mudah dapat mengikuti langkah-langkah belajar.

Mula-mula siswa terbimbing untuk mengingat kembali pengalaman

Page 239: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

224

konkrit (melalui apersepsi guru), pengalaman konkrit menuntun siswa

dalam melakukan observasi dan refleksi, refleksi menuntun siswa

membuat konsep abstrak (generalisasi), generalisasi menuntun siswa untuk

mencobakan pada situasi lain.

Siswa merasa gembira/ suka langkah model pembelajaran

experiential learning ini. Kesukaan ini dalam kerangka kajian tentang

gaya belajar dijelaskan oleh Muijs dan Reynolds (2008: 305) bahwa “teori-

teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya belajar ini

sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajar”. Berbeda

pada model pembelajaran sinektik, pada model pembelajaran sinektik

siswa dipaksa melibatkan elemen emosional, irasional, daya imaji dan

abstraksi yang tinggi untuk membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil,

& Calhoun, 2000: 222). Pelibatan aspek-aspek tersebut hanya dapat diikuti

oleh siswa yang pandai saja.

Experiential learning dan sinektik merupakan model-model

pembelajaran yang konstruktivistik. Keduanya memberikan efek terhadap

prestasi belajar yang berbeda dibanding dengan model pembelajaran

Langsung. Hal ini dapat terjadi mengingat keduanya memiliki karakteristik

yang jauh berbeda dalam membimbing belajar siswa.

Pembelajaran dengan model langsung mengandalkan pemberian

input eksternal. Hal ini dikarenakan siswa dilihat sebagai tong kosong;

kertas yang masih putih (tabularasa); yaitu tempat di mana guru harus

menumpahkan semua pengetahuan. Guru harus ceramah, mengajar, dan

menyebarkan informasi keilmuan kepada siswa. Guru aktif dan siswa pasif

Page 240: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

225

karena guru memberi dan siswa hanya mendengar, menerima, mencatat,

dan menghafal.

Pembelajaran dengan model langsung mengandalkan tranfer

pengetahuan dengan penjejalan materi (input stimulus) ke kepala siswa

dan siswa merespon stimulus. Hal ini disebabkan dalam pandangan

behavioristik, belajar merupakan aktivitas pengumpulan informasi,

pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis (Aunurrahman, 2009:

21). Pembelajaran berorientasi pada target penguasaan materi (content

target mastery oriented).

Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat

membelanggu siswa (Aunurrahman, 2009: 19). Behaviorisme mengajarkan

telaah pada kenyataan yang teramati, sehingga tidak dapat menelaah

keindahan bahasa dalam karya sastra yang abstrak. Bahasa memiliki lapis

makna yang rumit, yang merupakan keseluruhan pengalaman afektif dan

kognitif manusia (Brown terjemahan Noor Cholis, 2008: 330). Model

pembelajaran langsung ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi ingatan

jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan

persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1). Kondisi ini

sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah

ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Gagne dalam

Ratna Wilis Dahar, 1989: 35)

Kondisi belajar pada model pembelajaran Langsung tersebut,

sungguh berbeda dibanding pada model-model pembelajaran di bawah

pendekatan konstruktivisme. Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang

Page 241: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

226

sedang belajar untuk mengerti, bukan merupakan kumpulan fakta yang

harus diberikan kepada siswa (Paul Suparno, 1997: 18; Aunurrahman,

2009: 15). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru

ke otak siswa. Siswa sendirilah yang mengartikan apa yang telah diajarkan

sesuai pengalaman mereka. Kedudukan siswa dilihat sebagai pemikir

yang mampu menghasilkan teori tentang dunia dan kehidupan.

Dalam pendekatan konstruktivisme, siswa bebas mengembangkan

dan membangun pengetahuan sendiri sesuai latar kemampuan talenta

intelektual, personal, sosial, kultural, dan emosional yang telah dimilikinya

(Baharudin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 142). Dengan demikian cara

belajar ini sangat menyenangkan dan penuh arti (c.f. Ausebel dalam

Hamzah B. Uno, 2009: 13; Aunurrahman, 2009: 22). Di tengah peran

siswa yang aktif ini, posisi guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing

(Umaedi, 2003: 2).

2. Ada Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang

Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan

Emosionalnya Rendah

Dalam melakukan apresiasi karya sastra, siswa diharapkan

langsung menghadapi objek karya sastra yang merupakan karya

imagination, fictionality, invention, creative literature. Dalam menghadapi

karya sastra tersebut, setiap pembaca karya sastra otomatis akan langsung

mengerti bahwa yang dihadapi adalah bahasa khusus yang harus

ditanggapi dengan pengertian khusus pula. Ada makna ganda, ada deretan

Page 242: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

227

ciri-ciri lain: kategoris, arbriter, irasional, asosiatif, ekspresif, sugestif, dan

simbolik. (I Made Sukada, 1987: 9-10; Burhan Nurgiantoro, 2010: 2-5).

Karya sastra yang memiliki corak seperti di atas, ingin mengajak

pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masalah yang

diketengahkan (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14). Sesuai dengan

pengertian ini, maka dalam melakukan penghayatan terhadap isi karya

sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor afektif, yaitu

merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca

(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Meminjam teori kritik, yang tidak jauh

dari makna apresiasi, I Made Sukada (1987: 89) menyebutkan bahwa

kritik sastra memang subjektif, individual, mengandung unsur perasaan.

Dalam menghayati karya sastra diperlukan kekuatan emosional dalam

realitas rasa.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran apresiasi sastra

yang tidak dapat dilepaskan dari kekuatan emosional anak. Banyak

penelitian menguatkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi,

memori jangka panjang, dan belajar/ apresiasi sastra (Goleman, 2005: 14;

DePorter, 2000: 22). Emosi dapat membantu mengingat memori jangka

panjang dan memungkinkan informasi diterima melalui memory buffer

untuk dipersepsi (Muijs dan Reynolds terjemahan Helly Soetjipto, 2008:

38,203-205). Pengelolaan sejumput saja emosi-emosi inti (takut, gembira,

cinta, jijik, malu, dan lain sebagainya) akan mendorong dan mengontrol

pemrosesan mental dan kognitif yang efisien (Brown terjemahan Noor

Cholis, 2008: 117).

