unud-202-babii

26
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-undang nomor 32 tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor 32 tahun 2004, adalah : 1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah; 10

Upload: agus-kurniawan

Post on 30-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAHDALAM MEMBIAYAI PENGELUARAN DAERAHDI KABUPATEN KLUNGKUNG

TRANSCRIPT

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Otonomi Daerah

    Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri

    dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah

    menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-undang nomor 32

    tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk

    mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

    sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas

    desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

    Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan

    dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung

    oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

    Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan

    menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan

    keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat

    otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu

    sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor

    32 tahun 2004, adalah :

    1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

    demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;

    10

  • 2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

    bertanggungjawab;

    3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah

    Kabupaten/Kota;

    4) pelaksanaannya otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara;

    5) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom;

    6) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif;

    7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi;

    8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga

    dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya.

    Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah Undang undang

    Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti

    dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset).

    1) Personalia, Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai

    daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan

    kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut

    tidak terhambat pelaksanaanya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber

    daya manusia.

    2) Pembiayaan,

    Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004

    tentang perimbangan keuangan dimaksudkan untuk mendukung

    terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yan

    diberikan. Adapun yang menjadi kompenen dari dana perimbangan yang

    11

  • diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana

    Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).

    3) Prasarana dan sarana (aset).

    Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka

    pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset

    daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor

    termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat

    diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen

    Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara

    dan pelabuhan.

    Hambatan-hambatan dalam impledilihat dari beberapa aspek yaitu

    diantaranya:

    1) Aspek Pemerintahan, pelaksanaan otonomi daerah disatu sisi sangat

    memberikan harapan untuk cepat-cepat meraih satu kemajuan karena adanya

    kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain

    dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya

    Manusia yang memadai.

    2) Aspek Keuangan,

    Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/

    kota di Bali, kecuali Kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki

    pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai

    pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam

    12

  • memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung

    dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya.

    2.2 Kemandirian keuangan daerah

    Hasil penelitian otonomi daerah yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerja

    sama dengan Badan Litbang Depdagri (1991) menyatakan bahwa ada 6 macam

    faktor yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah melaksanakan

    otonomi daerah, yaitu kemampuan keuangan daerah, kemampuan aparatur,

    kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan organisasi

    dan demografi. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan keuangan itu sendiri

    adalah kemampuan daerah membiayai segala urusan rumah tangganya baik

    pemerintahan maupun pembangunan dengan menggunakan pendapatan yang

    berasal dari daerah itu sendiri atau PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kemandirian

    daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah, yaitu

    dengan menggunakan variabel pokok kemampuan keuangan daerah.

    Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah

    (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (seluruh penerimaan

    daerah yang bersangkutan), sehingga peningkatan Pendapatan Asli Daerah erat

    kaitannya dengan kemandirian keuangan suatu daerah.

    Menurut Santoso (1995), walaupun PAD tidak dapat seluruhnya

    membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap

    merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Hal

    yang sama dikatakan Kuncoro (1995) bahwa indikator desentralisasi fiskal adalah

    rasio antara PAD dengan total APBD.

    13

  • Menurut Kuncoro (1995), pembangunan terutama fisik yang cukup pesat

    selama orde baru merupakan akibat dari kebijakan fiskal yang sentralistis, tetapi

    di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar.

    Kertergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan pemerintah

    pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap daerah dalam berbagai kebijakan

    pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan. Hal ini akan membatasi

    pemberdayaan masyarakat, prakarsa dan kreatifitas dan peran serta masyarakat.

    Menurut Halim (2002) kemandirian keuangan daerah dapat dicari dengan

    rumus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu :

    %100=t

    tt TPD

    PADDDF ......................................................... ( 1 )

    Sehubungan dengan ini, penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerja

    sama dengan Badan Litbang Depdagri untuk mengukur kemampuan daerah

    tingkat II dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001,

    menggunakan nilai persentase PAD terhadap APBD tersebut yang disebut derajat

    desentralisasi fiskal (DDF).

