Download - unud-202-babii
-
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Otonomi Daerah
Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri
dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah
menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-undang nomor 32
tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan
dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung
oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan
menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan
keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat
otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu
sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor
32 tahun 2004, adalah :
1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;
10
-
2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggungjawab;
3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah
Kabupaten/Kota;
4) pelaksanaannya otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara;
5) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom;
6) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif;
7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi;
8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga
dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya.
Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah Undang undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti
dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset).
1) Personalia, Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai
daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan
kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut
tidak terhambat pelaksanaanya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber
daya manusia.
2) Pembiayaan,
Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan dimaksudkan untuk mendukung
terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yan
diberikan. Adapun yang menjadi kompenen dari dana perimbangan yang
11
-
diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
3) Prasarana dan sarana (aset).
Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka
pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset
daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor
termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat
diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen
Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara
dan pelabuhan.
Hambatan-hambatan dalam impledilihat dari beberapa aspek yaitu
diantaranya:
1) Aspek Pemerintahan, pelaksanaan otonomi daerah disatu sisi sangat
memberikan harapan untuk cepat-cepat meraih satu kemajuan karena adanya
kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain
dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya
Manusia yang memadai.
2) Aspek Keuangan,
Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/
kota di Bali, kecuali Kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki
pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai
pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam
12
-
memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung
dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya.
2.2 Kemandirian keuangan daerah
Hasil penelitian otonomi daerah yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerja
sama dengan Badan Litbang Depdagri (1991) menyatakan bahwa ada 6 macam
faktor yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah melaksanakan
otonomi daerah, yaitu kemampuan keuangan daerah, kemampuan aparatur,
kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan organisasi
dan demografi. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan keuangan itu sendiri
adalah kemampuan daerah membiayai segala urusan rumah tangganya baik
pemerintahan maupun pembangunan dengan menggunakan pendapatan yang
berasal dari daerah itu sendiri atau PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kemandirian
daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah, yaitu
dengan menggunakan variabel pokok kemampuan keuangan daerah.
Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah
(PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (seluruh penerimaan
daerah yang bersangkutan), sehingga peningkatan Pendapatan Asli Daerah erat
kaitannya dengan kemandirian keuangan suatu daerah.
Menurut Santoso (1995), walaupun PAD tidak dapat seluruhnya
membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap
merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Hal
yang sama dikatakan Kuncoro (1995) bahwa indikator desentralisasi fiskal adalah
rasio antara PAD dengan total APBD.
13
-
Menurut Kuncoro (1995), pembangunan terutama fisik yang cukup pesat
selama orde baru merupakan akibat dari kebijakan fiskal yang sentralistis, tetapi
di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar.
Kertergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan pemerintah
pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap daerah dalam berbagai kebijakan
pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan. Hal ini akan membatasi
pemberdayaan masyarakat, prakarsa dan kreatifitas dan peran serta masyarakat.
Menurut Halim (2002) kemandirian keuangan daerah dapat dicari dengan
rumus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu :
%100=t
tt TPD
PADDDF ......................................................... ( 1 )
Sehubungan dengan ini, penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerja
sama dengan Badan Litbang Depdagri untuk mengukur kemampuan daerah
tingkat II dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001,
menggunakan nilai persentase PAD terhadap APBD tersebut yang disebut derajat
desentralisasi fiskal (DDF).
Tingkat kemandirian fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat
dipelajari dengan melihat pada besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF).
Menurut hasil Penelitian Tim Fisipol UGM (1991) persentase perbandingan
antara PAD terhadap TPD menggunakan skala interval berikut :
14
-
Tabel 2.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
Sumber : Fisipol UGM (1991)
Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) tersebut
dinilai wajar mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah
dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi
pajak daerah dan retribusi serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total
penerimaan daerah sangat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah
Pusat mengkategorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap TPD berada diatas
30 persen dinyatakan cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari sisi
keuangannya. Menyadari hal tersebut Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran
selalu memberikan subsidi dan bantuan kepada daerah.
