v. hasil dan pembahasan 5.1. analisis pola pertumbuhan ... v... · faktor yang menyebabkan ......

17
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis Klassen Typology pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat (Kuadran I), daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran II), daerah yang maju tetapi tertekan (Kuadran III), dan daerah yang relatif tertinggal (Kuadran IV). Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah (1995-1999), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional. Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju

Upload: doanphuc

Post on 13-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

72

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI

Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen

Typology

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi

pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis Klassen Typology

pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam

kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat (Kuadran I), daerah yang masih

dapat berkembang dengan pesat (Kuadran II), daerah yang maju tetapi tertekan

(Kuadran III), dan daerah yang relatif tertinggal (Kuadran IV).

Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah

(1995-1999), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah

Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini

menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi

tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan

rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi

dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak

berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan

maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada

laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional.

Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di

kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju

pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju

Page 2: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

73

pertumbuhan ekonomi nasional, namun PDRB perkapita kedua purovinsi tersebut

lebih tinggi dibanding PDB per kapita nasional. Faktor yang menyebabkan

rendahnya laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta, terjadi karena krisis

keuangan yang terjadi di tahun 1997. Hal tersebut karena struktur ekonomi di DKI

Jakarta yang didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan.

Dimana pada periode amatan perputaran uang di DKI Jakarta merupakan yang

terbesar di seluruh Indonesia. Sehingga krisis ekonomi pada tahun tersebut

membuat DKI Jakarta menjadi daerah yang memiliki laju pertumbuhan sebesar -

17,49, yang merupakan terkecil ke dua setelah Jawa Barat. Selain itu, proses

pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan resesi yang serius di DKI Jakarta

pada tahun tersebut, salah satunya disebabkan oleh penurunan penanaman modal

yang diakibatkan krisis keuangan 1997. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

lambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kemampuan DKI Jakarta untuk

menghasilkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Harrod-Domar dimana

peranan investasi atau penanaman modal sangatlah penting dalam pertumbuhan

ekonomi.52

Sementara itu 15 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi,

Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Bali, NTB, dan NTT berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat

(Kuadran III). Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di 15

provinsi tersebut lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional,

sedangkan PDRB per kapita masing-masing provinsi lebih rendah daripada PDB

52

Sadono Sukirno, op cit, h. 256-257.

Page 3: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

74

per kapita nasional. Sisanya, sebanyak tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, dan Maluku menempati posisi sebagai daerah relatif tertinggal. Kondisi

ini menunjukkan tidak ada satupun provinsi, apabila di lihat dari kedua sisi yaitu

laju pertumbuhan dan besaran PDRB per kapita, yang lebih tinggi dari nasional.

Gambar 5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun 1995-1999

Pada periode sebelum otonomi daerah (1995-1999), Jawa Barat dan Jawa

Tengah merupakan daerah yang termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal,

hal tersebut dikarenakan laju pertumbuhan kedua provinsi tersebut pada tahun

1998 sangat kecil dan laju pertumbuhan ekonomi di tiga provinsi tersebut

merupakan yang terkecil jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Sehingga

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

0 5 10 15 20 25 30

Per

tum

bu

han

Ek

on

om

i

PDRB per Kapita

Tipologi Klassen Indonesia

NAD

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Bengkulu

Lampung

D.K.I. Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

DIY

Jawa Timur

Bali

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

NTB

NTT

Maluku

Irian Jaya

Kuadran II

Kuadran IV

Kuadran III

Keterangan: Kuadran

I

Kuadran IV

Kuadran III

Keterangan:

Page 4: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

75

rata-rata laju pertumbuhan di ketiga provinsi tersebut masih jauh di bawah laju

pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di kedua provinsi ini

masih dibawah PDB per kapita nasional. Walaupun nilai PDRB di kedua provinsi

ini relatif besar akan tetapi karena jumlah penduduk di ketiga provinsi ini juga

relatif sangat banyak jika dibanding daerah lain, menyebabkan nilai PDRB per

kapita di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih dibawah PDB per kapita nasional.