    Tingkat kemandirian fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat

    dipelajari dengan melihat pada besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF).

    Menurut hasil Penelitian Tim Fisipol UGM (1991) persentase perbandingan

    antara PAD terhadap TPD menggunakan skala interval berikut :

    14

  • Tabel 2.1

    Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

    Sumber : Fisipol UGM (1991)

    Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara

    Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) tersebut

    dinilai wajar mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah

    dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi

    pajak daerah dan retribusi serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total

    penerimaan daerah sangat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah

    Pusat mengkategorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap TPD berada diatas

    30 persen dinyatakan cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari sisi

    keuangannya. Menyadari hal tersebut Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran

    selalu memberikan subsidi dan bantuan kepada daerah.

    2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

    PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

    0,00 10,00 Sangat Kurang

    10,10 20,00 Kurang

    20,10 30,00 Sedang

    30,10 40,00 Cukup

    40,10 50,00 Baik

    > 50,00 Sangat Baik

    15

  • Menurut UU Nomor 32 tahun 2004, Bab V Keuangan Daerah, pasal 6 bahwa

    sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah meliputi :

    1) pajak daerah;

    2) retribusi daerah;

    3) perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang

    dipisahkan;

    4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, meliputi:

    (1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan;

    (2) hasil jasa giro;

    (3) pendapatan Bunga;

    (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan;

    (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan

    atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

    Adapun pengertian pajak daerah menurut UU nomor 28 tahun 2009 adalah

    Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada

    Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

    berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

    dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran

    rakyat.

    Jenis pajak menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

    2009 tersebut adalah sebagai berikut :

    1) Jenis Pajak provinsi (ayat 1) terdiri atas:

    16

  • (1) Pajak Kendaraan Bermotor;

    (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

    (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

    (4) Pajak Air Permukaan; dan

    (5) Pajak Rokok.

    2) Jenis Pajak kabupaten/kota (ayat 2) terdiri atas:

    (1) Pajak Hotel;

    (2) Pajak Restoran;

    (3) Pajak Hiburan;

    (4) Pajak Reklame;

    (5) Pajak Penerangan Jalan;

    (6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

    (7) Pajak Parkir;

    (8) Pajak Air Tanah;

    (9) Pajak Sarang Burung Walet;

    (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

    (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

    Sedangkan pengertian Retribusi Daerah menurut Undang-

    Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Retribusi,

    adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

    pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau

    diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang

    17

  • pribadi atau Badan. Secara garis besar obyek retribusi dapat

    digolongkan menjadi 3 bagian yaitu retribusi :

    (1) Jasa Umum;

    (2) Jasa Usaha; dan

    (3) Perizinan Tertentu.

    Pengertian perusahaan daerah berdasarkan UU nomor 52 tahun 1962, yaitu

    badan usaha milik daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah dengan tujuan

    untuk menambah pendapatan daerah dan mampu memberikan rangsangan

    berkembangnya perekonomian daerah tersebut. Halim (2002) mengartikan

    perusahaan daerah merupakan unit organisasi dalam tubuh pemerintah daerah

    yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah yang

    mendirikan, dan prestasi perusahaan daerah tersebut diukur berdasarkan

    perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan nilai investasi yang sudah

    dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai investor.

    Sementara itu lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain

    dari hasil :

    1) penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

    2) hasil jasa giro;

    3) pendapatan bunga;

    4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

    5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

    dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.

    18

  • PAD diharapkan menjadi salah satu sumber APBD yang paling dominan

    karena kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumah tangganya dapat

    dilihat dari besar kecilnya PAD tersebut. Tanpa tersediannya sumber keuangan

    ini, maka akan kesulitan bagi daerah dalam upaya melaksanakan pelayanan dan

    pembangunan bagi masyarakat secara efektif dan efisien (Kaho:1997).

