usaha peningkatan kualitas dan rendemen beras...

21
67 ANALISIS SITUASI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN HEWANI 1 Mewa Ariani Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang berkualitas. Dengan sumberdaya manusia yang berkualitas diharapkan terjadi peningkatan perekonomian nasional menuju kesejahteraan masyarakat dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu bersaing dengan negara lain. Pembangunan manusia Indonesia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) yang menggabungkan indikator angka harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang dikeluarkan oleh UNDP menunjukkan perbaikan yaitu dari 0,677 pada tahun 1999 menjadi 0,682. Namun demikian dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi anggota ASEAN, Indonesia masih tertinggal. Urutan IPM Indonesia pada nomor 112, sedangkan Vietnam, Philipines, Malaysia dan Singapore berturut-turut pada nomor 109, 85, 58 dan 28 (Irawan, 2004) Berbicara masalah kualitas sumberdaya manusia tidak dapat dilepaskan dengan aspek pangan atau ketahanan pangan, karena pangan merupakan kebutuhan pokok yang hakiki dan bagian dari hak azasi manusia. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan akan menentukan kualitas sumberdaya manusia disamping ketahanan sosial ekonomi dan politik bangsa. Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. Pangan hewani adalah salah satu kelompok pangan yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Banyak jenis asam amino esensial seperti Lisin, dan Treonin yang hanya diperoleh dari protein hewani. Selain itu komposisi lemak yang terkandung dalam pangan hewani berupa lemak tak jenuh yang dapat mencegah terjadinya penyakit jantung. Pemahaman dan antisipasi kebijakan strategis ketahanan pangan akan semakin mantap apabila ditopang dengan hasil analisis ketersediaan dan konsumsi secara komprehensif. Ketahanan pangan mencakup banyak aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan konsumsi pangan. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Oleh karena itu produksi pangan harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik, sedangkan konsumsi pangan merupakan 1 Makalah disampaikan pada Diskusi” Dukungan Peternakan dan Perikanan Rakyat dalam Memantapkan Ketahanan Pangan”: di Badan Bimas Ketahanan Pangan, Senin, 27 September 2004, Jakarta.

Upload: vunhu

Post on 12-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

67

ANALISIS SITUASI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN HEWANI1

Mewa Ariani

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang berkualitas. Dengan sumberdaya manusia yang berkualitas diharapkan terjadi peningkatan perekonomian nasional menuju kesejahteraan masyarakat dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu bersaing dengan negara lain. Pembangunan manusia Indonesia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) yang menggabungkan indikator angka harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang dikeluarkan oleh UNDP menunjukkan perbaikan yaitu dari 0,677 pada tahun 1999 menjadi 0,682. Namun demikian dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi anggota ASEAN, Indonesia masih tertinggal. Urutan IPM Indonesia pada nomor 112, sedangkan Vietnam, Philipines, Malaysia dan Singapore berturut-turut pada nomor 109, 85, 58 dan 28 (Irawan, 2004) Berbicara masalah kualitas sumberdaya manusia tidak dapat dilepaskan dengan aspek pangan atau ketahanan pangan, karena pangan merupakan kebutuhan pokok yang hakiki dan bagian dari hak azasi manusia. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan akan menentukan kualitas sumberdaya manusia disamping ketahanan sosial ekonomi dan politik bangsa. Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global.

Pangan hewani adalah salah satu kelompok pangan yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Banyak jenis asam amino esensial seperti Lisin, dan Treonin yang hanya diperoleh dari protein hewani. Selain itu komposisi lemak yang terkandung dalam pangan hewani berupa lemak tak jenuh yang dapat mencegah terjadinya penyakit jantung. Pemahaman dan antisipasi kebijakan strategis ketahanan pangan akan semakin mantap apabila ditopang dengan hasil analisis ketersediaan dan konsumsi secara komprehensif. Ketahanan pangan mencakup banyak aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan konsumsi pangan. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Oleh karena itu produksi pangan harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik, sedangkan konsumsi pangan merupakan 1 Makalah disampaikan pada Diskusi” Dukungan Peternakan dan Perikanan Rakyat dalam Memantapkan

Ketahanan Pangan”: di Badan Bimas Ketahanan Pangan, Senin, 27 September 2004, Jakarta.

Page 2: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

68

entry point analisis ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah tangga. Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 bukanlah masalah ketersediaan tetapi lebih banyak ditentukan oleh terbatasnya daya beli masyarakat akibat krisis ekonomi (Fagi dan Simatupang, 1998). Seiring dengan membaiknya perekonomian pascakrisis ekonomi tentu juga akan berdampak pada perubahan konsumsi pangan masyarakat.

Di sisi lain dengan adanya arus globalisasi di berbagai bidang termasuk dalam hal pangan tentu berdampak pada pola konsumsi pangan domestik. Seperti telah disampaikan oleh Rusastra et al. (2002) bahwa dari sisi konsumen telah terjadi perubahan mendasar dalam selera penduduk Indonesia yang mengarah pada selera global, yang menyebabkan susbsitusi antar produk semakin meningkat termasuk dari produk impor. Dengan demikian pemahaman kinerja ketersediaan dan konsumsi pangan merupakan instrumen penting untuk perumusan kebijakan dalam pencapaian sasaran ketahanan pangan berkelanjutan. Makalah ini membahas situasi ketersediaan dan konsumsi pangan dan difokuskan pada pangan hewani yaitu ikan dan pangan produk ternak seperti daging, telur dan susu.

SITUASI PRODUKSI DAN KETERSEDIAAN PANGAN HEWANI Produksi Pangan Hewani Dalam agribisnis peternakan, intervensi pemerintah untuk penyediaan pangan melalui usaha rakyat sangat kuat. Berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah seperti Keppres No. 50/1980 yang membatasi jumlah anak ayam maksimum yang boleh dipelihara oleh individu dan perusahaan. Pemerintah juga melakukan intervensi berupa pembinaan usaha skala kecil dan menengah melalui koperasi dan kemitraan. Kemudian muncul Keppres baru untuk menggantikan Keppres yang lama seperti Keppres No. 22/1990 yang membebaskan skala usaha tetapi untuk pemeliharaan skala besar harus diekspor dan melibatkan peternakan rakyat sebagai mitra.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan mengingat usaha peternakan mampu menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi rakyat. Usaha peternakan juga mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi usaha peternakan skala besar, yang pada gilirannya berdampak pada penyediaan pangan produk ternak.

Komoditas peternakan utama penghasil daging adalah sapi, kambing, domba, babi dan ayam broiler. Kelima komoditas tersebut menyumbang 95 persen dari total produksi daging. Pada tahun 80-an, penyumbang terbesar produksi daging berasal dari daging sapi dan babi, namun pada tahun 1990-an (1994-1996) posisi tersebut diambil alih oleh produksi daging ayam broiler dengan kontribusi sebesar 38 persen, sedangkan daging sapi, babi dan kambing masing-masing 23,0; 19,0 dan 24,0 persen (Puslitbang

Page 3: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

69

Sosek Pertanian, 2003). Berdasarkan data dari Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 1998-2001, produksi daging terus meningkat. Produksi daging pada tahun 1998, 1999, 2000 dan 2001 berturut-turut sebesar 723, 702, 844 dan 904 ribu ton. Namun impor daging (berupa daging sapi dan daging ayam) juga mengalami peningkatan dari 9 ribu ton pada tahun 1998 menjadi 32 ribu ton pada tahun 2001.