Page 243: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

228

Pembelajaran dapat dilaksanakan secara kooperatif yang di

dalamnya mengembangkan keterampilan sosial. Dalam pembelajaran

kooperatif, keterampilan sosial siswa sangat mempengaruhi prestasi

akademik. Keterampilan sosial berhubungan dengan kepribadian yang

hangat dan ramah, dan kecerdasan verbal dan non verbal, yang pada

gilirannya mempengaruhi proses belajar (Muijs dan Reynolds terjemahan

Helly Soetjipto, 2008: 204-205). Pentingnya keterampilan sosial ini,

dijelaskan lebih lanjut oleh Brown (terjemahan Noor Cholis, 2008: 13)

bahwa interaksi sosial dalam pembelajaran kooperatif (Vygotsky)

membangun gambaran-gambaran kognitif dan emosional atas realitas.

Demikianlah ikatan emosional akan memperkuat memori dan ingatan

siswa terhadap bahan-bahan yang dipelajari yang selanjutnya menuntun

kegiatan belajarnya. Hal ini dikarenakan emosi menentukan kepekaan

subjektif yang mendorong dan mengontrol gagasan dan kecenderungan

bertindak dalam berbagai aktivitas manusia.

Setiap individu memiliki emosi baik dalam bentuk negatif

maupun positif, setiap individu memiliki kompetensi emosional yang

berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan bahwa kecerdasan emosional sangat

berperan dalam kegiatan belajar, maka perbedaan kompetensi emosional

yang mempengaruhi motivasi internal dapat mempengaruhi keberhasilan

siswa dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra.

Page 244: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

229

3. Ada Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan

Kecerdasan Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi

Prosa Fiksi

Baik pembelajaran dengan model experiential learning maupun

sinektik, bahkan Llngsung, pasti melibatkan faktor emosional dalam

proses belajar. Dalam pembelajaran konstruktivistik baik dengan model

experiential learning maupun sinektik, siswa dituntut untuk dapat

mengalami (membaca/ menyimak secara pribadi) apa yang dipelajari,

mengintegrasikan dengan situasi dunia nyata, serta membuat hubungan

antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Berkaitan dengan

konstruktivisme, Nyoman S. Degeng mendata sifat belajar (1) siswa

dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, (2) kebebasan siswa

merupakan unsur yang sangat esensial, (3) kebebasan dipandang sebagai

penentu keberhasilan, (4) kontrol belajar dipegang oleh siswa, (5)

mengikuti pandangan siswa, (6) aktivitas belajar dalam konteks nyata, (7)

menekankan pada proses (dalam Akhmad Sudrajat, 2008: 2-3).

Dalam kondisi itulah anak akan menemukan pengetahuan melalui

proses menginternalisasi, membentuk kembali atau membentuk baru

pengetahuan (Haris Mudjiman, 2007: 25). Siswa membangun sendiri

pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara aktif dan konstruktif

dalam proses belajar (Paul Suparno, 1997: 11). Kegiatan belajar ini

membutuhkan keaktifan siswa yang memiliki kematangan berpikir

(bahkan berpikir liar) dan perasaan. McKeachi (1987: 139) mengatakan

Page 245: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

230

“Students in these courses tutored ..... worked with adolescents who were

in detention for illegal activites. Ciri-ciri tersebut merupakan prasyarat

berkembangnya kreativitas. Utami Munandar menyatakan bahwa bila

bebas dari neurosis, gembira, penuh syukur dalam hidup, orang akan dapat

mewujudkan diri sampai peak experience. Dengan situasi aman dan

kebebasan psikologislah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan

menyenangkan juga merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang

menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah

tertentu (1999: 49-50).

Pembelajaran apresiasi sastra dengan model experiential learning

dilaksanakan melalui lima langkah, yaitu (1) mengidentifikasi

pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik

(concrete-personal experiences), (2) guru menambahkan complementary

materials bagi hasil observasi anak di lapangan, (3) site visit and reflection

(kunjungan ke lapangan untuk observasi diteruskan refleksi terhadap hasil;

observasi), (4) kegiatan kelas (sharing experiences), (5) debriefing oleh

guru untuk pemantapan. Siswa dalam mengikuti lima langkah tersebut

sangat membutuhkan kecerdasan emosional yang secara bersama-sama

mendukung pikiran. Boud, Keogh, Walker (1985: 18, 38) dalam kaitannya

dengan masalah “returning to experience” menjelaskan bahwa

“attending to feelings has two aspect: utilizing positive feeling and removing obstructing feelings”. To date most research on learning has not sufficiently respected the unique perpective of the learner and has not taken into account the affective dimension to which we have referred.

Page 246: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

231

Pembelajaran apresiasi sastra dengan model sinektik dilaksanakan

melalui tiga fase inti aktifitas metafora yang meliputi analogi langsung

(direct analogy), analogi personal (personal analogy), dan konflik

kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68). Dalam

kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini maka

berarti karya sastra akan dipahami dengan mengembangkan keaktifan dan

kemampuan kreatif siswa melalui proses metaforik.

Dalam proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan emosional

subjek didik. Untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif yang baik,

apresian perlu mengedepankan aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan

daya kritis yang tinggi (C.F. Antar Semi & J. Grace dalam Budi Setiawan,

2004: 38). Egan (2009: xi) bahkan menyebutkan bahwa pendidikan yang

berhasil memang memerlukan keterlibatan emosional siswa dengan subjek

yang mereka pelajarai. Emosi terlibat sebab imajinasi terikat dengan cara

yang rumit dengan kehidupan emosional kita. Untuk memasuki alam

metaforik dibutuhkan kematangan pikiran (IQ) dan perasaan (EQ).

Metafora merupakan alat yang memungkinkan sesuatu dilihat

dalam perspektif lain (Egan, 2009: 3). Dalam kreatifitas metaforis dan

analogis diperlukan imajinasi, perasaan, dan kecerdasan emosional yang

tinggi. Pada fase personal analogy, misalnya, anak memerlukan kekuatan

empati untuk menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam

hal ini Treffinger (1980: 67) menyatakan:

“personal analogy seek to describe feelings of identification and empaty with a person, a concept, a plant or animal, or a nonliving thing. A very simple personal analogy may be nothing more than a

Page 247: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

232

first person description of some facts. The complex kind of personal analogy involves empathy and identification with a nonliving thing. Can you image yourself as a molecule or as a laser beam? What would it be like to be a dead tree, partly submerged in the water of a lake or pond? (Treffinger, 1980: 67).