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan daerah untuk

    melaksanakan otonomi daerah tersebut tergantung kepada 2 faktor yaitu :

    1) kemampuan daerah tersebut untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri

    seperti pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan usaha-usaha lainnya;

    2) bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta antar propinsi

    dan kabupaten/kota.

    Dari kedua faktor tersebut, faktor kemampuan daerah untuk menggali

    sumber-sumber keuangan sendiri tentunya menjadi faktor yang sangat penting,

    mengingat keterbatasan dan bahkan semakin terbatasnya keuangan pemerintah

    pusat itu sendiri, sehingga tepat apabila dikatakan bahwa indikator kemampuan

    keuangan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari

    persentase.

    Perkembangan Pendapatan Asli Daerah belum menunjukkan perubahan yang

    signifikan dari kondisi sebelumnya dan berdasarkan permasalahan tersebut maka

    alternatif pemecahan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut :

    1) Perlu disediakan data yang akurat mengenai potensi sumber-sumber

    PAD yang dapat dikembangkan.

    2) Diupayakan penataan tertib administrasi pemungutan yang lebih baik.

    19

  • 3) Perlu perencanaan dan pengawasan yang intensif guna mencegah

    timbulnya kebocoran dalam penerimaan.

    4) Perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan kepada

    masyarakat secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran

    para wajib pajak/retribusi memenuhi kewajibannya.

    2.4 Faktor faktor yang Memengaruhi Potensi Pendapatan Asli Daerah

    Menurut Halim (2002) potensi PAD masing-masing daerah adalah berbeda

    sehingga memengaruhi kemandirian keuangan daerah. Beberapa variabel yang

    dapat memengaruhi potensi sumber-sumber PAD sebagai tolok ukur kemandirian

    daerah adalah sebagai berikut :

    1) Kondisi awal suatu daerah (keadaan ekonomi dan sosial suatu daerah)

    Struktur ekonomi dan sosial suatu masyarakat menentukan tinggi

    rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik sehingga menentukan

    besar kecilnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan pungutan

    untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerahnya. Tuntutan akan

    adanya pelayanan publik yang ada di masyarakat industri dan atau jasa

    adalah lebih besar daripada tuntutan pada masyarakat agraris (berbasis

    pertanian)

    2) Perkembangan PDRB perkapita riil

    Semakin tinggi PDRB perkapita riil suatu daerah, semakin besar pula

    kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran

    rutin dan pembangunan pemerintahannya. Dengan kata lain, semakin

    20

  • tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi

    sumber penerimaam daerah tersebut, sehingga daerah dapat lebih mandiri

    3) Pertumbuhan penduduk

    Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika

    jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik akan

    meningkat dan kemandirian daerah juga dapat ditingkatkan.

    4) Tingkat Inflasi

    Inflasi akan meningkatkan penerimaan PAD yang penetapannya

    didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel dan restoran.

    5) Perubahan Peraturan

    Adanya peraturan-peraturan baru, khususnya yang berhubungan dengan

    pajak dan atau retribusi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor

    28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah membuka

    peluang yang lebih luas untuk meningkatkan PAD.

    6) Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan

    PAD. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha

    peningkatan cakupan ini, yaitu a) menambah objek dan subjek pajak dan

    atau retribusi; b) meningkatkan besarnya penetapan; c) mengurangi

    tunggakan.

    7) Penyesuaian tarif

    Peningkatan pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian

    tarif. Untuk pajak atau retribusi yang tarifnya ditentukan secara tetap

    (flat) maka dalam penyesuaian tarif perlu mempertimbangkan laju inflasi.

    21

  • Kegagalan menyesuaikan tarif dengan laju inflasi akan menghambat

    peningkatan PAD. Dalam rangka penyesuaian tarif retribusi daerah,

    selain harus memperhatikan laju inflasi, perlu juga ditinjau hubungan

    antara biaya pelayanan jasa dengan penerimaan PAD.

