v. teguh suharto t841107016
DESCRIPTION
fsdgTRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK,
DAN PENGAJARAN LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN
EMOSIONAL SISWA
EKSPERIMEN PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI JAWA TIMUR
DISERTASI
V. Teguh Suharto NIM: T841107016
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET DESEMBER 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL
PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN
EMOSIONAL SISWA
(Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur)
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
V. Teguh Suharto NIM: T841107016
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET DESEMBER 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
DISERTASI
STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN
LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL SISWA
(Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama
di Jawa Timur)
V. Teguh Suharto NIM: T.841107016
Surakarta, 12 Desember 2011
Telah Disetujui oleh Tim Promotor
Tim Promotor Tanda Tangan
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
(Promotor)
…………………….
Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
(Co Promotor I)
…………………….
Dr. H. Sujoko, M.A.
(Co Promotor II)
.................................
Mengetahui
Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP: 19440315 197804 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
DISERTASI
STUDI KOMPARASI KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN EXPERIENTIAL LEARNING, SINEKTIK, DAN PENGAJARAN
LANGSUNG DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA FIKSI DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL SISWA
Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama
di Jawa Timur
V. Teguh Suharto NPM: T.841107016
Telah Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji pada Ujian Terbuka Disertasi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 5 Januari 2012
Dewan Penguji: Tanda Tangan
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. Ketua Tim Penguji
…………………….
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Sekretaris
…………………….
3. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. Anggota
…………………….
4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Anggota
…………………….
5. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Anggota
…………………….
6. Dr. H. Sujoko, M.A. Anggota
.................................
7. Dr. Andayani, M.Pd. Anggota
…………………….
8. Prof. Dr. Setyo Yuwono Sudikan, M.Hum. Anggota
...................................
Mengetahui
Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP: 19440315 197804 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : V. Teguh Suharto
NIM : T.841107016
Program Studi : Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul Studi
Komparasi Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan
Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi Ditinjau dari
Kecerdasan Emosional Siswa: Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di
Jawa Timur adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal yang bukan karya, dalam
disertasi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan disertasi dan gelar yang
saya peroleh dari disertasi tersebut.
Madiun, 15 Desember 2011
Yang membuat pernyataan
V. Teguh Suharto
T.841107016
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kasih. Karena
karunia-Nya yang besar, telah memungkinkan penulis dapat menyelesaikan pendidikan
doktor, menyelesaikan penulisan disertasi, dan mempertahankan di hadapan dewan
penguji dengan baik. Penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya serta terima
kasih yang tulus saya sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor UNS, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menempuh studi program doktor di Program Pascasarjana UNS.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., P.Hd., Direktur Program Pascasarjana, yang telah menerima
penulis sebagai mahasiswa program doktor, dan menyediakan fasilitas belajar yang
memadai selama penulis mengikuti pendidikan.
3. Ketua dan Sekretaris Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia beserta staf, yang
telah menyelenggarakan proses pembelajaran dari awal sampai akhir, sehingga penulis
dapat menempuh studi dengan lancar.
4. Para promotor, yaitu Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. (Promotor), Prof. Dr. H.
Sarwiji Suwandi, M.Pd. (Co promotor I), dan Dr. H. Sujoko, M.A. (Co promotor II),
yang dengan penuh perhatian, ketelitian, kesabaran, telah membimbing penulisan
disertasi ini. Tanpa bantuan, arahan, masukan, dan bimbingan dari beliau bertiga,
disertasi ini tidak akan terwujud.
5. Dewan penguji, yaitu Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.,
Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd., Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Prof. Dr. H.
Sarwiji Suwandi, M.Pd., Dr. H. Sujoko, M.A., Dr. Andayani, M.Pd., Prof. Dr. Setyo
Yuwono Sudikan, M.Hum., atas segala kritik dan masukan yang sangat berharga demi
penyempurnaan disertasi ini.
6. Para guru besar dan dosen di Program Pascasarjana S3 UNS, yang telah membekali
ilmu kepada penulis selama mengikuti pendidikan program doktor.
7. Rektor, Dekan FPBS, Ketua dan Sekretaris Program Studi PBSI, pengurus UPK IKIP
PGRI Madiun, beserta dosen dan karyawan, yang telah memberikan kesempatan dan
bantuan baik materil maupun moril, sehingga penulis dapat melanjutkan studi.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu kepala sekolah penelitian beserta semua guru pelaksana
penelitian di Kota Madiun, Kota Malang, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Bojonegoro (daftar nama pada lampiran), yang telah mengizinkan dan membantu
penulis melakukan penelitian dengan penuh kesungguhan;
9. Bapak Prof. Dr. Zulkifley Hamid dan Bapak Prof. Dr. Rahim Bin Aman
(School of Malay Language, Literature and Culture Studies, National
University of Malaysia), yang telah bersedia menjadi advisor dalam P.Hd.
Sandwich Program yang pernah diikuti penulis.
Secara khusus terima kasih saya sampaikan kepada isteri tercinta
Adriana Sri Hardani; anak-anak terkasih Yoseph Rudy Pratama Putra, Thomas
Budi Satriawan, Margaretha Mega Tri Arlita, yang dengan penuh pengorbanan,
kesabaran, dan kasih sayang, memberi dorongan kepada penulis untuk
menyelesaikan studi ini. Tidak lupa terima kasih saya haturkan kepada Ibunda
Amiyah yang tidak pernah putus memberikan doa dan restu, kepada paman di
Solo yang selalu menuntun ke dalam rumput yang hijau. Juga kepada keluarga
besar penulis yang senantiasa menjadi pendorong semangat penulis untuk
menyelesaikan studi. Tanpa dorongan dan pengorbanan mereka, penulis tidak
akan mampu mengatasi banyak tantangan dalam menempuh studi ini.
Masih banyak pihak yang telah membantu penulis selama menempuh
program doktor ini hingga selesai. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis
hingga terwujudnya disertasi ini. Penulis berdoa semoga amal baik, pengorbanan,
perhatian, kasih sayang dari semua pihak yang mendorong penyelesaian studi ini
memperoleh imbalan karunia Tuhan yang melimpah. Amin.
Surakarta, Desember 2011
Penulis,
V. Teguh Suharto
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
JUDUL ……………………………………………................................... i
PERSETUJUAN PROMOTOR ……………………………………….. iii
PERSETUJUAN PENGUJI .................................................................... iv
PERNYATAAN ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
ABSTRAK ................................................................................................. xiv
I. PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………… 13
C. Batasan Masalah ……………………………………………. 16
D. Rumusan Masalah …………………………………………… 16
E. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 17
F. Kegunaan Penelitian ………………………………………… 17
II. KAJIAN TEORETIK …………………………………………… 19
A. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ………………………….. 19
B. Model Pembelajaran ………………………………………… 65
1. Pengertian Model Pembelajaran ………………………. 65
2. Pendekatan Konstruktivisme sebagai Landasan Model
Pembelajaran Berbasis Pengalaman ..............................
70
3. Model Pembelajaran Experiential Learning ………….. 73
4. Model Pembelajaran Sinektik ………………………… 90
5. Model Pembelajaran Langsung ……………………...... 97
6. Perbedaan Keefektifan Model Pembelajaran Experi-ential Learning, Sinektik, dan Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra ………………....
108
C. Kecerdasan Emosional ............................................................. 120
D. Penelitian yang Relevan ........................................................... 148
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
E. Kerangka Berpikir …………………………………………… 155
F. Hipotesis Penelitian …………………………………………. 171
III METODE PENELITIAN ……………………………………….. 172
A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………. 172
B. Rancangan dan Metode Penelitian ………………………….. 173
C. Variabel Penelitian ………………………………………...... 175
D. Populasi dan Sampel Penelitian …………………………….. 175
E. Definisi Operasional Variabel ………………………………. 177
F. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….. 178
G. Instrumen Penelitian ………………………………………… 179
H. Validitas Instrumen Penelitian ……………………………… 180
I. Teknik Analisis Data ………………………………………… 184
IV HASIL PENELITIAN ................................................................... 192
A. Deskripsi Data .......................................................................... 192
B. Pengujian Persyaratan Analisis Anava .................................... 203
C. Hasil Pengujian Hipotesis ....................................................... 205
D. Penyimpulan Terhadap Hasil Pengujian Hipotesis ................. 118
E. Diskusi Hasil Penelitian .......................................................... 221
F. Keterbatasan Penelitian ........................................................... 235
V PENUTUP ....................................................................................... 237
A. Simpulan ................................................................................. 237
B. Implikasi Hasil Penelitian ....................................................... 238
C. Saran-saran .............................................................................. 255
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...... 258
LAMPIRAN LAMPIRAN ……………………………………………... 269
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Nomor Nama Tabel Hal
1. Gaya Belajar, Karakteristik, dan Ciri-ciri Gaya Belajar …….. 84
2. Concept Formation ………………………………………… 86
3. Skenario Model Pembelajaran Experiential Learning 87
4. Langkah Model Sinektik ………………………………….... 93
5. Langkah Model Sinektik Menciptakan Sesuatu yang Baru .... 94
6. Langkah Model Sinektik Melazimkan Sesuatu yang Asing .. 94
7. Skrenario Model Pembelajaran Sinektik ………………….... 95
8. Skenario Model Pembelajaran Langsung ……………........... 106
9. Langkah Model Pembelajaran Langsung ………………....... 107
10. Perbedaan Karakteristik Tiga Model Pembelajaran ………… 108
11. Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional ................................ 179
12. Kisi-kisi Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ................... 180
13. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning ...................................................................................
193
14. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik .....
195
15. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung ....
197
16. Perbandingan Rata-rata (Mean) Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Antara Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Pembelajaran Langsung
199
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Nomor Nama Tabel Hal
17. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ...... Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi ......................
200
18. Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah ...................
201
19. Perbandingan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Antara Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah .................................
203
20. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi untuk Kelompok Model Pembelajaran ....................................
204
21. Rangkuman Uji Homogenitas ................................................. 205
22 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis 206
23. Perbandingan Karakteristik Model Pembelajaran Experiential
Learning dengan Sinektik ........................................................
223
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Nama Gambar Hal
1. Alur Siklus Experiential Learning Model Dewey .................. 77
2. Alur Siklus Experiential Learning Model Piaget .................. 80
3. Alur Siklus Experiential Learning Model Lewin ................... 81
4. Siklus Experiential Learning Berkelanjutan .......................... 83
5. Alur Siklus Gaya Belajar ........................................................ 84
6. Siklus Holistik Experiential Learning .................................... 85
7. Diagram Kesadaran Emosi Model Golemen .......................... 128
8. Diagram Langkah Peningkatan Kepercayaan Diri .................. 137
9. Skema Desain Penelitian (Desain Faktorial 3 X 2) ................ 174
10. Distribusi Jumlah Data Tiap Sel ............................................ 177
11. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning ...................................................................................
194
12. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik .....
196
13. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung .....
198
14. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi .......................
200
15. Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah ......................
202
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Nama Lampiran Hal
1 Perbandingan Tiga Model Pembelajaran ................................... 270
2 Jadwal Penelitian ...................................................................... 278
3 Daftar Sekolah Sampel Penelitian ............................................. 279
4 Uji Homogenitas Kemampuan Siswa Tiap Kota/Kabupaten .... 280
5 Silabus dan RPP Model Experiential Learning 12 Pertemuan.. 292
6 Silabus dan RPP Model Sinektik 12 Pertemuan ....................... 341
7 Silabus dan RPP Model Behavioristik 12 Pertemuan ............... 390
8 Materi Pembelajaran Seluruh RPP ............................................ 439
9 Angket Kecerdasan Emosional ….............................................. 454
10 Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi ..................................... 459
11 Uji Keseimbangan Sekolah Uji Coba dan Sekolah Sampel .... 477
12 Uji Validitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi ..................................... 480
13 Uji Validitas Angket Kecerdasan Emosional ........................... 504
14 Data Secara Keseluruhan .......................................................... 508
15 Analisis Statistik Deskriptif ....................................................... 509
16 Uji Persyaratan Analisis Anava ................................................. 525
17 Hasil Pengujian Hipotesis .......................................................... 540
18 Surat-surat Keterangan Penelitian .............................................. 545
19 Daftar Kepala Sekolah dan Guru Pelaksana Penelitian ............ 548
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
ABSTRAK
V. Teguh Suharto. 2011. Studi Komparasi Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Pengajaran Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi Ditinjau dari Kecerdasan Emosional Siswa: Eksperimen pada Sekolah Menengah Pertama di Jawa Timur. Disertasi. Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Promotor: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.; Co Promotor 1: Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; Co Promotor 2: Dr. H. Sujoko, M.A.
Kata Kunci: Komparasi Experiential Learning, Sinektik, Pengajaran Langsung, Kecerdasan Emosional, dan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Tujuan penelitian ini ialah untuk (1) menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung; (2) menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah; (3) menemukan interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi
Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperiment dengan desain penelitian faktorial 3 X 2. Teknik pengumpulan data menggunakan angket untuk mengukur kecerdasan emosional siswa, tes untuk mengukur kemampuan apresiasi prosa fiksi. Uji validitas meliputi validitas isi, validitas muka, dan uji empiris. Uji empiris untuk mengetahui daya beda, tingkat kesulitan butir soal, reliabilitas. Untuk angket, uji empiris untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas menggunakan metode Levene’s test of equality of error variances. Analisis data menggunakan Anava dua faktor dengan program komputer SPSS.
Dari analisis inferensial diperoleh simpulan: (1) Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung. Siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang diajar dengan model sinektik, siswa yang diajar dengan model sinektik memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang diajar dengan model pengajaran langsung. (2) Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. (3) Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
ABSTRACT
V. Teguh Suharto. 2011. Comparative Study of the Effectiveness Model of Experiential Learning, Sinectic, and Direct Instructional in Prose Fiction Appreciation Learning in the Perspective of Students’ Emotional Quotient: An Experiment at Junior High Schools in East Java. Disertation. Doctoral Program of Indonesian Language Teaching, Postgraduate School of University of Sebelas Maret Surakarta.Promotor: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.; Co-Promotor 1: Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; Co-Promotor 2: Dr. H. Sujoko, M.A.
Keywords: Comparison of experiential learning, synectic, direct instructional, emotional quotient, and prose fiction appreciation ability.
The goals of research were (1) to findings difference between the students’ appreciation of prose fiction ability taught by experiential learning, synectic, and direct instruction learning model, (2) to findings difference of prose fiction ability for students who have high and low emotional quotient, (3) to findings an interaction between the use of learning model and emotional quotient affecting prose fiction appreciation.
The research applies quasi experimental method and 3 x 2 factorial research design. The technique of collecting data made use questionnaires for measuring students’ emotional quotient and test for measuring the prose fiction ability. Validity test consists of content validity, surface validity, and empirical test for searching distinction value, the grade of exercise difficulties, and the reliability. For the questionnaires, empirical wasapplied to recognize the validity and reliability.
The normality test used the method of Kolmogrov-Smirnov. The homogenitytest used the method of Levene’s test of equality of error variances. Data analysis uses Anava factor two by SPSS computer program. The inferential analysis revealedthe conclusion as follows: (1) There is a difference in those students who have been taught by experiential learning, synectic, and behavioristic learning model. The students’ average ability in appreciating prose fiction taught by experiential learning model is higher than those taught by synectic learning model. The students’ ability of prose fiction appreciation taught by synectic learning model is higher than those taught by behavioristic learning model. (2) There is a significant difference in students’ ability in appreciating prose fiction. The students who have high emotional quotient are able to appreciate prose fiction better than those who have low emotional quotient. The ability of prose fiction appreciation belongs to high emotional quotient students is higher than those who have less. (3) There is an interaction between the use of learning model and emotional quotient in affecting students’ appreciation of prose fiction ability.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra mengandung unsur keindahan yang dapat membangkitkan
perasaan senang, terharu, sedih, dan bahagia. Sebuah karya sastra dihadirkan oleh
pengarang bukanlah sekedar untuk mengekpresikan pengalaman jiwanya saja,
atau sekedar sebagai media hiburan mengisi waktu luang, tetapi untuk memberi
dorongan pembaca agar ikut memahami dan menghayati ide serta masalah yang
diungkapkannya. Dengan demikian, dengan membaca karya sastra secara
sungguh-sungguh dan konsentratif, pembaca dapat menambah pengetahuan
tentang hidup dan kehidupan, mengasah kepekaan perasaan sehingga melahirkan
rasa mencintai dan menghargai karya sastra.
Karya sastra mengandung tema dan menyajikan amanat bagi pembaca
atau pendengar. Tema diangkat dari masalah-masalah hidup sehari-hari. Masalah-
masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah sumber tema yang
senantiasa dituangkan sebagai dasar sebuah cerita (Mochtar Lubis, 1983: 9).
Tema-tema yang diangkat dari nafas kehidupan manusia yang paling dasar
tersebut erat kaitannya dengan renungan moral dan kritik sosial. Permasalahan-
permasalahan yang tercermin dalam tema yang terdapat dalam karya sastra
mengandung pesan atau amanat yang dapat direnungkan oleh pembaca. Setelah
pembaca merenungi permasalahan yang disajikan dalam sastra, diharapkan
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pembaca dapat memperoleh nilai-nilai luhur yang dapat menolong untuk
memenuhi hakikat kemanusiannya yang berpribadi. Andy Zoelton (1984: 79)
mengatakan bahwa setelah merenungi sastra, pembaca akan mempunyai sikap
yang baik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, di samping
pembaca juga mendapatkan hiburan yang berguna bagi keperluan katarsis.
Pendek kata, sastra dapat bersifat dulce et utile, memberikan hiburan sekaligus
manfaat (Wellek & Warren, 1989: 25).
Dalam kaitannya dengan uraian di atas, penyair memberikan keberanian
untuk membina moral agar manusia melakukan perbuatan yang baik dan jujur,
sekalipun di sekitar masyarakat merajalela ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Sastra sebagai potret kehidupan manusia menampilkan tema moralitas bahwa
kebaikan, kejujuran dan keadilan pasti akan menang. Sebagai tanggapan terhadap
keadaan, kritik sosial sering diberikan pengarang untuk memperjuangkan si kecil,
si miskin, dan si kalah sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi
yang kurang diimbangi dan meremehkan etika, estetika dan humaniora (Herman J.
Waluyo: 1994: 27).
Selaras dengan relevansinya dengan masalah-masalah dunia nyata, sastra
memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata
yang cukup rumit di dalam masyarakat, pengajaran sastra perlu dipandang penting
dan harus dilaksanakan dengan tepat. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan
agar pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk
pendidikan yang utuh. Selaras dengan hal ini, ada empat sasaran yang akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dibidik melalui pengajaran sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa;
(2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa yang
meliputi indra, penalaran, perasaan, kesadaran sosial, rasa religius; dan (4)
menunjang pembentukan watak (B. Rahmanto, 1998: 15-38; Moody, 1979: 16).
Dalam kaitannya dengan perolehan keterampilan berbahasa, B. Rahmanto
(1998:16) menyebutkan bahwa mengikutsertakan pengajaran sastra dalam
kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan berbahasa yang
meliputi menyimak, membaca, menyimak, wicara, dan menulis. Lewat
mendengarkan (apresiasi) rekaman karya sastra atau ketika mengikuti ceramah
dari guru, siswa dapat berlatih keterampilan menyimak. Siswa dapat belajar
wicara pada waktu siswa terlibat dalam suatu drama; latihan membaca pada saat
siswa terlibat dalam pembacaan puisi, dan latihan menulis pada saat siswa terlibat
dalam penulisan hasil diskusi sastra. Secara integratif, pada gilirannya
kemampuan berbahasa yang tinggi akan menjadi petunjuk bahwa siswa juga
tinggi kemampuan apresiasi sastranya (Burhan Nurgiyantoro, 2001: 319-320).
Guru sangat menentukan tinggi rendahnya kaulitas pengajaran sastra di
sekolah. Guru tidak cukup hanya menguasai materi yang akan diajarkan, tetapi
juga harus mampu menerapkan metode-metode yang tepat sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada. Dalam pasal 40 ayat 2 Undang-Undang nomor 20 tahun
2003 ditegaskan bahwa tenaga pendidik berkewajiban menciptakan sistem
pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, dialogis, kreatif, dan dinamis. Hal
ini mengharuskan guru kreatif membuat suasana kelas dan pembelajaran menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
nyaman dan menyenangkan, sehingga pembelajaran bermakna yang ditunggu-
tunggu siswa segera terwujud. Pengaruh guru sangat penting dalam lingkup
pembelajaran. Menurut Yatim Riyanto (2009: 112), usia remaja merindukan
sesuatu yang dianggap bernilai dan pantas dihargai, ia memuja pribadi-pribadi
yang dipandangnya mendukung suatu nilai. Karena itu, remaja senang meniru
atau menokohkan seseorang yang disenanginya, misalnya guru yang cantik, yang
menyenangkan, yang memahami kondisi emosi, dan lain sebagainya.
Strategi yang diciptakan guru di kelas harus memiliki kebermaknaan
belajar bagi siswa. Kebermaknaan belajar (meaningfull learning) atau belajar
bermakna akan mempengaruhi kemampuan mengingat karena siswa merasa
bermakna, merasa butuh akan sesuatu yang diyakini dapat bermanfaat untuk
hidupnya (Ratna Wilis Dahar, 1989: 110). Belajar bermakna diartikan sebagai
proses mengaitkan informasi-informasi baru dengan konsep yang relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif siswa. Kemampuan kognitif yang telah lama
dimiliki anak diaktifkan untuk menyambut stimulus baru sehingga anak terus
memperbaiki pengertian sesuai dengan negosiasi kedua faktor tersebut.
Dari tahun ke tahun pemerintah telah banyak mengupayakan peningkatan
kualitas pendidikan, di antaranya dengan perbaikan kurikulum, perundang-
undangan, dan peraturan-peraturan yang mengikat agar guru berkualitas dan
profesional (UU no. 14 pasal 10 tentang kualifikasi dan kompetensi guru).
Banyak kegiatan juga dilaksanakan antara lain ialah pelatihan-pelatihan,
penataran-penataran metodologi pembelajaran, in house training, diklat-diklat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
kesempatan bagi guru untuk mengikuti studi lanjut. Namun demikian, sampai
desawa ini kualitas proses dan hasil pendidikan masih belum sesuai dengan
harapan. Proses dan hasil pembelajaran belum optimal.
Menurut Depdiknas (2007: 5), kondisi yang belum optimal di atas
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) pendidikan diselenggarakan untuk
kepentingan penyelenggara bukan untuk siswa; (2) pembelajaran yang
diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar
hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas
karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang diungkap lewat proses penilaian
hasil belajar yang artifisial. Pengajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total
dari siswa yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri siswa; (3)
aspek afektif cenderung terabaikan; (4) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi
akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibanding dengan
yang di daerah, cabang, maupun ranting; (5) pengajar selalu mereduksi teks yang
ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks dan buku acuan dianggap
segalanya, jika telah menyampaikan isi buku acuan berhasilah dia. Selaras
dengan kondisi tersebut, Bambang Yulianto (2009: 1) menyebutkan bahwa
penyebab rendahnya mutu pendidikan antara lain karena belum efektifnya proses
pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih berorientasi pada
penguasaan teori dan hafalan sehingga kemampuan belajar siswa terhambat. Di
samping itu, penerapan metode pembelajaran yang berorientasi pada guru
mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, pertumbuhan serta perkembangan siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan
mencerdaskan tidak optimal. Muatan belajar yang terlalu terstruktur dan sarat
beban juga mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah steril dari keadaan dan
perubahan lingkungan fisik dan sosial.
Umaedi (2003:45) menyatakan bahwa (1) pembelajaran di masa lampau
lebih menekankan pencapaian target ; (2) yang dicapai adalah hasil bukan proses;
(3) yang dipentingkan adalah banyaknya materi ajar, bukan mendalamnya materi
ajar. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi persoalan yang
bersifat metodologis dalam pengambilan strategi pembelajaran oleh guru. Dalam
kaitannya dengan life skill, lulusan sekolah sampai dewasa ini tidak global market
likes, lulusan yang tidak disukai pasar global. Dalam proses pendidikan, banyak
aspek belajar di luar keterampilan hidup (skill to lerning a living) yang bernilai
abadi untuk mengatasi persoalan yang lebih kompleks hilang begitu saja (Anwar,
2006: 7).
Kondisi pembelajaran yang belum optimal tersebut terjadi di berbagai
aspek pendidikan termasuk pada pembelajaran apresiasi sastra. Keterpurukan
pembelajaran apresiasi sastra dapat dibuktikan oleh adanya keadaan bahwa minat
baca sastra para siswa rendah yang didorong oleh rendahnya tingkat apresiasi
sastra masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat dewasa ini lebih
mementingkan ekonomi dan politik dengan pengutamaan efisiensi, rasio,
kekuasaan, ketertiban dan keamanan, sehingga kesusasteraan menjadi perhatian
dan kesibukan tak berarti. Bangsa Indonesia sebenarnya juga membaca sastra,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
tetapi sayangnya yang mereka baca kebayakan karya sastra yang tidak mewakili
perkembangan kebudayaan bangsanya. Masyarakat bersikap eskapistis, yaitu
cenderung menghindari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman di
alam khayal. (B. Rahmanto dalam Hasan Alwi, eds., 1998: 775).
Menambah data keterpurukan ini, Asep Yudha Wirajaya (dalam F.X.
Sawardi, eds., 2006: 124) mengatakan bahwa biasanya siswa menunggu perintah
dari guru untuk melakukan apresiasi. Mereka jarang memiliki inisiatif sendiri
untuk melakukannya. Bahkan sering ketika perintah apresiasi ini diberikan,
banyak anak yang merasa kesulitan untuk mengungkapkan ide atau gagasan
mereka Sifat-sifat tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan siswa hanya
memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Siswa kurang memiliki kesadaran
diri, pengaturan diri, motivasi diri yang diperlukan untuk penyelesaian tugas
(Casmini, 2007: 9). Padahal kecerdasan emosional itu memiliki peran sangat
penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah. Generasi sekarang lebih banyak
mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan
pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup
dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif (Verina H. Secapramana; 1999: 2).
Di tengah kecenderungan hidup manusia yang condong kepada gaya hidup
hedonis/ sekularis yang ditandai dengan anak mengagungkan kesenangan akan
popularitas dan kecukupan hidup yang layak ini, mengakibatkan anak kurang
memiliki tekad besar untuk mengembangkan kemampuan inteleknya (Casmisi,
2007: 18). Selain itu, kegiatan apresiasi juga sering dikalahkan oleh banyaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
aktivitas les privat anak misalnya les mata pelajaran, les komputer, les musik dan
lain sebagainya.
Biang keladi yang sering ditunjuk sebagai penyebab keterpurukan tersebut
berkisar pada guru, tiadanya minat siswa, minimnya buku, alokasi waktu yang
kurang, tes masuk perguruan tinggi, dan kurikulum. Boen S. Oemarjati (1979: 3)
menyatakan bahwa pengajaran sastra Indonesia lebih menekankan pada sejarah
sastra, siswa kurang diarahkan pada pelajaran apresiasi sastra sehingga
kemampuan siswa dalam apresiasi sangat kurang. Waktu yang tersedia untuk
pembelajaran apresiasi sastra digunakan untuk menjejalkan kepada siswa materi
yang bakal keluar dalam ujian akhir. Lebih mengenaskan lagi, selama ini format
soal dalam ujian akhir yang terstandar tidak memadai untuk menangkap dan
mengukur kenikmatan siswa dalam bersastra.
Melihat bahwa strategi pembelajaran lama yang mengacu pada materi dan
mementingkan content atau target kurang memuaskan, maka sangat perlu
diusahakan adanya alternatif baru yang berdampak positif. Banyak alternatif
yang dapat dipilih, di antaranya ialah strategi yang berbasis pada pandangan
bahwa anak akan belajar lebih baik jika anak mengalami apa yang dipelajari
dalam lingkungan kehidupan nyata secara konstruktivistik. Konstruktivisme
merupakan cara belajar untuk membangun konsep dengan menyatukan materi
yang diajarkan guru dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Proses pembelajaran berlangsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Melalui model pembelajaran ini terjadi
experiential learning. Melalui proses belajar dari lingkungan, individu dapat
menemukan kembali jati dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru, merasakan
hubungan yang akrab dengan alam dan sesamanya dan dapat memperluas
kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas (Anwar, 2006: 12).
Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata, pelajaran
berlangsung menyenangkan (joifull) dan bermakna (meaning full). Dengan cara
ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal pelajaran, tetapi dengan mengalami
anak akan menemukan pengetahuan (konstruktivistik), pemahaman, dan ingatan
sepanjang hayat. Confucius (450 BC) memberikan semboyan yang sesuai dengan
paradigma belajar ini “Tel me, and I will forget. Show me, and I may remember.
Involve me, and I will understand” (Neill, 2004: 1,4).
Paradigma belajar konstruktivistik adalah belajar melalui proses
menginternalisasi, membentuk kembali atau membentuk baru pengetahuan (Haris
Mudjiman, 2007: 25). Oleh karena siswa harus mengalami atau menjalani proses
(process oriented), maka paradigma belajar ini termasuk dalam ketegori model
belajar aktif. Belajar aktif merupakan kegiatan belajar untuk mendapatkan
kompetensi-kompetensi yang secara akumulatif menjadi kompetensi lebih besar.
Ciri belajar aktif ialah siswa aktif (Haris Mudjiman, 2007: 53). Menurut Shuell
(dalam Duffy, Lowyck, Jonassen, 1992: 291) constructive learning is an active,
constructive, cumulative and goal directed process. Oleh karena membutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
keaktivan siswa, maka experiential lerning cocok diterapkan pada siswa dewasa.
Students in these courses tutored ..... worked with adolescents who were in
detention for illegal activites (McKeachi, 1987: 139). IQ menyumbangkan paling
banyak 20 persen bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 persen ditentukan oleh
faktor lain (Verina H. Secarpramana, 1999: 1)
Pengetahuan menurut pemikiran konstruktivisme dibangun oleh manusia
sendiri sedikit demi sekikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas
(sempit) dan tidak sekonyong-konyong, Dasar pemikiran konstruktivisme ialah
bahwa pemahaman pengetahuan akan makin berkembang apabila selalu
dihadapkan pada situasi-situasi baru, dihadapkan pada ujian-ujian melalui
perolehan input baru. Pengetahuan lama akan mengalami asimilasi ataupun
akomodasi secara dinamis untuk menyesuaikan dan memperbaiki terhadap input
baru. Oleh karena itu, pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi melalui
proses perkembangan yang terus menerus (Paulina Panen, Dina Mustafa, Mestika
Sekarwinahyu, 2005: 15-16; Paul Suparno, 1997: 11).
Berdasarkan konsep di atas, maka esensi dari konstruktivisme adalah
gagasan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain secara terus menerus sehingga ditemukan
pengetahuan final yang menjadi milik mereka. Dengan demikian, pembelajaran
harus dikemas menjadi proses pengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.
Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga memperoleh pengetahuan
(Paul Suparno, 1997: 11).
Experiential learning adalah model pembelajaran yang mengoptimalkan
aktivitas belajar siswa melalui pengalaman sehingga siswa memperoleh
kebermaknaan belajar. Belajar melalui pengalaman adalah salah satu strategi yang
dapat meningkatkan kadar CBSA atau student active learning (SAL) dalam
proses belajar mengajar. Belajar melalui pengalaman pemerolehan (acquisition)
pengetahun dan keterampilan serta pembentukan sikap melalui pengalaman
konkrit langsung baik di kelas maupun di luar kelas (Fernandes, 1989:40). Guru
harus menangani proses belajar mengajar yang berdasarkan pengalaman sehingga
anak didik dengan mudah dapat memperoleh pelajaran yang padat arti
(meaningfull learning). Pengalaman konkret (concrete depository experiences)
yang telah dimiliki anak merupakan titik tolak kegiatan belajar mengajar dalam
usaha memperoleh pengatahuan, keterampilan, dan pembentukan watak. Ia
memerlukan modal untuk bertitik tolak melaksanakan proses itu.
Pembelajaran apresiasi sastra dapat disajikan pula dengan model
pembelajaran sinektik. Model pembelajaran sinektik adalah model pembelajaran
(karya sastra) melalui proses metaforik dengan analogi. Sinektik adalah model
pembelajaran yang mempertemukan berbagai macam unsur dengan menggunakan
kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru (Gordon, 1980: 168). Inti dari
model pembelajaran sinektik ialah aktifitas metafora yang meliputi analogi
personal, analogi langsung, dan konflik kempaan (Suryaman, 2004: 71).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Pembelajaran sinektik menekankan keaktifan, kreativitas, dan memerlukan
keterlibatan emosional subjek didik dalam mengarahkan dan melakukan kegiatan
apresiasi karya sastra.
Penalaran siswa akan meningkat sesuai bertambahnya usia. Peningkatan
kemampuan penalaran masing-masing siswa berbeda sebab pada dasarnya
masing-masing individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Selain IQ, EQ
siswa dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Daniel Goleman menjelaskan
bahwa ketika otak kanan menerima tekanan atau ancaman, kapasitas saraf untuk
berpikir rasional menjadi mengecil. Otak dibajak secara emosional. EQ
merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk
menghadapi depresi atau frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur
suasana hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan dan menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kegiatan berpikir (Goleman, 2001: 45). Memahami emosi
dan perasaan mereka sangat membantu mempercepat pembelajaran. Guru yang
disenangi siswa akan menciptakan ikatan emosional yang kuat untuk menyukai
belajar apresiasi sastra. Penelitian telah menguatkan adanya hubungan antara
keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar (Goleman, 2005: 14;
DePorter, Reardon, Nourie, 2000: 22). Hal ini berarti bahwa ikatan emosional
akan memperkuat memori dan ingatan siswa terhadap bahan-bahan yang
dipelajari.
Emosi dimiliki oleh setiap individu, termasuk pula siswa. Emosi dapat
berbentuk negatif atau positif. Emosi positif dapat menjadi motivasi internal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
membangun misalnya menyukai belajar, bergaul, bila mendapat kegagalan
dijadikan sebagai cermin untuk memburu keberhasilan. Emosi negatif bersifat
destruktif atau merusak, murung, putus asa, menarik diri, takut, malu, dan
sebagainya. Kecerdasan emosi (EQ) merupakan kemampuan untuk mengelola
emosi atau perasaan menjadi potensi positif. Terdapat lima dasar kecakapan
emosi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, keterampilan sosial, dan
empati.
B. Identifikasi Masalah
Atas dasar uraian pada latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut :
1. Kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa sampai dewasa ini masih
memprihatinkan. Minat baca sastra para siswa rendah, jarang memiliki
inisiatif untuk apresiasi, kemampuan siswa untuk mengungkapkan ide atau
gagasan rendah. Rata-rata mereka hanya lebih mampu memahami unsur-unsur
yang bersifat informatif dan kurang mampu memahami unsur-unsur yang
bersifat apresiatif.
2. Meskipun kurikulum KBK dan KTSP telah mengarahkan agar guru
menggunakan model-model pembelajaran baru yang konstruktivistik, namun
sampai dengan saat ini banyak guru yang masih menggunakan model-model
pembelajaran lama yang bersifat behavioristik. Model mengajar dengan
pemberian ceramah sampai saat ini masih dominan digunakan oleh guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Model pemberian ceramah tersebut sangat mendarah-daging, setiap hari masih
menjadi unggulan guru di kelas. Dalam model pemberian ceramah, guru aktif
memberi dan siswa pasif menerima. Target oriented ditekankan, sehingga
berakibat siswa mengalami kegagalan dalam ingatan jangka panjang dan tidak
memiliki keterampilan dalam menghadapi masalah.
3. Banyak faktor baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi
kemampuan siswa dalam apresiasi prosa fiksi. Faktor eksternal siswa antara
lain meliputi kualitas lingkungan belajar (suasana rumah, masyarakat,
sekolah, teman bermain dan belajar); kualitas pelaku pendidikan (guru, kepala
sekolah, pengambil kebijakan); pendekatan, metode, teknik pembelajaran;
media pembelajaran; kualitas sarana dan prasarana pembelajaran; kondisi
keuangan yang menopang penyelenggaraan pendidikan. Faktor internal siswa
antara lain meliputi kompetensi intelektual, emosional, semangat, minat/
motivasi, bakat, dan lain sebagainya.
4. Di antara banyak faktor eksternal, model pembelajaran merupakan aspek yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Selaras
dengan bergulirnya paradigma konstruktivisme, model pembelajaran
experiential learning efektif digunakan dalam pembelajaran apresiasi prosa
fiksi. Anak didik akan aktif mengalami apa yang dipelajari secara experiential
sehingga menemukan dan mengkonstruksikan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dapat diingat sepanjang hayat. Model pembelajaran
sinektik juga dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran apresiasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
sastra. Model pembelajaran ini menekankan kreatifitas dan keaktifan
emosional siswa dalam apresiasi sastra melalui proses analogi personal,
analogi langsung, dan konflik kempaan. Dalam analogi personal, analogi
langsung, dan konflik kempaan, anak didik membayangkan secara abstrak
(melalui kiasan metaforik) pelaku dan peristiwa dalam karya. Melalui proses
ini anak didik dapat mengapresiasi karya sastra.
5. Dari faktor internal siswa, kecerdasan emosional (EQ) dapat mempengaruhi
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa. EQ merupakan kemampuan siswa
sendiri untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan untuk menghadapi depresi
atau frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, tidak
melebih-lebihkan kesenangan dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kegiatan berpikir
6. Masing-masing model pembelajaran memiliki kekuatan dan kelemahan dalam
implementasinya di kelas. Anak didik juga memiliki latar belakang emosional
yang beragam. Kedua input ini mempengaruhi proses pembelajaran, sehingga
secara interaktif memiliki dampak yang bersifat kategorial terhadap hasil
belajar apresiasi prosa fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
C. Batasan Masalah
Dari permasalahan yang ada, masalah penelitian ini dibatasi pada:
1. Variabel bebas pertama ialah penggunaan model pembelajaran experiential
learning, model pembelajaran sinektik, dan model pembelajaran langsung
2. Variabel atributif ialah kecerdasan emosional (EQ) siswa
3. Variabel terikat ialah kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa
D. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang dan batasan masalah di atas, penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat berkaitan dengan rumusan
sebagai berikut.
1. Apakah ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar
dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan
model pembelajaran langsung?
2. Apakah ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya
rendah ?
3. Apakah ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai
berikut.
1. Menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar
dengan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan
model pembelajaran langsung.
2. Menemukan perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya
rendah.
3. Menemukan interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.
F. Kegunaan Penelitian
Jika hasil penelitian ini telah diuji keefektifannya di lapangan, maka dapat
digunakan secara teoretis dan praktis sebagai berikut.
1. Kegunaan Teoretis
a. Sebagai masukan yang memberi suplemen terhadap kelemahan model
pembelajaran experiential learning, model pembelajaran sinektik seperti
diungkap pada beberapa artikel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
b. Sebagai data tambahan dalam rangka melengkapi contoh-contoh kasus
sehingga teori dapat dipahami dengan lebih mudah.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi guru, sebagai pertimbangan dalam mengupayakan penciptaan
suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan dengan melalui
pengambilam metode pembelajaran yang tepat
b. Bagi sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, sebagai landasan
keyakinan bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam menunjang
berbagai kegiatan belajar. Untuk itu, kecuali memperhatikan aspek
kognitif dan psikomotorik, juga perlu diperhatikan aspek afektifnya.
c. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
masukan dalam rangka pembinaan mentalitas generasi muda penerus
generasi bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
1. Pengertian Prosa Fiksi
Kata fiksi berasal dari bahasa Latin fictio yang berarti membentuk,
menciptakan, membuat atau mengadakan. Dalam bahasa Indonesia kata fiksi
dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikhayalkan atau diimajinasikan. Prosa
fiksi adalah karya sastra yang berupa uraian cerita atau karya yang terurai,
bercerita, dipaparkan secara langsung. Kata fiksi mengandung pengertian
bahwa apa yang diceritakan merupakan buah imajinasi (Herman J. Waluyo,
2006: 1-2). Kennedy (1983: 3) menyebutkan sebagai berikut.
“Fiction (from the Latin fictio, ”a shaping a counterfeiting”) is an name for stories not entirely factual, but at least partially shaped, made up, imagined …. The factual information in a historical novel, unlike that in a history book, is of secondary importance”
Dengan demikian, cerita fiksi adalah paparan cerita hasil imajinasi
atau cerita rekaan. Cerita rekaan adalah hasil imajinasi atau rekaan yang
bersifat fiktif atau tidak nyata. Hal ini selaras dengan pernyataan Wellek dan
Warren (1962: 26) yang menyatakan bahwa karya sastra bersifat fictionality
dan invention.
Fiksi (fiction) dalam pengertian kesusastraan juga merujuk pada prosa,
teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah
fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat cerkan) atau cerita
19
19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
khayalan. Hal ini disebabkan kepada fiksi isinya tidak menyaran pada
kebenaran sejarah. Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan
sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi
sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia
nyata (Burhan Nurgiantoro, 1994: 2).
Meskipun imajinatif, tetapi tidak berarti bahwa khayalan semata-mata.
Bekal utama suatu karya sastra adalah pengalaman empiris yang sudah
mengendap di dalam batin pengarang. Fiksi dapat diartikan sebagai prosa
naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Menurut Burhan Nurgiantoro (2010: 2-3), hal ini disebabkan fiksi merupakan
hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan
kehidupan, penghayatan dan perenungan secara intens terhadap hidup dan
kehidupan. Dengan demikian, fiksi menawarkan model-model kehidupan
sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang. Cerita rekaan yang ditulis tidak
merupakan khayalan seratus persen karena pengalaman jiwa tidak lepas dari
dunia empiris pengarang. Pengalaman dunia empiris itu dimasukkan dalam
pengalaman batin, mengendap dan kemudian diekspresikan melalui daya
kreatifnya (Herman J. Waluyo, 2002: 2).
Meskipun fiksi, yang ditampilkan dalam karya sastra berkaitan dengan
kenyataan, namun dunia yang ditampilkan dalam sastra adalah dunia sekunder,
yaitu dunia rekaan pengarang. Dalam menampilkan dunia sekunder,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pengarang tidak menceritakan kenyataan hidup, namun khayalan atau
imajinasi. Dengan daya imajinasi kenyataan dilukiskan seperti halnya
kenyataan hidup agar pembaca tidak seperti membaca sesuatu yang imajinatif,
namun pembaca merasa menghadapi kenyataan hidup. Untuk kepentingan
membuat hal fiktif seolah menjadi kenyataan, pengarang perlu mengerahkan
segala daya imajinya. Semakin kuat daya imajinya, semakin mampu
meyakinkan pembaca bahwa hal yang fiktif itu suatu kenyataan. Pembaca
dapat menangis, tertawa, terharu, dan sebagainya karena merasa tidak
menghadapi fiksi tetapi merasa menghadapi kenyataan (Herman J. Waluyo,
2002: 247).
2. Jenis-Jenis Prosa Fiksi
Burhan Nurgiyantoro (2010: 9) menyebutkan fiksi dibatasi pada
karya yang berbentuk prosa, prosa naratif, atau teks naratif. Berdasarkan hal
itu, prosa naratif menunjuk pada karya novel dan cerita pendek (Kennedy
(1983: 4). Saleh Saad dan Panuti Sudjiman (1988: 11) membagi menurut
panjang pendeknya menjadi cerita pendek (cerpen), cerita menengah (cermen),
dan cerita panjang (cerpan). Burhan Nurgiyantoro (2010: 15) menambahkan
bahwa dalam bahasa Inggris ada dua ragam fiksi naratif yang utama, yaitu
romance (roman) dan novel. Novel bersifat realistis, dan romansa bersifat
puitis dan epik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Ada beberapa prosa fiksi yang disusun berdasarkan kenyataan yang
disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction). Karya seperti ini antara lain
misalnya fiksi historis (historical fiction), fiksi biografi (biographical fiction),
fiksi outo biografi (outobiographical fiction), fiksi sains (scientific fiction).
dan sebagainya (Abrams, 1971:61; Burhan Nurgiantoro, 2010: 4).