Keberhasilan belajar menurut psikologi behaviorisme ditentukan

oleh faktor eksternal. Pembelajaran dilaksanakan melalui mekanisme

stimulus – respon dan diperkokoh oleh penguatan atau reinforcement

(Skiner dalam Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 48).

Anak baru dapat belajar jika tersedia data input/ masukan dan

digalakkan oleh adanya penguatan. Data input inilah yang membentuk

stimulus yang kemudian merangsang respon. Jika respon benar

mendapatkan reinforcer, maka menjadi kebiasaan karena terus menerus

diulangi oleh siswa. Jika suatu respon tidak tepat mendapatkan punishers,

maka siswa revisi respon. Dengan demikian, untuk melakukan kegiatan

belajar, seorang siswa memerlukan dorongan / dukungan dari lingkungan

(motivasi eksternal) yang berupa apresiasi, pemberian penghargaan,

pujian, insentif (Utami Munandar, 1999: 68). Berkaitan dengan teori ini,

Skinner manyatakan sebagai berikut.

The reinforcement derives from knowledge of his or her correctness both makes the achievement enduring and propels the learner toward new task. Punishment has several draw back. First, its effects are temporary, punished behavior is likely to recur. Second, the aversive stimuli used in punishment may generate unwanted emotions, such as predispositions to escape or retaliate, and disabling anxieties (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 322).

Langkah model Langsung yang terdiri dari (1) pemberian stimulus,

(2) siswa merespon, (3) pemberian penguatan, sangat membutuhkan

kecerdasan emosional dan pikiran. Ketika anak mengingat kembali

Page 248: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

233

memori untuk mengidentifikasi input (stimulus), ketika anak memperoleh

penguatan bahwa yang dikatakan benar, maka anak membutuhkan daya

pikir yang tinggi untuk mengingat jangka pendek atau jangka panjang

terhadap memorinya. Setelah responnya dibenarkan oleh lingkungan, anak

merasa senang dan terdorong akan mengulangi lagi, anak merasakannya

dengan perasaan yang baik.

Dari uraian tentang tiga model pembelajaran di atas, dapat

disimpulkan bahwa ketiga model pembelajaran baik model pembelajaran

experiential learning, sinektik, maupun Langsung, dalam proses

pelaksanaannya membimbing belajar siswa tidak dapat dilepaskan dari

peran serta keterlibatan faktor emosional. Hal itu berarti ada interaksi

antara ketiga model pembelajaran dengan kecerdasan emosional siswa.

Berhasil atau tidaknya siswa belajar dipengaruhi secara interaktif antara

penggunaan model dengan kecerdasan emosional siswa.

Faktor kepribadian dalam diri seseorang menyumbangkan bagi

kesuksesan pembelajaran (Brown terjemahan Noor Cholis, 2008: 165;

Brown, 2000: 142). Kepribadian ini masuk dalam ranah afektif, yaitu sisi

emosional (EQ) perilaku manusia. Michael (2006: 5) menjelaskan bahwa

EQ adalah prasyarat untuk kepiawaian IQ, maksudnya ialah IQ kita tidak

akan berfungsi dengan baik jika bagian otak kita rusak akibat daripada

kecacatan emosi. Penilaian seseorang individu bukan saja didasarkan

kepada kecerdasan intelektual (IQ), tetapi yang lebih penting ialah

kecerdasan emosi (EQ).

Page 249: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

234

Tingkat kecerdasan siswa berbeda beda yang secara Ciri-ciri kasar

dapat dibedakan menjadi tinggi dan rendah. Siswa yang mempunyai

kecerdasan emosi yang tinggi mempunyai ciri antara lain: (1) dapat

mengenali perasaannya dan bukan perasaan orang lain atau situasi yang

dihadapinya; (2) dapat membedakan pemikiran dan perasaan; (3)

bertanggung jawab atas perasaannya sendiri; (4) gunakan perasaannya

untuk membantu membuat keputusan; (5) menghormati perasaan orang

lain; (6) dapat merasa bertenaga bukan karena kemarahan; (7) memahami

perasaan orang lain dengan menunjukkan empati, pertimbangan, dan

menerima perasaan orang lain; (8) dapat berlatih untuk mendapatkan nilai

positif daripada emosi negatif; (9) tidak menasihati, mengarahkan,

mengritik, mengadili atau menyerang orang lain; (10) tidak menghiraukan

orang yang tidak menghormati perasaannya (Michael, 2006: 21).

Ciri siswa yang menghadapi masalah sehingga memiliki

kecerdasan emosional rendah menurut Fauzee (2004: 100-101)

mempunyai ciri antara lain adalah: (1) suka menggunakan perkataan yang

menunjukkan rasa marah, (2) memamerkan diri mereka yang tidak

bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) memamerkan penampilan

tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul pada

kelompok-kelompok orang yang alkoholik, murung, dan lain sebagainya.

Perkembangan kepribadian (EQ) secara universal melibatkan

pertumbuhan konsep diri, keberterimaan diri, pencerminan diri (Brown

terjemahan Noor Cholis, 2008: 167). Tingkat kecerdasan emosional tiap

siswa akan berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai

Page 250: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

235

dengan ungkapan Brown (terjemahan Noor Cholis, 2008: 168) yang

menyimpulkan harkat, misalnya, menyatakan “ketiga tingkatan harkat

berkorelasi positif dengan tingkat produksi lisan dalam belajar bahasa,

tinggi rendahnya harkat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran”.

Demikian juga kelayakan diri dan keyakinan diri, keduanya juga

mempengaruhi keberhasilan. Orang yang yakin bisa dan layak

mengerjakan, cenderung akan berhasil dalam tugas itu.

Sesuai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan

tingkat kecerdasan emosional akan berpengaruh pada proses keikutsertaan

siswa dalam belajar maupun keberhasilan belajar.

F. Keterbatasan Penelitian

Setiap penelitian pasti meliliki keterbatasan-keterbatasan. Adapun

keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Ukuran populasi penelitian ini relatif luas, yaitu Propinsi Jawa Timur. Hal

ini berakibat pada pengambilan sampel yang antara daerah sampel satu

dengan daerah sampel menjadi berjauhan letaknya, jauh dari kediaman

peneliti. Komunikasi dengan daerah sampel yang berjauhan ini dapat

diatasi melalui komunikasi telepon dan e-mail, namun kurang optimal.