    8) Pembangunan Baru

    Penambahan PAD juga dapat diperoleh bila ditopang oleh pembangunan

    sarana dan prasarana baru, seperti pembangunan pasar, pembangunan

    terminal, pembangunan jasa pengumpulan sampah, dan lain-lain.

    9) Sumber Pendapatan Baru

    Adanya kegiatan usaha baru dapat mengakibatkan bertambahnya sumber

    pendapatan pajak atau retribusi yang sudah ada. Misalnya usaha

    persewaan laser disc, usaha persewaan komputer/internet dan lain-lain.

    2.5 Otonomi Daerah dan Kemandirian Keuangan Daerah

    Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

    daerah otonom mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan

    kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-

    perundangan, sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah

    oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif

    masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan

    terpadu, secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat

    persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pusat dan campur tangan di

    daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Jadi

    22

  • dengan otonomi, daerah diharapkan lebih mandiri dan dapat mengurangi

    ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan Halim (2002)

    yang menyatakan bahwa ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonomi

    mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya

    daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali

    sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan

    pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga otonomi daerah diharapkan

    dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah.

    Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai

    pengeluaran daerah adalah dengan melihat lebih jauh seberapa besar kontribusi

    masing-masing sumber PAD terhadap total PAD, dan seberapa efektifnya target-

    target perencanaan terhadap realisasinya serta dengan pola data masa lampau

    dipakai untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan untuk dimanfaatkan

    sebagai perencanaan masa yang akan datang, yaitu melalui :

    1) Analisis Kontribusi

    Untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing sumber APBD

    terhadap total APBD, kontribusi masing-masing sumber PAD terhadap total PAD,

    kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap total pajak daerah,

    kontribusi masing-masing jenis retribusi daerah terhadap total retribusi daerah,

    dan kontribusi masing-masing BUMD terhadap total bagian laba BUMD maka

    digunakan formulasi sebagai berikut (Widodo, 1990):

    %100=TSPKSPKKSP ........................................................ ( 2 )

    23

  • di mana : KKSP adalah kontribusi komponen sumber penerimaan KSP adalah besaran komponen sumber penerimaan TSP adalah besaran total sumber penerimaan

    2) Rasio Efektivitas

    Rasio efektivitas mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik

    terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengkuran tingkat efektivitas

    memerlukan data-data realisasi pendapatan dan anggaran atau target pendapatan.

    Bila diformulasikan dalam rumus sebagai berikut (Mardiasmo, 2000) :

    %100PenerimaanTarget

    Penerimaan ealisasi=

    RsEfektivita .................................... ( 3 )

    Efektivitas pemungutan suatu komponen penerimaan PAD dikatakan efektif

    bilamana persentase yang diperoleh dari rumus di atas semakin besar, demikian

    sebaliknya dikatakan tidak efektif bila persentase yang diperoleh semakin kecil.

    3) Analisis Trend Linear

    Analisis trend ini digunakan untuk mengetahui pola data masa lampau,

    sehingga dapat digunakan untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan di

    masa lampau yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk perencanaan masa

    mendatang (Boedijoewono, 1987).

    Menurut Nata Wirawan (2002), analisis ini digunakan untuk mengetahui

    Perkiraan penerimaan komponen potensial sumber-sumber PAD. Rasio Trend

    Sumber-sumber Penerimaan PAD daerah menggunakan persamaan trend linear

    yaitu Y = a + b X, dimana Y adalah nilai perkiraan kemandirian keuangan daerah,

    sedangkan X adalah periode waktu.