2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 10,00 Sangat Kurang
10,10 20,00 Kurang
20,10 30,00 Sedang
30,10 40,00 Cukup
40,10 50,00 Baik
> 50,00 Sangat Baik
15
-
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004, Bab V Keuangan Daerah, pasal 6 bahwa
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah meliputi :
1) pajak daerah;
2) retribusi daerah;
3) perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan;
4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, meliputi:
(1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan;
(2) hasil jasa giro;
(3) pendapatan Bunga;
(4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan;
(5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan
atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Adapun pengertian pajak daerah menurut UU nomor 28 tahun 2009 adalah
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Jenis pajak menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tersebut adalah sebagai berikut :
1) Jenis Pajak provinsi (ayat 1) terdiri atas:
16
-
(1) Pajak Kendaraan Bermotor;
(2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(4) Pajak Air Permukaan; dan
(5) Pajak Rokok.
2) Jenis Pajak kabupaten/kota (ayat 2) terdiri atas:
(1) Pajak Hotel;
(2) Pajak Restoran;
(3) Pajak Hiburan;
(4) Pajak Reklame;
(5) Pajak Penerangan Jalan;
(6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(7) Pajak Parkir;
(8) Pajak Air Tanah;
(9) Pajak Sarang Burung Walet;
(10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Sedangkan pengertian Retribusi Daerah menurut Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Retribusi,
adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
17
-
pribadi atau Badan. Secara garis besar obyek retribusi dapat
digolongkan menjadi 3 bagian yaitu retribusi :
(1) Jasa Umum;
(2) Jasa Usaha; dan
(3) Perizinan Tertentu.
Pengertian perusahaan daerah berdasarkan UU nomor 52 tahun 1962, yaitu
badan usaha milik daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah dengan tujuan
untuk menambah pendapatan daerah dan mampu memberikan rangsangan
berkembangnya perekonomian daerah tersebut. Halim (2002) mengartikan
perusahaan daerah merupakan unit organisasi dalam tubuh pemerintah daerah
yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah yang
mendirikan, dan prestasi perusahaan daerah tersebut diukur berdasarkan
perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan nilai investasi yang sudah
dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai investor.
Sementara itu lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain
dari hasil :
1) penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2) hasil jasa giro;
3) pendapatan bunga;
4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
18
-
PAD diharapkan menjadi salah satu sumber APBD yang paling dominan
karena kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumah tangganya dapat
dilihat dari besar kecilnya PAD tersebut. Tanpa tersediannya sumber keuangan
ini, maka akan kesulitan bagi daerah dalam upaya melaksanakan pelayanan dan
pembangunan bagi masyarakat secara efektif dan efisien (Kaho:1997).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah tersebut tergantung kepada 2 faktor yaitu :
1) kemampuan daerah tersebut untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri
seperti pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan usaha-usaha lainnya;
2) bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta antar propinsi
dan kabupaten/kota.
Dari kedua faktor tersebut, faktor kemampuan daerah untuk menggali
sumber-sumber keuangan sendiri tentunya menjadi faktor yang sangat penting,
mengingat keterbatasan dan bahkan semakin terbatasnya keuangan pemerintah
pusat itu sendiri, sehingga tepat apabila dikatakan bahwa indikator kemampuan
keuangan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari
persentase.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah belum menunjukkan perubahan yang
signifikan dari kondisi sebelumnya dan berdasarkan permasalahan tersebut maka
alternatif pemecahan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Perlu disediakan data yang akurat mengenai potensi sumber-sumber
PAD yang dapat dikembangkan.
2) Diupayakan penataan tertib administrasi pemungutan yang lebih baik.
19
-
3) Perlu perencanaan dan pengawasan yang intensif guna mencegah
timbulnya kebocoran dalam penerimaan.
4) Perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan kepada
masyarakat secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran
para wajib pajak/retribusi memenuhi kewajibannya.