2. Pada setiap daerah sampel sudah ditempatkan asisten peneliti untuk

membantu koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penelitian. Di samping

itu, sebelum penelitian dilaksanakan, para guru pelaksana penelitian di tiap

sekolah sudah dilatih model pembelajaran masing-masing. Tetapi

Page 251: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

236

meskipun sudah ada ditempatkan asisten dan pelatihan, karena letaknya

daerah sampelnya jauh peneliti tidak dapat melakukan kontrol secara

optimal terhadap jalannya proses pembelajaran sesuai skenario yang

ditetapkan.

3. Kecerdasan emosional hanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggi dan

rendah yang didasarkan atas nilai median. Pengelompokan ini merupakan

pengelompokan yang kasar karena dimungkinkan ada anak yang

kecerdasan emosionalnya tinggi, ada yang sedang, dan ada yang rendah.

Page 252: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

237

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan pada bab iv, hasil

penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara

siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa

yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar

dengan model pembelajaran langsung. Siswa yang yang diajar dengan

model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata kemampuan

apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang

diajar dengan model pembelajaran sinektik, sementara itu, siswa yang

diajar dengan model pembelajaran sinektik memiliki kemampuan apresiasi

prosa fiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajar

dengan model pembelajaran langsung.

2. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara

siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan

emosionalnya rendah. Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi

memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding

dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

237

Page 253: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

238

3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.

Dari perdandingan antar-sel yang merupakan hubungan interaktif antara

kolom dan baris, ditemukan 5 (lima) perbandingan menunjukkan adanya

persamaan, dan 4 (empat) perbandingan menunjukkan adanya perbedaan.

B. Implikasi Hasil Penelitian

1. Keefektifan model pembelajaran experiential learning dibanding

dengan pembelajaran sinektik dan model pembelajaran langsung

Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa siswa yang

memperoleh model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata

kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang

memperoleh model sinektik, siswa yang memperoleh model sinektik

memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding

siswa yang memperoleh model langsung. Hal ini memberikan makna

bahwa pemilihan model pembelajaran mempunyai pengaruh yang besar

terhadap cara belajar dan membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa. Jika penerapan model pembelajaran yang dipilih telah dilaksanakan

secara tepat dan optimal dengan mempertimbangkan kesesuaiannya

dengan berbagai hal yang terkait (karakteristik materi, kematangan mental

siswa, media, dan lain sebagainya), maka akan memberikan sumbangan

yang lebih besar bagi pembentukan kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa.

Page 254: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

239

Hasil penelitian ini memberikan pertimbangan bagi para guru,

pemangku kepentingan, dan pengambil kebijakan pendidikan untuk selalu

berusaha meningkatkan pemahaman terhadap berbagai model

pembelajaran. Karakteristik, kelebihan-kelemahan, langkah-langkah, dan

kesesuaiannya dengan karakteristik materi ajar, harus dipahami dengan

baik oleh guru. Dengan pemahamannya yang mendalam, guru dapat

memilih salah satu model sesuai tujuan pembelajaran yang akan dicapai,

mengaplikasikannya dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran

(RPP), dan menerapkannya di kelas secara optimal.

Pentingnya pemahaman terhadap berbagai macam model

pembelajaran tersebut, perlu didasari oleh pengetahuan mengenai latar

belakang sejarah perkembangan secara psikologis dan logika yang

mendasari setiap perkembangannya, sehingga dapat membedakan berbagai

model pembelajaran tersebut dengan tepat. Secara kronologis, pada tahap

awalnya, sebelum tahun 1900-an, lahir psikologi belajar behaviorisme

yang menganggap anak lahir seperti kertas yang masih putih, cangkir yang

harus diisi teh. Anak dianggap belum memiliki kemampuan apa-apa

sehingga guru harus mengisinya dengan ceramah sejumlah input

(stimulus) dan siswa harus meresponnya dengan benar. Jika respon benar

dan mendapat penguatan, siswa senang dan terus akan mengulangi

sehingga menjadi kebiasaan yang otomatis. Sebaliknya, jika respon salah

dan mendapat punhisment, siswa merevisi respon. Guru melihat respon

siswa yang kelihatan, yang terdengar atau terlihat (look structure),

Page 255: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

240

mengabaikan bagaimana latar belakang pemikiran karena otak siswa

dianggap sebagai kotak hitam. Dimensi pikiran tabu untuk dijamah.

Berbeda dengan periode berikutnya, pada tahun 1960-an lahir

psikologi belajar kognitivisme yang membimbing siswa mengkaji proses

pemikiran yang melatarbelakangi ucapan (deep structure). Guru

memandang pikiran siswa merupakan the glass boxs yang transparan

sehingga dapat ditilik bagaimana proses berpikirnya berjalan. Dalam

kondisi ini guru dapat menyelami bagaimana siswa memproses input,

memaknai dan menyimpannya dalam memori jangka pendek maupun

jangka panjang, bagaimana simpanan mengalami revisi dan asimilasi oleh

datangnya input baru, dan bagaimana simpanan diaktualisasikan sebagai

prestasi belajar.

Era 1980-an (awal tahun 2000) lahir psikologi belajar

konstruktivisme, yaitu pendekatan baru yang dewasa ini sangat populer

menjadi sumber orientasi guru dalam mengambil strategi pembelajaran di

kelas. Konstruktivisme berpandangan bahwa siswa belajar dengan

mengkonstruksi pengetahuan sendiri berdasarkan pengalaman dan skemata

atau prior knowledge yang dimilinya. Siswa dipandang sebagai insan yang

telah memiliki kemampuan, kecerdasan, nilai, emosi. Tugas guru hanyalah

sebagai fasilitaror, pembimbing siswa dalam mengembangkan potensinya.

Siswa diberi kebebasan berpikir, membuat konsep sendiri, mencobakan

konsep sendiri, merevisi pengetahuannya sendiri; karena itu kemajemukan

Page 256: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

241

cara memperoleh pengetahuan dan memerikan hasilnya, menjadi sesuatu

yang sah adanya.