Sedangkan di Provinsi Maluku, walaupun di tahun 1998 laju pertumbuhan

ekonomi relatif besar, akan tetapi di tahun 1999 laju pertumbuhan Maluku

merupakan yang terendah jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia yaitu -

27,02. Sehingga rata-rata laju pertumbuhan pada periode amatan di provinsi

Maluku masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB

per kapita di daearah ini juga relatif rendah sehingga masih berada di bawah PDB

per kapita Indonesia.

5.2. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial di DKI Jakarta dan Luar

DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan

Klassen Typology

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi

pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia setelah otonomi daerah.

Pada pembahasan ini terdapat tujuh provinsi baru yang merupakan salah satu

produk dari otonomi daerah. Ke tujuh provinsi tersebut antara lain, Kepulauan

Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku

Utara, dan Irian Jaya yang menjadi dua Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat.

Oleh karena itu secara tidak langsung salah satu faktor dalam perubahan

Page 5: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

76

klasifikasi daerah pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah adalah hal

tersebut.

Klasifikasi provinsi pada pariode setelah otonomi daerah (2006-2010) dapat

dilihat pada Gambar 5.2. Terdapat dua provinsi yang termasuk sebagai daerah

cepat maju dan daerah cepat tumbuh (Kuadran I) yaitu Provinsi Kepulauan Riau

dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sebelum otonomi

daerah masuk ke klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I), namun

setelah otonomi daerah provinsi tersebut masuk kuadran ketiga yang merupakan

daerah yang berkembang cepat. Sedangkan Provinsi Kalimantan Barat dan Riau

yang sebelum otonomi daerah masuk dalam kuadran pertama, namun setelah

otonomi daerah masuk dalam kuaran empat yang merupakan daerah yang relatif

tertinggal.

Perubahan klafisikasi pada kuadran satu sebelum otonomi daerah

kemungkinan terjadi karena pada saat krisis 1998 banyak daerah maju dengan

tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa dan khususnya DKI

Jakarta mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi

yang relatif kurang maju pada umumnya adalah daerah-dearah pertanian,

misalnya Kalimantan, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan

merupakan satu-satunya yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya

nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini yang membuat perekonomian

provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.53

Sedangkan

daerah yang sebelum otonomi daerah (1995-1999), termasuk ke dalam klasifikasi

daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada periode setelah otonomi daerah (2006-

53

Tulus Tambunan, op cit, h. 147.

Page 6: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

77

2010) menjadi masuk ke kuadran dua maupun kuadran yang lain, kemungkinan

terjadi karena dampak dari membaiknya perekonomian dan nilai tukar rupiah

yang relatif sudah stabil.

Gambar 5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun 2006-2010

Sementara Provinsi yang berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan

(Kuadran II) adalah Kalimantan Timur dan Kepulauan Bangka Belitung yang

sebelum otonomi daerah termasuk ke dalam porovinsi Sumatera Selatan.

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

0 10 20 30 40

Per

tum

bu

han

Ek

on

om

i

PDRB per Kapita

Tipologi Klassen Indonesia

NADSumatera UtaraSumatera BaratRiauKepulauan RiauJambiSumatera SelatanKep. Bangka BelitungBengkuluLampungDKI JakartaJawa BaratBantenJawa TengahDI YogyakartaJawa TimurBaliNTBNTTKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan TimurSulawesi UtaraGorontaloSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi BaratSulawesi TenggaraMalukuMaluku UtaraPapuaPapua Barat

Kuadran I

Kuadran III

Kuadran IV

Kuadran II

Page 7: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

78

Sedangkan provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah berkembang cepat

(Kuadran III) adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Jawa

Barat, Banten, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,

Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat. Sementara provinsi yang

mengalami peningkatan kuadran yaitu, Provinsi Jawa Barat yang sebelum

otonomi daerah termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV), setelah otonomi

daerah bergeser ke kelompok daerah berkembang cepat (Kuadran III).