    24

  • Trend dari sumber-sumber PAD Kabupaten Klungkung tahun 2009-2011

    dengan rumus sebagai berikut :

    Y = a + b X ............................................................................. ( 4 )

    di mana : Y adalah Penerimaan daerah yang diperkirakan (diestimasikan)a adalah intercept Y (nilai koefisien konstanta) yakni besarnya nilai

    Y, apabila X = 0b adalah kemiringan garis trend (nilai koefisien X), yaitu perubahan

    variabel Y untuk setiap perubahan satu unit variabel XX adalah Pengkodean (periode waktu)

    Dimana dalam rumus ini untuk mencari nilai a dan nilai b adalah sebagai berikut :

    a = Yin

    b = XiYi Xi2

    Rumus ini bisa dipergunakan jika tahun yang ditengah sama dengan nol.

    2.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

    Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sejumlah nilai tambah

    (value added) yang timbul dari berbagai unit produksi disuatu wilayah dalam

    jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam rupiah. Mardiasmo (2000)

    menyebutkan bahwa unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 10 sektor

    lapangan usaha, yaitu: a) Pertanian, b) Industri pengolahan c) Pertambangan dan

    Penggalian, d) Listrik, gas dan air bersih, e) Bangunan, f) Perdagangan, hotel dan

    restoran, g) Pengangkutan dan Komunikasi, h) Keuangan, persewaan dan jasa

    perusahaan i) Perbankan daerah, dan j) Jasa-jasa.

    Lincolin Arsyad (1993) memaparkan bahwa pembangunan yang berorientasi

    kepada kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan

    25

  • terhadap pendapatan perkapita masyarakat belumlah sepenuhnya memecahkan

    permasalahan dalam pembangunan. Meskipun target kenaikan Produk Domestik

    Regional Bruto pertahun telah tercapai, namun kehidupan masyarakat ini tidak

    mengalami perbaikan sama sekali. Dengan kata lain masalah distribusi

    pendapatan dalam masyarakat merupakan permasalahan yang perlu mendapat

    perhatian tersendiri.

    Produk Domestik Regional Bruto dapat dibedakan atas dasar harga berlaku

    dan atas harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai tambah

    barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan harga-harga tahun berjalan.

    Sedangkan PDRB atas dasar konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa

    yang dihasilkan berdasarkan harga tahun dasar. PDRB menurut harga konstan

    banyak digunakan untuk menganalisis suatu perkembangan, karena data ini

    memberikan informasi yang lebih riil setelah dikoreksi atas pengaruh inflasi.

    Berkaitan dengan hal itu maka PDRB dapat dihitung dengan 3 pendekatan

    (approach) yaitu;

    1) Pendekatan produksi (production approach).

    2) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach).

    3) Pendakatan pendapatan (income approach).

    2.7 Hasil Penelitian Terdahulu

    Penelitian yang berkaitan dengan kemampuan keuangan suatu daerah untuk

    melaksanakan otonomi daerah sudah banyak dilakukan, dan dari beberapa

    penelitian tersebut ternyata hasilnya, kemampuan keuangan daerah dalam

    membiayai pengeluarannya di era sebelum otonomi maupun setelah otonomi

    26

  • masih sangat rendah, akan tetapi penelitian yang sama ditujukan khusus pada

    Kabupaten Klungkung belum pernah dilakukan, nantinya hasil penelitian ini akan

    menjawab apakah akan sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terdahulu

    tersebut.

    Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang mengkaji kemampuan

    keuangan suatu pemerintah daerah dalam membiayai pemerintahannya, antara

    lain sebagai berikut :

    1) Kuncoro (1995), melakukan penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi

    fiskal di Indonesia. Penelitian tersebut melihat sejauh mana upaya

    desentralisasi di Indonesia yang dikaitkan dengan kemampuan untuk

    melaksanakan otonomi daerah berdasarkan derajat desentralisasi fiskal

    daerah. Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini di antaranya

    APBD dan PAD serta belanja daerah untuk kurun waktu 1984-1990 dan alat

    analisis yang digunakan yaitu analisis kontribusi. Adapun kesimpulan yang

    diperoleh dari penelitian tersebut bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah

    (PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia selama

    tahun 1984/1985 - 1990/1991 masih rendah rata-rata hanya 15,4 persen dan

    PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah sebesar kurang dari 30

    persen, ini berarti ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat tinggi.