Penelitian ini membedakan tiga model pembelajaran, yaitu

langsung, sinektik, dan experiential learning. Selaras dengan sifatnya,

penelitian ini membedakan dua kubu besar, yaitu behavioristik (langsung)

di satu pihak, dan konstruktivisme (sinektik dan experiential learning) di

lain pihak. Sesuai teori dan hasil penelitian, ketiganya berada pada

perbedaan yang bersifat polarisasi membaik yang bergerak dari cara-cara

guru mendominir kelas dan transfer pengetahuan (berpusat pada guru) ke

cara-cara yang memberikan ruang gerak siswa secara bebas dalam belajar

(berpusat pada siswa). Behavioristik menitik-beratkan pada transfer of

knowledge, sineknik dan experiential learning menitik beratkan pada

pengalaman belajar anak. Sinektik menitik-beratkan pada pengalaman

anak melalui pengembangan metaforis sedangkan experiential learning

menitik-beratkan pada pengalaman anak melalui siklus belajar. Polarisasi

(urutan perkembangan) ketiganya menghasilkan produk belajar yang

makin membaik yang menyimpulkan sebuah urutan kualitas model

pembelajaran, sehingga semakin guru mengarahkan kegiatan pembelajaran

ke arah pendekatan konstruktivistik semakin baik pula hasil belajar siswa

(Mergel, 1998: 9; Brown, terjemahan Noor Cholis dan Yusi, 2008: 106).

Pertimbangan teoretis maupun praktis itulah yang harus dikuasai guru agar

potensi anak dapat dikembangkan secara maksimal.

Page 257: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

242

Pendapat di atas tidaklah berlebihan karena guru dengan pilihan

strategi pembelajaranya yang tepat sangat berpengaruh pada penciptaan

kondisi dan cara berpikir anak yang berdampak pada hasil belajar.

Tidaklah tepat menggunakan suatu model secara buta. Guru hendaknya

memilih model yang menurut mereka cocok dengan metode dan falsafah

mengajar mereka (Utami Munandar, 2009: 162). Dengan menguasai

berbagai model, guru dapat menentukan bagian mana dari model tersebut

bermanfaat dalam situasi pembelajaran tertentu. Untuk dapat memilih

model secara tepat, Yatim Riyanto (2010: 135-136) memberikan

pertimbangan (1) kesesuaian dengan tujuan instruksional yang hendak

dicapai; (2) kesesuaian dengan bahan bidang studi yang terdiri dari aspek

pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai; (3) strategi pembelajaran itu

mengandung seperangkat kegiatan pembelajaran yang mungkin mencakup

penggunaan beberapa metode pengajaran yang relevan dengan tujuan dan

materi pembelajaran; (4) kesesuaian dengan kemampuan profesional guru

bersangkutan terutama dalam rangka pelaksanaannya di kelas; (5)

cukupnya waktu tersedia sebanding dengan bahan yang harus

disampaikan; (6) tersedianya unsur penunjang, khususnya media

instruksional yang relevan dan peralatan yang memadai; (7) suasana

lingkungan dalam kelas dan lembaga pendidikan secara keseluruhan; (8)

jenis-jenis kegiatan yang serasi dengan kebutuhan dan minat siswa karena

erat kaitannya dengan tingkat motivasi belajar untuk mencapai tujuan

instruksional.

Page 258: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

243

Berdasarkan hal di atas, gurulah yang pertama harus mengambil

inisiatif untuk menciptakan skenario belajar yang akan dialami anak

sehingga anak memperoleh pengalaman belajar, bukan mengejar target

(tujuan) dengan menstranfer pengetahuan tanpa peduli dengan bagaimana

kondisi dan bagaimana cara anak belajar. Model pembelajaranlah yang

utama harus dipikirkan guru sehingga siswa mengetahui bagaimana cara

mereka harus mengalami proses belajar secara optimal. Setelah

memperhatikan tujuan, indikator keberhasilan pembelajaran, dan materi

ajar, strategi belajarlah yang harus dipikirkan oleh guru. Guru harus

memilih model pembelajaran yang menantang dan memberi peluang

kepada siswa untuk memperoleh pengalaman belajar sesuai karakteristik

materi ajar dan indikator pencapaian tujuan pembelajaran. Guru harus

mengetahui kapan harus ceramah dan kapan harus memberikan

kesempatan kepada siswa untuk aktif sendiri yang berdampak pada hasil

belajar.

Melihat begitu pentingnya peran model pembelajaran dalam

menentukan keberhasilan belajar siswa, negara memiliki kewajiban untuk

melakukan pembinaan tentang model-model pembelajaran ini kepada

guru. Pembinaan ini sangat penting mengingat sebagian besar guru sampai

saat ini masih belum cukup memahami model-model pembelajaran yang

kreatif inovatif, modern, yang menantang anak belajar. Pada setiap forum

pembinaan guru, baik penataran, lokakarya (workshop), serasehan, PLPG,

PPG, materi model-model pembelajaran haruslah menjadi materi pokok

Page 259: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

244

yang tidak hanya sampai pada ceramah saja tetapi sampai pada praktik

pengemasan RPP dan latihan mengajar (peer teaching). Pemerintah juga

perlu melakukan pemantauan (penilaian kinerja) secara maksimal melalui

program pengawasan yang selama ini telah dilakukan. Sehingga sepulang

pembinaan (PLPG), guru tidak kembali lagi menjadi nol, tetapi terus

meningkatkan diri secara terus menerus dan optimal agar berdampak pada

kemajuan (penilaian kinerja) capaian hasil belajar siswa.

Kegiatan pembelajaran guru di kelas perlu terus dievaluasi.

Stronge (2006: 13) memberikan model tahapan untuk evaluasi terhadap

kinerja guru sebagai berikut:

a. Development phase: 1. Identify system needs 2. Identify teacher roles and responsibilities 3. Set performance standards

b. Cycle Implementation phase: 4. Dokument performance 5. Evaluate performance 6. Improve maintain professional service

Kegiatan evaluasi tersebut memberikan manfaat antara lain untuk:

1. Change school policy for a given innovative teacher program 2. Provide some level of staff development on the prospective

innovation 3. Ostensibly implement the innovative practice, and 4. Continue to use existing evaluation practices in the classroom

(Stronge, 2006: 2-3)

Dewasa ini dalam menjalankan tugas sehari-hari guru harus

mentaati permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses

pembelajaran. Jelas sekali pada permendiknas tersebut bahwa guru harus

memperhatikan cara belajar siswa melalui siklus belajar EEK (exploration,

Page 260: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

245

elaboration, dan confirmation). Siklus belajar EEK yang tersebar pada

fase kegiatan pembelajaran inti tersebut merupakan kerangka umum tahap-

tahap belajar, guru harus mengembangkan (menambah atau mengubah)

sendiri dengan memanipulasi (mengawinkan dan mengaplikasikan)

berbagai model pembelajaran sehingga pembelajaran variatif dan

menyenangkan.