2.4 Faktor faktor yang Memengaruhi Potensi Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2002) potensi PAD masing-masing daerah adalah berbeda
sehingga memengaruhi kemandirian keuangan daerah. Beberapa variabel yang
dapat memengaruhi potensi sumber-sumber PAD sebagai tolok ukur kemandirian
daerah adalah sebagai berikut :
1) Kondisi awal suatu daerah (keadaan ekonomi dan sosial suatu daerah)
Struktur ekonomi dan sosial suatu masyarakat menentukan tinggi
rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik sehingga menentukan
besar kecilnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan pungutan
untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerahnya. Tuntutan akan
adanya pelayanan publik yang ada di masyarakat industri dan atau jasa
adalah lebih besar daripada tuntutan pada masyarakat agraris (berbasis
pertanian)
2) Perkembangan PDRB perkapita riil
Semakin tinggi PDRB perkapita riil suatu daerah, semakin besar pula
kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran
rutin dan pembangunan pemerintahannya. Dengan kata lain, semakin
20
-
tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi
sumber penerimaam daerah tersebut, sehingga daerah dapat lebih mandiri
3) Pertumbuhan penduduk
Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika
jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik akan
meningkat dan kemandirian daerah juga dapat ditingkatkan.
4) Tingkat Inflasi
Inflasi akan meningkatkan penerimaan PAD yang penetapannya
didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel dan restoran.
5) Perubahan Peraturan
Adanya peraturan-peraturan baru, khususnya yang berhubungan dengan
pajak dan atau retribusi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah membuka
peluang yang lebih luas untuk meningkatkan PAD.
6) Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan
PAD. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha
peningkatan cakupan ini, yaitu a) menambah objek dan subjek pajak dan
atau retribusi; b) meningkatkan besarnya penetapan; c) mengurangi
tunggakan.
7) Penyesuaian tarif
Peningkatan pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian
tarif. Untuk pajak atau retribusi yang tarifnya ditentukan secara tetap
(flat) maka dalam penyesuaian tarif perlu mempertimbangkan laju inflasi.
21
-
Kegagalan menyesuaikan tarif dengan laju inflasi akan menghambat
peningkatan PAD. Dalam rangka penyesuaian tarif retribusi daerah,
selain harus memperhatikan laju inflasi, perlu juga ditinjau hubungan
antara biaya pelayanan jasa dengan penerimaan PAD.
8) Pembangunan Baru
Penambahan PAD juga dapat diperoleh bila ditopang oleh pembangunan
sarana dan prasarana baru, seperti pembangunan pasar, pembangunan
terminal, pembangunan jasa pengumpulan sampah, dan lain-lain.
9) Sumber Pendapatan Baru
Adanya kegiatan usaha baru dapat mengakibatkan bertambahnya sumber
pendapatan pajak atau retribusi yang sudah ada. Misalnya usaha
persewaan laser disc, usaha persewaan komputer/internet dan lain-lain.
2.5 Otonomi Daerah dan Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
daerah otonom mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-
perundangan, sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif
masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan
terpadu, secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pusat dan campur tangan di
daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Jadi
22
-
dengan otonomi, daerah diharapkan lebih mandiri dan dapat mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan Halim (2002)
yang menyatakan bahwa ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonomi
mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya
daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan
pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga otonomi daerah diharapkan
dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah.
Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai
pengeluaran daerah adalah dengan melihat lebih jauh seberapa besar kontribusi
masing-masing sumber PAD terhadap total PAD, dan seberapa efektifnya target-
target perencanaan terhadap realisasinya serta dengan pola data masa lampau
dipakai untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan untuk dimanfaatkan
sebagai perencanaan masa yang akan datang, yaitu melalui :
1) Analisis Kontribusi
Untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing sumber APBD
terhadap total APBD, kontribusi masing-masing sumber PAD terhadap total PAD,
kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap total pajak daerah,
kontribusi masing-masing jenis retribusi daerah terhadap total retribusi daerah,
dan kontribusi masing-masing BUMD terhadap total bagian laba BUMD maka
digunakan formulasi sebagai berikut (Widodo, 1990):
%100=TSPKSPKKSP ........................................................ ( 2 )
23
-
di mana : KKSP adalah kontribusi komponen sumber penerimaan KSP adalah besaran komponen sumber penerimaan TSP adalah besaran total sumber penerimaan
2) Rasio Efektivitas
Rasio efektivitas mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik
terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengkuran tingkat efektivitas
memerlukan data-data realisasi pendapatan dan anggaran atau target pendapatan.
