uu no 4 tahun 2 009

12
Oleh : Parlindungan Sitinjak, Staf pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Kegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan PP ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5 golongan yaitu : 1. Mineral radioaktif antara lain: radium, thorium, uranium 2. Mineral logam antara lain: emas, tembaga 3. Mineral bukan logam antara lain: intan, bentonit 4. Batuan antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai,  pasir urug 5. Batubara antara lain: batuan aspal, batubara, gambut Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama  pentingnya terutama dalam memberikan dukung an material untuk pembangunan infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung  perkantoran. Terminologi bahan galian g olongan C yang sebelumny a diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga  penggunaan istilah bahan galian g olongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi  batuan. Untuk memberikan gamb aran tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan, berikut akan diuraikan dalam artikel ini. Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan PP No 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah set iap  pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan y ang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Pembagian kewenangan Menteri, gubernur dan bupati/walikota adalah: 1. Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai 2. Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1  provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil 3. Bupati/walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di d alam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil. IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut Menteri), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha, koperasi, dan perseorangan. IUP diberikan melalui 2 tahapan yaitu: I. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) II. Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) I. Pemberian WIUP batuan 1. Badan usaha, koperasi ata u perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai

Upload: hendra-pranata-purba

Post on 19-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Oleh : Parlindungan Sitinjak, Staf pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDMKegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan PP ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5 golongan yaitu :1. Mineral radioaktif antara lain: radium, thorium, uranium2. Mineral logam antara lain: emas, tembaga3. Mineral bukan logam antara lain: intan, bentonit4. Batuan antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, pasir urug5. Batubara antara lain: batuan aspal, batubara, gambutSaat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung perkantoran. Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan. Untuk memberikan gambaran tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan, berikut akan diuraikan dalam artikel ini.Pemberian Izin Usaha PertambanganBatuanPemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan PP No 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Pembagian kewenangan Menteri, gubernur dan bupati/walikota adalah:1. Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai2. Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil3. Bupati/walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil.IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut Menteri), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha, koperasi, dan perseorangan. IUP diberikan melalui 2 tahapan yaitu:I. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)II. Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP)I. Pemberian WIUP batuan1. Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya2. Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota dan oleh gubernur harus mendapat rekomendasi dari bupati/walikota 3. Permohonan WIUP yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP4. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam paling lama 10 hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP5. Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan menolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.II. Pemberian IUP batuan1. IUP terdiri atas : IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi2. Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: administratif, teknis, lingkungan dan finansialII.a Pemberian IUP Eksplorasi batuan1. IUP Eksplorasi diberikan oleh :a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantaib. Gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 - 12 mil dari garis pantaic. Bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai2. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan3. Menteri atau guberrnur menyampaikan penerbitan peta WIUP batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur atau bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral batuan4. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan wajib memenuhi persyaratan5. Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan WIUP menjadi wilayah terbukaII.b Pemberian IUP Operasi Produksi batuan1. IUP Operasi Produksi diberikan oleh :a. Bupati/Walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantaib. Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikotac. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat2. IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi yang memenuhi persyaratan dimana pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi 3. Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota untuk menunjang usaha pertambangannya4. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah pada WIUP 5. Bila pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Operasi Produksi memperoleh keutamaan mengusahakannya dengan membentuk badan usaha baru6. Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum berakhirnya IUP7. Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan 2 kali dan harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi dan menyampaikan keberadaan potensi dan cadangan mineral batuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota8. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menolak permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baikKetentuan pidana pelanggaran ketentuan dalam UU No 4 Tahun 2009 :a) Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).b)Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)c)Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).d)Setiap orang yang rnengeluarkan IUP yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif' kepada pemegang IUP atas pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, atau pencabutan IUP.Semoga pembahasan tata cara pemberian IUP serta ketentuan pidana dan sanksi administratif dalam kegiatan pertambangan batuan ini dapat memberikan gambaran dan mendorong pelaksanaan kegiatan pertambangan yang baik dan benar serta penerapan penegakan hukum sehingga dapat mengurangi dampak negatif pertambangan dan meningkatkan dampak positif melalui penyerapan tenaga kerja, penyediaan bahan baku pembangunan infrastruktur, pendapatan asli daerah, serta penggerak kegiatan perekonomian di sekitar lokasi pertambangan.Sumber : Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatubaraPeraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Sejumlah pihak telah menyatakan akan menggugat Pemerintah apabila UU Minerba ini tidak dijalankan.JAKARTA, Jaringnews.com - Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, terlihat ragu-ragu ketika mendapat pertanyaan apakah Pemerintah akan benar-benar melarang 100 persen ekspor bijih mineral (ore) mulai 12 Januari tahun depan, sebagaimana diamanatkan oleh UU No 4 tahun 2009.