Menurut Made Wena (2011: 170-177), EEK sebenarnya

merupakan cuplikan dari siklus belajar 5E yang terdiri dari 7 tahap: (1)

tahap engagement, (2) tahap exploration, (3) tahap explanation, (4) tahap

elaboration (extention), (5) tahap expantion, (6) tahap confirmation, dan

(7) tahap evaluation.

Dalam fase engagement minat dan keingintahuan (curiosity)

siswa tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan dan diajak

membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dalam

tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan menguji

prediksi dengan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-

kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada explanation guru

mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka

sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka. Fase

elaboration (extention) guru membiasakan siswa menerapkan konsep dan

keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan praktikum

lanjutaan, problem solving. Pada tahap ekspantion siswa diberi

kesempatan menerapkan temuan konsep lebih luas lagi. Pada fase

Page 261: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

246

confirmation guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam

bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa.

Pada tahap evaluation dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase

sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep,

atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru

yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih

lanjut.

2. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kemampuan apresiasi

prosa fiksi

Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan kemampuan

apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.

Penelitian ini menemukan simpulan bahwa siswa yang kecerdasan

emosionalnya tinggi memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih

tinggi dibanding dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Hal

ini menunjukkan makna bahwa kecerdasan emosional mempunyai

pengaruh yang besar dalam membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi

siswa. Cony Semiawan (2009: 72) emosi (dan gairah) terdalam yang kita

miliki dapat menggerakkan tindakan-tindakan kita dalam berbagai perkara

yang dihadapi, ia merupakan state of the moved. Jika kecerdasan

emosional ditingkatkan, maka akan memberi pengaruh yang lebih baik

dalam membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi.

Page 262: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

247

Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi para guru, para

siswa, orang tua, dan penyelenggara pendidikan bahwa untuk membina

dan meningkatkan prestasi belajar pada umumnya dan kemampuan

apresiasi prosa fiksi pada khususnya, sangat diperlukan kecerdasan

emosional. Dengan kecerdasan emosional yang baik, siswa makin tajam

dalam merasakan, memahami, melakukan empati terhadap jalan cerita,

meresapi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, sehingga siswa

dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik. Ketajaman perasaan

(emosional) inilah yang memungkinkan siswa memiliki cakrawala

pandang, keyakinan, wawasan afektif, pengalaman batin, hempasan

perasaan, sehingga logika yang merupakan mata pisau bedah dapat bekerja

secara tepat. Ibarat apresian adalah seorang pengemudi, maka perasaan

atau emosilah yang merupakan keyakinannya dalam membaca haluan dan

situasi jalan secara tepat sehingga pikiran untuk menginjak pedal gas dan

memutar kemudi dapat digerakkan secara tepat.

Simpulan bahwa kecerdasan emosional sebagai panglima dalam

setiap tindakan tidaklah berlebihan. Perasaanlah yang 80 persen

menentukan setiap kesuksesan (Michael, 2006: 3; Verina H. Secapramana,

1999: 1). Perasaan empati, senang, gembira, simpati, dan lain sebagainya

yang merupakan faktor-faktor kecerdasan emosional, pada gilirannya akan

menetapkan rekomendasi dilanjutkan atau berhentinya pemikiran. Dengan

demikian makin didukungnya pikiran oleh kecerdasan emosional yang

Page 263: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

248

baik, komprominya pikiran dengan perasaan, akan menjadi kekuatan yang

dahsyat untuk diraih kesuksesan secara optimal.

Dalam kegiatan apresiasi sastra, pembaca melakukan kegiatan

pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap seluruh aspek yang

membangun karya sastra. Apresiasi karya sastra adalah kegiatan

menggauli karya sastra secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam

apresiasi karya sastra, kecuali karya sastra merupakan sebuah objek

dihadapan kita yang sedang dipahami secara pikiran, karya sastra

dipandang pula sebagai subjek yang memberikan putusan terhadap

negosiasi perasaan yang dilakukan oleh pembaca. Negosiasi perasaan

itulah yang membimbing pikiran memperoleh cakrawala pandang untuk

menilai karya sastra. Pikiran dan perasaan tidak dapat dipisahkan (Cony

Semiawan, 2009: 72). Pikiran tidak dapat mandiri tanpa perasaan, semua

memiliki peran sesuai posisinya masing-masing.

Berdasarkan perspektif itulah, kecerdasan emosional tidak dapat

ditawar-tawar lagi harus segera dikembangkan dalam setiap insan (siswa)

Indonesia. Pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui banyak cara,

diantaranya ialah (1) melalui pengajaran langsung, (2) melalui modeling,

(3) menciptakan iklim emosi dalam keluarga, (4) referensi sosial, (5) cara

berkomunikasi, dan (6) pengungkapan stimulus emosi (Riana Mashar,

2011: 20-21). Pengembangan dapat dilakukan juga dengan pemberian

rangsangan/ stimulasi baik secara visual, verbal, auditif, maupun taktil,

baik yang berasal dari lingkungan maupun dari diri siswa sendiri (Riana

Page 264: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

249

Mashar, 2011: 118-119). Rangsangan dari luar dapat dilakukan oleh

anggota keluarga di rumah baik dari pemberian gizi, kesehatan,

psikososial, pemberian kehangatan, cinta, dan lain sebagainya secara tepat.

Dalam kerangka “pendidikan karakter (dan multy kultur)” yang

merupakan tema pendidikan terakhir di tanah air, pembangunan

kecerdasan emosional yang (masuk pada wilayah afektif) sangat urgen

dimasukkan dalam setiap aspek pembelajaran. Dua tahun terakhir ini

pemerintah sudah mewajibkan guru agar selalu memasukkan karakter baik

dalam RPP maupun praktik pembelajaran di kelas, namun

implementasinya masih perlu terus ditingkatkan. Guru perlu memahami

secara mendalam aspek afektif yang dipilah menjadi pembentukan

karakter (yang membentuk kompetensi pribadi) dan keterampilan sosial

(yang membentuk kompetensi sosial), sehingga baik dalam perumusan

indikator yang mementingkan behavior (B), perumusan tujuan yang harus

mengandung unsur audience, behavior, condition, de gree (A,B,C.D),

penyusunan LKS, lembar pengamatan, maupun implementasinya di kelas,

dapat dilaksanakan dengan baik dan optimal. Guru perlu memahami kata

kerja operasional (operational verb) setiap sub aspek, mendalami dan

merenungkan ketepatan penggunaannya.