Kinerja produksi pangan produk ternak sebelum krisis ekonomi menunjukkan peningkatan namun dapat dikatakan relatif lambat terutama untuk daging sapi seperti terlihat pada Tabel 1. Laju pertumbuhan produksi daging sapi selama tahun 1993-1997 hanya 2,3 persen per tahun; sedangkan telur sebesar 6,8 persen dan untuk daging ayam sebesar 12,7 persen. Lambatnya penyediaan daging sapi dikarenakan sistem produksi daging sapi di masyarakat dicirikan oleh skala usaha yang kecil dengan hanya 1-3 ekor ternak sapi per rumah tangga. Ternak sapi dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk persiapan lahan dan sebagai tabungan, bukan bertujuan untuk memproduksi daging (Soedjana et al., 2000). Selain itu juga karena terbatasnya kemampuan sistem pembibitan dan manajemen pengelolaan usaha peternakan sapi. Semakin meningkat-nya pemotongan sapi betina juga menjadi penghambat perkembangan populasi ternak sapi di dalam negeri (Deptan, 2004). Tabel 1. Perkembangan Produksi Pangan Produk Ternak, 1993-2003 (000 ton)

Tahun Sapi Kambing+ Domba Babi Ayam

boiler Telur Susu

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*)

346,3 336,5 312,0 347,2 353,7 342,6 308,8 339,9 338,7 330,3 351,8

111,3 99,7 94,3 98,6

107,2 81,7 77,3 78,3 93,5

126,9 134,8

169,3 183,6 177,8 189,5 146,8 134,8 136,8 162,4 160,1 164,5 174,9

422,7 498,5 551,8 605,3 515,3 285,0 293,0 515,0 537,0 751,9 819,6

572,9 688,6 736,8 779,8 765,0 529,8 640,1 783,3 850,0 909,0 948,0

387,5 426,7 433,4 441,2 423,7 375,4 436,0 495,7 480,0 521,0 538,0

Laju (%/th) 1993-1997 1997-1999 2000-2003

2,3

-6,7 2,3

-0,1

-16,4 16,0

0,6

-3,5 5,0

12,7

-30,5 24,3

6,8

-9,7 9,3

3,2 1,4 4,7

Keterangan : *) Angka sementara Sumber : NBM, 1993-1998 dan Statistik Pertanian, 2003

Volume impor ternak sapi bakalan pada periode 1991-1997 menunjukkan

peningkatan sebesar 82,4 persen per tahun, yaitu dari 529,8 ton setara daging tahun 1991 menjadi 87.206,3 ton pada tahun 1997 atau dari 2,309 ekor sapi pada tahun 1991

Page 4: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

70

menjadi 386.560 ekor sapi bakalan pada tahun 1997 (Soedjana et al., 2000). Berbagai program yang dilaksanakan pada industri perunggasan, terutama ternak ayam ras baik petelur maupun pedaging berdampak pada perkembangan populasi dan daging ayam sangat pesat. Perumbuhan produksi daging ayam dan telur melebihi produksi pangan produk ternak yang lain. Kebutuhan telur dapat dipenuhi dari produksi domestik, namun sebagian besar kebutuhan susu diperoleh dari impor. Pada tahun 2001, produksi susu sebesar 505 ribu ton dan susu impor mencapai 1476 ribu ton.

Krisis ekonomi berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi daging, telur dan susu. Seperti terlihat pada Tabel 1, semua produk ternak mengalami penurunan pada periode 1997-1999 yang ditandai dengan laju pertumbuhan bertanda negatif. Bahkan pada ayam broiler, penurunannya mencapai –30,5 persen pada periode tersebut karena industri ayam benar-benar terpuruk, banyak poultry shop yang gulung tikar. Namun seiring dengan pulihnya perekonomian Indonesia, subsektor peternakan mengalami pemulihan yang pesat. Produksi daging, telur dan susu pascakrisis ekonomi sudah menyamai bahkan melebihi keadaan sebelum krisis ekonomi. Walaupun muncul epidemi flu burung pada tahun 2003 namun demikian penyakit tersebut tidak sempat menjalar secara luas karena pemerintah sudah melaksanakan program komprehensif untuk mengendalikan dan memberantas penyakit tersebut. Perikanan di Indonesia sangat beragam karena masing-masing daerah mempunyai jenis ikan dan sumberdaya alam yang spesifik, yang pemanfatannya juga menggunakan cara dan teknologi yang berbeda. Sementara itu produksi ikan menyangkut penangkapan dan pembudidayaan baik di lingkungan laut, air tawar maupun tambak. Dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, bisnis perikanan tidak hanya dilihat dari aspek produksi (penagkapan dan budidaya) saja tetapi juga aspek lain seperti pengolahan ikan. Indonesia sebagai negara maritim, kaya akan berbagai jenis ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan sumber protein hewani.

Berbeda dengan pangan produk ternak, produksi ikan pada waktu krisis ekonomi tetap stabil bahkan cenderung meningkat (Tabel 2). Laju pertumbuhan produksi ikan secara total pada periode 1997-1999 sebesar 8,1 persen per tahun. Kontribusi terbesar untuk ikan berasal dari hasil penangkapan di laut. Berdasarkan data Statistik Perikanan, produksi ikan dari laut pada tahun 2000 mencapai 92,6 persen dari total produksi ikan. Produksi ikan laut sebenarnya masih dapat ditingkatkan namun karena kegiatan perikanan laut didominasi oleh usaha perikanan dengan skala usaha dan modal yang kecil serta teknologi rendah, sehingga kemampuan yang dimiliki juga relatif rendah. Menurut Dahuri (2003) armada perikanan nasional yang memiliki kemampuan besar hanya 21,6 persen, padahal sumberdaya perikanan Indonesia di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) belum dimanfaatkan secara optimal.

Sebagian besar dari produksi ikan laut berupa ikan tuna/cakalang atau tongkol, yang pada tahun 2001 sebesar 29,9 persen. Perkembangan produksi ikan tuna paling tinggi mencapai 14,8 persen pada waktu krisis ekonomi. Ikan tuna adalah salah satu jenis ikan yang orientasinya untuk ekspor. Seiring dengan devaluasi nilai tukar rupiah,

Page 5: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

71

maka harga ikan untuk ekspor juga meningkat. Hal ini merupakan dampak positif dengan adanya krisis ekonomi. Ekspor ikan tuna pada tahun 1998 mencapai 104,3 ribu ton tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya (Tabel 3). Indonesia selain melakukan ekspor ikan dan udang juga mengimpor ikan dalam bentuk kalengan dan ikan segar/beku. Impor ikan mengalami penurunan pada waktu krisis ekonomi, namun impor ikan segar/beku pada tahun 2000 mencapai 23.682 ton (impor tahun 1999 sebesar 4.423 ton). Secara keseluruhan neraca ekspor-impor ikan masih menunjukkan net ekspor.