Di satu sisi ia menegaskan bahwa Pemerintah akan menjalankan UU tersebut, namun ia tak menjawab ketika ditanyakan apakah pelarangan itu akan berlaku 100 persen atau ada dispensasi untuk perusahaan tertentu.

Apakah pelarangan ekspor itu akan dilaksanakan full atau bertahap? tanya wartawan dalam konperensi pers singkat yang dilangsungkan di lobi kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, hari ini (17/12).

Hatta Rajasa sempat terdiam, lalu mengatakan, Saya hanya ingin menyatakan kita akan melaksanakan UU. UU itu harus dijalankan, tutur dia.

Ketika dirinya kemudian didesak, bagaimana nantinya teknis pelaksanaan larangan tersebut, ia berkilah, bahwa mengenai hal teknis bukan dirinya yang memberikan jawaban. Nanti akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Penggodokannya masih berjalan, tutur Hatta.

Pada tahun 2009, Pemerintah menerbitkan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Di sana diamanatkan secara jelas bahwa mineral mentah (ore) atau konsentrat dilarang ekspor mulai 12 Januari 2014.Keputusan ini diambil sebagai bagian dari peningkatan hilirisasi di sektor minerba, untuk meningkatkan nilai tambah pertambangan perekonomian domestik.

Namun, dengan alasan banyak perusahaan tambang belum siap dengan proses pemurnian, ditambah dengan menurunnya ekspor, belakangan ini Pemerintah mulai tampak melembek. Amir Sambodo, Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian sebagaimana dikutip oleh sejumlah media mengatakan pihaknya sedang membahas regulasi baru yang akan menjadi payung hukum kebijakan hilirisasi mineral. Seluruh perusahaan pertambangan mineral akan diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pembangunan unit pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) serta tetap diperkenankan ekspor ore hingga tiga tahun ke depan.

Aturan ini nantinya sekaligus merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan PP Nomor 23/ 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Mereka yang diperbolehkari ekspor ore, nantinya harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantraranya, telah melakukan uji kelayakan atau feasibility study (FS), menggelar ground breaking sebelum 2014, serta membayarkan uang jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter.

Ketika hal ini ditanyakan kepada Hatta Rajasa, kembali ia menolak memberikan jawaban. Menurut dia, ia akan menunggu selesainya PP mengenai hal ini. Ia pastikan PP tersebut rampung sebelum 12 Januari, saat mana UU Minerba dijalankan

Sejumlah pihak telah menyatakan akan menggugat Pemerintah apabila UU Minerba ini tidak dijalankan.

AMBANG, 05 Oktober 2009 | 22.28Klinik UU Minerba Edisi Juni 2009

Pengasuh: Setdirjen Minerba Pabum Departemen ESDM, Dr. S. Witoro Soelarno

Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), menjadi tantangan sekaligus peluang bagi stakeholders pertambangan. Diakui dalam UU baru itu masih banyak hal yang harus dijelaskan oleh pemerintah selaku pelaksana regulasi. Maka dari itu, Majalah TAMBANG mulai Edisi April 2009 membuka Rubrik Tanya-Jawab Klinik UU Minerba guna menjembatani para pelaku dunia pertambangan dengan pemerintah. Berikut beberapa pertanyaan yang masuk ke Redaksi dan dijawab oleh Pengasuh.

Kelanjutan Perizinan KP Menuju IUP

Saya ingin menanyakan tentang perizinan KP, pada tahapan perizinan apa yang boleh diteruskan pasca diterbitkannya UU Minerba 12 Januari 2009? Kalau saya telah memasukkan permohonan Izin SKIP pada bulan Agustus 2008, apakah masih bisa diteruskan ke tahapan perizinan berikutnya?

Pengirim:Rahmadani Alamat: Jl. Kecapi No.19 SamarindaEmail: [email protected]

Jawab:

Berkenaan dengan keberadaan KP yang diterbitkan sebelum keluarnya UU Minerba akan dilakukan penyesuaian. Dalam masa transisi sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini lebih jelas, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) MESDM No. 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009, yang menyebutkan dalam huruf A angka 1 bahwa Kuasa Pertambangan (KP) yang telah ada sebelum berlakunya UU Minerba, termasuk peningkatan tahapan kegiatannya tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya KP dan wajib disesuaikan menjadi IUP berdasarkan UU Minerba paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU Minerba ini.