Herman J. Waluyo (2002: 2) merumuskan istilah fiksi dalam karya
sastra prosa dapat diklasifikasikan menjadi (1) novel yang biasanya terdiri
atas novel realistik dan novel gaya; (2) outobiografi; (3) romansa prosa dan
anatomi atau satire. Fiksi juga dapat dikaitkan dengan cerita rakyat pada
kesusasteraan lama, roman, novel/ novelet, dan cerita pendek dalam sastra
modern. Dari beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan ada 2 jenis
prosa fiksi, yaitu (1) novel (termasuk di dalamnya roman); dan (3) cerita
pendek.
a. Roman
Roman adalah prosa fiksi yang mengisahkan sebagian besar
episode kehidupan tokohnya, bahkan biasanya dilukiskan sampai mati
(Herman J. Waluyo (2006: 2). Kata “roman” berasal dari kata “romagna”
yaitu bahasa yang dipakai di sekitar Roma yang menceritakan tokoh
dengan perkembangan psikologisnya. Oleh karena itu, roman tidak
berusaha menggambarkan tokoh secara nyata secara lebih realistis. Ia
lebih merupakan gambaran angan dengan tokoh yang bersifat introver dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
subjektif (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 15). Kriteria tulisan roman adalah
sebagai berikut.
1) Secara tematis struktural mementingkan profil dan perkembangan
tokoh-tokoh dan menggambarkan suasana pada zaman tertentu atau
daerah tertentu.
2) Secara formal struktur menitik beratkan pada kriteria yang
berhubungan dengan aspek menceritakan sesuatu.
Mochtar Lubis (1983: 16) mengklasifikasikan roman ke dalam 5
jenis, yaitu: (1) roman sosial, (2) roman sejarah, (3) roman bertenden, (4)
roman keluarga, (5) roman psikologi. Guntur Tarigan (1986: 97)
menyebut enam, yaitu: (1) roman avontur, (2) roman psikologi, (3) roman
detektif, (4) roman sosial, (5) roman politik, (6) roman kolektif .
b. Novel
Novel berasal dari bahasa Latin “Novellus” yang kemudian
menjadi “Novies” yang artinya baru. Perkataan baru dikaitkan dengan
kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul
belakangan dibanding roman dan cerpen. Novel pertama lahir di Inggris
adalah “Pamela” yang terbit pada tahun 1740 (Herman J. Waluyo, 2002:
36).
Novel timbul karena pangaruh filsafat John Locke yang
menekankan fakta dan pengalaman serta memandang bahwa berpikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
terlalu fantastis adalah sesuatu yang berbahaya. Pembaca dari golongan
kaya, menengah, dan terpelajar tidak menyukai puisi dan drama yang
kurang realistis. Suasana yang digambarkan novel adalah sesuatu yang
realistis dan masuk akal. Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh
nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Tokoh yang digambarkan
lebih memiliki derajad lifelike di samping tokohnya bersifat ekstrover
(Burhan Nurgiyantoro, 2010: 15).
Novel memiliki ciri-ciri: (1) perubahan nasib tokoh, (2) ada
episode-episode dalam kehidupan tokoh utama, (3) biasanya tokoh utama
tidak sampai mati. Ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir
adalah tidak menggarap realitas (realisme). Bidang itu telah digarap oleh
film. Yang ditampilkan dalam novel adalah tokoh dan cerita di luar
realitas kehidupan. Dengan demikian muncul tokoh-tokoh eksistensialistis
(absurd) seperti karya Iwan Simatupang, tokoh sufi dalam karya-karya
Danarto, atau tokoh aneh dalam karya-karya Budi Darma.
c. Cerita Pendek
Jenis kesusasteraan yang paling populer dan paling banyak dibaca
orang adalah cerita pendek (cerpen).
Dalam cerita pendek dikisahkan salah satu momen dalam
kehidupan manusia. Reid (1977: 8) menyatakan bahwa:
“There is something more than a fragmentary or an episodic structure, something more than a pious or a credulous tone, the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
potential interest of character iun action will hardly be realized. This does not contradict the previous point that some apparently disjointed narratives may quality as short stories”
Waktu penceritaannya pendek, jumlah baris (halamannya) pendek, dapat
dibaca dalam “a single sitting”. Reid (1977: 9) menyebutkan a tale … is
capable of being perused at one sitting. Menurut Burhan Nurgiyantoro,
2010: 10), cerita pendek dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
(a) cerita pendek yang pendek (short-short story) memiliki kurang lebih
500 kata atau kurang lebih 12 halaman folio; (b) cerita pendek yang
panjangnya cukup (midle-short story), (c) cerita pendek yang panjang
(long short story) yang memiliki kurang lebih 50 sampai 90 halaman folio.
Cerita pendek yang panjang diklasifikasikan sebagai novelet, sedangkan
yang lebih dari itu diklasifikasikan sebagai novel.
Tentang panjang cerita pendek, Reid menyebutkan atara 1.600 kata
hingga 20.000 kata (Reid, 1977: 10). Mochtar Lubis (1983: 6) menyatakan
bahwa panjang cerita pendek antara 500 sampai 4000 kata. H.B. Jassin
(1983: 69) memberikan pedoman bahwa cerita pendek adalah cerita yang
pendek, sehingga cerita yang memakan 100 halaman atau lebih tidak
termasuk cerita pendek. Herman J. Waluyo (2002: 34) merangkum bahwa
cerita pendek kurang lebih terdiri dari 10.000 kata, 30 halaman kertas folio,
dibaca dalam waktu 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi
sangat ketat dan kelajuan ceritanya sangat cepat. Perbedaan pendapat
tentang cerita pendek kiranya dapat dirangkum dalam pandangan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
cerita pendek memiliki kepanjangan antara 10 sampai 30 halaman folio
spasi rangkap.
Reid menyebut tiga kualitas yang esensial dari cerita pendek,
yaitu: (a) adanya kesan (impresi) yang menyatu dalam diri pembaca; (b)
adanya konsentrasi dari krisis (konfliks); dan (c) adanya pola (desain)
yang harmonis (unity of impresion, conectrating of crisis, and symetri of
design) (Herman J. Waluyo, 2002: 33; Reid, 1977: 54-59).
Burhan Nurgiyantoro (2010: 11) menjelaskan bahwa cerita pendek
lebih padu, lebih memenuhi ke-unity-an. Cerita pendek menuntut
penceritaan yang ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus yang
kurang penting. Dalam cerita pendek, pengarang mengambil sari
ceritanya saja karena itu ceritanya pendek/ singkat. Kejadian-kejadian
perlu dibatasi, yaitu dibatasi pada kejadian-kejadian yang benar-benar
dianggap penting untuk membentuk kesatuan cerita. Di samping itu, cerita
harus memiliki kepaduan atau kebulatan yang tinggi dan biasanya
berpusat pada tokoh utama dari awal hingga akhir.
Herman J. Waluyo (2002: 3) menyimpulkan bahwa dalam cerita
pendek terjadi pemusatan perhatian pada satu tokoh saja yang ditempatkan
pada situasi sehari-hari, tetapi posisinya sangat menentukan. Artinya
menentukan perubahan dalam perspektif, kesadaran baru, dan keputusan.
Dalam cerita pendek sering dijumpai penyelesaian cerita yang mendadak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dan penyelesaian cerita yang bersifat terbuka (open ending) untuk
diselesaikan sendiri oleh pembaca.
Mochtar Lubis (1983: 8) menjelaskan ciri-ciri cerita pendek yaitu:
(a) mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai
hidup, (b) harus dapat menimbulkan suatu hempasan pada pikiran para
penikmatnya, (c) harus dapat membangkitkan perasaan pembaca, (d)
mengetengahkan insiden-insiden yang bisa menimbulkan pertanyaan
dalam pikiran pembaca, (e) sebuah insiden utama dalam cerita pendek
menguasai jalan cerita melalui seorang pelaku utama, (f) jalan ceritanya
padat, sehingga dapat menciptakan atau meninggalkan kesan bagi para
membaca.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerita
pendek adalah cerita fiktif (rekaan) yang pendek, menceritakan kehidupan
manusia, memusatkan diri pada suatu tokoh dalam satu situasi pada suatu
ketika, ditandai dengan adanya suatu konflik yang utuh dan selesai.
3. Unsur Pembangun Prosa Fiksi
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan yang mengandung
unsur manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan sesama,
dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil
dialog, kontempalsi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Fiksi merupakan sebuah cerita dan karenanya terkandung juga di
dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya
tujuan estetis. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita,
menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya
pengalaman dan permasalahan yang ditawarkan sebuah karya fiksi haruslah
tetap merupakan cerita yang menarik tetap merupakan bangunan struktur yang
koheren dan tetap mempunyai tujuan estetis.
Perkataan cerita fiksi dikaitkan dengan cerita rakyat pada
kesusastraan lama, roman, novel, novelet, dan cerita pendek dalam sastra
modern. Cerita pendek sebagai karya fiksi atau rekaan yang mempunyai unsur
pembangun yang dibangun dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
pembangun cerita rekaan menurut Herman J. Waluyo (2002: 248) adalah tema,
plot (alur cerita), penokohan, perwatakan, setting atau tempat dan waktu cerita,
cakapan atau dialog, dan gaya cerita. Jakob Sumardjo (1986: 52-65)
menyebutkan plot, karakter, tema, setting, suasana, gaya, dan sudut pandang
penceritaan. Stanton (terjemahan Sugihastuti, 2007: 9) menyebut dengan
sarana sastra, yaitu konfliks, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan lain
sebagainya. Semua unsur itu harus padu dalam mendukung cerita dan
menjalin suatu kesatuan yang bulat. Dalam hal ini antara fiksi dan cerpen
mempunyai hubungan yang sangat melekat dan keduannya mempunyai unsur
pembangun yang sama (intrinsik dan ekstrinsik). Tetapi fiksi mempunyai
bagian yang sangat luas dibanding cerpen. Sedangkan cerpen merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
bagian dari fiksi. Studi tentang cerita fiksi atau rekaan dapat memperluas
wawasan seseorang atau siswa tentang manusia dan kemanusian. Manusia
yang ditampilkan dalam cerita rekaan memang bersifat fiktif namun
sebenarnya adalah potret gambaran manusia pada umumnya.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan satu persatu tentang unsur-unsur
pembangun fiksi sebagai berikut.
a. Tema Cerita
Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis
ceritannya bukan sekadar bercerita, tetapi menyampaikan sesuatu kepada
pembaca. Sesuatu yang akan disampaikan itu bisa suatu masalah
kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita semua didasari oleh
pengarang tersebut (Jakob Sumardjo, 1984: 56).
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga pengarang
dapat memaparkan karya yang diciptakan. Selain itu tema merupakan
sesuatu yang telah menjadi pikiran seorang pengarang dan dalam pikiran
itu seorang pengarang membayangkan tentang pandangan hidup atau cita-
citanya. Bagaimana pengarang melihat persoalan dan bagaimana
persoalan diberi pemecahannya oleh pengarang.
Menurut B. Rahmanto (1998: 75) tema adalah hasil analisis sebuah
cerita untuk memecahkan problem yang ada sehingga menemukan sebuah
kesimpulan dari seluruh fakta dalam tema yang telah dicerna. Kesimpulan
itu disebut orang sebagai tema.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Tema (theme) menurut Stanton (1965: 20; terjemahan Sugihastuti,
2007: 37) adalah gagasan utama atau maksud utama atau makna yang
terkandung dalam cerita, merupakan elemen yang relevan dengan setiap
peristiwa dan detail sebuah cerita. Menurut Panuti Soedjiman (1988: 47)
menerangkan bahwa tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik.
Pengarang dalam menulis cerita bukan hanya sekadar bercerita melainkan
bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang
disampaikan itu dapat berupa masalah sosial, moral, individual, politik
dan mental spiritual, bisa juga hanya merupakan masalah yang tidak
disertai pemecahannya. Pemecahannya sepenuhnya diserahkan pada
pembaca. Pembaca sendiri dapat menangkap makna dan menarik
kesimpulan tentang apa yang disampaikan oleh pengarang, atau dapat juga
memberikan pemecahan masalah yang disodorkan oleh pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Zaini (1996: 57) keberadaan tema
dalam cerpen tidak terlalu tampak jelas bahkan dalam cerpen yang
berhasil, tema justru tersamar dalam aliran elemen. Pengarang tidak
menyampaikan secara jelas tema karangannya tetapi merasuk, menyatu
dalam semua unsur, dan dengan begitu mengahasilkan cerpen yang lebih
baik. Kadang-kadang pengarang menyatakan tema dengan tersembunyi
dalam suatu potongan perkataan tokoh utamanya atau dalam satu adegan
cerita. Makin banyak implikasi persoalan yang dikandung dalam sebuah
cerpen semakin baik. Sebab cerpen tersebut akan kaya dengan penafsiran-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
penafsiran. Biasanya cerpen seperti itu akan bertahan lama karena tidak
menjemukan bagi pembaca yang kreatif.
Tema adalah masalah yang hakiki kehidupan manusia seperti cinta
kasih, ketakutan, kebahagiaan, pemberontakan, kesengsaraan,
keterbatasan, dan sebagainya. Pengarang yang baik mengemukakan tema
yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk menjabarkan tema
tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meski
pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil
namun yang penting bukan detil itu, tetapi nuansanya. Berkaitan dengan
hal ini, identitas tema dapat diibaratkan “maksud” dari sebuah gurauan,
yaitu membuat sebuah guraauan menjadi lucu. Jadi yang lebih
dipentingkan ialah terletak pada makna yang dapat memberikan sugesti
pada pembaca (Stanton, terjemahan Sugihastuti, 2007: 28).
Pengarang yang baik mampu menemukakan tema hakiki manusia
dan mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang dapat menembus
tubuh manusia dan seperti televisi yang dapat menangkap gambar-gambar
dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara
masyarakat, dan lagi bagaikan memiliki indra tambahan yang mampu
menangkap getaran masyarakat yang menderita. Wilayah garapan
pengarang luas tanpa batas, namun yang paling baik adalah menjelajah ke
“ruang dalam” manusia, artinya kepada batin manusia yang memiliki
berbagai permasalahan kehidupan (Herman J Waluyo, 2002: 192).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema
adalah ide yang menjadi dasar bagi pengarang menjabarkan menjadi
sebuah cerita atau karya sastra.
b. Plot atau Alur Cerita
Alur atau plot adalah jalannya suatu cerita yang dapat dimengerti
pembaca secara logis. Di dalam plot, jalan cerita saling terjalin dalam
hubungan sebuah cerita tersebut, tanpa jalinan atau ikatan itu peristiwa
atau jalinan tidak bisa dikatakan plot. Plot adalah struktur cerita atau
struktur gerak (Henry Guntur Tarigan, 1986: 126).
Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada
umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga terjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa
terbentuk dalam rangkaian peristiwa (Aminudin, 1984: 83). Menurut Dick
Hartoko (1984: 1) plot adalah struktur gerak, artinya struktur gerak ialah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang
secara logis dan kronologis saling berkaitan yang diakibatkan oleh para
pelaku.
Plot adalah kesinambungan peristiwa berdasarkan hukum sebab
akibat yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih
penting adalah mengapa hal ini terjadi. Peristiwa kausalitas itu tidak hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi
juga perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangan, putusan-
putusan, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam diri pelakon
(Stanton, terjemahan Sugihastuti, 2007: 26). Forster (1966: 93-94)
menjelaskan hubungan sebab akibat sebagai berikut.
“A story is a narrative of events arranged in their time sequence. A plot is a narrative of ivents, the amphasis falling on causality. Causality overshadows time sequence”
Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan mempengaruhi
hubungannya dengan karakter-karakter lain. Pada gilirannya, reaksi yang
ditimbulkan oleh karakter lain itu akan balik mempengaruhinya.
Tegangan-tegangan atau aksi-aksi yang saling mempengaruhi tersebut
terus menerus berlangsung hingga akhirnya menjadi stabil.
Jakob Sumardjo (1996: 49) berpendapat bahwa alur atau plot itu
ibarat gunung es, sebagian besar tak pernah tampak. Kenney (1966: 14-
17) langkah plot terdiri dari “(1) beginning, (2) exposition, (3) the midle
conflict, (4) complication, (5) climax, and (6) the end”. Mochtar Lubis
(1983: 15) membagi kronologi plot menjadi: (1) situation (pengarang
mulai melukiskan keadaan), (2) generating circumstances (peristiwa yang
bersangkutan mulai bergerak), (3) rising action (keadaan mulai
memuncak), (4) climacs (peristiwa mencapai puncaknya), (5) denonemen
(pemecahan masalah). Menurut Panuti Sudjiman (1988: 30), struktur alur
dibagi dalam tiga tahap, yaitu (1) awal yang terdiri dari paparan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
(exposition), rangsangan (inciting moment), gawatan (rising action); (2)
tengah yang terdiri dari tikaian (conflict), rumitan (complication), dan
klimaks; dan (3) bagian akhir yang terdiri dari leraian (falling action),
selesaian (denouement). Selanjutnya Kenney (1966: 20-21) menyebutkan
bahwa plot memiliki hukum plot yang disebut the laws of plot yang terdiri
dari tiga unsur, yaitu plausibility (masuk akal/ kebolehjadian), surprise
(kejutan), dan suspence (ketegangan). Dengan adanya struktur cerita
pembaca dibawa ke dalam suatu kejadian sejak terjadinya ketegangan
sampai pada akhirnya puncak ketegangan. Puncak ketegangan itulah
merupakan inti alur cerita. Timbulnya suatu konflik dalam cerpen erat
hubungannya dengan watak, tema, setting, dan suasana. Tingkah laku
seseorang yang mempunyai kelainan dapat menimbulkan persoalan bagi
orang lain, persoalan tersebut dapat dijadikan konflik atau alur dalam
cerpen. Meskipun alur secara garis besar terdiri dari pengenalan,
ketegangan (klimaks), dan penyelesaian. Sebaliknya, ada cerpen yang
dimulai dengan penyelesaian cerita, sedangkan pembukaan cerita tersebut
tergantung pada pengarang, bagaimana ia mulai bercerita.
Dari uraian pendapat di atas dapat dinyatakan pengertian tentang
plot yang mengandung indikator-insikator sebagai berikut.
1) Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin-
menjalinnya suatu cerita dari awal sampai akhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
2) Dalam plot terdapat hubungan keusalitas dari peristiwa-peristiwa baik
dari tokoh, ruang, maupun waktu.
3) Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita
tokoh-tokohnya.
4) Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot dan berkaitan
dengan tempat dan waktu kejadian cerita.
5) Plot berkaitan dengan perkembangan koflik antara tokoh antagonis
dengan tokoh protagonis.
c. Karakterisasi atau Penokohan
Karakterisasi adalah cara pengarang melukiskan tokoh-tokoh
dalam cerita yang ditulis. Dalam sebuah cerpen atau novel, pengarang
yang baik dapat membentuk tokoh cerita yang meyakinkan sehingga
pembaca seolah-olah merasakan serta berhadapan dengan manusia
sesungguhnya. Bahkan berkat kepandaiannya seorang pengarang mampu
menghidupkan watak tokoh cerita, sehingga merangsang dapat pembaca
mengidentifikasi diri dengan bersikap memusuhinya.
Sebuah cerita mustahil tanpa adanya perwatakan. Daya tarik
sebuah cerita terpancar melalui imajinasi kreatif si pengarang. Pembaca
dapat kenal dengan sejumlah variasi manusia dan berikut masalahnya.
Biasanya seorang yang membaca sebuah cerita tertarik akan penafsiran,
persepsi dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Perwatakan yang dipaparkan biasanya berlawanan antara “baik” dan
“buruk” (B. Rahmanto, 1998: 71).
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh,
sedangkan cara mengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut
dengan penokohan (Aminudin, 1984: 79). Untuk menghidupkan watak
para tokoh cerita, ada beberapa cara yang dapat digunakan. Cara yang
digunakan menurut Jakob Sumardjo (1984: 66) adalah (1) melalui
tindakannya, (2) melalui ucapannya, (3) menggambarkan fiksinya, (4)
melalui pikirannya, penerangan secara langsung. Mochtar Lubis (1983:
11) menyebutkan 7 cara perwatakan pelakon, yaitu: (1) melukiskan bentuk
lahir dari lakon, (2) melukiskan jalan pikiran pelakon, (3) bagaimana
reaksi pelakon terhadap kejadian, (4) langsung dengan menganalisis watak
pelakon, (5) melukiskan keadaan sekitar pelakon, (6) bagaimana
pandangan pelaku lain terhadap pelakon utama itu, (7) bagaimana
pandangan pelakon lain membincangkan keadaan pelakon utama.
Sesuai dengan keakraban pengarang dengan masyarakat, nama-
nama tokoh dan wataknya memiliki tiga dimensi baik fisiologis, sosiologis,
dan psikologis. Ketiganya ini disebut block characterization (Wellek dan
Warren, 1962: 221). Berkaitan dengan ketiga aspek ini, Kenny (1966: 24)
menyebut bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
“…. To expect the people –or characters—in fiction to be similar to the people in life. To say of a fictional character that he is artificial is usually to imply disapproval. Whaterver degree of artifice we are willing to allow in plot, we expect characters to be natural or lifelike” Ada dua jenis perwatakan menurut Foster (1970: 75-85) dan Kenny
(1966: 28-29), yaitu perwatakan datar (simple flat characters) dan
perwatakan bulat (round character). Pada perwatakan datar, tokoh
diceritakan melalui satu sudut saja, selamanya baik-baik saja, atau
sebaliknya selamanya buruk-buruk saja. Pada perwatakan bulat, tokoh
dilukiskan secara kompleks dari berbagai dimensi. Selaras dengan hal ini,
perwatakan juga diklasifikasi menjadi perwatakan dinamis dan statis.
Perwatakan dinamis menggambarkan tokoh mengalami perkembangan,
dan perwatakan statis melukiskan tokoh tidak mengalami perubahan (I
Made Sukada, 1987: 63).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua cara umum
berkaitan dengan perwatakan tokoh, yaitu bagaimana tokoh dilukiskan,
dan bagaimana perubahan watak tokoh.
d. Setting atau Latar Cerita
Setting atau latar cerita adalah lingkungan. Lingkungan yang
dimaksud mencakup lingkungan rumah, pekerjaan, tempat, waktu, dan
suasana. Stanton (1965: 18-19; terjemahan Sugiharstuti, 2006: 35)
menjelaskan latar adalah tempat, waktu, cuaca, periode sejarah, yaitu
tempat dan kapan terjadinya peristiwa. Setting bukan sekedar background,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Unsur
cerita yang disebut setting atau latar itu menyangkut tentang lingkungan
geografi, sejarah, sosial bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau
latar belakang tempat kisah itu berlangsung (B. Rahmanto, 1998: 71).
Kenney (1966: 40) menyebutkan elements of setting terdiri dari:
(1) the actual geographical location, including topography, scenery, even the details of a room’s interior;
(2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters;
(3) the time in which the action takes places, e.g., historical period, season of the year;
(4) the religious, moral, intellectual, social, and emotional environment of the characters.
Hudson (1958: 158) menyatakan bahwa setting adalah keseluruhan
lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan
hidup tokoh, selanjutnya dinyatakan bahwa setting adalah lingkungan
kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Hudson
menyebutkan lingkungan alam sebagai setting material dan yang lain
setting sosial.
Dalam cerpen modern setting merupakan unsur cerita yang penting.
Setting berjalan erat dengan karakter, tema dan suasana cerita. Dalam
sebuah cerpen, setting merupakan unsur yang penting untuk menyusun
tema dan watak tokoh cerita. Misalnya untuk menghadirkan sosok pribadi
Jawa priyayi, setting dapat menggambarkan suasana kehidupan orang
Jawa golongan priyayi yang tidak sama dengan kehidupan orang Batak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Setting harus integral atau menyatu. Setting integral tidak dapat
diganti dengan lingkungan lain, tanpa mengubah dan mempengaruhi
watak tokoh serta tema cerpen. Dalam cerpen yang berhasil setting
terintegrasi dengan tema, waktu, gaya dan implikasi atau kaitan filosofi.
Untuk menilai apakah suatu setting integral dalam cerpen dapat diajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti (1) dapatkah setting diganti dengan tempat
lain tanpa mengubah karakter dan isi cerpen, (2) sampai sejauh mana
setting menentukan tema dan plot cerpen, (3) sampai sejauh mana setting
membentuk watak dan mengapa daerah lain tidak menghasilkan watak-
watak demikian, (4) apakah setting akan tetap efektif pada keseluruhan
cerpen kalau diabaikan atau dihilangkan (Jakob Sumardjo dan Zaini,
1986: 77).
Dalam karya sastra Indonesia sekitar tahun 1960–1970 dijumpai
setting lingkungan gelandangan. Para pengarang mungkin telah jenuh
menampilkan setting manusia formal dengan berbagai macam problemnya.
Setting tidak hanya menampilkan tempat, lokasi, dan waktu. Adat dan
kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Adat dan kebiasaan minang
dapat dibaca melalui karya-karya pengarang minang.
Setting sebagai latar belakang sering melambangkan suasana atau
keadaan tertentu. Pengarang tidak bermaksud melukiskan keadaan setting
hanya untuk setting semata-mata, namun untuk mewakili peristiwa
tertentu. Misalnya, pengarang menceritakan suatu malam hujan gerimis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
disertai angin ribut dan guruh. Peristiwa ini menandakan suasana sepi,
menakutkan dan mencemaskan. Jadi, dari uraian pendapat di atas setting
menyatakan latar belakang atau tempat kejadian atau keadaan di mana
cerita itu terjadi.
e. Sudut Pandang Cerita atau Point of View
Point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita
apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya ataukah
ia sebagai orang yang terbatas. Point of view juga berarti dengan cara
bagaimanakah pengarang berperan, apakah terlibat langsung dalam cerita
sebagai orang pertama, apakah sebagai pengobservasi yang berdiri di luar
tokoh-tokoh sebagai orang ketiga (Herman J Waluyo, 2002: 184). Point of
view berkenaan dengan hubungan pengarang dan tempatnya berdiri dalam
karya sastra (Wellek & Warren, 1962: 222)
Menurut Jakob Sumardjo (1996: 82) point of view pada dasarnya
adalah visi pengarang. Artinya, suatu pendangan yang diambil pengarang
untuk melihat suatu kejadian cerita. Point of view memang hanya
memasalahkan siapa yang bercerita, tetapi ketentuan yang dipilih oleh
pengarang yang akan menentukan cerita yang dituturkan kepada pembaca.
Tiap orang mempunyai pandangan hidup, kepercayaan, temperamen yang
berbeda-beda sehingga sudut pandang cerita tersebut menentukan sekali
wujud cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku
dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan
dengan point of view atau titik kisah menurut Mochtar Lubis (1983: 13)
meliputi (1) author omniscient (pengarang sebagai orang ketiga), (2)
author participant (seorang peninjau berpartisipasi dalam cerita), (3)
author observer (pengarang sebagai peninjau), (4) multiple (campur aduk).
Hal yang mirip dinyatakan Jus Rusjana (1978: 74) bahwa pusat terdiri dari
empat, yaitu (1) tokoh utama dapat menceritakan ceritanya sendiri, (2)
cerita dapat disalurkan oleh orang peninjau yang merupakan partisipan
dalam cerita itu, (3) observer-outhor, yakni pengarang bertindak sebagai
peninjau saja, (4) cerita dapat dituturkan pengarang sebagai orang ketiga
atau omniscient-outhor. Morris membagi point of view menjadi 4 jenis,
yakni (1) the omniscient poit of view, (2) the first person point of view, (3)
the third person point of view, (4) the central intelligence (Herman J
Waluyo, 2002: 186).
Pada hakikatnya pembagian point of view ada kesamaannya, yaitu
(1) pengarang sebagai aku atau gaya akuan, dalam hal ia dapat bertindak
sebagai serba tahu (omniscient) dan dapat juga sebagai terbatas (limited),
(2) pengarang sebagai orang ketiga atau gaya diaan, dalam hal ini dapat
bertindak sebagai serba tahu (omniscient) dan dapat juga.
Dari uraian beberapa pandangan tentang macam-macam sudut
pandang. Pandangan itu berkisar pada tiga hal, yaitu pencerita terlibat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
secara menyeluruh dalam semua lakon baik sebagai “akuan” atau “diaan”,
pencerita diaan mengambil jarak, dan pencerita sebagai akuan yang tampil
hanya sebagai bagian pelaku, tidak melibatkan diri ke seluruh cerita.
f. Gaya Bahasa Cerita
Gaya bahasa merupakan cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh
daya intelektual dan emosi pembaca. Bahasa yang indah yang perlu
dipelajari itu antara lain meliputi dialek, register, idiolek personal (B.
Rahmanto, 1998: 74).
Gaya bahasa adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau
persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain, gaya
adalah pribadi pengarang itu sendiri. Sebagai pribadi, ia berada secara
khas di dunia ini. Ia tak bisa lain dari dirinya. Setiap orang mempunyai
gaya sendiri, entah baik atau jelek (Jakob Sumardjo dan Zaini, 1986: 92).
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa
Latin stilus dan mengandung arti leksikal “alat tulis menulis”. Dalam
karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminudin, 1995:
72). Cara pengarang dalam kreasi karya sastra menunjukkan adanya
perbedaan meskipun pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama.
Pengarang dalam wacana ilmiah akan menggunakan gaya bersifat lugas,
jelas dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna
konotatif, sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru akan
menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif,
asosiatif dan bersifat konotatif.
Hakikat bahasa sastra adalah konotatif. Dalam karya sastra
digunakan bahasa yang berbeda dengan karya nonfiksi. Oleh karena itu,
sejak awal pembaca sudah mengetahui apakah bacaan itu sastra atau
bukan sastra. Ragam bahasa sastra timbul karena suasana hati pengarang
yang haru, terpesona, sengsem, trenyuh, dan sebagainya. Ragam sastra
bertujuan untuk menimbulkan kesan yang sama kepada pembaca. Dengan
kata lain, faktor emotif sangat kuat dalam ragam bahasa sastra, namun
sifat konotatif dan emotif itu berbeda-beda antara prosa, puisi, dan drama.
Meskipun ketiga genre sastra tersebut mempunyai sifat konotatif dan
emotif, namun di dalam cerita rekaan sifat konotatif dan emotif lebih
rendah dibanding puisi (Herman J Waluyo, 2002: 217).
Kiasan atau gaya bahasa, penggunaan kiasan, perbandingan, atau
persamaan biasanya untuk menciptakan efek estetis dan variasi ungkapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dalam cerita. Dengan gaya bahasa ini dimungkinkan penggambaran
suasana yang lebih konkret dan jelas
4. Apresiasi Karya Sastra
Istilah apresiasi berasal dari bahasa Perancis “apprecier” atau
appretiare yang berakar dari bahasa Latin “price”, yang berarti
“mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah
apresiasi menurut Aminudin (1995: 34) mengandung makna (1) pengenalan
melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan
terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang dalam karya
sastra. Apresiasi mengandung sejumlah pengertian yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungannya dengan sastra dan peristiwa
sastra, dan kata apresiasi mengandung pengertian memahami, menikmati dan
menghargai atau menilai. Untuk dapat memahami, menikmati dan menghargai
atau menilai, seorang pembaca memerlukan waktu untuk dapat memahami
karya sastra yang telah dibacanya (Jakob Sumardjo, 1996: 175).
Menurut S. Effendi (1983: 7) bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan
menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh untuk menambah pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan terhadap karya sastra. Tujuan
menggauli cipta sastra ialah: untuk memperoleh kesenangan (pleasure)
langsung, ingin mendapatkan terapi psikologis, ingin memperoleh informasi
estetis, ingin mengembangkan warisan budaya. Pendek kata sastra dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
berfungsi sebagai dulce et utile (memberikan kesenangan sekaligus
bermanfaat).
Apresiasi sastra mirip dengan kritik sastra, namun meski batasannya
sangat kabur, keduanya mempunyai perbedaan. Kritik sastra berusaha mencari
kelemahan-kelemahan karya sastra dan bertujuan mencari kebenaran nilai-
nilai sastra, sementara apresiasi berusaha menerima karya sastra sebagai
sesuatu yang layak diterima dan menerima nilai-nilai sastra sebagai sesuatu
yang benar (Dick Hartoko, 1984: 17). Kritik sastra lebih banyak diberikan
secara akademis di perguruan tinggi melalui kegiatan analisis sastra,
sedangkan apresiasi sastra lebih luas disajikan secara menyenangkan di
sekolah. Tetapi lepas dari perbedaan keduanya, pengkajian cerita rekaan akan
membantu pembaca dalam memahami karya sastra. Hal ini selaras dengan apa
yang dikatakan Kenney (1966: 5) sebagai berikut.
“Analysis properly understood and rightly undertaken contributes essentially to the full enjoyment of fiction”.
Kegiatan apresiasi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca
atau menikmati karya sastra berupa teks maupun performansi secara langsung
yang dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta
mengevaluasi teks sastra baik berupa cerpen, novel, roman maupun teks
naskah yang berupa puisi. Apresiasi sastra secara tidak langsung dapat
ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
berhubungan dengan kesusastraan, baik di majalah maupun koran,
mempelajari buku-buku maupun yang memberikan penilaian terhadap suatu
karya sastra maupun sejarah sastra (Aminudin, 1995: 36).
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan memang untuk dihayati oleh
pembaca agar pembaca bersikap kritis dan cermat menekuni bagian-bagian
pengalaman manusia yang terpilih sehingga pembaca dapat menemukan
gagasan dan perasaan penulisnya serta tanggapan penulis terhadap kehidupan.
Visi penulis ialah tentang hidup dan kehidupan. Pengarang melalui karyanya
ingin mengajak pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masa-
lah yang diketengahkan dalam karyanya (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14).
Untuk dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik, pembaca harus
menguasai berbagai sistem kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode
sastra (A. Teeuw, 1983: 15). Di samping itu, dalam melakukan penghayatan
terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor
afektif, yaitu merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca
(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Ada faktor emosional dalam realitas rasa pada
diri pembaca ketika menghayati/ pengapresiasi sastra. Dalam kegiatan
apresiasi sastra ada totalitas aktualisasi diri yang puncak atau peak experience.
Rockler (1988: 119) menyatakan peak experience ini sebagai berikut.
“One lives (peak experience) through a moment of feeling self actualized which is a brief period in an individual’s life when he or she function completely, and feels self-confident, strong, and self-assured”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Selanjutnya Brown (2000: 143-144) menyebutkan factor emosional sebagai
berikut.
“the affective domain is the emotional side of human behavior. The development of affective states or felling involves a variety of personality factors, felling both about ourselves and about others with whom we come into contact, and the context of communication. And willing and able to place a certain value on the communicative act of interpersonal exchange”
Sastra adalah seni yang banyak memainkan aspek-aspek subjektif, dengan
demikian pemahaman atas perbedaan masing-masing siswa menjadi prasyarat
penting dalam apresiasi sastra. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, muara
akhir kegiatannya tertuju kepada ranah afektif.
Berdasarkan uraian di atas, maka apresiasi sastra adalah kegiatan
penghayatan terhadap karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga
menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis terhadap
karya sastra. Faktor emosi merupakan unsur terdepan bertalian dengan
apresiasi sastra. Ketika disambut pembaca, pembaca tidak dapat
meninggalkan emosi dalam menghayati/ mengapresiasi karya sastra.
5. Pengajaran Apresiasi Prosa Fiksi
a. Tujuan Pengajaran
Banyak tujuan yang ingin dicapai dari pengajaran sastra, di
antaranya ialah agar sastra dapat menjadi katarsis atau pencuci jiwa
(cathartic), semangat juang (morale), solidaritas (solidarity), dan
pembelaan (advocatory) kemanusiaan menjadi kenyataan (Endraswara,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2005: 52). Karya sastra memiliki peran seperti ini karena sastra bersifat
evokatif dan sugestif. Sifat evokatif memberikan daya gugah agar manusia
makin sadar akan eksistensinya sebagai makhluk yang bertanggung jawab
terhadap kehidupan. Sifat sugestif memberikan daya saran alternatif.
Moody menyebutkan ada 4 manfaat pembelajaran sastra yaitu
memberikan skill, knowledge, develompment, dan character (Moody,
1979: 7). Cartes and Long (1997: 1-11) menyebutkan alasan pembelajaran
sastra karena sastra dapat menjadi (1) the cultural model, (2) the language
model, (3) the personal growth model. Di samping itu, juga language
competence and literary competence. Pembelajaran bahasa dan sastra
bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahasa dan peningkatan daya
apresiasi sastra.
Menurut Moody, tujuan pengajaran sastra meliputi 2 aspek, yaitu:
(1) aspek pengetahuan yang terdiri atas informasi dan konsep; (2) aspek
apresiatif yang terdiri dari perspektif dan apresiatif. Menurut Bloom,
tujuan pengajaran sastra meliputi: (1) aspek kognitif yang meliputi tingkat
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi, dan kreatifitas; (2)
aspek afektif yang meliputi sikap menerima, merespon, menilai,
mengorganisir nilai, dan mengkarakterisasikan nilai; dan (3) aspek
psikomotoris (Anderson & Krathowohl, 2001: 63-91). Menurut Gagne,
tujuan pengajaran meliputi (1) kemampuan intelektual; (2) strategi
kognitif; (3) informasi verbal; (4) keterampilan motorik; (5) sikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
terhadap pilihan perbuatan yang bersifat pribadi. Sedangkan menurut
Merril, tujuan pengajaran mencakup (1) mengingat fakta; (2) mengingat
konsep; (3) menggunakan konsep; (4) mengingat prosedur; (5)
menggunakan prosedur; (6) mengingat prinsip; dan (7) menggunakan
prinsip (Herman J. Waluyo, 1986: 87–93).
Pada tahun 2000 Unesco merekomendasikan empat pilar tujuan
pembelajaran, yaitu (1) program pembelajaran hendaknya mampu
memberikan kesadaran bagi masyarakat sehingga mau dan mampu belajar
(learning to know or learning to learn), (2) bahan belajar yang dipilih
hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada
siswanya (learning to do), (3) mampu memberikan motivasi untuk hidup
dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learing
to be), (4) pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk
keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup
bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar
bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (Anwar, 2006: 5).
Urutan ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan menjadi basis untuk
melakukan keterampilan, keterampilan menjadi basis bagi kemandirian,
kemandirian merupakan basis bagi penyesuaian diri dan kerja sama.
Keempat pilar tersebut harus menjadi basis dalam proses
pendidikan karena akumulasi dari keempat pilar tersebut merupakan
modalitas kecakapan hidup (life skills) untuk memecahkan masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
perlu dimiliki siswa. Ada empat jenis life skills, yaitu kecakapan personal
yang meliputi kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan
berpikir (thinking skills); kecakapan sosial; kecakapan akademik; dan
kecakapan vokasional. Kecakapan personal dan sosial merupakan
kecakapan generik (general life skills), dan kecakapan akademik dan
vokasional merupakan kecakapan spesifik (specific life skills). Dengan
kecakapan hidup siswa memperoleh bekal untuk bekerja dan berusaha
yang dapat mendukung pencapaian taraf hidup yang lebih baik (Anwar,
2006: 20, 28). Life skills membantu siswa mengembangkan kemampuan
belajar (learning to learn) menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang
tidak tepat, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan
dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan dan
memecahkannya secara kreatif. Tujuan pembelajaran harus mengintegrasi-
kan life skill, karenanya harus terjadi perubahan oriantasi tujuan
pembelajaran di Indonesia dari subject matter oriented menjadi life skill
oriented (Depdiknas, 2003: 1-7).
Sesuai dengan uraian di atas, maka pembelajaran sastra memiliki
corak: (1) menekankan kegiatan berolah sastra; (2) orientasi belajar sastra
tidak hanya hasil, melainkan pada proses bersastra; (3) keragaman vasiasi
metode pengajar-an; (4) mengakomodasikan pendidikan budi pekerti yang
diintegrasikan ke dalam karya sastra; (5) kegiatan ekstra kurikuler dapat
menjadi wacana pengayaan dan menempa kompetensi siswa. Karakteristik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pembelajaran sastra tersebut adalah mengarah ke kegunaan sastra bagi
siswa untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Dengan demikian
kompetensi sastra yang diharapkan adalah kemampuan siswa melakukan
tugas dan apresiasi sastra secara total. Riris Toha K. Sarumpaet (1995: 2-
3) menyebutkan tujuan dan kegiatan dalam pengajaran sastra hendaknya
sebagai berikut:
1) bukan saja menikmati dan memahami, melainkan juga menggali nilai dan hikmah sastra dan akhirnya sampai pada sikap mencintai karya sastra;
2) tidak saja dibekali dengan pengetahuan dan sejarah sastra, melainkan juga pengalaman kreatif mencipta dan membahas karya sastra;
3) Tidak hanya meningkatkan kemampuan berbahasa, tetapi juga kemampuan mempertajam penalaran, daya bayang, serta kepekaan terhadap budaya, masyarakat, dan lingkungan kehidupan, sehingga dapat mencintai kehidupan.
Secara riil, indikator tujuan pembelajaran sastra di sekolah (sampel
kelas VIII) dapat didata menurut standar kompetensinya sebagai berikut:
1) Melalui menyimak siswa dapat mengapresiasi (unsur-unsur pementasan, menemukan karakter tokoh, mengevaluasi pemeran tokoh) pementasan drama
2) Melalui berbicara siswa dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan (menemukan karakter tokoh, memerankan tokoh sesuai karakter, mengimprovisasi berdasarkan kerangka naskah) dengan bermain peran
3) Melalui membaca siswa mampu memahami teks drama secara intrinsik, dan mampu menganalisis kerangka serta membuat sinopsis novel remaja
4) Melalui menulis siswa mampu mengungkapkan keaslian pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis kreatif menyusun kerangka dan mengembangkannya menjadi naskah drama
5) Melalui menyimak siswa memahami unsur intrinsik (tokoh, karakter, tema, latar, alur) novel remaja (asli atau terjemahan) yang dibacakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
6) Melalui berbicara siswa dapat mengapresiasi (mendata masalah yang menarik dan mengomentari) kutipan novel remaja (asli atau terjemahan) melalui kegiatan diskusi
7) Melalui membaca siswa dapat memahami karakter tokoh, latar buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan ciri-ciri umum antologi puisi.
8) Melalui menulis siswa dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas dengan cara menentukan objek, pilihan kata, dan menyuntingnya secara tepat (Depdiknas, 2006: 515-535).
Menengok kurikulum 2004 yang merupakan tumpuan pengembangan
kurikulum 2006, secara umum dapat dinyatakan bahwa tujuan
pembelajaran sastra menurut standar kompetensinya sebagai berikut.
1) Melalui menyimak siswa mampu mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/ terjemahan sesuai tingkat kemampuan siswa,
2) Melalui berbicara siswa mampu membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya,
3) Melalui membaca siswa mampu membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat,
4) Melalui menulis siswa mampu: mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis kreatif, serta dapat menulis kritik dan essai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dicaba (Direktorat Dikdasmen Depdiknas, 2003:8).
Dengan berbagai kegiatan menggauli cipta sastra, tujuan apresiasi
karya sastra ialah agar pembaca menjadi peminat atau pecinta karya sastra.
Tujuan pokok pengajaran sastra untuk mencapai kemampuan apresiasi
kreatif, yakni respon terhadap karya sastra yang sampai pada aspek
kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan daya kritis. Sesuai pendapat ini, maka
pengajaran sastra yang berhasil akan mengakibatkan siswa memiliki
kegemaran membaca cerita-cerita bermutu, gemar mengumpulkan buku-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
buku cerita, gemar mengikuti diskusi-diskusi yang membicarakan sastra,
gemar membicarakan cerita yang dibacanya dengan orang lain, gemar
mengumpulkan ulasan-ulasan sastra, suka membantu orang lain dalam
menelaah/ memahami sebuah karya yang sukar ditafsirkan, dapat memetik
nilai-nilai yang dibacanya serta memadukan dengan pengalamannya
sendiri, sering mengikuti lomba sastra (I.G.A.K. Wardani, 1981: 2).
Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka tercapainya tujuan
pembelajaran sastra dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
1) Tingkat menggemari, ditandai dengan adanya rasa tertarik pada buku-buku sastra dan berkeinginan membacanya,
2) Tingkat menikmati, ditandai dengan mulainya tumbuh pengertian karena sudah mulai menikmati karya sastra,
3) Tingkat mereaksi, ditandai dengan adanya keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati, misalnya dengan menulis resensi, berdebat dalam diskusi, dan lain sebagainya,
4) Tingkat produksi, ditandai dengan mulainya memproduksi cipta sastra (I.G.A.K. Wardani, 1981: 1; Herman Waluyo, 2002: 45).
b. Strategi Pembelajaran
Dalam mencapai tujuan pengajaran, seorang pengajar harus
mampu menggunakan berbagai pendekatan, strategi, atau metode yang
tepat dan relevan agar pengajaran apresiasi sastra mudah dimengerti. Hal
ini dikarenakan tugas guru adalah (1) memberikan pengalaman belajar
yang dapat menumbuhkan rasa senang dan rasa puas pada diri siswa
sehingga terus belajar, (2) membantu pembelajar mencari dan
menganalisis informasi yang diperlukan sehingga pembelajar dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
membuat keputusan yang benar (Haris Mudjiman, 2007: 13-14). Dalam
kaitannya dengan pembelajaran sastra, Miller (1980: 11) menerangkan
sebagai berikut.
“Even though the teacher knows interesting facts about the outhor which the student does not know, or has true insights into the work which the student has not yet discerned, still there comes a time when the teacher must practice restraint” Mengajar bukan berarti menstransfer pengetahuan kepada siswa,
tetapi membantu siswa mengembangkan pengetahuan mereka. Hal itu
disebabkan karena guru berfungsi sebagai manajer dan pemimpin
pembelajaran. Selaras dengan pernyataan di atas, Brown yang menyatakan
mengajar sebagai berikut.
“Teaching defined as showing or helping someone to learn how to do something, giving instructions, guiding in the study of something, providing with knowledge, and causing to know or understand” (Brown, 2000: 7).
Untuk membantu siswa, guru dapat menempuh taktik (siasat, muslihat,
akal) dan trategi yang kondusif.
Ajib Rosidi (1973: 67) mengemukakan bahwa untuk mencapai
tujuan pengajaran ada dua jalan yang harus ditempuh, yaitu (1) memberi
kesempatan kepada para siswa untuk berkenalan langsung dengan karya-
karya sastra yang dibicarakan, (2) memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengetahui berbagai soal mengenai karya sastra. Selaras dengan hal
ini, Brumfit (1971: 295) menyarankan agar mereka (siswa) diberi waktu
yang cukup sehingga perlu ditambah dengan waktu ekstra kurikuler.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Selaras dengan uraian di atas, dalam konteks pengajaran maka
yang dimaksud strategi ialah kemampuan internal seseorang untuk
berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Strategi
merupakan taktik atau pola yang dilakukan oleh seorang pengajar dalam
proses pembelajaran, sehingga siswa dapat lebih leluasa dalam berpikir
dan dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya secara lebih
mendalam (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 3). Ada beberapa
model pembelajaran yang ditawarkan sebagai strategi pembelajaran sastra,
yaitu, model Stratta, model Rodrigues-Badaczewski, model Sinektik
Gordon, model Induktif Taba, model Moody (Suwardi, 1997: 61-64).
Moody dan B. Rahmanto (1998: 48-53) menawarkan model pembelajaran
sastra dengan membagi 6 tahap: (1) preliminary assessment, (2) practical
decision, (3) introduction of the work, (4) presentation of the work, (5)
discusion, dan (6) reinforcement/ testing. Dalam bahasa Indonesia, urutan
tersebut: (1) pelacakan pendahuluan oleh guru, (2) penentuan sikap kritis
oleh guru, (3) introduksi oleh guru, (4) penyajian dengan pembacaan puisi
atau memutar rekaman, (5) diskusi, dan (4) pengukuhan.
Di samping beberapa model pembelajaran yang ditawarkan di atas,
ada beberapa model pembelajaran modern yang berorientasi pada
konstruktivisme antara lain ialah belajar aktif, belajar mandiri, belajar
kooperatif dan kolaboratif, generative learning, dan model belajar kognitif
antara lain problem based learning, cognitif strategies (Paulina Panen,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Dina Mustafa, Mestika Sekarwinahyu, 2005: 41). Selain itu, ada CTL,
quantum, experiential learning.
Pembelajaran apresiasi sastra sejak kurikulum 1984 dilakukan
secara terpadu dengan pembelajaran keterampilan berbahasa berdasarkan
pendekatan terintegrasi (integratif approach). Pernyataan tersebut selaras
dengan uraian pada ruang lingkup Kurikulum KBK (Depdiknas, 2003:6)
bahwa aspek kemampuan bersastra meliputi mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Apresiasi
sastra berhubungan dengan kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan
karya sastra, yaitu mendengar atau membaca karya sastra dengan
penghayatan, menulis sastra atau menulis resensi sastra (Herman J.
Waluyo, 2002: 44). Keempat keterampilan ini ada dalam wilayah kajian
bahasa. Apabila pada kegiatan membaca, menulis, berbicara,
mendengarkan, apresiasi dan ekspresi sastra muncul persoalan atau
kesulitan menyangkut aspek kebahasaan, di situlah saat yang tepat untuk
membahas dan menjelaskan aspek kebahasaan.
Pembelajaran dengan integratif approach ialah pembelajaran yang
memandang dan mengaitkan secara sadar dan sengaja berbagai aspek
materi inter/ antar bidang studi yang memungkinkan siswa memperoleh
pengetahuan (intelektual), sikap (afeksi), dan keterampilan (psikomotor)
secara utuh (holistic) dan simultan dalam konteks yang riil dan bermakna.
Integrasi inter-bidang studi adalah perpaduan materi pelajaran dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
lingkup pelajaran bahasa dan sastra itu sendiri, sedangkan integrasi antar
bidang studi adalah keterpaduan dengan mata pelajaran lain (Imam
Syafi’ie, 1990: 19). Dalam integrasi, beberapa aspek dari beberapa bidang
studi diintegrasikan. Namun oleh karena secara implisit hadir pada setiap
pendekatan, maka metode integratif ini jarang dimunculkan sebagai
metode tersendiri (Iskandarwasid dan Dadang Sunendar, 2008: 61).
Keterpaduan materi keterampilan berbahasa dengan materi
kesusasteraan secara riil dapat dilihat pada standar kompetensi bahan
kajian bahasa Indonesia kompetensi bersastra sebagai berikut:
1) Mendengarkan: mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/ terjemahan sesuai tingkat kemampuan siswa,
2) Berbicara: membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya,
3) Membaca: membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat,
4) Menulis: mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis kreatif, serta dapat menulis kritik dan essai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca (Depdiknas, 2003: 8).
Pembelajaran apresiasi sastra dilakukan melalui kegiatan mendengarkan,
menonton, membaca, dan melisankan hasil sastra berupa puisi, cerita
pendek, novel, drama; memahami dan menggunakan pengertian teknis
kesusasteraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai,
dan menganalisis hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta
sastra yang berupa puisi, cerita pendek, novel, dan drama (Depdiknas,
2003: 5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Berdasarkan hal itu, sejak diberlakukannnya kurikulum 1984,
materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diintegrasikan secara
tematik interbidang. Dalam organisasi materi secara tematik ini, semua
komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam satu tema yang
sama dalam satu unit pertemuan. Kehadiran tema ini perlu dipahami
bahwa tema bukanlah tujuan, tetapi alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Tema tersebut haruslah diolah dan disajikan secara
kontekstual (budaya-sosial-religius lingkungan anak), kontemporer (baru),
konkrit (tidak abstrak), dan konseptual (dari konsep ke analisis atau dari
analisis ke konsep kebahasaan-penggunaan-pemahaman) (Depdiknas,
2007:32). Tema yang telah dipilih haruslah diolah dengan perkembangan
lingkungan siswa yang terjadi saat ini agar fungsinya benar-benar dapat
memayungi/ menjadi wahana pengikat keterpaduan materi pembelajaran.
c. Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Sastra
Tujuan penilaian/ evaluasi dalam pengajaran sastra menurut
Burhan Nurgiantoro (2001: 322-225) adalah (1) mengungkapkan
kemampuan apresiasi sastra siswa, dan (2) menunjang tercapainya tujuan
pengajaran apresiasi sastra. Tes kesastraan yang apresiatif adalah tes yang
berangkat dari karya sastra secara langsung, dan untuk dapat
mengerjakannya siswa harus membaca karya itu dengan sungguh-sungguh.
Kata kunci untuk dapat menjawab pertanyaan ialah siswa harus “membaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
karya sastra secara langsung”. B. Rahmanto (1998: 122-123)
menyebutkan tujuan evaluasi sastra untuk (1) pengukur pencapaian
standar siswa atas apa yang mereka pelajari, (2) sebagai pendorong dan
tantangan belajar agar vsiswa menyiapkan diri, (3) sebagai perkiraan
untuk membantu menentukan bahan yang tepat untuk berbagai bentuk
pelajaran dan latihan selanjutnya. Baxter (1997:7) menyebutkan mengapa
melakukan penilaian sebagai berikut.
1) to compare student with each other, 2) to see if students meet a particular standard, 3) to help the student’s learning, 4) to check if the teaching programme is doing its job.
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam evaluasi
pembelajaran Apresiasi sastra. Menurut Moody (1979: 89-96; B.
Rahmanto, 1998: 128; Burhan Nurgiantoro, 2001: 340-346) membagai
empat aspek evaluasi, yaitu: (1) aspek informasi, (2) aspek konsep, (3)
aspek prespektif, (4) aspek apresiatif.
Aspek informasi menanyakan data dasar yang dapat digunakan
untuk membantu memahami karya sastra, misalnya: peristiwa apa saja
yang disajikan, di mana, kapan, tokoh-tokohnya siapa saja, bagaimana
akhir ceritanya, pengarang siapa, kapan ditulis. Aspek konsep berkaitan
dengan persepsi tentang bagaimana data atau unsur-unsur karya sastra
tersebut diorganisir, apa saja macam unsur-unsur cerita itu, apa maksud
dan efek pemilihan unsur-unsur itu, bagaimana hubungan unsur-unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
cerita tersebut, konflik apa saja yang muncul, bagaimana kaitan antara
berbagai konflik yang ada, faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya
suatu konflik. Aspek perspektif berkaitan dengan pandangan siswa
terhadap karya sastra yang dibacanya. Apakah yang diceritakan di dalam
karya sastra tersebut signifikan dengan realita kehidupan, atau bersifat
tipikal, apakah ada kemungkinan cerita semacam itu terjadi di tempat lain,
kesimpulan apa yang dapat ditarik dari cerita tersebut, apa manfaat karya
tersebut bagi pembaca. Aspek apresiatif berkaitan terutama pada
hubungan sastra dengan kebahasaan yang berkisar: mengapa pengarang
justru memilih bentuk, kata atau ungkapan seperti itu, apa pengaruh yang
ditimbulkan dengan pemilihan atau penggunaan kata, ungkapan, imaji-
imaji, episode, dan penokohan bagi karya itu secara keseluruhan, jenis
ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya sastra tersebut.
Burhan Nurgiantoro (2001: 326-331) menjelaskan bahwa evaluasi
prosa fiksi (novel) dapat dilakukan dengan mengembangkan model
Bloom, yaitu:
1) Ranah kognitif (kemampuan berpikir), menanyakan apa yang anda ketahui tentang alur, siapa yang menulis novel, termasuk angkatan berapa;
2) Ranah afektif (sikap), menanyakan pendapat siswa tentang isi cerita;
3) Ranah psikomotor, mengevaluasi kegiatan apresiasi misalnya bedah buku, bermain drama, dan sebagainya
Dijelaskan oleh Burhan Nurgiantoro, 2001: 332-340) bahwa ranah
kognitif meliputi tingkatan ingatan, pemahaman, penerapan, analisis,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
sintesis, dan tingkat penilaian. Tes ingatan mengungkap kembali fakta,
konsep, definisi, deskripsi, nama pengarang, nama angkatan. Tes
pemahaman menyangkut pembedaan, memahami, menjelaskan, hubungan
antar-konsep, dan lain-lain yang sifatnya sekedar mengingat. Tes
penerapan menuntut penerapan pengetahuan teoretik ke dalam kegiatan
praktis yang konkret. Siswa dituntut dapat memperlakukan karya sastra
secara nyata melalui kegiatan mengubah, memodifikasi,
mendemonstrasikan, mengoperasikan, dan menerapkan sesuatu hal. Tes
tingkat analisis menuntut siswa menganalisis sastra baik secara intrinsik
maupun ekstrinsik. Tes tingkat sintesis menuntut siswa mengkategorikan,
menghubungkan, mengkombinasikan, dan meramalkan hal-hal yang
berkenaan dengan unsur-unsur karya sastra. Tes tingkat kognitif menuntut
evaluasi karya sastra dengan memberi komentar dengan alasan-alasan
estetika. Tagihan kognitif mengukur seberapa banyak siswa mampu
menguasai bahan pembelajaran kesusasteraan yang bersifat kognitif yang
dikembangkan melalui soal-soal yang berdasarkan kisi-kisi (standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi standar, indikator, jumlah soal, dan
monor soal). Tagihan kognitif bersifat teoretis.
Tagihan untuk kerja merujuk kepada kemampuan melakukan
aktivitas tertentu sesuai dengan tuntutan kompetensi mata pelajaran.
Tagihan ini bersifat psikomotoris baik aktif-reseptif (menyimak-
membaca) maupun aktif produktif (berbicara-menulis). Tagihan afektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
menjaring informasi sikap, minat, motivasi, kesungguhan belajar siswa.
Instrumen yang dapat disiapkan untuk memperoleh informasi ini ialah
dengan mengembangkan soal berdasarkan skala Liekert, misalnya dengan
kantinum sangat senang (5), senang (4), biasa-biasa saja (3), kurang
senang (2), dan tidak senang (1). Tagihan portofolio dilakukan dengan
pemberian tugas tulis menulis yang bersifat produktif, misalnya tulisan
yang isinya menceritakan kembali suatu teks.
Penilaian pembelajaran apresiasi sastra berdasarkan KTSP
menggunakan sistem penilaian berbasis kelas yang di dalamnya terdapat
proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang belajar
siswa yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau
menjelaskan unjuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas-
tugas terkait. Penilaian berbasis kelas ini menggunakan pengertian
penilaian sebagai authentic assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan
untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tantang hasil belajar
siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan belajar mengajar
(Abdul Majid, 2008: 185). Tujuan penilaian ini untuk (1) penelusuran
(keeping track), (2) pengecekan (cheking up), (3) pencarian (finding out),
(4) penyimpulan (summing up).
Umaedi (2003: 19-20) manyatakan bahwa authentic assessment
yaitu penilaian yang dilakukan bersama dan terintegrasi (tidak
terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran di kelas. Penilaian dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
sepanjang proses pembelajaran agar dapat diketahui peran serta, kesulitan
anak, serta dapat membantu bagaimana siswa mempu mempelajari
(learning how to learn). Data yang diambil ialah data siswa melakukan
kegiatan dalam proses pembelajaran, karenanya disebut data autentik.
Informasi atau data yang dikumpulkan digunakan untuk memahami siswa,
merencanakan, memonetor proses pembelajaran, dan menciptakan suasana
kelas yang bergairah. Brennan (2006: 623-626) mengutip dari beberapa
measurement experts mengatakan sebagai berikut.
“Based of classroom assessment strategies designed to be a integral part of teaching and learning. Advocated the use of objective measurement to adapt instruction to individual learning needs…the process of checking learning through direct observation of behavior and informal testing”
Bentuk evaluasi sesuai dengan paradigma di atas meliputi ragam
tagihan atau penilaian kelas, yaitu tes tulis, penilaian unjuk kerja
(performance assessment), penilaian portofolio, penilaian proyek,
penilaian hasil kerja (product assessment), penilaian sikap, penilaian diri
(Abdul Majid, 2008: 195-219) Secara riil, evaluasi dapat berwujud
pertanyaan lisan, ulangan harian, praktik unjuk kerja, tugas rumah,
ulangan akhir, karya siswa. Presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi,
laporan, jurnal, hasil tes, karya tulis. Inti dari authentic assessment adalah
menjawab pertanyaan ”apakah siswa belajar?” bukan ”apa yang sudah
diketahui?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Kemampuan apresiasi prosa fiksi dipengaruhi oleh beberapa hal
yang ada di dalam diri siswa sendiri, yaitu (1) faktor jasmani meliputi
kesehatan seorang siswa agar dapat belajar dengan baik untuk
mengapresiasikan cerita pendek. Siswa harus dalam keadaan sehat, untuk
memenuhi siswa yang sehat dengan proporsional, yaitu tidur, makan, olah
raga, dan rekreasi. Dan apabila seorang mempunyai cacat tubuh tentu saja
kegiatan belajar dapat terganggu dan konsentrasi belajar berkurang, (2)
faktor rohani, siswa dipengaruhi oleh (a) perhatian, yaitu siswa harus
mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajari, (b) motif, yaitu
tujuan yang hendak dicapai karena menjadi penyebab berbuat suatu
kebiasaan atau latihan, (c) kematangan, tingkat dalam pertumbuhan
seseorang untuk melaksanakan kecakapan yang baru, (d) kesiapan, yaitu
kesediaan untuk memberi respon atau reaksi.
6. Definisi Konseptual Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan,
dan kekuatan. Dalam kaitannya dengan aktivitas belajar, kemampuan
merupakan keluaran belajar. Menurut Gagne & Briggs (1979: 49-56), Burhan
Nurgiantoro, (2001: 22), Mergel (1998: 11) ada lima kategori keluaran belajar
yang selanjutnya disebut sebagai kompetensi dan kapabilitas.
“The performance that may be observed as learning outcomes are considered to be made possible by internally stored states of the human learner called capabilities”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Kompetensi dan kapabilitas ini diterangkan oleh keduanya sebagai
kemampuan. Kemampuan ini diukur dengan evaluasi yang sesuai.
Berdasarkan konsep kemampuan, dan uraian mengenai pengertian prosa fiksi
serta pengertian apresiasi, maka kemampuan apresiasi prosa fiksi ialah
tingkatan kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan yang dipunyai seseorang
untuk memahami, menikmati dan menghargai atau menilai terhadap cerita
rekaan.
B. Model Pembelajaran
1. Pengertian Model Pembelajaran
Istilah “model pembelajaran” lahir pertama kalinya oleh Joyce pada
tahun 1972 (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: xvii; terjemahan Achmad Fawaid
& Ateilla Mirza, 2009: xx). Bersumber dari teori tersebut, sampai saat ini
guru-guru dapat mengembangkan profesionalismenya dalam mengemban
tugas menjadi pendidik melakukan pembelajaran di kelas. Karena itu,
bukunya sampai sekarang menjadi “a book for all seasons”.
Bagaimana pengertian model pembelajaran. Dorin, Demmin, dan
Gabel (dalam Mergel, 1998: 2) secara umum menyatakan bahwa “a model is a
mental picture that helps us understand somethink we cannot see or
experience directly”. Model adalah gambaran mental yang membantu
memahami sesuatu yang tidak dapat dilihat atau pengalaman langsung. Selain
pengertian ini, model pembelajaran memiliki beberapa definisi lain sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu
definisi model dikemukakan Dilworth (1992: 74) sebagai berikut.
“A model is an abstract representation of some real world process, system, subsystem. Model are used in all aspect of life. Model are useful in depicting alternatives and in analysing their performance”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa model merupakan
representasi abstrak dari proses, sistem, atau subsistem yang konkret. Model
digunakan dalam seluruh aspek kehidupan. Model bermanfaat dalam
mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis tampilan pilihan-
pilihan tersebut.
Dewey (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 13) mengatakan bahwa
“The core of the teaching process is the arrangement of environments within
which the student can interact and study how to learn. Selanjutnya dijelaskan
lebih lanjut bahwa berdasarkan hal itu, maka:
“A model of teaching is a description of a learning environment. The descriptions have many uses, ranging from planning curriculum, courses, units, and lessons to designing instructional materials – books and workbooks, multy media programs, and computer assisted learning program”
Menurut Chauhan (1979: 20) model mengajar sebagai berikut.
“Model of teaching can be defined as an instructional design which describes the process of specifying and producing particular environmental situations which cause the students to interact in such a way that a specific change occurs in their behavior” Suryaman (2004: 66) merumuskan model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model mengajar dapat
diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun
kurikulum, mengatur materi siswa, dan memberi petunjuk kepada pengajar di
dalam kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya.
Banyak model mengajar, Joyce, Weil, & Calhoun (2000: 13-28)
mengelompokkan menjadi empat keluarga, yaitu: (1) model pemrosesan
informasi (information processing family model), (2) model pribadi (personal
family model), (3) model interaksi sosial (social family model), dan model
perilaku (behavioral system family model). Menurut Joyce, Weil, & Calhoun
(2000: 135), semua model mengajar mengandung unsur model berikut: (1)
orientasi model, yaitu fokus atau kerangka acuan yang menyangkut tujuan
pengajaran dan aspek lingkungan; (2) urutan kegiatan (syntax), yaitu tahapan
tindakan model; (3) sistem sosial (social system), yakni norma (sikap,
keterampilan, pengertian) yang menyangkut hubungan antara guru dan siswa,
(4) prinsip reaksi (principle of reaction); (5) sistem penunjang (support
system), yakni instrumen pendukung terhadap keberhasilan guru dan siswa
seperti teks, OHP; dan (6) dampak instruksional dan penyerta (instructional
and nurturant effect).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Model mengajar pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus sebagai
berikut:
a. Memiliki prosedur yang sistematis untuk memodifikasi perilaku siswa berdasarkan asumsi-asumsi tertentu;
b. Hasil belajar ditetapkan secara khusus dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati;
c. Penetapan lingkungan secara khusus yang meliputi faktor-faktor pendukung seperti silabus/ RPP, media pembelajaran, dan lain sebagainya;
d. Ukuran (kriteria) keberhasilan yang ditunjukkan dalam bentuk unjuk kerja siswa;
e. Interaksi dengan lingkungan yang menetapkan bagaimana siswa melakukan interaksi dan mereaksi dengan lingkungan (Abdul Azis Wahab, 2008: 54-55).
Adapun pentingnya sebuah model dapat digambarkan melalui fungsinya yang
menurut Chauhan (1979: 201) meliputi: (1) sebagai pedoman yang
menjelaskan apa yang harus dilakukan guru; (2) membantu pengembangan
kurikulum; (3) menetapkan bahan-bahan pengajaran, serta (4) membantu
perbaikan dalam mengajar. Dengan demikian model mengajar merupakan
catak biru untuk mengajar, sebuah prosedur yang riil.
Model pembelajaran berbeda dengan pendekatan pembelajaran.
Pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat
pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan bersifat aksiomatif yang
memerikan hakikat pokok bahasan yang diajarkan (Anthony dalam Allen,
1965: 93-97). Pendekatan merupakan latar belakang filosofis tentang pokok-
pokok yang akan diajarkan. Anthony menyatakan:
“Approach is the level at which assumption and beliefs about language and language (and leterature) learning are specified. Approach refers to
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
theories about the nature of language and language learning that serve as the source of practices and principles in language teaching” (dalam Richard & Rodgers, 2001: 20-21).
Klaus (1971: 6) menyatakan bahwa pendekatan sebagai berikut.
“This approach is based on principles of learning wich are focused on the response, or performances of the learner in the learning environment”
Dengan demikian, pendekatan mengacu pada teori tentang hakikat
bahasa dan hakikat pembelajaran bahasa dan sastra yang bertindak sebagai
sumber pelatihan dan prinsip di dalam pembelajaran. Pendekatan dapat
diartikan sebagai kaca pandang/ sudut pemetaan yang mengarahkan siswa
dalam melakukan kegiatan apresiasi.
Model pembelajaran juga berbeda dengan metode. Metode adalah cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008:
58). Jika pendekatan bersifat aksiomatik, metode bersifat prosedural. Suatu
metode bersifat teoretis, yaitu berdasarkan teori tentang apa, bagaimana, dan
mengapa menggunakan suatu metode itu. Dasar teori tersebut meliputi dasar
linguistik, psikologis, maupun praktis. Contoh metode dalam pembelajaran
bahasa ialah metode alamiah, metode langsung, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
2. Pendekatan Konstruktivisme sebagai Landasan Model Pembelajaran
Berbasis Pengalaman
Konstruktivisme merupakan konsep belajar yang mengintegrasikan
materi yang diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1).
Berdasarkan pendekatan ini proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam
bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan
dari guru ke siswa. Melalui proses belajar dari lingkungan, individu dapat
menemukan kembali jati dirinya, dapat melakukan sesuatu yang baru,
merasakan hubungan yang akrab dengan alam dan sesamanya dan dapat
memperluas kapasitas pribadi dalam rangka kehidupan yang lebih luas
(Anwar, 2006: 12). Selaras dengan pikiran ini, Mergel (1998: 7) menyatakan
sebagai berikut.
“Constructivists believe that learners construct their own reality or at least interpret it based upon their perceptions of experiences, so an individual’s knowledge is a fungtions of one’s prior experiences, mental structure, and beliefs that are used to interpret objects and events”
Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata,
pelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (joifull) dan bermakna
(meaning full). Dengan cara ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal
pelajaran, tetapi dengan mengalami anak menemukan pengetahuan secara
konstruktivistik dan menjadikannya ingatan sepanjang hayat. Paradigma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
belajar konstruktivisme adalah belajar melalui proses menginternalisasi,
membentuk kembali atau membentuk baru pengetahuan (Haris Mudjiman,
2007: 25). Oleh karena siswa mengalami atau menjalani proses (process
oriented), maka pendekatan belajar ini termasuk dalam ketegori model
belajar aktif. Belajar aktif merupakan kegiatan belajar untuk mendapatkan
kompetensi-kompetensi yang secara akumulatif menjadi kompetensi lebih
besar. Ciri belajar aktif ialah siswa aktif mengalami apa yang dipelajari (Haris
Mudjiman, 2007: 53). Menurut Shuell (dalam Duffy, Lowyck, Jonassen,
1992: 291) constructive learning is an active, constructive, cumulative and
goal directed process.
Pengetahuan menurut pemikiran konstruktivisme dibangun oleh
manusia sendiri sedikit demi sekikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Dasar pemikiran konstruktivisme
ialah bahwa pemahaman pengetahuan akan makin berkembang apabila selalu
dihadapkan pada situasi-situasi baru, dihadapkan pada ujian-ujian melalui
perolehan input baru. Pengetahuan lama akan mengalami asimilasi ataupun
akomodasi secara dinamis untuk menyesuaikan dan memperbaiki terhadap
input baru. Oleh karena itu, pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi
melalui proses perkembangan yang terus menerus (Paulina Panen, Dina
Mustafa, Mestika Sekarwinahyu, 2005: 15-16; Paul Suparno, 1997: 11).
Berdasarkan konsep di atas, maka esensi dari konstruktivisme adalah
gagasan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
suatu informasi kompleks ke situasi lain secara terus menerus sehingga
ditemukan pengetahuan final yang menjadi milik mereka. Dengan demikian,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses pengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga
memperoleh pengetahuan (Paul Suparno, 1997: 11). Ada beberapa asumsi
yang mendasari psikologi konstruktivisme, menurut Merril (dalam Mergel;
1998: 7) sebagai berikut.
1) knowledge is constructed from experience, 2) learning is personal interpretation of the world, 3) learning is an active process in which meaning is developed on the
basis experience, 4) conceptual growth comes from the negotiation of meaning, the
sharing of multiple perpectives and the changing of our internal presentations through collaborative learning,
5) learning should be situated in realistic settings, testing should be integrated with the task and not a separate activity.
Oleh karena membutuhkan keaktivan siswa untuk mengalami, maka
pendekatan pembelajaran ini sangat tepat diterapkan pada murid yang sudah
dewasa. Students in these courses tutored ... worked with adolescents who
were in detention for illegal activites (McKeachi, 1987: 139) Kondisi ini
sesuai dengan kondisi anak SMP, anak SMP yang umurnya sekitar 12 tahun
berada dalam period of formal operation, usia di mana anak sudah mampu
berpikir secara simbolik dan mampu memahami makna secara abstrak. Pada
usia ini juga berkembang ketujuh kecerdasan majemuk (multiple
intellegences).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
3. Model Pembelajaran Experiential Learning
a. Konsep Model Pembelajaran Experiential Learning
Padan kata experiential learning ialah belajar melalui pengalaman.
McKeachi menyebutkan pengertian experiential learning sebagai berikut:
“Experiential learning refers to a broad spectrum of educational experiences such as community service activities, field work, sensitivity training groups, internship, or cooperative education involving work. The goal of experiential learning has both cognitif and motivational goals” (McKeachi, 1987: 140).
Keeton & Kate (I.G.A.K. Wardani, 2000: 117; Suciati, Ibrahim,
Refni Delfi, Siti Julaeha, 2007: 4.3) menyatakan bahwa:
“Experiential learning refers to learning wich the learner is directy in touch with the realities being studied”. Experiential learning adalah belajar melalui pengalaman yang melibatkan siswa secara langsung dalam masalah atau isu yang dihadapi.
Kelly (1997: 1) menerangkan experiential learning sebagai berikut.
“Experiential learning is not just fieldwork or praxis (the connecting of learning to real life situations) althougt it is the basic for these approaches, it is a theory that defines the cognitive processes of learning. In particular, it asserts the importance of critical reflection in learning”
Selaras dengan pengertian tersebut, menurut Marrison (dalam
Fernandes, 1989:40; Amir Achsin, 1984 : 5-6) ada asumsi yang mendasari
dilaksanakanya pendekatan ini, yaitu: (1) bahwa seseorang dapat belajar
dengan baik apabila ia sendiri secara pribadi terlibat langsung di dalam
pengalaman belajar itu, (2) bahwa pengetahuan haruslah ditemukan
sendiri kalau kita menginginkan ilmu lebih bermakna sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
menimbulkan perubahan pada tingkah laku kita, (3) bahwa keterikatan
untuk belajar menjadi lebih tinggi apabila kita bebas menentukan sendiri
tujuan pelajaran kita dan kegiatan-kegiatan untuk mencapainya.
Berdasarkan pengertian dan asumsi di atas, pada hakikatnya dalam
belajar siswa mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata
sehingga secara konstruktivistik anak menemukan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai hasil dari pengalaman belajar. Amir Achsin (1984:
4) menyebutkan bahwa siswa dikatakan dalam situasi atau sedang belajar
melalui pengalaman ketika (1) seseorang menghasilkan suatu konsep,
rumus dan prinsip dari pengalamannya sendiri; (2) konsep, rumus dan
prinsip tersebut menuntun tingkah laku seseorang dalam proses belajar.
Suciati, Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha. (2007: 4.4) menyebutkan
bahwa belajar melalui pengalaman menekankan pada hubungan yang
harmonis antara belajar-bekerja-aktivitas kehidupan dengan menciptakan
pengetahuan itu sendiri. Agar siswa belajar, guru bertugas
mengkondisikan kelas dan lingkungan yang menyenangkan, membantu
siswa mengatasi kecemasan, membantu siswa mengenali perbedaan-
persamaan situasi agar dapat melakukan generalisasi (Baharuddin &
Esa Nur Wahyuni: 2007: 63-64) Pembelajaran dengan model ini tidak
mengutamakan target pencapaian materi yang bersifat behavioristik,
melainkan strategi yang harus diciptakan secara kreatif oleh guru agar
siswa dapat melakukan learning experiental.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Berdasarkan pernyataan Fernandes, Jacobus, T. Tirtawijaya,
Kasurianto (1989: 40) dan Amir Achsin (1984: 5-6), ciri-ciri belajar
berdasarkan pengalaman dapat digambarkan sebagai berikut (1) anak
mengembangkan konsep-konsep, rumusan dan prinsip-prinsip dari
pengalaman-penglamannya sendiri, (2) konsep, rumus dan prinsip-prinsip
ini menuntun tingkah laku mereka dalam proses belajar (melalui
pengalaman itu), (3) dalam proses belajar itu mereka secara terus menerus
memperbaharui konsep-konsep, rumus-rumus dan prinsip itu untuk
meningkatkan kegunaannya. Raka Joni dan I.G.A.K. Wardani (2000: 119)
menyebutkan karakteristik dasar belajar melalui pengalaman yaitu (1)
dipersepsi sebagai proses daripada hasil, (2) proses berkesinambungan
melalui pengalaman, (3) proses belajar merupakan penyelesaian
pertentangan dialektis antara modus-modus dasar yang saling berlawanan
untuk beradaptasi dengan lingkungan, (4) merupakan proses adaptasi
terhadap dunia luar secara holistik, (5) merupakan interaksi antara
individu dan lingkungan, serta (6) merupakan proses penciptaan ilmu
pengetahuan.
b. Prosedur Model Pembelajaran Experiental Learning
Ada tiga model pembelajaran experiential learning, yaitu model
John Dewey, model Jean Piaget, dan model Kurt Lewin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
1. Model John Dewey
Model pembelajaran yang disampaikan oleh John Dewey
menekankan pada balikan (feed back). Istilah balikan ini digunakan
untuk menjelaskan bagaimana belajar mengubah getaran-getaran
(impulses), perasaan, keinginan dan pengalaman konkrit ke dalam
tindakan yang memiliki tujuan yang lebih tinggi.
Menurut Dewey belajar adalah proses dialektis yang
mengintegrasikan pengalaman dengan konsep, observasi dan tindakan.
Getaran-getaran pengalaman memberikan ide dan ide-ide tersebut
memberikan arah terhadap getaran selanjutnya. Akhirnya dari proses
belajar tersebut terjadi perumusan tujuan. Perumusan tujuan tersebut
mencakup tiga hal yaitu:
(1) observasi keadaan sekeliling,
(2) pengetahuan tentang apa yang terjadi pada kondisi yang sama di
saat yang lalu,
(3) pertimbangan yang menggabungkan apa yang diobservasi dengan
apa yang diingat untuk menentukan pengetahuan yang signifikan.
Siklus belajar melalui pengalaman model John Dewey dapat dilihat
pada gambar di bawah ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Gambar 1: Alur Siklus Experiential Learning Model Dewey
(Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha, 2007: 4.2; Kolb, 1984:23)
2. Model Jean Piaget
Menurut Piaget, dimensi pengalaman dan konsep, serta refleksi
dan tindakan membentuk landasan yang berkesinambungan bagi
perkembangan orang dewasa. Perkembangan dari anak-anak ke
dewasa bergerak dari pandangan yang bersifat konkret menuju
pandangan yang bersifat abstrak, dari pandangan egosentris yang aktif
kepada pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi (Ibrahim, Refni
Delfi, Suciati, Siti Julaeha., 2007:4.8).
Proses belajar merupakan suatu siklus interaksi antara
individu dan lingkungan yang unsur pokoknya terletak pada interaksi
yang saling menguntungkan antara proses akomodasi konsep atau
skemata terhadap pengalaman nyata dengan proses asimilasi peristiwa
dan pengalaman terdahadap konsep dan skemata yang dimiliki. Oleh
karena itu, menurut Piaget, belajar adalah adaptasi intelegensi yang
merupakan hasil keseimbangan antara proses akomodasi dan asimilasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
tersebut. Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha (2007: 4.8)
menjelaskan bahwa ketika proses akomodasi mendominasi asimilasi,
terjadi proses imitasi terhadap segala sesuatu di lingkungan. Ketika
asimilasi mendominasi proses akomodasi, terjadi penekanan pada
konsep atau kesan tanpa memperhatikan kenyataan lingkungan.
Proses pertumbuhan kognitif dari konkrit menuju abstrak dan dari
tindakan menuju refleksi didasarkan pada transaksi yang
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Proses ini melalui
tahapan, di mana tahap sebelumnya harus sudah dikuasai sebelum
berlanjut pada tahap yang lebih tinggi dari fungsi kognitif.
Berdasarkan logika di atas, Piaget mengidentifikasi siklus
belajar mulai anak lahir sampai kira-kira umur 16 tahun menjadi empat
tahap. Empat tahap belajar tersebut sebagai berikut.
1. Pertama tahap sensori-motorik (sampai 2 tahun)
Pada tahap ini kegiatan belajar didominasi oleh aktivitas melalui
perasaan, sentuhan, dan rabaan. Anak belajar mengenal api yang
panas karena menyentuh lilin, dan sebagainya. Proses belajar pada
tahap ini didominasi oleh proses akomodasi.
2. Kedua tahap preoperasional (2 sampai 6 tahun)
Pada tahap ini kegiatan belajar masih berorientasi pada hal-hal yang
konkrit tetapi sudah mulai berkembang ke arah orientasi refleksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Pada tahap ini anak sudah mampu menggunakan imajinasi melalui
pemanfaatan pengamatan alat indera dan membayangkannya.
3. Ketiga tahap operasional konkrit (7 sampai 11 tahun)
Pada tahap ini kegiatan belajar sudah diarahkan pada logika
pengelompokan dan hubungan. Siswa sudah dapat menggunakan
pola berpikir secara induktif. Gaya belajar siswa pada tahap ini
ialah operasi konkrit. Siswa pada tahap ini menggunakan konsep
dan teori untuk memilih dan membentuk pengalamannya.
4. Keempat tahap operasi formal (12 sampai 16 tahun)
Pada tahap ini kemampuan kognitif anak bergerak dari proses
simbolik yang didasarkan pada operasi konkret menuju proses
simbolik yang didasarkan pada logika. Siswa sudah lebih
berorientasi pada tindakan.
Siklus empat tahap belajar melalui pengalaman model Piaget dapat
dilihat di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Gambar 2: Alur Siklus Experiential Learning Model Piaget
(Diabaptasi dari Ibrahim, Refni Delfi, Suciati, Siti Julaeha, 2007: 4.15; Kolb, 1984:25)
3. Model Kurt Lewin
Model belajar melalui pengalaman dari Lewin hampir sama
dengan model belajar yang dikemukanan John Dewey (Suciati,
Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha., 2007:4.8). Menurut model Lewin,
secara umum ada empat urutan proses dalam belajar melalui
pengalaman :
“(1) concrete, personal experience, (2) observation, reflection examination, (3) formulation of abstract concepts, rules, and principles, (4) personal theory and Ideas to be tested in new situation” (Kolb, 1984: 21; Kolb, Rubin, Osland, 1991; Taba & Hills dalam Fernandes, 1989:44; Smith (1996: 3).
Siklus empat tahap belajar tersebut menurut David A. Kolb (dalam
Smith, 2008: 3) dapat dilihat pada diagram sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Gambar 3: Alur Siklus Experiential Learning Model Lewin
(Smith, 1996: 2; adaptasi dari Suciati, Ibrahim, Refni Delfi, Siti Julaeha, 2007: 4.5; Kolb, 1984:21)
Neill (1004: 1) berkaitan dengan siklus holistic di atas
menerangkan sebagai berikut.
Experiential learning cycles are models for understanding how the process of learning work. …. In two notable ways:
a. Experiential learning cycles treat the learners subjective experience as of critical importance in the learning process
b. Experiential leraning cycles propose an interactive series of processes wich underlies learning
Kelly (1997: 3) menambah penjelasan sebagai berikut.
“It help us understand our areas of weakness, giving us the opportunity to work on becoming more proficient in the other modes or it help us realize our strengths, which might be usefull in certain social situations, such as deciding on a career. It help them understand their learning tlyles and thus make transitions to higher levels of personal and cognitive functioning”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Walker (1985: 12) menjelaskan learning cicle Kolb di atas sebagai
berikut.
The core of the model is a simple description of the learning cycle: a. How experience is translated into concepts, which in turn
are used as guide in the choice of new experience b. Learning is conceived of as a four stage cycle. Immediate
concrete experience is the basis for observation and reflection, these observations are assimilated into a theory from which new implications for action can be deduced and these implications or hypotheses are used to indicate new experience.
Reflection on experience as if it were a kind of learning loop continually feeding back and forth berween the experience and the relationships being inferred.
Melengkapi pendapat Walker di atas, McKeachi (1987: 140)
menyebutkan sebagai berikut.
“Abstract will become meaningful when strudent see that they are helpful in describing and understanding real life phenomena. Experiences in the fild will stir up questions and student minds that will lead to active learning. Such qoestions and student’s reports of their experiences in the field should enliven class discussions. Most importantly, field experience links learning, thinking, and doing. Teachers hope that field experiences will not only motavate students to learn current course materials but also increase their instrinsic interest in further learning, motivation to be of service to others”
Mirip dengan apa yang dikemukakan McKeachi, Kelly (1997:
2) menjelaskan fungsi tahapan experiential learning sebagai berikut.
“Further perceiving, whereas in the critical reflection stage we ask questions about the experience in terms of previous experiences, in the abstract conceptualization stage, we try to find the answers. We make generalizations, draw conclusions and form hypotheses obout the experience. The action phase, in
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
light of his interpretation, then becomes a phase of active experimentation, where we try the hiphoteses out”
Siklus yang terdiri dari empat tahap (4 stages) tersebut dialami siswa
secara berkelanjutan. Pengalaman siklus pertama akan diperbaharui
pada siklus kedua, ketiga, dan seterusnya sampai perolehan
pengetahuan sempurna. Menurut Kelly (1997: 3) paradigma ini dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4: Siklus Experiential Learning Berkelanjutan
(Kelly, 1997: 3)
Langkah Kolb di atas diperbaiki lebih lengkap dengan
mengetengahkan learning style (gaya belajar) yang merupakan
kegiatan antara dari masing-masing langkah serta hubungan yang
bersifat interaktif secara vertikal maupun horizontal. Langkah
perbaikan ini dapat dilihat sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Gambar 5: Alur Siklus Gaya Belajar
(Mcleod, 2010: 3; Baharudin dan Esa Nur W., 2007: 170)
Gaya belajar, karakteristik, dan ciri-ciri gaya belajar dapat dijelaskan
dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 1: Gaya Belajar, Karakteristik, dan Ciri Gaya Belajar
Gaya Belajar
Karakteristik Belajar
Ciri-Ciri Gaya Belajar
Converger Abstract Conceptualization + Active Experimentation
1. Penerapan ide praktisnya kuat 2. Dapat fokus pada hipo-deduktif
untuk membahas masalah-masalah khusus
3. Tidak emosional 4. Penuh minat
Diverger Concrete Experience + refective Observation
1. Kemampuan imajinatifnya yang kuat
2. Mahir dalam menggeneralisasi ide dan melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda
3. Tertarik pada perilaku manusia 4. Minat pada budaya luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Gaya Belajar
Karakteristik Belajar Ciri-Ciri Gaya Belajar
Assimilator Abstract Conceptualization + Reflective Observation
1. Kemampuan membuat model-model teoretisnya kuat
2. Baik dalam penalaran induktif 3. Berkonsentrasi pada konsep
abstrak daripada manusia Accommo- dator
Concrete Experience + Active Experimantation
1. Kekuatan terbesarnya adalah mengerjakan sesuatu
2. Lebih berani mengambil resiko (risk taker)
3. Pada saat yang mendadak, ia bisa menirukan dengan baik saat diminta
4. Menyelesaikan masalah secara intuitif
Secara konkrit siklus holistik gaya belajar dapat dilihat sebagai berikut.
PenangkapanPenangkapan aprehensionaprehension((melaluimelalui pengalamanpengalaman konkritkonkrit))
PengalamanKonkrit (CE)
Perasaan
KonseptualisasiAbstrak (AC)
BerpikirdPenangkapan Comprehension
(melalui interpretasi konseptual)
Observasi &Refleksi (RO)Mengamati
EksperimenAktif (AE)
Berbuat
Pengolahanisi Pengalaman
Penangkapan
Tranformasi eks-tension
Mengait-kan dgndunia luar
Tranformasiinten-sion(internal)
Tdk meng-kaitkan dg dunia luar
(1) Penget Gaya Confergen:
- Tdk emosional
- Minat kurang
- Suka berhub dgn benda
- Jurusan alam/ teknik
(3) Penget Gaya Asimilatif:
- Tdk tertarik konsep abstrak
- Tdk peduli penerapan praktis
- Suka matematika & penelitian
(4) Penget Gaya Akomodatif:
- Tdk sabar- Adaptif- Intuitif
- Tertarik konsep
abstrak
(2) Penget Gaya Devergen:
- Emajinasi tinggi
- Pandangan holistik
- Suka hubungan dg manusia
- Mendalami Bahasa & Sastra
Gambar 6: Siklus Holistik Experiential Learning
(Diadaptasi dari Mcleod, 2010: 3; Baharudin dan Esa Nur
Wahyuni., 2007: 170)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Bentuk langkah paling sederhana dapat dilukiskan dari 3 proses
yaitu: (a) proses pembedaan aspek-aspek khusus dari bagian-bagian
yang lebih besar, (b) proses pengelompokan objek-objek yang
mempunyai persamaan umum, (c) penamaan & pengkategorian objek-
objek yang mempunyai persamaan umum. Tiga proses tersebut dapat
diterangkan dalam concept formation (aktivitas mental) pada tabel
berikut ini.