Bila diformulasikan dalam rumus sebagai berikut (Mardiasmo, 2000) :
%100PenerimaanTarget
Penerimaan ealisasi=
RsEfektivita .................................... ( 3 )
Efektivitas pemungutan suatu komponen penerimaan PAD dikatakan efektif
bilamana persentase yang diperoleh dari rumus di atas semakin besar, demikian
sebaliknya dikatakan tidak efektif bila persentase yang diperoleh semakin kecil.
3) Analisis Trend Linear
Analisis trend ini digunakan untuk mengetahui pola data masa lampau,
sehingga dapat digunakan untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan di
masa lampau yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk perencanaan masa
mendatang (Boedijoewono, 1987).
Menurut Nata Wirawan (2002), analisis ini digunakan untuk mengetahui
Perkiraan penerimaan komponen potensial sumber-sumber PAD. Rasio Trend
Sumber-sumber Penerimaan PAD daerah menggunakan persamaan trend linear
yaitu Y = a + b X, dimana Y adalah nilai perkiraan kemandirian keuangan daerah,
sedangkan X adalah periode waktu.
24
-
Trend dari sumber-sumber PAD Kabupaten Klungkung tahun 2009-2011
dengan rumus sebagai berikut :
Y = a + b X ............................................................................. ( 4 )
di mana : Y adalah Penerimaan daerah yang diperkirakan (diestimasikan)a adalah intercept Y (nilai koefisien konstanta) yakni besarnya nilai
Y, apabila X = 0b adalah kemiringan garis trend (nilai koefisien X), yaitu perubahan
variabel Y untuk setiap perubahan satu unit variabel XX adalah Pengkodean (periode waktu)
Dimana dalam rumus ini untuk mencari nilai a dan nilai b adalah sebagai berikut :
a = Yin
b = XiYi Xi2
Rumus ini bisa dipergunakan jika tahun yang ditengah sama dengan nol.
2.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sejumlah nilai tambah
(value added) yang timbul dari berbagai unit produksi disuatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam rupiah. Mardiasmo (2000)
menyebutkan bahwa unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 10 sektor
lapangan usaha, yaitu: a) Pertanian, b) Industri pengolahan c) Pertambangan dan
Penggalian, d) Listrik, gas dan air bersih, e) Bangunan, f) Perdagangan, hotel dan
restoran, g) Pengangkutan dan Komunikasi, h) Keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan i) Perbankan daerah, dan j) Jasa-jasa.
Lincolin Arsyad (1993) memaparkan bahwa pembangunan yang berorientasi
kepada kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan
25
-
terhadap pendapatan perkapita masyarakat belumlah sepenuhnya memecahkan
permasalahan dalam pembangunan. Meskipun target kenaikan Produk Domestik
Regional Bruto pertahun telah tercapai, namun kehidupan masyarakat ini tidak
mengalami perbaikan sama sekali. Dengan kata lain masalah distribusi
pendapatan dalam masyarakat merupakan permasalahan yang perlu mendapat
perhatian tersendiri.
Produk Domestik Regional Bruto dapat dibedakan atas dasar harga berlaku
dan atas harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan harga-harga tahun berjalan.
Sedangkan PDRB atas dasar konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihasilkan berdasarkan harga tahun dasar. PDRB menurut harga konstan
banyak digunakan untuk menganalisis suatu perkembangan, karena data ini
memberikan informasi yang lebih riil setelah dikoreksi atas pengaruh inflasi.
Berkaitan dengan hal itu maka PDRB dapat dihitung dengan 3 pendekatan
(approach) yaitu;
1) Pendekatan produksi (production approach).
2) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach).
3) Pendakatan pendapatan (income approach).
