upaya kesehatan dan keselamatan kerja (k3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya...
DESCRIPTION
Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang, hal ini dinyatakan dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan. Rumah Sakit (RS) termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan.1 Potensi bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, faktor kimia, faktor ergonomi, faktor fisik, faktor psikososial dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.2TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua
tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan,
mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang, hal ini
dinyatakan dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan.
Rumah Sakit (RS) termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan.1 Potensi bahaya di rumah sakit
yang disebabkan oleh faktor biologi, faktor kimia, faktor ergonomi, faktor fisik,
faktor psikososial dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi
pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.2
Pekerja Rumah Sakit mempunyai risiko lebih tinggi dibanding pekerja indutri
lain untuk terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja
(KAK).2 Berdasarkan data dari Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja pemerintah AS,
terjadi hampir sebanyak 90.000 kasus cedera Work-Related Musculoskeletal Disorder
(WMSD) yang menyebabkan terbuangnya waktu kerja di sektor kesehatan. Selain itu,
lebih dari 15% dari gangguan WMSD yang ada di industri swasta terjadi pada sektor
pelayanan kesehatan, sebagian besar di rumah sakit.3 Menurut Kepmenkes tahun
2010 di luar negeri tercatat 41% perawat Rumah Sakit mengalami cedera tulang
belakang akibat kerja (occupational low back pain).2 Prevalensi Low Back Pain
(LBP) pada perawat di Australia 42%, di rumah sakit geriatri di Swedia 47%, di
Inggris 43,1%, di Indonesia pada penelitian yang dilakukan oleh kurniawidjaja dkk
tahun 2014 di tiga rumah sakit jakarta prevalensi LBP pada perawat, yang paling
tinggi ditemukan pada perawat di UGD RSUD Tarakan (61,1%), kemudian di Ruang
Rawat Tahanan Rumah Sakit Bhayangkara (31,8%), sedangkan di UGD RSS lebih
rendah (6,25%).4 Gaya berat yang ditanggung pekerja instalasi bedah sentral di
RSUD di Jakarta tahun 2006 rata-rata lebih dari 20 kg. Keluhan subyektif LBP
didapat pada 83,3% pekerja. Penderita terbanyak usia 30-49 (63,3%).2
Perawat adalah profesi dengan pekerjaan berisiko tinggi LBP, karena aktivitas
perawat berhubungan dengan peningkatan risiko pada gangguan tulang belakang
terutama aktivitas angkat-angkut atau mobilisasi pasien, dan juga pekerjaan dengan
postur yang membungkuk.4 Global Health Research Program tahun 2013 yang
dilaksanakan oleh The University of British Columbia Canada; mereka merangkum
89 penelitian yang dipublikasi tahun 1980–2012 menunjukkan aktivitas perawat
berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan tulang belakang, terutama aktivitas
angkat-angkut atau mobilisasi pasien. Hubungan ini memenuhi postulat Hill yaitu
estimasi risiko LBP 1,2–5,5 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi
umum.5
Keluhan tentang gangguan musculoskeletal disorders seperti LBP, juga menjadi
fenomena di lingkungan pelayanan ambulans gawat darurat sehingga akhirnya
menyebabkan tingginya dana kompensasi pekerja yang mesti dikeluarkan. Selain itu,
gangguan muskuloskeletal juga menjadi penyebab utama tingkat kerugian di
lingkungan ini, baik dari segi produktivitas dan juga waktu.3 OSHA menaksir biaya
total untuk perekonomian dari gangguan semacam ini di sektor kesehatan adalah
sebesar $5,8 juta tiap tahunnya.3