Tabel 2: Concept Formation
Overt Activity Covert Mental
Operation Elisting Question
Enumaretion & listing
Differentiation What did you see, hear, note ?
Grouping Identifying comunon properties, abstracting
What belong together ?
Labelling, categorizing, summerizing
Determine the hierarchical order items Super and sub ordination
On what criterion ? How would you call these groups ? What belongs under what ?
(Hilda Taba & James Hills dalam Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 132)
Mengintegrasikan beberapa uraian di atas, secara rinci ada 5
langkah dalam pembelajar melalui pengalaman : (1) mengidentifikasi
pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik
(concrete-personal experiences), (2) guru menambahkan
complementary materials bagi hasil observasi anak di lapangan, (3)
site visit (kunjungan ke lapangan untuk observasi), (4) kegiatan kelas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
(sharing experiences), (5) debriefing oleh guru untuk pemantapan.
Zahorik (1995: 14-22) menyebutkan bahwa elemen pertama yang
harus diperhatikan dalam belajar konstruktivistik mengaktifkan
pengetahuan lama yang sudah ada (activating knowlegde); kedua ialah
pemerolehan pengetahuan baru dengan cara pertama pelajari
keseluruhan; kedua memperhatikan detail; ketiga ialah pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge) dengan cara menyususn
hipotesis, sharing kelompok, dan revisi konsep; keempat ialah
mempraktikan pengetahuan dan pengalaman; dan kelima ialah refleksi
terhadap hasil belajar atau strategi pengembangan tersebut.
c. Penerapan dan Kontribusi Model Pembelajaran Experiental Learning
pada Pembelajaran Apresiasi Sastra
Penerapan model pembelajaran experiential learning pada
pembelajaran apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-langkahnya
dapat dijelaskan pada skenario pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 3: Skenario Model Pembelajaran Experiential Learning
Tahap Langkah (Syntax) Experiential Learning
Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
1 Mengidentifikasi pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik (concrete-personal experiences)
Guru melakukan apersepsi dgn pertanyaan yang merangsang ingatan pengalaman apresiasi sastra siswa Atau guru menyuruh siswa membaca di sini dan sekarang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tahap Langkah (Syntax) Experiential Learning
Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
2 Guru nambah complementary materials bagi hasil ingatan pengalaman anak
Guru mengarahkan ingatan siswa dan memberi penjelasan tambahan (materi)
3 Siswa melakukan observasi dan refleksi (kunjungan ke lapangan atau wacana untuk observasi dan merefleksi langkah yang telah dilakukan
(1) Siswa diberi kesempatan dan kebebasan menjelajahi sastra secara kritis untuk identifikasi dan klasifikasi persoalan dari karya sastra. (2) Siswa merefleksi/ mengevaluasi proses & hasil identifikasi & klasifikasi hasil penjelajahan
4 Siswa melakukan diskusi untuk dapatkan respon tentang hasil observasi dan refleksi (sharing experiences),
Siswa mempresentasikan hasil kerja, siswa yang lain memberikan respon secara aktif
5 Guru memberikan debriefing untuk pemantapan.
Guru memberikan penjelasan dan meluruskan gagasan siswa
6 Siswa menyimpulkan konsep hasil diskusi (formating abstrac concep)
Siswa menyimpulkan hasil apresiasi sastra
7 Siswa mencoba konsep untuk mecahkan masalah baru (testing in new situation)
Guru memberi tugas pengayaan apresiasi sastra yang mirip dgn cara yang baru dilakukan anak.
Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,
model pembelajaran experiential learning memberikan kontribusi atau
kemanfaatkan dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, yaitu menuntun
siswa mengalamai apa yang dipelajari sehingga pembelajaran dirasakan
meaningfull dan joifull. Siswa dapat memaknai pengetahuan awal dan
pengalaman apresiasi yang telah dimilikinya bermanfaat menuntun dalam
membuat asosiasi atau hipotesis, pertanyaan-pertanyaan dalam hipotesis
merangsang siswa melakukan penjelajahan kritis dan memeriksa atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
merefleksi hasil penjelajahan, hasil penjelajahan dan refleksi bermanfaat
untuk menyusun simpulan hasil apresiasi, simpulan hasil apresiasi siswa
merangsang siswa melakukan pencocokan atau pembandingan (testing)
dengan simpulan yang telah disiapkan guru. Kecocokan inilah yang
memberi makna mendalam bahwa yang dilakukan siswa telah benar.
Pengalaman tersebut dirasakan siswa sangat menyenangkan karena
merupakan kreasi baru yang tidak membosankan, anak merasa mudah
mengikuti pelajaran karena bebas membangun pengertiannya sendiri.
d. Definisi Konseptual Experiental Learning
Model pembelajaran experiential learning ialah strategi
pembelajaran yang merangsang siswa mengalami secara aktif apa yang
dipelajari dalam kehidupan nyata secara menyenangkan dan penuh makna
sehingga dapat menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilan menjadi ingatan sepanjang hayat. Proses mengalami melalui
langkah: (1) mengidentifikasi pengalaman konkrit yang telah dimiliki
anak, (2) melakukan observasi dan merefleksi-mengevaluasi hasil
observasi (guru dapat menambahkan informasi bagi hasil observasi
pengalaman anak), (3) merumuskan teori/ rumus/ prinsip secara abstrak di
benak siswa, (4) perumusan teori dan gagasan pribadi dan mengetes
dalam situasi/ lingkungan baru. Empat langkah tersebut dapat ditambah
(5) sharing pengalaman dan (6) pemantapan (briefing) oleh guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
4. Model Pembelajaran Sinektik
a. Konsep Model Pembelajaran Sinektik
Pengembangan kreativitas dan keaktifan siswa merupakan hal
yang sangat penting diperhatikan dalam proses pembelajaran. Hal ini
dikarenakan kreativitas merupakan hal yang penting dalam kehidupan
manusia. Utami Munandar (1999: 46) mengatakan bahwa kreativitaslah
yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh
karena itu, sikap dan perilaku kreatif harus dibina untuk menunjang
keberhasilan siswa dalam aktivitas belajar. Kreativitas dan keaktifan
diperlukan dalam kegiatan apresiasi karya sastra.
Untuk menggerakkan kreativitas dan keaktifan anak diperlukan
pendekatan yang sesuai, di antaranya ialah sinektik yang oleh ditawarkan
oleh Gordon. Ada empat asumsi dasar model sinektik, (1) kreativitas
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu sinektik dirancang
untuk meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah,
mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empati, memiliki
wawasan sosial. (2) Proses kreatifitas bukanlah hal yang misterius, ia
dapat dipaparkan, karena itu sangat mungkin melatih seseorang secara
langsung sehingga dapat meningkatkan kreatifitasnya. (3) Penemuan yang
kreatif pada hakikatnya sama dalam berbagai bidang dan ditandai oleh
proses intelektual yang melatarbelakanginya, (4) penemuan yang kreatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
dari individu dan kelompok pada dasarnya serupa (Joyce, Weil, Calhoun,
2000: 220-221).
Sinektik merupakan strategi pengajaran yang baik untuk
mengembangkan kemampuan kreatif (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 182).
Sinektik berasal dari bahasa Greek “synectikos”, synectics (Inggris) yang
berarti menghubungkan, menyambung. Menurut Gordon, sinektik adalah
model pembelajaran yang mempertemukan berbagai macam unsur
menggunakan kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru (Gordon,
1980: 168). Treffinger (1980: 66) menyebutkan bahwa
“Synectics is a term which means the joining together of different and apparently irrelevant element. Applied to creative learning, synectics involves the use of metaphor and analogy to develop original ideas and new combinations of ideas”
Inti dari model sinektik ialah aktifitas metafora yang meliputi analogi
langsung (direct analogy), analogi personal (personal analogy), dan
konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68;
Suryaman, 2004: 71). Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra,
berdasarkan model ini maka berarti karya sastra akan dipahami melalui
proses metaforik dengan analogi. Sheela (1992: 1) menerangkan bahwa
analogi berfungsi untuk menjembatani antara konsep yang diketahui
dengan konsep yang tidak dikenal sebagai berikut.
“Analogies, which provide a bridge between a known concept and is unfamiliar concept are chief elements in synectics provides. Synectics model. Its aims at creating learning environments in which creativity and problem solving ability of children coult be fostered”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Sinektik bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang
membangun kreatifitas dan kemampuan pemecahan masalah anak . Proses
metaforik/ analogi tersebut diperlukan keterlibatan emosional siswa.
Selanjutnya Paltasingh (2008: 1) menjelaskan sebagai berikut.
“Metaphors establish a relationship of likeness, the comparison of one object or idea with another object or idea by using one in place of other. Metaphors these substitutions the creative process occurs connecting the familiar with the unfamiliar or creating a new idea from familiar ideas. Metaphor introduced conceptual distance between the student and the object or the subject matter and prompt original thoughts”
Metafora membangun hubungan kemiripan, perbandingan dari satu objek
atau ide dengan objek lain atau ide dengan menggunakan sesuatu di
tempat lain. Melalui subtitusi ini terjadi proses kreatif yang
menghubungkan antara yang sudah akrab dengan yang masih asing atau
menciptakan sebuah ide baru dari ide-ide asing. Metafora
memperkenalkan konsep jarak antara siswa dengan objek atau pokok
persoalan dan meminta pikiran asli.
Berdasarkan konsep di atas, maka berarti sinektik merupakan
pendekatan pembelajaran dengan penggabungan unsur-unsur atau
gagasan-gagasan yang berbeda-beda yang tampaknya tidak relevan untuk
peningkatan kemampuan pemecahan masalah, ekspresi kreatif, empati dan
wawasan dalam hubungan sosial. Model ini menuntut keaktifan serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
keterlibatan siswa ke dalam karya sastra baik secara individu maupun
bersama-sama.
b. Prosedur Model Pembelajaran Sinektik
Secara umum, Sinektik memiliki tiga langkah yang menurut
Joyce, Weil, Calhoun (2000: 223-225) sebagai berikut.
Tabel 4: Langkah Model Sinektik
Langkah Keterangan 1. Analogi Personal Siswa mengidentifikasi masalah yang ada pada
novel (apakah problem social, pribadi, religi, kekerasan, keamanan). Mereka diminta merasakan bagaimana seandainya menjadi novelis menulis seperti itu, andai menjadi tokoh yang mengalami peristiwa seperti itu, dan seterusnya. Describe comparison between tho ideas or object
2. Analogi Langsung Siswa membandingkan hasil pertama (di atas) dengan kondisi lingkungan budaya anak. Setelah itu, anak diminta menganalogikan dirinya sebagai tokoh protagonist/ antagonis, berdialog tentang watak & setting apakah mirip kehidupan sekitar anak. Mengapa novelis justru memilih hal itu. Siswa dapat diskusi lanjut mengenai hubungan novel dengan kehidupan. Discribe feelings of identification and empathy withs persons, plants, animals, or things. A Very simple personal analogy may be nothing more than a first-person description of some facts.
3. Konflik Kempaan Penajaman pandangan dan pendapat pada posisi masing-masing terutama dalam menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda, sehingga siswa memahami objek dan penalaran dari dua atau tiga kerangka berpikir. Make an analogy between two elements in a way that expresses the conflict of the strange with the familiar and helps us to find new insights.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Ada dua strategi pembelajaran sinektik, yaitu strategi pembelajaran
untuk menciptakan sesuatu yang baru (creating something new) dan
strategi pembelajaran untuk melazimkan terhadap sesuatu yang masih
asing (making the strange familiar). Urutan kegiatan (syntax) menurut
Joyce, Weil, Calhoun (2000:226-235) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5: Langkah Model Sinektik Menciptakan Sesuatu yang Baru
Tahap Pertama: Mendeskripsikan kondisi nyata pada
saat itu Guru mengharapkan siswa mampu mendeskripsikan situasi atau topik sebagaimana yang dilihat saat itu
Tahap Kedua: Analogi langsung
Siswa mengajukan analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut
Tahap Ketiga: Analogi personal
Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua
Tahap Keempat: Konflik kempaan
Siswa membuat deskripsi sesuai tahap I dan II, dan mengembang-kan konflik kempaan, dan memilih salah satu
Tahap Kelima: Analogi langsung
Siswa mengembangkan dan Menyeleksi analogi langsung lainnya berdasarkan kempaan
Tahap Keenam: Ujicoba terhadap tugas semula
Guru meminta siswa meninjau kem-bali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik
Tabel 6: Langkah Model Sinaktik Melazimkan Sesuatu yang Asing
Tahap Pertama: Input substantif
Guru memberi informasi topik baru
Tahap Kedua: Analogi langsung
Guru mengajukan analogi langsung dan meminta siswa mendeskripsikan analogi tgersebut
Tahap Ketiga: Analogi personal
Guru meminta siswa membuat analogi personal
Tahap Keempat: Membandingkan analogi
Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan butir-butir yang sama di antara materi yang sedang dibahas dan analogi langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Tahap Kelima:
Menjelaskan berbagai perbedaan Siswa menjelaskan analogi-analogi yang salah atau berbeda
Tahap Keenam: Eksplorasi
Siswa menjelaskan kembali topic semula menurut bahasanya sendiri
Tahap Ketujuh: Memunculkan analogi baru
Siswa memberikan analoginya sendiri dan menjelaskan mana yang sama atau berbeda
c. Penerapan dan Kontribusi Model Pembelajaran Sinektik pada
Pembelajaran Apresiasi Sastra
Penerapan model pembelajaran sinektik pada pembelajaran
apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-langkahnya dapat dijelaskan
pada skenario pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 7: Skenario Model Pembelajaran Sinektik
Ta- hap
Langkah (Syntax) Sinektik
Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
1 Mendiskripsikan kondisi nyata pada saat itu Guru mengharapkan siswa mampu diskripsikan situasi / topik sebagaimana yg dilihat saat itu
Siswa mendiskripsikan cerita novel sebagaimana yang dilihat atau dibaca saat itu
2 Analogi langsung Siswa mengajukan analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut
Siswa membuat alur cerita dengan mengajukan beberapa analogi langsung, memilih salah satu, dan menjelaskan lebih lanjut
3 Analogi personal Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua
Siswa melakukan analogi sebagaimana yang mereka pilih pada tahap kedua (dari 2/3 sudut pandang)
4 Konflik kempaan Siswa membuat deskripsi sesuai tahap I dan II, dan mengembangkan konflik kempaan, dan memilih salah satu
Siswa membuat sinopsis sesuai tahap I dan II, dan mengembangkan konflik kempaan, dan memilih salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Ta- hap
Langkah (Syntax) Sinektik
Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
5 Analogi langsung Siswa mengembangkan dan menyeleksi analogi langsung lainnya sesuai kempaan
Siwa mengembangkan dan menyeleksi analogi langsung lainnya berdasarkan konflik kempaan
6 Ujicoba terhadap tugas semula Guru minta siswa meninjau kembali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik
Siswa meninjau kembali tugas semula dan menggunakan analogi terakhir dan atau memasukkan pengalaman sinektik
Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,
model pembelajaran sinektik memberikan kontribusi dalam pembelajaran
apresiasi prosa fiksi. Setelah siswa berhasil melakukan indentifikasi
terhadap isi permasalahan yang terkandung dalam karya sastra, langkah
selanjutnya yaitu analogi langsung. Analogi langsung merangsang siswa
membuat banyak alternatif analogi, berbagai alternatif analogi
merangsang anak mempertimbangkannya dari berbagai sudut pandang,
pemikiran siswa dari berbagai sudut dalam konflik kempaan menuntun
siswa membuat satu pilihan analogy sebagai simpulan akhir dari kegiatan
apresiasi karya sastra yang dilakukannya.
d. Definisi Konseptual Pendekatan Sinektik
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun definisi konseptual
bahwa pendekatan sinektik ialah strategi pembelajaran yang
mengembangkan keaktifan dan kemampuan kreatif siswa dalam
pemahaman karya sastra melalui proses metaforik dengan analogi, yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dengan cara menggabungkan/ mempertemukan unsur-unsur atau gagasan-
gagasan yang berbeda-beda dengan menggunakan kiasan, untuk
memperoleh satu pandangan baru tentang isi karya sastra. Langkah utama
meliputi: analogi personal, analogi langsung, dan konflik kempaan.
5. Model Pembelajaran Langsung
a. Pendekatan Behavioristik sebagai Landasan Model Pembelajaran
Langsung
Sesuai sumber aslinya, istilah “pembelajaran” pada “model
pembelajaran langsung” tertulis “pengajaran”, sehingga secara lengkap
disebut “model pengajaran langsung”. Istilah “model pengajaran” itu
dapat diganti dengan istilah “model pembelajaran”. Hal ini dianggap sah
karena sesuai pernyataan Joyce, Weil, Calhoun (2000: 6-7; terjemahan
Achmad & Ateilla, 2009: 7-8) sebagai berikut.
“Model of teaching are really models of learning. As we help student acquire information, ideas, skill, values, ways of thingking, and mean of expressing themselves, we are also teaching them how to learn. In fact, the most important long-term outcome of instruction may be the student’s increased capabilities to learn more easily and effectively in the future, both because of the knowledge and skill they have acquired and because they have mastered learning processed”
Sesuai dengan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun
“model pengajaran” berpusat pada guru, tetapi karena pada akhirnya
mampu membimbing siswa bagaimana belajar, maka dapat diganti
istilahnya menjadi “model pembelajaraan”. Hal ini dikarenakan guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
sudah melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan
sosial, serta mengajari mereka bagaimana mengerjakan tugas-tugas
tersebut secara produktif.
Model pengajaran langsung atau direct instruction termasuk
keluarga dari Kelompok Pengajaran Sistem Perilaku (The Behavioral
System Family). Hal ini sesuai dengan daftar model-model pengajaran
perilaku yang terdiri dari: (1) belajar tuntas (mastery learning), (2)
pembelajaran langsung (direct instructional), (3) belajar dengan simulasi
(simulation), (4) belajar kontrol diri (learning self control), (5) latihan
pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and concept
development), (6) latihan asertif (assertive training) (Joyce, Weil, Calhoun,
2000: 22-28; terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 40-41; Suryaman,
2004: 68-69).
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Joyce tidak hanya
menyebut anggotanya saja sebagai “model pembelajaran”. Melalui
penelitian pengembangannya yang mendalam selama 40 tahun Joyce telah
mengubah “behavioristik” yang sejak dulu dipandang orang hanya
sebagai sebuah pendekatan (approach) yang paradigmatik, menjadi
“model pembelajaran” yang sudah sintakmatik. Hal ini selaras dengan
pernyataannya pada beberapa bagian buku sebagai berikut.
“Behavior theory offers much to teachers and learners, but its models, like the other in this book ....” “Behavioral models of learning and instruction have their origins in the classical
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
conditioning experiments of Pavlov ....” (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 317-318) Dasar teoretik keluarga model perilaku ini adalah teori-teori
belajar sosial atau social learning theories yang dikenal dengan model
modifikasi perilaku atau behavioral modification. Dasar pemikiran
keluarga model ini ialah bahwa sistem komunikasi yang mengoreksi
sendiri atau self-correcting communications system dapat mengubah atau
memodifikasi perilaku saat merespon informasi tentang seberapa sukses
yang akan dikerjakan (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 22-28; terjemahan
Achmad & Ateilla, 2009: 39-45). Psikologi behavioristik memang
mendasarkan diri pada perilaku. Hal ini ditegaskan oleh Culatta (2009: 1)
yang menyatakan bahwa:
“… while still others argue that behavior itself is the only appropreiate subject of psychology, and that common psychological term (belief, goals, ect) have no referents and/ or only refer to behavior. Watson (1878-1958) rejected instrospective methods and sought to restrict psychology to experimental laboratory method. … Behaviorism is an approach to psychology based on the proposition that behavior can be researched scientifically without resourse to inner mental state”
Model mengajar behavioristik muncul dari penelitian-penelitian
tentang teori operant conditioning yang dilaksanakan oleh Skinner di
Universitas Harvard. Skinner melalui teorinya memberikan asumsi bahwa
perilaku itu adalah sesuatu yang alami dan sah dipengaruhi oleh variabel
eksternal, dapat diamati dan diukur. Perilaku dapat dibentuk sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
perilaku “operant conditioning” (Abdul Azis Wahab, 2008: 76). Brown
(2000: 81) menyatakan bahwa
“operant behavior is behavior in which one operates on the inviront within this model the importance of stimuli is de-emphasized”.
Memberikan penjelasan mengenai pembentukan perilaku yang
teramati, Standridge (2007: 1) menyatakan sebagai berikut.
“Behaviorists assert that the only behaviors worthy of study are those can be directly observed; thus, is is actions, rather than thoughts or emotions, which are the legitimate object of study. Rather, it posits that all behavios is learned habits, and attempts to account for how these habits are formed. Behaviorists also hold that al behaviours can olso replaced by new behaviors. When a behavior becomes unacceptable, it can be replaced by an acceptable one”
Mergel (1998: 2) menambahkan keterangan mengenai teramatinya tingkah
laku sebagai berikut.
“It views the mind as a “black box” in the sense that response to stimulus can be observed quantitatively, totally ignoring the possibility of thought processes occurring in the mind”
Menurut psikologi behaviorisme, keberhasilan belajar seseorang
sangat ditentukan oleh faktor luar atau faktor eksternal. Skinner
menyatakan bahwa model pembelajaran ini dilaksanakan melalui
mekanisme stimulus – respon (S-R) dan ditambah penguatan atau
reinforcement (Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 48). Hal ini
mengandung pengertian bahwa anak baru dapat belajar jika tersedia data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
input/ masukan (yang didemonstrasikan) dan digalakkan oleh adanya
penguatan. Fry & Bonner (dalam Medsker,eds., 2001: 45) menyebutkan:
“Behavior modeling present trainess with a model that demonstrates key behaviors and provides structured skill practice exercises for trainess to practice the key behaviors”
Culatta (2009: 1) menambahkan tentang peranan input dan penguatan
sebagai berikut.
“… all behavior is determined by the environment either through association of reinforcement”
Data input inilah yang membentuk stimulus yang kemudian
merangsang respon. Faktor penting yang berperan dalam teori belajar ini
ialah hadirnya penguatan (reinforcement). Jika suatu respon benar
mendapatkan reinforcement, maka suatu respon akhirnya menjadi
kebiasaan karena terus menerus diulangi oleh siswa. Jika suatu respon
tidak tepat mendapatkan punisher, maka suatu respon akhirnnya tidak
diulangi dan siswa lalu melakukan revisi respon. Memperkuat argumentasi
ini, Skinner menyatakan sebagai berikut.
“The reinforcement the learner derives from knowledge of his or her correctness both makes the achievement enduring and propels the learner toward new task. Punishment has several draw back. First, its effects are temporary, punished behavior is likely to recur. Second, the aversive stimuli used in punishment may generate unwanted emotions, such as predispositions to escape or retaliate, and disabling anxieties” (Skinner dalam Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 322). Proses kontingensi di atas bertolak dari prinsip operant conditioning,
di mana reinforces atau penguatan dapat mempertinggi respon. Penguatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
dapat positif dan dapat negatif. Penguatan positif (reinforces) ialah
tanggapan yang bersifat menambah sesuatu pada suasana, misalnya
senyuman, acungan ibu jari. Penguatan negatif (punisher) bila yang
diberikan itu mengurangi suasana yang ada. Punishment can either the
withdrawal of a positive reinforcer or the presentation of and aversive
stimulus (Brown, 2000: 82).
Model behavioristik yang berorientasi kepada guru ini berusaha
mengubah perilaku langsung. Setelah guru memberikan input, diharapkan
siswa berusaha mengempor pengetahuan yang membawa dampak
perubahan perilaku (Fry dan Bonner dalam Medsker, eds., 2001: 45-46).
Tahapan penting untuk merangsang perilaku dilakukan melalui pemberian
pendahuluan atau pengenalan yang kemudian didemontrasikan melalui
video modeling. Setelah itu, perilaku yang dihasilkan dianalisis. Siswa
menerapkan tahapan ini dalam bentuk latihan keterampilan nyata dengan
menerima umpan balik dari teman-temannya, difasilitasi oleh guru, dan
dengan tekanan yang spesifik serta penguatan (reinforcement) yang positif.
Siswa belajar melalui proses imitasi, repetisi, latihan analisis, dan
menerima umpan balik.
Model pembelajaran behavioristik menurut Abdul Azis Wahab
(2008: 77-78) dapat dipraktikkan di kelas dengan langkah: (1) pemberian
stimulus, (2) siswa memberikan respon, (3) pemberian penguatan.
Terdapat beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
pelaksanaan pembelajaran di kelas, Fry dan Bonner memberikan 15 uraian
implementasi sebagai berikut.
1) Identify critical steps that address the identified skill discrepancy,
2) Introduce content of the module and relate its purpose, value, and applications to the need of the participant and the organization,
3) Introduce and describe the critical steps, 4) Clarify the setting and cue the use of the critical steps in video
model, 5) instruct the trainees to record specific and significant use of the
critical steps, 6) Show a model of the critical steps being use effectively by a
credible person in a credible problem situation, 7) Fasilitate a discussion of the trainess’ observations of critical
step use and reinforce feedback that specific, significant, and accurate,
8) Ask for folunteers to practice using the critical steps in a preparated skill practice exercise,
9) Rehearse the folunteers regarding the objective of the meeting and how each critical step will be used,
10) Instruct the observers to record specific and significant uses of the critical steps,
11) Fasilitate a discussion of the observer’ social reinforcement feedback to the skill practice participants on how effectively they used the critical steps,
12) Ask trainees to write skill practice exercises based on their work settings,
13) Ask for folunteers to practice critical steps on trainee-written situations,
14) Ask trainees to use critical steps on the job and report their success at the next session
15) Train managers to reinforce trainees’ attempts to apply the critical steps on the job (dalam Medsker & Holdsworth, eds., 2001: 63).
Uraian Fry dan Bonner di atas memberikan simpulan bahwa kreasi
tahapan (langkah) dapat dikendalikan dengan pendahuluan oleh guru,
pemberian input dengan video, mengalami keterampilan yang praktis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
dengan sesama teman, fasilitiasi oleh guru, dan pemberian feedback dan
penguatan positif bagi siswa.
Simpulan tersebut, digaris bawahi oleh Joyce, Weil, Calhoun (2000:
324) bahwa secara umum langkah model pembelajaran behavioristik
hendaknya dilakukan dengan prinsip sebagai berikut.
1) Mungkinkan setiap siswa bekerja pada angan-anggannya yang mendasar melalui unit-unit tahapan belajar;
2) Buatlah atau nyatakan derajad ketuntasan yang harus dicapai oleh siswa;
3) Tumbuhkan dan kembangkan inisiatif pribadi dan self direction dalam belajar;
4) Bantu perkembangan siswa pada pemacahan masalah melalui proses;
5) Doronglah evaluasi diri (self evaluation) dan motivasi untuk belajar.
b. Model Pembelajaran Langsung
1) Konsep Model Pembelajaran Langsung
Merangkum banyak penjelasan, dapat dirumuskan konsep
atau pengertian model pembelajaran langsung yaitu model
pembelajaran dengan pemberian ceramah atau pemberian penjelasan
(Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 339; terjemahan Achmad & Ateilla,
2009: 423). Berangkat dari kata kunci “pemberian ceramah”, model
membelajaran seperti ini sering disebut dengan model pembelajaran
ekspositori. Oleh karena strategi ekspositori lebih menekankan pada
proses penyampaian materi secara verbal (dengan cara bertutur), sering
juga disebut strategi “calk and talk”. Rumusan pengertian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
didukung oleh pernyataan Ausebel (1963: 1977) bahwa bentuk
pembelajaran yang menekankan resepsi (bukan penemuan) dengan
mengutamakan penerangkan atau penjelasan atau ceramah (maklumat
lisan) dikenali sebagai model pembelajaran ekspositori.
Ada beberapa ciri model pembelajaran langsung yang
sekaligus merupakan orientasi model, yaitu antara lain:
a) Berpusat pada guru b) Transformasi pengetahuan secara langsung c) Siswa menerima atau reseptif d) Beroriantasi ke tujuan e) Lingkungan belajar terstruktur f) Pemberian penjelasan secara verbal dan tuntas g) Informasi dapat berupa pengetahuan prosedural maupun
deklaratif h) Mendemonstrasikan fakta, konsep, keterampilan secara
terstruktur i) Dalam memberikan informasi dapat menggunakan media
(gambar, peragaan, dan lain sebagainya) dan juga isyarat anggota badan
j) Secara behavioristik melaksanakan modeling, reinforcement, feed back, dan perkiraan suksesif.
k) Latihan secara terstruktur, terbimbing merupakan implikasi pada kelompok kecil (Joyce, Weil, Calhoun, terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 423-429).
2) Prosedur Model Pembelajaran Langsung
Yatim Riyanto (2009: 139) menjelaskan langkah
pembelajaran expository learning sebagai bentuk model pembelajaran
langsung meliputi: (1) preparasi secara rapi dan sistematis, (2)
apersepsi untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang akan
diajarkan, (3) presentasi melalui ceramah, (4) resitasi melalui tanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
jawab atau siswa disuruh menyatakan dengan kata-kata sendiri. Lebih
rinci dari langkah-langkah di atas, Joyce, Weil, Calhoun (2000: 345;
terjemahan Achmad & Ateilla, 2009: 431) mengurutkan skenario atau
langkah sebagai berikut.
Tabel 8: Skenario Model Pembelajaran Langsung
Langkah Keterangan 1 Orientasi 1) Guru menentukan materi pelajaran
2) Guru meninjau pelajaran sebelumnya 3) Guru menentukan tujuan pembelajaran 4) Guru menentukan prosedur pengajaran
2 Presentasi 1) Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru 2) Guru menyajikan presentasi visual atas tugas
yang diberikan 3) Guru memastikan pemahaman
3 Praktik Terstruktur
1) Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah
2) Siswa merespon pertanyaan 3) Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan
memperkuat praktik yang telah benar 4 Praktik
Terbimbing 1) Siswa berpraktik secara semi independen 2) Guru menggilir siswa untuk melakukan praktik
dan mengamati praktik 3) Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian,
bisikan, maupun petunjuk 5 Praktik
Mandiri 1) Siswa melakukan praktik secara mandiri di rumah
atau di kelas 2) Guru menunda respon balik dan memberikannya
di akhir rangkaian praktik 3) Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam
periode waktu lama Berdasarkan dua sumber di atas, dapat disimpulkan langkah pokok
pada model pembelajaran langsung ialah: (1) orientasi (pendahuluan),
(2) presentasi (ceramah), (3) siswa praktik, (4) pemberian penguatan,
(5) penutup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
3) Penerapan Model Pembelajaran Langsung pada Pembelajaran
Apresiasi Prosa Fiksi
Penerapan model pembelajaran langsung (direct instruction)
pada pembelajaran apresiasi prosa fiksi, sesuai dengan langkah-
langkahnya dapat dijelaskan dan diadabtasikan pada skenario
pembelajaran seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 9: Langkah Model Pembelajaran Langsung
Ta-hap
Prosedur (Syntax) Pembel. Langsung
Skrenario Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
1 Orientasi Guru mengawali pelajaran dengan menyampaikan tujuan, menyampaikan pokok materi, memberikan apersepsi, memberi motivasi, agar memberikan orientasi belajar yang optimal
2 Presentasi Secara terstruktur, lengkap, dan tuntas, guru memberikan ceramah dan mendemostrasi-kan fakta, konsep, informasi, prosedur, atau keterampilan yang telah disusun secara urut
3
Praktik Siswa melakukan praktik terstruktur dan praktik terbimbing dibawah arahan guru
4 Pemberian penguatan
Guru mengecek pemahaman dengan memberi umpan balik, dan memberikan penguatan
5 Penutup Guru memberi latihan mandiri untuk pengayaan
Berdasarkan uraian, langkah, dan skenario pembelajarannya,
model pembelajaran langsung memberikan kontribusi atau kemanfaatan
dalam pembelajaran apresiasi sastra, di antaranya yaitu (1) memberikan
input kepada siswa tentang materi yang diperlukan sesuai target
belajarnya; (2) siswa memperoleh rangsangan belajar yang menuntun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
respon (mengerjakan tugas-tugas); (3) siswa memperoleh penguatan yang
memberikan keyakinan bahwa responnya benar atau salah.
c. Definisi Konseptual Model Pembelajaran Langsung
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun definisi konseptual
bahwa model mengajar langsung adalah pola langkah proses pembelajaran
yang berdasarkan psikologi modifikasi tingkah laku berusaha
menggalakkan aktifitas belajar dengan memberikan penguatan baik yang
berupa reeinforcer maupun punisher terhadap respon yang benar.
6. Perbedaan Keefektifan Model Pembelajaran Experiential Learning,
Sinektik, dan Langsung dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra
Mengadaptasi uraian Yatim Riyanto (2009: 146, 165-168),
perbedaan sifat antara model pembelajaran experiential learning, sinektik, dan
pembelajaran langsung dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel 10: Perbedaan Karakeristik Tiga Model Pembelajaran
Experiential Learning
Sinektik Pengajaran Langsung
Cara Belajar Belajar dengan cara mengalami (mencari/ menjelajahi) langsung dalam masalah yang dipelajari secara bebas dan kreatif untuk menemukan pengetahuan
Belajar dengan cara membandingkan masalah yang dipelajari dengan berbagai alternatif pemecahan masalah untuk mendapatkan satu simpulan pengetahuan
Belajar dengan cara menerima dan merespon iput dari guru yang digalakkan dengan pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Experiential Learning Sinektik Pengajaran Langsung
Proses Belajar Secara holistik, dari tahap ke tahap siswa terus memperbaiki konsep pengetahuan
Dari berbagai alterna-tif pemecahan masa-lah yang dihadapi secara serentak, siswa memilih satu sebagai pengetahuan
Guru aktif memberi, dan siswa pasif menerima pengetahuan
Langkah Belajar Pengalaman lama menuntun membuat hipotesis; hipotesis menuntun melakukan observasi, evaluasi hasil observasi menuntun penyusunan konsep abstrak, konsep abstrak mendorong ujicoba; hasil ujicoba memperbaharui pengalaman/ pengetahuan siswa
Hasil identifikasi terhadap suatu masalah merangsang untuk membuat banyak alternatif analogi; berbagai alternatif analogi merangsang anak mempertimbangkan dari berbagai sudut; dan pertimbangan berbagai sudut membimbing membuat pilihan
Input dari guru merangsang siswa merespon sesuai pengalaman lama. Respon anak mendapatkan penguatan untuk menerima pengetahuan
Pandangan tentang Pengetahuan, Belajar, Pembelajaran Pengetahuan terus berubah
Pengetahuan banyak variasi alternatif
Pengetahuan tetap dan pasti
Belajar adalah kegiatan pemaknaan pengetahuan
Belajar adalah kegiatan analogi pengetahuan
Belajar adalah penerimaan pengetahuan
Mengajar merupakan fasilitasi penggalian makna
Mengajar merupakan fasilitasi berpikir banyak alternatif
Mengajar merupakan transfer pengetahuan
Pikiran untuk menginterpretasi
Pikiran untuk membandingkan
Pikiran merupakan alat berpijak
Siswa boleh memiliki pemahaman yang berbeda sesuai siklus pengalaman
Siswa boleh memiliki banyak perspektif pemahaman
Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Experiential
Learning Sinektik Pengajaran Langsung
Masalah Belajar dan Pembelajaran Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial
Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial
Pembiasaan disiplin sangat esensial Siswa harus taat aturan sebagai penentu keberhasilan
Kegagalan atau keberhasilan karena interpretasi berbeda, dihargai
Kegagalan atau keberhasilan karena sudut pandang berbeda, dihargai
Kegagalan/ kesalahan harus dihukum Keberhasilan pastas mendapat hadiah
Strategi Pembelajaran Mengikuti pandangan siswa
Mengikuti pandangan siswa
Mengikuti urutan kurikulum yang ketat
Aktivitas belajar dalam konteks nyata
Aktivitas belajar dalam multy konteks
Aktivitas belajar mengikuti buku teks
Evaluasi Menuntut pemecahan ganda
Menuntut pemecahan ganda
Menuntut satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari kegiatan pembelajaran
Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran
Evaluasi dilaksanakan terpisah dari kegiatan pembelajaran
Perbedaan karekteristik di atas secara rinci dapat dilihat menurut teori Joyce,
Weil, Calhoun pada lampiran 1 halaman 270.
Selaras dengan perbedaan karakteristik ketiga model pembelajaran
di atas, perbedaan keefektifan model secara konseptual dapat dijelaskan
sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
a. Model pembelajaran experiential learning lebih efektif dibanding
dengan model pembelajaran sinektik untuk pembelajaran apresiasi
sastra
Model experiential learning mengintegrasikan materi yang
diajarkan oleh guru dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Pelajaran
menyenangkan (joifull) dan bermakna (meaning full) karena siswa diberi
kebebasan membangun konsep dan mencobakan konsep sendiri. Siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara
aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga memperoleh
pengetahuan (Paul Suparno, 1997: 11).
Untuk mengalami apa yang dipelajari, Kolb menuntun siswa ke
dalam 4 atau 5 langkah: (1) mengidentifikasi pengalaman-pengalaman
konkrit yang telah dimiliki (concrete, personal experience), (2)
observation, reflection examination dan guru menambahkan
complementary materials bagi hasil observasi anak (3) penyusunan
konsep abstrak (formulation of abstract concepts, rules, and principles),
(4) pengetesan konsep/ ide dalam situasi lain (personal theory and Ideas
to be tested in new situation). Melalui langkah-langkah ini siswa
mendapat kesempatan untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dengan melakukan perjumpaan langsung dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
fenomena yang sedang dipelajari, bukan sekedar berpikir tentang
pertemuan atau hanya mempertimbangkan kemungkinan melakukan hal
itu. Pembelajaran terjadi sebagai partisipasi langsung dalam peristiwa-
peristiwa kehidupan sehari-hari yang ada di masyarakat (Smith; 1996: 1).
Experiential learning bernaung di bawah payung pendekatan
konstruktivistik. Ahmad Sudrajad menyimpulkan dari pernyataan. I.
Nyoman S. Degeng bahwa pembelajaran konstruktivistik melekat sifat (1)
siswa dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, (2) kebebasan
siswa merupakan unsur yang sangat esensial, (3) kebebasan dipandang
sebagai penentu keberhasilan, (4) kontrol belajar dipegang oleh siswa, (5)
mengikuti pandangan siswa, (6) aktivitas belajar dalam konteks nyata, (7)
menekankan pada proses (dalam Ahmad Sudrajad; 2008: 2-3). Ciri-ciri
tersebut merupakan prasyarat berkembangnya kreativitas. Utami
Munandar (1999: 49-50) menyatakan bahwa bila bebas dari neurosis,
gembira, penuh syukur dalam hidup, orang akan dapat mewujudkan diri
sampai peak experience. Dengan situasi aman dan kebebasan
psikologislah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan menyenangkan
juga akan dapat merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang
menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah
tertentu.
Model sinektik yang intinya aktifitas metafora mengikuti
langkah analogi langsung (direct analogy), analogi personal (personal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
analogy), dan konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger,
1980: 66-68). Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra,
berdasarkan hal ini maka karya sastra akan dipahami melalui proses
metaforik dengan analogi. Pembelajaran mempertemukan berbagai
macam unsur yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan
untuk memperoleh satu pandangan baru.
Dalam melakukan proses metaforik dan analogi tersebut
diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang
tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan
situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.
Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk
membentuk analogi dan metapora (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 222).
Sesuai dengan uraian di atas, anak merasa lebih mudah
mengikuti pelajaran dengan cara mengalami atau dengan cara
membayangkan melalui analogi dan metafora. Mengalami lebih sederhana
(konkrit) dibanding dengan membayangkan (abstrak). Menurut
pengalaman, belajar dengan cara mengalami membuahkan hasil yang baik.
Hasil pembelajaran experiential lebih baik karena (1) anak
mengembangkan konsep-konsep, rumusan dan prinsip-prinsip dari
pengalaman-penglamannya sendiri, (2) konsep, rumus dan prinsip-prinsip
ini menuntun tingkah laku mereka dalam proses belajar (melalui
pengalaman itu), (3) dalam proses belajar itu mereka secara terus menerus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
memperbaharui konsep-konsep, rumus-rumus dan prinsip itu untuk
meningkatkan kegunaannya Tyler di atas dan Taba (dalam Fernandes,
Jacobus, Tirtawijaya, Kasurianto, 1989:40). Proses pembelajaran
berlangsung alamiah secara experiential dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami.
Dengan mengalami apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata,
pelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (joifull) dan bermakna
(meaning full). Dengan cara ini, siswa tidak lagi menerima dan menghafal
pelajaran, tetapi dengan mengalami secara alamiah anak mengkonstruksi
dan menemukan pengetahuan serta menjadikannya ingatan sepanjang
hayat. Secara individual anak diberikan kebebasan mengalami dan
membangun sendiri pengetahuan selaras dengan talentanya masing-
masing. Guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing (Umaedi, 2003:
2). Dengan demikian, dalam kondisi apapun, siswa dapat mengikuti
model ini dengan baik.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka untuk pembelajaran
apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih
efektif dibanding dengan model pembelajaran sinektik. Model
pembelajaran sinektik lebih sulit dibanding model pembelajaran
experiential learning.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
b. Model pembelajaran experiential learning lebih efektif dibanding
dengan model pembelajaran langsung untuk pembelajaran apresiasi
sastra
Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar untuk
mengerti, bukan merupakan kumpulan fakta yang harus diberikan kepada
siswa (Paul Suparno, 1997: 18; Aunurrahman, 2009: 15). Dalam proses
perkembangannya pemikiran-pemikiran baru mendapat tempat yang luas
karena proses pembentukannya yang terus menerus berkembang dan
berubah. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif
melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan,
seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan
tersebut sejauh yang dialaminya. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari otak guru ke otak siswa. Siswa sendirilah yang
mengartikan apa yang telah diajarkan sesuai pengalaman mereka.
Kedudukan siswa dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori
tentang dunia dan kehidupan. Guru bersikap interaktif dalam proses
pembelajaran, sekedar menjadi fasilitator dan mediator bagi siswa.
Sesuai dengan alirannya yang bersifat humanistik, proses belajar
ini berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Proses ini paling ideal
karena siswa bebas mengembangkan pengetahuan sendiri sesuai latar
kemampuan talenta intelektual, personal, sosial, kultural, dan
emosionalnya masing-masing. Dengan demikian cara belajar ini sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
menyenangkan dan penuh arti (c.f. Ausebel dalam Hamzah B. Uno, 2009:
13; Aunurrahman, 2009: 22). Dari pengalaman konkritnya anak
mengadakan observasi-refleksi aktif dan berusaha memikirkan dan
memahami kejadian. Dari situ ia membuat abstraksi atau teori tentang
kejadian yang diamati dengan cara mencari persamaan dan perbedaan.
Pada tahap akhir, anak melakukan eksperimentasi aktif dengan
mengapikasikan teori ke dalam situasi baru. Di tengah peran siswa yang
aktif ini, posisi guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing (Umaedi,
2003: 2). Dengan demikian, dalam kondisi apa pun, siswa dapat
mengikuti model ini dengan baik.
Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input atau
stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada
target penguasaan materi (content target mastery oriented). Model
pembelajaran langsung ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi
ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1). Kondisi ini
sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah
ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Ratna Wilis
Dahar, 1989: 35)
Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada
model behavioristik. Dalam pandangan behavioristik, belajar merupakan
aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
mekanis (Aunurrahman, 2009: 21). Kedudukan siswa dilihat sebagai
sumber kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari guru.
Guru mengajar dan menyebarkan informasi keilmuan kepada siswa.
Model pembelajaran langsung mengandalkan tranfer pengetahuan dengan
penjejalan materi (pemberian input) ke kepala anak.
Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat
membelanggu anak (Aunurrahman, 2009: 19). Model pembelajaran
behavioristik mengandalkan pemberian materi (input) ke kepala anak
dengan teknik ceramah, padahal teknik ceramah hanya cocok apabila
siswa telah termotivasi. Kondisi prasyarat ini sering tidak dipenuhi sebab
rata-rata siswa belum memiliki motivasi yang baik untuk belajar.