    Penyebab utama ketergantungan fiskal di Indonesia setidaknya meliputi :

    kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

    tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; kendati pajak daerah

    27

  • cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber

    penerimaan; adanya kekhawatiran kecenderungan disintegrasi dan

    separatisme: kelemahan dalam pemberian subsidi. Adapun alternatif solusi

    yang ditawarkan antara lain meningkatkan peran BUMD; meningkatkan

    penerimaan daerah; mengubah pola pemberian subsidi; meningkatkan

    pinjaman daerah;

    2) Gustiar (1996), menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II

    dengan studi kasus di Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak dan

    Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat tahun 1992 1995. Variabel

    yang digunakan dalam penelitan tersebut adalah APBD dan PDRB,

    sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis kontribusi dan

    analisis regresi berganda (multiple regression). Temuan utama dalam

    penelitian ini, bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan

    pendapatan asli daerah serta peranan PAD pada umumnya masih rendah,

    sementara di lain pihak penerimaan bantuan pemerintah pusat dalam

    keseluruhan penerimaan APBD tingkat II cukup besar. Tingkat

    perkembangan ekonomi daerah (PDRB) dan bantuan pemerintah pusat

    dikatakan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang nyata, walaupun

    secara sendiri-sendiri terdapat variabel bebas yang tidak berpengaruh secara

    nyata terhadap derajat otonomi keuangan daerah;

    3) Radianto (1997), menganalisis tentang peranan Pendapatan Asli Daerah

    (PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II Maluku

    mengatakan bahwa peranan PAD tersebut masih rendah. Ini dapat dilihat

    28

  • dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah tingkat II Maluku yang rendah,

    dan jauh di bawah rata-rata IKR daerah tingkat II se Indonesia. Selain itu

    dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah

    penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi

    fiskal daerah;

    4) Mardiasmo (2000), dalam kajiannya tentang implikasi APBN dan APBD

    dalam konteks otonomi daerah menyatakan bahwa terjadi perubahan-

    perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme

    pengelolaan keuangan sebagai akibat dari otonomi daerah tersebut.

    Perubahan-perubahan dimaksud yaitu perubahan porsi dan struktur baik

    APBN maupun APBD karena adanya dana perimbangan. Selain daripada itu

    dikatakan bahwa keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata pada

    usaha peningkatan PAD akan tetapi juga bagaimana kewenangan/keleluasaan

    menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari

    luar berupa dana perimbangan atau yang lainnya tersebut;

    5) Boadway (2001), meneliti tentang pentingnya perimbangan keuangan

    (fiscal sharing) antar daerah di negara bagian Amerika Serikat. Variabel

    yang diamati dalam penelitian tersebut di antaranya pelaksanaan

    perimbangan keuangan, keuntungan dan biaya desentralisasi, serta formula

    dari subsidi/bantuan pemerintah pusat. Penelitian ini tidak menggunakan alat

    analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Dikatakan bahwa alasan

    dilakukannya perimbangan keuangan antar daerah tersebut adalah untuk

    menciptakan efisiensi dan pemerataan antardaerah serta meningkatkan

    29

  • kesejahteraan daerah. Adapun parameter yang pantas digunakan dalam

    skema perimbangan keuangan tersebut yaitu derajat desentralisasi fiskal

    daerah; komitmen politik untuk pemerataan keuangan; perangkat-perangkat

    daerah yang dimiliki;