Sisanya adalah Provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah yang relatif

tertinggal, setelah otonomi daerah jumlahnya mengalami peningkatan dari hanya

tiga menjadi sepuluh provinsi. Daerah yang termasuk dalam kuadran ke empat

antara lain, Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DIY, Jawa Tengah,

NTT, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa di

sepuluh provinsi tersebut posisi laju pertumbuhan PDRB dan besarnya angka

PDRB per kapita lebih kecil dari laju pertumbuhan dan besarnya angka PDB per

kapita Indonesia.

Berdasarkan Gambar 5.1 maupun 5.2 menunjukkan bahwa perbandingan

laju pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapita baik sebelum otonomi

daerah maupun setelah otonomi daerah dari pembentukan PDRB masing-masing

provinsi terhadap laju pertumbuhan ekonomi maupun PDB per kapita Indonesia

memiliki sebaran dan distribusi yang tidak merata. Sebelum otonomi daerah,

provinsi lebih banyak mengelompok atau berada di klasifikasi daerah cepat maju

dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan daerah berkembang cepat (Kuadran III),

Page 8: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

79

sedangkan setelah otonomi daerah, provinsi lebih banyak berada di klasifikasi

daerah berkembang cepat (Kuadran III) dan daerah relatif tertinggal (Kuadran IV).

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa setelah otonomi daerah,

ketimpangan dalam laju pertumbumbuhan dan PDRB per kapita antar provinsi

cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah daerah

yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah

lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang

termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit

dibanding setelah otonomi daerah. Hal tersebut seharusnya mendapat perhatian

yang lebih. Karena, seperti yang telah diungkapkan oleh Rauf dimana otonomi

daerah memungkinkan terjadi dampak positif maupun negatif yang memiliki

peluang sama besar. Karena otonomi daerah yang dilandaskan terhadap nilai-nilai

kebebasan, sehingga aspirasi terhadap ketidak merataan dalam kebijakan

pembangunan dapat memicu terjadinya konflik.54

Aspirasi ini menginginkan

kesempatan bagi daerah kaya untuk memanfaatkan kekayaannya untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini didukung juga pernyataan

Tadjoeddin dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya

manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horizontal. Serta

ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal.55

Dari kedua

pernyataan tersebut pada prinsipnya berupa penjaminan dalam pemenuhan

kebutuhan dasar minimum bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa menghambat

potensi pertumbuhan masing-masing daerah.

54

Maswadi Rauf, op cit, h. 162. 55

Tadjoeddin et al, op cit, h. 7-8.

Page 9: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

80

5.3. Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.

5.3.1 Indeks Williamson di DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi

Daerah.

Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta

pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dianalisis dengan

menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson atau CVw yang kecil

menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik,

dan sebaliknya jika nilai CVw besar menggambarkan tingkat ketimpangan yang

tinggi atau pemerataan yang lebih buruk.

Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang

sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan pusat bisnis, industri,

dan perputaran uang yang tinggi di daerah tersebut menyebabkan terjadinya

ketimpangan ekonomi di antar kabupaten/kota di DKI Jakarta. Berdasarkan

kriteria yang ada, ketimpangan antar daerah berada pada taraf rendah bila nilai

Indeks Williamson < 0,35, ketimpangan taraf sedang bila nilai Indeks Williamson

antara 0,35-0,50 dan ketimpangan taraf tinggi bila nilai Indeks Williamson >0,50.