Mengajar dengan teknik ceramah membutuhkan waktu yang lebih banyak
untuk guru sebagai penceramah. Guru aktif dan siswa pasif karena guru
memberi dan siswa hanya mendengar dan mencatat. Selisih waktu yang
digunakan guru dan siswa ini akan berkembang ke arah negatif karena
siswa menjadi melamun, setengah menyimak, bahkan tidak menyimak
(Henry Guntur Tarigan, 1986:107-113).
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk pembelajaran apresiasi
prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih efektif
dibanding dengan model pembelajaran langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
c. Model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding dengan model
pembelajaran langsung untuk pembelajaran apresiasi sastra
Aktifitas metafora dalam model sinektik mengikuti langkah
analogi langsung (direct analogy), analogi personal (personal analogy),
dan konflik kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68).
Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini
maka karya sastra akan dipahami melalui proses metaforik dengan
analogi. Pembelajaran dengan model sinektik mempertemukan berbagai
macam unsur yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan
untuk memperoleh satu pandangan baru.
Dalam melakukan proses metaforik dan analogi tersebut
diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang
tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan
situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.
Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk
membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil, Calhoun, 2000: 222).
Melalui model sinektik siswa memperoleh kesempatan berpikir secara
bebas dalam mengembangkan analogi metaforis. Cara berpikir bebas
inilah merupakan modal dasar untuk mengembangkan kreatifitas dalam
melakukan proses metafora.
Model pembelajaran behavioristik mengandalkan adanya input
atau stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
pada target penguasaan materi (content target mastery oriented). Model
pembelajaran behavioristik ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi
ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003:1). Kondisi ini
sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah
ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Ratna Wilis
Dahar, 1988:35). Gagalnya siswa mengingat jangka panjang ini
mengakibatkan otak tidak dapat menyimpan pengetahuan yang dapat
dijadikan modal bagi siswa untuk interpretasi stimulus sehingga
menghambat respon. Kecerdasan emosionalnya yang rendah tidak mampu
memberikan suport kepada pikiran untuk memecahkan input, sehingga
terlambat memberikan respon.
Model pembelajaran behavioristik mengandalkan penjejalan
materi (pemberian input) ke kepala anak dengan teknik ceramah, padahal
teknik ceramah hanya cocok apabila siswa telah termotivasi. Kondisi
prasyarat ini sering tidak dipenuhi sebab rata-rata siswa belum memiliki
motivasi yang baik untuk belajar. Mengajar dengan teknik ceramah
membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk guru sebagai penceramah.
Guru aktif dan siswa pasif karena guru memberi dan siswa hanya
mendengar dan mencatat. Selisih waktu yang digunakan guru dan siswa
ini akan berkembang ke arah negatif karena siswa menjadi melamun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
setengah menyimak, bahkan tidak menyimak (Henry Guntur Tarigan,
1986:107-113).
Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran
anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran
apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding
model pembelajaran langsung.
C. Kecerdasan Emosional
1) Pengetian Emosi
Emosi atau dalam bahasa Inggris emotion berasal dari bahasa Latin
“emovere”. “E” berarti keluar dan “movere” berarti bergerak. Secara
harafiah, movere berarti bergerak menjauh yang menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman,
2005: 7). OSHO (2008: 1-13) menambahkan bahwa emosi yang berasal dari
kata “motion” tak pernah diam dan tak pernah akan menjadi permanen, ia
akan terus selalu berubah dari situasi ke situasi oleh karena seluruh emosi,
sentimen, dan pikiran – seluruh perangkat pikiran – telah dimanipulasi dari
luar. Perasaan (pikiran) adalah sebuah mekanisme untuk merekam
pengalaman-pengalaman dari luar (kumpulan kesan), mereaksi dan merespon
sesuai dengan stimulus yang muncul yang merupakan perwujudan dari
totalitas kesadaran kemanusiaan. Hamzah B. Uno (2009: 62-67) merumuskan
definisi emosi sebagai berikut: (a) emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
yang terjadi dalam memberi tanggapan terhadap suatu peristiwa, (b) ada dua
komponen yang pada dasarnya dipercayai membentuk emosi, yaitu tanggapan
psikologis dan perasaan subjektif.
Emosi merupakan sebuah kesatuan mental dan fisik yang dibangun
oleh berbagai variasi perasaan, pikiran, dan tingkah laku yang menentukan
kepekaan subjektif yang mendorong dan mengontrol gagasan dan
kecenderungan bertindak dalam berbagai aktivitas manusia. Mirip dengan
pengertian di atas, dirumuskan oleh Kassim (2000: 18) bahwa emosi
sebenarnya merupakan suatu keadaan yang kompleks yang melibatkan
komponen subjektif, fisiologi, dan ekspresi yang senantiasa memberi kesan
terhadap satu sama lain.
2) Fisiologi Emosi
Emosi dikawal oleh sistem syaraf. Sistem syaraf secara fisiologis
dibagi atas syaraf pusat dan syaraf periferi. Syaraf pusat adalah otak dan
syaraf tunjang, periferi terbagi pada pada sistem syaraf outononik dan somatik.
Sistem syaraf somatik mengawal aktivitas otot rangka; sistem saraf outonomik
mengawal aktivitas organ visera seperti jantung, perut, usus, saluran darah
kecil pada kulit, otot dan aktivitas kelenjar peluh. Sistem syaraf outonomik
Sistem syaraf outonomik menggabungkan kompleksitas otak dan syaraf
tunjang dengan organ visera. Jika sistem syaraf terangsang oleh stimulus luar
lalu orang merasa takut, maka akan terlihat tangannya dingin, berpeluh, terasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
akan membuang air kecil/ air besar, dan seterusnya. Jika merasa malu, maka
muka terlihat kemerah-merahan. Jika merasa senang, maka muka terlihat ceria,
dan lain sebagainya. Hal ini karena sistem syaraf outonomik telah terangsang
(Kassim, 2000: 14; c.f. Goleman, 2009: 422-425).
Reaksi emosi ini melibatkan sistem dalam badan yang dikawal oleh
sistem syaraf outonomik. Sistem syaraf outonomik mempunyai dua bagian,
yaitu simpatetik dan parasimpatetik. Kebanyakan visera badan dikawal oleh
neuron simpatetik – parasimpatetik, kecuali kelenjar peluh dan saluran darah
di bawah kawalan outonomik simpatetik. Secara umum aktivitas simpatetik
meningkatkan rangsangan fisiologis terhadap fungsi badan untuk menyiapkan
seseorang melakukan aktivitas yang penuh semangat.
Sistem syaraf pusat mengawal/ mengatur respon atau gerak balas
emosi. Sistem syaraf ini terletak pada sistem limbik. Sistem limbik
dihubungkan ke sistem syaraf periferi melalui kelenjar hipotalamus. Sistem
limbik juga mengatur rangsangan ke bagian otak lain dan menerima perintah
dari semua sistem sensasi (Kassim, 2000: 16; c.f. Goleman, 2009: 422-425).
Perkara luaran (input) yang merangsang seseorang akan merangsang organ
visera dalam badan dan kemudian mengakibatkan terkumpulnya emosi atau
pengalaman emosi dan perubahan pada perasaan. Terkumpulnya pengalaman
emosi ini selaras dengan teori emosi kognitif (Kassim, 2000: 17-19; c.f.
Goleman, 2009: 422-425) yang menyatakan bahwa respon perasaan/ emosi
akan terjadi/ terpengaruh selaras dengan pengalaman emosi yang telah terlabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
dan tersimpan sebelumnya. Seorang siswa yang sebelumnya mendapatkan
tekanan emosi dari gurunya, maka pengalaman itu akan mempengaruhi emosi/
perasaannya ketika diajar oleh guru tersebut.
3) Konsep Kecerdasan Emosional
Kemampuan masing-masing siswa berbeda sebab pada dasarnya tiap
individu mempunyai karakteristik (bakat, kecerdasan, emosi, dan lain-lain)
yang berbeda. Perbedaan kemampuan masing-masing siswa ini
mempengaruhi proses belajar. Emosi dimiliki oleh setiap individu siswa.
Emosi dapat berbentuk negatif atau positif. Emosi positif dapat memotivasi
secara internal yang pada gilirannya dapat membangun diri, misalnya menjadi
menyukai belajar, mau bergaul, bila mendapat kegagalan cepat bangkit untuk
berusaha mencapai keberhasilan. Sedangkan emosi negatif bersifat destruktif
atau merusak, misalnya murung, putus asa, menarik diri, takut, malu, dan
sebagainya. Keadaan ini pun sangat mempengaruhi belajarnya. Siswa akan
mengalami learning disability (ketidak-mampuan belajar) atau difficult
learning (kesulitan belajar) missconcepsi (kesalahan konsep), attention deficit
(kurang perhatian) dalam proses belajarnya. Goleman (2001: 22) menjelaskan
bahwa ketika otak menerima tekanan atau ancaman, maka kapasitas saraf
untuk berpikir rasional mengecil. Otak dibajak secara emosional.
Dari uraian di atas, tampak jelas ada hubungan antara emosi dan
kegiatan belajar. Penelitian telah menguatkan adanya hubungan antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
keterlibatan emosi, memori jangka panjang dan belajar (Goleman, 2009: 22).
Hal ini berarti ikatan emosional akan memperkuat memori dan ingatan siswa
akan bahan-bahan yang dipelajari. Bertolak dari pernyataan ini, Emosional
Qutient (EQ) merupakan kemampuan siswa sendiri untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan untuk menghadapi depresi atau frustrasi, kesanggupan
mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, tidak melebih-lebihkan
kesenangan dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir (cf. Verina H. Secapramana; 1999: 1). Yatim Riyanto (2009: 253)
merangkum kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah
kemampuan individu dalam menggunakan (mengelola) emosinya secara
efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dengan
orang lain dan meraih keberhasilan. Senada dengan pernyataan ini, Reigeluth
menyebutkan sebagai berikut.
“Emotional intelligence includes self-awareness and impulse control, persistence, zeal and self-motivation, empathy and social deftness, basic capacities needed if individuals are to thrive and if sociaty is to proper “ (Reigeluth, ed. 1999: 540). EQ termasuk kesadaran diri, kontrol perasaan, ketekunan, semangat,
motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial, yaitu kapasitas dasar keinginan
jika individu berkembang dan jika masyarakat maju. Kecerdasan emosional
merupakan kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan menjadi potensi
positif. Berdasarkan pengalaman, apabila sesuatu masalah menyangkut
pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi dan perasaan mereka sangat
membantu mempercepat pembelajaran. Guru yang disenangi akan
menciptakan ikatan emosional kuat sehingga siswa menyukai kegiatan belajar.
Bersamaan dengan kecerdasan emosional, lahir pula ”kecerdasan
majemuk” atau multyple intelligences yang dikemukakan oleh Howard
Gardner (dalam Hoerr, 2007: 15) yang menjelaskan manusia memiliki 8
kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa (kepekaan pada makna dan susunan kata),
logika matematika (kemampuan menangani relevansi/ argumentasi serta
mengenali pola dan urutan), musikal (kepekaan terhadap pola titinada, melodi,
irama, dan nada), kinestetik tubuh (kemampuan menggunakan tubuh dengan
terampil dan memegang objek dengan cakap), spasial (kemampuan
mengindra dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah
aspek-aspek dunia tersebut), natural (kemampuan untuk mengenali dan
mengklasifikasi aneka spesies, flora dan fauna dalam lingkungan),
interpersonal (kemampuan untuk memahami orang dan membina hubungan),
dan personal (kecerdasan emosional sebagai sarana untuk memahami diri
sendiri dan orang lain. Dalam kaitannya dengan kajian kecerdasan emosional
yang implisit ada pada kecerdasan majemuk, Goleman mengambil fokus
kajian terhadap kecerdasan personal dengan membahas pengendalian diri,
semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri (Hoerr, 2007:
116).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
4) Komponen Kecerdasan Emosional
Secara umum emosi adalah perasaan. Manusia adalah golongan
makhluk hidup yang paling memiliki perasaan yang tinggi dan halus. Emosi
memiliki tiga komponen, yaitu: (1) perasaan tersembunyi (covert), (2)
rangsangan fisiologis, (3) penonjolan perasaan secara terbuka (overt). Emosi
wujud dalam berbagai bentuk dan kekuatan yang dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu: (1) emosi positif atau negatif, dan (2) emosi
primer atau campur (Plutchik dalam Kassim, 2000: 12). Emosi positif
misalnya suka, sayang; dan emosi negatif misalnya marah, takut. Emosi
primer contohnya gembira, benci, sedih; emosi campur misalnya keadaan
kompleks seperti kecewa yang merupakan gabungan antara sedih, terperanjat,
dan kecewa. Setiap emosi juga memiliki peringkat, misalnya peringat
kekuatan takut: rasa resah, tegang, aprehensif, menggeletar, rasa kacau, panik,
takut amat sangat (terrified).
Terdapat tiga model dalam kajian kecerdasan emosional. Model
pertama ialah model Reuven Bar-On yaitu Emotional Quotient Inventory (EQ-
i); kedua model Mayer & Salovery yaitu four Branch Model of Emotional
Intellegence (4 Branch Model); dan model Goleman yaitu Emotional
Competence Inventoty (ECI) Berdasarkan model-model tersebut, pada
hakikatnya kecerdasan emosi memerlukan beberapa kecakapan, keterampilan,
dan kompetensi (abilities, skill, and competencies) dalam dua aspek, yaitu: (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
kompetensi diri (personal) yang terdiri dari kesadaran diri, menejemen diri,
motivasi diri; (2) kompetensi sosial yang terdiri dari kesadaran sosial dan
keterampilan sosial (Goleman, 2009: 403-405); Michael, 2006: 16-19; Yatim
Riyanto, 2009: 253-257). Kedua aspek ini disebut emotional intellegence
competence framework.
Menurut Goleman, secara rinci unsur masing-masing aspek adalah
sebagai berikut. Aspek kesadaran diri terdiri dari unsur kesadaran emosi,
ketepatan penilaian dan keterbukaan diri, serta kepercayaan diri. Aspek
menejemen diri terdiri dari unsur kontrol diri, penyesuaian diri, kerajinan,
amanah, inisiatif, dan orientasi pencapaian. Aspek kesadaran sosial terdiri dari
unsur kompetensi empati, orientasi usaha, kesadaran organisasi. Kemahiran
sosial meliputi kompetensi kepemimpinan, pengaruh, kepedulian terhadap
sesama, kepekaan perubahan, komunikasi, penanganan konflik, membina tali
persahabatan, kekompakan kerja, kolaborasi (Goleman, 2009: 403-405);
Michael, 2006: 20; Yatim Riyanto, 2009: 253-257). Hubungan antar aspek
dan unsur dapat dilihat pada gambar berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Pribadi Sosial
Kesadaran
Kesadaran diri - Kesadaran diri - Penilaian diri - Keyakinan diri
Kesadaran sosial - Empati - Orientasi usaha - Kesadaran organisasi
Pengaturan
Pengaturan diri
- Kawalan diri - Penyesuaian - Kerajinan - Amanah - Inisiatif - Orientasi
Kemahiran Sosial - Kepemimpinan - Pengaruh - Mengembangkan orang lain - Mendorong perubahan - Komunikasi - Mengatasi konflik - Membina tali persaudaraan - Kekompakan kerja - Kolaborasi
Gambar 7: Diagram Kesadaran Emosi Model Goleman
(Diadaptasikan dari Michael, 2006: 20)
a. Kompetensi Personal
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kompetensi personal terdiri
dari tiga aspek, yaitu kesadaran diri, pembinaan diri, dan motivasi diri.
Kesadaran diri berarti kesadaran untuk mengenali emosi dan
perasaannya sendiri, kemampuan membuat tafsiran yang tepat dan
meyakinkan yang mendorong individu merasa memiliki harga diri atau
kehormatan diri (self esteem) yang berdampak pada kepercayaan diri
(Michael, 2006: 26). Muijs (2008: 219) menyebutkan self-esteem sebagai
penilaian (judgment) pribadi tentang worthiness (faedah/ kegunaan/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
kepantasan) yang diekspresikan dalam bentuk sikap yang dimiliki individu
terhadap dirinya sendiri. Harga diri secara umum dapat didefinisikan
sebagai penilaian keseluruhan terhadap diri individu baik dari segi positif
maupun negatif. Individu yang mempunyai harga diri yang tinggi atau
positif mempunyai perasaan yang baik tentang diri sendiri. Sebaliknya
jika harga dirinya rendah, maka akan mempiliki perasaan negatif terhadap
diri sendiri dan sering tidak yakin dengan diri sendiri (Fauzee, 2004: 97).
Harga diri ini pada gilirannya memberikan perasaan pada diri anak bahwa
dirinya pasti mampu melakukan sesuatu dengan baik.
Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya memiliki ciri-
ciri: (1) sadar terhadap emosi yang dirasakan serta penyebabnya; (2) sadar
akan kaitan antara perasaan dan pemikiran, perlakuan dan penuturan; (3)
sadar bagaimana emosinya mempengaruhi prestasinya; (4) mempunyai
kesadaran tinggi tentang nilai dan tujuan hidup; (5) sadar akan kelemahan
dan kekuatannya sendiri; (6) reflektif dan belajar dari pengalaman; (7)
terbuka bagi pemikiran dan perspektif baru yang mendorong belajar
sepanjang hayat; (8) berupaya menunjukkan perspektif lain tentang diri
sendiri; (9) berkeyakinan, berketerampilan dan disadari kehadirannya;
(10) berani menyuarakan pandangan yang kurang populer dan
mempertahankan sesuatu yang betul; (11) dapat membuat keputusan yang
baik walaupun dalam ketidakpastian dan tekanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Pembinaan diri memiliki beberapa aspek pendukung, di antaranya
ialah manajemen emosi, amanah, ketekunan, penyesuaian diri, dan inovasi.
Manajemen diri adalah kemampuan mengurus emosi yang destruktif;
amanah adalah kemampuan membina kepiawaian, kejujuran, dan
integritas; ketekunan berarti kemampuan bertanggung jawab atas perstasi
diri; kebolehsesuaian berarti keluwesan dalam menangani perubahan; dan
inovasi adalah kerterbukaan atas ide-ide dan gagasan baru. Tiap-tiap
watak ini mempengaruhi dan membentuk watak dari segi emosi (Michael,
2006: 27-28).
Individu yang memiliki menejemen diri biasanya: (1) mampu
mengurus perasaan dan emosi negatif dengan baik; (2) tenang dan positif
pada waktu tertekan; (3) berpikiran waras dan berfokus dalam tekanan.
Individu yang memiliki integritas biasanya: (1) bertindak secara etis
mengikuti peraturan yang berlaku; (2) membina keyakinan melalui
informasi yang dapat dipercaya; (3) mengakui kesalahan sendiri dan
menentang tindakan tidak beretika orang lain; (4) berpegang teguh pada
pandangan yang berprinsip walau tidak populer. Individu yang memiliki
ketekunan biasanya: (1) memiliki komitmen dan menunaikan janji; (2)
bersifat akuntable untuk mencapai tujuan; (3) teratur dan sistematik dalam
melaksanakan tugas. Individu yang fleksibel biasanya: (1) mampu
menangani berbagai tuntutan, perubahan keutamaan dan pertukaran yang
kerap; (2) mempu menyesuaikan respon dan taktik dengan keadaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
sering berubah; (3) luwes dalam persepsi terhadap peristiwa-peristiwa
yang berlaku. Individu yang memiliki inovasi biasanya: (1) mencari ide
baru dari berbagai sumber; (2) memikirkan penyelesaian kreatif terhadap
masalah-masalah; (3) mewujudkan ide baru; (4) mempunyai perspektif
terkini dan berani menanggung resiko dalam pemikiran.
Motivasi diri dapat dilihat dari beberapa aspek seperti motivasi
pencapaian, komitmen, inisiatif, dan optimisme. Tiap-tiap watak ini
mempengaruhi dan membentuk watak dari segi emosi (Michael, 2006: 28).
Motivasi pencapaian terlihat pada usahanya yang terus menerus dalam
memperbaiki dan membentuk kecemerlangan. Individu yang memiliki
kompetensi ini memiliki indikator: (1) berorientasi pada hasil, dengan
motivasi tinggi berusaha mencapai tujuan dengan kepiawaian; (2) dapat
menentukan tujuan dan mengambil resiko yang dipertimbangkan; (3)
mengejar tujuan untuk mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan untuk
menambah prestasi; (4) belajar cara baru untuk meningkatkan prestasi.
Komitmen berarti memegang teguh tujuan yang telah ditetapkan.
Individu yang memiliki komitmen: (1) bersedia membuat pengorbanan
untuk mencapai tujuan; (2) menyadari nilai tujuan dan misi; (3)
menggunakan nilai-nilai moral dalam membuat keputusan dan dapat
menjelaskan pilihan yang dibuat; (4) mampu mencari peluang secara aktif
untuk memenuhi misi dan tujuan. Inisiatif berarti kesediaan bertindak
apabila ada peluang. Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya: (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
bersedia memanfaatkan peluang; (2) mengejar tujuan yang tinggi dari
yang diperlukan; (3) mengesampingkan birokrasi dan peraturan sekiranya
perlu untuk menyelesaikan tugas; (4) menggerakkan orang lain melalui
usaha-usaha yang luar biasa dan berfaedah
Optimisme berarti keyakinan untuk mencapai tujuan walaupun ada
halangan dan masalah. Keyakinan diri merupakan kepercayaan diri atau
optimisme untuk berhasil dalam melakukan perbuatan atau menyelesaikan
suatu masalah untuk mencapai tujuan tertentu (Fauzee, 2004: 83).
Keyakinan diri merupakan salah satu puncak yang terpenting untuk
meningkatkan prestasi karena seseorang tidak putus asa, tidak terlalu
banyak pertimbangan yang membawa keraguan, kerja dengan sungguh-
sungguh. Kepercayaan diri dapat pula didefinisikan sebagai suatu harapan
yang tinggi untuk mencapai tujuan dan kesuksesan (Fauzee, 2004: 86). Ia
merupakan fasilitator sehingga sekiranya seseorang mempunyai keyakinan
diri yang tinggi, pikiran dan dirinya akan memberi tumpuan dan perhatian
terhadap apa yang sedang dilakukan, sehingga sangat mempengaruhi
kebolehan seseorang untuk berusaha mencapai apa yang diimpikan selama
ini. Dengan demikian, seberapa banyak usaha yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan bergantung kepada kepercayaan diri seseorang itu.
Kepercayaan diri perlu dibentuk dan ditingkatkan. Fauzee (2004:
88) merangkum peningkatan kepercayaan diri dapat dilakukan dengan
memperhatikan beberapa sumber, di antaranya ialah: (1) performance
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
accomplishments (penyempurnaan tugas), (2) vicarious experience
(melihat pengalaman orang lain), (3) verbal persuasion (dorongan verbal),
(4) physiological states (kekuatan jasmani dan emosi). Peningkatan
kepercayaan diri memperhatikan 9 faktor, yaitu: (1) keberhasilan
melakukan aktivitas, yaitu kegiatan yang berhasil dilakukan dengan baik
untuk mencapai tujuan individu; (2) demonstrasi kebolehan, yaitu
demonstrasi yang lebih aktif berbanding orang lain; (3) dukungan sosial
dan masyarakat, yaitu dorongan positif dari kawan, guru, atau keluarga;
(4) kesiapan fisik dan mental, yaitu kesiapan optimal untuk mencapai
tujuan; (5) kepemimpinan guru, yaitu percaya dan yakin dengan keputusan
dan kebolehan guru; (6) pengalaman vicarious, yaitu menambah
keyakinan dengan memperhatikan orang lain yang berhasil; (7)
lingkungan kondusif yang membuat rasa aman; (8) keinginan lingkungan,
yaitu kesesuaian tindakan dengan harapan masyarakat; (9) persepsi sendiri,
yaitu padangan terhadap keadaan diri sendiri.
Fauzee (2004: 90-91) merangkum ada lima langkah untuk
membentuk keyakinan diri, yaitu (1) menghapuskan alasan yang negatif
yang senantiasa diberikan (get rid of excuses); (2) menggunakan gambaran
sebagai kekuatan (use picture power); (3) jangan takut salah (do not fear
failure); (4) mempertimbangkan penampilan (consider your appearance);
(5) mengulang kembali keberhasilan yang lalu (keep a record of past
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
successes). Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai
berikut.
Gambar 8: Diagram Langkah Peningkatan Kepercayaan Diri
(Fauzee, 2004: 90-91)
Individu yang memiliki kompetensi ini biasanya: (1) terus
berusaha mencapai tujuan walaupun ada halangan dan masalah; (2)
bertindak dari harapan untuk berhasil bukan ketakutan atau gagal; (3)
melihat masalah sebagai keadaan yang dapat diatasi bukan dari
kekurangan personal.
b. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial mempunyai subkomponen yaitu kesadaran
sosial dan kemahiran sosial. Goleman (2007: 83) menyebutkan definisi
kompetensi sosial sebagai berikut.
Get rid excuses
Use picture power
Do not fear failure
Consider your appearance
Keep a record of past successes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Sosial intelligence include “noncognitive” aptitutes – the talent, for instance, that lets a sensitive nurse calm a crying toddler with just the reassuring fouch, having to think for a moment abaut what to do. .... As the brain’s social real estate overlaps with its emotional centers. Kesadaran sosial memerlukan kompetensi diri seperti empati,
orientasi untuk melayani orang lain, pengembangan orang lain, pelayaan
sosial, dan kesadaran politik. Kemahiran sosial menyangkut tingkah laku
antara lain pengaruh, komunikasi, kepemimpinan karismatik, pendorong
perubahan, penanganan konflik, membina hubungan, kolaborasi dan kerja
sama, berupaya kompak dalam tim (Michael, 2006: 41-45). Goleman
(2007: 83) menyebutkan kompetensi sosial terdiri dari komponen sebagai
berikut.
1. Social ewareness (refers to spectrum that runs from instantaneously sensing another’s inner state, to understanding her feelings and thoughts, to “getting” complicated sosial situations). Its includes: (a) primal empathy (feeling with others, sensing non-verbal emotional signal); (b) attunement (listening with full receptivity, attuning to a person); (c) empathyc accuracy (understanding another person’s thoughts, feelings, and intentions); (d) social cognition (knowing how the social world works).
2. Sosial facility (simply sensing how another feels, or knowing what they think or intend, does not guarantee fruitfull interactions, builds on social awareness to allow smooth, effective interactions. Its includes: (a) synchrony (interacting smoothly at the nonverbal level); (b) self-presentation (presenting ourself effectively); (c) influence (shaping the outcome of social interactions); (d) concern (caring obout others’ needs and acting accordingly).
Empati merupakan kemampuan memahami orang lain dengan cara
ikut merasakan, memahami pandangan dan ikut mengambil bagian sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
dengan kondisi mereka. Anak yang mempunyai empati peka pada emosi
orang lain, bersedia mendengar, prihatin dan memahami perspektif
pandangan orang lain, memahami perasaan orang lain dan keperluan
orang lain serta bersedia membantunya. Kemampuan melakukan orientasi
maksudnya kemauan mengenali dan memenuhi keperluan. Anak yang
memiliki orientasi senang memahami keperluan dan menghasilkan
prestasi yang diinginkan sekolah, memikirkan cara-cara untuk
meningkatkan kepuasan sekolah, bersedia memberi bantuan, memahami
kemauan orang lain dan memberi nasehat yang meyakinkan.
Kepedulian mengembangkan orang lain berarti kepedulian untuk
mengupayakan orang lain berkembang. Anak yang memiliki kompetensi
ini bersedia memuji dan memberi ganjaran untuk menghargai kekuatan,
keberhasilan, dan perkembangan orang lain; memberikan motivasi yang
membina perkembangan orang lain, memberikan pertimbangan alternatif
perkembangan orang lain; memberikan penerangan terhadap pandangan
yang sempit dan bias. Kesadaran membina hubungan baik dalam
perkumpulan berarti kemampuan untuk membaca arus emosi orang
banyak dan peduli untuk menghubungkan dengan penguasa. Anak yang
memiliki kesadaran ini cakap dalam membina hubungan dengan
penguasa; mengikuti jaringan sosial yang ada; peka terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi pandangan dan perilaku orang dan persaingan antar
mereka; membaca dengan tepat situasi organisasi dan realitas luarnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Kompetensi pelayanan sosial berarti kemampuan membina
peluang terhadap pelayanan berbagai sifat manusia. Anak yang memiliki
kompetensi ini akan menghormati dan bergaul dengan berbagai orang
yang memiliki latar belakang berbeda-beda; memahami berbagai
pandangan yang berbeda-beda; memanfaatkan keperbagaian sebagai
kesempatan mewujudkan suasana di mana semua orang dapat
berkembang; menentang ketidakadilan dan intoleransi.
Pengaruh merupakan aspek kemahiran sosial, yaitu kemampuan
menggunakan taktik untuk mendapatkan keyakinan orang lain (Michael,
2006: 43). Seorang yang memiliki pengaruh mahir dalam mendapat
keyakinan orang lain; menghasilkan karya yang dapat menarik perhatian
orang; dapat menngunakan cara yang santun untuk mendapatkan
persetujuan dan dorongan orang lain; dapat mengajar orang lain secara
dramatis dan mengesankan. Komunikasi berarti kebolehan menyampaikan
sinyal yang jelas, tepat dan meyakinkan. Anak yang pandai komunikasi
dapat luwes; menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan tulus;
mendengar, memahami dan mensukseskan misi organisasi; memupuk
komunikasi terbuka, dan bersedia menerima kenyataan baik maupun
buruk.
Kepemimpinan yang karismatik adalah kemampuan individu
dalam membimbing dan memberi inspirasi kepada orang lain. Anak yang
memiliki kompetensi ini akan mampu mewujudkan minat untuk mencapai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
visi dan misi; bersedia memimpin bila perlu; mampu membimbing orang
lain; dan menjadi teladan. Sebagai dinamisator anak akan menyadari
perlunya perubahan terutama untuk mengatasi hambatan; mempelajari
keadaan status quo dan menyakinkan perlunya perubahan; menyokong
perubahan itu dan mencari dorongan orang lain; menjadi model perubahan
untuk orang lain.
Kemampuan mengatasi konflik artinya kemampuan membuat
perundingan dan menyelesaikan perselisian dengan baik. Anak yang
mempunyai kemampuan ini memiliki kepandaian berdiplomasi yang baik
dalam mengatasi konflik; dapat mengambil tindakan yang bijak dalam
menyelesaikan konflik; menggalakkan diskusi dan pembahasan.
Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan memupuk hubungan
atau interaksi sosial. Anak ini punya kemampuan menyemai dan membina
jaringan hubungan yang luas; memupuk hubungan yang saling
menguntungkan; membina hubungan mesra dengan orang lain;
mengekalkan kesetiakawanan antar rekan sejawat. Anak yang memiliki
kemampuan kerja sama mampu berkolaborasi; memupuk iklim yang
mesra dan kerja sama; memanfaatkan peluang untuk kerja sama.
Kemampuan untuk kompak sebagai tim adalah kemampuan untuk
mewujudkan sinergi dalam usaha mencapai tujuan bersama kelompok.
Anak yang mempunyai kompetensi ini akan menjadikan diri sebagai
teladan dalam saling menghormati, saling membantu, dan kerjasama;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
melibatkan semua anggota secara aktif; membina identitas dan semangat
menjadi komitmen bersama; menjaga nama baik bersama.
Ada beberada komponen dalam kecerdasan emosional, yaitu
mengorganisasikan kelompok, merundingkan pemecahan, hubungan
pribadi, dan analisis sosial (Goleman, 2009: 166-167; Yatim Riyanto,
2009: 256-257). Melengkapi pengetahuan ini, Hare (1985: 21-23)
menyebutkan interaksi sosial terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut.
1. Form, yang terdiri dari communications network 2. Process, yang terdiri dari task behavior (self oriented, stereotyped,
real, involved, creative) dan social emotional behavior (upward dominant – downward submissive, positive – negative, serious – expressive, conforming – anti conforming)
3. Content yang terdiri dari values, norms, leadership, resources.
Albrecht (2006: 29) menambahkan lima keterampilan sosial sebagai
Simply enumerate, yaitu: situational awareness, presence, autenticity,
clarity, dan empathy.
5) Peranan Kecerdasan Emosional dalam Kegiatan Belajar Siswa
Belajar berarti mengubah pengetahuan dan pemahaman secara terus
menerus yang dilakukan oleh siswa melalui proses pemberian makna terhadap
pengalamannya. Joko Nurkamto (2004: 104-105) merangkum kebermaknaan
pengalaman tersebut memiliki dua sisi, yaitu intelektual dan emosional.
Kebermaknaan intelektual dicapai melalui proses kognisi, sedangkan
kebermaknaan emosional mengacu pada rasa memiliki pengalaman yang
ditandai oleh lahirnya rasa bahwa isi pengalaman itu penting baginya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
memotivasi belajar secara terus menerus. Demikian besar pengaruh emosi
terhadap kegiatan belajar karena dalam kegiatan belajar manusia melibatkan
kekuatan emosi dan pikirannya yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini selaras
dengan harapan pelaksanaan pendidikan yang memang harus dilakukan secara
holistik dengan mengintegrasikan aspek intelektual, emosional, sosial, dan
spiritual dalam kesatuan yang utuh (Sarwiji Suwandi, 2004: 27).
Goleman (terjemahan T. Hermaya, 2009: 38) menjelaskan bahwa EQ
adalah prasyarat untuk kepiawaian IQ, maksudnya ialah IQ kita tidak akan
berfungsi dengan baik jika bagian otak kita rusak akibat kecacatan emosi.
Seterusnya Michael (2006: 56) memberi pernyataan sebagai berikut.
“People of high IQ flouder and those of moderate IQ do surprisingly well… Lack of emotional intellegence can sabotage the intellect and ruin careers”
Penilaian seseorang individu bukan saja didasarkan kepada kecerdasan
intelektuan (IQ), tetapi yang lebih penting ialah kecerdasan emosi (EQ). Hal
ini disebabkan karena emosi manusia adalah merupakan respon terhadap
pemikiran dan ide dalam otak. Pemikiran dan ide dalam otak tidak dapat
dipisahkan dari respon badan yang menghasilkan emosi itu. Pemikiran atau
ide, respon dan emosi yang saling berinteraksi disambungkan ke thalamus
(bagian otak). Di sini ide atau impuls dari semua organ anggota badan bersatu
dan berinteraksi untuk menghasilkan sensasi yang disebut perasaan atau
emosi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
EQ meninggalkan kesan yang mendalam dalam keseluruhan aspek
dalam kehidupan seseorang individu, termasuk aspek kesehatan dan sosial.
Goleman (2001: 22) menjelaskan juga bahwa ketika otak menerima tekanan
atau ancaman, maka kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil.
Berdasarkan hal ini maka dapat diprediksi bahwa ketika siswa mulai tidak
menyukai pengajarnya secara otomatis dapat diperkirakan akan tidak
menyukai materi pelajarannya juga. Human Resource Magezine menyatakan
sebagai berikut.
“……..success at work is 80 % dependent on emotional intellegence and only 20 % dependent on IQ” (dalam Michael, 2006: 3; Verina H. Secapramana, 1999: 1).
Sebaliknya jika siswa dalam situasi bahagia, kebahagiaan akan
meningkatkan kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaan negatif dan
meningkatkan energi yang ada, dan menenangkan perasaan yang
menimbulkan kerisauan. Keadaan ini akan mengisyaratkan tubuh secara
menyeluruh dan menyiapkan antusiasme dalam menghadapi tugas-tugas dan
berjuang mencapai sasaran-sasaran yang lebih besar (Goleman: 2005: 8).
Berdasarkan hal itu, secara ekstrim OSHO (1999: 15) bahkan menyarankan
agar orang dalam menemukan kesadarannya harus berani memisahkan
perasaan dengan pikiran. Pikiran tidak boleh mendekte perasaan.
“Learner need to be receptive both to those with whom they are communicating…..responsive to person and the context of communication, and willing and able to place a certain value on the communicative act of interpersonal exchange. It could easily be claimed that no successful cognitive activity can be carried out without some
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
degree of self esteem, self confidence, knowledge of yourself in your own capabilities for that activity” (Brown, 2000:144-155).
Berkaitan dengan respon terhadap sikap guru di atas, maka jelaslah
bahwa guru harus selalu berusaha menjadi pengajar yang baik. Penelitian
telah menunjukkan bahwa di antara kekuatan-kekuatan yang perlu ada pada
seorang guru ialah kemampuan untuk menangani emosi negatif. Seorang guru
yang ceria dan penuh kasih akan menghasilkan pelajar yang ceria dan
pengasih (Michael, 2006: 9). Elemen utama adalah dengan menciptakan
lingkungan yang suportif dan penuh kasih sayang dengan batas-batas yang
jelas, juga disiplin dengan aturan dan prosedur yang jelas dan tidak menekan
siswa (Muijs, 2008: 227). Kualitas guru akan menentukan tahap pencapaian
kompetensi kecerdasan emosional (KKE) di kalangan pelajar melalui
perwujudan suasana kelas yang mendorong perkembangan emosi secara sehat.
Pengalaman pembelajaran baru dapat menghasilkan emosi tertentu jika
mengaktifkan kegiatan belajar siswa (Michael, 2006: 56).
Seorang guru yang baik dan berhasil adalah guru yang dapat
menangani emosi negatifnya dengan cara yang baik. Perkembangan harga diri
dan motivasi di kalangan pelajar kecuali banyak dipengaruhi oleh ibu bapanya,
juga oleh tingkah laku guru, termasuk penguatan dan pujian terhadap usaha
pelajar (Fauzee, 2004: 98). Hal ini dikarenakan emosi tidak dapat dipisahkan
dengan motivasi. Keduanya saling membantu karena dengan adanya emosi
yang sesuai dan positif seperti suka dan gembira, akan membantu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
meningkatkan motivasi seseorang. Sebaliknya apabila berada dalam keadaan
emosi yang tidak sehat dan negatif seperti sedih, emosi ini akan
menghancurkan motivasi seseorang untuk belajar (Kassim, 2000: 14).
Keadaan sebaliknya terjadi jika guru memiliki kemampuan yang
rendah dalam menangani emosi negatif. Guru yang senang melakukan
kekerasan emosional akan mengakibatkan perasaan buruk yang
berkepanjangan pada diri siswa. Siswa akan mengalami trauma psikologis
yang akan terus menghantui pikiran/ perasaan, sehingga pikiran/ perasaannya
akan terus terganggu, keyakinan menjadi hilang, merasa tidak berdaya, hak-
hak pribadi terusik, sistem perlindungan diri akan punah, kesehatan tubuh
menurun, penderitaan batin yang luar biasa terutama jika teringat pengalaman
pahit sebelumnya (Kassim, 2000: 19-20).
Ada beberapa kategori tingkah laku guru (dan juga orang tua) yang
negatif sehingga menyiksa emosi anak. Kassim (2000: 20) merangkum
adanya 5 kategori tingkah laku guru, yaitu penolakan (rejection), pengasingan
(isolating), menakuti (terrorising), sikap tidak peduli (ignoring) dan merasuki
pikiran (corrupting). Penyiksaan ini merusakkan mental anak. Akibat
kerusakan mental anak ini harga dirinya menjadi merosot yang pada
gilirannya menyebabkan gairah belajar, respon menurun dan pencapaian
akademik menjadi merosot (Kassim, 2000: 39).
Keadaan yang sama berlaku pula pada pelajar, pelajar yang
mempunyai kemahiran menangani emosi, prestasinya lebih baik dalam semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
ujian. Pelajar yang mempunyai KKE yang tinggi berpenampilan tenang, dapat
menyelesaikan konflik antara mereka tanpa pertolongan orang dewasa,
mereka lebih kooperatif, bersedia membantu, memiliki masa depan cerah dan
kemauan empati yang tinggi. Mereka juga dapat melakukan inrtospeksi,
mencoba-coba mengatasi masalah dan bersungguh-sungguh dalam proses
pembelajaran. Orang-orang dengan kecakapan emosional yang berkembang
baik juga cenderung puas dan efektif dalam kehidupannya, menguasai
kebiasaan-kebiasaan pikiran yang meningkatkan produktivitas. Kecakapan di
bidang ini akan memberi siswa kesempatan lebih baik untuk menggunakan
kecerdasan potensial apapun yang dibawa oleh gen mereka (Hoerr, 2007: 109,
116). Jadi ada hubungan langsung antara kecerdasan emosi dan kelakuan
konstruktif (Michael, 2006: 9). Berdasarkan hal ini, kecerdasan emosional
dapat digunakan sebagai pendekatan psikologis dalam membangun dan
membina kehidupan manusia.
Ciri-ciri anak yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi antara
lain: (1) dapat mengenali perasaannya dan bukan perasaan orang lain atau
situasi yang dihadapinya; (2) dapat membedakan pemikiran dan perasaan; (3)
bertanggung jawab atas perasaannya sendiri; (4) gunakan perasaannya untuk
membantu membuat keputusan; (5) menghormati perasaan orang lain; (6)
dapat merasa bertenaga bukan karena kemarahan; (7) memahami perasaan
orang lain dengan menunjukkan empati, pertimbangan, dan menerima
perasaan orang lain; (8) dapat berlatih untuk mendapatkan nilai positif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
daripada emosi negatif; (9) tidak menasihati, mengarahkan, mengritik,
mengadili atau menghardik orang lain; (10) tidak menghiraukan orang yang
tidak menerima atau menghormati perasaannya (Michael, 2006: 21).
Di antara pelajar-pelajar yang baik, banyak juga yang memiliki
kecerdasan emosi yang rendah, di antaranya karena mereka menghadapi
masalah harga diri atau keyakinan diri. Ciri anak yang menghadapi masalah
ini menurut Fauzee (2004: 100-101) antara lain adalah: (1) suka menggunakan
perkataan yang menunjukkan rasa marah, (2) memamerkan diri mereka yang
tidak bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) memamerkan
penampilan tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul
pada kelompok-kelompok orang yang alkoholik, murung, dan lain sebagainya.
Masalah keyakinan diri ini dapat diatasi dengan beberapa hal, di antaranya
ialah: (1) terapi berkumpul dan (2) terapi tingkah laku kognitif. Dari interaksi
dengan orang lain dapat membicarakan pengalaman mereka masing-masing
dalam menghadapi masalah dan cara mengatasinya. Perbincangan dalam
kelompok ini dapat membantu individu membentuk tingkah laku baru dan
menguji ide baru. Terapi tingkah laku kognitif dapat dilakukan dengan
menggunakan bahasa kiasan (covert speech) atau imageri visual untuk
membimbing dan mengarahkan tingkah laku. Dengan penggunaan visual
imageri yang positif seseorang dapat melihat gambaran pikiran tentang diri
mereka yang berjalan dengan penuh keyakinan bahwa upayanya pasti berhasil.
Terapi ini dapat meningkatkan gambaran diri yang positif karena dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
merangsang perasaan dan keyakinan diri. Self estem ini penting diperhatikan
karena mambantu anak mengembangkan potensinya dan mendidik dalam
hidupnya (Reigeluth, ed. 1999: 541)
6) Pengaruh Perbedaan Tingkat Kecerdasan Emosional terhadap
Kemampuan Apresiasi Sastra
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan memang untuk dihayati oleh
pembaca agar pembaca bersikap kritis dan cermat menekuni bagian-bagian
pengalaman manusia yang terpilih sehingga pembaca dapat menemukan
gagasan dan perasaan penulisnya serta tanggapan penulis terhadap kehidupan.
Visi penulis ialah tentang hidup dan kehidupan. Pengarang melalui karyanya
ingin mengajak pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masa-
lah yang diketengahkan dalam karyanya (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14).
Berdasarkan konsep di atas, maka dalam melakukan penghayatan
terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor
afektif, yaitu merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca
(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Diperlukan kekuatan emosional dalam realitas
rasa pada diri pembaca ketika menghayati/ pengapresiasi sastra. Dalam
kegiatan apresiasi sastra ada totalitas aktualisasi diri yang puncak atau peak
experience.
Berkaitan dengan masalah kegiatan apresiasi sastra yang tidak dapat
dilepaskan dari kekuatan emosional, banyak penelitian menguatkan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar/
apresiasi sastra (Goleman, 2005: 14; DePorter, 2000: 22). Ikatan emosional
akan memperkuat memori dan ingatan siswa terhadap bahan-bahan yang
dipelajari yang selanjutnya menuntun kegiatan belajarnya. Hal ini dikarenakan
emosi menentukan kepekaan subjektif yang mendorong dan mengontrol
gagasan dan kecenderungan bertindak dalam berbagai aktivitas manusia.