Perkembangan produksi ikan hasil budidaya relatif konstan bahkan pada waktu krisis ekonomi untuk ikan mas mengalami penurunan sebesar 9,0 persen per tahun (Tabel 2). Namun seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, justru perkembangan produksi ikan mas sangat pesat mencapai 29,0 persen per tahun pada periode 2000-2001. Produksi ikan mas pada tahun 2000 sebesar 209 ribu ton menjadi 209 ribu ton pada tahun 2001. Tabel 2. Perkembangan Produksi Ikan dan Udang , Tahun 1997-2001(000 ton)

Jenis Ikan 1997 1998 1999 2000 2001 Laju (%/th) 1997-1999

Laju (%/th) 2000-2001

Total Ikan -Tuna/cakalang/ tongkol - Kembung - Tenggiri - Mas - Mujair Total Udang -Udang

1708 516

201

97 153

63

517 394

1816 632

205

98 117

59

455 357

2005 698

226 108 129

63

460 394

1920 650

207 110 156

64

528 409

2036 669

212 115 209

75

578 441

8,1 14,8

5,9 5,4

-9,0 0,00

-6,0 0,00

5,9 2,9

2,4 4,4

29,0 15,8

9,0 7,5

Sumber : NBM, berbagai tahun (Diolah) Tabel 3. Perkembangan Impor dan Ekspor Ikan, Tahun 1997-2001 (ton)

Tahun Impor Ekspor

Ikan dalam Kaleng

Ikan Segar/ Beku Udang Tuna/cakalang/

tongkol Ikan lainnya

1997 1998 1999 2000 2001

735 1046

354 914 976

11876 4425 4423

23682 12657

93043 142689 109650 116188 128830

82868 104330

90581 92958 84205

332010 330288 354501 216339 169583

Sumber : Statistik Impor/Ekspor, DKP, 2003

Page 6: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

72

Ketersediaan Pangan Hewani Data ketersediaan pangan hewani diperoleh dari data NBM dan data tersebut

merupakan data pangan yang tersedia untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat, bukan data konsumsi riil masyarakat. Berbagai kebijakan peningkatan produksi pangan produk ternak yang dilakukan oleh pemerintah telah berdampak positif terhadap ketersediaan pangan domestik. Ketersediaan daging, telur dan susu terus meningkat dari tahun ke tahun seperti terlihat pada Tabel 4. Ketersediaan daging selama lima tahun terakhir (1999-2003) meningkat dari 4,1 kg/kapita tahun 1999 menjadi 6,1 kg/ kapita pada tahun 2003 dengan laju peningkatan sebesar 8,7 persen per tahun. Bahkan pada komoditas telur peningkatan pertumbuhan mencapai 11,3 persen per tahun.

Sementara itu jenis ikan yang dihasilkan dari laut maupun budidaya sangat banyak. Dari data Statistik Perikanan Tangkap bahwa jumlah jenis ikan dari laut sebanyak 45 jenis, sedangkan dari perairan umum sebanyak 16 jenis. Hal tersebut berpengaruh pada data ketersediaan ikan yang mencapai sekitar 20 kg/kap/tahun (Tabel 4). Tabel 4. Perkembangan Ketersediaan Pangan Hewani, Tahun 1999-2003 (kg/kap/th)

Tahun Daging Telur Susu Ikan1) 1999 2000 2001 2002 2003*)

4,1 5,2 5,3 5,8 6,1

2,7 3,5 3,4 4,0 4,5

5,1 6,5 5,8 7,1 7,3

20,7 21,3 21,0

Laju (%/th) 8,7 11,3 7,9 0,7 * ) Angka sementara; Sumber : Statistik Pertanian, 2003; 1) Sumber : NBM, 1999-2001 Sementara itu keragaan perkembangan ketersediaan per jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 5. Di antara kelompok daging, kontribusi terbesar berasal dari daging ayam dan daging sapi. Ketersediaan daging ayam sekitar 2,0 kg per kapita lebih tinggi daripada ketersediaan daging sapi yang hanya sekitar 1,0 kg per kapita. Demikian pula dengan kelompok telur, ketersediaan telur ayam terutama ayam ras sangat dominan. Walaupun orientasi produksi jenis ikan tuna/cakalang/tongkol untuk ekspor namun ketersediaan jenis ini untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia juga masih dominan. Ketersediaan ikan tuna sekitar 2,0 kg per kapita lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan yang lain baik dari laut maupun budidaya. Pengembangan teknologi perikanan budidaya yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah masih perlu terus ditingkatkan. Usaha ini selain untuk meningkatkan ketersediaan ikan domestik juga sebagai usaha penyerapan tenaga kerja.

Page 7: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

73

Berdasarkan hasil Widayakarya Nasional pangan dan Gizi (WNPG) VII tahun 1998, standar anjuran ketersediaan protein adalah 55 gram per kapita per hari. Mengacu hal tersebut, ketersediaan protein di Indonesia sudah melebihi dari standar, bahkan pernah mencapai 150 persen (Tabel 5). Tabel 5. Perkembangan Ketersediaan Beberapa Jenis Pangan Hewani dan Protein Hewani,

1997-2001

Uraian 1997 1998 1999 2000 2001 Jenis Pangan (kg/kap/th) -Daging Sapi -Daging Ayam -Telur Ayam -Ikan Tuna -Ikan Kembung -Ikan Tenggiri -Ikan Mas -Ikan Mujair -Udang

1,2 2,2 3,6 1,8 0,9 0,4 0,7 0,3 1,0

1,1 1,5 1,7 2,1 0,9 0,4 0,5 0,3 0,5

1,0 1,5 2,3 2,4 0,9 0,5 0,5 0,3 0,9

1,1 2,0 2,9 2,2 0,9 0,5 0,6 0,3 0,9

1,1 2,2 2,8 2,3 0,9 0,5 0,9 0,3 0,9

Protein (gram/kap/hr) -Nabati+Hewani1) -Protein Hewani Sumber Protein -Daging -Telur -Susu -Ikan

66,8 (121,5) 11,0 2,6 1,1 0,5 6,9

72,0 (130,9) 9,6 2,0 0,7 0,4 6,5

83,4 (151,6) 10,5 1,9 0,8 0,5 7,3

81,7 (148,5) 11,6 2,4 1,1 0,6 7,5

76,0 (138,2) 11,9 2,5 1,1 0,5 7,8

Keterangan: 1) angka dalam ( ) menunjukkan % terhadap angka kecukupan protein (55 gr/kap/hr)

Namun demikian, ketersediaan protein masih didominasi dari pangan sumber

protein nabati, hanya sekitar 15 persen yang berasal dari protein hewani seperti terlihat pada Tabel 5. Dari jumlah tersebut, kontribusi protein hewani tertinggi berasal dari ikan mecapai lebih dari 50 persen. Data tahun 2002 dan 2003 memperlihatkan bahwa ketersediaan protein hewani masing-masing sebesar 12,5 gram dan 13,3 gram lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merupakan respons positif dari pemulihan perekonomian di Indonesia.

Page 8: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

74

SITUASI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN HEWANI Pengeluaran Pangan Hewani Struktur pengeluaran menurut kelompok pangan atau komoditas memberikan informasi yang lebih komprehensif tentang deskripsi alokasi anggaran dan kesejahteraan masyarakat. Di samping merefleksikan tingkat kesejahteraan (dengan pertimbangan faktor tingkat pendapatan), pilihan pangan juga diwarnai oleh pertimbangan faktor sosial budaya seperti pendidikan, pemahaman tentang masalah gizi dan kesehatan, dan adat istiadat setempat. Faktor sosial ini akan memberikan apresiasi yang berbeda terhadap kelompok komoditas tertentu seperti juga pangan hewani. Pemahaman ini sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan strategis dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui promosi konsumsi pangan hewani.