Setelah dilakukan perhitungan, sebelum otonomi daerah di tahun 1993-1999 nilai

Indeks Williamson di Provinsi DKI Jakarta berada pada taraf tinggi. Adapun hasil

perhitungan Indeks Williamson tanpa migas selama tahun 1993-2010 di Provinsi

DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Page 10: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

81

Tabel 5.1 Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB per kapita

Tanpa Migas ADHK 2000 Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993-2010

Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah

Tahun IW Tahun IW

1993 0,547 2000 0,623

1994 0,558 2001 0,672

1995 0,564 2002 0,697

1996 0,559 2003 0,766

1997 0,578 2004 0,756

1998 0,624 2005 0,777

1999 0,633 2006 0,780

2007 0,804

2008 0,815

2009 0,830

2010 0,834

Rata-rata 0,580 Rata-rata 0,759

Sumber: BPS, diolah

Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa ketimpangan antar kabupaten/kota di

Provinsi DKI Jakarta pada periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1993-

1999 berada pada taraf tinggi dengan rata-rata sebesar 0,580. Pada tahun 1998

merupakan tahun dengan ketimpangan tertinggi pada periode sebelum otonomi

daerah yaitu 0,633. Hal ini terjadi karena strategi kebijakan pembangunan pada

saat itu masih terfokus di DKI Jakarta dan terlalu mengejar peningkatan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Membuat

DKI Jakarta menjadi pusat aktivitas perekonomian dan pusat perputaran uang

terbesar di Indonesia. Sehingga krisis keuangan pada tahun tersebut memberikan

dampak buruk bagi perekonomian dan peningkatan ketimpangan di DKI Jakarta.

Sedangkan pada periode setelah otonomi daerah, kecenderungan indeks

Williamson tiap tahunnya menunjukkan ketimpangan yang relatif meningkat

Page 11: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

82

setiap tahunnya mulai tahun 2000 sebesar 0,623 menjadi 0,672 pada tahun 2001.

Kemudian terjadi peningkatan kembali sebesar 0,697 tahun 2002 menjadi 0,766

tahun 2003. Kemudian di tahun 2004 turun menjadi 0,756 dan di tahun-tahun

selanjutnya kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2010 sebesar

0,834. Dengan melihat nilai rata-rata ketimpangan baik sebelum maupun setelah

otonomi daerah mengindikasikan adanya ketimpangan yang tinggi antar

kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta.

Seperti diketahui dengan terpusatnya segala aktivitas ekonomi dan bisnis di

DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat memberikan kontribusi yang sangat besar

terhadap PDRB di wilayah tersebut maupun Provinsi DKI Jakarta secara

keseluruhan. Dimana PDRB per kapita yang dimiliki oleh DKI Jakarta jauh lebih

tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini yang mengindikasikan

menjadi penyebab tingginya tingkat ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta

yang dicerminkan dengan tingginya nilai indeks williamson yang dihasilkan.

Selain itu, dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki

kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang

memiliki potensi yang besar, kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang

akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah

akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan antar daerah

meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan kesiapan dari masing-masing

daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap

daerah mulai dapat mengembangkan daerah masing-masing dalam rangka

mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Tingkat

Page 12: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

83

ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi

daerah berangsur-angsur turun.

5.3.2 Indeks Williamson di Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi

Daerah.

Ketimpangan pembangunan di luar DKI Jakarta pada saat sebelum dan

setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang sama dengan

pendekatan di DKI Jakarta, yaitu menggunakan indeks Williamson. Akan tetapi

perhitungan indeks Williamson di luar DKI Jakarta bukan menggunakan data

kabupaten/kota akan tetapi mengunakan data provinsi. Hal tersebut dikarenakan

perhitungan ini untuk menganalisis ketimpangan antar provinsi di Indonesia tanpa

DKI Jakarta. Adapun hasil perhitungan indeks Williamson tanpa migas selama

tahun 1993-2010 di luar DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Williamson Provinsi di Indonesia

berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Luar

DKI Jakarta Tahun 1993-2010

Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah

Tahun IW Tahun IW

1993 0,309 2000 0,324

1994 0,305 2001 0,308

1995 0,307 2002 0,333

1996 0,303 2003 0,361

1997 0,307 2004 0,350

1998 0,342 2005 0,350

1999 0,336 2006 0,351

2007 0,339

2008 0,335

2009 0,327

2010 0,336

Rata-rata 0,315 Rata-rata 0,337

Sumber: BPS, diolah

Page 13: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

84

Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa sebelum otonomi daerah 1993-1999

indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berkisar

antara 0,303 sampai 0,342, dangan rata-rata sebesar 0,315. Pada periode ini

ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 0,342, kemungkinan

kenaikan tersebut disebabkan oleh dampak krisis moneter pada tahun 1997. Hal

tesebut menandakan bahwa ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta

tergolong rendah. Dengan melihat rendahnya nilai ketimpangan antar wilayah di

luar DKI Jakarta, mengindikasikan bahwa pembangunan di DKI Jakarta sebelum

otonomi daerah memberikan peran yang cukup besar terhadap ketimpangan di

Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjafrizal yang dalam studinya ingin

menganalisis pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar

wilayah. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap

ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar, karena struktur

ekonomi DKI Jakarta yang sangat berbeda dengan provinsi lain. Dimana terdapat

konsetrasi kegiatan ekonomi yang yang tinggi di wilayah tersebut. Sehingga

mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah.56

Pada awal otonomi daerah diberlakukan, yaitu pada tahun 2000 indeks

ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berada di angka

0,324 dan mengalami penurunan di tahun 2001 menjadi 0,308. Tahun 2002 indeks

ketimpangan mengalami peningkatan sebesar 0,025 yang menandakan

ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. Tahun 2003, nilai

indeks ketimpangan kembali menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 0,361

yang menandakan ketimpangan pendapatan kembali meningkat. Sedangkan di

56

Sjafrizal, op cit, h. 113.

Page 14: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

85

tahun 2004 hingga 2006 relatif stabil di angka 0,350 yang menandakan mulai

tahun 2003 hingga 2006 ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada di

taraf sedang. Tahun 2007 nilai indeks Williamson kembali turun menjadi 0,339,

0,335 dan 0,327 di tahun 2008 dan 2009. Sedangkan di tahun 2010 kembali

mengalami kenaikan menjadi 0,336 pada Tahun 2010.

Pada Tabel 5.2, menunjukkan bahwa di luar DKI Jakarta nilai rata-rata

indeks Williamson, setelah otonomi daerah lebih tinggi dibanding sebelum

otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah sebesar 0,315 dan setelah otonomi

daerah sebesar 0,337. Walaupun demikian nilai tersebut lebih rendah jika

dibandingkan nilai rata-rata indeks Williamson DKI Jakarta yaitu 0,580 sebelum

otonomi daerah dan 0,759 setelah otonomi daerah. Perlu dingat disini bahwa

sebagaimana diungkapkan dalam studi Williamson bahwa indeks ini sensitif

terhadap ukuran wilayah yang digunakan.57

Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah

yang digunakan berbeda, maka hal ini akan berpengaruh pada hasil perhitungan

indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati-hati

bila pembahasan menyangkut dengan perbandingan indeks ketimpangan antar

wilayah dimana ukuran wilayahnya berbeda satu sama lainnya.

5.4 Analisis Trend Ketimpangan Pendapatan di DKI Jakarta dan Luar DKI

Jakarta.

Trend ketimpangan dalam suatu wilayah dapat dilihat dalam bentuk grafis.

Hasil perhitungan nilai indeks Williamson sebelum dan setelah otonomi daerah di

DKI Jakarata berada pada rentang 0,547-0,834. Berdasarkan Gambar 5.1 pada

tahun 1993-1997, trend ketimpangan DKI Jakarta mengalami kenaikan yang

57

Ibid, h. 108.

Page 15: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

86

relatif kecil. Selanjutnya peningkatan trend yang relatif besar terjadi pada Tahun

1998 hingga mencapai 0,624. Pada Tahun 1999 indeks Williamson DKI Jakarta

kembali mengalami peningkatan menjadi 0,633 yang merupakan angka terbesar

dalam periode sebelum otonomi daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada akhrir tahun 1997, dengan cepat

menggangu stabilitas ekonomi di DKI Jakarta.