Sistem limbiklah yang mengatur rangsangan bagian otak dan menerima
perintah dari semua sistem sensasi (Kassim, 2000: 16). Stimulus (input) yang
merangsang seseorang akan merangsang organ visera dalam badan dan
kemudian mengakibatkan terkumpulnya emosi atau pengalaman emosi dan
perubahan pada perasaan. Terkumpulnya pengalaman emosi ini selaras
dengan teori emosi kognitif (Kassim, 2000: 17-19) yang menyatakan bahwa
respon perasaan/ emosi akan terjadi/ terpengaruh selaras dengan pengalaman
emosi yang telah terlabel dan tersimpan sebelumnya.
Setiap individu memiliki emosi baik dalam bentuk negatif maupun
positif, setiap individu memiliki kompetensi emosional yang berbeda-beda.
Berdasarkan kenyataan bahwa kecerdasan emosional sangat berperan dalam
kegiatan belajar, maka perbedaan kompetensi emosional yang mempengaruhi
motivasi internal dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam melakukan
kegiatan apresiasi sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
D. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan secara komprehensif disajikan antara lain
sebagai berikut. Keefektifan model pembelajaran experiential learning
ditunjukkan oleh Slamet Sartono (2007: 1) pada penelitiannya di SMK Negeri 3
Purwokerto tahun 2007 dengan judul Pelaksanaan Pembelajaran Dengan
Pendekatan Experiential Learning sebagai Upaya untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA di SMK Negeri 3 Purwokerto. Penelitian
ini menyimpulkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran yang ditandai
dengan (a) siswa aktif; (b) menyenangkan; (c) melatih kerjasama kelompok; (d)
berpusat pada siswa; (e) meningkatkan tanggung jawab; (f) informatif dan
komunikatif.
Dalam penelitian yang diakui secara internasional, penelitian sejenis
dilakukan oleh Chun-Wang, I-Chun, Ling, dan Nian-Shing (2011: 20) di Taiwan
dengan judul A Joyful Classroom Learning System with Robot Learning
Companion for Children to Learn Mathematics Multiplication. Dua temuan
pokok penelitian ini: (1) pada penggunaan model pembelajaran experiential
learning, ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol (nilai signifikansi 0,000); (2) pada penggunaan model pembelajaran
constructivistics learning, ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol (nilai signifikansi 0,000). Hal ini menyimpulkan bahwa model-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
model pembelajaran yang bernaung di bawah pendekatan konstruktivistik efektif
untuk pelaksanaan pembelajaran.
Penelitian selanjutnya oleh Pi-Shen dan Lip-Chai (2006: 19) di Singapure
yang berjudul Changing Enterpreneurial Perceptions and Developing
Enterpreneurial Competencies through Experiential Learning: Evidence From
Enterpreneurship Education in Singapore’s Tertiary Education Institutions.
Penelitian ini memberikan simpulan pokok bahwa opportunity sulit diajarkan di
kelas, tetapi lebih tepat melalui pengalaman nyata di masyarakat. Kalaupun dapat
diajarkan di kelas, hal itu dibutuhkan guru yang cerdik “slippery teacher”. Hasil
penelitian ini relevan dengan temuan Meyer (2007: 91) pada penelitiannya yang
berjudul The Effect of an Adventure Experiential Learning Programme on
Demensions of Self perception of Youth. Pada abstraknya disimpulkan bahwa
pengaruh program model pembelajaran experiential learning terhadap
kemampuan persepsi diri cukup baik. Hal ini terbukti perolehan nilai signifikansi
(p) cukup besar, yaitu 0,059. Relevan juga dengan hasil penelitian Akkuyunlu
dan Soylu (2008: 189) di Turki yang berjudul A Study of Student’s Perceptions in
a Blended Learning Environment Based on Different Learning Styles, yang
meneliti efek jenis gaya belajar (model Kolb) terhadap persepsi diri. Penelitian ini
menyimpulkan pokok temuan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan persepsi
diri antara siswa yang memiliki gaya belajar asimilatif dan siswa yang memiliki
gaya belajar diverger. Hal ini berarti semua gaya belajar yang dibangun di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
model pembelajaran experiential learning efektif untuk menumbuhkan persepsi
diri.
Keefektifan model pembelajaran sinektik ditunjukkan oleh Sakdiahwati
(2006: 1) di SMPN 13 Palembang tahun 2006 dengan judul Penerapan Model
Sinektik dalam Peningkatan Keterampilan Menulis. Simpulan penelitian
menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran sinektik dapat meningkatkan
keterlibatan atau aktivitas siswa dalam menulis. Secara terinci hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa (1) semua aspek karangan melalui model pembelajaran
sinektik dapat ditingkatkan, (2) penggunaan model sinektik lebih memberikan
pengaruh pada aspek tata bahasa dan aspek mekanika penulisan, (3) proses belajar
mengajar menulis dengan menggunakan model sinektik mampu memberikan
tingkat keefektifan yang lebih tinggi daripada proses pembelajaran dengan
menggunakan model konvensional. Berkaitan dengan kualitas pembelajaran
menulis dapat juga disimpulkan: (a) model sinektik dalam pembelajaran menulis
mempunyai keunggulan dalam mengembangkan dua ranah taksonomi yaitu
kognitif dan afektif/ emosional; (b) model sinektik dalam pembelajaran menulis
tidak luput dari kelemahan juga, di antaranya yaitu model ini menghabiskan
waktu cukup lama karena siswa harus merespons tahap demi tahap (tujuh tahap)
untuk membuahkan hasil yang optimal.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Iwan Kurniawan (2005: 1) di SMAN 4
Curup Bengkulu tahun 2005 dengan judul Pemanfaatan Model Sinektik Dalam
Pembelajaran Membaca Pemahaman di SMAN 4 Curup Bengkulu. Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
juga menyimpulkan bahwa model sinektik dalam pembelajaran membaca
pemahaman cukup efektif. Langkah-langkah dalam sinektik (tahap 1 s.d. 5) dapat
dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan pembelajaran membaca, terutama yang
menyangkut tujuan membaca pemahaman dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam memahami isi bacaan. Selain itu, siswa mampu mengekspresikan isi
bacaan dengan cara menganalogikan isinya, baik analogi langsung, analogi
personal, analogi persamaan, maupun analogi perbedaan. Beberapa kendala yang
ditemui antara lain (1) siswa belum bisa menggunakan analogi, (2) guru belum
terbiasa mengajar menggunakan analogi, dan (3) langkah-langkah sinektik ke-6
dan ke-7 terlalu sulit bagi siswa.
Dalam kancah internasional, penelitian sejenis lebih mendalam dilakukan
oleh Paltasingh (2008: 1-4) di Banpur Town of Khurda District of Orissa India
yang berjudul Impact Synectics Model of Teaching in Life Science to Develop
Creativity Among Pupils menyimpulkan (1) terdapat perbedaan yang signifikan
antara sinektik dan pengajaran tradisional dalam pengembangan ilmu dan
kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) kreatifitas kelompok ekeperimen secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok control yang mengunakan metode
tradisional; (3) pelatihan kreatifitas melalui model sinektik menghasilkan prestasi
yang lebih tinggi secara signifikan dalam ilmu pengetahuan. Simpulan ini relevan
dengan penelitian Pany (2008: 1-2) di India yang berjudul Effectiveness of
Synectics Model of Teaching in Enhancing Creativity, Academic Achievement
Motivations of Learner. Penelitian memberikan dua simpulan pokok, (1) model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
pembelajaran sinektik efentif untuk mengembangkan cara berpikir creative siswa;
tetapi (2) model pembelajaran sinektik tidak efektif untuk mengembangkan
motivasi berprestasi siswa.
Penelitian lainnya ialah penelitian Ramirez dan Ganaden (2008: 29) di
Philipina yang berjudul Creative Activities and Students’ Higher Order Thinking
Skill yang bertujuan menemukan pengaruh aktifitas berpikir kreatif pada siswa
SMK. Dari intervensi yang dilakukan, meskikun menyimpulkan bahwa perbedaan
antara siswa yang dikenai ICA (pembelajaran dengan perlakuan kreatif) dan siswa
yang dikenai INCA (pembelajaran tanpa kegiatan kreatif) tidak terlalu signifikan
(p = 0,189), namun kelompok ICA menunjukkan kenaikan nilai lebih tinggi yaitu
dari pretest 14, 20 ke posttest 21,5 (50%). Kelompok INCA mendapatkan nilai
rata-rata lebih rendah.
Penelitian terhadap penggunaan model pengajaran langsung antara lain
penelitian oleh Feng S.Din (2000: 4) di Petterson yang berjudul Direct Instruction
in Remedial Math Instruction. Penelitian menemukan nilai t test sebesar 22,75
dengan nilai p = 0,000; rata-rata nilai pretest sebesar 3,58 dan posttest sebesar
5,53. Hal itu berarti bahwa jika digunakan dengan tepat model pembelajaran
langsung efisien dan efektif membantu siswa meningkatkan keterampilan
matematika. Relevan dengan simpulan di atas, Hiks, Bethone, dan Mins (2011:
677) pada penelitiannya di Carolina yang berjudul Effects of Direct Instructional
on the Acquisition of Propositions by Students with Intellectual Disabilities
menyimpulkan adanya hubungan fungsional antara pengajaran langsung dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
siswa pebelajar preposisi. Setelah digunakan model pengajaran langsung, terjadi
peningkatan jumlah komulatif jawaban benar yang diberikan oleh siswa.
Simpulan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Gujjar (2007: 24-25) di Turki
yang berjudul Direct Instruction and Appropriate Intervention for Children with
Learning Problems. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan direct
instruction kinerja membaca siswa meningkat. Sebelum intervensi, antara kelas
eksperimen dan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan, tetapi setelah
intervensi membuktikan ada perbedaan yang signifikan.
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Hinze dan Berger (2007: 01)
di Jerman yang berjudul Cooperative Lerning, Motivational Effects, and Student
Characteristics: An Experimental Study Comparing Cooperatif Learning and
Direct Instruction in 12th grade Phisics Classes memberikan temuan pokok
bahwa Jigsaw lebih efektif dibanding model pengajaran langsung. Penelitian ini
memberikan perhatian pada berbedaan pengalaman siswa dalam kemampuan,
inisiatif, relasi sosial, aktivitas berpikir, dan tingkat motivasi intrinsik.
Penelitian tentang peranan kecerdasan emosional yang relevan antara lain
penelitian Tardi (2006: 1) di SMA Negeri Kota Wonogiri tahun 2006 yang
berjudul Kontribusi Kecerdasan Emosional dalam Interaksi Sosial dan Persepsi
tentang Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru
(Penelitian Pada Guru SMA Negeri Kota Wonogiri. Dari penelitiannya dapat
dilaporkan bahwa ada kontribusi yang signifikan kecerdasan emosional dalam
interaksi sosial terhadap kinerja guru (ro = 0,474 > rt = 0,291) sumbangan efektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
18,30%. Selaras dengan penelitian di atas, penelitian oleh Nugroho di SMP
Kecamatan Tirtomoyo Wonogiri tahun 2009 yang berjudul Pengaruh Pendekatan
konsep dan Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris di
SMP N Kecamatan Tirtomoyo Tahun Pelajaran 2008/2009 menyimpulkan bahwa
ada perbedaan pengaruh siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi
dan siswa yang memiliki tingkat emosional rendah terhadap prestasi belajar. Dari
penelitian Tardi, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional sangat
berpengaruh terhadap kinerja atau prestasi kerja. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa kecerdasan emosional memegang peran penting untuk dipertimbangkan
dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Dari penelitian-penelitian yang dipaparkan di atas, secara komprehensif
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model experiential learning
maupun dengan model sinektik lebih efektif dibanding dengan model
konvensional (pengajaran langsung). Perbedaan penelitian-penelitian di atas
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah terletak pada objek
penelitiannya. Penelitian-penelitian di atas banyak mengambil objek pada bidang
pengajaran matematika, fisika, membaca pemahaman (dan keterampilan menulis),
dan lain sebagainya; sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis ini
pada bidang pembelajaran apresiasi prosa fiksi dan bagaimana peranan
kecerdasan emosional mempengaruhinya. Namun demikian, ditinjau dari
linieritas efek dan kemanfaatannya semuanya tetap relevan dijadikan bandingan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
penelitian. Semuanya melibatkan kegiatan yang hampis sama, yaitu pemahaman
terhadap sebuah objek kajian.
E. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teoretik dan sifat hubungan antar variabel, dapat
disusun kerangka berpikir sebagai berikut.
1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Diajar
dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang Diajar
dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar dengan
Model Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran experiential learning menyatukan materi
pembelajaran dengan alam kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan praksis
kehidupan sehari-hari. Pelajaran sangat menyenangkan dan memberikan
makna karena siswa diberi kebebasan membangun konsep dan mencobakan
konsep sendiri. Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar sehingga
memperoleh pengetahuan.
Pembelajaran dengan model experiential learning memiliki sifat
siswa dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, kebebasan siswa
merupakan unsur yang sangat esensial, kebebasan dipandang sebagai penentu
keberhasilan, kontrol belajar dipegang oleh siswa, mengikuti pandangan siswa,
aktivitas belajar dalam konteks nyata, menekankan pada proses. Sifat-sifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
tersebut merupakan prasyarat berkembangnya kreativitas karena dengan
situasi aman dan kebebasanlah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan
menyenangkan juga merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang
menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah tertentu.
Model pembelajaran sinektik yang intinya aktifitas metafora
mengikuti langkah analogi langsung, analogi personal, dan konflik kempaan
atau. Dalam kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan
mekanisme ini maka karya sastra akan dipahami melalui proses metaforik.
Melalui proses metaforik siswa akan mempertemukan berbagai macam unsur
yang seolah tidak berhubungan dengan menggunakan kiasan untuk
memperoleh satu pandangan baru. Dalam melakukan proses metaforik
tersebut diperlukan keterlibatan emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa
yang tinggi. Elemen emosional, irasional harus dipahami untuk menciptakan
situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.
Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk
membentuk analogi.
Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input yang
merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada target penguasaan
materi. Dalam pandangan behaviorstik, belajar merupakan aktivitas
pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis.
Siswa dipandang sebagai kaleng kosong tempat ditumpahkannya semua
pengetahuan dari guru. Guru menyebarkan informasi keilmuan dan siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
menerima, karena itu model pembelajaran langsung mengandalkan tranfer
pengetahuan dengan penjejalan materi ke kepala anak.
Cara transfer pengetahuan ini sering membelanggu siswa karena
rata-rata siswa belum memiliki motivasi yang baik untuk belajar. Transfer
pengetahuan sering dilakukan dengan teknik ceramah. Penggunaan teknik
ceramah inipun membosankan, sehingga cenderung siswa tidak menyimak.
Memperhatikan perbedaan karakteristik tiga model pembelajaran di
atas, mana yang lebih mudah diikuti dan membawa dampak lebih baik dalam
belajar. Dengan (1) menciptakan iklim akademik yang aman, bebas, dan
menyenangkan, sehingga secara konkrit anak mengalami, merasakan, terlibat
langsung sehingga kreativitas terbentuk, minat tergalakkan sehingga siswa
senang terlibat secara mendalam dalam kegiatan belajar; atau (2) menciptakan
iklim akademik yang aman dan bebas, tetapi anak dituntut untuk melibatkan
emosi, daya imaji, daya abstraksi yang tinggi untuk berkreasi membuat
analogi, atau dengan cara (3) siswa diberi input agar mereka menerima dan
menghafal. Berdasarkan kerangka berpikir ini, maka diduga kuat ada
perbedaan dampak yang cukup signifikan antara ketiga model tersebut dalam
menghasilkan kemampuan apresiasi prosa fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Prosa fiksi tidak merupakan khayalan seratus persen karena
pengalaman jiwa tidak lepas dari dunia empiris pengarang. Pengalaman dunia
empiris itu dimasukkan dalam pengalaman batin, mengendap dalam dirinya
untuk kemudian diekspresikan melalui daya kreatifnya. Pengarang melalui
karyanya ingin mengajak pembaca mengedepankan perasaan untuk
menghayati dan ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masalah yang
diketengahkan dalam karyanya. Pengarang menggunakan daya imajinya untuk
meyakinkan pembaca bahwa hal yang fiktif itu suatu kenyataan, sehingga
pembaca dapat menangis, tertawa, terharu, dan sebagainya karena merasa
menghadapi kenyataan.
Berdasarkan isi, cara, dan medium pengungkapannya di atas, maka
dalam melakukan penghayatan terhadap isi karya sastra, pembaca sebagai
penghayat harus mengedepankan faktor afektif, yaitu merupakan realitas rasa
yang secara nyata ada pada diri pembaca. Diperlukan totalitas kekuatan
emosional yang puncak pada diri pembaca ketika pengapresiasi sastra. Respon
perasaan/ emosional siswa terhadap karya sastra terpengaruh dan selaras
dengan pengalaman emosi yang telah terlabel dan tersimpan sebelumnya.
Berkaitan dengan masalah kegiatan apresiasi sastra yang tidak dapat
dilepaskan dari kekuatan emosional, maka tinggi-rendahnya kecerdasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
emosional siswa sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam apresiasi
terhadap karya sastra.
3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan
Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
a. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif untuk
Mengajar Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding
untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Langkah experiential learning terdiri dari (1) mengidentifikasi
pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik, (2)
guru menambahkan kelengkapan ingatan dan hasil observasi anak di
lapangan, (3) kunjungan ke lapangan untuk observasi, (4) kegiatan kelas,
(5) penjelasan oleh guru untuk pemantapan. Silus langkah tersebut sangat
membutuhkan kecerdasan emosional yang secara bersama-sama
mendukung pikiran. Langkah pembelajaran ini, terutama pada langkah
pertama, membutuhkan keaktifan siswa, dengan demikian experiential
lerning lebih sukses diikuti oleh siswa-siswa dewasa. Untuk melakukan
experiential learning dibutuhkan kematangan pikiran dan perasaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa model
pembelajaran experiential learning lebih efektif untuk pembelajaran
apresiasi prosa fiksi pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi
dibanding pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
b. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif untuk Mengajar Siswa
yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding untuk Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Pembelajaran apresiasi prosa fiksi dengan model sinektik
dilaksanakan melalui tiga fase aktifitas metafora yang meliputi analogi
langsung, analogi personal, dan konflik kempaan. Dalam kaitannya
dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini maka berarti karya
sastra akan dipahami dengan mengembangkan keaktifan dan kemampuan
kreatif siswa melalui proses metaforik.
Dalam proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan emosional
subjek didik. Untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif yang baik,
siswa perlu mengedepankan aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan daya
kritis yang tinggi. Emosi terlibat sebab imajinasi terikat dengan cara yang
rumit dengan kehidupan emosional kita. Untuk memasuki alam metaforik
dibutuhkan kematangan pikiran dan perasaan. Pada fase analogi personal,
misalnya, anak memerlukan kekuatan empati untuk menganalogikan
sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah langkah model pembelajaran
sinektik sangat membutuhkan kecerdasan emosional yang mendukung
pikiran. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa model pembelajaran sinektik
lebih efektif untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi pada siswa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
kecerdasan emosionalnya tinggi dibanding pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah.
c. Model Pembelajaran Langsung Lebih Efektif untuk Mengajar Siswa
yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi Dibanding untuk Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Keberhasilan belajar menurut psikologi behaviorisme ditentukan
oleh faktor eksternal. Pembelajaran dilaksanakan melalui mekanisme
stimulus – respon dan diperkokoh oleh penguatan.
Anak baru dapat belajar jika tersedia data input/ masukan dan
digalakkan oleh adanya penguatan. Data input inilah yang membentuk
stimulus yang kemudian merangsang respon. Jika respon benar
mendapatkan penguatan, maka menjadi kebiasaan karena terus menerus
diulangi oleh siswa. Jika suatu respon tidak tepat mendapatkan hukuman,
maka siswa revisi respon. Dengan demikian, untuk melakukan kegiatan
belajar, seorang siswa memerlukan dorongan / dukungan dari lingkungan
(motivasi eksternal) yang dapat berupa pemberian penghargaan, pujian,
insentif.
Langkah model behavioristik yang terdiri dari (1) pemberian
stimulus, (2) siswa merespon, (3) pemberian penguatan, sangat
membutuhkan kecerdasan emosional dan pikiran. Ketika anak mengingat
kembali memori untuk mengidentifikasi input (stimulus), ketika anak
memperoleh penguatan bahwa yang dikatakan benar, maka anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
membutuhkan kepekaan emosional yang tinggi untuk memaknai peristiwa
itu dan mengingat kembali memorinya. Setelah responnya dibenarkan oleh
lingkungan, anak merasa senang dan terdorong akan mengulangi lagi,
anak merasakannya dengan perasaan yang baik.
Berdasarkan hal itu, dapat diduga bahwa model pembelajaran
behavioristik lebih efektif untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi pada
siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dibanding pada siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah.
d. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding
dengan Model Pembelajaran Sinektik untuk Mengajar Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Model pembelajaran experiential learning merupakan model
pembelajaran berbasis pengalaman konkrit yang dapat dialami oleh siswa
dengan mudah sesuai dengan kebiasaan/ pengalaman hidup sehari-hari.
Melalui langkah-langkahnya, siswa terbimbing dan terbantu cara berpikir
dan belajarnya. Pada tahap refleksi kritis siswa diarahkan untuk dapat
bertanya tentang pengalaman terdahulu, dan dicoba dijawabnya dengan
membuat generalisasi, deskripsi penyelesaian tugas, dan hipotesis pada
tahap penyudunan konsep abstrak. Ketika siswa mengalami kesulitan,
siswa berkesempatan melakukan diskusi dengan teman-temannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Pertanyaan pada hipotesisnya menuntun siswa terjun ke lapangan untuk
melakukan eksperimentasi aktif.
Berbeda dengan model pembelajaran sinektik. Kegiatan sinektik
yang intinya ialah aktifitas metafora berbasis berpikir absrak. Siswa
langsung dihadapkan pada fenomena yang harus dipikirkan melalui proses
abstraksi, imajinasi yang tinggi. Siswa perlu menganalogikan apa yang
dihadapi dengan perbandingan-perbandingan yang bersifat irasional.
Berdasarkan argumentasi ini, maka meskipun experiential learning
maupun sinektik sangat memerlukan kecerdasan emosional yang tinggi,
oleh karena yang satu lebih konkrit daripada yang lain, maka dapat diduga
bahwa untuk pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran
experiential learning lebih efektif dibanding dengan model pembelajaran
sinektik pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi.
e. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding
dengan Model Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Seperti disebut pada butir (d) bahwa model pembelajaran
experiential learning bersifat konkrit. Dalam model ini secara konkrit anak
mengalami secara mandiri dan nyata. Proses pembelajaran berlangsung
alamiah secara experiential dalam bentuk kegiatan siswa bekerja, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pengalaman konkrit yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
dimiliki anak merupakan titik tolak kegiatan belajar-mengajar dalam
usaha memperoleh dan memperbaiki pengetahuan, keterampilan, dan
pembentukan watak.
Model pembelajaran langsung mengandalkan adanya input atau
stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi pada
target penguasaan materi. Model pembelajaran behavioristik ini terbukti
hanya berhasil dalam kompetisi ingatan jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Berdasarkan kerangka berpikir ini, maka dapat diduga bahwa untuk
pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential
learning lebih efektif dibanding dengan model pembelajaran langsung
pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi.
f. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif Dibanding dengan Model
Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Tinggi
Telah disebutkan pada butir (d) bahwa aktifitas metafora dalam
model pembelajaran sinektik merupakan aktifitas yang bersifat abstrak.
Hal ini dikarenakan karya sastra akan dipahami dengan cara membuat
kiasan atau analogi. Berbagai unsur yang seolah tidak relevan dan
irasional digunakan sebagai analogi untuk memperoleh perspektif baru.
Dalam melakukan proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan
emosional, daya imaji, daya abstraksi siswa yang tinggi. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
kompetensi emosional, aspek irasional harus dipahami untuk menciptakan
situasi yang terbuka guna mengembangkan kreativitas secara konstruktif.
Aspek irasional akan diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk
membentuk analogi dan metaphor. Namun demikian, meskipun tuntutan
atas keterlibatan emosional cukup tinggi, siswa diberi kebebasan berpikir.
Melalui perolehan kesempatan berpikir secara bebas itulah siswa dapat
mengembangkan analogi metaforis.
Model pembelajaran behavioristik mengandalkan adanya input
atau stimulus yang merangsang respon anak. Pembelajaran berorientasi
pada target penguasaan materi. Dengan diberikannya rangsangan
terkondisi, siswa tidak memperoleh kesempatan berpikir secara bebas. Hal
ini dikarenakan sejak awal siswa hanya diarahkan untuk memberikan
respon tunggal. Dalam teori belajar behavioristik, siswa dituntut harus
mentaati peraturan yang ketat, cara berpikir tunggal, dan keseragaman
hasil belajar. Tuntutan ini menekan kebenasan siswa, sehingga
menghambat timbulnya motivasi belajar. Hal ini dikarenakan ketika otak
menerima tekanan atau ancaman, maka kapasitas saraf untuk berpikir
mengecil. Kondisi ini mengakibatkan siswa mulai tidak menyukai
pengajarnya dan otomatis juga tidak menyukai materi pelajarannya.
Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran
anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran
apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
model pembelajaran langsung pada siswa yang kecerdasan emosionalnya
tinggi.
g. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding
dengan Model Pembelajaran Sinektik untuk Mengajar Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Siswa yang kecerdasan emosinya rendah rata-rata memiliki
masalah dalam harga diri atau keyakinan diri. Ciri anak yang menghadapi
masalah ini antara lain adalah: (1) suka menggunakan perkataan yang
menunjukkan rasa marah, (2) senang melontarkan kata-kata pesimis dan
tidak bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) senang tampil
tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul dengan
orang yang murung, dan lain sebagainya.
Belajar berarti mengubah pengetahuan dan pemahaman secara
terus menerus yang dilakukan oleh siswa melalui proses pemberian makna
terhadap pengalamannya. Kebermaknaan pengalaman ini memiliki dua
sisi, yaitu intelektual dan emosional. Kebermaknaan intelektual dicapai
melalui proses kognisi, sedangkan kebermaknaan emosional mengacu
pada rasa memiliki pengalaman yang ditandai oleh lahirnya rasa bahwa isi
pengalaman itu penting baginya untuk memotivasi belajar secara terus
menerus.
Experiential learning merupakan cara belajar berbasis pengalaman
konkrit dan alamiah. Anak diberikan kebebasan belajar sesuai tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
kecerdasan masing-masing. Dalam model pembelajaran experiential
learning, anak dibantu menumbuh kembangkan potensi diri mulai dari
cara yang paling sederhana, yaitu perasakan pengalaman. Dengan cara
yang sederhana ini, maka siswa yang kecerdasan emosional dan
inlektualnya rendah pun memiliki kesempatan membangun diri.
Kondisi di atas, sulit ditemukan pada model pembelajaran sinektik.
Dalam melakukan proses metaforik diperlukan keterlibatan emosional,
daya imaji, daya abstraksi siswa yang tinggi. Elemen emosional, irasional
harus dipahami untuk menciptakan situasi yang terbuka guna
mengembangkan kreativitas secara konstruktif. Aspek irasional akan
diketahui dan dikendalikan secara sadar untuk membentuk analogi dan
metaphor. Melalui model sinektik siswa dituntut untuk dapat berpikir
secara abstrak dalam mengembangkan analogi. Untuk memenuhi tuntutan
ini, siswa yang kecerdasan emosional dan elektualnya rendah akan
mengalami kesulitan.
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan model pembelajaran
sinektik lebih sulit dibanding model pembelajaran experiential learning.
Berdasarkan uraian ini, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran
apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential learning lebih
efektif dibanding model pembelajaran sinektik pada siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
h. Model Pembelajaran Experiential Learning Lebih Efektif Dibanding
dengan Model Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Sesuai payungnya yang konstruktivistik dan alirannya yang
bersifat humanistik, model belajar melalui pengalaman berpusat pada
manusia itu sendiri yang dihargai sebagai individu manusia yang telah
memiliki emosi/perasan dan nilai-nilai. Sekecil apapun emosi dan nilai-
nilai ini merupakan modal siswa melakukan self regulated learning.
Melalui model pembelajaran ini siswa bebas mengembangkan
pengetahuan sendiri sesuai latar kemampuan, talenta intelektual, personal,
sosial, kultural, dan emosionalnya masing-masing. Selanjutnya,
pembelajaran menekankan proses yang mengajarkan bagaimana siswa
belajar dan nilai kegunaan belajar itu sendiri bagi dirinya. Kegagalan atau
keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai
interpretasi yang berbeda dan perlu dihargai, dengan demikian anak
memiliki keberanian dan motivasi untuk belajar. Dengan cara yang
sederhana ini, maka siswa yang kecerdasan emosional dan inlektualnya
rendah pun memiliki kesempatan membangun diri.
Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada
model behavioristik. Dalam pandangan behaviorstik, belajar merupakan
aktivitas pengumpulan informasi, pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan
mekanis. Siswa hanya dilihat sebagai sosok yang hidup dan bertindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
sebagai robot, ialah sumber kosong tempat ditumpahkannya semua
pengetahuan dari guru. Siswa dihadapkan bukan pada kebebasan berpikir
tetapi harus tunduk pada aturan yang kaku dan ketat, karena ketaatan dan
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan. Keberhasilan belajar pada
model behavioristik diukur jika siswa mampu mengungkapkan kembali
apa yang telah dipelajari. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
menerima pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang harus
dihukum. Berdasarkan situasi yang seperti ini, maka siswa yang sudah
dalam keadaan kurang mampu karena kecerdasan emosinya rendah, akan
menjadi tambah terpuruk, motivasinya dalam ambang batas mati.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diduga bahwa untuk
pembelajaran apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran experiential
learning lebih efektif dibanding model pembelajaran behavioristik pada
siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
i. Model Pembelajaran Sinektik Lebih Efektif Dibanding dengan Model
Pembelajaran Langsung untuk Mengajar Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Meskipun cara berpikirnya abstrak, model pembelajaran sinektik
berada di bawah payung konstruktivistik dan alirannya yang bersifat
humanistik. Dengan demikian, dalam model pembelajaran sinektikpun
siswa dihargai sebagai manusia yang memiliki emosi/perasan dan nilai-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
nilai yang bersifat individual. Melalui model pembelajaran ini siswa juga
memperoleh kebebasan mengembangkan pengetahuan sendiri, membuat
asosiasi-asosiasi, sesuai latar kemampuan, talenta intelektual, personal,
sosial, kultural, dan emosionalnya masing-masing. Kebebasan berpikir ini
merupakan basis lahirnya keberanian dan motivasi untuk belajar membuat
analogi-analogi. Bersandar pada kecenderungan ini, maka siswa yang
kecerdasan emosional dan inlektualnya rendah pun memiliki kesempatan
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan diri.
Cara belajar di atas sungguh berbeda dibanding cara belajar pada
model behavioristik. Dalam pandangan behaviorstik, siswa hanya dilihat
sebagai sosok yang bertindak sebagai robot, sebagai tong kosong yang
harus diisi pengetahuan oleh guru. Siswa tidak memperoleh kebebasan
berpikir tetapi harus tunduk pada aturan yang kaku dan ketat.
Keberhasilan belajar pada model behavioristik diukur jika siswa mampu
mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam menerima pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang harus dihukum. Berdasarkan situasi yang seperti ini, maka
siswa yang tadinya sudah dalam keadaan kurang mampu karena
kecerdasan emosinya rendah, akan menjadi tambah terpuruk, motivasinya
dalam ambang batas kematian.
Berdasarkan uraian di atas, karena dengan berpikir bebas pikiran
anak akan berkembang, maka dapat diduga bahwa untuk pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
apresiasi prosa fiksi, model pembelajaran sinektik lebih efektif dibanding
model pembelajaran behavioristik pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi.
F. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoretik dan kerangka berpikir, dapat dikemukakan
hipotesis sebagai berikut.
1. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar
dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan
model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang diajar dengan model
pembelajaran Langsung.
2. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Jawa Timur. Peneliti memilih tempat
ini karena mempunyai beberapa alasan sebagai berikut.
a. Karakteristik emosional dan intelektual siswa SMP di Jawa Timur cukup
beragam. Keragaman ini merupakan karakteristik populasi yang menarik
dan potensial untuk diteliti.
b. Belum semua guru menerapkan strategi baru yang lebih sesuai dengan
perkembangan karakteristik siswa dan perkembangan paradigma
pembelajaran masa kini dalam pembelajaran sastra Indonesia, sehingga
perlu dicoba dan diperkenalkan strategi baru.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan
bulan Agustus 2011, dengan pembagian waktu sebagai berikut.
a. Pada bulan Januari sampai dengan bulan September 2009 dilakukan
penyempurnakan rencana penelitian.
b. Pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 dilakukan penyusunan
instrumen penelitian.
172
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
c. Pada bulan Januari sampai dengan Juni 2010 dilakukan penelitian.
d. Pada bulan Juli sampai dengan Desember 2010 dilakukan analisis data
e. Pada bulan Januari sampai Juli 2011 dilakukan penyusunan laporan hasil
penelitian.
Rincian jadwal waktu selengkapnya lihat lampiran 2 halaman 278.
B. Rancangan dan Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahannya, maka penelitian ini akan menganalisis
perbedaan dengan membandingkan kemampuan apresiasi prosa fiksi berdasarkan
kelompok-kelompok (sel) dari dua variabel bebas. Berdasarkan hal ini, maka
langkah analisis yang dilakukan adalah mencari:
1. Perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar
menggunakan model pembelajaran experiential learning, dengan siswa yang
diajar menggunakan model pembelajaran sinektik, dan dengan siswa yang
diajar menggunakan model pembelajaran langsung,
2. Perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah,
3. Interaksi antara penggunaan model pembelajaran experiential learning, model
pembelajaran sinektik, dan model pembelajaran langsung dengan tingkat
kecerdasan emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
Penelitian ini menggunakan rancangan desain faktorial 3 X 2. Skema perbedaan
dan interaksi antar variabel dalam desain ini secara sederhana dapat dilihat dalam
gambar sebagai berikut:
B
B-1 B-2
A
A-1 Y Y
A-2 Y Y
A-3 Y Y
Gambar 9: Skema Desain Penelitian (Desain Faktorial 3 X 2)
Keterangan:
A = Model Pembelajaran A1 = Model Experiential Learning A2 = Model Sinektik A3 = Model Pengajaran Langsung B = Kecerdasan Emosional (EQ) B1 = EQ Tinggi B2 = EQ Rendah Y = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperiment atau eksperimen
semu. Metode eksperimen semu ialah metode yang mendekati percobaan
sesusungguhnya tetapi tidak mengontrol semua variable yang relevan. Harus
ada kompromi dalam menentukan validitas internal dan eksternal sesuai dengan
batasan-batasan yang ada (Moh. Nasir, 1998: 86). Quasi Experiment is used
when radom assignment of subjects to experimental and control groups is not
possible and has not been done (Borg & Gall, 1979: 556-557)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
C. Variabel Penelitian
Variabel-variabel penelitian ini ialah:
1. Variabel bebas pertama ialah penggunaan model pembelajaran
2. Variabel bebas kedua ialah kecerdasan emosional (EQ)
3. Variabel terikat ialah kemampuan apresiasi prosa fiksi.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini ialah seluruh siswa SMP provinsi Jawa Timur.
Jawa Timur terdiri dari 35 kota/ kabupaten, tiap kabupaten rata-rata memiliki
14 SMP, sehingga seluruh SMP berjumlah sekitar 490 buah.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian terdiri dari empat kota/kabupaten. Dua kota terdiri
dari Kota Madiun dan Kota Malang, dua kabupaten terdiri dari Kabupaten
Bojonegoro dan Kabupaten Trenggalek. Dari tiap-tiap kota/ kabupaten yang
dipilih sebagai sampel diambil tiga sekolah, dari setiap sekolah diambil satu
kelas, jadi jumlah seluruh kelas yang menjadi sampel penelitian sebanyak 12
kelas. Daftar sekolah sampel selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3
halaman 279. Tiga kelas dari setiap kota/ kabupaten, diambil dengan
mempertimbangkan keseimbangan strata kemampuan siswa. Keseimbangan
strata kemampuan siswa diketahui melalui pre test apresiasi prosa fiksi. Uji
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
keseimbangan atau homogenitas sekolah tiap kota lihat pada lampiran 04
halaman 280.
Teknik sampling yang digunakan ialah multyple stage purposive
sampling. Kelas eksperimen terdiri dari 8 kelas. Dari kelas eksperimen, kelas
yang diajar dengan model pembelajaran eksperiential learning sebanyak 4
kelas, dan kelas yang diajar dengan model pembelajaran sinektik sebanyak 4
kelas. Kelas kontrol yang diajar dengan model pembelajaran langsung
sebanyak 4 kelas. Pembelajaran dengan tiga model pembelajaran tersebut
menggunakan Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan
suplemen materi, yang dapat dilihat pada lampiran 5, 6, 7, 8 halaman 292,
341, 390, 439.
Setelah pembelajaran selesai, seluruh siswa mengikuti tes. Seluruh data
yang telah masuk ditabulasi dan diklasifikasi menjadi 6 sel yang masing-
masing terdistribusi secara nyata sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
B B-1 B-2
A
A-1 75 88 ∑ A-1= 163
A-2 71 76 ∑ A-2= 147
A-3 72 76 ∑ A-3= 148
∑ B-1= 218 ∑ B-2= 240 Total = 458
Gambar 10: Distribusi Jumlah Data Tiap Sel
Keterangan: A = Model Pembelajaran A1 = Model Experiential Learning A2 = Model Sinektik A3 = Model Pengajaran Langsung B = Kecerdasan Emosional (EQ) B1 = EQ Tinggi B2 = EQ Rendah
E. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional tiap-tiap variabel penelitian dijelaskan sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosional yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tinggi
rendahnya tingkat kemampuan siswa dalam memotivasi diri dan
mengendalikan dorongan dan suasana hati agar kemampuan emosionalnya
dapat mempertajam kegiatan berpikir dan belajar. Tinggi rendahnya tingkat
kecerdasan emosional ditentukan berdasarkan median nilai angket kecerdasan
emosional. Nilai di atas median masuk klasifikasi tinggi, dan di bawah atau
sama dengan median masuk klasifikasi rendah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
2. Kemampuan apresiasi prosa fiksi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah
tinggi dan rendahnya tingkatan kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan yang
dipunyai seseorang untuk memahami, menikmati dan menghargai atau
menilai terhadap cerita rekaan yang dinyatakan dalam wujud skor nilai.
Tinggi rendahnya tingkat kemampuan apresiasi prosa fiksi diperoleh dengan
tes apresiasi prosa fiksi.
F. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis data yang diperlukan untuk analisis, teknik
pengumpulan data yang dipergunakan sebagai berikut.
1. Kecerdasan Emosional Siswa
Data kecerdasan emosional siswa dikumpulkan dengan teknik angket.
Bentuk angket yang digunakan tertutup, yakni siswa memilih jawaban yang
telah disediakan (Burhan Nurgiantoro, 2001: 54).
2. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa
Data kemampuan apresiasi prosa fiksi dikumpulkan menggunakan
teknik tes apresiasi prosa fiksi. Tes dikembangkan dengan menggunakan teori
evaluasi menurut Moody (1979: 89-96) yang mengukur kemampuan
informasi, konsep, perspektif, dan apresiatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
G. Instrumen Penelitian
Sesuai dengan teknik pengumpulan data, instrumen yang dipergunakan
disusun sebagai berikut.
1. Angket
Angket disusun menggunakan skala Liekert dengan 5 alternatif
jawaban rating scalle. Skor untuk pertanyaan: 1 (sangat tidak sesuai), 2 (tidak
sesuai), 3 (kurang sesuai), 4 (sesuai), 5 (sangat sesuai). Skala dapat
diinterpretasi dengan kalimat keseringan, misalnya: 1 (most of the time), 2
(often), 3 (sometimes), 4 (reraly), 5 (olmost never) (Michael, 2006: 68-79).
Kisi-kisi lengkap dan instrumen angket dapat dilihat pada lampiran 9 halaman
454. Kisi-kisi singkat angket pada tabel sebagai berikut.
Tabel 11: Kisi-kisi Singkat Angket Kecerdasan Emosional
Aspek Sub Aspek Nomor Item
Jumlah Item
Kompetensi Personal Kesadaran diri 1 – 11 11 Menejemen diri 12 – 28 17 Motivasi diri 29 – 43 20
Kompetensi Sosial Empati 44 – 61 18 Keterampilan sosial 62 – 93 32
Jumlah Semua Instrumen..................................................... 93
2. Tes
Tes apresiasi prosa fiksi dikembangkan dengan menggunakan teori
evaluasi Moody (1979: 89-96) yang mengukur kemampuan informasi,
konsep, perspektif dan apresiatif. Bentuk yang dipilih ialah tes objektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
dengan 4 alternatif jawaban. Soal dibuat 6 paket mengikuti materi
pembelajaran sesuai standar kompetensi (silabus) yang digunakan pada
penelitian. Semua soal pada tes apresiasi prosa fiksi lihat pada lampiran 10
halaman 459. Kisi-kisi soal terangkum dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 12: Kisi-kisi Tes Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
No Aspek Jumlah Butir Tiap Paket Soal
Jumlah 1 2 3 4 5 6
1 Informasi 5 3 5 4 4 3 24
2 Konsep 5 7 4 6 6 7 35
3 Perspektif 3 3 4 3 3 3 19
4 Apresiatif 3 2 2 3 3 2 15
Jumlah 16 16 15 16 16 15 94
H. Validitas Instrumen Penelitian
Uji validitas yang dilakukan meliputi: (1) validitas isi, (2) validitas
konstruk, (3) validitas muka, dan (4) validitas empiris. Uji validitas isi dilakukan
dengan membuat kisi-kisi sesuai lingkup materi tes yang dikehendaki dan sesuai
dengan kurikulum sekolah yang berlaku. Uji validitas tes apresiasi prosa fiksi
menggunakan uji validitas isi, yaitu dengan penyusunan kisi-kisi tes. Kisi-kisi tes
apresiasi di samping memperhatikan silabus kelas VIII mata pelajaran bahasa
Indonesia, yang paling utama disusun berdasarkan taksonomi tujuan
pembelajaran sastra menurut H.L.B. Moody yang meliputi aspek informatif,
konsep, perspektif, dan apresiatif. Jumlah butir soal masing-masing aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
beragam sesuai karakteristik prosa fiksi yang diapresiasi. Tes apresiasi prosa fiksi
ini merupakan tes akhir, hal ini dikarenakan sebelumnya siswa telah mengikuti tes
proses dan produk yang dilaksanakan guru dalam skenario pembelajaran
berdasarkan kompetensi dasar dan standar kompetensi sesuai silabus dan
kurikulum yang berlaku. Uji validitas angket dilakukan dengan uji validitas
konstruk yaitu dengan penyusunan kisi-kisi angket kecerdasan emosional
memperhatikan konstruk inventori kecerdasan emosional menurut ahli.
Uji validitas muka dilakukan dengan cara mengkonsultasikan instrumen
kepada pakar di bidangnya. Sesuai dengan kriteria ini, instrumen kecerdasan
emosional kecuali yang utama telah dikonsultasikaan kepada para pembimbing,
juga telah dikonsultasikan kepada beberapa master di bidang psikologi. Oleh
karena para pembimbing adalah pakar di bidang sastra, istrumen tes apresiasi
prosa fiksi telah dikonsultasikan kepada para pembimbing. Kritik dan saran dari
para pembimbing dan pakar telah diperhatikan untuk kesempurnaan instrumen
penelitian ini.
Uji validitas empiris dilaksanakan melalui uji coba di lapangan secara
efektif. Untuk tes apresiasi prosa fiksi, uji empiris digunakan untuk mengetahui
validitas, daya beda, tingkat kesulitan butir soal, dan reliabilitas. Untuk angket, uji
empiris untuk mengetahui validitas dan reliabilitas angket.