Sehubungan dengan itu, KP-KP yang permohonannya sebelum tanggal 12 Januari 2009 serta sudah mendapat persetujuan pencadangan wilayah dan SK KP-nya diterbitkan setelah tanggal 12 Januari 2009, agar diajukan untuk direvisi dengan mengacu kepada UU Minerba. Sedangkan formatnya mengacu kepada Lampiran Surat Dirjen Minerba Pabum kepada Seluruh Pemda-pemda di Indonesia No. 1053/30/DJB/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang IUP. Namun untuk KP-KP yang permohonannya sesudah tanggal 12 Januari 2009, tidak diproses sampai diterbitkannya peraturan pemerintah, dalam hal ini akan diberlakukan sistem lelang sesuai ketentuan UU Minerba tersebut.

Selanjutnya tentang SKIP diatur dalam SE Nomor 497/M.103/SJH/1979 tentang SKIP, yang menjelaskan bahwa SKIP adalah surat keterangan jalan bagi seseorang untuk mengadakan peninjauan umum terhadap suatu wilayah tertentu, khusus untuk tujuan permohonan KP dan/atau KK, tanpa memberikan hak prioritas apapun kepada pemegang SKIP yang bersangkutan. Waktu SKIP pun sesuai SE tersebut hanya satu bulan.

Setelah diterbitkannya UU Minerba, ada kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai Pasal 6 sampai dengan Pasal 8 untuk melakukan penelitian dan penyelidikan, dengan menugaskan kepada lembaga riset negara atau daerah sesuai dengan Pasal 87. Sistem permohonan sesuai dengan UU Minerba dilakukan melalui lelang untuk mineral logam dan batubara. Oleh karena itu kepada seseorang yang pernah memiliki SKIP apabila nantinya berkehendak memiliki suatu IUP wajib mengikuti proses pelelangan sebagaimana ditentukan oleh UU Minerba.

Jangka Waktu Pengurusan IUP

Pada kesempatan ini kami ingin menanyakan seputar pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Sejauh mana sistem/prosedur pengurusan IUP yang akan/telah disusun oleh Pemerintah? Selama ini pengurusan izin pertambangan tidak pernah ada koridor waktu yang jelas. Terkesan bergantung pada negosiasi di lapangan. Kami banyak berharap melalui UU baru ini serta PP yang akan dibentuk, ada koridor waktu yang jelas tentang pengurusan IUP. Kalau memang telah diatur, berapa lamanya waktu pengurusan IUP?

Pengirim: Rusdianto Alamat: Penajam, Kalimantan Timur.

Jawab:

Sesuai amanat UU Minerba, saat ini Pemerintah masih menyusun 4 RPP sebagai turunan dari UU tersebut. Pengurusan IUP akan diatur di dalam RPP tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelum terbitnya RPP tersebut dalam masa transisi, maka SE No . 03.E/31/DJB/2009 merupakan aturan pelaksana perizinan pertambangan mineral dan batubara khusus untuk melayani proses perizinan yang sudah ada, agar proses pelayanan tidak terhenti.

IUP atau IUPK (IUP Khusus) diberikan kepada suatu badan hukum sesuai kewenangan (pusat, propinsi, kabupaten/kota), yang dapat melalui lelang (IUP/IUPK) dan non lelang (IUPK). Panitia Lelang nantinya akan menetapkan jadwal dan lokasi pelelangan sampai dengan penentuan pemenang lelang. Dengan demikian waktu yang diperlukan untuk pengurusan perizinan menjadi jelas dan transparan. Pengaturan tentang hal ini akan menjadi materi RPP di atas.

KP Kurang dari 5.000 Hektar Tetap Berlaku

Karena tidak diatur dalam Ketentuan Peralihan, Pemerintah telah menetapkan KP existing akan otomatis berubah menjadi IUP. Tapi kami dengar dari Dinas Pertambangan, untuk bisa mendapatkan status IUP maka pemegang KP harus membuat rencana kerja selama satu tahun. Benarkah demikian? Lantas bagaimana nasib KP yang luasnya lebih kecil dari 5.000 hektar, bagaimana pengaturannya ke depan kalau akan dijadikan IUP?