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan kemampuan keuangan suatu daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah sudah banyak dilakukan, dan dari beberapa
penelitian tersebut ternyata hasilnya, kemampuan keuangan daerah dalam
membiayai pengeluarannya di era sebelum otonomi maupun setelah otonomi
26
-
masih sangat rendah, akan tetapi penelitian yang sama ditujukan khusus pada
Kabupaten Klungkung belum pernah dilakukan, nantinya hasil penelitian ini akan
menjawab apakah akan sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terdahulu
tersebut.
Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang mengkaji kemampuan
keuangan suatu pemerintah daerah dalam membiayai pemerintahannya, antara
lain sebagai berikut :
1) Kuncoro (1995), melakukan penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi
fiskal di Indonesia. Penelitian tersebut melihat sejauh mana upaya
desentralisasi di Indonesia yang dikaitkan dengan kemampuan untuk
melaksanakan otonomi daerah berdasarkan derajat desentralisasi fiskal
daerah. Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini di antaranya
APBD dan PAD serta belanja daerah untuk kurun waktu 1984-1990 dan alat
analisis yang digunakan yaitu analisis kontribusi. Adapun kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian tersebut bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia selama
tahun 1984/1985 - 1990/1991 masih rendah rata-rata hanya 15,4 persen dan
PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah sebesar kurang dari 30
persen, ini berarti ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat tinggi.
Penyebab utama ketergantungan fiskal di Indonesia setidaknya meliputi :
kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah;
tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; kendati pajak daerah
27
-
cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber
penerimaan; adanya kekhawatiran kecenderungan disintegrasi dan
separatisme: kelemahan dalam pemberian subsidi. Adapun alternatif solusi
yang ditawarkan antara lain meningkatkan peran BUMD; meningkatkan
penerimaan daerah; mengubah pola pemberian subsidi; meningkatkan
pinjaman daerah;
2) Gustiar (1996), menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II
dengan studi kasus di Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak dan
Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat tahun 1992 1995. Variabel
yang digunakan dalam penelitan tersebut adalah APBD dan PDRB,
sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis kontribusi dan
analisis regresi berganda (multiple regression). Temuan utama dalam
penelitian ini, bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah serta peranan PAD pada umumnya masih rendah,
sementara di lain pihak penerimaan bantuan pemerintah pusat dalam
keseluruhan penerimaan APBD tingkat II cukup besar. Tingkat
perkembangan ekonomi daerah (PDRB) dan bantuan pemerintah pusat
dikatakan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang nyata, walaupun
secara sendiri-sendiri terdapat variabel bebas yang tidak berpengaruh secara
nyata terhadap derajat otonomi keuangan daerah;
3) Radianto (1997), menganalisis tentang peranan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II Maluku
mengatakan bahwa peranan PAD tersebut masih rendah. Ini dapat dilihat
28
-
dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah tingkat II Maluku yang rendah,
dan jauh di bawah rata-rata IKR daerah tingkat II se Indonesia. Selain itu
dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah
penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi
fiskal daerah;
4) Mardiasmo (2000), dalam kajiannya tentang implikasi APBN dan APBD
dalam konteks otonomi daerah menyatakan bahwa terjadi perubahan-
perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme
pengelolaan keuangan sebagai akibat dari otonomi daerah tersebut.