Pangsa pengeluaran pangan pada tahun 2002 sebesar 58,5 persen lebih baik daripada tahun 1999 (62,9 %). Keadaan ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat berangsur-angsur menunjukkan perbaikan. Secara nasional, kelompok padi-padian mendapatkan alokasi anggaran terbesar, disusul oleh kelompok makanan/minuman jadi, kelompok sayuran, tembakau/sirih, ikan, telur dan susu, daging, buah-buahan, dan terakhir adalah kelompok pangan umbi-umbian (Tabel 6). Proporsi alokasi pangan nampak mengalami perubahan menurut waktu. Pada waktu krisis ekonomi, terjadi subsitusi diantara pangan pokok dan pangan sumber protein. Konsumsi ubikayu dan jagung meningkat sedangkan konsumsi beras cenderung menurun. Demikian pula konsumsi tahu dan tempe meningkat dan konsumsi pangan hewani mengalami penurunan. Tabel 6. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan , 1999-2002

Kelompok Pangan Kota Desa Kota+Desa 1999 2002 1999 2002 1999 2002

1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Ikan 4. Daging 5. Telur + susu 6. Sayur 7. Kacang-kacangan 8. Buah-buahan 9. Mak+min jadi 10.Tembakau/ sirih 11.Lainnya

21,0 0,4 8,6 4,8 5,9 9,4 3,8 3,6

20,2 7,9

14,4

16,4 0,9 8,5 6,3 6,8 7,6 3,3 5,4

21,2 10,7 10,9

31,5 1,5 9,1 2,6 3,5

10,3 3,6 3,0

10,6 8,9

15,4

27,0 1,4 9,2 3,3 4,2 8,6 3,6 4,2

11,4 12,7 14,4

26,7 1,2 8,9 3,6 4,6 9,9 3,7 3,3

15,1 8,5

14,5

21,3 1,1 8,8 4,9 5,6 8,1 3,4 4,9

16,6 11,6 13,6

Sumber: Susenas, BPS, Jakarta (diolah). Namun krisis ekonomi nampaknya tidak berpengaruh terhadap pengeluaran

untuk ikan, bahkan sedikit terjadi peningkatan, yaitu dari 8,8 persen tahun 1996 menjadi

Page 9: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

75

9,1 persen di pedesaan pada tahun 1999, dan dari 8,4 persen menjadi 8,6 persen bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Dengan pulihnya perekonomian Indonesia, pangsa pengeluaran untuk pangan hewani meningkat kembali, bahkan pangsa protein hewani pada tahun 2002 lebih besar daripada tahun 1999 baik di kota maupun di desa. Perkembangan pangsa pengeluaran produk peternakan dan ikan di masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1 dan 2.

Informasi pangsa pengeluaran pangan ternak dan ikan menurut kelompok pendapatan merupakan instrumen strategis dalam perumusan kebijakan pangan. Masyarakat atau penduduk (dengan kelompok pendapatan tertentu) merupakan sasaran dari pembangunan, dan instrumen pendapatan (diproksi dari pengeluaran) merupakan langkah strategis dalam memacu konsumsi pangan hewani dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Pangsa pengeluaran pangan produk peternakan mengalami peningkatan secara konsisten sejalan dengan peningkatan pendapatan. Demikian pula pangsa pengeluaran ikan walaupun dengan laju yang lebih rendah daripada pangan produk ternak (Tabel 7).

Masyarakat berpendapatan rendah cenderung memberikan prioritas pada komoditas ikan dalam pemenuhan pangan hewani. Dengan semakin meningkat pendapatannya terjadi pergeseran preferensi dengan memberi prioritas yang lebih besar pada produk pangan ternak berupa daging, telur dan susu. Implikasinya adalah dalam memacu konsumsi ikan, instrumen peningkatan pendapatan tidak cukup tetapi juga harus dilakukan perbaikan kualitas ikan melalui teknik pengolahan ikan (pengembangan produk) dan promosi yang lebih intensif tentang peran ikan terhadap kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia. Faktor distribusi, ketersediaan dan diversifikasi produk yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas juga memegang peranan penting. Tabel 7. Pangsa Pengeluaran Pangan Produk Ternak dan Ikan Menurut Kelompok Pendapatan,

2002 (%)

Kelompok Pendapatan (Rp/kap/bln)

Kota+Desa Kota Desa Ternak Ikan Ternak Ikan Ternak Ikan

< 40.000 1,2 11,6 - - 1,2 11,6 40.000 - 59.999 2,1 7,4 1,6 4,2 2,2 7,6 60.000 - 79.999 3,4 7,6 4,4 5,4 3,2 7,9 80.000 - 99.999 4,4 7,6 5,2 6,4 4,2 7,9 100.000 - 149.999 6,3 8,6 7,8 8,0 5,7 8,8 150.000 - 199.999 8,8 9,3 10,0 8,8 7,8 9,7 200.000 - 299.999 11,7 9,3 12,8 9,0 10,0 9,9 300.000 - 499.999 14,7 9,0 15,1 8,7 13,0 10,1 > 500.000 17,1 8,1 17,4 7,9 14,1 9,3 Sumber: Susenas, BPS, Jakarta.

Page 10: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

76

Konsumsi Protein Hewani Konsumsi protein juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara integratif. Pada periode 1999-2003, konsumsi protein nasional menunjukkan peningkatan, dari 48,6 gram /kap/hari pada tahun 1999 menjadi 54,4 gram dan 55,4 gram pada tahun 2002 dan 2003. Bahkan pada tahun 2003 sudah melebihi konsumsi pada waktu sebelum krisis ekonomi (54,5 gram/kap/hr). Peningkatan konsumsi protein juga terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya menurut wilayah tetapi juga kelompok pendapatan (Tabel 8). Konsumsi protein hewani juga menunjukkan peningkatan wallaupun pangsa terhadap total protein masih rendah sekitar 25 persen.

Walaupun tingkat konsumsi protein masih lebih rendah daripada ketersediannya (lihat Tabel 5) , namun tingkat konsumsi tersebut sudah melebihi dari norma yang dianjurkan. Dalam WNPG VII (1998), ditetapkan angka anjuran konsumsi protein sebesar 48 gram/kap/hari, sedangkan konsumsi riil sudah sekitar 49 gram walaupun keadaan masih krisis ekonomi (tahun 1999). Memang terjadi perdebatan di kalangan para pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi mengenai standar kecukupan protein. Di duga standar anjuran terlalu rendah, karena kenyataannya belum semua rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan protein terutama pada penduduk miskin. Berkaitan dengan hal tersebut pada WNPG VIII yang dilaksanakan pada tahun 2004 menetapkan angka kecukupan konsumsi protein yaitu 52 gram/kapita/hari. Kalau mengacu standar tersebut, konsumsi protein pada masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin masih perlu ditingkatkan. Tabel 8 .Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Hewani, 1999-2002.

Uraian Total protein (gram/kap/hr) Tkt. kecukupan (%)*) Protein hewani

(gram/kap/hr) 1999 2002 1999 2002 1999 2002

Wilayah - Kota - Desa

Kelompok Pendapatan - Rendah - Sedang - Tinggi

49,0 48,1

48,0 48,5 48,5

56,0 53,2

44,4 56,5 70,3

102,1 100,2

100,0 101,0 101,0

116,7 110,8

92,5 117,7 146,6

10,5

8,4

8,3 9,7

10,7

16,6 12,2

7,1 12,1 20,3

Keterangan: *) terhadap angka kecukupan protein (48 gr/kap/hr) Sumber: Susenas, BPS, Jakarta (diolah).