Pengirim: Sugeng Sulistyo Alamat: Balikpapan, Kalimantan Timur

Jawab:Suatu KP diterbitkan atas dasar izin, dan disebut dengan izin KP. Hal ini sama dengan IUP yang juga berbasiskan skema perizinan, maka izin KP sesuai UU Minerba istilahnya menjadi IUP. Oleh karena itu hal ini tidak masuk ke Ketentuan Peralihan.

Mengenai ketentuan KP wajib membuat rencana kerja dalam proses konversi menjadi IUP, terdapat dalam Surat Edaran MESDM NO. 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral Dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009, butir A.5. Memberitahukan kepada pemegang KP pada tahapan eksplorasi atau eksploitasi paling lambat 6 bulan sejak terbitnya UU Minerba harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah KP untuk mendapatkan persetujuan pemberi izin KP, dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi. Rencana kegiatan tersebut akan menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan Pemerintah untuk ditetapkan menjadi IUP.

Untuk KP eksisting yang luasnya lebih kecil dari 5000 hektare akan tetap berlaku, karena pada dasarnya seluruh KP yang sudah ada akan tetap dihormati keberadaannya (Surat Edaran MESDM NO. 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 butir A.1).

Mengatasi Tumpang Tindih Lahan

Mohon penjelasan sejauh mana Pemerintah mengatasi kasus tumpang tindih lahan, baik antara PKP2B dengan KP-KP maupun dengan sektor kehutanan? Karena persoalan tumpang tindih sering menghambat kegiatan perusahaan di lapangan, proses penyelesaiannya melalui pengadilan pun sangat lama.

Pengirim: M. AmienAlamat: Jl. Raya Batulicin, Kalimantan Selatan

Jawab:Dalam UU Minerba ditetapkan WIUP/WIUPK/WPR pertambangan yang sudah masuk dalam sistem tata ruang nasional dan penetapannya melibatkan semua sektor, hal ini menjadi muatan pengaturan dalam RPP tentang Wilayah Pertambangan. Untuk prosesnya mempertimbangkan UU Tata Ruang dan aturan pelaksanaannya. PP Wilayah Pertambangan selain menjadi aturan pelaksanaan UU Minerba, juga akan merupakan salah satu pelaksanaan dari pada UU Tata Ruang. Setelah penetapan WIUP/WIUPK/WPR baru bisa dilakukan proses selanjutnya (lelang atau non-lelang). Dengan demikian diharapkan tumpang tindih IUP/IUPK/IPR dengan sektor lain akan diminimalisir.

Mengenai penerbitan izin diatas izin yang sudah ada, dalam UU Minerba Pasal 165 dijelaskan bahwa setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dengan demikian aparatur Pemerintahan diharapkan akan sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

(Redaksi menerima pertanyaan seputar UU Minerba dan implementasinya. Pertanyaan dikirimkan ke alamat Redaksi Majalah TAMBANG atau email: [email protected] dan [email protected]. Setiap pertanyaan diharap mencantumkan identitas yang jelas dan alamat).

Menurut Pasal 113 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), suatu kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilakukan oleh pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) atau Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat diberhentikan sementara, tanpa mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK, apabila terjadi:1. keadaan kahar;2. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;3. keadaan dimana kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.Permohonan penghentian suatu kegiatan disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pihak yang berwenang lalu wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan penghentian sementara paling lama 30 hari sejak menerima permohonan tersebut. Mengenai penghentian kegiatan usaha pertambangan karena kondisi daya dukung lingkungan, hal ini dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau berdasarkan permohonan masyarakat kepada pihak yang berwenang. Read the rest of this entry 3.00 / 5 5 1 / 5 2 / 5 3 / 5 4 / 5 5 / 5 2 votes, 3.00 avg. rating (60% score) Eksplorasi, IUP, IUPK, Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Kegiatan Usaha Pertambangan, Persyaratan PerizinanNo Comments Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK)Posted by admin in Izin Usaha on September 13, 2012 Latar BelakangPasal 95 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengatur beberapa kewajiban secara umum yang harus ditaati oleh pemegang IUP dan IUPK, yakni:a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, yang mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk:1. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;2. keselamatan operasi pertambangan;3. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang;4. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;5. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan; Read the rest of this entry - See more at: http://www.hukumpertambangan.com/#sthash.ZLQ6pPS6.dpuf