Perubahan-perubahan dimaksud yaitu perubahan porsi dan struktur baik
APBN maupun APBD karena adanya dana perimbangan. Selain daripada itu
dikatakan bahwa keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata pada
usaha peningkatan PAD akan tetapi juga bagaimana kewenangan/keleluasaan
menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari
luar berupa dana perimbangan atau yang lainnya tersebut;
5) Boadway (2001), meneliti tentang pentingnya perimbangan keuangan
(fiscal sharing) antar daerah di negara bagian Amerika Serikat. Variabel
yang diamati dalam penelitian tersebut di antaranya pelaksanaan
perimbangan keuangan, keuntungan dan biaya desentralisasi, serta formula
dari subsidi/bantuan pemerintah pusat. Penelitian ini tidak menggunakan alat
analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Dikatakan bahwa alasan
dilakukannya perimbangan keuangan antar daerah tersebut adalah untuk
menciptakan efisiensi dan pemerataan antardaerah serta meningkatkan
29
-
kesejahteraan daerah. Adapun parameter yang pantas digunakan dalam
skema perimbangan keuangan tersebut yaitu derajat desentralisasi fiskal
daerah; komitmen politik untuk pemerataan keuangan; perangkat-perangkat
daerah yang dimiliki;
6) Bahl (2002), telah mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia. Di mana variabel-varibel yang menjadi bahan evaluasi di
antaranya DAU (Dana Alokasi Umum), formula DAU, pajak daerah, dana
kontigensi, pelaksanaan otonomi khusus, sistem pengawasan dan evaluasi
serta koordinasi pemerintah pusat. Penelitian/evaluasi tersebut tidak
menggunakan alat analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Salah satu isu
penting yang disoroti adalah tentang pajak daerah. Dikatakan bahwa daerah
harus mempunyai wewenang dalam penentuan pajak daerah tersebut untuk
mengontrol perdagangan daerah dan penerimaan daerah. Dikatakan juga
bahwa Undang-Undang nomor 22, 25 dan 34 terlalu luas, sementara aturan
pelaksanaanya terlalu sempit. Untuk itu ketentuan tentang pajak daerah
tersebut harus segera ditinjau ulang dan dianjurkan agar pemerintah pusat
hati-hati di dalam menentukan seberapa besar wewenang yang diberikan
kepada daerah dalam menentukan kebijakan pajak daerah tersebut.
7) M Sabirin (2003), telah menganalisis kemampuan Daerah dari Aspek
Keuangan Daerah Dalam rangka otonomi Daerah (Studi Kasus di Kota
Pontianak, 1989/1990 2001), variabel-variabel yang menjadi bahan analisis
diantaranya APBD, TPD, PAD, Pajak Daerah, Restribusi, Bagian Laba
BUMD dan Total Rutin Pengeluaran Daerah. Penelitian ini dilakukan secara
30
-
diskriptif analitik yang memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi
berdasarkan data dengan rujukan teori. Sumber APBD menunjukan trend
yang negatif, tetapi tidak signifikan, sumber penerimaan PAD. Pada
kesimpulan nomor 3 dinyatakan bahwa jenis pajak daerah yang
menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total pajak daerah dan
signifikan adalah Pajak Hiburan. Retribusi pasar maupun retribusi terminal
menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total retribusi daerah
dan signifikan. Penulis menyarankan upaya-upaya perbaikan misalnya
meninjau ulang dewan dereksi BUMD tersebut, perbaikan sistem manajemen
secara keseluruhan dan perbaikan sistem pengawasan perlu dipertimbangkan
dan segera dilakukan Pemda; pajak daerah dan penerimaan lain-lain yang
menunjukkan trend kontribusi yang positif terhadap total PAD dan
signifikan, sedangkan retribusi daerah dan bagian laba BUMD menunjukkan
trend kontribusi yang negatif dan tidak signifikan, ulang subjek dan objek
pajak dan penerapan sangsi perlu terus ditingkatkan;
8) Mayun (2004), yang meneliti tentang analisis kemampuan pendapatan asli
daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar, yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi total
PAD terhadap total penerimaan daerah dan kontribusi sumber-sumber PAD
terhadap total PAD, bagaimana pertumbuhan masing-masing sektor pajak
dan retribusi daerah yang dominan, bagaimana kinerja daerah yakni berupa
nilai efektivitas dalam menggali potensi pada sektor-sektor pajak dan
retribusi daerah yang dominan. Teknik analisis data yang digunakan dalam
31
-
penelitian ini adalah analisis statistik regresi linear berganda, dengan maksud
mendistribusikan tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum.
Hasil dari penelitian ini adalah Kemampuan PAD untuk melaksanakan
otonomi daerah yang cukup memadai. Sumber-sumber PAD secara
keseluruhan selama kurun waktu pengamatan yaitu tahun 1993/1994-2002
kontribusi penerimaan PAD terbesar di sektor pajak.