Masih rendahnya konsumi protein pada kelompok pendapatan rendah memang

memprihatinkan. Padahal pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Berbagai jenis jaring pengaman

Page 11: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

77

sosial (JPS) telah diprogramkan oleh pemerintah terutama untuk masyarakat miskin. Bagaimana dampak program tersebut terhadap peningkatan kualitas konsumsi penduduk? Irawan dan Romdiati (2000) mengingatkan bahwa pengaruh dari program JPS terhadap membaiknya kesejahteraan penduduk miskin perlu ditelaah dengan hati-hati. Mengingat beberapa program bantuan semata-mata hanya transfer pendapatan yang diterima oleh penduduk miskin melalui keterlibatan mereka dalam program tersebut bukan melalui suatu perbaikan struktural seperti penciptaan lapangan kerja yang produktif dan berjangka panjang. Sehingga peningkatan kesejahteraan mereka hanya bersifat sementara dan kenyataannya peningkatan konsumsi protein hanya terjadi pada masyarakat berpendapatan sedang dan kaya, tidak terjadi pada masyarakat miskin. Tingkat Partisipasi dan Konsumsi Pangan Hewani Tidak semua masyarakat dapat mengkonsumsi pangan produk ternak maupun ikan karena banyak faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi dan konsumsi pangan. Tidak hanya faktor ekonomi (pendapatan) tetapi juga faktor harga, lingkungan (ketersediaan) dan sosial budaya. Bahkan beberapa kasus menunjukkan tidak ada rasionalisasi dalam pemilihan pangan, sehingga unsur selera atau gengsi lebih dominan dalam penentuan atau pemilihan jenis pangan atau jenis olahan pangan.

Ikan telah dikenal di mana-mana namun tampaknya belum semua masyarakat mengkonsumsi ikan baik ikan segar maupun ikan olahan. Masih sekitar 20-30 persen masyarakat yang tidak mengkonsumsi ikan segar dan sekitar 50 persen masyarakat yang tidak mengkonsumsi ikan olahan seperti terlihat pada Tabel 9. Ikan termasuk salah satu jenis pangan yang cepat memerlukan penanganan karena cepat rusak Hal ini juga akan berpengaruh pada preferensi konsumsi ikan. Seperti terlihat pada Tabel Lampiran 3, tingkat partisipasi konsumsi ikan segar tinggi pada provinsi yang merupakan sentra produksi ikan. Tingkat partisipasi konsumsi ikan segar di Jawa hanya setengahnya di Luar Jawa karena wilayah Jawa bukan merupakan sentra produksi ikan terutama ikan laut. Oleh karena itu upaya peningkatan konsumsi ikan segar dapat dilakukan dengan memperpanjang jangkauan pemasaran melalui peningkatan teknologi penyimpanan ikan.

Walaupun kondisi ekonomi masyarakat relatif membaik pada tahun 2002, namun respons terhadap perbaikan partisipasi konsumsi ikan segar belum nampak. Pertanyaannya apakah kondisi ini disebabkan oleh kurang tersediannya ikan segar di pasaran karena banyak yang diekspor sehingga harga ikan menjadi mahal atau telah terjadi perubahan preferensi jenis pangan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan kajian khusus terutama terkait pergeseran konsumsi. Karena keadaan ini terjadi pada semua kelompok masyarakat termasuk pada orang kaya.

Tingkat partisipasi konsumsi ikan segar pada masyarakat berpendapatan tinggi pada tahun 1999 sebesar 86,9 persen menurun menjadi 76,5 persen pada tahun 2002.

Page 12: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

78

Tingkat partisipasi konsumsi ikan olahan masih lebih rendah daripada ikan segar. Namun dengan membaiknya perekonomian, masyarakat telah beralih dari ikan segar ke ikan olahan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan partisipasi ikan olahan pada tahun 2002 dibandingkan pada tahun 1999 kecuali pada kelompok masyarakat kaya. Berbeda pada ikan segar, tampaknya partisipasi konsumsi ikan olahan tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor ketersediaan tetapi juga faktor preferensi. Karena tingkat partisipasi konsumsi ikan olahan tidak linier dengan wilayah sentra produksi ikan seperti terlihat pada Tabel Lampiran 4. Partisipasi konsumsi ikan di Jawa Barat lebih tinggi daripada di wilayah Luar Jawa seperti di Maluku atau di Sulawesi. Informasi ini memberikan gambaran penting tentang peta perdagangan ikan olahan yang dinilai strategis dalam upaya peningkatan konsumsi ikan baik ikan segar maupun ikan olahan. Tabel 9. Tingkat Partisipasi Konsumsi Ikan Menurut Wilayah, Kelompok dan Sumber

Pendapatan, 1999-2002 (%)

Uraian Ikan segar Ikan olahan 1999 2002 1999 2002

Wilayah - Kota - Desa Klp. pendapatan - Rendah - Sedang - Tinggi Sumber pendapatan - Pertanian - Industi/perdagangan - Jasa + lainnya

80,0 72,8

66,1 80,3 86,9

72,6 80,0 78,6

73,1 61,8

55,5 70,4 76,5

60,4 70,2 71,3

40,1 50,3

43,7 48,4 46,4

50,9 44,1 42,7

47,9 58,2

59,2 54,5 43,8

58,4 52,1 48,8

Sumber : Susenas, BPS, Tahun 1999 dan 2002 (Diolah) Upaya peningkatan konsumsi ikan memang lebih berat dibandingkan dengan

pangan produk ternak. Masih diperlukan berbagai hal baik yang menyangkut kebijakan pemerintah maupun masyarakat. Untuk komoditas ikan tertentu, harganya lebih mahal daripada pangan produk ternak seperti telur atau daging ayam. Ketersediaan ikan di pasaran juga belum merata, sehingga ikan segar hanya dapat diperoleh pada wilayah tertentu. Belum lagi dari aspek pengolahannya, ikan memang lebih rumit, perlu waktu lebih lama daripada pangan produk ternak.

Karena hal ini, diduga para ibu kurang mensosialisasikan makanan ikan pada anaknya, sehingga preferensi anak terhadap ikan masih rendah. Padahal orang tua tidak memperkenalkan atau membiasakan anak-anaknya untuk mengkonsumsi ikan maka sampai dewasa terbentuklah sikap pola makan non-ikan. Oleh karena itu upaya memberikan pengetahuan yang terus menerus mengenai pentingnya mengkonsumsi

Page 13: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

79

ikan terutama dikaitkan dengan aspek kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia penting untuk dilakukan.