Langkah-langkah atau prosedur yang dilakukan untuk menentukan
validitas dan reliabilitas kedua instrumen tersebut adalah sebagai berikut: (1)
melakukan uji coba dalam skala kecil terhadap 10 responden, (2) merevisi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
menyempurnakan hal-hal yang kurang jelas terutama dalam hal penggunaan
bahasa, (3) melakukan uji coba dalam skala besar terhadap 31 siswa (kelas
terkecil 30 siswa, kelas terbesar 33 siswa), (4) menganalisis hasil uji coba guna
menentukan butir-butir valid yang dapat dipeergunakan untuk intrumen
pengumpulan data sesungguhnya.
Kelas uji coba harus mempunyai keseimbangan karakteristik dengan
kelas sampel penelitian yang sebenarnya. Oleh karena itu, telah dipilih SMP
Negeri 04 Kota Madiun sebagai sekolah uji coba. Kelas yang digunakan untuk uji
terbatas (terhadap 10 siswa) berasal dari 1 (satu) kelas, dan kelas yang digunakan
untuk uji coba sebanyak 7 (tujuh) kelas, sehingga jumlah keseluruhan kelas yang
digunakan untuk uji coba sebanyak 8 (delapan) kelas. Keseimbangan karakteristik
antara sekolah uji coba dengan sekolah sampel penelitian diketahui dengan cara
melakukan uji beda dua rata-rata (homogenitas) menggunakan nilai pre-test
apresiasi prosa fiksi yang dilakukan. Dari uji beda rata-rata menggunakan Anava
satu faktor, diperoleh data F hitung sebesar 1,77 dan F tabel sebesar 2,60.
Perhitungan selengkapnya lihat lampiran 11 halaman 477. Oleh karena harga F
hitung lebih kecil daripada harga F tabel, maka disimpulkan bahwa Ho diterima
dan H1 ditolak. Temuan ini berarti bahwa ada keseimbangan antara kelas uji coba
dengan kelas sampel penelitian.
Hasil uji coba empiris yang dilakukan di SMP Negeri 04 Kota Madiun
dilaporkan sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
1. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi
a. Validitas Butir Soal
Hasil analisis butir soal baik untuk paket soal I, II, III, IV, V, dan VI,
menyimpulkan bahwa soal yang tidak valid sebagai berikut: paket soal I
butir 11, 12, 15, 16; paket II butir 4, 9, 14, 16; paket III butir 3, 4, 11, 14,
17; paket IV butir 10, 13, 14, 19; paket V butir 10, 13, 15, 19; dan paket
VI butir 1, 7, 10, 11, 15.
b. Daya Beda
Hasil analisis daya beda baik untuk paket soal I, II, III, IV, V, dan VI,
menyimpulkan bahwa butir soal yang ditolak sebagai berikut: paket soal I
butir 11, 12, 15, 16; paket II butir 4, 9, 14, 16; paket III butir 3, 4, 11, 14;
paket IV butir 10, 13, 14, 19; paket V butir 10, 13, 15, 19; dan paket VI
butir 1, 7, 10, 11.
c. Indeks Kesukaran
Hasil analisis indeks kesukaran baik untuk paket soal I, II, III, IV, V,
dan VI, menyimpulkan bahwa soal yang ditolak karena sukar atau terlalu
mudah sebagai berikut: paket soal I butir 11; paket II butir 4 dan 9; paket
III butir 11; paket IV butir 13; paket V butir 15 dan 19; dan paket VI butir
semua sedang.
d. Reliabilitas Tes Apresiasi Prosa Fiksi
Dali S. Naga (1992: 150) dan Burhan Nurgiyantoro (2001: 123)
menyatakan bahwa jika dikehendaki, koefisien reliabilitas Alpha (Alpha
Cronbach) dapat diterapkan pada skor yang bersifat dikhotomi
sebagaimana halnya rumus reliabilitas K-R. Hal ini karena pada dasarnya
keduanya sama, yaitu merupakan koefisien reliabilitas komposit untuk
semua butir pada uji tes. Berdasarkan pernyataan ini, maka hasil analisis
reliabilitas terhadap semua butir soal pada paket soal I, II, III, IV, V, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
VI, menyimpulkan bahwa semua soal reliebel (semua harga Alpha lebih
besar daripada koefisien alfa 0,05.
Berdasarkan temuan ini, maka jumlah semua butir soal yang
digunakan untuk evaluasi akhir sebagai berikut: paket soal I: 16 butir; paket
soal II: 16 butir; paket soal III: 15 butir; paket soal IV: 16 butir; paket soal V:
16 butir; paket soal VI: 15 butir. Proses perhitungan selengkapnya lihat
lampiran 12 halaman 480.
2. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Kecerdasan Emosional
a. Validitas Butir Angket
Hasil analisis validitas butir angket menyimpulkan bahwa pertanyaan
yang tidak valid hanya dua butir, yaitu butir nomor 21 dan 78.
b. Reliabilitas Angket
Hasil analisis reliabilitas angket menyimpulkan bahwa semua
pertanyaan reliabel karena harga Alpha lebih besar daripada koefisien
Alpha o,05.
Berdasarkan temuan ini, maka jumlah butir angket yang digunakan
untuk angket kecerdasan emosional siswa berjumlah 93 butir pertanyaan.
Proses perhitungan selengkapnya lihat lampiran 13 halaman 504.
I. Teknik Analisis Data
Oleh karena analisis menggunakan program SPSS, maka teknik uji
persyaratan analisis menggunakan:
1) Uji normalitas memakai metode Kolmogorov-Smirnov.
2) Uji homogenitas memakai metode Levene’s test of equality of error
variances.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
3) Sampel diambil secara random
Analisis data menggunakan Anova dua jalur (3 X 2). Adapun perhitungan
memakai komputer. Proses analisis data mengikuti langkah sebagai berikut.
1. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov.
Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan uji Liliefors. Uji ini digunakan
bilamana mean dan varians tidak diketahui tetapi harus diestimasi dari data
dan menggunakan prosedur uji beda (Duwi Priyatno, 2009: 187).
Berdasarkan metode ini, maka data normal jika nilai signifikansi
atau P (probabilitas) lebih besar dibanding dengan taraf signifikansi yang
ditentukan oleh peneliti. Jadi jika nilai sig / P > a = normal.
2. Uji Homogenitas Levene’s Test of Equality of Error Variances.
Uji Levene digunakan untuk menguji homogenitas (kesamaan)
varians dari seluruh group yang diuji. Uji ini dipilih karena paling sedikit
bergantung pada asumsi normalitas dibanding dengan uji-uji lainya. (Duwi
Priyatno, 2009: 96).
Berdasarkan metode ini, maka data homogenitas diperoleh dengan
menghitung selisih absolut dari tiap-tiap case terhadap rata-rata sel masing-
masing, kemudian dibuat analisis uji beda. Dengan cara seperti ini, maka
data homogen jika nilai signifikansi atau P (probabilitas) lebih besar
dibanding dengan taraf signifikansi yang ditentukan oleh peneliti. Jadi jika
nilai sig. / P > a = homogen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
3. Analisis inferensial menggunakan SPSS
Analisis inferensial menggunakan program komputer SPSS. Secara manual
langkah analisis SPSS dapat diikuti dengan langkah analisis Anava dua
faktor sebagai berikut.
(1) Menentukan notasi dan tata letak data
Data ditabulasi dengan notasi dan tata letak sebagai berikut.
Notasi dan Tata Letak Data
B A b1 b2 Total
a1 ab 11 (n)
ab 12 (n)
A1
a2 ab 21 (n)
ab 22 (n)
A2
a3 ab 31 (n)
ab 32 (n)
A3
Total B1 B2 G
Jumlah baris (p) = 3, jumlah kolom (q) = 2 N = npq
Keterangan A = Model Pembelajaran ab11/ ab12/ dst = Sel a1 = Model Exp. Lerning n = Data pada Sel a2 = Model Sinektik B1 = Total Data EQ Tinggi a3 = Model Behavioristik B2 = Total Data EQ Rendah B = EQ A1 = Total Data Model Exp. Learning b1 = EQ Tinggi A2 = Total Data Model Sinetik b2 = EQ Rendah A3 = Total Data Model Behavioristik Y = Kem. Apre. Prosa Fiksi G = Total Seluruhnya N = Jumlah Seluruh Data npq = Jumlah Seluruh Data p = Jumlah Baris q = Jumlah Kolom
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
(2) Menentukan hipotesis statistik
Hipotesis dirumuskan secara statistik sebagai berikut.
Ho A = ai = 0 untuk i = 1, 2, 3
H1 A = ai > 0 paling tidak untuk satu harga I
Ho B = bj = 0 untuk j = 1, 2, 3
H1 B = bj > 0 paling tidak untuk satu harga j
Ho AB = abij = 0 untuk ij
H1 AB = abij > 0 paling tidak untuk satu harga ij
Keterangan Ho A = Hipotesis nol baris = Tidak ada perbedaan baris 1, 2, 3 H1 A = Hipotesis 1 baris = Ada perbedaan baris 1, 2, 3 Ho B = Hipotesis nol kolom = Tidak ada perbedaan kolom 1 dan 2 H1 B = Hipotesis 1 kolom = Ada perbedaan kolom 1 dan 2 Ho AB = Hipotesis nol interaksi = Tidak ada interaksi baris dan kolom H1 AB = Hipotesis 1 interaksi = Ada interaksi baris dan kolom ai = Perbedaan antar baris bj = Perbedaan antar kolom abij = Perbedaan antar sel (interaksi)
(3) Memilih taraf signifikansi (α)
Taraf signifikansi yang dipilih sebesar 0,05 atau 5 persen
(4) Komputasi sebagai berikut:
Proses perhitungan statistik menggunakan teknik Anava dua factor
diurutkan sebagai berikut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
a. Menentukan Komponen Jumlah Kuadrat
Komponen jumlah kuadrat dihitung berdasarkan table persiapan
kerja sebagai berikut.
B A
b1 b2 Total
a1 Σ ab 11 Σ ab 12 A1
a2 Σ ab 21 Σ ab 22 A2
a3 Σ ab 31 Σ ab 32 A3
Total B1 B2 G
Keterangan Σ ab 11 / Σ ab 12 / dst = Jumlah data tiap sel
Ada lima komponen jumlah kuadrat yang perlu dicari sebagai
berikut:
1) G2 / N (Jumlah total kuadrat dibagi total cacah seluruh data) 2) Σ x2 ijk (Jumlah kuadrat data semua baris dan kolom) i, j, k
3) Σ A2 i / n.q (Jumlah kuadrat seluruh baris dibagi cacah data
i tiap sel kali banyak kolom) 4) Σ B2 j / n.p (Jumlah kuadrat seluruh kolom dibagi cacah
j data tiap sel kali banyak baris) 5) AB2 ij / n (Jumlah kuadrat setiap total sel dibagi cacah
ij data tiap sel)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
b. Jumlah Kuadrat
Jumlak kuadrat a, b, ab, galat, dan total ditentukan dengan langkah
sebagai berikut
JK a = (3) - (1)
JK b = (4) - (1)
JK ab = (5) - (4) - (3) + (1)
JK g = - (5) + (2)
JK t = (2) - (1)
Keterangan JK a = Jumlah kuadrat baris = hasil no 3 dikurangi hasil no 1 JK b = Jumlah kuadrat kolom = hasil no 4 dikurangi hasil no 1 JK ab = Jumlah kuadrat interaksi = hasil no 5 dikurangi hasil no 4 dikurangi hasil no 3 ditambah hasil no 1 JK g = Jumlah kuadrat galat = min hasil no 5 ditambah hasil no 2 JK t = Jumlah kuadrat total = hasil no 2 dikurangi hasil no 1
c. Derajad Kebebasan
Derajat bebas a, b, ab, galat, dan total dicari dengan langkah:
db a = p – 1
db b = q – 1
db ab = (p – 1)(q – 1)
db g = N – pq
db t = N - 1
Keterangan db a = Derajad bebas a = Jumlah baris dikurangi satu (1) db b = Derajad bebas b = Jumlah kolom dikurangi satu (2) db ab = Derajad bebas ab = Perhitungan (1) kali (2) db g = Derajad bebas galat = Jumlah total data dikurangi baris kali kolom db t = Derajad bebas total = Jumlah total data dikurangi satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
d. Rerata Kuadrat
Rerata kuadrat a, b, ab, dan galat dicari dengan langkah sebagai
berikut.
K a = Jk a / db a
RK b = JK b / db b
RK ab = Jk ab / db ab
RK g = JK g / db g
Keterangan RK a = Rerata kuadrat baris = jumlah kuadrat a dibagi derajat bebas a RK b = Retata kuadrat kolom = jumlah kuadrat b dibagi derajat bebas b RK ab = Rerata kuadrat interaksi = jumlah kuadrat ab dibagi derajat bebas ab RK g = Rerata kuadrat galat = jumlah kuadrat galat dibagi
derajat bebas galat
e. Statistik Uji
Perhitungan nilai f hitung untuk uji hipotesis ditentukan
menggunakan kreteria sebagai berikut.
Ho 1 : ai = 0 VS H1 1 : ai > 0 ; Fa = RK a / RK g
Ho 2 : bj = 0 VS H1 2 : bj > 0 ; Fb = RK b / RK g
Ho 3 : abij = 0 VS H1 3 : abij > 0 ; F ab = RK ab / RK g
Keterangan Fa = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat baris dibagi rerata kuadrat galat Fb = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat kolom dibagi rerata kuadrat galat Fab = Hipotesis kolom = Rerata kuadrat interaksi dibagi rerata kuadrat galat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
(5) Penentuan Daerah Kritik dan Keputusan Uji
Ho 1 ditolak bila F a > F (a; p – 1, N – pq)
Ho 2 ditolak bila F b > F (a; q – 1, N – pq)
Ho 3 ditolak bila F ab > F (a; (p-1)(q-1) , N – pq)
Keterangan 1. Ho baris ditolak bila f hitung lebih besar dibanding f tabel 2. Ho kolom ditolak jika f hitung lebih besar dibanding f tabel 3. Ho interaksi ditolak jika f hitung lebih besar dibanding f tabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dilaporkan melalui dua tahap, yaitu: (1) secara deskriptif
dan (2) secara inferensial. Laporan secara deskriptif dilengkapi dengan tabel
frekuensi dan histogram. Laporan secara inferensial menyajikan hasil uji asumsi
yang berupa uji normalitas dan homogenitas populasi serta hasil analisis statistik
dengan Anava dua jalan. Berdasarkan variabel-variabelnya, maka hasil penelitian
ini dilaporkan sebagai berikut.
A. Deskripsi Data
1. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model
Pembelajaran Experiential Learning
Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan
yaitu: n sebanyak 163; nilai minimal (min) sebesar 52; nilai maksimal
(max) sebesar 91; rata-rata (Mn) sebesar 74,8; harga pertengahan (Me)
sebesar 76; varian (S2) sebesar 77,8; standar deviasi (S) sebesar 8,8;
kecondongan poligon (skewness) ke kiri (- 0,3); keruncingan (kurtosis)
negatif (- 0,9). Proses analisis lihat lampiran 15 halaman 509.
Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi
frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan panjang rentangan (range): 39,
banyak kelas interval (k): 8, dan panjang interval (C): 5, diperoleh
distribusi frekuensi sebagai berikut.
192
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
Tabel 13: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning
Kelas Interval Frekuensi
Absolut
Frekuensi
Relatif
52 - 56 1 0,61
57 - 61 14 8,59
62 - 66 21 12,88
67 - 71 22 13,50
72 - 76 27 16,56
77 - 81 19 11,66
82 - 86 47 28,83
87 - 91 12 7,36
Jumlah 163 100,00
Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
51,5 56,5 61,5 66,5 71,5 76,5 81,5 86,5 91,5
Mn: 74,8 Me: 76
Gambar 11: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experien-
tial Learning Keterangan : n: 163; min: 52; max: 9; Mn: 74,8, Me: 76; Poligon condong kiri (- 0,3); S: 8,8
2. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model
Pembelajaran Sinektik
Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan
yaitu: n sebanyak 147; nilai min sebesar 52; nilai max sebesar 91; Mn
sebesar 71,3; Me sebesar 72; S2 sebesar 77,6; S sebesar 8,8; skewness ke
kiri (- 0,02); kurtosis negatif (- 0,3). Proses analisis lihat lampiran 15
halaman 509.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi
frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 39, k: 8, dan c: 5, diperoleh
distribusi frekuensi sebagai berikut.
Tabel 14: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik
Kelas Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
52 - 56 7 4,76 57 - 61 15 10,20 62 - 66 9 6,12 67 - 71 38 25,85 72 - 76 27 18,37 77 - 81 33 22,45 82 - 86 11 7,48 87 - 91 7 4,76
Jumlah 147 100,00
Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
40 35 30 25 20 15 10 5 0
51,5 56,5 61,5 66,5 71,5 76,5 81,5 86,5 91,5
Mn: 71,3 Me: 72
Gambar 12: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik Keterangan : n: 147; min: 52; max: 91; Mn: 71,3, Me: 72,0; Poligon condong kiri (0,2); SD: 8,8
3. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model
Pembelajaran Langsung
Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan
yaitu: n sebanyak 148; nilai min sebesar 51; nilai max sebesar 86; Mn
sebesar 67,2; Me sebesar 68; S2 sebesar 101,4; S sebesar 10,1; skewness
ke kiri (- 0,1) dengan skwenes negatif (- 1,1). Proses analisis lihat lampiran
15 halaman 509.
Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi
frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 35, k: 9, dan C: 4, diperoleh
distribusi frekuensi sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
Tabel 15: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa
yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung
Kelas Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
51 - 54 18 12,16 55 - 58 16 10,81 59 - 62 20 13,51 63 - 66 14 9,46 67 - 70 14 9,46 71 - 74 26 17,57 75 - 78 16 10,81 79 - 82 14 9,46 83 - 86 10 6,76
Jumlah 148 100,00
Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
35 30 25 20 15 10 5 0
50,5 54,5 58,5 62,5 66,5 70,5 74,5 78,5 82,5
Mn: 67,2 Me: 68
Gambar 13: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung Keterangan : n: 148; min: 51; max: 86; Mn: 67,2; Me: 68; Poligon condong kiri (-0,1); SD: 10,1
4. Perbandingan Rata-rata Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara
Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning,
Sinektik, dan Langsung
Setelah dikelompok-kelompokkan sesuai dengan rancangan
penelitian, perbandingan Mn kemampuan apresiasi prosa fiksi sebagai
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
Tabel 16: Perbandingan Mn Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Sinektik, dan Langsung
Model Pembelajaran
Experiential Learning
Sinektik Langsung
Kemampuan
Apresiasi
Prosa Fiksi
Mn 74,7 71,3 67,2
S 8,8 8,8 10,1
5. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Tinggi
Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan
yaitu: n sebanyak 218; nilai min sebesar 52; nilai max sebesar 91; Mn
sebesar 72,6; Me sebesar 74; S2 sebesar 94,2; S sebesar 9,7; skewness ke
kiri (- 0,4); kurtosis negatif (- 0,7). Proses analisis lihat lampiran 15
halaman 509.
Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi
frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 39, k: 10, dan C: 4,
diperoleh distribusi frekuensi sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
Tabel 17: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Kelas Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
52 - 55 13 5,96 56 - 59 15 6,88 60 - 63 14 6,42 64 - 67 14 6,42 68 - 71 33 15,14 72 - 75 28 12,84 76 - 79 43 19,72 80 - 83 28 12,84 84 - 87 23 10,55 88 - 91 7 3,21
Jumlah 218 100,00
Distribusi frekuensi tersebut dibuat histogram dan poligon berikut ini. 40 35 30 25 20 15 10 5 0
51,5 55,5 59,5 63,5 67,5 71,5 75,5 79,5 83,5 87,5 91,5
Mn: 72,6 Me: 74
Gambar 14: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Keterangan : n: 218; min: 52,00; max: 91; Mn: 72,6, Me: 74; Poligon condong kiri (-0,4); SD: 9,7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
6. Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Setelah dilakukan analisis deskriptif, nilai-nilai yang didapatkan
yaitu: n sebanyak 240; nilai min sebesar 51; nilai max sebesar 88; Mn
sebesar 69,9; Me sebesar 70; S2 sebesar 92,6; S sebesar 9,6; skewness ke
kiri (- 0,1); kurtosis negatif (- 0,9). Proses analisis lihat lampiran 15
halaman 509.
Dari data yang telah dianalisis tersebut, disusun daftar distribusi
frekuensi berdasarkan Sturges. Dengan range: 37, k: 10, dan C: 4,
diperoleh distribusi frekuensi sebagai berikut.
Tabel 18: Distribusi Frekuensi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Kelas Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
51 - 54 18 7,50 55 - 58 13 5,42 59 - 62 24 10,00 63 - 66 28 11,67 67 - 70 36 15,00 71 - 74 32 13,33 75 - 78 39 16,25 79 - 82 23 9,58 83 - 86 18 7,50 87 90 9 3,75
Jumlah 240 100,00
Dari distribusi frekuensi tersebut, dibuat histogram dan poligon
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
40 35 30 25 20 15 10 5 0
50,5 54,5 58,5 62,5 66,5 70,5 74,5 78,5 82,5 86,5 90,5
Mn: 69,9 Me: 70
Gambar 15: Histogram dan Poligon Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Keterangan : n: 240; min: 51; max: 88; Mn: 69,9, Me: 70; Poligon condong kiri (-0,1); SD: 9,62
7. Perbandingan Rata-rata Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara
Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Setelah dikelompok-kelompokkan sesuai dengan rancangan
penelitian, perbandingan Mn kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa
yang kecerdasan emosionalnya dengan siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
Tabel 19: Perbandingan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Kecerdasan Emosional
Tinggi Rendah
Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Mn 72,5 69,9
S 9,7 9,6
B. Pengujian Persyaratan Analisis Anava
Sesuai dengan permasalahan penelitian ini, teknik analisis data yang
digunakan ialah uji beda rata-rata dengan menggunakan Anava dua jalan.
Dalam analisis ini diperlukan beberapa persyaratan, antara lain sampel
berdistribusi normal dan varian populasinya homogen.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebelum dilakukan analisis
data, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data kemampuan apresiasi prosa fiksi dilakukan
dengan cara mengadakan pengetesan terhadap seluruh subjek pada tiap sel
(baris–kolom) dengan Kolmogorov-Smirnov Test. Proses analisis
selengkapnya lihat lampiran 16 halaman 525. Secara ringkas hasil uji
normalitas disajikan dalam tabel berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
Tabel 20: Hasil Uji Normalitas Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2 tiled)
Sel
A1-B1 1,016 0,253
A1-B2 1,277 0,077
B2-B1 0,928 0,355
A2-B2 0,726 0,668
A3-B1 0,835 0,488
A3-B2 0,967 0,307
Keterangan: A1-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Experiential Learning dan EQ-nya Tinggi A1-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Experiential Learning dan EQ-nya Rendah A2-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Sinektik dan EQ-nya Tinggi A2-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Sinektik dan EQ-nya Rendah A3-B1 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Langsung dan EQ-nya Tinggi A3-B2 = Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi Siswa yang Diajar
dengan Model Langsung dan EQ-nya Rendah
Berdasarkan data pada tabel di atas, diperoleh data nilai
Kolmogorof-Smirnov Z sebesar: 1,016 (sel A1-B1); 1,277 (sel A1-B2);
0,928 (sel A2-B1); 0,726 (sel A2-B2); 0,835 (sel A3-B1); 0,967 (sel A3-
B2); dan nilai signifikansi (Asymp. Sig.2-tailed) sebesar: 0,253 (sel A1-
B1); 0,077 (sel A1-B2); 0,355 (sel A2-B1); 0,668 (sel A2-B2); 0,488 (sel
A3-B1); 0,307 (sel A3-B2). Berdasarkan kenyataan ini, disimpulkan
bahwa semua sel tingkat signifikansinya lebih besar dibanding 0,05 (5
%). Hal ini berarti data berasal dari sampel yang berdistribusi normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
2. Uji Homogenitas
Untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang
variannya homogen atau tidak, maka dilakukan uji homogenitas dengan
tes Levene’s. Dari analisis Levene’s test of equality of error variances,
diperoleh nilai bahwa dengan df1 sebesar 5 dan df2 sebesar 452 diperoleh
nilai F sebesar 1,678; dan signifikansi sebesar 0,071. Adapun data dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 21: Rangkuman Uji Homogenitas Levene,s
F df 1 df 2 signifikansi
1,678 5 452 0,071
Data ini menunjukkan bahwa nilai signifikansi 0,071 lebih besar
dari taraf signifikansi 0,05 (signifikansi > 0,05). Dengan demikian Ho
tidak ditolak yang berarti semua kelompok data tersebut variannya
homogen. Proses analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 16
halaman 525.
C. Hasil Pengujian Hipotesis
Setelah dilakukan analisis statistik dengan program komputer (SPSS),
diperoleh hasil pengujian hipotesis yang secara keseluruhan dirangkum dalam
tabel sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
Tabel 22: Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Hasil Belajar
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6020.274a 5 1204.055 14.590 .000
Intercept 2306987.790 1 2306987.790 27955.424 .000
Model_Pbl 4423.009 2 2211.505 26.798 .000
E_Q 851.084 1 851.084 10.313 .001
Model_Pbl * E_Q 721.835 2 360.917 4.373 .013
Error 37300.757 452 82.524 Total 2366036.000 458 Corrected Total 43321.031 457 a. R Squared = .139 (Adjusted R Squared = .129)
Berdasarkan rangkuman hasil pengujian hipotesis tersebut, dirumuskan
keputusan uji sesuai hipotesis sebagai berikut.
1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar
dengan Model Pembelajaran Langsung
Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan
univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 26,798
dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Setelah nilai signifikansi
dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi
0,000 lebih kecil dibanding 0,05 (0,000 < 0,05). Hasil perhitungan lihat
lampiran 17 halaman 540.
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar
dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar
dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
pembelajaran Langsung” ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran
Langsung”, diterima. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan kemampuan
apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran
sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran Langsung”.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh kenyataan bahwa: (1) perbandingan kemampuan apresiasi prosa
fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential
learning dengan siswa yang diajar dengan model sinektik menunjukkan
nilai signifikansi sebesar 0,004; (2) perbandingan kemampuan apresiasi
prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
experiential learning dengan siswa yang diajar dengan model langsung
menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000; (3) perbandingan
kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik dengan siswa yang diajar dengan model langsung
menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,001. Hasil perhitungan lihat
lampiran 17 halaman 540.
Data tersebut di atas menyimpulkan bahwa: (1) ada perbedaan
yang signifikan antara model pembelajaran experiential learning dan
sinektik dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, (2) ada perbedaan yang
signifikan antara model pembelajaran experiential learning dan langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
dalam pembelajaran apresiasi prosa fiksi, (3) ada perbedaan yang
signifikan antara model pembelajaran sinektik dan bevarioristik dalam
pembelajaran apresiasi prosa fiksi.
2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan
univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 10,313
dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Setelah nilai signifikansi
dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi
0,001 lebih kecil dibanding 0,05 (0,001 < 0,05). Hasil perhitungan lihat
lampiran 17 halaman 540.
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”
ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan kemampuan apresiasi
prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan
siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah” diterima. Hal ini berarti
bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan
Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Setelah dilakukan analisis statistik Anava dua jalan dengan
univariate analysis of variance, didapatkan nilai F hitung sebesar 4,373
dan nilai signifikansi sebesar 0,013. Setelah nilai signifikansi
dikonsultasikan dengan taraf signifikansi 0,05, ditemukan nilai signifikansi
0,013 lebih kecil dibanding 0,05 (0,013 < 0,05). Hasil perhitungan lihat
lampiran 17 halaman 540.
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi” ditolak,
dan H1 yang menyatakan “ada interaksi antara penggunaan model
pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi
kemampuan apresiasi prosa fiksi” diterima. Hal ini berarti bahwa ada
interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.
Analisis interaksi antara dua variabel bebas dianalisis dengan uji
komparasi ganda (multy comparison) yang hasilnya sebagai berikut.
a. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model
Pembelajaran Experiential Learning
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi
prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential
learning dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A1-B2) sebesar
74,0341. Perbedaan kedua mean tersebut kecil (1,6059), tetapi
menunjukan sel A1-B1 lebih tinggi dibanding sel A1-B2.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,938. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,938 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,938 > 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran experiential
learning, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara
signifikan antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan
siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat
lampiran 17 halaman 540.
b. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model
Pembelajaran Sinektik
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A2-
B1) sebesar 71,4930; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan kecerdasan
emosionalnya rendah (sel A2-B2) sebesar 71,1579. Perbedaan kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
mean tersebut sangat kecil (0,3351), tetapi menunjukkan sel A2-B1
lebih tinggi dibanding sel A2-B2.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 1,000. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 1,000 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (1,000 > 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran sinektik,
tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan
antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat lampiran 17
halaman 540.
c. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah pada Pembelajaran dengan Model
Pembelajaran Langsung
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran langsung dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-
B1) sebesar 70,4028; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan
kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.
Perbedaan kedua mean tersebut kecil (6,2581), tetapi menunjukkan
sel A3-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,004. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,004 lebih kecil
dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,004 < 0,05). Temuan ini
dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran langsung, ada
perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara
siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah. Hasil perhitungan lihat lampiran 17
halaman 540.
Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A3-
B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
d. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan
Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik pada
Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya
tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi
prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan
kecerdasan emosionalnya tinggi (A2-B1) sebesar 71,4930. Perbedaan
kedua mean tersebut tidak besar (4,147), tetapi menunjukkan sel A1-
B1 lebih tinggi dibanding sel A2-B1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,182. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,182 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,182 > 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa
fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dengan siswa yang diajar dengan
model pembelajaran sinektik. Hasil perhitungan lihat lampiran 17
halaman 540.
e. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan
Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada
Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya
tinggi (sel A1-B1) sebesar 75,6400; nilai mean kemampuan apresiasi
prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung
dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-B1) sebesar 70,4028.
Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (5,2372), tetapi
menunjukkan sel A1-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,034. Dibandingkan dengan taraf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,034 lebih
kecil dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,034 < 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi
secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
experiential learning dengan siswa yang diajar dengan model
pembelajaran Langsung. Perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.
Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A1-
B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.
f. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik dan Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A2-
B1) sebesar 71,4930; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan
kecerdasan emosionalnya tinggi (sel A3-B1) sebesar 70,4028.
Perbedaan kedua mean tersebut kecil (1,0902), tetapi menunjukkan
sel A2-B1 lebih tinggi dibanding sel A3-B1.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,992. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,992 lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,992 > 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa
fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan pembelajaran
sinektik dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung.
Hasil perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.
g. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan
Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik pada
Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya
rendah (sel A1-B2) sebesar 74,0341; nilai mean kemampuan apresiasi
prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran sinektik dan
kecerdasan emosionalnya rendah (sel A2-B2) sebesar 71,1579.
Perbedaan kedua mean tersebut kecil (2,8762), tetapi menunjukkan
sel A1-B2 lebih tinggi dibanding sel A2-B2.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,538. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,538 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,538 < 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah, tidak ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
fiksi secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan siswa yang diajar dengan
model pembelajaran sinektik. Hasil perhitungan lihat lampiran 17
halaman 540.
h. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning dan
Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada
Siswa yang Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning dan kecerdasan emosionalnya
rendah (sel A1-B2) sebesar 74,0341; nilai mean kemampuan apresiasi
prosa fiksi siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung
dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.
Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (9,8894), tetapi
menunjukkan sel A1-B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,000 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,000 < 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi
secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
experiential learning dan siswa yang diajar dengan model
pembelajaran langsung. Perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.
Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A1-
B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
i. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswaa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik dan Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Langsung pada Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Rendah
Dari analisis deskriptif yang dilakukan, diperoleh nilai mean
kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik dan kecerdasan emosionalnya rendah (sel A2-
B2) sebesar 71,1579; nilai mean kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan
kecerdasan emosionalnya rendah (sel A3-B2) sebesar 64,1447.
Perbedaan kedua mean tersebut tidak besar (7,0132), tetapi
menunjukkan sel A2-B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
Berdasarkan analisis multiple comparisons dengan Scheffe,
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Dibandingkan dengan taraf
signifikansi (alpha) 0,05; ditemukan nilai signifikansi 0,000 lebih
besar dibanding taraf signifikansi (alpha) 0,05 (0,000 < 0,05). Temuan
ini dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah, ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi
secara signifikan antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
Sinektik dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung.
Hasil perhitungan lihat lampiran 17 halaman 540.
Sesuai dengan dua temuan di atas, disimpulkan bahwa sel A2-
B2 lebih tinggi dibanding sel A3-B2.
D. Penyimpulan terhadap Hasil Pengujian Hipotesis
1. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar
dengan Model Pembelajaran Langsung
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar
dengan model pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar
dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model
pembelajaran langsung” ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model
pembelajaran experiential learning, siswa yang diajar dengan model
pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran
langsung”, diterima. Hal ini berarti bahwa “ada perbedaan kemampuan
apresiasi prosa fiksi antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran
experiential learning, siswa yang diajar dengan model pembelajaran
sinektik, dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
2. Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”
ditolak, dan H1 yang menyatakan “ada perbedaan kemampuan apresiasi
prosa fiksi antara siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan
siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah”, diterima. Hal ini berarti
bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah.
3. Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan Kecerdasan
Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi
Dari hasil analisis tersebut, maka Ho yang menyatakan “tidak ada
interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi” ditolak,
dan H1 yang menyatakan “ada interaksi antara penggunaan model
pembelajaran dan kecerdasan emosional dalam mempengaruhi
kemampuan apresiasi prosa fiksi”, diterima. Hal ini berarti bahwa ada
interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi.
Analisis interaksi antara dua variabel bebas dianalisis dengan uji
komparasi ganda (multiple comparisons) yang hasilnya sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
a. Dengan model pembelajaran experiential learning, tidak ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah
b. Dengan model pembelajaran sinektik, tidak ada perbedaan kemampuan
apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
c. Dengan model pembelajaran langsung, ada perbedaan kemampuan
apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya
rendah
d. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran sinektik
e. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran langsung
f. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi, tidak ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran sinektik dan siswa yang diajar
dengan model pembelajaran Langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
221
g. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, tidak ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran sinektik
h. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran experiential learning dan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran langsung
i. Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, ada perbedaan
kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang
diajar dengan model pembelajaran Sinektik dan siswa yang diajar
dengan model pembelajaran langsung
E. Diskusi Hasil Penelitian
1. Ada Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Experiential Learning, Siswa yang
Diajar dengan Model Pembelajaran Sinektik, dan Siswa yang Diajar
dengan Model Pembelajaran Langsung
Berdasarkan karakteristiknya yang melibatkan skemata, kebebasan
berpikir, perasaan senang tanpa tekanan, kreativitas tinggi, siswa sendiri
yang mengkonstruksikan pengetahuan/ keterampilan, baik model
pembelajaran experiential learning maupun sinektik keduanya merupakan
model-model pembelajaran konstruktivistik. Kondisi yang disampaikan
tersebut dipenuhi keduanya. Pada model pembelajaran sinektik, dalam
melakukan proses metaforis dan analogis diperlukan keterlibatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
222
emosional, daya emaji, dan daya abstraksi (kebiasaan berpikir) yang tinggi
dalam membentuk analogi dan metafora guna membangun kreativitas
konstruktif (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 222). Dalam pembelajaran
experiential learning disebutkan juga oleh Smith (1996: 3) bahwa melalui
langkah-langkah experiential learning siswa mengingat pengalaman
konkrit (skemata), bebas berpikir kreatif melakukan refleksi terhadap hasil
observasi dan membangun konsep abstrak serta hipotesis (personal theory
and idea), dan mencobakan pada setting lain. Selaras dengan dua
pernyataan itu, Paul Suparno (1997: 11) sesuai hal itu menyatakan bahwa
dalam konstruktivisme siswa sendirilah yang membangun pengetahuan
melalui keterlibatannya secara aktif dan konstruktif dalam proses belajar
sehingga memperoleh pengetahuan.
Sesuai dengan kanyataan yang diperoleh dari simpulan hasil
penelitian bahwa ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi antara
siswa yang memperoleh model pembelajaran experiential learning dengan
siswa yang memperoleh model pembelajaran sinektik dan dengan siswa
yang memperoleh model pembelajaran Langsung, maka dapat dirumuskan
bahwa simpulan tersebut dapat terjadi. Hal ini dikarenakan meskipun
keduanya memiliki persamaan bernaung di bawah konstruktivisme,
keduanya memiliki perbedaan yang dapat berakibat pada prestasi belajar.
Perbedaan tersebut berdasarkan reduksi data dapat diidentifikasi dalam
tabel sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
223
Tabel 23: Perbandingan Karakteristik antara Model Pembelajaran
Experiential Learning dengan Model Pembelajaran Sinektik
Experiential Learning Sinektik Proses belajar melalui siklus pengalaman (lingkaran pengalaman)
Proses belajar melalui analogi dan metafor (perbandingan terhadap beberapa analogi/ metafora paralel
Siswa menghalami secara konkrit. Memerlukan daya abstraksi, tetapi lebih rendah karena dibantu oleh pengalaman konkrit melalui observasi di lapangan
Siswa mengalami secara abstrak. Siswa melibatkan daya abstraksi yang tinggi untuk membayangkan suatu hal seolah-olah merupakan hal lain
Emosi dibutuhkan untuk identifikasi (observasi) dan refleksi terhadap kenyataan pengalaman
Emosi dibutuhkan untuk membayangkan dua sampai tiga alternatif yang masing-masing perlu argumen
Siswa mengkonstruksikan pengetahuan melalui pengalaman konkrit
Siswa mengkonstruksikan pengetahuan melalui pembayangan
Dari tabel perbedaan antara model pembelajaran experiential
learning dan model pembelajaran sinektik di atas, dapat disimpulkan
bahwa titik tekan perbedaan keduanya ialah pada “mana yang paling
mudah diikuti oleh siswa, yang konkrit atau yang abstrak, melalui
observasi terhadap kenyataan pengalaman atau dengan cara
membayangkan.
Dari beberapa kajian, pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa
cara-cara yang konkrit lebih mudah diikuti oleh siswa daripada cara-cara
yang abstrak, mengalami secara konkrit di lapangan lebih mudah
dibandingkan dengan membayangkan. Rumusan ini dapat diterima karena
sesuai dengan siklus experiential learning sendiri telah memberi gambaran
bahwa siswa dengan mudah dapat mengikuti langkah-langkah belajar.
Mula-mula siswa terbimbing untuk mengingat kembali pengalaman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
224
konkrit (melalui apersepsi guru), pengalaman konkrit menuntun siswa
dalam melakukan observasi dan refleksi, refleksi menuntun siswa
membuat konsep abstrak (generalisasi), generalisasi menuntun siswa untuk
mencobakan pada situasi lain.
Siswa merasa gembira/ suka langkah model pembelajaran
experiential learning ini. Kesukaan ini dalam kerangka kajian tentang
gaya belajar dijelaskan oleh Muijs dan Reynolds (2008: 305) bahwa “teori-
teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya belajar ini
sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajar”. Berbeda
pada model pembelajaran sinektik, pada model pembelajaran sinektik
siswa dipaksa melibatkan elemen emosional, irasional, daya imaji dan
abstraksi yang tinggi untuk membentuk analogi dan metafora (Joyce, Weil,
& Calhoun, 2000: 222). Pelibatan aspek-aspek tersebut hanya dapat diikuti
oleh siswa yang pandai saja.
Experiential learning dan sinektik merupakan model-model
pembelajaran yang konstruktivistik. Keduanya memberikan efek terhadap
prestasi belajar yang berbeda dibanding dengan model pembelajaran
Langsung. Hal ini dapat terjadi mengingat keduanya memiliki karakteristik
yang jauh berbeda dalam membimbing belajar siswa.
Pembelajaran dengan model langsung mengandalkan pemberian
input eksternal. Hal ini dikarenakan siswa dilihat sebagai tong kosong;
kertas yang masih putih (tabularasa); yaitu tempat di mana guru harus
menumpahkan semua pengetahuan. Guru harus ceramah, mengajar, dan
menyebarkan informasi keilmuan kepada siswa. Guru aktif dan siswa pasif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
225
karena guru memberi dan siswa hanya mendengar, menerima, mencatat,
dan menghafal.
Pembelajaran dengan model langsung mengandalkan tranfer
pengetahuan dengan penjejalan materi (input stimulus) ke kepala siswa
dan siswa merespon stimulus. Hal ini disebabkan dalam pandangan
behavioristik, belajar merupakan aktivitas pengumpulan informasi,
pengetahuan yang sudah jadi, statis, dan mekanis (Aunurrahman, 2009:
21). Pembelajaran berorientasi pada target penguasaan materi (content
target mastery oriented).
Foucoult menyatakan bahwa cara transfer pengetahuan ini dapat
membelanggu siswa (Aunurrahman, 2009: 19). Behaviorisme mengajarkan
telaah pada kenyataan yang teramati, sehingga tidak dapat menelaah
keindahan bahasa dalam karya sastra yang abstrak. Bahasa memiliki lapis
makna yang rumit, yang merupakan keseluruhan pengalaman afektif dan
kognitif manusia (Brown terjemahan Noor Cholis, 2008: 330). Model
pembelajaran langsung ini terbukti hanya berhasil dalam kompetisi ingatan
jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Umaedi, 2003: 1). Kondisi ini
sangat jauh dari cita-cita belajar karena belajar pada hakikatnya mengubah
ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang (Gagne dalam
Ratna Wilis Dahar, 1989: 35)
Kondisi belajar pada model pembelajaran Langsung tersebut,
sungguh berbeda dibanding pada model-model pembelajaran di bawah
pendekatan konstruktivisme. Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
226
sedang belajar untuk mengerti, bukan merupakan kumpulan fakta yang
harus diberikan kepada siswa (Paul Suparno, 1997: 18; Aunurrahman,
2009: 15). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru
ke otak siswa. Siswa sendirilah yang mengartikan apa yang telah diajarkan
sesuai pengalaman mereka. Kedudukan siswa dilihat sebagai pemikir
yang mampu menghasilkan teori tentang dunia dan kehidupan.
Dalam pendekatan konstruktivisme, siswa bebas mengembangkan
dan membangun pengetahuan sendiri sesuai latar kemampuan talenta
intelektual, personal, sosial, kultural, dan emosional yang telah dimilikinya
(Baharudin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 142). Dengan demikian cara
belajar ini sangat menyenangkan dan penuh arti (c.f. Ausebel dalam
Hamzah B. Uno, 2009: 13; Aunurrahman, 2009: 22). Di tengah peran
siswa yang aktif ini, posisi guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing
(Umaedi, 2003: 2).
2. Ada Perbedaan Kemampuan Apresiasi Prosa Fiksi antara Siswa yang
Kecerdasan Emosionalnya Tinggi dengan Siswa yang Kecerdasan
Emosionalnya Rendah
Dalam melakukan apresiasi karya sastra, siswa diharapkan
langsung menghadapi objek karya sastra yang merupakan karya
imagination, fictionality, invention, creative literature. Dalam menghadapi
karya sastra tersebut, setiap pembaca karya sastra otomatis akan langsung
mengerti bahwa yang dihadapi adalah bahasa khusus yang harus
ditanggapi dengan pengertian khusus pula. Ada makna ganda, ada deretan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
227
ciri-ciri lain: kategoris, arbriter, irasional, asosiatif, ekspresif, sugestif, dan
simbolik. (I Made Sukada, 1987: 9-10; Burhan Nurgiantoro, 2010: 2-5).
Karya sastra yang memiliki corak seperti di atas, ingin mengajak
pembaca ikut prihatin, empati, memikirkan pemecahan masalah yang
diketengahkan (Herman J. Waluyo, 2002: 1; 14). Sesuai dengan
pengertian ini, maka dalam melakukan penghayatan terhadap isi karya
sastra, pembaca sebagai penghayat mengedepankan faktor afektif, yaitu
merupakan realitas rasa yang secara nyata ada pada diri pembaca
(Herman J. Waluyo, 2002: 61). Meminjam teori kritik, yang tidak jauh
dari makna apresiasi, I Made Sukada (1987: 89) menyebutkan bahwa
kritik sastra memang subjektif, individual, mengandung unsur perasaan.