    6) Bahl (2002), telah mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di

    Indonesia. Di mana variabel-varibel yang menjadi bahan evaluasi di

    antaranya DAU (Dana Alokasi Umum), formula DAU, pajak daerah, dana

    kontigensi, pelaksanaan otonomi khusus, sistem pengawasan dan evaluasi

    serta koordinasi pemerintah pusat. Penelitian/evaluasi tersebut tidak

    menggunakan alat analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Salah satu isu

    penting yang disoroti adalah tentang pajak daerah. Dikatakan bahwa daerah

    harus mempunyai wewenang dalam penentuan pajak daerah tersebut untuk

    mengontrol perdagangan daerah dan penerimaan daerah. Dikatakan juga

    bahwa Undang-Undang nomor 22, 25 dan 34 terlalu luas, sementara aturan

    pelaksanaanya terlalu sempit. Untuk itu ketentuan tentang pajak daerah

    tersebut harus segera ditinjau ulang dan dianjurkan agar pemerintah pusat

    hati-hati di dalam menentukan seberapa besar wewenang yang diberikan

    kepada daerah dalam menentukan kebijakan pajak daerah tersebut.

    7) M Sabirin (2003), telah menganalisis kemampuan Daerah dari Aspek

    Keuangan Daerah Dalam rangka otonomi Daerah (Studi Kasus di Kota

    Pontianak, 1989/1990 2001), variabel-variabel yang menjadi bahan analisis

    diantaranya APBD, TPD, PAD, Pajak Daerah, Restribusi, Bagian Laba

    BUMD dan Total Rutin Pengeluaran Daerah. Penelitian ini dilakukan secara

    30

  • diskriptif analitik yang memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi

    berdasarkan data dengan rujukan teori. Sumber APBD menunjukan trend

    yang negatif, tetapi tidak signifikan, sumber penerimaan PAD. Pada

    kesimpulan nomor 3 dinyatakan bahwa jenis pajak daerah yang

    menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total pajak daerah dan

    signifikan adalah Pajak Hiburan. Retribusi pasar maupun retribusi terminal

    menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total retribusi daerah

    dan signifikan. Penulis menyarankan upaya-upaya perbaikan misalnya

    meninjau ulang dewan dereksi BUMD tersebut, perbaikan sistem manajemen

    secara keseluruhan dan perbaikan sistem pengawasan perlu dipertimbangkan

    dan segera dilakukan Pemda; pajak daerah dan penerimaan lain-lain yang

    menunjukkan trend kontribusi yang positif terhadap total PAD dan

    signifikan, sedangkan retribusi daerah dan bagian laba BUMD menunjukkan

    trend kontribusi yang negatif dan tidak signifikan, ulang subjek dan objek

    pajak dan penerapan sangsi perlu terus ditingkatkan;

    8) Mayun (2004), yang meneliti tentang analisis kemampuan pendapatan asli

    daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar, yang menjadi

    rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi total

    PAD terhadap total penerimaan daerah dan kontribusi sumber-sumber PAD

    terhadap total PAD, bagaimana pertumbuhan masing-masing sektor pajak

    dan retribusi daerah yang dominan, bagaimana kinerja daerah yakni berupa

    nilai efektivitas dalam menggali potensi pada sektor-sektor pajak dan

    retribusi daerah yang dominan. Teknik analisis data yang digunakan dalam

    31

  • penelitian ini adalah analisis statistik regresi linear berganda, dengan maksud

    mendistribusikan tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum.

    Hasil dari penelitian ini adalah Kemampuan PAD untuk melaksanakan

    otonomi daerah yang cukup memadai. Sumber-sumber PAD secara

    keseluruhan selama kurun waktu pengamatan yaitu tahun 1993/1994-2002

    kontribusi penerimaan PAD terbesar di sektor pajak.