Pola konsumsi pangan produk ternak berbeda dengan pola ikan. Tingkat tingkat partisipasi konsumsi pangan produk ternak masih lebih rendah dibandingkan dengan ikan. Bahkan daging sapi hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil masyarakat yaitu sekitar 10 persen. Diantara pangan produk ternak, daging ayam dan telur lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat, hal ini karena harga telur dan daging ayam relatif dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat dan juga didukung oleh ketersediaan dan distribusi yang cukup baik (Tabel 10). Tabel 10. Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Produk Ternak Menurut Wilayah, Kelompok dan

Sumber Pendapatan, 1999-2002, (%)

Uraian Daging sapi Daging ayam Telur ayam Susu 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002

Wilayah - Kota - Desa Klp. pendapatan - Rendah - Sedang - Tinggi Sumber pendapatan - Pertanian - Industi/perdagangan - Jasa + lainnya

13,7 4,7 4,2 8,6 16,6 3,5 11,4 11,7

15,3 4,1 2,3 7,8 21,6 3,5 12,0 13,2

26,5 12,1 10,7 18,7 31,7 9,7 41,4 23,1

46,0 19,7 15,1 33,2 52,0 17,2 40,5 40,6

65,0 49,4 47,0 59,1 66,9 45,8 62,3 62,7

80,0 68,7 58,8 72,8 78,7 58,8 77,3 75,2

29,2 11,0 9,2 19,6 35,3 8,0 23,4 26,4

36,8 14,1 10,0 23,1 47,0 11,2 31,0 34,5

Sumber : Susenas, BPS (diolah)

Berbeda dengan ikan, dengan pulihnya perekonomian Indonesia tahun 2002, jumlah orang yang mengkonsumsi pangan produk ternak meningkat secara signifikan. Perubahan drastis untuk daging ayam dan telur pada wilayah kota dan kelompok berpendapatan sedang dan tinggi. Selain itu pada masyarakat dengan sumber mata pencaharian di sektor pertanian juga terjadi peningkatan partisipasi konsumsi selama tahun 1999-2002, namun tingkat partisipasinya jauh lebih rendah daripada masyarakat dengan sumber pendapatan dari sektor nonpertanian. Hal ini diduga karena keterba-tasan pendapatan mereka, walaupun sektor pertanian merupakan produsen pangan hewani. Dengan memperhatikan Tabel 9 sampai Tabel 12 diperoleh informasi bahwa walaupun jumlah orang yang mengkonsumsi ikan berkurang pada tahun 2002, namun secara agregat jumlah ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat bertambah, yang ditunjukkan oleh peningkatan tingkat konsumsi ikan pada tahun 2002 (Tabel 11).

Page 14: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

80

Namun demikian, tingkat konsumsi ikan harus terus dipacu karena tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain seperti Jepang yang mencapai sekitar 100 kg/kap/tahun. Padahal Indonesia sebagai negara maritim yang kaya dengan berbagai jenis ikan, jumlah konsumsi ikan masih lebih kecil dari tingkat ketersediaannya yang mencapai sekitar 20 kg/kap/tahun. Demikian pula tingkat konsumsi daging, telur dan susu juga masih dapat ditingkatkan tidak hanya volumenya tetapi juga jumlah orang yang mengkonsumsi. Tabel 11. Tingkat Konsumsi Ikan Menurut Wilayah, Kelompok, dan Sumber Pendapatan, 1999-

2002 (kg/kap/th)

Uraian Ikan segar Ikan olahan 1999 2002 1999 2002

Wilayah - Kota - Desa Klp. pendapatan - Rendah - Sedang - Tinggi Sumber pendapatan - Pertanian - Industi/perdagangan - Jasa + lainnya

14,8 12,2

10,8 13,5 17,8

12,1 12,6 14,7

14,6 12,6

8,1

14,0 20,6

12,5 13,5 14,7

1,5 2,4

2,1 2,0 1,8

2,4 2,0 1,7

1,9 2,9

2,3 2,5 2,4

2,9 2,1 2,1

Sumber : Susenas, BPS, Tahun 1999 dan 2002 (Diolah) Tabel 12. Tingkat Konsumsi Pangan Produk Ternak Menurut Wilayah, Kelompok, dan Sumber

Pendapatan, 1999-2002, (kg/kap/th)

Uraian Daging sapi Daging ayam Telur ayam Susu 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002

Wilayah - Kota - Desa Klp. pendapatan - Rendah - Sedang - Tinggi Sumber pendapatan - Pertanian - Industi/perdagangan - Jasa + lainnya

0,8 0,3

0,2 0,5 1,0

0,2 0,6 0,7

0,9 0,3

0,1 0,4 1,7

0,2 0,7 0,8

2,5 1,2

1,0 1,7 3,3

1,0 2,2 2,2

4,4 1,5

3,8 3,3 7,5

1,7 4,1 4,6

5,0 3,1

2,9 3,5 4,6

2,3 4,0 4,3

6,6 3,9

3,0 5,4 8,5

3,6 5,9 5,2

1,5 2,1

0,4 0,9 1,7

0,3 1,1 1,3

0,4 0,8

0,2 0,6 2,7

0,2 1,1 1,4

Sumber : Susenas, BPS, 1999-2002 (diolah)

Page 15: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

81

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan

Krisis ekonomi berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi daging, telur dan susu, bahkan pada ayam broiler, penurunannya mencapai -30,5 persen. Namun seiring dengan pulihnya perekonomian Indonesia, subsektor peternakan mengalami pemulihan yang pesat. Produksi daging, telur dan susu pasca krisis ekonomi sudah menyamai bahkan melebihi keadaan sebelum krisis ekonomi. Peningkatan pertumbuhan terbesar pada daging ayam (24,3%/th) dan terendah pada daging sapi (2,3%/th).

Produksi ikan pada waktu krisis ekonomi tetap stabil bahkan cenderung meningkat. Laju pertumbuhan produksi ikan pada kurun waktu 1997-1999 sebesar 8,1 persen per tahun dan kontribusi terbesar berasal dari hasil penangkapan di laut terutama ikan tuna/cakalang atau tongkol. Selain mengekspor ikan dan udang, Indonesia juga mengimpor ikan dalam bentuk kalengan dan ikan segar/beku. Impor ikan segar/beku pada tahuin 2000 mencapai 23.682 ton lebih besar daripada tahun 1999 (4.423 ton). Namun secara keseluruhan neraca ekspor-impor ikan masih menunjukkan surplus ekspor.

Ketersediaan pangan produk ternak pascakrisis ekonomi cenderung mening-kat, untuk daging sebesar 8,7 persen dan telur sebesar 11,3 persen per tahun. Kontribusi terbesar untuk daging berupa daging ayam sedangkan untuk telur berupa telur ayam. Demikian pula untuk ikan juga meningkat dan kontribusi terbesar berasal dari ikan tuna. Sementara ketersediaan protein sudah melebihi standar yang dianjurkan (55 gr/kap/hr), namun masih didominasi pangan sumber protein nabati. Dari pangan hewani hanya sekitar 15 persen terutama berasal dari ikan.

Pangsa pengeluaran untuk ikan dan produk ternak juga meningkat, namun masih sekitar 9-11 persen dari total pengeluaran pangan. Demikian pula konsumsi protein sudah melebihi anjuran, walaupun peran pangan hewani hanya sekitar 25 persen. Ikan baik ikan segar maupun ikan olahan belum dikonsumsi oleh semua masyarakat, masih sekitar 20-30 persen dan sekitar 50 persen masyarakat yang tidak mengkonsumsi ikan segar dan ikan olahan. Tingkat partisipasi konsumsi ikan segar tinggi pada wilayah sentra produksi ikan terutama ikan laut. Sebaliknya untuk ikan olahan, partisipasi di Provinsi Jawa Barat lebih tinggi daripada di wilayah Luar Jawa seperti Maluku atau Sulawesi. Dengan pulihnya ekonomi, partisipasi konsumsi ikan segar tidak banyak berubah, sebaliknya untuk pangan produk ternak menunjukkan peningkatan yang signifikan terutama untuk daging ayam dan telur ayam. Walaupun demikian, tingkat konsumsi kedua kelompok pangan tersebut pada tahun 2002 lebih besar daripada waktu krisis ekonomi.