Karakter utama antara lain ialah jujur, tanggung jawab, cerdas,

sehat, bersih, peduli, kreatif. Karakter yang merupakan paduan nilai luhur,

agama, Pancasila, sosial budaya, psikologi, dan pengalaman terbaik dalam

praktik kehidupan nyata itu perlu diintervensikan dalam semua kegiatan

Page 265: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

250

baik di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Karakter perlu habituasi

(pembiasaan), pembudayaan yang didukung perangkat kebijakan,

pedoman, komitmen. Sesuai Permendiknas nomor 41 tahun 2007 yang

berbasis karakter, sekolah perlu melakukan strategi mikro: (1)

mengintegrasikan muatan karakter dalam kegiatan belajar mengajar pada

setiap mata pelajaran, (2) penciptaan budaya sekolah yang membiasakan

karakter dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan, (3) pengadaan

kegiatan ekstra kurikuler yang berbasis karakter. Ada beberapa strategi

utama dalam habituasi dan intervensi, antara lain keteladanan kepala

sekolah, guru, tenaga kependidikan; budaya sekolah yang bersih, sehat,

tertib, disiplin, dan indah; penggalakan kembali tradisi untuk membangun

karakter seperti hari krida, upacara, piket kelas, ibadah bersama, berdoa,

hormat guru, hormat bendera, program 5S, cerita kepahlawanan,

menghudupkan lagi kearifan lokal, dan lain sebagainya.

Untuk mengembangkan dan mengerjakan tugas ini, guru dapat

berkelompok dalam MGMP, KKG, bekerja keras, mendatangkan tenaga

ahli, dan lain sebagainya, agar hasil karyanya menjadi optimal. Melalui

kelompok kerja, guru dapat mengembangkan pengemasan dan pertangkat

pembelajaran lebih baik.

Page 266: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

251

3. Interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi

Hasil penelitian ini menunjukkan pula adanya interaksi yang

dinamis antara penggunaan model pembelajaran dan tingkat kecerdasan

emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi sastra prosa fiksi

siswa. Dari berdandingan antar sel, ditemukan lima perbandingan

menunjukkan adanya persamaan, dan empat perbandingan menunjukkan

adanya perbedaan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya kesesuaian

atau ketidaksesuaian pertemuan antar dua faktor yang memiliki

karakteristik masing-masing. Variabel lain yang bersifat laten di luar

variabel amatan utama (peubah timbrung) mungkin juga dapat

mempengaruhi keadaan ini, misalnya minat belajar, kemampuan kognitif,

kondisi lingkungan belajar anak masing-masing. Temuan ini memberikan

petunjuk kepada semua pihak baik orang tua, siswa, penyelenggara

pendidikan, pemangku kepentingan, pemerintah, bahwa untuk

mewujudkan kompetensi, kemampuan, prestasi belajar yang dapat

dibanggakan diperlukan kondisi-kondisi prasyarat yang cocok dan saling

mendukung dari semua faktor terutama pilihan model pembelajaran dan

variabel internal kecerdasan emosional siswa.

Pilihan model pembelajaran yang tepat, sesuai dengan karakteristik

materi dan kecenderungan paradigma pembebelajaran modern yang

mempengaruhi skenario belajar siswa, secara langsung maupun tidak akan

menuntun siswa ke dalam pola skenario tersebut, siswa akan merasa

Page 267: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

252

terbimbing, sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang kaya

guna membentuk pribadi dan prestasinya secara optimal. Sebaliknya, jika

pemilihan model pembelajaran kurang tepat ataupun bahkan tidak tepat

sama sekali, maka kondisi sebalinya yang akan terjadi, yaitu kurang

maksimalnya siswa dalam belajar yang berakibat buruknya perolehan

prestasi dan kompetensi. Ada materi yang cocok dipelajari siswa melalui

siklus pengalaman belajar, ada materi yang cocok diberikan dengan cara

membebaskan cara berpikir siswa, tetapi ada juga materi yang hanya

cocok disampaikan melalui ceramah, guru harus paham hal ini sehingga

cara mengajarnya tidak membelenggu siswa. Pendek kata ada garis

kontinum karakteristik model pembelajaran dari yang sangat cocok sampai

ke titik yang paling tidak cocok. Guru harus paham dengan baik kontinum

tersebut untuk pertimbangan memilih model pembelajaran secara tepat.

Kecerdasan emosional (KE) siswa juga terentang dalam suatu

kontimum yang bergerak dari KE yang sangat tinggi sampai ke KE yang

sangat rendah. Siswa yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi

mempunyai kemampuan mengenali perasaan dan situasi yang

dihadapinya, dapat membedakan pemikiran dan perasaan, gunakan

perasaannya untuk membantu membuat keputusan, empati. Hal itu akan

terjadi sebaliknya pada siswa yang tingkat KE-nya sedang atau bahkan

rendah.

Pemilihan model pembelajaran yang memiliki kontimum dan

kecerdasan emosional siswa yang juga memiliki kontinum memiliki

Page 268: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

253

interaksi yang tinggi. Berdasarkan hal itu, siswa yang KE-nya tinggi dan

memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran experiential

learning akan memperoleh prestasi atau kemampuan apresiasi prosa fiksi

yang lebih baik dibanding mengalaminya dengan model pembelajaran

behavioristik. Begitu seterusnya dengan perbandingan-perbandingan antar

sel lain.