Dalam menghayati karya sastra diperlukan kekuatan emosional dalam
realitas rasa.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran apresiasi sastra
yang tidak dapat dilepaskan dari kekuatan emosional anak. Banyak
penelitian menguatkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi,
memori jangka panjang, dan belajar/ apresiasi sastra (Goleman, 2005: 14;
DePorter, 2000: 22). Emosi dapat membantu mengingat memori jangka
panjang dan memungkinkan informasi diterima melalui memory buffer
untuk dipersepsi (Muijs dan Reynolds terjemahan Helly Soetjipto, 2008:
38,203-205). Pengelolaan sejumput saja emosi-emosi inti (takut, gembira,
cinta, jijik, malu, dan lain sebagainya) akan mendorong dan mengontrol
pemrosesan mental dan kognitif yang efisien (Brown terjemahan Noor
Cholis, 2008: 117).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
228
Pembelajaran dapat dilaksanakan secara kooperatif yang di
dalamnya mengembangkan keterampilan sosial. Dalam pembelajaran
kooperatif, keterampilan sosial siswa sangat mempengaruhi prestasi
akademik. Keterampilan sosial berhubungan dengan kepribadian yang
hangat dan ramah, dan kecerdasan verbal dan non verbal, yang pada
gilirannya mempengaruhi proses belajar (Muijs dan Reynolds terjemahan
Helly Soetjipto, 2008: 204-205). Pentingnya keterampilan sosial ini,
dijelaskan lebih lanjut oleh Brown (terjemahan Noor Cholis, 2008: 13)
bahwa interaksi sosial dalam pembelajaran kooperatif (Vygotsky)
membangun gambaran-gambaran kognitif dan emosional atas realitas.
Demikianlah ikatan emosional akan memperkuat memori dan ingatan
siswa terhadap bahan-bahan yang dipelajari yang selanjutnya menuntun
kegiatan belajarnya. Hal ini dikarenakan emosi menentukan kepekaan
subjektif yang mendorong dan mengontrol gagasan dan kecenderungan
bertindak dalam berbagai aktivitas manusia.
Setiap individu memiliki emosi baik dalam bentuk negatif
maupun positif, setiap individu memiliki kompetensi emosional yang
berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan bahwa kecerdasan emosional sangat
berperan dalam kegiatan belajar, maka perbedaan kompetensi emosional
yang mempengaruhi motivasi internal dapat mempengaruhi keberhasilan
siswa dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
229
3. Ada Interaksi antara Penggunaan Model Pembelajaran dan
Kecerdasan Emosional dalam Mempengaruhi Kemampuan Apresiasi
Prosa Fiksi
Baik pembelajaran dengan model experiential learning maupun
sinektik, bahkan Llngsung, pasti melibatkan faktor emosional dalam
proses belajar. Dalam pembelajaran konstruktivistik baik dengan model
experiential learning maupun sinektik, siswa dituntut untuk dapat
mengalami (membaca/ menyimak secara pribadi) apa yang dipelajari,
mengintegrasikan dengan situasi dunia nyata, serta membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari (Umaedi, 2003:1). Berkaitan dengan
konstruktivisme, Nyoman S. Degeng mendata sifat belajar (1) siswa
dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas, (2) kebebasan siswa
merupakan unsur yang sangat esensial, (3) kebebasan dipandang sebagai
penentu keberhasilan, (4) kontrol belajar dipegang oleh siswa, (5)
mengikuti pandangan siswa, (6) aktivitas belajar dalam konteks nyata, (7)
menekankan pada proses (dalam Akhmad Sudrajat, 2008: 2-3).
Dalam kondisi itulah anak akan menemukan pengetahuan melalui
proses menginternalisasi, membentuk kembali atau membentuk baru
pengetahuan (Haris Mudjiman, 2007: 25). Siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatannya secara aktif dan konstruktif
dalam proses belajar (Paul Suparno, 1997: 11). Kegiatan belajar ini
membutuhkan keaktifan siswa yang memiliki kematangan berpikir
(bahkan berpikir liar) dan perasaan. McKeachi (1987: 139) mengatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
230
“Students in these courses tutored ..... worked with adolescents who were
in detention for illegal activites. Ciri-ciri tersebut merupakan prasyarat
berkembangnya kreativitas. Utami Munandar menyatakan bahwa bila
bebas dari neurosis, gembira, penuh syukur dalam hidup, orang akan dapat
mewujudkan diri sampai peak experience. Dengan situasi aman dan
kebebasan psikologislah kreativitas dapat terbentuk. Situasi bebas dan
menyenangkan juga merangsang siswa untuk menggalakkan minat yang
menjadikan mereka senang terlibat secara mendalam terhadap ranah
tertentu (1999: 49-50).
Pembelajaran apresiasi sastra dengan model experiential learning
dilaksanakan melalui lima langkah, yaitu (1) mengidentifikasi
pengalaman-pengalaman konkrit yang telah dimiliki oleh anak didik
(concrete-personal experiences), (2) guru menambahkan complementary
materials bagi hasil observasi anak di lapangan, (3) site visit and reflection
(kunjungan ke lapangan untuk observasi diteruskan refleksi terhadap hasil;
observasi), (4) kegiatan kelas (sharing experiences), (5) debriefing oleh
guru untuk pemantapan. Siswa dalam mengikuti lima langkah tersebut
sangat membutuhkan kecerdasan emosional yang secara bersama-sama
mendukung pikiran. Boud, Keogh, Walker (1985: 18, 38) dalam kaitannya
dengan masalah “returning to experience” menjelaskan bahwa
“attending to feelings has two aspect: utilizing positive feeling and removing obstructing feelings”. To date most research on learning has not sufficiently respected the unique perpective of the learner and has not taken into account the affective dimension to which we have referred.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
231
Pembelajaran apresiasi sastra dengan model sinektik dilaksanakan
melalui tiga fase inti aktifitas metafora yang meliputi analogi langsung
(direct analogy), analogi personal (personal analogy), dan konflik
kempaan atau compressed conflict (Treffinger, 1980: 66-68). Dalam
kaitannya dengan pemahaman karya sastra, berdasarkan hal ini maka
berarti karya sastra akan dipahami dengan mengembangkan keaktifan dan
kemampuan kreatif siswa melalui proses metaforik.
Dalam proses metaforik tersebut diperlukan keterlibatan emosional
subjek didik. Untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif yang baik,
apresian perlu mengedepankan aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi, dan
daya kritis yang tinggi (C.F. Antar Semi & J. Grace dalam Budi Setiawan,
2004: 38). Egan (2009: xi) bahkan menyebutkan bahwa pendidikan yang
berhasil memang memerlukan keterlibatan emosional siswa dengan subjek
yang mereka pelajarai. Emosi terlibat sebab imajinasi terikat dengan cara
yang rumit dengan kehidupan emosional kita. Untuk memasuki alam
metaforik dibutuhkan kematangan pikiran (IQ) dan perasaan (EQ).
Metafora merupakan alat yang memungkinkan sesuatu dilihat
dalam perspektif lain (Egan, 2009: 3). Dalam kreatifitas metaforis dan
analogis diperlukan imajinasi, perasaan, dan kecerdasan emosional yang
tinggi. Pada fase personal analogy, misalnya, anak memerlukan kekuatan
empati untuk menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam
hal ini Treffinger (1980: 67) menyatakan:
“personal analogy seek to describe feelings of identification and empaty with a person, a concept, a plant or animal, or a nonliving thing. A very simple personal analogy may be nothing more than a
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
232
first person description of some facts. The complex kind of personal analogy involves empathy and identification with a nonliving thing. Can you image yourself as a molecule or as a laser beam? What would it be like to be a dead tree, partly submerged in the water of a lake or pond? (Treffinger, 1980: 67).
Keberhasilan belajar menurut psikologi behaviorisme ditentukan
oleh faktor eksternal. Pembelajaran dilaksanakan melalui mekanisme
stimulus – respon dan diperkokoh oleh penguatan atau reinforcement
(Skiner dalam Iskandarwasid & Dadang Sunendar, 2008: 48).
Anak baru dapat belajar jika tersedia data input/ masukan dan
digalakkan oleh adanya penguatan. Data input inilah yang membentuk
stimulus yang kemudian merangsang respon. Jika respon benar
mendapatkan reinforcer, maka menjadi kebiasaan karena terus menerus
diulangi oleh siswa. Jika suatu respon tidak tepat mendapatkan punishers,
maka siswa revisi respon. Dengan demikian, untuk melakukan kegiatan
belajar, seorang siswa memerlukan dorongan / dukungan dari lingkungan
(motivasi eksternal) yang berupa apresiasi, pemberian penghargaan,
pujian, insentif (Utami Munandar, 1999: 68). Berkaitan dengan teori ini,
Skinner manyatakan sebagai berikut.
The reinforcement derives from knowledge of his or her correctness both makes the achievement enduring and propels the learner toward new task. Punishment has several draw back. First, its effects are temporary, punished behavior is likely to recur. Second, the aversive stimuli used in punishment may generate unwanted emotions, such as predispositions to escape or retaliate, and disabling anxieties (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2000: 322).
Langkah model Langsung yang terdiri dari (1) pemberian stimulus,
(2) siswa merespon, (3) pemberian penguatan, sangat membutuhkan
kecerdasan emosional dan pikiran. Ketika anak mengingat kembali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
233
memori untuk mengidentifikasi input (stimulus), ketika anak memperoleh
penguatan bahwa yang dikatakan benar, maka anak membutuhkan daya
pikir yang tinggi untuk mengingat jangka pendek atau jangka panjang
terhadap memorinya. Setelah responnya dibenarkan oleh lingkungan, anak
merasa senang dan terdorong akan mengulangi lagi, anak merasakannya
dengan perasaan yang baik.
Dari uraian tentang tiga model pembelajaran di atas, dapat
disimpulkan bahwa ketiga model pembelajaran baik model pembelajaran
experiential learning, sinektik, maupun Langsung, dalam proses
pelaksanaannya membimbing belajar siswa tidak dapat dilepaskan dari
peran serta keterlibatan faktor emosional. Hal itu berarti ada interaksi
antara ketiga model pembelajaran dengan kecerdasan emosional siswa.
Berhasil atau tidaknya siswa belajar dipengaruhi secara interaktif antara
penggunaan model dengan kecerdasan emosional siswa.
Faktor kepribadian dalam diri seseorang menyumbangkan bagi
kesuksesan pembelajaran (Brown terjemahan Noor Cholis, 2008: 165;
Brown, 2000: 142). Kepribadian ini masuk dalam ranah afektif, yaitu sisi
emosional (EQ) perilaku manusia. Michael (2006: 5) menjelaskan bahwa
EQ adalah prasyarat untuk kepiawaian IQ, maksudnya ialah IQ kita tidak
akan berfungsi dengan baik jika bagian otak kita rusak akibat daripada
kecacatan emosi. Penilaian seseorang individu bukan saja didasarkan
kepada kecerdasan intelektual (IQ), tetapi yang lebih penting ialah
kecerdasan emosi (EQ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
234
Tingkat kecerdasan siswa berbeda beda yang secara Ciri-ciri kasar
dapat dibedakan menjadi tinggi dan rendah. Siswa yang mempunyai
kecerdasan emosi yang tinggi mempunyai ciri antara lain: (1) dapat
mengenali perasaannya dan bukan perasaan orang lain atau situasi yang
dihadapinya; (2) dapat membedakan pemikiran dan perasaan; (3)
bertanggung jawab atas perasaannya sendiri; (4) gunakan perasaannya
untuk membantu membuat keputusan; (5) menghormati perasaan orang
lain; (6) dapat merasa bertenaga bukan karena kemarahan; (7) memahami
perasaan orang lain dengan menunjukkan empati, pertimbangan, dan
menerima perasaan orang lain; (8) dapat berlatih untuk mendapatkan nilai
positif daripada emosi negatif; (9) tidak menasihati, mengarahkan,
mengritik, mengadili atau menyerang orang lain; (10) tidak menghiraukan
orang yang tidak menghormati perasaannya (Michael, 2006: 21).
Ciri siswa yang menghadapi masalah sehingga memiliki
kecerdasan emosional rendah menurut Fauzee (2004: 100-101)
mempunyai ciri antara lain adalah: (1) suka menggunakan perkataan yang
menunjukkan rasa marah, (2) memamerkan diri mereka yang tidak
bernilai, (3) perasaan takut pada kegagalan, (4) memamerkan penampilan
tertentu misalnya postur yang bongkok, (5) senang berkumpul pada
kelompok-kelompok orang yang alkoholik, murung, dan lain sebagainya.
Perkembangan kepribadian (EQ) secara universal melibatkan
pertumbuhan konsep diri, keberterimaan diri, pencerminan diri (Brown
terjemahan Noor Cholis, 2008: 167). Tingkat kecerdasan emosional tiap
siswa akan berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
235
dengan ungkapan Brown (terjemahan Noor Cholis, 2008: 168) yang
menyimpulkan harkat, misalnya, menyatakan “ketiga tingkatan harkat
berkorelasi positif dengan tingkat produksi lisan dalam belajar bahasa,
tinggi rendahnya harkat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran”.
Demikian juga kelayakan diri dan keyakinan diri, keduanya juga
mempengaruhi keberhasilan. Orang yang yakin bisa dan layak
mengerjakan, cenderung akan berhasil dalam tugas itu.
Sesuai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan
tingkat kecerdasan emosional akan berpengaruh pada proses keikutsertaan
siswa dalam belajar maupun keberhasilan belajar.
F. Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian pasti meliliki keterbatasan-keterbatasan. Adapun
keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Ukuran populasi penelitian ini relatif luas, yaitu Propinsi Jawa Timur. Hal
ini berakibat pada pengambilan sampel yang antara daerah sampel satu
dengan daerah sampel menjadi berjauhan letaknya, jauh dari kediaman
peneliti. Komunikasi dengan daerah sampel yang berjauhan ini dapat
diatasi melalui komunikasi telepon dan e-mail, namun kurang optimal.
2. Pada setiap daerah sampel sudah ditempatkan asisten peneliti untuk
membantu koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penelitian. Di samping
itu, sebelum penelitian dilaksanakan, para guru pelaksana penelitian di tiap
sekolah sudah dilatih model pembelajaran masing-masing. Tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
236
meskipun sudah ada ditempatkan asisten dan pelatihan, karena letaknya
daerah sampelnya jauh peneliti tidak dapat melakukan kontrol secara
optimal terhadap jalannya proses pembelajaran sesuai skenario yang
ditetapkan.
3. Kecerdasan emosional hanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggi dan
rendah yang didasarkan atas nilai median. Pengelompokan ini merupakan
pengelompokan yang kasar karena dimungkinkan ada anak yang
kecerdasan emosionalnya tinggi, ada yang sedang, dan ada yang rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
237
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan pada bab iv, hasil
penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara
siswa yang diajar dengan model pembelajaran experiential learning, siswa
yang diajar dengan model pembelajaran sinektik, dan siswa yang diajar
dengan model pembelajaran langsung. Siswa yang yang diajar dengan
model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata kemampuan
apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran sinektik, sementara itu, siswa yang
diajar dengan model pembelajaran sinektik memiliki kemampuan apresiasi
prosa fiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajar
dengan model pembelajaran langsung.
2. Ada perbedaan kemampuan apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara
siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan
emosionalnya rendah. Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi
memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding
dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
237
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
238
3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.
Dari perdandingan antar-sel yang merupakan hubungan interaktif antara
kolom dan baris, ditemukan 5 (lima) perbandingan menunjukkan adanya
persamaan, dan 4 (empat) perbandingan menunjukkan adanya perbedaan.
B. Implikasi Hasil Penelitian
1. Keefektifan model pembelajaran experiential learning dibanding
dengan pembelajaran sinektik dan model pembelajaran langsung
Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa siswa yang
memperoleh model pembelajaran experiential learning memiliki rata-rata
kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding siswa yang
memperoleh model sinektik, siswa yang memperoleh model sinektik
memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih tinggi dibanding
siswa yang memperoleh model langsung. Hal ini memberikan makna
bahwa pemilihan model pembelajaran mempunyai pengaruh yang besar
terhadap cara belajar dan membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa. Jika penerapan model pembelajaran yang dipilih telah dilaksanakan
secara tepat dan optimal dengan mempertimbangkan kesesuaiannya
dengan berbagai hal yang terkait (karakteristik materi, kematangan mental
siswa, media, dan lain sebagainya), maka akan memberikan sumbangan
yang lebih besar bagi pembentukan kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
239
Hasil penelitian ini memberikan pertimbangan bagi para guru,
pemangku kepentingan, dan pengambil kebijakan pendidikan untuk selalu
berusaha meningkatkan pemahaman terhadap berbagai model
pembelajaran. Karakteristik, kelebihan-kelemahan, langkah-langkah, dan
kesesuaiannya dengan karakteristik materi ajar, harus dipahami dengan
baik oleh guru. Dengan pemahamannya yang mendalam, guru dapat
memilih salah satu model sesuai tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
mengaplikasikannya dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), dan menerapkannya di kelas secara optimal.
Pentingnya pemahaman terhadap berbagai macam model
pembelajaran tersebut, perlu didasari oleh pengetahuan mengenai latar
belakang sejarah perkembangan secara psikologis dan logika yang
mendasari setiap perkembangannya, sehingga dapat membedakan berbagai
model pembelajaran tersebut dengan tepat. Secara kronologis, pada tahap
awalnya, sebelum tahun 1900-an, lahir psikologi belajar behaviorisme
yang menganggap anak lahir seperti kertas yang masih putih, cangkir yang
harus diisi teh. Anak dianggap belum memiliki kemampuan apa-apa
sehingga guru harus mengisinya dengan ceramah sejumlah input
(stimulus) dan siswa harus meresponnya dengan benar. Jika respon benar
dan mendapat penguatan, siswa senang dan terus akan mengulangi
sehingga menjadi kebiasaan yang otomatis. Sebaliknya, jika respon salah
dan mendapat punhisment, siswa merevisi respon. Guru melihat respon
siswa yang kelihatan, yang terdengar atau terlihat (look structure),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
240
mengabaikan bagaimana latar belakang pemikiran karena otak siswa
dianggap sebagai kotak hitam. Dimensi pikiran tabu untuk dijamah.
Berbeda dengan periode berikutnya, pada tahun 1960-an lahir
psikologi belajar kognitivisme yang membimbing siswa mengkaji proses
pemikiran yang melatarbelakangi ucapan (deep structure). Guru
memandang pikiran siswa merupakan the glass boxs yang transparan
sehingga dapat ditilik bagaimana proses berpikirnya berjalan. Dalam
kondisi ini guru dapat menyelami bagaimana siswa memproses input,
memaknai dan menyimpannya dalam memori jangka pendek maupun
jangka panjang, bagaimana simpanan mengalami revisi dan asimilasi oleh
datangnya input baru, dan bagaimana simpanan diaktualisasikan sebagai
prestasi belajar.
Era 1980-an (awal tahun 2000) lahir psikologi belajar
konstruktivisme, yaitu pendekatan baru yang dewasa ini sangat populer
menjadi sumber orientasi guru dalam mengambil strategi pembelajaran di
kelas. Konstruktivisme berpandangan bahwa siswa belajar dengan
mengkonstruksi pengetahuan sendiri berdasarkan pengalaman dan skemata
atau prior knowledge yang dimilinya. Siswa dipandang sebagai insan yang
telah memiliki kemampuan, kecerdasan, nilai, emosi. Tugas guru hanyalah
sebagai fasilitaror, pembimbing siswa dalam mengembangkan potensinya.
Siswa diberi kebebasan berpikir, membuat konsep sendiri, mencobakan
konsep sendiri, merevisi pengetahuannya sendiri; karena itu kemajemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
241
cara memperoleh pengetahuan dan memerikan hasilnya, menjadi sesuatu
yang sah adanya.
Penelitian ini membedakan tiga model pembelajaran, yaitu
langsung, sinektik, dan experiential learning. Selaras dengan sifatnya,
penelitian ini membedakan dua kubu besar, yaitu behavioristik (langsung)
di satu pihak, dan konstruktivisme (sinektik dan experiential learning) di
lain pihak. Sesuai teori dan hasil penelitian, ketiganya berada pada
perbedaan yang bersifat polarisasi membaik yang bergerak dari cara-cara
guru mendominir kelas dan transfer pengetahuan (berpusat pada guru) ke
cara-cara yang memberikan ruang gerak siswa secara bebas dalam belajar
(berpusat pada siswa). Behavioristik menitik-beratkan pada transfer of
knowledge, sineknik dan experiential learning menitik beratkan pada
pengalaman belajar anak. Sinektik menitik-beratkan pada pengalaman
anak melalui pengembangan metaforis sedangkan experiential learning
menitik-beratkan pada pengalaman anak melalui siklus belajar. Polarisasi
(urutan perkembangan) ketiganya menghasilkan produk belajar yang
makin membaik yang menyimpulkan sebuah urutan kualitas model
pembelajaran, sehingga semakin guru mengarahkan kegiatan pembelajaran
ke arah pendekatan konstruktivistik semakin baik pula hasil belajar siswa
(Mergel, 1998: 9; Brown, terjemahan Noor Cholis dan Yusi, 2008: 106).
Pertimbangan teoretis maupun praktis itulah yang harus dikuasai guru agar
potensi anak dapat dikembangkan secara maksimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
242
Pendapat di atas tidaklah berlebihan karena guru dengan pilihan
strategi pembelajaranya yang tepat sangat berpengaruh pada penciptaan
kondisi dan cara berpikir anak yang berdampak pada hasil belajar.
Tidaklah tepat menggunakan suatu model secara buta. Guru hendaknya
memilih model yang menurut mereka cocok dengan metode dan falsafah
mengajar mereka (Utami Munandar, 2009: 162). Dengan menguasai
berbagai model, guru dapat menentukan bagian mana dari model tersebut
bermanfaat dalam situasi pembelajaran tertentu. Untuk dapat memilih
model secara tepat, Yatim Riyanto (2010: 135-136) memberikan
pertimbangan (1) kesesuaian dengan tujuan instruksional yang hendak
dicapai; (2) kesesuaian dengan bahan bidang studi yang terdiri dari aspek
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai; (3) strategi pembelajaran itu
mengandung seperangkat kegiatan pembelajaran yang mungkin mencakup
penggunaan beberapa metode pengajaran yang relevan dengan tujuan dan
materi pembelajaran; (4) kesesuaian dengan kemampuan profesional guru
bersangkutan terutama dalam rangka pelaksanaannya di kelas; (5)
cukupnya waktu tersedia sebanding dengan bahan yang harus
disampaikan; (6) tersedianya unsur penunjang, khususnya media
instruksional yang relevan dan peralatan yang memadai; (7) suasana
lingkungan dalam kelas dan lembaga pendidikan secara keseluruhan; (8)
jenis-jenis kegiatan yang serasi dengan kebutuhan dan minat siswa karena
erat kaitannya dengan tingkat motivasi belajar untuk mencapai tujuan
instruksional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
243
Berdasarkan hal di atas, gurulah yang pertama harus mengambil
inisiatif untuk menciptakan skenario belajar yang akan dialami anak
sehingga anak memperoleh pengalaman belajar, bukan mengejar target
(tujuan) dengan menstranfer pengetahuan tanpa peduli dengan bagaimana
kondisi dan bagaimana cara anak belajar. Model pembelajaranlah yang
utama harus dipikirkan guru sehingga siswa mengetahui bagaimana cara
mereka harus mengalami proses belajar secara optimal. Setelah
memperhatikan tujuan, indikator keberhasilan pembelajaran, dan materi
ajar, strategi belajarlah yang harus dipikirkan oleh guru. Guru harus
memilih model pembelajaran yang menantang dan memberi peluang
kepada siswa untuk memperoleh pengalaman belajar sesuai karakteristik
materi ajar dan indikator pencapaian tujuan pembelajaran. Guru harus
mengetahui kapan harus ceramah dan kapan harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk aktif sendiri yang berdampak pada hasil
belajar.
Melihat begitu pentingnya peran model pembelajaran dalam
menentukan keberhasilan belajar siswa, negara memiliki kewajiban untuk
melakukan pembinaan tentang model-model pembelajaran ini kepada
guru. Pembinaan ini sangat penting mengingat sebagian besar guru sampai
saat ini masih belum cukup memahami model-model pembelajaran yang
kreatif inovatif, modern, yang menantang anak belajar. Pada setiap forum
pembinaan guru, baik penataran, lokakarya (workshop), serasehan, PLPG,
PPG, materi model-model pembelajaran haruslah menjadi materi pokok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
244
yang tidak hanya sampai pada ceramah saja tetapi sampai pada praktik
pengemasan RPP dan latihan mengajar (peer teaching). Pemerintah juga
perlu melakukan pemantauan (penilaian kinerja) secara maksimal melalui
program pengawasan yang selama ini telah dilakukan. Sehingga sepulang
pembinaan (PLPG), guru tidak kembali lagi menjadi nol, tetapi terus
meningkatkan diri secara terus menerus dan optimal agar berdampak pada
kemajuan (penilaian kinerja) capaian hasil belajar siswa.
Kegiatan pembelajaran guru di kelas perlu terus dievaluasi.
Stronge (2006: 13) memberikan model tahapan untuk evaluasi terhadap
kinerja guru sebagai berikut:
a. Development phase: 1. Identify system needs 2. Identify teacher roles and responsibilities 3. Set performance standards
b. Cycle Implementation phase: 4. Dokument performance 5. Evaluate performance 6. Improve maintain professional service
Kegiatan evaluasi tersebut memberikan manfaat antara lain untuk:
1. Change school policy for a given innovative teacher program 2. Provide some level of staff development on the prospective
innovation 3. Ostensibly implement the innovative practice, and 4. Continue to use existing evaluation practices in the classroom
(Stronge, 2006: 2-3)
Dewasa ini dalam menjalankan tugas sehari-hari guru harus
mentaati permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses
pembelajaran. Jelas sekali pada permendiknas tersebut bahwa guru harus
memperhatikan cara belajar siswa melalui siklus belajar EEK (exploration,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
245
elaboration, dan confirmation). Siklus belajar EEK yang tersebar pada
fase kegiatan pembelajaran inti tersebut merupakan kerangka umum tahap-
tahap belajar, guru harus mengembangkan (menambah atau mengubah)
sendiri dengan memanipulasi (mengawinkan dan mengaplikasikan)
berbagai model pembelajaran sehingga pembelajaran variatif dan
menyenangkan.
Menurut Made Wena (2011: 170-177), EEK sebenarnya
merupakan cuplikan dari siklus belajar 5E yang terdiri dari 7 tahap: (1)
tahap engagement, (2) tahap exploration, (3) tahap explanation, (4) tahap
elaboration (extention), (5) tahap expantion, (6) tahap confirmation, dan
(7) tahap evaluation.
Dalam fase engagement minat dan keingintahuan (curiosity)
siswa tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan dan diajak
membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dalam
tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan menguji
prediksi dengan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-
kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada explanation guru
mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka
sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka. Fase
elaboration (extention) guru membiasakan siswa menerapkan konsep dan
keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan praktikum
lanjutaan, problem solving. Pada tahap ekspantion siswa diberi
kesempatan menerapkan temuan konsep lebih luas lagi. Pada fase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
246
confirmation guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam
bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa.
Pada tahap evaluation dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase
sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep,
atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru
yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih
lanjut.
2. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kemampuan apresiasi
prosa fiksi
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
apresiasi prosa fiksi secara signifikan antara siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah.
Penelitian ini menemukan simpulan bahwa siswa yang kecerdasan
emosionalnya tinggi memiliki kemampuan apresiasi prosa fiksi yang lebih
tinggi dibanding dengan siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah. Hal
ini menunjukkan makna bahwa kecerdasan emosional mempunyai
pengaruh yang besar dalam membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi
siswa. Cony Semiawan (2009: 72) emosi (dan gairah) terdalam yang kita
miliki dapat menggerakkan tindakan-tindakan kita dalam berbagai perkara
yang dihadapi, ia merupakan state of the moved. Jika kecerdasan
emosional ditingkatkan, maka akan memberi pengaruh yang lebih baik
dalam membentuk kemampuan apresiasi prosa fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
247
Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi para guru, para
siswa, orang tua, dan penyelenggara pendidikan bahwa untuk membina
dan meningkatkan prestasi belajar pada umumnya dan kemampuan
apresiasi prosa fiksi pada khususnya, sangat diperlukan kecerdasan
emosional. Dengan kecerdasan emosional yang baik, siswa makin tajam
dalam merasakan, memahami, melakukan empati terhadap jalan cerita,
meresapi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, sehingga siswa
dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik. Ketajaman perasaan
(emosional) inilah yang memungkinkan siswa memiliki cakrawala
pandang, keyakinan, wawasan afektif, pengalaman batin, hempasan
perasaan, sehingga logika yang merupakan mata pisau bedah dapat bekerja
secara tepat. Ibarat apresian adalah seorang pengemudi, maka perasaan
atau emosilah yang merupakan keyakinannya dalam membaca haluan dan
situasi jalan secara tepat sehingga pikiran untuk menginjak pedal gas dan
memutar kemudi dapat digerakkan secara tepat.
Simpulan bahwa kecerdasan emosional sebagai panglima dalam
setiap tindakan tidaklah berlebihan. Perasaanlah yang 80 persen
menentukan setiap kesuksesan (Michael, 2006: 3; Verina H. Secapramana,
1999: 1). Perasaan empati, senang, gembira, simpati, dan lain sebagainya
yang merupakan faktor-faktor kecerdasan emosional, pada gilirannya akan
menetapkan rekomendasi dilanjutkan atau berhentinya pemikiran. Dengan
demikian makin didukungnya pikiran oleh kecerdasan emosional yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
248
baik, komprominya pikiran dengan perasaan, akan menjadi kekuatan yang
dahsyat untuk diraih kesuksesan secara optimal.
Dalam kegiatan apresiasi sastra, pembaca melakukan kegiatan
pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap seluruh aspek yang
membangun karya sastra. Apresiasi karya sastra adalah kegiatan
menggauli karya sastra secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam
apresiasi karya sastra, kecuali karya sastra merupakan sebuah objek
dihadapan kita yang sedang dipahami secara pikiran, karya sastra
dipandang pula sebagai subjek yang memberikan putusan terhadap
negosiasi perasaan yang dilakukan oleh pembaca. Negosiasi perasaan
itulah yang membimbing pikiran memperoleh cakrawala pandang untuk
menilai karya sastra. Pikiran dan perasaan tidak dapat dipisahkan (Cony
Semiawan, 2009: 72). Pikiran tidak dapat mandiri tanpa perasaan, semua
memiliki peran sesuai posisinya masing-masing.
Berdasarkan perspektif itulah, kecerdasan emosional tidak dapat
ditawar-tawar lagi harus segera dikembangkan dalam setiap insan (siswa)
Indonesia. Pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui banyak cara,
diantaranya ialah (1) melalui pengajaran langsung, (2) melalui modeling,
(3) menciptakan iklim emosi dalam keluarga, (4) referensi sosial, (5) cara
berkomunikasi, dan (6) pengungkapan stimulus emosi (Riana Mashar,
2011: 20-21). Pengembangan dapat dilakukan juga dengan pemberian
rangsangan/ stimulasi baik secara visual, verbal, auditif, maupun taktil,
baik yang berasal dari lingkungan maupun dari diri siswa sendiri (Riana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
249
Mashar, 2011: 118-119). Rangsangan dari luar dapat dilakukan oleh
anggota keluarga di rumah baik dari pemberian gizi, kesehatan,
psikososial, pemberian kehangatan, cinta, dan lain sebagainya secara tepat.
Dalam kerangka “pendidikan karakter (dan multy kultur)” yang
merupakan tema pendidikan terakhir di tanah air, pembangunan
kecerdasan emosional yang (masuk pada wilayah afektif) sangat urgen
dimasukkan dalam setiap aspek pembelajaran. Dua tahun terakhir ini
pemerintah sudah mewajibkan guru agar selalu memasukkan karakter baik
dalam RPP maupun praktik pembelajaran di kelas, namun
implementasinya masih perlu terus ditingkatkan. Guru perlu memahami
secara mendalam aspek afektif yang dipilah menjadi pembentukan
karakter (yang membentuk kompetensi pribadi) dan keterampilan sosial
(yang membentuk kompetensi sosial), sehingga baik dalam perumusan
indikator yang mementingkan behavior (B), perumusan tujuan yang harus
mengandung unsur audience, behavior, condition, de gree (A,B,C.D),
penyusunan LKS, lembar pengamatan, maupun implementasinya di kelas,
dapat dilaksanakan dengan baik dan optimal. Guru perlu memahami kata
kerja operasional (operational verb) setiap sub aspek, mendalami dan
merenungkan ketepatan penggunaannya.
Karakter utama antara lain ialah jujur, tanggung jawab, cerdas,
sehat, bersih, peduli, kreatif. Karakter yang merupakan paduan nilai luhur,
agama, Pancasila, sosial budaya, psikologi, dan pengalaman terbaik dalam
praktik kehidupan nyata itu perlu diintervensikan dalam semua kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
250
baik di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Karakter perlu habituasi
(pembiasaan), pembudayaan yang didukung perangkat kebijakan,
pedoman, komitmen. Sesuai Permendiknas nomor 41 tahun 2007 yang
berbasis karakter, sekolah perlu melakukan strategi mikro: (1)
mengintegrasikan muatan karakter dalam kegiatan belajar mengajar pada
setiap mata pelajaran, (2) penciptaan budaya sekolah yang membiasakan
karakter dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan, (3) pengadaan
kegiatan ekstra kurikuler yang berbasis karakter. Ada beberapa strategi
utama dalam habituasi dan intervensi, antara lain keteladanan kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan; budaya sekolah yang bersih, sehat,
tertib, disiplin, dan indah; penggalakan kembali tradisi untuk membangun
karakter seperti hari krida, upacara, piket kelas, ibadah bersama, berdoa,
hormat guru, hormat bendera, program 5S, cerita kepahlawanan,
menghudupkan lagi kearifan lokal, dan lain sebagainya.
Untuk mengembangkan dan mengerjakan tugas ini, guru dapat
berkelompok dalam MGMP, KKG, bekerja keras, mendatangkan tenaga
ahli, dan lain sebagainya, agar hasil karyanya menjadi optimal. Melalui
kelompok kerja, guru dapat mengembangkan pengemasan dan pertangkat
pembelajaran lebih baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
251
3. Interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi prosa fiksi
Hasil penelitian ini menunjukkan pula adanya interaksi yang
dinamis antara penggunaan model pembelajaran dan tingkat kecerdasan
emosional dalam mempengaruhi kemampuan apresiasi sastra prosa fiksi
siswa. Dari berdandingan antar sel, ditemukan lima perbandingan
menunjukkan adanya persamaan, dan empat perbandingan menunjukkan
adanya perbedaan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya kesesuaian
atau ketidaksesuaian pertemuan antar dua faktor yang memiliki
karakteristik masing-masing. Variabel lain yang bersifat laten di luar
variabel amatan utama (peubah timbrung) mungkin juga dapat
mempengaruhi keadaan ini, misalnya minat belajar, kemampuan kognitif,
kondisi lingkungan belajar anak masing-masing. Temuan ini memberikan
petunjuk kepada semua pihak baik orang tua, siswa, penyelenggara
pendidikan, pemangku kepentingan, pemerintah, bahwa untuk
mewujudkan kompetensi, kemampuan, prestasi belajar yang dapat
dibanggakan diperlukan kondisi-kondisi prasyarat yang cocok dan saling
mendukung dari semua faktor terutama pilihan model pembelajaran dan
variabel internal kecerdasan emosional siswa.
Pilihan model pembelajaran yang tepat, sesuai dengan karakteristik
materi dan kecenderungan paradigma pembebelajaran modern yang
mempengaruhi skenario belajar siswa, secara langsung maupun tidak akan
menuntun siswa ke dalam pola skenario tersebut, siswa akan merasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
252
terbimbing, sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang kaya
guna membentuk pribadi dan prestasinya secara optimal. Sebaliknya, jika
pemilihan model pembelajaran kurang tepat ataupun bahkan tidak tepat
sama sekali, maka kondisi sebalinya yang akan terjadi, yaitu kurang
maksimalnya siswa dalam belajar yang berakibat buruknya perolehan
prestasi dan kompetensi. Ada materi yang cocok dipelajari siswa melalui
siklus pengalaman belajar, ada materi yang cocok diberikan dengan cara
membebaskan cara berpikir siswa, tetapi ada juga materi yang hanya
cocok disampaikan melalui ceramah, guru harus paham hal ini sehingga
cara mengajarnya tidak membelenggu siswa. Pendek kata ada garis
kontinum karakteristik model pembelajaran dari yang sangat cocok sampai
ke titik yang paling tidak cocok. Guru harus paham dengan baik kontinum
tersebut untuk pertimbangan memilih model pembelajaran secara tepat.
Kecerdasan emosional (KE) siswa juga terentang dalam suatu
kontimum yang bergerak dari KE yang sangat tinggi sampai ke KE yang
sangat rendah. Siswa yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi
mempunyai kemampuan mengenali perasaan dan situasi yang
dihadapinya, dapat membedakan pemikiran dan perasaan, gunakan
perasaannya untuk membantu membuat keputusan, empati. Hal itu akan
terjadi sebaliknya pada siswa yang tingkat KE-nya sedang atau bahkan
rendah.
Pemilihan model pembelajaran yang memiliki kontimum dan
kecerdasan emosional siswa yang juga memiliki kontinum memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
253
interaksi yang tinggi. Berdasarkan hal itu, siswa yang KE-nya tinggi dan
memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran experiential
learning akan memperoleh prestasi atau kemampuan apresiasi prosa fiksi
yang lebih baik dibanding mengalaminya dengan model pembelajaran
behavioristik. Begitu seterusnya dengan perbandingan-perbandingan antar
sel lain.
Berdasarkan dinamisnya interaksi antara dua faktor tersebut, guru
harus pintar dan bijak dalam pengambilan model pembelajaran. Guru perlu
memahami dengan baik unsur-unsurnya, baik orientasi modelnya, syntax
atau urutan kegiatan, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem penunjang,
dampak instruksional dan penyertanya. Guru pun harus memahami dengan
benar kondisi kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektualnya. Dari
pemahamannya yang baik mengenai kedua hal itu, guru dapat memilih
model pembelajaran yang tepat untuk suatu kondisi siswa. Ketepatan
pilihan ini saangat menentukan perolehan belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, guru perlu mengetahui fase-fase
perkembangan emosi (minat dan kecenderungan emosional siswa) agar
guru tepat dalam memilih model pembelajaran yang cocok. Pada masa
prasekolah, lahir perasaan, harga diri, dan kesadaran akan dirinya yang
berbeda dengan orang lain,. Pada fase sekolah (6 sampai 12 tahun), siswa
mengalami masa remaja di mana emosinya berkembang ke taraf lebih
tinggi, bersifat lebih sensitif, reaktif yang kuat terhadap berbagai peristiwa
atau situasi sosial. Pada masa dewasa (pasca sekolah), siswa telah mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
254
mengenali perasaan diri dan bagaimana harus melampiaskannya (Riana
Mashar, 2011: 28). B. Rahmanto (1998: 30) menjelaskan umur 8 – 9
tahun siswa berada pada tahap pengkhayal sehingga lebih berminat hal-hal
yang bersifat fantastis, umur 10 – 12 tahun siswa berada pada tahap
romantik sehingga mulai meninggalkan fantasi menuju realitas, umur 13 –
16 tahun siswa berada pada tahap realistik sehingga lebih berminat ke hal-
hal yang nyata, umur 16 tahun ke atas siswa sudah berada pada tahap
generalistik di mana siswa sudah dewasa dan dapat memadukan berbagai
konsep. Lepas dari pertumbuhan umur, setiap anak memiliki kemampuan-
kecerdasan emosional (ketajaman perasaan-intuisi, pengalaman batin)
yang berbeda-beda.
Perbedaan kecerdasan emosional ini merekomandasi kepada guru
untuk memilih model pembelajaran yang sesuai. Pada siswa yang
kecerdasan emosionalnya (perasaan dan daya abstraksi) tinggi, mereka
lebih cocok jika pelajaran di kemas dengan model pembelajaran melalui
siklus pengalaman dan sinektik. Pada kedua model pembelajaran tersebut
dituntut ketajaman perasaan, daya abstraksi, kreatifitas siswa yang tinggi.
Pada siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah, mereka lebih cocok
jika pelajaran dikemas dengan model pembelajaran langsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
255
C. Saran-saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian pada bab iv, dapat diajukan saran-saran
sebagai berikut.
1. Saran bagi Guru
Setiap model pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa.
Sesuai dengan hal itu, disarankan kepada para guru untuk memilih model
pembelajaran secara tepat sesuai karakteristik kecerdasan emosional anak,
kemampuan kognitif, dan sifat materi ajar, sehingga menuntun anak untuk
memperoleh pengalaman belajar dan pembentukan pribadinya. Setiap guru
diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai model
pembelajaran baik pada tataran teori maupun praktik.
Kecerdasan emosional yang di dalamnya mengandung berbagai
aspek baik pembentukan pribadi maupun keterampilan sosial merupakan
faktor penting yang dewasa ini perlu mendapat perhatian dalam
pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan
pembelajarannya, disarankan kepada para guru agar selalu memasukkan
aspek karakter dalam setiap langkah pembelajaran baik dalam RPP
maupun pelaksanaannya di kelas.
2. Saran bagi Siswa
Belajar merupakan kegiatan yang sangat penting untuk penyiapan
kehidupan di masa depan. Dalam melakukan kegiatan belajar, dewasa ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
256
terjadi banyak gangguan yang dapat mempengaruhi konsentrasi siswa.
Tidak sedikit siswa yang gagal karena jiwanya rusak terpengaruh oleh hal-
hal yang buruk. Oleh karena itu, kepada para siswa disarankan belajar
dengan sungguh-sungguh, membangun motivasi belajar yang optimal,
bergaul dengan teman-teman yang baik, tidak berperilaku ekstrim dan
menyimpang. Para siswa hendaknya menyadari bahwa kesuksesan masa
depan hanya ada di tangan sendiri, karena itu persiapkanlah sejak sekarang
kemampuan, perilaku, karakter, keterampilan, yang dapat dipergunakan
untuk menyongsong hari esok yang lebih baik. Para siswa harus dapat
mengendalikan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
merusak diri sendiri.
3. Saran bagi Pengambil Kebijakan dan Pemuka Masyarakat
Oleh karena bangsa Indonesia mengalami keterpurukan mental yang
bersifat multy dimensi, disarankan kepada pemerintah dan pemuka
masyarakat agar memiliki good-will yang baik untuk membentuk
kesatuan tekad, suatu kebangkitan bangsa untuk menggalang niat
membangun kembali mentalitas agar menjadi bangsa yang memiliki
berkarakter luhur. Pemerintah dan jajaran para pemimpinnya hendaknya
menjadi teladan, tolok ukur, panglima, penegak, dan kontrol dalam
menumbuhkan kembali kearifan lokal, kebajikan, budaya luhur, dan
karakter bangsa. Para pembesar negara hendaknya jangan memberikan
contoh yang jelek seperti yang dipertontonkan dalam banyak tayangan
televisi. Mereka harus melaksanakan otoritas dengan kejujuran, keesucian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
257
hati dan pikiran, niat yang lurus, serta dedikasi yang tinggi. Tayangan-
tayangan di televisi hendaknya difilter oleh lambaga sensor agar tidak
meracuni pertumbuhan kepribadian anak.
4. Saran bagi Orang Tua
Oleh karena kecerdasan emosional sangat berpengaruh pada proses
dan hasil pembelajaran apresiasi prosa fiksi, disarankan kepada orang tua
agar selalu membina dan mendampingi anak, sehingga emosi positif anak
selalu berkembang dengan optimal dan emosi negatif dapat dieleminir.
Dengan demikian, kekuatan emosinya menjadi daya dorong yang kuat
melakukan kegiatan belajar.
Di bidang lain pun, kecerdasan emosional merupakan panglima
untuk meraih kesuksesan di segala bidang, oleh karena itu disarankan
kepada orang tua agar selalu membina, mendampingi, membentuk
karakter, kepribadian, dan keterampilan sosial anak. Orang tua perlu
membangun jaringan bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait bahu-
membahu dalam membentuk, membina mental, dan mengawal sepak
terjang dan perilaku anak sejak dalam keluarga (rumah), pergaulannya
baik di masyarakat maupun dengan teman kelompok bermainnya (di luar
rumah), sampai siswa berangkat dan pulang sekolah. Orang tua perlu
mengetahui dengan siapa (dan bagaimana kepribadiannya) anaknya
bergaul, tempat-tempat yang biasa dikunjungi, jalan-jalan yang biasa
dilewati yang dapat digunakan untuk melacak anaknya.