Page 16: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

82

Implikasi Kebijakan Pangan hewani memegang peranan strategis dalam pencapaian sasaran

pembangunan ketahanan pangan, kesehatan masyarakat dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Permasalahannya adalah tingkat produksi dan konsumsi pangan hewani masih rendah dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh karena itu untuk mendorong pencapaian sasaran pembangunan ketahanan tangan diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan konsumsi pangan hewani. Beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan adalah : (1) peningkatan produksi pangan hewani dengan tingkat daya saing yang tinggi melalui perbaikan struktur produksi dan pasar sehingga tercipta pasar yang kompetitif, pengembangan usaha ternak rakyat yang menyebar, dan peningkatan penggunaan armada penangkapan dengan teknologi tinggi, (2) peningkatan aksesibilitas fisik masyarakat melalui jaminan pasokan dan distribusi yang efisien; (3) kebijakan perdagangan dan pemasaran serta perbaikan infrastruktur yang mampu menjamin harga yang kompetitif, stabil, menguntungkan produsen dan terjangkau oleh konsumen; (4) perbaikan aksesibilitas ekonomi (pendapatan) masyarakat melalui perbaikan tingkat dan distribusi pendapatan khususnya masyarakat berpendapatan rendah dan masyarakat di pedesaan dengan matapencaharian utama di sektor Pertanian. Penciptaan lapangan kerja baik di sektor pertanian maupun nonpertanian mutlak diperlukan; (5) pengembangan produk olahan pangan hewani yang mampu memberikan nilai tambah, memperluas pasokan pasar, memperbaiki respons permintaan terhadap perbaikan pendapatan, memperbaiki stabilitas harga dan nilai tukar nelayan; dan (6) promosi dan sosialisasi dalam rangka peningkatan sadar gizi dan pentingnya peran pangan hewani melalui berbagai jalur sehingga tingkat partisipasi dan konsumsinya dapat ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru

Besar Tetap, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Departemen Pertanian. 2004. Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2000-2003. Jakarta. Fagi, A.M. dan P. Simatupang. 1998. Economic Induced Food Crisis : Indonesian Experience.

Mimeo. Irawan, P.B. 2004. Peranan Pembangunan Manusia dalam Mendukung Pemantapan Ketahanan

Pangan di Indonesia, 17-19 Mei. Jakarta. LIPI. 2004. Ringkasan Hasil dan Rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 17-19

Mei, Jakarta. Muhilal, F.Jalal dan Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. WNPG VI. LIPI..

Jakarta Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan. 2004. Situasi dan Keragaman Konsumsi Pangan

Penduduk. Badan Bimas Ketahanan Pangan. Jakarta.

Page 17: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

83

Puslitbang Sosek Pertanian. 2003. Penyusunan Rancangan Pembangunan Pertanian Jangka Panjang (2005-2020). Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.

Rusastra, I W., B. Rachman, N. Syafa’at, T. Pranadji, dan M. Rachmat. 2002. Perspektif Pembangunan Pertanian Tahun 2000-2004. Monograph Series No. 21. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.

Soedjana,T.D, B.Tangendjaya dan I.Sumarno. 2000. Reorientasi Kebijakan Pembangunan Peternakan Pasca Krisis Ekonomi. WNPG. VII. 29 Februari-2 Maret.. Jakarta

Page 18: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

84

Tabel Lampian 1. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Pangan Produk Ternak Menurut Provinsi dan Wilayah, 1996-2002 (%)

Provinsi Kota+Desa Kota Desa 1996 1999 2002 1996 1999 2002 1996 1999 2002

NAD 8,2 6,9 - 10,0 7,6 - 5,8 5,3 - Sumut 10,9 7,1 8,7 13,1 8,8 10,4 8,7 5,5 7,1 Sumbar 10,3 8,4 10,6 13,0 10,4 13,1 9,2 7,4 9,3 Riau 10,9 9,0 11,3 14,4 11,6 13,1 8,5 7,2 9,2 Jambi 8,8 7,7 8,9 13,1 11,2 13,0 7,0 5,9 6,7 Sumsel 10,7 8,4 9,6 15,1 12,0 13,6 8,3 6,5 6,5 Bengkulu 10,4 7,3 8,6 15,6 12,2 12,6 8,3 4,8 6,3 Lampung 9,6 7,1 8,1 12,3 10,4 12,1 9,0 6,1 6,6 DKI 16,8 11,8 14,2 16,8 11,8 14,2 - - - Jabar 12,3 8,9 11,4 15,0 11,6 13,9 9,6 6,1 7,7 Jateng 10,2 7,6 9,6 13,3 9,7 11,7 8,3 6,2 7,5 DIY 13,4 10,4 13,6 14,9 11,1 14,4 11,4 8,7 11,7 Jatim 10,0 7,6 10,0 13,5 9,7 5,9 7,6 6,1 7,4 Bali 12,0 10,1 13,9 13,5 12,3 15,0 10,9 8,3 12,3 NTB 8,7 6,4 8,6 13,2 10,3 10,6 7,3 5,1 7,2 NTT 10,7 7,2 9,3 16,0 10,1 14,4 9,3 6,6 7,8 Kalbar 11,7 9,0 11,8 16,6 14,2 16,1 9,6 6,7 9,7 Kalteng 12,2 8,8 10,7 15,6 13,5 13,6 10,7 6,6 9,4 Kalsel 9,5 6,8 9,5 12,8 9,4 11,6 7,7 5,2 7,8 Kaltim 12,5 10,7 11,6 14,1 12,6 13,3 10,3 8,2 8,6 Sulut 10,7 6,6 9,6 13,6 8,0 11,1 9,0 5,9 8,4 Sulteng 9,6 7,2 7,8 11,8 9,4 10,2 8,9 6,3 7,0 Sulsel 8,2 6,9 12,4 10,0 8,5 9,8 7,2 6,1 6,2 Sultra 8,0 4,7 5,6 12,6 7,8 9,1 6,0 3,3 4,4 Maluku 6,0 4,6 - 9,5 5,7 - 4,3 4,1 - Papua 15,5 14,3 - 16,5 12,2 - 12,9 7,8 - Indonesia 11,2 8,3 10,5 14,4 10,7 13,1 8,6 6,2 7,6 Sumber: Susenas, BPS, Jakarta (diolah).