9) Handayani (2006), dalam penelitian yang berjudul Dampak Otonomi Daerah
terhadap Kemandirian dan Pemerataan Pembangunan Daerah
Kabupaten/Kota Se-bali, menyimpulkan bahwa Kabupaten/Kota se-Bali
memiliki variasi kemandirian yang berbeda dari delapan kabupaten dan satu
kota yang ada, selama penelitian dari tahun 1997-2001, hanya Kabupaten
Badung yang tergolong mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya,
sedangkan kabupaten/kota lainnya belum menampakan kemandirian baik
sebelum maupun setelah otonomi daerah, otonomi daerah belum
memperlihatkan dampaknya terhadap kemandirian keuangan daerah
Kabupaten/kota se-Bali, karena pengaruh otonomi daerah terhadap
kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota se-Bali adalah tidak signifikan
dengan taraf signifikansi 0,629 persen (lebih besar dari 5 persen).
10) Marlina (2007), dalam penelitian yang berjudul Analisis Keuangan,
Kamandirian dan Posisi Fiskal Periode Pemberlakuan UU No. 18/1997 dan
UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Studi Kasus di
Propinsi Lampung, menyimpulkan bahwa dengan penyerahan sebagian
kewenangan dalam mendapatkan, mengelola sumber-sumber pembiayaan
32
-
dalam otonomi daerah, disimpulkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah
merupakan sumber penerimaan yang penting, karena kontribusinya besar
terhadap PAD.
Untuk mengetahui perbandingan antara penelitian terdahulu dengan
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2Perbandingan Penelitian Terdahulu
dengan Penelitian ini
No Nama dan penelitian terdahulu Penelitian ini
1. Kuncoro (1995)
Penelitiannya terkait dengan desentralisasi fiskal di Indonesia untuk melihat sejauh mana upaya desentralisasi dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah
Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah
2. Gustiar (1996)
Menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II dengan menggunakan analisis kontribusi dab analisis regresi berganda
Menggunakan analisis kontribusi, ratio efektivitas dan analisis trend linear serta PDRB
3. Radianto (1997)
Menganalisis PAD dalam membiayai pembangunan di seluruh daerah tingkat II di Maluku dengan menggunakan Indek Kemampuan Rutin (IKR)
Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di satu kabupaten saja.
4. Mardiasmo (2000)
Implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah akan terjadi perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengeluaran keuangan. Keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata hanya pada
Hanya ingin mengetahui sejauh mana sumber-sumber PAD dapat membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah di era otonomi daerah.
33
-
usaha peningkatan PAD saja tetapi juga terletak pada bagaimana kewenangan menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari luar yang berupa dana perimbangan atau lainnya.
5. Broadway (2001)
Penelitian ini bersifat deskriptif, meneliti pentingnya perimbangan keuangan antar daerah di negara bagian Amerika Serikat untuk menciptakan efesiensi dan pemerataan antar daerah dan meningkatkan kesejahteraan daerah.
Penelitian bersifat deskriptif untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.
6. Bahl (2002)
Mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dengan menggunakan vartiabel dau, Pajak, Dana Kontijensi, Pelaksanaan Otonomi Khusus, Sistem Pengawasan, Evaluasi dan Koordinasi Pemerintah Pusat
Penelitian bersifat deskriptif hanya untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.
7. M. Sabirin (2003)
Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD dan Total Rutin Pengeluaran
Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.
8. Mayun (2004)
Meneliti kemampuan PAD dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar dengan melihat kontribusi TPD terhadap TPAD dengan menggunakan teknik analisis statistik regresi linear berganda. Hasilnya kemampuan
Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di
34
-
Kota Denpasar melaksanakan otonomi daerah sudah cukup memadai.
Kabupaten Klungkung.
9. Handayani (2006)
Meneliti dampak otonomi daerah terhadap kemandirian dan pemerataan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Badung dan ternyata Kabupaten Badung tergolong sudah mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya.
Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.
10. Marlina (2007)
Menganalisa kemampuan keuangan, kemandirian dan posisi Fiskal. Kesimpulannya bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting karena ternyata kontribusinya besar terhadap PAD.
Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di Kabupaten Klungkung.
35