    9) Handayani (2006), dalam penelitian yang berjudul Dampak Otonomi Daerah

    terhadap Kemandirian dan Pemerataan Pembangunan Daerah

    Kabupaten/Kota Se-bali, menyimpulkan bahwa Kabupaten/Kota se-Bali

    memiliki variasi kemandirian yang berbeda dari delapan kabupaten dan satu

    kota yang ada, selama penelitian dari tahun 1997-2001, hanya Kabupaten

    Badung yang tergolong mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya,

    sedangkan kabupaten/kota lainnya belum menampakan kemandirian baik

    sebelum maupun setelah otonomi daerah, otonomi daerah belum

    memperlihatkan dampaknya terhadap kemandirian keuangan daerah

    Kabupaten/kota se-Bali, karena pengaruh otonomi daerah terhadap

    kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota se-Bali adalah tidak signifikan

    dengan taraf signifikansi 0,629 persen (lebih besar dari 5 persen).

    10) Marlina (2007), dalam penelitian yang berjudul Analisis Keuangan,

    Kamandirian dan Posisi Fiskal Periode Pemberlakuan UU No. 18/1997 dan

    UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Studi Kasus di

    Propinsi Lampung, menyimpulkan bahwa dengan penyerahan sebagian

    kewenangan dalam mendapatkan, mengelola sumber-sumber pembiayaan

    32

  • dalam otonomi daerah, disimpulkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah

    merupakan sumber penerimaan yang penting, karena kontribusinya besar

    terhadap PAD.

    Untuk mengetahui perbandingan antara penelitian terdahulu dengan

    penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2

    Tabel 2.2Perbandingan Penelitian Terdahulu

    dengan Penelitian ini

    No Nama dan penelitian terdahulu Penelitian ini

    1. Kuncoro (1995)

    Penelitiannya terkait dengan desentralisasi fiskal di Indonesia untuk melihat sejauh mana upaya desentralisasi dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah

    Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah

    2. Gustiar (1996)

    Menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II dengan menggunakan analisis kontribusi dab analisis regresi berganda

    Menggunakan analisis kontribusi, ratio efektivitas dan analisis trend linear serta PDRB

    3. Radianto (1997)

    Menganalisis PAD dalam membiayai pembangunan di seluruh daerah tingkat II di Maluku dengan menggunakan Indek Kemampuan Rutin (IKR)

    Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di satu kabupaten saja.

    4. Mardiasmo (2000)

    Implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah akan terjadi perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengeluaran keuangan. Keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata hanya pada

    Hanya ingin mengetahui sejauh mana sumber-sumber PAD dapat membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah di era otonomi daerah.

    33

  • usaha peningkatan PAD saja tetapi juga terletak pada bagaimana kewenangan menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari luar yang berupa dana perimbangan atau lainnya.

    5. Broadway (2001)

    Penelitian ini bersifat deskriptif, meneliti pentingnya perimbangan keuangan antar daerah di negara bagian Amerika Serikat untuk menciptakan efesiensi dan pemerataan antar daerah dan meningkatkan kesejahteraan daerah.

    Penelitian bersifat deskriptif untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.

    6. Bahl (2002)

    Mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dengan menggunakan vartiabel dau, Pajak, Dana Kontijensi, Pelaksanaan Otonomi Khusus, Sistem Pengawasan, Evaluasi dan Koordinasi Pemerintah Pusat

    Penelitian bersifat deskriptif hanya untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.

    7. M. Sabirin (2003)

    Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD dan Total Rutin Pengeluaran

    Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.

    8. Mayun (2004)

    Meneliti kemampuan PAD dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar dengan melihat kontribusi TPD terhadap TPAD dengan menggunakan teknik analisis statistik regresi linear berganda. Hasilnya kemampuan

    Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di

    34

  • Kota Denpasar melaksanakan otonomi daerah sudah cukup memadai.

    Kabupaten Klungkung.

    9. Handayani (2006)

    Meneliti dampak otonomi daerah terhadap kemandirian dan pemerataan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Badung dan ternyata Kabupaten Badung tergolong sudah mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya.

    Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.

    10. Marlina (2007)

    Menganalisa kemampuan keuangan, kemandirian dan posisi Fiskal. Kesimpulannya bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting karena ternyata kontribusinya besar terhadap PAD.

    Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di Kabupaten Klungkung.

    35