Page 19: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

85

Tabel Lampiran 2 . Perkembangan Pangsa Pengeluaran Ikan Menurut Provinsi dan Wilayah, 1996-2002 (%)

Provinsi Kota+Desa Kota Desa

1996 1999 2002 1996 1999 2002 1996 1999 2002 NAD - - - - - - - - - Sumut 12,8 14,8 14,5 12,8 15,1 14,9 12,6 14,3 14,1 Sumbar 9,0 9,5 9,9 8,2 9,2 9,6 9,3 9,6 10,1 Riau 14,0 15,8 13,4 12,7 15,9 12,8 14,9 15,8 14,0 Jambi 11,8 11,9 11,7 11,2 12,4 13,6 12,0 11,6 10,6 Sumsel 10,4 10,1 10,0 10,2 9,4 10,1 10,5 10,5 10,0 Bengkulu 9,9 9,9 9,7 10,6 10,2 12,0 9,6 9,8 8,4 Lampung 7,0 6,7 7,5 8,0 7,5 7,8 6,7 6,5 7,3 DKI 8,3 7,5 7,4 8,3 7,5 7,4 - - - Jabar 7,6 7,3 7,2 7,4 7,1 7,4 7,9 7,5 7,1 Jateng 4,1 4,2 4,4 4,4 4,3 4,8 3,9 4,1 4,0 DIY 2,3 2,3 2,9 2,8 2,5 3,3 1,7 1,8 2,1 Jatim 5,4 5,7 6,5 5,5 5,9 3,0 5,4 5,6 6,6 Bali 6,1 6,5 5,9 5,8 6,3 5,7 6,2 6,7 6,2 NTB 8,0 7,6 8,5 16,2 7,7 7,7 8,1 7,5 9,1 NTT 7,1 6,3 8,0 10,2 9,9 10,9 6,3 5,5 7,2 Kalbar 12,3 12,0 13,3 12,2 12,7 13,4 12,3 11,7 13,3 Kalteng 16,7 14,5 15,1 15,4 13,5 13,5 17,2 15,0 15,8 Kalsel 17,2 16,2 15,2 15,1 16,6 14,4 18,4 16,0 15,9 Kaltim 12,2 11,7 12,3 12,3 11,8 11,9 11,9 11,6 13,1 Sulut 14,1 15,1 15,9 14,6 16,8 17,9 13,9 14,1 14,3 Sulteng 13,7 12,9 13,4 15,1 15,1 15,6 13,1 11,9 12,6 Sulsel 15,9 17,8 17,8 15,3 16,9 17,9 16,3 18,2 17,8 Sultra 14,9 18,8 18,5 15,1 19,4 19,0 14,9 18,5 18,3 Maluku 15,5 14,5 - 14,3 16,3 - 16,0 14,3 - Papua 11,5 11,8 - 12,5 12,0 - 10,8 11,6 - Indonesia 8,6 8,9 10,8 8,4 8,6 11,1 8,8 9,1 10,8 Sumber : Susenas, BPS, Jakarta (diolah).

Page 20: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

86

Tabel Lampiran 3. Perkembangan Tingkat Partisipasi Konsumsi Ikan Segar Menurut Provinsi dan Wilayah, 1996-2002 (%)

Provinsi Kota Desa

1996 1999 2002 1996 1999 2002 NAD 97,51 89,05 88,87 97,01 94,62 94,35 Sumut 95,56 88,95 93,02 78,39 76,51 80,78 Sumbar 87,61 80,59 87,15 86,20 82,66 83,48 Riau 93,01 94,80 92,86 91,83 90,18 88,18 Jambi 89,82 88,19 87,79 78,32 76,83 71,90 Sumsel 88,62 80,81 93,73 76,88 77,58 71,83 Bengkulu 91,56 87,32 90,23 76,69 73,80 76,49 Lampung 80,34 82,04 86,87 58,45 54,93 84,79 DKI Jakarta 87,79 83,10 85,41 - - - Jawa Barat 69,36 57,19 69,06 60,47 45,93 53,55 Jawa Tengah 46,21 43,71 50,20 30,09 32,54 32,49 DI Yogyakarta 31,46 19,22 31,50 13,12 15,73 21,31 Jawa Timur 61,51 59,11 68,48 42,43 44,42 49,98 Bali 65,85 37,76 61,32 52,77 42,68 52,41 Nusa Tenggara Barat 75,41 68,92 74,26 72,66 67,84 73,94 Nusa Tenggara Timur 83,05 81,30 89,67 43,45 42,36 55,35 Kalimantan Barat 89,87 91,00 91,85 77,00 81,06 84,38 Kalimantan Tengah 95,08 94,42 97,09 91,67 90,81 94,80 Kalimantan Selatan 96,98 95,08 95,71 97,22 95,31 96,69 Kalimantan Timur 96,49 92,04 92,38 81,89 84,48 90,93 Sulawesi Utara 92,87 90,41 89,32 93,36 97,65 95,47 Sulawesi Tengah 97,09 92,52 95,08 94,55 92,21 95,87 Sulawesi Selatan 96,13 96,82 95,04 93,43 91,87 94,04 Sulawesi Tenggara 98,99 97,56 97,92 94,28 95,34 95,29 Maluku 99,37 97,15 98,04 97,42 96,90 94,58 Papua 97,75 91,67 91,72 61,63 76,36 77,78 Indonesia 84,90 80,03 73,11 73,65 72,82 61,78 Sumber: Susenas, BPS, Jakarta (diolah).

Page 21: USAHA PENINGKATAN KUALITAS DAN RENDEMEN BERAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-6.pdf · tahun 1999 menjadi 0,682 ... sedangkan Vietnam, Philipine,

87

Tabel Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Partisipasi Konsumsi Ikan Olahan Menurut Provinsi dan Wilayah, 1996-2002 (%)

Provinsi Kota Desa

1996 1999 2002 1996 1999 2002 NAD 37,21 33,89 35,07 58,05 58,28 57,00 Sumut 61,40 68,74 60,97 80,93 79,65 76,94 Sumbar 68,28 64,95 62,85 81,62 67,74 68,55 Riau 66,85 63,73 59,30 68,56 72,98 69,95 Jambi 57,23 60,49 63,95 78,64 77,46 77,52 Sumsel 63,16 51,96 53,05 68,18 53,88 58,49 Bengkulu 52,26 51,31 69,71 48,61 52,20 46,58 Lampung 39,19 38,61 38,70 57,73 53,83 44,98 DKI Jakarta 41,27 43,39 38,31 - - - Jawa Barat 64,74 66,16 65,48 77,06 80,41 76,08 Jawa Tengah 38,09 38,48 42,41 51,71 52,89 54,05 DI Yogyakarta 22,75 14,99 13,87 29,16 21,36 19,76 Jawa Timur 39,72 42,65 42,26 58,60 25,12 55,96 Bali 46,45 25,39 45,79 64,20 50,44 58,20 Nusa Tenggara Barat 53,57 31,66 50,24 50,85 42,47 47,31 Nusa Tenggara Timur 19,67 18,90 22,87 37,36 27,68 29,67 Kalimantan Barat 74,57 70,80 80,96 70,33 63,87 60,88 Kalimantan Tengah 47,95 56,61 47,52 55,61 57,74 52,60 Kalimantan Selatan 51,22 48,80 51,84 59,96 62,79 65,23 Kalimantan Timur 48,76 34,08 30,49 51,39 45,42 51,92 Sulawesi Utara 21,38 15,14 14,84 35,66 13,34 26,57 Sulawesi Tengah 28,90 25,57 26,10 39,69 26,37 20,42 Sulawesi Selatan 32,95 37,43 29,01 50,44 53,60 51,41 Sulawesi Tenggara 19,23 13,03 13,74 29,25 28,29 17,21 Maluku 17,47 22,36 20,26 10,50 18,27 25,90 Papua 14,75 3,95 3,22 13,02 9,09 9,26 Indonesia 43,42 40,12 47,90 53,08 50,25 58,23 Sumber: Susenas, BPS, Jakarta (diolah).