Berdasarkan dinamisnya interaksi antara dua faktor tersebut, guru

harus pintar dan bijak dalam pengambilan model pembelajaran. Guru perlu

memahami dengan baik unsur-unsurnya, baik orientasi modelnya, syntax

atau urutan kegiatan, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem penunjang,

dampak instruksional dan penyertanya. Guru pun harus memahami dengan

benar kondisi kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektualnya. Dari

pemahamannya yang baik mengenai kedua hal itu, guru dapat memilih

model pembelajaran yang tepat untuk suatu kondisi siswa. Ketepatan

pilihan ini saangat menentukan perolehan belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, guru perlu mengetahui fase-fase

perkembangan emosi (minat dan kecenderungan emosional siswa) agar

guru tepat dalam memilih model pembelajaran yang cocok. Pada masa

prasekolah, lahir perasaan, harga diri, dan kesadaran akan dirinya yang

berbeda dengan orang lain,. Pada fase sekolah (6 sampai 12 tahun), siswa

mengalami masa remaja di mana emosinya berkembang ke taraf lebih

tinggi, bersifat lebih sensitif, reaktif yang kuat terhadap berbagai peristiwa

atau situasi sosial. Pada masa dewasa (pasca sekolah), siswa telah mampu

Page 269: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

254

mengenali perasaan diri dan bagaimana harus melampiaskannya (Riana

Mashar, 2011: 28). B. Rahmanto (1998: 30) menjelaskan umur 8 – 9

tahun siswa berada pada tahap pengkhayal sehingga lebih berminat hal-hal

yang bersifat fantastis, umur 10 – 12 tahun siswa berada pada tahap

romantik sehingga mulai meninggalkan fantasi menuju realitas, umur 13 –

16 tahun siswa berada pada tahap realistik sehingga lebih berminat ke hal-

hal yang nyata, umur 16 tahun ke atas siswa sudah berada pada tahap

generalistik di mana siswa sudah dewasa dan dapat memadukan berbagai

konsep. Lepas dari pertumbuhan umur, setiap anak memiliki kemampuan-

kecerdasan emosional (ketajaman perasaan-intuisi, pengalaman batin)

yang berbeda-beda.

Perbedaan kecerdasan emosional ini merekomandasi kepada guru

untuk memilih model pembelajaran yang sesuai. Pada siswa yang

kecerdasan emosionalnya (perasaan dan daya abstraksi) tinggi, mereka

lebih cocok jika pelajaran di kemas dengan model pembelajaran melalui

siklus pengalaman dan sinektik. Pada kedua model pembelajaran tersebut

dituntut ketajaman perasaan, daya abstraksi, kreatifitas siswa yang tinggi.

Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, mereka lebih cocok

jika pelajaran dikemas dengan model pembelajaran langsung.

Page 270: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

255

C. Saran-saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian pada bab iv, dapat diajukan saran-saran

sebagai berikut.

1. Saran bagi Guru

Setiap model pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan

masing-masing dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa.

Sesuai dengan hal itu, disarankan kepada para guru untuk memilih model

pembelajaran secara tepat sesuai karakteristik kecerdasan emosional anak,

kemampuan kognitif, dan sifat materi ajar, sehingga menuntun anak untuk

memperoleh pengalaman belajar dan pembentukan pribadinya. Setiap guru

diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai model

pembelajaran baik pada tataran teori maupun praktik.

Kecerdasan emosional yang di dalamnya mengandung berbagai

aspek baik pembentukan pribadi maupun keterampilan sosial merupakan

faktor penting yang dewasa ini perlu mendapat perhatian dalam

pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan

pembelajarannya, disarankan kepada para guru agar selalu memasukkan

aspek karakter dalam setiap langkah pembelajaran baik dalam RPP

maupun pelaksanaannya di kelas.

2. Saran bagi Siswa

Belajar merupakan kegiatan yang sangat penting untuk penyiapan

kehidupan di masa depan. Dalam melakukan kegiatan belajar, dewasa ini

Page 271: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

256

terjadi banyak gangguan yang dapat mempengaruhi konsentrasi siswa.

Tidak sedikit siswa yang gagal karena jiwanya rusak terpengaruh oleh hal-

hal yang buruk. Oleh karena itu, kepada para siswa disarankan belajar

dengan sungguh-sungguh, membangun motivasi belajar yang optimal,

bergaul dengan teman-teman yang baik, tidak berperilaku ekstrim dan

menyimpang. Para siswa hendaknya menyadari bahwa kesuksesan masa

depan hanya ada di tangan sendiri, karena itu persiapkanlah sejak sekarang

kemampuan, perilaku, karakter, keterampilan, yang dapat dipergunakan

untuk menyongsong hari esok yang lebih baik. Para siswa harus dapat

mengendalikan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang

merusak diri sendiri.

3. Saran bagi Pengambil Kebijakan dan Pemuka Masyarakat

Oleh karena bangsa Indonesia mengalami keterpurukan mental yang

bersifat multy dimensi, disarankan kepada pemerintah dan pemuka

masyarakat agar memiliki good-will yang baik untuk membentuk

kesatuan tekad, suatu kebangkitan bangsa untuk menggalang niat

membangun kembali mentalitas agar menjadi bangsa yang memiliki

berkarakter luhur. Pemerintah dan jajaran para pemimpinnya hendaknya

menjadi teladan, tolok ukur, panglima, penegak, dan kontrol dalam

menumbuhkan kembali kearifan lokal, kebajikan, budaya luhur, dan

karakter bangsa. Para pembesar negara hendaknya jangan memberikan

contoh yang jelek seperti yang dipertontonkan dalam banyak tayangan

televisi. Mereka harus melaksanakan otoritas dengan kejujuran, keesucian

Page 272: V. Teguh Suharto T841107016

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

257

hati dan pikiran, niat yang lurus, serta dedikasi yang tinggi. Tayangan-

tayangan di televisi hendaknya difilter oleh lambaga sensor agar tidak

meracuni pertumbuhan kepribadian anak.

4. Saran bagi Orang Tua

Oleh karena kecerdasan emosional sangat berpengaruh pada proses

dan hasil pembelajaran apresiasi prosa fiksi, disarankan kepada orang tua

agar selalu membina dan mendampingi anak, sehingga emosi positif anak

selalu berkembang dengan optimal dan emosi negatif dapat dieleminir.

Dengan demikian, kekuatan emosinya menjadi daya dorong yang kuat

melakukan kegiatan belajar.

Di bidang lain pun, kecerdasan emosional merupakan panglima

untuk meraih kesuksesan di segala bidang, oleh karena itu disarankan

kepada orang tua agar selalu membina, mendampingi, membentuk

karakter, kepribadian, dan keterampilan sosial anak. Orang tua perlu

membangun jaringan bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait bahu-

membahu dalam membentuk, membina mental, dan mengawal sepak

terjang dan perilaku anak sejak dalam keluarga (rumah), pergaulannya

baik di masyarakat maupun dengan teman kelompok bermainnya (di luar

rumah), sampai siswa berangkat dan pulang sekolah. Orang tua perlu

mengetahui dengan siapa (dan bagaimana kepribadiannya) anaknya

bergaul, tempat-tempat yang biasa dikunjungi, jalan-jalan yang biasa

dilewati yang dapat digunakan untuk melacak anaknya.