Berdasarkan analisis pada Tahun 2000 walaupun berada pada ketimpangan

taraf tinggi, trend ketimpangan di DKI Jakarta mengalami penurunan. Akan

tetapi di tahun-tahun berikuntnya trend ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta

kembali mengalami peningkatan. Pada Tahun 2001,2002, dan 2003 kembali

mengalami peningkatan masing-masing menjadi 0,672, 0,697, dan 0,766. Pada

tahun 2004 kembali mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 0,010

dan mulai Tahun 2005 tiap tahunnya mengalami peningkatan hingga Tahun 2010.

Trend ketimpangan pada periode analisis tertinggi terjadi di Tahun 2010 yaitu

sebesar 0,834. Naik turunnya ketimpangan di suatu wilayah disebabkan oleh

PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Kenaikan atau penurunan

yang tidak merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan

menimbulkan ketimpangan yang semakin tinggi antar wilayah.

Selanjutnya, trend ketimpangan anatr provinsi di Indonesia di luar DKI

Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah berada pada rentang 0,303-0,361.

Pada tahun 1993 hingga 1997 trend ketimpangan antar provinsi di luar DKI

Jakarta mengalami peningkatan dan penurunan kecil, yaitu pada rentang 0,303

sampai 0,309. Selanjutnya pada Tahun 1998, trend ketimpangan antar wilayah di

luar DKI Jakarta mengalami peningkatan yang relatif tinggi menjadi 0,342 yang

Page 16: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

87

merupakan angka tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah. Pada tahun

1999 mengalami penurunan yang relatif kecil menjadi 0,336.

Pada tahun 2000 dan 2001 kembali mengalami penurunan menjadi 0,324

dan 0,308. Selanjutnya peningkatan trend kembali merangkak ke tingkat yang

lebih tinggi. Pada tahun 2002 trend ketimpangan kembali mengalami peningkatan

dan berlanjut pada Tahun 2003 yang merupakan ketimpangan tertinggi pada

periode analisis, yaitu sebesar 0,361. Sedangkan di tahun 2004 trend ketimpangan

di luar DKI Jakarta kembali mengalami penurunan dan tidak berubah di angka

0,350 di Tahun 2005. Pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan relatif kecil

yaitu 0,351 dan di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan hingga tahun

2009, sebelum kemudian mengalami peningkatan di Tahun 2010 menjadi 0,336.

Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan maupun penurunan

pada nilai PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing provinsi di Indonesia di

luar DKI Jakarta. Kenaikan atau penurunan yang merata dari kedua faktor tersebut

di masing-masing wilayah akan menimbulkan pemerataan antar wilayah.

Sumber: BPS, diolah

Gambar 5.3 Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.

0,26

0,28

0,3

0,32

0,34

0,36

0,38

19

93

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

Trend Ketimpangan Luar DKI Jakarta

Indeks Williamson

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

19

93

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

Trend Ketimpangan DKI Jakarta

Indeks Williamson

Page 17: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan ... V... · Faktor yang menyebabkan ... pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54. ... Tadjoeddin. dimana ketimpangan

88

Dari gambar 5.1 dapat dilihat perbandingan antara trend ketimpangan di

DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa ketimpangan

antar wilayah sebelum dan setelah otonomi daerah, DKI Jakarta lebih besar

dibanding di luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan di DKI Jakarta sebelum

maupun setelah otonomi daerah cenderung mengalami kenaikan di setiap

tahunnya. Sedangkan Trend ketimpangan antar wilayah di Luar DKI Jakarta lebih

berfluktuatif jika disbanding di DKI Jakarta. Selanjutnya rata-rata ketimpangan

antar wilayah di DKI Jakarta berada di taraf tinggi, sedangkan rata-rata

ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada pada taraf rendah.